Pencarian

Ilmu Silat Pengejar Angin 2

Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Bagian 2


Tapi mendadak si-orang tua itu tertawa ter-bahak2. Lama
tertawanja itu, hingga beberapa saat. Setelah puas, iapun lalu
berkata : "Anak muda, anak muda. Kau salah sangka. Aku bukan
mengharapkan bantuanmu untuk menggendong menuruni
gunung seluas ini. Lagi pula kata aku mau mampukah kau
kiranja?" Merah padam muk aSiang Tjoe mendapat edjekan ini. Tapi ia
diam sadja, iapun mengakui kebenaran kata2 Kim Bin Ho Lie.
"Anak muda, djangan marah. Aku hanja main2," kata An Hwie
Tjian, ketika ia melihat wadjah anak itu mendjadi merah padam.
"Untuk kesudianmu itu, aku mengutjapkan beribu terima kasih.
Tapi harus kau ketahui, umurku ini hanja tinggal beberapa tarikan
lagi." Mendengar ini, diam2 Siang Tjoe mendjadi terkedjut dan heran
serta mengagumi orang setengah tua itu. Tak terduga olehnja
orang setengah tua jang ber-kata2 sambil ter-tawa2 itu, umurnja
tinggal 'beberapa tarikan lagi'. Hingga diam2 iapun menertawai
dirinja jang mudah merasa sedih.
Sementara itu An Hwie Tjian melandjutkan kata2nja. Kali ini
orang setengah tua itu berbitjara sungguh2. "Kau dengarlah
baik2. Aku harap dari sini kau pergilah ke Soa-tang. Tjarilah
seorang gadis jang kira2 seusia dengan kau... namanja An... Sioe
Lian." Sambil mengangsurkan tangannja, iapun memberikan
seputjuk surat kepada pemuda kita, selandjutnja : "Serahkanlah
surat ini... kepa... danja. Nanti dengan dia kalau kau mengingini
kau da.... pat ber-sama2..." tiba2 An Hwie Tjian si-rase emas
berhenti ber-kata2. Kedua tangannja me-nekan2 dadanja.
Matanja dimeramkan. Melihat ini, tjpeat Siang Tjoe mengulurkan
tangannja hendak membantu mengurut. Namun sebelum kedua
tangannja menjentuh dada orang itu, kelihatan An Hwie Tjian
mengebaskan tangannja sambil berkata perlahan ter-putus2 : "...
pu... triku..." akan kemudian terus diam. Sedjenak itu,
napasnjapun berhenti, sebelum ia menjelesaikan kata2nja jang
tadinja hendak diutjapkan "... de... ngan dia... pergi ke Thay San".
Demikianlah achir hidup Kim Bin Ho Lie An Hwie Tjian,
meninggalkan dunia jang kotor ini dibawah tangan orang jang
pernah dirawatnja sedjak orang jang mematikan dia itu baru
berusia 11 tahun. Malah kepada orang itu seluruh kepandaiannja
diturunkan. Lie Siang Tjoe setelah mendapat kenjataan bahwa
orang tua itu benar sudah berhenti napasnja, untuk sesaat ia
berdiri terpaku. Ia bingung apa jang harus diperbuatnja, ditatapnja
surat pemberian An Hwie Tjian, ragu2 ia untuk menurutkan
permintaan orang tua itu. Sebab bukankah ajahnja telah mati oleh
salah seorang anak murid Tjeng Hong Pay"
Namun ketika ia hendak meninggalkan djenazah tersebut, tiba2
pikirannja berubah. Teringat olehnja bahwa orang itu telah
menjelamatkan djiwanja sekalipun setjara tidak langsung.
"Ditanah baka, ajah djuga tentu akan mentertawakan aku, kalau
sampai aku tinggal djenazah Lo-peh An Hwie Tjian begitu sadja."
Kemudian iapun dengan mempergunakan goloknja, menggali
tanah, membuat sebuah lubang, dan dilain saat iapun sudah
selesai dengan penguburannja.
Setelah itu iapun lalu berlutut, dan dengan menggunakan
segumpal hio, iapun mulai bersembahjang. Dihadapan kuburan
mendiang si-rase muka emas itu, seorang bekas ketua Tjeng
Hong pay, ia berdjandji untuk mentjari sampai dapat An Sioe Lian
putri tunggalnja. Kemudian iapun turun dengan menjusuri lereng
pegunungan itu menudju kedaerah jang diminta An Hwie Tjian,
jakni Shoa-tang. Sesudah berdjalan beberapa hari, tibalah ia diwilajah perbatasan
daerah Soa-tang, sebelah barat propinsi Tit-lee.
Soa-tang adalah kota hidup untuk perhubungan antara daerah2
sebelah Barat dan Timur, penduduknja pun padat, perdagangan
ramai. Disitu terutama banjak sekali diperdagangkan rempah2,
jang datangnja dari tempat lain. Disini Siang Tjoe berdjalan seraja
matanja tak henti2 menoleh kekiri dan kekanan. Sioe-tjiu, kota
kediamannja boleh dikatakan ramai, tapi djika dibandingkan
dengan Soa-tang ini, keramaiannja terpaut djauh sekali. Belum
pernah ia melihat kota seramai itu. Kebetulan ia melalui sebuah
restoran. Kemudian iapun masuklah kedalam restoran itu, serta
setelah memilih sebuah tempat duduk, ia minta disediakan
sepiring nasi dan empat kati mie.
Tengah asjiknja ia makan, tiba2 terdengarlah suara ribut2 diluar
restoran. Ternjata jang membuat ribut adalah dua djongos dengan seorang
pemuda jang tubuhnja kurus dan berpakaian tjompang-tjamping.
Pemuda itu berumur kira2 seusia dengan dia, kepalanja ditutup
dengan kopiah kain jang sudah petjah2 serta sudah kumal benar.
Mukanja pun hitam kotor, hingga tak dapat dilihat tegas
wadjahnja. Didaerah Soa-tang ini, sekali pun dimusim semi, hawa ada
sangat dingin, dan pemuda itu tidak bersepatu, maka teranglah
pemuda itu adalah seorang melarat. Pada tangannja, ia
menggenggam sepotong ubi. Ia mengawasi kedua djongos
dengan tertawa hingga gigi bagus itu tak sepadan benar dengan
pakaiannja jang tidak keruan matjam.
"Hendak apa pula?" bentak salah seorang djongos.
"Mengapa masih tidak hendak pergi?"
"Baiklah, pergi..." tentu pergi...," kata pemuda itu. Badannja
dibalikkan, hendak keluar agaknja ia.
"Hai!! Lepas ubi itu!!" teriak kedua djongos.
Pemuda berpakaian butut itu melepaskan ubinja, tapi karena
tangan pemuda itu kotor, pada ubi itu berbekas tanda tiga djeridji
tangan. Hitam lagi kotor! Tentu sadja kue itu tak dapat didjual lagi.
Kedua djongos itu mendjadi marah sekali. "Ser!!" kepalannja
melajang. Pemuda itu menghindar, hingga kepalan lewat
disebelah atas kepalanja.
Sementara itu Lie Siang Tjoe jang pikirannja sedang katjau,
sedjak tadi ia saksikan kelakuan2 djongos dan si pemuda itu.
Melihat keadaannja jang terantjam, Siang Tjoe tak sampai hati
membiarkannja. Ia tahu tentu pemuda jang dua baris giginja
bagus itu tentu sudah lapar benar. "Djangan! djangan!" ia teriaki
djongos2 tersebut. "Aku jang membajar, biarkan dia makan."
Didjemputnja ubi jang sudah berbekas tangan itu, disodorkannja
kepada seekor andjing ketjil jang menubruknja dengan
kegirangan, serta terus dilahapnja sambil mengebas-ebaskan
ekornja. "Sajang, sajang sekali..." salah satu djongos menggerutu. "Ubi
selezat itu dikasih andjing."
Namun Siang Tjoe tidak mempedulikan mereka, malah kepada
pemuda melarat itu diberikannja dua butir ubi jang masih hangat
serta baru, akan tetapi setelah itu ia kembali kemedjanja untuk
meneruskan makan. Tetapi pemuda itu mengikuti, diawasinja
pemuda kita, hingga Siang Tjoe mendjadi likat.
"Mari dahar bersama!" ia mengundang achirnja.
"Baik!" kata pemuda itu sambil tertawa. "Aku sendirian tidak
gembira, aku memang sedang mentjari kawan," pemuda jang
berlidah pegunungan itu ngerotjos. "Kawan, djongos2 itu
menjebalkan jaah?" Siang Tjoe diam sadja, hanja dari bitjaranja, tahulah ia dari mana
pemuda itu berasal. Karena bukankah Sioe-tjioe letaknja
berdekatan dengan daerah dimana pemuda itu mempergunakan
bahasanja" Malah ia girang mendengar lagu suara orang
tersebut berasal dari Tjeng hong koan.
Pemuda itu menghampiri, serta kemudian duduk bersama-sama.
Siang Tjoe meneriaki djongos untuk minta tambah makanan.
Kedua djongos itu melajani dengan atjuh tak atjuh.
Mungkin sekali disebabkan melihat kawan baru Siang Tjoe
hanjalah seorang pengemis.
"Apakah mentang-mentang aku melarat lalu tidak pantas untuk
dahar barang makananmu?" tegur si pemuda marah2.
"Jah benar. Lekas sediakan!" bentak Siang Tjoe pula. Mual ia
melihat kelakuan djongos itu. Dia ini mengawasi pemuda kita,
jang pakaiannja indah, akan kemudian mereka berdua pun
manggut2kan kepalanja sambil berulang-ulang berkata :
"Baik,baik." Sambil dahar, si pemuda berbitjara banjak, tentang segala apa
jang ada di Tjeng hong koan. Tertarik Siang Tjoe, sebab
bukankah ia tengah ditugaskan oleh marhum An Hwie Tjian dari
Tjeng hong san untuk mentjari seorang gadis jang bernama An
Sioe Lian" Dan sekarang duduk bersama ia adalah seorang pemuda jang
mengaku berasal dari Tjeng hong koan, malah dia ini bitjaranja
rapih sekali serta enak didengarnja. Sampai-sampai ia hampir2
menerangkan akan maksud kedatangannja ke Soa-tang ini.
"Aku kira tadinja ia hanja bodoh dan rudin sadja, tidak tahunja
terpeladjar djuga," katanja dalam hati.
Satu kali, saking gembira, ia tjekal tangan si pemuda kurus
keras2. Heran ia ketika merasai tangan tersebut ternjata empuk
serta hangat sekali, sedang pemuda itu sendiri pun tersenjum dan
lalu tundukkan kepalanja.
Sesaat kemudian. "Sudah terlalu lama kita diam disini. Makan sudah habis, mari kita
keluar," kata anak muda itu tiba2 seraja ditariknja tangan Siang
Tjoe. "Tunggu dahulu, makanannja belum dibajar," kata Siang Tjoe.
"Oh ja! Aku lupa," membenarkan pemuda melarat itu.
Dan apabila kuasa restoran menghitung ternjata djumlah
makanan jang telah mereka habisi semua berharga delapan
puluh tahil sembilan bun.
Untuk membajar itu Siang Tjoe mengeluarkan sepotong emas
jang kemudian ditukarnja dengan dua ratus lima puluh tahil uang
perak. Selesai membajar, ia pun memberi persen sepuluh tahil
kepada si djongos dan kuasa, hingga mereka ini kegirangan.
kemudian dengan amat hormat mereka antar keluar kedua
tamunja itu, diluar ternjata saldju telah memenuhi djalan besar.
Aku telah mengganggu kau, perkenankan aku permisi," si anak
muda meminta diri sambil memberi hormat. Siang Tjoe jang baik
hatinja, ketika melihat pakaian orang petjah2 serta tipis ia buka
badju luarnja. Ia pakaikan itu ditubuh si anak muda.
Katanja : "Saudara, walau kita belum lama berkenalan, tapi sudah
seperti sahabat2 lama. Maka kuharap sukalah kau pakai badju
ini!" Dan tidak hanja itu iapun sesapkan dua potong emas
kedalam saku badju kawan barunja tersebut. Sedang anak muda
itu tanpa mengutjapkan apa2, ngelojor pergi.
Setelah berdjalan beberapa langkah, ia menoleh kebelakang,
dilihatnja Siang Tjoe engah berdiri bengong dengan kedua
tangannja dilipat kebelakang. Ia melihat pemuda itu seperti
kehilangan sesuatu. Melihat mana ia angkat tangannja
menggapekan. Siang Tjoe lihat panggilan itu, lekas2 ia menghampiri.
"Saudaraku, apakah kau masih kekurangan sesuatu?" tanja ia.
Anak muda itu tersenjum. "Sampai sekarang kita masih belum
berkenalan. Siapakah seh dan nama kakak jang mulia?" dia
membalas pertanjaan pemuda kita.
"Oh ja! Benar, benar. Kita belum berkenalan," sahut Siang Tjoe.
"Aku pun sampai lupa! Aku seh Lie, nama Siang Tjoe, kau sendiri
hian-tee?" Terkedjut kelihatannja pemuda itu, mendengar orang mengaku
seh Lie. Namun hanja sesaat, setelahnja iapun mendjawab :
"Namaku Lian An seh Sioe."
"Sekarang adikku hendak kemana?" Siang Tjoe bertanja.
"Apakah An hiantee hendak kembali ke Tjeng hong?"
Pemuda jang mengaku bernama Sioe Lian An itu menggelengkan
kepalanja. "Aku tidak niat pulang ke Tjeng hong dahulu,"
sahutnja. "Eh toako! Aku merasa lapar pula..." ia simpangkan
pembitjaraan seperti takut orang menjebut-njebut nama Tjeng
hong koan. "Baiklah, marilah aku temani kau pula," djawab pemuda kita jang
tidak merasa aneh atau pun kesal. Kali ini pemuda itu jang
mengadjak kawannja. Ia memilih sebuah rumah makan terbesar
dikota tersebut, jaitu restoran Tay long lauw. Hanja kali ini,
pemuda itu makan terlebih banjak dari tadi.
Disini kembali mereka bertjakap-tjakap.
Bila Lian An dengar penuturan Siang Tjoe akan kematiannja Lie
Kie Pok, iapun segera menundukkan kepalanja. Entah apa jang
dipikirkan. Hanja tertampak pemuda itu seperti mendjadi tjemas.
"Eh hiantee, rumahmu dimana?" tanja Siang Tjoe, ia tidak tahu
akan perubahan muka orang. "Kenapa kau tidak pulang sadja?"
Tiba-tiba sadja muka Lian An mendjadi merah. "Aku tidak mau
pulang. Disana ada badjingan jang setiap hari menggoda aku,"
djawabnja. "Badjingan apa?" mengulang Siang Tjoe.
