Pencarian

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 19

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 19


Kanigara menjadi geli mendengar jawaban itu. Juga
Pandan Alas tertawa.Sahutnya, "Tak seorangpun yang
mampu melepaskan diri dari deretan nama-nama Sima
Rodra, Bugel Kaliki, Janda Sima Rodra uda dan Jaka Soka
beserta laskarnya. Tetapi kau mampu melakukan itu
Mahesa Jenar" Mahesa Jenar tersenyum kecut. Jawabnya, "Aku memang
hanya mempunyai keahlian menyembunyikan diri"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sekali lagi mereka yang mendengarnya menjadi tertawa.
Tetapi punggung Mahesa Jenar sendiri telah dipenuhi
keringat dingin yang mengalir dengan derasnya.
Karena itu, duduknya menjadi gelisah.
Apalagi, ketika Ki Ageng Pandan Alas bertanya, "Mahesa
Jenar, setelah kau berhasil membebaskan anak itu, apakah
yang akan kau lakukan?"
Kembali Mahesa Jenar terbungkam. Ia sama sekali tidak
menduga bahwa Ki Ageng Pandan Alas akan bertanya
demikian. Pertanyaan yang menyulitkan. Sebenarnya,
apabila hatinya benar-benar terbuka ia bahkan mendapat
suatu jalan untuk mengemukakan isi hatinya. Tetapi,
meskipun Mahesa jenar sama sekali tidak gentar
menghadapi senjata yang bagaimanapun tajamnya, namun
berbicara tenatng seorang gadis, ia menjadi gemetar.
Tetapi, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sama sekali
tidak mereka duga. Mahesa Jenar tidak, Kanigara tidak,
bahkan Pandan Alas pun tidak.
Pada saat itu, meskipun pembicaraan itu memerlukan
hampir segenap perhatian mereka, namun mereka masih
mendengar gemerisik daun kering yang tersentuh kaki.
Karena itu, segera perhatian mereka teralih. Meskipun
mereka masing-masing tetap pada sikap semula seolah-olah
tidak terjadi sesuatu, namun orang-orang sakti itu telah
menyiapkan diri masing-masing apabila ada sesuatu yang
terjadi. Mereka bertiga bertambah terkejut ketika melihat
sesuatu dengan tangkasanya meloncat berdiri di hadapan
Mahesa Jenar. Seorang yang gagah tampan. Berbaju sutera
dan berkain lurik. Meskipun di dalam gelap malam, namun
tampaklah berkeredipan permata-permata intan berlian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang terpahat pada timang ikat pinggangnya. Orang itu
adalah Sarayuda, seorang Demang yang kaya raya.
"Kau Sarayuda" sapa Pandan Alas
"Ya Ki Ageng" jawabnya singkat
"Aku kira kau telah kembali" Pandan Alas meneruskan.
"Tidak guru. Aku merasa bahwa pekerjaanku belum
selesai" jawab Sarayuda pula, "aku mengira bahwa Pudak
Wangi masih berada di daerah ini. Ketika aku emndengar
suara tembang Ki Ageng Pandan Alas, akupun tahu
maksudnya. Ternyata Mahesa Jenar yang perkasa inipun
benar-benar datang menemui guru"
Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam. Dirinyalah
sekarang yang berada dalam puncak kesulitan. Ia tahu
benar hubungan yang belit-membelit antara satu-satunya
cucu yang sangat disayanginya, murid pertama yang
dikasihaninya dan Mahesa Jenar seorang yang dikenal
sebagai ksatria yang utama, bahkan yang telah
menyelamatkan cucunya dari tangan Jaka Soka sampai dua
kali dalam pengertiannya. Meskipun ia pernah merasa
kecewa terhadap sikap Mahesa Jenar yang perasaannya
mudah patah dalam hubungan itu, namun ia tidak pernah
benar-benar marah dan melepaskan perasaan kagumnya.
Tetapi muridnya itu pun merupakan harapan masa datang
bagi perguruannya di samping Pudak Wangi sendiri.
Sekarang ia melihat suatu benturan perasaan telah
terjadi. Apalagi ketika tiba-tiba ia mendengar Sarayuda
berkata, "Guru, apakah Guru sudah menyatakan kepada
Mahesa Jenar, agar Pudak Wangi dikembalikan kepada
perguruan Pandan Alas?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pandan Alas menjadi bingung. Sedang Mahesa Jenar dan
Kanigara menjadi tidak begitu senang melihat sikap itu.
Dalam kecemasannya, kemudian Pandan Alas berkata,
"Sarayuda, biarlah kita bicarakan segala sesuatunya dengan
baik. Bukankah kita sudah tidak mempunyai pekerjaan
lain?" Tetapi agaknya Sarayuda tidak setuju, jawabnya, "Ki
Ageng, aku telah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku.
Dalam waktu kira-kira satu tahun, aku sudah dua kali
menemui Ki Ageng. Kali ini aku ingin semuanya selesai
dengan segera. Supaya aku dapat segera pula kembali ke
Gunung Kidul dengan suatu ketetapan hati."
"Aku mengerti Sarayuda," jawab Pandan Alas. "Tetapi
tidak perlukah kiranya kalau pembicaran kita inipun menjadi
tergesa-gesa. Sebab seandainya kau mundur satu haripun
aku kira tidak begitu besar pengaruhnya."
Sarayuda tidak dapat membantah lagi. Karena itu ia
diam, meskipun perasaannya bergetar terus.
"Duduklah Sarayuda..." Pandan Alas mempersilahkan.
Dengan gerak kosong Sarayuda duduk pula diantara
mereka. Namun tampaklah bahwa ia gelisah.
"Ki Ageng Pandan Alas..." kata Mahesa Jenar kemudian,
"Maafkanlah bahwa aku tidak dapat mempersilahkan Ki
Ageng pada tempat yang lebih baik, sebab aku pun orang
asing di sini." "Tidak apalah Mahesa Jenar," sahut Pandan Alas. Tetapi
disamping itu terasa kaki Kanigara menginjak kaki Mahesa
Jenar. Katanya, "Akulah tuan rumah di sini. Karena itu kalau
tuan-tuan sudi, marilah aku persilahkan singgah di
pondokku." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Yang cepat-cepat menjawab adalah Sarayuda, katanya,
"Terimakasih Putut Karang Jati, bukankah namamu Putut
Karang Jati" " "Ya, ya Tuan," jawab Kanigara.
"Tak ada bedanya. Di sini atau di pondokmu," sambung
Sarayuda. Pandan Alas yang sedianya akan memenuhi ajakan itu
menjadi terdiam. Tetapi kecemasannya semakin membelit
hati. Ia berpikir keras untuk dapat menyelesaikan masalah
cucunya dengan baik, tanpa suatu singgungan perasaan di
kedua belah pihak. Tetapi rasa-rasanya tidaklah mungkin.
Meskipun demikian ia harus berusaha.
"Ki Ageng..." desak Sarayuda kemudian, "Marilah kita
bicarakan apa yang seharusnya kita bicarakan, meskipun
bagiku tak ada lagi persoalan. Bagiku hanyalah ada satu
permintaan yang aku tujukan kepada yang terhormat,
Kakang Mahesa Jenar, untuk menyerahkan murid
perguruan Pandan Alas kepada yang berhak."
Sekali lagi perasaan Ki Ageng Pandan Alas terguncang.
Namun iapun menyambung, "Mahesa Jenar, aku belum
mendengar jawabmu. Apakah yang akan kau lakukan,
setelah kau berhasil membebaskan cucuku dari tangan Sima
Rodra dan Bugel Kaliki?"
"Tidak demikian Ki Ageng...." Sarayuda menyanggah. Ia
merasa bahwa kata-kata gurunya itu terlalu menguntungkan Mahesa Jenar, sambungnya, "Itu terlalu
berlebih-lebihan. Kecuali kalau Ki Ageng bermaksud untuk
terlalu berendah diri. Sebab ketika Mahesa Jenar membawa
Pudak Wangi, tak seorang pun dapat menghalangi. Sima
Rodra tua dan Bugel Kaliki terikat dalam pertempuran
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan Ki Ageng, sedang janda Sima Rodra muda dan Jaka
Soka bertempur melawan aku."
Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam. Ia
tahu benar adat muridnya. Sebagai seorang Demang di
daerahnya, segala kemauannya hampir tak terbantah.
Mendengar sanggahan muridnya itupun Pandan Alas hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu Mahesa Jenar dan Kanigara
menjadi semakin tidak senang terhadap kata-kata
Sarayuda, meskipun mereka berdua dapat mengerti
sepenuhnya, bahwa semuanya itu terdorong oleh suatu
perasaan ketakutan. Takut akan kehilangan adik seperguruannya, cucu gurunya. Tetapi bagaimanapun juga
hati Mahesa Jenar menjadi kalut. Kalau Demang yang kaya
raya itu tidak dapat dicegah tindakannya, sehingga ia
berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya, maka ia tidak tahu
apa yang seharusnya dilakukan. Dengan keadaan yang
sekarang, maka Sarayuda bukanlah lawannya. Tetapi kalau
sampai Sarayuda dikalahkannya di hadapan gurunya
sendiri, maka akibatnya akan lain. Ki Ageng Pandan Alas
pasti tidak dapat menyaksikan kekalahan muridnya.
Bagaimanapun juga perguruan Pandan Alas pasti mempunyai harga diri. Kalaupun terjadi demikian,
perasaannyapun akan tersayat pula. Sebab terhadap dirinya
sendiri ia tidak dapat mengingkari. Ia tidak ingin
melepaskan Pudak Wangi kali ini.
Dalam pada itu, angin malam berhembus lemah. Di langit
bintang gemintang gemerlapan tiada henti-hentinya. Sekali
dua kali tampaklah seleret bintang berpindah tempat
menggores langit. Sekejap saja, lalu lenyap terbenam dalam
pelukan selembar awan. Suara jengkerik masih saja
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bersahutan di sela-sela kemersik daun kering yang
diterbangkan angin pegunungan.
Keempat orang yang duduk saling berhadapan itu untuk
beberapa saat saling berdiam diri. Mereka masing-masing
tenggelam dalam angan-angannya sendiri.
Yang mula-mula memecahkan kesepian adalah Sarayuda,
"Masihkah ada yang kau nanti Kakang Mahesa Jenar"
"Tidak ada," jawab Mahesa Jenar kosong.
"Kalau demikian, marilah, serahkan Pudak Wangi kepada
gurunya," sahut Sarayuda.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia
menjadi bingung. Tetapi akhirnya ia berkata kepada Ki
Ageng Pandan Alas, "Ki Ageng, Pudak Wangi adalah cucu Ki
Ageng, dan murid Ki Ageng. Karena itu yang paling berhak
menentukan adalah Ki Ageng sendiri."
"Bagus..." sahut Sarayuda tiba-tiba, "Sekarang kita
nantikan putusan Ki Ageng Pandan Alas."
Pandan Alas menjadi bertambah bingung. Benar-benar ia
dihadapkan pada satu keharusan memilih yang amat sulit,
seperti ceritera tentang buah bersayap yang jatuh
dipangkuan seorang gadis. Dimakan bapa mati, tidak
dimakan ibu mati. Tetapi kemudian Pandan Alas menemukan persoalan
yang sewajarnya. Karena itu ia ingin berbicara wajar, tidak
dengan aling-aling. Ia tahu benar bahwa masalah yang
dikemukakan Sarayuda pun sebenarnya bukan masalah
perguruan, tetapi terlalu bersifat pribadi.
Maka kemudian ia ingin menerapkan persoalannya pada
tempat yang sebenarnya. Katanya, "Anakku berdua.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sarayuda dan Mahesa Jenar. Marilah kita berbicara antara
hati, perasaan dan pikiran. Marilah kita berbicara dengan
bahasa yang sewajarnya. Aku, sebagai seorang yang telah
kenyang berjemur panas matahari, pernah juga merasakan
betapa kisruhnya perasaan yang sedang bergulat melawan
pikiran. Nah, kalian berdua, kenapa kalian tidak berterus
terang saja, bahwa kalian berdua sama-sama menghendaki
Pudak Wangi, bukan sebagai murid Pandan Alas tetapi
sebagai seorang gadis yang bernama Rara Wilis...?"
Kata-kata itu langsung menusuk perasaan Mahesa Jenar
dan Sarayuda. Mereka menjadi terdiam karenanya. Sebab
apa yang dikatakan oleh orangtua itu adalah hakekat dari
perasaan mereka masing-masing.
Kanigara yang mendengarkan pembicaraan itu menjadi
tersenyum kecil. Ia memuji di dalam hati kebijaksanaan Ki
Ageng Pandan Alas, yang dapat melepaskan diri dari
persoalan yang sulit. Tetapi dengan demikian ada juga
bahayanya. Sebab apabila persoalan mereka menjadi keras,
sulitlah dihindarkan. Karena dengan demikian Ki Ageng
Pandan Alas telah menghadapkan kedua orang itu
langsung. Tetapi kemudian Ki Ageng Pandan Alas melengkapi
pendapatnya, "Anakku berdua... kalau kalian setuju dengan
pendapatku maka keputusan terakhir tidak ada padaku.
Sebab masalahnya bukan masalah antara guru dan murid.
Menurutku pendapatku, keputusan terakhir berada di
tangan Wilis sendiri."
Hati Mahesa Jenar dan Sarayuda bergetar bersama-
sama. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Pandan Alas.
Tetapi dengan demikian Sarayuda merasa aneh terhadap
sikap gurunya. Bagi Pandan Alas, Mahesa Jenar adalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang lain. Orang yang dijumpainya di perjalanan hidup
tanpa sentuhan-sentuhan tertentu seperti beribu-ribu orang
lainnya. Dirinya adalah murid orang tua itu. Murid yang
sudah bertahun-tahun menyerahkan diri serta masa
depannya kepadanya. Sekarang, dalam persoalan ini,
gurunya itu sama sekali tidak memberikan keuntungan
apapun kepadanya. Sebab Ki A geng Pandan Alas itu seolah-


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

olah sudah tidak mau turut mencampuri masalah itu.
Karena itu, bagaimanapun juga timbullah suatu tuntutan
batin, bahwa seharusnya gurunya itu berada di pihaknya.
Sebab apabila demikian masalahnya akan mudah sekali.
Mahesa Jenar harus mengembalikan Pudak Wangi.
Seterusnya Pandan Alas menyerahkan Pudak Wangi
kepadanya. Tuntutan batin itu sedemikian kuatnya sehingga akhirnya
ia tidak dapat merendamnya lagi. Maka kemudian
meledaklah kata-katanya, "Ki Ageng Pandan Alas,
sebenarnya Ki Ageng dapat mempermudah persoalan ini.
Meskipun apa yang dikatakan Ki Ageng Pandan Alas itu
benar seluruhnya, bahwa hakekatnya, masalahnya adalah
masalah pribadi. Namun keputusan Ki Ageng pun akan
merupakan keputusan yang menentukan. Pudak Wangi
tidak akan menanyakan banyak masalah bila Ki Ageng
menjatuhkan keputusan. Sedang Mahesa Jenar pun tidak
akan mengganggu gugat. Dalam segala bentuk."
