Pencarian

Si Tangan Sakti 1

Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


_________________________________________________________________
Kaisar Kian Liong adalah seorang di antara para kaisar Kerajaan Ceng atau Mancu yang
paling terkenal. Dia bijaksana dan pandai walaupun, se-perti sebagian besar para kaisar dan
to-koh-tokoh besar dunia, dia memiliki pula sebuah kelemahan, yaitu mata keranjang terhadap
wanita. Dalam pemerintahannya selama enam puluh tahun (1736-1796) kerajaannya
mendapatkan banyak kemaju-an sehingga namanya tercatat dengan tinta emas dalam buku
sejarah. Tentu saja tentang semua pengalamannya se-bagai laki-laki mata keranjang, sejak
masih menjadi pangeran, sengaja tidak dicatat karena hal itu akan menjadi noda saja dalam
sejarah raja-raja yang selalu diagungkan.
Ketika kaisar ini masih muda, masih menjadi seorang pangeran, dia dikenal pula sebagai
seorang pangeran yang pan-dai bergaul, yang suka bergaul dengan rakyat jelata, bahkan
mendekati tokoh--tokoh dunia persilatan sehingga namanya populer dan disuka, disebut
Pangeran Bijaksana, Pangeran Mulia dan sebagai-nya.
Ketika dia masih pangeran, pada suatu hari dia melihat seorang wanita muda yang teramat
cantik manis berkunjung ke istana bagian puteri, mengunjungi kakak perempuannya.
Teringatlah dia bahwa wanita itu adalah Fu Heng, isteri dari Pangeran Kian Tong yang
menjadi kakak tirinya karena berlainan ibu. Kalau dia merupakan putera permaisuri dan
Pange-ran Mahkota, Pangeran Kian Tong ha-nya puteri selir. Pangeran Kian Tong baru
beberapa bulan menikah dan wanita cantik itulah isterinya, yang kini ber-kunjung kepada
Puteri Can Kim, kakak-nya yang memang menjadi sahabat baik isteri Pangeran Kian Tong
itu. Semenjak bertemu dengan kakak ipar-nya yang bernama Fu Heng itu, Pangeran Kian Liong
menjadi tergila-gila. Biarpun dia dapat memperoleh gadis mana saja yang dikehendakinya,
namun pada waktu itu, hanya bayangan kakak iparnya yang nampak di depan mata, siang
malam! Tidur tak nyenyak, makan tak enak, begitulah keadaan pangeran putera mah-kota itu.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
1 Hal ini segera diketahui oleh pembantunya yang setia, juga pelayannya, seorang thaikam
(laki-laki kebiri) ber-nama Siauw Hok Cu.
"Pangeran, apakah yang mengganggu pikiran Paduka" Harap beritahukan ke-pada hamba,
dan hamba yang akan melaksanakan segala perintah Paduka untuk dapat memenuhi segala
kehendak Pa-duka." kata thaikam itu.
Pangeran Kian Liong yang sedang rebahan itu bangkit duduk, memandang kepada
pelayannya yang setia dan meng-hela napas panjang. "Hok Cu, engkau tidak tahu betapa
hatiku merana karena rindu kepada seorang wanita....."
Siauw Hok Cu tertawa, akan tetapi menutupi mulutnya dengan sikap sopan. "Sungguh lucu
ucapan Paduka ini. Wanita mana di dunia ini yang tidak akan lari ke dalam pelukan Paduka
kalau Paduka membuka lengan dan memanggilnya" Katakanlah, wanita mana yang Paduka
rindukan, dan hamba akan segera men-jemputnya dan mengajaknya ke sini."
Akan tetapi pangeran itu tidak ber-gembira oleh kesanggupan pelayannya, bahkan menghela
napas lagi. "Ah, engkau tidak tahu siapa wanita yang kurindukan itu, Hok Cu. Sekali ini, biar
engkau pun tidak akan mampu menolongku dan aku akan mati tenggelam ke dalam
kerinduan-ku yang begini menghimpit. Aaaiiihhh....!"
"Katakanlah, Pangeran. Wanita mana yang Paduka kehendaki" Biar ia puteri raja muda
sekalipun, hamba sanggup melaksanakannya untuk Paduka!" kata Siauw Hok Cu penuh
semangat. "Kalau saja ucapanmu itu benar, Hok Cu. Akan tetapi sudahlah, lupakan saja, biarkan aku
merana sendiri karena eng-kau tidak mungkin akan dapat membantuku sekali ini...."
"Katakanlah siapa wanita itu, Pange-ran. Hamba bersumpah, kalau tidak bisa mendapatkan,
nyawa hamba gantinya!" kata pula thaikam itu dengan penasaran.
"Benarkah?" Kini dalam mata pange-ran itu bernyala sebuah harapan baru. "Nah, dengarlah.
Wanita yang kurindukan itu adalah Nyonya Fu."
"Nyonya Fu....?" tanya thaikam itu, tidak mengerti.
"Nyonya muda Fu Heng, kakak iparku, isteri Pangeran Kian Tong, pengantin baru itu!"
"Ya Tuhan....!" Wajah thaikam itu berubah pucat dan matanya terbelalak. "Tapi beliau
adalah kakak ipar Paduka sendiri!"
Pangeran Kian Liong tersenyum pa-hit. "Benar, akan tetapi ia pun seorang wanita, bukan"
Wanita yang amat cantik, amat manis, amat mulus, dan bagaimana dengan janjimu untuk
mengganti dengan nyawamu, Hok Cu?"
Thaikam itu cepat mengangguk-ang-gukkan kepalanya sampai dahinya mem-bentur lantai.
"Akan hamba laksanakan, Peduka jangan khawatir, akan hamba carikan jalan!"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
2 Tentusaja pangeran itu merasa gembira sekali. Pembantu utama yang menjadi pelayan
pribadinya ini memang cerdik dan banyak akalnya. Biarpun di situ tidak terdapat orang lain,
mereka berbisik-bisik ketika thiankam Siauw Hok Cu mengatur siasatnya.
Kurang lebih sepekan kemudian, sebuah kereta berhenti di halaman istana bagian putri dan
wanita cantik Fu Heng turun dari kereta. Seorang dayang segera menyambutnya. Dayang itu
mengaku sebagai pelayan pribadi Puteri Can Kim yang mengutusnya untuk menyambut Fu
Heng. "Puteri sedang menghadap Permaisuri dan hamba diutus menyambut Paduka," katanya.
Wanita itu tersenyum dan bibirnya merekah dalam senyum manis sekali. "Terima kasih,"
katanya sambil menggunakan saputangan untuk menghapus keringat yang membasahi
lehernya. "Aihh, betapa panas hawanya," ia mengeluh.
"Sang puteri tadi memerintahkan hamba untuk mengantar Paduka menanti di istana pondok
merah di taman, di sana lebih sejuk dan hamba telah mempersiapkan bak mandi untuk Paduka
agar Paduka merasa segar kembali setelah melakukan perjalanan dengan kereta dari tempat
tinggal Paduka sampai ke sini."
"Oohhh, terima kasih. Sang puteri sungguh baik hati sekali!" kata nyonya muda yang usianya
baru sembilan belas tahun itu dengan gembira. Memang pondok merah di taman merupakan
bangunan mungil indah dan saudara suaminya seringkali mengajak ia bersenang-senang di
tempat itu. Nyonya muda itu lalu dikawal oleh beberapa dayang menuju ke ruang depan,
kemudian rombongan itu memasuki taman dan pergi ke sebuah pondok cat merah yang indah
mungil. Tak lama kemudian, Nyonya muda itu telah mandi dengan air bunga yang harum, dilayani
oleh para dayang dan setelah puas membersihkan tubuh dengan air yang sejuk segar, si cantik
ini duduk di depan cermin, membereskan rambutnya yang panjang, hitam dan terurai lepas. Ia
merasa nyaman sekali dan bersenandung kecil di depan cermin, menga-gumi kecantikan diri
sendiri. Dengan pa-kaian kimono sutera yang diberikan da-yang kepadanya, ia dapat melihat
bayangan tubuhnyadi cermin. Ia tidak sadar bahwa para dayang telah meninggalkan-nya dan
bahwa ia kini seorang diri saja di dalam kamar yang indah dan lengkap itu. Kalau ia sedang
bermain di istana, atas undangan Puteri Can Kim seperti sekarang ini, ia merasa amat gembira
dan lupa akan kedukaan hatinya. Setelah ia menikah dengan Pangeran Kian Tong, wanita ini
merasa kecewa dan menyesal sekali, membuat ia menahan kesedihan-nya. Suaminya itu
ternyata berwajah buruk, sikapnya kasar dan sama sekali tidak menyenangkanhatinya. Ia
merasa menyesal kenapa orang tuanya menjodoh-kan ia dengan seorang laki-laki seperti itu
dan merasa menyesal mengapa se-belumnya ia tidak lebih dulu melihat calon suaminya.
Malam pertama merupa-kan pengalaman yang membuat ia meng-gigil ngeri kalau
mengenangnya kembali. Di sini, tempat yang nyaman ini, jauh dari suaminya, ia merasa aman
dan juga gembira. Tiba-tiba wajah yang cantik itu men-jadi tegang, mata itu terbelalak meman-dang ke dalam
cermin, mulutnya yang berbibir merah basah itu terbuka dan sisir itu terlepas dari tangannya.
Ke-mudian, setelah melihat jelas bahwa pria yang muncul dari ambang pintu itu adalah
Pangeran Mahkota, wajahnya berubah merah sekali dan tergopoh kedua tangan-nya mencoba
untuk merapatkan kimono suteranya yang tipis. Makin dirapatkan, kain sutera itu semakin
menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
3 Fu Heng memutar tubuh di atas bang-kunya, menghadapi pangeran yang berdiri memandang
dengan kedua mata terpesona. "Pangeran.... mohon Paduka pergi.... pergilah atau saya akan
menjerit...." katanya gagap.
Akan tetapi Pangeran Kian Liong bahkan menjatuhkan dirinya berlutut dengan sebelah kaki,
mencabut pedangnya dan berkata sambil menempelkan pedang terhunus di lehernya sendiri.
"Kalau engkau tidak mau menemaniku, menolak untuk menerima cintaku, biarlah aku
membunuh diri di depan kakimu!"
Melihat pangeran mahkota itu bersikap dan berkata seperti itu, wajah yang cantik jelita itu
menjadi pucat sekali. Kalau putera mahkota mati membunuh diri di depan kakinya, berarti
bahaya maut bagi dirinya! Pula, pemuda yang tampan sekali ini adalah calon kaisar,
merupakan orang ke dua setelah kaisar yang paling berkuasa. Mungkin tidak lama lagi pria ini
akan menjadi kaisar! "Harap.... Paduka.... jangan lakukan itu...." katanya berbisik.
Pangeran itu mengangkat muka dan memandang, sinar matanya bercahaya, wajahnya berseri.
"Jadi engkau mau....?"
Wanita itu kini menundukkan muka, kedua pipinya merah sekali, juga sampai ke lehernya,
membuat ia nampak se-makin cantik. Biarpun mukanya menunduk,masih nampak ia menahan
senyum ter-sipu dan kepalanya mengangguk perlahan.
Pangeran Kian Liong menahan diri-nya agar tidak bersorak. Dia bangkit berdiri, menutupkan
daun pintu, lalu memondong tubuh wanita itu dari atas bangku, membawanya ke
pembaringan. Samua ini tentu saja hasil siasat yang telah diatur oleh pembantunya, yaitu thaikam Siauw
Hok Cu. Para dayang adalah kaki tangannya yang telah disuap.
Ketika akhirnya pangeran mahkota melepaskan kekasihnya keluar dari dalam pondok merah,
Siauw Hok Cu sengaja menghampiri dua orang itu dan bersikap seperti orang yang terkejut
sekali. "Pangeran....! Nyonya muda....! Apa yang Paduka berdua lakukan ini" Kalau Pangeran Kian
Tong mengetahui...., ham-ba sendiri juga akan celaka. Seisi istana akan mengetahui peristiwa
ini....!" Pangeran Kian Liong diam saja, akan tetapi nyonya muda itu dengan muka merah sekali, dan
dengan tubuh gemetar dan kedua kaki menggigil segera berkata. "Ah, harap jangan
beritahukan siapapun...." Ia memandang kepada thaikam itu, lalu menoleh kepada pangeran
mahkota dengan sikap bingung, matanya yang jeli dan masih redup seperti orang mengantuk
itu nampak ketakutan seperti mata kelinci bertemu harimau.
Pangeran Kian Liong pura-pura tidak tahu dan diam saja, membiarkan pem-bantunya
melanjutkan siasatnya. "Baik, nyonya muda. Hamba tidak memberitahu kepada siapapun
juga, tetapi hanya de-ngan satu syarat dan agar nyonya muda dapat berjanji untuk memenuhi
syarat itu." Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
4 Dengan ketakutan nyonya muda itu bertanya, suaranya gemetar dan bibirnya menggigil.
"Apa.... syaratnya....?"
"Syaratnya adalah bahwa setiap kali Pangeran Mahkota merindukan Paduka dan memanggil,
Paduka harus segera datang melayaninya. Maukah Paduka berjanji?" kata Siauw Hok Cu.
Kembali Fu Heng, wanita cantik itu, tersipu, akan tetapi sinar matanya nam-pak lega dan ia
pun kini berkata lirih dengan suara mantap dan tidak lagi gemetar. "Aku berjanji!"
Setelah Kian Liong pergi meninggal-kan pondok, barulah para dayang ber-munculan. Akan
tetapi mereka itu pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi dan mereka segera mengantar
nyonya muda itu keluar ketika ia menyatakan hendak pulang.
Sebetulnya, tidak perlu Siauw Hok Cu menggunakan siasat pemerasan atau an-caman itu.
Tanpa ancaman sekalipun, Fu Heng akan dengan suka rela, bahkan dengan bergembira,
menyambut setiap ajakan Pangeran Kian Liong. Setelah merasakan curahan kasih sayang
pangeran mahkota yang tampan, halus lembut, romantis dan berpengalaman itu, ia pun
menjadi tergila-gila dan makin tidak suka melayani suaminya.
Demikianlah, hubungan gelap itu ber-kelanjutan dan dengan bantuan Siauw Hok Cu,
pertemuan rahasia selalu terjadi antara Pangeran Kian Liong dan kakak iparnya. Di rumahnya,
Fu Heng semakin jarang mau melayani suaminya.
