Pencarian

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 12

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 12


kiri dan kanan. Ini jenis selendang yang bisa membentuk gelanggelang sembilan lingkaran, yang lantas akan bisa membuatnya
meluncur pada lorong yang terbentuk oleh sembilan lingkaran
gelang-gelang itu. Setelah keluar dari lorong itu ia bisa
menyentakkan selendangnya dan lenyaplah sembilan lingkaran
gelang-gelang yang terbentuk dari selendang panjang itu.
Namun apabila tarian selendang panjang sembilan lingkaran itu
dialihkan menjadi Ilmu Silat Selendang Setan, sembilan lingkaran
gelang-gelang ini bukannya akan meloloskan, melainkan sebaliknya, menjirat dan mengiris tubuhnya menjadi sembilan
potongan! Betapa tidak, jika selendang menerawang itu, ketika
dimainkan dalam Ilmu Silat Selendang Setan, meski tetap lemah
1089 gemulai bilamana bersentuhan dengan senjata lawan menjadi
begitu keras, sehingga bahkan dapat mematahkan pedang jian.
Sang Buddha berkata: bagi manusia sungai tampak seperti sungai,
tetapi bagi iblis kelaparan,
yang melihat api di dalam air,
akan tampak seperti api. 1
"Selendang Setan!"
"Apalagi Pengemis Tua?"
"Benar tidak tahukah kamu bahwa istri Pemuda Liu yang
bermaksud kau bunuh itu adalah adikmu sendiri?"
Selendang Setan tampak tertegun.
"Sudah kukatakan tadi, siapalah yang kamu perhatikan selain
dirimu sendiri?" "Lanjutkan bualanmu itu Pengemis Tua!"
1090 "Ya, itulah adikmu, putri ibumu, tetapi bukan dari Ular Sungai,"
lanjut Pengemis Tua Berjenggot Putih, ''Ya, ibumu berselingkuh,
dan ayahmu nyaris membunuhnya jika seseorang tidak menolongnya." "Siapa yang menolongnya?"
Pengemis Tua Berjenggot Putih itu berhenti sejenak.
"Hahahahahahahaha! Tertarikkah Selendang Setan" Huahahahahaha!" Aku yang sejak awal pernah mendengar cerita semua pelaku ini
pun menjadi ikut tertarik. Sempat juga aku berpikir, siapa yang
akan mengurus begitu banyak mayat yang berlimpangan ini"
Siapakah yang akan menyembahyangkannya"
membakar, Namun mengubur, perbincangan itu atau sudah berlanjut. "Sekali pembual tetap pembual," ujar Selendang Merah, "aku
hanya ingin tahu, apakah bualanmu itu sama buruknya dengan
ilmu silatmu." Jika Pengemis Tua Berjenggot Putih membual, sudah tentu
bualannya itu hebat sekali, tetapi jika yang akan dikatakannya nanti
1091 membuat semuanya benar dan tiada lain selain benar, maka
apakah kiranya yang akan dilakukan Selendang Setan"
"Aku tidak tahu namanya, tetapi yang menolongnya, menurut Ular
Sungai kepadaku adalah seorang pendekar kebiri," lanjut
Pengemis Tua Berjenggot Putih, "Ular Sungai hanya mengingat
cirinya, ia tinggi tegap, berambut lurus panjang, dan senjatanya
adalah sepasang pedang panjang melengkung."
Alih-alih Selendang Setan, akulah yang menjadi terkejut. Ciri-ciri
itu seperti ciri-ciri Harimau Perang!
Di manakah peristiwa itu terjadi" Apakah Ular Sungai yang
berkeliaran sampai Daerah Perlindungan An Nam; ataukah
Harimau Perang yang telah mengembara sampai ke Sungai Wei
dan Jalur Sutera" "Orang kebiri?"
Pertanyaan Selendang Setan ini sama dengan pertanyaanku.
Bedanya, Selendang Setan mungkin beranggapan orang kebiri
sudah pasti berada di istana, sesuai dengan pengorbanan
memotong bagian tubuh yang membuatnya berbeda dari
perempuan. Pertanyaanku tentu karena keheranan luar biasa, jika
memang benar bahwa Harimau Perang adalah orang kebiri!
1092 "DEMIKIANLAH cerita ayahmu, Selendang Setan. Ibumu nyaris
dibunuhnya jika tidak muncul pendekar kebiri itu," Pengemis Tua
Berjenggot Putih melanjutkan ceritanya, ''Mereka bertarung
sampai tiga hari tiga malam tidak ada yang kalah dan tidak ada
yang menang, sampai mereka bersepakat untuk menghentikannya. Orang kebiri itu meminta agar ayahmu
melepaskan saja ibumu, bukan sekadar karena telah bersama
seseorang yang lain, tetapi juga karena sedang mengandung
adikmu." Selendang Setan mengendorkan bentangan selendangnya.
"Jika semua itu benar, Pembual Tua, dapatkah kamu katakan
siapa orangnya yang telah membuat ibumu berpaling dari
ayahku?" Pengemis Tua Berjenggot Putih tersenyum getir.
"Ya, ayahmu menceritakan kepadaku, tetapi dengan permintaan
agar aku tidak mengungkapkannya. Jadi aku pun tidak bisa
mengatakannya, Selendang Setan."
"Benar dugaanku, kamu masih pembual, mengapa harus kubuang
waktuku untuk mendengarkan semua karanganmu ini!"
1093 "Tunggu dulu Selendang Setan, ayahmu mengambil kebijakan itu
karena jika namanya diungkapkan, hidupmu tidak akan menjadi
tenang." Selendang Setan mengebutkan selendangnya ke sebuah batu
besar di dekatnya, yang langsung hancur menjadi tumpukan
kerikil. "Sudah jelas kamu harus kubunuh! Pengarang cerita sumber
petaka!" "Mengapa marah Selendang Setan" Ini karena dirimu mempercayainya!" "Coba katakan, apakah kekasih ibuku itu seorang penyoren
pedang?" Pengemis Tua Berjenggot Putih tersenyum.
"Bukan." "Hmmm." Senyum Pengemis Tua Berjenggot Putih itu semakin lebar.
1094 "Laki-laki memang keliru jika merasa perempuan hanya tertarik
kepada diri mereka karena ototnya," lantas ia tertawa, "Ya, seperti
salahku sendiri, mengira kamu akan selalu cinta kepadaku karena
segenap keunggulanku."
Namun senyumannya menjadi getir.
"Sebaliknya, kamu terkagum-kagum dengan seorang lelaki berotak
dan berpengetahuan, yang tentu saja tidak dapat kutandingi
dengan membaca kitab-kitab ilmu pengetahuan dan keagamaan
sama banyak dengan dirinya, karena menyempurnakan Jurus
Tongkat Pengemis Menggebuk Anjing Kudisan saja sudah
membutuhkan seluruh waktu hidupku. Namun, Selendang Setan,
kamu pun telah mengalaminya, betapa segera membosankannya
ketubuhan maupun kecantikan bagi orang yang berotak dan
berpengetahuan itu, meski bukan berarti mereka tidak ingin
menikmatinya. "Maka begitulah mereka selalu meninggalkanmu Selendang
Setan, karena dirimu tidak mengenal aksara, tidak mampu
membaca kitab-kitab, tidak mengenal puisi, apalagi berbincang
tentang filsafat. Kamu anak seorang perompak terkejam dan
ditakuti, membunuh orang bagimu pekerjaan sehari-hari, mengapa
pula kamu masih berharap mendapatkan suami beradab?"
1095 Dhammapada berkata: Seorang bodoh yang berpikir dirinya bodoh,
atas alasan itu adalah orang bijak.
Seorang bodoh yang berpikir dirinya bijak
memang disebut bodoh. 1 Aku sangat mengerti kekecewaan Pengemis Tua Berjenggot Putih,
tetapi aku juga dapat memahami cita-cita perempuan seperti
Selendang Setan, yang berharap agar nasibnya tidak terjebak
lingkaran setan, yakni mendapat suami dari kalangan perompak,
yang selain jelas buta aksara pun peradabannya boleh dipastikan
mengenaskan. Bahkan Pengemis Tua Berjenggot Putih yang
disegani karena membebaskan diri dari keterikatan dengan Partai
Pengemis, tidaklah cukup beradab bagi Selendang Setan, karena,
benar juga, masa depan macam apakah yang bisa diharapkan dari
seorang pengemis" Kini angin bertiup kencang sekali. Sangat kencang, begitu
kencang, sehingga agar bisa saling mendengar, mereka yang
bercakap-cakap harus berteriak-teriak.
1096 "Nah, apakah kamu jadi membunuhku Selendang Setan?"
Pengemis Tua Berjenggot Putih berteriak lantang, "Tidak jadi soal
bagiku sekarang apa yang akan kamu lakukan, karena seorang
saksi dunia persilatan telah dapat dipercaya mende?ngar apa yang
kusampaikan. Banyak pihak akan memutarbalikkan cerita sesuai
keinginannya, tetapi seorang pendekar telah mendengarnya."
Tentu aku dapat mengerti jalan pikiran seperti itu, tetapi jika
menyangkut diriku, apakah kiranya yang membuat Pengemis Tua
Berjenggot Putih itu yakin bahwa diriku akan terus beredar di
sungai telaga dunia persilatan Negeri Atap Langit"
Betapapun aku ini hanyalah seorang pengembara yang tersangkut
setahun lebih di Chang'an karena urusan Harimau Perang. Tidak
ada jaminan apa pun betapa diriku akan tetap berada di Chang'an,
bahkan tiada jaminan masih berada di Negeri Atap Langit jika
urusanku selesai. Sekarang urusanku dengan Harimau Perang mengenai terbunuhnya Amrita Vighnesvara dalam pertempuran merebut
Kota Thang-long yang gagal, belum selesai. Namun setelah
urusan itu selesai, aku hanyalah seorang pengembara yang akan
meneruskan perjalanannya bukan"
1097 "Pengemis Tua!"
Selendang Setan juga berteriak lantang. Kulihat angin sekencang
ini tidak mengganggu pemusatan perhatiannya.
"Ya!" "Benarkah kamu tidak akan mengungkap siapa kekasih ibuku?"
"Tidak!" "Tidak juga akan mengungkapnya jika aku bersedia menjadi
istrimu"!" Namun suara angin sungguh terlalu keras. Pengemis Tua
Berjenggot Putih itu tidak dapat mendengarnya.
"Apa"!" GEMURUH angin memekakkan telinga. Tempat persinggahan
yang semula sunyi seperti di kuburan kini bagaikan lalu-lintas yang
ramai, ketika tiupan terkencang bagai memperdengarkan teriakanteriakan terkeras dari banyak orang yang tiada terlihat, antara
kemarahan dan kesakitan silih berganti. Tidak ada lagi yang bisa
dilakukan dalam keadaan alam seperti ini selain bertahan dan
mencari keselamatan. Pagi memang tetap terang benderang,
1098 tetapi kesunyiannya sudah hilang, menjadi hiruk-pikuk kepanikan
yang asalnya tidak terlalu jelas.
Apakah angin kencang ini akan menjadi badai, bukanlah
kemampuanku untuk meramalkannya, tetapi perahu-perahu yang
ditambatkan hampir semua tali penambatnya tertarik lepas, dan
terseret arus sampai tiada terlihat lagi. Angin yang membawa pasir
kemudian membuat langit pun menjadi gelap. Tidak kulihat lagi
Pengemis Tua Berjenggot Putih maupun Selendang Setan.
Bahkan diriku pun, jika tidak mengerahkan ilmu memberatkan
tubuh, niscaya sudah terpindahkan dan jatuh terguling ke tempat
lain yang jauh. Sembari bertahan kulihat mayat-mayat yang semula tergeletak
dengan beku mulai terseret. Mula-mula memang hanya bergerakgerak, sehingga beberapa di antaranya tampak seperti masih
hidup, seperti orang tidur yang bergerak ke sana dan kemari,
berguling ke samping kanan dan kiri. Lantas mayat-mayat itu mulai
terseret di atas tanah. Mayat yang telungkup terseret dalam
keadaan telungkup, mayat yang terlentang terseret dalam keadaan
terlentang, sedangkan mayat yang terduduk terseret dalam
keadaan tetap duduk. 1099 Ada juga mayat yang semula tertelungkup atau tertelentang


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah beberapa saat terseret lantas terguling-guling. Mayatmayat yang terseret maupun terguling-guling apabila terhalang
sesuatu akan menyangkut di tempat itu, kadang tampak seperti
akan berada di situ selamanya dengan tangan, kaki, atau kepala
yang bergerak-gerak seperti sedang mengerjakan sesuatu,
kadang bisa terlepas dan terseret atau terguling-guling kembali.
Adapun yang tidak tersangkut sesuatu masih terus terseret atau
terguling-guling tanpa dapat diketahui kapan akan berhenti, atau
akan menyangkut di mana, bahkan angin yang tidak semakin surut
kekuatannya itu kemudian ternyata menerbangkannya.
Mayat-mayat yang beterbangan di udara seperti daun kering
diterbangkan angin. Apakah ini tidak terlalu berlebihan" Kulihat
pula bagaimana mayat-mayat yang terapung-apung di sungai itu
terseret lepas dari sangkutannya, bukan karena terbawa arus
sungai yang deras menuju ke hilir, melainkan justru tertiup angin
ke arah yang berlawanan, meluncur di atas permukaan air sungai,
semakin lama semakin cepat dan akhirnya melayang seperti
dedaunan yang beterbangan pula.
Aku terkesiap dan segera memusatkan perhatian. Kukira ini sama
sekali bukan peristiwa alam. Ini adalah tipuan sihir!
1100 Sun Tzu berkata: gunakan siasat dengan bijak
untuk memperlemah perlawanan musuh
dan mengubah pertempuran menguntungkan dirimu 1
Ketika badai pasir telah berlalu dan langit kembali cerah, Pengemis
Tua Berjenggot Putih dan Selendang Setan kulihat terkapar
sebagai mayat. Pengemis Tua Berjenggot Putih binasa dalam
keadaan tertelungkup, sedangkan Selendang Setan perlaya dalam
keadaan terlentang, keduanya tampak memuntahkan darah segar.
Ya, darahnya berkilauan dalam cahaya matahari karena belum
mengering. Keduanya baru beberapa saat saja terbunuh tanpa
sempat melakukan perlawanan.
Pukulan yang telah membunuh Pengemis Tua Berjenggot Putih
dan Selendang Setan sebenarnya adalah pukulan Telapak Darah,
yang sangat jamak digunakan sebagai salah satu jurus tangan
kosong dalam dunia persilatan, tetapi yang kali ini dengan
mudahnya menembus pertahanan mereka karena kecepatan yang
luar biasa. Mayat-mayat itu, yang bergelimpangan di darat maupun terapungapung di sungai, sudah lenyap sama sekali. Namun tetap saja
1101 kembalinya kesunyian ini adalah kembalinya kesunyian yang tidak
menenteramkan. Kurasakan angin berhembus dan kudengar
kericik air sungai, tetapi aku tahu betapa sebaiknya aku jauh lebih
waspada! Lantas terdengar suara yang begitu halus dan merdu, yang
sungguh bertentangan dengan suasana yang jauh dari me?nenteramkan dari tempat ini. Jika tidak menyadari betapa
dunia persilatan sungguh penuh jebakan dan tipuan maut, sangat
mungkin diriku akan terkecoh oleh kehalusan dan kemerduan
seperti ini. "Sungguh kebetulan dapat menjumpai Pendekar Tanpa Nama
yang ternama di sini," ujar suara halus dan merdu itu di
belakangku. Aku sangat ingin berbalik untuk melihat wajah pemilik suara itu,
tetapi firasatku mengatakan jangan!
Maka aku pun menjawab tanpa menoleh.