"Apakah kau tidak sanggup melawan dia" Djangan takut, mari
kuantarkan, kalau badjingan itu mengganggu pula, kak ku hadjar
dia." Pemuda itu kelihatan tersenjum, senjum jang agak mengandung
edjekan, hanja untung, akan hal ini Siang Tjoe seperti tidak
memperhatikannja. "Eh, An hiantee. Apakah ibumu tidak meng-harap2kan kau?"
tanja pula pemuda kita. "Aku tidak mempunjai ibu. Beliau meninggal ketika aku baru
berusia enam tahun..." sahut pemuda itu sambil menundukkan
kepalanja. Ketika mendengar pemuda itu mengatakan sudah tidak
mempunjai ibu, Siang Tjoe pun teringat akan ibunja jang
meninggal setjara mengenaskan sekali. Berulang kali ia pun
menghela napas, kemudian kepada kawannja itu ia meminta
maaf. "Ajahmu?" menanja Siang Tjoe pula setelah hening sedjenak.
"Jah, djustru itu. Karena ajahku pergi, sebab tidak tahan akan
gangguan-gangguan badjingan itu, seminggu setelah ajah pergi,
akupun mengikuti djedjaknja, namun aku tersesat, hingga berbulan2 tidak dapat mentjarinja, sampai achirnja tiba ditempat ini."
Sedang kedua anak muda itu asjik bertjakap-tjakap, ditangga
loteng terdengar suara detak-detak kaki, lalu tertampak seorang
tua. Lutjunja, orang tua itu jang sudah berusia lebih kurang enam
puluh tahun berpakaian indah sekali. Dia memakai katja-mata
putih, sedang djenggotnja terurai lemas kebawah. Dia memakai
badju bersulam jang sangat indah. Mentereng sekali hingga
tampaknja tidak sesuai dengan kulit mukanja jang sudah
berkerut-kerut. Dan disamping itu, dia memakai topi jang biasa
dipakai oleh seorang tukang tenung, badannja kurus laju. Hanja
jang hebat, dari balik katja matanja terdapat dua bidji mata jang
bersinar berkilat-kilat. Dengan pandangan mata tadjam orang tua
ini memandangi Sioe Lian dan Siang Tjoe berdua, serta
kemudian berdjalan menghampirinja dan duduk disebelah kedua
anak muda ini. Setelah puas menatap wadjah Lian An, tertampak
dia bersenjum ketjil, dan dengan mulut tiada henti berkomat-kamit


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diliriknja Siang Tjoe, hingga membuat siapa mendjadi djengah.
"Lopeh, kalau hendak makan, makanlah sepuasmu! Mengapa
melihati orang sadja?" tegur Siang Tjoe dengan sikap tetap
menghormat. "Ah tidak..." sahut orang tua itu.
"Aku hanja sedang memetangi wadjahmu, sebab kulihat air
mukamu memperlihatkan seperti orang jang sedang dirundung
malang," menambahkan dia.
"Anak muda, berteranglah. Apakah agaknja jang sedang kau
susahkan sebenarnja?"
Terkedjut Siang Tjoe mendengar kata2 ini, hingga ia mendjadi
kagum. Dan belum sempat ia memberikan djawaban, orang tua
itu telah meneruskan tangannja : "Tidak salah lagi! Sinar matamu
menundjukkan bahwa kau baru sadja ditinggal seseorang."
Bertambah-tambah rasa kagumnja Siang Tjoe kepada orang ini,
hingga tiada terkendalikan pula ia pun sudah berkata : "Lopeh,
ramalanmu memang benar, memang aku habis ditinggal
seseorang." "Ahaaa.... apa kukatakan. Tidak pertjuma aku mendapat djulukan
Koa... Koa... eh, kalau tidak salah jang kau tangisi itu bukanlah
orang tuamu..." Girang orang tua itu, karena ternjata kedua
ramalannja tepat. Tapi kata2... jang kau tangisi itu bukanlah orang tuamu...
sebenarnja tidak termasuk ramalannja. Dia mengutjapkan kata2
tersebut, tjuma untuk menghibur Siang Tjoe. Tapi tiba2 ia
mendapat pengakuan jang benar2 diluar perhitungannja.
"Benar Lo-peh. Jang baru aku tangisi itu bukanlah orang tuaku.
Melainkan seorang lain jang kuanggap telah berdjasa bagi
hidupku." "Hah" Bukan ajah" Habis siapakah" Paman atau saudara
tuamukah?" Mentjelos orang tua itu, karena ternjata ramalannja
itu meleset sedikit. "Bukan, dia djuga bukan paman atau saudara tuaku. Sedang
ajahku... ajahku." Tak dapat Siang Tjoe melandjutkan untuk
menerangkan akan kematian ajahnja. "Dia seorang lain. Seorang
jang hanja berkenalan denganku untuk beberapa djam sadja."
"Dan dalam beberapa djam itu, orang itu sudah mati?" memotong
siorang tua tukang tenung. "Siapa orang itu?"
"Dia hebat sekali bagiku. Walau siapa adalah paman dari orang
jang telah membunuh ajahku. Dia takkan kulupa walau sampai
achir hidupku. Dan untuknja, untuk membalas budinja itu akan
kuusahakan mentjari An Sio-tjia, puterinja..."
Baru ia ber-kata2 sampai disini, tiba2 pemuda jang mengaku
bernama Sioe Lian An jang duduk disebelahnja jang kebetulan
tengah menjuap nasi telah kesimpratan. Nasi berhamburan
kesana-kemari. Diantaranja ada djuga jang muntjrat kemuka dan
badju sulam si-orang tua tukang koamia. Hingga kotorlah dengan
hantjuran2 nasi, badju sulam jang indah itu. Orang tua itu mula2
agaknja hendak marah2, tapi ia mendjadi kaget ketika melihat
pemuda jang berpakaian tjompang-tjamping itu mukanja mendjadi
putjat. Putih laksana kertas. Sementara Siang Tjoe melihat kawan
barunja itu tiba-tiba hendak djatuh pingsan, tjepat-tjepat ia ulur
tangannja hendak mengurut dada si pemuda. Namun tak terduga2 dia ini tiba2 mengebaskan tangannja mendorong kembali
kedua tangan Siang Tjoe jang hampir menjentuh dada.
Bersamaan itu tiba2 terdengar si tukang koamia tertawa
berkakakan sambil tiada henti ber-teriak2 : "Memang sudah
kuduga, dugaanku tepat..."
"Lo-peh," tanpa terasa Siang Tjoe membentak karena marahnja
melihat orang tua itu tertawa seperti tidak berfikiran.
"Anak muda kau telah dipermainkan," sambil me-nundjuk2 orang
tua itu melandjutkan : "Dia bukan seorang pemuda, melainkan
seorang pemu...di." Sambil mengeraskan kata di-nja kembali si
orang tua tertawa terkekeh-kekeh. Membuat Lie Siang Tjoe untuk
beberapa saat berdiri terpesona sadja mengawasi kawan jang
duduk disebelahnja. Sementara si 'pemuda', jang rahasianja terbongkar mendjadi kemalu2an dan menundukkan kepalanja. "Benar toa-ko, memang
aku bukanlah seorang pemuda," mengakui 'pemuda' itu achirnja.
Mengiringi kata2 itu, iapun lalu membuka kopiah kainnja jang
butut. Rambutnja jang pandjang dan hitam mengkilap segera
terlihat terurai kebawah, mendjadikan Siang Tjoe untuk sesaat
berdiri tertegun tiada dapat berkata-kata.
Sementara si-orang tua jang kedua ramalannja berhasil tepat,
seperti laku seorang gila ter-tawa2 kegirangan. Barulah setelah
beberapa lama kemudian iapun berhenti, ditariknja pundak
pemuda kita sambil katanja : "Anak muda, tadi kau belum
mendjawab pertanjaan. Siapakah sebenarnja orang jang telah
kau tangisi?" Dibawah tjekalan ini Siang Tjoe tidak dapat berbuat apa2. Keras
sekali, hingga ia mendjadi heran, sebab bukankah orang tua
sangat kurus" Ia merasa tjekalan tersebut semakin lama semakin
keras, hingga sebab kesakitan achirnja iapun membuka djuga
mulutnja : "Dia jang kupudja, bernama Hwie Tjian. Penghuni
Tjeng hong..." Tapi sebelum selesai berkata-kata tiba2 ia dikedjutkan oleh
suara2 'Bruuk!' dan berkesiurnja angin jang keras, ternjata kawan
jang baru dikenalnja itu telah djatuh pingsan, sedang orang tua
tukang tenung jang kelakuannja seperti kurang pikir telah pergi
mentjelat entah kemana. Melihat kawan jang ternjata adalah seorang pemudi djatuh
pingsan, Siang Tjoe mendjadi gugup, tanpa pedulikan kemana
perginja si tukang tenung, tjepat2 ia ambil topi kain jang
menggeletak dilantai. Ditjelupnja kain jang kumal kotor itu
kedalam tee-ouw, untuk kemudian iapun mengusapi djidat si
pemuda jang berbedak arang. Setelah beberapa kali mengusap,
bukan buatan herannja ia, ketika ia mendapatkan selapis kulit
jang putih serta wadjah jang tjantik sekali, jang membuat ia
terpesona. Terbajang ia betapa tadi ketika ia mentjekal lengan si
'pemuda' dan mengawasinja, pemuda itu hanja tundukkan
kepalanja. Serta ia mendjadi malu sendiri, ketika tadi betapa
hendak meraba dada 'pemuda' itu. Tengah ia berada dalam
lamunannja, tiba2 ia dikedjutkan oleh suara halus si pemudi.
Rupa-rupanja dia sudah sadar.
"Toa-ko benarkah An Hwie Tjian telah meninggal dunia?"
"Hian..." Tadinja Siang Tjoe hendak menjebut Hian-tee, tapi ketika
mengingat sebenarnja 'pemuda' dihadapannja adalah seorang
wanita ia pun merubah panggilannja.
"A... dik, memanglah pada beberapa hari jang lalu, aku telah
menangisi An Hwie Tjian. Sebab orang tua itu, akulah jang
menguburnja," menerangkan Lie Siang Tjoe. "Adik mengapa tidak
keruan2 kau djatuh pingsan?" tanja Siang Tjoe jang masih belum
mengetahui siapa sebenarnja pemudi itu.
"Toa-ko, barusan kau mengatakan hendak mentjari gadisnja An
Hwie Tjian untuk menjerahkan suratnja?" tanja gadis itu, tersedusedu.
"Benar," djawab anak muda kita. Heran ia melihat si pemudi
menangis. "Toa-ko... akulah puterinja..." Karena tak dapat menahan
perasaannja lagi pemudi itu jang mengaku adalah puterinja
mendiang Kim Bin Ho Lie An Hwie Tjian menangis sedjadidjadinja mendjadikan semua orang jang berada dirumah makan
itu mengawasi heran. Sedang Lie Siang Tjoe berdiri diam tak dapat ber-kata2. Hatinja
bimbang untuk mempertjajainja.
Sesaat kemudian setelah dapat menguasai diri ia pun bertanja
menegasi : "Benarkah kau puteri An Hwie Tjian?"
"Toa-ko, untuk apakah aku membohongi engkau. Untung apakah
aku mengakui ajah seseorang jang sudah meninggal?"
Pertanjaan ini membuat Siang Tjoe mendjadi gugup.
"Bukan... bukan... kau salah paham," katanja ter-putus2.
"Mari suratku, mari suratku," dengan masih menangis pemudi itu
ber-teriak2. Marah agaknja ia.
Siang Tjoe menjesal telah mengeluarkan pertanjaan itu, tjepat
tanpa sangsi2 lagi, ia pun memberikan surat peninggalan An
Hwie Tjian kepada si pemudi. Seraja katanja : "Maafkan aku...
maafkan aku." Namun si pemudi jang mengaku bernama Sioe Lian An, setelah
menerimanja, tanpa berkata-kata lagi segera melarikan diri keluar
restoran. Meninggalkan Siang Tjoe jang berdiri tegak mengawasi
punggung pemudi itu keluar. Beberapa saat kemudian barulah ia
tersadar ketika seorang djongos menegur untuk berhitungan. Lalu
ia membajarnja. Disaat itu, setelah ketika ia hendak keluar. Ia teringat akan siorang tua jang telah menghilang entah kemana. Ia tidak dapat
menerka siapa orang tua berkatja mata itu jang datangnja tidak
diundang serta perginja tanpa permisi. Barulah setelah beberapa
lamanja otaknja dikerdjakan, ia dapat me-ngira2 siapa orang tua
itu. Tiba2 ia melihat seseorang ber-lari2 menaiki loteng. Girang ia
ketika dikenalinja orang itu tidak lain adalah si-pemudi. Tanpa
perasaan dendam iapun lalu menjongsong si-nona. Sambil
tanjanja : "Apakah ada sesuatu jang ketinggalan?"
Pemudi itu tidak mendjawab pertanjaan pemuda kita. Hanja
gugup ia mengangsurkan tangannja sambil katanja perlahan :
"Batjalah!" Iapun lalu sambil tundukkan kepala berdjalan ketempatnja
semula. Sedang Siang Tjoe dengan perasaan heran mengikuti
dari belakang. "An-djie apa artinja ini?" tanja ia heran.
Kemudian sambil berdjalan iapun membuka lipatan surat serta
membatjanja. Isinja membuat ia berpikir keras. Ia tidak dapat segera mengambil
keputusan. Bingung ia karena surat itu mengandjurkan supaja ia
bersama-sama Sioe Lian pergi menaiki gunung Thay-san mentjari
guru An Hwie Tjian, Mie Ing Tiang-lo. Sedang isi surat, membuat
ia mendjadi jakin benar kalau gadis jang tadi ia kira adalah
seorang pemuda itu adalah putri Si rase muka emas jang
bernama An Sioe Lian. Diam-diam dia tertawakan dirinja jang telah mentah2 kena
diingusi. "Baiklah," achirnja Siang Tjoe mengambil keputusan. "Sebab
bukankah jang membunuh ajahku adalah Ong Kauw Lian,
bukannja Tjeng hong pay," pikir ia. "Lagi pula bukankah ada
baiknja agar supaja aku dapat memperdalam ilmuku?"
"Lian-djie, marilah kita pergi bersama!" mengadjak Siang Tjoe
sambil dia ini djabat tangan si pemudi. Djustru baharu sadja ia
mengutjapkan kata2nja itu, tiba2 ditangga loteng terdengar
suara2 derapan kaki akan kemudian muntjullah empat orang.
Tiga laki2 dan satu perempuan. Dua dari antara ketiga jang laki2
masih berusia muda, mungkin baru disekitar delapan dan
sembilan belas tahun. Mereka berwadjah tjakap sekali, sedang
satunja jang mungkin adalah suami dari jang perempuan berusia
kurang lebih empat puluh tahun.
