Pencarian

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 9

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 9


untuk segera sampai di rumah. Sebab kalau sampai Ki
Ageng Sora Dipayana merasa khawatir, maka pastilah ada
sesuatu yang mengancam keselamatan pusaka-pusaka
yang disimpannya. Pada saat mereka meninggalkan arena pertempuran itu,
mereka masih dapat mendengar suara lawan Ki Ageng
Soradipayana itu mengaum seperti seekor harimau, dan
sesaat kemudian disahut oleh auman yang menyeramkan
pula dari Sima Rodra muda. Ketika mereka menoleh,
tampaklah sebagian dari laskar yang sedang bertempur itu
berloncatan meninggalkan gelanggang, seperti air laut yang
sedang surut. Maka dengan cepatnya jumlah laskar itu
menjadi berkurang. Tetapi mereka sudah tidak punya waktu lagi untuk
memperhatikan perubahan itu dengan seksama, sebab
pikiran mereka telah lari mendahului ke arah pusaka-pusaka
yang mereka simpan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Namun demikian Gajah Sora sambil memacu kudanya
masih sempat bertanya, katanya, "Adi Mahesa Jenar,
siapakah kira-kira yang bertempur melawan ayah itu" "
Mahesa Jenar menarik keningnya. Lalu jawabnya, "Aku
tak dapat mengatakan dengan pasti Kakang. Tetapi aku kira
ia adalah Sima Rodra tua dari Lodaya."
"Tepat seperti dugaanku," sahut Gajah Sora. "Bulu-bulu
yang jarang-jarang yang tumbuh di wajahnya, tubuhnya
yang besar seperti raksasa, dan akhirnya teriakannya yang
seperti aum seekor harimau. Hanya saja ia tidak
mengenakan kerudung kulit harimau hutan seperti pada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
saat kita jumpai pertama kali. Itu adalah usahanya untuk
menyamar sebagai laskar biasa, Kakang.
"Untunglah bahwa Ki Ageng Sora Dipayana tidak
membiarkan daerah ini," kata Mahesa Jenar.
Gajah Sora tidak menjawab lagi. Kudanya dipacu
semakin kencang. Kudanya adalah kuda pilihan, yang
memiliki kecepatan berlari seperti anak panah. Tetapi pada
saat itu rasa-rasanya kuda itu berlari seperti keong yang
merayap-rayap di batu-batu berlumut.
Semakin dekat mereka dengan halaman rumah Gajah
Sora, hati mereka menjadi semakin tegang. Pikiran mereka
dipenuhi oleh berbagai macam gambaran yang mungkin
terjadi pada kedua keris pusaka yang disimpannya.
Akhirnya ketika mereka muncul dari sebuah kelokan
jalan, terbentanglah di hadapan mereka Alun-alun
Banyubiru, dan setelah menyeberangi jalan-jalan itu,
mereka akan sampai di rumah Gajah Sora.
Dari kejauhan, rumah itu nampaknya sepi saja. Tak ada
sesuatu yang mencurigakan, apalagi keributan-keributan.
Tetapi meskipun demikian hati mereka malahan semakin
bergelora. Tiba-tiba tampaklah di hadapan mereka, di tengah-
tengah alun-alun, di antara dua batang beringin tua yang
tumbuh di alun-alun itu, meloncat-loncat dua bayangan
dengan gerakan-gerakan aneh. Ternyata mereka adalah
dua orang yang sedang bertempur pula. Gerakan-gerakan
mereka tampak aneh dan cepat seperti dua ekor burung
yang sedang berlaga, sambar menyambar. Sebentar
mereka berloncatan dan berkelahi diatas dinding pohon
beringin yang hanya secengkal tebalnya. Tetapi seolah-olah
kaki mereka memiliki alat perekat, sehingga mereka tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dapat jatuh. Yang mengagumkan kadang-kadang mereka
berloncatan dan berkejaran diantara ranting-ranting dan
sulur beringin tua itu, dengan gerakan yang seolah-olah
mereka berada diatas tanah saja.
Melihat mereka yang bertempur itu Gajah Sora dan
Mahesa Jenar menarik kekang kudanya, dan berhenti
beberapa langkah dari pohon beringin itu. Didalam gelap
malam serta gerak-gerak yang melontar kesana kemari,
agak sulitlah bagi Mahesa Jenar dan Gajah Sora untuk
segera mengenal orang yang sedang berkelahi itu. Tetapi
menilik gerak serta cara mereka, pastilah mereka tergolong
dalam tataran yang sama tinggi dengan Ki Ageng Sora
Dipayana. Beberapa kali Gajah Sora dan Mahesa Jenar
melarikan kudanya melingkari pohon beringin itu. Tetapi
setiap kali mereka hanya melihat bayangan yang
berloncatan dan lenyap di balik pohon beringin itu.
Namun bagaimanapun, Gajah Sora dan Mahesa Jenar
telah memiliki dasar-dasar ilmu kepandaian yang cukup,
sehingga meskipun agak lama akhirnya dengan terperanjat
sekali mereka melihat salah seorang diantaranya mengenakan jubah abu-abu dan bertopeng kayu yang kasar
buatannya, sehingga mirip dengan wajah hantu.
"Pasingsingan," desis Mahesa Jenar.
"Ya, Pasingsingan," ulang Gajah Sora.
Belum lagi mereka dapat mengenal dengan baik yang
satu lagi, terdengarlah lawan Pasingsingan itu berkata, "Hai
anak-anak bodoh, jangan menonton seperti menonton adu
jago. Lebih baik kau pulang dan lihat barang-barangmu."
Mendengar suara orang itu, darah Mahesa Jenar tersirap.
Ia pernah mendengar suara itu dan bahkan ia pernah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menerima perintahnya untuk mencari keris Nagasasra dan
Sabuk Inten. Maka dengan tak disengaja ia berteriak, "Bukankah tuan
Ki Ageng Pandan Alas"
Maka jawab orang itu, "Ingatanmu baik sekali Mahesa
Jenar, tetapi lekaslah pergi."
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dua tokoh sakti telah
memperingatkan mereka mengenai pusaka-pusaka itu.
Maka segera mereka memutar kuda mereka dan dilarikan
menuju ke halaman rumah Gajah Sora. Dalam waktu yang
pendek itu Gajah Sora sempat bertanya, "Beliaukah Ki
Ageng Pandan Alas?" "Ya, beliaulah. A pakah Kakang Gajah Sora belum pernah
mengenalnya?" kata Mahesa Jenar.
"Pernah, tetapi sudah lama sekali," jawab Gajah Sora.
----------odwOkzo----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 6 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Sementara itu kuda mereka telah sampai di muka pintu
gerbang halaman rumah Gajah Sora. Dua orang penjaga
gerbang masih berdiri dengan tegapnya. Ketika mereka
melihat Ki Ageng Gajah Sora dan Mahesa Jenar datang,
segera kedua penjaga itu membungkuk hormat.
Gajah Sora tidak dapat menunggu lebih lama lagi untuk
menanyakan tentang keamanan rumahnya, maka kepada
dua orang penjaga itu ia bertanya, "Apakah yang sudah
terjadi?" "Tidak ada apa-apa yang terjadi, Ki Ageng," jawabnya.
Mendengar jawaban itu perasaan Gajah Sora dan Mahesa
Jenar agak lega sedikit, tetapi dalam lubuk hati mereka
yang paling dalam tersembunyi suatu kebimbangan atas
kebenaran keterangan penjaga itu. Mereka berdua seolah-
olah mendapat suatu firasat yang kurang menenteramkan
hati mereka. Maka mereka berdua segera memasuki
halaman dan langsung menuju ke pendapa.
Di pendapa itu tampak Wanamerta dan Sawungrana
masih duduk dengan tenangnya. Ketika mereka melihat
Gajah Sora dan Mahesa Jenar, segera mereka berdua pun
berdiri menyambutnya. "Paman Wanamerta... tidak adakah sesuatu yang terjadi
di sini" " tanya Gajah Sora tidak sabar.
"Pangestu Anakmas tak ada sesuatu yang terjadi," jawab
Wanamerta. Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia
tambah lega mendengar jawaban itu. Sebab Wanamerta
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dan Sawungrana bukanlah anak kecil yang dapat
dipermainkan. Di halaman rumah itu masih nampak beberapa orang
laskar yang berjaga-jaga berjalan hilir mudik dengan
senjata siap di tangan, sedangkan di gandok kulon, tempat
pondokan Ki Ageng Lembu Sora pun masih nampak
beberapa orangnya ikut berjaga-jaga.
"Bagaimanakah dengan Panjawi?" tanya Gajah Sora pula.
"Agaknya juga tidak mengalami sesuatu, Anakmas."
jawab Wanamerta, "Baru saja Adi Sawungrana nganglang
ke belakang rumah, dan di sana Panjawi tampak selalu
bersiaga. "Syukurlah" desis Gajah Sora.
Mendengar semua keterangan itu, gelora perasaan Gajah
Sora dan Mahesa Jenar terasa agak mengendor sedikit,
setelah mereka mengalami ketegangan perasaan beberapa
saat lamanya. Memang sulit untuk dapat memasuki
halaman itu tanpa dilihat oleh salah seorang pengawal.
Sebab dinding halaman Gajah Sora cukup tinggi dan
gerbangnya pun terjaga rapat.
Beberapa orang pengawal berjaga-jaga di sekeliling
halaman, di setiap tujuh delapan langkah seorang dan
melekat dinding halaman. Kalau demikian, maka agaknya
peringatan-peringatan yang diberikan oleh Ki Ageng Sora
Dipayana maupun Ki Ageng Pandan Alas hanyalah sikap
hati-hati dari orang-orang tua saja.
Tetapi belum lagi Gajah Sora dan Mahesa Jenar puas
menarik nafas lega, tiba-tiba dikejutkan oleh jerit Arya
Salaka dari dalam rumah. Serentak mereka berdiri dan
dengan kecepatan yang luar biasa mereka meloncat ke arah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
suara Arya. Wanamerta dan dua tiga orang yang berdiri
paling dekat dengan pintu segera mendorongnya dan
meloncat masuk. Gajah Sora dan Mahesa Jenar rupa-
rupanya tidak sabar lagi menunggu Wanamerta yang
meskipun geraknya termasuk dalam tataran yang tinggi,
untuk bergantian masuk lewat pintu yang hanya satu itu.
Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan kekuatan
penuh menerobos dinding gebyok itu sehingga pecah
berserakan. Ketika mereka bersama-sama telah sampai di muka
ruangan Gajah Sora, rasa-rasanya darah mereka berhenti
mengalir. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mereka masih sempat menyaksikan Arya Salaka
terpelanting dan terbentur dinding. Seketika itu juga ia
terjatuh dan pingsan. Dari mulutnya meleleh darah merah
segar. Sedang di tangannya tergenggam erat sebuah
tombak pendek yang juga berlumuran darah. Tombak itu
adalah tombak pusaka Ki Ageng Gajah Sora yang bernama
Kyai Bancak, hadiah dari Pangeran Sabrang Lor, yang juga
bergelar Adipati Unus, pada waktu ia mengikuti pasukan
Sabrang Lor itu ke Semenanjung Melayu untuk mengusir
penjajahan Portugis. Kyai Bancak sebenarnya adalah
pasangan dari pusaka lain yang berupa sebuah bende.
Sedang di muka pintu kamarnya ia melihat sesosok
tubuh yang terhuyung-huyung. Di dadanya tampak luka
yang menyemburkan darah. Dalam kejadian yang sekejap
itu melayanglah sebuah bayangan yang hampir tak dapat
ditangkap oleh penglihatan, menyambar orang yang hampir
terjatuh karena luka di dadanya itu. Maka berpindahlah dua
buah keris yang dipegang oleh orang yang terluka di
dadanya itu ke tangan yang menyambarnya. Itulah Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten.
Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta adalah orang-
orang yang memiliki kecepatan bergerak dalam tingkatan
yang cukup tinggi. Tetapi terhadap bayangan itu, mereka
tak mampu berbuat sesuatu. Mereka hanya melihat
bayangan itu lenyap lewat atap. Meskipun demikian, Gajah
Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta bukanlah orang yang
mudah putus asa. Sambil berteriak nyaring Gajah Sora
meloncat memburu bayangan itu, disusul oleh Mahesa
Jenar dan Wanamerta. Tetapi demikian Gajah Sora muncul
di atas atap lewat lobang yang sama, bayangan itu telah
lenyap sama sekali. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu bergetarlah dada mereka bertiga oleh
kemarahan dan keheranan yang bercampur aduk. Bayangan
itu seolah-olah adalah bayangan hantu yang tiba-tiba
muncul untuk menambah keributan di Banyu Biru dan
kemudian lenyap seperti lenyapnya asap dihembus angin.
Tetapi bagaimanapun cepatnya bergerak bayangan itu,
namun ada sesuatu yang dapat ditangkap oleh Gajah Sora
dan Mahesa Jenar. Bayangan itu agaknya memakai jubah abu-abu. Tetapi
Gajah Sora dan Mahesa Jenar sama sekali tak dapat melihat
wajahnya. Namun demikian segera perasaan mereka lari
kepada Pasingsingan. Orang itu beberapa saat yang lalu
bertempur melawan Ki Ageng Pandan Alas di alun-alun, tak
begitu jauh dari rumah itu. Tetapi bagaimana ia dapat
berhasil melepaskan diri dari pengawasan Pandan Alas"
Maka bergulatlah di dalam otak Gajah Sora dan Mahesa
Jenar berbagai pertanyaan. Adakah Pasingsingan berhasil
mengalahkan Pandan Alas..."
Pada saat itu, lebih-lebih Gajah Sora yang menyaksikan
pusaka simpanannya dan yang telah direbutnya dengan
taruhan nyawanya hilang tanpa dapat berbuat sesuatu di
hadapannya. Juga anaknya dilukai oleh seseorang yang tak
dikenal di rumahnya. Seolah-olah di dalam dadanya
menyalalah api yang berkobar-kobar dan jauh lebih panas
dari api yang menyala-nyala di ujung utara kotanya. Nyala
di dalam dadanya ini memancar lewat matanya yang merah
berapi-api, giginya gemeretak, dan bibirnya bergerak-gerak.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi tak sepatah kata pun yang terucapkan. Otak Gajah
Sora yang cerdas segera dapat meraba apa yang telah
terjadi di rumahnya. Rupa-rupanya seseorang telah
berusaha untuk mengambil kedua pusakanya. Tetapi
malang baginya, sebab Arya dapat mengetahui perbuatan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu sehingga anak yang otaknya cemerlang itu mengintipnya
dengan tombak pusaka di tangan. Rupa-rupanya pada saat
ia keluar dari ruang tidurnya, Arya telah menusuk dada
orang itu dengan Kyai Bancak. Tetapi meskipun demikian
orang yang sudah pasti bukan orang sembarangan itu
dengan sisa tenaganya yang sudah lemah, berhasil
menghantam Arya sehingga Arya terlempar dan terbanting
membentur dinding. Pada saat itulah datang orang ketiga
yang dengan kecepatan seperti cahaya kilat, berhasil
merampas kedua pusaka itu.
