Naga Sasra Dan Sabuk Inten 4
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 4
kepada gadis seperti itu. Baginya, gadis-gadis demikian
hanyalah akan mempersulit diri saja.
"Lawa Ijo," sambung Jaka Soka ketika Lawa Ijo lama tak
menjawab, "seharusnya kau tak usah takut kepada Pandan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Alas. Sebab Paman Pasingsingan tentu tidak akan tinggal
diam andaikata Pandan Alas salah duga terhadapmu
mengenai masalah ini".
Mendengar desakan terakhir ini, Lawa Ijo tampak
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bagi mereka
yang menyaksikan, anggukan kepala Lawa Ijo itu bagaikan
melihat jatuhnya palu keputusan hukuman mati bagi
mereka semua. Maka terjadilah kegemparan di antara mereka. Beberapa
orang telah menangis merintih-rintih minta diampuni dan
diselamatkan jiwanya. Mereka bersumpah untuk tidak
membuka mulut tentang peristiwa ini kepada siapa pun.
Beberapa orang lagi jatuh pingsan, dan yang lain menggigil
ketakutan. Dalam keadaan yang demikian, terasalah kesetiakawanan
mereka hancur lumat demi keselamatan masing-masing.
Bahkan ada diantara mereka yang sampai hati terang-
terangan mengumpati gadis yang sama sekali tak bersalah
itu. Di dalam keributan itu, tiba-tiba gadis cantik itu berdiri
tegak. Kepalanya terangkat dan dadanya menengadah.
Lenyaplah kesan-kesan ketakutan dan kecemasan yang
membayang di wajahnya. Dari mulutnya yang mungil itu
terdengarlah suaranya yang gemetar. "Saudara-saudara
seperjalanan... aku minta maaf kalau kehadiranku diantara
saudara-saudara menyebabkan saudara-saudara menemui
kesulitan. Tetapi ketahuilah bahwa orang ini tidak akan
berguna membunuh saudara-saudara sekalian, sebab aku
telah memutuskan untuk bunuh diri." Kemudian gadis itu
berpaling kepada Mahesa Jenar, katanya, "Ki Sanak, aku
berterima kasih kepadamu, atas usahamu menyelamatkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
jiwaku. Tetapi adalah lebih berharga jiwa dari sekian
banyak orang termasuk ki sanak sendiri, daripada aku
seorang. Karena itu berikanlah keris itu kembali kepadaku."
Sudah tentu Mahesa Jenar tidak dapat berpangku tangan
menyaksikan semua itu terjadi. Ia telah berjanji kepada
dirinya sendiri, mengabdikan diri bagi kedamaian hati rakyat
dan kemanusiaan. Sebab dengan demikian ia telah
mengabdikan dirinya pula kepada tanah tumpah darah dan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia menjadi terharu
mendengar ucapan gadis yang menyediakan diri sebagai
tumbal keselamatan sekian banyak orang. Tetapi belum lagi
ia sempat menjawab, terdengar suara Jaka Soka
memerintah, "Perantau tolol. Jangan kau serahkan
kepadanya, supaya aku selamatkan jiwamu. Berikan saja
keris itu kepadaku."
Tetapi Mahesa Jenar sudah mendapat suatu ketetapan.
Apalagi ketika ia mendengar bahwa Jaka Soka akan
membunuh semua orang yang ada, hanya untuk merampas
seorang gadis. Sedangkan gadis itu sendiri sama sekali
tidak menghendakinya. Karena itu, dengan sikap seekor banteng, Mahesa Jenar
melangkah, lalu berdiri diantara gadis yang pucat itu.
Wajahnya memancarkan kebulatan tekadnya, apapun yang
akan dihadapi. Meskipun ia harus melawan Jaka Soka dan
Lawa Ijo sekaligus. Dengan tenangnya pula ia menjawab
kata-kata Jaka Soka. "Jaka Soka yang dikenal sebagai
seorang Bajak Laut yang menakutkan. Buat apa aku
mengharap kau membebaskan jiwaku. Kalau aku terpaksa
berkubur di tengah-tengah hutan Tambak Baya ini. Karena
aku membela kebenaran, aku sama sekali tidak akan
menyesal. Karena itu selagi aku masih bernafas, kau tak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akan dapat menyentuh gadis yang belum aku kenal
sebelumnya ini." Jawaban Mahesa Jenar ini hebat akibatnya. Muka Jaka
Soka segera berubah menjadi merah membara, dibakar
oleh kemarahannya. Kalau tadi ia melihat orang itu dapat
bergerak begitu cepat, baginya bukanlah ukuran bahwa
orang itu cukup berharga untuk dilawannya. Apalagi
sebelum itu, perantau tolol itu telah melawannya bersama-
sama dengan ketujuh orang pengawal, dan sama sekali tak
menunjukkan keistimewaan apa-apa. Meskipun demikian,
dalam hati Jaka Soka mengakui, bahwa orang itu benar-
benar orang tolol yang berani.
Selain itu, kata-kata Mahesa Jenar ternyata mempunyai
akibat yang mengejutkan pula terhadap para pengawal.
Dengan tak terduga sama sekali, pemimpin pengawal yang
telah agak lanjut usia itu tiba-tiba meloncat ke samping
Mahesa Jenar. Dengan penuh tanggung jawab ia berkata,
"Jaka Soka, aku pun pernah mendengar kebesaran
namamu. Dan sekarang aku sempat menyaksikan pula.
Bahkan sekaligus aku dapat mengetahui betapa biadabnya
Bajak Laut dari Nusa Kambangan ini. Karena itu, bagaimana
aku berani berlagak di hadapanmu. Tetapi karena kali ini
aku sedang dibebani oleh suatu tanggung jawab, maka
bersama-sama perantau yang belum aku kenal ini, aku
bersedia menjadi banten. Apa artinya sisa umurku yang
tinggal beberapa tahun lagi, kalau dilumuri oleh suatu
pengkhianatan akan tugas yang dibebankan di pundakku...." "Cukup!" potong Jaka Soka. Tetapi suaranya terputus
sampai sekian, karena getaran kemarahannya. Wajahnya
menjadi semakin merah. Giginya gemeretak, sedangkan
matanya seolah-olah memancarkan api, seperti perapian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang masih menyala-nyala. Apalagi ketika dilihatnya
kesembilan pengawal yang lain pun tiba-tiba serentak
berdiri dengan teguhnya menggenggam senjata masing-
masing demikian eratnya. Seakan-akan teguhnya ingin
mengatakan, bahwa gugurlah mereka dalam tugasnya
dengan senjata di tangan.
Tetapi kembali terjadi hal yang sama sekali tak diduga-
duga. Orang yang dianggapnya sebagai perantau tolol yang
menumpang berjalan, bahkan ada di antara mereka yang
memberikan beban dengan menyanggupinya untuk memberi upah sekedarnya itu, berkata dengan lantangnya
kepada pemimpin pengawal itu. "Bapak ..., Bapak telah
lanjut usia. Apalagi orang yang dilawan bukan sembarang
orang. Karena itu minggirlah. Biarlah aku yang berumur
sebaya melawannya, untuk mewakili mereka yang berhati
kecil, sekecil hati kelinci, sehingga kehilangan rasa
kesetiakawanan mereka. Bahkan ada yang sampai hati
menyalahkan gadis ini pula. Tetapi karena aku tidak
sepantasnya mempergunakan keris Sigar Penjalin milik
seorang sakti ini, baiklah keris ini aku titipkan kepadamu.
Janganlah gadis ini diberi kesempatan untuk bunuh diri
sebelum kita semua binasa."
Karena pengaruh perbawa kata-kata Mahesa Jenar itu,
maka orang tua itu seolah-olah diluar sadarnya menerima
keris Sigar Penjalin. Sementara itu Lawa Ijo rupanya benar-
benar tak mau terlibat dalam persoalan ini. Karena itu ia
bersikap sebagai seorang penonton saja, yang kemudian
malahan perlahan-lahan duduk pada sebuah akar pohon.
Sedang Jaka Soka kini telah sampai pada puncak
kemarahannya. Meskipun demikian ia masih ingat pada
harga dirinya. Segera pedang kecilnya disarungkan ke
dalam tongkat hitam manis, dan melemparkan tongkat itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kepada Lawa Ijo. Geramnya, "Lawa Ijo, tolong bawakan
tongkatku ini," kata Jaka. Lalu katanya kepada Mahesa
Jenar, "Setan. Kau berani meremehkan aku. Aku harap kau
maju bersama-sama, supaya cepat selesai pekerjaanku.
Membunuh kalian. Semua. Tak seorang pun akan aku
sisakan." Segera sesudah itu Jaka Soka bersiap untuk menghancur-lumatkan orang yang telah berani menghinanya. Sementara itu Mahesa Jenar pun telah
bersiap pula. Sebab ia tahu benar bahwa lawannya itu
adalah orang yang mendapat sebutan Ular Laut yang Ganas
dari Nusa Kambangan. Mereka yang menyaksikan adegan itu, hatinya berdegub,
dipenuhi oleh bermacam-macam persoalan. Meskipun ada
juga yang merasa tersentuh oleh sindiran Mahesa Jenar,
bahwa tak seorang pun diantara mereka yang berani
membela gadis yang sedang dalam kesulitan itu. Bahkan
ada pula yang mengumpatinya, kecuali para pengawal yang
merasa memikul tanggung jawab.
Tetapi tak seorang pun dari mereka yang menaruh setitik
harapan kepada perantau yang tolol meskipun berani itu.
Bahkan ada yang menganggap kelakuan Mahesa Jenar itu
hanya akan menambah kemarahan Jaka Soka, sehingga
akan mempercepat kematian mereka tanpa pertimbangan
lagi. Sedang gadis cantik itu sendiri memandang Mahesa
Jenar sebagai orang yang aneh. Setelah menyaksikan
Mahesa Jenar bersama-sama dengan para pengawal tak
dapat memenangkan perkelahian melawan pemuda tampan
yang ternyata bernama Jaka Soka itu, tiba-tiba sekarang ia,
si perantau itu, ingin melawannya seorang diri. Tetapi,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
disamping perasaan itu, timbul pula suatu perasaan lain
yang asing dalam diri gadis itu. Suatu perasaan dimana ia
ingin mendapatkan perlindungan dari orang yang aneh itu
lebih daripada yang lain-lain, juga lebih daripada para
pengawal itu sendiri, meskipun ia tidak tahu apakah orang
itu akan dapat melakukannya.
Sesaat kemudian, kembali terdengar Jaka Soka
menggeram hebat. "Sebenarnya sayanglah tanganku ini
dikotori oleh darah kelinci seperti tampangmu itu. Tetapi
karena kau adalah kelinci yang paling tak tahu diri, maka
terpaksa aku ingin menguliti tubuhmu."
Kata-kata itu benar-benar menyeramkan. Tetapi lebih-
lebih lagi ketika orang-orang itu melihat tangan Ular Laut
itu menjulur dengan dahsyatnya ke arah tulang-tulang iga
Mahesa Jenar. Rupanya Jaka Soka yang seakan sedang gila
dibakar oleh kemarahannya itu, ingin membunuh lawannya
dengan pukulan yang pertama.
Mereka yang menyaksikan gerak Jaka Soka itu tersirat
darahnya. Beberapa orang memejamkan matanya, sebab
menurut dugaan mereka tulang-tulang iga perantau tolol itu
segera akan rontok seluruhnya. Bahkan beberapa orang
segera memegangi dada masing-masing, se-olah-olah
tulang iga merekalah yang akan lepas berderai-derai.
Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar telah
benar-benar siap dan waspada. Sebab ia tahu bahwa
lawannya bukanlah lawan biasa, tetapi ia adalah seorang
pemuda yang mempunyai nama di kalangan aliran hitam.
Meskipun demikian ia kagum juga melihat kegesitan Ular
Laut itu. Melihat serangan yang datang dengan dahsyatnya,
segera Mahesa Jenar dengan cepatnya pula mengelak ke
samping. Seterusnya ia tidak mau membuang-buang waktu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lagi. Karena itu, ketika ia berhasil membebaskan diri dari
serangan pertama Jaka Soka, segera ia membuka serangan
pula. Sebuah serangan dengan kakinya menyambar perut
lawannya. Tetapi Jaka Soka bukan anak kemarin sore.
Ketika ia merasa bahwa serangannya yang pertama gagal,
segera ia mengubah sikapnya dan dengan satu gerakan
melingkar ia berhasil mengelakkan serangan Mahesa Jenar.
Sebaliknya Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang
berpengalaman. Melihat lawannya menghindar, cepat-cepat
ia memotong arah dan tahu-tahu ia sudah berada di muka
Jaka Soka kembali, sekaligus menyerang dengan tangkasnya ke arah leher lawannya. Jaka Soka menjadi
terperanjat bukan buatan. Apalagi sebelumnya ia memandang orang itu sebagai seorang yang tak berarti
meskipun mempunyai cukup keberanian. Dengan demikian
kewaspadaannya jadi berkurang. Karena itu, ketika dengan
tak diduganya sama sekali lawannya itu dapat bergerak
dengan lincahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri. Mau
tidak mau ia harus melawan serangan itu dengan sebuah
pertahanan yang rapat, kalau ia tidak mau binasa.
Karena itu terjadilah suatu benturan yang dahsyat.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahesa Jenar telah mempergunakan sebagian besar
tenaganya, sedangkan Jaka Soka pun telah mengerahkan
kekuatannya pula. Akibatnya adalah hebat sekali. Tubuh
Mahesa Jenar bergetar hebat dan ia terdorong surut
kebelakang. Jaka Soka pun terlempar beberapa depa, dan
kemudian meski sudah berusaha, ia tak berhasil menguasai
keseimbangan tubuhnya. Sehingga ia jatuh beberapa kali
berguling, barulah ia berhasil meloncat tegak kembali.
Mengalami hal ini, dada Jaka Soka serasa akan pecah.
Darahnya mendidih dan menggelagak sampai kepala. Ia
sama sekali tidak mengira, bahwa lawannya, yang dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pandangannya semula tidaklah lebih dari seekor kelinci
yang tidak tahu diri itu, ternyata memiliki tenaga yang
demikian dahsyatnya. Karena itu, matanya menjadi semakin
menyala. Tahulah Jaka Soka sekarang, kenapa tadi ia sama
sekali tidak berhasil membunuh seorang pun dari para
pengawal yang mengeroyoknya. Rupanya orang ini tidak
saja kebetulan menubruk kawan-kawannya, melemparnya
dengan pasir pada saat tepat tongkatnya hampir
menyambar korban, kemudian jatuh bergulingan menimpa
beberapa orang yang dadanya hampir rontok oleh
tongkatnya. Hal itu pastilah disengaja untuk menyelamatkan para pengawal itu. Sebab ternyata bahwa
orang itu mempunyai kepandaian yang luar biasa.
Sedang Mahesa Jenar sendiripun terkejut pula mengalami benturan itu. Ternyata tenaga Jaka Soka pun
dahsyat, sehingga ia tergetar surut. Dalam hal ini Mahesa
Jenar sadar, bahwa Jaka Soka terlalu menganggapnya tak
berarti, sehingga apabila Jaka Soka sungguh-sungguh
menggempurnya dengan segenap kekuatan dan ilmunya,
maka keadaannya pasti akan lain. Bahkan mungkin
keadaannya akan berimbang.
Sesaat kemudian, baik Jaka Soka maupun Mahesa Jenar
telah mempersiapkan diri kembali untuk memulai perkelahian. Mereka berdua sadar, bahwa kekuatan mereka
tidak terpaut banyak. Maka kunci kemenangan dari
pertempuran ini terletak dalam kepandaian serta keprigelan
mereka membawakan diri dalam keadaan-keadaan yang
genting. Sebentar kemudian perkelahian itu segera mulai kembali
dengan sengitnya. Cara berkelahi Jaka Soka itu benar-benar
seperti ular. Melingkar, melilit lawannya dan mematuk
dengan jari-jarinya demikian dahsyatnya. Geraknya cepat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dan licin tak terduga-duga. Sedangkan Mahesa Jenar
bersikap lebih tenang. Ia bertempur seperti seekor banteng
yang teguh, kokoh dan tangguh. Ia tidak begitu banyak
bergerak, tetapi demikian tubuhnya berkisar, menyambarlah udara maut ber-putar-putar.
Maka berlangsunglah perkelahian itu demikian dahsyatnya. Mereka bergerak sambar menyambar diantara
pepohonan hutan, sehingga terdengarlah suara berderak
batang-batang patah kena sambaran tangan mereka yang
keras bagaikan besi. Mereka yang menyaksikan pertempuran itu telah berlari-
lari berpencaran. Sedang dalam otak mereka berkecamuk
seribu satu pertanyaan mengenai diri perantau aneh itu.
Setelah mereka menyaksikan betapa hebat tenaganya,
serta betapa dahsyat caranya bertempur, mereka menjadi
kebingungan. Adanya Jaka Soka diantara mereka, serta munculnya
Lawa Ijo dengan tiba-tiba itu saja, telah cukup
memeningkan kepala mereka. Apalagi keputusan Jaka Soka
untuk membunuh mereka semua, karena mereka menyaksikan perbuatannya, menculik seorang gadis. Dan
sekarang, tiba-tiba di hadapan mereka muncul seorang lagi,
yang semula mereka anggap sama sekali tak berarti, tetapi
ternyata dapat mengimbangi ketangkasan Jaka Soka.
Karena itu, pastilah akan muncul pula sebuah nama
diantara mereka yang akan mengejutkan pula. Nama orang
yang mereka sangka perantau tolol itu.
Di saat yang sedemikian tegangnya, dimana berputar-
putar udara yang bernafaskan maut, pecahlah fajar di ujung
Timur. Cahayanya yang kuning kemerah-merahan melimpah ke persada bumi yang dipenuhi oleh segala
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
macam pertentangan. Pertentangan-pertentangan yang
mudah diselesaikan, pertentangan-pertentangan yang sulit
diselesaikan, bahkan kadang-kadang terdapat pertentangan-pertentangan yang tak mungkin dipecahkan.
Meskipun cahaya kemerahan itu masih begitu lemah
untuk dapat menerangi pedalaman hutan yang lebat, tetapi
berkas-berkas cahayanya yang menerobos dedaunan,
sedikit banyak telah dapat pula menyibak gelapnya malam,
dan mengurangi kepekatan rimba, menggantikan cahaya
perapian yang telah terlalu lama padam.
Maka makin lama semakin tampak jelaslah dua bayangan
yang sedang mati-matian mengadu tenaga itu.
Sementara itu Lawa Ijo telah mengikuti pertempuran itu
dengan saksama. Di dalam hati ia memuji juga keuletan
Jaka Soka yang pada akhir tahun ini akan bersama-sama
mengadakan semacam pertandingan dengan beberapa
orang lainnya, termasuk dirinya. Diam-diam ia merasa
mendapat keuntungan dengan kejadian itu. Sebab dengan
demikian ia dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan
Jaka Soka, yang pada akhir tahun ini pasti akan menjadi
salah seorang lawannya yang berat. Karena itu sejak
pertempuran berkobar, perhatiannya terikat kepada setiap
gerak Jaka Soka. Tetapi, setelah pertempuran itu berlangsung agak lama,
Lawa Ijo menangkap gerak-gerak yang menarik perhatiannya dari lawan Jaka Soka. Maka segera
perhatiannya beralih. Gerak orang ini demikian tenang,
kokoh dan tangguh. Pastilah ia bukan orang sembarangan.
Sesaat kemudian mendadak Lawa Ijo terkejut sekali sampai
ia meloncat selangkah ke depan. Matanya dengan tajamnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengawasi setiap gerak Mahesa Jenar sampai matanya
seolah-olah mau meloncat dari kepalanya.
Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu pada gerak-gerak
Mahesa Jenar. Gerakan-gerakan yang pernah dilihatnya,
bahkan pernah dialami kedahsyatannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
V Maka dengan suatu gerakan yang cepat sekali, secepat
sambaran halilintar, ia meloncat maju ke tengah-tengah
arena pertempuran. Sementara itu dengan nyaringnya
mulutnya berteriak, "Jaka Soka, minggirlah!"
Baik Jaka Soka maupun Mahesa Jenar serentak terkejut
mendengar seruan itu. Apalagi ketika mereka melihat
bahwa Lawa Ijo telah meloncat ke tengah-tengah mereka.
Maka sesaat pertempuran itu terhenti, dan tanpa berjanji
lebih dahulu, mereka bersama-sama meloncat selangkah
surut. Wajah Jaka Soka masih merah membara sebagai
ungkapan kemarahan yang menyala di dalam dadanya.
Katanya, "Lawa Ijo, apalagi yang kau maui dariku sehingga
kau hentikan perkelahian ini. Meskipun aku tidak segera
dapat membunuh orang yang sombong ini, tetapi aku
sudah bertekad untuk melayani sampai berapa hari pun,
bahkan bertahun-tahun sampai salah seorang dari kami
hancur". "Kau benar Soka," sahut Lawa Ijo, "tetapi sudah aku
katakan, bahwa daerah ini adalah daerahku, sehingga
kaupun harus menurut angger-anggerku,".
Jaka Soka memandang Lawa Ijo dengan mata yang
menyalakan api kemarahan katanya, "Apalagi yang kau
kehendaki dariku?". "Aku tak menghendaki apa-apa lagi daripadamu, Soka,"
jawab Lawa Ijo, "kecuali serahkan orang ini kepadaku,".
Mata Jaka Soka bertambah berapi-api lagi. Sahutnya,"Lawa Ijo, apakah kau sudah memandang aku
sedemikian rendahnya sehingga kau perlu menolong aku?".
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lawa Ijo mendengus pendek. Sambil menggeleng ia
berkata, "Sama sekali tidak, kawan. Tetapi seperti yang kau
katakan tadi, bahwa yang aku hadiahkan kepadamu
hanyalah gadis itu saja. Dan sekehendakmulah kalau yang
lain-lain akan kau bunuh. Tetapi orang ini tidak. Sebab aku
sendirilah yang akan membereskannya."
Mendengar ucapan Lawa Ijo itu, wajah Jaka Soka
menjadi semakin menyala. Giginya gemeretak dan
tubuhnya menggigil menahan marah. Dengan suara
gemuruh ia menjawab, "Aku bukan perempuan yang perlu
perlindungan laki-laki. Buat apa aku menerima hadiah dari
seekor kelelawar busuk seperti tampangmu itu" Lawa Ijo...
jangan coba merendahkan aku."
Meskipun wajah Lawa Ijo nampaknya jauh lebih buas
dari wajah Jaka Soka yang tampan itu, namun ternyata
kepala Lawa Ijo agak lebih dingin. Karena itu ia sama sekali
tidak menunjukkan kegusarannya mendengar kata-kata
Jaka Soka itu. Bahkan ia masih menjawab dengan tenang
meskipun tampak pula kegarangannya. "Jaka Soka, aku
tidak peduli atas tanggapanmu terhadap permintaanku.
Serahkan orang itu kepadaku. Sebab aku mempunyai
urusan yang lebih penting dari urusanmu. Urusanku
menyangkut nama baik dan harga diri perguruanku, sedang
urusanmu hanyalah urusan perempuan itu saja."
Oleh keterangan Lawa Ijo yang terakhir itu, nyala
kemarahan Jaka Soka menjadi surut. Sedang pancaran
matanya yang berapi-api itu pun segera redup dan
membayangkan keheranan. Tanyanya kemudian, "Kau
katakan bahwa kau mempunyai urusan dengan orang ini
perkara perguruanmu?"
Lawa Ijo mengangguk. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jaka Soka menjadi bertambah heran. Dan tanpa
disengaja ia memandang Mahesa Jenar. Baru sekarang ia
memperhatikan lawannya itu dengan saksama. Tubuhnya
tegap kekar. Dadanya bidang. Meskipun ia berwajah lunak,
tetapi pandangan matanya memancarkan kecermelangan
pribadinya. Pikirnya "Pantas bahwa aku tak dapat
menjatuhkannya." "Siapakah orang ini?" pertanyaan itu demikian saja
meluncur dari mulut Jaka Soka.
Dan sekaligus semua telinga yang berada di sekitar arena
itu segera memperhatikan. Sebab pertanyaan yang
demikian itu timbul pula di setiap hati orang menyaksikan
pertempuran itu. Bahkan diantara mereka telah timbul
harapan baru, setelah mereka menyaksikan kridha orang
yang mereka anggap tidak lebih dari seorang perantau.
Lebih-lebih sepasang suami-istri yang telah merasa terlanjur
menyuruh orang itu membawakan beban mereka.
Maka semua perhatian pada saat itu tertambat pada
mulut Lawa Ijo yang akan menjawab pertanyaan Jaka Soka.
Sementara itu terdengarlah Lawa Ijo tertawa pendek.
Kemudian barulah ia menjawab, "Jaka Soka... jangan kau
terkejut kalau aku mengucapkan nama orang ini. Ia adalah
orang yang telah membunuh adik seperguruanku kemarin
lusa. Watu Gunung. Dan yang tidak akan pernah aku
lupakan, orang ini pernah pula melukai bagian dalam
dadaku." Berdebarlah setiap jantung mereka yang mendengar
kata-kata ini. Pastilah orang ini bukan orang sembarangan.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak terkecuali Jaka Soka. Sudah sejak lama ia mengenal
Lawa Ijo. Dan pernah pula ia berkelahi melawan orang ini.
Tetapi tak pernah salah seorang dari mereka berdua dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengatasi yang lain. Kalau orang ini pernah melukai Lawa
Ijo pastilah ia memiliki kesaktian yang tinggi.
Kemudian terdengarlah Lawa Ijo melanjutkan kata-
katanya, "Sayang bahwa ia tidak bersikap perwira. Ia
menyerang aku pada saat aku sedang meloncat turun dari
atap gedung perbendaharaan istana Demak."
Hati Mahesa Jenar melonjak mendengar sindiran Lawa
Ijo. Ia sama sekali tak mau menerima keterangan itu.
Sebab pada saat ia menyerang Lawa Ijo, ia sedang
berusaha untuk melindungi Gadjah Alit yang justru diserang
oleh Lawa Ijo dengan sikap yang tidak perwira. Kecuali
Lawa Ijo tidak menyerang dari depan, juga pada saat itu
Gadjah Alit sedang dikerubut oleh tiga orang. Tetapi
meskipun demikian ia tidak merasa perlu melayani fitnah
itu. Karena itu ia diam saja.
Dalam pada itu, Jaka Soka pun segera teringat bahwa
memang Lawa Ijo pernah bercerita kepadanya, tentang
luka yang dideritanya pada saat ia berusaha memasuki
gedung perbendaharaan di Demak. Karena itu sebelum
Lawa Ijo menyebut nama Mahesa Jenar, ia mendahului
berteriak, "Lawa Ijo, kalau demikian inikah orangnya yang
bernama Mahesa Jenar dan bergelar Rangga Tohjaya yang
terkenal itu?" Mendengar nama itu tergetarlah perasaan mereka yang
pernah mengenal kebesarannya. Lebih-lebih para pengawal
dan para pedagang yang datang dari pesisir utara. Tetapi
dalam pada itu, dalam dada masing-masing terbersitlah
semacam harapan baru yang menjadi semakin teguh,
bahwa jiwa mereka akan tertolong. Karena itu menjadi
semakin besarlah hati mereka. Selain itu para pengawal
kemudian telah bersiap pula terjun ke dalam pertempuran
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seandainya Lawa Ijo dan Jaka Soka akan bersama-sama
menyerang Rangga Tohjaya.
Tetapi rupanya Lawa Ijo tidak akan berbuat demikian.
"Jaka Soka," Katanya, "karena itulah aku minta
kerelaanmu untuk membuat perhitungan dengan Rangga
Tohjaya ini. Sebab aku mempunyai dugaan, bahwa ia pun
sedang mencari aku. Maka sebaiknya kami tidak menyia-
nyiakan pertemuan ini".
Sekarang, setelah mengerti persoalannya, Jaka Soka
tidak lagi merasa direndahkan oleh Lawa Ijo. Ia pun
menganggap bahwa sikap Lawa Ijo yang demikian itu
adalah wajar. Karena itu ia menjawab, "Sekehendakmulah
Lawa Ijo. Sebab daerah ini adalah daerahmu. Tetapi urusan
gadis itu akan tetap menjadi urusanku, meskipun aku akan
menunggu sampai kau selesai. Kalau kau tak berhasil dalam
usahamu untuk membalaskan dendam adikmu, aku akan
juga membuat perhitungan dengan orang ini. Sebab ia
dengan sengaja telah mempermainkan aku ketika ia
bersama-sama dengan para pengawal yang mengerubut
aku." "Bagus. Sekarang minggirlah," desis Lawa Ijo.
Sesudah itu maka Lawa Ijo menghadap ke arah Mahesa
Jenar. Matanya yang sudah memancarkan kekejaman serta
kebengisan itu menjadi bertambah mengerikan.
"Tohjaya," geram Lawa Ijo, "bersiaplah. Aku akan
membuat perhitungan," .
Mahesa Jenar tak menjawab sepatah kata pun. Mulutnya
terkatup rapat, tetapi ia maju beberapa langkah mendekati
Lawa Ijo dengan sikap yang meyakinkan dan penuh
kepercayaan pada diri sendiri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sementara itu, langit telah menjadi semakin cerah. Angin
pagi yang bertiup lambat-lambat menggoyangkan daun-
daun pepohonan dan membuat suara berdesir diantara
cabang-cabangnya. Suaranya merintih, seolah-olah suara
lagu yang mengiringi ratapan hati setiap orang yang
menyaksikan permainan maut antara Mahesa Jenar yang
bergelar Rangga Tohjaya dengan Lawa Ijo. Dua orang yang
sama-sama terkenal dari aliran yang berlawanan, yang pada
saat itu sedang mengadakan perhitungan hutang pihutang
nyawa. Namun betapa moleknya wajah pagi, tak seorang pun
yang berada di sekitar arena pertempuran itu sempat
memperhatikan. Bahkan tak seekor burung pun di tempat
itu yang sempat berkicau menyambut datangnya matahari.
