Pencarian

Pedang Sinar Emas 28

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 28


"Mungkin ada hubungannya dengan muncul nya partai baru yang menyebut diri Thian hwa kauw (Agama Bunga Surga). Kabarnya para locianpwe hendak melakukan pertemuan dan agaknya di sinilah tempatnya," kata Thio Kun.
Bhok Coan sudah mendengar tentang munculnya perkumpulan agama sesat itu. Memang banyak sekali pihak Mo kauw (agama sesat) yang mendirikan perkumpulan bermacam macam dan yang selalu bertentangan dengan cabang cabang persilatan yang sudah ada, akan tetapi kabarnya Thian hwa kauw ini merupakan perkumpulan agama yang lain daripada yang lain. Kabarnya banyak sekali orang gagah yang menceburkan diri dan mau menjadi anggauta perkumpulan ini, bahkan banyak anak murid partai partai besar meninggalkan perguruan dan menggabungkan diri dengan Thian hwa kauw ini. Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan kiranya sekarang para locianpwe itu hendak merundingkan soal ini di tempatnya, sekalian menghadiri perayaan she jit nya! Diam diam di samping kebanggaan mendapat kehormatan besar ini, juga Sin siang to Bhok Coan merasa gentar. Siapa tahu, kalau kalau akan terjadi sesuatu yang hebat di sini!
Akan tetapi, dalam kegembiraannya Bhok Coan tidak memikirkan pula akan hal itu. Ia menerima ucapan ucapan selamat dan banyak pula menerima sumbangan sumbangan dan tanda mata tanda mata dari para kawannya. Pesta berjalan gembira seakan akan takkan pernah terjadi sesuatu.
Song Bi Hui duduk di antara para locianpwe, kakek kakek dan dan nenek nenek yang sikapnya garang. Namun Bi Hui bersikap tenang saja, sepasang matanya menatap wajah setiap orang penuh perhatian, akan tetapi mulutnya diam saja tak pernah mengeluarkan suara.
Gadis ini banyak sekali berubah kalau di bandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu. Dahulu ia terkenal sebagai seorang gadis yang lincah gembira dan cantik jelita. Sekarang dia masih cantik, biarpun usianya sudah duapuluh delapan tahun lebih, bahkan kecantikannya lebih matang dan lenyap sifat kekanak kanakannya yang dahulu. Wajahnya masih nampak segar dan penuh kelembutan, akan tetapi sinar mata dan tekukan mulutnya membayangkan kegagahan dan kekerasan karena penderitaan. Memang, gadis ini banyak mengalami derita batin semenjak kedua orang tuanya terbunuh. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Bi Hui bertemu dengan dua orang sakti, yaitu Bu eng Lo kai pengemis kudisan dan Soat Li Suthai nenek bongkok. Dua orang ini kepandaiannya tinggi sekali. Lebih tinggi daripada ilmu kepandaian kedua orang tua Bi Hui. Oleh karena itu, menjadi murid mereka berarti kemajuan yang hebat juga untuk Bi Hui. Dari Bu eng Lo kai ia mendapat warisan ilmu ginkang dan silat tangan kosong sedangkan dari Soat Li Suthai ia menerima pelajaran ilmu pedang yang diciptakan dari tongkat nenek yang lihai itu.
Setelah menamatkan pelajarannya, kedua orang gurunya memberi ijin kepada Bi Hui untuk mulai merantau seorang diri dengan tujuan hanya satu, yaitu menyelidik tentang kematian ayah bundanya dan mencari serta membalas pembunuh orang orang tuanya.
"Bi Hui, kau pergilah ke kota Kwan leng si. Di sana Sin siang to Bhok Coan sedang mengadakan pesta she jit nya. Kabarnya tokoh tokoh kang ouw juga hendak mengadakan pertemuan di sana untuk membicarakan tentang munculnya Thian hwa kauw yang menghebohkan itu. Kau wakililah kami untuk datang ke sana. Selain kau akan bertemu dengan orang orang kang ouw, siapa tahu akan dapat mencari keterangan tenang pembunuh pembunuh orang tuamu, juga kau harus mewakili kami mendengar apa yang mereka lakukan terhadap agama baru itu. Sebagai murid kami kaupun harus memperlihatkan kesanggupanmu membantu usaha mereka, asal saja usaha itu menurut pendapatmu baik. Terserah kepadamu untuk mempertimbangkannya. Kami sudah terlalu tua untuk segala urusan macam itu. Nah, kau berangkatlah."
Maka pergilah Bi Hui, langsung ke Kwan leng si. Ia tidak memperdulikan pandang mata para tamu laki laki, terutama yang muda muda, pandang mata yang mengandung kekaguman dan agak kurang ajar. Diam diam ia mencari cari dan mengharapkan untuk dapat bertemu dengan tiga orang, yaitu Liem Kong Hwat atau Cia Kui Lian atau Sin tung Lo kai Thio Houw. Dari tiga orang ini kiranya ia akan dapat mulai penyelidikannya tentang pembunuhan orang tuanya. Akan tetapi ia tidak melihat seorangpun di antara mereka, maka ia menjadi kecewa dan membuka telinga mendengarkan percakapan para locianpwe yang duduk di dalam ruangan itu.
Tiba tiba seorang kakek tua menepuk meja keras keras sehingga cawan cawan arak berkerontangan.
"Sayang seribu sayang....!" katanya sambil menarik napas panjang. "Kalau Sin tung Lo kai Thio Lo enghiong dapat hadir di sini, alangkah senangnya mengadu kekuatan minum arak dengan dia!"
Seorang kakek lain yang berpakaian seperti tosu di sebelah kiri kakek tadi juga menarik napas.
"Jaman sekarang ini para penjahat tidak seperti dulu. Sekarang banyak oang tak tahu malu, banyak tikus tikus curang dan pengecut. Sin tung Lo kai yang gagah perkasa itu terpaksa tewas dalam keadaan penasaran, tak tahu siapa yang telah membunuhnya."
Mendengar ini, Bi Hui mengeluh di dalam hatinya. Jadi Sin tung Lo kai juga mengalmi nasib seperti ayah bundanya"
"Pembunuhan pembunuhan keji dan penuh rahasia yang seperti terjadi pada Sin tung Lo kai itu juga terjadi pada diri ketua Leng san pai di timur dan ketua Hek mau pang di pantai Huang ho. Hemm, ini bersamaan benar dengan anehnya kemunculan perkumpulan Thian hwa kauw!" kata Thian Beng Hwesio tokoh Go bi san yang mengebut ngebut kepalanya dengan kipas.
Mendengar disebutnya perkumpulan Thian hwa kauw ini, tidak hanya Bi Hui, juga yang lain lain segera menaruh perhatian besar. Tokoh Go bi pai itu melanjutkan kata katanya ketika melihat semua mata memandang ke arahnya.
"Bukan rahasia lagi bahwa munculnya Thian hauw kauw amat mencurigakan dan tak perlu di tutup tutupi lagi bahwa banyak anak murid partai partai besar telah murtad dan memasuki agama sesat itu."
"Ha, Thian Beng Losuhu lupa menyebutkan bahwa ada tiga orang murid Go bi pai, dua laki laki dan seorang gadis, semua masih amat muda muda, juga menjadi murtad dan ikut ikutan memasuki perkumpulan itu," berkata seorang kakek dengan tiba tiba sambil mengerling ke arah hwesio yang mengebutkan kipasnya itu.
Thian Beng Hwesio melirik ke arah kakek itu dan mukanya berubah.
"Kirarya Thian Cin Ciu Tosu juga sudah tahu akan hal itu. Hemm, memang memalukan sekali akan tetapi pinceng juga mendengar tentang murid murid Kun lun pai...."
"Memang, memang...." Thian Cin Cu kakek tokoh Kun lun pai mengangguk anggukkan kepala dengan cepat. "Tak perlu pinto menyangkal pula. Bahkan ada lima orarg pemuda anak murid kami yang lenyap dan kabarnya memasuki perkumpulan jahat itu. Benar benar memalukan nama baik kita?"
"Thian hwa kauw harus dibasmi dari muka bumi. Hanya tidak tahu di mana pusatnya, mohon cuwi beri tahu agar pinceng bisa pergi ke sana menangkap kepalanya," kata Pak Kong Hosiang hwesio tokoh Siauw lim pai dengan suara besar. Tiba tiba seorang pelayan memasuki ruangan itu dan menyerahkan kartu nama kepada Sin siang to Bhok Coan yang berseru gembira ketika membaca nama itu,
"Thiat pi Lee It Kong taihiap datang, lohu harus menyambutnya sendiri!" Cepat ia bangkit dari tempat duduknya dan keluar untuk menyambut tamu baru itu. Tak lama kemudian tuan rumah datang lagi mengiringkan seorang laki laki gagah, berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya tampan dan membayangkan perasaan kejujuran, lengannya buntung sebatas siku sehingga lengan bajunya tampak kosong dan tergantung tak berdaya di dekat pinggangnya. Di sebelah kiri laki laki buntung gagah yang bernama Thiat pi Lee It Kong ini, berjalan dua orang kakek terbongkok bongkok dibantu oleh tongkat mereka yang butut. Dua orang kakek ini tidak menarik perhatian orang, mereka ini kelihatan seperti pelayan atau anak buah orang gagah she Lee itu. Padahal mereka itu bukan lain adalah guru dan paman guru orang she Lee itu.
Ketika Thiat pi Lee It Kong dan dua orang kakek itu diantar oleh tuan rumah lewat di dekat ruangan para tamu di bagian kiri, yaitu bagian tamu tamu "biasa" dan bukan tempat terhormat, tiba tiba terdengar seruan tertahan. Karena para tamu sedang bicara gembira, tak seorangpun memperhatikan seruan ini.
Baru saja Thiat pi Lee It Kong dan dua orang kakek itu dipersilahkan duduk di ruangan terhormat, seorang wanita setengah tua yang masih nampak cantik dan keren, memasuki ruangan itu, membawa sebuah bungkusan yang panjangnya ada dua kaki. Wanita ini langsung menghampiri Sin siang to Bhok Coan, lalu memberi hormat dan menyerahkan bungkusan itu kepada tuan rumah sambil berkata,
"Bhok lo enghiong, sudilah memberikan bingkisan ini untuk salah seorang tamu yang terhormat!"
Bhok Coan menatap wanita itu. Wanita yang usianya paling banyak limapuluhan tahun, namun potongan muka yang cantik masih membayang jelas. Wanita ini tidak membawa senjata tajam seperti orang orang kang ouw oleh karena tadi ia menempatkan wanita itu di ruangan biasa dan mengira bahwa dia hanya seorang kang ouw biasa saja. Biarpun tidak senang melihat gangguan ini, namun sebagai tuan rumah yang tidak mengenal siapa adanya wanita ini, Bhok Coan menjawab sambil tertawa memperlihatkan keramahan tuan rumah,
"Toanio, bingkisan ini harus disampaikan kepada siapakah" Aku tidak melihat ada tulisan alamatnya di luar bungkusan,"
"Kau bukalah saja, lo enghiong. Nanti kau akan tahu sendiri," jawab wanita itu, tegas dan sikapnya keren.
Melihat peristiwa ini, semua orang di dalam ruangan terhormat itu menaruh perhatian. Hanya satu orang saja di ruangan itu yang kaget sekali melihat wanita setengah tua itu dan dia ini adalah Song Bi Hui. Akan tetapi, diapun heran dan ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Adapun Sin siang to Bhok Coan sambil tersenyum senyum lalu membuka bungkusan itu mulutnya berkata perlahan,
"Kau aneh sekali, toanio...."
Akan tetapi, tak dapat di lukiskan betapa terkejutnya ketika bungkusan itu telah di bukanya. Sin siang to Bhok Cian adalah seorang kang ouw yang kawakan, bekas perampok besar yang tidak segan segan melakukan pembunuhan dan sudah sering kali menghadapi hal tebat. Namun, begitu bungkusan itu ia buka, serta merta matanya terbelalak, ia mengeluarkan seruan kaget dan isi bungkusan itu jatuh ke bawah, terlepas dari pegangannya, isi bungkusan itu sebuah lengan tangan lengkap dengan lima buah jari tangannya, jatuh berdebuk di atas lantai di tengah ruangan, mengerikan.
"Toanio, mengapa kau main main?" tegurnya gelisah, tahu bahwa ini adalah tanda yang tidak baik, tanda datangnya kekacauan dalam pesta she jit nya. "Apa kau sengaja hendak mengacaukan pestaku?"
Wanita itu memandang tajam, sikapnya galak. "Bhok enghong, siapa main main denganmu" Bingkisan ini memang diperuntukkan seorang tamumu. Suruh dia datang menerimanya!"
Kini Bhok Coan dan semua orang menoleh ke arah Thait pi Le It Kong. Orang gagah yang buntung lengannya ini satu satunya orang yang kiranya ada hubungan dengan persoalan ini. Akan tetapi Sin siang to Bhok Coan tentu saja tidak mau menghina tamunya dan dengan marah ia kembali berpaling kepada wanita itu dan berkata keras,
"Toanio, sebagai tamu tentu saja kau mendapat penghormatanku. Akan tetapi perbuatan toanio ini benar benar keterlaluan sekali. Harap toanio tidak menghina orang dan mencari gara gara. Ambillah kembali benda menjijikkan ini dan bawalah."
"Orang she Bhok! Aku hanya minta kau mempersilahkan orang yang berhak menerima bingkisan ini, mengapa kau banyak cerewet" Biarpun hal ini terjadi di rumahmu, akan tetapi sesungguhnya tiada sangkut pautnya denganmu. Mengapa kau seperti hendak melindungi orang itu?"
"Siapakah dia" Bagaimana aku bisa mengerti siapa orangnya yang wajib menerima benda mengerikan ini?" kata Bhok Coan membela diri.
Wanita itu menggerakkan bibirnya mengarah senyum penuh ejekan dan matanya menyapu ke arah para tamu untuk kemudian berhenti pada wajah Thiat pi Lee It Kong.
"Apa sih sukarnya untuk mengetahui orang nya. Anak kecilpun dapat melihat siapa yang kehilangan lengan di dalam ruangan ini."
Kini semua mata memandang kembali ke arah Lee It Kong dan semua orang menahan napas, merasa tegang. Tak salah lagi, pikir mereka. Tentu Lee It Kong ada hubungannya dengan peristiwa ini.