TANPA disangka aku langsung masuk ke pertarungan silat tingkat
tinggi yang tidak mengizinkan kelengahan sedikit pun, kecuali
memang ingin kehilangan nyawa dengan cara mengenaskan,
yakni kehilangan kepala. Padahal itulah yang akan terjadi, jika aku
1102 menoleh dan memalingkan kepala karena mendengar suara halus
dan merdu yang mengajakku berbicara itu. Siapakah orangnya
yang tiada akan menoleh ketika mendengar panggilan suara
sehalus dan semerdu itu di tempat sesunyi ini" Kepastian itulah
yang telah membangunkan diriku dari tidur-kesemuanku.
Seperti kecantikan, kehalusan dan kemerduan suara adalah semu,
karena kemungkinannya yang besar untuk mengalihkan perhatian
dari tujuan di balik kehalusan dan kemerduan itu, apalagi jika
tujuan di baliknya tersebut tiada lain dan tiada bu?kan adalah
membunuh diriku! Maka sikap seperti tidak mendengarnya adalah yang terbaik,
meskipun sebenarnya aku mendengarkan dengan sangat amat
baik. Melihat diriku bergeming, kudengar tawa lirih, yang tiada lain
dan tiada bukan maknanya adalah pernyataan betapa dirinya
sungguh mengerti tentang apa yang sedang aku lakukan.
"Tanpa caraku tadi, bagaimanakah caranya tempat ini bisa
dibersihkan dari mayat-mayat tanpa guna itu" Semoga Pendekar
Tanpa Nama dapat memaklumi, dan aku atas nama orang-orang
bodoh, yang betapapun juga harus kutangisi setelah kubebaskan
jiwanya dari peran mereka yang mengenaskan, minta maaf telah
membiarkan mereka mengumbar kisah-kisah konyol mereka."
1103 Aku tetap diam, tetapi dia lebih tenang, dan di sanalah dia tampak
sebagai bukan orang sembarangan. Lawan yang menjadi gelisah
karena tiada pernah mendapat jawaban akan berusaha mengatasi
kegelisahannya dengan menyerang, dan itulah sebesar-besarnya
kelengahan. Bukan sekadar karena setiap serangan memang
membuka kelemahan, tetapi karena kegelisahan dan ketidakmampuan untuk mengatasinya bagi seorang pendekar
adalah suatu kegoyahan. Demikianlah pertarungan tingkat tinggi tidak hanya diukur dari
kemampuan bergerak lebih cepat dari cepat, tetapi juga lebih
lambat dari lambat, yang mengacu kepada ketenangan dalam
bersikap, yang dapat diibaratkan ketenangan sebuah gunung.
Siapa lagi orang ini" Dalam kediamanku aku tetap memelihara
pikiranku. Rupanya lakon keluarga Sungai Ular sama sekali belum
tamat dan masih berjalan sampai hari ini.
Kong Fuzi berkata: seorang terpelajar yang menguasai banyak bacaan
dan pada saat bersamaan mengetahui cara menyampaikan pelajarannya
1104 tanpa menjadi upacara, sepertinya, kupikir tidak akan terlalu keliru 1
Dari apa yang kudengar, ada dua tokoh yang tiada jelas
keberadaannya. Pertama adalah kekasih dari ibunda Selendang
Setan, yang menurut Pengemis Tua Berjenggot Putih lebih baik
tidak diketahui siapa orangnya. Yang kedua siapakah guru adik tiri
Selendang Setan yang terbunuh oleh Panah Wangi itu. Jika ia
membunuh Pengemis Tua Berjenggot Putih dan Selendang Setan
dalam hubungannya dengan urusan keluarga Ular Sungai ini,
kurasa diriku harus tetap memastikannya. Artinya aku harus
mengajaknya berbicara tanpa kehilangan kewaspadaan atas
segala sesuatu yang dapat dilakukannya.
"Kematian mereka ditentukan sejak keduanya memilih jalan
persilatan, yang telah memberikan kematian teradil atas segenap
kekalahan dalam pertarungan," kataku, ''Kepada siapakah saya
harus berterima kasih atas kesempatan merenungkannya?"
Terdengar lagi tawa lirih dari suara yang halus dan merdu itu.
"Pendekar Tanpa Nama, meskipun tiada bernama tetap ternamakan juga; tetapi diriku yang telah diberi nama dengan
segala pengerahan pengetahuan atas kata, telah membuang
1105 nama itu dan memilih namaku sendiri, tetapi dunia persilatan
ternyata menyebutku dengan nama yang lain lagi.''
"Sebuah nama adalah sebuah nama Puan, antara makna dan
guna, akhirnya hanyalah penanda."
"Hmm. Aku tak tahu adakah Pendekar Tanpa Nama suka berbasabasi, tetapi namaku jauh dari usaha menunjukkan kehendak yang
baik." Sampai di sini aku menunggu dengan tingkat kewaspadaan yang
sangat tinggi, karena dalam dunia persilatan ketakterdugaan
adalah haluan bagi segala jurus. Nasib yang dialami Pengemis Tua
Berjenggot Putih dan Selendang Setan telah menunjukkan apa
yang bisa dilakukan dengan ketakterdugaan.
Ini adalah saat yang rawan, karena tiada dapat kupastikan, apakah
dirinya akan menyerang sebelum menyatakan namanya, saat
menyatakan namanya, atau setelah menyatakan namanya.
Betapapun harus kuyakinkan diriku bahwa memang dirinyalah
penebar teluh itu. Maka aku mendahuluinya.
"Aku tidak memaksamu menyebut nama, atau menjelaskan
keterlibatan atas masalah ini," kataku tanpa menoleh, "tetapi
1106 katakanlah terus-terang wahai Puan, apakah dirimu yang telah
mengakibatkan kematian ribuan orang tidak bersalah ini."
PEREMPUAN bersuara halus dan merdu yang telah menghabisi
riwayat Pengemis Tua Berjenggot Putih dan Selendang Setan
dengan pukulan Telapak Darah itu bergerak. Namun ia bergerak
untuk menjemput kematiannya.
Tiada kukira betapa busana perempuan itu ternyata adalah busana
seorang bhiksuni. Hanya saja dia tidak berkepala gundul, bahkan
sebaliknya berambut terurai panjang dan sudah putih warnanya.
Di dadanya telapakku merona merah darah. Ia terkapar. Napasnya
satu-satu menatapku. "Terkabul juga keinginanku berkenalan dengan Jurus Tanpa
Bentuk, meski harus kubayar dengan kematianku," ujarnya, nyaris
terdengar seperti bisikan, "Memang benar bahwa aku adalah guru
dari Lay I, putri Ular Sungai, adik tiri Selendang Setan, istri Pemuda
Liu, yang tewas di tangan Pendekar Panah Wangi, dan dunia
persilatan mengenalku sebagai Peri Baik dari Danau Qinghai.
Sengaja tidak kuakui betapa diriku bukanlah penebar teluh itu,
karena kutahu Pendekar Tanpa Nama tidak akan menempurku jika
begitu. Sengaja pula tiada kusebut namaku karena kutahu apa
1107 yang telah sampai ke telinga Pendekar Tanpa Nama tidak akan
membuatnya mengeluarkan Jurus Tanpa Bentuk yang telah
menyempurnakanku. Terima kasih Pendekar, atas pertarungan
ini." Ia hampir pergi. Aku mendekat, memegang pergelangan tangannya, menyalurkan tenaga prana agar ia tetap bisa berbicara
sebelum pergi dan tidak kembali.
"Peri yang Baik dari Danau Qinghai, aku mendengar dalam
perbincangan dari kedai ke kedai, diri Puan adalah pendekar tak
terkalahkan dan selalu membela mereka yang lemah dan tidak
berdaya, adalah suatu kehormatan bertarung melawan Puan,"
kataku dengan pelan tetapi sangat jelas, ''Kini aku minta maaf
untuk memohon diri Puan berbuat baik terakhir kalinya, siapakah
kiranya iblis yang telah berbuat sekeji ini" Kukira Puan setuju
betapa iblis itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya."
Perempuan berambut putih panjang yang tampak begitu anggun
dalam busana bhiksuni coklat yang kini bernoda muntahan darah,
tampak jelas tanda Telapak Darah itu. Ia seperti mampu menahan
lepasnya nyawa setelah mengucapkan kalimat berikut.
1108 "Penyebar teluh telah kamu bunuh, tetapi tiada orang lain yang
lebih bisa menggunakan tangan orang lain selain Yang Mulia
Paduka Bayang-Bayang ..."
Zhuang Zi berkata: langit dan bumi hidup bersama denganku,
segala sesuatu bersambungan bersamaku 1
Peri Baik dari Danau Qinghai telah pergi, menyusul muridnya,
Pemudi Lay I, yang tewas di tangan Panah Wangi. Masih belum
jelas sebenarnya mengapa Pemudi Lay I yang telah ditolong
semua orang itu mengamuk, mungkinkah karena telah dicuci
otaknya oleh Pemuda Liu yang tidak kuketahui juga mengapa telah
membalas air susu dengan air tuba.
Apa yang harus kulakukan sekarang" Banyak orang mati, tetapi
aku hanya menguburkan tiga orang. Pengemis Tua Berjenggot
Putih, Selendang Setan, dan Peri Baik dari Danau Qinghai.
Berbahagialah para pendekar yang mati sesuai dengan tujuannya,
mati dalam pertarungan sebagai puncak kesempurnaan. Namun
bagaimana dengan mereka, yang bahkan tiada tahu-menahu,
betapa dunia persilatan itu ada" Orang-orang yang perjuangan
hidupnya justru untuk bertahan hidup, bukan mencari kematian,
1109 apa pun makna kematian itu,
yang bagiku tidak kalah menggetarkannya dengan tindak kepahlawanan macam apa pun.
Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang adalah orang yang paling sulit
dicari, dan aku masih memburu Harimau Perang, sehingga
kuteruskan perjalanan kembali ke Chang'an.
Dari atas bukit kupandang tempat persinggahan itu. Aku telah
menyeberang dengan cara berenang, meskipun sebetulnya aku
bisa saja berlari di atas air. Mungkin aku ingin menemani kudaku.
Kurasa sungai yang lebar dan deras ini cukup berat diseberangi
seekor kuda yang dilahirkan untuk berlari dan bukan berenang.
Sebetulnya aku ingin beristirahat di tempat persinggahan itu,
karena aku selalu suka mendengar kericik air sungai di tepian,
memperhatikan permukaannya yang seperti bergerak lambat,
menyembunyikan kederasan tiada terduga di baliknya. Bahkan
sekarang pun, dari atas bukit ini permukaannya bercahaya
keemasan. Namun dengan bayangan mayat-mayat mengambang
itu aku tak bisa lebih lama lagi berada di sana.
Segera kubalikkan kudaku dan kami pun melaju. Kini di hadapanku
awan mendung bergulung-gulung dan segera pula mengirimkan


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hujan. Dari atas bukit segera aku turun dan masuk ke jalur cepat
1110 serta menderap semakin laju. Dari arah depan kadang-kadang
para pengantar surat menderap satu per satu, seperti surat yang
satu segera disusul oleh surat yang lain. Sementara dari
belakangku sudah beberapa kali kuberi jalan para pengantar surat
yang berpacu dengan waktu.
Wajah para pengantar surat itu tampak tegang.
Apakah yang sedang terjadi"
KUDAKU juga adalah kuda cepat pengantar surat. Aku dapat
melaju sama cepatnya dengan mereka, hanya saja aku tidak
mendahuluinya, karena jika demikian aku tidak akan mendapatkan
keterangan apa-apa. Maka aku pun bertahan cukup dengan melaju
di belakangnya. Betapapun kuda pengantar surat adalah kuda
dengan laju tercepat. Kuharap mereka berhenti di suatu tempat
dan di sana dapatlah kudengar sesuatu tentang apa yang sedang
terjadi. Di langit mendung bergulung-gulung itu pun kadang terlihat
merpati pengantar surat yang terbang dengan lincah menembus
hujan. Pesan macam apakah kiranya yang berlangsung susul-menyusul,
dari arah berlawanan maupun yang searah denganku" Ini hanya
mungkin terjadi jika terdapat peningkatan ancaman bahaya yang
1111 lebih dari biasa. Apalagi setiap pengantar surat itu selalu dihambat
dengan bidikan anak panah, yang melesat begitu saja dari luar jalur
cepat, ataupun mendapat serangan bacokan kelewang oleh
seorang pembacok berkuda yang melaju secara tiba-tiba dari
depan. Tentu para pengantar surat sudah terlatih memapas anak panah
yang melesat dengan ayunan pedang di tangan kiri, sementara
kudanya harus tetap melaju tanpa sedikit pun mengurangi
kecepatan; atau membungkukkan badan dan sambil membalas
bacokan dengan bacokan, sehingga pembacok yang melaju dari
depan itu terpental jatuh berguling-guling dengan luka menganga.
Namun jika busur silang bagi anak panah itu jauh lebih kuat, dan
bacokan kelewang yang mendadak dari depan itu menggunakan
gerak tipu yang cerdik, kalaulah belum kehilangan nyawa, maka
sang pengantar surat itulah yang akan terus memacu kudanya
sambil menyandang luka. Dalam hujan lebat dan kilat menyambar-nyambar, di depan mataku
kulihat tangkisan pedang dengan tangan kirinya kalah cepat, dan
panah itu menancap di tubuhnya dari samping; sehingga geraknya
menjadi lambat ketika menangkis bacokan kelewang nan tajam
dari depan, yang bergerak tipu pula, sehingga bahu kanannya pun
terbabat. Memang benar pembacok itu tewas karena pedang
1112 pendek pengantar di tangan kanan membabat perut pada saat
bersamaan dari belakang, tetapi kini ia melaju dengan luka-luka
yang membuat sekujur tubuhnya bersimbah darah.
Dalam kekelabuan hujan lebat yang dahsyat kulihat semburan
darah dari luka tempat anak panah itu menancap. Sedangkan luka
di bahu kanannya masih mengalirkan darah yang terselaputi air
hujan dan membuat sekujur tubuhnya memerah. Apa yang
sebelumnya hanya cerita tentang para pengantar surat, kini kulihat
dengan mata kepala sendiri. Mereka harus tetap melaju dengan
luka yang diderita, dengan panah yang menancap di tubuhnya.
Tidak kurang yang kehilangan nyawa ketika sampai di tujuan,
dengan tubuh sudah menelungkup pada punggung kuda. Namun
tetap membawa gulungan surat rahasia yang tampak berharga jika
ada isinya, dan alangkah getir rasanya jika kosong belaka.
Bukankah pernah kuceritakan bahwa keberadaan surat rahasia itu
disamarkan dengan berbagai cara, antara lain dengan membuatnya tiada jelas, siapakah di antara pengantar surat yang
susul-menyusul itu membawa surat rahasia yang sebenarnya.
Artinya yang membawa surat rahasia palsu pun sebenarnya
terancam kemungkinan bahaya yang sama. Mengantarkan surat di
jalur cepat, yang menghubungkan pasukan perbatasan dengan
1113 Kotaraja Chang'an adalah pekerjaan yang mempertaruhkan
nyawa. Pepatah Negeri Atap Langit kehidupan mengatakan: mengungkap lembaran agung yang disebut Waktu,
dan sekali berakhir pergi selamanya 1 Hujan belum juga reda ketika mendekati Chang'an, tetapi apa yang
terjadi tampak jelas. Telah berlangsung serangan ke Chang'an!
Ketika pengantar surat di depanku itu tiba di gardu berikutnya,
tempat seharusnya berganti kuda, kepala gardu di sana
memutuskan pengantar surat itu juga diganti, karena luka-lukanya
yang sudah terlalu parah. Suratnya harus diantar orang lain.
Namun dalam keadaan darurat, semua pengantar surat berada di
jalan. Ia belum meninggal ketika kubantu berbaring. Ia mengenaliku dari
peristiwa hilangnya maharaja bayangan. Maka di?panggilnya
kepala gardu dan mereka segera berbisik-bisik.