Maka, api kemarahan yang membentur dinding perasaan
Gajah Sora itu tidak lagi dapat dibendungnya. Karena itu
dengan gerak yang seolah-olah tak dikuasainya sendiri, ia
meloncat terjun dari atap rumahnya. Dengan tangkasnya ia
meloncat sambil berlari, tangannya menggapai tombak
pusakanya dan menariknya dari tangan Arya, langsung
keluar halaman dan sekaligus meloncat ke punggung
kudanya. Mahesa Jenar dapat menangkap apa yang bergolak di
dalam dada sahabatnya, sebab memang ia pun mempunyai
rabaan yang sama pula atas kejadian yang baru saja
berlalu. Karena itu ia dapat menduga kemana Gajah Sora
akan pergi. Pastilah ia akan melihat apakah Pandan Alas
masih ada di antara Ringin Kurung dan bertempur dengan
Pasingsingan, ataukah Pandan Alas itu sudah tidak berdaya
lagi. Maka tanpa berpikir lagi, ia pun meloncat ke atas
punggung kudanya dan lari menyusul Gajah Sora.
Wanamerta yang meskipun dapat mengambil kesimpulan
yang sama atas kejadian yang disaksikannya, namun ia
sama sekali tidak mengetahui tentang orang yang berjubah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
abu-abu yang telah dilihat oleh Gajah Sora dan Mahesa
Jenar di tengah alun-alun. Karena itu ia menjadi bingung
dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Untunglah
sebelum berangkat Mahesa Jenar sempat berkata kepadanya, Paman Wanamerta. Paman tidak perlu ikut
bersama kami, jagalah rumah ini baik-baik. Mungkin ada
suatu perkembangan keadaan. Aduklah seluruh halaman
rumah ini, meskipun kemungkinan untuk menemukan hantu
itu tipis sekali. Setelah itu Mahesa Jenar lenyap pula di atas
punggung kuda abu-abu yang berlari dengan derap yang
gemuruh seperti badai, mengejar Gajah Sora dengan kuda
putihnya. Jarak antara rumah Gajah Sora dan pohon beringin yang
berdiri tegak di tengah alun-alun, yang seakan-akan tidak
peduli atas apa yang sudah terjadi di sekitarnya itu tidaklah
begitu jauh. Karena itu dalam waktu yang singkat mereka
berdua telah berhasil mendekati ringin kurung itu.
Maka mereka menjadi terkejut dan heran tak habis-
habisnya ketika dari jarak yang sudah agak dekat mereka
masih melihat dua bayangan yang berloncat-loncat dan
melontar kesana kemari diantara sepasang beringin itu. Di
sana masih jelas dapat disaksikan Pasingsingan dan Ki
Ageng Pandan Alas bertempur. Bahkan semakin sengit.
Tetapi jubah yang dipakai oleh orang yang menyambar
kedua keris pusaka itu tepat benar dengan jubah yang
dipakai oleh Pasingsingan itu.
Sebenarnya dalam keadaan yang biasa, Gajah Sora akan
dapat mempertimbangkan bahwa tidak mungkin dalam satu
saat Pasingsingan dapat berada di dua tempat dan
melakukan dua pekerjaan sekaligus. Tetapi pada saat itu,
karena kemarahannya yang meluap-luap, ia membutuhkan
wadah untuk menumpahkannya. Satu-satunya SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kemungkinan sebagai tempat penampungan kemarahan
Gajah Sora adalah Pasingsingan yang sedang bertempur
dengan Pandan Alas itu. Meskipun ia tahu bahwa Pasingsingan bukanlah
lawannya, karena orang itu memiliki ilmu yang sejajar
dengan Ki Ageng Sora Dipayana, namun sama sekali Gajah
Sora sudah tidak mampu lagi membuat pertimbangan-
pertimbangan. Karena itu, dengan otak yang buntu, ia memacu kudanya
habis-habisan, langsung mengarah kepada kedua orang
yang sedang bertempur itu dengan Kyai Bancak siap di
tangan. Melihat sikap Gajah Sora, yang seolah-olah tidak dapat
terkendali itu, Mahesa Jenar menjadi cemas. Sebenarnya ia
sendiri merasa sangat marah atas hilangnya Nagasasra dan
Sabuk Inten, tetapi karena justru hal itu terjadi di rumah
Gajah Sora maka Gajah Sora-lah yang merasa lebih
bertanggung-jawab. Ditambah lagi cedera yang dialami oleh
anak satu-satunya. Karena itu bagaimanapun hebatnya
kemarahan yang bergolak di dada, Mahesa Jenar masih
dapat bersikap lebih tenang dari Gajah Sora.
Maka segera Mahesa Jenar berusaha sekuat-kuatnya
untuk memacu kudanya lebih cepat agar dapat menyusul
Gajah Sora, untuk mencoba mencegahnya berbuat sesuatu
yang berbahaya. Dibungkukkannya badannya dalam-dalam
sampai melekat ke punggung kudanya. Namun kuda Gajah
Sora bukanlah kuda sembarangan. Larinya bahkan semakin
cepat seperti angin. Pada saat itu Gajah Sora sudah tidak dapat berpikir lain,
kecuali menyerang Pasingsingan habis-habisan. Ia sama
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekali sudah tidak mempertimbangkan kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi karena perbuatannya itu.
Maka ketika jarak mereka sudah semakin dekat, segera
Gajah Sora mengangkat tombak pusakanya. Tombak yang
jarang sekali keluar dari rangkanya. Tapi kali ini, tombak
yang ujungnya sudah membekas darah itu seolah-olah
menjadi semakin haus dan buas.
Untunglah bahwa Gajah Sora tidak bermaksud langsung
menyerang Pasingsingan dengan tombak di tangan.
Ternyata bagaimanapun gelap pikirannya, namun sebagai
seorang yang cukup berpengalaman, nalurinya yang tajam
masih dapat mempengaruhi tindakannya.
Dengan hati yang dibakar oleh kemarahan, Gajah Sora
mengangkat tombaknya yang bermaksud membinasakan
Pasingsingan. Maka dengan sekuat tenaga, bahkan dengan
ilmunya Lebur Seketi yang disalurkan lewat tangannya yang
memegang tombak pusaka itu, ditambah lagi dengan
tenaga dorong dari kecepatan berlari kuda putihnya yang
seperti angin, Gajah Sora melepaskan tombaknya ke arah
Pasingsingan, yang sedang sibuk melayani Ki A geng Pandan
Alas. Perbuatan Gajah Sora itu sama sekali tak diduganya.
Meskipun Pasingsingan sudah tahu bahwa Gajah Sora
bersenjata, tetapi ia tidak mengira bahwa senjata itu akan
dilemparkan kepadanya. Karena itu ketika ia melihat Gajah
Sora mengangkat tombaknya, Pasingsingan menjadi
terkejut. Kalau saja pada saat itu Pasingsingan berdiri
seorang diri, maka serangan Gajah Sora itu tidak akan
berarti sama sekali baginya. Tetapi pada saat itu ia sedang
bertempur mati-matian melawan Ki Ageng Pandan Alas.
Untuk melayani lawannya itu saja Pasingsingan sudah harus
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengerahkan segenap tenaganya, apalagi tiba-tiba ia
menerima serangan yang cukup berbahaya. Sebab
bagaimanapun Gajah Sora bukanlah anak kemarin sore
yang dengan begitu saja boleh diletakkan di luar garis.
Karena itu ketika Pasingsingan melihat sebatang tombak
yang berkilauan, seperti kilat datang menyambarnya, ia
menjadi agak gugup. Meskipun demikian ia adalah seorang
tokoh yang namanya boleh disejajarkan dengan Ki Ageng
Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten, dan
sebagainya. Karena itu, bagaimanapun sulitnya keadaan,
masih saja ia mampu menghindari.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan suatu gerakan yang sukar dilihat dengan mata,
Pasingsingan melontarkan diri jauh ke belakang dan seolah-
olah hinggap di atas dinding ringin kurung. Sedang pada
saat yang bersamaan, Ki Ageng Pandan Alas meloncat
beberapa langkah ke belakang untuk menghindarkan diri
dari kaki kuda Gajah Sora yang seakan-akan tidak lagi
dapat dikendalikan, seperti pikiran Gajah Sora.
Apalagi ketika Gajah Sora melihat bahwa serangannya
gagal maka hatinya yang sudah terbakar itu rasa-rasanya
menjadi semakin hangus. Dengan sekuat tenaga ia menarik
kekang kudanya dan kemudian memutarnya menghadap ke
arah Pasingsingan untuk segera menyerangnya kembali.
Meskipun ia kini sudah tidak bersenjata namun di telapak
tangannya masih tersimpan aji Lebur Seketi.
Tetapi tiba-tiba Gajah Sora terpaksa mengurungkan
serangannya, sebab pada saat itu tiba-tiba terdengarlah
Pasingsingan tertawa menggelegar. Meskipun suara
tertawanya tidak begitu keras, getarannya memukul-mukul
seperti akan memecahkan dada.
Ternyata, meskipun tombak Gajah Sora tidak mengenai
tubuh Pasingsingan, tetapi karena keadaan yang sulit,
Pasingsingan agak terlambat menghindar sehingga tombak
yang menyambarnya itu menyobek jubah abu-abunya.
Karena itu, ia merasa terhina sekali oleh seorang anak-anak
saja. Maka ia menjadi marah sekali. Dan terlontarlah
kemarahannya itu lewat suara tertawanya yang mengerikan. Mahesa Jenar yang pada saat itu telah sampai pula ke
tempat itu segera menghentikan kudanya dan memusatkan
segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara
tertawa Pasingsingan yang mengerikan itu. Tetapi, suara
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tertawa itu ternyata tidak segera berhenti, malahan
semakin berkepanjangan dan merupakan serangan-
serangan yang datang bertubi-tubi dengan dahsyatnya. Ia
pernah mendengar Lawa Ijo menyalurkan kesaktiannya
lewat suara tertawa yang menggeletar, sehingga memerlukan daya perlawanan yang kuat untuk tidak jatuh
ke dalam pengaruhnya yang berbahaya. Tetapi, suara
tertawa Pasingsingan yang tidak begitu keras itu
mengandung tenaga kesaktian yang jauh lebih hebat dari
suara Lawa Ijo. Karena itu, baik Mahesa Jenar maupun Gajah Sora pada
saat itu harus mengerahkan segenap daya kekuatan
batinnya untuk melawan pengaruh suara itu. Namun
demikian kesaktian Pasingsingan yang tersalur lewat bunyi
tertawa itu bagaikan jarum yang menusuk-nusuk ulu hati.
Alangkah nyerinya, bahkan panas pula seperti dijilat lidah
api. Meskipun pada saat itu Mahesa Jenar dan Gajah Sora
telah mengerahkan segala kekuatannya, namun terasa
tubuhnya menggigil dan semakin lama semakin kehilangan
kesadaran. Baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar pernah
mendengar kisah dari sahabat-sahabatnya yang sering
mengarungi samodra-samodra besar, bahwa di Laut Cina
terdapat sebuah pulau kecil yang sangat ditakuti, sehingga
pulau itu dinamai pulau hantu. Apabila ada kapal yang
terjerumus ke dekat pulau itu, maka akibatnya akan
mengerikan sekali. Dari pulau itu terdengarlah berbagai
macam nada orang tertawa-tawa dengan getaran yang
dahsyat sehingga orang yang mendengarnya akan menjadi
gila karenanya. Bahkan tidak jarang di antara pelaut-pelaut
itu kemudian menemui ajalnya dengan cara yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengerikan. Ada yang terjun ke laut, ada yang mati lemas,
dan ada yang mati karena saling bertempur dan menggigit.
Dan sekarang, mereka meskipun tidak mendekati pulau
hantu itu, mendengar pula suara tertawa yang mengerikan
dan telah hampir berhasil merontokkan kesadaran mereka.
Tetapi, ketika Gajah Sora dan Mahesa Jenar sudah
hampir benar-benar jatuh ke dalam pengaruh suara itu,
tiba-tiba terdengarlah suara tembang yang mengalun
seolah-olah menyusur dedaunan dan sulur-sulur sepasang
beringin itu. Kemudian dengan pengaruh yang sejuk, nada-
nada itu menggetarkan udara dan menyusup ke dalam dada
Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Suara tembang itu pun
mempunyai pengaruh yang luar biasa pula. Tetapi dayanya
berlawanan dengan suara tertawa Pasingsingan. Suara
tembang itu seolah-olah siraman air yang memadamkan api
yang menyala-nyala membakar kesadaran mereka.
Maka, bersama-sama dengan daya perlawanan masing-
masing, suara tembang itu segera dapat menenangkan
pikiran Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Dan ketika mereka berdua bersama-sama menoleh ke
arah suara itu, dilihatnya Ki Ageng Pandan Alas dengan
enaknya duduk di atas tanah bersandar dinding ringin
kurung itu dengan kaki bersilang. Sikapnya seperti seorang
anak gembala yang dengan tenangnya berdendang di


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah pohon rindang. Ketika itu sinar matahari sedang
dengan teriknya memanasi padang rumput. Lagunya adalah
lagu kesayangan orang tua, yang sudah sering didengar
oleh Mahesa Jenar, yaitu lagu Dandanggula.
Lewat lagunya itu, Pandan Alas pun telah memancarkan
kesaktiannya pula untuk melawan kesaktian Pasingsingan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pasingsingan yang merasa bahwa serangannya dapat
digagalkan oleh Pandan Alas, menjadi semakin marah.
Maka dengan menggeram hebat ia berkata, "Setan tua....
Tidak dapatkah kau menahan dirimu untuk tidak
mencampuri urusanku. Aku telah mencoba melupakan
kelakuanmu di Hutan Tambakbaya beberapa minggu lalu"
Kini kembali kau berbuat gila, Pandan Alas, jangan
menunggu sampai kesabaranku habis."
Ki Ageng Pandan Alas seolah-olah tidak mendengar kata-
kata Pasingsingan itu. Ia masih saja berlagu terus sampai
kalimat yang terakhir. Melihat sikap Pandan Alas yang seolah-olah tidak
mempedulikan ancamannya, Pasingsingan menjadi bertambah marah. Kini kesabarannya telah benar-benar
habis. Menurut anggapannya, Gajah Sora, Mahesa Jenar
dan Pandan Alas telah bersepakat untuk bersama-sama
menghinanya. Karena itu ia telah bertekad untuk membuat
perhitungan yang terakhir.
"Pandan Alas..., biarlah aku berkata kepadamu demi
persahabatan kita yang telah berpuluh-puluh tahun. Kalau
kali ini kau tidak mau mendengarkan, biarlah untuk
seterusnya kau tidak akan pernah mendengarnya lagi.
Pandan Alas..., coba kau tahan dirimu sedikit kali ini.
Janganlah kau menghalangi aku untuk mengambil
Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau kau sendiri ingin
memilikinya, sebaiknya kita berlomba siapakah yang
mendapatkannya lebih dahulu. Juga terhadap kedua anak-
anak yang tidak mempunyai sangkut paut apa-apa dengan
kau itu. Biarlah aku bereskan dahulu. Yang seorang telah
menghantam muridku dengan Sasra Birawa di hutan
Tambakbaya, sedang seorang lagi telah menyerang aku
sehingga jubahku tersobek, kata Pasingsingan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terdengarlah suara Pandan Alas tertawa pendek,
jawabnya, "Pasingsingan..., benarkah aku pernah bersahabat dengan kau" Kalau dahulu aku mempunyai
seorang sahabat yang bernama Pasingsingan pula, aku kira
berbeda dengan Pasingsingan yang aku hadapi sekarang."