Lagak keempt orang ini tjongkak sekali. Bergantian dipandangnja
Sioe Lian dan Siang Tjoe. Melihat wadjah Sioe Lian jang tjantik
tapi berpakaian penuh tambalan, mereka, terutama salah seorang
jang mempunjai hidung bangir mengkerutkan keningnja serta
kemudian dia menundjuk kepada sebuah medja jang terletak
dimulut loteng, berhada-hadapan dengan medja dimana kedua
muda-mudi kita mengambil tempat. Atas itu dua orang djongos
menghampiri medja jang ditundjuk, untuk diaturnja dan
menanjakan apakah jang keempat orang itu hendak pesan.
Siang Tjoe mengawasi sebentar, akan kemudian ia tidak
mempedulikannja pula, hanja ia mendjadi amat terkedjut ketika ia
menengok kepada Sioe Lian. Ternjata puteri mendiang An Hwie
Tjian sedang mengawaskan dirinja dengan pandangan jang luar
biasa, hingga tak dapat ditjegah pula, dua pasang mata beradu
mendjadi satu, dengan kesudahan keduanja mendjadi djengah,
serta tundukkan kepala. Hingga untuk sesaat mereka lupa,
bahwa mereka harus lekas2 pergi kegunung Thay-san, mereka
baharu tersadar ketika seorang djongos menanjakan kepada
kedua muda-mudi ini hendak dahar apa pula. Lekas2 keduanja
pun meninggalkan tempat duduk masing-masing. Mereka djalan
dengan ber-iring2, dengan Siang Tjoe berdjalan disebelah muka.
Djustru ketika ia melewati dimana keempat tamu jang baru
datang mengambil tempat, ia mendjadi mendongkol sekali.
Karena amat gusarnja, Siang Tjoe sampai tidak dapat menguasai
dirinja. Tidak dilihatnja kaki jang menghadang dihadapannja.
Pikirannja hanja hendak tjepat2 meninggalkan tempat itu. Kakinja
melangkah terus hingga tidak ampun lagi ia keserimpat, apa latjur
ia djustru telah tiba dimulut loteng, hingga tiada terkendalikan lagi
tubuhnja melajang djatuh kebawah serta dapat dipastikan
kepalanja akan hantjur kalau sampai ia terbanting kebawah.
Namun di adalah puteranja Song-to Lie Kie Pok, sedjak berusia 8
tahun ia telah digembleng hingga kepandaiannja mengenai Ginkang boleh dikatakan tinggi djuga. Demikianlah disaat badannja
hampir membentur tangga pertengahan loteng, tjepat2 bagaikan
kilat ia mengulur kedua tangannja, dan dengan mempergunakan
tipu It Ho Tjiong thian atau Burung Hoo Terdjang Langit, ia
mendjedjak, badannja mengapung indah setinggi beberapa
tombak untuk kemudian menukik kebawah dengan kaki diatas,
serta dengan selamat tiba dilantai tanpa kurang suatu apa.
Kedjadian ini berlangsungnja tjepat sekali, hingga membuat
orang2 jang menjaksikan mendjadi terpesona. Kemudian tjepat
sekali, membarengi sampainja kedua kakinja iapun mendjedjak
kembali untuk kemudian melajang keatas loteng. Bagaikan
seekor burung kepinis, kemudian iapun sudah tiba kembali
dimulut loteng. Ketika ia menengok pada Sioe Lian, kawan
barunja, segera iapun mendjadi kalap. Dilihatnja kedua anak
muda itu tengah mempermainkan Sioe Lian, dengan Sioe Lian
tidak berdaja apa2. Sedang kedua orang setengah tua itu, tjuma
melihat sadja sambil ter-tawa2. Girang kelihatannja mereka
berdua. Tjepat sekali badan Siang Tjoe melesat, tjepat sekali
iapun sudah sampai ketempat dimana kedua anak muda itu
tengah mempermainkan Sioe Lian. Kedua tangan kanan dan
kirinja menjambar kedua anak muda kurang adjar itu. Terkedjut
mereka apabila menjaksikan gerakan orang jang demikian luar
biasa, lebih2 ketika mereka lihat kalau jang datang itu adalah si
pemuda jang tadi setjara pengetjut mereka gandjel dan njata2
telah djatuh melajang kebawah.
Sambil membungkuk, mereka lepaskan Sioe Lian. Kemudian bersama2, mereka mengirimkan pukulannja.
Namun diluar dugaan mereka, ternjata orang jang tadi mereka
pandang enteng, amat gesit sekali.
Siang Tjoe lekas-lekas rubah serangannja, sekarang kedua
kepalannja mengantjam dada kedua musuhnja. Mereka boleh
tjepat, tapi ternjata Siang Tjoe sepuluh kali lebih tjepat.
Sukar untuk mereka singkirkan serangan susulan ini, maka
terpaksa kedua anak muda itu mendjedjak tanah dengan suatu
gerakan jang membuat Sioe Lian mendjadi amat terkedjut.
Itulah suatu gerakan dari tipu silat Tjeng hong pay!
"Bagus!" berseru Siang Tjoe jang lantas merangsek tanpa
menunggu sampai kedua kaki mereka mengindjak tanah,
tangannja tjepat bagaikan kilat bekerdja pula, mengantjam muka
kedua lawannja. Sekali lagi gerakan Siang Tjoe ini membuat kedua lawannja
mendjadi sangat terkedjut, karena atas serangan ini mereka tidak


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkesempatan pula untuk mendjedjak tanah, hingga tidak
ampun, muka mereka terpukul djitu. Hadjaran ini sangat keras,
hingga disaat itu djuga mereka terbanting rubuh.
Sementara ketika Siang Tjoe hendak menggerakkan kakinja
menendang, tiba2 ia merasakan angin keras menjambar
punggungnja. Putera Song-to Lie Kie Pok marhum jang telah mewariskan lima
belas gerakan dari Tjap Peh Lo Hoan To bukannja dia lompat
keatas, ia hanja berdjumpalitan kemuka dengan gerakan keenam
dari ilmu simpanan mendiang ajahnya, tonggeret
menggelindingkan badan! Kaget tampaknja sipenjerang gelap jang ternjata adalah siorang
perempuan setengah tua ketika melihat Siang Tjoe
menggerakkan suatu gerakan dari ilmu silat keluaran Siauw-lim.
Kelihatan perempuan itu semakin mendjadi sengit!
Sementara itu Siang Tjoe jang tadi bergerak dengan gerakan
Tonggeret menggelinding badan, ketika melihat musuhnja datang
mendekat, sebelah kakinja mendjedjak kedada sang lawan.
Untuk membebaskan diri, perempuan tersebut lompat kekanan,
hingga barenglah kedua orang itu dikala mereka menurunkan
tubuh. Kedua anak muda bekas petjundang Siang Tjoe mendjadi kagum
menjaksikan ketjekatannja anak muda kita, sedang Sioe Lian jang
tidak berdaja apa2 untuk memberikan bantuannja, hanja berdiri
tegak sadja sambil memandangi kedua orang jang tengah
bertempur. Ia menjesal kalau tadi telah memarahi pemuda kita,
sebab bukankah kalau tidak ada dia, entah bagaimana ia djadinja
sekarang" Sementara itu, mereka jang bertempur. Si-perempuan setengah
tua dan putera Song-to Lie Kie Pok marhum ternjata
berkepandaian hampir seimbang.
Si-pemuda lintjah dan lihay. Melihat djedjakannja gagal, tjepat
sekali dengan gerakan Im jang koen tangan kanannja
mengantjam dada sang lawan.
Pertempuran itu berdjalan terus dengan dahsjat, sampai tiba2
orang mendengar suara memberetnja udjung badju si perempuan
setengah tua, hingga ia mendjadi amat terkedjut, dan tanpa
terasa berteriak kaget. Setelah mengalami kedjadian ini, segera iapun merubah tjara
bersilatnja. Kini ditangannja telah tergenggam sebilah pedang.
Dengan hati mendongkol, ia lompat dan membabat dengan
sendjatanja itu. Siang Tjoe tidak berlaku ajal pula. Ia hunus pula
golok ketjilnja dan menangkis. "Trang!" terdengar suara benturan
pedang dan golok jang menerbitkan suara berisik. Hingga kedua
belah pihak, jang kira2 seimbang tenaga dalamnja, mundur
terhujung beberapa langkah, Siang Tjoe tidak mengasi hati pula,
begitu menangkis iapun segera menjerang saling-susul dengan
mempergunakan kelima-belas djurus Tjap Peh Lo Hoan To-nja.
Baru bertempur beberapa djurus Siang Tjoe sudah dapat melihat
suatu kekosongan dalam pembelaan si-perempuan setengah tua.
Golok ketjilnja jang tengah menjambar dari kiri kekanan,
mendadak bergerak dalam suatu lingkaran jang mengurung
pedang perempuan itu. Sekali diputar tadjamnja golok jang menggetar, njambar
mengantjam pundak kanan musuh...
Namun didetik jang sangat berbahaja bagi keselamatan
perempuan itu, tiba2 'Traang!", kembali terdengar suara benturan
dua buah sendjata, dan Siang Tjoe merasakan tangannja sedikit
tergetar. Ternjata goloknja ada jang tangkis, dan pada saat jang hampir
bersamaan, dihadapannja berkelebat suatu sinar terang jang
meluntjur kedadanja. Tjepat bagaikan kilat Siang Tjoe angkat
goloknja menangkis, dan mengiringi itu sambil membentak keras
iapun mengirimkan tiga serangan ganda. Atas, tengah dan
bawah. Namun dengan memutarkan pedangnja lawan itu jang ternjata
adalah suami dari perempuan tadi dapat memunahkannja.
Siang Tjoe mendjadi penasaran, kembali ia sabetkan sendjatanja.
Ia menjerang setjara hebat sekali, akan tetapi karena kepandaian
orang itu djuga tidak rendah, kembali serangannja mengenai
tempat kosong. Mereka bertempur seru, dan karena kepandaian mereka setali
tiga uang, maka setelah bertempur lebih dari enam puluh djurus,
belum djuga ia berhasil merubuhkannja.
Setelah selesai mengatur kembali peredaran napasnja, si
perempuan setengah tua ketika melihat sang suami belum djuga
dapat merubuhkan pemuda kita, segera ia hunus pula
sendjatanja serta kemudian membantu mengerubuti, sedang
Siang Tjoe jang telah melakukan pertempuran ber-turut2, achirnja
mendjadi kepajahan djuga.
Tiba2 satu diantara ketiga orang jang tengah bertempur hebat
mentjelat tinggi sekali, dan tjepat luar biasa serta dalam sekedjap
mata telah sampai dihadapannja Sioe Lian jang ketika itu sedang
berdiri bengong. Bagaikan kilat tanpa pemudi itu berdaja apa-apa bajangan
tersebut telah berhasil menotok djalan darahnja, untuk kemudian
tanpa disadari bajangan itu telah rangkul pinggangnja serta
menggondol pergi. Dengan sekali lompatan, tanpa menuruni
anak2 tangga pula bajangan itu jang ternjata adalah Lie Siang
Tjoe telah berada diluar restoran dan tjepat luar biasa
dilompatinja seekor kuda serta sedetik kemudian iapun sudah
bertjokol diatas seekor kuda jang tegap berwarna putih. Binatang
ini segera gerakkan keempat kakinja, ketika merasa ada jang
mengedut tali helaannja. Kedua orang laki-perempuan setengah tua itu boleh sangat gesit
dan sebat, tapi menghadapi ginkang putera Lie Kie Pok mereka
tidak berdaja apa2. Demikianlah ketika kedua orang ini sampai
dipintu restoran, mereka sudah tidak melihat bajangan2nja pula.
Mereka tidak mengedjar lebih djauh karena memikir dipihaknja
tidak ada jang mendapat luka2 berarti, hanja sambil mengelah
napas mereka kembali keatas loteng.
Lie Siang Tjoe bedal kudanja tjepat, se-tjepat2nja, hingga
sebentar sadja, ketika ia menoleh kebelakang, ia lihat bentuk
rumah makan semakin lama semakin mendjadi samar2 dan
achirnja bergelempang hitam serta lenjap.
Ditjekalnja les kuda dengan tangan kanan, sedang tangan kirinja
merangkul pinggang si-nona jang ia sudah bebaskan totokannja,
hatinja berdebar keras. Ia merasa sajang sekali dan berat baginja
untuk berpisahan, walau belum lama berkenalan.
Kabur kira2 dua djam, kuda putih jang entah siapa pemiliknja itu
telah terpisah dua ratus li lebih dari propinsi Soa-tang. Sampai
disini, setelah melihat tidak ada pula jang mengedjar barulah
Siang Tjoe tarik tali helaan kudanja.
Ia lompat turun dari binatang tunggangannja, diturut si-nona jang
dalam sedetik itu telah mendjadi pudjaannja.
Sepasang muda-mudi ini berpegangan tangan, mereka berdiri
ber-hadap2an, tanpa dapat mengutjapkan sepatah kata djua,
sedang sebenarnja bajak jang mereka hendak utjapkan. Mereka
tidak tahu bagaimana harus memulainja. Hati mereka sadjalah
jang berbitjara satu dengan lain...
Beberapa lama kemudian, setelah tersadar, Siang Tjoe lepaskan
tangan si pemudi, merah kedua pipi pemudi ini. Dan dilain saat si
pemudi rogoh tangannja kekantong kulit dipelana. Ditariknja
sehelai sapu tangan, terus pergi kesebatang kali ketjil didekatnja.
Ditjelupnja sapu tangan itu, dan dilain saat dia sudah berdjalan
kembali kepada pemuda pudjaannja.
"Kau pakailah ini," katanja perlahan. Meminta agar si pemuda
membersihkan debu jang melekat pada mukanja, jang diterima
Siang Tjoe dengan hati bunga dan kemudian dipakainja. Sekonjong2, dikala Siang Tjoe asik meng-gosok2 terdengar Sioe
Lian berkata perlahan : "Tahukah toako siapa sebenarnja kedua orang jang tadi
bertempur dengan kau...?"
"Tidak tahu," sahut Siang Tjoe sambil geleng2kan kepalanja.
"Mereka adalah saudara2 seperguruanku," menerangkan Sioe
Lian. "Mengapa kau mengetahui?" berseru Siang Tjoe jang mendjadi
terperandjat. "Aku melihat dari tjaranja mereka bersilat jang gerakan2nja
sedjalan benar dengan ilmu silat ajahku."
"Tapi mengapa kelakuan mereka demikian buruk?"
Pertanjaan ini tiada mendapat djawaban, melainkan tiba2 :
"Toako! Tidak dapat tidak kita harus kembali ke Soa-tang!"
"Kembali?" mengulang Siang Tjoe jang mendjadi terperandjat
sekali. "Kita kembali bersama?"
