Pencarian

Si Tangan Sakti 7

Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


wanita yang sedang duduk di dalam gubuk kecil tempat para pemburu beristirahat itu,
menahan jerit mereka ketika di dalam cuaca yang su-dah remang-remang itu mendadak
muncul dua bayangan orang. Akan tetapi mereka tidak jadi menjerit ketika melihat bahwa
yang muncul adalah seorang gadia cantik bersama seorang pemuda tampan.
"Jangan takut, Bibi dan Cici, kami bukan orang jahat. Namaku Tan Sian Li dan ini kakak
Gak Ciang Hun. Kami kebetulan lewat di sini dan mendengar percakapan kalian. Kenapa
kalian ber-sembunyi di sini dan siapa yang meng-ancam keselamatan suami Bibi?"
Melihat sikap Sian Li yang gagah, juga pemuda di dekatnya itu bersikap gagah, wanita itu
lalu memberi hormat dan berkata, "Aku adalah isteri Lurah So di dusun sana, dan ini So
Biauw Hwa puteri kami. Baru saja rumah kami di-datangi seorang laki-laki yang amat ka-sar
dan jahat. Dia dengan paksa hendak bermalam di rumah kami, minta disedia-kan kamar
terbaik, mandi air hangat, dan pesta-pesta, minta dilayani wanita--wanita cantik. Dia memukul
para pen-jaga, dan membunuh anjing kami. Dia menakutkan sekali. Karena takut kalau
anakku diganggu, maka ia kuajak melari-kan diri dan bersembunyi di sini."
"Hemmm, apakah orang itu perampok dan banyak temannya?" tanya Sian Li,penasaran dan
sudah marah kepada para perampok yang bertindak sewenang--wenang.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
180 Akan tetapi nyonya itu menggeleng kepala. "Dia hanya seorang diri, dan agaknya tidak
seperti perampok, pakaian-nya pantas, hanya sikapnya yang seperti raja memerintah kami.
Ah, kami takut sekali, khawatir kalau sampai suamiku dicelakakan olehnya...."
"Siauw-moi, mari kita ke sana!" kata Gak Ciang Hun yang juga sudah marah mendengar
kelakuan tamu yang demikian kurang ajar."Mari, Bibi dan Cici, mari antar kami ke rumah
kalian. Kami akan hajar dan usir tamu tak tahu diri itu!" kata Sian Li. Melihat sikap pemuda
dan pemudi itu, ibu dan anak ini menjadi berani dan timbul pula harapan mereka agar cepat
terbebas dari ancaman tamu yang jahat itu.
Hari telah menjadi gelap ketika me-reka berempat memasuki dusun. Suasana dusun yang
tadinya ramai itu kini men-dadak menjadi sepi sekali karena semua rumah menutupkan pintu
dan jendelanya. Tak seorang pun berani menampakkan diri di luar rumah, mereka semua telah
mendengar akan munculnya seorang manusia yang jahat dan amat lihai di rumah kepala
dusun, Ketika mereka berempat tiba di ru-mah Lurah So, dari luar mereka sudah mendengar
ribut-ribut, Suara itu datang-nya dari ruangan makan seperti yang di-beritahukan ibu dan anak
itu, dan mereka semua langsung menuju ke ruangan makan di sebeah belakang. Dan mereka
melihat betapa laki-laki setengah tua yang tinggi besar itu sedang bertanding melawan
seorang gadis yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang). Gadis itu berusia sekitar dua
puluh tiga tahun, wajahnya bulat dengan dagu runcing dan rambutnya yang hitam itu lebat
dan panjang sekali, digelung dua di belakang kepala. Matanya bersinar lembut dan mulutnya
amat indah, dengan bibir yang kemerahan dan lekuknya amat menggai-rahkan. Tubuhnya
ramping dan gadis ini memang cantik manis. Juga ilmu se-pasang pedangnya cukup lumayan.
Jelas bahwa ia marah sekali, menyerang pria itu dengan mati-matian, Akan tetapi, Ciang Hun
dan Sian Li melihat betapa pria itu memang lihai bukan main, Biarpun hanya menggunakan
tangan kosong, namun pria itu sama sekali tidak terdesak oleh sepasang pedang lawannya,
bahkan dia menggulung lengan baju dan dengan lengan telanjang dia berani menangkis
pedang, seolah--olah lengannya terbuat dari baja saja! Sian Li dan Ciang Hun tidak mengenal
wanita cantik manis yang biarpun melihat kehebatan lawan, namun tidak nam-pak gentar dan
terus menyerang itu. Karena mereka tidak tahu siapa gadis itu, Juga ibu dan anak itu tidak
mengenalnya, maka Sian Li dan Ciang Hun meragu untuk turun tangan.
Gadis yang mulutnya menggairahkan itu adalah Gan Bi Kim! Para pembaca kisah Si Bangau
Merah akan mengenal Gan Bi Kim. Ia adalah puteri seorang pejabat tinggi, yaitu kepala
gudang pu-saka kerajaan dan tinggal di kota raja, bernama Gan Seng. Ketika Yo Han ta-mat
belajar ilmu silat dari kakek yang buntung lengan dan kakinya, yaitu men-diang Ciu Lam
Hok, sebelum mati kakek itu memesan kepada muridnya agar suka berkunjung kepada cicinya
yang tinggal di kota raja. Cici dari kakek Ciu Lam Hok adalah nenek Ciu Cing, yaitu ibu
kandung Gan Seng ayah Bi Kim. Ketika Yo Han berkunjung ke sana nenek Ciu Cing
menangisi kematian adiknya Ciu Lam Hok dan ketika menyembahyangi arwah adiknya, di
depan meja sembah-yang ini nenek itu menjodohkan cucunya, Gan Bi Kim, dengan murid
adiknya, yaitu Yo Han. Dan kebetulan sekali Bi Kim jatuh cinta pula kepada Yo Han,
walau-pun Yo Han sendiri tidak mencintanya karena sejak remaja, Yo Han telah jatuh cinta
kepada Tan Sian Li, Si Bangau Me-rah! Yo Han meninggalkan keluarga Gan di kota raja. Bi
Kim merasa penasaran karena belum mendapatkan kepatian dari Yo Han, maka ia pun
mendesak ayahnya untuk mengundang jagoan-jagoan istana dan mengajarkan ilmu silat
kepadanya. Ternyata ia berbakat dan terutama sekali ia pandai memainkan sepasang pedang.
Setelah ditunggu-tunggu tidak juga Yo Han datang, bahkan tidak ada berita, Gan Bi Kim
merasa penasaran. Ia merasa bahwa ia telah menguasai ilmu pedang dan pandai menjaga diri,
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
181 maka pada suatu hari, ia pun lolos dari gedung ayah-nya, meninggalkan sepucuk surat dan
menyatakan kepada ayah ibunya bahwa ia pergi untuk mencari tunangannya, yaitu Yo Han!
Pada sore hari itu, kebetulan sekali ia pun tiba di dusunitu. Ia sudah lelah dan ingin
bermalam di dusun itu. Akan tetapi betapa herannya melihat semua rumah di dusun itu
tertutup pintu dan jendelanya, bahkan di jalan pun tidak nampak seorang pun manusiai Akan
te-tapi, ia tahu benar bahwa dusun itu bu-kan dusun kosong. Pekarangan rumah bersih
terpelihara, juga sawah ladang dan tanaman di sekeliling perumahan durun. Dan lebih dari itu,
ia pun mendengar gerakan orang-orang di dalam rumah--rumah yang tertutup rapat dan, yang
tidak dipasangi lampu walaupun senja telah mendatang.
Karena merasa heran dan penasaran ketika mendengar tangis anak kecil dari sebuah rumah
dan tangis itu berhenti tiba-tiba seolah-olah mulut anak yang menangis itu didekap tangan, ia
tidak sabar lagi dan mengetuk daun pintu rumah itu."Paman atau bibi, bukalah pintunya. Aku
bukan orang jahat, aku seorang ga-dis yang kebetulan kemalaman dan ingin bermalam di
dusun ini. Biarkan aku me-nginap semalam di rumah kalian, akan kuberi pengganti
kerugian!" Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan berteriak, akhirnya terdengar jawab-an seorang
wanita dari dalam, tanpa membuka pintu. "Nona, maafkan kami.... tempat kami penuh
sesak.... eh, kalau Nona ingin bermalam.... datanglah ke rumah kepala dusun, di sebelah itu,
se-puluh rumah dari sini."
Terpaksa Bi Kim meninggalkan rumah itu, menuju ke kanan sampai ia tiba di depan rumah
kepala dusun. Mudah saja menemukan rumah itu karena jauh lebih besar dibandingkan
rumah-rumah lain, dan hanya rumah besar ini saja yang daun pintu sebelah depan terbuka,
dan di dalam rumah itu dipasangi lampu pe-nerangan yang cukup banyak. Ketika ia
memasuki pekarangan, beberapa orang bermunculan dari tempat gelap, agaknya mereka ini
pun ketakutan. "Nona mencari siapakah?" seorang se-tengah tua bertanya dengan suara geme-tar, juga tiga
orang temannya nampak ketakutan.
"Aku seorang yang kebetulan lewat dan kemalaman di dusun ini, aku hendak minta
pertolongan lurah agar suka me-nerimaku semalam ini."
Empat orang itu saling pandang, ke-mudian menengok ke arah dalam rumah dan orang
setengah tua tadi berbisik, "Nona, pergilah dari sini. Di rumah ini kedatangan seorang
penjahat yang me-nakutkan. Dia sedang memaksa lurah un-tuk menjamunya dengan pesta.
Dia jahat sekali!" Mendengar ini, Gan Bi Kim tersenyum dan meraba gagang siang-kiam yang ter-gantung di
punggungnya, "Aku tidak takut, bahkan kalau ada penjahat meng-ganggu rumah ini, aku akan
mengusirnya." Kembali empat orang itu saling pan-dang. "Kalau begitu, masuklah, pergilah ke ruangan
belakang, ruangan makan. Akan tetapi, kami tidak berani mengan-tarmu, Nona." kata mereka
dan kembali mereka menyelinap ke dalam bayangan--bayangan yang gelap.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
182 Tentu saja Bi Kim merasa heran dan penasaran. Dengan langkah lebar ia me-masuki rumah
itu. Sunyi saja, agaknya semua orang, seperti empat orang pria tadi, sudah lari menyingkir dan
bersem-bunyi ketakutan. Akan tetapi terdengar suara di ruangan belakang dan ia pun menuju
ke sana. Ruangan itu luas dan terang sekali. Sebuah meja makan besar penuh hidangan yang masih
mengepulkan uap berada di tengah ruangan. Seorang pria tinggi be-sar duduk makan minum
seorang diri, dilayani oleh tiga orang wanita muda. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun
lebih, tinggi kurus, berdiri di sudut, me-mandang dengan sikap takut-takut.
Mendengar langkah kaki, pria yang sedang makan itu menoleh dan melihat Bi Kim,
wajahnya berseri, matanya me-mandang penuh selidik dan dengan suara-nya yang parau
berwibawa dia bertanya, "Siapa kau" Mau apa kau masuk ke sini?"
Karena tidak tahu mana, lurah yang ia cari, Bi Kim memandang kepada pria yang sedang
makan itu, bertanya, "Aku ingin bertemu dengan lurah dusun ini. Mana dia?"
"Aku.... akulah Lurah So dari dusun ini, Nona...." Lurah So berkata dengan gagap.
Kini Bi Kim menoleh kepada pria tinggi besar yang bukan lain adalah Si-angkoan Kok itu.
"Hemmm, jadi orang inikah yang datang mengacau?" tanya Bi Kim sambil menoleh kepada
Lurah So. Akan tetapi lurah ini tidak berani me-ngeluarkan suara, bahkan menunduk ka-rena
takut membuat marah tamunya. Juga tiga orang wanita muda itu tidak berani bergerak.
"Ha-ha-ha, engkau cantik. manis, No-na, engkau jauh lebih cantik daripada tiga orang
perempuan di dusun ini. Sayang puteri lurah ini telah melarikan diri. Biar engkau menjadi
penggantinya menemani-ku makan minum. Mari, Nona, duduklah di sini, makan minum
sepuasnya!" "Hemmm, kiranya engkau ini jahanam busuk, manusia tak tahu diri, begitu datang ke rumah
orang bertindak se-wenang-wenang. Setelah aku datang, jangan harap engkau akan dapat
menjual lagak lagi. Hayo pergilah cepat mening-galkan rumah ini, meninggalkan dusun ini,
atau sepasang pedangku akan mem-buat engkau menjadi setan tanpa kepala!" Berkata
demikian, untuk menggertak, Bi Kim mencabut sepasang pedangnya. Sepasang pedang yang
baik karena ayahnya mencarikan sepasang pedang pilihan un-tuk puterinya. Nampak kilat
menyambar ketika gadis. itu mencabut sepasang pedangnya. Akan tetapi, Siangkoan Kok
tertawa dan sama sekali tidak kelihatan gentar."Ha-ha-ha, bagus sekali. Aku memang lebih
senang kalau gadis cantik yang me-nemani aku makan minum bukan seorang wanita lemah.
Nah, sekararg kita ber-taruh, Nona. Kalau aku kalah olehmu, biar aku pergi tanpa banyak
cakap lagi. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menemani aku makan mi-num
sampai mabuk. Bagaimana?"
Wajah Bi Kim berubah merah sekali, matanya mencorong penuh kemarahan. "Jahanam
busuk!" katanya melihat orang itu bangkit dan menghampirinya. "Engkau memang layak
dibasmi!" Dan sepasang pedangnya sudah menyambar ganas. Akan tetapi, Siangkoan Kok
dapat mengelak dengan mudah dan dia segera mengenal bahwa ilmu pedang nona ini bukan
ilmu sembarangan, melainkan ilmu pedang yang tinggi nilainya. Hal ini tidak mengherankan
karena Bi Kim dilatih oleh jagoan-jagoan istana yang lihai. Maka, timbul penyakit lama
Siangkoan Kok. Dia tidak segera mengalahkan gadis yang tingkatnya masih jauh di bawahnya
itu, bahkan dia menggulung kedua lengan bajunya agar tidak sampai robek, meng-gunakan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
183 kedua lengan untuk menangkis serangan pedang sambil memperhatikan jurus-jurus ilmu
pedang itu untuk menambah pengetahuannya yang sudah ba-nyak. Tentu saja Lurah So dan
tiga orang gadis dusun yang dipaksa menjadi pela-yan tadi merasa ketakutan, apalagi me-lihat
betapa tamu yang ditakuti itu mam-pu melawan si gadis yang berpedang hanya dengan tangan
kosong saja. Juga Bi Kim sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa penjahat ini
memang luar biasa, memiliki kesaktian. Apalagi ia, bahkan guru-gurunya belum tentu mampu
menandingi kakek ini! Pada saat pertandingan itu berlang-sung, muncullah Sian Li dan Ciang Hun. Akan tetapi
karena kedua orang pen-dekar ini tidak mengenal Bi Kim, tentu saja mereka tidak dapat turun
tangan membantu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, siapa gadis ber-siang-kiam itu dan
mengapa pula berkelahi melawan ka-kek, yang amat lihai itu. Seperti yang mereka duga,
kakek itu hanya mempermainkan lawannya dan setelah dia me-ngenal benar ilmu pedang
pasangan dari Bi Kim, tiba-tiba Siangkoan Kok mem-bentak nyaring dan tahu-tahu sepasang
pedang itu telah berpindah tangan! Dia menyeringai ketika Bi Kim meloncat ke belakang
dengan kaget. "Ha-ha-ha, engkau kalah, Nona. Nah, engkau harus menemani aku makan mi-num sampai
mabuk!" "Tidak sudi! Sebelum mati aku tidak akan mengaku kalah!" bentak Bi Kim dan ia pun
menerjang lagi, kini dengan ta-ngan kosong. Kini Sian Li dan Ciang Hun tidak ragu-ragu lagi.
