Pencarian

Ilmu Ulat Sutera 3

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 3


tabib Mok. Sejak masuk halaman tadi, mereka tidak bertemu
dengan satu orang pun. Fu Giok-su merasa heran melihat
keadaan itu. "Menurut para pelayan di rumah, usaha tabib Mok selalu
ramai. Mengapa hari ini tidak terlihat seorang pasien pun?"
tanyanya dengan mimik curiga.
"Kan tidak tiap hari ada orang sakit. Malah kebetulan, dengan
demikian Suhu tak usah menunggu lama-lama," sahut Ti Ciok.
Ketika Ti Ciok berbicara, kaki mereka sudah melangkah ke
dalam sebuah pendopo kecil. Di depannya ada beberapa
undakan tangga. Pintu pendopo tersebut setengah terbuka. Ti
Ciok mengendus-endus dengan hidungnya. "Hm ... bau amis
darah ..." katanya.
Wajah Fu Giok-su segera berubah. Dia bersama Ti Ciok
segera masuk ke dalam. Begitu pintu didorong, Ci Siong tojin
ikut masuk sambil dipapah oleh Bok Ciok. Mereka belum
170 pernah menemui masalah dengan indera penciuman. Apa
yang diduga oleh Ti Ciok memang benar. Bau amis darah
semakin menusuk hidung ketika mereka masuk ke dalam. Di
dalam pendopo itu terdapat belasan mayat. Ditilik dari
pakaiannya, mereka pasti penduduk desa yang miskin.
Ternyata Mok Put-ciu memang orang yang berhati mulia. Dari
para pasien yang mengunjunginya hari ini, dapat dibuktikan
bahwa apa yang dikatakan Fu Giok-su memang kenyataan.
Tapi dia tidak bisa menolong orang-orang itu lagi. Mereka
sudah menjadi orang mati.
Mok Put-ciu sendiri juga sudah menjadi sesosok mayat. Dia
telentang di depan sebuah dipan yang pasti biasa digunakan
untuk memeriksa pasien. Tangan kanannya masih memijit urat
nadi seseorang. Matanya mendelik. Jenggotnya yang putih
sudah bersimbah darah. Lehernya hampir putus oleh tebasan
pedang. Tangan kirinya bertumpu pada dipan. Dia
menggenggam sehelai kain putih yang atasnya terdapat
gambar telapak tangan berdarah!
"Telapak tangan darah!" Ti Ciok menggertakkan giginya.
Tampaknya Fu Giok-su terkejut sehingga terpana. Bok Ciok
juga termangu-mangu. Melihat begitu banyaknya mayat yang
berserakan, wajahnya berubah hebat. Wajah Ci Siong tojin
lebih kelam lagi. Napasnya tersengal-sengal Seluruh tubuhnya
gemetar. "Tok ... ku Bu-ti ... kau benar-benar terlalu menghina!" serunya menahan amarah. Suaranya bergetar. Langkahnya terhuyung-huyung, kemudian segumpal darah kental muncrat dari
mulutnya. Matanya berkunang-kunang. Sejenak kemudian
171 tidak ingat apa-apa lagi.
Ti Ciok dan Bok Ciok segera memapahnya, Mereka menjadi
kelabakan. ***** Senja mulai tenggelam. Malam hampir menjelang.
Di dalam gedung keluarga Fu terlihat berbagai penerangan
sudah mulai dinyalakan. Cahaya memijar bagai lukisan putih.
Beberapa orang pengawal bersama para penjaga mondar-
mandir di halaman depan.
Di dalam ruangan yang besar terlihat berbagai macam barang
antik yang dipajang. Juga terdapat beberapa lukisan karya
pelukis tenar. Permadani yang terhampar tebal dan lembut.
Ditilik dari keadaannya, pemilik rumah ini pasti kaya sekali.
