Pencarian

Pedang Sinar Emas 2

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Agar jangan terlalu terasa beratnya pekerjaan itu di waktu mereka berangkat lagi ke air terjun memikul pikulan dan tong kosong, Bun Sam mengajak Kui To bercakap cakap.
"Kui to, ingatkah kau kepala Siauw liong" Ia hebat sekali bukan !"
"Naga siluman itu" Kelak kalau aku sudah besar, akan kupukul pecah kepalanya!" kata Ke To sambil cemberut marah karena ia teringat betapa ular itu telah membelit pinggangnya.
"Hush, Kui To. Ular besar itu adalah binatang peliharaan suhu."
"Tidak peduli, kalau dia mengganggu aku, dia menjadi musuhku. Suhu tentu akan membantuku, berat mana murid atau binatang peliharaan?"
Diam diam dari samping, Bun Sam melirik ke arah kawannya ini. Melihat betapa kawannya itu berjalan terpincang pincang, ia merasa geli dan kasihan juga. Ia dapat menduga bahwa kawannya ini selama hidupnya tak pernah bekerja berat dan belum pernah berlatih silat, maka tubuhnya lemah dan tidak kuat bekerja kasar. Hanya semangat dan keberaniannya saja yang benar benar amat mengagumkan. Hal ini harui ia akui, karena biarpun ia sendiri menang tenaga dan sudah berlatih silat, malam tadi sukar baginya untuk memenangkan kawan yang amat bandel dan berani ini.
Sudah empat kali mereka membawa air dari air terjun ke kolam di belakang pondok itu. Kim Bun Sam dapat membawa setengah tong air, sedangkan Kui To dalam malasnya masih saja hanya mengisi tongnya seperempat saja, padahal tongnya itu lebih kecil daripada tong Bun Sam.
"Bun Sam, mengapa suhu dan si gagu itu tidak kelihatan" Alangkah malas mereka itu, matahari sudah naik tinggi masih mendengkur, membiarkan kita anak anak kecil bekerja setengah mampus!"
"Hush, Kui To, jangan kau bicara seperti itu! Juga kau salah sekali kalau menyebut Yap suheng dengan sebutan menghina. Lupakah kau bahwa dia yang menolong nyawa kita berdua" Kalau tidak ada Yap suheng, kau dan aku sudah mati. Pula suhu menyuruh kita bekerja tentu ada maksudnya, baru bekerja seringan ini saja kau sudah mengeluh, apalagi kalau harus mempelajari ilmu silat yang amat sukar dan berat. Jangan jangan baru setengah nya kau sudah tak kuat lagi !"
"Bun Sam, kau selalu memandang rendah kepadaku. Kaukira aku takut kepadamu dan mengaku kalah" Kita sama lihat saja, kawan. Boleh kita lihat kelak, apakah kau yang rajin ini akan dapat memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari padaku."
Melihat Kui To memandang marah dan kedua matanya mengecil, tahulah Bun Sam bahwa kalau menjawab, tentu Kui To akan mencari urusan lagi. Ia tidak mau meladeni kawan yang otak otak an ini, lalu berkata sabar, "Matahari telah naik tinggi, ayoh kita percepat jalan!"
Akan tetapi ketik mereka tiba di tempat air terjun, keduanya menahan tindakan kaki dan berdiri memandang dengan heran. Di tempat itu telah duduk seorang laki laki tua yang bicara seorang diri sambil bersila menghadapi sebuah keranjang kembang. Keadaan orang itu benar benr aneh sekali, ia sudah berusia enampuluh tahun lebih, rambutnya yang putih itu digelung ke aras dan ditusuk dengan sebatang tulang putih. Sepasng matanya selalu melotot sepsrti mata katak yang jarang berkedip. Pakaiannya lebih mengherankan, karena pakaiannya itu terdiri dari celana lebar dan jubah komprang yang kesemuanya terbuat daripada kain berkembang kembang seperti yang biasa dipakai olah orang orang perempuan.
Kui To berjalan mendekat, diikuti oleh Bun Sam yang ragu ragu dan curiga. Keadaan kakek ini benar benar amat menimbulkan curiga dan keheranan. Setelah mereka dekat, ternyata bahwa keranjang yang dihadapi oleh kakek ini, dipasangi tongkat yang berkepala naga dan di atas kepala tongkat ini masih dipasangi sebatang hio (dupa biting) yang mengebulkan asap. Keranjang itu diletakkan di atas tanah dan di tengah tengahnya dipasang sebatang ranting kering yang runcing.
Biarpun kedua orang anak itu sudah berada dekat sekali, kakek itu tidak memperdulikannya, karena agaknya ia sedang asyik sekali bercakap cakap dengan keranjang itu.
"Ha, ha, ha, Lak Mou Couwsu, kau tidak usah penasaran. Ilmu silat ciptaanmu memang hebat dan besar pada zamanmu, akan tetapi sekarang tidak ada gunanya lagi bagimu, apalagi orang orang sekarang yang masih hidup mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi daripadamu! Apalagi aku, Seng Jin Siansu " ha, ha, ha! Jawablah! Lak Mou Couwsu, bagaimanakah cara memecahkan jurus terakhir dari Ilmu silatmu, jurus yang disebut Seng Thian cui siauw (Naik Ke Langit Meniup Suling) itu?"
Tadinya Kui To dan Bun Sam merasa geli dan menganggap bahwa kakek ini tentulah seorang yang miring otaknya. Akan tetapi apa yang mereka lihat selanjutnya mengusir semua rasa geli dan kini mereka memandang ke arah keranjang itu dengan mata terbelalak heran dan terkejut. Ternyata bahwa keranjang itu telah dapat bergerak gerak sendiri di atas tanah. Pada leher tongkat itu diikatkan sehelai kain pengikat kepala yang merupakan dua buah tangan dan kini setelah keranjang itu bergerak gerak, maka kedua lengan dari kain ini juga bergerak seperti lengan orang saja. Anehnya keranjang itu bergeser ke kanan, kiri dengan tetap dan tegap seakan akan mempunyai dua buah kaki yang melangkah dengan sigapnya, sedangkan kedua tangan kain itu bergerak seperti sepasang tangan orang yang bermain silat.
"Terima kasih. Lak Mou Cuowsu, terimakasih. Jadi rahasianya terletak dalam pukulan tangan kiri, ya" Bagus, bagus. Nah, pulanglah, kau Lak Mou Couwsu, aku tidak perlu lagi padamu," kata kakek ini setelah keranjang itu bergerak. Keranjang itu kini diam dan terletak di atas tanah, yang bergerak hanya asap hionya saja yang masih mengebul dan bergerak tertiup angin.
Bun Sam dan Kui To saling pandang, akan tetapi sebelum mereka dapat mengeluarkan ucapan, kakek itu telah menengok dan mamandang kepada mereka. Kalau tadi perhatian kedua orang anak ini dicurahkan kepada keranjang yang bisa bergerak gerak sendiri, kini mereka menatap wajah kakek itu dan diam diam mereka merasa ngeri ketika melihat bahwa kakek itu hanya mempunyai mata sebuah saja. Entah apa yang terjadi dengan mata kanannya, karena tempat di mana mata kanannya seharusnya berada, kini hanya kelihatan hitam dan bundar saja seakan akan matanya yang kanan itu ditutup oleh sepotong kain hitam yang bundar. Akan tetapi matanya yang hanya satu di sebelah kiri itu amat tajam pandangannya dan lebar sekali. Hidungnya bengkok ke bawah dan mulutnya selalu menyeringai seperti orang mengejek. Mukanya kurus sekali, seperti juga tubuhnya yang terbungkus oleh pakaian berkembang kembang itu.
Kakek yang tadi menyebut namanya sendiri sebagai Seng Jin Siansu ini tertawa terkekeh kekeh dan nampak giginya yang hanya tinggal tiga buah di sebelah atas.
"Aha, anak anak kecil memikul tong air di puncak Oei san! Apakah Kim Kong Taisu sekarang sudah malas dan manja, sehingga perlu memelihara dua orang kacung?"....
Mendengar kakek aneh itu menyebut nama gurunya Bun Sam dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang aneh pula yang menjadi sahabat suhunya, maka cepat ia maju dan memberi hormat sambil menjura, lalu menjawab, "Totiang teecu berdua bukanlah kacung atau pelayan dan Kim Kong Taisu, melainkan murid muridnya. Mohon tanya totiang siapakah dan apakah hendak bertemu dengan suhu?"
Akan tetapi, sebagai jawaban, kakek ini tertawa tergelak gelak dan ia nampaknya demikian geli, sehingga matanya yang hanya sebelah itu mengeluarkan air mata.
"Kim Kong si tua bangka memungut dua orang murid" Ha. ha, ha! Dunia sudah hendak kiamat rupanya dan tua bangka itu takut kalau kalau ia mampus membawa pergi kepandaiannya!" Kemudian matanya dengan amat tajam menatap kedua orang anak itu berganti ganti, lalu dengan suaranya yang parau, "Dan kalian mendapat pelajaran memikul air?"
"Kami harus penuhkan kolam di belakang pondok!" kata Kui To dan dari suaranya orang dapat mengetahui bahwa dia merasa jengkel dan tak senang dengan pekerjaan itu.
"Apa susahnya mengisi air di dalam tong saja?" Seng Jin Siansu tertawa. "Lihat!" ia menudingkan jari telunjuknya ke arah sebuah tong yang tadi dipikul oleh Kui To dan tong itu bagaikan dilempar telah melayang ke arah air terjun, selelah penuh lalu melayang kembali ke tempat semula dekat Kui To dan sudah penuh dengan air. Kembali kakek itu tertawa dan empat kali ia menudingkan jari telunjuknya dan empat buah tong itu telah penvh air semua dengan cara yang san.a seperti tadi. yakni dengan mengisi sendiri sampai penuh.
"Kalau aku yang mengisi kata kakek itu sambil tertawa tawa mengejek, "tanpa turun dari puncak kolam itu telah penuh sendiri dengan air."
Tentu saja Bun Sarn dan Kui To melengak dan saling memandang dengan bengong.
"Bagus, bagus! Alangkah senangnya memiliki kepandaian seperti itu. Dan ini" apakah ini totiang?" kata Kui To yang bersorak kegirangan.
"Ini?" Song Jin Siansu menunjuk ke arah keranjang yang dipasangi tongkat dan hio itu. "Dengan keranjang sayur tjoi lan ini, aku dapat memanggil roh roh orang yang sudah meninggal."
Mau tak mau seram juga hati kedua orang anak itu, akan tetapi tiba tiba terdengar Bun Sam berkata, "Aku tidak suka akan ilmu hitam dan sihir!"
Kakek itu menengok ke arah Bun Sam dan matanya yang hanya sebelah berkilat.
"Siapa bilang bahwa ilmuku adalah ilmu hitam, nak?"
"Ayah sering kali bilang bahwa ilmu sihir yang aneh aneh adalah ilmu hitam yang tidak baik. Aku dilarang untuk mempelajari ilmu hitam seperti itu. Totiang, bukan sekali kali teecu menyatakan bahwa kepandaian totiang adalah ilmu hitam, akan tetapi... sesungguhnya memang aneh...."
"Ayahmu bermulut lancing! Siapa namamu, siapa nama ayahmu dan dimana dia?" Ucapan ini dikeluarkan dengan nada marah, akan tetapi Bun Sam tidak merasa takut karena tidak merasa bersalah.
"Teecu bernama Song Bun Sam, ayah bernama Song Hak Gi, akan tetapi ayah telah meninggal...." tiba tiba Bun Sam menahan bicaranya karena sinar mata kakek itu nampak begitu ganjil dan mulutnya menyeringai makin lebar. Ia mendapatkan firasat yang amat tidak enak melihat wajah kakek ini.
"Ha, biarlah aku bicara dengan ayahmu sendiri, hendak kulihat dan kudengar bagaimana pendapatnya tentang ilmu kesaktianku!"
"Jangan, totiang" jangan"!" seru Bun Sam dengan wajah pucat, ia tadi sudah melihat betapa keranjang itu dimasuki oleh roh seorang yang disebut Lak Mou Couwsu oleh kakek ini dan keranjang itu bergerak gerak sendiri. Kini kakek aneh ini hendak memanggri roh ayahnya dan hal ini ia tidak rela. Tidak boleh ayahnya yang sudah meninggal itu diganggu dan dipermainkan orang.
Melihat kakek itu tidak memperdulikan dan mulutnya mulai berkemak kemik dan menghadapi keranjang itu, Bun Sam lalu menubruk maju, hendak merampas keraniang itu sambil berseru, "Totiang, jangan kau main main dengan ayahku".!"
Akan tetapi. Seng Jin Siansu mengulur tangan kirinya dengan jari jari terbuka, ditodongkan ke arah Bun Sam sambil membentak, "Diam kau.... !"
Sungguh aneh. Bun Sam tiba tiba merata seakan akan seluruh tubuhnya kehilangan tenaga dan ia berdiri diam tak mampu bergerak sedikitpun. Ia seperti sebuah patung batu dan hanya dapat memandang dengan panca indera bekerja yang tidak lengkap. Hanya urat urat di seluruh tububnya saja yang tidak dapat ia gerakkan.
Kakek itu melanjutkan doanya dan asap hio bergulung gulung ke atas.
"Song Hak Gi" datanglah" aku panggil padamu, datanglah atas kekuasaan Penjaga Keranjang Sayur yang keramat," Suara kakek ini terdengar amat berpengaruh dan tsk lama kemudian baik Bun Sam yang berdiri seperti patung maupun Kui To yang memandang dengan penuh perhatian, melihat betapa keranjang itu mulai bergerak gerak. Tiba tiba gerakan itu mengeras dan keranjang itu tentu akan terguling kalau tidak cepat cepat dipegang oleh Seng Jin Siansu.
"Song Hak Gi, tak perlu kau melawan. Anakmu bilang bahwa kau melarang dia mempelajari kesaktian yang kumiliki dan kau anggap kepandaianku ini ilmu hitam. Coba jawab, bagaimana pendapat mu" Jangan kau main main, lihat, anakmu akan kujadikan batu kalau kau tidak menjawab sebaiknya." Kembali kakek itu bicara yang ditujukan kepada keranjang itu.
Keranjang itu bergerak gerak ke kanan kiri kemudian miring dan ranting yang berada di tengah tengahnya itu menggurat gurat tanah merupakan huruf huruf yang jelas. Setelah mencoret coret tanah, keranjang itu bergerak gerak keras lagi dan hampir terguling, sehingga kembali kakek itu turun tangan memegangnya, akan tetapi keranjang itu kosong dan ringan, dan kini berdiri tak bergerak kembali.
Dengan peluh membasahi jidatnya, Bun Sam yang belum dapat bergerak itu dapat membaca tulisan itu yang berbunyi singkat : "Ilmu hitam, jahat, Bun Sam tidak boleh mempelajarinya."
