Pencarian

Sang Fajar Bersinar 5

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 5


"Setujuuuuuuuuu", berkata Mahesa Amping dan
Raden Wijaya berbarengan.
286 Air sungai Brantas mengalir jernih mengantar para
pedagang di atas kapal kayu berlayar jauh. Ketika
mereka melewati Bandar Cangu, terlihat barak besar
berdiri di tepian Brantas.
Keberadaan Barak itu memang cukup luas, berjejer
dua baris barak saling berhadapan, sebaris lagi
menghadap ke tepian. Barak itu juga telah dilengkapi
dengan sanggar tertutup yang cukup luas serta begitu
lengkap. Hari itu adalah hari pertama tiga ratus pemuda dari
berbagai daerah di bumi Singasari bergabung. Mereka
dikelompokkan menjadi sepuluh kelompok dibawah
pimpinan seorang perwira pilihan yang bertanggung
jawab langsung kepada seorang pimpinan tunggal
dibarak itu, yaitu Pangeran Kertanegara sang Putra
Mahkota. Hari pertama itu tidak ada kegiatan selain pembagian
tugas yang harus mereka lakukan bersama dengan
penuh rasa tanggung jawab dan mandiri. Baru pada hari
kedua mereka secara bergiliran dilatih untuk menjadi
prajurit sungguhan. Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya yang
ditunjuk sebagai pelatih telah mulai bertugas. Mereka
berbagi tugas seperti Mahesa Amping melatih ketahanan
fisik, Raden Wijaya melatih ketrampilan gerak dan Lawe
sebagai pelatih jurus kanuragan. Sementara dalam hal
penempaan keprajuritan itu sendiri ada dalam
pengawasan Senapati Mahesa Pukat.
Demikianlah para pemuda itu setiap hari ditempa
sebagaimana seorang prajurit. Pada pagi hari mereka
diajak Mahesa Amping berjalan dan berlari menyusuri
jalan panjang atau mendaki dan merayap tebing-tebing
287 terjal tidak jauh dari Bandar Cangu. Setelah istirahat di
siang hari mereka dilatih Raden Wijaya melakukan
beberapa ketrampilan seperti melompat di antara patokpatok yang telah disediakan di sanggar terbuka atau
berlatih keseimbangan diatas balok titian. Dan menjelang
senja sampai jauh masuk keujung malam mereka berlatih
jurus kanuragan dibawah bimbingan Lawe.
Para pemuda itu sendiri bukan orang-orang yang
kosong sekali dalam kanuragan, di tempat asalnya
mereka sudah punya bekal yang kuat dalam kanuragan.
Penempaan di Bandar Cangu lebih mendekati kearah
pembauran agar tata gerak mereka ada dalam satu
watak yang seragam. Tidak ada halangan yang berarti dalam pelaksanaan
penempaan para prajurit muda itu. Meski dari usia
Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya masih muda,
mereka dapat melaksanakan tugas sesuai yang
diembannya, sementara para prajurit muda itu
menghargai mereka baik dalam sikap maupun dalam
menjalankan pengarahan setiap latihan sehari-hari.
"Gila !!, orang itu sepertinya punya udel dua. Belum
pernah kulihat napasnya tersengal-sengal", berkata
seorang pemuda yang berkulit hitam kepada temannya
tentang Mahesa Amping dalam sebuah latihan.
"Dengan kesungguhan, kalian dapat melakukannya
tanpa menguras habis tenaga kalian", berkata Mahesa
Amping sambil memberi pengarahan bagaimana cara
mengendalikan pernapasan yang sebenarnya.
Sementara ketika berlatih ketrampilan dan keseimbangan badan, mereka mengakui kelebihan
Raden Wijaya dari mereka.
"Siapa yang melebihi kecepatanku, silahkan 288 menggantikan diriku sebagai pelatih", berkata Raden
Wijaya dengan senyumnya menantang para prajurit
muda untuk berlari diatas sebuah titian panjang. Tidak
satu pun yang dapat melebihi kecepatan Raden Wijaya.
Demikianlah mereka berlatih dengan penuh
semangat. Hari demi hari tanpa mengenal lelah. Akhirnya
kerja keras mereka sudah mulai terlihat. Mulai dari
ketahanan fisik, ketrampilan maupun penguasaan
mereka pada jalur kanuragan.
Mahesa Pukat sudah mulai terjun memberikan latihan
pertempuran yang sebenarnya. Mereka dilatih bagaimana bertempur secara berkelompok, bertempur di
peperangan yang sebenarnya. Tidak terasa, empat bulan
purnama berlalu di Bandar Cangu.
"Hari ini, aku masih memberikan kesempatan kepada
kalian. Apakah ada diantara kalian yang ingin keluar dari
kesatuan ini?", bertanya Pangeran Kertanegara pada
suatu pagi dalam sebuah upacara resmi penganugerahan kekancingan pasukan khususnya.
Pangeran Kertanegara mencoba menahan katakatanya. Setelah beberapa saat menahan kata-katanya,
tidak ada satu pun yang mengangkat tangan atau
menyampaikan pernyataan. "Baiklah, kediaman kalian sebagai jawaban
pertanyaanku. Mulai hari ini kalian resmi sebagai
pasukan khusus. Prajurit sejati yang akan menjaga bumi
Singasari". Kata-kata Pangeran Singasari disambut teriakan
gembira yang menggempita. Hari itu mereka telah resmi
menjadi seorang prajurit. Berhak mengenakan peneng
keprajuritan sebagai bukti kekancingan resmi dari
Kerajaan Singasari. 289 "Ketika purnama naik diatas tepian Brantas, kalian
harus sudah ada kembali di barak ini", berkata Pangeran
Kertanegara yang telah memberikan kesempatan
prajuritnya untuk pulang kampung selama sebulan penuh
bertemu dengan keluarganya.
Sementara itu di galangan, Jung besar telah berdiri
dengan sempurnanya. Sebuah Jung besar yang sangat
indah, sebuah Jung besar yang tidak pernah ada
sebelumnya di jaman itu. Sebuah Jung besar yang begitu
indah yang ada di relief batu candi beduhur telah berdiri
nyata. Siapapun yang berlayar melewati Bandar Cangu
akan singgah melihat jung besar dalam decak penuh
takjub dan bangga telah melihat sebuah karya besar.
Tersiarlah di segenap penjuru tanah Jawa, telah
tercipta sebuah jung besar yang maha indah dan megah
di Bandar Cangu. Di pasar, dikedai dan di setiap
perjumpaan, tidak bosan-bosannya Jung Besar menjadi
sebuah pembicaraan yang tidak pernah habis
dibicarakan. Purnama telah terpaku dilangit tepian sungai Brantas
menganugerahkan sebuah pemandangan yang indah
rupawan di kota pelabuhan Bandar cangu.
Sudah sepekan ini orang-orang berduyun-duyun
datang ke Bandar cangu untuk melihat langsung sebuah
jung besar yang indah dan megah.
"Luar biasa, begitu mirip, begitu indah dan megah",
berkata Sri Maharaja yang datang langsung ke Bandar
Cangu untuk melakukan sebuah upacara menginjak air,
sebuah upacara yang harus dilakukan manakala sebuah
jung untuk pertama kalinya turun di sungai maupun di
laut lepas. Rombongan Sri Maharaja datang di Bandar Cangu
290 bersama Ratu Anggabhaya yang ikut merasa penasaran
untuk melihat dengan mata kepala sendiri pembicaraan
orang tentang megahnya jung besar di Bandar Cangu.
Sekaligus juga untuk bertemu dengan cucu tercintanya
Raden Wijaya yang sepertinya sudah begitu lama
meninggalkannya. Hari itu, tepat tanggal dan bulan baik, sebuah
upacara besar mengiringi turunnya jung besar dari
galangan terapung di tempat yang sesungguhnya, diatas
air kehidupannya. Diawali dengan doa puja-dan puji kehadirat Gusti
Sing Maha Karsa, Sri Maharaja telah memberi restu
dengan cara memecahkan kendi diatas anjungan.
Bertebaranlah air bunga tujuh rupa mengalir membasahi
anjungan bersama suara riuh segenap para kawula yang
hadir tumpah ruah memenuhi galangan di tepian Brantas.
Sri Maharaja segera turun dari galangan,
memberikan kesempatan kepada para pekerja menurunkan Jung yang telah sempurna turun ke tepian
Sungai Brantas. Terdengar suara riuh semakin bergemuruh manakala
kaki-kaki galangan telah dipatahkan, jung besar turun
sedikit demi sedikit mencium air sungai Brantas.
Pecahlah suara sorak yang riuh seperti gemuruh penuh
kegembiraan manakala seluruh badan jung besar jatuh
ke dalam sungai Brantas, terapung megah seperti bayi
raksasa angsa terguncang-guncang.
Huuuuuuuuu kegembiraan. !!!!!! terdengar suara gemuruh Bila ada yang pernah datang dalam penobatan
seorang raja, maka perayaan lahirnya sebuah jung besar
yang indah dan megah di Bandar Cangu bisa dikatakan
291 melebihi dari kemeriahan perayaan penobatan seorang
raja. Tiga hari tiga malam perayaan besar telah
dilaksanakan dengan begitu meriah. Bandar Cangu yang
ramai semakin menjadi padat melimpah ruah.
Dari segenap penjuru bumi Singasari orang
berduyun-duyun berdatangan seperti tidak pernah
habisnya. Ikut merasakan dan menikmati sebuah pesta
agung sebagai rasa sukur telah terciptanya sebuah maha
karya kebanggaan bersama seluruh penghuni bumi
Singasari Raya. "Para Dewa telah memindahkan batu suci di Candi
Beduhur menjadi hidup" , berkata seorang Brahmana
yang menyaksikan langsung sebuah jung yang begitu
indah sebagaimana pernah dilihatnya dalam sebuah
pahatan di sebuah batu candi di Bukit Beduhur.
Hingga akhirnya di ujung hari ketiga, di ujung senja
yang bening?"", beberapa keluarga dan kerabat para
prajurit muda melambaikan tangannya tanpa kata-kata.
Ratu Anggabhaya dan putranya Lembu Tal menatap
panjang tanpa suara. Hanya Sri Maharaja yang berbinar penuh
kegembiraan melihat jung impiannya telah terwujud, dan
hari itu perlahan-lahan bergerak merenggang menjauhi
tepian menuju pelayaran perdananya.
"Selamat jalan wahai Putra Sangkala", berkata Sri
Maharaja lirih sambil menatap dan memandang Jung
impiannya telah bergerak semakin menjauh.
Dan angsa raksasa itu telah
meninggalkan tanah kelahirannya.
hati terapung jauh Seperti warna bening pemisah batas senja, suasana
orang-orang yang ditinggalkan memang jauh
292 berbeda dengan mereka yang akan pergi berlayar jauh.
Suasana sendu penuh rindu menggayuti orang-orang
yang tertinggal. Sementara mereka yang akan berlayar jauh, hati dan
pikirannya dipenuhi suasana kegembiraan yang
berdegap-degup menyongsong petualangan masa depan
kehidupan yang panjang. Apapun suasana hati yang menggayuti saat itu,
sangkala di ujung senja itu telah memisahkan mereka.
Jung terapung diatas aliran Sungai Brantas di bawah
cahaya purnama yang masih bulat.
"Besok pagi kita sudah sampai di Bandar
Carubhaya", berkata Kebo Arema kepada Pangeran
Kertanegara di atas anjungan.
Angin malam berhembus dingin menyapu wajah.
Dibawah lampu bahtera yang tergantung bergoyang
Kebo Arema memandang keremangan malam di atas
sungai Brantas. Wajahnya yang keras sepertinya tengah
menikmati suasana kehidupannya sebagai nakhoda jung
besar impiannya. "Ada dua kebahagiaan yang selalu ditemui para
pelaut", berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping,
Lawe dan Raden Wujaya yang juga tengah menikmati
malam diatas anjungan."Pertama di saat matahari terbit


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan terbenam, kedua di saat jung merapat di daratan",
lanjut Kebo Arema. "Aku sering mendengar, seorang pelaut tua pulang
kekampung halamannya membawa kemiskinannya",
berkata Lawe. "Benar, diwaktu muda mereka begitu kaya, membeli
segala kesenangan tanpa menyisakannya", berkata
293 Mahesa Amping menambahkan.
"Begitulah para pelaut, harta adalah hutang yang
harus dilunasi setelah kejemuan dan keterasingan di
tengah lautan terbayar lunas di Bandar-bandar
tempatnya berlabuh. Yang tersisa adalah kekayaan hati
dan jiwa yang tidak pernah berkurang. Itulah kekayaan
para pelaut sejati dalam pemahaman diri akan hidup dan
kehidupan. Mereka telah menaklukkan rasa takut,
mengenal rasa takut sebagaimana rasa asin air laut yang
tidak akan menawarkan dahaga. Kekuatan bathin
mereka adalah cuma sebuah keyakinan bahwa badai
pasti akan berlalu, itulah kepercayaan mereka, kekayaan
bathin yang dimiliki seorang pelaut sejati", berkata Kebo
Arema penuh semangat. Bulan Purnama telah bergeser rebah di ujung barat,
langit kelam dan dinginnya malam adalah selimut abadi
para juru mudi yang terus bertahan berteman dengan
kemudi ganda menjaga jung berada pada jalurnya.
Ketika warna langit mulai memerah, suara ayam
jantan terdengar jauh bersautan dari hutan seberang.
Bibir tepian Sungai Brantas semakin terlihat jelas.
Cahaya pagi mulai menyapu bumi menaburkan perak
diatas mulut sungai yang berwarna kehijauan, sebagai
tanda batas sungai telah mendekati laut lepas.
Matahari pagi terus merayapi langit cakrawala yang
berawan diujung tiang-tiang layar di Bandar Curabhaya.
Perlahan jung besar merayap mendekati dermaga.
"Jung Singasari!!!!", berteriak orang-orang di dekat
dermaga yang berdecak kagum melihat jung yang begitu
megah dan sangat besar menurut ukuran jaman itu.
"Jung Singasari!!!", kembali orang-orang berteriak
294 sambil mendekati jung besar itu. Selama ini mereka
hanya sebatas mendengar, jauh di Bandar Cangu tengah
dibuat sebuah jung raksasa. Dan kali ini mereka
menyaksikannya. "Sebuah jung raksasa yang indah", berkata seorang
yang telah mendekati dermaga.
Pangeran Kertanegara dan Kebo Arema telah turun
di dermaga, seorang yang sudah cukup berumur menjura
penuh hormat. "Selamat datang di Curabhaya, sebuah kebanggaan
Pangeran singgah di Bandar kami", berkata orang itu
yang ternyata seorang rakyan pelabuhan bernama Sura
yang masih mengenal Pangeran Kertanegara ketika
masih menjadi Perwira menengah di Kutaraja.
"Apakah aku berhadapan dengan Syah Bandar
Curabhaya?", berkata Pangeran Kertanegara sambil
tersenyum."Perut Paman Sura sudah semakin membuncit", lanjutnya.
