Ilmu Silat Pengejar Angin 6

Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Bagian 6


mendapat gemblengan dua orang guru, hingga pertjumalah ia
bersusah pajah selama hampir sepuluh tahun apabila ia dapat
diperdajakan sedemikian mudah. Demikianlah dengan mudah
sadja ia kelit tusukan itu, hingga ber-kali2 serangannja dengan
mudah dapat dihindarkan Sioe Lian.
"Baik, baik. Akan kuadu djiwa dengan kau," berteriak Hong In
semakin kalap. Dan benar sadja, segerra ia perhebat
serangannja, membuat Sioe Lian dengan terpaksa mengeluarkan
djuga sedikit kepandaiannja. Selagi udjung pedang Hong In untuk
kesekian kali menjambar tenggorokannja, ia lompat kesisi kanan
nona ini, dan lalu tjepat luar bias ulur kedua djeridji tangan
kanannja sentuh salah satu djalan darah ketjil orang serta lalu
rampas pedangnja. "Dengarlah! Melihat gerakan ilmu silatmu, tahulah aku kalau
sedikitnja kau adalah murid seorang ternama dan pula, dari
bitjaramu tentang kesusasteraan tempo hari, se-kurang2nja kau
adalah seorang gadis terpeladjar djuga," berkata ia perlahan
seraja angsurkan pedangnja jang tadi ia dapat rampas. Sengadja
ia berbitjara demikian, agar perasaan orang terbangun. Dan lalu
ia landjutkan pula kata2nja tanpa ia beri kesempatan pada Hong
In membuka mulut. "Lagi pula bukankah pengemis tadi djuga sudah mengatakan
kalau gurunja adalah seorang Han asli" Apakah kau tidak pertjaja
padanja" Ingatlah sebagai seorang han walau kita dari djalan
putih atau hitam harus mengutamakan kesetiaan kepada guru!
Bukankah tadi sudah djelas kita dengar, bahwa se-kali2
pengemis ini bukan berguru kepada orang India" Apakah
mungkin dia rela mengkhianati gurunja sendiri dengan tidak
mengakuinja karena takut mati" Kukira hal itu tidak mungkin,
maka adikku kalau rasa mendongkolmu padaku hanja
disebabkan kelantjanganku tadi, aku harap sukalah kau
memaafkannja." Sengadja Sioe Lian mengeluarkan kata2 ini,
karena ia tahu akan sifat orang ja keras2 lemah serta mudah berubah2. Dan memanglah tepat dugaan Sioe Lian itu. Perkataannja
terkena benar dihati Hong In. Segera pemudi ini menundukkan
kepalanja. Sedjenak kemudian, "Siapakah orang India jang kau maksudkan
mendjadi musuh besarmu?" meminta Sioe Lian achirnja.
Suaranja halus merendah setelah melihat perubahan muka
orang. Ia merasa pasti, kalau pemudi ini telah berubah mendjadi
'baik' lagi. Dan memang benarlah hal itu.
"Tjitji, tempat ini adalah kemah orang. Sudah lama kita berada
disini. Marilah kita bitjara dihotel."
"Ah ja," berseru Sioe Lian. Kaget. Baru tersadar ia kalau
sebenarnja ia sudah berdiam sangat lama dikemah orang.
"Marialh!"katanja serta berdjalan keluar mendahului Hong In jang
lalu mengikutinja. Diluar, ternjata sudah penuh dengan orang2 jang penuh berkerumun2. Mereka tidak berani masuk, dan hanja menantikan
diluar, karena agaknja mereka telah saksikan kelihayan orang
barusan. Sioe Lian jang tidak inginkan kerewelan dengan beberapa
penduduk ini, segera ajun tubuhnja keatas wuwungan kemah
jang segera diteladani Hong In dan kemudian keduanja
menghilang dikegelapan malam, membuat beberapa penduduk
ini jang menjaksikannja, mendjadi terpesona sekali dan kemudian
bersodja-kui. Mereka mengira pada dewi utusan Tuhan pada diri
Sioe Lian dan Hong In. Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu lari tjepat, kedua
pemudi semakanan nasi telah berada kembali dihotelnja. Mereka
masuk dengan melompati djendela tanpa seorang tamu atau
tjenteng pun jang mengetahuinja. Dilain detik keduanja sudah
berada kembali dikamarnja. Setelah beristirahat sebentar karena
merasa lapar, mereka habiskan semua sisa makanan jang masih
tersedia diatas medja. Saat itu, sambil bersantap, Hong In jang
ternjata adalah puteri Oey Bian Lip, mentjeritakan bagaimana
keluarganja dengan kedjam sekali telah dimusnahkan habis2an
oleh dua hantu bersaudara muka merah dan kuning. Hanja
mudjur bagi Hong In, pada hari itu, pada saat kedua iblis
berangkara murka, ia sendiri dengan seorang pembantu rumah
tangganja, Lioe siauw djie jang setia, tengah ber-djalan2
menghirup angin gunung petang. Keduanja, madjikan dan
pembantu ini mendjadi terkedjut ketika mereka pulang dan
dapatkan kedua ajah dan pamannja serta seluruh sanak dan
pembantu2nja bergelimpangan tanpa satupun jang mati dengan
tubuh sempurna. Semua rebah menggeletak dengan kepala
hantjur! Disaat itu djuga, kedua orang ini setelah memeriksa
seluruh isi rumah dan mendapat keadaan jang serupa mendjadi
sedih bertjampur geram dan lalu nangis ber-puas2. Bahkan Hong
In karena tidak kuasa menekan perasaannja telah djatuh pingsan,
membuat Lioe siauw djie untuk sesaat tidak tahu apa jang harus
diperbuat. Ia kuatir nona ini jang tinggal turunan keluarga Oey
satu2nja mengalami hal2 jang tidak diingini. Untung baginja,
disaat itu tiba2 muntjul Lauw sam jang datang dengan ter-gopoh2
dari tempat sembunjinja diatas lauwteng. Pembantu setia jang
sudah berusia landjut ini pertamanja merasa terkedjut ketika
mendengar ratap tangis orang. Mula2 ia kira itu adalah tangisan
orang2 halus dari kawan2nja jang telah terbinasa, hingga ia amat
ketakutan. Tapi achirnja ia mengenalinja djuga kalau itulah kawan
sekerdjanja. Lioe siauw djie dan madjikan mudanja. Tjepat2 ia
turun, dan benar2 ia mendapat Liow siauw djie sedang
bertelungkup menangisi madjikan mudanja jang rebah tak
sadarkan diri. Lauw san ternjata mempunjai pengalaman lebih luar dari
rekannja. Tjepat2 ia pergi kebelakang memasak air, akan
kemudian dilain detik ia sudah membuat wedang djahe. Ia
tjelegukkan air panas pedas itu kemulut sang madjikan. Benar
sadja, tidak lama kemudian, Hong In sadar djuga akan dirinja.
Beberapa saat kemudian setelah ia ingat malapetaka apa jang
telah menimpa keluarganja lalu menangis sedih sekali.
Keesokan harinja, pagi2, Hong In dengan dibantu kedua
pembantunja, dengan mengambil tempat dibelakang gedung,
menggali beberapa lubang kuburan. Kemudian setelah selesai
mengadakan upatjara sembahjang, lalu diadakan penguburan
total. Hanja untuk djenazah Bian Lip dan Hong Gan,
penguburannja khusus hanja dilakukan oleh kedua tangan ketjil
Hong In. Setelah selesai, pemudi tjilik ini kemudian dengan sedih
sekali bersodja kui. Dihadapan kedua kuburan orang tuanja, ia
bersumpah untuk dengan djalan bagaimanpun akan menuntut
balas, dan mentjari keterangan matjam apakah orang jang sudah
berlaku demikian kedjam telah menurunkan tangan sedemikian
kedji. Malamnja setelah melihat kesehatan madjikan ini agak lebih
madju, lalu Lauw sam mentjeritakan bagaimana terdjadinja dan
siapa orangnja jang telah membinasakan kedua ajah dan
pamannja beserta ber-puluh2 keluarga lainnja. Hingga membuat
Hong In jang kesedihannja belum hilang mendjadi semakin sedih,
ia sangsi apakah sakit hati ini dapat dibalas, kalau benar2 ilmu
silat kedua iblis ini sedemikian tinggi seperti jang dikatakan Lauw
sam. Terkesima Sioe Lian mendengar tragedi ini. Beberapa saat
selama Hong In belum mengachiri tjeritanja, ia hanja duduk
termangu-mangu sadja. Ia menimbang-nimbang, achirnja ia
merasa kalau sakit hati kawan ini ada djauh lebih dalam dari sakit
hatinja sendiri. Dan kini, tahulah ia sebab2nja mengapa pemudi
ini tiba2 pada kemarin sore meninggalkan dirinja dan sangat
membentji sekali kepada pengemis jang pada kiranja adalah
mendjadi murid kedua musuhnja.
Berselang pula sesaat, ia batalkan niatnja jang tadinja hendak
membuka isi hatinja tentang keinginannja hendak mengetahui
apakah sebenarnja isi peti putih, melihat wadjah orang jang
muram. Pada pikirnja, besok pagi djuga masih ada waktu.
"Tjitji!" tiba2 terdengar Hong In berteriak.
Suaranja seperti hendak mewek. Tjepat2 Sioe Lian bangun
berdiri. "Mengapa?" tanjanja.
"Sangsi aku apakah sakit hati ini dapat terbalas. Orang India itu
lihay luar biasa. Djauh lebih lihay dari kepandaian jang kumiliki
sekarang." "Djangan kuatir, adikku, djangan sangsi. Apabila tiba waktunja,
aku tidak akan berdiam diri sadja," menghibur Sioe Lian.
Tiba2 terdengar Hong In menghela napas. Tarikannja dalam
sekali. "Tapi. Benar2 aku menjesal sekali. Pagiku hilang lenjap."
"Apakah maksudmu" Sungguh tidak aku mengerti."
"Aku menjesal jang aku telah tidak menuruti nasehat kedua
guruku, mereka sebenarnja melarangku keluar dari pintu
perguruan pada tiga tahun jang lalu. Hingga benar2 ketika
semalam dia datang, aku tidak berdaja apa2..."
"Dia datang" Dia siapa?" berseru Sioe Lian jang mendjadi
terkedjut djuga mendengar kata2 terachir pemudi kawannja ini. Ia
semakin bersimpati kepada kawan baru ini ketika ternjata dia ini
djuga mempunjai dua orang guru seperti dirinja sendiri.
"Salah satu dari musuh besarku!"
"Musuh besarmu?" mengulang Sioe Lian. "Apakah maksudnja?"
"Entahlah. Hanja, dia lihay sekali. Tapi agaknja dia tidak
mengetahui akalu aku adaah salah satu turunan keluarga jang
mereka telah babat habis2an pada sepuluh tahun jang lalu."
"Dia lebih lihay darimu?"
Hong In manggut membenarkan.
"Bagaimana kau ketahui itu?"
"Betapa tidak. Dengan mudah sadja keparat itu telah dapat
mentjuri peti putih jang kusesapkan dibawah bantalku..."
"Hai! Benarkah itu?" terkesiap Sioe Lian. Ah, peti hilang ditjuri
orang" "Ja, mengapakah?"
Pertanjaan ini tiada terdjawab Sioe Lian. Serasa lemas seluruh
tubuhnja. Betapa tidak se-malam2an ia mengelilingi hampir
seluruh kota adalah untuk mentjari pemudi ini buat ditanjakan dan
terutama menanjakan apakah isi peti itu. Kini" Setelah berhasil,
ternjata peti itu sudah hilang ditjuri seorang jang dikatakan lihay
luar biasa dan menurut dugaan Hong In adalah mendjadi musuh
besarnja. "Bagaimana terdjadinja?" ia membuka mulut achirnja.
Menegaskan. "Hari itu, setelah memisah diri darimu, aku mentjari sebuah rumah
penginapan lain. Pikiranku katjau, sedih dan ketjewa berketjamuk
mendjadi satu. Betapa tidak sebegitu djauh, selama tiga tahun
berkelana, aku masih belum dapat tahu dimana adanja musuhku
dan bagaimana tinggi ilmu kepandaiannja. Namun pada malam
itu, karena letih memikirkan nasibku, aku mendjadi lelah dan
kantuk dan aku tertidur tanpa kusadari pula. Tengah lajap2.
Antara pulas dantidak, tiba2 dalam kesamaran kulihat sebuah
bajangan berkelebat masuk. Terkedjut sekali aku ketika itu, tjepat
kugerakkan tubuhku mentjelat bangun. Namun sebelum sempat
aku berbuat apa2, bajangan itu sudah tiba dihadapanku dan
tanpa terkendalikan pula, dia telah berhasil mengambil peti putih
jang kuselipkan dibawah bantal dan luar biasa pula ketjepatannja,
dia membalik tubuh dan sekedjab sadja ketika baru sadja aku
melompat bangun, bajangan itu telah berada diluar. Tegas
kulihat, pakaiannja gerombongan terbuat dari katun India. Hanja
anehnja rambut belakangnja diikat menjerupai kuntjir. Tapi
melihat pakaian orang jang gerombongan jang terbuat dari katun
India aku segera menduga pada seseorang jang kukira pasti
adalah orang jang mendjadi musuh besarku. Gerakannja lintjah
dan gesit sekali, djauh lebih gesit dariku, hingga ketika
kumengedjarnja, ia sudah djauh meninggalkan kamarku.