"Maksudmu?" tanya Pasingsingan. Suaranya terdengar
bergetar menahan kemarahan yang sudah memuncak.
Tetapi karena ia memakai kedok maka kesan mukanya tak
dapat diketahui. "Maksudku adalah..". jawab Pandan Alas, "Pasingsingan
yang aku kenal sifatnya sama sekali berbeda dengan
Pasingsingan yang sekarang berdiri di hadapanku.
Pasingsingan yang aku kenal dahulu meskipun ujud dan
bentuknya tepat seperti kau ini, tetapi wataknya adalah
berlawanan sama sekali. Menurut perhitunganku, Pasingsingan sahabatku itu tidak mungkin mengambil
seorang murid yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Tidak
mungkin pula kini bekerja mati-matian untuk merampas
Nagasasra dan sabuk Inten dari tangan murid sahabatnya
yang lain, yang bernama Ki Ageng Pengging Sepuh, serta
putra sahabatnya yang bernama Sora Dipayana."
Tampaklah tubuh Pasingsingan menggigil menahan diri.
Nafasnya berjalan semakin cepat. Kembali terdengar
suaranya yang dalam, yang seolah-olah melingkar-lingkar di
dalam perutnya saja itu, "Pandan Alas..., lalu siapakah
menurut dugaanmu aku ini?"
Pandan Alas mengerinyitkan alisnya. Katanya, "Kenapa
kau bertanya begitu" Bukankah kau menamakan dirimu
Pasingsingan. Aku tidak membantah bahwa kau bernama
Pasingsingan. Tetapi kau bukan Pasingsingan sahabatku itu,
meskipun kau juga mempunyai tanda-tanda yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bersamaan dan ilmu Gelap Ngampar yang baru saja kau
pertunjukkan untuk menjebol dada anak-anak itu."
Gajah Sora dan Mahesa Jenar tak sepatah kata pun
berani mencampuri perbantahan mereka. Setelah mereka
berdua mengalami serangan Pasingsingan dengan nada
tertawanya yang bernama Gelap Ngampar itu, mereka
merasa betapa kecil diri mereka untuk menghadapinya.
Untunglah bahwa Pandan Alas berhasil menolong mereka
menyelamatkan dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar yang
dahsyat itu. Sekarang mereka berdua melihat kedua tokoh
itu telah kehilangan kesabaran dan akan bertempur mati-
matian. Maka sebaiknya bahwa mereka untuk sementara
tidak usah mencampurinya.
Maka berdesirlah dada mereka ketika mereka melihat
Pasingsingan yang sedang marah itu, tiba-tiba dari dalam
jubahnya menarik sebilah pisau belati panjang. Pisau ini
mirip benar bentuknya dengan pisau yang sering
dipergunakan oleh gerombolan Lawa Ijo, tetapi pisau ini
tidak berwarna putih mengkilap, melainkan kuning berkilau-
kilauan. Sambil memegang belati itu, Pasingsingan
menggeram, "Pandan Alas, aku tidak biasa bertempur
dengan senjata kalau tidak sedang mempertimbangkan
untuk memotong kepala seseorang. Sekarang kau di sini
bertiga dengan tikus-tikus itu untuk bersama-sama
mengeroyok aku. Biarlah aku tidak akan mundur. Bahkan
aku ingin membawa kepalamu bertiga ke Mentaok sebagai
suatu bukti bahwa Pasingsingan tak dapat dihinakan
orang." Melihat pisau belati panjang itu di tangan Pasingsingan
serta mendengar kata-katanya, mau tidak mau hati Gajah
Sora dan Mahesa Jenar bergetar hebat. Meskipun mereka
bukan orang-orang kerdil yang takut mati, namun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menghadapi seorang seperti Pasingsingan, mereka merasa
gentar juga. Tetapi bagaimanapun apabila keadaan sudah
memaksa maka apapun yang akan terjadi pasti harus
dihadapi. Diam-diam Gajah Sora dan Mahesa Jenar
memusatkan segala kemampuannya yang ada lahir batin,
dan disalurkannya menurut saluran masing-masing. Gajah
Sora dengan Lebur Seketi dan Mahesa Jenar dengan Sasra
Birawanya. Pandan Alas yang sejak tadi tampaknya acuh tak acuh
saja, setelah melihat Pasingsingan bersenjata, menjadi agak
terkejut juga. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan mata
yang berapi-api ia memandang Pasingsingan seperti
memandang hantu. Rupa-rupanya orang tua itu pun telah
menjadi marah sekali. "Pasingsingan...," katanya, "kau ingat bahwa dahulu kita
pernah bertempur?" Pasingsingan tidak segera menjawab, agaknya ia sedang
mengingat-ingat. Baru beberapa lama kemudian ia berkata,
"Aku ingat, Pandan Alas."
"Barangkali waktu itu kita baru pertama kali bertempur".
sambung Pandan Alas, "Bukankah begitu?"
Kembali Pasingsingan mengingat-ingat, jawabnya, "Apakah maksudmu dengan menceritakan kembali masa-
masa yang telah lama silam itu. Banyak hal yang sudah tak
dapat aku ingat kembali."
"Aneh...," sahut Pandan Alas, "pertemuan yang menarik
itu, kau kira, baik kau maupun aku tak akan
melupakannya." "Ya, aku ingat", jawab Pasingsingan kesal.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Waktu itu aku mengira kalau kau adalah seorang
penjahat yang sedang menyembunyikan wajah aslimu di
belakang kedokmu yang jelek itu. Tetapi setelah kita
bertempur tiga hari tiga malam tanpa berkesudahan,
barulah kita saling bertanya."
"Pandan Alas..." potong Pasingsingan, "adakah kau
sedang mengorek rasa persahabatanku supaya aku
memaafkan kau sekarang ini" Ketahuilah, aku sudah
terlanjur mencabut pisauku ini. Maka pisau ini harus
menemukan korbannya. Kalau kau menyesal telah
mencampuri urusanku, kau boleh pergi. Tetapi tikus-tikus
ini tetap di tanganku."
Mendengar kata-kata Pasingsingan itu bergeloralah dada
Pandan Alas yang biasanya senang berkelakar. Meskipun
demikian ia masih berkata tenang, "Kenapa kau takut
mendengar ceritera-ceritera masa silam Pasingsingan"
Adakah sesuatu yang telah menyiksa perasaanmu sehingga
kau tidak berani mengingatnya lagi?"
"Persetan dengan masa lampau," bentak Pasingsingan.
"Masa itu tak akan kembali lagi. Yang penting bagiku adalah
masa kini dan masa depan perguruanku. Itu sebabnya aku
berkeras untuk menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten."
Kembali terdengar suara tertawa Pandan Alas yang
dipaksakan. Katanya; "tetapi hari ini adalah kelangsungan
dari hari kemarin dan seterusnya. Hidupmu sekarang adalah
kelanjutan dari hidupmu 25 tahun yang lalu."
"Omongan orang sekarat," bantah Pasingsingan. "Aku
dapat menjalani kehidupanku kini tanpa masa lampau itu.
Dan masa lampau itu sama sekali tak berarti bagiku."
"Sebab masa lampau dari Pasingsingan itu bukan
milikmu," jawab Pandan Alas.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jawaban yang diucapkan meskipun diucapkan alam nada
yang rendah, tetapi mempunyai akibat yang hebat sekali.
Pasingsingan yang telah sekian lama menahan kemarahannya, mendengar kata-kata Pandan Alas dengan
darah yang menggelegak. Maka dijawabnya hampir berteriak, "Apa perdulimu.
Bahkan aku sendiri tidak perduli kepada masa lampau itu.
Dan sekarang menghadapi saat terakhirmu kau tidak usah
mengigau tentang Pasingsingan. Apakah aku Pasingsingan
sahabatmu ataukah Pasingsingan yang lain tidaklah penting
bagimu. Tetapi Pasingsingan yang sekarang berada
dihadapanmu inilah yang akan menentukan saat terakhirmu
bersama-sama dengan kedua orang yang terlalu sombong
itu. Nah bersedialah untuk mati. A ku sudah hampir mulai."
Ketegangan yang memuncak telah melibat otak Gajah
Sora dan Mahesa Jenar. namun mereka melihat Pandan
Alas tersenyum pahit sambil berkata: " Nah kalau demikian
aku yang seharusnya menentukan sikap pula. Kau tidak
usah menyebut lagi demi persahabatan kita, sebab
persahabatan di antara kita tidak pernah kita alami. Kalau
aku menyebut masa lampau itu hanyalah supaya aku yakin
dengan siapa aku berhadapan. Sebab terhadap Pasingsingan sahabatku itu, tak mungkin aku bersikap
keras. Sekarang silahkan mulai," lalu tiba-tiba saja ditangan
orang tua itu bercahayalah sinar yang kemilau. Itulah
pusaka Pandan Alas yang dahsyat, yang bernama Kiai Sigar
Penjalin. ----------odwOkzo----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Suasana segera menjadi hening sepi, tetapi diliputi oleh
ketegangan yang memuncak. Gajah Sora dan Mahesa Jenar
duduk di atas kuda masing-masing seperti patung.
Meskipun di dalam dada mereka bergolak berpuluh macam
persoalan yang simpang siur sebab di hadapan mereka dua
orang tokoh sakti akan bertanding mati-matian sehingga
mereka berdua merasa perlu untuk mempergunakan pusak
masing-masing. Karena itu, maka pertempuran yang akan berlangsung
pasti akan merupakan pertempuran antara hidup dan mati.
Tetapi sampai beberapa saat, mereka masih berpijak
pada tempatnya masing-masing. Tak seorangpun dari
kedua tokoh sakti yang bergerak. Sehingga terdengar
kembali suara Ki Ageng Pandan Alas berkata: "Pasingsingan, silahkan mulai. Aku sudah siap."
Tetapi Pasingsingan tidak juga bergerak dan tidak
menyahut pula. Ketika kata-katanya tidak mendapat
sambutan, kembali Pandan Alas berkata "Pasingsingan, kau
jangan takut aku akan maju bersama kedua anak-anak itu.
Sebenarnya aku merasa kurang

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlu untuk mempergunakan pisau dapur yang tak berharga ini untuk
melawanmu, tetapi aku tidak ingin merendahkanmu,
sehingga terpaksa aku mempergunakannya juga. Meskipun
demikian baiklah aku katakan kepadamu, bahwa mungkin
karena kau sama sekali tak menghargai masa lampaumu
itulah maka terasa ilmumu mengalami kemunduran."
Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas itu tampaklah
tubuh Pasingsingan bergetar serta tangannya yang
memegang pusaka itu menggigil hebat. Ia sama sekali tidak
menjawab, tetapi terdengar ia menggeram hebat untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menahan marahnya. Meskipun demikian Pasingsingan
masih tidak bergerak dari tempatnya.
Sampai Ki Ageng Pandan Alas berkata; "Gajah Sora dan
Mahesa Jenar, kenapa kalian datang kemari". Tak usahlah
kalian menonton orang tua bermain-main. Barangkali bagi
kalian lebih baik apabila kalian kembali dan menjaga kedua
keris itu." Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas tergetarlah dada
Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Mereka segera teringat
kepada kedua pusaka yang hilang itu. Maka jawab Gajah
Sora "Ki Ageng, ketika aku pulang tadi, aku masih sempat
menyaksikan pusaka itu dicuri oleh Pasingsingan, tetapi aku
sama sekali tak berdaya untuk menahannya."
Kata-kata itu menggelegar seperti guruh yang meledak
diatas kepala Ki Ageng Pandan Alas dan Pasingsingan,
sehingga Ki Ageng Pandan Alas terloncat maju mendekati
Gajah Sora sambil berteriak; "apa katamu" kedua pusaka
itu hilang diambil Pasingsingan"."
Belum lagi Gajah Sora menjawab terdengar Pasingsingan
menyahut; "Gila, kau jangan mencoba memutar balikkan
keadaan. Tipu muslihat yang tak berharga itu jangan kau
pamerkan dihadapanku, supaya aku tidak lagi berusaha
untuk mendapatkan pusaka dari tanganmu."
Maka terdengarlah Gajah Sora berkata, "Ki Ageng
Pandan Alas, aku berkata sebenarnya bahwa kedua keris itu
telah hilang." "Tidak mungkin," potong Ki Ageng Pandan Alas.
"Pasingsingan sejak kau meninggalkan kami masih tetap
bersama dengan aku."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gajah Sora menjadi ragu sebentar. Memang tidak
mungkinlah bahwa Pasingsingan yang sedang bertempur
dengan Ki A geng Pandan Alas dapat mengambil kedua keris
itu. Karena itu katanya kemudian dengan jujur, "Ki Ageng,
aku tidak dapat memastikan dengan jelas siapakah yang
telah mengambil kedua keris itu. Tetapi aku dapat melihat
bahwa orang itu memakai jubah abu-abu pula tepat seperti
apa yang dipakai oleh Pasingsingan itu."
"Apakah orang itu berkedok pula"," tanya Pandan Alas.
"Itulah yang tidak jelas," jawab Gajah Sora.
Ki Ageng Pandan Alas tampak merenung. Rupa-rupanya
ia sedang berfikir keras apakah kira-kira yang telah terjadi.
Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan berkata, "Aku dapat
mempercayai omonganmu Gajah Sora. Tampaknya kau
memang tidak bermaksud membohongi kami. Dan rupa-
rupanya karena itu pula kau menyerang aku dengan
tombakmu. Nah kalau demikian aku tidak perlu terlalu lama
lagi berada di sini, sebab kedua keris yang aku kehendaki
itu sudah tidak ada lagi. Tak ada gunanya lagi bagiku untuk
melayani orang gila macam Pandan Alas. Tetapi meskipun
demikian sekali waktu aku ingin bertemu dengan kau
kembali." Pasingsingan tidak menunggu jawaban lagi.
Dalam waktu sekejap ia telah hilang dari pandangan
mereka. Maka tinggallah kini Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora
dan Mahesa Jenar yang telah maju pula mendekati Gajah
Sora, serta kemudian bersama-sama meloncat dari
punggung kuda masing-masing.
"Mahesa Jenar...," kata Ki Ageng Pandan Alas, "aku
berharap sekali bahwa aku atau kau berdua dapat
menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu ke Istana Demak.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi rupa-rupanya keadaan belum mengizinkan." Gajah
Sora dan Mahesa Jenar tidak menjawab sepatah kata pun.
Mereka berdua merasa bahwa mereka ternyata tak dapat
memenuhi keinginan orang-orang tua. Tampaklah bahwa Ki
Ageng Pandan Alas terguncang pula hatinya. Kepalanya
tertunduk dalam-dalam serta beberapa kali ia menghela
nafas panjang. Sementara itu dari arah utara tampaklah
sebuah bayangan yang seolah-olah melayang di udara
mendekati mereka bertiga yang berdiri terpaku di antara
kedua batang ringin kurung yang masih saja acuh tak acuh
pada keadaan di sekitarnya.