Para pengawal dan penjaga tampaknya belum tahu apa yang
telah terjadi. Tampang mereka tenang saja, gaya mereka juga
amat santai. Sebentar-sebentar mereka saling menyapa satu
dan lainnya. Mereka melangkah mondar-mandir dengan dada
dibusungkan, seakan bangga sekali dengan kedudukannya.
Mereka mengira tugas mereka hanya menjaga jangan sampai
ada maling kecil atau perampok kelas teri masuk ke dalam
gedung. Seandainya mereka tahu bahwa yang mereka hadapi
kali ini adalah orang-orang dari Bu-ti-bun, pasti penampilan
mereka tidak akan demikian tenang dan santai.
Fu Giok-su sendiri tidak mengatakan apa-apa, tampaknya
memandang sebelah mata pada ancaman Bu-ti-bun.
172 ***** Di dalam kamar tamu, Ci Siong tojin masih belum sadar. Ti
Ciok dan Bok Ciok menunggu di sampingnya. Hati mereka
cemas memikirkan keadaan suhu mereka yang tampak
mengalami luka parah.
Kamar tamu itu mewah sekali. Hidangan yang tersedia juga
tergolong kelas satu. Namun Ti Ciok dan Bok Ciok sama
sekali tidak berselera. Mata mereka sama terpusat pada diri Ci
Siong tojin. Fu Giok-su juga mondar-mandir saja di dalam
kamar itu. Kecemasan dan ketegangannya sama sekali tidak
di bawah Ti Ciok dan Bok Ciok berdua.
Ti Ciok mencoba menyalurkan tenaga dalamnya untuk
menyadarkan Ci Siong tojin, tapi tampaknya orang tua itu
sama sekali tidak merasakannya. Keringat sebesar kacang
kedelai menetes di kening Ti Ciok. Akhirnya dia menghentikan
usahanya. Fu Giok-su melihat Ti Ciok menarik napas panjang.
Sedangkan wajah Bok Ciok semakin kelam.
"Liongwi juga tidak perlu khawatir. Suhu kalian memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Asalkan beristirahat di sini beberapa hari, pasti akan pulih kembali," kata Fu Giok-su menghibur.
"Kami terpaksa merepotkan sicu (saudara)," sahut Bok Ciok.
"Kalian selalu terlalu sungkan," belum sempat Fu Giok-su
melanjutkan kata-katanya, dari depan pintu terdengar
kumandang suara, "Hujin (nyonya) datang!"
Fu Giok-su tergesa-gesa membukakan pintu. Seorang wanita
173 setengah baya berwajah anggun di ringi dua orang dayang
melangkah ke dalam.
"Ibu ..." sapa Fu Giok-su.
Wanita setengah baya itu menatap Fu Giok-su dengan mimik
cemas dan tegang. "Giok-su, kau memerintahkan para
penjaga dan pengawal mengawasi rumah ini dengan ketat.
Sebetulnya apa yang telah terjadi?"
"lbu tidak perlu khawatir. Anak hanya menjaga segala
kemungkinan," sahut Fu Giok-su lirih.
Mata wanita setengah baya tersebut beralih ke Ci Siong tojin
dan kedua muridnya, "Ketiga orang ini "."
"Mereka adalah totiang Bu-tong-pai. Sedangkan ibu tahu
sendiri, Bu-tong-pai adalah partai lurus yang selalu membela
kebenaran. Mereka adalah orang baik-baik," sahut Fu Giok-su
menjelaskan. Wanita setengah baya itu berjalan menghampiri tempat di
mana Ci Siong tojin sedang terbaring. Dia memperhatikannya
dengan seksama. "Apakah Totiang tua ini sedang sakit?"
tanyanya. Ti Ciok dan Bok Ciok segera merangkapkan sepasang
tangannya. "Betul, itulah sebabnya anak memaksa mereka tinggal di sini
sementara," kata Fu Giok-su.
"Giok-su, apakah kau tidak menyuruh pembantu
174 memanggilkan tabib untuk memeriksanya?" tanya wanita itu
cemas. "Penyakitnya cukup parah, tabib biasa mungkin tidak sanggup
mengobatinya," sahut Fu Giok-su pilu.
