Pencarian

Pedang Sinar Emas 12

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


Melihat keadaan lawannya, Pat jiu Giam ong menjadi gembira sekali dan ia menyerang terus bertubi tubi sambil bersilat dengan Ilmu Silat Pat kwa jiu hwat dan mengerahkan pukulan Thiat mo kang. Bun Sam terdesak terus dan mengelak ke sana ke mari, lincah sekali akan tetapi terdesak Thian Giok melihat pula keadaan ini dan tak tertahan pula ia berseru, "Bun Sam, pergunakan Soan hong pek lek jiu!"
Mo bin Sin kun mengangguk angguk dan senang mendengar kecerdikan muridnya ini. Ia sendiri merasa malu untuk memberi tahu Bun Sam, karena hal ini akan dianggap curang oleh Pat jiu Giam ong.
Akan tatapi alangkah pilunya hati wanita perkasa ini ketika mendengar Bun Sam menjawab. "Than Giok, aku tidak berani melanggar larangan gurumu."
Mo bin Sin kun merasa betapa matanya menjadi panas dan hampir saja dua titik air mata yang telah mengembang di pelupuk matanya mengalir turun kalau tidak ditahan tahannya. Bukan main keras dan setia hati Bun Sam, sehingga di dalam keadaan terdesak oleh bahaya maut itu, pemuda ini tidak mau melanggar larangannya yang dulu diucapkan dalam kemarahannya ketika Bun Sam menolak ikatan jodohnya dengan Lan Giok.
Sementara itu, sebuah serangan dari Pat jiu Giam ong akhirnya mengenai pundak Bun Sam. Hebat sekali pukulan ini karena dilakukan dari jarak yang tidak seberapa jauh dan ketika itu tubuh Bun Sam masih dalam keadaan melompat, sehingga tubuh pemuda ini terpental dan jatuh bergulingan di atas batu karang yang keras dan kasar.
"Koko....!" Sian Hwa memekik dan melompat ke arah suaminya Akan tetapi Pat jiu Giam ong mendorongnya dan berseru, "Pergi kau, perempuan hina !" Terkena dorongan ini, Sian Hwa roboh pula targuling guling. Baiknya Thian Giok berada di dekatnya maka pemuda ini dapat menangkap tangannya, sehingga gadis itu tidak terdorong.
Pat jiu Giam ong mengejar Bun Sam dan mengirim pukulan lagi yang mengenai punggung pemuda itu. Akan tetapi, biarpun merasa sakit sekali, Bun Sam masih keburu mengerahkan lweekangnya dan mencegah pukulan ini melukai tubuh bagian dalam. Ia tidak memperdulikan keadaannya sendiri, bahkan berseru kepada Sian Hwa, "Sian moi, jangan kau ikut campur dan...."
Akan tetapi ia terpaksa menghentikan seruannya ketika Pat jiu Giam ong memukul lagi, kini dengan tenaga Thiat mo kang sepenuhnya dan pukulan ditujukan ke arah kepala Bun Sam. Pemuda ini cepat melompat ke pinggir sambil menangkis dengan anginnya. Tetap saja ia terdorong dan kembali ia roboh.
"Liem goanwe, jangan membunuh suamiku....!" Sian Hwa menjerit dan hendak memberontak dan pegangan Thian Giok, akan tetapi pemuda ini memegang lengannya erat erat karena ia maklum bahwa kalau dilepas, nyawa Sian Hwa berada dalam bahaya.
"Sian Hwa, jangan kau khawatir!" Bun Sam masih dapat berseru dan pemuda yang memiliki ginkang tinggi ini masih sempat mengelak dari sebuah pukulan susulan.
Pat jiu Giam ong merasa heran dan penasaran sekali. Biasanya, sekali pukulannya mengenai lawan, pasti lawan itu akan roboh binasa, ia merasa heran menghadapi ilmu silat pemuda ini dan kalau ia tidak mempergunakan Thiat mo kang, agaknya ilmu silatnya Pat kwa jiu hwat takkan berdaya menghadapi ilmu silat Bun Sam.
"Bun Sam, kau adalah muridku, siapa melarang kau mempergunakan Soan hong pek lek jin hwat?" tiba tiba terdengar suara Mo bin Sin kun yang nyaring, disusul oleh suara Kim Kong Taisu,
"Bun Sam muridku, apakah kau sudah lupa untuk mempergunakan Thai lek Kim kong jiu."
Bukan main girangnya hati Bun Sam mendengar ucapan ucapan kedua orang tua ini.
"Terima kasih, suthai dan suhu. Teecu pasti tidak lupa." Kemudian, dengan semangat baru, ia menghadapi Pat jiu Giam ong. Ketika jenderal ini memukulnya dengan Thiat mo kang lagi, Bun Sam mengerahkan tenaga dalam dan mendorong pula dengan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu untuk menangkis. Hebat pertemuan dua tenaga ini. Pat jiu Giam ong tergempur kuda kudanya dan melangkah mundur dua tindak, juga Bun Sam melangkah mundur tiga tindak. Biarpun masih kalah sedikit tenaganya, namun kini Bun Sam dapat menghadapi lawannya secara keras lawan kerai, tidak seperti tadi yang harus main kelit. Ia membalas dan kini ia memukul dengan tenaga Thai lek Kim kong jiu.
Pertempuran makin hebat dan kini Bun Sam mulai mendesak lawannya. Hal ini adalah karena pemuda ini memainkan ilmu silat Tee coan Liok jiu hwat dan mempergunakan tenaga Thai lek Kim kong jiu dan Soan hong Pek lek jiu berganti ganti. Dalam hal tenaga ia boleh kalah sedikit akan tetapi dalam ilmu silat ia menang banyak, maka sebentar saja Pat jiu Giam ong telah termasuk dalam kurungan Ilmu Silat Enam Lingkaran Bumi itu.
"Pat jiu Giam ong, kau harus menyusul Suheng dan adik Lan Giok!" kata Bun Sam dan pemuda ini menyerang makin gencar, sebuah pukulannya dengan tenaga Soan hong pek lek jiu dapat memasuki perut lawannya. Pat jiu Giam ong menjerit dan tubuhnya yang besar itu menggelundung, terus tak dapat di rem lagi sampai terguling ke dalam jurang dan disambut oleh gelombang air Sungai Hoang ho.
Lam hai Lo mo menjadi pucat melihat sutenya tewas. Ia lalu memegang tongkat ularnya dan menghampiri Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun.
"Marilah kita habiskan pertempuran ini. Majulah seorang di antara kalian, aku sudah siap!"
Akan tetapi, Bun Sam cepat melompat menghadapinya dan berkata, "Lam hai Lo mo, ada muridnya di sini untuk apa kedua orang guruku yang mulia mesti turun tangan sendiri" Untuk memukul anjing tak perlu memakai pedang pusaka." Dengan kata kata itu, ia maksudkan bahwa untuk menghadapi Lam hai Lo mo tak perlu orang orang yang mulia seperti Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun turun tangan sendiri.
"Bun Sam, dia lihai sekali, biar aku yang menghadapinya," kata Kim Kong Taisu, akan tetapi Bun Sam tersenyum dan berkata, "Biarlah, suhu. Bu tek Kiam ong sudah memberi tahu kepada teecu bagaimana harus menghadapi manusia siluman ini."
"Bun Sam, kau baik sekali." kata Kim Kong Taisu terharu. Kemudian kakek ini lalu menyerahkan pedang Kim Kong kiam kepada muridnya. Melihat pedang ini, bercahaya muka Bun Sam. Ia menerima pedang itu dengan kedua tangan dan mencium pedang itu, kemudian sambil tersenyum senyum ia menghadapi Lam hai Lo mo Seng jin Siansu.
"Lom hai Lo mo, kejahatan mu sudah melewati takaran, sekaranglah saatnya kau harus menebus dosa!" katanya.
"Bocah sombong, kaukira akan dapat memenangkan Lam hai Lo mo " Ha, ha, ha, ha." Sambil tertawa tawa, Lam hai Lo mo lalu mulai menyerang. Suara ketawaaya tadi aneh sekali, karena anehnya, sehingga Sian Hwa dan Thian Giok memakan sesuatu pengaruh yang membuat mereka hampir hampir ikut tertawa.
Melihat ini, Sian Hwa yang sudah tahu akan kelihaian bekas supeknya, lalu berlari mendekati Kim Kong Taisu untuk menyuruh kakek ini menolong Bun Sam.
"Lo cian pwe, mohon kau sudi mencegahnya Dia suamiku.... bagaimana dia dapat melawan Lam hai Lo mo" Bagaimana kalau dia sampai celaka?"
Akan tetapi, Kim Kong Taisu tidak menjawab dan ketika Sian Hwa memandang, ternyata kakek tua ini berdiri dengan sepasang lengan bersedakap dan mata meram !
Mo bin Sin kun memberi isyarat agar Sian Hwa jangan mengganggu Kim Kong Taisu dan menyuruh gadis itu mendekat. Setelah dekat, ia katakan perlahan lahan, "Tidak kaulihatkah bahwa Kim Kong Taisu tengah membantu Bun Sam" Kalau Bun Sam menandingi ilmu silat Lam hai Lo mo, adalah Kim Kong Taisu menghadapi ilmu hitam yang dikeluarkannya !"
Baru tahulah sekarang Sian Hwa bahwa Lam hai Lo mo maju menyerang Bun Sam sambil menyebarkan ilmu hitam dan Kim Kong Taisu kini sedang menolak pengaruh ilmu hitam itu untuk membantu Bun Sam. Maka ia hanya berdiri dan menonton dengan mata terbelalak dan hati berdebar.
"Jadi kau sudah menjadi isterinya?" tanya Mo bin Sin kun dengan suara lembut, akan tetapi matanya masih tetap mengikati jalannya pertandingan antara Bun Sam dan Lam hai Lo mo.
Merah muka Sian Hwa. "Kami berdua sudah melakukan upacara pernikahan, akan tetapi.... kami telah bersumpah untuk menjadi suami isteri dalam batin saja."
Sian Hwa merasa perlu mengadakan pengakuan ini untuk meredakan kebencian atau kemarahan orang orang tua itu kepada suaminya.
"Mengapa begitu?" Mo bin Sin kun bertanya, suaranya kurang percaya.
"Untuk menghormat dan mengimbangi pengorbanan adik Lan Giok yang berhati mulia."
Kini Mo bin Sin kun menengok dan ia melihat betapa Sian Hwa memandang ke arah Bun Sam dengan mata basah, ia merasa terharu sekali dan lak terasa ia memegang tangan gadis itu.
"Betulkah itu....?" tanyanya.
"Saya tak perlu membohong, suthai. Kami telah bersumpah takkan menjadi suami isteri dalam arti sedalam dalamnya sebelum mendapat pengampunan dari Lan Giok."
Mo bin Sin kun menekan telapak tangan gadis itu, kemudian melepaskan kembali dan mengangguk anggukkan kepalanya tanpa berkata sesuatu.
Pada saat itu, pertempuran yang terjadi antara Bun Sam dan Lam hai Lo mo hebat sekali. Tubuh kakek itu dan tubuh Bun Sam sudah lenyap dari pandangan mata dan yang nampak hanyalah sinar yang bergulung gulung dari dua senjata itu. Akan tetapi sinar kuning emas dari Kim kong kiam makin besar dan terpecah pecah menjadi enam lingkaran yang aneh sekali. Ternyata bahwa Bun Sam tengah memainkan ilmu Pedang Enam Lingkaran Bumi yang istimewa sekali dan yang diciptakan oleh Bu tek Kiam ong khusus untuk menghadapi tokoh tokoh terbesar dari dunia persilatan! Kepandaian Bun Sam sudah demikian sempurnanya sehingga terdengar Mo bin Sin kun berkata, "Andaikata Bu tek Kiam ong sendiri berada di sini, belum tentu ia akan dapat memainkan pedang sedemikian hebatnya !"
Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu terdesak hebat. Dua kali ujung tongkatnya terbabat putus dan tongkat itu menjadi makin pendek saja. Keringatnya mulai mengucur deras dan napasnya sudah kembang kempis.
"Kim Kong, tua bangka. Kau curang!" berkali kali Lam hai Lo mo berseru, karena ia tahu bahwa hanya Kim Kong Taisu saja yang membuat ilmu sihirnya tidak mempan menghadapi Bun Sam, biarpun berkali kali ia telah mengerahkan tenaga batinnya. Akan tetapi, Kim Kong Taisu tidak menjawab, karena kakek yang sakti ini maklum bahwa sekali saja ia mengendurkan pengarah kekuatan batinnya untuk menolak ilmu sihir Lam hai Lo mo, akan celakalah Bun Sam.
Akhirnya Bun Sam dapat mematahkan ilmu silat dan Lam hai Lo mo dan ketika Bun Sam memutar pedangnya dengan getaran yang mempunyai daya membetot, tongkat di tangan kakek itu melayang terlepas dari pegangan dan jatuh ke bawah batu karang, mengambang di atas air sungai. Tiba tiba kelihatan gerakan di air itu dan muncul kepala yang bentuknya lonjong menyambar tongkat itu dan "krak", sekali sambar tongkat iru remuk dan masuk ke dalam perut ikan liar itu!
Melihat ini Lam hai Lo mo menjadi lemas dan pucat mukanya. Tiba tiba ia menjatahkan diri berlutut dan menangis sambil mengeluh minta ampun! Memang hebat sekali kepandaian Lam hai Lo mo. Entah bagaimana, melihat dan mendengar kakek ini mengeluh dan minta minta ampun, Bun Sam merasa kasihan sekali, menarik pedangnya dan menjauhkan diri, sama sekali tidak ingin mengganggu kakek itu lagi! Juga Thian Giok dan Sian Hwa tiba tiba merasa kasihan dan bahkan Sian Hwa berkata dengan suara terharu,
"Koko, jangan kau ganggu dia...."
Bun Sam mengangguk angguk dan menghampiri Sian Hwa yang terus digandeng tangannya. Juga Kim Kong Taisu yang sudah membuka matanya, menarik napas panjang dan berkata,
"Thian bersifat Maha Kasih, siapa sadar dan menyesal akan segala dosanya, pasti akan mendapat petunjuk ke arah jalan baik...."
Akan tetapi tiba tiba nampak bayangan yang berkelebat ke hadapan Lam hai Lo mo yang masih berlutut dan Mo bin Sin kun telah berdiri di hadapan kakek itu.
"Siluman jahat, angkat mukamu dan lihatlah siapa aku!"
Lam hai Lo mo mengangkat muka dan melihat Mo bin Sin kun, ia menangis lagi.
