Pencarian

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 3

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 3


tidak akan mendapatkan gelarnya jika tidak bisa bergerak lebih
cepat daripada kecepatan pisau-pisau terbang itu. Ia berkelebat di
tengah hujan yang menderas tiba-tiba, dan melesat ke arah
penyerangnya dengan cara menapak - lebih tepatnya menyentuh
dengan ujung sepatunya - pisau-pisau terbang yang meluncur
berturut-turut ke arah tempatnya berdiri tadi.
Senjata rahasia yang meluncur ke arah Elang Merah adalah anak
sumpit sangat beracun, yang juga meluncur dengan sangat amat
cepat, begitu beruntunnya sehingga bagaikan tiada berjarak antara
190 satu dengan lainnya, yang niscaya juga akan merajam sasarannya
jika ilmu silat yang terkuasai hanyalah tingkat biasa-biasa saja.
Namun bagi Elang Merah, serangan semacam ini hanyalah
sekadar alasan untuk melesat, dengan kekuatan batin yang dapat
membawa tubuhnya sejengkal di atas anak-anak sumpit yang
amat sangat beracun itu, menembus rinai hujan langsung ke arah
penyerang yang masih terus mengincar dengan sumpitnya.
Adapun senjata-senjata rahasia yang meluncur kepadaku adalah
piauw bergerigi banyak sekali yang bukan hanya meluncur tetapi
juga berputar dengan jenis putaran yang jika ditangkis tiada akan
terpental tetapi tetap berputar melingkar dengan kecepatan yang
sama ke arah sasarannya! Senjata-senjata yang mengarah
kepadaku seolah datang dari berbagai jurusan, dan karena itu
menutup seluruh jalan ke mana pun aku akan menghindar,
meskipun seluruh piauw itu tadinya disebarkan ke segala arah oleh
satu orang. Inilah senjata rahasia yang luar biasa karena arahnya
yang tidak akan pernah bisa diduga - seolah kematian memang
bisa dipastikannya! Namun bukan bagaimana menghindari senjata rahasia ini yang
menjadi pikiranku, melainkan siapakah kiranya para pembunuh
gelap ini, atau tepatnya siapakah yang membayar atau
memerintahkan mereka untuk membunuh kami" Dengan kerja
191 sama jaringan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang kami
memasuki kota secara rahasia dan selama ini bergerak secara
rahasia pula, dalam perjanjian yang tersepakati bersama bagaikan
sumpah antar-ksatria, meski kuketahui belaka betapa tiada lebih
dan tiada bukan hanya kepentingan bersamalah yang mendasarinya. Kuingat Laozi berkata:
antara "ya" betapa antara dan kecil baik "iya" bedanya dan jahat betapa besar bedanya! DARI mereka kami membutuhkan jaringan rahasia pembuka jalan
ke arah tempat penyimpanan pedang, dari kami mereka
membutuhkan kepastian bahwa Pedang Mata Cahaya untuk
tangan kiri yang mahaberat itu dapat terangkat dan tercuri, yang
rupanya telah mereka ketahui pula hanya bisa dilakukan oleh Yan
Zi sebagai pemegang Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan
pasangannya, karena jika Yan Zi yang memegangnya maka
Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri itu akan menjadi ringan,
begitu ringan, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih ringan.
Hanya itulah yang sempat kupikirkan ketika tubuhku berkelebat
tanpa diperintah otak dengan begitu cepat, sangat amat cepat,
192 bahkan lebih cepat dari cepat, sehingga seketika itu juga telah
kutembus hujan yang mendadak turun dengan deras. Aku melesat
di antara curah hujan menuju wuwungan atap rumah di seberang
Penginapan Teratai Emas dan menotok jalan darah penyerang
gelap dengan senjata rahasia terkejam itu.
Penyerang gelap yang tidak bertutup muka tetapi wajahnya
tertutup bayangan caping itu jatuh menggelinding di atas genting
menuju ke bawah. Aku menjejakkan kaki dan berkelebat untuk
menerima tubuh itu di bawah, karena jika penyerang gelap ini
tewas karena jatuh di atas genting tentu tiadalah keterangan yang
akan kudapat. Dari celah suara hujan kuketahui Yan Zi dan Elang Merah telah
terlibat dalam pertarungan antara hidup dan mati. Memang hanya
bisa didengar karena gerakan mereka yang bertarung ini bahkan
olehku sudah tidak dapat dilihat lagi. Jika kedua perempuan
pendekar itu pun sudah mengeluarkan kemampuannya bergerak
cepat sampai tingkat seperti ini, niscaya kedua penyerang gelap
tersebut ilmu silatnya pun sudah sangat tinggi!
Dalam keredap kilat dan halilintar kudengar suara Yan Zi.
"Anjing buduk! Menyerahlah jika tidak ingin mati!"
193 Selintas kudengar suara tawa sebagai jawabannya, yang nadanya
membersitkan kepadaku suatu gagasan mengerikan.
Benar juga. Saat kuterima tubuh penyerangku yang tergulingguling di atas genting menuju ke bawah itu, ternyata pada dahinya
telah menancap sebuah piauw seperti miliknya sendiri, bahkan
mungkin juga memang miliknya sendiri yang dikembalikan lagi!
Pada saat yang sama rupa-rupanya para penyerang Yan Zi dan
Elang Merah juga tewas! Jika penyerangku memang tak bisa
menghindar karena tubuhnya lumpuh setelah kutotok urat syaraf di
bawah tengkuknya, maka penyerang Yan Zi dan Elang Merah
justru tertembus pertahanannya ketika sedang melenting ke atas
menghindari jurus-jurus maut kedua perempuan pendekar tersebut
- juga oleh senjata rahasia mereka masing-masing...
Sepintas lalu merupakan kematian yang tidak adil. Dibunuh
dengan senjata rahasianya sendiri ketika tugas pembunuhan gelap
mereka gagal - tetapi mereka yang bergerak dalam dunia hitam,
terutama para pembunuh gelap dari perkumpulan rahasia, telah
memiliki kesepakatannya sendiri.
194 Tubuh kedua pembunuh yang kini menjadi korban itu juga jatuh ke
genting tanpa daya, terguling-guling ke bawah dan akan
terjerembab di tepi jalan.
Tubuh penyerangku telah kuletakkan. Sepintas terlihat wajahnya
sudah tak bernyawa ketika capingnya tersingkap karena tergulingguling tadi --wajahnya seperti orang kebanyakan saja. Tak dapat
kupastikan apakah ia beranak dan beristri, tetapi dapat kupastikan
betapa ia juga berayah dan beribu.
Aku di bawah dan Yan Zi serta Elang Merah masih berada di atas
genting. Hujan masih deras dan kami bertiga basah kuyup. Hujan
seperti ini membuat dunia menjadi kelabu. Dari balik tirai kelabu
berkelebat bayangan para pengawal Burung Emas.
Ketika kedua tubuh pembunuh itu akhirnya terjerembab di jalanan,
yang menjadi sungai karena banjir dan menghanyutkan tubuhtubuh itu, kami telah melenyapkan diri.
Di Benares, di Taman Rusa, Sang Bhagava bicara kepada
kelompok lima bhikkhu: "Tubuh, bhikkhu, bukanlah diri jika tubuh, bhikkhu, adalah diri maka
tubuh takkan terserang penyakit dan seseorang dapat berkata
tentang tubuh: 195 'Biarlah tubuhku menjadi seperti ini; Biarlah tubuhku tak menjadi
seperti ini.' Tetapi, bhikkhu, karena tubuh bukanlah diri, tubuh terserang
penyakit, dan seseorang tidak dapat berkata tentang tubuh:
'Biarlah tubuhkumenjadi seperti ini; Biarlah tubuhku tak menjadi
seperti ini." KAKI Angin segera muncul di Penginapan Teratai Emas.
Ditemukannya tiga tubuh tak dikenal telah menjadi berita di manamana, tetapi seperti bisa diduga, ketiganya sama sekali tidak
dikenal - juga bahwa tidak ada tanda-tanda perangkat busana
maupun tubuh yang bisa dibaca bahwa ketiganya berasal dari
suatu tempat tertentu. Mereka hanya seperti orang kebanyakan
yang biasa terlihat di Chang'an saja.
Justru kesimpulan itulah yang menegaskan kepada Kaki Angin,
ketiganya adalah anggota perkumpulan rahasia.
"Sudah pasti bukan Golongan Murni," katanya, "karena meskipun
Golongan Murni tidak resmi, mereka tidak terlalu bermaksud
merahasiakan dirinya. Lagipula siapa pun yang mewakili mereka
biasanya bertanda rajah."
196 Aku diam saja, meski sudah pernah melihat sendiri tanda rajah
Mata Ketiga pada dahi maupun tanda pedang bersilang di dada
kiri. Aku masih ingat apa yang dikatakan tentang Golongan Murni,
golongan yang merasa hanya bangsa Han layak memerintah
dunia, seperti bisa memastikan kemurnian darah bangsa Han itu,
yang diandaikannya begitu mulia berdasarkan suatu kepastian dari
langit. Meskipun gagasan semacam itu telah ditertawakan para
cendekiawan Negeri Atap Langit sendiri, tetapi pendukungnya
tidak sedikit, terutama karena para tokohnya yang bersembunyi di
balik layar mampu menggalang dana besar bagi tujuan mereka,
yakni membasmi bangsa apa pun yang dianggap merupakan
ancaman bagi bangsa Han. Di kotaraja seperti Chang'an, kota tempat pergaulan segala
bangsa demi berbagai kepentingan, bagaimana mungkin gagasan
semacam itu bisa diterima"
Namun kuketahui bagaimana uang dapat menjadi tuan untuk
memperbudak siapa pun yang membutuhkannya.
Aku juga tak yakin bahwa Golongan Murni masih mempertahankan
perlunya rajah bagi keanggotaan pengikutnya. Lagipula mereka
juga dapat menugaskan pembunuh bayaran yang tidak memiliki
rajah semacam itu. 197 Apakah yang dapat diketahui Kaki Angin tentang peristiwa ini"
"Dari cerita Puan dan Tuan bahwa serangan ketiganya dimaksud
mematikan, dan ketiganya dimatikan begitu gagal dengan
senjatanya sendiri, terdapat dua perkara."
"Apa itu?" Yan Zi tampak penasaran.
"Bahwa kerahasiaan pemberi tugas sangat amat penting, yang
juga berarti pemberi tugasnya sangat amat dikenal."
"Dikenal oleh kami?"
"Ya, dikenal oleh Puan dan Tuan, atau dikenal oleh orang banyak."
"Padahal tidak ada yang kami kenal dan tidak ada yang mengenal
kami," ujar Elang Merah, dengan tajam, "kecuali kalian..."
Kaki Angin tersenyum. "Saya tidak dapat menolak pikiran Puan yang seperti itu," katanya,
"tetapi itu bukanlah kenyataannya."
"Apa perkara yang kedua?" tanya Yan Zi lagi.
198 "Bahwa ini menyangkut sesuatu yang telah Puan dan Tuan
ketahui, padahal sangat dirahasiakan, sehingga kematian Puan
dan Tuan harus dipastikan, begitu pula kematian para pembunuh
Puan dan Tuan itu." "Jadi mereka akan tetap dibunuh ketika berhasil membunuh kami?"
kataku. "Itu sudah pasti," katanya yakin, "Jika tidak, mengapa harus ada
pembunuh lain di dekat mereka, dan pembunuh lain itu tidak
langsung menyerang Puan dan Tuan saja?"
Hmm. Rahasia berlapis rahasia.
Kaki Angin tidak keliru, hanya saja aku ragu, bahwa memang
hanya itulah yang diketahuinya. Kaki Angin pasti lebih mengenal
peta perkumpulan rahasia di Negeri Atap Langit, paling tidak di
Chang'an, daripada kami bertiga. Benarkah tidak terdapat
penunjuk apa pun dari peristiwa ini yang mengarahkannya kepada
sesuatu yang dikenalnya, yang perlu diberitahukannya kepada
kami bertiga" Kusadari kembali betapa di luar dunia persilatan, pertarungan
kekuasaan jauh lebih rumit daripada yang bisa diduga. Kuyakinkan
diriku bahwa kami tidak bisa dan pada waktunya mungkin tidak
199 perlu mengandalkan hanya jaringan Yang Mulia Paduka Bayangbayang saja. Kerja sama ini hanya berlaku sejauh masih memberi
keuntungan kepada kami bertiga.
Setelah Kaki Angin pergi dengan janji akan segera membongkar
kerahasiaan di balik peristiwa ini, kuutarakan pendapatku kepada
kawan-kawanku. Elang Merah segera menanggapi.
"Bagaimana kalau aku menghubungi jaringan mata-mata Tibet?"
Aku dan Yan Zi berpandangan. Tidaklah kutahu apa yang
dipikirkan Yan Zi, mungkinkah ia mencurigai seseorang yang
dengan dirinya pun sudah berkasih-kasihan" Namun bagiku
peluang ini tidak ada salahnya dicoba. Bagiku semakin cepat
Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri itu tercuri, semakin aku bisa
memusatkan perhatian kepada perburuan Harimau Perang.
SAMPAI di sini aku tersentak. Harimau Perang" Mestikah
sebaiknya kupertimbangkan bahwa inilah yang dimaksud Kaki
Angin sebagai pihak yang mengenalku dan kukenal pula, meski
kami tidak pernah benar-benar bertatapan muka"
Melihat aku masih diam saja, Elang Merah bertanya lagi.
"Bagaimana?" 200 Mata Yan Zi yang menatapku itu seperti mengatakan, "Jangan."
Aku tak dapat menebak apakah yang menjadi alasannya.
Meskipun Yan Zi dan diriku di satu pihak pernah berhadapan
sebagai lawan Elang Merah, saling percaya antara kami bertiga
semestinyalah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Dalam perang maupun damai, Kerajaan Tibet bagaikan musuh
abadi Negeri Atap Langit. Dapat kubayangkan betapa jaringan
mata-mata Tibet tentu sudahlah sangat kokoh, sehingga memanfaatkannya untuk menghimpun keterangan pasti akan
berguna sekali. Apakah Yan Zi menjadi keberatan hanya karena
menyadari perbedaan, bahwa dirinya betapapun adalah warga
Negeri Atap Langit dan Elang Merah sebenarnya mata-mata
Kerajaan Tibet" Kami berada di luar kamar, duduk pada kursi-kursi yang terletak di
tepi pagar, tempat kami bisa memandang dan melihat para teruna
bernyanyi sambil memetik kecapi di lantai dasar. Hari masih siang
tetapi para bangsawan dan orang-orang kaya sudah mabuk
tertawa-tawa dalam busana serba mewahnya.


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua perempuan itu menatapku. Aku terdiam dan memusatkan
perhatian. Apakah yang sebenarnya berada dalam benak Yan Zi
201 ketika matanya berkata, "Jangan?" Apakah yang sebenarnya
berada dalam benak Elang Merah ketika dengan sangat masuk
akalnya ia tawarkan jasa jaringan mata-mata Kerajaan Tibet agar
kami tidak terjebak dan tergantung hanya kepada jaringan Yang
Mulia Paduka Bayang-bayang.
Apa pun, kini aku tahu, bahwa semenjak dari Javadvipa usaha
pembongkaran kerahasiaan hanya semakin menenggelamkanku
ke dalam kerahasiaan demi kerahasiaan yang baru. Bahkan siapa
diriku pun sampai saat ini aku tidak tahu!
