Para Ksatria Penjaga Majapahit 18
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 18
lagi. "Mahapatih Arya Tadah bersedia menerima tuan",
berkata bekel Glagah Merah dengan wajah berseri-seri
kepada Patih Gajahmada. "Terima kasih, kembalilah ke tempat tugasmu",
berkata Patih Gajahmada kepada bekel Glagah Merah
manakala dilihatnya pintu pringgitan terbuka lebar-lebar.
"Senang melayani tuanku", berkata bekel muda itu
dengan sikap penuh hormat berpamit diri.
Terlihat Patih Gajahmada menaiki tangga pendapa
sambil memandang kearah lelaki perkasa yang berdiri di
pintu pringgitan dengan senyum hangatnya.
"Selamat datang, wahai putra angkat saudaraku",
berkata Mahapatih Arya tadah menyambut Patih
Gajahmada. "Selamat berjumpa kembali, wahai paman Mahapatih", berkata Patih Gajahmada kepada lelaki
gagah perkasa itu. Dengan penuh keramahan dan kegembiraan hati,
Patih Gajahmada di terima di ruang pringgitan.
Terlihat keduanya menyampaikan tentang kabar
keselamatan masing-masing, keadaan kabar tempat
tinggal dan tugas masing-masing, belum menyentuh
1261 langsung kepada pembicaraan utama, pembicaraan
mengapa harus memanggil Patih Gajahmada ke istana.
Hingga akhirnya, setelah berputar-putar membicarakan beberapa hal, Mahapatih Arya Tadah
telah membuka sebuah pembicaraan utamanya, tentunya
dengan wajah penuh keseriusan tercermin di garis-garis
raut wajahnya yang nampak sudah semakin tua itu.
"Pasti kamu sudah tidak sabaran lagi, bertanya-tanya
tentang hal penting itu yang memaksa aku harus
memanggilmu di istana ini", berkata Mahapatih Arya
Tadah kepada Patih Gajahmada.
"Sepertinya paman Mahapatih juga menjadi tidak
sabaran untuk menyampaikannya", berkata Patih
Gajahmada. Maka dengan singkat Mahapatih Arya Tadah
menceritakan tentang Raja Jayanagara yang tengah
menderita penyakit aneh. "Penyakit anehnya itu sangat mirip dengan yang
pernah diderita oleh istri Ra Tanca", berkata Mahapatih
Arya Tadah bercerita tentang penyakit yang diderita oleh
Raja Jayanagara saat itu.
"Bukankah Ra Tanca telah dapat menyembuhkan
penyakit istrinya itu?", berkata Patih Gajahmada yang
memang telah mendengar kabar burung itu yang sudah
menyebar hingga ke Daha. "Aku telah meminta Ra Tanca untuk menyembuhkan
penyakit Raja Jayanagara, namun masalahnya adalah
bahwa Raja Jayanagara telah melarang siapapun untuk
tidak masuk ke kamarnya", berkata Mahapatih Arya
Tadah kepada Patih Gajahmada.
"Biar aku mencoba menebaknya sendiri, bukankah
1262 paman Mahapatih bermaksud agar akulah yang akan
masuk ke kamar Raja Jayanagara?", berkata Patih
Gajahmada tersenyum mencoba menebak perkataan
Mahapatih Arya Tadah selanjutnya.
"Kamu benar, pamanmu ini memang ingin meminta
bantuanmu itu. Menurutku Raja Jayanagara tidak akan
marah bila ada orang yang melanggar aturannya, orang
itu adalah dirimu, wahai putra angkat Patih Mahesa
Amping", berkata Mahapatih Arya Tadah kepada patih
Gajahmada. "Demi kesembuhannya, aku bersiap menerima murka
seorang raja", berkata Patih Gajahmada dengan wajah
penuh senyum sebagai pertanda kesanggupan dirinya
mendapat tugas dari Mahapatih Arya Tadah itu.
"Ternyata pamanmu ini tidak salah memilih, hanya
kamulah seorang yang paling dekat dengannya, kamulah
seorang yang paling mengenal dirinya. Bila diibaratkan,
kamu dan Raja Jayanagara seperti dua jari ini", berkata
Mahapatih Arya Tadah sambil mengangkat tangannya
memperlihatkan jari tengah dan jari telunjuknya kepada
Patih Gajahmada. "Semoga saja aku dapat memenuhi harapan paman
Mahapatih", berkata Patih Gajahmada.
Sementara itu Ra Tanca di rumahnya menjadi begitu
gelisah, hingga jauh malam Kuda Jenar yang telah
berjanji untuk membawa ramuan obat belum juga datang.
"Apakah Kuda Jenar sengaja ingin mencoreng nama
baikku di hadapan Mahapatih Arya Tadah?", berkata Ra
Tanca dalam hati penuh kegelisahan.
"Atau Kuda Jenar merasa iri dengan nama besarku
sebagai seorang tabib", berkata kembali Ra Tanca
1263 dalam hati merasa kesal menunggu dan berpikir yang
bukan-bukan atas diri Kuda Jenar."Bukankah dia sendiri
yang meminta agar aku merahasiakan namanya?".
berkata kembali Ra Tanca dalam hati.
Namun pikiran yang lain telah mengingatkan diri Ra
Tanca bahwa Kuda Jenar telah berjasa amat besar
terhadap dirinya. "Tidak kupungkiri, Kuda Jenar telah
berjasa amat besar, menyembuhkan penyakit istriku",
berkata Ra Tanca dalam hati.
"Apakah aku harus mendatangi rumahnya?", berpikir
Ra Tanca dalam hati sambil matanya terus memandang
jauh berharap Kuda Jenar muncul di pintu pagar
rumahnya. Baru saja ada keinginan untuk mendatangi Kuda
Jenar di rumahnya, tiba-tiba saja Kuda Jenar muncul
berjalan di halaman rumahnya.
Hari telah larut malam pada saat itu, pucat pasi wajah
Ra Tanca melihat Kuda Jenar jalan lenggang tidak
membawa apapun. "Maafkan aku, masih ada satu bahan lagi yang belum
aku dapatkan. Jadi aku berjanji besok pagi-pagi sekali
aku sudah datang menemuimu dengan membawa
ramuan obat", berkata Kuda Jenar kepada Ra Tanca.
Mendengar alasan yang disampaikan oleh Kuda
Jenar, telah mengurangi rasa kesal di hati Ra Tanca,
setidaknya masih ada waktu besok pagi, seperti itulah
yang dipikirkan oleh Ra Tanca.
"Besok pagi, jangan membuat aku lama menunggu",
berkata Ra Tanca kepada Kuda Jenar.
Maka tidak lama berselang Kuda Jenar pamit diri
untuk kembali ke rumahnya.
1264 "Aku sudah berburuk sangka kepada Kuda Jenar",
berkata Ra Tanca dalam hati manakala dilihatnya anak
muda itu keluar dari pintu pagar halaman rumahnya.
Dan malam itu Ra Tanca sudah tidak merasa
khawatir lagi, sudah bisa tidur nyenyak.
Benarkah ramuan obat itu belum selesai dibuat oleh
Kuda Jenar" Anak muda itu terlalu cerdas, tidak ingin ramuan
obatnya bermalam di rumah Ra Tanca dan memberi
kesempatan Ra Tanca mengetahui apa yang terkandung
di dalamnya. Dan malam itu langit diatas kotaraja Majapahit
dipenuhi awan hitam, tanpa bulan, tanpa bintang. Sayup
terdengar suara anjing liar melengking panjang hingga
separuh malam. Tercatat masa Tilem Kartika tahun saka seribu dua
ratus lima puluh, candranya intan jatuh dari wadahnya.
Mahapatih Arya tadah dan Patih Gajahmada di pagi
itu sudah berada di pendapa agung puri pasanggrahan
Raja Jayanagara. "Apakah paman Mahapatih yakin Ra Tanca dapat
menyembuhkan Baginda Raja?", bertanya Patih
Gajahmada kepada Mahapatih Arya Tadah.
"Nyi Sarijah begitu yakin bahwa penyakit Baginda
Raja tidak berbeda dengan yang pernah di derita oleh
Nyi Ra Tanca beberapa waktu yang lalu", berkata
Mahapatih Arya Tadah kepada Patih Gajahmada.
"Apakah Mahapatih Arya Tadah merasa begitu
yakin?", bertanya kembali Patih Gajahmada.
Mendengar dua kali pertanyaan yang sama dari Patih
1265 Gajahmada telah membuat diri Mahapatih Arya Tadah
mengerutkan keningnya. "Apa yang kamu rasakan, wahai putra angkat Patih
Mahesa Amping?". balik bertanya Mahapatih Arya Tadah
kepada Patih Gajahmada. "Entahlah, sejak semalam aku merasakan ada
sesuatu yang akan terjadi", berkata Patih Gajahmada.
Sebagai seorang yang juga punya panggraita yang
sangat peka, ternyata Mahapatih Arya Tadah juga
merasakan hal yang sama sebagaimana yang dirasakan
oleh Patih Gajahmada. Namun baru saja ingin
menyampaikannya, tiba-tiba saja ra Tanca terlihat tengah
berjalan menuju pendapa agung.
"Ra Tanca sudah datang", berkata Mahapatih Arya
Tadah kepada Patih Gajahmada seperti dilupakan untuk
membahas masalah panggraita mereka.
"Ampunkan hamba telah membuat tuan-tuan
menunggu", berkata Ra Tanca kepada Mahapatih Arya
Tadah dan Patih Gajahmada.
"Kamu tidak datang terlambat, hanya kami berdua
yang datang terlalu pagi", berkata Mahapatih Arya Tadah
penuh senyum ramah kepada Ra Tanca yang baru hadir
itu. Demikianlah, karena tidak ada yang ditunggu lagi
mereka sepakat untuk segera memasuki kamar Baginda
Raja. "Patih Gajahmada yang akan mengantar Ra Tanca
kedalam, jadi bibi tidak perlu khawatir Baginda Raja akan
menjadi murka", berkata Mahapatih Arya Tadah kepada
Nyi Sarijah yang tengah duduk bersimpuh di muka pintu
kamar Baginda Raja. 1266 Maka terlihat Patih Gajahmada membuka sendiri
pintu kamar Baginda Raja Jayanagara dan langsung
masuk kedalam diikuti oleh Ra Tanca di belakangnya.
Begitu haru perasaan Patih Gajahmada manakala
melihat Baginda Raja Jayanagara yang tengah berbaring
dengan wajah dan seluruh tubuhnya dipenuhi bisul yang
bernanah. "Ampunilah hamba, semoga paduka tidak murka
melihat kelancangan hamba yang datang dan masuk ke
peraduan paduka", berkata Patih Gajahmada yang
langsung bersimpuh di bawah peraduan Baginda Raja
Jayanagara yang juga diikuti oleh Ra Tanca.
"Bangun dan berdirilah, wahai saudaraku. Mengapa
aku harus murka melihat kedatangan saudaraku?",
berkata Raja Jayanagara kepada Patih Gajahmada
dengan penuh senyum kegembiraan.
"Bagaimana keadaanmu, wahai saudaraku?", berkata
Patih Gajahmada sambil mendekati Raja Jayanagara
penuh keharuan hati. "Seperti yang kamu lihat", berkata Raja Jayanagara
tersenyum. Ra Tanca yang masih duduk bersimpuh terlihat
menarik nafas lega, ternyata Baginda raja Jayanagara
menyambut kedatangan mereka berdua dengan penuh
keramahan. Dan diam-diam mengagumi keakraban Patih
Gajahmada dan Baginda Raja Jayanagara yang baru
diketahuinya ternyata keduanya telah mengangkat diri
masing-masing sebagai saudara.
"Hamba datang bersama Ra Tanca, semoga obat
yang dibawa olehnya dapat menyembuhkan paduka",
berkata Patih Gajahmada kepada Baginda Raja
1267 Jayanagara. "Terima kasih", berkata Baginda raja Jayanagara
masih dengan senyum pasrah membuat perasaan Patih
Gajahmada semakin terharu.
"Ra Tanca, baginda Raja telah berkenan menerima
obat darimu", berkata Patih Gajahmada kepada ra
Tanca. Terlihat Ra Tanca bangkit berdiri sambil membawa
salah satu mangkuk yang telah disiapkan.
Sebagai seorang yang banyak mengenal berbagai
macam jenis tanaman obat, Patih Gajahmada dapat
mencium sebuah daun muda yang dilembutkan ada
dalam ramuan mangkuk itu.
"Daun muda dari pohon Rengas?", berkata Patih
Gajahmada dalam hati dengan penciumannya yang amat
peka telah dapat mengenali jenis tanaman dari daun
muda di dalam mangkuk yang di bawa oleh Ra Tanca.
"Raja Jayanagara terkena getah kayu rengas?", berkata
kembali Patih Gajahmada dalam hati mencoba
mengingat-ingat kembali pengetahuannya mengenai
pemahamannya tentang beberapa racun yang cukup
berbahaya yang didapat langsung dari ayah angkatnya
sendiri, Patih Mahesa Amping yang mumpuni mengenal
berbagai jenis pengobatan, bahkan pernah dijuluki
sebagai Dewa obat itu. Patih Gajahmada melihat Ra Tanca membaluri
seluruh tubuh Raja Jayanagara dengan daun muda yang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilembutkan itu. "Bagaimana bertanya Patih Jayanagara. keadaanmu, wahai saudaraku?", Gajahmada kepada Baginda Raja
1268 "Rasa gatal yang menyiksaku terasa mulai
berkurang", berkata Raja Jayanagara sambil tersenyum
gembira. Terlihat Patih Gajahmada menarik nafas panjang,
pikirannya menerawang jauh mencoba menjari sebab
akibat penyakit yang diderita oleh Baginda Raja
Jayanagara. "Pohon Rengas biasanya tumbuh di tepi
sungai, di tebing-tebing. Siapa gerangan yang membawa
getah kayu rengas ke tubuh Raja Jayanagara?", berkata
Patih Gajahmada dalam hati.
Melihat kegembiraan hati Baginda Raja Jayanagara
yang merasa berkurang rasa gatalnya telah menghalau
pikiran Patih Gajahmada yang tengah menduga-duga
siapa gerangan orang yang telah meracuni raja
Jayanagara dengan getah racun pohon Rengas itu.
Melihat kegembiraan hati baginda Raja Jayanagara,
telah mengacuhkan diri Patih Gajahmada terhadap
sebuah peringatan yang ada di dalam dirinya lewat
panggraitanya yang sudah amat peka itu. Patih
Gajahmada tidak bercuriga apapun manakala melihat Ra
Tanca memberikan sebuah mangkuk yang lain untuk di
minum oleh Baginda raja Jayanagara.
Patih Gajahmada hanya menduga sebagai seorang
yang banyak mengenal berbagai tanaman obat dan
berbagai jenis racun itu bahwa Ra Tanca pasti telah
meramu daun muda pohon rengas di dalam mangkuk air
itu. Namun tiba-tiba saja wajah Patih Gajahmada seperti
menegang. Tiba-tiba saja anak muda yang berilmu amat tinggi itu
bergerak meremas bahu kanan Ra Tanca yang baru saja
memberikan minuman ramuan obat ke diri Raja
1269 Jayanagara. Dengan sedikit hentakan saja tubuh Ra Tanca
terlempar dan terbanting di lantai.
Terlihat Patih Gajahmada memeriksa denyut nadi
Baginda Raja Jayanagara. Terbelalak mata Ra Tanca yang masih terbaring di
lantai menatap wajah Patih Gajahmada yang bergitu
menyeramkan menatap ke arahnya.
Ra Tanca masih terpaku di tempatnya manakala
tangan Patih Gajahmada merampas mangkuk dari
tangannya. Ra Tanca masih terpaku di tempatnya manakala
melihat patih Gajahmada mencium mangkuk di
tangannya. "Apa yang engkau berikan kepada saudaraku ini?",
berkata patih Gajahmada dengan sorot mata yang tajam
begitu kuat mengguncang perasaan Ra Tanca.
Terlihat mulut Ra Tanca seperti terkunci, karena dia
sendiri memang tidak tahu ramuan apa yang diberikan
oleh Kuda Jenar kepadanya, setahunya ramuan itu telah
dapat menyembuhkan istrinya sendiri.
"Kkamu telah meracuni saudaraku dengan racun ular
merah", berkata Patih Gajahmada penuh kemarahan
yang amat sangat terpancar di wajahnya.
Mendengar perkataan Patih Gajahmada, terlihat Ra
Tanca berusaha bangkit berdiri.
Namun belum sempat Ra Tanca berdiri sempurna,
tangan Patih Gajahmada yang telah menjadi sangat
murka itu telah bergerak menyambarnya.
Patih Gajahmada benar-benar tengah murka, tidak
1270 dapat mengendalikan lagi kekuatan tenaga sakti
sejatinya yang dapat meruntuhkan gunung, yang dapat
menghancurkan batu cadas yang sangat amat keras
sekalipun. Dan kali ini tangan Patih Gajahmada yang telah
dilambari tenaga sakti tingkat tinggi itu telah menghantam
batok kepala Ra Tanca. Prakkk..!!! Kepala Ra Tanca hancur remuk berdebu.
Darah berceceran memenuhi lantai kamar Baginda
Raja Jayanagara dari tubuh Ra Tanca.
Sedikit keributan di dalam kamar Baginda Raja
Jayanagara telah memaksa Mahapatih Arya Tadah
langsung menerobos pintu kamar.
"Apa yang telah terjadi?", bertanya Mahapatih Arya
Tadah dengan wajah termangu melihat suasana di dalam
kamar Baginda Raja Jayanagara.
Mendengar pertanyaan Mahapatih Arya Tadah yang
telah berada di dalam kamar Baginda raja Jayanagara
telah mengembalikan kesadaran Patih Gajahmada.
Terlihat anak muda itu menarik nafas dalam-dalam,
dan bercerita perlahan tentang apa yang terjadi.
"Ra Tanca telah meracuni Baginda Raja?", berkata
Mahapatih Arya Tadah setelah mendengar akhir
penuturan Patih Gajahmada kepadanya.
"Sisa air di mangkuk itu menjadi alat bukti yang kuat",
berkata Patih Gajahmada sambil menunjuk kearah
sebuah mangkuk minuman yang masih tergeletak di
lantai. "Racun ular merah !!", berkata Mahapatih Arya Tadah
1271 setelah mencium air di mangkuk yang masih tersisa itu.
Tanpa menunggu jawaban dari Patih Gajahmada,
terlihat Mahapatih Arya Tadah langsung memeriksa
keadaan Raja Jayanagara yang terbaring di peraduannya. Terlihat Mahapatih Arya Tadah
panjang. menarik nafas "Kematian satu Ra Tanca, dua Ra Tanca atau
sepuluh Ra Tanca, tidak akan mengembalikan jiwa Raja
Jayanagara", berkata Mahapatih Arya Tadah dengan
sangat bijak mencoba menyadarkan diri Patih
Gajahmada. "Paman benar, semua sudah ada dalam garis
rencana Gusti Yang Maha Agung, pemilik kehidupan ini",
berkata Patih Gajahmada yang telah dapat kembali
mengendalikan perasaan hatinya itu.
Gemparlah seluruh warga kotaraja Majapahit
manakala mendengar berita duka tentang kematian Raja
mereka. Hampir semua orang mengecam Ra Tanca
sebagai seorang pembunuh keji. Dan pembicaraan
tentang kematian Raja Jayanagara selalu diiringi dengan
caci dan maki kepada seorang Ra Tanca. Hingga
akhirnya kemalangan menimpa pula kepada diri Nyi Ra
Tanca manakala sebuah rahasia tentang hubungan
dirinya dengan Ra Kuti yang masih sepupuan itu
terbongkar. Wanita malang yang telah kehilangan
suaminya itu harus mendapat hukuman yang tidak
pernah diperbuatnya, terusir dari tempat tinggalnya
menghindari amukan warga Kotaraja Majapahit yang
penuh rasa kebencian yang amat sangat kepadanya
sebagai seorang yang harus bertanggung jawab atas
kematian Raja Jayanagara.
1272 Sementara itu sang penabur badai, Kuda Jenar
masih aman bersembunyi meninggalkan jejaknya di balik
kemalangan keluarga Ra Tanca.
Berita tentang kematian Raja Jayanagara yang
sangat tragis itu telah menyebar ke seluruh pelosok
nagari, ke seluruh pantai-pantai Bandar pelabuhan
dimana para pedagang singgah.
Bumi Majapahit berkabung.
Semua orang menunggu dan menanti, siapa
gerangan yang akan naik tahta menggantikan Raja
Jayanagara yang tidak punya keturunan penyambung
tahta. Sepekan setelah hari berkabung, seluruh keluarga
istana dan para priyayi agung berkumpul di pendapa
agung puri pasanggrahan Raja Jayanagara.
"Sembah bakti kami para panca Wilwatikta di
hadapan Gusti Kanjeng Ratu, pemangku Bhatara Prabu.
Sabda dan titah Gusti Kanjeng Ratu akan kami patuhi
sebagaimana sabda dan titah paduka junjungan kami
Raja Jayanagara", berkata Mahapatih Arya Tadah
kepada ibunda Ratu Gayatri mewakili para priyayi agung
kerajaan. Terlihat ibunda Ratu Gayatri menarik nafas dalamdalam, terlihat pandangannya lurus jauh kedepan, terlihat
para priyayi agung menunggu penuturan wanita yang
sangat anggun dan sangat berwibawa itu.
"Kami keluarga istana telah sepakat mengantar putri
sulungku, Juwaraja Tribuwana naik tahta menggantikan
Raja Jayanagara, namun ada beberapa pertimbangan
pengukuhannya ditunda mengingat putri sulungku itu
baru saja melahirkan anak pertamanya. Berdasarkan hal
1273 ini, aku sebagai pemangku Bhatara Prabu untuk
sementara waktu mengambil alih kendali kerajaan ini",
berkata ibunda Ratu Gayatri.
"Sabda dan titah Gusti Kanjeng Ratu akan kami
junjung tinggi dengan penuh kesetiaan, kepatuhan dan
kesungguhan", berkata Mahapatih Arya Tadah mewakili
para priyayi agung. Demikianlah, sejak saat itu ibunda Ratu Gayatri
mengambil alih kendali kerajaan, melaksanakan tugastugas seorang raja tanpa tahta, memimpin pasewakan
agung di bulan-bulan Palguna.
Tidak ada gejolak apapun manakala ibunda Ratu
Gayatri mengambil alih kendali kerajaan yang dibantu
oleh seorang Mahapatih Arya Tadah yang cerdas,
tangkas dan penuh kesetiaan yang tinggi.
Ternyata ibunda Ratu Gayatri adalah seorang yang
punya pengetahuan yang amat luas tentang
ketatanegaraan, seorang wanita pemikir ulung yang amat
memahami ajaran Nawasanga sebagai sebuah ajaran
keseimbangan. Putri bungsu Raja Kertanagara itu telah membuat
semua orang semakin menghormatinya manakala dalam
sebuah pasewakan agung yang dihadiri oleh para priyayi
agung istana, para rakyan, para arya dan para pandita
telah memaparkan pemahamannya yang amat tinggi
tentang Nawasanga. "Pemikiranku ini adalah warisan pemikiran yang
dimiliki oleh ayahku Raja Kertanagara, pemikiranku ini
adalah penyempurnaan apa yang telah dilakukan oleh
suamiku Baginda Raja Sanggrama Wijaya. Singgasana
agung adalah perwujudan sang dewa Siwa yang berada
di pusat dikelilingi delapan dewa di delapan penjuru mata
1274 angin. Di hari yang penuh kemulyaan ini, kutetapkan
bahwa singgasana agung Majapahit bergeser kearah
lebih barat lagi, sebuah tempat yang jauh terlindungi dari
serangan musuh kita. Di sebuah tempat yang disucikan
di hutan Sastrawulan", berkata ibunda Ratu Gayatri
memaparkan rencananya. "Dengan bergesernya pusat
kerajaan Majapahit, maka bekas kotaraja ini akan
menjadi perluasan kerajaan Kahuripan. Pusat kerajaan
Majapahit adalah sang matahari, kerajaan Kahuripan
adalah sang bulan di timurnya. Semoga Gusti yang Maha
Agung selalu memberi perlindungan dan keselamatan
kepada kita semua", berkata ibunda ratu Gayatri dari
rumah-rumahan kecil di tengah bale Agung Manguntur
yang di beri nama sebagai bale Witana mengakhiri
penuturannya. Tutur kata ibunda Ratu Gayatri terdengar begitu
jernih tersusun rapih, gamblang dicerna oleh semua
orang yang hadir di bale agung Manguntur itu. Semua
orang seperti baru saja tercerahkan oleh pemikiran
agung seorang wanita yang konon punya kecantikan
putri Kendedes, nenek buyut leluhurnya itu.
Itulah pasewakan agung ibunda Ratu Gayatri di bale
agung Manguntur yang terakhir kalinya, karena sebulan
kemudian Ibunda Ratu Gayatri telah mengundurkan
dirinya sebagai raja tanpa tahta, menyerahkan tahta
singgasananya kepada putri sulungnya, Tribuwana
Tunggadewi dengan gelar abhisekanya Sri Tribuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Sementara itu pembangunan istana baru dan
pemukiman baru di hutan Sastrawulan terus
berlangsung. Dan Raden Kudamerta telah di beri tugas
untuk mewujudkannya. Tentu saja Raden Kudamerta meminta bantuan Kuda
1275 Jenar yang dikenalnya sebagai seorang ahli perancang
bangunan candi dari kerajaan Wengker.
Bukan main gembiranya hati Kuda Jenar
mendapatkan kepercayaan dari Raden Kudamerta.
"Inilah kesempatanku memasuki wilayah istana
Majapahit lebih jauh lagi", berkata Kuda Jenar dalam hati
penuh kegembiraan hati. Sementara itu di kotaraja Kediri, terlihat seorang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wanita dengan pakaian penuh compang-camping tengah
berdiri di depan pintu sebuah kedai yang ada di pasar
kotaraja Kediri yang cukup ramai itu.
"Kehadiranmu di sini akan membuat sial kedaiku",
berkata seorang pemilik kedai kepada wanita itu.
"Beri aku makan satu kali, aku akan bekerja di kedai
ini seharian penuh", berkata wanita itu dengan sangat
memelas sekali. "Aku sudah punya pembantu", berkata pemilik kedai
itu. "Tolanglah aku, sejak kemarin aku belum makan",
berkata wanita itu masih dengan suara lebih memelas
lagi dari sebelumnya. "Aku ini pedagang, carilah dermawan yang mau
menolongmu", berkata pemilik kedai itu.
Terlihat wajah wanita itu menjadi begitu putus asa,
telah bermaksud berbalik badan untuk pergi.
Namun wanita dan pemilik kedai itu tidak menduga
sama sekali bila didekat mereka ada seseorang yang
telah mendengar semua pembicaraan mereka.
"Biarkan wanita ini masuk ke kedaimu, wahai pak tua.
Aku yang akan membayarnya", berkata seorang lelaki di
1276 dekat mereka. Terlihat perubahan di wajah pemilik kedai itu, ada
sedikit rasa malu bercampur rasa takut karena telah
sangat mengenal siapa gerangan lelaki itu yang tidak lain
adalah Ki Rangga Biru, salah satu priyayi agung di istana
Daha. "Atas perkenan tuanku, hamba mempersilahkan tuan
masuk, juga wanita ini", berkata pemilik kedai itu kepada
seorang lelaki bertubuh tinggi besar yang tidak lain
adalah Ki Rangga Gajah Biru.
"Jangan ragu-ragu, masuklah kedalam bersamaku",
berkata Ki Rangga Gajah Biru kepada wanita itu.
Terlihat pemilik kedai itu telah berubah penuh
keramahan dengan sebuah senyum yang di paksakan.
Sekilas ketika masuk kedalam, pemilik kedai itu
masih sempat melihat Ki Rangga Gajah Biru duduk
bersama satu meja dengan wanita itu.
"Aku benar-benar kehilangan muka dihadapan Ki
Rangga Gajah Biru", berkata pemilik kedai itu dalam hati
merasa sangat malu. "Layanilah Ki Rangga Gajah Biru dan wanita yang
bersamanya itu", berkata pemilik kedai itu kepada
seorang pembantunya. Demikianlah, Ki Rangga Gajah Biru dan wanita itu
telah mendapatkan pelayanan yang sangat baik di kedai
itu. "Kupastikan dirimu bukan orang Daha", berkata Ki
Rangga Gajah Biru setelah mereka menyelesaikan
makanan mereka. "Terima kasih atas kebaikan tuan, telah 1277 membayarkan makanan ini, aku memang bukan orang
Daha, aku berasal dari Kotaraja Majapahit", berkata
wanita itu. "Dari Kotaraja Majapahit seorang diri?", bertanya Ki
Rangga Gajah Biru "Benar, aku memang seorang diri ke kotaraja Daha
ini", berkata wanita itu seperti tengah menahan rasa
kepiluan hati yang amat sangat, terlihat dari matanya
yang berkaca-kaca. Melihat hal demikian, Ki Rangga Biru merasa kasihan
sekali dengan wanita itu.
"Kamu tidak punya kerabat dekat atau saudara di
kotaraja Daha ini?", bertanya kembali Ki Rangga Gajah
Biru. Terlihat wanita itu langsung menggelengkan
kepalanya dengan tatapan mata kosong dan hampa.
"Apakah kamu punya kepentingan di kotaraja ini?",
bertanya Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku ingin bertemu langsung
Gajahmada", berkata wanita itu.
dengan Patih "Ingin bertemu langsung dengan Patih Gajahmada?",
bertanya Ki Rangga Biru mengulangi perkataan wanita
itu. Wanita itu tidak keraguan di wajahnya. langsung menjawab, terlihat "Apapun kepentinganmu, aku akan membantumu
mempertemukan dirimu dengan Patih Gajahmada",
berkata Ki Rangga Gajah Biru kepada wanita itu seperti
dapat membaca keraguan di wajahnya dan tidak
mendesak untuk mengetahui kepentingan apa gerangan
1278 hingga harus Gajahmada. bertemu langsung dengan Patih Melihat sikap Ki Rangga Gajah Biru yang tidak
berusaha mendesaknya telah membuat wanita itu
merasa tidak enak hati. "Tuan sangat baik hati sekali kepadaku, maaf bila aku
tidak dapat menyampaikan apa yang akan kukatakan
kepada Patih Gajahmada", berkata wanita itu merasa
kurang enak hati kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku memakluminya bila memang kepentinganmu itu
begitu sangat rahasia, apakah aku boleh mengenal
namamu?", bertanya Ki Rangga Gajah Biru dengan
sangat bijaksana mencoba mengalihkan pembicaraan ke
hal lain. "Namaku Utami", berkata wanita itu menyebut
namanya. "Orang-orang di Daha ini memanggilku sebagai Ki
Rangga Gajah Biru", berkata Ki Rangga Gajah Biru
memperkenalkan dirinya. "Nama tuan yang begitu sangat terkenal di Kotaraja
Majapahit, sebagai seorang sahabat Patih Mahesa
Amping yang sangat setia. Hampir semua orang di
Kotaraja Majapahit mengagumi tuan", berkata Utami
kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya
kulakukan", berkata Ki Rangga Gajah Biru dengan suara
yang datar."Sambil menunggu untuk bertemu dengan
Patih Gajahmada, kamu boleh tinggal di rumahku",
berkata Ki Rangga Biru seperti mencoba mengalihkan
pembicaraan ke hal yang lain.
Demikianlah, Utami diajak untuk tinggal sementara di
1279 rumah Ki Rangga Gajah Biru.
Ternyata keluarga Ki Rangga Gajah Biru telah
memperlakukan Utami dengan sangat baik sekali.
Hingga akhirnya di sebuah sore hari, Ki Rangga
Gajah Biru benar-benar menepati janjinya telah
membawa Patih Gajahmada kerumahnya.