"Cui Kim, ampunkanlah aku.... ampunkan aku seorang tua yang tak berdaya, yang sebatang kara...." Suaranya sungguh sungguh menimbulkan keharuan dalam hati setiap pendengarnya, karena sesungguhnya, dalam kelakuan inipun Lam hai Lo mo diperkuat oleh ilmu sihirnya! Inipun merupakan semacam ilmu baginya uutuk dapat meloloskan diri dari bahaya maut yang mengancamnya.
Akan tetapi kali ini ia menghadapi Cui Kim atau Mo bin Sin kun orang yang dulu di waktu mudanya pernah menerima hinaan besar dan perlakuan sejahat jahatnya dari dia, orang yang boleh dibilang sudah rusak hidupnya, sehingga rela menutupi muka dengan kedok buruk dan semua itu semata mata karena kejahatan Lam hai Lo mo !
"Kau masih berani menyebut nama Cui Kim" Lupa lagikah kau betapa kejinya kau dulu berbuat kepada Cui Kim" Dan kau masih mengharapkan ampun" Akan tetapi aku tidak sekejam kau. Aku tidak mau membunuhmu dengan tanganku sendiri, sungguhpun itu sudah menjadi hakku. Nah, lekaslah kau pergi dari sini !" Sambil berkata demikian, Mo bin Sm kun menendang tubuh Lam hai Lo mo yang sudah menjadi lemas karena lelahnya. Tubuh kakek itu melayang ke bawah dan terdengar suara air muncrat, disusul pekik kakek itu. Hanya warna merah sedikit membayang di permukaan air ketika ikan liar yang tadi telah memakan tongkatnya, kini mengenyangkan perutnya yang tak pernah merasa puas itu dengan tubuh yang tinggal kulit dan tulang ini. Tamatlah riwayat Lam hai Lo mo yang di waktu hidupnya selalu melakukan hal hal yang jahat belaka.
Bun Sam berlutut di depan kedua orang bekas guru gurunya itu.
"Semoga kau berbahagia dengan isterimu, Bun Sam. Dia seorang isteri yang baik dan setia. Kau tidak salah pilih," kata Mo bin Sin kun.
Adapun Kim Kong Taisu, saking terharu dan girangnya melihat kemajuan Bun Sam lalu memeluk pemuda itu tanpa berkata sesuatu. Kemudian, mereka berhasil memanggil seorang nelayan yang datang dengan perahunya dan menyeberangkan mereka ke darat. Thian Giok ikut pulang dengan Mo bin Sin kun ke Sian hwa san, sedangkan Kim Kong Taisu kembali ke Oei san, Bun Sam bersama isterinya melanjutkan perjalanan, ke mana "
Jilid XVI DI DEPAN dua gundukan tanah, yakni sebuah makam yang masih baru, dua orang nampak berlutut. Air mata mereka bercucuran dan di depan batu nisan dua makam ini nampak hio mengebut.
"Adik Lan Giok?" terdengar suara Sian Hwa dan Bun Sam, "Kami berdua mohon ampun darimu. Tenangkanlah arwahmu, adik Lan Giok. Kau tidak berkorban secara sia sia. Kami ikut prihatin dan kamipun ikut berkorban. Kami takkan menjadi suami isteri di dunia ini, karena sesungguhnya aku telah menganggap bahwa Bun Sam adalah suamimu. Biarlah cintaku kepadanya kubuktikan dengan menjadi bujangnya, merawatnya, asal aku berada di sampingnya...."
"Sian.... sudahlah. Lan Giok sudah mengetahui isi hati kita. Sudah tahu akan sumpah kita bahwa kita hanya dapat menjadi suami isteri kalau mendapat pengampunan dari dia."
Pada saat itu, entah dari mana datangnya, tahu tahu sosok tubuh seorang wanita muncul di belakang makam itu. Bun Sam terkejut sekali karena hanya seorang dengan kepandaian luar biasa tingginya saja dapat datang di situ tanpa ia mendengar sama sekali. Dan keheranannya bertambah ketika ia melihat bahwa orang itu adalah seorang nyonya tua yang ia tidak kenal. Kalau yang muncul ini misalnya Mo bin Sin kun itu masih tidak mengherankan.
"Bun Sam, Sian Hwa, aku adalah nyonya Yap Bouw, ibu dari Lan Giok," kata wanita tua ini yang mukanya tidak begitu jelas karena memang hari masih pagi sekali dan matahari belum muncul.
Sian Hwa dan Bun Sam terheran heran. Tak disangkanya bahwa ibu dari Lan Giok bahkan memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari Mo bin Sin kun. Gerakannya demikian ringan dan ketika bertindak maju, tidak terdengar sedikitpun juga tindakan kakinya,
"Jangan kaget aku datang. Ketahuilah, Lan Giok sudah lama memberi ampun kepada kalian. Lan Giok bukanlah seorang gadis kokati, bahkan kalau kalian berlaku seperti sekarang ini dan hidup menyiksa perasaan sendiri, Lan Giok akan kecewa, karena itu berarti pengorbanannya sia sia belaka. Jadilah suami isteri yang bahagia pula. Siapa tahu kalau kalau Thian mengirim dia berkumpul kembali dengan kalian"
Bun Sam dan Sian Hwa saling memandang dengan masih berlutut, kemudian Sian Hwa berkata.
"Bagaimana kami dapat tahu kalau Lan Giok benar benar mengampuni kami?"
Wanita itu berkata, "Kau mau bukti" Lihatlah ...." Wanita itu melambaikan tangannya dan tiba tiba muncullah di situ dua sosok bayangan lain, seorang gadis dan seorang kakek.
"Lan Giok...." seru Sian Hwa.
"Yap suheng...." Bun Sam berseru pula.
Keduanya berdiri dan menubruk dua bayangan itu, akan tetapi mereka hanya melihat Lan Giok tersenyum senyum dan berkata, "Aku ampunkan kalian!" Lalu lenyaplah bayangan tiga orang itu.
Bun Sam dan Sian Hwa bersembahyang terus sampai sehari di tempat itu, kemudian mereka pergi dengan perasaan penuh kebahagiaan, karena benar benar Lan Giok telah mengampuni mereka.
Hanya satu hal yang mereka herankan, yakni tentang ibu Lan Giok. Bukankah nyonya itu masih hidup di Oei san bersama Mo bin Sin kun"
Hal inipun menjadi terang ketika beberapa bulan kemudian, mereka mengunjungi puncak Oei san, mereka mendengar dari Thian Giok bahwa nyonya Yap Bouw itu telah meninggal dunia tepat pada saat mereka sembahyang di depan makam Lan Giok.
Demikianlah, Bun Sam dan Sian Hwa hidup penuh kebahagiaan sebagai suami isteri yang saling mencinta.
Bertahun tahun lewat tanpa dirasakan oleh manusia, terutama oleh mereka yang hidup penuh madu asmara seperti Song Bun Sam dan isterinya itu. Kita tinggalkan mereka untuk menengok Kepulauan Couwsan.
Kepulauan Couwsan terletak di pantai timur Propinsi Cekiang. Melihat pulau pulau ini dari pantai daratan Tiongkok, nampak seakan akan sekelompok ikan mengambang di permukaan samudera.
Tiada hentinya ombak mempermainkan air laut, dari tengah tertiup angin berlari larian ke pantai, memukul pantai lalu kembali dalam bentuk ombak kecil kecil, berlarian dan beriak menimbulkan suara seperti banyak anak anak kecil tengah bermain main dengan riang gembira. Memang tak banyak bedanya sifat ombak air laut dengan sifat kanak kanak, tiada hentinya bersenda gurau dan tertawa tawa, namun sewaktu waktu kalau angin tiba tiba bertiup kencang, lalu timbul "ngambek", mendatangkan alunan gelombang menderu.
Waktu itu, air laut tengah mengamuk dan ombak yang dilemparkan ke pantai membuat batu batu karang tergetar dan bergoyang. Jika ombak sering bergelombang besar dan laut sedang marah seperti ini, tak seorangpun nelayan berani melayarkan perahunya. Bahayanya terlalu besar, dan andaikata seorang nelayan yang pandai dan kuat dapat mendayung perahunya melawan ombak namun belum tentu ia dapat menghindarkan perahu nya terbentur pada batu batu karang di bawah permukaan air laut yang akan membuat dia dan perahunya ditelan oleh perut samudera yang dalam.
Namun, pada saat itu, dari sebuah dusun di sebelah selatan kota Ningpo, nampak dua orang tengah menurunkan sebuah perahu kecil ke air yang bergerak gerak tiada hentinya itu. Kemudian mereka melompat ke dalam perahu dan keduanya menggerakkan dayung di tangan. Ombak datang menyambut perahu mereka, melemparkannya ke atas bagaikan bulu tertiup angin.
Akan tetapi dua orang itu tidak menjadi takut atau gentar, bahkan sambil tertawa tawa mereka menanti sampai perahu mereka tiba di puncak ombak itu, Kemudian dengan berbareng mereka lalu menggerakkan dayung menimpa air dan perahu meluncur dari puncak yang terus bergulung lalu di bawah perahu mereka.
Melihat cara mereka mendayung, terang bahwa dua orang ini bukanlah nelayan nelayan yang pandai mengerjakan dayung. Gerakan mereka kaku sekali. Akan tetapi, nyata bahwa tenaga mereka luar biasa besarnya. Perahu yang mereka dayung itu meluncur bagaikan seekor ikan hiu yang berenang meluncur di air tenang. Tiap kali datang ombak yang membuai perahu mereka, keduanya menghentikan gerakan dayung dan menarik sampai ombak membawa perahu ke puncaknya. Kemudian mereka mendayung serentak dengan tenaga besar, maka perahu itu meluncur amat cepatnya.
Siapakah dua orang ini" Gilakah mereka sehingga berani menempuh laut yang sedang mengamuk hebat"
Keduanya adalah tosu tosu (pendeta pendeta Agama To) yang berusia paling banyak empat puluh tahun, berkulit hitam dan wajahnya mengingatkan orang akan Thio Hui, pahlawan di jaman Sam kok yang sudah amat terkenal akan kekasarannya, kejujuran, dan kegagahannya. Melihat ini timbul perasaan takut di dalam bati karena matanya selalu melotot seakan akan tak pernah berkedip, jenggotnya nyerongot ke sana sini, wajahnya amat menakutkan. Orang ke dua sebaliknya bertubuh kecil bermuka kepucatan dan tampan. Matanya tajam sekali dan kalau orang melihatnya, orang itu akan merasa kasihan kepadanya yang nampak seperti seorang lemah berpenyakitan.
Benar benar aneh dua orang ini. Makin besar ombak berusaha menghalangi lajunya perahu mereka, makin gembiralah mereka, dan makin sukar perjuangan mereka menghadapi amukan gelombang dan angin taufan, makin lebar senyum mereka. Bahkan si muka hitam mulai bernyanyi nyanyi.
"Eh, Ouw bin cu (Si Muka Hitam), mengapa kau segembira itu" Maksud belum tercapai, tak patut untuk bernyanyi nyanyi."
Mendengar teguran si muka pucat ini, si muka hitam tertawa bergelak dan memandang kepada kawannya dengan ramah.
"Ha, ha ha, Siauw giam ong (Malaikat Maut Kecil), betapa tidak gembira menghadapi keriangan anak cucu samudera ini" Lihat betapa mereka berloncatan! Dengar suara nyanyi dan gelak tawa mereka!" Setelah berkata demikian, ia mendayung terus sambil memandang ke arah gelombang besar yang mendatang, wajahnya berkilat kilat karena basah oleh percikan air laut yang bercampur dengan peluhnya.
Si muka pucat hendak membuka mulut menjawab, akan tetapi gelombang itu keburu datang dan kali ini perahu mereka diayun tinggi sekali sehingga terlempar jauh! Mereka tak berdaya, namun masih saja keduanya tidak gentar sama sekali. Ketika perahu meluncur kembali ke bawah, si muka pucat tiba tiba berseru.
"Ouw bin cu, awas batu karang!"
Si muka hitam menoleh ke bawah dan benar saja, bayang bayang hitam yang mengerikan nampak di bawah permukaan air, siap menanti datangnya perahu mereka yang tentu akan hancur lebur kalau menimpa batu karang yang runcing, tajam, besar dan amat kuat itu. Bayang bayang hitam itu nampak seperti iblis laut menanti mangsa.
Namun, dengan tenang, kedua orang tosu itu menekan dayung ke dalam air dan sebelum badan perahu menumbuk batu karang, lebih dulu dayung mereka yang menekan batu itu dan seketika itu juga perahu mereka terayun kembali ke atas melalui batu tadi!
"Ha, ha, ha! Kakek batu karang yang pengecut dan bersembunyi di dalam air, sungguh menjemukan!" Si muka hitam mengejek sambil tertawa tawa.
"Ouw bin cu jangan kau bergiring dulu. Tujuan kita belum terlaksana, cita cita belum terpegang!" kata pula si muka pucat mencela kawannya.
"Sam liong to (Pulau Tiga Naga) adalah pulau yang tidak akan dapat pergi dan lari, mengapa takut tak bertemu" Justru karena memikirkan dia dan menghadapi ombak ombak kecil ini aku bergirang, Siauw giam ong !" kata si muka hitam.
"Enak saja kau bicara ! Di antara Kepulauan Couwsan yang demikian banyaknya, belum lagi ada nya Pulau Seribu dan Pulau Bayangan yang sering kali muncul di permukaan laut, kita masih harus mencari lama, kawan! Kataku kuulangi, belum waktunya bagi kita untuk bergirang."
Akan tetapi, sebaliknya si muka hitam malah bernyanyi sajak sebagai jawaban teguran kawan nya ini!
"Ada waktu senang dan waktu duka
demikian orang berkata Namun bagiku hayo gembira selalu ! Apa senang " Apa duka "
Belenggu baja pengikat jiwa!
Semangat boleh bercita cita !
Namun gembira makanan jiwa !"
"Ha, ha, kau pandai sekali, Ouw bin cu! Agaknya kau gila kepada hasil pemikiran Li Po (Pujangga dan penyair Tiongkok yang kenamaan)!"
"Ha, ha, ha! Apa itu Li Po dan segala macam kutu buku" Mereka hanya perenung dan pengimpi, hidup di awang awang! Aku bercita cita, kawan. Kalau tidak demikian, apa kaukira kau bisa ikut dengan aku dalam pelayaran ini?" jawab si muka hitam.
Si muka pucat yang disebut Siauw giam ong (Malaikat Maut Kecil) hanya tersenyum dan keduanya melanjutkan perjuangan melawan ombak yang tak kunjung reda itu. Namun sekarang si muka pucat tidak mencela lagi dan mengajak saja si muka hitam bernyanyi nyanyi, tertawa tawa dan mengajak bicara kepada ombak ombak yang datang hendak menelan perahu mereka.