Betapapun aku memang selalu bertanya-tanya, masihkah dunia ini
menarik dihidupi jika tiada rahasia lagi" Dalam ajaran Jalan
Tengah dikatakan: tiada yang tiada yang lebih jelas lebih nyata selain selain yang yang rahasia rinci karenanya manusia utama waspada terhadap diri sendiri meski ketika sedang sendiri 1
Kedua perempuan pendekar itu masih menatapku. Sulit sekali
kedudukanku menghadapi dua pilihan, apakah tetap berusaha
mencuri Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri dengan kerja sama
202 jaringan Yang Mulia Paduka Bayang-bayang, ataukah melengkapinya lagi dengan jaringan mata-mata Kerajaan Tibet"
Masalahnya bukan manakah yang harus dipilih di antara
keduanya, melainkan bahwa yang mengatakan ''jangan'' adalah
Yan Zi Si Walet. Aku tak dapat memilih sama seperti aku tak dapat
mengalahkan kepentingan salah satu di antara kedua perempuan
itu tanpa aku harus tahu kepentingan apa yang berada di balik
kehendak masing-masing atas penawarannya. Meski Yan Zi hanya
berbicara melalui matanya, aku tak bisa beranggapan tidak
mengetahui gagasannya, dan pada waktu yang sama tak bisa pula
mengandaikan Elang Merah tidak mengetahuinya!
Sebagai orang asing, meski telah kudengar dan kuketahui
permusuhan mendalam antara Negeri Atap Langit dan Kerajaan
Tibet, betapapun tidak dapat kuhayati sepenuhnya seperti Yan Zi,
yang dalam keadaan menyimpan dendam terhadap ke?kuasaan
Wangsa Tang, ternyata menganggap usulan Elang Merah sebagai
ancaman. Namun benarkah Yan Zi mengatakan ''jangan'' memang
karena perasaannya sebagai warga Negeri Atap Langit, ataukah
karena suatu sebab yang bahkan untuk berkata ''jangan'' pun harus
melalui mata" 203 Saling pengertian di antara kami bertiga sesungguhnyalah luar
biasa, seperti dalam berbagai kejadian kami telah saling mengerti
hanya dengan saling memandang saja. Namun apabila kini Yan Zi
mengatakan sesuatu melalui pandangan matanya tanpa ingin
diketahui Elang Merah, meski bahkan diketahuinya betapa Elang
Merah akan mengetahuinya, membuatku dengan sangat amat
mendadak merasakan suatu jarak antara kedua perempuan
pendekar itu dengan begitu lebarnya!
"Pendekar Tanpa Nama," ujar Elang Merah tiba-tiba, "mengapa
dikau tidak menjawab apa pun jua?"
"Aku sedang memikirkannya," kataku, yang jelas terdengar
sebagai bukan jawaban sejujurnya.
"Jika demikian katakanlah apa yang dikau pikirkan, bukankah di
antara kita bertiga segalanya selalu terbuka?"
Aku menahan napas. Dari nadanya jelas betapa Elang Merah
menujukan kata-katanya kepada Yan Zi!
Meskipun hari masih mendung, jalanan di Petak Teruna tetap saja
ramai, tetapi dunia mendadak serasa begitu sunyi ketika aku
menenggelamkan diri dalam pikiranku.
204 BENARKAH Yan Zi menolak dukungan jaringan mata-mata
Kerajaan Tibet hanya karena menganggap negeri itu musuh abadi
Negeri Atap Langit" Mengingat sepanjang hidupnya ia dibesarkan
dengan pemahaman bahwa Wangsa Tang yang memerintah
Negeri Atap Langit adalah musuhnya, anggapan itu sangat
kuragukan. Jadi Yan Zi mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui,
tetapi mengapa ia tidak bisa memberitahukannya kepadaku secara
terbuka, ketika hubungan kami bertiga telah merupakan senyawa
yang tak dapat dipisahkan apa pun juga" Yan Zi dan Elang Merah
selalu tidur sekamar, seranjang, dan dapat dikatakan nyaris selalu
saling bersentuhan, apakah kiranya yang masih mungkin
menimbulkan kecurigaan"
Akan halnya Elang Merah, tawarannya sungguh begitu wajar,
sangat amat wajar, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih wajar,
dengan catatan bahwa kami sungguh-sungguh mempercayai
betapa memang tidak ada kepentingan apa pun pada dirinya selain
membantu pengambilan bagian kiri dari pasangan Pedang Mata
Cahaya - dan kepada seorang perempuan pendekar yang telah
bersumpah setia mengikuti ke mana pun langkahku pergi karena
berutang jiwa, mengapa pula aku harus tidak percaya" Meskipun
Kotaraja Chang'an ini sangatlah amat menarik untuk ditinggali
205 pula, aku tidak ingin berada di sini selamanya karena tak pernah
berhasil mengambil Pedang Mata Cahaya.
Jika Harimau Perang ternyata tidak ada di kota ini, atau telah
berangkat pergi tanpa kejelasan yang dapat kuketahui, aku tahu
betapa sulit memburu jejaknya lagi.
Akhirnya aku bisa mengambil napas dalam - dalam, menatap Yan
Zi, sekalian saja mempertanyakannya.
"Mengapa tidak jika itu bisa membantu kita" Mengapa dikau
keberatan Yan Zi?" Untuk sekilas kulihat cahaya tatapan yang tak bisa kuterjemahkan
maknanya, sebelum Yan Zi menjawab cepat.
"Keberatan" Siapa yang mengatakan keberatan" Mengapa tidak,
Meimei?" Meimei adalah panggilan untuk adik perempuan dari xiaomei yang
berarti "adik kecil". Kudengar memang begitulah sekarang Yan Zi
menyebut Elang Merah. Aku tidak ingin memikirkan lebih jauh
makna kedekatan mereka selain sebagai saudara saja.
"Tentu, mengapa tidak, Zizi?"
206 Zizi ini hanya bunyi tanpa arti dari permainan nama Yan Zi, tetapi
bagi Yan Zi tampaknya bermakna besar sekali. Meimei dan Zizi,
hmm, rasanya aku tidak menjadi bagian dari mereka jika keduanya
sudah saling memanggil seperti itu.
Saat itu aku belum tahu betapa cahaya tatapan Yan Zi yang sekilas
tadi sesungguhnyalah tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Betapapun tak dapat kutolak diriku untuk berpikir keras. Yan Zi
tahu bahkan melalui tatapannya apa yang ingin disampaikannya
dapat diketahui oleh diriku maupun Elang Merah.
Aku terkesiap. Ini bukan soal apakah jaringan mata-mata itu
bekerja untuk Kerajaan Tibet. Yan Zi hanya tidak ingin didengar!
Aku mengangguk kepadanya tanda mengerti, lantas kutatap Elang
Merah, yang segera pula mengerti. Namun siapakah yang
mendengarkan kami" Yan Zi pun memberitahu dengan caranya sendiri.
"Meimei, tentu mudah meminta bantuan jaringan tapi bagaimana
dengan kesepakatan bersama Yang Mulia Paduka Bayangbayang" Bukankah dikatakan adalah mereka yang bertanggung
207 jawab atas segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelidikan dan pencarian keterangan?"
Ah, memang begitu! Namun karena tiada seorang pun kuyakini
menguping perbincangan kami, dan tidak akan mungkin ter?jadi
tanpa kami pergoki, aku segera teringat Yang Mulia Paduka
Bayang-bayang itu sendiri. Bukankah kami telah berbicara
dengannya tanpa kami ketahui ia berada di mana, sementara ia
mendengar segala perkataan kami pula" Kuingat ia berbicara
dengan Ilmu Pemisah Suara, artinya bisa berada di tempat yang
jauh sambil tetap mendengar, dan karena itu dapat berbicara
dengan kami di dalam gua; dan juga dengan Ilmu Pemecah Suara,
sehingga ketika suaranya dapat terdengar di mana-mana, dapat
diandaikan ia mendengar pula segala suara.
Itukah yang membuat Yan Zi mengajak bicara melalui tatapan
mata dan hanya tatapan mata" Kukira aku tidak akan terlalu keliru
memperkirakan itu, tetapi belum merupakan jawaban atas kilasan
cahaya mata Yan Zi yang tak dapat kuterjemahkan tersebut.
Elang Merah belum juga menjawab. Ia menuang teh dari teko ke
cangkir kecil yang digenggamnya, dan menghirupnya perlahanlahan.
208 SAAT itulah terdengar suara canang dipukul keras. Seorang
petugas kerajaan tampak berada di atas kuda dengan busana
kuning dan topi hitam bertepian merah. Ia meneriakkan
pengumuman di luar kepala dengan seruan lantang.
"Lelang mestika! Lelang mestika! Lelang senjata istana yang paling
sakti dan paling keramat agar rakyat yang mampu membeli dapat
ikut memiliki! Lelang mestika! Lelang mestika! Akan dimulai tiga
hari lagi!" Kami bertiga saling memandang. Cepat sekali kabar angin ini
menjadi kenyataan. Kemudian menjadi jelas pula bahwa pengumuman itu hanya disampaikan di bagian timur kota, tempat
permukiman para bangsawan dan pejabat tinggi, dan terutama di
wilayah Dusun Kecil Utara, wilayah tempat Petak Teruna ini
berada, karena menjadi ajang berkumpulnya para saudagar
ternama serta kaya raya. Tidak ada gunanya mengumumkan
lelang senjata mestika ini di bagian barat kota yang lebih padat,
terutama oleh gelandangan dan pengembara miskin jelata, karena
hanya mereka yang membawa pundi-pundi uang emas dalam
jumlah tertentu dapat memasuki tempat pelelangan, yakni
lapangan sepak bola di sisi timur Istana Daming.
209 "Jika Pedang Mata Cahaya ikut dilelang aku harus mengambilnya,
tidak mungkin kubiarkan pedang itu dibeli orang dan dibawa tak
jelas ke mana," ujar Yan Zi.
Ini memang membingungkan. Kami siap untuk menyelinap ke
dalam istana dan mencurinya, bukan membelinya dengan
penawaran harga tertinggi.
Apakah kiranya yang dibayangkan Yan Zi" Ia tidak bisa melesat
dari atap ke atap begitu saja dan melompati tembok untuk turun
menyambar pedang itu. Betapapun tinggi ilmu silatnya dan
betapapun ampuh Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan yang
dipegangnya, melakukannya tanpa pengetahuan mendalam
tentang siapa saja yang ada di sana bukanlah tindakan yang terlalu
bijaksana. "Masih tiga hari lagi," kataku, "Kaki Angin pasti akan menghubungi
kita, dan kukira kita pun dapat berusaha memastikannya."
Sambil mengucapkannya aku mengarahkan pandangan kepada
Elang Merah dengan tatapan tertentu. Elang Merah dan Yan Zi
saling berpandangan dan mengangguk kepadaku. Mungkin kehatihatian kami berlebihan, tetapi jika ada seseorang yang mencoba
210 mendengarkan percakapan kami dengan cara itu dari jauh, ia tidak
akan mendengar apa pun. Aku teringat Laozi: Dalam setiap Dalam pembelajaran, hari ada belajar perkembangan. mencari jalan, setiap hari ada penyusutan.1
Kami mengikuti Elang Merah menyelusuri jaringan mata-mata
Tibet. Itu berarti kami menyelusuri nyaris segenap lorong-lorong
Chang'an untuk mencari tempat diasingkannya orang-orang yang
sakit kusta. Rahasia disembunyikan di tempat yang paling rahasia.
Dalam hal jaringan mata-mata Tibet agaknya itu antara lain adalah
tempat yang paling dihindari manusia, sekaligus tempat yang
paling rahasia, karena sebenarnya orang-orang berpenyakit kusta
tidak dibenarkan berada di dalam kota. Dahulu terdapat bangsal
kusta nun di tepi Sungai Yangzi, yang keberadaannya lantas
diketahui lebih banyak orang ketika seorang bhiksu yang
mengurus dan tinggal bersama mereka, menyedot nanah dari bisul
mereka dan memandikannya, meninggal tahun 654 2 dan
membuat banyak orang kehilangan.
211 Terhadap orang-orang yang terbuang itu bhiksu ini menyampaikan
ajaran dan membagikan sutra yang beredar dari tangan ke tangan.
Namun orang-orang awam yang picik dan bodoh menganggap
penyakit kusta adalah kutukan, dan penderitanya adalah orangorang terkutuk yang layak dibantai serta dimusnahkan jika tidak
ingin mereka menyebarkan kutukan itu, sehingga jika bangsalbangsal kusta itu tidak roboh dan terbakar maka para penderita
kusta yang melarikan diri, menghilang tak jelas ke mana, dengan
peluang membuat penyakit itu lebih tersebar lagi - dan di Kotaraja
Chang'an terdapatlah sebuah lorong yang terlindungi dan


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terahasiakan. Dalam kenyataannya, bukanlah orang-orang terkutuk yang dapat mengidap penyakit itu melainkan siapa pun
dari semua kalangan yang di antaranya tahu benar bahwa
mendapatkan penyakit kusta bukanlah berarti mendapat kutukan
dan karena itu tidak benar jika wajib disingkirkan dan dimusnahkan.
Dari kelompok inilah terdapat seseorang dari jaringan mata-mata
Tibet, yang melaluinya Elang Merah berharap dapat membuka
rahasia tersimpannya Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri itu di
istana. "Segenap hasil pekerjaan rahasia jaringan disimpan di tempattempat
tersembunyi dan terlindungi agar keamanan dan kerahasiaannya terjamin," ujar Elang Merah dengan Ilmu Bisikan
212 Sukma, yang terpaksa segera kami pelajari untuk menghindari
kemungkinan didengar Yang Mulia Paduka Bayang-bayang.
Dengan kemampuan yang dimiliki Ilmu Pemisah Suara maupun
Ilmu Pemecah Suara untuk bercakap-cakap dari tempat yang jauh,
tentu itu berarti Yang Mulia Paduka Bayang-bayang dapat
mendengar percakapan siapa pun dari tempat yang jauh pula,
sehingga harus diatasi dengan ilmu seperti Ilmu Bisikan Sukma.
Adapun dengan Ilmu Bisikan Sukma, kami dapat bercakap-cakap
tanpa diketahui siapa pun yang tidak kami inginkan mengetahuinya
meskipun memiliki ilmu yang sama, karena ilmu ini memungkinkan
kami menguncinya untuk hanya didengar kami bertiga.
Demikianlah setiap kali memasuki sebuah lorong, Elang Merah
tanpa menarik perhatian bersiul-siul seperti sekadar bersenandung, padahal siulan itu adalah bahasa sandi yang akan
ditanggapi. Setelah menyelusuri lorong-lorong di bagian barat,
yang memang diutamakannya karena penuh dengan gelandangan
maupun pengembara yang tinggal di kotaraja untuk sementara,
siulan itu bersahut di Pasar Barat, tempat terdapat lajur-lajur
penjualan alat-alat pertukangan dan perkebunan, pakaian jadi, tali
kekang, pelana, anak timbangan, alat-alat pengukur, kain tenunan,
barang-barang dari Parsi, kios anggur, dan kedai-kedai. Di antara
para penjaja yang menawarkan minuman, nasi, jagung, dan
213 tempat penitipan barang berharga, terdengar siulan sambutannya.
Elang Merah melihat sekeliling dan hanya terlihat para pejabat
pemerintah yang menjadi pengawas pasar di tempat kerja mereka
sedang memperhatikannya 1. Kami terkesiap, tapi segera
memahami betapa mereka hanya terpaku kepada wajah Elang
Merah yang cantik. "Orang cantik mau ke mana?"
Bahkan mereka mau mengganggu pula. Namun Yan Zi dengan
tingkahnya yang sengaja dibuat kekanak-kanakan segera berdiri di
depan Elang Merah sambil berkacak pinggang.
"Jangan ganggu kakakku ya! Dia sudah ada yang punya!"
Para pejabat pasar itu tertawa melihat tingkah Yan Zi.
"Nah, kalau kamu, sudah ada yang punya belum adik manis"
Huahahahaha!" Yan Zi memang berwajah jauh lebih muda dari umurnya, bahkan
sebetulnya juga lebih tua dari Elang Merah, tetapi penampilannya
meyakinkan. 214 "Ayo Kak kita pergi, jangan lama-lama di sini," katanya lagi dengan
tingkah yang sungguh kekanak-kanakan.