Seperti Jaka Soka, Lawa Ijo pun tak akan merendahkan
dirinya melawan Mahesa Jenar dengan mempergunakan
senjata. Tetapi setelah ia mengembalikan tongkat hitam
Jaka Soka, ia tidak menitipkan belati panjangnya, melainkan
dengan kekuatan jari-jarinya, belatinya itu dipatahkan, dan
kemudian dilemparkan jauh-jauh. Mau tidak mau, mereka
yang menyaksikan pertunjukan itu hatinya terguncang.
Segera setelah itu, maka dengan suatu suitan nyaring,
Lawa Ijo mulai menyerang lawannya. Kedua tangannya
direntangkan dan jari-jarinya siap merobek tubuh lawannya.
Dengan suatu loncatan yang dahsyat, ia menyambar kepala
Mahesa Jenar. Mahesa Jenar sadar bahwa apabila serangan
ini mengenai sasarannya, maka ia yakin bahwa kepalanya
akan dapat berlubang sedalam jari.
Sebelum ini, Mahesa Jenar pernah bertempur dengan
Lawa Ijo, karena itu ia tidak dapat mengira-ngirakan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kekuatannya, meskipun ia yakin bahwa selama ini pastilah
Lawa Ijo telah mendapat tambahan yang tidak sedikit.
Melihat serangan Lawa Ijo yang dahsyat itu, segera
Mahesa Jenar merendahkan dirinya, tetapi sekaligus dengan
tangannya ia menyerang perut lawannya dengan empat
jari. Sebenarnya Lawa Ijo sadar bahwa serangannya yang
pertama pasti tak akan mengenai sasarannya. Karena itu ia
selalu waspada, sehingga ketika ia melihat serangan
Mahesa Jenar, dengan tangkasnya pula ia menghindarkan
diri. Ia menarik sebelah kakinya ke belakang dan berputar
sedikit. Kemudian sambil merendahkan diri ia menghantam
tangan Mahesa Jenar dengan sikunya. Tetapi Mahesa Jenar
tidak mau tangannya disakiti. Ia segera menarik
serangannya dan mendadak ia meloncat setengah langkah
surut, tetapi demikian kakinya menjejak tanah, demikian ia
melontarkan dirinya ke samping Lawa Ijo, dan dengan
tumitnya ia menghantam lambung. Lawa Ijo terkejut
melihat gerakan ini. Kaki Mahesa Jenar bergerak demikian
cepatnya. Tetapi Lawa Ijo pun mempunyai cukup
pengalaman. Segera ia merendah hampir rata tanah. Tetapi
demikian ia merendah, kakinya secepat kilat menyambar
betis Mahesa Jenar. Sekarang Mahesa Jenar yang berada
dalam keadaan yang sulit, selagi satu kakinya terangkat.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar cukup tenang, sehingga
dalam keadaan yang nampaknya demikian sulitnya ia masih
sempat mengelakkan diri. Dengan sebelah kakinya ia
menjejak tanah dan meloncat tinggi. Dengan satu gerakan
kakinya, Mahesa Jenar dapat mengubah arah, sehingga
tubuhnya terjatuh kembali beberapa depa dari lawannya.
Lawa Ijo menjadi marah melihat serangan-serangannya
yang dilakukan dengan segenap tenaganya itu sama sekali
tak berhasil. Karena itu segera ia pun menyerang kembali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan dahsyatnya. Tangannya, dengan sepuluh jari yang
kokoh bergerak menyambar-nyambar dari segala arah.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu berdiri
terpaku seperti patung. Hati mereka terpukau oleh
pertunjukan maut yang sedang berlangsung dengan
dahsyatnya. Sebentar-sebentar terdengar suara gemeretak batang-
batang kayu yang patah terhantam, baik oleh Mahesa Jenar
maupun oleh Lawa Ijo. Sedang tanah tempat mereka
bertempur, seolah-olah telah berubah sedemikian rupa
sehingga menjadi bersih dari segala tumbuh-tumbuhan.
Perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin
hebat. Tampaklah betapa hebatnya mereka berdua. Sampai
sekian lama tidak nampak siapakah diantara keduanya yang
lebih unggul. Lawa Ijo bertempur dengan penuh dendam
akan pembalasan, sedangkan Mahesa Jenar bertempur
dengan suatu tekad yang telah bulat pula, melenyapkan
kejahatan sampai ke akarnya.
Demikian dahsyatnya pertempuran itu, sehingga waktu
berjalan cepat sekali. Dengan tak terasa, matahari telah
miring rendah di ufuk barat. Seolah-olah sengaja
mempercepat jalannya untuk menghindari kesaksian,
bahwa di tengah-tengah hutan Tambak Baya telah terjadi
suatu pergulatan maut yang mengerikan.
Daerah pedalaman hutan yang selamanya tak pernah
menerima cahaya matahari sepenuhnya itu, kini telah
kembali suram. Cahaya matahari yang sudah semakin
lemah, tidak mampu lagi menembus sepenuhnya kelebatan
daun-daun pepohonan rimba yang liar dan pekat itu.
Dua orang perkasa yang sedang bertempur mati-matian
itu pun nampak tenaganya semakin lama menjadi semakin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kendor. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki
ketahanan jasmaniah yang luar biasa. Baik Mahesa Jenar
maupun Lawa Ijo memang pernah mengalami pertempuran
sampai berhari-hari. Kali ini mereka telah mengerahkan
segala tenaga mereka. Setelah hal itu berlangsung hampir
sehari penuh, terasalah bahwa kemampuan mereka mulai
menurun. Dalam hal ini, yang lebih merasa gelisah adalah Lawa Ijo.
Perasaannya dibebani oleh dendam yang tiada taranya.
Sejak dirinya dilukai di halaman Kraton Demak, ia sudah
berjanji di dalam hatinya, bahwa pada suatu saat ia harus
membinasakan orang yang telah melukainya itu. Ditambah
lagi, orang itu pula yang telah membunuh adik
seperguruannya. Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali
menghancurlumatkan orang ini. Tetapi ternyata, setelah
sekian lama ia merendam diri serta mencecap ilmu gurunya
yang sakti, Pasingsingan, dengan penuh semangat, namun
sudah sehari ia bertempur masih belum ada tanda-tandanya
bahwa ia akan dapat mengalahkan lawannya, apalagi
membinasakan. Karena itu ia menjadi tidak sabar lagi.
Tujuannya hanyalah secepat mungkin membinasakan
Rangga Tohjaya. Dengan demikian barulah ia merasa puas.
Untuk mencapai maksudnya itu, Lawa ijo meloncat
mundur beberapa langkah dari lawannya. Secepat kilat
tangannya mengambil sebuah kantong kecil di ikat
pinggangnya. Segera cincin pemberian gurunya itu
dikenakan di jari tangan kanannya. Tampaklah bahwa cincin
itu bermata batu akik merah menyala. Itulah batu akik yang
dinamai Kelabang Sayuta. Bentuk akik Kelabang Sayuta tidaklah seperti kebiasaan
batu-batu akik yang diasah halus, tetapi batu ini
permukaannya kasar dan bahkan bergerigi tajam. Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar tertegun melihat lawannya mengenakan cincin. Pasti
itu bukan sembarang cincin. Tetapi belum lagi ia sadar
benar Lawa Ijo telah meloncat menyerangnya dengan
garang. Lawa Ijo telah mengerahkan segenap sisa tenaganya
yang terakhir. Mahesa Jenar terkejut diserang secara
demikian. Lawa Ijo ternyata tidak lagi mempergunakan
perhitungan, melainkan asal saja ia membenturnya. Secepat
kilat Mahesa Jenar menghindar ke samping, tetapi seperti
orang gila Lawa Ijo menerjangnya kembali. Demikian terjadi
beberapa kali. Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya
banyaklah kesempatan bagi Mahesa Jenar untuk memukul
Lawa Ijo. Meskipun demikian ia masih belum mempergunakan kesempatan itu, sebab ia masih ingin
mengetahui latar belakang dari tindakan-tindakan Lawa Ijo
yang aneh itu. Sebagai seorang yang telah banyak makan
garam, seharusnya Lawa Ijo tidaklah kehilangan akal
sampai sedemikian itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak
mempunyai kesempatan untuk banyak menduga-duga
maksud lawannya. Sebab Lawa Ijo merangsang semakin
hebat. Sehingga akhirnya terpaksa Mahesa Jenar melayani
pula dengan segenap tenaganya. Maka pertempuran itu
menjadi semakin seru dan aneh. Gerak Lawa Ijo menjadi
semakin liar dan seolah-olah membabi buta namun tidak
kurang pula berbahayanya.
Akhirnya Mahesa Jenar tak dapat lagi menahan dirinya
mengalami tekanan yang gila, kasar dan liar itu. Karenanya,
ketika ia melihat suatu kesempatan, maka segera ia
meloncat maju, dan dengan gerakan yang dahsyat ia
menghantam pelipis lawannya. Melihat serangan yang
demikian hebatnya, Lawa Ijo sama sekali tak berusaha
menghindarkan diri. Memang kesempatan yang demikianlah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang ditunggunya setelah sekian lama ia berusaha
membentur tubuh lawannya, tetapi belum berhasil.
Dengan mengerahkan segala sisa tenaganya yang ada,
Lawa Ijo melawan dengan sebuah pukulan yang dahsyat
pula, menghantam tangan Mahesa Jenar. Maka terjadilah
suatu benturan yang mengerikan. Mulutnya menyeringai
menahan sakit, seolah-olah menjalar ke seluruh bagian
tubuhnya. Sendi-sendi tulangnya seakan-akan copot dari
sambungannya. Sesaat pandangannya jadi kabur berputar-
putar. Sementara itu mereka yang menyaksikan perkelahian
dahsyat itu, darahnya serasa berhenti mengalir, ketika
mereka melihat keadaan
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahesa Jenar. Mereka menyaksikan suatu keadaan yang tak terduga-duga. Pada
saat terjadi benturan, tubuh Mahesa Jenar tergetar hebat,
sehingga ia terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling
pula. Tetapi, ketika Mahesa Jenar berusaha untuk meloncat
berdiri, tiba-tiba tangan kanannya terasa pedih tak
terhingga. Ketika ia mengamati tangan itu, ternyata
terdapat sebuah goresan kecil. Itulah luka akibat batu akik
Kelabang Sayuta.! Seterusnya, tidak hanya rasa pedih itu saja, tetapi tiba-
tiba mengalirlah rasa dingin yang seakan-akan menjalar
menurut peredaran darahnya ke seluruh tubuh, sehingga
tubuhnya menjadi gemetar dan seakan-akan beku. Wajah
Mahesa Jenar segera berubah menjadi pucat seputih mayat.
Jaka Soka yang selama itu, dengan enaknya melihat
perkelahian itu, menjadi keheran-heranan juga menyaksikan akibat dari benturan itu. Lama sekali tidak
menduga bahwa Mahesa Jenar yang sedemikian gagahnya,
yang sudah bertempur hampir sehari penuh, dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dirobohkan justru pada saat ia menyerang dan dibalas
dengan sebuah serangan pula.
Para pengawal rombongan, yang merasa telah mendapat
perlindungan dalam melakukan tugasnya, melihat kejadian
itu dengan hati yang remuk. Pemimpin pengawal, dengan
tidak menghiraukan keselamatan diri, segera meloncat
mendekati Mahesa Jenar yang masih terduduk dan
menggigil hebat. Segera pemimpin pengawal itu berjongkok di samping
Mahesa Jenar sambil meraba-raba tangannya. Tetapi ketika
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ia menyentuh tangan Mahesa Jenar itu, alangkah
terperanjatnya. Tangan itu dingin seperti beku dan di
beberapa tempat tampaklah semacam bisul-bisul yang baru
tumbuh. Segera pemimpin pengawal yang tua dan
berpengalaman itu mengetahui bahwa tubuh Mahesa Jenar
telah terkena racun yang mengerikan. Maka segera ia dapat
memastikan bahwa racun ini pasti berasal dari cincin yang
dipakai oleh Lawa Ijo, yang bermata batu akik merah
menyala, yang bernama Kelabang Sayuta.
Sejenak kemudian Lawa Ijo perlahan-lahan dapat
menguasai dirinya kembali. Meskipun masih agak pening, ia
sudah dapat berdiri tegak. Maka ketika ia melihat Mahesa
Jenar terduduk di tanah dengan wajah yang pucat, ia
menjadi bergembira. Dan tiba-tiba terdengarlah suara
tertawanya yang menakutkan seperti suara hantu yang
memanggil-manggil dari lubang kubur. Semua yang
mendengar suara itu tegaklah bulu romanya. Kekalahan
Mahesa Jenar berarti nyawa mereka akan lenyap. Sebab
Jaka Soka telah mengambil keputusan untuk menghilangkan jejak penculiknya.
Demikian juga hati pengawal tua yang menahan tubuh
Mahesa Jenar yang lemas itu. Ia menjadi sangat sedih.
Bukan karena takut menghadapi kematian yang sudah
membayang di matanya, tetapi hatinya menjadi pedih sekali
bahwa kemungkinan besar jiwa Mahesa Jenar, seorang
pahlawan yang tanpa menghiraukan dirinya sendiri telah
berusaha menyelamatkan rombongan yang sebenarnya
menjadi tanggung jawabnya, tak akan tertolong lagi. Lebih-
lebih ketika diingatnya bahwa Lawa Ijo telah melakukan
perbuatan yang curang dan keji, dengan mempergunakan
racun yang keras sekali untuk menumbangkan lawannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka, hati pengawal tua itu serasa menyala dibakar oleh
kemarahan. Ia sudah mengambil keputusan untuk melawan
sampai mati. Seperti serangga menjelang api. Tetapi ketika
ia akan bangkit dan melawan dengan mengamuk sejadi-
jadinya, tiba-tiba terasa hawa yang hangat mengalir dalam
tubuh Mahesa Jenar. Mahesa Jenar terkejut, tetapi ia tetap
menahan dirinya. Hawa yang hangat itu ternyata mengalir
semakin deras dan bahkan hampir mencapai titik panas
tubuh yang wajar. Timbullah berbagai pertanyaan dalam dirinya. Apakah
yang akan terjadi dengan Mahesa Jenar ini" Sebentar
kemudian bahkan panas itu dengan cepat naik melampaui
batas panas tubuh yang biasa. Hal ini menjadikan pengawal
tua itu semakin bingung. Apalagi sampai sekian lama
Mahesa Jenar sendiri seolah-olah pingsan dan tidak
bergerak sama sekali. Memang Mahesa Jenar pada saat itu sedang kehilangan
tenaga. Batu akik Kelabang Sayuta itu mempunyai kekuatan
mirip dengan bekerjanya racun. Bahkan hampir sekuat
racun bisa ular Gundala Wereng. Sehingga tubuh yang
dikenainya, meskipun hanya segores kecil, akan menjadi
bengkak-bengkak seperti ditumbuhi oleh beribu-ribu bisul.
Kemudian tubuh itu akan lemas dan mengalami
kelumpuhan menyeluruh, dan akhirnya disusul dengan
kematian, dalam waktu yang singkat.
Tetapi, ketika kekuatan akik Kelabang Sayuta itu sedang
bekerja didalam tubuh Mahesa Jenar dengan mengikuti
peredaran darah, tiba-tiba terjadilah suatu benturan yang
dahsyat di dalam tubuh itu. Sebab pada saat itu, ketika
tersentuh rangsangan dari luar, bisa ular Gundala Seta yang
ada dalam tubuhnya mulai bekerja pula. Dalam pergolakan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu timbullah panas, sehingga tubuh Mahesa Jenar menjadi
melampaui titik panas yang wajar.
Bisa ular Gundala Seta mempunyai kasiat yang luar
biasa. Lebih-lebih ular ini adalah senjata Wisnu untuk
melawan Kala, lambang dari keangkaramurkaan. Maka
sedikit demi sedikit bisa ular Gundala Seta yang memang
sudah ada di dalam tubuh Mahesa Jenar itu mendesak
lawannya, menawar racun akik Kelabang Sayuta. Dengan
demikian tubuh Mahesa Jenar menjadi berangsur-angsur
baik kembali. Meskipun demikian Mahesa Jenar adalah orang yang
cerdik. Ia tidak segera menunjukkan keadaan itu. Sebab
apabila sampai diketahui bahwa ia berangsur-angsur baik,
tidak mustahil Lawa Ijo akan segera bertindak. Membinasakannya sekaligus.
Dalam hal yang demikian ia masih saja berpura-pura
tidak sadarkan diri dan membiarkan tubuhnya ditahan oleh
pengawal tua itu. Lawa Ijo, dengan dada menengadah, memandang tubuh
Mahesa Jenar. Matanya memancarkan kepuasan hatinya. Ia
tertawa berkepanjangan sampai Jaka Soka membentaknya,
"Hai Kelelawar Hijau yang busuk. Jangan kau tertawa
demikian. Aku bisa jadi pening mendengar suaramu yang
memuakkan itu." Tetapi Lawa Ijo sama sekali tak mendengarnya. Ia
sedang menikmati kemenangannya. Katanya, "Soka,
lihatlah.... Orang ini yang diagung-agungkan oleh prajurit
Demak. Di sini ia menjumpai kematian sedemikian nistanya.
Dan tak seorang pun akan sempat menguburnya. Apalagi
dengan suatu upacara keprajuritan, diiringi dengan tunggul-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tunggul dan panji-panji. Sebab orang-orang lain pun segera
akan mengalami nasib yang sama karena tanganmu".
Jaka Soka merasa diperingatkan akan tugasnya. Segera
ia pun tersenyum aneh, sedangkan matanya yang redup
membayangkan tuntutan maut yang mengerikan. Katanya,
"Bagus, Lawa Ijo. Kita akan sama-sama menikmati
kemenangan. Dan tak seorang pun dapat menahan aku
membawa gadis cantik itu pulang ke Nusa Kambangan,"
jawab Jaka Soka. ----------odwOkzo----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 3 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I. TETAPI sebentar kemudian, kepuasan mereka dipecahkan oleh suatu kenyataan yang sangat aneh bagi
Lawa Ijo. Tak pernah seorang pun yang dapat melepaskan
diri dari kematian, apabila tubuhnya tergores sedikit saja
oleh aji Klabang Sayuta. Tetapi apa yang disaksikan
sekarang adalah sama sekali tidak masuk akal.
Demikianlah ketika Mahesa Jenar merasa bahwa
tubuhnya telah pulih kembali, segera dengan kecepatan
gerak laksana kilat menyambar, ia meloncat, dan tahu-tahu
ia sudah berdiri dihadapan Lawa Ijo. Semua yang
menyaksikan hatinya tercekam, seperti melihat mayat yang
bangun dari kubur. Bahkan mereka seolah-olah melihat diri
mereka sendirilah yang karena pertolongan Tuhan Yang
Maha Esa telah dibebaskan dari daerah mati.
Mahesa Jenar disamping rasa sukur yang tak terhingga,
bahwa lantaran sahabat karibnya, Kiai Ageng Sela, ia telah
menerima anugerah Tuhan yang telah membebaskannya
dari pengaruh segala macam bisa. Namun ia juga menjadi
marah bukan kepalang kepada Lawa Ijo.
Ternyata Lawa Ijo yang telah mematahkan pedangnya
sendiri dengan jari-jari sewaktu perkelahian akan dimulai,
bukanlah benar-benar seorang jantan. Seperti juga Watu
Gunung, Lawa Ijo sama sekali tidak memperhatikan sikap
kejujuran dalam segala masalah.
Wajah Mahesa Jenar berubah menjadi merah membara.
Mulutnya terkatub rapat, tetapi giginya gemeretak.
Terhadap orang-orang yang demikian, tidak lagi ada sikap
yang manis. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka karena marahnya yang meluap-luap, Mahesa Jenar
tidak lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri. Sebelum
Lawa Ijo sadar terhadap kejadian itu, Mahesa Jenar telah
mengangkat satu kakinya yang ditekuk ke depan, tangan
kirinya disilangkan di atas dadanya, sedangkan tangan
kanannya diangkat tinggi-tinggi. Secepat kilat Mahesa Jenar
meloncat maju, dan dengan sedikit merendahkan diri ia
menghantam lambung lawannya dengan ilmunya yang
terkenal, Sasra Birawa. Lawa Ijo melihat segala gerak-gerik lawannya seperti
dalam mimpi. Ia baru sadar ketika tiba-tiba dilihatnya
Mahesa Jenar meloncat dekat sekali di hadapannya, dan
tangannya melayang ke arah lambungnya. Tetapi segala
sesuatunya telah terlambat. Terkena pukulan sisi telapak
tangan Mahesa Jenar yang dilambari ilmu Sasra Birawa itu
rasanya bagaikan tertimpa seribu gunung yang runtuh
bersama-sama. Demikian Lawa Ijo merasakan kedahsyatan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sasra Birawa, pandangannya terlempar dengan derasnya
seperti anak panah yang terlepas dari busurnya mengarah
tepat ke sebatang pohon raksasa yang berdiri kokoh kuat
bagai benteng baja. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu menjadi bingung.
Mereka tidak dapat mengerti perasaan apa yang
berkecamuk di kepalanya, seolah-olah terlepas dari
kesadaran diri. Sebab kejadian yang dilihatnya itu adalah
hal yang tak dapat dibayangkan bisa terjadi.
Tetapi belum lagi tersadar, telah disusul pula oleh suatu
peristiwa yang lain, yang tidak dapat mereka mengerti pula.
Beberapa orang menjadi sedemikian bingungnya sehingga
pingsan. Tubuh Lawa Ijo yang melayang demikian derasnya dan
hampir-hampir membentur sebatang pohon raksasa itu,
tahu-tahu sudah berada dalam dukungan seorang yang
berjubah abu-abu. Tak seorang pun tahu dari mana dan
kapan ia datang. Wajah orang itu sama sekali tidak tampak,
karena ia mengenakan topeng yang buatannya kasar dan
jelek. Semua orang memandang orang berjubah itu dengan
tubuh gemetar. Dalam pada itu, tiba-tiba Jaka Soka segera
melangkah maju dan dengan hormatnya ia berkata, "Paman
Pasingsingan, aku menyampaikan hormat setinggi- tingginya!". Pasingsingan. Nama itu mendengung kembali di telinga
Mahesa Jenar. Inilah rupanya Guru Lawa Ijo yang telah
datang untuk menolong muridnya. Maka mau tidak mau
hatinya tercekam pula. Ia pernah mendengar kesaktian
orang ini dari gurunya. Dan sekarang, ia telah berhadap -
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hadapan dengan orang itu dalam keadaan yang tak
menguntungkan. "Rangga Tohjaya...." Tiba-tiba terdengar Pasingsingan
berkata, tanpa menghiraukan salam Jaka Soka. Suaranya
berat, dalam dan tak begitu jelas seperti bergulung dalam
perutnya, karena pengaruh topeng yang dipakainya itu.
"Untunglah
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lawa Ijo bukan sembarang orang," sambungnya, "sehingga meskipun ia terluka parah, tetapi
aku yakin bahwa ia masih akan dapat hidup,". Orang itu
berhenti sejenak. Matanya yang berada dibalik topengnya
itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. "Hal itu
adalah karena pertolonganku." Pasingsingan melanjutkan,
"Kalau tidak, ia pasti sudah binasa terbentur pohon ini.
Karena itu, kau aku anggap telah melakukan pembunuhan
atas muridku". Kembali hati Mahesa Jenar melonjak. Ia tahu apa arti
kata-kata itu. Dalam hal yang demikian, tiba-tiba ia teringat
kepada almarhum kedua gurunya yang merupakan
angkatan yang sama dengan Pasingsingan itu. Kalau saja
mereka masih ada, pasti mereka tidak akan membiarkannya
berhadap-hadapan sendiri. Tetapi sekarang ia seorang diri
menghadapinya. Sebagai seorang prajurit pastilah Mahesa
Jenar tidak selalu menggantungkan dirinya kepada orang
lain. Karena itu, meskipun ia tahu, bahwa kekuatannya tak
seimbang, ia bertekad untuk melawan mati-matian. Maka
segera kembali ia memusatkan pikiran, mengatur jalan
pernafasannya dan mengumpulkan segala tenaganya pada
sisi telapak tangannya, meskipun ia belum bersikap.
Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan mendengus lewat
hidungnya, "Hem..., kalau Sasra Birawa itu gurumu yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mempergunakan, barangkali aku harus berpikir bagaimana
menghindarinya. Tetapi kalau hanya kau yang akan
mencobakan pada tubuhku, barangkali sebaiknya aku
menyediakan diri sebelum aku membunuhmu!"
Mendengar kata-kata Pasingsingan itu, mau tidak mau
hati Mahesa Jenar bergetar hebat. Bukan karena ia takut
mati. Tetapi kematian yang demikian pada saat ia
diperlukan untuk melindungi suatu rombongan yang akan
binasa, adalah sayang sekali. Tetapi apa boleh buat.
Sementara itu tampaklah Pasingsingan bergerak maju. Ia
selangkah demi selangkah mendekati Mahesa Jenar tanpa
meletakkan Lawa Ijo dari dukungannya.
"Tohjaya," katany, "kau adalah murid Ki Ageng Pengging
Sepuh. Dan kau telah beruntung mewarisi ilmu saktinya
Sasra Birawa. Karena itu lawanlah aku. Supaya kau mati
dengan tangan merentang, bukan mati sebagai seekor
lembu yang disembelih,". Mahesa Jenar yang sudah tidak
melihat kemungkinan lain daripada mati, kini seperti sudah
tidak mempunyai perasaan lagi. Tak perlu lagi ada
pertimbangan-pertimbangan lain. Maka segera ia pun
bersiap untuk menerjang lawannya, menjelang saat
matinya. Sementara itu Pasingsingan berdiri dengan acuh
tak acuh saja seperti tidak akan terjadi sesuatu atas dirinya.
Orang-orang lain yang berada di situ, sudah seperti
orang linglung yang tak tahu apa-apa. Perasaan mereka
sudah terbanting-banting beberapa kali sampai hancur.
Meskipun ada diantara mereka yang matanya terbuka dan
seolah-olah memandang Mahesa Jenar dan Pasingsingan
berganti-ganti, tetapi mereka tidak mengerti tentang apa
yang dilihatnya. Mereka tidak lagi dapat membayangkan,
bahwa sebentar lagi Pasingsingan akan dapat berbuat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekehendaknya atas Mahesa Jenar tanpa ada yang dapat
merintanginya. Tetapi sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh suara
berdentangnya orang menebang pohon. Ini adalah suatu
keanehan baru, sesudah bertubi-tubi terjadi peristiwa-
peristiwa yang aneh berturut-turut.
Pada saat itu, meskipun matahari belum tenggelam,
tetapi sinarnya sudah demikian lemahnya sehingga tidak
dapat lagi menembus rimbunnya daun-daun pepohonan
rimba, sehingga di dalam hutan itu sudah menjadi agak
gelap. Pada saat yang demikian, tidaklah biasa seseorang
menebang pohon. Apalagi di tengah hutan Tambakbaya. Orang-orang yang
mencari kayu, baik kayu bakar maupun untuk perumahan,
tidak akan menebang kayu di tengah rimba yang demikian
lebatnya. Lebih-lebih tidak jauh dari tempat itu, baru saja
terjadi pertarungan yang dahsyat antara Mahesa Jenar dan
Lawa Ijo. Berkali-kali terdengar Lawa Ijo bersuit atau
berteriak nyaring. Mustahil kalau suara-suara itu tak
didengarnya. Tetapi ternyata suara itu terus terdengar. Bahkan
semakin lama semakin jelas. Makin nyatalah, bahwa sumber
suara itu tidak begitu jauh. Yang lebih mengherankan lagi,
suara berdentangnya pohon yang ditebang itu, bagaikan
nada-nada lagu yang mempesona.
Rupanya Pasingsingan heran juga mendengar suara itu.
Diangkatnya wajahnya yang terlindung dibalik topengnya
dan tampaklah ia mendengarkan suara itu dengan saksama.
Dalam keadaan yang demikian, suasana berubah menjadi
sunyi. Suara berdentangnya pohon ditebang itu menjadi
bertambah jelas seakan-akan memenuhi seluruh rimba.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gemanya bersahut-sahutan disegala arah sehingga amat
sulitlah untuk mengetahui dengan pasti sumber suara itu.
Sebentar kemudian suara itu menjadi agak kendor dan
semakin perlahan-lahan pula. Tetapi sementara itu
disusullah dengan mendengungnya suara baru yang juga
seharusnya tak mungkin terjadi.
Di tengah-tengah rimba yang liar pekat, dan yang diliputi
oleh suasana perkelahian dan hawa pembunuhan itu,
menggemalah sebuah lagu. Dandanggula yang diungkapkan
oleh sebuah suara yang indah. Lagu itu sedemikian
mempesona, sehingga semua orang yang mendengarnya
menjadi lupa akan segala-galanya kecuali lagu itu sendiri.
Jaka Soka dan Mahesa Jenar adalah orang yang cukup
masak. Tetapi meskipun demikian tampak juga bahwa
mereka dihinggapi oleh perasaan-perasaan yang aneh.
Dandanggula itu terdengar begitu jelas sehingga kata demi
kata dapat dimengerti dengan baik. Bunyi syair dari
tembang itu adalah: Lir sarkara, wasianing jalmi
Ambudiya budining sasatnya
Memayu yu buwanane, Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Sih pigunane karya, mBrasta ambeg dudu, Mengenep nenging cipta, Wruh unggayaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja (Kusw)
Tak seorang pun yang mengetahui tanggapan Pasingsingan atas lagu itu dengan pasti, sebab wajah orang
itu tertutup oleh kedok. Tetapi melihat sikapnya, ia sama
sekali tidak senang mendengarnya, meskipun lagu itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dibawakan oleh suara yang merdu dan syairnya
mengandung nasihat yang baik. Sebagaimana seseorang
harus berusaha menyelamatkan dunia ini dengan banyak
memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang luas tentang
cinta manusia untuk memberantas kejahatan. Serta dengan
mengendapkan cipta untuk mengetahui batas antara baik
dan buruk. Disertai doa kepada Tuhan untuk kebahagiaan.