Mereka telah berhasil melampaui Kepulauan Couwsan dan air laut mulai tenang kembali setelah mereka kini mendayung menuju ke kelompok Kepulauan Seribu yang dari jauh hanya kelihatan seperti titik titik hitam. Sementara itu, tanpa terasa perjuangan menghadapi ombak yang mengamuk tadi telah makan waktu setengah hari dan kini matahari telah mulai condong ke barat.
"Siauw giam ong, sebentar lagi kita akan berpesta pora dan bergembira sekali," kata si muka hitam sambil mengerahkan tenaga mendayung perahu menuju ke arah kelompok pulau pulau itu.
Kawannya menoleh. Ia tahu bahwa si muka hitam ini suka sekali bergurau dan guraunya kadang kadang berbahaya.
"Di tengah tengah laut seperti ini, bagaimana kau bisa bicara tentang pesta" Paling hebat kau akan dapat minum air laut dan makan ikan ikan kecil yang berbau amis dimakan mentah mentah!" Ouw bin cu tertawa bergelak, demikian keras sehingga perahu yang kini tenang jalannya itu bergoncang.
"Kau tunggu saja dan kau lihat sendiri nanti. Sukakah kau akan daging ikan hiu?"
"Daging ikan hiu?" si muka pucat bertanya heran.
"Ya, ikan hiu yang berminyak, dimakan setelah dipanggang di atas api, enak sekali!"
Sebelum si muka pucat dapat menangkap arti kata kata kawannya, jawabannya tiba yang membuatnya terkejut sekali. Tiba tiba saja air laut yang tadinya tenang itu, mulai bergelombang dan dari jauh nampak benda benda hitam bergerak gerak cepat menuju ke perahu mereka. Kiranya serombongan ikan hiu yang liar datang ke arah mereka!
"Celaka !" seru Siauw giam ong sambil mencabut goloknya yang terselip di punggung.
Akan tetapi Ouw bin cu hanya tertawa bergelak saja, sama sekali tidak meraba pedangnya yang juga terselip di punggungnya.
Seekor hiu yang berenang di depan dan agaknya menjadi pelopor, mulai menyerang perahu. Tubuhnya meluncur cepat sekali dan agaknya sekali dibentur saja perahu itu akan terguling, membawa dua orang manusia yang akan merupakan mangsa yang enak.
Siauw giam ong marah sekali. Tubuhnya tiba tiba melesat dan melompat ke depan dan selagi tubuhnya masih berada di udara, ia menukik ke bawah dan menggerakkan goloknya ke arah kepala ikan. Air muncrat dan bergelombang dan warna merah menyatakan bahwa serangannya itu tepat sekali. Pada saat Siauw giam ong menusukkan goloknya pada kepala ikan, ia meminjam kepala itu untuk dipergunakan sebagai landasan dan dengan mengerahkan sedikit tenaga, ia dapat melompat kembali ke perahu sambil mencabut goloknya. Dari sini saja dapat disaksikan betapa hebatnya ginkang (ilmu meringankan tubuh) dari si muka pucat ini.
"Bagus Siauw giam ong, gerakanmu Kim la an po (Ikan kim le Menerjang Ombak) tadi benar benar mengagumkan." Si muka hitam tertawa tawa sambil memuji.
Namun, ikan hiu yang terluka tadi menarik perhatian kawan kawannya yang segera datang menyerbu dan menyerang kawannya sendiri yang terluka. Bau darah yang amis telah membuat mereka gelap mata dan sebentar saja ikan hiu yang terluka oleh golok Siauw giam ong, habis dimakan oleh kawan kawannya sendiri dengan lahap. Akan tetapi, tentu saja seekor ikan hiu tidak mengenyangkan demikian banyak ikan, dan sebentar saja perhatian binatang binatang buas ini kembali tertuju kepada perahu. Menyerbulah mereka dari kanan kiri.
"Celaka kali ini !" Si muka pucat berseru dan mukanya yang kekuning kuningan itu menjadi agak hijau. Namun si muka hitam masih saja tertawa tawa.
"Pergunakan dayung menekan kepala ikan, biar perahu kita terbang," katanya dengan suara dibuat buat seakan akan mereka sedang bersenda gurau, sama sekali tidak seperti sedang menghadapi bahaya maut.
Akan tetapi, kata kata ini menyadarkan Siauw giam omg yang mengerti akan maksud dan akal kawannya. Ia lalu menjaga dengan dayungnya di sebelah kanan perahu, sedangkan Ouw bin cu menjaga di sebelah kiri perahu. Ketika ikan ikan itu sudah datang dekat, Ouw bin cu berseru keras, "Serang !"
Gerakan kedua orang itu berbareng. Tangan kiri memegangi pinggiran perahu dan tangan kanan yang memegang dayung untuk menusuk kepala ikan yang terdekat, mengerahkan tenaga menekan.
Bukan main hebatnya tenaga kedua orang tosu aneh ini. Begitu ujung dayung mereka mengenai kepala ikan hiu, dayung itu membuat kepala itu melesak pecah dan tenaga tekanan itu membuat perahu melompat ke atas melalui atas permukaan air. Beberapa kali mereka lakukan ini dan sudah ada enam ekor ikan hiu pecah kepalanya dan di jadikan mangsa dan perebutan oleh kawan kawan sendiri. Karena ikan ikan itu asik menyerang kawan kawan sendiri yang terluka, dan dalam perebutan yang hebat itu banyak pula ikan yang terluka oleh kawan sendiri sehingga makin lama makin banyak mangsa, akhirnya perahu itu tidak dihiraukan lagi oleh kelompok ikan ikan buas dan liar ini sehingga dapat didayung pergi oleh si muka hitam yang tertawa tawa dan si muka pucat yang menarik napas lega.
Makin dekat dengan pulau pulau yang banyak dan kecil itu, pemandangan makin indah. Kini air laut benar benar tenang, seakan akan tidak bergerak, seperti raksa yang sedang tidur atau melepaskan lelah setelah mengamuk. Pergerakan air yang dilalui oleh perahu seakan akan rupakan gangguan yang membuat hati si muka, pucat menjadi tidak enak. Kalau mereka menengok ke barat nampaklah matahari yang sudah kemerahan itu seakan akan turun ke atas darat pantai Tiongkok. Air laut yang tertimpa cahaya matahari pudar itu mencerminkan sinar yang kemerahan. Biarpun perahu didayung oleh tenaga dua orang yang memiliki kepandaian tinggi dan sesungguhnya maju pesat sekali, namun nampaknya tidak maju sedikitpun juga. Mereka merasa seperti mendayung perahu di atas agar agar hijau yang luas sekali.
"Ouw bin cu, tahu betulkah kau di mana letaknya Sam Liong itu?" terdengar suara Siauw giam ong memecah kesunyian yang mencekam.
"Tentu saja tahu. Pulau ke tujuh di sebelah kanan pulau yang bentuknya seperti kura kura," jawab si muka hitam. "Akan tetapi masih jauh sekali untuk mencapai Pulau Kura kura itu. Kalau kita lanjutkan, sampai matahari menghilang kita masih belum tiba disana dan karenanya kita harus bermalam di pulau yang terdekat."
"Sesukamulah!" jawab si muka pucat yang dalam hal ini tentu saja tak dapat bicara banyak karena memang ia belum pernah menjelajah tempat ini.
Ketika matahari hanya tinggal sedikit cahayanya yang kemerahan, si muka hitam lalu membawa perahunya mendarat ke sebuah pulau yang lebih tinggi dari pada pulau pulau kecil lainnya, ia sudah berpengalaman dan tahu bahwa berbahaya sekali bermalam di pulau yang rendah dan kecil karena sewaktu waktu apabila air laut pasang, pulau pulau yang rendah itu akan terendam air menghanyutkan segala yang berada di atas pulau.
Setelah melihat bahwa pulau itu terdiri daripada batu karang yang teguh kuat, dan bahwa di atas sekali terdapat beberapa buah gua yang cukup lebar untuk menahan diri dari serangan angin laut yang dingin, mereka lalu menarik perahu ke atas pulau. Si muka hitam memanggul perahu itu seperti orang membawa barang ringan saja, kemudian bersama kawannya memilih sebuah gua yang besar.
Setelah membuat api unggun di dalam pintu gua dan makan ikan panggang untuk membikin tenang perut yang sudah berbunyi saja mereka duduk menghadapi api unggun sambil bercakap cakap.
"Siauw giam ong, yakin betulkah kau bahwa Kerajaan Goan tiauw dapat dirobohkan?" tanya si muka hitam sambil menggerogoti ekor ikan yang masih saja belum mau ia melepaskan biarpun perutnya sudah kenyang, karena ekor ini mengandung lemak yang bukan main gurihnya.
"Pasti dapat!" jawab si muka pucat penuh semangat. "Rakyat berdiri di belakang kami, menyokong pergerakan kami. Kalau saja harta itu berada di tanganku tentu pergerakan , akan menjadi lebih kuat dan jatuhnya Kerajaan Mongol penjajah itu hanya tinggal menanti waktu saja."
Si muka hitam tersenyum tak acuh. Ia tidak perduli sama sekali tentang politik dan pemerintahan. Hanya secara kebetulan saja ia bertemu dengan Siauw giam ong, biarpun ia telah lama mengenal nama orang ini sebagal tokoh dunia kang ouw yang cukup terkenal. Telah lama Ouw bin cu (Si Muka Hitam), yang sebetulnya bernama Tong Kwat, memiliki sebuah peta kuno yang menyatakan bahwa di sebuah Pulau Sam Liong To, yakni sebuah di antara Pulau Seribu, tersimpan harta pusaka yang besar sekali harganya. Telah beberapa kali ia mencari pulau ini dan akhirnya ia berhasil mendarat di Pulau Sam Liong To. Akan tetapi biarpun telah berhari hari ia mencari belum juga ia dapat menemukan tempat penyimpanan harta itu. Yang menjadi kesulitannya adalah sebuah tanda di atas peta yang ditulis dalam huruf huruf kuno yang la sendiri tidak mengerti artinya. Ia yakin bahwa di dalam huruf huruf inilah letak rahasia tempat persembunyian harta tersebut. Untuk bertanya kepada orang lain, ia tidak berani karena hal ini sama saja dengan membuka rahasia itu. Maka sampai berbulan bulan, peta itu masih tersimpan saja di dalam saku bajunya, dan dengan hati jengkel ia merantau di seluruh daratan Tiongkok. Ia masih merasa penasaran sekali dan ingin ke Sam Liong To bersama seorang kawan yang dapat menterjemahkan huruf huruf kuno itu.
Akhirnya ia tiba di kota Hankouw dan di sinilah ia bertemu dengan Siauw giam ong. Pertemuan yang amat kebetulan dan tak tersangka sangka.
Pada waktu itu, ia melihat seorang tosu kurus kering yang bermuka pucat sedang dikeroyok oleh banyak tentara Goan tiauw. Tentara tentara itu mengeroyok sambil berseru seru,
"Tangkap pemberontak!"
Ouw Bin Cu Tong Kwat adalah seorang petualang, seorang kang ouw yang tidak perduli tentang pemberontakan. Akan tetapi ia memang tidak suka kepada tentara Boan yang sering kali mengganggu rakyat. Apalagi ketika ia melihat betapa tosu kurus kering itu memainkan goloknya dongan baik sekali dan melihat permainan golok ini, ia tahu bahwa tosu kurus kering itu tentu seorang tokoh dari Go bi pai karena ilmu goloknya adalah ilmu golok dari Go bi pai. Maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu mencabut pedangnya dan sambil menggoreng keras seperti seekor harimau, ia menyerbu dan membantu tosu kurus kering itu mengamuk.
Tentu saja tentara Boan yang kasar bukan lawan dari Ouw bin cu Tong Kwat dan tosu kurus kering yang bukan lain adalah Siauw giam ong Lie Chit. Sebentar saja, mayat serdadu Boan bergelimpangan mandi darah, ada yang mati, ada yang terluka berat. Melihat ini, sisa serdadu serdadu itu lalu kabur melarikan diri, diikuti gelak tertawa dari Ouw bin cu Tong Kwat.
"Sungguh baik sekali toheng (saudara tua sefaham) datang membantu, kalau tidak tentu agak lama juga siauwte menghajar anjing anjing busuk itu!" katanya.
Ouw bin cu Tong Kwat tertawa bergelak.
"Permainan golokmu dari Go bi pai bagus sekali. Tidak tahu siapakah saudara dan mengapa dikeroyok oleh cacing cacing tiada guna ini?"
Ditanya namanya, Siauw giam ong Lie Chit mengangkat dadanya yang kempis.
"Siauwte bernama Lie Chit, akan tetapi di luar orang menyebut siauwte Siauw giam ong. Dan mengapa siauwte dikeroyok oleh anjing anjing penjajah ini, tentu toheng dapat menduga sendiri, karena siauwte adalah seorang patriot yang menggerakkan rakyat untuk menumbangkan pemerintah penjajah."
Lie Chit Si Malaikat Maut Kecil menanti datangnya pujian dan kekaguman dari si muka hitam. Namun ia kecele karena pengakuannya itu sama sekali tidak menarik hati Ouw bin cu Tong Kwat. Si muka hitam hanya berkata, "Aha, kiranya pinto (aku) berhadapan dengan Siauw giam ong yang sudah lama kudengar namanya! Kebetulan sekali, tidak sia sia aku tadi membantu mengusir cacing cacing itu. Tentang usahamu menggerakkan rakyat.... pinto tidak tahu dan sebenarnya mengapakah pemerintah harus ditumbangkan?"
Siauw giam ong mengerutkan keningnya dan bibirnya ditekuk sedemikian rupa tanda mencemoohkan.
"Mengapa tidak harus ditumbangkan" Pemerintah Boan memeras dan sekarang kaisar menyuruh memperbesar saluran air sampai ke kota raja. Dan banyak rumah rumah indah dibangun."
"Phuah! Menggali terusan dan membangun istana untuk keperluan siapa" Untuk kaisar lalim itu sendiri, rakyat yang dipaksa bekerja. Sayang.... kalau saja ada emas beberapa ribu tael di tanganku, pergerakan yang kupimpin akan menjadi kuat dan pemerintah Boan pasti akan hancur lebur!"
Mendengar ini dan melihat sikap Siauw giam ong yang demikian bersemangat, Ouw bin cu tertarik. Siauw giam ong ini melihat bicaranya tentu seorang terpelajar dan pandai tentang hal hal yang dianggapnya sulit, siapa tahu kalau kalau si kurus ini dapat menterjemahkan huruf huruf kuno di petanya. Ia telah menghafal beberapa buah di antara huruf huruf itu untuk ditanyakan kepada orang lain dan sebegitu lama belum ada yang bisa mengerti artinya.