Lantas kepala gardu itu mendatangiku.
1114 "Kami kekurangan tenaga pengantar surat dan pengantar surat itu
mengatakan dirimu bisa dipercaya," katanya, "Bersediakah
Pendekar Tanpa Nama menjadi pengantar surat untuk menggantikannya?" Kurasa aku sama sekali tidak ingin menolaknya.
AKU melaju dengan kuda pengantar surat tercepat dan paling lama
istirahatnya, sementara begitu banyak pertanyaan mengiangngiang dalam kepalaku.
Pengantar surat itu memang tidak membawa surat, tetapi tetap
dirinyalah pengantar pesan rahasia itu. Ia membisikkan pesan itu
ke telingaku sebelum mati. Kini aku melaju dengan pesan itu dalam
kepalaku. Apa yang kualami di perjalanan sama dengan apa yang dialami
para pengantar surat pada saat ketegangan sedang memuncak.
Semula, terbawa oleh para pengantar surat sebelumnya, aku
membabat dengan pedang jian ke kiri dan ke kanan, yang di
tengah hujan lebat itu semburan darahnya menyiprat-nyiprat
dengan gerak yang bagai melambankan hujan. Ketika langit
menjadi pekat, dan tiada apa pun yang bisa kulihat, memang tiada
lain yang dapat kulakukan selain membabat ke kiri dan ke kanan
1115 dengan sisa kepekaan yang paling memungkinkan. Demikianlah
aku merunduk, ketika anak panah menyambar dari kiri dan kanan,
dan mengangkat badan ketika serangan bacokan kelewang datang
dari depan. Darah yang bermuncratan betapapun membuat aku
sedih. Baru kemudian kuingat betapa aku bisa menyimpan saja pedang
jian itu dan menggantikannya dengan totokan jarak jauh, yang
akan melumpuhkan tetapi tidak mematikan sehingga mengurangi
jatuhnya korban. Namun aku tidak bisa mengubah nasib mereka
lagi jika mereka yang jatuh dari kuda dan tergeletak lumpuh itu
lantas ketika bangkit dibabat oleh pengantar surat berikutnya.
Hujan tidak kunjung reda dan para penghalang laju pesan tiada
berkurang. Sepanjang jalan kulihat para pengantar surat yang
telah ditewaskan sebelumnya, karena memang tidak dapat
diketahui dari para pengantar surat yang susul-menyusul melaju,
siapa satu orang yang membawa pesan rahasia itu. Di antara kilat
sabung-menyabung anak panah berlesatan menancap ke sasaran,
membuatku kagum atas kemampuan para pemanah yang harus
mencari celah di antara hujan.
Derasnya hujan juga membuat jalur cepat menjadi sungai yang
menghambat laju kuda dan sebaliknya memperbanyak jumlah
1116 penghadang. Demi kecepatan yang tiada boleh berkurang
terpaksa kulakukan sapu bersih dengan angin pukulan, sehingga
lima penunggang kuda yang mencegat terpental beterbangan
bersama kudanya ke udara, dan dengan segala penyesalan tiada
dapat kujaga, apakah ketika terjatuh akan tetap hidup atau
kepalanya terantuk batu dan tewas seketika itu juga.
Zhuangzi berkata: dikau telah mendengar tentang pengetahuan yang diketahui,
tetapi tak pernah tentang pengetahuan yang tak pernah diketahui.
tengoklah ke dalam ruang tertutup,
kamar kosong tempat kecemerlangan dilahirkan! 1
Memerlukan waktu semalaman lagi agar aku tiba kembali di
Chang'an, setelah melewati penghalang terakhir, tiada lebih dan
tiada kurang seorang pendekar tangguh, tetapi telah menjual
tenaganya kepada perkumpulan rahasia, yang agaknya disewa
kaum pemberontak untuk merampas rahasia ini dari tanganku. Jika
rahasia ini berada dalam kepalaku berarti diriku harus dibuat
mengaku, dan untuk membuat diriku mengaku tentu aku harus
ditundukkan lebih dahulu. Setelah sepanjang jalan para pencegat
gagal menghentikan maupun memperlambatku, dengan segera
1117 dicari orang gagah andalan, yang mungkin sudah biasa disewa
untuk menyelesaikan masalah secara tuntas, seperti melakukan
pembunuhan. Pada ujung jalan jalur cepat ini berdirilah dia dengan gagahnya.
Segenap busananya hitam, kepalanya berkerudung, dan hanya
kelihatan matanya, seperti para penyusup dari perkumpulan
rahasia. Berbeda dengan anggota perkumpulan rahasia, ia
menyoren dua pedang panjang saling bersilang di punggungnya.
Ia menutup wajah hanya agar dirinya tidak dikenal ketika
melakukan pembunuhan. Namun aku tidak berniat memperlambat
laju kuda ini sedikit pun.
Jarum-jarum beracun dilepasnya dengan lwe-kang atau tenaga
dalam yang segera kubuyarkan dengan angin pukulan bertenaga
dalam juga. Belum lagi usai jarum-jarum beracun itu buyar, sudah
datang lagi pukulan gelombang hawa panas, yang jika sempat
menyentuh tubuhku akan membuatku menyala lantas menjadi
arang. Namun jurus Bayangan Cermin menyerap dan mengembalikan gelombang hawa panas itu dengan cara yang
tidak dikenalnya. Kudaku melompati tubuhnya yang tergelimpang
sebagai arang yang basah. Tubuhnya sempat menyala terbakar
sebelum padam kembali karena hujan.
1118 Aku tidak memperlambat kecepatan ketika memasuki wilayah tak
berhujan dan melihat tembok Kotaraja Chang'an di kejauhan.
Apalagi di balik tembok itu asap membubung dan terlihat merahnya
api yang berkobar menyala-nyala.
HATIKU berdebar melihat kobaran api merah menyala-nyala di
balik tembok benteng Chang'an. Tembok itu begitu tinggi sehingga
rumah-rumah gedung yang terbakar tidak terlihat, tetapi lidah api
dan asap yang membubung memberikan goresan yang tajam pada
perasaanku. Tidak ada pasukan yang menyerang maupun mengepung kotaraja,
tetapi segenap jaringan rahasia dan golongan hitam mem?buka
tabir kerahasiaannya dan menyerang. Serangan balatentara jelas
sasarannya dan jelas pula cara menangkalnya, tetapi jenis
serangan jahat seperti ini, yang penuh dengan kelicikan dan
kecurangan, sangat rumit membasminya. Kecuali jika jaringan
rahasia tandingan dan golongan putih turun tangan untuk
mengatasinya. Di balik keramaian kota raya terdapat jaringan rumit
khalayak, yang hanya dimengerti oleh mereka yang menjadi
bagian dan menghayatinya.
Para pengawal rahasia istana dan Pengawal Burung Emas
sebetulnya adalah pihak yang diandaikan bisa sama mengerti
1119 perihal kerumitan jaringan rahasia ini, tetapi hancurnya jaringan
lama akibat pengepungan dan penyusupan besar-besaran pada
akhir pengepungan itu telah membentuk jaringan rahasia baru
yang tidak lagi dikenal dengan baik. Ibarat mengejar pencuri,
Pengawal Burung Emas bisa mengejar masuk ke dalam lorong,
tetapi lorong-lorong yang terdapat setelah lorong itu sudah tidak
dikenalinya lagi. Ini hanya perumpamaan karena yang dimaksudkan bukanlah lorong-lorong kota, melainkan jaringan
rahasia berbagai macam kelompok lama dan baru yang berkaitkelindan dalam suatu bentuk persekutuan baru.
Aku melewati pemeriksaan di pintu Gerbang Jinguan dengan
mudah karena aku membawa surat jalan pengantar surat de?ngan
lak pemerintah yang diberikan kepala gardu. Seharusnya
pengantar surat dalam keadaan darurat perang mengantarkan
pesan rahasia kepada panglima pasukan pertahanan kota, tetapi
mengingat sifat kerahasiaan yang harus kusampaikan, kepala
gardu yang mengangkatku sebagai pengantar surat mengatakan
bahwa aku harus menyampaikannya kepada Perdana Menteri
Zheng Yuqing sendiri. Hal itu sudah ternyatakan dalam tandatanda pada surat jalan.
Melihat surat jalan tersebut, kepala regu penjaga Gerbang Jinguan
segera memerintahkan dua pengawal mengantarku ke Ko?ta
1120 Kemaharajaan di barat daya Istana Daming untuk menemui
perdana menteri. Demikianlah kuikuti dua pengawal berkuda


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menelusuri lekuk liku lorong-lorong Chang'an yang nyaris tidak
kukenali lagi, karena semua tembok telah menjadi merah padam
memantulkan nyala api yang kadang memercikkan letik api ke
mana-mana. Dalam I Ching dituliskan: sayap-sayap naga sepanjang langit;
adalah keberuntungan mengunjungi orang besar 1
Pertarungan berlangsung di mana-mana antara para Pengawal
Burung Emas dan para penjahat kambuhan, yang tiada tahumenahu betapa dirinya hanyalah umpan atau tumbal untuk suatu
tujuan yang tidak akan pernah diketahuinya. Di jalanan kepanikan
merata di mana-mana karena pembakaran dan penganiayaan
yang terus-menerus berlangsung.
Dalam keadaan biasa, para penjahat kambuhan itu sangat mudah
ditundukkan para Pengawal Burung Emas, tetapi perilaku mereka
kini dilindungi oleh orang-orang golongan hitam, yang tentunya
berasal dari dunia persilatan, sehingga sebaliknya membuat para
Pengawal Burung Emas terdesak. Di beberapa bagian kota para
1121 bhiksu Perguruan Shaolin turun tangan, bahkan menewaskan
orang-orang golongan hitam yang sudah jelas akan terkuburkan
tanpa nisan. Sangat sering aku merasa harus turun dari kuda dan berkelebat
menyambar, tetapi kedua pengawal berkuda yang kukira adalah
sepasang pendekar itu memberi tanda agar diriku tidak
melakukannya. Dengan sedih kutatap segala kehancuran ini yang
menurutku sama sekali tidak harus terjadi.
Kami menyusuri kota lewat jalanan yang tidak biasa, karena
kebakaran di berbagai tempat membuat kami tidak bisa lewat.
Kadang melewati jalan besar, kadang melewati jalan sempit.
Sudah jelas terlihat betapa ini merupakan pertempuran yang rumit.
Bagaimana caranya mengatasi lawan-lawan yang semula menyusup di antara khalayak dan membakar serta menganiaya
siapa pun yang berada di sekitar mereka, dengan mendadak,
serentak, dan sekejam-kejamnya"
Lawan-lawan tanpa seragam ini juga sulit dicari di antara khalayak
yang sebagian panik dan sebagian lain yang ingin berbuat sesuatu
tetapi sulit mengatur diri mereka, saling bentrok sendiri, bahkan
membuat kekacauan baru yang sungguh tidak perlu dan tetap saja
terjadi. 1122 Sebagian khalayak yang berusaha memadamkan kebakaran
sering mendadak dilabrak dan dikacaukan, dan ketika pengacau
itu dikeroyok perhatian tentu teralihkan, sehingga pembakaran dan
penganiayaan segera meluas dan tersebar ke mana-mana.
Ha?nya wilayah permukiman orang-orang berada, pejabat tinggi,
dan perwakilan negara asing di bagian barat yang petak-petaknya
dijaga ketat oleh para pengawal pribadi berilmu tinggi masih bebas
dari kekacauan, meski sama sekali bukan berarti tidak terancam!
KOTA Kemaharajaan juga disebut Istana Barat yang terletak di
sebelah barat daya Istana Daming. Disebut Kota Kemaharajaan
mungkin karena merupakan pusat pelaksanaan pemerintahan,
tetapi pelaksanaan yang sebenarnya berlangsung di dalam empat
gedung di belakangnya, dengan Gerbang Chengtian sebagai
pembatasnya. Di dalam salah satu dari empat gedung itulah
Perdana Menteri Zheng Yuqing bekerja. Mungkin juga semua
menteri bekerja di dalam empat gedung ini, aku lupa lagi.
Namun kini, sebelum menemui perdana menteri itu, aku
ditelanjangi terlebih dahulu. Jangan lagi senjata, selembar benang
pun tidak ada di tubuhku. Setelah yakin betapa di balik kulitku tiada
tersembunyi senjata sekecil apa pun, barulah aku diizinkan
menemui perdana menteri. Itu pun dengan pinjaman jubah sutra
karena harus berbusana pantas. Kulihat bajuku yang terpuruk,
1123 memang buruk sekali, nyaris seperti pengemis, meski tidak
compang-camping dan tidak bertambal-tambal. Namun sejak
kapan seorang hina kelana harus berbaju bagus"
Kukira inilah untuk pertama kalinya kukenakan busana sutra.
Pantaslah orang suka menjadi kaya, dan dengan kekayaannya
dapat mengenakan busana sutra seseringnya.
''Benarkah seorang hina kelana harus hina pula bajunya?"
Para penjaga yang melucutiku bertanya dengan pandangan
menghina pula, tetapi aku tidak merasa harus marah atau
tersinggung. ''Tolong jangan dibuang,'' kataku, ''aku tidak punya baju lagi.''
Maka, pandangannya pun semakin merendahkan. Ia menggelenggelengkan kepalanya.
''Kalau bukan karena surat jalan itu, tidak mungkinlah kamu
menginjak Kota Kemaharajaan ini.''
Kujelaskan bukanlah maksudku untuk menjadi pengantar surat
tanpa diminta. 1124 Penjaga itu kembali menggeleng-gelengkan kepala, bicara seperti
kepada dirinya sendiri. ''Pada masa kacau seperti ini, apa yang bisa membuat kita percaya
pada seseorang ....'' Kukira memang itu bukan pikiran yang keliru.
Aku diminta menunggu di sebuah ruangan kosong, dengan empat
pengawal yang berilmu silat tingkat pendekar berjaga pada empat
sudutnya. Dalam surat jalan disebutkan betapa rahasia ini harus dibisikkan
ke telinga perdana menteri sendiri.
Begitulah rahasia hanya berharga sebagai rahasia ketika rahasia
itu tetap tinggal sebagai rahasia.
Sang Buddha berkata: jika dikau perbaiki hatimu pada satu titik
maka tiada yang tak mungkin bagimu 1
Hari sudah larut ketika aku keluar dari Kota Kemaharajaan, tetapi
api tidak juga kunjung padam, karena setiap kali dapat dipadamkan
di suatu tempat, segera pula muncul kebakaran di tempat lain.
1125 Tampak seperti kekacauan, tetapi kekacauan yang memang dibuat
seperti kekacauan, sehingga bukan kekacauan melainkan kejahatan yang tanpa ampun lagi memang harus dibasmi.
Aku pun berkelebat. Para penjahat kambuhan bisa diatasi oleh
para Pengawal Burung Emas, tetapi golongan hitam yang
merajalela dengan ilmu silatnya yang tinggi tiada mungkin dihadapi
oleh prajurit biasa. Pasukan Siasat Langit juga sudah dikerahkan
untuk membantu penjaga kota para Pengawal Burung Emas, tetapi
tokoh-tokoh persilatan dunia hitam yang berkelebat di balik api dan
kegelapan, sambil menyebar jarum beracun di dalam kota yang
kacau, tidak bisa dihadapi dengan siasat perang yang lazim. Maka
pasukan ini lebih berguna untuk memadamkan api yang dengan
ganas merayap dari rumah ke rumah, daripada dikerahkan
menangkap bayangan berkelebat yang bisa terbang.
Kulihat sesosok bayangan yang berkelebat itu melenting dari
wuwungan rumah yang satu ke wuwungan rumah yang lain sambil
menyebarkan bola-bola peledak. Bola-bola peledak itu langsung
menimbulkan kebakaran baru, tetapi sebagian segera kutangkap
dan kukembalikan lagi kepada pelemparnya, yang dengan begitu
terpaksa meledakkannya di udara tanpa sasaran. Ledakan diiringi
semburat cahaya putih yang menyilaukan, yang ketika belum lagi
1126 lenyap cahayanya teredam malam, datang lagi sembilan bola
peledak meluncur ke arahku dari sembilan penjuru!