Dada Kanigara berdesir. Apa yang diduganya agaknya
akan menjadi kenyataan. Sarayuda rupanya sudah terlalu
sulit untuk mengendalikan kata-katanya yang memancarkan
kesulitan pula untuk mengendalikan perasaannya. Sedang
Mahesa Jenar sedang berusaha untuk menenangkan
dirinya. Meskipun ia tidak begitu senang mendengar segala-
galanya, baik sikap maupun kata-kata Sarayuda. Namun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
karena ia mempunyai keyakinan yang semakin teguh
tentang dirinya maka dipandangnya Sarayuda semakin lama
semakin bertambah kecil. Justru karena itulah maka akhirnya ia merasa bahwa ia
sama sekali tidak perlu melayani. Karena itulah maka
Mahesa Jenar menjadi semakin tenang.
Sebaliknya, Pandan Alas merasa bahwa Sarayuda telah
mendesaknya untuk mengambil keputusan sesuai dengan
kehendaknya sendiri, serta berusaha untuk memaksanya
menyingkirkan Mahesa Jenar dengan kekerasan. Sehingga
dengan demikian ia menjadi semakin cemas.
Apalagi ketika Sarayuda mendesaknya pula, "Masih
adakah yang meragukan Ki Ageng...?"
Sarayuda.... jawab Ki Ageng Pandan Alas, Kalau demikian
maka soalnya memang sangat sederhana. Tetapi
masalahnya lain. Tidak sesederhana itu. Pudak Wangi
adalah seorang seperti kita, mempunyai perasaan. Ia
barangkali memang tidak akan menanyakan dengan hati
terbuka. Mungkin ia akan menjalani keputusan itu hanya
sekadar sebagai cucu atau murid yang patuh. Kalau
demikian maka hidup anak itu seterusnya akan menjadi
kering tanpa cita-cita dan harapan. Ia akan menjalani
kehidupan ini tanpa hati. Ia akan melihat matahari terbit
seperti memang seharusnya demikian setiap hari, setiap
pagi tanpa gairah. Serta ia akan merasa bahwa purnama di
setiap pertengahan bulan itu bukan miliknya tetapi milik
mereka yang berbahagia."
Untuk beberapa saat kemudian mereka kembali terdiam.
Kata-kata Pandan Alas adalah kata-kata yang penuh
pengalaman hidup. Penuh pengertian akan harapan, cita-
cita dan cinta. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Namun selanjutnya, cinta Sarayuda ternyata tidak dapat
membedakan ujung serta pangkal. Demikianlah arus cinta
yang bergelora di dalam dada Demang kaya raya itu.
Meskipun kata-kata gurunya itu mula-mula menggetarkan
hatinya, namun kemudian tertindih perasaan itu dengan
suatu gelora yang lebih dahsyat. Katanya, "Ki Ageng,
ternyata bijaksana. Aku tidak keberatan kalau seandainya
Adi Pudak Wangi yang harus menentukan, siapakah
diantara kita yang dikehendakinya. Namun demikian
seterusnya ia harus mempertimbangkan pula ketenteraman
diri. Karena itulah Pudak Wangi harus menilai, kecuali
kenangan atas masa lalu serta harapan dan cita-cita bagi
masa datang. Juga harus dipertimbangkan apakah kita
masing-masing akan dapat melindungi dirinya."
Beberapa titik keringat dingin telah mengalir di punggung
Ki Ageng Pandan Alas. Namun demikian ia merasakan
kebenaran kata-kata Sarayuda sebagai laki-laki, meskipun ia
tidak seluruhnya melihat keharusan penjelasan yang
sedemikian. Kalau saja Pudak Wangi dapat melihat manfaat
dari keunggulan ilmu, maka soalnya akan dapat dipecahkan
dengan cara sedemikian. Tetapi ia sudah tidak dapat melihat cara lain, yang harus
diyakinkan adalah, bahwa dengan demikian soalnya harus
selesai. Tanpa perasaan dendam dan benci.
Karena bagaimanapun, Sarayuda adalah muridnya. Ia
bergaul dengan muridnya itu sejak Sarayuda menjelang
dewasa. Ia telah bekerja keras agar muridnya kelak dapat
memanfaatkan ilmu yang diturunkan itu sebaik-baiknya.
Kalau saja muridnya dan Mahesa Jenar dapat menepati
cara penjelasan itu dengan jujur, serta Pudak Wangi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyetujuinya serta melihat manfaatnya. Tetapi apakah
demikian ..." Dalam saat-saat ia mempertimbangkan segala segi yang
mungkin terjadi, terdengarlah Sarayuda mendesaknya,
"Bukankah usulku adil?"
Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas panjang. Ia
memandang muridnya dengan tajam, seolah-olah melihat
apakah ia sudah siap. Pada saat-saat terakhir memang ia
selalu menambah beberapa pokok pengetahuan kepada
Sarayuda untuk menambah kekuatannya lahir dan batin.
Kalau sampai ditempuh jalan yang dikehendaki, adakah ia
tidak akan memalukan" Mula-mula ia merasa bahwa
Mahesa Jenar yang dilihatnya pada saat ia membebaskan
Pudak Wangi adalah luar biasa. Tetapi kemudian ia
mempertimbangkan juga pendapat Sarayuda. Meskipun ia
tidak menutup mata bahwa sebenarnya Mahesa Jenar telah
mencapai tingkatan yang lebih tinggi, namun benar-benar
pada saat itu orang-orang lain sedang terikat di tempat
masing-masing. Setelah Pandan Alas mempertimbangkan beberapa segi
dan kemungkinan, kemudian ia ingin menawarkan usul
Sarayuda kepada Mahesa Jenar dan Pudak Wangi.
Mahesa Jenar sendiri pada saat itu dihinggapi pula oleh
berbagai perasaan. Tetapi bagaimanapun ia harus
mengambil suatu ketetapan. Tetapi belum lagi ia dapat
suatu keputusan apapun, terdengarlah Pandan Alas
bertanya kepadanya, "Anakmas Mahesa Jenar, bagaimanakah pertimbanganmu atas usul Sarayuda?"
Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Kemudian
dijawabnya perlahan sekali, "Ki Ageng, aku masih
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyangsikan apakah seseorang dapat mempengaruhi
perasaan yang paling dalam dengan berkelahi."
Mendengar jawaban itu, Sarayuda terkejut, sehingga ia
terloncat berdiri. Katanya, "Jangan berpura-pura Mahesa
Jenar. Kau adalah murid utama almarhum Pangeran
Handaya-ningrat yang bergelegar Ki Ageng Pengging
Sepuh. Buat apa kau berguru kepadanya kalau kau tidak
melihat manfaatnya orang berkelahi?"
"Sarayuda...." jawab Mahesa Jenar. "Aku memang
melihat manfaat orang berkelahi. Aku juga melihat bahwa
orang dapat memaksakan kehendaknya dengan berkelahi.
Dengan keunggulan ilmu tata pertempuran. Tetapi manfaat
itu hanyalah manfaat lahiriah. Tetapi katakan kepadaku
Sarayuda yang perkasa, dapatkah kau mengubah ketetapan
hati seseorang atau suatu hubungan perasaan dengan
perkelahian" Sarayuda... hubungan yang ada diantara kita
adalah hubungan yang saling bertali. Seandainya,
seandainya Sarayuda... Seandainya seseorang terpaksa
memilih salah satu diantara kita karena keunggulannya,
tetapi sebenarnya hatinya terikat kepada yang lain, apa
katamu" Aku tidak mau, meskipun kemudian aku terpilih.
Aku tidak mau menerima seseorang hanya ujud
jasmaniahnya, tanpa hati dan perasaan pasrah yang tulus."
"Omong kosong!" potong Sarayuda lantang. "Sejak
kapan hatimu menjadi sekecil hati perempuan" Agaknya
kau seorang yang mendamba cinta sebagai mahkota
bidadari di sorga yang mulus tanpa cela. Mahesa Jenar, aku
bukan seorang yang cengeng, yang merajuk dalam
bercinta. Sejak dewasa, di pinggangku telah tergantung
pedang perguruan Pandan Alas. Dengan pedang aku
mendapat kekuatan di Gunung Kidul. Sekarang, dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pedang pula aku ingin melengkapi kamuktenku. Dengan
pedang aku ingin menemukan cinta."
Suara Sarayuda bergetar seperti guruh yang menggelegar di lereng pegunungan, berkumandang
melingkar-lingkar di lembah-lembah sekitarnya. Kata-kata
yang diucapkan itu adalah tekad yang sudah tak dapat
ditawar lagi. Mendengar kata-kata yang terucapkan oleh mulut
Sarayuda itu semuanya jadi terdiam. Pandan Alas, Mahesa
Jenar dan Kanigara seolah-olah terpesona oleh pancaran
perasaan mereka atas peristiwa itu agak berlainan. Pandan
Alas, gurunya, tiba-tiba menjadi berbangga hati melihat
ketetapan hati muridnya yang penuh kejantanan. Wanita
bagi seorang laki-laki adalah tidak ubahnya pusaka, yang
kalau perlu rela bertaruh nyawa.
Kanigara dan Mahesa Jenar pun mula-mula mengaguminya. Tetapi kemudian sebagai laki-laki berhati
jantan, tersentuhlah perasaan mereka. Karena itulah maka
dada Mahesa Jenar bergelora hebat. Hampir ia melepaskan,
perhitungan untuk memenuhi kepuasan hatinya. Sedangkan
Kanigara menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh
Sarayuda sudah terlalu sukar untuk mendapat perubahan
bentuk. Ia sudah bertekad bulat, apapun yang akan terjadi.
Demikianlah Sarayuda berdiri dengan gagahnya pada
kedua kakinya yang kokoh kuat. Satu tangannya tergantung
di sisi tubuhnya, sedang tangannya yang lain melekat di
hulu pedangnya. Dengan suatu keyakinan yang pasti ia
menanti akibat dari kata-katanya.
Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan. Pada saat
Mahesa Jenar sedang berjuang untuk tidak tenggelam
dalam arus perasaannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lirih tertahan. Alangkah terkejut mereka yang mendengar
suara itu. Hampir saja keempat orang bersama-sama
bergerak dalam satu kejapan mata menghadap ke arah
suara itu. Diantara mereka yang mula-mula berteriak adalah
Kanigara. Suaranya lantang mengandung penjelasan, "Kau
Karang Tunggal.... Agaknya penyakitmu kambuh lagi.
Datanglah kemari." Mendengar nama itu disebutkan, Mahesa Jenar terkejut
pula. Apalagi ketika ia melihat dua anak muda muncul dari
balik gerumbul di sebelah. Anak muda itu adalah Putut
Karang Tunggal dan Arya Salaka. Dengan tunduk ketakutan
mereka berjalan mendekati Kanigara. Sedang tangan
Karang Tunggal masih melekat di mulutnya.
Dengan suara gemetar menahan marah, Kanigara
berkata, "Apa yang kau lakukan itu Karang Tunggal" Aku
kira kau telah benar-benar sembuh dari penyakitmu.
Melihat sikapmu beberapa bulan terakhir aku sudah senang.
Tetapi agaknya kau belum dapat melupakan kelakuanmu
yang keterlaluan itu."
Karang Tunggal dan Arya Salaka masih diam ketakutan.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada
muridnya, "Kenapa kau datang kemari Arya...?"
Arya Salaka menjadi gemetar. Ia belum melupakan
kelakuan gurunya yang tiba-tiba berubah menjadi kasar
setelah mereka berada di dalam goa, tetapi sebelum ia
menjawab, terdengar suara Putut Karang Tunggal
menyahut, "Adi Arya Salaka tidak bersalah, Paman. Akulah
yang membawanya kemari. Tetapi aku sama sekali tidak
sengaja mengintip pertemuan ini."
"Tutup mulutmu!" bentak Sarayuda yang hatinya lebih
parah dari semuanya. Tidak hanya Karang Tunggal yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terkejut mendengar bentakan itu, tetapi juga semua yang
hadir. Kanigara yang semula akan marah kepada Karang
Tunggal, tiba-tiba menjadi urung. Sebab bagaimanapun ia
sama sekali tidak senang kalau ada orang yang
membentak-bentak kemenakannya itu.
Karang Tunggal ternyata benar-benar mempunyai sifat
yang aneh. Kalau mula-mula Mahesa Jenar melihat sikapnya
yang halus sopan itu agaknya seperti apa yang dimaksud
oleh Kanigara sebagai penyakit yang setiap saat dapat
kambuh kembali. Sebab ternyata ketika Sarayuda
membentaknya, justru ia mengangkat wajahnya. Karena itu
segera ia tunduk kembali dan dengan sudut matanya ia
memandang mata Kanigara. Kanigara yang kecewa atas kelancangan Sarayuda,
kemudian menjadi acuh tak acuh. Ia tidak jadi mencegah
kemenakannya untuk tidak berbuat yang aneh-aneh.
Bahkan kemudian dengan tidak peduli ia duduk kembali.
Mahesa Jenar mengerti perasaan yang bergetar di dalam
hati Kanigara. Karena itu ia menjadi bertambah gelisah.
Jangan-jangan persoalannya menjadi lain. Meskipun ia juga


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyesali tindakan Sarayuda yang berlebihan itu.
Ki Ageng Pandan Alas terkejut pula mendengar Sarayuda
membentak Karang Tunggal justru pada saat orang yang
menyebut dirinya Karang Jati, yang pasti mempunyai
hubungan satu sama lain itu sedang marah pula kepada
anak muda itu. Ia mengerti sepenuhnya seperti Mahesa
Jenar juga, kenapa Kanigara kemudian menjadi acuh tak
acuh. Karena itu segera ia mencoba mencegah hal-hal yang
tak diinginkan, katanya, "Sudahlah Sarayuda. Serahkanlah
anak itu kepada yang berwenang. Bukankah Karang Jati
dapat mengajarnya untuk tidak mengganggu kita lagi?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi agaknya pikiran Sarayuda telah benar-benar
kacau. Sebab kemudian ia menjawab, "Putut Karang Jati itu
hanya dapat membentak-bentak marah saja, tetapi ia tidak
dapat berbuat sesuatu terhadap orangnya yang sudah
berbuat salah. Bukankah ia mengintip dan kemudian
menertawa-kan aku" Menertawakan kata-kataku...?" Kemudian kepada Kanigara ia berkata, "Karang Jati,
dapatkah kau sedikit memberi pelajaran kepada orangmu
itu" Atau barangkali kau perlu bantuanku?"
Kata-kata itu semakin tidak menyenangkan perasaan
Kanigara. Maka dijawabnya kata-kata Sarayuda dengan
berterus terang, "Tuan, mula-mula aku marah kepada
anakku. Tetapi aku kecewa kepada sikap Tuan, bahwa Tuan
ikut memarahinya." Sarayuda menjadi tersinggung perasaannya. Ia telah
biasa marah kepada setiap orang yang tidak memenuhi
perintahnya, di daerahnya. Karena itu, ketika ia mendengar
jawaban Kanigara yang berterus terang menyesalinya itu, ia
sama sekali tidak mau mendengarkan. Bahkan dengan
semakin marah ia berkata, "Lalu apa maumu" Mestikah aku
membiarkan anak yang katamu anakmu itu menghina aku"
Menertawakan aku" Baiklah katakan kepadaku bahwa kau
tidak mampu mengajarnya. Dan, katakan pula kepadaku
bahwa kau perlu bantuanku untuk mengajarnya. Ayo...
katakan supaya aku tidak kau anggap salah lagi kalau aku
mengajarnya sedikit kesopanan."