"Bukankah di daerah sini ada seorang tabib sakti yang
bernama It-tiap-hue ...."
"Anak sudah memerintahkan orang kita untuk memanggil tabib
Mok itu," sahut Fu Giok-su menutupi keadaan yang
sebenarnya. "Menolong orang akan mendapatkan pahala besar dari Thian
yang kuasa. Giok-su kau harus memperhatikan keselamatan
totiang ini baik-baik," kata wanita setengah baya itu.
"Anak mengerti."
Ti Ciok dan Bok Ciok segera maju ke depan dan
merangkapkan sepasang tangan mereka, "Sicu berbudi besar
dan berhati mulia. Kami guru dan murid tidak akan lupa untuk
selamanya."
"Liongwi totiang tidak perlu banyak adat," Wanita setengah
baya itu membalikkan tubuhnya dan memberi perintah, "Giok-
su, kau layani ketiga tamu ini baik-baik."
"Baik," sahut Fu Giok-su sambil membungkuk hormat.
Wanita setengah baya itu rupanya mempunyai hati yang
sangat baik. Dia masih berpesan beberapa kali, baru
membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu. Kedua
175 dayangnya mengikuti dari belakang. Fu Giok-su
mengantarkan sampai di depan pintu.
Dia mengantarkan kepergian ibunya dengan pandangan mata.
Baru saja berniat masuk kembali ke kamar, seorang tukang
kebun melewati pintu taman dan menerobos masuk dengan
tergesa-gesa. Orang itu berlari dengan napas tersengal-sengal. Dia berhenti
di depan Fu Giok-su dengan wajah pucat pasi. "Kongcu...!"
panggilnya. "Bagaimana keadaan di luar?" tanya Fu Giok-su.
"Di luar tidak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Namun
suasana sepertinya sangat mengerikan," sahut tukang kebun
itu. "Tidak apa-apa. Kau istirahatlah sejenak. Nanti katakan pada
Tio-busu (pengawal) untuk berjaga dengan ketat," kata Fu
Giok-su. "Siaujin (hamba) tahu," sahut tukang kebun itu sambil
membalikkan tubuh dan bersiap-siap meninggalkan tempat
tersebut. "Tunggu dulu!" teriak Fu Giok-su. "Apakah kongcu masih ada
perintah lainnya?" tanya tukang kebun itu.
"Apakah tadi ada orang yang berjalan melewatimu?" tanya Fu
Giok-su. "Tidak ada. Pertanyaan kongcu ini ...."
176 "Lalu dari mana datangnya tanda telapak darah di
punggungmu itu?" tanya Fu Giok-su dengan mata mendelik.
"Telapak tangan darah?" tukang kebun itu terkejut sekali. Dia
bermaksud menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat.
Tentu saja tidak bisa. Tapi Fu Giok-su melihatnya dengan
jelas. Di bagian punggung orang itu tertera sebuah telapak
tangan darah yang nyata sekali.
Mata Fu Giok-su mengerling sekilas. "Kau jangan panik.
Pulanglah ke kamarmu ganti pakaian. Ingat! Jangan katakan
pada siapa pun mengenai masalah ini. Apa lagi kepada ketiga
orang totiang itu. Suruh para pengawal lebih ketat lagi. Jangan teledor!" perintah Fu Giok-su.
"Siaujin mengerti."
"Cepat pergi!" Fu Giok-su menolehkan kepalanya. Pintu kamar
tamu masih tertutup. Tak ada seorang pun. Cepat-cepat dia
menggebah tukang kebun itu sebelum ada orang yang
melihatnya. Tanpa setahunya, percakapan antara dirinya dengan tukang
kebun itu telah terdengar oleh Ti Ciok dan Bok Ciok. Mereka
saling memandang dengan cemas.
"Suheng ... apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Bok
Ciok dengan suara rendah.