"Benar!" sahut si nona. "Aku merasa pasti, bahwa mereka adalah
suheng-suhengku," Sioe Lian menambahkan. Siang Tjoe jang
memang merasa berat untuk berpisah menundukkan kepalanja.
"Bagaimana?" Sioe Lian mengulangi.
"Tapi, bagaimana kalau nanti mereka kerojok aku lagi?" berkata
Siang Tjoe sangsi. "Apabila mereka membunuh kau, aku akan terdjang mereka. Biar
kita mati ber-sama2," Sioe Lian memastikan, dan kata2 membuat
semangat Siang Tjoe terbangun serta melandjutinja : "Lian-djie,
untuk se-lama2nja aku akan mendengar segala perkataanmu!
Sampai mati djuga kita tak akan berpisah lagi!"
An Sioe Lian mengangguk puas. Tidak lama kemudian, mereka
berdua pun sudah berada kembali diatas binatang tunggangan
mereka, sedang dilain saat dengan mengambil djalan dari mana
tadi mereka datang, lohornja mereka sudah tiba kembali
direstoran. Turun dari kuda Sioe Lian pegang tangan Siang Tjoe untuk
diadjak masuk kedalam jang membuat pelajan rumah makan
kegirangan melihat kembalinja kedua anak muda ini, ia sambut
mereka dengan wadjah ber-seri2.
"Kau baik tuan?" tanja ia.
"Keempat orang itu, memanglah bukan orang baik2. Mereka
sudah berangkat pergi. Tuan hendak dahar apa, silahkan sebut."
Tapi sebaliknja Sioe Lian terperandjat. "Mereka sudah pergi?" ia
mengulangi. "Kemana mereka pergi?"
"Mereka pergi kearah jang bersamaan dengan tuan, tjuma
mereka mengikuti djalanja sebelah sana," djawab si djongos.
"Sudah berapa lama mereka pergi?" tanja Siang Tjoe.
"Kira2 tiga djam jang lalu."
"Mari kita susul mereka!" An Sioe Lian mengadjak pemudanja.
Lie Siang Tjoe menurut, maka mereka berduapun meninggalkan
rumah makan itu. Keduanja kaburkan kuda itu kearah jang
disebutkan si pelajan, jang heran melihat orang pergi dengan
kesusu. Bukankah barusan muda mudi itu melarikan dari
kepungan kedua orang laki perempuan setengah tua tadi"
Mengapakah sekarang ter-gopoh2 mereka hendak menjusul"
Sementara itu Siang Tjoe dan kawannja disepandjang djalan
memasang mata. Tapi sampai magrib, mereka belum djuga
menemukannja. "Mungkin mereka telah mengambil djalan lain," kata Sioe Lian. Ia
membalikkan kudanja jang kuat sekali, walau penunggangnja dua
orang, dia dapat lari sangat tjepatnja. Namun ketika tjuatja
mendjadi gelap, kedua muda mudi kita tetap tidak melihat
keempat orang jang menurut anggapan Sioe Lian adalah orang2
Tjeng hong pay. Sioe Lian mendjadi masgul. Lie Siang Tjoe
menghibur, katanja : "Bukankah kita hendak pergi ke Thay san"
Tidak mungkinkah kalau mereka berempat pergi kesana djuga?"
Mau tidak mau, An Sioe Lian menjatakan setudju. Hatinja
mendjadi lega djuga. Keduanja lantas memasuki dusun, untuk
mentjari hotel. Besoknja Siang Tjoe membeli seekor kuda hitam
seorang diri. Tidak leluasa untuk mereka terus2an menunggang
seekor kuda. An Sioe Lian tidak dapat menampik kehendak
pemuda pudjaannja itu. Demikianlah dengan merendengkan
kuda, sekarang mereka dapat melakukan perdjalanan terlebih
tjepat. Lie Siang Tjoe sebenarnja adalah seorang piauw-soe dan telah
melakukan beberapa perdjalanan keluar kota, mewakili ajahnja.
Tapi perdjalanan jang ia tempuh kali ini walau tjuma berdua
sadja, ternjata djauh lebih banjak menjenangkan. Sering mereka
kalau sudah terlalu banjak melakukan perdjalanan, mereka
berdua turun dan duduk saling menjandarkan diri ditempat jang
sepi. Ketjuali kalau mereka singgah dihotel, djadi ditempat jang
ramai, mereka menjewa dua buah kamar tidur. Hati mereka
lapang, kedua muda mudi itu tidak berpikiran jang bukan2
melainkan memikirkan untuk lekas2 sampai ditempat tudjuannja,
ke gunung Thay san. Pada suatu hari setelah melakukan perdjalanan kira2 enam
minggu lamanja tibalah mereka disuatu daerah pegunungan.
Setelah menjelidiki, mereka kegirangan karena gunung tersebut
tidak lain daria nak gunung Thay san.
Djalan disitu berbahaja sekali. Puntjak2nja mendjulang tinggi
sedang lembah2nja tjuram luar biasa, sesuai dengan namanja,
gunung ini ternjata tinggi dan luas sekali.
Sebab djika seseorang sudah sampai dipuntjak jang tertinggi
serta memandang kebawah, orang itu pun akan melihat gunung2
lain jang tertutup saldju, jang merupakan binatang2 raksasa
berbulu putih sedang mendekam.
Setelah menempuh pula dua minggu, tibalah mereka didjalan
jang menudju ke puntjak. Disitu hanja terdapat satu djalan jang
pandjang serta berlegot-legot seperti usus kambing. Dengan
diapit oleh dua puntjak jang berdiri hampir berdampingan, djalan
tersebut tampak sempit sekali, lebarnja tidak lebih dari dua kaki.
Djalan itu tidak sadja berliku-liku tapi djuga turun naik serta penuh
berbatu-batu, hingga pada tempat ini mereka terpaksa turun dari
kuda masing2, untuk kemudian melandjutkan perdjalanan dengan
berdjalan kaki. Terus mereka berdjalan menuruti petundjuk2 jang tertulis disurat
peninggalan mendiang An Hwie Tjian.
Tak lama kemudian, tibalah mereka disuatu tempat datar, djalan
sudah tidak begitu berbahaja pula, ternjata mereka sudah tiba
dipuntjaknja dari gunung Thay san. Mereka landjutkan
perdjalanannja setelah sebentar mereka beristirahat.
Ternjata puntjak tersebut tanahnja merupakan suatu dataran rata.
Tidak naik turun, tidak pula kedapatan batu-batu tjadas, hanja hati
Siang Tjoe ketika itu berdebaran keras. Kira2 magrib tibalah
mereka pada suatu tandjakan. Tepat seperti jang tertulis disurat,
pada tempat itu mereka dapatkan sebuah guha pertapaan jang
terbuat dari batu seluruhnja. Heran kedua muda mudi ini karena
guha tersebut suasananja sunji sadja.
Keduanja tidak berani lantjang2 memasukinja.
Mereka mendjadi tjemas ketika hari telah berubah mendjadi
malam. Hawa sangat dingin hingga mereka bergidikan. Tapi
mereka lelah sekali hingga tanpa terasa dimulut guha mereka
telah tertidur... Waktu tengah malam, Siang Tjoe terdjaga dari tidurnja. Ia
bermimpi buruk.

Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ditengoknja Sioe Lian, ia lihat kawan itu tidak bersepatu, lantas
iapun membuka sepatunja. Dan dilain saat pembungkus kaki
itupun sudah melapisi kedua kaki si gadis pudjaan.
Hatinja memukul keras ketika ia menatapi wadjah sang pudjaan
jang benar2 dapat menggontjangkan hati setiap pemuda. Setelah
puas, achirnja Siang Tjoe pun membaringkan badan untuk
melandjutkan tidurnja. Namun ber-matjam2 pikiran mengaduk
otaknja mendjadi satu, hingga sukar baginja untuk dapat lantas
tidur. Barulah setelah beberapa lama bergelisahan, iapun dapat
djuga tertidur pulas. Keesokan harinja, waktu fadjar, Siang Tjoe
bangun lebih dahulu dari kawannja. Ia menantikan sampai
achirnja kawan itu tersadar sendirinja. Sioe Lian mendjadi
terkedjut berbareng girang akan kemudian mengutjapkan terima
kasih untuk sepatu jang dipakaikan kepadanja.
Diam2 iapun mengutjap sukur, karena pemuda itu benar2 baik
hati, hingga tapa ia menjadari iapun telah terpikat...
Hari itu mereka menantikan, sampai matahari telah berada tepat
diatas kepala. Namun belum djuga mendengar tanda2 adanja
orang, hingga mereka mendjadi sangsi. Achirnja ketika hari
mendjadi petang pula, kesabaran merekapun habislah.
Bukankah mereka hanja anak2 muda jang baharu berusia
belasan" Demikianlah dengan Siang Tjoe djalan dimuka, lalu merekapun
memasuki guha itu. Hati masing2 kedua muda mudi ini
berdebaran keras. Berdjalan kira2 lima puluh langkah, tibalah mereka pada suatu
dataran jang tidak pernah mereka sangka2 semula. Ternjata guha
jang lubangnja tjuma selebar badan manusia sadja itu didalamnja
sangat luas sekali. Tjuma anehnja guha jang terdapat tanda2
bekas manusia itu, keadaannja lengang sadja, sepi seperti tiada
berpenghuni. Baik katjung maupun keempat orang jang menurut Sioe Lian
adalah orang2 Tjeng hong pay ataupun soetjouwnja An Sioe Lian.
Mereka hanja dapatkan suatu lapangan luas jang seperti habis
berduka tjita. Sunji sepi dan djuga agak menjeramkan.
Achirnja melanggar pesan jang ditulis disurat mendiang An Hwie
Tjian, ajahnja, An Sioe Lian berteriak-teriak. Suaranja mula2
perlahan, kemudian karena tiada mendapat djawaban, iapun
berteriak makin keras, dan semakin keras. "Soetjouw... soe...
tjoouuuuwww..." Tapi tetap ia tidak memperoleh djawaban hanja
gemanja sadja jang berkumandang memenuhi guha tersebut.
Setelah berputar-putar kira2 sedjam lamanja, Siang Tjoe dan
Sioe Lian achirnja tiba pada suatu djalan lebar jang merupakan
lorong, serta dilain saat tibalah mereka disuatu djalan buntu.
Djalan tersebut jang diapit oleh dinding batu, disebelah kanannja
mereka dapatkan sebuah lubang jang ketika mereka longok,
ternjata berbentuk sebuah kamar. Kemudian merekapun
memasukinja. Ternjata kamar guha itu terang dengan sinar2 bulan jang
bermolosan dari lubang2 ketjil jang banjak terdapat disekitar
langit2, hingga kedua anak muda ini dapat melihat segala apa
jang ada disitu. Tiba2 Sioe Lian mendjerit kaget sambil dengan gerakan refleks
tangannja menundjuk kesebuah sudut, mukanja tertampak
berubah putjat. Sedang Siang Tjoe djuga tidak kurang
terkedjutnja. Ternjata pada podjokan, dimana barusan membuat Sioe Lian
mendjadi kaget terdapat sebuah tengkorak manusia jang tengah
berduduk sila, sedang diantara djepitan kedua tangan jang sudah
merupakan tulang, terdapat sehelai kertas. Tiba2 mungkin
disebabkan getaran jang ditimbulkan oleh indjakan2 kaki,
tengkorak itu jang memang sudah lapuk segera ambruk, hingga
tempat dimana tengkorak tadi bersedekap, penuh dengan tulang2
manusia jang berhamburan. Keadaan benar2 menjeramkan,
membuat Sioe Lian mendjadi terkedjut sekali. Hingga karena
takutnja iapun gerakkan kakinja hendak lari. Tapi tiba2 ia
merasakan tangannja ada jang tarik. Ia dengar Siang Tjoe
berbisik perlahan : "Lian djie djangan takut, tulang2 itu
kemungkinan besar adalah tengkorak salah seorang paman
gurumu. Mari kita batja suratnja."
Bisikan itu membuat Sioe Lian mendjadi tersadar, serta mendjadi
malu sendirinja. Selandjutnja tanpa berkata-kata pula iapun
membuntuti pemudanja, jang ternjata pengalamannja luas djuga.
(Harus diingat ia pernah mendjadi piauw-soe untuk beberapa
bulan), didjumputnja sebatang kaju.
Ditariknja Sioe Lian, ketika pemudi itu dengan tangannja hendak
mengorek tulang2 tersebut.
"Djangan sentuh!" ia berteriak. "Kemungkinan besar beratjun!"
sambil dia ini meng-korek2 dengan kajunja jang mendjadi hangus
setelah menjentuh tulang2 itu, hingga Sioe Lian mendjadi
bergidikan. Selandjutnja dengan membiarkan surat tersebut
menggeletak, bersama-sama mereka pun membatjanja jang kira2
berbunji sebagai berikut :
Kepada jang mendapatkan surat ini, harap lekas-lekas
disampaikan kepada Kim bin Ho Lie An Hwie Tjian, ketua Tjeng
hong pay di Tjeng hong san, bahwa salah seorang muridnja jang
bernama Ong Kauw Lian, dengan membawa kawan telah berani
menghina dan bahkan membinasakan kakek gurunja sendiri.
Sekian hormat saja, Mie Ing Tiangloo Setelah membatja isi surat itu, tanpa terasa An Sioe Lian
menangis menggerung-gerung. Betapa tidak, karena kakek guru
ini adalah orang satu2nja jang ia paling akan andalkan. Oleh
karena menurut tulisan jang ia batja dari surat ajahnja, adalah
satu2nja orang jang akan dapat mengalahkan Ong Kauw Lian.
Sementara itu bagaikan orang jang kehilangan pikiran, Siang Tjoe
djuga hanja berdiri sadja tanpa dapat berbuat apa2. Untuk
sementara itu pikirannja mendjadi buntu, hanja diam2 sekali lagi
ia mengagumi akan diri pribadi Ong Kauw Lian jang hanja dengan
'mentjuri' delapan belas djurus ilmu simpanan ajahnja, dapat
mendjadi sedemikian lihay, dalam waktu beberapa bulan sadja,
hingga achirnja ia mengelah napas. Ia merasa sajang pemuda
luar biasa itu telah menjalahgunakan kepandaiannja.
Tengah melamun tiba2 ia dikedjutkan oleh teriakan Sioe Lian.
"Toako! Tidak dapat kita begini sadja, marilah kita pergi ketanah
barat. Mungkinkah dikolong langit ini tiada orang jang lebih lihay
dari dia?" "Benar katamu Lian-djie," sahutnja jang semangatnja terbangun.
"Marilah kita tinggalkan tempat ini."