"Eh, sahabat baik, agaknya kalau kau bisa membaca beberapa huruf kuno, kau akan bisa mendapatkan beberapa ribu tael emas yang kau harapkan itu."
"Membaca huruf " Pinto jelek jelek pernah membantu pujangga dan sasterawan di waktu kecil, dan untuk membaca huruf saja, biarpun ada beberapa ribu huruf tentu akan dapat terbaca olehku. Kalau tidak demikian, bagaimana pinto bisa memimpin rakyat?" kata si muka pucat dengan bangga. Memang, Siauw giam ong ini memiliki watak menyombongkan kepandaian sendiri, tanda bahwa di dalam dirinya mempunyai datar watak tidak baik.
Ouw bin cu tersenyum. "Nanti dulu, kawan. Bukan huruf sembarang huruf yang harus kau baca. Nah, sekarang cobalah, kenalkah kau huruf ini?" Sambil berkata demikian, Ouw bin cu Tong Kwat lalu berjongkok dan menulis huruf di atas tanah. Siauw giam ong memandang kepada coretan itu, akhirnya ia menepuk kepalanya yang kecil.
"Ah, bukankah kau tadi bilang bahwa huruf huruf ini huruf kuno" Tentu yang kau tulis ini tulisan dari jaman Hsia. Kalau betul demikian, maka huruf ini adalah huruf THO (pulau)!"
Mendengar ini, Ouw bin cu menjadi girang lekati. Biarpun ia sendiri tidak tahu apakah si kurus kering ini benar benar bisa membaca atau tidak, namun jawaban ini memang cocoki. Memang mungkin sekali terdapat huruf yang berarti pulau dalam peta itu, karena bukankah harta pusaka itu berada di atas Pulau Sam liong tho (Pulau Tiga Naga)"
Dengan cepat ia lalu menulis lagi dua huruf. Kini dengan cepat Siauw giam ong dapat membaca huruf huruf ini, "Hem, kalau benar benar huruf yang kau tulis ini adalah tulisan dari jaman Hsia, maka huruf pertama Ini adalah huruf Kim (emas) dan huruf kedua adalah huruf Liong (naga)."
Ouw bin cu Tong Kwat adalah seorang yang kasar dan berwatak gembira. Mendengar ini, ia segera berjingkrak jingkrak dan menari nari girang.
"Eh, eh, nanti dulu. Kau ini siapakah sahabat" Dan mengapa kau begitu kegirangan" Harap kau suka memperkenalkan dirimu kepadaku," kata Siauw giam ong dengan heran melihat laku si muka hitam yang aneh itu.
Dengan suara acuh tak acuh untuk menyatakan bahwa soal nama baginya bukan apa apa, Ouw bin cu menjawab,
"Pinto bernama Tong Kwat atau Ouw bin cu."
Siauw giam ong terkejut. Pantas saja ilmu pedangnya demikian lihai, pikirnya. Tidak tahunya ia berhadapan dengan seorang ahli pedang yang sudah amat terkenal di kalangan kang ouw sebagai seorang gagah yang berwatak aneh dan bersikap masa bodoh.
"Kiranya Ouw bin cu Tong Tong hiong yang menolongku tadi. Sungguh menggembirakan sekali dapat berkenalan denganmu."
Ouw bin cu menggerakkan tangannya untuk mencegah dilanjutkannya omongan ini, dan cepat cepat berkata, "Siauw giam ong, cukup semua itu! Kau tadi telah kubantu, dan kau membutuhkan uang beberapa ribu tael. Kalau sekarang kau mau menolongku, berarti kau telah membalas pertolonganku tadi dan juga kelak kau akan bisa mendapatkan ribuan tael emas itu dariku."
"Pertolongan apakah yang kauminta, Ouw bin cu?"
Ouw bin cu mengeluarkan peta dari saku bajunya, akan tetapi sebelum membukanya, ia teringat akan sesuatu dan menariknya kembali.
"Siauw giam ong, bolehkah kau dipercaya bahwa kau takkan membuka rahasia ini" Terus terang saja, aku mendapatkan sebuah peta rahasia yang menunjukkan di mana adanya sebuah harta pusaka yang tersembunyi, yang sudah lama kucari cari. Akan tetapi aku terbentur pada susunan huruf huruf yang aku tidak mengerti artinya. Kalau kau mau menterjemahkan huruf huruf itu, aku akan bisa mendapatkan harta itu dan kau tentu akan kuberi bagian."
"Kau bilang Siauw giam ong tak dapat dipercaya" Kalau sekali lagi kau katakan itu, biarpun nama Ouw bin cu sudah amal terkenal, aku takkan takut menghadapi pedangnya dengan golokku."
Melihat sikap ini, Ouw bin cu merasa puas dan ia lalu membuka petanya. Akan tetapi biarpun ia orang kasar, namun ia memiliki kecerdikan juga dan ia tidak memperlihatkan semua isi peta, hanya membuka di bagian tulisan itu saja.
"Nah, kau bacalah, kemudian terjemahkan untukku."
Siauw giam ong lalu membaca tanpa menggerakkan bibirnya, kemudian ia mengangguk angguk.
Ouw bin cu cepat menyimpan petanya ke dalam saku bajunya kembali dan bertanya penuh gairah.
"Bagaimana artinya?"
Akan tetapi, Siauw giam ong menggeleng kepalanya tersenyum penuh arti.
"Ouw bin cu, benar benarkah kau akan memberi bagian beberapa ribu tael emas kepadaku untuk keperluan menggerakkan rakyat menumbangkan pemerintah penjajah?"
"Tentu saja, apa kau tidak percaya kepadaku" Ouw bin cu membentak sambil melototkan matanya yang lebar dan besar.
"Sama sama, kawan. Kau pertama tama yang tidak percaya kepadaku. Buktinya, kau tidak membuka semua peta. Siapa bisa menjamin bahwa kau benar benar akan memberi bagian itu?"
Mendengar ini, Ouw bin cu merasa bahwa ia berhadapan dengan seorang yang licin dan cerdik, maka ia berlaku hati hati sekali.
"Eh, Siauw giam ong, apakah kehendakmu?"
"Tidak apa apa, kawan, hanya kuminta adil saja. Kau janjikanlah bahwa hasil daripada penyelidikan ini, aku akan menerima setengahnya."
Ouw bin cu tertawa bergelak. "Ha, kau benar benar cerdik dan murka. Baiklah, nah sekarang kau katakan apa arti semua huruf aneh itu!"
Namun kembali Siauw giam ong menggeleng kepala. "Tidak bisa kuterjemahkan di sini, kawan."
Ouw bin cu merah mukanya. Ia mulai marah. "Apa maksudmu" Habis, di mana harus diterjemahkan?"
"Di atas Pulau Kura kura. Aku harus ikut kau pergi dan di pulau itulah selanjutnya akan kubacakan terjemahannya. Kemudian kita bersama mencari harta itu dan kita bagi seorang setengah. Bukankah itu adil namanya?"
"Bangsat besar! Penipu! Perampok!" Ouw bin cu yang cepat mencabut pedangnya dan segera menyerang dengan tusukan maut.
Namun Siauw giam ong telah siap sedia menghadapi ini. Iapun cepat sekali mencabut golok dan menangkis serangan lawannya, kemudian ia mengeluarkan ilmu golok Go bi pai yang lihai, membelai serangan Ouw bin cu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Siauw giam ong tahu bahwa tanpa peta itu biarpun ia telah membaca pesanan rahasia, tak mungkin ia dapat menemukan di mana adanya Pulau Tiga Naga yang berada di barisan Pulau Kura kura itu. Ia amat membutuhkan harta pusaka yang tersebut di dalam peta rahasia, maka dengan mati matian ia melawan sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Di tempat yang tadi dijadikan gelanggang pertempuran antara dua orang tosu ini menghadapi barisan Boan, kini terjadi perkelahian yang lebih hebat lagi. Ouw bin cu Tong Kwat adalah seorang kang ouw yang lihai ilmu silatnya, sudah banyak ia mempelajari ilmu silat dari berbagai cabang dan ilmu pedangnya adalah cabang atau pecahan dari ilmu pedang Pek lian Kiam hwat (Ilmu Pedang Pek lian kauw) yang memiliki gerakan gerakan menyesatkan. Maka tentu saja ilmu pedangnya ini, ditambah dengan tenaga lweekang yang kuat dan ilmu ginkang yang tinggi, membuat ia lihai sekali.
Sebaliknya, Siauw giam ong Le Chit mempunyai tingkat ke tiga dalam partai persilatan Go bi pai. Seperti juga Ouw bin cu, ia sudah banyak merantau dan bertemu dengan orang pandai, maka ilmu silatnya juga tak boleh dianggap ringan. Kedua orang tosu ini berkelahi sampai lima puluh jurus lebih dan telapak tangan yang memegang gagang senjata sudah terata panas dan sakit sakit, namun belum juga ada yang menang. Ini menandakan bahwa tingkat kepandaian masing masing berimbang, karena kekalahan Siauw giam ong dalam hal kehebatan ilmu senjata, tertutup oleh kemenangannya dalam hal ilmu ginkang (meringankan tubuh). Mereka tahu bahwa agaknya lama sekali untuk dapat mencapai kemenangan, maka diam diam keduanya merasa gelisah sekali.
"Ouw bin cu manusia goblok!" Siauw giam ong memaki sambil menggerakkan golok makin cepat lagi. "Kau benar benar bodoh! Tanpa bantuan ku tak mungkin kau dapat menemukan harta itu. Lain orang tentu akan membunuhmu dan merampas peta. Aku hanya menuntut setengahnya, masa tidak terbuka matamu?"
Diam diam Ouw bin cu sedang memutar otaknya. Dalam menempuh perjalanan mencari pulau dan harta itu, ia memang membutuhkan bantuan seorang pandai. Dahulu ia hampir mati dikeroyok oleh ikan hiu. Siauw giam ong ini selain dapat menterjemahkan huruf huruf yang merupakan rahasia baginya, juga kepandaiannya lumayan. Mengapa ia harus berlaku serakah" Bagian setengahnya kiranya sudah melebihi kebutuhannya untuk dapat hidup mewah dan senang. Maka tertawalah dia dan melompat ke belakang menahan pedangnya.
"Bagus, bagus! Kau benar, Siauw giam ong. Memang akupun hanya ingin mencoba sampai di mana kepandaianmu dan ingin melihat apakah kau patut menjadi pembantuku mencari pulau rahasia Sam liong to. Ha, ha, ha!"
Siauw giam ong Lie Chit yang jarang tertawa, kali inipun tertawa bergelak. Keduanya tertawa, namun keduanya juga maklum bahwa masing masing harus berlaku amat hati hati menghadapi kawan atau bekas lawan ini. Pendeknya, dalam hati Ouw bin cu maupun Siauw giam ong, penuh oleh kecurigaan terhadap satu sama lain.
Demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan, dua orang ini bermalam di atas sebuah pulau untuk melewatkan malam, menanti datangnya pagi untuk melanjutkan pelayaran mencari Pulau Kura kura dan dari situ mencari Pulau Tiga Naga yang amat mereka rindukan. Tentu saja bukan pulaunya yang dirindukan, melainkan harta yang tersimpan di situ.
Karena dari percakapan mereka di sepanjang pelayaran selalu Siauw giam ong menyatakan betapa ia benar benar seorang patriot yang bercita cita mulia membela tanah air, akhirnya Ouw bin cu menjadi senang dan merasa agak rela memberikan setengah dari harta pusaka itu kepada Siauw giam ong. Sikapnya mulai baik dan ramah, bahkan kepercayaannya timbul kembali.
Sama sekali ia tidak mengetahui bahwa sebetulnya, Siauw giam ong Lie Chit adalah seorang yang berhati licik dan jahat. Sudah beberapa kali ia mengakali orang orang, terutama sekali orang orang hartawan yang berhati cinta tanah air, untuk mengeduk keuntungan bagi diri sendiri dengan kedok membela bangsa dari penjajah. Memang, sering kali Siauw giam ong berteriak teriak mengatakan bahwa dia seorang patriot sehingga sering pula ia hendak ditangkap oleh pemerintah Boan, namun begitu ada uang masuk, bukannya dipergunakan untuk perjuangan, melainkan dipergunakan untuk kepentingan sendiri, yakni berfoya foya, karena dia adalah seorang mata keranjang yang gemar sekali pelesir.
Malam itu terlewat dengan cepatnya. Ouw bin cu yang sudah mulai percaya kepada kawannya, tidur mendengkur. Tadinya Siauw giam ong ingin membunuh saja kawannya ini agar ia bisa mendapatkan harta itu untuknya sendiri. Akan tetapi setelah mengalami bahaya dengan ikan hiu dan ombak, ia tidak berani untuk berlayar seorang diri. Mudah pikirnya, kalau harta itu sudah berada di tangan, tidak sukar membunuh babi hitam yang gemuk ini!
Pada keesokan harinya, pagi pagi setelah matahari muncul dari permukaan laut sebelah timur, dua orang tosu ini memanggul perahu mereka dan melanjutkan pelayaran. Beberapa jam kemudian, mereka melihat banyak pulau kehitaman berbaris di tengah samudera.
"Nah, itulah dia Pulau Kura kura," kata Ouw bin cu sambil menunjuk ke arah sebuah pulau yang bentuknya memang seperti seekor kura kura besar sekali. "Dan menurut peta, pulau ke tujuh di sebelah kanannya itulah yang disebut Sam liong to. Akan tetapi, sudah beberapa hari aku mencari cari di atas pulau itu, tidak juga bisa mendapatkan tanda tanda bahwa di sana terdapat harta terpendam."
Siauw giam ong memandang ke sebelah kanan dan melihat deretan pulau pulau kecil, di sebelah kiri Pulau Kura kura terdapat deretan pulau pulau besar yang kehijauan, tanda bahwa di atas pulau pulau itu terdapat pohon pohon yang lebat.
"Hem, mengertilah aku sekarang, Ouw bin cu," katanya sambil menahan gerakan dayung. "Tak perlu kita melanjutkan ke sebelah kanan Pulau Kura kura, sebaliknya harus membelok ke kiri."
"Mengapa begitu" Di atas peta terdapat gambar panah yang menyatakan bahwa Pulau Sam liong to berada di sebelah kanan Pulau Kura kura."
Siauw giam ong tersenyum mengejek.
"Itulah sebabnya maka kau selalu tidak berhasil, Ouw bin cu. Peta itu menyesatkan kalau kau tidak bisa membaca huruf huruf yang tertulis di situ. Ambil dan buka petamu, akan kuterangkan kepadamu sekarang karena sudah tiba waktunya."
