Pencarian

Para Ksatria Penjaga Majapahit 2

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 2


sebuah kebenaran. Siang dan malam belum juga
kudapat jawaban kepastian atas keraguan hati ini.
Akhirnya ku tutup perasaan hati dan kerinduan ini, hanya
dengan sebuah kata bahwa cinta adalah penjara hati",
berkata Gajahmada kepada Andini yang dilihatnya sudah
meneteskan air matanya. "Kakang Gajahmada, aku sudah puas mendengar
semua pengakuanmu, aku sudah merasa bahagia
dengan semua perkataanmu itu", berkata Andini menatap
Gajahmada penuh kebahagiaan, Namun mata indahnya
telah berlinang air mata.
"Mengapa kamu menangis, wahai Andini ku", berkata
Gajahmada merasa bersalah.
"Kakang tidak bersalah, suratan takdir juga tidak akan
salah menggariskan semua perjalanan manusia. Kita
telah digariskan untuk saling menyintai, namun kita telah
digariskan juga untuk tidak dapat bersatu. Karena aku
telah memilih jalanku sendiri, jalan yang telah
membebaskan diriku dari penjara hati, penjara keinginan,
hasrat dan semua nafsu duniawi, aku telah menjadi
seorang Bhiksuni. 78 Perkataan Andini didengar oleh Gajahmada seperti
sebuah petir membelah-belah udara bumi, melemparkan
perasaan Gajahmada seperti terjatuh di titian panjang
dan terjungkal melayang ke ujung jurang tak berdasar.
"Relakanlah aku, wahai Kakang Gajahmada ku. Pintu
Nirwana telah terbuka untuk hatiku, relakanlah aku untuk
memasukinya. Hanya itu permintaan dariku, seorang
wanita yang kamu cintai dan juga mencintaimu", berkata
Andini kepada Gajahmada masih dengan air mata
memenuhi wajahnya. Daun perdu di ujung halaman padepokan seperti
membeku, hanya suara anak sungai dan deru air terjun
Nglirip yang masih terus terdengar memenuhi suasana
hati kedua anak manusia yang menatap mega-mega
yang juga tak bergerak, membeku.
Akhirnya kebekuan itupun mencair manakala Nyi
Ajeng Nglirip telah datang kembali bersama mereka.
Dan tanpa ada yang ditutupi, Gajahmada telah
bercerita tentang suasana yang semakin meruncing
antara Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan Adipati
Ranggalawe. "Tugasku di daerah Tuban ini hanya untuk
memastikan, bahwa Adipati Ranggalawe benar-benar
telah ada keinginan untuk memisahkan diri dari Majapahit
Raya", berkata Gajahmada kepada Nyi Ajeng Nglirip dan
Andini. "Persahabatan akan menjadi cedera, manakala dua
hati saling bercuriga, dan kebijaksanaan seorang raja
besar nampaknya tengah diuji. Kerajaan Majapahit
tengah berada di persimpangan jalan, berhenti atau maju
terus dengan memerangi para sahabat dekat yang akan
menjadi tumbal-tumbal kebesaran hari depan dalam
79 kejayaan dan kegemilangan", berkata Nyi Ajeng Nglirip
sambil menatap rumput-rumput liar di halaman
padepokan yang merunduk di wajah udara bumi yang
sudah berada di ujung senja itu.
Dan senja memang telah pergi, perlahan semak dan
daun perdu di ujung halaman muka Padepokan Nyi
Ajeng Nglirip itu mulai kabur remang dalam pandangan.
"Beristirahatlah, bilik untukmu telah dipersiapkan",
berkata Ni Ajeng Nglirip kepada Gajahmada.
Ketika telah memasuki biliknya, Gajahmada hanya
berbaring tidak dapat memejamkan matanya.
Sementara itu di bilik yang lain, seorang gadis jelita
tengah memandang sebuah kecapi kayu di atas meja
kecil di ujung peraduan. Gadis jelita itu adalah Andini, yang lama duduk diatas
peraduannya seperti tidak ingin melepas matanya dari
kecapi miliknya itu yang telah memberinya begitu banyak
kenangan yang indah. Sementara itu suara air terjun Nglirip seperti tidak
pernah berhenti bergemuruh mengisi sepi malam,
dibawah sinar rembulan yang terpotong awan hitam
diantara kepak-kepak kelelawar yang datang dan pergi
mengarungi malam dan kegelapan.
Akhirnya suara ayam jantan telah datang membuka
tirai cakrawala langit bersama gerimis hujan pagi
membasahi rerumputan di halaman muka padepokan
kecil itu. "Padepokanku ini adalah rumahmu juga, wahai
ksatria Majapahit. Dalam perang dalam damai,
padepokan ini akan selalu terbuka untukmu. Kutitipkan
kepadamu kedua putriku, Gajatri dan Wiyat.
80 Bawalah mereka mengunjungi ibundanya sekali
waktu adalah seteguk air kerinduan yang membasuh
dahaga sepi hari-hariku", berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada Gajahmada yang akan melanjutkan perjalanannya mengamati daerah sekitar Tuban.
"Terima kasih, aku akan sering singgah selama
berada di daerah Tuban ini", berkata Gajahmada kepada
Nyi Ajeng Nglirip sambil sebentar mengarahkan
pandangannya kepada Andini yang ikut mengantarnya
hingga menuruni anak tangga pendapa padepokan itu.
Deru gemuruh air terjun Nglirip sudah semakin
menjauh seiring langkah Gajahmada yang telah berjalan
meninggalkan padepokan kecil itu, meninggalkan
sepotong hati pemilik sepasang mata indah yang selalu
mengiringi setiap langkahnya disaat sepi sendiri.
"Hati Andini telah dipersembahkan kepada pemilik
alam semesta ini, dan kami tidak dapat lagi berbagi untuk
saling memiliki", berkata Gajahmada dalam hati sambil
memandang mega-mega yang terbang berlari terbawa
angin membentuk wajah dan rupa baru. "Begitulah
kehidupan ini seperti mega-mega yang ringan terbang
mengikuti keinginan sang penciptanya, menerima
apapun kehendak garis angin kehidupan dalam rupa dan
bentuk baru di sepanjang waktu", berkata Gajahmada
merenungi arti garis kehidupannya.
Ternyata langkah kaki Gajahmada telah berjalan ke
arah timur, menyusuri lembah dan tanah perbukitan yang
hijau. Sinar cahaya matahari terhalang daun dan hijaunya
gerumbul hutan berbukit membuat langkah kaki
Gajahmada tidak terasa telah memasuki sebuah
Kademangan yang cukup ramai di siang itu.
81 "Kisanak telah berada di Kademangan Montong",
berkata seorang prajurit pengawal kademangan kepada
Gajahmada yang kebetulan berjalan seiring di jalan
padukuhan. "Dua orang prajurit Kademangan kulihat tergesa-gesa
mendahuluiku, apakah hari akan ada sebuah upacara
besar di rumah Ki Demang?"
Terlihat prajurit kademangan
mendengar pertanyaan Gajahmada.
itu tersenyum "Minggu depan memang akan ada upacara sedekah
bumi, menyambut panen raya di kademangan ini. Namun
hari ini kami para prajurit kademangan akan berlatih di
lapangan terbuka depan rumah Ki Demang. Ada seorang
guru pelatih yang sengaja didatangkan dari Kadipaten
Tuban", berkata prajurit muda itu.
Ketika mereka telah sampai di depan rumah Ki
Demang Montong, prajurit muda itu telah bergabung
dengan kawan-kawannya di lapangan terbuka.
Ada beberapa orang tua dan anak-anak kecil ikut
menonton para prajurit yang hari itu akan melakukan
berbagai macam latihan. Dan Gajahmada telah
bergabung di sisi kiri lapangan terbuka itu bersama
beberapa orang warga yang ingin melihat latihan para
prajurit Kademangan itu. Rupanya latihan hari itu adalah sebuah latihan
berkuda, ada sebuah orang-orangan dari jerami batang
padi sebagai sebuah sasaran dan tonggak-tonggak
batang bambu sebagai perintang yang diletakkan
sengaja berliku-liku. Satu persatu prajurit itu naik diatas kuda yang akan
dilarikannya mengelilingi satu putaran lapangan, setelah
82 itu mereka harus melewati batang bambu yang berliku.
Akhirnya mereka kembali menghentakkan perut kudanya
agar berlari kencang mendekati orang-orangan. Setelah
dekat seorang prajurit harus melemparkan tombaknya
dengan jitu mengenai orang-orangan dari jerami padi itu.
Beberapa orang terlihat tertawa manakala menyaksikan salah seorang prajurit Kademangan itu
terjatuh ketika melewati tonggak bambu yang berliku-liku.
Namun hati para penonton merasa terpukau
manakala menyaksikan seorang prajurit yang sangat
tangkas mengendarai kuda melewati tonggak-tonggak
bambu dan berhasil menancapkan tombak panjangnya
tepat di tubuh orang-orangan yang terbuat dari jerami
padi itu. Demikianlah, Gajahmada terus menyaksikan latihan
para prajurit di lapangan terbuka itu hingga sore.
Namun belum usai latihan itu, Gajahmada telah pergi
menghilang untuk melanjutkan perjalanannya mengamati
kademangan lainnya yang masih dalam kekuasaan
wilayah Tuban. Hari ke hari Gajahmada memasuki beberapa
Kademangan di wilayah Tuban itu, ternyata Gajahmada
mendapat sebuah gambaran bahwa Adipati Ranggalawe
memang tengah mempersiapkan sebuah kekuatan lewat
sebuah perintah khusus menurunkan para pelatih
keprajuritan di hampir semua kademangan yang tersebar
di wilayah Tuban itu. Hingga di sebuah pagi, Gajahmada tidak sengaja
telah mendatangi sebuah Kademangan yang tengah
melaksanakan sebuah upacara sedekah bumi, seperti
biasa upacara sedekah bumi itu selalu dimeriahkan
dengan menanggap kesenian Langen tayub hingga siang
83 harinya. Terlihat Gajahmada telah melebur bersama warga
setempat di barisan penonton, sementara barisan tamu
undangan istimewa berada di sebelah kanan panggung
di bawah sebuah tajuk, nampaknya para pemuka
Kademangan dan tamu kehormatan dari Kadipaten
Tuban. Dari beberapa orang, Gajahmada dapat mengetahui
bahwa dalam upacara sedekah bumi itu dihadiri oleh
putra Adipati Tuban bernama Kuda Anjampiani bersama
gurunya Ki Ajar Pelandongan.
Itulah sebabnya Ki Demang telah menanggap
kelompok kesenian Langen Tayub yang terkenal disaat
itu agar tidak kehilangan muka di hadapan putra Adipati
Ranggalawe dan gurunya itu.
Terlihat para warga dan semua orang-orang yang
hadir di alun-alun Kademangan itu dengan penuh
keheningan mendengar seorang pendeta membacakan
mantra-mantra suci berharap panen di kademangan itu
selalu baik, melimpah dan dijauhkan dari segala mala
petaka. Maka tibalah yang dinantikan oleh semua warga
pada saat itu, yaitu sebuah pagelaran Langen Tayub dari
sebuah kelompok kesenian yang sangat tersohor di
Kadipaten Tuban itu. Terdengar suara riuh sorak dan sorai para penonton
manakala seorang pramugari atau landang membuka
pagelaran kesenian langen tayub.
Bertambah riuh suasana manakala rombongan
waranggono turun berlenggak-lenggok gemulai menarikan sebuah tarian Gambyong, sebuah tarian
84 mewakili kata sambutan selamat datang para tetamu dan
para penonton. "Gending anyer, gending anyer !!", berteriak
beberapa penonton meminta para waranggono
melantunkan sebuah gending terbaru mereka.
"Sabar, sabar", berkata seorang Landang sambil
mengangkat tangannya tinggi-tinggi berusaha meredam
teriakan para penonton."Untuk para warga Kademangan
ini, kami akan membawakan sebuah gending anyer yang
berjudul Ksatria seruling sakti", berkata seorang landang
dihadapan para hadirin. Mendengar gending Ksatria seruling sakti akan
ditembangkan, terdengar suara para penonton menyambutnya dengan penuh kegembiraan.
Maka para waranggono melantunkan suaranya
membawakan gending terbaru mereka yang diangkat
dari sebuah kisah nyata yang baru-baru ini telah


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggemparkan hampir semua orang di seluruh wilayah
Tuban saat itu, yaitu tentang para pemburu mustika batu
Tuban di air terjun Nglirip, dimana telah muncul seorang
ksatria berseruling sakti mengalahkan semua para
pemburu mustika. Para seniman Langen tayub telah semakin
mengharumkan nama ksatria seruling sakti itu dengan
menggubahnya menjadi gending anyer ciptaan mereka
yang selalu dilantunkan di setiap pagelaran mereka.
Gajahmada yang telah melebur diantara para
penonton terlihat tersenyum sendiri manakala seorang
waranggono melantunkan gending ksatria seruling sakti,
Dua bidadari cantik turun dari langit, mandi di air
terjun Nglirip 85 Tiga raksasa datang memaksa membawa pergi sang
bidadari. Datanglah ksatria seruling sakti mengalahkan tiga
raksasa Sayang seribu sayang, ksatria seruling sakti tuna
wicara Sayang seribu sayang, ksatria seruling sakti tidak
bisa mengatakan cintanya.
Sayang seribu sayang, dua bidadari kembali ke
langit, Sayang seribu sayang.
Terlihat para hadirin seperti tersihir ikut mengibing
bersama sebagaimana para pengibing didepan
panggung dengan sampur di leher.
Namun suasana yang sangat meriah itu tiba-tiba
terhenti, suara gamelan berhenti dan para pengibing dan
waranggono terlihat mundur beberapa langkah dengan
wajah cemas dan dipenuhi rasa takut.
Ada apa gerangan?" Ternyata di depan panggung telah berdiri seorang
pemuda dengan mengangkat tinggi-tinggi kerisnya
dengan suara lantang meminta gending ksatria seruling
sakti itu dihentikan. "Mulai hari ini aku tidak ingin gending Ksatria seruling
sakti kudengar di telingaku, juga ditembangkan di seluruh
tanah Tuban ini. Barang siapa melanggar aturanku, akan
mendapat hukuman dariku", berkata pemuda itu yang
diketahui bernama Kuda Anjampiani, putra adipati
Ranggalawe. Suasana seketika menjadi begitu sepi, begitu
lengang dan begitu mencekam, tidak seorang pun berani
86 membantah perkataan Kuda Anjampiani yang diketahui
mempunyai kesaktian tinggi itu, apalagi bersamanya saat
itu adalah gurunya sendiri Ki Ajar Pelandongan.
Untung saja Landang yang diturunkan saat itu adalah
seorang landang yang mumpuni, dapat mengendalikan
suasana panggung. "Terima kasih kami sampaikan kepada putra Adipati
yang perkasa, Adimas Kuda Anjampiani yang telah
tampil di depan panggung, untuk penghormatan dan
kesetiaan kami kepada junjungan yang mulia Adipati
Ranggalawe, kami akan menembangkan sebuah
gending idaman yang lebih indah, dipersilahkan kepada
hadirin menikmati gending kami, Gambir Sawit", berkata
seorang Landang mencoba meredam suasana
mencekam itu. Suasana pun kembali seperti sedia kala, namun tetap
saja ada sebuah kekecewaan di hati para warga yang
hadir disaat itu, meski mereka tidak berani
mengungkapkannya. Mengapa seorang pemuda seperti Kuda Anjampiani
itu begitu membenci gending Ksatria seruling sakti"
Semula bermula tentang sebuah kabar cerita tentang
seorang ksatria yang telah dapat mengalahkan hampir
semua orang sakti di air terjun Nglirip beberapa pekan
yang lalu. Ksatria seruling sakti tanpa nama itu telah
menjadi pembicaraan hampir semua orang di wilayah
Tuban itu dan telah diagungkan oleh orang-orang
sebagai seorang yang sakti berilmu tinggi adi jaya
mandraguna. Berita itulah yang telah membuat telinga Kuda
Anjampiani seperti terbakar. Selama ini semua orang
Tuban telah mengagungkan keluarga Adipati 87 Ranggalawe sebagai orang-orang berilmu mempunyai
kesaktian tinggi, tiada lawan tanding.
