Naga Sasra Dan Sabuk Inten 31
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 31
tanah adalah cukup luas. Tetapi kalau yang duapuluh lima
bahu itu tanah di sekitar Rawa Pening, maka aku kira kau
akan keberatan." Tetapi hatinya berkata, "Suatu usaha yang tak kenal
kesopanan. Janji itu agaknya telah menutup kemungkinan
untuk mengadakan pembicaraan wajar. Mereka pasti akan
mencari-cari alasan untuk menimbulkan pertengkaran, dan
kemudian menangkapnya hidup atau mati."
Diam-diam Arya Salakapun menghitung jumlah mereka.
Tidak kurang dari limabelas orang. Tetapi sebenarnya
limabelas orang itu tak banyak berarti bagi rombongan kecil
yang hanya berjumlah enam orang itu.
Terdengar kemudian orang Pamingit yang sudah mulai
kehilangan kesabaran itu membentak, "Aku punya
wewenang untuk menangkap kau. Kalau mungkin hidup,
kalau tidak, matipun tak akan mengurangi hadiah yang
sudah dijanjikan." "Bagaimana kalau kau yang mati" Adakah kau akan
menerima hadiah pula?" Tiba-tiba Wanamerta bertanya.
"Diam!" bentak orang Pamingit itu marah. "Meskipun tak
ada hadiah yang dijanjikan buat kau, namun aku ingin juga
menyobek mulutmu itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta mengangkat alisnya yang sudah mulai
keputih-putihan. Tetapi kesan wajahnya masih tetap saja,
sejuk. Bahkan wajah Ira lah yang menjadi tegang
mendengar kata-kata kasar dari pemimpinnya itu. Tetapi
sekali lagi ia tidak mau berbuat apa-apa yang dapat
merugikan kedudukannya. Dalam ketegangan itu terdengarlah Wanamerta berkata,
"Adakah kau mendengar ceritera tentang tanah lapang
beberapa hari lampau" Pada saat itu aku dan Sendang
Papat pun telah hampir mati dikeroyok oleh orang-orang
Pamingit. Tetapi tiba-tiba datang beberapa orang pemuda.
Salah seorang daripadanya dapat memecahkan kepala kuda
dengan tangannya. Waktu orang-orang Pamingit keheranan
dan ketakutan, ia berkata, "Arya Salaka pun mampu
berbuat demikian. Nah, adakah kau dengar. Sekarang
biarlah Arya Salaka mencoba. Karena kau bersikap
permusuhan biarlah kepalamu saja yang dipecahkan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka sendiri geli mendengar kata-kata itu, namun
ternyata ada juga akibatnya. Memang orang Pamingit itu
pernah mendengar peristiwa dari kawan-kawannya. Tanpa
sadar Arya Salaka mengamat-amati tangan anak muda itu.
Di dalam gelap ia melihat tangan itu tidak lebih dari tangan-
tangan yang lain. Tidak sebesar tangan raksasa, dan tidak
terbuat dari baja. "Omong kosong!" Tiba-tiba pemuda itu bergumam,
namun hatinya sendiri ragu. Tetapi bukankah ia mempunyai
banyak kawan" Dan bukankah dengan memukul kentongan,
gardu penjagaan kedua akan memberinya bantuan" Bahkan
dengan isyarat ia dapat menyiapkan laskar Pamingit yang
nanti tengah malam akan membuat gelar perang, untuk
melawan laskar Arya Salaka. Karena pikiran itu, pemuda itu
menjadi tenang kembali. Dengan beraninya ia berteriak,
"Sekali lagi aku peringatkan, turun dari kuda kalian."
Kali ini agaknya orang Pamingit itu sudah tidak mau
berbicara lagi. Mungkin ia akan langsung menyerang atau
akan memukul tanda bahaya. Kemungkinan yang kedua
itulah yang pasti akan dilakukan segera apabila ia tahu
bahwa di dalam rombongan kecil itu ada Mahesa Jenar dan
ada orang yang pernah bertempur melawan beberapa
orang berkuda sekaligus ditanah lapang, Kebo Kanigara.
Arya Salaka pun tidak mau membuang-buang waktu,
sebab tengah malam ia harus sudah berada diantara
laskarnya kembali. Karena itu ketika ia sudah tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali dengan kekerasan atau tindakan-tindakan semacam
itu, maka segera iapun meloncat turun. Tetapi demikian ia
menjejak tanah, demikian ia melangkah dengan lincahnya
menangkap pergelangan orang Pamingit itu. Orang itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa
anak muda itu dapat bergerak sedemikian tangkasnya
seperti burung lawet yang menari-nari di udara. Tetapi
segala sesuatu telah terlambat. Tangan orang Pamingit itu
terasa seperti terhimpit besi. Perasaan nyeri dari
pergelangan tangan itu menjalari tubuhnya sampai ke ujung
ubun-ubun. Terdengar orang itu mendesah menahan sakit.
Tetapi ia adalah pemimpin rombongan pengawal. Tentu
saja ia tidak mau menunjukkan kelemahannya di hadapan
anak buahnya. Dengan tangan kirinya ia mencoba
menghantam dada Arya Salaka. Arya melihat tangan yang
terayun ke arah dadanya. Namun kekuatan orang Pamingit
itu sebagian besar telah lenyap karena perasaan sakitnya.
Dengan demikian, ayunan tangannya itu sama sekali sudah
tak berarti. Arya Salaka pun sama sekali tidak menghindar
ketika dadanya dibentur oleh pukulan itu. Bahkan dengan
tertawa pendek ia berkata, "Jangan meronta-ronta anak
nakal. Sekali-kali kau perlu mendapat pelajaran."
Bukan main panasnya hati orang Pamingit itu mendengar
kata-kata Arya Salaka. Dengan mengerahkan tenaganya ia
berusaha melepaskan tangannya. Tetapi semakin ia
berusaha, semakin sakit tangan Arya Salaka menghimpitnya. Meskipun demikian ia tidak putus asa,
dengan kakinya ia mencoba menyerang. Namun dengan
satu putaran, ia menjadi tidak berdaya.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu seperti
terpaku di tempatnya. Mereka seperti melihat pertunjukan
yang aneh. Tiba-tiba saja mereka melihat pemimpinnya
terpilin tangannya dan kemudian mengaduh tanpa dapat
melawan. Ketika mereka sadar, segera merekapun bergerak maju.
Mereka sudah siap menyerang bersama-sama. Tetapi dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pada itu terdengar Arya berkata, "Tidakkah kau dapat
mengajari anak buahmu untuk tidak berbuat hal-hal yang
dapat membawa bencana bagimu?"
Orang Pamingit itu tahu benar maksud Arya Salaka itu.
Namun ia masih mencoba menggertaknya, katanya,
"Biarlah kau merasakan betapa tajamnya tombak orang-
orang Pamingit. Kalau kau tak segera melepaskan
tanganku, umurmu akan menjadi semakin pendek."
Arya Salaka tertawa. "Kau dengar?" katanya kepada para
pengawal, "Pemimpinmu akan memberi perintah kepadamu." "Bohong," bantah pemimpin pengawal itu, ia masih akan
berkata lagi ketika tiba-tiba Arya menekan lambungnya
dengan tangkai tombaknya. Orang Pamingit itu menyeringai
kesakitan. Tangkai tombak itu benar-benar menyesakkan
nafasnya. Apalagi ketika terdengar Arya berkata, "Tombak
orang Banyubiru agaknya memang tidak begitu tajam
seperti tombak orang-orang Pamingit, namun tombak
inipun akan dapat merontokkan tulang igamu."
Ternyata orang Pamingit itu masih sayang kepada tulang
iganya. Dengan segan-segan ia terpaksa berkata agak
keras, "Jangan berbuat sesuatu demi keselamatanku."
Para pengawal itupun tertegun. Mereka jadi bingung, apa
yang akan mereka lakukan. Kalau mereka menyerang
bersama-sama, mungkin pemimpinnya itu akan mati. Tetapi
kalau mereka tidak berbuat apa-apa, bukankah mereka
telah berbuat kesalahan, dan sekaligus mimpi mereka
tentang tanah yang duapuluh bahu itu akan lenyap"
Dalam keraguan itu terdengarlah Arya berkata,
"Dengarlah para pengawal yang belum mengenal kawan-
kawan seperjalananku. Kecuali aku dan Eyang Wanamerta
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terdapat juga seorang yang pernah kau dengar namanya,
yaitu Paman Mahesa Jenar. Di sampingnya adalah orang
yang pernah menggemparkan tanah lapang itu pula. Ketika
itu orang-orang Pamingit mencoba menangkap Bantaran."
Pemimpin pengawal itu menggeliat. "Setan!" Ia
mengumpat di dalam hati. Pada saat itu iapun ikut serta
mengeroyok orang itu. Tetapi tidak kurang dari sepuluh
orang berkuda sama sekali tak berhasil menangkapnya.
Bahkan beberapa orang kawannya telah jatuh menjadi
korban. Sedang para pengawal yang lainpun pernah juga
mendengar ceritera itu dari kawan-kawan mereka atau dari
pemimpinnya itu. "Masihkah kalian akan melawan kami?" tanya Arya
Salaka. Mereka diam seperti patung. Ternyata di dalam
rombongan itu terdapat orang-orang yang bagi mereka
hanya pernah mereka kenal sebagai tokoh-tokoh dalam
ceritera-ceritera kepahlawanan yang sakti tiada taranya.
Hanya pemimpin rombongan pengawal itu sajalah yang
benar-benar menyaksikan betapa Kebo Kanigara bertempur
melawan mereka. Karena itu nafsu perlawanan merekapun
menjadi lenyap. Mereka memang dapat memukul tanda
bahaya, dan mengundang kawan-kawan mereka dengan
tanda-tanda itu. Namun melawan tokoh-tokoh sakti yang
seolah-olah sudah bukan manusia biasa lagi, mereka
agaknya menjadi segan, sebab sebelum kawan-kawan
mereka datang, nyawa mereka pasti sudah beterbangan.
Arya Salaka merasakan betapa dalam pengaruh kata-
katanya itu. Karena itu segera ia mempergunakan
kesempatan. Katanya, "Ki Sanak. Marilah antarkan aku
sampai ke rumah Paman Lembu Sora. Bukankah sudah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak begitu jauh lagi" Setidak-tidaknya untuk melampaui
gardu penjagaan dan tempat-tempat pemusatan laskar
Pamingit itu." Pemimpin rombongan itu menggeram. Ia menjadi marah
sekali. Tetapi tak satupun yang dapat dilakukan. Sebab ia
tahu benar, bahwa tombak anak muda itu setiap saat dapat
menembus jantungnya. "Marilah..." kata Arya, "Berkuda bersama-sama dengan
aku." Sungguh suatu pekerjaan yang tak menyenangkan.
Tetapi ia masih ingin dapat melihat bintang-bintang yang
bertebaran di langit biru. Karena itu ia tidak membantah.
Selagi ia masih hidup, ia masih mempunyai harapan untuk
melepaskan diri. Dengan langkah yang kosong pemimpin
pengawal itu didorong oleh Arya Salaka ke kudanya untuk
kemudian meloncat ke punggung kuda itu dan menaikinya
bersama-sama. Kemudian kuda-kuda itupun bergerak.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan untuk
menyelamatkan jiwamu?" bisik Arya kepada orang Pamingit
itu. Orang itu tidak menjawab. Tetapi kupingnya serasa
tersentuh api. Meskipun demikian ia berkata, "Jangan
berbuat sesuatu, supaya aku tidak memecatmu."
"Padamkan obor," perintah Arya seterusnya.
Ketika obor-obor mereka telah padam, mereka meneruskan perjalanan mereka yang penuh dengan
bahaya. Sebab mereka sama sekali tidak menduga bahwa
telah diundangkan suatu hadiah yang menarik untuk
menangkap Arya Salaka. Hal itu akan sangat mempengaruhi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
cara berpikir orang-orang Pamingit dan orang-orang
Banyubiru yang berhati goyah.
Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memuji
di dalam hati mereka. Ternyata Arya memiliki ketangkasan
berpikir yang cukup. Dalam keadaan yang demikian, ia
dapat mengatasinya tanpa banyak keributan.
"Pandai juga anak itu menghemat tenaga," bisik Kebo
Kanigara. Mahesa Jenar tersenyum sambil mengangguk, jawabnya,
"Agaknya ia tidak mau merepotkan orang-orang tua ini."
Kemudian mereka berdiam diri, Wanamerta berada rapat
di belakang Arya Salaka. Dua orang yang membawa obor
itupun kemudian dipanggilnya mendekat.
"Sediakan titikanmu," perintah Wanamerta. "Setiap saat
kita perlukan api. Kalau keadaan memburuk harus kita
kirimkan tanda-tanda dengan panah sendaren dan panah
api." Orang itupun segera menyediakan titikan, emput dan
dimik belerang. Supaya dalam keadaan yang tergesa-gesa
mereka dapat segera menyalakan tanda-tanda apabila
diperlukan. "Kalau terjadi perkelahian jangan hiraukan lawan-lawan
kita, tugasmu menyalakan api." Wanamerta meneruskan.
"Baik Kiai," jawab orang itu.
Perjalanan menyusur tepi d esa itu semakin lama semakin
dalam masuk kota Banyubiru. Meski demikian alangkah
sepinya. Tak ada nyala api sama sekali dalam rumah-rumah
di tepi jalan. Agaknya mereka dalam ketakutan yang
sangat. Atau barangkali rumah-rumah di tepi jalan itu sudah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak berpenghuni. Barangkali mereka telah mengungsi
jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari rumah-rumah
mereka yang mungkin akan menjadi ajang perang yang
mengerikan. Orang-orang Pamingit
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata tidak mempunyai kebesaran tekad seperti orang-orang Banyubiru. Mereka
sedikit banyak menggantungkan pekerjaan yang dilakukan
pada upah yang mereka terima. Mereka bekerja pada
Lembu Sora bukanlah karena jiwa pengabdian mereka
kepada tanah kelahiran mereka, atau kepada suatu
keyakinan mereka terhadap kebenaran yang dapat
diperjuangkan oleh para pemimpinnya. Mereka bekerja
bukan semata-mata karena para pemimpinnya, tetapi
mereka bekerja semata-mata karena mereka menerima
upah. Itulah sebabnya orang Pamingit yang berkuda
bersama-sama dengan Arya itupun lebih senang memelihara hidupnya daripada melakukan tugasnya dengan
jantan. Ia masih mengharap untuk dapat hidup dan
melepaskan diri. Pekerjaannya kemudian hanyalah mereka-
reka alasan untuk membebaskan dirinya dari kemarahan
atasannya. Ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat dengan
gardu penjagaan, hati orang itupun menjadi semakin
gelisah. Apakah yang akan dikatakan kepada mereka kalau
orang-orang di gardu penjagaan itu menghentikan
rombongan ini. Sedang kalau mereka akhirnya tahu, bahwa
rombongan ini terdiri dari Arya Salaka dan kawan-
kawannya, maka mereka pasti akan mengambil tindakan.
Dengan demikian, maka jiwanyapun terancam pula oleh
ujung tombak Arya Salaka. Karena itu,demi keselamatan
diri, ia berkata perlahan-lahan, "Kita ambil jalan simpang."
"Jangan menjebak kami," sahut Arya Salaka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku belum gila," bantah orang itu. "Apakah yang akan
kau katakan di hadapan gardu itu nanti kalau kita
melewatinya?" "Itu bukan urusanku tetapi urusanmu kalau kau masih
ingin hidup seterusnya," jawab Arya
"Karena itu, kita lewat jalan simpang yang sempit
disamping pohon Wregu itu," sahut orang itu.
"Apakah tidak mencurigakan?", tanya Arya.
"Lebih aman bagimu," jawab orang Pamingit itu.
"Dan bagimu juga," Arya meneruskan sambil tertawa.
Tiba tiba terdengar dari gardu penjagaan yang sudah
tidak jauh lagi sebuah teriakan,"He, kemana arah angin?".
Arya tahu bahwa kata-kata itu adalah pertanyaan sandi.
Ketika orang Pamingit itu belum menjawab, Arya
meneruskan ujung tombaknya sambil berbisik, "terserah
kepadamu." Orang itu semakin marah, tetapi mulutnya berteriak juga
untuk keselamatannya, "Ke laut!".
"Dimana letak bintang Waluku?" terdengar suara dari
Gardu. "Tenggara", jawab orang Pamingit itu.
"He!," kembali orang di gardu berteriak, "Siapa kau?"
"Dari gardu pertama mengantar orang Banyubiru yang
meninjau medan," jawab orang yang berkuda bersama Arya
itu berteriak. "Kenapa lewat jalan sempit itu"," bertanya suara itu pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ia akan singgah kerumahnya sebentar. Makan dan
mengambil kambingnya yang tertinggal ketika keluarganya
mengungsi," jawabnya.
Orang di gardu itu diam. Mereka membiarkan rombongan
itu lewat meskipun didalam hati bertanya tanya, "kenapa
demikian banyak"," Tetapi karena mereka dapat menjawab
kata kata sandi itu, maka merekapun menjadi tidak
bercuriga. Bahkan kemudian terdengar salah seorang
berteriak, "Bawa kambing kemari, kita panggang disini."
"Baik," jawab orang Pamingit itu.
Dengan demikian, mereka selamat melampau penjagaan
itu. Mereka menyususup jalan sempit kemudian lewat
beberapa halaman, mereka sampai ke jalan kecil yang lain.
"Terimakasih," bisik Arya, "Kau adalah penunjuk jalan
yang baik. Tetapi dimanakah pemusatan laskar Pamingit?"
"Sudah lampau. Diseberang gardu penjagaan tadi,"
jawabnya. Arya percaya. Ita tertawa dalam hatinya. Beginilah nilai
kesetiaan orang Pamingit. Mereka tidak lebih daripada
laskar bayaran yang tak kenal pengabdian.
Ketika mereka sudah mencapai jalan kecil itu, segera
Arya mengenalnya, kemana ia harus pergi.
Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan
orang pamingit itu. ----------o-dwkz-0-arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
V Suara telapak kuda terdengar gemeretak diatas tanah
yang berbatu padas. Didalam malam yang sepi terdengar
seperti suara prajurit yang berpuluh jumlahnya maju ke
medan perang. Tiba tiba ketika mereka masih asik berangan angan
tentang diri masing masing, terdengarlah dari arahgardu
pertama, suara kentongan yang berbunyi dua kali tiga
ganda, sehingga orang dalam rombongan berkuda itu
menjadi terkejut karenanya.
Orang Pamingit itu menjadi gelisah. Siapakah yang telah
memberikan tanda. Bahkan kemudian tanda itu disaut oleh
gardu kedua. "Tanda bahaya?" desis orang Pamingit itu.
"Bahaya apa"," desak Arya.
"Mereka bersiap siap," jawabnya.
"Bohong," potong Arya Salaka, "mereka memberi tanda
bahwa ada musuh masuk kedalam pertahanan mereka."
Orang Pamingit itu diam. Keringat dinginnya mengalir
membasahi punggungnya. Ia sama sekali tidak menduga
bahwa anak buahnya akan membunyikan tanda itu, yang
baginya adalah tanda bahwa maut telah menerkamnya.
Tiba-tiba terasa tengkuknya meremang seperti dirayapi oleh
berjuta-juta semut. Apalagi ketika ujung tombak Arya
semakin lekat di lambungnya.
"Kau masih menduga bahwa tombak orang Banyubiru
tidak setajam tombak orang Pamingit"," tanya Arya.
Orang Pamingit yang semula marah itu kemudian
kehilangan kemarahannya, bahkan dengan menggigil ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjawab: "Tidak, tidak. itu samasekali bukan salahku. Aku
melarang mereka untuk berbuat hal yang tidak kalian
kehendaki." "Bohong!," bentak Arya, "kau pasti memberikan tanda-
tanda rahasia kepada mereka."
"Tidak, tidak," orang itu benar benar menggtigil. Ia
masih senang untuk tetap hidup. A palagi upahnya bulan ini
masih belum diterimanya sama sekali. Alangkah mengerikannya kalau malam ini ia terpaksa mati. Lalu
bagaimana dengan anak isterinya". "Bukan, bukan salahku.
Aku masih ingin hidup. Bukankah aku telah membawa
kalian melampaui gardu kedua?"
Arya harus cepat mengambil keputusan. Suara kentongan itu menjadi semakin merata. Untunglah bahwa ia
sudah mengenal jalan jalan di Banyubiru itu dengan baik.
Karena itu, segera ia mengambil keputusan untuk secepat
cepatnya sampai kerumah pamannya. Mudah mudahan
pamannya dapat mengerti alasan kedatangannya dan dapat
menerimanya untuk beberapa saat saja, untuk berbakti
kepada kakeknya dan apabila mungkin membawa ibunya
keluar dari sarang sarang orang orang licik itu. Sebab tidak
mustahil kalau ibunya akan dijadikan kambing hitam
kemarahan pamannya, atau malahan dijadikan tanggungannya. "Kita harus sampai secepatnya," katanya kepada
Wanamerta. Orang Pamingit itu menjadi semakin gemetar. Seolah-
olah ujung tombak Arya itu telah masuk sejari ke dalam
perutnya. "Bagaimana dengan kau?" bentak Arya kepada orang
Pamingit itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bukan salahku. Aku masih ingin hidup," pintanya
dengan suara menggigil ketakutan.
Arya menjadi kasihan juga melihat orang itu.
"Anakku lima orang," sambungnya, "Yang terkecil baru
berumur 3 bulan. Hidupilah aku. Aku akan tunduk segala
perintahmu." Kata-kata itu meluncur saja tanpa terkendali.
Meskipun hatinya sendiri merasa ragu. Sebab kalau ia
menghadapi keadaan seperti itu, pasti orang itu akan
dibunuhnya. Karena itu ia mencoba meyakinkan, "Anak-
anakku akan kelaparan kalau aku mati. Aku tidak punya
sawah dan istriku bukan juragan. Karena itu aku harus
bekerja menjadi laskar Ki Ageng Lembu Sora, meskipun itu
bertentangan dengan jiwaku sendiri. Sebenarnya aku...."
Orang itu tidak sempat menyelesaikan kata-kata ketika
tiba-tiba ia merasa tangan Arya mendorongnya. Ia merasa
terlempar dari punggung kuda itu dan sekali terguling.
Kemudian ia hanya dapat menyaksikan kuda-kuda itu
berlari semakin kencang dan meninggalkan kepulan debu
yang putih. Untuk beberapa saat ia masih duduk di tanah. Nafasnya
bergelora tak teratur. Namun ketika ia meraba lambungnya,
dan tidak terdapat luka sama sekali, ia menarik nafas
dalam-dalam. Rupa-rupanya ia masih tetap hidup. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata kepada diri sendiri,
"Agaknya anak itu benar-benar tidak mau membunuh aku.
Aneh." Suara derap kuda itupun menjadi semakin lambat dan
akhirnya menghilang di kejauhan. Orang Pamingit itu berdiri
perlahan-lahan. Punggungnya terasa sakit. Agaknya ia
benar-benar jatuh terbanting. Namun ia masih tetap hidup.
Tiba-tiba ia menjadi sangat terharu. Ia masih mempunyai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
harapan untuk bertemu dengan anak istrinya. Mudah-
mudahan kalau besok benar-benar terjadi pertempuran, ia
dapat hidup pula. "Tuhan Maha Pengasih," desisnya. Ia terkejut sendiri
mendengar kata-katanya. Sudah berapa tahun ia tidak
pernah menyebut nama Tuhan. Dan tiba-tiba ia berjanji
pada diri sendiri, kalau ia masih dikaruniai umur panjang, ia
akan rajin mengunjungi masjid. Bahkan ia berjanji untuk
memperbaiki masjid di desanya yang selama ini tak
terpelihara. Ketika ia sedang mengusap air matanya yang tiba-tiba
saja membasahi pipinya, tiba-tiba terdengarlah hiruk pikuk.
Ia mendengar langkah orang berlari-lari. Dari tikungan
muncullah beberapa orang bersenjata dan langsung datang
kepadanya. "Siapa kau?" bentak salah seorang.
"Srengga," jawab orang Pamingit itu.
"Apa kerjamu di sini?" tanya orang itu pula.
Orang Pamingit itu menjadi bingung. Lalu ia menjawab
saja sekenanya, "Aku terjatuh di sini, lihat ini luka di
kakiku." "Terjatuh dari mana?" tanya orang itu pula.
Srengga semakin bingung ketika tiba-tiba seseorang
bertanya, "Kau yang melampaui gardu kedua bersama-
sama dengan orang-orang Banyubiru?"
"Ya," jawabnya kosong.
Akhirnya ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan diri
pula. "Aku ditipunya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bohong," bentak orang itu. "Anak buahmu datang
kepada kami dan menceriterakan apa yang sudah terjadi."
Dada orang itu berdesir. Namun ia masih mencoba untuk
mengurangi kesalahannya. Katanya, "Nah, kalau kau sudah
tahu kenapa kalian bertanya. Coba katakan kepadaku kalau
salah seorang dari kalian mengalami keadaan seperti yang
aku alami. Apa yang akan kalian lakukan" Membunuh diri
dan membiarkan orang itu lari sesudah mengetahui
keadaan medan" Apakah kalian dengan kaki-kaki kalian
dapat mengejar derap lari kuda mereka?"
"Pengecut," bentak salah seorang. "Berapakah jumlah
mereka" Dan berapakah jumlah kalian di gardu pertama?"
"Jumlah kami ada 15 orang," jawab Srengga. "Limabelas
orang dengan orang-orang seperti Ira, Prana, Wreditama
yang hanya bisa jual tampang, Sungsang yang bermata
merah tetapi takut melihat darah."
"Dipimpin oleh Srengga, yang lebih senang memeluk
daging panggang daripada senjatanya," potong seseorang.
"Jangan banyak bicara," Srengga mulai marah. "Kau
belum tahu siapa mereka. Coba katakan berapa orang di
gardu kedua" Berapa?"
"Juga 15 orang. Tetapi 15 orang di gardu kedua tidak
takut melawan limabelas orang berkuda. Jangankan
empat," jawab yang ditanya.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Omong kosong," bentak Srengga. "Dengar. Dengan apa
yang telah aku lakukan, aku telah menyelamatkan kalian.
Kau tahu siapa yang berkuda tadi?"
Orang-orang dari gardu kedua itu tertawa terbahak-
bahak. Salah seorang berkata mengejek, "Menyelamatkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kami" Apakah yang empat orang itu terdiri dari jin" Atau
setan, hantu... atau tetekan?"
"Lebih dari itu," potong Srengga. "Mereka adalah Arya
Salaka." "He...?" semuanya terkejut mendengar nama itu. "Kalau
benar kau benar-benar gila. Duapuluh lima bahu dijanjikan
untuk menangkapnya, hidup atau mati. Dan duapuluh lima
bahu itu kau sia-siakan?"
"Aku belum selesai," sahut Srengga, "Yang lain adalah
Kiai Wanamerta, yang mempunyai takaran tiga empat
orang darimu." "Masih cukup banyak?" sela seseorang.
"Yang lain lagi...," Srengga meneruskan, "Orang itu tidak
lain adalah Mahesa Jenar."
"Mahesa Jenar...?" Mereka berbareng mengulang.
"Ya," jawab Srengga. "Dan yang seorang lagi adalah
orang yang melindungi Bantaran di tanah lapang beberapa
minggu yang lalu." Orang dari gardu kedua itu tiba-tiba terdiam.
"Nah..." Srengga meneruskan, "Hitunglah berapa orang
harus disiapkan untuk melawan mereka. Paling-paling kalian
hanya berani melawan orang-orang yang membawa obor
itu. Mahesa Jenar dan yang seorang lagi, ditambah dengan
Arya Salaka agaknya akan dapat membunuh kami tigapuluh
orang tanpa kesukaran sebelum kami sempat memukul
tanda bahaya." Mereka masih tetap diam. Srengga merasa bahwa orang-
orang itu membenarkan sikapnya, katanya meneruskan,
"Nah, aku bekerja dengan otakku. Aku tidak melawan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka. Aku antarkan mereka masuk lebih dalam ke daerah
Banyubiru. Maksudku aku akan membawanya ke alun-alun.
Di sana laskar kita akan berpesta. Bukankah Ki Ageng
Lembu Sora, Sawung Sariti, dan kalau perlu Ki Ageng Sora
Dipayana ada?" Orang dari gardu itu mengangguk-angguk. Salah seorang
dari mereka berkata, "Agaknya kau pandai bersiasat,
Srengga." "Itulah," jawab Srengga, "Karena ketololan kalian dengan
membunyikan tanda-tanda itu, mereka melarikan diri. Aku
dilemparkan dari punggung kuda tanpa dapat berbuat
sesuatu." "Ke mana mereka?" tanya orang-orang dari gardu kedua.
"Kau akan mengejar mereka?" tanya Srengga pula.
Orang-orang di gardu kedua itu diam.