Ouw bin cu mengeluarkan peta rahasia dari saku bajunya dan membuka peta itu, kini tidak menyembunyikan sesuatu. Siauw giam ong melihat peta yang jelas memberitahukan tempat penyembunyian harta. Di atas peta itu tergambar pulau pulau kecil, yakni Pulau Seribu. Karena penggambaran pulau pulau itu hanya berbentuk segi empat semua, maka sukarlah untuk dikenal mana pulau yang dimaksudkan. Dan di tengah tengah sekali tergambar seekor kura kura ini, pulau yang ke tujuh diberi tanda bahwa di situ terdapat harta itu dengan lukisan gua yang depannya menyerupai tengkorak manusia dan di atasnya terdapat pohon pohon. Tepat sekali di atas gua itu terdapat akar akar pohon yang menyerupai ular besar. Akar yang paling besar terdapat tiga batang banyaknya, berbentuk tubuh tiga ekor naga. Oleh karena inilah maka oleh pembuat peta, pulau ini disebut Sam liong to atau Pulau Tiga Naga.
"Nah, sekarang dengarlah aku menterjemahkan huruf huruf yang merupakan pesan daripada penulis atau pembuat peta ini, Ouw bin cu!" kata Siauw giam ong yang segera membaca pula huruf itu, di dengarkan dengan penuh perhatian oleh Ouw bin cu.
"Matahari mulai tenggelam
jauh di belakang Pulau Seribu,
Jauh di belakang daratan Tiongkok
yang sudah lama kurindukan!
Bahkan jauh di belakang Kun lun san
yang sudah puluhan tahun kutinggalkan,
Semua ini gara gara Sam liong to
pulau ke tujuh di kanan Pulau Kura kura."
Setelah Siauw giam ong habis membaca tulisan itu, Ouw bin cu mencela, "Ah, apa artinya itu" Tetap saja dikatakan bahwa Sam liong to berada di sebelah kanan Pulau Kura kura, yakni pulau ke tujuh seperti telah di beri tanda di atas peta ini. Terjemahannya tidak ada artinya, kawan!" Suara Ouw bin cu amat kecewa.
"Itulah kalau orang tak pernah membaca syair, kalau orang tidak suka membaca buku. Dan kau menyebut orang orang macam pinto ini sebagai kutu buku."
"Apa maksudmu Siauw giam ong! Benar benarkah ada arti lain dalam syair yang kau baca tadi?"
"Coba kau ingat kembali bunyi syair tadi, Ouw bin cu. Penulisnya menggambarkan keadaan matahari yang mulai tenggelam. Ia katakan bahwa matahari tenggelam jauh di belakang Pulau Seribu dan bahkan jauh di belakang daratan Tiongkok dan gunung Kun lun san! Coba bayangkan, orang yang menulis hal matahari tenggelam itu, kiranya berada di mana" Tentu ia berada di sebelah sana Pulau Seribu, bukan di sebelah sininya seperti kita sekarang berada! Kalau ia berada di sebelah sini, tidak nanti ia mengatakan tentang matahari tenggelam seperti itu, seakan akan daratan Tiongkok dan Kun lun san berada jauh di belakang Pulau Seribu. Nah, oleh karena penulis itu berada di sebelah kanannya Pulau Seribu, tentu saja yang ia maksudkan dengan SEBELAH KANAN Pulau Kura kura itu, bagi kita sekarang adalah pulau yang berada di sebelah KIRI dari Pulau Kura kura!"
Mendengar ini, terbukalah pikiran Ouw bin cu. Otomatis ia menengok ke arah kiri dari pulau yang berbentuk kura kura di mana terdapat banyak sekali pulau pulau besar berjajar, pulau pulau yang banyak pohonnya. Ia menepuk kepalanya dan berkata,
"Ah, besar sekali! Pantas saja aku setengah mati mencari di pulau ke tujuh sebelah kanan itu tidak melihat sesuatu tidak tahunya pulau yang kunaiki itu bukanlah Pulau Tiga Naga! Hayo kita cepat dayung perahu kita ke kiri, Siauw giam ong. Lihat, pulau ke tujuh sebelah kiri itu panjang dan penuh pohon, agaknya subur sekali."
Dengan hati berdebar penuh pengharapan, dua orang tosu itu lalu mendayung perahu menuju ke sebelah kiri pulau yang berbentuk kura kura dan setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di pantai pulau itu. Benar saja, baru di tepi pantai saja sudah nampak pohon pohon yang mengandung buah buah yang enak dimakan, dan pulau itu kelihatan subur sekali. Daun daun pohon kehijau hijauan segar melambai seakan akan mengucapkan selamat datang kepada yang baru tiba.
Dua orang itu lalu menaikkan perahu ke darat, beristirahat sebentar sambil makan buah buahan yang banyak terdapat di situ. Kemudian mereka naik ke pulau itu menuju ke tengah.
Mudah saja bagi mereka untuk mencari gua yang dimaksudkan di dalam gambar peta, karena ketika mereka mendaki bukit kecil yang di tengah pulau, mereka sudah dapat melihat gua dari jauh. Gua ini besar dan depannya atau pintunya berbentuk kepala tengkorak manusia, mulut gua merupakan mulut tengkorak dan puncak bukit kecil merupakan kepalanya. Pohon pohon di atas puncak merupakan rambut sehingga nampak amat mengerikan, seperti tengkorak manusia yang masih ada rambutnya! Dua orang itu tidak dapat menahan gelora bati mereka dan berlari lari menghampiri. Setelah dekat, barulah mereka melihat akar pohon besar melintang di depan gua. Akar ini tiga macam, berwarna putih, kehijauan, dan kehitaman. Karena tuanya akar ini kulitnya berbintik bintik, seperti tubuh naga atau ular besar yang merayap di bukit itu. Pantas saja pulau ini disebut Pulau Tiga Naga, kiranya dari pemandangan yang amat mengerikan inilah! Di kanan kiri gua itu terdapat jurang jurang yang amat curam, bahkan di sebelah kiri gua, jurang itu terus menuju ke laut. Dari tempat itu, nampak air laut bergelombang dan tepi laut yang berbatu karang, amat mengerikan.
"Di sinilah tempatnya!" kata Ouw bin cu terengah engah saking menahan kegembiraan hatinya. Telah berbulan bulan, bahkan mungkin sudah ada setahun, ia menyimpan peta rahasia yang didapatkannya dengan susah payah, bahkan dengan taruhan nyawa. Dan baru sakarang akhirnya ia tiba di tempat yang dimaksudkan oleh peta ini. Sebetulnya yang menarik sekali baginya, bukan semata harta itulah, karena di samping harta pusaka yang tak ternilai harganya, ia mengharapkan akan mendapat peninggalan senjata pusaka ataupun pelajaran ilmu silat tinggi dari pembuat peta yang tak salah lagi tentulah seorang sakti.
"Benar, inilah tempatnya. Mari kita masuk!" kata Siauw giam ong yang juga diam diam merasa girang sekali.
"Gua ini gelap, kita lebih baik membuat obor," kata si muka hitam. Keduanya lalu mencari kayu dan rumput untuk obor. Akan tetapi sebelum menyalakan obor itu, tiba tiba Siauw giam ong berseru kaget dan cepat melompat ke belakang. Dari atas mulut gua itu menyambar turun seekor ular besar yang gerakannya seakan akan seekor ular bersayap saja.
"Kurang ajar," seru Ouw bin cu yang tabah. Cepat ia mencabut pedangnya, lalu bersama Siauw giam ong. ia menyerang ular itu. Ular itu benar benar hebat. Beberapa bacokan dapat ia elakkan dan ia membalas serangan dua orang itu dengan mulut terbuka lebar dan ekor menyabet ke kanan kiri. Akan tetapi, yang ia hadapi adalah tokoh tokoh kang ouw yang berkepandaian tinggi, maka tak lama kemudian, pedang di tangan Ouw bin cu dan golok di tangan Siauw giam ong lelah membacok tubuh ular itu.
Kalau diceritakan sungguh sukar dipercaya. Ketika terkena bacokan pedang dan golok, jelas sekali kelihatan tubuh ular itu pecah pecah kulitnya, akan tetapi sedikitpun tidak mengalirkan darah. Bahkan, ketika dua orang itu mengamuk dengan bacokan bacokan mematikan, tiba tiba tubuh ular itu seperti ada yang menarik ke atas dan tahu tahu lenyap dari situ tak meninggalkan bekas.
Ouw bin cu dan Siauw giam ong saling pandang dengan senjata masih di tangan. Siauw giam ong menjadi hijau mukanya dan Ouw bin cu merasa mulutnya kering.
"Ke mana perginya?" terdengar Siauw giam ong bertanya dengan suara perlahan sekali, seakan akan takut terdengar oleh seseorang.
"Entahlah, mungkin melompat ke dalam jurang." kata Ouw bin cu dengan suara perlahan ngeri dan takut. Mereka berkepandaian tinggi, tak mungkin ular itu dapat pergi tanpa terlihat. Akan tetapi, betul betul ular itu telah "menghilang!"
"Silumankah dia....?" tanya Siauw giam ong sambil memandang ke kanan kiri.
"Sudahlah, jangan pikirkan yang bukan bukan. Lekas kita bekerja," kata Ouw bin cu. Mereka lain menyalakan obor dan masuk ke dalam gua itu yang tidak begitu dalam dan alangkah kaget tercampur girang hati mereka ketika melihat sebuah peti besar di tengah tengah gua.
"Harta itu...." bisik Siauw giam ong. Tanpa banyak kata kata lagi mereka lalu mengangkat peti itu keluar dan ternyata peti itu berat sekali. Kalau saja hati mereka tidak begitu penuh oleh rasa girang yang luar biasa, tentu mereka akan merasa aneh dan curiga mengapa peti itu diletakkan begitu saja di tengah gua, suatu cara yang aneh bagi orang yang hendak menyembunyikan harta pusakanya.
"Bukalah...." kata lagi Siauw giam ong dengan suara perlahan seperti orang berbisik.
Ouw bin cu terlalu bernafsu untuk segera melihat isi peti sehingga ia tidak mendengar betapa suara Siauw giam ong terdengar menggigil seperti bukan suaranya sendiri yang biasa lagi. Kalau saja ia menengok, tentu ia akan melihat betapa muka yang pucat itu nampak amat aneh, matanya kelihatan bersinar ganjil dan mulutnya, menyeringai buas, sedangkan tangannya meraba gagang golok di punggung.
Pada saat Ouw bin cu membuka tutup peti, tiba tiba Siauw giam ong menyerang dengan bacokan goloknya ke arah leher si muka hitam.
Ouw bin cu adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, maka sebelum golok itu mengenai lehernya, ia telah merasa sambaran angin serangan ini. Ketika itu, ia sedang membungkuk dan kedua tangannya memegang tutup peti yang agak sukar dibuka. Maka alangkah terkejutnya ketika ia merasa sambaran angin serangan golok pada lehernya. Cepat ia melempar diri ke atas tanah sambil menggerakkan kakinya menendang ke arah penyerangnya. Namun betapapun cepat gerakannya, ia masih terlambat dan ia hanya dapat meluputkan lehernya dari bacokan yang akan dapat memutuskan leher. Namun pundaknya masih kena disabet dan terdengar suara keras tanda bahwa tulang pundaknya telah ikut terbabat putus. Bukan main sakitnya, namun Ouw bin cu masih dapat terus menggelundung sambil menendang nendang untuk mencegah lawannya menyerang terus.
Sementara itu, menghadapi tendangan Ouw bin cu tadi, Siauw giam ong berlaku cepat. Karena goloknya telah mengenai pundak, ia tidak takut lagi dan melompat ke belakang membiarkan Ouw bin cu melompat berdiri. Pundak yang terluka adalah pundak kiri, maka kini tangan kanan Ouw bin cu mencabut pedangnya.
"Bangsat hina dina!" makinya sambil menggigit bibir menahan rasa sakit yang menusuk nusuk jantung. "Aku harus membikin mampus orang macam kau!" Tubuh Ouw bin cu menyerang dengan gerakan cepat sekali. Ia sudah menjadi nekat dan sakit hatinya membuat ia buas sekali.
Namun Siauw giam ong berlaku hati hati dan cepat mengelak. Si muka pucat ini lebih cerdik. Ia tahu bahwa dengan pundak terluka hebat, orang muka hitam ini takkan dapat bertahan lama, maka tidak perlu baginya untuk mengadu nyawa mati matian dalam sebuah pertempuran. Kalau ia dapat mempertahankan diri saja, tak lama lagi lawannya akan roboh sendiri.
Akan tetapi pada saat Ouw bin cu sudah mulai lemah dan kepalanya pening karena terlampau banyak mengeluarkan darah dari luka di pundaknya, tiba tiba berkelebat bayangan merah dan ketika bayangan ini menyambar, tubuh Ouw bin cu dan Siauw giam ong terlempar ke belakang dalam keadaan tertotok kaku.
Ouw bin cu yang sudah payah, tak tahu lagi apa yang terjadi dengan dirinya karena ia segera roboh pingsan. Akan tetapi Siauw giam ong roboh dengan sadar dan ia membelalakkan kedua matanya tanpa dapat menggerakkan kaki tangan. Ia telah terkena totokan yang luar biasa sekaji dan kini ia rebah terlentang dengan mata terheran heran seperti melihat setan. Atau lebih tepat lagi, ia merasa melihat seorang bidadari dari sorga tiba melayang turun dari kahyangan. Di hadapannya, berdiri seorang gadis yang paling banyak berusia enambelas tahun, berpakaian kembang kembang merah dan wajahnya bukan main cantik jelitanya. Perawakan gadis itu langsing penuh, tingginya sedang dan pinggangnya ramping sekali membuat tubuh bagian atas dan bawah nampak montok dan penuh. Rambutnya panjang dan hitam bahu, dikuncir dua dan ujungnya diikat oleh sutera hijau. Dua kuncir itu tergantung ke depan melalui lehernya yang panjang dan berkulit putih halus. Wajahnya berbentuk bundar lonjong dengan kening rata dan dagu meruncing, manis sekali. Di atas kening yang halus itu terhias anak anak rambut berjuntai tak teratur, alisnya subur menghitam. Matanya yang bagus menunjukkan kecerdikan luar biasa.
Yang paling menarik adalah bentuk mulutnya yang melintang kecil di bawah hidung yang mancung. Mulut ini terhias bibir yang kecil penuh dan merah seperti dicat. Biarpun kulit bibir itu halus membasah, namun ditarik sedemikian rupa sehingga nampaknya keren, menandakan bahwa pemiliknya herhati teguh dan keras laksana baja.
Dara ini berpakaian baju dan celana sutera berkembang merah dengan potongan yang ringkas mencetak bentuk tubuhnya. Ikat pinggangnya putih, ujungnya tergantung sampai ke lutut. Di pinggang sebelah kiri tergantung sarung pedang yang berukir burung hong, sedangkan pada gagang nya nampak bentuk kepala naga bermata kumala. Sepatunya kecil hitam, kini kedua kaki itu berdiri tegak dan kedua tangannya bertolak pinggang. Alisnya berdiri, lebih heran dari pada marah.