Sebentar sadja dengan meninggalkan suara tertawanja jang lebar
dia meninggalkan aku djauh dibelakang. Lapat2 kudengar
suaranja jang mengatakan bahwa dia akan mengantarkan peti
putih ini kepada pemilik aslinja dari partai entah apa.. ong... ong...
Lalu, karena benar2 merasa tidak ungkulan, aku balik pulang.
Dan, sedjak saat itu, kesangsian selalu meliputi diriku, karena
djelas sudah kepandaianku djauh masih berada disebelah bawah
keparat itu. Dan disamping itu aku tidak dapat djuga meraba
maksudnja dia mentjuri peti putihku, hingga achirnja terpikir
olehku, apakah tidak mungkin kalau pentjuri ini dengan
sipengemis siluman terdapat sesuatu perhubungan?"
"Djangan kuatir, adikku. Nanti kuberikan bantuanku apabila sudah
berhadapan, tjuma tolong beritahukan apakah isinja peti itu?"
"Aku tidak tahu," Hong In meng-geleng2kan kepalanja. "Karena
niat sebenarnja terhadap benda itu tiada ada padaku." Kemudian
ia rebahkan dirinja, serta dilain detik dia sudah tertidur pulas
membiarkan seorang diri Sioe Lian duduk ter-mangu2. Pikirannja
ber-tumpuk2 mendjadi satu. Sudah tidak mengetahui apakah
sebenarnja isi peti putih jang telah ditjuri orang, sekarang
kegelapan ditambah pula untuk menerka siapak sebenarnja
orang jang dikatakan Hong In jang telah mentjuri peti putihnja.
Siapakah sebenarnja orang itu jang berpakaian katun India.
Benarkah dia adalah musuh besarnja Hong In" Kalau benar,
mungkinkah dia adalah salah satu dari Ang Oey Mokko"
Hendak petjah rasanja kepala Sioe Lian memikirkan orang
pentjuri peti itu, hingga achirnja tanpa terasa, diatas bangkunja
Sioe Lian tertidur pula. Tak diketahuinja berapa lama ia tertidur
ketika tiba2 ia terdjaga ketika mendengar suara berkelisiknja
sesuatu, kira2 dari djarak tiga tumbak. Perlahan suara itu, sebunji
dengan bunji djatuhnja djarum, tapi bagi Sioe Lian suara itu
sudah tjukup keras dan tjuku untuk mendjagakan ia dari tidurnja
karena ia merasa berbeda sekali bunji serta kelisiknja dengan
bunji jang umum. Tjepat luar biasa tanpa sedikitpun membuat
Hong In mendjadi terdjaga terkedjut, ia buka daun djendela dan
kemudian melajang keluar setelah ia tutup kembali. Dilihatnja
Hong In masih tertidur pulas. Tidak mau ia membangunkannja,
karena ia tahu, suara tadi berasal dari seorang jang djauh lebih
lihay dari orang dimiliki kawan ini. Ia kuatir kalau benar2 orang
jang datang itu adalah musuh besarnja, bukankah itu hanja
membuat siapa mendjadi nekat sadja dan tidak mungkin akan
berakibat timbulnja hal2 jang tidak diinginkan"
Diluar ia lihat, bintang2 sudah menundjukkan hampir pukul
empat. Karena kuatir orang nanti ada disekitar tempat itu, lekas2
lajangkan tubuhnja melesat dengan menggunakan tipu
simpanannja. Sepuluh bajangan melibat setan, membuat
tubuhnja melajang seperti tidak terlihat. Ia menudju kearah dari
manaia dengar suara berkelisik tadi. Matanja jang djeli segera
lihat, dari djarak kira2 sepuluh tumbak melesat lari kemuka
sebuah bajangan. Bertubuh tinggi besar serta berpakaian
gerombongan. Gesit sekali lari bajangan itu, dalam sekedjab telah
djauh berada diluar kota dan lalu memasuki sebuah hutan. Sioe
Lian jang membajanginja diam2 merasa kagum akan kelintjahan
orang. Ia lihat dua tjabang kuntjir. Dibagian tengah2nja dililit
mendjadi satu. pada tangan kanannja, djelas ia lihat orang itu
mendjindjing sematjam barang jang aneh bentuknja.


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berkat matanja jang tjermat, walau dalam kesamaran, dapat
djuga Sioe Lian merabanja, apakah benda itu. Ia mendjadi geram
sekali ketika didengarnja sajup2 dari 'barang' itu rintihan suara
jang menjajatkan hati dan putus2. Dan kemudian tidak terdengar
lagi. Itulah suara tangisan anak orok. Djelas tangisan itu jang
menjajat sekali adalah tangisan kesakitan, tangisan dari tanda
bahwa 'barang' itu telah mengalami siksaan jang hebat.
Bajangan itu terus lari tanpa menjadari kalau ia sedang dibajangi
oleh seorang gadis jang baru keluar dari rumah perguruan dan
lalu lenjap masuk kedalam gerombolan rumput2an jang lebat dan
tumbuh2annja tinggi setinggi manusia jang sedang berdiri.
Merandek Sioe Lian ketika ia djuga tiba ditempat itu. Untuk
sesaat ia berdiri tertegun. Terkedjut ia ketika dilihatnja diarah
timur sinar matahari sudah muntjul memantjarkan sinarnja, suatu
tanda hari sudah pagi. Ini berarti djuga dari penginapannnja untuk
membajangi orang ini sudah makan waktu tidak kurang dari dua
djam. Sedang dalam pengedjaran ini ia sudah mempergunakan ilmu
berlari tjepatnja dari tingkat jang tukup tinggi, hingga dapat
dibajangkan berapa djauh ia sudah meninggalkan rumah
penginapannja. Ketika itu sangsi ia untuk meneruskan
pengedjarannja. Apakah terus membajanginja atau balik kembali
kehotelnja" Akan tetapi akhirnja karena merasa sudah kepalang
tanggung, ia memasukinja djuga. Untuk ini, ia telah pergunakan
ilmunja 'Melepaskan Tulang Mengetjilkan Urat'.
Sedikit djuga ketika tubuhnja menjelip masuk ia tidak membuat
suara berkelisik. Sesaat sadja ia sudah berada dibagian lain dari
gerombolan rumput tinggi itu. Disaat itu djuga, disaat baharu
sadja ia membetulkan posisi berdirinja, kedalam sebuah lubang ia
lihat berkelebat masuk sebuah bajangan. Ia tahu itulah bajangan
siorang berbadju gerombongan. Ia tunggu hingga beberapa detik.
Kemudian dengan menggunakan ilmunja mengentengkan tubuh,
ia berdjalan menghampiri lubang itu. Terkesiap ia ketika dilihatnja,
itulah lubang dari sebuah guha. Jang hebat, lubang itu berdinding
terbuat dari tulang anak2 ketjil seluruhnja. Diletakkan beraturan
hingga tidak tertampak dasarnja. Setelah mengelilingi dua
putaran untuk memeriksa, dan mendapatkan kenjataan tidak
adanja tanda2 lain jang mentjurigakan, denganhati-hati sekali dan
menggunakan ilmu jang tinggi, ia memasukinja. Ternjata guha
jang lubang masuknja ketjil ini mempunjai lorong jang pandjang.
Hawa didalam lembab dingin hingga ditambah dengan kesunjian
jang menguasai lorong itu keadaannja tjukup untuk membuat bulu
tengkuk berdiri tegak lurus. Djalannja berlugat legot serta turun
naik tidak rata. Tiba2 dari bagaian dalam ia dengar suara tertawa
dingin perlahan, dan dilain detik ketika ia langkahkan pula
tindakannja kira2 sepuluh tindak ia tiba dilorong penghabisan.
Bentuk dan besarnja tiada berbeda djauh dengan lubang guha
dibagian luar jang merupakan pintu masuk. Hanja pada
sekelilingnja, pada luar kira2 satu meter persegi, terdapat
berserakan banjak sekali kepala2 manusia anak baji. Penuh
seperti menutupi tanah. Sedang lubang guha jang terachir ini,
tidaklah merupakan pintu buntu, melainkan dihadapannja kini
terbentang sebuah ruang jang tjukup luas. Berbentuk kamar
hanja banjak lebih luas dan berbendjol2 tidak beraturan. Ruang
kamar guha ini menurut perasaan Sioe Lian berada djauh
dibawah permukaan bumi seperti berlapis kapur, penuh dengan
tanah2 lebih berudjung runtjing. Ada jang berdiri dan ada pula
jang tergantung. Tinggi besar2 dan bahkan beberapa diantaranja
ada jang dua kali lebih tinggi dari manusia jang sedang berdiri.
Menjaksikan benda2 alam ini, tanpa terasa Sioe Lian menghela
napas kagum. Tidak pernah disangkanja akan kebenaran tjerita
gurunja pertama jang mengatakan bahwa di beberapa daerah
diatas bumi Tionggoan ada beberapa guha jang didalamnja
penuh 'bertumbuhan' tanah2 lebih berwarna putih.
Tanah lebih ini sebenarnja terdjadi dari hasil tjampuran tetesan
tjairan batu kapur dan air hudjan jang karena sangat banjaknja
dan terdjadi ber-tahun2 lalu mengumpul bergantungan dari atas
guha serta karena makin bertambahnja tjairan2 tjampuran batu
kapur dengan air hudjan, lalu mentjapai tanah dengan bentuk
menjerupai tiang serta tipis dibagian tengah, hingga merupakan
dua buah kerudjut jang sambung menjambung pada kedua
bagian udjungnja jang lantjip. Ber-tahun2 kemudian, karena salah
satu dari kedua bagianj menggantung atau berdiri itu tahanannja
kurang kuat, lalu rubuh ambruk. Dan jang tidak rubuh inilah jang
kini tinggal berdiri menjerupai tanah lebih berudjung runtjing. Hal
dan terdjadinja benda2 alam jang kini dikenal sebagai stalagit dan
stalagmit, djenis djantan dan betina ini, pada ketika tjerita ini
terdjadi hanja beberapa orang sadja jang mengetahui, diantaranja
Shia hiap Gouw Bian Lie, guru An Sioe Lian.
Dari balik sebuah stalagtit stalagmit jang sengadja dirubuhkan, ia
dapatkan diatasnja rebah seorang anak orok. Tidak salah lagi,
kalau anak orok ini adalah anak orok jang tadi didjindjing seorang
berbadju gerombongan. Dan kini, melihat orang baru ini rebah
tanpa terlihat perutnja mengembang mengempis, tahulah Sioe
Lian kalau baji itu sudah mati.
Menjaksikan adegan ini, Sioe Lian mendjadi geram sekali. Dan
kini tahulah ia apa artinja dan dapat meraba dari mana asalnja
tulang2 dan kepala manusia ketjil jang banjak berhamburan
dimuka dan diachir guha. Itulah tentu sisa2 pertjobaan jang
menurut dugaan Sioe Lian tentulah mendjadi kurban siorang
berbadju gerombongan. Tiba2 entah dari mana datangnja, tahu2
diatas sebuah stalagmit jang terletak diudjung stalagtit atau
stalagmit jang rebah tadi. Duduk dibagian udjungnja seseorang
bertubuh tinggi besar. Berbadju gerombongan terbuat dari katun
India. Melihat kuntjir orang tahulah Sioe Lian kalau orang itu tidak
lain dari orang jang tadi dari hotelnja ia bajangi. Se-kedjab2
terdengar suara tertawa dinginnja jang menjeramkan. Agaknja dia
masih belum sadar kalau dirinja sedjak dari dalam kota telah
dibajangi seorang gadis. Kebetulan sekali orang itu duduk dengan muka menghadap Sioe
Lian, hingga dengan djelas Sioe Lian dapat lihat wadjah orang
dan seluruh gerak-geriknja. Kulit tubuhnja kasar penuh berbulu.
Djelas tertampak seperti kulit babi. Mukanja djelek penuh dengan
tjatjat2 bekas batjokan golok atau pedang. Sedang raut mukanja,
walau hampir separuhnja ditutupi brewok ala India, djelas
diperkuat kuntjirnja serta bahasanja jang sebentar2 terdengar
terlontar keluar, Sioe Lian merasa pasti kalau orang berbadju
gerombongan itu adalah orang dari sebangsanja, bukan seorang
India seperti jang disangka Hong In. Hanja tidak tahu ia siapa
orang ini, karena belum pernah ia dengar gurunja mentjeritakan
orang dengan bentuk sedemikian rupa. Berwadjah serta
berpakaian seperti jang sudah terkena aliran pengaruh kebiasaan
India. Dan tentunja djuga dari sisa2 tulang manusianja jang
banjak berhamburan disekitar mulut dan achir guha, tentu dia ini
adalah bukan orang baik2.
