Pencarian

Lembah Selaksa Bunga 3

Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


itu bertemu pandang. Ia segera menundukkan pandang matanya
dan bertanya lirih. "Mendengar apakah Bong Kongcu maksudkan?"
Tentu saja ia sudah mendengar dari Siang Lan tentang pertemuan
Hwe-thian Mo-li dengan pemuda itu. Akan tetapi ia tidak ingin
mendahului percakapan tentang urusan perjodohan itu.
146 "Siocia, aku mendengar keterangan dari Hwe-thian Mo-li bahwa
engkau sekarang berada di sini, tinggal bersamanya. Aku merasa
amat terharu dan iba melihat nasibmu kehilangan Ayahmu dan aku
mendengar dari Hwe-thian Mo-li bahwa...... bahwa sekarang
engkau...... bersedia menerima...... cintaku, dan engkau akan
setuju kalau aku meminangmu untuk menjadi isteriku. Bagaimana,
Kui Siocia benarkah apa yang kudengar dari Hwe-thian Mo-li itu?"
Setelah mendengar ucapan Bong kongcu itu, rasa sungkan dan
malu mulai meninggalkan perasaan Li Ai dan kini ia mengangkat
mukanya, memandang wajah pemuda itu penuh selidik karena ia
ingin sekali mendapat kepastian apakah benar-benar pemuda
hartawan ini mencintanya.
"Kongcu, apakah benar dan dapat kupercaya ucapanmu bahwa
engkau mencintaku?" "Aih, Siocia...... perlukah engkau tanya lagi hal ini" Sejak dulu aku
mencintamu, sudah kunyatakan berulang kali. Sampai saat ini aku
tetap mencintamu, dinda Li Ai...... aku berani bersumpah bahwa
hanya engkau yang kuinginkan menjadi isteriku. Dinda Li Ai,
engkau sih belum menjawab. Benarkah keterangan Hwe-thian Moli bahwa engkau bersedia menerima cintaku dan akan menyetujui
kalau keluargaku datang meminangmu untuk menjadi isteriku?"
Li Ai mengangguk. "Benar, akan tetapi sebelum engkau mengambil
keputusan, lebih dulu aku ingin melihat apakah cintamu itu murni,
Bong Kongcu." "Eh" Apa maksudmu?"
147 Kini dengan sinar mata tajam penuh selidik Li Ai menatap wajah
pemuda dan tanpa dihantui rasa malu dan khawatir lagi ia lalu
berkata, "Ketahuilah, Bong Kongcu, bahwa ketika aku diculik oleh
orang-orang Pek-lian-kauw, aku telah dinodai oleh dua orang
pendeta Pek-lian-kauw."
Sepasang mata pemuda itu terbelalak, seolah tidak percaya atau
tidak mengerti apa yang dimaksudkan Li Ai.
"Kau...... di...... dinodai......?" tanyanya gagap.
"Benar, Kongcu. Dua orang tosu Pek-lian-kauw telah memperkosa
aku......" "Keparat jahanam......!!" Wajah pemuda itu menjadi pucat sekali
lalu berubah merah dan dia bangkit berdiri sambil mengepal tinju
dengan marah sekali. "Tenanglah, Kongcu. Dua orang keparat jahanam itu telah dibunuh
oleh Enci...... Hwe-thian Mo-li."
"Tenang......" Bagaimana aku bisa tenang" Keperawananmu
direnggut orang-orang jahat, engkau diperkosa....., engkau bukan
perawan lagi. Ahhh......!" Pemuda itu menjatuhkan diri di atas kursi
dan tampak lemas, menundukkan muka dan menopang kepalanya
dengan kedua tangan. Li Ai hanya memandang dan keduanya berdiam diri, tenggelam ke
dalam suasana yang amat tidak mengenakkan hati. Berulangulang pemuda itu menghela napas panjang dan dari
148 kerongkonganya terdengar suara gerengan lirih seperti mengerang
atau merintih. Li Ai mulai tidak sabar melihat pemuda itu hanya berdiam diri saja
sambil mengerang dengan wajah muram. Lenyaplah semua sinar
kegembiraan yang tadi tampak pada sikap dan wajah Bong
kongcu. Maka ia lalu bertanya.
"Bagaimana sekarang, Bong Kongcu" Apakah engkau masih
mencintaku dan ingin meminangku sebagai isterimu?"
Sampai beberapa saat lamanya Bong kongcu tidak dapat
menjawab, hanya mengangkat muka menatap wajah Li Ai dengan
muka pucat dan sinar mata muram. Akhirnya dia berkata.
"Tentu, aku tetap mencintamu, Li Ai, marilah engkau ikut denganku
ke kota raja dan menjadi selirku yang tersayang......"
"Apa......" Selir......?"
Bong Kongcu menghela napas panjang. "Benar, Li Ai, menjadi
selirku. Aku tetap mencintamu, akan tetapi untuk meminangmu
menjadi isteriku...... bagaimana mungkin setelah...... setelah
engkau......" "Tidak sudi!" Li Ai berseru lalu berlari keluar dari ruangan itu
meninggalkan Bong Kongcu sambil menutupi muka dengan tangan
dan menahan suara tangisnya.
Bong Kongcu bangkit mengejar, "Li Ai......!"
149 Akan tetapi tiba-tiba Hwe-thian Mo-li muncul di pintu sehingga
pemuda itu mundur kembali.
"Orang she Bong! Engkau telah menghina adikku Kui Li Ai! Engkau
memandang rendah Adikku! Engkau bilang hendak datang
meminang ia sebagai isterimu, ternyata engkau menghinanya
dengan mengatakan hendak mengambilnya menjadi selirmu!
Engkau pemuda berengsek, sombong dan cintamu palsu! Engkau
bilang mencinta akan tetapi merendahkan dan menghinanya!"
"Nona, aku tidak berbohong, aku memang mencintanya. Akan
tetapi bagaimana mungkin ia menjadi isteriku" Ia sudah bukan
perawan lagi, hal ini tentu akan mencemarkan nama dan
kehormatanku!" "Omong kosong! Engkau tidak mencinta Li Ai, tidak mencinta
orangnya! Yang kaucinta hanya keperawanannya! Engkau
munafik, berlagak terhormat akan tetapi sebetulnya engkau rendah
dan hina. Engkau kotor berlagak bersih! Engkau menganggap Li Ai
yang kehilangan keperawanannya karena dipaksa dan diperkosa
orang sebagai hal yang kotor! Dan engkau sendiri bagaimana"
Apakah engkau berani mengatakan bahwa engkau tidak
kehilangan keperjakaanmu" Engkau menggauli wanita-wanita
dengan sadar dan kausengaja, dan engkau masih menganggap
dirimu bersih dan terhormat! Munafik berengsek!"
"Nona, engkau sungguh tidak adil! Aku sama sekali tidak
menyalahkan Li Ai karena ia diperkosa dan tidak berdaya. Akan
tetapi jelas aku tidak mungkin mengambilnya sebagai isteriku. Ah,
150 kalau saja ia tidak menceritakan tentang perkosaan itu kepadaku,
tentu ia akan kupinang sebagai isteriku......"
"Bohong! Aku mengenal laki-laki macam kamu ini! Kalau ia tidak
menceritakan dan kemudian engkau mengetahui hal itu, pasti
engkau akan menceraikannya karena ia tidak berterus terang,
engkau tentu akan mengatakan ia berbohong dan menipumu.
Engkau akan makin menghinanya! Jahanam busuk macam
engkau ini patut dihajar!"
"Hwe-thian Mo-li, engkau sungguh keterlaluan!" teriak Bong
Kongcu dengan marah. "Keterlaluan" Huh, kau manusia kotor bersembunyi di balik
hartamu. Kaukira harta dan keadaanmu yang terhormat itu dapat
menutupi kekotoranmu" Harta, kedudukan, kepandaian, hanya
pakaian saja. Kalau dikenakan orang yang memang kotor, tetap
saja tampak kekotorannya yang menjijikkan! Pergi kau, sebelum
aku kehilangan kesabaran dan kuajar engkau!"
"Hwe-thian Mo-li, aku akan mengerahkan orang-orangku untuk
menghukummu karena engkau berani menghinaku!" teriak Bong
Kongcu. "Wuut...... plak-plak......!"
"Aduhh......!! Bong Kin terhuyung ke belakang. Ke dua tangannya
menutupi ke dua pipinya yang bengkak-bengkak dan darah
mengalir dari ke dua ujung bibirnya yang pecah-pecah. Dia lalu
berlari keluar, diikuti Hwe-thian Mo-li yang marah-marah.
151 "Pergi, kau anjing Bong!" bentaknya sambil mendorong-dorong
punggung Bong Kin sehingga terhuyung-huyung menuju ke pintu
gerbang perkampungan Ban-hwa-pang.
Setelah keluar dari pintu gerbang, duabelas orang pengawal
segera menyambut dan mereka merasa kaget dan heran melihat
Bong Kongcu keluar terhuyung-huyung, mukanya bengkakbengkak dan kedua ujung mulutnya berlepotan darah. Mereka juga
melihat betapa seorang gadis cantik dengan mata mencorong
muncul dan memaki Bong Kongcu, mengusirnya.
"Pergi kamu, jahanam busuk!"
Melihat selosin orang pengawalnya, bangkit semangat Bong
Kongcu. Dia bukan seorang pemuda hartawan yang biasa
bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi baru saja dia dihina dan
ditampar Hwe-thian Mo-li padahal dia tidak merasa bersalah. Maka
tentu saja hatinya menjadi panas dan sakit. Kini dia berkata kepada
para pengawalnya. "Perempuan itu telah menghina dan memukulku. Kalian balaskan
sakit hatiku ini!" Mendengar perintah Bong Kongcu, selosin orang pengawal tukang
pukul itu serentak maju mengepung Siang Lan. Mereka tadi
memang sudah mendongkol karena tidak diperbolehkan
memasuki perkampungan itu. Kini melihat majikan mereka disakiti
dan mereka menerima perintah untuk membalaskan, kemarahan
mereka ditumpahkan kepada gadis yang memaki dan mengusir
Bong Kongcu. Akan tetapi karena yang mereka hadapi itu seorang
gadis cantik, mereka kini berlumba untuk meringkusnya agar dapat
152 mereka serahkan kepada Bong Kongcu, biar majikan mereka itu
sendiri yang menghukumnya.
Melihat betapa selosin orang itu mengepungnya lalu menjulurkan
tangan seolah hendak berlumba menangkapnya, Siang Lan
menjadi marah sekali. Tubuhnya berkelebat, kedua tangannya
menampar-nampar dan kedua kakinya menendang-nendang.
Akibatnya, selosin orang itu mengaduh dan tubuh mereka
berpelantingan disambar tamparan atau tendangan.
Dua belas orang tukang pukul itu terkejut bukan main, akan tetapi
juga marah dan penasaran sekali. Sambil meringis kesakitan
mereka bangkit dan mencabut senjata golok mereka. Pada saat
itu, belasan orang wanita anggauta Ban-hwa-pang keluar dari pintu
gerbang dengan senjata di tangan. Mereka adalah tiga regu yang
bersenjata tombak, golok, dan pedang masing-masing lima orang.
Agaknya mereka hendak maju menghadapi selosin tukang pukul
yang sudah mencabut golok mereka itu. Akan tetapi Siang Lan
yang tahu benar bahwa para anggautanya belum pandai dan kuat
benar, tidak ingin melihat mereka terluka. Maka ia dengan nyaring
berseru. "Kalian diam dan..... lihat saja betapa aku menghajar anjing-anjing
jantan ini!" Mendengar seruan ini, tentu saja limabelas orang anggauta Banhwa-pang itu tidak berani membantah dan mereka lalu berdiri di
luar pintu gerbang dengan tertib.
153 Siang Lan yang sudah menjadi marah sekali mengingat akan nasib
Li Ai yang ditolak dan dipermalukan Bong Kin, melihat betapa
duabelas orang anak buah pemuda hartawan itu mengepungnya
dengan golok di tangan, ia cepat mencabut Lui-kong-kiam yang
mengeluarkan sinar kilat mengerikan. Akan tetapi sebelum ia
bergerak, pada saat itu ia mendengar suara berbisik.
"Hwe-thian Mo-li, tidak baik membunuhi mereka yang hanya
melakukan perintah majikan mereka!"
Siang Lan terkejut. Suara itu berbisik dekat sekali dengan telinga
kirinya. Ia cepat menengok ke kiri namun tidak tampak ada orang
yang berbisik itu! Melihat gadis yang sudah mgncabut pedang itu kini tampak seperti
bimbang atau bingung, duabelas orang tukang pukul mengira
bahwa ia merasa jerih menghadapi mereka. Hal ini membesarkan
hati mereka dan sambil berteriak-teriak mereka pun langsung
menyerang dari sekeliling Siang Lan. Belasan golok itu
menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuh Siang Lan sehingga
limabelas orang anak buah Ban-hwa-pang yang menonton merasa
ngeri karena bagaimana mungkin ketua mereka dapat lobos dari
serangan duabelas batang golok itu"
Akan tetapi, tentu saja bagi Siang Lan, serangan selosin batang
golok itu bukan merupakan bahaya karena ia melihat betapa golokgolok itu digerakkan oleh tenaga kasar yang hanya mengandalkan
otot. Ia segera memutar pedangnya dengan putaran yang luar
biasa cepatnya sehingga yang tampak hanya sinar kilat bergulunggulung menyelimuti tubuh Siang Lan.
154 Segera terdengar bunyi berdencingan ketika golok-golok yang
menyerang itu, bertemu dengan sinar kilat, disusul teriakan mereka
yang tiba-tiba kehilangan golok mereka yang patah-patah dan
terpental lepas dari tangan mereka. Hwe-thian Mo-li sudah
menggerakkan pedang dan kalau saja pada saat itu tidak terdengar
lagi bisikan. "Jangan bunuh!"' tentu pedangnya sudah membuat
buntung leher selosin orang pengeroyok itu.
Entah mengapa, suara bisikan itu amat berwibawa baginya dan
Siang Lan menahan serangan pedangnya, kemudian hanya
menggerakkan tangan kiri dan kaki berulang-ulang. Untuk kedua
kalinya, kini lebih kuat lagi, mereka terpelanting roboh disambar
tamparan atau tendangan! Duabelas orang itu kini kehilangan nyali mereka. Selain tamparan
atau tendangan yang mereka terima untuk kedua kalinya ini
membuat mereka patah tulang atau bengkak-bengkak, juga
mereka kini baru menyadari benar bahwa mereka berhadapan
dengan seorang wanita yang amat lihai. Mereka lalu teringat akan
kabar bahwa Ban-hwa-pang telah terbasmi dan dikuasai oleh
seorang wanita lihai yang berjuluk Hwe-thian Mo-li. Tentu inilah
orangnya! Kini Siang Lan dengan pedang di tangan menghampiri Bong
Kongcu yang berdiri dengan wajah pucat. Pemuda ini maklum
bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia tidak takut.
"Hwe-thian Mo-li, engkau mengandalkan kepandaian silatmu untuk
menghina kami yang datang sebagai tamu!"
155 "]ahanam Bong! Engkau masih berani mengeluarkan ucapan
menyalahkan aku" Engkau yang telah menghina Li Ai dan engkau
yang harus minta ampun, atau aku akan memenggal batang
lehermu!" "Aku tidak bersalah apa-apa!"
"Tidak mengaku salah" Engkau telah menghina Li Ai!"