Ti Ciok mengerutkan keningnya. "Suhu masih belum sadar
juga. Apabila kita menggendongnya, aku takut lukanya akan
semakin parah," sahutnya ragu.
177 Dia menarik napas panjang. Pada saat itu Fu Giok-su masuk
ke dalam kamar. Melihat tampang kedua orang itu, dia cemas
sekali. Dikiranya telah terjadi sesuatu pada Ci Siong tojin.
"Liongwi totiang, Suhu kalian ...."
"Suhu masih belum sadar juga."
"Fu-sicu, kali ini kami telah melibatkan keluarga ...."
"Totiang ...."
"Munculnya telapak tangan darah di punggung anak buah sicu
sudah kami ketahui."
Wajah Fu Giok-su menampilkan kecemasan. "Jangan sampai
suhu kalian tahu. Lukanya cukup parah. Jangan sampai
terkejut mendengar berita ini," katanya.
"Tapi ...."
"Sekarang aku akan memerintahkan anak buahku melapor ke
kantor gubernur. Aku tidak percaya Bu-ti-bun berani menyerbu
rumahku," kata Fu Giok-su sambil menghambur ke luar dari
kamar tersebut.
Mata Bok Ciok memandangi kepergian Fu Giok-su. "Sungguh
seorang pemuda berhati luhur," pujinya.
"Kita harus mengambil keputusan yang bijaksana," kata Ti
Ciok. 178 "Tunggu sampai Suhu sadar baru kita renungkan masalah ini,"
sahut Bok Ciok.
Malam mulai larut. Akhirnya Ci Siong tojin sadar juga. Dia
berusaha bangkit, Ti Ciok dan Bok Ciok segera mengulurkan
tangan membantu. Ci Siong mengedarkan pandangan ke
sekeliling kamar tersebut. "Di mana kita sekarang?" tanyanya
dengan suara serak.
"Ini rumah Fu-kongcu. Suhu sedang beristirahat di kamar
tamunya," sahut Ti Ciok.
"Anak muda ini benar-benar berhati tulus," kata Ci Siong tojin
sambil menghela napas.
Ti Ciok tertawa getir, "Seisi rumah ini sangat ramah. Justru
demikian maka tecu khawatir ...."
"Apa yang terjadi?" tanya Ci Siong tojin yang segera
merasakan nada suara cemas dari Ti Ciok.
"Ti ... dak ... tidak ... apa-apa," sahut Ti Ciok gugup.
"Bilang!" bentak Ci Siong tojin.
"Telapak tangan darah sudah muncul di rumah ini," sahut Ti
Ciok terpaksa. Wajah Ci Siong tojin berubah hebat. Dia menggebrak meja di
samping tempat tidur, "Hm ... Tok-ku Bu-ti ...!"
Karena hawa amarah meluap, Ci Siong tojin sampai terbatuk-
batuk. Bok Ciok menarik napas panjang. "Suhu, perhatikan
179 kesehatanmu sendiri," katanya dengan nada pilu.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Ti Ciok
kebingungan. "Meninggalkan tempat ini secepatnya!" kata Ci Siong tojin
dengan hati mantap.
***** Para pelayan dan pekerja keluarga Fu sudah menyelesaikan
tugas masing-masing. Mereka sedang bersantai mengobrol
dengan berkerumun. Tampaknya Fu Giok-su pandai sekali


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menutupi keadaan yang sebenarnya. Juga hanya dia yang
tampak tegang dan cemas.
Meskipun keluarga Fu sangat terhormat dan berada. Rupanya
hubungan antara majikan dan bawahan sangat akrab.
Suasana di rumah itu hangat sekali. Oleh karena itu, niat
untuk meninggalkan keluarga Fu sebelum terjadi sesuatu
semakin mantap di hati Ci Siong tojin.
Melihat ketiga orang itu, Fu Giok-su segera menghampiri.