Keharuman nama Ksatria seruling sakti dapat
memudarkan nama keluarga Adipati Ranggalawe,
dimana saat itu tengah menyusun sebuah kekuatan
tandingan menghadapi para penguasa Majapahit. Dan
kehadiran putra Adipati Ranggalawe bersama gurunya di
Kademangan itu adalah untuk mengangkat kembali
nama kehormatan dan kebesaran keluarga Adipati
Ranggalawe di hati orang-orang Tuban.
Gending pamungkas terdengar mendayu-dayu
dibawakan oleh para waranggono, sebagai pertanda
bahwa pagelaran langen tayub akan segera berakhir.
Satu dua orang sudah mulai beranjak dari tempatnya.
Terlihat pula Gajahmada telah menyelinap diantara
kerumunan para penonton yang masih enggan
meninggalkan pagelaran langen tayub itu.
Suara gamelan gending langen tayub sudah
terdengar sayup-sayup manakala Gajahmada sudah
keluar menjauhi kademangan itu.
"Saatnya untuk mengamati Kadipaten Tuban lebih
dekat lagi", berkata Gajahmada dalam hati membayangkan suasana di Kadipaten Tuban pasti tidak
berbeda jauh dengan suasana di beberapa kademangan
yang telah di amati, tengah menyusun kekuatan para
prajurit dalam latihan-latihan yang keras.
Matahari terlihat sudah condong lebih ke barat ketika
Gajahmada telah memasuki Kadipaten Tuban yang
berdekatan dengan pesisir pantainya.
Ternyata dugaan dan bayangan Gajahmada tentang
suasana di kadipaten Tuban sangat jauh dari yang
diperkirakan, tidak ditemuinya seorang pun prajurit yang
88 tengah berlatih sebagaimana
beberapa Kademangan. yang ditemuinya di "Mungkin aku datang disaat matahari sudah condong
ke barat", berkata Gajahmada dalam hati.
Terlihat Gajahmada mencoba menyusuri jalan
Kadipaten Tuban yang telah mulai sepi itu, melewati
istana Kadipaten Tuban yang nampak megah dan kokoh
di antara bangunan sekitarnya. Tidak seorang pun yang
memperhatikan langkah pemuda itu, mungkin pakaian
yang dikenakan seperti pakaian para pengembara
umumnya. Hingga akhirnya langkah Gajahmada telah
membawanya ke bandar pelabuhan Tuban yang ternyata
masih sangat ramai. Terlihat beberapa perahu dagang
tengah merapat di dermaga, beberapa buruh panggul
tengah membawa barang mengisi sebuah pedati.
"Nanti malam aku akan menilik keadaan barak
prajurit", berkata Gajahmada dalam hati sambil
melangkahkan kakinya ke sebuah kedai yang masih
buka di ujung bandar pelabuhan Tuban.
Ketika memasuki kedai itu, sudah ada beberapa
orang pengunjung di kedai itu.
Seorang pemilik kedai datang menghampirinya,
menanyakan pesanan makanan kepada Gajahmada.
Terlihat pemilik kedai itu kembali kedalam untuk
menyiapkan makanan dan minuman pemuda itu.
Di dalam kedai, Gajahmada mencoba mencuri
dengar pembicaraan beberapa pengunjung kedai itu,
namun tidak didapat apapun dari mereka selain cerita
tentang kecantikan para waranggono sebuah kelompok
Langen Tayub yang dua hari ini akan manggung di
sebuah acara perayaan perkawinan seorang juragan
89 besar di Kadipaten Tuban.
Akhirnya Gajahmada telah memutuskan untuk
menunggu malam di bandar pelabuhan Tuban itu.
Dan senja perlahan mulai redup menyelimuti pantai
laut Tuban. Terlihat Gajahmada tengah menyusuri pantai laut
Tuban, menatap cahaya kuning emas memancar di ujung
batas lengkung laut yang menghitam.
Indah, teduh dan damai suasana di pantai Tuban
dalam tatapan mata Gajahmada di penghujung akhir
senja itu. Semilir angin laut yang dingin mengurai rambut
pemuda itu yang tengah menatap beberapa nelayan
yang tengah mengayuh perahu sampan mereka menuju
tengah laut. "Peperangan dan perebutan kekuasaan silih berganti,
tidak akan merubah apapun kehidupan mereka. Yang
mereka ketahui adalah musim badai dan musim melaut,
mengais kehidupan malam di tengah laut berharap ikan
masuk memenuhi jala-jala mereka sebagai kabar
gembira buah tangan manakala kembali ke rumah
menemui istri dan anak-anak mereka yang menunggu
dan berdoa sepanjang malam untuk pahlawan hati
mereka", berkata Gajahmada dalam hati sambil
memandang sebuah perahu nelayan yang semakin
menjauh bergoyang diatas ombak laut malam.
Perlahan cahaya kuning di ufuk barat bumi telah
mulai menghilang, wajah lautan telah menjadi hitam
kelam di bawah langit malam. Titik-titik cahaya lentera
milik para nelayan terlihat seperti bintang berkelip
ditengah laut bersama riak deru ombak berkali-kali
90 datang dan pergi membentur bibir dermaga kayu yang
kusam mulai rapuh. Lama Gajahmada duduk di bawah sebuah pohon
kelapa yang tumbuh di pinggir pantai Tuban itu, jauh dari
keramaian bandar pelabuhan Tuban yang terlihat
semakin sepi manakala malam sudah menjadi semakin
larut. Terlihat Gajahmada telah bangkit dari duduknya,
perlahan anak muda itu melangkah menuju kearah jalan
Kadipaten Tuban yang tidak begitu jauh itu.
Jalan kadipaten Tuban di malam itu sudah terlihat
begitu sepi, beberapa oncor menerangi beberapa muka
regol bangunan di sepanjang jalan utama Kadipaten
Tuban. "Bangunan barak prajurit Tuban", berkata Gajahmada
ketika melewati sebuah bangunan yang sangat besar
dimana pintu gerbangnya telah tertutup rapat.
Gajahmada masih tetap melangkah melewati regol
pintu gerbang bangunan barak prajurit itu yang diterangi
sebuah oncor besar minyak jarak.
Namun ketika dirinya berada di ujung pagar
bangunan itu, terlihat pemuda yang mempunyai
kesaktian ilmu sangat tinggi itu telah melenting
melompati sisi pagar dan merapat tenggelam di
kegelapan bayangan malam.
Pemuda itu hanya melihat ada tiga orang prajurit di
dalam gardu penjagaan. Setelah merasa yakin bahwa kehadirannya tidak
diketahui oleh siapapun, terlihat pemuda itu telah melesat
dan merapat di dinding bangunan utama barak prajurit
Tuban. 91 Bayangan malam telah melindungi Gajahmada yang
tengah merapat di dinding bangunan utama.
Hanya dengan sedikit ayunan kaki, tubuh Gajahmada
sudah seperti anak panah meluncur keatas wuwungan
atap bangunan utama itu. Terlihat anak muda itu kembali merapatkan tubuhnya
sejajar dengan atap wuwungan dan melebur menjadi
satu dengan bayangan malam. Setelah memastikan
keadaan aman, kembali anak muda itu telah bergerak
cepat dan ringan berpindah keatas wuwungan bangunan
lain. "Sepi!!", berkata Gajahmada dalam hati manakala
telah membuka sedikit atap dan melihat ruang bawah
dalam barak prajurit. Terlihat Gajahmada telah melesat berpindah dari satu
wuwungan bangunan ke bangunan lainnya, ternyata
Gajahmada tidak seorang pun prajurit di dalam barakbarak mereka.
Malam sudah semakin larut, tanpa sinar bulan
menjadikan malam itu begitu pekat dan gelap.
Terlihat Gajahmada sudah berada kembali merapat
di dinding utama bangunan barak prajurit. Setelah
memastikan bahwa ketiga orang prajurit yang berada di
gardu penjagaan tidak melihatnya, maka terlihat anak
muda yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh
dengan sangat sempurna itu telah seperti terbang
melesat cepat mendekati dinding pagar dan melenting
melompati pagar dinding itu.
Tidak seorang pun berada di jalan dan melihat anak
muda itu melompat keluar dinding bangunan barak
prajurit itu.

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

92 Jalan Kadipaten Tuban malam itu begitu sepi,
Gajahmada terlihat telah melangkah kembali ke arah
pesisir pantai. "Kemana para prajurit Tuban saat ini?", berkata
dalam hati Gajahmada ketika tengah duduk bersandar di
sebuah batang pohon kelapa yang menghalangi terpaan
angin malam di tepian pantai Tuban.
Tidak terasa semilir angin di tepian pantai Tuban
telah membuatnya tertidur. Namun sebagaimana jiwa
seorang Ksatria pengembara, panca inderanya masih
tetap terjaga, masih mendengar suara deru ombak tiada
henti, masih mendengar suara pelepah kelapa yang
kering jatuh ke tanah, juga mendengar suara langkah
kaki menginjak pasir pantai yang lembut tengah
mendekatinya. Perlahan mata Gajahmada terbuka, dibiarkannya dua
orang lelaki yang terlihat tengah mendekatinya.
"Berdirilah anak muda, kami ingin membawa kamu ke
istana Kadipaten", berkata salah seorang diantara
mereka setelah berada di dekat Gajahmada yang masih
bersandar di batang pohon kelapa.
Terlihat mata Gajahmada memandang kearah kedua
orang lelaki itu, daya ingatnya yang sangat kuat seperti
pernah melihat kedua lelaki itu, seorang masih muda
sebaya dengannya, sementara lelaki lainnya sudah
cukup umur. Jilid 2 GAJAHMADA masih ingat bahwa salah seorang
diantaranya adalah putra Ranggalawe yang dilihatnya
dalam pagelaran Langen Tayub di sebuah Kademangan
93 kemarin hari. Dan orang tua disebelahnya itu sudah pasti
adalah gurunya. Namun di depan mereka berdua Gajahmada seperti
belum pernah menjumpainya.
"Mengapa aku harus di bawa ke istana Kadipaten?",
berkata Gajahmada sambil mengerutkan keningnya dan
berdiri. "Kami berdua telah melihat kamu keluar masuk barak
prajurit secara diam-diam", berkata orang tua guru putra
Ranggalawe itu yang diketahui bernama Ki Ajar
Pelandongan. Terkejut Gajahmada mendengar perkataan orang tua
itu, ternyata mereka berdua telah melihat dirinya masuk
ke barak prajurit Tuban. Namun di depan mereka berdua,
terlihat Gajahmada seperti tidak merasa bersalah
apapun. "Mau seribu kali keluar masuk barak prajurit, itu
urusanku", berkata Gajahmada dengan sikap acuh tak
acuh. Sikap Gajahmada itu ternyata telah membuat anak
muda putra Ranggalawe itu naik pitam.
"Guru, orang ini nampaknya tidak perlu diajak bicara.
Sudah pasti orang ini adalah orang Majapahit yang
tengah mengamati kita", berkata putra Ranggalawe itu
seperti tidak sabaran. "Anak muda, nampaknya kami harus membawamu
ke istana dengan cara kekerasan", berkata Ki Ajar
Pelandongan mengambil alih pembicaraan tidak berbuat
gegabah kepada orang muda dihadapannya itu yang
menurut perhitungannya pasti bukan orang sembarangan, terutama ketika dilihatnya memasuki
barak prajurit menggunakan ilmu meringankan tubuh
94 yang sudah sangat sempurna. Dan dirinya nampaknya
tidak ingin anak muridnya maju menghadapi Gajahmada.
"Orang tua, jangan berkata berputar-putar, katakan
saja kalian akan menangkapku. Berdirilah disitu,
saksikanlah muridmu sendiri maju menangkapku",
berkata Gajahmada seperti dapat membaca jalan pikiran
orang tua itu. "Guru, orang ini memang harus disumpal mulutnya",
berkata Kuda Anjampiani maju selangkah merasa
perkataan Gajahmada telah menantang dirinya.
"Angger Kuda Anjampiani, biarlah aku sendiri yang
menghadapinya. Apa kata orang bila seorang putra
Adipati harus berhadapan dengan seorang gelandangan
seperti orang ini", berkata Ki Ajar Pelandongan yang
merasa serba salah melihat Kuda Anjampiani telah
masuk dalam pancingan Gajahmada.
"Orang tua, sekali lagi kukatakan jangan berputarputar dalam berkata. Katakan saja bahwa kamu takut
ada orang yang melihat bahwa putra Adipati yang
terhormat ini dapat dikalahkan olehku", berkata kembali
Gajahmada seperti tahu kekhawatiran orang tua itu.
"Guru, orang ini jelas-jelas telah menantangku",
berkata Kuda Anjampiani dengan wajah sudah merah
padam. "Angger, orang ini bukan hanya menantangmu, tapi
juga telah membuat tanganku gatal untuk merobek mulut
besarnya itu", berkata Ki Ajar Pelandongan seperti sudah
buntu di satu sisi tidak dapat mencegah muridnya,
namun di sisi lain tidak yakin bahwa muridnya itu dapat
melumpuhkan Gajahmada seorang diri.
"Orang tua, perkataanmu terlalu berputar-putar,
95 katakan saja kamu tidak yakin bahwa muridmu ini tidak
akan mampu mengalahkan aku seorang diri", berkata
Gajahmada sambil tertawa.
"Mari kita ringkus manusia sombong ini", berkata Ki
Ajar Pelandongan sambil bergeser melangkah mencari
tempat siap menghadapi Gajahmada bersama muridnya.
"Bagus, seharusnya sejak tadi saja kamu katakan hal
itu, tidak berputar-putar membuat pening kepalaku",
berkata Gajahmada penuh senyum telah dapat
memancing kemarahan orang tua itu.
"Aku ingin menangkap orang ini hidup-hidup,
mengikatnya di perempatan jalan agar semua orang se
kadipaten Tuban satu persatu menampar mulut
besarnya", berkata Kuda Anjampiani dengan wajah
merah menahan rasa amarah yang sudah meluap-luap
mendidih di kepala. "Aku yang akan menampar pertama mulut besar
orang ini", berkata Ki Ajar Pelandongan sambil langsung
bergerak dengan sangat cepat melayangkan tangannya
kearah kepala Gajahmada. Angin sambaran serangan pertama itu telah terasa
kuat menyambar wajah Gajahmada, sebagai pertanda
bahwa tenaga orang tua itu tentu sangat luar biasa.
Terlihat Gajahmada telah bergeser beberapa langkah
tidak balas menyerang, karena tahu Kuda Anjampiani
sudah bergerak menyerangnya dengan sebuah lompatan
panjang menghantam perutnya dengan sebuah
tendangan. Kembali Gajahmada bergeser dengan cepat
menghindari serangan putra Adipati Tuban yang mudah
terpancing amarahnya itu.
96 Ternyata Ki Ajar Pelandongan sudah menyusulnya
menyerang Gajahmada dengan pukulan kearah
kepalanya. Namun serangan itu hanya menembus
tempat kosong, karena Gajahmada dengan ringannya
bergerak pergi menghindar.