Perasaan geram jang menjelimuti hati Sioe Lian, semakin mendjadi2 melihat perbuatan orang jang hendak ditimpakan pada
orok itu. Tadinja Sioe Lian sudah hendak keluar untuk
merintanginja dan memberikan hadjaran tapi karena melihat orok
itu sudah mati, ia membatalkannja. Lebih2 ketika timbul niatnja
untuk memperhatikan lebih landjut perbuatan2 jang akan
dilakukan manusia berwadjah buruk itu.
Mendadak, dengan mengeluarkan gerangan keras jang
bertjampur dengan suara seperti orang tertawa, manusia muka
buruk itu angkat anak orok jang sudah mati dan dilain detik
seluruh kepalanja sudah berada dalam tjekalan kedua telapak
tangannja, serta lalu mengangkatnja tinggi2. Entah apa jang
diperbuatnja. Hanja beberapa detik kemudian, ketika dia letakkan
kembali, anak orok itu sudah mendjadi bangkai tanpa tulang dan
tidak lagi mengandung darah. Lalu dilempitnja dengan tjara
seperti orang melempit kertas.
Walau sebenarnja gusar Sioe Lian melihat perbuatan orang,
namun perasaan terkesiap akan kehebatan tenaga dalam orang
menggetarkan hatinja djuga. Sebab ia tahu, itulah suatu tjabang
peladjaran ilmu lweekang India jang lihay bukan main. Dan untuk
itu, untuk mejakininja, dibutuhkan waktu jang tidak tjukup hanja
tiga empat tahun sadja. Memang seharusnjalah tiap2 orang jang
mempeladjari ilmu tersebut apabila peladjaran sudah sampai
ditingkat achir orang itu haruslah banjak2 minum darah anak
orok. Maka itu untuk didaerah Tionggoan ilmu ini tidak ada jang
mau mempeladjarinja, karena kebanjakan walau dia dari djalan
hitam ataupun putih tidak tega untuk melakukannja.
Orang jang mejakini ilmu lweekang itu, tenaga dalamnja luar
biasa sekali dahsjatnja. Demikianlah, barusan, ketika manusia
bermuka buruk itu menggunakan kedua tangannja
mentjengkeram kepala manusia ketjil tadi, sematjam tenaga
dalam jang besar sekali sebagai aliran listrik mengalir,
merusakkan seluruh isi perut anak tadi. Jang hebat ialah dengan
djalan demikian dengan melalui kesepuluh djeridji tangannja,
darah anak itu jang sudah hampir beku, diisap masuk kedalam
pembuluh2 darahnja, hingga berkesudahan seluruh isi perut anak
itu habis kosong. Sioe Lian pernah mendengar dari tjerita gurunja
jang kedua, bahwa ditanah India, orang jang mempeladjari ilmu
tersebut hanja seorang sadja, jakni orang India dengan ular2nja
hampr mentjapai usia tudjuh puluh tahun. Kalau dikatakan dia
adalah salah satu dari Ang Oey Mokko, itu tidak mungkin, sebab
bukankah dari djulukannja sudah dapat dibajangkan kalau
tentulah kedua iblis ini mempunjai wadjah merah dan kuning"
Sedang orang jang memakai badju gerombongan itu berwarna
putih dari kulit bangsa Han" Habis siapakah orang ini"
Tiba2 ia lihat, orang itu mengeluarkan sesuatu benda dari dalam
badjunja jang gerombongan.
Ah! Itulah peti putih jang selama ini mendjadi pikirannja, orang itu
me-nimang2nja. Terdengar beberapa kali dia tertawa dingin akan
tetapi mendadak terdengar dia membentak keras, mengiringi itu,
tjepat luar biasa dia simpan kembali peti putihnja. Dia mentjelat
bangun. "Siapa" Keluar! Djangan sembunji!" terdengar dia membentak.
Terkesiap Sioe Lian. Ia kira, pastilah tempat sembunjinja sudah
diketahui. Heran ia, sebab bukankah selama bersembunji ia
sudah menggunakan ilmu simpanan gurunja dari tingkat jang
paling tinggi" Apakah mungkin kepandaian orang ini dapat lebih
tinggi dari ilmu simpanan ini" Jan berarti kepandaian orang ini
masih lebih tinggi dari kepandaian gurunja" Dan kalau benar,
habislah ia, sebab bukankah ini suatu tanda bahwa kepandaian
orang muka djelek itu berada ditingkat lebih atas dari
kepandaiannja" Namun pada saat itu, pada ketika hampir sadja
ia perlihatkan dirinja, mendadak dari sudut kamar sebelah
kanannja, pada djarak kira2 dua puluh tindak atau kira2 lima
tindak sebelah kanan dari orang itu mengambil kedudukan,
terdengar satu suara keras bergedubrakan. Dan membarengi itu
dari reruntuhan stalagtit2 ja berdjumlah sedikitnja tiga buah,
melesat keluar seorang perempuan berambut pandjang riap2an.
Nenek itu berwadjah buruk mendjidjikan, suatu tanda dia telah
mengalami tekanan djiwa jang hebat. Tapi dari sisa2 guratan air
mukanja jang masih tertampak pada beberapa tempat, djelaslah
membajang suatu wadjah jang tjantik djelita pada masa mudanja.
Dengan ter-bungkuk2 dia djalan menghampiri sikakek berwadjah
buruk. Dari mulutnja sebentar2 terdengar suara tertawanja jang
aneh. "Ah, kau kiranja, nenek keparat," terdengar si kakek berteriak
memekakkan. Dan bahasa panggilan ini sesungguhnja membuat
Sioe Lian mendjadi tidak habis pikir, karena walau diutjapkannja
keras sekali, tapi djelas masih terasa nada kasih sajang dan
rindu. Suatu tanda kedua orang ini, satu dengan lain pernah
berkawan. "Angin apakah jang telah membawamu kemari?"
"Angin apakah" Tua bangka bangsat Kim Tjit Loo, lupakah kau
akan perdjandjian kita pada dua puluh tahun jang lalu?"
"Ah, Kim Tjie Loo" Tergerak hati Sioe Lian mendengar nama ini.
Segera ia kerdjakan otaknja me-mikir2. Achirnja terlintas djuga
sesuatu diotaknja. Tapi, ah mungkinkah ini orangnja jang pernah
ditjeritakan gurunja" Ia ingat pernah ia ditjeritakan gurunja,
tentang seseorang. Sebenarnja orang itu adalah putera turunan
bangsawan dari turunan ke-tudjuh keluarga Kim tapi kemudian
karena tingkah lakunja serta perbuatan2nja jang mendjual nama
bangsa dan negara telah mendapat kutukan dan lalu dibentji oleh
kebanjakan orang2 Han. Terpaksa, pada suatu hari untuk menjelamatkan djiwanja, dia
telah pergi meninggalkan (sebenarnja bukan meninggalkan, tapi
diusir) tanah Tionggoan dankemudian sedjak hari itu tidak pernah
terdengar lagi tjerita2nja. Banjak orang mengatakan, kalau
katanja dia telah membunuh diri. Sebagian lagi ada jang
mengatakan kalau dia sudah binasa mendjadi santapan binatang
buas. Dan lain2 lagi tjerita kalang kabut. Apakah mungkin
manusia djelek dipanggil Kim Tjit Loo ini adalah Kim Tjit Loo dari
orang jang pernah ditjeritakan gurunja"
"Oh ja! Sungguh kau mempunjai ingatan jang baik! Aku sendiri,
benar2 telah melupakannja. Bukankah pada sepuluh tahun jang
lalu, aku telah mendjandjikan agar kau mengundjungi liangku"
Sungguh aku sudah tua dan mendjadi pelupa... Mari, mari sini
minum bersamku," menambahkan dia.
"Pelupa?" mengedjek si nenek, "ku kira hanja lupa dibuat. Aku
tidak perlu dengan arak merah harammu. Aku kemari hanja untuk
menagih djandjimu jang telah dipertjajakan kepadaku. Lekas bersiap2lah!" bentak nenek ini seraja dia djedjakkan tubuhnja lompat
menerkam. "Aku hendak lihat, kepandaian apakah jang telah kau
peroleh selama sepuluh tahun ini."
"Ha ha ha!" tiba2 terdengar Tjit Loo tertawa besar. Dia tidak
memberikan tangkisan atau perlawanan. Melainkan untuk
menghindarkannja ketika serangan sinenek hampir tiba, ia geser
tubuhnja sedikit kekanan.
"Nenek keparat Tan Gouw Nio. Apakah tidak dapat kau besabar"
Bukankah sedikitnja djuga kita pernah hidup mengitjipi kehidupan
suami istri untuk lamanja dua puluh tahun" Usahlah demikian tergesa2. Marilah sambil minum arak, kita saling mentjeritakan
pengalaman masing2 setelah berpisah, untuk sekalian
melepaskan rindu kita jang telah dipendam selama dua puluh
tahun kita sedjak sarang kita diobrak abrik itu dua keparat paman
dan keponakan Oey Hong Gan dan Bian Lip."
"Hmm baiklah. Baiklah kuterima tawaranmu. Anggaplah untuk
dibabak pertama ini njonja besarmu telah dikalahkan
budjukanmu. Hm hu hi hi hi!" Dan dengan senjum genit di-buat2
nenek ini duduk mendekatkan tubuhnja disisi Kim Tjit Loo jang
kemudian menerimanja pula dengan mesra. Muak Sioe Lian
melihat ketjentilan kelakuan kedua manusia jang sudah lebih
umur ini. Lebih2 sinenek keriput jang bernama Tan Gouw Nio.
Tidak henti dia permainkan matanja dan meng-gojang2 kepalanja
setjara di-buat2. Lain benar tingkahnja dengan ketika tadi pertama2 ia muntjulkan diri.
Tiba2, ah! Terkesiap Sioe Lian ketiak mendadak ia ingat akan
dua nama jang baru sadja kemarin di-sebut2 Hong In. Ja tidak
salah lagi. Tentulah jang dimaksudkan Tjit Loo ini adalah kedua
ajah dan paman Hong In. Sebab tidak mungkin didalam dunia ini


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa terdjadi hal demikian kebenaran. Empat orang mempunjai
dua nama dan berhubungan satu dengan lain sebagai paman dan
keponakan" Dari terkesiap, perasaan ini berubah mendjadi
heran. Sebab apakah hubungan jang ada antara dua manusia ini
dengan Bian Lip dan Hong Gan" Apakah jang diobrak-abrik"
"Baiklah kudengar sadja selandjutnja pembitjaraan dan perbuatan
kedua orang ini selandjutnja. Siapa tahu kalau ada hubungannja
dengan peristiwa kematian ajah dan paman Hong In," demikian
Sioe Lian mengambil keputusan.
"Perempuan keparat, melihat wadjahmu jang ternjata semakin
tjantik tentu selalu baik2 sadja. Ha ha ha!" Tjit Loo memudji.
"Hm hm. Hi hii! Tepat, memang tepat dugaanmu itu. Memang
sedjak perpisahan kita tempo hari, aku selalu baik2 sadja. Malah
untuk ber-siap2 memenuhi djandjimu aku telah ber-pajah2
melemaskan urat, mengebalkan daging, beladjar membekukan
darah dan mengeraskan tulang. Eh! Apakah kamu kakek bangsat
sudah berhasil membalaskan sakit hati kita" Dan apakah kitab itu
masih tersimpan baik?"
Mendengar panggilan bahasa orang jang selalu mempergunakan
bahasa sebutan perempuan keparat, laki bangsat dan
sebagainja, tanpa terasa, walaupun muak, Sioe Lian tertawa geli
djuga didalam hati. Betapa tidak. Bukankah djelas dari kata2
mereka, bahwa dulunja mereka adalah suami istri" Orang2
matjam apakah sebenarnja mereka" Dan kitab apakah jang
dimaksud mereka" "Sakit hati kita?" mengulang Tjit Loo. Menjeringai. "Mana kudapat
duduk diam, dan bertenang pikiran, apabila hal ini belum
kulakukan..." "Djadi, hai lelaki bangsat, sudah kau lakukankah hal itu?"
Kim Tjit Loo manggutkan kepalanja dengan senjum puas
kemenangan. Perempuan keparat, sakit hati itu telah kubalas dengan sedikit
djuga tanganku tidak ternoda darah kedua binatang seh Oey itu.
Ja, sedikit djuga tidak! Maka hajo, kau harus mengutjapkan
selamat padaku dengan mentjiumku sekali sadja. Ha ha ha!"
"Tjiss. Tidak bermalu. Lelaki keparat. Aku tidak pertjaja dengan
segala obrolanmu. Bagaimana mungkin, membunuh orang tanpa
sedikit djuga ketjipratan darah?"
Terdengar Tjit Loo menghela napas...
"Memang, hal ini kalau tidak kutjeritakan, sampai matipun tetap
akan merupakan kegelapan bagimu, maka baiklah sekarang kau
dengar. Dan untuk mempertjajainja hanja tergantung
kebidjaksanaan kau sadja. Sedjak kehantjuran singgasana kita
dan kemudian disusul dengan pertjeraian kita, pada dua puluh
tahun jang lalu, hidupku benar2 berubah sama sekali. Sudah
mendapat hinaan dari sana sini, ter-lunta2 pula. Namun mudjur,
pada suatu hari aku dapat berkenalan dengan dua orang India
jang kepandaiannja lihay sekali, terutama ilmunja Betot Djiwa
Lima Djarinja sangat luar biasa. Beberapa tahun kemudian, jakni
pada pada sepuluh tahun jang lampau, bertiga aku satroni Oey
kee tjung di lereng gunung Thang ala san..."