Thiat pi Lee It Kong berubah air mukanya ketika tadi ia melihat lengan itu menggelinding ke luar dari bungkusan dan kini menggeletak di atas lantai. Ia masih mengenal lengannya sendiri biarpun lengan itu kulitnya sudah berkerut kerut, sedikitnya ia mengenal bentuk jari jari tangannya Kini melihat semua mata memandang ke arahnya, ia lalu membusungkan dada membesarkan hati, melangkah maju dan menjura kepada wanita itu sambil berkata kepada Sin siang to Bhok Coan,
"Bhok lo enghiong, karena di dalam mangan ini hanya siauwte seorang yang buntung lengannya, tentulah toanio ini ingin berurusan dengan siauwte. Biarkan siauwte membereskan urusan ini."
Bhok Coan terpaksa mengundurkan diri dan seperti tamu tamunya, iapun kini memandang ke arah dua orang yang telah berhadapan itu. Wanita itu kini memandang kepada Lee It Kong, matanya tajam menyelidik. Adapun Lee lt Kong membungkuk dan berkata,
"Toanio memang benar lenganku yang kiri telah buntung, akan tetapi belum tentu kalau lengan yang kau bawa ini adalah benar lenganku. Bagaimana kau bisa memastikan bahwa itu adalah lenganku dan kau sengaja datang ke sini untuk mengacaukan dan menghina tuan rumah?"
Tiba tiba wanita itu melangkah maju, sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi dan kata katanya keras dan nyaring sekali, "Thiat pi Lee It Kong, tidak percuma aku melakukan penyelidikan sampai hampir sepuluh tahun lamanya. Kalau kau benar laki laki, coba katakan di mana kau kehilangan lenganmu?"
Merah muka Thiat pi Lee It Kong dan ia menjawab gagap, "Di.... di. .." tiba tiba ia menjadi marah karena ia merasa malu sekali kalau harus membuka rahasia mengapa dan bagaimana ia kehilngan lengannya "Hm, kau ini siapakah berani kurang ajar di hadapanku" Di mana aku kehilangan lenganku, sama sekali bukan urusanmu!"
Wanita itu tertawa mengejek "Orang she Lee, potongan lenganmu berada di dalam tanganku. Bagaimana kau ada muka untuk bilang bahwa aku tidak ada urusan dengan hal itu" Kalau kau benar benar jantan dan tahu malu, coba jawab, bukankah kau kehilangan lenganmu itu di Leng ting?"
Thiat pi Lee It Kong adalah seorang laki laki yang mengutamakan kegagahan dan berwatak kasar jujur. Kini kehormatannya dalam ujian. Memang ia merasa malu kalau diketahui orang bagaimana ia kehilangan lengan, akan tetapi ia akan merasa lebih malu lagi kalau tak dapat menjawab pertanyaan wanita ini, apalagi untuk membohong, ia tidak sudi. Sambil membusungkan dada dengan suara keras menjawab,
"Betul, aku kehilangan lengan di Leng ting, kau mau apa?"
"Di Leng ting dalam rumah Sin tung Lo kai?" wanita itu mendesak dengan mata berapi.
Wajah Lee It Kong makin merah, rahasia itu agaknya takkan dapat ditutup tutupi lagi. Ia mengangguk, "Betul."
"Bagus, keparat jahanam. Terimalah pembalasanku!"
Wanita itu tiba tiba mencabut sesuatu dan tahu tahu sebatang tongkat merah pendek telah berada di tangannya. Dengan tongkat ini ia melakuan serangan dahsyat ke arah tenggorokan dan ulu hati Lee It Kong. Sekali serang, ujung tongkat itu telah menotok dua bagian jalan darah yang akan mengantar nyawa orang pulang ke asal kalau mengenai tepat. Lee It Kong mengeluarkan seruan kaget dan cepat menggunakan gerak loncat Koai liong hoan sin (Naga Siluman Berjungkir Balik) untuk menghindarkan diri dari dua totokan tongkat itu. Akan tetapi baru saja tubuh nya yang berjutmpalitan itu turun ke atas lantai, ujung tongkat lawannya kembali telah mengejar dan mengurungnya dengan totokan totokan berbahaya!
"Nanti dulu! Bukan sikap orang gagah menyerang orang tanpa alasan kuat. Aku mau bicara dulu!" teriak Lee It Kong sambil mengelak ke kanan kiri dengan sibuk dan terdesak hebat. Wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan benar benar menahan tongkatnya sehingga Lee It Kong dapat bernapas lega karena untuk sementara terlepas dari ancaman maut.
"Jahanam she Lee, kau masih mau bicara apalagi?"
"Kau ini perempuan liar siapakah" Selama hidupku belum pernah aku berjumpa denganmu, mengapa kau datang datang menyerangku kalang kabut" Coba kaukatakan, apa dosaku?"
Wanita itu tersenyum, masih manis senyumnya namun di balik kemanisan itu tersembunyi ancaman maut yang mengerikan, sambil menudingkan ujung tongkat merahnya ke arah dada Lee It Kong, ia berkata,
"Orang she Lee, kau sudah melakukan dosa besar di Ang sin tung Kai pang, masih tidak mengenal tongkat ini" Aku adalah Thio Leng Li, puteri dan Sin tung Lo kai! Hemm, kau masih ingin mengetahui dosa dosamu" Baiklah, sebelum mampus kau dengarkan lagi dosa dosamu agar di saksikan oleh para enghiong d sini dan agar kau jangan mampus penasaran! Kau telah menyerbu Ang sin tung Kai pang telah membunuh ayahku Sin tung Lo kai dan menculik puteriku, Kwan Li Hwa! Sekarang aku hendak menawanmu, menyiksamu sampai kau mengaku di mana kau sembunyikan anakku kemudian kau akan ku bunuh, kubelek dadamu kucabut jantungmu untuk dipakai bersembahyang di depan makam ayah!"
Tidak hanya Lee It Kong yang mengeluarkan keringat dingin, juga banyak orang menjadi pucat mendengar kata kata yang amat menyeramkan ini. Lee It Kong membanting banting kakinya di lantai sambil berkata,
"Celaka.... celaka....! Lee It Kong, kau memang bernasib sial sekali." Dia memukuli kepala nya sendiri. "Ingin merebut kitab dan pedang, akibatnya lengan buntung dan masih didakwa menjadi pembunuh dan penculik. Celaka, Thio toanio aku bersumpah bahwa aku tidak membunuh ayah mu dan tidak menculik anakmu."
"Pengecut rendah! Bukti utama adalah lenganmu yang buntung dan tertinggal di rumah kami masih hendak menyangkal" Benar tak tahu malu!" Sambil berkata demikian Thio Leng Li, wanita itu, kembali menggerakkan tongkat merahnya dan menyerang Lee It Kong dengan dahsyat.
"Bukan aku.... aku tidak berdosa...." seru Lee It Kong sambil melompat ke belakang. Namun Leng Li tidak memperdulikan kata katanya lagi, tongkat merahnya mendesak terus dengan gerak gerak tipu paling lihai dari ilmu tongkat warisan Sin tung Kai pang. Sebelum Lee It Kong sempat membalas, tiba tiba ujung tongkat merah telah menotok jalan darah tai twi hiat dan seketika itu juga tubuh yang tinggi besar dari Lee It Kong menjadi tegang dan kaku seperti sebuah patung kayu! Thio Leng Li mengangkat tongkatnya, memukul ke arah pundak lawannya dengan maksud membikin hancur tulang pundak agar selanjutnya orang she Lee itu tidak akan dapat melawan lagi.
Tiba tiba berkelebat bayangan hitam.
"Plak!!" Tongkat merah bertemu dengan tongkat bambu yang menangkis. Thio Leng Li merasa tangannya sakit dan cepat melompat mundur. Di depannya telah berdiri seorang kakek bongkok yang dandanannya sederhana saja. Dia adalah seorang di antara dua kakek yang tadi datang bersama Lee It Kong. Dengan tenang kakek ini menggerakkan tongkatnya menotok punggung Lee It Kong yang segera roboh akan tetapi terbebas dan totokan Leng Li. Dia segera berlutut di depan kakek itu dan berkata,
"Harap suhu lindungi teecu."
"Hemm, Lee It Kong. Aku tahu bahwa Sin tung Lo kai adalah seorang gagah dan bahwa perkumpulannya Ang sin tung Kai pang adalah perkumpulan terhormat. Tentu anak perempuannya juga bukan orang sembarangan dan dapat dipercaya. Hayo kau ceriterakan dengan sejujurnya, bagaimana kau kehilangan lengan di rumah Sin tung Lo kai" Awas, kalau kau membohong, aku sendiri yang akan menghancurkan tulang dipundakmu kemudian menyerahkan kau kepada Thio Lihiap!"
"Ampun, suhu. Sesungguhnya teecu tidak membohong kepada Thio toanio dan teecu tidak sekali sekali merusak nama baik suhu"."
"Cukup! Aku tidak perduli tentang nama. Selamanya aku tak pernah menonjolkan nama. Hayo cerita yang jelas!" bentak kakek itu.
"Kurang lebih sepuluh tahun, teecu mendengar sepintas lalu dari percakapan dua orang anggauta Ang sin tung Kai pang bahwa di rumah Sin tung Lo kai tersimpan kitab dan pedang peninggalan Tat Mo Couwsu, yaitu Im yang cin keng dan Giok po kiam. Karena sudah lama teecu mendengar akan kehebatan dua benda ini dan akan membuat pemiliknya menjadi gagah tak terlawan, teecu memberanikan hati mendatangi Sin tung Lo kai dan minta dua benda itu. Akan tetapi dalam pertempuran dengan Sin tung Lo kai, teecu telah dikalahkan."
"Jadi kau tidak membunuh Sin tung Lo kai?" tanya gurunya.
"Mana teecu bisa" Dalam pertempuran beberapa belas jurus saja teecu sudah dirobohkan. Bagaimana teecu bisa membunuhnya" Juga, kedatangan teecu itu bukan bermaksud membunuh, melainkan menguji kepandaian sekalian minta pedang dan kitab."
Kakek itu memutar tubuh menghadapi Thio Leng Li.
"Thio toanio, kiranya omongan muridku ini boleh dipercaya Aku sendiri tidak percaya dia mampu membunuh ayahmu."
Memang tadinya Leng Li juga ragu ragu, masa orang yang dalam beberapa gebrakan saja sudah dapat ia totok ini dapat membunuh ayahnya. Akan tetapi siapa tahu kalau kalau Lee It Kong datang dengan bantuan orang orang pandai. Maka ia masih belum mau mengalah, lalu bertanya kepada Lee It Kong.
"Kalau kau tidak membunuh ayahku, kau apakan anakku Li Hwa" Mengapa ia hilang terculik?"
Jawaban Lee It Kong benar benar mengagetkan dan di luar dugaan orang. "Kau mau tahu tentang anakmu itu" Bukankah dia seorang anak perempuan tujuh delapan tahun, membawa sebatang pedang pendek bertabur kemala?"
"Betul.... betul dia. Li Hwa anakku....!" kata Leng Li penuh gairah dan harapan.
Lee It Kong menarik napas parjang. "Satu satunya hal yang kuketahui adalah bahwa anak perempuanmu itulah yang membikin buntung lenganku ini...."
"Apa kau bilang?" seru Leng Li terheran heran.
"It kong betulkah kata katamu itu?" kakek tadi ikut bertanya kepada muridnya dengan hati mengkal karena sungguh memalukan hatinya sekali mendengar muridnya kena dibuntungi lengannya hanya oleh seorang anak perempuan berusia tujuh delapan tahun.
"Memang betul demikian, suhu." Kemudian ia menoleh kepada Leng Li sambil berkata, "Ketika aku sudah terpukul roboh oleh Sin tung Lo kai, aku melihat seorang anak perempuan keluar membawa sebatang pedang yang luar biasa, terhias kemala. Aku mengira bahwa tentu itulah pedang pusaka Giok po kiam maka aku berusaha merampasnya. Tidak tahunya sekali bergerak bocah itu telah menebas buntung lengan kiriku! Aku lalu melarikan diri meningkatkan buntungan lengan. Nah, aku sudah berceritera kau percaya atau tidak terserah."
Thio Leng Li termenung sejenak. Agaknya Lee It Kong tidak membohong, oleh karena ceritra seperi itu sesungguhnya merendahkan nama sendiri. Akan tetapi ia merasa amat penasaran dan terutama sekali kecewa oleh karena keterangan Thiat pi Lee It Kong itu membuyarkan semua harapannya. Dengan keterangan tadi keadaan masih sama gelap nya seperti sebelum ia bertemu dengan si lengan buntung ini. Dia masih belum juga tahu siapa pembunuh ayahnya dan terutama sekali tidak tahu di mana adanya Li Hwa.
"Aku baru percaya kalau kau katakan siapa yang membunuh ayah dan siapa penculik anakku. Kau telah menyerbu ke rumahku dan kau telah bertempur dengan ayah. Tentu kau tidak datang seorang diri dan kau tahu siapa orangnya yang berdosa kalau bukan kau. Peristiwa itu terjadi pada satu malam, mustahil kalau kau tidak tahu. Kalau kau tidak mau mengaku terpaksa aku akan menawanmu dan memaksamu!"
Karena di situ ada suhunya, biarpun ia jerih terhadap nyonya kosen ini, Thiat pi Lee It Kong menjadi marah.
"Thio toanio, kau terlalu sekali. Kau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri hendak menghina orang lain! Aku adalah seorang laki laki, semua perbuatan kupertanggungjawabkan. Aku berani menanggung resikonya. Mengapa aku harus membawa bawa orang lain malam itu" Hanya, terus terang saja kukatakan bahwa ketika aku melarikan diri setelah terluka, kelihatan bayangan dua orang berkelebat cepat ke arah rumahmu itu."
"Sapa mereka?" Leng Li tertarik sekali, kembali timbul harapannya.
"Sayang keadaan gelap, aku tidak mengenal muka mereka, hanya dari bayangan mereka aku dapat menduga bahwa mereka adalah seorang laki laki dan seorang wanita muda."
Leng Li tertegun. Juga Bi Hui yang sejak tadi mendengarkan percakapan ini terkejut. Dua orang wanita ini mempunyai pikiran dan dugaan yang sama.
Tiba tiba pada saat itu, dari luar rumah terdengar suara nyaring sekali, membuat para tamu terkejut karena suara ini keluar dan pengerahan khikang yang tinggi, "Rombongan utusan Thian hwa kauw tiba, Sin siang to Bhok Coan diminta keluar menyambut... !"
Semua tamu saling pandang dengan muka tercengang, dan biarpun hatinya berdebar gelisah, Sin siang to Bhok Coan tentu saja tidak sudi keluar, bahkan lalu menyuruh seorang pelayan untuk keluar dan melihat siapa yang datang serta menanyakan apa keperluan mereka.