"Kembalilah ke gardu kalian." Tiba-tiba Srengga
memerintah. "Aku akan kembali ke garduku. Lupakan mimpi
burukmu. Tanah duapuluhlima bahu itu. Sebab kalau
kepalamu telah terpisah dari lehermu, kau tidak akan dapat
menikmatinya." Srengga tidak menunggu jawaban. Ia langsung kembali
ke gardunya. Di sepanjang jalan sempit itu tiba-tiba ia
teringat pada kata-katanya sendiri. Kalau Arya Salaka pergi
ke alun-alun, ia benar-benar dapat dikeroyok oleh laskar
Pamingit, bahkan mungkin dengan Lembu Sora dan Sawung
Sariti. Tanpa sadar, merayaplah suatu perasaan yang belum
pernah dirasakan Srengga sebelumnya. Ia tiba-tiba merasa
cemas terhadap keselamatan lawannya. Baru kali ini hal itu
terjadi. Namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali
tanpa sadar pula ia berdoa di dalam hatinya, semoga Tuhan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Yang Maha Esa melindungi Arya Salaka dan kawan-
kawannya. Dalam pada itu, laskar Banyubiru yang sedang
beristirathat tidak jauh dari perbatasan kota, mendengar
pula tanda-tanda yang dibunyikan oleh orang-orang
Pamingit di Banyubiru. Demikian mereka mendengar bunyi
itu, demikian mereka menjadi gelisah. Sebelum pemimpin-
pemimpin mereka memberikan perintah apapun, mereka
telah menyiapkan diri. Semua orang di dalam pasukan itu,
apalagi orang-orang yang telah dipilih oleh Sendang Papat
untuk menjadi pelopor laskarnya, telah bersiap diri. Mereka
berdiri tegak dengan tekad yang teguh memandangi
lambung bukit di hadapannya. Di leher mereka melingkar
kain putih memplak bergambar gajah berwarna kuning
emas sebagai pertanda kesediaan mereka untuk mati bagi
tanah mereka. Yang paling depan dari mereka itu adalah
Sendang Papat sendiri. Tangannya yang gemetar telah
melekat di tangkai pedangnya. Tetapi ia belum melihat
tanda apapun. Ia belum mendengar bunyi sendaren atau
melihat panah api naik ke udara. Namun karena itulah ia
menjadi semakin gelisah, jangan-jangan Arya Salaka tidak
sempat memberikan tanda-tanda itu.
"Mustahil," gumamnya.
Di sayap kiri, Bantaran pun menjadi gelisah. Meskipun Ki
Dalang Mantingan tampaknya tenang-tenang saja, namun
di dalam dadanya pun bergolak perasaan cemasnya, dan di
tangannya tergenggam erat-erat trisulanya. Di sayap kanan,
Penjawi berjalan hilir mudik di hadapan anak buahnya yang
telah memegang senjata masing-masing. Wirasaba duduk di
atas sebuah batu, dan meletakkan dagunya pada tangkai
kapaknya. Sesekali dua kali ia menarik nafas dalam-dalam
untuk mencoba menekan hatinya yang gelisah. Namun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
merekapun belum melihat tanda apapun yang melontar ke
udara. Sedang pada saat itu kuda Arya Salaka beserta
rombongan meluncur lewat jalan-jalan sempit di dalam
kota. Mereka menjadi semakin dekat dengan alun-alun
Banyubiru, tempat Arya bermain pada masa kanak-
kanaknya. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak memukul jalan-
jalan berbatu memecah sepinya malam. Beberapa orang
yang masih tinggal di rumah masing-masing menjadi
semakin ngeri. Seolah-olah mereka mendegar gemuruhnya
gunung yang meledak di hadapan mereka.
"Adakah laskar Arya Salaka telah datang..." bisik mereka.
Seorang ibu sambil memeluk anaknya di pembaringan
bergumam, "Apakah kira-kira yang akan terjadi...?"
Suaminya, lelaki tua yang duduk di sisinya menjawab
lirih, "Pertempuran akan berkobar di perbatasan. Mudah-
mudahan mereka tidak akan menginjak halaman rumah
kita." Kemudian, lelaki tua itu berdiri dan berjalan ke amben di
sebelah. Ia melihat selusin anak-anaknya yang lain sedang
tidur nyenyak. Ia menarik nafas panjang. Kalau rumahnya
itu terpaksa dibakar orang, entah orang Pamingit entah
orang Banyubiru, dan dirinya sendiri terpaksa diseret di
sepanjang jalan, entah oleh orang Pamingit entah oleh
orang Banyubiru, lalu apakah yang akan terjadi dengan
anak-anak itu. Peperangan adalah sesuatu yang terkutuk.
lebih-lebih bagi anak-anak. A nak-anak yang ingin menikmati
kebesaran alam, yang diperuntukkan bagi mereka oleh
Maha Penciptanya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam bentrokan-bentrokan yang demikian itu segala
sesuatu dapat terjadi. Orang yang tangannya telah dibasahi
darah, kadang-kadang menjadi kehilangan kesadaran.
Orang-orang yang dalam hidupnya sehari-hari tidak sampai
hati membunuh seekor tikus pun, dalam peperangan
kadang-kadang akan dapat melakukan perbuatan- perbuatan terkutuk. Membunuh, menyiksa dan bahkan
terhadap anak-anak. Di rumah sebelah, lelaki tua itu mendengar tangis bayi
melengking-lengking. Tanpa sesadarnya ia menoleh kepada
anak kecilnya yang tidur di pelukan ibunya. "Jangan
menangis," desisnya kepada anak yang tidur itu. Anak itu
memang tidak menangis. Tetapi hati lelaki itulah yang
menangis. Istrinya tahu bahwa suaminya sedang berpikir tentang
bayi yang menangis itu, katanya, "Mengungsi di rumah
sebelah." Suaminya tidak menjawab. Perlahan-lahan ia duduk di
amben beserta empat anak-anaknya tidur berjajar. Wajah
anak-anak itu tampak bersih bening; sebening udara pagi
hari. Tetapi mereka besok akan menggigil ketakutan;
seandainya perang benar-benar berkobar di perbatasan.
Suara kaki-kaki kuda Arya masih menggemuruh, seperti
suara guruh yang menjalar sepanjang jalan, menuju ke
alun-alun. Dalam kegelapan malam, Arya tidak sempat
melihat apakah di alun-alun itu banyak berjaga-jaga laskar
Lembu Sora. Yang dilakukan adalah menerobos alun-alun
itu tepat di tengah-tengah. Di antaranya sepasang beringin,
yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun itu.
Agaknya alun-alun itu memang sepi. Laskar Lembu Sora
hampir seluruhnya telah dikerahkan di pemusatan-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pemusatan laskar di garis pertempuran. Namun di muka
rumahnya, Arya masih melihat segerombolan orang yang
agaknya bertugas menjaga rumah itu. Mereka telah berada
dalam kesiagaan penuh, ketika mereka mendengar tanda
kentongan yang mengumandang di garis perbatasan.
Ketika mereka mendengar derap kuda mendekati,
mereka pun segera memencar. Dari ujung alun-alun itupun
muncul pula segerombolan laskar cadangan. Tetapi
demikian mereka siap, demikian Arya telah berada di
hadapan hidung mereka. Ketika ujung-ujung senjata mengarah kepadanya, Arya
menghentikan kudanya. Demikian juga orang-orang lain
dalam rombongan itu. Dengan tangan kirinya, Arya
memegang tombak kebesarannya, sedang tangan kanannya
diangkatnya tinggi-tinggi, sebagai suatu pertanda bahwa ia
datang untuk tujuan tanpa kekerasan.
Sebelum mendengar sebuah pertanyaan pun, para
penjaga agaknya telah mengenal beberapa orang diantara
rombongan itu. Wanamerta dan Mahesa Jenar. Karena itu
mereka menjadi sangat berhati-hati.
Salah seorang dari mereka kemudian melangkah maju.
Ia berhenti beberapa langkah di hadapan kuda Arya.
Dengan seksama ia mencoba memperhatikan anak muda
itu. Tetapi malam cukup gelap dan cahaya obor di kejauhan
hanya samar-samar sampai. Sedang Arya Salaka telah
lenyap beberapa tahun semasa ia masih terlalu kecil untuk
datang dengan tombak di tangan. Sekarang, di punggung
kuda itu duduk seorang anak muda yang perkasa. Karena
itu orang itu tidak segera dapat mengenal, bahwa anak
muda yang memegang tombak itu adalah Arya Salaka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian terdengarlah suara orang itu dengan
garangnya, "Siapakah kau yang datang bersama-sama
dengan Kiai Wanamerta dan Mahesa Jenar?"
Arya Salaka tersenyum. Ia kenal orang itu. Ketika masa
kecilnya ia sering datang ke Pamingit, dan pernah
dikenalnya pengawal pribadi pamannya itu.
Jawabnya, "Selamat malam Paman Wulungan. Apakah
Paman lupa kepadaku?"
Wulungan mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia
mengamat-amati anak muda itu. Namun sampai beberapa
lama ia masih belum dapat mengenalnya kembali. Tetapi
akhirnya ia tidak perlu mengingat-ingatnya. Ia dapat
bertanya kepadanya. Tidakkah mustahil bahwa di Banyubiru
dan Pamingit ini semua orang mengenalnya sebagai
seorang yang dipercaya untuk menjadi pemimpin pengawal
pribadi Lembu Sora beserta keluarganya" Karena itu sekali
lagi ia berkata garang, "Jawab pertanyaanku. Siapakah
kau?" Arya masih tersenyum. Namun ia menjawab, "Arya
Salaka." "He...?" Orang itu terkejut, "Jadi kaukah Angger Arya
Salaka?" "Ya," jawab Arya.
Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya. Untuk
beberapa saat ia terbenam dalam ingatannya beberapa
tahun yang lalu. Ia selalu baik dan hormat terhadap anak
ini, sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora. Tiba-tiba kali inipun
ia bersikap hormat pula. Sambil mengangguk ia berkata,
"Aku benar-benar pelupa. Tetapi Angger telah tumbuh
demikian cepatnya." Tiba-tiba ia ingat akan tugasnya. Ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ingat tentang apa yang dikatakan Lembu Sora kepadanya,
bagaimanakah ia harus bersikap terhadap keturunan Gajah
Sora atau pengikut-pengikutnya. Karena itu dengan tiba-
tiba pula ia mengubah sikapnya. Ia mencoba untuk berkata
dengan garang seperti semula, meskipun kewibawaan Arya
mempengaruhinya. "Jadi kau yang menamakan diri Arya
Salaka?" Arya sudah tidak tersenyum lagi. Ia melihat perubahan
sikap itu. Dengan tenang ia menjawab, "Ya. Akulah Arya
Salaka." "Apa perlumu datang kemari?" Wulungan bertanya.
"Aku ingin mengunjungi Kakek Sora Dipayana," jawab
Arya. "Kau datang dengan laskarmu?" tanya orang itu pula.
Kembali Arya tersenyum, jawabnya, "Sebagaimana
Paman Wulungan lihat. Aku datang hanya berenam."
Wulungan mengerutkan keningnya. Arya Salaka memang
hanya berenam. Tetapi ia menegaskan, "Siapakah yang
berbaris rapat di perbatasan?"
"Laskarku," jawab Arya Salaka pendek.
"Adakah dengan demikian kau hanya berenam saja?"
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya Wulungan mendesak. "Kalau aku datang dengan seluruh laskarku, maka
pertempuran pasti sudah berkobar," jawab Arya.
"Bukankah maksudmu memang demikian?" sahut
Wulungan. Arya memandang Wulungan dengan seksama. Perubahan sikapnya yang tiba-tiba, serta pertanyaannya
yang mendesak, mengingatkannya kepada kata-kata
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Srengga di gardu pertama. "Duapuluhlima bahu buat
menangkap Arya Salaka. Hidup atau mati."
"Janji yang terkutuk," desis hatinya.
----------o-dwkz-0-arema-o----------
Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 20 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Kemudian kepada Wulungan ia berkata, "Memang.
Maksudku adalah kembali ke Banyubiru. Disetujui atau tidak
oleh Paman Lembu Sora. Karena itu pertempuran bisa saja
berkobar setiap saat. Nah, sebelum aku dibunuh atau
membunuh, aku ingin menghadap Eyang Sora Dipayana
untuk menyampaikan baktiku sebagai seorang cucu, serta
mohon restu sebelum aku mulai dengan tugas beratku ini."
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menahan
napasnya mendengar jawaban Arya Salaka. Agak terlalu
keras. Namun mereka cukup mengerti, bahwa Arya
berbicara dengan Wulungan, pimpinan laskar pengawal
pribadi Lembu Sora, tidak lagi kepada Srengga. Dengan
demikian Arya tidak perlu terlalu banyak merendahkan
dirinya. Terhadap orang seperti Wulungan, Arya memang
harus mempertegas maksudnya.
Tetapi berbeda dengan dugaan Arya Salaka, Wulungan
tidak mendesaknya lagi seperti semula. Di dalam dada
orang itu, timbullah kembali rasa hormatnya. Memang Arya
Salaka sejak kecil menunjukkan sifat jantannya. Dengan
demikian maka Wulungan menjadi percaya, bahwa Arya
Salaka itu benar-benar Arya Salaka yang dikenalnya pada
masa kecilnya. Karena itulah, maka ia menjadi lunak. Permintaan Arya
untuk bertemu dengan eyangnya bukanlah permintaan
yang berlebih-lebihan. Apakah yang akan dilakukan, kalau
ia hanya datang berenam" Di hadapan Ki Ageng Sora
Dipayana yang sakti, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung
Sariti, mereka pasti tidak akan dapat berbuat sesuatu
kecuali benar-benar seperti apa yang dikatakan, mohon
restu dan menyampaikan bakti seorang cucu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Angger Arya Salaka..." jawab Wulungan, "Permintaan
Angger akan kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora
Dipayana. Terserah keputusan yang akan diambilnya.
Menerima atau tidak menerima kehadiran Angger."
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan
Wanamerta menarik nafas panjang mendengar keputusan
Wulungan. Terdengar Arya Salaka perlahan-lahan berkata,
"Terimakasih Paman Wulungan."
Tetapi ketika Wulungan memanggil seseorang untuk
menyampaikan pesan itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana,
terdengarlah suara tertawa nyaring, meskipun tidak terlalu
keras. Kemudian dari dalam regol halaman terdengar suara,
"Agaknya kau mempunyai pimpinan baru Paman Wulungan." Wulungan terkejut seperti juga Arya Salaka, Wanamerta,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Karena itu tiba-tiba
Wulungan terhenti di tempatnya seperti patung. Perlahan-
lahan ia menoleh dan mencoba melihat, siapakah yang
berkata itu, meskipun dengan mendengar suaranya ia
sudah dapat menebaknya. Sesaat kemudian muncullah seorang anak muda dengan
pedang yang besar di pinggangnya. Sawung Sariti.
Wulungan mengangguk hormat kepadanya, dan bertanya, "Apakah maksud A ngger?"
"Akulah yang berhak memberikan perintah, mengubah
dan mencabut perintah, selain ayah Lembu Sora," katanya.
"Apa perintahku yang aku ulangi sore tadi?"
Wulungan menarik nafas panjang, sebab tiba-tiba
nafasnya terasa berhenti di kerongkongan. Terhadap
Sawung Sariti sebenarnya Wulungan agak kurang senang.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sikapnya yang sombong, keras dan menghina orang lain.
Meskipun anak muda ini berhati baja pula. Namun ia
merasakan perbedaan sifat antara kedua anak muda yang
kebetulan dua bersaudara sepupu. Tetapi ia adalah
pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora. Karena itu ia
harus menjalankan pekerjaannya baik-baik. Maka jawabnya,
"Angger memerintahkan, tak seorangpun boleh memasuki
kota, apalagi halaman rumah ini."
"Bagus," sahut Sawung Sariti sambil menarik bibirnya.
"Apa yang akan Paman kerjakan?"
"Mencoba menyampaikan pesan angger Arya Salaka
untuk Ki A geng Sora Dipayana," jawab Wulungan.
"Bagaimanakah seharusnya Paman menjawab?" desak
Sawung Sariti. "Menolak permintaan itu," jawab Wulungan, namun ia
meneruskan, "Tetapi ia adalah Angger Arya Salaka, yang
sekadar ingin bertemu dengan kakeknya."
"Justru ia menamakan diri Arya Salaka!" bentak Sawung
Sariti. Wulungan terdiam. Ia tahu sifat anak muda itu. Ia biasa
membentak-bentaknya di hadapan laskarnya dengan kata-
kata yang menyakitkan hati. Bahkan kemudian Sawung
Sariti berkata, "Malahan ayah Lembu Sora menyanggupkan
hadiah duapuluhlima bahu bagi mereka yang dapat
menangkap anak muda yang menamakan diri Arya Salaka.
Nah sekarang anak itu telah datang menyerahkan dirinya."
Wulungan masih terdiam. Duapuluhlima bahu baginya
sama sekali tidak berarti. Di Pamingit ia memiliki tanah yang
berlebihan. Bahkan tenaganya tak mampu lagi untuk
menggarap seluruhnya. Namun yang penting baginya, sikap
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang demikian bukanlah sikap yang jantan. Bukankah Arya
Salaka dengan jantan datang tanpa pasukan untuk
menyampaikan sujudnya kepada kekeknya" Meskipun
kakeknya berada di pusat kekuasaan lawannya. Tetapi
kemudian ia mencoba untuk melupakan tanggapannya itu.
Bukankah sudah sekian lama ia sendiri hanyut dalam arus
ketidakjantanan sikap Lembu Sora" Akhirnya ia sadar
bahwa sikap Sawung Sariti lah yang telah mendesaknya
untuk menilai kembali setiap perbuatan yang pernah
dilakukan. Sebagai orang yang jauh lebih tua, Wulungan kadang-
kadang merasa sangat terhina oleh pokal anak muda itu.
Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu, sebab Sawung Sariti
adalah putra Ki Ageng Lembu Sora, putra seorang yang
memberinya kedudukan dan pangkat.
Demikian juga kali ini. Ia tidak dapat berkata apapun,
selain menundukkan kepala.
"Tidakkah Paman berusaha menangkapnya?" tanya
Sawung Sariti. "Sekarang Angger ada di sini," jawab Wulungan, "Aku
menunggu perintah Angger."
"Kalau aku tidak datang bagaimana?" bentak Sawung
Sariti. Kembali Wulungan terdiam.
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan
Wanamerta, yang menyaksikan peristiwa itu, perasaan
mereka ikut tersinggung pula. Sikap yang demikian
bukanlah sikap yang tahu adat. Wulungan, meskipun ia
adalah seorang bawahan saja, namun ia berumur jauh lebih
tua dari Sawung Sariti. Apalagi Arya menganggap bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sikap Wulungan adalah bijaksana. Karena itu tiba-tiba
timbullah keinginan untuk menarik perhatian Sawung Sariti,
katanya, "Adi Sawung Sariti. Baiklah aku langsung minta ijin
kepadamu, untuk menghadap Kakek Sora Dipayana."
Sawung Sariti menoleh kepada Arya Salaka. Tetapi
sesaat saja. Kemudian ia kembali memandangi Wulungan.
"Paman. Baiklah kalau aku harus memberikan perintah
berulang kali. Meskipun Paman seorang anggota laskar
pengawal ayah Lembu Sora yang sudah kenyang makan
garam. Dengarlah Paman, tak seorangpun aku ijinkan
masuk ke dalam kota, apalagi ke dalam halaman rumah ini.
Siapapun dan dengan alasan apapun."
Wulungan masih menundukkan kepalanya.
"Kau dengar, Paman...?" tanya Sawung Sariti dengan
lantang. "Ya, aku dengar," jawab Wulungan.
"Nah. Laksanakan," perintah Sawung Sariti.
Wulungan mengangkat mukanya. Dipandanginya wajah
Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya. Kemudian
katanya dengan tenang, "Angger, Angger telah mendengar
perintah Angger Sawung Sariti. Tak seorangpun boleh
memasuki halaman ini, dengan alasan apapun."
"Alangkah liciknya anak muda itu," pikir Arya. Ia hanya
berkesempatan untuk berbicara dengan Wulungan, yang
hanya dapat menjalankan perintah. Namun demikian ia
mencoba untuk sekali lagi berbicara langsung kepada
Sawung Sariti, katanya, "Adi, dapatkah Adi Sawung Sariti
berlaku bijaksana" Aku hanya ingin sekadar menghadap
Eyang Sora Dipayana."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sawung Sariti diam saja. Dengan senyum yang
menyakitkan hati ia berkata kepada Wulungan, "Lakukan
tugasmu baik-baik. Aku akan naik ke pendapa."
"Gila!" Arya Salaka berdesis. Ia adalah anak muda pula.
Darahnya masih hangat-hangat panas. Karena itu ia benar-
benar merasa terhina. Maka ia berteriak keras-keras, "Tak
seorang pun yang dapat menghalangi aku masuk ke
halaman rumahku sendiri. Minggir kalian, atau aku harus
membunuh kalian." Tiba-tiba pula, tombaknya telah berpindah di tangan
kanannya. Ujungnya telah tunduk setinggi dada orang yang
berdiri di atas tanah. Semua yang mendengar suara Arya Salaka itupun
terkejut. Sawung Sariti terhenti pula. Cepat ia memutar
tubuhnya dan tangannya telah melekat di tangkai
pedangnya. Ia melihat Arya telah siap menyerangnya.
Tetapi sebelum Arya Salaka mendorong kudanya menyerbu,
terasa Mahesa Jenar menangkap lengannya. Dengan
tenang gurunya itu berkata, "Tahan dirimu Arya."
Arya menarik nafas. Wajahnya telah memerah darah,
sedang darahnya rasa-rasanya telah mendidih membakar
seluruh tubuhnya. Dengan gemetar ia berkata, "Apa yang
dapat aku lakukan. Aku datang ke kampung halamanku
sendiri. Kenapa aku harus mengalami penghinaan itu?"
"Sawung Sariti...!" teriaknya, "Jangan berperisai orang
setua Paman Wulungan. Hadapilah kedatanganku. Kasar
atau halus." Sawung Sariti maju beberapa langkah. Jawabnya,
"Turunlah. Aku bukan pengecut seperti yang kau sangka."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Hampir saja Arya meloncat turun, kalau sekali lagi
Mahesa Jenar tidak mencegahnya.
"Jangan Arya," katanya, "Sawung Sariti bukanlah orang
yang harus memberi keputusan terakhir."
Nafas Arya menjadi berdesakan meloncat dari hidungnya.
Amat sulitlah baginya untuk dapat menahan diri. Apalagi
ketika kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak. "Minggir
semua. Biarlah anak itu tahu bahwa Sawung Sariti mampu
menjaga daerahnya. Mampu melakukan pekerjaan yang
diperintahkan kepada orang lain."
Tetapi Mahesa Jenar memegangi lengan Arya erat-erat.
"Jangan layani. Kita tunggu perkembangan keadaan.
Dengan teriakan-teriakan itu, mungkin pemanmu Lembu
Sora akan turun ke halaman dan akan memberikan
kesempatan kepadamu."
Tubuh Arya telah benar-benar gemetar. Tetapi ia masih
mencoba menahan diri seperti nasihat gurunya, meskipun ia
terpaksa menggigit bibirnya.
Wulungan dan anak buahnya menyaksikan peristiwa itu
dengan berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka meloncat
mundur, ketika Sawung Sariti memerintahkan mundur.
Yang dilihatnya kemudian adalah Sawung Sariti tegak di
tanah, dengan dada tengadah. Ia memandang Arya Salaka
dengan pandangan menghina seolah-olah Arya Salaka
adalah seorang yang sama sekali tidak patut mendapat
pelayanan. Sedang di atas punggung kuda, Arya duduk
dengan tubuh menggigil menahan diri. Sekali-kali terdengar
giginya gemertak. Sedang dari matanya memancar api
kemarahan. Sekali lagi terdengar Sawung Sariti menantang,
"Turunlah. Atau kau akan bertempur di atas kudamu"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Seperti cara para penyamun menyerang korbannya, supaya
ia dapat cepat melarikan diri?"
Arya Salaka benar-benar terbakar. Ia benar-benar lupa
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri. Dengan tidak diduga-duga Arya merenggut lengannya
dari pegangan gurunya. Dan sekali loncat ia sudah berdiri di
atas tanah dengan tombak Kyai Bancak siap di tangannya.
Pada saat yang bersamaan, berkilat-kilatlah pedang Sawung
Sariti yang besar dan panjang dalam genggaman jari-
jarinya yang kokoh. Keadaan berkembang sedemikian cepatnya. Ketika
Mahesa Jenar menyusul, meloncat turun dari kudanya, ia
sudah terlambat. Kedua anak muda itu telah terlibat dalam
suatu perkelahian. "Arya...." Terdengar Mahesa Jenar memanggil. Tetapi
Arya Salaka tidak mendengar suara gurunya. Dengan
garangnya ia meloncat langsung menghadapi pedang
Sawung Sariti yang berputar-putar seperti baling-baling.
Arya Salaka pun dengan lincahnya menggerakkan tombak
pusakanya. Sekali-kali melingkar dan sekali-kali mematuk.
Cahayanya yang kebiru-biruan memancar berkilau-kilau
memantulkan sinar-sinar obor yang samar-samar sampai.
Keduanya bertempur dengan kemarahan yang menekan
dada masing-masing. Wulungan dan anak buahnya berdiri saja seperti patung.
Mereka memang pernah mengenal cara Sawung Sariti
bertempur. Tangkas, tangguh dan lincah. Sebagai seorang
cucu dari Ki Ageng Sora Dipayana yang langsung mendapat
tuntunan darinya, Sawung Sariti benar-benar tidak
mengecewakan. Seperti ayahnya, ia mampu menggerakkan
pedang yang sedemikian besarnya, seperti menggerakkan
lidi. Karena itu, alangkah berbahayanya pedang itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Menyambar seperti burung elang, tetapi sekali-kali
memagut seperti ular, disertai angin yang berdesis
mengerikan. Betapa kuatnya tangan anak muda itu.
Tetapi mereka menjadi kagum pula melihat lawan
Sawung Sariti itu. Dengan tombak pendek di tangan, ia
mirip seperti burung rajawali yang bertempur dengan kuku-
kukunya yang tajam. Sekali Arya meloncat menjauhi
lawannya, tetapi tiba-tiba ujung tombaknya sudah
menyambar dada Sawung Sariti, bahkan tombak itu seperti
menyerangnya dari segenap arah. Cahaya kebiru-biruan
yang dipancarkan dari mata tombak itu tampak melingkar-
lingkar membingungkan. Demikianlah kedua anak muda itu bertempur dengan
sengitnya. Masing-masing memiliki ketangkasan, ketangguhan dan keteguhan hati, disertai keahlian mereka
menguasai senjata masing-masing. Sehingga senjata-
senjata mereka itu seperti dapat bergerak dengan
sendirinya, bahkan di ujung-ujung senjata itu seperti
terdapat biji-biji mata. Mahesa Jenar pun kemudian terikat pada pertempuran
itu. Ia menempatkan dirinya di muka regol halaman untuk
menanti kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan.
Sedang Kebo Kanigara untuk sementara masih berada di
atas kudanya. Ia masih sempat melihat berkeliling. Melihat
para pengawal yang berdiri dengan mulut ternganga.
Melihat Wulungan yang tegak seperti patung, namun
tangannya telah meraba hulu pedangnya. Di halaman
itupun ternyata para pengawal telah siap dengan senjata
masing-masing. Apalagi jatuh perintah Sawung Sariti untuk
bergerak, mereka akan serentak bergerak. Di pendapa,
Kebo Kanigara melihat seorang yang bertubuh besar,
berdada bidang dengan kumis yang lebat di atas bibirnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ia tidak begitu jelas, apakah tanggapannya terhadap
perkelahian yang terjadi itu. Namun segera Kebo Kanigara
mengenal orang itu, Ki Ageng Lembu Sora.
Ia melihat sepintas kepada Wanamerta. Wanamerta pun
kemudian meloncat turun. Demikian juga kedua orang anak
buahnya. Mereka segera meloncat turun pula. Di tangan
mereka erat tergenggam masing-masing sebuah obor, dan
di dada mereka tersangkut sebuah gendewa.
"Nyalakan obor," perintah Wanamerta. "Obor akan dapat
menjadi senjata yang baik kalau diperlukan. Siapkan
gendewamu dan anak panah yang mungkin akan kita
pergunakan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kedua orang itupun segera mempersiapkan alat-alat
mereka. Yang seorang kemudian menyalakan obornya,
yang seorang lagi menyiapkan bumbung panahnya, dan
menyangkutkan bumbung itu di ikat pinggangnya.
Gendewanya telah siap di tangannya pula.
Di halaman itu pertempuran semakin bertambah sengit.
Sawung Sariti yang bersenjata pedang, bertempur dengan
garangnya. Bahkan kemudian tampaklah pedangnya seperti
gulungan sinar putih yang mengerikan menyerang Arya
Salaka dari segala arah. Namun di antara sinar putih itu
tampaklah cahaya yang kebiru-biruan, sekali-kali melingkar
dan sekali-kali meluncur dengan cepatnya seperti anak
panah yang lari dari busurnya mengarah ke tubuh
lawannya. Kebo Kanigara pun kemudian turun dari kudanya. Ia
mengambil tempat yang cukup baik, menghadap ke arah
pendapa. Dengan demikian ia dapat langsung melihat
apakah Ki Ageng Lembu Sora akan mengambil sikap. Tetapi
untuk sekian lama, orang itu tetap tegak tanpa bergerak.
Agaknya ia benar-benar tertarik melihat perkelahian itu.
Kalau semula ia yakin bahwa Sawung Sariti memiliki
kekuatan dan keteguhan ilmu yang membanggakan, namun
dengan kenyataan itu ia melihat bahwa anak yang bernama
Arya Salaka itupun mampu mengimbanginya. Dengan
permainan tombak yang manis dan cepat, Arya Salaka
sama sekali tidak dapat ditembus oleh serangan Sawung
Sariti. Bahkan kalau Sawung Sariti merasa memiliki
kekuatan yang mengagumkan, tiba-tiba ia harus mengakui
bahwa kekuatannya setidak-tidaknya tidak melampaui
kekuatan Arya. Lembu Sora terkejut, ketika ia melihat pedang anaknya
membentur tombak Arya, ia mengharap tangan Arya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjadi sakit, dan bahkan ia mengharap tombaknya
terlepas dari tangannya. Tetapi ia menyesal. Tidak saja
tombak anak muda itu yang terpental, tetapi pedang
Sawung Sariti pun ternyata seperti membentur dinding besi.