"Sebuah kebanggaan hati di keluarga ini mendapat
kedatangan tuan Patih Gajahmada", berkata Nyi Rangga
Gajahbiru menyambut kedatangan Patih Gajah di
pendapa rumahnya. "Ki Rangga Gajah Biru memaksaku datang ke rumah
ini, katanya masakan istrinya paling nikmat di Kotaraja
Daha", berkata Patih Gajahmada dengan penuh senyum.
Mendengar canda Patih Gajahmada, terlihat Nyi
Rangga Gajah Biru sedikit tersenyum.
"Aku pamit kedalam sebentar untuk menyiapkan
minuman", berkata Nyi Rangga Gajah Biru berpamit diri.
Ternyata Nyi Rangga Gajah Biru bukan hanya
membuat minuman untuk suami dan tamunya, melainkan
juga telah menemui Utami.
"Ki Rangga Gajah Biru telah menepati janjinya
kepadamu, telah membawa Patih Gajahmada di rumah
ini", berkata Nyi Rangga Gajah Biru kepada
Utami."Tunggulah sampai Ki Rangga Gajah Biru
memanggilmu", berkata Nyi Rangga Gajah Biru kepada
Utami. Demikianlah, nampaknya Nyi Rangga Gajah Biru
mengerti ada sesuatu hal yang amat rahasia yang akan
disampaikan Utami kepada Patih Gajahmada. Itulah
sebabnya Nyi Rangga Gajah Biru tidak ikut bersama
suaminya mengawani tamunya di pendapa rumahnya.
1280 Juga manakala seorang pelayan wanita menyampaikan
pesan dari Ki Rangga Gajah Biru yang meminta Utami
datang ke pendapa rumahnya.
"Temuilah mereka, aku tidak ikut mengawanimu",
berkata Nyi Rangga Gajah Biru kepada Utami.
"Terima kasih Nyi Rangga, aku akan segera
menemui mereka", berkata Utami kepada Nyi Rangga
Gajah Biru. Nyi Rangga Gajah Biru masih melihat punggung
Utami yang berjalan perlahan mendekati pintu pringgitan
yang tertutup. "Wanita yang malang", berkata Nyi
Rangga Gajah Biru dalam hati yang hari-hari
memperhatikan wajah Utami yang selalu dipenuhi
kesedihan itu seakan menyimpan sebuah kenangan
pahit yang sangat pedih dan tidak dapat dilupakannya.
Nyi Rangga Gajah Biru masih memandang punggung
Utami yang telah berada di depan pintu pringgitan.
Perlahan pintu pringgitan terbuka.
Mata Patih Gajahmada seperti tidak ingin berkedip
sedikitpun, memandang kearah Utami yang berjalan
semakin mendekat. "Mari Utami, duduklah disini", berkata Ki Rangga
Gajah Biru kepada Utami. Terlihat Utami telah duduk bersama mereka di
panggung pendapa dengan wajah tertunduk.
"Wanita inikah yang Ki Rangga Gajah Biru
maksudkan ingin bertemu denganku?", bertanya Patih
Gajahmada kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Benar, apakah Tuan Patih Gajahmada telah
mengenalnya?", berkata Ki Rangga Gajah Biru balik
bertanya melihat gelagat Patih Gajahmada yang
1281 sepertinya kurang berkenan menerima Utami.
"Ki Rangga Gajah Biru", berkata Patih Gajahmada.
"Apakah Ki Rangga Gajah Biru pernah punya seorang
sahabat", berkata kembali Patih Gajahmada dengan
sebuah pertanyaan kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku pernah punya seorang sahabat yang kini entah
berada dimana", berkata Ki Rangga Gajah Biru sambil
menerka-nerka kemana arah pembicaraan Patih
Gajahmada. "Apa yang Ki Rangga Gajah Biru lakukan manakala
melihat sahabat Ki Rangga Gajah Biru di depan mata
telah diracuni orang?", bertanya Patih Gajahmada.
"Aku akan cincang orang itu hingga hatiku puas
membinasakannya", berkata Ki Rangga Gajah Biru
menyampaikan perasaan hatinya.
"Perlu Ki Rangga Gajah Biru ketahui, bahwa wanita
ini adalah istri dari orang yang telah meracuni Raja
Jayanagara", berkata Patih Gajahmada penuh rasa
kebencian yang amat sangat.
"Istri Ra Tanca pembunuh itu?", berkata Ki Rangga
Gajah Biru dengan wajah seperti tidak percaya.
"Tanyakanlah langsung kepada wanita ini", berkata
Patih Gajahmada. "Wahai Utami, benarkah kamu istri dari Ra Tanca?",
bertanya Ki Rangga Gajah Biru kepada Utami.
Terlihat Utami mengangguk perlahan, masih dengan
wajah menunduk lebih dalam lagi.
"Nyi Ra Tanca, kamu sudah menempuh perjalanan
yang amat jauh, dari Kotaraja Majapahit ke Daha.
Sekarang di hadapanmu ini adalah Patih Gajahmada,
1282 katakanlah apa yang akan kamu katakana. Bukankah
kamu punya kepentingan dengannya?", berkata Ki
Rangga Gajah Biru kepada Utami yang baru saja
diketahui adalah Nyi Ra Tanca gerangan adanya.
"Ki Rangga Gajah Biru", berkata Nyi Ra Tanca
dengan wajah masih tertunduk seperti tidak berani
mengangkat wajahnya. "Pasti selama hidup Ki Rangga
Gajah Biru punya seorang atasan yang dimulyakan dan
di hormati oleh Ki Rangga Gajah Biru sendiri", berkata
Nyi Ra Tanca melanjutkannya. "Apa yang akan Ki
Rangga gajah Biru lakukan manakala orang yang Ki
Rangga Gajah Biru hormati itu meminta bantuan?",
bertanya Nyi Ra Tanca kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Dengan sangat senang hati ku penuhi permintaannya itu", berkata Ki rangga Gajah Biru.
"Bagaimana bila yang dimintanya itu sebuah obat",
bertanya kembali Nyi Ra Tanca.
"Aku akan mencari obat itu sampai dapat", berkata Ki
Rangga Gajah Biru langsung menjawab.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah yang terjadi atas diri suamiku, yang dengan
penuh ketulusan hati membawa obat untuk kesembuhan
diri Baginda Raja Jayanagara yang sangat dihormatinya
itu. Malang nasib suamiku bila ternyata obat yang
dibawanya itu adalah sebuah racun. Suamiku hanya
mengetahui bahwa racikan obat itu adalah racikan yang
sama yang pernah diberikan kepadaku. Suamiku tidak
mengetahui bahwa racikan obat itu telah di tukar dengan
sebuah racun", berkata Nyi Ra Tanca sambil menangis
tersedu-sedu. Patih Gajahmada dan Ki Rangga Gajah Biru seperti
termangu-mangu, tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan melihat sikap Nyi Ra Tanca itu.
1283 "Nyi Ra Tanca", berkata Patih Gajahmada dengan
suara bergetar."Apakah kamu mengetahui siapa
gerangan yang berbuat ini semua?", berkata Patih
Gajahmada dengan suara membentak.
Terlihat Nyi Ra Tanca menghentikan tangisnya,
mengangkat wajahnya perlahan.
"Tanda Kuda Jenar, aku merasa yakin dialah
pelakunya. Aku baru menyadari bahwa tidak lama
setelah bertemu dengannya aku langsung merasakan
tubuhku gatal-gatal yang tidak lama kemudian timbul
bisul-bisul. Orang itu juga yang telah memberikan obat
penawar kepada suamiku dengan sebuah janji agar
suamiku merahasiakan dirinya hingga semua orang
mengakui bahwa suamiku sendiri yang menyembuhkan
penyakitku itu. Orang itu pula yang memberikan racikan
obat kepada suamiku untuk penyembuhan Baginda Raja
Jayanagara", berkata Nyi Ra Tanca mengakhiri
pembicaraannya dan kembali menundukkan wajahnya
lebih dalam lagi. Suasana diatas panggung pendapa rumah milik Ki
Rangga Gajah Biru seketika menjadi begitu hening,
semua orang sepertinya tengah berada di dalam pikiran
masing-masing. "Wanita ini pasti telah dikucilkan oleh orang banyak di
Kotaraja Majapahit", berkata Ki Rangga Gajah Biru
berpikir di dalam hatinya merasa semakin kasihan
dengan penderitaan yang dialami oleh Nyi Ra Tanca.
Sementara itu pikiran Patih Gajahmada jauh
menerawang di saat pagi bersama Mahapatih Arya
Tadah menunggu kedatangan Ra Tanca. Pikiran Patih
Gajahmada seperti terbang kembali disaat dirinya
mengetahui bahwa mangkuk di dalam racikan yang di
1284 bawa oleh Ra Tanca adalah sebuah racun yang amat
kuat. "Aku menjadi pembunuh orang yang tidak berdosa?".
berkata patih Gajahmada di dalam hati.
Lama suasana begitu sepi tanpa suara dan
perkataan apapun di atas panggung pendapa rumah Ki
Rangga Gajah Biru, semua orang nampaknya telah
bergelut di dalam alam pikiran masing-masing.
"Nyi Ra Tanca, apakah kamu membenciku dengan
apa yang telah aku lakukan atas diri suamimu itu?",
bertanya Patih Gajahmada kepada Nyi Ra Tanca.
Terlihat Nyi Ra Tanca kepalanya dalam-dalam. masih menundukkan Patih Gajahmada dan Ki Rangga Gajah Biru terlihat
menunggu apa yang keluar dari ucapan wanita malang
itu. Perlahan wajahnya. Nyi Ra Tanca terlihat mengangkat "Aku tidak menyalahkan Tuan Patih Gajahmada,
karena aku tahu siapa dalang dibelakang ini yang telah
menggunakan suamiku sebagai tameng dari perbuatannya itu", berkata Nyi Ra Tanca dengan suara
perlahan namun jelas terdengar.
"Demi tanganku ini yang telah menewaskan suamimu
itu, aku akan membuat perhitungan dengan orang itu",
berkata Patih Gajahmada. "Tuan Patih Gajahmada, kita harus berpikir jernih,
karena kita belum tahu betul apa sebenarnya yang
diinginkan oleh orang itu. Sementara kita juga belum
mengetahui apakah orang itu adalah suruhan atau
berbuat atas nama pribadinya sendiri", berkata Ki
1285 Rangga Gajah Biru mengingatkan Patih Gajahmada.
"Ki Rangga Gajah Biru benar", berkata Patih
Gajahmada membenarkan perkataan Ki Rangga Gajah
Biru. "Sementara kita belum mendapatkan apa-apa
tentang tujuan orang itu, rahasia besar ini harus kita jaga
bersama", berkata Ki Rangga Gajah Biru menambahkan.
"Ki Rangga Gajah Biru benar, lingkaran tahta
kerajaan Majapahit ibarat sebuah belantara hutan
perburuan, kita tidak tahu siapa yang di buru dan siapa
pemburunya, siapa lawan dan siapa kawan", berkata
Patih Gajahmada. "Peristiwa Ranggalawe, peristiwa Empu Nambi,
peristiwa Patih Mahesa Amping dan kematian Raja
Jayanagara adalah pelajaran mahal untuk kita bahwa
lingkaran tahta Majapahit ini tidak pernah sepi dari para
pengkhianat dan para pemimpi yang diam-diam ingin
meruntuhkan kemapanannya. Kerajaan Majapahit ini
tidak akan menjadi kokoh berdiri selama masih ada
orang-orang seperti mereka, para penghasut, para
perusuh, para pejabat kotor yang mendapatkan
keuntungan dari kekeruhan bumi ini. Tuan Patih
Gajahmada, aku akan selalu berada di belakangmu, di
belakang para ksatria penjaga bumi Majapahit ini",
berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku tidak menyangsikan kesetiaan Ki Rangga Gajah
Biru, manakala ayah angkatku Patih Mahesa Amping
dihujat oleh banyak orang, Ki Rangga Gajah Biru dengan
penuh keberanian berada di sampingnya. Semoga aku
dapat berbuat sebagaimana Ki Rangga Gajah Biru
berbuat, berdiri diatas kebenaran yang kita yakini meski
harus sendiri tanpa kawan melawan arus", berkata Patih
1286 Gajahmada. "Tuan Patih Gajahmada saat ini tidak sendiri, masih
ada aku yang akan selalu percaya bahwa kebenaran
akan menang", berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Kebetulan sekali bahwa pekan depan aku ada
sedikit urusan di istana Majapahit, semoga aku dapat
menyelami apa yang sebenarnya terjadi di balik kematian
Raja Jayanagara", berkata Patih Gajahmada.
"Semoga Tuan Patih Gajahmada dapat menyingkapnya dengan kejernihan hati", berkata Ki
Rangga Gajah Biru. "Nyi Ra Tanca, kuhargai jerih payahmu datang ke
Daha ini untuk mengungkap kebenaran ini, kuhargai pula
ketulusan hatimu untuk tidak menaruh dendam
kepadaku", berkata Patih Gajahmada kepada Nyi Ra
Tanca. "Aku hanya wanita biasa, hanya ini yang dapat
kuperbuat untuk memutihkan nama baik suamiku",
berkata Nyi Ra Tanca dengan suara yang serak masih
diliputi kesedihan hati. "Di mataku, Nyi Ra Tanca adalah seorang wanita
yang punya ketabahan hati yang teguh, seorang istri
yang setia menjaga kehormatan nama baik seorang
suami", berkata Patih Gajahmada kepada Nyi Ra Tanca.
"Terima kasih, Tuan Patih Gajahmada telah
menerima kebenaran dariku. Hal ini telah mengobati
perih dan pedih luka di dalam hatiku atas cemoohan
banyak orang yang telah menistakan keluarga kami",
berkata Nyi Ra Tanca sambil merangkapkan kedua
tangannya sebagai rasa terima kasihnya kepada Patih
Gajahmada. 1287 Pembicaraan mereka bertiga tiba-tiba saja terhenti
manakala pintu pringgitan terbuka lebar-lebar.
Ternyata Nyi Rangga Gajah Biru yang muncul
bersama seorang pelayan wanita sambil membawa
makanan dan minuman. "Mudah-mudahan masakan orang Daha ini dapat
sesuai dengan lidah Tuan Patih", berkata Nyi Rangga
Gajah Biru sambil menyajikan makanan dan minuman
yang dibawanya. Demikianlah, Nyi Rangga Gajah Biru ikut menemani
suasana makan siang di rumahnya itu, dan pembicaraan
pun sepertinya beralih ke hal yang lain. Nampaknya Patih
Gajahmada, Nyi Ra Tanca dan Ki Rangga Gajah Biru
telah sepakat menutup rapat rahasia besar di balik
kematian Raja Jayanagara.
Hingga ketika Patih Gajahmada pamit diri, Ki Rangga
Gajah Biru tidak berkata apapun perihal Nyi Ra Tanca.
Dan hari-hari selanjutnya, keberadaan Nyi Ra Tanca
dan rahasia jati dirinya yang sebenarnya masih tertutup
rapat. Nyi Ra Tanca diterima tinggal di rumah Ki Rangga
Gajah Biru sebagai seorang wanita yang bernama Utami,
seorang wanita malang yang tidak punya kerabat dan
saudara di kotaraja Daha.
Dan pagi itu di beberapa tempat di Kotaraja Daha
masih terlihat genangan air akibat hujan deras
semalaman. Terlihat tiga orang penunggang kuda
berjalan perlahan menuju arah batas kotaraja Daha.
Langkah kaki kuda mereka kadang menapak genangan
air di tanah berlubang. Ternyata salah seorang penunggang kuda itu adalah
Patih Gajahmada yang di kawal oleh dua orang prajurit.
1288 Ketika mereka bertiga telah melewati gapura batas
kotaraja Daha, mulailah mereka memacu kuda-kuda
mereka berlari menembus udara pagi di bawah tatapan
sang mentari disebelah kanan mereka.
Pagi itu Patih Gajahmada tengah melakukan sebuah
perjalanan menuju Kotaraja Majapahit.
Patih Gajahmada benar-benar menikmati perjalanannya, terutama manakala melewati beberapa
padukuhan di sepanjang perjalanannya yang terlihat
begitu damai. Hamparan persawahan yang luas dengan
pengairan yang merata telah membuat para petani
penuh semangat bekerja di sawahnya. Sementara para
pedagang dengan gerobak kudanya terlihat merasa
aman dalam setiap perjalanannya, karena para prajurit
Majapahit telah ditempatkan di beberapa daerah tertentu
sebagai sebuah kesatuan khusus yang secara bergilir
terus melakukan perondaannya mengamankan bumi
Majapahit, di darat dan di lautannya.
"Bumi Majapahit ini adalah sorga yang jatuh dari
langit, anugerah dari Gusti Yang Maha Agung", berkata
Patih Gajahmada dalam hati menikmati suasana
perjalanannya. Namun manakala Patih Gajahmada teringat cerita
Nyi Ra Tanca, hatinya menjadi begitu gelisah.
"Tanganku ini telah berlumur darah orang yang tak
berdosa", berkata Patih Gajahmada dalam hati penuh
perasaan bersalah. Terkejut kedua prajurit yang bersamanya melihat
kuda Patih Gajahmada tiba-tiba saja meloncat berlari
kencang, serta merta keduanya menghentakkan kuda
masing-masing agar tidak tertinggal oleh laju kuda
junjungan mereka. 1289 Rupanya Patih Gajahmada tidak menyadari
gerakannya sendiri yang terbawa perasaannya untuk
secepatnya tiba di Kotaraja Majapahit untuk segera
meluruskan masalah Ra Tanca.
Manakala menyadari apa yang terjadi atas laju
kudanya, Patih Gajahmada langsung memperlambatnya.
Beruntung kedua prajurit itu adalah orang-orang yang
handal mengendalikan kudanya, serta merta kedua
prajurit itu mengikuti memperlambat laju kudanya dengan
perasaan dan pikiran penuh ketidak mengertian.
Terlihat keduanya saling beradu pandangan mata
dengan mengangkat kedua pundaknya sebagai pertanda
ketidak mengertian mereka atas sikap Patih Gajahmada
itu. Dan terus mengikuti langkah kaki kuda Patih
Gajahmada. "Kita bermalam di barak kesatuan prajurit yang ada di
Kademangan Simpang", berkata Patih Gajahmada
kepada kedua prajuritnya manakala mereka telah melihat
sebuah gapura gerbang Kademangan Simpang.
Dan malam itu mereka bertiga singgah di sebuah
barak kesatuan prajurit dengan perlakuan sangat
istimewa oleh Lurah prajurit pimpinan di barak
Kademangan Simpang itu.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh sebuah penghormatan bagi kami
mendapat kunjungan tuan Patih", berkata seorang Lurah
Prajurit yang menjadi pimpinan di kesatuan khusus itu
menyambut kedatangan Patih Gajahmada.
"Mudah-mudahan kami bertiga bukan tamu yang
membosankan", berkata Patih Gajahmada dengan penuh
senyum keramahan mencoba mencairkan suasana serta
menghilangkan jarak kepangkatan dan jabatan diantara
1290 mereka. Patih Gajahmada sejatinya adalah seorang pemuda
yang begitu sederhana dan bersahaya, dan tidak
terbiasa menggunakan alasan jabatannya untuk di
hormati dan dilayani. Keberadaan Patih Gajahmada begitu terkesan di hati
lurah prajurit itu sebagai seorang pejabat kerajaan yang
berbudi luhur serta berwawasan sangat tinggi.
"Berusahalah kalian membaur dengan warga di
sekitarmu, agar mereka tidak merasa takut kepada
prajurit, sebaliknya mereka akan menghormati dan
mencintaimu. Jangan sekali-kali kalian menyakiti
perasaan hati mereka. Keberhasilan kalian membaur
bersama mereka adalah sebuah bukti keberhasilan
kalian menjaga bumi ini", berkata Patih Gajahmada
kepada lurah prajurit itu.
"Pesan dan nasehat tuanku akan kami laksanakan
dengan penuh kesadaran", berkata lurah prajurit itu
kepada Patih Gajahmada yang diketahuinya punya
banyak pengalaman bertempur di berbagai medan
peperangan di usia mudanya itu.
Hingga akhirnya manakala hari telah larut malam,
lurah prajurit itu mempersilahkan Patih Gajahmada untuk
beristirahat. Lama Patih Gajahmada tidak dapat memejamkan
matanya di atas peraduannya. Bayangan Ra Tanca
seakan selalu saja hadir.
"Aku seorang pembunuh", berkata Patih Gajahmada
menyesali apa yang pernah diperbuatnya itu terhadap Ra
Tanca. Namun manakala dirinya berusaha mengendapkan
1291 segala akal budinya, menghadirkan zat yang Maha
Tunggal, mulailah reda segala gejolak kegelisahan
hatinya. "Tiada gerak selain gerakMU, tiada takdir selain
ketentuanMU. Aku hanyalah bayang-bayangMU. Hitam
dan putih hati manusia berada dalam genggamanMU",
berkata Patih Gajahmada dalam yang telah memasrahkan dirinya dalam kepasrahan penuh,
mengakui kekerdilan dirinya dihadapan sang pemilik
alam jagad raya itu. "Hadirkanlah sang Siwa di dalam
hatiku, terangilah wajahku dengan senyum para
Sidharta", berkata kembali Patih Gajahmada dalam hati
yang mulai menemukan kembali garis terang tali
kebenaran di dalam hatinya.
Terlihat Patih Gajahmada telah tertidur dengan begitu
pulasnya, dengan wajah terpancar penuh ketentraman
hati. Seandainya saja ada seorang yang dengan sengaja
masuk kedalam peraduannya, maka akan sangat terkejut
melihat sebuah cahaya kebiruan yang sangat lembut
menyelimuti seluruh tubuhnya. Ternyata sang Patih
muda itu telah berada di dalam puncak yoga dan
samadinya, meski dalam keadaan terbaring diatas
peraduannya. Sementara itu semburat warna merah di cakrawala
langit malam Kademangan Simpang terlihat melintang
dari arah timur dan barat. Perlahan dan begitu sayup
terdengar suara ayam jantan dari sebuah tempat yang
amat jauh. Hari telah mulai menjadi pagi.
"Senang bermalam di barak kalian", berkata Patih
Gajahmada dari atas kudanya.
"Salam lestari, Semoga Gusti Yang Maha Agung
selalu melindungi tuanku", berkata Lurah Prajurit itu
1292 melepas kepergian pengawalnya itu. Patih Gajahmada dan kedua Demikianlah, tiga ekor kuda terlihat membelah udara
pagi yang sejuk melaju kearah utara. Mereka adalah
Patih Gajahmada dan dua orang pengawalnya yang
tengah melakukan perjalanan menuju arah Kotaraja
Majapahit. Perjalanan mereka memang sudah tidak begitu jauh
lagi, manakala matahari mendekati arah puncak
cakrawala langit biru, terlihat mereka telah memasuki
gapura gerbang Kotaraja Majapahit.
Ketika tiba di istana Majapahit, Patih Gajahmada
langsung datang menghadap Mahapatih Arya Tadah di
bale kepatihan. Dan sang Mahapatih baru saja menerima
tamu terakhir di kepatihannya.
"Selamat datang wahai kemenakanku", berkata
Mahapatih Arya Tadah menyambut kedatangan Patih
Gajahmada. "Semoga Gusti yang Maha
memberkatimu, wahai pamanku",
Gajahmada. Agung berkata selalu Patih Setelah masing-masing bercerita tentang berbagai
hal seputar selama perpisahan diantara mereka, patih
Gajahmada memulai pembicaraannya seputar beberapa
urusan kerajaan Kediri yang menjadi tanggung jawabnya
itu. "Tidak salah Ibunda ratu Gayatri menunjuk dirimu
menjadi patih di Daha", berkata Mahapatih Arya Tadah
menanggapi laporan Patih Gajahmada tentang berbagai
kemajuan di kerajaan Kediri.
"Masih ada satu urusan yang sangat penting yang
1293 akan aku sampaikan kepada Pamanda", berkata Patih
Gajahmada dengan suara perlahan sambil mengawasi
keadaan sekitarnya merasa khawatir apakah ada orang
di sekitar mereka berdua.
"Sepertinya kamu merasa khawatir bahwa dinding ini
bertelinga", berkata Mahapatih Arya tadah seperti dapat
membaca apa yang ada dalam pikiran anak muda itu.
"Yang aku akan sampaikan adalah sebuah rahasia
besar", berkata patih Gajahmada sambil menarik nafas
panjang penuh ke hati-hatian.
"Apakah aku perlu untuk mengetahuinya, wahai
kemenakanku?", berkata Mahapatih Arya Tadah dengan
senyum lembut layaknya seorang ayah kepada putranya.
"Aku berharap Pamanda dapat memberikan
tanggapan, apa yang seharusnya aku lakukan", berkata
Patih Gajahmada penuh kepercayaan yang amat kuat
bahwa Mahapatih Arya Tadah yang sudah dianggap
sebagai orang tuanya sendiri itu dapat memberikan
sebuah wejangan untuk dirinya.
"Katakanlah wahai kemenakanku, bila memang kamu
mempercayaiku", berkata Mahapatih Arya Tadah masih
dengan suara yang lembut.
Maka Patih Gajahmada langsung bercerita tentang
peristiwa pembunuhan Raja Jayanagara, dimana Ra
Tanca sebenarnya menjadi korban dari sebuah kelicikan
seorang yang bernama Kuda Jenar.
"Apakah yang kamu maksudkan adalah Tanda Kuda
Jenar, orang dari Wengker itu?", berkata Mahapatih Arya
Tadah setelah Patih Gajahmada menyelesaikan
penuturannya. "Pamanda mengenalnya?", bertanya Patih 1294 Gajahmada "Orang itu sangat dekat dengan Raden Kudamerta,
saat ini telah dipercayakan membangun kotaraja baru di
hutan Sastrawulan", berkata Mahapatih Arya Tadah.
"Aku akan menangkap orang itu, agar kebenaran
menjadi terang benderang", berkata Patih Gajahmada.
Terlihat Mahapatih Arya Tadah tidak segera
menanggapi perkataan Patih Gajahmada, terdiam
beberapa saat sambil menarik nafas dalam-dalam.
Melihat sikap Mahapatih Arya Tadah seperti itu, Patih
Gajahmada dapat merasakan bahwa orang tua yang
berpikiran sangat tajam serta penuh kebijaksanaan itu
nampaknya tengah merenung dan berpikir penuh.
"Wahai kemenakanku, di panggung medan
pertempuran kita biasa menyelesaikan segalanya
dengan pedang, namun di panggung kekuasaan
singgasana yang penuh muslihat ini senjata kita adalah
sebuah akal dan pikiran. Mata kita harus jeli melihat
seluruh isi sebuah ranu yang amat luas dan dalam. Kita
belum dapat memastikan apakah Tanda Kuda Jenar
berdiri sendiri atau berada di belakang orang kuat yang
mendalanginya", berkata Mahapatih Arya Tadah kepada
Patih Gajahmada sambil terdiam sejenak. "Yang ku
khawatirkan tindakanmu akan berakibat buruk untuk
dirimu sendiri", berkata kembali Mahapatih Arya Tadah.
"Aku tidak mengerti maksud perkataan Pamanda",
berkata Patih Gajahmada. "Bilamana kamu dapat menangkap Kuda Jenar dan
membawanya ke pengadilan istana, kamu seperti
menelanjangi dirimu sendiri bahwa kamu telah
melakukan sebuah kesalahan besar membunuh orang
1295 yang tidak berdosa", berkata Mahapatih Arya Tadah.
"Apa yang harus aku lakukan saat ini?", bertanya
Patih Gajahmada. "Mereka telah memenangkan langkah pertamanya,
maka tugas kita saat ini adalah menjaga jangan sampai
mereka memenangkan langkah selanjutnya", berkata
Mahapatih Arya Tadah. "Aku mulai dapat mengerti jalan pikiran Pamanda,
langkah mereka sebenarnya adalah puncak tahta
kerajaan ini", berkata Patih Gajahmada mulai dapat
mengerti kemana arah pikiran orang tuan yang punya
pandangan yang sangat luas dan tajam itu.
"Pikiranmu sangat encer, wahai kemenakanku",
berkata Mahapatih Arya Tadah penuh senyum.
"Tapi ijinkan aku untuk memberi sedikit pelajaran
kepada Kuda Jenar, setidaknya untuk meyakinkan diriku
bahwa Kuda Jenar ada di balik pembunuhan ini", berkata
Patih Gajahmada. "Selama mereka tidak mengenal jati dirimu", berkata
Mahapatih Arya Tadah memberi sedikit arahan.
Dan hari itu sebagaimana beberapa hari sebelumnya,
hutan Sastrawulan telah dipenuhi oleh begitu banyak
pekerja yang siang dan malam terus bekerja untuk
menyiapkan sebuah lahan untuk sebuah pusat kerajaan
Majapahit yang baru lengkap dengan sarana dan
prasarananya. Tidak tanggung-tanggung, pihak kerajaan telah
mempekerjakan sekitar lima ratus orang budak di tambah
beberapa orang pemahat dari berbagai daerah di bumi
Majapahit. Dan Raden Kudamerta telah mempercayakan 1296 sahabatnya Kuda Jenar menjadi pemimpin para pekerja
melaksanakan tugas maha karya itu, membangun pusat
kerajaan Majapahit yang baru di hutan Sastrawulan.
Suara kampak beradu dengan batang kayu pohon
besar dan suara pohon tumbang menjadi suara
keseharian di hutan Sastrawulan. Terlihat tanah terang
terbuka di beberapa tempat tertembus cahaya sinar
matahari. Siang dan malam para pekerja begitu semangat
bekerja seperti berpacu dengan waktu di bawah
pengawasan seorang pemuda yang berasal dari Tanah
Wengker yang tidak lain adalah Kuda Jenar, seorang
perancang muda yang konon biasa bersama ayahnya
bernama Ki Agung Ngrayun membangun sebuah candi di
kerajaan Wengker. Dan hari itu terlihat Kuda Jenar tengah mengawasi
beberapa pekerja penebang pohon di sebuah tempat di
hutan Sastrawulan. Meski matahari sudah naik tinggi,
suasana disekitarnya masih terasa teduh dan lembab
karena masih banyak pohon besar di sekitarnya
menutupi jalan masuk cahaya mentari.
Di tengah keremangan suasana hutan, Kuda Jenar
benar-benar tidak menyadari bahwa sepasang mata
sudah lama mengamatinya. Hingga tanpa disadarinya pula, sebuah benda sangat
halus meluncur begitu cepat kearah dirinya.
Kuda Jenar bukan pemuda sembarangan, sudah
memiliki kemampuan ilmu yang cukup tinggi, telah
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mewarisi hampir sebagian ilmu Ki Agung Ngrayun, ayah
kandungnya sendiri. Suara desir sebuah benda yang sangat halus itu
1297 memang sempat di tangkap oleh pendengarannya yang
telah terlatih, namun laju benda sangat kecil itu terlalu
cepat untuk dihindarinya, sebagai pertanda bahwa
pelemparnya adalah seorang yang sudah sangat
sempurna kesaktiannya. Clep"!! Kuda Jenar terperanjat sekali manakala merasakan
sebuah benda lebih kecil dari sebuah jarum menancap
tepat sekali di lehernya.
"Sebuah duri beracun !!", berkata Kuda Jenar dalam
hati penuh kekhawatiran melihat sebuah duri yang telah
di cabut dari batang lehernya.
Namun hanya sekejap saja Kuda Jenar benar-benar
tidak dapat berpikir apapun, yang dirasakannya adalah
bumi sekeliling dirinya seperti berputar cepat.
Terbelalak seorang pekerja yang melihat Kuda Jenar
limbung terhuyung dan jatuh roboh ke bumi.
"Pimpinan kita jatuh pingsan !!", berkata pekerja itu
kepada kawan di dekatnya.
Terlihat kedua pekerja itu langsung berlari kearah
Kuda Jenar yang tengah tergeletak di tanah di ikuti oleh
pandangan mata beberapa orang penebang pohon
lainnya. Namun belum sampai kedua pekerja itu mendekati
Kuda Jenar, entah dari mana datangnya seorang
bercaping lebar telah berdiri tegak di dekat tubuh Kuda
Jenar. "Kamu pasti telah melukai pimpinan kami", berkata
seorang penebang kayu sambil menunjuk dengan
kampaknya kearah orang bercaping itu.