Akan tetapi sebelum pelayan itu sampai di luar, terdengar pula suara tadi. "Sin siang to benar benar tak memandang kepada Thian hwa kauw, perlu diberi rasa!" Dan dari luar masuklah serombongan orang yang amat menarik perhatian semua tamu. Rombongan ini terdiri enam orang pemuda tampan dan enam orang dara cantik. Mereka berjalan merupakan barisan pasangan yang amat menarik dengan pakaian mereka yang mewah dan indah. Hanya satu hal yang amat menyolok pada para muda itu bahwa muka mereka rata rata pucat pias dan mata mereka tak bersinar seperti orang orang kehilangan semangat. Namun harus diakui bahwa mereka itu tampan dan cantik! Di depan duabelas orang pemuda pemudi yang rata rata berusia kurang lebih duapuluh tahun ini berjalan seorang laki laki yang buruk sekali rupanya. Sukar menaksir usianya karena mukanya kerut kerut dan hitam seperti muka monyet, juga tubuhnya bongkok seperti udang mati. Matanya besar besar melotot keluar, nampak lebih tepat menjadi iblis daripada manusia.
Rombongan ini berjalan dengan tenang seperti penuh khidmat. Bahkan kaki pasangan duabelas orang itu melangkah dengan gerakan berbareng seperti barisan tentara terlatih. Mereka ini kedua tangannya masing masing dirangkapkan di depan dada di mana mereka memegang setangkai bunga teratai, ada yang putih, ada yang merah, ada yang ungu. Akan tetapi semua teratai yang mereka pegang itu nampak masih segar seakan akan baru saja mereka petik. Juga kakek atau nenek seperti iblis itu kedua tangannya memegang setangkai bunga teratai yang kiri biru yang kanan ungu, nampaknya lebih besar dari teratai biasa dan di pegangnya dengan cara mengangkatnya tinggi tinggi di atas pundak dekat telinga. Benar benar rombongan yang lucu namun ada juga sifat angker karena muka mereka yang bersungguh sungguh itu.
Sin siang to Bhok Coan merasa gelisah sekali, namun ia membesarkan hatinya, mengangkat dada dan menekan kegelisahanaya, lalu bertindak maju menghampiri rombongan yang sudah memasuki ruangan terhormat itu. Ia menjura dengan hormat lalu berkata kepada si bongkok yang agaknya memimpin rombongan itu.
"Lohu orang she Bhok tak pernah merasa ada urusan dengan fihak Thian hwa kauw, sekarang cu wi datang mengunjungi lohu, tidak tahu apakah hendak ikut bergembira ataukah ada urusan lain?"
Orang tua bongkok itu memutar mutar biji matanya, jelilatan memandang ke kanan kiri, suaranya parau dan serak.
"Sin siang to Bhok Coan, kau masih belum menginsyafi dosa dosamu" Kau telah memandang rendah kepada kauw cu (ketua agama) kami, dengan tidak mengundang kauw cu kami berarti kau telah menghina kauw cu yang terhormat."
Sin tiang to Bhok Coan terkejut dan cepat cepat ia menjura sambil berkata ramah. "Ahh, kiranya begitu" Maafkan lohu yang pelupa. Sesungguhnya oleh karena Thian hwa kauw baru berdiri dan lohu belum mengenal kauw cu cu wi sekalian maka lohu tidak berani mengundang. Sekarang, baiklah lohu mengundang cu wi sebagai wakil wakil Thian hwa kauw untuk duduk di ruangan terhormat."
"Huh, huh, orang she Bhok. Siapa sudi akan undanganmu" Kauw cu kami belum tentu doyan hidangan di sini yang serba kotor. Laginya, kauw cu kami tidak butuh undanganmu melainkan mengutus kami untuk datang menyampaikan hukuman atas dirimu yang sudah menghina perkumpulan kami."
Sin siang to Bhok Coan menjadi panas perutnya. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami aturan yang luar biasa ini. Orang ber she jit tidak mengirim undangan, masa dianggap menghina, berdosa dan mereka datang hendak menjalankan hukuman. Banyak sudah ia mendengar akan keanehan sikap orang orang sakti yang kadang kadang sewenang wenang dan luar biasa, akan tetapi aturan seperti yang dilakukan oleh kauw cu dari Thian hwa kauw ini baru sekarang ia mendengar dan mengalaminya.
"Hukuman kepadaku" Hmm, hukuman apakah gerangan?" tanya Sin siang to Bhok Coan menahan dongkolnya.
Orang tua yang masih belum diketahui laki laki atau wanita itu mengeluarkan sehetai kertas bergulung dari saku bajunya, membuka gulungan kertas dengan kedua lengan dilempangkan lalu membaca dengan lagak seorang perajurit membaca surat titah raja,
"Atas perintah kauwcu yang maha mulia dari perkumpulan Agama Thian hwa kauw, kami para pengurus bagian pengadilan memutuskan bahwa orang yang bernama Bhok Coan berjuluk Sin siang to tinggal di kota Kwan leng si telah melakukan pelanggaran dosa besar dengan penghinaan terhadap Thian hwa kauw dan memandang rendah kepada kauw cu yang mulia, tidak mau mengirimkan undangan pada pesta she jitnya. Oleh karena itu diputuskan hukuman kepada Sin siang to Bhok Coan seperti berikut : Semua barang sumbangan yang ia peroleh dari para tamu, harus di bawa ke Thian hwa kauw lebih dulu di mana kauw cu akan mengadakan pemilihan dan mengambil mana yang disukai beliau, baru sisanya boleh diambil olehnya, sepasang siang to di pinggang Bhok Coan harus dibawa ke Thian hwa kauw dan sepuluh hari kemudian setelah Bhok Coan datang menghadap kauw cu dan mohon maaf baru senjatanya akan dikembalikan. Demikianlah perintah ini yang...."
Baru saja orang tua itu membaca sampai di sini, Thiat pi Lee It Kong sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia berderu keras dan dengan lengannya yang tinggal sebelah itu ia menyerang kakek atau nenek yang sedang membaca "surat perintah" menghantam ke arah dadanya dengan keras sekali. julukan Lee It Kong adalah Thiat pi atau Tangan Besi, maka dapat dibayangkan betapa keras dan dahsyat pukulannya ini. Tadi Lee It Kong telah menderita malu di depan orang banyak, kini untuk menebus malunya, ia hendak memperlihatkan kegagahannya dengan jalan membela tuan rumah yang diperlakukan sewenang wenang oleh orang orang Thian hwa kauw itu.
Orang tua itu ternyata tidak menghentikan bacaannya, bahkan tidak bergerak sedkitpun juga, sama sekali tidak perduli akan datangnya hantaman tangan Lee It Kong yang menyambar dadanya. Ia melanjutkan bacaannya, "Demikianlah perintah ini yang harus ditaati oleh Sin sang to Bhok Coan kalau ia sayang akan nyawa " Baru sa ia selesai membaca, tangan Lee It Kong sudah dekat dengan dadanya, akan tetap tiba tiba Lee It Kong memekik keras, tubuhnya terjengkang ke belakang dan ketika dilihat, jago lengan buntung ini telah tewas dalam keadaan mendelik dan mukanya berubah hitam.
Keadaan menjadi ribut. Guru dan paman guru Lee It Kong tadi melihat betapa dua orang pemuda pemudi yang berdiri di dekat orang tua itu menggerakkan tangan dan dua benda bersinar hitam menyambar ke arah leher Lee It Kong. Tahulah mereka bahwa orang orang Thian hwa kauw itu mempergunakan senjata rahasia berbisa.
"Jahanam Thian hwa kauw, kalian main curang," seru dua orang kakek ini sambil menggerakkan tongkat bambu mereka menyerbu ke depan. Guru Lee it Kong bernama Tan Lui dan sutenya juga adiknya sendiri bernama Tan Kui, kedua orang kakek ini adalah orang orang dusun yang menjadi petani, namun mereka memiliki kepandaian tinggi.
Tan Lui menyerang kakek bongkok seperti udang ini, sedangkan Tan Kui menggerakkan tongkatnya menyerang dua orang pemuda pemudi yang tadi merobohkan Lee It Kong dengan senjata rahasianya.
Kakek atau nenek bongkok itu sebetulnya seorang laki laki tua yang mukanya buruk sekali. Dia adalah kepala pelayan dari Thian hwa kauw, kepandaiannya tinggi dan ia bernama julukan Hak tok kwi (Setan Racun Hitam), nama aslinya tidak di kenal orang lagi. Ketika melihat datangnya serangan Tan Lui ke arah kepalanya, dan mendengar sambaran angin menderu keluar dari tongkat bambu, maklumlah Hek tok kwi bahwa lawannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi ia mengeluarkan suara ketawa cekikikan, cepat menyimpan gulungan kertas yang tadi dibacanya dan tahu tahu sepasang bunga teratai biru dan ungu yang tadinya dimasukkan saku ketika ia membaca surat perintah, kini telah berada di tangannya kembali.
Begitu tongkat menyambar dekat kepalanya, kakek ini mangelak ke kiri dan tangan kanannya yang memegang bunga teratai ungu itu, bergerak membalas serangan lawan dengan memukulkan bunga itu! Benar benar aneh bunga teratai segar dipakai sebagai senjata untuk menyerang! Akan tetapi akibat serangan bunga teratai ungu ini lebih hebat lagi. Memang betul Tan Lui dapat cepat mengelak, namun tiba tiba ia sempoyongan ke belakang seperti orang mabuk dan di lain saat, sambil membalikkan tangkai bunga yang dipakai nya, Hek to kwi sudah menusuk iganya dengan jari jari tangan kanan. Tan Lui roboh terjungkal dalam keadaan tidak bernyawa lagi!
Tan Kui yang menyerang sepasang muda mudi itupun disambut dengan luncuran sinar sinar hitam yang ternyata adalah duri duri pohon berwarna hitam yang berbau keras. Tan Kui sudah maklum akan bahaya ini karena tadipun murid keponakannya tewas oleh duri duri ini. Cepat ia memutar tongkatnya dan semua senjata rahasia itu runtuh. Akan tetapi tiba tiba dua orang muda mudi itu telah menyerangnya dengan gerakan aneh dan cepat, adapun senjata yang mereka pergunakan juga kembang teratai di tangan yang masih segar. Seperti Tan Lui tadi, iapun memandang rendah dan cepat mengelak sambil membalas dengan penyerangan tongkatnya. Namun, tiba tiba ia mencium bau harum yang menyesakkan napas dan memusingkan kepalanya dan tanpa dapat dicegah lagi ia terhuyung huyung. Kembali sinar sinar hitam menyambar dan kali ini dalam keadaan pusing itu Tan Lui tidak berdaya menangkis atau mengelak. Beberapa buah duri berbisa menancap di tempat berbahaya, tepat mengenai jalan darahnya dan ia terjungkal di dekat mayat suheng dan murid keponakannya dalam keadaan tewas pula!
Orang orang kang ouw yang duduk di situ menjadi marah sekali. Memang semenjak tadi mereka sudah membicarakan tentang perkumpulan Thian hwa kauw. Sekarang mereka menyaksikan sendiri sepak terjang perkumpulan itu yang dalam waktu singkat secara keji telah membunuh tiga orang gagah. Serentak para locianpwe yang hadir di situ bangkit dari tempat duduk mereka dan melompat sambil mencabut senjata.
"Jahanam Thian hwa kauw harus dibasmi!" teriak mereka dengan marah. Juga Thio Leng Li yang melihat sikap orang orang Thian hwa kauw ini menjadi tak senang. Apalagi melihat Thiat pi Lee It Kong yang hendak dilawannya itu sudah terbunuh oleh mereka, ia menjadi penasaran sekali.
Hek tok kwi tertawa bergelak melihat mereka semua berdiri. Sama sekali ia tidak menjadi gentar. Juga duabelas muda mudi yang berada di belakangnya, bersikap tenang tenang dan sudah siap sedia menghadapi keroyokan para tamu itu dengan senjata mereka di tangan, senjata yang luar biasa sekali, yaitu setangkai kembang teratai dan duri duri berbisa!
"He he he he heh! Masa para locianpwe dari partai partai besar ada muka untuk maju melakukan pengeroyokan seperti sifatnya bajingan bajingan kecil?" Ketika melihat para locianpwe itu melengak dan ragu ragu karena ejekan ini, kembali Hek tok kwi tertawa,
"Heh heh heh! Para suuli dan siulam (dara jelita dan teruna tampan), lepas tirai asap dan laksanakan perintah kauw cu!"
Baru saja kata kata ini keluar dari mulut kakek itu, serentak mereka mengeluarkan sesuatu dari saku baju dan membantingnya di atas lantai di sekeliling mereka.
"Dar dar dar dar....!" Ramai terdengar letusan letuaan dan dalam sekejap mata saja ketika para locianpwe itu melompat mundur dengan kaget, ruangan itu telah penuh asap putih bergumpal gumpal. Asap ini mengandung hawa panas dan amat pedas kalau menyerang mata, maka biarpun para locianpwe di situ berilmu tinggi, mereka terpaksa menutup mata masing masing dan menahan napas. Terdengar orang terbatuk batuk di sana sini, yaitu mereka yang mengisap asap putih itu, dan di sana sini orang berteriak teriak untuk menganjurkan menangkap orang orang Thian hwa kauw. Akan tetapi siapakah yang dapat bergerak dalam keadaan seperti itu" Mata tak dapat dibuka, bernapaspun tidak berani, dan tak dapat dilihat lagi mana kawan mana lawan!
Ketika asap putih itu bergulung gulung naik dan mulai menipis sehingga orang orang dapat membuka mata dan bernapas lagi, ternyata orang orang Thian hwa kauw itu sudah lenyap dari situ. Dan bersama dengan lenyapnya mereka ini, lenyap pula semua benda sumbangan yang tadinya dijajarkan di atas meja panjang, dan lenyap pula sepasang golok di pinggang Bhok Coan sedangkan tuan rumah itu sendiri menggeletak di atas lantai dalam keadaan lemas tertotok. Ketika itu di ruangan lain juga ribut ribut karena ternyata di situ telah lenyap tiga orang pemuda tampan dan tiga orang dara cantik. Menurut mereka yang melihat ketika terjadi ribut ribut tadi, dara dara cantik itu diculik oleh pemuda pemuda Thian hwa kauw yang tampan, sedangkan pemuda pemuda tampan yang menjadi tamu diculik oleh pemudi pemudi Thian hwa kauw. Benar benar hal yang amat hebat. Dalam keadaan cepat sekali tigabelas orang anggauta Thian hwa kauw itu dapat melakukan perbuatan perbuatan itu, benar benar membuktikan kelihaian mereka.
Keadaan menjadi ribut dan para tamu banyak yang berpamit meninggalkan tempat itu, kecuali para locianpwe yang dengan hati mengkal dan malu berunding untuk melawan perkumpulan agama baru yang jahat itu. Juga Thio Leng Li ikut bersidang kemudian diambil keputusan untuk menyerbu Thian hwa kauw sepuluh hari kemudian, yaitu mengantar Sin siang to Bhok Coan yang akan datang di sarang Thian hwa kauw di Kwi ciu.