Bahkan Sawung Sariti terpaksa meloncat mundur untuk
memperbaiki pegangannya atas pedangnya.
Karena itulah ia terpaksa melihat perkelahian itu dengan
menegang nafas. Perkelahian yang sengit antara dua orang
anak muda yang berdarah panas, yang sedang dikuasai
oleh kemarahan yang memuncak. Demikianlah maka pada
malam yang gelap itu, berkali-kali terdengar dentang
senjata beradu dibungai oleh percikan api yang meloncat-
loncat dari titik benturan kedua senjata itu. Mereka masing-
masing mencoba untuk menguasai keadaan. Bahkan
masing-masing telah mengerahkan segenap kekuatan dan
ilmu mereka. Namun ternyata bahwa penderitaan Arya
selama ini, lahir dan batin, memberinya keteguhan lahir dan
batin pula, sehingga ia memiliki naluri yang lebih baik dalam
pengerahan tenaga daripada Sawung Sariti.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar adalah dua orang yang
cukup masak untuk menilai keadaan. Ketika ia mulai melihat
bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada
keadaan Sawung Sariti, mereka menjadi cemas. Tidak aneh
bahwa karena itu, maka Ki Ageng Lembu Sora akan
bertindak. Mengerahkan laskarnya untuk menangkap Arya.
Kalau demikian halnya, maka mereka berdua bersama
Wanamerta terpaksa ikut pula bermain-main, meskipun
malam yang gelap itu dinginnya bukan main.
Dengan demikian Mahesa Jenar pun harus menilai
keadaan di sekitar perkelahian itu. Iapun kemudian
mengamati Lembu Sora yang berdiri di pendapa. Seperti
Kebo Kanigara, iapun menaruh perhatian padanya. Kalau-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kalau ia dengan tiba-tiba bertindak, maka adalah
kewajibannya untuk melindungi Arya Salaka. Meskipun ia
menjadi kecewa bahwa kedatangan rombongan kecil ini
tiba-tiba telah berkisar dari tujuan, namun Mahesa Jenar
tidak dapat menyalahkan Arya Salaka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa berkisar pula
ketika mereka melihat Lembu Sora turun dari pendapa dan
perlahan-lahan berjalan mendekati titik perkelahian. Dalam
usapan sinar obor, tampaklah garis-garis wajahnya yang
tegang. Sekali-kali ia mengangguk-anggukkan kepalanya,
tetapi sekali-kali ia menahan nafasnya.
Perkelahian antara kedua anak muda itupun memang
menjadi bertambah sengit. Kedua senjata itupun menjadi
semakin cepat bergerak dan semakin berbahaya. Agaknya
kedua-duanya telah memutuskan untuk menyelesaikan
perkelahian itu dengan membunuh lawannya atau
dirinyalah yang terbunuh. Dengan demikian keadaan
menjadi semakin tegang. Tetapi ketika ketegangan telah memuncak, muncullah
seorang tua dari antara laskar Banyubiru yang berdiri
berjajar mengeliling perkelahian itu. Dengan suara yang
nyaring terdengarlah ia berkata, "Berhentilah. Berhentilah
berkelahi." Suara itu mengumandang memenuhi halaman rumah itu.
Namun karena Arya Salaka dan Sawung Sariti benar-benar
telah kehilangan pengamatan diri, maka suara itpun hampir
tak mereka dengar. Sehingga orang tua itu terpaksa
meloncat mendekati sambil mengulangi kata-katanya,
"Berhentilah Sawung Sariti, berhentilah Arya Salaka."
Bagaimanapun juga Sawung Sariti dan Arya Salaka
memusatkan segala perhatian mereka kepada lawan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
masing-masing, namun orang tua itu berdiri dekat di sisi
mereka, sehingga bagaimanapun juga suara itupun
mempengaruhi gerak-gerak mereka. Ketika gerak mereka
menjadi kendor, orang tua itupun meloncat semakin dekat
dan mengangkat kedua tangannya sambil berkata,
"Sudahlah. Berhentilah. Lihatlah aku."
Suara itu benar-benar berpengaruh. Sawung Sariti dan
Arya Salaka itupun tak dapat berbuat lain, karena
kewibawaan orang tua itu, selain berloncatan mundur.
"Bagus," kata orang tua itu kemudian. "Kalian berdua
benar-benar mengagumkan. Berbanggalah aku mempunyai
dua cucu yang perkasa tiada taranya. Kalian berdua telah
menunjukkan, betapa darah orangtua kalian mengalir di
dalam tubuh kalian. Sawung Sariti bertempur sebagai
seekor harimau yang garang, sedang Arya Salaka dapat
menjadikan dirinya burung rajawali yang perkasa.
Berbahagialah aku. Berbahagialah aku." Orang tua itu
berhenti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sawung Sariti surut beberapa langkah. Ia mengangguk
kepada kakeknya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun.
Namun demikian matanya yang merah, masih menyorotkan
sinar kemarahan kepada Arya Salaka yang diam terpaku di
tanah. Dengan seksama Arya mengamat-amati orang tua
itu. Lima tahun lebih ia tidak bertemu. Dan tiba-tiba orang
tua itu kini berdiri dihadapannya dengan wajah sayu. Dan
tiba-tiba pula Arya teringat kepada maksud kedatangannya.
Sebelum pecah perang antarsaudara itu, ia benar-benar
ingin bersujud di bawah kaki kakeknya serta mohon restu
kepadanya. Karena itulah maka tiba-tiba Arya meloncat
maju. Betapa rasa haru menguasai dirinya pada waktu itu,
sehingga Arya Salaka pun kemudian menjatuhkan diri pada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lututnya di hadapan kakeknya sambil memeluk kaki orang
tua itu. "Eyang..." desisnya. Lalu suaranya terputus oleh sesuatu
yang seolah-olah menyekat kerongkongannya. Di dalam
dadanya banyak sekali kata-kata yang melingkar-lingkar,
yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya
satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.
Didalam dadanya banyak sekali kata kata yang
melingkar lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya
itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari
mulutnya. Ki Ageng Sora Dipayana memandang anak itu dengan
mata suram. Didalam dadanya tersimpan pula rasa rindu
kepada anak itu, yang telah sekian lama hilang dari Banyu
Biru. Karena itu, maka mata orang tua itu menjadi redup.
Dibelainya kepala Arya Salaka dengan kasih sayang seorang
kakek kepada cucunya. Kemudian dipegangnya lengan anak
itu dan ditariknya berdiri. "Berdirilah Arya," katanya
perlahan. Aryapun kemudian berdiri. Tetapi wajahnya tunduk
ketanah. ia merasa bahwa ia tak berani memandang wajah
kakeknya. Tetapi orang tua itu mengangkat wajah Arya sambil
berkata: "Aku kagum kepadamu cucu, seperti aku kagum
kepada Sawung Sariti. Dengan demikian, tidak sia sialah
aku memiliki keturunan seperti kalian berdua."
Arya Salaka masih berdiam diri. Belum ada kata kata
yang mampu melontar dari mulutnya. Ketika tiba-tiba
matanya menjadi panas. Arya menengadahkan wajahnya ke
langit seperti ia belum pernah melihat bintang yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bertaburan. Sementara itu Ki Ageng Sora Dipayana
memandang berkeliling halaman.
"Kakang Wanamerta," gumamnya. Wanamerta mendekati Ki Ageng Sora Dipayana yang telah bersama-
sama memerintah tanah perdikan ini puluhan tahun.
Ki Ageng Sora Dipayana menepuk bahu Wanamerta
sambil berkata: "Sokurlah kalau kau asuh cucuku ini dengan
baik."
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanamerta menggeleng, "bukan aku," jawabnya, "tetapi
tuan berdua ini." Ki Ageng Sora Dipayana memandangi Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara dengan mata yang berkilat kilat. Katanya:
"tuan ternyata luar biasa. Cucuku benar benar telah
menjelma menjadi murid dari cabang perguruan Pengging
yang perkasa. Ketika aku melihat caranya bertempur
dengan tombak pendeknya, segera aku teringat kepada
sahabatku Ki Ageng Pengging Sepuh. Namun karena
sahabatku itu telah tiada lagi, maka aku yakin bahwa
anggerlah yang menjadi saluran ilmu itu."
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab: "Sekedar
untuk memenuhi permintaan kakang GajahSora, supaya
Arya Salaka mempunyai bekal buat masa depannya."
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk anggukkan
kepalanya. Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata:
"Lembu Sora, kenapa tidakkau persilahkan tamu tamumu
untuk naik ke pendapa"."
Lembu Sora menggeram. tetapi ia tidak dapat berbuat
lain. Karena itu, dengan berat hati, dipersilakan tamu
tamunya untuk naik. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika para tamu bersama sama dengan Ki Ageng Sora
Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora naik ke pendapa,
Sawung Sariti menggigit bibirnya. Ia tidak ikut serta dengan
mereka, tetapi segera masuk rumahnya dengan wajah
tegang. Wulungan serta anak buahnyapun menjadi seperti orang
tersadar dari mimpi. Pertempuran itu bagi mereka
merupakan suatu pertunjukan yang mengagumkan. Dua
anak yang masih semuda itu, telah dapat menunjukkan
kemampuan mereka yang luar biasa.
"Yang seorang adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana
selain cucunya. karena itu wajar bahwa anak muda itu
menjadi perkasa," berbisik Wulungan kepada anak
buahnya. "Namun yang seorang itupun sangat mengagumkan. Siapakah gurunya itu?"
"Mahesa Jenar," jawab salah seorang anak buahnya.
"Aku sudah tahu," bentak Wulungan, namun perlahan
lahan pula, "tetapi maksudku, siapakah Mahesa Jenar itu"
menurut dugaanku serta menurut cerita yang aku dengar
Mahesa Jenar memang memiliki kemampuan yang luar
biasa, namun ia tidak lebih dari pada Sora Dwipayana
sendiri. lalu bagaimana mungkin muridnya menyamai murid
Sora Dwipayana yang sakti itu"."
Anak buahnya mengangguk anggukkan kepala mereka.
Pemimpinnya menjadi heran oleh kenyataan itu, apalagi
mereka. Di pendapa, Sora Dwipayana segera mempersilahkan
tamunya untuk duduk melingkar diatas tikar pandan yang
putih. Dengan ramah ia menemui mereka seperti ia
menemui sahabat lama yang telah lama berpisah darinya.
Apalagi kepada Arya Salaka. Betapa rindu seorang kakek
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terhadap cucunya, seperti juga betapa rindu Arya kepada
kakeknya. Dengan memandangi tubuh Arya, seperti tak akan
pernah puas, Sora Dwipayana berkata: "Tubuhmu mekar
seperti ilalang di musim hujan Arya. Meskipun diwajahmu
tersirat, betapa keras derita yang kau alami selama ini,
namun demikian kau menjadi batu karang yang kokoh kuat,
tak hanyut oleh banjir yang bagaimanapun besarnya, tak
goyah oleh angin yang bagaimanapun kencangnya."
Arya menundukkan wajahnya. Ia menjadi terharu
kembali mendengar pujian itu, seperti anak-anak yang
terjatuh dan ditanyakan kepadanya; "apakah kau terjatuh,
sayang." Ki Ageng Lembu Sora menjadi tidak senang mendengar
pujian itu. Sebagai seseorang yang selalu membanggakan
diri serta putera satu satunya Sawung Sariti, maka baginya
pujian itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, tiba-tiba
ia minta diri kepada ayahnya, untk sesuatu keperluan di
belakang. Sora Dwipayana mengerti perasaan putera bungsunya
itu. Karena itu tidak melarangnya.
Sepeninggal Lembu Sora, Mahesa Jenar merasa lebih
bebas untuk mengemukakan pendapatnya sebab dengan
demikian, ia dapat mengatakan apa saja yang tersimpan
didalam hatinya, didalam hati muridnya.
"Ki, Ageng," berkata Mahesa Jenar kemudian, "aku telah
mencoba memenuhi perintah ki Ageng, membawa Arya
Salaka kemari. Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menerima
bhaktinya. Selain suatu kemungkinan yang baik bagi masa
depannya, dan bagi rakyatnya. Tetapi aku menyesal bahwa
kehadirannya telah ditandai oleh suatu perkelahian yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sama sekali tak dikehendakinya. Namun itu sama sekali
bukan salahnya." Ki Ageng Sora Dwipayana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, "Aku tahu Angger. Memang Arya
Salaka tidak dapat dipersalahkan kalau ia terpaksa turun
dari kudanya dan langsung terlibat dalam perkelahian itu.
Sebagai anak muda yang pernah aku alami pula, darahnya
tak sedingin darah orang tua-tua ini."
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya, sahutnya, "Jadi Ki
Ageng melihat sejak awal kejadian itu?"
"Ya," jawab Ki Ageng Sora Dipayana. "Aku melihat sejak
semula dari antara laskar Lembu Sora. Tetapi sengaja aku
membiarkan mereka bertempur, sebab tiba-tiba timbullah
keinginanku untuk mengetahui, sampai di mana kemampuan Arya Salaka. Sudah sekian lama anak itu
meninggalkan aku. Dan sekarang ia dihadapankan pada
suatu tugas yang berat, yang mungkin harus dihadapi
dengan tenaganya." "Sekarang Ki Ageng telah melihatnya," kata Mahesa
Jenar. "Aku telah melihatnya. Dan aku kagum atas apa yang
aku lihat." Ki Ageng Dipayana meneruskan, "Seperti pernah
aku katakan kepada Angger beberapa saat yang lalu,
bahwa aku harus menjadikan Lembu Sora dan Sawung
Sariti benteng pertahanan terakhir atas Banyubiru dan
Pamingit sepeninggal Gajah Sora. Aku tak mempunyai
pilihan lain. Sebab orang-orang dari golongan hitam selalu
mengarahkan matanya ke daerah kami yang sangat kami
cintai ini. Dengan sekuat tenaga aku telah berhasil
memisahkannya dari antara mereka, dari pergaulan yang
menyedihkan. Aku asah mereka pagi dan sore, siang dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
malam. Dan aku berbangga atas hasilnya, meskipun secara
batin belum memenuhi tuntutan hatiku.
Sayang bahwa selama itu, aku tidak sempat menemukan
Arya Salaka. Pernah aku meninggalkan Banyubiru untuk
mencari cucuku itu. Namun aku tak berhasil menemukan.
Sedang daerah ini tak dapat aku tinggalkan terlalu lama.
Karena itu akupun segera kembali sebelum berhasil.
Mangsa kasanga tahun yang lewat, aku pernah menyusur
pantai utara. Aku pernah menemukan jejaknya, tetapi
kemudian lenyap kembali."
"Mangsa kasanga tahun lampau?" Mahesa Jenar
mengulangi kata-kata itu di dalam hatinya seperti juga Kebo
Kanigara dan Arya Salaka sendiri. Masa itu adalah masa
pembajaan yang mahaberat. Dimana ia terpaksa bersembunyi di atas bukit Karang Tumaritis, di bawah
sejuknya rumpun-rumpun bambu yang bersih di Padepokan
Panembahan Ismaya. "Aku terlalu tergesa-gesa..." Ki Ageng Sora Dipayana
meneruskan, "Karena aku tidak sampai hati meninggalkan
Banyubiru seperti kataku tadi. Apalagi pada saat-saat
terakhir, sekejappun aku tak berani. Namun suatu
keyakinan telah tertanam di dalam hatiku bahwa cucuku
Arya Salaka masih selamat."
Orang itu berhenti sejenak. Ia menarik nafas dalam-
dalam, lalu sambungnya, "Tetapi aku belum tahu, apakah
yang telah didapat anak itu selama perjalanannya di bawah
asuhan Angger Mahesa Jenar. Tiba-tiba aku menyaksikan
sesuatu yang sama sekali membuat hatiku mongkok. Arya
Salaka telah menjadi anak muda yang luar biasa."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia berbangga
bukan karena ia merasa dirinya perkasa, tetapi ia
berbangga karena eyangnya merasa bangga kepadanya.
Dalam pada itu terdengar Mahesa Jenar berkata,
"Semuanya adalah karena pangestu Ki Ageng serta karena
darah yang mengalir di dalam tubuh anak itu. Apa yang aku
lakukan hanyalah sekadar memberinya petunjuk-petunjuk."
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk sambil
tersenyum. Namun di dalam hatinya tersiratlah perasaan
kagum dan heran. Mahesa Jenar ternyata mampu berbuat
di luar dugaannya pula. Kalau ia dapat menjadikan Arya
Salaka sedemikian mengagumkan, bagaimanakah dengan
Mahesa Jenar itu sendiri" Pada saat ia berpisah dengan
Mahesa Jenar itu, beberapa tahun lampau, Mahesa Jenar
baru berada dalam tingkatan yang sejajar dengan Gajah
Sora. Apakah yang sudah dicapainya selama ini" Sedang
gurunya sudah lama tidak dapat memberinya tuntunan,
sejak Ki Ageng Pengging Sepuh itu meninggal dunia.
"Ki Ageng..." Ki Ageng Sora Dipayana mengangkat
mukanya mendengar Mahesa Jenar berkata. "Barangkali Ki
Ageng telah mengetahui maksud kedatangan kami. Karena
itu kami serahkan persoalan kami kepada kebijaksanaan Ki
Ageng. Bukankah maksud kami telah kami kemukakan pada
hari kedatangan kami yang pertama?"
"Ya," jawab Ki Ageng. "Aku sudah mengetahuinya. Dan
aku menjadi berdebar-debar karenanya."
"Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menemukan kebijaksanaan," sahut Mahesa Jenar. "Bagi kami, pertumpahan darah harus dihindari sejauh-jauh mungkin."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku sependapat," jawab Ki Ageng pula. "Namun apakah
yang dapat aku lakukan adalah suatu ikhtiar. Aku sudah
mencoba perlahan-lahan untuk mengubah pendirian Lembu
Sora." "Adakah Ki Ageng berhasil?" tanya Mahesa Jenar.
"Belum. Ia masih tetap pada pendiriannya," jawab Ki
Ageng Sora Dipayana. "Aku belum berani memaksanya.
Sebab ia akan dapat terjerumus ke dalam lingkaran hitam,
atau usaha yang lain. Meskipun aku tahu, bahwa
pertentangan antara Lembu Sora dengan golongan hitam
itupun tak akan dapat dihindari pula."
"Aku kira kemungkinan itu kecil sekali Ki Ageng," sahut
Mahesa Jenar. "Bukankah golongan hitam telah mulai
bertindak sendiri" Bahkan mereka telah mencoba untuk
memaksa Lembu Sora menyerahkan keris Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten yang mereka duga berada di
Banyubiru atau Pamingit?"
"Angger benar," jawab Ki Ageng Sora Dipayana. "Tetapi
Angger belum mendengar perkembangan yang terakhir.
Sejak Lembu Sora terpaksa berdiri, ia telah membuat
hubungan baru dengan para bangsawan yang tidak puas
atas pemerintahan Demak. Bukankah di Demak ada
golongan yang merasa dirinya disingkirkan oleh Sultan?"
"Sekar Seda Lepen?" tanya Mahesa Jenar terkejut.
"Ya. Dengan para emban dari Arya Penangsang," jawab
Ki Ageng Sora Dipayana. "Sudah seberapa jauhnya hubungan mereka?" tanya
Mahesa Jenar pula dengan cemas.
Ki Ageng Sora Dipayana diam sejenak. Tampaklah
alisnya berkerut. "Untunglah..." jawabnya, "Belum terlalu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
jauh. Karena itu aku tidak akan mendesaknya lebih dalam
lagi." Mahesa Jenar pun menjadi tertegun diam. Persoalan ini
menjadi bertambah rumit. Memang dengan tersisihkannya
Arya Penangsang, Demak telah menyimpan sebuah
persoalan yang mungkin akan meledak pada suatu saat.
Tetapi Mahesa Jenar yakin, selama Sultan Trenggana masih
memegang pimpinan pemerintahan, perpecahan itu akan
dapat dibatasi. Tetapi bagaimanakah kemudian..."
Namun, yang dihadapi Mahesa Jenar sekarang adalah
persoalan Banyubiru. Di perbatasan kota ini telah berbaris
dalam kesiagaan tempur laskar Arya Salaka. Mereka
menunggu sampai tengah malam atau sampai mereka
melihat tanda panah api naik ke udara. Sehingga dengan
demikian waktu mereka tidak terlalu banyak.
"Ki Ageng..." kata Mahesa Jenar, "Laskar Arya Salaka
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah siap di perbatasan. Mereka menunggu keputusan
sebelum tengah malam."
Sekali lagi wajah Ki Ageng Sora Dipayana berkerut-kerut.
Tampaklah betapa suram hati orang tua itu. Pada saat yang
sempit, ia dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit.
"Berilah aku waktu sampai besok," jawabnya.
"Sayang, Ki Ageng..." jawab Mahesa Jenar, "Kalau
tengah malam ini Arya tidak datang kembali, mereka akan
bergerak." Orang tua itu menarik nafas panjang. Tetapi ia belum
menjawab. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan
Arya Salaka, kemudian menjadi iba melihat orang tua itu
menghadapi persoalan yang hampir tak terpecahkan. Tetapi
apakah yang dapat dilakukannya"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Angger..." Tiba-tiba orang tua itu berkata, "Marilah kita
usahakan agar setidak-tidaknya pertempuran tidak berkobar
besok pagi." Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Baginya sendiri,
usaha ini adalah usaha yang paling baik. Bahkan kalau
mungkin untuk seterusnya. Tetapi bagaimana"
"Persoalannya akan menjadi sederhana kalau Lembu
Sora dapat menarik diri dan menyerahkan tanah ini." Orang
tua itu meneruskan, "Dan aku akan mengusahakannya.
Tetapi tidak sekarang, dimana ia baru saja dibakar oleh
kemarahan melihat anaknya tak dapat menguasai
lawannya." Ia berhenti sejenak. "Berilah aku waktu. Biarlah
satu atau dua orang pengikutmu itu kembali ke
pasukanmu." Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada Arya,
"Biarlah ia membawa perintah darimu supaya laskarmu
menunggumu sampai besok."
"Apakah ia dapat melewati laskar Paman Lembu Sora?"
tanya Arya, yang agaknya ingin memenuhi permintaan
kakeknya. Mahesa Jenar menjadi agak berlega hati mendengar
pertanyaan itu. Mudah-mudahan Arya sempat menahan
dirinya, sehari atau dua hari. Kalau anak itu yang
memerintahkan, ia mengharap laskarnya akan mentaatinya.
"Ia akan diantar oleh orang-orang pamanmu," jawab
Sora Dipayana. Arya Salaka memandang wajah Mahesa Jenar minta
pertimbangan. Maka berkatalah Mahesa Jenar, "Tidakkah
laskar Lembu Sora akan mendahului besok pagi?"
"Aku akan mencoba untuk mencegahnya. Setidak-
tidaknya menunda sampai lusa," jawab orang tua itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, "Arya, kau dapat
memerintahkan dua orangmu kembali. Eyangmu akan
menyelamatkan perjalanannya."
"Terserahlah kepada Paman," jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar menarik nafas. Timbullah kembali
harapannya untuk menyelesaikan setiap persoalan tanpa
pertumpahan darah. Maka iapun kemudian berkata, "Kalau
kau sependapat Arya, kau dapat minta sehelai rotan,
tulislah perintah itu."
Arya melaksanakan nasehat gurunya. Dari kakeknya ia
mendapat sehelai rontal, yang kemudian ditulisnya
perintahnya, singkat namun jelas.
"Tunggu aku kembali, jangan bergerak sendiri-sendiri
sebelum ada perintahku. Aku akan berada di antara kalian
sebelum tengah hari besok. Teruskan perintah ini ke sayap
pasukan. Laskar Pamingit tak akan bergerak besok."
Sebelum Arya memerintahkan dua orangnya yang
semula membawa obor untuk kembali ke induk pasukan, Ki
Ageng Sora Dipayana memanggil Lembu Sora duduk di
antara mereka. Dengan nada seorang ayah ia berkata,
"Lembu Sora. Aku minta orangmu untuk mengantarkan
orang Arya Salaka kembali ke pasukannya dengan
membawa pesan dari kemenakanmu itu."
Lembu Sora memandangi ayahnya dengan tegang.
"Apakah pesan itu?" terdengarlah ia bertanya.
Ki Agng Sora Dipayana tidak menjawab. Ia minta Arya
menunjukkan pesannya, yang kemudian dibaca oleh Lembu
Sora dengan dahi yang berkerut. Mula-mula ia ingin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menolak permintaan ayahnya itu, namun tiba-tiba
mendapat pikiran lain. "Apakah maksud penundaan itu?" Ia mencoba menegaskan. "Aku minta kepadanya," jawab ayahnya. "Sebab ada
yang ingin aku bicarakan dengan kau dan cucu Arya
Salaka." "Tak ada yang dapat dibicarakan," potong Lembu Sora.
"Ada," sahut ayahnya singkat.
"Tidak ada persoalan," ulang Lembu Sora.
"Ada!" kembali ayahnya menyahut.
Lembu Sora berdiam. Ia mengumpat di dalam hati.
Adakah ayahnya akan memaksakan pendapatnya kepadanya" Ia tidak akan pedulikan itu. Ia mempunyai
pasukan yang cukup banyak. Meskipun seandainya di dalam
laskar Arya Salaka terdapat orang-orang yang sakti, namun
jumlah laskar dalam setiap pertempuran akan turut serta
mengambil peranan. Dalam penilaiannya, di dalam laskar
Arya Salaka, tidak ada seorang pun yang harus disegani.
Mahesa Jenar, Wanamerta dan orang yang datang
bersama Mahesa Jenar itu, adalah orang yang sama sekali
tidak menakutkan, meskipun menurut laporan ada orang
yang pernah mempertunjukkan kesaktian, pada saat ia
melindungi Bantaran. Namun, Lembu Sora tidak cemas
menghadapinya. Meskipun demikian, apabila ayahnya tidak berkenan di
hatinya, atas tindakannya itu, maka yang terbaik adalah
memperkuat pasukannya, memperbesar jumlah orang-
orangnya. Karena itu, waktu yang sehari, yang diperlukan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
oleh ayahnya itu akan menguntungkannya pula. Malam
nanti ia dapat memerintahkan orangnya kembali ke
Pamingit. Ia harus kembali dengan segenap laskar
cadangan dan laskar remaja. Dengan demikian ia
mengharap bahwa ia akan berhasil memusnahkan Arya
Salaka. Karena pertimbangan itulah maka kemudian ia
berkata, "Terserahlah kepada ayah. Kalau ayah memandang
perlu untuk membiarkan laskar yang berkeliaran di
perbatasan itu memperpanjang umurnya dengan sehari
lagi." Arya Salaka tersinggung benar mendengar kata-kata
pamannya. Tetapi ketika ia akan menjawab, terasa Mahesa
Jenar menggamit tumitnya, sehingga akhirnya tak sepatah
katapun yang terucapkan. Mahesa Jenar pun sama sekali
tak memberi tanggapan apa-apa atas kata-kata Lembu Sora
itu. "Nah," kata Ki Ageng Sora Dipayana, "Berilah aku dua
orang itu." Lembu Sora menebarkan pandangannya ke halaman.
Ketika dilihatnya Wulungan, ia berteriak memanggil.
Wulungan pun kemudian berjalan mendekatinya, dan
berdiri di bawah tangga pendapa. "Ada perintah Ki Ageng?"
ia bertanya "Suruhlah dua orangmu mengantar kedua orang ini
kembali ke induk pasukannya," perintah Lembu Sora.
Wulungan ragu sejenak, sampai Lembu Sora mengulanginya, "Dua orang sampai perbatasan, lewat
penjagaan terakhir."
Wulungan mengangguk hormat. Ia tidak perlu tahu,
apakah yang terjadi. Yang dapat dilakukan adalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memanggil dua orang dari laskarnya untuk mengantar dua
orang laskar Arya Salaka, melampaui penjagaan terdepan,
supaya mereka berdua tidak mendapat gangguan apapun.
----------o-dwkz-0-arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Sepeninggal kedua orang yang bertugas untuk mengabarkan kelambatan Arya, Mahesa Jenar bermaksud
untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Namun Ki Ageng Sora Dipayana berkata
dengan tertawa, "Jangan kita berbicara mengenai
persoalan-persoalan yang rumit. Aku akan berpesta karena
aku telah menemukan kembali cucuku yang hilang." Kepada
Lembu Sora ia berkata, "Lembu Sora, marilah kita lupakan
sejenak. Untuk malam ini saja pertentangan-pertentangan
yang ada di dalam dada kita. Kalau aku besok atau lusa,
harus menghadap kembali kepada Yang Maha Esa, aku
akan meninggalkan kalian dengan senyum di bibirku. Aku
akan mengenang peristiwa malam ini. Makan bersama-
sama dengan anak-cucuku, serta tamu-tamuku yang baik
hati." Lembu Sora tidak dapat menolak permitaan ayahnya itu.
Dengan hati berat, ia terpaksa menyelenggarakan juga
makan bersama seperti yang dikehendaki oleh ayahnya,
bersama-sama dengan tamu-tamu yang sama sekali tak
dikehendaki kehadirannya, dengan Arya Salaka, Sawung
Sariti dan Wanamerta. Lembu Sora terpaksa mempersilakan
mereka masuk ke Pringgitan, dimana telah disediakan
makanan serta segala lauk pauknya di atas tikar pandan
yang bersih. Tetapi demikian kaki Arya melampaui tlundak pintu,
demikian terasa jantungnya berdenyut. Di situlah ia
beberapa tahun yang lalu bermain-main. Di atas tlundak itu
pula kadang-kadang ia duduk. Dan di situ pula ia selalu
melihat ayah bundanya duduk bersama-sama, kalau malam
turun, sehabis makan sore. Tiba-tiba saja ia teringat pada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ibunya. Kenapa baru sekarang" Agaknya semula hatinya
terampas oleh kemarahannya kepada Sawung Sariti,
sehingga ia tidak ingat lagi kepada kepentingan-
kepentingan lain. Karena itulah maka tiba-tiba ia menjadi gemetar.