Aku pun melenting ke atas dengan Jurus Naga Batu, membuatku
lolos dari sembilan peledak yang justru saling berbenturan
sehingga cahaya ledakannya semburat ke mana-mana. Meski tak
lama, semburat cahaya menyilaukan dari sembilan peledak itu
sempat menerangi kota yang untuk sejenak bagaikan menjadi
siang, sehingga tiada sesuatu pun yang berada di bawahnya tiada
terlihat. Saat itulah aku berkelebat membagi Jurus Sentuhan Naga,
dan dengan segala hormat sembilan orang pelempar bola peledak
itu meletup dan buyar tertiup angin sebagai tepung.
Namun aku belum lagi hinggap di atas wuwungan sebuah gedung
yang terbakar, ketika sebuah bola peledak sudah meledak tanpa
ampun di depan wajahku! WAKTU seperti sudah lama sekali berlalu. Rasanya seperti lorong
gelap yang panjang, begitu panjang, bagaikan tiada lagi yang lebih
panjang yang menenggelamkan yang menidurkan yang menyeret
yang menjerumuskan yang menyedot yang mengisap yang
melontarkan yang membuang yang mementalkan yang menerbangkan yang memendarkan seperti impian yang terulur
tanpa batasan kapan akan kembali kapan kembali bangun bahkan
1127 kapan tidak akan pernah bangun kembali meskipun sama sekali
tidak mati. Dunia begitu sunyi, kudengar embusan dan tarikan napasku
sendiri yang keluar masuk tanpa henti, bergema sepanjang
semesta dan berdegup, jantungku yang berdegup-degup, degupnya membahana di luar angkasa...
Di manakah aku" Kulihat diriku tergeletak di antara serpihan
ledakan dengan wajah hancur. Matikah aku" Kucoba membuka
mata tetapi aku langsung terperosok ke dalam dunia mimpi lagi.
Seperti berenang tetapi bukan di dalam air, seperti terbang tetapi
bukan di udara, seperti bermimpi padahal tanpa tidur. Hanya
kekosongan, tempat aku mengambang, melayang, melayanglayang, untuk jatuh kembali seperti daun yang melayang-layang
diterbangkan angin. Segalanya gelap, hanya gelap, lantas ada cahaya menyilaukan
yang disusul rasa pedih menyapu wajah yang tidak tertahankan.
Sudah begitu banyak pertarungan kujalani, tetapi kesakitan
barangkali belum pernah menjadi milikku. Namun bagaimana
mungkin aku akan menjadikannya milikku, jika dengan memilikinya
berarti diri kita terbang ke nirwana dan tidak kembali lagi. Seindah1128
indah cerita menggiurkan dan menjanjikan tentang nirwana, diriku
masih ingin mengembara di bumi yang berdebu dan berlumpur,
yang betapapun lebih kuakrabi daripada cahaya surgawi yang
belum pernah menyentuhku...
Betapapun kepedihan dan kesakitan itu sudah dan sedang
kurasakan sekarang. Apa pun maknanya, kepedihan dan
kesakitan adalah kepedihan dan kesakitan. Bisakah makna
mengubah atau menambah dan mengurangi kepedihan dan
kesakitan" Begitu banyak kepedihan dan kesakitan telah
kutimpakan selama pengembaraanku dalam dunia persilatan,
tanpa kesempatan terlalu banyak untuk memikirkan kepedihan dan
kesakitan mereka, dan kini aku merasakannya...Setimpalkah
kepedihan dan kesakitan yang bertimbun menggunung dalam
dunia persilatan dengan wibawa naga yang diberikannya"
Lu-tsu berkata: di luar tubuh terdapatlah tubuh disebut citra Buddha
pemikiran yang berdaya, ketidakhadiran pemikiran adalah Bodhi
bunga teratai seratus kelopak terbuka, beralih bentuk melalui dayanafas
1129 karena pemurnian jiwa, seratus lipatan kemegahan bercahaya
gemilang 1 Semula kukira hanya mimpi dan tiada lain selain mimpi ketika
kulihat wajah Panah Wangi. Ketika menyadarinya sebagai nyata
tetap saja masih seperti mimpi.
Aku baru mau mengucapkan sesuatu ketika ia menyentuhkan
empat jarinya ke bibirnya, lantas menyentuhkannya ke bibirku.
''Ssssshhhh..." Hanya itu yang terdengar dari mulutnya, dan betapa hal itu
membuatku tenang. Hidup dalam dunia persilatan artinya hidup
dalam taman permainan maut, tempat nyawa dapat beterbangan
setiap saat. Hidup sekian lama dalam dunia itu juga berarti
kepekaan dan kewaspadaan terjaga setiap saat dan itu harus
dibayar dengan suatu harga juga. Itulah saat ketika diriku tidur
tetapi tidak benar-benar tertidur, ketika diriku memejamkan mata
tetapi tidak sungguh-sungguh memejamkan mata sepenuhnya,
ketika diriku merenung tetapi pada saat yang sama mata dan
telingaku berada di balik semak-semak, melacak siapa pun yang
sedang menyusup dan mengintai dan mungkin siap melesatkan
senjata rahasia kepadaku.
1130 Melihat Panah Wangi aku seperti bisa melepaskan semuanya,
ketika tidur menjadi betul-betul tidur dan bukan setengah tertidur
setengah terjaga, ketika bermimpi menjadi betul-betul bermimpi
dan bukan setengah bermimpi setengah terjaga. Aku dengan
seketika juga bisa melu?pakan segenap utang-piutang dalam
kewajiban hidupku. Segalanya menjadi ringan tanpa beban,
bagaikan tubuhku seketika hanya berisi udara lantas membubung
dan mengambang di angkasa...
Kulupakan betapa sulitnya membekuk Ha?rimau Perang dan
memintanya bertanggung jawab atas terbunuhnya Amrita.
Kulupakan betapa pertemuan dengan Amrita telah membuatku
berpaling dari Harini yang telah mematangkan tubuhku. Kulupakan
betapa diriku belum juga mengenali guru tersembunyi itu, yang
telah menggiringku masuk ke dalam gua dalam usia 15 tahun dan
baru sepuluh tahun kemudian keluar lagi. Tanpa peristiwa pada
akhir pergulatanku di sungai dalam gigitan Kera Gila waktu itu,
belum tentu aku menguasai segala ilmu silat yang kukuasai
sekarang. Bhiksu tua itu, apakah sampai sekarang ia masih
mengikutiku" HARUM setanggi akhirnya membangunkanku juga. Seperti ada
seseorang meniup wajahku, seperti ada seseorang mengipasiku.
1131 "Pendekar Tanpa Nama, bangunlah, sudah tujuh hari kamu
terbaring tanpa ada sesuatu pun yang memasuki tubuhmu.


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bangunlah, minumlah, agar kekuatanmu pulih kembali seperti
sediakala." Aku berusaha mengangkat tubuhku, rasanya seperti mengangkat
gunung. Aku sungguh tidak memiliki daya. Hanya mampu
mengangkat tangan, dan tangan itulah yang disambut tangan
seseorang. Tangan yang begitu halus.
Sudah beberapa waktu mengenal Panah Wangi, baru kali inilah
kami saling menggenggam. Genggamannya menenangkan diriku.
Namun ia kemudian melepaskannya, karena harus menyuapiku
dengan air dari cawan. Aku terkesiap, betapa lemahnya diriku!
Perasaan inilah yang berakibat parah karena terlalu berat bagiku
menerima diriku tergantung kepada orang lain.
Rupanya Panah Wangi bisa membaca pikiranku.
"Pendekar Tanpa Nama, tenanglah, kamu tidak terluka parah,
kamu tidak terluka dalam, tidak satu pun tulangmu patah.
Tenanglah, siapa pun yang tidak makan dan minum selama itu
tentu akan mengalami hal yang sama dengan apa yang kamu
alami sekarang.'' 1132 Aku mencoba mengatakan sesuatu lagi, dan sekali lagi empat jari
yang halus dan harum itu menempel ke bibirku. Panah Wangi
mendekatkan kepalanya dan setengah berbisik.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya, "Aku akan selalu
berada di sampingmu."
Dengan itu aku memang menjadi tenang, tetapi aku tidak bisa
menghentikan diriku untuk berpikir. Panah Wangi memintaku agar
tidak mengkhawatirkan diriku sendiri, dan kukira aku bisa
melakukannya, tetapi aku tidak bisa berhenti berpikir tentang
Panah Wangi. Apakah yang membuat Panah Wangi muncul
kembali di Chang'an ketika seharusnya menggantikan ayahnya
sebagai kepala suku"
Mengingat bagaimana ia diculik oleh sukunya sendiri saat itu aku
tidak berpikir Panah Wangi akan kembali dalam waktu yang terlalu
singkat. Mengingat tempatnya yang jauh di barat laut Chang'an,
lebih jauh lagi sampai berada di utara dari Khaganat Uighur, tentu
tidak terlalu lama berada di kampungnya. Ia seperti mengurus
segala sesuatunya dengan cepat dan segera berangkat lagi.
Sempat terlintas pula dalam pikiranku betapa Panah Wangi
sebetulnya tidak pernah sampai ke kampungnya sama sekali,
1133 karena jika jarak itu di tempuhnya maka sungguh perlu waktu
antara sebulan sampai dua bulan untuk pergi dan kembali.
Semuanya menjadi lebih jelas ketika Panah Wangi berkata pelan
di telingaku. "Pendekar Tanpa Nama, aku kembali hanya untukmu..."
Kuingat pasukan berkuda itu mengaku datang dari Atlakh. Di
sanalah laju penguasaan wilayah balatentara Wangsa Tang
tertahan pada 751 oleh gabungan berbagai pasukan di bawah
pemerintahan Khalifah Abbassiyah. Cerita di balik pertempuran itu
lebih bisa menjelaskan asal-usul Panah Wangi, bila diketahui
bahwa dua pertiga dari balatentara Wangsa Tang saat itu adalah
para serdadu bayaran Karluk yang berbalik untuk berpihak kepada
orang-orang Muslim, menyerang pasukan Negeri Atap Langit itu.
Serangan orang-orang Karluk dari dalam dan pasukan Abbassiyah
dari depan memaksa balatentara Wangsa Tang yang terkacaukan
itu mundur. Ditambah dengan pemisahan diri sekutu Ferghana,
untuk pertama kalinya arus perluasan Negeri Atap Langit terhenti.
Di bawah pimpinan Panglima Gao Xianzhi, tidak kurang dari
10.000 pasukan Wangsa Tang menjadi porak-poranda, dan hanya
berkat bantuan Li Siye maka 2.000 di antaranya kembali dengan
1134 selamat ke wilayah yang mereka kuasai di bagian Khaganat
Uighur. Terhadap pasukan Abbassiyah yang memburu, pasukan Li
Siye dibantu pasukan Duan Xiushi berhasil menahan laju
pengejaran mereka. Gao Xianzhi lantas membangun kembali
pasukan untuk melakukan pembalasan, tetapi Pemberontakan AnShi pada 755 membuat semua pasukan di perbatasan ditarik untuk
menghancurkan pemberontakan itu. Sebetulnya memang pemberontakan An Lushan dan bukan Pertempuran Atlakh yang
menghentikan laju balatentara Wangsa Tang di wilayah orangorang Karluk.
Sungai Atlakh juga dikenal sebagai Sungai Talas, tetapi orangorang Negeri Atap Langit menyebutnya Daluosi. Dari sanalah
Panah Wangi berasal. Tetapi sebagai orang Karluk, tidak seperti
orang-orang sesukunya, kukira ia tidak memeluk kepercayaan
para penguasa Khalifah Abbassiyah yang disebut Islam.
Dalam I Ching dituliskan: Jalan biasa ditinggalkan.
Ketekunan yang lurus akan membawa keberuntungan
kepada yang tetap tinggal di tempatnya.
1135 Sungai besar jangan diseberangi
BOLA peledak itu telah meledak tepat di depan wajahku. Bola
peledak ini rupanya lebih diandalkan untuk membakar daripada
menghancurkan, maka wajahku pun terbakar, tetapi kepalaku
tetap utuh. Betapapun, sebagai bola peledak yang meledak di
depan wajah, daya ledaknya tetap berhasil mengguncang uratsaraf di kepala, dan kukira itulah yang membuatku pingsan terlalu
lama. "Kamu juga memasuki Chang'an dengan tenaga yang sudah
terkuras karena perjalanan panjang sepanjang jalur cepat,
semenjak kita mengejar maharaja bayangan dan kembali lagi," ujar
Panah Wangi, "Kuikuti jejakmu dan kuketahui kamu telah
mengalami berbagai macam peristiwa yang sangat melelahkan."
Sekarang barulah kumengerti betapa tentunya kulit wajahku rusak
berat, hangus, dan mungkin juga mengelupas. Mungkinkah
wajahku akan berubah" Baru kusadari sekarang, pandangan mata
Panah Wangi yang seperti menahan diri untuk mengatakan
sesuatu. 1136 "Katakan saja," kataku, tetapi dengan mengatakan itu saja, artinya
mulut dan kulit wajah bergerak, kesakitannya sungguh alangkepalang.
Panah Wangi hanya menggeleng. Aku semakin penasaran, dan
bermaksud memegang lengannya, tetapi tanganku tidak bisa
bergerak. Apakah ia telah menotokku"
Ia meremas lenganku. "Semakin sedikit kamu bergerak, semakin baik untuk kesembuhanmu." Aku tidak ingin menjawab lagi. Berapa lama aku harus tetap berada
dalam keadaan seperti ini"
Sambil menyuapiku dengan air maupun kuah daging, Panah
Wangi lantas bercerita bahwa di tengah jalan dirinya memang
membebaskan diri dari para penyekapnya.
"Kami orang-orang Karluk sudah tahu akal bulus masing-masing,
mereka semua tiada lebih dan tiada kurang adalah paman-paman
dan sepupu-sepupuku sendiri. Ayahku memang sakit keras. Di
tengah jalan, kami bertemu dengan pembawa kabar bahwa ayahku
sudah meninggal, dan saat itu kukatakan bahwa aku tidak berminat
1137 meneruskan kekuasaan. Aku pun tahu, paman tertua lebih
berminat untuk memimpin suku daripada diriku, dan jalannya
terbuka, karena aku seorang wanita.
"Namun mereka hanya ingin memastikan bahwa aku tidak
berkepentingan dari ucapan mulutku sendiri. Tiada lebih dan tiada
kurang, panahkulah yang mereka takuti. Bagi kami yang hidup
dalam tenda di alam bebas, kekuatan senjata sangat cepat
digunakan untuk mengubah peraturan, tetapi aku sudah mengucapkan janjiku. Aku bahkan tidak merasa perlu untuk
menghadiri upacara penguburan ayahku. Diriku mengembara dan
mencari makna hidup bukan tidak ada sebabnya. Ibuku adalah
seorang tawanan yang tidak pernah dinikahi ayahku. Kuragukan
diriku dilahirkan oleh cinta, dan aku mengembara untuk mencari
cinta. Jika aku merasa telah mendapatkannya, mengapa aku harus
meninggalkannya bukan"
"Pendekar Tanpa Nama, telah kutemukan cintaku dan kuberikan
hidupku untuk itu. Mati demi cinta adalah keberuntungan bagiku."
Untuk kalimat semacam ini aku hanya bisa menghela napas
panjang. 1138 Laozi berkata: tanganilah sesuatu ketika masih belum berarti;
jagalah sesuatu dengan teratur
sebelum ketakteraturan merasukinya.1
Seperti yang kualami dalam perjalanan, Panah Wangi menempuh
jalan kembali ke Chang'an dalam dunia berhujan, berpetir,
berhalilintar, berguntur, tetapi dalam keadaan yang lebih berat
karena menuruni gunung dan kudanya tidak begitu mudah melaju.