Kemudian malahan Pasingsingan menjadi gelisah ketika
ia mendengar lagu itu diulang kembali.
Akhirnya, tiba-tiba ia berputar menghadap ke utara dan
dengan garangnya ia menggeram. Sedang kata-katanya
sangat mengejutkan mereka yang mendengarnya, seperti
halilintar meledak di atas kepala masing-masing. Termasuk
Mahesa Jenar dan Jaka Soka.
"Setan tua...! Apa maksudmu mengganggu urusanku"
Baiklah. Hanya sayang kali ini aku tidak ada waktu untuk
melayanimu. Karena itu lain kali aku akan menemuimu,
kalau aku tidak sedang membawa beban seperti kali ini.
Sampai ketemu Pandan Alas!" kata Pasingsingan. Setelah
itu tanpa diketahui arahnya, tahu-tahu Pasingsingan telah
lenyap dari pandangan mereka beserta Lawa Ijo.
Lenyapnya Pasingsingan itu tidak begitu menarik perhatian
Mahesa Jenar dan Jaka Soka. Seperti berjanji, mereka
setelah mendengar nama Pandan Alas, segera meloncat ke
utara, kearah mana Pasingsingan tadi menghadap. Mereka
menduga, bahwa dari sanalah sumber suara tadi
datangnya. Sebab kebetulan Mahesa Jenar dan Jaka Soka
berbareng ingin melihat wajah orang aneh itu. Tetapi
setelah agak jauh mereka menyusup, yang mereka temui
hanyalah bekas luka pada pokok sebuah pohon raksasa.
Meskipun mereka hanya menemui bekasnya saja, namun
telah cukup menggetarkan hati mereka. Sebab menurut
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pendengaran mereka, waktu Ki Ageng Pandan Alas
menebang pohon itu hanyalah sebentar saja, sedang yang
mereka lihat bekasnya adalah luar biasa. Sebatang pohon
raksasa yang besarnya lebih dari empat pemeluk, ternyata
telah luka hampir separonya. Sedang tatal kayu bekas
tebangan itu, berbongkah-bongkah hampir sebesar kepala
anjing. Sungguh mengagumkan. Apalagi ketika disamping
pohon itu, yang mereka ketemukan hanyalah sebuah
kampak kuno dari batu, yang diikat pada setangkai dahan
basah sebagai pegangannya.
"Luar biasa," desis Jaka Soka.
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan. "Aku tidak dapat
mengira kekuatan apa yang telah membantu orang itu,
sehingga ia dapat berbuat sedemikian mengagumkan."
Jaka Soka tidak menjawab. Tampaknya ia sedang
berpikir keras. Akhirnya setelah dipertimbangkan bolak-balik
ia mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu
serta mengurungkan maksudnya menculik gadis yang
memiliki keris Sigar Penjalin milik Ki Ageng Pandan Alas.
Katanya kemudian kepada Mahesa Jenar, "Mahesa Jenar,
ternyata aku salah duga kepadamu. Karena itu baiklah kali
ini aku mengaku kalah dan mengurungkan niatku menculik
gadis cantik itu. Aku merasa bersyukur, bahwa kau tidak
mempergunakan ilmumu yang menurut Paman Pasingsingan disebut Sasra Birawa, ketika melawan aku.
Kalau demikian halnya, maka aku kira aku pun akan jadi
lumat. Juga benar apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo,
bahwa Pandan Alas benar-benar berada di segala tempat.
Sekarang baiklah aku pergi dulu. Sampai lain kali." Selesai
mengucapkan kata-kata itu, segera dengan lincahnya Jaka
Soka alias Ular Laut yang terkenal sebagai bajak laut yang
bengis itu meloncat dan lenyap diantara lebatnya hutan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tinggallah kini Mahesa Jenar seorang diri. Pikirannya
dipenuhi oleh berbagai masalah dan persoalan. Tetapi yang
penting adalah mengatur rombongan itu kembali. Dan
kemudian membicarakan kemungkinan-kemungkinan lebih
lanjut. Ketika Mahesa Jenar sampai di tempat rombongan,
ia melihat bahwa beberapa orang telah tampak mulai agak
tenang kembali. Terutama para pengawal. Malahan ada
diantaranya yang sudah dapat mengatur barang-barangnya.
Meskipun demikian mereka masih saja nampak ketakutan.
Ternyata ketika mereka mendengar gemerisik daun yang
disebakkan oleh Mahesa Jenar, mereka masih terkejut juga.
Tetapi ketika mereka melihat, bahwa yang datang adalah
Mahesa Jenar, perasaan mereka nampak lega. Malahan ada
yang berlari-lari menyambut dan langsung berjongkok dan
menyembahnya. Terutama sepasang suami-istri yang telah
minta kepadanya untuk membawa bebannya. Kedua orang
itu menyembah sambil menangis minta diampuni. Segera
Mahesa Jenar pun menenangkan mereka, serta segera
minta agar para pengawal menyalakan api.
Sebentar kemudian beberapa orang telah mengumpulkan
kayu, serta apipun segera dinyalakan.
Mereka, seluruh anggota rombongan, telah duduk
mengelilingi api yang menyala-nyala dan menjilat-jilat ke
udara. Daun-daun di atas nyala api itu bergerak-gerak
seperti menggapai-gapai kepanasan. Malam pun segera
turun dengan cepatnya. Pepohonan serta dedaunan
nampak seperti diselimuti oleh warna yang hitam kelam. Di
sana-sini mulai terdengar kembali suara-suara binatang
malam. Pada wajah-wajah di sekeliling api itu, masih menggores
rasa cemas dan takut. Kejadian-kejadian siang tadi sangat
berkesan di hati mereka. Pertarungan-pertarungan dahsyat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dan kejadian-kejadian yang aneh terjadi berturut-turut
seperti peristiwa-peristiwa dalam mimpi yang menakutkan.
Terutama gadis cantik yang hampir-hampir saja menjadi
sumber bencana. Ia masih saja merasa bahwa dirinya
bersalah sehingga rombongan itu mengalami kekacauan, ia,
bahkan hampir dimusnahkan, kalau tidak secara kebetulan
ada seorang perkasa yang melindunginya. Karena itu ia
masih saja belum berani memandang wajah-wajah kawan
seperjalanannya. Sejenak kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh Mahesa
Jenar yang berkata kepada orang-orang dalam rombongan
itu. Katanya, "Kawan-kawan, bahaya tidak lagi bakal
datang, setidak-tidaknya malam ini. Karena itu tenanglah
dan beristirahatlah. Aku kira kalian sehari penuh masih
belum juga makan. Sekarang kesempatan itu ada. Sesudah
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu kalian bisa tidur nyenyak seperti tadi malam."
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, mereka serentak
diperingatkan oleh rasa lapar yang semula tak dihiraukan.
Segera diantara mereka membuka bekal-bekal mereka,
tetapi tidak sedikit diantara anggota rombongan itu yang
sudah tidak punya rasa lapar lagi. Juga sesudah itu, tak
seorang pun yang dapat merasa kantuk.
Sejenak kemudian mulailah Mahesa Jenar berunding
dengan para pengawal, tentang bagaimana baiknya
rombongan tersebut. Menurut pendapat Mahesa Jenar, sebaiknya rombongan
itu tidak meneruskan perjalanan. Sebab kalau pada langkah
pertamanya mereka sudah menemui kesulitan, kelanjutannya pun akan tidak menguntungkan. Kemungkinan-kemungkinan yang tak menguntungkan
adalah banyak sekali. Lawa Ijo, terang, bahwa ia tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berdiri sendiri. Ia adalah seorang pemimpin dari sebuah
gerombolan yang cukup besar. Hanya sekarang gerombolan
itu seakan-akan sedang dibekukan. Tetapi, kalau sampai
mereka mendengar, bahwa kepala mereka dilukai, mereka
pasti tidak akan tinggal diam. Karena itu, selagi masih ada
waktu, sebaiknya rombongan itu besok pagi berangkat
kembali ke tempat semula.
Tak seorang pun diantara mereka yang dapat menolak
pendapat ini. Memang pada umumnya mereka telah
dihinggapi perasaan takut yang luar biasa. Untunglah,
bahwa pada saat itu datang Mahesa Jenar menolong
mereka. Kalau tidak, mereka pasti sudah jadi bangkai.
Tetapi dalam suasana yang demikian, mendadak gadis
cantik yang merasa dirinya bersalah, berkata kepada
Mahesa Jenar, "Tuan, aku terpaksa tidak dapat menerima
saran Tuan untuk kembali. Sebab aku memang tidak punya
tempat untuk kembali. Tetapi aku juga tidak dapat
memaksa rombongan ini berjalan terus. Karena itu, baiklah
kalau rombongan ini berjalan kembali dengan para
pengawal, aku akan berjalan sendiri melanjutkan perjalanan
ke Pliridan. Hanya sebagai bekal perjalanan, aku minta
kerisku tadi dikembalikan kepadaku. Sebab kalau aku
bertemu seorang seperti pemuda yang akan menculik aku,
sebaiknyalah kalau aku bunuh diri."
Gadis itu mengucapkan kata-katanya dengan mata sayu
diwarnai oleh hatinya yang putus asa. Ia merasa tidak
berhak lagi berkumpul dengan orang-orang serombongannya. Sebab ia telah merasa berbuat kesalahan
yang tak termaafkan. Mahesa Jenar dan beberapa orang tampak mengerutkan
keningnya. Memang dalam keadaan terjepit, ada diantara
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka yang sampai hati mengumpati gadis itu. Tetapi
dalam keadaan yang demikian, timbul pulalah perasaan iba
terhadapnya. GadiS itu menundukkan kepalanya semakin dalam.
Matanya yang bulat, nampak mengambang air mata yang
ditahan sekuat-kuatnya. "Tak ada jalan buat kembali," ujarnya lirih.
Dalam kata-kata itu, ternyata bahwa ada sesuatu rahasia
yang menyelubungi diri gadis itu.
Tiba-tiba Mahesa Jenar ingin mengetahui lebih banyak
lagi tentang diri gadis itu, yang sampai saat itu masih belum
dikenal namanya. "Siapakah sebenarnya kau ini?" tanya Mahesa Jenar
kemudian, "Serta apakah hubunganmu dengan Ki Ageng
Pandan Alas"." Gadis itu mengangkat mukanya sedikit, jawabnya, "Tuan,
sebenarnya aku sama sekali tidak mengenal siapakah Ki
Ageng Pandan Alas itu. Kalau aku memiliki keris yang tuan
hubungkan dengan nama Pandan Alas, adalah diluar
pengetahuanku. Aku menerima keris itu dari almarhum
ibuku, sedangkan ibu menerimanya dari kakek. Seorang
petani miskin yang sedang merantau mencari daerah baru,
dan sekarang menurut almarhum ibuku, kakek itu tinggal di
daerah Pliridan. Dan sama sekali tak bernama Pandan Alas,
tetapi bernama Ki Santanu, sedangkan aku sendiri dinamai
oleh ayahku, Rara Wilis."
Mahesa Jenar mendengarkan jawaban gadis yang
bernama Rara Wilis itu dengan seksama. Pengakuannya,
bahwa ia sama sekali tak mengenal Ki Ageng Pandan Alas
semakin menarik perhatian Mahesa Jenar. Mendadak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berkilatlah dalam hatinya, suatu keinginan untuk mengetahui rahasia yang menyelubungi gadis itu. Sehingga
berkatalah Mahesa Jenar, "Bapak-bapak para pengawal,
serta saudara-saudara seperjalanan.
Barangkali aku mempunyai suatu cara yang dapat memenuhi kehendak
kalian. Sebaiknya kalian kembali dengan para pengawal,
mungkin tak akan banyak menemui halangan, sedangkan
gadis ini, yang berkeras hendak melanjutkan perjalanan dan
menemui kakeknya, biarlah aku antarkan saja. Sebab
perjalanan ke Pliridan bukanlah suatu pekerjaan yang
ringan." Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu melonjaklah
kegirangan di hati Rara Wilis. Tiba-tiba matanya yang
berkaca-kaca itu jadi berkilat-kilat. Tetapi sebentar
kemudian kembali perasaan kegadisannya menguasai
dirinya, sehingga wajahnya jadi kemerah-merahan, serta
kembali ia menundukkan mukanya.
Mahesa Jenar pun menangkap perubahan wajah Rara
Wilis. Dan tidak disadarinya hatinya pun bergoncang.
Sebaliknya beberapa orang lain menjadi kecewa mendengar
keputusan Mahesa Jenar untuk tidak menyertai mereka
kembali. Sebab bersama sama dengan Mahesa Jenar,
mereka semua merasa bahwa keamanan mereka terjamin.
Sementara itu kembali Mahesa Jenar berunding dengan
para pengawal, serta memberi petunjuk mengenai
beberapa kemungkinan. Sehingga akhirnya terdapat suatu
keputusan, bahwa mereka semuanya akan kembali dengan
para pengawal, sedangkan Mahesa Jenar sendiri akan
mengantar Rara Wilis sampai ke Pliridan.
Demikianlah pada malam itu hampir tak seorang pun
dapat tidur, kecuali beberapa orang, karena lelah lahir dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
batin, seakan-akan terlena sambil bersandar di pokok
pepohonan. Berbeda dengan siang tadi, dimana hari
seakan-akan berlari demikian cepatnya, malam itu rasa-
rasanya tak bergerak. Suara binatang malam, serta desiran
angin rimba terasa sangat menjemukan dan menakutkan.
Mereka semua mengharap agar malam lekas berakhir.
Sehingga cepat-cepat mereka dapat pergi meninggalkan
tempat yang mengerikan itu.
Baru setelah mereka mengalami kejemuan yang luar
biasa, terdengar ayam rimba berkokok bersahut-sahutan.
Dari celah-celah kelebatan dedaunan hutan, tampaklah
membayang warna merah di langit. Segera orang-orang itu
semua mengatur barang-barangnya dan menyiapkan diri
untuk menempuh perjalanan yang berlawanan dengan yang
ditempuhnya kemarin, kecuali Rara Wilis yang setelah
menerima kembali kerisnya akan melanjutkan perjalanannya ke Pliridan, diantar oleh Mahesa Jenar
sendiri. ----------odwOkzo-----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Maka setelah semuanya bersiap, serta setelah para
pengawal dan mereka yang mengadakan perjalanan sekali
lagi mengucapkan terimakasih kepada Mahesa Jenar,
mulailah mereka berangkat kembali. Di depan sendiri
berjalan pengawal tua itu dengan senjata di tangan. Baru
setelah rombongan itu lenyap dibalik pepohonan, Rara Wilis
beserta Mahesa Jenar pun berangkat melanjutkan
perjalanan ke barat, ke daerah Pliridan.
Di perjalanan, tidak banyak yang mereka percakapkan,
kecuali apabila Mahesa Jenar memandang perlu untuk
memberitahukan tempat-tempat berbahaya atau binatang
binatang berbisa. Tetapi perjalanan Mahesa Jenar sekarang bertambah
laju, karena tidak harus bersama-sama dengan rombongan
yang besar. Sekali dua kali Mahesa Jenar pun harus berlaku
seperti pemimpin rombongan pengawal, menuntun bahkan
menggendong Rara Wilis apabila jalan sangat sulit,
meskipun keduanya agak segan-segan. Tetapi terpaksalah
hal itu dilakukan. Sebab memang sekali dua kali mereka
menjumpai rintangan yang berat.
Demikianlah mereka berjalan terus seakan-akan tak
mengenal lelah. Bagi Rara Wilis, perjalanan ini, meskipun
melewati daerah hutan yang tak kalah liarnya dengan yang
ditempuh kemarin, tetapi rasanya tidak begitu berat.
Bahkan setelah lebih dari setengah hari ia berjalan, sama-
sekali tak terasa lelah olehnya, haus ataupun lapar.
Perjalanan yang begitu sulit itu bagaikan sebuah
tamasya, diantara kehijauan ladang serta keindahan taman.
Gemerisik daun kering yang dilemparkan oleh angin,
terdengar merdunya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Rara Wilis sendiri tidak begitu menyadari, kenapa hatinya
menjadi sedemikian bening dan cerah.
Tidak banyak hal yang mereka temui di perjalanan.
Ketika malam datang, mereka beristirahat di bawah sebuah
pohon yang cukup besar. Setelah rumput-rumput liar di
bawah pohon itu dibersihkan, segera Rara Wilis
merentangkan tikarnya, sedangkan Mahesa Jenar mengumpulkan kayu dan kemudian menyalakan api.
Malam itu pun dilampauinya dengan tak ada sesuatu
yang terjadi. Pagi-pagi setelah mereka mempersiapkan diri,
segera perjalanan pun dilanjutkan.
Perjalanan itu masih harus melampaui satu malam lagi.
Maka pada hari ketiga itu, Rara Wilis serta Mahesa Jenar
menempuh perjalanan yang terakhir untuk mencapai
daerah Pliridan. Demikianlah, ketika matahari telah miring ke barat, hutan
Tambakbaya semakin lama semakin bertambah tipis.
Pepohonan tidak lagi selebat dan liar seperti daerah
pedalaman. Sementara itu terasa debaran jantung yang
aneh dalam dada Rara Wilis. Telah lebih sepuluh tahun ia
tak berjumpa dengan kakeknya. Sekarang, ia ingin
mencarinya di daerah yang tak dikenalnya.
Sebentar kemudian mereka telah sampai pada perbatasan hutan. Di depan mereka tinggallah beberapa
grumbul kecil yang tidak begitu berarti.
"Inilah daerah Pliridan," gumam Mahesa Jenar hampir
kepada dirinya sendiri. Mendengar ucapan Mahesa Jenar, Rara Wilis yang
berjalan di depan jadi terhenti. Beberapa macam perasaan
bercampur aduk di otaknya. Sekali ia menarik nafas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
panjang. Alangkah lega hatinya setelah hutan yang lebat itu
dapat dilewatinya. Tetapi sementara itu lalu kemana ia mesti pergi"
Sekali dua kali ia menoleh kepada Mahesa Jenar.
Wajahnya yang cerah itu menjadi agak suram oleh
kebimbangan hatinya. Mahesa Jenar dapat menangkap
perasaan Rara Wilis. Katanya, "Rara Wilis, dapatkah kau
menunjukkan di daerah manakah kira-kira kakekmu
tinggal?". Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Memang ia sama
sekali tak mengerti arah tempat tinggal kakeknya. Ia hanya
mendengar, bahwa kakek itu tinggal di daerah Pliridan.
Mahesa Jenar pun sementara itu menjadi agak
berbimbang pula. Ia beberapa tahun yang lalu pernah
mengenal daerah ini. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang,
ternyata mengalami banyak perubahan.
"Tuan," kata Rara Wilis dengan penuh keragu-raguan,
"Aku sama sekali tidak membayangkan kalau demikianlah
keadaan daerah Pliridan. Menurut gambaran angan-
anganku. Pliridan adalah sebuah desa yang dilingkungi oleh
persawahan dan ladang. Tetapi ternyata daerah ini
hanyalah padang rumput yang diselingi oleh gerumbul-
gerumbul liar."
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi aku kira tidaklah demikian seluruhnya, Rara Wilis.
Beberapa tahun yang lalu, desa-desa seperti yang kau
bayangkan itu memang pernah ada. Entahlah kenapa
sekarang keadaan itu berubah. Meskipun demikian aku
yakin, bahwa di sekitar daerah ini masih juga didiami orang.
Karena itu baiklah kita coba mencarinya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Di wajah Rara Wilis masih saja membayang kebimbangan
hatinya, bahkan kebimbangan itu kemudian berubah
menjadi suatu ketakutan. Bagaimanakah kalau ia tak dapat
menemui kakeknya" Pastilah, bahwa Mahesa Jenar tak akan
dapat terus-menerus menemaninya. Melihat perubahan
wajah Rara Wilis, Mahesa Jenar pun menangkap
perasaannya, karena itu ia mencoba menghiburnya. "Rara
Wilis, tak usah kau merasa takut. Aku masih mempunyai
perasaan kuat, bahwa di sini masih didiami orang.
Seandainya tidak demikian, maka aku bersedia mengantar
kau pulang ke rumah ayahmu."
Tetapi akibat perkataan itu adalah sebaliknya dari yang
diharapkan. Karenanya Mahesa Jenar menjadi terkejut
sekali ketika dilihatnya Rara Wilis malahan meneteskan air
mata. Meskipun sudah ditahan sekuat-kuatnya.
Sekarang Mahesa Jenar yang kebingungan. Sekali lagi ia
merasa demikian tumpulnya perasaannya. Ia pernah
mengalami suasana yang bersamaan, meskipun keadaannya berbeda. Yaitu pada waktu ia berhadapan
dengan Nyai Wirasaba. Pada saat itu juga ia menjadi
kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan.
Sekarang Rara Wilis itu pun menangis di hadapannya
tanpa sebab. Justru pada saat ia berusaha untuk
menghiburnya. Karena itu perasaannya menjadi tidak enak
sekali. Tetapi setelah ia mempunyai sebuah pengalaman yang
tak menyenangkan, ia tidak lagi mau menebak-nebak. Maka
terlintaslah dalam pikirannya, bahwa jalan yang terbaik
adalah menanyakan sebabnya, kenapa Rara Wilis menangis.
Mendapat pikiran yang demikian, Mahesa Jenar menjadi
agak lega sedikit. Dan dengan hati-hati sekali ia mencoba
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bertanya. "Rara Wilis, aku telah mencoba untuk
menenangkan hatimu, tetapi justru akibatnya adalah
sebaliknya. Karena itu, dapatkah aku menanyakan, apakah
sebabnya kau menangis?"
Rara Wilis tidak segera menjawab. Ia melangkah
beberapa kali ke samping, dan kemudian menjatuhkan
dirinya duduk di rumput-rumput liar. Dari matanya masih
saja terurai tetesan-tetesan airmata. Baru setelah beberapa
saat, ia menjawab dengan kata-kata yang tersekat-sekat.
"Tuan, aku merasa bersyukur, bahwa aku dapat berjumpa
dengan seorang yang demikian baik hati seperti Tuan.
Karena itu tak adalah jalan bagiku untuk menyatakan
terima kasihku yang tak terhingga. Tetapi sangatlah
menyesal Tuan ..., bahwa kalau aku tak dapat menemukan
kakekku, aku tak dapat kembali kepada ayahku. Meskipun
ayahku dahulu tergolong orang yang berada, tetapi tak
adalah tempat bagiku di sana."
Mahesa Jenar menjadi semakin menebak-nebak tentang
keadaan gadis aneh itu. Rupanya banyak rahasia yang
menyelubungi dirinya, sehingga ia terpaksa menempuh
perjalanan yang sedemikian berbahayanya.
"Rara Wilis," tanyanya kemudian, "aku bukanlah ingin
terlalu banyak mengetahui tentang dirimu, tetapi bagiku
kau adalah seorang gadis yang diselubungi oleh kabut
rahasia yang kelam."
"Mungkin Tuan benar," jawab Rara Wilis, "Tetapi buat
tuan tidaklah sepantasnya kalau aku menyembunyikan
sesuatu rahasia." Matanya yang bulat tetapi sayu itu
memandang Mahesa Jenar, seperti mata kanak-kanak yang
minta perlindungan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang
harus dilakukan. Di luar kesadarannya ia pun ikut serta
duduk diatas rumput-rumput liar.
"Tuan," Rara Wilis mulai dengan ceritanya, "ayahku
adalah seorang yang banyak mempunyai pengaruh di
daerah Pegunungan Kidul. Meskipun daerah itu tandus dan
kering, tetapi ayahku mempunyai peternakan yang cukup,
sehingga dapatlah ia digolongkan orang berada. Tetapi
ibuku adalah keturunan orang yang miskin. Kakekku
semasa masih tinggal di Pegunungan Kidul, tidaklah lebih
dari seorang buruh yang bekerja dengan upah yang sangat
kecil. Meskipun demikian kakek termasuk orang yang tidak
mau menjadi beban orang lain. Sepuluh tahun yang lalu
kakek yang merasa kehidupannya semakin hari semakin
sulit, terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman.
Memang sebelum itupun kakek adalah seorang perantau.
Mungkin ini disebabkan oleh kehidupannya yang sulit,
sehingga pada saat-saat tertentu, yaitu pada saat paceklik,
kakek pergi meninggalkan kampung untuk beberapa bulan.
Tetapi sejak 10 tahun yang lalu, kakek tidak kembali
pulang. Meskipun pada masa kanak-kanakku, apabila kakek
berada di rumah, selalu digendongnya kemana ia pergi.
Kepergiannya tidak terlalu lama mempengaruhi perasaanku.
Sebab ayah dan ibuku selalu memanjakan aku. Tetapi
akhir-akhir ini terjadilah peristiwa-peristiwa yang merusak
kehidupan damai itu. Beberapa tahun yang lalu, di kampung
halamanku, datanglah seorang perempuan dari Bagelen.
Kelakuannya tidaklah seperti lazimnya perempuan- perempuan di daerah kami. Di daerah kami banyak
pendekar yang ternama, termasuk ayahku yang bernama Ki
Panutan. Tetapi tidaklah biasa seorang perempuan jadi
pendekar. Berbeda halnya dengan perempuan pendatang
itu. Ternyata ia adalah seorang pendekar perempuan, yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak diduga-duga. Ia pun telah dapat mengalahkan
beberapa pendekar ternama di daerah kami." Rara Wilis
berhenti sejenak. Alisnya tampak berkerut. Ia mencoba
mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah berlaku.
"Tuan ...," sambungnya beberapa saat kemudian.
"Keanehan perempuan itu tidak saja pada kependekarannya, tetapi juga pada tingkah lakunya.
Kadang-kadang ia bersikap garang dan kasar seperti halnya
pendekar laki-laki di daerah kami. Tetapi kadang-kadang ia
menjadi lunak dan mesra, penuh sifat halus seorang wanita.
Rupanya gabungan dari kedua sifat-sifat itulah yang
telah memecahkan kebahagiaan rumah-tangga kami. Sebab
ternyata hubungan perempuan itu dengan ayahku semakin
hari semakin rapat. Ibuku adalah perempuan lugu, yang
hanya dapat bekerja di dapur dan meladeni seorang suami
seperti apa yang dilakukan perempuan-perempuan lain di
desa kami. Ibuku tidaklah dapat memberi saran, nasihat
atau apapun semacam itu kepada ayahku sebagai seorang
pendekar. Juga ibuku tidak pandai merayu hati laki-laki.
Dan karena itulah maka semakin dekat ayahku dengan
perempuan pendatang itu, semakin jauh ia dari ibuku.
Rupanya hal itu dapat dilihat oleh penduduk di daerah kami,
sehingga menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan. Tetapi lebih daripada itu, ayah pun
perangainya seakan-akan berubah. Ia pun kemudian
mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Minum minuman
keras dan hal-hal kasar lainnya. Kepadaku pun ayah
menjadi semakin jauh pula.
Alangkah benciku kepada perempuan itu, seperti ia juga
sangat benci kepadaku. Bahkan ia selalu menyakitiku tanpa
ada pembelaan dari ayah, apalagi ibu yang hanya dapat
memelukku dan menangisi. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Waktu itu, tak banyak yang dapat aku ketahui, selain
pada suatu hari datanglah beberapa orang pendekar
terkenal, yang dulu adalah sahabat-sahabat ayahku. Tanpa
kuketahui sebab-sebabnya, mereka bertempur melawan
ayahku serta perempuan pendatang itu. Rupanya ayahku
memang seorang pendekar pilihan dan perempuan itu pun
tak kalah garangnya. Sehingga meskipun ayah dan
perempuan itu dikerubut, tetapi dapat juga memberi
perlawanan yang berarti. Ibuku sendiri waktu itu tak dapat
berbuat lain, kecuali memelukku dan menangis sejadi-
jadinya di belakang dapur rumah kami.
Akhirnya ..., bagaimanapun kuatnya ayahku serta
perempuan pendatang itu, namun tidaklah dapat menahan
arus kemarahan pendekar-pendekar ternama di dareh kami
yang demikian banyak jumlahnya. Sehingga sejak itu,
ayahku pergi dengan perempuan pendatang itu, dan tidak
pernah kembali. Sejak itu pula ibu selalu menanggung kesedihan yang
tak terhingga, meskipun anehnya, tetangga-tetangga
bersikap baik sekali. Bahkan para pendekar yang
mengerubut ayahku, bersikap manis sekali kepada ibuku.
Bahkan istri-istri mereka selalu berusaha untuk dapat
bercakap-cakap dan menghibur ibuku. Tetapi rupanya ibuku
lebih suka mengurung dirinya serta membenamkan diri
dalam duka." Kata Rara Wilis, "beberapa tahun kemudian
membayanglah puncak kesedihan yang bakal terjadi. Ibuku
sakit. Semakin lama sakit itu semakin keras dan seolah-olah
sudah terasa, bahwa sakit itu tak akan dapat diobati.
Ternak kami yang sekian banyaknya, kekayaan kami, tidak
dapat membendung arus kematian yang semakin lama
semakin deras bergulung-gulung menghantam tebing-
tebing kehidupan ibuku. Maka setelah beberapa tahun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kemudian dari kepergian ayahku, ibuku menutup mata,
serta meninggalkan keris yang Tuan namakan Sigar Penjalin
itu kepadaku, sebagai suatu bukti bahwa aku adalah
keturunan Ki Santanu dari Pegunungan Kidul. Jadi sama
sekali bukan Ki A geng Pandan Alas dari Wanasaba.
Maka akupun akhirnya merasa, bahwa aku tidak dapat
hidup tanpa ada satu pun yang aku cintai. Meskipun aku
mendapat warisan yang cukup banyak, tetapi semuanya itu
tak berarti bagi hidupku yang kering." Rara Wilis mengakhiri
ceriteranya dengan sedu-sedan yang seperti meledak dari
rongga dadanya. Mahesa Jenar mendengarkan ceritera Rara Wilis itu
dengan penuh haru. Rupanya kegersangan hati gadis itulah
yang mendorongnya untuk menempuh jalan yang sangat
berbahaya, mencari kakeknya, sekadar untuk dapat
menyangkutkan cinta serta harapannya. Mungkin ia
mengharapkan kakeknya suka kembali ke kampung
halaman, untuk bersama-sama hidup dalam suasana yang
hanya dapat dikenangnya kembali.