Kami berlalu di antara kerumunan untuk menghindari perkara.
"Ikuti daku," kata Elang Merah dengan Ilmu Bisikan Sukma lagi.
Elang Merah telah menemukan orang yang menanggapi siulannya
dengan siulan sandi pula, dan sekarang menggamit kami untuk
mengikutinya. Lelaki yang bajunya lusuh seperti pengembara
miskin itu muncul dari kolam di sisi barat laut dan menuju ke arah
gedung wali kota di samping pasar, sehingga berendeng dengan
kami.Ia segera bertukar kata dalam bahasa Tibet dengan Elang
Merah. "Elang Merah terlalu lama tak berkabar, apa yang diperlukannya
sekarang?" Namun Elang Merah segera menggunakan bahasa rahasia yang
tidak dapat kumengerti. Yan Zi memandangku dengan kilasan
cahaya tanya, tetapi aku menyatakan lewat pandanganku bahwa
seharusnyalah kami tetap mempercayai Elang Merah.
Perbincangan mereka lekas selesai dan tanpa seorang pun tahu
telah terjadi percakapan penting di tengah keramaian pasar, kami
215 pun berpisah arah. Orang itu berbalik menuju ke arah pohon xiong,
yang kemudian akan kuketahui bahwa di bawahnya sering
dilakukan pelaksanaan hukuman mati 2.
"Peta menuju ke tempat persembunyian para penderita kusta itu
akan diberikan besok saat ada hukuman mati," katanya, "Besok
ada orang dihukum cekik, kita akan menyaksikannya dan
menerima petunjuk itu. Di tempat para penderita kusta itulah
seorang mata-mata Kerajaan Tibet menyimpan peta seluk beluk
Istana Daming." "Cara-cara penjagaannya?"
"Itu kita tanya besok," kata Elang Merah lagi dalam lirikan Yan Zi.
Namun pikiranku terpaku pada hukuman cekik. Kenapa orang
dihukum cekik" Sebetulnya di kotaraja, di dekat Pasar Barat itu
hukuman pancung sering dilakukan, karena dalam kepercayaan
orang-orang di Negeri Atap Langit, logam atau dalam hal ini golok
sang algojo, dianggap mengandung unsur barat. Meski begitu,
seperti juga hukuman pancung ternyata juga bisa dilakukan di
tempat-tempat lain seperti Pasar Timur, halaman-halaman istana,
lapangan bola, dan peristirahatan di jalan pos, hukuman yang
216 bukan pancung pun bisa dilakukan di Pasar Barat seperti hukuman
cekik tersebut. Berbahaya atau tidak berbahaya untuk negara Wangsa Tang
rupanya ingin memberi kesan bahwa kekuasaannya sungguh
kokoh, karena ujaran Sun Tzu ini diketahui oleh khalayak
Chang'an: Seseorang bertahan ketika tidak cukup. menyerang ketika kekuatannya Seseorang kekuatannya berlebihan. "JANGAN berpikir hukuman cekik ini dilakukan dengan tangan,"
kata Elang Merah sambil berjalan, "melainkan dengan seutas tali
yang dijepitkan ke leher orang hukuman, dipelintir oleh dua algojo
di kiri dan di kanan, sementara orang hukuman itu diikat kedua
tangan dan kakinya pada tiang."
Seterusnya, pemelintiran dilakukan oleh masing-masing algojo
dengan arah berlawanan, sehingga tali itu mencekik leher orang
hukuman dengan semakin lama semakin keras. Sangat mengenaskan melihat orang hukuman mati tercekik dengan lidah
terjulur kehabisan napas. Itulah hukuman bagi para penculik
217 manusia untuk dijadikan budak, untuk mereka yang melakukan
tuduhan kepada kakek-neneknya melalui seorang hakim, ataupun
membuka peti mati ketika menodai kuburan.
Pada masa Wangsa Tang tidak ada hukuman gantung, karena
sudah lebih sering dilakukan orang bunuh diri. Meskipun hukum
cekik jauh lebih menderita, orang-orang Negeri Atap Langit
menganggap hukuman itu lebih baik daripada hukuman pancung
atawa penggal yang memisahkan kepala, karena kepala dipercaya
sebagai pemberian terpenting dari orang tua, dan dikubur tanpa
mengembalikan kepala itu sungguh merupakan penghinaan bagi
leluhurnya. Ketika Maharaja Daizong menghukum pancung
seorang pelayan kebiri, masih terdapat rasa hormat terhadap
kepercayaan itu sehingga ia perintahkan agar orang hukuman itu
saat dikuburkan kepalanya diganti dengan kepala kayu 1.
Esoknya kami telah berada di tempat itu, yang sekarang ramai
dengan orang-orang menonton. Seperti semua hukuman lain,
hukuman cekik juga sengaja dipertontonkan kepada orang banyak,
yang meskipun dimaksudkan untuk membuat rakyat menjadi patuh
terhadap peraturan dan tidak melakukan tindak kejahatan, tidaklah
mengherankan jika diterima pula sebagai hiburan. Dalam hal
hukuman pancung, kepalanya akan dipamerkan di ujung tombak
atau galah dan tubuhnya digeletakkan di bawahnya. Setelah
218 selesai dipamerkan, pejabat setempat akan memasukkan kepala
itu ke dalam kotak, lantas mengirimkan kepada yang berwenang
untuk memastikan siapa terhukum dan mengesahkannya.
Begitulah kami berada di antara orang-orang yang menonton
hukuman cekik di Pasar Barat, dan kami bertiga sengaja
memisahkan diri agar tidak mengundang perhatian siapa pun yang
berbakat menjadi mata-mata sejati. Mata-mata Tibet itu akan
menyerahkan peta menuju ke tempat persembunyian orang-orang
berpenyakit kusta kepada Elang Merah, tetapi ia belum terlihat
sejak tadi. Aku tidak melihat di mana Yan Zi. Namun kudengar ia
melalui Ilmu Bisikan Sukma.
"Kudengar sejumlah orang berbisik-bisik, seperti merencanakan
sesuatu,'' katanya, ''tampaknya yang dihukum bukan sembarang
penjahat." Hari sudah siang dan langit mendung. Tampaknya para petugas
ingin segera melaksanakan hukuman sebelum hujan turun. Namun
ketika terlihat orang hukuman itu dikeluarkan dari kereta tahanan,
yang berupa sebuah peti besar beroda empat dengan lubang di
atas untuk memperlihatkan kepalanya, orang-orang yang berkerumun mulai mendesak-desak maju. Mereka seperti mau
219 mendekati kereta tahanan itu, tetapi para petugas menghalanginya. "Berhenti! Jangan dekat-dekat!"
Namun yang di depan terdorong oleh yang mendesak dari
belakang. Sekarang aku bisa melihatnya, terdapat sejumlah orang
yang saling memberi tanda, untuk dengan sengaja melalui caracara yang telah diperhitungkan membuat keributan.
"Bebaskan tahanan itu! Dia tidak bersalah!"
Bahkan tahanan itu yang hanya terlihat kepalanya pun berteriakteriak.
"Ya, aku tidak bersalah, semua hanya fitnah!"
Lantas terdengar teriakan sahutan dari tengah kerumunan.
"Bebaskan dia!"
"Bebaskan dia!"
"Ya, bebaskan dia!"
"Bebaskan!" 220 "Bebaskan!" "Bebaskan!" Para petugas yang hanya enam orang itu tampak agak panik,
seperti tidak siap menghadapi keadaan seperti ini. Mereka
mencabut kelewang dari sarung dan mempergunakannya untuk
menakut-nakuti agar orang banyak itu tidak maju. Bahkan juga
tombak disodok-sodokkan ke depan, tetapi agaknya suatu
kerusuhan memang telah direncanakan, karena ternyata orangorang yang mendesak dari belakang itu tak hanya mendesak,
melainkan mendorong begitu rupa agar barisan terdepan kiranya
dapat setidaknya terluka oleh senjata-senjata itu.
"Aaaaaaah!" Memang akhirnya tombak itu menusuk perut seseorang, dan
seseorang yang lain terbacok pundaknya oleh sabetan kelewang!
"Para petugas ini membunuh rakyat!"
"Rampas senjatanya!"
"Serbu!" 221 Enam orang petugas itu tak berdaya, dan bukan hanya senjatanya
lantas terampas, tetapi mereka kemudian terbunuh pula.
SUASANA menjadi sangat kacau ketika kemudian banyak orang
berdatangan dari Pasar Barat karena mendengar keributan itu.
Terdengar teriakan orang terinjak, anak kecil menangis, dan
perempuan menjerit. Sebagian orang terdesak dan terlempar ke
kolam. "Bakar!" Suatu bagian pasar lantas menyala, kepanikan menjadi-jadi, tetapi
aku tetap waspada ketika di tengah kekacauan itu sejumlah orang
berlompatan menuju ke arah kereta tahanan, seperti akan
membebaskan orang yang seharusnya dihukum cekik itu.
"Cepat! Lepaskan aku!" Orang hukuman itu berteriak-teriak pula.
Apa yang harus kami lakukan"
"Tenang! Tenang!"
Kudengar Elang Merah melalui Ilmu Bisikan Sukma.
"Jangan terlibat apa pun, kita masih menunggu!"
222 Ya, kami masih menunggu mata-mata Tibet itu, yang akan
memberikan peta jalan menuju ke tempat persembunyian orangorang berpenyakit kusta di Chang'an. Baru jika kami menemukan
tempat itu, dan menemukan pula mata-mata Tibet di antara orang
berpenyakit kusta. Apakah ia hanya bersembunyi di sana ataukah


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang berpenyakit kusta, belumlah jelas bagiku.
Kulihat seseorang berdiri di atas kereta tahanan dengan tangan
terayun ke belakang siap membelah papan sebelah atas dengan
kapak, sementara teman-temannya yang lain berdiri melingkar dan
membelakanginya, seperti menjaga agar tiada seorang pun akan
dapat menggagalkan rencana kawan mereka.
Maka kapak itu pun terayun. Ternyata hanya untuk terpental!
"Siapakah orangnya yang begitu nekad membebaskan orang
hukuman yang telah diputuskan mati oleh pengadilan kerajaan?"
Orang yang telah kehilangan kapaknya itu hanya bisa terbelalak
ketika suatu bayangan berkelebat tanpa bisa dihindarinya! Ia
melayang jatuh dengan dada terbelah dan menyemburkan darah.
"Pengawal Burung Emas..."
Kudengar di celah kekacauan orang-orang berdesis.
223 Anggota Pengawal Burung Emas yang sudah berada di atas kereta
tahanan itu merendahkan tubuh sembari berputar menyabetkan
pedangnya, maka enam orang yang belum sempat menoleh ke
belakang itu pun tewas seketika, masih berdiri, dan tanpa kepala!
Enam orang lagi melayang ke arah Pengawal Burung Emas
sembari mengayunkan golok dan kelewang mereka, tetapi bahkan
ketika masih berada di udara pada masing-masing dada mereka
segera tertancap pisau terbang yang membuat nyawa mereka
melayang seketika... Hampir bersamaan tubuh-tubuh mereka ambruk mengelilingi
kereta tahanan. Huru-hara itu pun segera terhenti ketika kemudian hamba hukum
yang gagah perkasa itu berteriak sambil masih berdiri di atas
kereta tahanan, mengangkangi kepala orang hukuman itu.
"Berhenti kalian!"
Suaranya menggelegar. Tubuhnya tinggi besar. Ia seperti dapat
menguasai wilayah itu hanya dengan pandangan matanya.
Mungkin ia bukan hanya anggota Pengawal Burung Emas.
Mungkin ia seorang kepala regu. Bahkan mungkin saja Panglima
224 Barisan Pengawal Burung Emas itu sendiri. Suasana mendadak
sepi. Dengan ujung pedangnya ia mengangkat dagu orang hukuman itu.
"Dikau dibawa kemari untuk menjalani hukuman mati," katanya,
"Tahukah dikau" Dikau dihukum cekik sampai mati dengan tali
yang dipuntir karena setelah diadili dikau dinyatakan bersalah dan
diputuskan untuk dihukum mati?"
Orang hukuman itu pun menjawab.
"Tapi aku tidak bersalah, aku telah difitnah!"
Saat itulah kudengar Elang Merah lewat Ilmu Bisikan Sukma.
"Mari kita pergi dari sini," katanya, yang tentu didengar pula oleh
Yan Zi. Semula kuharap aku bisa mengikuti akhir kisah sang orang
hukuman, tetapi Elang Merah yang seperti selalu mengetahui apa
yang kupikirkan telah memberikan jawaban.
"Orang itu tetap akan mendapatkan hukumannya, apakah
Pendekar Tanpa Nama mau menyaksikannya?"
225 Kukira tidak. Aku pun berkelebat.
*** Senja yang turun di Chang'an menyalakan lampion-lampion di
sepanjang jalan Kotaraja Chang'an. Pesta raya di antara begitu
banyak pesta di jalanan yang nyaris tak pernah putus di Chang'an,
tidak lagi bisa tampak meriah bagiku yang teringat nasib orang
hukuman itu tadi siang. Yan Zi dan Elang Merah yang seperti
mengerti betapa terganggunya perasaanku sengaja tidak berkata
sepatah kata. Namun mereka tetap berada di dekatku. Mereka
berjalan di depanku, saling berpelukan dan bercanda.
Segala keceriaan dan keramaian hanyalah kekosongan bagiku.
Hanya saja sesekali Elang Merah menoleh ke belakang seperti
memeriksa keadaanku. Saat itu aku sungguh tak tahu, betapa tak
banyak lagi waktunya bersamaku...
ORANG - orang berpenyakit kusta itu memang menyembunyikan
dirinya di sebuah petak yang padat di sisi timur Chang'an, agak ke
selatan, tepat di balik tembok kota, tempat terdapatnya kuil Buddha
dan Vihara Dao yang berdampingan menghadap ke utara. Di
tempat inilah pernah terjadi pembunuh Kepala Menteri Wu
bersembunyi di balik semak-semak bambu setelah melakukannya.
226 Namun keramaian tempat ini berlangsung terutama karena
banyaknya orang yang mendatangi dan berkerumun di rumah
seorang peramal yang mampu membaca wajah. Demikianlah,
berdasarkan wajahnya, seseorang dapat diramalkan peruntungan
masa depannya. Sementara kuil Buddha itu sendiri juga penuh
dengan manusia karena menyediakan panggung hiburan. 1
Di antara kerumunan kudengar tiupan kangling, bunyi-bunyian
pengusir roh jahat yang terbuat dari tulang paha manusia 2.
Sepintas lalu tersamar seperti bagian upacara di kuil itu, tetapi
sebenarnya merupakan penanda bagi arah yang harus kami ikuti
untuk menemukan jalan rahasia menuju persembunyian orangorang berpenyakit kusta. Petunjuk itu tidak membuatnya lebih
mudah karena bunyi kangling bagi kami adalah bunyi penyamaran
yang sepintas lalu masih terdengar seperti yang biasanya berbunyi
dalam upacara keagamaan. Untuk ini tentu hanya Elang Merah
yang bisa diandalkan. Ia melangkah cepat di antara orang-orang
yang berkerumun di depan rumah tukang ramal. Jadi, Elang Merah
memang tidak mendapatkan peta dari mata-mata Tibet itu
melainkan hanya sebuah petunjuk, dan semoga saja bukan
sebuah petunjuk yang keliru!