Hubungan gelap itu membuahkan kan-dungan dan nyonya muda Fu Heng me-lahirkan
seorang putera yang tentu saja bagi umum, bahkan bagi keluarganya, merupakan putera dari
Pangeran Kian Tong. Akan tetapi dua orang kekasih itu yakin bahwa anak itu adalah
keturunan Pangeran Kian Liong dari hasil hubungan rahasia mereka.
Hubungan rahasia antara mereka itu pun terputus setelah Fu Heng mengandung dan
melahirkan anak. Dan rahasia itu tertutup rapat sampai pangeran mahkota menjadi kaisar.
Anak laki-laki itu diberi nama Cia Yan atau Pangeran Cia Yan, dan mengingat bahwa anak itu
adalah darahnya sendiri, ketika dia sudah men-jadi kaisar, Pangeran yang menjadi Kai-sar
Kian Liong itu minta persetujuan kakaknya, yaitu Pangeran Kian Tong, untuk mengangkat
Cia Yan sebagai pu-teranya. Tentu saja Pangeran Kian Tong setuju dan merasa girang dan
bangga sekali karena dengan demikian, derajat Cia Yan akan naik beberapa kali lipat. Dari
putera seorang pangeran menjadi putera kaisar!
Kini Kaisar Kian Liong telah menjadi seorang kakek yang tua. Usianya sudah tujuh puluh
tujuh tahun. Pangeran Cia Yan, puteranya hasil hubungan dengan kakak iparnya itu, juga
sudah berusia lima puluh tahun lebih, dan pangeran ini mempunyai pula seorang putera yang
diberi nama Pangeran Cia Sun yang kini berusia dua puluh dua tahun.
Agaknya pangeran muda ini mewarisi sifat-sifat kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong. Bagi
umum, tentu saja kaisar itu merupakan paman ayahnya, akan tetapi sesungguhnya adalah
kakeknya yang aseli, ayah kandung ayahnya! Maka tidak meng-herankan kalau dia mewarisi
sifat dan wajah kakeknya. Pangeran Cia Bun ini tampan, lembut, pandai dan romantis seperti
kakeknya! Bahkan lebih dari itu, dia berbakat baik dalam ilmu silat, juga suka sekali
mempelajari ilmu silat. Di istana terdapat banyak jagoan-jagoan yang memiliki ilmu
kepandaian silat ting-kat tinggi dan sebagai seorang pangeran, mudah saja dia mendapatkan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
5 guru-guru yang pandai. Kini, dalam usia dua puluh dua tahun, Cia Sun merupakan seorang
pangeran yang tampan, gagah, sastrawan, seniman dan sekaligus ahli silat yang tangguh.
Pada suatu hari, timbul keinginan hati Pangeran Cia Sun untuk pergi meninggalkan
lingkungan istana ayahnya, pergi berkelana dengan bebas, tanpa pengawal, tanpa acara, tanpa
upacara. Jiwa pe-tualangannya memberontak dan dia ingin terbebas daripada semua ikatan
peraturan kebangsawanannya yang dianggap amat mengikat. Ketika dia menghadap ayah
ibunya untuk minta perkenan mereka ke dua orang tuanya ini tentu saja merasa khawatir,
terutama sekali ibunya. "Cia Sun, engkau hendak pergi ke mana" Kurang apakah di sini" Semua ada, segala
keperluanmu tersedia, segala keinginanmu akan terkabul. Kenapa hen-dak merantau dan
bersusah payah?" kata ibunya.
Cia Sun tersenyum kepada ibunya. Dia tahu bahwa ibunya amat menyayangi dan
memanjakannya. "Ibu, ada sesuatu yang kurang di sini, yaitu kebebasan dari segala macam
peraturan. Aku ingin me-rasakan seperti seekor burung rajawali yang terbang melayang di
udara, bebas dan pergi ke manapun sekehendak hatinya. Jangan ibu khawatir, aku tidak akan
pergi selamanya, hanya ingin merantau kurang lebih setahun untuk menambah pengetahuan,
meluaskan pengetahuan melalui pengalaman."
"Tapi, di luar sana banyak terdapat orang jahat, Nak." kata pula ibunya, lupa bahwa
puteranya adalah seorang ahli silat yang tangguh, bukan lagi seorang anak kecil yang lemah
dan membutuhkan perlindungannya.
"Aku dapat menjaga diri, Ibu. Bahkan kalau ada penjahat, menjadi kewajibanku untuk
membasminya agar negara menjadi aman dan kehidupan rakyat tidak akan terganggu."
"Cia Sun, aku mengerti keinginan hatimu dan aku pun tidak berkeberatan," kata ayahnya.
"Akan tetapi ingatlah, ada satu hal yang penting harus kauketahui, yaitu bahwa engkau tidak
boleh meng-ikatkan diri dengan seorang wanita lain. Engkau sudah kuusulkan untuk berjodoh
dengan Si Bangau Merah!"
"Apa" Anakku akan dijodohkan dengan burung bangau merah?" isteri Pangeran Cia Yan
berseru, matanya terbelalak memandang kepada suaminya dengan heran dan takut kalau-kalau
suaminya mendadak menjadi sinting!
Ayah dan anak itu tertawa bergelak mendengar pertanyaan wanita itu.
"Jangan khawatir, aku belum gila. Masa anakku akan dijodohkan dengan burung bangau"
Yang kumaksudkan dengan Si Bangau Merah adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si
Bangau Merah, puteri dari pendekar sakti Bangau Putih."
"Ihhh! Kenapa serba bangau" Apakah tidak keliru menjodohkan anak kita de-ngan gadis dari
keluarga itu" Jangan--jangan mukanya seperti bangau."
Kembali ayah dan anak itu tertawa. "Ibu jangan khawatir, aku sudah men-dengar akan nama
besar Pendekar Ba-ngau Putih, dan juga telah mendengar bahwa Si Bangau Merah adalah
seorang pendekar wanita yang hebat, bukan saja berkepandaian tinggi akan tetapi juga cantik
jelita." Lalu dia berkata kepada ayahnya. "Ayah, bukan saya menolak atas usul ayah. Akan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
6 tetapi, di antara saya dan gadis itu belum pernah bertemu muka, belum pernah berkenalan,
bagai-mana begitu saja kami dapat dijodohkan" Saya yakin bahwa seorang gadis seperti Si
Bangau Merah, tidak akan mau di-jodohkan dengan seorang laki-laki yang belum pernah
dilihatnya. Saya sendiri pun ragu-ragu apakah saya akan merasa co-cok dengan gadis itu."
Ayahnya tersenyum. "Pendekar Bangau Putih atau yang bernama Tan Sin Hong adalah
seorang pendekar budiman dan aku mengenalnya dengan baik. Karena itulah maka pernah
aku mengusulkan kepadanya agar anaknya dijodohkan de-ngan anakku. Dia tidak menolak,
dan juga belum menerima begitu saja karena itu baru merupakan usul, bukan suatu pinangan
resmi. Akan tetapi, akan baha-gialah hatiku kalau akhirnya aku dapat berbesan dengan Tan-
taihiap (pendekar besar Tan), maka aku pesan kepadamu agar dalam perantauanmu ini engkau
ti-dak terikat oleh gadis lain."
"Baiklah, Ayah. Aku memang suka bergaul dengan wanita, akan tetapi un-tuk menentukan
jodoh, aku harus me-milih-milih dan tidak mau sembarangan saja."
Beberapa hari kemudian, berangkatlah Cia Sun meninggalkan rumah keluarganya yang
berupa sebuah gedung istana yang indah dan mewah. Dia membawa buntalan pakaian, bekal
uang, dan tidak ketinggal-an sebatang pedang yang dimasukkan buntalan pakaian. Dia sendiri
mengenakan pakaian seorang sastrawan yang tidak begitu mewah. Ketika dia keluar dari
rumah lalu meninggalkan kota raja, orang yang melihatnya di jalan tentu tidak menduga


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa dia adalah seorang pa-ngeran, cucu kaisar! Dia kelihatan se-bagai seorang pemuda
sastrawan yang melakukan perjalanan, dari keluarga sedang saja, wajahnya tampan dan
sikapnya lembut. Cia Sun memang tampan seperti Kaisar Kian Liong di waktu mudanya.
Tubuhnya sedang dan tegap, wajahnya yang bulat bentuknya itu berkulit putih bersih
sehingga alisnya yang lebat dan hitam nampak semakin jelas. Sepasang matanya tajam
bersinar, hidungnya agak besar dan mulutnya selalu terhias se-nyum.
*** Siapakah yang dimaksudkan Pangeran Cia Sun ketika dia bicara tentang ke-luarga "bangau"
itu" Pendekar Bangau Putih adalah Tan Sin Hong seorang pendekar sakti yang tinggal di kota
Ta-tung sebelah barat kota raja. Tan Sin Hong berusia empat puluh satu tahun, dan dia
seorang yang sederhana sehingga tidak akan ada yang menduga bahwa dialah yang berjuluk
Pendekar Bangau Putih! Pakaiannya serba putih, dan pendekar budiman yang sikapnya ramah
dan lembut ini memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Dia mewarisi ilmu-ilmu dari orang-
orang sakti yang berada di istana Gurun Pasir. Mendiang tiga orang gurunya, ya-itu Wan Tek
Hoat, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng, telah merangkai sebuah ilmu gabungan mereka bertiga
yang diberi nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Tan Sin Hong telah menguasai
ilmu ini dengan sempurna, dan sukarlah mencari lawan yang akan mampu menga-lahkan
ilmunya itu. Selain itu, juga dia memiliki sebatang pedang pusaka yang ampuh, yaitu Cui-
beng-kiam (Pedang Pengejar Arwah)!
Isterinya juga seorang pendekar wa-nita yang amat lihai, bernama Kao Hong Li, berusia
empat puluh tahun namun masih nampak cantik, ramping dan ce-katan seperti seorang gadis
saja. Wajah-nya bulat telur dan matanya lebar. Kao Hong Li ini merupakan keturunan aseli
dari Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir, karena ayahnya adalah keturunan Gurun Pasir
bernama Kao Cin Liong sedangkan ibunya keturunan Pulau Es ber-nama Suma Hui. Dapat
dibayangkan be-tapa lihainya wanita ini.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
7 Adapun puteri mereka, anak tunggal bernama Tan Sian Li. Gadis inilah yang di juluki Si
Bangau Merah, karena ia menguasai ilmu silat Bangau Merah gubahan ayahnya, disesuaikan
dengan kesukaannya memakai pakaian serba merah. Ilmu silat itu masih bersumber dari ilmu
Pek-ho Sin-kun, dan setelah diadakan perubahan yang lebih sesuai dimainkan wanita, ma-ka
diberi nama Ang-ho-sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah). Oleh karena itu, seperti ayahnya,
maka julukan Si Bangau Merah sungguh tepat bagi Sian Li. Gadis berusia delapan belas tahun
ini cantik jelita, wajahnya bulat telur seperti wajah ibunya, kulitnya putih mulus kemerahan,
matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum agak meng-ejek, dihias
lesung pipi di kanan kiri. Manis sekali. Wataknya lincah jenaka dan galak seperti ibunya,
pemikirannya men-dalam dan cerdik seperti ayahnya. Dalam hal ilmu silat, gadis ini tentu saja
lihai bukanmain. Ia telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya dan ibunya, bahkan ia per-nah
digembleng oleh kakaknya Suma Ceng Liong dan isterinya Kam Bi Eng, yaitu paman dari
ibunya, selama lima tahun. Maka lengkaplah ilmu-ilmu dari tingkat tinggi yang dikuasai gadis
berpakaian merah ini. Ilmu-ilmu dari Pulau Es, dari Gurun Pasir, dan dari Lembah Naga
Siluman yang diwarisinya dari Kam Bi Eng isteri Suma Cin Liong! Semua itu masih
ditambah lagi dengan ilmu peng-obatan yang ia pelajari dari Yok-sian Lo--kai (Pengemis Tua
Dewa Obat). Sian Li seolah-olah memiliki segala-galanya. Wa-jah cantik, ilmu kepandaian
tinggi, dari keluarga para pendekar! Mau apa lagi"
Akan tetapi, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah kekurangan sesuatu dalam
hidupnya! Kita dapat me-nyelidiki keadaan setiap orang manusia. Seorang kaisar sekalipun
pasti tidak da-pat berbahagia sepenuhnya, tidak dapat puas selengkapnya. Ada saja
kekurangan-nya yang membuat seorang manusia ke-cewa dan tidak puas dengan keadaan
dirinya. Orang miskin mengira bahwa orang kaya-raya hidup berbahagia dengan hartanya.
Orang bodoh mengira bahwa orang terpelajar pandai hidup berbahagia dengan
kepandaiannya. Orang biasa me-ngira bahwa orang berkedudukan tinggi hidup berbahagia
dengan kedudukkannya. Namun, kalau kita melihat kenyataanya, lebih banyak terdapat orang
kaya-raya mengalami banyak kepusingan karena hartanya, orang terpelajar menjadi ang-kuh
dan congkak karena kependaiannya, orang berkedudukan tinggi menjadi pusing karena
kedudukannya. Ini menunjukkan bahwa kita manusia sebagian besar menjadi boneka-boneka
yang dipermainkan nafsu daya rendah. Ulah nafsu membuat kita selalu mengejar sesuatu yang
tidak kita miliki, membuat kita selalu tidak puas dengan keadaan yang ada, menjang-kau yang
tidak ada. Nafsu mendorong kita mengejar sesuatu, kalau terdapat apa yang kita kejar, nafsu
bukan mereda melainkan makin mengganas, mengejar yang lain lagi, sedangkan yang sudah
terdapat menjadi hamba, mendatangkan bosan. Demikianlah terus-menerus. Hidup merupakan
pengejaran sesuatu yang kita anggap akan dapat membahagiakan, sehingga sampai mati pun
kita tidak dapat mengalami kebahagiaan yang selalu di-kejar-kejar dan selalu berpindah ke
se-suatu yang belum kita peroleh! Kalau sekali saat tidak ada lagi pengejaran, baru ada
kemungkinan kita menemukan behwa kebahagiaan adanya bukan di se-berang sana, bukan di
masa depan, me-lainkan di saat ini!