"Eh, yang mana di antara kalian bernama Song Bun Sam yang berjuluk Thian te Kiam ong (Raja Pedang Langit Bumi)?"
Kemudian ia teringat bahwa dua orang itu telah kena ia totok jalan darahnya, mana bisa memberi jawaban" Dan dilihatnya pedang yang tadi terpegang oleh Ouw bin cu, maka cepat ia menghampiri si muka hitam dan menggunakan ujung sepatunya untuk menendang jalan darah tai hwe hiat di punggung Ouw bin cu agar si muka hitam ini terbebas dari totokannya tadi.
"Eh, kaukah Thian te Kiam ong?" tanyanya dengan suara mengandung keraguan. Macam inikah Thian te Kiam ong" Demikian pikirnya tak percaya. Ketika dilihatnya si muka hitam tidak menjawab, ia memandang lebih teliti dan terlihat olehnya luka di pundak si muka hitam itu. Keraguannya membesar dan ia segera menggerakkan tubuhnya ke belakang. Bagaikan sehelai bulu ringannya, ia telah meloncat ke dekat Siauw giam ong dan seperti tadi, ia mengirim tendangan membebaskan totokan yang membuat si muka pucat itu tidak dapat bergerak.
Kini Siauw giam ong Lie Chit terbebas dari pengaruh totokan dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia segera dapat mengerahkan lweekang mengalirkan darahnya kembali, lalu melompat sambil memegang goloknya.
"Setan kurus! Apakah dia ini Thian te Kiam ong?" tanyanya sambil menudingkan telunjuk yang kecil runcing ke arah tubuh Ouw bin cu.
Tentu saja Siauw giam ong Lie Chit sudah kenal dan tahu siapa adanya Thian te Kiam ong Song Bun Sam Si Raja Pedang, karena siapa di antara orang kang ouw yang tidak mengenalnya atau sedikitnya mendengar nama tokah persilatan yang di juluki Raja Pedang itu. Ia mengira bahwa nona ini tentu ada hubungan dengan Thian te Kiam ong, maka ia tidak berani mendusta dan menjawab sejujurnya, "Bukan, dia adalah Ouw bin cu Tong Kwat dan pinto (aku) adalah Siauw giam ong Lie Chit."


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa ingin tahu namamu?" bentak nona itu dengan ketus.
Marahlah Siauw giam ong melihat sikap dara ini. Biarpun tadi ia sudah merasakan kelihaian nona ini namun tadi la diserang dengan tiba tiba selagi menghadapi Ouw bin cu. Masa ia kalah oleh dara yang baru belasan tahun usianya" Pula, seperti telah dituturkan, Lie Chit adalah seorang mata keranjang, maka kini menghadapi seorang dara muda yang demikian cantik jelita, tentu saja hatinya menjadi tidak karuan rasanya! Ia lalu memberanikan diri dan tertawa.
"Ha, ha, nona! Mengapa kau begitu galak" Aku Siauw giam ong biarpun tidak sebesar Thian te Kiam ong namaku, namun tidak ada orang kang ouw yang tidak mengenalku. Sebaiknya kau bersikap sopan dan manis kepadaku dan mengatakan siapa sebetulnya kau ini yang hidup di dalam pulau kosong !
"Tutup mulut dan rebahlah !" bentak dara ini dan seketika itu juga tubuhnya sudah berkelebat dan jari tangannya yang runcing halus itu menyerang ke arah iga kiri Lie Chit merupakan serangan tiam hoat (ilmu menotok jalan darah) yang berbahaya.
Namun Siauw giam ong Lie Chit bukan seorang lemah. Cepat ia dapat mengelak dan membalas serangan nona itu dengan membabatkan goloknya ke arah kedua kaki nona baju merah itu dengan cepat sekali. Namun, sekali dara itu melompat ke atas, tiba tiba tubuhnya lenyap dan Lie Chit merasakan sambaran angin dari belakangnya, ia cepat mengelak dan memutar tubuh sambil mengayunkan golok membabat ke belakang. Ternyata bahwa nona itu telah berada di belakangnya. Gerakan ginkang sehebat ini belum pernah ia lihat seumur hidupnya. Ia sendiri terkenal sebagai seorang ahli ginkang yang pandai, akan tetapi, dibandingkan dengan nona ini, ia ternyata kalah jauh.
Sebagai tokoh Go bi pai, ilmu golok dari Siauw giam ong Lie Chit cukup lihai dan kini ia memainkan ilmu golok yang paling cepat. Yang dipegangnya kini kelihatannya bukan golok lagi, karena senjata itu telah berubah menjadi sinar putih yang bulat dan menyambar nyambar seperti segulung api. Ia melihat dara baju merah itu masih saja belum mencabut pedang dan melayaninya dengan tangan kosong, maka Lie Chit merasa penasaran sekali dan juga yakin bahwa ia tentu akan menang. Tak mungkin seorang dara demikian muda dapat melayaninya dengan tangan kosong. Jago jago di dunia kang ouw tidak ada yang sanggup menghadapi goloknya dengan tangan kosong saja.
Kalau tadi Siauw giam ong Lie Chit masih belum mau menyerang sungguh sungguh karena sayang akan kecantikan dara ini, sekarang setelah maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan yang lihai, ia menyerang dengan sungguh sungguh dan kalau perlu akan dibunuhnya gadis ini. Namun ia kecele benar benar. Gadis itu tidak takut sama sekali menghadapi sambaran goloknya, bahkan nampak bibirnya yang manis tersenyum senyum mengejek dan tiba tiba tubuhnya lenyap berobah menjadi bayangan merah yang luar biasa sekali gesitnya. Bayangan merah ini dengan gerakan yang mentakjubkan menyelinap di antara gulungan putih dari golok Siauw giam ong dan ke mana saja Siauw giam ong menyerang, selalu goloknya makan angin.
"Anjing berpenyakitan, lepaskan golokmu yang menjemukan!" tiba tiba gadis itu berseru dengan suara nyaring dan entah bagaimana Siauw giam ong tidak tahu, akan tetapi seketika itu juga, ia merasa pergelangan tangannya yang memegang golok sakit sekali dan goloknya terlepas dari pegangan terus terlempar jauh ke tengah udara.
Dengan bengong Siauw giam ong melihat betapa dara itu meraba pinggangnya dan tahu tahu berkelebat sinar hijau ketika gadis itu mencabut pedangnya. Pada saat goloknya yang tadi terlempar ke atas itu melayang turun, gadis itu menggerakkan pedang ke arah golok. Terdengar suara "traang! traang....!" empat kali dan goloknya terbabat putus menjadi lima potong seakan akan terbuat daripada batang pohon bambu muda saja.
Siauw giam ong diam diam bergidik ngeri. Kalau tadi gadis itu menghadapinya dengan pedang di tangan, agaknya tubuhnyapun akan terpotong potong seperti goloknya. Ia berdiri bengong dan memandang kepada nona itu dengan kagum dan timbul rasa takutnya.
"Angkat si muka hitam itu dan ikut aku !" Gadis itu memberi perintah kepada Siauw giam ong dengan pandang mata mengancam sambil menyimpan kembali pedangnya yang mengeluarkan sinar hijau.
Siauw giam ong Lie Chit telah mati kutunya. Ia maklum bahwa ia menghadapi seorang gadis luar biasa yang memiliki kepandaian aneh dan jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Tiada lain pilihan baginya kecuali mentaati perintah ini, maka ia lalu membungkuk dan memanggul tubuh Ouw bin cu Tong Kwat yang masih pingsan di atas pundaknya.
"Hayo jalan ke sana !" Gadis baju merah itu menunjuk ke puncak bukit di sebelah belakangnya, yakni yang berhadapan dengan bukit gua tengkorak itu. Siauw giam ong menurut dan berjalan perlahan ke arah tempat yang ditunjuk, sedangkan nona ini berjalan di belakangnya.
Dengan tangannya, Siauw giam ong Lie Chit sambil berjalan, mencoba untuk membetulkan tulang pundak Ouw bin cu yang tadi terputus oleh goloknya. Ia ingin menolong bekas lawan ini, karena dalam keadaan bahaya seperti sekarang ini, jauh lebih baik mempunyai kawan senasib daripada hanya seorang diri saja menghadapi bahaya yang lebih hebat dan mengerikan.
Tak jauh mereka berjalan, sampailah Siauw giam ong di depan sebuah pondok kayu yang berdiri di puncak bukit kecil itu.
"Suhu, umpan kita bukan dapat memancing ikan hiu seperti yang kita harapkan, melainkan dua ekor tikus busuk yang datang!" Gadis baju merah itu berseru ke dalam pondok.
"Sayang...." terdengar suara dari dalam pondok dan sebelum gema suara ini lenyap, orangnya tahu tahu telah muncul di depan pintu. Ketika Sianw giam ong melihat orang ini, ia menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga mukanya yang pucat menjadi hijau. Orang yang disebut suhu (guru) oleh gadis yang cantik jelita itu, benar benar merupakan penglihatan yang amat mengerikan. Dia seorang kakek yang sudah tua sekali, tubuhnya panjang, tak dapat disebut tinggi karena tubuh itu bongkok sekali seakan akan patah pada bagian pinggangnya dan membungkuk ke depan sehingga lebih tepat disebut panjang daripada tinggi. Kalau dilihat, tubuhnya ini seperti seekor naga yang sebagian tubuh belakang tersembunyi di dalam tanah dan hanya kelihatan kepala dan lehernya saja. Tubuh itu kurus sekali, nampak tulang tulangnya, tertutup oleh kain kuning yang dililitkan sampai ke leher dan di bawah ampai di lututnya. Kakinya hanya sebuah, yakni yang kiri, karena yang kanan hanya sampai di paha. Pipi sebelah kanan lenyap dan bolong, nampak giginya yang tinggal tulang tulang itu, sungguh mengerikan. Muka ini menjadi setengah muka juga setengah tengkorak, seakan akan menjadi lambang bahwa ia berada di antara mati dan hidup. Tangan kirinya memegang tongkat bambu yang dipergunakan untuk menunjang tubuhnya yang sudah tidak sempurna lagi. Namun kedua matanya yang kecil itu masih amat tajam dan mengeluarkan sinar berpengaruh sekali.
Siauw giam ong benar benar merasa heran. Bagaimana orang setengah mayat ini bisa menjadi guru dari dara jelita yang amat lihai itu" Mungkin orang yang hampir mampus ini dapat memiliki kepandaian tinggi"
"Hayo kau berlutut!" Tiba tiba Siauw giam ong mendengar bentakan gadis itu dari belakangnya.
Kalau saja ia disuruh berlutut di depan gadis itu, agaknya Siauw giam ong akan suka menurut biarpun dengan hati merasa segan. Akan tetapi berlutut di depan manusia setengah mayat tiada guna ini" Ia merasa mendongkol sekali dan hal ini ia anggap sebagai hinaan besar. Lie Chit, Malaikat Maut Kecil yang di dunia kang ouw sudah membuat banyak orang menjadi ketakutan, yang dihormat dan banyak orang berlutut di depannya, kini harus berlutut di depan seorang kakek yang sudah hampir mati"
Melihat keayalannya, gadis baju merah yang berdiri di belakangnya lalu menggerakkan tangan ke arah kakinya sambil membentak lagi.
"Berlutut kau!"
Siauw giam ong merasa angin menyambar belakang lututnya. Ia hendak menggerakkan kaki mengelak, namun sia sia karena ia merasa kedua lutut kakinya lemas dan tanpa dapat dicegah lagi ia lalu jatuh berlutut dan tubuh Ouw bin cu Tong Kwat yang tadi dipondongnya jatuh terlepas dan rebah di depannya. Kini Ouw bin cu si muka hitam itu siuman dari pingsannya dan meringis kesakitan sambil bangun duduk dan memandang ke kanan kiri! Melihat Siauw giam ong di dekatnya dan si muka pucat ini berlutut di depan seorang kakek yang menakutkan dan di belakang mereka berdiri seorang gadis cantik jelita yang sikapnya amat galak, Ouw bin cu lupa akan sakit di pundaknya saking herannya.
"Eh, Siauw giam ong, di manakah kita sekarang ini" Dan siapakah locianpwe (sebutan untuk orang pandai yang lebih tua atau tinggi tingkatnya) dan nona ini?"
Kakek tua renta itu tertawa dan suara ketawanya mendirikan bulu tengkuk dua orang tosu itu. Suara ketawa ini terdengar kasar dan parau, terkekeh kekeh seperti suara burung mayat (burung gagak).
"Ha ha, kek kek kek, kak kak kak....! Cu ji (anak Cu), biarpun Thian te Kiam ong Song Bun Sam tidak datang, akan tetapi kedatangan dua orang ini cukup baik dan menguntungkan. Kita butuh pelayan dan mereka ini cukup baik untuk menjadi pelayan di Sam liong to. Siapakah nama mereka?"
"Si muka hitam itu adalah Ouw bin cu Tong Kwat dan si muka pucat ini bernama Siauw giam ong Lie Chit, demikian pengakuan si muka pucat, suhu," jawab gadis itu.
"Cukup baik, cukup baik!" kakek itu mengangguk anggukkan kepalanya yang sudah rontok semua rambutnya itu. "Cukup baik untuk menjadi pelayan kita."
Adapun Ouw bin cu Tong Kwat yang mendengar ini, menjadi marah sekali. Ia melompat berdiri dan berkata, "Siapakah kalian ini" Sampai di mana kehebatanmu maka berani sekali menghina Ouw bin cu?""
"Bangsat, kau sudah bosan hidup?" gadis itu membentak dan melangkah maju dengan tangan terkepal.
"Jangan, Cu ji, kita butuh tenaganya," kakek tua itu mencegah muridnya, kemudian sambil tertawa tawa ia menghadapi Ouw bin cu yang sedang marah. "Kau ingin mencoba kelihaian orang yang dahulu belasan tahun yang lalu disebut Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu" Nah, kaupeganglah tongkat ini!" Sambil berkata demikian, kakek tua renta ini mendekatkan ujung tongkat bambunya kepada Ouw bin cu.