Seng Jin Siansu membaca tulisan itu lambat sekali karena kakek ini memang setengah buta huruf, adapun Kui To" yang juga ikul memandang, sama sekali tidak mengerti karena ia tidak pernah belajar membaca.
Ketika Seng Jin Siansu menengok kepada Bun Sam, ia melihat betapa mata anak ini memandangnya dengan menantang, bangga dan juga berani. Diam diam ia menjadi mendongkol sekali, "Kau memang betul, ayahmu keras kepala dan goblok!" katanya dengan uring uringan.
"Totiang, bisakah kau memanggil ayahku?"
Pendeta bermata satu itu kini memandang ke arah Kui To dan nampaknya tertarik melihat anak yang agaknya suka kepada ilmu kepandaiannya ini.
"Apakah ayahmu juga sudah mampus?" tanyanya sambil menyeringai. Tadinya menduga bahwa anak ini seperti Bun Sam, akan menjadi marah, akan tetapi di luar dugaannya, Kui To menjawab.
"Betul, totiang, ayahku sudah mati! Akan tetapi, aku ingin juga mendengar atau melihat pendapatnya tentang ilmu kepandaianmu dan apakah aku boleh mempelajarinya?"
"Sebutkan nama ayahmu!" pendeta itu bertanya cepat.
"Dia bernama Gan Kiat," jawab Kui To menjawab singkat pula.
Kembali asap hio mengebul dan Seng Jin Siansu berkemak kemik membaca mantera dan mengeluarkan kata kata memanggil roh Gan Kiat seperti yang dilakukannya ketika memanggil roh ayah Bun Sam tadi. Tak lama kemudian, keranjang sayur itu tiba tiba bergerak, kini gerakannya tidak karuan, terhuyung huyung ke kanan kiri seperti gerakan orang mabuk.
"Apakah yang datang ini roh dari Gan Kiat" Jawab!" terdengar suara Seng Jin Siansu yang berpengaruh.
Keranjang sayur itu lalu miring dan ranting di tengahnya membuat tulisan di atas tanah yang sudah diratakan oleh kakek itu. Terlihat huruf huruf besar dan terang yang ditulis di atas dengan amat indahnya, tulisan seorang pegawai negeri. Bun Sam yang amat tertarik lalu membaca tulisan itu. Sebaliknya Kui To yang buta huruf lalu berbisik kepadanya. .
"Bun Sam, bacalah keras keras, aku ingin mendengar apa yang ditulis olehnya!"
Karena tulisan itu amat terang, dengan mudah Bun Sam membaca, "Aku memang benar Gan Kiat"
Wajah kakek itu berseri dan kembali ia bertanya dengan suara keras, "Gan Kiat, jawablah bagaimana kalau puteramu menjadi murid Seng Jin Siansu, mempelajari ilmunya yang tinggi dan sakti?"
Kembali ranting di tengah keranjang itu mencoret coret tanah. diikuti oleh suara Bun Sam yang membacanya. "Anak itu boleh belajar apa saja dari siapan juga, aku tidak perduli."
Seng Jin Siansu tertawa tarkekeh kekeh dan keranjang itupun diamlah. Akan tetapi Bun San merasa heran sekali dam lebih terkejutlah anak ini ketika melihat betapa Kui To menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Teecu Kui To mohon menjadi murid Seng Jin Siansu."
"Kui To!" Bun Sam menegur dengan suara keras. "Apakah kau sudah gila" Kau sudah menjadi murid suhu kita, Kim Kong Taisu. Bagaimana kau dapat mengangkat totiang ini sebagai gurumu tanpa persetujuan suhu?"
"Siapa sudi menjadi murid tosu tua yang tak berguna itu" Siapa sudi diberi pelajaran memikul air sampai tulang pundak rasanya. hampir patah" Tidak, aku tidak mau menjadi muridnya!" jawab Kui To dengan suara menantang.
"Ha, ha, ha, ha! Bagus, bagus! Inilah suara laki laki sejati. Aku suka padamu, kau boleh menjadi muridku, Kui To!" kata Seng Jin Siansu tertawa bergelak gelak dan matanya yang hanya sebelah itu bersinar sinar gembira.
"Tidak boleh Kui To diambil murid tanpa izin suhu."
Kakek itu menahan ketawanya dan memandang kepada Bun Sam dengan heran. "Apa" Siapa melarangnya" Kau ?"
"Ya, totiang. Akulah yang melarangnya dan aku berhak melarang, karena Kui To adalah saudara seperguruanku. Aku tidak rela melihat saudara seperguruanku dibawa sesat dan mempelajari ilmu yang jahat dan rendah."
"Bun Sam, kau perduli apa?" Kui To berseru keras "Aku tidak sudi menjadi saudaramu dan kau tidak boleh mencampuri urusanku. Ayoh pergi kepada gurumu! Ayoh kaulanjutkan pekerjaanmu mengisi kolam, jangan kauperdulikan aku. Pergi!" Sambil membentak bentak Kui To menghampiri Bun Sam dengan dan tangan terkepal dan dengan sikap hendak menyerang.
"Kui To, kau tersesat. Ingatlah bahwa kau telah ditolong oleh Yap suheng dan suhu adalah seorang pertapa yang suci. Ingat betapa tinggi kepandaian Yap suheng dan betapa gagah sepak terjangnya. Kita harus mencontohnya dan jangan mempelajari segala macam ilmu hitam!" Akan tetapi Bun Sam tak dapat melanjutkan kata katanya karena tiba tiba Kui To menampar mulutnya, sehingga terhuyung ke belakang. Kui To mengejar dan memukul dadanya akan tetapi Bun sam yang sudah pernah mempelajari ilmu silat, cepat mengelak ke kiri dan berkata,
"Kalau kau tersesat, aku berhak untuk memberi hajaran !" Cepat tangannya diulur dan ditangkapnya pundak Kui To lalu ditariknya dengan keras, sehingga Kui To terguling. Di tempat itu banyak terdapat batu maka ketika jatuh, dagu Kui To terbentur batu, sehingga berdarah. Melihat darahnya sendiri, Kui To menjadi marah sekail. Sambil mengeluarkan geraman seperti seekor harimau kecil ia melompat bangun dan menerjang lagi dengan nekad. Akan tetapi kembali ia dijatuhkan oleh Bun Sam dan sekali lagi ketika kaki Bua Sam menendang, ia terguling guling sampai di depan Seng Jin Siansu yang duduk bersila sambil tersenyum menonton pertempuran itu.
"Hm, murid Seng Jin Siansu tidak boleh kalah," kata kakek ini lalu memegang kepala Kui To dan meniup ubun ubunnya. "Maju dan lawanlah!"
Sungguh aneh, ketika kepalanya ditiup oleh Seng Jin Siansu, Kui To merasa betapa tiupan itu mendatangkan hawa yang mengalir masuk dari ubun ubunnya, hawa yang hangat dan mendatangkan kekuatan yang luar biasa, ia serentak bangun kembali dan ketika ia maju menerjang, Bun Sam terkejut bukan main. Tiba tiba saja Kui To melakukan serangan serangan dengan gerakan ilmu silat yang aneh dan lihai sekali. Tidak saja gerakan kaki tanganaya cepat seperti orang ahli silat tinggi, bahkan tenaganya juga menjadi berlipat ganda. Bun Sam yang masih kecil itu sudah mempunyai pandangan tajam dan pikiran cerdik, ia maklum bahwa Kui To telah kemasukan kekuatan yang tidak sewajarnya dan bahwa Seng Jin Siansu telah mempergunakan ilmu hitam atau ilmu sihir untuk membantu Kui To. Maka iapun berlaku hati hati menghadapi Kui To sambil berkali kali berseru,
"Kui To, ingatlah. Kau adalah murid Kim Kong Taisu....!"
Ia mencoba untuk berlaku cepat dan menangkis serangan Kui To, akan tetapi kali ini ternyata ilmu silat yang baru sedikit dipelajarinya itu tidak cukup untuk mempertahankan diri dari serangan Kui To yang ganas dan cepat. Pukulan demi pukulan jatuh bertubi tubi, pada tubuhnya dan Kui To yang melihat hasil tiupan kakek itu, menjadi gembira dan makin buas. Tanpa mengenal kasihan atau ampun, kedua tangan dan kakinya bekerja menghajar tubuh Bun Sam yang sudah terhuyung huyung ke belakang. Akhirnya Bun Sam tak dapat mempertahankan diri lagi dan robohlah ia ketika sebuah tendangan yang keras mengenai lambungnya. Kui To memekik buas dan menubruk Bun Sam. Ia menduduki dada Bun Sam yang jatuh terlentang dan sambil menggerakkan kedua tangannya yang gencar memukul muka Bun Sam bertubi tubi! Darah muncrat dari hidung dan bibir Bun Sam ketika kedua tangan yang tidak mengenal kasihan itu menghujam mukanya. Bun Sam tidak mengeluh, hanya mencoba untuk menangkis dengan kedua tangannya. Sementara itu, Seng Jin Siasu terrtawa bergelak gelak sambil menepuk tepuk pahanya dengan girang sekali.
Keadaan Bun Sam payah dan juga berbahaya sekali. Kalau diteruskan, bukan tidak mungkin Kui To akan memukulinya sampai mati. Kui To sudah menjadi mata gelap, matanya hampir tertutup sama sekali dan mulutnya menyeringai menakutkan. Tiba tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu tahu Kui To terlempar ke belakang dan bayangan Yap Bouw telah berdiri di situ dengan kedua tangan di pinggang! Ia memandang dengan mata tajam dan marah kepada Kui To yang terjengkang karena didorongnya tadi. Akan tetapi ketika orarg bermuka tengkorak ini melihat Seng Jin Siansu, ia nmpak terkejut sekali dan melangkah mundur tiga tindak sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan!
Sementara itu, Sang Jin Siansu tadinya juga heran dan terkejut melihat orang yang mukanya mengerikan ini, akan tetapi ketika mata tunggalnya bertemu pandang dengan sepasang mata Yap Bouw yang tajam berkilat, kakek ini tertawa terpingkal pingkal seperti orang melihat pemandangan yang amat lucu.
"Ha, ha. ha, aku kenal kau.... aku kenal kau.... ha, ha! Kau adalah Yap Goanswe (Jendral Yap) yang gagah perkasa, pahlawan besar.....! Ha, ha, lihat bagaimana muka jendral besar Yap Bouw sekarang telah menjadi setan berkeliaran!"
Akan tetapi pada saat itu, Yap Bouw telah melompat dan menerkamnya dengan serangan yang luar biasa dahsyatnya. Dengan kedua tangan terpantang akan tetapi sepasang kaki dirapatkan, dengan jari tangan terbuka, orang she Yap ini menyerang dengan gerakan tipu Sin tiauw bo coa (Rajawali Menerkam Ular).
"Ha, ha, orang she Yap! Dulu kalau tidak ada aku, nyawamu sadah putus, apa sekarang kau minta kepadaku untuk mengantarmu ke neraka jahanam?" Sambil berkata demikian Seng Jin Siansu dengan tubuh ringan sekali melompat berdiri dan mengangkat kedua lengannya menangkis serangan si muka tengkorak itu.
Dua pasang tangan beradu tanpa menerbitkan suara, akan tetapi akibatnya hebat sekali. Tubuh Yap Bouw terpental kembali dan dengan berjungkir balik, si muka tengkorak ini dapat juga menahan tubuhnya dari kejatuhan. Adapun Seng Jin Siansu hanya melangkah mundur dua tindak, akan tetapi benturan itu cukup untuk menghilangkan senyum dan ejekan dari wajahnya yang jaga amat buruk itu.
"Hm, agaknya si tua bangka Kim Kong sudah memberi pelajaran kepadamu, ya" Amat banyak bedanya dengan dulu. Kepandaianmu sudah bertambah banyak. Akan tetapi, jenderal busuk, jangan kira bahwa kau sudah dapat melampaui kemampuan Seng Jin Siansu. Ah, masih jauh, sobat. Biarpun Kim Kong sendiri yang maju, belum tentu akan dapat melawanku."
Setelah berkata demikian Seng Jin SianMi mencabut tongkat butut yang tadinya dipasang pada keranjang sayur, karena ia melihat betapa Yap Bouw lelah mencabut sebatang pedang yang tipis dan berkilauan.
Yap Bouw nampak marah sekali. Matanya memancarkan cahaya berkilat dan mukanya yang seperti tengkorak itu menjadi makin menyeramkan. Kemudian terdengar seruan tertahan dalam tenggorokannya dan tubuhnya berkelebat cepat. Bun Sam dan Kui To yang masih rebah di tanah hanya melihat betapa bayangan tubuh Yap Bouw lenyap dan berobah menjadi sinar yang terang, yakni sinar pedangnya yang telah diputar hebat dan sinar pedang ini lalu menyerbu ke arah Seng Jin Siansu yang tertawa terbahak bahak. Dengan tenang sekali kakek ini lalu mengangkat tongkatnya. Biarpun gerakannya amat ringan dan lambat, namun tiap kali sinar pedang itu mendekatinya, dengan sekali mengelebatkan tongkatnya saja terdengarlah suara keras dan sinar pedang itu menjadi buyar dan mencelat mundur. Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa kepandaian Yap Bouw masih kalah jauh. Memang Seng Jin Siansu adalah tokoh persilatan yang berada di tingkat tertinggi. Tak saja ilmu silatnya amat lihat, bahkan ilmu sihirnya pun telah menggemparkan dunia kang ouw. Ia adalah tokoh yang muncul dari selatan dan dalam dunia kang ouw ini disebut Lamhai Lo mo (Setan Tua Dari Laut Satatan). Pendeknya, ia dianggap sebagai benggolan dari segala macam pendekar maupun penjahat, dianggap sebagai orang pertama dari kang ouw dan liok lim di dunia bagian selatan.
Yap Bouw yang memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu pedang yang sudah hampir sempurna itu hanya dapat bertahan tigapuluh jurus saja menghadapi kakek lihai ini. Setelah lewat tigapuluh jurus Seng Jin Siansu mengerahkan tenaganya dan melakukan serangan kilat yang aneh gerakannya Terdengar suara keras dan. pedang yang tadi dipegang oleh Yap Bouw, kini telah menancap di atas tanah sedangkan Yap Bouw berdiri dengan kaget dan heran.
"Ha, ha, ha, orang macam kau berani untuk mencoba coba kepandaianku" Ha, ha, ha! Tanpa kupegangpun tongkatku akan dapat mengantarmu ke neraka. Lihat baik baik!" Sambil berkata demikian, kakek yang lihai ini lalu membaca mantera, kemudian sekali ia berseru keras dan melemparkan tongkatnya, tongkat itu melayang dan bagaikan hidup, tongkat ini lalu meluncur ke arah Yap Bouw dan menyerangnya dengan hebat.