Beda dengan diriku di jalur cepat, tempat kuda pengantar surat
merasa seperti berada di rumahnya sendiri, Panah Wangi
menempuh jalan menurun yang curam dan berbahaya dengan
berhati-hati sekali. Masalahnya, di kaki gunung dilihatnya pasukan yang disebut
khalayak Negeri Atap Langit sebagai Ta-Shih Berjubah Hitam.
Dahulu pasukan ini dibangun oleh Abu al-'Abbas al-Saffah, yang
meninggal tahun 752. Berarti pasukan ini masih ada dan sekarang
berada di tapal yang berbatasan dengan Negeri Atap Langit. Apa
yang akan mereka lakukan"
1139 Bertahun-tahun sebelumnya, Panah Wangi adalah mata-mata
pasukan perbatasan yang diselundupkan ke dalam Pasukan TaShih Berjubah Hitam. Keberadaannya sebagai bagian dari orangorang Karluk, yang keberpihakannya berubah-ubah, mendukung
peranannya dalam tugas itu. Panah Wangi adalah mata-mata yang
bertugas menyamar sebagai mata-mata ganda.
Sedangkan ayahnya, Panah Besar, ternyata pernah bergabung
dengan 4.000 pasukan Abbassiyah yang dikirim khalifah Abu Jafar
al-Mansur, pengganti Abu al-'Abbas al-Saffah, untuk membantu
Maharaja Suzong mengatasi Pemberontakan An-Shi. Khalayak
Negeri Atap Langit mengenal sang khalifah sebagai A-p'uch'a-fo.
Meskipun sudah lama meninggalkan dunia mata-mata tentara,
untuk mengembara dalam dunia persilatan, penyamarannya belum
pernah terbuka. Salah seorang dari Pasukan Ta-Shih Berjubah Hitam ini melihat
Panah Wangi yang belum sempat bersembunyi!
"Apakah mereka masih menganggapku teman atau penyamaranku
dahulu sudah terbuka?"
Mataku terpejam. Panah Wangi kudengar masih berkisah.
1140 DALAM hujan lebat di kaki pegunungan di Terusan Hexi itu, Panah
Wangi melihat kesatuan Pasukan Ta-Shih Berjubah Hitam. Jumlah
mereka hanya 100 orang, tetapi mereka mengenakan tanda-tanda
ketentaraan, sehingga jika dengan tanda-tanda itu mereka
melewati perbatasan, maka sudah jelas melakukan pelanggaran.
"Mereka mengenaliku dan sebaiknya aku bersikap biasa saja jika
ingin mengetahui lebih banyak," kisah Panah Wangi, "meski hatiku
sudah ingin terbang menyusulmu.''
Ternyata mereka memang sedang memata-matai apa yang
berlangsung sepanjang jalur cepat. Baik pihak Kerajaan Tibet
maupun Khaganat Uighur telah menawarkan kerja sama kepada
Kekhalifahan Abbassiyah untuk memerangi Negeri Atap Langit,
tetapi Khalifah Abu Jafar al-Mansur tidak pernah mempunyai minat
untuk menyerbu Chang'an seperti kedua seteru abadi Negeri Atap
Langit, yang bahkan pernah melakukannya itu. Bagi Al-Mansur
cukuplah bahwa kini pihaknya?lah menguasai jalur perdagangan
yang disebut Jalur Sutera itu.
Sebaliknya, yang pernah dilakukan sang khalifah justru membantu
sang maharaja merebut kembali Chang'an dari tangan An Lushan.
Namun pada 798, apakah kedudukan kekuasaan masing-masing
masih sama" 1141 "Aku sendiri, karena sudah lama meninggalkan seluk-beluk
kerahasiaan perbatasan, tidak mengetahui kedudukan masingmasing," kata Panah Wangi.
Pasukan Ta-Shih Berjubah Hitam rupanya telah diminta oleh Yang
Mulia Paduka Bayang-Bayang untuk menyerbu Chang'an dengan
seribu satu alasan. Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang telah
menjanjikan betapa jalan mereka akan mulus karena perhatian
para panglima Wangsa Tang akan dipecah oleh berbagai serbuan
di perbatasan sepanjang Terusan Hexi, dari selatan oleh Kerajaan
Tibet dan dari utara oleh Khaganat Uighur.
Namun bukan saja orang-orang Abbassiyah tidak memenuhi
permintaan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang, melainkan
mereka bermaksud menyampaikan rencana ini kepada pihak yang
berkepentingan di Chang'an. Karena, jika mereka menolak
memenuhinya, Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang sangat
mungkin akan mencari sekutu lain. Betapapun Chang'an terlalu
jauh, jadi kabar itu mereka sampaikan kepada para panglima di
perbatasan, yang segera meneruskan berita itu melalui para
pengantar surat di jalur cepat. Usaha ini terendus oleh jaringan
Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang, yang mencegat semua
pengantar surat dan membunuhnya.
1142 Rahasia yang kubawa ternyata berbeda, dan memang harus tetap
tinggal sebagai rahasia. Kuingat lagi Laozi berkata: rahasia menantikan wawasan mata yang tak kabur oleh kerinduan;
mereka yang terikat kehendak hanya melihat bungkusnya 1
"Pasukan ini mengawasi lalu-lintas jalur cepat, dan mengerti
bahwa berbagai perkumpulan rahasia mencegat dan membunuh
para pengantar surat," kata Panah Wangi. ''Mereka ingin
memastikan pesan mereka sampai, dan mereka kebingungan
menentukan siapa yang harus membawa pesan itu, sampai


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka melihatku dan memintaku untuk membawa pesan ke
Chang'an. Aku mengiyakan saja agar tidak menambah masalah,
tetapi baru kusadari kemudian bahwa jaringan mata-mata Yang
Mulia Paduka Bayang-Bayang dengan cepat mengendus betapa
diriku juga membawa pesan itu.
"Sepanjang jalan silih berganti orang mencegatku. Aku berkuda
sambil terus-menerus melepaskan anak panah, dan tiada lagi yang
bisa kulakukan selain terus-menerus melepaskan anak panah
seperti itu, jika ingin kudaku tetap melaju tanpa halangan
sepanjang jalan. Meski sosok pencegat yang siap menyabetkan
1143 kelewang itu masih jauh di depan, aku tidak perlu menunggu terlalu
lama untuk mengirimkan anak panah yang akan menancap pada
dahi atau lehernya. "Siapa pun yang berkuda setelahku nanti akan menyaksikan
mayat-mayat para pencegat yang bergelimpangan dengan
panahku pada dahi atau lehernya, dan dengan segala hormat aku
minta maaf jika mayat-mayat itu akan menghalangi jalan, serta
memperlambat kecepatan para pengantar surat dalam tugas
mereka pada hari-hari selanjutnya. Betapapun yang kupikirkan
adalah dirimu, Pendekar Tanpa Nama. Hanya dirimu, karena aku
tidak mau lagi kehilangan jejak-jejak cinta yang bagaikan selalu
menjauhi hidupku." Aku pun tidak tahu mengapa setiap kali kudengar kata cinta lantas
terhela napas panjang. Mungkinkah karena cinta seperti gagasan
yang begitu indah tetapi telah mengakibatkan begitu banyak
penderitaan bagi banyak orang yang mendambakannya"
Aku masih memejamkan mata. Adakah di dunia ini orang yang
tidak mencari cinta"
Tidak kudengar lagi suara Panah Wangi, tetapi di ruangan lain
kudengar isak tangis tertahan-tahan.
1144 DALAM laju perjalanannya yang memakan banyak korban itu,
Panah Wangi yang memang mengikuti jejak yang kutinggalkan
ternyata bisa menyusulku ketika memasuki Chang'an. Saat melihat
diriku terlontar karena ledakan di depan wajahku, Panah Wangi
berkelebat menyambarku dan menghilang dalam kegelapan
malam. Di antara kobaran api itu Panah Wangi melejit sambil membopong
diriku yang wajahnya terbakar. Tidak dapat kubayangkan
bagaimana caranya ia bergerak di antara hiruk-pikuk kekacauan,
dan berbagai medan pertarungan yang sangat berbahaya antara
para bhiksu Shaolin melawan orang-orang golongan hitam.
Sembari melenting dari genting ke genting Panah Wangi bergerak
mencari petak aman dengan mengandalkan sisa ingatan atas
jaringan mata-mata tempat ia dulu menjadi bagiannya. Seorang
mata-mata perkumpulan rahasia terikat sumpah untuk tidak pernah
berpindah kelompok, barangkali sampai mati, tetapi bagi matamata ketentaraan kiranya tidak ada sumpah semacam itu
meskipun kerahasiaan tugas tetaplah dipegang juga sampai mati.
Maka Panah Wangi tetap diterima oleh jaringannya itu, yang pada
akhirnya tidak peduli kepada segala aturan, selain mengenal
1145 Panah Wangi sebagai orang yang bisa dipercaya, meskipun
perempuan pendekar itu sekarang adalah seorang buronan.
Petak aman sebagai pusat kendali jaringan rahasia ketentaraan
membuat Panah Wangi bisa menyampaikan pula pesan dari
Pasukan Ta-Shih Berjubah Hitam di tempat ini. Petak aman itu jauh
dari api meskipun terletak di pusat kota, sehingga Panah Wangi
bisa menitipkan diriku yang masih tak sadarkan diri dengan tenang,
sementara dirinya berkelebat mencari Tabib Pengganti Wajah.
Terbakarnya wajahku memang membuat Panah Wangi teringat
Tabib Pengganti Wajah yang banyak membantu tentara kerajaan
dalam kegiatan mata-mata menyeberangi perbatasan. Penyamaran wajah sering dilakukan demi berbagai kepentingan
dan penggantian wajah adalah penyamaran terbaik, sekaligus
merupakan yang paling sulit dengan akibat paling berbahaya jika
gagal. Pernah seorang perempuan mata-mata yang telah diganti
wajahnya menyerupai selir seorang panglima Kerajaan Tibet,
ketika tepergok karena selir itu gagal dibunuh oleh mata-mata lain
dan ditangkap, dikelupas kembali kulit wajahnya! Bahkan
seandainya seorang mata-mata berhasil memainkan peran
1146 samarannya dengan baik, kemungkinan bahwa wajah aslinya tidak
bisa kembali lagi merupakan kenyataan yang menggiriskan.
Bagaimana dengan wajah yang terbakar" Panah Wangi berharap
bahwa Tabib Pengganti Wajah akan bisa
mengatasinya. Betapapun tidak ada orang lain lagi yang dapat dianggap
menguasai perkara memasang, mengganti, dan memperbaiki
wajah selain Tabib Pengganti Wajah. Namun untuk menemui dan
mendatangkan Tabib Pengganti Wajah tidaklah mudah, karena
selain beliau sudah berusia 90 tahun dan ternyata sakit, petak
tempatnya tinggal dan biasa dimintai pertolongan oleh orang-orang
sakit berada di tengah wilayah kekacauan.
Rumah Tabib Pengganti Wajah berada di tengah lautan api. Di
antara lidah-lidah api raksasa, yang menjilat-jilat udara dan
berkobar-kobar mengepulkan asap ke angkasa itu, berkelebatlah
pertarungan antara para bhiksu Shaolin dan orang-orang golongan
hitam yang tiada dapat dilihat mata telanjang. Hanya terdengar
kesiur angin dan kelebat bayangan antara ada dan tiada, yang jika
tersenggol sedikit saja oleh daya lwe-kang mereka bisa terluka
dalam dan meninggal dunia.
Demikianlah Panah Wangi bergerak ringan dalam kecamuk
pertarungan berkecepatan tinggi dan bertenaga dalam. Namun di
1147 antara asap dan semburan letik-letik api kebakaran yang meronai
langit malam, ternyata tidak semua orang tenggelam dalam
kesibukan bencana kota raya.
Panah Wangi baru akan hinggap di atas satu-satunya rumah yang
tidak terbakar tetapi berada di tengah lautan api, ketika desiran
senjata rahasia jarum-jarum beracun membuatnya terpaksa
berjungkir balik ke atas kembali. Jarum-jarum beracun itu
berdatangan lagi ketika Panah Wangi turun kembali, tetapi kali ini
dari segala arah, sehingga ia harus membuka caping dan berputar
untuk menyampok dan merontokkannya.
"Segala jarum! Mau menjahit?" ujar Panah Wangi.
Giliran Panah Wangi kini melepaskan jarum-jarumnya, tetapi yang
tidak beracun melainkan membuat seseorang dalam waktu singkat
mengantuk dan tertidur. Namun jarum-jarum Panah Wangi pun
tersampok dan gugur. Terdengar suara terkekeh-kekeh dari balik
kegelapan. "Heheheheh! Sudah tahu gambarmu ditempelkan di mana-mana
masih berani juga berkeliaran di kota ini!"
SATU orang saja yang bersuara tetapi Panah Wangi mengetahui
betapa dirinya dikepung dari delapan arah.
1148 Panah Wangi tersenyum penuh penghinaan.
"Hmmh! Apakah masih cukup besar hadiahnya jika harus dibagi
delapan?" Api semakin mendekati rumah yang diduga merupakan tempat
tinggal Tabib Pengganti Wajah. Tanpa bisa diikuti mata telanjang,
Panah Wangi telah melepaskan tujuh anak panah yang semuanya
mengenai sasaran. Dari balik kegelapan pada tujuh arah mata
angin tampaklah tujuh sosok berguling-guling menurun di atas
genting untuk akhirnya jatuh ke dalam api yang menyala-nyala,
semuanya dengan anak panah menancap tepat pada dahinya.
Panah Wangi tampak memegang busur tanpa dapat diketahui
kapan mengambilnya, meski sekarang ia menyimpannya kembali
dan mencabut pedang jian dari sarung pedang di punggungnya.
Ia mengarahkan ujung pedangnya dengan suatu jurus tertentu
kepada suatu titik dalam kegelapan yang tidak tersentuh cahaya
api. "Sekarang hadiah itu cukup besar untuk dirimu seorang," katanya,
"Tentu hanya jika sanggup memenggal kepalaku sekarang juga,
sebab kalau tidak...."
1149 Panah Wangi berkelebat masuk ke dalam kegelapan. Lantas
sesosok tubuh tanpa kepala menggelinding turun dari atas genting.
".... dirikulah yang akan memenggal kepalamu!"
Keluar dari kegelapan, Panah Wangi tampak menenteng sesuatu
yang kemudian dibuang ke arah jatuhnya tubuh itu.
"Susul tubuhmu," ujarnya.
Api seperti mendapat makanan dan menelannya, tetapi sebelum
pertarungan para bhiksu Shaolin melawan orang-orang golongan
hitam itu bakal ditingkah bunyi ledakan tengkorak, Panah Wangi
telah berada di dalam kediaman Tabib Pengganti Wajah.
Rumah itu penuh dengan asap, sedangkan asap lebih berbahaya
daripada api. Panah Wangi menemukan Tabib Pengganti Wajah
terkapar dalam keadaan mengenaskan. Agaknya bukan saja telah
berlangsung penjarahan di tempat ini, tetapi juga penganiayaan
yang membuat busana tabib berusia 90 tahun itu bersimbah darah.
"Tabib....." Panah Wangi memegang pergelangan tangan dan ternyata tabib
itu matanya masih bergerak-gerak. Ruangan centang-perenang,
1150 botol-botol berisi ramuan berserakan, bahkan pecah berhamburan.
Segenap isi rumah sudah terjilat api, tinggal atapnya yang terbuka
menjanjikan jalan keluar dari kehangusan, jika setidaknya
menguasai ilmu meringankan tubuh atau gin-kang.