Tak seorangpun tahu bahwa diam diam Song Bi Hui lenyap pula dari ruangan itu. Mereka hanya mengira bahwa wanita muda itu ketakutan dan lari lebih dulu tanpa pamit. Diam diam mereka mentertawakan gadis yang mengaku murid Bu eng Lo kai dan Soat Li Suthai itu.
Kemanakah perginya Song Bi Hui" Apakah benar dia ketakutan dan melarikan diri di dalam keadaan ribut tadi" Tak mungkin! Tidak mungkin seorang seperti Bi Hui melarikan diri. Semenjak tadi ia mengawasi gerak gerik mereka itu dan diam diam ia merasa amat heran melihat sikap duabelas orang muda mudi yang seakan akan bertindak bukan atas kehendak sendiri.
Memang ketika senjata peledak itu diledakkan, Song Bi Hui tidak berdaya apa apa. Diapun tidak kuat menahan serangan asap putih yang membikin mata pedas, maka diam diam ia lalu berlari keluar mencari hawa yang segar, keluar dari daerah asap putih bergulung gulung itu. Tak lama kemudian, di antara hiruk pikuk dan kepanikan para tamu, ia melihat bayangan bayangan putih dari para angauta thian hwa kauw itu berkelebat keluar. Cepat cepat Bi Hui mengikuti mereka dari belakang, ilmu lari cepat Bi Hui amat tinggi karena gurunya, Bu eng Lo kai (Pengemas Tua Tanpa Bayangan) adalah seorang ahli ginkang yang jarang tandingannya. Maka biarpun para anggota Thian hwa kauw itu rata rata dapat berlari cepat sekali, tidak sukar bagi Bi Hui untuk mengejar mereka. Ketika ia melihat bahwa di antara para orang muda itu ada yang memondong pemuda tampan dan gadis cantik, ia dapat menduga bahwa tentu dalam keributan tadi, orang orang sesat itu telah menculik pemuda pemuda dan pemudi pemudi cantik yang menjadi tamu di rumah Sin sang to Bhok Coan. Hati Bi Hui marah sekali. Sekali ia melompat, tubuhnya bagaikan seekor burung telah melayang melewati rombongan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya rombongan orang Thian hwa kauw itu ketika tahu tahu di depan mereka berdiri seorang wanita muda yang cantik dan gagah, dengan pedang melintang di depan dada.
"Siluman siluman Thian hwa kauw, berhenti dulu!" bentakan Bi Hui amat berpengaruh dan nyaring. Enam pasang muda mudi itu sudah berlari cukup jauh, apa lagi mereka itu semua membawa barang barang berat, bahkan tiga pasang di antara mereka masing masing membawa seorang tawanan, tentu saja mereka sudah telah. Kini melihat adanya rintangan dan melihat tanda dari Hek tok kwi supaya mereka berhenti, enam pasang orang muda itu menurunkan beban masing masing di atas tanah. Barang barang sumbangan yang tadinya berada di atas meja di dalam rumah Sin siang to Bhok Coan, kini diletakkan di atas tanah. Juga tiga pasang orang muda yang diculik, dalam keadaan tertotok dilepaskan diatas tanah, di mana mereka rebah tak berdaya sama sekali.
Hek tok kwi memandang kepada Bi Hui dan matanya yang bulat lebar itu terputar putar membayangkan kekaguman.
"Heh heh heh, ini dia wanita ayu yang gagah perkasa, twa kongcu tentu akan berterima kash sekali kalau kita bisa membawanya pulang. Heh heh heh..." Anehnya, mendengar kata kata ini, duabelas orang muda dalam barisan itupun tertawa gembira. Bergidik bulu tengkuk Bi Hui melihat cara mereka tertawa. Macam mayat tertawa, mulutnya tertawa akan tetapi muka dan matanya tidak ikut tertawa! Benar aneh keadaan mereka itu.
"Nona yang baik, kau mau apakah?" tanya Hek tok kwi sambil tertawa tawa.
Bi Hui menudingkan pedangnya ke muka orang bermuka iblis itu.
"Siluman siluman Thian hwa kauw! Urusanmu dengan Sin siang to Bhok Coan, aku tidak perduli karena kalian dan dia sama sama bangsa bangsa perampok dan penjahat! Akan tetapi kalau kalian membunuhi orang begitu saja, mencuri barang barang dan menculik orang orang di depan mataku, aku Song Bi Hui tentu saja takkan mengampuni kalian lagi!"
Mendengar disebutnya sama Song Bi Hui, kakek bongkok itu nampak terkejut, ia melangkah maju dan bertanya penuh perhatian, "Nona bernama Song Bi Hui?""
"Betul!" Bi Hui mengelebatkan pedangnya. Sikapnya menantang.
Tiba tiba kakek itu menoleh ke belakang memberi aba aba cepat, "Para siuli dan siulam, hayo kepung dan tawan nona ini hidup hidup! Hati hati, jangan sampai dia terluka parah, twa kongcu akan marah. Tangkap!!"
Serentak duabelas orang muda mudi itu bersama kakek yang lihai tadi, menubruk Bi Hui! Namun Bi Hui telah mendapat gemblengan dari dua orang gurunya. Kepandaiannya sudah jauh meningkat, tidak seperti dahulu lagi. Melihat tigabelas orang lawan itu bergerak maju, tubuhnya berkelebat dan di lain saat pedangnya yang menyambar laksana kilat telah berhasil membacok runtuh empat tangkai bunga teratai dari tangan empat orang pengeroyoknya! Ia tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mempergunakan bunga bunga yang mengandung racun itu guna merobohkannya. Ia maklum bahwa hawa yang terkandung oleh bunga teratai itu semua beracun dan dapat merobohkannya, maka ia sengaja mengeluarkan ginkangnya, berkelebatan ke sana ke mari sambil pedangnya menyambar ke arah lawan.
Namun para pengeroyoknya itu benar benar lihai. Dalam soal ilmu silat, kiranya mereka itu bukan tandingan Bi Hui. Akan tetapi, duabelas orang muda itu dapat bergerak seirama, begitu teratur sehingga mereka merupakan duabelas orang dengan satu otak, seakan akan Bi Hui menghadapi seorang lawan yang mempunyai duapuluh empat buah lengan! Setiap kali Bi Hui keluar dari kepungan, otomatis ia terhadang dan terkepung lagi! Setiap kali pedangnya hendak merobohkan seorang pengeroyok, sebelas orang lain sudah menyerangnya sambil menolong yang seorang itu. Dan semua ini hanya di lakukan dengan bunga bunga teratai berwarna! Mereka meloloskan diri dari serangan pedang dengan jalan mengelak dan membalas serangan dengan pukulan bunga ke arah muka lawan.
-oo0dw0oo- Jilid XXXIX YANG aneh adalah kakek itu. Ia tidak ikut bertempur, melompat ke sana ke mari sambil memperhatikan gerak gerik Bi Hui. Melihat ini, dengan kaget Bi Hui tahu bahwa kakek itu sedang mempelajari ilmu silatnya dan agaknya mencatat dalam otak semua gerak serangan serangannya. Ia menjadi marah sekali dan cepat menggerakkan pedangnya dengan cara membengkok. Ia menyerang seorang pemuda di depannya, akan tetapi ketika sebelas yang lain menyerbu dari belakang, ia melompat cepat ke kiri dan dalam keadaan tak terduga kakinya berhasil menendang roboh seorang pemuda lain yang tak sempat mengelak. Pemuda itu roboh tak dapat bangun kembali. Robohnya seorang di antara mereka agaknya membikin jerih yang lain lain, buktinya gerakan mereka menjadi lambat dan agaknya kini hanya hendak mempertahankan diri saja tidak bernafsu lagi dalam usaha mereka menangkapnya.
Tiba tiba kakek itu bersuit aneh dan melemparkan sesuatu di dekat Bi Hui. Gadis ini menyabet benda itu dengan pedangnya, dan..... asap hijau kehitaman bergulung naik. Bi Hui mengerahkan lweekangnya mengayun tangan ke arah uap itu yang menjadi buyar, lalu mengerahkan khikang meniup ke arah uap itu yang seperti terkena angin besar lalu membalik. Akan tetapi pada saat itu, sebelas orang muda itu telah mengurungnya lagi dan dalam rombongan itu melayang tubuh kakek tadi. Dari kedua tangan kakek itu kini menyambar asap hitam ke arah Bi Hui. Gadis ini terkejut sekali, dengan gerakan tubuh nya ia dapat mengelak, dan terpaksa ia menahan napas agar hidungnya jangan kemasukan asap hitam. Namun perhatiannya yang terpecah pecah ini membuat ia tak dapat menghindarkan lagi ketika kakek itu menotok punggungnya dengan ilmu totok yang baik, dilakukan dengan dua jari. Bi Hui terhuyung huyung, mencoba mengerahkan lweekang untuk menolak pengaruh totokan. Akan tetapi sebelas orang itu sudah menubruknya, banyak tangan memegang dan menekannya dan di lain saat tubuh Bi Hui sudah diikat erat erat sehelai tali sutera yang amat kuat. Bi Hui marah bukan main, marah dan gemas sekali, apalagi karena lima orang pemuda tampan itu ikut memeganginya tadi. Ia merasa malu sekali dan terhina.
Kakek itu tertawa bergelak ketika melihat Bi Hui sudah tak berdaya lagi.
"Ha, ha, ha, ha, kali ini perjalanan kita berhasil baik sekali. Tidak saja siocia akan memberi hadiah besar kepada kita, juga twa kongcu pasti akan memberi hadiah besar. Ha, ha, ha! Hayo kita berjalan terus, rawat dan bawa siulam yang terluka."
Rombongan itu mulai bergerak lagi. Kini tidak begitu cepat mereka lari karena mereka merasa lelah setelah mengeroyok Bi Hui yang kosen tadi. Bi Hui dipangul sendiri oleh kakek yang buruk itu yang memanggulnya di pundak seperti orang memanggul kayu.
Bi Hui merasa lega ketika kakek itu yang memanggulnya, bukan seorang diantara pemuda pemuda itu ia merasa ngeri melihat pemuda pemuda tampan itu rata rata berwatak cabul dan genit seperti juga pemudi pemudi itu. Dan diam diam ia merasa heran sekali karena dalam pertempuran tadi, ia melihat beberapa gerakan mereka menyerupai gerak tipu dari ilmu Silat Thai lek kim kong jiu, ilmu silat warisan keluarganya!
"Nasib," pikirnya, "baru saja meninggalkan dua orang guruku, sebelum dapat menangkap pembunuh ayah ibu, aku telah terjatuh ke dalam tangan mereka ini..." Ia tidak tahu nasib apa selanjutnya yang akan menimpa dirinya, akan tetapi sudah pasti bukan nasib baik, melihat sifat Thian hwa kauw yang keji dan jahat itu.
"Aduuhh"." mendadak seorang pemuda Thian hwa kauw yang memondong seorang gadis tawanan menjerit dan roboh, gadis tawanan itu ikut terguling.
Semua orang dalam rombongan itu terhenti dan ketika mereka memandang, ternyata pemuda itu roboh dalam keadaan kaku seperti terkena totokan yang lihai. Hek tok kwi cepat menghampiri pemuda itu dan menotok punggungnya untuk memulihkan jalan darahnya. Akan tetapi tidak berhasil, ia menepuk nepuk pundak dan mengurut urut iga, tetap tidak ada hasilnya Bukan main kagetnya. Hek tok kwi adalah seorang ahli dalam ilmu menotok dan senjata rahasia, sekarang ia menghadapi totokan yang tak mampu ia punahkan! Selagi ia kebingungan, tiba tiba menyambar dua butir batu kecil. Sebutir menyambar ke arah pundaknya dan sebutir lagi yang beberapa detik lebih lambat menyambar ke arah mukanya. Keduanya dengan kecepatan kilat akan tetapi datangnya aneh sekali. Yang kedua datang lebih dulu, padahal ketika menyambar jelas berada di belakang batu pertama.
Hek tok kwi kaget bukan kepalang. Tentu saja ia dapat mengelak dari batu kedua yang lebih dahulu menyambar mukanya itu, akan tetapi batu yang menyambar pundaknya tak dapat di elakkan lagi. Terpaksa ia melepaskan tubuh Bi Hui. dan menggunakan tangan baju untuk menyampoti batu itu.
"Brett..." Hek tok kwi berseru kaget karena ujung tangan bajunya sobek.
Sementara itu, Bi Hui yang terlempar ke atas tanah, tiba tiba merasa pundaknya tertotok sesuatu dan ia merasa tubuhnya bebas dari pengaruh totokan Hek tok kwi. Cepat gadis ini mengerahkan tenaganya untuk memutuskan semua tali yang mengikatnya. Namun terlambat, Hek tok kwi sudah melangkah maju dan sekali mengulur tangan, Bi Hui tak dapat mengelak lagi. Kembang biru didekatkan pada hidungnya dan seketika itu juga Bi Hui mencium bau harum yang luar biasa sekali, dan ia pingsan.
Sebelum Hek tok kwi sempat menyambar tubuh Bi Hui yang sudah pingsan, tiba tiba kembali menyambar batu batu kecil ke arahnya, kini tiga butir sekaligus. Betapapun lihainya Hek tok kwi hanya dua butir batu yang dapat ia tangkis. Yang ke tiga tepat mengenai lehernya. Ia berteriak kesakitan akan tetapi tidak roboh karena secepat kilat ia tadi telah mengerahkan tenaga lweekang menutup jalan darahnya sehingga batu kecil itu hanya melukai kulit dan dagingnya saja. Akan tetapi kembali dua orang roboh, kini dua orang gadis anggauta Thian hwa kauw. Tentu saja Hek tok kwi menjadi marah sekali. Sambil melompat lompat membebaskan totokan batu yaug merobohkan dua orang gadis itu, ia berteriak teraik.
"Bangsat curang pengecut dari mana berani main gila terhadap Thian hwa kauw?" Teriakannya dilakukan dengan pengerahan tenaga khikang sehingga dapat terdengar dari jarak jauh.
Tiba tiba dari selatan terdengar suara jawaban, "Siluman siluman Thian hwa kauw jangan sombong. Aku Song Siauw Yang tidak takut kepada kalian...."
Lenyapnya suara itu membawa munculnya dua orang penunggang kuda dari selatan. Mereka ini adalah seorang nyonya yang gagah bersama seorang laki laki setengah tua yang bersikap dan berpakaian seperti sasterawan. Inilah Song Siauw Yang dan suaminya, Liem Pun Hui.