Melihat pemandangan hebat ini, Bun Sam dan Kui To hanya bisa memandang dengan mata terbelalak. Adapun Yap Bouw yang sudah tahu akan kelihaian tongkat dari Iblis Tua dari Laut Selatan ini, cepat menggerakkan tubuhnya untuk mengelak. Akan tetapi, benar benar seperti telah berobah menjadi seekor ular terbang yang hidup, tongkat butut itu mengejarnya dan mengirim serangan bertubi tubi sehingga Yap Bouw terpaksa harus mengerahkan seluruh ginkangnya untuk mengelak dan menghindarkan diri dari bencana ini. Ia tidak berani menangkis dengan tangan dan maklum bahwa sekali saja ia terkena serangan tongkat ini nyawanya pasti akan melayang.
Sesungguhnya yang dilakukan oleh Seng Jin Siansu, baik ketika menggunakan ilmu sihir untuk mengisi tong air tadi maupun sekarang ketika tongkatnya bisa terbang sendiri, hanya ilmu hitam yang berdasarkan kekuatan pandangan mata tunggalnya dan tenaga batinnya yang amat tinggi dan terlatih. Bagi pandangan mata Yap Bouw, ia melihat seakan akan tongkat itu terbang sendiri dan menyerangnya, akan tetapi dalam pandangan mata orang yang tidak terpengaruh ilmu sihir ini, sebetulnya yang memegang tongkat dan menyerang Yap Bouw itu adalah Seng Jin Siansu sendiri, ia hanya menggunakan kekuatan batinnya dan dua orang anak anak yang berada di situpun terpengaruh pula, sehingga bertiga melihat seolah olah tongkat itu terbang dan hidup. Inilah ilmu sihir atau ilmu hitam yang oleh Seng Jin Siansu dipergunakan untuk mengangkat nama besar, ilmu kesaktian yang disebutnya Ilmu "Merebut Semangat dan Panca Indriya." Mungkin sekali hampir sama dengan ilmu hipnotisme dalam zaman sekarang, akan tetapi jauh lebih tinggi tingkatnya.
Oleh karena sesungguhnya yang memegang dan memainkan tongkat adalah Seng Jin Siansu sendiri, tentu saja tongkat itu bergerak dengan amat lihainya dan Yap Bouw yang bertangan kosong itu telah mengeluarkan peluh di seluruh tubuhnya.
Nyawanya berada di ujung maut dan makin lama gerakannya menjadi makin lemah.
Akan tetapi tiba tiba Yap Bouw bersemangat kembali ketika tiba tiba keranjang sayur yang tadi dipergunakan oleh Seng Jin Siansu untuk memanggil roh, kini bergerak gerak dan melayang ke udara menahan gerakan tongkat, dan melindungi Yap Bouw!
Yap Bouw maklum bahwa suhunya telah turun tangan, maka cepat ia melompat mundur dan menyambar tubuh Bun Sam, dibawanya berlari dari tempat itu. Adapun Seng Jin Siansu ketika melihat keranjang itu, menjadi marah sekali. Ia menancapkan tongkatnya pada keranjang itu dan melepaskannya. Keranjang jatuh di atas tanah dan setelah bergerak gerak sebentar, lalu keranjang itu miring dan ranting yang terpasang pada perutnya menuliskan beberapa huruf di atas tanah yang berbunyi begini : "Kim Kong Taisu menghaturkan selamat jalan kepada Seng Jin Siansu!"
Merahlah wajah pendeta bermata satu itu. Terang bahwa secara halus, Kim Kong Taisu telah menegurnya agar jangan membikin rusuh di puncak Oei san dan agar suka pergi dari situ dengan damai. Jadi dengan kata lain, dengan halus tuan rumah telah mengusirnya. Seng Jin Siansu menggigit gigit dengan giginya yang ompong. Kurang ajar sekali Kim Kong Taisu, pikirnya. Ilmu silatnya belum tentu kalah, sungguhpun harus diakui bahwa ia merasa agak jerih menghadapi ilmu pedang dari Kim Koag Taisu yang luar biasa dan iapun maklum bahwa dalam hal tenaga batin, ia masih kalah kuat oleh kakek pertapa itu. Orang lain boleh ia gertak dengan ilmu hoatsut (sihir) karena ia dapat menguasai semangat dan pikiran orang lain yang kalah kuat olehnya, akan tetapi menghadapi kakek yang bertapa di puncak Oei san ini, ia tidak sanggup mempengaruhinya.
Ia menengok kepada Kui To yang memandangnya dengan mata kagum. Hm, anak ini... pikirnya. Anak inilah yang kelak akan dapat mewakilinya untuk menguasai dunia. Ia sendiri sudah terlalu tua, tenaganya sudah banyak berkurang dan semangatnyapun tidak sesegar dahulu. Anak ini.... anak yang suka menjadi muridnya ini, dia inilah yang kelak akan menguasai dunia, menjujung tinggi namanya, mengalahkan Kim Kong Taisu dan muridnya.
Teringat akan hal ini, tiba tiba ia tertawa lagi terkekeh kekeh dan kemudian ia mengumpulkan khikangnya lalu berkata, "Kim Kong tua bangka! Aku tidak sudi main main dengan kau seperti anak kecil! Biarlah kita sama melihat saja siapa yang lebih berhasil menurunkan kepandaian kepada murid masing masing." Suaranya ini dikeluarkan dengan biasa saja, akan tetapi karena terbungkus oleh tenaga khikang, maka suara ini bergema sampai di seluruh permukaan puncak Gunung Oei san. Setelah mengeluarkan ucapan ini dan menanti jawaban tak juga kunjung tiba. Seng Jin Siansu lalu menggandeng tangan Kui To dan mengajak anak itu turun gunung.
Sementara itu, Kim Kong Taisu yang berdiri di depan pondok di puncak gunung, dihadap oleh Yap Bouw dan Bun Sam yang berlutut di depannya, mengelus elus jenggotnya dan menarik napas panjang beberapa kali.
"Dunia takkan ada amannya. Pengacau dunia muncul silih berganti. Semenjak kau membawa datang anak itu, Yap Bouw, pinto telah mendapat firasat tidak enak. Sekarang anak itu yang memang cocok wataknya dengan Seng Jin Siansu, telah di bawa pergi untuk menjadi muridnya. Aaah.... agaknya dunia akan makin tak enak didiami setelah aku pergi kelak." Ia memandang kepada Bun Sam yang berlutut sambil merundukkan mukanya yang biru dan bengkak bengkak bekas pukulan tangan Kui To tadi. "Bun Sam, hanya kepadamu seorang aku menggantungkan harapanku. Hanya kau seorang agaknya yang kelak akan dapat menahan sepak terjang anak itu. Semenjak saat ini juga aku menyerahkan tugas yang amat berat ini pada pundakmu yang kecil, Bun Sam. Kau belajarlah baik baik dan bukalah matamu lebar lebar untuk melihat dunia dan kehidupan, buka telingamu untuk menangkap segala suara yang patut kau dengar. Jadilah seorang bijaksana yang menguasai diri, sehingga kau dapat membebaskan diri daripada libatan tali temali yang disebut sebab dan akibat."
Tentu saja Bun Sam tidak mengerti sama sekati apa yang dimaksudkan oleh gurunya ini, akan tetapi, ia mengingat baik baik semua ncapan ini untuk dipelajari dan kemudian dicari artinya.
Semenjak hari itu, mulailah Bun Sam belajar dengan tekun dan rajin sekali. Semua pekerjaan seperti yang diperintahkan oleh suhunya, dilakukan dengan penuh ketekunan dan kesabaran. Demikian pula segala macam ilmu kepandaian, dari ilmu silat sampai ilmu kebatinan, dipelajarinya dengan rajn.
Ucapan Seng Jin Siansu yang menyebut Yap Bouw sebagai jenderal besar itu tentu amat mengherankan. Akan tetapi memang betul, Seng Jin Siansu bukan mengejek atau memperolok olok ketika ia mengeluarkan ucapan itu. Yap Bouw memang seorang bekas jenderal.
Bahkan lebih dari itu, Yap Bouw inilah orangnya yang pernah menewaskan Ulan Tanu. Panglima Mongol yang bermata biru dan beralis merah atau ayah dari Salinga, pembentuk Ang bi tin. Ketika itu Yap Bouw karena kegagahannya, selalu naik pangkat hingga ia menjadi jenderal. Ketika tentara Mongol menyerbu dan menyebar maut di tanah Tiongkok, Yap Bouw merupakan seorang di antara sekian banyak patriot dan pahlawan gagah yang melakukan perlawanan dengan gigih. Berkat pimpinannya, maka banyak sekali bala tentara Mongol yang berhasil dihancurkan. Bahkan ketika tentara Mongol mengeluarkan seorang panglima gagah perkasa yang bernama Ulan Tanu, hanya Yap Bouw seoranglah yang mampu menghadapi.
Ulan Tanu adalah seorang Panglima Mongol yang tersohor tidak hanya karena ilmu silatnya yang tinggi akan tetapi juga karena ia tersohor sebagai seorang yang berwajah tampan dan gagah. Matanya biru, alisnya merah dan bentuk mukanya benar benar membayangkan kejantanan. Oleh karena itu, namanya amat dipuja di negerinya dan nama Ulan Tanu diberi julukan Si Alis Merah yang menjadi kembang bibir semua pria dan wanita di Mongol, bahkan ia dijadikan contoh dan simbol ketampanan dan kegagahan.
Ketika bala tentara Mongol menghadapi perlawanan yang gigih dari tentara dan rakyat Tiongkok, terpaksa Kubilai Khan yang ketika itu menjadi kaisar orang Mongol, mengajukan Ulan Tanu sebagai panglimanya. Betul saja, setelah Ulan Tanu maju, banyak sekali panglima Tioigkok roboh di bawah ujung tombak Ulan Tanu yang lihai sekali. Robohnya perwira perwira Tiongkok melemahkan semangat bertempur barisan dan dengan demikian, barisan Mongol maju pesat dan pasukan pasukan dari bala tentara Tiongkok dipukul mundur.
Akhirnya amukan Ulan Tanu ini membawa tentaranya sampai di tempat pertahanan barisan yang dipimpin oleh Jendral Yap Bouw. Perang hebat terjadi, pertempuran besar besaran dan mati matian yang mengakibatkan banyak sekali tentara dan perwira dari kedua fihak tewas. Yap Bouw dan Ulan Tanu benar benar merupakan tandingan yang seimbang, baik dalam hal kepandaian mengatur barisan maupun kepandaian ilmu silat! Sampai tiap hari berturut turut kedua orang panglima ini bertemu dan bertempur, pedang di tangan Yap Bouw menghadapi tombak dari Ulan Tanu. Pagi hari mereka bertempur sampai setengah hari tidak ada yang kalah, kemudian mundur dan dilanjutkan pada keesokan harinya.
Di dalam tenda masing masing, Yap Bouw dan Ulan Tanu diam diam memuji kepandaian lawannya. Telah banyak perwira perwira pilihan dari fihak mereka yang gugur, banyak pula perajurit tewas dalam pertempuran pertempuran selama tiga hari itu. Akan tetapi Ulan Tanu dan Yap Bouw sendiri belum dapat mengalahkan lawannya. Tombak Ulan Tanu terlampau kuat bagi Yap Bouw, sebaliknya pedang Yap Bouw terlalu lihai bagi Ulan Tanu.
Dalam saat yang sukar ini, datanglah guru Yap Bouw, yakni Kim Kong Taisu. Kakek sakti ini hanya datang sebentar saja, di waktu malam dan tanpa diketahui oleh orang lain kecuali Yap Bouw sendiri. Dan di dalam waktu yang amat singkat ini, Kim Kong Taisu menurunkan beberapa jurus ilmu padang lihai sekali kepada muridnya.
"Pinto tidak suka mencampuri urusan dunia. Akan tetapi negara dan bangsa kita diserang orang lain, bagaimana pinto bisa tinggal berpeluk tangan saja" Sumbanganku ini tak banyak, hanya memungkinkan kau mengalahkan jago nomor satu dari fihak musuh itu. Namun.... semua inipun tiada gunanya.... tiada gunanya dan sia sia seperti juga orang hendak mencegah terbitnya matahari di ufuk timur di waktu pagi.... Setelah berkata demikian dan melihat bahwa muridnya itu telah faham benar mempelajari beberapa jurus ilmu pedang itu, Kim Kong Taisu lalu meninggalkan tempat itu.
Tentu saja Yap Bouw tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suhunya itu. Kelak baru ia tahu bahwa suhunya memang sakti dan dapat melihat hal hal yang belum terjadi. Suhunya telah meramalkan bahwa serbuan orang orang Mongol itu memang tak mungkin dibendung dan agaknya sudah menjadi kehendak sejarah. Orang orang Han tak mungkin mencegah penjajahan Bangsa Mongol, seperti juga tidak mungkin mencegah munculnya matahari pagi dari timur.
Setelah mempelajari ilmu pedang yang hanya tiga jurus dari suhunya, besarlah hati Yap Bouw, besok pagi pagi sekali, ia telah memerintahkan membunyikan tambur penantang. Ulan Tanu menjadi marah dan sambil menyeret tombaknya, panglima Mongol ini lalu keluar untuk menghadapi lawannya. Kembali perang besar terjadi, perwira lawan perwira, tentara melawan tentara dan panglima besar Ulan Tanu menghadapi Jenderal Yap Bouw.
Seperti juga hari hari kemarin, pertempuran antara dua orang gagah ini hebat sekali. Tombak di tangan Ulan Tanu bergulung gulung seperti seekor naga di angkasa, sedangkan pedang Yap Bouw menyambar nyambar bagaikan petir di antara air hujan. Yap Bouw mentaati pesan suhunya dan setelah keduanya mulai lelah karena pertempuran berjalan hampir setengah hari, tiba tiba Yap Bouw berseru keras dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang hanya tiga jurus itu.
Ulan Tanu terkejut sekali. Ilmu pedang yang selama ini dikeluarkan oleh Yap Bouw dapat dilawannya dengan mudah. Akan tetapi ketika jurus pertama dimainkan oleh Yap Bouw, ia mulai menjadi bingung. Ilmu tombaknya berdasarkan Ilmu Tombak Sin eng chio hoat (Ilmu Tombak Garuda Sakti) yang masih merupakan cabang dari ilmu tombak dari Go bi san yang paling tinggi. Adapun ilmu pedang yang selama ini dimainkan oleh Yap Bouw adalah ilmu pedang dari Kun lun pai yang dikenal baik oleh Ulan Tanu. Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Yap Bouw terakhir ini, benar benar amat meagherankan dan gerakannya merupakan gerakan berlawanan dengan ilmu tombaknya. Berkat keuletan dan kegesitannya, jurus pertama yang banyak pecahan dan gerak tipunya itu dapat dipertahankan dan dielakkannya. Juga jurus ke dua dari serangan Yap Bouw yang kian menghebat itu masih juga dapat ditangkisnya akan tetapi serangan jurus ke tiga benar benar membuat kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang. Tanpa dapat dicegah lagi, rangsekan pedang Yap Bouw ini dengan tepat telah berhasil dan tahu tahu ujung pedang Jenderal Yap itu telah menyambar lehernya. Putuslah batang leher Ulan Tanu terkena sambaran pedang itu dan hal ini disaksikan oleh semua perajurit, baik di fihak Mongol maupun di fihak Tiongkok. Pecahlah sorak sorai yang gegap gempita dan terbangun semangat perlawanan dan bala tentara yang dipimpin oleh Yap Bouw. Sebaliknya bala tentara Mongol ketika melihat betapa Ulan Tanu benar benar telah tewas, seketika itu juga lenyap semua ketabahan mereka. Sambil membawa lari tubuh dan kepala Ulan Tanu, mereka mengundurkan diri dan Yap Bouw mendapatkan kemenangan besar.