''Awas!'' Yan Zi berteriak memperingatkan dan kulihat Elang Merah
dengan sebat menghindari tusukan gelap dari belakang. 227 Penyerang gelap itu berbusana bhiksu! Melihat pisau yang
melengkung, untuk sekilas aku teringat pengalamanku di Kuil
Pengabdian Sejati, bahwa para pembunuh juga mengenakan
jubah bhiksu dan bahwa pisau mereka juga melengkung, meski
aku tak yakin bahwa ia berasal dari perkumpulan rahasia
Kalapasa. Di tengah keramaian, peristiwa itu tidak terlihat oleh mata orang
awam. Elang Merah berhasil menotok jatuh pisau itu, yang
sebelum jatuh ke tanah ditendangnya kembali ke atas untuk
ditangkapnya sendiri dengan tangan kiri, sementara tangan
kanannya bergerak menotok aliran jalan darah di berbagai bagian
tubuh. Namun, kecuali bahwa pisau melengkung yang seperti
sengaja dibuat untuk menarik keluar seluruh isi perut itu berhasil
ditangkapnya, segenap totokannya ternyata berhasil ditangkis
dengan sempurna! Hanya karena Yan Zi segera mengirim serangan totokan dari jarak
jauh sajalah, maka bhiksu yang belum dapat diketahui asli atau
gadungan itu roboh ke tanah seperti karung melesak dan segera
menimbulkan kegemparan. "Tinggalkan! Tinggalkan!"
228 Yan Zi kali ini bicara dengan Ilmu Bisikan Sukma, tentu agar aku
juga bisa mendengarnya. Elang Merah sendiri sudah berkelebat
menghilang. "Ke belakang Vihara Dao itu!"
Agaknya memang dari sanalah suara kangling itu berasal. Dalam
sekejap kami bertiga sudah berada di sana, bahkan sudah ada
yang menunggu! Sebetulnya kangling memang digunakan untuk
upacara Buddha, dan justru karena tak seharusnya terdengar dari
Vihara Dao, maka tidak anehlah jika suara tiupan kangling yang ini
merupakan penanda bagi Elang Merah. Namun Elang Merah
memasuki kuil dengan pedang terhunus karena belumlah dapat
diketahuinya sekarang betapa dirinya akan disambut oleh kawan
atau lawan. "Masuklah," katanya pula melalui Ilmu Bisikan Sukma, yang
menandakan bahwa keadaan di dalam memang aman.
Sembari menuju ke arah Vihara Dao, kulihat orang-orang
membawa pembunuh berjubah bhiksu yang sudah lumpuh itu ke
kuil Buddha. Jika memang ia bhiksu gadungan, jelas di sanalah
nanti nasibnya akan ditentukan. Bahkan aku percaya nasibnya itu
dapat saja sudah tertentukan sebelum tiba di pengadilan kerajaan,
229 yang jika terjadi pun besar kemungkinan akan memberinya
hukuman cekik dengan puntiran tali sampai dirinya mengalami
kematian. Di dalam Vihara Dao, karena cahaya yang terang benderang di
luar, aku mendadak ditelan kegelapan, sehingga dengan sengaja
aku memejamkan mata tetapi memasang Ilmu Mendengar Semut
Berbisik di Dalam Liang. Dari sanalah aku tahu di luar vihara
ternyata kami sudah dikepung banyak orang!
"Meimei! Awas!" Yan Zi terdengar berteriak.
Sebilah pisau terbang berkelebat dari luar menembus kegelapan
langsung menuju punggung Elang Merah!
NAMUN Elang Merah sangat sebat, ia menangkap pisau terbang
itu dengan giginya, lantas dengan sekali sentakan kepalanya pisau
itu pun meluncur kembali ke arah pemiliknya!
"Ugh!" Pisau menancap tepat pada jantung seorang pelempar pisau
terbang yang dengan ilmu meringankan tubuh bertengger di atas
pohon bambu. Matanya pasti tajam sekali sehingga dapat
menembus kegelapan dari tempat yang terang, tetapi kini
230 tubuhnya terkulai layu, merosot dan tertahan karena terjepit
batang-batang pohon bambu yang tumbuh subur dan menyemak
di luar vihara. Di bawahnya Yan Zi bergerak cepat membantai para
pengepung dengan Ilmu Pedang Mata Cahaya yang memang
diciptakan baginya. Tubuh Yan Zi langsung menghilang tetapi
pantulan cahaya dari Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan
yang dipegangnya menyambar dengan terarah bagaikan benda
padat, sehingga tubuh para pengepung itu berpentalan dengan
tubuh terkoyak memuncratkan darah, bagaikan disayat pedang
yang tajam, begitu tajam, bagaikan tiada lagi yang lebih tajam...
"Biar kuatasi yang di luar, kalian selesaikan saja urusan di dalam,"
ujar Yan Zi melalui Ilmu Bisikan Sukma yang terkunci hanya untuk
kami bertiga. Kulihat sepintas orang-orang berbaju ringkas sudah bergelimpangan dengan berbagai senjata yang terserak di sanasini, sementara orang-orang yang berkerumun di depan rumah
peramal itu hanya menatap dari kejauhan dan tidak berani
mendekat. Di antara orang-orang yang bergelimpangan itu ada
juga yang masih mengerang-erang dan meregang nyawa.
Betapapun belum semua pengepung itu kehidupannya telah
dituntaskan. Yan Zi masih menghadapi setidaknya lima bayangan
berkelebat yang tentunya berilmu lebih tinggi dibandingkan dengan
231 mereka yang telah bergelimpangan, terkapar maupun tengkurap di
atas tanah yang kini debunya bertebaran dihembus angin.
Aku tahu betapa Pengawal Burung Emas akan segera datang dan
karena itu kami memang harus menyelesaikan urusan. Dalam
kegelapan kulihat sebuah ruang tempat orang-orang berpenyakit
kusta itu dikumpulkan. Ada yang tergolek seperti sudah mati, ada
yang berbaring, ada yang bersimpuh, ada yang bersandar pada
dinding tak bergerak, tetapi kali ini semua mata mereka me?noleh
ke arah kami. Terhadap segala mata manusia yang menatap kita,
dalam terang apalagi dalam gelap, bagaimanakah caranya kita
mengetahui seseorang akan atau tidak akan berbuat jahat"
Elang Merah menatap mereka satu per satu. Siapa di antara
mereka yang tadi meniup kangling"
"Elang Merah..."
Terdengar suara yang lemah dari sebuah sudut. Dengan Ilmu
Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang kuketahui bahwa
tempatnya berada di sudut yang paling jauh.
"Kemarilah, peta itu ada padaku..."
232 Elang Merah seperti mau melangkah, tetapi aku menggamitnya,
karena dengan Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang
kudengar tangan-tangan bergerak menggenggam gagang pisau
belati. Jika ia masuk ke dalam ruangan sampai ke tempat suara itu
berasal dan tangan-tangan bergerak merajamnya maka ia akan
tewas terajam. Dengan Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam
Liang pula dapat kuketahui betapa jari-jari tangan yang
menggenggam gagang pisau itu banyak yang tidak utuh lagi...
Di antara orang-orang berpenyakit kusta terdapat suatu perkumpulan rahasia yang kini siap menjebak Elang Merah, yang
mengira bahwa ia sedang berhubungan dengan jaringan matamata Tibet, tetapi yang kini mengancam keselamatannya dalam
kegelapan ruang. "Jangan ke sana," kataku dengan Ilmu Bisikan Sukma, "ini
jebakan." Namun Elang Merah tetap melangkah.
"Jangan khawatir," katanya, yang dalam Ilmu Bisikan Sukma hanya
akan terdengar oleh diriku dan Yan Zi yang sedang bertarung di
luar sana, "daku sudah mengetahuinya."
233 Elang Merah kemudian tidak sekadar melangkah, melainkan
mencabut pedangnya dan dalam kegelapan itu melesat.
Di sudut tergelap dari yang gelap itu, terlihat letik api dari
perbenturan logam yang segera disusul lenguh tertahan tubuhtubuh yang terbelah pedang.
"Siapa dia yang mengira begitu mudah memperdayai Elang
Merah?" teriaknya lantang.
Dalam kegelapan, dapat kuketahui betapa dalam sekejap telah
dibantainya tak kurang dari sepuluh penggenggam pisau di balik
jubah penderita kusta itu, yang jika diturutinya saja panggilan tadi,
semua akan menerkam dan merajamnya dari belakang.
KU sendiri menghadapi lima penyerang dari segala jurusan yang
semula ingin kuhindari saja, tetapi kegelapan dan telaknya
serangan mematikan membuatku tak bisa berbuat lain selain
menanggapinya dengan Jurus Naga Menggeliat Mengibas Ekor.
Mereka terpental memuntahkan darah karena angin pukulan


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Telapak Darah. Begitu setianyakah seorang anggota perkumpulan rahasia
sehingga masih mengabdi kepada perkumpulannya setelah
ter?tular penyakit kusta; ataukah suatu perkumpulan rahasia
234 mencari orang yang bersedia bekerja untuk mereka dari antara
mereka yang berpenyakit kusta; ataukah justru dengan kesetiaan
yang begitu tinggi para anggota perkumpulan rahasia sengaja
menularkan dirinya agar dapat masuk menyusup ke dalam jaringan
rahasia paling gelap dan tersembunyi karena tiada seorang pun
dengan sengaja akan mendekati para penderita penyakit kusta"
Jika diketahui bahwa jaringan mata-mata Kerajaan Tibet telah
menguasai peta rahasia tempat penyimpanan senjata-senjata
mestika di dalam Istana Daming, maka bukan hanya peta itu harus
dimusnahkan dan jaringannya dihapuskan, melainkan peta itu
sendiri diganti dan jaringannya dipalsukan demi suatu tipudaya
maupun penjebakan. Barangkali dalam keadaan seperti itulah
maka kami tergiring ke dalam kegelapan ini agar bisa tewas
dirajam. Justru keadaan ini memberi harapan, karena meskipun rupanya
jaringan mengalami penyusupan, betapa peta itu belum dipalsukan! Jika tidak, tentu kami telah mendapatkan peta yang
telah dipalsukan dan masuk ke dalam jaringan tipudaya, yang lebih
jauh lagi menyeret kami dalam keterjebakan...
Seorang bijak di Negeri Atap Langit berkata:
235 siasat perang mesti berada yang berlaku dalam hati, bukan dalam kitab-kitab.1
Kami berdua segera melesat keluar bangunan vihara dan
mendapati Yan Zi masih menghadapi tiga lawan yang pasti berilmu
tinggi karena masih bertahan menghadapi Ilmu Pedang Mata
Cahaya. Mereka mampu berkelit menghindari pantulan cahaya
pedang mestika yang sedang menanti pasangannya itu, sehingga
pertarungannya memang tidak dapat dilihat oleh mata mereka
yang tidak menguasai ilmu silat tingkat tinggi. Bagaimanakah
caranya tubuh manusia bisa bergerak lebih cepat dari cahaya"
Namun bagiku jelas belaka betapa ketiga lawan Yan Zi ini bukan
sekadar berilmu silat amat sangat tinggi, melainkan juga secara
berpasangan ternyata memiliki Jurus Penjerat Cahaya yang
memang mengandalkan kecepatan sangat tinggi sehingga bukan
hanya mata awam tak dapat melihatnya, tetapi mereka yang ilmu
silatnya cukup tinggi sekalipun akan kebingungan.
Demikianlah Yan Zi menggerakkan pedang seperti yang dipelajarinya dari Yang Mulia Bhiksu Kepala Penyangga Langit di
Perguruan Shaolin, bahwa bukan sekadar pedang melainkan juga
dan terutama pantulan cahayanya akan memburu dan membinasakan lawan seperti benda padat setajam mata pedang
236 dan memang itulah sebabnya maka pedangnya disebut Pedang
Mata Cahaya. Namun Jurus Penjerat Cahaya yang sungguh
cemerlang itu, dengan gerak berpasangan bertiga yang tampak
telah dilatih dengan cermat, membuat pantulan cahaya melingkarlingkar yang berasal dari gerakan Pedang Mata Cahaya itu, ketika
berhasil dihindari akan berbalik mengarah kepada tubuh Yan Zi
sendiri! "Yan Zi! Awas!"
Aku bahkan tak sempat menyampaikan pesan, secepat pikiran
sekalipun, melalui Ilmu Bisikan Sukma, karena Jurus Penjerat
Cahaya yang digelar bertiga ini hanya bisa diatasi dengan gerakan
yang lebih cepat dari pikiran, bahkan lebih cepat dari kecepatan itu
sendiri! Dengan kecepatan seperti itulah aku begitu saja berada di
depan Yan Zi untuk menangkis dan mengembalikan serangan
Jurus Penjerat Cahaya yang telah kuserap dengan Ilmu Bayangan
Cermin. Tiga tubuh terpental di udara dengan darah terciprat karena
sayatan cahaya. Mereka jatuh ke tanah dengan bunyi berdebum
dan tanah itu pun mengepulkan debu. Dari balik debu itulah
mendadak jarum-jarum beracun melesat tanpa suara ke arah kami
berdua! 237 "Awas!" Kudengar teriakan Elang Merah, yang melesat untuk memapas
jarum-jarum beracun berwarna kuning kehijauan ke arah tengkuk
Yan Zi dengan pedangnya. Jarum-jarum itu memang rontok dan
selamatlah Yan Zi, tetapi senjata rahasia tak hanya dilempar satu
kali, sehingga jika tertangkis atau terhindari terjamin masih akan
ada serangan lagi. Sementara aku cukup mengibaskan tangan
dalam Jurus Naga Menggeliat Mengibaskan Ekor untuk mengembalikan jarum-jarum beracun yang meluncur ke arahku ke
tubuh pemiliknya. Jarum-jarum beracun yang berikutnya sudah
lebih dulu meluncur dan segera menancap ke tubuh Elang Merah,
yang lang?sung ambruk ke atas tanah.
"Meimei!" Yan Zi menjerit dan menubruknya.
AKU segera mendekati pelempar jarum berbusana serbahitam
yang hanya terlihat matanya karena wajahnya tertutup kain hitam.
Kutotok jalan darah yang menghalangi bekerjanya racun,
setidaknya memperlambat kerja racun itu agar masih bisa
kudapatkan penawar racun senjatanya tersebut.
Kubuka tutup wajahnya dan segera kulihat rajah penanda
Golongan Murni di dahinya. Kupegang tengkuknya.
238 "Obat penawar," kataku, "atau dikau tidak akan pernah mati dan
hidup dalam kesakitan."
Ia tersenyum dan menggeleng, mulutnya sudah berbusa.
Kutekankan jariku di tengkuknya untuk memberikan rasa sakit
yang luar biasa. Ia tidak bersuara, tetapi matanya merah dan
mengerinyit menahan sakit. Kutahu anggota perkumpulan rahasia
memang dipersiapkan untuk menerima siksaan, terutama untuk
tidak membocorkan rahasia, bahkan dengan sengaja mereka
mungkin tak berkeluarga, agar tiada yang bisa dijadikan sandera
untuk memeras keterangan darinya.
Kutengok Elang Merah. Wajahnya memucat dan seperti akan
menjadi biru. Yan Zi telah menotok jalan darah di berbagai titik
tubuhnya, tetapi racun untuk membunuh yang diolah perkumpulan
rahasia memang selalu ampuh. Betapapun segala cara harus
kulakukan untuk menyelamatkan jiwa Elang Merah!
Kusalurkan tenaga dalam melalui jari-jariku, dan kutahu betapa
rasa sakitnya akan meningkat berlipat-lipat. Aku harus berusaha
mengatasi kesakitan yang mungkin pernah diterimanya dalam
latihan sambil terus berusaha melemahkan semangatnya.
239 "Tidak ada artinya mengabdi kepada Golongan Murni yang hanya
peduli kepada kepentingannya sendiri," kataku, "Jika dikau
bertahan untuk tidak bicara, dikau dapat kubuat tetap hidup dan
selamanya kesakitan..."
Sebetulnya bukanlah kesakitan terutama yang akan dirasakannya,
melainkan perasaan mengambang
dalam kegelapan yang menakutkan, yang mampu meruntuhkan segenap nyali dan
ketabahannya dalam keterasingan dunia yang menggentarkan.
Memang benar ada kesakitan teramat sangat, tetapi usaha
mengikis keyakinan yang membuatnya dapat bertahan terhadap
kesakitan itulah yang harus dilakukan.