Kanigara menganggap bahwa kata-kata Sarayuda itu
sudah berlebih-lebihan. Karena itu bagaimanapun ia
menyabarkan diri namun ia menjadi jengkel pula
karenanya. Maka kemudian dijawabnya. "Terserahlah
kepada Tuan, kalau Tuan mempunyai waktu untuk
mengajarnya. Itu kalau Tuan merasa mampu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dada Mahesa Jenar berdesir mendengar jawaban
Kanigara, sebab dengan demikian berarti bahwa ia
mengijinkan Karang Tunggal melayani Sarayuda. Bagi
Mahesa Jenar ada dua hal yang menggelisahkan. Pertama,
apakah Karang Tunggal tidak akan mengalami cidera, sebab
pada saat itu Sarayuda sedang dalam puncak kemarahannya, sehingga sulitlah baginya untuk mengendalikan dirinya, meskipun ia hanya berhadapan
dengan anak-anak. Kedua, bagaimanakah pendapat
Panembahan Ismaya yang sama sekali tak menghendaki
adanya kekerasan. Apalagi dilakukan oleh seorang yang
selalu berada di dekatnya, Putut Karang Tunggal.
Tetapi ia tidak dapat berpikir lebih jauh, sebab pada saat
itu terdengarlah Sarayuda tertawa, meskipun sama sekali
bukan karena perasaan gembira. Di sela-sela tertawanya ia
berkata, "Baiklah, sekarang kau yang menghina aku. Kau
sangka aku tidak mampu mengajar anakmu. Meskipun
andaikata anakmu kekasih dewa-dewa."
Tak seorang pun dapat mencegahnya lagi. Ki Ageng
Pandan Alas pun tidak. Apalagi memang orang tua itu tidak
berusaha mencegahnya, ketika ia mendengar Kanigara
meragukan kemampuan muridnya. Hanya saja ia selalu
waspada, kalau-kalau Sarayuda akan berbuat keterlaluan
terhadap Putut Karang Tunggal.
Dalam pada itu, mula-mula Karang Tunggal menjadi
ragu-ragu. Ia tidak mengerti apa maksud pamannya itu.
Sehingga dengan wajah yang bertanya-tanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip minta
penjelasan. Untuk beberapa saat Kanigara menunggu
perkembangan suasana. Ketika ia sudah tahu benar bahwa
Ki Ageng Pandan Alas tidak mencegah muridnya, maka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kemudian ia pun mengangguk kecil kepada Putut Karang
Tunggal. Putut Karang Tunggal tiba-tiba menjadi gembira sekali.
Matanya yang bulat bercahaya itu menjadi berseri-seri.
Sejak mengunjungi pamannya di bukit kecil itu, ia merasa
sangat terkekang. Ia mulai dapat melemaskan tulang-
tulangnya ketika ia mendapat kawan bermain, Arya Salaka.
Tetapi apa yang dilakukan adalah sangat terbatas, sekarang
ia mendapat kawan bermain. Barangkali dengan orang itu ia
akan dapat bertindak lebih leluasa lagi.
Meskipun demikian dengan tersenyum-senyum ia
mengangguk hormat kepada Sarayuda yang sudah mulai
melangkah mendekatinya dengan gigi yang gemeretak dan
mulut terkatup rapat. Katanya, "Tuan, yang dipinggangnya
tergantung perguruan Pandan Alas... perkenankan aku
minta maaf. Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud
menertawakan Tuan. Hanya karena kelakuan Tuan-lah
sebenarnya, maka aku tidak berhasil menahan hati."
Hati Sarayuda yang sedang marah, mendengar kata-kata
itu seperti disiram api. Telinganya seketika menjadi panas,
dan bibirnya bergetaran. Mahesa Jenar tidak menduga sama sekali bahwa Putut
Karang Tunggal akan berkata demikian, sehingga hampir
saja ia melangkah maju untuk mencegahnya. Tetapi
diurungkan ketika Kanigara menggamit tangannya sambil
menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian hati Mahesa
Jenar menjadi sangat berdebar-debar. Ia telah melihat
persoalannya membelok dari arah semula. Sebab sebelum
hal ini terjadi, ia masih dapat mengerti tuntutan perasaan
Sarayuda. Tetapi kemudian agaknya ia sudah dikendalikan
oleh nafsu yang terlepas dari pengamatan pikiran.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sarayuda yang sudah berada dalam puncak kemarahannya itu, segera meloncat dan menampar mulut
Karang Tunggal dengan suatu gerakan yang cepat sekali.
Melihat gerak tangan Sarayuda, hati Mahesa Jenar berdesir.
Sebab gerakan itu sedemikian cepat sehingga tak mungkin
untuk dihindari. Tetapi apa yang disaksikan sangat mengguncangkan
hatinya. Ia melihat pukulan itu menyambar pipi Karang
Tunggal, bahkan ia melihat suatu benturan yang keras.
Namun demikian Karang Tunggal sama sekali tak tergetar.
Bahkan dengan suatu gerak yang cepat pula ia meloncat
mundur menjauhi. Juga gerak itu sangat mengagumkan. Putut Karang Tunggal dapat bergerak
mundur dengan tangkas, seolah-olah tidak menggerakkan
anggota badannya. Demikian herannya sehingga Mahesa Jenar bergeser
maju selangkah, seolah-olah ia ingin melihat bahwa suatu
kenyataan yang aneh telah terjadi di hadapannya. Agaknya
demikian juga Ki Ageng Pandan Alas, yang memandang
perkelahian itu dengan mulut ternganga.
Sarayuda yang sedang terbakar hatinya, tidak begitu
memperhatikan kenyataan yang aneh itu. Bahkan ia
menjadi semakin bernafsu ketika ia merasa serangannya
yang pertama itu gagal. Sehingga kemudian ia pun
menyerang lebih dahsyat lagi.
Sekarang Putut Karang Tunggal telah siap untuk
menerima serangan Sarayuda, sehingga ia tidak menjadi
sasaran saja. Dengan cepat ia mengelak dan dengan cepat
pula ia membalas serangan Sarayuda dengan serangan
yang cepat pula. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang
sengit. Suatu perkelahian antara dua orang yang memiliki
kecepatan bergerak yang mengagumkan. Seperti apa yang
pernah disaksikan oleh Mahesa Jenar, Putut Karang Tunggal
dengan lincahnya menari-nari seperti melihat lawannya dari
arah yang sama sekali tak terduga-duga.
Tetapi Sarayuda bukan anak kecil yang kagum melihat
burung terbang di udara. Ia telah hampir masak dalam
ilmunya. Ilmu yang ditakuti lawan dan disegani kawan.
Apalagi ia sendiri telah menempuh pengalaman luas,
sehingga dengan demikian ilmunya menjadi bertambah
sempurna. Karena itulah maka ia sama sekali tidak menjadi
bingung. Kemana bayangan Karang Tunggal meluncur,
Sarayuda telah siap untuk menghadapinya. Bahkan semakin
lama serangannya semakin mengerikan. Kalau semula ia
masih belum mempergunakan segenap kecakapannya,
maka setelah ia bertempur beberapa lama maka dengan
sendirinya segenap ilmunya dikerahkannya pula.
Meskipun demikian apa yang dilakukan Sarayuda sama
sekali bukanlah semacam seseorang yang mengajari sedikit
kesopanan kepada Karang Tunggal. Tetapi benar-benar
telah terlibat dalam satu perkelahian dengan seorang yang
sama sekali tidak diduganya akan dapat mengimbanginya
dengan sangat baik. Karena itu Sarayuda menjadi semakin heran, marah dan
benci bercampur aduk. Ia menjadi heran karena anak itu
benar-benar tidak diduganya mempunyai kemampuan yang
sedemikian tinggi. Dan karena itulah ia menjadi marah
sekali. Ia merasa bahwa anak itu dengan sengaja telah
menghinanya dan menariknya ke dalam suatu pertentangan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itulah maka ia tidak mau lagi mengekang dirinya.
Seperti badai yang dahsyat, serangan Sarayuda kemudian
datang bergulung-gulung, mengerikan sekali.
Pandan Alas yang menyaksikan pertempuran itu dengan
mulut ternganga menjadi tersadar, bahwa masalahnya
bukanlah masalah main-main lagi. Seperti Sarayuda, ia pun
tidak mengira sama sekali bahwa anak yang nakal itu dapat
bertempur sedemikian gigihnya. Sehingga timbullah suatu
kecurigaan di dalam hatinya, bahwa ia benar-benar hanya
seorang Putut yang mengabdikan hidupnya kepada seorang
Panembahan di daerah terasing seperti Karang Tumaritis,
dimana segala sesuatunya lebih diberatkan pada masalah-
masalah rohaniah. Pandan Alas semakin curiga pula pada
orang yang mengaku bernama Karang Jati itu. Kalau saja
anaknya dapat berbuat demikian, apakah kira-kira yang
dapat dilakukan oleh ayahnya..." Karena itu mau tidak mau
Pandan Alas harus mawas diri. Meskipun sebenarnya ia
malu mencampuri perkara anak-anak, tetapi siapa tahu
kalau masalahnya menjadi berlarut-larut. Dalam pada itu ia
telah hampir melupakan Mahesa Jenar. Bahwa sebenarnya
dengan orang itulah ia berkepentingan, sehingga ia datang
ke padepokan di atas bukit kecil ini.
Sementara itu pertempuran antara Karang Tunggal yang
tidak lain adalah Mas Karebet yang juga dikenal dengan
nama Jaka Tingkir, yang telah diramalkan oleh seorang Wali
yang waskita, Sunan Kalijaga, bahwa kelak akan menduduki
tahta kerajaan, melawan murid tertua dan terpercaya dari
Perguruan Pandan Alas, yang terkenal sebagai seorang
sakti dari Klurak. Keduanya memiliki pegangan yang kuat
serta pengalaman yang luas. Karena itu semakin lama
pertempuran itu menjadi semakin dahsyat.Putut Karang
Tunggal tidak lagi nampak sebagai seorang anak muda
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang sedang tumbuh, tetapi ia benar-benar telah siap
menjadi seorang laki-laki yang lincah, tegap, kuat dan
perkasa. Sedang lawannya adalah seorang yang telah lama
menjadi seorang ternama, apalagi di daerahnya.
Mahesa Jenar lah yang pada saat itu menjadi paling
gelisah dan bingung. Tidak saja ia kagum atas apa yang
dilihatnya pada Karang Tunggal, tetapi ia bingung pula atas
perkembangan masalah yang menjurus pada hal-hal yang
sama sekali tak dikehendaki. Namun ia masih sempat
berdiri keheranan melihat gerak-gerak keturunan dari
Perguruan Sela seperti yang pernah dikenalnya dengan baik


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan yang telah disaksikan pula sewaktu Karang Tunggal
berlatih dengan Arya Salaka. Tetapi ketika pertempuran itu
menjadi semakin dahsyat, segera tampaklah berbagai
macam ilmu bercampur aduk menjadi satu dan bersenyawa
demikian serasinya, terbayang dalam gerakan Karang
Tunggal. Malahan kadang-kadang tampaklah hal-hal yang
tidak mungkin dapat terjadi. Dengan demikian ia dapat
mengetahui bahwa anak itu benar-benar memiliki ilmu yang
jauh lebih lengkap daripada apa yang pernah disaksikan.
Sedangkan yang paling mengherankan adalah, hampir
setiap serangan Sarayuda, bagaimanapun tepatnya mengenai sasaran, namun anak itu seolah-olah tidak
merasakan sesuatu yang menyentuh tubuhnya. Ditambah
lagi dengan gerak loncatnya yang aneh. Ketika Sarayuda
menyerangnya dengan garang ke arah kepala, Karang
Tunggal terpaksa merendahkan diri, sekaligus ia mendapat
serangan kaki ke arah lambung, dan sekaligus gerak yang
aneh, ia dapat melontar mundur sambil berjongkok.
Gerakan ini adalah gerakan yang sulit. Namun anak itu
dapat melakukannya dengan sederhana dan wajar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kanigara melihat keheranan yang terbayang di wajah
Mahesa Jenar. Meskipun ia nampaknya masih acuh tak acuh
saja, tetapi sebenarnya ia pun mengagumi kemenakannya
itu. Kemenakannya yang nakal dan sulit dikendalikan
sehingga ibu angkatnya Nyi A geng Tingkir menjadi bersedih
atas kelakuannya. Dengan kegemarannya pergi meninggalkan rumahnya sampai berhari-hari, bahkan
sampai berbulan-bulan menyusur hutan dan padang,
bahkan menyepi ke daerah-daerah yang tak pernah
dikunjungi manusia, menempuh daerah-daerah bahaya dan
sengaja masuk ke dalam sarang-sarang penjahat, telah
menjadikan Karebet seorang yang benar-benar tertempa
lahir dan batin. Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi untuk tetap
menyaksikan saja keperkasaan Karang Tunggal, sehingga
akhirnya ia perlahan-lahan pergi mendekati Kanigara, untuk
menanyakan beberapa hal mengenai anak yang aneh itu.
Ketika Mahesa Jenar telah berdiri di sampingnya, dengan
mata yang tak berkedip memandang perkelahian itu,
Kanigara mengetahui maksudnya. Maka sebelum Mahesa
Jenar bertanya, Kanigara telah berbisik lirih, "Apakah kau
menjadi heran?" Mahesa Jenar mengangguk. "Jangan heran..." Kanigara melanjutkan, "Meskipun aku
sendiri tidak tahu dari mana ia mendapatkannya. Tetapi ia
memiliki ilmu yang disebutnya Lembu Sekilan."
"Lembu Sekilan...?" ulang Mahesa Jenar. "Ilmu yang
pernah dimiliki oleh Empu Mada?"
"Demikian. Karena itu ia seolah-olah menjadi kebal.