Bagi fihak Mongol, kematian Ulah Tanu itu benar benar menggemparkan, baik di kalangan pasukan maupun pada kaisarnya sendiri. Ulan Tanu amat disayangi dan penjadi panglima yang paling dipercayai oleh Kubilai Khan. Apalagi para perajurit Mongol, mereka ini tadinya mempunyai anggapan bahwa Ulan Tanu atau Si Alis Merah tidak bisa kalah, apalagi sampai mati. Kenyataan yang pahit, melihat betapa leher panglima besar ini putus oleh pedang seorang jenderal musuh, benar benar mengagetkan dan juga menimbulkan dendam yang hebat. Dendam ini menambah semangat pertempuran dan akhirnya, benar seperti yang dikhawatirkan oleh Kim kong Taisu, Tiongkok dikuasai oleh bala tentara Mongol. Di bawah pimpinan Salinga, putera dari Ulan Tanu, beberapa orang panglima yang merasa sakit hati, menggempur pasukan pasukan dari bala tentara yang dipimpin oleh Yap Bouw dan terjadi pertempuran pertempuran yang lebih hebat. Akan tetapi tak seorangpun di antara panglima Mongol yang dapat menandingi Yap Bouw dan biarpun pasukan pasukan Yap Bouw mengalami kekalahan besar akibat gempuran gempnran fihak musuh yang jauh lebih besar jumlahnya, namun jenderal muda ini sendiri tidak pernah dapat dikalahkan.
Pada suatu hari, Salinga pergi untuk setengah bulan lamanya dan ketika ia kembali, ternyata putera dari Ulan Tanu ini telah melakukan perjalanan jauh ke selatan untuk minta bantuan dari satu orang tosu yang bermata satu. Tosu ini bukan lain adalah Seng Jin Siansu atau Iblis Tua dari Laut Selatan (Lam hai Lomo) yang masih menjadi kakak seperguruan dari guro Ulan Tanu seorang pertapa di Go bi san.
Mendengar tewasnya Ulan Tanu di tangan Yap Bouw dan mendengar keterangan pula dari orang orang Mongol yang pandai mencari tahu rahasia musuh itu bahwa Yap bouw adalah murid dari Kim Kong Taisu, Seng Jin Siansu tersenyum menyeringai.
"Pantas saja Ulan Tanu kalah oleh Yap Bouw karena ilmu tombak Sin eng cio hwat itu bersumber satu dengan ilmu pedang dari Kun Lun pai. Si tua bangka Kim Kong memang ahli pedang yang luar biasa sekali dan tentu Yap Bouw mendapat petunjuk petunjuk dari gurunya itu bagaimana harus menghadapi Siu eng cio hwat. Tua bangka itu sebetulnya orang baik dan jarang mau mencampuri urusan dunia maka aku sebenarnya segan untuk mencari permusuhan dengan dia. Akan terapi, karena Ulan Tanu adalah murid keponakanku, biarlah aku membantu kalian menangkapnya. Akan tetapi, kalian harus bersumpah lebih dulu kepadaku bahwa kalian takkan membunuh Yap Bouw murid Kim Kong Taisu itu!"
Tentu saja Salinga yang merasa sakit hati dan menaruh hati dendam kepada Yap Bouw yang sudah membunuh ayahnya merasa berat untuk bersumpah tidak membunuh Yap Bouw.
"Tanpa sumpah itu, aku tidak bisa membantu kalian menangkap Yap Bouw: Menawannya dalam perang menyiksanya takkan mengapa. Akan tetapi kalau tua bangka itu mendengar bahwa aku membantu kalian menangkap Yap Bouw untuk dibunuh, tentu akan berakibat yang cakup memusingkan kepalaku. Bersumpahlah!"
Karena memang sudah tidak berdaya menghadapi Yap Bouw yang benar benar tangguh terpaksa Salinga dan kawan kawaanya bersumpah kalau Yap Bouw tertangkap, mereka hanya hendak menyiksa dan menghinanya saja.
Lam hai Lomo Seng Jin Siansu tertawa sinis. "Ha, ha, ha, apakah sukarnya menangkap jenderal muda.itu" Sama mudahnya dengan melanggar sumpah. Ha, ha, ha, akan tetapi ada aku di sini. Jenderal akan tertawan dan sumpah akan tetap dipenuhi Ha, ha, ha !"
Salinga dan kawan kawannya maklum akan sindiran kakek aneh ini, akan tetapi mereka tidak berani banyak bicara. Hendak mereka buktikan lebih dulu apakah betul betul Seng Jin Siansu akan dapat mengalahkan Jenderal Yap Bouw yang kosen ini.
Pada keesokan harinya, benteng pertahanan Jenderal Tap Bouw yang tentaranya baru saja mengalami kekalahan hebat ini dikurung oleh barisan Mongol yang banyak sekali jumlahnya. Yap Bouw ditantang perang oleh Salinga. Tentu saja jenderal yang perkasa ini tidak menjadi jerih. Ia memerintahkan agar supaya barisannya, tetap memperkuat penjagaan benteng dan jangan melayani musuh untuk bertempur di luar benteng, kemudian sambil membawa pedangnya ia keluar dari pintu benteng untuk memenuhi tantangan Salinga. ia tahu bahwa ia akan dikeroyok, maka iapun membawa lima orang pembantunya dengan pesanan jangan turun tangan biarpun ia dikeroyok sebelum kelihatan ia terdesak!
Akan tetapi ia kecele karena kali ini yang menghadapinya hanya Salinga seorang.
"Orang she Yap, sekarang tiba saatnya kau harus membayar hutangmu kepada ayahku!"
"Salinga, tidak ada hutang piutang dalam perang! Yang lemah akan gugur, yang kuat akan menang. Tidak ada hutang, tidak ada dendam, yang ada hanya menang atau kalah!"
"Bangsat, enak saja kau bicara! Lihat pembalasan Alis Merah!" Sambil berkata demikian Salinga lalu memainkan tombaknya yang biarpun masih belum dapat menyamai kelihaian ilmu tombak mendiang ayahnya, namun cukup hebat gerakannya. Akan tetapi Yap Bouw hanya memandangnya dengan senyum mengejek, lalu ia menggerakkan pedangnya yang sekaligus membuat tombak di tangan Salinga terpental dan hampir terlepas dari pegangan! Salinga terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur uutuk bersiap dan kemudian ia berkelahi lebih hati hati menghadapi musuh besar yang kepandaiannya lebih tinggi ini.
Akan tetapi pada saat itu, Yap Bouw berseru keras dan melompat ke belakang dengan terkejut sekali ketika ia melihat sebatang tongkat melayang dan menyerangnya dan menyerangnya dengan hebat sekali. Yang membuat ia menjadi terkejut tidak saja kelihaian gerakan tongkat ini, terutama sekali karena tongkat itu bergerak sendiri di udara, tidak dipegang orang. Juga lima orang perwira yang menonton di situ tidak dapat melihat Seng Jin Siansu yang memegang tongkat itu, sehingga mereka berdiri bingung dengan muka pucat. Tentu saja Salinga dan kawan kawannya dapat melihat Seng Jin Siansu dan Salinga dengan amat lega lalu melompat mundur, membiarkan Seng Jin Siansu sendiri menghadapi Yap Bouw.
"Salinga, pengecut besar!" Yap Bouw berseru sambil menangkis serangan tongkat aneh itu dengan pedangnya yang membuat tangannya tergetar. "Ilmu siluman apakah yang kau pergunakan?"
Akan tetapi Salinga hanya tertawa saja dan tongkat itu makin hebat menyerang Yap Bouw. Lima orang perwira pembantu Yap goanswe lalu menerjang maju, mencabut senjata masing masing untuk menghadapi tongkat iblis itu. Akan tetapi, sekali saja terbentur oleh tongkat itu, senjata mereka semua terlempar dari pegangan dan beberapa belas jurus kemudian, tongkat itu berhasil menotok pundak Yap Bouw. Jenderal yang gagah ini mengeluh dan roboh tak berdaya lagi Setelah ia roboh, terdengar suara ketawa menyeramkan dan barulah kini matanya melihat seorang kakek tua yang bermata sebelah, kakek inilah yang memegang tongkat secara luar biasa hebatnya itu. Pada saat itu, Yap Bouw masih belum kenal siapakah adanya kakek mata satu yang lihai ini dan ia tidak sempat pula bertanya. Terdengar sorak sorai hebat dan melihat ia roboh, tentara Mongol lalu menyerbu bentengnya. Perang hebat terjadi sehari semalam lamanya dan akhirnya benteng itu jatuh ke tangan musuh. Sebagian besar tentara anak buahnya Yap Bouw binasa.
Yap Bouw mendiri bagaimana" Kalau tidak ada Seng Jin Siansu pasti ia dibunuh oleh Salinga dan kawan kawannya. Salinga telah membawanya ke dalam kemahnya dan sambil menangis menyebut ayahnya, ia menyiksa Yap Bouw, disaksikan ribuan orang Mongol yang ikut pula menangisi Ulan Tanu, Si Alis Merah yang mereka kagumi! Seng Jin Siansu duduk diam saja, akan tetapi siap sedia untuk menolong nyawa Yap Bouw , karena sesungguhnya kalau sampai Yap Bouw tewas, ia gentar menghadapi kemurkaan Kim Kong Taisu!
Sungguh amat mengerikan nasib penderitaan Yap Bouw. Dalam cengkeraman nafsu membalas dendam Salinga seperti gila dan kekejamannya melebihi binatang buas atau iblis sendiri. Dengan pisaunya yang tajam, ia mencacah muka Yap Bouw, sehingga boleh dibilang ia menguliti muka jenderal itu. Bahkan lidahnyapun dipotongnya. Akhirnya di bawah seruan seruan semua kawan kawannya yang sudah keranjingan iblis, Salinga mengayunkan pisaunya ke arah ulu hati Yap Bouw yang sudah pingsan.
Akan tetapi tiba tiba terdengar suara nyaring dan pisau itu terlepas dari tangan Salinga. Ternyata pada saat terakhir itu, Seng Jin Siansu telah bertindak dan menolong nyawa Yap Bouw.
"Ha, ha, ha, apa kataku kemarin?" kakek mata satu ini tertawa seram. "Amat mudahnya melanggar sumpah! Orang ini tidak boleh dibunuh!"
"Akan tetapi, supek couw (uwa kakek guru)! Dia adalah pembunuh dari ayahku! Kami harus membalas dendam. Hutang nyawa bayar nyawa!"
Kembali Salinga mencabut tombaknya dan hendak ditancapkan ke dada Yap Bouw, akan tetapi dengan sekali mengulurkan tangannya, Iblis Tua dari Laut Selatan ini telah dapat merampas tombak ini.
"Salinga!" Suara Seng Jin Siansu terdengar marah. "Aku Seng Jin Siansu bukanlah seorang yang biasa melanggar janji! Dan juga bukan seorang yang membiarkan orang lain melanggar janjinya terhadap aku! Aku sudah menangkap Yap Bouw dan dia sudah menerima siksaan yang lebih dari setengah mati! Akan tetapi kita sudah saling berjanji bahwa dia takkan dibunuh! Sekarang aku akan membebaskannya!
Setelah berkata demikian, Seng Jin Siansu lalu menyambar tubuh Yap Bouw yang berlumuran darah itu, dikempit di bawah ketiak lengan kirinya. Akan tetapi, serentak orang orang Mongol yang seribu lebih banyaknya itu berseru keras,
"Berikan dia kepada kami! Anjing she Yap itu harus dibunuh! Sakit hati Ang bi tin (Pendekar Alis Merah) harus dibalas!" Di bawah pimpinan Salinga, orang orang itu menghadang perjalanan Seng Jin Siansu dengan sikap mengancam.
"Dia adalah seorang Han pula, tentu saja dia membela Jenderal Yap Bouw! Keroyok dia, bunuh pendeta iblis ini!" terdengar seruan dua orang Mongol yang berdiri di depan.
Mendengar seruan ini, tiba tiba Seng Jin Siansu membalikkan tubuhnya menghadapi dua orang itu. Matanya yang tinggal sebelah itu seakan akan mengeluarkan api, ditujukan kepada dua orang perwira pembantu Salinga itu. Melihat cahaya pandangan mata yang luar biasa ini, dua orang Mongol yang ternyata adalah dua orang perwira Mongol itu menjadi terkejut dan tubuh mereka menggigil.
"Kalian berdua hendak membunuhku" Ha, ha, ha, kalian yang mengeluarkan ucapan bunuh, maka kalianlah yang akan melakukan pembunuhan dan kalian pula yang akan dibunuh! Ayoh maju ke sini!"
Perintah ini dikeluarkan dengan keras dan suaranya demikian berpengaruh, sehingga semua orang menundukkan muka sesaat. Adapun dua orang perwira Mongol itu ketika mendengar perintah ini, di luar kemauan sendiri, kedua kaki mereka melangkah maju dan menghampiri kakek mata satu yang hebat itu.
Nampak bibir Seng Jin Siansu berkemak kemik dan mata tunggalnya tetap ditujukan ke arah dua orang itu dengan pandangan tajam.
"Ayoh lakukan pembunuhan atas diri kalian sendiri. Cepat!"
Bukan main hebatnya bunyi perintah ini dan semua orang merasa bulu tengkuk mereka berdiri ketika melihat dua orang perwira Mongol itu tiba tiba mencabut golok mereka sendiri dan sebelum ada orang yang dapat mencegahnya, mereka menyabetkan golok itu ke arah leher sendiri. Robohlah dua orang Mongol itu dengan leher hampir putus dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Seng Jin Siaasu tertawa sebal, menambah geramnya keadaan.