Namun orang-orang berdatangan dari segala penjuru. Dari dalam
Vihara Dao maupun dari depan rumah ahli nujum itu. Mereka
berdatangan karena melihat mayat bergelimpangan. Meskipun
cerita tentang sungai telaga mungkin pernah mereka dengar,
pemandangan orang-orang bersenjata yang bertarung melawan
bayangan tak terlihat tidaklah terjadi setiap hari.
Kini, selain melihat mayat-mayat bergelimpangan, mereka juga
melihat bagaimana Yan Zi menangisi Elang Merah dan melihat
juga diriku yang menghadapi orang terkapar ini.
240 X"Golongan Murni, dikau tahu mereka selalu menggunakan tangan
orang lain," kataku lagi, "Mereka akan menghabisi seluruh
keluargamu jika perlu, hanya untuk menutupi jejak-jejak kejahatan
mereka, ada maupun tidak ada jejak-jejak itu, karena mereka tak
tahu apa yang dikau beritahukan maupun yang tidak dikau
beritahukan kepadaku."
Kuulangi gagasan itu berkali-kali untuk menekankan bahwa
kesetiaan dan pengorbanannya hanyalah akan sia-sia ketika mati
pun ia tak bisa, sementara kesakitannya yang amat sangat
bagaikan akan jadi abadi.
"Aku bisa menahan agar racun itu tidak pernah mencapai jantung,"
kataku, "Dikau akan selalu kesakitan dan tidak pernah tahu kapan
akan mati dan tidak bisa pula bunuh diri, sedangkan orang-orang
yang menugaskan dikau lepas tangan selamanya menikmati
kemewahan di rumah gedung mereka yang megah."
Matanya mulai melirikku. "Aku orang asing di negeri ini, tidak punya kepentingan apa pun,
jadi dikau semestinya percaya kepadaku," kataku sambil
menambah tingkat kesakitan ke seluruh urat sarafnya.
Terdengar suara Yan Zi yang menangis tersedu-sedu.
241 "Meimei! Meimei! Bertahanlah! Jangan tinggalkan daku!"
Hatiku tercekat menyadari betapa erat hubungan keduanya, dan
tidak kurang-kurangnya aku pun tercekat mengingat nasib yang
menimpa Elang Merah, yang bisa berada di tempat ini hanya
karena keinginannya mengikuti ke mana pun kakiku melangkah
pergi. Kucengkeram lebih keras lagi tengkuk orang ini.
"Aku akan menyiksamu seumur hidup jika kawanku mati karena
racunmu!" Wajahnya merah padam dengan urat-urat yang tampak menonjol
karena menahan kesakitan luar biasa. Saat itu kulepaskan
cengkeramanku, tetapi kesakitan yang telah dialaminya tidak akan
pernah hilang. Seperti kuberitahukan kepadanya betapa kesakitan
itu tidak akan pernah hilang jika bukan aku yang melepaskan
totokan jalan darahnya. Lantas aku pun mendekati Elang Merah yang berada di pangkuan
Yan Zi. Kepala Elang Merah tergolek lemah. Totokan jalan darah yang
dilakukan Yan Zi untuk sementara akan membuat Elang Merah
242 tetap hidup karena racunnya tertahan, tetapi dengan masih
terdapatnya racun itu di dalam tubuhnya, jika tidak mendapatkan
obat penawar, maka racunnya lambat laun akan tetap menjalar ke
arah jantung dan membunuhnya.
Elang Merah memandangku dengan iba ketika aku mendekat.
Dialah yang memandangiku dengan perasaan iba, ketika aku
sedang memandanginya dengan perasaan iba!
Dia lebih memikirkan kepentinganku daripada kepentingannya sendiri...
Kubalikkan tubuhnya untuk melihat luka, setelah membuka busana
laki-laki bagian atas yang dikenakannya. Jarum-jarum itu telah
menembus pundaknya, tepat pada yang disebut yang wei mo,
yang akan segera melumpuhkannya karena langsung menuju ke
urat saraf di bagian kepala.1
"Pendekar Tanpa Nama...," ujarnya lemah, "maafkanlah Elang
Merah, yang tak bisa lagi menjaganya..."
Mataku terasa panas, tetapi kutahan sebisanya agar airmataku
tidak tumpah. "Elang Merah jangan sedih," kataku, "Elang Merah akan sembuh
kembali..." 243 Elang Merah tersenyum. Perempuan pendekar yang sungguh
perkasa itu memang cantik. Tangannya terangkat mengusap pipi
Yan Zi. "Selamat tinggal Zizi..."
Yan Zi menangis tak bisa ditahan lagi.
"Meimeiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!!!!!!!!!!!!!" Jeritnya keras sekali.
Aku menggertakkan gigi. Racun itu rupanya memang ganas. Jika
bukan karena totokan jalan darah Yan Zi, maka Elang Merah akan
tewas seketika. Totokan itu hanya menunda kematiannya sejenak,
sekadar agar Elang Merah bisa mengucapkan selamat tinggal...
Orang-orang yang mendekat seperti mengerti perkabungan yang
sedang berlangsung. Mereka tidak meneruskan langkahnya.
Aku menoleh ke arah pembunuh gelap itu. Matanya menatapku
dan mulutnya bergerak seperti akan mengucapkan sesuatu.
Wajahnya menunjukkan kesakitan yang amat sangat. Dalam
kedukaanku yang amat berat aku beranjak. Namun aku kalah
cepat. Yan Zi telah berkelebat dan dalam sekali tetak kepala
pembunuh gelap itu lepas dari tubuhnya, menggelinding ke arah
244 orang-orang yang semula berdatangan tetapi yang kini menjeritjerit dan berlarian lintang pukang ke segala arah dengan ketakutan.
"Kepala orang! Kepala orang!"
Dari lehernya darah menyembur seperti pancuran menyiram tanah
dan menjadikannya merah. Yan Zi telah kembali memeluk tubuh
Elang Merah yang tergolek dan menangisinya dengan suara
memilukan.

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Meimeiiii... Meimeiiii... Jangan tinggalkan aku Meimeiiiii, jangan
tinggalkan aku..." Langit bagaikan mendadak saja menggelap dan turun hujan.
Tanah lapang yang semula menjadi tempat pertarungan kini basah
karena air hujan yang sebagian mengalir dan sebagian
menggenang. Tubuh-tubuh tanpa nyawa masih bergeletakan,
tengadah maupun telungkup, basah kuyup dalam siraman hujan
yang menderas. Darah yang mengalir dan membuat tanah menjadi
merah tersapu arus air yang dengan begitu juga menjadi merah.
Kulihat wajah-wajah yang sebagian matanya tertutup dengan
mulut menyeringai bagai masih kesakitan maupun yang matanya
terbuka menengadah ke langit dengan mulut ternganga seperti
245 masih dapat melihat sesuatu di atas sana. Siapa sajakah mereka
yang telah menantang maut dan tewas hari ini"
Seperti juga Elang Merah, meskipun para penyoren pedang selalu
siap untuk mati, manusia sebenarnyalah tak pernah tahu pasti
kapan dirinya akan mati. Bagi yang sudah mati, sesungguhnyalah
kehidupan di dunia ini sudah tidak penting lagi; bagi yang masih
hidup, sungguh hanya kehidupanlah yang dapat mereka alami.
Kehidupan dan kematian, pasangan yang sungguh saling
memisahkan tanpa pernah dapat mempertemukan lagi. Tak akan
dan tak akan pernah. Kecuali dalam kenangan dan khayalan, yang
semakin disadari keberadaannya sebagai kenangan dan khayalan
semakin menenggelamkan yang baru saja ditinggalkan dalam
kedukaan. Kuraih pedang Elang Merah yang tergeletak. Jika dia memang
ingin mengabdikan hidupnya dengan menjagaku maka biarlah
pedangnya ini mewakili dirinya menjaga keselamatanku. Pedang
adalah jiwa seorang pendekar. Dengan menggunakan pedangnya
biarlah jiwanya menyatu dengan jiwaku menghadapi segala
pertarungan di sungai telaga dunia persilatan.
Kong Fuzi berkata: 246 apa yang dicari manusia unggulan di dalam dirinya dicari manusia biasa pada orang lain 2
Yan Zi masih terus bersimpuh dengan Elang Merah di
pangkuannya sambil masih terus menangis tersedu-sedu.
"Meimei... Meimei..."
Aku mendekat dan memeluk Yan Zi dari belakang. Tangisnya tak
kunjung berhenti. Airmatanya bercampur air hujan yang membasahi pipi. Tiada dapat kubahasakan lagi perasaan duka
yang mengguyur dan terserap merasuki tubuh dan jiwa kami.
SEBULAN telah berlalu setelah kepergian Elang Merah. Kami
masih berada di Chang'an, kota raya yang selalu meriah, tetapi
yang tidak memberikan kegembiraan sama sekali kepada kami.
Pelelangan senjata mestika istana telah dilakukan, dan seperti
yang telah kuduga, yang dilelang ternyata senjata-senjata yang
tidak terkenal dan tidak terlalu penting. Kami meng ikuti pelelangan
yang berlangsung di lapangan sepak bola di sisi timur Istana
Daming. Tentu kami tidak dapat ber lagak menjadi salah satu calon
pembeli karena kami tidak bermaksud menun jukkan diri memiliki
pundi-pundi uang emas sebagai syarat melewati gerbang, supaya
pantas mengikuti pelelangan. Kami mengikutinya dari atas genting
247 Istana Daming. Dengan ilmu bunglon kami menjadi sewarna
dengan genting, dan dengan cara itu kami lolos dari ke tajaman
mata para pengawal istana maupun Pengawal Burung Emas yang
berada di mana-mana. Segera dapat kami ketahui bahwa Pedang Mata Cahaya untuk
tangan kiri tidak berada di sana. Jadi kami masih tetap harus
mencurinya dari gudang penyimpanan senjata mestika di dalam
istana, sedangkan peta rahasia menuju gudang tersebut maupun
rahasia cara-cara penjagaan dan pengawalannya belum kami
dapatkan. Hati kami masih terasa hancur sepeninggal Elang Merah, tetapi
kami tidak boleh membiarkan diri kami larut meskipun duka itu
masih saja tertanam sangat dalam. Kami tetap bekerja, menyelidik
dan mencari keterangan, serta masih bekerja sama dengan
jaringan Yang Mulia Paduka Bayangbayang melalui penghubungnya yang bernama Kaki Angin.
Sementara itu aku berusaha mengurai keruwetan yang berakhir
dengan tewasnya Elang Merah.
Setidaknya terdapat lima jaringan mata-mata yang terlihat dan
terlibat disini. Jaringan mata-mata Yang Mulia Paduka Bayang248
bayang, jaringan mata-mata Kerajaan Tibet, jaringan mata-mata
Khaganat Uighur, jaringan mata-mata Golongan Murni, dan
jaringan mata-mata Negeri Atap Langit sendiri. Adapun yang
membuatnya ruwet adalah penggunaan berbagai macam perkumpulan rahasia yang bukan tak mungkin bertumpang tindih
untuk mengintai, membuntuti, mencuri, dan juga membunuh
secara gelap, sehingga tak mungkin dilacak.
Perkumpulan rahasia itu sendiri di samping permainan kerahasiaannya yang bisa begitu ketat, justru dalam ke
longgarannya bisa sangat membingungkan siapa pun yang
berusaha melacak jejaknya. Misalnya suatu perkumpulan rahasia
membayar seorang pedagang keliling untuk mengawasi sebuah
rumah, mengamati siapa saja yang keluar masuk, apa saja pe
rilaku yang tak biasa dan lain sebagainya, maka pedagang keliling
ini sebagai penjual jasa bisa berhubungan dengan siapa pun yang
bersedia membayar harga yang diajukannya. Melacak kem bali
jejak pedagang keliling tersebut, jelaslah bahwa siapa yang telah
mem bayarnya untuk suatu tugas tertentu tidak mudah dipastikan.
Apa lagi jika dengan suatu cara sengaja dibuatnya mem
bingungkan. Lebih membingung kan lagi jika seperti pe dagang
yang cu rang dijualnya pengetahuan-rahasia yang sama kepada
beberapa pihak sekaligus tanpa ma sing-masing mengetahuinya!
249 Jaringan mata-mata berbagai negara, berbagai perkumpulan
rahasia yang banyak ragamnya, dan terdapatnya para penjual jasa
pengintaian, pencurian, dan pembunuhan yang bergerak sendiri
tanpa ikatan, membuat suatu rahasia yang sengaja diumpankan
untuk menyesatkan akan dengan mudah menyebabkan kekacauan. Bentuk kekacauan yang nyata adalah rahasia umum
yang sebetulnya tidak pernah ada, tetapi dipercaya sebagai
kenyataan berharga, hanya karena siapa pun dari pihak mana pun
mengira betapa hanyalah dirinya yang mengetahui terdapatnya
suatu rahasia. Tentu aku percaya bahwa rahasia yang tetap tinggal sebagai
rahasia selamanya, yang tidak akan pernah terbuka, sebetulnya
memang ada. Namun kuketahui pula betapa sangat tidak mudah
mengetahui rahasia yang ber hasil dibongkar dan terbuka atau
rahasia yang sengaja dibiarkan dapat terbongkar demi penyesatan
belaka. Demikianlah kuingat-ingat kembali berbagai peristiwa semenjak
kami memasuki Chang'an, yang kiranya menunjukkan bahwa
ternyata kami sudah dikenali. Bahwa jaringan matamata Yang
Mulia Paduka Bayang-bayang mengenali kami, bahkan seperti
mengawal perjalanan kami jauh sebelum memasuki Chang'an,
tentu memang sudah seharusnya karena kami memang sudah
250 bekerja sama dengan mereka. Namun ketika pengurus Penginapan Teratai Emas mengira aman saja menyebut namanama kami secara terbuka dalam penyambutannya, waktu itu aku
sudah berpikir apakah dia tidak terlalu gegabah.
AKU mencoba mengingat keadaan sekitar kami waktu itu.
Seingatku tidak ada seorang pun yang melihat dan memperhatikan
kami karena tamu-tamu asyik dengan arak beras, bunyi-bunyian,
dan perempuan-wanita penghibur di pangkuannya sambil tertawatawa. Satu-satunya yang menatap kami seingatku cukup mabuk,
menyanyi-nyanyikan puisi Li Bai. Jika semua yang kusebut berada
di ruang terbuka di lantai bawah, dan cukup jauh jaraknya dari teras
lantai atas tempat kami bisa memandang ke bawah, maka yang
berada di hadapan kami itu muncul dari balik tirai sebuah kamar di
lantai atas. Sekarang aku berpikir, apakah dia memang mabuk atau hanya
berpura-pura mabuk" Aku tidak boleh mengabaikan orang mabuk.
Apalagi orang mabuk yang hapal di luar kepala puisi-puisi Li Bai!
Sementara itu, apa jaminannya bahwa orang-orang yang
sepertinya tenggelam dalam kegembiraan dan kemabukan di lantai
bawah, dengan segenap bunyi-bunyian yang tetap terpetik serta
tertiup sempurna dalam kehingarbingarannya, sebetulnya tidak
berpura-pura saja dan mengawasi kami melalui pendengarannya"
251 Segalanya lantas kucurigai, dan segala sesuatu yang tampaknya
tak penting kini muncul kembali. Misalnya sekarang kuingat bahwa
ternyata salah satu wanita penghibur yang menyanyi sembari
dipangku dan menghadap ke arah kami itu menatap kepadaku
dengan tajam! Di tempat hiburan seperti yang terdapat di Penginapan Teratai
Emas itu, pandangan tajam seorang wanita penghibur kepada
seorang lelaki bukanlah sesuatu yang harus terlalu diperhitungkan.