"Mengapa locianpwe tidak beristirahat saja. Cayhe sudah
memerintahkan pelayan menyiapkan hidangan dan akan
diantarkan ke kamar," katanya.
Ci Siong tojin menggelengkan kepalanya. "Maksud pinto
menemui kongcu justru untuk memohon diri," sahutnya.
Fu Giok-su terpana, " Oh ...?"
Fu-hujin segera bangkit dan berjalan ke arah mereka. "Totiang
180 .... kau sedang sakit. Lebih baik jangan banyak bergerak ..."
katanya. Ci Siong tojin merangkapkan sepasang tangannya, "Maksud
baik Hujin hanya dapat pinto kenang dalam hati."
"Locianpwe ..."` panggil Fu Giok-su dengan nada cemas.
"Masalah telapak tangan darah, pinto sudah tahu," kata Ci
Siong tojin. Fu-hujin menoleh kepada putranya dengan mata keheranan.
"Telapak tangan darah apa?" tanyanya.
"Ibu, itu hanya mainan orang iseng. Tidak usah dipedulikan"
Fu Giok-su memalingkan wajahnya kepada Ci Siong tojin.
"Locianpwe tidak usah khawatir ...."
Ci Siong tojin menggelengkan kepalanya. "Hati sicu baik
sekali. Pinto justru semakin bertekad untuk meninggalkan
rumah ini," katanya.
"Locianpwe, kau tidak usah mempedulikan orang-orang itu.
Kalau mereka berani menyerang rumah ini, maka aku, Fu
Giok-su yang pertama-tama akan melawan mereka!" sahut
anak muda itu penuh semangat.
Ci Siong tojin memandangnya dengan rasa berterima kasih,
"Bagaimana kejinya orang-orang Bu-ti-bun, mungkin sicu
masih belum tahu. Tapi pinto mengetahui dengan jelas.
Keputusan kami untuk pergi sudah bulat. Sicu jangan
menghalangi lagi."
181 Fu Giok terdiam mendengar perkataannya. Tiba-tiba terdengar
suara "Tang! Tang! Tang!", tiga kali berturut-turut. Kemudian
disusul dengan kumandangnya bentakan, "Dentang kematian
telah berbunyi tiga kali, binatang pun tidak akan dibiarkan
hidup!" Wajah Ci Siong tojin berubah hebat. Matanya segera
memalingkan ke arah pintu depan. Tampak tiga helai bendera
berkibaran di atas tembok. Suara tadi menyeramkan sekali.
Seperti ratapan hantu gentayangan. Tiga helai bendera itu
memantulkan sinar menakutkan disorot oleh cahaya
rembulan. Sinar lentera yang redup membuat pemandangan semakin
mengerikan. Fu-hujin dapat merasakan sesuatu yang tidak
beres. Dia segera menarik tangan Fu Giok-su. "Apa artinya
semua ini?" tanyanya khawatir.
"Tadi itu merupakan lambang Bu-ti-bun. Mereka sudah siap
menyerang gedung ini dan membersihkan seluruh
penghuninya dengan darah," kata Ti Ciok menjawab
pertanyaan itu.
Fu-hujin semakin cemas. Wajahnya tegang. "Giok-su ... Giok-
su ... ini ... bagaimana baiknya sekarang?" tanyanya panik.
"Kita bisa melarikan diri lewat ruang rahasia!" teriak Fu Giok-
su. "Ruang rahasia?" Ci Siong tojin memandangnya dengan
tatapan tidak mengerti.
"Kakek cayhe dulu adalah seorang pengawal istana. Beliau
182 membangun sebuah ruang rahasia untuk melarikan diri di saat
genting. Tempat itu menembus sebuah kamar bawah tanah
dan kita bisa melarikan diri lewat tempat itu. Ada sebuah jalan yang menembus taman di belakang rumah," kata Fu Giok-su
menjelaskan. Ci Siong masih merenungkan saran itu. Seorang pengawal
menghambur masuk ke dalam ruangan tersebut. "Kongcu, di
halaman bermunculan banyak orang berpakaian hitam.