Matanya berkisar dari pintu ke pintu untuk menanti,
barangkali dari sanalah ibunya akan keluar untuk
menjumpainya. Tetapi sampai ia duduk di atas tikar pandan
menghadapi hidangan makan, ibunya belum juga nampak.
Untuk sementara ia mencoba menahan hatinya. Namun
akhirnya keluar juga pertanyaan kepada kakeknya, "Eyang,
adakah Eyang memperkenankan aku untuk menemui
ibuku?" Ki Ageng Sora Dipayana tersentak mendengar pertanyaan itu. Untuk sesaat tiba-tiba ia terpaku diam
dengan wajah yang berkerut. Melihat perubahan wajah itu,
Arya Salaka terkejut pula. Karena itu ia mendesak, "Eyang,
apakah Ibu selamat?"
Orangtua itu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya, ya,
Arya, Ibumu selamat."
Arya tidak puas dengan jawaban itu. Maka ia bertanya
kembali, "Tetapi kenapa Ibu tidak datang menemui aku
sekarang. A tau akulah yang harus menghadap?"
Ki Ageng Sora Dipayana melemparkan pandangannya
kepada Ki A geng Lembu Sora. Dengan ragu-ragu ia berkata,
"Lembu Sora, jawablah pertanyaan kemenakanmu itu."
Arya Salaka dan Mahesa Jenar menjadi gelisah
karenanya. Maka ketika Lembu Sora tidak segera
menjawab, Arya mendesak lagi, "Di mana Ibu, Paman?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lembu Sora membetulkan letak duduknya. Kemudian ia
berkata, meskipun sama sekali tidak memandang wajah
Arya Salaka. "Ayah. Aku sudah berkata sebelumnya, bahwa
mBakyu Gajah Sora perlu mendapat perlindungan dan
ketenteraman sepeninggal Kakang. Di Pamingit, Nyai
Lembu Sora akan dapat menemaninya, serta sekadar
memberinya ketenteraman dan ketenangan."
Sekali lagi Arya merasa tersinggung. A gaknya pamannya
benar-benar tidak mau mengakui kehadirannya. Meskipun
demikian, hatinya berlega pula. Ternyata ibunya masih
selamat, meskipun tidak segera dapat ditemuinya. Namun
dengan demikian, ia masih mempunyai harapan bahwa
pada suatu saat ia akan dapat membawanya kembali ke
Banyubiru. Arya menarik nafas dalam. Kepada eyangnya ia
berkata: "Eyang, betapa rindukupada bunda. Namun kali ini
kerinduanku terpakisa masih aku simpan didalam dada.
Mudah-mudahan aku akan segera dapat menemuinya.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mudah-mudahan Arya," jawab eyangnya singkat. Yang
kemudian disambungnya dengan cepat," tapi jangan
lupakan permintaanku. Marilah kita makan bersama.
Lupakanlah segala persoalan, supaya aku tidak menyesal
kelak." Tak seorangpun menjawab. Ki Ageng Soradipayana
mendahului menikmati hidangan yang tak seberapa baik
sebagaimana lajimnya makan yang disediakan didaerah
darurat. Dimana setiap saat peperangan dapat berkobar.
Meskipun demikian, orang tua itu makan dengan lahapnya
seolah olah benar-benar untuk yang terakhir kalinya.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamertapun berusaha
untuk makan sebaik-baiknya, meskipun sore tadi mereka
telah makan kenyang-kenyang. Hanya Arya Salaka yang
agaknya tidak dapat menekan perasaannya, sehingga setiap
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kali ia menelan, setiap kali ia merasakan detak jantungnya
semakin cepat. "Betapa enaknya makanan yang kau sajikan Lembu
Sora," ayahnya memuji.
Lembu Sora sama sekali tidak menaruh minat pada
pujian itu. Sore tadi ayahnya juga sudah makan. Makanan
yang sama. Tetapi sore tadi ayahnya sama sekali tidak
memujinya. "Suatu peristiwa yang jarang-jarang terjadi," orang tua
itu meneruskan. "Makan bersama anak cucu. Alangkah
nikmatnya. Kalau saja hal yang demikian ini dapat aku
alami tidak hanya sekali. Aku mengharap untuk dapat
makan bersama dengan kedua anakku, kedua menantuku
dan kedua cucuku." Tak seorangpun yang menjawab kata-kata itu. Maka
orang tua itu meneruskan, " memang agak berbedalah
hidup diantara dinding rumah yang sempit, dengan hidup di
udara luas. Tetapi aku kira ada juga perasaan yang serupa
dengan perasaanku ini. Apalagi perasaan orang orang tua.
Merekapun, aku kira, ingin selalu dapat menikmati hidup
mereka yang tinggal beberapa tahun lagi. Mereka ingin
selalu dekat dengan anak-anak mereka, menantu menantu
mereka dan cucu cucu mereka. Mereka akan mengutuk
setiap usaha memisahkan mereka itu. Mereka akan
bersedih hati kalau melihat anak cucunya bercerai berai.
Apalagi kalau orang orang tua itu tahu, bahwa anak
cucunya bertengkar satu sama lain. Sebab dalam
pertengkaran itu, orang orang tualah yang pasti akan
kehilangan. Siapapun yang kalah dan siapapun yang
menang." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba tiba nasi dimulut Lembu Sora terasa betapa keras
dan kering, sehingga ketika ia menelannya, segera ia
menyusulnya dengan minum hampir semangkuk penuh.
Meskipun demikian ia tak berkata sepatah katapun.
Tetapi, tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti tertawa
disusul dengan kata katanya:" Alangkah pendeknya hidup
bagi orang tua. Beberapa tahun lagi mereka harus
meninggalkan dunia ini. Tetapi bagi naka muda, hidup ini
akan dihadapinya dengan penuh gairah."
Semua mata memandang kearah anak muda itu. Dengan
sikap yang angkuh ia meneruskan: "bagi orang orang tua,
sisa hidup mereka menikmati sebaik baiknya. Tetapi dengan
demikian seharusnya mereka tidak menutup kemungkinan,
bahwa anak anak muda harus berusaha untuk mencapai
suatu masa yang cemerlang. Cemerlang baginya, sebagaimana yang dicita-citakan."
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan dahinya, sambil
mengangguk angguk, ia menyahut: "Sawung Sariti benar,
seharusnya orang orang tua tidak menghalangi cita cita
mereka. Cita cita yang luhur, cita cita yang ditandai oleh
kehangatan jiwa menghadapi alam. Namun seharusnya
dengan suatu tanggung jawab yang masak pula. Kepada
diri sendiri, kepada angkatannya dan kepada cita-cita
sendiri. Namun lebih daripada itu, pertanggungan jawab
tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah maka
pencapaian cita-cita betapapun indahnya, harus dilakukan
di jalan Allah. Di jalan yang telah dibatasi oleh hukum
hukumnya." Kembali ruang itu direnggut oleh kesepian. Tak seorang
pun yang berkata-kata lagi. Yang terdengar adalah mulut-
mulut mereka mengunyah makanan yang disuapkan oleh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tangan-tangan mereka. Tetapi mereka sudah tidak dapat
merasakan lagi, betapa asinnya garam, dan betapa
manisnya gula. Sawung Sariti tidak senang mendengar kata-kata
kakeknya meskipun ia berdiam diri. Ia tahu bahwa ayahnya
telah melakukan beberapa kesalahan, meninggalkan
kejujuran dan kebenaran. Namun ia tidak menyesal bahwa
ayahnya telah melakukannya. Meskipun Sawung Sariti
merasakan pula kemutlakan untuk memusnahkan golongan
hitam, namun tanpa disengajanya, ia telah melakukan hal-
hal yang serupa, sebagaimana pernah dilakukan oleh
golongan hitam. Ki Ageng Sora Dipayana pun tidak berkata-kata lagi. Ia
merasa bahwa keadaan belum memungkinkan untuk
menyalurkan pendapatnya. Meskipun ia merasa bahwa
kemungkinan masih ada. Tetapi yang tidak dapat dibacanya
adalah ukiran di dinding hati anak serta cucunya. Ki Ageng
Lembu Sora dan Sawung Sariti. Siapa yang menentang arus
harus disingkirkan. Karena itu, setelah mereka selesai, Ki Ageng Sora
Dipayana berkata, "Tamu-tamuku yang terhormat, beristirahatlah kalian di sini. Beristirahatlah dengan tenang.
Sebab tak akan terjadi apapun malam ini dan besok pagi.
Bukankah begitu Lembu Sora?"
Lembu Sora tidak menjawab. Ia hanya mengangguk
dengan sengaja. "Bagus..." kata orang tua itu pula. "Sebelum kau lupa
Lembu Sora, perintahkan kepada laskarmu. Jangan
bergerak sampai besok."
Lembu Sora juga tidak menjawab, selain mengangguk
pula. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Di manakah tamu-tamumu kau persilahkan beristirahat?" tanya Ki A geng Sora Dipayana.
"Di sana," jawab Lembu Sora sambil menunjuk gandok
wetan dengan dagunya. Sikap itu memang sama sekali tidak menyenangkan,
namun Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya
Salaka menahan kekecewaan di dalam hatinya. Mereka
sama sekali tidak memberikan kesan apapun atas
kekecewaan itu, sebagai tanda terima kasih mereka kepada
Ki Ageng Sora Dipayana atas usahanya, memecahkan
persoalan antara kedua cabang aliran darahnya.
"Silahkan Angger." Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan. "Aku mengharap Angger berdua dan cucu
Arya Salaka beserta Wanamerta besok pagi untuk
mengadakan pesta kembali. Pesta sederhana, namun
berkesan di hati orang-orang tua seperti aku."
Ki Ageng Sora Dipayana tidak menunggu jawaban. Ia
berjalan mendahului, ke gandok wetan. Tamu-tamunya
segera mengikuti pula tanpa berkata sepatah katapun.
Di gandok wetan, beberapa orang Lembu Sora datang
mengantarkan tikar pandan rangkap, yang kemudian
dibentangkan di lantai. Di sanalah Arya Salaka beserta
rombongannya akan beristirahat.
"Silahkan Angger." Ki Ageng mempersilahkan kembali.
"Sedemikian adanya. Besok aku akan mengajak Lembu Sora
bertemu dengan kalian. Apapun yang akan kita putuskan
bersama. Agal atau alus. Namun yang harap kalian ketahui,
kemampuanku sangat terbatas. Aku menyesal bahwa
Lembu Sora dan anaknya tak dapat aku kuasai lagi dengan
baik." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Mudah-mudahan kita tak perlu memeras keringat Ki
Ageng," sahut Mahesa Jenar, "Apalagi darah."
"Mudah-mudahan." Orang tua itu bergumam. Kemudian
setelah mempersilahkan tamunya beristirahat sekali lagi, Ki
Ageng Sora Dipayana meninggalkan mereka di gandok
wetan. Tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka akan
mempergunakan waktu istirahat itu sebaik-baiknya. Mereka
percaya kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa tak akan
terjadi sesuatu malam ini sampai besok.
Malam itu Ki Ageng Lembu Sora memerintahkan kepada
laskarnya di garis pertama untuk menunda gerakan mereka.
Ada sesuatu yang sedang dipersiapkan. Bukan kemungkinan untuk menyelesaikan masalah Banyubiru
dengan baik, namun yang dipersiapkan adalah memperbanyak jumlah laskarnya.
Sejalan dengan itu, dua orang telah diperintahkannya
pula untuk pergi ke Pamingit. Besok menjelang malam,
laskar cadangan dan laskar remaja harus sudah masuk kota
Banyubiru, langsung menempatkan diri di garis pertahanan.
Sebab menilik persiapan laskar Arya Salaka, mereka akan
memasuki kota dalam tiga gelar, lewat sebelah timur, barat,
dan induk pasukan akan menusuk dari utara. Karena itu,
Lembu Sora harus menyesuaikan diri dalam kesiagaan tiga
gelar penuh. Bahkan Lembu Sora menyiapkan kelompok-
kelompok kecil yang harus mengacaukan gelar sayap-sayap
pasukan Arya Salaka dari lambung. Pasukan cadangan ini
akan merupakan pasukan penentu. Sebab menurut
perhitungan Lembu Sora semula, laskar Arya Salaka adalah
laskar yang sama sekali tak teratur, dan tak memiliki daya
tempur yang baik. Menurut penilaiannya, laskar itu semula
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hanyalah laskar yang dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi.
Apakah yang dapat diberikan oleh kedua orang itu kepada
laskarnya, sehingga ia tidak perlu mengerahkan segenap
kekuatannya" Tetapi kemudian Lembu Sora berpikir lain.
Daripada ia harus mengulangi untuk kedua atau ketiga
kalinya, baiklah sekaligus dimusnahkan sajalah laskar Arya
Salaka itu bersama-sama dengan Arya Salaka, Wanamerta
dan kedua orang yang menyertainya itu.
Tetapi adalah di luar perhitungan bahwa di dalam laskar
Arya Salaka terdapat dua orang yang harus diperhitungkan
pula, Ki Dalang Mantingan dari Wanakerta dan gembala
bertenaga raksasa dari Karang Pandan di kaki gunung
Kelut. Wirasaba, Bantaran dan Panjawi itu jauh sebelum
mereka bertemu kadang-kadang disebut Seruling Gading.
Apalagi kemudian datang bersama-sama dengan Arya
Salaka, orang-orang seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara
dan Wanamerta. Maka laskar Arya itu sebenarnya
merupakan laskar yang telah ditempa lahir dan batin.
Dalam hal itu, Ki Ageng Sora Dipayana lah yang
mempunyai perhitungan yang mendekati kebenaran.
Karena itulah maka ia sudah dapat membayangkan bahwa
apabila terjadi peperangan antara kedua cabang aliran
darahnya itu, maka akan habislah nama yang pernah
dipupuknya selama ini, perguruan Pangrantunan. Hancur
seperti gunung berapi yang kokoh kuat, namun pecah
karena kekuatan yang terkandung di dalam perutnya
sendiri. Ketika matahari kemudian menjenguk dari balik bukit,
Mahesa Jenar dan Arya Salaka beserta Kebo Kanigara dan
Wanamerta segera membersihkan dirinya di sendang kecil
di sebalahnya. Tetapi mereka menjadi terkejut ketika terjadi
hiruk pikuk di halaman. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itulah maka sebelum mereka sempat berpakaian
dengan baik, mereka terpaksa berdiri merapat dinding
gandok, untuk dapat mendengar apakah yang telah
menyebabkan keributan itu.
Dari pendapa terdengarlah suara Ki Ageng Lembu Sora
keras: "adakah kau sudah sampai di Pamingit?"
"Belum Ki Ageng di tengah perjalanan kami jumpai adi
Sardu ini," jawab seseorang yang berdiri dihalaman dengan
memegangi kendali kudanya.
"Sardu," teriak Ki Ageng Lembu Sora.
"Ya Ki Ageng," jawab yang disebut Sardu dengan cemas.
Ia melangkah maju. Tangannya juga memegang kendali
kudanya. "Benarkah laporan itu","
"Benar, Ki Ageng"
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dari celah celah daun pintu gandok, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka dapat melihat bahwa
wajah Lembu Sora menjadi merah padam. Dibelakangnya
berdiri Sawung Sariti dengan tegangnya. Sedang disampingnya tampak Ki Ageng Soradipanaya dengan wajah
suram. "Aku sudah menduga," teriak Ki Ageng Lembu Sora,
kemudian kepada ayahnya ia berkata: " bukankah apa yang
aku katakan itu benar benar terjadi?"
"Apa yang pernah kau katakan kepadaku?" bertanya Ki
Ageng Sora Dipayana. "Bukankah ini permainan kotor"," sahut Lembu Sora.
"Aku tak akan dapat dikelabuhi lagi. Persekutuan yang
memuakkan dari orang gila."
Ki Ageng Sora Dipayana menggangguk angguk. A gaknya
ia dapat menebak perasaan yang berkobar di dalam dada
anaknya. Karena itu ia berkata: "Jangan tergesa-gesa
Lembu Sora. Aku mempunyai sangkaan lain," ayahnya
menyoba untuk menyabarkannya.
"Tak akan salah lagi," bantah Lembu Sora.
"Jangan tergesa-gesa Lembu Sora" ayahnya mencoba
untuk menyabarkannya. "Wulungan!!!," tiba tiba Ki Ageng Lembu Sora berteriak
keras. Dari regol halaman, Wulungan datang berlari lari. Pedang
yang tergantung dilambungnya berjuntai-juntai hampir
menyentuh tanah. Dengan tangan kirinya ia menyoba untuk
menahan pedangnya, supaya tidak mengganggu langkahnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Panggil mereka, siapkan laskarmu di halaman ini," teriak
Lembu Sora. "Baik Ki Ageng," jawab Wulungan. Ketika kemudian
Wulungan memandang kearah gandok wetan, berdebarlah
hati Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta serta Arya
Salaka. "Apakah yang sudah terjadi"," pikir mereka. Tetapi
melihat Wulungan itu benar benar melangkah ke arah pintu
gandok itu. "Ada sesuatu yang tidak beres," bisik Kebo Kanigara.
Mahesa mengangguk. Bersamaan dengan itu Arya segera
menyambar tongkatnya yang tersandar didinding. "Apakah
yang akan mereka lakukan"," bisiknya.
"Entahlah," jawab gurunya.
"Apakah mereka sengaja menunggu sampai pagi supaya
kami tidak bisa memberikan tanda anak panah api?" tanya
Arya. "Tapi panah Sendaren masih ada," kata Mahesa,
"bukankah demikian paman Wanamerta?"
"Ya," jawab Wanamerta, "panah itu masih ada padaku".
Mereka tidak berkata-kata lagi ketika Wulungan sudah
berdiri dimuka pintu. Yang kemudian dengan sopan ia
berkata: "Angger Arya, ada pesan dari pamannda untuk
anda." Arya memperbaiki kainnya sambil melangkah keluar
pintu. "Adakah sesuatu yag penting sekali paman?"
"Aku tidak dapat mengatakannya," jawab Wulungan
"Baiklah kami segera akan datang," jawab Arya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Wulungan tidak segera pergi. Ketika Arya
kemudian masuk kembali, terdengar orang itu berkata dari
luar pintu: "marilah ngger, pamanda agaknya tergesa-
gesa." Arya segera keluar kembali dengan tombak di tangannya.
Dibelakangnya berjalan Wanamerta. Dipinggangnya tersangkut bumbung yang tidak saja berisi panah sendaren
tetapi juga panah berujung tajam. Sedang ditangan
kanannya tergenggam busur yang besar, dengan bola besi
sebesar salak dikedua ujungnya. Busur itu dalam keadaan
terpaksa akan dapat dipergunakan sebagai senjata pemukul
yang berbahaya. Ketika kedua orang pembantunya
diperintahkan untuk mendahului membawa perintah Arya,
busur itu dimintanya. Dibelakang mereka berjajar dua orang yang masing-
masing menyimpan di dalam dirinya ilmu perguruan
Pengging, Mahesa dan Kanigara.
Sambil berjalan Wanamerta berharap mudah mudahan
orang yang telah ditentukan untuk menangkap bunyi panah
sendaren tidak meninggalkan tempat mereka, sehingga
dengan demikian mereka akan dapat melangsungkan setiap
berita yang disampaikan apabila terjadi sesuatu.
Ketika Arya sampai di ujung tangga, dan ketika ia hampir
naik ke atas tangga itu, Lembu Sora membentak; "Aku tidak
mengharap kau naik!"
Arya terkejut, perlakuan itu terlalu kasar. Tapi ia ingin
tahu persoalan apa yang membuat pamannya bersikap
demikian. Apakah persoalan itu masuk akal atau cuma
suatu cara memancingnya kedalam suatu pertengkaran.
Karena itu iapun berhenti pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lembu Sora memandangnya dengan mata menyala
nyala. Ketika Arya membalas pandangannya ia membentak;
"Aku kira kau benar-benar lelaki seperti yang aku duga.
Sekarang katakan kepadaku apa yang sedang kau lakukan
sekarang?" Arya menjadi bingung, ia menjawab; "aku tidak tahu
maksud paman." Lembu menyibirkan bibirnya sambil sesekali meludah ke
lantai; "kau berhasil menarik sebagian laskarku ke Banyu
Biru. Sekarang kau pergunakan laskar hitam untuk
memukul Pamingit." Kata-Kata pamannya itu bagi Arya seperti suara petir
yang meledak di ubun- ubunnya. Bahkan Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Wanamerta sampai bergeser maju
selangkah. "Apa yang Paman katakan?" Arya ingin penjelasan.
"Sudah kau dengar," jawab Lembu Sora.
"Bohong," bantah Arya. Hatinya telah benar-benar panas.
Apalagi dengan tuduhan pamannya yang sangat menyakitkan hati itu. "Tak ada yang akan memaksa kau mengakui perbuatan
curang itu. Namun kau tidak akan dapat mengingkari,
bahwa laskar di perbatasan yang sama sekali tak berarti itu
ternyata hanya suatu cara untuk memancing laskar
Pamingit," sahut Lembu Sora keras.
"Tidak benar." Arya menjadi gemetar, karena marahnya.
Tetapi dengan demikian kata-katanya seperti tertahan di
kerongkongan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Katakan kepadaku," sambung Lembu Sora, "Apa
sebabnya kalian tidak segera menyerang sejak kemarin,
sejak kemarin dulu atau sejak seminggu yang lalu" Apa
hubungan kalian dengan kedatangan orang-orang dari
Nusakambangan beberapa minggu lampau, kemudian
menyusul orang yang bernama Mahesa Jenar itu kemari"
Apa..." Kalian tidak akan dapat membantah, bahwa kalian
benar-benar telah bekerja bersama dengan mereka. Kalau
tidak, mereka tidak akan secara kebetulan menduduki
Pamingit menjelang ayam berkokok untuk yang kedua
kalinya pagi tadi." "Bohong!" sekali lagi suara Arya yang bergetar terhenti di
kerongkongannya. Mahesa Jenar tahu hal itu, sebagaimana
yang pernah terjadi. Arya bukan orang yang pandai
berbantah. Karena itu dengan tenang ia melangkah maju
untuk mewakili muridnya berkata, "Ki Ageng Lembu Sora,
jangan menuduh kami seperti menuduh pencuri. Kami
bukan sebangsa pengecut yang tidak percaya pada diri
sendiri, sehingga kami telah kehilangan harga diri, bekerja
bersama dengan golongan hitam. Golongan yang akan
terkutuk sampai seribu keturunan."
Lembu Sora tertawa terbahak-bahak. Tertawa untuk
melepaskan kemarahan yang hampir tak tertahan lagi.
Kemudian dengan menunjuk kepada Sardu ia berkata
keras-keras, "Berkatalah kepadanya. Berkatalah bahwa
kalian telah mencoba mencuci tangan. Namun orang itu
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, orang-orang
golongan hitam menduduki Pamingit. Membakari rumah-
rumah dan segala isinya. Orang itu mendengar dengan
telinga yang melekat di batok kepalanya, bahwa orang-
orang golongan hitam itu berteriak-teriak. Tak ada gunanya
kalian mengirim orang ke Banyubiru. Banyubiru telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dihancurkan oleh Arya Salaka dan Mahesa Jenar. Apa
katamu?" Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada seekor kuda
yang berlari dengan meninggalkan debu yang putih dan
menghilang di cakrawala siang kemarin, ketika laskar Arya
sedang berjalan ke perbatasan. Karena itulah maka ia
berkata di dalam hatinya, "Gila. Orang-orang golongan
hitam itu benar-benar mempergunakan kesempatan ini."
Namun kepada Lembu Sora ia menjawab, "Kau terlalu
tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Kalau orang-orang
golongan hitam itu mempergunakan setiap kesempatan di
dalam kekeruhan, adalah mungkin sekali. Karena itulah
maka aku selalu menganjurkan kepada Arya Salaka, untuk
menempuh jalan yang tidak memungkinkan golongan hitam
itu mengambil kesempatan. Tetapi kau telah memaksa
untuk memagari kota ini dengan pasukannya."
"Kau sama sekali tidak bermaksud menyelesaikan
masalah Banyubiru dengan baik. Kau hanya ingin menjajagi
keteguhan tekad kami untuk melindungi daerah ini. Ketika
kau merasa tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, kau
meleburkan dirimu ke dalam tubuh golongan hitam itu."
Mahesa Jenar akhirnya menjadi marah pula. Meskipun ia
masih mencoba menahannya. Katanya, "Kami adalah
orang-orang yang menempatkan diri kami di dalam
lingkungan yang menganggap bahwa golongan hitam harus
dimusnahkan." Sekali lagi Lembu Sora tertawa untuk melepaskan
kemarahannya yang semakin memuncak. Sama sekali
bukan tertawa karena ia menjadi gembira. Katanya meledak
seperti guruh, "Mahesa Jenar. Sejak semula aku sudah
curiga kepadamu. Kepada Kakang Gajah Sora aku sudah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pernah memperingatkan bahwa orang Pandanaran ini,
kenapa demikian mengikat diri di Banyubiru. Sejak
lenyapnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari
Walangkan di Banyubiru, sebenarnya aku sudah dapat
mengambil kesimpulan, bahwa kau adalah salah seorang
dari mereka. Salah seorang dari golongan hitam."
Dada Mahesa Jenar seperti akan meledak mendengar
tuduhan itu. Ia benar-benar marah. Karena itulah maka ia
melangkah selangkah maju.
Dalam pada itu Ki Ageng Sora Dipayana pun menjadi
sangat cemas. Tetapi ketika ia akan melangkah, Mahesa
Jenar telah berkata dengan lantangnya sambil menunjuk ke
arah wajah Ki Ageng Lembu Sora, "Ki Ageng Lembu Sora.
Kau jangan mengada-ada. Siapakah yang pernah berhubungan dengan golongan hitam untuk meniadakan
Kakang Gajah Sora. Siapakah yang telah mengikatkan diri
dalam suatu perjanjian dengan Sima Rodra Muda atas
tanah Pangrantunan" Dan siapakah yang telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat pasukan
dari Demak, pada saat Gajah Sora sedang berusaha untuk
memecahkan perselisihan yang ada antara Banyubiru
dengan Demak" Siapakah yang dengan senang hati
menghadiri pertemuan golongan hitam di lembah Rawa
Pening" Siapa" Mahesa Jenar kah itu...?"
"Diam...!" bentak Lembu Sora.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau diam. Ia berkata terus,
sambungnya, "Kau takut melihat kenyataan itu."
"Kau takut aku mendahului mengatakan itu kepadamu,"
teriak Lembu Sora, "Dengan ocehanmu itu kau ingin
mengaburkan kenyataan yang kau hadapi kini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Huh," Mahesa Jenar menyahut, "Katakan kepadaku
Lembu Sora. Siapakah yang telah membunuh Sima Rodra
Muda" Siapa pula yang telah membunuh jandanya, yang
telah kehilangan sifat manusianya" Kau tidak pernah
melihat cara mereka bergembira. Sayang. Barangkali kau
akan tertarik pula pada upacara-upacara yang mereka
adakan. Dan siapakah yang telah membunuh sepasang
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Uling dari Rawa Pening" Bukan kau" Bukan Ki A geng Lembu
Sora yang sekarang berdiri dengan gagahnya di pendapa
Banyubiru?" Lembu Sora terdiam untuk beberapa saat. Ia benar-
benar tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
Mahesa Jenar yang mengalir seperti banjir itu. Ia memang
pernah mendengar kabar, bahwa Sima Rodra suami-istri
dan sepasang Uling Rawa Pening telah terbunuh. Namun
kabar itu sangat dirahasiakan oleh golongan hitam. Apalagi
kegiatan-kegiatan di Gunung Tidar maupun di Rawa Pening
seolah-olah sama sekali belum padam. Sehingga ia menjadi
ragu atas kebenaran berita itu. Dalam keragu-raguan ia
mendengar Mahesa Jenar meneruskan, "Ketahuilah Lembu
Sora, bahwa akulah yang membunuh Sima Rodra Muda.
Sedang jandanya telah mati terbunuh oleh anak tirinya.
Kalau kau ingin tahu siapakah yang membunuh Uling Putih
dan Uling Kuning" Nah, lihatlah anak yang berdiri di
hadapanmu itu. Kemenakanmu sendiri."
Yang mendengar kata-kata itu menjadi terkejut. Lembu
Sora, Sawung Sariti, juga Sora Dipayana. Apakah benar
Arya Salaka telah dapat membunuh sepasang Uling Rawa
Pening" Tetapi mereka tidak bertanya.
Sehingga kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, "Arya Salaka lah yang pada masa orang-orang
golongan hitam mabuk mencari keris Kyai Nagasasra dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kyai Sabuk Inten, dan kemudian keinginan mereka menelan
Pamingit dan Banyubiru, selalu dikejar-kejar sehingga
sangat membahayakan jiwanya, dan yang kemudian tampil
ke depan melawan mereka. Itukah yang kau tuduh
sekarang ini tertelan oleh golongan itu?"
Lembu Sora menjadi pening mendengar suara Mahesa
Jenar seperti hujan tercurah dari langit. Karena itu
kemudian ia berteriak keras-keras, "Cukup. Cukup...!
Kebohongan yang teratur memang kadang-kadang menimbulkan kesan, seolah-olah peristiwa-peristiwa itu
benar-benar telah terjadi. Tetapi aku tidak akan dapat kau
kelabuhi. Aku tidak buta dan aku tidak tuli. Aku melihat
semua yang telah terjadi, dan aku mendengarnya pula.