Itulah yang membuatku sama sekali tidak mempertimbangkannya
sebagai sesuatu yang dapat bahkan patut dicurigai. Namun kini
aku teringat kembali pandangan itu, pandangan yang mengamati
dan mengawasi! Mungkinkah pandangan itu berhubungan dengan serangan gelap
di teras Penginapan Teratai Emas yang belum dapat dipastikan
kejelasannya" Menurut Kaki Angin, tugas untuk membunuh kami
itu jelas kerahasiaannya sangat penting, sehingga pembunuhan
yang gagal itu harus dibayar dengan nyawa petugasnya, oleh
tangan pemberi tugasnya sendiri!
Kami mengatakan kepada Kaki Angin bahwa kami lebih baik
pindah dari Penginapan Teratai Emas.
252 "Baik," katanya, "tapi biarlah tetap kami yang mencari gantinya."
Kami tertegun, tetapi juga tidak bisa membantah, karena Chang'an
adalah kotaraja sekaligus kota raya dengan penduduk begitu
banyak yang seluk beluknya tidak terlalu mudah segera dikuasai.
Kami tentu tertegun karena merasa tidak bebas dan bagaikan akan
selalu berada dalam pengamatan, meski yang dimaksudkan Kaki
Angin tentu memberikan perlindungan.
Selama ini kami selalu dipandu oleh Elang Merah, tetapi kini kami
diandaikan hanya dapat mengandalkan jaringan mata-mata Yang
Mulia Paduka Bayang-bayang, yang memang seharusnyalah
menjadi satu-satunya hubungan.
"Dalam pengintaian yang sangat penting adalah ketekunan dan
kesabaran," ujar Kaki Angin, "Jika saja Elang Merah sedikit
bersabar...." Ia tidak meneruskan kata-katanya. Yan Zi menatapku. Kudengar ia
berujar melalui Ilmu Bisikan Sukma. "Barangkali mereka yang
menjebak Meimei," katanya, "Kita habisi saja dia sekarang."
Tangannya seperti sudah siap mencabut pedang, tetapi melalui
pandangan mata kukatakan, "Jangan."
253 Dalam hatiku aku sangat bersedih atas sikap Yan Zi, yang seperti
selalu menuruti kata hati tanpa pikirannya lebih dulu menguji. Jika
ia tidak bisa lebih hati-hati, lawan akan mudah menjebaknya meski
ilmu silatnya sangat tinggi.
Memang aku sempat berpikir bahwa jika Elang Merah bukan
korban pertentangan di dalam jaringan mata-mata Kerajaan Tibet
sendiri, bisa juga terjadi pihak Yang Mulia Paduka Bayang-bayang
berusaha menunjukkan keberatannya bahwa kami telah berusaha
mencari jalan rahasia sendiri. Kemungkinan manakah di antara
keduanya yang sebenarnya terjadi" Mungkinkan salah satu di
antaranya telah meminjam tangan Golongan Murni, yang rajah di
dahinya bukanlah jaminan bahwa mereka tidak meminjam tangan
perkumpulan rahasia yang lain lagi.
Namun juga masuk akal bahwa jaringan mata-mata Golongan
Murni itulah yang berhasil merembes ke dalam jaringan mata-mata
Kerajaan Tibet, yang dimungkinkan karena sudah terdapat
perpecahan, dan barangkali saja sudah membunuh semua
pendukung jaringan yang setia, sehingga Elang Merah sejak awal
sebenarnya memang sudah masuk perangkap.
Pembunuh Elang Merah memang sudah tewas, tetapi siapa yang
harus dianggap paling bertanggung jawab"
254 BELUM usai duka citaku setelah kehilangan Amrita, kepergian
Elang Merah yang memang memberikan sisa hidupnya untuk
mengikuti ke mana pun langkah kakiku menuju, itu sungguh
memberatkan dadaku. Yan Zi yang jiwanya terselamatkan, dan
karena itu Elang Merah kehilangan nyawanya, sudah kehilangan


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segala keceriaannya, memberikan kepadaku perasaan yang
semakin rawan. Seperti mengetahui keadaanku, Kaki Angin berkata pula.
"Pendekar Tanpa Nama tentu merasa sedih dan marah, dan masih
penasaran siapa kiranya yang harus bertanggung jawab atas
kematian Elang Merah. Mohon agar Tuan dan Puan berdua
memusatkan perhatian kepada urusan Pedang Mata Cahaya
sampai perjanjian kita lancar. Percayalah kami juga akan
menyelidiki masalah ini, dan bersama dengan selesainya
pekerjaan kita nanti, siapa yang bertanggung jawab juga akan
terungkap. Betapapun kami juga merasa sangat kehilangan, dan
telah menganggap Pendekar Elang Merah sebagai bagian dari
jaringan, sehingga peristiwa ini harus kami anggap pula sebagai
ancaman." 255 Aku mengangguk-angguk, tetapi ketika Kaki Angin melesat dan
melayang ringan dari genting ke genting dalam kegelapan, aku
sudah tahu apa yang harus kulakukan.
*** Baiklah kuceritakan dahulu berbagai peristiwa yang sempat
kudengar dan kuketahui selama kami berada di Chang'an,
sebelum maupun sesudah kematian Elang Merah yang sangat
menyedihkan itu. Cerita tentang berbagai peristiwa itu kadangkadang kudengar dari mulut ke mulut, bisa dari perbincangan di
kedai, dari pelayan penginapan, atau dari para pelakunya yang
kukenal sendiri, baik ketika peristiwanya sudah berlalu atau
sedang berlangsung. Kurasa aku memang tak dapat mengenal
Chang'an dengan cukup baik tanpa mengenal pula orangorangnya.
Setidaknya dari cerita berikut ini, ternyata aku mendapat suatu cara
untuk sampai ke ruang penyimpanan senjata, tanpa harus
mengandalkan jasa jaringan mata-mata yang mana pun.
*** Li Yi adalah seorang terpelajar dari Kansu, yang pada usianya
yang keduapuluh mengikuti ujian negara untuk menjadi pegawai di
256 Chang'an. Ia menginap di Jalan Kemakmuran Baru. Sebagai
sarjana yang mampu menulis surat-upaya maupun puisi, rasa
percaya dirinya memasuki Chang'an sangatlah tinggi, kecuali
bahwa ia merasa sangat sendiri karena tidak memiliki seorang
kekasih yang dapat dicintainya sepenuh hati. Li Yi telah
mengembara pula dalam kehidupan dunia penghiburan di Dusun
Kecil Utara, mencari perempuan idamannya di antara wanitawanita penghibur, tetapi yang tak seorang pun dianggapnya cukup
menyenangkan dan pandai bagi dirinya.
Maka ia pun lantas menggunakan jasa Ibu Pao, induk semang
wanita-wanita penghibur paling terkenal di Chang'an, untuk
mendapatkan jodohnya. Karena ia memang dikenal sebagai
seorang Ibu Pao adalah bekas budak yang pernah bekerja di
rumah gedung milik menantu maharaja, tetapi yang telah berhasil
membeli kebebasannya sendiri, dan menikah beberapa kali
setelah itu. Dengan kepandaiannya berbicara ia mengenal semua
orang penting di kota ini. Tidak aneh jika dengan segera ia
dapatkan calon yang menurut pendapatnya sungguh sepadan
untuk Li Yi. Itulah Puan Giok, anak bungsu Pangeran Huo yang sudah
meninggal, yang disebut Ibu Kemurnian, pelayan kesayangan,
yang kemudian menjadi selir bangsawan tersebut. Dikisahkan
257 bahwa setelah Pangeran Huo meninggal, Ibu Kemurnian
dikembalikan derajatnya sebagai orang biasa, dan namanya
menjadi Ibu Cheng, yang tentu juga berarti bahwa bersama Giok
keduanya tenggelam dalam kemiskinan.
Seingatku, kalau tidak salah memahami, karena betapapun
penguasaan bahasa Negeri Atap Langitku sangat terbatas, di
depan gerbang Kuil Tua di Jalan Sheng Yeh, tempat Giok dan Ibu
Cheng berdiam, seorang gadis berbaju hitam muncul menyambut
Li Yi yang diminta Ibu Pao datang menemui calon istrinya.
"Apakah dikau Tuan Li Kesepuluh?" ujarnya dengan ragu.
Li Yi memang disebut juga sebagai Putra Kesayangan Keluarga Li
yang Kesepuluh. Namun tetap saja Li dipersilakan masuk, dan disambut oleh Ibu
Pao, dan segera setelah itu berlangsunglah basa-basi, seperti
pembacaan puisi, yang disebut terhapalkan dengan baik oleh Giok,
meski tak tahu siapa penciptanya.
menyibak tirai kuingat bambu mendesir dalam angin kupikir itulah alamat kedatangan kawan tercinta
258 Kuingat dikisahkan juga Giok memetik kecapi dan bernyanyi, tentu
untuk menegaskan kepantasannya menjadi orang terpelajar.
Semuanya, segalanya yang dilakukan malam itu, tiada lebih dan
tiada kurang adalah usaha agar dianggap pantas sebagai istri Li
Yi. Termasuk ketika malam itu mereka tidur bersama.
Namun pada tengah malam, Giok menangis.
"DAKU hanyalah seorang gadis biasa," katanya terisak, "yang
menyadari betapa kedudukanku tiada setara. Dikau menyukai
diriku karena apa yang tampak di matamu, tetapi daku merasa
khawatir karena kecantikan bisa memudar, dan apa yang dikau
rasakan juga akan luntur, sehingga diriku bagaikan pohon anggur
tanpa tempat bergantung, atau seperti kipas yang ditinggalkan
dengan berlalunya musim panas. Dalam saat-saat kebahagiaanku,
daku diliputi firasat nan gelap."
Tersentuh oleh kata-kata seperti itu, pemuda terpelajar itu pun
menjawab. "Telah daku temukan cintaku yang sempurna," ujarnya untuk
menyenangkan, sembari menjadikan lengan sebagai bantal bagi
perempuan itu. "Daku bersumpah sepenuh hati tidak akan
meninggalkan dikau. Jika daku melanggar sumpah ini, biarlah
259 tulang belulangku lebur menjadi abu dan tubuhku terbantai menjadi
ribuan potongan. Mengapa dikau berbicara seperti itu" Berikan
kepadaku secarik sutera putih dan akan daku tuliskan dengan tinta
apa yang telah kujadikan sumpah."
Seorang pelayan yang namanya disamakan dengan buah ceri
segera diperintahkan menyediakan sepotong kain satin berwarna
putih, lengkap dengan alat tulis yang disebut kuas dan batu
gerinda. Di bawah cahaya lilin yang terang sang terpelajar pecinta
itu menuliskan pernyataan sejati, bahwa gunung-gunung dan
sungai-sungai, matahari dan rembulan, menjadi saksi atas
kesetiaan abadinya terhadap sang gadis yang sangat dicintainya.
Setiap kata dan setiap kalimat menegaskan taraf kasih sayang dan
cintanya yang besar kepada Giok, yang setelah dengan tak sabar
membacanya, menghela napas panjang dengan penuh suka cita.
Kain putih berharga itu pun dengan cermat disimpannya di dalam
kotak perhiasan. Dikisahkan betapa pasangan ini hidup bersama selama dua tahun
dengan penuh kebahagiaan, siang dan malam nyaris tak pernah
berpisah. Namun pada tahun ketiga Li Yi lulus ujian pegawai
negeri, dan ditunjuk menjadi kerani Kabupaten Cheng, dan bulan
keempat tahun itu ia bersiap-siap menuju tempat tugasnya yang
baru. Maka diadakanlah acara makan malam perpisahan dengan
260 mengundang banyak orang. Itu terjadi akhir musim dan awal
musim panas ketika alam sedang begitu ramah. Setelah anggur
dihabiskan dan tamu-tamu mengucapkan salam pamitan sembari
menjura, hanya tersisa pasangan itu yang lantas terlibat
percakapan. "Dikau dipuja oleh seluruh dunia," kata Giok, "karena bakat,
kedudukan dalam masyarakat, dan kemampuanmu dalam susastra, bagaikan setiap bapak akan bangga memiliki menantu
seperti dirimu. Orang tuamu selalu menunggu kepulanganmu, dan
karena tiada menantu perempuan yang membantu urusan rumah,
dikau pasti harus menikah saat pulang ke rumah. Sebagaimana
janji setia yang dipertukarkan di antara kita, berikut dengan
sumpahmu, mereka hanyalah kata-kata yang sia-sia dan kosong.
Namun daku memiliki suatu keinginan kecil untuk diketahui
olehmu, dan karena ini berasal dari pandangan kasih sayang yang
dalam dan murni seperti yang kumiliki kepadamu, barangkali dikau
bersedia mendengarkan."
"Dengan cara apa maka daku telah membuat dirimu mengira
betapa aku tiada akan sudi mendengarkanmu?" ujar Li, "Dengan
suka hati daku akan mendengarkan apa pun yang dikau katakan."
261 Sampai di sini Ibu Pao yang menyampaikan cerita itu kepadaku di
Penginapan Teratai Emas, ketika mengantarkan dan menunggui
wanita-wanita asuhannya yang berada di dalam kamar, berhenti
sejenak. "Apa yang dikatakannya?" Aku bertanya dengan penasaran. Ibu
Pao tersenyum, meskipun sudah berumur, dia terlihat sangat
cantik. "Belikan aku arak," katanya.
Maka aku pun memesan arak. Melihat Ibu Pao menenggak arak
aku pun teringat puisi Li Bai:
Saat kami berdua ketika bunga gunung minum mekar kami demi sisi, kumabuk semangkuk, dan jadi, Besok di menuang, semangkuk sampai bersama, ngantuk, pergilah! kalau datanglah mau dan bawa serulingmu! 1 Wajahnya memerah ketika ia bercerita kembali.
262 "Umurku delapan belas tahun," ujar Giok, "dan umur dikau
duapuluhdua tahun, masih ada delapan tahun lagi sebelum dirimu
mencapai usia perkawinan secara adat. Marilah kita nikmati tahuntahun penuh berkah cinta ini. Setelah itu, belum akan terlambat jika
dikau mengikat seorang gadis yang bermutu. Sedangkan diriku
biarlah kugunduli rambutku dan mengenakan busana perempuan
rahib selama sisa hidupku, membahagiakan diri dengan sumpah
sejatiku." LI pun menjawab dengan berurai air mata.
"Sumpah yang kuikrarkan kepada langit akan kupenuhi meskipun
jika harus mengorbankan hidupku. Bagaimana mungkin diriku
berpikir tentang kekasih yang lain jika nasib baik telah memberi
berkah agar menuntaskan impianku akan dikau dan menjadi tua
bersama dikau saja" Janganlah hatimu meragukan meskipun
hanya sekejap kesetiaanku yang abadi. Tinggallah di sini dan
sabar menanti. Pada bulan kedelapan diriku pasti sudah tiba di
Huachow, dan akan kukirimkan orang-orangku untuk menjemputmu kekasihku. Tidak akan terlalu lama masanya
sampai kita saling merengkuh dan berpelukan lagi."
Beberapa hari kemudian Li yang masih muda itu berangkat ke arah
timur, menuju ke tempat tugasnya. Setelah menginap semalam, ia
263 meminta izin untuk menengok orang tuanya di ibu kota bagian
timur yang bernama Loyang.
Belum sampai sepekan tinggal di sana, ibunya berkata bahwa Li
sudah dijodohkan dengan Nona Lu. Bahkan disebutkan pula
betapa upacara pernikahannya akan berlangsung segera. Li Yi
mengenali keluarganya dengan segala tata cara leluhur yang
mereka pegang teguh, kemungkinannya untuk menolak sama
sekali tidak ada. Sebaliknya, sesuai dengan adat istiadat yang
dijunjung dengan sangat amat tinggi oleh keluarganya, Li
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas perjodohan
yang telah dirancangkan baginya itu.