Sungguh aneh. Hek tok kwi yang terkenal galak dan keji itu, tiba tiba nampak gugup.
"Hayo kita pergi, cepat cepat....!" serunya kepada semua orang muda anggauta rombongannya. Para muda itu kini menjadi gentar juga menghadapi sambitan sambitan batu yang amat lihai, cepat mengangkat bawaan masing masing sumbangan dari rumah Bhok Coan dan enam orang tawanan, lalu melarikan diri cepat cepat. Hek tok kwi sendiri lalu membungkuk untuk menyambar tubuh Bi Hui. Akan tetapi ia dihujani batu kerikil. Dua kali ia terkena sambitan, pada pangkal lengan dan paha. Yang mengenai pangkal lengannya tepat dan hebat sekali, membuat lengan kirinya menjadi setengah lumpuh. Menghadapi ini, Hek tok kwi menjadi bingung. Apalagi dua orang penunggang kuda itu sudah datang dekat. Sambil mengeluarkan seruan kecewa si bongkok ini lalu melompat pergi meninggalkan Bi Hui
"Siluman siluman keji kalian hendak pergi ke mana?" bentak Song Siauw Yang dan bersama suaminya ia mengejar larinya rombongan itu. Mereka tidak memperdulikan tubuh yang ditinggalkan, karena lebih penting mengejar anggauta perkumpulan yang terkenal jahat itu.
Setelah rombongan itu lenyap dikejar oleh dua orang penunggang kuda, dari balik batu karang muncullah tubuh seorang pemuda yang amat ringan dan cekatan gerak geriknya. Dia ini bukan lain adalah Beng Han. Pemuda ini menghampiri tubuh Bi Hui yang masih mengeletak pingsan, memeriksa sebentar lalu mengangkat tubuh itu, dipondongnya dan dibawa pergi.
Tak lama kemudian, dua orang penunggang kuda yang tadi mengejar rombongan Hek tok kwi telah datang kembali ke tempat itu. Mereka Song Siauw Yang dan Liem Pun Hui, saling pandang dan Siauw Yang mengerutkan kening ketika melihat gadis yang tadi ditinggal oleh rombongan orang orang Thian hwa kauw itu.
"Eh, ke mana perginya?" kata Siauw Yang. Nyonya ini masih cantik dan gagah seperti dulu biarpun usianya sudah limapuluh tahun, hanya kerut pada keningnya menandakan bahwa selama ini ia banyak menderita batin. Sebaliknya, suaminya nampak sudah tua dengan rambut yang sudah putih semua, padahal usianya juga baru limapuluh tahun lebih.
"Mungkin dia telah dapat melarikan diri," jawab Liem Pun Hui, suaranya lebih tenang dan sabar daripada dahulu.
"Mungkin juga.... kalau begitu, tentu dia seorang yang memiliki kepandaian...." kata Siauw Yang. Kedua orang ini sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang tadi mereka lihat ditinggalkan oleh orang orang Thian hwa kauw itu bukan lain adalah Song Bi Hui. Kalau saja mereka tahu akan hal ini, sudah tentu mereka takkan mengejar rombongan itu melainkan segera menolong Bi Hui.
Seperti diketahui, suami isteri ini semenjak mendengar dari Bi sin tung Thio Leng Li tentang pembunuhan atas diri Kwa Li Hwa, lalu merasa cemas dan khawatir. Dengan terus terang Leng Li menceritakan tentang terlihatnya Liem Kong Hwat di kota Leng ting pada saat peristiwa itu terjadi. Hal ini amat menggelisahkan hati Siauw Yang, maka bersama suaminya ia lalu merantau mencari puteranya itu. Akan tetapi sampai bertahun tahun mereka tidak mendengar apa apa tentang Kong Hwat yang seakan akan lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Sepasang suami isteri ini menjadi berduka sekali. Setahun sekali mereka kembali ke Liok can untuk melihat kalau kalau Kong Hwat sudah pulang ke rumah yang ditinggalkan dalam rawatan seorang pelayan tua. Namun sampai sepuluh tahun lamanya tidak ada berita dari pemuda itu.
Akhir akhir ini Siauw Yang mendengar desas desus tentang berdirinya perkumpulan Agama Thian hwa kauw yang amat aneh dan kabarnya jahat sekali. Suami isteri ini mendengar betapa perkumpulan ini suka menculik orang orang muda dan mendengar pula betapa secara aneh anak murid partai partai besar yang berkepandaian tinggi dan berwajah cantik atau tampan, banyak yang meninggalkan perguruan dan masuk menjadi anggauta perkumpulan agama sesat itu, menjadi makin curiga.
"Kong Hwat masih hijau dalam dunia kang ouw, dia masih muda dan aku tahu hatinya agak lemah, jangan jangan dia terkena bujukan pula oleh perkumpulan itu seperti pemuda pemuda lainnya," kata Siauw Yang kepada suaminya.
"Kalau begitn lebih baik kita menyelidiki ke sana. Akan tetapi, tahukah kau di mana pusat perkumpulan itu?" kata Liem Pun Hui.
"Kabarnya di utara, akan tetapi entah di mana. Hal itu tidak sukar, kita bisa mencari keterangan di jalan. Kiranya banyak orang gagah yang sudah mengetahui di mana sarangnya."
Demikianlah, untuk kesekian kalinya sepasang suami isteri ini berangkat. Berbeda dengan biasanya mereka selain mencari jejak outera mereka, kini mereka mencari jejak perkumpulan Thian hwa kauw. Akhirnya mereka mendengar berita tentang usaha para tokoh partai besar untuk mengadakan pertemuan di rumah Sin siang to Bhok Coan di Kwan leng si sekalian menghadiri pasta she jit orang she Bhok ini. Kabarnya para tokoh besar itu hendak merundingkan tentang perkumpulan Thian hwa kauw yang selain melakukan banyak kejahatan, juga mencemarkan nama baik partai partai besar dengan membujuk anak anak murid muda menjadi anggauta.
Mendengar berita ini, Siauw Yang dan Pun Hui lalu berangkat menuju Kwan leng si yang amat jauh. Akan tetapi sebelum tiba di kota itu, mereka menghadapi peristiwa yang membuat mereka untuk pertama kali berkenalan dengan orang orang Thian hwa kauw.
Ketika itu mereka tiba di kota Leng ok. Siauw Yang ingat bahwa di kota ini tinggal seorang guru silat she Can yang pernah mengunjungi ayahnya dahulu untuk menyatakan penghormatan dan kekaguman. Karena sudah kenal, Siauw Yang menyatakan kepada suaminya untuk mengunjungi rumah sahabat ini dan menanyakan keterangan tentang Thian hwa kauw.
Akan tetapi, ketika Siauw Yang dan suami nya tiba di depan rumah Can kauwsu (guru silat) ini, pintu rumah tertutup rapat dan keadaan di situ sunyi saja. Padahal tentu penghuninya berada di dalam karena dari rumah bagian belakang mengebul asap, tanda bahwa di dalamnya ada orang masak.
Siauw Yang mengetuk pintu dengan keras, kemudian mengerahkan khikang dan berseru nyaring, "Apa Can kauwsu ada di rumah" Aku anggauta keluarga Song dari Tit le datang berkunjung!"
Sengaja Siauw Yang menyebut nyebut keluarga Song dari Tit le agar guru silat itu ingat akan mendiang ayahnya, Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Setelah mengeluarkan teriakan itu, ia dan suaminya menanti. Sunyi senyap untuk beberapa lama, akan tetapi pendengaran Siauw Yang amat tajam sehingga ia dapat mendengar suara kaki bergeser di balik pintu.
"Kreetttt.... !" Sebuah lubang sebesar kepala orang terbuka di tengah tengah daun pintu dan dari dalam menjenguk sebuah muka yang hampir saja Siauw Yang tidak kenal lagi kalau saja ia tidak melihat sebuah tahi lalat merah di ujung hidung orang itu. Inilah Can kauw su tak salah lagi. Jarang di dunia ini ada orang dengan tahi lalat merah di ujung hidung. Akan tetapi mengapa muka ini begitu berubah" Nampak tua sekali dan kerut merut pada muka itu membayangkan ketakutan hebat. Sepasang mata yang kemerahan, agaknya kurang tidur, menatap mereka dan nanpak kecewa, lalu terdengar suaranya bertanya parau,
"Kalian siapa dan ada keperluan apa?"
Siauw Yang terkejut. Dari gerak pundak orang itu yang kelihatan sedikit, ia dapat menduga bahwa tangan orang itu memegang senjata tajam siap untuk bertempur. Ia lalu tersenyum ramah dan berkata,
"Can kauwsu, apakah kau baik baik saja" Aku Song Siauw Yang puteri Thian te Kiam ong, dan ini suamiku, Liem Pun Hui. Apakah kau lupa kepadaku?"
Akan tetapi keramahan Siauw Yang ini tidak mendapat sambutan yang layak. Muka itu bahkan makin masam nampaknya dan bertanya kaku,
"Hemmm, ada keperluan apakah mencari aku seorang she Can yang bodoh?"
"Can kauwsu, mengapa kau berkata demikian" Kami."."
"Katakanlah ada urusan apa, aku tidak punya banyak waktu. Aku akan membantu sebisaku." Setelah berkata demikian, muka itu memandang jelalatan ke kanan kiri, sama sekali tidak memperdulikan sepasang suami isteri itu.
Siauw Yang membanting banting kaki kirinya dan ini dikenal baik oleh Pun Hui. Kalau isterinya sudah membanting banting kaki kiri, ini berarti Siauw Yang mulai panas perutnya dan akan marah. Maka ia mendahului isterinya itu menjura kepada "muka" di tengah daun pintu itu sambil berkata,
"Can kauwsu, harap maafkan kalau kedatangan kami ini mengganggu. Sebetulnya kami hanya ingin bertanya sedikit kepada kauwsu tentang Thian hwa kauw dan...."
"Ayaaaaa.... !" Muka di pintu itu berseru dan lubang itu tertutup cepat cepat, kemudian dari balik daun pintu itu terdengar suara Can kauwsu, "Aku tidak kenal Thian hwa kauw. Aku tidak tahu menahu tentang Thian hwa kauw..... Pergilah kalian dari sini!" Setelah itu terdengar suara kaki berlari pergi menjauhi pintu.
Siauw Yang sudah mencabut pedangnya dan hendak menggempur pintu. Wataknya yang dulu timbul lagi menghadapi sikap orang yang keterlaluan ini. Akan tetapi suaminya segera memegang tangannya.
"Sabar, niocu. Orang tidak mau menerima tamu, mengapa kita harus memaksa tuan rumah" Lebih baik kita mencari keterangan di lain tempat." Ia menarik narik lengan isterinya yang masih marah itu.
Malamnya, di dalam kamar hotel setelah kepalanya menjadi dingin biarpun hatinya masih panas Siauw Yang berkata kepada suaminya,
"Aku benar benar merasa curiga sekali. Sikap Can kauwsu tadi seperti bukan sewajarnya Dia semenjak kita datang sudah kelihatan ketakutan. Buktinya pintu ditutup rapat rapat dan mukanya kelihatan sedang menghadapi kesulitan yang hebat. Apalagi setelah kita menyebut Thian hwa kauw, ia kelihatan terkejut dan makin ketakutan. Suamiku, aku merasa penasaran sekali. Siapa tahu kalau kalau orang she Can ini ada hubungannya dengan Thian hwa kauw, siapa tahu kalau kalau dia menjadi anggautanya. Malam ini aku harus pergi menyelidik ke sana."
Liem Pun Hui cukup mengenal watak isterinya yang pantang mundur dalam menghadapi urusan apa saja. Dia sendiripun tadi menaruh curiga dan melihat sikap ketakutan dari Can kauwsu, maka ia tadi melarang isterinya marah marah. Dia sendiri biarpun sudah mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silat karena petunjuk petunjuk isterinya, namun masih kurang leluasa kalau harus menyelidiki rumah orang di waktu malam, apalagi di rumah seorang guru silat. Maka ia tidak dapat mencegah kehendak isterinya itu dan hanya dapat memesan,
"Kau berhati hatilah, niocu. Jangan mencari perkara. Kau menyelidik saja untuk mengetahui mengapa ia bersikap ketakutan. Jangan kau terlalu membikin aku gelisah menanti di sini!"
Siauw Yang mengangguk, kemudian setelah berpakaian serba ringkas dan membawa pedangnya, nyonya yang gagah ini melompat keluar melalui jendela, terus naik ke atas genteng dan menuju ke rumah Can kauwsu melalui genteng rumah rumah orang. Gerakannya masih lincah dan ringan seperti di waktu mudanya dan di dalam malam yang remang remang diterangi sinar bulan itu, bayangannya masih memperlihatkan bentuk tubuh yang singset dan ramping.
Ketika tubuhnya melayang di atas genteng rumah dekat rumah Can kanwsu, ia melihat berkelebatnya tujuh bayangan orang yang gesit gesit tanda bahwa mereka itu memiliki lweekang dan ginkang yang tinggi. Melihat tujuh orang itu masing masing memegang setangkai bunga, hatinya berdebar, inilah orang Thian hwa kauw, pikirnya. Memang ia sudah sering kali mendengar bahwa orang orang Thian hwa kauw itu selalu membawa setangkai bunga yang dapat dipergunakan sebagai senjata. Dengan hati hati sekali Siauw Yang mendekam di atas genteng bersembunyi, kemudian ia melompat dan mengikuti gerak gerik tujuh orang itu. Mereka bertujuh berlompatan bagikan kucing memasuki pekarangan rumah Can kauwsu. Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan.
Siauw Yang cepat melompat ke atas genteng ruangan tengah dari mana suara jeritan itu keluar, membuka genteng dan dengan gerakan Lee hi Ta teng, ia melompat ringan dan ketika tubuhnya melayang turun, kakinya mengait tiang melintang dan demikianlah, dengan tubuh berjungkir kepala di bawah kaki mengait tiang, nyonya yang gagah ini mengintai apa yang sedang terjadi di bawah. Ia melihat tujuh bayangan tadi telah berdiri di bawah, merupakan barisan dua dua, anehnya barisan itu ternyata merupakan tiga pasang muda mudi yang tampan dan cantik, sedangkan orang ke tujuh yang berdiri di depan adalah seorang kakek tua bongkok yang buruk sekali rupanya. Tiga orang pemuda dan tiga orang dara yang tampan tampan itu berdiri tegak seperti patung, sedangkan kakek itu nampak marah marah. Di depan mereka bertujuh ini berdiri Can kauwsu dengan golok di tangan. Guru silat ini nampak ketakutan, akan tetapi sepasang matanya menyinarkan kenekatan seperti orang gila. Di sebelah kirinya berdiri seorang gadis cantik berusia paling banyak enambelas tahun, juga gadis ini nampak pucat, akan tetapi ia berdiri di samping ayahnya sambil memegang sebatang pedang. Dia adalah puteri Can kauwsu yang tentu saja sebagai anak guru silat telah belajar ilmu silat pula yang tidak rendah. Adapun di belakang mereka ini, nampak beberapa orang wanita yang saling peluk dan berlutut dengan tubuh menggigil. Mereka ini adalah isteri Can kauwsu dan beberapa orang pelayan. Suara jeritan tadi keluar dari mulut mereka inilah yang sudah setengah mati karena ketakutan.