Tetapi, meskipun Mahesa Jenar dapat ikut serta
sepenuhnya merasakan betapa keringnya hidup tanpa
sangkutan cinta, namun ia tidak dapat berbuat suatu untuk
menenangkan hati gadis cantik itu. Oleh karenanya ia
menjadi gelisah sendiri. Perlahan-lahan ia berdiri lalu
berjalan mondar-mandir tanpa tujuan.
Sementara itu, matahari telah hampir menyelesaikan
perjalanannya yang sunyi mengarungi langit. Cahayanya
yang masih ketinggalan, tampak gemerlapan di atas
punggung-punggung bukit. Mahesa Jenar masih saja berjalan mondar-mandir
dengan gelisahnya. Dalam hatinya berkecamuk perasaan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
heran yang tiada habis-habisnya. Bagaimana mungkin
seorang ayah dapat melupakan putrinya, hanya karena
seorang perempuan yang tak dikenal asal-usulnya,
sehingga ia telah melepaskan hari depan gadisnya serta
hari depan garis keturunannya"
Beberapa saat kemudian, ketika Rara Wilis telah menjadi
agak tenang, Mahesa Jenar pun segera mempersilahkannya
untuk berjalan kembali. Sebab bagaimanapun Mahesa Jenar
masih mengharapkan untuk dapat menjumpai seseorang di
daerah ini. Perjalanan di daerah ini tidaklah sesulit berjalan di hutan.
Mereka hampir tidak pernah menemui rintangan-rintangan
yang berarti. Setelah mereka berjalan beberapa saat, tiba-tiba Mahesa
Jenar berhenti. Matanya memandang ke satu arah dengan
tajamnya, dan sejenak kemudian ia meloncat beberapa
langkah, lalu berjongkok, mengamati sesuatu. Rara Wilis
terkejut bercampur heran melihat tingkah laku Mahesa
Jenar. Ia pun segera berlari dan ikut serta mengamati arah
yang sama. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Karena itu
dengan herannya ia bertanya, "Tuan, adakah Tuan melihat
sesuatu" " "Rara Wilis .... Lihat rumput-rumput ini," jawab Mahesa
Jenar. Rara Wilis memandang rumput yang ditunjuk oleh
Mahesa Jenar itu dengan seksama, tetapi ia tetap tidak
melihat sesuatu. "Ada apa dengan rumput-rumput itu"," tanyanya.
"Lihatlah, rumput ini rebah dan patah-patah. Lihatlah di
tempat itu, juga terdapat hal yang sama, juga di sebelah
sana dan sana. Kau tahu artinya" Apalagi di tempat yang
tanahnya agak gembur ini."
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Rupanya otak Rara Wilis pun tidak begitu tumpul,
sehingga ia berteriak menebak. "Telapak kaki manusia ...?"
"Ya," sahut Mahesa Jenar. "Telapak kaki yang masih agak
baru. Pasti seseorang baru saja melewati daerah ini.
Mungkin ia adalah penduduk daerah Pliridan ini, atau
mungkin...." Mahesa Jenar tidak melanjutkan perkataannya.
Tetapi Rara Wilis dapat menangkap kelanjutannya.
"Mudah-mudahan bukanlah penjahat-penjahat itulah
yang sengaja dikirim untuk mematai-matai perjalanan kita"
katanya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak. Otaknya
bekerja keras untuk mencoba menebak, siapakah kira-kira
yang meninggalkan bekas tapak kaki yang masih segar itu.
Menurut pendapatnya, ada empat kemungkinan, yaitu
penduduk setempat, Jaka Soka, Pasingsingan, atau Ki
Ageng Pandan Alas. Diam-diam ia membandingkan telapak
kaki itu dengan telapak kakinya sendiri. Ternyata telapak
kaki itu agak lebih dalam. Menurut pendapatnya, pastilah
orang itu adalah orang yang gemuk sekali, atau orang yang
membawa beban agak berat. Tiba-tiba terlintaslah dalam
benaknya, bahwa Pasingsingan adalah kemungkinan yang
paling dekat, sebab Pasingsingan dalam perjalanannya
kembali ke Pasiraman mendukung Lawa Ijo yang terluka.
Dan tidaklah mustahil kalau jalan ini dilewati, sebab arah
perjalanannya sesuai dengan arah jalan ini.
Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar. Ia tidak ingin
menggelisahkan hati gadis itu. Karena itu ia menjawab,"
Tidaklah begitu penting Rara Wilis, tetapi sebaiknya kita
beralih jalan." Rara Wilis mengerutkan dahinya, otaknya memang cukup
cerdas, karena itu ia menjawab, "Kalau Tuan sampai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menganggap perlu untuk menempuh jalan lain, pastilah ada
sesuatu yang sangat penting. Katakanlah Tuan, supaya aku
tidak usah menebak-nebak."
Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain, kecuali
mengatakan segala sesuatu yang berkecamuk di dalam
otaknya. Rara Wilis pun sependapat dengan pikiran itu.
Maka mereka memutuskan untuk mencari jalan lain.
Demikianlah mereka meninggalkan dan menjauhi jalan
setapak yang paling mungkin dilalui orang. Mereka
membelok ke arah selatan, menyusup gerumbul-gerumbul
kecil menuju ke arah pepohonan yang agak lebat di depan
mereka. Mungkin di daerah itu terdapat mata air, atau
tempat yang aman untuk bermalam, atau sukurlah kalau
didiami orang. Ketika mereka sampai, ternyata tempat itu tidak juga
ditinggali manusia. Memang, di sana terdapat sebuah mata
air yang mengalirkan air cukup deras, dan ditampung dalam
sebuah telaga yang hijau bening.
Pada saat itu, matahari telah sampai di garis cakrawala.
Sinarnya sudah tidak lagi dapat menembus takbir gelapnya
malam, yang turun perlahan-lahan, tetapi pasti akan
menelan bumi. Mehesa Jenar pun segera mengadakan persiapan untuk
bermalam. Hanya untuk kali itu, menurut pertimbangan
Mahesa Jenar, sebaiknyalah kalau tidak menyalakan api,
meskipun Mahesa Jenar sadar bahwa andaikata bekas-
bekas kaki tadi benar-benar bekas kaki Pasingsingan,
pastilah ia tidak sengaja akan menjebaknya. Sebagai orang
seperti Pasingsingan, apabila dikehendaki tentu tidak akan
meninggalkan jejak sedemikian jelasnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Meskipun demikian Mahesa Jenar harus selalu tetap
waspada. Dipersilahkan Rara Wilis untuk beristirahat,
berbaring di atas tikar yang masih saja dibawanya ke mana-
mana. Sedang Mahesa Jenar sendiri duduk bersandar
pohon sambil memperhatikan suasana di sekitarnya.
Alam pun segera menjadi hitam. Untunglah, bahwa bulan
yang remaja menghiasi langit diantara taburan bintang-
bintang. Sehingga sinarnya yang remang-remang dapat
menembus dedaunan yang tidak begitu lebat seperti
lebatnya hutan. Mata Mahesa Jenar yang tajam itu selalu menembus
keremangan malam untuk menangkap tiap-tiap gerakan
yang mungkin mencurigakan. Tetapi tiba-tiba saja mata itu
terbanting ke tubuh seorang gadis cantik yang berbaring
diam di depannya. Dengan demikian jantungnya berdesir
cepat tanpa sesadar. Ia pernah bertemu, melihat dan berkenalan dengan
puluhan bahkan ratusan gadis cantik. Bahkan ia pernah
berkenalan dengan seorang yang menurut pendapatnya
memiliki kecantikan yang sempurna, yaitu Nyai Wirasaba.
Tetapi tidaklah pernah ia merasakan suatu getaran yang
aneh seperti dirasakannya pada malam itu. Diam-diam
Mahesa Jenar memandangi tubuh yang terbaring seperti
sebuah golek kencana itu. Dari ujung kakinya, tangannya,
dadanya sampai ke rambutnya yang bergerak-gerak dibelai
angin malam yang berhembus lirih.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebagai
manusia biasa, Mahesa Jenar juga kadang-kadang
membayangkan suatu rumahtangga yang tenteram dan
lumrah. Tetapi segera Mahesa Jenar dapat langsung
memandang ke dirinya sendiri. Ia tidak lebih dari seorang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perantau yang akan menjelajahi desa demi desa, hutan
demi hutan, untuk mengabdikan keyakinannya. Untuk itu,
maka masih banyaklah yang harus dikerjakan.
Karenanya, oleh kesadarannya tentang dirinya, maka
segala perasaan-perasaan yang berdesir di hatinya
terhadap gadis cantik itu segera didesak sekuat-kuatnya.
Maka dengan serta merta direnggutkannya pandangannya dari tubuh Rara Wilis, dan segera
dilemparkan kembali ke arah bayang-bayang daun dan
ranting-ranting yang selalu bergerak-gerak, seolah-olah
sedang mengganggunya. Sedang angin malam yang berdesir di dedaunan masih
saja menyapu wajahnya, dan sekali-sekali terdengar di
kejauhan ringkik kuda liar yang terkejut mendengar
teriakan-teriakan anjing hutan.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja ia
terbanting kembali ke dalam suasana yang kini sedang
dihadapi. Suatu daerah asing yang diliputi oleh suasana
yang membahayakan. Segera diangkatnya kepalanya, serta
diperhatikannya keadaan di sekelilingnya dengan saksama.
Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang luas,
Mahesa Jenar mendapatkan suatu firasat, bahwa ada
sesuatu yang mencurigakan. Mendadak telinganya yang
tajam itu mendengar suara berdesir lambat sekali. Tetapi
Mahesa Jenar sudah cukup mendapat gambaran bahwa
seseorang datang mendekatinya. Orang itu pasti bukanlah
orang yang mempunyai ilmu yang terlalu tinggi. Sebab
gerak serta pernafasannya tidaklah dikuasainya dengan
baik. Karena itu sekaligus Mahesa Jenar dapat mengetahui
dari arah mana orang itu datang. Tetapi ia tidak segera
mengadakan tindakan apa-apa. Ia ingin mengetahui lebih
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dahulu, apakah kira-kira maksud orang itu mengintainya.
Karena itu ia tetap duduk di tempatnya, serta bersikap
seperti tak mengetahuinya. Meskipun dalam keadaan yang
demikian ia sudah bersiaga untuk menghadapi segala
kemungkinan. Suara berdesir itu pun semakin lama semakin jelas, serta
suara tarikan nafasnya semakin memburu pula. Tetapi pada
jarak tertentu suara itu tidak lagi maju. Rupanya orang itu
baru mempersiapkan diri untuk menyerang.
Mendadak Mahesa Jenar terkejut ketika mendengar
suara itu mundur dan menjauh. Segera Mahesa Jenar tahu,
bahwa orang itu tidak bermaksud menyerang, tetapi hanya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengintai saja. Hal yang demikian itu malahan akan dapat
mengandung bahaya yang lebih besar. Karena itu segera
Mahesa Jenar bangkit dan dengan beberapa loncatan saja
ia sudah berdiri di samping orang yang mengintainya.
Orang itu terkejut. Mahesa Jenar yang dikira tidak
mengetahui kehadirannya, kini tiba-tiba sudah ada di
sampingnya. Karena itu tidaklah mungkin ia dapat
melepaskan diri. Dengan demikian ia menghentikan
langkahnya, dan tidak ada jalan lain kecuali mendahului
menyerang. Orang itu segera mengangkat goloknya, dan
dengan sekuat tenaga dibabatnya pundak Mahesa Jenar.
Mendapat serangan yang tiba-tiba, Mahesa Jenar menjadi
terkejut pula. Ternyata meskipun orang itu tidak dapat
menguasai pernafasannya dengan baik, tetapi ia mempunyai keistimewaan pula.
Mendengar desing golok yang terayun deras sekali,
Mahesa Jenar barulah dapat mengukur kekuatan tenaga
orang asing itu. Ketika golok itu sudah hampir menyinggung
tubuhnya, segera Mahesa Jenar berkisar sedikit, serta
meloncat selangkah ke samping. Dengan demikian golok
yang tak mengenai sasarannya itu terayun deras sekali,
sehingga oran gyang memegangnya agak kehilangan
keseimbangan. Dalam keadaan yang demikian Mahesa
Jenar segera meloncat maju dan menangkap pergelangan
tangan orang itu, langsung diputarnya ke belakang. Dengan
sekali dorong, orang itu telah jatuh tertelungkup dan tidak
dapat bergerak lagi, kecuali berdesis menahan sakit.
"Kau siapa"," tanya Mahesa Jenar geram. Tetapi orang
itu tidak menjawab. Demikianlah sampai Mahesa Jenar
mengulangi pertanyaan itu dua kali. Akhirnya Mahesa Jenar
menjadi jengkel dan menekan punggung orang itu semakin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kuat serta memutar tangan yang terpuntir itu semakin
keras, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.
"Kalau kau tidak menjawab," desak Mahesa Jenar,
"tanganmu akan aku patahkan,"
Rupanya orang itu pun masih merasa perlu memiliki
tangan sehingga dengan terpaksa menjawab, "Aku adalah
Sagotra." "Apa maksudmu mengintai kami" " desak Mahesa Jenar
lebih lanjut. Kembali orang itu diam saja. Mahesa Jenar
menjadi semakin jengkel, dan ia menekan orang itu lebih
keras lagi, sehingga orang itu mengaduh lebih keras pula.
"Jawablah! Atau tanganmu betul-betul patah." Mahesa
Jenar makin geram. "Tak ada gunanya kau memaksa aku berkata lebih
banyak lagi," jawabnya. Rupa-rupanya ia harus merahasiakan tugasnya betul-betul, sehingga sampai ke
ajalnya kalau perlu. "Keadaanku sudah pasti," sambungny, "berkata atau tidak
berkata, aku akan menemui kematian. Karena itu biarlah
aku mati dengan menggenggam rahasia."
Mahesa Jenar kagum juga melihat kejantanan orang itu,
sampai berani menantang maut. Tetapi ia ingin untuk
mendapat keterangan tentang maksud orang itu, yang pasti
tidak baik. Maka setelah mendapat suatu cara ia berkata,
"Baiklah, kalau kau tidak mau berkata. Aku hormati
kejantananmu. Tetapi janganlah tanggung-tanggung. Aku
ingin melihat pameran kesetiaan. Kau pernah mendengar
cerita, bahwa di daerah ini banyak terdapat Ngangrang
Salaka..." " Mendengar Mahesa Jenar menyebut Ngangrang Salaka,
tengkuk orang itu serentak meremang. Jantungnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berdegup hebat, sampai tubuhnya terasa gemetar.
Ngangrang Salaka adalah sejenis semut ngangrang yang
luar biasa buas serta rakusnya. Binatang apapun yang
sampai terperosok ke sarangnya pasti hancur dimakannya.
Keluarga semut itu membuat sarang di bawah pohon-pohon
yang sudah membusuk, dengan memerlukan tanah 10 atau
15 langkah persegi. Tubuh semut itu besarnya tidak terpaut
banyak dengan semut ngangrang biasa, hanya warnanya
yang merah mempunyai beberapa baris-baris putih perak.
Mahesa Jenar merasakan, bahwa kata-katanya mempunyai akibat pada orang itu. Dengan demikian ia
melanjutkan, "Kalau kau belum pernah mendengar, baiklah
kau akan aku perkenalkan dengan semut itu. Tetapi
sebelumnya lebih baik kalau kakimu aku patahkan dulu
supaya kau tidak dapat lari darinya." Selesai mengucapkan
kata-kata itu, segera Mahesa Jenar melepaskan tangan
orang itu. Tetapi segera pula menangkap kaki dan
melipatnya. Pergelangan kaki kirinya dijepitkan pada lipatan
lutut kaki kanan, sedang tangan Mahesa Jenar siap
mematahkan pergelangan kaki kanan orang itu. "Jangan...,
jangan...!" teriak orang itu tiba-tiba. "Bunuhlah aku dengan
cara lain. Tetapi aku jangan kau siksa di sarang semut
Salaka" "Itu adalah urusanku." jawab Mahesa Jenar seenaknya,
"Sekehendakkulah untuk memilih cara bagaimana sebaiknya
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuh kau,". Tampaknya Mahesa Jenar betul-betul akan melaksanakan ucapannya itu, karenanya maka kembali
orang itu berteriak, "Jangan, jangan, bunuhlah aku dengan
cara lain." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kembali Mahesa Jenar tertawa dingin. "Seorang yang
telah berani menyatakan dirinya sebagai pengemban tugas,
seharusnya tidak takut menghadapi segala macam bahaya."
"Aku sama sekali tidak takut mati." teriak orang itu,
"Tetapi cara kematian yang demikian adalah mengerikan
sekali. Lepaskan aku dan biarlah aku bunuh diri".
Kembali Mahesa Jenar mengagumi orang itu, tetapi
keterangan yang diperlukan harus didapatnya. Maka
katanya, "Kalau kau mau berkata, aku beri kau kebebasan
untuk memilih jalan kematian."
Lagi orang itu diam menimbang-nimbang. Rupanya
terjadi pergolakan hebat di dalam dirinya. Baru ketika
Mahesa Jenar menekan pergelangan kakinya ia berteriak,
"Baiklah aku berkata asal aku dibebaskan dari siksaan
ngangrang Salaka." "Baiklah...," jawab Mahesa Jenar, "berkatalah." Lalu
dilepaskannya pergelangan kaki orang itu, dan ia
melangkah satu langkah surut. Mengalami perlakuan yang
demikian, orang itu ternyata sangat terkejut. Ia tidak tahu
maksud lawannya yang dengan begitu saja telah
melepaskan tangkapannya. Sehingga untuk beberapa saat
ia tetap tertelungkup tanpa bergerak, sampai Mahesa Jenar
menegurnya, "Duduklah dan berkatalah."
Kembali ia tersentak mendengar tegur Mahesa Jenar.
Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di hadapan Mahesa
Jenar. Sementara itu Mahesa Jenar telah pula duduk
menghadapi orang yang menamakan dirinya Sagotra.
Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang
hampir tak berkedip. Rupanya ia sedang mencoba
memahami sikapnya. Mula-mula Sagotra menganggap
bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang bengis dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kejam, seperti yang tiap-tiap hari dilihat di dalam tata
pergaulannya. Tetapi kemudian seperti orang yang sama
sekali tidak menaruh prasangka apa-apa, ia dilepaskan.
Kalau hal itu disebabkan karena keyakinan akan
kemenangannya, pastilah ia tidak bersikap sedemikian
lunak. Mungkin ia sudah diangkatnya tinggi-tinggi, diputar
di udara, lalu dibantingnya ke tanah. Barulah setelah
setengah mati, disuruhnya ia berkata. Atau mungkinkah
segala-galanya akan dilakukan nanti setelah ia selesai
berkata" Sebab menurut pertimbangannya, tidaklah
mungkin orang yang melakukan pengintaian seperti apa
yang dilakukannya itu akan dilepaskan, karena akibatnya
akan membahayakan. Mengingat hal itu, Sagotra menjadi
ngeri. Mahesa Jenar menangkap kebimbangan hati Sagotra.
"Sagotra, berkatalah. Aku hanya ingin keteranganmu, lebih
daripada itu tidak."
Sagotra sama sekali tidak mengerti maksud Mahesa
Jenar. Tetapi meskipun demikian ketakutannya menjadi
jauh berkurang. Menilik sikap, kata-kata serta maksudnya,
pastilah Mahesa Jenar bukan orang yang bengis dan kejam.
Karena itu Sagotra menjadi malu kepada diri sendiri. Bahwa
orang yang dipercaya untuk melakukan tugas ini dapat
luluh hatinya hanya oleh gertakan saja. Tetapi disamping itu
ia menjadi kagum pada Mahesa Jenar yang mempunyai
sifat-sifat yang tak pernah dijumpainya dalam tata
pergaulan di sarangnya. Tiba-tiba saja ia merasa kengerian
dan kejemuan untuk dapat bertemu dengan gerombolannya
kembali, yang tidak pernah merasakan betapa indahnya
hidup manusia yang dapat menikmati terbitnya fajar, serta
bulatnya bulan. Serta betapa tenteramnya hidup ini apabila
ia berkesempatan mengagungkan alam. Lebih-lebih SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
penciptanya, Tuhan Yang Maha Agung. Hal yang demikian
tidaklah pernah dialami selama Sagotra hidup di dalam
sarang gerombolannya, dimana setiap saat hanyalah
berlaku hukum kekerasan dan pembunuhan bagi mereka
yang tidak mentaati peraturan.
"Tuan," katanya kemudian, "Benarkah Tuan yang
bernama Rangga Tohjaya?"
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan.
"Aku telah mendapat tugas untuk mencari Tuan,"
lanjutnya. Kembali Mahesa Jenar mengangguk perlahan, katanya,
"Sekarang aku sudah kau ketemukan."
"Ya, aku sudah menemukan Tuan. Tetapi keperkasaan
Tuan jauh diatas dugaanku. Sehingga Tuan tanpa menoleh
dapat melihat kedatanganku."
"Tetapi kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kau
temukan aku" Bahkan kau hanya mengintip lalu pergi?"
Sagotra membetulkan duduknya, lalu jawabnya, "Memang, aku hanya mendapat perintah untuk menemukan
tempat Tuan. Sesudah itu aku harus melaporkan. Sebab
kami yakin, bahwa untuk menangkap Tuan diperlukan 10
sampai 20 orang yang tergolong tingkat atasan dalam
gerombolan kami." "Kau ini sebenarnya termasuk gerombolan apa?" tanya
Mahesa Jenar kemudian. Kembali orang itu ragu-ragu. Dengan menyebutkan nama
gerombolannya, mungkin sangat tidak menguntungkan
baginya. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang
sama sekali tidak memancarkan rasa permusuhan, hatinya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
agak tenang sedikit. Meski dengan jantung berdegup,
berkatalah Sagotra, "Tuan, sebenarnya aku sama sekali
tidak berani menyebut nama gerombolanku, sebab aku tahu
bahwa Tuan mempunyai persoalan yang mendalam dengan
pemimpinku. Meskipun demikian, karena sikap Tuan yang
tak pernah aku temui dalam gerombolan kami, menimbulkan kepercayaan pada diriku, bahwa Tuan
mempunyai kepribadian lain daripada orang-orang kami."
Orang itu berhenti sejenak untuk meyakinkan kata-katanya
sendiri. Lalu sambungnya, "Tuan... kami adalah gerombolan
Lawa Ijo." Pengakuan itu sama sekali tidak mengejutkan hati
Mahesa Jenar. Memang ia sudah mempunyai dugaan bahwa
kemungkinan terbesar orang itu datang dari gerombolan
Lawa Ijo atas perintah Pasingsingan. Hanya kecepatan
mereka bertindak itulah yang mengagumkan.
"Sagotra, kata Mahesa Jenar kemudian, Aku dengar
gerombolan kini sedang dibekukan. Benarkah itu?"
"Benar, Tuan." Jawab Sagotra, "Tetapi meskipun
demikian, kami, beberapa orang tetap dalam tugas kami.
Sedang orang lain yang tidak diperlukan diperkenankan
untuk sementara meninggalkan sarang kami. Tetapi kami
25 orang yang merupakan anggota inti di bawah pimpinan
Wadas Gunung, saudara muda seperguruan Lawa Ijo, harus
selalu bersiap untuk setiap saat bertindak."
Mendengar nama Wadas Gunung, Mahesa Jenar jadi
teringat kepada Watu Gunung, yang menurut Samparan
juga merupakan saudara muda seperguruan dengan Lawa
Ijo. Karena itu ia bertanya, "Sagotra, kenalkah kau dengan
Watu Gunung?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya, pastilah aku kenal." jawab Sagotra, "Ia adalah
saudara kembar Wadas Gunung. Dan kedua-duanya
saudara seperguruan Lawa Ijo. Aku juga sudah mendengar
kabar yang dibawa oleh Ki Pasingsingan, bahwa Watu
Gunung telah Tuan binasakan ketika ia sedang mengunjungi kampung kelahirannya. Serta karena itu
pulalah sekarang kami 20 orang di bawah pimpinan Wadas
Gunung sendiri sedang mencari Tuan."
Mendengar keterangan terakhir dari Sagotra ini hati
Mahesa Jenar tergoncang pula, 20 orang sedang
mencarinya. Sementara itu Sagotra melanjutkan, "Tetapi
anehlah Tuan, bahwa kali ini Ki Pasingsingan salah hitung.
Hal seperti ini belum pernah terjadi. Kami telah mendapat
petunjuk untuk mencegat Tuan di suatu tempat. Menurut
perhitungan Ki Pasingsingan, pada hari ini menjelang
malam Tuan pasti sampai ke tempat itu. Tetapi ternyata
perhitungan itu meleset. Dan tuan telah mengambil jalan
lain menghindari tempat yang telah kami persiapkan untuk
menjebak Tuan. Karena itu, kami lima orang telah
disebarkan untuk mencari Tuan."
Mahesa Jenar mendengarkan keterangan Sagotra dengan
penuh perhatian. Akhirnya ia bertanya, "Kapankah
Pasingsingan sampai ke sarang gerombolanmu" "
"Kemarin lusa, " jawab Sagotra.
"Kemarin lusa?" ulang Mahesa Jenar dengan herannya.
Sulit baginya untuk membayangkan kecepatan berjalan
Pasingsingan. Ditambah lagi ketika ia teringat telapak kaki
yang masih tampak baru, yang ditemuinya sore tadi.
Mahesa Jenar menjadi bertambah heran lagi. Sampai
kemudian ia bertanya, "Adakah orang lain yang kau temui
lewat jalan yang seharusnya aku lalui?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tidak Tuan, tidak ada." Jawab sagotra, "Kalau ada,
pastilah orang itu kami tangkap. Sebab pasti orang itu kami
sangka Tuan, karena diantara kami tidak ada yang pernah
mengenal wajah Tuan, kecuali hanya ciri-ciri Tuan yang
digambarkan oleh Ki Pasingsingan."
Mahesa Jenar menjadi bertambah heran. Adakah pihak
ketiga yang sengaja memberi tanda kepadanya supaya
mengambil jalan lain" Ia jadi bingung menimbang-nimbang.
Tetapi sampai sekian lama tak dapat ia memecahkan teka-
teki itu. Satu-satunya kemungkinan yang membayang di
kepala Mahesa Jenar hanyalah Ki Ageng Pandan Alas.
Belum lagi masalah telapak kaki bisa dipecahkan, mereka
melihat di arah sebelah selatan warna merah membayang
di udara. Pasti di sana ada orang yang menyalakan api.
Segera Mahesa Jenar ingat, bahwa Wadas Gunung beserta
20 orangnya sedang bersiap menghadangnya. Tetapi
menilik arahnya, pasti bukan mereka itu.
"Sagotra...," kata Mahesa Jenar kemudian. "Kawan-
kawanmukah yang menyalakan api itu" "
Sagotra memandang pula ke arah warna merah yang
mewarnai keremangan malam. Ia menggeleng perlahan.
Lalu jawabnya, "Bukan Tuan. Itu pasti bukan kawan-kawan.
Mereka menghadang Tuan tidak di arah itu."
"Lalu siapakah menurut pendapatmu yang menyalakan
api itu?" Sagotra tampak berpikir sejenak dan akhirnya ia
menjawab, "Tuan, mungkin itu adalah orang tua yang agak
kurang waras, yang merupakan satu-satunya penghuni
daerah ini." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Satu-satunya?" sahut Mahesa Jenar agak terkejut. "Jadi
didaerah ini tidak lagi ditinggali manusia kecuali orang tua
itu?" Sagotra menggelengkan kepalanya. "Tidak, Tuan."
katanya kemudian, "Memang daerah ini sekarang sama
sekali kosong, kecuali seorang itu"
"Sagotra," Mahesa Jenar ingin mendapat penjelasan lebih
banyak, "beberapa tahun yang lalu, aku pernah menempuh
perjalanan melewati daerah ini. Di sini banyak aku
ketemukan perkampungan-perkampungan yang dilingkungi
oleh sawah serta ladang. Tetapi, sekarang aku sama sekali
tidak lagi melihat sebuah desa pun di sini. Bahkan seperti
yang kau katakan bahwa di sini tidak lagi ditinggali manusia
kecuali seorang itu saja."
"Benar Tuan," jawab Sagotra, "beberapa tahun yang lalu
memang daerah ini merupakan daerah yang cukup ramai.
Tetapi, sejak Lawa Ijo menghentikan kegiatannya, daerah
ini menjadi daerah yang paling banyak mengalami
keributan. Penjahat-penjahat kecil yang mula-mula sama
sekali tidak berani melakukan kegiatannya di wilayah ini,
seolah-olah mendapat kesempatan untuk berbuat sekehendaknya tanpa ada pengekangan. Pada saat Lawa
Ijo masih melakukan kegiatan, daerah ini merupakan salah
satu daerah yang merupakan lumbung dari gerombolan
kami, yang secara teratur harus menyerahkan semacam
pajak. Tetapi, di samping itu daerah ini mendapatkan
perlindungan langsung dari gerombolan kami, sehingga tak
adalah gerombolan lain yang berani mengganggunya. Baru
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah itu, setelah Lawa Ijo melepaskan wajib pajak bagi
penduduk di daerah ini, serta sejalan dengan pembekuan
gerombolan kami untuk sementara, maka penduduk di
daerah ini tidak lagi dapat melepaskan diri dari keganasan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
gerombolan-geombolan kecil itu. Sehingga semua penduduknya dalam waktu yang singkat sekali telah pergi
mengungsi. Kecuali satu orang itu"
"Kenapa orang itu tidak pergi?" tanya Mahesa Jenar
seterusnya. "Tidakkah dia takut menghadapi keganasan
gerombolan-gerombolan itu" Ataukah dia sedemikian
hebatnya sehingga tak seorang pun berani mengganggunya...?" " Tidak, Tuan...." sahut Sagotra, "Ia sama sekali tidak
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 41 Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Seruling Sakti 11
kepada gadis seperti itu. Baginya, gadis-gadis demikian
hanyalah akan mempersulit diri saja.