Zhuangzi berkata: tidak ada perubahan dalam kenyataan di balik kata-kata 1
Panah Wangi segera mengangkat tubuh Tabib Pengganti Wajah
dan melayang ke atas, melalui lubang yang terbentuk karena
Panah Wangi membuka genting sebagai jalan masuk. Begitulah
dari kejauhan Panah Wangi akan tampak seperti membubung ke
angkasa dari dalam api yang sedang menjilat-jilat ke udara.
Dengan ilmu meringankan tubuh terbaik pun seorang pendekar
harus hinggap di suatu tempat, karena gin-kang tidaklah sama
seperti terbang. Seorang pendekar bisa melayang seperti terbang
asalkan menjejak sesuatu, meskipun sesuatu itu begitu ringan
untuk berpijak seperti bulu burung, dan sebaliknya cepat atau
lambat akan terus melayang jatuh ke bumi, juga jika bumi itu telah
menjadi lautan api, kalau tiada tempat berpijak untuk menjejak
sama sekali. 1151 Maka siapa saja dari dunia persilatan tentu mengerti, pada titik
tertinggi yang merupakan titik henti Panah Wangi di udara, sambil
membawa tubuh rapuh Tabib Pengganti Wajah yang tua pula,
itulah saat yang terbaik untuk menyerang dan melumpuhkannya.
Wajah cantik Panah Wangi yang tertempel di mana-mana dalam
selebaran Dewan Peradilan Kerajaan memang mengundang
perhatian meski hanya untuk memandangnya.
Namun di antara begitu banyak pemandang tentu tidak sedikit yang
berpikir untuk menangkap atau membunuhnya, dan di antara yang
tidak sedikit itu ternyata ada yang mempelajari seluk-beluk
kekuatan dan kelemahan Panah Wangi. Demikianlah, pada titik
henti setelah Panah Wangi membubung ke udara dari dalam
rumah yang terbakar itu, seutas tali menyambar dan menjirat
kakinya, tetapi hanya satu karena untuk kaki yang lain Panah
Wangi sempat berkelit. Tidak urung, sekali sendal tertariklah Panah Wangi ke arah
penariknya yang juga berada dalam kegelapan, dan apakah yang
menantikannya dalam kegelapan itu" Tubuhnya tertarik dan
meluncur tanpa dapat dikuasai atau dikendalikannya, sementara
kedua tangannya masih membopong Tabib Pengganti Wajah.
1152 "Saat itu aku sungguh belum tahu apa yang bisa dilakukan," kisah
Panah Wangi, "kecuali melindungi Tabib Pengganti Wajah yang
sudah tua renta dan terluka pula."
KAKI Panah Wangi yang terjirat, disendal, dan ditarik dengan
tenaga dalam, meluncur lurus dengan kecepatan tinggi ke arah
penariknya dalam kegelapan. Betapapun Panah Wangi berpikir
lebih cepat lagi. Pada setengah perjalanan yang tidak terlihat mata
itu, Panah Wangi justru menambah tenaga dan kecepatan dengan
meminjam daya penarikan lawan. Gabungan tenaga lawan dan
tenaganya sendiri yang dilipatgandakan membuat Panah Wangi
melesat sepuluh kali lebih cepat. Lawan yang semula mengendalikannya kini kehilangan kendali, dan dalam kegelapan
telontar memuntahkan darah, karena tendangan Panah Wangi
dengan tenaga yang juga sepuluh kali lipat telah menghajar
dadanya. Sementara Panah Wangi hinggap di atas sebuah wuwungan
dalam kegelapan, lawannya melayang jatuh ke dalam api dengan
teriakan yang panjang, begitu panjang, bagaikan tiada lagi yang
lebih panjang. Dengan dua tangan membopong Tabib Pengganti
Wajah, tentu Panah Wangi sulit bertarung menghadapi lawan yang
lebih rendah ilmunya sekalipun. Namun kedatangannya telah
dengan cepat tersebar di antara para pemburu hadiah maupun
1153 para petugas Dewan Peradilan Kerajaan. Para pemburu hadiah
tidak terikat kewajiban memadamkan api seperti para petugas
Dewan Peradilan Kerajaan, maka mereka berkelebatan sepanjang
kota untuk mencari jejaknya.
Bagi pelacak jejak sejati, bahkan jejak di dalam angin pun bisa
diikutinya, sehingga Panah Wangi tahu dalam kegelapan itu
betapa berbagai bayangan berkelebat mengawasinya. Dalam
embusan angin yang menyingkirkan asap, Panah Wangi bisa
mendengar sejumlah sosok yang mengitari dan seperti mengepungnya dari suatu jarak tertentu. Mereka bisa kebetulan
tiba secara bersamaan, bisa semula masing-masing datang sendiri
dan sekarang bersekutu, bisa memang merupakan kelompok, dan


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa juga merupakan gabungan semua itu.
Panah Wangi diam saja di wuwungan. Ia tahu jika dirinya bergerak
dan diserang, kedudukannya sangat lemah karena beban pada
kedua tangannya itu. Kebetulan tidak akan datang berkali-kali,
seperti jerat pada kaki yang ketika ditarik berubah menjadi
tendangan tadi. Dalam kegelapan ia diam dan menunggu. Di
kejauhan dalam cahaya api terlihat para bhiksu Shaolin melenting
dari atap ke atap, mengejar orang-orang golongan hitam yang
melarikan diri. 1154 "Awas dari belakangmu...," ujar Tabib Pengganti Wajah dengan
lemah. Desiran halus itu kemudian juga terdengar oleh Panah Wangi.
Sebuah pisau terbang! Panah Wangi mengundurkan kepalanya sedikit. Pisau terbang itu
ditangkap dengan giginya, lantas kepalanya menyentak ke
samping, mengembalikan pisau itu. Suatu cara yang pernah kulihat
dilakukan Elang Merah. Pisau terbang itu meluncur kembali kepada pemiliknya.
"Uuuugghh!" Lantas terdengar suara tubuh terguling-guling di atas genting untuk
jatuh di atas bara api sisa kebakaran yang merah padam.
Kemudian tidak terdengar suara apa pun. Dikepung delapan orang
tadi, Panah Wangi membunuh semuanya, termasuk memenggal
kepala pemimpinnya. Setelah membawa Tabib Pengganti Wajah
pada kedua tangannya, ia masih menendang penjirat kakinya
sampai mati. Masih ditambah satu lagi, pelempar pisau terbang
yang mati oleh senjatanya sendiri.
1155 "Jika kami masih terus menyerang Pendekar Panah Wangi, tidak
mungkinkah aku nanti menjadi korban berikutnya?"
Semua orang yang mengepung dalam kegelapan seperti
mengajukan pertanyaan seperti itu kepada dirinya sendiri.
Sebagai jawaban, satu demi satu mereka menghilang.
Setelah itu Panah Wangi berkelebat kembali, tetapi bukan berarti
para pemburu hadiah itu sudah tidak ada lagi. Selalu saja ada yang
mengenalinya ketika melenting dari atap rumah yang satu ke atap
rumah yang lain dan langsung menyerangnya, tetapi mendekati
rumah aman ia segera dilindungi jaringan mata-mata tentara yang
pernah berutang budi kepada Panah Wangi.
"Begitulah ceritanya sehingga Tabib Pengganti Wajah itu bisa
sampai kemari," katanya.
Maka diceritakanlah bagaimana Tabib Pengganti Wajah itu
bersedia mengganti wajahku yang sudah mengelupas dan hanya
menyisakan tengkorak. "Kamu katakan tadi anak muda ini tidak bernama?"
"Benar, Tabib."
1156 "Jika memang demikian, biarlah kukembalikan wajahnya, karena
tidak memiliki nama dan tidak memiliki wajah pada satu manusia
kukira terlalu banyak."
Nagasena berkata: tukang pot mengambil lempung dari bumi, dan membuat berbagai
jenis bejana; tetapi bejana ini tidak muncul karena sesuatu yang tidak ada.
hanya dari sesuatu yang ada mereka bisa ada
KEADAAN Tabib Pengganti Wajah sudah amat lemah, terlihat luka
bacokan kelewang pada bajunya, dan dari luka itu darah terusmenerus mengalir meskipun segala usaha pengobatan telah
dilakukan. Kawan-kawan Panah Wangi di dalam rumah aman
jaringan mata-mata itu telah menempelkan ramuan pengering luka
dan membalutnya, tetapi warna merah darah tampak masih
merembes. Panah Wangi kemudian meletakkan telapak tangannya di atas balutan dan dengan tenaga prana melakukan
pembersihan limbah dalam tubuh yang akibat luka itu. Untuk
sementara, luka itu mengering, tetapi Tabib Pengganti Wajah
masih tetap lemah, meski matanya tetap menyala.
1157 Waktu itu aku tidak sadarkan diri dan Tabib Pengganti Wajah
berkata kepada Panah Wangi.
"Tinggalkan aku dan anak muda ini di sini dan tutuplah pintu bilik
ini. Jangan pergi sampai aku membukanya kembali."
Panah Wangi pun menunggu sampai tertidur, dan bangun kembali
menjelang pagi karena Tabib Pengganti Wajah itulah yang
membangunkannya. "Carilah di antara puing-puing reruntuhan di rumahku sebutir batu
hijau berkilau yang disebut Batu Naga," katanya, "Semua orang
yang datang mengamuk itu hanya mau merusak, dan karena itu
justru tidak ada yang mengambilnya. Namun dunia persilatan tahu
keberadaan Batu Naga sehingga kamu harus cepat mengambilnya. Aku tidak mengira akan membutuhkannya begitu
cepat. Anak muda itu hanya bisa pulih jika kamu temukan dan
bawa batu itu kemari. Kamu pun harus cepat karena hidupku
mungkin sudah tidak lama lagi."
Panah Wangi seperti akan mengucapkan sesuatu, tetapi segera
tersadar betapa basa-basi itu tidak perlu, dan segera berkelebat
menghilang. Dongeng tentang Batu Naga sebagai penyembuh
segala penyakit telah didengarnya, tiada mengira ternyata ada
1158 seseorang yang memilikinya. Jadi ia pun mengerti betapa Batu
Naga harus ditemukan sebelum fajar menyingsing.
Menurut dongeng itu, yang sekarang sangat mungkin adalah
nyata, Batu Naga itu mencuatkan satu saja garis kilauan kehijauan.
Bukan cahaya melingkar seperti rembulan dan matahari,
melainkan satu saja garis kilauan kehijauan, tegak lurus
menembus langit. Hanya pada malam hari garis setipis benang itu
dapat disaksikan, dan menjelang fajar itu berarti Panah Wangi
harus bergerak cepat, sangat amat cepat, berkelebat, untuk segera
tiba di tempat, kemudian langsung membabat, karena ternyata
cahaya Batu Naga yang segaris tipis itu tampak oleh mata yang
tajam menjulang tegak lurus ke langit.
Sebelum kekacauan Chang'an mengharu-biru pula rumah Tabib
Pengganti Wajah, batu penyembuh segala penyakit itu tersimpan
di bawah tudung yang menghalangi melesatnya cahaya segaris
lurus itu ke langit. Apabila tudung itu dibuka ketika batu itu
digunakan oleh Tabib Pengganti Wajah, pun cahaya segaris lurus
itu masih terhalangi oleh langit-langit dan genting rumah. Para
pendekar yang pernah mendengar atau memang berkepentingan
dengan Batu Naga sebagai satu-satunya batu mustika akan
segera melesat ke bekas rumah Tabib Pengganti Wajah yang telah
1159 menjadi puing, arang, debu, dan abu, seperti yang sedang terjadi
sekarang. Batu Naga sebesar telur ayam yang terguling dari tempat
penyimpanannya itu terkubur tumpukan abu, yang tidak cukup
untuk menahan penembusan kilau segaris cahayanya yang tegak
lurus dengan langit. Ke mana pun batu itu berguling, cahaya
serambut tersebut tetap tegak lurus dengan langit, dan pendekar
mana pun yang mempelajari dan apalagi sedang mencarinya akan
dengan cepat mengenalinya. Ketika Panah Wangi tiba di sana
sesosok bayangan sedang berkelebat menyambar batu mustika
yang tertutup tumpukan abu, tetapi cahaya segarisnya tetap
tembus menjulang tegak lurus ke langit itu. Tak ayal Panah Wangi
yang juga sedang melesat segera mencabut pedang jian dari
sarung pedang di punggung dan membabatnya.
Bayangan itu belum ingin mati, maka ia menghindar dengan
gerakan jungkir balik ke atas, dan batu mustika yang tidak jadi
diambil itu pun disambar oleh Panah Wangi, meski ternyata
berkelebat pula bayangan lain menyambarnya. Namun Panah
Wangi tidak mau sedikit pun melepaskan kesempatan untuk
mengambil batu mustika itu, dan membabatkan pedangnya.
Senjata keduanya beradu. 1160 Trrrrrraaaaaangngnng! Keduanya terpental saling menjauh. Kini tiga sosok bayangan
siaga di tiga titik dengan senjata terhunus. Panah Wangi
memegang pedang jian, kedua peminat Batu Naga yang lain
masing-masing memegang pedang panjang melengkung.
Batu mustika itu sendiri masih di tempatnya.
PANAH Wangi berdiri menghadapi dua pendekar yang masingmasing memegang pedang panjang. Ia segera bergerak cepat,
dan dua belas orang yang ikut mengepungnya dengan berbagai
macam senjata di atas tembok dan atap gedung lain jatuh
terguling-guling. Anak panah menancap pada dahi mereka
masing-masing. Bau wangi meruap dari panah-panah itu. Panah Wangi masih
memegang busur. Pedangnya sudah tersimpan. Kedua orang
berpedang panjang melengkung itu masih berdiri di tempatnya.
Belum jelas apakah kedua orang itu datang bersama atau belum
saling mengenal, tetapi jika keduanya bergerak, Panah Wangi
sudah siap menyelesaikan riwayat hidup mereka.
Namun gagasan akan riwayat hidup itu membuatnya berbicara.
1161 "Kalian tampak sangat berminat terhadap Batu Naga," ujarnya,
"Coba katakan apa yang membuat kalian sangat menghendakinya?" "Apakah ada gunanya" Apakah Puan Pendekar lantas akan
melepaskan kepentingannya, setelah mengetahui mengapa saya
dengan menempuh segala marabahaya juga menghendakinya?"
Panah Wangi menghela napas, alangkah berharganya waktu
sekarang ini. "Katakan saja segera," katanya.
Orang itu berkisah dengan ringkas, bahwa ibunya di kampung sakit
keras, dan hanya kemanjuran Batu Naga itulah yang bisa
menyembuhkannya. "Bagaimana dengan kamu?"
Panah Wangi bertanya kepada penyoren pedang yang lain.
Jawabannya sejenis. "Tanpa Batu Naga itu, anakku hanya tiga hari lagi umurnya."
Panah Wangi untuk sejenak tidak dapat menentukan apakah
dirinya menyesal atau tidak telah mengajukan pertanyaan1162
pertanyaan itu, daripada menamatkan riwayat hidupnya saja.
Jawaban-jawabannya telah membuat Panah Wangi terpaksa
membandingkan, manakah yang lebih penting antara kembalinya
wajahku dan matinya orang-orang tercinta dari kedua pendekar itu.