"Can kauwsu, apakah kau sudah tahu akan dosamu yang amat besar terhadap Thian hwa kauw?" Terdengar kakek itu bertanya dengan suara penuh ancaman. Mendengar penanyaan ini nampak Can kauwsu gementar, namun dengan suara tegas ia menjawab,
"Aku tidak ada hubungan dengan Thian hwa kauw, aku tidak tahu apa apa tentang Thian hwa kauw, jangan mengganggu kami serumah tangga yang tak berdosa !" Mendengar suara ini, Siauw Yang teringat akan sikap guru silat itu siang tadi. Ia menjadi tertarik sekali dan memandang dengan penuh perhatian.
Kakek itu mengeluarkan suara ketawa mengejek.
"Heh heh heh heh, Can kaowsu masih berani membohong" Kau telah membunuh mati seorang siulam (pemuda tampan) anggauta Thian hwa kauw, dan kau masih hendak menyangkal?"
"Tidak! Aku tidak membunuh anggauta Thian hwa kauw! Kapankah aku berhubungan dengan Thian hwa kauw sehingga dapat nembunuh angautanya?" jawab Can kauwsu tegas.
"Heh heh heh heh, Thian hwa kauw takkan bertindak tanpa bukti. Sam wi kongcu (tiga orang tuan muda) harap ambil buktinya dan bawa ke sini!" kata kakek itu dan tiga orang pemuda tampan dari rombongannya melompat cepat menuju ke pekarangan atau kebun di belakang rumah Can kauwsu.
Melihat ini, nona cilik di samping Can kauwsu nampak gemetar tubuhnya dan tangan kanannya memegang lengan ayahnya dengan memindahkan pedang di tangan kiri. Kemudian ia memindahkan pula pedang itu ke tangan kanan sedangkan tangan kiri menyusuti peluh di leher dan keningnya. Biarpun malam itu cukup dingin, agaknya nona ini merasa gerah dan gelisah sekali. Juga Can kauwsu yang bertubuh tinggi besar dan kelihatan gagah itu nampak cemas dan takut ia mencoba menenangkan hatinya sambil melangkah maju dan berkata kepada kakek itu,
"Locianpwe, sesungguhnya aku orang she Can selama hidup tak pernah mengganggu orang, apalagi mengganggu Thian hwa kauw yang belum kukenal. Mengapa locianpwe sekalian mencampuri urusan rumah tanggaku?"
"He he he, orang she Can, tak perlu banyak cakap. Tunggu sampai buktinya di depan mata baru boleh bicara!" jawab kakek itu galak.
Tak lama kemudian tiga orang pemuda tampan tadi nampak muncul dari belakang. Mereka bertiga menyeret sesuatu dan Siauw Yang terpaksa menutupi hidungnya dengan ujung lengan bajunya. Bau yang amat tidak enak menyerang hidungnya, bau.... bangkai! Ketika tiga orang itu telah datang dekat, mereka melempar benda yang mereka bawa itu dan ternyata itu adalah sebuah.... mayat manusia yang sudah mulai membusuk! Can kauwsu melangkah mundur dengan muka pucat, puterinya mengeluarkan jerit tertahan sedangkan para wanita yang tadi berlutut kini menjadi makin ketakutan. Nyonya Can yang berjantung lemah sudah hampir pingsan, saking ngeri dan takut.
"Heh heh heh, orang she Can, bukti sudah di depan mata. Jenazah orang siulam dari Thian hauw kauw sudah berada di sini, baru saja digali dari kebunmu. Apakah kau masih hendak berpura pura dan berani bilang tidak tahu menahu tentang jenazah terkubur di kebunmu?"
"Dia.... dia adalah jenazah Coa Lok, pemuda hidung belang...."
"Tak perduli siapa namanya, dia adalah anggauta Thian hwa kauw dan kau sudah berani membunuhnya!" kakek bongkok yang bukan lain adalah Hek tok kwi itu berkata marah.
"Aku.... aku tidak tahu bahwa dia adalah anggauta Thian hwa kauw..... dia.... dia datang untuk mengganggu puteriku ini, tentu saja kami melawan dan dia.... dia roboh dan tewas. Kami menguburnya di dalam kebun."
"Heh heh heh kau memutar balikkan urusan. Siulam kami yang telah kau bunuh ini hendak mendatangkan kebahagiaan kepada puterimu, hendak menjadikan puterimu seorang siuli di dalam perkumpulan kami. Maksudnya yang amat mulia itu, mengangkat puterimu dari dara biasa menjadi seorang siuli yang kedukannya sama dengan Thian hwa (Bunga Surga), mengapa kau menuduhnya yang bukan bukan dan membunuhnya?"
"Tidak! Tidak demikian. Dia datang pada tengah malam, menggunakan asap beracun dan memasuki kamar anakku dengan maksud keji. Baiknya kami sudah siap sedia dan...."
"Heh heh heh, maksud keji, katamu" Dia akan menyempurnakan keadaan puterimu agar dapat diterima menjadi siuli oleh kauwcu kami, kau bilang bermaksud keji" Eh, Can kauwsu, kau dengarlah baik baik. Kauwcu sudah mendengar tentang urusan ini, maka hukumannya sekarang, kau harus mampus dan puterimu akan dibawa kesana, bukan untuk mernjadi siuli melainkan menjadi pelayan yang paling rendah kedudukannya. Kalau ketak dia pandai membawa diri, baru ada harapan dia naik kedudukannya."
Can kauwsu melintangkan goloknya. "Siluman siluman Thian hwa kauw, kami selalu mengalah dan kalian masih mendesak terus. Biarpun aku harus mampus, apa kau kira aku sudi memberikan anakku menjadi anggauta perkumpulan siluman?"
"Terjang....!!" Hek tok kwi memberi aba aba dan ia pasang muda mudi itu menyerbu. Hek tok kwi sendiri melompat ke depan dan di lain saat ia telah berhasil menyambar pundak gadis cilik anak Can kauwsu itu dan sekali kempit gadis cilik itu tak berdaya lagi. Can kauwsu tidak sempat menolong puterinya dan pada saat itu, Hek tok kwi juga telah menggerakkan tangannya ke arah kepala nyonya Can untuk membunuhnya.
"Siluman keji, jangan kurang ajar!" Tiba tiba terdengar bentakan nyaring dan dari atas tiang menyambar turun tubuh orang yang gesit gerakannya. Setelah orang itu menyambar dengan pedang digerakkan, hampir saja tangan Hek tok kwi terbabat putus kalau saja kakek itu tidak cepat cepat menarik kembali tangannya yang hendak membunuh nyonya Can tadi! Akan tetapi di lain saat bayangan itu, bukan lain Song Siauw Yang, sudah berhasi merobohkan seorang Siulam dan seorang Siuli dengan tendangan dan pukulan tangan kirinya yang menggunakan hawa pukulan Soan hong pek lek jiu yang dahsyat.
Melihat cara nyonya kosen ini menyerang dengan pedang dan pukulan tangan kirinya, Hek tok kwi berseru,
"Tahan dulu Toanio yang baru datang ini siapakah dan mengapa memusuhi Thian hwa kauw?"
Siauw Yang mengeluarkan ejekan di dalam hidungnya.
"Hah, sekalian siluman keji tak tahu malu! Aku belum pernah meninggalkan she menyembunyikan nama. Aku Song Siauw Yang dan hari ini kebetulan sekali aku mendapat kesempatan untuk membasmi kalian siluman siluman jahat!"
Mendengar ini, Hek tok kwi lalu melompat mundur dan berkata,
"Melihat muka Song toanio kami melupakan dosa dosamu, keparat Can! Biarlah kali ini kami mengampuni jiwamu!" Setelah berkata demikian, ia memberi aba aba, "Pergi!" Dan tubuhnya berkelebat cepat sekali ke atas genteng sambil memanggul tubuh nona Can yang masih belum di lepaskannya. Empat orang muda mudi yang belum roboh segera menyambar tubuh dua orang yang terluka, bahkan yang dua orang lagi menyambar jenazah yang bau itu, kemudian cepat melompat ke atas menyusul Hek tok kwi.
"Kau lepaskan nona itu!" Siauw Yang membentak sambil mengayun kaki mengejar Hek tok kwi. Ginkang dari nyonya ini memang hebat sehingga di lain saat ia berada di atas genteng.
"Tak berani membantah perintah Song toanio!" kakek itu tertawa dan tiba tiba Siauw Yang mengulurkan tangan kiri karena tubuh nona cilik itu telah dilontarkan ke arahnya. Lontaran ini keras sekali. Terpaksa Siauw Yang mengerahkan lwekangnya dan berlaku hati hati agar nona yang lemas tubuhnya itu tidak terbanting jauh. Kemudian ia melompat turun dan melepaskan tubuh nona Can di depan ayahnya. Setelah itu, cepat ia melompat lagi ke atas untuk mengejar dan memberi hajaran kepada orang orang Thian hwa kauw namun mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Ketika Siauw Yang kembali ke ruangan tengah rumah Can kauwsu, ia disambut oleh Can kauwsu seanak isteri sambil berlutut dan bercucuran air mata.
"Song lihiap, mohon sudi mengampunkan boanpwe yang tak tahu diri, terutama sekali atas sikap boanpwe siang tadi yang amat kasar. Siapa kira sekarang Song lihiap yang menyelamatkan nyawa kami sekeluarga. Sungguh boanpwe layak di pukul mati!" Setelah berkata demikian, Can kauwsu memukuli kepala sendiri, tanda bahwa ia merasa menyesal sekali atas sikapnya siang tadi,
"Sudahlah," Siauw Yang mengangkat tangan memberi tanda mencegah kelakuan guru silat itu. "Aku tahu bahwa kau berada dalam ketakutan. Karena sikapmu yang tidak sewajarnya itulah aku malam malam datang dan kebetulan melihat sepak terjang orang orang Thian hwa kauw yang tidak patut. Sebetulnya, siapakah pemuda yang kau bunuh itu dan bagaimana duduknya perkara?"
Dengan singkat Can kauwsu bercerita. Pemuda itu bernama Coa Lok, seorang pemuda yang memiliki bakat baik dalam ilmu silat, juga biasanya berwatak sopan dan baik. Pemuda ini menarik hati Can kauwsu sehingga pernah Coa Lok diberi pelajaran ilmu silat. Bahkan diam diam guru silat ini mempunyai rencana untuk menjodohkan puteri tunggalnya dengan pemuda yang berasal dari Hok kian ini. Coa Lok adalah seorang pemuda perantau dan sekarang bekerja di Leng ok sebagai pembantu seorang pedagang hasil bumi. Beberapa pekan akhir akhir ini sikap Coa Lok berubah, matanya liar dan beberapa kali ia mengucapkan kata kata tidak sopan di depan Can Goat Li puteri Can kauwsu itu. Kemudian pemuda ini sering kali menjumpai Goat Li secara sembunyi sembunyi dan membujuk bujuk gadis itu supaya suka pergi bersama dia meninggalkan rumah dan menjadi anggauta Thian hwa kauw! Tentu saja Goat Li tidak sudi melakukan perbuatan rendah ini, yaitu minggat bersama seorang pemuda meninggalkan rumah. Bahkan dia menegur Coa Lok dan menyatakan bahwa kalau pemuda itu orang baik baik dan suka kepadanya, mengapa tidak mengajukan pinangan saja kepada orang tuanya sebagaimana orang lajimnya. Namun Coa Lok tidak mau, hanya mendongengkan tentang kesenangan menjadi anggauta Thian hwa kauw, di sana mereka akan hidup seperti pangeran dan puteri istana, kerjanya setiap hari bersenang senang!
Goat Li lalu melaporkan hal ini kepada ayahnya. Can kauwsu marah bukan main. Coan Lok dipanggil dan di beri hadiah maki dan caci bahkan diusir dan dilarang menginjak lantai rumah itu lagi. Coa Lok pergi sambil tersenyum senyum.
Malamnya menjelang tengah malam, Coa Lok datang dan mempergunakan hio yang asapnya memabokkan, mencoba untuk masuk ke kamar Goat Li dengan maksud keji, dan mungkin sekali hendak menculik gadis itu. Akan tetapi, Can kauwsu sudah curiga melihat senyum di bibir pemuda itu siang tadi maka sebagai seorang kang ouw yang sudah banyak pengalaman, ia sengaja berjaga. Dengan marah sekali ia lalu menyerang Coa Lok dan dalam kemarahannya ia membunuh pemuda itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa pemuda itu menyimpan setangkai bunga teratai di dalam saku bajunya, tanda bahwa dia memang betul anggauta Thian hwa kauw. Hal ini benar benar tak pernah diduga oleh Can kauwsu. Maka ia cepat mengubur jenazah Coa Lok di dalam kebun dan semenjak hari itu ia menutup pintu dan tidak pernah keluar. Ia menyimpan rahasia pembunuhan itu secara rapat, dan setiap malam ia ketakutan. Demikianlah mengapa ia bersikap kaku kepada Siauw Yang dan suaminya, apalagi ketika mendengar Siauw Yang bertanya tentang Thian hwa kauw.
Dan ternyata, seminggu kemudian setelah pembunuhan itu terjadi, rombongan Thian hwa kauw datang membikin pembalasan seperti telah dituturkan di bagian depan.
Siauw Yang menggeleng geleng kepalanya. "Benar benar jahat dan keji, akan tetapi juga aneh sepak terjang Thian hwa kauw Can kauwsu, apakah kau tahu di mana sarang mereka" Aku merasa penasaran sekali dan hendak melihat siapakah adanya kauwcu mereka itu dan sampai di mana pengaruh perkumpulan ini. Aku mendengar bahwa sudah banyak sekali jago jago muda dari pelbagai partai besar terbujuk dan masuk menjadi anggauta Thian hwa kauw."
"Memang sudah boanpwe dengar tentang hal itu, sayang sekali hamba sendri tidak tahu di mana gerangan pusat perkumpulan itu. Akan tetapi tak jauh dan sini, di Kwan leng si akan diadakan pesta hari she jit Si siang to Bhok Coan. Dia adalah seorang bekas perampok ulung dan tentu dalam pestanya itu akan datang tokoh tokoh terkemuka baik dari golongan kang ouw, liok lim maupua hek to. Wah, kalau lihiap mencari keterangan di sana kiranya akan tercapai maksud lihiap."