Beberapa saat kemudian, sesudah mereka selesai mengubur
semua tulang2 sebagaimana selajaknja, mereka pun
meninggalkan daerah pusat Tjeng hong pay itu, mereka berdua
mengambil djalan dari mana tadi mereka datang, untuk kemudian
setelah sampai dikaki gunung, mereka mutar menuruti sebuah
kali. Malam pun tiba. Ditengah djalan mereka menemukan sebuah batu besar jang
datar, untuk kemudian diatas itu mereka merebahkan diri. Karena
letihnja, sebentar sadja mereka pun sudah tertidur pulas dan
sadar dipagi esoknja waktu merasai ada sesuatu jang mendjilatdjilat, mereka mendjadi terkedjut sekali. Namun kemudian mereka
mendjadi lega serta kegirangan ketika ternjata jang mendjilatdjilat adalah kuda mereka jang kemarin dulu dilepaskan, hingga
selandjutnja dengan menunggangi kembali kepunjaan masing2,
kedua muda-mudi ini pun memulai pula perdjalanannja.
Disepandjang djalan tidak henti ber-tjakap2 keduanja saling
bertukar pikiran, mentjeritakan pengalaman2 masing2 sebelum
berkenalan. Sioe Lian mendjadi terharu dan sangat sengit kepda
Ong Kauw Lian, ketika mendengar tjerita Siang Tjoe bagaimana
murid murtad itu telah membinasakan sutee dan ajahnja, Lie Kie
Pok jang menjebabkan djuga matinja Lie-sie. Sedang ketika
Siang Tjoe menuturkan bagaimana penderitaan serta penghinaan
jang harus ditelan Kim Bin Ho lie An Hwie Tjian, sebagai akibat
kekedjaman dan kemurtadan Ong Kauw Lian, tanpa terasa pula
Sioe Lian telah menguturkan air mata. Hingga selandjutnja untuk
sementara itu, diantara kedua anak muda ini tiada terdapat
perasaan dendam apa2. Tiada terpikir oleh mereka, kalau ajah2
atau paman2 mereka pada dua puluh tahun jang lalu telah saling
hantam. Malah sekarang, antara muda mudi itu, perlahan-lahan
tapi pasti telah terdjalin benih-benih asmara.
Berdjalan kira2 delapan hari, mereka pun tiba disuatu tempat jang
datar, tidak terdapat batu2 djadas, sedang djalan2 tiada sempit,
melainkan disitu banjak bertumbuhan pohon2 besar, ketika kedua
anak muda ini menjelidiki, mereka mendjadi kegirangan, karena
ternjata mereka sudah sampai didaerah perbatasan Thibet.
Pada suatu hari tibalah mereka disebelah barat kota Ie-Pien.
Ketika itu sudah mendekati hari raja Toan-yang, hawa udara
mulai panas. Berkeringatan sudah dahi Sioe Lian. Selagi mereka
hendak mentjari tempat meneduh, tiba2 mereka mendengar
suara berkeritjiknja air. Kedua muda mudi kita pun lantas larikan
kuda mereka kearah suara itu. Girang keduanja ketika mereka
mendapatkan sebuah kali ketjil, sampai2 mereka berseru.
Kali itu bening airnja, dasarnja sampai membajang njata. Hingga
djelas kelihatan ber-puluh2 ekor ikan jang berenang kian kemari.
Sedang dikedua tepi banjak bertumbuhan pohon2 akar jang
tjabang2 serta daun2nja merosot turun keair.
Mereka berdua gembira sekali, tanpa membuka pakaian lagi
mereka pun terdjun untuk mendinginkan badan. Setelah puas,
mereka naik ketepi, untuk mendjemur.
Belum lama, tiba2 tjuatja berubah gelap. Dan tak lama kemudian
terdengarlah suara guntur jang sambung menjambung serta
tertampak kilat ber-sambar2an.
"Takutkah kau, Lian-djie?" tanja Siang Tjoe.
"Aku toh bersama kau" Apa jang harus kutakutkan?" djawab si
nona. Pemuda kita bersenjum.
Hudjan sangat besar, mereka pun bernaung dibawah sebuah
pohon janglioe jang rindang. Pada tempat dimana mereka berdua
bernaung ini tidak terdapat lain orang, dengan demikian mereka
tidak menarik perhatian siapa pun djuga. Mereka menantikan
sampai air hudjan jang bagai ditjurahkan itu berhenti turun, ketika
itu hari pun masih siang. Tjuatja telah terang kembali. Kemudian
mereka pun melandjutkan perdjalanan mereka.
Pada suatu hari, setelah menempuh perdjalanan sebulan,
sampailah mereka disuatu daerah pegunungan jang daerahnja
berlapisan saldju. Dari rumah seorang penduduk jang terletak
dilereng gunung, mereka tukar kedua kuda mereka dengan dua
perangkat pakaian tebal. Untuk kegirangan kedua taruna itu,
ketika mereka tanjakan pada penduduk itu, ternjata mereka
sudah tiba di Thibet timur, dan kini mereka berada didaerah
lereng pegunungan Thang-ala-san. Suatu daerah pegunungan
jang tinggi dan berlapiskan saldju abadi. Menurut tjerita penduduk
tersebut, di-tempat2 jang tertinggi dan sukar ditjapai manusia
banjak bersemajam orang2 pertapa serta berilmu tinggi.
Penduduk itu menasehatkan supaja kedua muda-mudi itu
mengurungkan sadja niatannja untuk menaiki gunung jang tinggi
dan berbahaja itu. Penduduk itu menambahkan pula, bahwa dilereng2 pegunungan jang penuh ber-batu2 banjak terdapat guha2
tempat bersemajamnja siluman2 jang suka makan daging
manusia. Namun mana mungkin kedua muda-mudi itu menelan
begitu sadja tjerita jang me-nakut2i itu, lebih2 si pemudi jang
sudah bertekad bulat hendak mentjari guru pandai. Ia hanja
tertawa sadja, akan kemudian dengan menarik tangan si pemuda,
mereka pun pergi meninggalkan rumah si penduduk, dengan dia
ini berdiri mendjublak sambil mulut ternganga.
Demikianlah dengan tidak mempedulikan segala tjegahan2 serta
nasehat2 si penduduk mereka pun dengan berdjalan kaki
melandjutkan perdjalanan menaiki pegunungan jang luas itu.
Disekitar gunung Than-ala-san terdapat banjak sekali puntjak2
jang mendjulang keatas bagaikan gigi buaja. Selama berada
dibagian tertinggi dari gunung, dunia dirasakan sempit dan
berdjalan diantara pohon2 besar, orang akan mendapat perasaan
menjeramkan. Sesudah melewati puntjak tertinggi, baru orang akan tiba
ditempat terbuka, dari mana orang itu akan dapat memandang
puntjak2 jang lebih rendah serta tertampak se-olah2 biruang2
berbulu putih. Melihat pemandangan jang demikian indah, semangat Sioe Lian
djadi terbangun. "Untung kita tidak meladeni segala2 omongan2 si penduduk tadi,"
katanja sambil tertawa dan bertepuk tangan. "djika kita turuti
omongan dia itu, tentulah kita tidak dapat menikmati
pemandangan seindah ini," menambahkan ia.
"Tapi Lian-djie, daerah pegunungan ini luas. Tidak mungkinkah
kalau dihadapan kita terbentang suatu daerah seperti jang
dikatakan penduduk tadi?" kata Siang Tjoe ber-sungguh2.
"Selandjutnja kita harus ber-hati," menasehati Siang Tjoe. Sedang
Sioe Lian menundukkan kepalanja sambil mengangguk
membenarkan... Ketika itu kedua muda-mudi kita ini sedang menuruni sebuah
lembah dengan dikiri-kanannja dan disekelilingnja banjak
bertumbuhan pohon2 liar tiba2 dari belakang sebuah pohon besar
melesat sebuah bajangan besar menjambar kearah mereka
berdua. Mereka mendjadi terperandjat sekali ketika mendapat
kenjataan, bajangan itu adalah seekor beruang.
Beruang itu besar sekali, berbulu putih seluruhnja, hanja
montjongnja sadja jang berwarna hitam. Tjepat bagaikan kilat,
sebelum tubuh beruang itu jang mulutnja terbuka lebar menubruk
mereka berdua, putera marhum Song-to Lie Kie Pok dengan
mempergunakan tenaga lweekang jang diperhitungkan,
melontarkan tubuh Sioe Lian tepat kesebuah guha ketjil jang
terletak beberapa tumbak dari tempat ia berdiri. Sedang ia sendiri
dengan mempergunakan It hoo Tjong thian, badannja melesat
keatas setinggi beberapa tumbak. Ketika badannja masih
mengapung diatas ia melongok kebawah. Lie Siang Tjoe
terperandjat tiada terkira ketika ia mendapat kenjataan, kalau
beruang itu tidak hanja seekor, melainkan dia berkawan jang
djumlahnja tidak kurang dari tiga puluh...
Ia pun lalu menengok kearah Sioe Lian. Terkedjutnja semakin
ber-tambah2, ternjata Sioe Lian sudah tidak terdapat ditempat
tadi ia lemparkan... Namun ia tidak dapat berpikir lama, karena badannjapun sudah
melajang turun. ia pun mentjabut goloknja.
Beruang pertama tadi, karena tubrukannja meleset dengan berdiri
diatas kaki belakangnja ia memandangi pemuda kita jang sudah
berdiri dengan sikap Kim-kee Tok-lip.
Tiba2 beruang itu dengan mengeluarkan gerengan keras
menubruk setjepatnja. kedua kaki depannja jang kuku2nja
menondjol keluar bergerak mengantjam dada Siang Tjoe.
Pemuda kita tjepat melebihi gerakannja si beruang, lontjat
kekanan dan membarengi itu goloknja dikerdjakan membatjok
punggung lawannja, hingga tidak ampun pula dengan
mengeluarkan gerengan keras, binatang itu rubuh binasa.
Bersamaan dengan binasanja beruang pertama tadi, sembilan
ekor kawannja jang besar2 serta galak luar biasa, menerdjang


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siang Tjoe. Kesembilan ekor beruang ini luar biasa sekali.
Bagaikan manusia jang berakal pikiran, mereka mengepung dari
segala pendjuru, jang membuat pemuda kita agak kerepotan
djuga. Benar sekali Siang Tjoe putarkan goloknja, sekali itu tigaempat ekor menggeletak tiada bernapas, tapi oleh karena
djumlah beruang2 itu terlalu banjak, Siang Tjoe pun tidak berlaku
ajal pula. Dengan segera tubuhnja diputarkan, dan disaat 6 ekor
beruang hampir menubruk tubuhnja, ia pun sudah bersiap sedia,
serta dilain saat djurus pertama dari Tjap Peh Lo Hoan To telah ia
gunakan, menjabet dengan ketjepatan bagaikan kilat pada setiap
beruang jang sampai paling dahulu. Hebat sekali gerakan ini,
hingga dalam sekedjab sadja keenam ekor beruang jang
mengurung badannja tadi sudah menggeletak tak bernapas.
Demikianlah selandjutnja dengan mempergunakan Tjap Peh Lo
Hoan To djurus demi djurus, ia pun berhasil membinasakan
setiap beruang jang berani mendekati dia, sampai achirnja hampir
seluruh binatang2 pegunungan ini ia berhasil binasakan, ketjuali
beberapa ekor jang kemudian melarikan diri kedalam hutan.
Sedang Siang Tjoe sendiri ketika teringat pada Sioe Lian jang
mendadak lenjap tadi, tjepat2 ia ber-lari2 ketempat dimana tadi
kawan itu ia lemparkan. Lekas2 ia masuk kedalam guha, ia kira tentulah Sioe Lian karena
ketakutan, telah memasukinja untuk bersembunji.
"Lian-djie," ia memanggil perlahan.
Diluar segala perhitungan Siang Tjoe, begitu ia memasuki guha,
ia dibuat mendjadi berdiri terpukau dengan badan dirasai
mendjadi dingin, se-olah2 memasuki sebuah sungai es!
Mengapa" Ternjata guha itu tidak ketjil, tetapi amat luas serta ber-batu2 jang
banjak berhamburan. Sedang didalam situ ia tidak melihat Sioe
Lian walau bajang2annja. Djantung Siang Tjoe se-akan2 me-londjak2 serta disaat itu djuga
ia merasa kepalanja mendjadi pusing, hingga untuk beberapa
saat ia tidak dapat menguasai dirinja pula.
Ia me-manggil2 : "Lian-djie! Lian-djiiee...!"
Namun tetap ia tidak peroleh djawaban, hanja suara gemanja
sadja jang terdengar. "Lian-djie! Lian-djie...!"
Kemudian setelah dapat menetapkan hati, ia pun keluar. Diluar
dipandjatnja sebuah pohon besar sampai dibagian jang tertinggi.
Dari atas ia menngawasi ke-empat pendjuru disekitar
pegunungan dimana selain dari pohon2 besar jang dimainkan
embusan angin ia tidak melihat tanda2 lai jang mentjurigakan,
maka ia pun turun dan lalu kembali memasuki guha tadi. Ia
mendjadi amat terperandjat, ketika diperiksanja keadaan tanah
disekitar muka guha. Ternjata diantara berhamburannja batu2
jang banjak berserakan terdapat djuga tanda2 bekas kaki dari
dua makhluk. Ia mendjadi terkedjut sekali ketika mendapat
kenjataan, kalau bekas2 itu adalah djedjak kaki manusia dan
binatang. Diikutinja tapak2 itu, hingga achirnja lenjap pada bagian
tengah dari guha tersebut.
Ketika itu ia jang biasanja dapat berlaku tjerdik serta pikirannja
terbuka, kali ini benar2 telah mendjadi buntu, malah melihat
bekas2 kaki jang menundjukkan tanda2 bekas orang bergumul ia
mendjadi putus asa, hingga beberapa saat kemudian, setelah
dapat menguasai dirinja barulah ia ber-lari2 mengelilingi seluruh
guha serta memanggil-manggil.
Akan tetapi,walau ia ber-teriak2 sampai mulut parau serta hari
telah berubah mendjadi malam tetap ia tidak memperoleh hasil.
Hingga achirnja karena letih ditjarinja sebuah batu jang tjukup
besar, serta lalu diatas mana ia duduk. Dikeluarkannja sepotong
daging bakar jang lantas dikunjahnja untuk menangsal perut.
Setelah itu, diatas batu tadi direbahkannja badannja.
Dihadapannja terbajang wadjah Sioe Lian jang selain tjantik djuga
gagah serta bersemangat. Dipedjamkannja matanja agar dapat
tidur pulas, namun sampai beberapa lama, karena bajangan Sioe
Lian jang selalu menggodanja, ia hanja bergelimpangan sadja
tanpa sekedjap pun dapat tidur. Satu kali dibalikkannja tubuhnja
dengan mata dipentang keatas mengawasi langit2 guha. Tiba2 ia
tertarik akan sesuatu jang seperti melekat pada salah satu
dinding batu jang kemudian dihampirinja. Serta dengan tangan
dibersihkannja dari lapisan debu jang menebal. Ia mendjadi
terkedjut sekali ketika tampak sesuatu tersebut berbentuk sebuah
lukisan jang indah serta gandjil sekali dari seekor monjet jang
sedang berdongko, dengan kaki kanannja dilondjorkan kemuka.