Demikian pula dengan Sian Li. Gedis jelita ini, walau setiap hari nampak lin-cah gembira dan
rajin memperdalam ilmu silat Ang-ho Bin-kun di bawah bimbingan ayahnya, namun kalau
sudah ber-ada di kamarnya di malam hari, ia se-ringkali duduk termenung di atas
pembaringannya. Bahkan kadang ia hampir menangis. Sukar baginya untuk melupakan
seorang pria yang menjadi idaman hati-nya sejak ia masih kanak-kanak! Pria yang kini telah
berusia dua puluh enam tahun itu bernama Yo Han. Dia dapat dibilang suhengnya sendiri,
karena ketika kecilnya Yo Han mengaku suhu dan subo kepada ayah ibunya, walaupun ketika
itu Yo Han hanya mempelajari teori ilmu silat ayah ibunya belaka, tidak mau me-latih diri
dengan ilmu silat. Akan tetapi kemudian mereka saling berpisah ketika ia berusia empat tahun
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
8 dan suhengnya itu berusia dua belas tahun, perpisahan yang pernah membuat ia setiap hari
rewel dan menangis. Kemudian lewat tiga belas tahun, setelah ia menjadi seorang gadis remaja dan Yo Han
menjadi pemuda dewasa, mereka saling berjumpa. Dan telah ter-jadi perubahan besar dalam
diri Yo Han. Kalau dahulu, di waktu kecil dia tidak suka berlatih silat karena katanya ilmu
silat hanya mendatangkan kekerasan dan permusuhan, kini dia telah menjadi se-orang
pendekar sakti yang amat lihai, bahkan yang dikenal orang-orang di wila-yah barat sebagai
Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti)! Dan mereka saling mengenal dalam pertemuan
yang mengharukan dan juga amat menggembira-kan hati Sian Li. Sejak kecil ia menya-yang
Yo Han, dan kini setelah menjelang dewasa dan melihat bahwa Yo Han telah menjadi seorang
pendekar budiman yang amat mengagumkan, tidaklah mengheran-kan kalau ia jatuh cinta.
Walaupun ia dan Yo Han tidak pernah saling menyata-kan isi hati yang mencinta, namun
keduanya dapat merasakan dalam hati masing-masing bahwa mereka saling men-cinta.
Setelah bertemu dengan Yo Han, Sian Li pulang diantar oleh Yo Han dan kedua orang tua
Sian Li juga menyambut Yo Han dengan gembira dan kagum melihat pemuda yang di waktu
kecilnya tidak suka berlatih silat itu kini telah men-jadi seorang pendekar lihai. Namun,
me-lihat keakraban hubungan antara puteri mereka dan Yo Han, suami isteri pen-dekar itu
merasa khawatir. Mereka ber-dua tidak setuju kalau sampai puteri mereka saling jatuh cinta
dengan Yo Han, tidak setuju kalau puteri mereka menjadi jodoh pemuda itu. Mereka tidak
dapat melupakan bahwa biarpun ayah kandung Yo Han seorang pemuda petani yang jujur dan
baik namun mendiang ibu kandungnya adalah sorang wanita tokoh sesat yang dahulu terkenal
sebagai iblis betina dengan julukan Bi Kwi (Setan Cantik). Mereka merasa khawatir kalau-
kalau Yo Han mewarisi watak ibunya yang tersesat. Itulah sebabnya maka suami isteri ini
terang-terangan menyatakan kepada Yo Han bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan
Pangeran Cia Sun dari kota raja! Keterangan itu memukul hati Yo Han dan pemuda itu pun,
untuk ke dua kalinya, meninggalkan keluarga Tan demi menjauhkan diri dan tidak
meng-ganggu Sian Li! Demikianlah, kadang-kadang, kalau teringat kepada Yo Han, Sian Li merasa rindu dan
bersedih. Akan tetapi ayah ibunya menghiburnya dan mengatakan bahwa ayah ibunya akan
mengajak ia pergi ke kota raja, untuk membantu Yo Han yang bertugas mencari adik
misan-nya yang hilang diculik orang sejak ber-usia tiga tahun! Adik misan Yo Han itu
bernama Sim Hui Eng, puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan. Suami
isteri pendekar yang me-miliki ilmu kepandaian tinggi itu pun tidak berhasil menemukan
kembali puteri mereka yang telah hilang selama dua puluh tahun! Dan sekarang pergi untuk
mencoba membantu bibinya me-nemukan kembali puterinya yang hilang itu. Tentu saja Sian
Li terhibur karena hendak diajak mencari Sim Hui Eng, bukan untuk menemukan gadis yang
sama sekali belum pernah dikenalnya itu, melainkan karena ada harapan untuk berjumpa
kembali dengan Yo Han! Sebelum itu, Sian Li diharuskan mem-perdalam ilmu silatnya dan selama se-tahun, ia melatih
diri dengan amat te-kun, menguasai ilmu silat Ang-ho-sin--kun yang sengaja dirangkai
ayahnya un-tuk dirinya. Tidak begitu sukar bagi Sian Li untuk menguasai ilmu ini, karena
sebelumnya ia telah menguasai ilmu silat Pek-ho-sin-kun yang merupakan dasar dari Ang-ho-
sin-kun. Pada pagi hari itu, untuk yang ter-akhir kalinya Sian Li berlatih, ditunggui ayah dan ibunya
sendiri. Ia bersilat me-mainkan Ang-ho-sin-kun. Demikian lincah gerakannya sehingga
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
9 kadang-kadang tu-buhnya tidak nampak dan yang kelihatan hanya bayangan merah yang
berkelebatan cepat. Kadang-kadang kalau ia melakukan gerakan yang lambat, maka ia
kelihatan seperti seorang penari yang pandai me-narikan tari bangau yang indah. Ada gerakan
burung bangau menyisir bulu, burung bangau berjemur dan burung bangau mengembangkan
kedua sayap. Indah sekali gerakannya itu, akan tetapi di balik keindahan dan kelembutan ini
ter-simpan kekuatan dahsyat yang mengejut-kan lawan yang kuat sekalipun.
Setelah selesai bersilat, Sian Li meng-hentikan gerakannya dan napasnya tidak memburu,
hanya di leher dan dahinya saja agak basah oleh keringat. Ibunya segera menghampiri
puterinya, memper-gunakan sebuah handuk untuk mengusap keringat dari leher dan dahi
puterinya tercinta. "Bagus, gerakanmu sudah bagus, tidak ada lagi kulihat lowongan yang lemah!" Ayahnya
memuji. "Kepandaianmu kini lengkap dan lu-mayan, aku sendiri tidak akan mampu menandingimu,"
kata ibunya dengan bang-ga dan ibu ini mencium kedua pipi puteri-nya.
"Kalau begitu kapan kita berangkat, Ayah?" Sian Li bertanya, wajahnya berseri gembira,
matanya bersinar-sinar. Sin Hong sendiri kagum melihat puterinya. Isterinya adalah seorang
wanita cantik, akan tetapi puteri mereka ini lebih can-tik lagi. Apalagi dalam pakaian serba
merah begitu. Hati pemuda mana yang takkan terpikat" Pangeran Cia Sun pasti akan jatuh
cinta kalau bertemu dengan Sian Li.
Tan Sin Hong tertawa. "Ha-ha-ha, berangkat ke mana?" Dia menggoda, tentu saja tahu
bahwa puterinya menagih janji.
"Aih, apakah Ayah sudah melupakan janjinya sendiri" Bukankah setahun yang lalu Ayah
menjanjikan kepadaku untuk pergi mencari puteri paman Sim Houw, dimulai dari kota raja?"
"Ayahmu hanya menggodamu, Sian Li. Kita berangkat besok pagi-pagi, kami sudah bersiap
dan berkemas," kata Kao Hong Li.
Mendengar ucapan ibunya ini, Sian Li bersorak gembira. "Kalau begitu, aku pun akan
berkemas, ibu!" dan gadis itu ber-lari ke kamarnya dengan sikap gembira bukan main.
Ayah dan ibu itu memandang ke arah puteri mereka dan tersenyum bahagia. "Dia sudah
dewasa akan tetapi kadang-kadang masih kekanakan." kata Tan Sin Hong.
"Usianya sudah delapan belas tahun, tentu saja sudah dewasa," kata Kao Hong Li.
"Sekali ini kita akan mempertemukan ia dengan Pangeran Cia Sun. Kita ma-tangkan urusan
ini dengan keluarga Pa-ngeran Cia Yan."
"Mudah-mudahan mereka berjodoh." kata isterinya, akan tetapi di dalam hatinya Kao Hong
Li tidak yakin benar. Ia mengenal benar watak puterinya, Sian Li yang lincah gembira itu
memiliki pendirian yang sekeras baja. Kalau puteri-nya itu tidak setuju untuk dijodohkan
dengan seseorang, biar dengan pangeran sekalipun, tidak akan ada kekuatan di dunia ini yang
akan mampu memaksanya. Aken tetapi tentu saja ia tidak mau merisaukan hati suaminya
dengan pen-dapat hatinya ini dan hanya disimpannya saja.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
10 Keluarga ini membuat persiapan, dan pada keesokan harinya pagi-pagi berang-katlah mereka
bertiga menuju ke kota raja, menggunakan sebuah kareta yang ditarik dua ekor kuda.
Akan tetapi Sian Li melihat bahwa setelah tiba di perempatan, kereta yang mestinya berbelok
ke utara menuju ke kota raja tidak dibelokkan ayahnya dan terus menuju ke timur. "He,
apakah Ayah tidak salah jalan" Kota raja berada di sana!" katanya menuding ke kiri.
"Kita pergi ke dusun Hong-cun lebih dulu. Lupakah engkau akan perayaan ulang tahun
paman Suma Ceng Liong?" kata ibunya.
Sian Li terbelalak, lalu berseru gem-bira. "Aih, kenapa Ayah dan Ibu tidak memberitahukan
lebih dahulu" Aku sam-pai lupa! Tentu saja Kakek Suma Ceng Liong akan merayakan ulang
tahunnya yang ke enam puluh, dan perayaan itu dipergunakan pula untuk mengumpulkan
semua anggauta keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Gunung Naga!" Teringat akan
itu, Sian Li gembira bukan main. Tidak saja ia akan dapat bertemu dengan kakek Suma Ceng
Liong dan is-terinya, Kam Bi Eng, dua orang tua yang pernah menggemblengnya selama lima
tahun, dan bertemu pula dengan para anggauta tiga keluarga besar, akan tetapi terutama sekali
karena adanya kemung-kinan ia berjumpa dengan Yo Han di sana!
Tan Sin Hong dan isterinya tertawa. Mereka memang ingin mengadakan kejutan maka tidak
mengingatkan puteri me-reka tentang itu dan benar saja, kini gadis itu gembira bukan main.
Perjalanan yang cukup jauh itu me-reka lakukan dengan santai, seperti orang sedang pesiar
sehingga tidak terasa lelah dan di sepanjang perjalanan mereka me-nikmati alam, berhenti di
kota-kota yang ramai. Waktunya masih banyak dan biar-pun dengan santai, mereka tidak akan
terlambat. *** "Berhenti....!" Teriakan itu lantang sekali dan tiga belas orang yang meng-hadang dan
menghentikan kereta itu nampak bengis dan dari sikap, pakaian dan wajah mereka dapat
diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang sudah biasa memaksakan kehendak mereka
dengan kekerasan. Melihat ada belasan orang menghadang di jalan pegunungan yang sunyi itu, Tan Sin Hong
yang memegang kendali kuda, menghentikan dua ekor kuda itu dan ke-reta pun berhenti.
Kao Hong Li dan Tan Sian Li men-jenguk dari jendela kereta dan dua orang wanita ini saling
pandang. Mereka bah-kan merasa heran melihat keberanian gerombolan itu yang berani
menghadang mereka! "Biarkan aku menghadapi mereka, Ibu. Ayah, jangan turun tangan, biar aku menghajar
orang-orang jahat itu!"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
11 Ayahnya tersenyum dan mengangguk. "Ingat, jangan sembarangan membunuh orang, Sian
Li." "Jangan khawatir, Ayah. Aku tidak pernah melupakan semua nasihatmu, aku tidak akan
membunuh mereka, hanya menghajar biar mereka jera!"
Sian Li turun dari atas kereta, se-ngaja tidak memperlihatkan kepandaian-nya, turun dengan
biasa saja seperti seorang gadis yang lemah. Ketika ada seorang gadis berpakaian serba merah
turun dari kereta yang mereka hadang, dan gadis itu cantik jelita, tidak memegang senjata dan
nampak lemah de-ngan langkahnya yang lembut mengham-piri mereka, para perampok itu
terheran--heran. Pemimpin mereka, seorang yang mukanya hitam dan tubuhnya seperti
rak-sasa, segera melangkah maju menghadapi Sian Li, matanya memandang dengan melotot,
seperti harimau kelaparan me-lihat datangnya seekor kelinci yang ber-daging gemuk dan
lunak. "Aduh-aduh.... kiranya penumpang kereta adalah seorang bidadari merah yang cantik
rupawan...." kata raksasa muka hitam itu. "Hari ini aku Hek-bin-gu (Kerbau Muka Hitam)
bertemu bida-dari, sungguh beruntung!" Mendengar ucapan si raksasa muka hitam itu, dua
belas orang anak buahnya yang rata-rata juga kasar dan bengis, tertawa-tawa dan semua mata
memandang kepada Sian Li seolah-olah hendak melahapnya.
Sian Li sengaja tersenyum semanisnya sehingga lesung pipi bermunculan di ka-nan kiri
mulutnya. Wajahnya menjadi demikian manis sehingga tiga belas orang kasar itu tak dapat
menahan air liur dan mereka menelan ludah, membuat kala-menjing di kerongkongan mereka
ber-gerak naik turun. "Kalian ini belasan orang menghadang perjalananku, ada urusan apakah?" tanya-nya,
bersikap polos dan tidak mengerti.
Si muka hitam menoleh kepada ka-wan-kawannya. "Haiii, dengar, kawan--kawan. Kita ini
menghadang kereta bi-dadari ini mau apa" Hayo jawab, mau apa, ya" Ha-ha-ha-ha-ha!"
Kembali me-reka semua tertawa bergelak. Sian Li mengernyitkan hidungnya karena dari
mulut tiga belas orang yang terbuka lebar itu keluar bau yang tidak sedap. Agaknya sebagian
dari mereka telah minum banyak arak keras sepagi itu.
"Kalau kalian tidak mempunyai urusan denganku, mundurlah dan jangan meng-halang jalan,
keretaku akan lewat." kata pula Sian Li.