Ouw bin cn Tong Kwat dan Siauw giam sng Lie Chit terkejut bukan main mendengar nama Lam hai Lo mo (Setan Tua Laut Selatan) yang belasan tahun yang lalu menjadi seorang tokoh luar biasa di samping empat orang tokoh besar yang lain. Akan tetapi, bukankah dikabarkan orang di dunia kang Ouw bahwa Lam hai Lo mo telah tewas"
Ouw bin cu yang masih penasaran dan tidak percaya, segera memegang ujung tongkat bambu itu dengan tangan kanan lalu mengerahkan tenaga untuk membetotnya. Akan tetapi baru saja ia memegang tongkat itu, ia menjerit karena terasa betapa dari telapak tangannya itu mengalir hawa yang panas dan gatal gatal yang menjalar terus melalui lengannya dan membuat seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit sakit bukan main hebatnya. Ia berusaha untuk melepaskan tongkat itu, namun benar benar aneh dan hebat. Telapak tangannya yang memegang ujung tongkat itu, seakan akan telah menjadi satu dengan tongkat, menempel demikian eratnya, tak mungkin dilepaskan lagi. Sementara itu, rasa sakit dan panas makin menghebat sehingga tak tertahankan lagi, Ouw bin cu berteriak teriak minta ampun. Sambil tertawa bergelak, kakek itu menarik kembali tongkatnya dan Ouw bin cu dengan tubuh lemas lalu menjatuhkan diri berlutut.
Juga Siauw giam ong kini tidak ragu ragu lagi bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti, sungguhpun ia masih meragukan apakah benar benar kakek aneh ini adalah Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, maka iapun berlutut mengangguk anggukkan kepalanya
"Apakah kalian suka menjadi pelayanku?" tanya Seng Jin Siansu.
"Teecu suka sekali," jawab Ouw bin cu karena selain takut untuk membantah, juga ia mengharap untuk dapat menjadi murid dan menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari kakek sakti ini.
"Teecu bersedia kata," Siauw giam ong pula.
"Bagus! Kalian harus bekerja baik baik dan jangan khawatir, aku mengerti apa keinginan orang orang seperti kalian ini. Kalau sudah tiba masanya aku kembali ke tempat asal, kalian boleh kembali ke daratan Tiongkok, membawa banyak emas dan juga mungkin sekali sedikit kepandaian dariku. Kalian harus menjaga dan membantu kami di pulau ini, dan harus menurut segala petunjuk dari muridku Ong Siang Cu ini."
Dua orang tosu itu mengangguk angguk dan menyatakan taat. Kemudian Lam hai Lo mo lalu memberi obat kepada Ouw bin cu untuk merawat pundaknya yang terputus tulangnya. Setelah kini menjadi pelayan dari kakek sakti dan nona baju merah yang lihai itu, Ouw bin cu Tong Kwat dan Siauw giam oug Lie Chit menjadi akur dan mereka melupakan permusuhan yang timbul di antara mereka karena berebut harta pusaka di Pulau Sam liong to. Bahkan mereka kini merasa menjadi saudara seperguruan dan menurut tingkat usia mereka Ouw bin cu menjadi suheng (kakak seperguruan) dan Siauw giam ong manjadi sute (adik seperguruan). Benar saja, mereka mendapat bimbingan dan pelajaran ilmu silat dari kakek sakti itu dan dalam beberapa bulan saja kepandaian mereka telah meningkat hebat sekali.
Namun, mereka tidak berani menyebut saudara seperguruan kepada Siang Cu, nona baju merah yang tetap saja jauh lebih lihai dari mereka. Mereka menyebut nona cantik ini dengan sebutan Siocia (nona) dan terhadap Siang Cu mereka amat menghormat. Bahkan Siauw giam ong yang mata keranjang, kini sudah kapok dan tidak berani bersikap kurang ajar kepada Siang Cu lagi.
Siapakah sebenarnya kakek sakti itu" Dan siapa pula muridnya, gadis cantik luar biasa yang lihai itu" Dan mengapa mereka berada di atas Sam liong to, pulau kosong yang terpencil"
Kakek itu memang bernama Seng Jin Siansu dan berjuluk Lam hai Lo mo (Iblis Tua Laut Selatan), seorang tokoh persilatan yang tidak saja amat tinggi ilmunya, akan tetapi juga amat sakti dan pandai ilmu hoat sut (sihir). Ia memiliki watak yang amat jahat, pendeknya segala macam kejahatan menjadi kesukaannya.
Belasan atau puluhan tahun yang lalu, Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu terkenal sebagai seorang di antara lima tokoh besar dunia persilatan yang menjagoi di daerah persilatan. Kemudian atas kejahatannya yang dibantu oleh tokoh besar kedua yakni Pat jiu Giam ong (Raja Maut Tangan Delapan) Liem Po Coan seorang yang menjadi sute nya sendiri. Lam hai Lo mo bentrok dengan tokoh tokoh besar yang lain.
Pertempuran hebat terjadi, dan akhirnya Lam hai Lo mo dikalahkan oleh seorang pendekar muda yang bernama Song Bun Sam, murid dari tokoh tokoh besar yang lain, yang telah dapat mewarisi ilmu ilmu silat tinggi dan terutama sekali ilmu pedang sakti dari Bu tek Kiam ong ( Raja Pedang Tiada Taranya). Dalam pertempuran mati matian di pinggir Sungai Huang ho, Lam hai Lo mo kalah dan akhirnya ia ditendang masuk ke dalam sungai oleh lawannya. Semua orang mengira bahwa ia telah mati dimakan ikan liar yang banyak terdapat di Sungai Huang ho itu, karena tubuhnya tidak muncul lagi dan air menjadi merah.
Akan tetapi, biarpun tubuhnya sudah lemah dan tendangan itu dilakukan oleh seorang yang memiliki kepandaian tinggi, agaknya akan percuma ia Seng Jin Siansu mendapat julukan Iblis Tua Laut Selatan kalau ia binasa di dalam air. Sesuai dengan julukannya sebagai iblis laut, ia amat pandai ilmu bergerak di dalam air. Ketika tubuhnya terguling ke dalam air, ia bergulat mati matian sambil menyelam ke dasar sungai yang amat dalam.
Ikan air sebangsa ikan hiu itu mengejarnya. Dengan kepandaiannya, Lam hai Lo mo selalu dapat menghindarkan diri dari terkaman ikan. Namun tubuhnya memang sudah lemah dan kalau ia melanjutkan pergulatan itu, tentu akhirnya ia akan kehabisan napas. Sambil mengelak terus, ia membiarkan dirinya terbawa oleh aliran air sungai, dan terus ia dikejar oleh ikan itu.
Agaknya nasib memang sedang malang baginya, atau mungkin juga karena dosanya sudah terlalu banyak maka ia harus mengalami penderitaan sebagai hukuman. Satelah terbawa jauh oleh aliran air Sungai Huang ho, akhirnya ia berani muncul ke permukaan air, namun tak mungkin baginya untuk mendarat karena ia masih berada di bagian sungai yang tepinya terdiri dari batu batu karang yang amat tinggi. Terpaksa ia berenang lagi mengikuti aliran air dengan ikan liar masih saja mengikutinya.
Lam hai Lo mo tidak khawatir lagi karena ia hanya menanti sampai ia terbawa pada bagian yang tepinya rendah sehingga ia dapat mendarat dengan selamat. Adapun serangan ikan liar yang hanya seekor itu masih dapat selalu dielakkannya dengan mudah.
Akan tetapi, pada waktu ia tiba di bagian sungai yang tepinya rendah dan hatinya sudah mulai girang, tiba tiba air bergelombang dan muncul beberapa ekor ikan liar lain yang memburu ke arahnya.
"Celaka...." keluhnya dan secepat tenaganya mengijinkannya, ia berenang ke pinggir. Namun ikan itu lebih cepat lagi dan sebelum Lam hai Lo mo tiba di tepi, ia telah diserbu.
Kakek ini menggerakkan kaki tangannya, memukul dan menendang. Namun gerakan ikan itu membuat air bergelombang dan menjadi keruh sehingga matanya tak dapat melihat lagi. Tiba tiba ia merasa mukanya sakit sekali karena pipinya tergigit oleh seekor ikan. Ia memukul kepala ikan itu dan cepat berenang ke pinggir.
"Aku harus memberi makan ikan ikan itu, kalau tidak aku akan tewas," pikirnya. Maka ia cepat menyambar dan Lam hai Lo mo merasa kaki kanannya sakit dan perih. Ternyata bahwa kaki kanannya sebatas paha telah putus digigit ikan.
Benar saja, setelah paha itu dapat disambar ikan, terjadilah keroyokan dan perebutan, memperebutkan kaki manusia yang gurih itu. Adapun Lam hai Lo mo sendiri tidak mau melewatkan kesempatan ini. Cepat ia berenang dengan sebelah kaki dan kedua tangan ke tepi dan akhirnya dapat mendarat dengan selamat, ia tiba di darat dan jatuh pingsan.
Dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaan Lam hai Lo mo. Ketika ia siuman kembali, sebelah kaki kanannya telah hilang dan pipi kanannya juga telah habis sehingga bolong dan kelihatan tulang rahang dan giginya. Ia berada dalam keadaan setengah mati, atau lebih hebat dari itu. Tujuh bagian tubuhnya telah mati dan hanya tinggal tiga bagian saja yang hidup. Namun ia mempergunakan sisa tenaganya untuk bertahan hidup terus, ia mengerahkan tenaga untuk menotok jalan darah di pangkal pahanya agar darah berhenti mengalir keluar dan menyelamatkan nyawanya.
Kemudian, sambil menyeret kakinya, ia mencari daun obat obatan untuk mengobati luka di paha dan di pipinya. Setelah melewati puluhan hari dalam keadaan amat sengsara, terserang penyakit panas yang membuatnya pingsan berhari hari dan menderita kelaparan yang hampir merenggut nyawanya, akhirnya ia selamat dan sembuh kembali dalam keadaan bercacad.
Hatinya penuh dendam. Ia ingin mempergunakan sisa hidupnya untuk membalas dendam itu. Terutama, orang yang paling dibencinya adalah pemuda Song Bun Sam pendekar muda yang telah mengalahkannya. Ia bersumpah untuk membunuh pendekar ini dan membasmi keluarganya. Orang ke dua yang akan dibalasnya adalah Kim Kong Taisu pertapa di Bukit Oei san, seorang di antara lima tokoh besar atau guru pertama dari pendekar muda Song Bun Sam itu. Kemudian masih ada lagi seorang yang dibencinya, yakni Mo bin Sin kun (Kepalan Sakti Muka Iblis), seorang di antara lima tokoh besar atau guru ke dua dari Song Bun Sam. Wanita sakti Mo bin Sin kun inilah yang menendangnya sehingga ia terlempar ke dalam Sungai Huang ho di mana hampir saja ia menemui maut.
Di dalam hatinya, ia bersumpah untuk membasmi orang orang ini atau murid murid mereka dan keluarga mereka tentu mereka takkan mau melepaskannya sebelum ia mati. Ia tahu bahwa kebencian mereka terhadap dia mengimbangi kebenciannya terhadap mereka. Untuk menghindarkan diri dari mereka, Lam hai Lo mo lalu membuat sebuah perahu dan kemudian berlayarlah dia menurutkan aliran Sungai Huang ho menuju ke laut.
Setelah memilih milih, akhirnya ia tiba di sebuah pulau kosong di antara pulau seribu, dan menjadikan pulau yang subur ini sebagai tempat tinggalnya. Alangkah girangnya ketika di pulau ini secara tak disengaja, ia menemukan sebuah gua di mana terdapat peti terisi emas permata dan juga pada dinding gua itu ia mendapatkan ukiran ukiran yang ternyata adalah pelajaran ilmu pedang yang lihai sekali. Dilupakannya akan kesengsaraannya dan dengan tekun ia melatih diri dan mempelajari ilmu pedang itu. Biarpun kakinya tinggal sebelah akan tetapi setelah mempelajari ilmu pedang ini, Lam hai Lo mo bahkan lebih lihai daripada sebelum ia menjadi penderita cacad.
Kemudian ia merasa amat kesepian dan di samping ini, iapun merasa dirinya sudah terlalu tua. Timbul kegelisahan di dalam hatinya. Bagaimana ia dapat menuntut balas kepada musuh musuhnya kalau dia sudah mendekati kematian karena usia tua" Ia harus mendapatkan seorang murid yang berbakat. Sayang sekali muridnya yang bernama Gan Kui To telah mati lebih dulu sebelum dapat mewarisi semua kepandaiannya.
Setelah berpikir pikir, akhirnya ia mengambil keputusan tetap dan berlayarlah Lam hai Lo mo ke daratan Tiongkok untuk mencari murid. Secara sembunyi sembunyi ia tiba di kota raja dan diam diam memasuki taman istana, karena kakek aneh ini hendak memilih murid seorang keturunan bangsawan tinggi. Ia tidak sudi mempunyai murid anak orang biasa saja dianggapnya terlalu rendah. Memang, biarpun sudah amat tua, sifat sombong masih saja mengeram di dalam sanubari kakek ini.
Di dalam istana itu tinggal bersama kaisar, seorang pangeran yang kini menduduki pangkat raja muda dan bernama Kian Tiong. Raja Muda Kian Tiong orangnya tampan dan ramah tamah, pandai bun bu (ilmu sastera dan silat). Isterinya seorang puteri Bangsa Semu yang cantik jelita dan bermata biru, juga pandai memainkan senjata siang kiam (sepasang pedang). Juga puteri yang menjadi isteri Raja Muda Kian Tiong ini amat ramah tamah dan berbudi baik, namanya puteri Luilee. Yang amat menarik hati adalah mata puteri ini yang berwarna kebiruan dan berbentuk amat indahnya.
Kebetulan sekali, pada malam hari itu Raja Muda Kian Tiong beserta isteri dan puterinya yang baru berusia lima tahun, sedang bersenang senang di dalam taman. Bulan terang sekali dan bunga bunga di taman berkembang. Para pelayan sibuk melayani keluarga bangsawan tinggi ini. Dalam kesempatan ini, Raja Muda Kian Tiong bertukar sajak dengan Luilee isterinya yang ia cinta. Sinar bulan yang adem dan tenang membangunkan cinta kasih mereka dan tidak mengherankan apa bila suami isteri yang telah punya puteri dan telah menikah kurang lebih enam tahun lamanya ini, pada malam hari itu bertukar pandang mata penuh kemesraan, tidak kalah oleh pandang mata ketika mereka masih bertunangan dahulu. Untuk sejenak mereka lupa kepada puteri mereka yang berlari lari ke sana kemari, memetik bunga dan bermain main dengan inang pengasuhnya. Pelayan pelayan lain membunyikan tetabuhan perlahan dahan yang menambah keindahan suasana.
Kemudian, puteri mereka yang mungil dan lincah itu disuruh menari. Memang Luilee sendiri adalah seorang ahli tari yang pandai maka tentu saja ia mengajar anaknya menari. Sebagai keturunan orang orang yang suka akan kesenian, ternyata puteri cilik ini memiliki gerakan yang halus dan lemas, sehingga ketika ia menari, seakan akan ia menjadi seorang bidadari kecil.