Jelas bahwa gadis itu merupakan orang yang menentang penjahat lihai itu, maka keduanya
sudah melompat ke depan untuk mencegah Bi Kim bertindak nekat. Dengan sepasang pedang
saja bukan lawan kakek itu, apa-lagi bertangan kosong.
"Tahan....!" kata Sian Li dan dari samping ia telah menangkap pergelangan tangan Bi Kim
dan menariknya ke sam-ping. Bi Kim yang tertangkap pergelang-an tangannya, merasa
tenaganya lumpuh, maka ia terkejut sekali dan menurut saja ditarik ke samping.Siangkoan
kok mengerutken alisnya -memandang kepada Sian Li yang ber-pakaian merah dan Ciang
Hun yang ga-gah. "Huh, siapa lagi ini kalian yang datang mengganggu kesenanganku!"
kata-nya sambil melemparkan sepasang pedang rampasan itu ke arah Bi Kim. Biarpun hanya
dilempar sambil lalu saja, namun sepasang pedang itu meluncur bagaikan anak panah ke arah
Sian Li dan Ciang Hun! Jelas bahwa kakek yang lihai itu sengaja hendak menguji kepandaian
dua orang muda yang baru muncul! Dengan tenang Sian Li menangkap pedang yang
meluncur ke arahnya, dari samping de-ngan jalan menjepitnya di antara telunjuk dan ibu
jarinya, seperti anak-anak menangkap capung pada ekornya. Sedangkan Ciang Hun lebih
repot, mengelak ke samping lalu memutar tubuh dan me-nangkap pedang itu pada gagangnya
dari belakang! Dari cara menangkap pedang ini saja sudah dapat dinilai bahwa ting-kat
kepandaian Si Bangau Merah lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Gak Ciang Hun!
Siangkoan Kok agak terkejut. Kiranya dua orang muda ini hebat! Sama sekali tidak boleh
dipandang ringan, tidak dapat disamakan dengan kepandaian Bi Kim.
Ciang Hun dan Sian Li menyerahkan sepasang pedang itu kembali kepada Bi Kim, kemudian
Sian Li menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Siangkoan Kok. "Engkau ini orang tua
yang kelihat-an gagah perkasa, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh menjijikkan
sikapmu di dusun ini, bertindak seperti perampok kecil saja!"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
184 Wajah Siangkoan Kok berubah ke-merahan. "Bocah bermulut lancang!" Se-telah berkata
demikian, dia menubruk ke arah Sian Li dan mengirim serangan kilat. Namun, nampak
bayangan merah berkelebat dan Sian Li sudah dapat meng-elak dari serangan dahsyat itu, dan
ketika tubuhnya turun, di depan kakek itu, ia sudah memegang sebatang suling ber-selaput
emas, sikapnya gagah dan tenang sekali.
Siangkoan Kok terkejut, apalagi ke-tika melihat suling emas itu" Alisnya berkerut
mengingat-ingat. Pakaian merah! Tentu saja!
"Hemmm, apakah engkau ini yang berjuluk Si Bangau Merah?" tanyanya sambil memandang
penuh selidik. Sian Li menggerakkan sulingnya dan terdengar suara berdesing, disusul ucapan-nya yang
lantang, "Memang benar aku yang dijuluki Si Bangau Merah."
"Bagus! Ha-ha-ha, hari ini aku sung-guh beruntung, dapat bertemu dengan tokoh-tokoh muda
dunia kang-ouw. Dan engkau siapa orang muda?" tanyanya. "Tidak mengapa, biarkan aku
menebak siapa engkau!" Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan tangannya
men-dorong dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Ciang Hun. Pemuda ini sama sekali
tidak menduga akan diserang, maka dia tidak sempat mengelak lagi, lalu mengerahkan tenaga
sin-kangnya dan menggerakkan kedua tangan terbuka me-nyambut.
"Dukkkkk!" Keduanya terdorong ke belakang. Ciang Hun sudah berjongkok dan berlutut
dengan sebelah kaki, kedua tangannya depan dada, kedua telapak tangannya menghadap ke
atas. Siangkoan Kok terbelalak. "Wah, apa-kah engkau memiliki sin-kang yang di-sebut Tenaga
Inti Bumi" Engkau meng-ambil tenaga dari tanah?"
Diam-diam Gak Ciang Hun tertegun dan kagum. Sekali beradu tenaga yang membuat dia
terlempar dan terpaksa memasang kuda-kuda Dewa Menyangga Bumi untuk memulihkan
tenaga dan siap menghadapi serangan lanjutan lawan, dan kakek itu sudah mengenal dasar
ilmunya. Memang dia tadi menggunakan tenaga yang menjadi ilmu warisan keluarga Gak,
bahkan mendiang kakeknya, Bu-beng Lo--kai atau dahulu bernama Gak Bun Beng sebelum
meninggal dunia telah meng-operkan tenaga kepadanya sehingga biar-pun bakatnya tidak
sangat baik, namun dia telah dapat menghimpun tenaga gin-kang itu.
"Orang muda, apa hubunganmu dengan mendiang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda
Beng-san)?" tanyanya lagi.
Ciang Hun tidak ingin menyombong-kan dirinya akan tetapi dia pun bangga dengan nama
besar kedua ayahnya. "Me-reka adalah ayah kandungku!" jawabnya gagah sama sekali tidak
merasa sungkan mengaku bahwa dia memiliki dua orang ayah kandung! Memang suatu hal
yang aneh dalam keluarga itu. Ayahnya ada-lah sepasang pendekar kembar yang men-cintai
seorang wanita, maka keduanya menjadi suami wanita itu dan lahirlah Ciang Hun, anak dari
seorang ibu dan dua orang ayah.
"Ha-ha-ha-ha-ha, pantas kalian berani mengganggu kesenanganku. Nah, meng-ingat bahwa
kalian keturunan orang-orang pandai, mari kuundang kalian makan minum denganku, Bangau
Merah dari orang muda she Gak! Dan engkau juga! Nona. Permainan siang-kiam (sepasang
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
185 pedang) darimu tadi cukup lumayan, membuktikan bahwa engkau pun telah dilatih oleh guru
yang pandai. Ha-ha-ha, marilah orang-orang muda, kita mempererat perkenalan dengan
makan minum!" Siang-koan Kok tidak berpura-pura dengan keramahan ajakannya ini.
Tadinya dia adalah majikan yang dihormati seperti seorang raja kecil. Akan tetapi sekarang
semua kemuliaan itu habislah sudah.anak buahnya dibasmi pasukan pemerintah, Ban-kwi-kok
(Lembah Selaksa Setan) telah diobrak-abrik, seluruh hartanya habis.Habislah sudah
kesemuanya, bahkan dia kehilangan anak yang disayangnya walau-pun hanya anak tiri,
kehilangan isteri yang dia bunuh sendiri, juga kehilangan murid tersayang yang diambilnya
secara paksa menjadi isteri, juga murid ini dia bunuh. Sekarang, dia sebatang kara, tidak
memiliki apa-apa lagi. Karena itu, me-lihat tiga orang muda ini, yang gagah perkasa dan juga
dua orang di antaranya adalah gadis-gadis perkasa yang cantik, timbul keinginan hatinya
untuk bersahabat dengan mereka. Siapa tahu dia dapat menguasai mereka dan dengan bantuan


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga orang muda seperti ini dia tentu akan mampu membangun lagi perkumpul-annya yang
terbasmi dan dia akan jaya kembali.
Sejak tadi Sian Li memperhatikan pria yang tinggi besar gagah dan berwibawa itu. Ketika ia
melakukan perjalanan untuk menyelidiki Pao-beng-pai, ia telah mencari keterangan tantang
perkumpulan itu, tentang ketuanya dan tentang puteri ketua yang pernah datang mengacau
pertemuan tiga keluarga besar. Pao-beng-pai telah terbasmi dan di tempat yang tidak jauh dari
bekas sarang Pao-beng-pai, terdapat kakek yang lihai ini.
"Bukankah engkau yang bernama Siangkoan Kok, majikan di Ban-kwi-kok dan ketua Pao-
beng-pai yan telah hancur?"
Pertanyaan yang dilontarkan Sian Li ini sungguh amat mengejutkan hati se-mua orang.
Bukan hanya Gak Ciang Hun dan Dan Bi Kim yang terkejut juga Lurah So dan semua orang
yang tadi sibuk melayani kakek itu. Lurah So dan para pembantunya menjadi pucat
men-dengar bahkan kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai, perkumpulan yang mereka takuti.
Mereka semua sudah mendengar akan Pao-beng-pai dan ketuanya, yaitu Siangkoan Kok
majikan Lembah SelaksaSetan, akan tetapi hanya namanya saja yang mereka ketahui, belum
pernah me-lihat orangnya.
"Ha-ha-ha, engkau hebat, Si Bangau Merah! Tidak percuma engkau mendapat julukan itu
karena engkau memang cer-dik, lihai dan bermata tajam. Aku me-mang Siangkoan Kok!"
"Bagus! Kiranya engkau ketua Pao--beng-pai! Dan gadis siluman yang berani menantang
keluarga kami itu adalah puterimu. Suruh ia keluar untuk mem-pertanggung-jawabkan
perbuatannya!" Sian Li membentak.
"Sian-moi, kiranya tak perlu bicara lagi dengan iblis seperti ini!" kata Ciang Hun yang sudah
mencabut pedangnya. "Benar, jahanam ini iblis yang kejam dan jahat yang harus dibasmi!" kata pula Gan Bi Kim
yang sudah siap dengan sepasang pedangnya pula.
"Ha-ha-ha, kiranya kalian hanyalah pendekar-pendekar muda yang menjadi antek penjajah
Mancu!" bekas ketua Pao--beng-pai itu mengejek sambil menertawa-kan mereka.
Wajah Sian Li berubah merah. "Jaha-nam busuk! Kalau kami menentangmu, hal itu tidak ada
sangkut pautnya dengan pemerintah. Bagi kami, engkau bukanlah pejuang, melainkan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
186 penjahat busuk yang suka mengganggu rakyat. Bersiaplah un-tuk mampus!" Sian Li sudah
menerjang dengan senjata sulingnya, Ciang Hun dan Bi Kim juga cepat menggerakkan senjata
mereka, mengeroyok. Siangkoan Kok adalah seorang datuk yang lihai sekali. Akan tetapi, sekarang dia menghadapi
pengeroyokan tiga orang muda yang tangguh, terutama sekali Si Bangau Merah dan Gak
Ciang Hun. Dua orang muda ini adalah keturunan pende-kar-pendekar lihai, maka dia tidak
berani memandang rendah dan kakek itu sudah mencabut pedangnya, memutar senjata itu
menyambut serangan para pengeroyok-nya.
Kalau tiga orang muda itu menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian
mereka, menyerang dengan semangat besar, sebaliknya Siangkoan Kok hanya melindungi
dirinya dengan gulungan sinar pedang. Dia tidak berse-mangat untuk berkelahi. Apalagi
meng-ingat bahwa dua orang di antara para pengeroyoknya adalah keturunan keluarga
pendekar yang tangguh. Dia tidak ingin menambah jumlah musuh di luar pasukan pemerintah
yang telah membasmi per-kumpulannya, bahkan mungkin dia ingin bekerja sama dengan
kelompok lain untuk membalas dendam kepada pemerintah penjajah Mancu, seperti yang
telah di-janjikannya kepada ketua Thian-li-pang di Bukit Setan. Selain itu, dia juga merasa
gentar kalau-kalau Pendekar Bangau Pu-tih, ayah Si Bangau Merah ini, dan juga Pendekar
Tangan Sakti Yo Han akan muncul.
Maka, setelah memutar pedangnya dengan dahsyat, membuat tiga orang pengeroyoknya
dengan hati-hati mundur menjaga jarak, tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke kiri dan
sebelum tiga orang muda yang mengeroyoknya sempat men-cegah, dia sudah mencengkeram
leher baju Lurah So dan menempelkan pedang-nya di leher lurah yang menjadi pucat
ketakutan itu."Kalau ada yang menyerangku, aku akan lebih dulu menyembelih lurah ini!"
bentak Siangkoan Kok sambil mendorong tubuh lurah itu di depannya dan terus
mendorongnya keluar rumah.
Ciang Hun, Sian Li, dan Bi Kim tentu saja tidak berani menyerang lagi. Bagai-manapun juga,
mereka tidak mau me-ngorbankan nyawa lurah yang tidak ber-dosa itu. Mereka hanya dapat
meman-dang ketika lurah itu didorong keluar oleh Siangkoan Kok. Sian Li hanya dapat
mengancam ketua Pao-beng-pai itu.
"Siangkoan Kok, kalau engkau mem-bunuhnya, aku bersumpah untuk mengejar-mu dan
tidak akan berhenti sampai aku dapat membunuhmu!"
Ketua Pao-beng-pai itu tertawa ber-gelak. "Ha-ha-ha, aku sedang malas ber-tanding, Nona
manis, dan aku menangkap-nya hanya untuk mencegah kalian men-desakku, bukan untuk
membunuhnya. Lurah ini telah begitu baik untuk me-layaniku makan minum, tentu aku tidak
akan membunuhnya." Setelah tiba di luar rumah, Siangkoan Kok berlompatan jauh sambil tetap meng-gandeng
Lurah So dan baru setelah tiba di tepi sebuah hutan dia melepaskan lurah itu dan menghilang
ke dalam hutan. Sian Li dan yang lain juga tidak mau mengejar, mengejar seorang seperti
Siang-koan Kok yang melarikan diri ke dalam hutan amatlah berbahaya.