Hek-bin-gu melangkah makin dekat. "Nona manis, tadinya kukira kereta ini tumpangi
pembesar Mancu dan kalau demikian halnya, tentu keretanya kami rampas, orang-orangnya
kami bunuh. Akan tetapi, karena engkau yang menjadi penumpang, biarlah kami sambut
sebagai tamu agung dan mari engkau bersamaku bersenang-senang di puncak bukit."
Sian Li mengerutkan alisnya, akan tetapi kemarahan hatinya ia tutupi de-ngan wataknya yang
jenaka. "Hei, bukan-kah engkau ini kerbau, kerbau yang hitam pula mukanya" Bagaimana
aku dapat bergaul dengan kerbau, apalagi yang hitam mukanya" Baru berdekatan saja, baunya
sudah membuat aku hampir mun-tah. Menggelindinglah kalian pergi. Kali-an ini perampok-
perampok busuk, jangan mencoba untuk menakut-nakuti aku."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
12 Tentu saja sikap ini mengejutkan dan mengherankan tiga belas orang perampok itu. Nona ini
kelihatan lembut dan le-mah, akan tetapi kenapa begini tenang dan jelas sedikit pun tidak
merasa takut menghadapi mereka" Hek-bin-gu bukan orang bodoh. Maka dia pun sudah dapat
menduga bahwa agaknya nona cantik ini mempunyai andalan maka sikapnya demi-kian
tabah. Biarpun demikian dia geli melihat sikap itu.
"Aih, Nona. Engkau tidak takut, ber-arti engkau berani melawanku?"
"Kenapa tidak berani" Orang macam engkau ini hanya bisa menakuti-nakuti anak kecil saja!"
Hek-bin-gu masih memandang ren-dah. Dia menanggalkan kancing bajunya, memperlihatkan
dada dan lengan yang berotot. "Lihat, tubuhku empat kali lebih besar dan kuat daripadamu,
bagaimana engkau akan mampu melawan aku?"


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemmm, betapapun besarnya sebuah gentong, kalau kosong bunyinya saja nya-ring akan
tetapi tidak ada gunanya."
Kini Hek-bin-gu mulai marah. "Mari kita bertaruh! Kalau engkau dapat ber-tahan melawanku
selama sepuluh jurus biarlah kubiarkan keretamu lewat. Kalau sebelum itu engkau dapat
kuringkus, eng-kau harus mau menjadi isteriku!"
Sian Li tersenyum. "Begitukah" Bagai-mana kalau sebelum sepuluh jurus engkau yang
roboh?" Si muka hitam tidak menjawab me-lainkan tertawa, diikuti dua belas orang kawannya.
Mereka agaknya merasa geli membayangkan hal yang mereka anggap tidak mungkin terjadi
itu. "Ha-ha-ha-ha-ha, Toako kami ini ka-lah olehmu, nona manis" Mungkin dalam pertandingan
bentuk lain, ha-ha-ha!" ter-dengar suara mereka dalam kelakar yang bermaksud mesum.
"Nona, kalau sampai aku Hek-bin--gu kalah sebelum sepuluh jurus olehmu, aku akan berlutut
di depan kakimu!" kata si muka hitam.
"Bagus! Mulailah dan bersiaplah untuk berlutut menciumi tanah yang terkena tahi kudaku!"
kata Sian Li, sama sekali tidak marah mendengar kelakar tadi karena memang ia tidak
menangkap arti-nya. Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tentu saja mengerti akan
mak-na kelakar mesum itu, akan tetapi me-reka pun ingin melihat sepak terjang puteri
tersayang mereka. Hek-bin-gu melangkah maju semakin dekat dan bertambah muaklah rasa hati Sian Li karena
bau yang penguk dan masam segera menerpa hidungnya. Ia menahan napas dan si kerbau
muka hi-tam itu mengeluarkan bentakan nyaring, kedua lengannya yang besar panjang itu
dikembangkan, jari-jari kedua tangan terbuka dan dia menerkam bagaikan se-ekor beruang
menerkam mangsanya. Ten-tu saja dia mengira bahwa sekali terkam dia akan mampu
menangkap dan men-dekap gadis yang menggemaskan hatinya itu.
"Wuuuuuttttt...." Terkamannya me-ngenai tempat kosong dan hanya nampak bayangan
merah berkelebat, tahu-tahu gadis itu telah lenyap dari depannya.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
13 "Hahhh....?" Dia memutar tubuh de-ngan cepat, akan tetap mukanya disam-but sepatu.
"Plakkk!" "Auhhhppp....!" Tubuhnya yang gem-pal itu terjengkang dan terbanting keras! Dua belas
orang kawannya ternganga. Mereka tadi hanya melihat betapa gadis itu meloncat dengan
kecepatan luar biasa ke atas, bagaikan seekor burung saja melayang di atas kepala Hek-bin-gu
dan tiba di belakang raksasa muka hitam itu, pada saat Hek-bin-gu memutar tubuh, gadis itu
telah meloncat ke atas lagi dan kakinya menyambut muka lawan dengan gerakan seekor
burung bangau kalau akan hinggap di cabang pohon, dengan sebelah kaki lebih dahulu.
Sebelah kaki itulah yang menyambut muka Hek-bin-gu, seolah muka itu hendak dijadikan
landasan mendarat! Hek-bin-gu mempunyai tubuh yang kuat dan kulitnya keras seperti kulit buaya, maka karena
Sian Li hanya me-nendang biasa tanpa mengerahkan sin-kang, dia pun begitu terbanting
sudah cepat meloncat bangkit lagi. Sejenak dia ter-belalak, akan tetapi mukanya menjadi
semakin hitam. Baru satu gebrakan saja, belum sejurus penuh, dia sudah terjeng-kang! Dia
bukan manusia yang berani mengakui kelemahannya, maka dengan lebih ganas dia sudah
menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram. Entah apa jadinya
kulit dan daging lunak seorang gadis kalau terkena cengkeraman sepuluh jari tangan yang
membentuk cakar itu. Se-belah mata kiri Hek-bin-gu lebih hitam daripada kulit mukanya dan
agak mem-bengkak karena mata itu tadi kebagian sisi sepatu yang menonjol.
"Haiiittttt....!" Dia membentak de-ngan gaya seorang ahli silat atau jagoan yang pilih tanding.
"Wuuusssss....!" kembali dia kehilang-an lawan dan hanya melihat bayangan merah
berkelebat. Cengkeramannya luput dan dia melihat bayangan itu berada di sebelah kanannya.
Cepat kakinya yang kiri melayang sambil memutar tubuhnya sehingga dia sudah mengirim
tendangan ke arah tubuh Sian Li. Kakinya panjang dan besar, dan tendangan itu mengandung
kekuatan otot yang besar.
Kembali tendangan itu luput dan se-belum kaki itu turun, Sian Li sudah me-loncat ke depan,
kakinya yang kanan bergerak menendang dan dari bawah kaki itu mendorong pinggul lawan.
Karena pada saat itu kaki kiri Hek-bin-gu se-dang melayang ke atas, maka ketika tubuhnya
didorong kaki dari belakang, tanpa dapat dicegahnya lagi kaki kanan-nya ikut pula terangkat
ke atas. "Bluggggg....!" Seperti kerbau jatuh dari atas, tubuhnya menghantam tanah dengan pinggul
terlebih dahulu dan debu pun beterbangan. Biarpun tubuhnya kebal, namun sekali ini Hek-
bin-gu meringis kesakitan. Seperti patah-patah tulang punggungnya terbawah ketika berat
badan-nya membuat tubuh itu menghantam tanah dengan kerasnya. Dan sekali lagi teman-
temannya terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bagai-mana mungkin
gadis itu dalam dua gebrakan telah membuat orang terkuat diantara mereka dua kali
terbanting jatuh" Hek-bin-gu bukan sekadar heran saja, akan tetapi dia lebih merasa penasaran dan marah,
tetap tidak mau meng-akui bahwa dia kalah jauh dibandingkan lawannya. Sambil menggereng
dia me-lupakan rasa nyeri di pinggulnya dia sudah bangkit kembali, menghampiri Sian Li.
Tanpa disadarinya, jalannya agak terseok seperti kerbau pincang kaki bela-kangnya.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
14 "Bocah setan, aku akan memukul pecah kepalamu!" Setelah berkata demi-kian, Hek-bin-gu
menerjang dan menye-rang. Sekali ini, dia bukan sekedar me-nubruk dan mencengkeram
seperti dua kali serangan pertama, melainkan me-nyerang dengan jurus-jurus ilmu silat,
memukul dan menendang. Akan tetapi, begitu kepalan tangan kanannya yang besarnya tidak kalah oleh besarnya kepala
Sian Li itu menyambar ke arah kepala Sian Li, gadis itu meng-elak ke samping. Hek-bin-gu
menyusulkan hantaman yang diseling tendangan, akan tetapi sekali lagi tubuh itu lenyap
menjadi bayangan merah yang meluncur ke atas. Dia cepat mengangkat muka ke atas, siap
menyambut tubuh yang meloncat ke atasnya itu, akan tetapi kem-bali dia kalah cepat. Kedua
kaki Sian Li bergerak. "Plak! Desss....!" Tubuh Hek-bin-gu terpelanting keras dan sekali ini, hidung-nya bercucuran
darah karena bukit hi-dungnya patah oleh tendangan kaki kiri Sian Li, sedangkan tendangan
kaki kanan yang mengenai bawah telinga membuat dia tadi terpelanting dan terjungkal, dan
membuat kepalanya nanar dan ketika dia merangkak bangun, dia melihat bumi di
sekelilingnya berputar! Sekarang tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, dia akan semakin
celaka, maka dalam keadaan masih pening dia berteriak kepada kawan--kawannya untuk
mengeroyok! Gerombolan itu kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang amat
lihai walaupun kelihatan le-mah lembut, maka mereka pun tidak malu-malu untuk mencabut
senjata me-reka dan mengepung gadis itu dengan bersenjata golok, ruyung atau pedang! Sinar
senjata mereka berkilauan ketika tertimpa sinar matahari pagi. Melihat ini, Tan Sin Hong dan
Kao Hong Li tetap tenang-tenang saja, menonton akan tetapi turun dari kereta. Mereka berdua
tahu bahwa puteri mereka hanya ber-hadapan dengan orang-orang kasar yang nampaknya saja
bengis dan ganas, akan tetapi hanya gentong-gentong kosong yang tidak berisi apa-apa
kecuali nafsu angkara murka. Mereka yakin bahwa puteri mereka akan mampu menghadapi
pengeroyokan mereka. Sian Li tersenyum mengejek dan memandang kepada Hek-bin-gu yang masih mencoba untuk
bangun sambil merangkak. Karena dia belum dapat bangkit berdiri, hanya bisa merangkak,
maka kini julukan-nya itu tepat sekali. Dia memang seperti seekor kerbau yang berjalan
dengan em-pat buah kakinya.
"Hemmm, sudah kuduga bahwa engkau memang hanya seekor kerbau. Tentu saja engkau
tidak akan memegang janji. Tapi aku akan memaksamu memenuhi janjimu berlutut dan
mencium tahi kuda!" Tiba--tiba tubuhnya meloncat dan melewati kepala orang-orang yang
mengepungnya. Dua belas orang itu terkejut dan cepat mengejar, akan tetapi Sian Li telah tiba di belakang
Hek-bin-gu. Kakinya me-nendang dan tubuh itu pun terdorong dan terbanting jatuh tepat di
atas seonggok tahi kuda penarik kereta. Karena jatuh-nya telungkup dan tahi kuda itu masih
baru dan masih hangat, maka mukanya tepat menimpa tahi kuda itu. Tentu saja, biarpun dia
masih nanar dan pening, Hek-bin-gu muntah-muntah dan menyumpah-nyumpah,
menggunakan kedua tangan untuk membersihkan mukanya dari ko-toran itu. Akan tetapi dia
mengeluh kesakitan ketika tangannya menggaruk batang hidungnya yang patah. Bau ko-toran
itu yang memasuki mulut dan hi-dungnya tidak hanya membuat dia mun-tah-muntah, akan
tetapi juga megap--megap karena sulit bernapas.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
15 Dua belas orang anak buahnya men-jadi marah sekali dan sambil berteriak--teriak mereka
menyerbu, mengeroyok Sian Li seperti segerombolan anjing sri-gala mengepung seekor singa
betina. Sian Li sudah mengeluarkan sebatang suling yang disepuh emas dari ikat ping-gangnya.
Suling itu kecil saja, hanya sebesar ibu jari kaki, dan panjangnya tidak melebihi panjang
lengan Sian Li dari siku ke ujung jari tangan. Suling itu pemberian Kam Bi Eng isteri kakek
Su-ma Ceng Liong. Kemudian, begitu suling-nya digerakkan menghadapi pengeroyokan dua
belas orang itu, nampak gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara aneh, seperti orang
bermain musik de-ngan suling, akan tetapi gulungan sinar emas itu menyambar-nyambar
seperti seekor naga. Itulah ilmu pedang Liong--siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga)
yang merupakan gabungan dari ilmu Kim--siauw-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman)! Bukan
main hebatnya ilmu ini. Ketika dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-
nyambar ke arah para pengeroyoknya, terdengar teriakan--teriakan berturut-turut dan dua
belas orang itu pun roboh satu demi satu. Ada yang tertotok lumpuh, ada yang terkena
tendangan, ada yang patah tulang, ada yang babak belur karena terbanting. Tidak sampai dua
menit, dua belas orang itu sudah roboh semua!
Melihat ini, Hek-bin-gu yang sudah dapat bangkit berdiri, tanpa mengenal malu lagi lalu
menyeret tubuhnya melari-kan diri, diikuti oleh dua belas orang temannya yang saling bantu,
lari terbirit--birit dan terpincang-pincang, dengan muka ketakutan seperti dikejar setan.
Sian Li tertawa geli lalu menghampiri ayah ibunya. Kao Hong Li tersenyum, teringat akan
kesukaannya mempermain-kan orang-orang jahat di waktu mudanya. Akan tetapi puterinya
ini lebih bengal dan ugal-ugalan lagi. Sedangkan Sin Hong mengerutkan alisnya memandang
kepada puterinya. "Kenapa, Ayah?" tanya Sian Li. "Ke-napa Ayah tidak gembira melihat aku menghajar
gerombolan jahat itu?"