Meskipun ilmu itu belum sempurna. Ia masih dapat dikenai
serangan yang cukup tajam dari ilmu yang kuat. Apalagi ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
nanti dapat menyempurnakan ilmu itu. Setidak-tidaknya
mendekati apa yang dimiliki oleh Gajah Mada. Maka ia pun
akan menjadi orang yang tak terkalahkan seperti Gajah
Mada." Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepala. Seorang
anak yang masih semuda itu telah memiliki suatu jenis ilmu
yang sudah jarang sekali terdapat diantara para sakti
sekalipun. Karena itulah maka ia melihat serangan Sarayuda
yang tepat dapat mengenainya, tetapi sama sekali tak
menggetarkan kulitnya. Tetapi dengan demikian ia semakin cemas. Untunglah
bahwa Sarayuda pun memiliki ketangkasan yang luar biasa,
sehingga Karang Tunggal terlalu sulit untuk menyentuh
kulitnya. Meskipun demikian kemarahan Sarayuda setiap
saat menjadi semakin menyala-nyala. Ia menjadi malu
kepada dirinya sendiri, kepada gurunya dan kepada semua
orang yang menyaksikan. Bahwa melawan seorang anak-
anak itu saja ia tak berhasil mengalahkan. Karena itulah
maka kemudian ia benar-benar bertempur dengan seluruh
tenaga, kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Ia kini tidak
merasa lagi berkelahi sekadar sebagai suatu pernyataan
marah, tetapi ia telah bertempur benar-benar diantara
hidup dan mati. Itulah sebabnya maka mereka yang menyaksikannya
tidak dapat tetap acuh tak acuh. Kanigara pun kemudian
bangkit berdiri, dan mengikuti jalannya perkelahian dengan
seksama. Tetapi yang beranggapan lain dari semuanya adalah Arya
Salaka. Ia pun menjadi gembira sekali dapat menyaksikan
pertempuran yang dahsyat itu. Meskipun dalam beberapa
hal ia menjadi keheran-heranan melihat gerak-gerak yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
belum pernah disaksikan, namun ia dapat mengikuti
sebagian besar dengan baik. Setelah ilmunya sendiri
meningkat dengan pesatnya, maka ia kemudian tidak lagi
mengagumi Sarayuda sebagai seorang yang terlalu
tangguh. Sebab apabila gurunya mengijinkan, dalam
tingkatannya yang sekarang ia pun bersedia untuk
melawannya, meskipun barangkali tidak sebaik Putut
Karang Tunggal. Karena itu Arya Salaka melihat
pertempuran yang hebat itu dengan bergeser-geser
mengikuti setiap geseran titik pertempuran. Bahkan
kadang-kadang ia berlari-lari mengelilingi untuk mengambil
sudut pandangan yang jelas. Karena ia sendiri sering
melakukan latihan dengan Karang Tunggal maka ia dapat
melihat betapa berbahayanya gerak serangan yang
dilakukannya. Apalagi ketika pertempuran itu telah
berlangsung lama. Tidak hanya Arya Salaka, tetapi semua
yang hadir di sekitar arena pertempuran itu menyaksikan
suatu hal yang tak terduga sebelumnya. Ketika Sarayuda
tidak lagi mengekang dirinya, dan bertempur dengan
segenap tenaganya dan kemampuannya, maka Putut
Karang Tunggal pun menanggapinya. Maka dalam saat-saat
terakhir, ternyata ia berhasil mendesak lawan dengan
hebatnya. Gerakannya menjadi semakin cepat dan lincah.
Sebaliknya Sarayuda tenaganya sudah mulai surut setelah
diperas habis-habisan. Kemudian terjadilah hal yang sangat mengejutkan. Putut
Karang Tunggal yang akhirnya juga menjadi kehilangan
kesabaran, tiba-tiba dari matanya yang bulat memancar
seolah-olah cahaya merah kebiru-biruan. Cahaya yang
mempunyai pengaruh luar biasa sebagai pancaran gaib
yang melontar dari dalam dirinya. Bersamaan dengan itu
geraknya pun menjadi semakin garang sebagai topan yang
mengalir deras dibarengi petir yang menyebar maut.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang tua yang penuh
pengalaman dalam perjalanan hidupnya. Banyak hal yang
pernah dilihat dan dirasainya. Hal-hal yang kasar, yang
halus, yang kasat mata dan yang tidak. Itulah sebabnya
maka ketika ia melihat sorot mata Putut Karang Tunggal
yang seakan-akan memancarkan cahaya merah kebiru-
biruan itu, hatinya tergetar cepat. Segera ia dapat
merasakan suatu kegaiban dari cahaya itu. Apalagi yang
dilihatnya benar-benar suatu hal yang tak mungkin terjadi
dalam keadaan yang wajar. Seorang anak muda yang
memiliki ketangkasan demikian mengagumkan. Tidak saja
melampaui muridnya, namun apabila ia benar-benar marah,
ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan Sarayuda.
Meskipun Pandan Alas belum pernah berkenalan, apalagi
mempelajari semacam ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang
Tunggal, namun sebagai seorang yang banyak mengetahui
berbagai macam ilmu, ia pun dapat menerka bahwa ilmu
yang dipergunakan Karang Tunggal adalah ilmu yang luar
biasa. Bahkan ia pun telah menduga bahwa Putut Karang
Tunggal memiliki ilmu yang hampir merupakan dongengan,
Lembu Sekilan. Sebab apapun yang dilakukan Sarayuda,
dan tampak benar-benar mengena, namun anak itu seolah-
olah sama sekali tak merasakannya. Meskipun dalam
beberapa kali, apabila Sarayuda berhasil melontarkan
serangan yang tajam dan sepenuh tenaga, tampak juga
betapa Karang Tunggal bertegang wajah, menerapkan
ilmunya dengan sepenuh usaha. Dengan demikian Pandan
Alas dapat menduga bahwa ilmu Putut Karang Tunggal itu
masih belum sempurna. Tetapi yang pernah didengarnya,
seperti yang pernah didengar oleh hampir semua tokoh-
tokoh sakti, yang mersudi olah jaya kawijaya guna
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kasantikan, bahwa Lembu Sekilan adalah salah satu ilmu
yang pernah dimiliki Maha Patih Gajah Mada.
Berdasarkan apa yang disaksikan itulah maka akhirnya
Pandan Alas merasa bahwa bagaimanapun hebatnya
Sarayuda, namun ia tak akan berhasil menandingi anak
muda yang perkasa dan luar biasa itu. Karena itu ia
memutuskan untuk mencegah Sarayuda bertempur lebih
lama lagi. Maka kemudian terdengarlah ia berkata nyaring,
"Sarayuda... cukuplah."
Mahesa Jenar dan Kanigara terkejut mendengar seruan
itu. Namun dalam hati mereka menaruh hormat kepada
orang tua yang bijaksana itu. Kalau semula mereka
menyangka bahwa apabila ada salah mengerti padanya,
persoalan pasti akan berlarut-larut. Tetapi ternyata Pandan
Alas telah berbuat suatu hal yang terpuji. Dengan demikian
maka persoalannya akan dapat dibatasi. Karena itu, Kebo
Kanigara yang juga cukup bijaksana segera memanggil
kemenakannya. "Karang Tunggal... sudahlah. Mintalah maaf
kepadanya, supaya kau dibebaskan dari kemarahannya."
Putut Karang Tunggal yang bagaimanapun nakalnya,
apalagi pada saat itu, hatinya sedang dipenuhi oleh
perasaan marah, namun benar-benar takut kepada
pamannya. Karena itu dengan sangat kecewa ia terpaksa
memenuhi perintahnya. Dengan satu lontaran mundur yang
jauh ia melepaskan diri dari libatan lawannya.
Tetapi tidaklah demikian Sarayuda. Hatinya telah diamuk
oleh suatu perasaan yang tak dapat diurai lagi. Bercampur
aduknya segala macam perasaan yang dapat membakar
dadanya. Marah, benci, dendam, dan segala macam.
Sehingga dengan demikian meskipun ia mendengar suara
gurunya, namun ia sama sekali tak menaruh perhatian.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebagai seorang yang mempunyai kekuasaan yang cukup
besar, ia sama sekali tidak mau namanya menjadi cacat.
Apalagi dalam perkelahian yang memerlukan segenap
pemusatan pikiran dan kekuatan, ia seolah-olah tidak dapat
melihat keajaiban-keajaiban yang dipancarkan lawannya,
meskipun dalam beberapa hal ia merasa heran juga kalau
serangan-serangannya seolah tak pernah dapat menyentuh
kulit lawannya. Tetapi justru karena itulah ia menjadi
semakin bernafsu, berjuang mati-matian. Demikianlah,
ketika Sarayuda melihat Putut Karang Tunggal melontarkan
diri surut, ia sama sekali tidak menjauhkan dirinya, bahkan
ia pun memburunya dan sekaligus melontarkan suatu
serangan yang dahsyat. Putut Karang Tunggal tak mengira hal yang demikian itu
terjadi. Ia tidak menduga sama sekali bahwa ia akan
mendapat serangan justru pada saat ia mengundurkan
dirinya. Karena itulah ia tidak bersiaga. Ilmunya yang
bernama Lembu Sekilan yang belum sempurna benar itu
sudah mulai dikendorkan. Karena itulah maka ketika ia
menerima serangan yang tak diduganya, terasalah seolah-
olah sebuah bukit karang berguguran menimpanya pada
saat ia sedang lelap tidur. Itulah sebabnya, bagaimanapun
ia berusaha menerapkan ilmunya Lembu Sekilan, namun
dalam waktu yang mendadak itu tidak banyak berarti.
Meskipun berhasil menolongnya dari cidera, tetapi ia
terlempar juga beberapa langkah dan terbanting jatuh.
Ternyata ilmunya itu masih belum mampu bekerja sendiri
apabila sebuah perangsang menyentuhnya.
Semua yang menyaksikan kelakuan Sarayuda itu
terkejut. Dada mereka berdebaran, dan darah mereka
seperti berhenti mengalir. Bahkan Kanigara dan Mahesa
Jenar menjadi seolah-olah terpaku di tempatnya dan tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
percaya atas apa yang dilihatnya. Ki Ageng Pandan Alas
pun kemudian sampai terloncat maju, dan dengan
lantangnya berteriak, "Sarayuda... sadarkah kau bahwa kau
telah berlaku kurang bijaksana?"
Sekali lagi Sarayuda tak mau mendengar suara gurunya.
Bahkan masih saja ia meloncat dan menyerang Putut
Karang Tunggal yang sedang berusaha untuk bangkit.
Karena itulah maka keadaannya menjadi sangat berbahaya.
Untunglah otaknya cerdas dan cepat. Segera ia menghentikan geraknya. Ia lebih baik tetap berjongkok,
namun dengan sekuat tenaga diterapkannya ilmunya
Lembu Sekilan. Meskipun demikian serangan Sarayuda yang
ganas itu menggoncangkan tubuhnya sehingga hampir saja
ia terjatuh kembali. Pada saat Sarayuda akan mengulangi
serangannya kembali, tiba-tiba meloncatlah bayangan
dengan cepat menyerangnya dari lambung. Meskipun
kecepatannya tidak dapat disamakan dengan kecepatan
karang Tunggal, namun terasa betapa kuat serangan itu.
Karena itu Sarayuda segera memutar tubuhnya, dan
mengurungkan serangannya atas Putut Karang Tunggal.
Bayangan itu adalah Arya Salaka yang telah memiliki ilmu
yang maju dengan pesatnya. Karena itulah maka sekali lagi
Sarayuda terkejut. Anak yang kedua ini tidak kurang
berbahayanya, karena itu ia menghadapinya dengan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepenuh tenaga. Pada saat itulah Kanigara dikecewakan
oleh Sarayuda. Kalau mula-mula ia ingin mencegah
kemenakannya supaya tidak menyelesaikan pertempuran
itu, sekarang ia berpikir sebaliknya. Biarlah anak nakal itu
menghajar orang yang sama sekali tak tahu diri. Sebaliknya,
Mahesa Jenar menjadi terkejut dan cemas melihat Arya
Salaka melibatkan diri dalam perkelahian itu. Namun
demikian ia menjadi keheranan juga, bahwa muridnya itu
dapat bertempur demikian baiknya sehingga sama sekali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tak diduganya. Tetapi Arya Salaka tidak perlu berjuang
terlalu lama. Sebab pada saat itu Putut Karang Tunggal
telah bersiap kembali. Maka sesaat kemudian terdengarlah
ia berteriak nyaring, "Adi Arya Salaka, minggirlah. A ku tidak
mau diperlakukan demikian. Biarlah kami berhadapan
sebagai seorang laki-laki dengan laki-laki."
Suara Putut Karang Tunggal itu pun mengherankan pula.
Getarannya bagaikan getaran guruh yang menggelegar
menggoyangkan bukit-bukit kecil yang bertebaran di sana-
sini. Bahkan suara itu seolah-olah telah mengejutkan
matahari yang sedang tidur dengan nyenyaknya di balik
cakrawala. Karena itu, di ujung timur fajar mulai menjenguk
dan melemparkan cahayanya yang kemerahan.
Agak jauh di Padepokan Karang Tumaritis di puncak
bukit itu, terdengarlah suara ayam jantan yang berkokok
bersahutan. Seolah-olah mereka sedang membanggakan
diri masing-masing dengan berteriak, "Ini dadaku, mana
dadamu...?" Demikian pula ayam jantan dari Pengging yang bernama
Karebet itu, menjadi semakin marah atas kelakuan
lawannya. Karena itu apapun yang terjadi, ia bertekad
untuk bertempur mati-matian. Sehingga ketika Arya Salaka
telah meloncat minggir, anak muda itu tegak berdiri dengan
gagahnya, dengan kaki renggang dan dada menengadah.
Wajahnya menjadi semakin cerah, melampaui cerahnya
fajar. Sedangkan cahaya merah kebiru-biruan yang
menyorot dari matanya yang bulat cemerlang itu menjadi
semakin menyala-nyala. Tiba-tiba Sarayuda yang telah bersiap pula, merasakan
keanehan yang ada pada lawannya. Sekarang ia melihat
sorot mata yang ajaib. Juga ia semakin merasakan bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
serangan-serangannya menjadi seolah-olah lenyap tak
berbekas. Tetapi akibat dari tanggapannya atas kenyataan
yang dihadapinya itu menjadikannya semakin mata gelap.
Ia sudah tidak dapat berpikir lain, kecuali membinasakan
lawannya. Karena itulah maka tiba-tiba ia berbuat sesuatu
yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, baik oleh
Mahesa Jenar, Kanigara maupun gurunya sendiri Ki Ageng
Pandan Alas. Tiba-tiba, Sarayuda yang dibakar oleh api kemarahan
yang menyala-nyala di dalam dadanya, tiba-tiba berdiri
tegak. Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup
setengah terpejam. Ia menyalurkan segala tenaganya
dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian
meletakkan satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan
lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap
untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas
Cundha Manik, dari Perguruan Pandan Alas.
Mahesa Jenar pernah menyaksikan kedahsyatan ilmu itu,
bahkan ia pernah menempurnya dengan aji Sasra Birawa.
Akibatnya adalah mengerikan sekali. Sekarang, beberapa
tahun kemudian, pastilah Cunda Manik itu menjadi
bertambah dahsyat. Karena itu, ia menjadi pucat, dan
melintaslah seleret bayangan yang mengerikan. Sebab
bagaimanapun teguhnya ilmu Lembu Sekilan yang belum
sempurna itu namun karena nafsu kemarahan yang tidaklah
mungkin anak itu dapat bertahan diri terhadap kedahsyatan
aji Cunda Manik. Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak
mau melihat pembunuhan yang tidak adil hanya karena
nafsu kemarahan yang tak terkendalikan. Dengan demikian
ketika ilmu Cunda Manik itu telah terhimpun di dalam
tangannya serta ketika dilihatnya Sarayuda telah siap
meloncat dan mengayunkan tangannya, Mahesa Jenar pun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
segera meloncat dengan garangnya menghadang langkah
Sarayuda tepat di depan Putut Karang Tunggal dengan satu
tangan bersilang di hadapan dadanya, satu tangan
terangkat tinggi-tinggi. Sedang sebelah kakinya ditekuknya
ke depan, siap untuk melawan Cunda Manik itu dengan
ajinya yang telah jauh meningkat, Sasra Birawa. Dalam
pada itu bayangan lain pun telah melontar pula, dekat di
sampingnya, juga berusaha berdiri diantara Sarayuda dan
Putut Karang Tunggal, bahkan agak lebih cepat sedikit
darinya dengan sikap yang sama. Satu tangan bersilang,
tangan yang lain terangkat tinggi-tinggi, sedang sebelah
kakinya ditekuk ke depan. Itulah Kanigara yang juga
berusaha melindungi kemenakannya dengan jenis ilmu yang
sama, Sasra Birawa yang sempurna.