Berdetakan keras djantung Sioe Lian ketika mendengar
pembitjaraan orang ini. Kini baginja djelas sudah matjam apa
sebenarnja orang ini. Hatinja mendjadi semakin mantap untuk
mendengarkan pembitjaraan orang.
"Nah kau sendiri ikut bersama kedua India itu, bagaimana bisa
kau bilang kalau kau tidak bernoda darah setetespun?" berseru si
nenek. Suaranja kering dingin, suatu tanda dia tidak senang hati.
"Ha ha ha! Tunggu dulu. Bitjaraku belum selesai. Perempuan
keparat, djangan kau potong dahulu. Aku bitjara dari jang
sebenarnja, kau tahu" Kelihayan kedua India jang kemudian
mendjadi guruku itu lihay bukan main, mereka berdua dengan
mudah sadja dan dengan hanja menggunakan kesepuluh djeridji
masing2, dalam hanja beberapa djam sadja, telah berhasil
menghabiskan seluruh isi keluarga. Dan benar tidaknja, untuk itu
aku berani bersumpah, segera aku mati berdiri ditempat ini djuga
apbila berdusta." Mendengar penuturan ini, tidak hanja sinenek jang mendjadi
terkesiap, tapi tidak kurang pula terperandjatnja Sioe Lian. Hanja
perbedaannja, kalau sinenek bekas istri Tjit Loo kaget karena
perasaan sedih dan girang jang bertjampur mendjadi satu, karena
kini ia pertjaja benar2 kalau sakit hatinja sudah terbalas. Sedang
Sioe Lian kaget karena benar2 tidak pernah menjangkanja, kalau
orang jang ia bajangi itu adalah bapa maling dari sebab kematian
paman dan ajah Hong In. Gusar ia mendengar akan perbuatan
litjik orang dan ini menambahkan kuat kejakinannja kalau tidak
salah lagi orang ini adalah Kim Tjit Loo, seorang turunan
bangsawan seperti jang ditjeritakan gurunja, melihat sifat2nja jang
sama. Litjik dan kedjam. "Ha ha ha! Ha ha ha!" tertawa pula Kim Tjit Loo. "Tidak sedikit
djuga ketjipratan. Tidak bernoda sedikit djuga!" bunjinja keras
menggelegar menjeramkan. Lakunja seperti orang gila.
"Lelaki bangsat, memang kau litjik. hmm hiii. Dengan tjaramu
membalas ini, walau ada sisa keluar sibinatang Bian Lip itu, dan
hendak menuntut balas, tentulah dia tidak akan mentjarimu... ha
hiii." "O hooooo. Tentulah. ITu memang sudah kupikir masak2, tapi,
walau memang ada, dengan ilmu lweekangku jang pasti tidak
berada disebelah bawah lweekang guruku, apakah jang dia bisa
perbuat terhadapku" Kau lihat!" Dan bersamaan dengan habisnja
perkataannja serta bentakannja, tjepat luar biasa serta tanpa
terlihat pula gerakannja separuh dari stalagtit jang rebah
digunakan sebagai medja digunakan sebagai medja, tiba-tiba
hantjur luluh tanpa terdengar pula suaranja! Jang terdengar hanja
suara tertawa bangganja sadja. Keras dan menggelegar
pandjang. Menjaksikan keluar-biasaan tenaga dalam manusia litjik ini, Sioe
Lian tidak mendjadi kagum, kaena iapun sudah dapat mengira2kannja dari latihannja barusan. Malah ia semakin mendjadi
geram ketika mendengar kata2 orang ini jang terachir.
"Hm hm hm hiii. Kau mendahului aku, maka lihatlah pula. Hiii,"
lalu bersamaan ini, stalagtit jang sudah tertinggal separuh tadi
tiba2 hantjur pula. Dan memanglah, dengan dihantjurkannja
separuh dari stalagtit tadi oleh Kim Tjit Loo, ia bermaksud untuk
memulai mengadu kekuatan. Tapi malah kemudian ia sendirilah
jang dibuat terkedjut, ketika bekas istrinja djuga dapat melakukan
hal seperti itu. Tidak pernah ia mengiranja kalau selama dua
puluh tahun ini, perempuan ini sudah mempunjai kekuatan jang
belum tentu berada disebelah bawah kemampuannja.
"Ha ha ha! Ternjata selama dua puluh tahun ini, kau telah madju
pesat. Ha ha ha. Terimalah ini tjawan arakku," katanja seraja dia
angsurkan tjawannja. Sebenarnja jang dimaksud tjawan ini,
bukanlah tjawan sebenarnja, melainkan sebuah batok kepala
manusia jang telah dikeringkan dan isi kepalanja telah
dibersihkan. Tjara memberikannja menghormat sekali, jakni batok
kepala dikepal diantara kesepuluh djeridjinja. Namun djuga tjara
ini bukan pula tjara pemberian jang sewadjarnja, sebab, dibalik
kehormatannja itu, melalui kesepuluh djeridjinja itu, dia kerahkan
tenaga dalamnja. Dalam hal ini dia telah mempraktekkan ilmunja
jang barusan ia teoreikan, sebagaimana telah kita mengetahuinja
tadi. "Terima kasih, terima kasih!" mengutjap Gouw Nio, dia ulur pula
kedua tangannja. Agaknja ia djuga sudah ber-siap2, terlihat dari
membirunja urat2 pada kedua belah tangannja. Suatu tanda
dalam menerima ini, ia sudah bertjuriga. Demikianlah, kedua
orang ini, kedua bekas suami istri itu, dengan jang satu memberi,
jang lain menerima, setjara langsung dan mempergunakan tjawan
arak sebagai alat telah memulai adu kekuatan tenaga dalam.
Hebat sekali reaksi dari akibat kekuatan jang dipertundjukkan ini.
Arak jang berada didalam tjawan terbuat dari kepala manusia itu,
tiba2 mendidih seperti mendapat panas dari ribuan deradjat
ketika tenaga dalam dari Tjit Loo disalurkan dan kemudian membuih2 melulahan hingga sebagian ada jang tertumpah keluar
ketika kedua tangan Gouw Nio menjambutinja. Bahkan sebab
terlalu panasnja, sedang arak adalah minuman keras jang panas,
zat tjair itu berkobar njala disusul kemudian dengan melumernja
tjawan tersebut. Terkesiap kedua bekas suami istri ini, hingga
tanpa terasa pula masing2 mengeluarkan djeritan kaget. Sedang
dipihak lain, Sioe Lian jang sedang bersembunji, tidak kurang
pula kagetnja. Lweekang kedua orang ini kalau digabung
mendjadi satu tidak berada disebelah bawah dari ilmu jang ia
dapat peladjari dari gurunja, maka itu ia harap sekali agar kedua
orang ini bertempur hingga salah satu diantara mereka ada jang
rusak. Hanja jang ia tidak habis pikir, ialah apakah sebabnja
kedua bekas suami istri ini bentrok sampai demikian rupa dan
dilihat naga2nja walau pembitjaraannja agak 'mesra' tapi saling
membentji dan seperti satu dengan lain mempunjai sakit hati jang
dalam sekali serta seperti hendak mengadu djiwa.
"Nenek keparat, ternjata kau sudah berubah benar2. Hanja, dari
siapakah kau peroleh peladjaran tersebut?"
"Aku memperolehnja dari orang jang mentjiptakan kitab jang
sekarang berada ditanganmu," terdengar djawaban sinenek.
Kaku dingin. "Dan pula, kedatanganku keliangmu ini djuga untuk
memenuhi perintahnja mengambil kitab itu..."
"Ha ha ha! Ha ha ha!" Tjit Loo tertawa memotong. "Tidak masuk
pada akal. Tidak masuk pada akal. Apakah mungkin tua bangka
renta itu masih hidup" Dan kalau mungkin, apabila aku tidak mau
memberikannja, apakah kamu atau tua bangka itu jang mungkin
sudah mendjadi gendakmu bisa perbuat?"
"Tutup mulutmu, atau nanti kuhantjur-leburkan seluruh isi
tubuhmu. Lekas keluarkan kitab," berteriak Gouw Nio. Amat gusar
ia mendengar penghinaan tadi. Terdengar giginja ber-kerot2.
"Ha ha! Ku sudah katakan, aku tidak mau memberikannja, tetap
tidak. Akan kukembalikan nanti, sesudah rampung kupeladjarinja
dan itu djuga apabila kitab itu sudah kuubah mendjadi abu. Ha
Haaaa!" Semakin memuntjak kegusaran Tan Gouw Nio, hingga
melupakan kalau kakek dihadapannja itu adalah bekas suaminja,
ia loloskan dari kedua pergelangan tangannja empat matjam
barang merupakan gelang. Hitam legam. Bulatannja tidak rata
dan terbuat dari sematjam akar pohon jang disebut akar bahar.
Dan inilah memang jang di-nanti2kan Sioe Lian, hanja ia heran,
apakah jang hendak diperbuat sinenek dengan gelang jang
bergaris tengah tidak lebih dari setengah kaki itu" Dasar belum
berpengalaman, hingga walau mempunjai kepandaian jang tinggi,
ia tidak tahu akan kebiasaan orang2 kangouw jang suka
mempergunakan sendjata jang aneh2.
Segera sinenek lontarkan salah satu gelangnja jang rupanja
adalah mendjadi sendjatanja. Tjepat sekali dan dengan disertai
dorongan tenaga jang luar biasa besarnja gelang hitam ini
melesat dan kemudian disusul dengan gelang2nja jang kedua,
ketiga. Kuatir agaknja dia gelang pertamanja dapat dikelit atau
ditangkis orang. Benar sadja, walau belum habis tertawanja, Tjit
Loo jang ternjata ilmu silatnja sudah mentjapai tingkat tinggi
dengan tjara jang aneh dan sendjata jang aneh pula
menggagalkan serangan gelang pertama. Sebuah batokkepala
manusia melesat dan didetik lain telah membentur tepat gelang
jang pertama. Hanja karena rupa2nja gelang bahar itu terbuat
dari sematjam akar jang amat liat sedang batok kepalanja
merupakan tulang manusia biasa maka ketika kedua sendjata
aneh ini saling membentur, walau tenaga sambitan keduanja
sama2 kuat, segera sendjata batok kepala hantjur luluh, sedang
gelang bahar tadi karena mendapat hempasan dorongan
sendjata sikakek, segera berbalik menghadjar tuannja. Demikian
djuga halnja dengan gelang2 kedua, dan ketiga.
Akan tetapi, ketjewalah Gouw Nio, apabila ia sebagai seorang
jang menggunakan sendjata2 tersebut mengalami kebinasaan
karena serangan balasan ini.
Segera ia pandjangkan kedua tangannja, seketika itu djuga ketiga
gelang jang mengantjam setiap urat darahnja masuk kembali
ketempat asalnja. Serta kemudian seperti kulit tangan Gouw Nio
ini terdjadi dari tjampuran karet, ketiga gelang2 bahar tadi segera
melambung kembali dan bahkan kini gelang jang satu, jang masih
tertinggal di tangan kiri, ja tadi tidak dipakai ketika serangan
pertama, kini mengikut 'kawan-kawannja' mengerepuk Kim Tjit
Loo. Seluruhnja, dengan ber-iring2 diarahkan kebagian
embun2nja. Kemudian karena kuatir kembali mengalami
kegagalan, mengiringi serangan gelang2nja, ia sendiri segera
mendjedjakkan tubuhnja melesat dengan dikedua tangannja kini
sudah tertjekal sepasang kapak. Tjepat sekali bergeraknja,
laksana seberkas sinar putih.
Dilain pihak, dengan tidak kalah tjepat Tjit Loo lontarkan pula
beberapa batok2 kepala manusianja, dan kemudian ketika
penjerangnja sendiri tiba dihadapannja dengan sendjata
ditangannja, entah dari mana mendapatkannja dan bila
mentjabutnja ditangan Tjit Loo telah tertjekal pula sematjam
sendjata. Genggaman itu jang aneh bentuknja, karena beruasruas terbagi atas tiga belas bagian, ternjata terbuat dari tulang2
manusia jang di-rangkai2kan.
Dengan mengeluarkan suara tertawanja jang lebar dan keras
sekali, dengan mempergunakan sendjatanja sebagai petjut dan
disertai tenaga jang besar sekali dia sabetkan kemuka dengan
maksud hendak melibat kedua kapak bekas istrinja. Namun
seperti telah kita mengetahui dari gerakannja pertama tadi, gesit
laksana seekor badjing, dengan suatu gerakan jang aneh Tan
Gouw Nio setelah serangannja dengan gelang2nja ternjata
benar2 mengalami kegagalan pula, dan bahkan malah dirinja
berbalik diserang pula dibagian tangannja jang mentjekal kapak,
ia lambungkan dirinja setinggi beberapa tumbak, hingga dengan
demikian, dengan lompatnja tadi, ia telah berhasil meloloskan diri.