Memang Siauw Yang sudah mempunyai niat menuju Kwan leng si, maka ia lalu berpamit dan menolak segala ucapan terima kasih guru silat itu sekeluarga. Sesamparnya di hotel, suaminya sudah gelisah tidak karuan.
"Mengapa begitu lama" Ada terjadi apakah?" Tegur suami ini, lega melihat istrinya pulang dalam keadaan selamat.
"Terjadi hal hebat. Aku bertemu dengan orang orang Thian hwa kauw di sana!"
"Jadi betul betul Can kauwsu menjadi anggauta Thian hwa kauw?" tanya Liem Pun Hui.
"Hush, bukan demikian. Sebaliknya, dia sekeluarga hampir saja menjadi korban Thian hwa kauw." Setelah berganti pakaian dan menyimpan pedangnya, sambil duduk di atas ranjang menghadapi suaminya, Siauw Yang menceritakan semua pengalamannya tadi.
Mendengar penuturan isterinya, Liem Pun Hui bergidik dan kemudian menarik napas panjang.
"Mudah mudahan saja anak kita jangan terjerumus ke dalam perkumpulan semacam itu....!"
Demikianlah, suami isteri ini pada keesokan harinya melanjutkan perjalanan menuju ke Kwan leng si. Karena mereka belum kenal jalan, pula memang tidak tergesa gesa, mereka datang terlambat dan di tengah jalan mereka bertemu dengan rombongan lain dari Thian hwa kauw yang sedang lari membawa barang barang dan orang orang muda culikan. Melihat kakek bongkok berada pula di antara rombongan itu, mudah saja bagi Siauw Yang untuk mengenal bahwa mereka itu adalah orang orang Thian hwa kauw, maka sambil berseru keras ia mengejar. Akan tetapi ia tidak berhasil karena ketika ia dan suaminya mengejar dengan menunggang kuda, orang orang Thian hwa kauw itu melemparkan obat obat peldak yang mengeluarkan suara keras dan membikin kaget dan takut kuda tunggangan Siauw Yang dan suaminya sehingga tidak dapat dipaksa melanjutkan pengejaran. Siauw Yang hanya mengira bahwa orang orang Thian hwa kauw itu sudah mengenal kelihaiannya dan hilang semangat melihat dia muncul. Sama sekali ia tidak tahu bahwa di balik ini tersembunyi hal lain, karena sebetulnya agak mustahil kalau orang orang Thian hwa kauw yang lihai itu takut kepada nyonya kosen ini. Terhadap Song Bi Hui, gadis yang kini memiliki kepandaian jauh di atas tingkat kepandaian Song Siauw Yang, mereka masih tidak takut bahkan berhasl menawannya, masa mereka takut kepada Siauw Yang" Akan tetapi kalau melihat sikap kakek bongkok Hek tok kwi. memang begitulah agaknya, dia seperti takut sekali terhadap Song Siauw Yang.
Siauw Yang dan suaminya karena tidak melihat gadis yang tadi ditinggalkan oleh rombongan Thian hwa kauw, mengira gadis itu telah lari pergi. Sama sekali mereka tidak tahu bahwa gadis itu adalah Bi Hui dan bahwa gadis itu dalam keadaan pingsan telah dibawa pergi oleh Beng Han. Kini mereka melanjutkan perjalanan ke Kwan leng si.
Kedatangan mereka disambut hangat oleh Sin sian to Bhok Coan. Apalagi Thio Leng Li, melihat siapa yang datang, nyonya ini lalu menyambut dengan pelukan, dan tanpa malu malu lagi Leng Li menangis di pundak Siauw Yang mendengar akan nasib Leng Li yang kiranya malah jauh lebih sengsara daripada nasibnya sendiri. Seperti diketahui, Thio Leng Li kematian ayahnya yang dibunuh orang tanpa di ketahui siapa pembunuhnya. Juga anak perempuannya diculik orang. Puteranya, Kwan Sian Hong, lima tahun yang lalu pergi hendak mencari pembunuh kong kongnya dan mencari jejak adiknya, akan tetapi hingga kini juga belum ada kabar beritanya. Lebih celaka lagi, suaminya, Kwan Lee yang agaknya amat berduka karena lenyapnya Kwan Li Hwa puteri kesayangannya, telah jatuh sakit berat sampai datang kematiannya.
"Kasihan sekali kau, adik Leng Li. Biarlah, mari kita sama sama berusaha mendapatkan kembali anak anak kita yang hilang dan percayalah, aku akan membantumu mencari sampai dapat pembunuh ayahmu," kata Siauw Yang menghibur.
Kemudian para tokoh kang ouw yang berada di situ mengadakan perundingan kembali, hati mereka besar karena kini di situ bertambah seorang berilmu tinggi yaitu Song Siauw Yang. Hampir semua orang kenal siapa adanya nyonya ini karena siapakah yang tidak kenal ayah nyonya ini, Thian te Kiam ong Song Bun Sim Si Raja Pedang"
"Sebelum diadakan perundangan untuk menghadapi Thian hwa kauw, adakah di antara cu wi sekalian yang hadir ini tahu apakah sebetulnya perkumpulan itu" Bagaimana sifat sifatnya dan mengapa pula banyak orang orang muda sampai terbujuk dan banyak yang suka masuk menjadi anggotanya?"
Oran orang di situ saling pandang, karena memang sebagian besar atau hampir semua di antara mereka tidak tahu. Akhirnya setelah ragu ragu sejenak, seorang tosu menarik napas dan berkata,
"Kiranya pinto dapat menjawab pertanyaan toanio ini." Semua orang memandang dan ternyata yang bicara adalah Tiauw Beng Cinjin, ketua Kim lian pai. Melihat semua mata memandang penuh gairah untuk segera mendengarkan penuturannya, kakek Kim lian pai itu menyambung kata katanya, "Bukan rahasia lagi bahwa banyak orang orang muda yang tadinya menjadi murid partai partai besar dan hidup sebagai pendekar muda yang gagah perkasa, secara tak terduga telah terjerumus masuk menjadi anggauta perkumpulan sesat itu. Demikian pula seorang diantara anak murid Kim lian pai terseret masuk. Pinto sendiri turun gunung untuk mencari anak murid itu. Tiga bulan kemudian, secara kebetulan sekali ketika pinto berada di sebuah dusun, serombongan orang Thian hwa kauw mendatangi rumah hartawan di situ, merampok emas dan menculik anak gadisnya. Pinto turun tangan dan ternyata anak murid Kim lian pai itu berada di antara mereka!" Kakek itu menarik napas panjang sambil menunda ceritanya.
"Selanjutnya bagaimana, totiang?" Siauw Yang bertanya mendesak, tertarik oleh penuturan itu.
"Mereka terdiri dari enam orang, tiga pemuda dan tiga orang gadis. Agaknya untuk melakukan pekerjaan yang dianggap ringan itu rombongan ini tidak disertai gembongnya yang berkepandaian tinggi. Pinto dikeroyok, akan tetapi kepandaian sitat mereka itu sebetulnya tidak berapa hebat. Yang membikin pinto marah dan mendongkol sekali adalah anak murid Kim lian pai itu yang ikut pula mengeroyok pinto! Hayaaa, sakit hati sekali melihat anak murid sendiri membantu musuh. Dengan marah pinto memukul murid itu sehingga roboh dan menangkapnya merobohkan pula seorang pengeroyok lain. Akan tetapi empat orang Thian hwa kauw itu melepaskan obat obat peledak mereka, dan ketika pinto melompat pergi membawa tubuh anak murid itu, mereka melarikan diri membawa seorang kawan mereka yang terluka." Kembali kakek itu berhenti, agaknya merasa menyesal bukan main atas kejadian itu.
"Tentu totiang mendengar cerita tentang Thian hwa kauw dari anak murd itu, bukan?" kata pula Siauw Yang.
"Betul. Dalam kemarahan, pinto telah mengirim pukulan maut kepadanya. Nyawanya tak tertolong lagi, akan tatapi sebelum ia mati, bocah itu telah mengakui kesalahannya dan menceritakan kedaan Thian hwa kauw kepada pinto." Kembali ia berhenti dulu menarik napas panjang, kemudian dilanjutkannya.
"Menurut penuturannya yang terputus putus dan kurang jelas, Thian hwa kauw mempunyai anggauta kurang lebih empatpuluh orang banyaknya, yaitu anggauta anggauta yang disebut siulam dan siuli, terdiri dari pemuda pemuda tampan dan gadis cantik. Di samping itu masih ada tujuh orang kakek dan nenek yang buruk rupa dan lihai sekali ilmu silatnya. Mereka ini menjadi kepala rumah tangga, mengepalai semua pelayan di situ, bahkan juga mereka itu berkuasa atas diri para siulam dan siuli. Yang menjadi kauwcu adalah seorang wanita cantik sekali. Adapun praktek praktek yang dijalankan oleh perkumpulan agama sesat itu amat mengerikan, cabul dan hina. Para siulam dan siuli itu memang selain bertugas melakukan perintah kauwcu seperti merampok, menculik anggauta baru dan lain lain, hidup mereka seperti pangeran dan puteri istana saja. Di antara para siulam dan para siuli tidak terdapat batas dan larangan, mereka hidup bebas berpasangan seperti binatang binatang di hutan, di pelopori dan diberi contoh oleh kauwcu sendiri yang mempunyai banyak kekasih. Benar benar menjemukan sekali dan patut dibasmi!"
"Aneh...." sela Pak Kong Hosiang tokoh Siauw lim pai, "kalau mereka itu melakukan hal hal cabul dan rendah semacam itu, mengapa orang muda muda gagah perkasa sampai dapat terbujuk" Mengapa mereka sudi melakukan hal hal seperti itu?"


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiauw Beng Cinjin menghela napas. "Sudah kutanyakan dan kutegur kepada anak murid Kim lian pai itu tentang hal ini. Murid pinto yang dalam menghadapi kematiannya agaknya tetapi sadar dari keadaan tidak sewajarnya itu, menyatakan bahwa mula mula mereka tertarik karena melihat banyaknya pemuda tampan dan gadis cantik yang menjadi anggauta. Akan tetapi sekali datang di tempat itu, mereka merasa tidak kuasa mengatur jalan pikiran sendiri. Sangat boleh jadi mereka itu diberi minum semacam racun yang merampas semangat dan yang dapat membius mereka sehingga mereka tidak dapat menguasai pikiran sendiri. Pendeknya, Thian hwa kauw merupakan semacam harem seperti di istana kaisar, dan para siulam itu sengaja dikumpulkan untuk menyenangkan hati kauwcu dari Thian hwa kauw, sebaliknya para siuli itu dikumpulkan untuk menghibur kekasih kauwcu yang mereka sebut twa kongcu. Selanjutnya pinto tidak mendengar penjelasan apa apa lagi karena anak murid itu keburu menghembuskan napas terakhir. Menyesal sekali dia tidak sempat memberi tahu di mana adanya pusat perkumpulan terkutuk itu."
Tiba tiba Sin siang to Bhok Coan berkata,
"Aku tahu tempatnya. Lihat, ketika mereka tadi membawa pergi siang to (sepasang golok) yang tergantung di pinggangku tanpa kuketahui, mereka meninggalkan ini di ikat pinggang sebagai gantinya." Ia memperlihatkan sehelai kain berwarna dadu yang ada tulisannya,
"Kalau mau ambil kembali sepasang golok, Datanglah di hutan Harimau Siluman!"
Di bawahnya terdanat gambar kembang teratai yang kelopaknya berwarna macam macam.
"Hutan Harimau Siluman adalah hutan Koai houw lim yang letaknya di kaki gunung Siu sau tak jauh dari sini," kata Bhok Coan. "Dan si bongkok tadi mengharapkan kedatanganku di sana dalam waktu sepuluh hari. Bagaimanapun juga, kalau tidak ada cu wi yang membantu, mana aku berani mengantar nyawa ke sana" Lebih baik aku kehilangan golok, barang sumbangan, dan muka daripada kehlangan nyawa." Kata kata Sin siang to Bhok Coan ini benar benar tak dapat dihargai oleh para orang gagah di situ, akan tetapi mereka maklum betapa takut dan jerihnya orang she Bhok ini terhadap Thian hwa kauw. Dan melihat sepak terjang Thian hwa kauw, ketakutan Bhok Coan dapat di mengerti.
"Bhok enghiong tak usah khawatir," kata Thian Cin Cu tosu Kun lun pai dengan suara mengejek, "memang kami sudah bersepakat hendak sama sama membasmi perkumpulan itu. Sudah tentu kami semua berada di belakangmu."
"Betul," kata Pak Kong Hosiang, "memang sebaiknya kalau Bhok sicu memenuhi undangan mereka itu dan kami beramai menjadi pengantar Bhok sicu agar kita dapat masuk dengan mudah. Setelah sampai di sana, baru kita semua bergerak."
Demikianlah perundingan dilanjutkan dan diatur masak masak untuk bersama menggempur Thian hwa kauw yang selain merupakan gangguan bagi rakyat jelata, juga amat merugikan nama baik partai partai besar karena memikat anak anak murid partai persilatan yang ternama.
-oo0dw0oo- Song Bi Hui mengeluh perlahan, kedua matanya masih dipejamkan. Ia merasa kepalanya pening sekali dan biarpun matanya dipejamkan, kepalanya merasa seakan akan segala apa di sekelilingnya berputar putar.
"Kepalaku... berdenyut denyut pusing sekali...." keluhnya tanpa disadarinya.
Tiba tiba ia merasa ada tangan mengelus elus kening dan memijat mijat kepalanya dengan halus sekali, dan terdengar suara orang berkata perlahan.
"Kasihan kau, enci Bi Hui...."
Pijatan pada kepalanya itu sekaligus mengusir rasa peningnya, akan tetapi Bi Hui tidak memperhatikan ini. Ia terlalu kaget mendengar suara laki laki, cepat dibukanya matanya. Melihat seorang pemuda tampan berpakaian sederhana sedang memijat mijat kepalanya, Bi Hui menjerit, melompat berdiri dan tangan kanannya menampar.
"Plak plak...." pipi pemuda itu telah di tampar keras keras akan tetapi tiba tiba kepalanya pening sekali dan ia terhuyung huyung sambi memejamkan mata.
"Hati hati, enci Bi Hui, kau belum sembuh betul..."
Dua lengan yang kuat menyambar pinggangnya dan dengan halus ia dituntun untuk duduk kembali ke bawah pohon.
"Duduk dan mengasolah, jangan terburu nafsu, kau masih lemah....!"