1298 "Aku hanya ingin meminjam pimpinanmu ini
sebentar", berkata orang bercaping itu kepada kedua
orang penebang itu. "Kawanku, orang ini pasti orang jahat", berkata
penebang pohon itu mengajak kawannya untuk
mengeroyok orang bercaping itu.
Orang bercaping itu hanya tersenyum berdiri melihat
kedua penebang pohon itu dengan sebuah kampak di
tangan masing-masing berlari menerjang ke arahnya.
Kedua penebang kayu itu masih melihat orang
bercaping itu hanya berdiri, namun mereka berdua
merasakan sebuah tangan yang sangat kokoh dan kuat
telah menghantam dadanya.
Seketika terlihat kedua penebang itu terlempar jatuh
di tanah. Beberapa orang penebang kayu lainnya sempat
melihat kejadian yang menimpa kedua kawannya itu, dan
langsung berlari mengepung orang bercaping lebar itu.
"Apakah kalian akan mengeroyokku?", berkata orang
bercaping itu kepada para penebang kayu yang datang
mengelilingi dirinya. "Kamu akan kami cacah dirimu sebagaimana kami
mencacah pohon kayu", berkata seorang lelaki yang
bertubuh tinggi besar dan kekar dengan otot yang
menonjol kuat di setiap tubuhnya.
"Sebaiknya kalian kembali bekerja, aku hanya ada
sedikit urusan dengan pimpinanmu ini", berkata orang
bercaping itu dari balik selembar kain hitam yang
menutupi hampir seluruh wajahnya.
"Orang itu adalah pimpinan kami, sebelum dapat
membawanya hadapilah kami", berkata lelaki bertubuh
1299 kekar itu sambil menunjuk kearah orang bercaping itu.
"Bagus, nampaknya kalian orang-orang yang sangat
setia kepada pimpinanmu ini", berkata orang bercaping
itu dengan matanya yang tajam berkilat-kilat tidak
tertutup kain hitam yang menutupi seluruh wajahnya itu.
"Mari kawan-kawan, kita cincang orang sombong ini",
berkata lelaki bertubuh kekar itu.
Tiga belas kampak besi berkilat tajam langsung
merangsek bersama-sama seperti ingin mencacah tubuh
orang bercaping itu. Namun entah dengan cara apa tak terlihat orang
bercaping itu bergerak sedikitpun, tiga belas pekerja itu
terlihat terlempar kebelakang dengan beberapa orang
terlihat sembab biru wajahnya, sementara beberapa
orang lagi merasakan tulang rusuk mereka nyeri dan
remuk. "Kuperingatkan kepada kalian, jangan mencampuri
urusan pribadiku dengan orang ini, atau kalian binasa
sia-sia di hutan Sastrawulan ini", berkata orang bercaping
itu mengancam para pekerja.
Nampaknya ancaman orang bercaping itu benarbenar dituruti oleh para pekerja yang sudah merasakan
kesaktian orang itu, mereka terlihat tidak melakukan
penyerangan apapun manakala orang bercaping itu
tengah mengangkat tubuh Kuda Jenar keatas pundaknya
dengan begitu ringannya. Dan mereka tetap terdiam manakala orang bercaping
itu melangkah pergi meninggalkan mereka.
Namun belum lagi orang bercaping itu pergi menjauh,
tiba-tiba saja seorang lelaki tua datang.
"Ki Agung Ngrayun?", berkata salah seorang pekerja
1300 kepada kawannya menyebut nama lelaki tua yang baru
datang itu. "Semoga pertapa sakti itu dapat merebut kembali
putranya", berkata kawannya itu sambil memijat-mijat
sekitar rusuknya yang masih ngilu/
"Hendak kamu bawa kemana putraku?", berkata
lelaki tua itu yang ternyata adalah Ki Agung Ngrayun.
Nampaknya orang bercaping itu seperti mengetahui
bahwa yang berkata itu adalah bukan orang
sembarangan, lewat getar suara yang dilepaskannya
memang telah dilambari tenaga sakti sejati yang sangat
tinggi. Perlahan orang bercaping itu berbalik badan dan
meletakkan tubuh Kuda Jenar yang masih pingsan itu di
tanah. "Ternyata aku berhadapan dengan seorang pertapa
dari daerah Ngrayun", berkata orang bercaping itu
dengan mata tajam berkilat-kilat memandang kearah Ki
Agung Ngrayun. "Bagus, kamu sudah mengenal siapa aku", berkata Ki
Agung Ngrayun sambil berjalan mendekati orang
bercaping itu. "Siapa yang tidak mengenal seorang pertapa sakti
dari padepokan Ngrayun", berkata orang bercaping itu
dengan mata terus menatap kearah Ki Agung Ngrayun.
"Tinggalkan putraku, dan aku tidak akan membuat
perhitungan apapun bahwa dirimu telah membuat
putraku pingsan", berkata Ki Agung Ngrayun kepada
orang bercaping itu. "Aku ada sedikit urusan dengan putramu ini, aku
berjanji akan mengembalikannya kepadamu tanpa
1301 terluka sedikitpun", berkata orang bercaping itu.
"Bagaimana mungkin aku bisa percaya dengan
seseorang yang tidak kukenal", berkata Ki Agung
Ngrayun kepada orang bercaping itu."Dan aku akan
merebutnya darimu, dengan cara apapun", berkata
kembali Ki Agung Ngrayun.
"Apakah itu berarti sebuah ancaman untukku?",
berkata orang bercaping itu kepada Ki Agung Ngrayun
dengan suara yang begitu penuh ketenangan dan
kepercayaan diri yang amat tinggi.
"Terserah kamu artikan apapun", berkata Ki Agung
Ngrayun sudah mulai tidak sabaran dan penuh
kekhawatiran melihat keadaan putranya yang masih
pingsan tergeletak di tanah itu.
"Terserah pula apapun yang Ki Agung Ngrayun
lakukan, aku tetap akan membawa putramu ini", berkata
orang bercaping itu. "Nampaknya aku berhadapan dengan orang yang
pandai bicara", berkata Ki Agung Ngrayun yang sudah
tidak sabaran bercampur penuh kekhawatiran melihat
keadaan putranya. "Ternyata orang Wengker tidak suka banyak bicara",
berkata orang bercaping itu seperti ingin mengusik
kesabaran Ki Agung Ngrayun.
"Kamu benar, aku memang tidak suka banyak
bicara", berkata Ki Agung Ngrayun yang sudah tidak
dapat bersabar lagi untuk segera merebut putranya itu.
Selesai bicara terlihat Ki Agung Ngrayun sudah
langsung melenting seperti terbang bersama suara
tongkatnya yang berdengung karena diputar dengan
begitu cepatnya. 1302 "Serangan tongkat yang dahsyat", berkata orang
bercaping itu sambil bergeser ke kanan dan berputar.
Terperanjat Ki Agung Ngrayun melihat serangan
pertamanya dapat di hindarkan dengan mudahnya oleh
orang bercaping itu, sebuah serangan yang amat cepat
dan jarang sekali orang yang sudah punya ilmu
kanuragan tingkat tinggi dapat memecahkan jurus
pertamanya itu. Ternyata orang bercaping itu tidak
menghindar, tiba-tiba tangannya bergerak
pinggang Ki Agung Ngrayun.
hanya kearah Bertambah terperanjatlah Ki Agung Ngrayun yang
tidak menyangka mendapat serangan balasan yang amat
berbahaya itu. Namun Ki Agung Ngrayun bukan orang sembarangan, tapi seorang pemilik sebuah padepokan
terpandang yang sangat disegani di bumi Wengker.
Kali ini yang terperanjat adalah orang bercaping itu,
karena Ki Agung Ngrayun seperti membiarkan tangannya
meluncur kearah pinggangnya, dan tiba-tiba saja tongkat
Ki Agung Ngrayun bergerak kearah yang berlawanan
dengan arah gerakan tangan orang bercaping itu tertuju
kearah yang sama, pinggang orang bercaping itu.
"Langkah yang hebat", berkata orang bercaping itu
sambil bergerak bergeser kedepan dan langsung
membuat serangan balasan yang tidak kalah cepatnya,
dengan sebuah tendangan kakinya.
Terlihat Ki Agung Ngrayun mundur tiga langkah
dengan mata terbelalak. "Hebat, hebat, hebat. Jarang sekali ada orang yang
dapat memecahkan jurusku dengan mudah", berkata Ki
1303 Agung Ngrayun dengan sangat jujur sekali mengakui
kelebihan lawannya itu. Dan seperti seorang bocah yang mendapatkan
sebuah permainan baru, Ki Agung Ngrayun kembali
melakukan serangan kearah orang bercaping itu,
tentunya dengan kecepatan berlipat ganda.
Namun selalu saja orang bercaping itu dapat
memecahkan seluruh jurus dan langkah serangan Ki
Agung Ngrayun dengan cara yang diluar perhitungan.
"Hebat, hebat, hebat", berkata kembali Ki Agung
Ngrayun penuh kegembiraan hati sambil mengamati
langkah-langkah ajaib dari lawannya itu.
Hingga ratusan jurus selalu saja langkah serangan Ki
Agung Ngrayun dapat dimentahkan oleh orang bercaping
itu. Sementara para pekerja yang menyaksikan
pertempuran itu terlihat tercengang-cengang, karena
penglihatan mereka seperti kabur karena gerakan kedua
orang yang tengah bertempur itu telah melipat gandakan
kecepatan gerak mereka. "Beruntung orang bercaping itu masih berbelas kasih
kepada kita", berkata salah seorang pekerja kepada
kawan mereka yang melihat gerakan orang bercaping itu
memang diluar tingkat kemampuan rata-rata dari mereka.
"Kemampuan Ki Agung Ngrayun nampaknya tidak
berada diatas orang bercaping itu, hingga saat ini belum
juga dapat menundukkannya", berkata pekerja lainnya.
Sebagaimana yang disaksikan oleh para pekerja, Ki
Agung Ngrayun memang belum juga dapat menundukkan lawannya. "Hebat, hebat, hebat", berkata Ki Agung Ngrayun
1304 manakala serangannya dipatahkan
mudahnya oleh orang bercaping itu.
dengan sangat "Aku akan dengan senang hati melayani Ki Agung
Ngrayun", berkata orang bercaping itu sambil terus
menghindar dan langsung melakukan langkah ajaibnya
mematahkan serangan Ki Agung Ngrayun.
Langkah-langkah ajaib yang selalu mementahkan
serangannya telah membuat Ki Agung Ngrayun
perlahan-lahan telah membangun tenaga sakti sejatinya,
membangun hawa panas dalam setiap serangannya.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setiap serangan Ki Agung Ngrayun mengandung hawa
panas yang begitu sangat menyengat kulit, terlihat
rumput dan ilalang disekitarnya telah hangus terbakar.
Namun Ki Agung Ngrayun merasa menjadi sangat
terheran-heran melihat orang bercaping itu sepertinya
tidak terganggu apapun dengan hawa panas yang
diciptakannya itu, masih saja bergerak seperti
sebelumnya seperti tidak merasakan apapun, tentunya
dengan langkah ajaibnya yang sangat aneh itu.
Hingga manakala ilmu Ki Agung Ngrayun sudah
berada diatas puncaknya, orang bercaping itu masih saja
tetap dapat melayaninya tanpa merasakan rasa panas
yang telah menyengat membakar rumput dan ilalang di
sekitarnya. Diam-diam Ki Agung Ngrayun mengakui kemampuan
lawannya yang sangat tangguh itu.
Ternyata orang bercaping itu perlahan terus
meningkatkan tataran kemampuannya mengerahkan
tenaga sakti sejatinya. Perlahan Ki Agung Ngrayun mulai dapat merasakan
serangan hawa dingin berdesir dari orang bercaping itu.
1305 Terbelalak mata Ki Agung Ngrayun yang melihat
rumput dan ilalang yang terbakar telah padam terkena
angin sambaran hawa dingin dari orang bercaping itu.
Dan perlahan Ki Agung Ngrayun mulai terganggu
gerakannya merasakan hawa dingin yang amat sangat
menyambar-nyambar tubuhnya.
Terlihat Ki Agung Ngrayun mulai menjaga jarak
menghindari angin serangan orang bercaping itu yang
dirasakannya begitu pedih meski tidak terkena langsung
kearah tubuhnya. "Gila, orang ini seperti punya tenaga inti sejati yang
sukar diukur puncaknya", berkata dalam hati Ki Agung
Ngrayun yang merasakan hawa dingin yang membeku
telah mengepung dirinya. Sementara itu para pekerja yang masih berada
disekitar pertempuran terlihat membelalakkan matanya
melihat dari tubuh orang bercaping itu keluar kabut tipis.
Tidak begitu lama para pekerja itu sudah tidak dapat
melihat lagi pertempuran itu, karena telah terhalang
kabut yang keluar dari tubuh orang bercaping itu
menutupi dirinya dan Ki Agung Ngrayun.
"Ilmu apa yang dimiliki oleh orang ini", berkata dalam
hati Ki Agung Ngrayun dengan perasaan gentar sudah
tidak dapat melihat apapun di depan matanya.
"Ki Agung Ngrayun, aku dapat melakukan apapun
kepadamu", berkata orang bercaping itu entah dari mana.
"Jangan mencoba menakuti aku", berkata Ki Agung
Ngrayun sambil mengerahkan ketajaman pendengaran
dan penglihatannya, namun kabut dihadapannya sudah
begitu pekat menutupi penglihatannya.
"Rabalah kepalamu, kamu sudah kehilangan kain ikat
1306 kepalamu", berkata orang bercaping itu entah dari arah
mana. Berdesir darah Ki Agung Ngrayun manakala meraba
kepalanya yang memang telah kehilangan kain ikat
kepalanya. "Orang ini masih bermurah hati tidak menyerangku",
berkata Ki Agung Ngrayun dalam hati.
Kabut masih pekat menyelimuti pandangan mata Ki
Agung Ngrayun, orang tua itu masih berdebar-debar
memasang ketajaman pendengarannya, hanya itu yang
dapat dilakukannya. Hingga akhirnya di tengah kepekatan kabut yang
menutupi pandangannya, Ki Agung Ngrayun mendengar
suara orang bercaping itu.
"Ki Agung Ngrayun, aku tidak banyak waktu untuk
melanjutkan pertempuran kita. Kupinjam sebentar
putramu, sampai berjumpa kembali", berkata orang
bercaping itu dengan suara yang berputar-putar datang
dari berbagai arah penjuru mata angin.
"Semoga orang itu tidak mencelakai putraku", berkata
Ki Agung Ngrayun dalam hati penuh rasa cemas
memikirkan keadaan putranya.
Sementara itu kabut yang pekat perlahan menipis
dan hilang terbawa angin.
Ki Agung Ngrayun menyapu pandangannya ke
berbagai arah, berharap dapat menemukan arah
perginya orang bercaping yang telah membawa putranya
itu. Namun Ki Agung Ngrayun tidak menemukan jejak
apapun. 1307 "Apakah kalian melihat kemana orang bercaping itu
pergi?", berkata Ki Agung Ngrayun kepada para pekerja.
"Kabut begitu gelap, kami tidak melihat kapan dan
kemana orang bercaping itu pergi", berkata salah
seorang pekerja kepada Ki Agung Ngrayun.
Terlihat Ki Agung Ngrayun menarik nafas panjang,
masih mencemaskan keadaan putranya. Sementara itu
orang bercaping itu telah jauh melesat meninggalkan
hutan Sastrawulan. Hingga di sebuah tempat yang sunyi, orang itu
berhenti menurunkan Kuda Jenar yang masih pingsan.
Perlahan orang bercaping itu mengikat kedua tangan
Kuda Jenar di sebuah batang pohon dan duduk di
dekatnya. Nampaknya orang bercaping itu menunggu Kuda
Jenar siuman dari pingsannya.
Ternyata orang bercaping itu tidak perlu menunggu
lama, perlahan Kuda Jenar terlihat bergerak.
"Dimana aku?", berkata Kuda Jenar manakala
membuka matanya merasakan kedua tangannya terikat.
"Kamu ada bersamaku di sebuah tempat yang jauh
terpisah dari orang-orangmu, agar urusan kita tidak
terganggu oleh siapapun", berkata orang bercaping itu
kepada Kuda Jenar. "Apa yang kamu inginkan dariku?", bertanya Kuda
Jenar seperti pasrah dengan keadaan dirinya yang
sudah menjadi tawanan orang bercaping itu.
"Aku hanya menginginkan kejujuranmu", berkata
orang bercaping itu singkat.
Terlihat Kuda Jenar mengerutkan keningnya, 1308 pertanda tidak mengerti kemana arah ucapan orang
bercaping itu. "Kejujuran apa yang ingin kamu dengar dariku?",
bertanya Kuda Jenar. "Kejujuranmu tentang sebuah racun yang kamu
berikan kepada Ra Tanca", berkata orang bercaping itu
dengan pandangan yang amat tajam seperti menembus
isi hati dan pikiran Kuda Jenar.
Terkejut Kuda Jenar mendengar perkataan orang
bercaping itu. "Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan", berkata
Kuda Jenar mencoba menutupi rasa terkejutnya.
"Nampaknya perlu sebuah cara untuk mendengar
kejujuranmu", berkata orang bercaping itu sambil
mengeluarkan sebuah bubu kecil dari dalam ikat
pinggangnya. Terlihat Kuda Jenar memperhatikan bumbung bambu
kecil itu yang berada di tangan orang bercaping itu.
"Ketahuilah, didalam bubu ini kusimpan cukup
banyak getah kayu pohon rengas", berkata orang
bercaping itu sambil memandang kearah Kuda Jenar.
"Pasti kamu tahu apa yang akan terjadi bila sedikit getah
kayu rengas ini kulumuri di tubuhmu", berkata kembali
orang bercaping itu. "Sayang sekali aku tidak membawa
daun rengas sebagai penawarnya, dan kamu akan
tersiksa di tempat ini sunyi ini tanpa seorang pun dapat
menolong dirimu", berkata kembali orang bercaping itu
sambil memandang tajam ke arah Kuda Jenar.
Merinding seluruh bulu roma Kuda Jenar mendengar
seluruh perkataan orang bercaping itu, terbayang rasa
gatal yang amat sangat dengan bisul-bisul kecil yang
1309 bernanah di seluruh tubuhnya.
"Katakan apa yang kamu inginkan dariku?", berkata
Kuda Jenar dengan wajah penuh cemas.
"Sebagaimana kukatakan sebelumnya, aku hanya
menginginkan kejujuranmu", berkata Orang bercaping itu.
"Kejujuran tentang apa" ", bertanya Kuda Jenar.
"Katakan bahwa kamu yang telah membuat ulah atas
penyakit yang diderita oleh Nyi Ra Tanca", berkata orang
bercaping itu kepada Kuda Jenar.
"Bagaimana kamu mengetahuinya?", bertanya Kuda
Jenar merasa cemas bahwa rahasianya telah diketahui
oleh orang di hadapannya itu.
"Jangan bertanya, tugasmu hanya menjawab
pertanyaanku", berkata Orang bercaping itu dengan
suara penuh wibawa. Kuda Jenar sesaat berpikir bahwa orang itu hanya
mengetahui sedikit perihal Nyi Ra Tanca, tidak akan tahu
lebih jauh lagi. "Benar, akulah yang membuat ulah itu kepada Nyi Ra
Tanca", berkata Kuda Jenar kepada orang itu.
Terdengar dengus orang bercaping itu pertanda
tengah menahan kemarahannya.
"Dan kamu pulakah yang memberikan obat kepada
Ra Tanca untuk kesembuhan Raja Jayanagara?",
bertanya kembali orang bercaping itu kepada Kuda
Jenar. Terlihat Kuda Jenar tidak langsung menjawab, masih
ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang
itu. 1310 "Ternyata kamu lebih memilih kulumuri tubuhmu
dengan getah kayu rengas ini", berkata orang bercaping
itu perlahan kepada Kuda Jenar.
Mendengar ancaman orang itu, terlihat perubahan di
wajah Kuda Jenar yang dipenuhi rasa takut yang amat
sangat. "Aku akan mengatakannya", berkata Kuda Jenar
terbata-bata. "Katakan sebelum kesabaranku habis", berkata orang
bercaping itu. "Benar, akulah yang memberikan obat kepada Ra
Tanca untuk pengobatan Raja Jayanagara", berkata
Kuda Jenar. "Kamu belum mengatakan
berkata orang bercaping itu.
yang sebenarnya", "Apa yang kamu maksudkan", aku telah mengatakan
yang sebenarnya", berkata Kuda Jenar.
"Bukan obat yang kamu berikan kepada Ra Tanca,
tapi sebuah racun", berkata orang bercaping itu dengan
pandangan yang begitu tajam seperti menusuk langsung
ke dada Kuda Jenar. Terlihat Kuda Jenar menampakkan wajah terkejut.
"Dari mana orang ini mengetahui rahasiaku itu?",
berkata Kuda Jenar dalam hati.
Namun sedikit perubahan di wajah Kuda Jenar
nampaknya telah terbaca oleh orang bercaping itu.
"Kulihat dirimu terkejut, apakah kamu merasa heran
darimana aku mengetahui semua perbuatanmu itu?",
berkata orang bercaping itu telah membuat diri Kuda
Jenar seperti masuk dalam sebuah perangkapnya.
1311 Di hadapan orang bercaping itu, terlihat Kuda Jenar
benar-benar seperti seorang pesakitan yang tidak
mampu lagi mengelak atas semua kesalahannya.
"Bersyukurlah bahwa aku tidak membawamu ke
istana Majapahit untuk mempertanggung jawabkan
semua perbuatanmu itu, hanya saja kukatakan
kepadamu bahwa sejak hari ini kamu berada di dalam
pengawasanku dan jangan berharap aku masih dapat
memaafkanmu bila kudapatkan kamu berbuat yang sama
kepada Ratu Tribuwana Tunggadewi dan keluarganya",
berkata orang bercaping itu penuh ancaman kepada
Kuda Jenar sambil berbalik badan meninggalkannya.
Terpaku Kuda Jenar memandang orang bercaping itu
yang semakin jauh meninggalkannya.
Ketika orang bercaping itu pergi menghilang dari
pandangannya, terbesit rasa cemas di wajah Kuda Jenar.
"Bila muncul binatang buas, matilah aku", berkata
Kuda Jenar sambil mencoba menarik tali ikatannya yang
ternyata begitu kuat mengikatnya dengan sebuah batang
pohon. Menyadari ikatan yang kuat mengikat dirinya, terlihat
Kuda Jenar seperti begitu putus asa.
"Siapakah gerangan orang bercaping itu?", bertanya
Kuda Jenar dalam hati mencoba mengingat-ingat dari
suara serta sorot mata yang tersisa dari kain penutup
wajahnya. Namun sekian lama Kuda Jenar mencoba
mengingat-ingat beberapa wajah orang, tidak satupun
yang sangat cocok dengan orang bercaping itu.
"Orang itu tidak membawaku ke istana sebagai orang
terhukum, orang itu juga tidak membunuhku, pasti orang
1312 itu punya alasan sendiri", berkata Kuda Jenar dalam hati.
"Namun orang itu berkata akan selalu mengawasiku",
berkata kembali Kuda Jenar dalam hati mengingat-ingat
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ancaman orang bercaping itu kepadanya. "Mulai hari ini
aku harus berhati-hati melangkah dan berbuat apapun,
orang bercaping itu tidak main-main dengan
ancamannya", berkata kembali Kuda Jenar dalam hati.
Hingga ketika Kuda Jenar merasakan kembali penuh
kecemasan dirinya yang terikat di hutan sunyi itu,
kembali rasa cemas dan kekhawatirannya muncul
memenuhi seluruh perasaannya, membayangkan seekor
harimau atau seekor serigala muncul mengoyak-ngoyak
dirinya yang terikat tak berdaya itu.
"Semoga saja ayahku menugaskan semua orang
pekerja untuk mencari keberadaanku", berkata Kuda
Jenar dalam hati penuh pengharapan.
Sementara itu hari terlihat mulai gelap di hutan sunyi
itu, hati dan perasaan Kuda Jenar menjadi semakin
menciut penuh rasa cemas dan khawatir.
Semakin gelap suasana di hutan yang sunyi itu,
semakin menipis harapan Kuda Jenar dapat ditemukan
oleh orang-orangnya. Namun ditengah keputus asaannya itu, dilihatnya
beberapa titik cahaya obor ditengah kegelapan malam.
"Aku Kuda Jenar, apakah kalian mendengarku",
berkata Kuda Jenar berteriak berharap didengar oleh
orang-orang yang tengah membawa obor.
Beruntung, suara Kuda Jenar nampaknya didengar
oleh orang-orang yang membawa obor itu.
Terlihat mata Kuda Jenar memandang penuh
harapan manakala titik cahaya obor itu semakin
1313 mendekat berjalan ke arahnya.
Dan wajah Kuda Jenar terlihat penuh kegembiraan
hati manakala sebuah obor menerangi wajah seseorang
yang sangat dikenalnya. "Ayah?", berkata Kuda Jenar kepada seseorang
yang ternyata Ki Agung Ngrayun.
"Orang itu tidak melukaimu?", bertanya Ki Agung
Ngrayun kepada Kuda Jenar.
"Tidak melukaiku, namun telah menjadikanku sebuah
umpan binatang buas", berkata Kuda Jenar menggerutu.
"Orang itu mengatakan ada sebuah urusan pribadi
denganmu?", bertanya Ki Agung Ngrayun setelah
melepaskan ikatan tali di tangan Kuda Jenar.
Kuda Jenar tidak segera menjawab pertanyaan Ki
Agung Ngrayun, berpikir sejenak apa kiranya alasan agar
ayahnya tidak mengetahui ada urusan apa kiranya
antara dirinya dan orang bercaping itu.
"Orang itu menyangka aku mengetahui kemana
perginya Nyi Ra Tanca dan memaksaku untuk
mengatakannya", berkata Kuda Jenar setelah menemukan sebuah pikiran agar ayahnya tidak
mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.
"Mungkin orang itu mengira kedekatanmu dengan
keluarga Ra Tanca, berpikir kamu pasti mengetahui
kemana perginya Nyi Ra Tanca", berkata Ki Agung
Ngrayun kepada Kuda Jenar.
Mendengar perkataan ayahnya itu, Kuda Jenar
merasa gembira dapat melencengkan duduk persoalan
yang sebenarnya. "Ayahku pasti akan menghukumku bila
saja mengetahui apa yang telah kulakukan", berkata
dalam hati Kuda Jenar. 1314 Demikianlah, hari memang telah menjadi gelap di
hutan sunyi itu. Bersama ayahnya dan beberapa orang
pekerja terlihat mereka telah berjalan pulang menuju
arah hutan Sastrawulan. Sementara itu orang bercaping yang telah mengikat
Kuda Jenar terlihat telah berada jauh mendekati arah
gapura gerbang kotaraja Majapahit.
Siapakah gerangan orang bercaping itu"
Dibawah cahaya sinar rembulan, ketika dirinya
melepas caping dan kain penutup kepalanya, ternyata
orang itu masih muda belia yang tidak lain adalah Patih
Gajahmada. "Apakah aku telah berlaku adil membiarkan Kuda
Jenar tetap hidup?", berkata Gajahmada dalam hati.
"Atau apa yang kulakukan ini karena kekerdilan diriku
sendiri melepas tanggung jawabku atas kematian Ra
Tanca?", bertanya kembali Gajahmada kepada dirinya
sendiri. Lama Patih Gajahmada bergelut dengan pertanyaannya sendiri, hingga teringat kembali perkataan
Mahapatih Arya Tadah kepada dirinya. "Panggung
singgasana ini lebih pelik dari sebuah medan
pertempuran, kawan dan musuh kita berada ditempat
yang sama dan tidak ada kawan abadi di panggung
singgasana ini. Tugas kita adalah menjaga panggung
singgasana ini dalam kemapanan dan ketentraman.
Itulah kebijakan seorang pelakon di palagan panggung
Singgasana ini. Dan pedangmu adalah ketajaman
pikiranmu". Lama Patih Gajahmada merenungi perkataan
Mahapatih Arya Tadah, orang tua yang bijaksana itu.
1315 Malam telah begitu sepi di kotaraja Majapahit, Patih
Gajahmada tidak singgah di istana Majapahit melainkan
langsung ke Tanah Ujung Galuh.
Beruntung seorang tukang rakit belum tidur malam itu
dan dengan senang hati menyeberangkannya di sungai
Kalimas. "Terima kasih kawan, aku telah mengganggu
istirahatmu", berkata Patih Gajahmada kepada tukang
rakit itu. "Aku memang biasa tidur hingga jauh malam",
berkata tukang rakit itu tersenyum menerima
pembayaran tiga kali lipat dari biasanya.
Manakala Patih Gajahmada melangkah menjauhi
tepian sungai Kalimas, tukang rakit itu telah meluncur
kembali ke seberang. "Apakah ibunda tuan perlu dibangunkan?", bertanya
seorang pelayan lelaki tua kepada Patih Gajahmada
yang baru saja tiba di pasanggrahan Tanah Ujung Galuh.
"Tidak perlu di bangunkan Ki Bareb, besok pagi kami
masih bisa bertemu", berkata Patih Gajahmada kepada
pelayan tua itu. "Apakah tuan lapar", hamba dapat menghangatkan
makanan", berkata Ki Bareb kepada Patih Gajahmada.
"Tidak perlu Ki Bareb, aku hanya perlu minuman
hangat", berkata Patih Gajahmada.
"Bila demikian, hamba akan ke belakang menyiapkan
minuman hangat", berkata Ki Bareb kepada Patih
Gajahmada. Terlihat Patih Gajahmada duduk di panggung
pendapa menatap jauh ke depan, kearah gapura
1316 pasanggrahan yang tinggi menjulang.
Dan tidak lama kemudian Ki Bareb
membawakan minuman hangat untuknya.
datang "Terima kasih, Ki Bareb", berkata Patih Gajahmada
kepada Ki Bareb."Temani aku di sini Ki Bareb", berkata
kembali Patih Gajahmada kepada Ki Bareb yang
bermaksud untuk masuk kedalam.
"Beberapa hari ini ibunda tuan tidur hingga jauh
malam menunggu tuan pulang, sayang malam ini beliau
tidur sore-sore hingga tidak dapat menemui tuan",
berkata Ki Bareb bercerita tentang Nyi Nariratih, ibunda
Patih Gajahmada. "Seorang ibu nampaknya selalu berpikir putranya
masih kecil, selalu mencemaskannya", berkata Patih
Gajahmada penuh senyum. Namun tiba-tiba saja Ki Barep mengerutkan
keningnya manakala dilihatnya Patih Gajahmada terdiam
dengan mata jauh kedepan gerbang gapura.
Segera Ki Bareb ikut menatap kearah pandangan
mata Patih Gajahmada. Namun Ki Bareb tidak melihat apapun dan siapapun
di ujung arah pandangan matanya.
"Nampaknya kita akan kedatangan tamu di malam
ini", berkata Patih Gajahmada kepada Ki Barep.
"Aku tidak melihat apapun", berkata Ki Bareb dalam
hati sambil mengerutkan keningnya lebih dalam lagi.
Ki Bareb masih melihat Patih Gajahmada terdiam
memandang kearah gerbang Gapura.
Dan Ki Bareb akhirnya mengakui ketajaman
panggraita anak muda itu ketika menyaksikan dengan
1317 mata dan kepalanya sendiri bahwa terlihat sesosok
bayangan muncul di mulut gerbang gapura.
"Tetaplah Ki Bareb di pendapa ini, aku akan menemui
orang itu di halaman muka" berkata Patih Gajahmada
sambil berdiri dan melangkah menuruni anak tangga
pendapa. Ditengah halaman Patih Gajahmada terlihat berdiri
menunggu. Sementara sosok bayangan yang muncul di
mulut gerbang gapura telah berjalan mendekatinya.