Melihat tiga orang muda yang ber-hasil mengusir ketua Pao-beng-pai, Lurah So yang
dilepaskan oleh kakek itu tanpa dilukai, segera menghampiri dan memberi hormat,
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
187 menghaturkan terima kasih kepada mereka dan memohon agar malam itu mereka suka
bermalam di rumahnya. "Pertama, agar kami sekeluarga sem-pat menghaturkan terima kasih kepada Sam-wi (Kalian
Bertiga), dan kedua, agar hati kami sekeluarga merasa aman dan tenteram. Kalau Sam-wi
pergi sekarang, malam ini pasti kami tidak dapat tidur dan ketakutan membayangkan iblis itu
kembali ke rumah kami." Demikian an-tara lain Lurah So membujuk mereka. Karena alasan
itu masuk akal juga, akhirnya Ciang Hun, Sian Li dan Bi Kim me-nerima undangan itu.
Seluruh penghuni dusun itu bersuka-ria karena lurah mereka terbebas dari gangguan ketua
Pao-beng-pai yang mere-ka takuti. Dan para penghuni itu me-muji-muji pemuda dan dua
orang gadis perkasa itu. Keluarga Lurah So juga menghaturkan terima kasih dan meng-adakan
pesta kecil untuk menyambut mereka.
Sehabis makan minum, akhirnya tiga orang muda itu mendapat kesempatan untuk bicara
bertiga saja di ruangan belakang rumah Lurah So. Tidak ada anggauta keluarga yang berani
meng-ganggu mereka bertiga yang sedang ber-cakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Gan Bi
Kim berkenalan dengan Gak Ciang Hun dan Tan Sian Li.
"Aku berterima kasih sekali kepada Tai-hiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar
Wanita)," kata Gan Bi Kim. "Aku sungguh tidak tahu diri, dengan ilmu silatku yang masih
rendah aku be-rani menentang ketua Pao-beng-pai yang lihai itu. Kalau Ji-wi (Anda Berdua)
ti-dak datang, entah bagaimana jadinya dengan diriku." kata Bi Kim.
"Aih, Nona, harap jangan merendah-kan diri. Ilmu pedangmu sudah cukup hebat, hanya ilmu
kepandaian ketua Pao--beng-pai itu memang luar biasa. Hanya setelah kita bertiga maju
bersama, baru dapat mengusirnya." kata Ciang Hun.
"Benar, Enci, di antara kita tidak perlu sungkan, kita adalah dari golongan yang sama, yaitu
menentang perbuatan jahat. Siapakah engkau, Enci, dan bagai-mana engkau dapat tiba di
tempat ini dan berkelahi dengan ketua Pao-beng--pai itu?"Gan Bi Kim menghela napas
panjang. "Aku hanya orang biasa saja, adik yang gagah, tidak seperti engkau yang ber-juluk
Si Bangau Merah dan kakak ini yang keturunan orang-orang sakti. Ketua Pao--beng-pai itu
sampai mengenal kalian dan merasa gentar. Aku bernama Gan Bi Kim berasal dari kota raja
dan aku sedang melakukan perjalanan mengembara untuk meluaskan gengalaman setelah aku
mem-pelajari sedikit ilmu silat dari para guru di kota raja sebagai bekal untuk mem-bela diri.
Ketika tiba di sini, aku men-dengar akan kejahatan kakek. tadi yang menguasai rumah
keluarga Lurah So, maka aku datang untuk menegur dan mengusirnya, tidak tahu bahwa
kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai yang amat lihai. Nah, sekarang aku mengharapkan
keterangan tentang kalian, karena aku hanya mendengar julukanmu, tidak tahu siapa namamu
dan nama kakak ini."
"Namaku Tan Sian Li, enci Kim." kata Sian Li yang segera merasa akrab dengan gadis kota
raja yang dari sikap-nya saja dapat diduga bahwa ia seorang gadis terpelajar, bahkan ada sikap
agung dan anggun seperti gadis pingitan atau gadis bangsawan.
"Dan namaku Gak Ciang Hun, nona Gan," Ciang Hun memperkenalkan diri dan dia seperti
terpesona memandang gadis itu. Ada sesuatu yang amat me-narik hatinya pada gadis itu,
entah sinar matanya yang lembut, atau mulutnya yang memiliki bibir yang mempesonakan.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
188 "Aih, Gan-toako, kita segolongan dan aku sudah merasa akrab dengan enci Kim. Kiranya
tidak perlu bersungkan--sungkan menyebut ia nona segala!" kata Sian Li yang wataknya
terbuka dan jujur. Hi Kim tersenyum dan memandang kepada pemuda itu. "Li-moi berkata be-nar, Gak-toako.
Aku pun merasa seolah--olah sudah mengenal kalian selama ber-tahun-tahun."
Ciang Hun tersenyum girang. "Baik-lah, Kim-moi (adik Kim)."
"Enci Kim, engkau seorang gadis kota raja, lembut dan pandai, kenapa ber-susah-susah
bertualang seperti gadis kang--ouw" Kalau aku sendiri lain lagi, me-mang aku dari keluarga
petualang, aku seorang gadis kang-ouw yang sudah biasa hidup berkelana. Tapi engkau...."
Bi Kim tersenyum dan memegang lengan Sian Li. "Aih, jangan berkata seperti itu, Li-moi.
Engkau lebih dalam segala-galanya dibandingkan aku, kenapa mesti memuji-muji aku"
Engkau lebih lihai, engkau lebih cantik, lebih muda! Aku mendengar dari para guruku di kota
raja tentang dunia persilatan yang luas, mendengar tentang tokoh-tokoh dunia persilatan,
bahkan aku pernah mendengar nama besar Si Bangau Putih dan puteri-nya, Si Bangau Merah.
Maka, aku ter-tarik dan ingin meluaskan pengalamanku dengan merantau." Tentu saja Bi Kim
tidak mau menceritakan bahwa kepergian-nya adalah untuk mencari Yo Han, pe-muda
idamannya yang telah ditunangkan dengannya oleh neneknya. "Dan engkau sendiri, dari mana
hendak ke mana, Li--moi" Dan juga engkau, Gak-toako?"
"Panjang ceritanya," kata Sian Li. "Beberapa pekan yang lalu, diadakan per-temuan dari tiga
keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga Silu-man. Aku pun hadir dan dalam
pertemu-an itu, muncul puteri ketua Pao-beng--pai yang menantangkami. Ia dapat di-kalahkan
dan pergi. Aku menjadi pena-saran dan pergi menyelidiki Pao-beng--pai...."
"Dan karena aku mengkhawatirkan keselamatan siauw-moi Tan Sian Li, maka aku lalu
mengejarnya dan berhasil, maka kami melakukan perjalanan ber-sama." sambung Ciang Hun.
"Tapi aku mendengar berita bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah,"
kata Hi Kim. "Benar, kami terlambat dan kami. tidak dapat bertemu dengan gadis iblis itu, melainkan
dengan, ayahnya di sini."
"Jadi kalian berdua saja berani da-tang mencari puteri ketua Pao-beng-pai" Itu berbahaya
sekali! Baru ketuanya saja tadi sudah selihai itu. Apalagi kalau per-kumpulan itu belum
terbasmi dan ter-dapat banyak anak buahnya."kata Gan Bi Kim kagum akan keberanian dua
orang itu. "Aku bukan hanya menyelidiki Pao--beng-pai, enci Kim. Sebetulnya, penyeli-dikan terhadap
Pao-beng-pai hanya sam-bil Lalu saja. yang terutama sekali kepergianku adalah untuk
mencari Han--koko...." Sian Li berhenti sebentar sam-bil memandang kepada Gak Ciang Hun
yang nampak tenang saja karena pemuda ini sudah pernah mendengar pengakuan Si Bangau
Merah. "Han-koko" Siapa itu Han-koko?" ta-nya Bi Kim, tersenyum. Sian Li baru ingat bahwa Bi
Kim sama sekali tidak mengenal kekasihnya itu, dan sebagai seorang gadis yang tidak merasa
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
189 perlu merahasiakan hubungannya dengan Yo Han terhadap seorang sahabat yang
dipercayanya, ia pun tertawa."Aih, aku sampai lupa bahwa engkau belum mengenal Han-ko,
enci Kim. Dia berjuluk Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) bernama Yo Han.... eh,
engkau kelihatan terkejut, apakah engkau sudah mengenalnya, Enci?"
"Tentu saja aku terkejut," Bi Kim tersenyum, menahan debaran jantungnya, "Siapa yang
tidak pernah mendengar akan nama besar Sin-ciang Tai-hiap" Dan engkau menyebutnya Han-
koko" Agaknya engkau mempunyai hubungan yang erat dengan dia. Masih ada hubungan
keluarga-kah, Li-moi?"
Sian Li tersenyum dan tiba-tiba saja kedua pipinya menjadi kemerahan dan sambil
menundukkan mukanya dengan tersipu ia berkata, "Boleh dibilang begitulah karena dia.... dan
aku.... kami saling mencinta dan mengharapkan kelak menjadi suami isteri." Karena
mukanya ditundukkan ketika mengatakan itu, Sian Li tidak melihat betapa mata Bi Kim
terbelalak, mukanya pucat napasnya ter-engah sejenak. Bahkan ia lalu menunduk dan
mengusapkan tangannya ke arah kedua matanya untuk mengusir cepat dua titik air matanya.
Akan tetapi, Ciang Hun yang sejak tadi mengamatinya, me-lihat perubahan ini dan diam-diam
dia pun merasa terkejut dan heran, hatinya menduga-duga.
Ketika Sian Li mengangkat muka me-mandang kepada sahabat barunya itu, Bi Kim sudah
dapat menguasai perasaan hatinya. Baru saja ia mengalami guncang-an batin yang hebat.
Siapa orangnya tidak akan merasa seperti ditikam jan-tungnya kalau mendengar pengakuan,
seorang gadis yang dikaguminya bahwa gadis itu saling mencinta dengan pria yang selama ini
dicari dan dirindukannya karena pria itu adalah tunangannya! Menurut gejolak hatinya, ingin
ia marah-marah kepada Sian Li. Akan tetapi ia lalu mengingat-ingat kembali,
mem-bayangkan sikap Yo Han terhadap diri-nya. Pemuda yang ditunangkan dengannya oleh
neneknya itu belum pernah menyata-kan cinta kepadanya, bahkan minta wak-tu untuk dapat
memberi jawaban dan mengambil keputusan tentang niat nenek-nya menjodohkan mereka.
"Kau kenapakah, enci Kim" Kelihatan termenung...." kata Sian Li.
Bi Kim mengangkat muka memandang kepadanya dan tersenyum manis! Lalu ia
menggelengkan kepalanya. "Tidak apa--apa, adik manis, hanya aku merasa ter-haru
mendengar bahwa pendekar wanita Bangau Merah saling mencinta dengan Pendekar Tangan
Sakti. Li-moi, melihat usiamu yang masih muda, tentu belum lama engkau berkenalan dengan
Pendekar Tangan Sakti."
Sian Li memandang Bi Kim dengan lucu dan tertawa terkekeh. "Hi-hi-hik, engkau keliru
sama sekali, enci Kim. Usiaku memang baru delapan belas tahun, akan tetapi aku telah
berkenalan dan akrab dengan Han-ko sejak aku berusia empat tahun!"
Bi Kim terbelalak, memandang kepada Gak Ciang Hun, lalu menatap lagi wajah Sian Li.
"Aku.... aku tidak mengerti...." katanya bingung.
Sian Li tersenyum dan memegang lengan Bi Kim. "Tidak perlu heran, enci Kim. Ketahuilah,
ketika aku berusia em-pat tahun, Han-ko ikut orang tuaku, bahkan menjadi murid ayah dan
ibu. Ke-mudian kami berpisah dan baru belasan tahun kemudian kami saling bertemu kembali
dan langsung kami saling jatuh cinta, maksudku.... sejak kanak-kanak pun kami sudah saling
mencinta, walau-pun sifat cinta itu berubah...." Kembali sepasang pipi itu menjadi merah
sekali, semerah warna pakaiannya.Setelah mendengar semua itu tahulah Bi Kim bahwa tidak
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
190 mungkin ia dapat meng-harapkan Yo Han menjadi calon jodoh-nya. Bukan Sian Li yang
merampas tunangannya. Gadis ini dan Yo Han sudah saling mencinta, bahkan sejak kecil!
Ka-lau ia berkeras mempertahankan usul neneknya mengenai perjodohan itu, ber-arti ialah
yang merampas kekasih orang! Keangkuhan yang timbul dari harga diri-nya sebagai seorang
dari keluarga bang-sawan, membuat Bi Kim dapat menekan perasaannya dan saat itu juga ia
sudah mematahkan hubungan batinnya dengan Yo Han. Ia tidak boleh dan tidak akan suka
mencinta Yo Han yang telah men-jadi kekasih si Bangau Merah!
Untuk mengalihkan perhatian dan melupakan rasa nyeri seperti ada pisau menikam ulu
hatinya, Bi Kim bertanya dengan suara heran, "Adik manis, kenapa engkau mencari
kekasihmu itu" Dan ke-napa pula dia meninggalkanmu?" Per-tanyaan yang wajar saja dari
seorang gadis kepada gadis lain, walaupun sesung-guhnya pertanyaan itu mengandung
ke-inginan untuk mengetahui lebih jelas tentang hubungan antara Sian Li dan Yo Han.
"Ahhh, banyak sekali yang menyebab-kannya, Enci dan sebetulnya hal ini me-rupakan
rahasiaku...." "Siauw-moi, aku merasa lelah dan mengantuk. Bagaimana kalau engkau lanjutkan
percakapanmu dengan adik Bi Kim saja, dan aku beristirahat lebih dulu?" kata Ciang Hun
yang merasa ti-dak enak karena agaknya kehadirannya hanya akan membuat canggung dua
orang gadis itu bercakap-cakap secara akrab. Sian Li tersenyum dan mengangguk, diam--diam
merasa terharu dan juga senang karena pemuda itu sungguh tahu diri dan dapat memaklumi
keadaandirinya. Ia selalu merasa tidak enak kepada Ciang Hun kalau di depan pemuda itu
harus menceritakan segala hal mengenai Yo Han, padahal Ciang Hun mencintanya.