Demikianlah, dalam waktu singkat pertempuran di
atas pasir pantai Tuban itu terlihat semakin seru, susul
menyusul dua orang Guru dan murid itu seperti berlomba
mencoba menghajar Gajahmada dengan serangan yang
kuat dan dahsyat, namun selalu saja Gajahmada dapat
meloloskan diri dari serangan mereka berdua, selalu
keluar dari kepungan mereka berdua.
Gajahmada seperti seekor burung sikatan belang
terbang kesana kemari menghindari serangan dua ekor
ular besar yang terus memburunya.
Bukan main geramnya kedua guru dan murid itu
mendapatkan tidak satu pun serangan mereka mengenai
sasaran. Di mata mereka Gajahmada begitu licin dan
gesit selalu keluar dari kepungan serangan mereka.
Terlihat Gajahmada tersenyum telah dapat memancing kedua lawannya bergerak hingga sampai
diatas puncak tataran mereka dalam kecepatan ilmu
meringankan tubuh mereka. Dari penjajakan itu
nampaknya Gajahmada sudah dapat menilai batas
kemampuan kedua lawannya dalam bergerak.
"Aku akan mengukur tingkat kekuatan mereka",
berkata dalam hati Gajahmada sambil masih terus
berkelit kesana kemari dan telah melambari dirinya
sendiri dengan tenaga sakti sejatinya.
Terlihat dalam beberapa serangan Gajahmada
mencoba membenturkan pukulan dan tendangan mereka
hanya dengan seperdelapan dari kekuatan yang dimiliki.
97 Nampaknya Gajahmada sangat berhati-hati dalam
menjajaki kekuatan lawannya, tidak langsung meningkatkannya ke tataran puncaknya, tapi semua
dilakukan dengan penuh pengendalian diri yang tinggi,
melakukannya dengan cara bertahap dan berjenjang.
Ketika di awal benturan kekuatan, terlihat Kuda
Anjampiani merasakan tangannya bergetar pedih
manakala tangan Gajahmada telah sengaja membenturkannya. Sementara dalam benturan dengan
Ki Ajar Pelandongan, justru Gajahmada yang merasa
bergetar pedih. Dari penjajakan pertama itu Gajahmada merasa
harus meningkatkan tataran kekuatan tenaga saktinya
setingkat lebih tinggi lagi.
Yang terjadi adalah bahwa dalam beberapa benturan
saja, terlihat Kuda Anjampiani merasa tulang-tulangnya
terasa remuk dan langsung meningkatkan tataran
ilmunya lebih tinggi lagi.
Sementara Ki Ajar Pelandongan sudah mulai
merasakan bergetar pedih manakala beradu tangan dan
kaki Gajahmada yang sengaja membenturkannya. Maka
sebagaimana muridnya, Ki Ajar Pelandongan sudah
langsung meningkatkan kekuatan tenaga inti sejatinya.
"Aku tidak ingin mereka terluka parah", berkata
Gajahmada sambil meningkatkan tataran kekuatan
tenaga saktinya terus menjajaki puncak tataran kekuatan
kedua lawannya itu. Demikianlah, setingkat demi setingkat Gajahmada
mencoba membangun kekuatan tenaga sakti sejatinya
telah dapat memancing kedua lawannya meningkatkan
tataran ilmunya. 98 Hingga dalam sebuah putaran waktu, Gajahmada
telah dapat menilai batas puncak kekuatan lawannya.
Maka tiba-tiba saja Gajahmada telah menghentakkan
seperlima kekuatan tenaga inti sejati dirinya.
Bukan main terkejutnya kedua guru dan murid itu
melihat Gajahmada telah melesat begitu cepat seperti
seekor burung garuda meluncur menyambar mangsanya.
Dess..!!! Dua tangan Gajahmada telah menghantam dada
guru dan murid itu secara bersamaan.
Seketika terlihat tubuh Kuda Anjampiani terlempar
berguling-guling di pasir pantai.
Sementara Ki Ajar Pelandongan terlihat tubuhnya
terdorong empat lima langkah ke belakang merasakan
dadanya seperti remuk terbentur gundukan batu cadas
amat keras. Gajahmada terlihat berdiri tidak mengejar Ki Ajar
Pelandongan yang tengah duduk bersila memejamkan
matanya mengatur pernafasannya yang seperti memburu
tak terkendali. Dan tulang-tulang iga terasa remuk redam.
Sementara itu Kuda Anjampiani terlihat rebah di pasir
pantai dengan pakaiannya menjadi kotor penuh pasir
basah. "Syukurlah, dirinya hanya pingsan", berkata
Gajahmada dalam hati setelah memeriksa denyut nadi
anak muda putra Adipati Ranggalawe itu.
Perlahan Gajahmada melangkahkan kakinya menjauhi guru dan murid itu di pasir pantai yang tidak
berjauhan dari Bandar pelabuhan Tuban yang telah sepi
itu di ujung sepertiga malam.
99 Gajahmada telah jauh menghilang di kegelapan
malam, jejaknya seperti sebuah bayangan yang lenyap di
telan bumi. Ketika fajar mulai datang menyingkap kegelapan
malam, terlihat beberapa perahu nelayan tengah menepi
di pantai. Bukan main terkejutnya para nelayan itu menemukan
dua orang di pantai berpasir itu. Seorang masih


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergeletak tak bergerak, seorang lagi masih bersila
seakan tidak berdaya bangkit berdiri.
Bertambah terkejut hati mereka manakala mengetahui bahwa mereka adalah putra Adipati
Ranggalawe dan gurunya. Maka gegerlah seisi istana Kadipaten di pagi itu
manakala melihat dua orang guru dan murid itu dibawa
dengan dua buah tandu oleh para nelayan.
"Hamba telah memeriksa, tidak ada luka dalam di
keduanya", berkata seorang tabib istana kepada Adipati
Ranggalawe Tidak lama berselang, Kuda Anjampiani sudah
terlihat siuman. Sementara Gurunya Ki Ajar Pelandongan
sudah tidak merasakan sesak di dadanya, hanya sedikit
ngilu di bagian tulang dadanya.
"Seorang anak muda dari Majapahit?", berkata
Adipati Ranggalawe manakala telah mendengar
penuturan dari Ki Ajar Pelandongan tentang apa yang
terjadi dengan mereka berdua di pantai Tuban semalam.
Terlihat pandangan Adipati Ranggalawe jauh
kedepan, menembus batas alam pikiran dan waktu,
mencoba menduga-duga siapa gerangan anak muda itu.
Sebagai seorang yang telah mengenal tokoh-tokoh
100 berilmu tinggi di lingkungan Majapahit, Adipati
Ranggalawe mencoba mengingat mereka satu persatu.
"Hanya ada seorang pemuda yang telah mewarisi
ilmu kepandaian Patih Mahesa Amping", berkata Adipati
Ranggalawe langsung mengingat seorang pemuda murid
kesayangan Patih Mahesa Amping yang dibawanya dari
Balidwipa. "Putu Risang?", berkata Adipati Ranggalawe dalam
hati mengingat nama pemuda yang telah mewarisi
hampir seluruh kesaktian gurunya, Patih Mahesa
Amping. Terlihat Adipati Ranggalawe menarik nafas panjang
manakala Ki Ajar Pelandongan menggelengkan
kepalanya ketika ditanyakan mengenai ciri-ciri anak
muda itu. "Usia anak muda itu seumuran dengan Kuda
Anjampiani, dan kulitnya tidak legam, sangat bersih
sebagaimana kulit para putri bangsawan tanah
Pasundan pada umumnya", berkata Ki Ajar Pelandongan
kepada Adipati Ranggalawe.
Kembali pandangan Adipati Ranggalawe menerawang jauh, menembus batas waktu, menembus
batas ingatannya ketika dalam masa-masa awal
perjuangan dirinya bersama Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. Teringat dirinya bahwa ada tiga anak kecil yang
datang bersama keluarga istana yang datang dari tempat
pengasingan, dari tanah Wangi-wangi.
"Putra angkat Patih Mahesa Amping?", berkata
Adipati Ranggalawe dalam hati mengingat salah seorang
dari anak kecil yang usianya dapat dikatakan mendekati
101 Kuda Anjampiani, putranya itu.
Namun Adipati Ranggalawe tidak bertanya apapun
untuk memastikan dugaannya itu kepada Ki Ajar
Pelandongan. Yang ada dalam pikirannya saat itu adalah
rasa iri bahwa Majapahit telah dapat berhasil
menciptakan para angkatan baru sebagai para ksatria
muda yang akan menggantikan para pendahulunya, para
ksatria penjaga bumi Majapahit Raya.
Tiba-tiba saja pandangan Adipati Ranggalawe seperti
bersinar terang, wajah dan pandangan matanya tertuju
kepada dua orang putranya yang lain, saudara Kuda
Anjampiani dari seorang ibu yang lain.
"Siralawe dan Buntarlawe, kalian baru saja kembali
dari sebuah penempaan yang panjang di Padepokan Ki
Ajar Sasmita. Kutitipkan kalian kepadanya sejak kecil,
menyisihkan rasa rinduku dan kerinduan ibumu. Hanya
satu harapan kami bahwa kelak di tangan kalianlah masa
depan tanah Tuban ini. Jangan berhenti menempa
dirimu", berkata Adipati Ranggalawe kepada dua orang
putranya itu yang baru dua hari itu kembali setelah sejak
kecil dititipkan kepada seorang yang sangat berilmu
tinggi yang bernama ki Ajar Sasmita. Sepertinya Adipati
Ranggalawe berharap banyak dari kedua putranya itu.
Diam-diam Adipati Ranggalawe melihat ada
perbedaan yang sangat jauh antara dua orang putranya
ini dengan Kuda Anjampiani. Mungkin karena sejak kecil
Kuda Anjampiani hidup dalam kemanjaan dan serba
berkecukupan, tidak seperti Siralawe dan Buntarlawe
yang sejak kecil hidup prihatin di sebuah Padepokan
yang jauh dari keramaian kota. Kuda Anjampiani di nilai
oleh Ayahnya itu sebagai seorang anak muda yang
sangat manja dank eras kepala, sementara kedua
putranya yang lain di lihat tumbuh sebagai dua orang
102 pemuda yang mandiri dan punya rasa tanggung jawab
yang tinggi. Angan-angan Adipati Ranggalawe seketika terlepas
manakala seorang tabib istana Kadipaten yang
memeriksa Kuda Anjampiani dan Ki Ajar Pelandongan
bermaksud pamit diri. "Hamba bermaksud pamit diri untuk mengambil
beberapa bahan racikan obat agar keduanya dapat pulih
secepatnya", berkata Tabib itu berpamit diri.
Demikianlah, Kuda Anjampiani yang masih lemah itu
terlihat dibantu oleh seorang abdi dalem masuk ke
biliknya. Demikian juga Ki Ajar Pelandongan telah
berpamit diri untuk beristirahat. Dan semua orang prajurit
istana Kadipaten Tuban itu telah kembali ke tempatnya
masing-masing. Tinggalah di atas pendapa Kadipaten itu
Adipati Ranggalawe dan dua orang putranya, Siralawe
dan Buntarlawe. "Semula aku telah meminta Kuda Anjampiani untuk
mengawal pesanan seribu tombak yang akan dibawa
langsung ke Goa Ambar. Tugas itu sekarang ku alihkan
kepada kalian", berkata Adipati Ranggalawe kepada
kedua putranya itu. "Mudah-mudahan kami berdua tidak mengecewakan
Ayahanda", berkata Siralawe mewakili adiknya.
"Dua hari lagi barang pesanan itu akan selesai",
berkata Adipati Ranggalawe kepada kedua putranya itu.
"Bila demikian hari ini kami akan mendatangi tempat
pandai besi itu, hanya untuk memastikan apakah barang
pesanan itu sesuai dan siap dibawa dalam waktu dua
hari ini", berkata Buntarlawe kepada Ayahandanya.
Demikianlah, Siralawe dan Buntarlawe terlihat telah
103 berpamit diri untuk melihat dan memeriksa barang
pesanan seribu buah tombak itu kepada seorang pandai
besi. Adipati Ranggalawe masih melihat kedua putranya itu
keluar dari regol pintu gerbang istana Kadipaten dan
menghilang terhalang dinding pagar yang tinggi.
Terlihat tatapan mata Adipati Ranggalawe masih
tertuju ke arah pintu gerbang, namun pikirannya jauh
melayang melintasi banyak tempat ketika dalam masamasa perjuangan orang-orang muda yang punya tekad
dan semangat luar biasa merebut kembali tahta
Singasari, merebut kembali sebuah cita-cita mulia
melanjutkan dan membangun sebuah kerajaan
singgasana diatas lautan, cikal bakal kerajaan Majapahit.
"Hari ini kalian pasti tengah mencercaku sebagai
seorang yang ingin memisahkan diri dari cita-cita yang
telah kita ikrarkan bersama. Salahkah aku bila meminta
sedikit dari kejayaan ini, membangun sepotong tanah
kecil dari luasnya tanah kekuasaan Majapahit yang besar
dengan sebuah tata cara sendiri dan masa depan sendiri
yang lebih baik dan lebih mapan?", berkata Adipati
Ranggalawe dalam hati seperti tengah berperang
dengan perasaannya sendiri.
"Akulah yang telah membesarkan Raden Wijaya,
melindunginya dari tangan-tangan musuhnya. Bila kamu
ingin menjadikan Tanah Tuban sebagai tanah merdeka,
itu adalah hak dirimu sendiri meminta bagian dari semua
yang telah kamu korbankan selama ini. Sementara aku
telah melupakan Baginda Raja Sanggrama Wijaya yang
akan memberikan setengah daerah kekuasaannya",
berkata Ayahandanya, Adipati Sunginep ketika
berkunjung datang ke tempatnya beberapa bulan yang
lalu. 104 "Pernahkah kamu lihat sebuah batang benalu yang
tumbuh di batang utama, pohon benalu itu dapat lebih
besar dari pokok pohon inangnya. Seperti itulah Tuban
yang ada di jalur utama perdagangan Majapahit, pasti
akan lebih makmur dan jaya. Ingatlah itu wahai putraku",
berkata kembali Arya Wiraraja kepada Adipati
Ranggalawe yang diam-diam mengakui kecerdasan
ayahnya itu yang diakui seorang yang sangat mumpuni
dalam membuat sebuah rencana siasat peperangan,
seorang yang sangat dipercaya di jaman kerajaan
Singasari, tangan kanan pahlawan besar Singasari,
Mahesa Agni sang penasehat para Raja Singasari,
seorang ahli pikir yang hebat di jamannya.
"Bagaimana dengan persahabatan kami?", berkata
Adipati Ranggalawe ragu pada saat itu.
"Itu adalah masalah hati, jangan campur baurkan
dengan tata cara kekuasaan, karena kekuasaan akan
mandul manakala selalu menimbang-nimbang perasaan
hati. Buka matamu wahai putraku, garis keturunan
leluhurmu sepanjang hidupnya terbelenggu oleh sebuah
kesetiaan, apa yang kamu dan aku dapatkan", hanya
sedikit kehormatan sebagai pengumpul hasil panen para
petani. Buka matamu wahai putraku, sudah saatnya
keturunan Arya Wiraraja memegang kendali, berada
diatas singgasana kerajaannya sendiri", berkata Arya
Wiraraja kepada putranya.