Akan tetapi, ketika ia sedang bergembira, karena pada pikirnja,
dengan kedudukannja disebelah atas, ia dapat lebih
mengerahkan tenaganja, tiba2 sendjata sambungan tulang2 jang
digunakan bekas suaminja, 'terbang' pula keatas udara dengan
tetap mengarah kedua sendjatanja. Seperti hidup dan mempunjai
mata lajaknja, sambungan tulang2 ini meluntjur. Jang hebat,
sendjata ini, jang aslinja pandjangnja tidak sampai dua tumbak,
ketika ternjat dia tidak dapat mentjapai lompatan Gouw Nio,
dengan mengeluarkan suara meng-kerekek2, bertambah
pandjang hingga belasan kaki dan lalu, dengan sifatnja berubah
seperti seekor ular hidup, me-njambar2. Dan kini, 'Ular hidup' itu
tidak hanja hendak menangkap kedua sendjata Gouw Nio sadja,
melainkan dia mengarah keseluruh bagian tubuh si nenek. Malah
ke-bagian2 djalan darah terpenting.
Kaget dan terkesiap sekali sinenek mendapat serangan setjara
demikian ganas. Ketika itu tubuhnja masih melambung diatas
udara, namun mudjur baginja, dia berkedudukan dengan kepala
tetap diatas dan kaki dibawah, hingga dengan demikian, dia
dapat memusatkan seluruh pengawasannja. Demikianlah ketika
sendjata sambungan tulang2 menjambar kakinja, segera dengan
gerakan jang mirip dengan gerakan kaki seekor burung bangau,
dia putar kakinja sedemikian rupa hingga ketika serangan tiba,
dia dapat menghindarkannja.


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu, sebat mendahului serangan Tjit Loo, selandjutnja bekas istri
ini kembali kerdjakan gelang2 baharnja, dan kini dengan tenaga
jang benar2 tidak tanggung2, kemudian dengan menggunakan
kesempatan ketika bekas suami ini sibuk menghindarkannja, ia
melompat turun. Gerakannja lintjah, selintjah gerakan burung
bangau jang sedang bermain diatas air.
Demikianlah, kedua orang ini, kedua bekas suami istri ii, tanpa
mereka sadari kalau bertempurnja mereka berdua pada hari itu
mendapat intaian dari seorang gadis remadja, telah saling
gempur dengan hebat sekali.
Keduanja sama2 tangguh, sama-sama mempunjai ilmu simpanan
jang aneh2 dan hebat2 membuat Sioe Lian jang walau sudah
mempunjai kepandaian jang boleh dibilang tinggi, diam2 merasa
kagum djuga dan berkat otaknja jang tjerdas, dapat djuga ia
menangkap beberapa dari gerakan2 kedua orang ini serta lalu
mentjatat dihatinja. Tanpa mereka merasakannja, dua ratus djuruspun telah dilalui,
tanpa salah satu dari mereka menampakkan tanda2 akan kalah.
Keduanja masih sama2 tangguh karena agaknja mereka
mempunjai kepandaian jang sama seimbang. Ketika itu, hari telah
berganti mendjadi malam, sang rembulan telah menggantikan
kedudukan kekuasaan sang batara surya dan hari telah berubah
pula. Satu ketika, tiba2 berkelebat diotak keriput Tjit Loo akan sesuatu.
Ia ingat, bekas istri ini, pada ketika mereka masih hidup bersama2, mempunjai beberapa sifat penakut terhadap beberapa
sesuatu jang tertentu, diantaranja jang paling ditakuti sekali ialah
binatang andjing. Sampai2 walau andjing itu andjing jang masih
ketjil sekalipun, pastilah Gouw Nio akan lari ter-birit2 dengan
wadjah jang ketakutan sangat dan lalu minta perlindungan
kepadanja. "Baik, kupergunakan siasat ini," berkata Tjit Loo didalam hatinja,
dan segera setjara tiba2 sekali ia ber-teriak2 dengan kelakuan
seperti hendak memanggil andjing.
"Belang, Hitam, hajo kalian sergap kedua kakinja. Kamu Putih,
terkam punggungnja! Hajo tjepat!"
Itulah nama2 panggilan dari beberapa nama jang ketika itu
terkenal untuk nama2 panggilan terhadap andjing2 di Tionggoan.
Dan al hasil ternjata siasatnja ini berhasil mutlak. Ketika itu kedua
orang ini jang telah bertempur hampir mendjalani djurus ketiga
ratus, keduanja sama2 telah mengalami beberapa kerusakan dari
beberapa alat sendjatanja. Seperti Gouw Nio telah kehilangan
tiga gelang baharnja dan salah satu sendjata kapaknja telah
tersapat putus. Sedang batok2 kepala manusia Tjit Loo jang
dipergunakan sebagai alat sendjata rahasia telah hampir habis,
sendjata sambungan tulang2an pun telah lima ruas jang hantjur.
Melihat kerusakan sendjata jang dideritanja sadja, sebenarnja
Gouw Nio sudah kebingungan. Tadinja ia kira, dengan
kepandaiannja jang ia kira sudah madju berlipat ganda, paling
banjak djuga Tjit Loo hanja akan dapat bertahan sampai seratus
djurus. Tapi sungguh ia tidak pernah menduganja, kalau
walaupun pertempuran sudah berlangsung hampir tiga ratus
djurus, belum ada tanda2nja kalau ia sudah menang diatas angin,
malah, kalau hendak diperhitungkan, ia telah menderita
kekalahan sendjata karena walau sedikit, tapi penting2. Sungguh
pada ketika itu ia merasa agak sedikit keder. Kekederannja
mendjadi ber-tambah2 tjemas ketika mendengar nama2
beberapa ekor andjing jang diteriaki bekas suami ini.
Disaat itu djuga pemusatan pikirannja petjah, karena agaknja
benar2 sifat pembawaannja jang sudah berlalu dua puluh tahun
itu belum djuga hilang. Pertama, disamping ia harus benar2
memperhatikan serangan sendjata sambungan tulang2 jang
walau sudah tinggal beberapa ruas, tapi masih tetap merupakan
sendjata jang ganas, djuga ia harus mendjaga pada bagian2 kaki
dan punggungnja. Saat itu, benar2 daja pertahanan dan
penjerangannja sudah berkurang enam bagian, dan kesempatan
ini dengan segera digunakan Tjit Loo se-baik2nja.
Ketika itu, Gouw Nio baharu sadja menarik kembali gelang
baharnja jang tinggal semata wajang. Dan djustru itu, dengan
suatu gerakan refleks, ia sabetkan kapaknja kebagian
punggungnja, untuk membelah 'si Putih' jang dikiranja benar2
ada. Akan tetapi malang baginja, ternjata benar2 setjara mentah2
ia telah kena tertipu. Ia telah menghadjar suatu tempat kosong,
melainkan tiba2 ia merasakan suatu kesakitan jang sangat pada
pundaknja sebelah kanan. Hadjaran jang ditimpakan ini agaknja
dikerdjakan dengan tenaga jang dikerahkan tidak tanggung2,
karena ia merasakan se-olah2 otaknja tergetar. Baru sadar
perempuan tua ini kalau dirinja telah ditipu.
Gusar ia tiada kepalang dan lalu iapun mendjadi nekat. Sedang
Sioe Lian sendiri pun, walau dari gebrakan pertama, ia
mengharap agar salah satu dari antara kedua orang ini ada jang
rusak atau terbinasa, tetapi melihat tjara bertempurnja si kakek,
tiada patut untuk disebut perbuatan seorang laki2 mendjadi tidak
kurang gusarnja. Pada saat itu, kalau tidak mengingat bahwa
kedua bekas suami istri ini adalah orang2 dari djalan sesat,
tentulah ia sudah turun tangan membantui sinenek. Orang
sekaumnja. Dengan mengeluarkan gerengan keras laksana seekor harimau
jang mendapat luka, sinenek keriput Tan Gouw Nio jang sudah
mendjadi bajangan, sudah tidak memikirkan pula apa artinja
hidup. Pada djalan pikirannja, lebih baik mati ber-sama2 daripada
mati sendiri. Demikianlah tanpa memikirkan akan keselamatan dirinja, dia
madjukan kakinja tiga tindak hingga kini ia benar2 berhadapan
muka dengan Tjit Loo. Dilempangkannja lengan kirinja, dari mana
lalu melesat gelang baharnja serta lalu menjusul itu kapaknja
djuga ia sambitkan. Tidak tahu ia ke bagian2 anggota tubuh
lawan jang manakah sendjata2 itu ia kerdjakan, karena pada saat
itu, ia merasakan matanja gelap dan menjusul itu tubuhnja
ambruk rubuh dengan djantungnja seketika itu djuga berhenti
berdetak... Sementara itu, melihat siasatnja berhasil dan kemudian disusul
dengan berhasilnja djuga serangannja jang terachir bukan main
girangnja Tjit Loo. Djustru itu, karena kegirangannja jang melimpah2 ia mendjadi lengah. Ia lengah karena ia merasa pasti,
kalau dengan gempurannja jang terachir ini, dari kekuatan tidak
kurang lima ratus kati, bekas istri itu pasti akan rubuh disaat itu
djuga. Tapi sungguh diluar perhitungannja, tengah ia bergendang
paha, tiba2 ia dikedjutkan dengan datangnja setjara mendadak
serangan gelang Gouw Nio!
Oleh karena djarak antara dia dengan sinenek dekat sekali, maka
sulitlah baginja untuk menghindarkan sebagian serangan gelang
bahar, tidak urung kulit dagingnja sedikit terserempet djuga.
Akibat dari persentuhan antara akar tumbuh2an dan kulit manusia
itu, tidaklah mendjadikan luka atau mengeluarkan sedikit djuga
darah, tapi sungguh luar biasa, sedikit sadja gelang bahar
menjentuh tubuhnja, tetapi ini membuat Tjit Loo jang lihay
lweekangnja sudah mentjapai tingkatan tinggi, merasa tjukup
kesakitan dan kepanasan hingga ia mendjadi terkedjut sekali.
Sebab bagaimanakah djadinja apabila serangan gelang bahar
tepat mengenai sasarannja" Djustru itu, belum sempat ia berpikir,
kembali kehadapannja berkelebat datang sebuah bajangan
berkeredep putih menjilaukan. Itulah sendjata kapak Tan Gouw
Nio. Sungguh diluar perhitungannja. Nenek jang sudah tidak
berdaja dan hampir adjal itu masih sempat melantjarkan
serangan2nja jang dapat mematikan! Sungguh hebat sekali! Tapi
untung baginja, pada saat kapak hampir tepat nantjap
dipundaknja sebelah kiri, bertepatan dengan itu sinenek djatuh
tersungkur, hingga tenaga jang mendorong kapak tidak lagi
sekuat dari dorongan tenaga pada urat bahar. Demikian walau
pundak kirinja terluka dan mengeluarkan darah, tapi hal itu tidak
sampai membuat ia rubuh. Namun walau demikian, disebabkan
kedjadian ini, rasa kagetnja makin ber-tambah2. Dilain detik rasa
kaget ini berubah mendjadi kegusaran. Tidak mempedulikan
kalau nenek jang rebah tidak berdaja dihadapannja itu adalah
bekas istrinja, Tjit Loo madjukan dirinja setindak, dan dilain detik
sudah kerdjakan kesepuluh djeridjinja meraup kepala Gouw Nio
dan lalu diangkatnja tinggi2 melampaui kepalanja. Perbuatannja
ini, tepat seperti jang ia lakukan terhadap anak orok pada
beberapa djam jang lalu. Kembali dengan perbuatannja ini ia
telah membuat Sioe Lian mendjadi bertambah gusar. Beberapa
saat kemudian terdengar pekik puas Tjit Loo.
"Ha ha ha! Ha ha ha! Perempuan keparat," teriaknja.
Dihempaskannja tubuh Gouw Nio jang sudah tinggal kulit sadja
itu keatas bumi. Sedang kulit tubuh kakek kedjam ini, tertampak
seluruhnja berwarna merah, karena tidak sedikit darah jang ia
telah hisap, hingga wadjahnja jang buruk menakutkan mendjadi
semakin menakutkan. Merah membara seperti ber-kobar2.
"Terpaksa aku berbuat demikian, karena kalau tidak, kalau aku
jang kalah aku toh jang mendjadi bulan2an pertjobaanmu! Ha ha
ha!" Akan tetapi, mendadak dirasakannja luka bekas kuakan kapak
bekas isterinja panas sekali. Dirabanja. Terkedjutnja semakin bertambah2. Luka itu telah mendjadi besar sekali, dan dirasanja
telah mendjadi baal. "Kurang adjar! Beratjun, beratjun," ia me-mekik2. Sedang
bekerdjanja ratjun ternjata luar biasa tjepatnja. Beberapa menit
kemudian, bengkak pada lukanja sudah mendjadi semakin besar.