"Hemmm, memang baik sekali engkau menghajar mereka tanpa membunuh me-reka atau
melukai berat. Akan tetapi engkau terlalu mempermainkan dan meng-hina orang. Yang
kaulakukan terhadap Hek-bin-gu tadi agak keterlaluan. Kenapa tidak kaurobohkan saja dia
dalam satu dua jurus agar dia tidak dapat melawan lagi?"
"Ayah, dia dan kawan-kawannya yang menghinaku, bukan aku. Memang baru puas hatiku
kalau sudah mempermainkan mereka yang jahat itu agar mereka jera untuk menghina orang
lagi." "Sudahlah," kata Kao Hong Li karena tidak ingin melihat suaminya memarahi puteri mereka.
"Sian Li kadang masih kekanak-kanakan. Eh, Sian Li, kenapa engkau tadi mempergunakan
dan memaikan Liong-siauw Kiam-sut, bukankah hendak menguji ilmu silat Ang-ho Sin-kun"
Dan kulihat engkau tidak pernah menggunakan tangan untuk menangkis atau merobohkan
lawan." "Aih, apakah Ibu tidak tahu" Mereka bagitu kotor! Baunya saja membuat aku pening, seolah-
olah aku tadi dikeroyok oleh belasan babi! Aku jijik untuk menggunakan tangan, maka aku
hanya menggunakan kaki dan ketika mereka menggunakan senjata, aku memilih
menggunakan sulingku. Kalau aku melawan dengan Ang-ho Sin-kun aku terpaksa
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
16 menggunakan kedua tangan, dan kedua tanganku tentu akan bersentuhan dengan mereka. Ihh,
aku tidak mau!" Kembali Sin Hong mengerutkan alisnya. "Sian Li, sungguh tidak baik mempunyai watak
setinggi itu. Jangan terlalu memandang rendah orang lain. Mereka pun manusia, walaupun
mereka sedang sesat, kalau tanganmu kotor, bukankah dapat dicuci" Yang tidak mengerti
tentu akan mengira engaku bertingkah dan banyak lagak."
Ditegur ayahnya, Sian Li hanya cemberut akan tetapi tidak berani membantah. Ibunya yang
melerai. "Aihhh, sudahlah. Engkau tidak tahu akan perasaan wanita. Kalau wanita merasa
jijik, biar berdekatan pun sudah tidak suka, apalagi sampai bersentuhan. Jangan terlalu
salahkan Sian Li. Orang-orang itu memang menjemukan!"
Sin Hong menghela napas panjang. Dia dapat memaafkan isterinya yang terlalu memanjakan
dan membela Sian Li. Bagaimanapun juga Sian Li merupakan anak tunggal, tumpuan segala
harapan dan penampung segala kasih sayang Kao Hong Li. Pula, memang orang-orang tadi
merupakan gerombolan yang ganas dan mengingat akan kata-kata mereka yang mesum saja
sudah cukup untuk membuat isterinya itu membunuh mereka!
"Mari kita lanjutkan perjalanan." akhir-nya Sin Hong berkata. Mereka naik kem-bali ke atas
kereta dan Sin Hong men-jalankan kereta menuju ke timur.
Menjelang tengah hari, mereka berhenti di lereng bukit berikutnya. Matahari amat panasnya
dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar yang teduh. Karena hari telah siang,
Hong Li segera membuat api unggun untuk memasak daging dan roti kering yang mereka
bawa sebagai bekal. Sin Hong sendiri beristira-hat, melenggut di dalam kereta, mem-biarkan
isteri dan puterinya mempersiap-kan makan siang. Di tempat teduh itu, membuat orang
mudah mengantuk di-hembus angin semilir, dan perut pun mudah terasa lapar, apalagi setelah
melakukan perjalanan setengah hari di dae-rah yang berbukit dan lengang itu.
Setelah masakan siap, mereka pun makan siang dengan makanan sederhana. Mereka minum
air teh dan anggur yang mereka bawa, makan roti dan daging kering yang sudah dimasak
dengan sayur asin. Tiga orang ini memang anggauta keluarga pendekar yang biasa bertualang,
maka makan seperti itu malah terasa nyaman dan lezat.
Pada waktu mereka membersihkan segalanya dan sudah kembali naik kereta untuk
melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang. Mereka
menengok dan tak lama kemudian nampaklah belasan orang menunggang kuda,
membalapkan kuda ke arah mereka.
Sian Li mengepal tinju. "Kalau buaya--buaya itu yang datang mengejar, sekali ini akan
kubasmi mereka!" "Bersabarlah, Sian Li. Sabar pangkal ketenangan dan tenang modal kewaspada-an." kata
ayahnya. Mereka menanti sam-bil duduk di dalam kereta.
Setelah rombongan berkuda itu dekat, terdengar mereka berteriak-teriak dan benar saja
seperti dugaan Sian Li, yang muncul adalah Hek-bin-gu bersama belas-an orang anak
buahnya tadi, akan tetapi sekali ini ditambah dengan tiga orang laki-laki berusia lima puluh
tahun yang tidak kelihatan bengis, akan tetapi berwibawa. Mereka tidak tinggi besar dan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
17 bengis seperti Hek-bin-gu dan kawan--kawannya, bahkan ketiganya agak kurus, akan tetapi
pedang yang tergantung di pinggang mereka mendatangkan kesan bahwa mereka adalah ahli-
ahli pedang yang tidak boleh disamakan dengan Hek--bin-gu dan kawan-kawannya.
"Bocah setan, keluarlah dari kereta untuk menerima pembalasan kami!" Hek--bin-gu
berteriak sambil mengamangkan tinjunya ke arah kereta.
Tiga orang laki-laki setengah tua itu dengan gerakan ringan meloncat turun dari atas kuda
masing-masing yang se-gera dituntun anak buah gerombolan. Mereka berdiri berjajar dengan
tegak, menghadap ke arah kereta.
"Siapakah Nona yang telah melukai anak buah kami" Silakan keluar, kami Tiat-liong Sam-
heng-te (Tiga Saudara Naga Besi) tidak menerima begitu saja anak buah kami diperhina
orang!" kata seorang di antara mereka yang tertua dan kumisnya kecil berjuntai ke bawah.
Sian Li meloncat turun dari atas kereta, menghadapi mereka. "Akulah yang menghajar
mereka! Kalian mau apa?" bentaknya.
Melihat seorang gadis berpakaian merah yang usianya sekitar delapan belas tahun itu, tiga
orang ini terheran-heran. Bocah ini yang telah menghajar Hek--bin-gu dan dua belas orang
anak buah-nya" Sukar dipercaya.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di dekat nona baju merah itu telah berdiri seorang
wanita lain yang cantik, usianya sekitar empat puluhtahun. Ia adalah Kao Hong Li yang
berkata kepada puterinya. "Biarkan aku yang menghadapi mereka!"
"Tidak perlu, ibu, aku sendiri cukup menghajar mereka kalau mereka hendak membela
gerombolan serigala itu."
Kembali nampak bayangan berkelebat, bayangan putih dan Sin Hong telah ber-ada di dekat
isterinya. "Kalian mundur-lah, biar sekarang ini aku sendiri yang melayani mereka!"
Ketika melihat Sin Hong, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka berubah pucat sekali. Si
kumis kecil panjang de-ngan suara gemetar dan gagap bertanya, "Engkau.... engkau.... Pek-
ho-eng (Pen-dekar Bangau Putih)....?"
Sin Hong tersenyum. "Benar, aku yang disebut Pendekar Bangau Putih...."
"Dan aku Pendekar Wanita Bangau Merah!" kata Sian Li dengan sikap me-nantang dan
bertolak pinggang. Sin Hong memandang puterinya. "Me-reka ini adalah isteri dan puteriku. Si-apakah Sam-wi
(Anda Bertiga)" Dan apa-kah Sam-wi hendak membela gerombolan perampok itu?"
Tiga orang itu dengan muka pucat kini mengangkat kedua tangan ke depan dada dan
membungkuk sampai dalam menghormat kepada Pendekar Bangau Putih dan anak isterinya.
"Mohon Taihiap sudi memaafkan kami yang bermata buta tidak tahu bahwa Taihiap bertiga
yang lewat di sini. Kami hanya men-dengar laporan dari anak buah kami. Mereka memang
bersalah dan patut di-hajar!"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
18 Setelah berkata demikian, tiga orang itu membalikkan tubuh menghadapi tiga belas orang
anak buah itu dengan sikap marah sekali. Tiga belas orang yang tadi sudah babak belur oleh
Sian Li, kini sudah turun dari atas kuda, siap menikmati bagaimana pimpinan mereka
membalaskan penghinaan yang mereka derita dari nona baju merah.
"Bagus, ya" Kalian sungguh membuat kami malu. Kalian berani mengganggu Pendekar
Bangau Putih, isteri beliau, dan puteri beliau Si Bangau Merah. Kalian tidak pantas hidup!"
setelah berkata de-mikian, si kumis itu bersama dua orang -saudaranya bergerak menerjang
dan menghajar anak buah mereka sendiri dengan pukulan dan tendangan sampai tiga belas
orang itu jatuh bangun dan mengerang kesakitan. Sungguh mereka tidak pernah menyangka
sama sekali bahwa laporan mereka bukan membalaskan dendam me-reka, bahkan membuat


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka ditambahi hajaran dari tiga orang pemimpin me-reka. Yang paling parah dihajar
adalah Hek-bin-gu. Si kumis itu memukuli dan menendanginya sampai dia muntah-muntah
darah dan roboh pingsan. Dua belas orang yang lain juga dihajar setengah mati dan agaknya
makin malu mereka, Tiat-liong Sam-heng-te itu tidak akan menghentikan amukan mereka
terhadap anak buah sen-diri sampai tiga belas orang itu mati konyol.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan Sin Hong telah berada di de-kat mereka sambil
membentak. "Hentikan pukulan!"
Tiga orang itu menghentikan siksaan mereka dan mereka berdiri berjajar, membungkuk-
bungkuk dengan hormat dan jerih kepada Sin Hong. Tan Sin Hong berkata dengan nada suara
keren. "Kalian bertiga menghajar anak buah kaliankarena kalian melihat bahwa mereka
mengganggu kami. Coba kalau yang diganggu bukan kami melainkan orang lain, tentu kalian
sudah turun tangan membalaskan kekalahan mereka. Tidak perlu kalian membunuh mereka
karena kalian juga tidak lebih baik daripada mereka."
"Ayah, pemimpin sama dengan guru. Kalau muridnya jahat, gurunya tentu lebih jahat lagi!"
kata Sian Li. "Biar kuhajar mereka bertiga!"
"Benar juga kata-katamu, Sian Li. Akan tetapi bagianmu sudah cukup. Biar aku yang akan
menghajar mereka agar bertaubat. Nah, Tiat-liong Sam-heng--te, majulah kalian bertiga
melawanku untuk membela anak buah kalian. Itu lebih jantan dan lebih bertanggungjawab
daripada menghukum mereka padahal mereka adalah anak buah kalian sendiri!"
"Kami.... kami tidak berani!" kata tiga orang itu dengan muka semakin pucat. Tidaklah
begitu mengherankan kalau tiga orang ini ketakutan setengah mati menghadapi Pendekar
Bangau Putih. Tiga orang ini adalah sisa anak buah perkumpulan Tiat-liong-pang. Mereka
ingat benar betapa pendiri Tiat-liong--pang sendiri yang berjuluk Siangkoan Lohan (Laki-laki
Tua Siangkoan) yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, tewas di tangan Si Bangau Putih ini,
bahkan pu-teranya yang bernama Siangkoan Liong juga tewas di tangan pendekar ini. Pen-diri
Tiat-liong-pang itu bersama putera-nya memiliki tingkat yang sepuluh kali lebih tinggi dari
tingkat mereka, dan ayah dan anak itu tewas di tangan pen-dekar ini. Bagaimana mereka akan
berani melawan Si Bangau Putih"
"Kalau kalian tidak berani melawan suamiku, biarlah melawan aku saja!" kata Kao Hong Li.
"Tidak, Ibu. Biar aku saja yang meng-hadapi mereka. Heiii, kalian yang julukan-nya
demikian hebat, Tiga Saudara Naga Besi! Pilihlah seorang di antara kami bertiga. Kami tidak
maju bertiga, hanya seorang dari kami yang maju. Nah, pilih-lah, siapa yang akan kalian
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
19 lawan" Kalau kalian dapat mengalahkan seorang di antara kami, sudah saja, kalian boleh
pergi membawa anak buah kalian."
"Kami.... kami tidak berani...." Me-reka masih segan dan jerih terhadap Si Bangau Putih.
"Berani atau tidak kalian harus maju, atau.... kalian akan kuhajar begitu saja agar ikut
merasakan penderitaan anak buah kalian!" kata pula Sian Li.
Tiga orang itu saling pandang. Agak-nya mereka sudah tersudut dan tidak dapat
menghindarkan diri lagi. Mereka tahu bahwa melawan Si Bangau Putih sama saja dengan
bunuh diri. Tinggal isteri dan puteri pendekar itu. Bagai-manapun juga, tentu isterinya lebih
pan-dai daripada puterinya, walaupun berjuluk Si Bangau Merah dan telah merobohkan tiga
belas orang anak buah mereka. Kira-nya kalau mengeroyok gadis remaja ini, tentu mereka
masih sanggup bertahan, dan siapa tahu dapat menang sehingga mereka dapat keluar dengan
tidak ter-lalu kehilangan muka.
"Baiklah kalau Lihiap memaksa, kami bertiga yang bodoh dan lemah mohon petunjuk
Nona." kata si kumis. Mereka bertiga memasang kuda-kuda dan tidak berani mencabut
pedang karena kalau bertanding menggunakan pedang, kalau kalah tentu akibatnya akan lebih
parah bagi mereka daripada kalau bertanding dengan tangan kosong. Pula, tidak per-cuma
mereka menjadi bekas anggauta Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) karena mereka
telah menguasai ilmu kekebalan dari Tiat-liong-pang yang mem-buat mereka berani
menggunakan julukan Naga Besi. Betapapun kuatnya, tangan gadis remaja itu mustahil akan
mampu menembus kekebalan mereka.