"Aku banyak mengenal orang-orang di Tanah Ujung
Galuh ini, ada keperluan apakah gerangan Kisanak
datang ke pasanggrahan ini", berkata Patih Gajahmada
penuh santun kepada seorang lelaki yang belum begitu
tua di hadapannya itu. "Aku datang sengaja untuk menemuimu", berkata
lelaki itu. "Menemuiku?", bertanya Patih Gajahmada.
"Benar, untuk membicarakan sebuah perdagangan",
berkata lelaki itu sambil menyunggingkan sebuah
senyum di bibirnya. "Masalah perdagangan", aku bukan seorang
pedagang", berkata Patih Gajahmada mengerutkan
keningnya mencoba menduga-duga kepentingan apa
gerangan dari lelaki itu yang datang di larut malam itu.
"Aku tahu bahwa kamu bukan seorang pedagang,
tapi seorang Patih muda dari kerajaan Kediri", berkata
lelaki itu masih menyunggingkan senyum yang aneh.
"Lekas katakan kepentinganmu, di malam yang
sudah larut ini bukan wayahnya bicara berbelit-belit",
berkata Patih Gajahmada mulai tidak menyukai lelaki itu,
terutama senyum liciknya itu.
1318 "Di awal kukatakan bahwa aku datang untuk
berdagang denganmu", berkata lelaki itu sambil menatap
Patih Gajahmada. "Perdagangan apa yang kamu inginkan dariku",
berkata Patih Gajahmada penuh wibawa.
"Sebuah perdagangan yang saling menguntungkan,
aku akan menutup rapat-rapat rahasiamu, sementara
kamu membayarnya dengan cara mengabulkan sebuah
permintaanku", berkata lelaki itu.
"Apa yang ingin kamu tawarkan kepadaku", berkata
Patih Gajahmada singkat. Lelaki itu tidak langsung berkata, hanya menyeringai
dalam senyumnya. "Mengapa aku tidak dipersilahkan naik ke pendapa?",
berkata lelaki itu. "Tidak perlu untuk seorang tamu seperti dirimu",
berkata Patih Gajahmada. "Baiklah, aku akan bercerita tentang sebuah
pertempuran di hutan Sastrawulan antara dirimu dengan
Ki Agung Ngrayun", berkata lelaki itu.
Terlihat Patih Gajahmada mengerutkan keningnya,
terbayang pertempuran dirinya dengan para pekerja dan
Ki Agung Ngrayun. "Aku juga melihat kesaktianmu yang dapat
menciptakan kabut tebal, beruntung aku berada diluar
pertempuran hingga dapat melihat dirimu membawa
Kuda Jenar keluar dari hutan Sastrawulan", berkata
kembali lelaki itu. Terlihat Patih Gajahmada menarik nafas panjang
tidak menyangka ada yang dapat mengikuti jejaknya.
1319 "Dan aku telah mendengar sebuah rahasia besar
kerajaan Majapahit ini", berkata kembali lelaki itu dengan
senyum penuh kelicikan. "Apa yang kamu inginkan dariku?", berkata Patih
Gajahmada. "Kita berdagang", berkata lelaki itu singkat
"Katakan saja kamu ingin memerasku", berkata Patih
Gajahmada yang sudah dapat membaca kemana arah
pembicaraan lelaki itu. "Terlalu risih bila dikatakan aku akan memerasmu,
terlalu kasar pula bila aku akan mengancammu, yang
pasti bila kusebarkan rahasia besar ini akan berdampak
kepada kerusuhan yang hebat, kepercayaan orang di
bumi Majapahit ini terhadap tahta Singgasana Ratu
Tribuwana akan tercemar, orang-orang menyangsikan
bahwa kekuasaan ratu Tribuwana didapat dengan cara
tidak syah, dengan cara makar, lewat sebuah
pembunuhan dimana kamu ada sebagai seorang algojo,
kaki tangan pelaksana pembunuhan Raja Jayanagara",
berkata lelaki itu masih dengan senyum kelicikannya.
Berdesir darah Patih Gajahmada menahan rasa
amarahnya mendengar perkataan lelaki itu.
"Katakan, siapa dirimu", berkata Patih Gajahmada
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan suara tertekan menahan rasa amarah yang amat
sangat. "Orang biasa memanggilku sebagai Ki Sadeng,
mungkin aku cukup lama tinggal di sebuah pulau di
selatan pantai Jawadwipa ini, dan aku adik kandung dari
Ki Agung Ngrayun", berkata lelaki itu memperkenalkan
dirinya. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?",
1320 bertanya Patih Gajahmada.
Lelaki itu tidak langsung menjawab, sedikit tersenyum
melihat Patih Gajahmada begitu cepatnya dapat
mengendalikan dirinya. "Anak muda yang sangat percaya diri", berkata Ki
Sadeng dalam hati melihat ketenangan anak muda di
hadapannya itu. "Aku tidak meminta terlalu banyak untuk sebuah
rahasia besar ini, permintaanku hanya sebuah jalur
perdagangan antara Lamajang dan Bandar pelabuhan
Banyuwangi. Jangan ganggu kelompokku memungut
sedikit upeti dari para pedagang yang menggunakan jalur
itu. Dan aku yakin kamu sangat dekat dengan para
penguasa di kerajaan ini", berkata Ki Sadeng dengan
tatapan mata penuh kemenangan.
Terlihat Patih Gajahmada menarik nafas panjang,
mencoba berpikir setenang-tenangnya, mencoba berpikir
sejernih-jernihnya. "Aku akan mengabulkan permintaanmu itu", berkata
Patih Gajahmada kepada Ki Sadeng setelah menemukan
sebuah jalan dari pikirannya yang jernih. "Sebelum kamu
pergi, jawablah satu pertanyaanku dengan penuh
kejujuran", berkata kembali Patih Gajahmada kepada Ki
Sadeng. "Aku akan menjawabnya sejujur-jujurnya", berkata Ki
Sadeng yang sudah merasa berada di atas angin.
"Apa yang kamu lakukan kepada tukang rakit di
penyeberangan sungai Kalimas", berkata Patih
Gajahmada dengan tatapan mata yang amat tajam
seperti menembus langsung ke dada Ki Sadeng yang
merasakan dirinya langsung seperti berdebar-debar.
1321 "Orang itu menolak permintaanku untuk menyeberangiku, terpaksa kulempar dirinya ke sungai",
berkata Ki Sadeng. "percayalah, aku tidak membunuhnya. Aku masih melihatnya dapat berenang
ke tepian", berkata kembali Ki Sadeng kepada Patih
Gajahmada. "Nyawa seorang tukang rakit begitu lebih berharga
daripada apapun, aku akan menarik kembali
pengabulanku bila ternyata kamu berkata tidak jujur
mengenai tukang rakit itu", berkata Patih Gajahmada
dengan tatapan mata yang sangat dingin menakutkan.
"Aku tahu bahwa kamu punya kemampuan yang
amat tinggi, tapi aku begitu yakin bahwa kamu bukan
orang yang mudah menurunkan tanganmu untuk
membunuh", berkata Ki Sadeng kepada Patih
Gajahmada penuh senyum kemenangan dan langsung
berbalik badan meninggalkan Patih Gajahmada yang
masih berdiri. Pandangan mata Patih Gajahmada terus tertuju ke
arah punggung Ki Sadeng yang tengah berjalan menuju
arah gerbang gapura puri pasanggrahan hingga akhirnya
menghilang di kegelapan malam.
Terlihat Patih Gajahmada berbalik badan ke arah
pendapa, dilihatnya Ki Bareb masih duduk bersila di
sana. "Ibunda tidak boleh tahu apa yang terjadi di malam
ini", berkata Patih Gajahmada dalam hati menarik nafas
lega bahwa Nyi Nariratih tidak ada di pendapa, masih
tertidur. Suasana pagi itu di puri pasanggrahan Tanah Ujung
Galuh terlihat begitu cerah, secerah wajah Nyi Nariratih
memandang putranya hadir menikmati sarapan bersama
1322 di pendapa puri pasanggrahan mereka.
"Kapan kamu kembali ke Kediri, wahai putraku?",
berkata Nyi Nariratih kepada Patih Gajahmada.
Patih Gajahmada tidak segera menjawab, pikirannya
terpaut kepada persoalan yang tengah dihadapinya,
persoalan masalah Ki Sadeng yang ingin segera
dituntaskannya. "Hari ini aku akan kembali ke Kediri, tentunya setelah
menghadap sebentar di kepatihan istana Majapahit",
berkata Patih Gajahmada kepada ibundanya.
"Tugas kerajaan lebih utama dari segalanya, meski
ibundamu masih menginginkan kamu lebih lama lagi di
Kotaraja Majapahit", berkata Nyi Nariratih mengumbar
senyumnya. "Beruntung aku tidak menjadi seorang pejabat
kerajaan, sepanjang hari aku dapat tinggal di rumah",
berkata Supo Mandagri yang ikut menemani mereka
penuh kegembiraan hati. "Jalan garis hidup setiap manusia berbeda, seperti
ketika kita berlayar di tengah lautan, terkadang
perjalanan kita harus tertahan oleh badai prahara",
berkata Nyi Nariratih memandang kedua anak muda itu
dengan kelembutan wajah seorang ibu yang penuh
kasih. Demikianlah, setelah selesai sarapan pagi Nyi
Nariratih dan Patih Gajahmada berangkat bersama
menuju ke Kotaraja Majapahit.
Manakala tiba di penyeberangan sungai Kalimas,
Patih Gajahmada masih melihat tukang rakit sahabatnya
itu. Patih Gajahmada bernafas lega, tukang rakit itu tidak
1323 bercerita apapun tentang kejadian yang menimpanya
semalam. Patih Gajahmada memang tidak ingin
ibundanya mengetahui sebuah persoalan dirinya dengan
Ki Sadeng. Ketika tiba di Kotaraja Majapahit, ibu dan anak itu
pun berpisah. Nyi Nariratih ke barak pasukan khususnya,
sementara Patih Gajahmada langsung ke kepatihan
menemui Mahapatih Arya Tadah.
"Senang melihatmu di kepatihan ini", berkata
Mahapatih Arya Tadah menyambut kedatangan Patih
Gajahmada. Setelah menyampaikan berita keselamatan masingmasing, Patih Gajahmada langsung bercerita tentang
masalah yang tengah di hadapinya.
"Sadeng adalah sebuah pulau kecil di selatan
Jawadwipa, sebuah tempat persembunyian para bajak
laut menikmati hasil curian mereka", berkata Mahapatih
Arya Tadah setelah mendengar semua cerita Patih
Gajahmada. "Apa yang dapat aku lakukan menghadapi
permintaan mereka, wahai pamanda?", bertanya Patih
Gajahmada. Mahapatih Arya Tadah tidak segera menjawab
pertanyaan Patih Gajahmada, terlihat menarik nafas
dalam-dalam seperti ingin mengumpulkan kejernihan
pikirannya. "Aku pernah di tugaskan oleh Baginda raja
Sanggrama Wijaya menjadi seorang perusuh di berbagai
tempat di daerah kekuasaan Raja Jayakatwang,
tujuannya agar semua orang berpikir bahwa Raja
Jayakatwang tidak dapat menjaga keamanan buminya",
1324 berkata Mahapatih Gajahmada. Arya Tadah kepada Patih Ternyata Patih Gajahmada seorang yang punya
kecerdasan yang sangat tinggi, mampu memaknai
perkataan Mahapatih Arya Tadah.
"Sebuah cara penyelesaian yang tepat, aku akan
melakukan sebuah kelompok tandingan di jalur Lamajang
dan Bandar pelabuhan Banyuwangi, membuat keresahan hingga terdengar di pusat kerajaan ini dan
memutuskan untuk mengamankan jalur itu", berkata patih
Gajahmada yang dapat membaca kemana arah pikiran
Mahapatih Arya Tadah. "Ternyata aku tengah berhadapan dengan anak
muda yang sangat cerdas, lakukanlah apa yang harus
kamu lakukan, aku akan merestuinya", berkata
Mahapatih Arya Tadah sambil tersenyum penuh
kebanggaan hati. "Dan kita tidak hanya menangkap
seorang Ki Sadeng, tapi juga kelompoknya para bajak
laut yang memang sudah lama kudengar meresahkan
para nelayan di sekitar pulau Sadeng", berkata kembali
Mahapatih Arya Tadah. "Terima kasih untuk restu pamanda", berkata Patih
Gajahmada sambil menundukkan tubuhnya sebagai rasa
penghormatannya. "Patih Gajahmada", berkata Mahapatih Arya Tadah
menyebut nama Gajahmada lengkap tidak seperti
biasanya. Dan Patih Gajahmada menatap pandangan mata
Mahapatih yang selalu penuh dengan senyum kasih
seorang ayah kepada putranya.
"Beberapa hari ini aku merasakan wadag di tubuhku
1325 ini sudah sangat rapuh, semakin hari banyak sekali yang
kurasakan, aku sering merasakan letih dan ngilu di
beberapa bagian tubuhku", berkata kembali Mahapatih
Arya Tadah. Terlihat Patih Gajahmada terdiam, mengetahui ada
sesuatu hal yang ingin disampaikan oleh orang tua yang
sangat bijaksana itu. "Tugas di kepatihan ini sungguh sangat berat,
dibutuhkan seorang yang kuat dan segar untuk dapat
berpikir jernih membuat berbagai kebijakan dan
keputusan. Sementara kurasakan usiaku ini sudah tidak
layak lagi menangani tugas-tugasku ini, aku bermaksud
mengundurkan diri dari istana ini", berkata Mahapatih
Arya Tadah. Tersentak Patih Gajahmada mendengar penuturan
Mahapatih Arya Tadah. "Paman bermaksud mengundurkan diri?", berkata
Patih Gajahmada dengan wajah dan kening berkerut.
"Kemenakanku, Mahapatih Arya kesungguhan hati. patih tadah Gajahmada", berkata dengan wajah penuh Melihat kesungguhan hati di wajah Mahapatih Arya
Tadah, terlihat Patih Gajahmada menarik nafas panjang
seperti menunggu apa yang akan disampaikan oleh
orang tua itu. "Kutahu bahwa Baginda Raja Sanggrama Wijaya
begitu sangat menyayangimu layaknya putranya sendiri.
Keris Nagasasra yang dititipkan kepadamu bermakna
bahwa beliau begitu percaya menitipkan kerajaan ini
kepadamu. Aku sendiri telah melihat kecerdasan dan
kemampuanmu. Sebagaimana baginda raja Sanggrama
1326 Wijaya, aku begitu yakin bahwa kamu memang terlahir
untuk berdiri diatas jung Singgasana kerajaan Majapahit
ini, sebagai seorang pengendali yang dapat membawanya jauh mencapai impian kami, mengarungi
samudra raya, membangun nusa damai di tiap dermaga
yang kamu singgahi. Itulah impian leluhur kita di bumi ini,
Raja perkasa Erlangga", berkata Mahapatih Arya Tadah
dengan suara penuh kesungguhan hati.
"Aku merasa belum punya pengalaman yang cukup
untuk menjadi seorang Mahapatih di istana Majapahit
ini", berkata Patih Gajahmada merasa ragu.
"Di awal aku juga merasakan hal yang sama
sebagaimana dirimu, ragu atas kemampuan diri sendiri.
Namun tekad yang kuat telah menghilangkan segala
keraguan itu", berkata Mahapatih Arya Tadah.
"Terima kasih atas segala kepercayaan pamanda
kepada diriku, namun ijinkan aku untuk menyelesaikan
masalahku dengan Ki Sadeng, agar tidak ada lagi
ganjalan di dalam hati ini", berkata Patih Gajahmada.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menuntaskan kelompok Sadeng akan mengangkat
pencitraanmu, laksanakanlah dengan sebaik-baiknya",
berkata Mahapatih Arya Tadah.
"Terima kasih untuk restu Pamanda, aku selalu
berdoa untuk kesehatan Pamanda", berkata Patih
Gajahmada sambil berpamit diri.
"Aku juga selalu berdoa untuk keselamatanmu, wahai
kemenakanku", berkata Mahapatih Arya Tadah melepas
kepergian Patih Gajahmada.
Demikianlah, Patih Gajahmada terlihat telah keluar
dari istana Majapahit menuju arah barak prajurit khusus,
nampaknya ingin menjumpai ibundanya untuk berpamit
1327 diri. "Aku akan selalu merindukanmu, wahai putraku",
berkata Nyi Nariratih kepada Patih Gajahmada yang
berpamit diri untuk kembali ke kotaraja Kediri.
Dan siang itu terlihat tiga orang penunggang kuda
meninggalkan Kotaraja Majapahit, mereka adalah Patih
Gajahmada bersama dua orang prajurit pengawalnya.
"Maaf, aku telah menahan kalian cukup lama di
Kotaraja Majapahit", berkata Patih Gajahmada kepada
kedua prajurit pengawalnya.
"Kami prajurit, siap melayani tuan", berkata salah
seorang prajurit pengawal kepada patih Gajahmada.
Tidak ada kendala apapun dalam perjalanan Patih
Gajahmada, seperti dalam keberangkatannya mereka
singgah di barak prajurit khusus yang ada di
Kademangan Simpang untuk bermalam disana. Hingga
ketika pagi harinya mereka melanjutkan perjalanan
kembali. "Terima kasih untuk semua pelayanan kalian",
berkata Patih Gajahmada kepada Lurah Prajurit di barak
pasukan khusus Kademangan Simpang.
"Sebuah kehormatan untuk kami melayani tuan",
berkata Lurah Prajurit itu melepas keberangkatan Patih
Gajahmada dan dua orang prajurit pengawalnya.
Semilir angin pagi yang masih segar mengiringi
keberangkatan Patih Gajahmada dan dua orang
pengawalnya yang terlihat telah keluar dari regol gapura
Kademangan Simpang. Terlihat juga beberapa pedati para pedagang telah
merayap di jalan yang masih sepi itu searah jalan dengan
mereka bertiga. 1328 "Sampai bertemu kembali di Kotaraja Kediri", berkata
salah seorang pedagang melambaikan tangannya
kepada Patih Gajahmada dan kedua orang prajurit
pengawalnya. "Maaf, kami mendahului kalian", berkata Patih
Gajahmada membalas lambaian tangan mereka.
"Para prajurit di Kademangan Simpang ini
nampaknya telah menanamkan kecintaan yang tulus di
hati para pedagang dan warga disini", berkata Patih
Gajahmada kepada kedua orang prajuritnya.
Demikianlah, tidak ada kendala apapun dalam
perjalanan mereka. Hingga manakala matahari terlihat
bergeser jauh dari puncaknya mereka telah mendekati
batas kotaraja Kediri. Tiba di istana Daha, Patih Majapahit hanya sebentar
beristirahat di pasanggrahannya.
"Bila ada yang bertanya tentang diriku, katakan
bahwa aku ada di rumah Ki Rangga Gajah Biru", berkata
Patih Gajahmada kepada seorang pelayan di
pasanggrahannya. Sebagaimana yang dikatakan kepada pelayannya,
Patih Gajahmada memang terlihat telah keluar dari
Istana seorang diri menuju arah rumah Ki Rangga Gajah
Biru. "Selamat datang wahai sahabat mudaku", berkata Ki
Rangga Gajah Biru menyambut kedatangan Patih
Gajahmada. Setelah duduk bersama di pendapa Ki Rangga Gajah
Biru, mereka saling bercerita tentang beberapa hal
selama perpisahan mereka.
"Jadi Kuda Jenar telah mengakui di hadapan Tuan
1329 Patih bahwa dirinya dalang dari pembunuhan raja
Jayanagara?", berkata Ki Rangga Biru setelah
mendengar cerita Patih Gajahmada.
"Cerita Nyi Ra Tanca tentang suaminya ternyata
benar, Ra Tanca tidak bersalah", berkata Patih
Gajahmada. Pembicaraan Patih Gajahmada dan Ki Rangga Gajah
Biru terhenti manakala pintu pringgitan terbuka lebar.
Terlihat seorang wanita muda muncul dari pintu
pringgitan itu sambil membawa minuman hangat.
"Silahkan dinikmati tuanku", berkata wanita muda itu
sambil mengangguk penuh hormat kepada Patih
Gajahmada. "Terima kasih", berkata Patih Gajahmada kepada
wanita muda itu yang ternyata adalah Nyi Ra Tanca.
"Nyi Rangga tengah menyiapkan makanan di
belakang", berkata Nyi Ra Tanca berpamit diri untuk
kembali ke dalam. Manakala Nyi Ra Tanca sudah berlalu menghilang di
pintu pringgitan, Patih Gajahmada dan Ki Rangga
melanjutkan percakapan mereka.
"Tuan patih telah berlaku sangat bijaksana, demi
kemapanan dan ketentraman di bumi Majapahit, rahasia
besar ini memang harus tertutup rapat-rapat", berkata Ki
rangga Gajah Biru. "Sayang, ada seseorang yang mencuri dengar
pembicaraanku dengan Kuda Jenar dan bermaksud
memperalatnya", berkata Patih Gajahmada bercerita
tentang seseorang bernama Ki Sadeng kepada Ki
Rangga Gajah Biru. 1330 "Apa yang di minta orang itu kepada tuan Patih",
bertanya Ki Rangga Gajah Biru.
"Orang itu meminta jalur antara Lamajang dan
Bandar pelabuhan Banyuwangi untuk kepentingan dan
keuntungan kelompoknya", berkata Patih Gajahmada.
"Ijinkan diriku membawa sebuah pasukan untuk
menghancurkan orang itu dan kelompoknya", berkata Ki
Rangga Gajah Biru penuh amarah.
"Jalur antara Lamajang dan Bandar pelabuhan
Banyuwangi bukan wilayah kerja kita, namun aku telah
punya sebuah cara untuk menghancurkan mereka",
berkata Patih Gajahmada yang langsung bercerita apa
yang harus mereka lakukan sesuai dengan saran
Mahapatih Arya Tadah. "Aku juga pernah mendengar tentang sekelompok
bajak laut yang bersembunyi di pulau Sadeng,
nampaknya harta curian mereka sudah habis dan
bermaksud melakukan kejahatan mereka di darat",
berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku perlu seorang telik sandi yang dapat mengamati
gerak gerik serta kebiasaan mereka", berkata Patih
Gajahmada kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Besok aku akan menugaskan seorang petugas telik
sandi ke wilayah mereka", berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Terima kasih, aku akan menunggu hasil kerja
petugasmu itu", berkata Patih Gajahmada.
Tidak terasa hari terlihat mulai merayap di ujung
senja, halaman muka kediaman Ki Rangga Gajah Biru
sudah mulai redup tanpa cahaya sinar matahari. Dan
percakapan mereka berdua terhenti manakala pintu
pringgitan kembali terbuka.
1331 Ternyata Nyi Rangga dan Utami terlihat muncul dari
pintu pringgitan sambil membawa baki makanan untuk
mereka. "Semoga masakan orang Daha ini berkenan di lidah
tuanku", berkata Nyi Rangga Gajah Biru kepada Patih
Gajahmada. "Terima kasih Nyi Rangga, aku datang kemari justru
merindukan masakan orang Daha di rumah ini", berkata
Patih Gajahmada. Demikianlah, Patih Gajahmada menikmati kehangatan suasana di rumah keluarga Ki Rangga Gajah
Biru hingga jauh malam. Di tengah pembicaraan yang tidak membosankan itu,
Nyi Rangga Gajah Biru memulai sebuah pembicaraan
baru, sebuah pembicaraan mengenai Utami yang telah
mengandung muda. "Keluarga ini akan menjadi semakin ramai bila Utami
akan melahirkan anaknya", berkata Nyi Rangga Gajah
Biru. "Semasa hidupnya, suamiku begitu sangat mengagumi tuanku. Atas nama suamiku, kami akan
sangat bahagia bila kelak bayiku lahir tuanku berkenan
memberi nama untuknya", berkata Nyi Ra Tanca kepada
Patih Gajahmada. Terlihat Patih Gajahmada tersenyum gembira
menatap wajah tulus Nyi Ra Tanca. Rasa bersalahnya
yang telah salah tangan membunuh suaminya seketika
telah hilang sirna berganti sebuah kepeduliannya atas
derita yang dialami oleh wanita itu.
"Aku merasa terhormat di berikan kepercayaan ini,
bila bayimu perempuan kuberi nama sebagai Naladhipa,
1332 sementara bila bayimu laki-laki, kuberi nama sebagai
Nala. Ijinkan diriku menjadi ayah angkatnya, ijinkan diriku
untuk membimbingnya sebagaimana putraku sendiri",
berkata Patih Gajahmada penuh kesungguhan hati.
"Semoga Gusti yang Maha Agung memberkati
tuanku", berkata Nyi Ra Tanca penuh keharuan.
"Semoga Gusti Yang maha Agung memberkati tuan
Patih", berkata Ki Rangga Gajah Biru dan istrinya
bersamaan ikut merasa gembira mendengar perkataan
Patih Gajahmada yang mereka hormati itu.
Demikianlah, dalam suasana yang hangat penuh
kegembiraan itu tidak terasa hari telah merambat
semakin malam. "Pintu rumahku selalu terbuka untukmu, wahai
sahabat mudaku", berkata Ki Rangga Gajah Biru
melepas Patih Gajahmada kembali ke istana Daha.
"Aku akan sering singgah", berkata Gajahmada
melambaikan tangannya di ujung anak tangga pendapa.
Dan sang mentari datang terbit dan terbenam silih
berganti menyapa sang kala menunggu rembulan
bersinar sempurna di malam purnama.
Sementara pohon asam yang kering mulai tumbuh
tunas-tunas daun mudanya, burung-burung kecil telah
tumbuh dewasa mulai mencari pasangan dan tempat
sarang untuk menetaskan telur-telur mereka.
Dan di ujung senja itu, Patih Gajahmada terlihat
duduk di serambi pasanggrahannya setelah seharian
berada di kepatihan. "Ada seorang tamu yang ingin bertemu tuanku",
berkata seorang pelayan lelaki kepada Patih Gajahmada.
1333 "Apakah kamu mengenalnya?",
Gajahmada kepada pelayan itu.
bertanya Patih "Ki Rangga Gajah Biru", berkata pelayan itu kepada
Patih Gajahmada menyebut sebuah nama.
Mendengar yang datang bertamu itu adalah Ki
Rangga Gajah Biru, segera patih Gajahmada meminta
pelayannya itu untuk menjemput tamunya.
Tidak lama kemudian pelayan itu telah datang
kembali bersama seorang lelaki tua yang tidak lain
adalah Ki Rangga Gajah Biru.
"Senang sekali mendapat kunjungan dirimu, wahai Ki
Rangga Gajah Biru", berkata Patih Gajahmada kepada Ki
Gajah Biru di serambi pasanggrahannya.
"Sekali-kali orang tua mendatangi orang muda",
berkata Ki Rangga Gajah Biru penuh senyum cerah.
"Lama aku tidak singgah ke rumahmu, bagaimana
kabar keadaan keluargamu?", berkata Patih Gajahmada.
"Istriku sering menanyakan tentang dirimu, sementara Utami umur kehamilannya sudah semakin
tua", berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Bagaimana dengan petugas telik sandi yang kita
tugaskan mengamati Ki Sadeng dan kelompoknya?",
bertanya Patih Gajahmada.
"Untuk itulah aku datang menemuimu", berkata Ki
Rangga Gajah Biru berbisik perlahan.
Langsung Ki Rangga Gajah Biru bercerita bahwa
petugas telik sandi itu telah kembali dan telah
menyampaikan kepadanya semua hasil pengamatannya.
"Jalur antara Lamajang dan Blambangan adalah
sebuah jalur perdagangan yang cukup ramai saat ini,
1334 sayangnya jalur itu sepertinya sebuah jalur tak bertuan.
Ki Sadeng dan kelompoknya telah menjadi penguasa
baru yang memungut upeti dari para pedagang yang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melewati jalur itu", berkata Ki Rangga Gajah Biru
menuturkan hasil pengamatan petugas telik sandinya.
"Berapa kira-kira jumlah kelompok mereka itu?",
bertanya Patih Gajahmada.
"Ada sekitar enam ratus orang terdiri dari para bajak
laut dari berbagai tempat. Kekuatan mereka dapat
bertambah dengan menggunakan para penduduk yang
tinggal di sekitar jalur itu", berkata Ki Rangga Gajah Biru
kepada Patih Gajahmada. "Hingga saat ini mereka memang tidak meresahkan
warga setempat, mereka hanya meminta sedikit upeti
dari para pedagang dengan alasan menjaga keamanan
mereka", berkata Patih Gajahmada.
"Pada suatu saat, mereka dapat menggalang sebuah
kekuatan yang besar", berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Itulah yang sangat di khawatirkan oleh Mahapatih
Arya Tadah", berkata Patih Gajahmada.
"Apa rencana tuan Patih Gajahmada menghadapi
mereka?", bertanya Ki Rangga Gajah Biru.
"Menghancurkan mereka selagi belum memiliki
kekuatan yang besar", berkata Patih Gajahmada.
"Aku siap menugaskan para prajurit Kediri", berkata
Ki Rangga Gajah Biru. "Jalur Lamajang dan Blambangan itu bukan wilayah
kerja kita, aku khawatir Rajadewi Maharajasa dan
suaminya Raden Kudamerta tidak mengijinkannya,
disamping aku juga tidak ingin rahasia besar kematian
Raja Jayanagara diketahui oleh mereka", berkata Patih
1335 Gajahmada. Terlihat keduanya terdiam, nampaknya keduanya
tengah berpikir untuk mencoba mencari jalan.
"Aku akan mencoba mendekati Adipati Menak Koncar
di Lamajang, mudah-mudahan dirinya dapat membantu
kita", berkata Patih Gajahmada.
"Tuan Patih benar, banyak para pedagang berasal
dari Lamajang, mudah-mudahan Adipati Menak Koncar
dapat membantu kita", berkata Ki Rangga Gajah Biru
menambahkan. "Adipati Menak Koncar masih punya pengaruh yang
cukup besar dalam persekutuan perguruan Teratai Putih
di Jawadwipa dan Balidwipa yang pernah di pimpin oleh
Empu Nambi, aku berharap mendapat dukungan
darinya", berkata Patih Gajahmada.
"Kapan tuan Patih Gajahmada akan berangkat ke
Lamajang?", bertanya Ki Rangga Gajah Biru.
"Bila Rajadewi mengijinkan, besok aku akan segera
berangkat ke Lamajang", berkata Patih Gajahmada.
Sementara itu hari telah mulai larut malam, Ki
Rangga Gajah Biru pamit untuk kembali ke rumahnya.
"Aku selalu berdoa untuk keselamatan dirimu dan
keluargamu", berkata Patih Gajahmada melepas
kepergian Ki Rangga Gajah Biru.
Manakala Ki Gajah Biru telah lama pergi, Patih
Gajahmada masih tetap berada di serambi pasanggrahannya. "Aku belum mengenal siapa gerangan Ki Sadeng itu",
berkata Patih Gajahmada dalam mengingat kembali saatsaat berada di hutan Sastrawulan.
1336 JILID 16 "Ki Sadeng dapat mengikutiku hingga di Pasanggrahan Tanah Ujung Galuh, pasti bukan orang
sembarangan", berkata kembali Patih Gajahmada dalam
hati. "Hidup dan mati tidak bisa diundur dan dimajukan.
Begitu juga kalah dan menang dalam sebuah
pertempuran telah ditentukan oleh Gusti Yang Maha
Agung pemilik alam jagad raya ini", berkata kembali Patih
Gajahmada dalam hati memasrahkan segalanya kepada
Gusti Yang Maha Agung. "Sesuatu yang tidak mungkin dapat terjadi dengan
kehendaknya", berkata kembali Patih Gajahmada dalam
hati. Dalam kepasrahan itulah Patih Gajahmada masuk ke
peraduannya untuk beristirahat.
Sementara itu rembulan di langit malam diatas istana
Kediri terlihat pucat tanpa awan tanpa angin. Dan malam
yang sepi itupun akhirnya berlalu tanpa kisah hingga di
ujung pagi. Dan pagi itu Patih Gajahmada telah datang
menghadap Rajadewi Maharajasah, seorang gadis yang
Senopati Pamungkas 3 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Elang Terbang Di Dataran Luas 7
lagi. "Mahapatih Arya Tadah bersedia menerima tuan",
berkata bekel Glagah Merah dengan wajah berseri-seri
kepada Patih Gajahmada. "Terima kasih, kembalilah ke tempat tugasmu",
berkata Patih Gajahmada kepada bekel Glagah Merah
manakala dilihatnya pintu pringgitan terbuka lebar-lebar.