"Yang pasti sudah tidak bisa di jadikan mainan kudakudaan oleh anak nakal itu", berkata Sura mengingatkan
dirinya ketika di Kutaraja sering bermain bersama
Kertanegara kecil yang nakal.
Syah Bandar Sura dengan gembira mengajak
Pangeran Kertanegara dan Kebo Arema ke rumahnya.
Sebuah rumah yang cukup besar tidak jauh dari Bandar
Curabhaya. "Kulihat ada beberapa jung Malaka singgah di Bandar
ini", berkata Kebo Arema kepada Sura.
"Mereka menurunkan sutra dan keramik di Bandar ini
dari Pamalayu", berkata Sura.
"Kemana kalian akan membawa jung Singasari yang
295 megah ini dipersinggahan terakhir?", bertanya Sura.
"Dari Curabhaya ini kami akan menaikkan banyak
rempah-rempah, singgah di Tanah Sunda menaikkan
kapas dan cula badak, menaikkan emas dan perak di
Tanah Salaka ujung nusa jawa. Di pamalayu kami akan
menukar langsung barang kami kepada para pedagang
Persi dan Cina", berkata Kebo Arema
"Kalian akan menggunting keberadaan pedagang
Pamalayu?", bertanya Sura merasa khawatir hubungannya dengan beberapa saudagar dari Pamalayu
akan terputus. "Sudah saatnya Singasari menunjukkan dirinya,
berhadapan dengan pembeli yang sebenarnya", berkata
Pangeran Kertanegara. "Kalau memang itu yang Pangeran inginkan, hamba
siap membantu", berkata Syahbandar Sura
Lewat Sura yang disegani di Bandar Curabhaya,
Pangeran Kertanegara diperkenalkan dengan beberapa
saudagar. Hari itu terlihat beberapa orang buruh kasar tengah
menaikkan rempah-rempah keatas jung. Keesokan
harinya, terlihat jung Singasari yang megah telah
merenggang meninggalkan Bandar Curabhaya.
"Kita akan singgah di Pragota", berkata Kebo Arema
menjelaskan tempat yang akan disinggahi.
"Aku masih memikirkan apa yang dikatakan Sura
tentang para pedagang dari Tanah Melayu", berkata
Pangeran Kertanegara. "Apakah Pangeran menjadi gentar?" bertanya Kebo
Arema menatap Pangeran Kertanegara sepertinya ingin
mengetahui isi hati Pangeran Kertanegara di lubuk
296 hatinya paling dalam. "Aku tidak gentar, cuma
yang kupikirkan persinggungan yang bakal terjadi", berkata Kertanegara
"Layar sudah kita kembangkan, pantang
bersurut", berkata Kebo Arema memberi semangat.
kita "Aku baru mengenal kehidupan di lautan, bukan
cuma angin badai yang kita hadapi, tapi pengaruh para
saudagar di setiap Bandar kadang dapat menggulingkan
kita", berkata Pangeran Kertanegara.
"Didalam pelayaran kita akan menemui banyak
kawan dan lawan, inilah kehidupan yang harus kita
hadapi", berkata Kebo Arema.
Matahari senja memancarkan cahayanya diatas Nusa
Jawa mengawani Jung Singasari terus melaju dalam
pelayaran perdananya menyinggahi Bandar-bandar
besar sepanjang pantai utara Nusa Jawa.
Sebagaimana di Bandar Curabhaya, di setiap Bandar
yang disinggahi semua orang berdecak kagum menatap
jung besar dan megah begitu indah seperti jung yang
hanya dimiliki para dewata dalam alam hayal mereka.
"Jung Singasari!!", berkata seorang di dermaga
memanggil kawan-kawannya melihat lebih dekat jung
terbesar di jaman itu sedang merapat.
Bandar besar terdekat setelah Curabhaya yang
disinggahi adalah Bandar Pragota, setelah itu jung
Singasari ini melanjutkan pelayarannya ke Muara Jati,
sebuah Bandar pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh
para saudagar dari berbagai bangsa. Syahbandar di
Muara Jati menyambut mereka dengan begitu ramah dan
memperkenalkan mereka dengan seorang Bangsawan
Sunda yang langsung memesan perlengkapan pertanian
297 dan berbagai senjata yang banyak dimana memang
bahwa Kerajaan Singasari saat itu terkenal dengan
keahliannya sebagai pembuat senjata dan alat pertanian
yang baik. "Kami perlu banyak senjata yang terbaik, tentunya
buatan asli Singasari", berkata Bangsawan Sunda itu.
Selanjutnya, Kebo Arema juga telah mengantar Jung
Singasari ini masuk menyusuri Sungai Citarum sampai
ke Muara Gembong Karawang.
"Inilah tempat pertama nenek moyang kita berlabuh
di Nusa Jawa", berkata Kebo Arema ketika menyusuri
Sungai Citarum. Ternyata, tidak semua orang menyukai kehadiran
Jung Singasari. Sebagaimana yang dikatakan Kebo
Arema, dalam pelayaran pasti akan menemui banyak
kawan, dan juga lawan. Jauh di tanah Melayu, beberapa bangsawan Melayu
yang merasa tersaingi dengan kehadiran jung dari
Singasari itu tengah memutar sebuah siasat.
"Gila nian!!, baru kali ini kulihat jung sebesar itu",
berkata seorang bangsawan yang pernah melihat jung
Singasari ketika berada di Bandar Curabhaya."Mereka
dapat membawa barang lebih banyak dari yang kita
bawa". "Kita harus dapat menjegal mereka sebelum
menyeberang ke Bumi Melayu", berkata seorang yang
lainnya. Ketika persekongkolan para Bangsawan Melayu
untuk menjegal saingan baru mereka, jung Singasari
telah sampai di ujung Nusa Jawa sekitar daerah Rakata.
Mereka singgah di sebuah Bandar kecil yang tidak begitu
298 ramai. Ternyata Kebo Arema bukan cuma pandai
membaca bintang, penciuman dagangnya juga dapat
diandalkan. "Disinilah tempat asal pembuatan perak yang
terkenal, perak asli dari Salaka", berkata Kebo Arema
kepada Pangeran Kertanegara menjelaskan mengapa
harus singgah di Bandar ujung nusa jawa ini.
Mereka pun singgah di Tanah Rakata. Ternyata
bukan hanya perak yang mereka dapatkan dengan harga
yang menguntungkan, tapi mereka juga mendapatkan
lada dengan mutu terbaik.Bahkan yang tidak disangkasangka, disini juga banyak didapat cula badak dengan
harga yang begitu murah. "Mengapa jarang sekali para pedagang berlayar
sampai di Bandar ini?", bertanya Pangeran Kertanegara
merasa penasaran dengan keadaan Bandar yang sepi.
"Inilah keuntungan kita, para pelaut enggan berlayar
sampai kesini karena beranggapan disinilah tempat para
jin dan dedemit mendirikan kerajaannya", berkata Kebo
Arema sambil tersenyum. Anggapan itu memang
beralasan, badai di sekitar selat sunda ini memang
datang seperti hantu, datang seketika tanpa mengenal
musim dan tidak dapat dibaca".
"Dengan cara apa kita menghadapi hantu itu?",
bertanya Pangeran Kertanegara
"Lewat jalan rahasia, sedikit pelaut yang mengetahui
tentang jalan rahasia itu", berkata Kebo Arema.
Matahari senja telah kembali datang. Jung raksasa
bertiang layar tujuh itu pun telah mengangkat sauhnya
bersiap meninggalkan dermaga.
Wajah bulan sabit bercahaya buram bersembunyi di
299 balik awan diatas Selat Sunda diujung malam ketika Jung
milik Dewata seperti yang terlukis di Candi Beduhur itu
dibawa angin menyeberangi mendekati Bumi Melayu.
Mereka memang tidak menemui hantu yang
mengganggu, dikeremangan malam itu mereka melihat
dua buah jung terlihat semakin mendekat.
"Bersiaplah, mungkin yang kita hadapi adalah para
perompak", berkata Kebo Arema kepada para prajurit
yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Kebo Arema telah membuat tanda dengan bahasa
lentera, tapi tidak ada jawaban dari dua buah jung yang
terus mendekati, bahkan terlihat mereka telah mematikan
lenteranya, yakinlah Kebo Arema bahwa mereka akan
berbuat suatu kejahatan. "Matikan semua lentera", berteriak Kebo Arema
ketika melihat dua buah jung didepannya telah
mematikan lenteranya. Para prajurit telah siaga di sepanjang pagar geladag.
Mahesa Amping ada di kanan geladak, Raden Wijaya
terlihat di kiri geladag. Sementara Lawe menjaga bagian
buritan. Di keremangan malam dua buah jung terlihat telah
mengapit rapat jung dari Singasari.
"Jangan biarkan mereka masuk, pertahankan
kedudukan kalian", berkata Kebo Arema dari Anjungan.
Jung musuh telah semakin merapat, mengunci jung dari
Singasari dengan tali temali.
Berhamburan orang-orang asing itu melompat ke
geladag. Dan terjadilah pertempuran yang mencekam di
keremangan malam di Selat Sunda itu.
Untungnya para prajurit muda ini telah sering berlatih
300 di atas geladag. Dipertempuran yang sesungguhnya ini
mereka telah menunjukkan segala kemampuannya.
Terlihat beberapa orang dari pihak musuh yang langsung
terjungkal kedasar laut sebelum mampu menginjakkan
kakinya di geladak. Namun beberapa orang yang terlihat
berkemampuan tinggi berhasil melompat setelah melukai
prajurit yang menjaganya.
Tapi semua tidak lepas dari perhatian Mahesa
Amping yang bertanggung jawab di kanan geladak.
"Gantikan tempatku", berkata Mahesa Amping


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada seorang prajurit di dekatnya dan langsung
menghadang musuh yang terlihat berkemampuan tinggi.
"Akulah lawanmu", berkata Mahesa Amping sambil
menangkis sebuah sabetan yang hampir saja menebas
leher seorang prajurit. "Punya nyali juga kau", berkata orang itu kaget
merasakan tangannya bergetar.
Tanpa kata-kata peringatan, orang itu langsung
membabat perut Mahesa Amping dengan pedangnya.
Mahesa Amping hanya kerkelit sedikit, membiarkan
pedang lawan lewat di hadapannya. Dan diluar
perhitungan lawannya, Mahesa Amping dengan
kecepatan yang tak terlihat tiba-tiba saja telah menjepit
pedang lawannya dengan hanya dua jari tangannya.
Dengan sebuah hentakan pedang lawan itu ditariknya
ke depan. Bukan main !! tenaga tarikan itu tidak bisa
ditahan oleh orang itu, daya tarikan itu seperti berasal
dari tenaga sepuluh ekor banteng, terlihat orang itu
seperti layangan ringan ditarik sorong kedepan. Dan tibatiba saja sebuah tendangan dirasakan menghantam
pinggangnya seperti terhantam batu bongkahan besar,
301 orang itu telah jatuh rebah tak bergerak lagi.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Raden Wijaya
dan Lawe, mereka tidak bermain-main lagi, tapi berusaha
secepatnya merobohkan lawan dan langsung membantu
para prajurit membereskan setiap lawan yang berhasil
masuk ke geladag. Tapi para penyerang masih terus menerjang masuk
membanjiri geladag. Melihat hal ini, Pangeran
Kertanegara dan Kebo Arema telah menunjukkan dirinya
yang sebenarnya. Dua orang murid Empu Dangka
seperti terbang diatas pagar geladag langsung menyapu
bersih siapapun musuh yang berusaha masuk
menerobos. "Mengambil madu membelah sarang", berkata
Pangeran Kertanegara kepada Kebo Arema sambil
melompat ke jung lawan yang ada di sebelah bahu
kanan geladag. Kebo Arema mengerti apa yang diinginkan Pangeran
Kertanegara, ia pun telah melompat ke jung lawan yang
ada di sebelah bahu geladag.
Tidak ayal lagi, puluhan orang terlempar terkena
pukulan dan tendangan Pengeran Kertanegara.
Kehadiran Pangeran Kertanegara juga telah menghentikan aliran gelombang musuh ke bahu kanan
geladag. Sebagaimana Pangeran Kertanegara, Kebo Arema
seperti bola api ditengah lebah hitam. Siapapun yang
mendekat akan terlempar jatuh tak mampu bergerak lagi.
"Terima kasih", berkata Bhaya kepada Raden Wijaya
yang telah menyelamatkan dirinya dari seorang musuh
yang akan menyerangnya dari arah belakang.
302 "Jangan keluar dari kelompok", berkata Raden Wijaya
mengingatkan Bhaya yang terlalu semangat keluar dari
kelompoknya. "Aku akan mengingatnya", berkata Bhaya yang
kembali membantu kekelompoknya.
Sedikit demi sedikit jumlah pihak penyerang sudah
semakin menyusut. Pangeran Kertanegara dan Kebo
Arema telah membuat musuh kocar-kacir di jungnya
sendiri. Sementara musuh yang sudah terlanjur berada di
atas geladag langsung terserap oleh kepungan para
prajurit muda yang baru pertama kali bertempur dengan
musuh sungguhan. Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya memang
sudah dapat dipercaya, menjaga dan mengingatkan para
prajurit untuk tetap berada dalam kelompoknya,
melakukan penyerangan secara berkelompok saling
membantu. Para penyerang yang ada di geladag benar-benar
menghadapi serangan yang rapi dan tersusun rapat.
Mereka tidak mampu memecahkan barisan para prajurit
Singasari yang sudah sering dilatih menghadapi
serangan di lautan. Para penyerang sepertinya digiring
untuk terpencar perseorangan masuk terkunci dalam
sergapan. Lambat tapi pasti jumlah para penyerang sudah
semakin menyusut. Terlihat Lawe telah merobohkan seorang penyerang
terakhir di buritan. "Menyerahlah!!", berkata Mahesa Amping di geladag
kanan kepada pihak lawan yang tinggal sepuluh orang.
"Kami menyerah", berkata seorang dari sepuluh
303 orang yang sudah terkepung rapat.
Sementara di geladak kiri, tujuh orang musuh tanpa
kata-kata telah melempar senjatanya.
"Tahan serangan!!", berteriak Raden Wijaya
mengingatkan para prajurit untuk tidak membantai tujuh
orang yang sudah melemparkan senjatanya tanda
menyerah. Para penyerang di atas geladag sudah dapat
dikuasai, mereka telah dikumpulkan dan diikat.
Sementara itu di jung lawan, Pangeran Kertanegara
bermaksud untuk segera menghentikan pertempuran
tanpa menimbulkan banyak korban, maka dengan
kekuatan yang ada didalam dirinya, Pangeran
Kertanegara telah mampu menghadirkan kabut putih.
Dua puluh orang musuh yang tersisa telah terperangkap
kabut putih yang tebal. Mereka bukan saja tidak dapat
melihat, tapi tubuh mereka telah menggigil kedinginan.
Kabut itu ternyata mengandung hawa dingin yang luar
biasa. Mebihi dinginnya es menusuk kulit mereka.
"Menyerahlah, aku akan menghentikan penderitaan
kalian", berkata Pangeran Kertanegara.