Ternyata bahwa yang datang itu adalah Ki Ageng Sora
Dipayana. Ketika dilihatnya bahwa Ki Ageng Pandan Alas
berada di situ pula, maka segera ia menyapanya, "Selamat
malam Adi Pandan Alas, apakah yang telah terjadi di sini?"
Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera membungkuk
hormat. Namun dalam dada mereka terasa bahwa jantung
mereka berdenyut semakin cepat.
"Selamat malam, Kakang," jawab Pandan Alas. "Aku baru
saja bermain-main di sini bersama Pasingsingan."
"Pasingsingan...?"
ulang Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya. "Rupa-rupanya ia datang bersama
muridnya Lawa Ijo." "Rupa-rupanya orang itu benar-benar menginginkan
kedua pusaka Demak yang disimpan oleh putramu," jawab
Ki Ageng Pandan Alas. "Tidak hanya Pasingsingan," jawab Sora Dipayana.
"Untunglah bahwa Adi berada pula di sini, sebab aku tadi
sedang sibuk melayani tamu dari Lodaya."
"Sima Rodra?" potong Pandan Alas.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya, ia datang bersama menantunya, dengan maksud
yang sama." "Hebat..., hebat sekali," desis Pandan Alas. "Setan dari
Lodaya itu memerlukan datang pula."
"Tetapi..." sambung Pandan Alas setengah berbisik,
"tanyakanlah kepada putramu apa yang telah terjadi."
Tampaklah Ki Ageng Sora Dipayana menarik alisnya
sehingga hampir bertemu. "Ada apa Gajah Sora...?" tanya
Ki Ageng Sora Dipayana kepada Gajah Sora, "Agaknya telah
terjadi sesuatu"."
Maka segera Gajah Sora menceriterakan tentang apa
yang telah dilihatnya pada saat lenyapnya Nagasasra dan
Sabuk Inten dari rumahnya.
Mendengar keterangan Gajah Sora, hati Ki Ageng Sora
Dipayana terguncang hebat, sampai tubuhnya menggigil.
Wajahnya yang bening itu segera menjadi seolah-olah
diaduk oleh kemarahannya.
"Setan manakah yang telah mengganggu kami itu?"
geramnya. "Adi Pandan Alas..." katanya kemudian, "bukankah kau
tidak melepaskan Pasingsingan itu barang sekejap?"
"Tidak, Kakang," jawab Pandan Alas. "Ia tetap dalam
pengawasanku." Kembali keadaan menjadi sunyi. Kesunyian yang tegang.
Masing-masing dikuasai oleh perasaan yang bercampur
baur diantara marah, kesal dan kecewa.
Akhirnya berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, "Gajah
Sora dan Mahesa Jenar... memang apa yang terjadi adalah
diluar kemampuanmu berdua. Apalagi kalian, kami yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tua-tua ini pun menjadi pusing karenanya. Mungkin ada
sesuatu yang tak beres pada Pasingsingan itu. Bukankah
begitu Adi Pandan Alas?"
Pandan Alas mengangguk mengiyakan. Lalu ia berkata,
"Aku menjadi sulit untuk mengatakan tentang Pasingsingan.
Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang tidak wajar.
Meskipun demikian aku masih belum berani meyakinkan
bahwa ada lebih dari satu Pasingsingan."
"Kalau begitu marilah kita lihat rumah itu," ajak Sora
Dipayana. "Barangkali ada sesuatu yang dapat menunjukkan tanda-tanda siapakah yang telah mengambil
kedua keris itu." Maka segera berangkatlah mereka menuju ke rumah
Gajah Sora, setelah Gajah Sora memungut kembali
pusakanya. Mereka menjadi terkejut ketika mereka melihat
kesibukan yang luar biasa. Segera mereka meloncat lebih
cepat untuk segera dapat mengetahui apakah yang telah
terjadi. Ternyata di Pringgitan, mereka melihat Wanamerta
dan Sawungrana menggeletak tak sadarkan diri, sedang di
sudut yang lain Panjawi yang luka parah menggeletak tak
berdaya. Ketika mereka melangkah memasuki bagian dalam
rumah Gajah Sora, mereka melihat Nyai Ageng Gajah Sora
duduk bersimpuh, sedang di pangkuannya terletak kepala
Arya yang masih pingsan. Melihat kejadian itu semua, kembali Gajah Sora tergugah
kemarahannya. Tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa,
sehingga karena itu giginya terdengar gemeretak dan
nafasnya berjalan semakin cepat.
Sebenarnya ketika Sora Dipayana menyaksikan kejadian
itu, hatinya tergetar pula. Tetapi wajahnya nampak tenang-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tenang saja. Perlahan-lahan Sora Dipayana membungkuk,
meraba dada Arya dan meneliti bagian-bagian tubuhnya
yang lain. Dari ceritera Gajah Sora, ia sudah tahu apakah
yang menyebabkan Arya luka-luka. Tetapi tentang
Wanamerta, Sawungrana, Panjawi serta beberapa orang
pengawal yang lain, belumlah diketahuinya. Sedang di
muka ruang tidur Gajah Sora masih menggeletak sesosok
tubuh yang masih belum dikenal.
"Apakah yang sudah terjadi dengan Paman Wanamerta
dan yang lain-lain?" tiba-tiba terdengar suara Gajah Sora
gemetar. Istri Gajah Sora menjawab, "Ketika aku mendengar ribut-
ribut... aku waktu itu sedang mengatur orang-orang yang
mengungsi ke rumah ini di belakang, segera aku berlari
masuk. Aku sudah tidak sempat menjumpai Kakang Gajah
Sora dan Adi Mahesa Jenar yang katanya sedang mengejar
seseorang berjubah abu-abu yang mencuri kedua pusaka
simpanan Kakang. Tetapi tidak beberapa lama, muncullah
begitu tiba-tiba saja di hadapan kami. Aku, Paman
Wanamerta dan Paman Sawungrana. Seorang yang pendek
bongkok dan berwajah menakutkan, seolah-olah ia pernah
mengalami suatu penyakit yang mengerikan. Orang itu
datang kemari juga untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten. Paman Wanamerta menyatakan bahwa ia
tidak tahu-menahu kedua keris itu, serta menceriterakan
dengan betul apa yang sudah terjadi. Tetapi rupa-rupanya
orang itu tidak percaya, sehingga terjadilah pertempuran
antara orang itu seorang melawan Paman Wanamerta
berdua dengan Paman Sawungrana yang kemudian dibantu
juga oleh Panjawi dan beberapa orang. Tetapi ternyata
bahwa dengan mudahnya orang itu dapat mengalahkan
mereka. Lalu langsung dibongkarnya segala barang-barang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang ada di rumah ini untuk mendapatkan kedua keris itu.
Baru setelah ia yakin benar-benar bahwa kedua keris itu tak
dapat diketemukan, maka seperti pada saat ia datang,
segera ia pun lenyap."
Mendengar ceritera itu betapa terkejutnya Gajah Sora
dan Mahesa Jenar. Orang itu pasti seorang yang
mempunyai ilmu yang tinggi pula. Tetapi terlebih-lebih lagi
adalah Sora Dipayana dan Pandan Alas, sehingga
nampaklah wajah mereka berubah. Kedua orang itu hampir
bersama-sama menyebutkan suatu nama yang cukup
menggetarkan. "Itulah Bugel Kaliki dari Gunung Cerme."
Mendengar nama itu disebut, barulah Gajah Sora dan
Mahesa Jenar sadar betapa berbahayanya orang itu. Ia
pernah mendengar nama Bugel Kaliki dari lembah Gunung
Cerme itu dari mulut seorang sakti dari Banyuwangi, Titis
Anganten. Dalam sekejap itu tiba-tiba kesunyian mencengkam suasana. Yang terdengar hanyalah tarikan
nafas mereka yang dengan tegang membayangkan apakah
kira-kira yang telah terjadi.
"Rupanya hantu itu telah mendengar pula tentang Kyai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten." Akhirnya terdengar Ki
Ageng Pandan Alas berkata perlahan.
"Keadaan telah menjadi sedemikian rumit serta saling
berkait," jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
"Mengenai Bugel itu, sudah jelas," sambung Ki Ageng
Pandan Alas. "Dan ia tidak mendapatkan apa yang dicari
setelah dengan leluasa ia menggeledah setiap sudut di
dalam rumah ini. Dengan demikian ada kemungkinan
bahwa ia tidak akan kembali lagi kemari. Tetapi ia akan
mencari di tempat-tempat lain. Yang belum kita ketahui,
justru yang berhasil membawa kedua pusaka itu, seorang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang berjubah abu-abu seperti jubah yang selalu dipakai
oleh Pasingsingan." Alis Ki Ageng Sora Dipayana yang sudah putih itu tampak


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak-gerak. Rupa-rupanya ia pun sedang berpikir
hebat. Akhirnya terdengarlah ia berkata, "Gajah Sora dan
Mahesa Jenar..., rupa-rupanya belum saatnya aku yang tua-
tua ini menghabiskan sisa hidup kami untuk menikmati
ketenteraman. Rupa-rupanya kini kami tidak dapat tinggal
diam, menyendiri di puncak-puncak bukit. Aku tahu bahwa
kau tentu bingung mengalami peristiwa-peristiwa ini.
Jangan cemas, sebab kami pun telah pula menjadi
bingung." Ki Ageng Pandan Alas tersenyum mendengar kata-kata
sahabatnya, sambungnya, "Jadi kalian mempunyai kawan-
kawan yang cukup banyak dalam kebingungan kalian."
"Akh... kau badut tua," potong Sora Dipayana.
"Maksudku, kami pun menjadi bingung, apalagi kalian, yang
masih muda-muda. Nah, sekarang Gajah Sora... kau dapat
mengundang Ki Lemah Telasih. Suruhlah orang itu
mengobati anakmu dan orang-orangmu yang luka parah.
Aku yakin bahwa luka-luka anakmu dan orang-orang itu
tidak akan sampai membahayakan jiwanya di tangan Ki
Lemah Telasih. Sekarang aku kira justru Banyu Biru ini
dapat aku tinggal dengan aman setelah kedua keris itu
lenyap. Tetapi percayalah bahwa kepergianku itu merupakan suatu usaha untuk menemukannya pula,"
sambung Sora Dipayana. Gajah Sora menundukkan kepalanya. Kemudian terdengarlah ia menjawab dengan suara yang dalam dan
gemetar, "Ayah..., maafkan aku yang sudah setua ini masih
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
saja selalu mengganggu ketenteraman hidup ayah. Tetapi
hal ini adalah benar-benar diluar kemampuanku."
Terdengarlah Ki Ageng Sora Dipayana tertawa pendek.
Jawabnya, "Jangan salahkan dirimu. Akulah yang tidak
mampu menjadikan kau orang yang luar biasa. Tak apalah.
Sekarang biarlah aku pergi dengan Adi Pandan Alas.
Mungkin arah kita berbeda, tetapi tujuan kita adalah sama.
Menemukan kedua keris itu kembali, sebab permainan ini
sudah mulai dicampuri pula oleh orang-orang tua."
Gajah Sora tidak dapat menjawab kata-kata ayahnya. Ia
menjadi terharu sekali. Sebaliknya Mahesa Jenar merasakan
betapa sepi hidupnya sepeninggal gurunya. Tak ada lagi
orang yang akan menjadi tempat mengadu dan mohon
pertolongan. Meskipun ia merasa bahwa sebagai seorang
laki-laki dirinyalah tempat untuk mengadu. Serta pada
dirinya itu pulalah kepercayaan yang terakhir harus
dilandaskan. Tetapi, menghadapi kenyataan itu, dirasakan
betapa pahitnya hidup Mahesa Jenar sebatang kara,
diantara manusia-manusia perkasa yang dalam setiap saat
memungkinkan adanya bentrokan-bentrokan yang hanya
dapat diselesaikan dengan mengadu kesaktian.
Tetapi, hati Mahesa Jenar agak terhibur juga melihat
adanya orang-orang tua seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki
Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten yang sudah
pernah dirasakan betapa persahabatan mereka dengan
gurunya melimpah pula kepada dirinya.
Sesaat kemudian terdengarlah Ki Ageng Pandan Alas
berkata, "Gajah Sora dan Mahesa Jenar..., aku sependapat
dengan Kakang Sora Dipayana. Sebab berhadapan dengan
orang-orang tua macam Sima Rodra, Pasingsingan, Bugel
Kaliki, harus orang-orang tua pulalah yang melayaninya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Meskipun bagi kami sebenarnya lebih senang minum-
minum sambil mengunyah jadah jenang alot. Bukan begitu,
Kakang?" Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, lalu jawabnya,
"Begitulah kira-kira. Dan sekarang, marilah kita mulai
kehidupan kita seperti beberapa puluh tahun yang lalu.
Seperti seekor burung yang lepas di udara, hinggap dari
satu dahan ke lain dahan, dari satu cabang ke lain cabang."
"Tetapi aku tak akan sebebas dahulu," sahut Ki Ageng
Pandan Alas. "Sebab aku sekarang mempunyai seorang
murid. Akan aku bawa muridku itu untuk menambah
pengalamannya." "Murid...?" potong Ki Ageng Sora Dipayana.
"Ya, muridku seorang pemuda tampan yang masih
seperti batu pecahan," jawab Pandan Alas, "dan aku harus
mengasahnya sejak gosokan yang pertama. Untunglah
bahwa ia memiliki bakat yang baik."
Setelah mengadakan beberapa persiapan dan pesan-
pesan, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas
segera minta diri untuk memulai penghidupan dalam
pengembaraan yang kedua sejak mereka menghentikan
pengembaraan mereka pada masa muda mereka. Mereka
tidak perlu lagi menunggu sampai esok atau lusa. Sebab
bagi seorang pengembara, siang atau malam sama saja.
Gajah Sora suami- istri dan Mahesa Jenar melepas mereka
dengan perasaan yang berat dan terharu. Orang-orang tua
yang seharusnya tinggal menikmati hasil lelah masa
mudanya, masih harus bekerja keras untuk kesejahteraan
umat manusia. "Tak ada yang membatasi umur kita untuk berjuang,"
kata Ki Ageng Sora Dipayana ketika ia melangkah keluar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
gerbang halaman. Yang disambung oleh Ki Ageng Pandan
Alas, "He, Mahesa Jenar, adakah kau dahulu memenuhi
permintaanku" Menunggu sampai jagungku tua" Kalau
begitu aku akan singgah dahulu ke sana untuk menikmati
dua tiga buah jagung bakar."
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, seperti terbang Ki
Ageng Pandan Alas segera lenyap di gelap malam. Ki A geng
Sora Dipayana tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya
itu, katanya, "Memang Adi Pandan Alas dalam keadaan
yang bagaimanapun juga, tetap saja dapat tertawa. Dengan
begitu, rupa-rupanya ia akan panjang umur. Nah Gajah
Sora dan Mahesa Jenar, hati-hatilah dengan pekerjaanmu
masing-masing. Mudah-mudahan semuanya selamat dan
baik. Biarlah aku pergi sekarang,"
Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama mengangguk hormat dan mengucapkan selamat jalan.