"Siapa menghina" Aku tetap mencintanya dan mau membawanya
ke rumahku sebagai selir tersayang. Aku tidak dapat
memperisterinya karena keadaannya. Aku tidak menghinanya,
akan tetapi engkau yang telah menghinaku, memukul aku dan
orang-orangku. Engkau sewenang-wenang hwe-thian Mo-li!"
"Jahanam busuk!" Siang Lan marah sekali dan ia mengangkat
pedangnya untuk membacokkan ke leher pemuda hartawan itu.
Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu
seorang laki-laki telah berdiri di dekat Siang Lan dan dia menahan
lengan Siang Lan yang memegang pedang sehingga gadis itu tidak
dapat membacokkan pedangnya ke arah leher Bong Kongcu.
Siang Lan terkejut sekali dan diam-diam ada perasaan girang dan
juga penasaran ketika mengenal bahwa laki-laki itu adalah orang


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang telah menolong ia dan Li Ai ketika dikeroyok orang-orang
Pek-lian-kauw! Ia merasa girang karena memang ia ingin berguru kepada orang
ini, dan ia merasa penasaran karena orang itu kini menahan
lengannya yang hendak membunuh Bong Kongcu. Ia
mengerahkan tenaga saktinya dan menggerakkan lagi lengan
156 kanannya, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu membacokkan
pedangnya karena tangan kiri orang yang menahan lengannya itu
kuat bukan main! Siang Lan adalah seorang gadis yang tidak pernah takut
menghadapi siapapun juga. Kini ia merasa amat penasaran dan
marah. Tangan kirinya lalu bergerak mendorong ke arah dada lakilaki yang menghalangi niatnya membunuh Bong Kin.
"Wuut...... plakk!" Telapak tangannya bertemu dada orang itu dan
menempel, akan tetapi yang didorongnya itu sama sekali tidak
terdorong dan ia bahkan merasakan betapa telapak tangan kirinya
menjadi panas seperti dibakar!
"Tidak perlu membunuh, dia tidak cukup pantas untuk dibunuh!"
kata laki-laki itu dan kini dia melepaskan tangannya dari lengan
Siang Lan, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Bong Kin.
"Engkau pemuda yang tidak menghargai wanita, memandang
rendah wanita yang tidak berdaya. Pergilah dan bawa semua anak
buahmu dari sini!" Orang itu mendorong dari jarak jauh dan tubuh Bong Kin melayang
bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, lalu terbanting jatuh
terguling-guling. Beberapa orang anak buahnya yang tidak begitu
parah segera menolong dan memapahnya, lalu mereka semua
meninggalkan tempat itu dengan terpincang-pincang dan saling
menolong untuk naik menunggangi kuda mereka.
Kini Siang Lan berhadapan dengan laki-laki itu yang bukan lain
adalah Sie Bun Liong. Semenjak terjadi peristiwa di Ban-hwa157
pang, yaitu setelah di luar kesadarannya dia memperkosa Hwethian Mo-li, Sie Bun Liong yang merasa berdosa dan amat
menyesal itu tidak pernah meninggalkan Hwe-thian Mo-li. Mulamula dia menggunakan topeng, mengaku bernama Thian-te Moong, memberi semangat hidup kepada gadis itu agar tetap hidup
dan memperdalam ilmunya sehingga kelak dapat membalas
dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong yang mengaku sebagai
pelaku pemerkosaan itu. Kemudian, Sie Bun Liong tidak pernah meninggalkan Hwe-thian
Mo-li, selalu membayanginya dan dia selalu menolong kalau gadis
itu terancam bahaya. Sekarang pun dia muncul, bukan untuk
melindunginya, melainkan untuk mencegah gadis itu melakukan
pembunuhan dengan kejam. "Kenapa engkau dulu menolong aku dari pengeroyokan orangorang Pek-lian-kauw" Bukankah engkau pula yang dulu
mengobatiku ketika aku pingsan?"
Sie Bun Liong menjawab tenang. "Sudah menjadi kewajiban setiap
orang untuk menolong sesamanya yang terancam bahaya dan
menderita kesusahan."
"Akan tetapi mengapa engkau sekarang menentangku dan
menghalangi aku membunuh pemuda Bong yang berengsek
bersama anak buahnya itu?" "Yang kutentang adalah kekejamanmu akan membunuh orangorang yang sudah tidak berdaya, dan sudah menjadi kewajiban
setiap orang untuk mengingatkan sesamanya yang tersesat."
158 Siang Lan merasa heran terhadap dirinya sendiri mengapa ia tidak
menjadi marah dan tidak merasa benci terhadap orang yang telah
menghalangi niatnya membunuh Bong Kongcu dan anak buahnya
tadi. Mungkin karena aku mengharapkan dia akan membantunya
memperdalam ilmu silatku, pikirnya menghibur diri sendiri.
"Aku telah berhutang budi kepadamu, Paman. Bolehkah aku
mengetahui namamu?" tanya Siang Lan.
Sie Bun Liong tersenyum mendengar gadis itu menyebutnya
paman. Memang sudah sepatutnya kalau dia menjadi paman gadis
itu. Usianya sudah empatpuluh dua tahun sedangkan Hwee-thian
Mo-li yang liar dan ganas itu paling banyak berusia duapuluh dua
atau duapuluh satu tahun!
"Tentu saja boleh, Nona. Namaku sendiri aku sudah lupa karena
tidak kupergunakan lagi. Maka engkau boleh mengenalku sebagai
Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama)."
"Paman Bu-beng-cu, aku adalah Hwe-thian Mo-li, ketua dari Banhwa-pang. Karena Paman sudah berkali-kali menolongku, maka
kupersilakan Paman memasuki perkampungan kami karena aku
ingin membicarakan sesuatu denganmu. Silakan, Paman."
Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Nona. Ban-hwapang kini merupakan perkumpulan wanita, bagaimana aku boleh
memasukinya" Kalau engkau mempunyai kepentingan untuk
dibicarakan denganku, kita dapat bicara di sini saja."
Siang Lan menoleh kepada belasan orang anak buah Ban-hwapang yang masih berdiri di depan pintu gerbang dan memberi
159 isyarat kepada mereka agar masuk kembali ke dalam
perkampungan Ban-hwa-pang. Setelah mereka semua masuk, ia
menghadapi lagi Bu-beng-cu dan berkata sambil menatap wajah
laki-laki itu. "Begini, Paman Bu-beng-cu. Aku telah melihat ilmu kepandaian
silat Paman yang amat tinggi. Karena itu, sejak Paman
membantuku, telah timbul niat dalam hatiku untuk dapat belajar
ilmu silat darimu. Demikianlah, Paman, aku ingin berguru padamu
jika Paman tidak berkeberatan."
Bu-beng-cu mengangguk-angguk. "Hwe-thian Mo-li, engkau
adalah seorang wanita yang telah memiliki ilmu kepandaian silat
yang amat tinggi dan kukira jarang ada musuh yang dapat
mengalahkanmu. Kenapa engkau masih hendak belajar silat lagi?"
"Paman Bu-beng-cu, aku harus memperdalam ilmu silatku karena
aku mempunyai seorang musuh besar yang tinggi sekali ilmu
silatnya. Tanpa memperdalam ilmuku, tak mungkin aku dapat
membalas dendam terhadap musuh besarku itu. Karena itu,
Paman, janganlah kepalang menolongku. Terimalah aku sebagai
muridmu dan aku selamanya akan merasa berterima kasih sekali
kepadamu!" "Hemm, Hwe-thian Mo-li, melihat kesungguhan hatimu, aku tidak
keberatan untuk mengajarkan ilmu silat untuk memperdalam
ilmumu. Akan tetapi aku baru mau mengajarmu kalau engkau
dapat memenuhi syarat-syaratnya."
"Aku akan melakukan apa pun yang menjadi syaratnya, Paman Bubeng-cu!" kata Hwe-thian Mo-li dengan sungguh-sungguh karena
160 baginya, tujuan utama sisa hidupnya hanya untuk membalas
dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong!
"Syarat pertama adalah bahwa aku tidak mau kausebut guru
karena aku sejak dulu tidak berkeinginan mengambil murid. Sebut
saja aku Bu-beng-cu, tanpa embel-embel Suhu, dan engkau tidak
boleh memberitahukan siapa pun bahwa engkau muridku."
"AKAN kulaksanakan syarat itu, Paman, sungguhpun syaratmu ini
aneh. Baik, aku akan selalu menyebutmu Paman Bu-beng-cu."
"Syarat kedua, aku tidak mau tinggal di dalam perkampungan Banhwa-pang karena sebagai seorang laki-laki, tidak pantas tinggal di
perkampungan wanita. Aku tinggal di dalam guha di lereng sebelah
utara sana. Kalau engkau belajar ilmu, engkaulah yang harus
datang ke sana setiap hari di waktu matahari mulai bersinar.
Engkau akan kuberi pelajaran dan latihan sampai siang hari."
"Baik, Paman. Syarat kedua ini pun akan kutaati dan kulaksanakan
dengan baik." "Sekarang syarat ketiga dan terakhir, namun aku merasa sangsi
apakah engkau akan dapat memenuhi syarat ini ataukah tidak."
"Apakah syarat itu, Paman. Kedua syarat pertama amat mudah
kulaksanakan dan betapa pun berat syarat yang terakhir, pasti
akan kutaati dan kulaksankan!" kata Siang Lan penuh semangat
karena hatinya merasa girang sekali bahwa laki-laki yang amat lihai
ini sudah mau mengajarinya ilmu silat tinggi.
"Syarat terakhir ini harus kaujanjikan dengan sumpah."
161 "Baik, Paman! Aku akan bersumpah. Katakan apa syarat itu!"
"Syaratnya adalah, setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dariku,
engkau harus bersumpah kelak tidak akan melakukan
pembunuhan lagi. Selama hidupmu engkau tidak boleh lagi
bersikap ganas dan kejam, mudah membunuh orang!"
Wajah Siang Lan berubah agak pucat alisnya berkerut dan
mukanya muram. Ia segera teringat kepada Thian-te Mo-ong.
Justeru ia ingin memperdalam ilmu silatnya agar kelak dapat
membunuh musuh besar yang telah merusak kebahagiaan
hidupnya! Biarlah ia selamanya tidak boleh membunuh orang,
asalkan ia mencapatkan ilmu-ilmu untuk membunuh Thian-te Moong!
"Paman, bagaimana kalau aku diserang orang dan terancam
bahaya maut di tangan musuh itu?"
"Kalau terpaksa sekali untuk membela diri, tentu saja itu bukan
merupakan kekejaman membunuh. Maksudku kalau masih ada
jalan lain engkau sama sekali tidak boleh membunuh orang. Cukup
dengan mengalahkan, merobohkan dan melukai ringan saja.
Bagaimana, apakah engkau sanggup" Kalau sanggup,
bersumpahlah sekarang juga!"
Karena merasa tersudut, Siang Lan lalu nekat. Ia berlutut dan
mengucapkan sumpahnya. "Aku bersumpah untuk tidak
membunuh orang lagi kecuali membela diri karena terancam
bahaya. Sumpah ini berlaku untuk semua orang di dunia, kecuali
satu orang, yaitu Thian-te Mo-ong. Aku bersumpah untuk
162 membunuhnya karena membalas sakit hati dan membunuhnya
merupakan satu-satunya keinginanku dalam hidup ini!"
Mendengar sumpah itu, Bu-beng-cu memandang dengan wajah
pucat, alisnya berkerut, matanya tampak gelisah dan dia menghela
napas panjang. "Hwe-thian Mo-li, agaknya engkau tidak dapat
mengampuni musuhmu yang satu itu......"
"Mengampuninya" Hemm, mau rasanya aku membunuhnya
sampai seribu kali untuk menebus dosanya terhadap diriku! Aku
menggunakan sisa hidupku ini hanya untuk membalas dendam
kepadanya, Paman. Apa pun akan kujalani untuk dapat berhasil
membunuhnya!" "Baiklah, Hwe-thian Mo-li. Harap engkau memegang sumpahmu,
yaitu tidak akan membunuh siapa-siapa lagi kecuali musuh
besarmu yang satu itu." Dia menghela napas lagi.
Memang sejak terjadi peristiwa jahanam di malam itu, dia sudah
mengambil keputusan. Untuk menebus dosanya, dia harus mati di
tangan gadis ini. Akan tetapi sebagai seorang gagah, baik dia
sendiri maupun Hwe-thian Mo-li, kematiannya harus terjadi
sewajarnya, yaitu dalam perkelahian. Dan dia sendiri yang akan
melatih gadis ini agar tingkat kepandaiannya cukup kuat untuk
mengalahkan dan membunuhnya!
Dengan cara ini, bukan saja dia dapat menebus dosanya, juga dia
dapat membuat Hwe-thian Mo-li tidak putus asa dan memiliki
semangat untuk terus hidup dan berjuang. Selain itu, dia juga dapat
mengubah sifat gadis yang tadinya liar dan ganas, mudah
membunuh orang itu dengan ikatan sumpahnya. Dengan
163 mengorbankan dirinya kelak, dia dapat membuat banyak kebaikan,
bagi dirinya sendiri, bagi Hwe-thian Mo-li, juga bagi rakyat karena
mereka kini terbebas dari ancaman maut di tangan Si Iblis Betina
Terbang ini. "Sekarang aku hendak kembali ke guhaku. Mulai besok pagi,
setelah matahari tampak bersinar, datanglah ke sana dan kita
mulai latihan." Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Siang Lan,
sekali berkelebat Bu-beng-cu telah lenyap dari situ. Melihat ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang demikian hebatnya, Siang
Lan merasa kagum dan juga girang sekali. Ia tahu bahwa dalam
hal gin-kang ia masih kalah jauh.
Siang Lan kembali ke dalam perkampungan, terus memasuki
rumahnya dan ia mendapatkan Li Ai tengah menangis tanpa suara
sambil membenamkan muka pada bantal...... Melihat kedua
pundaknya yang tergoyang-goyang itu Siang Lan tahu bahwa
gadis itu sedang menangis.
Ia duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak Li Ai. "Li Ai,
hentikan tangismu. Tiada gunanya menangis. Engkau masih
beruntung tidak jadi berjodoh dengan pemuda macam itu."
Li Ai bangkit dan merangkul Siang Lan, kini tangisnya mengguguk.
"Enci Lan...... ahh, kenapa aku tidak mati saja......?"" rintihnya
memelas. 164 Siang Lan dapat merasakan kepedihan di hati Li Ai, maka teringat
akan keadaan dirinya sendiri, tak terasa lagi ia pun balas
merangkul dan sepasang matanya basah.
"Tenang, dan sabarlah, Li Ai, jangan putus asa. Engkau tidak
menderita seorang diri. Aku pun pernah ingin mati saja seperti
engkau sekarang ini, aku pun pernah menjadi korban kebiadaban
laki-laki." Li Ai tiba-tiba menghentikan tangisnya saking terkejut dan heran
mendengar ucapan Siang Lan itu. "Kau......" Maksudmu......
engkau juga pernah diperkosa orang, Enci?"
Siang Lan mengangguk dan menghela napas panjang. "Benar, Li
Ai. Dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak, aku telah
diperkosa seorang manusia iblis yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi sekali." "Akan tetapi, engkau begini lihai, bagaimana sampai dapat terjadi
hal itu?" "Aku tertotok, dan orang itu memiliki ilmu kepandaian jauh lebih
tinggi dariku. Tadinya aku pun sudah putus asa dan ingin bunuh
diri saja. Akan tetapi aku teringat bahwa aku tidak boleh mati
sebelum membalas dendam, sebelum membunuh musuh besarku
itu! Bangkit kembali semangatku dan aku harus memperdalam
ilmuku sehingga dapat mengalahkan musuh besarku."