"Lawa Ijo," sambung Jaka Soka ketika Lawa Ijo lama tak
menjawab, "seharusnya kau tak usah takut kepada Pandan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Alas. Sebab Paman Pasingsingan tentu tidak akan tinggal
diam andaikata Pandan Alas salah duga terhadapmu
mengenai masalah ini".
Mendengar desakan terakhir ini, Lawa Ijo tampak
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bagi mereka
yang menyaksikan, anggukan kepala Lawa Ijo itu bagaikan
melihat jatuhnya palu keputusan hukuman mati bagi
mereka semua. Maka terjadilah kegemparan di antara mereka. Beberapa
orang telah menangis merintih-rintih minta diampuni dan
diselamatkan jiwanya. Mereka bersumpah untuk tidak
membuka mulut tentang peristiwa ini kepada siapa pun.
Beberapa orang lagi jatuh pingsan, dan yang lain menggigil
ketakutan. Dalam keadaan yang demikian, terasalah kesetiakawanan
mereka hancur lumat demi keselamatan masing-masing.
Bahkan ada diantara mereka yang sampai hati terang-
terangan mengumpati gadis yang sama sekali tak bersalah
itu. Di dalam keributan itu, tiba-tiba gadis cantik itu berdiri
tegak. Kepalanya terangkat dan dadanya menengadah.
Lenyaplah kesan-kesan ketakutan dan kecemasan yang
membayang di wajahnya. Dari mulutnya yang mungil itu
terdengarlah suaranya yang gemetar. "Saudara-saudara
seperjalanan... aku minta maaf kalau kehadiranku diantara
saudara-saudara menyebabkan saudara-saudara menemui
kesulitan. Tetapi ketahuilah bahwa orang ini tidak akan
berguna membunuh saudara-saudara sekalian, sebab aku
telah memutuskan untuk bunuh diri." Kemudian gadis itu
berpaling kepada Mahesa Jenar, katanya, "Ki Sanak, aku
berterima kasih kepadamu, atas usahamu menyelamatkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
jiwaku. Tetapi adalah lebih berharga jiwa dari sekian
banyak orang termasuk ki sanak sendiri, daripada aku
seorang. Karena itu berikanlah keris itu kembali kepadaku."
Sudah tentu Mahesa Jenar tidak dapat berpangku tangan
menyaksikan semua itu terjadi. Ia telah berjanji kepada
dirinya sendiri, mengabdikan diri bagi kedamaian hati rakyat
dan kemanusiaan. Sebab dengan demikian ia telah
mengabdikan dirinya pula kepada tanah tumpah darah dan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia menjadi terharu
mendengar ucapan gadis yang menyediakan diri sebagai
tumbal keselamatan sekian banyak orang. Tetapi belum lagi
ia sempat menjawab, terdengar suara Jaka Soka
memerintah, "Perantau tolol. Jangan kau serahkan
kepadanya, supaya aku selamatkan jiwamu. Berikan saja
keris itu kepadaku."
Tetapi Mahesa Jenar sudah mendapat suatu ketetapan.
Apalagi ketika ia mendengar bahwa Jaka Soka akan
membunuh semua orang yang ada, hanya untuk merampas
seorang gadis. Sedangkan gadis itu sendiri sama sekali
tidak menghendakinya. Karena itu, dengan sikap seekor banteng, Mahesa Jenar
melangkah, lalu berdiri diantara gadis yang pucat itu.
Wajahnya memancarkan kebulatan tekadnya, apapun yang
akan dihadapi. Meskipun ia harus melawan Jaka Soka dan
Lawa Ijo sekaligus. Dengan tenangnya pula ia menjawab
kata-kata Jaka Soka. "Jaka Soka yang dikenal sebagai
seorang Bajak Laut yang menakutkan. Buat apa aku
mengharap kau membebaskan jiwaku. Kalau aku terpaksa
berkubur di tengah-tengah hutan Tambak Baya ini. Karena
aku membela kebenaran, aku sama sekali tidak akan
menyesal. Karena itu selagi aku masih bernafas, kau tak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akan dapat menyentuh gadis yang belum aku kenal
sebelumnya ini." Jawaban Mahesa Jenar ini hebat akibatnya. Muka Jaka
Soka segera berubah menjadi merah membara, dibakar
oleh kemarahannya. Kalau tadi ia melihat orang itu dapat
bergerak begitu cepat, baginya bukanlah ukuran bahwa
orang itu cukup berharga untuk dilawannya. Apalagi
sebelum itu, perantau tolol itu telah melawannya bersama-
sama dengan ketujuh orang pengawal, dan sama sekali tak
menunjukkan keistimewaan apa-apa. Meskipun demikian,
dalam hati Jaka Soka mengakui, bahwa orang itu benar-
benar orang tolol yang berani.
Selain itu, kata-kata Mahesa Jenar ternyata mempunyai
akibat yang mengejutkan pula terhadap para pengawal.
Dengan tak terduga sama sekali, pemimpin pengawal yang
telah agak lanjut usia itu tiba-tiba meloncat ke samping
Mahesa Jenar. Dengan penuh tanggung jawab ia berkata,
"Jaka Soka, aku pun pernah mendengar kebesaran
namamu. Dan sekarang aku sempat menyaksikan pula.
Bahkan sekaligus aku dapat mengetahui betapa biadabnya
Bajak Laut dari Nusa Kambangan ini. Karena itu, bagaimana
aku berani berlagak di hadapanmu. Tetapi karena kali ini
aku sedang dibebani oleh suatu tanggung jawab, maka
bersama-sama perantau yang belum aku kenal ini, aku
bersedia menjadi banten. Apa artinya sisa umurku yang
tinggal beberapa tahun lagi, kalau dilumuri oleh suatu
pengkhianatan akan tugas yang dibebankan di pundakku...." "Cukup!" potong Jaka Soka. Tetapi suaranya terputus
sampai sekian, karena getaran kemarahannya. Wajahnya
menjadi semakin merah. Giginya gemeretak, sedangkan
matanya seolah-olah memancarkan api, seperti perapian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang masih menyala-nyala. Apalagi ketika dilihatnya
kesembilan pengawal yang lain pun tiba-tiba serentak
berdiri dengan teguhnya menggenggam senjata masing-
masing demikian eratnya. Seakan-akan teguhnya ingin
mengatakan, bahwa gugurlah mereka dalam tugasnya
dengan senjata di tangan.
Tetapi kembali terjadi hal yang sama sekali tak diduga-
duga. Orang yang dianggapnya sebagai perantau tolol yang
menumpang berjalan, bahkan ada di antara mereka yang
memberikan beban dengan menyanggupinya untuk memberi upah sekedarnya itu, berkata dengan lantangnya
kepada pemimpin pengawal itu. "Bapak ..., Bapak telah
lanjut usia. Apalagi orang yang dilawan bukan sembarang
orang. Karena itu minggirlah. Biarlah aku yang berumur
sebaya melawannya, untuk mewakili mereka yang berhati
kecil, sekecil hati kelinci, sehingga kehilangan rasa
kesetiakawanan mereka. Bahkan ada yang sampai hati
menyalahkan gadis ini pula. Tetapi karena aku tidak
sepantasnya mempergunakan keris Sigar Penjalin milik
seorang sakti ini, baiklah keris ini aku titipkan kepadamu.
Janganlah gadis ini diberi kesempatan untuk bunuh diri
sebelum kita semua binasa."
Karena pengaruh perbawa kata-kata Mahesa Jenar itu,
maka orang tua itu seolah-olah diluar sadarnya menerima
keris Sigar Penjalin. Sementara itu Lawa Ijo rupanya benar-
benar tak mau terlibat dalam persoalan ini. Karena itu ia
bersikap sebagai seorang penonton saja, yang kemudian
malahan perlahan-lahan duduk pada sebuah akar pohon.
Sedang Jaka Soka kini telah sampai pada puncak
kemarahannya. Meskipun demikian ia masih ingat pada
harga dirinya. Segera pedang kecilnya disarungkan ke
dalam tongkat hitam manis, dan melemparkan tongkat itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kepada Lawa Ijo. Geramnya, "Lawa Ijo, tolong bawakan
tongkatku ini," kata Jaka. Lalu katanya kepada Mahesa
Jenar, "Setan. Kau berani meremehkan aku. Aku harap kau
maju bersama-sama, supaya cepat selesai pekerjaanku.
Membunuh kalian. Semua. Tak seorang pun akan aku
sisakan." Segera sesudah itu Jaka Soka bersiap untuk menghancur-lumatkan orang yang telah berani menghinanya. Sementara itu Mahesa Jenar pun telah
bersiap pula. Sebab ia tahu benar bahwa lawannya itu
adalah orang yang mendapat sebutan Ular Laut yang Ganas
dari Nusa Kambangan. Mereka yang menyaksikan adegan itu, hatinya berdegub,
dipenuhi oleh bermacam-macam persoalan. Meskipun ada
juga yang merasa tersentuh oleh sindiran Mahesa Jenar,
bahwa tak seorang pun diantara mereka yang berani
membela gadis yang sedang dalam kesulitan itu. Bahkan
ada pula yang mengumpatinya, kecuali para pengawal yang
merasa memikul tanggung jawab.
Tetapi tak seorang pun dari mereka yang menaruh setitik
harapan kepada perantau yang tolol meskipun berani itu.
Bahkan ada yang menganggap kelakuan Mahesa Jenar itu
hanya akan menambah kemarahan Jaka Soka, sehingga
akan mempercepat kematian mereka tanpa pertimbangan
lagi. Sedang gadis cantik itu sendiri memandang Mahesa
Jenar sebagai orang yang aneh. Setelah menyaksikan
Mahesa Jenar bersama-sama dengan para pengawal tak
dapat memenangkan perkelahian melawan pemuda tampan
yang ternyata bernama Jaka Soka itu, tiba-tiba sekarang ia,
si perantau itu, ingin melawannya seorang diri. Tetapi,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
disamping perasaan itu, timbul pula suatu perasaan lain
yang asing dalam diri gadis itu. Suatu perasaan dimana ia
ingin mendapatkan perlindungan dari orang yang aneh itu
lebih daripada yang lain-lain, juga lebih daripada para
pengawal itu sendiri, meskipun ia tidak tahu apakah orang
itu akan dapat melakukannya.
Sesaat kemudian, kembali terdengar Jaka Soka
menggeram hebat. "Sebenarnya sayanglah tanganku ini
dikotori oleh darah kelinci seperti tampangmu itu. Tetapi
karena kau adalah kelinci yang paling tak tahu diri, maka
terpaksa aku ingin menguliti tubuhmu."
Kata-kata itu benar-benar menyeramkan. Tetapi lebih-
lebih lagi ketika orang-orang itu melihat tangan Ular Laut
itu menjulur dengan dahsyatnya ke arah tulang-tulang iga
Mahesa Jenar. Rupanya Jaka Soka yang seakan sedang gila
dibakar oleh kemarahannya itu, ingin membunuh lawannya
dengan pukulan yang pertama.
Mereka yang menyaksikan gerak Jaka Soka itu tersirat
darahnya. Beberapa orang memejamkan matanya, sebab
menurut dugaan mereka tulang-tulang iga perantau tolol itu
segera akan rontok seluruhnya. Bahkan beberapa orang
segera memegangi dada masing-masing, se-olah-olah
tulang iga merekalah yang akan lepas berderai-derai.
Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar telah
benar-benar siap dan waspada. Sebab ia tahu bahwa
lawannya bukanlah lawan biasa, tetapi ia adalah seorang
pemuda yang mempunyai nama di kalangan aliran hitam.
Meskipun demikian ia kagum juga melihat kegesitan Ular
Laut itu. Melihat serangan yang datang dengan dahsyatnya,
segera Mahesa Jenar dengan cepatnya pula mengelak ke
samping. Seterusnya ia tidak mau membuang-buang waktu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lagi. Karena itu, ketika ia berhasil membebaskan diri dari
serangan pertama Jaka Soka, segera ia membuka serangan
pula. Sebuah serangan dengan kakinya menyambar perut
lawannya. Tetapi Jaka Soka bukan anak kemarin sore.
Ketika ia merasa bahwa serangannya yang pertama gagal,
segera ia mengubah sikapnya dan dengan satu gerakan
melingkar ia berhasil mengelakkan serangan Mahesa Jenar.
Sebaliknya Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang
berpengalaman. Melihat lawannya menghindar, cepat-cepat
ia memotong arah dan tahu-tahu ia sudah berada di muka
Jaka Soka kembali, sekaligus menyerang dengan tangkasnya ke arah leher lawannya. Jaka Soka menjadi
terperanjat bukan buatan. Apalagi sebelumnya ia memandang orang itu sebagai seorang yang tak berarti
meskipun mempunyai cukup keberanian. Dengan demikian
kewaspadaannya jadi berkurang. Karena itu, ketika dengan
tak diduganya sama sekali lawannya itu dapat bergerak
dengan lincahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri. Mau
tidak mau ia harus melawan serangan itu dengan sebuah
pertahanan yang rapat, kalau ia tidak mau binasa.
Karena itu terjadilah suatu benturan yang dahsyat.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahesa Jenar telah mempergunakan sebagian besar
tenaganya, sedangkan Jaka Soka pun telah mengerahkan
kekuatannya pula. Akibatnya adalah hebat sekali. Tubuh
Mahesa Jenar bergetar hebat dan ia terdorong surut
kebelakang. Jaka Soka pun terlempar beberapa depa, dan
kemudian meski sudah berusaha, ia tak berhasil menguasai
keseimbangan tubuhnya. Sehingga ia jatuh beberapa kali
berguling, barulah ia berhasil meloncat tegak kembali.
Mengalami hal ini, dada Jaka Soka serasa akan pecah.
Darahnya mendidih dan menggelagak sampai kepala. Ia
sama sekali tidak mengira, bahwa lawannya, yang dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pandangannya semula tidaklah lebih dari seekor kelinci
yang tidak tahu diri itu, ternyata memiliki tenaga yang
demikian dahsyatnya. Karena itu, matanya menjadi semakin
menyala. Tahulah Jaka Soka sekarang, kenapa tadi ia sama
sekali tidak berhasil membunuh seorang pun dari para
pengawal yang mengeroyoknya. Rupanya orang ini tidak
saja kebetulan menubruk kawan-kawannya, melemparnya
dengan pasir pada saat tepat tongkatnya hampir
menyambar korban, kemudian jatuh bergulingan menimpa
beberapa orang yang dadanya hampir rontok oleh
tongkatnya. Hal itu pastilah disengaja untuk menyelamatkan para pengawal itu. Sebab ternyata bahwa
orang itu mempunyai kepandaian yang luar biasa.
Sedang Mahesa Jenar sendiripun terkejut pula mengalami benturan itu. Ternyata tenaga Jaka Soka pun
dahsyat, sehingga ia tergetar surut. Dalam hal ini Mahesa
Jenar sadar, bahwa Jaka Soka terlalu menganggapnya tak
berarti, sehingga apabila Jaka Soka sungguh-sungguh
menggempurnya dengan segenap kekuatan dan ilmunya,
maka keadaannya pasti akan lain. Bahkan mungkin
keadaannya akan berimbang.
Sesaat kemudian, baik Jaka Soka maupun Mahesa Jenar
telah mempersiapkan diri kembali untuk memulai perkelahian. Mereka berdua sadar, bahwa kekuatan mereka
tidak terpaut banyak. Maka kunci kemenangan dari
pertempuran ini terletak dalam kepandaian serta keprigelan
mereka membawakan diri dalam keadaan-keadaan yang
genting. Sebentar kemudian perkelahian itu segera mulai kembali
dengan sengitnya. Cara berkelahi Jaka Soka itu benar-benar
seperti ular. Melingkar, melilit lawannya dan mematuk
dengan jari-jarinya demikian dahsyatnya. Geraknya cepat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dan licin tak terduga-duga. Sedangkan Mahesa Jenar
bersikap lebih tenang. Ia bertempur seperti seekor banteng
yang teguh, kokoh dan tangguh. Ia tidak begitu banyak
bergerak, tetapi demikian tubuhnya berkisar, menyambarlah udara maut ber-putar-putar.
Maka berlangsunglah perkelahian itu demikian dahsyatnya. Mereka bergerak sambar menyambar diantara
pepohonan hutan, sehingga terdengarlah suara berderak
batang-batang patah kena sambaran tangan mereka yang
keras bagaikan besi. Mereka yang menyaksikan pertempuran itu telah berlari-
lari berpencaran. Sedang dalam otak mereka berkecamuk
seribu satu pertanyaan mengenai diri perantau aneh itu.
Setelah mereka menyaksikan betapa hebat tenaganya,
serta betapa dahsyat caranya bertempur, mereka menjadi
kebingungan. Adanya Jaka Soka diantara mereka, serta munculnya
Lawa Ijo dengan tiba-tiba itu saja, telah cukup
memeningkan kepala mereka. Apalagi keputusan Jaka Soka
untuk membunuh mereka semua, karena mereka menyaksikan perbuatannya, menculik seorang gadis. Dan
sekarang, tiba-tiba di hadapan mereka muncul seorang lagi,
yang semula mereka anggap sama sekali tak berarti, tetapi
ternyata dapat mengimbangi ketangkasan Jaka Soka.
Karena itu, pastilah akan muncul pula sebuah nama
diantara mereka yang akan mengejutkan pula. Nama orang
yang mereka sangka perantau tolol itu.
Di saat yang sedemikian tegangnya, dimana berputar-
putar udara yang bernafaskan maut, pecahlah fajar di ujung
Timur. Cahayanya yang kuning kemerah-merahan melimpah ke persada bumi yang dipenuhi oleh segala
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
macam pertentangan. Pertentangan-pertentangan yang
mudah diselesaikan, pertentangan-pertentangan yang sulit
diselesaikan, bahkan kadang-kadang terdapat pertentangan-pertentangan yang tak mungkin dipecahkan.
Meskipun cahaya kemerahan itu masih begitu lemah
untuk dapat menerangi pedalaman hutan yang lebat, tetapi
berkas-berkas cahayanya yang menerobos dedaunan,
sedikit banyak telah dapat pula menyibak gelapnya malam,
dan mengurangi kepekatan rimba, menggantikan cahaya
perapian yang telah terlalu lama padam.
Maka makin lama semakin tampak jelaslah dua bayangan
yang sedang mati-matian mengadu tenaga itu.
Sementara itu Lawa Ijo telah mengikuti pertempuran itu
dengan saksama. Di dalam hati ia memuji juga keuletan
Jaka Soka yang pada akhir tahun ini akan bersama-sama
mengadakan semacam pertandingan dengan beberapa
orang lainnya, termasuk dirinya. Diam-diam ia merasa
mendapat keuntungan dengan kejadian itu. Sebab dengan
demikian ia dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan
Jaka Soka, yang pada akhir tahun ini pasti akan menjadi
salah seorang lawannya yang berat. Karena itu sejak
pertempuran berkobar, perhatiannya terikat kepada setiap
gerak Jaka Soka. Tetapi, setelah pertempuran itu berlangsung agak lama,
Lawa Ijo menangkap gerak-gerak yang menarik perhatiannya dari lawan Jaka Soka. Maka segera
perhatiannya beralih. Gerak orang ini demikian tenang,
kokoh dan tangguh. Pastilah ia bukan orang sembarangan.
Sesaat kemudian mendadak Lawa Ijo terkejut sekali sampai
ia meloncat selangkah ke depan. Matanya dengan tajamnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengawasi setiap gerak Mahesa Jenar sampai matanya
seolah-olah mau meloncat dari kepalanya.
Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu pada gerak-gerak
Mahesa Jenar. Gerakan-gerakan yang pernah dilihatnya,
bahkan pernah dialami kedahsyatannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
V Maka dengan suatu gerakan yang cepat sekali, secepat
sambaran halilintar, ia meloncat maju ke tengah-tengah
arena pertempuran. Sementara itu dengan nyaringnya
mulutnya berteriak, "Jaka Soka, minggirlah!"
Baik Jaka Soka maupun Mahesa Jenar serentak terkejut
mendengar seruan itu. Apalagi ketika mereka melihat
bahwa Lawa Ijo telah meloncat ke tengah-tengah mereka.
Maka sesaat pertempuran itu terhenti, dan tanpa berjanji
lebih dahulu, mereka bersama-sama meloncat selangkah
surut. Wajah Jaka Soka masih merah membara sebagai
ungkapan kemarahan yang menyala di dalam dadanya.
Katanya, "Lawa Ijo, apalagi yang kau maui dariku sehingga
kau hentikan perkelahian ini. Meskipun aku tidak segera
dapat membunuh orang yang sombong ini, tetapi aku
sudah bertekad untuk melayani sampai berapa hari pun,
bahkan bertahun-tahun sampai salah seorang dari kami
hancur". "Kau benar Soka," sahut Lawa Ijo, "tetapi sudah aku
katakan, bahwa daerah ini adalah daerahku, sehingga
kaupun harus menurut angger-anggerku,".
Jaka Soka memandang Lawa Ijo dengan mata yang
menyalakan api kemarahan katanya, "Apalagi yang kau
kehendaki dariku?". "Aku tak menghendaki apa-apa lagi daripadamu, Soka,"
jawab Lawa Ijo, "kecuali serahkan orang ini kepadaku,".
Mata Jaka Soka bertambah berapi-api lagi. Sahutnya,"Lawa Ijo, apakah kau sudah memandang aku
sedemikian rendahnya sehingga kau perlu menolong aku?".
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lawa Ijo mendengus pendek. Sambil menggeleng ia
berkata, "Sama sekali tidak, kawan. Tetapi seperti yang kau
katakan tadi, bahwa yang aku hadiahkan kepadamu
hanyalah gadis itu saja. Dan sekehendakmulah kalau yang
lain-lain akan kau bunuh. Tetapi orang ini tidak. Sebab aku
sendirilah yang akan membereskannya."
Mendengar ucapan Lawa Ijo itu, wajah Jaka Soka
menjadi semakin menyala. Giginya gemeretak dan
tubuhnya menggigil menahan marah. Dengan suara
gemuruh ia menjawab, "Aku bukan perempuan yang perlu
perlindungan laki-laki. Buat apa aku menerima hadiah dari
seekor kelelawar busuk seperti tampangmu itu" Lawa Ijo...
jangan coba merendahkan aku."
Meskipun wajah Lawa Ijo nampaknya jauh lebih buas
dari wajah Jaka Soka yang tampan itu, namun ternyata
kepala Lawa Ijo agak lebih dingin. Karena itu ia sama sekali
tidak menunjukkan kegusarannya mendengar kata-kata
Jaka Soka itu. Bahkan ia masih menjawab dengan tenang
meskipun tampak pula kegarangannya. "Jaka Soka, aku
tidak peduli atas tanggapanmu terhadap permintaanku.
Serahkan orang itu kepadaku. Sebab aku mempunyai
urusan yang lebih penting dari urusanmu. Urusanku
menyangkut nama baik dan harga diri perguruanku, sedang
urusanmu hanyalah urusan perempuan itu saja."
Oleh keterangan Lawa Ijo yang terakhir itu, nyala
kemarahan Jaka Soka menjadi surut. Sedang pancaran
matanya yang berapi-api itu pun segera redup dan
membayangkan keheranan. Tanyanya kemudian, "Kau
katakan bahwa kau mempunyai urusan dengan orang ini
perkara perguruanmu?"
Lawa Ijo mengangguk. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jaka Soka menjadi bertambah heran. Dan tanpa
disengaja ia memandang Mahesa Jenar. Baru sekarang ia
memperhatikan lawannya itu dengan saksama. Tubuhnya
tegap kekar. Dadanya bidang. Meskipun ia berwajah lunak,
tetapi pandangan matanya memancarkan kecermelangan
pribadinya. Pikirnya "Pantas bahwa aku tak dapat
menjatuhkannya." "Siapakah orang ini?" pertanyaan itu demikian saja
meluncur dari mulut Jaka Soka.
Dan sekaligus semua telinga yang berada di sekitar arena
itu segera memperhatikan. Sebab pertanyaan yang
demikian itu timbul pula di setiap hati orang menyaksikan
pertempuran itu. Bahkan diantara mereka telah timbul
harapan baru, setelah mereka menyaksikan kridha orang
yang mereka anggap tidak lebih dari seorang perantau.
Lebih-lebih sepasang suami-istri yang telah merasa terlanjur
menyuruh orang itu membawakan beban mereka.
Maka semua perhatian pada saat itu tertambat pada
mulut Lawa Ijo yang akan menjawab pertanyaan Jaka Soka.
Sementara itu terdengarlah Lawa Ijo tertawa pendek.
Kemudian barulah ia menjawab, "Jaka Soka... jangan kau
terkejut kalau aku mengucapkan nama orang ini. Ia adalah
orang yang telah membunuh adik seperguruanku kemarin
lusa. Watu Gunung. Dan yang tidak akan pernah aku
lupakan, orang ini pernah pula melukai bagian dalam
dadaku." Berdebarlah setiap jantung mereka yang mendengar
kata-kata ini. Pastilah orang ini bukan orang sembarangan.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak terkecuali Jaka Soka. Sudah sejak lama ia mengenal
Lawa Ijo. Dan pernah pula ia berkelahi melawan orang ini.
Tetapi tak pernah salah seorang dari mereka berdua dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengatasi yang lain. Kalau orang ini pernah melukai Lawa
Ijo pastilah ia memiliki kesaktian yang tinggi.
Kemudian terdengarlah Lawa Ijo melanjutkan kata-
katanya, "Sayang bahwa ia tidak bersikap perwira. Ia
menyerang aku pada saat aku sedang meloncat turun dari
atap gedung perbendaharaan istana Demak."
Hati Mahesa Jenar melonjak mendengar sindiran Lawa
Ijo. Ia sama sekali tak mau menerima keterangan itu.
Sebab pada saat ia menyerang Lawa Ijo, ia sedang
berusaha untuk melindungi Gadjah Alit yang justru diserang
oleh Lawa Ijo dengan sikap yang tidak perwira. Kecuali
Lawa Ijo tidak menyerang dari depan, juga pada saat itu
Gadjah Alit sedang dikerubut oleh tiga orang. Tetapi
meskipun demikian ia tidak merasa perlu melayani fitnah
itu. Karena itu ia diam saja.
Dalam pada itu, Jaka Soka pun segera teringat bahwa
memang Lawa Ijo pernah bercerita kepadanya, tentang
luka yang dideritanya pada saat ia berusaha memasuki
gedung perbendaharaan di Demak. Karena itu sebelum
Lawa Ijo menyebut nama Mahesa Jenar, ia mendahului
berteriak, "Lawa Ijo, kalau demikian inikah orangnya yang
bernama Mahesa Jenar dan bergelar Rangga Tohjaya yang
terkenal itu?" Mendengar nama itu tergetarlah perasaan mereka yang
pernah mengenal kebesarannya. Lebih-lebih para pengawal
dan para pedagang yang datang dari pesisir utara. Tetapi
dalam pada itu, dalam dada masing-masing terbersitlah
semacam harapan baru yang menjadi semakin teguh,
bahwa jiwa mereka akan tertolong. Karena itu menjadi
semakin besarlah hati mereka. Selain itu para pengawal
kemudian telah bersiap pula terjun ke dalam pertempuran
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seandainya Lawa Ijo dan Jaka Soka akan bersama-sama
menyerang Rangga Tohjaya.
Tetapi rupanya Lawa Ijo tidak akan berbuat demikian.
"Jaka Soka," Katanya, "karena itulah aku minta
kerelaanmu untuk membuat perhitungan dengan Rangga
Tohjaya ini. Sebab aku mempunyai dugaan, bahwa ia pun
sedang mencari aku. Maka sebaiknya kami tidak menyia-
nyiakan pertemuan ini".
Sekarang, setelah mengerti persoalannya, Jaka Soka
tidak lagi merasa direndahkan oleh Lawa Ijo. Ia pun
menganggap bahwa sikap Lawa Ijo yang demikian itu
adalah wajar. Karena itu ia menjawab, "Sekehendakmulah
Lawa Ijo. Sebab daerah ini adalah daerahmu. Tetapi urusan
gadis itu akan tetap menjadi urusanku, meskipun aku akan
menunggu sampai kau selesai. Kalau kau tak berhasil dalam
usahamu untuk membalaskan dendam adikmu, aku akan
juga membuat perhitungan dengan orang ini. Sebab ia
dengan sengaja telah mempermainkan aku ketika ia
bersama-sama dengan para pengawal yang mengerubut
aku." "Bagus. Sekarang minggirlah," desis Lawa Ijo.
Sesudah itu maka Lawa Ijo menghadap ke arah Mahesa
Jenar. Matanya yang sudah memancarkan kekejaman serta
kebengisan itu menjadi bertambah mengerikan.
"Tohjaya," geram Lawa Ijo, "bersiaplah. Aku akan
membuat perhitungan," .
Mahesa Jenar tak menjawab sepatah kata pun. Mulutnya
terkatup rapat, tetapi ia maju beberapa langkah mendekati
Lawa Ijo dengan sikap yang meyakinkan dan penuh
kepercayaan pada diri sendiri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sementara itu, langit telah menjadi semakin cerah. Angin
pagi yang bertiup lambat-lambat menggoyangkan daun-
daun pepohonan dan membuat suara berdesir diantara
cabang-cabangnya. Suaranya merintih, seolah-olah suara
lagu yang mengiringi ratapan hati setiap orang yang
menyaksikan permainan maut antara Mahesa Jenar yang
bergelar Rangga Tohjaya dengan Lawa Ijo. Dua orang yang
sama-sama terkenal dari aliran yang berlawanan, yang pada
saat itu sedang mengadakan perhitungan hutang pihutang
nyawa. Namun betapa moleknya wajah pagi, tak seorang pun
yang berada di sekitar arena pertempuran itu sempat
memperhatikan. Bahkan tak seekor burung pun di tempat
itu yang sempat berkicau menyambut datangnya matahari.