Maka berangkatlah Ki Ageng Sora Dipayana ke arah yang
bertentangan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Orang tua itu
melangkah perlahan-lahan seperti orang yang sedang
berjalan-jalan menghirup kesejukan udara malam.
Setelah Ki Ageng Sora Dipayana lenyap dari pandangan
mereka, dan tenggelam dalam kehitaman malam, segera
Gajah Sora dan Mahesa Jenar masuk kembali ke dalam
rumah. Dilihatnya di sana Ki Lemah Telasih telah datang
dan telah mencoba mengobati Aria Salaka, Wanamerta,
Sawungrana, Penjawi dan orang-orang yang terluka,
dengan ramuan dedaunan, dan dengan memijat-mijat
berusaha mengembalikan urat-urat yang salah letak.
Ki Lemah Telasih tampaknya masih agak lebih muda dari
Ki Asem Gede, tetapi tubuhnya jauh lebih besar dan lebih
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tinggi. Hanya matanya sajalah yang mirip benar dengan Ki
Asem Gede, sejuk dan damai.
Dengan cekatan ia merawat orang-orang yang terluka itu
berganti-ganti, sehingga beberapa saat kemudian semua
telah diobatinya dan dibaringkannya di tempat yang tenang.
Nyai Gajah Sora masih saja merenungi putranya yang
terbaring di bale-bale tempat tidur ayahnya dengan tanpa
bergerak. Sedang di mata Nyi Ageng Gajah Sora itu
kadang-kadang masih tampak butiran-butiran air mata yang
satu-satu menetes memercikkan kesedihan hatinya. Tetapi
karena kepandaian Ki Lemah Telasih, nafas Arya Salaka
telah mulai berjalan teratur dan detak jantungnya sudah
mulai berjalan wajar. Gajah Sora dan Mahesa Jenar duduk berdiam diri
sebelah-menyebelah dari ruang tidur tempat Arya terbaring.
Wajah-wajah mereka tampak suram serta pandangan
mereka seakan-akan jauh menembus lantai kelam yang tak
dikenal. Suasana menjadi sepi. Di kejauhan terdengar semakin
jelas gonggongan anjing-anjing liar bersahut-sahutan,
seolah-olah mereka berkata bahwa malam adalah milik
mereka. Sepi malam yang mencengkam itu kemudian dipecahkan
oleh suara Ki Lemah Telasih. "Ki Ageng, luka-luka Ananda
Arya tidaklah begitu berat. Mudah-mudahan atas kemurahan Tuhan, dalam waktu yang singkat luka itu akan
segera sembuh kembali."
Gajah Sora menoleh perlahan-lahan ke arah Ki Lemah
Telasih, katanya, "Syukurlah, Kakang. Mudah-mudahan
Tuhan memperkenankan. Lalu bagaimana dengan Paman
Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan lain-lain?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tampaknya luka-luka mereka pun akan dapat disembuhkan." Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun bagaimanapun, hilangnya Nagasasra dan Sabuk
Inten telah merupakan suatu lecutan pedih yang tak akan
pernah dilupakan. Tiba-tiba tanpa disengaja, pandangan mata Gajah Sora
terlempar ke arah sesosok tubuh yang masih belum ada
seorang pun yang berani mengubah letaknya, yang
menggeletak di muka ruang tidur Gajah Sora. Seketika itu
dadanya menggelora kembali, tetapi dicobanya untuk
menenangkan dirinya. Perlahan-lahan ia berdiri dan
memeriksa mayat yang masih belum berkisar sama sekali
itu. Tetapi pada mayat itu sama sekali tak dijumpainya
tanda-tanda apapun yang dapat memberi petunjuk tentang
peristiwa yang baru saja terjadi. Karena itu ia pun segera
duduk kembali. Suasana di dalam rumah itu kembali dikuasai oleh
kesepian yang menekan, tetapi di dalam setiap dada orang-
orang yang berada di dalam rumah itu bergulatlah
perasaan-perasaan yang simpang siur.
Di dalam kesepian malam, di sela-sela gonggong anjing-
anjing liar dan pekik burung-burung malam, lamat-lamat
terdengarlah derap kaki kuda yang menderu-deru, semakin
lama semakin dekat. Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera
mengangkat kepalanya untuk mengetahui dari manakah
datangnya suara-suara itu.
Suara itu ternyata adalah suara derap dari berpuluh-
puluh ekor kuda. Tetapi karena sampai beberapa lama
masih tidak terdengar tanda apapun, maka tahulah mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bahwa rombongan itu pasti bukanlah rombongan dari
orang-orang yang menyerang Banyu Biru.
Dan apa yang diduganya adalah benar. Rombongan itu
adalah rombongan dari Laskar Banyu Biru yang telah
berhasil mengusir laskar-laskar yang menyerbu daerah
mereka. Diantara mereka adalah Ki Ageng Lembu Sora,
Pandan Kuning, dan tokoh-tokoh lainnya.
Sampai di halaman rumah Gajah Sora, segera mereka
turun dari kuda masing-masing. Dengan wajah berseri-seri
mereka segera masuk. Tetapi demikian mereka melangkah
masuk, segera mereka menjadi terkejut dan bertanya-
tanya. Di hadapan mereka terkapar sesosok mayat, sedang
di bale-bale di sisi-sisi ruangan itu terbaring pula
Wanamerta, Sawungrana, Panjawi dan beberapa orang lagi.
"Apakah yang terjadi di rumah ini, Anakmas?" tanya
Pandan Kuning gugup. "Beberapa orang telah datang ke rumah ini dan
mengaduk segala isinya," jawab Gajah Sora.
Lembu Sora ketika melihat orang yang terbaring di depan
ruang tidur Gajah Sora itu, menjadi terkejut. Wajahnya
segera berubah. Tetapi sebentar kemudian ia telah berhasil
menguasai dirinya kembali. Meskipun demikian segera ia
melangkah masuk, langsung menuju ke arah mayat yang
masih terkapar itu. Dengan kakinya ia menggerak-gerakkan
tubuh itu dan membalikkannya sehingga mayat itu
terlentang. Bagaimanapun Lembu Sora mencoba menahan hatinya,
Mahesa Jenar dapat menangkap suatu kesan yang aneh
pada wajah Lembu Sora itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Siapakah orang ini, Kakang?" tanya Lembu Sora kepada
Gajah Sora. Gajah Sora sama sekali tidak memperhatikan wajah
adiknya sehingga tak suatu pun dapat ditangkap dari
kelakuan Lembu Sora, yang menurut tangkapan Mahesa
Jenar agak kurang wajar. "Entahlah, Adik," jawab Gajah Sora. "Ia termasuk salah
seorang dari tiga orang yang telah memasuki rumah ini."
"Tiga orang?" ulang Lembu Sora terkejut.
"Ya, tiga orang. Dan satu dapat dibinasakan. Dialah
orangnya yang tak beruntung, dapat dibunuh oleh Arya


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tombak pusaka Kiai Banyak," sambung Gajah Sora.
"Arya dapat membunuh orang ini?"
Agaknya, bagi Lembu Sora sangatlah mustahil bahwa
Arya dapat berbuat demikian.
Gajah Sora mengangguk mengiyakan.
"Siapakah yang dua lagi?" tanya Lembu Sora lebih lanjut.
"Yang kedua, aku tidak tahu," jawab Gajah Sora.
"Sedang yang ketiga adalah Bugel Kaliki."
"Bugel Kaliki..." Siapakah orang itu?" tanya Lembu Sora.
Akhirnya Gajah Sora dengan agak segan-segan terpaksa
menceriterakan tentang kedatangan tokoh-tokoh sakti ke
dalam rumah ini. "Adakah salah seorang dari mereka berhasil mengambil
Nagasasra dan Sabuk Inten?" tanya Lembu Sora lebih
lanjut. "Orang kedua yang tak kukenal itulah yang membawanya," jawab Gajah Sora.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar jawaban itu, wajah Lembu Sora berubah
menjadi merah membara. Tubuhnya gemetar serta giginya
gemeretak. Rupa-rupanya ia pun marah sekali akan
hilangnya kedua pusaka simpanan kakaknya itu. Tetapi
dalam tanggapan Mahesa Jenar, sama sekali bukanlah
demikian. Bagaimanapun ia sudah mempunyai prasangka
yang tidak baik terhadap Lembu Sora.
"Tidakkah Kakang dapat mencurigai seseorang?" kata
Lembu Sora tiba-tiba. Mendengar kata-kata adiknya itu Gajah Sora terkejut. Ia
tidak tahu maksud kata-kata itu. Melihat kesan itu, Lembu
Sora menyambung, "Kakang.., aku percaya akan kesetiaan
rakyat Banyu Biru terhadap Kakang, sehingga tidaklah
mungkin mereka mau mengkhianati Kakang. Tetapi
ternyata keris itu lenyap juga, meskipun menilik cara
penjagaan halaman ini adalah tidak mungkin sama sekali,
kecuali orang macam Bugel Kaliki. Tetapi barangkali Kakang
lupa, bahwa diantara rakyat Banyu Biru yang setia ini, di
dalam rumah ini terdapat orang lain." Kata-kata yang
diucapkan dengan tegas itu terdengar di telinga Mahesa
Jenar seperti petir yang meledak di tengkuknya.
Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit yang
berwatak ksatria serta benar-benar seorang laki-laki jantan.
Ia sendiri sangat membenci sifat-sifat licik dan curang.
Sekarang didengarnya lewat telinganya sendiri, seseorang
memfitnahnya, menuduhnya berbuat curang dan pengkhianatan terhadap Gajah Sora, yang meskipun belum
begitu lama dikenalnya, tetapi karena sifat-sifatnya serta
persamaan tujuan, maka orang itu sudah dianggapnya lebih
dari seorang sahabat biasa.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu, maka segera darahnya bergolak. Dadanya
tiba-tiba merasa sesak oleh desakan kemarahan. Untunglah
bahwa masih diingatnya bahwa di ruangan itu terbaring
beberapa orang yang terluka serta di dalam ruang sebelah
putera Gajah Sora masih juga belum sadarkan diri. Karena
itu sekuat-kuatnya ia masih mencoba menguasai dirinya.
"Adi Lembu Sora...," kata Gajah Sora, "kau jangan terlalu
cepat mengemukakan pendapat sebelum kau pikirkan
masak-masak untung-ruginya. Sudah aku katakan bahwa
aku sendiri dapat melihat orangnya yang mengambil
pusaka-pusaka itu. Jadi kalau benar dugaanmu pasti akulah
orangnya yang pertama-tama akan bertindak."
Rupa-rupanya Lembu Sora masih belum puas mendengar
jawaban kakaknya, maka ia menyahut, "Untuk melakukan
pekerjaan itu, tidaklah perlu harus ditangani sendiri. Tetapi
adanya seorang asing di dalam halaman ini, telah
merupakan suatu kemungkinan untuk menuntun datangnya
orang kedua, ketiga dan seterusnya. Sebab segala sesuatu
telah dapat dipersiapkannya dengan saksama."
Jantung Mahesa Jenar rasa-rasanya hampir meledak
mendengar kata-kata itu. Tetapi ketika ia melihat Gajah
Sora telah berdiri dari duduknya, ia masih mencoba sekuat-
kuatnya menahan diri. "Sudahlah, Adi Lembu Sora," kata Gajah Sora,
"pendapatmu baik aku perhatikan. Tetapi biarlah aku yang
memutuskan." "Tidak, Kakang..." bantah Lembu Sora, "Mumpung
sekarang kita sedang lengkap di hadapan Kakang, siap
untuk menghukum siapapun yang mencoba untuk
mengganggu ketenangan Banyu Biru, meskipun ia adalah
bekas sahabat Kakang sendiri. Adakah Kakang yakin bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang itu sama sekali tak ada hubungannya dengan orang-
orang yang menyerang Banyu Biru?"
Kembali Lembu Sora melanjutkan hasutannya, "Kakang
Gajah Sora, paman Pandan Kuning, Bantaran Wirapati dan
lain-lainnya telah bertempur dengan gagah perkasa
mengusik laskar penyerbu itu. Dan sekarang di sini mereka
harus menyaksikan seorang di antara penjahat-penjahat itu,
yang mungkin lebih licik dan licin mendapat perlindungan
dari Kakang. A pakah....."
"Cukup!" potong Gajah Sora. "Kau jangan mengurus aku,
Lembu Sora. Aku senang sekali bahwa kau mencoba ikut
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
serta memecahkan kesulitan-kesulitan yang aku alami.
Tetapi janganlah kau memaksakan suatu pendapat yang
belum dapat diyakinkan kebenarannya. Menghukum
seseorang bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan
begitu saja tanpa bukti-bukti akan kesalahannya. Karena itu
sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas perhatianmu
itu, tetapi sebaiknya kau beristirahat di tempat yang sudah
kami sediakan." "Paman Pandan Kuning...," kata Lembu Sora seolah-olah
tidak mendengar kata-kata kakaknya, "... dan paman-
paman yang lain serta para perwira di Banyu Biru....
Dapatkah kalian membiarkan orang yang berkedok
persahabatan ini mengkhianati kepala daerah kalian"
Hilangnya kedua pusaka itu adalah suatu pengkhianatan
yang tiada taranya dalam sejarah Banyu Biru, sejak ayah
Sora Dipayana masih memegang pemerintahan di
Pangrantunan. Tetapi ternyata Kakang Gajah Sora adalah
seorang yang terlalu luhur budi dan pengasih, sehingga ia
tidak sampai hati untuk bertindak terhadap seorang yang
menamakan diri sahabatnya. Nah, para pahlawan, sekarang
adalah waktunya bagi kalian untuk menunjukkan bakti
kalian terhadap kepala daerah kalian serta daerah kelahiran
kalian. Akibat kata-kata Lembu Sora yang diucapkan dengan
berapi-api itu, ternyata hebat sekali. Mereka yang
disebutnya pahlawan yang mempunyai kesempatan untuk
berbakti itu, tiba-tiba menjadi lupa diri. Beberapa orang
telah bergerak untuk menangkap Mahesa Jenar. Sedangkan
Lembu Sora sendiri segera menarik pedangnya yang besar
sekali, dan siap diayunkan.
Kini Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan
kesabarannya lagi. Banyak hal yang akan dikatakan untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyatakan kebersihannya serta banyak hal lagi yang
dapat dikatakan pula tentang ketidakwajaran Lembu Sora.
Tetapi terdorong oleh kemarahan yang memuncak maka
bibirnya hanyalah tampak bergetar tanpa mengeluarkan
sepatah katapun. Apalagi ketika ia melihat Lembu Sora
telah menarik pedangnya, maka tidak ada pilihan lain
kecuali bertempur mati-matian. Segera Mahesa Jenar
memusatkan segala kekuatan lahir batin, mengatur jalan
pernafasannya dan siap untuk mempergunakan Sasra
Birawa dalam pukulan yang pertama. Sebab ia tidak mau
menanggung akibatnya apabila Lembu Sora telah memiliki
aji Lebur Seketi seperti kakaknya. Maka sebagai seekor
banteng murka, ia cepat berdiri dan bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Tetapi ketika Lembu Sora beserta beberapa orang yang
berotak kosong serta hanya berpikir pendek untuk dapat
disebut sebagai seorang pahlawan tanpa menilik masalahnya lebih dalam lagi, mulai bergerak. Tampaklah
dengan kecepatan kilat Gajah Sora meloncat maju ke depan
adiknya beserta orang-orang itu. Dengan wajah merah
membara, Gajah Sora berteriak dengan penuh kemarahan,
"Hai orang-orang Banyu Biru, akulah kepala daerah
perdikan di sini. Kalau kalian maju selangkah lagi, kalian
akan berhadapan dengan aku."