Setelah peningnya mereda, Bi Hui membuka matanya dan memandang pemuda itu. Kembali ia cepat cepat meramkan matanya, mukanya terasa panas saking jengahnya, bibirnya digigit sendiri untuk menekan debaran jantung yang terasa cemas. Sejak bilakah dia bersama pemuda ini" Hatinya tidak enak sekali.
"Kau.... kau siapakah....?" tanyanya, suaranya gemetar, penuh bayangan yang bukan bukan.
"Enci Bi Hui, kau masih pusing. Nanti kalau kau sudah sadar betul, kau tentu akan mengenal aku?" jawab pemuda itu, suaranya halus dan ramah. Siapakah dia ini" Dia kutampar dua kali, akan tetapi dia tidak marah, bahkan menolongku tidak sampai jatuh. Bi Hui mengingat ingat, kemudian ia membuka mata kembali. Pemuda itu duduk tak jauh dari situ, memandangnya dengan bibir tersenyum dan sinar mata mengandung iba hati. Ketika memandang ke sekeliling, Bi Hui mendapat kenyataan bahwa mereka di dalam sebuah hutan yang sunyi. Hatinya agak lega. Tadi ia mengira bahwa ia sudah terjatuh ke dalam tangan Thian hwa kauw. Akan tetapi, hatinya tercekat kembali, siapa tahu kalau kalau pemuda ini anggauta Thian hwa kauw..."
"Siapa kau".?" Ia menatap tajam penuh selidik. Serasa ia kenal akan wajah ini, akan tetapi lupa lagi di mana pernah bertemu.
Pemuda itu tersenyum. "Sukur, kau sudah sembuh, enci Bi Hui. Aku sudah merasa gelisah sekali. Tiga hari tiga malam kau pingsan dan baru sekarang siuman kembali."
"Tiga hari tiga malam" Dan selama itu aku di sini....?"
Pemuda itu mengangguk. "Di tempat ini dengan......... dengan engkau?""
Kembali pemuda itu mengangguk tenang dan mukanya bersih seperti muka orang yang tidak berdosa.
"Dan kau.... kau ini siapakah, mengapa menjaga aku di sini dan kita berada di mana?" Bi Hui bangkit hendak berdiri akan tetapi kembali ia terduduk karena kepalanya masih pening kalau ia berdiri.
"Enci Bi Hui, aku kebetulan lewat dan mendapatkan kau rebah pingsan di tengah jalan. Aku lalu membawamu ke tempat ini agar kau dapat tidur di bawah pohon, tak kusangka kau pingsan sampai tiga hari tiga malam. Hutan ini tidak begitu jauh dari tempat kau pingsan."
"Hem, aku ingat sekarang. Siluman itu menyerangku dengan kembang.... baunya harum bukan main.... Lalu aku lupa segala.... eh, kau ini siapakah?" kembali ia menatap wajah yang ramah dan tampan itu. Pemuda itu paling banyak berusia sembilan belas tahun, kulit mukanya putih dan alisnya hitam tebal. Muka yang tampan sekali, akan tetapi yang paling menarik adalah sepasang matanya yang tajam menyambar nyambar seperti kilat. Mata yang amat berpengaruh dan mengandung kelembutan.
"Enci Bi Hui, betul betulkah kau tidak kenal lagi kepadaku" Belum juga begitu lama, baru sepuluh tahun. Bagiku kau masih sama seperti dulu, enci, belum berubah. Apakah kau lupa padaku?"
Bi Hui teringat dan ia tertegun sejenak. Kemudian ia berkata perlahan.
"Kau.... kau Beng Han....?" Ia ragu ragu, benarkah pemuda tampan in Beng Han" Memang ada persamaan pada wajah itu, akan tetapi mungkinkah bocah itu sekarang menjadi seorang pemuda begini .... begini.... ganteng"
Ketika pemuda ini mengangguk membenarkan ia segera menyambung untuk menutupi perasaan kagumnya dengan teguran penuh curiga.
"Kau mengapa berada di sini" Kau mau apa dan apa hubunganmu dengan Thian hwa kauw?"
Beng Han tersenyum pahit melihat sikap gadis itu.
"Enci Bi Hui, agaknya masih belum lenyap keraguanmu terhadap diriku. Telah kuceritakan tadi bahwa tanpa disengaja aku mendapatkan kau pingsan di tengah jalan, maka kau kubawa ke sini. Adapun aku berada di sini karena.... enci Bi Hui, lupakah kau akan sumpahku dahulu" Aku akan mencari pembunuh pembunuh suheng berdua dan akan menyeret mereka di depan kakimu?"
Mendengar ini, Bi Hui tertusuk hatinya, merasa diingatkan bahwa sakit hatinya atas kematian ayah bundanya belum juga terbalas sampai saat itu. Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dan menetes turun ke atas pipinya, ia cepat menundukkan mukanya. Teringatlah ia akan peristiwa dahulu ketika ayah bundanya terbunuh, mereka mendapatkan Beng Han di dalam kamar dengan pedang di tangan. Kemudian teringat pula ia betapa mereka, dia dan para pelayan, menyiksa Beng Han untuk memaksa bocah itu mengakui perbuatannya, yaitu membunuh ayah bundanya. Akhir akhir ini baru Bi Hui insyaf bahwa sungguh hal yang amat tidak mungkin kalau bocah berusia delapan sembilan tahun itu mampu membunuh ayah bundanya yang berilmu tinggi! Ahli ahli sitat yang kepandaiannya sudah tinggi sekalipun belum tentu akan dapat membunuh ayah bundanya. Apalagi Beng Han. Sungguh fitnahan keji ketika itu dilontarkan ke atas kepala Beng Han. Kalau ia teringat ia menjadi malu sendiri dan diam diam ia merasa bersyukur bahwa pada saat ia hendak membunuh Beng Han, muncul Sin tung Lo kai yang mencegahnya. Dan sekarang ia bertemu dengan Beng Han yang sudah menjadi pemuda dewasa yang tampan dan pemuda ini masih melanjutkan sumpahnya dulu, hendak membalas sakit hati ayah bundanya.
"Beng Han, apakah kau tidak.... tidak sakit hati kepadaku....?" tanyanya perlahan, malu untuk mengangkat muka.
"Enci Bi Hui, mengapa kau bertanya demikian" Kita adalah orang sendiri, kalau ada rasa sakit hati, perasaan itu sepenuhnya kutujukan kepada pembunuh pembunuh ayah bundamu!"
"Aku dulu...... pernah.... pernah menyiksamu." suara Bi Hui makin perlahan, belum berani ia mengangkat mukanya.....
"Ah, betulkah" Aku malah sudah lupa lagi, enci Bi Hu. Kalaupun demikian, tentu karena kau menjadi kalap berhubung dengan kematian ayah bundamu itu. Aku tidak menyalahkan engkau, enci."
"Akan tetapi.... aku telah.... hampir saja kau kubunuh pada waktu itu.... kalau saja tidak dicegah oleh Sin tung Lo kai...." suara Bi Hui makin lirih, kepalanya makin menunduk.
"Aaah, orang tua yang gagah perkasa. Sin tung Lo kai...... itu. Sayang.... diapun menemui kematiannya dalam keadaan penasaran, seperti ayah bundamu, enci Bi Hui."
Kini Bi Hui berani mengangkat muka menatap wajah pemuda itu setelah mengutarakan hal yang mengganjal di hatinya.
"Kau sudah tahu....?"
Beng Han mengangguk. "Di samping sumpahku dulu, kini kutambah lagl janji untuk mencari pembunuh Sin tung Lo kai dan kubalaskan sakit hatinya." Kata kata ini diucapkan oleh Beng Han dengan semangat bernyala nyala. Melihat itu diam diam Bi Hui memuji kesetiakawanan pemuda ini, akan tetapi juga geli hatinya. Pemuda ini bisa apakah" Dia sendiri yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan sudah digembleng lagi oleh dua arang guru yang sakti, masih belum berhasil mencari musuh besarnya. Dan orang jahat di dunia ini begini banyak dan lihai. Pemuda ini bisa apa" Akan terapi tentu saja dia tidak mau menyatakan perasaan hatinya itu.
"Beng Han, benar benar kau mau memaafkan semua perbuatanku yang menyakiti hatimu dulu?"
"Tidak ada yang harus dimaafkan enci Bi Hui, karena selamanya aku tak pernah sakit hati kepadamu."
"Kau harus memaafkan, Beng Han. Kalau tidak, selamanya aku akan merasa berdosa kepadamu dan tak enak berhadapan denganmu."
Beng Han menghela napas panjang. "Baiklah. Kalau sekiranya ada kesalahan di antara kita tentu saja aku suka memaafkanmu lahir batin, enci Bi Hui. Aku sudah hutang budi banyak sekali kepada ayah bundamu, terutama sekali aku berhutang budi yang takkan mampu kubalas kepada suhu, kong kongmu. Mengapa engkau begitu sungkan sungkan antara orang sendiri?"
Diam diam Bi Hui kagum juga. Benar benar Beng Han sekarang bukan Beng Han bocah yang dulu itu. Akan tetapi, tetap saja ia menyangsikan apakah pemuda ini akan mampu membalas sakit hati yang sampai sekarang belum terlaksana itu.
"Terima kasih Beng Han. Sekarang aku berani memandangmu dan kalau kau benar hendak membalaskan sakit hati keluargaku, mari kita bekerja sama. Terus terang saja sampai sekarang aku belum menemukan jejak pembunuh pembunuh itu. Kau bagaimana?"
"Agaknya tak lama lagi kita akan dapat berhadapan muka dengan mereka, enci."
"Kaumaksudkan....?""
Beng Han menyambut tatapan sinar mata Bi Hui dengan berani. Kemudian ia mengangguk. "Tak salah, seperti juga pengakuanku dahulu, pembunuh ayah bundamu bukan lain adalah Liem Kong Hwat dan seorang wanita siluman."
"Cia Kui Lian...?""
"Mungkin demikian namanya."
"Dan kau sudah ketahui tempat tinggal mereka?"
"Sedang kuselidiki, enci. Sekarang lebih baik kita mencari sarang Thian hwa kauw lebh dulu. Perkumpulan ini terlalu jahat...."
"Kau tahu aku dijatuhkan oleh Thian hwa kauw".?" Bi Hui memotong cepat. Gadis ini memang cerdik dan ia ingin memancing, karena ada dua kemungkinan ia terjatuh kedalam tangan Beng Han. Yaitu ditolong pemuda ini dari tangan orang Thian hwa kauw atau memang kebetulan saja ia ditinggalkan oleh mereka. Kalau ditinggalkan, agak tak mungkin.
"Aku hanya tahu kau ditinggalkan di pinggir jalan dalam keadaan pingsan dan aku melihat beberapa orang pemuda dan gadis yang membawa kembang teratai. Sudah lama aku mendengar tentang mereka, itu adalah orang orang Thian hwa kauw. Enci Bi Hui, agaknya menang perjalanan ini menuju ke satu jurusan dan niat kita cocok benar. Tidak saja kita sama sama hendak mencari musuh musuh besar kita, juga kebetulan sekali kau hendak membasmi Thian hwa kauw, padahal akupun sedang mencari mereka untuk.... kalau mungkin dan kalau tenagaku mencukupi, menyerbu sarang mereka."
Bi Hui tersenyum lemah, ia dapat menduga bahwa tentu Beng Han sudah mempelajari beberapa jurus ilmu silat, mungkin agak lihai, akan tetapi pemuda ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan Thian hwa kauw. Betapapun juga, baik juga mempunyai kawan yang sehaluan.
"Thian hwa kauw sudah terlalu tersohor, siapakah yang takkan memusuhinya" Para tokoh terkemuka sekarang juga sedang bersiap siap menyerbu ke sana?" Tiba tiba Bi Hui mengerutkan keningnya.
"Kau lapar, enci Bi Hui" Kebetulan aku membawa roti kering." Beng Han menurunkan buntalan dari punggungnya dan dikeluarkan tiga potong roti kering dan seguci arak ringan.
"Bagaimana kau tahu aku lapar?" Bi Hui bertanya, mukanya merah karena memang baru saja tadi perutnya berbunyi dan terasa perih sekali. Biarpun ia sudah menekan perut dengan hawa lweekangnya, tetap saja berkeruyuk sedikit. Mungkinkah Beng Han dapat mendengar suara itu"
Beng Han tersenyum. "Bagaimana tidak tahu, enci" Tiga hari tiga malam bukanlah waktu pendek untuk berpuasa dan selama itu kau tidak dapat makan apa apa, hanya sedikit air atau arak yang kuteteskan ke dalam mulutmu." Kata kata Beng Han demikian wajar, sederhana dan jujur sehingga Bi Hui tidak menderita terlalu malu. Diam diam ia berterima kasih sekali dan terlintas bayangan dalam otaknya betapa selama itu siang malam ia dijaga dan bahkan dirawat oleh pemuda ini. Mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi tanpa bicara apa apa lagi lalu ia menerima roti kering dan memakannya. Melihat nona itu makan dengan sungkan sungkan dan nampak malu malu, Beng Han lalu ikut makan.
"Beng Han, kau baik sekali. Terima kasih," kata Bi Hui setelah menghabiskan dua potong roti dan minum dua cawan arak ringan.
"Aah, enci Bi Hui, baik apanya sih" Biasa saja antara kita, mana perlu sungkan sungkan" Lagi pula, rotinya keras dan araknya kurang manis."
"Bukan itu, Beng Han. Aku berterima kasih bukan untuk roti dan arak, melainkan untuk pertolonganmu, kalau kau tidak menolongku, menjagaku siang malam sampai tiga hari tiga malam, entah bagaimana jadinya dengan aku, pingsan selama itu di tengah jalan."
"Tak usah berterima kasih, enci. Sudah kewajibanku untuk membantumu. Aku sejak dulu merasa amat kasihan kalau teringat kepadamu, enci. Kau benar benar seorang yang selalu dirundung kemalangan. Benar benar amat buruk nasibmu dan aku doakan semoga selanjutnya nasibmu akan berubah. Apakah.... apakah aku belum mempunyai.... ci hu (kakak ipar ), enci?"
Bi Hui tiba tiba menundukkan mukanya, menggeleng geleng kepalanya dan.... menangis terisak isak. Kata kata Beng Han itu benar benar membuat ia bersedih sekali dan tak tertahankan lagi ia menangis.
"Maaf, enci Bi Hui.... aku tidak bermaksud menyinggung hatimu...." kata Beng Han penuh sesal. Akhirnya Bi Hui dapat mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan ia menyusut air mata terakhir. Kemudian rona ini tersenyum!
Kisah Si Bangau Putih 1 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Seruling Samber Nyawa 4
^