"Aih, Enci, sungguh tidak pernah kusangka bahwa engkau pun
pernah mengalami malapetaka seperti aku. Siapakah musuh
besarmu itu, Enci?" 165 "Dia seorang pengecut benar, tidak berani memperlihatkan
wajahnya yang selalu mengenakan sebuah topeng kayu dan dia
mengaku berjuluk Thian-te Mo-ong. Belum pernah aku mendengar
nama julukan itu di dunia kang-ouw. Aku tidak dapat mencarinya
karena dia tidak mau memberitahukan di mana tempat tinggalnya.
Akan tetapi dia berjanji dengan penuh kesombongan bahwa setiap
tahun dia akan datang mencariku untuk mengadu ilmu.
"Aku akan memperdalam ilmuku dan aku sudah menemukan
seorang guru, Li Ai, yaitu laki-laki setengah tua yang dulu
menolong kita melarikan diri ketika dikepung orang-orang Pek-liankauw. Dia itu lihai sekali dan kuharap setelah mendapat
gemblengannya, aku akan berhasil membunuh si keparat jahanam
pengecut Thian-te Mo-ong!" Siang Lan bicara penuh semangat
sambil mengepal tinju. Li Ai yang sudah menghentikan tangisnya karena tertarik oleh
keterangan Siang Lan tadi, menghela napas panjang. "Enci,
bagaimana pun engkau masih mempunyai semangat hidup karena
masih memiliki tujuan, yaitu membalas sakit hatimu terhadap
orang-orang yang telah memperkosamu. Akan tetapi aku, apa
artinya hidup ini" Dua orang yang menghinaku itu telah kaubunuh,
dan namaku juga tentu akan tercemar karena Bong Kin itu tentu
akan menyiarkan tentang keadaanku yang sudah ternoda. Semua


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang di kota raja akan mendengarnya. Ah, apa gunanya aku hidup
lebih lama?" "Dia tidak akan berani, Li Ai. Aku sudah menghajarnya habishabisan, bahkan nyaris membunuhnya. Juga selosin orang anak
buahnya telah kuberi pelajaran keras. Seandainya dia belum jera
166 dan masih menyiarkan berita tentang dirimu, kelak engkau masih
mempunyai banyak kesempatan untuk membalas penghinaannya!" "Akan tetapi, apa yang dapat kulakukan terhadap orang she Bong
itu, Enci" Aku seorang gadis lemah dan tak berdaya......"
"Hemm, bukankah aku sudah berjanji untuk mengajarkan ilmu silat
kepadamu" Jangan putus asa dan buang jauh-jauh keinginanmu
untuk mati itu. Hidupmu masih kau butuhkan dan dibutuhkan
banyak orang. Kelak, kalau engkau sudah memiliki ilmu silat yang
tinggi, engkau dapat membantuku untuk memberi hajaran keras
kepada para pria yang jahat dan yang menghina kaum wanita. Kita
berdua akan malang melintang di dunia kang-ouw, menjadi
pembela kaum wanita dan penentang pria yang suka menghina
wanita. "Bagaimana pendapatmu" Bukankah itu merupakan tujuan sisa
hidup kita yang amat baik" Kita perangi para pria yang jahat dan
kita bangun Ban-hwa-pang menjadi perkumpulan wanita gagah
yang melindungi kaum wanita dari kejahatan laki-laki berengsek
seperti Thian-te Mo-ong, dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang
sudah mati di tanganku, juga orang-orang macam Bong Kin itu!"
Mendengar ini, bangkit semangat hidup Li Ai. Ia harus dapat
melupakan apa yang telah terjadi kepadanya. Dua orang jahanam
yang memperkosanya itu sudah dibunuh Siang Lan, sakit hatinya
telah terbalas impas dan ia tidak perlu memikirkan dua orang
musuh besar itu lagi. Adapun tentang kegagalannya berjodoh
dengan Bong Kongcu, hal itu sama sekali tidak membuat ia
167 berduka atau kecewa karena kenyataannya, ia belum mempunyai
perasaan cinta kepada pemuda itu. Hanya sikap dan kata-kata
pemuda itu yang membuat ia merasa terhina.
"Biarpun Bong Kongcu telah dihajar oleh Siang Lan, namun
pemuda yang menghinanya itu masih hidup. Siang Lan benar,
harus mempelajari ilmu silat. Kalau ia sudah kuat dan tangguh ia
akan menghajar semua laki-laki macam dua orang tosu Pek-liankauw, Bong Kin, dan semua hidung belang mata keranjang yang
menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau pemerkosa)!
Sisa hidupnya kini mempunyai tujuan!
Demikianlah, mulai hari itu, setiap pagi sekali Siang Lan keluar dari
perkampungan Ban-hwa-pang untuk menerima gemblengan ilmu
dari Bu-beng-cu. Pertama-tama, Bu-beng-cu mengajarkan ilmu
untuk memperkuat gin-kangnya hingga gerakannya menjadi
semakin ringan dan makin cepat.
Setelah pada siang harinya ia kembali ke perkampungan, Siang
Lan melatih ilmu silat kepada Li Ai yang belajar dengan tekun
sekali. Juga para anak buah Ban-hwa-pang menerima latihan agar
mereka menjadi lebih kuat. Pekerjaan semua wanita di Ban-hwapang mulai dari ketuanya sampai kepada anak buahnya yang
tingkatnya paling rendah, setiap hari hanya berlatih ilmu silat.
Harta yang dibawa Li Ai dari rumah ayahnya amat bermanfaat bagi
Ban-hwa-pang. Perkampungan itu dibangun, dan atas petunjuk
Siang Lan dan Li Ai lembah itu ditata dan diperbaiki, tumbuhtumbuhan bunga beraneka macam itu diatur rapi sehingga lembah
168 itu tampak semakin asri dan pantaslah kalau dinamakan Lembah
Selaksa Bunga. Lembah yang luas itu dibentuk seperti sebuah taman bunga yang
indah, dengan bangunan kecil-kecil mungil, beranda-beranda yang
dicat beraneka warna di dekat empang-empang ikan dan bunga
teratai. Di beranda-beranda itu digantungi lampu-lampu sehingga
kalau malam tiba, lampu-lampu dengan selubung beraneka warna
itu menambah indah taman atau lembah itu. Di bagian lain dari
lembah itu ditanami tumbuh-tumbuhan obat dan ada pula bagian
taman yang-liu (semacam cemara) yang mendatangkan suasana
sejuk. "Y" Karena setiap hari hanya berlatih ilmu silat dan juga melatih Li Ai
dan para anak buah Ban-hwa-pang, maka Siang Lan lupa akan
waktu. Apalagi karena Bu-beng-cu setiap hari melatih gin-kang
sehingga setelah lewat kurang lebih setengah tahun, gin-kangnya
sudah maju pesat dan kini ia bahkan mampu mengimbangi
kecepatan gerakan Bu-beng-cu.
Pada pagi itu, seperti biasa Siang Lan datang ke depan guha yang
menjadi tempat tinggal Bu-beng-cu. Laki-laki itu menyambutnya
dengan senyum cerah. Begitu berhadapan, Siang Lan seperti
terpesona. Laki-laki yang melatihnya akan tetapi tidak mau disebut guru itu
tampak segar karena rambutnya yang hitam panjang itu masih
basah dan digelung ke atas, diikat pita kuning. Mukanya yang
dicukur bersih itu tampak lebih muda dari usianya yang sudah
169 empatpuluh dua tahun. Pakaiannya yang sederhana namun bersih
tidak menyembunyikan tubuhnya yang sedang namun tegap.
Sepasang matanya bersinar lembut mulutnya tersenyum.
Dalam penglihatan Siang Lan pada saat itu, Bu-beng-cu tampak
amat gagah dan menarik hati. Apalagi mengingat betapa laki-laki
ini selain menyelamatkannya dari bahaya juga telah
menggemblengnya dengan sungguh-sungguh walaupun tidak mau
disebut sebagai guru. Sikapnya selalu lembut, pandang matanya
mendatangkan ketenangan dalam hatinya dan senyum serta
sikapnya terkadang jelas menunjukkan bahwa Bu-beng-cu
menghormati dan menyayangnya.
Dan anehnya, selama setengah tahun lebih ini Bu-beng-cu sama
sekali tidak pernah mengajak ia bicara tentang keadaan diri
masing-masing, seolah dia tidak suka menceritakan riwayat
hidupnya dan tidak pula ingin tahu riwayat hidup Hwe-thian Mo-li.
Kalau dia bicara, yang dibicarakan tentu soal ilmu mempertinggi
gin-kang yang sedang dilatih Siang Lan!
Pagi ini, Siang Lan sengaja datang lebih pagi daripada biasanya
karena ia mengambil keputusan untuk mengajak Bu-beng-cu
bicara tentang riwayat mereka masing-masing agar mereka dapat
saling mengenal lebih baik. Ia merasa berhutang budi kepada Bubeng-cu dan ingin mempererat persahabatan karena laki-laki itu
tidak mau dianggap guru. Biarlah hubungan guru dan murid ini
menjadi hubungan persahabatan yang lebih akrab, demikian
pikirnya. 170 Akan tetapi begitu mereka berhadapan, sebelum ia dapat
mengeluarkan kata-kata, Bu-beng-cu sudah mendahului
menegurnya dengan suara ramah dan senyum tenang dan sabar.
"Hwe-thian Mo-li, engkau datang pagi benar, lebih pagi dari
biasanya." Siang Lan tersenyum. Ia sering merasa heran sendiri mengapa ia
yang biasanya mempunyai perasaan tidak senang kepada laki-laki,
apalagi semenjak cinta pertama terhadap Sim Tek Kun gagal, ia
merasa tidak enak hati dan tidak suka. Rasa suka ini hampir
berubah menjadi benci terhadap pria setelah ia mengalami
peristiwa terkutuk menjadi korban perkosaan itu. Akan tetapi
mengapa kalau ia bertemu dengan Bu-beng-cu, ia merasa gembira
sekali" Hal ini karena ia merasa berhutang budi dan pria yang satu
ini memang lain daripada yang lain.
Biasanya setiap ia bertemu laki-laki, mata mereka itu pasti
memandangnya bagaikan seekor anjing kelaparan melihat daging
seolah sinar mata itu menggerayangi seluruh tubuhnya. Akan
tetapi sinar mata Bu-beng-cu ini lain. Selalu lembut tidak pernah
terlalu lama mengamati wajahnya, bahkan jarang dapat bertemu
pandang karena laki-laki ini selalu mengelak kalau pandang
matanya bertemu dengan pandang mata Siang Lan.
"Paman Bu-beng-cu, aku memang sengaja datang lebih pagi
karena aku ingin lebih dulu membicarakan sesuatu denganmu
sebelum aku mulai terlatih."
"Hendak membicarakan apakah, Hwe-thian Mo-li" Katakan saja
karena hari ini engkau tidak perlu latihan lagi. Hari ini aku akan
171 menguji sampai di mana kemajuan gin-kangmu selama engkau
memperdalamnya lebih dari setengah tahun."
"Setengah tahun lebih?" Siang Lan berseru kaget karena selama
ini ia seolah telah melupakan waktu. Setelah ia mengingat-ingat,
hari ini tentu sudah setahun lewat sejak musuh besarnya berjanji
untuk menemuinya dan mengadu ilmu! "Kalau begitu, sewaktuwaktu tentu musuh besarku akan muncul mencariku untuk
membuat perhitungan dan mengadu ilmu!"
"Apakah yang ingin kaubicarakan dengaanku?" Bu-beng-cu
menunju ke arah batu-batu sebesar perut kerbau yang terdapat
banyak di depan guha besar tempat tinggalnya. Mereka lalu duduk
di atas batu, berhadapan dalam jarak dua tombak.
"Begini, Paman. Te1ah lebih dari setengah tahun kita
berhubungan, biarpun bukan sebagai guru dan murid karena
engkau tidak mau kusebut guru, setidaknya sebagai sahabat baik.
Aku berhutang banyak budi kebaikan darimu, akan tetapi kita tidak
saling mengenal riwayat masing-masing. Oleh karena itu, aku
harap engkau suka mendengarkan riwayatku kemudian engkau
menceritakan riwayatmu kepadaku sehingga perkenalan ini
menjadi semakin akrab. Kalau engkau setuju, aku akan
menceritakan riwayatku lebih dulu. Bagaimana pendapatmu,
Paman?" Bu-beng-cu menghela napas panjang, akan tetapi wajahnya tetap
tenang. "Terserah kepadamu, Nona."
Siang Lan girang sekali mendengar pria itu tidak merasa
keberatan. Maka ia lalu menceritakan riwayatnya dengan singkat
172 tanpa ragu, akan tetapi tentu saja tidak mau bercerita tentang
kegagalan cintanya dengan Sim Tek Kun, putera pangeran yang
menjadi tokoh Kun-lun-pai itu.
"Sejak kecil aku kehilangan Ayah Ibuku. Aku menjadi yatim piatu
dan hidup sebatang kara. Dalam usia sepuluh tahun, aku ditolong
dan diambil murid oleh Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu dan dibawa
ke Liong-cu-san." "Hemm, pantas ilmu silatmu tinggi. Aku pernah mendengar nama
besar pahlawan bangsa Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu," kata Bubeng-cu kagum. Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan)
memang terkenal sekali sebagai seorang pendekar patriot yang
amat lihai ilmu pedangnya, gagah perkasa dan berjiwa pahlawan.
"Suhu Pat-jiu Kiam-ong yang memelihara, membesarkan dan
mendidikku, maka engkau dapat membayangkan kedukaan dan
kemarahanku ketika Suhu dibunuh secara curang oleh lima orang
kang-ouw golongan sesat."
"Hemm, siapakah mereka?"
"Mereka adalah Leng Kok Hosiang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa
Pemetik Bunga), Toat-beng Sin-to (Golok Sakti Pencabut Nyawa)
Liok Kong, Hek-wan (Lutung hitam) Yap Cin, Shan-tung Tai-hiap
(Pendekar Shan-tung) Siong Tat, dan Kim-gan-liong (Naga Mata
Emas) Cin Liu Ek. Aku dan Sumoi Ong Lian Hong mencari lima
orang pembunuh Suhu itu dan akhirnya kami berdua dapat
membunuh mereka. Sumoi Ong Lian Hong adalah puteri mendiang
Suhu." 173 "Kim-gan-liong Cin Liu Ek" Bukankah dia yang tinggal di kota Luncong. Akan tetapi sebelum aku tinggal di sini, aku pernah bertemu
dengan pendekar itu dan dia ternyata seorang pendekar bijaksana
dan tidak terbunuh......"
"Benar, Paman. Aku tidak membunuhnya karena ternyata di antara
lima orang yang kami sangka mengeroyok dan membunuh Suhu,
ternyata Kim-gan-liong Cin Lu Ek tidak ikut membunuhnya dan dia
tidak bersalah." Bu-beng-cu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagus sekali,
kebijaksanaanmu itu sebaiknya ditingkatkan dengan tidak
melakukan pembunuhan, Hwe-thian Mo-li. Biarpun ada yang
bersalah kepadamu, sebaiknya engkau hanya memberi pelajaran
kepadanya agar orang itu menyadari kesalahannya dan bertobat.