Tak seorangpun di antara mereka mengetahui bahwa ada sepasang mata sipit yang memandang ke arah puteri cilik itu dengan penuh kegembiraan. Inilah mata dari Lam hai Lo mo yang sudah semenjak tadi mengintai dari balik batang pohon.
Setelah puteri cilik itu selesai menari bertepuk tanganlah semua orang, termasuk Raja Muda Kian Tiong dan Luilee, ayah dan ibu anak itu yang merasa amat bangga. Akan tetapi, tiba tiba tepuk tangan berhenti dan semua orang memandang ke pada kakek yang tiba tiba muncul itu dengan mata terbelalak. Terdengar jerit jerit kecil dari para pelayan yang merasa ngeri menyaksikan keadaan kakek buntung yang menyeramkan itu.
Lam hai Lo mo datang terpincang pincang dengan tongkat di tangannya, langsung menghampiri puteri cilik yang dikaguminya.
Kalau semua pelayan merasa ngeri, tidak demikian dengan puteri cilik itu. Melihat seorang kakek pincang menghampirinya, ia menyambut sambil tertawa dan bertanya
"Orang tua, kakimu yang kanan di manakah?"
"Dimakan iblis!" Jawab Lam hai Lo mo sambil tertawa. "Anak manis, kau patut menjadi muridku. Hayo kau ikut suhumu!" Sambil berkata demikian, ia menarik keluar sehelai saputangan putih dan sekali ia mengebutkan saputangan itu ke arah puteri cilik tadi puteri itu mencium bau harum sekali lalu tubuhnya lemas dan roboh seperti orang pingsan atau orang tidur. Lam hai Lo mo menyambar tubuh itu dan memondongnya dengan tangan kiri.
Bukan main gegernya keadaan di dalam taman. Para pelayan menjerit dan berlari ke sana ke mari. Kian Tiong lalu melompat mendekati kakek itu dan berseru marah, "Setan kurang ajar. Kembalikan anakku !"
Juga Luilee sudah melompat dekat dan mengulur tangan untuk merampas anaknya, akan tetapi sekali saja Lam hai Lo mo menangkis, tubuh Luilee terlempar jauh.
"Bangsat, kau harus mampus!" bentak Kian Tiong yang segera menyerang dengan tangannya. Memang pada waktu itu, raja muda ini tidak memegang senjata, demikian pula Luilee.
Luilee yang jatuh, segera melompat bangun lagi dan melihat suaminya menyerang kakek itu, iapun lalu membantu.
Akan tetapi, mana bisa sepasang suami isteri bangsawan ini menghadapi Lam hai Lo mo yang berkepandaian tinggi sekali" Dalam beberapa gebrakan saja, dengan tongkatnya Lam hai Lo mo menghantam kepala Kian Tiong sehingga raja muda ini roboh dengan luka berat sekali di kepalanya, sedangkan Luilee yang nekad telah tertusuk dadanya oleh ujung tongkat sehingga tewas pada saat itu juga. Para pelayan ribut dan banyak di antara mereka menjadi korban tongkat.
Seri ke 1 Pedang Sinar Emas
Pedang Sinar Emas (Kim Kong Kiam) Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Sumber DJVU : BBSC Convert & Editor : Rif Zyr (thanks)
Fnal edit & pdf Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Jilid XVII MEMANG Lam hai Lo mo sengaja membunuh kedua orang tua anak yang hendak diculiknya agar di kemudian hari tidak mendapat gangguan dan mereka. Membunuh manusia bagi Lam hai Lo mo sama halnya dengan membunuh semut saja!
Pelayan pelayan yang dapat menyelamatkan diri, segera berteriak teriak dan minta tolong. Penjaga segera datang menyerbu namun ketika mereka tiba di taman, bayangan kakek itu sudah tidak ada lagi demikian pula bayangan sang puteri cilik. Terpaksa mereka hanya bisa menolong Raja Muda Kian Tiong dan isterinya yang sudah tewas.
Raja Muda Kian Tiong meninggal dunia tak lama kemudian setelah ia berhasil memaksa diri menulis sehelai surat yang dipesannya kepada para keluarga agar diberikan kepada seorang bernama Song Bun Sam apabila orang itu kebetulan datang menjenguknya. Kalau tidak datang, surat itu supaya disimpan saja! Kemudian meninggallah dia menyusul isterinya yang tercinta.
Malapetaka yang menimpa keluarga Raja Muda Kian Tiong ini tentu saja menimbulkan kegemparan hebat. Kaisar sendiri memberi perintah agar semua pastikan di dalam negeri mencari kakek yang kejam itu. Akan tetapi hasilnya sia sia belaka karena tanpa diketahui oleh seorang pun, Lam hai Lo mo telah membawa puteri cilik itu ke atas pulaunya, pulau kosong yang ia bernama Sam liong to dan yang belum pernah didatangi oleh orang lain. Adapun para pelayan yang menyaksikan peristiwa itu, hanya dapat memberi tahu bahwa penculik dan pembunuh itu adalah seorang kakek berkaki satu dengan wajah mengerikan seperti iblis, lain tidak!
Tidak hanya puteri cilik itu saja yang diculik oleh Lam hai Lo mo, akan tetapi juga sebatang pedang simpanan yang berada di dalam kamar Raja Muda Kian Tiong, dicurinya juga. Pedang ini adalah pedang Cheng hong kiam, pedang pusaka yang amat ampuh dan terbuat dari pada baja hijau.
Dengan kepandaian ilmu sihirnya, Lam hai Lo mo dapat membikin puteri cilik itu lupa akan asal usulnya, bahkan lupa akan namanya sendiri. Lam hai Lo mo memberi nama Ong Siang Cu kepadanya, ia mengambil she (nama keturunan) Ong yang berarti Raja, mengingat bahwa orang tua gadis cilik ini adalah bangsawan tinggi keturunan raja.
Demikianlah, puteri cilik yang sekarang bernama Siang Cu ini hanya tahu dari cerita kakek itu bahwa dia adalah seorang anak yatim piatu yang dipelihara dan diambil murid oleh Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, maka tentu saja ia merasa berterima kasih, sayang dan taat kepada suhunya.
Alangkah girangnya hati Lam hai Lo mo ketika ia mendapat kenyataan bahwa bakat dari anak perempuan ini jauh melampaui dugaan dan harapannya. Siang Cu benar benar memiliki bakat besar sekali dan setelah gadis ini berusia enam belas tahun, kepandaian dari suhunya telah dikurasnya habis! Bahkan di samping ilmu ilmu silat tinggi yang diajarkan oleh gurunya, ia telah pula dapat mainkan ilmu pedang yang didapatkan oleh Lam hai Lo mo di dalam gua! Ilmu pedang ini lalu diberi nama Cheng hong Kiam sut (Ilmu Pedang Burung Hong Hjau), sesuai dengan nama pedang Cheng hong kiam yang dicurinya dari kamar Raja Muda Kian Tiong dan yang kini ia berikan kepada muridnya yang tersayang.
Memang, sebagai seorang sebatangkara yang tak pernah merasai kebaktian dan kesayangan orang lain terhadapnya, biarpun wataknya buruk dan hatinya jahat, akhirnya Lam hai Lo mo jatuh hati nya oleh kebaktian Siang Cu dan ia amat sayang kepada anak ini, bukan saja sebagai murid, bahkan sebagai anak atau cucu sendiri !
Seringkali Lam hai Lo mo membawa murid nya itu mendarat di daratan Tiongkok sehingga gadis cantik ini tidak asing akan kehidupan di dunia ramai. Setelah dewasa gadis ini memiliki kecantikan seperti ibunya sehingga gurunya menjadi makin sayang kepadanya. Diceritakannya kepada murid ini bahwa ia mempunyai musuh besar. Pertama adalah Thian te Kiam ong Song Bun Sam, kedua Kim kong Taisu, dan ke tiga Mo bin Sin kun. Ia minta kepada muridnya agar kelak murid ini suka membalaskan dendamnya.
"Lihat saja kaki dan pipiku serta punggungku, Cu ji. Semua ini adalah akibat dari perbuatan tiga orang itu yang amat keji. Oleh karena itu, kelak kalau aku sudah mati, jangan lupa untuk melakukan pembalasan, terutama sekali kepada Song Bun Sam itu dan keturunannya. Kalau kau mau melakukan itu, barulah tidak sia sia aku bersusah payah memelihara dan mendidikmu."
"Jangan khawatir, suhu. Nama nama itu sudah kucatat di dalam hati. Kalau suhu menghendaki marilah kita berangkat mencari mereka. Serahkan saja kepada teecu yang akan membasmi mereka!" kata Siang Cu bersemangat.
Mendengar ini Lam hai Lo mo tertawa terkekeh kekeh.
"Bagus, semangatmu besar, muridku. Akan tetapi, jangan kaukira bahwa mereka itu adalah orang orang lemah yang mudah dirobohkan begitu saja. Apalagi Thian te Kiam ong Song Bun Sam itu. Ilmu pedangnya hebat sekali karena ia mendapat latihan Ilmu Pedang Tee coan hok kiam hot (Ilmu Pedang Enam Lingkaran Bumi) dan mendiang Bu Tek Kiam ong. Dia ini tidak mudah di kalahkan. Oleh karena itu kau harus berhasil dan aku tidak tega untuk melepasmu menghadapinya. Kita harus menggunakan akal. Song Bun Sam mempunyai banyak kawan yang berkepandaian tinggi, kalau saja kita bisa memancing ia datang....."
Siang Cu adalah seorang gadis yang berotak cerdik sekali. Gurunya mempunyai simpanan buku buku kuno karena memang Seng Jin Siansu dahulunya suka mempelajari kesusasteraan. Dari Gurunya ini Siang Cu belajar membaca dan menulis, bahkan ia suka memperhatikan dan mempelajari tulisan tulisan kuno.
"Mengapa kita tidak memancingnya datang kesini, suhu" Kita bisa membuat peta rahasia tentang pulau ini, menyebutkan bahwa di atas pulau ini terdapat simpanan harta pusaka yang besar. Kalau kita berusaha supaya peta rahasia dengan tulisan kuno itu terjatuh ke dalam tangan Thian te Kiam ong Song Bun Sam, tentu ia akan datang ke sini!"
Lam hai Lo mo girang sekali dan memuji muji kecerdikan muridnya. Mereka berdua lalu membuat peta dan ditulisi dengan huruf huruf kuno dari jaman Hsia. Kemudian Lam hai Lo mo mengajak muridnya mendarat di Tiongkok dan dengan perantaraan seorang tokoh kang ouw yang bernama Coa Kiu, ia minta pertolongan Coa Kiu untuk menyampaikan peta itu kepada Song Bun Sam. Coa Kiu tidak mengenal siapa adanyan Lam hai Lo mo, karena kakek ini sudah berobah sekali bentuk tubuh dan mukanya, akan tetapi setelah menerima banyak emas. Coa Kiu menyanggupi untuk menyampaikan peta itu kepada Thian te Kiam ong yang ia tahu pada waktu itu tinggal di kota Tet le.
"Kauantarkan peta ini kepada Thian te Kiam ong, katakan bahwa kau mendapatkannya dari saku baju seorang kepala rampok yang kau bunuh di dalam hutan. Berikan kepadanya sebagai tanda penghormatanmu kepada pendekar besar itu karena kau sendiri tidak sanggup mengerti isi peta. Ini sekantong uang emas untukmu dan boleh kau ambil kalau kau sudah menyampaikan tugas ini dengan baik. Akan tetapi kalau gagal, awas, aku akan datang lagi, bukan hanya untuk mengambil kembali uang emas, juga untuk mengambil kepalamu yang akan kuhancurkan seperti ini!" Setelah berkata demikian, dengan perlahan Lam hai Lo mo menggunakan tongkat bambunya untuk memukul sebuah batu hitam besar di depan rumah Coa Kiu. Terdengar suara keras dan batu itu hancur!
Ketika Coa Kim memandang dengan muka pucat, ternyata kakek aneh itu bersama nona baju merah yang cantik seperti bidadari, telah lenyap dari depannya tanpa ia ketahui kapan perginya!
Bagaikan patung, Coa Kiu menghadapi peta, kantong uang emas, dan batu yang hancur itu, lalu ia menghela napas dan menggeleng gelengkan kepalanya.
"Celaka! Siang siang aku kedatangan seorang siluman bersama seorang bidadari kahyangan! Akan tetapi tidak apa, tugasku ringan saja dan uang emas ini dapat kupakai untuk membeli rumah dan sawah...."
Seperti juga orang orang kang ouw lainnya, Coa Kiu tentu saja tahu siapa adanya Thian te Kiam ong di Tit le yang namanya sudah menggemparkan kolong langit. Lalu bergegas pergi ke Tit le untuk menyampaikan peta yang terbungkus kain kuning itu.
Coa Kiu adalah seorang bekas piauwsu (pengawal barang ekspedisi) yang sudah banyak pengalaman. Ia dapat menduga bahwa kakek buntung itu tentulah seorang penjahat yang lihai sekali yang berusaha membikin ribut dan tentu mempunyai hubungan dengan Thian te Kiam ong, entah hubungan apa. Ia tidak takut untuk membohong kepada Thian te Kiam ong, karena Thian te Kiam ong Song Bun Sam terkenal sebagai seorang pendekar besar yang murah hati dan budiman. Sebaliknya, ia gemar sekali menghadapi ancaman kakek buntung itu. Maka ia mengambil keputusan untuk melakukan tugas itu sebaiknya, memberikan peta kepada Thian te Kiam ong lalu pergi tidak menghiraukan urusan itu lagi.
Mari kita menengok dulu keadaan pendekar besar Thian te Kiam ong Song Bun Sam di Tit le yang hendak dianjungi oleh Coa Kiu.
Rumah pendekar besar itu adalah sebuah rumah gedung kuno yang kokoh kuat dan nampak angker sekali, sesuai dengan nama penghuninya. Temboknya dikapur putih dan gentingnya tebal dan kuat. Pintu pintu depannya besar dan selalu terbuka daun pintunya, lambang dari tangan yang selalu terbuka dari tuan rumah. Memang, pendekar besar dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam sudah amat terkenal akan kemurahan hati dan kedermawanannya. Siapa saja yang datang, baik orang orang yang berkepandaian tinggi maupun orang biasa saja, selalu diterima dengan ramah dan hormat oleh Song Bun Sam dan keluarganya. Oleh karena itu semua orang menaruh hati segan dan hormat kepada keluarga Song ini, dan di sekitar daerah Tit le tidak ada penjahat berani memperlihatkan mata hidungnya, setiap orang gagah yang kebetulan lewat di daerah ini, tidak ada yang tidak memerlukan singgah untuk beramah tamah sebagai tanda penghormatan kepada Thian te Kiam ong.
Suling Emas 13 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pengejar Nyawa 4
^