Sekarang aku tidak akan banyak bicara. Kesempatan yang
Penelitian Rahasia 8 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Pedang Tanpa Perasaan 12
tanah adalah cukup luas. Tetapi kalau yang duapuluh lima
bahu itu tanah di sekitar Rawa Pening, maka aku kira kau
akan keberatan." Tetapi hatinya berkata, "Suatu usaha yang tak kenal
kesopanan. Janji itu agaknya telah menutup kemungkinan
untuk mengadakan pembicaraan wajar. Mereka pasti akan
mencari-cari alasan untuk menimbulkan pertengkaran, dan
kemudian menangkapnya hidup atau mati."
Diam-diam Arya Salakapun menghitung jumlah mereka.
Tidak kurang dari limabelas orang. Tetapi sebenarnya
limabelas orang itu tak banyak berarti bagi rombongan kecil
yang hanya berjumlah enam orang itu.
Terdengar kemudian orang Pamingit yang sudah mulai
kehilangan kesabaran itu membentak, "Aku punya
wewenang untuk menangkap kau. Kalau mungkin hidup,
kalau tidak, matipun tak akan mengurangi hadiah yang
sudah dijanjikan." "Bagaimana kalau kau yang mati" Adakah kau akan
menerima hadiah pula?" Tiba-tiba Wanamerta bertanya.
"Diam!" bentak orang Pamingit itu marah. "Meskipun tak
ada hadiah yang dijanjikan buat kau, namun aku ingin juga
menyobek mulutmu itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta mengangkat alisnya yang sudah mulai
keputih-putihan. Tetapi kesan wajahnya masih tetap saja,
sejuk. Bahkan wajah Ira lah yang menjadi tegang
mendengar kata-kata kasar dari pemimpinnya itu. Tetapi
sekali lagi ia tidak mau berbuat apa-apa yang dapat
merugikan kedudukannya. Dalam ketegangan itu terdengarlah Wanamerta berkata,
"Adakah kau mendengar ceritera tentang tanah lapang
beberapa hari lampau" Pada saat itu aku dan Sendang
Papat pun telah hampir mati dikeroyok oleh orang-orang
Pamingit. Tetapi tiba-tiba datang beberapa orang pemuda.
Salah seorang daripadanya dapat memecahkan kepala kuda
dengan tangannya. Waktu orang-orang Pamingit keheranan
dan ketakutan, ia berkata, "Arya Salaka pun mampu
berbuat demikian. Nah, adakah kau dengar. Sekarang
biarlah Arya Salaka mencoba. Karena kau bersikap
permusuhan biarlah kepalamu saja yang dipecahkan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka sendiri geli mendengar kata-kata itu, namun
ternyata ada juga akibatnya. Memang orang Pamingit itu
pernah mendengar peristiwa dari kawan-kawannya. Tanpa
sadar Arya Salaka mengamat-amati tangan anak muda itu.
Di dalam gelap ia melihat tangan itu tidak lebih dari tangan-
tangan yang lain. Tidak sebesar tangan raksasa, dan tidak
terbuat dari baja. "Omong kosong!" Tiba-tiba pemuda itu bergumam,
namun hatinya sendiri ragu. Tetapi bukankah ia mempunyai
banyak kawan" Dan bukankah dengan memukul kentongan,
gardu penjagaan kedua akan memberinya bantuan" Bahkan
dengan isyarat ia dapat menyiapkan laskar Pamingit yang
nanti tengah malam akan membuat gelar perang, untuk
melawan laskar Arya Salaka. Karena pikiran itu, pemuda itu
menjadi tenang kembali. Dengan beraninya ia berteriak,
"Sekali lagi aku peringatkan, turun dari kuda kalian."
Kali ini agaknya orang Pamingit itu sudah tidak mau
berbicara lagi. Mungkin ia akan langsung menyerang atau
akan memukul tanda bahaya. Kemungkinan yang kedua
itulah yang pasti akan dilakukan segera apabila ia tahu
bahwa di dalam rombongan kecil itu ada Mahesa Jenar dan
ada orang yang pernah bertempur melawan beberapa
orang berkuda sekaligus ditanah lapang, Kebo Kanigara.
Arya Salaka pun tidak mau membuang-buang waktu,
sebab tengah malam ia harus sudah berada diantara
laskarnya kembali. Karena itu ketika ia sudah tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali dengan kekerasan atau tindakan-tindakan semacam
itu, maka segera iapun meloncat turun. Tetapi demikian ia
menjejak tanah, demikian ia melangkah dengan lincahnya
menangkap pergelangan orang Pamingit itu. Orang itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa
anak muda itu dapat bergerak sedemikian tangkasnya
seperti burung lawet yang menari-nari di udara. Tetapi
segala sesuatu telah terlambat. Tangan orang Pamingit itu
terasa seperti terhimpit besi. Perasaan nyeri dari
pergelangan tangan itu menjalari tubuhnya sampai ke ujung
ubun-ubun. Terdengar orang itu mendesah menahan sakit.
Tetapi ia adalah pemimpin rombongan pengawal. Tentu
saja ia tidak mau menunjukkan kelemahannya di hadapan
anak buahnya. Dengan tangan kirinya ia mencoba
menghantam dada Arya Salaka. Arya melihat tangan yang
terayun ke arah dadanya. Namun kekuatan orang Pamingit
itu sebagian besar telah lenyap karena perasaan sakitnya.
Dengan demikian, ayunan tangannya itu sama sekali sudah
tak berarti. Arya Salaka pun sama sekali tidak menghindar
ketika dadanya dibentur oleh pukulan itu. Bahkan dengan
tertawa pendek ia berkata, "Jangan meronta-ronta anak
nakal. Sekali-kali kau perlu mendapat pelajaran."
Bukan main panasnya hati orang Pamingit itu mendengar
kata-kata Arya Salaka. Dengan mengerahkan tenaganya ia
berusaha melepaskan tangannya. Tetapi semakin ia
berusaha, semakin sakit tangan Arya Salaka menghimpitnya. Meskipun demikian ia tidak putus asa,
dengan kakinya ia mencoba menyerang. Namun dengan
satu putaran, ia menjadi tidak berdaya.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu seperti
terpaku di tempatnya. Mereka seperti melihat pertunjukan
yang aneh. Tiba-tiba saja mereka melihat pemimpinnya
terpilin tangannya dan kemudian mengaduh tanpa dapat
melawan. Ketika mereka sadar, segera merekapun bergerak maju.
Mereka sudah siap menyerang bersama-sama. Tetapi dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pada itu terdengar Arya berkata, "Tidakkah kau dapat
mengajari anak buahmu untuk tidak berbuat hal-hal yang
dapat membawa bencana bagimu?"
Orang Pamingit itu tahu benar maksud Arya Salaka itu.
Namun ia masih mencoba menggertaknya, katanya,
"Biarlah kau merasakan betapa tajamnya tombak orang-
orang Pamingit. Kalau kau tak segera melepaskan
tanganku, umurmu akan menjadi semakin pendek."
Arya Salaka tertawa. "Kau dengar?" katanya kepada para
pengawal, "Pemimpinmu akan memberi perintah kepadamu." "Bohong," bantah pemimpin pengawal itu, ia masih akan
berkata lagi ketika tiba-tiba Arya menekan lambungnya
dengan tangkai tombaknya. Orang Pamingit itu menyeringai
kesakitan. Tangkai tombak itu benar-benar menyesakkan
nafasnya. Apalagi ketika terdengar Arya berkata, "Tombak
orang Banyubiru agaknya memang tidak begitu tajam
seperti tombak orang-orang Pamingit, namun tombak
inipun akan dapat merontokkan tulang igamu."
Ternyata orang Pamingit itu masih sayang kepada tulang
iganya. Dengan segan-segan ia terpaksa berkata agak
keras, "Jangan berbuat sesuatu demi keselamatanku."
Para pengawal itupun tertegun. Mereka jadi bingung, apa
yang akan mereka lakukan. Kalau mereka menyerang
bersama-sama, mungkin pemimpinnya itu akan mati. Tetapi
kalau mereka tidak berbuat apa-apa, bukankah mereka
telah berbuat kesalahan, dan sekaligus mimpi mereka
tentang tanah yang duapuluh bahu itu akan lenyap"
Dalam keraguan itu terdengarlah Arya berkata,
"Dengarlah para pengawal yang belum mengenal kawan-
kawan seperjalananku. Kecuali aku dan Eyang Wanamerta
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terdapat juga seorang yang pernah kau dengar namanya,
yaitu Paman Mahesa Jenar. Di sampingnya adalah orang
yang pernah menggemparkan tanah lapang itu pula. Ketika
itu orang-orang Pamingit mencoba menangkap Bantaran."
Pemimpin pengawal itu menggeliat. "Setan!" Ia
mengumpat di dalam hati. Pada saat itu iapun ikut serta
mengeroyok orang itu. Tetapi tidak kurang dari sepuluh
orang berkuda sama sekali tak berhasil menangkapnya.
Bahkan beberapa orang kawannya telah jatuh menjadi
korban. Sedang para pengawal yang lainpun pernah juga
mendengar ceritera itu dari kawan-kawan mereka atau dari
pemimpinnya itu. "Masihkah kalian akan melawan kami?" tanya Arya
Salaka. Mereka diam seperti patung. Ternyata di dalam
rombongan itu terdapat orang-orang yang bagi mereka
hanya pernah mereka kenal sebagai tokoh-tokoh dalam
ceritera-ceritera kepahlawanan yang sakti tiada taranya.
Hanya pemimpin rombongan pengawal itu sajalah yang
benar-benar menyaksikan betapa Kebo Kanigara bertempur
melawan mereka. Karena itu nafsu perlawanan merekapun
menjadi lenyap. Mereka memang dapat memukul tanda
bahaya, dan mengundang kawan-kawan mereka dengan
tanda-tanda itu. Namun melawan tokoh-tokoh sakti yang
seolah-olah sudah bukan manusia biasa lagi, mereka
agaknya menjadi segan, sebab sebelum kawan-kawan
mereka datang, nyawa mereka pasti sudah beterbangan.
Arya Salaka merasakan betapa dalam pengaruh kata-
katanya itu. Karena itu segera ia mempergunakan
kesempatan. Katanya, "Ki Sanak. Marilah antarkan aku
sampai ke rumah Paman Lembu Sora. Bukankah sudah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak begitu jauh lagi" Setidak-tidaknya untuk melampaui
gardu penjagaan dan tempat-tempat pemusatan laskar
Pamingit itu." Pemimpin rombongan itu menggeram. Ia menjadi marah
sekali. Tetapi tak satupun yang dapat dilakukan. Sebab ia
tahu benar, bahwa tombak anak muda itu setiap saat dapat
menembus jantungnya. "Marilah..." kata Arya, "Berkuda bersama-sama dengan
aku." Sungguh suatu pekerjaan yang tak menyenangkan.
Tetapi ia masih ingin dapat melihat bintang-bintang yang
bertebaran di langit biru. Karena itu ia tidak membantah.
Selagi ia masih hidup, ia masih mempunyai harapan untuk
melepaskan diri. Dengan langkah yang kosong pemimpin
pengawal itu didorong oleh Arya Salaka ke kudanya untuk
kemudian meloncat ke punggung kuda itu dan menaikinya
bersama-sama. Kemudian kuda-kuda itupun bergerak.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan untuk
menyelamatkan jiwamu?" bisik Arya kepada orang Pamingit
itu. Orang itu tidak menjawab. Tetapi kupingnya serasa
tersentuh api. Meskipun demikian ia berkata, "Jangan
berbuat sesuatu, supaya aku tidak memecatmu."
"Padamkan obor," perintah Arya seterusnya.
Ketika obor-obor mereka telah padam, mereka meneruskan perjalanan mereka yang penuh dengan
bahaya. Sebab mereka sama sekali tidak menduga bahwa
telah diundangkan suatu hadiah yang menarik untuk
menangkap Arya Salaka. Hal itu akan sangat mempengaruhi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
cara berpikir orang-orang Pamingit dan orang-orang
Banyubiru yang berhati goyah.
Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memuji
di dalam hati mereka. Ternyata Arya memiliki ketangkasan
berpikir yang cukup. Dalam keadaan yang demikian, ia
dapat mengatasinya tanpa banyak keributan.
"Pandai juga anak itu menghemat tenaga," bisik Kebo
Kanigara. Mahesa Jenar tersenyum sambil mengangguk, jawabnya,
"Agaknya ia tidak mau merepotkan orang-orang tua ini."
Kemudian mereka berdiam diri, Wanamerta berada rapat
di belakang Arya Salaka. Dua orang yang membawa obor
itupun kemudian dipanggilnya mendekat.
"Sediakan titikanmu," perintah Wanamerta. "Setiap saat
kita perlukan api. Kalau keadaan memburuk harus kita
kirimkan tanda-tanda dengan panah sendaren dan panah
api." Orang itupun segera menyediakan titikan, emput dan
dimik belerang. Supaya dalam keadaan yang tergesa-gesa
mereka dapat segera menyalakan tanda-tanda apabila
diperlukan. "Kalau terjadi perkelahian jangan hiraukan lawan-lawan
kita, tugasmu menyalakan api." Wanamerta meneruskan.
"Baik Kiai," jawab orang itu.
Perjalanan menyusur tepi d esa itu semakin lama semakin
dalam masuk kota Banyubiru. Meski demikian alangkah
sepinya. Tak ada nyala api sama sekali dalam rumah-rumah
di tepi jalan. Agaknya mereka dalam ketakutan yang
sangat. Atau barangkali rumah-rumah di tepi jalan itu sudah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak berpenghuni. Barangkali mereka telah mengungsi
jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari rumah-rumah
mereka yang mungkin akan menjadi ajang perang yang
mengerikan. Orang-orang Pamingit
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata tidak mempunyai kebesaran tekad seperti orang-orang Banyubiru. Mereka
sedikit banyak menggantungkan pekerjaan yang dilakukan
pada upah yang mereka terima. Mereka bekerja pada
Lembu Sora bukanlah karena jiwa pengabdian mereka
kepada tanah kelahiran mereka, atau kepada suatu
keyakinan mereka terhadap kebenaran yang dapat
diperjuangkan oleh para pemimpinnya. Mereka bekerja
bukan semata-mata karena para pemimpinnya, tetapi
mereka bekerja semata-mata karena mereka menerima
upah. Itulah sebabnya orang Pamingit yang berkuda
bersama-sama dengan Arya itupun lebih senang memelihara hidupnya daripada melakukan tugasnya dengan
jantan. Ia masih mengharap untuk dapat hidup dan
melepaskan diri. Pekerjaannya kemudian hanyalah mereka-
reka alasan untuk membebaskan dirinya dari kemarahan
atasannya. Ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat dengan
gardu penjagaan, hati orang itupun menjadi semakin
gelisah. Apakah yang akan dikatakan kepada mereka kalau
orang-orang di gardu penjagaan itu menghentikan
rombongan ini. Sedang kalau mereka akhirnya tahu, bahwa
rombongan ini terdiri dari Arya Salaka dan kawan-
kawannya, maka mereka pasti akan mengambil tindakan.
Dengan demikian, maka jiwanyapun terancam pula oleh
ujung tombak Arya Salaka. Karena itu,demi keselamatan
diri, ia berkata perlahan-lahan, "Kita ambil jalan simpang."
"Jangan menjebak kami," sahut Arya Salaka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku belum gila," bantah orang itu. "Apakah yang akan
kau katakan di hadapan gardu itu nanti kalau kita
melewatinya?" "Itu bukan urusanku tetapi urusanmu kalau kau masih
ingin hidup seterusnya," jawab Arya
"Karena itu, kita lewat jalan simpang yang sempit
disamping pohon Wregu itu," sahut orang itu.
"Apakah tidak mencurigakan?", tanya Arya.
"Lebih aman bagimu," jawab orang Pamingit itu.
"Dan bagimu juga," Arya meneruskan sambil tertawa.
Tiba tiba terdengar dari gardu penjagaan yang sudah
tidak jauh lagi sebuah teriakan,"He, kemana arah angin?".
Arya tahu bahwa kata-kata itu adalah pertanyaan sandi.
Ketika orang Pamingit itu belum menjawab, Arya
meneruskan ujung tombaknya sambil berbisik, "terserah
kepadamu." Orang itu semakin marah, tetapi mulutnya berteriak juga
untuk keselamatannya, "Ke laut!".
"Dimana letak bintang Waluku?" terdengar suara dari
Gardu. "Tenggara", jawab orang Pamingit itu.
"He!," kembali orang di gardu berteriak, "Siapa kau?"
"Dari gardu pertama mengantar orang Banyubiru yang
meninjau medan," jawab orang yang berkuda bersama Arya
itu berteriak. "Kenapa lewat jalan sempit itu"," bertanya suara itu pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ia akan singgah kerumahnya sebentar. Makan dan
mengambil kambingnya yang tertinggal ketika keluarganya
mengungsi," jawabnya.
Orang di gardu itu diam. Mereka membiarkan rombongan
itu lewat meskipun didalam hati bertanya tanya, "kenapa
demikian banyak"," Tetapi karena mereka dapat menjawab
kata kata sandi itu, maka merekapun menjadi tidak
bercuriga. Bahkan kemudian terdengar salah seorang
berteriak, "Bawa kambing kemari, kita panggang disini."
"Baik," jawab orang Pamingit itu.
Dengan demikian, mereka selamat melampau penjagaan
itu. Mereka menyususup jalan sempit kemudian lewat
beberapa halaman, mereka sampai ke jalan kecil yang lain.
"Terimakasih," bisik Arya, "Kau adalah penunjuk jalan
yang baik. Tetapi dimanakah pemusatan laskar Pamingit?"
"Sudah lampau. Diseberang gardu penjagaan tadi,"
jawabnya. Arya percaya. Ita tertawa dalam hatinya. Beginilah nilai
kesetiaan orang Pamingit. Mereka tidak lebih daripada
laskar bayaran yang tak kenal pengabdian.
Ketika mereka sudah mencapai jalan kecil itu, segera
Arya mengenalnya, kemana ia harus pergi.
Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan
orang pamingit itu. ----------o-dwkz-0-arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
V Suara telapak kuda terdengar gemeretak diatas tanah
yang berbatu padas. Didalam malam yang sepi terdengar
seperti suara prajurit yang berpuluh jumlahnya maju ke
medan perang. Tiba tiba ketika mereka masih asik berangan angan
tentang diri masing masing, terdengarlah dari arahgardu
pertama, suara kentongan yang berbunyi dua kali tiga
ganda, sehingga orang dalam rombongan berkuda itu
menjadi terkejut karenanya.
Orang Pamingit itu menjadi gelisah. Siapakah yang telah
memberikan tanda. Bahkan kemudian tanda itu disaut oleh
gardu kedua. "Tanda bahaya?" desis orang Pamingit itu.
"Bahaya apa"," desak Arya.
"Mereka bersiap siap," jawabnya.
"Bohong," potong Arya Salaka, "mereka memberi tanda
bahwa ada musuh masuk kedalam pertahanan mereka."
Orang Pamingit itu diam. Keringat dinginnya mengalir
membasahi punggungnya. Ia sama sekali tidak menduga
bahwa anak buahnya akan membunyikan tanda itu, yang
baginya adalah tanda bahwa maut telah menerkamnya.
Tiba-tiba terasa tengkuknya meremang seperti dirayapi oleh
berjuta-juta semut. Apalagi ketika ujung tombak Arya
semakin lekat di lambungnya.
"Kau masih menduga bahwa tombak orang Banyubiru
tidak setajam tombak orang Pamingit"," tanya Arya.
Orang Pamingit yang semula marah itu kemudian
kehilangan kemarahannya, bahkan dengan menggigil ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjawab: "Tidak, tidak. itu samasekali bukan salahku. Aku
melarang mereka untuk berbuat hal yang tidak kalian
kehendaki." "Bohong!," bentak Arya, "kau pasti memberikan tanda-
tanda rahasia kepada mereka."
"Tidak, tidak," orang itu benar benar menggtigil. Ia
masih senang untuk tetap hidup. A palagi upahnya bulan ini
masih belum diterimanya sama sekali. Alangkah mengerikannya kalau malam ini ia terpaksa mati. Lalu
bagaimana dengan anak isterinya". "Bukan, bukan salahku.
Aku masih ingin hidup. Bukankah aku telah membawa
kalian melampaui gardu kedua?"
Arya harus cepat mengambil keputusan. Suara kentongan itu menjadi semakin merata. Untunglah bahwa ia
sudah mengenal jalan jalan di Banyubiru itu dengan baik.
Karena itu, segera ia mengambil keputusan untuk secepat
cepatnya sampai kerumah pamannya. Mudah mudahan
pamannya dapat mengerti alasan kedatangannya dan dapat
menerimanya untuk beberapa saat saja, untuk berbakti
kepada kakeknya dan apabila mungkin membawa ibunya
keluar dari sarang sarang orang orang licik itu. Sebab tidak
mustahil kalau ibunya akan dijadikan kambing hitam
kemarahan pamannya, atau malahan dijadikan tanggungannya. "Kita harus sampai secepatnya," katanya kepada
Wanamerta. Orang Pamingit itu menjadi semakin gemetar. Seolah-
olah ujung tombak Arya itu telah masuk sejari ke dalam
perutnya. "Bagaimana dengan kau?" bentak Arya kepada orang
Pamingit itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bukan salahku. Aku masih ingin hidup," pintanya
dengan suara menggigil ketakutan.
Arya menjadi kasihan juga melihat orang itu.
"Anakku lima orang," sambungnya, "Yang terkecil baru
berumur 3 bulan. Hidupilah aku. Aku akan tunduk segala
perintahmu." Kata-kata itu meluncur saja tanpa terkendali.
Meskipun hatinya sendiri merasa ragu. Sebab kalau ia
menghadapi keadaan seperti itu, pasti orang itu akan
dibunuhnya. Karena itu ia mencoba meyakinkan, "Anak-
anakku akan kelaparan kalau aku mati. Aku tidak punya
sawah dan istriku bukan juragan. Karena itu aku harus
bekerja menjadi laskar Ki Ageng Lembu Sora, meskipun itu
bertentangan dengan jiwaku sendiri. Sebenarnya aku...."
Orang itu tidak sempat menyelesaikan kata-kata ketika
tiba-tiba ia merasa tangan Arya mendorongnya. Ia merasa
terlempar dari punggung kuda itu dan sekali terguling.
Kemudian ia hanya dapat menyaksikan kuda-kuda itu
berlari semakin kencang dan meninggalkan kepulan debu
yang putih. Untuk beberapa saat ia masih duduk di tanah. Nafasnya
bergelora tak teratur. Namun ketika ia meraba lambungnya,
dan tidak terdapat luka sama sekali, ia menarik nafas
dalam-dalam. Rupa-rupanya ia masih tetap hidup. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata kepada diri sendiri,
"Agaknya anak itu benar-benar tidak mau membunuh aku.
Aneh." Suara derap kuda itupun menjadi semakin lambat dan
akhirnya menghilang di kejauhan. Orang Pamingit itu berdiri
perlahan-lahan. Punggungnya terasa sakit. Agaknya ia
benar-benar jatuh terbanting. Namun ia masih tetap hidup.
Tiba-tiba ia menjadi sangat terharu. Ia masih mempunyai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
harapan untuk bertemu dengan anak istrinya. Mudah-
mudahan kalau besok benar-benar terjadi pertempuran, ia
dapat hidup pula. "Tuhan Maha Pengasih," desisnya. Ia terkejut sendiri
mendengar kata-katanya. Sudah berapa tahun ia tidak
pernah menyebut nama Tuhan. Dan tiba-tiba ia berjanji
pada diri sendiri, kalau ia masih dikaruniai umur panjang, ia
akan rajin mengunjungi masjid. Bahkan ia berjanji untuk
memperbaiki masjid di desanya yang selama ini tak
terpelihara. Ketika ia sedang mengusap air matanya yang tiba-tiba
saja membasahi pipinya, tiba-tiba terdengarlah hiruk pikuk.
Ia mendengar langkah orang berlari-lari. Dari tikungan
muncullah beberapa orang bersenjata dan langsung datang
kepadanya. "Siapa kau?" bentak salah seorang.
"Srengga," jawab orang Pamingit itu.
"Apa kerjamu di sini?" tanya orang itu pula.
Orang Pamingit itu menjadi bingung. Lalu ia menjawab
saja sekenanya, "Aku terjatuh di sini, lihat ini luka di
kakiku." "Terjatuh dari mana?" tanya orang itu pula.
Srengga semakin bingung ketika tiba-tiba seseorang
bertanya, "Kau yang melampaui gardu kedua bersama-
sama dengan orang-orang Banyubiru?"
"Ya," jawabnya kosong.
Akhirnya ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan diri
pula. "Aku ditipunya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bohong," bentak orang itu. "Anak buahmu datang
kepada kami dan menceriterakan apa yang sudah terjadi."
Dada orang itu berdesir. Namun ia masih mencoba untuk
mengurangi kesalahannya. Katanya, "Nah, kalau kau sudah
tahu kenapa kalian bertanya. Coba katakan kepadaku kalau
salah seorang dari kalian mengalami keadaan seperti yang
aku alami. Apa yang akan kalian lakukan" Membunuh diri
dan membiarkan orang itu lari sesudah mengetahui
keadaan medan" Apakah kalian dengan kaki-kaki kalian
dapat mengejar derap lari kuda mereka?"
"Pengecut," bentak salah seorang. "Berapakah jumlah
mereka" Dan berapakah jumlah kalian di gardu pertama?"
"Jumlah kami ada 15 orang," jawab Srengga. "Limabelas
orang dengan orang-orang seperti Ira, Prana, Wreditama
yang hanya bisa jual tampang, Sungsang yang bermata
merah tetapi takut melihat darah."
"Dipimpin oleh Srengga, yang lebih senang memeluk
daging panggang daripada senjatanya," potong seseorang.
"Jangan banyak bicara," Srengga mulai marah. "Kau
belum tahu siapa mereka. Coba katakan berapa orang di
gardu kedua" Berapa?"
"Juga 15 orang. Tetapi 15 orang di gardu kedua tidak
takut melawan limabelas orang berkuda. Jangankan
empat," jawab yang ditanya.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Omong kosong," bentak Srengga. "Dengar. Dengan apa
yang telah aku lakukan, aku telah menyelamatkan kalian.
Kau tahu siapa yang berkuda tadi?"
Orang-orang dari gardu kedua itu tertawa terbahak-
bahak. Salah seorang berkata mengejek, "Menyelamatkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kami" Apakah yang empat orang itu terdiri dari jin" Atau
setan, hantu... atau tetekan?"
"Lebih dari itu," potong Srengga. "Mereka adalah Arya
Salaka." "He...?" semuanya terkejut mendengar nama itu. "Kalau
benar kau benar-benar gila. Duapuluh lima bahu dijanjikan
untuk menangkapnya, hidup atau mati. Dan duapuluh lima
bahu itu kau sia-siakan?"
"Aku belum selesai," sahut Srengga, "Yang lain adalah
Kiai Wanamerta, yang mempunyai takaran tiga empat
orang darimu." "Masih cukup banyak?" sela seseorang.
"Yang lain lagi...," Srengga meneruskan, "Orang itu tidak
lain adalah Mahesa Jenar."
"Mahesa Jenar...?" Mereka berbareng mengulang.
"Ya," jawab Srengga. "Dan yang seorang lagi adalah
orang yang melindungi Bantaran di tanah lapang beberapa
minggu yang lalu." Orang dari gardu kedua itu tiba-tiba terdiam.
"Nah..." Srengga meneruskan, "Hitunglah berapa orang
harus disiapkan untuk melawan mereka. Paling-paling kalian
hanya berani melawan orang-orang yang membawa obor
itu. Mahesa Jenar dan yang seorang lagi, ditambah dengan
Arya Salaka agaknya akan dapat membunuh kami tigapuluh
orang tanpa kesukaran sebelum kami sempat memukul
tanda bahaya." Mereka masih tetap diam. Srengga merasa bahwa orang-
orang itu membenarkan sikapnya, katanya meneruskan,
"Nah, aku bekerja dengan otakku. Aku tidak melawan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka. Aku antarkan mereka masuk lebih dalam ke daerah
Banyubiru. Maksudku aku akan membawanya ke alun-alun.
Di sana laskar kita akan berpesta. Bukankah Ki Ageng
Lembu Sora, Sawung Sariti, dan kalau perlu Ki Ageng Sora
Dipayana ada?" Orang dari gardu itu mengangguk-angguk. Salah seorang
dari mereka berkata, "Agaknya kau pandai bersiasat,
Srengga." "Itulah," jawab Srengga, "Karena ketololan kalian dengan
membunyikan tanda-tanda itu, mereka melarikan diri. Aku
dilemparkan dari punggung kuda tanpa dapat berbuat
sesuatu." "Ke mana mereka?" tanya orang-orang dari gardu kedua.
"Kau akan mengejar mereka?" tanya Srengga pula.
Orang-orang di gardu kedua itu diam.