Melihat keadaan, kemungkinan kita sudah terkepung rapat,"
katanya gugup. "Kami sudah tahu," sahut Fu Giok-su dengan wajah kelam.
"Kongcu ... kami ...." suara dan tubuh pengawal itu bergetar.
Tampangnya sudah tidak segagah semula.
Mereka terdiri dari orang-orang kangouw. Melihat ketiga helai
bendera yang berkibar di depan rumah dan mendengar suara
ancaman tadi, mereka segera sadar apa yang telah terjadi.
Tentu mereka juga mengerti bagaimana kejinya orang-orang
Bu-ti-bun. "Perintahkan yang lain agar jangan keluar. Tutup pintu rapat-
rapat. Jangan sampai musuh menerjang ke dalam rumah!"
kata Fu Giok-su,
Pengawal itu mengiakan dan mengundurkan diri dengan
tergesa-gesa. Pada saat itu, wajah setiap orang yang ada
dalam ruangan itu berubah tegang.
"Cep! Cep! Cep!", terdengar desingan sebanyak tiga kali.
Lentera yang tergantung di luar rumah pecah seketika. Api
183 memercik bagai petasan yang disulut.
Ci Siong tojin menarik napas panjang. "Sudah terlambat," dia
mengeluh. "Kalau begitu, kita harus segera bergerak menuju ruang
rahasia," kata Fu Giok-su menyarankan.
Ci Siong tojin menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada gunanya. Orang-orang Bu-ti-bun sudah
mengepung seluruh bangunan ini. Meskipun ada ruang
rahasia yang dapat menembus taman belakang, namun kita
tetap tidak bisa melepaskan diri dari kejaran orang-orang
mereka. Kecuali ...."
"Kecuali apa?"
"Satu-satunya jalan adalah membawa keluargamu melarikan
diri lewat ruang rahasia tersebut. Pinto bertiga akan
menerjang lewat pintu depan untuk mengalihkan perhatian
mereka," kata Ci Siong tojin.
"Locianpwe ...." tampaknya Fu Giok-su keberatan dengan usul
itu. "Tidak ada pilihan lain lagi," kata Ci Siong tojin.
"Mana mungkin cayhe membiarkan locianpwe menempuh
bahaya ini?"
"Pinto tidak boleh hanya mementingkan diri sendiri. Hidup dan
mati adalah takdir. Sama sekali tidak boleh melibatkan kalian
184 sekeluarga," kata Ci Siong tojin tegas.
"Sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pai, Locianpwe ...."
"Jangan banyak bicara!" bentak Ci Siong tojin.
"Giok-su, apakah kita tidak bisa tetap di sini saja?" tukas Fu-
hujin dari samping.
"Ibu, lebih baik kita menyembunyikan diri untuk sementara,"
sahut Fu Giok-su.
"Kongcu, apa yang harus kita lakukan?" tanya seorang
pelayan tua yang sejak tadi berdiam diri.
"Apakah kita perlu menyiapkan bekal?" tanya yang lainnya.
"Tidak perlu, waktu sudah mendesak. Semuanya ikuti aku!"
teriak Fu Giok-su mengambil keputusan.
"Ti Ciok, Bok Ciok, mari kita pergi!" perintah Ci Siong tojin.
Ketiga orang itu menghunus pedangnya masing-masing dan
menerjang keluar. Melihat keadaan itu, Fu Giok-su panik
sekali. Dia berteriak, "Locianpwe ...!"
"Tidak ada waktu lagi ... kalian segera tinggalkan tempat ini!"
bentak Ci Siong tojin. Dia tidak menolehkan kepalanya sama
sekali. Langkah kakinya malah dipercepat.
Bok Ciok dan Ti Ciok mengiringi di sampingnya. Mereka
tenang sekali. Tidak ada kesan bahwa mereka takut
menghadapi kematian. Fu Giok-su terpaku sejenak. Kemudian
185 bergegas mengajak keluarganya meninggalkan tempat itu.