Karena tertarik, sikap gambar itu ditirunja. Kesudahannja ia
mendjadi amat terperandjat sekali, ketika ia mendapat kenjataan
gerakanitu mentjontohkan seorang jang sedang bersilat dengan
gerakan tipu ilmu silat Siauw-lim! Bahkan ketika ia memperdalam,
gerakan jang diperlihatkan gambar tersebut ber-lipat2 kali
hebatnja dari gerakan jang pernah ia peladjari dari ajahnja. Bahna
girangnja, ia buka badju luarnja, untuk kemudian dengan itu ia
bersihkan benar2 lukisan tadi jang ternjata adalah sebuah ukiran.
Siang Tjoe mempunjai ketjerdasan pikiran jang agak lumajan, dan
oleh karena lukisan itu hanja sebuah, sebentar sadja ia dapat
menghafalnja diluar kepala, hingga achirnja karena gambarnja
itu2 djuga iapun mendjadi bosan. Kemudian iseng, bagian dinding
jang terletak disebelah dari gambar pertama dihapusnja pula.
Kegembiraannja semakin ber-tambah2 ketika ternjata pada
bagian dinding itu djuga terdapat sebuah lukisan seekor monjet
jang gerakannja merupakan sambungan dari gambar jang
pertama tadi. Karena dua penemuan ini, segera ia pun dengan
menggunakan badjunja membersihkan bagian2 lain dari dinding
guha tersebut jang ternjata djuga melukiskan gambar2 monjet
sedang bersilat serta satu sama jang lain ber-hubung2an.
Siang Tjoe jang memang kepergiannja ketanah barat ini adalah
untuk mentjari guru pandai segera merasa jakin kalau gerakan
ilmu silat jang dilukiskan dalam gambar itu adalah luar biasa
sekali. Karena ternjata dari gerakan2nja jang aneh. Demikianlah
tanpa pikir2 lagi, segera ia pun mulai me-niru2 tjara serta
gerakan2 jang diperlihatkan lukisan itu.
Tak dapat dilukiskan bagaimana kegirangan hati pemuda kita,
ketika ia mendapat kenjataan bahwa tipu pukulan jang
diperlihatkan ukiran2 itu sungguh luar biasa sekali. Gerakannja
jang ber-ubah2 menjesatkan ternjata banjak sekali tjabang2nja,
hingga achirnja setelah merasa lukisan2 itu sudah melekat benar
diotaknja dan mengerti akan kefaedahannja, ia merasa jakin
benar kalau gerakan2 ini pastilah djauh berada disebelah atasnja
Tjap Peh Lo Hoan Kun. Satu hal pula sebagai reaksi dari dipeladjarinja gerakan2 lukisan2
itu ialah, ia merasa tubuhnja mendjadi semakin enteng.
Dengan hal ini, tak dapat dilukiskan pula bagaimana gembiranja
hati Siang Tjoe, hingga tanpa terasa ia sudah melatih diri sampai
hari berganti siang. Baharulah setelah ia merasa letih benar, ia
pun beristirahat. Djustru karena itu, tiba2 wadjah Sioe Lian jang ia
telah lupakan selama melatih diri terlintas pula dihadapannja.
Segera tjepat luar biasa ia melompat keluar. Ia mendjadi terkedjut
sekali, ketika ternjata matahari sudah naik tinggi. "Sioe Lian! Sioe
Lian!!" kembali ia ber-teriak2. Namun seperti kemarin, ia tetap
tidak memperoleh djawaban dari orang jang dipanggil itu. Malah
suaranja hilang ditelan oleh luasnja daerah pegunungan.
Achirnja karena bosan, pikirannja beralih kepada peristiwa luar
biasa jang baru sadja dialaminja. Ia tidak dapat menduga tepat,
peninggalan siapakah lukisan2 jang kemarin ia temukan itu.
Demikianlah sambil berdjalan pikirannja melajang akan
kedjadian2 jang kemarin, dimana sebagai ganti hilangnja seorang
kawan, ia mendapatkan sebuah tempat luar biasa jang ia kira
tentu masih mengandung lain2 luksian jang ia belum bersihkan,
hingga achirnja ia mendusin ketika tiba2 dari antara semak2
sebelah kiri melesat serupa sendjata berwarna kuning berkilau2an, dan hampir bersamaan itu dari sebelah kanannja
terdengar siuran angin menjambar dirinja. Siang Tjoe tidak
menduga, datangnja serangan itu jang tiba2 serta setjara kedji
sekali. Benar2 ketika itu ia berada dalam keadaan terdjepit. Sebab kalau
ia berkelit kekanan tentu ia tidak akan luput dari serangan jang
datang dari sisi kiri serta demikian pula sebaliknja.
Pada saat jang sangat berbahaja itu, ia mendjedjal kakinja dan
dilain saat badannja pun sudah melesat keatas, lalu untuk
mendjaga diri dari serangan berikutnja, ia pun hunus goloknja
jang lalu diputarnja sebelum kedua kakinja mengindjak bumi.
Mendadak, lima bajangan manusia dengan sikap tiga mengurung
dan dua orang menjambar bagaikan kilat menjerang Siang Tjoe.
Ia dapat melihat dengan tjepat serta dapat mengetahui pula
bahwa kedua bajangan jang menjambar dirinja adalah bajangan
kedua suami isteri setengah tua jang pernah bertempur
dengannja di Soa-tang pada beberapa bulan jang lalu, hanja ia
tidak dapat menduga pasti untuk apa kedua suami isteri itu
datang kepuntjak pegunungan Than-ala-san.
Isteri jang berusia setengah tua itu membentak serta berkata :
"Pentjulik tjilik! Lekas keluarkan sumoay ku!"
Terperandjat Siang Tjoe mendengar perkataan ini, lalu sambil
tangkis serangan kedua orang itu ia pun berseru : "Djie-wie toako,
aku belum pernah berkenalan dengan kalian, mengapa tanpa
sebab aku dituduh telah mentjulik sumoaymu?"
"Bangsat tjilik, dimana ada maling mengakui kesalahannja" Awas
pedang...!" Dan membarengi bentakan ini, wanita tersebut kembali telah
menjerang dengan udjung pedangnja jang tadjam mengkilap
mengantjam dada Siang Tjoe.
"Sungguh diluar perikemanusiaan!" berteriak Siang Tjoe seraja
putar goloknja, dan dilain saat bagai berkelebatnja kilat golok
Siang Tjoe sudah menuruti djurus2 jang baru dijakininja kemarin
malam. Dengan serentak kedua suami-isteri itu lompat mundur
kebelakang sambil putarkan sendjata untuk melindungi diri.
Kedua orang ini terperandjat sekali akan kemadjuan jang ditjapai
Siang Tjoe. Demikian djuga ketiga orang jang tadi mengambil sikap
mengurung, mereka tampaknja terkedjut sekali, lebih2 dua jang
masih berusia muda. Dalam hanja beberapa gebrakan sadja Siang Tjoe telah berhasil
membuat pertahanan kedua suami-isteri jang memang ternjata
adalah orang2 Tjeng hong pay seperti dikatakan Sioe Lian, serta
mendjadi murid akuan Mie Ing Tiangloo mendjadi kotjar-katjir.
Sang suami jang bernama Tung han Thay hiap Tan Tjian Po
keadaannja sangat terdesak sekali, hingga ia hanja dapat
bertahan sadja sedang peredaran napasnja sudah tidak
beraturan lagi, demikian djuga dengan isterinja, Hoo Siok Eng.
Keringat dinginnja jang se-besar2 katjang kedelai telah memenuhi
hampir seluruh tubuhnja. "Tjelaka," tiba2 terdengar perempuan ini berteriak, dan
membarengi itu pedangnja terpental serta melajang keatas
sedjauh beberapa tombak. Bersamaan itu, dengan ketjepatan
jang luar biasa seberkas sinar golok melajang serta dengan tepat
mengenai pergelangan si njonja, hingga dia ini mendjerit karena
kesakitan. Segera untuk menghindarkan serangan lebih landjut ia
pun berniat mendjedjalkan kaki, namun kembali segulung sinar
golok mendahului niatnja meluntjur kearah dirinja mengantjam
tenggorokan. Hingga tiada terkatakan terkedjutnja perempuan ini.
Akan tetapi, pada saat itu, pada saat njonja ini menghadapi
kehantjurannja, tiba2 sebuah bajangan jang tinggi besar serta
bersendjatakan sebatang tongkat berkelebat menjambar diri
orang jang bersendjatakan golok jang ternjata adalah Lie Siang
Tjoe. Jang hebat ialah, dengan tongkatnja bajangan tersebut,
mengantjam djalan darah Kie bun hiat dari Siang Tjoe.
Melihat datangnja serangan luar biasa ini, tjepat2 Siang Tjoe
menarik kembali serangannja jang hampir mengenai sasarannja
itu untuk kemudian langsung golok tersebut ia tangkiskan pada
tongkat jang menjerang dirinja, hingga dilain saat terdengarlah
berkelentengannja dua buah sendjata jang berlainan bentuk,
serta mengiringi itu sebuah bajangan putih tertampak mentjelat
keatas. Itulah sinar putih dari golok Siang Tjoe!!
Dengan demikian njatalah bahwa walaupun kepandaian silat
Siang Tjoe telah madju sepuluh kali lipat lebih tinggi, tapi oleh
karena ia belum mengadakan latihan tenaga dalam, maka dalam
hal ini ia masih kalah djauh dengan penjerangnja tadi.
Tapi ia tidak kekurangan akal, tjepat sekali dalam keadaan jang
kritis bagi djiwanja itu, dilihatnja Tan Tjian Po sedang mengangkat
pedangnja. Tjepat luar biasa, mendahului bergeraknja sang
tongkat serta menjambarnja pedang, tubuhnja ditjelatkan melesat
kesisi kanan Tjian Po. Dan membarengi itu kelima djeridji kirinja
bekerdja memukul pergelangan tangan lawan, sedang tangan
kanannja menghantam muka Tjian Po.
Kalau pertempuran ini terdjadi pada tiga hari jang lalu, tentulah
siang2 djuga Siang Tjoe sudah dapat dirobohkan kedua suami
istri tadi. Maka dapat dibajangkan betapa luar biasanja ilmu silat jang
dipeladjari Siang Tjoe dari lukisan2 jang terdapat dalam goa itu.
Begitu terpukul, pedang Tjian Po terlepas dari tjekalannja dan
dilain saat sendjata tersebut sudah pindah ketangan pemuda kita
jang terus digunakan untuk menjerang dada sipendekar dari
Tungkiang dan Hankiang. Disaat jang sangat berbahaja bagi diri
Tjian Po, tiba2 terdengar geram jang keras dari si orang
bersendjatakan tongkat jang ternjata adalah seorang asing serta
memakai udeng2, mentjelat memberikan pertolongan kepada
pendekar ini. Sementara itu, bersamaan dengan tikamannja kedada, tangan kiri
Siang Tjoe meluntjur keperut Thung han Tay hiap. Kedua tikaman
dan pukulan jang dikirimkan sekaligus adalah gerakan2 kelima
belas serta keenam belas dari tipu jang dipeladjarinja kemarin.
Namun malang baginja, karena sebelum ia berhasil dengan
kedua serangan itu, tiba2 ia merasakan angin keras menjambar
mengantjam salah satu djalan darah jang dapat membinasakan
dirinja. Maka untuk menolong diri tanpa berpikir pandjang lagi
dibatalkannja serangan maut tadi. Tjepat bagaikan kilat ia
mentjelat kekanan serta mengiringi balikan tubuhnja diputarnja
pedang rampasannja jang meluntjur kearah tenggorokan orang
asing berhidung bengkok seperti patuk burung betet.
Bukan main terperandjatnja orang ini, karena diluar dugaannja
pemuda kita ternjata mempunjai ilmu silat jang tjukup tinggi!
Namun orang asing itu ternjata tjukup berpengalaman, setelah
serangannja gagal dibalikkannja tongkatnja untuk menangkis
serangan maut jang benar2 dapat mengantjam keselamatan
djiwanja. Siang Tjoe jang barusan telah merasai kehebatannja
tenaga dalam sang lawan tidak sudi pula ia membenturkan
sendjatanja melainkan ia memperlihatkan kelintjahannja. Ia
merubah serangannja, dan kali ini ia mengantjam kedua bidji
mata orang asing dari tanah Barat itu.
Perubahan serangan jang dahsjat ini membuat keempat orang
Tjeng hong pay bertambah-tambah kagum hingga mereka


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menduga-duga kalau pemuda kita tentu telah ditemukan seorang
Tjianpwee luar biasa. Tapi walau bagaimanapun orang asing itu ternjata lebih banjak
mempunjai pengalaman serta telah banjak agaknja melakukan
pertempuran. Baik besar atau ketjil. Demikianlah tjepat sekali
tongkatnja disabetkan dari atas kebawah hingga dengan
demikian ia berhasil menguntji gerakan Siang Tjoe jang sungkan
mengadu sendjata. Tongkat me-njambar2 dari segala djurusan
hingga djika Siang Tjoe terus sadja mengandalkan tipu2 silat jang
ia peladjari kemarin, pastilah punggungnja tentu akan segera
kena ditusuk. Saat itu selagi orang asing itu bergembira, sekonjong2 sinar pedang berubah merupakan suatu gulungan
bundar jang menjelubungi seluruh tubuh Siang Tjoe.
Itulah ilmu golok Tjap Peh Lo Hoan To jang pada saat itu telah ia
kombinasikan dengan gerakan2 ilmu silat jang ia dapati dari
lukisan2. Sungguh luar biasa sekali, dalam sekedjap sadja tubuh
pemuda itu se-olah2 dikitari tembok pedang jang rapat sekali
mengurung dirinja. Orang Turki ini terkesiap. Sedikitpun ia tak menduga, bahwa 'si
botjah' akan dapat merubah gerakannja sedemikian tjepat. Dari
menjerang sampai membela diri! Demikianlah serangannja
mendjadi gagal hingga ia pun mendjadi gusar sekali. Sambil
mengempos semangat, ia menjapu dengan sendjatanja. Sungguh
hebat serangan itu, sebab dengan sekali menjapu, sendjatanja
menjambar dua belas djalan darah Siang Tjoe disebelah atas
badannja, membuat Siang Tjoe mendjadi terkedjut sekali!