Lontaran suara yang penuh dengan perasaan marah itu
terdengar dahsyat sekali. Beberapa orang yang telah
bergerak seperti orang mabuk itu, tiba-tiba seperti
terlempar kembali ke alam kesadaran. Mereka sebenarnya
adalah orang-orang yang dengan penuh kebaktian dan
kesetiaan mengabdikan diri mereka kepada tanah kelahiran
serta kepala daerah perdikan mereka. Tetapi karena itu
pulalah dengan mempergunakan kesadaran akan kesetiaan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itulah maka mereka kadang-kadang dapat dengan mudah
digelincirkan ke dalam suatu perbuatan yang salah, yang
justru bertentangan dengan kesetiaan mereka sendiri tanpa
sesadarnya. Sekarang tiba-tiba pemimpin yang ditakuti, disegani dan
dicintai itu seolah-olah telah menantang mereka. Maka
tidaklah mustahil bahwa beberapa orang kemudian menjadi
gemetar ketakutan seperti seekor tikus di tangan seekor
kucing yang ganas. Lembu Sora, bagaimanapun angkuhnya, ketika melihat
kakaknya benar-benar telah marah, dan benar-benar tidak
termakan oleh hasutan-hasutannya itu pun menjadi agak
takut pula. Sebab ia tahu betul akan sifat-sifat Gajah Sora.
Meskipun dalam banyak hal Gajah Sora selalu mencoba
untuk mengalah terhadap adik kesayangan ibunya itu.
Tetapi apabila ia telah menentukan suatu sikap, tak seorang
pun mampu mengubahnya. Karena itu dengan kecewa dan menyesal, Lembu Sora
mundur beberapa langkah. Lalu katanya, "Maafkan aku,
Kakang. Maksudku adalah baik, untuk kepentingan masa
datang Kakang dan kesan yang teguh atas kepemimpinan
Kakang. Tetapi agaknya Kakang salah terima."
"Sarungkan senjata itu," perintah Gajah Sora.
Sekali lagi Lembu Sora tak berani melawan perintah
kakaknya. Dengan segera pedangnya itu disarungkannya
pula. Suasana tegang itu kemudian untuk beberapa saat
menjadi semakin tegang. Tak seorangpun yang berani
bergerak, meskipun hanya jari kakinya. Bernafaspun
mereka menjadi berhati-hati sekali, seolah-olah takut kalau-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kalau bunyi nafasnya dapat menambah kemarahan Gajah
Sora. "Lembu Sora...," kembali terdengar suara Gajah Sora.
Tetapi kali ini terasa bahwa kemarahannya telah menurun.
Bagaimanapun ia adalah seorang kepala daerah yang
bijaksana. Maka sekali ini pun ia menunjukkan kebijaksanaannya pula. "Baiklah... kau beritirahat," sambung Gajah Sora, "mungkin kau terlalu lelah sehingga
pikiranmu tak dapat berjalan dengan baik. Juga kalian
laskar Banyu Biru, aku persilahkan meninggalkan ruangan
ini untuk mengaso. Setelah kalian bertempur untuk
mempertahankan tanah ini, mungkin sekali otak kalian pun
agak terganggu. Tetapi tak apalah.... Sekarang pergilah."
Tak seorang pun mengucapkan sepatah kata. Dengan
kepala tunduk, mereka berjalan berebutan untuk lebih
dahulu meninggalkan ruangan yang rasa-rasanya menjadi
panas sekali. Demikian mereka sampai di halaman, segera
mereka meloncat ke atas kuda masing-masing dan dengan
segera kuda-kuda itu dipacu pulang ke rumah masing-
masing untuk menyatakan keselamatan mereka kepada
keluarga mereka masing-masing yang menanti dengan hati
cemas. Sedang beberapa orang lagi bertugas untuk
merawat kawan-kawan mereka yang gugur, dan yang
terluka pun segera dengan tekun melakukan tugas masing-
masing. Lembu Sora pun segera mengundurkan diri bersama-
sama dengan para pengiringnya, ke tempat yang sudah
disediakan, di gandok sebelah barat.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Sepeninggal mereka, di dalam ruangan itu tinggallah
Gajah Sora, Mahesa Jenar, Ki Lemah Telasih, dan orang-
orang yang terluka. Mereka duduk tepekur tanpa berkata-
kata. Angan-angan mereka mengalir menuruti pikiran
masing-masing.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suasana segera menjadi hening. Kembali terdengar di
kejauhan gonggong anjing-anjing liar berebut makanan.
Sedang di ruang itu beberapa orang duduk seperti patung,
kaku dan membisu. Tetapi perasaan mereka berputar
seperti baling-baling. Baru beberapa saat kemudian terdengar Gajah Sora
berkata, "Adi Mahesa Jenar... maafkan kelakuan Lembu
Sora beserta beberapa orangku yang sama sekali tidak
sopan. Tetapi percayalah bahwa orang-orangku sama sekali
tak mempunyai pandangan yang kurang baik terhadap Adi.
Sayang bahwa Lembu Sora telah menyeret mereka ke
dalam suatu tindakan yang memalukan."
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia
sama sekali tidak akan dapat melupakan tuduhan
pengkhianatan yang dilancarkan oleh Lembu Sora.
Terhadap laskar Banyu Biru, memang ia tidak menaruh
banyak perhatian, sebab mereka hanya terpengaruh oleh
hasutan-hasutan Lembu Sora saja. Namun, meskipun
demikian, kepada Gajah Sora ia menjawab, "Sudahlah
Kakang, mudah-mudahan aku dapat melupakannya. Aku
harapkan bahwa Ki Ageng Lembu Sora tidak berbuat hal-hal
yang dapat mengeruhkan keadaan."
Gajah Sora mengangguk-angguk kecil. Ia dapat
merasakan sepenuhnya kekecewaan Mahesa Jenar terhadap adiknya. Karena itu ia berkata menyambung, "Aku
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akan mencoba selalu mengawasi anak itu selama ia berada
di Banyu Biru. Mudah-mudahan ia segan meninggalkan
rumah ini untuk tidak menambah pekerjaannku"
Kembali mereka berdiam diri. Dan kembali keadaan
ruangan itu menjadi sepi. Sepi dan kaku, seperti garis-garis
lurus dari sambungan-sambungan papan gebyok rumah
Gajah Sora yang pecah berserakan karena ditembus oleh
Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama.
Kesepian itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara rintih Arya
Salaka dari dalam ruang tidur Gajah Sora. Mendengar suara
itu, hampir bersamaan Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Ki
Lemah Telasih meloncat, mendekati Arya. Wajah Gajah
Sora yang suram itu segera berubah, karena tumbuhnya
harapan yang semakin besar, bahwa Arya Salaka akan
segera dapat sadar kembali.
Ketika mereka bersama-sama memasuki ruangan itu,
mereka melihat Arya sudah mulai menggerakkan kepalanya,
dan perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Terdengarlah
dari mulutnya ia merintih dan akhirnya terdengar Arya
perlahan-lahan sekali menangis, meskipun agaknya ia
mencoba menahannya kuat-kuat.
Ibunya yang melihat Arya mulai sadar, segera
memeluknya dan menciuminya dengan penuh rasa kasih
dari seorang ibu. Tetapi Ki Lemah Telasih sebagai seorang
tabib segera mencoba mencegahnya. "Nyai Ageng, biarlah
Ananda Arya bebas bernafas dahulu, supaya tubuhnya
menjadi segar." Wajah Gajah Sora pun segera menjadi cerah. Meskipun
luka di hatinya dengan hilangnya kedua pusaka itu begitu
dalam, namun Arya Salaka pun merupakan mutiara di
hatinya yang tidak kalah nilainya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar yang sejak melihat Arya untuk pertama
kali telah mengagumi anak itu, kini ia bertambah kagum
lagi. Anak-anak yang masih pantas bermain gundu itu,
andaikata tidak ada orang kedua, telah berhasil
menggagalkan suatu usaha dari seorang yang tentu berilmu
tinggi, dalam usahanya mencuri Kyai Nagasasra dan Sabuk
Inten. Dalam asuhan Ki Ageng Gajah Sora, pastilah Arya
kelak akan menjadi manusia yang mumpuni lahir dan batin.
Apalagi andaikata kakeknya Ki Ageng Sora Dipayana juga
mau mengasuhnya. Sebentar kemudian Arya Salaka telah benar-benar sadar.
Ia telah mulai mengenali orang-orang yang berdiri di sekitar
tempat pembaringannya. Pada saat itu malam telah semakin jauh, bahkan ayam
jantan telah mulai berkokok untuk ketiga kalinya, suatu
pertanda bahwa sebentar lagi fajar akan datang.
Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Ki Lemah Telasih pun
segera meninggalkan Arya Salaka yang sudah mulai dapat
tidur ditunggui oleh ibunya yang berbaring di sampingnya.
Ki Lemah Telasih dan Mahesa Jenar kemudian meninggalkan ruangan itu pula untuk beristirahat.
Ketika Mahesa Jenar turun dari pendapa untuk
mengantarkan Ki Lemah Telasih sampai di gerbang
halaman, tampaklah di timur sudah mulai membayang
warna kemerah-merahan yang melapisi langit. Angin pagi
yang sejuk menyapu wajah Mahesa Jenar yang masih
tampak berminyak karena keringat yang berlapis debu.
Meskipun demikian perasaan segar terasa menusuk sampai
ke tulang sungsum. Perlahan-lahan ia berjalan ke gandok sebelah timur
untuk beristirahat. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memasuki ruang yang disediakan untuknya. Rupa-rupanya
ruangan itu pun telah dibongkar dengan teliti.
Melihat hal itu, Mahesa Jenar tertegun. Ia tiada tahu
siapakah yang telah melakukan perbuatan itu, tetapi
kejadian itu telah menyalakan kembali kemarahannya.
Sayanglah bahwa Lembu Sora kebetulan adalah adik Gajah
Sora. Kalau saja tidak ada hubungan antara kedua orang
itu, sudah pasti bahwa ia akan membuat perhitungan
secepat-cepatnya dengan Lembu Sora. Tetapi dalam
keadaan seperti sekarang ini, yang dapat dilakukannya
hanyalah menyimpan kemarahannya itu di dalam dadanya
yang menjadi sesak. Akhirnya dengan susah payah ia dapat meredakan gelora
hatinya sendiri. Dan karena kelelahan, Mahesa Jenar
kemudian merebahkan dirinya di atas pembaringan dan
sejenak kemudian ia tertidur dengan nyenyaknya.
Demikian nyenyaknya ia tidur, sehingga tidak terasa
bahwa hari telah tinggi. Meskipun demikian masih saja ia
belum bangun, apabila tidak didengarnya derap kuda di
halaman. Ketika ia bangun dan membuka pintu depan,
tampak sudah siap untuk berangkat Ki Ageng Lembu Sora
beserta rombongannya. Melihat Lembu Sora siap meninggalkan Banyu Biru, tanpa
sadar Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
merasa syukur bahwa orang yang sama sekali tak
menyenangkan, baik wataknya maupun bentuk tubuhnya
yang kaku itu, segera akan meninggalkan Banyu Biru
sebelum terjadi sesuatu. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba Ki Ageng Lembu
Sorapun memandang ke arah pintu yang sudah terbuka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sedikit itu, dimana Mahesa Jenar sedang berdiri
mengawasinya. Benturan pandangan yang terjadi dengan tiba-tiba itu
telah menimbulkan ledakan yang hebat di hati masing-
masing. Pandangan mereka segera berubah menjadi tajam
dan seolah-olah meskipun tanpa diucapkan, mereka telah
berjanji bahwa pada suatu ketika mereka akan berhadapan
sebagai lawan yang harus membuat perhitungan dengan
taruhan yang sangat mahal.
Sebentar kemudian, Ki Ageng Lembu Sora segera
memberi aba-aba kepada para pengiringnya, dan segera
mereka pun pergi meninggalkan halaman Kepala Daerah
Perdikan Banyu Biru. Sampai di regol halaman, sekali lagi
Lembu Sora menoleh kepada kakaknya yang melepasnya
dari atas pendapa beserta istrinya. Dan dengan sekali lagi
menganggukkan kepalanya, Lembu Sora lenyap dari
pandangan mereka. Setelah Lembu Sora hilang di balik pagar halaman, serta
Ki Ageng Gajah Sora telah masuk kembali ke dalam rumah,
segera Mahesa Jenar keluar dari Gandok Wetan dan
langsung pergi lewat pintu pagar samping, menuruti tangga
batu, pergi ke mata air dimana ia biasa mandi.
Tetapi baru saja ia akan melepaskan pakaiannya, tiba-
tiba dilihatnya dua bayangan diantara pepohonan agak
diatas mata air itu. Dan ketika ia memandangnya lebih
tajam lagi, dilihatnya seorang tua dengan seorang pemuda
tampan berdiri memandangnya. Alangkah terkejutnya
ketika diketahuinya bahwa orang tua itu tidak lain adalah Ki
Ageng Pandan Alas yang berdiri bertolak pinggang sambil
tertawa nyaring. Katanya diantara derai tertawanya, "Kau
agak kesiangan bangun, Mahesa Jenar."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar segera membungkuk hormat, jawabnya,
"Ya, Ki Ageng,"
"Mahesa Jenar..." sambung Ki Ageng Pandan Alas,
"Apakah Kakang Sora Dipayana telah meninggalkan Banyu
Biru?" Mahesa jenar segera membungkuk hormat, jawabnya,
"Ya, Ki Ageng."
"Bagus," sahut Pandan Alas. "Aku juga akan segera
pergi. Tetapi sengaja aku singgah sebentar untuk
memperkenalkan muridku ini kepadamu."
Barulah Mahesa Jenar sadar bahwa Pandan Alas itu
berdiri di sana dengan seorang lagi. Maka ketika ia
mendengar bahwa Pandan Alas bermaksud memperkenalkannya dengan muridnya, segera ia membetulkan pakaiannya dan melangkah mendekati. Tetapi
segera ia berhenti ketika Ki Ageng Pandan Alas
menegornya, "Tak usah kau naik kemari, Mahesa Jenar.
Muridku agak malu berkenalan dengan kau yang telah
memiliki nama besar sebagai seorang perwira prajurit
Demak. Tidak saja itu, tetapi juga sebagai penolong yang
luhur budi." Mahesa Jenar segera tertegun heran. Apakah hubungannya dengan nama yang pernah dimilikinya. Tetapi
ketika sekali lagi ia memandang murid Pandan Alas itu,
hatinya terguncang hebat. Apalagi ketika orang itu
menundukkan wajahnya yang tampak kemalu-maluan.