"Senang melayani tuanku", berkata bekel muda itu
dengan sikap penuh hormat berpamit diri.
Terlihat Patih Gajahmada menaiki tangga pendapa
sambil memandang kearah lelaki perkasa yang berdiri di
pintu pringgitan dengan senyum hangatnya.
"Selamat datang, wahai putra angkat saudaraku",
berkata Mahapatih Arya tadah menyambut Patih
Gajahmada. "Selamat berjumpa kembali, wahai paman Mahapatih", berkata Patih Gajahmada kepada lelaki
gagah perkasa itu. Dengan penuh keramahan dan kegembiraan hati,
Patih Gajahmada di terima di ruang pringgitan.
Terlihat keduanya menyampaikan tentang kabar
keselamatan masing-masing, keadaan kabar tempat
tinggal dan tugas masing-masing, belum menyentuh
1261 langsung kepada pembicaraan utama, pembicaraan
mengapa harus memanggil Patih Gajahmada ke istana.
Hingga akhirnya, setelah berputar-putar membicarakan beberapa hal, Mahapatih Arya Tadah
telah membuka sebuah pembicaraan utamanya, tentunya
dengan wajah penuh keseriusan tercermin di garis-garis
raut wajahnya yang nampak sudah semakin tua itu.
"Pasti kamu sudah tidak sabaran lagi, bertanya-tanya
tentang hal penting itu yang memaksa aku harus
memanggilmu di istana ini", berkata Mahapatih Arya
Tadah kepada Patih Gajahmada.
"Sepertinya paman Mahapatih juga menjadi tidak
sabaran untuk menyampaikannya", berkata Patih
Gajahmada. Maka dengan singkat Mahapatih Arya Tadah
menceritakan tentang Raja Jayanagara yang tengah
menderita penyakit aneh. "Penyakit anehnya itu sangat mirip dengan yang
pernah diderita oleh istri Ra Tanca", berkata Mahapatih
Arya Tadah bercerita tentang penyakit yang diderita oleh
Raja Jayanagara saat itu.
"Bukankah Ra Tanca telah dapat menyembuhkan
penyakit istrinya itu?", berkata Patih Gajahmada yang
memang telah mendengar kabar burung itu yang sudah
menyebar hingga ke Daha. "Aku telah meminta Ra Tanca untuk menyembuhkan
penyakit Raja Jayanagara, namun masalahnya adalah
bahwa Raja Jayanagara telah melarang siapapun untuk
tidak masuk ke kamarnya", berkata Mahapatih Arya
Tadah kepada Patih Gajahmada.
"Biar aku mencoba menebaknya sendiri, bukankah
1262 paman Mahapatih bermaksud agar akulah yang akan
masuk ke kamar Raja Jayanagara?", berkata Patih
Gajahmada tersenyum mencoba menebak perkataan
Mahapatih Arya Tadah selanjutnya.
"Kamu benar, pamanmu ini memang ingin meminta
bantuanmu itu. Menurutku Raja Jayanagara tidak akan
marah bila ada orang yang melanggar aturannya, orang
itu adalah dirimu, wahai putra angkat Patih Mahesa
Amping", berkata Mahapatih Arya Tadah kepada patih
Gajahmada. "Demi kesembuhannya, aku bersiap menerima murka
seorang raja", berkata Patih Gajahmada dengan wajah
penuh senyum sebagai pertanda kesanggupan dirinya
mendapat tugas dari Mahapatih Arya Tadah itu.
"Ternyata pamanmu ini tidak salah memilih, hanya
kamulah seorang yang paling dekat dengannya, kamulah
seorang yang paling mengenal dirinya. Bila diibaratkan,
kamu dan Raja Jayanagara seperti dua jari ini", berkata
Mahapatih Arya Tadah sambil mengangkat tangannya
memperlihatkan jari tengah dan jari telunjuknya kepada
Patih Gajahmada. "Semoga saja aku dapat memenuhi harapan paman
Mahapatih", berkata Patih Gajahmada.
Sementara itu Ra Tanca di rumahnya menjadi begitu
gelisah, hingga jauh malam Kuda Jenar yang telah
berjanji untuk membawa ramuan obat belum juga datang.
"Apakah Kuda Jenar sengaja ingin mencoreng nama
baikku di hadapan Mahapatih Arya Tadah?", berkata Ra
Tanca dalam hati penuh kegelisahan.
"Atau Kuda Jenar merasa iri dengan nama besarku
sebagai seorang tabib", berkata kembali Ra Tanca
1263 dalam hati merasa kesal menunggu dan berpikir yang
bukan-bukan atas diri Kuda Jenar."Bukankah dia sendiri
yang meminta agar aku merahasiakan namanya?".
berkata kembali Ra Tanca dalam hati.
Namun pikiran yang lain telah mengingatkan diri Ra
Tanca bahwa Kuda Jenar telah berjasa amat besar
terhadap dirinya. "Tidak kupungkiri, Kuda Jenar telah
berjasa amat besar, menyembuhkan penyakit istriku",
berkata Ra Tanca dalam hati.
"Apakah aku harus mendatangi rumahnya?", berpikir
Ra Tanca dalam hati sambil matanya terus memandang
jauh berharap Kuda Jenar muncul di pintu pagar
rumahnya. Baru saja ada keinginan untuk mendatangi Kuda
Jenar di rumahnya, tiba-tiba saja Kuda Jenar muncul
berjalan di halaman rumahnya.
Hari telah larut malam pada saat itu, pucat pasi wajah
Ra Tanca melihat Kuda Jenar jalan lenggang tidak
membawa apapun. "Maafkan aku, masih ada satu bahan lagi yang belum
aku dapatkan. Jadi aku berjanji besok pagi-pagi sekali
aku sudah datang menemuimu dengan membawa
ramuan obat", berkata Kuda Jenar kepada Ra Tanca.
Mendengar alasan yang disampaikan oleh Kuda
Jenar, telah mengurangi rasa kesal di hati Ra Tanca,
setidaknya masih ada waktu besok pagi, seperti itulah
yang dipikirkan oleh Ra Tanca.
"Besok pagi, jangan membuat aku lama menunggu",
berkata Ra Tanca kepada Kuda Jenar.
Maka tidak lama berselang Kuda Jenar pamit diri
untuk kembali ke rumahnya.
1264 "Aku sudah berburuk sangka kepada Kuda Jenar",
berkata Ra Tanca dalam hati manakala dilihatnya anak
muda itu keluar dari pintu pagar halaman rumahnya.
Dan malam itu Ra Tanca sudah tidak merasa
khawatir lagi, sudah bisa tidur nyenyak.
Benarkah ramuan obat itu belum selesai dibuat oleh
Kuda Jenar" Anak muda itu terlalu cerdas, tidak ingin ramuan
obatnya bermalam di rumah Ra Tanca dan memberi
kesempatan Ra Tanca mengetahui apa yang terkandung
di dalamnya. Dan malam itu langit diatas kotaraja Majapahit
dipenuhi awan hitam, tanpa bulan, tanpa bintang. Sayup
terdengar suara anjing liar melengking panjang hingga
separuh malam. Tercatat masa Tilem Kartika tahun saka seribu dua
ratus lima puluh, candranya intan jatuh dari wadahnya.
Mahapatih Arya tadah dan Patih Gajahmada di pagi
itu sudah berada di pendapa agung puri pasanggrahan
Raja Jayanagara. "Apakah paman Mahapatih yakin Ra Tanca dapat
menyembuhkan Baginda Raja?", bertanya Patih
Gajahmada kepada Mahapatih Arya Tadah.
"Nyi Sarijah begitu yakin bahwa penyakit Baginda
Raja tidak berbeda dengan yang pernah di derita oleh
Nyi Ra Tanca beberapa waktu yang lalu", berkata
Mahapatih Arya Tadah kepada Patih Gajahmada.
"Apakah Mahapatih Arya Tadah merasa begitu
yakin?", bertanya kembali Patih Gajahmada.
Mendengar dua kali pertanyaan yang sama dari Patih
1265 Gajahmada telah membuat diri Mahapatih Arya Tadah
mengerutkan keningnya. "Apa yang kamu rasakan, wahai putra angkat Patih
Mahesa Amping?". balik bertanya Mahapatih Arya Tadah
kepada Patih Gajahmada. "Entahlah, sejak semalam aku merasakan ada
sesuatu yang akan terjadi", berkata Patih Gajahmada.
Sebagai seorang yang juga punya panggraita yang
sangat peka, ternyata Mahapatih Arya Tadah juga
merasakan hal yang sama sebagaimana yang dirasakan
oleh Patih Gajahmada. Namun baru saja ingin
menyampaikannya, tiba-tiba saja ra Tanca terlihat tengah
berjalan menuju pendapa agung.
"Ra Tanca sudah datang", berkata Mahapatih Arya
Tadah kepada Patih Gajahmada seperti dilupakan untuk
membahas masalah panggraita mereka.
"Ampunkan hamba telah membuat tuan-tuan
menunggu", berkata Ra Tanca kepada Mahapatih Arya
Tadah dan Patih Gajahmada.
"Kamu tidak datang terlambat, hanya kami berdua
yang datang terlalu pagi", berkata Mahapatih Arya Tadah
penuh senyum ramah kepada Ra Tanca yang baru hadir
itu. Demikianlah, karena tidak ada yang ditunggu lagi
mereka sepakat untuk segera memasuki kamar Baginda
Raja. "Patih Gajahmada yang akan mengantar Ra Tanca
kedalam, jadi bibi tidak perlu khawatir Baginda Raja akan
menjadi murka", berkata Mahapatih Arya Tadah kepada
Nyi Sarijah yang tengah duduk bersimpuh di muka pintu
kamar Baginda Raja. 1266 Maka terlihat Patih Gajahmada membuka sendiri
pintu kamar Baginda Raja Jayanagara dan langsung
masuk kedalam diikuti oleh Ra Tanca di belakangnya.
Begitu haru perasaan Patih Gajahmada manakala
melihat Baginda Raja Jayanagara yang tengah berbaring
dengan wajah dan seluruh tubuhnya dipenuhi bisul yang
bernanah. "Ampunilah hamba, semoga paduka tidak murka
melihat kelancangan hamba yang datang dan masuk ke
peraduan paduka", berkata Patih Gajahmada yang
langsung bersimpuh di bawah peraduan Baginda Raja
Jayanagara yang juga diikuti oleh Ra Tanca.
"Bangun dan berdirilah, wahai saudaraku. Mengapa
aku harus murka melihat kedatangan saudaraku?",
berkata Raja Jayanagara kepada Patih Gajahmada
dengan penuh senyum kegembiraan.
"Bagaimana keadaanmu, wahai saudaraku?", berkata
Patih Gajahmada sambil mendekati Raja Jayanagara
penuh keharuan hati. "Seperti yang kamu lihat", berkata Raja Jayanagara
tersenyum. Ra Tanca yang masih duduk bersimpuh terlihat
menarik nafas lega, ternyata Baginda raja Jayanagara
menyambut kedatangan mereka berdua dengan penuh
keramahan. Dan diam-diam mengagumi keakraban Patih
Gajahmada dan Baginda Raja Jayanagara yang baru
diketahuinya ternyata keduanya telah mengangkat diri
masing-masing sebagai saudara.
"Hamba datang bersama Ra Tanca, semoga obat
yang dibawa olehnya dapat menyembuhkan paduka",
berkata Patih Gajahmada kepada Baginda Raja
1267 Jayanagara. "Terima kasih", berkata Baginda raja Jayanagara
masih dengan senyum pasrah membuat perasaan Patih
Gajahmada semakin terharu.
"Ra Tanca, baginda Raja telah berkenan menerima
obat darimu", berkata Patih Gajahmada kepada ra
Tanca. Terlihat Ra Tanca bangkit berdiri sambil membawa
salah satu mangkuk yang telah disiapkan.
Sebagai seorang yang banyak mengenal berbagai
macam jenis tanaman obat, Patih Gajahmada dapat
mencium sebuah daun muda yang dilembutkan ada
dalam ramuan mangkuk itu.
"Daun muda dari pohon Rengas?", berkata Patih
Gajahmada dalam hati dengan penciumannya yang amat
peka telah dapat mengenali jenis tanaman dari daun
muda di dalam mangkuk yang di bawa oleh Ra Tanca.
"Raja Jayanagara terkena getah kayu rengas?", berkata
kembali Patih Gajahmada dalam hati mencoba
mengingat-ingat kembali pengetahuannya mengenai
pemahamannya tentang beberapa racun yang cukup
berbahaya yang didapat langsung dari ayah angkatnya
sendiri, Patih Mahesa Amping yang mumpuni mengenal
berbagai jenis pengobatan, bahkan pernah dijuluki
sebagai Dewa obat itu. Patih Gajahmada melihat Ra Tanca membaluri
seluruh tubuh Raja Jayanagara dengan daun muda yang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilembutkan itu. "Bagaimana bertanya Patih Jayanagara. keadaanmu, wahai saudaraku?", Gajahmada kepada Baginda Raja
1268 "Rasa gatal yang menyiksaku terasa mulai
berkurang", berkata Raja Jayanagara sambil tersenyum
gembira. Terlihat Patih Gajahmada menarik nafas panjang,
pikirannya menerawang jauh mencoba menjari sebab
akibat penyakit yang diderita oleh Baginda Raja
Jayanagara. "Pohon Rengas biasanya tumbuh di tepi
sungai, di tebing-tebing. Siapa gerangan yang membawa
getah kayu rengas ke tubuh Raja Jayanagara?", berkata
Patih Gajahmada dalam hati.
Melihat kegembiraan hati Baginda Raja Jayanagara
yang merasa berkurang rasa gatalnya telah menghalau
pikiran Patih Gajahmada yang tengah menduga-duga
siapa gerangan orang yang telah meracuni raja
Jayanagara dengan getah racun pohon Rengas itu.
Melihat kegembiraan hati baginda Raja Jayanagara,
telah mengacuhkan diri Patih Gajahmada terhadap
sebuah peringatan yang ada di dalam dirinya lewat
panggraitanya yang sudah amat peka itu. Patih
Gajahmada tidak bercuriga apapun manakala melihat Ra
Tanca memberikan sebuah mangkuk yang lain untuk di
minum oleh Baginda raja Jayanagara.
Patih Gajahmada hanya menduga sebagai seorang
yang banyak mengenal berbagai tanaman obat dan
berbagai jenis racun itu bahwa Ra Tanca pasti telah
meramu daun muda pohon rengas di dalam mangkuk air
itu. Namun tiba-tiba saja wajah Patih Gajahmada seperti
menegang. Tiba-tiba saja anak muda yang berilmu amat tinggi itu
bergerak meremas bahu kanan Ra Tanca yang baru saja
memberikan minuman ramuan obat ke diri Raja
1269 Jayanagara. Dengan sedikit hentakan saja tubuh Ra Tanca
terlempar dan terbanting di lantai.
Terlihat Patih Gajahmada memeriksa denyut nadi
Baginda Raja Jayanagara. Terbelalak mata Ra Tanca yang masih terbaring di
lantai menatap wajah Patih Gajahmada yang bergitu
menyeramkan menatap ke arahnya.
Ra Tanca masih terpaku di tempatnya manakala
tangan Patih Gajahmada merampas mangkuk dari
tangannya. Ra Tanca masih terpaku di tempatnya manakala
melihat patih Gajahmada mencium mangkuk di
tangannya. "Apa yang engkau berikan kepada saudaraku ini?",
berkata patih Gajahmada dengan sorot mata yang tajam
begitu kuat mengguncang perasaan Ra Tanca.
Terlihat mulut Ra Tanca seperti terkunci, karena dia
sendiri memang tidak tahu ramuan apa yang diberikan
oleh Kuda Jenar kepadanya, setahunya ramuan itu telah
dapat menyembuhkan istrinya sendiri.
"Kkamu telah meracuni saudaraku dengan racun ular
merah", berkata Patih Gajahmada penuh kemarahan
yang amat sangat terpancar di wajahnya.
Mendengar perkataan Patih Gajahmada, terlihat Ra
Tanca berusaha bangkit berdiri.
Namun belum sempat Ra Tanca berdiri sempurna,
tangan Patih Gajahmada yang telah menjadi sangat
murka itu telah bergerak menyambarnya.
Patih Gajahmada benar-benar tengah murka, tidak
1270 dapat mengendalikan lagi kekuatan tenaga sakti
sejatinya yang dapat meruntuhkan gunung, yang dapat
menghancurkan batu cadas yang sangat amat keras
sekalipun. Dan kali ini tangan Patih Gajahmada yang telah
dilambari tenaga sakti tingkat tinggi itu telah menghantam
batok kepala Ra Tanca. Prakkk..!!! Kepala Ra Tanca hancur remuk berdebu.
Darah berceceran memenuhi lantai kamar Baginda
Raja Jayanagara dari tubuh Ra Tanca.
Sedikit keributan di dalam kamar Baginda Raja
Jayanagara telah memaksa Mahapatih Arya Tadah
langsung menerobos pintu kamar.
"Apa yang telah terjadi?", bertanya Mahapatih Arya
Tadah dengan wajah termangu melihat suasana di dalam
kamar Baginda Raja Jayanagara.
Mendengar pertanyaan Mahapatih Arya Tadah yang
telah berada di dalam kamar Baginda raja Jayanagara
telah mengembalikan kesadaran Patih Gajahmada.
Terlihat anak muda itu menarik nafas dalam-dalam,
dan bercerita perlahan tentang apa yang terjadi.
"Ra Tanca telah meracuni Baginda Raja?", berkata
Mahapatih Arya Tadah setelah mendengar akhir
penuturan Patih Gajahmada kepadanya.
"Sisa air di mangkuk itu menjadi alat bukti yang kuat",
berkata Patih Gajahmada sambil menunjuk kearah
sebuah mangkuk minuman yang masih tergeletak di
lantai. "Racun ular merah !!", berkata Mahapatih Arya Tadah
1271 setelah mencium air di mangkuk yang masih tersisa itu.
Tanpa menunggu jawaban dari Patih Gajahmada,
terlihat Mahapatih Arya Tadah langsung memeriksa
keadaan Raja Jayanagara yang terbaring di peraduannya. Terlihat Mahapatih Arya Tadah
panjang. menarik nafas "Kematian satu Ra Tanca, dua Ra Tanca atau
sepuluh Ra Tanca, tidak akan mengembalikan jiwa Raja
Jayanagara", berkata Mahapatih Arya Tadah dengan
sangat bijak mencoba menyadarkan diri Patih
Gajahmada. "Paman benar, semua sudah ada dalam garis
rencana Gusti Yang Maha Agung, pemilik kehidupan ini",
berkata Patih Gajahmada yang telah dapat kembali
mengendalikan perasaan hatinya itu.
Gemparlah seluruh warga kotaraja Majapahit
manakala mendengar berita duka tentang kematian Raja
mereka. Hampir semua orang mengecam Ra Tanca
sebagai seorang pembunuh keji. Dan pembicaraan
tentang kematian Raja Jayanagara selalu diiringi dengan
caci dan maki kepada seorang Ra Tanca. Hingga
akhirnya kemalangan menimpa pula kepada diri Nyi Ra
Tanca manakala sebuah rahasia tentang hubungan
dirinya dengan Ra Kuti yang masih sepupuan itu
terbongkar. Wanita malang yang telah kehilangan
suaminya itu harus mendapat hukuman yang tidak
pernah diperbuatnya, terusir dari tempat tinggalnya
menghindari amukan warga Kotaraja Majapahit yang
penuh rasa kebencian yang amat sangat kepadanya
sebagai seorang yang harus bertanggung jawab atas
kematian Raja Jayanagara.
1272 Sementara itu sang penabur badai, Kuda Jenar
masih aman bersembunyi meninggalkan jejaknya di balik
kemalangan keluarga Ra Tanca.
Berita tentang kematian Raja Jayanagara yang
sangat tragis itu telah menyebar ke seluruh pelosok
nagari, ke seluruh pantai-pantai Bandar pelabuhan
dimana para pedagang singgah.
Bumi Majapahit berkabung.
Semua orang menunggu dan menanti, siapa
gerangan yang akan naik tahta menggantikan Raja
Jayanagara yang tidak punya keturunan penyambung
tahta. Sepekan setelah hari berkabung, seluruh keluarga
istana dan para priyayi agung berkumpul di pendapa
agung puri pasanggrahan Raja Jayanagara.
"Sembah bakti kami para panca Wilwatikta di
hadapan Gusti Kanjeng Ratu, pemangku Bhatara Prabu.
Sabda dan titah Gusti Kanjeng Ratu akan kami patuhi
sebagaimana sabda dan titah paduka junjungan kami
Raja Jayanagara", berkata Mahapatih Arya Tadah
kepada ibunda Ratu Gayatri mewakili para priyayi agung
kerajaan. Terlihat ibunda Ratu Gayatri menarik nafas dalamdalam, terlihat pandangannya lurus jauh kedepan, terlihat
para priyayi agung menunggu penuturan wanita yang
sangat anggun dan sangat berwibawa itu.
"Kami keluarga istana telah sepakat mengantar putri
sulungku, Juwaraja Tribuwana naik tahta menggantikan
Raja Jayanagara, namun ada beberapa pertimbangan
pengukuhannya ditunda mengingat putri sulungku itu
baru saja melahirkan anak pertamanya. Berdasarkan hal
1273 ini, aku sebagai pemangku Bhatara Prabu untuk
sementara waktu mengambil alih kendali kerajaan ini",
berkata ibunda Ratu Gayatri.
"Sabda dan titah Gusti Kanjeng Ratu akan kami
junjung tinggi dengan penuh kesetiaan, kepatuhan dan
kesungguhan", berkata Mahapatih Arya Tadah mewakili
para priyayi agung. Demikianlah, sejak saat itu ibunda Ratu Gayatri
mengambil alih kendali kerajaan, melaksanakan tugastugas seorang raja tanpa tahta, memimpin pasewakan
agung di bulan-bulan Palguna.
Tidak ada gejolak apapun manakala ibunda Ratu
Gayatri mengambil alih kendali kerajaan yang dibantu
oleh seorang Mahapatih Arya Tadah yang cerdas,
tangkas dan penuh kesetiaan yang tinggi.
Ternyata ibunda Ratu Gayatri adalah seorang yang
punya pengetahuan yang amat luas tentang
ketatanegaraan, seorang wanita pemikir ulung yang amat
memahami ajaran Nawasanga sebagai sebuah ajaran
keseimbangan. Putri bungsu Raja Kertanagara itu telah membuat
semua orang semakin menghormatinya manakala dalam
sebuah pasewakan agung yang dihadiri oleh para priyayi
agung istana, para rakyan, para arya dan para pandita
telah memaparkan pemahamannya yang amat tinggi
tentang Nawasanga. "Pemikiranku ini adalah warisan pemikiran yang
dimiliki oleh ayahku Raja Kertanagara, pemikiranku ini
adalah penyempurnaan apa yang telah dilakukan oleh
suamiku Baginda Raja Sanggrama Wijaya. Singgasana
agung adalah perwujudan sang dewa Siwa yang berada
di pusat dikelilingi delapan dewa di delapan penjuru mata
1274 angin. Di hari yang penuh kemulyaan ini, kutetapkan
bahwa singgasana agung Majapahit bergeser kearah
lebih barat lagi, sebuah tempat yang jauh terlindungi dari
serangan musuh kita. Di sebuah tempat yang disucikan
di hutan Sastrawulan", berkata ibunda Ratu Gayatri
memaparkan rencananya. "Dengan bergesernya pusat
kerajaan Majapahit, maka bekas kotaraja ini akan
menjadi perluasan kerajaan Kahuripan. Pusat kerajaan
Majapahit adalah sang matahari, kerajaan Kahuripan
adalah sang bulan di timurnya. Semoga Gusti yang Maha
Agung selalu memberi perlindungan dan keselamatan
kepada kita semua", berkata ibunda ratu Gayatri dari
rumah-rumahan kecil di tengah bale Agung Manguntur
yang di beri nama sebagai bale Witana mengakhiri
penuturannya. Tutur kata ibunda Ratu Gayatri terdengar begitu
jernih tersusun rapih, gamblang dicerna oleh semua
orang yang hadir di bale agung Manguntur itu. Semua
orang seperti baru saja tercerahkan oleh pemikiran
agung seorang wanita yang konon punya kecantikan
putri Kendedes, nenek buyut leluhurnya itu.
Itulah pasewakan agung ibunda Ratu Gayatri di bale
agung Manguntur yang terakhir kalinya, karena sebulan
kemudian Ibunda Ratu Gayatri telah mengundurkan
dirinya sebagai raja tanpa tahta, menyerahkan tahta
singgasananya kepada putri sulungnya, Tribuwana
Tunggadewi dengan gelar abhisekanya Sri Tribuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Sementara itu pembangunan istana baru dan
pemukiman baru di hutan Sastrawulan terus
berlangsung. Dan Raden Kudamerta telah di beri tugas
untuk mewujudkannya. Tentu saja Raden Kudamerta meminta bantuan Kuda
1275 Jenar yang dikenalnya sebagai seorang ahli perancang
bangunan candi dari kerajaan Wengker.
Bukan main gembiranya hati Kuda Jenar
mendapatkan kepercayaan dari Raden Kudamerta.
"Inilah kesempatanku memasuki wilayah istana
Majapahit lebih jauh lagi", berkata Kuda Jenar dalam hati
penuh kegembiraan hati. Sementara itu di kotaraja Kediri, terlihat seorang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wanita dengan pakaian penuh compang-camping tengah
berdiri di depan pintu sebuah kedai yang ada di pasar
kotaraja Kediri yang cukup ramai itu.
"Kehadiranmu di sini akan membuat sial kedaiku",
berkata seorang pemilik kedai kepada wanita itu.
"Beri aku makan satu kali, aku akan bekerja di kedai
ini seharian penuh", berkata wanita itu dengan sangat
memelas sekali. "Aku sudah punya pembantu", berkata pemilik kedai
itu. "Tolanglah aku, sejak kemarin aku belum makan",
berkata wanita itu masih dengan suara lebih memelas
lagi dari sebelumnya. "Aku ini pedagang, carilah dermawan yang mau
menolongmu", berkata pemilik kedai itu.
Terlihat wajah wanita itu menjadi begitu putus asa,
telah bermaksud berbalik badan untuk pergi.
Namun wanita dan pemilik kedai itu tidak menduga
sama sekali bila didekat mereka ada seseorang yang
telah mendengar semua pembicaraan mereka.
"Biarkan wanita ini masuk ke kedaimu, wahai pak tua.
Aku yang akan membayarnya", berkata seorang lelaki di
1276 dekat mereka. Terlihat perubahan di wajah pemilik kedai itu, ada
sedikit rasa malu bercampur rasa takut karena telah
sangat mengenal siapa gerangan lelaki itu yang tidak lain
adalah Ki Rangga Biru, salah satu priyayi agung di istana
Daha. "Atas perkenan tuanku, hamba mempersilahkan tuan
masuk, juga wanita ini", berkata pemilik kedai itu kepada
seorang lelaki bertubuh tinggi besar yang tidak lain
adalah Ki Rangga Gajah Biru.
"Jangan ragu-ragu, masuklah kedalam bersamaku",
berkata Ki Rangga Gajah Biru kepada wanita itu.
Terlihat pemilik kedai itu telah berubah penuh
keramahan dengan sebuah senyum yang di paksakan.
Sekilas ketika masuk kedalam, pemilik kedai itu
masih sempat melihat Ki Rangga Gajah Biru duduk
bersama satu meja dengan wanita itu.
"Aku benar-benar kehilangan muka dihadapan Ki
Rangga Gajah Biru", berkata pemilik kedai itu dalam hati
merasa sangat malu. "Layanilah Ki Rangga Gajah Biru dan wanita yang
bersamanya itu", berkata pemilik kedai itu kepada
seorang pembantunya. Demikianlah, Ki Rangga Gajah Biru dan wanita itu
telah mendapatkan pelayanan yang sangat baik di kedai
itu. "Kupastikan dirimu bukan orang Daha", berkata Ki
Rangga Gajah Biru setelah mereka menyelesaikan
makanan mereka. "Terima kasih atas kebaikan tuan, telah 1277 membayarkan makanan ini, aku memang bukan orang
Daha, aku berasal dari Kotaraja Majapahit", berkata
wanita itu. "Dari Kotaraja Majapahit seorang diri?", bertanya Ki
Rangga Gajah Biru "Benar, aku memang seorang diri ke kotaraja Daha
ini", berkata wanita itu seperti tengah menahan rasa
kepiluan hati yang amat sangat, terlihat dari matanya
yang berkaca-kaca. Melihat hal demikian, Ki Rangga Biru merasa kasihan
sekali dengan wanita itu.
"Kamu tidak punya kerabat dekat atau saudara di
kotaraja Daha ini?", bertanya kembali Ki Rangga Gajah
Biru. Terlihat wanita itu langsung menggelengkan
kepalanya dengan tatapan mata kosong dan hampa.
"Apakah kamu punya kepentingan di kotaraja ini?",
bertanya Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku ingin bertemu langsung
Gajahmada", berkata wanita itu.
dengan Patih "Ingin bertemu langsung dengan Patih Gajahmada?",
bertanya Ki Rangga Biru mengulangi perkataan wanita
itu. Wanita itu tidak keraguan di wajahnya. langsung menjawab, terlihat "Apapun kepentinganmu, aku akan membantumu
mempertemukan dirimu dengan Patih Gajahmada",
berkata Ki Rangga Gajah Biru kepada wanita itu seperti
dapat membaca keraguan di wajahnya dan tidak
mendesak untuk mengetahui kepentingan apa gerangan
1278 hingga harus Gajahmada. bertemu langsung dengan Patih Melihat sikap Ki Rangga Gajah Biru yang tidak
berusaha mendesaknya telah membuat wanita itu
merasa tidak enak hati. "Tuan sangat baik hati sekali kepadaku, maaf bila aku
tidak dapat menyampaikan apa yang akan kukatakan
kepada Patih Gajahmada", berkata wanita itu merasa
kurang enak hati kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku memakluminya bila memang kepentinganmu itu
begitu sangat rahasia, apakah aku boleh mengenal
namamu?", bertanya Ki Rangga Gajah Biru dengan
sangat bijaksana mencoba mengalihkan pembicaraan ke
hal lain. "Namaku Utami", berkata wanita itu menyebut
namanya. "Orang-orang di Daha ini memanggilku sebagai Ki
Rangga Gajah Biru", berkata Ki Rangga Gajah Biru
memperkenalkan dirinya. "Nama tuan yang begitu sangat terkenal di Kotaraja
Majapahit, sebagai seorang sahabat Patih Mahesa
Amping yang sangat setia. Hampir semua orang di
Kotaraja Majapahit mengagumi tuan", berkata Utami
kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya
kulakukan", berkata Ki Rangga Gajah Biru dengan suara
yang datar."Sambil menunggu untuk bertemu dengan
Patih Gajahmada, kamu boleh tinggal di rumahku",
berkata Ki Rangga Biru seperti mencoba mengalihkan
pembicaraan ke hal yang lain.
Demikianlah, Utami diajak untuk tinggal sementara di
1279 rumah Ki Rangga Gajah Biru.
Ternyata keluarga Ki Rangga Gajah Biru telah
memperlakukan Utami dengan sangat baik sekali.
Hingga akhirnya di sebuah sore hari, Ki Rangga
Gajah Biru benar-benar menepati janjinya telah
membawa Patih Gajahmada kerumahnya.
"Sebuah kebanggaan hati di keluarga ini mendapat
kedatangan tuan Patih Gajahmada", berkata Nyi Rangga
Gajahbiru menyambut kedatangan Patih Gajah di
pendapa rumahnya. "Ki Rangga Gajah Biru memaksaku datang ke rumah
ini, katanya masakan istrinya paling nikmat di Kotaraja
Daha", berkata Patih Gajahmada dengan penuh senyum.