Seperti Jaka Soka, Lawa Ijo pun tak akan merendahkan
dirinya melawan Mahesa Jenar dengan mempergunakan
senjata. Tetapi setelah ia mengembalikan tongkat hitam
Jaka Soka, ia tidak menitipkan belati panjangnya, melainkan
dengan kekuatan jari-jarinya, belatinya itu dipatahkan, dan
kemudian dilemparkan jauh-jauh. Mau tidak mau, mereka
yang menyaksikan pertunjukan itu hatinya terguncang.
Segera setelah itu, maka dengan suatu suitan nyaring,
Lawa Ijo mulai menyerang lawannya. Kedua tangannya
direntangkan dan jari-jarinya siap merobek tubuh lawannya.
Dengan suatu loncatan yang dahsyat, ia menyambar kepala
Mahesa Jenar. Mahesa Jenar sadar bahwa apabila serangan
ini mengenai sasarannya, maka ia yakin bahwa kepalanya
akan dapat berlubang sedalam jari.
Sebelum ini, Mahesa Jenar pernah bertempur dengan
Lawa Ijo, karena itu ia tidak dapat mengira-ngirakan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kekuatannya, meskipun ia yakin bahwa selama ini pastilah
Lawa Ijo telah mendapat tambahan yang tidak sedikit.
Melihat serangan Lawa Ijo yang dahsyat itu, segera
Mahesa Jenar merendahkan dirinya, tetapi sekaligus dengan
tangannya ia menyerang perut lawannya dengan empat
jari. Sebenarnya Lawa Ijo sadar bahwa serangannya yang
pertama pasti tak akan mengenai sasarannya. Karena itu ia
selalu waspada, sehingga ketika ia melihat serangan
Mahesa Jenar, dengan tangkasnya pula ia menghindarkan
diri. Ia menarik sebelah kakinya ke belakang dan berputar
sedikit. Kemudian sambil merendahkan diri ia menghantam
tangan Mahesa Jenar dengan sikunya. Tetapi Mahesa Jenar
tidak mau tangannya disakiti. Ia segera menarik
serangannya dan mendadak ia meloncat setengah langkah
surut, tetapi demikian kakinya menjejak tanah, demikian ia
melontarkan dirinya ke samping Lawa Ijo, dan dengan
tumitnya ia menghantam lambung. Lawa Ijo terkejut
melihat gerakan ini. Kaki Mahesa Jenar bergerak demikian
cepatnya. Tetapi Lawa Ijo pun mempunyai cukup
pengalaman. Segera ia merendah hampir rata tanah. Tetapi
demikian ia merendah, kakinya secepat kilat menyambar
betis Mahesa Jenar. Sekarang Mahesa Jenar yang berada
dalam keadaan yang sulit, selagi satu kakinya terangkat.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar cukup tenang, sehingga
dalam keadaan yang nampaknya demikian sulitnya ia masih
sempat mengelakkan diri. Dengan sebelah kakinya ia
menjejak tanah dan meloncat tinggi. Dengan satu gerakan
kakinya, Mahesa Jenar dapat mengubah arah, sehingga
tubuhnya terjatuh kembali beberapa depa dari lawannya.
Lawa Ijo menjadi marah melihat serangan-serangannya
yang dilakukan dengan segenap tenaganya itu sama sekali
tak berhasil. Karena itu segera ia pun menyerang kembali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan dahsyatnya. Tangannya, dengan sepuluh jari yang
kokoh bergerak menyambar-nyambar dari segala arah.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu berdiri
terpaku seperti patung. Hati mereka terpukau oleh
pertunjukan maut yang sedang berlangsung dengan
dahsyatnya. Sebentar-sebentar terdengar suara gemeretak batang-
batang kayu yang patah terhantam, baik oleh Mahesa Jenar
maupun oleh Lawa Ijo. Sedang tanah tempat mereka
bertempur, seolah-olah telah berubah sedemikian rupa
sehingga menjadi bersih dari segala tumbuh-tumbuhan.
Perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin
hebat. Tampaklah betapa hebatnya mereka berdua. Sampai
sekian lama tidak nampak siapakah diantara keduanya yang
lebih unggul. Lawa Ijo bertempur dengan penuh dendam
akan pembalasan, sedangkan Mahesa Jenar bertempur
dengan suatu tekad yang telah bulat pula, melenyapkan
kejahatan sampai ke akarnya.
Demikian dahsyatnya pertempuran itu, sehingga waktu
berjalan cepat sekali. Dengan tak terasa, matahari telah
miring rendah di ufuk barat. Seolah-olah sengaja
mempercepat jalannya untuk menghindari kesaksian,
bahwa di tengah-tengah hutan Tambak Baya telah terjadi
suatu pergulatan maut yang mengerikan.
Daerah pedalaman hutan yang selamanya tak pernah
menerima cahaya matahari sepenuhnya itu, kini telah
kembali suram. Cahaya matahari yang sudah semakin
lemah, tidak mampu lagi menembus sepenuhnya kelebatan
daun-daun pepohonan rimba yang liar dan pekat itu.
Dua orang perkasa yang sedang bertempur mati-matian
itu pun nampak tenaganya semakin lama menjadi semakin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kendor. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki
ketahanan jasmaniah yang luar biasa. Baik Mahesa Jenar
maupun Lawa Ijo memang pernah mengalami pertempuran
sampai berhari-hari. Kali ini mereka telah mengerahkan
segala tenaga mereka. Setelah hal itu berlangsung hampir
sehari penuh, terasalah bahwa kemampuan mereka mulai
menurun. Dalam hal ini, yang lebih merasa gelisah adalah Lawa Ijo.
Perasaannya dibebani oleh dendam yang tiada taranya.
Sejak dirinya dilukai di halaman Kraton Demak, ia sudah
berjanji di dalam hatinya, bahwa pada suatu saat ia harus
membinasakan orang yang telah melukainya itu. Ditambah
lagi, orang itu pula yang telah membunuh adik
seperguruannya. Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali
menghancurlumatkan orang ini. Tetapi ternyata, setelah
sekian lama ia merendam diri serta mencecap ilmu gurunya
yang sakti, Pasingsingan, dengan penuh semangat, namun
sudah sehari ia bertempur masih belum ada tanda-tandanya
bahwa ia akan dapat mengalahkan lawannya, apalagi
membinasakan. Karena itu ia menjadi tidak sabar lagi.
Tujuannya hanyalah secepat mungkin membinasakan
Rangga Tohjaya. Dengan demikian barulah ia merasa puas.
Untuk mencapai maksudnya itu, Lawa ijo meloncat
mundur beberapa langkah dari lawannya. Secepat kilat
tangannya mengambil sebuah kantong kecil di ikat
pinggangnya. Segera cincin pemberian gurunya itu
dikenakan di jari tangan kanannya. Tampaklah bahwa cincin
itu bermata batu akik merah menyala. Itulah batu akik yang
dinamai Kelabang Sayuta. Bentuk akik Kelabang Sayuta tidaklah seperti kebiasaan
batu-batu akik yang diasah halus, tetapi batu ini
permukaannya kasar dan bahkan bergerigi tajam. Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar tertegun melihat lawannya mengenakan cincin. Pasti
itu bukan sembarang cincin. Tetapi belum lagi ia sadar
benar Lawa Ijo telah meloncat menyerangnya dengan
garang. Lawa Ijo telah mengerahkan segenap sisa tenaganya
yang terakhir. Mahesa Jenar terkejut diserang secara
demikian. Lawa Ijo ternyata tidak lagi mempergunakan
perhitungan, melainkan asal saja ia membenturnya. Secepat
kilat Mahesa Jenar menghindar ke samping, tetapi seperti
orang gila Lawa Ijo menerjangnya kembali. Demikian terjadi
beberapa kali. Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya
banyaklah kesempatan bagi Mahesa Jenar untuk memukul
Lawa Ijo. Meskipun demikian ia masih belum mempergunakan kesempatan itu, sebab ia masih ingin
mengetahui latar belakang dari tindakan-tindakan Lawa Ijo
yang aneh itu. Sebagai seorang yang telah banyak makan
garam, seharusnya Lawa Ijo tidaklah kehilangan akal
sampai sedemikian itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak
mempunyai kesempatan untuk banyak menduga-duga
maksud lawannya. Sebab Lawa Ijo merangsang semakin
hebat. Sehingga akhirnya terpaksa Mahesa Jenar melayani
pula dengan segenap tenaganya. Maka pertempuran itu
menjadi semakin seru dan aneh. Gerak Lawa Ijo menjadi
semakin liar dan seolah-olah membabi buta namun tidak
kurang pula berbahayanya.
Akhirnya Mahesa Jenar tak dapat lagi menahan dirinya
mengalami tekanan yang gila, kasar dan liar itu. Karenanya,
ketika ia melihat suatu kesempatan, maka segera ia
meloncat maju, dan dengan gerakan yang dahsyat ia
menghantam pelipis lawannya. Melihat serangan yang
demikian hebatnya, Lawa Ijo sama sekali tak berusaha
menghindarkan diri. Memang kesempatan yang demikianlah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang ditunggunya setelah sekian lama ia berusaha
membentur tubuh lawannya, tetapi belum berhasil.
Dengan mengerahkan segala sisa tenaganya yang ada,
Lawa Ijo melawan dengan sebuah pukulan yang dahsyat
pula, menghantam tangan Mahesa Jenar. Maka terjadilah
suatu benturan yang mengerikan. Mulutnya menyeringai
menahan sakit, seolah-olah menjalar ke seluruh bagian
tubuhnya. Sendi-sendi tulangnya seakan-akan copot dari
sambungannya. Sesaat pandangannya jadi kabur berputar-
putar. Sementara itu mereka yang menyaksikan perkelahian
dahsyat itu, darahnya serasa berhenti mengalir, ketika
mereka melihat keadaan
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahesa Jenar. Mereka menyaksikan suatu keadaan yang tak terduga-duga. Pada
saat terjadi benturan, tubuh Mahesa Jenar tergetar hebat,
sehingga ia terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling
pula. Tetapi, ketika Mahesa Jenar berusaha untuk meloncat
berdiri, tiba-tiba tangan kanannya terasa pedih tak
terhingga. Ketika ia mengamati tangan itu, ternyata
terdapat sebuah goresan kecil. Itulah luka akibat batu akik
Kelabang Sayuta.! Seterusnya, tidak hanya rasa pedih itu saja, tetapi tiba-
tiba mengalirlah rasa dingin yang seakan-akan menjalar
menurut peredaran darahnya ke seluruh tubuh, sehingga
tubuhnya menjadi gemetar dan seakan-akan beku. Wajah
Mahesa Jenar segera berubah menjadi pucat seputih mayat.
Jaka Soka yang selama itu, dengan enaknya melihat
perkelahian itu, menjadi keheran-heranan juga menyaksikan akibat dari benturan itu. Lama sekali tidak
menduga bahwa Mahesa Jenar yang sedemikian gagahnya,
yang sudah bertempur hampir sehari penuh, dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dirobohkan justru pada saat ia menyerang dan dibalas
dengan sebuah serangan pula.
Para pengawal rombongan, yang merasa telah mendapat
perlindungan dalam melakukan tugasnya, melihat kejadian
itu dengan hati yang remuk. Pemimpin pengawal, dengan
tidak menghiraukan keselamatan diri, segera meloncat
mendekati Mahesa Jenar yang masih terduduk dan
menggigil hebat. Segera pemimpin pengawal itu berjongkok di samping
Mahesa Jenar sambil meraba-raba tangannya. Tetapi ketika
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ia menyentuh tangan Mahesa Jenar itu, alangkah
terperanjatnya. Tangan itu dingin seperti beku dan di
beberapa tempat tampaklah semacam bisul-bisul yang baru
tumbuh. Segera pemimpin pengawal yang tua dan
berpengalaman itu mengetahui bahwa tubuh Mahesa Jenar
telah terkena racun yang mengerikan. Maka segera ia dapat
memastikan bahwa racun ini pasti berasal dari cincin yang
dipakai oleh Lawa Ijo, yang bermata batu akik merah
menyala, yang bernama Kelabang Sayuta.
Sejenak kemudian Lawa Ijo perlahan-lahan dapat
menguasai dirinya kembali. Meskipun masih agak pening, ia
sudah dapat berdiri tegak. Maka ketika ia melihat Mahesa
Jenar terduduk di tanah dengan wajah yang pucat, ia
menjadi bergembira. Dan tiba-tiba terdengarlah suara
tertawanya yang menakutkan seperti suara hantu yang
memanggil-manggil dari lubang kubur. Semua yang
mendengar suara itu tegaklah bulu romanya. Kekalahan
Mahesa Jenar berarti nyawa mereka akan lenyap. Sebab
Jaka Soka telah mengambil keputusan untuk menghilangkan jejak penculiknya.
Demikian juga hati pengawal tua yang menahan tubuh
Mahesa Jenar yang lemas itu. Ia menjadi sangat sedih.
Bukan karena takut menghadapi kematian yang sudah
membayang di matanya, tetapi hatinya menjadi pedih sekali
bahwa kemungkinan besar jiwa Mahesa Jenar, seorang
pahlawan yang tanpa menghiraukan dirinya sendiri telah
berusaha menyelamatkan rombongan yang sebenarnya
menjadi tanggung jawabnya, tak akan tertolong lagi. Lebih-
lebih ketika diingatnya bahwa Lawa Ijo telah melakukan
perbuatan yang curang dan keji, dengan mempergunakan
racun yang keras sekali untuk menumbangkan lawannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka, hati pengawal tua itu serasa menyala dibakar oleh
kemarahan. Ia sudah mengambil keputusan untuk melawan
sampai mati. Seperti serangga menjelang api. Tetapi ketika
ia akan bangkit dan melawan dengan mengamuk sejadi-
jadinya, tiba-tiba terasa hawa yang hangat mengalir dalam
tubuh Mahesa Jenar. Mahesa Jenar terkejut, tetapi ia tetap
menahan dirinya. Hawa yang hangat itu ternyata mengalir
semakin deras dan bahkan hampir mencapai titik panas
tubuh yang wajar. Timbullah berbagai pertanyaan dalam dirinya. Apakah
yang akan terjadi dengan Mahesa Jenar ini" Sebentar
kemudian bahkan panas itu dengan cepat naik melampaui
batas panas tubuh yang biasa. Hal ini menjadikan pengawal
tua itu semakin bingung. Apalagi sampai sekian lama
Mahesa Jenar sendiri seolah-olah pingsan dan tidak
bergerak sama sekali. Memang Mahesa Jenar pada saat itu sedang kehilangan
tenaga. Batu akik Kelabang Sayuta itu mempunyai kekuatan
mirip dengan bekerjanya racun. Bahkan hampir sekuat
racun bisa ular Gundala Wereng. Sehingga tubuh yang
dikenainya, meskipun hanya segores kecil, akan menjadi
bengkak-bengkak seperti ditumbuhi oleh beribu-ribu bisul.
Kemudian tubuh itu akan lemas dan mengalami
kelumpuhan menyeluruh, dan akhirnya disusul dengan
kematian, dalam waktu yang singkat.
Tetapi, ketika kekuatan akik Kelabang Sayuta itu sedang
bekerja didalam tubuh Mahesa Jenar dengan mengikuti
peredaran darah, tiba-tiba terjadilah suatu benturan yang
dahsyat di dalam tubuh itu. Sebab pada saat itu, ketika
tersentuh rangsangan dari luar, bisa ular Gundala Seta yang
ada dalam tubuhnya mulai bekerja pula. Dalam pergolakan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu timbullah panas, sehingga tubuh Mahesa Jenar menjadi
melampaui titik panas yang wajar.
Bisa ular Gundala Seta mempunyai kasiat yang luar
biasa. Lebih-lebih ular ini adalah senjata Wisnu untuk
melawan Kala, lambang dari keangkaramurkaan. Maka
sedikit demi sedikit bisa ular Gundala Seta yang memang
sudah ada di dalam tubuh Mahesa Jenar itu mendesak
lawannya, menawar racun akik Kelabang Sayuta. Dengan
demikian tubuh Mahesa Jenar menjadi berangsur-angsur
baik kembali. Meskipun demikian Mahesa Jenar adalah orang yang
cerdik. Ia tidak segera menunjukkan keadaan itu. Sebab
apabila sampai diketahui bahwa ia berangsur-angsur baik,
tidak mustahil Lawa Ijo akan segera bertindak. Membinasakannya sekaligus.
Dalam hal yang demikian ia masih saja berpura-pura
tidak sadarkan diri dan membiarkan tubuhnya ditahan oleh
pengawal tua itu. Lawa Ijo, dengan dada menengadah, memandang tubuh
Mahesa Jenar. Matanya memancarkan kepuasan hatinya. Ia
tertawa berkepanjangan sampai Jaka Soka membentaknya,
"Hai Kelelawar Hijau yang busuk. Jangan kau tertawa
demikian. Aku bisa jadi pening mendengar suaramu yang
memuakkan itu." Tetapi Lawa Ijo sama sekali tak mendengarnya. Ia
sedang menikmati kemenangannya. Katanya, "Soka,
lihatlah.... Orang ini yang diagung-agungkan oleh prajurit
Demak. Di sini ia menjumpai kematian sedemikian nistanya.
Dan tak seorang pun akan sempat menguburnya. Apalagi
dengan suatu upacara keprajuritan, diiringi dengan tunggul-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tunggul dan panji-panji. Sebab orang-orang lain pun segera
akan mengalami nasib yang sama karena tanganmu".
Jaka Soka merasa diperingatkan akan tugasnya. Segera
ia pun tersenyum aneh, sedangkan matanya yang redup
membayangkan tuntutan maut yang mengerikan. Katanya,
"Bagus, Lawa Ijo. Kita akan sama-sama menikmati
kemenangan. Dan tak seorang pun dapat menahan aku
membawa gadis cantik itu pulang ke Nusa Kambangan,"
jawab Jaka Soka. ----------odwOkzo----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 3 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I. TETAPI sebentar kemudian, kepuasan mereka dipecahkan oleh suatu kenyataan yang sangat aneh bagi
Lawa Ijo. Tak pernah seorang pun yang dapat melepaskan
diri dari kematian, apabila tubuhnya tergores sedikit saja
oleh aji Klabang Sayuta. Tetapi apa yang disaksikan
sekarang adalah sama sekali tidak masuk akal.
Demikianlah ketika Mahesa Jenar merasa bahwa
tubuhnya telah pulih kembali, segera dengan kecepatan
gerak laksana kilat menyambar, ia meloncat, dan tahu-tahu
ia sudah berdiri dihadapan Lawa Ijo. Semua yang
menyaksikan hatinya tercekam, seperti melihat mayat yang
bangun dari kubur. Bahkan mereka seolah-olah melihat diri
mereka sendirilah yang karena pertolongan Tuhan Yang
Maha Esa telah dibebaskan dari daerah mati.
Mahesa Jenar disamping rasa sukur yang tak terhingga,
bahwa lantaran sahabat karibnya, Kiai Ageng Sela, ia telah
menerima anugerah Tuhan yang telah membebaskannya
dari pengaruh segala macam bisa. Namun ia juga menjadi
marah bukan kepalang kepada Lawa Ijo.
Ternyata Lawa Ijo yang telah mematahkan pedangnya
sendiri dengan jari-jari sewaktu perkelahian akan dimulai,
bukanlah benar-benar seorang jantan. Seperti juga Watu
Gunung, Lawa Ijo sama sekali tidak memperhatikan sikap
kejujuran dalam segala masalah.
Wajah Mahesa Jenar berubah menjadi merah membara.
Mulutnya terkatub rapat, tetapi giginya gemeretak.
Terhadap orang-orang yang demikian, tidak lagi ada sikap
yang manis. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka karena marahnya yang meluap-luap, Mahesa Jenar
tidak lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri. Sebelum
Lawa Ijo sadar terhadap kejadian itu, Mahesa Jenar telah
mengangkat satu kakinya yang ditekuk ke depan, tangan
kirinya disilangkan di atas dadanya, sedangkan tangan
kanannya diangkat tinggi-tinggi. Secepat kilat Mahesa Jenar
meloncat maju, dan dengan sedikit merendahkan diri ia
menghantam lambung lawannya dengan ilmunya yang
terkenal, Sasra Birawa. Lawa Ijo melihat segala gerak-gerik lawannya seperti
dalam mimpi. Ia baru sadar ketika tiba-tiba dilihatnya
Mahesa Jenar meloncat dekat sekali di hadapannya, dan
tangannya melayang ke arah lambungnya. Tetapi segala
sesuatunya telah terlambat. Terkena pukulan sisi telapak
tangan Mahesa Jenar yang dilambari ilmu Sasra Birawa itu
rasanya bagaikan tertimpa seribu gunung yang runtuh
bersama-sama. Demikian Lawa Ijo merasakan kedahsyatan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sasra Birawa, pandangannya terlempar dengan derasnya
seperti anak panah yang terlepas dari busurnya mengarah
tepat ke sebatang pohon raksasa yang berdiri kokoh kuat
bagai benteng baja. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu menjadi bingung.
Mereka tidak dapat mengerti perasaan apa yang
berkecamuk di kepalanya, seolah-olah terlepas dari
kesadaran diri. Sebab kejadian yang dilihatnya itu adalah
hal yang tak dapat dibayangkan bisa terjadi.
Tetapi belum lagi tersadar, telah disusul pula oleh suatu
peristiwa yang lain, yang tidak dapat mereka mengerti pula.
Beberapa orang menjadi sedemikian bingungnya sehingga
pingsan. Tubuh Lawa Ijo yang melayang demikian derasnya dan
hampir-hampir membentur sebatang pohon raksasa itu,
tahu-tahu sudah berada dalam dukungan seorang yang
berjubah abu-abu. Tak seorang pun tahu dari mana dan
kapan ia datang. Wajah orang itu sama sekali tidak tampak,
karena ia mengenakan topeng yang buatannya kasar dan
jelek. Semua orang memandang orang berjubah itu dengan
tubuh gemetar. Dalam pada itu, tiba-tiba Jaka Soka segera
melangkah maju dan dengan hormatnya ia berkata, "Paman
Pasingsingan, aku menyampaikan hormat setinggi- tingginya!". Pasingsingan. Nama itu mendengung kembali di telinga
Mahesa Jenar. Inilah rupanya Guru Lawa Ijo yang telah
datang untuk menolong muridnya. Maka mau tidak mau
hatinya tercekam pula. Ia pernah mendengar kesaktian
orang ini dari gurunya. Dan sekarang, ia telah berhadap -
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hadapan dengan orang itu dalam keadaan yang tak
menguntungkan. "Rangga Tohjaya...." Tiba-tiba terdengar Pasingsingan
berkata, tanpa menghiraukan salam Jaka Soka. Suaranya
berat, dalam dan tak begitu jelas seperti bergulung dalam
perutnya, karena pengaruh topeng yang dipakainya itu.
"Untunglah
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lawa Ijo bukan sembarang orang," sambungnya, "sehingga meskipun ia terluka parah, tetapi
aku yakin bahwa ia masih akan dapat hidup,". Orang itu
berhenti sejenak. Matanya yang berada dibalik topengnya
itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. "Hal itu
adalah karena pertolonganku." Pasingsingan melanjutkan,
"Kalau tidak, ia pasti sudah binasa terbentur pohon ini.
Karena itu, kau aku anggap telah melakukan pembunuhan
atas muridku". Kembali hati Mahesa Jenar melonjak. Ia tahu apa arti
kata-kata itu. Dalam hal yang demikian, tiba-tiba ia teringat
kepada almarhum kedua gurunya yang merupakan
angkatan yang sama dengan Pasingsingan itu. Kalau saja
mereka masih ada, pasti mereka tidak akan membiarkannya
berhadap-hadapan sendiri. Tetapi sekarang ia seorang diri
menghadapinya. Sebagai seorang prajurit pastilah Mahesa
Jenar tidak selalu menggantungkan dirinya kepada orang
lain. Karena itu, meskipun ia tahu, bahwa kekuatannya tak
seimbang, ia bertekad untuk melawan mati-matian. Maka
segera kembali ia memusatkan pikiran, mengatur jalan
pernafasannya dan mengumpulkan segala tenaganya pada
sisi telapak tangannya, meskipun ia belum bersikap.
Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan mendengus lewat
hidungnya, "Hem..., kalau Sasra Birawa itu gurumu yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mempergunakan, barangkali aku harus berpikir bagaimana
menghindarinya. Tetapi kalau hanya kau yang akan
mencobakan pada tubuhku, barangkali sebaiknya aku
menyediakan diri sebelum aku membunuhmu!"
Mendengar kata-kata Pasingsingan itu, mau tidak mau
hati Mahesa Jenar bergetar hebat. Bukan karena ia takut
mati. Tetapi kematian yang demikian pada saat ia
diperlukan untuk melindungi suatu rombongan yang akan
binasa, adalah sayang sekali. Tetapi apa boleh buat.
Sementara itu tampaklah Pasingsingan bergerak maju. Ia
selangkah demi selangkah mendekati Mahesa Jenar tanpa
meletakkan Lawa Ijo dari dukungannya.
"Tohjaya," katany, "kau adalah murid Ki Ageng Pengging
Sepuh. Dan kau telah beruntung mewarisi ilmu saktinya
Sasra Birawa. Karena itu lawanlah aku. Supaya kau mati
dengan tangan merentang, bukan mati sebagai seekor
lembu yang disembelih,". Mahesa Jenar yang sudah tidak
melihat kemungkinan lain daripada mati, kini seperti sudah
tidak mempunyai perasaan lagi. Tak perlu lagi ada
pertimbangan-pertimbangan lain. Maka segera ia pun
bersiap untuk menerjang lawannya, menjelang saat
matinya. Sementara itu Pasingsingan berdiri dengan acuh
tak acuh saja seperti tidak akan terjadi sesuatu atas dirinya.
Orang-orang lain yang berada di situ, sudah seperti
orang linglung yang tak tahu apa-apa. Perasaan mereka
sudah terbanting-banting beberapa kali sampai hancur.
Meskipun ada diantara mereka yang matanya terbuka dan
seolah-olah memandang Mahesa Jenar dan Pasingsingan
berganti-ganti, tetapi mereka tidak mengerti tentang apa
yang dilihatnya. Mereka tidak lagi dapat membayangkan,
bahwa sebentar lagi Pasingsingan akan dapat berbuat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekehendaknya atas Mahesa Jenar tanpa ada yang dapat
merintanginya. Tetapi sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh suara
berdentangnya orang menebang pohon. Ini adalah suatu
keanehan baru, sesudah bertubi-tubi terjadi peristiwa-
peristiwa yang aneh berturut-turut.
Pada saat itu, meskipun matahari belum tenggelam,
tetapi sinarnya sudah demikian lemahnya sehingga tidak
dapat lagi menembus rimbunnya daun-daun pepohonan
rimba, sehingga di dalam hutan itu sudah menjadi agak
gelap. Pada saat yang demikian, tidaklah biasa seseorang
menebang pohon. Apalagi di tengah hutan Tambakbaya. Orang-orang yang
mencari kayu, baik kayu bakar maupun untuk perumahan,
tidak akan menebang kayu di tengah rimba yang demikian
lebatnya. Lebih-lebih tidak jauh dari tempat itu, baru saja
terjadi pertarungan yang dahsyat antara Mahesa Jenar dan
Lawa Ijo. Berkali-kali terdengar Lawa Ijo bersuit atau
berteriak nyaring. Mustahil kalau suara-suara itu tak
didengarnya. Tetapi ternyata suara itu terus terdengar. Bahkan
semakin lama semakin jelas. Makin nyatalah, bahwa sumber
suara itu tidak begitu jauh. Yang lebih mengherankan lagi,
suara berdentangnya pohon yang ditebang itu, bagaikan
nada-nada lagu yang mempesona.
Rupanya Pasingsingan heran juga mendengar suara itu.
Diangkatnya wajahnya yang terlindung dibalik topengnya
dan tampaklah ia mendengarkan suara itu dengan saksama.
Dalam keadaan yang demikian, suasana berubah menjadi
sunyi. Suara berdentangnya pohon ditebang itu menjadi
bertambah jelas seakan-akan memenuhi seluruh rimba.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gemanya bersahut-sahutan disegala arah sehingga amat
sulitlah untuk mengetahui dengan pasti sumber suara itu.
Sebentar kemudian suara itu menjadi agak kendor dan
semakin perlahan-lahan pula. Tetapi sementara itu
disusullah dengan mendengungnya suara baru yang juga
seharusnya tak mungkin terjadi.
Di tengah-tengah rimba yang liar pekat, dan yang diliputi
oleh suasana perkelahian dan hawa pembunuhan itu,
menggemalah sebuah lagu. Dandanggula yang diungkapkan
oleh sebuah suara yang indah. Lagu itu sedemikian
mempesona, sehingga semua orang yang mendengarnya
menjadi lupa akan segala-galanya kecuali lagu itu sendiri.
Jaka Soka dan Mahesa Jenar adalah orang yang cukup
masak. Tetapi meskipun demikian tampak juga bahwa
mereka dihinggapi oleh perasaan-perasaan yang aneh.
Dandanggula itu terdengar begitu jelas sehingga kata demi
kata dapat dimengerti dengan baik. Bunyi syair dari
tembang itu adalah: Lir sarkara, wasianing jalmi
Ambudiya budining sasatnya
Memayu yu buwanane, Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Sih pigunane karya, mBrasta ambeg dudu, Mengenep nenging cipta, Wruh unggayaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja (Kusw)
Tak seorang pun yang mengetahui tanggapan Pasingsingan atas lagu itu dengan pasti, sebab wajah orang
itu tertutup oleh kedok. Tetapi melihat sikapnya, ia sama
sekali tidak senang mendengarnya, meskipun lagu itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dibawakan oleh suara yang merdu dan syairnya
mengandung nasihat yang baik. Sebagaimana seseorang
harus berusaha menyelamatkan dunia ini dengan banyak
memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang luas tentang
cinta manusia untuk memberantas kejahatan. Serta dengan
mengendapkan cipta untuk mengetahui batas antara baik
dan buruk. Disertai doa kepada Tuhan untuk kebahagiaan.