Perkataan ayahnya itu seperti terus berputar
berulang-ulang memenuhi seluruh akal dan pikiran
Adipati Ranggalawe. "Aku sudah memilih jalanku, telah kutunjukkan diriku
tidak menghadiri wisuda penobatan Raja Muda
Jayanagara. Dan aku tidak boleh kembali setelah
setengah dari perjalanan ini", berkata Adipati
105 Ranggalawe dalam hati mengeraskan semangat dan
keteguhan pendiriannya itu.
"Sanggrama Wijaya telah dua kali memenangkan
peperangan awal ini, memunculkan sosok ksatria
seruling sakti dalam perebutan Mustika Batu Tuban. Dan
sekarang telah membuat malu keluargaku dengan
mengalahkan Kuda Anjampiani dan Ki Ajar Pelandongan
di pantai pasir Tuban", berkata Adipati Ranggalawe
dalam hati. "Nampaknya pihak Majapahit telah menerjunkan
seorang ksatrianya. Aku seperti merasa yakin bahwa
ksatria seruling sakti dan anak muda yang mengalahkan
putraku adalah orang yang sama", berkata Adipati
Ranggalawe dalam hati. "Anak muda itu masih
berkeliaran di sekitarku", berkata kembali Adipati
Ranggalawe dalam hati. Ternyata perhitungan Adipati Ranggalawe sangat
cermat, anak muda yang ada dalam ingatan dan
pikirannya memang tidak jauh, masih berkeliaran di
sekitarnya. Dialah Gajahmada sang putra angkat Patih
Mahesa Amping, dialah san ksatria Seruling Sakti dan
dialah juga yang telah membuat geger istana Kadipaten
Tuban tadi pagi dengan merobohkan dua orang
kebanggaan warga Tuban, putra Adipati Ranggalawe
yang bernama Kuda Anjampiani dan gurunya Ki Ajar
Pelandongan. Hari itu, Gajahmada memang tidak jauh dari istana
Kadipaten Tuban, hanya berkisar beberapa ratus
langkah, yaitu di pasar Kadipaten Tuban.
Terlihat Gajahmada telah masuk di kerumunan dan
keramaian pasar Kadipaten Tuban.
Anak muda itu masih ingin menyelidiki kemana para
106 prajurit Kadipaten Tuban saat itu dimana semalam sudah
dilihatnya sendiri bahwa barak prajurit Tuban ternyata
kosong, hanya dihuni oleh dua tiga orang penjaga.
Ternyata otak Gajahmada sangat tajam, telah berpikir
bahwa pihak penguasa Tuban pasti membutuhkan
senjata perang. Dengan pikiran seperti itulah yang telah meringankan
langkah kakinya menuju ke tukang pandai besi yang
berada diujung pasar Kadipaten Tuban.
Langkah kakinya tertahan di muka rumah pandai besi
itu, berhenti berpura-pura melihat-lihat beberapa alat
kerja bertani yang tersusun rapi di muka rumah pandai
besi itu. Apa yang telah menghentikan langkah Gajahmada"
Ternyata Gajahmada telah melihat ada dua orang
anak muda sebaya dengannya tengah berbincangbincang dengan seorang pandai besi pemilik rumah itu.
"Maaf Paman, kami berdua adalah putra Adipati
Ranggalawe, bermaksud menanyakan kesiapan barang
pesanan kami", berkata salah seorang yang lebih tua
yang ternyata adalah Siralawe yang datang ke tempat
pandai besi itu bersama adiknya, Buntarlawe.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pesanan seribu tombak sudah dapat kami
selesaikan sepertiganya. Namun tiba-tiba saja dua orang
pembantu kami jatuh sakit bersamaan, mungkin terlalu
lelah bekerja siang dan malam", berkata pandai besi itu
kepada Siralawe. "Paman harus mencari seorang pembantu pengganti,
agar pesanan kami dapat selesai tepat pada waktunya",
berkata Siralawe merasa kasihan kepada orang tua
pandai besi itu. 107 Semua pembicaraan itu telah disimak sepenuhnya
oleh Gajahmada. Terlihat Gajahmada masih berpura-pura memilih
sebuah parang yang baik manakala dua orang anak
muda tengah keluar dari tempat kerja pandai besi itu dan
melangkah menjauhinya menghilang di tengah
keramaian pasar Kadipaten Tuban.
"Maaf Paman, tadi telingaku tidak sengaja
mendengar pembicaraan paman dan dua anak muda itu,
apakah benar bahwa paman membutuhkan seorang
pembantu?", berkata Gajahmada kepada seorang tua di
tempat kerjanya yang tengah sibuk menempa sebuah
besi untuk dijadikannya sebuah mata tombak.
Terlihat orang tua itu menghentikan kerjanya, menilik
tubuh Gajahmada dari ujung kaki sampai rambut
kepalanya, berharap anak muda itu memang utusan
dewa keberuntungan dari langit.
"Benar anak muda, aku memang tengah
membutuhkan seorang pembantu", berkata orang tua
pandai besi itu. "Aku pernah ikut membantu bekerja di tempat
seorang pandai besi", berkata Gajahmada.
"Kamu pernah bekerja di tempat pandai besi?",
berkata orang tua itu penuh harap bahwa anak muda ini
benar-benar utusan dewa keberuntungan.
"Aku pernah membuat sebuah keris, tapi keris
buatanku tidak sehalus buatan seorang empu", berkata
Gajahmada merendah. "Bagus, membuat sebuah keris sangat rumit
dibanding-kan membuat sebuah mata tombak, hari ini
aku hanya membutuhkan seorang pembantu untuk
108 menyiapkan seribu mata tombak yang sudah selesai
sepertiganya. Apakah kamu mau bekerja sebagai
pembantuku?", berkata orang tua pandai besi itu.
"Aku memang tengah mencari kerja, sangat senang
sekali bekerja membantumu, paman", berkata Gajahmada. "Siapa namamu?", bertanya orang tua itu.
"Gajahmada", berkata Gajahmada.
"Orang-orang memanggilku Rudita", berkata orang
tua itu. Bukan main gembiranya orang tua itu merasa bahwa
Gajahmada memang sengaja diturunkan dari langit oleh
dewa keberuntungan. Demikianlah, sejak hari itu Gajahmada telah bekerja
membantu tukang pandai besi itu. Bukan main
senangnya hati orang tua itu mendapatkan seorang
pembantu yang sangat rajin seperti Gajahmada itu.
Banyak yang harus dikerjakan oleh Gajahmada
sebagai seorang pembantu pandai besi, mulai dari
menjaga perapian, kadang membantu ikut menempa besi
untuk dijadikan sebuah mata tombak.
"Beristirahatlah, hari sudah malam", berkata pandai
besi itu yang bernama Rudita dihari kedua.
"Sedikit lagi Paman Rudita, bukankah besok pesanan
ini harus sudah selesai?", berkata Gajahmada kepada
orang tua pandai besi itu.
Terlihat orang yang dipanggil Paman Rudita itu tidak
jadi memaksa Gajahmada untuk berhenti bekerja,
memang bahwa hanya tinggal satu hari ini saja janjinya
menyelesaikan barang pesanan seribu mata tombak itu.
109 Sementara kerja Gajahmada pada malam itu hanya
menghaluskan mata tombak, tidak perlu banyak tenaga,
hanya sedikit kesabaran dan ketelatenan.
Demikianlah, pada keesokan harinya terlihat sebuah
pedati yang dikendarai oleh seorang prajurit Kadipaten.
Bersamanya ikut dua anak muda yang dua hari yang lalu
pernah datang ke tempat pandai besi itu, tidak lain dua
anak muda itu adalah para putra Adipati Ranggalawe,
Siralawe dan adiknya Buntarlawe.
Terlihat Gajahmada ikut membantu Paman Rudita
memuat pedati dengan seribu mata tombak.
Ketika memasukkan barang pesanan itu, Gajahmada
melihat ada banyak ragam jenis senjata telah dimuat di
dalam pedati itu, nampaknya barang pesanan lain di
tempat pandai besi lainnya.
Pedati itu ditarik oleh seekor kuda terlihat telah keluar
dari pasar Kadipaten Tuban.
Diam-diam Gajahmada telah mengikutinya dari jarak
yang cukup jauh. Namun Gajahmada merasa heran
bahwa pedati itu tidak menuju kearah luar Kadipaten
Tuban, tapi berputar arah di sebuah jalan yang menurun.
Bukan main terkejutnya Gajahmada ketika melihat
dari jauh bahwa pedati itu berhenti di depan sebuah goa
yang cukup besar yang terhalang banyak pohon Abar di
sana. Berendap-endap Gajahmada mencoba mendekati
goa itu. Lama Gajahmada menunggu, melihat beberapa
prajurit Tuban keluar dari dalam goa membantu
membawa berbagai barang dari dalam pedati.
"Mungkinkah para prajurit Tuban saat ini telah
berpindah ke goa ini?", bertanya Gajahmada dalam hati.
110 Akhirnya Gajahmada telah melihat pedati itu bergerak
kembali meninggalkan goa.
Suasana di depan goa itu kembali menjadi sepi, tidak
ada seorang pun prajurit yang berdiri berjaga di depan
muka goa. Kembali Gajahmada berendap-endap
muka goa yang tidak terjaga itu.
mendekati Bukan main terkejutnya Gajahmada manakala telah
berada masuk sedikit dari muka goa itu, ternyata goa itu
cukup luas. "Ternyata para prajurit Tuban telah berpindah tinggal
di goa ini", berkata Gajahmada dalam hati telah melihat
sekitar dua ribu prajurit tengah berlatih di sebuah ruang
goa yang cukup luas dan tersembunyi dari keramaian itu.
Demikianlah, Gajahmada kembali keluar goa yang
tidak terjaga itu. "Paman Adipati Ranggalawe ternyata seorang yang
sangat cerdik, telah menyiapkan sebuah pasukan besar
yang akan keluar di malam hari mengganyang siapapun
yang datang menguasai istana Kadipaten yang sengaja
dikosongkan itu", berkata Gajahmada dalam mencoba
membaca siasat perang yang tengah disiapkan oleh
Adipati Ranggalawe. Langkah kaki Gajahmada akhirnya telah membawanya kembali ke tempat tukang pandai Besi.
"Kukira kamu tidak akan datang kembali", berkata
Paman Rudita kepada Gajahmada.
"Tadi aku tidak sempat ijin, seorang kerabatku
menarikku mengajak makan di kedai yang berada di
ujung seberang pasar", berkata Gajahmada berbohong.
111 "Hari ini kita beristirahat, belum ada pesanan lain
yang harus kita kerjakan", berkata paman Rudita.
"Sepertinya Gajahmada. sangat kebetulan sekali", berkata "Apanya yang sangat kebetulan?", berkata paman
Rudita sambil mengerutkan keningnya.
"Aku minta ijin dua hari ini untuk mengunjungi
seorang kerabat di Kademangan Montong", berkata
Gajahmada sambil tersenyum.
"Aku curiga, jangan-jangan kerabatmu itu punya
seorang kemenakan gadis manis", berkata Paman Rudita
menggoda. Terlihat Gajahmada hanya tersenyum tidak
menanggapi celoteh Paman Rudita yang sudah menjadi
sangat akrab itu. Demikianlah, ketika matahari terlihat bergeser sedikit
dari puncaknya, Gajahmada telah berjalan berputar-putar
sekitar jalan Kadipaten Tuban, mencoba mengamati lebih
seksama suasana sekitarnya. Melihat-lihat beberapa
tempat sekitar Kadipaten Tuban.
"Tempat yang indah", berkata Gajahmada dalam hati
manakala telah mendaki sebuah perbukitan karang dan
menatap lautan biru sejauh mata memandang.
"Kota seribu goa", berkata Gajahmada dalam hati
menamai Kadipaten Tuban sebagai sebuah daerah yang
memiliki begitu banyak goa di perbukitan yang dilaluinya.
Sementara itu matahari telah semakin rebah di
cakrawala biru, cahayanya sudah menjadi teduh
memayungi langkah kaki Gajahmada yang berjalan
kearah tenggelamnya sang surya, pemilik sumber
kehidupan di bumi. 112 Nampaknya Gajahmada tengah menyusuri jalan
darimana dia datang, menyusuri perbukitan, pegunungan
dan lembah hijau, menyusuri jalan perbincangan bathin
di dalam dirinya di dalam kesepian dan kesunyian diri di
perjalanan siang dan malamnya seorang diri.
Arah langkah kaki pemuda ini ternyata telah
membawanya ke sebuah tempat yang selalu saja
membayanginya seperti suara bisikan kerinduan yang
selalu hadir dalam mimpi malamnya. Suara bisikan
kerinduan dalam tembang petikan suara kecapi.
Arah langkah kaki Gajahmada tengah menuju sebuah
tempat yang jauh dari keramaian, sebuah tempat yang
terpencil, sebuah Padepokan yang berada di bawah
sebuah sungai yang berhulu dari sumber air terjun
Nglirip. Disanalah arah langkah kaki Gajahmada tengah
menapakinya. Manakala sang fajar mulai terbangun menyingkap
tirai kegelapan malam, terlihat Gajahmada sudah berada
di tepian sebuah sungai bening berbatu. Suara deru
gemuruh air terjun terdengar semakin jelas seperti suara
genderang menabuh riuh mengisi dada dan suasana hati
Gajahmada. "Selamat datang wahai ksatria Majapahit", berkata
Nyi Ajeng Nglirip menyambut kedatangan Gajahmada di
padepokannya. Terlihat seorang wanita bermata indah ikut
menyambut kedatangan Gajahmada. "Kukira Kakang
Gajahmada tidak akan singgah di Padepokan ini",
berkata wanita itu yang ternyata adalah Andini.
"Aku rindu suara deru gemuruh air terjun Nglirip",
113 berkata Gajahmada sambil tersenyum.
Setelah menyampaikan berita keselamatan masingmasing,
Gajahmada bercerita banyak tentang perjalanannya di Kadipaten Tuban.
"Ternyata Adipati Ranggalawe telah menyiapkan
dirinya untuk memisahkan diri dari Majapahit", berkata
Nyi Ajeng Nglirip setelah mendengar cerita Gajahmada.
Sementara itu Andini pamit diri untuk menyiapkan
makanan ke belakang. "Gajahmada", berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada
Gajahmada manakala Andini sudah masuk menghilang
di balik pintu pringgitan.
"Adakah Gusti Kanjeng Ratu akan sampaikan?",
berkata Gajahmada memanggil Nyi Ajeng Nglirip
sebagaimana panggilannya di istana.
"Saat ini aku telah merasa telah menemukan tempat
kediaman yang mapan, di Padepokan ini", berkata Nyi
Ajeng Nglirip sambil menarik nafas panjang, nampaknya
banyak kata-kata yang akan ditumpahkannya. "sudah
saatnya aku menarik kembali Gajatri dan Wiyat kembali
dalam bimbinganku sendiri, di Padepokan ini", berkata
Nyi Ajeng Nglirip berhenti sebentar sambil menarik nafas
panjang."Tanyakanlah kepada Gajatri dan Wiyat, apakah
mereka berkenan tinggal bersama ibundanya di
Padepokan ini", berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada
Gajahmada dengan wajah penuh pengharapan seorang
ibu yang merindukan dua orang putrinya yang hidup
terpisah jauh. "Pesan dan permintaan Gusti Kanjeng Ratu Gayatri
akan hamba sampaikan", berkata Gajahmada dengan
penuh penghormatan. 114 "Aku berharap semoga kamu sendiri yang akan
mengantar mereka berdua ke Padepokan ini, tentunya


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bilamana mereka berkenan menerima permintaan
ibundanya ini", berkata kembali Nyi Ajeng Nglirip.
Sementara itu pembicaraan mereka terhenti
manakala pintu pringgitan terbuka lebar, ternyata Andini
datang membawa makanan dan minuman untuk mereka.