Sian Li tersenyum kepada ayah dan ibunya dan suami isteri itu terpaksa mengalah. Mereka
mundur mendekati kereta dan berdiri di dekat kereta se-perti tadi ketika menyaksikan puteri
mereka berlaga melawan pengeroyokan Hek-bin-gu dan dua belas orang anak buahnya. Akan
tetapi sekarang mereka lebih waspada karena mereka dapat men-duga bahwa tiga orang laki-
laki setengah tua itu sama sekali tidak boleh disama-kan dengan tiga belas orang anak
buah-nya. Melihat betapa tiga orang calon la-wan itu tidak mencabut senjata, Sian Li tersenyum. Kini ia
mendapat kesempatan untuk mencoba ilmunya yang khas untuk dirinya, yaitu Ang-ho Sin-
kun. Tidak ada orang ke dua di dunia ini yang menguasai ilmu silat ini. Ayahnya sendiri yang
me-rangkai ilmu ini, dan hanya ia seoranglah yang mempelajarinya. Kepada tiga laki-laki ini
ia tidak mempunyai rasa muak yang berlebihan seperti terhadap tiga belas orang anak buah
mereka tadi, karena tiga orang kakek ini selain ber-sikap halus, juga kelihatan bersih.
"Kalian mulailah, aku sudah siap sia-ga." katanya dan ia pun memasang kuda--kuda dengan
kaki kiri ditekuk lututnya dan diangkat ke atas melekat kaki kanan yang berdiri tegak, kedua
tangan di ping-gang dengan siku ditarik ke belakang, kepala menghadap ke depan dengan
leher dijulurkan. Inilah sikap seekor burung bangau yang sedang berdiri, nampaknya
melenggut atau mengantuk, namun se-dikit pun tidak bergerak seperti arca dan sepasang mata
itu tidak pernah melewat-kan sesuatu dan dalam keadaan seperti itu, kalau ada ikan lewat dan
menyangka kakinya yang kanan itu hanya sepotong kayu maka paruh itu akan meluncur ke
dalam air dan tanpa dapat dihindarkan lagi ikan itu akan ditangkapnya!
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
20 Karena Sian Li seorang gadis yang berwajah cantik dan jenaka, dan mulut-nya tersenyum-
senyum, sepasang matanya melirik ke arah tiga orang itu se-perti mata bangau mengintai
gerakan tiga ekor ikan, maka ia nampak lucu.
Tiat-liong Sam-heng-te sudah tahu bahwa gadis ini lihai sekali, maka mere-ka pun tidak
memandang rendah pasangan kuda-kuda yang nampak lucu dan tidak mereka kenal itu.
Mereka lalu berpencar dan maju menghampiri Sian Li dari de-pan, kanan dan kiri. Kemudian,
setelah si kumis mengeluarkan bentakan nyaring sebagai tanda dimulainya serangan mere-ka,
tubuh mereka bergerak cepat dan mereka sudah melancarkan serangan yang cukup dahsyat ke
arah tubuh Sian Li dari tiga jurusan. Enam buah lengan meluncur dan enam buah tangan
menyerang gadis itu dari depan, kanan, kiri, atas dan bawah!
Kini Sian Li memainkan ilmu silat Ang-ho Sin-kun sepenuhnya. Tubuhnya mengelak ke
kanan dengan lompatan seperti lompatan burung bangau sehingga serangan orang di sebelah
kiri dan depan luput, dan serangan orang yang berada di kanannya, ia sambut dengan
tangkisan lengannya. "Duk-dukkk!" Penyerang itu terkejut setengah mati karena begitu lengannya ditangkis oleh
lengan Sian Li, dia merasa betapa lengannya tergetar hebat. Dari kedua lengan yang tertangkis
itu timbul getaran yang membuat isi dadanya juga terguncang sehingga dia cepat melangkah
mundur. Kiranya gadis ini memiliki te-naga sin-kang yang amat hebat! Dua orang pengeroyok
lain yang tadi hanya memukul tangan kosong, sudah berloncatan dan menyerang lagi dari
kanan kiri, sedangkan orang ke tiga juga menyerang dari arah belakang. Sian Li bersikap
tenang akan tetapi dengan gerakan yang gesit dan kuat, ia berkelebatan di antara tiga orang
pengeroyoknya. Tubuhnya ba-gaikan bayangan saja, tak pernah dapat disentuh tiga orang
pengeroyoknya yang mengerahkan seluruh tenaga dan kepandai-an mereka untuk
mengalahkan gadis ber-pakaian merah itu. Warna pakaian gadis itu yang serba merah
memudahkan mere-ka mengikuti ke mana tubuh gadis itu berkelebat, akan tetapi juga
membuat tiga orang lawannya bingung, akan tetapi juga setiap kali tangan gadis itu
me-nangkis, mereka merasa betapa lengan mereka tergetar sampai ke pundak.
Sekali ini Sian Li yang hendak meng-uji ilmunya yang baru saja ia kuasai dengan baik, tidak
main-main lagi dan dengan gerakan yang indah dan lincah namun yang mengandung tenaga
dahsyat, ia melayani penyerangan tiga orang itu. Begitu ia mengubah daya tahan menjadi
daya serang, maka berturut-turut ia me-robohkan Tiat-liong Sam-heng-te dengan totokan,
tamparan dan tendangan. Tidak sampai sepuluh jurus ia menyerang dan tiga orang
pengeroyok itu sudah roboh.
Tiat-liong Sam-heng-te terkejut bukan main. Mereka memang sudah mengetahui bahwa
Pendekar Bangau Putih adalah se-orang pendekar sakti, dan mereka gentar menghadapinya.
Akan tetapi baru seka-rang mereka membuktikan sendiri bahwa puteri pendekar itu pun
seorang yang amat tangguh.
"Kami mengaku kalah...." kata me-reka dan mereka bangkit sambil menyeringai kesakitan.
"Mulai sekarang, kalian dan anak buah kalian jangan suka mengganggu pejalan yang lewat di
sini. Untung kalian ber-temu dengan kami, kalau bertemu dengan pendekar lain, mungkin
kalian semua kini sudah tak bernyawa lagi." kata Tan Sin Hong yang merasa girang dan puas
me-lihat kemajuan puterinya.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
21 Tiat-liong Sam-heng-te memberi hor-mat dan si kumis berkata, "Taihiap, kami tidak pernah
mengganggu pelancong atau pedagang, tidak mau mengganggu rakyat. Kami hanya
merampok pejabat Mancu yang lewat di sini."
"Tidak semua pejabat merupakan orang jahat yang patut diganggu," kata Sin Hong. "Pula,
pekerjaan merampok me-rupakan kejahatan, tidak peduli siapapun yang kalian rampok. Lebih
baik kembali ke jalan benar dan bekerja mencari naf-kah tanpa mengganggu orang lain."
"Akan tetapi, Taihiap.... kami tidak rela melihat tanah air dan bangsa kita dijajah orang
Mancu dan...." "Tidak perlu berlagak patriot dan pe-juang!" Sin Hong membentak. "Kalau kalian patriot dan
pejuang, kalian tidak akan melakukan perampokan! Jangan menggunakan kedok pejuang
untuk me-nyembunyikan kejahatan kalian. Pejuang sejati tidak akan berbuat jahat!"
Tiga orang itu menundukkan muka, tidak berani bicara lagi. "Sudahlah, perlu apa bicara
dengan orang-orang seperti ini" Mari kita melanjutkan perjalanan." kata Kao Hong Li kepada
suaminya. Mereka naik kembali ke dalam kereta dan kendaraan itu pun bergerak cepat
meninggalkan belasan orang itu yang merasa lega karena biarpun mereka ba-bak belur,
namun tidak ada di antara mereka yang terbunuh. Dari mulut mere-ka tersebar berita tentang
kehebatan Si Bangau Merah.
*** Dusun Hong-cun yang terletak di lembah Sungai Kuning, di luar kota Cin-an Propinsi
Shantung adalah sebuah dusun yang tidak besar akan tetapi jauh lebih rapi dan bersih
dibandingkan dusun-dusun lain. Penduduk dusun itu bekerja sebagai nelayan merangkap
petani dan kehidupan mereka walaupun sederhana, namun cu-kup makmur. Sungai Kuning
tidak pernah kekurangan ikan, dan lembah sungai itu memang memiliki tanah yang subur.
Pagi hari itu, suasana dusun Hong--cun berbeda dari biasanya. Suasananya meriah dan ini
merupakan tanda bahwa di dusun itu terdapat sebuah keluarga yang sedang mengadakan pesta
meraya-kan sesuatu. Di dusun yang penduduknya tidak terlalu padat, setiap kali ada se-buah
keluarga mengadakan pesta meraya-kan sesuatu, maka suasana meriahnya meliputi seluruh
dusun, seolah pesta itu merupakan pestanya orang sedusun. Apa-lagi yang sedang berpesta
adalah keluar-ga Suma Ceng Liong! Biarpun di dusun itu sudah ada kepala dusun dan stafnya,
namun Suma Ceng Liong dianggap se-bagai sesepuh dusun itu, walaupun dia tidak tinggal di
situ sejak kecil. Semua orang tahu belaka bahwa dia adalah se-orang pendekar sakti yang
tinggal di dusun sunyi itu menjauhi keramaian dan hidup tenteram bersama isterinya, Kam Bi
Eng yang juga seorang pendekar wa-nita sakti. Suami isteri pendekar ini di-hormati dan
disayang seluruh penduduk dusun Hong-cun, karena mereka suka menolong, baik dengan
pengobatan atau membantu orang yang sedang dilanda kekurangan walaupun mereka sendiri
bukan orang kaya raya. Di samping itu, seluruh penduduk dusun maklum bahwa mereka dapat
hidup tenang dan tenteram di dusun Hong-cun, tak pernah ada pen-jahat manapun berani
datang mengganggu, hanya karena nama besar pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya.
Siapa berani mengganggu pendekar ini yang merupakan keturunan langsung dari Pendekar
Super Sakti dari Istana Pulau Es" Suma Ceng Liong adalah cucu mendiang Suma Han si
Pendekar Super Sakti. Adapun isterinya juga bukan orang sem-barangan pula. Kam Bi Eng
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
22 adalah puteri pendekar sakti Kam Hong, ahli ilmu silat suling emas dan terkenal dengan
Kim--siauw-kiam (Pedang Naga Siluman).
Mereka hanya mempunyai anak tung-gal, seorang perempuan bernama Suma Lian yang kini
telah ikut suaminya dan tinggal di Ping-san, sebelah selatan Pao-ting. Suami Suma Lian
bernama Gu Hong Beng, seorang ahli silat pula, murid Su-ma Ciang Bun.
Kini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tinggal berdua saja di dusun Hong--cun. Tadinya
mereka ditemani seorang murid bernama Liem Sian Lun yang se-olah menjadi anak angkat
mereka pula. Namun sayang, murid mereka itu telah tewas dalam pertempuran ketika Liem
Sian Lun bersama Tan Sian Li sebagai suheng dan sumoi, melakukan perjalanan ke Bhutan
dan terlibat dalam pertempur-an antara para pemberontak Tibet de-ngan pasukan Tibet.
Mereka yang tadinya hidup berdua dan merasa kesepian se-telah puteri mereka menikah dan
pergi mengikuti suaminya, lalu muncul Liem Sian Lun yang kemudian menjadi tumpu-an
kasih sayang, dan tiba-tiba saja, pemuda itu tewas dalam pertempuran di luar pengetahuan
mereka. Di sinilah nam-pak benar kekuasaan Tuhan yang mutlak atas kehidupan manusia.
Betapapun pan-dai seseorang, kalau Tuhan tidak meng-hendaki, orang itu tidak mampu
melak-sanakan sesuatu sesuai yang dikehendaki-nya. Manusia berwenang mengatur, na-mun
yang berwenang menentukan hanya-lah kekuasaan Tuhan! Manusia hanya wajib berikhtiar,
berusaha untuk berbuat sebaiknya dalam segala hal. Kematian Liem Sian Lun yang
mendatangkan duka di hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merupakan keputusan Tuhan.
Ke-lahiran dan kematian sepenuhnya berada dalam kekuasaan Tuhan, merupakan rahasia
Tuhan, merupakan hasil ciptaan Tuhan. Sepandai-pandainya manusia, ha-nya mampu
menelusuri dan mempelajari proses terjadinya penciptaan itu, mem-bantu dan memperlancar
proses itu. Kita harus menyadari bahwa kita ini adalah hasil ciptaan Tuhan, bahwa kita berada
di dunia ini adalah karena kehendak Tu-han, bukan karena kehendak kita. Tuhan telah
menyertakan kepada kita segala macam perlengkapan yang serba sempur-na, dari tubuh yang
lengkap sampai hati dan akal pikiran. Tentu agar kita men-jadi hasil ciptaan yang baik, yang
ber-guna bagi kelancaran pekerjaan Tuhan.
Tuhan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi setiap orang umat-Nya. Baik sesuatu itu
dianggap menyenangkan atau pun menyusahkan bagi hati yang sudah bergelimang nafsu yang
selalu ingin se-nang, namun kita boleh yakin bahwa segala hal yang menimpa diri kita dalam
kehidupan ini sudah dikehendaki Tuhan dan merupakan yang terbaik bagi kita. Entah hal itu
berupa hukuman ataupun anugerah sebagai pemetikan hasil dari pohon yang kita tanam
sendiri melalui perbuatan yang lalu, maupun berupa ujian dan cobaan. Demikian besar
kemurahan Tuhan kepada kita sehingga kita ber-wenang untuk memilih. Untuk menentu-kan
sendiri langkah hidup kita dan bertanggungjawab atas langkah-langkah itu.
Pesta apakah yang pada pagi hari ini dirayakan keluarga Suma Ceng Liong yang kini hanya
tinggal berdua di dalam rumah besar di dusun Hong-cun itu" Pesta perayaan ulang tahun yang
ke enam puluh dari Suma Ceng Liong. Pes-ta sekali ini merupakan pesta yang khu-sus
diadakan untuk "mengumpulkan tulang--tulang berserakan", istilah yang dipakai Suma Ceng
Liong untuk mengartikan bahwa pesta itu diadakan untuk mengum-pulkan para anggauta
keluarga yang ter-pisah di mana-mana seperti tulang-tulang berserakan. Dan mereka berdua
memang memiliki rangkaian anggauta keluarga yang besar, terdiri dari keluarga Pulau Es,
keluarga Gurun Pasir dan keluarga Lembah Naga Siluman! Tiga buah keluar-ga pendekar
yang amat terkenal di dunia persilatan. Bukan hanya keluarga hubung-an darah, akan tetapi
juga saudara se-perguruan.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
23 Tentu saja yang lebih dahulu datang adalah puteri mereka sendiri, yaitu Suma Lian dan
suaminya, Gu Hong Beng. Suma Lian sudah berusia empat puluh tahun dan suaminya berusia
empat puluh lima tahun, akan tetapi mereka tidak dikaruniai seorang pun anak. Kenyataan ini
pun menjadi bukti kekuasaan Tuhan. Suami isteri ini adalah pendekar-pendekar yang sehat,
bahkan dapat dikatakan sehat lahir batin, dan pandai. Namun, betapapun mereka berikhtiar,
dengan minum ber-macam obat, karena agaknya Tuhan tidak menghendaki, namun ikhtiar
mereka ga-gal dan setelah dua puluh tahun mereka menikah dan belum juga memperoleh
anak, keduanya tidak lagi mengharapkan dan menerima kenyataan karena agaknya tadir
Tuhan menghendaki bahwa mereka tidak mendapatkan keturunan.