"Ha, ha, ha! Dua orang lancang ini telah mencari kematian mereka sendiri. Mereka lancang sekali mengatakan bahwa Seng Jin Siansu membela orang Han, bahkan mereka hendak membunuhku! Dengar kalian semua! Aku, Seng Jin Siansu tidak boleh disamakan dengan kalian orang orang biasa, juga tidak sama dengan Yap Bouw yang kubawa ini! Kalian semua boleh dipengaruhi oleh perang boleh diperbudak oleh pemerintah kalian masing masing, akan tetapi aku, Seng Jin Siansu tidak! Aku adalah raja dari diriku. Kaisar Mongol atau Raja Han sendiri pun tidak lebih besar dari padaku dan sekali kali tidak boleh memerintahku! Siapa bilang aku ikut ikut mencampuri urusan parang di antara mereka" Aku tidak membantu orang Mongol, tidak membantu orang Han, akan tetapi siapa yang bersalah kepadaku, awas, akan kujadikan setan tak berkepala seperti dua ekor anjing ini. Nah aku sudah bicara !" Setelah berkata demikian diiringi oleh suara ketawanya yang panjang dan menyeramkan, bagaikan seorang iblis saja Seng Jin Siansu menggerakkan tubuhnya dan lenyaplah ia dari hadapan ribuan orang Mongol itu.
Salinga menarik napas panjang dan berkata, "Dia benar! Pernah aku mendengar dari mendiang ayah bahwa Supak couw memang seorang yang aneh, akan tetapi memiliki kepandaian yang hebat sekali. Biarlah, biarpun kita tidak bisa membunuh Yap Bouw, akan tetapi masih banyak perwira perwira Han yang boleh kita bunuh sebagai pengganti jenderal itu."
Demikianlah, selelah bala tentara Mongol berhasil menduduki Tiongkok, Salinga lalu membentuk Ang bi tin atau Barisan Alis Merah itu, yang bertugas membasmi semua perwira Han yang masih ada dan menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan usaha ini, Salinga hendak membalas dendam ayahnya.
Adapun Yap Bouw dibawa pergi oleh Seng Jin Siansu yang memberi obat padanya agar supaya Yap Bouw tidak meninggal dunia karena luka lukanya, kemudian Iblis Tua Laut Selatan ini lalu meninggalkan Yap Bouw di dalam sebuah hutan. Yap Bouw maklum akan hal ini, akan tetapi ia tahu pula bahwa yang membuat ia jatuh ke tangan orang orang Mongol juga kakek mata satu itulah. Keadannnya amat berat. Lidahnya sudah putus dan mukanya sudah tak berkulit lagi, sehingga ia yang tadinya berwajah tampan dan gagah, kini merupakan tengkorak hidup.
Jilid III PENDERITAAN lahir bagi Yap Bouw tidak begitu berat, karena sebagai orang gagah perkasa yang sering kali menghadapi pertempuran hebat, apalagi sebagai seorang jenderal perang yang melihat penderitaan seperti hal yang biasa, cacad dan luka lukanya pun dapat dideritanya dengan hati tenang. Akan tetapi, penderitaan yang lebih hebat dan membuat nya seperti gila adalah penderitaan bathin. Semenjak memimpin bala tentara untuk menghadapi serbuan bala tentara Mongol, Yap Bouw meninggalkan isterinya yang telah mengandung tua. Kemudian, ketika ia masih berada di dalam benteng, jauh di utara ia mendengar kabar bahwa isterinya telah melahirkan sepasang anak kembar, laki laki dan wanita. Alangkah girang hatinya mendengar ini. Akan tetapi, serbuan serbuan musuh membuat ia pindah dari satu ke lain tempat untuk menghadapi musuh musuh negara yang pada waktu itu muncul berganti ganti. Bangsa Tartar dan paling akhir Bangsa Mongol yang amat kuat. Tugasnya membuat Jenderal Yap Bouw tak sempat pulang selama tiga tahun.
Sekarang tidak saja negaranya kalah dan tentaranya hancur bahkan dia sendiri telah menjadi seorang yang bermuka tengkorak. Bagaimana ia dapat pulang" Bagaimana ia berani menghadapi isterinya dan anak anaknya sebagai seorang jenderal yang tidak saja kalah perang, bahkan telah menjadi seorang yang demikian menjijikkan dan mengerikan" Kalau dia melihat mukanya sendiri, bercermin di dalam air telaga, keluarkan keluhan dari dadanya dan pipinya yang sudah tak karuan macamnya itu basah oleh air mata. Tidak, ia tidak dapat pulang. Ia tidak boleh menjumpai isteri dan anak anaknya. Isterinya yang setia dan mencintanya mungkin takkan jijik melihatnya, mungkin takkan berobah. Akar tetapi anak anaknya" Ah, ia belum pernah melihat anak kembarnya, hanya dari surat isterinya saja ia mendengar bahwa dua orang anaknya itu elok dan sehat. Ah, kalau ia pulang dan kedua anaknya melihat mukanya, bukankah mereka akan lari ketakutan" Kemudian, kalau mereka sudah besar, apakah mereka itu takkan malu sekali mempunyai seorang ayah bermuka setan" Apakah mereka takkan menjadi hahan olok olok semua orang"
Tidak, tidak! Lebih baik membiarkan mereka menganggap bahwa ayah mereka telah mati. Lebih baik membiarkan mereka menganggap ayah mereka telah tewas dan gugur dalam peperangan. Gugur sebagai seorang pahlawan bangsa. Kalau ia tidak pulang, orang orang akan memandang anak kembar nya dengan menghormat, akan menganggap mereka sebagai keturunan seorang pejuang besar.
Pikiran inilah yang membuat Yap Bouw mengambil keputusan untuk menjauhkan diri dari isteri dan anak anaknya. Ia tidak mau menyusul isteri nya yang telah lama mengungsi di sebuah dusun kecil di Propinsi Santung dekat pantai laut timur, yakni dusun Kan leng di mana isterinya tinggal bersama orang tua isteri nya itu. Tentu saja kalau Yap Bouw mau menyusul ke sana, ia akan dapat pergi dengan aman karena siapakah yang akan mengenalnya seorang jenderal Yap Bouw yang ternama" Akan tetapi ia tidak mau merusak kehidupan keluarganya, tidak mau mendatangkan cemar dan malu.
Kemudian ia teringat kepada suhunya, Kim Kong Taisu yang mengasingkan diri bertapa di puncak bukit Oei san. Kesanalah Yap Bouw menuju, membawa tubuhnya yang sudah bercacat. Siksaan yang hebat itu sudah membuat Yap Bouw berobah apa lagi siksaan batin itu, rindunya kepada keluarganya yang tak mau ia jumpai, membuat ia merasa isi dadanya seakan akan pecah dan lemahlah semangatnya Yap Bouw sekarang jauh bedanya dari Yap Bouw ketika masih menjadi jenderal, ia telah menjadi seorang yang kehilangan semangat dan tidak ingat lagi akan permusuhannya dengan Ang bi tin. Ia tidak menaruh hati dendam, bahkan tidak mau memperdulikan lagi urusan dunia.
Kim Kong Taisu menerimanya dengan terharu sekali. Kakek yang sakti ini tahu akan isi hati muridnya dan kakek yang tahu pula akan keadaan dunia dan rahasia alam ini hanya menarik napas panjang, memuji nama Thian Yang Maha Agung dan Maha Kuasa, yang kuasa mengadakan perubahan apada segala apa yang nampak disunia ini. Ia menghibur murindnya itu dengan member pelajaran ilmu bathin ilmu silat yang lebih tinggi.
Setahun kemudian, pada suatu hari Kim Kong Taisu menyuruh muridnya ini pergi ke kota Tong seng kwan untuk menolong keluarga Song bekas perwira itu dari amukan barisan Ang bi tin.
Kim Kong Taisu memang seorang pendeta yang berilmu tinggi. Tidak saja ilmu silatnya mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya, bahkan ilmu bathinnya sudah sempurna, sehingga ia boleh disebut setengah dewa. Di dalam kewaspadaannya kakek ini dapat melihat hal hal yang telah dan akan terjadi tanpa pindah dari tempat dia duduk bersamadhi.
Puluhan tahun yang lalu, Kim Kong Taisu adalah seorang tokoh besar dari Kun lun pai, akan tetapi semenjak fihak Kun lun pai bentrok dengan cabang persilatan lain, sehingga terjadi serang menyerang dan berlumba atau bersaingan dalam memainkan ilmu silat. Kim Kong Taisu mencuci tangan dan pergi mengasingkan diri di puncak Gunung Oei san yang indah itu.
Demikianlah riwayat singkat dari Yap Bouw yang sekarang telah menjadi seorang bermuka tengkorak, gagu dan berwatak aneh. Ia amat sayang kepada Bun Sam yang kini telah diambil murid oleh suhunya. Ia sayang seperti kepada anak sendiri, karena Bun Sam yang tampan dan berwatak halus itu merupakan pengganti anaknya bagi bekas jenderal ini. Dengan amat tekun dan penuh kasih sayang. Yap Bouw memimpin sute (adik seperguruan) yang seperti anaknya ini dalam hal dasar dasar ilmu silat. Memang Kim Kong Taisu telah memberi kepercayaan penuh kepadanya untuk memberi bimbingan dasar pada Bun Sam. Selain ilmu silat juga Yap Bouw memberi pelajaran ilmu surat kepada Bun Sam. Biarpun Yap Bouw gagu, akan tetapi mengatar menulis huruf Tiongkok memang lebih sederhana. Ia menulis dan menunjuk benda apa yang ditulisnya dan tanpa mengeluarkan suara, Bun Sam akan dapat membaca huruf itu selelah melihat benda yang ditunjuk oleh Yap Bouw.
Memang tidak sukar bagi Yap Bouw untuk mengajar ilmu surat, karena Bun Sam sendiripun bukanlah seorang anak buta huruf sama sekali, ia pernah belajar menulis dari ayahnya dan kini Yap Bouw hanya memberi tambahan belaka. Sedikit demi sedikit, Yap Bouw bahkan memberi pelajaran ilmu perang kepada Bun Sam yang amat rajin belajar dan rajin pula bekerja itu.
Beberapa hari sekali Kim Kong Taisu memanggil mereka berdua yang segera datang menghadap untuk mendengarkan wejangan wejangan yang amat bijaksana. Juga adakalanya Kim Kong Taisu menyaksikan Bun Sam berlatih silat. Melihat ketekunan dan bakat besar yang ada pada diri anak ini. Kim Kong Taisu menarik napas panjang dan berkata,
"Bun Sam, bakatmu lebih besar daripada aku sendiri dan ketekunanmu bahan masih melebihi suhengmu. Dengan bakat dan ketekunan seperti yang kau miliki, apakah sukarnya mengejar segala macam ilmu" Akan tetapi, di samping semua ini, kau masih harus memelihara semacam sifat yang amat penting, Bun Sam, yakni sifat waspada dan sabar. Hanya sifat inilah yang akan menjadi kemudi bagi semua kepandaian seseorang dan menjauhkan nya dari jurang yang ditimbulkan oleh kesombongannya."
Bun Sam mendengarkan nasihat nasihat suhu nya dengan penuh perhatian. Ketika ia mendapat kesempatan, dengan hormat bertanyalah ia akan sesuatu yang pernah didengarnya ketika untuk pertama kalinya ia mendengar ucapan suhunya, yakni ketika Kui To dibawa pergi oleh kakek mata satu.
"Suhu, maaf apabila teecu berani mengajukan pertanyaan ini, suhu Pernah teecu mendengar kata kata suhu tentang sebab dan akibat, nasihat suhu bahwa teecu harus dapat melepaskan diri dari tali lemah yang disebut sebab dan akibat. Apakah sesungguhnya arti kata kata itu, suhu?"
Kim Kong Taisu tersenyum. Diam diam ia merasa girang sekali oleh karena pertanyaan yang diajukan oleh muridnya ini menjadi bukti nyata bahwa anak ini memang benar benar amat memperhatikan segala nasihatnya.
"Betulkah aku pernah bicara sebab dan akibat" Aku malah sudah lupa lagi, muridku. Sebetulnya hal ini masih terlalu sukar, atau lebih tepat lagi, kau masih terlalu kecil untuk mendengar tentang hal ini. Akan tetapi biarlah, agar kau tidak menjadi penasaran. Aku akan memberi contoh kepadamu."
Setelah berkata demikian, kakek ini lalu mengajak Bun Sam berjalan menuju ke pinggir sebuah jurang yang amat curam. Matahari yang telah naik tinggi menyinari jurang itu sehingga nampak nyata oleh Bun Sam betapa batu batu karang yang aneh aneh bentuknya dan ribuan banyaknya berada di sepanjang jurang yang terjal itu. Berdiri di pinggir jurang yang amat terjal membuat orang membayangkan betapa akan ngerinya apabila orang sampai tergelincir ke dalamnya! Bun Sam diam diam bergidik.
"Nah, kau lihatlah baik baik !" Kim Kong Taisu membungkuk untuk mengambil sebuah batu sebesar kepala manusia kemudian setelah memandang tajam ke arah jurang, ia lalu menyambitkan batunya itu yang tepat mengenai sebuah batu yang empat kali besarnya dan yang berada di mulut jurang. Batu itu terbentur oleh batu yang disambitkan oleh Kim Kong Taisu dan ternyata batu itu bergerak dan terdorong oleh sambitan yang keras itu sehingga menggelinding dari tempatnya. Tentu saja karena tempat itu menurun amat terjalnya, sebentar saja batu itu menggelinding turun dan membentur lain batu di bawahnya yang kembali terdorong dan menggelinding ke bawah. Demikianlah, tak lama kemudian, terdengar suara gaduh sekali di dalam jurang itu karena batu batu yang menggelinding dari atas itu menimpa lain batu dan membuat batu batu yang di bawahnya jatuh menggelinding pula ke bawah. Suara hiruk pikuk itu terdengar sambung menyambung seperti suara guntur di waktu hujan. Kemudian setelah batu batu itu menimpa dasar jurang, suara dentaman dentaman itu makin keras dan diakhiri dengan debu yang mengebut ke atas.
Setelah keadaan menjadi sunyi kembali, Kim Kong Taisu berkata "Nah, kau lihat tadi" Betapa hebatnya dan banyaknya batu batu besar jatuh ke dalam jurang?"
"Hebat sekali, suhu. Seperti gunung meletus aja?"
"Dan tahukah kau hubungannya dengan sebab dan akibat?"
Bun Sam memandang kepada suhunya dan betapapun juga memutar otaknya, belum juga ia mengerti apakah artinya perbuatan suhunya tadi. Ia menggeleng geleng kepala nya dan berkata dengan sejujurnya.
"Teecu belum mengerti, suhu. Mohon penjelasan dari suhu."