Apa yang di lakukan oleh Kebo Arema diatas jung
lawan" Tidak seperti Pangeran Kertanegara yang menundukkan lawannya dengan kabut putihnya, Kebo
Arema telah menundukkan lawannya dengan cara yang
berbeda. Lima belas orang yang tersisa yang tengah
mengepung Kebo Arema benar-benar dibuat bingung.
Dengan kecepatan yang luar biasa, hanya dalam
hitungan detik, entah setan apa yang memindahkan,
pedang para pengepung telah berpindah tangan.
304 "Aku dengan mudah memindahkan pedang kalian,
dengan mudah pula membunuh kalian", berkata Kebo
Arema sambil mengangkat lima belas pedang tinggitinggi.
"Tuan telah berlaku murah hati, kami menyerah",
berkata seseorang yang membayangkan bahwa Kebo
Arema dapat melakukan lebih dari itu untuk selembar
nyawanya. Yang juga diikuti oleh teman-temannya,
menyerah tanpa perlawanan lagi.
Hari masih menyisakan malam. Tiga buah jung
terlihat diatas laut malam bergelombang laju dalam layar
penuh terkembang ditiup angin kencang.
Disaat pagi menjelang, tiga jung itu telah sampai di
pantai Pasir Seputih. Jung tidak dapat mendarat sampai ke pantai.
Pangeran Kertanegara dan beberapa orang telah terlihat
diatas jukung kecil mendekati pantai. Sebuah kelompok
besar menyongsong kedatangan mereka.
"Siapakah penguasa disini agar kami dapat datang
menghadap", berkata Pangeran Kertanegara kepada
sekumpulan orang yang datang menyongsong mereka.
"Aku Minak Gajah, penguasa tanah ini. Kisanak dapat
bicara denganku", berkata seorang yang terlihat paling
tua tapi masih terlihat gagah. Matanya bening dan tajam,
tanda telah menguasai kekuatan tenaga dalam yang
tinggi. "Kami datang dari Bumi Singasari, di selat Sunda
Jung kami diserang oleh orang-orang yang semula kami
kira para perompak. Ternyata mereka para prajurit dari
Kerajaan Tanah Melayu", berkata Pangeran Kertanegara."Kami telah menawan beberapa orang yang
305 masih hidup, juga dua buah jung mereka".
"Hanya orang-orang gagah saja yang dapat
mengalahkan para prajurit Tanah Melayu", berkata Minak
Gajah kagum mendengar cerita Pangeran Kertanegara.
"Kami hanya membela diri", berkata Pangeran
Kertanegara merendahkan dirinya.
"Mereka juga sering datang membuat kekacauan di
tempat ini", berkata Minak Gajah bercerita bahwa ia dan
keluarganya sebenarnya berasal dari Palembang
sebagai keturunan bangsawan Sriwijaya yang mengungsi
karena terus diburu oleh para prajurit dari Tanah Melayu.
"Mereka takut Sriwijaya bangkit kembali, dan terus
menumpas keluarga dan keturunan bangsawan
Sriwijaya", berkata Minak Gajah melanjutkan.
Akhirnya Minak Gajah mengajak rombongan
Pangeran Kertanegara singgah di rumahnya yang tidak
jauh dari pantai pasir seputih.
Matahari sudah terlihat merayapi cakrawala
menghangati suasana pagi perkampungan pinggir pantai
itu. Dan Minak Gajah telah menunjukkan keramahan
seorang tuan rumah yang baik. Rombongan Pangeran
Kertanegara telah dijamu dengan hidangan yang
memuaskan. Banyak sekali yang ditanyakan oleh Minak
Gajah, terutama Jung yang besar dan megah yang baru
pertama kali dilihatnya. Karena keramahan Minak Gajah, akhirnya Pangeran
Kertanegara membuka jati dirinya sebagai Putra Mahkota
Singasari yang tengah melakukan pelayaran percobaan.
"Sebenarnya kami akan mencoba berlayar sampai
Tanah Melayu, tapi melihat gelagat yang kurang baik dari
para penguasa di Tanah Melayu, mungkin pelayaran
306 kami cuma sampai di Bandar Sebukit", berkata Pangeran
Kertanegra menjelaskan tujuan pelayaran mereka.
"Kami juga akan membuat sebuah perhitungan
dengan apa yang telah mereka lakukan kepada kami",
berkata pangeran Kertanegara menyatakan sikapnya
atas sikap para penguasa Tanah Melayu.
"Sebaiknya Pangeran tidak datang ke Bandar
Sebukit, kekuasaan Tanah Melayu sudah sampai ke
Sebukit", berkata Minak Gajah memberi saran agar tidak
melanjutkan pelayarannya ke Bandar Sebukit.
"Aku sependapat, bukan berarti kita gentar
menghadapi mereka", berkata Kebo Arema memberikan
pendapatnya untuk tidak melanjutkan pelayaran sampai
ke Sebukit. "sebagai gantinya, cukup menerjunkan
petugas sandi yang akan melanjutkan pelayaran kita
sampai ke Tanah Melayu", berkata Kebo Arema
melanjutkan. "Siapa orang kita yang dapat melakukan tugas sandi
itu?", bertanya Pangeran Kertanegara
"Siapa lagi kalau bukan tiga orang begundal tengik
yang pernah bertugas di Tanah Gelang-gelang", berkata
Kebo Arema sambil melirik kepada Mahesa Amping,
Lawe dan Raden Wijaya. "Kami dapat meminjamkan jung layar dan seorang
pemandu", berkata Minak Gajah.
Demikianlah antara Pangeran dan Minak Gajah telah
mengikat persahabatan untuk saling membantu terutama
dalam hal rencana besar membuat perhitungan dengan
penguasa di Tanah Melayu.
Sementara itu, sesuai adat di jaman itu. Siapapun
yang kalah perang akan menerima nasib yang paling
307 hina sebagai budak belian. Itulah yang berlaku pada
nasib para prajurit Tanah Melayu yang telah kalah
menyerah dan menjadi tawanan. Tapi Pangeran
Kertanegara tidak mengambil haknya.
"Hari ini kalian telah kulepaskan, tidak jadi budak
belian dan juga bukan tawanan. Kembalilah ke tempat
asal kalian", berkata Pangeran Kertanegara membuat
para tawanan menjadi bingung apa yang harus mereka
katakan. "Ampun tuanku, berpulang sebagai prajurit yang
kalah perang, bagi kami adalah lebih hina dari seorang
budak belian yang hina sekalipun. Ijinkanlah kami
menetap di Pasir Seputih ini", berkata salah seorang
tawanan mewakili kawan-kawannya.
Pangeran Kertanegara memandang kepada Menak
Gajah, meminta pertimbangannya.
"Begitulah adat kami orang Melayu, pantang pulang
dengan wajah tercoreng. Kami tidak berkeberatan
mereka memilih tinggal bersama di Tanah Pasir Seputih
ini", berkata Minak Gajah.
"Baiklah kalau begitu, mulai hari ini kuserahkan diri
kalian kepada Minak Gajah. Junjunglah langit diatas bumi
yang kau pijak", berkata Pangeran Kertanegara kepada
para prajurit Tanah Melayu yang telah dibebaskan itu.
"Budi Tuanku setinggi gunung, jiwa Tuanku seluas
lautan", berkata salah seorang prajurit Tanah Melayu


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyampaikan rasa terima kasih tak terhingga kepada
Pangeran Kertanegara. Dilepas senja, Rombongan Pangeran Kertanegara
telah meninggalkan Pantai Pasir Seputih kembali ke
kampung halamannya di Bumi Singasari.
308 Keesokan harinya di senja yang bening, terlihat
Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe telah
meninggalkan Pantai Pasir Seputih bersama sebuah jung
layar dan seorang pemandu yang umurnya masih seusia
dengan mereka dan memperkenalkan dirinya bernama
Argalanang yang masih kemenakan dari Minak Gajah.
Layar jung telah dikembangkan, angin laut telah
membawanya mengarungi tepian pantai daratan yang
panjang. Dibawah sinar rembulan malam dan jutaan
bintang di langit kelam jung terus laju menggunting laut
Selat Malaka yang dalam. "Kita menepi sejenak di kampung terapung", berkata
Argalanang ketika jung mereka telah menepi di dermaga
sebuah muara yang besar yang mengingatkan pada
muara Porong yang indah. Suasana pagi di kampung terapung terlihat begitu
indah dalam warna sinar matahari pagi yang bersinar
bersembul dari balik sebuah bukit.
Kampung terapung yang di katakan oleh Argalanang
adalah sebuah perkampungan rumah-rumah nelayan
yang berdiri diatas papan-papan kayu hitam.
Penduduknya pada umumnya adalah para nelayan yang
berasal dari Tanah Bugis.
Empat pemuda terlihat menyusuri gang demi gang
seperti dermaga panjang yang sengaja dibuat untuk para
pejalan kaki. Argalanang berjalan di muka, sepertinya
telah banyak mengenal daerah pemukiman nelayan ini.
"Pasar terapung", berkata Argalanang menunjuk
kesebuah kumpulan jung kecil yang banyak bersandar.
Sebuah pemandangan yang unik dalam pikiran Mahesa
Amping, Lawe dan Raden Wijaya sebagai orang asli dari
Nusa Jawa. Mereka melihat baik pembeli maupun
309 pedagang berada dalam jung kecil diatas sungai.
Sebagaimana pasar biasa, di pasar terapung ini juga
tersedia berbagai kebutuhan, mulai dari sayur mayur,
buah segar dan juga gerabah.
Argalanang melambaikan tangannya kepada seorang
diatas sebuah jung, yang ternyata adalah sebuah kedai
terapung. "Nasi kapau dan iwak kakap bumbu kuning asem
belimbing, empat", berkata Argalanang kepada seorang
pedagang diatas jung kecilnya.
Nikmatnya menyantap hidangan diatas dermaga
sambil memandang kesibukan para ibu muda berbelanja
di pasar terapung di bawah matahari pagi yang baru
terbangun di timur cakrawala mengintip malu.
"Jangan sekali-kali memberi senyum apalagi
menyapa para gadis di Tanah melayu ini", berkata
Argalanang yang telah menyelesaikan makanan dan
minumannya. "Kenapa harus begitu ?", bertanya Lawe merasa baru
mendengar ada adat seperti itu.
"Sebuah senyum dan sapaan dianggap sebuah
lamaran", berkata Argalanang menjelaskan. Si gadis
yang kau sapa akan pulang mengabarkan kepada orang
tuanya bahwa dijalan ada seorang pemuda yang telah
memberi sebuah tanda lamaran", Argalanang melanjutkan penjelasannya.
"Sebuah senyum dan sapa diartikan sebuah tanda
lamaran?", ikut bertanya Mahesa Amping.
"Begitulah, ayah si gadis akan datang menemuimu
meminta untuk melamar secara resmi", berkata
Argalanang. 310 "Bila kita menolaknya ?", bertanya Raden Wijaya
"Ayah si gadis akan memintamu membayar sebuah
denda seharga seekor domba besar", berkata
Argalanang. "Sebuah denda yang mahal, hanya karena memberi
senyum kepada seorang gadis", berkata Lawe sambil
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Ketika matahari sudah semakin merayap keatas
cakrawala, mereka telah berada diatas jung kembali
melanjutkan perjalanan mereka ke Bandar Sebukit.
Matahari dan langit pagi memencarkan air sungai
Musi berwarna kuning perak. Sungai Musi memang
sebuah sungai yang besar dan panjang. Jung berlayar
menyusuri Sungai Musi yang luas. Kadang mereka
berpapasan dengan jung besar milik para pedagang
yang akan menuju laut lepas.
"Bandar Sebukit sudah terlihat", berkata Argalanang
menenjuk sebuah daratan yang banyak jung besar
tengah bersandar. "Lebih ramai dari Bandar Cangu", berkata Raden
Wijaya melihat begitu banyak jung besar yang merapat.
"Jung bertiang layar lima itu adalah milik para
pedagang dari Persia", berkata Argalanang yang
nampaknya banyak mengenal asal sebuah jung besar
hanya dengan melihat bentuk dan banyaknya tiang layar.
"Yang bertiang tiga itu berasal dari Gujarat", berkata
kembali Argalanang sambil menunjuk sebuah jung
bertiang tiga. "Masih kalah besar dengan Jung Singasari", berkata
Raden Wijaya yang teringat pada Jung kebanggaannya
yang juga disebut sebagai Jung Bukit Beduhur oleh
311 orang-orang dari Bandar Pragota.
Jung mereka telah disandarkan di sebuah dermaga
yang sepi. Matahari telah berdiri di puncaknya ketika
mereka berjalan mendekati sebuah kedai yang
nampaknya paling ramai dikunjungi.
Mereka memilih meja di sebelah sudut di dalam
kedai. Memesan beberapa hidangan kepada seorang
pelayan tua yang datang mendekati mereka.
"Tolong bawakan segera minumannya, kami sangat
haus", berkata Argalanang kepada Pelayan tua itu.
"Wedang jahe hangat,
memesan minumannya. Paman", berkata Lawe "Disini tidak ada wedang jahe, bagaimana dengan
Liang teh hangat?", bertanya Pelayan tua.
"Liang teh hangat dengan gula aren terpisah",
berkata Argalanang buru-buru menyela agar tidak
menarik perhatian pengunjung lain yang ada di dekatnya.
Setelah beristirahat sejenak di kedai, mereka pun
melihat-lihat keadaan kota Sriwijaya untuk sebagai bahan
laporan tugas mereka sebagai petugas delik sandi.
Menyusuri kota tua Sriwijaya yang ramai memang
sangat menyenangkan. Hilir mudik pedati di jalan
membawa aneka barang milik para saudagar. Di jalan
juga sepertinya sudah terbiasa melihat para orang asing
dari berbagai bangsa berlalu lalang. Rumah-rumah besar
dengan pilar ukiran kayu jati berpagar dinding batu
berderet sepanjang jalan yang tertata rapi.
Tanah Sriwijaya sudah lama tak bertuan, tapi para
warganya sepertinya tidak memperdulikannya. Siapapun
penguasanya, yang penting mereka dalam keadaan
tetap damai, dalam bertani, berdagang dan kehidupan
312 lainnya. Tanah Sriwijaya pada saat ada dalam pengendalian
para penguasa dari Tanah Melayu. Tapi siapa yang
peduli?" Begitulah suasana yang ditangkap oleh Raden
Wijaya, Lawe, Mahesa Amping dan Argalanang ketika
mereka menyusuri kota tua Sriwijaya.
Merekapun kembali ke Bandar Sebukit, melihat
berbagai barang diangkut naik ke jung besar milik para
saudagar dari berbagai bangsa. Merekapun melihat
diantara berbagai barang yang keluar masuk lewat
Bandar Sebukit yang ramai itu adalah lada hitam. Mereka
mendapat keterangan bahwa lada hitam adalah lada
yang paling diminati oleh para pedagang asing karena
merupakan lada yang terbaik. Lada hitam ini dibawa oleh
para pedagang setempat dari pedalaman sungai
Kampar. Sebuah tempat yang jauh.
"Jung bangsawan Sunda", berkata Argalanang
menunjuk sebuah jung yang elok dengan banyak umbulumbul berwarna kuning bergambar kepala harimau.