Dalam serangannja jang terachir ini, si orang Turki menggunakan
tongkatnja dengan mengerahkan tenaga lweekang, sebab ia
tahu, inilah satu2nja kelemahan si anak muda. Demikianlah tjepat
luar biasa tongkat meluntjur ketempat dimana dua belas djalan
darah dibagian atas tubuh terletak.
Belum sempat Siang Tjoe mengeluarkan ilmu gabungannja,
serangan tongkat jang dikirim dengan seluruh tenaga si imam
sudah tiba dan tak mungkin dapat diegos lagi.
Melihat bahaja, dalam keadaan terdesak, Siang Tjoe mengambil
suatu keputusan nekad. Diputarkannja tubuhnja untuk menjambut
pukulan dengan punggung! Namun pada detik, sedang djiwa Siang Tjoe tergantung atas
selembar rambut, mendadak terdengar suatu teriakan keras
menggetarkan semua benda jang kedapatan disitu hingga djarak
beberapa tombak. Dan bersamaan itu, semua orang jang berada
disitu badannja terasa tergetar, tidak terketjuali pemuda kita dan
si orang Turki jang serangannja mendjadi meleset.
Hanja untung bagi Siang Tjoe, ia dapat bergerak tjepat serta
tjepat pula dapat menetapkan hatinja jang segera melompat
kesamping sambil meluntjurkan pedangnja merobekkan pakaian
orang asing itu. "Botjah dari manakah jang datang?" membentak orang Turki ini
jang mendjadi gusar sekali.
Se-konjong2 dari atas puntjak2 pohon terdengar suara tertawa
jang aneh. "Tua bangka Kamala Phasja, apakah tidak malu mengerubuti
seorang botjah?" berkata suara itu. "Tiga tua bangka dan dua
andjing ketjil mengerojok seorang botjah tjilik" Haa, haa, haa."
Lie Siang Tjoe dan kelima orang lainnja tidak terketjuali si orang
Turki jang namanja disebut Kamala Phasja, semuanja melihat
keatas, maka terlihatlah seorang jang berdjenggot pandjang
sedang duduk bersila dipuntjak jang paling tinggi.
Badan orang itu pendek, hingga djenggotnja melengser melebihi
dari pandjang badannja. Tidak djauh dari tempat orang itu duduk,
terdapat pula lima orang lainnja jang sifat kelakuannja djuga luar
biasa. Agaknja selagi pertempuran adi sedang hebat2nja,
keenam orang luar biasa itu sudah berada ditempatnja masing2
dan sudah barang tentu mereka telah menjaksikan djalannja
pertempuran tadi. Menggetarnja benda2 dan melesetnja
serangan Kamala Phasja tadi adalah disebabkan dari teriakan si
orang kate jang berdjenggot pandjang. Mengingat hal ini, Kamala
Phasja djadi penasaran serta rasa dadanja akan meledak lalu
dengan tidak memikir pandjang lagi lalu ia mendjedjakkan kedua
kakinja mentjelat keatas untuk mendjambak orang kate jang ia
anggap djahil. Dengan tenang orang kate itu pindah kepuntjak pohon jang lain
sambil berkata dengan mengedjek : "Dengan satu botjah tjilik
sadja kau tidak mampu merobohkannja, buat apa aku meladeni
kau." Mendengar kata2 mengedjek ini, Kamala Phasja mendjadi
semakin murka. Akan tetapi ketika ia hendak mengedjar pula,
tiba2 terdengar suara teriakan Tung han Thay hiap. Ia mendjadi
terkedjut sekali melihat wadjah kawan itu tiba2 berubah mendjadi
semu-ungu, suatu tanda bahwa kawannja sudah kena sendjata
beratjun, Kamala Phasja batalkan maksudnja untuk mengedjar
lebih djauh. Melainkan ia berdjalan menghampiri Tjian Po suami istri, sambil
memberi isjarat kepada kedua anak muda jang mendjadi
puteranja meninggalkan tempat itu.
Namun baru mereka berdjalan kira2 sepuluh tombak, dari atas
pohon kembali terdengar suara orang tertawa jang aneh sambil
berkata : "Hai tua bangka, apakah engkau tidak membutuhkan
obat pemunah." Bersamaan dengan kata itu tampak dari atas
pohon melajang sebuah bungkusan kearah punggung Kamala
Phasja dengan diiringi suara teriakan.
"Sambutlah!" Sebelum sempat si orang asing menoleh untuk melihat apa jang
akan terdjadi tiba2 'Bukk!!' tiada terelakkan pula punggungnja
sudah terhadjar 'sendjata rahasia' tersebut, hingga tidak ampun
lagi badannja jang tinggi besar serta tegak rubuh ter-guling2
sampai beberapa tombak djauhnja, hanja heran, akibat sambitan
itu, ia tidak merasakan sakit barang sedikit hingga hatinja diam2
mendjadi gentar karena tenaga sambitan jang luar biasa itu.
Namun karena masih penasaran, tjepat2 ia menoleh kebelakang
untuk mengetahui sendjata rahasia apakah itu.
Setelah dihampirinja dan di-amat2inja dengan teliti, ia sangat
heran tetapi girang karena ternjata bungkusan jang disambitnja
itu bukanlah sendjata rahasia, tetapi sebuah bungkusan jang
berbau obat2an. Segera disambarnja itu, serta kemudian
dibalikkannja pula tubuhnja untuk ber-lari2.
Dikala itu Siang Tjoe memperhatikan sesuatu jang terdjadi atas
diri orang asing itu serta kawan2nja. Lalu ia melihat keatas,
ternjata keenam orang luar biasa tadi, masih tetap duduk bersila
ditempatnja masing2. Sambil berpikir ke-heran2an ia tundukkan kepalanja dan berkata
dalam hatinja : "Orang2 ini berusia paling rendah empat puluh tahun, untuk
keperluan apakah mereka mendaki gunung Thang-ala-san.
Apakah mereka adalah manusia2 sakti penghuni gunung seperti
jang dikatakan si penduduk tempo hari" Apakah mereka dari satu
rombongan atau sebaliknja?"
Sedang asjiknja Siang Tjoe ber-pikir2, tiba2 ia dikedjutkan oleh
suara si kerdil : "Hai anak muda!" Suaranja keras sekali
mengaum. "Kau memiliki ilmu silat jang aku belum pernah lihat, apakah
boleh dapat mentjuri?"
Terkesiap Siang Tjoe mendengar pertanjaan ini jang membuat ia
mendjadi semakin pertjaja kalau orang itu adalah penghuni dari
tanah pegunungan ini. Dan disaat itu djuga ia merasa putus
harapan. Betapa tidak, karena tadinja ia berniat akan melatih dan
mempeladjari semua ukiran2 jang terlukis pada dinding guha,
dengan maksud untuk membalas sakit hatinja. Tapi kini tidak disangka2 muntjul orang2 ini, terutama si manusia kerdil ini, jang
telah menuduh ia mentjuri ilmu silat, hingga tanpa terasa pula ia
pun menghela napas pandjang serta merasa heran akan sikap
orang tersebut. "Terang2an si kate ini barusan telah menolong aku dari antjaman
maut si orang asing. Mengapa sekarang tiba2 seperti hendak
mempersulit aku bahkan menuduh?"
Djustru pada saat itu, sebelum sempat ia memberikan
djawabannja, se-konjong2 terdengar suara seseorang jang
datangnja dari arah puntjak pohon jang lain.
"Turunan kate orang kedua seh Auwjang, djangan berkata
simpang siur. Dengan bukti apakah kau menuduh anak untuk
masih putih bersih mendjadi pentjuri?" demikian suara itu jang
memang beralasan djuga, hingga untuk sementara si orang kate
membungkam, hanja matanja sadja jang tadjam mengawasi
Siang Tjoe serta kemudian membalikkan kepalanja mengawasi
orang jang telah menjemprot dirinja tadi.
"Kiranja kau, orang asing mata sipit," demikian menggerutu si
kate, sedang sikapnja tertampak mendjadi sengit ketika
mengetahui orang jang tadi telah menampar mukanja dengan
kata2 tadi. "Kepandaianmu sudah mengatasi rimba persilatan dinegerimu,
aku Auwjang Siang Yong sungguh tidak mengerti untuk keperluan
apa maka kau datang kedaerah ini jang letaknja djauh diseberang
lautan?" Girang hati Siang Tjoe mendengar pembitjaraan kedua orang ini,
bukankah dari kata2nja djelas sudah kalau mereka adalah orang2
dari lain golongan" Lebih2 ketika ia mendongakkan kepalanja
memandang keatas, ia mendapat kenjataan keempat orang jang
lainnja djuga seperti tengah saling melototkan mata dengan sikap
se-olah2 hendak berkelahi.
"Sungguh mengherankan!" pikir Siang Tjoe. "Mereka berenam
tampaknja saling bermusuhan, malah hendak hantammenghantam rupanja. Namun kalau hendak mengadu
kepandaian, mengapa mereka memilih gunung ini jang letaknja
djauh dari tempat pergaulan manusia."
"Auwjang Siang Yong," tiba2 si orang asing jang matanja sipit
berkata, "seenaknja sadja kau membela diri, berkatjalah dan lihat
mukamu, apakah daerah pegunungan ini masih termasuk daerah
Tiong Goan" Apakah djuga Thang-ala-san ini letaknja berdekatan
dengan tempat kakak ajahmu, Auwjang Keng Liak bersemajam"
Dan untuk keperluan apa pulakah kau djauh2 datang mendaki
daerah pegunungan ini?"
"Diam!" bentak si orang kate dengan sikap berangasan. "Kau
boleh mentjatji, bahkan boleh membunuh kalau dapat. Tapi...
awas! Djangan kau sebut2 pula nama pamanku disini! Aku sangat
mengagumi kau, apalagi barusan kau telah memperlihatkan
kepandaianmu menggunakan Am-gie serta lweekang. Dan aku
tahu bahwa peladjaranku masih sangat tjetek, sebab aku baru
dapat mewarisi enam bagian sadja dari kebisaan pamanku, tapi
melihat pertundjukan jang kau pamerkan tadi, tanganku mendjadi
sedikit gatal. Aku pun mengerti dan tahu diri, bahwa aku bukanlah
mendjadi tandinganmu. Kau adalah seorang murid dari seorang
ahli silat kelas satu dari pulau sembilan, maka dari itu, melulu
karena keinginan menambah pengetahuan, aku mohon beberapa
pengadjaran dari kau, ahli silat pedang bengkok dari pulau
sembilan. Sudikah kau Satmijagatza" demikian tantangan
Auwjang Siang Yong dengan tjara merendahkan diri tapi tjukup
djelas separuh mengedjek. Bahkan tampak dari roman mukanja
kalau dia ini sedang menahan hawa kemarahan, tertampak dari
urat2 mukanja jang banjak menondjol keluar.
Sementara itu di-puntjak2 pohon jang lain, keempat orang jang
tadi saling membelalakkan matanja, Siang Tjoe lihat djuga seperti
orang jang hendak bertempur. Ketika itu Siang Tjoe seperti tidak
dipedulikan lagi, lantas ketika ia melihat keenam orang itu
mukanja sudah tegang2, tjepat2 ia pun menjembunjikan diri
dibalik sebuah pohon besar untuk melihat permainan apakah jang
akan dipertundjukkan oleh keenam orang itu. Disaat itu ia benar2
melupai akan maksudnja tadi meninggalkan guha.
"Auwjang Siang Yong, kau terlalu memudji kepadaku," sesaat
kemudian Siang Tjoe dengar suara si manusia dari seberang
lautan, Satmijagatze, memetjahkan ketenangan disekitar tempat
itu. Suara ini terdengarnja seperti merendah, tapi kenjataannja
ditekankan dengan tenaga lweekang, hingga bunjinja
mendengung sampai kedengaran kekaki gunung. Sedang Siang
Tjoe karena kepekakan, ia mendekapkan kedua lubang telinganja
dengan kedua tangannja, kanan dan kiri. "Tak sanggup aku untuk
menerima pudjianmu itu, Siang Yong suka memberi peladjaran
kepadaku, inilah hal jang benar2 aku tidak berani minta, sungguh
suatu kehormatan jang sangat besar bagiku! Hingga
perdjalananku ke Thang-ala-san ini, walaupun tidak berhasil
mendapatkan barang itu, aku rasa tidak per-tjuma2. Auwjang
Siang Yong, kita adalah orang2 rimba persilatan dari negeri jang
berlainan, tak usahlah kita saling merendah. Karena aku sudah
duga, demikian djuga guruku, untuk mendapatkan barang ini,
tidak dapat tidak haruslah diadakan dahulu pengukuran tenaga.
Dalam daerah Tiong Goan bagian utara, orang jang mempunjai
kepandaian sebagai Auwjang tjianpwee hanjalah kau,
keponakannja. Maka djuga rakjat dari negeri kami sudah sedjak
lama ada menghargai kau. Sekarang Siang Yong sudi memberi
peladjaran kepadaku; sungguh aku Satmijagatze, sebagai wakil
rakjatku merasa sangat bersjukur. Baiklah kita tidak usah mensia2kan waktu lagi! Apakah Siang Yog hendak
mempertundjukkan Sat-toei Kioe-wan mu" Silahkan!"
Kata2 ini walaupun saling susul, hingga seperti memenuhi sekitar
daerah pegunungan ini, Siang Tjoe dapat djuga mendengar dan
memahaminja, karena suara Satmijagatze itu dapat menembus
kedua telapak tangan Siang Tjoe jang didekapkan rapat2. Hingga
dapat dibajangkan betapa hebat lweekang si mata sipit itu.
"Sungguh dalam pengetahuanmu Gatze, sebelum kita bertanding
kau sudah mengetahui akan kebisaanku, memang tidak salah
lagi, karena kau meminta, akan kuturuti keinginanmu itu. Baiklah,
ber-siap2lah!" "Baik..." Namun disaat kedua orang itu tengah ber-siap2, dikala kedua
orang dari berlainan negeri itu saling memperhatikan gerakan apa
jang akan dilakukan lawannja... tiba2 diantara kedua puntjak
pohon dimana kedua orang itu saling mengambil tempat, lalu
beterbangan belasan ekor burung pegunungan jang besar2.
Burung2 ini sangat tjepat terbangnja, hingga dalam sekedjap
sadja mereka telah terbang mendjauhi tempat itu sekira 8-9
tombak. Tapi se-konjong2 sebagai ada suatu tenaga besi
semberani jang menarik, entah setahu kenapa tiba2 binatang2
bersajap itu mendadak terbangnja tertahan, sajapnja sadja jang
meng-gelepar2, dan dilain saat segerombolan burung2 itu
berbalik mendjadi 'terbang' mundur dengan muka tetap
menghadap kedepan! Dengan ketjepatan melebihi ketjepatan
barusan mereka terbang kemuka!! Mereka mundur kearah
dimana si orang asing Satmijagatze mengambil tempat.