"Aaaahhhh!" Aku berteriak kesal. Terbayang olehku hari-hari Giok yang dengan
setia menunggu. "Dengar dululah lanjutannya," kata Ibu Pao sambil menenggak lagi
araknya. Sebagai keluarga bangsawan, keluarga Nona Lu merasa berhak
dan memang menuntut sejumlah besar mahar dari keluarga Li. Jika
tidak dipenuhi, pernikahan ditunda untuk jangka waktu yang tidak
terbatas. Sedangkan karena keluarga Lu tidak tergolong kaya raya,
264 maka adalah Tuan Lu yang muda itu menjadi tumpuan harapan
mendapatkan jumlah tersebut melalui pinjaman dari handai taulan.
Keadaan ini membuatnya memiliki dalih untuk melanjutkan
perjalanannya makin jauh ke timur, lantas ke selatan, dari musim
gugur sampai musim panas berikutnya.
Tuan Lu rupa-rupanya menghadapi masalah ini tanpa nyali untuk
berterus terang kepada Giok, sehingga dia tidak mengirimkan
kabar apa pun. Bahkan kepada segenap kawan dan kenalan yang
datang dan pergi dari Chang'an, ia berpesan agar segala sesuatu
yang dilakukannya dirahasiakan.
Giok yang malang melakukan segala hal yang paling mungkin
dilakukannya untuk mendapat kabar perihal kekasihnya, tetapi
segala penjelasan yang diterimanya saling bertentangan, tidak
benar, dan membingungkan. Ia telah mengunjungi para peramal
nasib tanpa keberhasilan apa pun dan setelah setahun merana


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam penantian ia jatuh sakit, begitu parah sakitnya sehingga
hanya dapat berbaring saja tak mampu keluar dari biliknya.
Namun, meski tiada selembar kertas bertulisan yang disebut surat
itu tiba, ia tidak pernah kehilangan harapan akan bertemu kembali
dengan kekasihnya. Ia membujuk dan membayar kawan-
265 kawannya agar melacak jejak Tuan Lu, dan sungguh banyak sudah
pengeluaran menghabiskan harta bendanya.
Tidak jarang orang-orang melihat para pelayan keluar rumah
menuju ke tempat tukang loak bernama Hou. Ketika pelayan itu
sudah pergi, maka orang-orang akan bertanya kepada Hou apakah
yang telah dijual kepadanya dari Kuil Tua di Jalan Sheng Yeh itu,
sehingga orang-orang kemudian mengetahui betapa Giok dan Ibu
Cheng silih berganti menjual perhiasan-perhiasan berharga, antara
lain perhiasan rambut giok ungu yang sangat bernilai.
Hou sendiri yang hanya mengenal para pelayan pernah berkata,
"Mengapa kamu membawa jepit rambut ini kemari" Ini adalah
buatan tanganku atas pesanan Pangeran Huo, ketika putri
bungsunya akan menyanggul rambutnya. Yang Mulia memberikan
sepuluh ribu uang perunggu secara kontan. Aku ingat sekali. Dari
mana kamu dapatkan ini?"
"Majikanku adalah putri yang dikau maksud," jawab pelayan yang
membawa jepit rambut giok ungu itu.
Dikisahkannya, sampai saat itu sudah hampir dua tahun putri
bungsu sang pangeran disia-siakan Tuan Lu, dan dalam keadaan
seperti itu Giok masih terus berusaha mencari uang untuk
266 mendapatkan kabar berita. Tersentuh oleh cerita itu, Hou
membawa pelayan tersebut ke gedung yang disebut sebagai
istana tempat Putri Yen Hsien. Putri ini, yang juga sangat tersentuh
oleh keadaan Giok, membeli jepit giok ungu itu sepuluh kali lebih
mahal dari harga aslinya.
SEMENTARA itu, Nona Lu, calon pengantin Li, juga tinggal di
Chang'an. Li yang akhirnya berhasil mengumpulkan uang mahar
untuk pernikahannya, kembali ke tempatnya bekerja sebagai
kerani di Huachow, pada bulan keduabelas kembali meminta izin
untuk menikah. Ia terpaksa berusaha memasuki Chang'an dengan
menghindari kemungkinan bertemu siapa pun yang mengenalnya.
Disewanya sebuah rumah di tempat sepi yang jauh dari tetangga.
"Tapi perbuatan culas selalu telah dilengkapi kegagalannya," ujar
Ibu Pao menyela ceritanya sendiri.
Di Chang'an, Li ternyata memiliki saudara sepupu bernama Tsui,
seseorang yang dikenal berbudaya dan sangat dihormati. Li suka
minum bersama Tsui di rumah Giok dan rupa-rupanya hubungan
Tsui dengan Giok sangat baik. Setiap kali Li berkirim kertas
bertulisan yang disebut surat, Tsui menyampaikannya kepada
Giok, yang selalu dibalas dengan pemberian berbagai hadiah dan
diterima pula dengan suka cita.
267 Maka, ketika Li bermaksud datang diam-diam ke Chang'an demi
perkawinannya itu, berita pun segera bocor ke telinga Giok.
Bahkan Ibu Pao tak mampu membahasakan apa yang dirasakan
Giok. Keharuan merebak di antara siapa pun yang mengenal Giok, ketika
ia masih saja dengan lugu meminta kawan-kawannya mengusahakan agar Li datang ke rumahnya. Namun Li yang
mengetahui dirinya sudah melanggar sumpah, dan mengetahui
juga betapa Giok juga sakit keras bagaikan nyaris meninggal,
mengeraskan hatinya dan menolak untuk bertemu dengan bekas
kekasihnya itu. Li menghindar dengan berbagai cara, pergi ke mana-mana,
meninggalkan rumah pagi buta dan kembali lagi pada larut malam.
Sementara Giok mengisak dengan penuh kepahitan, tanpa pernah
makan dan tidur, dengan masih saja mengharapkan pertemuan,
meski hanya untuk bercakap-cakap saja. Dari hari ke hari sakitnya
semakin bertambah parah. Perlakuan Li terhadap Giok pun beredar di kalangan atas dan
terpelajar di Chang'an. Semua berpihak kepada Giok yang
268 perasaan cintanya begitu mendalam dan mengutuk Li yang tidak
memiliki hati. Saat itu disebutkan sebagai bulan ketiga, dan penduduk Chang'an
biasa keluar rumah untuk menikmati udara musim semi yang
cerah. Li dan beberapa kawannya berkunjung ke Kuil Chung Ching
untuk menengok bunga-bunga indah yang tumbuh di semak,
berjalan-jalan di taman dan menggubah puisi untuk memperingati
berkah itu. Namun kawannya yang bernama Wei Hsia-ching berkata, "Dalam
kesempurnaan alam dan keindahan cuaca seperti ini, tiada yang
lebih menyedihkan bahwa Giok merana sendirian di biliknya.
Hatimu pastilah terbuat dari batu untuk mencampakkannya tanpa
penyesalan sama sekali, dan tidaklah jantan sama sekali dirimu
berperilaku seperti ini. Kuminta pertimbangkanlah kembali sikapmu
itu." Li menjawab dan keduanya segera bertukar kata dengan cepat.
Saat itulah seorang tak dikenal berjubah kuning dan membawa
busur menyapa mereka. Ia tampak gagah dan ditemani seorang
bocah dari Suku Hun. Ia menjura kepada Li dan menunjukkan
bahwa ia mengenal Li sebagai Tuan Li Kesepuluh.
269 "Daku datang dari Guangdong," katanya, "dan daku terhubungkan
dengan keluarga istana. Meskipun daku bukan seorang sarjana,
daku mengagumi pembelajaran, dan telah mendengar pencapaian
kecerdasan dikau. Daku bangga dapat mengenalmu. Gubukku
yang sederhana tak jauh dari sini, dan dapat daku persembahkan
bunyi-bunyian terindah untuk menghiburmu. Di dalamnya dikau
juga dapat menjumpai gadis-gadis cantik maupun kuda yang
serbategap di kandang. Dikau bisa mendapatkan semuanya jika
sudi bertandang ke sana."
Kawan-kawan Li begitu bersemangat mendengar itu, dan Li
terpaksa hanya mengikuti mereka yang sudah memacu kudanya.
Tidak pernah diduganya bahwa setelah melewati berbagai
belokan, ternyata mereka tiba di Jalan Sheng Yeh. Semula Li
menolak untuk berjalan terus, tetapi orang asing berjubah kuning
itu, sambil menyambar tali kekang kuda tunggangan Li, berkata
jaraknya tidak jauh lagi. Dengan segera mereka berada di depan
kediaman Giok. Sekali lagi pecinta tak berhati itu mau berbalik,
tetapi ia tetap saja terseret dengan setengah paksa dalam
cengkeraman tangan si pelayan Hun, masuk ke dalam meski
gerbang masih tertutup. "Tuan Li Kesepuluh telah tiba!" Bahkan ia berteriak pula.
270 Terdengar keributan para pelayan di dalam yang serabutan.
DIKISAHKAN oleh Ibu Pao bahwa malam sebelumnya Giok telah
bermimpi tentang Li yang diantar oleh seorang asing berjubah
kuning, dan dalam kunjungan itu orang tersebut meminta Giok
melepas sepatu. Pagi harinya ia menghubungkan mimpi itu
dengan ibunya dan menafsirkan sepatu sebagai keselarasan yang
dalam bahasa Negeri Atap Langit berbunyi sama1, bermakna Li
akan datang kepadanya tetapi untuk berpisah selamanya.
Maka Giok pun meminta ibunya agar membantu untuk memangkas
rambut, yang dituruti tanpa kesungguhan yang berarti, karena Ibu
Cheng menganggap sakit Giok yang parah membuat pikirannya
pun kurang sehat. Saat Li akhirnya betul-betul tiba, tenaga Giok yang semula
bagaikan lumpuh mendadak bangkit kembali. Begitu terdengar
teriakan itu ia segera beranjak dari ranjang, berdandan cepat, dan
keluar menemui Li bagaikan orang tersihir. Sejenak ditatapnya Li
dengan penuh kemarahan di matanya, lantas diangkatnya kedua
tangan menutupi wajahnya, bagaikan tak mampu lagi memandangi
bekas kekasihnya itu. Betapapun ia tetap melirik ke arah Li dari
balik lengan bajunya. Matanya kini mengungkapkan kesedihan dan
celaan tak terhingga. Dalam dendamnya yang membuat dia
271 bangkit, ia tak dapat menyembunyikan kerapuhan tubuh karena
sakitnya, yang menimbulkan belas siapa pun yang hadir di situ.
Namun saat itu mereka semua terkejut, karena dengan cepat suatu
perjamuan telah digelar. Didapat keterangan bahwa segalanya
disediakan oleh orang asing yang sangat santun itu. Setelah
semuanya duduk berjajar, Giok yang duduk menyamping dan
menatap Li beberapa saat, mengambil cawan berisi anggur dan
menuangkannya ke lantai. "Diriku hanyalah seorang perempuan bernasib buruk," ratapnya,
"tetapi dirimu adalah manusia tanpa hati. Daku akan segera mati
karena patah hati dalam usia muda, tidak akan bisa lagi menolong
ibuku yang tercinta. Selamat tinggal kitab-kitab dan segala alat
bebunyianku! Daku juga harus mengucapkan terima kasih
kepadamu, duhai kekasihku yang tidak setia, menjelang datangnya
penderitaan dalam api penyucian. Jadi, selamat tinggal Tuan Li!
Setelah aku mati, betapapun aku akan menjadi roh jahat dan
kembali ke dunia ini untuk menyengsarakan dikau dan istrimu,
sehingga tidak satu hari pun dikau akan pernah mengalami
kedamaian dan kebahagiaan."
Sembari mencekal lengan Li dengan tangan kiri, Giok melemparkan cawan anggurnya ke lantai, yang kemudian pecah
272 menjadi beratus-ratus serpihan. Giok mengerang, meratap, dan
merintih, lantas berhenti usia hidupnya. Ibu Cheng meletakkan
tubuh putrinya ke pangkuan Li, mendesaknya agar berusaha
menghidupkan Giok kembali, tetapi usahanya sia-sia.
Tuan Li Kesepuluh pun tenggelam ke dalam duka dan
menampakkan kesedihannya atas kematian Giok. Pada malam
penguburan Li melihat Giok muncul di balik tirai yang menutupi peti
mati. Diceritakan betapa ia tampak cantik seperti ketika masih
hidup, mengenakan hu fu tua dengan warna biji delima, baju
atasan ungu, dan selendang merah serta hijau, memegang pita
yang terdapat di bajunya. Giok mengisyaratkan kepadanya bahwa
ia menghargai perasaan Li ketika melihat dirinya meninggalkan
dunia, dan meskipun dirinya sekarang hanyalah roh, ia masih
merasakan sesal dan iba kepada Li. Lantas Giok pun lenyap dan
tidak pernah memunculkan diri kepada Li lagi. Pada hari berikutnya
tubuh Giok dikuburkan di pemakaman Chang'an, sepanjang jalan
Li melangkah di belakang peti mati...
Sebulan kemudian Li menikahi Lu, sepupunya, tetapi tidak pernah
bisa melupakan sepenuhnya cinta yang lalu. Ia tidak bahagia.
Pengantin baru ini segera berangkat ke Kabupaten Cheng tempat
Li selama ini ditugaskan.
273 Suatu malam, di ranjang, Li mendadak terbangun oleh suara di
balik tirai, dan ketika melihat keluar dia melihat seorang lelaki muda
memberi isyarat kepada istrinya dari belakang bayangan jendela.
Ia melompat dari tempat tidur, mencari seseorang yang tampaknya
menyusup, tetapi yang ternyata telah menghilang. Sejak saat itu ia
selalu curiga, selalu mengira istrinya tidak setia, dan hubungan
mereka lantas menjadi dingin. Namun dengan campur tangan
kawan-kawannya, ia dibujuk untuk melupakan peristiwa tersebut.
SEKITAR sepuluh hari kemudian, saat pulang ke rumah dari
tempatnya bekerja, Li melihat istrinya memainkan kecapi di kamar
hias, ketika seseorang mendadak melemparkan kotak perhiasan
kecil yang bertatah, terikat dengan pita yang simpul ikatannya
menunjukkan hubungan antara sepasang pecinta. Jatuh tepat di
pangkuan istrinya. Ia segera menyambar dan membuka. Terdapatlah benda pekasih untuk guna-guna dan obat-obat
perangsang untuk bermain cinta di dalamnya. Penemuan ini
membuat Li marah besar. Ia meraung seperti binatang buas,
merampas kecapi dan menggebuk istrinya dengan alat musik itu,
sambil minta penjelasan atas hubungan asmaranya, yang bahkan
istrinya tersebut tak mengerti sama sekali apa yang dimaksudnya.
Setelah kejadian itu, Lu sering menyerang dengan perilaku kasar
terhadap Li, yang kemudian berakhir di pengadilan, dengan hasil
274 akhir perceraian. Para selir dan pelayan yang sering berbagi
ranjang dengannya demi bayaran tak beda nasibnya, sering
mendapat perlakuan kasar, bahkan ada yang dibunuh berdasarkan
kecemburuan tak waras. Saat mengunjungi Yangchow, Li menikahi selir bernama Puan
Ying Kesebelas, yang menjadi kesayangannya. Agar berlaku baik,
ia suka menunjukkan nasib para selir pendahulu, ketika mereka
yang disebutnya berperilaku tak senonoh dibuangnya. Jika ia
terpaksa keluar rumah karena tugas-tugasnya, Li akan menyembunyikan Ying dengan cara menutupinya dengan bak
mandi yang diletakkan terbalik di atas tempat tidur, untuk kemudian
tepiannya disegel. Waktu Li kembali akan diperhatikannya segel itu
dengan cukup lama, sebelum sang istri diizinkannya meninggalkan
tempat tidur. Selalu dibawanya pedang pendek yang tajam,
diperlihatkannya berulangkali kepada para pelayan, dan membual
bahwa itu terbuat dari baja terbaik yang mampu memenggal kepala
perempuan mana pun yang tidak setia kepadanya.