Ternyata Argalanang memang
mengenal berbagi jenis jung.
telah banyak Jung elok itu memang milik bangsawan Sunda.
Pemiliknya adalah seorang yang sangat dihormati di
bumi Pasundan yang tidak lain adalah Raja Ragasuci
penguasa Saunggalah putra Raja Darmasiksa yang telah
mengasingkan dirinya bertapa di Gunung Galunggung
sebagai seorang Resi Guru yang sakti.
Raja Ragasuci sendiri terbilang masih Paman Raden
Wijaya dari garis ibunya yang berdarah sunda. Ibunda
Raden Wijaya dan Raja Ragasuci sebagai saudara lain
313 ibu. Raja Ragasuci mempunyai seorang ibu berdarah
campuran bangsawan Sriwijaya dan Melayu.
Kehadiran Ragasuci di kota Sriwijaya adalah sebuah
kunjungan ke tanah leluhur ibundanya. Masih ada
pamannya di kota Sriwijaya, kakak kandung dari
ibundanya bernama Bagus Kemuning, seorang
bangsawan yang sangat disegani dan begitu
berpengaruh. "Ternyata kamu berminat menyunting seorang putri
dari Tanah Melayu?", bertanya Bagus Kemuning kepada
kemenakannya Raja Ragasuci yang datang menemuinya
di rumahnya. "Begitulah Paman, mudah-mudahan aku dapat
memenangkan sayembara itu", berkata Raja Ragasuci.
Pada saat itu memang di Tanah Melayu akan
diadakan sebuah sayembara besar memperebutkan
seorang putri Raja Melayu yang cantik jelita bernama
Dara Puspa. Namun yang dapat mengikuti hanya dari kalangan
yang berdarah bangsawan dari berbagai nagari. Salah
satunya adalah Raja Ragasuci sendiri.
Berita sayembara itu akan dilaksanakan pada hari
purnama pekan depan telah didengar pula oleh Raden
Wijaya dan kawan-kawannya yang tengah melaksanakan
tugas sandi. "Besok kita berangkat ke Tanah Melayu", berkata
Argalanang. Demikianlah, pada hari itu mereka mencari rumah
penginapan disekitar Bandar Sebukit.
Malam telah menyelimuti Bandar Sebukit yang telah
lelah setelah seharian ditingkahi kesibukan dan
314 kepenatannya. Udara dingin di luar rumah menjadikan
jalan-jalan menjadi begitu sepi dan lengang.
Mahesa Amping belum tidur di kamar penginapannya. Pendengarannya yang tajam telah
mendengar pembicaraan di kamar sebelah yang terpisah
oleh dinding yang terbuat dari bilik kayu. Sebuah
pembicaraan yang begitu menarik perhatiannya.
"Apa susahnya menghancurkan jung Singasari itu",
berkata sesorang terdengar dari bilik kamar Mahesa
Amping yang telah mempertajam pendengarannya.
"Tetapi sampai hari ini mereka masih belum kembali",
berkata suara yang lain. "Apa yang akan kita laporkan kepada Tuanku Bagus
Kemuning?", berkata suara orang yang pertama.
"Tunggu sampai besok, baru kita dapat menghadap",
berkata suara yang lain. "Yang kutakutkan, mereka tidak singgah ke Sebukit
tapi langsung pulang ke Tanah Melayu", berkata orang
yang pertama. "Apa yang kamu takutkan ?", bertanya suara orang
kedua. "Kamu ini benar-benar tukut!, berkata orang pertama.
"Tuanku Bagus Kemuning telah berpesan bahwa tugas
ini jangan sampai didengar Baginda Raja", berkata orang
pertama melanjutkan. "Kamu benar, tapi aku bukan tukut", berkata orang
kedua terdengar oleh Mahesa Amping dengan kepekaan
pendengarannya yang tajam terdengar membanting
badannya ke pembaringan. Setelah itu tidak terdengar pembicaraan lagi. Yang
315 terdengar adalah lenguh dengkur napas mereka yang
saling bersahutan. Dengan pendengarannya yang tajam
Mahesa Amping sudah menduga bahwa mereka sudah
jauh terlelap tidur. Tiba-tiba saja pendengaran Mahesa Amping
mendengar suara yang mencurigakan berasal dari atap
rumah. Segera Mahesa Amping membangunkan Raden


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wijaya yang sekamar dengannya. Ketika dilihatnya
Raden Wijaya telah terbangun, Mahesa Amping segera
keluar kamar langsung melenting ke atap rumah.
Sesosok bayangan masih sempat dilihatnya telah
berkelebat menghilang di kegelapan malam.
Mahesa Amping kembali masuk kekamarnya,
mencoba menempelkan telinganya di dinding untuk
mendengar apa yang telah terjadi di kamar sebelah.
Suara dengkur sudah tidak terdengar lagi, bahkan lenguh
desah halus napas sekalipun.
"Apa yang telah terjadi?", bertanya Raden Wijaya
yang belum dapat mengerti apa yang tengah terjadi.
Mahesa Amping menjelaskan kepada Raden Wijaya
mulai dari apa yang dengan tidak sengaja mendengar
pembicaraan orang di sebelah kamar dan terakhir suara
mencurigakan diatas atap rumah.
"Aku merasa orang di sebelah sudah tidak
bernyawa", berkata Mahesa Amping yang percaya sekali
dengan kepekaan pendengarannya.
"Kita lihat apa yang terjadi", berkata Raden Wijaya.
Mereka berdua telah keluar dari kamarnya dan langsung
menuju kamar sebelah. Pintu kamar itu ternyata tidak diselarak dari dalam.
Ketika pintu terbuka, terkejut Mahesa Amping dan Raden
316 Wijaya melihat apa yang ada didepan matanya.
"Mereka berdua sudah mati", berkata Mahesa
Amping melihat dua orang tergeletak di pembaringannya
dalam keadaan tidak bergerak. Seluruh tubuhnya terlihat
berwarna hijau. "Racun ikan buntal!!", berkata Raden Wijaya sambil
menunjuk dua buah duri kecil menancap di leher kedua
orang yang terbaring tak bernyawa itu.
"Dari mana Raden mengetahui bahwa mereka
terkena racun ikan buntal?", bertanya Mahesa Amping
yang merasa heran Raden Wijaya telah memastikan
bahwa kedua orang itu terkena racun ikan buntal yang
pernah didengarnya memang mempunyai daya racun
yang amat kuat. Raden Wijaya mengeluarkan sebuah bubu bambu
kecil dari balik pakaiannya. Dengan hati-hati
mengeluarkan sebuah duri kecil dari dalam bubu bambu
kecil itu. "Sebuah duri yang sama yang telah menghabisi
nyawa ibundaku", berkata Raden Wijaya sambil
mencabut sebuah duri yang ada dileher salah satu
mayat. Lamunan Raden Wijaya melayang jauh ke belakang,
di suatu malam menjelang keberangkatannya bersama
Mahesa Murti menuntut ilmu di Padepokan Bajra Seta
"Diujung duri ikan buntal ini nyawa ibundamu
berakhir. Bawalah bersamamu, sampai saat ini ayahmu
belum dapat mengungkap dibalik kematian ibundamu",
berkata Lembu Tal kepada Raden Wijaya.
Dimanapun Raden Wijaya berada, bubu bambu kecil
itu selalu menyertainya. 317 "Hari ini pintu rahasia lorong teka-teki keluargaku
mulai terkuak, aku akan terus menyusurinya", berkata
Raden Wijaya sambil memasukkan kembali duri ikan
buntalnya. Mahesa Amping yang pernah diceritakan mengenai
hal itu oleh Raden Wijaya memahami apa yang
dirasakan Raden Wijaya saat itu.
"Hanya mereka yang telah mempunyai kemampuan
tinggi yang dapat melempar duri kecil itu tepat
menembus sasaran", berkata Mahesa Amping.
Akhirnya mereka segera menyelinap keluar dari
kamar naas itu kembali kekamarnya.
Dan sang waktu perlahan terus menyusut perjalanan
malam. Membungkus rahasia kegelapan sampai
akhirnya datang sang pagi yang bening berwajah lugu
menangkap kehangatan matahari yang bersinar diujung
tepi cakrawala. Diawali suara kokok ayam jantan yang saling
bersahutan. Bandar Sebukit telah terbangun kembali
dalam ke hiruk pikukan pagi di antara coloteh para buruh
angkut barang yang mengais rejeki mengangkat barang
diatas bahunya satu persatu.
Terlihat Mahesa Amping dan kawan-kawannya
tengah memasuki sebuah kedai yang sudah buka di pagi
itu menjual makanan dan minuman hangat untuk sarapan
pagi. Ketika mereka masuk, sudah ada beberapa orang
pengunjung. Mereka pun mencari tempat yang kosong.
Dengan perlahan, agar tidak didengar orang lain,
Raden Wijaya menceritakan kejadian semalam kepada
Lawe dan Argalanang termasuk teka-teki rahasia
318 keluarganya. "Apakah ayahmu pernah bercerita tentang orang
yang bernama Bagus Kemuning?", bertanya Lawe
kepada raden Wijaya. "Belum", berkata Raden
menggelengkan kepalanya. Wijaya datar sambil "Kita harus mencari tahu banyak hal tentang orang
itu", berkata Argalanang
Demikianlah, mereka akhirnya sepakat untuk
menunda keberangkatan mereka di pagi itu. Mereka
sepakat untuk menyelidiki siapa sebenarnya pemilik
nama Bagus Kemuning itu. Akhirnya, dengan hati-hati mereka bertanya dengan
orang-orang di sekitar Bandar Sebukit dan kota Sriwijaya.
Ternyata mereka mendapatkannya dengan mudah.
Hampir semua orang di kota Sriwijaya itu mengenal
Bagus Kemuning sebagai orang yang sangat disegani
dan berpengaruh di Bumi Sriwijaya.
Matahari sudah naik ke puncaknya. Seorang tukang
buah duku terlihat tengah berteduh dibawah sebuah
pohon ambon yang rindang di depan pagar rumah Bagus
Kemuning. "Rancak nian rejekimu wahai tukang buah", berkata
seorang yang berpakaian sederhana keluar dari regol
rumah Bagus Kemuning menghampiri tukang buah yang
tengah berteduh. Nampaknya seorang pelayan di rumah
itu. "Seharian ini belum ada kutemui seorang pun
pembeli, apanya yang rancak", berkata tukang buah itu
yang ternyata Argalanang yang tengah menyamar.
"Buahmu kubeli semuanya", berkata orang itu.
319 "Apakah aku tidak salah dengar", biasanya orang
membeli segantal dua gantal", berkata Argalanang.
"Tuanku telah kedatangan banyak tamu, tolong antar
sekalian kedalam", berkata orang itu.
Argalanang berjalan mengikuti pelayan itu masuk
kerumah Bagus Kemuning. Diatas pendapa dilihat
banyak orang tengah berbincang-bincang. Dari
pakaiannya, Argalanang dapat mencirikan setiap orang
yang ada di atas pendapa itu. Seorang berpakaian adat
Melayu pastilah tuan rumah yang bernama Bagus
Kemuning. Sementara yang lainnya berpakaian
sebagaimana para pembesar dari Tanah Sunda.
"Ternyata orang-orang dari Tanah Pasundan yang
bertamu", berkata Argalanang dalam hati setelah sekilas
menyapu dengan pandangannya orang-orang yang ada
di atas pendapa. "Tamu tuanmu orang-orang pasundan?", Argalanang
berkata sambil menuang dukunya ke bakul yang
disediakan sebagai tempat buah dukunya.
"Bukan orang Pasundan sembarangan, tapi Raja dari
Tanah Sunda", berkata pelayan itu sepertinya
membanggakan dirinya telah kedatangan tamu seorang
raja meski sebenarnya bukan tamunya, tapi tamu
tuannya. "Seorang Raja dari Tanah Sunda?", berkata
Argalanang merasa gembira menemukan warta baru.
Tapi di hadapan pelayan itu Argalanang pura-pura
terkejut. "Yang benar Raja Saunggalah yang terkenal
bernama Raja Ragasuci", berkata pelayan itu yang masih
membanggakan dirinya. 320 "Apakah tuanmu itu masih kerabat dengan Raja
Ragasuci?", bertanya kembali Argalanang
"Raja itu masih kemenakan tuanku", berkata pelayan
itu "Betapa membanggakannya dapat langsung melayani seorang Raja", berkata Argalanang mengompori pelayan itu yang ia tahu tengah merasa
bangga. "Hari ini harusnya kamu juga berbangga hati, buahmu
dinikmati langsung oleh seorang raja", berkata pelayan
itu. "Betul-betul-betul, di rumah aku akan bercerita
kepada ninik mamakku, bahwa buah duku kebunku
dinikmati oleh seorang raja", berkata Argalanang.
"Laris manis tanjung kimpul. Dagangan habis rejeki
kumpul", berkata Argalanang ketika menerima pembayaran dari pelayan itu.
Terlihat Argalanang dengan langkah gembira
layaknya seorang pedagang tulen yang tengah mujur
besar berjalan keluar dari regol pintu rumah Bagus
Kemuning. Senja telah turun menaungi Bandar Sebukit. Cahaya
matahari yang bening dan sejuk terbawa arus air sungai
Musi yang beriak ditiup angin segar. Terlihat empat orang
pemuda duduk diatas dermaga yang sepi.
"Racun ikan Buntal, Bagus Kemuning dan Ragasuci
mempunyai benang ikatan yang tidak dapat dipisahkan
dengan kematian ibunda Raden", berkata Mahesa
Amping kepada Raden Wijaya.
"Tetapi benang itu masih jauh untuk diurai", berkata
Raden Wijaya 321 "Sebaik-baik menyembunyikan bangkai, pasti tercium
juga", berkata Lawe membesarkan harapan Raden
Wijaya. "Seandainya aku dapat mengejar orang diatas atap
rumah penginapan itu, rahasia ini tentunya sudah dapat
terkuak", berkata Mahesa Amping yang menyesali dirinya
yang tidak langsung menangkap orang yang telah
membunuh kedua orang di kamar penginapan.
"Siapapun pemilik racun ikan Buntal, adalah kunci
teka-teki keluargaku", berkata Raden Wijaya lirih
sepertinya bicara kepada dirinya sendiri.
"Apakah Bagus Kemuning dapat bertanggung jawab
atas kematian dua orang kepercayaannya?", berkata
Argalanang. "Kita belum mendapatkan bukti yang kuat", berkata
Mahesa Amping "Kita harus membayangi terus Bagus Kemuning",
berkata Lawe "Besok mereka akan ke Tanah Melayu", berkata
Argalanang. "Kapan kita berangkat ke Tanah Melayu?",
bertanya Argalanang meminta pendapat.
"Kupikir sebaiknya kita juga berangkat besok",
berkata Raden Wijaya memastikan.
Akhirnya disepakati berangkat ke Tanah Melayu
keesokan harinya. Pagi itu kabut masih membujur seperti kapas-kapas
di sepanjang sungai Musi. Sebuah jung terlihat bergerak
menjauhi dermaga dalam keremangan kabut pagi.