"Gak-toako seorang pemuda yang bi-jaksana dan baik sekali, aku amat kagum dan
menghormatinya, apalagi di antara dia dan aku masih ada hubungan keke-luargaan,
maksudku, dia masih keturunan keluarga perguruan Pulau Es, sedangkan kakekku keturunan
keluarga Gurun Pasir dan nenekku keluarga Pulau Es." kata Sian Li kepada Bi Kim setelah
mereka tinggal berdua saja.
"Aku pun kagum kepadanya. Dia seorang pemuda yang lihai, pendiam dan sopan," kata Bi
Kim. "Akan tetapi, kalau engkau enggan menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu, aku
pun tidak akan memaksamu, Li-moi."
"Ah, tidak sama sekali, Enci. Kepadamu aku tidak merasa sungkan atau enggan untuk
menceritakan, hanya kalau ada Gak-toako...., aku tidak tega untuk banyak bercerita tentang
Han-koko dan aku...."
"Tidak tega?" Bi Kim memandang penuh selidik, terheran-heran, "Kenapa tidak tega?"
"Karena dia mencintaku, enci Kim. Dan aku tentu saja tidak dapat mem-balas cintanya,
walaupun aku suka dan hormat kepadanya. Aku sudah mencerita-kan tentang hubunganku
dengan Han--koko, dan Gak-twako dapat menerima kenyataan itu dengan hati lapang. Dia
bijaksana sekali! Dan aku tidak ingin menyinggung perasaannya kalau banyak bercerita
tentang Han-ko di depannya."
Bi Kim semakin terheran-heran dan kagum. Dara ini sungguh luar biasa, pikirnya. Begitu
jujur, begitu terbuka! "Aih, kasihan dia kalau begitu, Li-moi. Pahit sekali memang kalau
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
191 orang bertepuk sebelah tangan dalam soal asmara. Nah, sekarang ceritakan, kenapa engkau
saling berpisah dengan kekasihmu?"
Sian Li bercerita. Tanpa tedeng aling--aling lagi. Diceritakannya tentang ayah ibunya yang
agaknya tidak menyetujui hubungan cintanya dengan Yo Han, bah-kan ayah ibunya telah
memilihkan jodoh untuknya, yaitu seorang pangeran!
"Akan tetapi aku tidak mau, Enci. Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran itu, walaupun


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangeran itu terkenal gagah dan tampan, kabarnya pandai ilmu silat juga."
"Siapakah pangeran itu" Mungkin aku sudah tahu."
"Dia Pangeran Cia Sun."Diam-diam Bi Kim semakin heran dan terkejut. Tentu saja ia tahu
siapa pange-ran itu. Seorang pangeran yang menjadi pujaan hampir semua gadis di kota raja.
Setiap orang gadis merindukannya dan mengharapkan menjadi isterinya! Bahkan ia sendiri,
sebelum ditunangkan dengan Yo Han, pernah beberapa kali melihat pangeran itu dan ia
sendiri pun merasa terpikat! Dan gadis ini.... Si Bangau Merah ini, malah menolak dijodohkan
dengan Pangeran Cia Sun. Bukan main!
"Hem, menurut penilaianku, dia se-orang pangeran yang baik sekali, berbeda dengan para
pangeran lainnya. Dia tidak congkak, manis budi dan dekat dengan rakyat."
"Biar seratus kali lebih baik dari itu, aku tidak sudi, Enci. Aku hanya mau berjodoh dengan
Han-ko! Nah, ketika ayah dan ibu mengajakku menghadiri per-temuan tiga keluarga besar,
aku meng-harapkan dapat bertemu dengan Han--koko di sana. Akan tetapi ternyata dia tidak
ada. Lalu muncul puteri ketua Pao--beng-pai membuat kekacauan dan me-nantang-nantang
kami. Setelah ia dapat diusir pergi, aku lalu diam-diam mening-galkan ayah ibu karena aku
ingin men-cari Han-koko dan menyelidiki Pao-beng--pai. Sebetulnya, aku ingin membatalkan
niat ayah. dan ibu mempertemukan aku dengan pangeran itu di kota raja, dan mencari Han-
koko sampai dapat." "Ke mana sih perginya kekasihmu itu, Li-moi?" tanya Bi Kim, diam-diam me-rasa heran dan
geli juga melihat betapa ada persamaan antara ia dan Si Bangau Merah ini. Ia pun sedang
mencari-cari Yo Han seperti yang dilakukan Sian Li. Hanya bedanya, ia mencari pemuda itu
sebagai tunangan, sedangkan Sian Li sebagai kekasih! Amat besar bedanya memang, dan
kenyataan ini menikam hatinya. Pertunangannya belum resmi itu atas kehendak neneknya,
sedangkan saling mencinta tentu saja atas kehendak mere-ka yang bersangkutan!
"Han-koko menerima tugas berat, yaitu mencari puteri Pendekar Suling Naga Sim Houw
yang hilang diculik orang sejak anak itu masih kecil sekali, baru dua tiga tahun usianya.
Sampai sekarang, dua puluh tahun lebih sudah berlalu dan tak pernah ada berita tentang anak
itu. Semua usaha yang dilakukan Pendekar Suling Naga dan isterinya tidak berhasil. Bahkan
andaikata anak itu ditemukan juga, anak itu tidak mengenal orang tua kandungnya, dan suami
isteri itu pun tidak akan dapat mengenal puteri mere-ka. Dan Han-koko bertugas mencari anak
yang hilang itu!" "Aih, betapa sukarnya tugas itu. Ba-gaimana mungkin dapat mencarinya ka-lau tidak pernah
melihat anak yang kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa itu?" kata Bi Kim yang ikut
merasa prihatin mendengar betapa tunangannya, pria yang dicintariya akan tetapi yang
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
192 mencinta gadis lain itu dibebani tugas yang demikian, sulitnya. Andaikata dapat menemukan
gadis itu, bagaimana dapat yakin bahwa ia adalah anak yang hilang itu?"
"Memang ada ciri khasnya, Enci. Me-nurut keterangan orang tuanya, anak itu memiliki dua
buah tanda yang khas, ya-itu sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya dan sebuah noda merah
di tela-pak kaki kanannya. Nah, kurasa di dunia ini tidak ada dua orang yang memiliki tanda-
tanda yang serupa seperti itu!"
"Aku akan ingat ciri itu, Li-moi, agar aku dapat membantu mencarinya."
"Terima kasih, enci Kim. Engkau baik sekali. Aku merasa bingung harus ke mana mencari
kekasihku itu. Aku amat merindukannya, Enci, dan dia tentu akan berbahagia sekali kalau
dapat mencari gadis itu bersamaku."
Tanpa disadarinya, ucapan itu me-nikam ulu hati Bi Kim yang segera ber-pamit untuk
beristirahat di kamarnya. Mereka bertiga mendapatkan masing--masing sebuah kamar di
keluarga Lurah So yang amat menghormati tiga orang pendekar itu.
*** Bi Kim rebah di atas pembaringan kamarnya, menelungkup dan menangis menahan isak agar
jangan sampai suara tangisnya terdengar oleh orang lain di luar kamar. Ia merasa hatinya
seperti diremas-remas, pedih dan perih bukan main rasanya. Ingatannya melayang-layang
pada segala peristiwa yang lalu, ketika untuk pertama kali ia bertemu dengan Yo Han.
Pertama kali Yo Han datang berkunjung ke rumah keluarga ayahnya sebagai murid mendiang
paman-kakeknya Ciu Lam Hok, keluarga ayahnya sedang dilanda malapetaka. Ayahnya yang
men-jadi penanggung jawab gedung pusaka kerajaan, diancam hukuman berat karena banyak
benda pusaka penting hilang di-curi orang. Yo Han menyelidiki dan ter-nyata yang
melakukan pencurian adalah Coan-ciangkun yang sengaja melakukan hal itu untuk memaksa
keluarga Gan menyerahkan ia untuk menjadi isteri panglima itu. Yo Han berhasil
menyela-matkan Gan Seng, ayahnya dan dalam keadaan berbahagia itu, neneknya yang
bersembahyang di depan meja sembah-yang paman-kakeknya, menetapkan per-jodohannya
dengan Yo Han! Semua itu terbayang kembali olehnya. Ikatan pertunangan itu pula yang men-dorongnya
untuk dengan tekun tanpa me-ngenal waktu, melatih diri dengan ilmu silat dari guru-guru silat
yang pandai dari istana atas bantuan ayahnya sehingga kini ia menguasai ilmu kepandaian
silat yang lumayan. Semua itu dilakukannya demi cintanya kepada Yo Han yang di-anggap
calon suaminya. Calon suaminya seorang pendekar besar, maka akan jang-gallah kalau ia
tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Kemudian, karena merasa rindu kepada tunangannya itu
yang tak kunjung datang, ia lalu meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi mencari Yo
Han! Dan sekarang, Si Bangau Merah Tan Sian Li yang mengagumkan hatinya itu mengaku terus
terang bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han, bahkan hubungan mereka jauh lebih
dahulu daripada pertemuannya dengan pemuda itu. Pantas saja Yo Han belum dapat
menerima usul perjodohan yang diajukan neneknya! Kiranya pemuda itu telah mempunyai
seorang kekasih! Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
193 Bi Kim terpaksa mendekap mukanya dengan bantal karena tangisnya menjadi-jadi. Nafasnya
sampai terasa sesak karena ia menahan-nahan sekuatnya agar jangan sampai terdengar suara
tangisnya. Segala macam perasaan yang mengandung susah senang adalah permainan nafsu. Nafsu
memang selalu mempunyai satu arah tujuan, yaitu kesenangan yang dinikmati tubuh melalui
panca-indrya. Kesenangan itu dalam sekejap mata da-pat berubah menjadi kebalikannya, yaitu kesusahan
kalau penyebab kesenangan itu lepas dari tangan.
Cinta asmara antara pria dan wanita merupakan suatu perasaan manusia yang paling rumit
dan aneh. Dalam perasaan yang ada pada tiap diri seorang manusia yang normal ini, yang
agaknya memang sudah menjadi anugerah atau peserta sejak manusia dilahirkan, terkandung
banyak hal. Ada pengaruh naluri daya tarik antara lawan jenis yang alami, naluri yang ada
pada setiap mahluk cip-taan Tuhan, yang bergerak maupun yang tidak, daya tarik yang
merupakan syarat mutlak bagi pengembang-biakan mahluk itu. Daya tarik alami ini yang
membuat lawan jenis kelamin saling tertarik, sa-ling mendekati lalu terjadi penyatuan yang
melahirkan mahluk baru sebagai proses penciptaan yang amat indah dan suci. Di samping
naluri, ini yang sifatnya suci dan alami, masuk pula pengaruhi nafsu dan dalam cinta asmara,
nafsu memainkan peran sepenuhnya sehingga memberikan kesenangan selengkapnya kepada
manusia yang dilanda cinta. Ke-nikmatan dirasakan manusia melalui kesenangan yang
terkandung dalam panca indrya. Kalau orang sedang bercinta, mata melihat keindahan pada
orang yang dicinta, telinga mendengar kemerduan, hidung mencium keharuman dan segala
macam perasaan, sentuhan dan apa saja terasa teramat indah!
Namun, karena nafsu memegang peran yang begitu besarnya, maka seperti aki-bat daripada
permainan nafsu, semua ke-senangan itu setiap saat dapat berubah menjadi kesusahan. Tidak
ada kesenangan melebihi senangnya orang bercinta, dan tidak ada kesusahan hati melebihi
orang gagal dalam bercinta! Dunia seakan kia-mat, harapan seakan-akan hancur lebur, hidup
seakan-akan tiada artinya lagi! Da-lam saat seperti itu, betapa banyaknya orang yang kurang
tabah dan kurang sadar melakukan perbuatan dungu seperti membunuh diri, atau membunuh
orang yang menggagalkan cintanya termasuk orang yang dicintanya itu sendiri! Dalam mabuk
cinta, kita lupa bahwa segala kesenangan itu ada batasnya, dan tidak abadi! Jelas bahwa nafsu
yang bermain di dalam cinta kasih tidak abadi pula. Yang abadi adalah sesuatu yang
datang-nya bukan dari nafsu yang menggelimangi hati akal pikiran. Yang aseli dan abadi
adalah cinta yang tidak dikotori nafsu dan cinta inilah yang menjadi dasar dari segala
perasaan yang baik, cinta ini yang mungkin biasa kita namakan kasih sa-yang! Kasih ini
terdapat dalam sinar matahari, dalam titik-titik air hujan, dalam gelombang samudera, dalam
ber-silirnya angin semilir, dalam merekahnya dan harumnya bunga-bunga, dalam se-nyum
ranum dan matangnya buah-buahan, dalam air mata seorang ibu dalam belai-an tangannya,
dalam pandang mata se-orang ayah, dalam tangis seorang bayi dan masih banyak lagi.Gan Bi
Kim menjadi korban dari ulah nafsu itu. Ia merasa seolah-olah hidupnya hancur lebur. Dalam
keadaan seperti itu, ia tidak tahu bahwa kesusahan, seperti juga kesenangan, tidak abadi,
bahkan tidak panjang umurnya, walaupun diban-dingkan kesenangan, kesusahan lebih lama
dirasakan manusia. Tidak mungkin senang terus tanpa kesusahan, seperti tidak mungkinnya
susah terus tanpa kesenangan. Bahkan di waktu siang hari pun, tidak selalu terang benderang,
kadang-kadang digelapkan awan mendung, dan malam gelap gulita pun kadang-kadang
diterangi bulan atau bintang-bintang! Dalam ke-adaan senang, orang lupa bahwa kesusah-an
sudah berada di ambang pintu. Dalam keadaan susah, seseorang seolah-olah merasa bahwa
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
194 tidak ada harapan lagi dan selalu dia akan menderita susah, seperti sakit yang tak mungkin
dapat diobati lagi! Bi Kim merasa semakin tidak tahan. Berduka di dalam kamar yang asing, se-orang diri
digerogoti kenangan lama, membuat ia merasa sumpek dan pengap. Malam telah tiba dan
suasana sunyi. Ia membuka daun pintu dan melangkah ke-luar, melalui gang masuk ke dalam
ta-man bunga milik keluarga lurah itu. Agak lega rasanya ketika ia berada di luar, di udara
terbuka. Ia melangkah terus. Malam tidak gelap benar karena ada banyak sekali bintang di langit, tak
terhitung banyak-nya karena langit cerah tanpa mendung sehingga hampir semua bintang
bermun-culan ada yang tersenyum, ada yang berkedip-kedip. Bunga-bunga di taman itu
banyak yang mekar indah karena memang waktu itu musim bunga sudah berumur dua bulan
sehingga suasana di taman itu indah sekali, bermandikan cahaya bintang yang kehijauan.