"Kembalilah ke gardu kalian." Tiba-tiba Srengga
memerintah. "Aku akan kembali ke garduku. Lupakan mimpi
burukmu. Tanah duapuluhlima bahu itu. Sebab kalau
kepalamu telah terpisah dari lehermu, kau tidak akan dapat
menikmatinya." Srengga tidak menunggu jawaban. Ia langsung kembali
ke gardunya. Di sepanjang jalan sempit itu tiba-tiba ia
teringat pada kata-katanya sendiri. Kalau Arya Salaka pergi
ke alun-alun, ia benar-benar dapat dikeroyok oleh laskar
Pamingit, bahkan mungkin dengan Lembu Sora dan Sawung
Sariti. Tanpa sadar, merayaplah suatu perasaan yang belum
pernah dirasakan Srengga sebelumnya. Ia tiba-tiba merasa
cemas terhadap keselamatan lawannya. Baru kali ini hal itu
terjadi. Namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali
tanpa sadar pula ia berdoa di dalam hatinya, semoga Tuhan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Yang Maha Esa melindungi Arya Salaka dan kawan-
kawannya. Dalam pada itu, laskar Banyubiru yang sedang
beristirathat tidak jauh dari perbatasan kota, mendengar
pula tanda-tanda yang dibunyikan oleh orang-orang
Pamingit di Banyubiru. Demikian mereka mendengar bunyi
itu, demikian mereka menjadi gelisah. Sebelum pemimpin-
pemimpin mereka memberikan perintah apapun, mereka
telah menyiapkan diri. Semua orang di dalam pasukan itu,
apalagi orang-orang yang telah dipilih oleh Sendang Papat
untuk menjadi pelopor laskarnya, telah bersiap diri. Mereka
berdiri tegak dengan tekad yang teguh memandangi
lambung bukit di hadapannya. Di leher mereka melingkar
kain putih memplak bergambar gajah berwarna kuning
emas sebagai pertanda kesediaan mereka untuk mati bagi
tanah mereka. Yang paling depan dari mereka itu adalah
Sendang Papat sendiri. Tangannya yang gemetar telah
melekat di tangkai pedangnya. Tetapi ia belum melihat
tanda apapun. Ia belum mendengar bunyi sendaren atau
melihat panah api naik ke udara. Namun karena itulah ia
menjadi semakin gelisah, jangan-jangan Arya Salaka tidak
sempat memberikan tanda-tanda itu.
"Mustahil," gumamnya.
Di sayap kiri, Bantaran pun menjadi gelisah. Meskipun Ki
Dalang Mantingan tampaknya tenang-tenang saja, namun
di dalam dadanya pun bergolak perasaan cemasnya, dan di
tangannya tergenggam erat-erat trisulanya. Di sayap kanan,
Penjawi berjalan hilir mudik di hadapan anak buahnya yang
telah memegang senjata masing-masing. Wirasaba duduk di
atas sebuah batu, dan meletakkan dagunya pada tangkai
kapaknya. Sesekali dua kali ia menarik nafas dalam-dalam
untuk mencoba menekan hatinya yang gelisah. Namun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
merekapun belum melihat tanda apapun yang melontar ke
udara. Sedang pada saat itu kuda Arya Salaka beserta
rombongan meluncur lewat jalan-jalan sempit di dalam
kota. Mereka menjadi semakin dekat dengan alun-alun
Banyubiru, tempat Arya bermain pada masa kanak-
kanaknya. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak memukul jalan-
jalan berbatu memecah sepinya malam. Beberapa orang
yang masih tinggal di rumah masing-masing menjadi
semakin ngeri. Seolah-olah mereka mendegar gemuruhnya
gunung yang meledak di hadapan mereka.
"Adakah laskar Arya Salaka telah datang..." bisik mereka.
Seorang ibu sambil memeluk anaknya di pembaringan
bergumam, "Apakah kira-kira yang akan terjadi...?"
Suaminya, lelaki tua yang duduk di sisinya menjawab
lirih, "Pertempuran akan berkobar di perbatasan. Mudah-
mudahan mereka tidak akan menginjak halaman rumah
kita." Kemudian, lelaki tua itu berdiri dan berjalan ke amben di
sebelah. Ia melihat selusin anak-anaknya yang lain sedang
tidur nyenyak. Ia menarik nafas panjang. Kalau rumahnya
itu terpaksa dibakar orang, entah orang Pamingit entah
orang Banyubiru, dan dirinya sendiri terpaksa diseret di
sepanjang jalan, entah oleh orang Pamingit entah oleh
orang Banyubiru, lalu apakah yang akan terjadi dengan
anak-anak itu. Peperangan adalah sesuatu yang terkutuk.
lebih-lebih bagi anak-anak. A nak-anak yang ingin menikmati
kebesaran alam, yang diperuntukkan bagi mereka oleh
Maha Penciptanya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam bentrokan-bentrokan yang demikian itu segala
sesuatu dapat terjadi. Orang yang tangannya telah dibasahi
darah, kadang-kadang menjadi kehilangan kesadaran.
Orang-orang yang dalam hidupnya sehari-hari tidak sampai
hati membunuh seekor tikus pun, dalam peperangan
kadang-kadang akan dapat melakukan perbuatan- perbuatan terkutuk. Membunuh, menyiksa dan bahkan
terhadap anak-anak. Di rumah sebelah, lelaki tua itu mendengar tangis bayi
melengking-lengking. Tanpa sesadarnya ia menoleh kepada
anak kecilnya yang tidur di pelukan ibunya. "Jangan
menangis," desisnya kepada anak yang tidur itu. Anak itu
memang tidak menangis. Tetapi hati lelaki itulah yang
menangis. Istrinya tahu bahwa suaminya sedang berpikir tentang
bayi yang menangis itu, katanya, "Mengungsi di rumah
sebelah." Suaminya tidak menjawab. Perlahan-lahan ia duduk di
amben beserta empat anak-anaknya tidur berjajar. Wajah
anak-anak itu tampak bersih bening; sebening udara pagi
hari. Tetapi mereka besok akan menggigil ketakutan;
seandainya perang benar-benar berkobar di perbatasan.
Suara kaki-kaki kuda Arya masih menggemuruh, seperti
suara guruh yang menjalar sepanjang jalan, menuju ke
alun-alun. Dalam kegelapan malam, Arya tidak sempat
melihat apakah di alun-alun itu banyak berjaga-jaga laskar
Lembu Sora. Yang dilakukan adalah menerobos alun-alun
itu tepat di tengah-tengah. Di antaranya sepasang beringin,
yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun itu.
Agaknya alun-alun itu memang sepi. Laskar Lembu Sora
hampir seluruhnya telah dikerahkan di pemusatan-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pemusatan laskar di garis pertempuran. Namun di muka
rumahnya, Arya masih melihat segerombolan orang yang
agaknya bertugas menjaga rumah itu. Mereka telah berada
dalam kesiagaan penuh, ketika mereka mendengar tanda
kentongan yang mengumandang di garis perbatasan.
Ketika mereka mendengar derap kuda mendekati,
mereka pun segera memencar. Dari ujung alun-alun itupun
muncul pula segerombolan laskar cadangan. Tetapi
demikian mereka siap, demikian Arya telah berada di
hadapan hidung mereka. Ketika ujung-ujung senjata mengarah kepadanya, Arya
menghentikan kudanya. Demikian juga orang-orang lain
dalam rombongan itu. Dengan tangan kirinya, Arya
memegang tombak kebesarannya, sedang tangan kanannya
diangkatnya tinggi-tinggi, sebagai suatu pertanda bahwa ia
datang untuk tujuan tanpa kekerasan.
Sebelum mendengar sebuah pertanyaan pun, para
penjaga agaknya telah mengenal beberapa orang diantara
rombongan itu. Wanamerta dan Mahesa Jenar. Karena itu
mereka menjadi sangat berhati-hati.
Salah seorang dari mereka kemudian melangkah maju.
Ia berhenti beberapa langkah di hadapan kuda Arya.
Dengan seksama ia mencoba memperhatikan anak muda
itu. Tetapi malam cukup gelap dan cahaya obor di kejauhan
hanya samar-samar sampai. Sedang Arya Salaka telah
lenyap beberapa tahun semasa ia masih terlalu kecil untuk
datang dengan tombak di tangan. Sekarang, di punggung
kuda itu duduk seorang anak muda yang perkasa. Karena
itu orang itu tidak segera dapat mengenal, bahwa anak
muda yang memegang tombak itu adalah Arya Salaka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian terdengarlah suara orang itu dengan
garangnya, "Siapakah kau yang datang bersama-sama
dengan Kiai Wanamerta dan Mahesa Jenar?"
Arya Salaka tersenyum. Ia kenal orang itu. Ketika masa
kecilnya ia sering datang ke Pamingit, dan pernah
dikenalnya pengawal pribadi pamannya itu.
Jawabnya, "Selamat malam Paman Wulungan. Apakah
Paman lupa kepadaku?"
Wulungan mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia
mengamat-amati anak muda itu. Namun sampai beberapa
lama ia masih belum dapat mengenalnya kembali. Tetapi
akhirnya ia tidak perlu mengingat-ingatnya. Ia dapat
bertanya kepadanya. Tidakkah mustahil bahwa di Banyubiru
dan Pamingit ini semua orang mengenalnya sebagai
seorang yang dipercaya untuk menjadi pemimpin pengawal
pribadi Lembu Sora beserta keluarganya" Karena itu sekali
lagi ia berkata garang, "Jawab pertanyaanku. Siapakah
kau?" Arya masih tersenyum. Namun ia menjawab, "Arya
Salaka." "He...?" Orang itu terkejut, "Jadi kaukah Angger Arya
Salaka?" "Ya," jawab Arya.
Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya. Untuk
beberapa saat ia terbenam dalam ingatannya beberapa
tahun yang lalu. Ia selalu baik dan hormat terhadap anak
ini, sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora. Tiba-tiba kali inipun
ia bersikap hormat pula. Sambil mengangguk ia berkata,
"Aku benar-benar pelupa. Tetapi Angger telah tumbuh
demikian cepatnya." Tiba-tiba ia ingat akan tugasnya. Ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ingat tentang apa yang dikatakan Lembu Sora kepadanya,
bagaimanakah ia harus bersikap terhadap keturunan Gajah
Sora atau pengikut-pengikutnya. Karena itu dengan tiba-
tiba pula ia mengubah sikapnya. Ia mencoba untuk berkata
dengan garang seperti semula, meskipun kewibawaan Arya
mempengaruhinya. "Jadi kau yang menamakan diri Arya
Salaka?" Arya sudah tidak tersenyum lagi. Ia melihat perubahan
sikap itu. Dengan tenang ia menjawab, "Ya. Akulah Arya
Salaka." "Apa perlumu datang kemari?" Wulungan bertanya.
"Aku ingin mengunjungi Kakek Sora Dipayana," jawab
Arya. "Kau datang dengan laskarmu?" tanya orang itu pula.
Kembali Arya tersenyum, jawabnya, "Sebagaimana
Paman Wulungan lihat. Aku datang hanya berenam."
Wulungan mengerutkan keningnya. Arya Salaka memang
hanya berenam. Tetapi ia menegaskan, "Siapakah yang
berbaris rapat di perbatasan?"
"Laskarku," jawab Arya Salaka pendek.
"Adakah dengan demikian kau hanya berenam saja?"
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya Wulungan mendesak. "Kalau aku datang dengan seluruh laskarku, maka
pertempuran pasti sudah berkobar," jawab Arya.
"Bukankah maksudmu memang demikian?" sahut
Wulungan. Arya memandang Wulungan dengan seksama. Perubahan sikapnya yang tiba-tiba, serta pertanyaannya
yang mendesak, mengingatkannya kepada kata-kata
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Srengga di gardu pertama. "Duapuluhlima bahu buat
menangkap Arya Salaka. Hidup atau mati."
"Janji yang terkutuk," desis hatinya.
----------o-dwkz-0-arema-o----------
Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 20 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Kemudian kepada Wulungan ia berkata, "Memang.
Maksudku adalah kembali ke Banyubiru. Disetujui atau tidak
oleh Paman Lembu Sora. Karena itu pertempuran bisa saja
berkobar setiap saat. Nah, sebelum aku dibunuh atau
membunuh, aku ingin menghadap Eyang Sora Dipayana
untuk menyampaikan baktiku sebagai seorang cucu, serta
mohon restu sebelum aku mulai dengan tugas beratku ini."
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menahan
napasnya mendengar jawaban Arya Salaka. Agak terlalu
keras. Namun mereka cukup mengerti, bahwa Arya
berbicara dengan Wulungan, pimpinan laskar pengawal
pribadi Lembu Sora, tidak lagi kepada Srengga. Dengan
demikian Arya tidak perlu terlalu banyak merendahkan
dirinya. Terhadap orang seperti Wulungan, Arya memang
harus mempertegas maksudnya.
Tetapi berbeda dengan dugaan Arya Salaka, Wulungan
tidak mendesaknya lagi seperti semula. Di dalam dada
orang itu, timbullah kembali rasa hormatnya. Memang Arya
Salaka sejak kecil menunjukkan sifat jantannya. Dengan
demikian maka Wulungan menjadi percaya, bahwa Arya
Salaka itu benar-benar Arya Salaka yang dikenalnya pada
masa kecilnya. Karena itulah, maka ia menjadi lunak. Permintaan Arya
untuk bertemu dengan eyangnya bukanlah permintaan
yang berlebih-lebihan. Apakah yang akan dilakukan, kalau
ia hanya datang berenam" Di hadapan Ki Ageng Sora
Dipayana yang sakti, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung
Sariti, mereka pasti tidak akan dapat berbuat sesuatu
kecuali benar-benar seperti apa yang dikatakan, mohon
restu dan menyampaikan bakti seorang cucu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Angger Arya Salaka..." jawab Wulungan, "Permintaan
Angger akan kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora
Dipayana. Terserah keputusan yang akan diambilnya.
Menerima atau tidak menerima kehadiran Angger."
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan
Wanamerta menarik nafas panjang mendengar keputusan
Wulungan. Terdengar Arya Salaka perlahan-lahan berkata,
"Terimakasih Paman Wulungan."
Tetapi ketika Wulungan memanggil seseorang untuk
menyampaikan pesan itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana,
terdengarlah suara tertawa nyaring, meskipun tidak terlalu
keras. Kemudian dari dalam regol halaman terdengar suara,
"Agaknya kau mempunyai pimpinan baru Paman Wulungan." Wulungan terkejut seperti juga Arya Salaka, Wanamerta,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Karena itu tiba-tiba
Wulungan terhenti di tempatnya seperti patung. Perlahan-
lahan ia menoleh dan mencoba melihat, siapakah yang
berkata itu, meskipun dengan mendengar suaranya ia
sudah dapat menebaknya. Sesaat kemudian muncullah seorang anak muda dengan
pedang yang besar di pinggangnya. Sawung Sariti.
Wulungan mengangguk hormat kepadanya, dan bertanya, "Apakah maksud A ngger?"
"Akulah yang berhak memberikan perintah, mengubah
dan mencabut perintah, selain ayah Lembu Sora," katanya.
"Apa perintahku yang aku ulangi sore tadi?"
Wulungan menarik nafas panjang, sebab tiba-tiba
nafasnya terasa berhenti di kerongkongan. Terhadap
Sawung Sariti sebenarnya Wulungan agak kurang senang.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sikapnya yang sombong, keras dan menghina orang lain.
Meskipun anak muda ini berhati baja pula. Namun ia
merasakan perbedaan sifat antara kedua anak muda yang
kebetulan dua bersaudara sepupu. Tetapi ia adalah
pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora. Karena itu ia
harus menjalankan pekerjaannya baik-baik. Maka jawabnya,
"Angger memerintahkan, tak seorangpun boleh memasuki
kota, apalagi halaman rumah ini."
"Bagus," sahut Sawung Sariti sambil menarik bibirnya.
"Apa yang akan Paman kerjakan?"
"Mencoba menyampaikan pesan angger Arya Salaka
untuk Ki A geng Sora Dipayana," jawab Wulungan.
"Bagaimanakah seharusnya Paman menjawab?" desak
Sawung Sariti. "Menolak permintaan itu," jawab Wulungan, namun ia
meneruskan, "Tetapi ia adalah Angger Arya Salaka, yang
sekadar ingin bertemu dengan kakeknya."
"Justru ia menamakan diri Arya Salaka!" bentak Sawung
Sariti. Wulungan terdiam. Ia tahu sifat anak muda itu. Ia biasa
membentak-bentaknya di hadapan laskarnya dengan kata-
kata yang menyakitkan hati. Bahkan kemudian Sawung
Sariti berkata, "Malahan ayah Lembu Sora menyanggupkan
hadiah duapuluhlima bahu bagi mereka yang dapat
menangkap anak muda yang menamakan diri Arya Salaka.
Nah sekarang anak itu telah datang menyerahkan dirinya."
Wulungan masih terdiam. Duapuluhlima bahu baginya
sama sekali tidak berarti. Di Pamingit ia memiliki tanah yang
berlebihan. Bahkan tenaganya tak mampu lagi untuk
menggarap seluruhnya. Namun yang penting baginya, sikap
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang demikian bukanlah sikap yang jantan. Bukankah Arya
Salaka dengan jantan datang tanpa pasukan untuk
menyampaikan sujudnya kepada kekeknya" Meskipun
kakeknya berada di pusat kekuasaan lawannya. Tetapi
kemudian ia mencoba untuk melupakan tanggapannya itu.
Bukankah sudah sekian lama ia sendiri hanyut dalam arus
ketidakjantanan sikap Lembu Sora" Akhirnya ia sadar
bahwa sikap Sawung Sariti lah yang telah mendesaknya
untuk menilai kembali setiap perbuatan yang pernah
dilakukan. Sebagai orang yang jauh lebih tua, Wulungan kadang-
kadang merasa sangat terhina oleh pokal anak muda itu.
Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu, sebab Sawung Sariti
adalah putra Ki Ageng Lembu Sora, putra seorang yang
memberinya kedudukan dan pangkat.
Demikian juga kali ini. Ia tidak dapat berkata apapun,
selain menundukkan kepala.
"Tidakkah Paman berusaha menangkapnya?" tanya
Sawung Sariti. "Sekarang Angger ada di sini," jawab Wulungan, "Aku
menunggu perintah Angger."
"Kalau aku tidak datang bagaimana?" bentak Sawung
Sariti. Kembali Wulungan terdiam.
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan
Wanamerta, yang menyaksikan peristiwa itu, perasaan
mereka ikut tersinggung pula. Sikap yang demikian
bukanlah sikap yang tahu adat. Wulungan, meskipun ia
adalah seorang bawahan saja, namun ia berumur jauh lebih
tua dari Sawung Sariti. Apalagi Arya menganggap bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sikap Wulungan adalah bijaksana. Karena itu tiba-tiba
timbullah keinginan untuk menarik perhatian Sawung Sariti,
katanya, "Adi Sawung Sariti. Baiklah aku langsung minta ijin
kepadamu, untuk menghadap Kakek Sora Dipayana."
Sawung Sariti menoleh kepada Arya Salaka. Tetapi
sesaat saja. Kemudian ia kembali memandangi Wulungan.
"Paman. Baiklah kalau aku harus memberikan perintah
berulang kali. Meskipun Paman seorang anggota laskar
pengawal ayah Lembu Sora yang sudah kenyang makan
garam. Dengarlah Paman, tak seorangpun aku ijinkan
masuk ke dalam kota, apalagi ke dalam halaman rumah ini.
Siapapun dan dengan alasan apapun."
Wulungan masih menundukkan kepalanya.
"Kau dengar, Paman...?" tanya Sawung Sariti dengan
lantang. "Ya, aku dengar," jawab Wulungan.
"Nah. Laksanakan," perintah Sawung Sariti.
Wulungan mengangkat mukanya. Dipandanginya wajah
Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya. Kemudian
katanya dengan tenang, "Angger, Angger telah mendengar
perintah Angger Sawung Sariti. Tak seorangpun boleh
memasuki halaman ini, dengan alasan apapun."
"Alangkah liciknya anak muda itu," pikir Arya. Ia hanya
berkesempatan untuk berbicara dengan Wulungan, yang
hanya dapat menjalankan perintah. Namun demikian ia
mencoba untuk sekali lagi berbicara langsung kepada
Sawung Sariti, katanya, "Adi, dapatkah Adi Sawung Sariti
berlaku bijaksana" Aku hanya ingin sekadar menghadap
Eyang Sora Dipayana."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sawung Sariti diam saja. Dengan senyum yang
menyakitkan hati ia berkata kepada Wulungan, "Lakukan
tugasmu baik-baik. Aku akan naik ke pendapa."
"Gila!" Arya Salaka berdesis. Ia adalah anak muda pula.
Darahnya masih hangat-hangat panas. Karena itu ia benar-
benar merasa terhina. Maka ia berteriak keras-keras, "Tak
seorang pun yang dapat menghalangi aku masuk ke
halaman rumahku sendiri. Minggir kalian, atau aku harus
membunuh kalian." Tiba-tiba pula, tombaknya telah berpindah di tangan
kanannya. Ujungnya telah tunduk setinggi dada orang yang
berdiri di atas tanah. Semua yang mendengar suara Arya Salaka itupun
terkejut. Sawung Sariti terhenti pula. Cepat ia memutar
tubuhnya dan tangannya telah melekat di tangkai
pedangnya. Ia melihat Arya telah siap menyerangnya.
Tetapi sebelum Arya Salaka mendorong kudanya menyerbu,
terasa Mahesa Jenar menangkap lengannya. Dengan
tenang gurunya itu berkata, "Tahan dirimu Arya."
Arya menarik nafas. Wajahnya telah memerah darah,
sedang darahnya rasa-rasanya telah mendidih membakar
seluruh tubuhnya. Dengan gemetar ia berkata, "Apa yang
dapat aku lakukan. Aku datang ke kampung halamanku
sendiri. Kenapa aku harus mengalami penghinaan itu?"
"Sawung Sariti...!" teriaknya, "Jangan berperisai orang
setua Paman Wulungan. Hadapilah kedatanganku. Kasar
atau halus." Sawung Sariti maju beberapa langkah. Jawabnya,
"Turunlah. Aku bukan pengecut seperti yang kau sangka."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Hampir saja Arya meloncat turun, kalau sekali lagi
Mahesa Jenar tidak mencegahnya.
"Jangan Arya," katanya, "Sawung Sariti bukanlah orang
yang harus memberi keputusan terakhir."
Nafas Arya menjadi berdesakan meloncat dari hidungnya.
Amat sulitlah baginya untuk dapat menahan diri. Apalagi
ketika kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak. "Minggir
semua. Biarlah anak itu tahu bahwa Sawung Sariti mampu
menjaga daerahnya. Mampu melakukan pekerjaan yang
diperintahkan kepada orang lain."
Tetapi Mahesa Jenar memegangi lengan Arya erat-erat.
"Jangan layani. Kita tunggu perkembangan keadaan.
Dengan teriakan-teriakan itu, mungkin pemanmu Lembu
Sora akan turun ke halaman dan akan memberikan
kesempatan kepadamu."
Tubuh Arya telah benar-benar gemetar. Tetapi ia masih
mencoba menahan diri seperti nasihat gurunya, meskipun ia
terpaksa menggigit bibirnya.
Wulungan dan anak buahnya menyaksikan peristiwa itu
dengan berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka meloncat
mundur, ketika Sawung Sariti memerintahkan mundur.
Yang dilihatnya kemudian adalah Sawung Sariti tegak di
tanah, dengan dada tengadah. Ia memandang Arya Salaka
dengan pandangan menghina seolah-olah Arya Salaka
adalah seorang yang sama sekali tidak patut mendapat
pelayanan. Sedang di atas punggung kuda, Arya duduk
dengan tubuh menggigil menahan diri. Sekali-kali terdengar
giginya gemertak. Sedang dari matanya memancar api
kemarahan. Sekali lagi terdengar Sawung Sariti menantang,
"Turunlah. Atau kau akan bertempur di atas kudamu"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Seperti cara para penyamun menyerang korbannya, supaya
ia dapat cepat melarikan diri?"
Arya Salaka benar-benar terbakar. Ia benar-benar lupa
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri. Dengan tidak diduga-duga Arya merenggut lengannya
dari pegangan gurunya. Dan sekali loncat ia sudah berdiri di
atas tanah dengan tombak Kyai Bancak siap di tangannya.
Pada saat yang bersamaan, berkilat-kilatlah pedang Sawung
Sariti yang besar dan panjang dalam genggaman jari-
jarinya yang kokoh. Keadaan berkembang sedemikian cepatnya. Ketika
Mahesa Jenar menyusul, meloncat turun dari kudanya, ia
sudah terlambat. Kedua anak muda itu telah terlibat dalam
suatu perkelahian. "Arya...." Terdengar Mahesa Jenar memanggil. Tetapi
Arya Salaka tidak mendengar suara gurunya. Dengan
garangnya ia meloncat langsung menghadapi pedang
Sawung Sariti yang berputar-putar seperti baling-baling.
Arya Salaka pun dengan lincahnya menggerakkan tombak
pusakanya. Sekali-kali melingkar dan sekali-kali mematuk.
Cahayanya yang kebiru-biruan memancar berkilau-kilau
memantulkan sinar-sinar obor yang samar-samar sampai.
Keduanya bertempur dengan kemarahan yang menekan
dada masing-masing. Wulungan dan anak buahnya berdiri saja seperti patung.
Mereka memang pernah mengenal cara Sawung Sariti
bertempur. Tangkas, tangguh dan lincah. Sebagai seorang
cucu dari Ki Ageng Sora Dipayana yang langsung mendapat
tuntunan darinya, Sawung Sariti benar-benar tidak
mengecewakan. Seperti ayahnya, ia mampu menggerakkan
pedang yang sedemikian besarnya, seperti menggerakkan
lidi. Karena itu, alangkah berbahayanya pedang itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Menyambar seperti burung elang, tetapi sekali-kali
memagut seperti ular, disertai angin yang berdesis
mengerikan. Betapa kuatnya tangan anak muda itu.
Tetapi mereka menjadi kagum pula melihat lawan
Sawung Sariti itu. Dengan tombak pendek di tangan, ia
mirip seperti burung rajawali yang bertempur dengan kuku-
kukunya yang tajam. Sekali Arya meloncat menjauhi
lawannya, tetapi tiba-tiba ujung tombaknya sudah
menyambar dada Sawung Sariti, bahkan tombak itu seperti
menyerangnya dari segenap arah. Cahaya kebiru-biruan
yang dipancarkan dari mata tombak itu tampak melingkar-
lingkar membingungkan. Demikianlah kedua anak muda itu bertempur dengan
sengitnya. Masing-masing memiliki ketangkasan, ketangguhan dan keteguhan hati, disertai keahlian mereka
menguasai senjata masing-masing. Sehingga senjata-
senjata mereka itu seperti dapat bergerak dengan
sendirinya, bahkan di ujung-ujung senjata itu seperti
terdapat biji-biji mata. Mahesa Jenar pun kemudian terikat pada pertempuran
itu. Ia menempatkan dirinya di muka regol halaman untuk
menanti kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan.
Sedang Kebo Kanigara untuk sementara masih berada di
atas kudanya. Ia masih sempat melihat berkeliling. Melihat
para pengawal yang berdiri dengan mulut ternganga.
Melihat Wulungan yang tegak seperti patung, namun
tangannya telah meraba hulu pedangnya. Di halaman
itupun ternyata para pengawal telah siap dengan senjata
masing-masing. Apalagi jatuh perintah Sawung Sariti untuk
bergerak, mereka akan serentak bergerak. Di pendapa,
Kebo Kanigara melihat seorang yang bertubuh besar,
berdada bidang dengan kumis yang lebat di atas bibirnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ia tidak begitu jelas, apakah tanggapannya terhadap
perkelahian yang terjadi itu. Namun segera Kebo Kanigara
mengenal orang itu, Ki Ageng Lembu Sora.
Ia melihat sepintas kepada Wanamerta. Wanamerta pun
kemudian meloncat turun. Demikian juga kedua orang anak
buahnya. Mereka segera meloncat turun pula. Di tangan
mereka erat tergenggam masing-masing sebuah obor, dan
di dada mereka tersangkut sebuah gendewa.
"Nyalakan obor," perintah Wanamerta. "Obor akan dapat
menjadi senjata yang baik kalau diperlukan. Siapkan
gendewamu dan anak panah yang mungkin akan kita
pergunakan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kedua orang itupun segera mempersiapkan alat-alat
mereka. Yang seorang kemudian menyalakan obornya,
yang seorang lagi menyiapkan bumbung panahnya, dan
menyangkutkan bumbung itu di ikat pinggangnya.
Gendewanya telah siap di tangannya pula.
Di halaman itu pertempuran semakin bertambah sengit.
Sawung Sariti yang bersenjata pedang, bertempur dengan
garangnya. Bahkan kemudian tampaklah pedangnya seperti
gulungan sinar putih yang mengerikan menyerang Arya
Salaka dari segala arah. Namun di antara sinar putih itu
tampaklah cahaya yang kebiru-biruan, sekali-kali melingkar
dan sekali-kali meluncur dengan cepatnya seperti anak
panah yang lari dari busurnya mengarah ke tubuh
lawannya. Kebo Kanigara pun kemudian turun dari kudanya. Ia
mengambil tempat yang cukup baik, menghadap ke arah
pendapa. Dengan demikian ia dapat langsung melihat
apakah Ki Ageng Lembu Sora akan mengambil sikap. Tetapi
untuk sekian lama, orang itu tetap tegak tanpa bergerak.
Agaknya ia benar-benar tertarik melihat perkelahian itu.
Kalau semula ia yakin bahwa Sawung Sariti memiliki
kekuatan dan keteguhan ilmu yang membanggakan, namun
dengan kenyataan itu ia melihat bahwa anak yang bernama
Arya Salaka itupun mampu mengimbanginya. Dengan
permainan tombak yang manis dan cepat, Arya Salaka
sama sekali tidak dapat ditembus oleh serangan Sawung
Sariti. Bahkan kalau Sawung Sariti merasa memiliki
kekuatan yang mengagumkan, tiba-tiba ia harus mengakui
bahwa kekuatannya setidak-tidaknya tidak melampaui
kekuatan Arya. Lembu Sora terkejut, ketika ia melihat pedang anaknya
membentur tombak Arya, ia mengharap tangan Arya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjadi sakit, dan bahkan ia mengharap tombaknya
terlepas dari tangannya. Tetapi ia menyesal. Tidak saja
tombak anak muda itu yang terpental, tetapi pedang
Sawung Sariti pun ternyata seperti membentur dinding besi.