"Pagi berkabut, sebuah tanda hari akan cerah",
berkata Argalanang diatas jung yang telah semakin
322 menjauh dari Bandar Sebukit.
Dan seiring berjalannya waktu, mereka telah tiba di
Muara Musi. "Pasar terapung sudah sepi", berkata Lawe ketika
mereka melewati sebuah pasar terapung yang sudah
tidak begitu ramai karena matahari pagi sudah semakin
menaik keatas cakrawala. "Tapi kedai terapungnya masih ada", berkata
Argalanang sambil mengayuh jungnya mendekati sebuah
jukung yang menjual makanan dan minuman.
"Nasi kapaunya masih ada Pacik?", berkata
Argalanang kepada seorang pemilik kedai terapung
ketika jung mereka sudah merapat.
"Hari ini pengunjung tidak begitu ramai, nasi kapauku
masih tersisa banyak", berkata pemilik kedai terapung itu.
"Kami pesan empat nasi kapau lengkap dengan
kakap bumbu asem belimbing", berkata Argalanang.
Dengan sigap pemilik kedai itu membungkus
pesanan nasi

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kapau lengkap dan langsung menggantungkannya di ujung galar bambu.
"Terima pesanannya anak muda", berkata pemilik
kedai terapung itu sambil menyodorkan galar bambu
tempat menggantung empat bungkus nasi kapau dari
atas jukungnya. Dengan lahap mereka menikmati hidangan diatas
jung dibawah cahaya matahari pagi yang hangat. Setelah
beristirahat sejenak mereka pun melanjutkan perjalannya
menuju tanah Melayu. Jung mereka telah keluar dari
Sungai Musi masuk dalam perairan laut selat Malaka
dibawah sinar matahari yang hangat.
323 Awan putih dilangit biru yang cerah mengiringi jung
mereka terbawa angin yang kadang bergoyong
terguncang dihempas ombak. Ketika matahari mulai
merangkak dibawah cakrawala, jung mereka sudah mulai
mendekati Tanah Melayu ditandai dengan warna air yang
mulai menghijau sebagai tanda sebuah muara akan
mereka temui. "Kita memasuki perairan Batanghari", berkata
Argalanang seperti sudah begitu kenal setiap dataran
pulau perak ini. Bandar Melayu adalah pintu kedua selain Bandar
Sebukit untuk barang perdagangan antar bangsa.
Disinilah beberapa pedagang asing membawa berbagai
hasil hutan dan rempah-rempah. Para pedagang asing
tidak perlu lagi berlayar jauh sampai Nusa Jawa atau
tanah Maluku karena sudah diambil alih oleh para
pedagang Melayu. Hal ini sudah berlangsung lama sejak
masa emas Kerajaan Sriwijaya.
Itulah sebabnya, kehadiran Jung Singasari merupakan sebuah saingan yang besar yang akan
memutus rantai perdagangan mereka.
Tapi pemikiran para saudagar Melayu yang sebagian
besar adalah para bangsawan Tanah Melayu ini tidak
sejalan dengan Rajanya yang berprinsip kepada
kebebasan dan kedamaian umat.
"Persaingan itu tumbuh sebagai tantangan agar kita
dapat berbuat lebih arif lagi", berkata Baginda Raja
kepada beberapa bangsawan yang ingin mempengaruhinya untuk memerangi Singasari.
Itulah sebabnya, para bangsawan telah mengambil
jalan sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh Bagus
Kemuning yang diam-diam memerintahkan para prajurit
324 Melayu menyergap Jung Singasari di Selat Sunda
beberapa hari yang lalu. Kehadiran Raja Ragasuci yang akan mengikuti
sayembara memperebutkan salah seorang putri Raja,
telah membangkitkan semangat Bagus Kemuning.
"Ragasuci harus memenangkan sayembara ini",
berkata Bagus Kemuning dalam hatinya berharap bahwa
kelak lewat Ragasuci pandangan Baginda Raja dapat
berubah. Sementara itu di Bandar Melayu beberapa petugas
sandi Singasari telah merapatkan jung nya di dermaga.
Hari itu sebuah lembaran baru dari sejarah besarpun
telah mulai dipagelarkan.
"Aku baru mengerti mengapa para pedagang Melayu
tidak menyukai kehadiran Jung Singasari", berkata
Raden Wijaya ketika menginjakkan kaki pertamanya di
Tanah Melayu. Melihat beberapa jung asing merapat di
Bandar Melayu. "Akupun baru menangkap pemikiran Sri Maharaja
Singasari tentang sebuah kerajaan laut", berkata Mahesa
Amping. "Sebuah pemikiran yang baru", berkata Lawe.
"Raja di darat dan Raja di lautan, itulah raja sejati",
berkata Raden Wijaya "Kita telah memulainya di hari ini", berkata Mahesa
Amping. "Aku tidak paham perkataan kalian, yang kupahami
bahwa perutku sudah berteriak kriuk-kriuk", berkata
Argalanang yang disambut tawa oleh semua kawannya.
"Ternyata yang ada di pikiran orang Pantai pasir
325 seputih tidak jauh dari perut", berkata Lawe yang
disambut tawa lebih keras lagi.
"Justru dari perutlah keluar hal-hal besar", berkata
Argalanang tidak menerima dikatakan hanya paham
sekitar perut. "Kamu benar, dari perut sering keluar hal-hal besar
terutama lewat jalan belakang", berkata Lawe yang
disambut kembali dengan tawa.
"Mari kita cari kedai yang terbaik di Bandar Melayu
ini", berkata Raden Wijaya yang berusaha menengahi
terutama melihat wajah Argalanang yang nampak
bersungut-sungut cemberut.
Sebagaimana Bandar besar lainnya, Bandar Melayu
adalah sebuah persinggahan para pedagang dari
berbagai suku bangsa yang sepertinya tidak pernah sepi
sepanjang hari, di siang hari maupun di malam hari.
Kerlap-kerlip lampu terlihat di perkampungan yang
tumbuh ramai di sepanjang Bandar serta cahaya oncor
yang diletakkan di setiap persimpangan jalan menandai
kehidupan malam di Bandar Melayu yang sepertinya
tidak pernah tidur. Beberapa buruh nampak masih sibuk mengangkut
barang memuat sebuah Jung besar milik pedagang dari
Gujarat, mungkin besok pagi akan berangkat berlayar.
Sebuah kedai yang juga menyediakan jasa
penginapan masih terlihat ramai. Disitulah empat
pemuda petugas sandi dari Singasari beristirahat setelah
menempuh perjalanannya. "Siapapun yang akan mendukung majikanku, tidak
usah membayar apapun di kedai ini", berkata seorang
yang berwajah hitam legam sambil berdiri. Di dekatnya
326 terlihat seorang pemuda yang duduk tenang seperti tidak
peduli dengan apa yang dilakukan orang kepercayaannya. Seketika itu juga hampir semua yang ada di kedai itu
mengangkat tangannya sebagai arti ikut mendukung,
kecuali empat pemuda yang baru datang menunggu
pesanannya. Melihat hanya empat pemuda itu saja yang tidak
mengangkat tangannya, orang berwajah hitam legam itu
menghampiri keempat pemuda itu.
"Kenapa kalian tidak mengangkat tangan he?",
berkata orang itu sambil bertolak pinggang.Tercium
aroma arak dari mulutnya. Ternyata orang ini telah
banyak menenggak arak dan menjadi mabuk berat.
"Kami tidak mendukung siapapun", berkata Lawe
mewakili kawan-kawannya. "Kalian harus mendukung!!", orang itu berteriak
keras. "Kami belum mengenal majikanmu, bagaimana kami
harus mendukung?", berkata Lawe yang sudah terlihat
tidak sabaran. "Ternyata kalian orang baru disini. Pasang telinga
kalian, majikannku adalah putra Datuk Belang yang
dihormati dari Sungai Kampar", berkata orang itu.
"Siapapun majikanmu, kami tidak mendukung
siapapun", berkata Lawe yang sudah semakin panas
hatinya. "Bila kalian tidak mendukung, artinya kalian telah
meremehkan majikanku", berkata orang itu sambil
membelalakkan biji matanya begitu menyeramkan.
327 "Bila kami tidak mendukung, kamu mau apa he?",
berkata Lawe sambil berdiri tidak gentar.
"Kamu memang perlu diberi pelajaran", berkata orang
itu sambil melayangkan sebuah tamparan ke arah wajah
Lawe. Ternyata orang itu belum mengenal Lawe. Dikiranya
Lawe hanya seorang anak kemarin sore yang dapat
digertak hanya dengan sebuah tamparan.
Lawe tidak segera bergerak, menunggu sampai
tamparan itu meluncur mendekatinya. Maka ketika
telapak tangan itu sudah hampir mengenai wajahnya,
dengan titis Lawe memiringkan sedikit kepalanya.
Akibatnya sangat fatal sekali, orang itu terhuyung ke
samping menabrak tiang utama bangunan.
Brakk !! Untungnya kayu itu terbuat dari bahan kayu besi
yang kokoh. Akibatnya justru kepala orang itu yang
seperti pening terhantam tiang kayu itu.
Terkesima semua orang dikedai itu melihat hanya
dalam satu gerakan ringan orang itu sudah terlempar
terpelanting menabrak tiang kayu.
"Bangkitlah bila kamu masih mampu berdiri. Dan
pasang telingamu lebar-lebar. Aku putra Raja Belang
yang terkenal dan paling ditakuti dari Pulau Madhura.
Lawe rupanya hanya ingin mengambul dengan
mengatakan dirinya putra Raja Belang dari Pulau
Madhura. Lawe sendiri tidak mengerti bahwa "Belang" di
Tanah Melayu diartikan sebagai Harimau.
"Maafkan anak buahku yang terlalu banyak minum
arak", berkata seorang pemuda yang tiba-tiba saja sudah
berdiri didekat Lawe. 328 Terkesiap sejenak Lawe memandang mata anak
muda yang begitu tajam. Juga raut wajah dari pemuda itu
memang terlihat asing tidak seperti wajah orang pada
umumnya yang punya lekukan diantara hidung dan bibir
atas. Sementara anak muda ini sepertinya tidak punya
"anakan" dibawah hidungnya.
Anak muda itu ternyata dapat membaca apa yang
ada dalam pikiran Lawe, maka dengan tersenyum ramah
anak muda itu menjura memberi hormat.
"Terima kasih telah memberi sedikit pelajaran kepada
anak buahku", berkata anak muda itu yang terus
melangkah mendekati anak buahnya yang masih duduk
bersandar tiang kayu. Anak muda itu terlihat memapah anak buahnya
kembali ke tempat duduknya semula.
Suasana kedaipun kembali seperti sediakala.
Mahesa Amping, Lawe, Raden Wijaya dan Argalanang
terlihat menikmati hidangan yang disediakan.
Lepas malam baru mereka naik ke panggung tempat
penginapan yang telah disediakan untuk beristirahat.
Tidak ada kejadian di malam itu, meski begitu mereka
tetap berjaga-jaga secara bergantian untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan apalagi setelah kejadian di
kedai yang sedikit menghebohkan,
Dan malam pun berlalu menyelimuti segenab
kegelisahan dan keletihan di hari-hari yang melelahkan
ketika kantuk membius segenab indra, segenap rasa,
segenap jiwa dalam kegelapan mimpi.
Hingga akhirnya pagi pun datang menjelang
membangunkan jiwa, rasa dan indra yang ditandai
dengan keremangan warna pagi, sentuhan dingin semilir
329 angin pagi dan terdengarnya sayup-sayu suara kokok
ayam jantan saling bersahutan dari tempat yang amat
jauh. Bandar Melayu sudah terbangun, cahaya oncor di
perempatan jalan sudah meredup. Terlihat perempuan
penjual jajanan pagi tengah melayani beberapa buruh
yang belum sempat mandi mengisi perutnya untuk dapat
siap bekerja kembali. Dan warna keremangan pagipun perlahan tersapu
sinar matahari dalam semburat cahaya kuning sejuk
menyinari panggung alam dalam kebenderangannya.
Mahesa Amping, Lawe, Raden Wijaya dan
Argalanang terlihat telah bersiap-siap untuk berangkat ke
Kotaraja Melayu, melaksanakan tugas mereka sebagai
delik sandi di Tanah Melayu.
Jarak kotaraja dan Bandar Melayu memang tidak
begitu jauh, hanya terhalang hutan kecil dan beberapa
Padukuhan. Dan sudah ada jalan pedati yang biasa
dilalui para pedagang untuk mencapainya.
"Tadi malam, di kedai kamu katakan dirimu sebagai
putra Raja belang, apakah benar demikian?", bertanya
Argalanang ke pada Lawe ketika mereka sudah
beberapa langkah meninggalkan Bandar Melayu.
"Aku hanya sedikit membual", berkata Lawe sambil
tersenyum. "Di sepanjang Tanah Perak ini orang mengartikan
belang sebagai Harimau", berkata

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Argalanang menjelaskan. "Kalau kutahu dari dulu mungkin aku tidak
mengatakan sebagai putra Raja Belang", berkata Lawe.
"Selama ini kupikir cerita tentang manusia harimau itu
330 cuma sebuah dongeng, ternyata aku melihatnya
langsung tadi malam dikedai didalam diri anak muda itu",
berkata Argalanang. "Darimana kamu yakin bahwa anak muda itu sebagai
manusia Harimau?", bertanya Lawe penasaran.
"Kulihat sendiri anak muda itu tidak punya anakan
dibawah hidungnya", berkata Argalanang.
"Akupun melihatnya", berkata Lawe sambil mengingat
kembali kejanggalan pada diri anak muda yang
ditemuinya semalam. "Itulah yang membedakan kita dengan mereka
sebagaimana yang diceritakan oleh orang-orang tua di
kampungku", berkata Argalanang.
"Apa yang diceritakan oleh orang-orang tua di
kampungmu mengenai manusia harimau?", bertanya
Lawe yang menjadi tertarik mengenai manusia Harimau.
"Manusia harimau adalah sebuah ilmu keturunan
yang tidak dapat dilepaskan. Ketika lahir mereka
berwujud sempurna sebagaimana kita. Tapi ketika ilmu
keturunannya telah larut diwarisi, langsung pewaris ilmu
itu akan berubah tidak lagi mempunyai anakan dibawah
hidungnya", berkata Argalanang diam sejenak. "Dan
dapat berujud sebagai harimau sungguhan ketika
marah", berkata Argalanang melanjutkan ceritanya.
"Sebuah ilmu warisan yang aneh", berkata Raden
Wijaya yang ikut tertarik dengan cerita Argalanang.
"Semoga saja harimau itu bukan orang-orang yang
sedang menunggu kita", berkata Mahesa Amping sambil
menunjuk kedepan jalan. Ternyata jauh di depan mereka terlihat dua orang
telah menunggu. 331 Semakin dekat semakin jelas, ternyata anak muda
dan anak buahnya yang semalam telah membuat sedikit
keributan di kedai. "Aku sengaja menunggu kalian, terutama kepada
Putra Raja Belang", berkata anak muda itu setelah
mereka bertemu. "Maaf, semalam aku cuma sedikit membual", berkata
Lawe ingin menjelaskan. "Aku menunggu sudah cukup lama, apakah putra
Raja Belang tidak punya keberanian"," berkata anak
muda itu. "Tapi?"?"..", berkata Lawe
"Tidak jauh dari sini ada sebuah bulakan, kutunggu
kamu di situ", berkata anak muda itu sepertinya tidak
ingin mendengar penjelasan Lawe langsung berjalan.