Kemudian malahan Pasingsingan menjadi gelisah ketika
ia mendengar lagu itu diulang kembali.
Akhirnya, tiba-tiba ia berputar menghadap ke utara dan
dengan garangnya ia menggeram. Sedang kata-katanya
sangat mengejutkan mereka yang mendengarnya, seperti
halilintar meledak di atas kepala masing-masing. Termasuk
Mahesa Jenar dan Jaka Soka.
"Setan tua...! Apa maksudmu mengganggu urusanku"
Baiklah. Hanya sayang kali ini aku tidak ada waktu untuk
melayanimu. Karena itu lain kali aku akan menemuimu,
kalau aku tidak sedang membawa beban seperti kali ini.
Sampai ketemu Pandan Alas!" kata Pasingsingan. Setelah
itu tanpa diketahui arahnya, tahu-tahu Pasingsingan telah
lenyap dari pandangan mereka beserta Lawa Ijo.
Lenyapnya Pasingsingan itu tidak begitu menarik perhatian
Mahesa Jenar dan Jaka Soka. Seperti berjanji, mereka
setelah mendengar nama Pandan Alas, segera meloncat ke
utara, kearah mana Pasingsingan tadi menghadap. Mereka
menduga, bahwa dari sanalah sumber suara tadi
datangnya. Sebab kebetulan Mahesa Jenar dan Jaka Soka
berbareng ingin melihat wajah orang aneh itu. Tetapi
setelah agak jauh mereka menyusup, yang mereka temui
hanyalah bekas luka pada pokok sebuah pohon raksasa.
Meskipun mereka hanya menemui bekasnya saja, namun
telah cukup menggetarkan hati mereka. Sebab menurut
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pendengaran mereka, waktu Ki Ageng Pandan Alas
menebang pohon itu hanyalah sebentar saja, sedang yang
mereka lihat bekasnya adalah luar biasa. Sebatang pohon
raksasa yang besarnya lebih dari empat pemeluk, ternyata
telah luka hampir separonya. Sedang tatal kayu bekas
tebangan itu, berbongkah-bongkah hampir sebesar kepala
anjing. Sungguh mengagumkan. Apalagi ketika disamping
pohon itu, yang mereka ketemukan hanyalah sebuah
kampak kuno dari batu, yang diikat pada setangkai dahan
basah sebagai pegangannya.
"Luar biasa," desis Jaka Soka.
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan. "Aku tidak dapat
mengira kekuatan apa yang telah membantu orang itu,
sehingga ia dapat berbuat sedemikian mengagumkan."
Jaka Soka tidak menjawab. Tampaknya ia sedang
berpikir keras. Akhirnya setelah dipertimbangkan bolak-balik
ia mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu
serta mengurungkan maksudnya menculik gadis yang
memiliki keris Sigar Penjalin milik Ki Ageng Pandan Alas.
Katanya kemudian kepada Mahesa Jenar, "Mahesa Jenar,
ternyata aku salah duga kepadamu. Karena itu baiklah kali
ini aku mengaku kalah dan mengurungkan niatku menculik
gadis cantik itu. Aku merasa bersyukur, bahwa kau tidak
mempergunakan ilmumu yang menurut Paman Pasingsingan disebut Sasra Birawa, ketika melawan aku.
Kalau demikian halnya, maka aku kira aku pun akan jadi
lumat. Juga benar apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo,
bahwa Pandan Alas benar-benar berada di segala tempat.
Sekarang baiklah aku pergi dulu. Sampai lain kali." Selesai
mengucapkan kata-kata itu, segera dengan lincahnya Jaka
Soka alias Ular Laut yang terkenal sebagai bajak laut yang
bengis itu meloncat dan lenyap diantara lebatnya hutan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tinggallah kini Mahesa Jenar seorang diri. Pikirannya
dipenuhi oleh berbagai masalah dan persoalan. Tetapi yang
penting adalah mengatur rombongan itu kembali. Dan
kemudian membicarakan kemungkinan-kemungkinan lebih
lanjut. Ketika Mahesa Jenar sampai di tempat rombongan,
ia melihat bahwa beberapa orang telah tampak mulai agak
tenang kembali. Terutama para pengawal. Malahan ada
diantaranya yang sudah dapat mengatur barang-barangnya.
Meskipun demikian mereka masih saja nampak ketakutan.
Ternyata ketika mereka mendengar gemerisik daun yang
disebakkan oleh Mahesa Jenar, mereka masih terkejut juga.
Tetapi ketika mereka melihat, bahwa yang datang adalah
Mahesa Jenar, perasaan mereka nampak lega. Malahan ada
yang berlari-lari menyambut dan langsung berjongkok dan
menyembahnya. Terutama sepasang suami-istri yang telah
minta kepadanya untuk membawa bebannya. Kedua orang
itu menyembah sambil menangis minta diampuni. Segera
Mahesa Jenar pun menenangkan mereka, serta segera
minta agar para pengawal menyalakan api.
Sebentar kemudian beberapa orang telah mengumpulkan
kayu, serta apipun segera dinyalakan.
Mereka, seluruh anggota rombongan, telah duduk
mengelilingi api yang menyala-nyala dan menjilat-jilat ke
udara. Daun-daun di atas nyala api itu bergerak-gerak
seperti menggapai-gapai kepanasan. Malam pun segera
turun dengan cepatnya. Pepohonan serta dedaunan
nampak seperti diselimuti oleh warna yang hitam kelam. Di
sana-sini mulai terdengar kembali suara-suara binatang
malam. Pada wajah-wajah di sekeliling api itu, masih menggores
rasa cemas dan takut. Kejadian-kejadian siang tadi sangat
berkesan di hati mereka. Pertarungan-pertarungan dahsyat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dan kejadian-kejadian yang aneh terjadi berturut-turut
seperti peristiwa-peristiwa dalam mimpi yang menakutkan.
Terutama gadis cantik yang hampir-hampir saja menjadi
sumber bencana. Ia masih saja merasa bahwa dirinya
bersalah sehingga rombongan itu mengalami kekacauan, ia,
bahkan hampir dimusnahkan, kalau tidak secara kebetulan
ada seorang perkasa yang melindunginya. Karena itu ia
masih saja belum berani memandang wajah-wajah kawan
seperjalanannya. Sejenak kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh Mahesa
Jenar yang berkata kepada orang-orang dalam rombongan
itu. Katanya, "Kawan-kawan, bahaya tidak lagi bakal
datang, setidak-tidaknya malam ini. Karena itu tenanglah
dan beristirahatlah. Aku kira kalian sehari penuh masih
belum juga makan. Sekarang kesempatan itu ada. Sesudah
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu kalian bisa tidur nyenyak seperti tadi malam."
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, mereka serentak
diperingatkan oleh rasa lapar yang semula tak dihiraukan.
Segera diantara mereka membuka bekal-bekal mereka,
tetapi tidak sedikit diantara anggota rombongan itu yang
sudah tidak punya rasa lapar lagi. Juga sesudah itu, tak
seorang pun yang dapat merasa kantuk.
Sejenak kemudian mulailah Mahesa Jenar berunding
dengan para pengawal, tentang bagaimana baiknya
rombongan tersebut. Menurut pendapat Mahesa Jenar, sebaiknya rombongan
itu tidak meneruskan perjalanan. Sebab kalau pada langkah
pertamanya mereka sudah menemui kesulitan, kelanjutannya pun akan tidak menguntungkan. Kemungkinan-kemungkinan yang tak menguntungkan
adalah banyak sekali. Lawa Ijo, terang, bahwa ia tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berdiri sendiri. Ia adalah seorang pemimpin dari sebuah
gerombolan yang cukup besar. Hanya sekarang gerombolan
itu seakan-akan sedang dibekukan. Tetapi, kalau sampai
mereka mendengar, bahwa kepala mereka dilukai, mereka
pasti tidak akan tinggal diam. Karena itu, selagi masih ada
waktu, sebaiknya rombongan itu besok pagi berangkat
kembali ke tempat semula.
Tak seorang pun diantara mereka yang dapat menolak
pendapat ini. Memang pada umumnya mereka telah
dihinggapi perasaan takut yang luar biasa. Untunglah,
bahwa pada saat itu datang Mahesa Jenar menolong
mereka. Kalau tidak, mereka pasti sudah jadi bangkai.
Tetapi dalam suasana yang demikian, mendadak gadis
cantik yang merasa dirinya bersalah, berkata kepada
Mahesa Jenar, "Tuan, aku terpaksa tidak dapat menerima
saran Tuan untuk kembali. Sebab aku memang tidak punya
tempat untuk kembali. Tetapi aku juga tidak dapat
memaksa rombongan ini berjalan terus. Karena itu, baiklah
kalau rombongan ini berjalan kembali dengan para
pengawal, aku akan berjalan sendiri melanjutkan perjalanan
ke Pliridan. Hanya sebagai bekal perjalanan, aku minta
kerisku tadi dikembalikan kepadaku. Sebab kalau aku
bertemu seorang seperti pemuda yang akan menculik aku,
sebaiknyalah kalau aku bunuh diri."
Gadis itu mengucapkan kata-katanya dengan mata sayu
diwarnai oleh hatinya yang putus asa. Ia merasa tidak
berhak lagi berkumpul dengan orang-orang serombongannya. Sebab ia telah merasa berbuat kesalahan
yang tak termaafkan. Mahesa Jenar dan beberapa orang tampak mengerutkan
keningnya. Memang dalam keadaan terjepit, ada diantara
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka yang sampai hati mengumpati gadis itu. Tetapi
dalam keadaan yang demikian, timbul pulalah perasaan iba
terhadapnya. GadiS itu menundukkan kepalanya semakin dalam.
Matanya yang bulat, nampak mengambang air mata yang
ditahan sekuat-kuatnya. "Tak ada jalan buat kembali," ujarnya lirih.
Dalam kata-kata itu, ternyata bahwa ada sesuatu rahasia
yang menyelubungi diri gadis itu.
Tiba-tiba Mahesa Jenar ingin mengetahui lebih banyak
lagi tentang diri gadis itu, yang sampai saat itu masih belum
dikenal namanya. "Siapakah sebenarnya kau ini?" tanya Mahesa Jenar
kemudian, "Serta apakah hubunganmu dengan Ki Ageng
Pandan Alas"." Gadis itu mengangkat mukanya sedikit, jawabnya, "Tuan,
sebenarnya aku sama sekali tidak mengenal siapakah Ki
Ageng Pandan Alas itu. Kalau aku memiliki keris yang tuan
hubungkan dengan nama Pandan Alas, adalah diluar
pengetahuanku. Aku menerima keris itu dari almarhum
ibuku, sedangkan ibu menerimanya dari kakek. Seorang
petani miskin yang sedang merantau mencari daerah baru,
dan sekarang menurut almarhum ibuku, kakek itu tinggal di
daerah Pliridan. Dan sama sekali tak bernama Pandan Alas,
tetapi bernama Ki Santanu, sedangkan aku sendiri dinamai
oleh ayahku, Rara Wilis."
Mahesa Jenar mendengarkan jawaban gadis yang
bernama Rara Wilis itu dengan seksama. Pengakuannya,
bahwa ia sama sekali tak mengenal Ki Ageng Pandan Alas
semakin menarik perhatian Mahesa Jenar. Mendadak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berkilatlah dalam hatinya, suatu keinginan untuk mengetahui rahasia yang menyelubungi gadis itu. Sehingga
berkatalah Mahesa Jenar, "Bapak-bapak para pengawal,
serta saudara-saudara seperjalanan.
Barangkali aku mempunyai suatu cara yang dapat memenuhi kehendak
kalian. Sebaiknya kalian kembali dengan para pengawal,
mungkin tak akan banyak menemui halangan, sedangkan
gadis ini, yang berkeras hendak melanjutkan perjalanan dan
menemui kakeknya, biarlah aku antarkan saja. Sebab
perjalanan ke Pliridan bukanlah suatu pekerjaan yang
ringan." Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu melonjaklah
kegirangan di hati Rara Wilis. Tiba-tiba matanya yang
berkaca-kaca itu jadi berkilat-kilat. Tetapi sebentar
kemudian kembali perasaan kegadisannya menguasai
dirinya, sehingga wajahnya jadi kemerah-merahan, serta
kembali ia menundukkan mukanya.
Mahesa Jenar pun menangkap perubahan wajah Rara
Wilis. Dan tidak disadarinya hatinya pun bergoncang.
Sebaliknya beberapa orang lain menjadi kecewa mendengar
keputusan Mahesa Jenar untuk tidak menyertai mereka
kembali. Sebab bersama sama dengan Mahesa Jenar,
mereka semua merasa bahwa keamanan mereka terjamin.
Sementara itu kembali Mahesa Jenar berunding dengan
para pengawal, serta memberi petunjuk mengenai
beberapa kemungkinan. Sehingga akhirnya terdapat suatu
keputusan, bahwa mereka semuanya akan kembali dengan
para pengawal, sedangkan Mahesa Jenar sendiri akan
mengantar Rara Wilis sampai ke Pliridan.
Demikianlah pada malam itu hampir tak seorang pun
dapat tidur, kecuali beberapa orang, karena lelah lahir dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
batin, seakan-akan terlena sambil bersandar di pokok
pepohonan. Berbeda dengan siang tadi, dimana hari
seakan-akan berlari demikian cepatnya, malam itu rasa-
rasanya tak bergerak. Suara binatang malam, serta desiran
angin rimba terasa sangat menjemukan dan menakutkan.
Mereka semua mengharap agar malam lekas berakhir.
Sehingga cepat-cepat mereka dapat pergi meninggalkan
tempat yang mengerikan itu.
Baru setelah mereka mengalami kejemuan yang luar
biasa, terdengar ayam rimba berkokok bersahut-sahutan.
Dari celah-celah kelebatan dedaunan hutan, tampaklah
membayang warna merah di langit. Segera orang-orang itu
semua mengatur barang-barangnya dan menyiapkan diri
untuk menempuh perjalanan yang berlawanan dengan yang
ditempuhnya kemarin, kecuali Rara Wilis yang setelah
menerima kembali kerisnya akan melanjutkan perjalanannya ke Pliridan, diantar oleh Mahesa Jenar
sendiri. ----------odwOkzo-----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Maka setelah semuanya bersiap, serta setelah para
pengawal dan mereka yang mengadakan perjalanan sekali
lagi mengucapkan terimakasih kepada Mahesa Jenar,
mulailah mereka berangkat kembali. Di depan sendiri
berjalan pengawal tua itu dengan senjata di tangan. Baru
setelah rombongan itu lenyap dibalik pepohonan, Rara Wilis
beserta Mahesa Jenar pun berangkat melanjutkan
perjalanan ke barat, ke daerah Pliridan.
Di perjalanan, tidak banyak yang mereka percakapkan,
kecuali apabila Mahesa Jenar memandang perlu untuk
memberitahukan tempat-tempat berbahaya atau binatang
binatang berbisa. Tetapi perjalanan Mahesa Jenar sekarang bertambah
laju, karena tidak harus bersama-sama dengan rombongan
yang besar. Sekali dua kali Mahesa Jenar pun harus berlaku
seperti pemimpin rombongan pengawal, menuntun bahkan
menggendong Rara Wilis apabila jalan sangat sulit,
meskipun keduanya agak segan-segan. Tetapi terpaksalah
hal itu dilakukan. Sebab memang sekali dua kali mereka
menjumpai rintangan yang berat.
Demikianlah mereka berjalan terus seakan-akan tak
mengenal lelah. Bagi Rara Wilis, perjalanan ini, meskipun
melewati daerah hutan yang tak kalah liarnya dengan yang
ditempuh kemarin, tetapi rasanya tidak begitu berat.
Bahkan setelah lebih dari setengah hari ia berjalan, sama-
sekali tak terasa lelah olehnya, haus ataupun lapar.
Perjalanan yang begitu sulit itu bagaikan sebuah
tamasya, diantara kehijauan ladang serta keindahan taman.
Gemerisik daun kering yang dilemparkan oleh angin,
terdengar merdunya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Rara Wilis sendiri tidak begitu menyadari, kenapa hatinya
menjadi sedemikian bening dan cerah.
Tidak banyak hal yang mereka temui di perjalanan.
Ketika malam datang, mereka beristirahat di bawah sebuah
pohon yang cukup besar. Setelah rumput-rumput liar di
bawah pohon itu dibersihkan, segera Rara Wilis
merentangkan tikarnya, sedangkan Mahesa Jenar mengumpulkan kayu dan kemudian menyalakan api.
Malam itu pun dilampauinya dengan tak ada sesuatu
yang terjadi. Pagi-pagi setelah mereka mempersiapkan diri,
segera perjalanan pun dilanjutkan.
Perjalanan itu masih harus melampaui satu malam lagi.
Maka pada hari ketiga itu, Rara Wilis serta Mahesa Jenar
menempuh perjalanan yang terakhir untuk mencapai
daerah Pliridan. Demikianlah, ketika matahari telah miring ke barat, hutan
Tambakbaya semakin lama semakin bertambah tipis.
Pepohonan tidak lagi selebat dan liar seperti daerah
pedalaman. Sementara itu terasa debaran jantung yang
aneh dalam dada Rara Wilis. Telah lebih sepuluh tahun ia
tak berjumpa dengan kakeknya. Sekarang, ia ingin
mencarinya di daerah yang tak dikenalnya.
Sebentar kemudian mereka telah sampai pada perbatasan hutan. Di depan mereka tinggallah beberapa
grumbul kecil yang tidak begitu berarti.
"Inilah daerah Pliridan," gumam Mahesa Jenar hampir
kepada dirinya sendiri. Mendengar ucapan Mahesa Jenar, Rara Wilis yang
berjalan di depan jadi terhenti. Beberapa macam perasaan
bercampur aduk di otaknya. Sekali ia menarik nafas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
panjang. Alangkah lega hatinya setelah hutan yang lebat itu
dapat dilewatinya. Tetapi sementara itu lalu kemana ia mesti pergi"
Sekali dua kali ia menoleh kepada Mahesa Jenar.
Wajahnya yang cerah itu menjadi agak suram oleh
kebimbangan hatinya. Mahesa Jenar dapat menangkap
perasaan Rara Wilis. Katanya, "Rara Wilis, dapatkah kau
menunjukkan di daerah manakah kira-kira kakekmu
tinggal?". Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Memang ia sama
sekali tak mengerti arah tempat tinggal kakeknya. Ia hanya
mendengar, bahwa kakek itu tinggal di daerah Pliridan.
Mahesa Jenar pun sementara itu menjadi agak
berbimbang pula. Ia beberapa tahun yang lalu pernah
mengenal daerah ini. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang,
ternyata mengalami banyak perubahan.
"Tuan," kata Rara Wilis dengan penuh keragu-raguan,
"Aku sama sekali tidak membayangkan kalau demikianlah
keadaan daerah Pliridan. Menurut gambaran angan-
anganku. Pliridan adalah sebuah desa yang dilingkungi oleh
persawahan dan ladang. Tetapi ternyata daerah ini
hanyalah padang rumput yang diselingi oleh gerumbul-
gerumbul liar."
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi aku kira tidaklah demikian seluruhnya, Rara Wilis.
Beberapa tahun yang lalu, desa-desa seperti yang kau
bayangkan itu memang pernah ada. Entahlah kenapa
sekarang keadaan itu berubah. Meskipun demikian aku
yakin, bahwa di sekitar daerah ini masih juga didiami orang.
Karena itu baiklah kita coba mencarinya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Di wajah Rara Wilis masih saja membayang kebimbangan
hatinya, bahkan kebimbangan itu kemudian berubah
menjadi suatu ketakutan. Bagaimanakah kalau ia tak dapat
menemui kakeknya" Pastilah, bahwa Mahesa Jenar tak akan
dapat terus-menerus menemaninya. Melihat perubahan
wajah Rara Wilis, Mahesa Jenar pun menangkap
perasaannya, karena itu ia mencoba menghiburnya. "Rara
Wilis, tak usah kau merasa takut. Aku masih mempunyai
perasaan kuat, bahwa di sini masih didiami orang.
Seandainya tidak demikian, maka aku bersedia mengantar
kau pulang ke rumah ayahmu."
Tetapi akibat perkataan itu adalah sebaliknya dari yang
diharapkan. Karenanya Mahesa Jenar menjadi terkejut
sekali ketika dilihatnya Rara Wilis malahan meneteskan air
mata. Meskipun sudah ditahan sekuat-kuatnya.
Sekarang Mahesa Jenar yang kebingungan. Sekali lagi ia
merasa demikian tumpulnya perasaannya. Ia pernah
mengalami suasana yang bersamaan, meskipun keadaannya berbeda. Yaitu pada waktu ia berhadapan
dengan Nyai Wirasaba. Pada saat itu juga ia menjadi
kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan.
Sekarang Rara Wilis itu pun menangis di hadapannya
tanpa sebab. Justru pada saat ia berusaha untuk
menghiburnya. Karena itu perasaannya menjadi tidak enak
sekali. Tetapi setelah ia mempunyai sebuah pengalaman yang
tak menyenangkan, ia tidak lagi mau menebak-nebak. Maka
terlintaslah dalam pikirannya, bahwa jalan yang terbaik
adalah menanyakan sebabnya, kenapa Rara Wilis menangis.
Mendapat pikiran yang demikian, Mahesa Jenar menjadi
agak lega sedikit. Dan dengan hati-hati sekali ia mencoba
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bertanya. "Rara Wilis, aku telah mencoba untuk
menenangkan hatimu, tetapi justru akibatnya adalah
sebaliknya. Karena itu, dapatkah aku menanyakan, apakah
sebabnya kau menangis?"
Rara Wilis tidak segera menjawab. Ia melangkah
beberapa kali ke samping, dan kemudian menjatuhkan
dirinya duduk di rumput-rumput liar. Dari matanya masih
saja terurai tetesan-tetesan airmata. Baru setelah beberapa
saat, ia menjawab dengan kata-kata yang tersekat-sekat.
"Tuan, aku merasa bersyukur, bahwa aku dapat berjumpa
dengan seorang yang demikian baik hati seperti Tuan.
Karena itu tak adalah jalan bagiku untuk menyatakan
terima kasihku yang tak terhingga. Tetapi sangatlah
menyesal Tuan ..., bahwa kalau aku tak dapat menemukan
kakekku, aku tak dapat kembali kepada ayahku. Meskipun
ayahku dahulu tergolong orang yang berada, tetapi tak
adalah tempat bagiku di sana."
Mahesa Jenar menjadi semakin menebak-nebak tentang
keadaan gadis aneh itu. Rupanya banyak rahasia yang
menyelubungi dirinya, sehingga ia terpaksa menempuh
perjalanan yang sedemikian berbahayanya.
"Rara Wilis," tanyanya kemudian, "aku bukanlah ingin
terlalu banyak mengetahui tentang dirimu, tetapi bagiku
kau adalah seorang gadis yang diselubungi oleh kabut
rahasia yang kelam."
"Mungkin Tuan benar," jawab Rara Wilis, "Tetapi buat
tuan tidaklah sepantasnya kalau aku menyembunyikan
sesuatu rahasia." Matanya yang bulat tetapi sayu itu
memandang Mahesa Jenar, seperti mata kanak-kanak yang
minta perlindungan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang
harus dilakukan. Di luar kesadarannya ia pun ikut serta
duduk diatas rumput-rumput liar.
"Tuan," Rara Wilis mulai dengan ceritanya, "ayahku
adalah seorang yang banyak mempunyai pengaruh di
daerah Pegunungan Kidul. Meskipun daerah itu tandus dan
kering, tetapi ayahku mempunyai peternakan yang cukup,
sehingga dapatlah ia digolongkan orang berada. Tetapi
ibuku adalah keturunan orang yang miskin. Kakekku
semasa masih tinggal di Pegunungan Kidul, tidaklah lebih
dari seorang buruh yang bekerja dengan upah yang sangat
kecil. Meskipun demikian kakek termasuk orang yang tidak
mau menjadi beban orang lain. Sepuluh tahun yang lalu
kakek yang merasa kehidupannya semakin hari semakin
sulit, terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman.
Memang sebelum itupun kakek adalah seorang perantau.
Mungkin ini disebabkan oleh kehidupannya yang sulit,
sehingga pada saat-saat tertentu, yaitu pada saat paceklik,
kakek pergi meninggalkan kampung untuk beberapa bulan.
Tetapi sejak 10 tahun yang lalu, kakek tidak kembali
pulang. Meskipun pada masa kanak-kanakku, apabila kakek
berada di rumah, selalu digendongnya kemana ia pergi.
Kepergiannya tidak terlalu lama mempengaruhi perasaanku.
Sebab ayah dan ibuku selalu memanjakan aku. Tetapi
akhir-akhir ini terjadilah peristiwa-peristiwa yang merusak
kehidupan damai itu. Beberapa tahun yang lalu, di kampung
halamanku, datanglah seorang perempuan dari Bagelen.
Kelakuannya tidaklah seperti lazimnya perempuan- perempuan di daerah kami. Di daerah kami banyak
pendekar yang ternama, termasuk ayahku yang bernama Ki
Panutan. Tetapi tidaklah biasa seorang perempuan jadi
pendekar. Berbeda halnya dengan perempuan pendatang
itu. Ternyata ia adalah seorang pendekar perempuan, yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak diduga-duga. Ia pun telah dapat mengalahkan
beberapa pendekar ternama di daerah kami." Rara Wilis
berhenti sejenak. Alisnya tampak berkerut. Ia mencoba
mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah berlaku.
"Tuan ...," sambungnya beberapa saat kemudian.
"Keanehan perempuan itu tidak saja pada kependekarannya, tetapi juga pada tingkah lakunya.
Kadang-kadang ia bersikap garang dan kasar seperti halnya
pendekar laki-laki di daerah kami. Tetapi kadang-kadang ia
menjadi lunak dan mesra, penuh sifat halus seorang wanita.
Rupanya gabungan dari kedua sifat-sifat itulah yang
telah memecahkan kebahagiaan rumah-tangga kami. Sebab
ternyata hubungan perempuan itu dengan ayahku semakin
hari semakin rapat. Ibuku adalah perempuan lugu, yang
hanya dapat bekerja di dapur dan meladeni seorang suami
seperti apa yang dilakukan perempuan-perempuan lain di
desa kami. Ibuku tidaklah dapat memberi saran, nasihat
atau apapun semacam itu kepada ayahku sebagai seorang
pendekar. Juga ibuku tidak pandai merayu hati laki-laki.
Dan karena itulah maka semakin dekat ayahku dengan
perempuan pendatang itu, semakin jauh ia dari ibuku.
Rupanya hal itu dapat dilihat oleh penduduk di daerah kami,
sehingga menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan. Tetapi lebih daripada itu, ayah pun
perangainya seakan-akan berubah. Ia pun kemudian
mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Minum minuman
keras dan hal-hal kasar lainnya. Kepadaku pun ayah
menjadi semakin jauh pula.
Alangkah benciku kepada perempuan itu, seperti ia juga
sangat benci kepadaku. Bahkan ia selalu menyakitiku tanpa
ada pembelaan dari ayah, apalagi ibu yang hanya dapat
memelukku dan menangisi. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Waktu itu, tak banyak yang dapat aku ketahui, selain
pada suatu hari datanglah beberapa orang pendekar
terkenal, yang dulu adalah sahabat-sahabat ayahku. Tanpa
kuketahui sebab-sebabnya, mereka bertempur melawan
ayahku serta perempuan pendatang itu. Rupanya ayahku
memang seorang pendekar pilihan dan perempuan itu pun
tak kalah garangnya. Sehingga meskipun ayah dan
perempuan itu dikerubut, tetapi dapat juga memberi
perlawanan yang berarti. Ibuku sendiri waktu itu tak dapat
berbuat lain, kecuali memelukku dan menangis sejadi-
jadinya di belakang dapur rumah kami.
Akhirnya ..., bagaimanapun kuatnya ayahku serta
perempuan pendatang itu, namun tidaklah dapat menahan
arus kemarahan pendekar-pendekar ternama di dareh kami
yang demikian banyak jumlahnya. Sehingga sejak itu,
ayahku pergi dengan perempuan pendatang itu, dan tidak
pernah kembali. Sejak itu pula ibu selalu menanggung kesedihan yang
tak terhingga, meskipun anehnya, tetangga-tetangga
bersikap baik sekali. Bahkan para pendekar yang
mengerubut ayahku, bersikap manis sekali kepada ibuku.
Bahkan istri-istri mereka selalu berusaha untuk dapat
bercakap-cakap dan menghibur ibuku. Tetapi rupanya ibuku
lebih suka mengurung dirinya serta membenamkan diri
dalam duka." Kata Rara Wilis, "beberapa tahun kemudian
membayanglah puncak kesedihan yang bakal terjadi. Ibuku
sakit. Semakin lama sakit itu semakin keras dan seolah-olah
sudah terasa, bahwa sakit itu tak akan dapat diobati.
Ternak kami yang sekian banyaknya, kekayaan kami, tidak
dapat membendung arus kematian yang semakin lama
semakin deras bergulung-gulung menghantam tebing-
tebing kehidupan ibuku. Maka setelah beberapa tahun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kemudian dari kepergian ayahku, ibuku menutup mata,
serta meninggalkan keris yang Tuan namakan Sigar Penjalin
itu kepadaku, sebagai suatu bukti bahwa aku adalah
keturunan Ki Santanu dari Pegunungan Kidul. Jadi sama
sekali bukan Ki A geng Pandan Alas dari Wanasaba.
Maka akupun akhirnya merasa, bahwa aku tidak dapat
hidup tanpa ada satu pun yang aku cintai. Meskipun aku
mendapat warisan yang cukup banyak, tetapi semuanya itu
tak berarti bagi hidupku yang kering." Rara Wilis mengakhiri
ceriteranya dengan sedu-sedan yang seperti meledak dari
rongga dadanya. Mahesa Jenar mendengarkan ceritera Rara Wilis itu
dengan penuh haru. Rupanya kegersangan hati gadis itulah
yang mendorongnya untuk menempuh jalan yang sangat
berbahaya, mencari kakeknya, sekadar untuk dapat
menyangkutkan cinta serta harapannya. Mungkin ia
mengharapkan kakeknya suka kembali ke kampung
halaman, untuk bersama-sama hidup dalam suasana yang
hanya dapat dikenangnya kembali.