Mahesa Jenar segera mengenal siapakah murid Ki
Pandan Alas itu. Karena itu wajahnya menjadi terasa panas
dan jantungnya berdetak lebih cepat.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Rupa-rupanya kau sudah mengenalnya Mahesa Jenar"
bertanya Pandan Alas sambil tertawa.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Mulutnya jadi
seperti terkunci. Kemudian terdengar tertawa Pandan Alas semakin keras.
Katanya; "Aku jadi geli, kalau aku teringat ketika Mahesa
Jenar jadi marah bukan main dan hampir saja membunuh
orang yang sama sekali tak bersalah beberapa pekan yang
lalu di hutan Tambak Baya, ketika ia kehilangan bebannya."
Juga kali inipun Mahesa Jenar tidak menjawab.
Ketika kata-katanya tidak mendapat jawaban Pandan
Alas melanjutkan, "Mahesa Jenar, inilah muridku yang aku
katakan. Siapakah nama yang pantas aku berikan
kepadanya"." Mendengar pertanyaan yang berturut-turut itu hati
Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia sendiri tidak
mengetahui, kenapa ia tidak dapat menahan perasaannya
sehingga ia kehilangan ketenangan. Murid Pandan Alas itu,
meskipun jelas berpakaian seperti seorang pemuda, namun
ketika Mahesa Jenar memandangnya agak lama, ia segera
mengenal bahwa murid Pandan Alas itu sama sekali bukan
seorang pemuda, melainkan ia adalah seorang gadis cantik
yang sedang mekar, yang tidak lain adalah cucu Pandan
Alas sendiri yaitu Rara Wilis yang pernah dikenalnya dan
pernah ditolongnya. Pertemuan yang tidak diduga itu
membuat Mahesa Jenar kehilangan ketenangan. Disamping
itu iapun menjadi heran pula bahwa sedemikian cepat Ki
Ageng Pandan Alas telah kembali bersama gadis itu. Kalau
demikian ketika Ki Ageng Pandan Alas sedang bertempur
dengan Pasingsingan, Rara Wilis pasti disembunyikan
ditempat yang tidak begitu jauh dari Banyu Biru.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pada saat kenangannya sedang menelusur kembali ke
masa lampau terdengan kembali Pandan Alas berkata,
"apakah kau mempunyai pilihan nama yang baik Mahesa
Jenar " Aku sendiri bingung memberi nama yang sesuai.
Tetapi yang jelas aku tidak akan memberinya nama Lawa
Ijo, meskipun nama aselinya bermakna hijau juga."
Mahesa Jenar masih saja belum dapat menguasai dirinya
sehingga mulutnya masih belum dapat mengucapkan kata.
Bahkan ia menjadi gelisah. Melihat sikap Mahesa Jenar,
Pandan Alas tertawa semakin keras, katanya, "Barangkali
kau tidak siap menghadapi kejadian yang sangat tiba-tiba
datangnya ini Mahesa Jenar. Tetapi tidak mengapa.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maksudku hanyalah supaya kau tahu bahwa cucuku ini aku
bawa, supaya aku dapat melakukan dua pekerjaan
sekaligus, yaitu yang pertama untuk mengetahui siapakah
yang telah membawa kedua keris Kiai Nagasasra dan
Sabukinten, sedangkan yang kedua, supaya diperjalanan
aku masih dapat mengajari anak ini selangkah dua langkah
ilmu yang tak berarti, supaya ia dapat menjaga
keselamatan dirinya. Syukur ia berhasil melepaskan
pengaruh jahat ibu tirinya atas bapaknya yang sekarang
bermukim di Gunung Tidar."
Mendengar kata-kata Pandan Alas yang terakhir Mahesa
Jenar terkejut, sahutnya; "Maksud Ki Ageng, Sima Rodra
Gunung Tidar ?" "Ya," jawab Pandan Alas. "Sima Rodra muda itu adalah
bekas menantuku yang kemudian kena pengaruh seorang
perempuan, maka ia seperti berubah ingatan. Sekarang
keturunanku satu-satunya adalah Wilis ini. Karena itu,
meskipun ia seorang gadis aku akan mencoba untuk
membuatnya setidak-tidaknya dapat menyamai ibu tirinya.
Maka supaya pantas aku beri ia pakaian laki-laki dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seharusnya namanya pun harus nama lelaki pula. Nah apa
katamu kalau anak ini aku beri nama Pudak Wangi "."
Kembali Mahesa Jenar terbungkam. Tetapi nama itu
rasanya amat manisnya. karena itu, meskipun ia tidak
menjawab, tetapi dengan tidak disengaja ia mengangguk
juga. Ia terkejut ketika Pandan Alas meneruskan, "Ha
rupanya kau setuju juga. Bukankah Pudak adalah nama dari
bunga Pandan. Aku harap cucuku kelak akan dapat menjadi
bunga Pandan yang wangi."
Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia ingin
menjawab tetapi ia tidak tahu bagaimana, sampai akhirnya
Pandan Alas berkata lagi, "Mahesa Jenar kenapa kau diam
saja. Setuju atau tidak, atau barangkali kau punya nama
yang lebih baik "."
"Tidak Ki Ageng" akhirnya terpaksa ia menjawab
sekenanya, "nama itu sudah baik sekali."
"Bagus, Kau setuju dengan nama itu bukan. Nah kalau
pada suatu ketika kau bertemu dengan seorang pemuda
yang bernama Pudak Wangi, jangan kau apa-apakan dia,"
sahut Ki A geng Pandan Alas. "Nah sekarang aku akan pergi.
Marilah Pudak Wangi. Sebaiknya kau minta diri pada
Mahesa Jenar." Wajah Rara Wilis segera berubah menjadi merah. Ia
mencoba tersenyum, tetapi alangkah sulitnya. Dengan
terpaksa ia berkata, "Selamat tinggal tuan, aku mohon diri
untuk mengikuti kakek mencari pusaka yang hilang."
Mendengar kata cucunya segera Pandan Alas membetulkan, "eh Mahesa Jenar adalah murid sahabatku.
Kenapa kau panggil dengan sebutan tuan" kau sekarang
adalah muridku. Panggil dengan sebutan yang lebih akrab
sebagai dua murid dari dua orang sahabat."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kembali wajah Rara Wilis kemerahan. tetapi terpaksa ia
berkata, "Aku mohon diri kakang, aku akan menyertai
guru." "Begitulah panggilan seorang sahabat," kata Pandan Alas
sambil tertawa nyaring. Sementara itu terdengar Mahesa
Jenar menjawab, "mudah-mudahan semuanya selamat,
yang pergi dan yang ditinggalkan."
"Baiklah Mahesa Jenar," sahut Pandan Alas. "Lekaslah
mandi. Aku akan berangkat. Mungkin untuk waktu yang
agak lama kita tidak bertemu. Selamat tinggal."
Sesudah mengucapkan kata-kata itu segera Ki Ageng
Pandan Alas dan Rara Wilis yang kemudian bernama Pudak
Wangi itu pergi meninggalkan Mahesa Jenar dan berjalan
perlahan-lahan menyusup pepohonan. Mahesa Jenar berdiri
tegak seperti patung mengawasi mereka berdua. Pikirannya
tiba-tiba menjadi risau. Ia tidak tahu kenapa hatinya
bergetar ketika mendengar Pandan Alas mengatakan bahwa
mungkin untuk waktu yang lama mereka tidak akan
bertemu. Malam tadi, ketika ia melihat Pandan Alas itu berangkat
untuk mencari pusaka-pusaka yang hilang, ia tidak
merasakan perasaan seperti pada saat itu.
Baru beberapa saat kemudian Mahesa Jenar seperti
orang sadar dari mimpi. Kembali ia turun ke mata air untuk
mandi. Tetapi bagaimanapun terasa bahwa ada sesuatu
yang mengganggu ketentraman hatinya. Rara Wilis
meskipun sudah berpakaian seperti seorang pemuda,
namun wajah itu selalu mondar-mandir saja di dalam
otaknya. Karena itulah maka setelah ia mandi dan kembali ke
rumah sahabatnya, ia tampak agak lain dari biasanya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi ia selalu berusaha untuk menyembunyikan
perasaannya. Dua-tiga hari kemudian, Mahesa Jenar merasa agak
kurang enak untuk tinggal berdiam diri di rumah
sahabatnya itu. Bagaimanapun ia merasa turut bertanggung
jawab pula atas hilangnya pusaka-pusaka Demak yang telah
dengan susah payah diketemukan dan direbut dari tangan
Sima Rodra. Karena itu, meskipun ia tahu pasti bahwa yang
berhasil merampas kedua pusaka itu, termasuk angkatan
gurunya atau setidak-tidaknya mempunyai kesaktian yang
setingkat dengan gurunya, serta Ki Ageng, namun adalah
kewajibannya pula untuk mencoba-coba menemukannya
kembali. Mahesa Jenar memutuskan menemui Ki Gajah Sora
untuk minta diri, dan kemudian meneruskan perantauannya, dan apabila mungkin untuk mendapatkan
kembali Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten yang telah hilang.
Tetapi ketika pada suatu pagi, Mahesa Jenar telah
bersiap-siap untuk minta diri, tiba-tiba terdengarlah sayup-
sayup suara kentongan yang dipukul bertalu-talu dengan
irama dara muluk ganda. Itu adalah suatu pertanda bahwa
ada pejabat penting dari Istana Demak yang datang ke
Daerah Perdikan Banyu Biru.
Tanda itu kemudian diulang dan diulang oleh pemukul-
pemukul kentongan yang lain, sehingga suaranya terdengar
semakin lama semakin dekat.
Mendengar tanda-tanda itu, Gajah Sora tampak agak
sibuk mempersiapkan penyambutan. Tetapi bagaimanapun
tampak membayang di wajahnya perasaan yang hambar
dan kurang tenang. Meskipun ia belum tahu akan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kepentingan para pejabat itu, namun ia mendapat firasat
bahwa sesuatu yang kurang baik akan terjadi.
Wanamerta yang masih belum sembuh benar, segera
diundang pula. Beberapa pejabat lain, dengan sendirinya
telah hadir pula setelah mendengar tanda-tanda itu.
Mahesa Jenar yang mengerti juga akan tanda-tanda itu
menjadi agak bingung. Ia meninggalkan Demak serta
melepaskan pakaian keprajuritan karena perbedaan-
perbedaan pendapat dengan beberapa pejabat istana. Dan
sekarang di suatu tempat yang jauh dari istana, pejabat itu
datang untuk suatu keperluan. Ia menjadi bimbang, apakah
ia harus menemui pejabat-pejabat itu ataukah tidak.
Akhirnya setelah menimbang masak-masak, akhirnya
Mahesa Jenar minta kepada Gajah Sora untuk diberi
kesempatan tidak usah menemui mereka dan kehadiran
tamu-tamu tersebut. Juga tidak perlu dikabarkan bahwa
Mahesa Jenar sedang berada di Banyu Biru. Ia akan berada
di dalam ruangan tengah sambil mendengarkan apakah
kepentingan para pejabat itu datang ke daerah perdikan
Banyu Biru. Sejenak kemudian terdengarlah di kejauhan suara
sangkakala. Itu adalah suatu pertanda bahwa yang datng
adalah pejabat-pejabat penting.
Mendengar sangkakala itu, Gajah Sora menjadi
bertambah sibuk. Diperintahkan seorang meniup sangkakala pula untuk menyatakan kesediaan kepala
perdikan Banyu Biru menerima tamu-tamu penting dari
pusat. Sementara itu beberapa orang telah siap di atas kuda
untuk menyongsong tamu-tamu dari Demak itu. Ketika Ki
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ageng memberikan tanda-tanda, segera mereka pun
berangkat. Mahesa Jenar yang menanti kedatangan tamu-tamu itu
dari ruang dalam menjadi semakin lama semakin gelisah.
Kalau saja ia telah meninggalkan tempat itu, maka apapun
yang terjadi, ia sudah tidak melihatnya lagi. Tetapi
sekarang, pada saat ia masih berada di tempat itu,
dapatkah kiranya ia berdiam diri" Sebab dalam tangkapan
Mahesa Jenar, kedatangan para utusan dari Demak itu pasti
ada sangkut-pautnya dengan keris Kyai Nagasasra dan
Sabuk Inten. Beberapa saat kemudian, sebelah punggung Mahesa
Jenar basah oleh keringat dingin yang mengalir karena
kegelisahannya. Terdengarlah derap kuda di halaman.
Perasaan ingin tahu Mahesa Jenar sedemikian besar
sehingga lewat lubang-lubang papan sambungan dinding, ia
mengintip. Ketika ia melihat pemimpin rombongan dari
Demak itu, dadanya bergetar. Rupa-rupanya rombongan ini
dianggap sedemikian pentingnya sehingga telah ditunjuk
untuk memimpin rombongan ini, seorang perwira dari
pengawal Bandar Bergota, yaitu Palindih, seorang perwira
yang sangat terkenal, yang pada saat Pangeran Sabrang
Lor menyerang Portugis di Malaka, dialah yang mempergunakannya sebagai batu loncatan untuk meluaskan jari-jari penjajahannya ke Pulau Jawa dan
sekitarnya. Ia sudah menjabat sebagai pimpinan dari salah
satu kapal dalam armada yang dipimpin langsung oleh
Adipati Unus sendiri. Pada saat itu Gajah Sora, yang masih
sangat muda, yang ikut sebagai sukarelawan dalam
penyerangan itu, beruntung terpilih menjadi anggota
pengawal Sabrang Lor. Karena pemuda itu telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menunjukkan ketangkasan yang luar biasa, maka dari
Pangeran, ia menerima hadiah sebuah tombak pusaka.
Karena itu, ketika Ki Ageng Gajah Sora melihat, siapakah
yang datang, maka dengan tergopoh-gopoh ia turun ke
halaman menyambut tamunya dengan salam persahabatan.
Mereka telah saling berkenalan dan telah mengetahui
kebesaran masing-masing. Maka, segera tamu-tamunya dipersilahkan naik ke
pendapa, dimana telah hadir para pejabat tanah perdikan
dan pimpinan-pimpinan laskar Banyu Biru. Di belakang, Nyi
Ageng pun telah bekerja keras menyiapkan suguhan yang
dianggapnya pantas, untuk menjamu tamu-tamu dari kota.
Setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-
masing, serta setelah mereka yang datang mendapat
jamuan pelepas haus, maka mulailah Arya Palindih
menyampaikan keperluannya datang ke Perdikan Banyu
Biru. Meskipun wajahnya tampak keras, tetapi karena
umurnya yang telah agak lanjut, maka ia berusaha untuk
berhati-hati. "Anakmas Gajah Sora..., katanya, "izinkanlah aku
menyampaikan pesan Baginda untuk Anakmas kepala
daerah Perdikan Banyu Biru. Pertama Baginda Sultan
Demak menyampaikan salam taklim untuk Anakmas, serta
doa mudah-mudahan pemerintahan perdikan Banyu Biru
yang didasarkan atas ketetapan sejak Baginda Brawijaya
Pamungkas ini dapat berlangsung dengan sempurna, serta
keputusan Baginda untuk tetap menghormati prasasti
ketetapan tanah perdikan ini"
Adapun yang kedua, lanjut Arya Palindih, Baginda Sultan
Demak mengucap syukur ke hadirat Allah bahwa Anakmas
dari Banyu Biru yang sudah dikenal oleh Baginda sejak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
penyerangan kedaerah Utara, yang pada saat itu
Pemerintahan Demak masih dipegang oleh Pangeran
Sabrang Lor, telah berhasil menyelamatkan kedua pusaka
istana, Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten."