"Kau tentu mengerti bahwa peristiwa hebat di dasar jurang itu terjadi karena runtuhnya banyak sekali batu batu besar kecil. Kenapa batu batu ini runtuh" Karena saling mendorong. Kalau saja batu batu itu dan jurang bisa bercakap cakap, tentu akan terdengar tuduh menuduh yang berdasarkan sebab dan akibat. Jurang tentu akan bertanya kepada batu yang terbawa mengapa ia terjatuh. Dan jawabannya tentu karena ia terdorong oleh batu di atasnya dan demikian selanjutnya. Peristiwa yang terjadi umumnya disebut akibat dan orang orang selalu mencari sebab dan pada akibat itu. Padahal seperti juga batu terbawah menyalahkan batu di atasnya yang mendorongnya, sebab yang menimbulkan akibat itu sendiripun tak lain hanya merupakan akibat dari pada sebab lain lagi. Oleh karena manusia menjadi hamba dari pada sebab dan akibat yang ruwet, maka terjadilah kerusuhan di dunia ini. Terjadi dendam, balas membalas tiada habisnya. Padahal kalau diusut benar benar, seperti halnya peristiwa di dasar jurang tadi, siapakah yang salah" Apakah batu batu terbawah, apakah batu teratas, ataukah batu yang pertama kali kulemparkan ke bawah?"
"Batu batu itu tidak bersalah, suhu, yang salah adalah suhu!" kata Bun Sam.
Kim Kong Taisu tertawa gembira. "Kau juga masih terikat oleh sebab akibat, muridku. Ingat, bukan sebabnya karena aku melemparkan batu itupun hanya menjadi akibat dari keinginanku memberi contoh dan penerangan kepadamu."
"Kalau begitu, teceu yang menjadi sebabnya dan teecu yang bersalah."
"Juga keliru, Bun Sam, karena kaupun hanya menjadi akibat daripada keadaanmu menjadi muridku. Kalau kau tidak menjadi muridku, tentu kau takkan bertanya tentang pengertian ini dan takkan terjadi ribut ribut di dasar jurang."
Bun Sam melengong. "Habis, sampai di mana akhirnya kalau dicari terus sebab sebab pokok, suhu ?"
Gurunya menggelengkan kepala. "Itulah! Oleh karena itu, aku ingin melihat kau tidak diperhamba oleh sifat ini. Janganlah segala perbuatanmu didasarkan atas kekeliruan pendapat atau jelasnya jangan kau melakukan sesuatu terdorong oleh pandangan yang salah, yang timbul dari nafsu dan perasaan. Jangan mencari sebab sebab dari sesuatu peristiwa, akan tetapi jadilah seorang yang menjaga agar jangan terjadi peristiwa peristiwa yang merugikan dunia!"
Bun Sam baru berusia enam tahun lebih. Mana bisa ia menangkap pelajaran ini dengan baik" Namun, samar samar ia dapat juga mengerti dan tiba tiba ia memandang pada suhunya dengan tajam dan bertanya, "Kalau begini, suhu. Apakah tecu kelak tidak boleh membalas dendam kepada barisan Ang Bi Tin yang membunuh ayah" Apakah teecu tidak boleh menganggap mereka itu sebagai sebab yang mendatangkan kecelakaan kepada teecu sekeluarga?"
Mata kakek itu bersinar, ia girang bahwa muridnya yang masih kecil ini mempunyai kecerdikan luar biasa.
"Memang demikianlah maksudku, Bun Sam. Seperti halnya batu batu tadi, mereka itu terdorong oleh sesuatu, maka mereka melakukan pembunuhan terhadap ayah bundamu. Sebagai muridku, kelak kau hanya boleh melakukan sesuatu demi kebenaran sama sekali tidak boleh kau melakukan perbuatan berdasarkan perasaan sakit hati atau marah!"
Ketika Bun Sam masih berdiri bingung karena sesungguhnya kata kata suhunya ini merupakan pukulan hebat bagi perasaannya yang selalu mengandung dendam terhadap Ang bi tin. Tiba tiba terdengar suara keras di sebelah kanan. Bun Sam cepat menengok dan ia menyaksikan sesuatu yang benar benar mendebarkan hatinya. Di tempat terbuka terjadi pertempuran mati matian dan hebat sekali antara Siauw liong ular peliharaan suhunya, melawar seekor burung rajawali besar dan gagah sekali.
Burung itu menyambar nyambar dari atas dengan sepasang cakar dan patuknya bergerak ke arah ular itu. Akan tetapi Siauw liong ternyata bukan seekor ular biasa yang mudah menyerah terhadap serangan burung rajawalitu. Dengan cepat nya Siauw liong lalu melingkarkan tubuhnya dan kini hanya kepala dan ekornya saja yang berdiri di atas lingkaran tubuhnya, merupakan dua penjaga yang amat kuat ! Ular ini siap sedia dan tiap kali rajawali itu datang menyambar, selain mengelak ia pun lalu menyabetkan ekornya ke arah burung itu dan mulutnya yang terbuka lebar dengan gigi runcing membalas dengan serangan hebat! Tentu saja pemandangan ini amat menarik hati Bun Sam. Ketika Siauw liong berhasil menyabetkan ekornya untuk menangkis terkaman rajawali, beberapa helai balu burung itu terlepas dan melayang ke bawah.
"Bagus, Siauw liong, bagus sekali! Pukul jatuh padanya!" Bun Sam berteriak girang sambil bertepuk tangan.
Burung rajawali yang sedang berkelahi dengan Siauw liong dan terkena sabetan ekor ular besar itu, ketika mendengar sorakan Bun Sam, agaknya menjadi marah sekali kepada anak ini! Seakan akan mengerti ucapan Bun Sam yang menjadi lawannya, ia menjadi marah kepada anak ini dan cepat ia menyambar ke arah Bun San sambil mengeluarkan pekik nyaring.
Biarpun serangan itu cukup cepat namun mata Bun Sam yang sudah terlatih baik itu dapat melihatnya dengan baik dan dengan tenang ia dapat melompat untuk menghindarkan diri dari serangan ini. Akan tetapi tetap saja ia menjadi pucat bukan karena serangan itu, akan tetap karena melihat betapa burung ini benar benar hebat dan menyeramkan. Setelah dekat barulah ia melihat betapa burung ini besar sekali dan matanya seperti emas berkilauan dan pekiknya nyaring memekakkan telinga.
Melihat serangannya dapat dielakkan, burung itu makin marah dan ia agaknya telah lupa kepada ular yang tadi diserangnya. Kemarahannya telah pindah kepada Bun Sam yang berdiri sambil tersenyum mentertawakannya. Kembali ia menyambar anak itu, kini dengan cakar dan sayap memukul, akan tetapi Bun Sam yang gesit kembali melompat ke kiri dan burung itu menerkam tempat kosong. Akan tetapi ternyata burung ini luar biasa sekali karena biarpun menubruk tempat kosong, ia dapat membalikkan tubuh di udara demikian cepatnya, sehingga sebelum Bun Sam dapat bersiap siap burung itu kembali telah menubruknya dari samping.
Kim Kong Taisu semenjak tadi hanya menonton saja sambil mengelus elus jenggotnya yang panjang. Bahkan sekarangpun ketika Bun Sam terancam bahaya serangan yang ketiga kalinya ini, kakek itupun masih tenang tenang saja. Akan tetapi pada saat itu, bayangan hitam dari Yap Bouw menyambar dan burung itu terpental jauh ketika tangan Yap Bouw yang kuat mendorongnya ke belakang dalam usahanya menolong Bun Sam.
Burung itu mengeluarkan pekik lebih nyaring dari pada tadi dan kini ia melayang layang di atas kepala Yap Bouw, kembali berganti lawan.
"Yap Bouw, jangan bunuh dia! Tangkap hidup hidup!" kata Kim Koog Taisu dengan wajah berseri gembira.
Burung itu setelah melayang layang beberapa kali agaknya lebih berhati hati menghadapi si baju hitam yang ternyata sanggup mendorongnya sedemikian kerasnya. Kemudian ia memekik keras dan tubuhnya menyambar ke bawah bagaikan batu besar jatuh dari atas, menuju ke arah kepala Yap Bouw. Si muka tengkorak ini cepat mengejek, tidak seperti Bun Sam tadi dengan jalan melompat jauh, melainkan hanya miringkan tubuhnya, sehingga sayap dan ekor burung itu hanya lewat beberapa dim saja dari tubuhnya. Sambil miringkan tubuh, Yap Bouw mengulur tangan kirinya, merangkap kedua kaki burung itu. Akan tetapi tak disangkanya bahwa burung itu demilikan cerdiknya. Ketiki melihat lawan nya menyambar kaki, burung itu menarik kakinya, menyembunyikan di dalam bulu di bawah dada, sehingga Yap Bouw menangkap angin. Burung itu terbang lagi melayang layang di atas kepala Yap Bouw sampai beberapa kali sambil mengeluarkan pekik pendek pendek yang bunyinya seperti suara ketawa orang yang tua mengejek.
Yap Bouw yang tidak bisa bicara itu nampak nya gemas juga. Ia mengepalkan tangan kanannya dan diacung acungkan ke atas, ke arah burung itu dalam sikap menantang. Tentu saja bekas jenderal ini marah dan mendongkol sekali. Dia bekas jenderal yap Bouw yang pernah menjadi seorang panglima gagah perkasa dan telah merobohkan entah berapa banyak panglima besar musuh, seorang yang terkenal ahli siasat perang dan memiliki ilnu silat tinggi, yang pernah menjatuhkan Ulan Tanu dari Mongol yang tersohor, sekarang tidak berdaya menghadapi seekor burung.
Kembali burung rajawali bermata emas itu menyambar turun kini dengan kedua cakar terpentang di kanan kiri agak berjauhan dan selain itu juga sepasang sayapnya menyabet nyabet dan patuknya yang panjang besar dan kuat itu menyerang seperti sebatang tombak. Akan tetapi Yap Bouw tidak menjadi gugup. Kalau saja burung itu tidak memiliki kelebihan daripadanya, yakni sepasang sayap yang membuat binatang itu dapat terbang, dalam segerakan saja Yap Bouw sanggup menangkap atau setidaknya mengalahkannya. Yap Bouw menghadapi serangan yang hebat ini dengan menyuruk ke depan dan mengibaskan kedua lengannya melindungi kepala, sehingga ia berbasil menerobos melalui bawah tubuh burung itu dan berhasil pula menangkap kedua kaki yang mencengkeram. Kemudian secepat kilat ia membalikkan tubuhnya dan sekali menggerakkan tangan, ia dapat menangkap ekor burung dengan tangan kanan dan leher burung itu dengan tangan kiri.
"Ha, sekarang tertangkaplah kau!" Bun Sam yang semenjak tadi menonton pertempuran itu dengan mulut ternganga saking kagumnya, kini bersorak kegirangan. "Suhenng, jangan lepaskan ayam terbang itu!" Sengaja Bun Sam menyebut burung itu ayam terbang untuk mengejeknya.
Akan tetapi benar benar di luar dugaan Yap Bouw bahwa burung itu masih dapat melepaskan diri. Ketika merasa lehernya, terpegang oleh tangan yang amat kuat, kedua cakarnya lalu mencengkeram ke depan. Untuk melindungi kulit lengannya dari cakaran kuku yang lebih runcing daripada pedang itu, terpaksa Yap Bouw melepaskan leher dan berganti memegang sebelah kaki. Akan tetapi kembali patuk yang kini lehernya telah bebas itu menyerang bukan ke arah tangan lawan, melainkan ke arah mata Yap Bouw. Bukan main hebatnya serangan itu. Kalau bukan Yap Bouw yang diserang, mungkin orang akan menjadi buta atau sedikitnya rusak mukanya. Yap Bouw berlaku waspada. Ia melepaskan pegangannya pada kaki burung, menangkis ___ sambil membetot ekor burung sekerasnya, sehingga serangan burung itu terbetot ke belakang dan tiga helai bulu pada ekornya yang panjang dan ___ itu terlepas trcabut oleh Yap Bouw yang mempergunakan tenaganya.
Burung itu memekik keras seperti merasa kesakitan lalu meronta sekuat tenaga, sehingga tak tertahan lagi oleh Yap Bouw, kemudian terbang ke atas sambil melepas kotoran dari bawah ekornya. "Serangan" yang curang ini benar benar tak disangka oleh Yap Bouw, sehingga biarpun ia melompat pergi, tetap saja beberapa bagian dari kotoran yang cair menghitam itu masih mengenai lengan nya, menimbulkan bau yang tidak sedap.
Mau tak mau Bun Sam tertawa geli dan baru mendekap mulutnya ketika Yap Bouw memandang nya dengan mata mendelik. Kim Kong Taisu iuga tersenyum, lalu berkata,
"Benar benar seekor Kim gan tiauw (Rajawali Bermata Emas) yang cerdik dan kuat." Selelah berkata demikian kakek ini mengulur tangannya dan tahu tahu kain pengikat kepala Bun Sam telah di renggutnya terlepas. Kakek ini lalu memutar mutar kain pengikat kepala itu dan tiba tiba dilontarkannya kain yang sudah berbentuk tali itu ke atas, ke arah Kim gan tiauw yang masih terbang berputaran sambi1 matanya memandang ke arah tiga orang manusia yang menggangunya.
Tali kain itu melayang cepat sekali bagaikan seekor ular terbang dan dengan tepat menyambar ke arah paruh Kim gan tiauw. Burung itu mungkin mengira bahwa yang menyerangnya ini tentulah seekor ular, maka cepat ia mematuknya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mematuk tengah tengah tali seperti ular itu, patuknya merasai tubuh yang lunak dan kepala serta ekor dari "ular" ini terus membelit kedua sayapnya. Burung ini menggerak gerakkan sayap dan kedua kakinya, akan tetapi makin keras ia bergerak makin ruwetlah tali itu melibat leher dan sayap. Sambil memekik mekik ketakutan, bagaikan sebuah batu besar dilepaskan dari atas, burung itu jatuh ke bawah.
"Yap Bouw sambut dia! Kalau menimpa karang ia akan mati!" kata Kim Kong Taisu.
Si muka tengkorak cepat melompat dan dengan tepat sekali ia dapat menyambar kaki burung itu sebelum tubuh burung itu hancur menimpa batu karang. Tanpa menanti perintah lagi, Yap bouw lalu melepaskan tali pengikat kepalanya yang panjang untuk diikatkan kepada kedua kaki binatang itu dan sambil memegangi lehernya agar patuk nya tidak menyerangnya, Ia memanggul binatang yang besar itu menghampiri gurunya.
Kim Kong Taisu memandang ke arah burung itu dan meneliti kepala dan sayapnya.
"Benar benar Kim gan tiauw yang datang dari utara. Bagaimana ia bisa sampai di sini" burung ini adalah raja burung di daerah utara dan dalam hal kecerdikan serta kekuatan, mungkin hanya Pek bin eng (Garude Muka Putih) saja yang dapat mengimbanginya. Berbeda dengan garuda, burung rajawali ini mudah dijinakkan." Setelah berkata demikian, Kim Kong Taisu lalu menotok pangkal leher dan pangkal kedua sayap burung itu.