"Kita ikuti apa maunya", berkata Mahesa Amping
kepada Lawe yang masih belum tahu apa yang harus
dilakukannya. Mereka mengikuti kemana anak muda itu berjalan.
Yang ternyata ke sebuah bulakan yang cukup luas.
"Karena kamu sudah mengaku sebagai putra Raja
Belang, aku menantangmu", berkata anak muda itu
sambil bertolak pinggang.
JILID 04 Lawe bukan anak muda yang banyak mengalah.
Maka ia pun menerima tantangan itu.
"Hati-hatilah", berkata Mahesa Amping melepas Lawe
yang telah mempersiapkan dirinya menerima tantangan
332 anak muda itu. "Kukira kamu akan lari bersembunyi", berkata anak
muda itu. "Aku tidak pernah lari untuk sebuah tantangan",
berkata Lawe dengan sikap penuh percaya diri.
"Terima seranganku", berkata anak muda itu sambil
melompat menerkam seperti harimau hutan menerkam
buruannya. Lawe memang telah siap, mendapatkan serangan
yang dahsyat itu ia pun segera melompat ke samping
sambil membalas serangan dengan luncuran tendangan
seperti elang menerkam sasarannya kearah pinggang
lawan. Demikianlah, awal pertempuran menjadi semakin
seru. Masing-masing telah meningkatkan tataran
ilmunya. Mahesa Amping yang mengetahui sampai
dimana tataran ilmu Lawe menjadi gelisah melihat bahwa
anak muda itu sepertinya dapat mengimbangi ilmu Lawe.
Tenaga anak muda itu memang luar biasa. Angin
pukulannya dapat dirasakan oleh Lawe seperti pukulan
yang dilambari tenaga yang besar. Tapi Lawe adalah
seorang murid dari Padepokan Bajra Seta pilihan,
dengan lincah menghindar dari setiap serangan dan
menghentak balas menyerang dengan tidak kalah
dahsyatnya. Luar biasa pertempuran itu, semak-semak belukar
seperti habis terkikis menjadi rata dengan tanah dan
debu beterbangan mengepul menutupi tubuh-tubuh
mereka. Anak muda itu telah meningkatkan tataran ilmu
puncaknya, angin pukulannya membawa hawa panas
333 mengepung bertubi-tubi kearah Lawe. Terperanjat Lawe
mendapatkan hawa pukulan yang membara itu. Iapun
telah melambari dirinya dengan kekebalan wadagnya,
tapi hawa panas itu terus meningkat.
Butir-butir keringat telah membasahi wajah dan tubuh
Lawe. Tapi semangatnya tidak pernah susut melompat
terbang dan terjun menerkam lawan seperti seekor raja
elang tidak kalah dahsyatnya.
Tapi anak muda itu masih terus meningkatkan tataran
ilmunya, hawa panas telah mengepung diri Lawe.
Argalanang terpesona melihat pertempuran yang begitu
dahsyat itu. Dalam penglihatannya tidak lagi dapat
menentukan siapakah yang lebih kuat di antara
keduanya. Tidak seperti Argalanang yang terpesona melihat
pertempuran itu, Raden Wijaya menjadi gelisah melihat
Lawe yang semakin lama lebih banyak mengelak dan
menghindar karena anak muda itu gerakannya menjadi
semakin cepat dengan pukulannya yang membawa hawa
panas menyerang bertubi-tubi seperti ombak tidak
pernah berhenti. Sementara itu Mahesa Amping bukan cuma gelisah
melihat pertempuran itu. Dengan panggraita dan
pendengaran yang peka dirinya telah merasakan
kehadiran seseorang disekitar mereka.
"Cukup!!!", tiba-tiba saja terdengar suara keras yang
dilambari tenaga dalam yang tinggi. Anak muda itu
terlihat melompat keluar dari pertempuran.
Lawe terlihat menarik napas lega terlepas dari
serangan yang tiba-tiba saja berhenti.
"Anak muda itu bukan orang yang kita cari", berkata
334 seseorang yang tiba-tiba saja muncul diantara mereka.
Melihat dari rambut yang sudah penuh berwarna putih
menandakan orang itu sudah berumur setengah abad
lebih. Tapi perawakan tubuhnya masih tetap kekar.
"Terima kasih telah bersedia melayani anakku",
berkata orang tua itu sambil menjura hormat kepada
Lawe. "Ternyata kami berhadapan dengan anak-anak
muda yang mumpuni", berkata orang tua itu sambil
memandang Mahesa Amping dengan penuh kagum.
Diantara empat orang anak muda ini, hanya Mahesa
Amping yang tidak tergetar oleh lemparan suaranya yang
telah dilambari tenaga cukup kuat.
"Siapakah gerangan orang tua mungkin dapat sudi
memperkenalkan diri", berkata Mahesa Amping penuh
hormat. "Ternyata kalian adalah anak-anak muda yang
berperilaku santun, kami jadi malu telah memulai sebuah
keributan", berkata orang tua itu. "Perkenalkan namaku
Datuk Belang, ini anakku bernama Pranjaya", berkata
kembali orang tua itu memperkenalkan dirinya.
Mahesa Amping mewakili kawan-kawannya ikut
memperkenalkan diri mereka.
"Mari kita cari tempat teduh, agar suasana hati kita
menjadi lebih teduh lagi", berkata orang tua yang
memperkenalkan dirinya bernama Datuk Belang itu
mengajak mereka mencari tempat teduh.
"Sebelumnya kami mohon maaf sekali lagi, telah
membuat sebuah keributan yang tidak berarti ini",
berkata Datuk Belang ketika mereka sudah berada di
sebuah kerimbunan pohon yang banyak di sekitar
bulakan itu. 335 "Kami mempunyai seorang musuh besar yang tidak
kami ketahui tentang sosoknya maupun keberadaannya,
orang itu dikenal memakai julukan sebagai Raja Belang",
berkata Datuk Belang memulai sebuah cerita.
Datuk Belang pun bercerita dari awal, bermula ketika
ia pergi merantau dalam waktu yang cukup lama ketika
masih muda dan berguru dengan seorang sakti di daerah
sungai Kampar. Karena tugas dan kesibukannya, lama ia
berpisah dengan gurunya. Ada sebuah kabar dari
tempatnya bertugas bahwa gurunya telah mengangkat
seorang murid selain dirinya. Hingga pada suatu hari,
ada sebuah kerinduan dirinya untuk mengunjungi
gurunya itu di Sungai Kampar. Terkejutlah dirinya ketika
sampai di pondok tempat gurunya berada. Ditemuinya
keberadaan gurunya yang sudah tidak bernyawa lagi.
"Guruku telah diracun dengan sebuah racun yang
amat kuat. Racun ikan Buntal", berkata Datuk Belang.
"Racun ikan Buntal?"", berkata Raden Wijaya dan
Mahesa Amping berbarengan.
"Kalian mengetahui tentang racun itu?", berbalik
Tanya Datuk Belang. "Maaf kami telah memutus cerita Datuk, lanjutkanlah
ceritanya, nanti berganti kami akan bercerita tentang
racun ikan Buntal itu", berkata Raden Wijaya.
Datuk Belang pun melanjutkan ceritanya, bahwa
ternyata gurunya masih sempat membuat sebuah pesan,
menulis sebuah surat untuk dirinya yang isinya memohon
untuk membalas sakit hatinya kepada murid durhaka itu
yang bukan saja telah mencelakakannya, tapi juga telah
membawa lari sebuah kitab rahasia tentang racun ikan
Buntal serta sebuah keris pusaka.
336 "Keris itu bernama Siginjei, sebuah keris yang sangat
kuat sarat dengan racun yang ampuh", berkata Datuk
Belang sepertinya telah menyelesaikan ceritanya.
"Secara pribadi, aku mohon maaf telah sembarangan
menyebut diri sebagai putra raja belang", berkata Lawe
yang telah mengerti duduk persoalannya.
"Akulah yang harusnya minta maaf, telah
menantangmu", berkata Pranjaya yang ternyata seorang
anak muda yang sangat santun.
"Apakah Datuk telah menguasai ilmu dari kitab racun
ikan buntal itu?", bertanya Mahesa Amping.
"Guruku sendiri mewanti-wanti agar tidak menggunakannya bila terpaksa sekali, yang kukhawatirkan orang itu akan menggunakannya untuk
sebuah kejahatan", berkata Datuk Belang.
Raden Wijaya sesuai janjinya ikut bercerita sedikit
mengenai Ibundanya serta kedua orang yang naas di
kamar penginapan di Bandar Sebukit.
"Sepertinya musuh kita orang yang sama", berkata
Datuk Belang setelah mendengar cerita dari Raden
wijaya. "Dan kita berjodoh bertemu di tempat ini", berkata
Mahesa Amping. "Akupun senang berkenalan dengan kalian", berkata
Datuk Belang. Akhirnya, mereka yang punya satu tujuan ke Kotaraja
telah sepakat untuk berjalan bersama.
"Bila kalian tidak keberatan, singgahlah di rumah
kami di Kotaraja", berkata Pranjaya.
"Bukankah kalian dari Sungai Kampar ?", bertanya
337 Argalanang "Yang dimaksud anakku adalah rumah Ninik Mamak
kami di Kotaraja", berkata Datuk Belang menjelaskan.
Ahirnya setelah tidak begitu lama berjalan kaki,
mereka telah sampai di Kotaraja. Ada tiga pintu gerbang
Kotaraja. Pintu gerbang yang menghadap ke timur, barat
dan gerbang satu lagi menghadap ke arah pantai.
Mereka masuk kekotaraja lewat pintu gerbang yang
menghadap arah timur. Ramai nian suasana kotaraja Melayu di siang hari.
Banyak pedati memuat berbagai barang dagangan. Satu
dua juga terlihat kereta Kencana yang ditarik dua ekor
kuda. Didalamnya duduk seorang putri bangsawan
terlihat di balik tirai jendela yang kadang terjurai
mengintip wajah putri Melayu yang jelita. Sementara itu
yang berjalan kaki juga lebih banyak lagi, berjalan


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuju pasar yang ada ditengah kotaraja.
Beberapa orang juga terlihat baru pulang membawa
beberapa barang belanjaannya pulang menuju
rumahnya. "Itulah istana elok", berkata datuk Belang ketika
mereka berjalan melewati istana Raja. "Istana itu
memang sudah elok, makanya disebut sebagai istana
elok", bekata kembali Datuk Belang menjelaskan.
"Jadi Istana itu bernama Istana Elok?", berkata Lawe.
Istana Kerajaan Melayu memang sangat megah
berdiri dibatasi dinding. Dipojok kanan dinding berdiri
menara panggung yang tinggi menghadap pantai. Dari
tempat itu akan terlihat jung yang datang dan pergi
melewati Selat Malaka. Didalam istana sendiri ada lima
buah rumah panggung yang besar. Panggung Rumah
338 Banjar Istana terletak di tengah tempat Raja menerima
tamu dan para pejabatnya.
Di alun-alun yang terletak di depan istana telah
dibangun dua buah panggung. Satu panggung
diperuntukkan untuk peserta sayembara yang akan
bertanding. Sementara satu panggung lagi untuk para
undangan tamu kehormatan dan Raja yang dapat
menyaksikan pertandingan dengan jelas.
"Pihak kerajaan telah benar-benar mempersiapkan
sayembara, masih tiga hari lagi panggung sudah berdiri",
berkata Argalanang memandang panggung tempat
pertandingan yang tinggi hingga siapapun berdiri di
tempat jauh akan dapat ikut menyaksikan dengan jelas.
"Mengapa Raden tidak ikut mendaftar mewakili
Bangsawan Singasari?", bertanya Datuk Belang kepada
Raden Wijaya. "Aku masih merasa belum pantas berdiri di panggung
itu, apalagi bila berhadapan dengan jurus pukulan
harimau yang sudah kusaksikan kedahsyatannya",
berkata Raden Wijaya sambil tersenyum.
"Raden hanya pandai merendahkan diri", berkata
Datuk Belang. Tidak terasa mereka sudah jauh meninggalkan
istana. Hingga akhirnya sampai juga di rumah panggung
tempat ninik mamak Datuk Belang pernah tinggal.
"Selamat datang, lama kiranya Datuk tidak
berkunjung di panggung ini", berkata seorang yang
sudah seumuran dengan Datuk Belang menyambut
kedatangan mereka. Tidak lama berselang hidangan pun datang. Mahesa
Amping, Raden Wijaya, Lawe dan Argalanang sepertinya
339 begitu cepat akrab, baik kepada Datuk Belang yang
ramah, juga kepada Pranjaya yang mudah bergaul.
Mereka pun menikmati hidangan sebagaimana
kerabat dekat yang sudah lama tidak berjumpa. Ada saja
yang dapat mereka bicarakan.
"Asam di gunung, ikan di laut, bersatu di belanga",
berkala Lawe "Orang Jawadwipa dan Swarnadwipa dapat bersatu
dalam sebuah perjamuan makan", berkata Argalanang
yang disambut tawa oleh semua yang hadir di perjamuan
makan siang itu. Dan haripun telah beranjak
matahari turun dari puncaknya.
menggeser sang Setelah beristirahat cukup lama, datuk Belang
mengajak putranya juga para tamunya turun ke pantai
yang dikatakannya sebagai sanggar terbuka.
"Siapa yang dapat menemani putraku berlatih?",
berkata Datuk Belang ketika mereka sudah sampai di
tepi pantai. Langit pada saat itu banyak berawan, sehingga
suasana pantai yang berpasir putih lembut itu menjadi
teduh. "Kenapa kalian menatapku?", berkata Raden Wijaya
kepada Mahesa Amping dan Lawe yang tengah
menatapnya sepertinya berharap Raden Wijaya lah yang
akan menemani Pranjaya berlatih.
"Aku hanya ingin melihat apakah bangsawan dari
Singasari sudah pantas bertanding di atas panggung
sayembara", berbisik Mahesa Amping yang memang
tidak ingin didengar oleh Datuk Belang dan Pranjaya.
340 "Baiklah kalau itu yang kalian inginkan", berkata
Raden Wijaya dengan nada perlahan.
Matahari telah berdiri diujung teluk cadas panjang.
Dua orang pemuda kukuh tegak berdiri diatas pasir
pantai yang putih dan lembut dibawah langit biru penuh
awan putih seperti dua buah tonggak hitam siap saling
menatap sepertinya tengah mengukur tingkat tataran
ilmunya masing-masing. Di luar arena, tidak jauh dari kedua pemuda yang
siap berlatih tanding itu, Datuk Belang, Mahesa Amping,
Lawe dan Argalanang duduk diatas pasir putih yang
lembut, sepertinya tidak sabaran menyaksikan suguhan
"ayam jago" mereka saling beradu taji.