Ditambah lagi suara jangkerik dan belalang seperti sekumpul-an musik yang mendendangkan
lagu ma-lam dalam irama yang bebas namun ti-dak kacau, bahkan serasi.
Tiba-tiba suasana itu, yang pada mula-nya menghibur, kini bagaikan menyentuh
perasaannya, mendatangkan keharuan yang mendalam sehingga ia terhuyung, menutupi muka
dengan tangannya dan menangis. Kini ia berada di luar rumah dan ia tidak begitu menahan
isak tangis-nya, dan terdengar rintihan kalbunya keluar melalui mulutnya dalam bentuk tangis
lirih dan sedu sedan. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Gak Ciang Hun yang sejak tadi duduk me-lamun seorang
diri di dekat kolam ikan, kini bangkit dan memandang kepadanya dari sebelah kiri. Pemuda
itu menghela napas panjang, dan alisnya berkerut. Dia telah melihat perubahan sikap gadis itu
sejak Sian Li mengaku bahwa ia dan Yo Han saling mencinta. Dia melihat betapa Gan Bi Kim
terbelalak dengan muka pucat dan napasnya terengah ketika mendengar pengakuan Sian Li itu
dan betapa gadis itu berusaha untuk menenangkan diri secepatnya. Dia menduga-duga, akan
tetapi tidak menemukan jawabannya. Dan kini, selagi dia melamun seorang diri di dalam
taman mengenangkan nasib dirinya yang menderita penolakan cintanya ter-hadap Sian Li,
atau lebih tepat lagi men-derita putusnya cinta karena Sian Li mengaku bahwa gadis itu hanya
mencinta Yo Han, tiba-tiba saja dia melihat Bi Kim menangis sedih seorang diri di da-lam
taman! Karena merasa terharu dan iba, bagaikan terkena pesona dan seperti tidak disadarinya,
Ciang Hun melangkah perlahan menghampiri. Setelah dekat, dia berkata lirih.
"Adik Bi Kim...."
Bi Kim tersentak kaget, seperti di-seret dari dunia lamunan kembali ke dunia kenyataan yang
pahit dan membingungkan. Cepat-cepat ia menghapus air mata dengan tangannya, mengucek-
-ucek kedua matanya, memaksa bibirnya tersenyum. "Aih, kiranya Gak-toako.... kaget sekali
aku karena tidak mengira di sini ada orang lain."
Hati Ciang Hun semakin terharu. Gadis ini jelas sedang menderita batin yang membuatnya
berduka, akan tetapi masih berusaha untuk bersikap wajar yang amat canggung. Dia pun tidak
ber-pura-pura lagi karena dia merasa kasihan dan ingin sekali dapat membantunya, kalau
memang gadis itu membutuhkan bantuan.
"Kim-moi, sejak tadi aku berada di sini, ingin menikmati malam musim bu-nga yang indah
ini. Malam amat cerah, langit bersih terhias bintang-bintang.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
195 Kenapa engkau malah berduka dan me-nangis, Kim-moi?"
"Aku.... aku tidak berduka, tidak menangis...." Bi Kim cepat membantah, akan tetapi
suaranya membuktikan bahwa ia memang habis menangis, bahkan sisa tangisnya, masih
terkandung dalam getar-an suaranya.
"Ah, Kim-moi, biarpun kita baru ber-kenalan hari ini, akan tetapi tentu eng-kau juga sudah
merasakan seperti yang kami rasakan, yaitu bahwa kita adalah satu golongan dan seperti
keluarga sendiri. Di antara saudara atau sahabat baik, kalau yang seorang mengalami
ke-sulitan, sudah sepantasnya kalau yang lain membantu, bukan" Andaikata aku yang
mengalami kesusahan, apakah eng-kau tidak bersedia untuk menolongku, Kim-moi?"
"Tentu saja, Toako! Engkau sendiri dan Li-moi tadi pun sudah menolongku dari ancaman
ketua Pao-beng-pai. Tentu aku akan mengulurkan tangan membantu-mu kalau aku
bisa.?"Nah, demikian pula dengar aku, Kim--moi. Sekarang aku mengulurkan tangan dan aku
bersedia untuk membantumu mengatasi kesusahanmu. Nah, maukah engkau menceritakan
mengapa engkau begini bersedih?"
Ditanya orang lain tentang kesedihan-nya dengan suara yang demikian penuh perhatian dan
ikut merasakan, keharuan memenuhi hati Bi Kim dan tak tertahan-kan lagi air matanya
bercucuran. Akan tetapi ia menggigit bibir dan tidak mau mengeluarkan suara tangis. Ia
menggeleng kepala dan menghapus air matanya de-ngan saputangannya yang sudah basah.
"Engkau.... engkau atau siapapun di dunia ini tidak akan dapat menolongku,
Toako....memang sudah ditakdirkan bahwa nasibku amat buruk...." kembali ia mengusapkan
saputangan ke arah ke-dua matanya.
"Siauw-moi, tidak ada nasib buruk itu! Segala sesuatu yang terjadi menimpa diri kita sudah
sewajarnya, dan ada sebab akibatnya. Bukan nasib buruk, karena nasib buruk itu hanya
pandangan se-seorang yang kecil hati dan tidak tabah menghadapi kenyataan hidup.
Kenyataan hidup memang tidak selalu putih, ada kalanya hitam, tidak selalu manis, ada
kalanya pahit. Akan tetapi, manis atau pun pahit, kalau kita dapat menerimanya sebagai suatu
kenyataan hidup yang tidak terlepas dari hukum alam, maka kita dapat menghadapinya
dengan tabah. Ti-dak ada masalah yang tidak dapat diatasi, asalkan kita tabah, tidak
mening-galkan daya ikhtiar dan didasari penyerah-an kepada Yang Maha Kuasa, Kim-moi.
Aku tadi sudah melihat perubahan pada sikapmu. Ketika Li-moi bercerita dengan terus terang,
memang wataknya terbuka dan jujur, bahwa ia dan Yo Han saling mencinta, aku melihat
engkau terbelalak kaget dan mukamu pucat sekali. Kim--moi, aku yakin bahwa kedukaanmu
tentu ada hubungannya dengan cerita Li-moi itu, atau setidaknya, ada hubungannya dengan
Yo Han. Benarkah dugaanku?"
Bi Kim menundukkan mukanya, sam-pai lama tidak menjawab, hanya menarik napas
panjang berulang kali. Ia tahu bahwa ia tidak dapat mengelak lagi, dan kalau sampai Sian Li
mengetahui hal ini, sungguh amat tidak enak. Pemuda ini dapat dipercaya, dan dengan
bantuan pemuda ini ia akan lebih mudah me-nyembunyikan rahasianya dari Sian li.
"Gak-toako," katanya sambil meman-dang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam,
"Kalau aku berterus terang kepadamu, maukah engkau berjanji untuk merahasiakan ini dari
adik Sian Li?" Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
196 "Aku berjanji demi kehormatanku, Kim-moi."
"Ketahuilah, Toako, bahwa guru dari Sin-ciang Tai-hiap Yo Han adalah adik nenekku. Pada
suatu hari, Yo-toako da-tang berkunjung ke kota raja dan dia berhasil menolong ayahku yang
terancam malapetaka karena beberapa buah pusaka istana lenyap padahal ayahku menjabat
sebagai pengatur gedung pusaka itu. Ka-rena bersyukur, di depan meja sembah-yang paman
kakekku itu, nenekku lalu menjodohkan aku dengan Yo-toako."
"Ah, begitukah....," Gak Ciang Hun menggumam lirih.
"Ya begitulah, Toako. Biarpun per-jodohan itu belum diresmikan, akan te-tapi sejak saat itu,
aku sudah mengang-gap diriku sebagai calon isteri Yo Han. Dan dapat kaubayangkan betapa
kaget rasa hatiku ketika tadi aku mendengar bahwa adik Tan Sian Li saling mencinta dengan
Yo Han." Ciang Hun mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya. "Apakah Yo Han sudah
menyetujui ikatan jodoh itu?"
Gadis itu menggeleng. "Belum, Toako. Bahkan dia minta agar urusan perjodohan itu
ditangguhkan sampai dia menyelesaikan tugas-tugasnya. Usul perjodohan itu datang dari
nenek, dan dia belum me-nyatakan setuju atau tidak setuju."
"Akan tetapi.... maafkan pertanyaan-ku ini, apakah kalian sudah saling men-cinta?"
Gadis itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak memelas sekali walau-pun tidak
kelihatan jelas di bawah sinar ribuan bintang yang lembut, namun tarik-an muka itu membuat
Ciang Hun mak-lum bahwa pertanyaannya mendatangkan kepedihan hati.
"Terus terang saja, Toako, aku amat kagum kepadanya dan selama ini aku menganggap
bahwa aku cinta padanya. Akan tetapi.... ah, cinta sepihak tidak mungkin, bukan" Dia
sudah saling men-cinta dengan adik Sian Li.... aku akan memberitahu kepada nenekku dan
orang tuaku bahwa aku tidak mungkin berjodoh dengannya."Hening sejenak, kemudian Bi
Kim tercengang melihat pemuda itu tertawa, akan tetapi suara tawanya sumbang. "Ha-ha-ha-
heh-heh, alangkah lucunya! Betapa lucunya....!!"
Tentu saja Bi Kim mengerutkan alis-nya dan wajahnya berubah merah, pan-dang matanya
bersinar tajam karena marah. Ia mengira bahwa pemuda itu mengejeknya! Padahal, ia telah
mem-percayainya dan menceritakan rahasia hatinya yang sebetulnya tidak harus di-ceritakan
kepada siapa pun. "Toako, kau.... kau mentertawakan aku....!!" bentaknya marah.
Ciang Hun menyadari sikapnya yang dapat menimbulkan kesalahpahaman itu, maka dia
menghentikan tawanya dan cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada meminta maaf.
"Maafkan aku, Siauw--moi. Aku sama sekali bukan mentertawa-kan engkau melainkan
mentertawakan diriku sendiri karena sungguh amat lucu keadaan kita berdua!" Kembali dia
ter-tawa akan tetapi menahan sehingga tawa-nya tidak bersuara.
Bi Kim masih mengerutkan alisnya. "Hemmm, apanya yang lucu dengan ceri-taku tadi?"


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
197 "Dengarlah, Kim-moi. Sudah lama aku pun jatuh cinta kepada adik Tan Sian Li! Dan
kautahu, sebelum aku sempat me-nyatakan cintaku kepadanya, ia mengaku kepadaku seperti
yang diceritakan ke-padamu tadi, yaitu bahwa ia mencinta Yo Han dan hanya mau berjodoh
dengan Yo Han. Kau tentu mengerti betapa hancurnya perasaan hatiku, namun aku dapat
menerima kenyataan pahit itu. Sama sekali tidak aku duga bahwa eng-kau mengalami hal
yang sama benar dengan aku, dan kita berdua sama-sama mendengar keputusan yang
menghancur-kan itu dari mulut Li-moi. Hanya beda-nya di antara kita, engkau mencinta yang
laki-laki, aku mencinta yang perem-puan. Ha-ha-ha, bukankah lucu sekali?"
Ciang Hun tertawa-tawa lagi dan sekali ini, Bi Kim juga tertawa. Mereka berdua tertawa-
tawa, akan tetapi tawa mereka sumbang dan makin lama, suara tawa mereka semakin
sumbang dan akhir-nya Bi Kim menangis, dan Ciang Hun juga mengeluh dan menahan
tangisnya! Dalam keadaan seperti itu, keduanya dapat saling merasakan betapa sedih dan perihnya hati
yang hampa karena cinta sepihak. Perasaan yang mendatangkan iba diri karena diri serasa
tiada harganya, tidak ada yang menyayang! Dan timbul-lah perasaan iba yang mendalam satu
lama lain. "Kim-moi,kita harus dapat menerima kenyataan.... sudahlah, Kim-moi, jangan bersedih
lagi...." karena merasa iba se-kali, Ciang Hun mendekat dan menyentuh lengan gadis itu.
Bagaikan tanggul penahan air bah yang bobol, bendungan itu pecah dan se-tengah menjerit
Bi Kim menangis dan merangkul Ciang Hun, menangis di dada pemuda itu sampai
mengguguk. Semua perasaan pedih perih dan duka yang sejak tadi ditahan-tahannya dalam
hati, kini terlepas semua melalui tangisnya yang meledak-ledak.
Ciang Hun mengelus rambut itu dan dia pun berdongak memandang langit penuh bintang-
bintang, kedua matanya sendiri basah. Dia maklum bahwa gadis itu sedang ditekan perasaan
yang amat berat, maka jalan terbaik adalah mem-biarkannya menangis melarutkan semua
tekanan batin yang dapat menimbulkan penyakit luar dan dalam.
Setelah tangisnya itu agak mereda, seperti badai yang mereda, Ciang Hun berkata, "Eh, Kim-
moi, lihatlah betapa bodohnya kita. Apakah dengan gagalnya cinta kasih kita, lalu dunia ini
akan kia-mat" Lihat di langit itu, jutaan bintang mentertawakan kita yang lemah. Kita bukan
orang lemah, kita harus mampu menanggulangi semua tantangan hidup. Kegagalan hanya
akan memperkuat batin kita, mematangkan kita. Sama sekali keliru kalau kita putus asa dan
mem-biarkan diri tenggelam dalam kecewa dan duka."
Bi Kim sadar dan ia pun seperti baru menyadari bahwa ia telah menangis di atas dada Ciang
Hun. Ia melepaskan rangkulannya dan tersipu. Ia menghapus sisa air matanya, memandang
kepada pemuda itu, mencoba untuk tersenyum.
"Engkau benar, Toako. Maafkan atas kelemahanku, dan maafkan kelakuanku tadi yang tidak
pantas." "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Siauw-moi, tidak ada yang tidak pantas. Aku mengerti
perasaanmu dan aku dapat merasakan pula kepahitan yang melanda hatimu. Kita sama-sama
mengalaminya, akan tetapi sama-sama pula dapat me-ngatasinya, bukan?"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
198 "Terima kasih, Gak-toako."Ciang Hun lalu menasehati agar gadis itu kembali ke kamarnya
karena akan kurang baik dugaan orang kalau ada yang melihat mereka berada di taman berdua
saja pada waktu malam seperti itu. Bi Kim menyetujui dan ia pun kembali ke kamarnya,
meninggalkan Ciang Hun yang termenung seorang diri di taman itu. Mulai saat itu, tumbuhlah
perasaan aneh di dalam hati kedua orang itu. Mereka saling merasa kasihan, dan perasaan ini
menumbuhkan suatu perasaan baru dari cinta kasih, ingin saling menghibur, sa-ling
membahagiakan! Pohon cinta memang dapat tumbuh dengan perantaraan belas kasihan, atau kekaguman,
senasib, kesamaan pandangan, kesamaan selera dan banyak perasaan, lain lagi. Dan sekali
orang jatuh cinta, maka segala yang ada pada diri orang yang dicintai nampak indah, segala
yang dilakukan orang yang dicinta selalu me-nyenangkan hati. Tidak terlalu berlebihan kalau
orang mengatakan bahwa cemberut seorang yang dicinta menjadi pemanis, sebaliknya
senyum seorang yang dibenci makin menyebalkan!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah bangun dan mandi. Ketika ia keluar
dari dalam kamarnya dengan mengenakan pakaian bersih, se-perti biasa pakaiannya serba
merah se-hingga ia nampak segar dan jelita bagai-kan setangkai bunga mawar merah di waktu
pagi, masih segar membasah ber-mandikan embun pagi, ia melihat Gan Bi Kim dan Gak
Ciang Hun juga sudah man-di dan mereka duduk di ruangan dalam di luar kamar mereka.