"Masakan bidadari dari air terjun Nglirip pasti sangat
enak luar biasa", berkata Nyi Ajeng bercanda
menawarkan Gajahmada memulai mengambil makanan
yang telah disediakan itu.
Demikianlah, mereka bertiga terlihat tengah
menikmati hidangan di atas pendapa Padepokan diiringi
deru gemuruh air terjun Nglirip dan kicau berbagai ragam
burung di hutan hijau yang mengitari padepokan kecil itu.
Tidak ada kegiatan apapun dari Gajahmada di hari itu
selain berjalan berkeliling padepokan melihat beberapa
cantrik tengah merawat tanaman obat. Nampaknya Nyi
Ajeng Nglirip telah mewarisi ilmu pengobatan yang
didapat dari ayahandanya sendiri, Raja Kertanegara.
Malam bergayut sepi, bulan pudar tertutup awan
gelap di atas padepokan kecil di tepi sebuah sungai dari
aliran air terjun Nglirip. Dua hati di bawah atap yang
sama, dua hati dipenuhi kerinduan yang sama.
Gajahmada telah berada di biliknya menatap langitlangit berharap malam tertunda. Sementara Andini di
biliknya terlihat sudah tertidur dalam senyum rebah
bersandar dua tangan, temaram pelita malam menerangi
kuning wajah putihnya. Sementara malam terus berlalu menebar sepi,
menjerat kegelisahan seekor anjing hutan jantan untuk
115 melolong panjang memanggil sang betina yang jauh
tengah mengais sisa sepotong tulang bangkai seekor
anak kijang yang tersesat.
Sementara malam terus berlalu menebar sepi,
menjerat dingin sekelompok anak burung manyar di
sarangnya yang gelisah menunggu pagi datang
membawa kehangatan. "Pagi sudah datang", berkata Gajahmada dalam hati
yang terjaga manakala mendengar suara ayam jantan
membelah pagi. Setelah bersih-bersih di pakiwan, terlihat
Gajahmada berjalan kearah pendapa padepokan.
Semak dan pohon perdu di ujung halaman
Padepokan masih terhalang kabut pagi, satu dua burung
kecil terlihat terbang dari sebuah belukar dan menghilang
di kerimbunan batang daun pohon asam Jawa yang
tumbuh di tepian sungai berbatu di depan padepokan
kecil itu. "Untuk menghangatkan pagi", berkata Andini yang
datang membawa makanan dan minuman hangat.
"Terima kasih", berkata Gajahmada sambil sedikit
mencuri wajah pagi Andini.
Gelisah menggelenggut pelita minyak jarak yang
menggelantung diatas pendapa manakala bayangan
Andini terhalang pintu pringgitan.
Wajah Gajahmada kembali membisu memandang
sepi pagi yang perlahan menyingkap buram wajah bumi
hutan hijau yang mengitari padepokan di dekat air terjun
Nglirip itu. Demikianlah, disaat matahari pagi mulai mendaki
menyinari hutan hijau di sekeliling padepokan, terlihat
Gajahmada tengah berpamit diri.
116 "Salam dariku untuk kedua putriku dan keluarga bibi
Turukbali", berkata Nyi Ajeng Nglirip mengantar
Gajahmada menuruni anak tangga pendapa Padepokan.
Terlihat Andini menggigit bibirnya sendiri sambil
memandang Gajahmada yang telah berada di ujung
halaman muka Padepokan. Seperti ada sesuatu yang
hampa dan hambar mengisi relung hati dara manis itu
manakala Gajahmada telah menghilang terhalang
kerimbunan belukar hutan di halaman muka padepokan.
Tertinggal, hanya suara deru gemuruh Air terjun
Nglirip dan sejumput kerinduan.
Hangat cahaya matahari pagi menyinari wajah
Gajahmada yang tengah berjalan diatas sebuah
perbukitan hijau. Langkah kaki anak muda itu begitu ringan sebagai
pertanda seseorang yang sudah sangat terlatih dalam
olah kanuragan. Sementara sinar matanya kadang memancarkan
sekilat cahaya sebagai pertanda seseorang yang telah
memiliki simpanan hawa murni yang telah mengendap
kuat berlimpah-limpah. Tidak ada hambatan dan halangan apapun di dalam
perjalanan Gajahmada di hari itu.
"Kademangan Singgahan", berkata Gajahmada
dalam hati yang telah menemukan arah jalan pulang
sebagaimana dia datang di daerah Tuban itu.
Sebagaimana yang telah di lihat di beberapa
Kademangan yang masih berada di dalam kekuasaan
Kadipaten Tuban, maka Gajahmada juga melihat
kesiapan para prajurit pengawal Kademangan Singgahan
yang tengah giat berlatih.
117 Terlihat para prajurit pengawal Kademangan itu
tengah berlatih perang tanding dalam permainan pedang
satu lawan satu. Sorak sorai para warga yang ikut
menonton latihan itu telah menambah semangat dan
kebanggaan di hati para prajurit itu.
"Sorak sorai kegembiraan itu akan berganti dengan
tangis air mata manakala perang telah berakhir,
manakala salah seorang dari mereka tidak kembali
pulang untuk selama-lamanya", berkata Gajahmada
dalam hati di ujung pandangannya diantara sorak sorai
para warga menyaksikan latihan para prajurit pengawal
kademangan di sebuah lapangan terbuka di sore hari itu.
Gajahmada tidak menunggu latihan para prajurit itu
sampai usai, terlihat pemuda itu sudah melangkah jauh
keluar dari regol gerbang Kademangan menyusuri jalan
tanah menapaki sebuah jalan perbukitan panjang di
keteduhan hari di dalam kerindangan alam dan semilir
angin yang sejuk membawa wangi harum tanah basah
dan dedaunan sepanjang perjalanannya.
Hingga manakala warna alam telah mulai suram di
bayangi langit malam, Gajahmada telah berada di
sebuah puncak bukit, telah berhenti melangkah
bersandar di sebuah sela bongkahan batu besar yang
melindungi dirinya dari terpaan dinginnya angin malam.
Seperti biasa, di pertengahan malam anak muda ini
selalu terbangun untuk melakukan sebuah olah laku
rahasia untuk menghimpun hawa murni sumber tenaga
sakti sejatinya. Di alam terbuka, Gajahmada seperti tidak merasakan
lagi dinginnya angin malam, tidak merasakan lagi
kelelahan perjalanannya, tidak merasakan lagi kegelisahan hatinya. Jiwanya telah hanyut bersatu dalam
118 kebesaran alam semesta, hanyut dan menyatu dengan
ketiadaan diri yang muncul dan tenggelam, seiring gerak
olah laku yang teratur, seiring keluar masuknya nafas
yang teratur. Perjalanan dan perputaran waktu seperti terhenti, dan
malam menjadi semakin hening terdiam.
Ketika selapis tipis warna merah mewarnai langit di
penghujung malam, terlihat Gajahmada telah kembali
bersandar di sela bebatuan besar memejamkan
matanya. Dan waktu pun terus berlanjut, terus bergulir seperti
matahari dan rembulan yang saling berbagi, saling
berganti menjaga bumi, menghitung hari, menghitung
langkah kaki Gajahmada menuju arah pulang.
Dan hari itu, di saat wayah pasar temawon, langkah
kaki Gajahmada telah mendekati sebuah hutan yang
lebat dan pepat. "Hutan Jatirogo", berkata Gajahmada dalam hati
manakala memandang batang-batang pohon yang besar
tinggi menjulang. Terlihat Gajahmada telah masuk dan menghilang
ditelan kerimbunan hutan Jatirogo.
Semakin masuk kedalam hutan, pepohonan semakin
rapat dipenuhi banyak belukar yang tinggi, udara
semakin terasa lembab dingin, batang-batang pohon
dipenuhi banyak lumut dan tanaman anggrek liar.
Setelah lama berjalan berputar-putar mencari arah,
akhirnya apa yang dicari oleh Gajahmada di hutan itu
telah dapat ditemui. Ternyata Gajahmada mencari sebuah tanah lapang
di tengah hutan itu dimana terdapat sisa reruntuhan
119 sebuah bangunan istana ratusan tahun silam.
Terlihat tempat itu. Gajahmada berendap-endap mendekati "Sebuah pasukan besar, para prajurit Sunginep",
berkata Gajahmada dalam hati manakala melihat tanah
lapang ditengah hutan itu telah dipenuhi barak-barak
prajurit yang sangat-sangat sederhana, para prajurit yang
diketahui oleh pemuda itu berasal dari Sunginep.
"Paman Adipati Ranggalawe sangat cerdik, tahu
dimana harus menyembunyikan sebuah pasukan
besarnya", berkata Gajahmada dalam hati terus
mengamati dari tempat yang tersembunyi.
Akhirnya, setelah merasa cukup melakukan
pengamatannya, Gajahmada telah keluar dari hutan
Jatirogo Demikianlah, Gajahmada tengah berjalan menuju
arah jalan pulang ke Majapahit sambil mengamati
kemungkinan-kemungkinan jalan yang dapat dilalui oleh
sebuah pasukan darat, tempat-tempat yang dapat
disinggahi mengisi perbekalan dan kesediaan pangan
untuk sebuah pasukan besar Majapahit yang akan
melakukan penyerangan lewat jalur darat.
Dan waktu pun terus berjalan, terus bergulir berganti
antara siang dan malam sebagaimana matahari dan
rembulan yang terus menemani langkah kaki
Gajahmada. Pemuda itu berjalan dengan begitu ringan menikmati
pemandangan alam sekitarnya, melihat belibis turun di
tanah berair, melihat para petani menyebar benih di
pembenihan dan para dara manis gembira pulang berlari
kecil dari ladang membawa panen buah.
120 Dan ketika malam bergayut sepi, seruling Gajahmada
terdengar mengisi suara malam mengubur rindu,
mengubur duka lara. Akhirnya perjalanan Gajahmada menuju arah jalan
pulang sudah tidak begitu jauh lagi.
Matahari terlihat sudah bergeser jauh dari
puncaknya, di sebuah persimpangan jalan, terlihat
Gajahmada telah mengambil arah jalan menuju Tanah
Ujung Galuh. "Nampaknya kamu baru pulang dari perjalanan jauh",
berkata seorang lelaki tua yang telah mengenal
Gajahmada dengan baik diatas sebuah rakit
penyeberangan di sungai Kalimas.
"Membantu sanak keluarga di Padukuhan Maja yang
akan pungut mantu", berkata Gajahmada kepada lelaki
itu sambil tersenyum. "Singgahlah ke rumah, ladang kami tengah panen
manggis", berkata lelaki itu kepada Gajahmada ketika
rakit mereka telah merapat di seberang lain sungai
Kalimas. Demikianlah, Gajahmada terlihat tengah berjalan ke
arah sebuah pura yang berada di sebuah tanah tinggi di
Tanah Ujung Galuh itu, sebuah pura kediaman keluarga
Jayakatwang. "Selamat datang, wahai pengembara sejati", berkata
Jayakatwang menyambut kedatangan Gajahmada diatas
pendapa. Terlihat Nyimas Turukbali, Dyah Gajatri dan Dyah
Wiyat keluar dari pintu pringgitan ikut gembira
menyambut kedatangan Gajahmada. Merekapun saling
121 menyampaikan keselamatan masing-masing.
"Lekas bersih-bersih, kami tidak sabar untuk
mendengar perjalananmu", berkata Jayakatwang kepada
Gajahmada seperti kepada putranya sendiri.
Setelah bersih-bersih di pakiwan dan berganti
pakaian di biliknya, terlihat Gajahmada telah kembali ke
pendapa. "Kakang Gajahmada bertemu ibunda?", berkata Dyah
Gajatri penuh suka cita manakala Gajahmada bercerita
tentang pertemuannya dengan Gusti Kanjeng Ratu
Gayatri di air terjun Nglirip.
"Gusti Kanjeng Ratu titip salam kepada tuan putri
berdua, juga keluarga disini", berkata Gajahmada.
Jayakatwang dan Turukbali terlihat ikut gembira
mendengar kemenakan mereka, Kanjeng Ratu Gayatri
telah tinggal di sebuah padepokan yang mapan meski
jauh di sebuah tempat terpencil dengan segala
keterbatasannya tidak seperti di istana yang semuanya
serba berkecukupan. "Gusti Kanjeng Ratu sangat berharap bahwa suatu
waktu tuan putri berdua datang dan tinggal bersama di
Padepokannya", berkata Gajahmada kepada Dyah


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gajatri dan Dyah Wiyat. Terlihat kedua dara itu saling berpandangan mata
penuh kegembiraan. Sementara itu terlihat Nyimas Turukbali matanya
seperti berkaca-kaca. Sebagai seorang wanita Nyimas
Turukbali tentunya dapat merasakan apa yang dirasakan
seorang ibu yang rindu dan jauh dari kedua putrinya itu.
"Kapan kakang Gajahmada dapat mengantar kami
menemui ibunda?", berkata Dyah Wiyat dengan wajah
122 penuh pengharapan kepada Gajahmada.
"Ibunda tuan putri berdua memang telah meminta
dan mempercayakan diriku sendiri yang akan mengantar
tuan putri berdua, tapi harus menunggu suasana di
Tuban tidak bergejolak seperti sekarang ini", berkata
Gajahmada yang langsung bercerita tentang suasana di
daerah yang berada di bawah kekuasaan Kadipaten
Tuban yang mulai memanas seperti sebuah api di dalam
sekam sebagaimana yang telah dilihat dan diamatinya
sendiri. "Aku tidak pernah menyangka, Kadipaten Tuban
menjadi ganjalan dan ujian pertama Kerajaan Majapahit
yang baru memulai mengepakkan sayapnya. Semoga
Baginda Raja Sanggrama Wijaya tidak surut meski yang
dihadapi adalah sahabatnya sendiri, sahabat seperjuangannya", berkata Jayakatwang menanggapi
cerita tentang suasana Kadipaten Tuban saat itu.
"Pengaruh Paman Adipati Ranggalawe begitu besar
terhadap warga penduduk Tuban, dikhawatirkan bahwa
Majapahit bukan hanya berhadapan dengan para prajurit
Tuban, tapi semua orang biasa para petani yang telah
tumbuh rasa kesetiannya untuk membela dan
mempertahankan kampung halamannya", berkata
Gajahmada. "Adipati Ranggalawe pernah ditugaskan oleh Baginda
Raja Sanggrama Wijaya untuk melindungi para
penduduk Tuban dari kebrutalan prajurit Mongol
beberapa tahun yang silam. Itulah awal kecintaan para
penduduk Tuban kepada Adipati Ranggalawe yang
menganggapnya sebagai seorang pahlawan bagi
mereka", berkata Jayakatwang.
"Adipati Sunginep tidak akan berdiam diri melihat
123 putranya di gempur oleh Majapahit", berkata Gajahmada.
"Dulu Arya Wiraraja dan Raden Wijaya pernah
bersatu melawanku, sekarang mereka berdua saling
berseberangan. Ku akui bahwa Adipati Sunginep itu
adalah seorang pemikir ulung, aku berharap bahwa
Baginda Sanggrama Wijaya selalu waspada menghadapinya, seorang lawan yang sangat licin seperti
belut, punya banyak kecerdikan seperti seekor kancil,
namun punya sebuah kesabaran yang hebat seperti
seekor beruang besar menunggu mangsanya", berkata
Jayakatwang bercerita tentang Adipati Arya Wiraraja,
ayahanda Adipati Ranggalawe itu.
"Besok hamba akan datang menghadap kepada
Patih Mangkubumi, menyampaikan hasil pengamatan
hamba di Tanah Tuban", berkata Gajahmada.