Orang yang melakukan perbuatan jahat ada seorang yang sedang
sakit, bukan jasmaninya melainkan sakit rohaninya. Penyakit itu
dapat sembuh dan orang yang sehat pun sewaktu-waktu dapat
saja jatuh sakit. Orang sesat mungkin saja bertobat dan menjadi
baik, seperti kemungkinan orang baik-baik tergoda dan melakukan
perbuatan jahat. Kita sama sekali tidak berhak membunuh orang."
"Akan tetapi, seperti sumpahku, Paman, aku tidak akan membunuh
orang lagi kecuali yang seorang itu, musuh besarku Thian-te Moong."
Kembali Bu-beng-cu menghela napas panjang. "Terserah
kepadamu, engkau tentu memiliki alasan kuat untuk berkeras
membunuhnya. Lanjutkan ceritamu."
174 "Aku selalu menentang kejahatan dan terhadap para penjahat itu
aku tidak pernah memberi ampun dan bertindak tegas dan keras
sehingga para kaum sesat di dunia kang-ouw memberi julukan
Hwe-thian Mo-li kepadaku. Aku tidak peduli akan julukan Iblis
Betina, karena aku memang ganas seperti iblis terhadap kaum
sesat. Pada suatu hari, aku jatuh pingsan di lereng Ban-hwa-san ini, aku
ditangkap oleh Ketua Ban-hwa-pang dan dikeram dalam sebuah
kamar dalam keadaan tertotok. Aku tidak berdaya dan pada malam
harinya...... muncul...... Thian-te Mo-ong itu...... dia...... menghina
aku yang sedang tak berdaya! Karena itulah aku mendendam
kepadanya dan aku bersumpah untuk membalas membunuhnya!
"Setelah jahanam itu pergi dan aku terbebas dari totokan, aku lalu
mengamuk. Kubunuh Ketua Ban-hwa-pang berikut semua anak
buahnya dan aku menguasai Ban-hwa-pang. Kini akulah Ketua
Ban-hwa-pang dan para anggautanya terdiri dari para wanita
bekas anak buah Ban-hwa-pang lama. Aku bertemu dengan
engkau yang berkali-kali telah menolongku dan melihat
kelihaianmu, aku ingin belajar ilmu silat, memperdalam ilmuku agar
kelak dapat kupergunakan untuk membalas dendam kepada
musuh besarku, dan juga untuk menghadapi Pek-lian-kauw yang
jahat dan yang memiliki banyak orang pandai."
Siang Lan menghentikan ceritanya dan menatap wajah Bu-bengcu. Ia merasa heran melihat wajah yang biasanya cerah itu kini
tampak agak muram. 175 Melihat Bu-beng-cu kini diam saja sambil mengerutkan alis dan
menundukkan mukanya, Siang Lan bertanya. "Paman, bagaimana
dengan riwayatmu" Sekarang giliranmu untuk menceritakan
riwayatmu kepadaku."
Bu-beng-cu menghela napas panjang dan menggelengkan
kepalanya. "Apakah yang dapat kuceritakan" Tidak ada suatu
yang menarik tentang diriku. Apa yang ingin kauketahui?"
Siang Lan maklum bahwa orang tentu hendak menyembunyikan
keadaan dirinya, maka namanya pun sudah menunjukkan bahwa
dia tidak ingin dikenal orang. Hal ini membuatnya penasaran.
"Paman, dengan menggunakan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa
Nama) engkau seperti menyangkal dirimu sendiri. Aku ingin


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui apakah Paman mempunyai keluarga, isteri atau anakanak?"
Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Hwe-thian Mo-li,
aku tidak mempunyai keluarga, aku hidup sebatang kara, hanya
hidup berdua dengan bayanganku yang sering kali
menggangguku." Jawaban yang aneh itu membuat Siang Lan menjadi semakin
penasaran. "Apakah Paman tidak pernah beristeri?"
"Tidak, sejak kecil aku merantau jauh ke barat dan selama ini aku
hanya mempelajari ilmu silat."
"Akan tetapi sikap Paman lembut dan kata-kata Paman teratur
seperti seorang sastrawan."
176 Senyum yang biasanya menghias mulut orang itu kini muncul
sehingga hati Siang Lan merasa tenang. "Aku suka mempelajari
sastra dan aku sudah membaca kitab-kitab suci dari tiga agama,
yaitu Hud-kauw (Buddhism), To-kauw (Taosim), dan Khong-kauw
(Confucianism)." Diam-diam ada perasaan lega dan girang dalam hati Siang Lan
mendengar bahwa Bu-beng-cu tidak mempunyai keluarga seperti
juga dirinya sendiri, dan ia pun heran akan dirinya sendiri mengapa
merasa girang mendengar akan kesendirian laki-laki itu. Kini
mendengar bahwa Bu-beng-cu agaknya ahli akan kitab-kitab tiga
agama yang waktu itu memiliki pengaruh besar dalam kebudayaan
dan kehidupan rakyat, dengan penasaran ia bertanya.
"Paman, aku melihat betapa semua orang agaknya beragama.
Akan tetapi mengapa kejahatan merajalela dan bahkan mereka
yang sudah mengenakan jubah pendeta, mengaku sebagai ahli
agama, masih suka melakukan perbuatan jahat?"
Kini wajah Bu-beng-cu bersinar dan tampak bersemangat setelah
Siang Lan bicara tentang agama.
"Hwe-thian Mo-li, jangan heran melihat gejala seperti itu. Yang
jahat itu bukanlah agamanya, melainkan manusianya. Kalau ada
seorang manusia mengaku beragama dan dia melakukan
perbuatan jahat, maka dia itu bukanlah seorang beragama,
melainkan seorang penjahat yang mengaku-aku beragama.
Agamanya hanya dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi
perbuatannya. Kalau dia benar seorang beragama, pasti dia tidak
177 mau dan tidak berani melakukan kejahatan karena hal itu dilarang
oleh semua agama. "Demikian pula kalau ada seorang pendeta agama melakukan
perbuatan jahat, dia hanya seorang manusia yang palsu dan
menggunakan pakaian pendeta dan agamanya sebagai kedok
belaka. Agama merupakan pelajaran agar manusia menjadi baik
dan benar, namun pelajaran itu tidak ada artinya sama sekali kalau
tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Api atau inti
semua agama itu terbukti dalam sikap dan perbuatan sehari-hari,
adapun semua upacaranya itu kalau tidak terbukti apinya, hanya
menjadi asap dan abu yang menggelapkan mata dan mengotori
keadaan belaka." Siang Lan adalah seorang wanita yang cerdas. Biarpun hanya
sedikit saja pengetahuannya tentang filsafat dan agama, namun
ucapan Bu-beng-cu itu berkesan dalam hatinya dan ia dapat
mengerti maksudnya. Akan tetapi, juga mendatangkan rasa
penasaran dalam hatinya yang mendorongnya ingin mengetahui
lebih banyak lagi. "Paman, karena demikian banyaknya terdapat orang yang
beragama akan tetapi melakukan perbuatan jahat yang dilarang
agamanya, apakah tidak lebih baik kalau manusia tidak beragama
saja?" Bu-beng-cu tertawa. "Bukan begitu, Nona. Agama merupakan obor bagi manusia yang
hidup di dunia ini, dunia yang bagaikan sebuah lorong yang gelap.
Obor itu akan menerangi lorong sehingga kita dapat melihat ke
178 arah mana kita melangkah, karena ada jalan menuju kepada Thian
(Tuhan) yang menjadi Sumber kita, akan tetapi juga ada jalan yang
membawa kita ke jurang dosa dan kehancuran.
"Agama sebagai obor itu memang amat penting dan setiap orang
seyogianya memegang obor masing-masing agar jangan salah
jalan. Akan tetapi, apakah artinya obor bernyala di tangan kalau
kita tidak mau melangkah ke arah jalan kebenaran. Apa artinya
semua pelajaran keagamaan kita pelajari dan kita hafalkan kalau
tidak kita laksanakan dalam hidup ini" Jadi, agama baru
bermanfaat kalau kita amalkan sesuai dengan ajarannya.
"Sebaliknya, kalau orang tidak beragama, bagaikan berjalan dalam
lorong gelap tanpa mempunyai obor penerangan, dia sudah
tersesat atau jatuh tersandung. Memiliki obor tanpa melangkah
atau tidak memegang obor penerangan sama sekali, sama
buruknya. Yang benar adalah membawa obor yang menerangi
jalan hidup sambil melangkah atau memiliki agama sambil
mengamalkan pelajaran agamanya."
"Ah, kalau aku tidak keliru berpendapat, seorang penjahat yang
beragama itu lebih sesat dibandingkan seorang penjahat yang
tidak beragama. Betulkah itu, Paman?"
"Dua-duanya jelas tidak betul karena melakukan kejahatan. Akan
tetapi dosa orang yang beragama namun jahat lebih buruk lagi
karena dia mencemarkan kebersihan agama itu sendiri. Ah,
sudahlah, Hwe-thian Mo-li, sekarang tiba saatnya aku menguji ginkangmu. Mari kita berlumba lari sampai ke puncak bukit itu
179 mengambil sebuah batu kapur yang hanya terdapat di puncak lalu
cepat kembali ke sini."
Dengan gembira Siang Lan mengangguk dan setelah Bu-beng-cu
memberi isyarat, mereka berdua lalu berkelebat sedemikian
cepatnya sehingga yang tampak hanya dua sosok bayangan
melejit ke arah puncak bukit. Siang Lan mengerahkan gin-kang
yang sudah maju pesat dan kini larinya jauh lebih cepat
dibandingkan setengah tahun yang lalu. Kalau ada orang melihat
mereka, tentu akan terkejut dan mungkin ketakutan, mengira
bahwa dua sosok bayangan yang berkelebat itu adalah setansetan penjaga bukit!
Siang Lan mempergunakan ilmu berlari cepat yang selama ini ia
pelajari dan latih atas bimbingan dan petunjuk Bu-beng-cu, yaitu
Yan-cu-coan-in (Walet Menembus Awan). Ia mengerahkan seluruh
tenaganya karena ia melihat betapa bayangan Bu-beng-cu juga
berlari cepat di sampingnya. Setelah tiba di puncak bukit, ia
menyambar sepotong batu kapur lalu lari seperti terbang lagi,
menuruni puncak menuju ke lereng di mana tadi mereka mulai
berlumba lari. Begitu ia menghentikan gerakannya, ia melihat bahwa Bu-beng-cu
juga sudah berhenti dan ternyata mereka berdua tiba di situ
dengan berbareng! Masing-masing memegang sepotong batu
kapur. Melihat betapa kecepatan mereka berimbang, Siang Lan
berkata. "Ah, engkau sengaja mengalah sehingga tidak mendahului aku,
Paman Bu-beng-cu!" 180 Bu-beng-cu tertawa dan tampak wajahnya cerah gembira. "Sama
sekali tidak, Hwe-thian Mo-li. Aku tadi juga sudah mengerahkan
seluruh kemampuan, akan tetapi ternyata tidak dapat
mendahuluimu, bahkan agak sukar bagiku untuk menjaga agar
tidak ketinggalan. Aku girang sekali karena setelah sekian lama
engkau berlatih dengan tekun, hari ini tampak hasilnya. Kiraku
sekarang jarang ada orang yang dapat menandingimu dalam hal
kecepatan sehingga julukanmu tepat sekali yaitu Hwe-thian
(Terbang ke Langit), walaupun julukan Mo-li (Iblis Betina) itu kini
tidak cocok lagi bagimu. Engkau bukan iblis betina lagi karena
engkau sudah bersumpah untuk tidak sembarangan membunuh
orang lagi." "Akan tetapi ada kecualinya, Paman, yaitu aku harus membunuh
musuh besarku yang satu itu! Paman, setelah sekarang aku
mendapat kemajuan dalam gin-kang, tentu aku akan berhasil
membunuhnya. Kalau tidak salah perhitunganku sekarang sudah
lewat setahun dan jahanam itu tentu akan datang menemuiku
sebagaimana yang dia janjikan untuk membuat perhitungan."
Bu-beng-cu menghela napas panjang. "Aku tidak tahu sampai di
mana kelihaian musuhmu itu, Nona. Akan tetapi jangan engkau
terlalu yakin dulu. Memang gin-kangmu sudah maju pesat dan
kiranya akan sulit bagi musuhmu itu untuk mengalahkan kecepatan
gerakanmu. Akan tetapi, dalam sebuah pi-bu (pertandingan silat)
bukan hanya kecepatan gerakan yang menentukan walaupun
kecepatan itu tentu saja merupakan bagian penting. Selain ginkang, engkau harus lebih unggul dalam ilmu silat dan tenaga sakti.
Berhati-hatilah kalau engkau bertemu dengan musuh besarmu."
181 "Akan kuperhatikan nasihat Paman."
"Nah, hari ini kunyatakan bahwa engkau telah lulus dalam
pelajaran memperkuat gin-kangmu, Hwe-thian Mo-li. Mudahmudahan engkau akan mendapatkan manfaat dari pelajaran ini
dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkau dapat
memegang sumpahmu untuk tidak membunuh orang, juga kalau
mungkin menghilangkan dendammu dan keinginanmu untuk
membunuh orang yang kau anggap sebagai musuh besar itu. Aku
sekarang hendak melanjutkan pertapaanku sini dan tidak ingin
diganggu. Kecuali kalau ada urusan penting sekali, harap jangan
ganggu aku lagi." Siang Lan memberi hormat dan berkata dengan nada terharu.
"Paman telah mengorbankan waktu pertapaan Paman, sudah
berulang kali menolongku, aku mengucapkan banyak terima kasih
dan selama hidupku aku tidak akan melupakan kebaikan Paman
Bu-beng-cu." "Pulanglah, Nona, dan jaga dirimu baik-baik," kata Bu-beng-cu,
suaranya juga tergetar karena dia merasa terharu pula mendengar
suara gadis itu begitu menyentuh perasaannya.
"Engkau juga, jaga dirimu baik-baik, Paman. Selamat tinggal."
Setelah berkata demikian, Siang Lan berkelebat dan lenyap dari
depan guha tempat pertapaan Bu-beng-cu itu.
Setelah Siang Lan pergi jauh, Bu-beng-cu kini menghela napas
panjang dan pandang matanya ditujukan ke langit yang mulai
cerah dengan sinar matahari pagi.
182 "Thian, alangkah pahitnya akibat dari kebodohan dan
kelemahanku saat itu. Puji syukur kepadamu, Ya Tuhan, bahwa
Engkau telah memberi kesempatan kepadaku untuk menebus
dosaku itu......" Setelah mengeluarkan ucapan lirih dan sepasang matanya
menjadi basah air mata, Bu-beng-cu atau Thian-te Mo-ong atau
nama aselinya Sie Bun Liong melangkah perlahan-lahan
memasuki guhanya. "Y" Hati Siang Lan yang merasa girang sekali karena kini ia telah
memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu meringankan tubuh
sehingga ia mampu bergerak jauh lebih cepat daripada dahulu
sebelum digembleng oleh Bu-beng-cu. Masih teringat ia betapa
dulu ia amat mengagumi kecepatan gerakan Bu-beng-cu. Akan
tetapi sekarang ketika berlumba lari, ia dapat mengimbangi
gurunya itu! Ia merasa yakin bahwa kini ia pasti akan mampu
mengalahkan Thian-te Mo-ong dan membunuhnya untuk
membalas dendam atas perbuatan keji yang dilakukan atas
dirinya. Ia merasa lebih gembira lagi karena kini anak buahnya, semua
wanita, yang berjumlah kurang lebih limapuluh orang telah
memperoleh kemajuan dalam ilmu silat sehingga mereka
merupakan anggauta Ban-hwa-pang yang tangguh. Lebih lagi, ia
melihat betapa Li Ai ternyata memiliki bakat yang amat baik. Gadis
ini memang cerdik sekali dan didorong oleh sakit hatinya, ia berlatih
dengan tekun sehingga setelah lewat hampir setahun di Lembah
183 Selaksa Bunga, tingkat kepandaian silatnya bahkan telah
melampaui tingkat semua wanita anggauta Ban-hwa-pang.