Jika dia lepaskan kepentingannya atas Batu Naga, apakah kedua
pendekar yang sama-sama bersenjata pedang panjang melengkung itu akan saling berbunuhan untuk mendapatkan Batu
Naga" Ia telanjur membayangkan, jika bisa mengalahkan kedua pendekar
itu dan mereka tewas, apa yang akan terjadi dengan seorang ibu
sakit parah yang sedang menunggu-nunggu anaknya pulang
membawa Batu Naga itu" Apa pula yang akan terjadi dengan
seorang anak yang dalam tiga hari ini menatap langit-langit,
dengan pandangan yang makin lama makin meredup, dan pada
hari terakhir tidak pernah terbuka lagi untuk selama-lamanya"
Sang Buddha berkata: melihat bahaya pada diri mereka
melihatnya maju sebagai kebahagiaan,
aku akan terus ikut berjuang,
demi pikiran menggembirakan 1
1163 Keduanya sampai ke Chang'an barangkali karena mendengar
bahwa Batu Naga memang berada di tangan Tabib Pengganti
Wajah, atau menghubung-hubungkan berbagai cerita dari orangorang yang pernah dirawat, cerita di kedai, dan berita apa pun yang
masuk akal maupun tidak masuk akal. Barangkali sudah lama
mereka berada di Chang'an, barangkali mereka juga baru saja
masuk Chang'an, tetapi pada malam lautan api ini hanyalah garis
kilau hijau tegak lurus dengan langit itulah yang memastikan
keberadaan Batu Naga. Siapa pun yang mencarinya, pastilah akan
segera mengenali dan berkelebat untuk segera menyambarnya.
Namun bukan hanya dua pendekar maupun duabelas pemburu
Batu Naga lain yang ditewaskan panah-panah Pendekar Panah
Wangi yang sedang memburu batu mestika penyembuh segala
penyakit itu, melainkan juga segala manusia yang putus asa
dengan penyakit-penyakit nan tak tersembuhkan. Bukan hanya di
Chang'an, tapi di seluruh Negeri Atap Langit orang-orang dunia
persilatan menyusuri sungai, menjejaki pantai, keluar masuk gua,
naik turun gunung, dan merambah hutan untuk mencari Batu Naga.
Dalam dunia persilatan, mungkin Batu Naga diburu demi teraihnya
wibawa naga. Tetapi Panah Wangi dapat merasakannya sekarang
betapa di berbagai sudut negeri Batu Naga sungguh didambakan
demi mempertahankan kehidupan. Dapat dibayangkannya orang1164
orang menunggu Batu Naga dan meninggalkan dunia ini karena
orang yang membantu mereka belum atau bahkan tidak akan
pernah kembali. Seperti berlaku dalam dunia persilatan, Panah Wangi sebetulnya
berhak membunuh salah satu maupun kedua pendekar yang juga
bermaksud membunuhnya itu. Jika bukan Panah Wangi,
pertarungan secepat bayangan berkelebat itu belum tentu teratasi
tanpa hilangnya nyawa. Namun Panah Wangi sekarang berpikir
lain. Batu Naga itu masih tertutup abu setumpuk.
"Kamu yang anaknya tinggal tiga hari lagi usianya, di manakah
anakmu kini?" "Dia di Louyang, Puan. Apakah saya bisa membawa Batu Naga
itu?"

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

NYALA api masih berkuasa di Chang'an, tetapi dalam kegelapan
itu mereka masih berbincang, sementara kilau hijau cahaya
segaris rambut itu masih tetap tampak jelas tegak lurus dengan
langit. Panah Wangi tahu betapa dirinya harus cepat mengambil
keputusan, karena cahaya tegak lurus itu, selama hari masih gelap,
1165 akan mendatangkan lebih banyak lagi para pemburu batu mestika
tersebut. "Kukira Batu Naga ini harus bisa diperbantukan kepada siapa pun
yang membutuhkannya," kata Panah Wangi. "Di kampung
manakah ibu kamu menantikan batu ini?"
"Di Hangzhou, Puan...."
"Hangzhou! Jauh nian! Betapa berbakti Tuan, datang dari ujung
timur negeri ini demi kesembuhan sang ibu!"
"Jiwaku pun akan kuberikan demi ibuku, Puan."
"Tentu, tetapi jika jiwa kamu melayang di tempat ini, siapa yang
membawa obat ini ke Hangzhou?"
"Aku siap mengadu jiwa!"
Panah Wangi tersenyum. "Berkorban pun harus dengan perhitungan, Tuan," ujarnya,
"Sekarang baiklah kita mengaturnya agar kita bertiga tidak perlu
bertarung dan hanya satu pemenang yang bisa menggunakannya." 1166 "Bagaimanakah cara mengaturnya, Puan" Adakah cara lain selain
bertarung selama kita masih mengakui hukum dunia persilatan
yang kita junjung tinggi?"
Jika hari sudah lebih terang, mungkin akan tampak kekesalan pada
wajah Panah Wangi ketika menjawab.
"Kita ini hidup dalam berbagai dunia, Tuan Pendekar. Jika kita
membatasi hidup kita dengan hanya mengacu hukum-hukum
dunia persilatan, yakni membunuh atau dibunuh, maka kita telah
mengerdilkan diri kita sendiri, seperti katak di dalam tempurung.
Janganlah menjadi katak duhai Pendekar!"
Betapapun kedua pendekar itu tidak punya pilihan lain selain telah
menyaksikan betapa sulit Panah Wangi ditandingi. Mereka segera
bersepakat bahwa Panah Wangi akan membawa batu mestika ini
kepada Tabib Pengganti Wajah untuk pengobatan wajahku,
setelah itu kedua pendekar akan pergi ke arah timur, berhenti di
Louyang, kemudian dilanjutkan ke Hangzhou.
Semua itu tentu harus dilangsungkan dengan secepat-cepatnya,
karena siapakah kiranya akan bisa memastikan bahwa tidak akan
ada seorang atau beberapa atau banyak sekali pendekar tangguh
yang berusaha merebutnya"
1167 Dalam Kitab Zhuangzi Bab Jen Chien Shih disebutkan:
di seluruh dunia terdapat dua kepatuhan,
yang satu kepatuhan terhadap nasib,
yang lain kepatuhan terhadap keadilan.
Cinta anak terhadap orangtua
adalah kepatuhan terhadap nasib:
tidak mungkin bagi cinta ini untuk lepas dari hati.1
Di rumah aman jaringan mata-mata tentara kerajaan, kedua
pendekar itu harus menunggu di luar rumah meskipun tetap berada
di dalam petak. Panah Wangi bercerita kepadaku
"Setelah menerima Batu Naga yang dibungkus kantung kulit warna
hitam, Tabib Pengganti Wajah memintaku untuk menunggu saja di
luar bilik. 'Kamu datang pada saat yang tepat,' ujarnya, 'karena
sebentar lagi aku sudah akan meninggalkan dunia ini.' Lantas aku
pun menunggu sampai tertidur," Panah Wangi masih terus
berkisah. "Aku kira tidak terlalu lama, hari sudah siang, tetapi hujan deras,
begitu lebat sehingga kedua pendekar di luar itu basah kuyup. Para
1168 pengurus rumah aman tidak dapat mengizinkan mereka masuk
karena sifat rahasia rumah aman ini. Saat itulah Tabib Pengganti
Wajah keluar dari bilik, wajahnya pucat dan kuyu. Ia menyerahkan
kantung kulit hitam berisi Batu Naga sambil berkata, 'Mereka boleh
membawa batu mestika ini. Ingat, hanya penyakit tidak tersembuhkan yang bisa diatasi. Desas-desus yang beredar
bahwa batu ini bisa menyembuhkan segala penyakit adalah salah
besar. Selama penyakitnya masih bisa diatasi oleh manusia, batu
ini tidak ada gunanya."
"Maka aku membawa batu itu keluar, menyerahkannya kepada
kedua kawan yang setia terhadap keluarga itu, dan menyampaikan
pesan Tabib Pengganti Wajah tersebut. Aku sungguh bersyukur
keduanya bukan datang karena cita-cita dunia persilatan untuk
meraih wibawa naga. Kepada pendekar yang datang dari
Hangzhou kuberi pesan bahwa setelah ibunya tersembuhkan, Batu
Naga itu harus juga berguna bagi orang-orang sakit tak
tersembuhkan yang membutuhkannya.
"Kupandang mereka berdua pergi dalam hujan lebat yang telah
berjasa pula memadamkan sisa-sisa kebakaran, sampai lenyap di
balik pintu gerbang petak. Setelah itu aku kembali masuk ke dalam
rumah, dan ternyata Tabib Pengganti Wajah sudah menelungkup
di atas meja tanpa nyawa lagi."
1169 TABIB Pengganti Wajah meninggalkan pesan tertulis kepada
Panah Wangi tentang apa yang harus dilakukan setelah aku
siuman. Selaput wajahku dapat dilepas setelah 40 hari. Selama
menunggu hari itu aku tidak diperbolehkan keluar rumah untuk
menghindari peristiwa tidak terduga apa pun yang bisa mengelotokkan kembali kulit wajahku. Begitulah aku melewati
bulan Margasirsa di dalam rumah, dan bulan berikutnya, yakni
bulan Magha, aku juga masih tidak dianjurkan keluar rumah,
meskipun aku boleh berjalan-jalan di dalam petak.
Pada musim dingin seperti ini 1, tentunya banyak orang lebih suka
berada di dalam rumah, meski di Chang'an kekosongan
sepenuhnya adalah sesuatu yang mustahil. Dalam penanggalan
pemerintahan Wangsa Tang terdapat 28 jenis liburan yang secara
keseluruhan berjumlah 58 hari. Pesta-pesta rakyat juga diikuti oleh
para petani, pedagang, maupun pekerja seni.
Peraturan bagi pegawai pemerintah adalah satu hari libur setiap
sepuluh hari, yang merupakan jumlah hari dalam satu minggu bagi
Wangsa Tang. Ini masih ditambah 15 hari libur untuk berkebun
bagi pejabat tinggi setiap bulan kelima, dan 15 hari lain pada bulan
kesembilan yang disebut sebagai liburan bagi mereka yang
berjubah. Masih banyak lagi bentuk liburan seperti 30 hari setiap
1170 tiga tahun bagi yang ingin mengunjungi orang tuanya yang berjarak
lebih dari 3.219 li, atau 15 hari bagi yang jaraknya lebih dari 537 li.
Liburan dan ikut merayakan pesta rakyat, seperti yang terjadi pada
malam ketujuh dalam bulan ketujuh, yang merayakan kisah cinta
antara tokoh-tokoh perbintangan 2, bukan hanya dianjurkan, tetapi
juga diwajibkan, seperti pemerintah ingin meyakinkan rakyatnya
betapa kebahagiaan bisa menjadi nyata selama mereka berkuasa.
Pesta rakyat satu ini untuk menghormati wanita agar mereka
memperlihatkan keterampilannya seperti menjahit dan menenun,
tetapi Panah Wangi rupanya memiliki gagasan lain.
"Mengapa tidak kita bikin panggung saja untuk mempertunjukkan
kemampuan perempuan dalam bersilat?"
Sang Buddha berkata kepada Ananda: setelah melepaskan penerapan kekerasan terhadap semua hal,
tidak melakukan tindak kekerasan terhadap satu pun dari mereka,
biarlah seseorang berharap tidak terjadi pada kanak-kanak.
mengapa mengharapkan seorang kawan"
biarlah seseorang berjalan sendirian seperti badak 3
1171 Aku tidak bisa menyaksikan peristiwa itu. Selama kepalaku masih
terbungkus, dan wajahku berselaput dengan ramuan obat Tabib
Pengganti Wajah di bagian dalamnya, aku tidak dapat melihat apa
pun. Hanya suara saja, dengan Ilmu Mendengar Semut Berbisik di
Dalam Liang, yang membuatku masih dapat membayangkan
keadaan di sekitarku. Adalah Panah Wangi yang kemudian
menceritakan semua ini kepadaku.
Demikianlah di atas panggung yang sengaja dibuat sebagai
gelanggang pertarungan di dekat danau di Istana Xingqing,
tepatnya di bekas tempat latihan memanah semasa pemerintahan
Maharaja Xuanzong lebih dari 30 tahun sebelumnya, Panah Wangi
bahkan berhasil mengundang putri-putri istana untuk menghadirinya. Pada tempat duduk di barisan terdepan tampaklah putri-putri
Maharaja Dezong, seperti Putri Tang'an, Putri Yiyang, Putri
Yizhang, Putri Linzhen, Putri Yongyang, Putri Wen'an, Putri
Xian'an, dan Putri Yidu. Dengan mengecualikan yang sudah
meninggal, yakni Putri Pu'ning, Putri Yichuan, dan Putri Jinping, ini
merupakan kehadiran lengkap yang tidak selalu terjadi. Di tempat
terpisah bahkan tampak pula Selir Utama Wei. Adapun Permaisuri
Wang, ibunda Putra Mahkota Song dan Putri Tang'an, telah
pulang-besar pada 786. 1172 Tentu bukan Panah Wangi sendiri yang mengundang para
penonton sangat terhormat ini, melainkan melalui jaringan matamata tentara, maka istri-istri para panglima dapat membuat
panggung gelanggang pertarungan ini. Panglima Pasukan
Pertahanan Chang'an sendiri hadir di situ. Seusai pengepungan
yang diiringi kekacauan di dalam kota, disusul pembakaran oleh
orang-orang golongan hitam yang diduga keras, meskipun belum
pasti, dikerahkan oleh Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang,
penduduk Chang'an sungguh haus akan hiburan.
Mula-mula memang hanya seperti unjuk ketangkasan para pemain
gung fu yang semuanya perempuan. Mulai dari menggunakan
pedang jian, toya, senjata rantai, sampai kipas besi, dipertunjukkan
dengan indah seperti tarian, penuh pesona dan mengagumkan.
Lantas berlangsung pertarungan antarpesilat perempuan tetapi
yang masih sangat seperti pertunjukan, meski tetap saja
pertunjukan yang menimbulkan decak kekaguman. Namun tampak
Panglima Pertahanan Chang'an itu mulai menguap. Padahal hari
masih siang! Sampai tiba saat seorang perempuan pesilat yang menyoren
pedang jian di punggungnya melompat ke atas panggung dan
langsung menantang. 1173 "Kita telah menyaksikan semua keterampilan yang paling mungkin
dilakukan seorang perempuan dalam persilatan," katanya lantang,
"Yang belum dilakukan dan harus disaksikan pula adalah
mengujinya dalam pertarungan dengan lawan laki-laki. Aku berdiri
di sini memang untuk menantang. Di antara semua laki-laki yang
berada di sini, adakah yang berani mengujiku"
PARA penonton di halaman Istana Xingqing terhenyak. Memang
benar para perempuan pesilat itu menunjukkan ketangkasan
mengagumkan, tetapi menantang laki-laki bertarung di muka
umum adalah persoalan lain. Apalagi perempuan penantang itu
sekarang mengeluarkan kata-kata yang menusuk hati.
"Bagaimana" Tidak ada yang berani" Takut kalah?" ujarnya sambil
meludah dengan maksud memberi penghinaan.
Tentu ini membuat suasana menjadi tegang. Semua orang
menunggu apa yang akan terjadi. Adapun yang paling menekan
adalah pandangan kaum wanita, yang melihat ke sekeliling,
mencari-cari siapakah laki-laki yang berani menerima tantangan
perempuan di dalam gelanggang itu.
Panglima Pertahanan Chang'an yang sejak tadi tampak bosan,
menggerakkan kepala sebagai tanda agar salah satu pengawalnya
1174 melayani tantangan tersebut. Pengawal itu pun membuka ikatan
sarung kelewangnya, sambil berkata, "Akan aku layani tantanganmu Puan, tetapi biarlah kulepaskan kelewang ini dulu,"
katanya, ''karena jika salah mencabut sangat mungkin pula nyawa
lepas tanpa kesengajaan."
Perempuan pesilat itu tertawa kecil.
"Hmmh! Apakah itu tidak terlalu merendahkan?"
Pengawal panglima yang tinggi besar itu telah melepaskan
kelewangnya yang berat, menggerak-gerakkan tubuh seperti
merasa pegal, menggerak-gerakkan kepala agar tulang lehernya
berbunyi, menggerak-gerakkan jari-jari kedua tangan seolah-olah
sudah tiga tahun tidak pernah digerakkan, lantas mengadu-adu
kedua tinjunya. Ungkapan wajahnya memang merendahkan.
Ia melangkah naik tangga gelanggang.