Mendengar kata-kata itu, yang diucapkannya dengan
jelas setiap suku katanya, baik Gajah Sora maupun Mahesa
Jenar yang berada di ruang dalam, dadanya merasa seolah-
olah tertindih beban yang sangat berat. Wajah Gajah Sora
segera berubah, serta pandangannya menjadi suram.
Meskipun hal itu telah diduganya, namun bagaimanapun
darah Gajah Sora mengalir bertambah cepat juga.
Maka dengan agak gemetar serta berusaha untuk
menguasai diri, Ki Ageng Gajah Sora menjawab, "Paman
Arya Palindih yang aku hormati.... Pertama-tama aku
merasa sangat berbesar hati atas kesudian Paman serta


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas kemurahan hati Baginda mengutus sebuah rombongan
untuk datang ke daerah yang terpencil ini. Adapun yang
kedua, aku menyatakan terima kasih yang sebesar-
besarnya pula atas perhatian Baginda kepada hasil yang
telah aku dapatkan, yaitu menyelamatkan Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten."
Sampai sekian kata-kata Gajah Sora terputus. Hatinya
menjadi semakin gelisah serta dadanya bertambah
berdebar. Dengan berusaha sedapat-dapatnya untuk
menguasai dirinya ia melanjutkan, "Tetapi Paman,
sebaiknya aku berkata terus terang, bahwa mungkin karena
kesalahanku, karena aku tidak mampu menjaga keselamatan kedua pusaka itu, maka beberapa hari yang
lalu kedua pusaka itu hilang kembali."
Mendengar keterangan Gajah Sora itu, Arya Palindih
terkejut, sehingga duduknya tergeser ke belakang. Dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mata yang mengandung seribu satu macam pertanyaan, ia
memandangi Gajah Sora tanpa berkedip.
Gajah Sora merasakan bahwa sesuatu bergolak di dalam
dada Arya Palindih, karena itu ia merasa perlu untuk
memberikan penjelasan atas hilangnya kedua pusaka itu.
Maka dengan sedikit bergetar Gajah Sora menceriterakan
bagaimana ia berhasil mendapatkan kedua keris itu di
Gunung Tidar, sampai kedua keris itu hilang dicuri orang,
dengan kesaksian orang-orang yang pada saat itu masih
belum sembuh benar, seperti Wanamerta, Panjawi dan lain-
lainnya. Tetapi sudah tentu Gajah Sora sama sekali tak
menyebut-nyebut nama Mahesa Jenar atau yang lebih
terkenal dengan sebutan Rangga Tohjaya.
Meskipun Gajah Sora telah mengatakan semuanya yang
terjadi, tampaknya Arya Palindih masih memancarkan rasa
kesangsian. Beberapa kali ia memandang berkeliling.
Kepada Wanamerta, Bantaran, Panjawi, Sawungrana dan
kepada para pengiringnya, seolah-olah ia minta penjelasan
yang lebih banyak lagi, serta minta pertimbangan-
pertimbangan. Akhirnya setelah beberapa saat mereka
berdiam diri, berkatalah Arya Palindih, "Anakmas Gajah
Sora, aku tahu betapa besar kemampuan Anakmas.
Anakmas adalah salah seorang kepercayaan almarhum
Pangeran Sabrang Lor yang juga disebut Adipati Unus pada
usia yang masih sangat muda. Sekarang Anakmas telah
berusia dua kali lipat. Aku percaya bahwa dalam usia yang
sekarang ini Anakmas telah merupakan seorang yang maha
perkasa. Ditambah lagi aku dengar laskar Banyu Biru adalah
laskar yang teguh dan perwira. Masih adakah gelombang-
gelombang perampok yang hanya dapat mencegat
pedagang-pedagang yang tak berdaya itu, berani SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mendekati Banyu Biru" Apalagi memasuki rumah kepala
daerah perdikan?" "Paman Arya Palindih..." jawab Gajah Sora, "Apa yang
Paman katakan adalah benar. Tetapi yang datang ke Banyu
Biru bukanlah rombongan pencuri-pencuri kerdil yang hanya
mampu membongkar dinding. Tidakkah Paman pernah
mendengar nama-nama seperti Lawa Ijo, Sima Rodra,
Sepasang Uling dari Rawa Pening, Jaka Soka dari
Nusakambangan dan yang lebih terkenal lagi Pasingsingan,
Sima Rodra tua dari Lodaya, Bugel Kaliki dari lembah
Gunung Cerme..." Mereka itu semua telah beramai-ramai
datang ke Banyu Biru seperti orang yang dahulu-
mendahului, seolah-olah kedua pusaka itu dapat mereka
miliki dengan seenaknya saja. Kami telah berusaha sekuat
tenaga kami, sampai beberapa orang kami luka parah,
bahkan anakku sendiri terluka."
Arya Palindih menarik nafas dalam-dalam. Dahinya
tampak berkerut-kerut. Meskipun usianya telah melebihi
setengah abad, namun ia masih tampak segar dan perkasa.
Beberapa rambut putih yang tumbuh di pelipisnya, tampak
menambah wibawanya. Beberapa saat lamanya ia tidak
berkata apa-apa. Ia sedang mencoba memahami keterangan-keterangan Gajah Sora, yang bagaimanapun
sebenarnya agak janggal baginya.
Kemudian terdengarlah ia berkata, "Aneh. Aneh sekali.
Kenapa mereka baru akan memperebutkan pusaka-pusaka
itu setelah berada di tangan Anakmas. Kenapa mereka tidak
merebutnya selagi pusaka-pusaka itu masih berada di
tangan Sima Rodra Gunung Tidar."
Gajah Sora mengerutkan keningnya. Ia sadar bahwa
Arya Palindih agak membimbangkan keterangannya. Karena
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu ia melanjutkan, "Adakah Paman dapat membayangkan
kekuatan raksasa yang mendatangi Banyu Biru bersama-
sama..." Tentang keheranan Paman, kenapa baru setelah
pusaka-pusaka itu berada di Banyu Biru, mereka beramai-
ramai memperebutkan itu sama sekali tak aku ketahui. Itu
adalah soal mereka. Tetapi mungkin sebelum itu tak
seorang pun yang mengetahui, bahwa kedua pusaka itu
berada di tangan Sima Rodra. Baru setelah kedua pusaka
itu lenyap dari tangannya, ia sengaja meniup-niupkan berita
bahwa pusaka-pusaka itu berada di Banyu Biru."
"Itupun aneh," jawab Palindih. "Dengan demikian ia akan
mendapat banyak saingan."
Pendapat Palindih itu memang masuk akal. Gajah Sora
terdiam untuk beberapa saat. Tetapi adalah suatu
kenyataan bahwa kedua pusaka itu telah lenyap. Lalu
apakah yang harus dikatakan, selain mengatakan apa yang
telah terjadi. Apapun yang akan dikatakan, tetapi sudah
pasti bahwa pada saat itu, ia tidak akan dapat menunjukkan
keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sesaat kemudian Arya Palindih melanjutkan, "Anakmas..., aku memang telah pernah mendengar
beberapa diantara nama-nama yang Anakmas sebutkan itu.
Tetapi bagiku adalah sulit untuk dapat membayangkan
bahwa kekuatan dari sebuah gerombolan perampok akan
dapat menyamai kekuatan Banyu Biru. Bagaimanapun
kuatnya Bugel Kaliki dari Gunung Cerme, namun dapatkah
ia melawan para pengawal seperti yang anakmas katakan
itu?" Mendengar kata-kata Arya Palindih, kuping Gajah Sora
rasa-rasanya seperti terjilat api. Karena itu segera wajahnya
berubah menjadi merah. Tetapi meskipun demikian ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berkata tenang, "Paman..., mungkin Paman tidak percaya.
sebab Paman adalah seorang perwira prajurit yang lebih
sering bertempur dalam satuan yang besar. Bukan
pertempuran perorangan yang kadang-kadang mempunyai
segi-segi yang jauh berbeda. Meskipun aku tahu bahwa
secara perseorangan pun Paman termasuk seorang yang
mumpuni. Atau barangkali karena Paman adalah seorang
yang maha kuat, sehingga Paman sukar membayangkan
kelemahan orang lain?"
Kata-kata Gajah Sora pun tak kurang tajamnya, sehingga
sekali lagi Arya Palindih menggeser duduknya. Tetapi Arya
Palindih juga berusaha menahan dirinya, sehingga masih
dalam suasana yang baik ia berkata: "Mungkin Anakmas,
mungkin. Aku lebih senang mengatur siasat daripada
menangani lawan. Juga terhadap orang seperti Bugel Kaliki,
Pasingsingan dan Sima Rodra dari Lodaya itu pun aku akan
mempergunakan siasat untuk menjebaknya".
Kembali perasaan Gajah Sora seperti tertusuk sembilu.
Maka katanya di dalam hati, "Sayang Paman Palindih belum
pernah bertemu dengan tokoh-tokoh seperti Pasingsingan,
Sima Rodra, Ki Ageng Pandan Alas atau ayahnya sendiri.
Tokoh-tokoh yang lebih percaya pada dirinya sendiri
daripada bertempur dalam satuan-satuan yang besar,
dalam keadaan-keadaan tertentu. Seandainya sekali waktu
Arya Palindih dapat berkenalan dengan salah seorang
diantara mereka, maka mungkin ia akan berubah pendirian.
Sebab mulai dengan penggemblengan diri, Arya Palindih
telah berada di dalam lingkungan keprajuritan, sehingga
kecuali para pelatih di dalam lingkungannya, ia tidak banyak
berkenalan dengan tokoh-tokoh di luar." Berbeda dengan
Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Mereka masuk di dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lingkungan keprajuritan dengan bekal yang telah cukup.
Itulah sebabnya, mereka mempunyai kelebihan.
Suasana kemudian menjadi tegang. Masing-ma-sing
berusaha untuk tetap menguasai dirinya de-ngan baik.
Tetapi bagaimanapun mereka telah merasa bahwa keadaan
tidak menguntungkan. Arya Palindih datang dengan
menjunjung kewajiban, sedang Gajah Sora terpaksa terlibat
dalam keadaan yang bertentangan dengan tugas tamu-
tamunya. Apalagi ketika Arya Palindih kemudian melanjutkan, "Anakmas, sebenarnya, perkenankanlah aku
menyatakan, bahwa yang ketiga kalinya, dari keperluanku
datang kemari, adalah menjunjung perintah Baginda Sultan
Demak, untuk menerima kembali kedua pusaka Istana yang
hilang itu, serta ada bersama kami, Baginda mengirimkan
berbagai hadiah yang seharusnya aku terimakan kepada
Anakmas sebagai tanda terimakasih Baginda kepada Kepala
Daerah Perdikan Banyu Biru."
Setelah berkata demikian, Palindih menarik nafas dalam-
dalam, seolah-olah sesuatu yang menyekat dadanya telah
terlontar keluar. Sebaliknya, dada Gajah Sora kini bertambah sesak. Ia
tidak tahu bagaimana ia harus bertindak. Bagaimanapun ia
seharusnya mentaati perintah Baginda Sultan Demak.
Tetapi kedua keris itu benar-benar telah lenyap. Yang
menyulitkan adalah, bahwa Arya Palindih tidak dapat
mempercayai keterangannya.
Dalam pada itu, Mahesa Jenar yang mendengarkan
segala pembicaraan Gajah Sora dan Arya Palindih tidak
kalah gelisahnya. Pikirannya pun menjadi kalut. Tidak aneh
kalau pada suatu saat mereka saling tidak dapat menguasai
diri, maka akibatnya akan menjadi jelek sekali. Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar kenal betul keduanya, kelebihan-kelebihan mereka
dan kekurangan-kekurangan mereka. Mungkin dalam
pertempuran seorang lawan seorang, Gajah Sora akan
dapat menguasai lawannya, meskipun tidak dengan begitu
mudah. Tetapi dengan beberapa orang, Arya Palindih
merupakan seorang pemimpin yang berbahaya sekali.
Usianya yang telah banyak itu, telah menunjukkan
kematangannya. Ditambah dengan pengalamannya yang
jauh lebih banyak daripada Gajah Sora. Apalagi orang-orang
yang dibawa Arya Palindih rata-rata mempunyai kekuatan
yang sama. Berbeda dengan orang-orang Banyu Biru, selain
Gajah Sora, maka jarak kepandaian mereka agak jauh
antaranya. Dalam kegelisahannya, Mahesa Jenar hanya dapat
berdoa, semoga keadaan berkembang ke arah yang
menguntungkan. "Paman Arya..." akhirnya Gajah Sora berkata, "Seharusnya aku merasa bahwa aku mendapat kehormatan
yang besar menerima hadiah langsung dari Baginda Sultan
Demak. Tetapi sekali lagi, bahwa kali ini terpaksa aku tidak
dapat menyerahkan kedua pusaka itu, karena kedua-
duanya sudah tidak berada di tanganku lagi. Kalau Paman
tidak percaya, aku persilahkan Paman berbuat sekehendak
Paman untuk membuktikan kebenaran kata-kataku".
"Maafkanlah aku, Anakmas", jawab Palindih, "Aku kira
tak ada artinya, seandainya aku menggeledah rumah
Anakmas ini". "Lalu apakah yang akan Paman lakukan?" tanya Gajah
Sora. Arya Palindih tidak segera menjawab. Sekali lagi ia
memandang berkeliling, seolah-olah sedang membanding-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bandingkan kekuatan prajurit yang dibawanya dengan
Laskar Banyu Biru yang berada di pendapa. Baru beberapa
saat kemudian ia berkata, dengan nada yang sudah agak
berbeda, "Anakmas, aku adalah petugas negara. Sebenarnya aku sama sekali tidak menaruh syak terhadap
Anakmas. Tetapi aku merasa bahwa telah terjadi keanehan-
keanehan di sini. Sampai saat ini orang masih percaya,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten bersama akan
dapat merupakan pusaka kebesaran raja-raja di Jawa.
Bahkan ada yang percaya, bahwa hanya mereka yang
memiliki pusaka-pusaka itu yang dapat merajai pulau ini
dengan selamat. Karena itu, seandainya Anakmas memiliki
kepercayaan yang sedemikian, hendaknya Anakmas
merelakan keinginan Anakmas merajai pulau ini, sebab
disamping pusaka-pusaka itu, ketentuan tahta masih
bergantung kepada wahyu pula".
Kata-kata Arya Palindih, yang diucapkan dengan jelas itu,
setiap patah, seolah-olah merupakan sebuah tusukan
langsung ke arah jantung Gajah Sora. Karena itu ia menjadi
gemetar menahan diri. Mulutnya menjadi seolah-olah
Rajawali Emas 17 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Tongkat Rantai Kumala 7
^