Dalam sekejap mata Sarayuda melihat pula kedua orang
yang telah berdiri berjajar rapat di hadapan lawannya.
Namun segalanya telah terlanjur. Ilmu itu telah terhimpun
dan siap dilontarkan. Karena itu ia menjadi tidak peduli lagi
siapakah yang akan binasa karenanya, apakah dirinya
sendiri, Putut yang telah dianggap menghinanya, ataukah
Mahesa jenar, ataukah orang yang bernama Karang Jati itu.
Maka dengan mata yang hampir terpejam ia meloncat
dengan dahsyatnya. Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar dan Kanigara
telah mulai menjulurkan kekuatannya lewat sisi telapak
tangan untuk menerima aji yang dahsyat itu, kembali
mereka dikejutkan oleh bayangan lain yang dengan
dahsyatnya mendahului membentur Sarayuda dengan
kekuatan yang luar biasa pula. Sehingga terjadilah
bentrokan kekuatan yang mengerikan sekali. A kibatnya pun
sangat mengejutkan. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dan
Kanigara masih sempat mengendorkan diri sehingga
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka pun tidak perlu ikut serta dalam benturan yang
terjadi, dan tidak terduga-duga itu.
Sarayuda, karena akibat benturan itu terlempar jauh ke
belakang dan terbanting di atas batu karang. Suara
tubuhnya ambruk hebat. Dan setelah itu ia sama sekali
tidak bergerak lagi. Sementara itu bayangan yang membenturnya, yang tidak
lain adalah gurunya sendiri, Ki Ageng Pandan Alas, segera
berlari-lari memburunya, dan langsung berjongkok di
sampingnya. Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal dan Arya
Salaka terguncang hatinya. Mereka sama sekali tidak
menduga bahwa akhir peristiwa itu demikian. Benturan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
langsung antara murid dan gurunya dengan akibat yang tak
diduga pula. Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati Ki Ageng
Pandan Alas yang duduk tertunduk di samping muridnya.
Wajahnya suram sesuram seorang ayah yang kehilangan
anaknya tersayang. Bahkan dari mata orang tua itu
membayangkan titik-titik air yang berkilat-kilat kena
lemparan cahaya matahari pagi.
Dari bibirnya yang bergetaran terdengarlah suaranya
yang terputus-putus, "Sarayuda... kenapa kau sampai
kehilangan akal, sehingga aku terpaksa mencegahmu..."
Aku pernah mengharap kau menjadi sambungan yang kuat
dari perguruanku. Sekarang...."
Wajah orang tua itu menjadi semakin suram. Matanya
yang kemudian terangkat dan memandang kepada Mahesa
Jenar, Kanigara, Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka,
yang telah berjongkok pula mengitari tubuh Sarayuda yang
gilang-gilang bermandikan cahaya matahari.
Angin pagi yang bertiup lambat seolah-olah ikut serta
terbenam dalam duka yang mendalam.
Mereka yang berada di tempat itu, merasakan betapa
hati orang tua itu terpecah-pecah. Murid utamanya, yang
dengan penuh harapan diasuhnya sekuat tenaga, kini
terbaring di hadapannya justru karena tangan sendiri.
"Anak-anakku sekalian..." kata orang tua itu kemudian
dengan suara yang dalam, "Maafkanlah muridku."
Yang mendengar perkataan itu menjadi semakin terharu.
Betapa orang tua itu berhati jantan. Yang melihat masalah
di hadapannya dengan jujur meskipun dadanya serasa
hancur. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Perlahan-lahan orang itu dengan tangannya yang lemah
karena guncangan yang hebat, meraba-raba dada
Sarayuda. Tiba-tiba terbersitlah suatu cahaya di matanya.
Dengan cepat Ki Ageng Pandan Alas menempelkan
telinganya untuk mendengarkan detak jantung muridnya.
Dengan suara yang gemetar ia berkata, "Anakmas aku
masih mendengar jantungnya berdetak."
Tiba-tiba yang mendengar seruan itu, di dalam hatinya
timbul pula semacam perasaan gembira, sehingga mereka
bergeser setapak maju. Namun sesaat kemudian orang itu
kembali menjadi muram. Gumamnya, "Tetapi detak jantung
itu sudah terlalu lemah. Dan aku bukanlah seorang ahli
dalam hal ini." Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan oleh Mahesa
Jenar, Kanigara, apalagi Putut Karang Tunggal dan Arya
Salaka. Hanya di wajah Karang Tunggal terbayang pula
penyesalan yang dalam. Karena kelakuannyalah maka
semua itu terjadi. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa
hanya karena ia tidak dapat menahan tertawanya saja,
maka ia terpaksa menyaksikan seorang guru dan murid
saling berbenturan dan mengakibatkan malapetaka.
Dalam pada itu, Kanigara yang telah agak lama tinggal di
bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan seorang
Panembahan yang ahli pula dalam hal pengobatan, sedikit
banyak dapat pula melakukannya. Maka dengan suara yang
dalam ia mencoba meminta, "Ki Ageng Pandan Alas, kalau
memang masih ada detak di dalam dada Sarayuda,
ijinkanlah aku mencoba untuk memperlancar jalan
darahnya." Dengan mata yang suram Ki Ageng Pandan Alas
memandang Kanigara. Tetapi kemudian ia mengangguk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lemah. Segera Kanigara bangkit dan berdiri dengan kaki
terbuka di atas tubuh Sarayuda. Perlahan-lahan ia
menggerakkan tangannya untuk menolongnya menyalurkan
pernafasan dan peredaran darahnya. Setelah itu, perlahan-
lahan pula ia memijit-mijit dada.
Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas dengan jelas
dapat melihat siapakah yang berdiri di hadapannya, yang
menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Ia adalah seorang
yang bertubuh tegap besar, berwajah bening yang
memancarkan kelembutan hati. Karena itulah ia menjadi
semakin curiga, bahwa orang itu hanyalah seorang Putut
yang sejak semula memang mengabdikan diri pada
Panembahan di bukit ini. Dengan tidak sengaja, matanya
segera merayapi Putut muda yang baru saja bertempur
dengan muridnya. Seorang muda yang memiliki tanda-
tanda keajaiban. Juga terhadap anak ini ia selalu bertanya-
tanya di dalam hati. Siapakah gerangan mereka itu
sebenarnya. Ketika itu ia melihat Sarayuda mulai dapat menyalurkan
nafas perlahan-lahan serta detak jantungnya menjadi
semakin lancar pula. Namun demikian apabila ia tidak
segera mendapat pertolongan yang semestinya, keadaannya sangat membahayakan.
Karena itulah maka Kanigara berkata, "Ki Ageng Pandan
Alas, apabila Ki Ageng tidak berkeberatan, perkenankanlah
aku membawa murid Ki Ageng ini menghadap Panembahan,
supaya ia dapat disembuhkan dari keadaan yang sekarang
ini." Ki Ageng Pandan Alas yang menaruh harapan masa
depan perguruannya, sudah tentu menghendaki muridnya
dapat disembuhkan. Karena itu dengan senang hati ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjawab, "Anak Putut Karang Jati, aku sangat berterima
kasih apabila Panembahan Ismaya berkenan menyembuhkan Sarayuda."
Kemudian oleh persetujuan itu, segera Kanigara
mengajak mereka semua untuk menghadap Panembahan.
Tetapi tiba-tiba terdengarlah Putut Karang Tunggal berkata,
"Paman, apakah aku harus ikut menghadap pula" Aku telah
menyanggupi Adi Arya untuk membawanya berkeliling bukit
kecil ini." Kanigara melihat ketakutan anak nakal itu terhadap
Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab, "Ayolah. Kau
jangan berbuat sekehendakmu saja. Arya akan sabar
menunggu sampai besok, lusa bahkan seminggu dua
minggu lagi. Malahan kaulah yang seharusnya mengangkat
tubuh Sarayuda, dan memapahnya menghadap Panembahan." Karang Tunggal sama sekali tak berani membantah kata-
kata pamannya. Dengan dada

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdebar-debar ia membungkuk dan mengangkat murid Pandan Alas itu pada
kedua tangannya dan membawanya mengikuti pamannya
yang berjalan di depan bersama-sama dengan Mahesa
Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Sedang Arya Salaka
berjalan dengan kepala tunduk di sampingnya.
"Beratkah tubuh itu Kakang?" tanya Arya Salaka.
Dengan tersenyum kecut Karang Tunggal menjawab,
"Cukupanlah." "Dapatkah aku membantu?" sambung A rya.
Sekali lagi Karang Tunggal tersenyum kecut. "Tak
usahlah." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah itu kembali mereka berdiam diri. Tak seorangpun
diantara mereka yang mengucapkan sepatah katapun.
Namun di dalam keheningan pagi itu, dada Ki Ageng
Pandan Alas masih saja bergejolak. Disamping kecemasannya atas keselamatan muridnya, ia jadi benar-
benar berpikir tentang orang yang nenamakan Putut Karang
Jati dan Karang Tunggal. Yang paling mengherankan
baginya adalah bahwa Karang Jati dalam keadaan yang
terjepit, telah menyiapkan pula ilmu yang mirip dengan ilmu
Mahesa Jenar yang dahsat peninggalan almarhum
sahabatnya, Ki A geng Pengging Sepuh.
Kedatangan rombongan itu, dengan seorang yang tak
sadarkan diri di tangan Putut Karang Tunggal, sangat
mengejutkan penghuni padepokan yang damai itu. Para
cantrik segera bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang
telah terjadi, dan siapakah yang pingsan di tangan kepala
para cantrik itu. Demikian pula agaknya Panembahan Ismaya. Dengan
tergopoh-gopoh ia menerima kedatangan mereka dengan
penuh pertanyaan di wajahnya yang lembut.
Segera rombongan itu dipersilahkan masuk dan
dibaringkannya tubuh Sarayuda di atas sebuah pembaringan kayu. Panembahan Ismaya melihat keadaan yang mengkhawatirkan. Karena itu ia tidak sempat untuk
bertanya-tanya. Tetapi yang mula-mula dilakukan adalah
merawat Sarayuda. Beberapa bagian tubuhnya dipijit-pijit
serta kemudian dengan hati-hati sekali diminumkannya
semangkuk kecil obat Suasana untuk sesaat jadi hening dan tegang. Masing-
masing terikat pada keadaan Sarayuda yang masih
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terbaring diam. Namun nafasnya telah mulai nampak
mengalir teratur. Akhirnya beberapa saat kemudian tubuh itu mulai hangat
kembali. Cahaya yang merah perlahan merambat ke
wajahnya. Dengan demikian maka keselamatannya semakin
dapat diharapkan. Sejalan dengan itu menjalar pula perasaan syukur di
dada Pandan Alas dan semuanya yang menyaksikan.
Bahkan Putut Karang Tunggal yang semula menjadi marah
kepada Sarayuda, kini dengan penuh harapan mengikuti
perkembangan keadaan murid Pandan Alas itu.
"Mudah-mudahan Tuhan menyelamatkan jiwanya,"
gumam Panembahan Ismaya. "Namun menilik keadaannya
ia telah berangsur baik. Nafasnya telah mengalir dengan
teratur. Meskipun agaknya untuk beberapa bulan ia harus
benar-benar beristirahat untuk segera dapat memulihkan
kembali kesehatan serta kekuatan tubuhnya."
"Betapa besar terima kasihku kepada Tuhan, yang telah
mengampuni jiwa muridku dengan lantaran Panembahan,"
sahut Ki A geng Pandan Alas.
Perlahan-lahan Panembahan Ismaya menoleh kepada Ki
Ageng Pandan Alas. Untuk beberapa saat ia memperhatikannya lalu kemudian ia bertanya, "Siapakah
Anakmas yang terluka ini...?"
"Muridku, Panembahan," jawab Pandan Alas.
Panembahan Ismaya mengangguk-angguk. Kemudian
katanya, "Biarlah Anakmas ini beristirahat. Marilah kita
duduk di ruang sebelah."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian ditinggalah Sarayuda seorang diri terbaring.
Matanya masih terpejam, tetapi wajahnya sudah nampak
merah. Di ruang sebelah, mulai Panembahan Ismaya bertanya-
tanya. Apakah yang sudah terjadi dan siapakah guru dan
murid yang belum dikenalnya itu. Maka berceritalah Kebo
Kanigara, segala sesuatu yang menyangkut peristiwa itu.
Diceritakan pula hubungan antara Mahesa Jenar, Sarayuda
dan Pudak Wangi yang dititipkan di padepokan itu oleh
Mahesa Jenar setelah ia berhasil menyelamatkannya dari
tangan Sima Rodra. Namun Mahesa Jenar sendiri geli
mendengar keterangan itu. Kemudian diceritakan pula
bahwa beberapa malam kemudian didengarnya suara
tembang yang sebenarnya adalah suara Ki Ageng Pandan
Alas, kakek Pudak Wangi yang sedang mencari cucunya.
Dan kemudian tanpa meninggalkan peristiwa yang terkecil
pun Kanigara menceritakan pula pertengkaran dan akhirnya
perkelahian yang terjadi antara Sarayuda dan Karang
Tunggal, sehingga akhirnya guru Sarayuda sendiri terpaksa
mencegah muridnya yang akan mempergunakan senjata
pamungkasnya yang sangat berbahaya.
Panembahan Ismaya mendengarkan uraian Kebo
Kanigara dengan seksama. dan sambil mengerutkan
keningnya ia memandang Putut Karang Tunggal dengan
penuh penyesalan. Katanya kemudian, "Ki Sanak yang bijaksana, maafkanlah kelakuan orang-orangku yang sama sekali tidak
bersikap baik. Untunglah bahwa Ki Ageng Pandan Alas telah
mencegahnya. Kalau tidak, barangkali Putut Karang
Tunggal akan mengalami cidera karena kenakalannya.
Bahkan Ki Ageng telah mengorbankan murid sendiri."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tak seorang pun yang berani mengangkat wajah.
Kanigara, Karang Tunggal maupun Mahesa Jenar dan Arya
Salaka. Apalagi Mahesa Jenar merasa bahwa sumber dari
persoalan itu adalah persoalannya dengan Sarayuda.
Apalagi ketika Panembahan Ismaya melanjutkan,
"Dengan demikian kehadiranmu di tempat itu sama sekali
tak berarti Kanigara, bahwa kau tidak dapat mencegah
semuanya itu terjadi." Kanigara menjadi semakin menundukkan wajahnya.
Tetapi akibat kata-kata itu tajam sekali bagi Ki Ageng
Pandan Alas yang telah sekian lama berteka-teki tentang
orang yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu.