"Silahkan menyerang lebih dulu", berkata Raden
Wijaya kepada Pranjaya memintanya untuk melakukan
serangan awal. "Bersiaplah!", berkata Pranjaya sambil melakukan
sebuah gerakan awal meluncur dengan sebuah
tendangan. Raden Wijaya telah membaca bahwa serangan ini
cuma sebuah gebrakan awal dan belum bersungguhsungguh, maka perlahan telah bergeser ke samping.
Ternyata perhitungan Raden Wijaya memang tepat,
serangan Pranjaya ternyata memang bukan sampai
disitu, ketika serangannya telah dihindarkan dengan
mudah oleh Raden Wijaya, dengan cepat meluncur
serangan kedua lebih cepat datangnya berupa sebagai
tendangan kesamping kearah pinggang Raden Wijaya.
Raden Wijaya yang sudah memperhitungkan
serangan kedua cukup hanya bergeser ke samping,
serangan pun telah luput kembali.
341 Mendapatkan serangan keduanya telah luput
kembali, Pranjaya langsung menyerang dengan sebuah
terkaman mirip seekor harimau mengejar lawannya
melompat sambil mengayunkan cemkeramannya ke arah
wajah Raden Wijaya. Serangan itu dilakukan dengan
begitu cepat. Raden Wijaya dengan tenang dan mata tidak
berkedip sedikit pun telah mengelak kembali dengan
sedikit merundukkan badannya kebawah. Kali ini Raden
Wijaya tidak sekedar mengelak, tapi balas menyerang
dengan sebuah tendangan menusuk keperut Pranjaya.
Luar biasa serangan Raden Wijaya ini yang
datangnya sepertinya begitu cepat dan tiba-tiba, terlihat
Pranjaya melintirkan tubuhnya masih dalam keadaan
melayang bergeser menghindar dan langsung menyerang kembali begitu tubuhnya telah menyentuh
pasir pantai. Demikianlah latihan pertempuran itu menjadi semakin
seru. Saling menyerang seperti harimau dan raja elang
bertempur. Mahesa Amping telah melihat kelebihan Raden
Wijaya dalam kecepataan gerak. Dan itu pun baru
seperlima dari kecepatan yang sesungguhnya.
Terlihat Raden Wijaya seperti kapas yang ringan
melayang kesana kemari menghindari setiap serangan
namun tiba-tiba saja menukik begitu cepat layaknya
seekor burung cikatan menyambar Pranjaya yang
langsung tergagap menghindar kadang terguling diatas
pasir putih yang lembut. Butir-butir keringat telah membasahi wajah dan tubuh
Pranjaya. Sementara itu Raden Wijaya masih nampak
segar belum menampakkan kelelahannya.
342 Datuk Belang juga telah melihat kelebihan Raden
Wijaya dalam kecepatan geraknya.
Ratusan jurus telah berlalu, beberapa pukulan
kadang telak menghinggapi tubuh Pranjaya yang sudah
nampak kotor ketika berguling menghindari serangan
Raden Wijaya yang datang begitu cepat diluar
perhitungannya. "Cukup, napasku sudah hampir habis", berkata
Pranjaya sambil melompat kebelakang.
"Benar-benar pertandingan yang hebat", berkata
Argalanang sambil berdiri mengibaskan pakaiannya yang
tidak terasa sudah banyak berpasir basah.
"Sebuah kecepatan gerak yang luar biasa", berkata
Datuk Belang memuji kecepatan gerak Raden Wijaya.
Diam-diam mengagumi sosok bangsawan dari Singasari
ini yang dilihatnya mempunyai rasa percaya diri yang
tinggi. "Terima kasih telah membukakan mataku, ternyata
kecepatan gerakku masih terlalu lambat", berkata
Pranjaya kepada Raden Wijaya.
"Dua hari memang bukan waktu yang baik
meningkatkan kemampuan, setidaknya hari ini telah
berlatih dengan lawan yang berbeda aliran dapat
memperkaya wawasan dan pengalaman", berkata Datuk
Belang "Benar ayah, masih ada dua hari yang panjang",
berkata Pranjaya yang gembira dalam latihan tadi banyak
sekali yang ia dapatkan. "Aku siap untuk menjadi lawan berlatihmu", berkata
Raden Wijaya sambil tersenyum gembira melihat
semangat Pranjaya yang begitu keras penuh semangat.
343 Mereka pun akhirnya bersama telah kembali ke
rumah panggung. Dan sang malam telah datang bersama bulan yang
belum bulat penuh menyinari taman halaman rumah
panggung yang dipenuhi rumput halus dan tanaman
bunga yang terawat rapi. Beberapa anak muda tengah
menikmati suasana malam dihalaman itu.
"Ada beberapa lubang kelemahan yang dapat
disempurnakan dari jurus pukulan harimau, bahkan akan
menjadi lebih dahsyat lagi", berkata Mahesa Amping
memberikan pandangannya sambil memberikan sebuah
contoh gerakan. Pranjaya memperhatikan dengan penuh
semangat dan langsung ikut memperagakannya.
"Luar biasa, seperti mengikuti alur air yang mengalir",
berkata Pranjaya sambil terus mengulang-ngulang jurus
barunya hasil usulan dari Mahesa Amping.
Demikianlah Pranjaya berlatih sampai jauh malam
ditemani Mahesa Amping dan Raden Wijaya. Sementara
Lawe dan Argalanang sudah lebih dulu beristirahat tidur
di bilik yang telah disediakan untuk mereka.
"Hari sudah jauh malam, besok kita teruskan latihan
kita", berkata Raden Wijaya.
Malam memang telah larut dalam keremangannya.
Bulan yang masih belum bulat sempurna masih terus
menghiasi langit gelap bertabur ribuan bintang menjaga
bumi yang terkantuk lelah tertidur dalam irama nada
tatag bunyi binatang malam.
Ketika sang fajar telah datang, sang malam telah lari
bersembunyi di balik bumi lainnya. Sayup-sayup
terdengar suara ayam jantan berkokok jauh saling
bersambut dan kian mendekat terdengar dari belakang
344 rumah panggung. Setelah membersihkan dirinya di parit sungai kecil
yang jernih, Mahesa Amping dan kawan-kawannya
kembali naik ke panggung pendapa. Beberapa potong
ubi rebus dan minuman hangat telah menanti mereka.
Dari atas panggung pendapa terlihat beberapa
monyet bersayap melompat dan meluncur dari satu
pohon pinang ke pohon pinang lainnya yang banyak
tumbuh di Tanah Melayu. Sebuah peragaan alam yang
sangat menakjubkan. Pagi itu, langit diatas pantai Tanah Melayu begitu
cerah. Terlihat dua sosok tubuh tengah mengadu diri
saling menyerang dan menghindar.
Dua sosok tubuh adalah Raden Wijaya dan Pranjaya
yang tengah berlatih. Sementara tidak jauh dari dua
pemuda itu terlihat Mahesa Amping, Lawe dan
Argalanang tengah duduk menyaksikan latihan itu diatas
pasir pantai yang kering.
"Serangan Pranjaya sudah lebih cepat dan sukar
diduga, pertahanannya juga sudah semakin rapat",
berkata Mahesa Amping menilai perubahan gerak
Pranjaya yang semakin sempurna.
"Keluarkan seluruh kemampuanmu", berkata Raden
Wijaya meminta Pranjaya untuk meningkatkan serangannya. Pranjaya pun telah mengungkapkan kekuatan diluar
wadaknya, pukulannya menjadi begitu berisi dilambari
kekuatan yang sangat berbahaya.
Dessssssssss !! Pukulan Pranjaya menghantam telak di perut Raden
Wijaya. 345 Pranjaya tidak percaya dengan apa yang terjadi.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dirinya seperti memukul sebuah kapas, tenaganya
seperti hilang tertelan sebuah ruang kosong. Dilihatnya
Raden Wijaya tersenyum memandangnya.
"Sebuah pululan yang luar biasa", berkata Raden
Wijaya sambil tersenyum dan kembali melanjutkan
serangannya yang dapat dihindari oleh Pranjaya dan
langsung menyerang balik.
Ternyata diam-diam Raden Wijaya mengeluarkan ajian kekebalan tubuhnya.
telah "Aji Rampas Putung", berkata Mahesa Amping dalam
hati mengagumi Raden Wijaya yang diam-diam telah
menyempurnakan dirinya menguasai sebuah ilmu yang
dapat meredam kekerasan dengan kelembutan.
"Seranganmu sudah jauh berbeda dengan yang
kemarin", berkata Raden Wijaya kepada Pranjaya sambil
menghindari serangan yang keras dan cepat bergulunggulung seperti ombak yang tidak pernah putus.
"Tapi aku seperti bertempur dengan bayang-bayang",
berkata Pranjaya yang telah basah seluruh tubuhnya
dengan peluh. "Simpan tenaga wadagmu, biarkan tenaga cadangan
bekerja dengan sendirinya", berkata Raden Wijaya
sambil menghindari setiap serangan Pranjaya.
"Akan aku lakukan", berkata Pranjaya mengerti apa
yang dikatakan Raden Wijaya.
Maka latihan pertandingan itu pun telah berlangsung
lama, lebih lama dari hari kemarin.
Tidak terasa matahari sudah semakin naik,
membakar pasir pantai yang semakin surut permukaan
lautnya. Deru ombak semakin jauh menjilati pantai dan
346 tidak lagi setinggi pagi dan malam hari.
"Biarkan tenaga yang ada didalam dirimu bekerja
dengan sendirinya, seperti saat kita berlenggang, seperti
saat mata ini berkedip. Dari situlah bermulanya
pengenalan yang Maha tak terbatas", berkata Mahesa
Amping kepada Pranjaya dalam perjalanan mereka
kembali ke rumah panggung.
"Terima kasih, aku sudah mulai merasakannya",
berkata Pranjaya yang sudah dapat merasakan sesuatu
yang baru dalam latihannya, menyimpan tenaga
wadagnya menjadi tidak cepat terkuras habis.
"Seandainya aku mengenal kalian tiga bulan yang lalu,
aku akan merasa lebih siap lagi menghadapi sayembara
besok", berkata lagi Pranjaya.
"Tentunya aku sudah dapat jodoh seorang gadis jelita
di Tanah Melayu ini", berkata Lawe yang disambut tawa
oleh kawan-kawannya. Ketika mereka telah sampai di rumah panggung,
Datuk Belang sudah menunggu mereka diatas pendapa.
"Lama nian kalian baru kembali, kupikir kalian telah
tertidur diatas pasir pantai", berkata Datu Belang
menyambut kedatangan mereka.
Ternyata diatas panggung pendapa, hidangan telah
menanti pula. Maka terlihat mereka sangat menikmatinya, terutama memang sudah waktunya untuk
makan siang. Terlebih lagi untuk Pranjaya dan Raden
Wijaya yang dari pagi terus berlatih.
"Baginda Raja terkejut sekali manakala kuceritakan
tentang sebuah prahara di Selat Sunda", berkata Datuk
Belang bercerita tentang pertemuannya dengan Baginda
Raja Melayu. Sebagai seorang Bangsawan Melayu yang
347 bertugas di Sungai Kampar, Datuk Belang merasa
prihatin dengan kejadian di Selat Sunda. Itulah sebabnya
ia melaporkan kejadian itu.
"Baginda Raja merasa prihatin, prahara di Selat
Sunda itu akan mengganggu kebijakannya selama ini
yang menginginkan kedamaiaan dan persahabatan
bersama kepada Kerajaan manapun, terutama Kerajaaan
Nusa Jawa", berkata Datuk Belang menyampaikan arah
kebijakan Baginda Raja Melayu sebenarnya.
"Ternyata prahara di Selat Sunda diluar kendali
Baginda Raja Melayu", berkata Raden Wijaya.
"Tugas kalian menyampaikan hal yang sebenarnya",
berkata Datuk Belang. "Kami akan menyampaikannya langsung kepada
Pangeran Kertanegara, agar Singasari tidak terpancing
melakukan tindakan yang salah", berkata Raden Wijaya.
"Pelaku yang bertanggung jawab atas prahara di
Selat Sunda juga harus secepatnya diungkap", berkata
Mahesa Amping. "Untuk hal itu, Baginda Raja meminta diriku langsung
menanganinya sebagai tugas rahasia", berkata Datuk
Belang. "Bagus Kemuning tidak berdiri sendiri", berkata Lawe
Hari yang dinantikan pun akhirnya tiba.
Panggung di depan alun-alun istana Melayu itu sudah
melimpah ruah. Orang-orang yang datang dari berbagai
penjuru kerajaan telah memenuhi setiap sisi, hingga tidak
ada lagi tempat tersisa yang terdekat. Mereka berdiri
berhimpit. Sementara itu dipanggung khusus untuk Raja dan
348 para undangan istimewa juga telah terisi. Nampak
Baginda Raja Melayu duduk di kursi paling depan
bersama para bangsawan dan undangan dari negari
tetangga. Datuk Belang dan Pranjaya telah bergabung di
panggung khusus itu sebagaimana juga Bagus kemuning
dan Ragasuci. Seorang kepercayaan Raja telah berdiri diatas
panggung tempat pertandingan sayembara. Dengan
suara keras menyampaikan beberapa hal, diantaranya
adalah pemberitahuan bahwa peserta kali ini hanya
berjumlah delapan orang dari berbagai daerah dan
kerajaan terdekat antara lain dari Kerajaan Tumasik,
Kerajaan Pasai, Kerajaan Sunda dan lima orang dari
para bangsawan Melayu sendiri.
Sesuai dengan titah Baginda Raja Melayu, sebagai
penghormatan telah diputuskan bahwa perwakilan dari
kerajaan terdekat itu akan dihadapkan oleh wakil dari
Tanah Melayu. Artinya ada orang Melayu sendiri yang
akan bertanding dengan orang dari Melayu sendiri.
"Pranjaya berhadapan dengan bangsanya sendiri",
berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping ketika
mendengar hasil pengumuman dari orang kepercayaan
Raja. "Semoga Pranjaya dapat mengatasinya", berkata
Mahesa Amping. Matahari pagi telah bergeser sedikit dari ufuk timur.
Dua orang telah berdiri diatas panggung. Seorang
Pangeran dari Pasai berhadapan dengan seorang
bangsawan Melayu. Seorang penengah menyampaikan beberapa hal
349 yang menyangkut tatacara pertandingan antara lain
dilarang menggunakan senjata apapun. Ada lima orang
saksi juri yang akan menentukan siapa yang berhak
dikatakan sebagai pemenang.
Akhirnya di panggung telah berlangsung adu tanding
yang sangat menegangkan. Pangeran dari Tanah Pasai terlihat mempunyai
tenaga yang luar biasa. Beberapa pukulan dari lawannya
sepertinya tidak mengguncangkan tubuhnya yang tegap
penuh berotot. Sebaliknya pukulan Pangeran dari Pasai
itu seperti tenaga kerbau, sebuah pukulan telah
bersarang diperut bangsawan Melayu itu yang
mengakibatkan tubuhnya terhuyung beberapa langkah.