Setelah mereka duduk bertiga, Sian Li berkata. "Pagi ini aku akan melanjutkan perjalananku,
dan sebelum aku bertemu dengan Han-ko, aku tidak akan pulang."
"Memang, sebaiknya kalau kita ber-tiga pergi dari sini," kata Ciang Hun. "Tidak enak kalau
mengganggu keluarga Lurah So terlalu lama."
"Adik Sian Li, aku akan mencoba untuk membantumu, ikut mencarikan anak yang hilang itu.
Siapa tahu aku akan bertemu dengan gadis yang mem-punyai tanda-tanda di pundak kiri dan
kaki kanan itu. Siapa namanya?"
"Namanya Sim Hui Eng," jawab Sian Li.
"Aku pun akan membantumu mencari Yo Han, kalau jumpa akan kuberitahu bahwa engkau
mencarinya. Paling lambat pada hari Sin-cia (Tahun Baru Imlek), berhasil atau tidak, aku
akan memberi kabar kepadamu, di rumah orang tuamu di Ta-tung." kata Ciang Hun.
Sian Li tersenyum memandang kepada dua orang sahabatnya itu. "Terima kasih, kalian baik
sekali. Karena kita bertiga mencari orang, maka akan lebih besar harapannya akan berhasil
kalau kita ber-pencar. Kita mencari dengan berpencar dan berjanji saling jumpa lagi pada hari
Sin-cia. Bagaimana pendapat kalian?"
"Setuju!" kata Ciang Hun. "Pada hari Sin-cia, aku akan berkunjung ke rumah-mu, Li-moi."
"Dan bagaimana dengan kau, Kim" Di mana kita akan bertemu hari Sin-cia nanti?"
"Aku setuju dengan pendapat Gak--toako. Aku pun akan berkunjung ke ru-mahmu pada hari
Sin-cia, Li-moi." Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
199 "Bagus! Aku akan menanti kunjungan kalian dengan hati gembira. Ayah dan ibu juga tentu
akan bergembira sekali bila menerima kunjungan kalian. Nah, sekarang kita berangkat!"
Tiga orang muda perkasa itu lalu berpamit kepada Lurah So sekeluarga, kemudian
meninggalkan rumah dan dusun itu. Setelah tiba di perempat jalan, me-reka berpisah. Sian Li
menuju ke utara, Ciang Hun ke selatan dan Bi Kim ke timur.
*** Gadis itu duduk di bawah pohon, agak jauh dari jalan raya dan tidak nampak dari jalan
karena tempat itu agak ter-tutup oleh hutan kecil yang berada di luar tembok kota raja. Gadis
yang usia-nya sekitar dua puluh tiga tahun itu ang-gun dan cantik jelita. Pakaiannya indah dan
rambutnya digelung tinggi dan dihias tiara kecil. Melihat pakaiannya pantasnya ia seorang
puteri bangsawan yang kaya raya. Namun sungguh aneh, ia berada seorang diri di tempat
sunyi itu, bahkan lebih aneh lagi, ia duduk termenung dengan air mata mengalir menuruni
kedua pipinya. Kalau orang mengetahui sikap gadis itu, dia tentu dan semakin terheran--heran. Gadis itu
adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang ketika itu disebut Sang Puteri atau Nona Dewi. Oleh
semua anggauta Pao-beng-pai dan bahkan di dunia kang-ouw, ia dikenal sebagai puteri ketua
Pao-beng-pai Siangkoan Kok, dan nama gadis itu adalah Siangkoan Eng atau biasa dipanggil
ayah ibunya Eng Eng saja.
Akan tetapi, telah terjadi peristiwa hebat yang mendatangkan perubahan besar dan yang
membuat Eng Eng kini duduk termenung di bawah pohon itu sambil mencucurkan air mata!
Padahal, dahulu sebagai puteri ketua Pao-beng--pai ia dikenal sebagai seorang wanita perkasa
yang dingin dan keras, belum pernah menangis! Kalau orang yang per-nah mengenalnya
melihat ia kini duduk menangis, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran bukan main.
Bagaimana ia tidak akan menangis" Setabah-tabahnya, sekeras-keras hatinya, saat itu Eng
Eng dilanda perasaan yang hancur lebur. Ia berduka, kecewa, penuh penasaran dan dendam.
Karena mem-bebaskan Yo Han dan Cia Sun, ia hampir dibunuh ayahnya. Kemudian ayahnya
me-nyakiti hati ibunya dengan memaksa Tio Sui Lan, murid ayahnya dan sahabat baik-nya,
menjadi isteri pengganti ibunya. Sui Lan diperkosa ayahnya tanpa ia dan ibu-nya dapat
berbuat sesuatu! Dan setelah ia terluka parah oleh pukulan ayahnya, ter-jadi hal yang lebih
hebat lagi, yaitu ibu-nya membuka rahasia bahwa ayahnya itu, Siangkoan Kok, sebetulnya
hanyalah ayah tirinya! Dan ketika ia bertanya ke-pada ibunya, siapa ayah kandungnya, ibunya
marah-marah dan mengatakan bahwa ibunya itu amat membenci ayah kandungnya. Semua
peristiwa itu mem-buat ia merasa sedih bukan main. Orang yang selama ini dianggap ayahnya
sen-diri, ternyata orang lain dan amat kejam terhadap ibunya dan terhadap dirinya sendiri.
Kemudian, ibunya malah amat membenci ayah kandungnya dan tidak mau memberitahukan
siapa nama ayah kandungnya, masih hidup ataukah sudah mati. Semua ini menghancurkan
hatinya dan ia pun malam itu juga melarikan diri dari rumah, meninggalkan Pao-beng-pai dan
bersembunyi di sebuah gua yang banyak terdapat di Ban-kwi-kok. Di Lem-bah Selaksa Setan
ini terdapat gua-gua besar yang ditakuti orang, yang menurut tahyul dijadikan tempat tinggal
para setan dan iblis. Karena itu, jangankan rakyat biasa, bahkan para anggauta Ban-kwi-kok
sendiri jarang ada yang berani datang, apalagi bermalam di gua-gua itu.
Dalam kedukaannya, Eng Eng tidak mengenal takut. Ia bersembunyi di se-buah gua dan
setiap hari dan malam ia hanya duduk bersamadhi, menghimpun tenaga sakti untuk mengobati
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
200 luka yang diderita akibat pukulan ayah tirinya! Ayah tirinya amat jahat, hampir
mem-bunuhnya, memperkosa Sui Lan, dan me-nurut ibunya, ayah kandungnya juga amat
jahat sehingga dibenci ibunya. Dunia seperti hancur rasanya bagi Eng Eng.
Pada keesokan hatinya, selagi bersamadhi, ia mendengar suara ribut-ribut. Agaknya terjadi
pertempuran di Ban--kwi-kok! Kalau saja ia tidak terluka, dan kalau saja ia belum bentrok
dengan ayah tirinya, tentu ia akan membela Pao-beng--pai dengan taruhan nyawa. Akan
tetapi, sekali ini ia diam saja, tidak bergerak dan tetap duduk bersila. Ia masih belum pulih,
kalau ia bertempur melawan mu-suh yang agak tangguh saja, ia akan celaka. Selain itu, ia
tidak sudi mem-bantu ayah tirinya lagi. Bahkan hatinya condong untuk menentang dan
melawan! Kalau saja ia tidak ingat betapa sejak kecil ia dididik dan digembleng oleh ayah
tirinya yang ia tahu sayang kepadanya, tentu sekarang ia sudah menganggap ayah tiri itu
musuhnya! Karena perasaan itu, ia pun diam saja dan tidak keluar dari dalam gua.Akan tetapi
setelah pertempuran itu berhenti, baru ia teringat akan ibunya! Betapapun ia marah kepada
ibunya yang mengatakan membenci ayah kandungnya, tetap saja kini ia mengkhawatirkan
ibu-nya. Ayah kandungnya sakti, juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga
mereka akan mampu membela diri dengan baik. Akan tetapi, ia tidak tahu siapa yang
melakukan penyerbuan ke Pao-beng-pai dan ia harus melihat bagaimana keadaan ibunya, agar
hatinya lega. Karena keadaan amat sunyi, ia pun keluar dari dalam gua dan pergi ke sa-rang Pao-beng-pai.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat para anggauta Pao-beng-pai banyak yang tewas,
sisanya entah lari ke mana. Yang lebih mengejut-kan hatinya lagi adalah ketika ia
me-nemukan mayat ibunya dan mayat Sui Lan! Ia menubruk dan menangisi mayat ibunya.
Ketika dua orang anggauta Pao--beng-pai yang melihat munculnya nona mereka keluar dari
tempat persembunyi-an mereka, Eng Eng bertanya apa yang telah terjadi.
Dua orang anggauta Pao-beng-pai lalu bercerita bahwa pasukan pemerintah datang menyerbu
Pao-beng-pai. Tanpa bertanya lagi Eng Eng dengan sendirinya menganggap bahwa Sui Lan
dan ibunya tewas di tangan para penyerbu!
"Dan di mana Pangcu (Ketua)?" Ia tidak mau menyebut ayah.
"Kami tidak tahu, Nona. Melihat bah-wa tidak ada jenazah Pangcu di sini, tentu beliau telah
berhasil menyelamatkan diri."
"Bagaimana pasukan pemerintah mam-pu naik ke tempat ini melalui semua jebakan
rahasia?" tanyanya penasaran.
"Kami melihat bayangan Cia Ceng Sun yang pernah menjadi tawanan di sini, Nona. Tentu
dia yang menjadi penunjuk jalan."
Eng Eng terkejut, bangkit berdiri dan dengan muka pucat ia mengepal tinju, hatinya berteriak
memaki Cia Sun. Tahu-lah ia. Tentu pangeran Mancu itu yang telah membawa pasukan
datang menyerbu! Pangeran itu tentu dahulu datang sebagai mata-mata. Laki-laki berhati
palsu! Ke-lak aku akan membuat perhitungan de-nganmu, geramnya dalam hati. Dibantu dua
orang anggauta Pao-beng-pai itu, Eng Eng lalu mengubur jenazah ibunya dan Sui Lan, di
lereng sebuah bukit yang bersih.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
201 Demikianlah, kini ia berada di luar kota raja, bersembunyi di hutan itu dan menangis. Ia
bukan seorang wanita ce-ngeng yang menangisi kematian ibunya berulang kali. Sudah cukup
ia menangisi di depan jenazah dan di depan makam sederhana ibunya. Kini ia mencucurkan
air mata bukan karena teringat kematian ibunya. Ia menangis karena teringat akan Cia Sun! Ia
akan mencari, menangkap dan menyiksa, membunuh Cia Sun! Akan tetapi, sukar
membayangkan bagai-mana ia akan dapat melakukan itu. Ia amat mencinta pangeran itu!
Mengenang-kan sikap manis dan mesra pangeran itu, bagaimana mungkin tangan ini akan
mam-pu melukainya, menyakitinya, apalagi membunuhnya" Inilah yang membuat ia
bercucuran air mata menangis!
Senja datang dan suasana semakin sepi. Eng Eng mengepal kedua tangan-nya. "Ceng-eng!
Lemah!" Ia memaki diri sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah musuh besar. Dialah yang
menyebabkan Pao-beng-pai runtuh dan terbasmi, bahkan dia pula yang menyebabkan ibuku
tewas! Aku bukan membalas dendam untuk Pao-beng-pai, bukan pula membalas dendam
untuk Siangkoan Kok, melainkan ia harus membalas dendamnya atas ke-matian Sui Lan dan
ibunya, terutama ibunya. Pangeran Cia Sun harus membayar lunas hutangnya!
Setelah menghapus air mata dan me-ngeraskan hatinya, Eng Eng memasuki pintu gerbang
kota raja sebelah selatan. Karena Ia kelihatan seperti seorang gadis bangsawan atau hartawan,
tidak mem-bawa senjata karena senjata istimewa-nya, yaitu sebatang hud-tim (kebutan)
terselip di phiggang, di balik baju, maka para penjaga di pintu gerbang hanya me-mandang
kagum, tidak mengganggunya.
Malam itu gelap. Udara mendung. Gelap dan dingin karena angin malam meniupkan hawa
yang lembab. Karena gelap dan dingin, orang-orang lebih suka tinggal di dalam rumah yang
lebih ha-ngat dibandingkan hawa di luar. Apalagi di rumah kaum bangsawan dan hartawan, di
mana terdapat perapian yang men-datangkan hawa hangat. Kalau tidak mempunyai keperluan
yang penting se-kali, tidak ada yang mau meninggalkan rumah. Jalan-jalan raya juga sepi dari
lalu lintas.Kesepian itu membantu Eng Eng yang sudah mengenakan pakaian serba hitam.
Rambutnya digelung dan diikat ke bela-kang, tidak disanggul rapi seperti biasa, juga tidak
dihias tiara. Pakaiannya yang serba hitam dan ringkas itu membuat gerakannya yang cepat
sukar diikuti pan-dang mata. Senjata kebutan berbulu me-rah dan bergagang emas terselip di
pinggang depan, dengan bulunya digulung rapi, sedangkan pedang beronce merah tergantung
di punggung. Sekuntum jarum hitam juga tergantung di pinggang. Eng Eng kini membekali
diri dengan senjata lengkap karena ia hendak menangkap Pangeran Cia Sun di rumah gedung
ke-luarga pangeran itu. Sore tadi setelah memasuki kota raja, ia telah melakukan penyelidikan
dan tidak sukar untuk men-dapat keterangan tentang rumah tinggal Pangeran Cia Sun. Sebuah
gedung besar dan megah berdiri di sudut kanan kota raja. Itulah tempat tinggal Pangeran Cia
Sun dengan keluarga ayahnya, yaitu Pa-ngeran Cia Yan seorang di antara putera--putera
Kaisar Kian Liong (1736 - 1796).