Apalagi setelah ia menyaksikannya mempersiapkan aji Sasra
Birawa. Dan sekarang ia mendengar Panembahan Ismaya
menyebutnya Kanigara. Segera Pandan Alas teringat
seseorang beberapa tahun lampau, pada saat ia masih
bergaul dengan sahabatnya Ki A geng Pengging Sepuh, guru
Mahesa Jenar. Ia teringat jelas putra sahabatnya itu yang
kemudian menjadi saudara muda seperguruannya sendiri.
Bahkan yang memiliki ilmu yang lebih masak daripadanya.
Karena ia jarang menjumpainya maka ia tidak begitu
mengenalnya. Dan sekarang orang itu ada di depannya.
Kanigara. Ya... Kebo Kanigara.
Karena itu tiba-tiba ia menjadi gemetar. Dan dengan
suara yang berat ia bertanya, "Panembahan, apakah
Anakmas Kebo Kanigara putra Pangeran Handayaningrat...?" Pangeran Ismaya mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, "Inilah orangnya."
Tiba-tiba Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua itu
mengangguk hormat kepada Kanigara sambil berkata,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Maafkan Anakmas Kebo Kanigara. Aku agaknya terlalu
pikun untuk mengenal sahabat-sahabatku kembali. Agaknya
Anakmas terlalu lama meninggalkan ayahanda, sehingga
sejak masa hidup ayahanda aku sudah tidak pernah
menjumpai Anakmas lagi."
Kanigara membalas hormat pula kepada Pandan Alas.
Lalu jawabnya, "Kita sudah terlalu lama tidak bertemu, Ki
Ageng." "Untunglah..." sambung Pandan Alas, Bahwa aku telah
mencegah muridku. "Kalau saja aku terlambat, aku kira
muridku itu telah menjadi lumat."
Kanigara mengerutkan keningnya. Juga Panembahan
Ismaya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Yang
terdengar kemudian adalah pertanyaan Ki Ageng Pandan
Alas, "Aku memang sudah menduga bahwa yang bernama
Karang Jati adalah mengandung suatu rahasia meskipun
hanya sekadar sebagai suatu olok-olok saja. Namun
terhadap Karang Tunggal pun aku curiga pula."
Sekali lagi Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-
sama mengernyitkan keningnya. Sedang Karang Tunggal
sendiri kemudian menjadi berdebar-debar meskipun
baginya sama sekali tak bedanya apakah ia dipanggil Putut
Karang Tunggal, Karebet atau Jaka Tingkir.
"Ki Ageng..." jawab Kebo Kanigara kemudian, "Kalau aku
menyebut diriku Putut Karang Jati adalah karena aku
tinggal bersama-sama Panembahan di bukit ini. Adapun
nama itu adalah nama yang aku pergunakan sebagai Putut.
Sedang Karang Tunggal pun demikian. Sebagai seorang
Putut ia bernama Karang Tunggal. Tetapi apabila Ki Ageng
ingin mengetahuinya, aku kira ia tidak keberatan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lalu kepada Karang Tunggal ia berkata, "Bukankah
begitu Karang Tunggal?"
Karang Tunggal mengangguk kaku.
"Nah, Ki Ageng..." Kanigara melanjutkan, "Ia adalah
seorang Putut yang baik, tetapi ia adalah seorang anak
nakal. Senakal ayahnya, yang pasti Ki Ageng pernah
mendengarnya." Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-angguk dengan
penuh perhatian. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Anak itulah peninggalan adikku, Kebo Kenanga.
Namanya Karebet," sambung Kanigara. "Dan selama ia
tinggal di bukit ini ia mendapat kehormatan untuk menjadi
pimpinan para cantrik. Baginya oleh Panembahan Ismaya
diberikan nama Putut Karang Tunggal."
Sekali lagi Pandan Alas mengangguk-angguk. Kemudian
sahutnya, "Pantaslah kalau ia cucu Ki Ageng Pengging
Sepuh. Aku melihat keajaiban yang tersembunyi di dalam
tubuhnya." "Aku hanya melihat kenakalannya," potong Panembahan
Ismaya. "Kenakalan yang aku kira sudah berkurang. Tetapi
agaknya pada suatu saat akan dengan mudahnya timbul
kembali." Kembali kepala Karang Tunggal tertunduk. Sindiran yang
langsung mengenainya. Sementara itu tubuh Sarayuda yang terbaring di ruang
sebelah ternyata sudah mulai tampak bergerak gerak.
Panembahan Ismaya kemudian bersama dengan mereka
yang hadir di ruang itu segera mendekatinya. Dengan hati-
hati Panembahan Ismaya meraba tubuh yang sudah
semakin segar itu. Dan beberapa saat kemudian Sarayuda
dengan lemah membuka matanya. Alangkah gembira hati
gurunya. Tidak itu saja. Juga Kanigara, Mahesa Jenar dan
lainnya pun bergembira pula.
Apalagi ketika kemudian dengan sangat perlahan
terdengar dari sela-sela bibirnya yang gemetar Sarayuda
berkata, "Guru...."
Segera Ki Ageng Pandan Alas mendekatinya dan
mendekatkan kupingnya ke mulut Sarayuda. "Aku di sini,
Sarayuda..." bisiknya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sarayuda melihat gurunya membungkukkan kepalanya di
hadapan wajahnya. Dengan sayu ia mencoba tersenyum
dan melanjutkan kata-katanya, "Apakah aku masih
hidup...?"

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu Sarayuda, tentu..." jawab Pandan Alas.
"Air..." desis Sarayuda.
Belum lagi Pandan Alas melanjutkan permintaan itu,
Karang Tunggal telah meloncat untuk mengambil air yang
kemudian setetes demi setetes air itu diteteskan ke mulut
Sarayuda dan langsung ditelannya.
Dengan tetesan air itu Sarayuda merasa tubuhnya
menjadi semakin segar. Karena itulah wajahnya menjadi
semakin semringah pula. "Terimakasih," desisnya.
"Istirahatlah Anakmas," bisik Panembahan Ismaya.
Mata Sarayuda yang masih redup memandang Panembahan Ismaya dengan herannya. Ia belum pernah
mengenalnya. Panembahan tua itu segera mengetahui apa
yang terkandung di dalam hatinya. Maka segera ia berkata,
"Mungkin Anakmas heran melihat kehadiranku di sini.
Jangan pikirkan itu dahulu. Beristirahatlah supaya tubuh
Anakmas menjadi baik."
Sarayuda kembali mencoba tersenyum. Kemudian
matanya beredar kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Arya
Salaka dan Putut Karang Tunggal. Tetapi wajahnya sama
sekali tidak memancarkan perasaan marah dan dendam.
Bahkan kemudian kembali ia tersenyum, senyum yang
ikhlas. Lalu katanya, "Guru, di manakah aku sekarang ini?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kau berada di Padepokan Karang Tumaritis, Sarayuda.
Kau berada di dalam perawatan Panembahan Ismaya ini,"
jawab Ki Ageng Pandan Alas.
"Ki Ageng Pandan Alas, maafkanlah aku," katanya
kemudian. "Jangan berpikir yang aneh-aneh, Sarayuda," potong
Pandan Alas. "Ikutilah nasehat Panembahan supaya
tubuhmu bertambah baik."
"Terimakasih," jawabnya. "Aku akan beristirahat sebaik-
baiknya. Tetapi aku lebih dahulu akan minta maaf kepada
kalian. Pada kesempatan ini. Kepada Ki Ageng, kepada
Kakang Mahesa Jenar, kepada Putut Karang Jati, Karang
Tunggal, dan Arya Salaka."
"Tak ada kesalahan yang kau lakukan Sarayuda.
Perbedaan pendapat dan persamaan kepentingan adalah
lumrah, sehingga akibat yang timbul karena itu pun lumrah
pula," jawab Ki Ageng Pandan Alas.
Sarayuda menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian
tubuhnya menjadi bertambah segar. Angin pagi yang
perlahan-lahan mengalir, mengusap wajahnya dengan
lembut. "Aku merasa bahwa apa yang aku lakukan telah
melanggar nasehat guru. Karena itulah aku merasa
bersalah," kata Sarayuda meneruskan.
"Baiklah," jawab gurunya, "Aku maafkan kesalahan itu.
Dan aku yakin, Sarayuda, bahwa yang lainpun akan
memaafkanmu." Sekali lagi pandangan Sarayuda beredar berkeliling,
seolah-olah ia ingin mendapatkan kebenaran kata-kata
gurunya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar yang dapat meraba pertanyaan yang
terpancar dari mata itu segera berkata, "Sarayuda. Marilah
kita saling memaafkan. Saling melupakan apa yang pernah
kita lakukan. Leburlah semua kesalahan yang ada diantara
kita." Sekali lagi Sarayuda menarik nafas dalam-dalam.
"Leburlah kesalahan kita. Tetapi persoalan kita belum
selesai," sahutnya. Mereka yang mendengar kata-kata itu, jantungnya
bertambah cepat berdenyut. Dalam keadaan yang
sedemikian Sarayuda masih mempersoalkan masalah yang
rumit itu. Mahesa Jenar dengan demikian menganggap
bahwa dalam keadaan yang bagaimanapun Sarayuda akan
tetap pada pendiriannya. Maka tiba-tiba runtuhlah hatinya.
Ia tidak sampai hati mengecewakan orang yang sedang
bertahan terhadap maut. Bagaimanapun ia mempunyai kepentingan buat diri
sendiri, namun Mahesa Jenar adalah seorang yang berhati
lembut. Karena itu, ia lebih baik berkorban kepentingan diri,
daripada melihat Sarayuda berputus asa, dan seterusnya
tidak menghendaki lagi dirinya dapat sembuh kembali dari
luka-luka dalamnya itu. Kalau demikian halnya, maka tak
ada obat di dunia ini yang mampu menolongnya.
Maka kemudian dengan hati berat dan kata-kata yang
bergetar ia berkata, "Sarayuda... jangan pikirkan aku lagi.
Jagalah ketenteraman hatimu agar kau dapat segera
sembuh kembali. Dan apa yang kau idamkan selama ini
akan dapat kau capai. Kelengkapan dari kamuktenmu.
Lupakan aku. A ku tidak akan menghalangimu lagi."
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, hampir
semuanya tersentak. Kanigara, Pandan Alas, Karang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tunggal dan Arya Salaka. Bahkan Panembahan Ismaya pun
mengerutkan keningnya pula. Perkataan yang demikian itu
sama sekali tidak mereka duga sebelumnya. Meskipun
demikian, terutama Pandan Alas merasakan pengaruh kata-
kata itu dalam relung hatinya yang paling dalam. Ia menjadi
semakin yakin, betapa jernih hati laki-laki itu. Sehingga
tiba-tiba terasa di dadanya, sesuatu yang menyumbat
pernafasannya. Tetapi yang lebih terguncang lagi adalah perasaan
Sarayuda. Wajahnya segera berubah hebat. Bahkan hampir
saja ia mencoba bangun. Untunglah bahwa Panembahan
Ismaya segera mencegahnya. Namun demikian dari
matanya memancarlah cahaya yang aneh. Sesaat kemudian
setelah hatinya agak teratur iapun berkata, "Kakang
Mahesa Jenar. Aku bukan bermaksud demikian. Kemudian
dengan mata sayu dan kata-kata yang dalam ia
meneruskan, Adakah Wilis di sini"."
Tanpa disadari Mahesa Jenar menjawab, "Ada Sarayuda.
Ia berada di bukit ini. "
Wajah Sarayuda menjadi bertambah jernih. Sambungnya, "Mahesa Jenar, bolehkan aku bertemu?"
Masih di luar sadarnya Mahesa Jenar menjawab, "Tentu
Sarayuda. Apakah kau ingin menemuinya?"
"Ya, kalau kau tidak keberatan, tolonglah bawalah ia
kemari, sebab aku sama sekali tidak dapat bangun untuk
datang kepadanya," jawabnya kemudian.
Barulah Mahesa Jenar sadar, bahwa ia sendiri tidak tahu
di mana Rara Wilis berada. Karena itu ia menjadi
kebingungan. Dalam kegelisahannya itu terdengarlah
Kanigara menolongnya. "Kau tak perlu pergi sendiri Mahesa
Jenar, biarlah Widuri menjemputnya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Terima kasih Kakang," jawab Mahesa Jenar.
Kemudian berjalanlah Kanigara keluar untuk mencari
Widuri. Beberapa saat kemudian suasana menjadi hening.
Masing-masing terpaku pada masalah yang sulit ini.
Masalah yang selalu terulang pada setiap masa dan setiap
jaman. Masalah yang tak akan habis-habisnya selama dunia
masih terkembang. Selama manusia masih ingin membina
hari kemudian sebagai miliknya serta milik anak cucunya.
Demikian Tuhan mengkaruniakan perasaan cinta dan kasih
kepada manusia, sebagaimana perasaan cinta dan kasih-
Nya yang menjelmakan dunia beserta isinya. Namun
sayanglah bahwa manusia kadang-kadang tidak berhasil
menanggapi kurnia yang indah itu dengan sewajarnya.
Bahkan ada diantara anak manusia yang ingin mengembangkan rasa cinta kasih Tuhannya dengan
landasan dendam dan nafsu. Sehingga dengan demikian
kaburlah batas antara cinta dan nafsu, antara kasih dan
dendam. Demikianlah untuk sejenak mereka terbenam dalam
kesepian. Barulah kemudian Panembahan Ismaya yang
bijaksana berkata, "Ki Sanak Pandan Alas, Arya Salaka dan
Karang Tunggal, marilah kita tinggalkan ruangan ini, biarlah
Anakmas Sarayuda beristirahat."
Pandan Alas yang tua itupun segera menangkap
maksudnya, sehingga bersama-sama dengan Arya Salaka
dan Putut Karang Tunggal, merekapun meninggalkan
ruangan itu. Tinggallah Mahesa Jenar dengan kakunya berdiri
disamping pembaringan Sarayuda, yang menenteramkan
hatinya dengan memejamkan matanya. Agaknya ada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sesuatu yang bergelora didalam dadanya, yang baru akan
dikatakannya apabila Wilis telah datang.
Sesaat kemudian, apa yang dinantikan datanglah. Yang
mula-mula terdengar adalah suara gadis kecil yang renyah
dan bersih, sebersih air yang baru memancar dari
sumbernya, "Paman, inilah bibi."
Seperti disentakkan Mahesa Jenar memutar tubuhnya,
menghadap pintu. Dan apa yang dilihatnya adalah Rara
Wilis tidak dalam pakaian seorang laki-laki, tetapi ia telah
mengenakan pakaian wanita. Bergetarlah seketika dada
Mahesa Jenar oleh perasaan yang menyelip-nyelip tak dapat
dikendalikan. Demikianlah untuk beberapa saat tak sepatah
katapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan kemudian
agaknya Rara Wilis yang mula-mula dapat menguasai
perasaannya yang memang telah dipersiapkan sejak lama.
Katanya, "Kakang Mahesa Jenar, yang selama ini tersimpan
di dalam dadaku adalah perasaan terima kasih yang tak
terhingga atas pertolongan Kakang, yang pada saat itu aku
tidak sempat mengucapkannya."