"Sekarang boleh dilepaskan ikatannya," kata nya kemudian. Yap Bouw lalu melepaskan ikatan pada burung itu, burung itu berdiri di atas kedua kakinya dan Bun Sam menjadi makin kagum saja karena tinggi burung itu tidak kalah olehnya. Dengan amat gagah burung itu berdiri dengan dada di angkat kedepan dan kepala tegak. Akan tetapi ketika ia hendak menggerakkan leher dan sayap untuk terbang ia kecele, karena sayapnya telah menjadi lumpuh oleh totokan tadi. Juga ketika ia hendak menverang dengan petuknya, lehernya terasa sakit sekali. Maka tahulah dia bahwa kakek di depannya ini bukan tandingannya. Ia diam saja dan menurut saja ketika Yap Bouw mengajaknya pergi dari situ. Bahkan ketika Siauw liong merayap menghampri nya dan dengan hidungnya mencium cium kakinya burung ini hanya melirik dengan gelisah saja. Bun Sam mau tidak mau tertawa juga ketika melihat sikap Siauw liong, ular jinak ini yang seperti seekor anjing saja.
Berkat kesaktian Kim Kong Taisu, Kim gan tiauw ini dapat dijinakkan dan mulai hari itu Bun Sam mempunyai seorang sahabat.baru lagi. Oleh Kim Kong Taisu, burung rajawali itu diberi sama Sin tiauw (Rajawali Sakti). Datangnya burung ini merupakan keuntungan besar bagi Bun Sam karena pertempuran antara burung dan ular itu memberikan inspirasi kepada kakek ini untuk menciptakan sebuah ilmu silat yang diambil dari gerakan ular dan rajawali itu. Setelah burung itu menjadi jinak benar, beberapa kali Kim Kong Taisu menyuruh kedua binatang itu bertempur dan dengan penuh perhatian ia menonton pertempuran ini untuk dipetik gerakan gerakan yang baik untuk memperlengkapi ilmu silat yang diciptakannya. Beberapa bulan kemudian, terciptalah dua macam ilmu silat, keduanya ilmu silat tangan kosong yang disebut Ilmu Silat Sin tiauw ciang hwat dan Siauw liong kun hwat (Ilmu Silat Rajawali Sakti dan Ilmu Silat Naga Kecil). Ilmu silat ini sama kuat, sungguhpun masing masing mempunyai keistimewaan sendiri dan Bun Sam menerimma latihan ilmu silat dua macam ini sebagai pemilik tunggal. Yap Bouw sendiri tidak mempelajari ikmu silat ini.
Karena Setiap hari Bun Sam bermain main dengan Sin tiauw dan Siauw liong dan ada kalanya secara main main "bertempur" melawan kedua binatang yang telah jinak seperti kucing atau burung peliharaan ini, maka diam diam ia dapat menyempurnakan gerakan ilmu silatnya meniru gerakan kedua kawannya ini. Bahkan ia menemukan gerakan gerakan kedua binatang ini yang benar benar lihai, gerakan gerakan yang terlewat oleh pandang mata kim Kong Taisu yang tidak begitu dekat perhubungannya dengan Siauw liong dan Sin tiauw. Oleh karena itu, tanpa disadarinya ilmu silat Sin tiauw ciang hwat dan Siauw liong kun hwat yang dimiliki oleh Bun Sam menjadi lebih masak dan sempurna.
Kita tinggalkan dulu Bun Sam yang belajar ilmu kepandaian dengan amat tekun dan rajin di puncak Gunung Oei san di bawah gemblengan suhunya, Kim Kong Taisu dengan bantuan suheng nya, Yap Bouw bekas jenderal yang ternama itu.
Sian Hwa, puteri tunggal dari Can kauwsu (guru silat Can) atau Can Goan, semenjak berusia tiga tahun telah ditinggal mati oleh ibunya. Dan semenjak itu, sampai berusia empat tahun ia hidup berdua saja dengan ayahnya. Can Goan mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang dan semenjak anak ini dapat bicara, ia telah menceritakan segala macam dongeng tentang kegagahan pada Sian Hwa. Can Goan sebagai seorang ahi silat yang gagah dan tabah sekali, tanpa disadarinya telah menjejali ketabahan dan keberanian yang luar biasa dalam diri puterinya. Bahkan ia sering kali menceritakan tentang pendekar pendekar wanita yang pantang menangis, sehingga Sian Hwa setelah berusia empat tahun merasa malu untuk menangis. Memang anak ini kadang kadang menangis, akan tetapi tangisnya tidak bersuara. Hanya air matanya saja yang membasahi pipi akan tetapi ia menekan isak dan sedu sedan. Ayahnya sendiri sering kali merasa heran melihat kekerasan hati anaknya yang masih kecil itu.
Demikian pula, ketika ditangkap oleh Bucuci setelah ayahnya dibunuh dan rumahnya dibakar, Sian Hwa sama sekali tidak menangis. Memang betul air matanya mengalir saking menahan sakit ketika ia dibawa keluar dari rumahnya dengar rambut di jambak oleh Bucuci, seperti seekor kelinci. Akan tetapi tak pernah ia berteriak atau mengeluh. Sungguh seorang anak yang luar biasa dan jarang dicari duanya.
Ketika Bucuci memondongnya dan tidak jadi melemparnya ke dalam api, bahkan lalu membawanya lari, Sian Hwa tidak menjadi takut. Baru ia merasa ngeri ketika melihat betapa cepat larinya orang yang pakaiannya dipasangi kerincingan ini. Memang luar biasa sekali cepatnya, seakan akan kedua kaki Bucuci tidak menginjak tanah.
"Ha. ha, ha, kau patut menjadi anakku, kau tabah dan berani sekali," berkali kali Bucuci tertawa seorang diri sambil mempercepat larinya.
"Aku tidak mau menjadi anakmu. Aku anak ayah, aku ingin pulang kepada ayah!" tiba tiba Sian Hwa menjawab kata kata Bucuci dengan suara nyaring.
Bucuci tertawa lagi. "Ayahmu" Ha, ha, ha! Akulah ayahmu, kau harus menjadi puteri seorang yang gagah perkasa, harus mempunyai seorang ibu yang cantik jelita seperti Kui Eng."
"Ayahku seorang gagah perkasa," kata Sian Hwa lagi.
Mendengar ini, Bucuci menunda larinya. Ia memandang kepada wajah anak itu yang menentang matanya dengen berani.
"Anak tikus! Ayahmu itu orang apa Menghadapi Ngo jiauw eng saja sudah mampus. Kau mau lihat orang gagah" Inilah dia, aku Bucuci ayah mu. Lihat, apakah orang she Can itu sanggup menandingi tenaga dan kepandaianku?" ia menurunkan Sian Hwa di pinggir jalan, kemudian bagaikan seorang mabuk, Bucuci tertawa tawa dua menghampiri sebatang pohon yang besarnya melebihi tubuhnya sendiri. Dengan cepat ia menggerakkan kedua tangannya sambil berseru keras sekali dan" batang pohon itu patah pada tengah tengahnya, lalu tumbang bagaikan ditebang saja.
"Ha, ha, ha, dapatkah dia menyamai tenagaku" Dapatkah dia menandingi kecepatanku ?" Sambil berkata demikian, tubuhnya yang pendek tiba tiba lenyap dari pandangan mata Sian Hwa yang sejak tadi memandang dengan kagum.
"Ha, aku di sini, anakku!" Ketika Sian Hwa menengadah, ternyata orang itu telah berada di puncak pohon yang tinggi, kemudian bagaikan seekor burung saja, Bucuci melayang turun, menyambar tubuh Sian Hwa yang dibawanya melompat naik ke atas pohon yang tadi pula. Sian Hwa merasa seakan akan jantungnya hendak copot, mukanya pucat akan tetapi biarpun ia ketakutan sekali melihat tanah yang demikian dalamnya di bawah kakinya. ia tidak mau berteriak.
"Katakan sekarang, apakah aku tidak lebih gagah perkasa dari pada ayahmu yang telah mampus itu?"
Sian Hwa baru berusia empat tahun. Tentu saja belum begitu pandai menangkap pembicaraan orang. Akan tetapi harus diakui bahwa kepandaian orang ini benar benar hebat, melebihi ayahnya. Dia semenjak kecil telah dididik kejujuran oleh ayahnya, maka katanya terus terang,
"Memang kau lebih gagah perkasa."
Bukan main girangnya hati Bucuci. Sungguh mengherankan, ribuan orang dewasa setiap hari memuji muji kepandaiannya akan tetapi semua pujian itu diterimanya dengan perasaan jemu. Akan tetapi sekarang, pujian yang keluar dari mulut anak kecil ini, membuat ia berdebar girang dan bangga, ia membawa Sian Hwa melompat turun lagi sehingga anak itu terpaksa memicingkan kedua matanya.
"Sekarang akulah ayahmu karena aku lebih gagah," kata Bucuci pula. "Dan kau akan mempunyai ibu yang bijaksana dan cantik seperti bidadari. Dan kau akan menjadi puteri Bucuci yang cantik seperti ibunya dan gagah seperti ayahnya." Sambil berlari lari cepat, Bucuci berkata kata terus didengar tanpa dijawab oleh Sian Hwa yang hanya mengerti setengah setengah.
Bucuci membawa lari Sian Hwa sampai setengah malam lebih dan setelah fajar menyingsing barulah ia tiba di tempat tinggalnya, yakni di sebuah kota yang berada di sebelah barat kota raja Sian Hwa telah tidur nyenyak dalam gendongannya karena lelah.
Rumah Bucuci adalah sebuah rumah besar dan kuno, bekas rumah seorang panglima Han yang telah gugur dan semua penghuninya telah dibasmi habis. Baru saja sampai di pekarangan depan, Bucuci telah berseru girang dengan suara yang amat keras dan nyaring.
"Kui Eng,... manis".! Keluarlah dan lihat apa yang kubawa untukmu".!"
Teriakannya ini amat keras, sehingga Sian Hwa yang tidur menjadi kaget dan terbangun. Akan tetapi, lebih cepat lagi adalah gerakan Bucuci karena baru saja gema suaranya lenyap, ia telah berada di ruang depan. Memang Kui Eng, isterinya yang baru itu mendengar suaranya ini, akan tetapi sebelum ia keluar, Bucuci telah masuk ke dalam kamarnya. Hal ini tidak mengherankan Kui Eng, karena ia tahu bahwa suaminya ini memang memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya.
Kui Eng bukanlah seorang wanita yang keras hati dan yang berani berlaku nekat. Memang ia amat berduka karena suami dan keluarganya dibunuh dan ia dipaksa menjadi isteri Bucuci, akan tetapi ia tidak berani membunuh diri. Dengan hati hancur ia menyerahkan diri kepada nasib dan berusaha sedapat mungkin untuk menjadi isteri yang baik dan untuk mencari kebahagiaan baru dalam pernikahan paksaan ini. Ia akui bahwa terhadap dia, Bucuci amat menyayang, penuh perhatian dan cinta kasih, sehingga boleh dibilang suami baru ini akan suka minum arak dari sepatunya. Akan tetapi, biarpun Kui Eng hidup mewah dan terkasih, ia selalu tak dapat melpakan anaknya yang terbunuh pula dalam amukan barisan Ang bi tin. Biarpun bukan Bucuci yang membunuh anaknya, akan tetapi ta menganggap secara tidak langsung, suaminya yang baru inilah yang mengakibatkan kematian anaknya yang terkasih.
Kui Eng memang cantik jelita, benar seperti yang dikatakan oleh Bucuci terhadap Sian Hwa. Nyonya ini berusia antara duapuluh dua tahun dan selain cantik jelita, juga amat pandai membuat syair, melukis dan menyulam. Wataknya halus dan lemah lembut maklum seorang wanita terpelajar dan bekas isteri seorang panglima.
Di pagi hari itu, Kui Eng nampak makin cantik dengan rambutnya yang kusut, sehingga untuk kesekian kalinya Bucuci berdiri di ambang pintu dengan mata terpesona. Untuk kesekian kalinya ia jatuh cinta kembali kepada isterinya yang baru ini.
Akan tetapi Kui Eng tidak melihat kepadanya karena nyonya ini sedang memandang dengan mata terbelalak kepada Sian Hwa.
"Siapakah dia"..?" ia bertanya dengan suara perlahan.
Bucuci tertawa girang. "Coba terka siapa dia" Dia adalah" anakmu, Kui Eng, anak kita. Manis bukan" Kau suka padanya?" Kemudian sambil membelai rambut Sian Hwa. Bucuci berkata. "Nah itulah ibumu, nak. Camtk sekali bukan" Kalian memang cocok sekali menjadi ibu dan anak."
Akan tetapi Kui Eng telah melompat, turun dan setengah berian menghampiri mereka. Dipondong nya Sian Hwa dengan mata basah dan mulut tersenyum karena ia merasa terharu, girang dan sedih. Ia dapat menduga bahwa anak ini tentulah anak yang dipilahkan dengan paksa dari orang ruanya. Ia telah mendengar tentang pekerjaan suaminya sebagai perwira Ang bi tin.
"Anakku manis, siapakah namamu?" sambil mencium jidat Sian Hwa, Kui Eng bertanya. Sikap dan suaranya amat manis dan halus, sehingga San Hwa menjadi suka sekali. Anak ini sudah hampir lupa akan ibunya dan kini mendapatkan ibu yang demikian ramah tamah, tentu saja ia menjadi amat terhibur. Hati yang kecil itu penuh oleh perasaan terharu dan ketika ia didekap oleh nyonya itu ke dadanya, tak dapat tertahan lagi menangislah Sian Hwa terisak isak.
Bucuci menjadi bengong menyaksikan hal ini. Anak itu tadi tak pernah menangis, bahkan ketika dijambak keluar dan rumah dan hendak dilempar ke dalam api, tak pernah mengeluh atau menangis, akan tetapi sekarang sekali saja dipeluk atau dicium oleh Kui Eng, lalu menangis sedemikian sedihnya.
"Aneh" aneh" perempuan memang makhluk aneh, masih sebegini kecilpun sudah merupakan teka teki bagiku !" kata orang kate ini sambil menggeleng gelengkan kepala.
"Keluarlah kau dulu, berganti pakaian. Biar aku membujuk anak ini." kata Kui Eng hulus kepadanya.
Bucuci tak pernah menolak permintaan Kui Eng, akan tetapi ketika hendak keluar dari pintu, ia mendekati isterinya itu dan menyentuh pipinya dengan mesra. "Katakan bahwa kau senang dengan oleh oleh yang kubawa ini, manis."
Kui Eng mencium rambut Sian Hwa dengan penuh kasih sayang.
"Aku senang sekali, terima kasih". Aku senang sekali!"