Mendengar canda Patih Gajahmada, terlihat Nyi
Rangga Gajah Biru sedikit tersenyum.
"Aku pamit kedalam sebentar untuk menyiapkan
minuman", berkata Nyi Rangga Gajah Biru berpamit diri.
Ternyata Nyi Rangga Gajah Biru bukan hanya
membuat minuman untuk suami dan tamunya, melainkan
juga telah menemui Utami.
"Ki Rangga Gajah Biru telah menepati janjinya
kepadamu, telah membawa Patih Gajahmada di rumah
ini", berkata Nyi Rangga Gajah Biru kepada
Utami."Tunggulah sampai Ki Rangga Gajah Biru
memanggilmu", berkata Nyi Rangga Gajah Biru kepada
Utami. Demikianlah, nampaknya Nyi Rangga Gajah Biru
mengerti ada sesuatu hal yang amat rahasia yang akan
disampaikan Utami kepada Patih Gajahmada. Itulah
sebabnya Nyi Rangga Gajah Biru tidak ikut bersama
suaminya mengawani tamunya di pendapa rumahnya.
1280 Juga manakala seorang pelayan wanita menyampaikan
pesan dari Ki Rangga Gajah Biru yang meminta Utami
datang ke pendapa rumahnya.
"Temuilah mereka, aku tidak ikut mengawanimu",
berkata Nyi Rangga Gajah Biru kepada Utami.
"Terima kasih Nyi Rangga, aku akan segera
menemui mereka", berkata Utami kepada Nyi Rangga
Gajah Biru. Nyi Rangga Gajah Biru masih melihat punggung
Utami yang berjalan perlahan mendekati pintu pringgitan
yang tertutup. "Wanita yang malang", berkata Nyi
Rangga Gajah Biru dalam hati yang hari-hari
memperhatikan wajah Utami yang selalu dipenuhi
kesedihan itu seakan menyimpan sebuah kenangan
pahit yang sangat pedih dan tidak dapat dilupakannya.
Nyi Rangga Gajah Biru masih memandang punggung
Utami yang telah berada di depan pintu pringgitan.
Perlahan pintu pringgitan terbuka.
Mata Patih Gajahmada seperti tidak ingin berkedip
sedikitpun, memandang kearah Utami yang berjalan
semakin mendekat. "Mari Utami, duduklah disini", berkata Ki Rangga
Gajah Biru kepada Utami. Terlihat Utami telah duduk bersama mereka di
panggung pendapa dengan wajah tertunduk.
"Wanita inikah yang Ki Rangga Gajah Biru
maksudkan ingin bertemu denganku?", bertanya Patih
Gajahmada kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Benar, apakah Tuan Patih Gajahmada telah
mengenalnya?", berkata Ki Rangga Gajah Biru balik
bertanya melihat gelagat Patih Gajahmada yang
1281 sepertinya kurang berkenan menerima Utami.
"Ki Rangga Gajah Biru", berkata Patih Gajahmada.
"Apakah Ki Rangga Gajah Biru pernah punya seorang
sahabat", berkata kembali Patih Gajahmada dengan
sebuah pertanyaan kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku pernah punya seorang sahabat yang kini entah
berada dimana", berkata Ki Rangga Gajah Biru sambil
menerka-nerka kemana arah pembicaraan Patih
Gajahmada. "Apa yang Ki Rangga Gajah Biru lakukan manakala
melihat sahabat Ki Rangga Gajah Biru di depan mata
telah diracuni orang?", bertanya Patih Gajahmada.
"Aku akan cincang orang itu hingga hatiku puas
membinasakannya", berkata Ki Rangga Gajah Biru
menyampaikan perasaan hatinya.
"Perlu Ki Rangga Gajah Biru ketahui, bahwa wanita
ini adalah istri dari orang yang telah meracuni Raja
Jayanagara", berkata Patih Gajahmada penuh rasa
kebencian yang amat sangat.
"Istri Ra Tanca pembunuh itu?", berkata Ki Rangga
Gajah Biru dengan wajah seperti tidak percaya.
"Tanyakanlah langsung kepada wanita ini", berkata
Patih Gajahmada. "Wahai Utami, benarkah kamu istri dari Ra Tanca?",
bertanya Ki Rangga Gajah Biru kepada Utami.
Terlihat Utami mengangguk perlahan, masih dengan
wajah menunduk lebih dalam lagi.
"Nyi Ra Tanca, kamu sudah menempuh perjalanan
yang amat jauh, dari Kotaraja Majapahit ke Daha.
Sekarang di hadapanmu ini adalah Patih Gajahmada,
1282 katakanlah apa yang akan kamu katakana. Bukankah
kamu punya kepentingan dengannya?", berkata Ki
Rangga Gajah Biru kepada Utami yang baru saja
diketahui adalah Nyi Ra Tanca gerangan adanya.
"Ki Rangga Gajah Biru", berkata Nyi Ra Tanca
dengan wajah masih tertunduk seperti tidak berani
mengangkat wajahnya. "Pasti selama hidup Ki Rangga
Gajah Biru punya seorang atasan yang dimulyakan dan
di hormati oleh Ki Rangga Gajah Biru sendiri", berkata
Nyi Ra Tanca melanjutkannya. "Apa yang akan Ki
Rangga gajah Biru lakukan manakala orang yang Ki
Rangga Gajah Biru hormati itu meminta bantuan?",
bertanya Nyi Ra Tanca kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Dengan sangat senang hati ku penuhi permintaannya itu", berkata Ki rangga Gajah Biru.
"Bagaimana bila yang dimintanya itu sebuah obat",
bertanya kembali Nyi Ra Tanca.
"Aku akan mencari obat itu sampai dapat", berkata Ki
Rangga Gajah Biru langsung menjawab.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah yang terjadi atas diri suamiku, yang dengan
penuh ketulusan hati membawa obat untuk kesembuhan
diri Baginda Raja Jayanagara yang sangat dihormatinya
itu. Malang nasib suamiku bila ternyata obat yang
dibawanya itu adalah sebuah racun. Suamiku hanya
mengetahui bahwa racikan obat itu adalah racikan yang
sama yang pernah diberikan kepadaku. Suamiku tidak
mengetahui bahwa racikan obat itu telah di tukar dengan
sebuah racun", berkata Nyi Ra Tanca sambil menangis
tersedu-sedu. Patih Gajahmada dan Ki Rangga Gajah Biru seperti
termangu-mangu, tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan melihat sikap Nyi Ra Tanca itu.
1283 "Nyi Ra Tanca", berkata Patih Gajahmada dengan
suara bergetar."Apakah kamu mengetahui siapa
gerangan yang berbuat ini semua?", berkata Patih
Gajahmada dengan suara membentak.
Terlihat Nyi Ra Tanca menghentikan tangisnya,
mengangkat wajahnya perlahan.
"Tanda Kuda Jenar, aku merasa yakin dialah
pelakunya. Aku baru menyadari bahwa tidak lama
setelah bertemu dengannya aku langsung merasakan
tubuhku gatal-gatal yang tidak lama kemudian timbul
bisul-bisul. Orang itu juga yang telah memberikan obat
penawar kepada suamiku dengan sebuah janji agar
suamiku merahasiakan dirinya hingga semua orang
mengakui bahwa suamiku sendiri yang menyembuhkan
penyakitku itu. Orang itu pula yang memberikan racikan
obat kepada suamiku untuk penyembuhan Baginda Raja
Jayanagara", berkata Nyi Ra Tanca mengakhiri
pembicaraannya dan kembali menundukkan wajahnya
lebih dalam lagi. Suasana diatas panggung pendapa rumah milik Ki
Rangga Gajah Biru seketika menjadi begitu hening,
semua orang sepertinya tengah berada di dalam pikiran
masing-masing. "Wanita ini pasti telah dikucilkan oleh orang banyak di
Kotaraja Majapahit", berkata Ki Rangga Gajah Biru
berpikir di dalam hatinya merasa semakin kasihan
dengan penderitaan yang dialami oleh Nyi Ra Tanca.
Sementara itu pikiran Patih Gajahmada jauh
menerawang di saat pagi bersama Mahapatih Arya
Tadah menunggu kedatangan Ra Tanca. Pikiran Patih
Gajahmada seperti terbang kembali disaat dirinya
mengetahui bahwa mangkuk di dalam racikan yang di
1284 bawa oleh Ra Tanca adalah sebuah racun yang amat
kuat. "Aku menjadi pembunuh orang yang tidak berdosa?".
berkata patih Gajahmada di dalam hati.
Lama suasana begitu sepi tanpa suara dan
perkataan apapun di atas panggung pendapa rumah Ki
Rangga Gajah Biru, semua orang nampaknya telah
bergelut di dalam alam pikiran masing-masing.
"Nyi Ra Tanca, apakah kamu membenciku dengan
apa yang telah aku lakukan atas diri suamimu itu?",
bertanya Patih Gajahmada kepada Nyi Ra Tanca.
Terlihat Nyi Ra Tanca kepalanya dalam-dalam. masih menundukkan Patih Gajahmada dan Ki Rangga Gajah Biru terlihat
menunggu apa yang keluar dari ucapan wanita malang
itu. Perlahan wajahnya. Nyi Ra Tanca terlihat mengangkat "Aku tidak menyalahkan Tuan Patih Gajahmada,
karena aku tahu siapa dalang dibelakang ini yang telah
menggunakan suamiku sebagai tameng dari perbuatannya itu", berkata Nyi Ra Tanca dengan suara
perlahan namun jelas terdengar.
"Demi tanganku ini yang telah menewaskan suamimu
itu, aku akan membuat perhitungan dengan orang itu",
berkata Patih Gajahmada. "Tuan Patih Gajahmada, kita harus berpikir jernih,
karena kita belum tahu betul apa sebenarnya yang
diinginkan oleh orang itu. Sementara kita juga belum
mengetahui apakah orang itu adalah suruhan atau
berbuat atas nama pribadinya sendiri", berkata Ki
1285 Rangga Gajah Biru mengingatkan Patih Gajahmada.
"Ki Rangga Gajah Biru benar", berkata Patih
Gajahmada membenarkan perkataan Ki Rangga Gajah
Biru. "Sementara kita belum mendapatkan apa-apa
tentang tujuan orang itu, rahasia besar ini harus kita jaga
bersama", berkata Ki Rangga Gajah Biru menambahkan.
"Ki Rangga Gajah Biru benar, lingkaran tahta
kerajaan Majapahit ibarat sebuah belantara hutan
perburuan, kita tidak tahu siapa yang di buru dan siapa
pemburunya, siapa lawan dan siapa kawan", berkata
Patih Gajahmada. "Peristiwa Ranggalawe, peristiwa Empu Nambi,
peristiwa Patih Mahesa Amping dan kematian Raja
Jayanagara adalah pelajaran mahal untuk kita bahwa
lingkaran tahta Majapahit ini tidak pernah sepi dari para
pengkhianat dan para pemimpi yang diam-diam ingin
meruntuhkan kemapanannya. Kerajaan Majapahit ini
tidak akan menjadi kokoh berdiri selama masih ada
orang-orang seperti mereka, para penghasut, para
perusuh, para pejabat kotor yang mendapatkan
keuntungan dari kekeruhan bumi ini. Tuan Patih
Gajahmada, aku akan selalu berada di belakangmu, di
belakang para ksatria penjaga bumi Majapahit ini",
berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku tidak menyangsikan kesetiaan Ki Rangga Gajah
Biru, manakala ayah angkatku Patih Mahesa Amping
dihujat oleh banyak orang, Ki Rangga Gajah Biru dengan
penuh keberanian berada di sampingnya. Semoga aku
dapat berbuat sebagaimana Ki Rangga Gajah Biru
berbuat, berdiri diatas kebenaran yang kita yakini meski
harus sendiri tanpa kawan melawan arus", berkata Patih
1286 Gajahmada. "Tuan Patih Gajahmada saat ini tidak sendiri, masih
ada aku yang akan selalu percaya bahwa kebenaran
akan menang", berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Kebetulan sekali bahwa pekan depan aku ada
sedikit urusan di istana Majapahit, semoga aku dapat
menyelami apa yang sebenarnya terjadi di balik kematian
Raja Jayanagara", berkata Patih Gajahmada.
"Semoga Tuan Patih Gajahmada dapat menyingkapnya dengan kejernihan hati", berkata Ki
Rangga Gajah Biru. "Nyi Ra Tanca, kuhargai jerih payahmu datang ke
Daha ini untuk mengungkap kebenaran ini, kuhargai pula
ketulusan hatimu untuk tidak menaruh dendam
kepadaku", berkata Patih Gajahmada kepada Nyi Ra
Tanca. "Aku hanya wanita biasa, hanya ini yang dapat
kuperbuat untuk memutihkan nama baik suamiku",
berkata Nyi Ra Tanca dengan suara yang serak masih
diliputi kesedihan hati. "Di mataku, Nyi Ra Tanca adalah seorang wanita
yang punya ketabahan hati yang teguh, seorang istri
yang setia menjaga kehormatan nama baik seorang
suami", berkata Patih Gajahmada kepada Nyi Ra Tanca.
"Terima kasih, Tuan Patih Gajahmada telah
menerima kebenaran dariku. Hal ini telah mengobati
perih dan pedih luka di dalam hatiku atas cemoohan
banyak orang yang telah menistakan keluarga kami",
berkata Nyi Ra Tanca sambil merangkapkan kedua
tangannya sebagai rasa terima kasihnya kepada Patih
Gajahmada. 1287 Pembicaraan mereka bertiga tiba-tiba saja terhenti
manakala pintu pringgitan terbuka lebar-lebar.
Ternyata Nyi Rangga Gajah Biru yang muncul
bersama seorang pelayan wanita sambil membawa
makanan dan minuman. "Mudah-mudahan masakan orang Daha ini dapat
sesuai dengan lidah Tuan Patih", berkata Nyi Rangga
Gajah Biru sambil menyajikan makanan dan minuman
yang dibawanya. Demikianlah, Nyi Rangga Gajah Biru ikut menemani
suasana makan siang di rumahnya itu, dan pembicaraan
pun sepertinya beralih ke hal yang lain. Nampaknya Patih
Gajahmada, Nyi Ra Tanca dan Ki Rangga Gajah Biru
telah sepakat menutup rapat rahasia besar di balik
kematian Raja Jayanagara.
Hingga ketika Patih Gajahmada pamit diri, Ki Rangga
Gajah Biru tidak berkata apapun perihal Nyi Ra Tanca.
Dan hari-hari selanjutnya, keberadaan Nyi Ra Tanca
dan rahasia jati dirinya yang sebenarnya masih tertutup
rapat. Nyi Ra Tanca diterima tinggal di rumah Ki Rangga
Gajah Biru sebagai seorang wanita yang bernama Utami,
seorang wanita malang yang tidak punya kerabat dan
saudara di kotaraja Daha.
Dan pagi itu di beberapa tempat di Kotaraja Daha
masih terlihat genangan air akibat hujan deras
semalaman. Terlihat tiga orang penunggang kuda
berjalan perlahan menuju arah batas kotaraja Daha.
Langkah kaki kuda mereka kadang menapak genangan
air di tanah berlubang. Ternyata salah seorang penunggang kuda itu adalah
Patih Gajahmada yang di kawal oleh dua orang prajurit.
1288 Ketika mereka bertiga telah melewati gapura batas
kotaraja Daha, mulailah mereka memacu kuda-kuda
mereka berlari menembus udara pagi di bawah tatapan
sang mentari disebelah kanan mereka.
Pagi itu Patih Gajahmada tengah melakukan sebuah
perjalanan menuju Kotaraja Majapahit.
Patih Gajahmada benar-benar menikmati perjalanannya, terutama manakala melewati beberapa
padukuhan di sepanjang perjalanannya yang terlihat
begitu damai. Hamparan persawahan yang luas dengan
pengairan yang merata telah membuat para petani
penuh semangat bekerja di sawahnya. Sementara para
pedagang dengan gerobak kudanya terlihat merasa
aman dalam setiap perjalanannya, karena para prajurit
Majapahit telah ditempatkan di beberapa daerah tertentu
sebagai sebuah kesatuan khusus yang secara bergilir
terus melakukan perondaannya mengamankan bumi
Majapahit, di darat dan di lautannya.
"Bumi Majapahit ini adalah sorga yang jatuh dari
langit, anugerah dari Gusti Yang Maha Agung", berkata
Patih Gajahmada dalam hati menikmati suasana
perjalanannya. Namun manakala Patih Gajahmada teringat cerita
Nyi Ra Tanca, hatinya menjadi begitu gelisah.
"Tanganku ini telah berlumur darah orang yang tak
berdosa", berkata Patih Gajahmada dalam hati penuh
perasaan bersalah. Terkejut kedua prajurit yang bersamanya melihat
kuda Patih Gajahmada tiba-tiba saja meloncat berlari
kencang, serta merta keduanya menghentakkan kuda
masing-masing agar tidak tertinggal oleh laju kuda
junjungan mereka. 1289 Rupanya Patih Gajahmada tidak menyadari
gerakannya sendiri yang terbawa perasaannya untuk
secepatnya tiba di Kotaraja Majapahit untuk segera
meluruskan masalah Ra Tanca.
Manakala menyadari apa yang terjadi atas laju
kudanya, Patih Gajahmada langsung memperlambatnya.
Beruntung kedua prajurit itu adalah orang-orang yang
handal mengendalikan kudanya, serta merta kedua
prajurit itu mengikuti memperlambat laju kudanya dengan
perasaan dan pikiran penuh ketidak mengertian.
Terlihat keduanya saling beradu pandangan mata
dengan mengangkat kedua pundaknya sebagai pertanda
ketidak mengertian mereka atas sikap Patih Gajahmada
itu. Dan terus mengikuti langkah kaki kuda Patih
Gajahmada. "Kita bermalam di barak kesatuan prajurit yang ada di
Kademangan Simpang", berkata Patih Gajahmada
kepada kedua prajuritnya manakala mereka telah melihat
sebuah gapura gerbang Kademangan Simpang.
Dan malam itu mereka bertiga singgah di sebuah
barak kesatuan prajurit dengan perlakuan sangat
istimewa oleh Lurah prajurit pimpinan di barak
Kademangan Simpang itu.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh sebuah penghormatan bagi kami
mendapat kunjungan tuan Patih", berkata seorang Lurah
Prajurit yang menjadi pimpinan di kesatuan khusus itu
menyambut kedatangan Patih Gajahmada.
"Mudah-mudahan kami bertiga bukan tamu yang
membosankan", berkata Patih Gajahmada dengan penuh
senyum keramahan mencoba mencairkan suasana serta
menghilangkan jarak kepangkatan dan jabatan diantara
1290 mereka. Patih Gajahmada sejatinya adalah seorang pemuda
yang begitu sederhana dan bersahaya, dan tidak
terbiasa menggunakan alasan jabatannya untuk di
hormati dan dilayani. Keberadaan Patih Gajahmada begitu terkesan di hati
lurah prajurit itu sebagai seorang pejabat kerajaan yang
berbudi luhur serta berwawasan sangat tinggi.
"Berusahalah kalian membaur dengan warga di
sekitarmu, agar mereka tidak merasa takut kepada
prajurit, sebaliknya mereka akan menghormati dan
mencintaimu. Jangan sekali-kali kalian menyakiti
perasaan hati mereka. Keberhasilan kalian membaur
bersama mereka adalah sebuah bukti keberhasilan
kalian menjaga bumi ini", berkata Patih Gajahmada
kepada lurah prajurit itu.
"Pesan dan nasehat tuanku akan kami laksanakan
dengan penuh kesadaran", berkata lurah prajurit itu
kepada Patih Gajahmada yang diketahuinya punya
banyak pengalaman bertempur di berbagai medan
peperangan di usia mudanya itu.
Hingga akhirnya manakala hari telah larut malam,
lurah prajurit itu mempersilahkan Patih Gajahmada untuk
beristirahat. Lama Patih Gajahmada tidak dapat memejamkan
matanya di atas peraduannya. Bayangan Ra Tanca
seakan selalu saja hadir.
"Aku seorang pembunuh", berkata Patih Gajahmada
menyesali apa yang pernah diperbuatnya itu terhadap Ra
Tanca. Namun manakala dirinya berusaha mengendapkan
1291 segala akal budinya, menghadirkan zat yang Maha
Tunggal, mulailah reda segala gejolak kegelisahan
hatinya. "Tiada gerak selain gerakMU, tiada takdir selain
ketentuanMU. Aku hanyalah bayang-bayangMU. Hitam
dan putih hati manusia berada dalam genggamanMU",
berkata Patih Gajahmada dalam yang telah memasrahkan dirinya dalam kepasrahan penuh,
mengakui kekerdilan dirinya dihadapan sang pemilik
alam jagad raya itu. "Hadirkanlah sang Siwa di dalam
hatiku, terangilah wajahku dengan senyum para
Sidharta", berkata kembali Patih Gajahmada dalam hati
yang mulai menemukan kembali garis terang tali
kebenaran di dalam hatinya.
Terlihat Patih Gajahmada telah tertidur dengan begitu
pulasnya, dengan wajah terpancar penuh ketentraman
hati. Seandainya saja ada seorang yang dengan sengaja
masuk kedalam peraduannya, maka akan sangat terkejut
melihat sebuah cahaya kebiruan yang sangat lembut
menyelimuti seluruh tubuhnya. Ternyata sang Patih
muda itu telah berada di dalam puncak yoga dan
samadinya, meski dalam keadaan terbaring diatas
peraduannya. Sementara itu semburat warna merah di cakrawala
langit malam Kademangan Simpang terlihat melintang
dari arah timur dan barat. Perlahan dan begitu sayup
terdengar suara ayam jantan dari sebuah tempat yang
amat jauh. Hari telah mulai menjadi pagi.
"Senang bermalam di barak kalian", berkata Patih
Gajahmada dari atas kudanya.
"Salam lestari, Semoga Gusti Yang Maha Agung
selalu melindungi tuanku", berkata Lurah Prajurit itu
1292 melepas kepergian pengawalnya itu. Patih Gajahmada dan kedua Demikianlah, tiga ekor kuda terlihat membelah udara
pagi yang sejuk melaju kearah utara. Mereka adalah
Patih Gajahmada dan dua orang pengawalnya yang
tengah melakukan perjalanan menuju arah Kotaraja
Majapahit. Perjalanan mereka memang sudah tidak begitu jauh
lagi, manakala matahari mendekati arah puncak
cakrawala langit biru, terlihat mereka telah memasuki
gapura gerbang Kotaraja Majapahit.
Ketika tiba di istana Majapahit, Patih Gajahmada
langsung datang menghadap Mahapatih Arya Tadah di
bale kepatihan. Dan sang Mahapatih baru saja menerima
tamu terakhir di kepatihannya.
"Selamat datang wahai kemenakanku", berkata
Mahapatih Arya Tadah menyambut kedatangan Patih
Gajahmada. "Semoga Gusti yang Maha
memberkatimu, wahai pamanku",
Gajahmada. Agung berkata selalu Patih Setelah masing-masing bercerita tentang berbagai
hal seputar selama perpisahan diantara mereka, patih
Gajahmada memulai pembicaraannya seputar beberapa
urusan kerajaan Kediri yang menjadi tanggung jawabnya
itu. "Tidak salah Ibunda ratu Gayatri menunjuk dirimu
menjadi patih di Daha", berkata Mahapatih Arya Tadah
menanggapi laporan Patih Gajahmada tentang berbagai
kemajuan di kerajaan Kediri.
"Masih ada satu urusan yang sangat penting yang
1293 akan aku sampaikan kepada Pamanda", berkata Patih
Gajahmada dengan suara perlahan sambil mengawasi
keadaan sekitarnya merasa khawatir apakah ada orang
di sekitar mereka berdua.
"Sepertinya kamu merasa khawatir bahwa dinding ini
bertelinga", berkata Mahapatih Arya tadah seperti dapat
membaca apa yang ada dalam pikiran anak muda itu.
"Yang aku akan sampaikan adalah sebuah rahasia
besar", berkata patih Gajahmada sambil menarik nafas
panjang penuh ke hati-hatian.
"Apakah aku perlu untuk mengetahuinya, wahai
kemenakanku?", berkata Mahapatih Arya Tadah dengan
senyum lembut layaknya seorang ayah kepada putranya.
"Aku berharap Pamanda dapat memberikan
tanggapan, apa yang seharusnya aku lakukan", berkata
Patih Gajahmada penuh kepercayaan yang amat kuat
bahwa Mahapatih Arya Tadah yang sudah dianggap
sebagai orang tuanya sendiri itu dapat memberikan
sebuah wejangan untuk dirinya.
"Katakanlah wahai kemenakanku, bila memang kamu
mempercayaiku", berkata Mahapatih Arya Tadah masih
dengan suara yang lembut.
Maka Patih Gajahmada langsung bercerita tentang
peristiwa pembunuhan Raja Jayanagara, dimana Ra
Tanca sebenarnya menjadi korban dari sebuah kelicikan
seorang yang bernama Kuda Jenar.
"Apakah yang kamu maksudkan adalah Tanda Kuda
Jenar, orang dari Wengker itu?", berkata Mahapatih Arya
Tadah setelah Patih Gajahmada menyelesaikan
penuturannya. "Pamanda mengenalnya?", bertanya Patih 1294 Gajahmada "Orang itu sangat dekat dengan Raden Kudamerta,
saat ini telah dipercayakan membangun kotaraja baru di
hutan Sastrawulan", berkata Mahapatih Arya Tadah.
"Aku akan menangkap orang itu, agar kebenaran
menjadi terang benderang", berkata Patih Gajahmada.
Terlihat Mahapatih Arya Tadah tidak segera
menanggapi perkataan Patih Gajahmada, terdiam
beberapa saat sambil menarik nafas dalam-dalam.
Melihat sikap Mahapatih Arya Tadah seperti itu, Patih
Gajahmada dapat merasakan bahwa orang tua yang
berpikiran sangat tajam serta penuh kebijaksanaan itu
nampaknya tengah merenung dan berpikir penuh.
"Wahai kemenakanku, di panggung medan
pertempuran kita biasa menyelesaikan segalanya
dengan pedang, namun di panggung kekuasaan
singgasana yang penuh muslihat ini senjata kita adalah
sebuah akal dan pikiran. Mata kita harus jeli melihat
seluruh isi sebuah ranu yang amat luas dan dalam. Kita
belum dapat memastikan apakah Tanda Kuda Jenar
berdiri sendiri atau berada di belakang orang kuat yang
mendalanginya", berkata Mahapatih Arya Tadah kepada
Patih Gajahmada sambil terdiam sejenak. "Yang ku
khawatirkan tindakanmu akan berakibat buruk untuk
dirimu sendiri", berkata kembali Mahapatih Arya Tadah.
"Aku tidak mengerti maksud perkataan Pamanda",
berkata Patih Gajahmada. "Bilamana kamu dapat menangkap Kuda Jenar dan
membawanya ke pengadilan istana, kamu seperti
menelanjangi dirimu sendiri bahwa kamu telah
melakukan sebuah kesalahan besar membunuh orang
1295 yang tidak berdosa", berkata Mahapatih Arya Tadah.
"Apa yang harus aku lakukan saat ini?", bertanya
Patih Gajahmada. "Mereka telah memenangkan langkah pertamanya,
maka tugas kita saat ini adalah menjaga jangan sampai
mereka memenangkan langkah selanjutnya", berkata
Mahapatih Arya Tadah. "Aku mulai dapat mengerti jalan pikiran Pamanda,
langkah mereka sebenarnya adalah puncak tahta
kerajaan ini", berkata Patih Gajahmada mulai dapat
mengerti kemana arah pikiran orang tuan yang punya
pandangan yang sangat luas dan tajam itu.
"Pikiranmu sangat encer, wahai kemenakanku",
berkata Mahapatih Arya Tadah penuh senyum.
"Tapi ijinkan aku untuk memberi sedikit pelajaran
kepada Kuda Jenar, setidaknya untuk meyakinkan diriku
bahwa Kuda Jenar ada di balik pembunuhan ini", berkata
Patih Gajahmada. "Selama mereka tidak mengenal jati dirimu", berkata
Mahapatih Arya Tadah memberi sedikit arahan.
Dan hari itu sebagaimana beberapa hari sebelumnya,
hutan Sastrawulan telah dipenuhi oleh begitu banyak
pekerja yang siang dan malam terus bekerja untuk
menyiapkan sebuah lahan untuk sebuah pusat kerajaan
Majapahit yang baru lengkap dengan sarana dan
prasarananya. Tidak tanggung-tanggung, pihak kerajaan telah
mempekerjakan sekitar lima ratus orang budak di tambah
beberapa orang pemahat dari berbagai daerah di bumi
Majapahit. Dan Raden Kudamerta telah mempercayakan 1296 sahabatnya Kuda Jenar menjadi pemimpin para pekerja
melaksanakan tugas maha karya itu, membangun pusat
kerajaan Majapahit yang baru di hutan Sastrawulan.
Suara kampak beradu dengan batang kayu pohon
besar dan suara pohon tumbang menjadi suara
keseharian di hutan Sastrawulan. Terlihat tanah terang
terbuka di beberapa tempat tertembus cahaya sinar
matahari. Siang dan malam para pekerja begitu semangat
bekerja seperti berpacu dengan waktu di bawah
pengawasan seorang pemuda yang berasal dari Tanah
Wengker yang tidak lain adalah Kuda Jenar, seorang
perancang muda yang konon biasa bersama ayahnya
bernama Ki Agung Ngrayun membangun sebuah candi di
kerajaan Wengker. Dan hari itu terlihat Kuda Jenar tengah mengawasi
beberapa pekerja penebang pohon di sebuah tempat di
hutan Sastrawulan. Meski matahari sudah naik tinggi,
suasana disekitarnya masih terasa teduh dan lembab
karena masih banyak pohon besar di sekitarnya
menutupi jalan masuk cahaya mentari.
Di tengah keremangan suasana hutan, Kuda Jenar
benar-benar tidak menyadari bahwa sepasang mata
sudah lama mengamatinya. Hingga tanpa disadarinya pula, sebuah benda sangat
halus meluncur begitu cepat kearah dirinya.
Kuda Jenar bukan pemuda sembarangan, sudah
memiliki kemampuan ilmu yang cukup tinggi, telah
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mewarisi hampir sebagian ilmu Ki Agung Ngrayun, ayah
kandungnya sendiri. Suara desir sebuah benda yang sangat halus itu
1297 memang sempat di tangkap oleh pendengarannya yang
telah terlatih, namun laju benda sangat kecil itu terlalu
cepat untuk dihindarinya, sebagai pertanda bahwa
pelemparnya adalah seorang yang sudah sangat
sempurna kesaktiannya. Clep"!! Kuda Jenar terperanjat sekali manakala merasakan
sebuah benda lebih kecil dari sebuah jarum menancap
tepat sekali di lehernya.
"Sebuah duri beracun !!", berkata Kuda Jenar dalam
hati penuh kekhawatiran melihat sebuah duri yang telah
di cabut dari batang lehernya.
Namun hanya sekejap saja Kuda Jenar benar-benar
tidak dapat berpikir apapun, yang dirasakannya adalah
bumi sekeliling dirinya seperti berputar cepat.
Terbelalak seorang pekerja yang melihat Kuda Jenar
limbung terhuyung dan jatuh roboh ke bumi.
"Pimpinan kita jatuh pingsan !!", berkata pekerja itu
kepada kawan di dekatnya.
Terlihat kedua pekerja itu langsung berlari kearah
Kuda Jenar yang tengah tergeletak di tanah di ikuti oleh
pandangan mata beberapa orang penebang pohon
lainnya. Namun belum sampai kedua pekerja itu mendekati
Kuda Jenar, entah dari mana datangnya seorang
bercaping lebar telah berdiri tegak di dekat tubuh Kuda
Jenar. "Kamu pasti telah melukai pimpinan kami", berkata
seorang penebang kayu sambil menunjuk dengan
kampaknya kearah orang bercaping itu.