"Semoga Majapahit dapat mengambil langkahlangkah yang tepat, tidak tergesa-gesa tapi juga tidak
terlalu lamban bertindak. Jangan membiarkan api di
dalam sekam membesar atau membiarkan tiang pawon
sendiri terbakar", berkata Jayakatwang.
Sementara itu matahari terlihat sudah mulai
melenggut redup di ujung barat bumi, rumput hijau dan
bunga soka kuning di halaman muka pura Jayakatwang
perlahan hilang tersamar buram dalam pandangan mata,
hari telah mulai memasuki wayah malam.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gajahmada
sudah berangkat menuju Kotaraja Majapahit untuk
bertemu langsung dengan Patih Mangkubumi.
Gembira Patih Mangkubumi menyambut kedatangan
Gajahmada, menerima anak muda itu di serambi pura
pasanggrahannya yang berada di lingkungan dalam
istana Majapahit di sebelah utara pura Pasanggrahan
124 Kartika tempat Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Setelah saling menyampaikan keselamatan masingmasing, Gajahmada langsung bercerita tentang hasil
pengamatannya di tanah Tuban.
"Semua orang Tuban nampaknya telah disiapkan
untuk mengangkat senjata, siap membela tanah tumpah
darahnya", berkata Gajahmada.
"Apa yang akan kamu lakukan, wahai putra Patih
Mahesa Amping, seandainya kamu adalah Adipati
Ranggalawe", berkata Patih Mangkubumi kepada
Gajahmada. "Hamba akan mengganyang pasukan Majapahit di
malam hari bila pasukan itu datang dari lautan, karena
hamba telah mengosongkan kota Kadipaten dan
menyembunyikan pasukan besar di sebuah goa tidak
jauh dari kota Kadipaten. Sementara bila pasukan
Majapahit datang lewat jalur darat, hamba akan menjepit
pasukan Majapahit dari dua arah, karena hamba telah
menyembunyikan sebuah pasukan besar di hutan
Jatirogo, pasukan bantuan para prajurit Tanah perdikan
Sunginep", berkata Gajahmada mencoba menyampaikan
pikirannya. "Lalu apa yang akan kamu lakukan, wahai putra Patih
Mahesa Amping, bila kuserahkan dirimu sebagai seorang
Senapati prajurit Majapahit ini", berkata Patih
Mangkubumi kepada Gajahmada.
"Hamba akan menyerang Tuban dari dua arah secara
bersamaan, dari arah laut akan langsung menyerang ke
pusat kekuatan mereka yang tersembunyi di sebuah goa,
sementara dari arah darat akan langsung menyerang
pasukan mereka di hutan Jatirogo", berkata Gajahmada
kembali menyampaikan buah pikirannya.
125 "Sebuah pemikiran yang hebat, aku seperti
berhadapan dengan seorang pemikir ulung, melihatmu
seperti melihat Patih Mahesa Amping ketika kami di
masa-masa perjuangan membangun Majapahit ini.
Kecerdasan dan pikiran Patih Mahesa Amping ternyata
telah kamu warisi, meski kamu bukan anak kandungnya
sendiri", berkata Patih Mangkubumi memuji buah pikiran
Gajahmada. "Hamba yang bodoh ini masih harus banyak belajar,
dari seorang empu yang menguasai ilmu perbintangan,
dari seorang empu yang menguasai keserasian ajaran
cakra Nawasanga, keserasian lahir dan keserasian
batiniah sebagai landasan singgasana Majapahit saat
ini", berkata Gajahmada penuh kerendahan hati.
"Kami para orang tua hanya meletakkan dasar
landasan ketatanegaraan di singgasana Majapahit ini
sebagaimana Raja Erlangga membangun singgasananya. Tahukah kamu, keruntuhan singgasana
yang di bangun oleh Raja Erlangga akibat ketidak
mengertian keturunannya menjadi raja di singgasananya
sendiri", berkata Patih Mangkubumi sambil tersenyum
menilik apa yang dipikirkan oleh Gajahmada.
"Hamba yang bodoh ini mohon pengajaran, apa yang
dimaksud dengan tidak menjadi raja di singgasananya
sendiri?", bertanya Gajahmada kepada Patih Mangkubumi. "Tahukah kamu, seorang raja yang hebat bukan
seorang raja yang sakti mandraguna, bukan pula
seorang raja yang unggul dan jaya dalam setiap
peperangannya. Tapi raja yang hebat adalah raja yang
dapat memimpin dan mengendalikan dirinya sendiri.
Dialah raja yang menjadi raja di singgasananya sendiri,
sebagai Syiwa duduk di singgasana keadilannya",
126 berkata Patih Mangkubumi kepada Gajahmada layaknya
kepada putranya sendiri. "Pengajaran tuan Patih Mangkubumi akan hamba
pusakai", berkata Gajahmada dengan hati penuh hormat.
"Hari ini aku orang tua merasa berbahagia bertemu
muka dengan mu, orang muda yang akan melanjutkan
cita-cita besar kami. Kutitipkan masa depan Majapahit ini
kepadamu, jagalah para keturunan Baginda Raja
sebagaimana kami menjaga Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. Mampukah dirimu mengangkat keris di hadapan
rajamu", seperti itulah Patih Mahesa Amping
mengingatkan Baginda Raja Sanggrama Wijaya", berkata
Patih Mangkubumi dengan senyum yang tidak pernah
lepas sepanjang perkataannya itu.
Diam-diam Gajahmada mengagumi jalan pikiran
serta pandangan orang tua ini tentang hakikat diri dan
kehidupan yang begitu mudah untuk dicerna dan
diejawantahkan dalam kehidupan nyata, dalam
kehidupan sehari-hari, sebagai apapun diri kita, sebagai
seorang petani atau sebagai seorang raja sekalipun.
Diam-diam Patih Mangkubumi juga menyukai anak
muda di hadapannya itu yang berotak sangat cemerlang
mampu mencerna ungkapan-ungkapan yang sangat
rumit dari hakikat diri dan kehidupan murni perilaku
seorang hamba kepada sang penciptanya.
Maka tidak terasa pembicaraan mereka semakin
berkembang, tidak merasa bosan sedikitpun duduk dan
bercakap-cakap begitu lama di serambi dan terhenti
manakala seorang prajurit pengawal istana datang
menyampaikan pesan bahwa Patih Mangkubumi
diharapkan datang menemui Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. 127 "Senang bertemu denganmu, wahai putra Mahesa
Amping. Sampaikan salamku kepada keluarga Jayakatwang", berkata Patih Mangkubumi ketika
Gajahmada menyampaikan maksudnya untuk pamit diri.
Demikianlah, Gajahmada terlihat telah keluar dari
regol pintu gerbang istana Majapahit, namun tidak
langsung kembali ke Tanah Ujung Galuh, tapi mampir
sebentar menemui ibundanya Nyi Nariratih di barak
prajurit wanita, barak pasukan khusus para prajurit
srikandi dimana Nyi Nariratih adalah pimpinannya.
Sementara itu di waktu yang sama, Patih
Mangkubumi telah memasuki Pura Kartika pasanggrahan
Baginda Raja Sanggrama Wijaya. Sebuah pura
pasanggrahan yang berdiri megah dan asri dikelilingi
delapan pura pasanggrahan lainnya serasi searah
delapan jalur garis utama penjuru mata angin.
"Selamat datang Ki Sandikala", berkata Baginda Raja
di atas pendapa puranya kepada Patih Mangkubumi
dengan panggilan aslinya.
"Hari yang baik, bulan awal musim sekumpulan
bangau datang kembali, panen buah dan awal menyebar
benih padi. Semoga hati tuan Baginda selalu diberkati
sebagaimana awal kedatangan Candra rasa mulya
kesucian ini", berkata Patih Mangkubumi dengan senyum
yang tidak pernah lepas dari warna raut wajahnya.
Sesuai dengan keperluannya, Baginda Raja
Sanggrama Wijaya langsung menyampaikan beberapa
hal yang sangat penting untuk dibicarakan bersama Patih
Mangkubumi. Ketika pembicaraan beralih ke masalah Adipati
Ranggalawe, terlihat Patih Mangkubumi telah menyampaikan hasil pengamatan Gajahmada di Tanah
128 Tuban, sekaligus dengan buah pikiran anak muda itu
sendiri. "Anak muda itu memang sudah dapat diandalkan",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya memuji hasil
kerja Gajahmada setelah mendengar penuturan dari
Patih Mangkubumi. "Ranggalawe tidak sendiri, ayahnya Arya Wiraraja
ada dibelakangnya", berkata Patih Mangkubumi
menyampaikan pendapatnya.
"Arya Wiraraja memang telah menggunakan tangan
putranya sebagai pukulan pertama untuk mengukur
seberapa besar kekuatan Majapahit", berkata Baginda
Raja Sanggrama Wijaya. "Di kepala Arya Wiraraja mungkin tersirat, apa yang
akan dilakukan Majapahit, sementara sepertiga kekuatan
pasukannya adalah para prajurit yang berasal dari Tanah
Perdikan Sunginep", berkata Patih Mangkubumi.
"Pasukan dari Kediri dapat menggantikannya",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Para prajurit laut di bawah kendali Rakyan Kebo
Arema akan menambah kekuatan yang ada", berkata
Patih Mangkubumi menambahkan.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita akan menurunkan pasukan Majapahit dengan
kekuatan penuh, menyerang tanah Tuban dari laut dan
darat", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Kemenangan pasukan kita akan dapat membungkam Arya Wiraraja dan siapapun yang akan
mencoba membuat makar melemahkan kedaulatan
Majapahit Raya", berkata Patih Mangkubumi.
"Hari ini juga aku akan mengirim seorang utusan
memanggil Rakyan Kebo Arema dan Patih Mahesa
129 Amping", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Sementara itu di waktu yang sama, terlihat
Gajahmada telah keluar dari sebuah barak prajurit
wanita. Terlihat anak muda itu berjalan menuju arah
Tanah Ujung Galuh, nampaknya akan kembali ke Pura
Jayakatwang dimana dirinya tinggal dan hidup bersama
keluarga Jayakatwang, telah dianggap sebagai bagian
dari keluarga itu semenjak ayah angkatnya Patih Mahesa
Amping berpindah tugas ke Kediri.
"Dua putri ayu, mengapa bermuka masam?", berkata
Gajahmada manakala telah tiba di Pura Jayakatwang
melihat Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat di pendapa
memasang wajah masam. "Kami tengah menunggu seorang pemuda yang telah
berjanji mengajak ke ladang melihat panen manggis.
Nampaknya pemuda itu telah ingkar janji", berkata Dyah
Gajatri masih dengan wajah masam.
Gajahmada paham siapa gerangan yang dimaksud
dengan seorang pemuda itu, maka sambil tersenyum
diangkatnya sebuah tangan yang selama ini
disembunyikan di belakang tubuhnya.
"Kalian tidak perlu bersusah payah ke ladang, karena
aku sudah membawakan untuk kalian empat renteng
buah manggis", berkata Gajahmada sambil mengangkat
tangannya tinggi-tinggi memperlihatkan empat buah
renteng manggis hitam menggoda.
Melihat apa yang dibawa oleh anak muda itu, terlihat
kedua gadis itu langsung bergembira.
Seketika di atas pendapa pura menjadi riuh oleh
canda ketiganya saling menebak isi buah manggis dan
menikmati buahnya yang manis. Keceriaan suasana
130 diatas pendapa telah mengundang Nyimas Turukbali dan
Jayakatwang keluar dari ruang dalam dan ikut bergabung
dengan mereka bertiga di pendapa.
Namun suasana keceriaan itu telah menyentuh hati
dan perasaan Nyimas Turukbali yang tiba-tiba saja
teringat kepada putra tunggalnya Pangeran Ardharaja
yang sudah tiada, gugur sebagai tumbal kemenangan
Kerajaan Kediri atas kerajaan Singasari. Sementara anak
dan menantunya telah hilang tidak diketahui rimbanya
manakala pasukan Mongol memporak-porandakan istana
Kediri. Hanya saja perasaan duka itu tidak diperlihatkan
kepada siapapun, dirinya tidak ingin merusak suasana
diatas pendapa itu yang terlihat begitu ceria penuh canda
dan tawa. Perlahan kedukaan Nyimas Turukbali seperti hilang
lenyap berbaur suasana kegembiraan hati mendengar
canda riang ketiga muda-mudi yang telah dianggap
sebagai putra-putrinya sendiri itu.
Sementara itu, mentari diatas Tanah Ujung Galuh
sudah semakin teduh, seekor elang kelana terlihat
terbang melintas diatas langit pura Jayakatwang menuju
perbukitan hijau di seberang sungai Kalimas.
"Aku ingin melihat perkembangan kalian sejak
kutinggalkan beberapa hari lalu", berkata Gajahmada
kepada Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat.
Terlihat kedua gadis itu telah berdiri dan melangkah
turun dari pendapa menuju halaman muka.
Gajahmada, Jayakatwang dan Nyimas Turukbali dari
atas panggung pendapa telah melihat kedua gadis itu
telah memperlihatkan gerak jurus mereka yang pada
131 mulanya dilakukan dengan perlahan, namun akhirnya
terlihat gerakan mereka semakin cepat dan bertenaga.
Bangga dan gembira hati Gajahmada melihat kedua
gadis itu ternyata punya bakat yang hebat, juga
kecemerlangan daya pikir dan daya nalar keduanya yang
cepat memahami semua petunjuknya.
Demikianlah, dari hari ke hari Gajahmada
membimbing keduanya dalam olah kanuragan.
Sementara kakek luarnya Jayakatwang telah mengisi
pengetahuan mereka berdua tentang pengetahuan
ketatanegaraan, pengetahuan tentang keprajuritan.
Gajahmada yang juga ikut mendengarnya menjadi
semakin memahami ilmu ketatanegaraan dan keprajuritan langsung dari sumbernya, mantan raja yang
pernah sangat di hormati di Kediri. Seorang pemikir ulung
yang telah dapat menaklukkan Kerajaan Singasari yang
sangat besar kekuasaannya di jamannya.
Meski Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat jauh dalam
kehidupan istana, namun mereka tumbuh layaknya dua
gadis putri Raja, karena Nyimas Turukbali selalu
mengajari mereka bertatakrama layaknya kehidupan
para putri raja di istana.
"Kapan Kakang Gajahmada membawa kami
mengunjungi ibunda di Tanah Tuban?", berkata Dyah
Gajatri kepada Gajahmada di suatu hari ketika mereka
tengah berjalan pulang dari tempat latihan di alam
terbuka di sebuah perbukitan tidak jauh dari Kotaraja
Majapahit. "Dua hari yang lalu hamba telah melihat sepasukan
dari Kediri datang, nampaknya mereka salah satu
pasukan yang akan ditugaskan ke Tanah Tuban",
berkata Gajahmada. 132 Terlihat Dyah Gajatri tidak bertanya lagi, dalam
pikirannya terbayang suasana peperangan yang akan
terjadi antara pasukan Majapahit menghadapi para
prajurit dari Tanah Tuban.
"Apakah peperangan akan merambat hingga ke
padepokan ibunda di sekitar air terjun Nglirip?", bertanya
Dyah Wiyat kepada Gajahmada.
"Perang memang tidak bisa dipastikan karena dapat
saja melebar kemana-mana", berkata Gajahmada tidak
berani memberikan kepastiannya.
"Apakah tidak sebaiknya Kakang Gajahmada datang
menengok keadaan Ibunda, agar hati kami berdua
menjadi tenteram", berkata Dyah Gajatri kepada
Gajahmada. "Kita akan membicarakannya bersama tuan
Jayakatwang dan Nyimas Turukbali", berkata Gajahmada
merasa kasihan melihat raut rona kedua gadis itu yang
terlihat penuh rasa kekhawatiran.