Kemudian berturut-turut datanglah para tamu yang merupakan para ang-gauta tiga keluarga
besar. Pertama urut-an tamu dari keluarga Pulau Es adalah kakek Kao Cin Liong dan
isterinya, Suma Hui. Pendekar tua ini sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun dan isterinya
enam puluh tujuh tahun, kemudian Suma Ciang Bun yang berusia enam puluh lima tahun
bersama isterinya, Gangga Dewi yang berusia enam puluh satu tahun tiba dari Bhutan.
Nyonya Gak yang bernama Souw Hui Lan, isteri mendiang saudara kembar Gak Jit Kong dan
Gak Goat Kong, juga merupakan anggauta keluarga Pulau Es. Nyonya yang berusia lima
puluh tujuh tahun ini datang bersama puteranya, Gak Ciang Hun yang berusia dua puluh
sembilan tahun. Kemudian Tan Sin Hong bersama isterinya, Kao Hong Li, dan puteri mereka,
Tan Sian Li, datang dan gadis ini mendapat sambutan hangat dari kakek Suma Ceng Liong
dan nenek Kam Bi Eng, karena gadis ini merupakan cucu keponakan akan tetapi juga murid
mere-ka selama lima tahun.
Dari fihak keluarga Istana Gurun Pasir diwakili oleh kakek Kao Cin Liong, kemudian Can Bi
Lan yang kini datang bersama suaminya, Sim Houw. Keluarga Gurun Pasir memang hanya
tinggal Kao Cin Liong dan sumoinya, yaitu Can Bi Lan yang dulu menjadi murid ayahnya.
Can Bi Lan kini berusia empat puluh lima tahun dan suaminya, Sim Houw, sudah berusia
enam puluh tahun. Tidak ada lagi anggauta keluarga Gurun Pasir, bahkan yang masih adapun
sudah menikah dengan anggauta keluarga yang lain seperti Kao Cin Liong menikah dengan
Suma Hui anggauta keluarga Pulau Es. Can Bi Lan menikah dengan Sim Houw anggauta
keluarga Lembah Naga Siluman.
Anggauta keluarga Lembah Naga Silu-man yang hadir tentu saja diwakili nyo-nya rumah,
Kam Bi Eng, karena ibunya, yaitu nenek Bu Ci Sian isteri mendiang Kam Hong tidak hadir.
Nenek itu tidak mau meninggalkan makam suaminya dan bertekad untuk menunggui makam
itu sampai hayat meninggalkan badan. Ke-mudian muncul pula Cu Kun Tek dan isterinya,
Pouw Li Sian. Suami isteri ini sudah berusia empat puluh lima tahun dan tiga puluh sembilan
tahun. Mereka datang bersama puteri mereka yang ber-nama Cu Kim Giok, seorang gadis
manis berusia delapan belas tahun. Tentu saja, sebagai puteri ayah dan ibu pendekar, Cu Kim
Giok ini menjadi seorang gadis pendekar yang lihai.
Ada pula belasan orang yang pernah menerima bimbingan para tokoh itu se-hingga dapat
dianggap sebagai murid, datang pula menghadiri pesta perayaan ulang tahun yang khusus
untuk keluarga itu. Suasana amat meriah pagi hari itu dan sungguh ini merupakan suatu


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

per-temuan yang menggembirakan dan juga luar biasa. Demikian banyaknya pendekar-
-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan hebat. Masing-masing dari mereka
pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kepandaian mereka, dan masing-masing
memiliki ilmu andalan sendiri yang dahsyat.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
24 Satu demi satu, para anggauta keluar-ga itu memberi selamat kepada Suma Ceng Liong yang
merayakan hari ulang tahunnya, dan banyak pula yang mem-beri hadiah tanda mata yang
aneh dan berharga. Ketika sedikitnya dua puluh orang penduduk dusun yang mewakili seluruh
penduduk datang pula menghadiri, tentu saja Suma Ceng Liong menyambut mereka dengan
gembira. Mereka datang mewakili para penduduk, tentu saja tidak enak kalau harus ditolak,
walaupun pesta itu diadakan khusus untuk mengumpulkan anggauta keluarga. Mereka
mendapatkan tempat sekelompok di samping, sedang-kan para anggauta keluarga itu segera
terlibat dalam percakapan hangat karena pertemuan itu merupakan pula pertemuan istimewa
setelah bertahun-tahun mereka yang tadinya akrab saling berpisah. Sua-sana menjadi gembira
dan hiruk-pikuk seperti pasar karena mereka saling ber-cakap-cakap satu kepada yang lain
de-ngan suara gembira, apalagi para wanita-nya. Suma Lian ketika bertemu dengan Pouw Li
Sian saling rangkul bahkan sam-pai menangis saking terharu dan gembira hati mereka. Kedua
orang wanita ini ketika kecil pernah menjadi saudara se-perguruan, dibimbing oleh mendiang
Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, ayah dari mendiang dua orang saudara kembar Gak.
Semenjak kedua orang wanita ini menikah, sembilan belas tahun yang lalu, mereka tidak
pernah saling jumpa. "Li Sian....!" "Su-ci (Kakak Seperguruan) Lian!" Keduanya bertangisan dan ketika Suma Lian
diperkenalkan kepada puteri sumoi-nya yang bernama Cu Kim Giok, ia me-rangkul gadis itu
dan mencium kedua pipinya.
"Aih, aku sudah mempunyai keponakan sebesar dan secantik ini!" katanya dengan wajah
berseri gembira. Kalau saja per-temuan ini terjadi beberapa tahun yang lalu, tentu Suma Lian
akan menangis karena sedih melihat sumoinya sudah mempunyai anak sebesar itu sedangkan
ia sendiri tidak mempunyai anak. Akan tetapi sekarang ia dan suaminya telah dapat menerima
kenyataan dan keadaan sebagai kehendak Tuhan dan pertemuan ini tidak membangkitkan rasa
kecewa, iri atau sedih, melainkan mendatangkan keharuan dan kegembiraan. Sebaliknya, Li
Sian yang tahu bahwa sucinya tidak mempunyai anak, juga bersikap bijaksana dan tidak mau
bicara tentang anak. Pertemuan itu mendatangkan banyak kenangan bagi semua anggauta keluarga dan terdengar
teriakan-teriakan gembira karena banyak di antara mereka yang mendapatkan kejutan
mendengar mereka saling menceritakan keadaan dan penga-laman masing-masing selama
mereka saling berpisah. Sungguh merupakan pesta yang meriah dan penuh kegembiraan,
suatu pertemuan besar yang amat ber-hasil.
Sian Li juga bergembira dapat ber-temu dan berkenalan dengan para ang-gauta keluarga yang
selama ini hanya ia dengar nama besarnya saja dari ayah ibunya. Akan tetapi ada satu hal
yang membuat ia merasa amat kecewa di dalam hatinya, yaitu bahwa Yo Han ti-dak nampak
di situ. Akan tetapi ia ada-lah seorang gadis yang amat cerdik. Diam-diam ia mendekati Sim
Houw dan Can Bi Lan yang sedang bercakap-cakap dengan tuan dan nyonya rumah, yaitu
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Antara Pendekar Suling Naga Sim Houw dan Kam Bi
Eng terdapat hubungan yang dekat. Sim Houw adalah murid mendiang Kam Hong, ayah Kam
Bi Eng. Maka, Kam Bi Eng masih terhitung sumoi (adik seperguruan) Sim Houw. Ketika
empat orang itu melihat Sian Li menghampiri, mereka lalu menyambut dan mempersila-kan
gadis yang lincah jenaka dan pe-ramah ini duduk bersama mereka.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
25 "Paman Sim Houw, bagaimana kabar-nya dengan puterimu" Apakah Paman dan Bibi sudah
menemukan jejak enci Sim Hui Eng yang lenyap sejak masih kanak--kanak itu?"
Pertanyaan ini diajukan dengan sikap sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Mendengar
pertanyaan itu, Sim Houw dan Can Bi Lan saling pandang dengan alis berkerut dan Sim
Houw menghela napas panjang.
"Sian Li, terima kasih atas perhatian-mu. Akan tetapi kami berdua sudah tidak mengharapkan
lagi akan dapat menemu-kan anak kami."
"Aihhh! Paman dan Bibi sama sekali tidak boleh putus harapan!" Sian Li men-cela.
Can Bi Lan berkata. "Kami tidak putus harapan, Sian Li. Akan tetapi ingat-lah anak kami itu
sudah hilang selama dua puluh tahun! Andaikata kami dapat bertemu dengannya sekalipun,
kami tidak akan dapat mengenalinya lagi. Kami tidak menyesal karena agaknya Thian
(Tuhan) telah menghendaki demikian. Yang kami sesalkan hanya bahwa kami tidak dapat
yakin apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Kami hanya dapat mendoakan agar kalau ia
masih hidup, ia akan hidup berbahagia, dan kalau ia su-dah mati, semoga mendapat tempat
yang layak." Biarpun ucapan ini dikeluarkan tidak dengan suara sedih, namun Sian Li dapat menangkap
kedukaan yang amat men-dalam, yang membuatnya terharu dan tidak mampu berkata-kata
lagi. Tadinya ia bermaksud mendekati mereka dan memancing perihal lenyapnya Sim Hui
Eng untuk mencari keterangan tentang Yo Han. Tidak tahunya pertanyaannya itu telah
membuka kembali luka di hati ayah dan ibu itu!
Suma Ceng Liong segera berkata. "Aihhh, kita manusia memang merupakan mahluk-mahluk
yang lemah dan tidak berdaya. Dalam keadaan seperti ini, satu--satunya hal yang dapat kita
lakukan setelah segala ikhtiar kita gagal, hanya-lah berdoa dan menyerahkan kepada
ke-kuasaan Tuhan! Tidak ada hal yang mustahil bagi kekuasaan Tuhan. Segala apa pun dapat
saja terjadi kalau Tuhan menghendaki. Oleh karena itu, sikap putus harapan secara tidak
langsung merupakan sikap yang kurang yakin akan kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan
menghendaki, bukan tidak mungkin suatu saat kalian akan dapat bertemu kembali dengan
puteri kalian." "Sim-suheng, apa yang dikatakan sua-miku memang benar sekali. Justeru ka-rena kalian
belum melihat bukti dan kenyataan bahwa puteri kalian telah meninggal dunia, hal itu berarti
bahwa mungkin sekali ia masih hidup. Dan kalau ia masih hidup, bukan mustahil sekali waktu
kita akan dapat bertemu dengan-nya." kata Kam Bi Eng.
"Nah, benar bukan apa yang kukata-kan tadi, Paman dan Bibi!" seru Sian Li, mendapat
"angin" dan mendapat kesem-patan untuk menyampaikan niat hatinya, yaitu bicara tentang
Yo Han. "Tidak perlu putus harapan, apalagi sekarang ada Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar
Tangan Sakti) yang berusaha mencari puteri kali-an itu!"
"Sin-ciang Tai-hiap?" Mereka ber-empat berseru heran.
"Aih, Paman dan Bibi, juga Kakek dan Nenek lupa akan Si Tangan Sakti Yo Han"
Percayalah, sekali Han-koko turun tangan, aku yakin enci Hui Eng pasti akan dapat
ditemukan!" Sian Li berkata dengan bangga.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
26 Kini teringatlah mereka semua. "Aih, Sian Li! Bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa
Yo Han akan dapat me-nemukan puteri mereka yang hilang su-dah dua puluh tahun itu?"
Suma Ceng Liong mencela, menganggap gadis itu terlalu yakin akan hal yang amat sulit
dilaksanakan itu. Kalau tidak ada ke-murahan Tuhan, tidak ada mujijat Tuhan, bagaimana
dapat menemukannya kembali"
"Ahhh, Kakek tidak percaya" Menurut ayah dan ibu, Han-koko memang memiliki sesuatu
yang mujijat, semacam indera ke enam. Ketika aku masih kecil dan aku diculik oleh Ang I
Moli, ayah dan ibu sendiri tidak berhasil mencarinya. Akan tetapi Han-koko yang baru
berusia belas-an tahun tahu-tahu muncul di depan penculik itu dan minta agar aku
dikem-balikan kepada ayah ibu dan dia sendiri menyerahkan diri menjadi gantinya."
"Hemmm, pernah aku mendengar ayah ibumu bercerita tentang itu, akan tetapi tadinya
kusangka bahwa hal itu hanya kebetulan saja." kata Suma Ceng Liong.
"Bukan kebetulan," bantah Sian Li. "Memang Han-koko mempunyai kelebihan dari orang
lain. Dia memang aneh sekali. Di waktu kecilnya, dia sama sekali tidak mau berlatih silat,
membuat ayah dan ibu sampai marah dan kecewa. Selama menjadi murid ayah dan ibu, dia
hanya mempelajari teorinya saja akan tetapi tidak suka berlatih silat. Bahkan dia membenci
ilmu silat. Katanya dahulu, dia menganggap ilmu silat sebagai suatu bentuk kekerasan yang
membuat orang menjadi jahat, suka bermusuhan dan suka membunuh. Ketika kecil dia tidak
mau belajar silat, tapi setelah dewasa, tahu--tahu dia menjadi Sin-ciang Tai-hiap. Apakah itu
tidak aneh" Tapi, kenapa dia tidak datang sekarang" Apakah dia tidak dikirimi undangan?"
Suma Ceng Liong tertawa. "Kami tidak melupakan dia karena dia adalah murid orang tuamu.
Akan tetapi tidak ada seorang pun mengetahui di mana dia sekarang. Bagaimana kami dapat
mengi-rim undangan?"