"Maafkanlah aku Puan jika ini menyakitkan," katanya.
Perempuan pesilat itu menyambut kata-kata ini dengan totokan
jarak jauh, sehingga di gelanggang para penonton melihat patung
manusia hidup. Perempuan pesilat itu mendatanginya, 1175 mendekatkan kepalanya ke wajah orang itu. Bahkan menepuknepuk kepalanya.
"Apakah kiranya yang akan menyakitkan, Tuan, apa?"
Para penonton yang

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semula tertegun, terhenyak, dan kebingungan, sekarang tertawa. Para putri istana bahkan tertawa
sampai terkikik-kikik sambil memegangi perut, sambil saling
menggamit dan menunjuk-nunjuk pengawal tinggi besar yang kini
tampak sangat kocak itu, karena meskipun tubuhnya kaku-beku
seperti patung, matanya masih berputar-putar, membelalak
sebesar-besarnya menahan amarah tak tersalurkan.
"Coba bayangkan, sebetulnya aku bisa memenggal kepalamu
yang tolol, bukan?" Lantas secepat kilat ia mengayunkan pedang jian di punggungnya
itu ke arah leher orang tersebut. Semua orang menjerit. Namun
pedang itu berhenti pada jarak satu jari dari tengkuknya.
Perempuan pesilat itu akhirnya mendorong tubuh tinggi besar
tersebut yang kemudian terjatuh keluar gelanggang dalam
keadaan masih kaku seperti patung, dan kawan-kawannya
pengawal tergopoh-gopoh membopongnya ke belakang.
1176 "Nah, masihkah ada pengawal lain, Yang Mulia Panglima?"
Pertanyaan itu terdengar menusuk karena ditujukan langsung,
tetapi juga terdengar sungguh-sungguh, dan tetap menantang.
Panglima itu dengan kesal menggerakkan kepalanya lagi, kali ini
lebih keras. Maka lima pengawal berlompatan ke gelanggang dari
lima arah tanpa melepaskan pedang, bahkan ada yang
mencabutnya seperti tahu betapa tingginya ilmu silat perempuan
cantik yang seperti sengaja mencoreng-moreng wajahnya agar
tampak tidak terlalu cantik itu. Namun belum lagi kaki kelima orang
itu menginjak gelanggang, secara bersamaan tubuh mereka
tersentak dan mulut mereka memuntahkan darah segar yang
muncrat tinggi ke udara, tiada lebih dan tiada kurang karena angin
pukulan jarak jauh yang menusuk dengan tajam.
Kelima pengawal itu terguling-guling bergelimpangan di atas tanah
tanpa sempat menginjakkan kaki ke gelanggang, darah menyimbahi busana keprajuritan mereka.
"Jangan khawatir," ujar perempuan pesilat itu, ''mereka tidak akan
mati, aku sedang tidak berselera membunuh hari ini. Siapa lagi
yang bersedia mengujiku" Dengan segala hormat aku serasa
belum lagi bertarung. Benarkah tidak ada seorang laki-laki yang
1177 akan menguji seorang perempuan pesilat, dan barangkali
mengalahkannya, di seluruh Chang'an?"
Barangkali karena tersebutkan hanya sebagai pertunjukan
ketangkasan, maka peristiwa yang selalu berkembang menjadi
ajang pertarungan dalam dunia persilatan itu sepi dari kehadiran
para pendekar. Namun jika orang-orang dari dunia persilatan itu
ada, siapakah kiranya yang cukup bernyali menghadapi perempuan pesilat yang gerakannya tiada kasat mata"
Tidak seorang pun membuka suara. Hanya embusan angin
padang yang kapankah tidak kencang ketika melewati Chang'an"
Perempuan pesilat itu seperti sudah bersiap pergi dan mengakhiri
hari dengan kecewa, ketika terdengar suara halus dari tengah
khalayak yang semakin banyak berkerumun.
"Biarlah kusambut ajakanmu Puan, tetapi maafkanlah jika
kemampuanku mengecewakan dirimu."
Semua orang menoleh ke arah suara itu. Begitu melihat wajahnya,
semua orang merebahkan diri dan menyungkum tanah
"PANGERAN Song!"
1178 Orang-orang berteriak tertahan, tetapi mereka harus tetap
menyungkum tanah. Pangeran Li Song adalah putra mahkota.
Tahun 798 ini usianya 35 tahun. Duabelas tahun yang lalu,
Permaisuri Wang, ibunya, meninggal dunia. Ditinggalkan ibundanya di usia 23 tahun memberikan kemuraman abadi pada
wajah Pangeran Song. Ditambah dengan gerak-gerik kebangsawanan yang menjadi bagian tidak terlepaskan dari
pendidikan anak-anak maharaja, Pangeran Song dikenal sebagai
bangsawan yang anggun. Dengan perilakunya setiap hari yang
lemah-lembut, bagaimana bisa dibayangkan Pangeran Song akan
menghadapi perempuan petarung yang ganas itu dalam tatapan
semua orang. Panglima Pertahanan Chang'an adalah orang pertama di tempat
itu yang wajib melarangnya. Ia berdiri dan dengan tergopoh-gopoh
mendekat serta menjura. Bahwa pangeran itu bisa hadir tanpa
pengawalan saja akan merupakan masalah besar bagi panglima
tersebut, apalagi jika putra mahkota sampai terluka dan
dipermalukan di gelanggang. Semua orang di tempat itu sudah
paham, panglima itu tidak akan lama lagi menduduki jabatannya.
"Yang Mulia Pangeran! Mohon ampun! Seharusnya sahayalah
yang melayani tantangannya! Izinkan sahaya melabrak pemain
gung fu itu!" 1179 Pangeran Song hanya melambaikan tangan kanannya yang nyaris
tertutup lengan jubah. "Terlambat, Panglima, lagipula kamu bukan tandingannya..."
Maka Pangeran Song pun menyentuh tanah dengan kakinya dan
melayang seperti melangkah di udara, bagaikan terdapat tempat
berpijak tiada terlihat yang bisa membuatnya berjalan setengah
terbang dengan anggun menuju ke gelanggang. Pangeran Song
mengenakan jubah sutra biru dengan fu tou hitam di kepalanya
sambil membawa kipas meskipun tidak panas, karena kipas itu
sebetulnya memang merupakan senjata.
Pangeran Song hinggap tanpa suara pada lantai papan panggung.
Perempuan pesilat yang sejak tadi belum membuka capingnya itu
kini melepaskannya sehingga tergantung di punggung dan
menjura. "Ampunilah kami Yang Mulia Pangeran," katanya, "kami hanya
merayakan apa yang seharusnya dirayakan pada hari ketujuh
bulan ketujuh. Kami tidak membayangkan Yang Mulia Pangeran
akan berada di antara pengunjung. Ampunilah!"
Pangeran Song mengangguk-angguk dengan bijak.
1180 "Sudah semestinya ditunjukkan betapa keterampilan perempuan
memang bukan hanya menjahit dan merenda, tetapi juga bermain
pedang," ujarnya, ''Kini sudilah Puan memberikan kesempatan
kepadaku untuk ikut merayakan."
Lantas kepada khalayak ia berkata, masih dengan suaranya yang
lembut. "Apa pun yang terjadi, tidak ada seorang pun boleh menyentuh
perempuan pendekar ini. Sekarang bangkitlah, saksikan, rayakan,
apa saja yang bisa dilakukan seorang perempuan dalam
persilatan." Mereka semua yang menyungkum tanah pun bangkit kembali,
menyaksikan sesuatu yang tiada pernah mereka bayangkan
bahkan di dalam mimpi. Wang Ch'ung berkata: dalam segalanya tiada yang lebih nyata,
daripada mempunyai hasil,
dan dalam perdebatan tiada yang lebih menentukan,
daripada memiliki bukti. 1
1181 Seperti tarian tetapi bukan tarian, seperti jurus silat tetapi mengapa
sekilas-pintas tiada lebih dan tiada kurang seperti tarian" Jubah
sutra biru yang berkelebat bersama segala gerak dan jurus ilmu
kipas Pangeran Song itu, kadang hanya tampak sebagai bayangan
biru, kadang tampak kadang tidak, kadang tampak jelas, kadang
tampak tidak terlalu jelas, melibas perempuan pesilat yang seperti
selalu lolos dari tipu daya kipas maut.
Demikianlah kipas itu membuka, menutup, mengembang, dan
berputar-putar mengangkat dan menyeret tubuh Pangeran Song
agar terhindar dari seribu tebasan, duaribu tebasan, tigaribu
tebasan pedang perempuan pesilat yang tidak memberi ruang
kepada sang pangeran. Bisakah dibayangkan apa yang akan
terjadi jika tubuh putra mahkota tercacah sampai ribuan" Namun
tingginya ilmu silat Pangeran Song terlihat bukan dari kecepatannya, melainkan kelambatannya, selambat secabik kapas
yang turun dari langit. Kelambatan terindah yang kasat mata dapat dilihat kawan maupun
lawan, tetapi bukan kelambatan seperti yang dapat dikejar oleh
yang siapa pun yang lebih cepat, karena ke dalam kelambatan
inilah segenap kecepatan terhisap habis tuntas tanpa sisa. Pada
saat seperti itu, siapa pun yang berada di halaman Istana Xingqing
dapat menyaksikan kedua petarung itu berputar di udara dengan
1182 sangat lambat sambil mengayunkan senjata masing-masing.
Khalayak terbelalak dan menantikan sesuatu yang akan menjadi
akibat dari perbenturan, jika bukan ledakan mungkin pula dua
petarung akan tergelimpang bersimbah darah.
Saat itulah kedua petarung gerakannya tidak bisa diikuti mata
awam lagi. PERTARUNGAN antara perempuan pesilat, yang telah mempermalukan para prajurit lelaki, melawan Pangeran Song
yang gerakannya anggun dan gemulai, sebagai pertunjukan
memang membuat penonton ternganga. Bukan sekadar karena
kadang tampak hanya untuk kembali menghilang, tetapi karena
ketika tampak, gerakan lambatnya terasa kuat hadir sebagai
keindahan yang menjelma. Perbandingan yang membuat keindahan itu hadir bukanlah antara tampak dan tiada tampak,
melainkan antara kecepatan dan kelambatan. Karena kecepatannyalah yang membuatnya tiada tampak, dan ketika
tampak sebagai kelambatan maka kelambatan itu memberi makna
kepada ketiadatampakannya.
Maka sesekali tampak Pangeran Song dengan jubah birunya
mengibaskan kipas yang dihindari perempuan pesilat itu sambil
melayangkan tubuh sebelum keduanya menghilang. Pada kali lain
1183 tampak per?empuan pesilat itu menyambukkan pedang lenturnya
ke bahu sang pangeran yang memiringkan tubuh dan karena itu
luput, lantas keduanya menghilang. Untuk kemudian muncul lagi.
Untuk kemudian menghilang lagi. Suatu kali tampak kipas
dikebutkan dan ditangkis caping, sampai caping anyaman daun
yang sudah kering itu hancur berserakan di udara. Keping-keping
caping menjadi pernik-pernik beterbangan lamban, dan ketika
luruh ke bumi memunculkan wajah perempuan pesilat itu dengan
jelas, sangat amat jelas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih jelas.
Wajah perempuan pesilat itu dengan nyata telah membuat
Pangeran Song terpesona. Sudah beristrikah Pangeran Song"
Adakah dirinya memiliki kekasih tercinta" Betapapun saat ini bagi
Pangeran Song tampaknya hanya perempuan pesilat itulah satusatunya perempuan di muka bumi. Setiap kali berpapasan saling
menyilang Pangeran Song menyapanya dengan lembut.
"Siapakah Andika sebenarnya Puan" Hati saya remuk-redam
sudah tanpa Puan perlu melakukan gerakan apa pun.
"Bunuhlah hamba jika Puan tiada menghendaki orang hina ini.
"Apalah artinya dunia ini tanpa keberadaan Puan.
"Apalah artinya. 1184 "Apalah artinya. "Apalah artinya. "Betapa dunia sungguh terasa akan hampa.
"Siapakah Andika sebenarnya Puan" Apakah selama ini tinggal di
Chang'an" Betapa buta hamba tiada melihat intan berlian permata
di depan mata." Kipas dan pedang lentur berbenturan sampai keduanya terlontar
keluar dari gelanggang. Ketika mereka bermaksud kembali ke gelanggang, seseorang
sudah berdiri di situ. "Buta! Ya, betapa kita semua sudah buta! Pembunuh buronan di
depan mata, tetapi semua orang membuta dan jatuh cinta! Hmmh!
Cantik jelita tiada tara, tapi berapa orang sudah di bunuhnya"
Cuih!" Orang itu meludah. Semua orang mengenalnya. Hakim Hou!
Dengan pedangnya ia menunjuk perempuan pesilat itu.
"Buronan kejam tanpa perasaan ! Berani benar dikau menunjukkan


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidungmu di kota ini!"
1185 Lantas ia menjura kepada Pangeran Song.
"Yang Mulia Pangeran, izinkan Dewan Peradilan Kerajaan
menjalankan tugasnya."
Tanpa menunggu jawaban, Hakim Hou bersuit, dan segala tembok
serta wuwungan di petak Istana Xingqing langsung penuh dengan
para petugas Dewan Peradilan Kerajaan. Semuanya membidikkan
panah ke arah perempuan pesilat itu.
"Pendekar Panah Wangi! Menyerahlah! Tempat ini sudah
dikepung!" Baru saja selesai bicara, Hakim Hou yang wajahnya bulat dan agak
gemuk itu menggerakkan pedangnya.
Trrrrangngng! Sebilah pisau terbang yang dilemparkan Panah Wangi tertangkis
pangkal pedang jian Hakim Hou dan terpental ke arah Pangeran
Song yang segera menangkapnya. Tanpa peduli kepada apa yang
terjadi di sekitarnya, Pangeran Song mengecup pisau terbang itu,
lantas menyimpannya ke balik baju.
1186 Putri Tang'an yang sangat mengenal sifat dan perilaku saudara
kandungnya itu menghela napas panjang. Putra mahkota Wangsa
Tang itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada
buronan resmi Dewan Peradilan Kerajaan Negeri Atap Langit.
Namun yang dijatuhi cinta sedang sibuk menyelamatkan nyawa,
ketika dari segala tembok dan wuwungan di petak tempat
keberadaan Istana Xinqing melesat beratus-ratus anak panah
yang berminat menghabisinya. Ke mana pun Panah Wangi
berkelebat menghindar, ke sanalah ratusan anak panah berdesingdesing memburunya. Segalanya berlangsung dalam tatapan
khalayak, yang kini merasa sedang menyaksikan pengujian bagi
perempuan pesilat itu dalam arti sesungguhnya.
Dalam Kitab Zhuangzi tersebutkan: Pikiran manusia sempurna seperti cermin.
tidak bergerak dengan benda-benda,
ataupun mendahuluinya. Menanggapi benda-benda, tetapi tidak memilikinya.
maka manusia sempurna akan berhasil
1187 berurusan dengan benda-benda
tetapi tidak terpengaruh olehnya
RATUSAN bahkan ribuan anak panah memburu Panah Wangi
seperti bayang-bayang memburu tubuhnya, mendesing-desing
seperti bermata dengan kehendak besar agar bahkan pandangannya pun menancap dan menimbulkan luka, karena
memang bermaksud merajamnya. Panah Wangi berkelebat dan
melejit-lejit dengan menjejak tembok, dinding bangunan, dan
wuwungan, diburu dan dicegat panah-panah, sementara di
selanya terdapat juga tombak, pisau terbang, dan jarum-jarum
beracun. Suara yang ditimbulkan sungguh mengerikan, seperti panahpanah dan senjata-senjata lain digerakkan oleh satu tangan
berkuasa, meskipun ternyata bukan satu melainkan sejumlah
Bentrok Rimba Persilatan 11 Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Darah Dan Cinta Di Kota Medang 1
^