Namun ternyata hati dan perasaan kedua gadis itu
dapat dikatakan sebagai sebuah hubungan bathin yang
tak terputus antara perasaan seorang ibu dengan
seorang anak kandungnya, meskipun jarak diantaranya
terbentang sangat begitu jauh sekalipun.
Ternyata di waktu yang sama di hari itu terlihat
sekelompok prajurit Tuban telah mendatangi Padepokan
Nyi Ajeng Nglirip. "Periksalah oleh kalian bila di padepokan ini ada
seorang Majapahit yang kalian curigai", berkata Nyi
Ajeng Nglirip kepada seorang pemuda yang ternyata
adalah Kuda Anjampiani bersama para prajurit Tuban.
Ikut bersamanya Gurunya sendiri, Ki Ajar Pelandongan.
133 Nampaknya Kuda Anjampiani sangat penasaran ingin
menangkap seorang pemuda yang pernah merobohkan
dirinya dan gurunya di pantai pasir Tuban beberapa
waktu yang lalu. Namun Kuda Anjampiani perlu pengawal sekitar lima
puluh orang prajurit untuk menangkap pemuda itu yang
dicurigai berada di sekitar padepokan Nyi Ajeng Nglirip.
Terlihat sekitar lima puluh orang prajurit itu telah
menyebar dan memeriksa hampir seluruh tempat di
Padepokan itu. Tapi pemuda yang dicarinya itu memang
tidak akan pernah ditemui.
Kekecewaan diri Kuda Anjampiani seperti melebur
manakala dirinya bertemu dengan Andini. Putra Adipati
Ranggalawe itu terpesona melihat kecantikan Andini
yang menurutnya begitu sangat cantik rupawan.
"Wahai pemilik wajah cantik, aku yakin bahwa dirimu
tidak akan menyembunyikan pemuda itu sebagaimana
dirimu tidak akan dapat menyembunyikan kecantikan
dirimu", berkata Kuda Anjampiani kepada Andini.
Namun Andini yang sudah sangat dalam memahami
kesadaran bathinnya tidak mudah terpancing amarah.
Sudah dapat mengendalikan dirinya sendiri.
"Sayang aku tidak menyembunyikan pemuda itu,
bukankah tuan telah memeriksa semua tempat ini?",
berkata Andini dengan wajah ramah.
Sebagai seorang pemuda yang selalu dikagumi oleh
banyak gadis-gadis, sikap Andini yang biasa-biasa saja
itu telah membuat anak muda itu menjadi sangat
penasaran, timbul niat liciknya.
"Karena kami tidak mendapatkan orang yang kami
curigai, terpaksa aku akan membawamu", berkata Kuda
134 Anjampiani dengan sikap mengancam.
"Apa kesalahanku, mengapa aku yang harus
dibawa", berkata Andini sambil mengerutkan keningnya.
"Kamu akan kami sandera, agar pemuda itu datang
sendiri menyerahkan dirinya ke Istana Kadipaten",
berkata Kuda Anjampiani kepada Andini.
Namun Kuda Anjampiani salah menduga, menganggap Andini hanya seorang gadis biasa yang
mudah ditakut-takuti. "Tangkaplah aku, bila memang kamu dapat
menangkapku", berkata Andini dengan wajah tersenyum,
perasaan hatinya sudah mulai tidak senang dengan
pemuda itu. Perkataan Andini itu memang diluar perhitungannya,
dibayangkan gadis itu akan ketakutan dan memohon
kemurahan hatinya. Beberapa lama pemuda itu seperti
tersambet hantu penunggu air terjun Nglirip.
"Mengapa kamu terdiam", bukankah kamu ingin
menangkap-ku?", berkata Andini seperti telah mengembalikan kesadaran anak muda itu.
"Aku akan menangkapmu", berkata pemuda itu
seperti habis kata-kata dan sudah langsung menjulurkan
kedua tangannya untuk menangkap Andini.
Tapi sekali lagi Kuda Anjampiani salah duga, Andini
dihadapannya itu bukan gadis biasa. Tangkapan anak
muda itu menemui tempat kosong belaka, karena Andini
sudah berpindah tempat. Dua kali Kuda Anjampiani melakukan hal yang sama,
dua kali pula dirinya hanya menemukan tempat yang
kosong. 135 Namun pada saat untuk yang ketiga kalinya, Andini
sudah menjadi bosan. Maka dengan gerakan yang tidak
terduga-duga dan tidak diperhitungkan sama sekali oleh
Kuda Anjampiani, kaki Andini telah begerak berputar
dengan kekuatan penuh menghantam kaki Kuda
Anjampiani sedikit diatas mata kakinya.
Akibatnya memang sangat menggelikan,
Anjampiani terjengkang kebelakang, jatuh duduk.
Kuda Bukan main terkejutnya anak muda itu, telah
menyadari bahwa Andini bukan gadis biasa, seorang
gadis yang sudah terlatih olah kanuragan tingkat tinggi.
Kejadian itu terjadi di halaman belakang Padepokan.
Terlihat wajah Kuda Anjampiani begitu merah
menahan amarah bercampur malu. Yang ada dalam
benak anak muda itu adalah membuat gadis
dihadapannya menjadi jera, dan menganggap apa yang
telah terjadi adalah kelengahan dirinya.
Namun baru saja dirinya telah bersiap dengan
sebuah kuda-kuda yang mapan untuk sebuah
penyerangan awal, seorang lelaki tua datang bersama
beberapa orang prajurit. "Kuda Anjampiani, jangan buat malu dirimu", berkata
lelaki tua itu yang ternyata adalah gurunya sendiri, Ki Ajar
Pelandongan. "Gadis ini telah menantangku",
Anjampiani mencoba mencari alasan.
berkata Kuda Belum sempat Andini membuka mulutnya untuk
berkata, tiba-tiba saja didengar seorang wanita berbicara.
"Para penghuni padepokan ini hanya tahu sedikit


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cara membela diri, mana mungkin berani menantang
seseorang", berkata seorang wanita dibelakang Andini
136 yang ternyata adalah Nyi Ajeng Nglirip.
Ki Ajar Pelandongan adalah seorang lelaki yang
panjang pikirannya, telah dapat mengukur tingkat
kepandaian Andini yang telah dengan mudah
menjatuhkan murid tunggalnya itu. Maka dari penilaian
itu dirinya dapat mengukur kemampuan Nyi Ajeng Nglirip.
Juga berita tentang banyaknya orang sakti yang dapat
dikalahkan oleh wanita itu ketika ingin merebut Mustika
Batu Tuban yang konon memang telah dimiliki oleh Nyi
Ajeng Nglirip. "Maaf bila hari ini kami telah mengganggu
ketenangan suasana di Padepokan ini, sementara orang
yang kami curigai memang tidak ada di tempat ini",
berkata Ki Ajar Pelandongan sambil memberi tanda agar
muridnya itu tidak memperpanjang urusannya.
Demikianlah, Ki Ajar Pelandongan dan orangorangnya telah meninggalkan padepokan Nyi Ajeng
Nglirip. Namun sejak kejadian itu, Nyi Ajeng Nglirip telah
berpesan kepada semua cantriknya agar berhati-hati dan
meningkatkan kewaspadaannya karena telah merasakan
hubungan antara Majapahit dan Tuban sudah mulai
memanas. "Peperangan mungkin hanya berlangsung sepekan,
namun penyakit hati kebenciannya dapat berlangsung
bertahun-tahun", berkata Nyi Ajeng Nglirip dengan
bercerita tentang kebencian orang Kediri kepada orang
Tumapel ketika Ken Arok dapat menghancurkan Kotaraja
Kediri dan mengambil alih kekuasaannya.
Sementara itu jauh dari Tanah Tuban di waktu yang
sama terlihat Dyah Gajatri, Dyah Wiyat dan Gajahmada
tengah memasuki halaman pura Jayakatwang. Mereka
137 melihat Jayakatwang dan Nyimas Turukbali telah berada
di pendapa, nampaknya tengah menunggu mereka.
"Kami merasa sepi bila kalian bertiga pergi lama",
berkata Nyimas Turukbali kepada ketiganya yang telah
terlihat manapaki anak tangga pendapa.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Nyimas Turukbali,
kehadiran mereka bertiga memang selalu memberikan
suasana keceriaan. Seperti halnya di sore itu manakala
mereka telah berkumpul kembali bersama di atas
panggung pendapa pura Jayakatwang.
Ditengah perbincangan mereka, Dyah Gajatri
membuka perbincangan baru, tentang kekhawatiran
dirinya melihat perkembangan terakhir antara Majapahit
dan Tuban. "Aku mengkhawatirkan keadaan ibunda di Tanah
Tuban", berkata Dyah Gajatri.
"Sebenarnya, ketika kalian belum datang, kami
berdua juga bercerita hal yang sama, mengkhawatirkan
ibundamu di Tanah Tuban."
"Di perjalanan pulang, Kakang Gajahmada telah
bersedia untuk datang ke Tanah Tuban melihat keadaan
ibunda. Namun kami perlu membicarakannya dengan
kakek dan nenek berdua", berkata Dyah Gajatri.
"Justru kami juga telah membicarakan hal itu, ingin
meminta Gajahmada agar datang ke Tanah Tuban
kepada kalian, bukankah Gajahmada telah menjadi guru
pembimbing bagi kalian?", berbalik bertanya Jayakatwang. Mendengar perkataan Jayakatwang telah membuat
mereka saling tertawa. "Tenyata kita punya pikiran yang sama", berkata
138 Dyah Wiyat masih sambil tertawa.
"Kamu salah, aku belum bertanya tentang kesediaan
Gajahmada", berkata Jayakatwang.
Sontak seketika itu juga semua mata tertuju kepada
Gajahmada. "Keluarga disini adalah keluarga hamba pula, apa
yang menjadi kekhawatiran keluarga ini, menjadi
kekhawatiran hamba pula", berkata Gajahmada sambil
menatap berkeliling membalas pandangan mereka.
Demikianlah, keesokan harinya setelah mendapat
restu dari keluarga Jayakatwang, mendapat restu dari
ibunda Nyi Nariratih di Kotaraja, terlihat Gajahmada telah
keluar dari gerbang batas kotaraja Majapahit menuju
arah Tanah Tuban. Sementara itu di Puri Kartika Pasanggrahan Baginda
Raja Sanggrama, telah berkumpul tiga orang ksatria
penjaga Majapahit. Mereka adalah Patih Mangkubumi, Patih Mahesa
Amping dan Rakyan Kebo Arema. Mereka memang
sudah tidak muda lagi, terutama Rakyan Kebo Arema
saudara seperguruan Raja Kertanegara yang rambutnya
sudah berwarna putih, namun masih terlihat gagah
dengan tubuh yang masih terlihat tegap.
Kehadiran Rakyan Kebo Arema dan Patih Kediri itu
berkaitan dengan rencana keberangkatan prajurit
Majapahit ke Tanah Tuban lewat jalur darat dan Jalur
laut. Para prajurit yang akan berangkat lewat jalur darat
dipercayakan dibawah pimpinan Patih Mahesa Amping
dimana hampir seluruh pasukannya itu memang
didatangkan dari Kediri. Sementara pasukan Majapahit
yang akan berangkat lewat jalur laut adalah para prajurit
139 armada laut yang selama ini bertugas mengamankan
jalur perdagangan laut Majapahit.
"Hamba mendalami hati dan perasaan Baginda Raja,
memang sangat pahit bila yang kita hadapi kali ini adalah
salah seorang dari sahabat masa lalu kita. Tapi dalam
hal ini kita harus berlaku tegas, kita akan perlihatkan
bahwa Majapahit tidak akan segan-segan bertindak
keras kepada siapapun yang hendak menodai
kedaulatan Majapahit Raya", berkata Rakyan Kebo
Arema penuh semangat, seorang yang biasa berkata
tegas dan sangat teguh pendiriannya.
"Peperangan memang sangat dekat dengan
kekerasan, bahkan kendali kemanusiaan kita kadang
terlepas tidak dapat membedakan lagi adab dan tata
susila. Sejarah masa lalu akhir dari peperangan Ken Arok
telah melahirkan kebencian yang sangat mendalam
orang Kediri kepada orang Tumapel. Kita hanya berharap
semoga peperangan ini tidak membuat kebencian orang
Tuban kepada orang Majapahit", berkata Mahesa
Amping dengan perkataan yang bersayap yang
sebenarnya ditujukan kepada Rakyan Kebo Arema dan
pasukan armada lautnya yang sangat ditakuti oleh para
pembajak karena ketegasan mereka yang berlaku sangat
keras menghukum para pembajak di lautan.
"Kita memang harus tegas, namun dalam batas
martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang harus kita
junjung tinggi. Kurestui keberangkatan pasukan kalian.
Semoga kejayaan bumi Majapahit akan selalu berkibar di
bumi ini", berkata Baginda Sanggrama Wijaya seperti
mencoba menjadi penengah yang baik diantara kedua
para ksatria penjaga Majapahit itu, Patih Mahesa Amping
dan Rakyan Kebo Arema. Demikianlah, setelah menyampaikan beberapa pesan
140 dan amanat, para petinggi Majapahit itupun terlihat telah
keluar dari Puri Kartika pasanggrahan Baginda Raja
Sanggrama. Patih Mahesa Amping dan Rakyan Kebo
Arema pergi mengunjungi kesiapan pasukan mereka
masing-masing. Perlahan waktu pun terus berlalu, mengisi
kegelisahan hati para prajurit Majapahit yang malam itu
akan berangkat ke Tanah Tuban.
Perlahan wajah senja tua pun semakin memudar
suram di ujung pergantian waktu.
Malam dipenuhi bintang gemintang. Gugus bintang
Waluku bersinar di atas langit malam menjadi saksi bisu
manakala sebuah jung besar Majapahit meninggalkan
Tanah Ujung Galuh. Rakyan Kebo Arema, ksatria dari
timur itu telah memimpin jung besar Majapahit membawa
tiga ribu prajurit menuju Pantai Tuban.
Sementara itu, di waktu yang sama terlihat dua ribu
prajurit telah keluar dari gerbang batas kotaraja. Patih
Mahesa Amping sang ksatria penakluk Tanah Melayu
yang dikenal dengan sebutan Manusia setengah dewa
itu telah membawa pasukannya menuju Tanah Tuban,
Tidak seperti biasanya mengiringi perjalanan sebuah
pasukan besar dengan suara tabuhan bende dan
genderang. Tidak ada suara apapun mengiringi
keberangkatan pasukan besar itu, hanya suara gemuruh
langkah kaki para prajurit yang terdengar seperti suara
gempa menggetarkan bumi disekitarnya. Mereka berjalan
seperti sekumpulan hantu malam tanpa suara.
Patih Mahesa Amping adalah seorang pahlawan
Majapahit yang sangat cerdik, dirinya telah mengetahui
bahwa para telik sandi musuh telah menyebar mematamatai kekuatan Majapahit. Itulah sebabnya dirinya telah
141 memerintahkan pasukannya bergerak hanya di waktu
malam tanpa bende dan genderang, tanpa suara apapun
seperti sekumpulan hantu malam menjelajahi padang
ilalang, mendaki perbukitan dan menyusuri lembah dan
hutan di waktu malam. Di waktu siang, Patih Mahesa Amping telah
memerintahkan pasukannya untuk beristirahat di tempattempat yang jarang dilalui oleh orang biasa, ditempattempat yang sunyi dari keramaian.