"Betul juga...." kata Sian Li. "Akan tetapi dia dahulu sudah tahu akan pe-rayaan ini. Kenapa
dia tidak muncul dan di mana dia sekarang?" pertanyaan ini ditujukan kepada diri sendiri
karena tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya.
Pada saat itu, semua orang yang duduknya agak di depan, menengok ke luar sehingga
menarik perhatian mereka yang berada di sebelah dalam. Tak lama kemudian, semua orang,
termasuk Suma Ceng Liong dan isterinya, juga Sian Li, ikut pula memandang ke luar.
Memang ada yang menarik di luar pekarangan sana. Para penduduk yang ikut menonton di
luar nampak memberi jalan kepada serombongan orang yang datang. Ada selosin orang laki-
laki yang bertubuh kokoh kuat berpakaian seragam abu-abu dan empat orang gadis cantik
mengena-kan pakaian dengan warna menyolok. Ada yang serba kuning, serba biru, serba
hitam dan serba putih. Empat orang gadis ini berjalan di kanan kiri sebuah joli tertutup tirai
yang dipikul empat orang laki-laki anggauta pasukan yang selosin dan berpakaian abu-abu itu.
Joli berada di tengah-tengah, seolah-olah dikawal selosin orang laki-laki dan empat orang
gadis itu. Orang yang berjalan paling depan memegang sebuah tombak yang ujungnya
dipasangi sehelai bendera. Dasar bendera itu berwarna kuning polos dan di tengahnya ada
huruf BENG (TE-RANG) dari benang sutera merah yang indah dan gagah. Tanpa ragu,
dengan langkah tegap, rombongan itu memasuki pekarangan dan berhenti di depan tangga
ruangan depan yang dipenuhi tamu. Se-mua orang memandang dengan heran karena tidak ada
yang mengenal dari mana dan siapa rombongan itu. Bendera itu pun tidak mereka kenal.
Hanya Kao Cin Liong, orang tertua di antara mereka- semua, yang memandang dengan alis
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
27 berkerut dan dia pun menghampiri tuan rumah, lalu berbisik kepada Suma Ceng Liong. Suma
Hui juga mengikuti suami-nya dan mendekati adiknya.
"Hanya ada sebuah partai yang kira-nya dapat memakai tanda bendera se-perti itu, yaitu Pao-
beng-pai (Partai Pembela Terang)."
"Akan tetapi partai itu tidak pernah terdengar lagi sekarang," kata Suma Hui.
"Pao-beng-pai" Partai macam apakah itu?" tanya Suma Ceng Liong kepada cihunya (kakak
iparnya), yaitu suami dari encinya yang dahulu pernah menjadi pang-lima perang dan
memiliki banyak sekali pengalaman.
"Pao-beng-pai itu partai yang ber-usaha untuk menegakkan kembali Keraja-an Beng yang
sudah jatuh dengan pem-berontakan terhadap pemerintah yang sekarang." kata Kao Cin
Liong. Mereka berhenti bicara dan pada saat itu, seorang di antara para anggauta pasukan berpakaian
abu-abu itu berteriak lantang. "Kami utusan dari Pao-beng--pai mohon bertemu dengan
pimpinan dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Naga Siluman
yang kini sedang berkumpul di sini!"
Semua orang terkejut mendengar ini. Suma Ceng Liong lalu minta kepada suami encinya,
yaitu Kao Cin Liong se-bagai orang tertua yang berada di situ, untuk mewakili seluruh
keluarga dan menerima pengunjung yang baru datang. Karena jelas bahwa rombongan itu
ingin bertemu dengan pimpinan ketiga keluar-ga, bukan dengan tuan rumah, Kao Cin Liong
yang menjadi orang tertua di situ, tidak keberatan untuk mewakili seluruh keluarga. Di dalam
hatinya dia merasa heran sekali. Mau apa orang-orang Pao--beng-pai ini mencari mereka"
Kalau hendak mencari gara-gara, mungkin orang--orang Pao-beng-pai itu sudah gila.
Siapa-kah di dunia ini begitu gila mencari per-kara dengan para pendekar dari tiga keluarga
besar yang saat itu berkumpul di situ"
Kakek yang sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun itu melangkah maju ke depan rombongan
itu. Para anggauta pasukan kecil yang berada di depan membuat gerakan menyibak ke kanan
kiri sehingga kakek itu kini berhadapan dengan joli yang tirainya masih tertutup. Semua orang
memandang dari belakang kakek Kao Cin Liong dan suasana menjadi he-ning sekali karena
semua orang memper-hatikan.
"Kami sedang berkumpul di sini meng-adakan pertemuan keluarga dan kami tidak
mempunyai pimpinan. Karena aku kebetulan yang tertua, maka para ang-gauta keluarga kami
minta agar aku mewakili mereka. Nah, apakah yang di-kehendaki Pao-beng-pai dengan
kunjungan tiba-tiba dan tanpa diundang ini" Di an-tara kami tidak ada yang mempunyai
urusan dengan Pao-beng-pai." Suara ka-kek itu cukup berwibawa walaupun sikapnya tenang
sekali. Bahkan dua belas orang anggauta pasukan yang tadinya nampak keren dan kokoh kuat
itu kini nampak gentar menghadapi sikap kakek itu yang demikian tenang, berwibawa dan
penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Tadinya mereka mengira bahwa setiap orang di dunia
persilatan akan menjadi jerih melihat bendera tanda pengenal partai mereka. Siapa tahu kakek
ini ber-sikap seolah mereka hanya sebagai peng-ganggu biasa saja yang tidak dikenal!
Seperti anak-anak ayam yang mencari perlindungan kepada induknya, mereka semua
memandang ke arah joli dan si pemegang bendera segera berkata dengan suara lantang, jelas
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
28 dimaksudkan agar didengar oleh semua orang karena kalau hanya ditujukan kepada
penumpang joli, tidak perlu dia berteriak selantang itu.
"Nona yang mulia! Pihak tuan rumah telah datang menyambut, silakan Nona yang mulia
keluar untuk bicara dengan dia!"
Tentu saja semua orang menjadi se-makin tertarik. Siapakah yang mereka sebut sebagai nona
yang mulia itu" De-ngan penuh perhatian mereka semua kini memandang ke arah joli yang
sejak tadi tidak bergerak, dan yang oleh para pe-mikulnya sudah diturunkan ke atas tanah.
Tirai itu pun sejak tadi tidak pernah bergoyang. Ketika empat orang peng-gotong joli tadi
menurunkannya, nampak-nya begitu ringan seolah penumpang joli itu teramat ringan, ataukah
empat orang pemanggul itu yang amat kuat"
Kini tirai dari sutera hijau itu ber-goyang sedikit dan agaknya ini merupa-kan isyarat bagi
empat orang gadis pen-damping joli untuk cepat menghampiri depan joli. Mereka
menyingkap tirai itu dan ketika melakukan ini, mereka ber-empat membungkuk sampai dalam
dan yang berpakaian kuning berkata penuh hormat. "Silakan, Siocia (Nona Muda)!"
Semua orang memandang dan ternyata yang duduk di joli itu adalah seorang wanita muda
yang cantik dan bersikap agung. Gadis ini mengenakan pakaian berkembang dan cerah, dan ia
nampak anggun dancantik. Ia duduk dengan te-gak seperti seorang puteri atau seorang ratu
dan sedikit pun tidak merasa gen-tar atau canggung walaupun banyak pa-sang mata yang
tajam dan mencorong mengamatinya. Usianya sukar diketahui dengan pasti karena
pembawaannya me-nunjukkan bahwa ia bukan remaja lagi, cukup dewasa dan tentu sudah ada
dua puluh tahun. Rambutnya yang digelung tinggi di atas kepala, dan rambut itu dihias sebuah
tiara kecil yang berkilauan karena terhias intan permata. Matanya yang tajam seolah dapat
menembus dan menjenguk isi dada orang. Akan tetapi kecantikannya itu amat dingin.
Keanggun-annya mengandung keangkuhan. Dingin dan angkuh ini nampak di sudut-sudut
bibirnya yang tersenyum sinis. Tangan kirinya memegang sebuah hud-tim (kebut-an) yang
biasa dipegang seorang pendeta atau pertapa, kebutan pengusir lalat dan nyamuk. Akan tetapi
kebutan ini indah, dengan gagang terbuat daripada emas dan kebutan itu sendiri terbuat dari
be-nang yang mengkilap, entah benang apa, berwarna kemerahan seperti ternoda darah.
Setelah menyapu ruangan itu dengan lirikan matanya yang tajam, ia kini me-mandang kepada
Kao Cin Liong dan bi-birnya bergerak, senyumnya semakin merekah dan semakin sinis. Lalu
kakinya melangkah turun dari joli, dengan gerak-an sopan seperti seorang puteri yang
menjaga setiap gerakan agar nampak anggun dan sopan. Setelah ia turun dari joli dan berdiri
berhadapan dengan Kao Cin Liong, nampak tubuhnya yang ram-ping, dengan pinggang yang
kecil seperti pinggang lebah hitam, dan pinggulnya yang besar menonjol. Ia berdiri dengan
tegak dan anggun seperti seorang ratu dihadap para hulubalangnya.
"Kiranya Jenderal Kao Cin Liong yang menjadi wakil." katanya, suaranya lembut akan tetapi
terasa begitu dingin dan datar tanpa nada dan irama. Seperti igauan orang dalam mimpi!
Namun, kalimat pendek ini mengejut-kan semua orang, terutama sekali kakek itu. Bagaimana
gadis yang sama sekali tidak dikenalnya ini tahu bahwa dia per-nah menjadi panglima"
"Hemmm, sekarang tidak lagi menjadi jenderal, Nona. Siapakah Nona?" Kakek ini sudah
merasa kalah penampilan, kare-na gadis itu sudah mengenal namanya akan tetapi dia sama
sekali belum me-ngenalnya, bahkan bertemu pun baru sekali ini.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
29 "Aku biasa dipanggil Siocia (Nona), tak pernah memiliki nama. Biarpun se-karang engkau
bukan lagi jenderal, akan tetapi engkau pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu, bukan?"
Jelas sekali bagi para anggauta keluarga besar yang berkumpul di situ bahwa ketika
meng-ucapkan kata Mancu, gadis itu nampak menghina sekali. Mereka pun tidak me-rasa
heran karena biarpun belum pernah berurusan dengan orang-orang Pao-beng--pai yang selalu
bergerak secara rahasia, mereka pernah mendengar bahwa partai itu adalah partai yang
menentang peme-rintah Mancu.
"Sudahlah, tidak perlu kita memper-soalkan apakah aku pernah menjadi pang-lima, juga
apakah Nona mempunyai nama atau tidak. Yang penting sekarang, apa maksud kedatangan
Nona sebagai utusan Pao-beng-pai" Seperti kami katakan tadi, kami tidak pernah mempunyai
urusan dengan Pao-beng-pai, maka apa maksud kunjungan Nona ini?" kata kakek Kao Cin
Liong dengan suara yang tetap te-nang penuh kesabaran. Sebagian anggauta keluarga itu
sudah ada yang melotot dan marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani mengganggu
kakek Kao Cin Liong yang mewakili mereka.
Gadis itu menggerakkan tangan kiri-nya dan ujung kebutannya bergerak se-olah ia mengusir
lalat yang datang men-dekatinya, lalu kembali senyumnya mekar penuh ejekan. "Apa maksud
kunjunganku" Panglima Kao Cin Liong, sudah lama sekali Pao-beng-pai mendengar bahwa
tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga memiliki banyak pendekar yang
pandai, yang tidak me-mandang sebelah mata kepada kelompok dan aliran lain di dunia
persilatan. Juga bahwa ketiga keluarga itu berwatak ting-gi hati, suka mencampuri urusan
aliran lain, tidak segan menggunakan kepandai-an mengalahkan kelompok lain, dan yang
lebih tidak menyenangkan lagi, mereka menjadi antek-antek bangsa Mancu yang berarti
membantu kekuasaan para pen-jajah. Nah, karena itulah Pao-beng-pai ingin sekali
membuktikan sendiri apakah berita tentang kegagahan mereka itu benar, atau hanya omong
kosong saja."

Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar ucapan itu, Kao Hong Li dan Tan Sian Li sudah bergerak maju sambil mengepal
tinju, akan tetapi Tan Sin Hong yang sejak tadi sudah waspada melihat keadaan isteri dan
puterinya, yang dia tahu keduanya memiliki watak keras dan galak, cepat menangkap lengan
mereka dan memberi isyarat dengan ge-leng kepala.
"Ayah mewakili kita semua, jangan diganggu," bisiknya. Kao Hong Li ter-ingat, demikian
pula Sian Li maka ibu dan anak ini menahan kemarahannya dalam hati. Sebagai pihak pemilik
rumah yang kedatangan tamu, tidak pantas ka-lau mereka maju mengganggu Kao Cin Liong
yang mewakili mereka semua.
Kakek Kao Cin Liong tersenyum me-mandang ucapan gadis yang berani itu. Diam-diam dia
terheran dan terkejut. Bagaimana seorang gadis semuda ini berani mengeluarkan kata-kata
keras mencela tiga keluarga besar, padahal para anggauta keluarga lengkap berada di situ"
Biar semua datuk persilatan di dunia kang-ouw, para datuk sesat sekali-pun tidak mungkin
akan berani senekat itu! Andaikata Pao-beng-pai mengirim seluruh pimpinan berikut anak
buahnya sekalipun, menghadapi seluruh keluarga ini mereka akan sama dengan ombak
samudera ganas yang menghantam bukit karang, akan hancur lebur dengan sendiri-nya.
Apakah gadis ini miring otaknya, ataukah sudah bosan hidup dan mencari cara membunuh
diri yang dapat dianggap gagah" Dia mengelus jenggotnya yang sudah putih semua.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
30 "Bu-beng Sio-cia (Nona Tanpa Nama), kalau Pao-beng-pai ingin membuktikan sendiri berita
tentangan kegagahan ke-luarga kami, lalu apa yang kaukehendaki dengan kunjungan ini?"
"Aku mewakili Pao-beng-pai sepenuh-nya, dan atas nama Pao-beng-pai aku menantang
tokoh yang paling tinggi ilmu kepandainnya dari ketiga keluarga untuk mengadu kepandaian.
Aku tahu, bahwa aku mendatangi gua penuh singa dan naga, dan kalian semua bisa maju dan
Pedang 3 Dimensi 2 Panji Wulung Karya Opa Badai Awan Angin 20
^