Mahesa Jenar mengangguk sedikit, jawabnya, "Lupakanlah itu Wilis. Sebagaimana kewajiban kita, manusia
yang hidup diantara manusia adalah saling menolong."
Meskipun hatinya sendiri berkata lain. Berkata tentang
keindahan yang sempurna yang memancar dari tubuh gadis
itu. Gadis yang pada saat terakhir telah membanting-
banting perasaannya, setelah ia terpaksa membunuh ayah
gadis itu. Rara Wilis tidak menjawab sepatah katapun selain
wajahnya terkulai jatuh di lantai. Tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat kepada Sarayuda yang terbaring dengan lesunya,
menunggu gadis itu. Untuk sesaat Mahesa Jenar jadi
bimbang. Apakah ia akan tetap pada pendiriannya "
Menyerahkan kebahagiaan itu kepada Sarayuda..." Dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pada itu terbersitlah suatu ketetapan di hatinya, meskipun
hati itu sendiri akan terpecah. Biarlah ia mengorbankan
dirinya kalau dengan demikian sebuah jiwa akan tertolong.
Jiwa yang sangat berharga bagi beribu-ribu jiwa lain di
daerah kekuasaannya. Katanya kemudian diantara desah jantungnya yang
semakin cepat, "Wilis... seseorang menanti kau. Masuklah."
"Seseorang...?" katanya bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, "Ya,
seseorang." "Kau...?" desaknya. Mahesa Jenar menggeleng lemah.
Lemah sekali. Rara Wilis menjadi ragu. Seseorang mencarinya, dan
orang itu bukan Mahesa Jenar.
Akhirnya terdengar suara Mahesa Jenar, "Masuklah
Wilis." Untuk sesaat Wilis masih tetap tegak di muka pintu.
Seolah-olah ia tidak kuasa menggerakkan kakinya untuk
melangkah masuk. Wajahnya tampak membayangkan
kebimbangan hatinya. Maka kemudian Mahesa Jenar yang melangkah keluar,
dengan langkah berat sambil membangunkan Wilis yang
sedang tenggelam dalam keraguan. "Masuklah Wilis.
Seseorang memerlukan kau datang. Mudah-mudahan kau
membawa udara segar baginya."
Meskipun Rara Wilis masih tetap ragu, namun ia pun
perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam ruangan itu.
Perlahan-lahan seperti orang yang masuk ke daerah yang
sama sekali asing baginya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika Rara Wilis bergerak, Mahesa Jenar melangkah
pula menjauhi pintu itu. Ruangan yang semula dipergunakan Panembahan Ismaya untuk menerima
rombongan itu, kini telah sepi. Tak seorang pun berada di
sana. Panembahan Ismaya, Kanigara, Arya Salaka dan
Karang Tunggal, bahkan Widuri pun telah tidak nampak
lagi. Bagaimanapun Mahesa Jenar

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencoba untuk mengendapkan perasaannya namun terasa seolah-olah
sesuatu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Karena itulah ia
dengan gelisah berjalan mondar-mandir seperti laki-laki
yang gelisah menanti kelahiran anak pertamanya. Beberapa
kali ia mencoba melupakan kegelisahannya dengan
mengamati berbagai benda yang menghiasi ruangan itu.
Beberapa patung kecil, tergantung beberapa macam clupak
lampu minyak kelapa. Di tiang-tiang ruangan itu tampak
juga bergantungan beberapa macam topeng dari berbagai
jenis. Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan
benda-benda itu satu demi satu. Meskipun ia melihat
semuanya itu, namun seolah-olahtidak sadar pada
penglihatannya. Bahkan kemudian dengan lesunya dibantingnya dirinya pada sebuah batu hitam tempat duduk
di dalam ruangan yang sepi itu.
Di luar, matahari yang terik seakan-akan membakar
padas-padas pegunungan yang memantulkan sinarnya
kemerah-merahan. Daun-daunan yang menjadi tertunduk
lesu seperti segan memandang sinar matahari yang
agaknya tak bersikap bersahabat. Beberapa daun kering
meluncur lepas dari pegangannya oleh ketuaannya, dan
berguguran di tanah. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mata Mahesa Jenar lepas lewat pintu langsung menusuk
ke daerah matahari yang silau, terbanting di batu-batu
padas yang kepanasan. Alangkah panasnya udara.
Beberapa tetes peluh menetes dari dahinya. Kemudian
dengan lesu pula Mahesa Jenar berdiri dan melangkah ke
arah pintu keluar. Di depan pintu ia tertegun heran. Pada
mula-mula ia datang ke padepokan itu, di ruang ini pula ia
mengagumi pertamanan yang asri, yang terbentang di
hadapan rumah kecil itu. Bahkan ia mengagumi pula
kesejukan udara yang dilemparkan oleh pepohonan yang
pepat rimbun itu ke dalam rumah. Tetapi kenapa tiba-tiba
sekarang udara di sini menjadi panas sekali" Akhirnya ia
sadar bahwa udara yang panas itu tidak dilontarkan oleh
udara pegunungan kecil itu, tetapi agaknya ditimbulkan dari
dalam dirinya sendiri yang gelisah.
Tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut, ketika ia menoleh
dilihatnya Rara Wilis berlari keluar ruangan dan
menjatuhkan dirinya di atas tempat duduk batu hitam.
Seterusnya ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya
dan menangis sejadi-jadinya.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah
gelisah. Cepat-cepat ia memasuki ruangan tempat Sarayuda
berbaring. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika melihat
Sarayuda masih bernafas dengan teratur. Bahkan ketika ia
melihat Mahesa Jenar datang kepadanya, dengan
tersenyum ia berkata, "Aku bertambah segar, Mahesa
Jenar." "Syukurlah Sarayuda," jawab Mahesa Jenar singkat.
"Bagiku, semuanya telah selesai," sambung Sarayuda.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar memandang wajah Sarayuda dengan
tajamnya. Senyumnya masih saja membayang di wajahnya
yang sudah menjadi kemerah-merahan.
"Aku mengharap demikian," jawab Mahesa Jenar, tetapi
hatinya terasa pedih. Kemudian Sarayuda berkata, "Mahesa Jenar, sekarang
aku akan dapat tidur nyenyak. Mudah-mudahan aku lekas
sembuh dan dapat kembali ke Gunung Kidul, meskipun
kekuatanku belum pulih benar."
"Aku ikut berdoa, Sarayuda," sahut Mahesa Jenar
kosong, sekosong dadanya saat itu.
Sarayuda menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia
berusaha untuk memejamkan matanya.
Dengan gerak-gerak yang kaku, Mahesa Jenar melangkah keluar dari ruangan itu. Sampai di depan pintu
kembali ia melihat Rara Wilis masih menangis sambil
menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Dengan tak sengaja Mahesa Jenar berjalan mendekatinya.
Kemudian hampir berbisik Mahesa Jenar bertanya, "Kenapa
kau menangis Wilis...?"
Mendengar suara Mahesa Jenar, tangis Rara Wilis agak
mereda. Dengan isak yang ditahan, ia mengangkat
wajahnya. Matanya yang basah memandang Mahesa Jenar
dengan persoalan. Meskipun demikian hati Mahesa Jenar
masih saja berdebar-debar memandang wajah yang basah
itu, seperti memandang bulan disaput awan. Tetapi Rara
Wilis tidak menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Sehingga
beberapa saat mereka saling berdiam diri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kakang..." akhirnya terdengar Rara Wilis berkata,
"Alangkah sulitnya hidup yang harus aku tempuh. Banyak
masalah yang berkembang diluar kemauanku sendiri."
"Memang demikianlah agaknya," jawab Mahesa Jenar.
"Banyak hal yang harus kita lakukan, meskipun kadang-
kadang bertentangan dengan perasaan sendiri. Namun
demikian setiap perbuatan hendaknya dilandasi dengan
tujuan yang bersih. Demikianlah apa yang akan kita lakukan
nanti. Dan demikian pulalah keputusanku."
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Matanya yang
mengaca itu tiba-tiba memancarkan pertanyaan- pertanyaan. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dimaksud oleh Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Rara Wilis
terpaksa bertanya, "Apakah maksudmu Kakang?"
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab pertanyaan Rara Wilis. Malah ia bertanya, "Wilis,
apakah kau menangis karena sedih atau karena kau terharu
atas masa depanmu yang gemilang?"
Rara Wilis menggelengkan kepala. Kemudian jawabnya,
"Aku tidak tahu Kakang."
Mata Mahesa Jenar kemudian menatapnya tajam-tajam,
seperti akan menembus dada Wilis. Dada seorang gadis
yang sedang bergelora. Yang sejenak kemudian meneruskan kata-katanya, "Kakang... aku bergaul dengan
Kakang Sarayuda sejak kecil. Aku mengenalnya sebagai
seorang yang paling dekat diantara kawan-kawanku.
Apalagi kemudian setelah meningkat lebih besar lagi,
menjelang masa dewasa kami. Ia selalu dekat dengan
Kakek. Lalu, kemudian Sarayuda lenyap dari kampung
halaman kami. Ternyata ia ikut dengan Kakek dan berguru
kepadanya. Pada suatu saat ia muncul kembali di kampung
kami. Sarayuda telah berubah menjadi seorang pemuda
yang perkasa. Ia datang untuk mengusir perempuan yang
mengganggu ketenteraman kami. Mengganggu ayah serta
keluarga kami. Agaknya ia mendapat tugas dari Kakek.
Tetapi sayang, ia datang terlambat. Ayah telah pergi
meninggalkan kami bersama perempuan jahat itu, yang
ternyata kemudian menetap di Gunung Tidar dan
menamakan diri mereka suami-istri Sima Rodra muda di
bawah perlindungan Sima Rodra tua dari Lodaya.
Sejak saat itu Sarayuda sekali datang, sekali lenyap
kembali. Namun agaknya ia dapat merebut hati seluruh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
penduduk daerah kami. Ternyata kemudian ia terpilih
menjadi Demang." Mendengar cerita itu tubuh Mahesa Jenar menjadi
gemetar. Dadanya berdesir hebat. Setiap kata Rara Wilis
tentang keperkasaan Sarayuda, bahkan setiap kata yang
menyebut nama laki-laki itu terasa seperti ujung-ujung duri
yang menusuk-nusuk jantungnya. Dan tiba-tiba saja ia
seperti orang yang ingin melarikan diri dari cerita itu. Cepat-
cepat ia melangkah ke pintu dan dengan kakunya berdiri
berpegangan uger-uger-nya seolah-olah ia takut bila
kakinya yang bergetar itu tidak mampu lagi menahan berat
tubuhnya. Rara Wilis mengikutinya dengan sinar yang memancar
dari matanya yang bulat. Tetapi ia tidak tahu apakah yang
menggelegak di hati laki-laki itu. Karena itu ia masih
melanjutkan ceritanya, "Kemudian datanglah masa itu.
Masa dewasa kami, masa dimana dada kami dipenuhi
impian-impian masa depan. Tetapi sebagian dari masa itu
sama sekali tak dapat aku nikmati. Sebab masa-masa itu
aku sedang dihadapkan pada suatu kenyataan pahit. Ibuku
meninggal dunia. Dan aku terpaksa meninggalkan kampung
halaman, mencari kakekku untuk menyangkutkan diri dalam
limpahan kasih sayang. Seperti pada masa kanak-kanakku.
Akhirnya aku bertemu kembali dengan Sarayuda. Dan
seperti yang Kakang ketahui, Kakang Sarayuda mengharapkan sesuatu dariku, tidak sebagai adik
seperguruannya, tetapi sebagai seorang laki-laki terhadap
seorang wanita." Kata-kata Rara Wilis itu bagi Mahesa Jenar terasa
menusuk jantungnya semakin pedih. Sehingga kemudian
dengan suara gemetar, tanpa menoleh ia menyahut,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Perasaan yang lumrah, yang dapat timbul di dalam setiap
dada." "Ya," potong Rara Wilis. "Perasaan yang lumrah. Dan
perasaan itu sedemikian dalamnya menggores di hati
Kakang Sarayuda." Sekarang Mahesa Jenar tidak kuasa lagi menahan
perasaannya. Ia telah bertekad untuk meninggalkan
impiannya terhadap gadis yang baginya memiliki keindahan
yang tanpa cela itu. Tetapi untuk mendengarkan cerita itu
terasa seolah-olah keindahan yang telah dilepaskannya itu
diperagakan di hadapannya. Karena itu, tiba-tiba Mahesa
Jenar membalikkan tubuh, dan dengan mata yang tajam ia
memandang Rara Wilis yang menjadi keheran-heranan
melihat sikap Mahesa Jenar. Apalagi kemudian terdengarlah
suaranya menggeram, "Wilis, katakan... katakanlah kepadaku bahwa kau juga mencintainya. Dan kau
menerima keadaan ini dengan dada terbuka, bahkan kau
merasa bahwa kau menghadapi masa gemilang. Masa yang
bahagia sebagai istri Demang yang kaya raya, yang disuyuti
oleh beribu-ribu orang." Kemudian terdengar suara Mahesa
Jenar merendah, "Wilis... aku akan ikut bahagia bila aku
melihat kau menjadi bahagia. Bahkan aku siap untuk
berbuat apapun untuk ikut serta mempertahankan
kebahagiaanmu itu, kalau seandainya orang-orang semacam Jaka Soka mengganggu ketenteraman hidupmu."
Setelah itu Mahesa Jenar tidak kuasa lagi meneruskan
kata-katanya. Namun kata-kata itu ternyata sangat
mengejutkan hati Rara Wilis, sampai ia meloncat berdiri
dengan wajah yang memancarkan seribu satu pertanyaan.
Demikianlah untuk sesaat Rara Wilis tidak tahu apa yang
akan dikatakan. Baru kemudian terdengarlah ia berkata
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan bibir yang gemetar, "Kakang, apakah kata-kataku
tidak pada tempatnya...?"
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya. Dan dengan
suara yang gemetar ia menjawab, "Aku akan dapat
menyaksikan kau berbahagia, Wilis. Tetapi aku tidak dapat
mendengar itu dari kau sendiri. Aku minta janganlah kau
menambah hatiku jadi terpecah-pecah."
Kening Rara Wilis jadi berkerut. Tiba-tiba ia mengerti apa
yang tersimpan di dalam hati Mahesa Jenar. Namun
demikian ia ingin meyakinkan, "Kakang Mahesa Jenar...
apakah yang telah terjadi padamu..." Adakah kau
bermaksud melarikan diri...?"
Mahesa Jenar tersentak. "Melarikan diri...?" desisnya.
Mata Rara Wilis jadi bercahaya. Namun cahayanya bukan
cahaya yang bening, tetapi cahaya yang memancarkan
kepedihan yang tumbuh di hatinya. Lalu katanya, "Kau akan
mengulangi kata-katamu beberapa tahun yang lalu" Akan
kau katakan juga sekarang bahwa kau akan menjadi
seorang pahlawan dalam bercinta. Kakang, kita sudah
bertambah dewasa. Umur kita telah melampaui masa yang
seindah-indahnya dalam hidup kita. Dan sekarang kau
masih terbenam dalam cahaya purnama yang baru
mengembang. Kakang, haruskah aku mengatakan sesuatu
yang sama sekali tidak berakar di dalam dadaku, karena
aku ingin menuruti kemauanmu. Tidak Kakang. Ketahuilah
bahwa sejak kepergianmu tanpa pamit beberapa tahun
yang lalu, aku sudah mencobanya. Mencoba mengisi


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagian hatiku yang lenyap bersamamu dengan seorang
yang bernama Sarayuda. Tetapi aku tidak berhasil Kakang.