Seperti kita ketahui, biarpun secara resmi Pangeran Cia Yan adalah anak angkat Kaisar Kian
Liong, yaitu seorang keponakan yang diangkat menjadi putera, namun sesungguhnya,
Pangeran Cia Yan adalah putera kaisar itu sendiri, hasil hubungan gelapnya dengan kakak
iparnya. Karena itu, biarpun resminya pangeran akuan, atau anak angkat, namun Kaisar Kian
Liong menyayangnya seperti anak sendiri. Pangeran Cia Yan tidak dapat diangkat menjadi
putera mahkota, namun dia merupakan seorang di antara para pangeran yang disayang kaisar.
Malam itu, di sekitar gedung milik Pangeran Cia Yan juga sunyi. Karena dia sendiri tidak
memegang jabatan penting, juga tidak merasa mempunyai musuh, maka gedung tempat
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
202 tinggal keluarga Pangeran Cia Yan ini tidaklah dijaga ketat seperti tempat kediaman para
pangeran lainnya. Hanya ada enam orang yang berjaga malam dan melakukan pe-rondaan di
sekitar gedung besar itu un-tuk menjaga keamanan.
Tentu saja amat mudah bagi Eng Eng untuk menyusup masuk dengan melompati pagar
tembok tanpa diketahui para pen-jaga. Ia melompat pagar tembok bela-kang dan masuk ke
taman bunga yang terpelihara rapi. Sambil menyelinap di antara pohon dan semak bunga, ia
menghampiri bangunan besar dan beberapa menit kemudian, ia sudah dapat meloncat ke atas
genteng dan melakukan pengintalan dari atas. Lampu-lampu di luar genteng sudah banyak
yang dipadamkan sehingga gerakan Eng Eng tidak dapat terlihat ketika ia berkelebatan di atas
genteng. Dengan cara mengintai dari atas, akhirnya ia mendengar percakapan di bawah yang
dilakukan dengan suara keras. Jantungnya berdebar tegang ketika ia mendengar suara
Pangeran Cia Sun! Suara yang lembut namun kuat.
"Ayah dan Ibu, sekali lagi saya mo-hon maaf, bukan sekali-kali saya ingin membantah dan
tidak menaati perintah Ayah dan Ibu. Bukan sekali-kali saya menolak karena menganggap
pilihan Ayah dan Ibu kurang baik untuk saya. Sama sekali tidak! Saya telah mendengar
ten-tang Si Bangau Merah, mendengar bahwa ia seorang pendekar wanita yang
ber-kepandaian tinggi, berwatak gagah per-kasa dan berbudi baik, juga ia cantik jelita,
keturunan keluarga pendekar sakti yang terkenal."
"Nah, mau apa lagi?" Engkau sendiri bilang, ia keturunan pendekar besar, ia gagah perkasa,
berbudi baik dan cantik jelita. Apakah semua itu belum memenuhi syarat bagimu untuk
menjadi isterimu?" terdengar suara Pangeran Cia Yan, ayah pemuda itu, membentak.
"Benar sekali kata Ayahmu, anakku. Selain gadis itu amat baik bagimu, juga kami telah
mengikat janji dengan orang tuanya, yaitu Pendekar Bangau Putih dan isterinya. Masih
kurang apakah Si Bangau Merah itu, anakku?"
Kalau tadinya Eng Eng yang men-dengar semua itu sudah merasa gemas dan ingin segera
menangkap orang yang menyebabkan kehancuran Pao-beng-pai dan terutama kematian
ibunya, kini men-dengar apa yang dipercakapkan, dia ter-tarik sekali dan ingin ia mendengar
apa yang akan dikatakan pangeran itu ten-tang ikatan jodoh. Ia sendiri tentu saja tadinya
mencinta pangeran itu dan meng-harapkan menjadi isterinya, dan tentu ia akan marah sekali
kalau mendengar pa-ngeran itu akan menikah dengan orang lain. Akan tetapi sekarang
keadaannya sudah berbeda. Ia tidak mungkin menjadi isteri Cia Sun, dan tidak semestinya
mencintanya, bahkan sepatutnya membencinya karena pria yang tadinya men-jadi kekasihnya
itu sekarang telah men-jadi musuh besarnya. Biarpun ia tidak peduli lagi apakah pangeran itu


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menikah dengan gadis lain ataukah tidak, tetap saja ia tidak dapat membohongi hatinya
sendiri. Ia ingin sekali mengeta-hui apa jawaban pangeran itu dan bagai-mana isi hatinya!
Maka, ia pun men-dengarkan dengan jantung berdebar te-gang.
"Sebagai seorang gadis, memang harus saya akui bahwa Si Bangau Merah itu baik dan tidak
ada kekurangannya, Ayah dan Ibu. Akan tetapi untuk menjadi is-teriku, ia memiliki
kekurangan besar sekali artinya, yaitu ia tidak memiliki cinta! Saya tidak mencintanya dan ia
pun tidak mencintaku. Dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta!"
Eng Eng merasa betapa kedua kakinya gemetar dan ia mengerahkan tenaga untuk
melawannya karena ia tidak ingin gerakan tubuhnya terdengar orang. Ucap-an pangeran itu
terasa begitu nyaman di hatinya, seolah-olah hatinya dibelai oleh tangan yang lembut. Dia
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
203 musuh besarku, aku benci dia, demikian dengan pengerah-an tenaga Eng Eng melawan
perasaan hatinya sendiri dan mendengarkan terus.
"Omong kosong!" kata sang ayah. "Kalau kalian sudah saling bertemu dan saling bergaul,
cinta itu akan datang dengan sendirinya. Ia cantik dan engkau tampan, kalian sama-sama suka
ilmu silat, kalau kalian saling bergaul, pasti kalian akan saling jatuh cinta."
"Itu mungkin saja kalau saya belum jatuh cinta kepada orang lain, Ayah. Akan tetapi saya
telah mencinta seorang gadis lain, dan saya hanya mau menikah de-ngan gadis yang saya
cinta itu." Kini kedua kaki Eng Eng menggigil dan hampir saja ia tak mampu bertahan lagi. Ia
memejamkan mata, menahan napas dan dengan susah payah baru ber-hasil mengauasai
jantungnya yang me-lonjak-lonjak mendengar pengakuan itu. "Dia musuhku, aku benci
padanya, dia musuhku!" demikian berulang-ulang ia melawan gejolak hatinya sendiri, dan ia
mendengarkan terus. "Kalau engkau jatuh cinta kepada gadis lain, hal itu pun tidak menjadi persoalan. Engkau
menikah dengan Si Bangau Merah, dan gadis yang kaucinta itu menjadi selirmu.... " kata sang
ibu. "Maaf, Ibu. Saya tidak mau mem-punyai selir!"
"Hemmm, apa salahnya dengan itu?" bantah ayahnya. "Engkau seorang pange-ran, sudah
sepatutnya mempunyai selir. Semua pangeran di sini mempunyai selir, tidak hanya seorang
malah." "Akan tetapi saya tidak, Ayah. Saya hanya mencinta gadis itu, dan saya tidak mau menikah
dengan wanita lain." Pa-ngeran itu berkeras.
"Aihhh, engkau keras kepala, Cia Sun. Siapa sih gadis yang telah menjatuhkan hatimu seperti
ini" Siapa namanya?" tanya sang ibu.
Di atas genteng, di luar kehendaknya sendiri, Eng Eng menerawang dan mata-nya setengah
terpejam, mulutnya ter-senyum simpul, hatinya senang sekali. Semua ucapan pangeran itu
terdengar olehnya bagaikan sebuah lagu yang amat merdu. Dan ia mendengarkan terus, siap
untuk memperkembangkan senyumnya mendengar ibu pangeran itu menanyakan namanya!
"Ibu, gadis yang saya cinta itu, yang saya pilih untuk menjadi calon isteri saya, ia she
(bermarga) Sim dan namanya Hui Eng...."
Terdengar gerakan di atas genting, Cia Sun mendengar suara itu akan tetapi dia mengira itu
suara kucing. Ketika mendengar disebutnya nama itu, seketika wajah yang tadinya tersenyum
itu men-jadi pucat, senyumnya berubah menjadi ternganga, matanya terbelalak. Kemudian
wajah yang pucat itu berubah kemerah-an dan kedua tangannya dikepal.
"Jahanam keparat kau!" bentaknya di dalam hatinya dan kini kebenciannya ter-hadap Cia
Sun memuncak. "Engkau mem-bohongi aku, engkau merayu dan menipu-ku!" Sekarang ia
mengerti. Cia Sun telah menyelundup ke dalam Pao-beng-pai, untuk menyelidiki keadaan
perkumpulan, itu, dan ketika orang mulai mencurigai-nya, dengan ketampanan dan kehalusan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
204 budinya, pangeran itu merayunya dan menjatuhkan hatinya. Semua itu palsu! Semua itu
hanya untuk berhasil dalam tugasnya sebagai mata-mata. Pangeran itu telah mempunyai
seorang kekasih yang akan dijadikan isterinya. Namanya Sim Hui Eng! Keparat! pan dia
masih berani berpura-pura meminangku!
"Jahnam kau!" Eng Eng tidak dapat menahan lagi kemarahannya dan beberapa kali loncatan
membuat ia berada di luar jendela ruangan di mana pangeran dan ayah ibunya bercakap-
cakap. Ia mengerah-kan tenaga dan menerjang daun jendela."Brakkk....!" Daun jendela pecah
be-rantakan dan Eng Eng sudah berdiri di depan pangeran itu yang terbelalak memandang
kepadanya. "Kau....!" seru Cia Sun, akan tetapi pada saat itu, dari jarak dekat, selagi pangeran itu
tertegun karena sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dalam keadaan seperti itu
dengan kekasih-nya. Eng Eng menggerakkan tangan kiri-nya dan dua batang jarum hitam
menyambar cepat, mengenai kedua pundak Cia Sun.
"Ahhhhh....!" Pemuda itu mengeluh dan roboh terpelanting. Sebelum tubuh-nya terbanting,
dengan cepat Eng Eng sudah menggerakkan tubuhnya, lengan kirinya mengempit tubuh Cia
Sun yang terkulai lemas dan sekali meloncat, dia sudah keluar dari rongga jendela yang
berlubang. Suami isteri yang tadinya terbelalak itu, baru sempat berteriak-teriak melihat betapa putera
mereka diculik seorang wanita yang cantik dan berpakaian serba hitam.
"Tolong....! Pangeran diculik....!" teriak isteri Pangeran Cia Yan.
"Tangkap penculik! Tangkap penjahat!" Pangeran Cia Yan juga berteriak-teriak. Suami isteri
itu mencoba untuk mengejar lewat pintu.
Akan tetapi, dua orang penjaga yang mencoba untuk menghalangi bayangan hitam yang
mengempit tubuh Pangeran Cia Sun, roboh oleh tendangan Eng Eng dan gadis itu pun
menghilang dalam ke-gelapan malam.
Karena malam itu sunyi, gelap dan dingin, maka tidak sukar bagi Eng Ehg untuk melarikan
Cia Sun dari rumahnya. Sejenak pemuda itu sendiri tertegun dan bingung. Kedua pundaknya
terasa panas sekali dan tubuhnya lemas. Akan tetapi dia menahan rasa nyeri itu dan setelah
gadis itu tidak berlari lagi, dia berkata dengan heran.
"Bukankah engkau Eng-moi" Eng-moi, kenapa kaulakukan ini kepadaku?"
Eng Eng diam saja, tidak menjawab, ia sedang memikirkan bagaimana dapat membawa
pangeran ini keluar dari kota raja. Sebentar lagi, kota raja tentu akan penuh dengan pasukan
yang melakukan pengejaran dan pencarian. Untuk keluar begitu saja dari pintu gerbang
sambil mengempit tubuh Pangeran Cia-Sun, tentu menimbulkan kecurigaan dan ia akan
segera dikepung perajurit. Semen-tara itu, Pangeran Cia Sun berpkir, apa yang membuat
orang yang dicintainya dan yang dia tahu juga mencintanya kini bersikap seperti ini, bahkan
tega untuk melukainya dan menculiknya. Dan dia pun teringat. Ketika terjadi penyerbuan ke
Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah, dia pun nampak di antara para penyerbu. Tentu Eng
Eng mengira bahwa dia yang membawa pasukan itu melakukan penyer-buan.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
205 "Eng-moi, engkau hendak membalas dendam atas penyerbuan ke Pao-beng--pai" Eng-moi,
bukan.... bukan aku yang melakukan. Engkau salah duga. Mari kita bicara baik-baik dan
kaudengarkan semua keteranganku."
Mendengar ucapan ini, Eng Eng men-dapatkan akal untuk dapat membawa keluar pangeran
ini dari kota raja tanpakesulitan. Ia harus dapat membawa pa-ngeran inikeluar. Ia akan
menyiksanya, memaksanya mengakui dosanya dan ia akan membunuh pangeran ini di depan
makam ibunya!"Aku memang ingin bicara denganmu, di luar kota raja. Kalau engkau
mem-bawaku keluar dari pintu gerbang, aku mau bicara denganmu di sana. Kalau tidak, aku
akan membunuhmu di sini juga tanpa banyak cakap lagi."
Cia Sun bergidik. Dia tidak takut mati. Biarpun dia seorang pangeran, na-mun dia berjiwa
pendekar dan kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya. Yang membuat dia merasa
ngeri adalah sikap dan suara gadis yang dicintanya itu. Segitu tidak wajar, begitu dingin dan
penuh ancaman maut! Dia dapat men-duga bahwa gadis itu tentu sedang di-bakar api dendam
dan kebencian. "Baiklah, Eng-moi. Bebaskan totokan-mu dan hentikan kenyerian ini agar tidak ada orang
curiga. Aku akan mencari dua ekor kuda untuk kita."
"Jangan mengira engkau akan dapat lari dariku, sebelum kau lari, aku akan membunuhnya!"
kata Eng Eng, kemudian dia memberi sebuah pil merah untuk ditelan oleh Cia Sun setelah ia
mem-bebaskan totokannya. Setelah menelan pil itu, Cia Sun tidak begitu menderita lagi.
Kebetulan ada serombongan penjaga keamanan kota terdiri dari enam orang menunggang
kuda datang dari depan. Cia Sun cepat memberi isyarat kepada rom-bongan berkuda. Ketika
mereka telah dekat dan melihat siapa yang menahan mereka, enam orang itu terkejut, turun
dari atas kuda dan memberi hormat ke-pada Pangeran Cia Sun.