Melihat gadis yang dahulunya lemah-lembut itu menyukai senjata
sepasang pedang, maka Siang Lan memberi sepasang pedang
yang mungil dan indah kepada Li Ai dan mengajarkan Siang-kiamsut (Ilmu Sepasang Pedang) di samping ilmu silat tangan kosong.
Juga Li Ai sudah mulai diberi pelajaran dasar untuk menghimpun
tenaga sakti. Belasan hari kemudian, pada suatu pagi Siang Lan sudah bangun
dari tidurnya. Kini ia mempunyai kebiasaan bangun pagi sekali
karena biasanya, begitu bangun dan mandi, ia langsung pergi ke
lereng di mana terdapat guha tempat bertapa Bu-beng-cu. Maka,
biarpun sekarang ia tidak lagi harus pergi ke sana seperti yang
dilakukan tiap hari selama setengah tahun, ia sudah terbiasa dan
pagi hari itu ia sudah mandi dan duduk di dalam kamarnya.
Tadi ia melamun dengan hati penasaran karena sejak berhenti
latihan di depan guha Bu-beng-cu, ia menunggu-nunggu
munculnya Thian-te Mo-ong, musuh besarnya yang dulu pernah
berjanji akan mengunjunginya setiap tahun untuk membuat
perhitungan. Ia ingat-ingat dan merasa yakin bahwa sekaranglah
saatnya, setahun telah lewat sejak ia bertanding melawan Thiante Mo-ong dan kalah. Karena kesal dan penasaran, Siang Lan kini
duduk bersamadhi untuk menenangkan hati dan pikirannya.
Jahanam sombong itu pasti akan muncul, demikian ia menghibur
diri sendiri. Segera ia tenggelam ke dalam samadhinya.
184 Pada waktu itu seperti kebiasaan mereka setiap pagi sebelum
melakukan pekerjaan sehari-hari membersihkan rumah, taman
dan bekerja di kebun sayur dan buah-buahan, limapuluh orang
anggauta Ban-hwa-pang asyik berlatih ilmu silat di pekarangan
depan yang luas dari perkampungan mereka. Li Ai tidak
ketinggalan. Gadis ini yang dahulunya seorang gadis yang lembut,
ahli seni tari, musik, nyanyi, juga mengenal sastra, kini berpakaian
ringkas dan ia berlatih silat pedang. Sepasang pedangnya
menyambar-nyambar dan karena gerakannya halus indah saking
terbiasa menari, maka gerakan silatnya seperti orang menari.
Para anggauta Ban-hwa-pang juga sibuk latihan sendiri, ada yang
berlatih silat tangan kosong, atau dengan berbagai macam senjata.
Mereka latihan dengan sungguh-sungguh dan ternyata tidak
percuma Hwe-thian Mo-li menggembleng anggauta Ban-hwa-pang
karena mereka itu rata-rata cukup gesit.
Tiba-tiba terdengar suara tawa parau dan aneh. Ketika Li Ai dan
limapuluh orang lebih anggauta Ban-hwa-pang itu menghentikan
gerakan mereka dan memandang, ternyata di situ telah berdiri
seorang laki-laki yang mukanya ditutupi sebuah topeng kayu. Yang
tampak hanya empat buah lubang, dua lubang hidung dan dua lagi
di atas untuk mata. Di balik dua lubang di atas itu tampak sinar
mata yang mencorong. Karena kedok atau topeng itulah maka
suara tawanya terdengar parau dan aneh.
"Ha-ha-ha! Ban-hwa-pang yang tersohor itu hanya memiliki para
anggauta yang begini lemah dan ilmu silatnya rendah" Sungguh
Hwe-thian Mo-li seorang ketua yang tidak becus mendidik, anak
buahnya, ha-ha-ha!" 185 Tentu saja semua anak buah Ban-hwa-pang menjadi marah
mendengar suara parau yang mengejek itu. Didahului oleh Li Ai
mereka lalu berlari menghampiri dan mengepung orang bertopeng


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Li Ai menudingkan pedang kirinya ke arah muka bertopeng itu dan
membentak, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar lembut
halus. "Orang asing yang tidak mengenal aturan! Siapakah engkau
yang begini lancang memasuki perkampungan kami yang terlarang
bagi kaum pria dan datang-datang menghina ketua kami?"
"Ha-ha-ha, kalian panggil Hwe-thian Mo-li ke sini menemui aku, ia
akan mengenal siapa aku!" kata Si Topeng Kayu dengan nada
suara sombong. Akan tetapi Li Ai sudah dapat menduga bahwa orang ini pasti
bukan seorang sahabat dan bukan orang baik-baik, maka ia
berkata, suaranya lebih tegas. "Engkau sudah melakukan tiga
pelanggaran. Pertama, engkau seorang pria berani masuk ke sini
tanpa ijin. Kedua, engkau bersikap pengecut dengan
menyembunyikan mukamu di balik topeng, dan ketiga, engkau
telah bersikap dan bicara dengan kasar menghina ketua kami.
Karena itu, kami minta engkau segera pergi meninggalkan
perkampungan kami!" "Hemm, Nona, kalian mau berbuat apa kalau aku tidak mau pergi
sebelum bertemu dengan Hwe-thian Mo-li?"
Hati Li Ai menjadi semakin panas karena nada suara orang
bertopeng itu jelas mengandung ejekan dan tantangan!
186 "Kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa kami akan menggunakan
kekerasan untuk mengusirmu!"
"Ha-ha-ha, begitukah" Ingin aku melihat bagaimana kalian dapat
mengusirku!" tantang Si Topeng Kayu.
Karena marah mendengar Siang Lan diejek, Li Ai lalu
menggerakkan sepasang pedangnya, menyerang laki-laki
bertopeng itu. Laki-laki itu adalah Thian-te Mo-ong dan melihat
serangan gadis yang masih dangkal dan mentah ilmu silatnya ini,
dia tertawa mengejek dan dengan mudah dia mengelak sehingga
serangan sepasang pedang di tangan Li Ai tidak mengenai
sasaran. Akan tetapi kini semua anak buah Ban-hwa-pang maju
mengeroyoknya! Thian-te Mo-ong masih tertawa-tawa dan tubuhnya berkelebatan
ke sana-sini seperti bayangan iblis. Limapuluh orang anggauta
Ban-hwa-pang itu terus mengejarnya sambil berteriak-teriak,
seperti sekumpulan anak-anak hendak menangkap seekor burung
yang amat gesit. Kalau saja laki-laki bertopeng itu menghendaki,
dengan mudah dia tentu akan dapat merobohkan limapuluh orang
lebih anggauta Ban-hwa-pang itu karena kepandaian mereka
masih terlalu rendah untuk dapat mengalahkan Thian-te Mo-ong.
Akan tetapi agaknya orang bertopeng itu tidak mau mencelakakan
mereka. Bagaimanapun juga dia merasa kerepotan dikeroyok puluhan
wanita muda. Dia merasa ngeri sendiri dan tiba-tiba bayangan
tubuhnya melayang ke atas dan tahu-tahu dia telah berada di atas
wuwungan rumah! Para anggauta Ban-hwa-pang hanya dapat
187 mengacung-acungkan senjata ke arahnya tanpa dapat melakukan
pengejaran. "Ha-ha-ha-ha! Hayo siapa berani mengejar ke sini?" Thian-te Moong tertawa menantang dengan suara mengejek.
Tiba-tiba terdengar teriakan melengking nyaring disusul
berkelebatnya bayangan Hwe-thian Mo-li yang melayang keluar
dari dalam rumah. Ia terkejut dan sadar dari samadhinya ketika
terdengar teriakan-teriakan anak buahnya di luar.
Ketika ia mendengar tawa dan ejekan Thian-te Mo-ong, segera ia
mengenal siapa yang bersuara parau dan aneh itu. Musuh
besarnya telah datang! Maka sambil mengeluarkan teriakan
melengking ia melompat keluar lalu memandang ke atas
wuwungan rumah dengan wajah berubah merah dan sinar
matanya mencorong penuh kemarahan dan kebencian.
"Keparat jahanam Thian-te Mo-ong! Bagus kamu datang
mengantarkan nyawamu ke sini!" Siang Lan mencabut Lui-kongkiam yang ditudingkannya ke arah muka bertopeng itu.
"Ha-ha-ha, Hwe-thian Mo-li, apakah engkau hendak mengeroyok
aku bersama puluhan orang anak buahmu itu?"
Siang Lan merasa dalam dadanya seperti dibakar. "Iblis busuk!
Aku bukan pengecut macam kau!" Lalu ia menoleh dan
membentak para anggauta Ban-hwa-pang. "Hayo kalian mundur
dan jangan sekali-kali mencampuri pertandingan antara aku dan
jahanam busuk bertopeng itu!"
188 Li Ai memberi isyarat kepada semua orang untuk menjauhkan diri
dan menyimpan senjata masing-masing.
"Ha-ha-ha, bagus! Akan tetapi tetap saja aku tidak sudi bertanding
di sini. Kalau engkau bukan jago kandang, hayo kejar aku dan kita
bertanding mengadu nyawa di luar perkampungan ini!"
Setelah berkata demikian, Thian-te Mo-ong lalu melayang turun
dari atas wuwungan langsung saja dia berlari cepat sekali keluar
dari perkampungan Ban-hwa-pang.
"Bangsat busuk, engkau hendak lari ke mana?" Siang Lan memaki
dan cepat melakukan pengejaran, mengerahkan seluruh kekuatan
gin-kangnya yang kini telah meningkat jauh.
Li Ai dan para anak buah Ban-hwa-pang hanya melihat dua
bayangan berkelebat cepat ke arah pintu gerbang lalu lenyap. Li Ai
yang mengenal watak baik Siang Lan melarang para anggauta
Ban-hwa-pang untuk melakukan pengejaran dan hanya menanti
saja di situ dengan hati tegang. Mereka hanya duduk-duduk
bergerombol dan tidak ada semangat lagi untuk berlatih. Mereka
semua maklum bahwa orang bertopeng itu adalah musuh ketua
mereka dan kini tentu ketua mereka sedang bertanding matimatian dengan musuh yang mereka tahu amat lihai itu.
Siang Lan mengerahkan seluruh kecepatan larinya melakukan
pengejaran. Akan tetapi musuh besarnya tetap berada di
depannya, dalam jarak sekitar tiga tombak. Ternyata kecepatan lari
mereka seimbang dan Thian-te Mo-ong juga tidak mampu
memperjauh jarak itu. Akhirnya Siang Lan yang marah sekali
memungut dua buah batu sebesar kepalannya dan setelah
189 memindahkan pedang ke tangan kirinya, ia melontarkan dua buah
batu itu ke arah kepala dan punggung Thian-te Mo-ong.
Thian-te Mo-ong ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam.
Biarpun ditimpuk dari belakang, dia mampu mendengar desir angin
timpukan itu dan cepat melompat ke samping sehingga dua buah
batu itu tidak mengenai tubuhnya. Dia berhenti dan membalikkan
tubuhnya menghadapi Siang Lan sambil tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha-ha! Sebaiknya di sini kita mengadu nyawa, Hwe-thian
Mo-li. Jangan mengira bahwa dengan kecepatan dan sambitan
batumu itu aku menjadi gentar!"
"Jahanam busuk Thian-te Mo-ong, bersiapkah untuk mampus di
tanganku." Siang Lan yang sudah tak dapat menahan kesabarannya lalu
menerjang dan menyerang dengan buas dan dahsyat sekali
karena ia menggunakan jurus yang paling ampuh. Ia maklum akan
kelihaian lawan maka ia pun begitu menyerang mengerahkan
semua tenaganya! Menghadapi serangan maut itu, Thian-te Mo-ong cepat mengelak
dan dia melompat ke atas, menyambar sebatang ranting pohon lalu
melawan pedang Lu-kong-kiam dengan ranting sepanjang lengan
itu! Mereka saling serang dengan hebatnya karena Siang Lan
berusaha mati-matian untuk merobohkan dan membunuh musuh
besar yang amat dibencinya ini. Ia sudah bersumpah di depan Bubeng-cu bahwa ia tidak akan membunuh orang lain kecuali Thiante Mo-ong, maka seluruh kebencian yang berada dalam hatinya
190 terhadap golongan sesat kini ditimpakan seluruhnya kepada Thiante Mo-ong.
"Singgg......!" Pedang Lui-kong-kiam meluncur dan berdesing
membuat gerakan melingkar-lingkar amat dahsyatnya. Gadis itu
menggunakan jurus Liong-ong-lo-hai (Raja Naga Kacau Lautan).
Lui-kong-kiam berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan
mengeluarkan bunyi berdesing-desing menyilauan mata dan
menyakitkan telinga. "Bagus!" Thian-te Mo-ong yang lihai itu memuji karena memang
jurus Liong-ong-lo-hai ciptaan mendiang Ong Han Cu yang dijului
Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) itu dahsyat
bukan main. Thian-te Mo-ong yang memang memiliki tingkat ilmu
silat yang sudah tinggi sekali hanya merasa kagum akan tetapi
sama sekali tidak merasa gentar. Dia menghindarkan diri dari
serangan maut itu dengan jurus Sian-jin-hoan-eng (Dewa Menukar
Bayangan), kemudian membalas dengan totokan-totokan
berbahaya dengan ujung rantingnya.
Mereka bertanding tanpa ada orang lain yang mengetahuinya itu
berlangsung selama limapuluh jurus lebih dan mereka saling
serang tanpa ada yang tampak terdesak. Siang Lan merasa
penasaran sekali. Selama setengah tahun lebih ia sudah
mendapatkan kemajuan pesat dalam ilmu meringankan tubuh
sehingga gerakannya jauh lebih cepat dibandingkan dahulu
sebelum digembleng Bu-beng-cu.
Dulu saja ia sudah terkenal memiliki gin-kang yang hebat.
Gerakannya amat cepat sehingga dunia kang-ouw memberinya
191 julukan Iblis Betina Terbang. Setelah kini gin-kangnya meningkat
banyak, tetap saja ia tidak mampu mendesak musuh besarnya.
Dalam pertandingan itu, ia melihat jelas bahwa lawannya juga
dapat bergerak cepat sekali dan agaknya dalam ilmu gin-kang,
Thian-te Mo-ong tidak kalah dan dapat mengimbanginya! Gin-kang
mereka seimbang, akan tetapi ia harus mengakui bahwa dalam hal
tenaga sakti ia masih kalah kuat, bahkan jauh kalah. Hal ini terbukti
dari senjata mereka. Ia sendiri memegang Lui-kong-kiam (Pedang Kilat), sebuah
pedang pusaka yang terbuat dari baja langka, biasanya mudah
mematahkan senjata-senjata lawan dari besi atau baja. Akan tetapi
sekarang, menghadapi sebatang ranting di tangan musuhnya,
pedang itu sama sekali tidak berdaya. Apalagi mematahkannya,
bahkan kalau pedangnya dan ranting itu bertemu keras, telapak
tangannya terasa pedas dan pedih. Hal ini membuktikan bahwa
tenaga sakti yang tersalur dalam ranting sungguh amat kuat!