Selama hidupnya ia tersiksa oleh kecemburuan dan kecurigaan
terhadap perempuan-perempuan di dalam rumahnya,
dan meskipun sudah tiga kali menikah, semua berakhir dengan
ketidakbahagiaan yang besar...1
275 "Begitulah ceritanya, Nak," ujar Ibu Pao tentang apa yang
diketahuinya mengenai Tuan Li Kesepuluh, yang namanya
kadang-kadang kudengar dari percakapan orang mabuk, jika
mereka membicarakan kekejaman cinta.


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimanakah cerita ini telah membuatku melihat peluang untuk
membebaskan diri dari ketergantungan terhadap jaringan rahasia" SEBAGAI orang asing aku merasa sulit menguasai seluk beluk
kerahasiaan dan tipudaya licin dalam pertarungan antar-jaringan
rahasia, tempat jerat dan jebakan dalam kerahasiaan bertebaran
begitu rupa, sehingga tak jelas lagi apakah suatu rahasia memang
ada ataukah tampaknya saja memang dibuat seperti ada,
meskipun ada dan tidaknya tiadalah seseorang akan tahu pula,
karena memang merupakan rahasia.
Peluang itu kulihat dari pengakuan Ibu Pao, bahwa ia bukan saja
berpengalaman menjodohkan pasangan antarkeluarga lapisan
atas dalam Kota Chang'an, tetapi juga mengasuh cukup banyak
wanita penghibur dengan keterpelajaran dan keberadaban mereka
yang kadang mencengangkan untuk melayani permintaan para
pemilik rumah minum di Dusun Kecil Utara. Kuketahui pula, bukan
ha?nya jaringan wanita penghibur yang dikuasainya, melainkan
276 juga para teruna. Sedangkan di Petak Teruna itulah berdatangan
para bangsawan, yang tidak mungkinkah di antaranya mengetahui
dengan tepat letak penyimpanan senjata mestika, terutama
Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri"
Kepada Ibu Pao tentu aku tidak bisa berterus terang bermaksud
mencuri pedang, tetapi... Saat itulah kudengar sebuah kalimat di
antara beribu kata-kata yang bertebaran di jalan besar.
"Kalau begitu, sebaiknya meminta bantuan Harimau Perang..."
Aku terkesiap dan melesat keluar. Namun Chang'an adalah kota
yang ditinggali sepuluh kali seratusribu manusia, yang membuat
jalanan mana pun di luarnya selalu ramai, hiruk-pikuk, dan pada
beberapa tempat bahkan penuh sesak, apalagi di tempat
penghiburan seperti Petak Teruna...
Di tengah keramaian kupejamkan mataku, kucari warna suara
yang kudengar tadi dengan ilmu Mendengar Semut Berbisik di
Dalam Liang, tetapi tiada getaran penanda yang menunjukkan
keberadaannya. Siapakah mereka" Orang-orang dari mana" Berbicara tentang
apa" Betapa banyak kebetulan dapat memberuntungkan hidup
kita, tetapi kali ini aku tidak cukup beruntung. Jika aku dapat
277 membuntuti kedua orang yang bercakap-cakap dan menyebutnyebut Harimau Perang tadi, dengan segera tentu aku dapat
menyelesaikan tugas yang telah kubebankan kepada diriku sendiri,
yakni menuntut pertanggungjawaban Harimau Perang atas
kematian Amrita. Namun aku bukan hanya tidak dapat melakukannya sekarang, melainkan tak tahu pasti kapan akan
menemukan jejaknya lagi! Sudah jelas betapa aku tidak mungkin
mengandalkan keberuntungan.
Mungkinkah mereka sengaja bungkam agar jejaknya tak terlacak
siapa pun yang memiliki ilmu pendengaran" Betapapun itulah
sikap yang selalu diajarkan dalam ilmu penyusupan. Kubuka
mataku, kini hanya kudengar pengemis di tepi jalan menggumamkan ajaran Laozi sambil menanti lemparan uang.
aku tak tahu maka kunamakan kalau di Jalan harus kusebut yang namanya kugambarkan yang besar dalam masuk diri besar ke mencapai dalam diri yang jauh dari yang jauh kembali lagi 1
278 "Biarlah daku membuntuti mereka, kembalilah kepada Ibu Pao,"
katanya. Sebetulnya benakku masih bertanya-tanya, bagaimana Yan Zi bisa
mengetahui juga perbincangan kedua orang itu, tetapi memang
benar aku harus segera kembali kepada Ibu Pao. Kami harus
dengan cepat memanfaatkan setiap peluang yang terbuka, setelah
terbukti betapa jaringan rahasia mengalami jalan buntu dalam
keruwetan pertarungan antar-jaringan, yang bahkan telah mengorbankan nyawa Elang Merah.
Ibu Pao tersenyum melihatku datang kembali. Ia mengangkat
cawannya yang kosong. Aku mengerti, sebagai induk semang
wanita-wanita penghibur yang paling tenar di Chang'an, terutama
sebagai tukang jodoh di kalangan atas, Ibu Pao bukanlah orang tak
beruang. Namun untuk kerja sama yang paling disukainya pun, ia
tentu harus menguji itikad baik, maka aku pun kembali memberi
isyarat kepada pelayan untuk mengisi cawan arak kami.
Sebetulnya aku bahkan bisa meminta guci, tetapi kuingatkan diriku
bahwa Ibu Pao semestinyalah harus bisa memahami maksudku
dengan sadar dan jelas, bukan dalam keadaan mabuk.
Setelah beberapa tenggak, kuketahui Ibu Pao bukanlah orang
yang gampang mabuk. Dengan suara pelahan kusampaikan
279 maksudku, apakah dirinya bisa memberiku petunjuk tentang letak
penyimpanan senjata mestika, mengingat hubungannya yang
sangat baik dengan para pejabat tinggi dalam pemerintahan
Wangsa Tang maupun para bangsawan, termasuk dengan mereka
yang tinggal di dalam istana.
ADAPUN yang kumaksud dengan jaringan ini bukanlah sekadar
karena mereka adalah pelanggan para wanita penghibur asuhan
Ibu Pao. Sebaliknya, Ibu Pao adalah induk semang luar biasa yang
tak sekadar terkenal karena berperan besar menjodohkan para
petinggi dengan putri bangsawan, misalnya, melainkan karena
dalam asuhannya juga terdapat putri-putri bangsawan itu sendiri!
Ya, bahkan putri bangsawan pun ingin memiliki harta kekayaan
sendiri, karena meskipun kehidupan seorang putri bangsawan
dapat disebut berkecukupan, mereka tidak memiliki kebebasan.
Sedangkan kebebasan itu, meski harus dimulai dengan pikiran, tak
jarang harus didukung dengan uang. Para bangsawan memang
dihidupi dana istana, tetapi kebutuhan mereka tentunya lebih
banyak lagi. Dana istana lebih dari cukup untuk makan dan minum,
tetapi tidak akan cukup misalnya untuk membeli kuda, perlambang
kekayaan, kegagahan, dan kehormatan masyarakat Chang'an,
dan apalah artinya gelar kebangsawanan tanpa kuda" Maka untuk
memenuhinya para bangsawan mencari sumber keuangan
280 tambahan. Namun memang jarang diungkap secara terbuka
bahwa para putri bangsawan memiliki kebutuhan yang sama.
Adapun bedanya, yang disebut harta bagi para putri yang selalu
terkungkung dalam pingitan ini adalah kebebasan itu sendiri,
termasuk kebebasan bergaul dan bercinta dengan kalangan bukan
bangsawan di luar istana.
Gejala ini dapat dibaca oleh Ibu Pao dengan sangat baik, dan ia
pun dapat menemukan siapa saja yang mampu membayar
kebangsawanan putri-putri ini meski hanya untuk beberapa saat
saja. Bagi putri-putri itu, ternyata bukan harta kekayaanlah yang
terutama mereka cari, melainkan kekayaan hidup dalam dunia
yang lebih bebas, sebagai imbangan kehidupan di dalam istana,
yang meskipun sepintas lalu tampak bergelimang kemewahan,
tetapi penuh peraturan dan adat yang dirasakan menekan.
"Tempat penyimpanan senjata mestika" Ada beberapa sebenarnya, yang resmi maupun tidak resmi, yang menjadi milik
negara atau milik keluarga istana, dan ini pun masih dibagi lagi,
apakah itu merupakan mestika kesayangan Yang Mulia atau
bukan. Selain di Istana Daming di Istana Xingqing pun terdapat
tempat penyimpanan senjata mestika."
281 Tanpa sadar kugaruk-garuk kepalaku meski tidak gatal sama
sekali. Sepertinya kini begitu mudah mengetahui tempat penyimpanan senjata yang selama ini gelap, tetapi jika ternyata
begitu banyak pembagiannya, di bagian manakah Pedang Mata
Cahaya untuk tangan kiri itu disimpan"
"Tenanglah," ujar Ibu Pao, "seorang putri asuhanku sangat pandai
bersilat. Seorang guru rahasia telah secara diam-diam mengajarinya. Ia sangat suka bertualang. Pasti ia tertarik untuk
menyelidiki keberadaan pedang itu..."
"Ah, benarkah?"
Tidak bisa kusembunyikan kegembiraanku, tetapi aku juga
khawatir. Untuk mendapatkan kepercayaan Ibu Pao aku telah
berterus-terang pula kepadanya tentang tujuanku.
"Tentu," kata Ibu Pao, "tetapi jika berhasil, ia akan meminta
bayaran." Aku terkesiap. Memang, tidak salah jika untuk suatu keterangan
rahasia seseorang akan meminta imbalan. Semakin sulit
mendapatkannya, semakin besar imbalan yang diminta.
"Besarkah bayaran yang akan dimintanya?"
282 "Itu tergantung kemampuanmu memenuhinya, bahkan ia mungkin
minta bayaran di muka."
Aku tertegun. Namun aku percaya kepada Ibu Pao. Dengan
berbagai cara aku telah mengujinya, dan memang kurasa aku
dapat mempercayainya, seperti selama ini telah diceritakannya
sejumlah rahasia kepadaku dan karena itu tak akan pernah dapat
kuungkap kembali, termasuk dalam penulisan riwayatku yang
dimaksudkan selengkap-lengkap dan serinci-rincinya ini.
Begitulah Ibu Pao beranjak ketika tiga wanita penghiburnya sudah
selesai menjalankan tugas, mabuk, dan menyanyi-nyanyi. Ia minta
diberitahu jika aku dan Yan Zi jadi pindah dari Penginapan Teratai
Emas, dan aku berjanji akan memberitahunya karena memang
melihat peluang yang bagus.
Cahaya temaram ketika Ibu Pao dan ketiga wanita penghiburnya
menghilang di ujung jalan dan lentera-lentera mulai menyala. Dari
ujung jalan yang sama tampak Yan Zi menyeruak keramaian
dengan kepala tertunduk. Aku menghela napas panjang. Kami memang tidak pernah bicara
lagi tentang Elang Merah, tetapi kepergiannya telah menyebabkan
rasa kehilangan yang sangat mendalam.
283 "Kita telah mendapatkan jejak Harimau Perang," katanya.
Aku tidak mengucapkan sepatah kata. Namun pandanganku
tentunya tampak bertanya-tanya.
Yan Zi kemudian bercerita. Kata-katanya meluncur seperti cara
bicara orang-orang Negeri Atap Langit.
SEPERTI cara bicara orang Negeri Atap Langit, kata-katanya
tumpah seperti air hujan.
"Aku mengikuti mereka berdua sepanjang jalan besar sampai ke
halaman kuil orang-orang Ta ch'in 1. Saat itu muncul seseorang
dari kuil orang-orang Muhu 2 yang ciri-cirinya seperti yang selama
ini dikau sebutkan sebagai Harimau Perang, meski dikau belum
pernah berhadapan muka dengannya. Ia tampak tinggi dan tegap
seperti orang-orang hu jen 3. Rambutnya panjang sampai ke
punggung, dengan dua pedang melengkung panjang saling
melintang. Mereka bicara sebentar dan kedua orang itu lantas
pergi lagi. Aku tidak mengikuti mereka karena kutahu dirimu bisa
berada di sini karena mengikuti jejak Harimau Perang ini. Ia masuk
lagi ke dalam kuil Muhu itu setelah menoleh ke sana dan kemari,
yang memperkuat dugaanku sebagai orang yang bergerak dalam
jaringan rahasia. Kurasa ia pun mengamati keberadaanku di
284 halaman itu, maka aku pun berjalan terus sampai ke Kuil Dao di
petak sebelahnya dan berbelok masuk lorong ke utara, sehingga
hilang dari pandangannya, tetapi waktu aku mau kembali lagi


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulihat dari dalam lorong ia melangkah di jalan besar ke arah barat.
Mau ke mana" Aku segera menuju ke ujung lorong setelah ia
menghilang. Aku bermaksud mengikutinya, tetapi aku tahu dia
akan berhadapan dengan tembok kota dan hanya akan berbelok
ke selatan atau ke utara. Jadi kutunggu dia sampai ke ujung jalan,
dan setelah itu aku harus mengikutinya dengan cara lain. Ya, aku
hanya berani mengintai dengan sebelah wajah keluar dari tembok
tempat kuil Buddha di pojok petak paling barat itu, untungnya para
bhiksu berseliweran tanpa peduli, karena orang yang kuduga
Harimau Perang itu tentu waspada sekali. Ia menuju ke utara, dan
pilihannya atas jalan di samping tembok kota itu pun cerdik sekali
karena memang sepi. Biasanya orang menghilangkan jejak di
tempat ramai, tapi orang itu akan sulit mengetahui siapa di antara
orang banyak yang mengikutinya. Di tempat sepi, memang tampak
jelas ia berjalan menuju ke mana, tetapi ia juga akan tahu dengan
pasti siapa yang mengikutinya!"
YAN ZI bicara tanpa putus.
"Aku tidak mungkin mengikuti di belakangnya, dan bila lengah
sedikit sudah pasti dia akan berkelebat menghilang. Padahal,
285 mengikuti dari atas atap rumah yang satu ke atap rumah yang lain
juga sulit kalau masih terang benderang seperti tadi. Jadi, masih di
lorong tempat aku mengintip, aku berbalik dan melesat ke ujung
sebaliknya di utara. Kutunggu sambil mengintip ke arah barat di
sebelah kiri, ternyata ia memang tampak lewat di ujung lorong dan
lantas hilang lagi. Aku harus mendahuluinya di balik tembok petak
yang dilaluinya. Sekali lagi aku mengikutinya dengan cara yang
sama, tetapi ia tidak muncul lagi di lorong ketiga. Ia tidak mungkin
menuju lorong keempat yang merupakan sudut barat laut
Chang'an, karena petak di sudut itu kosong tanpa bangunan apa
pun. Mungkinkah ia masuk ke kuil Muhu lain yang ada di situ, yang
juga dikenal sebagai kuil para Pemuja Api" Apakah aku berjalan
langsung ke barat tanpa tahu apa yang aku temukan, atau ke
selatan lagi dan berbelok ke barat dan menuju ujung lorong tempat
dia tadi menghilang" Bagaimana kalau ia menungguku di ujung
lorong itu" Kuambil pilihan kedua tetapi kucabut pedangku, siap
menghadapi segala serangan mendadak dan tersembunyi.
Ternyata lorong itu sepi, aku melesat lagi dengan pedang terhunus
ke gerbang petak tempat terdapatnya kuil Pemuja Api itu. Aku
hanya berani mengintip dari tepi gerbang karena siapa pun di
dalam kuil akan tahu jika ada seseorang menampakkan diri di
depan gerbang. Saat itu kulihat kelebat terakhir rambutnya yang
panjang dan kedua pedang lengkungnya yang menyilang
286 menghilang ditelan kegelapan kuil. Mengetahui dirinya sudah
masuk aku baru berani dengan cepat melewati gerbang, langsung
menuju kuburan yang berada di balik kuil Buddha di seberangnya,
Cinta Bernoda Darah 10 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 8
^