"Kami membutuhkan dua ekor kuda, berikan dua ekor yang terbaik," kata pangeran itu.
Enam orang itu tergopoh memilihkan dua ekor kuda dan Cia Sun segera mengajak Eng Eng
untuk menung-gang kuda dan segera melarikan kuda ke pintu gerbang selatan seperti
dikehendaki Eng Eng. Sejam kemudian, kota raja geger karena Pangeran Cia Yan minta bantuan pasukan keamanan
untuk menangkap pen-culik yang melarikan Pangeran Cia Sun. Terjadilah geger dan
kekacauan, apalagi ketika ada perajurit yang melapor bahwa Pangeran Cia Sun tidak diculik,
melain-kan pergi dengan suka rela bersama se-orang yang berpakaian hitam, bahkan pangeran
itu sendiri yang minta dua ekor kuda kepada rombongan perajurit dan menunggang kuda
keluar dari pintu ger-bang selatan. Tentu saja berita ini mem-buat para perwira yang
memimpin pe-ngejaran itu menjadi bingung dan ragu. Bagaimana kalau Pangeran Cia Sun
tidak diculik melainkan pergi dengan suka re-la" Tentu pangeran itu akan marah ka-lau
pasukan melakukan pengejaran. Kare-na kebingungan inilah maka pengejaran dilakukan
setengah hati, dan andaikata mereka dapat bertemu Pangeran Cia Sun, tentu mereka tidak
akan berani lancang menangkap gadis berpakaian hitam se-perti diperintahkan Pangeran Cia
Yan. Mereka tentu akan melihat bagaimana sikap Pangeran Muda Cia Sun.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
206 Karena memang sudah merencanakan lebih dahulu, tanpa ragu-ragu Eng Eng mengajak
pangeran itu memasuki hutan kecil di mana tadi ia menangis, dan mereka lalu turun dari atas
kuda, me-nambatkan kuda dan membiarkan dua ekor kuda itu makan rumput. Karena
tubuhnya masih terasa sakit akibat tu-sukan dua batang jarum di pundaknya, jarum-jarum
hitam yang mengandung racun, Cia Sun lalu menjatuhkan diri di atas rumput, memandang
kepada gadis itu yang berdiri memandangnya dengan sinar mata yang bernyala-nyala.
Biarpun tempat itu gelap, namun Cia Sun seolah--olah dapat melihat sepasang mata yang
memandang marah itu. Malam masih amat dingin, akan te-tapi mendung telah tersapu angin dan langit kini nampak
bersih dengan sinar bulan sepotong sehingga mereka dapat saling melihat, walaupun hanya
remang--remang."Nah, katakanlah. Eng-moi, apa arti-nya semua ini" Benarkah dugaanku tadi
bahwa engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin pasukan menyerbu Pao-
beng-pai?" Sejak tadi Eng Eng menahan ke-marahannya terutama kemarahan karena mendengar
percakapan antara pangeran itu dan orang tuanya tadi. Kini, kemarah-annya meledak!
"Engkau manusia paling busuk di dunia! Engkau manusia palsu, jahanam keparat yang
berbudi rendah!" "Silakan memaki dan mencaci, bahkan engkau boleh saja membunuhku, Eng--moi, akan
tetapi, setidaknya jelaskan dulu mengapa engkau begini marah kepadaku, agar andaikata
engkau membunuhku, aku tidak akan mati penasaran.
"Huh, tidak perlu engkau merayuku lagi dengan omonganmu yang seperti madu berbisa!
Engkaulah yang membuat banyak orang mati penasaran, termasuk ibuku dan Tio Sui Lan!
Engkau menyamar, menyelundup ke Pao-beng-pai untuk me-mata-matai Pao-beng-pai.
Engkau bahkan merayuku sehingga aku terbujuk dan membebaskanmu, mengkhianati Pao-
beng--pai sendiri. Ternyata engkau hanya palsu, engkau mempermainkan aku, engkau
me-mimpin pasukan membasmi Pao-beng--pai, membunuhi keluargaku! Engkau sung-guh
keji, kejam dan curang!" Suara Eng Eng terkandung isak tangis.
"Hemmm, kalau begitu tepat dugaan-ku. Engkau marah kepadaku karena me-ngira aku yang
memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai. Semua itu tidak benar, Eng-moi! Aku tidak
memimpin pasukan itu! Baru sebentar aku pergi, bagaimana aku dapat mengumpulkan
pa-sukan besar untuk menyerbu Pao-beng--pai" Tidak, aku tidak mengerahkan pasu-kan itu.
Aku mendengar bahwa ada pasukan yang pergi menyerbu Pao-beng--pai, karena tempatnya
sudah diketahui. Ketika Pao-beng-pai mengadakan per-temuan itu, di antara para tamu
ter-dapat orang-orang yang menentang dan merekalah yang memberi laporan kepada
pemerintah. Panglima Ciong yang me-mimpin pasukan itu menyerbu, dan aku menyusul cepat
untuk menyelamatkan engkau dan ibumu."
"Omong kosong! Rayuan gombal! Si-apa dapat percaya" Kalau bukan engkau yang menjadi
penunjuk jalan, bagaimana mungkin pasukan dapat naik ke Lembah Selaksa Setan, dapat
melampaui semua jebakan dan membasmi Pao-beng-pai" Tidak perlu engkau mencoba untuk
mem-bohongi aku lagi!" Saking marahnya, tu-buh Eng Eng bergerak, tangannya me-nyambar
ke arah dada Cia Sun. "Bukkk!" Pukulan tangan terbuka itu keras sekali dan tubuh Cia Sun terjeng-kang dan
terguling-guling. Eng Eng me-ngejar dan kembali tangannya menampar ke arah kepala orang
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
207 yang sudah rebah di atas tanah itu. Akan tetapi tangan itu tertahan di udara, tidak jadi
memukul. Cia Sun terbatuk-batuk, dadanya te-rasa sesak. Akan tetapi dia masih ter-senyum ketika
mengangkat kepala memandang. "Kenapa tidak kaulanjutkan, Eng-moi" Pukullah, hajar dan
siksalah aku, bunuhlah kalau hal itu akan dapat meredakan kemarahanmu."
"Kenapa.... kenapa engkau tidak me-lawan" Tidak mengelak atau menangkis" bentaknya.
"Untuk apa" Aku rela mati di tanganmu kalau engkau menghendaki itu, Eng-moi. Hanya
kuminta, sebelum engkau mem-bunuhku, dengarlah dulu keteranganku...."
"Huh, keterangan bohong! Penuh tipu-an!"
"Andaikata benar aku berbohong se-kalipun, kumohon padamu, dengarlah ke-bohonganku
sebelum engkau membunuhku. Setelah aku memberi keterangan, nah, engkau boleh percaya
atau tidak, boleh membunuhku atau tidak, terserah."
"Bohong! Kau penipu! Ah, untuk ke-bohongan itu saja, aku dapat membunuh-mu seratus
kali!" Dan kini Eng Eng me-nampar lagi, menendang dan menampar lagi sampai Cia Sun
terguling-guling dan tidak mampu bergerak lagi. Pingsan! Ke-tika Eng Eng hendak memberi
pukulan terakhir, ia teringat akan niat semula, yaitu membunuh pemuda itu di depan makam
ibunya, maka ia pun menahan diri."Biar kubersabar sampai besok. Engkau akan mampus di
depan makam ibuku, bedebah!" katanya dan ia pun duduk dibawah pohon, bersamadhi. Akan
tetapi, samadhinya tidak pernah berhasil. Ia bahkan gelisah dan beberapa kali men-dekati Cia
Sun, untuk mendapat kepasti-an bahwa pemuda itu belum tewas.
Malam terganti pagi. Pagi yang amat indah. Sinar matahari pagi agaknya me-ngusir semua
kegelapan, kegelapah alam yang berpengaruh terhadap keadaan hati. Sinar matahari
mendatangkan kehidupan. Burung-burung berkicauan dan sibuk mempersiapkan diri untuk
bekerja. Ayam jantan berkeruyuk saling saut. Semua nampak cerah gembira, bahkan daun--
daun nampak berseri. Seluruh mahluk seolah-olah menyambut munculnya sinar kehidupan
dengan puja-puji kepada Yang Maha Kasih. Sang Maha Pencipta, me-lalui suara, melalui
keharuman, melalui keindahan. Keharuman rumput dan tanah basah, daun dan bunga,
keharuman udara itu sendiri.
Eng Eng juga terpengaruh oleh semua keindahan itu. Hatinya terasa ringan dan perasaan
marahnya tidak terasa lagi olehnya. Namun, ketika ia menengok ke arah Pangeran Cia Sun, ia
teringat se-galanya dan ia pun bangkit menghampiri.
Cia Sun sudah siuman, namun seluruh tubuhnya terasa nyeri. Melihat gadis itu menghampiri,
dia pun bangkit duduk, memandang kepada gadis itu dengan se-nyum sedih! Senyum itu
seperti pisau menusuk kalbu bagi Eng Eng.
"Eng-moi, kenapa kepalang tanggung" Kenapa engkau tidak membunuh aku semalam?"
tanya Cia Sun. Eng Eng hampir tidak percaya. Pe-muda bangsawan ini masih bersikap de-mikian manis
kepadanya. Bukan, bukan sikap yang terdorong rasa takut, melain-kan sikap yang demikian
wajar. Masih tersenyum, dan pandang mata kepadanya itu demikian lembut dan mesra, jelas
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
208 nampak sinar kasih sayang di dalamnya. Padahal, ia sudah menyiksanya sampai pingsan,
nyaris membunuhnya! "Aku akan membunuhmu di depan makam ibuku!" katanya singkat.
"Eng-moi, arwah ibumu akan berduka kalau engkau melakukan itu. Aku bukan pembunuh
ibumu, aku bahkan berusaha berusaha menyelamatkannya, dan ia me-ninggal dunia di dalam
rangkulanku " "Bohong!!" "Eng-moi, untuk apa aku berbohong" Aku tidak takut mati, bahkan aku tidak akan penasaran
mati di tanganmu. Aku hanya tidak ingin melihat engkau salah tindakan dan menyesal di
kemudian hari, aku hanya ingin agar engkau mengetahui dengan betul siapa sebenarnya
dirimu. Aku telah mengetahui rahasia besar me-ngenai dirimu, Eng-moi, dan aku akan
menceritakan semua, kalau engkau bersedia mendengarkan. Memang semua akan kedengaran
amat aneh bagimu, dan mung-kin engkau akan menganggap aku ber-bohong, akan tetapi demi
Tuhan, aku tidak berbohong."
Agaknya sinar matahari memang ber-pengaruh besar terhadap hati manusia, setidaknya
terhadap Bng Eng. Gadis itu merasa agak tenang dan ia dapat melihat kenyataan bahwa tidak
ada ruginya men-dengarkan apa yang akan diceritakan oleh pemuda itu. Bohong atau tidak,
pemuda itu memang berhak untuk mem-bela diri. Dan melihat wajah yang tam-pan dan yang
tadinya amat disayangnya itu agak bengkak-bengkak oleh tamparan-nya semalam, timbul juga
perasaan iba di dalam hatinya.
"Bicaralah, aku tetap tidak akan per-caya padamu." katanya dengan sikap ketus
yangdipaksakan. Ia bahkan tidak menatap langsung wajah yang bengkak--bengkak itu, karena
ia merasa tidak enak, mengingatkan ia betapa ia telah bertindak kejam terhadap satu-satunya
pria di dunia ini yang dicintanya.Lega rasa hati Cia Sun. Dia sama sekali tidak akan menyesal
kalau dia dibunuh wanita yang dicintanya ini, ha-nya dia akan merasa menyesal karena
perbuatan itu merupakan suatu perbuatan yang berdosa bagi Eng Eng. Dia tidak ingin melihat
kekasihnya ini menjadi seorang yang jahat.
"Eng-moi, setelah engkau membebas-kan aku, aku lalu cepat pulang ke kota raja. Akan
tetapi, setelah tiba di sana, aku mendengar bahwa Panglima Ciong memimpin pasukan untuk


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerbu Pao-beng-pai. Aku terkejut dan cepat aku kembali lagi ke sana untuk menyusul
pasukan itu karena aku mengkhawatirkan keselamatanmu dan keselamatan ibumu. Namun
aku terlambat. Setelah tiba di Ban-kwi-kok, pasukan telah menyerbu ke perkampungan Pao-
beng-pai...." "Tanpa penunjuk jalan, tidak mungkin pasukan akan mudah memasuki daerah Pao-beng-pai
yang dipasangi banyak je-bakan rahasia!" Eng Eng memotong dan kini sepasang matanya
mengamati wajah pemuda itu penuh selidik dan hatinya menuduh bahwa tentu pemuda itu
yang menjadi penunjuk jalan.
"Dugaanmu memang benar, Eng-moi. Hal ini pun kuketahui kemudian dari para perwira
yang memimpin penyerbuan itu. Ada memang penunjuk jalan yang memungkinkan pasukan
itu dapat menyerbu dengan mudah...."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
209 "Engkaulah penunjuk jalan itu!" bentak Eng Eng.
Cia Sun tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Bukan, Eng-moi, bukan aku. Penunjuk jalan
itu adalah seorang gadis, murid Pao-beng-pai sendiri, bernama Tio Sui Lan...."
"Bohong tidak mungkin....!" teriak Eng Eng, akan tetapi teriakan mulutnya ini tidak sesuai
dengan perasaan hatinya yang menjadi bimbang. Setelah apa yang dilakukan Siangkoan Kok
kepada Sui Lan, memaksanya menjadi isteri dan memper-kosanya, bukan hal yang tidak
mungkin kalau Sui Lan lalu berkhianat. Dan pula, Sui Lan tentu saja mengenal semua jalan
rahasia naik ke sarang Pao-beng-pai, sedangkan Cia Sun tidak akan menge-tahui banyak
tentang jebakan-jebakan itu. Kalau Sui Lan yang menjadi penunjuk jalan, tentu saja pasukan
itu akan me-nyerbu naik dengan mudah.
"Terserah kepadamu, Eng-moi, untuk percaya atau tidak. Aku hanya men-dengar keterangan
para perwira. Ketika pasukan tiba di kaki bukit dan mulai mendaki, tiba-tiba muncul gadis itu
yang kemudian menawarkan diri menjadi pe-nunjuk jalan. Ketika pasukan menyerbu,
Siangkoan Kok sedang berkelahi dengan isterinya dan ibumu sudah terdesak. Ga-dis yang
mengkhianati gurunya itu lalu menyerang Siangkoan Kok, akan tetapi dengan mudah ia roboh
Raden Banyak Sumba 2 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 6
^