Kakang Sarayuda bagiku adalah saudara tua yang penuh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kasih sayang kepada adiknya. Dan tahukah kau apa yang
baru saja dikatakan kepadaku...?"
Mahesa Jenar seperti terpaku berdiri di tempatnya. Kata-
kata Rara Wilis itu dengan tajamnya menusuk menembus
tulang sungsum. Tetapi bersamaan dengan itu, tumbuh
pula di dalam dadanya suatu perasaan yang melonjak-
lonjak, sehingga tubuhnya kemudian menjadi menggigil.
Dari mulut Rara Wilis sendiri sekarang ia mendengar,
bahwa gadis itu menaruh harapan sepenuhnya kepadanya.
Tetapi justru karena itulah malahan ia terbungkam, sampai
kembali terdengar suara Rara Wilis meneruskan, "Kakang
Mahesa Jenar, aku tidak peduli apakah yang akan kau
katakan tentang diriku. Tetapi aku merasa bahwa beban
yang menyumbat dadaku kini telah aku tuangkan.
Seluruhnya. Dan dadaku kini telah terbuka bagimu.
Terserahlah kepadamu akan nilai-nilai yang kau berikan
kepadaku. Kepada seorang gadis yang membuka hatinya
kepada seorang laki-laki, di hadapan wajahnya."
"Wilis..." desis Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat
meneruskan sebab kembali Wilis memotong, "Nah Kakang.
Sekarang kalau kau akan pergi, pergilah. Tinggalkan aku
sendiri. Katakan kepada bukit-bukit kecil itu, kepada
karang-karang dan batu-batu, kepada angin dan pepohonan, kepada bulan dan bintang, bahwa seorang laki-
laki telah pergi dengan hati terpecah belah untuk memberi
kesempatan orang lain menikmati kebahagiaan, sedang
orang lain itu sama sekali tidak menghendaki. Tetapi jangan
katakan hal itu kepada seseorang yang akan kau jumpai
dalam pelarianmu, sebab kau akan ditertawakan. Mungkin
orang itu akan mengikutimu untuk melihat kapan kau akan
membunuh dirimu." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Wilis..." potong Mahesa Jenar hampir berteriak. Namun
kali inipun suara Rara Wilis mengatasinya, "Jangan takut
melihat bayangan wajahmu yang pucat, serta jangan takut
kau melihat hatimu yang sama sekali tidak memancarkan
kejujuran." Mahesa Jenar tertunduk lesu. Ia tidak ingin memotong
kata-kata gadis itu lagi. Bahkan sekarang, ia melihat pada
sorot mata Rara Wilis, bayangan tentang dirinya. Tentang
seorang laki-laki yang berkelana di padang yang tandus,
penuh batu-batu karang yang tajam dan pendakian yang
terjal di bawah terik matahari yang membakar kulitnya yang
berwarna tembaga. Yang dalam kehausan, melemparkan
seteguk air yang segar dingin dari mangkuk ditangannya.
Tetapi kemudian laki-laki itu sendiri menjadi hampir mati
kehausan. "Tidak," katanya tiba-tiba. "Aku tidak menuang air itu di
atas batu-batu yang mati. Tetapi aku tuangkan air itu ke
dalam mulut seseorang yang hampir mati kehausan pula."
Rara Wilis mencoba menangkap kata-kata yang tiba-tiba
saja terlontar dari mulut Mahesa Jenar itu. Namun dalam
sesaat ia telah dapat mengerti maksudnya. Karena itu ia
menyahut. "Lalu kau sendiri yang akan mati. Tetapi jangan
harapkan seseorang datang padamu dan menaburkan
bunga di atas tubuhmu."
Mahesa Jenar tidak dapat lagi menipu dirinya sendiri. Ia
tidak lagi dapat memungkiri kata-kata Rara Wilis. Namun
demikian ia berusaha untuk mematahkan pengakuannya
itu. Dengan wajah yang tegang kaku ia memutar tubuhnya
membelakangi Rara Wilis lalu cepat-cepat ia ingin
meninggalkan ruangan itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar isak yang seolah-olah
meledak begitu hebatnya. Ketika ia sekali lagi menoleh, ia
melihat Rara Wilis sambil menangis terduduk di atas sebuah
batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Dan kembali kedua
telapak tangannya menutupi wajahnya yang basah karena
air mata. Melihat keadaan itu Mahesa Jenar tertegun sejenak.
Bahkan diluar sadarnya perlahan-lahan ia berjalan
mendekatinya. Namun ia menjadi bertambah bingung, dan
tidak tahu apa yang akan dilakukan. Maka kemudian yang
dapat dikatakannya hanyalah beberapa kata yang serak,
"Wilis, kenapa kau menangis lagi?"
Sekali ini, seolah-olah Rara Wilis tidak mendengar kata-
katanya, bahkan tangisnya menjadi semakin keras. Dan
karena itu Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.
"Wilis," katanya kemudian sekenanya saja, "Jangan
menangis demikian. Apabila seseorang melihat keadaanmu
itu, maka akan timbul berbagai prasangka yang mungkin
kurang menyenangkan."
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Rara Wilis
mencoba mengangkat wajahnya. Meskipun tangisnya masih
belum berhenti. Diantara isaknya terdengar ia berkata,
"Kakang, aku tidak akan menahanmu lagi. Pergilah
seandainya itu akan membawa kepuasan bagimu."
Hati Mahesa Jenar sekali lagi terlonjak. Namun ia melihat
bahwa apa yang diucapkan oleh Rara Wilis itu sama sekali
bukanlah yang dimaksud sebenarnya. Karena itu ia
bertanya, "Begitukah yang kau kehendaki Wilis...?"
Bibir Rara Wilis bergerak melukiskan sebuah senyum
yang pahit diantara tangisnya. Lalu jawabnya, "Aku
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mencoba berbuat seperti apa yang kau lakukan. Menipu diri
sendiri." Kata-kata itu tepat menyusup ke dalam relung hati
Mahesa Jenar yang paling dalam. Sekarang benar-benar ia
tidak dapat melarikan diri lagi. Ia merasa seperti seseorang
yang terjun ke dalam arena perkelahian, yang harus
memilih salah satu diantara dua, membunuh atau dibunuh.
Tetapi tiba-tiba ia teringat kata-kata Rara Wilis tentang
Sarayuda. Maka dengan serta merta ia bertanya "Wilis, kau
tadi bertanya kepadaku, apakah aku tahu apa yang
dikatakan oleh Sarayuda?"
Rara Wilis mengangguk. "Tentu aku tidak tahu Wilis," sambung Mahesa Jenar,
"Kau mau mengulang kata-kata itu...?"
"Tak ada gunanya," jawab Rara Wilis.
Mahesa Jenar tertegun sebentar, lalu katanya, "Mungkin
ada. Kalau kau tak berkeberatan katakanlah."
Rara Wilis memandang wajah Mahesa Jenar yang basah
oleh keringat dingin itu dengan seksama, seolah-olah ia
ingin melihat setiap garis yang tergores padanya. Kemudian
dengan perlahan-lahan ia berkata, "Kakang dengarlah apa
yang dikatakan Kakang Sarayuda kepadaku. Memang
semula aku ingin mengatakan kepadamu, dan aku sudah
mengambil ancang-ancang. Sebab aku adalah seorang
gadis. Tetapi agaknya hatimu terlalu mudah tersentuh
sehingga aku terpaksa melampaui batas-batas keterbukaan
hati seorang gadis."
Rara Wilis berhenti sejenak, lalu meneruskan, "Kakang,
tadi Kakang Sarayuda berkata kepadaku, bahwa aku harus
memaafkannya atas segala perlakuannya yang telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melampaui perlakuan seorang kakak terhadap adiknya. Ia
mengharap bahwa aku akan dapat melupakan itu semua,
sebab katanya, ... sepantasnya ia menjadi kakak yang
baik." Mahesa Jenar mendengar kata Rara Wilis itu seperti
beratus guntur yang menggelegar di depan telinganya.
Bahkan kemudian seolah-olah ia menjadi orang yang lelap
terbenam dalam alam impian. Dan di dalam mimpi itu ia
mendengar suara Rara Wilis meneruskan, "Tetapi, Kakang,
aku tahu bahwa hatinya remuk karena itu. Ia mencintaiku
sejak lama.Sejak kami meningkat dewasa. Namun agaknya
suatu kenyataan harus dihadapinya. Yaitu, bahwa ia
bersaing dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya
dengan jalan apapun juga. Karena itu, sebagai seorang laki-
laki yang dapat mengukur dirinya, serta seorang laki-laki
yang hidupnya berjejak di atas tanah, dengan ikhlas ia
berkata kepadaku, ... Wilis, pilihlah jalanmu sendiri. Jangan
hiraukan aku." Rara Wilis berhenti sejenak menelan
ludahnya, baru ia meneruskan. "Tetapi Kakang, aku melihat
keikhlasan membayang di wajahnya. Setelah ia berceritera
tentang kesalahan yang dilakukannya dengan tidak
menghiraukan nasehat kakek dan sebagainya, ia akhiri
kata-katanya, ... Wilis, mudah-mudahan kau menemukan
hari depan yang gemilang." Sekali lagi Rara Wilis berhenti.
Terasa di lehernya sesuatu yang menyumbat, sehingga
dengan terputus-putus ia meneruskan, "Aku menjadi
kasihan kepadanya kakang, justru karena ia melepaskan
aku dengan penuh keikhlasan. Namun aku tidak dapat
memaksa diriku untuk menganggapnya lain daripada
seorang kakang yang baik.
Mahesa jenar masih berdiri seperti patung, namun suatu
pergolakan yang dahsyat berputar di dalam dadanya. Suatu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
gejolak perasaan yang melanda dinding-dinding jantungnya
sehingga seolah-olah akan pecah karenanya. Kemudian
terdengar Rara Wilis meneruskan, "Kemudian Kakang di
sini, di hadapanku, dimana aku menaruh suatu harapan
atas masa depan. Di sini aku berada dalam keadaan yang
sebaliknya. Kepadamu aku selalu mencoba untuk
melenyapkan setiap kenangan. Apalagi setelah Kakang
Mahesa Jenar membunuh ayahku yang selama ini aku cari.
Tetapi kembali aku tidak dapat memaksa diriku menutup
suatu kenyataan di dalam diriku atas kenangan yang
muncul dalam setiap saat. Kenangan yang menjadi semakin
jelas apabila aku berusaha untuk melenyapkannya. Tetapi
aku ternyata menjumpai suatu kenyataan yang lain. Aku
melihat sekali lagi, atas apa yang pernah aku alami.
Seseorang telah berusaha melepaskan aku lagi. Namun
bedanya, keikhlasanmu lain dengan keikhlasan Kakang
Sarayuda. Dimana pada saat terakhir Kakang Sarayuda
telah menemukan cahaya yang menyoroti hatinya, yang
dengan demikian ia dapat membaca perasaan yang
tergores di dalam dadaku. Tetapi kau, Kakang..., kau
mencoba untuk menghapus goresan itu. Bahkan goresan di
dalam dadamu sendiri, dan menggantinya dengan bunyi-
bunyi yang lain." Suara Rara Wilis kemudian tenggelam dalam tangisnya.
Mahesa Jenar tiba-tiba seperti terbangun dari kelelapannya.
Dengan penuh gejolak di dalam dadanya, tiba-tiba ia
meloncat dan berlari ke dalam ruangan dimana Sarayuda
terbaring. Apa yang dikatakan Rara Wilis tentang laki-laki
itu sangat berkesan di hatinya. Bahkan dengan demikian ia
menjadi ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri.
Mendengar langkah Mahesa Jenar, Sarayuda membuka
matanya. Dan ketika dilihatnya Mahesa Jenar berdiri di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sampingnya dengan nafas yang terengah-engah, tergoreslah sebuah senyuman di bibir Sarayuda. Senyum
yang memancar dari lubuk hatinya.
"Sarayuda..." terloncatlah kata-kata yang terbata-bata
dari mulut Mahesa Jenar. "Kenapa kau lakukan itu...?"
Senyum Sarayuda semakin jelas membayang wajahnya
yang jernih. Kemudian jawabnya lirih, "Kau keberatan...?"
Mahesa Jenar tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Bahkan nafasnya menjadi semakin cepat mengalir.
"Mahesa Jenar..." bisik Sarayuda, "Akhirnya aku merasa
bahwa kata-katamu mengandung kebenaran. Yang kita
persoalkan adalah seseorang yang memiliki perasaan
seperti kita. Karena itu, akhirnya aku insaf bahwa aku
adalah seorang yang terlalu mementingkan diri sendiri.
Yang melihat segala masalah seolah-olah berkisar di sekitar
dan berpusat pada diriku. Namun syukurlah bahwa Tuhan
memberi petunjuk, sehingga aku menemukan jalan yang
wajar." Mahesa Jenar menundukkan kepala, dan dari bibirnya
terdengarlah ia berkata, "Sarayuda, aku telah salah sangka
terhadapmu." Sarayuda tertawa perlahan, lalu katanya, "Aku mendengar semua pembicaraanmu dengan Wilis. Kakang
Mahesa Jenar, jangan lukai hatinya. Ia mempunyai lagi
sangkutan kasih sayang, selain kakeknya yang tua itu.
Sedang darimu ia mengharapkan kesegaran cinta yang
selama ini hanya pernah didengarnya dari cerita-cerita
kesejukan cinta antara Kama dan Ratih, antara Arjuna dan
Sumbadra, antara Panji dan Kirana."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia hanya menarik nafas
dalam-dalam. Namun dengan demikian seolah-olah ia telah
berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan mencoba
memenuhi permintaan Sarayuda itu.
"Nah, Mahesa Jenar..." Sarayuda meneruskan, "Datanglah kepadanya. Kalau kau mau melaksanakan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pesanku, aku akan menjadi lekas sembuh. Dan aku akan
dapat menyaksikan hari bahagiamu yang akan datang."
"Terimakasih Sarayuda," jawab Mahesa Jenar kaku. Lalu
perlahan-lahan seperti orang yang kehilangan kesadaran ia
berjalan keluar. Ketika ia melangkah pintu, ia melihat Rara
Wilis masih duduk di atas batu hitam itu. Namun tiba-tiba
gadis itu di matanya telah berubah menjadi permata yang
gemilang, permata yang melekat pada sebuah cincin yang
seakan-akan telah melingkar di jarinya.
Rara Wilis yang mendengar langkah Mahesa Jenar,
menoleh pula ke arah pintu. Ia pun terkejut ketika melihat
wajah Mahesa Jenar yang menjadi cerah, seperti cerahnya
Pedang Berkarat Pena Beraksara 7 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Seruling Samber Nyawa 17
^