Biarpun ia mulai ragu apakah ia akan mampu mengalahkan dan
membunuh musuh besar ini, Siang Lan tidak menjadi putus asa
dan ia mengamuk seperti harimau terluka.
Tiba-tiba Thian-te Mo-ong berseru, "Hwe-thian Mo-li, kalau hanya
sebegini kepandaianmu, jangan harap engkau akan dapat
mengalahkan aku, ha-ha-ha!" Tiba-tiba orang berkedok itu berseru
nyaring. "Haiiittt......!" Tangan kirinya, dengan telapak tangan terbuka
didorongkan ke arah Siang Lan. Gadis ini cepat mendorong
dengan tangan kiri menyambut pukulan jarak jauh itu.
192 "Wuuuttt...... desss......!!" Tubuh Siang Lan terpental sekitar dua
meter ke belakang, akan tetapi ia dapat berjungkir balik membuat
salto sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Ia terkejut dan
semakin marah. Dengan nekat ia menyerang lagi dengan
pedangnya. "Hyaaaahh......!" Pedang itu menyambar ke arah leher Thian-te
Mo-ong. Orang berkedok itu menggerakkan rantingnya
menyambut. "Tuk!" Pedang bertemu ranting dan melekat!
Ketika Siang Lan mencoba untuk menarik pedangnya, ternyata
pedang itu tertahan dan melekat pada ranting dan pada saat itu,
kembali Thian-te Mo-ong menyerang dengan dorongan tangan
kirinya. Siang Lan terkejut dan menyambut dengan tangan kirinya
pula. "Plakk......!" Tubuh Siang Lan terjengkang dan pedangnya terlepas
dari pegangannya. Ia terbanting roboh dan menggulingkan tubuhnya, lalu melompat
berdiri lagi. Dadanya terasa sesak dan pedangnya sudah berada
di tangan kiri Thian-te Mo-ong. Hampir saja Siang Lan menjerit dan
menangis saking marah, kecewa, dan malu. Ia menjadi semakin
nekat dan dengan tangan kosong ia menerjang lagi!
"Hemm, belajarlah lagi selama sepuluh tahun, baru engkau akan
mampu menandingiku, Hwe-thian Mo-li!" kata orang bertopeng itu
dan dia melemparkan pedang Lui-kong-kiam ke atas tanah di
193 depan Siang Lan. Pedang menancap sampai dalam dan dia
melompat ke belakang sambil tertawa.
"Ha-ha-ha, setahun lagi aku akan datang menemuimu dan kita
boleh bertanding lagi, kalau kau berani!" Kemudian tubuhnya
berkelebat dan lenyap dari situ.
Siang Lan yang maklum bahwa ia tidak mampu mengejar karena
dalam dadanya masih terasa nyeri, menjatuhkan diri di dekat
pedangnya dan ia menangis! Marah, benci, kecewa, malu, dan
penasaran mengadu dalam hatinya, membuatnya merasa sedih
sekali dan ia menangis mengguguk seperti anak kecil sambil
memukul-mukul tanah dengan kedua tangannya.
"Jahanam Thian-te Mo-ong, kubunuh kau...... kubunuh kau....,
kubunuh kau......!" Ia berteriak-teriak dan menangis lagi tersedusedu. Ia tidak terluka, hanya benturan tenaga dalam tadi
mengguncang isi dadanya karena ia kalah kuat.
Jelaslah bahwa ia kalah karena tenaga sin-kangnya masih jauh
dibandingkan lawannya. Tanpa memiliki tenaga sakti yang lebih
kuat, tidak mungkin ia dapat menang melawan Thian-te Mo-ong.
Akan tetapi sekali ini ia tidak putus asa walaupun ia menyesal dan
kecewa sekali. Ia bahkan semakin bersemangat. Ia harus
memperdalam ilmunya lagi sampai ia mampu mengalahkan dan
membunuh musuh besarnya. Sementara itu, agak jauh dari situ, Thian-te Mo-ong bersembunyi
di balik batang pohon besar dan mengintai ke arah Siang Lan yang
menangis tersedu-sedu sambil memukuli tanah. Dia menghela
194 napas berulang-ulang, lalu melepaskan topengnya
menyembunyikan topeng kayu itu di balik bajunya.
dan Kini tampak wajah Bu-beng-cu, wajah yang tampak muram dan
sedih ketika dia memandang ke arah Siang Lan. Sepasang
matanya dikejap-kejapkan dan dua tetes air mata melompat keluar
dari pelupuk matanya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu
perlahan-lahan berbisik kepada diri sendiri.
"Aku harus membangkitkan semangatnya, harus mengembalikan
harga dirinya. Suatu hari ia akan mengalahkan aku dan
membunuhku. Tidak ada lain jalan untuk membangkitkan
semangatnya dan memulihkan harga dirinya."
Dia terus mengamati Hwe-thian Mo-li sampai gadis itu
menghentikan tangisnya dan pergi dari tempat itu, kembali ke
perkampungan Ban-hwa-pang.
Setelah Siang Lan pergi, barulah Bu-beng-cu mengganti
pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai oleh Bu-beng-cu.
Pakaian yang longgar dengan jubah lebar yang tadi dipakai Thiante Mo-ong dia gulung dan dia lalu pergi perlahan-lahan
meninggalkan tempat itu. Setibanya di perkampungan Ban-hwa-pang, Siang Lan disambut
oleh Li Ai dan para anggauta perkumpulan itu. Melihat wajah Siang
Lan yang muram, para anggauta tidak ada yang berani bertanya
walaupun pandang mata mereka kepada Siang Lan mengandung
keinginan tahu tentang laki-laki bertopeng yang dikejar ketua


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka tadi. 195 Siang Lan diam saja dan terus memasuki rumah, diikuti oleh Li Ai.
Gadis ini juga dapat melihat keadaan maka ia tidak bertanya apaapa ketika Siang Lan datang. Akan tetapi setelah mereka berdua
memasuki kamar, Li Ai bertanya dengan hati tegang.
"Bagaimana, Enci" Berhasilkah engkau mengejar penjahat
bertopeng tadi" Engkau tentu telah dapat membunuhnya, bukan?"
Pertanyaan itu dirasakan Siang Lan seperti menusuk hatinya. Ia
menahan tangisnya dan menggelengkan kepalanya.
"Ia masih terlalu kuat bagiku, Li Ai. Aku harus memperdalam lagi
ilmuku sampai akhirnya aku mampu mengalahkannya dan
membalas dendam." Melihat wajah Hwe-thian Mo-li yang muram dan mendengar bahwa
gadis itu gagal membunuh musuh besarnya, Li Ai tidak berani
bertanya lagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang Lan sudah keluar
dari perkampungan menuju ke lereng di mana Bu-beng-cu tinggal
dalam guha. Ketika ia tiba di situ, ia melihat Bu-beng-cu sudah
duduk di depan guha, di atas batu datar, bersila dan kedua
matanya terpejam. "Paman Bu-beng-cu......" Sian Lan menghampiri dan berlutut di
depan gurunya itu. Bu-beng-cu membuka matanya sejenak dia memandang kepada
wajah gadis itu. Kemudian, dia berkata suaranya terdengar lembut
mesra. 196 "Hwe-thian Mo-li, engkau datang......?"
Mendegar suara laki-laki itu, suara yang menggetar dan penuh
keakraban, bahkan terdengar begitu penuh perhatian dan mesra,
Hwe-thian Mo-li tiba-tiba tak dapat menahan isaknya. Ia menangis,
menutupi muka dengan kedua tangannya. Biarpun ia menahan
suara tangisnya, namun ia terisak, kedua pundaknya bergoyanggoyang dan air mata menetes melalui celah-celah jari kedua
tangannya. Bu-beng-cu tentu saja maklum akan penderitaan hati gadis itu. Dia
memandang penuh keharuan dan rasanya ingin dia merangkul dan
menghibur gadis itu. Akan tetapi ada perasaan lega dan girang
bahwa Hwe-thian Mo-li tidak putus asa dan kedatangan gadis itu
kepadanya menunjukkan bahwa ia tentu ingin minta bimbingan
lebih lanjut dalam ilmu silat.
Dia membiarkan gadis itu menumpahkan perasaannya dalam
tangis. Setelah tangis Siang Lan mereda, barulah dia berkata
dengan lembut. "Hemm, inikah gadis perkasa yang disebut Hwe-thian Mo-li"
Sekarang menjadi seorang gadis cengeng seperti kanak-kanak"
Nona, bukan begini sikap seorang gagah. Hapuslah air matamu,
hentikan tangismu dan kita bicarakan permasalahan apa yang
membuat engkau sampai menangis seperti ini. Tidak ada masalah
yang tidak dapat dipecahkan dan diatasi!"
Mendengar ucapan itu, bangkit semangat Siang Lan. Ia mengusap
air mata di pipi dengan kedua tangannya, lalu memandang Bubeng-cu dengan mata agak kemerahan.
197 "Paman Bu-beng-cu, aku datang untuk sekali lagi mohon
pertolonganmu." Bu-beng-cu mengamati wajah itu dengan tajam, lalu berkata.
"Engkau tentu tahu bahwa aku selalu siap untuk membantumu,
Nona. Katakan, bantuan apa yang dapat kulakukan untukmu?"
"Paman, kemarin musuh besarku datang memenuhi janjinya. Kami
bertanding, aku memang dapat mengimbangi kecepatannya. Akan
tetapi akhirnya aku kalah, Paman. Aku masih jauh kalah kuat
dalam sin-kang (tenaga sakti) dan juga ketika dia bersenjata
sebatang ranting, dia memainkan ranting itu dengan ilmu pedang
yang aneh dan aku pun tidak mampu menandingi senjatanya yang
hanya ranting pohon itu. Paman, hanya engkaulah yang dapat
menolongku. Bimbinglah aku agar ilmu pedang dan tenaga sinkangku meningkat sehingga kelak aku akan mampu
mengalahkannya. Aku malu, Paman, dan rasanya aku hampir
putus asa......" "Hwe-thian Mo-li, tidak ada kata "putus asa" bagi seorang gagah!
Kalau engkau sungguh-sungguh mau belajar dengan tekun, bukan
hal mustahil engkau akan mampu mengalahkan musuh yang
bagaimana tangguhpun. Akan tetapi, Nona, benar-benarkah
engkau hendak membunuh orang yang satu itu" Mengapa kau
mendendam kepadanya" Dendam apakah itu yang membuat
engkau ingin membunuhnya?"
Mendapat pertanyaan ini, Hwe-thian Mo-li menundukkan mukanya
yang berubah merah. Apa yang harus dikatakannya" Bagaimana
mungkin ia menceritakan tentang aib yang dideritanya kepada
198 orang yang ia kagumi dan yang telah menolongku berulang kali ini"
Ia takut kalau-kalau Bu-beng-cu akan berubah pandangan
terhadap dirinya, akan memandang rendah dan menganggap
dirinya kotor. Bukankah Bong Kin yang tadinya mencinta Li Ai juga
berubah pandangan dan menganggap gadis itu tidak pantas
menjadi isterinya setelah Li Ai mengaku bahwa ia telah diperkosa
orang" Baru sekali ini seumur hidupnya Hwe-thi mo-li merasa takut kalaukalau dipandang rendah dan kotor oleh seorang laki-laki. Hal ini
adalah karena ia menganggap Bu-beng-cu sebagai gurunya,
sebagai pembimbingnya dan sebagai satu-satunya pria yang
dikaguminya, terutama sekali sebagai sumber harapannya. Akan
tetapi, iapun tidak mau berbohong kepada Bu-beng-cu.
Ia harus jujur dan terbuka, tidak peduli bagaimana nanti penilaian
Bu-beng-cu terhadap dirinya! Ia yang mengajarkan Li Ai untuk
berterus terang mengaku bahwa ia bukan gadis lagi. Apakah
sekarang ia sendiri tidak berani mengakui hal yang sama"
"Paman, Thian-te Mo-ong adalah musuh besarku. Aku mempunyai
dendam sakit hati sebesar gunung sedalam lautan kepadanya dan
aku harus dapat membalas dendam ini dengan membunuhnya!"
"Hemm, Hwe-thian Mo-li, dendam sakit hati itu hanya akan
merusak hatimu sendiri, bagaikan api yang akan membakar
perasaanmu. Dosa apakah yang dilakukan Thian-te Mo-ong maka
engkau demikian membencinya dan hendak membunuhnya?"
199 Bu-beng-cu kini menatap tajam wajah Siang Lan. Pandang mata
mereka bertemu dan dengan nekat tanpa menundukkan pandang
matanya Siang Lan menjawab.
"Dia telah memperkosaku!"
Bu-beng-cu yang mengelakkan pandang mata itu. Dia menunduk.
"Hemm, begitukah......?" katanya lirih.
"Paman Bu-beng-cu, setelah Paman mendengar aib yang
menimpa diriku, apakah Paman masih mau menolongku" Apakah
Paman masih mau mengajarkan ilmu untuk memperkuat tenaga
sakti dan memperdalam ilmu pedangku?"
"Kenapa engkau bertanya begitu?"
"Karena...... kukira...... Paman akan memandang rendah diriku,
menganggap aku kotor dan...... tidak patut menerima pelajaran dari
paman......" "Ah, mengapa engkau berpikir demikian, Nona" Peristiwa itu
terjadi bukan karena engkau sengaja, bukan kesalahanmu, engkau
tidak berdaya. Aku sama sekali tidak memandang rendah padamu,
Hwe-thian Mo-li. Aku...... aku merasa kasihan padamu dan tentu
saja aku mau memberikan seluruh kepandaianku kepadamu kalau
hal itu ada artinya bagimu."
"Ada artinya......" Setelah terjadi peristiwa itu, aku tadinya ingin
bunuh diri saja, Paman. Akan tetapi setelah aku mengetahui siapa
pemerkosa itu, aku bersumpah untuk membalas dendam dan
200 membunuhnya. Kemudian aku berjumpa denganmu, Paman, dan
muncul harapan baru dalam hatiku. Aku tidak ingin mati dulu
sebelum dapat membunuh jahanam itu dan agaknya di dunia ini
hanya Paman yang akan mampu membantu aku memenuhi
sumpahku." "Aku pasti akan membantumu, Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi
mendengar pengakuanmu bahwa engkau hendak membunuh diri,
membuat aku merasa ngeri. Apa artinya bagiku bersusah payah
mengajarkan semua ilmuku kepadamu, kalau akhirnya engkau
hanya akan membunuh diri" Bunuh diri merupakan perbuatan
yang paling rendah dan merupakan dosa besar, di samping
memperlihatkan sifat pengecut.
"Kita hidup ini bukan atas kemauan kita sendiri, melainkan ada
yang menghidupkan. Karena itu, kita tidak berhak menghentikan
kehidupan kita. Yang berhak menghentikan hanyalah Dia yang
telah menghidupkan kita. "Bunuh diri hanya dilakukan oleh seorang pengecut yang tidak
berani menghadapi kehidupan. Apakah engkau kelak ingin disebut
seorang pengecut yang berdosa besar, berdosa dan melakukan
sesuatu yang sama sekali bukan menjadi hakmu" Kalau begitu,
aku tidak mau mengajarkan apa-apa lagi kepadamu!"