Namun mudjur baginja, agaknja bintang penolong masih
memperkenankanu ia hidup beberapa tahun, demikian disaat itu
tiba-tiba melintas diotaknja suatu ilmu mengeluarkan ratjun jang
ia dapat dari kedua gurunja pada beberapa tahun berselang.
Lekas2 ia letakkan kedua telapak tanganja keatas tanah, dan
dilain saat ia sudah berdiri dengan menggunakan kedua
tangannja sebagai kaki, atau dengan perkataan lain ia sudah
berdiri terbalik! Sebentar2 berpindah tempat. Itulah Hawa Kodok
Iblis, suatu ilmu peladjaran pengembalian aliran tenaga lweekang.
Orang jang mendjalankan ilmu ini, pada saat itu seluruh
peredaran darahnja tidak berdjalan normal sebagaimana biasa,
melainkan seluruhnja memberi tekanan kekanan dan kiri. Dalam
hal ini, semakin dalam tenaga lweekang orang jang melakukannja
djadi semakin kuat tekanan napasnja, semakin besar dorongan
aliran darahnja, hingga djangankan baharu pembuluh2 darah,
daging dan kulit manusia jang tidak seberapa kuat, sepuluh lapis
kulit kerbau pun akan tertembus! Pada ketika itu, kalau orang
tersebut tidak segera sekalian mendjalankan ilmu penahannja,
dari seluruh lubang2 jang merupakan pori2 bagian badan akan
memantjur keluar darah tersebut. Pantjuran darah akan berhenti
apabila seluruh darah jang ada habis keluar. Tapi, pertjumalah
Hek Mahie pentjiptanja apabila dia hanja dapat membuat ilmunja
jang dapat membahajakan djiwa sendiri itu akalu ia tidak
memikirkan ilmu penangkisnja, dan toh, dia djuga menggubah
ilmu tersebut adalah untuk kebaikan diri sendiri, djadi buat untuk
merusak" Demikianlah, Kim Tjit Loo dengan menghembuskan napasnja
setjara beraturan sesuai dengan petundjuk2 jang diadjarkan Hek
Mahie kepadanja ia tahan memantjurnja darah dari seluruh
lubang2 kulit, sedemikian rupa hingga darah jang khusus
mengandung ratjun berbalik mengalir deras kekedua tangannja
dan langsung berkumpul dikedua telapak tangannja, dan apabila
kemudian ia hemposkan pula sedikit tenaganja, dari seluruh
lubang-lubang kulit kedua telapak tangannja itu ber-tetes keluar
darah kental berwarna hitam-hitam biru hingga pada setiap ia
geser tempat kedudukannja, dibekas ia berdiri terbalik tadipun
terdapat segumpal darah kental jang menjiarkan bau busuk.
Dengan tjar ini jang ia sudah lakukan empat kali berpindah
tempat dikiranja akan berhasilnja ia. Kegirangannja semakin bertambah2, ketika ia sudah memindahkan dirinja dikedudukan
kelima. Dirasakannja kebeningan otaknja sudah agak pulih
kembali sedang rasa gatal2nja sudah hilang sebagian. Tubuhnja
djuga dirasakan sudah mendjadi lebih segar.
Akan tetapi, tiba2 ia teringat, kalau didalam tubuhnja terdapat dua
benda, sedang seseorang jang mendjalankan ilmu tjara
mengeluarkan ratjun itu didalam tubuhnja tidak boleh ada barang
sesuatupun. Karena kuatir akan terdjadi sesuatu jang tidak diingini,
dilambungkannja tubuhnja setinggi kira2 tiga tumbak dengan
tubuh tetap terbalik dan tanpa membuat sedikitpun tubuhnja
bergojang, kekanan atau kekiri, dilain detik, ia sudah tiba kembali
di tempat asalnja. Hanja ketika dua djengkal pula tangannja
mentjapai bumi, ia hempaskan tenaga lweekangnja sedemikian
rupa, hingga dadanja mengempis seperti berkurang separuhnja,
dan bertepatan dengan itu dari dari dada badjunja jang seketika
itu mendjadi gerombongan, terdjatuh keluar dua buah benda,
jakni sebuah peti putih dan sedjilid kitab berwarna merah. Akan
hasilnja ini, bukan main girang hatinja. Namun, pada saat itu,
pada saat baharu sadja ia hendak melandjutkan ilmutnja, tiba2 ke
hadapannja, tanpa ia ketahui dari mana datangnja berkelebat
sesosok bajangan. Amat tjepat, hingga ketika ia hendak
membalikkan pula peredaran darahnja, bajangan tersebut telah
tiba, dan sebelum ia sempat berbuat apa2 bajangan tadi sebat
luar biasa, telah mendjemput peti putihnja. Kaget tiada terkira Tjit
Loo akan ketjepatan orang. Diam2 ia mengakui kalau kesebatan
orang ini djauh berada diatas kebisaannja. Tetapi, dengan
kedjadian ini, ia merasa gusar sekali, merasa terhina sekali.
Lebih2 lagi orang telah berani memasuki guhanja dan bahkan
berani pula mengambil peti putihnja.
Setan alas, kalau tidak diberi peladjaran, bukankah itu berarti
malu telah mentjoreng mukanja" Maka itu karena kegusarannja
jang me-luap2, tanpa perhitungkan pula akibatnja, ia kembalikan
peredaran darahnja. Perubahan ini tjepat sekali, akan tetapi,
walau ia dapat sedikit lebih tjepat mendahului untuk rampas
kembali peti putihnja, tapi karena barusan ia telah melakukan
gerakan jang membuat perubahan tiba2 didalam tubuhnja, ketika
tubuhnja melajang kemuka dengan kedua tangannja dilondjorkan,
dengan maksud hendak menghadjar kepala sang bajangan dari
kedua telapak tangannja menjembar keluar darah. Jang hebat
karena tekanan perubahan dalam tubuhnja beralih tjepat sekali
darah jang keluar tidak hanja darah jang mengandung ratjun
sadja melainkan darah jang tjair dan berwarna merah bersih.
Terkedjut tiada terkira manusia tua kedjam ini.
Sesaat itu dirasakannja seluruh isi tubuhnja se-olah2 ikut terhisap
keluar, disaat itu djuga baru ia tersadar kalau barusan ia telah
membuat suatu kesalahan jang tidak ketjil.
Namun hal ini, tidak hanja Tjit Loo sadja jang kaget, tidak kurang
pula terkesiapnja Sioe Lian, bajangan tadi. Ia jang sedjak tadi
memperdatakan kelakuan2 Tjit Loo pada saat itu, setelah berhasil
mengambil petih putih, tadinja hendak lompat menjingkir dahulu
untuk menempatkan barang jang semakin ia tjurigakan isinja
tersebut ketempat jang aman, lalu baru kembali lagi untuk
memberikan hadjaran, tiba2 kedadanja meluntjur dua gumpal
benda. Ia tidak pernah sangka kalau si iblis 'dapat' melakukan hal
ini jang sebenarnja djuga adalah suatu kesalahan besar bagi Tjit
Loo. Sedetik itu Sioe Lian jang biasanja dapat berpikir pandjang,


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak dpat mempergunakan otaknja, karena djarak antara ia
dengan manusia tua itu dekat sekali. Benar, ketika gumpala
pertama hampir mengenai dadanja, ia dapat mengegoskannja,
tetapi terhadap gumpalan kedua, jang datangnja beberapa detik
kemudian benar2 tak dapat ia mengelakkannja. Tidak ampun
pula, gumpalan darah menggulung mukanja, apa latjur, ketika
'serangan' tiba, karena terkedjut, mulutnja terbuka lebar hingga
lebih dari tiga perempatnja masuk dan kemudian tertelan habis.
Kaget tidak kepalang pemudi ini, gumpalan darah tidak dapat ia
muntahkan kembali, hingga terpaksa ia tahan sadja ketika bau ja
sangat amis memenuhi mulutnja. Sekedjab sadja tiba2
dirasakannja tubuhnja mendjadi berat sekali, tenaga pada kedua
belah lengannja bertambah ber-lipat2, hanja pada saat itu ia
merasakan otaknja menggelap. Djusteru itu dalam kesamarannja,
antara tampak dan tiada ia lihat sebatang petjut berwarna putih
dan beruas-ruas meluntjur kedadanja. Dalam keadaan antara
ingat dan tidak itu, ia tahu, kalau itulah sendjata sambungan
tulang2 Tjit Loo jang dihadjarkan padanja. Sungguh pada saat itu
baginja tiada djalan untuk mengelakkan, karena kondisi tubuhnja
sudah mendjadi berat sekali, sedang untuk mentjabut sendjatanja
jang ia selipkan dipinggangnja, tak mungkin dapat ia
melakukannja, karena pastilah, sebelum ia dapat ia lakukan, lebih
dahulu sambungan tulang2 akan mendahulu ia. Maka satu2nja
djalan baginja untuk mendjaga agar djangan sampai dirinja
menderita kerusakan hebat, ia angkat tangannja menjambut
sendjata sambungan tulang2 Tjit Loo jang kelihayannja sudah kita
ketahui. Tiada terkendalikan pula sebuah benda alam hidup dan
warisan makhluk alam lainnja tapi sudah mati dan tidak berdarah
daging bentrok saling bertumpu... dapatlah dibajangkan keadaan
biasa. Akan tetapi kesudahan dari akibat benturan ini tidak
demikian. Sungguh diluar takaran segala pikiran manusia, bahkan
kedua orang jang bersangkutan.
Pada saat itu sebenarnja Sioe Lian sudah memedjamkan
matanja. Amat menjesal ia akan kedjadian ini, akan tetapi apa
daja hal sudah terdjadi demikian rupa jang sebelumnja benar2
tidak pernah ia menjangkanja kalau ia akan menerima kematian
ditempat itu dan dalam keadaan belum terwudjudnja tjita2nja
membalas sakit hati. Pertjuma sadja bersusah pajah selama
sepuluh tahun menjiksa diri memperdalam ilmu...
Akan tetapi sungguh diluar dugaannja, diluar takaran pikiran
manusia, bahkan Tjit Loo sendiri, manusia jang
mempergunakannja. Sendjata sambung tulang2nja hantjur lebur
ketika baharu sadja menjentuh tangan kanan Sioe Lian dengan ia
merasa akan tanganja tergetar sampai ke-urat2 terketjil.
"Tjelaka!" terkesiap ia. Sebab, kalau barusan ia telah dibuat kaget
akan kehebatannja tenaga lweekang sinenek bekas isterinja jang
dapat menghantjurkan separuh dari stalagtitnja, kini ia dibuat
sepuluh kali lebih kaget, serta achirnja berubah mendjadi
ketakutan sekali. Betapa tidak, walau sendjatanja hanja terbuat
dari tulang2 manusia biasa, tapi pembuatannja membutuhkan
waktu jang lama. Dalam ber-tahun2, lebih dari tiga ratus enam
puluh lima hari 'dimandikan' dibawah sinar matahari, sedjak mulai
matahari muntjulkan diri sampai terbenam. Tidak boleh
sekedjabpun tertimpa sinar bulan, dan kemudian, sesudah itu,
direndam dibawah tumpukan saldju untuk waktu lamanja tiga
puluh hari, dan sesudah masa penggemblengan itu, disimpan
selama seminggu untuk kemudian baru dapat digunakan. Selama
lima tahun malang melintang dikalangan kangouw, Kim Tjit Loo
dalam menggunakan sendjatanja, selain dari kapal Gouw Nio
jang dapat menandingi belum pernah ada sendjata lainnja jang
dapat tinggal utuh. Boleh dibilang sendjata apapun baik jang
terbuat dari logam biasa atau logam simpanan akan patah hantjur
apabila kenan terbentur sendjata sambungan tulang2 ini...
Siapa tahu kini, sendjata jang ia sangat andalkan itu patah
berantakan dibawah tangan seorang perempuan muda jang
masih hidup, bahkan ia merasakan urat2 diseluruh tubuhnja
tergetar menimbulkan rasa njeri.
Tanpa ajal pula, tanpa berpikir apakah sebenarnja jang terdjadi
dan tanpa memperhitungkan pula akan akibat dari peristiwa ini, ia
putar tubuhnja, dan tanpa mempedulikan akan kitab dan peti
putihnja digerakkannja kedua kakinja melesat kabur.
Beberapa saat kemudian ia pun sudah djauh meninggalkan
guhanja. Tidak diketahuinja kalau bertepatan dengan lompatannja
tadi, Sioe Lian sendiri pun djatuh pingsan tiada sadarkan diri.