Hujan yang turun di waktu malam di bulan ketujuh di
tahun itu tidak membuat surut para prajurit Majapahit,
mereka terus melangkah mendekati daerah kekuasaan
Kadipaten Tuban. Di Malam ke dua mereka telah mendekati daerah
Tuban, tidak jauh dari Hutan Jatirogo. Di ujung malam ke
dua itu, Patih Mahesa Amping telah memerintahkan
pasukannya untuk beristirahat.
Sementara itu di ujung malam yang sama, sebuah
jung besar Majapahit terlihat telah mendekati pantai
pesisir Tuban. Tiga ribu pasukan Rakyan Kebo Arema
seperti sekumpulan serigala malam tidak sabar untuk
segera turun memenuhi Bandar pelabuhan Tuban.
"Kosongkan istana memasuki jebakan kita",
memberi perintah kepada Kadipaten untuk segera Kadipaten. Kadipaten, mereka telah berkata Adipati Ranggalawe
para prajurit penjaga istana
pergi mengosongkan istana
Namun ternyata Adipati Ranggalawe terlalu
menganggap remeh para ksatria Majapahit yang sudah
punya segudang siasat peperangan. Kali ini jebakan
Adipati Ranggalawe sudah dapat dibaca oleh lawannya.
Pasukan armada laut Majapahit di bawah pimpinan
142 Rakyan Kebo Arema itu ternyata tidak langsung menuju
istana Kadipaten Tuban, tetapi mereka berbelok arah
menuju pasar Kadipaten. Para perwira tinggi pasukan Tuban yang tengah
bersembunyi di goa Abar yang tidak jauh dari pasar
Kadipaten Tuban telah mendapat kabar tentang
merapatnya sebuah jung besar Majapahit membawa
sebuah pasukan besarnya. Sesuai dengan rencana
semula, mereka akan keluar di waktu malam kedua,
mengganyang pasukan besar Majapahit yang telah
menguasai istana Kadipaten.
Namun bukan main terkejutnya para perwira tinggi itu
manakala melihat sebuah pasukan besar telah
mendekati goa persembunyiannya. Terang benderang
cahaya obor menerangi muka goa Abar, pasukan
Majapahit telah berada di muka gua Abar.
Maju menghadang musuh, atau mundur berkalang
kubur, kata itulah yang ada dalam pikiran dan hati para
prajurit Tuban. Maka pertempuran di muka goa Abar
sudah tidak dapat dihindari lagi.
Suasana yang biasanya hening sepanjang waktu di
muka goa Abar itu tiba-tiba saja di ujung malam itu
berubah menjadi suara riuh gemuruh peperangan,
teriakan dan suara gemerincing dua senjata besi, tombak
dan pedang terus membahana memenuhi udara muka
goa Abar. Ternyata bukan omong kosong belaka bila julukan
Rakyan Kebo Arema sebagai singa di medan perang.
Orang tua yang masih gagah itu benar-benar seperti
seekor singa besar merobohkan setiap lawan yang
datang mendekatinya bahkan masih sempat memimpin
pasukannya bergerak. 143 Armada pasukan Rakyan Kebo Arema yang biasanya
menghadapi para bajak laut, kali ini menghadapi para
prajurit Tuban yang gagah berani.
Dari atas kudanya, Rakyan Kebo Arema memimpin
pasukannya sekaligus sebagai paruh gelar garuda
Nglayang. Armada pasukan Rakyan Kebo Arema seperti seekor
garuda besar merusak pertahanan dan kekuatan lawan
yang mencoba untuk terus bertahan.
Sang fajar sudah terlihat cahayanya menerangi muka
goa Abar, menerangi riuh gemuruh suara peperangan di
muka goa antara prajurit Majapahit dan prajurit Tuban.
Korban peperangan sudah terlihat dari dua kubu


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berseberangan itu, darah berceceran memenuhi
lapangan terbuka di muka goa Abar itu diantara suara
jerit dan rintih pedih mereka yang terluka menahan rasa
perih yang sangat. Para prajurit armada laut Majapahit yang punya
banyak pengalaman bertempur itu terlihat sudah mulai
dapat mendesak lawan, mereka seperti raja elang laut
perkasa mengancam mangsanya.
Satu persatu korban berguguran di pihak prajurit
Tuban, semakin lama jumlah mereka terlihat sudah
semakin menyusut surut. Namun semangat para prajurit
Tuban itu seperti pantang surut sedikit pun, mereka
seperti sudah memilih hidup atau mati di medan perang
sebagai seorang pahlawan.
Matahari sudah mulai tinggi, namun pertempuran di
mulut goa itu masih juga belum terlihat ada tanda-tanda
akan berakhir. Perlahan tapi pasti, para prajurit Majapahit telah
144 dapat menggeser para prajurit Tuban masuk kedalam
goa. Keadaan itu telah menyulitkan para prajurit Majapahit
untuk dapat maju, karena mulut goa sangat terbatas
untuk dimasuki secara bersama-sama.
Lama para prajurit Tuban itu bertahan di dalam mulut
goa. Hingga akhirnya telah membuat Rakyan Kebo Arema
terlihat sudah mulai tidak sabaran lagi. Terlihat ksatria
dari timur itu turun dari kudanya, berjalan mendekati arah
mulut goa. Beberapa orang prajurit Majapahit terlihat
menyibak memberi jalan Rakyan Kebo Arema. Luar
biasa, hanya dengan sebuah senjata badik ditangan,
puluhan prajurit Tuban di mulut goa itu seperti tersibak.
Terlihat Rakyan Kebo Arema terus menerobos lebih
dalam lagi. Melihat pemimpin mereka telah dapat membuka
jalan, beberapa perwira tinggi prajurit Majapahit yang
mempunyai tataran ilmu cukup tinggi telah ikut masuk di
belakang Rakyan Kebo Arema. Perlahan tapi pasti, para
prajurit Tuban seperti terdorong bergeser masuk ke goa
lebih dalam lagi. Ternyata ruang dalam goa itu lebih luas dari pintu
masuknya, hal ini membuat para prajurit Majapahit dapat
masuk seluruhnya kedalam goa yang cukup luas itu.
Pertempuran pun seperti berpindah tempat, dari luar goa
berubah menjadi di dalam goa. Getar dan gemuruh suara
peperangan seperti gema kematian yang menakutkan
mengisi rongga-rongga dinding goa yang dipenuhi
pertempuran hampir di setiap sisinya.
Kembali, pengalaman bertempur para prajurit
Majapahit memang dapat diandalkan, dalam waktu
145 singkat jumlah para prajurit Tuban langsung menyusut
setengahnya. Korban tewas dan terluka semakin
bertambah. Akhirnya para prajurit Tuban ini sudah
semakin terjepit, jumlah mereka menyusut tajam.
"Mundur!!!", berteriak salah seorang pemimpin prajurit
Tuban. Teriakan itu telah berarti sebuah perintah, meski
beberapa prajurit Tuban terlihat mampu bertahan dengan
semangat bajanya, namun mereka sangat taat kepada
perintah atasan mereka. Maka terlihat para prajurit Tuban
mundur dengan cara saling melindungi satu dengan yang
lainnya. Melihat musuh mereka mundur, para prajurit
Majapahit terus mengejar mereka. Namun di sebuah
lorong goa, para prajurit Majapahit seperti kehilangan
arah, ternyata lorong goa itu bercabang banyak..
"Tutup jalan keluar, kita cari mereka sampai dapat",
berkata Rakyan Kebo Arema merasa penasaran melihat
para prajurit Tuban seperti hilang ditelan bumi.
Hampir seluruh ruang di lorong goa yang cukup luas
itu telah mereka masuki, tapi tidak satupun prajurit Tuban
dapat mereka temui. Akhirnya setelah lama mencari,
baru mereka menemukan jawaban sesungguhnya
mengapa para prajurit Tuban tidak mereka temui.
Ternyata di sebuah salah satu lorong, ada sebuah celah
tersembunyi yang ujungnya bermuara di tengah pasar
Kadipaten. "Kita berhadapan dengan orang-orang cerdik",
berkata Rakyan Kebo Arema mengakui kecerdikan para
prajurit Tuban yang dapat meloloskan diri dari kepungan
mereka. Sebagai seorang yang berpengalaman, Rakyan Kebo
Arema tidak ingin pasukannya terjebak di dalam goa
146 yang cukup luas itu, akhirnya Rakyan Kebo Arema telah
memerintahkan semua pasukannya keluar dari Goa itu.
"Persiapkan diri kalian, sekarang juga kita berangkat
menuju istana Kadipaten", berkata Rakyan Kebo Arema
yang melihat jumlah pasukannya hanya berkurang
sedikit. Demikianlah, tanpa mengindahkan kawan dan lawan
yang terluka parah, pasukan itu telah beriringan berjalan
menuju istana Kadipaten. Ternyata istana Kadipaten
telah ditinggalkan begitu saja oleh penghuninya, para
prajurit Majapahit telah mendapatkan istana itu kosong
melompong. "Untuk sementara kita buat pertahanan di istana ini",
berkata Rakyan Kebo Arema manakala merasa yakin
bahwa istana Kadipaten memang sudah kosong tak
berpenghuni lagi. Senja pun perlahan memasuki bumi sepi di
sepanjang jalan kota Kadipaten Tuban itu yang kemarin
masih terlihat ramai. Ternyata para warga kota Tuban itu
telah mengungsi menyelamatkan diri, pergi jauh ke
tempat yang menurut mereka aman dari peperangan.
"Kami tidak menemukan seorang pun warga kota,
nampaknya mereka juga telah pergi mengosongkan
kotanya", berkata salah seorang prajurit yang baru
kembali dari goa untuk membantu beberapa orang
prajurit yang terluka tertinggal di goa Abar.
Ternyata naluri kemanusiaan para prajurit Majapahit
seperti tersentuh, mereka tidak hanya menolong kawan
sendiri yang terluka, juga beberapa musuh mereka para
prajurit Tuban yang terlihat masih dapat tertolong untuk
disembuhkan. 147 Begitulah suasana peperangan dimanapun adanya,
di tengah kancah peperangan, manusia seperti
sekumpulan binatang bertaring, setelah perang usai
mereka kembali dalam persaudaraan.
Langit malam sepi menggayuti jalan-jalan kota Tuban
tanpa cahaya pelita, warga kota sudah meninggalkan
rumah-rumah mereka. Suasana terasa menjadi begitu
mencekam. Tidak seperti suasana di dalam kota Tuban, suasana
Bandar pelabuhan Tuban terlihat masih seperti sedia
kala, bahkan terlihat menjadi sangat ramai karena
dipenuhi para pedagang yang merasa terjebak datang di
saat terjadi perang di dalam kota. Dengan sangat
terpaksa mereka bermalam di bandar pelabuhan Tuban
untuk melihat dan mengikuti perkembangan selanjutnya.
Namun ada beberapa pedagang yang tidak ingin berpikir
panjang dan takut terkena imbas peperangan itu telah
langsung angkat kaki pergi meninggalkan Bandar
pelabuhan Tuban. Sementara itu di keremangan gelap malam, terlihat
seorang penunggang kuda seperti berpacu menembus
kegelapan. Terlihat penunggang kuda itu telah keluar dari jalan
tanah masuk ke sebuah hutan bambu yang cukup
rimbun. Ternyata di balik hutan rimbun itu ada
sekumpulan prajurit tengah beristirahat di sebuah tanah
lapang dipenuhi tanaman perdu dan ilalang.
"Kota Tuban telah dikuasai pasukan Majapahit",
berkata penunggang kuda itu ketika sudah turun dari
punggung kudanya kepada seorang lelaki yang terlihat
sangat tegap penuh wibawa.
Ternyata penunggang itu adalah seorang petugas
148 telik sandi yang sengaja diutus untuk mengamati
keadaan Kota Tuban. Sementara lelaki berbadan tegap
itu ternyata adalah Patih Mahesa Amping yang tengah
memimpin sebuah pasukan besarnya.
"Mari kita melanjutkan perjalanan", berkata Patih
Mahesa Amping kepada seorang prajurit penghubung
untuk menyampaikannya kepada pasukannya yang
tengah beristirahat sejak siang tadi.
Sebagaimana perjalanan sebelumnya, Pasukan Patih
Mahesa Amping selalu berjalan di saat malam hari.
Terlihat pasukan besar itu telah keluar dari hutan
bambu memasuki sebuah jalan tanah yang biasa
digunakan oleh para pedagang untuk menuju ke Kota
Tuban. Jalan itu memang terlihat memutar mengitari
hutang Jatirogo. Beberapa pasang mata ternyata tengah mengamati
gerak langkah pasukan Majapahit itu yang terlihat
semakin menjauhi hutan Jatirogo.
"Kekuatan mereka tidak melebihi kekuatan kita",
berkata salah seorang diantara mereka sambil terus
mengamati gerak pasukan Majapahit yang semakin
menjauh. "Nampaknya Majapahit telah memilih jalur darat
menyerang Tuban. Sesuai rencana kita akan menjepit
pasukan itu di Kademangan Singgahan", berkata
seorang lainnya. "Mari kita melapor kepada pimpinan kita", berkata
seseorang lagi. Ternyata mereka adalah lima orang prajurit Sunginep
yang tengah bertugas di luar hutan Jatirogo. Terlihat
mereka telah masuk lebih dalam lagi di hutan Jatirogo
149 yang gelap pepat itu. Rupanya semua telah diperhitungkan dengan sangat
masak oleh Patih Mahesa Amping, dirinya telah
mengetahui bahwa sudah pasti para prajurit Sunginep
telah memasang banyak mata di sekitar Hutan Jatirogo.
Itulah sebabnya dirinya telah membawa pasukannya
seperti akan meninggalkan hutan Jatirogo untuk memberi
kesan bahwa pasukannya memang tengah menuju Kota
Tuban. "Perintahkan pasukan berhenti, kita menunggu saat
fajar menyingsing untuk masuk ke dalam hutan Jatirogo",
berkata Patih Mahesa Amping kepada seorang
penghubungnya. Tidak lama berselang pasukan itu terlihat berhenti,
tanpa suara mereka seperti sebuah bayangan hantu
malam bersiap diri menunggu saat fajar menyingsing.
Sementara itu langit malam masih menaungi para
prajurit Majapahit yang telah siap menunggu perintah dari
Patih Mahesa Amping. Dada-dada mereka seperti
berdecak kencang membayangkan sebentar lagi mereka
akan memasuki hutan Jatirogo dengan perang brubuh,
tanpa gelar dan hanya satu aturan untuk tidak salah
mengangkat senjata mengenai kawan sendiri. Rupanya
Patih Mahesa Amping sudah punya cara tersendiri
menghadapi peperangan di dalam hutan Jatirogo yang
gelap itu, yaitu dengan selalu mengucapkan beberapa
kata logat dan dialek khas Kediri yang tidak akan dapat
diikuti oleh para prajurit dari Sunginep.
Demikianlah, manakala langit malam mulai terbias
cahaya kemerahan, terlihat pasukan besar pimpinan
Patih Mahesa Amping sudah mulai bergerak berbalik
arah menuju hutan Jatirogo.
150 Pasukan besar itu seperti sebuah pasukan hantu
malam yang langsung masuk terserap menghilang di
kegelapan hutan Jatirogo yang gelap pekat.
Kepekaan binatang hutan nampaknya telah
terganggu dengan kedatangan pasukan besar itu yang
terus menerobos lebih kedalam lagi memasuki hutan
Jatirogo. Pekik beberapa binatang hutan terdengar riuh
bersama kepak beberapa burung yang terusik telah
Hati Budha Tangan Berbisa 5 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Perjodohan Busur Kumala 25
^