1298 "Aku hanya ingin meminjam pimpinanmu ini
sebentar", berkata orang bercaping itu kepada kedua
orang penebang itu. "Kawanku, orang ini pasti orang jahat", berkata
penebang pohon itu mengajak kawannya untuk
mengeroyok orang bercaping itu.
Orang bercaping itu hanya tersenyum berdiri melihat
kedua penebang pohon itu dengan sebuah kampak di
tangan masing-masing berlari menerjang ke arahnya.
Kedua penebang kayu itu masih melihat orang
bercaping itu hanya berdiri, namun mereka berdua
merasakan sebuah tangan yang sangat kokoh dan kuat
telah menghantam dadanya.
Seketika terlihat kedua penebang itu terlempar jatuh
di tanah. Beberapa orang penebang kayu lainnya sempat
melihat kejadian yang menimpa kedua kawannya itu, dan
langsung berlari mengepung orang bercaping lebar itu.
"Apakah kalian akan mengeroyokku?", berkata orang
bercaping itu kepada para penebang kayu yang datang
mengelilingi dirinya. "Kamu akan kami cacah dirimu sebagaimana kami
mencacah pohon kayu", berkata seorang lelaki yang
bertubuh tinggi besar dan kekar dengan otot yang
menonjol kuat di setiap tubuhnya.
"Sebaiknya kalian kembali bekerja, aku hanya ada
sedikit urusan dengan pimpinanmu ini", berkata orang
bercaping itu dari balik selembar kain hitam yang
menutupi hampir seluruh wajahnya.
"Orang itu adalah pimpinan kami, sebelum dapat
membawanya hadapilah kami", berkata lelaki bertubuh
1299 kekar itu sambil menunjuk kearah orang bercaping itu.
"Bagus, nampaknya kalian orang-orang yang sangat
setia kepada pimpinanmu ini", berkata orang bercaping
itu dengan matanya yang tajam berkilat-kilat tidak
tertutup kain hitam yang menutupi seluruh wajahnya itu.
"Mari kawan-kawan, kita cincang orang sombong ini",
berkata lelaki bertubuh kekar itu.
Tiga belas kampak besi berkilat tajam langsung
merangsek bersama-sama seperti ingin mencacah tubuh
orang bercaping itu. Namun entah dengan cara apa tak terlihat orang
bercaping itu bergerak sedikitpun, tiga belas pekerja itu
terlihat terlempar kebelakang dengan beberapa orang
terlihat sembab biru wajahnya, sementara beberapa
orang lagi merasakan tulang rusuk mereka nyeri dan
remuk. "Kuperingatkan kepada kalian, jangan mencampuri
urusan pribadiku dengan orang ini, atau kalian binasa
sia-sia di hutan Sastrawulan ini", berkata orang bercaping
itu mengancam para pekerja.
Nampaknya ancaman orang bercaping itu benarbenar dituruti oleh para pekerja yang sudah merasakan
kesaktian orang itu, mereka terlihat tidak melakukan
penyerangan apapun manakala orang bercaping itu
tengah mengangkat tubuh Kuda Jenar keatas pundaknya
dengan begitu ringannya. Dan mereka tetap terdiam manakala orang bercaping
itu melangkah pergi meninggalkan mereka.
Namun belum lagi orang bercaping itu pergi menjauh,
tiba-tiba saja seorang lelaki tua datang.
"Ki Agung Ngrayun?", berkata salah seorang pekerja
1300 kepada kawannya menyebut nama lelaki tua yang baru
datang itu. "Semoga pertapa sakti itu dapat merebut kembali
putranya", berkata kawannya itu sambil memijat-mijat
sekitar rusuknya yang masih ngilu/
"Hendak kamu bawa kemana putraku?", berkata
lelaki tua itu yang ternyata adalah Ki Agung Ngrayun.
Nampaknya orang bercaping itu seperti mengetahui
bahwa yang berkata itu adalah bukan orang
sembarangan, lewat getar suara yang dilepaskannya
memang telah dilambari tenaga sakti sejati yang sangat
tinggi. Perlahan orang bercaping itu berbalik badan dan
meletakkan tubuh Kuda Jenar yang masih pingsan itu di
tanah. "Ternyata aku berhadapan dengan seorang pertapa
dari daerah Ngrayun", berkata orang bercaping itu
dengan mata tajam berkilat-kilat memandang kearah Ki
Agung Ngrayun. "Bagus, kamu sudah mengenal siapa aku", berkata Ki
Agung Ngrayun sambil berjalan mendekati orang
bercaping itu. "Siapa yang tidak mengenal seorang pertapa sakti
dari padepokan Ngrayun", berkata orang bercaping itu
dengan mata terus menatap kearah Ki Agung Ngrayun.
"Tinggalkan putraku, dan aku tidak akan membuat
perhitungan apapun bahwa dirimu telah membuat
putraku pingsan", berkata Ki Agung Ngrayun kepada
orang bercaping itu. "Aku ada sedikit urusan dengan putramu ini, aku
berjanji akan mengembalikannya kepadamu tanpa
1301 terluka sedikitpun", berkata orang bercaping itu.
"Bagaimana mungkin aku bisa percaya dengan
seseorang yang tidak kukenal", berkata Ki Agung
Ngrayun kepada orang bercaping itu."Dan aku akan
merebutnya darimu, dengan cara apapun", berkata
kembali Ki Agung Ngrayun.
"Apakah itu berarti sebuah ancaman untukku?",
berkata orang bercaping itu kepada Ki Agung Ngrayun
dengan suara yang begitu penuh ketenangan dan
kepercayaan diri yang amat tinggi.
"Terserah kamu artikan apapun", berkata Ki Agung
Ngrayun sudah mulai tidak sabaran dan penuh
kekhawatiran melihat keadaan putranya yang masih
pingsan tergeletak di tanah itu.
"Terserah pula apapun yang Ki Agung Ngrayun
lakukan, aku tetap akan membawa putramu ini", berkata
orang bercaping itu. "Nampaknya aku berhadapan dengan orang yang
pandai bicara", berkata Ki Agung Ngrayun yang sudah
tidak sabaran bercampur penuh kekhawatiran melihat
keadaan putranya. "Ternyata orang Wengker tidak suka banyak bicara",
berkata orang bercaping itu seperti ingin mengusik
kesabaran Ki Agung Ngrayun.
"Kamu benar, aku memang tidak suka banyak
bicara", berkata Ki Agung Ngrayun yang sudah tidak
dapat bersabar lagi untuk segera merebut putranya itu.
Selesai bicara terlihat Ki Agung Ngrayun sudah
langsung melenting seperti terbang bersama suara
tongkatnya yang berdengung karena diputar dengan
begitu cepatnya. 1302 "Serangan tongkat yang dahsyat", berkata orang
bercaping itu sambil bergeser ke kanan dan berputar.
Terperanjat Ki Agung Ngrayun melihat serangan
pertamanya dapat di hindarkan dengan mudahnya oleh
orang bercaping itu, sebuah serangan yang amat cepat
dan jarang sekali orang yang sudah punya ilmu
kanuragan tingkat tinggi dapat memecahkan jurus
pertamanya itu. Ternyata orang bercaping itu tidak
menghindar, tiba-tiba tangannya bergerak
pinggang Ki Agung Ngrayun.
hanya kearah Bertambah terperanjatlah Ki Agung Ngrayun yang
tidak menyangka mendapat serangan balasan yang amat
berbahaya itu. Namun Ki Agung Ngrayun bukan orang sembarangan, tapi seorang pemilik sebuah padepokan
terpandang yang sangat disegani di bumi Wengker.
Kali ini yang terperanjat adalah orang bercaping itu,
karena Ki Agung Ngrayun seperti membiarkan tangannya
meluncur kearah pinggangnya, dan tiba-tiba saja tongkat
Ki Agung Ngrayun bergerak kearah yang berlawanan
dengan arah gerakan tangan orang bercaping itu tertuju
kearah yang sama, pinggang orang bercaping itu.
"Langkah yang hebat", berkata orang bercaping itu
sambil bergerak bergeser kedepan dan langsung
membuat serangan balasan yang tidak kalah cepatnya,
dengan sebuah tendangan kakinya.
Terlihat Ki Agung Ngrayun mundur tiga langkah
dengan mata terbelalak. "Hebat, hebat, hebat. Jarang sekali ada orang yang
dapat memecahkan jurusku dengan mudah", berkata Ki
1303 Agung Ngrayun dengan sangat jujur sekali mengakui
kelebihan lawannya itu. Dan seperti seorang bocah yang mendapatkan
sebuah permainan baru, Ki Agung Ngrayun kembali
melakukan serangan kearah orang bercaping itu,
tentunya dengan kecepatan berlipat ganda.
Namun selalu saja orang bercaping itu dapat
memecahkan seluruh jurus dan langkah serangan Ki
Agung Ngrayun dengan cara yang diluar perhitungan.
"Hebat, hebat, hebat", berkata kembali Ki Agung
Ngrayun penuh kegembiraan hati sambil mengamati
langkah-langkah ajaib dari lawannya itu.
Hingga ratusan jurus selalu saja langkah serangan Ki
Agung Ngrayun dapat dimentahkan oleh orang bercaping
itu. Sementara para pekerja yang menyaksikan
pertempuran itu terlihat tercengang-cengang, karena
penglihatan mereka seperti kabur karena gerakan kedua
orang yang tengah bertempur itu telah melipat gandakan
kecepatan gerak mereka. "Beruntung orang bercaping itu masih berbelas kasih
kepada kita", berkata salah seorang pekerja kepada
kawan mereka yang melihat gerakan orang bercaping itu
memang diluar tingkat kemampuan rata-rata dari mereka.
"Kemampuan Ki Agung Ngrayun nampaknya tidak
berada diatas orang bercaping itu, hingga saat ini belum
juga dapat menundukkannya", berkata pekerja lainnya.
Sebagaimana yang disaksikan oleh para pekerja, Ki
Agung Ngrayun memang belum juga dapat menundukkan lawannya. "Hebat, hebat, hebat", berkata Ki Agung Ngrayun
1304 manakala serangannya dipatahkan
mudahnya oleh orang bercaping itu.
dengan sangat "Aku akan dengan senang hati melayani Ki Agung
Ngrayun", berkata orang bercaping itu sambil terus
menghindar dan langsung melakukan langkah ajaibnya
mematahkan serangan Ki Agung Ngrayun.
Langkah-langkah ajaib yang selalu mementahkan
serangannya telah membuat Ki Agung Ngrayun
perlahan-lahan telah membangun tenaga sakti sejatinya,
membangun hawa panas dalam setiap serangannya.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setiap serangan Ki Agung Ngrayun mengandung hawa
panas yang begitu sangat menyengat kulit, terlihat
rumput dan ilalang disekitarnya telah hangus terbakar.
Namun Ki Agung Ngrayun merasa menjadi sangat
terheran-heran melihat orang bercaping itu sepertinya
tidak terganggu apapun dengan hawa panas yang
diciptakannya itu, masih saja bergerak seperti
sebelumnya seperti tidak merasakan apapun, tentunya
dengan langkah ajaibnya yang sangat aneh itu.
Hingga manakala ilmu Ki Agung Ngrayun sudah
berada diatas puncaknya, orang bercaping itu masih saja
tetap dapat melayaninya tanpa merasakan rasa panas
yang telah menyengat membakar rumput dan ilalang di
sekitarnya. Diam-diam Ki Agung Ngrayun mengakui kemampuan
lawannya yang sangat tangguh itu.
Ternyata orang bercaping itu perlahan terus
meningkatkan tataran kemampuannya mengerahkan
tenaga sakti sejatinya. Perlahan Ki Agung Ngrayun mulai dapat merasakan
serangan hawa dingin berdesir dari orang bercaping itu.
1305 Terbelalak mata Ki Agung Ngrayun yang melihat
rumput dan ilalang yang terbakar telah padam terkena
angin sambaran hawa dingin dari orang bercaping itu.
Dan perlahan Ki Agung Ngrayun mulai terganggu
gerakannya merasakan hawa dingin yang amat sangat
menyambar-nyambar tubuhnya.
Terlihat Ki Agung Ngrayun mulai menjaga jarak
menghindari angin serangan orang bercaping itu yang
dirasakannya begitu pedih meski tidak terkena langsung
kearah tubuhnya. "Gila, orang ini seperti punya tenaga inti sejati yang
sukar diukur puncaknya", berkata dalam hati Ki Agung
Ngrayun yang merasakan hawa dingin yang membeku
telah mengepung dirinya. Sementara itu para pekerja yang masih berada
disekitar pertempuran terlihat membelalakkan matanya
melihat dari tubuh orang bercaping itu keluar kabut tipis.
Tidak begitu lama para pekerja itu sudah tidak dapat
melihat lagi pertempuran itu, karena telah terhalang
kabut yang keluar dari tubuh orang bercaping itu
menutupi dirinya dan Ki Agung Ngrayun.
"Ilmu apa yang dimiliki oleh orang ini", berkata dalam
hati Ki Agung Ngrayun dengan perasaan gentar sudah
tidak dapat melihat apapun di depan matanya.
"Ki Agung Ngrayun, aku dapat melakukan apapun
kepadamu", berkata orang bercaping itu entah dari mana.
"Jangan mencoba menakuti aku", berkata Ki Agung
Ngrayun sambil mengerahkan ketajaman pendengaran
dan penglihatannya, namun kabut dihadapannya sudah
begitu pekat menutupi penglihatannya.
"Rabalah kepalamu, kamu sudah kehilangan kain ikat
1306 kepalamu", berkata orang bercaping itu entah dari arah
mana. Berdesir darah Ki Agung Ngrayun manakala meraba
kepalanya yang memang telah kehilangan kain ikat
kepalanya. "Orang ini masih bermurah hati tidak menyerangku",
berkata Ki Agung Ngrayun dalam hati.
Kabut masih pekat menyelimuti pandangan mata Ki
Agung Ngrayun, orang tua itu masih berdebar-debar
memasang ketajaman pendengarannya, hanya itu yang
dapat dilakukannya. Hingga akhirnya di tengah kepekatan kabut yang
menutupi pandangannya, Ki Agung Ngrayun mendengar
suara orang bercaping itu.
"Ki Agung Ngrayun, aku tidak banyak waktu untuk
melanjutkan pertempuran kita. Kupinjam sebentar
putramu, sampai berjumpa kembali", berkata orang
bercaping itu dengan suara yang berputar-putar datang
dari berbagai arah penjuru mata angin.
"Semoga orang itu tidak mencelakai putraku", berkata
Ki Agung Ngrayun dalam hati penuh rasa cemas
memikirkan keadaan putranya.
Sementara itu kabut yang pekat perlahan menipis
dan hilang terbawa angin.
Ki Agung Ngrayun menyapu pandangannya ke
berbagai arah, berharap dapat menemukan arah
perginya orang bercaping yang telah membawa putranya
itu. Namun Ki Agung Ngrayun tidak menemukan jejak
apapun. 1307 "Apakah kalian melihat kemana orang bercaping itu
pergi?", berkata Ki Agung Ngrayun kepada para pekerja.
"Kabut begitu gelap, kami tidak melihat kapan dan
kemana orang bercaping itu pergi", berkata salah
seorang pekerja kepada Ki Agung Ngrayun.
Terlihat Ki Agung Ngrayun menarik nafas panjang,
masih mencemaskan keadaan putranya. Sementara itu
orang bercaping itu telah jauh melesat meninggalkan
hutan Sastrawulan. Hingga di sebuah tempat yang sunyi, orang itu
berhenti menurunkan Kuda Jenar yang masih pingsan.
Perlahan orang bercaping itu mengikat kedua tangan
Kuda Jenar di sebuah batang pohon dan duduk di
dekatnya. Nampaknya orang bercaping itu menunggu Kuda
Jenar siuman dari pingsannya.
Ternyata orang bercaping itu tidak perlu menunggu
lama, perlahan Kuda Jenar terlihat bergerak.
"Dimana aku?", berkata Kuda Jenar manakala
membuka matanya merasakan kedua tangannya terikat.
"Kamu ada bersamaku di sebuah tempat yang jauh
terpisah dari orang-orangmu, agar urusan kita tidak
terganggu oleh siapapun", berkata orang bercaping itu
kepada Kuda Jenar. "Apa yang kamu inginkan dariku?", bertanya Kuda
Jenar seperti pasrah dengan keadaan dirinya yang
sudah menjadi tawanan orang bercaping itu.
"Aku hanya menginginkan kejujuranmu", berkata
orang bercaping itu singkat.
Terlihat Kuda Jenar mengerutkan keningnya, 1308 pertanda tidak mengerti kemana arah ucapan orang
bercaping itu. "Kejujuran apa yang ingin kamu dengar dariku?",
bertanya Kuda Jenar. "Kejujuranmu tentang sebuah racun yang kamu
berikan kepada Ra Tanca", berkata orang bercaping itu
dengan pandangan yang amat tajam seperti menembus
isi hati dan pikiran Kuda Jenar.
Terkejut Kuda Jenar mendengar perkataan orang
bercaping itu. "Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan", berkata
Kuda Jenar mencoba menutupi rasa terkejutnya.
"Nampaknya perlu sebuah cara untuk mendengar
kejujuranmu", berkata orang bercaping itu sambil
mengeluarkan sebuah bubu kecil dari dalam ikat
pinggangnya. Terlihat Kuda Jenar memperhatikan bumbung bambu
kecil itu yang berada di tangan orang bercaping itu.
"Ketahuilah, didalam bubu ini kusimpan cukup
banyak getah kayu pohon rengas", berkata orang
bercaping itu sambil memandang kearah Kuda Jenar.
"Pasti kamu tahu apa yang akan terjadi bila sedikit getah
kayu rengas ini kulumuri di tubuhmu", berkata kembali
orang bercaping itu. "Sayang sekali aku tidak membawa
daun rengas sebagai penawarnya, dan kamu akan
tersiksa di tempat ini sunyi ini tanpa seorang pun dapat
menolong dirimu", berkata kembali orang bercaping itu
sambil memandang tajam ke arah Kuda Jenar.
Merinding seluruh bulu roma Kuda Jenar mendengar
seluruh perkataan orang bercaping itu, terbayang rasa
gatal yang amat sangat dengan bisul-bisul kecil yang
1309 bernanah di seluruh tubuhnya.
"Katakan apa yang kamu inginkan dariku?", berkata
Kuda Jenar dengan wajah penuh cemas.
"Sebagaimana kukatakan sebelumnya, aku hanya
menginginkan kejujuranmu", berkata Orang bercaping itu.
"Kejujuran tentang apa" ", bertanya Kuda Jenar.
"Katakan bahwa kamu yang telah membuat ulah atas
penyakit yang diderita oleh Nyi Ra Tanca", berkata orang
bercaping itu kepada Kuda Jenar.
"Bagaimana kamu mengetahuinya?", bertanya Kuda
Jenar merasa cemas bahwa rahasianya telah diketahui
oleh orang di hadapannya itu.
"Jangan bertanya, tugasmu hanya menjawab
pertanyaanku", berkata Orang bercaping itu dengan
suara penuh wibawa. Kuda Jenar sesaat berpikir bahwa orang itu hanya
mengetahui sedikit perihal Nyi Ra Tanca, tidak akan tahu
lebih jauh lagi. "Benar, akulah yang membuat ulah itu kepada Nyi Ra
Tanca", berkata Kuda Jenar kepada orang itu.
Terdengar dengus orang bercaping itu pertanda
tengah menahan kemarahannya.
"Dan kamu pulakah yang memberikan obat kepada
Ra Tanca untuk kesembuhan Raja Jayanagara?",
bertanya kembali orang bercaping itu kepada Kuda
Jenar. Terlihat Kuda Jenar tidak langsung menjawab, masih
ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang
itu. 1310 "Ternyata kamu lebih memilih kulumuri tubuhmu
dengan getah kayu rengas ini", berkata orang bercaping
itu perlahan kepada Kuda Jenar.
Mendengar ancaman orang itu, terlihat perubahan di
wajah Kuda Jenar yang dipenuhi rasa takut yang amat
sangat. "Aku akan mengatakannya", berkata Kuda Jenar
terbata-bata. "Katakan sebelum kesabaranku habis", berkata orang
bercaping itu. "Benar, akulah yang memberikan obat kepada Ra
Tanca untuk pengobatan Raja Jayanagara", berkata
Kuda Jenar. "Kamu belum mengatakan
berkata orang bercaping itu.
yang sebenarnya", "Apa yang kamu maksudkan", aku telah mengatakan
yang sebenarnya", berkata Kuda Jenar.
"Bukan obat yang kamu berikan kepada Ra Tanca,
tapi sebuah racun", berkata orang bercaping itu dengan
pandangan yang begitu tajam seperti menusuk langsung
ke dada Kuda Jenar. Terlihat Kuda Jenar menampakkan wajah terkejut.
"Dari mana orang ini mengetahui rahasiaku itu?",
berkata Kuda Jenar dalam hati.
Namun sedikit perubahan di wajah Kuda Jenar
nampaknya telah terbaca oleh orang bercaping itu.
"Kulihat dirimu terkejut, apakah kamu merasa heran
darimana aku mengetahui semua perbuatanmu itu?",
berkata orang bercaping itu telah membuat diri Kuda
Jenar seperti masuk dalam sebuah perangkapnya.
1311 Di hadapan orang bercaping itu, terlihat Kuda Jenar
benar-benar seperti seorang pesakitan yang tidak
mampu lagi mengelak atas semua kesalahannya.
"Bersyukurlah bahwa aku tidak membawamu ke
istana Majapahit untuk mempertanggung jawabkan
semua perbuatanmu itu, hanya saja kukatakan
kepadamu bahwa sejak hari ini kamu berada di dalam
pengawasanku dan jangan berharap aku masih dapat
memaafkanmu bila kudapatkan kamu berbuat yang sama
kepada Ratu Tribuwana Tunggadewi dan keluarganya",
berkata orang bercaping itu penuh ancaman kepada
Kuda Jenar sambil berbalik badan meninggalkannya.
Terpaku Kuda Jenar memandang orang bercaping itu
yang semakin jauh meninggalkannya.
Ketika orang bercaping itu pergi menghilang dari
pandangannya, terbesit rasa cemas di wajah Kuda Jenar.
"Bila muncul binatang buas, matilah aku", berkata
Kuda Jenar sambil mencoba menarik tali ikatannya yang
ternyata begitu kuat mengikatnya dengan sebuah batang
pohon. Menyadari ikatan yang kuat mengikat dirinya, terlihat
Kuda Jenar seperti begitu putus asa.
"Siapakah gerangan orang bercaping itu?", bertanya
Kuda Jenar dalam hati mencoba mengingat-ingat dari
suara serta sorot mata yang tersisa dari kain penutup
wajahnya. Namun sekian lama Kuda Jenar mencoba
mengingat-ingat beberapa wajah orang, tidak satupun
yang sangat cocok dengan orang bercaping itu.
"Orang itu tidak membawaku ke istana sebagai orang
terhukum, orang itu juga tidak membunuhku, pasti orang
1312 itu punya alasan sendiri", berkata Kuda Jenar dalam hati.
"Namun orang itu berkata akan selalu mengawasiku",
berkata kembali Kuda Jenar dalam hati mengingat-ingat
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ancaman orang bercaping itu kepadanya. "Mulai hari ini
aku harus berhati-hati melangkah dan berbuat apapun,
orang bercaping itu tidak main-main dengan
ancamannya", berkata kembali Kuda Jenar dalam hati.
Hingga ketika Kuda Jenar merasakan kembali penuh
kecemasan dirinya yang terikat di hutan sunyi itu,
kembali rasa cemas dan kekhawatirannya muncul
memenuhi seluruh perasaannya, membayangkan seekor
harimau atau seekor serigala muncul mengoyak-ngoyak
dirinya yang terikat tak berdaya itu.
"Semoga saja ayahku menugaskan semua orang
pekerja untuk mencari keberadaanku", berkata Kuda
Jenar dalam hati penuh pengharapan.
Sementara itu hari terlihat mulai gelap di hutan sunyi
itu, hati dan perasaan Kuda Jenar menjadi semakin
menciut penuh rasa cemas dan khawatir.
Semakin gelap suasana di hutan yang sunyi itu,
semakin menipis harapan Kuda Jenar dapat ditemukan
oleh orang-orangnya. Namun ditengah keputus asaannya itu, dilihatnya
beberapa titik cahaya obor ditengah kegelapan malam.
"Aku Kuda Jenar, apakah kalian mendengarku",
berkata Kuda Jenar berteriak berharap didengar oleh
orang-orang yang tengah membawa obor.
Beruntung, suara Kuda Jenar nampaknya didengar
oleh orang-orang yang membawa obor itu.
Terlihat mata Kuda Jenar memandang penuh
harapan manakala titik cahaya obor itu semakin
1313 mendekat berjalan ke arahnya.
Dan wajah Kuda Jenar terlihat penuh kegembiraan
hati manakala sebuah obor menerangi wajah seseorang
yang sangat dikenalnya. "Ayah?", berkata Kuda Jenar kepada seseorang
yang ternyata Ki Agung Ngrayun.
"Orang itu tidak melukaimu?", bertanya Ki Agung
Ngrayun kepada Kuda Jenar.
"Tidak melukaiku, namun telah menjadikanku sebuah
umpan binatang buas", berkata Kuda Jenar menggerutu.
"Orang itu mengatakan ada sebuah urusan pribadi
denganmu?", bertanya Ki Agung Ngrayun setelah
melepaskan ikatan tali di tangan Kuda Jenar.
Kuda Jenar tidak segera menjawab pertanyaan Ki
Agung Ngrayun, berpikir sejenak apa kiranya alasan agar
ayahnya tidak mengetahui ada urusan apa kiranya
antara dirinya dan orang bercaping itu.
"Orang itu menyangka aku mengetahui kemana
perginya Nyi Ra Tanca dan memaksaku untuk
mengatakannya", berkata Kuda Jenar setelah menemukan sebuah pikiran agar ayahnya tidak
mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.
"Mungkin orang itu mengira kedekatanmu dengan
keluarga Ra Tanca, berpikir kamu pasti mengetahui
kemana perginya Nyi Ra Tanca", berkata Ki Agung
Ngrayun kepada Kuda Jenar.
Mendengar perkataan ayahnya itu, Kuda Jenar
merasa gembira dapat melencengkan duduk persoalan
yang sebenarnya. "Ayahku pasti akan menghukumku bila
saja mengetahui apa yang telah kulakukan", berkata
dalam hati Kuda Jenar. 1314 Demikianlah, hari memang telah menjadi gelap di
hutan sunyi itu. Bersama ayahnya dan beberapa orang
pekerja terlihat mereka telah berjalan pulang menuju
arah hutan Sastrawulan. Sementara itu orang bercaping yang telah mengikat
Kuda Jenar terlihat telah berada jauh mendekati arah
gapura gerbang kotaraja Majapahit.
Siapakah gerangan orang bercaping itu"
Dibawah cahaya sinar rembulan, ketika dirinya
melepas caping dan kain penutup kepalanya, ternyata
orang itu masih muda belia yang tidak lain adalah Patih
Gajahmada. "Apakah aku telah berlaku adil membiarkan Kuda
Jenar tetap hidup?", berkata Gajahmada dalam hati.
"Atau apa yang kulakukan ini karena kekerdilan diriku
sendiri melepas tanggung jawabku atas kematian Ra
Tanca?", bertanya kembali Gajahmada kepada dirinya
sendiri. Lama Patih Gajahmada bergelut dengan pertanyaannya sendiri, hingga teringat kembali perkataan
Mahapatih Arya Tadah kepada dirinya. "Panggung
singgasana ini lebih pelik dari sebuah medan
pertempuran, kawan dan musuh kita berada ditempat
yang sama dan tidak ada kawan abadi di panggung
singgasana ini. Tugas kita adalah menjaga panggung
singgasana ini dalam kemapanan dan ketentraman.
Itulah kebijakan seorang pelakon di palagan panggung
Singgasana ini. Dan pedangmu adalah ketajaman
pikiranmu". Lama Patih Gajahmada merenungi perkataan
Mahapatih Arya Tadah, orang tua yang bijaksana itu.
1315 Malam telah begitu sepi di kotaraja Majapahit, Patih
Gajahmada tidak singgah di istana Majapahit melainkan
langsung ke Tanah Ujung Galuh.
Beruntung seorang tukang rakit belum tidur malam itu
dan dengan senang hati menyeberangkannya di sungai
Kalimas. "Terima kasih kawan, aku telah mengganggu
istirahatmu", berkata Patih Gajahmada kepada tukang
rakit itu. "Aku memang biasa tidur hingga jauh malam",
berkata tukang rakit itu tersenyum menerima
pembayaran tiga kali lipat dari biasanya.
Manakala Patih Gajahmada melangkah menjauhi
tepian sungai Kalimas, tukang rakit itu telah meluncur
kembali ke seberang. "Apakah ibunda tuan perlu dibangunkan?", bertanya
seorang pelayan lelaki tua kepada Patih Gajahmada
yang baru saja tiba di pasanggrahan Tanah Ujung Galuh.
"Tidak perlu di bangunkan Ki Bareb, besok pagi kami
masih bisa bertemu", berkata Patih Gajahmada kepada
pelayan tua itu. "Apakah tuan lapar", hamba dapat menghangatkan
makanan", berkata Ki Bareb kepada Patih Gajahmada.
"Tidak perlu Ki Bareb, aku hanya perlu minuman
hangat", berkata Patih Gajahmada.
"Bila demikian, hamba akan ke belakang menyiapkan
minuman hangat", berkata Ki Bareb kepada Patih
Gajahmada. Terlihat Patih Gajahmada duduk di panggung
pendapa menatap jauh ke depan, kearah gapura
1316 pasanggrahan yang tinggi menjulang.
Dan tidak lama kemudian Ki Bareb
membawakan minuman hangat untuknya.
datang "Terima kasih, Ki Bareb", berkata Patih Gajahmada
kepada Ki Bareb."Temani aku di sini Ki Bareb", berkata
kembali Patih Gajahmada kepada Ki Bareb yang
bermaksud untuk masuk kedalam.
"Beberapa hari ini ibunda tuan tidur hingga jauh
malam menunggu tuan pulang, sayang malam ini beliau
tidur sore-sore hingga tidak dapat menemui tuan",
berkata Ki Bareb bercerita tentang Nyi Nariratih, ibunda
Patih Gajahmada. "Seorang ibu nampaknya selalu berpikir putranya
masih kecil, selalu mencemaskannya", berkata Patih
Gajahmada penuh senyum. Namun tiba-tiba saja Ki Barep mengerutkan
keningnya manakala dilihatnya Patih Gajahmada terdiam
dengan mata jauh kedepan gerbang gapura.
Segera Ki Bareb ikut menatap kearah pandangan
mata Patih Gajahmada. Namun Ki Bareb tidak melihat apapun dan siapapun
di ujung arah pandangan matanya.
"Nampaknya kita akan kedatangan tamu di malam
ini", berkata Patih Gajahmada kepada Ki Barep.
"Aku tidak melihat apapun", berkata Ki Bareb dalam
hati sambil mengerutkan keningnya lebih dalam lagi.
Ki Bareb masih melihat Patih Gajahmada terdiam
memandang kearah gerbang Gapura.
Dan Ki Bareb akhirnya mengakui ketajaman
panggraita anak muda itu ketika menyaksikan dengan
1317 mata dan kepalanya sendiri bahwa terlihat sesosok
bayangan muncul di mulut gerbang gapura.
"Tetaplah Ki Bareb di pendapa ini, aku akan menemui
orang itu di halaman muka" berkata Patih Gajahmada
sambil berdiri dan melangkah menuruni anak tangga
pendapa. Ditengah halaman Patih Gajahmada terlihat berdiri
menunggu. Sementara sosok bayangan yang muncul di
mulut gerbang gapura telah berjalan mendekatinya.
"Aku banyak mengenal orang-orang di Tanah Ujung
Galuh ini, ada keperluan apakah gerangan Kisanak
datang ke pasanggrahan ini", berkata Patih Gajahmada
penuh santun kepada seorang lelaki yang belum begitu
tua di hadapannya itu. "Aku datang sengaja untuk menemuimu", berkata
lelaki itu. "Menemuiku?", bertanya Patih Gajahmada.