Bahkan Sawung Sariti terpaksa meloncat mundur untuk
memperbaiki pegangannya atas pedangnya.
Karena itulah ia terpaksa melihat perkelahian itu dengan
menegang nafas. Perkelahian yang sengit antara dua orang
anak muda yang berdarah panas, yang sedang dikuasai
oleh kemarahan yang memuncak. Demikianlah maka pada
malam yang gelap itu, berkali-kali terdengar dentang
senjata beradu dibungai oleh percikan api yang meloncat-
loncat dari titik benturan kedua senjata itu. Mereka masing-
masing mencoba untuk menguasai keadaan. Bahkan
masing-masing telah mengerahkan segenap kekuatan dan
ilmu mereka. Namun ternyata bahwa penderitaan Arya
selama ini, lahir dan batin, memberinya keteguhan lahir dan
batin pula, sehingga ia memiliki naluri yang lebih baik dalam
pengerahan tenaga daripada Sawung Sariti.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar adalah dua orang yang
cukup masak untuk menilai keadaan. Ketika ia mulai melihat
bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada
keadaan Sawung Sariti, mereka menjadi cemas. Tidak aneh
bahwa karena itu, maka Ki Ageng Lembu Sora akan
bertindak. Mengerahkan laskarnya untuk menangkap Arya.
Kalau demikian halnya, maka mereka berdua bersama
Wanamerta terpaksa ikut pula bermain-main, meskipun
malam yang gelap itu dinginnya bukan main.
Dengan demikian Mahesa Jenar pun harus menilai
keadaan di sekitar perkelahian itu. Iapun kemudian
mengamati Lembu Sora yang berdiri di pendapa. Seperti
Kebo Kanigara, iapun menaruh perhatian padanya. Kalau-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kalau ia dengan tiba-tiba bertindak, maka adalah
kewajibannya untuk melindungi Arya Salaka. Meskipun ia
menjadi kecewa bahwa kedatangan rombongan kecil ini
tiba-tiba telah berkisar dari tujuan, namun Mahesa Jenar
tidak dapat menyalahkan Arya Salaka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa berkisar pula
ketika mereka melihat Lembu Sora turun dari pendapa dan
perlahan-lahan berjalan mendekati titik perkelahian. Dalam
usapan sinar obor, tampaklah garis-garis wajahnya yang
tegang. Sekali-kali ia mengangguk-anggukkan kepalanya,
tetapi sekali-kali ia menahan nafasnya.
Perkelahian antara kedua anak muda itupun memang
menjadi bertambah sengit. Kedua senjata itupun menjadi
semakin cepat bergerak dan semakin berbahaya. Agaknya
kedua-duanya telah memutuskan untuk menyelesaikan
perkelahian itu dengan membunuh lawannya atau
dirinyalah yang terbunuh. Dengan demikian keadaan
menjadi semakin tegang. Tetapi ketika ketegangan telah memuncak, muncullah
seorang tua dari antara laskar Banyubiru yang berdiri
berjajar mengeliling perkelahian itu. Dengan suara yang
nyaring terdengarlah ia berkata, "Berhentilah. Berhentilah
berkelahi." Suara itu mengumandang memenuhi halaman rumah itu.
Namun karena Arya Salaka dan Sawung Sariti benar-benar
telah kehilangan pengamatan diri, maka suara itpun hampir
tak mereka dengar. Sehingga orang tua itu terpaksa
meloncat mendekati sambil mengulangi kata-katanya,
"Berhentilah Sawung Sariti, berhentilah Arya Salaka."
Bagaimanapun juga Sawung Sariti dan Arya Salaka
memusatkan segala perhatian mereka kepada lawan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
masing-masing, namun orang tua itu berdiri dekat di sisi
mereka, sehingga bagaimanapun juga suara itupun
mempengaruhi gerak-gerak mereka. Ketika gerak mereka
menjadi kendor, orang tua itupun meloncat semakin dekat
dan mengangkat kedua tangannya sambil berkata,
"Sudahlah. Berhentilah. Lihatlah aku."
Suara itu benar-benar berpengaruh. Sawung Sariti dan
Arya Salaka itupun tak dapat berbuat lain, karena
kewibawaan orang tua itu, selain berloncatan mundur.
"Bagus," kata orang tua itu kemudian. "Kalian berdua
benar-benar mengagumkan. Berbanggalah aku mempunyai
dua cucu yang perkasa tiada taranya. Kalian berdua telah
menunjukkan, betapa darah orangtua kalian mengalir di
dalam tubuh kalian. Sawung Sariti bertempur sebagai
seekor harimau yang garang, sedang Arya Salaka dapat
menjadikan dirinya burung rajawali yang perkasa.
Berbahagialah aku. Berbahagialah aku." Orang tua itu
berhenti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sawung Sariti surut beberapa langkah. Ia mengangguk
kepada kakeknya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun.
Namun demikian matanya yang merah, masih menyorotkan
sinar kemarahan kepada Arya Salaka yang diam terpaku di
tanah. Dengan seksama Arya mengamat-amati orang tua
itu. Lima tahun lebih ia tidak bertemu. Dan tiba-tiba orang
tua itu kini berdiri dihadapannya dengan wajah sayu. Dan
tiba-tiba pula Arya teringat kepada maksud kedatangannya.
Sebelum pecah perang antarsaudara itu, ia benar-benar
ingin bersujud di bawah kaki kakeknya serta mohon restu
kepadanya. Karena itulah maka tiba-tiba Arya meloncat
maju. Betapa rasa haru menguasai dirinya pada waktu itu,
sehingga Arya Salaka pun kemudian menjatuhkan diri pada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lututnya di hadapan kakeknya sambil memeluk kaki orang
tua itu. "Eyang..." desisnya. Lalu suaranya terputus oleh sesuatu
yang seolah-olah menyekat kerongkongannya. Di dalam
dadanya banyak sekali kata-kata yang melingkar-lingkar,
yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya
satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.
Didalam dadanya banyak sekali kata kata yang
melingkar lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya
itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari
mulutnya. Ki Ageng Sora Dipayana memandang anak itu dengan
mata suram. Didalam dadanya tersimpan pula rasa rindu
kepada anak itu, yang telah sekian lama hilang dari Banyu
Biru. Karena itu, maka mata orang tua itu menjadi redup.
Dibelainya kepala Arya Salaka dengan kasih sayang seorang
kakek kepada cucunya. Kemudian dipegangnya lengan anak
itu dan ditariknya berdiri. "Berdirilah Arya," katanya
perlahan. Aryapun kemudian berdiri. Tetapi wajahnya tunduk
ketanah. ia merasa bahwa ia tak berani memandang wajah
kakeknya. Tetapi orang tua itu mengangkat wajah Arya sambil
berkata: "Aku kagum kepadamu cucu, seperti aku kagum
kepada Sawung Sariti. Dengan demikian, tidak sia sialah
aku memiliki keturunan seperti kalian berdua."
Arya Salaka masih berdiam diri. Belum ada kata kata
yang mampu melontar dari mulutnya. Ketika tiba-tiba
matanya menjadi panas. Arya menengadahkan wajahnya ke
langit seperti ia belum pernah melihat bintang yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bertaburan. Sementara itu Ki Ageng Sora Dipayana
memandang berkeliling halaman.
"Kakang Wanamerta," gumamnya. Wanamerta mendekati Ki Ageng Sora Dipayana yang telah bersama-
sama memerintah tanah perdikan ini puluhan tahun.
Ki Ageng Sora Dipayana menepuk bahu Wanamerta
sambil berkata: "Sokurlah kalau kau asuh cucuku ini dengan
baik."
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanamerta menggeleng, "bukan aku," jawabnya, "tetapi
tuan berdua ini." Ki Ageng Sora Dipayana memandangi Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara dengan mata yang berkilat kilat. Katanya:
"tuan ternyata luar biasa. Cucuku benar benar telah
menjelma menjadi murid dari cabang perguruan Pengging
yang perkasa. Ketika aku melihat caranya bertempur
dengan tombak pendeknya, segera aku teringat kepada
sahabatku Ki Ageng Pengging Sepuh. Namun karena
sahabatku itu telah tiada lagi, maka aku yakin bahwa
anggerlah yang menjadi saluran ilmu itu."
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab: "Sekedar
untuk memenuhi permintaan kakang GajahSora, supaya
Arya Salaka mempunyai bekal buat masa depannya."
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk anggukkan
kepalanya. Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata:
"Lembu Sora, kenapa tidakkau persilahkan tamu tamumu
untuk naik ke pendapa"."
Lembu Sora menggeram. tetapi ia tidak dapat berbuat
lain. Karena itu, dengan berat hati, dipersilakan tamu
tamunya untuk naik. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika para tamu bersama sama dengan Ki Ageng Sora
Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora naik ke pendapa,
Sawung Sariti menggigit bibirnya. Ia tidak ikut serta dengan
mereka, tetapi segera masuk rumahnya dengan wajah
tegang. Wulungan serta anak buahnyapun menjadi seperti orang
tersadar dari mimpi. Pertempuran itu bagi mereka
merupakan suatu pertunjukan yang mengagumkan. Dua
anak yang masih semuda itu, telah dapat menunjukkan
kemampuan mereka yang luar biasa.
"Yang seorang adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana
selain cucunya. karena itu wajar bahwa anak muda itu
menjadi perkasa," berbisik Wulungan kepada anak
buahnya. "Namun yang seorang itupun sangat mengagumkan. Siapakah gurunya itu?"
"Mahesa Jenar," jawab salah seorang anak buahnya.
"Aku sudah tahu," bentak Wulungan, namun perlahan
lahan pula, "tetapi maksudku, siapakah Mahesa Jenar itu"
menurut dugaanku serta menurut cerita yang aku dengar
Mahesa Jenar memang memiliki kemampuan yang luar
biasa, namun ia tidak lebih dari pada Sora Dwipayana
sendiri. lalu bagaimana mungkin muridnya menyamai murid
Sora Dwipayana yang sakti itu"."
Anak buahnya mengangguk anggukkan kepala mereka.
Pemimpinnya menjadi heran oleh kenyataan itu, apalagi
mereka. Di pendapa, Sora Dwipayana segera mempersilahkan
tamunya untuk duduk melingkar diatas tikar pandan yang
putih. Dengan ramah ia menemui mereka seperti ia
menemui sahabat lama yang telah lama berpisah darinya.
Apalagi kepada Arya Salaka. Betapa rindu seorang kakek
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terhadap cucunya, seperti juga betapa rindu Arya kepada
kakeknya. Dengan memandangi tubuh Arya, seperti tak akan
pernah puas, Sora Dwipayana berkata: "Tubuhmu mekar
seperti ilalang di musim hujan Arya. Meskipun diwajahmu
tersirat, betapa keras derita yang kau alami selama ini,
namun demikian kau menjadi batu karang yang kokoh kuat,
tak hanyut oleh banjir yang bagaimanapun besarnya, tak
goyah oleh angin yang bagaimanapun kencangnya."
Arya menundukkan wajahnya. Ia menjadi terharu
kembali mendengar pujian itu, seperti anak-anak yang
terjatuh dan ditanyakan kepadanya; "apakah kau terjatuh,
sayang." Ki Ageng Lembu Sora menjadi tidak senang mendengar
pujian itu. Sebagai seseorang yang selalu membanggakan
diri serta putera satu satunya Sawung Sariti, maka baginya
pujian itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, tiba-tiba
ia minta diri kepada ayahnya, untk sesuatu keperluan di
belakang. Sora Dwipayana mengerti perasaan putera bungsunya
itu. Karena itu tidak melarangnya.
Sepeninggal Lembu Sora, Mahesa Jenar merasa lebih
bebas untuk mengemukakan pendapatnya sebab dengan
demikian, ia dapat mengatakan apa saja yang tersimpan
didalam hatinya, didalam hati muridnya.
"Ki, Ageng," berkata Mahesa Jenar kemudian, "aku telah
mencoba memenuhi perintah ki Ageng, membawa Arya
Salaka kemari. Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menerima
bhaktinya. Selain suatu kemungkinan yang baik bagi masa
depannya, dan bagi rakyatnya. Tetapi aku menyesal bahwa
kehadirannya telah ditandai oleh suatu perkelahian yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sama sekali tak dikehendakinya. Namun itu sama sekali
bukan salahnya." Ki Ageng Sora Dwipayana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, "Aku tahu Angger. Memang Arya
Salaka tidak dapat dipersalahkan kalau ia terpaksa turun
dari kudanya dan langsung terlibat dalam perkelahian itu.
Sebagai anak muda yang pernah aku alami pula, darahnya
tak sedingin darah orang tua-tua ini."
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya, sahutnya, "Jadi Ki
Ageng melihat sejak awal kejadian itu?"
"Ya," jawab Ki Ageng Sora Dipayana. "Aku melihat sejak
semula dari antara laskar Lembu Sora. Tetapi sengaja aku
membiarkan mereka bertempur, sebab tiba-tiba timbullah
keinginanku untuk mengetahui, sampai di mana kemampuan Arya Salaka. Sudah sekian lama anak itu
meninggalkan aku. Dan sekarang ia dihadapankan pada
suatu tugas yang berat, yang mungkin harus dihadapi
dengan tenaganya." "Sekarang Ki Ageng telah melihatnya," kata Mahesa
Jenar. "Aku telah melihatnya. Dan aku kagum atas apa yang
aku lihat." Ki Ageng Dipayana meneruskan, "Seperti pernah
aku katakan kepada Angger beberapa saat yang lalu,
bahwa aku harus menjadikan Lembu Sora dan Sawung
Sariti benteng pertahanan terakhir atas Banyubiru dan
Pamingit sepeninggal Gajah Sora. Aku tak mempunyai
pilihan lain. Sebab orang-orang dari golongan hitam selalu
mengarahkan matanya ke daerah kami yang sangat kami
cintai ini. Dengan sekuat tenaga aku telah berhasil
memisahkannya dari antara mereka, dari pergaulan yang
menyedihkan. Aku asah mereka pagi dan sore, siang dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
malam. Dan aku berbangga atas hasilnya, meskipun secara
batin belum memenuhi tuntutan hatiku.
Sayang bahwa selama itu, aku tidak sempat menemukan
Arya Salaka. Pernah aku meninggalkan Banyubiru untuk
mencari cucuku itu. Namun aku tak berhasil menemukan.
Sedang daerah ini tak dapat aku tinggalkan terlalu lama.
Karena itu akupun segera kembali sebelum berhasil.
Mangsa kasanga tahun yang lewat, aku pernah menyusur
pantai utara. Aku pernah menemukan jejaknya, tetapi
kemudian lenyap kembali."
"Mangsa kasanga tahun lampau?" Mahesa Jenar
mengulangi kata-kata itu di dalam hatinya seperti juga Kebo
Kanigara dan Arya Salaka sendiri. Masa itu adalah masa
pembajaan yang mahaberat. Dimana ia terpaksa bersembunyi di atas bukit Karang Tumaritis, di bawah
sejuknya rumpun-rumpun bambu yang bersih di Padepokan
Panembahan Ismaya. "Aku terlalu tergesa-gesa..." Ki Ageng Sora Dipayana
meneruskan, "Karena aku tidak sampai hati meninggalkan
Banyubiru seperti kataku tadi. Apalagi pada saat-saat
terakhir, sekejappun aku tak berani. Namun suatu
keyakinan telah tertanam di dalam hatiku bahwa cucuku
Arya Salaka masih selamat."
Orang itu berhenti sejenak. Ia menarik nafas dalam-
dalam, lalu sambungnya, "Tetapi aku belum tahu, apakah
yang telah didapat anak itu selama perjalanannya di bawah
asuhan Angger Mahesa Jenar. Tiba-tiba aku menyaksikan
sesuatu yang sama sekali membuat hatiku mongkok. Arya
Salaka telah menjadi anak muda yang luar biasa."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia berbangga
bukan karena ia merasa dirinya perkasa, tetapi ia
berbangga karena eyangnya merasa bangga kepadanya.
Dalam pada itu terdengar Mahesa Jenar berkata,
"Semuanya adalah karena pangestu Ki Ageng serta karena
darah yang mengalir di dalam tubuh anak itu. Apa yang aku
lakukan hanyalah sekadar memberinya petunjuk-petunjuk."
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk sambil
tersenyum. Namun di dalam hatinya tersiratlah perasaan
kagum dan heran. Mahesa Jenar ternyata mampu berbuat
di luar dugaannya pula. Kalau ia dapat menjadikan Arya
Salaka sedemikian mengagumkan, bagaimanakah dengan
Mahesa Jenar itu sendiri" Pada saat ia berpisah dengan
Mahesa Jenar itu, beberapa tahun lampau, Mahesa Jenar
baru berada dalam tingkatan yang sejajar dengan Gajah
Sora. Apakah yang sudah dicapainya selama ini" Sedang
gurunya sudah lama tidak dapat memberinya tuntunan,
sejak Ki Ageng Pengging Sepuh itu meninggal dunia.
"Ki Ageng..." Ki Ageng Sora Dipayana mengangkat
mukanya mendengar Mahesa Jenar berkata. "Barangkali Ki
Ageng telah mengetahui maksud kedatangan kami. Karena
itu kami serahkan persoalan kami kepada kebijaksanaan Ki
Ageng. Bukankah maksud kami telah kami kemukakan pada
hari kedatangan kami yang pertama?"
"Ya," jawab Ki Ageng. "Aku sudah mengetahuinya. Dan
aku menjadi berdebar-debar karenanya."
"Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menemukan kebijaksanaan," sahut Mahesa Jenar. "Bagi kami, pertumpahan darah harus dihindari sejauh-jauh mungkin."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku sependapat," jawab Ki Ageng pula. "Namun apakah
yang dapat aku lakukan adalah suatu ikhtiar. Aku sudah
mencoba perlahan-lahan untuk mengubah pendirian Lembu
Sora." "Adakah Ki Ageng berhasil?" tanya Mahesa Jenar.
"Belum. Ia masih tetap pada pendiriannya," jawab Ki
Ageng Sora Dipayana. "Aku belum berani memaksanya.
Sebab ia akan dapat terjerumus ke dalam lingkaran hitam,
atau usaha yang lain. Meskipun aku tahu, bahwa
pertentangan antara Lembu Sora dengan golongan hitam
itupun tak akan dapat dihindari pula."
"Aku kira kemungkinan itu kecil sekali Ki Ageng," sahut
Mahesa Jenar. "Bukankah golongan hitam telah mulai
bertindak sendiri" Bahkan mereka telah mencoba untuk
memaksa Lembu Sora menyerahkan keris Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten yang mereka duga berada di
Banyubiru atau Pamingit?"
"Angger benar," jawab Ki Ageng Sora Dipayana. "Tetapi
Angger belum mendengar perkembangan yang terakhir.
Sejak Lembu Sora terpaksa berdiri, ia telah membuat
hubungan baru dengan para bangsawan yang tidak puas
atas pemerintahan Demak. Bukankah di Demak ada
golongan yang merasa dirinya disingkirkan oleh Sultan?"
"Sekar Seda Lepen?" tanya Mahesa Jenar terkejut.
"Ya. Dengan para emban dari Arya Penangsang," jawab
Ki Ageng Sora Dipayana. "Sudah seberapa jauhnya hubungan mereka?" tanya
Mahesa Jenar pula dengan cemas.
Ki Ageng Sora Dipayana diam sejenak. Tampaklah
alisnya berkerut. "Untunglah..." jawabnya, "Belum terlalu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
jauh. Karena itu aku tidak akan mendesaknya lebih dalam
lagi." Mahesa Jenar pun menjadi tertegun diam. Persoalan ini
menjadi bertambah rumit. Memang dengan tersisihkannya
Arya Penangsang, Demak telah menyimpan sebuah
persoalan yang mungkin akan meledak pada suatu saat.
Tetapi Mahesa Jenar yakin, selama Sultan Trenggana masih
memegang pimpinan pemerintahan, perpecahan itu akan
dapat dibatasi. Tetapi bagaimanakah kemudian..."
Namun, yang dihadapi Mahesa Jenar sekarang adalah
persoalan Banyubiru. Di perbatasan kota ini telah berbaris
dalam kesiagaan tempur laskar Arya Salaka. Mereka
menunggu sampai tengah malam atau sampai mereka
melihat tanda panah api naik ke udara. Sehingga dengan
demikian waktu mereka tidak terlalu banyak.
"Ki Ageng..." kata Mahesa Jenar, "Laskar Arya Salaka
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah siap di perbatasan. Mereka menunggu keputusan
sebelum tengah malam."
Sekali lagi wajah Ki Ageng Sora Dipayana berkerut-kerut.
Tampaklah betapa suram hati orang tua itu. Pada saat yang
sempit, ia dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit.
"Berilah aku waktu sampai besok," jawabnya.
"Sayang, Ki Ageng..." jawab Mahesa Jenar, "Kalau
tengah malam ini Arya tidak datang kembali, mereka akan
bergerak." Orang tua itu menarik nafas panjang. Tetapi ia belum
menjawab. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan
Arya Salaka, kemudian menjadi iba melihat orang tua itu
menghadapi persoalan yang hampir tak terpecahkan. Tetapi
apakah yang dapat dilakukannya"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Angger..." Tiba-tiba orang tua itu berkata, "Marilah kita
usahakan agar setidak-tidaknya pertempuran tidak berkobar
besok pagi." Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Baginya sendiri,
usaha ini adalah usaha yang paling baik. Bahkan kalau
mungkin untuk seterusnya. Tetapi bagaimana"
"Persoalannya akan menjadi sederhana kalau Lembu
Sora dapat menarik diri dan menyerahkan tanah ini." Orang
tua itu meneruskan, "Dan aku akan mengusahakannya.
Tetapi tidak sekarang, dimana ia baru saja dibakar oleh
kemarahan melihat anaknya tak dapat menguasai
lawannya." Ia berhenti sejenak. "Berilah aku waktu. Biarlah
satu atau dua orang pengikutmu itu kembali ke
pasukanmu." Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada Arya,
"Biarlah ia membawa perintah darimu supaya laskarmu
menunggumu sampai besok."
"Apakah ia dapat melewati laskar Paman Lembu Sora?"
tanya Arya, yang agaknya ingin memenuhi permintaan
kakeknya. Mahesa Jenar menjadi agak berlega hati mendengar
pertanyaan itu. Mudah-mudahan Arya sempat menahan
dirinya, sehari atau dua hari. Kalau anak itu yang
memerintahkan, ia mengharap laskarnya akan mentaatinya.
"Ia akan diantar oleh orang-orang pamanmu," jawab
Sora Dipayana. Arya Salaka memandang wajah Mahesa Jenar minta
pertimbangan. Maka berkatalah Mahesa Jenar, "Tidakkah
laskar Lembu Sora akan mendahului besok pagi?"
"Aku akan mencoba untuk mencegahnya. Setidak-
tidaknya menunda sampai lusa," jawab orang tua itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, "Arya, kau dapat
memerintahkan dua orangmu kembali. Eyangmu akan
menyelamatkan perjalanannya."
"Terserahlah kepada Paman," jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar menarik nafas. Timbullah kembali
harapannya untuk menyelesaikan setiap persoalan tanpa
pertumpahan darah. Maka iapun kemudian berkata, "Kalau
kau sependapat Arya, kau dapat minta sehelai rotan,
tulislah perintah itu."
Arya melaksanakan nasehat gurunya. Dari kakeknya ia
mendapat sehelai rontal, yang kemudian ditulisnya
perintahnya, singkat namun jelas.
"Tunggu aku kembali, jangan bergerak sendiri-sendiri
sebelum ada perintahku. Aku akan berada di antara kalian
sebelum tengah hari besok. Teruskan perintah ini ke sayap
pasukan. Laskar Pamingit tak akan bergerak besok."
Sebelum Arya memerintahkan dua orangnya yang
semula membawa obor untuk kembali ke induk pasukan, Ki
Ageng Sora Dipayana memanggil Lembu Sora duduk di
antara mereka. Dengan nada seorang ayah ia berkata,
"Lembu Sora. Aku minta orangmu untuk mengantarkan
orang Arya Salaka kembali ke pasukannya dengan
membawa pesan dari kemenakanmu itu."
Lembu Sora memandangi ayahnya dengan tegang.
"Apakah pesan itu?" terdengarlah ia bertanya.
Ki Agng Sora Dipayana tidak menjawab. Ia minta Arya
menunjukkan pesannya, yang kemudian dibaca oleh Lembu
Sora dengan dahi yang berkerut. Mula-mula ia ingin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menolak permintaan ayahnya itu, namun tiba-tiba
mendapat pikiran lain. "Apakah maksud penundaan itu?" Ia mencoba menegaskan. "Aku minta kepadanya," jawab ayahnya. "Sebab ada
yang ingin aku bicarakan dengan kau dan cucu Arya
Salaka." "Tak ada yang dapat dibicarakan," potong Lembu Sora.
"Ada," sahut ayahnya singkat.
"Tidak ada persoalan," ulang Lembu Sora.
"Ada!" kembali ayahnya menyahut.
Lembu Sora berdiam. Ia mengumpat di dalam hati.
Adakah ayahnya akan memaksakan pendapatnya kepadanya" Ia tidak akan pedulikan itu. Ia mempunyai
pasukan yang cukup banyak. Meskipun seandainya di dalam
laskar Arya Salaka terdapat orang-orang yang sakti, namun
jumlah laskar dalam setiap pertempuran akan turut serta
mengambil peranan. Dalam penilaiannya, di dalam laskar
Arya Salaka, tidak ada seorang pun yang harus disegani.
Mahesa Jenar, Wanamerta dan orang yang datang
bersama Mahesa Jenar itu, adalah orang yang sama sekali
tidak menakutkan, meskipun menurut laporan ada orang
yang pernah mempertunjukkan kesaktian, pada saat ia
melindungi Bantaran. Namun, Lembu Sora tidak cemas
menghadapinya. Meskipun demikian, apabila ayahnya tidak berkenan di
hatinya, atas tindakannya itu, maka yang terbaik adalah
memperkuat pasukannya, memperbesar jumlah orang-
orangnya. Karena itu, waktu yang sehari, yang diperlukan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
oleh ayahnya itu akan menguntungkannya pula. Malam
nanti ia dapat memerintahkan orangnya kembali ke
Pamingit. Ia harus kembali dengan segenap laskar
cadangan dan laskar remaja. Dengan demikian ia
mengharap bahwa ia akan berhasil memusnahkan Arya
Salaka. Karena pertimbangan itulah maka kemudian ia
berkata, "Terserahlah kepada ayah. Kalau ayah memandang
perlu untuk membiarkan laskar yang berkeliaran di
perbatasan itu memperpanjang umurnya dengan sehari
lagi." Arya Salaka tersinggung benar mendengar kata-kata
pamannya. Tetapi ketika ia akan menjawab, terasa Mahesa
Jenar menggamit tumitnya, sehingga akhirnya tak sepatah
katapun yang terucapkan. Mahesa Jenar pun sama sekali
tak memberi tanggapan apa-apa atas kata-kata Lembu Sora
itu. "Nah," kata Ki Ageng Sora Dipayana, "Berilah aku dua
orang itu." Lembu Sora menebarkan pandangannya ke halaman.
Ketika dilihatnya Wulungan, ia berteriak memanggil.
Wulungan pun kemudian berjalan mendekatinya, dan
berdiri di bawah tangga pendapa. "Ada perintah Ki Ageng?"
ia bertanya "Suruhlah dua orangmu mengantar kedua orang ini
kembali ke induk pasukannya," perintah Lembu Sora.
Wulungan ragu sejenak, sampai Lembu Sora mengulanginya, "Dua orang sampai perbatasan, lewat
penjagaan terakhir."
Wulungan mengangguk hormat. Ia tidak perlu tahu,
apakah yang terjadi. Yang dapat dilakukan adalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memanggil dua orang dari laskarnya untuk mengantar dua
orang laskar Arya Salaka, melampaui penjagaan terdepan,
supaya mereka berdua tidak mendapat gangguan apapun.
----------o-dwkz-0-arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Sepeninggal kedua orang yang bertugas untuk mengabarkan kelambatan Arya, Mahesa Jenar bermaksud
untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Namun Ki Ageng Sora Dipayana berkata
dengan tertawa, "Jangan kita berbicara mengenai
persoalan-persoalan yang rumit. Aku akan berpesta karena
aku telah menemukan kembali cucuku yang hilang." Kepada
Lembu Sora ia berkata, "Lembu Sora, marilah kita lupakan
sejenak. Untuk malam ini saja pertentangan-pertentangan
yang ada di dalam dada kita. Kalau aku besok atau lusa,
harus menghadap kembali kepada Yang Maha Esa, aku
akan meninggalkan kalian dengan senyum di bibirku. Aku
akan mengenang peristiwa malam ini. Makan bersama-
sama dengan anak-cucuku, serta tamu-tamuku yang baik
hati." Lembu Sora tidak dapat menolak permitaan ayahnya itu.
Dengan hati berat, ia terpaksa menyelenggarakan juga
makan bersama seperti yang dikehendaki oleh ayahnya,
bersama-sama dengan tamu-tamu yang sama sekali tak
dikehendaki kehadirannya, dengan Arya Salaka, Sawung
Sariti dan Wanamerta. Lembu Sora terpaksa mempersilakan
mereka masuk ke Pringgitan, dimana telah disediakan
makanan serta segala lauk pauknya di atas tikar pandan
yang bersih. Tetapi demikian kaki Arya melampaui tlundak pintu,
demikian terasa jantungnya berdenyut. Di situlah ia
beberapa tahun yang lalu bermain-main. Di atas tlundak itu
pula kadang-kadang ia duduk. Dan di situ pula ia selalu
melihat ayah bundanya duduk bersama-sama, kalau malam
turun, sehabis makan sore. Tiba-tiba saja ia teringat pada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ibunya. Kenapa baru sekarang" Agaknya semula hatinya
terampas oleh kemarahannya kepada Sawung Sariti,
sehingga ia tidak ingat lagi kepada kepentingan-
kepentingan lain. Karena itulah maka tiba-tiba ia menjadi gemetar.