Dengan hati sebesar gunung Bucuci lalu keluar dari kamar itu. Memang amat mengherankan sekali pengaruh dari cinta kasih. Seorang manusia seperti Bucuci yang sudah bertahun tahun berkecimpung dalam peperangan, yang sudah banyak sekali membunuh lain manusia tanpa berkejap mata, membakar rumah, menganiaya orang, membinasakan keluarga perwira Han dan lain kebuasan lagi sambil tersenyum, seorang perwira yang sudah mengeras hatinya dan tidak mengenal kasihan lagi, setelah menjadi korban cinta kasih, dapat menjadi demikian lemah lembut dan mesra di depan kekasih nya ! Benar benar aneh kalau bagi orang lain mungkin Bucuci kelihatan seperti seekor harimau yang galak dan ganas, tapi dalam pandangan Kui Eng, laki laki ini merupakan seekor domba yang jinak dan penurut!
Sian Hwa masih terlalu kecil untuk dapat mengingin she nya (nama turunannya) yang sebenarnya, maka ketika Kui Eng mengganti shenya (nama keturunan) dari Can menjadi Tan, ia tidak mengetahui perbedaannya. Semenjak hari ini, namanya menjadi Tan Sian Hwa. Nama keturunan ini adalah nama keturunan Kui Eng sendiri.
Bucuci mendapatkan kebahagiaan besar setelah Sian Hwa menjadi anak mereka. Benar saja, kini Kui Eng bagaikan sebuah lampu minyak mendapat tambahan minyak lagi. Wajahnya berseri dan ia mulai tersenyum senyum, apalagi kalau ada Sian Hwa di sampingnya. Kini kehidupan nyonya ini ada isinya lagi, tidak kosong dan hampa, ia bahkan dapat membalas cinta kasih suaminya sebagai perasaan terima kasih bahwa Bucuci telah mendapatkan Sian Hwa. Selain perobahan sikap Kui Eng, yang amat menyenangkan hatinya itu, Bucuci juga mengalami perasaan yang aneh sekali terhadap Sian Hwa. Ia menjadi sayang kepada anak yang mungil dan lucu itu, apalagi setelah Sian Hwa benar benar lupa kepada ayah bundanya sendiri dan menyebut Bucuci "ayah" dengan sepenuh hatinya. panglima Ang bi tin yang kate ini merasakan kebahagiaan seorang ayah sejati. Sering kali ia merasa bersukur bahwa dahulu ia tidak jadi membunuh Sian Hwa.
Suami isteri ini lalu berlumba untuk mendidik Sian Hwa. Kui Eng mendidiknya dalam ilmu surat dan kerajinan tangan, adapun Bucuci mulai menurunkan ilmu silatnya yang lihai. Semenjak berusia empat tahun. Sian Hwa telah ia didik dengan dasar dasar ilmu silat, bahkan tidak pernah lupa untuk memberi minum obat obat yang besar sekali khasiatnya guna perkembangan jasmani dan penguat tulang serta pembersih darah.
"Aku akan membikin anakku kelak menjadi gadis yang cantik dan tergagah di seluruh dunia?" Sering kali Bucuci berkata kepada isterinya.


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kui Eng hanya tersenyum dan biarpun sakit hatinya terhadap pembasmian keluarganya yang dahulu telah mulai menghilang, ia masih saja merasa tidak senang melihat suaminya ini menjadi perwira dari barisan Ang bi tin yang ditakuti semun orang.
"Mengapa kau tidak mencari pekerjaan lain" Dengan kepandaianmu kau tentu dapat memilih kedudukan baru di kota raja, tidak seperti sekarang, menjadi perwira Ang bi tin yang pekerjaannya sama dengan algojo. Sungguh mengerikan! Sesungguhnya sering kali di waktu malam apabila aku teringat akan pekerjaanmu, aku menjadi takut dan merasa ngeri kepadamu !"
Bucuci tertawa geli. Lalu memegang tangan isterinya sambil berkata dengan halus, jauh sekali bedanya dengan suaranya yang keluar dari mulutnya apabila ia berada jauh dari isterinya.
"Isteriku yang kusayangi, memang dipandang sepintas lalu saja tuduhanmu itu ada betulnya juga. Akan tetapi kau agaknya tidak tahu bahwa Ang bi tin adalah pasukan yang sebetulnya dikendalikan oleh pemerintah juga. Ang bi tin merupakan pasukan rahasia, pasukan yang tugasnya mencari dan membinasakan orang yang dicurigai dan yang mempunyai kehendak akan memberontak. Kalau orang orang ini dibiarkan saja mereka yang terdiri dari orang orang berkepandaian silat itu tentu akan merupakan kesatuan yang amat kuat dan membahayakan ketenteraman pemerintah. Tunggulah saja, isteriku. Setelah pemberontak pemberontak itu dapat dibersihkan, sebuah pangkat yang tinggi telah tersedia untuk suamimu ini!"
Kui Eng yang tidak mengerti tentang siasat dan peraturan pemerintah baru itu, percaya saja.
Dan memang sebetulnya ucapan Bucuci tadi benar belaka. Ang bi tin walaupun bukan merupakan pasukan resmi, namun didukung dan dibantu oleh pemerintah Goan tiauw.
Kurang lebih setahun kemudian, ketika Sian Hwa sudah berusia lima tahun, anak ini telah diberi pelajaran ilmu silat yang lumayan juga. Dan alangkah girangnya hati Bucuci setelah ternyata bahwa anak ini lebih suka melatih ilmu silat dari pada melatih kepandaian menyulam atau membaca buku. Ternyata bahwa bakat ilmu silat anak ini amat baik. Sesungguhnya hal ini tidak amat mengherankan hati Bucuci karena ia ingat bahwa anak ini adalah puteri dari seorang guru silat.
Pada suatu hari yang cerah, di dalam kebun bunga yang terkurung tembok dari rumah gedung Bucuci, nampak Sian Hwa pagi pagi telah melatih diri dan memainkan ilmu silat yang dipelajarinya dari ayahnya. Anak ini memang rajin sekali dan mempunyai kebiasaan yang amat baik, yakni pagi pagi benar pada waktu ayam berkokok telah bangun dan berlatih silat di dalam kebun.
Semenjak tadi ia melatih ilmu pukulan yang hanya beberapa jurus itu berulang ulang, sehingga tubuhnya menjadi basah oleh peluh. Karena hawa pagi itu dingin, maka peluh yang keluar dari tubuhnya itu dibarengi oleh uap putih yang keluar dan laher dan kepalanya.
Ketika untuk kesekian kulinya Sian Hwa mengulangi lagi latihannya, tiba tiba terdengar suara ketawa dan disusul oleh suara mengejek, "Ha, ha ilmu silat yang buruk sekali! Buruk dan lucu!"
Sian Hwa menjadi kaget dan marah, lalu cepat menengok, ia melihat seorang anak laki laki berusia. kurang lebih tujuh tahun berdiri di atas tembok yang mengurung kebun itu. Anak ini berpakaian indah, berwajah tampan dan rambutnya agak kemerahan.
"Monyet kurang ajar, ayoh kau pergi dari sini!" Sian Hwa memaki sambil menudingkan telunjuknya.
Akan tetapi anak laki laki itu tdak pergi, bahkan lalu melompat ke dalam kebun. Dari lompatan ini saja dapat diketahui bahwa ia telah mempelajari ilmu silat dan ilmu ginkang dari guru yang pandai. Akan tetapi Sian Hwa belum dapat berpikir sejauh itu dan pula, dalam hal keberanian anak ini takkan kalah oleh anak laki laki yang manapun juga.
Melihat anak itu melompat ke dalam kebun dan berdiri bertolak pinggang di hadapannya, merahlah wajah Sian Hwa saking marahnya,
"Kau kurang ajar! Apakah kau masuk hendak mencuri?"
"Ya, aku memang hendak mencuri. Hendak mencuri kembang!" anak itu berkata sambil menghampiri sebatang pohon bunga cilan yang penuh dengan bunga.
"Tidak boleh, jangan mencuri kembangku!" Sian Hwa membentak, akan tetapi anak laki laki itu telah memetik setangkai bunga cilan dan dengan sengaja ia menciumi bunga itu sambil mengejek dan tertawa, "Hm, alangkah wanginya !"
"Kembalikan kembangku, maling jahat! Dan pergilah, kalau tidak, kupakui kau !" Kini Sian Hwa menjadi marah sekali. Gadis cilik berusia lima tahun ini melangkah maju dengan dua tangan terkepal.
"Kau hendak memukul aku" Ha, ha, ha kau mau memukul dengan kepalan tahu itu" Aduh ___aya, jangan jangan tanganmu menjadi patah nanti!" Anak laki laki itu mentertawakan sambil melempar bunga cilan yang tadi dipetiknya di atas tanah.
Makin marahlah Sian Hwa mendengar sindiran dan ejekan ini, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menerjang maju, memukul dengan ilmu pukulan yang tadi dipelajarinya. Sungguhpun pukulun seorang anak kecil seperti Sian Hwa ini tentu saja amat lemah, namun oleh karena pukulan itu dilakukan dengan cara yang tepat, kedudukan kaki yang kuat dan datangnya mengarah bagian tubuh yang berbahaya, yakni di ulu hati, kalau mengenai sasaran akan lumayan juga. Akan tetapi.anak laki laki itu sambil memperdengarkan suara ketawa menghina, memiringkan tubuh dan sekali tangannya bergerak, ia telah menangkap pergelangan tangan Sian Hwa. Gadis cilik ini marah sekali dan segera menggunakan tangan kiri untuk menyusul dengan sebuah pukulan pula, akan tetapi kembali tangan kiri ini dapat tertangkap.
Sian Hwa tidak berdaya lagi. Ia mendongkol dan marah sekali, akan tetapi betapapun juga ia meronta ronta untuk melepaskan kedua tangannya, tenaga laki laki itu jauh lebih besar dari padanya dan pegangan itu tak dapat dilepaskan.
"Lepaskan....! Lepaskan, kau bangsat! Awas, kalau ayah keluar kepalamu akan dipukul hancur!" Sian Hwa berteriak teriak, memaki maki akan tetapi anak laki laki itu tidak mau melepaskan pegangannya dan berkata,
"Tidak akan kulepaskan sebelum kau mengaku bahwa ilmu silatmu buruk dan lemah sekali. Kalau aku tidak sayang melihat kulitmu lecet lecet dan berdarah, aku sudah melemparkan kau ke pohon kembang berduri itu!"
Akan tetapi tentu saja Sian Hwa yang keras hati dan berani itu tidak sudi mengaku bahwa ilmu ulat yang ia pelajari dari ayahnya itu buruk dan lemah, "Ayah akan menghancurkan kepalamu membeset kulitmu, mengeluarkan isi perutmu!" berkali kali ia mengancam dengan marah sekali.
Akhirnya muncul juga Bucuci. Setelah seorang pelayan mengabarkan kepadanya tentang keributan yang terjadi di dalam kebun itu. Bucuci marah sekali mendengar bahwa anaknya ada yang mengganggu. Sekali ia melompat, tubuhnya berkelebat keluar dari rumah dan tiba di dalam kebun itu. Kerincingan kerincingan di bajunya berbunyi nyaring karena kalau Bucuci sedang marah, gerakan tubuhnya kasar dan kerincingan kecil kecil itu bergerak gerak terdengar dari jauh, Sian Hwa sudah kenal baik suara ini, maka ia lalu berseru, "Ayah, ada maling kecil memasuki kebun kita. Lemparkan dia keluar, ayah!"
Akan tetapi sungguh aneh sekali. Ketika melihat anak laki laki ini, tiba tiba muka Bucuci yang tadinya muram dan marah, kini berubah menjadi terang, bibirnya tersenyum dan matanya berseri.
"Ah, tidak tahunya Liem kong cu (tuan muda Liem) yang datang! Sian Hwa, dia bukan maling, dia adalah kawan baik sendiri Liem kong cu, dengan siapa kau datang dan mengapa jalan dari belakang" Sementara itu, mendengar suara kerincingan baju Bucuci, anak laki laki yang tampan dan berpakaian mewah itu telah melepaskan kedua tangan Sian Hwa dan menjura kepada Bucuci.
"Paman Bucuci, aku mendahului ayah yang sebentar lagi tentu akan tiba di sini juga."
"Ayahmu...." Liem goanswe akan datang...." tanya Bucuci girang, akan tetapi pada saat itu juga terdengar suara keras dari jauh.
"Bucuci, sediakan arak wangi dan daging harimau!" Suara ini terdengar masih jauh, akan tetapi telah bergema seperti suara yang keluar dari mulut seekor singa.
Bucuci lalu bertepuk tangan tiga kali dengan kerasnya. Dua orang pelayan yang sudah tahu akan tanda dari majikannya ini cepat datang ke kebun itu dengan berlari lari.
"Lekas sediakan meja pertemuan di kebun ini. Ambillah arak wangi yang paling baik dan katakan kepada hujin (nyonya) untuk mengeluarkan daging harimau yang direndam dalam arak kemudian minta kepada hujin supaya keluar untuk menemani Liem goanswe beserta Liem kongcu!"
Dua orang pelayan itu berlari lari pergi untuk melakukan perintah ini. Baru saja mereka pergi dari atas tembok yang mengurung kebun itu melayang tubuh seorang laki laki yang bertubuh tinggi besar sekali seperti seorang raksasa. Iapun berpakaian baju perang yang amat gugah bernama hijau, pedangnya yang panjang menempel pada punggungnya dan mukanya yang lebar itu benar benar gagah, mengingatkan orang akan muka Kwan In Tiang, seoarang tokoh besar dari jaman Sam kok. Sepasang matanya bundar seperti mata harimau galaknya, berputar putar memandang ke depan dengan berani dan gembira. Ketika kedua kakinya turun ke atas tanah. Tidak terdengar sesuatu, akan tetapi Sian Hwa merasa betapa tubuhnya tergetar terbawa oleh getaran tanah yang diinjaknya, seakan akan baru saja ada benda yang amat berat jatuh di dekatnya.
Bucuci cepat memberi hormat dengan menjura dalam dalam, dan laki laki tinggi besar yang berpakaian jenderal itu tertawa terbahak bahak.
"Tak usah banyak penghormatan Bucuci. Akupun datang bukan sebagai jenderal dan atasanmu, melainkan sebagai seorang kawan. Kalau sebagai jenderal, tentu banyak pengikutku dan masukkupun bukan dari tembok belakang. Ha, ha, ha!" Kemudian ia mengusap usap rambut anak laki laki tadi sambil berkata lagi "Aku sedang berjalan jalan dengan Swee ji (anak Swee) dan kebetulan saja lewat di sini. Swee ji yang memaksaku untuk mampir di sini karena katanya sudah amat lama tidak berkunjung ke rumahmu."
"Kami girang sekali, Liem goanswe. Kami mendapat kehormatan besar sekali." Dengan ramah tamah sekali Bucuci lalu mengatur meja kursi yang dibawa oleh pelayan lalu mempersilakan Jenderal Liem duduk di situ. Juga Liem Swee. Anak itu, yang tersenyum senyum memandang Sian Hwa duduk di samping ayahnya.
Pendekar Setia 7 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah 3
^