Entah berapa lama ia rebah tertelungkup,ia tersadar ketika sang
surja telah muntjulkan diri, jang sebagian sinar2nja njelip masuk
menerangi ruang guha. Apakah sebenarnja jang terdjadi"
Mengapa tenaga Sioe Lian tiba2 bertambah tapi otaknja mendjadi
gelap setelah tanpa disengadja terminum lebih dari tiga perempat
gumpalan darah jang memantjur keluar dari kedua tangan Tjit
Loo" Sebenarnja, sebagai seorang jang mejakinkan tjara ilmu
mengeluarkan ratjun haruslah Tjit Loo menjadarinja, tetapi oleh
karena sebagai murid ia hanja murid akuan Hek Mahie sadja,
maka dalam hal ini ia buta benar2. Ia tidak tahu kalau setiap bisa
apapun jang masuk kedalam tubuhnja pasti mendapat
perlawanan pada waktu itu oleh karena ia membalikkan daerah
jang beredar diseluruh tubuhnja sebagian besar dari darah2
putihnja masuk ke 'pertahanan' ratjun tersebut hingga boleh
dibilang sebagai reaksi dari persenjawaan, ratjun jang berada di
dalam tubuhnja selama pertjampuran ini, berubah sifatnja
mendjadi anti ratjun jang kuat sekali. Hal ini benar2 Tjit Loo tidak
menjadarinja. Ketjuali itu tidak diinsjafinja djuga kalau pada saat
itu, apabila ada seseorang jang dapat minum setetes darahnja
sadja, tenaga orang tersebut akan bertambah besar. Maka tak
dapat dibajangkan dan dibuat heran apabila sendjata sambungan
tulang2 Tjit Loo mendjadi patah hantjur ketika sendjata itu
bertumbukkan dengan kedua tangan kedua pemudi kita.
Dengan tubuh masih terasa lemas2 dan perasaan sangsi apakah
dirinja masih hidup, Sioe Lian paksakan tenaganja berdiri.
Diperdatainja seluruh isi guha, tidak satupun jang lain, ketjuali
didalam guha itu, ia tidak lagi melihat Tjit Loo, walau
bajang2annja. Ia menghela napas ketika melihat bangkai Gouw
Nio jang tinggal kulitnja rebah sebagai seonggok kulit jang
terhempas ber-lipat2. Ia merasa kesakitan ketika ia tjoba gigit kulit
tangannja jang kemudian mengeluarkan darah, hal ini membuat
ia sadar kalau dirinja masih hidup. Hanja jang membuat ia
mendjadi ter-heran2 ialah terdapatnja pada tempat bekas ia
berbaring sebuah gambar manusia jang merupakan tjpa. Rata,
dalamnja kurang lebih seperempat kaki. Ia tidak tahu, itulah
gambar dirinja jang 'mentjap' tanah dan menimbulkan bekas pada
ketika tubuhnja jang mendjadi bertambah berat dengan keras
rubuh terbanting. Betapa hebat!
Selang sesaat setelah ingatannja telah kumpul kembali,
terlintaslah pada pikirannja apa sebenarnja jang terjadi barusan.
Seketika itu djuga, paling per-tama2 ia membaui bau jang amis
dan rasa asin pada mulutnja, hingga achirnja sadarlah ia kalau
kedalam mulutnja ketika bertempur tadi telah kemasukan
segumpal darah. Tunai membajangkan ini, rasa 'nek menjerang
dirinja. Tjepat2 ia atur pernapasannja serta kemudian duduk bersemedi
untuk mendjalankan siulian. Dua djam kemudian dia buka
kembali kedua matanja setelah dirasakannja kesehatan tubuhnja
telah pulih sebagaimana biasa. Tiada lagi rasa 'nek atau bau amis
dan rasa asin, demikian djuga kestabilan tubuuhnja sudah pulih
kembali. Malah satu hal jang membuat ia tidak habis pikir adalah
ia merasa tenaganja bertambah besar sekali. Kemudian ia
bangkit berdiri. Diambilnja peti putih jang menggeletak diatas
tanah. Lega hatinja ketika ia mendapat kenjataan benda itu tidak
kurang suatu apa. Sekalian diambilnja djuga kitab.
Tanpa mempedulikan apa isinja, dibelesekkannja kedalam
sakunja. Dibukanja peti putih jang selama ini ia tjurigakan isinja.
Seluruh bagian peti berlapiskan kulit kelintji putih, dan mengambil
bentuk dus tempat bedak. Didalamnja terdapat suatu benda jang
isinja membuat ia seketika itu djuga mendjadi terkedjut tiada
terkira. Entah dari logam apa dibuatnja. Agung. Matanja ber-sinar2 seolah2 hidup. Melukiskan bentuk seekor singa berwarna hidjau.
Segera, sedetik kemudian, dihadapan benda tersebut jang
besarnja hampir sekepalan, Sioe Lian djatuhkan dirinja berlutut!
Dan kemudian, tepat berselang lima menit, dengan khidmat dan
hormat sekali diangkatnja patung singa2an tersebut jang ternjata
adalah tanda tjap kepartaian dari Tjeng hong pay untuk disimpan
kembali ditempatnja. Akan tetapi, pada saat itu pada saat kedua
tangannja jang menampan singa2an tersebut hampir menjentuh
mulut peti, tiba2 matanja benterok dengan sehelai kertas bertulis
jang terletak melepit didalam peti! Karena tertarik, diletakkannja
kembali warisan agung kepartaiannja. Ia ambil lepitan surat serta
kemudian dibatjanja. Surat itu bertuliskan lima belas suku kata :
"Disampaikan kepada tjian pwee Kim Tjit Loo untuk dihaturkan
kepada Loo hiap kek Hek Mahie Lu tjie pa-ong. Dari saudara
mudamu Ong Kauw Lian, Nepal."
Singakt sadja isi surat itu, tapi bagi Sioe Lian pada saat itu,
apabila pada dirinja didjatuhkan ber-karung2 emas jang berharga
berdjuta tail, pastilah sedikit djuga itu tidak akan menggerakkan
hatinja. Demikian perasaan Sioe Lian pada saat itu, tiada dapat
terlukis dengan kata2 sebab hal ini benar2 tak pernah
disangkanja! Sebab dengan didapatkannja surat ini, baginja
terbukalah sudah kegelapan jang selama ini menghambat
pikirannja. Dengan menengadahkan kepalanja serta merangkap kedua
tangannja jang ia letakkan diatas dadanja, sjukur dan terima kasih
ia utjapkan ke hadirat Tuhan jang maha adil dan kuasa.
Lekas2, dengan tidak mempedulikan segala hal jang ada
disekelilingnja ia tinggalkan guha Tjit Loo. Ketika itu matahari
telah naik tinggi, iapun baru tersadar kalau ia telah meninggalkan
Hong In lebih dari delapan djam.
Dengan mempergunakan ilmu berlari tjepatnja jang sudah
mentjapai tingkat tinggi, tangan kanannja mentjekal peti putih
dengan sikap tetap menghormat. Kurang lebih satu djam
sampailah ia kembali dihotelnja. Oleh karena ketika itu hari sudah
tidak malam lagi, langsung Sioe Lian masuki pintu hotel, melalui
kamar kuasa. Melihat kedatangan Sioe Lian jang tiba2, si kuasa
dan beberapa orang djongos jang sudah mengenalinja mendjadi
ter-heran2. "Nona! Apakah hendak bermalam pula?" tanja salah seorang
diantara mereka. Firasat tidak baik menjelubungi pikirannja ketika
ia mendapat pertanjaan orang2 hotel itu. Ia kuatir kalau2 Hong In
ngambul dan meninggalkan pula dirinja jang berarti terhambatnja
niatnja untuk mentjeritakan semua pengalamannja dan
menerangkan siapa sebenarnja orang jang mendjadi biang keladi
dari kehantjuran keluarganja.
"Nona. Tunggu, kawanmu sudah pergi sedjak tadi pagi2..."
memburu seorang djongos. "Benarkah?" menegasi Sioe Lian. "Tidakkah ia meninggalkan
sesuatu pesan?" "Tidak!" djongos tersebut meng-geleng2kan kepalanja.
"Pada pagi2 tadi kami dapatkan kamar kosong melompong, tanpa
nona, tanpa kawanmu itu atau barang2nja, hanja diatas medja
kami dapatkan sepotong uang perak seharga 8 tahil."
"Kami menantikan hingga matahari telah sepenggala, mengira
nona tidak bakal datang lagi, kami telah menjewakannja kepada
tamu lain." Sebagai seorang gadis jang berperasaan halus, mengertilah Sioe
Lian akan kata2 djongos ini jang separuh memohon agar
djanganlah ia lantjang2 memasuki kamar jang sudah disewa
orang. Dan ia djuga bukan seorang gila untuk melanggar
undang2 hotel tersebut. Hanja ia amat sesalkan akan tindakan
kawannja itu jang selalu kelakuannja tak dapat mengatasi
perasaannja. Kemudian karena merasa tiada keperluannja untuk
berdiam lama2, setelah minta maaf, lalu pamitan meninggalkan
rumah penginapan itu. Diluar ia mendjadi bingung karena ketika
ia rogoh tangannja, ia hanja dapatkan sepotong uang perak dari
harga hanja sekali makan sadja. uangnja, seluruhnja, jang ia
simpan dalam buntalannja ia merasa pasti telah terbawa Hong In.
Namun, ia sudah merasa lapar benar, ia masuki djuga sebuah
rumah makan walau dengan hati kebat-kebit. Tamu2nja
kebanjakan terdiri dari kaum buruh biasa.
Lega hatinja apabila setelah perhitungan ternjata uangnja masih
bersisa delapan Tjhie. Dengan sisanja ini, dibelinja sehelai kain
jang tjukup besar untuk kemudian dipakainja guna membuntal
warisan tjap kepartaiannja dan kitab Kim Tjit Loo. Pada pikirannja
ia hendak menjerahkan kitab tersebut kepada Hong In, seorang
jang ia anggap wadjib untuk memilikinja.
Hari itu, diseluruh petang, ia memutari kota Giok Kang tjian.
Ketika malam mendjelang, ditjarinja sebuah kuil rusak, dan
setelah mendapatkannja iapun bermalam. Tepat pada kentongan
ketiga dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnja jang
tinggi ia keluar dari kuil. Melalui genting2 rumah penduduk, ia
menudju keselatan kota. Itulah bagian kota tempat hartawan2
bertempat tinggal. Rumah2nja kebanjakan adalah gedung2 jang
paling rendah2nja bertingkat tiga.
Banjak sekali tjenteng2 berkeliaran mendjalankan tugasnja.
Akan tetapi, pada saat itu, tanpa para pendjaga2 rumah2
hartawan itu menjadari, kedalam sebuah gedung jang terbesar
bertingkat lima melesat sebuah bajangan hitam, dan beberapa
detik kemudian tanpa membuat keributan atau kepanikan
bajangan tadi telah melesat keluar dengan kini ditangan kanannja
tertjekal sebuah bungkusan uang. Bajangan itu melesat lari ke
utara dan lalu memasuki sebuah kuil rusak. Itulah Sioe Lian jang
karena terpaksa telah mentjuri sedjumlah uang emas, kerumah
seorang hartawan. Keesokan harinja, pagi2 buta ketika baharu terdengar kokok ajam
pertama, Sioe Lian telah terdjaga dari tidurnja dan lalu setelah
mentjutji muka ia berangkat meninggalkan kota Giok Kang Tjian.
Tudjuannja sudah tetap. Nepal.
***** Kemanakah perginja Hong In" Mengapakah ia membawa semua
barang2nja berikut djuga buntalan Sioe Lian hingga siapa
terpaksa melakukan pekerdjaan mentjuri"
Ternjata pada pagi itu, ketika ia tersadar dari tidurnja, ia mendjadi
terkedjut mendapatkan Sioe Lian sudah tiada. Pintu dan djendela
tertutup sebagaimana biasa. Ia buka daun djendela dan mentjelat
keluar. Pada pikirnja mungkin pada hari itu Sioe Lian sedang
melatih diri. Akan tetapi, setelah selang sedjam, dan memutari sekeliling hotel
belum djuga dapat ia mentjari kawan ini, walau suara
berkelisiknja. Achirnja, karena kesal, iapun balik kembali kekamarnja. Dengan
tidak menemukan kuasa hotel lagi dan tanpa mentjutji muka,
dibuntalnja barang2nja berikut kepunjaan Sioe Lian, setelah


Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan sepotong perak iapun pergi meninggalkan kota
Giok kang tjian. Diluar pintu kota, setjara kebenaran silaluinja sebuah toko jang
mendjual hewan2 andjing dan kuda2 jang berasal dari Mongol.
Setelah memilih seekor jang berwarna hitam dan tjotjok baginja,
tanpa ditawarnja dibajarnja kuda tersebut. Harganja dua kali lipat
dari harga biasa hingga sipemilik toko mendjadi kegirangan.
Dengan mulut masih me-mudji2, di-tepuk2nja paha kaki kuda
tersebut. Tanpa ajal dan banjak rewel pula, setelah minta permisi
Hong In tjempla kuda jang baru dibelinja itu. Setelah tali les
ditegangkan, dan merasakan perutnja terdjepit, kuda itupun
karena kesakitan, gerakan keempat kakinja dan lalu dengan
tindakan lebar merat kabur, membuat si pemilik toko mendjadi
kagum sekali akan keahlian Hong In.
Sebentar sadja lima li telah dilalui. Pikirannja katjau. Ia merasa
gundah sekali akan perbuatan Sioe Lian jang telah meninggalkan
dirinja setjara diam2. Pada anggapannja, kawan itu sangat
memandang rendah sekali kepadanja.