"Paman Bu-beng-cu, setelah aku bertemu denganmu dan
menerima pelajaranmu, juga mendengarkan semua nasihatmu,
aku menyadari bahwa bunuh diri bukan merupakan perbuatan
orang gagah. Baik, Paman, aku akan menambahkan janji dan
sumpahku. Pertama, aku tidak akan membunuh diri dan kedua,
201 aku tidak akan sembarangan membunuh orang kalau tidak
terpaksa untuk membela diri. Akan tetapi hanya satu kecualinya,
yaitu aku pasti akan membunuh Thian-te Mo-ong!"
Bu-beng-cu menghela napas lega.
"Sekarang hatiku lega, Hwe-thian Mo-li, karena aku yakin bahwa
kelak engkau benar-benar akan menjadi seorang pendekar wanita
yang bijaksana. Nah, marilah kita mulai berlatih. Akan tetapi, untuk
melatih agar sin-kangmu benar-benar kuat, membutuhkan waktu
lama, sedikitnya satu tahun. Dan untuk mengembangkan dan
mematangkan ilmu pedangmu, juga membutuhkan waktu
sedikitnya satu tahun."
"Aku akan belajar dengan tekun, Paman, berapa lama pun sampai
akhirnya akan dapat mengalahkan musuh besarku yang amat lihai
itu." Demikianlah, mulai hari itu, Siang Lan dengan amat tekun dan
penuh semangat mulai menerima gemblengan lagi dari Bu-bengcu yang mengajarkan cara menghimpun dan memperkuat tenaga
sakti dengan sungguh-sungguh. Seperti juga dulu, Siang Lan
datang ke lereng itu setiap pagi dan pulang setelah tengah hari.
Waktu yang tersisa ia pergunakan untuk mengajarkan ilmu silat
kepada Li Ai yang juga memperoleh banyak kemajuan. Juga para
anggauta Ban-hwa-pang tekun mempelajari ilmu silat.
"Y" Pada waktu itu, sekitar tahun 1602, Dinasti Beng semakin
kehilangan pamornya. Hal ini terjadi karena banyak terjadi
202 pemberontakan-pemberontakan dari rakyat di daerah-daerah yang
merasa tidak puas dengan pemerintah. Waktu itu yang menjadi
kaisar adalah Kaisar Wan Li (1572-162O) yang sudah berusia
sekitar limapuluh tahun. Dapat dibilang bahwa seluruh pejabat pemerintah, dari para Thaikam (Orang Kebiri), pejabat tinggi sampai yang paling rendah,
hampir tidak ada yang jujur. Semua melakukan kecurangan,
korupsi dan pemerasan terhadap rakyat, berlumba-lumba untuk
memperkaya diri sendiri. Keadilan hanya digembar gemborkan
belaka oleh para pejabat. Kesejahteraan rakyat juga hanya
digambarkan sebagai mimpi, namun kenyatanya yang sejahtera,
bahkan jauh lebih daripada sejahtera, adalah para pejabat dari
yang rendah, terutama yang tinggi.
Para pejabat hidup bermewah-mewah, memborong tanah sampai
beratus hektar bersekutu dengan para pedagang hartawan
sehingga mereka hidup berlebihan. Rakyat kecil sama sekali tidak
pernah merasakan apa yang digembar-gemborkan para pembesar
tentang kemakmuran. Mereka hidup serba kekurangan, masih
ditekan lagi oleh para pembesar daerah yang bersikap seolah
menjadi raja di daerah mereka. Para petani diwajibkan memberi
sumbangan dengan ancaman hukuman kalau menolak.
Penindasan dan pemerasan terjadi di mana-mana sehingga rakyat
mulai bersikap tidak setia terhadap pemerintah.
Masih untung bagi kerajaan dinasti Beng bahwa pada saat
kerajaan itu tidak populer lagi di mata rakyat dan di mana
pemberontakan-pemberontakan terjadi di utara dan barat,
pemerintah mempunyai dua orang menteri yang setia dan
203 bijaksana. Dua orang menteri itulah yang seolah merupakan tiang
penyangga sehingga pemerintah Kerajaan Beng tidak sampai
ambruk. Yang pertama adalah menteri Yang Ting Ho, menteri yang menjadi
penasihat Kaisar Wan Li. Dengan adanya Menteri Yang Ting Ho,
kekuasaan para Thai-kam pejabat sipil dapat dikekang karena
setidaknya mereka takut kepada Menteri Yang Ting Ho yang
terkenal jujur, setia dan pemberani. Kaisar yang lemah itu menaruh
rasa hormat yang mendalam terhadap Menteri Yang Ting Ho
sehingga semua nasihat Menteri Yang masih dipercaya dan
dipatuhi kaisar. Yang kedua adalah menteri Chang Ku Cing yang menjadi panglima
besar, menguasai seluruh bala tentara Kerajaan Beng. Panglima
yang berusia limapuluh tahun lebih ini bertubuh tinggi tegap,
gagah, memelihara kumis jenggot yang pendek rapi. Dia seorang
jantan yang jujur dan setia, berani memberantas segala
kemunafikan dan keburuan para pembesar yang korup.
Dengan adanya dua orang menteri ini, keadaan di kota raja tampak
tenteram. Kalau ada kerusuhan, hal itu terjadi di daerah yang jauh
dari kota raja. Panglima Chang Ku Cing selalu siap dengan
pasukannya untuk menghancurkan setiap pemberontakan yang
terjadi di daerah kota raja. Adapun urusan pemerintah sipil, dengan
adanya Menteri Yang, di kota raja dapat dilaksanakan dengan
tertib dan teratur. Para pejabat hanya dapat melakukan kegiatan
korup mereka secara hati-hati sekali karena sekali saja ketahuan
oleh menteri Yang, mereka pasti dituntut.
204 Karena dua orang menteri ini merupakan penghalang bagi para
pembesar yang suka menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk
mengumpulkan kekayaan sebesar-besarnya, maka diam-diam
mereka lalu bersekutu dan mencari seorang yang mereka anggap
memiliki cukup kemampuan dan kekuasaan untuk menghadapi
dua orang menteri itu. Orang yang mereka pilih ini adalah Pangeran Bouw Ji Kong, adik
tiri Kaisar Wan Li. Pangeran Bouw ini beribu seorang puteri kepala
suku Hui yang diambil selir oleh Kaisar. Sebagai putera selir, tentu
saja dia tidak mewarisi tahta kerajaan yang kemudian jatuh ke
tangan Pangeran Mahkota yang kini menjadi Kaisar Wan Li.
Biarpun tidak berani berterang, diam-diam Pangeran Bouw Ji Kong
menaruh rasa iri kepada Kaisar Wan Li. Kaisar Wan Li juga
memberi kedudukan kepada adik tirinya ini sebagai penasihat
kaisar di bidang hubungan dengan suku-suku bangsa yang berada
di luar daerah Kerajaan Beng. Kedudukan ini cukup tinggi dan
karena itu Pangeran Bouw Ji Kong cukup berpengaruh. Bahkan dia
berani mengatur kebijaksanaan para pembesar daerah-daerah
perbatasan.

Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika para pembesar dan hartawan yang sudah bergabung
dengan para Thai-kam di istana itu mendekatinya, tentu saja dia
menerima dengan senang. Bagi pangeran Bouw Ji Kong, semakin
banyak orang yang mendukungnya, semakin baik karena
bagaimanapun juga, dia sering mengharapkan suatu saat dapat
menggantikan kedudukan kakaknya sebagai kaisar!
205 Hubungannya dengan para pembesar dan hartawan ini membuat
istana tempat tinggal Pangeran Bouw dibangun dan amat indah,
menyaingi istana kaisar sendiri! Pangeran Bouw Ji Kong melihat
betapa banyaknya pembesar yang mendukungnya, menjadi
semakin ambisius untuk dapat menguasai tahta kerajaan.
Untuk memperkuat kedudukannya, maka diam-diam dia
mengadakan kontak dengan suku-suku bangsa di utara, terutama
dengan suku bangsa ibunya, yaitu suku Hui dan dengan bangsa
Mancu! Ada beberapa orang perwira tinggi yang menjadi
pendukung Pangeran Bouw, di samping banyak pembesar sipil.
Tentu saja mereka semua mengetahui akan ambisi pangeran
Bouw untuk berusaha menggulingkan Kaisar Wan Li dan
merampas kedudukannya sebagai kaisar. Mereka itu
mendukungnya, dengan janji mendapat imbalan pangkat tinggi
kelak kalau usaha pemberontakan itu berhasil.
Selain itu, juga Pangeran Bouw mempunyai pasukan pengawal
sendiri yang cukup kuat. Pasukan pengawal yang terdiri dari
kurang lebih seratus orang ini merupakan pasukan perajurit yang
terlatih dan rata-rata memiliki ilmu silat cukup tangguh.
Mereka pun mengenakan seragam yang megah, dengan ciri khas,
yaitu topi berwarna kuning. Di kota raja pasukan pengawal
Pangeran Bouw ini dikenal sebagai Pasukan Topi Kuning!
Yang diserahi pimpinan pasukan ini, juga yang melatih para
perajurit pengawal itu dengan ilmu silat andalan tujuh orang tokoh
kang-ouw yang amat terkenal di dunia persilatan. Mereka bertujuh
saudara seperguruan itu di dunia kang-ouw terkenal dengan
206 julukan Kang-lam Jit-sian (Tujuh Dewa dari Kang-lam). Julukan ini
sedikit banyak mendatangkan kejumawaan dalam hati mereka dan
mereka merasa seolah menjadi datuk tanpa tanding, sakti seperti
dewa-dewa! Tujuh jagoan ini dahulunya merupakan murid murid Thian-san-pai,
akan tetapi mereka juga mempelajari berbagai ilmu silat dari aliran
lain sehingga mereka tidak lagi menggunakan nama Thian-san-pai
sebagai pusat perguruan mereka. Karena kesombongan mereka,
maka para pimpinan Thian-san-pai menyatakan bahwa mereka
bertujuh tidak diakui lagi menjadi murid dan segala sepak terjang
mereka bukan tanggung jawab perguruan itu.
Kang-lam Jit-sian terdiri dari tujuh orang laki-laki yang sampai saat
itu belum berkeluarga walaupun usia mereka sudah setengah tua.
Yang pertama bernama Ji Gan, berusia limapuluh tahun, bertubuh
tinggi besar dengan muka persegi penuh berewok. Senjata
andalannya adalah sebuah tombak berkepala naga. Orang kedua
bernama Lui Kok, berusia empatpuluh delapan tahun, tubuhnya
gemuk pendek tampak bundar, mukanya yang bulat itu tampak
kekanak-kanakan, akan tetapi dia ini tidak boleh dipandang ringan
karena senjata andalannya berupa golok besar dan berat amat
berbahaya. Yang ketiga bernama Pui Song, tinggi besar bermuka hitam seperti
arang dan senjata andalannya adalah siang-kiam (sepasang
pedang). Yang keempat bernama Pui Seng, adik dari Pui Song,
tinggi kurus dengan muka pucat dan senjatanya juga sepasang
pedang. Pui Song berusia empatpuluh tujuh tahun sedangkan
adiknya, Pui Seng, berusia empatpuluh lima tahun.
207 Kemudian yang kelima bernama Lo Kwan, usianya empatpuluh
tiga tahun, bertubuh sedang mukanya berbentuk mirip monyet
dengan hidung pesek dan bibir tebal, senjatanya adalah siang-to
(sepasang golok). Orang keenam berusia empatpuluh dua tahun
bertubuh sedang dan mukanya tidak lebih baik dari Si muka
monyet Lo Kwan karena To Pan ini kulit mukanya penuh lubanglubang burik atau bopeng (bekas penyakit cacar).
Orang terakhir atau yang ketujuh berusia empatpuluh tahun,
bertubuh sedang dan dia inilah yang paling enak dipandang di
antara mereka bertujuh karena Gu Mo Ek ini yang berkulit putih
bersih memiliki wajah yang tampan. Senjata andalannya juga
sebatang pedang. Dengan adanya Kang-lam Jit-sian ini maka Pasukan Topi Kuning
merupakan pasukan pengawal yang amat kuat karena para
anggautanya dilatih oleh mereka. Juga pasukan ini mengenakan
pakai seragam yang mewah gemerlapan, hingga tampak gagah
dan mentereng mengalahkan pasukan pengawal Kim-i-wi
(Pengawal Baju Emas) yang berada di istana kaisar!
Pangeran Bouw Ji Kong maklum benar bahwa kedudukan kakak
tirinya, Kaisar Wan Li, sesungguhnya rapuh dengan adanya
pemberontakan-pemberontakan di daerah barat dan utara. Akan
tetapi berkat kebijaksanaan dua orang menteri Chang Ku Cing dan
Yang Ting Ho, maka pemerintah masih kuat.
Karena itu, setelah mengadakan perundingan rahasia dengan para
sekutunya, Pangeran Bouw memutuskan bahwa untuk mengawali
langkah pertama, yang terpenting harus lebih dulu melenyapkan
208 kekuatan yang mendukung kaisar. Mereka yang setia kepada
Panglima Chang Ku Cing dan Menteri Yang Ting Ho, haruslah
dilenyapkan sebelum kedua orang menteri itu yang mendapat
giliran. Setelah mereka semua lenyap, maka akan mudah
menggulingkan kaisar Wan Li dari kedudukannya dan merampas
singgasana! Pada suatu malam yang gelap dan sunyi karena langit masih
tertutup mendung tebal dan agaknya hujan sore tadi masih
terancam hujan susulan, dua sosok bayangan orang berkelebat
cepat sehingga kalau ada yang melihatnya tentu tidak akan
mengira bahwa yang berkelebat itu adalah manusia. Dua
bayangan itu dengan kegesitan luar biasa telah berhasil melewati
pagar manusia Pasukan Topi Kuning yang menjaga di sekeliling
istana Pangeran Bong! Mereka berdua melayang ke atas
wuwungan tanpa ada yang mengetahui.
Sementara itu, di ruangan dalam, sebuah ruangan luas yang
dirahasiakan dalam istana itu. Pangeran Bouw Ji Kong duduk di
dalam ruangan itu, di kepala meja panjang dan belasan orang
duduk di sekeliling meja menghadapnya.
Pangeran Bouw Ji Kong berusia sekitar empatpuluh lima tahun.
Tubuhnya tinggi dengan perut gendut, wajahnya berwibawa dan
memiliki garis-garis yang menunjukkan kekerasan hatinya.
Pakaiannya mentereng dengan sulaman benang emas, seperti
pakaian kaisar saja. Di pinggang kirinya tergantung sebatang
pedang. 209 Enambelas orang yang duduk menghadapinya itu terdiri dari tujuh
Kang-lam Jit-sian dan sembilan orang pembesar sipil dan militer.
Sembilan orang itulah yahg merupakan para pembesar di kota raja
yang mendukung Pangeran Bouw Ji Kong. Sebetulnya terdapat
lebih banyak lagi, namun yang diundang berkumpul pada malam
hari itu hanyalah para pendukung yang berpangkat tinggi.
Sejak tadi mereka bercakap-cakap membicarakan rencana
Pangeran Bouw, akan tetapi bukan merupakan rapat karena
mereka semua masih menanti datangnya orang-orang yang
mereka anggap penting sekali. Kehadiran orang-orang itu ditunggu
sejak tadi oleh Pangeran Bouw Ji Kong.