Tertampak orang asing dari pulau sembilan itu tengah me-narik2
telapak tangannja jang diulurkan kemuka!
Tidak terketjuali putera mendiang Song-to Lie Kie Pok, djuga si
manusia kate dari dataran daerah Tiongkok utara dan keempat
orang2 lainnja mendjadi sangat terkedjut ketika menjaksikan
pertundjukkan tenaga jang luar biasa itu. Itulah tenaga lweekang
jang memerlukan perjakinan belasan tahun dan memerlukan


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keuletan hati jang luar biasa uletnja.
Tjepat sekali burung pegunungan pemakan bangkai jang ternjata
berdjumlah 19 ekor itu tiba dihadapannja Satmijagatze, dan
disaat itu djuga tiba2 terdengar suatu bentakan keras dari orang
tersebut, sambil telapak tangannja ditamparkan kemuka memukul
angin beberapa djengkel dimuka kesembilan belas ekor
binatang2 alas bersajap tersebut dan berbareng itu bagaikan
terhadjarnja binatang2 itu dengan belasan batang anak panah,
kesemua burung2 mendjerit keras sambil kemudian terpental
balik. Akibat tamparan ini tidak sampai disini sadja, bahkan
bagaikan ada angin keras jang menjapu mereka, kesemua
burung2 itu tjepat melebihi angin melajang balik kedjurusan
Auwjang Siang Yong kearah seluruh bagian anggota tubuh si
manusia kate! Semuanja mengantjam seluruh djalan darah
disekitar tubuh! Bukan main kagumnja Lie Siang Tjoe
menjaksikan tenaga lweekang jang dipertundjukkan Satmijagatze
itu, disaat itu benar2 ia seperti orang kemekmek, karena jang ia
pernah dengar dari jang pernah ditjeritakan ajahnja tentang
beberapa ahli lweekang dari daratan Tiongkok, ketjuali Beng
beng Sian soe jang kebisaannja ia sangsikan sampai sedemikian
hebat, jang lain2nja tjuma bisa setengah2 sadja.
Siang Tjoe untuk sesaat itu benar2 lupa akan Sioe Lian-nja dan
musuh besarnja Ong Kauw Lian, matanja tidak lepas
memandangi Auwjang Siang Yong, untuk menjaksikan gerakan
apakah jang akan dipertundjukkan si manusia kate itu, untuk
menghindarkan serangan jang maha dahsjat Satmijagatze.
Sementara itu Auwjang Siang Yong djuga tidak kurang
terperandjatnja, namun ia adalah turunan seorang ahli jang
mendjagoi Tiongkok utara dan mempunjai kepandaian tersendiri.
Ia tjuma terperandjat untuk mengagumi lweekang orang dari
pulau sembilan ini, jang hampir menjamai lweekang pamannja.
Untuk membebaskan diri, Auwjang Siang Yong, dikala hampir
sadja kesembilan belas ekor burung2 itu menjentuh tubuhnja jang
berarti djuga menghadjar djalan darahnja, tiba2 badannja melesat
keatas bagaikan meluntjurnja sebatang anak panah, djauh keatas
belasan tombak dari muka bumi. Hebat sekali gerakan ini,
sampai2 Siang Tjoe tidak melihat lagi kemana turunnja orang
kate itu. Ia tjuma melihat betapa kesembilan belas ekor burung2
pemakan bangkai itu tanpa mengeluarkan djeritan2 lagi, badannja
hantjur luluh karena bertumbukan dengan pohon besar dimana
Auwjang Siang Yong barusan duduk bersila. Djuga akibat
tamparan jang mengandung tenaga lweekang luar biasa besarnja
ini, tidak berachir sampai disini sadja. Sebagai akibat tenaga
bertumbukan jang luar biasa kerasnja antara tubuh2 burung2
dengan batang pohon jang besarnja sepelukan orang dewasa itu,
tiba terdengar mengkerekeknja suara pohon tumbang, dan dilain
saat pohon besar itupun rubuh patah dengan badan terbelah dua!
Dengan menerbitkan suara berisik serta menggetarkan bumi,
sesaat kemudian batang pohon itupun sudah melintang
dipermukaan bumi. Sungguh tenaga lweekang jang dahsjat sekali! Entah bagaimana
djadinja kalau tenaga itu dipakai untuk menghadjar tubuh
manusia, hingga tanpa terasa lagi Lie Siang Tjoe sudah
meleletkan lidah. Disaat itu, dikala Siang Tjoe berada dalam lautan kekaguman
akan kedahsjatannja tenaga dalam Satmijagatze dan
kegesitannja ginkang si orang kate, se-konjong dari atas puntjak
pohon dimana Satmijagatze mengambil tempat terdengar suara
bentakan. Akan kemudian menjusul itu melesat dua bajangan
manusia ke-tengah2 udara, jang satu lebih tinggi2 7-8 tombak
dari jang lain. Itulah bajangannja Satmijagatze dan lawannja.
Ternjata ketika barusan Auwjang Siang Yong melesat keudara,
untuk menghindar dari hadjaran burung2 jang digunakan sebagai
peluru oleh Satmijagatze, tidak kepalang tanggung pula ia telah
mempertundjukkan kepandaiannja mengentengkan tubuh jang
djuga membutuhkan latihan belasan tahun. Disaat itu djuga dia
telah menggunakan Tjap-tjie Kay-toei atau dengan Sepuluh Djari
Membuka Angin, badannja meluntjur ketempat Satmijagatze
mengambil kedudukan, ketika itu disaat Auwjang Siang Yong
badannja masih berada di-tengah2 udara, dia sudah
menggenggam sebuah kebutan, akan kemudian dengan kebutan
itu, setelah sampai, dia hadjar batok kepala si orang dari pulau
sembilan jang rupanja ada mempunjai gandjelan hati dengan
pihaknja. Akan tetapi tjepat sekali, sebelum kebutan itu jang djuga
dapat digunakan sebagai alat penotok djalan darah, mengenai
sasarannja, tiba2 Satmijagatze melontjat kesamping kanan, akan
kemudian tjepat luar biasa diapun telah menghunus sendjatanja,
jakni pedang tipis jang badannja bengkok. Sendjata itu ber-kilau2
menjilaukan, karena pantulan sinar matahari. Dengan sendjata
jang berlainan tjorak itu, keduanja Satmijagatze dan Auwjang
Siang Yong dengan mengeluarkan bentakan2 keras, masing2
telah melesat pula ke-tengah2 udara dengan si orang seh
Auwjang lebih tinggi beberapa tombak, seperti tadi barusan telah
ditjeritakan. Dengan demikian dalam sekedjab sadja, kedua orang jang
bertempur ini telah mempertundjukkan kepandaiannja masing2.
Jang satu ahli lweekang sedang satunja pula gesit dalam
menggunakan ginkang. Maka sesaat kemudian, dengan Satmijagatze sampai lebih
dahulu kemuka bumi, mereka pun kembali telah ber-hadap2an,
tjuma kali ini mereka berhadapan satu dengan lain dimuka bumi,
tidak lagi dipuntjak pohon jang sangat tinggi.
Jang satu adalah keponakan dari seorang djago Tiongkok utara,
ahli ginkang jang tiada keduanja, sedang lawannja, jang telah
membela Siang Tjoe dari tuduhan sebagai pentjuri, adalah murid
dari seorang ahli silat kelas satu dari pulau sembilan, ahli
lweekang jang pada djamannja tak pernah terkalahkan.
Maka tidaklah mengherankan, kalau masing2 pihak sangat
berwaspada serta saling mengawasi dengan mata tiada berkedip.
Sedang keempat orang lainnja, jang barusan satu sama lain
saling mengawasi dengan mata bersifat hendak berkelahi, kini
semua itu tjuma mengawasi sadja pada kedua orang,
Satmijagatze dan Auwjang Siang Yong. Rupa2nja keempat orang
itu telah mendjadi djeri setelah menjaksikan kedahsjatannja
lweekang dan ginkang Satmijagatze dan Auwjang Siang Yong
jang barusan telah dipertundjukkan. Rupa2nja semangat mereka
telah mendjadi hantjur, hingga mereka tidak bernafsu dan
naga2nja mereka sudah mengalah kepada kedua orang jang
hendak bertempur itu. Tjuma... entah sesuatu apa itu jang keenam orang2 tersebut
tengah perebutkan, sampai2 kedua ahli lweekang dan ginkang itu
bertekad hendak mengukur tenaga.
Sementara itu, kedua belah pihak, setelah mengeluarkan pula
beberapa kata merendah, Satmijagatze lantas sadja menanja
dengan senjum mengedjek : "Auwjang Siang Yong," katanja,
"oleh karena barusan kita, begitu berhadapan begitu bergebrak,
sampai2 aku tidak sempat menanjakan kesehatan pamanmu,
jang tentunja berada dalam sehat2 sadja..." Sungguh lutju kata2
orang dari pulau sembilan ini. Dia menanjakan kesehatan paman
orang, dan ia sendiri pula jang memberikan djawabannja... "...
tjuma, apakah Auwjang-heng... jang sudah mentjapaikan diri
dengan datang ke Than-ala-san ini untuk urusan..." sambil memeta2kan kedua tangannja, Satmijagatze melandjuti kata2nja.
"Lukisan2 itu?" Mengachiri utjapannja ini dia melirik kepada Lie
Siang Tjoe... Dilihatnja anak muda itu tengah berdiri dengan mata
tak berkedip mengawasi Auwjang Siang Yong. Hingga melihat
sikap pemuda tersebut, diam2 Satmijagatze menghela napas
lega. "Saudara Satmi," ia mendengar lawannja, Auwjang Siang Yong
membuka mulut, "Kau barusan me-njebut2 soal 'lukisan'.
Memang aku, oleh pamanku ditugaskan untuk urusan itu. Tjuma
aku tidak habis mengerti, mengapakah kabar ini tersiar
sedemikian meluas, hingga sudah sampai dinegerimu" Mengapa
pula, kau jang dasar2 ilmu silatnja berlainan dengan gerakan2
ilmu silat negeriku, djuga mengingini lukisan2 itu. Sungguh lutju,
sungguh lutju, haa haa ha..."
Memang edjekan ini tepat sekali. Tepat sekali, bagi seorang asing
jang memasuki daerah negeri lain. Dan mendengar sindiran ini
tentulah orang asing itu akan merasakan hatinja tertusuk, karena
setjara tidak langsung orang asing itu disindir menghendaki
barang jang bukan milik negaranja. Tapi rupa2nja Satmijagatze si
orang dari pula sembilan ini adalah lain. Edjekan ini tidak
mempengaruhi djiwanja, malah kelihatan dia tersenjum. Senjum
jang orang lain tidak mengetahui apa artinja...
Hanja sesaat kemudian terdengar dia berkata : "Asy, kata2mu
tepat sekali, tepat dan djitu untuk menggentjet dan menghina
seorang jang bukan senegerimu, seperti aku ini, tapi aku lain, aku
datang kemari untuk memenuhi tugas jang dibebankan guruku
untuk mentjari lukisan2 itu... jang... jang..." dia berhenti sebentar
akan kemudian orang inipun melandjutinja : "... tapi tidak perlu
kuterangkan sadja, nanti kau djuga akan mengetahuinja. Dan...
Auwjang Siang Yong, aku minta dengan hudtimmu itu, tolonglah
kau berbelas kasihan terhadapku, nanti aku akan bersjukur tidak
habisnja..." Sungguh tidak enak Satmijagatze mengachiri pembitjaraannja,
dia mengachiri dengan kata2 jang menantang. Sungguh aneh!
"Satmijagatze terlalu merendahkan diri," bilang Auwjang Siang
Yong. "Aku sendirilah jang djustru khawatir bahwa akulah
bukannja tandingan Saudara Satmi. Nah, silahkan!"
Auwjang Siang Yong tutup pembitjaraannja sambil madjukan kaki
kirinja setengah tindak, untuk ditekuk, akan kemudian dengan
sikap Pelajan Radja Mempersembahkan Buah Angtjoh, dengan
hudtimnja dilintangkan kedepan dadanja, dia memberi hormat.
Lalu dari tangan kiri, hudtim itu dipindahkan ketangan kanan
sedang tangan kirinja, dengan kedua telundjuknja, dipakai untuk
mendjepit udjung hudtimnja. Dengan demikian, ia bersiap sambil
mempertundjukkan tjara memberi hormat dari silat Tiongkok.
Ternjata dengan sikapnja ini, dia masih menghormati orang dari
luar daerah Tionggoan ini, jang harus diperlakukan selajaknja
sebagai seorang tamu. Satmijagatze jang djuga rupa-rupanja mengerti akan tata-tjara ini,
seraja mentjekal sendjatanja, dengan tubuh tetap tegak,
kepalanja dibungkukkan sedikit; akan kemudian dengan
mengeluarkan suara teriakan keras, sendjatanja dikibaskan
kemuka, tjahajanja berkeredepan. Sesudah itu ia bertindak untuk
mulai berputaran. Sungguh luar biasa tjara memberikan hormat ini!
Dengan memutar kekiri, Auwjang Siang Yong bersiap-sedia.
Kedua pihak bergerak tjepat luar biasa; mereka sekarang bebas,
tidak lagi dipuntjak pohon jang kalau salah pidjak dapat
mengakibatkan tubuh melajang djatuh serta badan dapat
dipastikan akan hantjur, kini kalangan pertempuran tjukup luas.
Setelah bergerak beberapa putaran, mendadak Auwjang Siang
Yong hentikan tubuhnja, untuk diputar balik, akan kemudian
tubuhnja tahu2 sudah melajang dengan ginkang jang luar biasa
tjepatnja, dengan hudtimnja dikakukan bahagian udjung, dia
mengantjam tenggorokan lawannja. Melihat gerakan lawan jang
tiba2 berubah itu, Satmijagatze, sambil memekik keras pedang
bengkoknja dikibaskan kemuka sambil mengerahkan tenaga
lweekang keudjung sendjatanja. Sudah mendjadi adat kebiasaan
rupanja, karena setiap ia bergerak, pastilah pekiknja tidak pernah
tidak terdengar, hingga Siang Tjoe jang menjaksikan ini sudah
menganggap tjara berkelahinja orang ini seperti orang gila.
Sementara itu, Auwjang Siang Yong jang bergerak terlebih
dahulu, ia mendahului lawannja mendekati; tjepat luar biasa
bagaikan kilat ia mulai serangannja jang pertama mengantjam
dada lawan. Pedang bengkok genggamannja Satmijagatze ini sebenarnja
termasuk sedjenis pedang pusaka, pedang ini dapat memapas
putus pelbagai barang logam, akan tetapi menghadapi hudtim
Jala Pedang Jaring Sutra 15 Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Wanita Iblis 9
^