Tanpa kurang suatu apa, setelah menempuh perdjalanan empat
belas hari, pada suatu hari sampailah ia disuatu daerah hutan
padang rumput. Ia merasa berdahaga sekali, karena selain pada
waktu itu matahari sudah naik tinggi tepat berada di atas
kepalanja, djuga didaerah sekelilingnja tidak didapatkan
sebatangpun anak sungai atau air genangan.
Barulah ketika matahari hampir terbenam, dan ia sudah berpajah2 mengelilingi padang tersebut, achirnja didjumpainja djuga
sebatang anak sungai. Airnja djernih dan melintang dari utara ke selatan. Tanpa ajal
pula, dibasahinja tenggorokannja jang sudah kering dengan
beberapa tenggakan dan lalu setelah puas ia angkat tubuhnja
untuk menaiki pula kudanja...
Akan tetapi, pada saat itu, ketika baru sadja ia dudukkan tubuhnja
diatas sela kudanja, matanja jang tjukup djeli tiba2 melihat
sebuah bajangan berkelebat lari ke utara.
Tjepat lari bajangan itu, tapi walau demikian,dengan matanja jang
tjukup terlatih ia sempat djuga melihat kalau bajangan itu
berpakaian gerombongan terbuat dari katun India. Seketika itu
djuga semangatnja terbangun, dan ia merasa pasti kalau itulah
orang jang pada beberapa malam berselang di Giok kang tjian
telah mentjuri bungkusan peti putihnja! Hanja anehnja bajangan
itu tiada berkuntjir serta dia berlari-lari dengan tidak henti mulut
me-mekik2. Tadinja ia sudah hendak tjabut pedangnja untuk
mengedjarnja, tapi kemudian ia membatalkannja. Orang itu
berkepandaian djauh lebih lihay dari kebisaannja. Maka dengan
perasaan jang me-londjak2 dan hati panas dikuntitnja bajangan
tersebut. Tidak tahu ia, apa jang harus diperbuatnja, maka ia
hanja membajangi sadja dari djarak kurang lebih dua puluh
tindak. Ia kagumi sekali ketjepatan ber-lari2nja bajangan itu.
Dengan masih tetap me-mekik2, menggunakan bahasa jang
sedikit djuga Hong In tidak mengerti, bajangan itu terus ber-lari2
dengan ketjepatan semakin lama semakin tjepat. Entah siapakah
jang diteriakinja. Hong In tadinja sudah menduga kalau bajangan
tersebut sudah mendjadi gila kalau tidak didengarnja sajup2
suara2 pekikan lainnja dari djarak jang agak djauh.
Sebenarnja sedjak Hong In mulai membajangi, bajangan itu
sudah mengetahui kalau dirinja dibuntuti seorang pemudi, tetapi
oleh karena agaknja ia mempunjai urusan jang penting sekali, ia
tidak mempedulikannja, melainkan ia pertjepat tindakannja hingga
se-akan2 tubuhnja melajang-lajang diatas udara. Pekikan2nja
tidak kundjung henti menjambut pekikan jang datang dari muka
dan semakin djelas terdengar.
Dengan mengempos semangatnja dan mengeluarkan seluruh
tenaganja Hong In terus mengedjarnja. Akan tetapi bagaimana
pun ia keluarkan seluruh ilmu kepandaiannja bajangan tersebut
tetap semakin lama semakin mendjadi ketjil, hingga achirnja ia
hanja melihat bajangan itu tjuma merupakan sebuah titik ketjil.
Tanpa terasa Hong In keluarkan teriakan tertahan ketika tiba2 ia
lihat titik tadi mendadak mentjelat tinggi sekali dan lalu disusul
dengan sebuah titik lain. Di tengah2 udara, kedua titik itu tampak
sebagai sedang serang menjerang.
"Aneh sekali!" pikir Hong In tetap dengan pengedjarannja.
"Bukankah barusan dia me-mekik2 menjambut suara pekikan
jang datangnja dari muka" Mengapakah sekarang mereka seperti
sedang saling hantam?" Karena ilmu kepandaian berlari tjepat
Hong In sendiri sebenarnja sudah boleh dibilang tjukup tinggi
maka tidak lama kemudian, sampailah pula ia. Dilihatnja, ketjuali
bajangan tadi jang kini ia dapat lihat tegas adalah seorang
dengan muka asing berwarna kuning menjeramkan, rambutnja
dikondekan keatas, tengah bertempur dengan seorang pemuda,
terdapat djuga dua orang lainnja jang tapinja tidak ikut bertempur.
Seorang pemuda dan seorang bermuka merah. Dia ini tidak
kurang djeleknja. Hanja jang membuat ia heran ialah, orang jang
mukanja merah itu, matanja seperti buta. Dibagian bawah
matanja seperti tampak bekas2 darah jang sudah mengering.
Sipemuda jang melajani bajangan tadi, tjara bertempurnja tenang
sekali, serangan2nja luar biasa sekali dan setiap gerakannja
seperti mempengaruhi lawannja. Namun walau demikian, ia
berlaku hati2 sekali. Untuk menjambut setiap serangan balasan
lawannja. Hong In tonton terus pertempuran ini. Hatinja tertarik. Sedjak usia
dua belas tahun ia telah mengikuti kedua gurunja menuntut ilmu.
Disamping itu, walau ia hanja mengikuti kedua guru ini untuk
waktu hanja tudjuh tahun, tapi berkat didikan kedua guru ini, ia
kenal djuga pelbagai ilmu silat pedang dari tjabang manapun,
hingga tentang ini boleh dibilang pengalamannja sudah luas
djuga. Hanja kali ini ia heran benar2, ia merasa heran atas ilmu
pedangnja pemuda tersebut. Lama ia sudah memperhatikannja
dengan seksama, tapi tetap djuga tak dapat ia merabanja, dari
golongan manakah ilmu silat pedang itu. Ia merasa gerakan
pemuda tersebut tjepat sekali seperti angin. Jah! Bahkan seperti
angin sadja. Amat tjepat! Ia merasa kagum sekali dan achirnja
seperti tenggelam dalam lautan pikirannja sendiri.
Tiba2 ia teringat akan sesuatu. Bukankah tadi ia telah menguntit
karena pada pikirannja timbul tjuriga kalau2 orang jang mukanja
kuning... mukanja kunig"... kuning, Ah... Mungkinkah benar2 dia
adanja" Mukanja kuning dan berkebangsaan India"
Tengah Hong In dalam kesangsiannja, tiba2 ia dengar suara
teriakan orang jang mendjadi lawannja sipemuda. Teriakannja
seperti memberi aba2. Menjusul itu, belum sempat Hong In dapat
menerka apakah maksud teriakan ini ia lihat siorang muka merah
jang sedari tadi berdiam diri sadja, mengeluarkan teriakan pula
jang sama sekali ia tidak mengerti, kemudian menggerakkan
tubuhnja menjerang dirinja. Walau kedua matanja tidak melihat,
tapi ternjata orang asing tersebut tjepat sekali gerakannja.
Sebentar sadja telah tiba dihadapannja! Dengan suatu lompatan
jang tidak kalh sebatnja, Hong In singkirkan dirinja kekanan dan
menjusul itu ia hunus pedangnja siap untuk memberikan
serangan balasan... Tapi ia ketjele, ternjata orang muka merah
itu, bukanlah menjerang dalam arti jang se-benar2nja menjerang,
melainkan serangan tadi hanja gertakan belaka untuk mentjari
djalan kabur. Demikianlah menggunakan ketika sedangnja Hong In lompat
menjingkir segera ia djedjakkan tubuhnja kekiri untuk kabur
menjingkir kedalam semak2 rumput lebat. Ketika Hong In tjoba
mengedjarnja ia hanja mendapatkan tempat kosong. Ternjata
dalam hal ini ia kalah tjepat.
Bersamaan itu mendadak terdengar pekikan si orang muka
kuning. Itulah djeritan kesakitan! Lalu tertampak tubuhnja
mentjelat kabur menjusul si muka merah jang agaknja mendjadi
kawannja. Ternjata ketika sedangnja tadi Hong In lompat
mengedjar, orang muka kuning itu jang ternjata adalah Oey
Mokko barusan telah meneriakkan saudaranja agar lari
menjingkir, sebenarnja sudah dalam keadaan terdesak benar2.
Seperti djuga Hong in, iblis muka kuning ini djuga terkedjut sekali
akan keanehan gerakan jang diperlihatkan pemuda tersebut jang
ternjata bukan lain dari Lie Siang Tjoe dalam mempergunakan
tipu2 silat pedangnja. Sebab iblis ini walau dia adalah orang kelahiran India, tapi untuk
lamanja dua puluh tahun pernah mendjagoi hampir tiga perempat
tanah Tionggoan dan telah menjelami hampir seluruh inti sari
tjabang2 ilmut silat Tiongkok, baik dari partai jang besar atau
ketjil. Ia heran akan gerakan lawan muda ini jang ketjepatannja
seperti angin, hingga sedjak pertama bergebrak ia selalu
menubruk tempat kosong. Pernah ketika ia melihat dengan pasti
kalau lawannja itu berkedudukan disebelah kanannja, tahu2
ketika ia tjoba menjerangnja, sudah berada dibelakangnja, hingga
benar2 ia berada dibawah libatan 'angin' lawan jang masih
berusia sangat muda itu. Siapakh sebaliknja dengan lintjah selalu
dapat menggagalkan atau memunahkan serangan lweekangnja.
Achirnja karena tidak tahan, seperti sudah kita ketahui, ia teriaki
saudaranja agar kabur menjelamatkan diri, dan lalu ia sendiri
ketika dilihatnja ada suatu kelonggaran segera lompat kabur. Tapi
tidak urung, pedang Siang Tjoe jang ketjepatannja luar biasa
masih sempat membuat kutung tangan kanannja. Tapi ia tidak
mengedjar lebih djauh. Bukankah dengan membuat buta kedua matanja Ang Mokko dan
mengutungkan sebelah tangannja si iblis muka kuning sudah
lebih dari tjukup" Pada djalan pikirannja jang masih dangkal ia beranggapan
tentulah kedua iblis itu sudah kapok tanpa diperhitungkannja akan
akibat2nja dikemudian hari!
"Tua bangka muka merah! Hari ini kuampunkan djiwa
andjingmu... Eh adik Tek Tek..." tadinja ia hendak teriaki
kawannja ini untuk diadjak berlalu, tapi mendadak ia dikedjutkan
dengan suara berisiknja kaki kuda dan kemudian menjusul itu
muntjul seekor kuda. Bersamaan mana, tiba2 ke punggung kuda
tersebut berkelebat sebuah bajangan merah.
Tanpa menghiraukan Siang Tjoe bajangan merah itu jang bukan
lain dari Hong In meratkan kudanja kearah kemana Oey Mokko
tadi kabur. Tadinja Siang Tjoe hendak mengedjarnja, tiba2 :
"Toako, perempuan badju merah itu gila. Djangan pedulikan
padanja!" "Gila?" Siang Tjoe merandek. "Gila bagaimana, mengapa kau
tahu?" "Ja, gila. Benar2 gila. Tadi tanpa sebab ia telah menjerangku
dengan batjokan2nja, sedang kenalpun belum. Apakah tidak
pantas kalau ia disebut perempuan gila?"
Sementara itu, kedua iblis Ang Oey Mokko jang kabur dengan
keduanja menanggung luka dan Hong In jang mengedjarnja
sudah tidak terdengar lagi suara2nja.
"Bagaimanakah ilmu silatnja?" tanja Siang Tjoe.
"Boleh djuga, eh toako djangan pedulikan padanja, marilah kita
landjutkan perdjalanan."
Kemudian setelah ber-sama2 kubur bangkai orang Thibet jang
didjadikan kurban pertjobaan Ang Mokko, mereka pun
melandjutkan perdjalanannja.
Mengapakah perempuan itu jang datangnja setjara tiba2 perginja
djuga dengan kelakuan jang benar2 seperti orang gila" Dan
bahkan ikut dengan Ang Oey Mokko" Hubungan apakah jang ada
antara dia dengan kedua iblis itu" Karena memikirkan hal2 jang
sungguh2 membuat ia pusing kepala ini perdjalanan pun tak
dirasainja, ia seperti tidak mendengar segala obrolan2 Tek tek
jang disepandjang djalan itu seperti bebek menggeretje, memudji2 tinggi ilmu silat Siang Tjoe. Dikatakannja pasti tidak pula
ada tandingannja dalam dunia ini. Akan tetapi, tetap otak dan hati
Siang Tjoe tidak lepas memikirkan perempuan badju badju merah
itu, perempuan jang dikatakan Tek Tek adalah perempuan gila
jang tapinja walau ia hanja melihat sekelebatan sadja, seperti ia
sudah mengenalnja. Siapakah, siapakah perempuan itu"
Sampai disini berachirlah sudah tjerita Tui hong Hoat sut atau
Ilmu Silat Pengedjar Angin jang sebenarnja belum selesai.
Kelandjutannja dapat saudara batja dalam PENDEKAR THANG
jang merupakan sambungan dari tjerita ini.
SELESAI Ilmu Ulat Sutera 3 Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Kisah Bangsa Petualang 12
^