Bangsawan dari Melayu itu nampak terguncang,
dengan mengeraskan hati nampak kembali menyerang
dengan berbagai pukulan dan tendangan. Pangeran dari
Pasai itu ternyata juga begitu liat mengelak dan balik
menyerang. Pertandingan pun kembali menjadi begitu seru dan
menegangkan. Hingga akhirnya kembali sebuah tendangan langsung
menyambar bangsawan dari Melayu itu yang langsung
terpelanting jatuh berguling diatas panggung kayu.
Orang itu nampaknya tidak mampu bangkit kembali.
Pangeran dari Tanah Pasai telah memenangkan
pertandingan awal itu. Ada beberapa penonton yang bersorak. Tapi
sebagian besar nampak menjadi kecewa, mungkin
merasa orang sendiri yang diharapkan menjadi
pemenang ternyata jatuh tidak mampu berdiri lagi.
Kekecewaan mereka kian bertambah manakala
350 seorang bangsawan dari Tanah
merobohkan orang Melayu sendiri.
Tumasik kembali Akhirnya kekecewaan mereka kembali terluka, ketika
Ragasuci dari Tanah Pasundan berhasil mengalahkan
lawannya seorang bangsawan dari Tanah Melayu.
"Siapapun pemenangnya, adalah jagoan kita",
berkata seorang penonton asli Melayu ketika melihat
pertandingan keempat antara Pranjaya dan orang
melayu sendiri. "Pranjaya sudah diatas angin", berkata Raden Wijaya
kepada Mahesa Amping menilai pertempuran Pranjaya
dengan lawannya. Apa yang dikatakan Raden Wijaya memang tidak
jauh meleset. Pranjaya memang sudah ada diatas angin.
Banyak sekali kesempatan yang dilepasnya. Ternyata
Pranjaya tidak ingin menjatuhkan lawannya dengan
cepat. Pranjaya memang tidak ingin membuat lawannya
terhina. Nampak Pranjaya lebih banyak mengelak
dengan sedikit menyerang agar terlepas dari setiap
himpitan yang kira-kira dapat membahayakannya.
Akhirnya Pranjaya tidak lagi memperpanjang
pertempurannya. Sambil melompat kesamping menghindari sebuah tendangan lawan yang mengarah
keperutnya, Pranjaya dengan cepat langsung memberikan sebuah tendangan kearah kepinggang
lawan. Tendangan Pranjaya tidak dapat dihindarkan lagi
langsung menghantam pinggang lawan.
Dessss!!!! Lawan Pranjaya langsung terhuyung
langkah terlempar jatuh terlentang.
beberapa 351 Pranjaya tidak memburunya, menunggu lawannya
bangkit kembali. Terlihat lawannya telah bangkit kembali bersiap untuk
melakukan serangannya. Diam-diam menyadari bahwa
tataran ilmu Pranjaya memang ada diatasnya. Karena
kebaikan hati Pranjaya tidak segera mengalahkannya.
"Pranjaya hanya banyak mengelak", berkata Mahesa
Amping kepada Raden Wijaya
"Mereka sama-sama tuan rumah, Pranjaya tidak ingin
mengecewakannya", berkata Raden Wijaya.
Pertempuran pun kembali berlanjut. Hanya Mahesa
Amping dan Raden Wijaya sudah dapat menduga siapa
yang akan memenangkan pertempuran itu.
"Hanya menunggu waktu", berkata raden Wijaya
berbisik kepada Mahesa Amping yang berdiri
disampingnya. Sementara itu matahari sudah tidak bersahabat lagi.
Tapi keadaan itu tidak membuat para penonton surut,
mereka dengan mata tak berkedip menanti siapa yang
akan keluar sebagai pemenang.
Yang dinantikan pun akhirnya tiba. Sebuah pukulan
nyaris menghantam kepala Pranjaya. Dengan tenang
Pranjaya menunggu sampai pukulan itu mendekat.
Dengan hanya sedikit bergeser pukulan itu telah
dihindarinya, sementara lawannya seperti terhuyung
terbawa tenaga pukulannya sendiri.
Dan Pranjaya memang tidak melepaskan kesempatan itu, sebuah tamparan yang dilambari
seperlima kekuatannya telah menghantam rahang
lawannya. Sebuah tamparan bersarang telak di rahang wajah
352 lawan Pranjaya. Plakkkkk!!!! Lawan Pranjaya langsung terhuyung terpelanting
tersungkur di lantai panggung dengan kepala pening
gelap berkunang-kunang lama tidak mampu bangkit
berdiri.

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bersoraklah para penonton bagai guruh di siang
bolong yang terik itu. Pranjaya diputuskan telah
memenangkan pertandingannya.
"Hidup Pranjaya !!", berteriak Argalanang di tengah
gemuruh suara penonton. Seorang kepercayaan Baginda Raja terlihat masuk
ketengah panggung, memberikan beberapa keputusan
diantaranya akan menunda pertandingan sampai besok
untuk memberikan kesempatan para peserta untuk
beristirahat. "Besok dalam waktu dan tempat yang sama.
Pertandingan akan di gelar kembali", berkata orang
kepercayaan Baginda Raja itu dari atas panggung.
Satu persatu para penonton meninggalkan panggung
pertandingan. Matahari telah bergeser sedikit dari
puncaknya. Alun-alun istana Melayu kembali nampak
sepi bersama beberapa pohon pinang yang tumbuh
mengitarinya. "Besok baru diputuskan siapa lawan siapa", berkata
Lawe ketika mereka bersama berjalan pulang kerumah
panggung. "Besok, siapapun lawanmu nampaknya adalah lawan
yang tangguh", berkata Mahesa Amping kepada
Pranjaya. 353 "Selama didampingi pelatih tangguh, akan tidak akan
pernah gentar", berkata Pranjaya sambil menepuk dua
sahabatnya Raden Wijaya dan Mahesa Amping.
Sementara itu orang-orang yang searah jalan
sepertinya memperlambat jalannya mengiringi Pranjaya
yang hari ini dengan tanpa sengaja telah menjadi
pahlawan mereka, satu-satunya orang Melayu yang
dapat dibanggakan dan diharapkan dapat memenangkan
sayembara pertandingan. Tidak terasa rombongan iring-iringan itu menjadi
terus bertambah memenuhi jalan.
"Hidup Pranjaya !!!"
Demikian sambil berjalan mereka mengelu-elukan
jagoan mereka hingga sampai di rumah panggung
tempat kediaman Pranjaya.
"Sampai ketemu besok", berkata orang-orang kepada
Pranjaya yang membalas dengan senyum dan lambaian
tangan. Matahari sore masih menyinari bumi dari atas langit
yang bersih tanpa berawan. Diatas pendapa rumah
panggung pembicaraan masih berkisar tentang
pertandingan. "Masing-masing peserta mempunyai kelebihan dan
keistimewahan sendiri", berkata Mahesa Amping.
"Ragasuci mempunyai kekuatan dan kecepatan
gerak yang tinggi", berkata Raden Wijaya.
"Sebagaimana Pranjaya, aku melihat para peserta
masih menyembunyikan tataran ilmunya", berkata Datuk
Belang ikut memberikan pandangannya.
"Besok mereka akan berjuang sekuat tenaga, 354 menunjukkan Argalanang. dirinya yang sebenarnya", berkata "Tataran ilmu seseorang bukan jaminan, tapi
kecerdikan sering dilupakan sebagai kunci kemenangan",
berkata Lawe. "Kamu benar, kita sering melupakannya", berkata
Mahesa Amping membenarkan perkataan Lawe.
"Aku dan Mahesa Amping telah mempelajari
beberapa jurus dari masing-masing peserta, menilai
beberapa kelemahannya", berkata Raden Wijaya.
"Hari masih panjang, mari kita lihat sejauh mana
Pranjaya dapat mengatasinya", berkata Argalanang tidak
sabaran ingin melihat sejauh mana Pranjaya dapat
menghadapi calon lawan-lawannya meski baru besok
dapat diketahui setelah diundi tentunya.
Demikianlah mereka panggung yang luas. turun kehalaman rumah Diatas rumput halus dalam sinar matahari sore yang
sejuk Mahesa Amping dan Raden Wijaya membuka
beberapa jurus yang baru dipelajarinya menghadapi
Pranjaya. "Hadapi serangan Pangeran Pasai!!", berkata
Mahesa Amping sambil menyerang Pranjaya dengan
jurus dan gerakan Pangeran Pasai yang nyaris
mendekati sempurna. Pranjaya langsung menghadapi serangan itu dengan
balas menyerang. Maka terjadilah pertempuran layaknya
Pangeran Pasai dengan Pranjaya.
Datuk Belang diam-diam mengagumi kepekaan dan
daya ingat dari Mahesa Amping.
355 Setelah beberapa jurus mereka berlatih, Mahesa
Amping melompat keluar dari arena.
"Cukup dulu, apakah kamu sudah dapat melihat
dimana kelemahannya?", bertanya Mahesa Amping
kepada Pranjaya. "Pertahanannya begitu rapat, mendapatkannya", berkata Pranjaya.
aku belum "Kelemahannya adalah pada permainan panjang,
kulihat napasnya tidak sekuat tubuhnya", berkata
Mahesa Amping. "Pancinglah untuk bertanding dengan
langkah panjang, serang dan langsung keluar arena",
berkata Mahesa Amping. "Pangeran Pasai tahan pukulan", berkata Lawe
"Ada bagian tubuh yang tidak dapat dilatih, dibawah
ketiaknya", berkata Datuk Belang
"Benar, itulah salah satu bagian
terlemah", berkata Raden Wijaya.
tubuh yang "Hebat".!!!", terdengar tidak jauh dari mereka ada
orang yang berkata sambil bertepuk tangan.
Tidak jauh dari mereka, sudah berdiri dua orang yang
mereka kenal yang tidak lain adalah Ragsuci dan
Pamannya Bagus Kemuning. "Ternyata disini ada banyak ahli", berkata Ragasuci
"Sebuah kehormatan telah sampai di kediaman
kami", berkata Datuk Belang menghampiri mereka
berdua penuh hormat. "Sebuah kehormatan bila aku dapat diajak berlatih",
berkata Ragasuci. "Kami merasa tersanjung bilamana Baginda berlatih
356 bersama disini", berkata Datuk Belang yang sudah
mengenal Ragasuci dan Bagus Kemuning.
"Aku ingin berlatih dengan orang yang ahli mencuri
jurus orang lain", berkata Ragasuci sambil menghampiri
Mahesa Amping. "Aku tidak bermaksud mencuri, hanya sekedar sedikit
mengingat", berkata Mahesa Amping penuh percaya diri
yang tinggi terlihat dari kilatan matanya yang menyambar
tajam kearah Ragasuci. Tergetar jantung Ragasuci ketika tatapan matanya
beradu pandang. Diam-diam mengagumi Mahesa
Amping sebagai orang yang tidak boleh diremehkan.
"Bersiaplah", berkata Ragasuci sambil tersenyum.
"Kita hanya berlatih", berkata Mahesa Amping
mengingatkan sambil mempersiapkan dirinya.
"Ingatkan aku bila lupa diri", berkata Ragasuci sambil
melangkah menyerang dengan pukulannya yang
langsung tertuju ke arah dada. Sebuah pukulan yang
cepat. Dengan cepat Mahesa Amping bergeser ke samping
langsung menekuk sikunya menyerang ulu hati Ragasuci
yang tidak menyangka mendapat balasan serangan dari
Mahesa Amping langsung melenting ke belakang.
"Luar biasa !!", berkata Ragasuci yang langsung
menyerang kembali. Kali ini dengan sebuah tendangan
yang meluncur tajam. Mahesa Amping dapat membaca kalau tendangan itu
hanya sebuah pancingan. Maka begitu dia bergeser ke
samping menghindar, sebuah pukulan telah meluncur ke
arah dadanya yang terbuka.
357 Mahesa Amping telah membaca apa yang akan
dilakukan Ragasuci, dengan cepat kembali dirinya
bergeser memiringkan tubuhnya bersama dengan
mengangkat sebuah kakinya menghantam pinggang
Ragasuci. Kembali Ragasuci kaget mendapatkan serangan
balik yang begitu cepat. Maka dengan sangat tergesa
Ragasuci melompat kebelakang.
"Hebat!!", kembali sebuah pujian terlontar dari mulut
Ragasuci yang langsung kembali menyerang.
Demikianlah duel "latihan" antara Ragasuci dan
Mahesa Amping berlangsung dengan serunya. Selapis
demi selapis nampaknya mereka telah meningkatkan
tataran ilmunya. Terlihat pertempuran semakin lama
menjadi begitu cepat. Mereka seperti bayang-bayang hitam bergerak saling
menyerang dibawah temaram warna bumi yang sudah
semakin senja. "Perhatikan dengan seksama, mungkin berguna
untukmu besok bila saja dapat bertemu dengannya",
berkata Raden Wijaya berbisik kepada Pranjaya.
Mahesa Amping dan Ragasuci masih terus
bertanding semakin sengit. Belum ada tanda-tanda akan
berakhir. Keduanya masih saling menghindar dan
menyerang dengan begitu cepat.
Hingga pada sebuah serangan berupa pukulan dari
Ragasuci tertuju kedada Mahesa Amping yang
sepertinya dibiarkan saja meluncur deras menghantam
dada Mahesa Amping. Dessss"! Bukan main kagetnya Ragasuci merasakan 358 pukulannya seperti menembus kapas, tenaganya seperti
hilang seketika. Mahesa Amping dapat menangkap rasa kaget dari
wajah Ragasuci. Tapi Mahesa Amping tidak
menggunakan sedetik kesempatan itu dengan pukulan
yang berbahaya, melainkan cuma menggantikannya
dengan sebuah sambaran ke arah kepala.
Kain ikat kepala Ragasuci telah berpindah di tangan
Mahesa Amping. "Bukankah kita cuma berlatih?", berkata Mahesa
Amping sambil tersenyum menyerahkan kembali ikat
kepala kepada Ragasuci. "Terima kasih, hari ini aku dapat teman berlatih yang
hebat", berkata Ragasuci sambil menerima kembali ikat
kepalanya. "Maaf, aku belum menanyakan namamu", berkata
Ragasuci sambil mengulurkan tangannya.
"Namaku Mahesa Amping", berkata Mahesa Amping
sambil menyambut tangan Ragasuci. Diam-diam
mengagumi sikap Ragasuci yang tidak mudah
mendendam, menerima kekalahannya.
"Nama yang bagus, mungkin masih banyak lagi
orang-orang hebat berkumpul disini", berkata Ragasuci
sambil memandang Raden Wijaya, Argalanang dan
Lawe. Datuk Belang pun memperkenalkan diri Raden
Wijaya, Argalanang dan Lawe kepada Ragasuci dan
Bagus Kemuning, tapi merahasiakan asal-usul mereka
yang dari Tanah Singasari.
"Sebuah kehormatan bila saja kalian naik kependapa
menikmati hidangan malam kami", berkata Datuk Belang
359 ketika Bagus Kemuning dan Ragasuci bermaksud akan
Seruling Gading 1 Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Harimau Kemala Putih 4
^