Matanya berkisar dari pintu ke pintu untuk menanti,
barangkali dari sanalah ibunya akan keluar untuk
menjumpainya. Tetapi sampai ia duduk di atas tikar pandan
menghadapi hidangan makan, ibunya belum juga nampak.
Untuk sementara ia mencoba menahan hatinya. Namun
akhirnya keluar juga pertanyaan kepada kakeknya, "Eyang,
adakah Eyang memperkenankan aku untuk menemui
ibuku?" Ki Ageng Sora Dipayana tersentak mendengar pertanyaan itu. Untuk sesaat tiba-tiba ia terpaku diam
dengan wajah yang berkerut. Melihat perubahan wajah itu,
Arya Salaka terkejut pula. Karena itu ia mendesak, "Eyang,
apakah Ibu selamat?"
Orangtua itu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya, ya,
Arya, Ibumu selamat."
Arya tidak puas dengan jawaban itu. Maka ia bertanya
kembali, "Tetapi kenapa Ibu tidak datang menemui aku
sekarang. A tau akulah yang harus menghadap?"
Ki Ageng Sora Dipayana melemparkan pandangannya
kepada Ki A geng Lembu Sora. Dengan ragu-ragu ia berkata,
"Lembu Sora, jawablah pertanyaan kemenakanmu itu."
Arya Salaka dan Mahesa Jenar menjadi gelisah
karenanya. Maka ketika Lembu Sora tidak segera
menjawab, Arya mendesak lagi, "Di mana Ibu, Paman?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lembu Sora membetulkan letak duduknya. Kemudian ia
berkata, meskipun sama sekali tidak memandang wajah
Arya Salaka. "Ayah. Aku sudah berkata sebelumnya, bahwa
mBakyu Gajah Sora perlu mendapat perlindungan dan
ketenteraman sepeninggal Kakang. Di Pamingit, Nyai
Lembu Sora akan dapat menemaninya, serta sekadar
memberinya ketenteraman dan ketenangan."
Sekali lagi Arya merasa tersinggung. A gaknya pamannya
benar-benar tidak mau mengakui kehadirannya. Meskipun
demikian, hatinya berlega pula. Ternyata ibunya masih
selamat, meskipun tidak segera dapat ditemuinya. Namun
dengan demikian, ia masih mempunyai harapan bahwa
pada suatu saat ia akan dapat membawanya kembali ke
Banyubiru. Arya menarik nafas dalam. Kepada eyangnya ia
berkata: "Eyang, betapa rindukupada bunda. Namun kali ini
kerinduanku terpakisa masih aku simpan didalam dada.
Mudah-mudahan aku akan segera dapat menemuinya.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mudah-mudahan Arya," jawab eyangnya singkat. Yang
kemudian disambungnya dengan cepat," tapi jangan
lupakan permintaanku. Marilah kita makan bersama.
Lupakanlah segala persoalan, supaya aku tidak menyesal
kelak." Tak seorangpun menjawab. Ki Ageng Soradipayana
mendahului menikmati hidangan yang tak seberapa baik
sebagaimana lajimnya makan yang disediakan didaerah
darurat. Dimana setiap saat peperangan dapat berkobar.
Meskipun demikian, orang tua itu makan dengan lahapnya
seolah olah benar-benar untuk yang terakhir kalinya.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamertapun berusaha
untuk makan sebaik-baiknya, meskipun sore tadi mereka
telah makan kenyang-kenyang. Hanya Arya Salaka yang
agaknya tidak dapat menekan perasaannya, sehingga setiap
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kali ia menelan, setiap kali ia merasakan detak jantungnya
semakin cepat. "Betapa enaknya makanan yang kau sajikan Lembu
Sora," ayahnya memuji.
Lembu Sora sama sekali tidak menaruh minat pada
pujian itu. Sore tadi ayahnya juga sudah makan. Makanan
yang sama. Tetapi sore tadi ayahnya sama sekali tidak
memujinya. "Suatu peristiwa yang jarang-jarang terjadi," orang tua
itu meneruskan. "Makan bersama anak cucu. Alangkah
nikmatnya. Kalau saja hal yang demikian ini dapat aku
alami tidak hanya sekali. Aku mengharap untuk dapat
makan bersama dengan kedua anakku, kedua menantuku
dan kedua cucuku." Tak seorangpun yang menjawab kata-kata itu. Maka
orang tua itu meneruskan, " memang agak berbedalah
hidup diantara dinding rumah yang sempit, dengan hidup di
udara luas. Tetapi aku kira ada juga perasaan yang serupa
dengan perasaanku ini. Apalagi perasaan orang orang tua.
Merekapun, aku kira, ingin selalu dapat menikmati hidup
mereka yang tinggal beberapa tahun lagi. Mereka ingin
selalu dekat dengan anak-anak mereka, menantu menantu
mereka dan cucu cucu mereka. Mereka akan mengutuk
setiap usaha memisahkan mereka itu. Mereka akan
bersedih hati kalau melihat anak cucunya bercerai berai.
Apalagi kalau orang orang tua itu tahu, bahwa anak
cucunya bertengkar satu sama lain. Sebab dalam
pertengkaran itu, orang orang tualah yang pasti akan
kehilangan. Siapapun yang kalah dan siapapun yang
menang." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba tiba nasi dimulut Lembu Sora terasa betapa keras
dan kering, sehingga ketika ia menelannya, segera ia
menyusulnya dengan minum hampir semangkuk penuh.
Meskipun demikian ia tak berkata sepatah katapun.
Tetapi, tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti tertawa
disusul dengan kata katanya:" Alangkah pendeknya hidup
bagi orang tua. Beberapa tahun lagi mereka harus
meninggalkan dunia ini. Tetapi bagi naka muda, hidup ini
akan dihadapinya dengan penuh gairah."
Semua mata memandang kearah anak muda itu. Dengan
sikap yang angkuh ia meneruskan: "bagi orang orang tua,
sisa hidup mereka menikmati sebaik baiknya. Tetapi dengan
demikian seharusnya mereka tidak menutup kemungkinan,
bahwa anak anak muda harus berusaha untuk mencapai
suatu masa yang cemerlang. Cemerlang baginya, sebagaimana yang dicita-citakan."
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan dahinya, sambil
mengangguk angguk, ia menyahut: "Sawung Sariti benar,
seharusnya orang orang tua tidak menghalangi cita cita
mereka. Cita cita yang luhur, cita cita yang ditandai oleh
kehangatan jiwa menghadapi alam. Namun seharusnya
dengan suatu tanggung jawab yang masak pula. Kepada
diri sendiri, kepada angkatannya dan kepada cita-cita
sendiri. Namun lebih daripada itu, pertanggungan jawab
tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah maka
pencapaian cita-cita betapapun indahnya, harus dilakukan
di jalan Allah. Di jalan yang telah dibatasi oleh hukum
hukumnya." Kembali ruang itu direnggut oleh kesepian. Tak seorang
pun yang berkata-kata lagi. Yang terdengar adalah mulut-
mulut mereka mengunyah makanan yang disuapkan oleh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tangan-tangan mereka. Tetapi mereka sudah tidak dapat
merasakan lagi, betapa asinnya garam, dan betapa
manisnya gula. Sawung Sariti tidak senang mendengar kata-kata
kakeknya meskipun ia berdiam diri. Ia tahu bahwa ayahnya
telah melakukan beberapa kesalahan, meninggalkan
kejujuran dan kebenaran. Namun ia tidak menyesal bahwa
ayahnya telah melakukannya. Meskipun Sawung Sariti
merasakan pula kemutlakan untuk memusnahkan golongan
hitam, namun tanpa disengajanya, ia telah melakukan hal-
hal yang serupa, sebagaimana pernah dilakukan oleh
golongan hitam. Ki Ageng Sora Dipayana pun tidak berkata-kata lagi. Ia
merasa bahwa keadaan belum memungkinkan untuk
menyalurkan pendapatnya. Meskipun ia merasa bahwa
kemungkinan masih ada. Tetapi yang tidak dapat dibacanya
adalah ukiran di dinding hati anak serta cucunya. Ki Ageng
Lembu Sora dan Sawung Sariti. Siapa yang menentang arus
harus disingkirkan. Karena itu, setelah mereka selesai, Ki Ageng Sora
Dipayana berkata, "Tamu-tamuku yang terhormat, beristirahatlah kalian di sini. Beristirahatlah dengan tenang.
Sebab tak akan terjadi apapun malam ini dan besok pagi.
Bukankah begitu Lembu Sora?"
Lembu Sora tidak menjawab. Ia hanya mengangguk
dengan sengaja. "Bagus..." kata orang tua itu pula. "Sebelum kau lupa
Lembu Sora, perintahkan kepada laskarmu. Jangan
bergerak sampai besok."
Lembu Sora juga tidak menjawab, selain mengangguk
pula. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Di manakah tamu-tamumu kau persilahkan beristirahat?" tanya Ki A geng Sora Dipayana.
"Di sana," jawab Lembu Sora sambil menunjuk gandok
wetan dengan dagunya. Sikap itu memang sama sekali tidak menyenangkan,
namun Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya
Salaka menahan kekecewaan di dalam hatinya. Mereka
sama sekali tidak memberikan kesan apapun atas
kekecewaan itu, sebagai tanda terima kasih mereka kepada
Ki Ageng Sora Dipayana atas usahanya, memecahkan
persoalan antara kedua cabang aliran darahnya.
"Silahkan Angger." Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan. "Aku mengharap Angger berdua dan cucu
Arya Salaka beserta Wanamerta besok pagi untuk
mengadakan pesta kembali. Pesta sederhana, namun
berkesan di hati orang-orang tua seperti aku."
Ki Ageng Sora Dipayana tidak menunggu jawaban. Ia
berjalan mendahului, ke gandok wetan. Tamu-tamunya
segera mengikuti pula tanpa berkata sepatah katapun.
Di gandok wetan, beberapa orang Lembu Sora datang
mengantarkan tikar pandan rangkap, yang kemudian
dibentangkan di lantai. Di sanalah Arya Salaka beserta
rombongannya akan beristirahat.
"Silahkan Angger." Ki Ageng mempersilahkan kembali.
"Sedemikian adanya. Besok aku akan mengajak Lembu Sora
bertemu dengan kalian. Apapun yang akan kita putuskan
bersama. Agal atau alus. Namun yang harap kalian ketahui,
kemampuanku sangat terbatas. Aku menyesal bahwa
Lembu Sora dan anaknya tak dapat aku kuasai lagi dengan
baik." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Mudah-mudahan kita tak perlu memeras keringat Ki
Ageng," sahut Mahesa Jenar, "Apalagi darah."
"Mudah-mudahan." Orang tua itu bergumam. Kemudian
setelah mempersilahkan tamunya beristirahat sekali lagi, Ki
Ageng Sora Dipayana meninggalkan mereka di gandok
wetan. Tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka akan
mempergunakan waktu istirahat itu sebaik-baiknya. Mereka
percaya kepada Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa tak akan
terjadi sesuatu malam ini sampai besok.
Malam itu Ki Ageng Lembu Sora memerintahkan kepada
laskarnya di garis pertama untuk menunda gerakan mereka.
Ada sesuatu yang sedang dipersiapkan. Bukan kemungkinan untuk menyelesaikan masalah Banyubiru
dengan baik, namun yang dipersiapkan adalah memperbanyak jumlah laskarnya.
Sejalan dengan itu, dua orang telah diperintahkannya
pula untuk pergi ke Pamingit. Besok menjelang malam,
laskar cadangan dan laskar remaja harus sudah masuk kota
Banyubiru, langsung menempatkan diri di garis pertahanan.
Sebab menilik persiapan laskar Arya Salaka, mereka akan
memasuki kota dalam tiga gelar, lewat sebelah timur, barat,
dan induk pasukan akan menusuk dari utara. Karena itu,
Lembu Sora harus menyesuaikan diri dalam kesiagaan tiga
gelar penuh. Bahkan Lembu Sora menyiapkan kelompok-
kelompok kecil yang harus mengacaukan gelar sayap-sayap
pasukan Arya Salaka dari lambung. Pasukan cadangan ini
akan merupakan pasukan penentu. Sebab menurut
perhitungan Lembu Sora semula, laskar Arya Salaka adalah
laskar yang sama sekali tak teratur, dan tak memiliki daya
tempur yang baik. Menurut penilaiannya, laskar itu semula
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hanyalah laskar yang dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi.
Apakah yang dapat diberikan oleh kedua orang itu kepada
laskarnya, sehingga ia tidak perlu mengerahkan segenap
kekuatannya" Tetapi kemudian Lembu Sora berpikir lain.
Daripada ia harus mengulangi untuk kedua atau ketiga
kalinya, baiklah sekaligus dimusnahkan sajalah laskar Arya
Salaka itu bersama-sama dengan Arya Salaka, Wanamerta
dan kedua orang yang menyertainya itu.
Tetapi adalah di luar perhitungan bahwa di dalam laskar
Arya Salaka terdapat dua orang yang harus diperhitungkan
pula, Ki Dalang Mantingan dari Wanakerta dan gembala
bertenaga raksasa dari Karang Pandan di kaki gunung
Kelut. Wirasaba, Bantaran dan Panjawi itu jauh sebelum
mereka bertemu kadang-kadang disebut Seruling Gading.
Apalagi kemudian datang bersama-sama dengan Arya
Salaka, orang-orang seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara
dan Wanamerta. Maka laskar Arya itu sebenarnya
merupakan laskar yang telah ditempa lahir dan batin.
Dalam hal itu, Ki Ageng Sora Dipayana lah yang
mempunyai perhitungan yang mendekati kebenaran.
Karena itulah maka ia sudah dapat membayangkan bahwa
apabila terjadi peperangan antara kedua cabang aliran
darahnya itu, maka akan habislah nama yang pernah
dipupuknya selama ini, perguruan Pangrantunan. Hancur
seperti gunung berapi yang kokoh kuat, namun pecah
karena kekuatan yang terkandung di dalam perutnya
sendiri. Ketika matahari kemudian menjenguk dari balik bukit,
Mahesa Jenar dan Arya Salaka beserta Kebo Kanigara dan
Wanamerta segera membersihkan dirinya di sendang kecil
di sebalahnya. Tetapi mereka menjadi terkejut ketika terjadi
hiruk pikuk di halaman. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itulah maka sebelum mereka sempat berpakaian
dengan baik, mereka terpaksa berdiri merapat dinding
gandok, untuk dapat mendengar apakah yang telah
menyebabkan keributan itu.
Dari pendapa terdengarlah suara Ki Ageng Lembu Sora
keras: "adakah kau sudah sampai di Pamingit?"
"Belum Ki Ageng di tengah perjalanan kami jumpai adi
Sardu ini," jawab seseorang yang berdiri dihalaman dengan
memegangi kendali kudanya.
"Sardu," teriak Ki Ageng Lembu Sora.
"Ya Ki Ageng," jawab yang disebut Sardu dengan cemas.
Ia melangkah maju. Tangannya juga memegang kendali
kudanya. "Benarkah laporan itu","
"Benar, Ki Ageng"
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dari celah celah daun pintu gandok, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka dapat melihat bahwa
wajah Lembu Sora menjadi merah padam. Dibelakangnya
berdiri Sawung Sariti dengan tegangnya. Sedang disampingnya tampak Ki Ageng Soradipanaya dengan wajah
suram. "Aku sudah menduga," teriak Ki Ageng Lembu Sora,
kemudian kepada ayahnya ia berkata: " bukankah apa yang
aku katakan itu benar benar terjadi?"
"Apa yang pernah kau katakan kepadaku?" bertanya Ki
Ageng Sora Dipayana. "Bukankah ini permainan kotor"," sahut Lembu Sora.
"Aku tak akan dapat dikelabuhi lagi. Persekutuan yang
memuakkan dari orang gila."
Ki Ageng Sora Dipayana menggangguk angguk. A gaknya
ia dapat menebak perasaan yang berkobar di dalam dada
anaknya. Karena itu ia berkata: "Jangan tergesa-gesa
Lembu Sora. Aku mempunyai sangkaan lain," ayahnya
menyoba untuk menyabarkannya.
"Tak akan salah lagi," bantah Lembu Sora.
"Jangan tergesa-gesa Lembu Sora" ayahnya mencoba
untuk menyabarkannya. "Wulungan!!!," tiba tiba Ki Ageng Lembu Sora berteriak
keras. Dari regol halaman, Wulungan datang berlari lari. Pedang
yang tergantung dilambungnya berjuntai-juntai hampir
menyentuh tanah. Dengan tangan kirinya ia menyoba untuk
menahan pedangnya, supaya tidak mengganggu langkahnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Panggil mereka, siapkan laskarmu di halaman ini," teriak
Lembu Sora. "Baik Ki Ageng," jawab Wulungan. Ketika kemudian
Wulungan memandang kearah gandok wetan, berdebarlah
hati Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta serta Arya
Salaka. "Apakah yang sudah terjadi"," pikir mereka. Tetapi
melihat Wulungan itu benar benar melangkah ke arah pintu
gandok itu. "Ada sesuatu yang tidak beres," bisik Kebo Kanigara.
Mahesa mengangguk. Bersamaan dengan itu Arya segera
menyambar tongkatnya yang tersandar didinding. "Apakah
yang akan mereka lakukan"," bisiknya.
"Entahlah," jawab gurunya.
"Apakah mereka sengaja menunggu sampai pagi supaya
kami tidak bisa memberikan tanda anak panah api?" tanya
Arya. "Tapi panah Sendaren masih ada," kata Mahesa,
"bukankah demikian paman Wanamerta?"
"Ya," jawab Wanamerta, "panah itu masih ada padaku".
Mereka tidak berkata-kata lagi ketika Wulungan sudah
berdiri dimuka pintu. Yang kemudian dengan sopan ia
berkata: "Angger Arya, ada pesan dari pamannda untuk
anda." Arya memperbaiki kainnya sambil melangkah keluar
pintu. "Adakah sesuatu yag penting sekali paman?"
"Aku tidak dapat mengatakannya," jawab Wulungan
"Baiklah kami segera akan datang," jawab Arya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Wulungan tidak segera pergi. Ketika Arya
kemudian masuk kembali, terdengar orang itu berkata dari
luar pintu: "marilah ngger, pamanda agaknya tergesa-
gesa." Arya segera keluar kembali dengan tombak di tangannya.
Dibelakangnya berjalan Wanamerta. Dipinggangnya tersangkut bumbung yang tidak saja berisi panah sendaren
tetapi juga panah berujung tajam. Sedang ditangan
kanannya tergenggam busur yang besar, dengan bola besi
sebesar salak dikedua ujungnya. Busur itu dalam keadaan
terpaksa akan dapat dipergunakan sebagai senjata pemukul
yang berbahaya. Ketika kedua orang pembantunya
diperintahkan untuk mendahului membawa perintah Arya,
busur itu dimintanya. Dibelakang mereka berjajar dua orang yang masing-
masing menyimpan di dalam dirinya ilmu perguruan
Pengging, Mahesa dan Kanigara.
Sambil berjalan Wanamerta berharap mudah mudahan
orang yang telah ditentukan untuk menangkap bunyi panah
sendaren tidak meninggalkan tempat mereka, sehingga
dengan demikian mereka akan dapat melangsungkan setiap
berita yang disampaikan apabila terjadi sesuatu.
Ketika Arya sampai di ujung tangga, dan ketika ia hampir
naik ke atas tangga itu, Lembu Sora membentak; "Aku tidak
mengharap kau naik!"
Arya terkejut, perlakuan itu terlalu kasar. Tapi ia ingin
tahu persoalan apa yang membuat pamannya bersikap
demikian. Apakah persoalan itu masuk akal atau cuma
suatu cara memancingnya kedalam suatu pertengkaran.
Karena itu iapun berhenti pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lembu Sora memandangnya dengan mata menyala
nyala. Ketika Arya membalas pandangannya ia membentak;
"Aku kira kau benar-benar lelaki seperti yang aku duga.
Sekarang katakan kepadaku apa yang sedang kau lakukan
sekarang?" Arya menjadi bingung, ia menjawab; "aku tidak tahu
maksud paman." Lembu menyibirkan bibirnya sambil sesekali meludah ke
lantai; "kau berhasil menarik sebagian laskarku ke Banyu
Biru. Sekarang kau pergunakan laskar hitam untuk
memukul Pamingit." Kata-Kata pamannya itu bagi Arya seperti suara petir
yang meledak di ubun- ubunnya. Bahkan Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Wanamerta sampai bergeser maju
selangkah. "Apa yang Paman katakan?" Arya ingin penjelasan.
"Sudah kau dengar," jawab Lembu Sora.
"Bohong," bantah Arya. Hatinya telah benar-benar panas.
Apalagi dengan tuduhan pamannya yang sangat menyakitkan hati itu. "Tak ada yang akan memaksa kau mengakui perbuatan
curang itu. Namun kau tidak akan dapat mengingkari,
bahwa laskar di perbatasan yang sama sekali tak berarti itu
ternyata hanya suatu cara untuk memancing laskar
Pamingit," sahut Lembu Sora keras.
"Tidak benar." Arya menjadi gemetar, karena marahnya.
Tetapi dengan demikian kata-katanya seperti tertahan di
kerongkongan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Katakan kepadaku," sambung Lembu Sora, "Apa
sebabnya kalian tidak segera menyerang sejak kemarin,
sejak kemarin dulu atau sejak seminggu yang lalu" Apa
hubungan kalian dengan kedatangan orang-orang dari
Nusakambangan beberapa minggu lampau, kemudian
menyusul orang yang bernama Mahesa Jenar itu kemari"
Apa..." Kalian tidak akan dapat membantah, bahwa kalian
benar-benar telah bekerja bersama dengan mereka. Kalau
tidak, mereka tidak akan secara kebetulan menduduki
Pamingit menjelang ayam berkokok untuk yang kedua
kalinya pagi tadi." "Bohong!" sekali lagi suara Arya yang bergetar terhenti di
kerongkongannya. Mahesa Jenar tahu hal itu, sebagaimana
yang pernah terjadi. Arya bukan orang yang pandai
berbantah. Karena itu dengan tenang ia melangkah maju
untuk mewakili muridnya berkata, "Ki Ageng Lembu Sora,
jangan menuduh kami seperti menuduh pencuri. Kami
bukan sebangsa pengecut yang tidak percaya pada diri
sendiri, sehingga kami telah kehilangan harga diri, bekerja
bersama dengan golongan hitam. Golongan yang akan
terkutuk sampai seribu keturunan."
Lembu Sora tertawa terbahak-bahak. Tertawa untuk
melepaskan kemarahan yang hampir tak tertahan lagi.
Kemudian dengan menunjuk kepada Sardu ia berkata
keras-keras, "Berkatalah kepadanya. Berkatalah bahwa
kalian telah mencoba mencuci tangan. Namun orang itu
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, orang-orang
golongan hitam menduduki Pamingit. Membakari rumah-
rumah dan segala isinya. Orang itu mendengar dengan
telinga yang melekat di batok kepalanya, bahwa orang-
orang golongan hitam itu berteriak-teriak. Tak ada gunanya
kalian mengirim orang ke Banyubiru. Banyubiru telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dihancurkan oleh Arya Salaka dan Mahesa Jenar. Apa
katamu?" Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada seekor kuda
yang berlari dengan meninggalkan debu yang putih dan
menghilang di cakrawala siang kemarin, ketika laskar Arya
sedang berjalan ke perbatasan. Karena itulah maka ia
berkata di dalam hatinya, "Gila. Orang-orang golongan
hitam itu benar-benar mempergunakan kesempatan ini."
Namun kepada Lembu Sora ia menjawab, "Kau terlalu
tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Kalau orang-orang
golongan hitam itu mempergunakan setiap kesempatan di
dalam kekeruhan, adalah mungkin sekali. Karena itulah
maka aku selalu menganjurkan kepada Arya Salaka, untuk
menempuh jalan yang tidak memungkinkan golongan hitam
itu mengambil kesempatan. Tetapi kau telah memaksa
untuk memagari kota ini dengan pasukannya."
"Kau sama sekali tidak bermaksud menyelesaikan
masalah Banyubiru dengan baik. Kau hanya ingin menjajagi
keteguhan tekad kami untuk melindungi daerah ini. Ketika
kau merasa tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, kau
meleburkan dirimu ke dalam tubuh golongan hitam itu."
Mahesa Jenar akhirnya menjadi marah pula. Meskipun ia
masih mencoba menahannya. Katanya, "Kami adalah
orang-orang yang menempatkan diri kami di dalam
lingkungan yang menganggap bahwa golongan hitam harus
dimusnahkan." Sekali lagi Lembu Sora tertawa untuk melepaskan
kemarahannya yang semakin memuncak. Sama sekali
bukan tertawa karena ia menjadi gembira. Katanya meledak
seperti guruh, "Mahesa Jenar. Sejak semula aku sudah
curiga kepadamu. Kepada Kakang Gajah Sora aku sudah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pernah memperingatkan bahwa orang Pandanaran ini,
kenapa demikian mengikat diri di Banyubiru. Sejak
lenyapnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari
Walangkan di Banyubiru, sebenarnya aku sudah dapat
mengambil kesimpulan, bahwa kau adalah salah seorang
dari mereka. Salah seorang dari golongan hitam."
Dada Mahesa Jenar seperti akan meledak mendengar
tuduhan itu. Ia benar-benar marah. Karena itulah maka ia
melangkah selangkah maju.
Dalam pada itu Ki Ageng Sora Dipayana pun menjadi
sangat cemas. Tetapi ketika ia akan melangkah, Mahesa
Jenar telah berkata dengan lantangnya sambil menunjuk ke
arah wajah Ki Ageng Lembu Sora, "Ki Ageng Lembu Sora.
Kau jangan mengada-ada. Siapakah yang pernah berhubungan dengan golongan hitam untuk meniadakan
Kakang Gajah Sora. Siapakah yang telah mengikatkan diri
dalam suatu perjanjian dengan Sima Rodra Muda atas
tanah Pangrantunan" Dan siapakah yang telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat pasukan
dari Demak, pada saat Gajah Sora sedang berusaha untuk
memecahkan perselisihan yang ada antara Banyubiru
dengan Demak" Siapakah yang dengan senang hati
menghadiri pertemuan golongan hitam di lembah Rawa
Pening" Siapa" Mahesa Jenar kah itu...?"
"Diam...!" bentak Lembu Sora.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau diam. Ia berkata terus,
sambungnya, "Kau takut melihat kenyataan itu."
"Kau takut aku mendahului mengatakan itu kepadamu,"
teriak Lembu Sora, "Dengan ocehanmu itu kau ingin
mengaburkan kenyataan yang kau hadapi kini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Huh," Mahesa Jenar menyahut, "Katakan kepadaku
Lembu Sora. Siapakah yang telah membunuh Sima Rodra
Muda" Siapa pula yang telah membunuh jandanya, yang
telah kehilangan sifat manusianya" Kau tidak pernah
melihat cara mereka bergembira. Sayang. Barangkali kau
akan tertarik pula pada upacara-upacara yang mereka
adakan. Dan siapakah yang telah membunuh sepasang
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Uling dari Rawa Pening" Bukan kau" Bukan Ki A geng Lembu
Sora yang sekarang berdiri dengan gagahnya di pendapa
Banyubiru?" Lembu Sora terdiam untuk beberapa saat. Ia benar-
benar tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
Mahesa Jenar yang mengalir seperti banjir itu. Ia memang
pernah mendengar kabar, bahwa Sima Rodra suami-istri
dan sepasang Uling Rawa Pening telah terbunuh. Namun
kabar itu sangat dirahasiakan oleh golongan hitam. Apalagi
kegiatan-kegiatan di Gunung Tidar maupun di Rawa Pening
seolah-olah sama sekali belum padam. Sehingga ia menjadi
ragu atas kebenaran berita itu. Dalam keragu-raguan ia
mendengar Mahesa Jenar meneruskan, "Ketahuilah Lembu
Sora, bahwa akulah yang membunuh Sima Rodra Muda.
Sedang jandanya telah mati terbunuh oleh anak tirinya.
Kalau kau ingin tahu siapakah yang membunuh Uling Putih
dan Uling Kuning" Nah, lihatlah anak yang berdiri di
hadapanmu itu. Kemenakanmu sendiri."
Yang mendengar kata-kata itu menjadi terkejut. Lembu
Sora, Sawung Sariti, juga Sora Dipayana. Apakah benar
Arya Salaka telah dapat membunuh sepasang Uling Rawa
Pening" Tetapi mereka tidak bertanya.
Sehingga kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, "Arya Salaka lah yang pada masa orang-orang
golongan hitam mabuk mencari keris Kyai Nagasasra dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kyai Sabuk Inten, dan kemudian keinginan mereka menelan
Pamingit dan Banyubiru, selalu dikejar-kejar sehingga
sangat membahayakan jiwanya, dan yang kemudian tampil
ke depan melawan mereka. Itukah yang kau tuduh
sekarang ini tertelan oleh golongan itu?"
Lembu Sora menjadi pening mendengar suara Mahesa
Jenar seperti hujan tercurah dari langit. Karena itu
kemudian ia berteriak keras-keras, "Cukup. Cukup...!
Kebohongan yang teratur memang kadang-kadang menimbulkan kesan, seolah-olah peristiwa-peristiwa itu
benar-benar telah terjadi. Tetapi aku tidak akan dapat kau
kelabuhi. Aku tidak buta dan aku tidak tuli. Aku melihat
semua yang telah terjadi, dan aku mendengarnya pula.
Sekarang aku tidak akan banyak bicara. Kesempatan yang
Penelitian Rahasia 8 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Pedang Tanpa Perasaan 12