Agaknya Pangeran Bouw merasa tidak sabar karena malam
semakin larut dan mereka yang dinanti-nanti belum juga muncul.
Dia memandang ke arah seorang perwira tinggi yang hadir di situ
lalu menegur. "Su-goanswe (Jenderal Su), mana mereka yang engkau laporkan
kepada kami akan datang hadir" Mengapa sampai sekarang
mereka belum juga muncul?"
Su Lok atau Jenderal Su yang bertubuh tinggi besar dan
memelihara kumis tikus dan jenggot panjang itu memberi hormat
lalu menjawab. "Harap Pangeran bersabar. Saya merasa yakin bahwa mereka
pasti akan hadir karena kedua pihak itu telah memberi kepastian
kepada saya. Agar tidak mencolok, maka mereka tentu datang
dengan diam-diam." 210 "Ahh, jangan-jangan mereka itu ketahuan dan tertangkap!" kata
seorang pembesar sipil dengan wajah tegang dan gelisah. Kalau
sampai persekutuan mereka diketahui karena tertangkapnya
utusan dari luar itu, tentu mereka semua akan celaka.
Jenderal Su Lok Ti mengerutkan alisnya kepada pembesar yang
mengatakan kekhawatirannya itu, akan tetapi dia tidak ingin ribut
berbantahan dengan seorang rekan. Dia berkata lagi kepada
Pangeran Bouw. "Harap Pangeran tidak khawatir. Pihak utara dan selatan pasti
mengirim utusan-utusan yang berkepandaian tinggi sekali
sehingga tidak mungkin mereka dapat tertangkap. Saya kira
sebaiknya Paduka mulai dengan rapat ini, menjelaskan rencana
Paduka kepada kami semua. Nanti kalau para utusan itu datang,
dapat dijelaskan kepada mereka keputusannya."
Semua orang mengangguk. menyetujui usul ini dan Pangeran Bouw "Baiklah kalau begitu. Seperti yang kita semua ketahui, pendukung
Kaisar yang merupakan penghalang besar bagi kita adalah menteri
Yang Ting Ho dan Panglima besar Chang Ku Cing yang diikuti
beberapa orang pembesar yang setia kepada mereka. Sekarang
yang ingin kita bicarakan, bagaimana kita harus menanggulangi
dan menyingkirkan penghalang-penghalang itu. Kalau ada yang
mempunyai usul atau saran yang baik, katakanlah."
Seorang yang berpakaian perwira tinggi berkata penuh semangat.
"Pangeran, sebaiknya kita langsung saja mencabut akar yang
211 menjadi penghalang itu. Kita bunuh saja Yang Ting Ho dan Chang
Ku Cing!" Semua orang terkejut mendengar saran yang radikal itu. Pangeran
Bouw mengerutkan alisnya, lalu menggelengkan kepalanya.
"Saran itu menuju ke sasaran pokok, namun tidak mungkin
dilakukan. Ingat, mereka berdua merupakan orang penting yang
dekat kaisar dan mereka mempunyai banyak bawahan yang setia
kepada mereka. Amat sukar untuk dapat melenyapkan mereka
karena mereka mempunyai pengawal yang kuat. Andai kata kita
dapat membunuh mereka pun, tentu akan menimbulkan
kegemparan dan kita dapat dicurigai. Akan berbahaya kalau kita
ketahuan sebelum kedudukan kaisar menjadi lemah.
"Menurut kami, akan lebih baik kalau kita berusaha melemahkan
kedudukan kedua orang penting itu dengan jalan diam-diam
membinasakan para pengikut mereka yang setia. Kematian
pembesar lain tentu tidak akan menimbulkan banyak
kegemparan." "Pangeran, saya mempunyai saran yang kiranya lebih baik dan
lebih aman," kata seorang pembesar sipil yang usianya sudah
enampuluh tahun lebih. "Kita tentu masih ingat akan kematian Panglima Kui Seng yang
membunuh diri di depan Panglima besar Chang Ku Cing. Semua
orang tahu bahwa mendiang Panglima Kui Seng adalah pembantu
utama yang setia kepada Panglima besar Chang. Bahkan sudah
membuat banyak jasa. Akan tetapi panglima besar Chang
212 mendesaknya karena demi menolong puterinya, Panglima Kui
telah membebaskan tawanan dari penjara.
"Nah, peristiwa itu tentu mendatangkan perasaan tidak senang dan
penasaran dalam hati para perwira anak buah Panglima besar
Chang. Kesempatan ini kita pergunakan untuk membujuk mereka
agar meninggalkan Panglima besar Chang dan mendukung
gerakan kita. Demikianlah, kalau mereka semua meninggalkan
Panglima besar Chang, berarti kedudukan mereka menjadi lemah
dan mudah bagi kita untuk menyingkirkan mereka."
Pangeran Bouw mengangguk-angguk dan sepasang matanya
bersinar gembira. "Bagus sekali saran Ciok-taijin (Pembesar Ciok) itu. Baik, kita
mencoba untuk membujuk mereka dan kalau ada yang menolak,
baru kita bunuh mereka yang menolak ajakan kita. Nah, siapa yang
akan melaksanakan pembasmian mereka yang tidak mau bekerja
sama dengan kita" Pekerjaan ini harus dilakukan dengan hati-hati
jangan sampai ketahuan."
"Pangeran, saya yang akan mengatur pembasmian mereka itu!"
kata Jenderal Su Lok Ti. "Wah, itu terlalu berbahaya!" cela seorang pejabat tinggi lainnya.
"Kalau Su-goanswe yang mengatur, lalu ketahuan, berarti rahasia
kita semua terbongkar."
"Tidak akan ada yang dapat mengetahui!" bantah Jenderal Su yang
berwatak keras. 213 Terjadi perbantahan antara mereka yang hadir, ada yang pro Sugoanswe akan tetapi ada pula yang anti. Akhirnya Pangeran Bouw
mengangkat tangan memberi isyarat dan semua orang terdiam.
"Kita harus bertindak hati-hati. Memang sebaiknya kalau usaha
pembasmi pihak musuh itu dilakukan oleh sekutu kita yang datang
dari luar. Selain mereka mempunyai banyak orang sakti, juga
seandainya mereka tertangkap, istana tentu akan menganggap
penyerangan sebagai tindakan para pemberontak di luar daerah
itu dan sama sekali tidak akan mencurigai kita," kata Pangeran
Bouw Ji Kong. "Akan tetapi bagaimana kalau mereka kemudian mengaku tentang
persekutuan mereka dengan kita, Pangeran?" tanya seorang di
antara para perwira tinggi yang berada di situ.
"Mereka tidak akan mengaku, dan andaikata mereka mengaku,
Kaisar tidak akan percaya. Buktinya tidak ada dan kaisar pasti akan
lebih percaya kepadaku daripada mereka. Sudahlah, jangan
khawatir. Sekarang sudah kita tentukan. Kita akan membujuk para
pendukung Panglima besar Chang dengan matinya Panglima Kui
sebagai alasan. Kalau bujukan itu telah dilaksanakan, maka siapa
di antara mereka yang tidak mau bekerja sama, akan kita bunuh
satu demi satu dan yang melaksanakan adalah orang-orang dari
suku Mancu, suku Hui, dan dari Pek-lian-kauw."
"Akan tetapi, apakah mereka sanggup melaksanakan tugas berat
itu?" tanya seorang pembesar sipil.
"Ha-ha-ha, siapa yang menyangsikan kesanggupan dan
kemampuan kami?" tiba-tiba terdengar suara yang berlogat asing
214 dan tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan dan tahu-tahu di


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam ruangm itu telah berdiri dua orang. Agaknya mereka berdua
tadi melayang masuk melalui atap yang mereka buat tanpa ada
pengawal yang melihat mereka saking cepatnya mereka bergerak.
Seorang kakek tinggi kurus berwajah pucat seperti mayat dengan
rambut putih, matanya sipit dan mulutnya menyeringai penuh
ejekan membawa sebatang pedang di punggung dan sebatang
kebutan putih terselip di ikat pinggang, dan seorang laki-laki
setengah tua yang berpakaian serba tebal, tubuhnya tinggi besar,
mukanya berwarna merah tanpa kumis maupun jenggot, di
pinggangnya tergantung sebatang golok gergaji.
Kakek itu berusia sekitar enampuluh lima tahun dan dia adalah
Hwa Hwa Hoat-su, seorang datuk dari Pek-lian-kauw yang berilmu
tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Dia datang berkunjung
sebagai wakil dan utusan Pek-lian-kauw yang menjadi satu di
antara para sekutu Pangeran Bouw.
Adapun laki-laki kedua bermuka merah itu adalah Hongbacu,
berusia sekitar empatpuluh lima tahun. Dia bukan orang
sembarangan karena dia adalah adik seperguruan dari Nurhacu,
tokoh Mancu yang kelak berhasil merobohkan kerajaan Beng dan
membangun dinasti Ceng. Hongbacu ini menjadi wakil pihak Mancu dan utusan dari Nurhacu
yang diam-diam juga menjadi sekutu Pangeran Bouw. Hongbacu
memiliki ilmu kepandaian tinggi pula, di antara bangsa-bangsa di
utara dia amat terkenal karena kelihaiannya.
215 Pangeran Bouw yang sudah mengenal dua orang tokoh itu segera
bangkit berdiri menyambut dengan girang.
"Ah, kiranya Hwa Hwa Hoat-su wakil Pek-lian-kauw dan Saudara
Hongbacu wakil dari Mancu. Selamat datang dan silakan duduk!"
Setelah mereka berdua duduk di kursi yang memang sudah
dipersiapkan untuk mereka, Hongbacu memandang kepada para
hadirin, lalu bertanya dengan heran kepada tuan rumah.
"Pangeran Bouw, saya tidak melihat Tarmalan, padahal dia adalah
orang penting dalam persekutuan kita. Kenapa dia tidak hadir
malam ini?" "Saudara Hongbacu, jangan khawatir, kami yakin bahwa dia pasti
akan hadir," jawab Pangeran Bouw.
"Heh-heh, apakah aku terlambat?" terdengar suara orang tanpa
tampak orangnya. Lalu dari jendela muncul gumpalan asap memasuki ruangan itu
dan perlahan-lahan asap itu membuat bentuk lalu berubah menjadi
seorang laki-laki bertubuh sedang, berwajah tampan dan
memegang sebatang tongkat ular. Usianya sekitar limapuluh lima
tahun. Inilah Tarmalan, orang penting yang menjadi utusan suku bangsa
Hui dan terkenal sebagai dukun atau ahli sihir. Dukun Tarmalan ini
masih terhitung paman dari pangeran Bouw karena ibu kandung
Pangeran Bouw yang menjadi selir Kaisar Cia Ceng ayah Kaisar
216 Wan Li yang sekarang menjadi kaisar Kerajaan Beng, adalah
kakak tertua dari Tarmalan.
Kecuali Hongbacu dan Hwa Hwa Hoat-su yang berilmu tinggi,
mereka yang duduk di situ memandang kagum atas kemunculan
Tarmalan yang luar biasa itu. Tarmalan yang menjadi dukun dari
suku bangsa Hui memang terkenal lihai, terutama ilmu sihirnya.
Setelah tiga orang tamu istimewa itu duduk, Pangeran Bouw lalu
berkata kepada mereka. "Terima kasih atas kedatangan Sam-wi (Anda bertiga) yang
memang sejak tadi kami menantikan. Di dalam perundingan kami
tadi, kami telah mengambil keputusan dan kini hanya tinggal minta
pertimbangan Sam-wi apakah keputusan itu dapat diterima
ataukah ada usul lain."
"Apakah keputusan itu, Pangeran" Harap jelaskan dan akan kami
pertimbangkan," kata Hwa Hwa Hoat-su sambit mengelus
jenggotnya yang putih. "Keputusan kami begini, Locianpwe (orang Tua Perkasa).
Kekuatan pemerintah terletak kepada Menteri Yang Ting Ho dan
Panglima Chang Ku Cing. Kalau mereka berdua tidak ada, maka
pemerintah akan menjadi lemah dan mudah kita gulingkan.
Membinasakan dua orang tokoh itu tidaklah mudah dan akan
menimbulkan kegemparan sehingga ada bahayanya persekutuan
kita ketahuan sebelum kita sempat bergerak. Maka, kami tadi
mengambil keputusan untuk melemahkan kedudukan dua orang
itu dengan dua cara, yaitu pertama membujuk para pembesar sipil
217 dan militer yang setia kepada mereka berdua dan cara kedua,
membunuh mereka yang tidak mau bergabung dengan kita."
"Ah, bagus sekali rencana itu!" kata Hwa Hwa Hoat-su. "Tidakkah
engkau juga menyetujuinya, Sobat Hongbacu?"
Tokoh Mancu itu mengangguk-anggukan kepalanya. "Memang
tepat sekali kalau dua orang menteri itu kehilangan pendukung
mereka, kedudukan mereka tentu lemah dan mudah bagi kita untuk
menyingkirkannya sehingga Kaisar tidak lagi mempunyai
pendukung setia yang tangguh."
"Kami memang senang bahwa Sam wi agaknya sudah setuju
dengan keputusan itu. Dan mengingat akan penting dan sukarnya
pekerjaan ini, maka kami mengharapkan bantuan Sam-wi untuk
melaksanakannya." "Silakan Pangeran mengadakan pendekatan dan bujukan kepada
para pembesar yang mendukung Menteri Yang dan Panglima
Chang itu, kemudian memberitahu kami siapa-siapa yang tidak
mau bergabung dan harus dienyahkan. Pekerjaan itu akan kami
bagi bertiga agar dapat terlaksana lebih cepat," kata Hwa Hwa
Hoat-su yang memandang ringan tugas itu.
"Ha-ha-ha!" Hongbacu tertawa. "Tugas semudah itu serahkan saja
kepadaku. Aku akan dapat membasmi mereka. Katakan saja
kepadaku siapa-siapa yang harus dibunuh, Pangeran!"
"Heh-heh-heh, Hongbacu, tidak boleh kau borong sendiri! Aku
setuju dengan pendapat Hwa Hwa Hoat-su tadi. Tugas itu kita bagi
bertiga dan kita lihat saja siapa yang lebih dulu dapat
218 menyelesaikan tugas dengan sempurna!" Tarmalan berkata sambil
memandang kepada tokoh Mancu bertubuh tinggi besar dan
bermuka merah itu. "Kami akan melaksanakan cara pertama, melakukan pendekatan
dan membujuk para pembesar itu. Sementara itu, Sam-wi lebih
baik tinggal di sini dan tidak keluar agar jangan terlihat orang lain.
Nanti setelah kami melakukan cara pertama, baru kami akan
memberitahukan siapa-siapa yang harus dilenyapkan oleh Samwi," kata Pangeran Bouw.
Semua orang setuju dan pertemuan itu ditutup dengan makan
malam yang sudah dipersiapkan. Hidangan mewah dengan arak
yang harum. Sampai larut lewat tengah malam barulah pertemuan
itu diakhiri dan para pembesar sipil dan militer itu kembali ke rumah
masing-masing. Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, Tarmalan masing-masing diberi
sebuah kamar mewah dalam istana Pangeran Bouw dan sejak
malam itu mereka menanti di istana, dilayani dengan baik oleh para
Patung Emas Kaki Tunggal 2 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Panji Sakti 4
^