"Benar, untuk membicarakan sebuah perdagangan",
berkata lelaki itu sambil menyunggingkan sebuah
senyum di bibirnya. "Masalah perdagangan", aku bukan seorang
pedagang", berkata Patih Gajahmada mengerutkan
keningnya mencoba menduga-duga kepentingan apa
gerangan dari lelaki itu yang datang di larut malam itu.
"Aku tahu bahwa kamu bukan seorang pedagang,
tapi seorang Patih muda dari kerajaan Kediri", berkata
lelaki itu masih menyunggingkan senyum yang aneh.
"Lekas katakan kepentinganmu, di malam yang
sudah larut ini bukan wayahnya bicara berbelit-belit",
berkata Patih Gajahmada mulai tidak menyukai lelaki itu,
terutama senyum liciknya itu.
1318 "Di awal kukatakan bahwa aku datang untuk
berdagang denganmu", berkata lelaki itu sambil menatap
Patih Gajahmada. "Perdagangan apa yang kamu inginkan dariku",
berkata Patih Gajahmada penuh wibawa.
"Sebuah perdagangan yang saling menguntungkan,
aku akan menutup rapat-rapat rahasiamu, sementara
kamu membayarnya dengan cara mengabulkan sebuah
permintaanku", berkata lelaki itu.
"Apa yang ingin kamu tawarkan kepadaku", berkata
Patih Gajahmada singkat. Lelaki itu tidak langsung berkata, hanya menyeringai
dalam senyumnya. "Mengapa aku tidak dipersilahkan naik ke pendapa?",
berkata lelaki itu. "Tidak perlu untuk seorang tamu seperti dirimu",
berkata Patih Gajahmada. "Baiklah, aku akan bercerita tentang sebuah
pertempuran di hutan Sastrawulan antara dirimu dengan
Ki Agung Ngrayun", berkata lelaki itu.
Terlihat Patih Gajahmada mengerutkan keningnya,
terbayang pertempuran dirinya dengan para pekerja dan
Ki Agung Ngrayun. "Aku juga melihat kesaktianmu yang dapat
menciptakan kabut tebal, beruntung aku berada diluar
pertempuran hingga dapat melihat dirimu membawa
Kuda Jenar keluar dari hutan Sastrawulan", berkata
kembali lelaki itu. Terlihat Patih Gajahmada menarik nafas panjang
tidak menyangka ada yang dapat mengikuti jejaknya.
1319 "Dan aku telah mendengar sebuah rahasia besar
kerajaan Majapahit ini", berkata kembali lelaki itu dengan
senyum penuh kelicikan. "Apa yang kamu inginkan dariku?", berkata Patih
Gajahmada. "Kita berdagang", berkata lelaki itu singkat
"Katakan saja kamu ingin memerasku", berkata Patih
Gajahmada yang sudah dapat membaca kemana arah
pembicaraan lelaki itu. "Terlalu risih bila dikatakan aku akan memerasmu,
terlalu kasar pula bila aku akan mengancammu, yang
pasti bila kusebarkan rahasia besar ini akan berdampak
kepada kerusuhan yang hebat, kepercayaan orang di
bumi Majapahit ini terhadap tahta Singgasana Ratu
Tribuwana akan tercemar, orang-orang menyangsikan
bahwa kekuasaan ratu Tribuwana didapat dengan cara
tidak syah, dengan cara makar, lewat sebuah
pembunuhan dimana kamu ada sebagai seorang algojo,
kaki tangan pelaksana pembunuhan Raja Jayanagara",
berkata lelaki itu masih dengan senyum kelicikannya.
Berdesir darah Patih Gajahmada menahan rasa
amarahnya mendengar perkataan lelaki itu.
"Katakan, siapa dirimu", berkata Patih Gajahmada
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan suara tertekan menahan rasa amarah yang amat
sangat. "Orang biasa memanggilku sebagai Ki Sadeng,
mungkin aku cukup lama tinggal di sebuah pulau di
selatan pantai Jawadwipa ini, dan aku adik kandung dari
Ki Agung Ngrayun", berkata lelaki itu memperkenalkan
dirinya. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?",
1320 bertanya Patih Gajahmada.
Lelaki itu tidak langsung menjawab, sedikit tersenyum
melihat Patih Gajahmada begitu cepatnya dapat
mengendalikan dirinya. "Anak muda yang sangat percaya diri", berkata Ki
Sadeng dalam hati melihat ketenangan anak muda di
hadapannya itu. "Aku tidak meminta terlalu banyak untuk sebuah
rahasia besar ini, permintaanku hanya sebuah jalur
perdagangan antara Lamajang dan Bandar pelabuhan
Banyuwangi. Jangan ganggu kelompokku memungut
sedikit upeti dari para pedagang yang menggunakan jalur
itu. Dan aku yakin kamu sangat dekat dengan para
penguasa di kerajaan ini", berkata Ki Sadeng dengan
tatapan mata penuh kemenangan.
Terlihat Patih Gajahmada menarik nafas panjang,
mencoba berpikir setenang-tenangnya, mencoba berpikir
sejernih-jernihnya. "Aku akan mengabulkan permintaanmu itu", berkata
Patih Gajahmada kepada Ki Sadeng setelah menemukan
sebuah jalan dari pikirannya yang jernih. "Sebelum kamu
pergi, jawablah satu pertanyaanku dengan penuh
kejujuran", berkata kembali Patih Gajahmada kepada Ki
Sadeng. "Aku akan menjawabnya sejujur-jujurnya", berkata Ki
Sadeng yang sudah merasa berada di atas angin.
"Apa yang kamu lakukan kepada tukang rakit di
penyeberangan sungai Kalimas", berkata Patih
Gajahmada dengan tatapan mata yang amat tajam
seperti menembus langsung ke dada Ki Sadeng yang
merasakan dirinya langsung seperti berdebar-debar.
1321 "Orang itu menolak permintaanku untuk menyeberangiku, terpaksa kulempar dirinya ke sungai",
berkata Ki Sadeng. "percayalah, aku tidak membunuhnya. Aku masih melihatnya dapat berenang
ke tepian", berkata kembali Ki Sadeng kepada Patih
Gajahmada. "Nyawa seorang tukang rakit begitu lebih berharga
daripada apapun, aku akan menarik kembali
pengabulanku bila ternyata kamu berkata tidak jujur
mengenai tukang rakit itu", berkata Patih Gajahmada
dengan tatapan mata yang sangat dingin menakutkan.
"Aku tahu bahwa kamu punya kemampuan yang
amat tinggi, tapi aku begitu yakin bahwa kamu bukan
orang yang mudah menurunkan tanganmu untuk
membunuh", berkata Ki Sadeng kepada Patih
Gajahmada penuh senyum kemenangan dan langsung
berbalik badan meninggalkan Patih Gajahmada yang
masih berdiri. Pandangan mata Patih Gajahmada terus tertuju ke
arah punggung Ki Sadeng yang tengah berjalan menuju
arah gerbang gapura puri pasanggrahan hingga akhirnya
menghilang di kegelapan malam.
Terlihat Patih Gajahmada berbalik badan ke arah
pendapa, dilihatnya Ki Bareb masih duduk bersila di
sana. "Ibunda tidak boleh tahu apa yang terjadi di malam
ini", berkata Patih Gajahmada dalam hati menarik nafas
lega bahwa Nyi Nariratih tidak ada di pendapa, masih
tertidur. Suasana pagi itu di puri pasanggrahan Tanah Ujung
Galuh terlihat begitu cerah, secerah wajah Nyi Nariratih
memandang putranya hadir menikmati sarapan bersama
1322 di pendapa puri pasanggrahan mereka.
"Kapan kamu kembali ke Kediri, wahai putraku?",
berkata Nyi Nariratih kepada Patih Gajahmada.
Patih Gajahmada tidak segera menjawab, pikirannya
terpaut kepada persoalan yang tengah dihadapinya,
persoalan masalah Ki Sadeng yang ingin segera
dituntaskannya. "Hari ini aku akan kembali ke Kediri, tentunya setelah
menghadap sebentar di kepatihan istana Majapahit",
berkata Patih Gajahmada kepada ibundanya.
"Tugas kerajaan lebih utama dari segalanya, meski
ibundamu masih menginginkan kamu lebih lama lagi di
Kotaraja Majapahit", berkata Nyi Nariratih mengumbar
senyumnya. "Beruntung aku tidak menjadi seorang pejabat
kerajaan, sepanjang hari aku dapat tinggal di rumah",
berkata Supo Mandagri yang ikut menemani mereka
penuh kegembiraan hati. "Jalan garis hidup setiap manusia berbeda, seperti
ketika kita berlayar di tengah lautan, terkadang
perjalanan kita harus tertahan oleh badai prahara",
berkata Nyi Nariratih memandang kedua anak muda itu
dengan kelembutan wajah seorang ibu yang penuh
kasih. Demikianlah, setelah selesai sarapan pagi Nyi
Nariratih dan Patih Gajahmada berangkat bersama
menuju ke Kotaraja Majapahit.
Manakala tiba di penyeberangan sungai Kalimas,
Patih Gajahmada masih melihat tukang rakit sahabatnya
itu. Patih Gajahmada bernafas lega, tukang rakit itu tidak
1323 bercerita apapun tentang kejadian yang menimpanya
semalam. Patih Gajahmada memang tidak ingin
ibundanya mengetahui sebuah persoalan dirinya dengan
Ki Sadeng. Ketika tiba di Kotaraja Majapahit, ibu dan anak itu
pun berpisah. Nyi Nariratih ke barak pasukan khususnya,
sementara Patih Gajahmada langsung ke kepatihan
menemui Mahapatih Arya Tadah.
"Senang melihatmu di kepatihan ini", berkata
Mahapatih Arya Tadah menyambut kedatangan Patih
Gajahmada. Setelah menyampaikan berita keselamatan masingmasing, Patih Gajahmada langsung bercerita tentang
masalah yang tengah di hadapinya.
"Sadeng adalah sebuah pulau kecil di selatan
Jawadwipa, sebuah tempat persembunyian para bajak
laut menikmati hasil curian mereka", berkata Mahapatih
Arya Tadah setelah mendengar semua cerita Patih
Gajahmada. "Apa yang dapat aku lakukan menghadapi
permintaan mereka, wahai pamanda?", bertanya Patih
Gajahmada. Mahapatih Arya Tadah tidak segera menjawab
pertanyaan Patih Gajahmada, terlihat menarik nafas
dalam-dalam seperti ingin mengumpulkan kejernihan
pikirannya. "Aku pernah di tugaskan oleh Baginda raja
Sanggrama Wijaya menjadi seorang perusuh di berbagai
tempat di daerah kekuasaan Raja Jayakatwang,
tujuannya agar semua orang berpikir bahwa Raja
Jayakatwang tidak dapat menjaga keamanan buminya",
1324 berkata Mahapatih Gajahmada. Arya Tadah kepada Patih Ternyata Patih Gajahmada seorang yang punya
kecerdasan yang sangat tinggi, mampu memaknai
perkataan Mahapatih Arya Tadah.
"Sebuah cara penyelesaian yang tepat, aku akan
melakukan sebuah kelompok tandingan di jalur Lamajang
dan Bandar pelabuhan Banyuwangi, membuat keresahan hingga terdengar di pusat kerajaan ini dan
memutuskan untuk mengamankan jalur itu", berkata patih
Gajahmada yang dapat membaca kemana arah pikiran
Mahapatih Arya Tadah. "Ternyata aku tengah berhadapan dengan anak
muda yang sangat cerdas, lakukanlah apa yang harus
kamu lakukan, aku akan merestuinya", berkata
Mahapatih Arya Tadah sambil tersenyum penuh
kebanggaan hati. "Dan kita tidak hanya menangkap
seorang Ki Sadeng, tapi juga kelompoknya para bajak
laut yang memang sudah lama kudengar meresahkan
para nelayan di sekitar pulau Sadeng", berkata kembali
Mahapatih Arya Tadah. "Terima kasih untuk restu pamanda", berkata Patih
Gajahmada sambil menundukkan tubuhnya sebagai rasa
penghormatannya. "Patih Gajahmada", berkata Mahapatih Arya Tadah
menyebut nama Gajahmada lengkap tidak seperti
biasanya. Dan Patih Gajahmada menatap pandangan mata
Mahapatih yang selalu penuh dengan senyum kasih
seorang ayah kepada putranya.
"Beberapa hari ini aku merasakan wadag di tubuhku
1325 ini sudah sangat rapuh, semakin hari banyak sekali yang
kurasakan, aku sering merasakan letih dan ngilu di
beberapa bagian tubuhku", berkata kembali Mahapatih
Arya Tadah. Terlihat Patih Gajahmada terdiam, mengetahui ada
sesuatu hal yang ingin disampaikan oleh orang tua yang
sangat bijaksana itu. "Tugas di kepatihan ini sungguh sangat berat,
dibutuhkan seorang yang kuat dan segar untuk dapat
berpikir jernih membuat berbagai kebijakan dan
keputusan. Sementara kurasakan usiaku ini sudah tidak
layak lagi menangani tugas-tugasku ini, aku bermaksud
mengundurkan diri dari istana ini", berkata Mahapatih
Arya Tadah. Tersentak Patih Gajahmada mendengar penuturan
Mahapatih Arya Tadah. "Paman bermaksud mengundurkan diri?", berkata
Patih Gajahmada dengan wajah dan kening berkerut.
"Kemenakanku, Mahapatih Arya kesungguhan hati. patih tadah Gajahmada", berkata dengan wajah penuh Melihat kesungguhan hati di wajah Mahapatih Arya
Tadah, terlihat Patih Gajahmada menarik nafas panjang
seperti menunggu apa yang akan disampaikan oleh
orang tua itu. "Kutahu bahwa Baginda Raja Sanggrama Wijaya
begitu sangat menyayangimu layaknya putranya sendiri.
Keris Nagasasra yang dititipkan kepadamu bermakna
bahwa beliau begitu percaya menitipkan kerajaan ini
kepadamu. Aku sendiri telah melihat kecerdasan dan
kemampuanmu. Sebagaimana baginda raja Sanggrama
1326 Wijaya, aku begitu yakin bahwa kamu memang terlahir
untuk berdiri diatas jung Singgasana kerajaan Majapahit
ini, sebagai seorang pengendali yang dapat membawanya jauh mencapai impian kami, mengarungi
samudra raya, membangun nusa damai di tiap dermaga
yang kamu singgahi. Itulah impian leluhur kita di bumi ini,
Raja perkasa Erlangga", berkata Mahapatih Arya Tadah
dengan suara penuh kesungguhan hati.
"Aku merasa belum punya pengalaman yang cukup
untuk menjadi seorang Mahapatih di istana Majapahit
ini", berkata Patih Gajahmada merasa ragu.
"Di awal aku juga merasakan hal yang sama
sebagaimana dirimu, ragu atas kemampuan diri sendiri.
Namun tekad yang kuat telah menghilangkan segala
keraguan itu", berkata Mahapatih Arya Tadah.
"Terima kasih atas segala kepercayaan pamanda
kepada diriku, namun ijinkan aku untuk menyelesaikan
masalahku dengan Ki Sadeng, agar tidak ada lagi
ganjalan di dalam hati ini", berkata Patih Gajahmada.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menuntaskan kelompok Sadeng akan mengangkat
pencitraanmu, laksanakanlah dengan sebaik-baiknya",
berkata Mahapatih Arya Tadah.
"Terima kasih untuk restu Pamanda, aku selalu
berdoa untuk kesehatan Pamanda", berkata Patih
Gajahmada sambil berpamit diri.
"Aku juga selalu berdoa untuk keselamatanmu, wahai
kemenakanku", berkata Mahapatih Arya Tadah melepas
kepergian Patih Gajahmada.
Demikianlah, Patih Gajahmada terlihat telah keluar
dari istana Majapahit menuju arah barak prajurit khusus,
nampaknya ingin menjumpai ibundanya untuk berpamit
1327 diri. "Aku akan selalu merindukanmu, wahai putraku",
berkata Nyi Nariratih kepada Patih Gajahmada yang
berpamit diri untuk kembali ke kotaraja Kediri.
Dan siang itu terlihat tiga orang penunggang kuda
meninggalkan Kotaraja Majapahit, mereka adalah Patih
Gajahmada bersama dua orang prajurit pengawalnya.
"Maaf, aku telah menahan kalian cukup lama di
Kotaraja Majapahit", berkata Patih Gajahmada kepada
kedua prajurit pengawalnya.
"Kami prajurit, siap melayani tuan", berkata salah
seorang prajurit pengawal kepada patih Gajahmada.
Tidak ada kendala apapun dalam perjalanan Patih
Gajahmada, seperti dalam keberangkatannya mereka
singgah di barak prajurit khusus yang ada di
Kademangan Simpang untuk bermalam disana. Hingga
ketika pagi harinya mereka melanjutkan perjalanan
kembali. "Terima kasih untuk semua pelayanan kalian",
berkata Patih Gajahmada kepada Lurah Prajurit di barak
pasukan khusus Kademangan Simpang.
"Sebuah kehormatan untuk kami melayani tuan",
berkata Lurah Prajurit itu melepas keberangkatan Patih
Gajahmada dan dua orang prajurit pengawalnya.
Semilir angin pagi yang masih segar mengiringi
keberangkatan Patih Gajahmada dan dua orang
pengawalnya yang terlihat telah keluar dari regol gapura
Kademangan Simpang. Terlihat juga beberapa pedati para pedagang telah
merayap di jalan yang masih sepi itu searah jalan dengan
mereka bertiga. 1328 "Sampai bertemu kembali di Kotaraja Kediri", berkata
salah seorang pedagang melambaikan tangannya
kepada Patih Gajahmada dan kedua orang prajurit
pengawalnya. "Maaf, kami mendahului kalian", berkata Patih
Gajahmada membalas lambaian tangan mereka.
"Para prajurit di Kademangan Simpang ini
nampaknya telah menanamkan kecintaan yang tulus di
hati para pedagang dan warga disini", berkata Patih
Gajahmada kepada kedua orang prajuritnya.
Demikianlah, tidak ada kendala apapun dalam
perjalanan mereka. Hingga manakala matahari terlihat
bergeser jauh dari puncaknya mereka telah mendekati
batas kotaraja Kediri. Tiba di istana Daha, Patih Majapahit hanya sebentar
beristirahat di pasanggrahannya.
"Bila ada yang bertanya tentang diriku, katakan
bahwa aku ada di rumah Ki Rangga Gajah Biru", berkata
Patih Gajahmada kepada seorang pelayan di
pasanggrahannya. Sebagaimana yang dikatakan kepada pelayannya,
Patih Gajahmada memang terlihat telah keluar dari
Istana seorang diri menuju arah rumah Ki Rangga Gajah
Biru. "Selamat datang wahai sahabat mudaku", berkata Ki
Rangga Gajah Biru menyambut kedatangan Patih
Gajahmada. Setelah duduk bersama di pendapa Ki Rangga Gajah
Biru, mereka saling bercerita tentang beberapa hal
selama perpisahan mereka.
"Jadi Kuda Jenar telah mengakui di hadapan Tuan
1329 Patih bahwa dirinya dalang dari pembunuhan raja
Jayanagara?", berkata Ki Rangga Biru setelah
mendengar cerita Patih Gajahmada.
"Cerita Nyi Ra Tanca tentang suaminya ternyata
benar, Ra Tanca tidak bersalah", berkata Patih
Gajahmada. Pembicaraan Patih Gajahmada dan Ki Rangga Gajah
Biru terhenti manakala pintu pringgitan terbuka lebar.
Terlihat seorang wanita muda muncul dari pintu
pringgitan itu sambil membawa minuman hangat.
"Silahkan dinikmati tuanku", berkata wanita muda itu
sambil mengangguk penuh hormat kepada Patih
Gajahmada. "Terima kasih", berkata Patih Gajahmada kepada
wanita muda itu yang ternyata adalah Nyi Ra Tanca.
"Nyi Rangga tengah menyiapkan makanan di
belakang", berkata Nyi Ra Tanca berpamit diri untuk
kembali ke dalam. Manakala Nyi Ra Tanca sudah berlalu menghilang di
pintu pringgitan, Patih Gajahmada dan Ki Rangga
melanjutkan percakapan mereka.
"Tuan patih telah berlaku sangat bijaksana, demi
kemapanan dan ketentraman di bumi Majapahit, rahasia
besar ini memang harus tertutup rapat-rapat", berkata Ki
rangga Gajah Biru. "Sayang, ada seseorang yang mencuri dengar
pembicaraanku dengan Kuda Jenar dan bermaksud
memperalatnya", berkata Patih Gajahmada bercerita
tentang seseorang bernama Ki Sadeng kepada Ki
Rangga Gajah Biru. 1330 "Apa yang di minta orang itu kepada tuan Patih",
bertanya Ki Rangga Gajah Biru.
"Orang itu meminta jalur antara Lamajang dan
Bandar pelabuhan Banyuwangi untuk kepentingan dan
keuntungan kelompoknya", berkata Patih Gajahmada.
"Ijinkan diriku membawa sebuah pasukan untuk
menghancurkan orang itu dan kelompoknya", berkata Ki
Rangga Gajah Biru penuh amarah.
"Jalur antara Lamajang dan Bandar pelabuhan
Banyuwangi bukan wilayah kerja kita, namun aku telah
punya sebuah cara untuk menghancurkan mereka",
berkata Patih Gajahmada yang langsung bercerita apa
yang harus mereka lakukan sesuai dengan saran
Mahapatih Arya Tadah. "Aku juga pernah mendengar tentang sekelompok
bajak laut yang bersembunyi di pulau Sadeng,
nampaknya harta curian mereka sudah habis dan
bermaksud melakukan kejahatan mereka di darat",
berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Aku perlu seorang telik sandi yang dapat mengamati
gerak gerik serta kebiasaan mereka", berkata Patih
Gajahmada kepada Ki Rangga Gajah Biru.
"Besok aku akan menugaskan seorang petugas telik
sandi ke wilayah mereka", berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Terima kasih, aku akan menunggu hasil kerja
petugasmu itu", berkata Patih Gajahmada.
Tidak terasa hari terlihat mulai merayap di ujung
senja, halaman muka kediaman Ki Rangga Gajah Biru
sudah mulai redup tanpa cahaya sinar matahari. Dan
percakapan mereka berdua terhenti manakala pintu
pringgitan kembali terbuka.
1331 Ternyata Nyi Rangga dan Utami terlihat muncul dari
pintu pringgitan sambil membawa baki makanan untuk
mereka. "Semoga masakan orang Daha ini berkenan di lidah
tuanku", berkata Nyi Rangga Gajah Biru kepada Patih
Gajahmada. "Terima kasih Nyi Rangga, aku datang kemari justru
merindukan masakan orang Daha di rumah ini", berkata
Patih Gajahmada. Demikianlah, Patih Gajahmada menikmati kehangatan suasana di rumah keluarga Ki Rangga Gajah
Biru hingga jauh malam. Di tengah pembicaraan yang tidak membosankan itu,
Nyi Rangga Gajah Biru memulai sebuah pembicaraan
baru, sebuah pembicaraan mengenai Utami yang telah
mengandung muda. "Keluarga ini akan menjadi semakin ramai bila Utami
akan melahirkan anaknya", berkata Nyi Rangga Gajah
Biru. "Semasa hidupnya, suamiku begitu sangat mengagumi tuanku. Atas nama suamiku, kami akan
sangat bahagia bila kelak bayiku lahir tuanku berkenan
memberi nama untuknya", berkata Nyi Ra Tanca kepada
Patih Gajahmada. Terlihat Patih Gajahmada tersenyum gembira
menatap wajah tulus Nyi Ra Tanca. Rasa bersalahnya
yang telah salah tangan membunuh suaminya seketika
telah hilang sirna berganti sebuah kepeduliannya atas
derita yang dialami oleh wanita itu.
"Aku merasa terhormat di berikan kepercayaan ini,
bila bayimu perempuan kuberi nama sebagai Naladhipa,
1332 sementara bila bayimu laki-laki, kuberi nama sebagai
Nala. Ijinkan diriku menjadi ayah angkatnya, ijinkan diriku
untuk membimbingnya sebagaimana putraku sendiri",
berkata Patih Gajahmada penuh kesungguhan hati.
"Semoga Gusti yang Maha Agung memberkati
tuanku", berkata Nyi Ra Tanca penuh keharuan.
"Semoga Gusti Yang maha Agung memberkati tuan
Patih", berkata Ki Rangga Gajah Biru dan istrinya
bersamaan ikut merasa gembira mendengar perkataan
Patih Gajahmada yang mereka hormati itu.
Demikianlah, dalam suasana yang hangat penuh
kegembiraan itu tidak terasa hari telah merambat
semakin malam. "Pintu rumahku selalu terbuka untukmu, wahai
sahabat mudaku", berkata Ki Rangga Gajah Biru
melepas Patih Gajahmada kembali ke istana Daha.
"Aku akan sering singgah", berkata Gajahmada
melambaikan tangannya di ujung anak tangga pendapa.
Dan sang mentari datang terbit dan terbenam silih
berganti menyapa sang kala menunggu rembulan
bersinar sempurna di malam purnama.
Sementara pohon asam yang kering mulai tumbuh
tunas-tunas daun mudanya, burung-burung kecil telah
tumbuh dewasa mulai mencari pasangan dan tempat
sarang untuk menetaskan telur-telur mereka.
Dan di ujung senja itu, Patih Gajahmada terlihat
duduk di serambi pasanggrahannya setelah seharian
berada di kepatihan. "Ada seorang tamu yang ingin bertemu tuanku",
berkata seorang pelayan lelaki kepada Patih Gajahmada.
1333 "Apakah kamu mengenalnya?",
Gajahmada kepada pelayan itu.
bertanya Patih "Ki Rangga Gajah Biru", berkata pelayan itu kepada
Patih Gajahmada menyebut sebuah nama.
Mendengar yang datang bertamu itu adalah Ki
Rangga Gajah Biru, segera patih Gajahmada meminta
pelayannya itu untuk menjemput tamunya.
Tidak lama kemudian pelayan itu telah datang
kembali bersama seorang lelaki tua yang tidak lain
adalah Ki Rangga Gajah Biru.
"Senang sekali mendapat kunjungan dirimu, wahai Ki
Rangga Gajah Biru", berkata Patih Gajahmada kepada Ki
Gajah Biru di serambi pasanggrahannya.
"Sekali-kali orang tua mendatangi orang muda",
berkata Ki Rangga Gajah Biru penuh senyum cerah.
"Lama aku tidak singgah ke rumahmu, bagaimana
kabar keadaan keluargamu?", berkata Patih Gajahmada.
"Istriku sering menanyakan tentang dirimu, sementara Utami umur kehamilannya sudah semakin
tua", berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Bagaimana dengan petugas telik sandi yang kita
tugaskan mengamati Ki Sadeng dan kelompoknya?",
bertanya Patih Gajahmada.
"Untuk itulah aku datang menemuimu", berkata Ki
Rangga Gajah Biru berbisik perlahan.
Langsung Ki Rangga Gajah Biru bercerita bahwa
petugas telik sandi itu telah kembali dan telah
menyampaikan kepadanya semua hasil pengamatannya.
"Jalur antara Lamajang dan Blambangan adalah
sebuah jalur perdagangan yang cukup ramai saat ini,
1334 sayangnya jalur itu sepertinya sebuah jalur tak bertuan.
Ki Sadeng dan kelompoknya telah menjadi penguasa
baru yang memungut upeti dari para pedagang yang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melewati jalur itu", berkata Ki Rangga Gajah Biru
menuturkan hasil pengamatan petugas telik sandinya.
"Berapa kira-kira jumlah kelompok mereka itu?",
bertanya Patih Gajahmada.
"Ada sekitar enam ratus orang terdiri dari para bajak
laut dari berbagai tempat. Kekuatan mereka dapat
bertambah dengan menggunakan para penduduk yang
tinggal di sekitar jalur itu", berkata Ki Rangga Gajah Biru
kepada Patih Gajahmada. "Hingga saat ini mereka memang tidak meresahkan
warga setempat, mereka hanya meminta sedikit upeti
dari para pedagang dengan alasan menjaga keamanan
mereka", berkata Patih Gajahmada.
"Pada suatu saat, mereka dapat menggalang sebuah
kekuatan yang besar", berkata Ki Rangga Gajah Biru.
"Itulah yang sangat di khawatirkan oleh Mahapatih
Arya Tadah", berkata Patih Gajahmada.
"Apa rencana tuan Patih Gajahmada menghadapi
mereka?", bertanya Ki Rangga Gajah Biru.
"Menghancurkan mereka selagi belum memiliki
kekuatan yang besar", berkata Patih Gajahmada.
"Aku siap menugaskan para prajurit Kediri", berkata
Ki Rangga Gajah Biru. "Jalur Lamajang dan Blambangan itu bukan wilayah
kerja kita, aku khawatir Rajadewi Maharajasa dan
suaminya Raden Kudamerta tidak mengijinkannya,
disamping aku juga tidak ingin rahasia besar kematian
Raja Jayanagara diketahui oleh mereka", berkata Patih
1335 Gajahmada. Terlihat keduanya terdiam, nampaknya keduanya
tengah berpikir untuk mencoba mencari jalan.
"Aku akan mencoba mendekati Adipati Menak Koncar
di Lamajang, mudah-mudahan dirinya dapat membantu
kita", berkata Patih Gajahmada.
"Tuan Patih benar, banyak para pedagang berasal
dari Lamajang, mudah-mudahan Adipati Menak Koncar
dapat membantu kita", berkata Ki Rangga Gajah Biru
menambahkan. "Adipati Menak Koncar masih punya pengaruh yang
cukup besar dalam persekutuan perguruan Teratai Putih
di Jawadwipa dan Balidwipa yang pernah di pimpin oleh
Empu Nambi, aku berharap mendapat dukungan
darinya", berkata Patih Gajahmada.
"Kapan tuan Patih Gajahmada akan berangkat ke
Lamajang?", bertanya Ki Rangga Gajah Biru.
"Bila Rajadewi mengijinkan, besok aku akan segera
berangkat ke Lamajang", berkata Patih Gajahmada.
Sementara itu hari telah mulai larut malam, Ki
Rangga Gajah Biru pamit untuk kembali ke rumahnya.
"Aku selalu berdoa untuk keselamatan dirimu dan
keluargamu", berkata Patih Gajahmada melepas
kepergian Ki Rangga Gajah Biru.
Manakala Ki Gajah Biru telah lama pergi, Patih
Gajahmada masih tetap berada di serambi pasanggrahannya. "Aku belum mengenal siapa gerangan Ki Sadeng itu",
berkata Patih Gajahmada dalam mengingat kembali saatsaat berada di hutan Sastrawulan.
1336 JILID 16 "Ki Sadeng dapat mengikutiku hingga di Pasanggrahan Tanah Ujung Galuh, pasti bukan orang
sembarangan", berkata kembali Patih Gajahmada dalam
hati. "Hidup dan mati tidak bisa diundur dan dimajukan.
Begitu juga kalah dan menang dalam sebuah
pertempuran telah ditentukan oleh Gusti Yang Maha
Agung pemilik alam jagad raya ini", berkata kembali Patih
Gajahmada dalam hati memasrahkan segalanya kepada
Gusti Yang Maha Agung. "Sesuatu yang tidak mungkin dapat terjadi dengan
kehendaknya", berkata kembali Patih Gajahmada dalam
hati. Dalam kepasrahan itulah Patih Gajahmada masuk ke
peraduannya untuk beristirahat.
Sementara itu rembulan di langit malam diatas istana
Kediri terlihat pucat tanpa awan tanpa angin. Dan malam
yang sepi itupun akhirnya berlalu tanpa kisah hingga di
ujung pagi. Dan pagi itu Patih Gajahmada telah datang
menghadap Rajadewi Maharajasah, seorang gadis yang
Senopati Pamungkas 3 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Elang Terbang Di Dataran Luas 7