Tetapi, meskipun Mahesa Jenar dapat ikut serta
sepenuhnya merasakan betapa keringnya hidup tanpa
sangkutan cinta, namun ia tidak dapat berbuat suatu untuk
menenangkan hati gadis cantik itu. Oleh karenanya ia
menjadi gelisah sendiri. Perlahan-lahan ia berdiri lalu
berjalan mondar-mandir tanpa tujuan.
Sementara itu, matahari telah hampir menyelesaikan
perjalanannya yang sunyi mengarungi langit. Cahayanya
yang masih ketinggalan, tampak gemerlapan di atas
punggung-punggung bukit. Mahesa Jenar masih saja berjalan mondar-mandir
dengan gelisahnya. Dalam hatinya berkecamuk perasaan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
heran yang tiada habis-habisnya. Bagaimana mungkin
seorang ayah dapat melupakan putrinya, hanya karena
seorang perempuan yang tak dikenal asal-usulnya,
sehingga ia telah melepaskan hari depan gadisnya serta
hari depan garis keturunannya"
Beberapa saat kemudian, ketika Rara Wilis telah menjadi
agak tenang, Mahesa Jenar pun segera mempersilahkannya
untuk berjalan kembali. Sebab bagaimanapun Mahesa Jenar
masih mengharapkan untuk dapat menjumpai seseorang di
daerah ini. Perjalanan di daerah ini tidaklah sesulit berjalan di hutan.
Mereka hampir tidak pernah menemui rintangan-rintangan
yang berarti. Setelah mereka berjalan beberapa saat, tiba-tiba Mahesa
Jenar berhenti. Matanya memandang ke satu arah dengan
tajamnya, dan sejenak kemudian ia meloncat beberapa
langkah, lalu berjongkok, mengamati sesuatu. Rara Wilis
terkejut bercampur heran melihat tingkah laku Mahesa
Jenar. Ia pun segera berlari dan ikut serta mengamati arah
yang sama. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Karena itu
dengan herannya ia bertanya, "Tuan, adakah Tuan melihat
sesuatu" " "Rara Wilis .... Lihat rumput-rumput ini," jawab Mahesa
Jenar. Rara Wilis memandang rumput yang ditunjuk oleh
Mahesa Jenar itu dengan seksama, tetapi ia tetap tidak
melihat sesuatu. "Ada apa dengan rumput-rumput itu"," tanyanya.
"Lihatlah, rumput ini rebah dan patah-patah. Lihatlah di
tempat itu, juga terdapat hal yang sama, juga di sebelah
sana dan sana. Kau tahu artinya" Apalagi di tempat yang
tanahnya agak gembur ini."
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Rupanya otak Rara Wilis pun tidak begitu tumpul,
sehingga ia berteriak menebak. "Telapak kaki manusia ...?"
"Ya," sahut Mahesa Jenar. "Telapak kaki yang masih agak
baru. Pasti seseorang baru saja melewati daerah ini.
Mungkin ia adalah penduduk daerah Pliridan ini, atau
mungkin...." Mahesa Jenar tidak melanjutkan perkataannya.
Tetapi Rara Wilis dapat menangkap kelanjutannya.
"Mudah-mudahan bukanlah penjahat-penjahat itulah
yang sengaja dikirim untuk mematai-matai perjalanan kita"
katanya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak. Otaknya
bekerja keras untuk mencoba menebak, siapakah kira-kira
yang meninggalkan bekas tapak kaki yang masih segar itu.
Menurut pendapatnya, ada empat kemungkinan, yaitu
penduduk setempat, Jaka Soka, Pasingsingan, atau Ki
Ageng Pandan Alas. Diam-diam ia membandingkan telapak
kaki itu dengan telapak kakinya sendiri. Ternyata telapak
kaki itu agak lebih dalam. Menurut pendapatnya, pastilah
orang itu adalah orang yang gemuk sekali, atau orang yang
membawa beban agak berat. Tiba-tiba terlintaslah dalam
benaknya, bahwa Pasingsingan adalah kemungkinan yang
paling dekat, sebab Pasingsingan dalam perjalanannya
kembali ke Pasiraman mendukung Lawa Ijo yang terluka.
Dan tidaklah mustahil kalau jalan ini dilewati, sebab arah
perjalanannya sesuai dengan arah jalan ini.
Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar. Ia tidak ingin
menggelisahkan hati gadis itu. Karena itu ia menjawab,"
Tidaklah begitu penting Rara Wilis, tetapi sebaiknya kita
beralih jalan." Rara Wilis mengerutkan dahinya, otaknya memang cukup
cerdas, karena itu ia menjawab, "Kalau Tuan sampai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menganggap perlu untuk menempuh jalan lain, pastilah ada
sesuatu yang sangat penting. Katakanlah Tuan, supaya aku
tidak usah menebak-nebak."
Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain, kecuali
mengatakan segala sesuatu yang berkecamuk di dalam
otaknya. Rara Wilis pun sependapat dengan pikiran itu.
Maka mereka memutuskan untuk mencari jalan lain.
Demikianlah mereka meninggalkan dan menjauhi jalan
setapak yang paling mungkin dilalui orang. Mereka
membelok ke arah selatan, menyusup gerumbul-gerumbul
kecil menuju ke arah pepohonan yang agak lebat di depan
mereka. Mungkin di daerah itu terdapat mata air, atau
tempat yang aman untuk bermalam, atau sukurlah kalau
didiami orang. Ketika mereka sampai, ternyata tempat itu tidak juga
ditinggali manusia. Memang, di sana terdapat sebuah mata
air yang mengalirkan air cukup deras, dan ditampung dalam
sebuah telaga yang hijau bening.
Pada saat itu, matahari telah sampai di garis cakrawala.
Sinarnya sudah tidak lagi dapat menembus takbir gelapnya
malam, yang turun perlahan-lahan, tetapi pasti akan
menelan bumi. Mehesa Jenar pun segera mengadakan persiapan untuk
bermalam. Hanya untuk kali itu, menurut pertimbangan
Mahesa Jenar, sebaiknyalah kalau tidak menyalakan api,
meskipun Mahesa Jenar sadar bahwa andaikata bekas-
bekas kaki tadi benar-benar bekas kaki Pasingsingan,
pastilah ia tidak sengaja akan menjebaknya. Sebagai orang
seperti Pasingsingan, apabila dikehendaki tentu tidak akan
meninggalkan jejak sedemikian jelasnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Meskipun demikian Mahesa Jenar harus selalu tetap
waspada. Dipersilahkan Rara Wilis untuk beristirahat,
berbaring di atas tikar yang masih saja dibawanya ke mana-
mana. Sedang Mahesa Jenar sendiri duduk bersandar
pohon sambil memperhatikan suasana di sekitarnya.
Alam pun segera menjadi hitam. Untunglah, bahwa bulan
yang remaja menghiasi langit diantara taburan bintang-
bintang. Sehingga sinarnya yang remang-remang dapat
menembus dedaunan yang tidak begitu lebat seperti
lebatnya hutan. Mata Mahesa Jenar yang tajam itu selalu menembus
keremangan malam untuk menangkap tiap-tiap gerakan
yang mungkin mencurigakan. Tetapi tiba-tiba saja mata itu
terbanting ke tubuh seorang gadis cantik yang berbaring
diam di depannya. Dengan demikian jantungnya berdesir
cepat tanpa sesadar. Ia pernah bertemu, melihat dan berkenalan dengan
puluhan bahkan ratusan gadis cantik. Bahkan ia pernah
berkenalan dengan seorang yang menurut pendapatnya
memiliki kecantikan yang sempurna, yaitu Nyai Wirasaba.
Tetapi tidaklah pernah ia merasakan suatu getaran yang
aneh seperti dirasakannya pada malam itu. Diam-diam
Mahesa Jenar memandangi tubuh yang terbaring seperti
sebuah golek kencana itu. Dari ujung kakinya, tangannya,
dadanya sampai ke rambutnya yang bergerak-gerak dibelai
angin malam yang berhembus lirih.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebagai
manusia biasa, Mahesa Jenar juga kadang-kadang
membayangkan suatu rumahtangga yang tenteram dan
lumrah. Tetapi segera Mahesa Jenar dapat langsung
memandang ke dirinya sendiri. Ia tidak lebih dari seorang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perantau yang akan menjelajahi desa demi desa, hutan
demi hutan, untuk mengabdikan keyakinannya. Untuk itu,
maka masih banyaklah yang harus dikerjakan.
Karenanya, oleh kesadarannya tentang dirinya, maka
segala perasaan-perasaan yang berdesir di hatinya
terhadap gadis cantik itu segera didesak sekuat-kuatnya.
Maka dengan serta merta direnggutkannya pandangannya dari tubuh Rara Wilis, dan segera
dilemparkan kembali ke arah bayang-bayang daun dan
ranting-ranting yang selalu bergerak-gerak, seolah-olah
sedang mengganggunya. Sedang angin malam yang berdesir di dedaunan masih
saja menyapu wajahnya, dan sekali-sekali terdengar di
kejauhan ringkik kuda liar yang terkejut mendengar
teriakan-teriakan anjing hutan.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja ia
terbanting kembali ke dalam suasana yang kini sedang
dihadapi. Suatu daerah asing yang diliputi oleh suasana
yang membahayakan. Segera diangkatnya kepalanya, serta
diperhatikannya keadaan di sekelilingnya dengan saksama.
Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang luas,
Mahesa Jenar mendapatkan suatu firasat, bahwa ada
sesuatu yang mencurigakan. Mendadak telinganya yang
tajam itu mendengar suara berdesir lambat sekali. Tetapi
Mahesa Jenar sudah cukup mendapat gambaran bahwa
seseorang datang mendekatinya. Orang itu pasti bukanlah
orang yang mempunyai ilmu yang terlalu tinggi. Sebab
gerak serta pernafasannya tidaklah dikuasainya dengan
baik. Karena itu sekaligus Mahesa Jenar dapat mengetahui
dari arah mana orang itu datang. Tetapi ia tidak segera
mengadakan tindakan apa-apa. Ia ingin mengetahui lebih
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dahulu, apakah kira-kira maksud orang itu mengintainya.
Karena itu ia tetap duduk di tempatnya, serta bersikap
seperti tak mengetahuinya. Meskipun dalam keadaan yang
demikian ia sudah bersiaga untuk menghadapi segala
kemungkinan. Suara berdesir itu pun semakin lama semakin jelas, serta
suara tarikan nafasnya semakin memburu pula. Tetapi pada
jarak tertentu suara itu tidak lagi maju. Rupanya orang itu
baru mempersiapkan diri untuk menyerang.
Mendadak Mahesa Jenar terkejut ketika mendengar
suara itu mundur dan menjauh. Segera Mahesa Jenar tahu,
bahwa orang itu tidak bermaksud menyerang, tetapi hanya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengintai saja. Hal yang demikian itu malahan akan dapat
mengandung bahaya yang lebih besar. Karena itu segera
Mahesa Jenar bangkit dan dengan beberapa loncatan saja
ia sudah berdiri di samping orang yang mengintainya.
Orang itu terkejut. Mahesa Jenar yang dikira tidak
mengetahui kehadirannya, kini tiba-tiba sudah ada di
sampingnya. Karena itu tidaklah mungkin ia dapat
melepaskan diri. Dengan demikian ia menghentikan
langkahnya, dan tidak ada jalan lain kecuali mendahului
menyerang. Orang itu segera mengangkat goloknya, dan
dengan sekuat tenaga dibabatnya pundak Mahesa Jenar.
Mendapat serangan yang tiba-tiba, Mahesa Jenar menjadi
terkejut pula. Ternyata meskipun orang itu tidak dapat
menguasai pernafasannya dengan baik, tetapi ia mempunyai keistimewaan pula.
Mendengar desing golok yang terayun deras sekali,
Mahesa Jenar barulah dapat mengukur kekuatan tenaga
orang asing itu. Ketika golok itu sudah hampir menyinggung
tubuhnya, segera Mahesa Jenar berkisar sedikit, serta
meloncat selangkah ke samping. Dengan demikian golok
yang tak mengenai sasarannya itu terayun deras sekali,
sehingga oran gyang memegangnya agak kehilangan
keseimbangan. Dalam keadaan yang demikian Mahesa
Jenar segera meloncat maju dan menangkap pergelangan
tangan orang itu, langsung diputarnya ke belakang. Dengan
sekali dorong, orang itu telah jatuh tertelungkup dan tidak
dapat bergerak lagi, kecuali berdesis menahan sakit.
"Kau siapa"," tanya Mahesa Jenar geram. Tetapi orang
itu tidak menjawab. Demikianlah sampai Mahesa Jenar
mengulangi pertanyaan itu dua kali. Akhirnya Mahesa Jenar
menjadi jengkel dan menekan punggung orang itu semakin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kuat serta memutar tangan yang terpuntir itu semakin
keras, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.
"Kalau kau tidak menjawab," desak Mahesa Jenar,
"tanganmu akan aku patahkan,"
Rupanya orang itu pun masih merasa perlu memiliki
tangan sehingga dengan terpaksa menjawab, "Aku adalah
Sagotra." "Apa maksudmu mengintai kami" " desak Mahesa Jenar
lebih lanjut. Kembali orang itu diam saja. Mahesa Jenar
menjadi semakin jengkel, dan ia menekan orang itu lebih
keras lagi, sehingga orang itu mengaduh lebih keras pula.
"Jawablah! Atau tanganmu betul-betul patah." Mahesa
Jenar makin geram. "Tak ada gunanya kau memaksa aku berkata lebih
banyak lagi," jawabnya. Rupa-rupanya ia harus merahasiakan tugasnya betul-betul, sehingga sampai ke
ajalnya kalau perlu. "Keadaanku sudah pasti," sambungny, "berkata atau tidak
berkata, aku akan menemui kematian. Karena itu biarlah
aku mati dengan menggenggam rahasia."
Mahesa Jenar kagum juga melihat kejantanan orang itu,
sampai berani menantang maut. Tetapi ia ingin untuk
mendapat keterangan tentang maksud orang itu, yang pasti
tidak baik. Maka setelah mendapat suatu cara ia berkata,
"Baiklah, kalau kau tidak mau berkata. Aku hormati
kejantananmu. Tetapi janganlah tanggung-tanggung. Aku
ingin melihat pameran kesetiaan. Kau pernah mendengar
cerita, bahwa di daerah ini banyak terdapat Ngangrang
Salaka..." " Mendengar Mahesa Jenar menyebut Ngangrang Salaka,
tengkuk orang itu serentak meremang. Jantungnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berdegup hebat, sampai tubuhnya terasa gemetar.
Ngangrang Salaka adalah sejenis semut ngangrang yang
luar biasa buas serta rakusnya. Binatang apapun yang
sampai terperosok ke sarangnya pasti hancur dimakannya.
Keluarga semut itu membuat sarang di bawah pohon-pohon
yang sudah membusuk, dengan memerlukan tanah 10 atau
15 langkah persegi. Tubuh semut itu besarnya tidak terpaut
banyak dengan semut ngangrang biasa, hanya warnanya
yang merah mempunyai beberapa baris-baris putih perak.
Mahesa Jenar merasakan, bahwa kata-katanya mempunyai akibat pada orang itu. Dengan demikian ia
melanjutkan, "Kalau kau belum pernah mendengar, baiklah
kau akan aku perkenalkan dengan semut itu. Tetapi
sebelumnya lebih baik kalau kakimu aku patahkan dulu
supaya kau tidak dapat lari darinya." Selesai mengucapkan
kata-kata itu, segera Mahesa Jenar melepaskan tangan
orang itu. Tetapi segera pula menangkap kaki dan
melipatnya. Pergelangan kaki kirinya dijepitkan pada lipatan
lutut kaki kanan, sedang tangan Mahesa Jenar siap
mematahkan pergelangan kaki kanan orang itu. "Jangan...,
jangan...!" teriak orang itu tiba-tiba. "Bunuhlah aku dengan
cara lain. Tetapi aku jangan kau siksa di sarang semut
Salaka" "Itu adalah urusanku." jawab Mahesa Jenar seenaknya,
"Sekehendakkulah untuk memilih cara bagaimana sebaiknya
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuh kau,". Tampaknya Mahesa Jenar betul-betul akan melaksanakan ucapannya itu, karenanya maka kembali
orang itu berteriak, "Jangan, jangan, bunuhlah aku dengan
cara lain." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kembali Mahesa Jenar tertawa dingin. "Seorang yang
telah berani menyatakan dirinya sebagai pengemban tugas,
seharusnya tidak takut menghadapi segala macam bahaya."
"Aku sama sekali tidak takut mati." teriak orang itu,
"Tetapi cara kematian yang demikian adalah mengerikan
sekali. Lepaskan aku dan biarlah aku bunuh diri".
Kembali Mahesa Jenar mengagumi orang itu, tetapi
keterangan yang diperlukan harus didapatnya. Maka
katanya, "Kalau kau mau berkata, aku beri kau kebebasan
untuk memilih jalan kematian."
Lagi orang itu diam menimbang-nimbang. Rupanya
terjadi pergolakan hebat di dalam dirinya. Baru ketika
Mahesa Jenar menekan pergelangan kakinya ia berteriak,
"Baiklah aku berkata asal aku dibebaskan dari siksaan
ngangrang Salaka." "Baiklah...," jawab Mahesa Jenar, "berkatalah." Lalu
dilepaskannya pergelangan kaki orang itu, dan ia
melangkah satu langkah surut. Mengalami perlakuan yang
demikian, orang itu ternyata sangat terkejut. Ia tidak tahu
maksud lawannya yang dengan begitu saja telah
melepaskan tangkapannya. Sehingga untuk beberapa saat
ia tetap tertelungkup tanpa bergerak, sampai Mahesa Jenar
menegurnya, "Duduklah dan berkatalah."
Kembali ia tersentak mendengar tegur Mahesa Jenar.
Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di hadapan Mahesa
Jenar. Sementara itu Mahesa Jenar telah pula duduk
menghadapi orang yang menamakan dirinya Sagotra.
Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang
hampir tak berkedip. Rupanya ia sedang mencoba
memahami sikapnya. Mula-mula Sagotra menganggap
bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang bengis dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kejam, seperti yang tiap-tiap hari dilihat di dalam tata
pergaulannya. Tetapi kemudian seperti orang yang sama
sekali tidak menaruh prasangka apa-apa, ia dilepaskan.
Kalau hal itu disebabkan karena keyakinan akan
kemenangannya, pastilah ia tidak bersikap sedemikian
lunak. Mungkin ia sudah diangkatnya tinggi-tinggi, diputar
di udara, lalu dibantingnya ke tanah. Barulah setelah
setengah mati, disuruhnya ia berkata. Atau mungkinkah
segala-galanya akan dilakukan nanti setelah ia selesai
berkata" Sebab menurut pertimbangannya, tidaklah
mungkin orang yang melakukan pengintaian seperti apa
yang dilakukannya itu akan dilepaskan, karena akibatnya
akan membahayakan. Mengingat hal itu, Sagotra menjadi
ngeri. Mahesa Jenar menangkap kebimbangan hati Sagotra.
"Sagotra, berkatalah. Aku hanya ingin keteranganmu, lebih
daripada itu tidak."
Sagotra sama sekali tidak mengerti maksud Mahesa
Jenar. Tetapi meskipun demikian ketakutannya menjadi
jauh berkurang. Menilik sikap, kata-kata serta maksudnya,
pastilah Mahesa Jenar bukan orang yang bengis dan kejam.
Karena itu Sagotra menjadi malu kepada diri sendiri. Bahwa
orang yang dipercaya untuk melakukan tugas ini dapat
luluh hatinya hanya oleh gertakan saja. Tetapi disamping itu
ia menjadi kagum pada Mahesa Jenar yang mempunyai
sifat-sifat yang tak pernah dijumpainya dalam tata
pergaulan di sarangnya. Tiba-tiba saja ia merasa kengerian
dan kejemuan untuk dapat bertemu dengan gerombolannya
kembali, yang tidak pernah merasakan betapa indahnya
hidup manusia yang dapat menikmati terbitnya fajar, serta
bulatnya bulan. Serta betapa tenteramnya hidup ini apabila
ia berkesempatan mengagungkan alam. Lebih-lebih SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
penciptanya, Tuhan Yang Maha Agung. Hal yang demikian
tidaklah pernah dialami selama Sagotra hidup di dalam
sarang gerombolannya, dimana setiap saat hanyalah
berlaku hukum kekerasan dan pembunuhan bagi mereka
yang tidak mentaati peraturan.
"Tuan," katanya kemudian, "Benarkah Tuan yang
bernama Rangga Tohjaya?"
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan.
"Aku telah mendapat tugas untuk mencari Tuan,"
lanjutnya. Kembali Mahesa Jenar mengangguk perlahan, katanya,
"Sekarang aku sudah kau ketemukan."
"Ya, aku sudah menemukan Tuan. Tetapi keperkasaan
Tuan jauh diatas dugaanku. Sehingga Tuan tanpa menoleh
dapat melihat kedatanganku."
"Tetapi kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kau
temukan aku" Bahkan kau hanya mengintip lalu pergi?"
Sagotra membetulkan duduknya, lalu jawabnya, "Memang, aku hanya mendapat perintah untuk menemukan
tempat Tuan. Sesudah itu aku harus melaporkan. Sebab
kami yakin, bahwa untuk menangkap Tuan diperlukan 10
sampai 20 orang yang tergolong tingkat atasan dalam
gerombolan kami." "Kau ini sebenarnya termasuk gerombolan apa?" tanya
Mahesa Jenar kemudian. Kembali orang itu ragu-ragu. Dengan menyebutkan nama
gerombolannya, mungkin sangat tidak menguntungkan
baginya. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang
sama sekali tidak memancarkan rasa permusuhan, hatinya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
agak tenang sedikit. Meski dengan jantung berdegup,
berkatalah Sagotra, "Tuan, sebenarnya aku sama sekali
tidak berani menyebut nama gerombolanku, sebab aku tahu
bahwa Tuan mempunyai persoalan yang mendalam dengan
pemimpinku. Meskipun demikian, karena sikap Tuan yang
tak pernah aku temui dalam gerombolan kami, menimbulkan kepercayaan pada diriku, bahwa Tuan
mempunyai kepribadian lain daripada orang-orang kami."
Orang itu berhenti sejenak untuk meyakinkan kata-katanya
sendiri. Lalu sambungnya, "Tuan... kami adalah gerombolan
Lawa Ijo." Pengakuan itu sama sekali tidak mengejutkan hati
Mahesa Jenar. Memang ia sudah mempunyai dugaan bahwa
kemungkinan terbesar orang itu datang dari gerombolan
Lawa Ijo atas perintah Pasingsingan. Hanya kecepatan
mereka bertindak itulah yang mengagumkan.
"Sagotra, kata Mahesa Jenar kemudian, Aku dengar
gerombolan kini sedang dibekukan. Benarkah itu?"
"Benar, Tuan." Jawab Sagotra, "Tetapi meskipun
demikian, kami, beberapa orang tetap dalam tugas kami.
Sedang orang lain yang tidak diperlukan diperkenankan
untuk sementara meninggalkan sarang kami. Tetapi kami
25 orang yang merupakan anggota inti di bawah pimpinan
Wadas Gunung, saudara muda seperguruan Lawa Ijo, harus
selalu bersiap untuk setiap saat bertindak."
Mendengar nama Wadas Gunung, Mahesa Jenar jadi
teringat kepada Watu Gunung, yang menurut Samparan
juga merupakan saudara muda seperguruan dengan Lawa
Ijo. Karena itu ia bertanya, "Sagotra, kenalkah kau dengan
Watu Gunung?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya, pastilah aku kenal." jawab Sagotra, "Ia adalah
saudara kembar Wadas Gunung. Dan kedua-duanya
saudara seperguruan Lawa Ijo. Aku juga sudah mendengar
kabar yang dibawa oleh Ki Pasingsingan, bahwa Watu
Gunung telah Tuan binasakan ketika ia sedang mengunjungi kampung kelahirannya. Serta karena itu
pulalah sekarang kami 20 orang di bawah pimpinan Wadas
Gunung sendiri sedang mencari Tuan."
Mendengar keterangan terakhir dari Sagotra ini hati
Mahesa Jenar tergoncang pula, 20 orang sedang
mencarinya. Sementara itu Sagotra melanjutkan, "Tetapi
anehlah Tuan, bahwa kali ini Ki Pasingsingan salah hitung.
Hal seperti ini belum pernah terjadi. Kami telah mendapat
petunjuk untuk mencegat Tuan di suatu tempat. Menurut
perhitungan Ki Pasingsingan, pada hari ini menjelang
malam Tuan pasti sampai ke tempat itu. Tetapi ternyata
perhitungan itu meleset. Dan tuan telah mengambil jalan
lain menghindari tempat yang telah kami persiapkan untuk
menjebak Tuan. Karena itu, kami lima orang telah
disebarkan untuk mencari Tuan."
Mahesa Jenar mendengarkan keterangan Sagotra dengan
penuh perhatian. Akhirnya ia bertanya, "Kapankah
Pasingsingan sampai ke sarang gerombolanmu" "
"Kemarin lusa, " jawab Sagotra.
"Kemarin lusa?" ulang Mahesa Jenar dengan herannya.
Sulit baginya untuk membayangkan kecepatan berjalan
Pasingsingan. Ditambah lagi ketika ia teringat telapak kaki
yang masih tampak baru, yang ditemuinya sore tadi.
Mahesa Jenar menjadi bertambah heran lagi. Sampai
kemudian ia bertanya, "Adakah orang lain yang kau temui
lewat jalan yang seharusnya aku lalui?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tidak Tuan, tidak ada." Jawab sagotra, "Kalau ada,
pastilah orang itu kami tangkap. Sebab pasti orang itu kami
sangka Tuan, karena diantara kami tidak ada yang pernah
mengenal wajah Tuan, kecuali hanya ciri-ciri Tuan yang
digambarkan oleh Ki Pasingsingan."
Mahesa Jenar menjadi bertambah heran. Adakah pihak
ketiga yang sengaja memberi tanda kepadanya supaya
mengambil jalan lain" Ia jadi bingung menimbang-nimbang.
Tetapi sampai sekian lama tak dapat ia memecahkan teka-
teki itu. Satu-satunya kemungkinan yang membayang di
kepala Mahesa Jenar hanyalah Ki Ageng Pandan Alas.
Belum lagi masalah telapak kaki bisa dipecahkan, mereka
melihat di arah sebelah selatan warna merah membayang
di udara. Pasti di sana ada orang yang menyalakan api.
Segera Mahesa Jenar ingat, bahwa Wadas Gunung beserta
20 orangnya sedang bersiap menghadangnya. Tetapi
menilik arahnya, pasti bukan mereka itu.
"Sagotra...," kata Mahesa Jenar kemudian. "Kawan-
kawanmukah yang menyalakan api itu" "
Sagotra memandang pula ke arah warna merah yang
mewarnai keremangan malam. Ia menggeleng perlahan.
Lalu jawabnya, "Bukan Tuan. Itu pasti bukan kawan-kawan.
Mereka menghadang Tuan tidak di arah itu."
"Lalu siapakah menurut pendapatmu yang menyalakan
api itu?" Sagotra tampak berpikir sejenak dan akhirnya ia
menjawab, "Tuan, mungkin itu adalah orang tua yang agak
kurang waras, yang merupakan satu-satunya penghuni
daerah ini." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Satu-satunya?" sahut Mahesa Jenar agak terkejut. "Jadi
didaerah ini tidak lagi ditinggali manusia kecuali orang tua
itu?" Sagotra menggelengkan kepalanya. "Tidak, Tuan."
katanya kemudian, "Memang daerah ini sekarang sama
sekali kosong, kecuali seorang itu"
"Sagotra," Mahesa Jenar ingin mendapat penjelasan lebih
banyak, "beberapa tahun yang lalu, aku pernah menempuh
perjalanan melewati daerah ini. Di sini banyak aku
ketemukan perkampungan-perkampungan yang dilingkungi
oleh sawah serta ladang. Tetapi, sekarang aku sama sekali
tidak lagi melihat sebuah desa pun di sini. Bahkan seperti
yang kau katakan bahwa di sini tidak lagi ditinggali manusia
kecuali seorang itu saja."
"Benar Tuan," jawab Sagotra, "beberapa tahun yang lalu
memang daerah ini merupakan daerah yang cukup ramai.
Tetapi, sejak Lawa Ijo menghentikan kegiatannya, daerah
ini menjadi daerah yang paling banyak mengalami
keributan. Penjahat-penjahat kecil yang mula-mula sama
sekali tidak berani melakukan kegiatannya di wilayah ini,
seolah-olah mendapat kesempatan untuk berbuat sekehendaknya tanpa ada pengekangan. Pada saat Lawa
Ijo masih melakukan kegiatan, daerah ini merupakan salah
satu daerah yang merupakan lumbung dari gerombolan
kami, yang secara teratur harus menyerahkan semacam
pajak. Tetapi, di samping itu daerah ini mendapatkan
perlindungan langsung dari gerombolan kami, sehingga tak
adalah gerombolan lain yang berani mengganggunya. Baru
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah itu, setelah Lawa Ijo melepaskan wajib pajak bagi
penduduk di daerah ini, serta sejalan dengan pembekuan
gerombolan kami untuk sementara, maka penduduk di
daerah ini tidak lagi dapat melepaskan diri dari keganasan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
gerombolan-geombolan kecil itu. Sehingga semua penduduknya dalam waktu yang singkat sekali telah pergi
mengungsi. Kecuali satu orang itu"
"Kenapa orang itu tidak pergi?" tanya Mahesa Jenar
seterusnya. "Tidakkah dia takut menghadapi keganasan
gerombolan-gerombolan itu" Ataukah dia sedemikian
hebatnya sehingga tak seorang pun berani mengganggunya...?" " Tidak, Tuan...." sahut Sagotra, "Ia sama sekali tidak
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 41 Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Seruling Sakti 11