Suara teriakan para pelayan, ratapan tangisan anak-anak
berbaur. Suasana semakin tegang dan kacau.
***** Halaman rumah keluarga Fu sepi sekali. Ternyata tidak terlihat
seorang pun di sana. Sinar rembulan menerangi bebatuan
jalan yang menghijau. Suasana mencekam.
Dengan pedang di tangan Ci Siong tojin jmenghambur ke arah
koridor gedung itu. Wajahnya pucat tersorot cahaya rembulan.
Pedangnya digetarkan. "Orang-orang Bu-ti-bun! Keluar kalian
semuanya!" bentaknya marah.
Suara langkah-langkah kaki, suara kibasan lengan baju
segera memecah keheningan malam. Sejumlah manusia
berpakaian hitam bermunculan dari segala penjuru. Tangan
mereka menggenggam berbagai macam senjata.
Ci Siong tojin menggetarkan pedang di tangannya. Dia
bermaksud menerjang ke arah manusia-manusia berpakaian
hitam tersebut. Tiba-tiba rasa sakit menyerang dadanya,
terpaksa dia menghentikan langkah kakinya.
Manusia-manusia berpakaian hitam itu segera menyerbu dan
mengepung Ci Siong tojin beserta kedua muridnya. Ti Ciok
dan Bok Ciok menyilangkan pedangnya. Mereka melindungi
Ci Siong tojin. Bok Ciok tidak sungkan lagi, setiap kali bertemu dengan musuh, pedangnya menikam tanpa pikir dua kali.
Sedangkan Ti Ciok juga menggerakkan pedangnya secepat
kilat. Percikan darah memenuhi pakaian mereka.
186 Ci Siong tojin berusaha memacu semangatnya. Pedangnya
berkelebat menembus tenggorokan salah satu manusia
berpakaian hitam. Meskipun lukanya cukup parah, tenaga
dalamnya melemah, namun jurus-jurus ampuh masih
dikuasainya dengan baik. Pikirannya masih jernih. Sasaran
pedangnya selalu ke arah yang mematikan.
"Terjang terus!" teriak Ci Siong tojin dengan suara keras.
Pedangnya menusuk lagi dua kali. Dua manusia berpakaian
hitam roboh seketika.
Hawa amarah sudah memenuhi hati tosu tua ini. Pedang di
tangannya tidak berbelas kasihan lagi. Sedangkan manusia-
manusia berpakaian hitam tersebut tampaknya tidak takut
menghadapi kematian. Jumlah mereka makin lama makin
banyak. Mereka menerjang bagai air bah yang melanda.
Ci Siong tojin mengeluarkan suara teriakan. Pedangnya
menyabet seorang manusia berpakaian hitam dan tubuh
orang itu langsung terbelah menjadi dua bagian. Dia tidak
peduli kakinya menginjak mayat-mayat yang bergelimpangan.
Ti Ciok dan Bok Ciok juga turun tangan dengan telengas.
Dengan ketat mereka melindungi Ci Siong tojin. Darah segar
memercik ke mana-mana. Jalanan berbatu itu telah menjadi
merah. Pakaian ketiga orang itu juga penuh bercak-bercak
darah. Manusia-manusia berpakaian hitam itu menyerang seperti
kesurupan setan. Hujan darah memenuhi angkasa. Perlahan
mereka mulai terpencar dan menjadi tiga kelompok yang
masing-masing terkurung oleh musuh. Ti Ciok dan Bok Ciok
berusaha mendekati Ci Siong tojin. Namun mereka malah
187 terseret semakin jauh. Bagaimana pun mereka tidak berhasil
keluar dari kepungan manusia-manusia berpakaian hitam
tersebut. Bagian perut Ci Siong tojin terasa sakit sekali. Sebisanya dia
mempertahankan diri. Gerakan pedangnya mulai lemah.
Setiap kali dia menyerang dengan pedangnya, pasti berhasil
ditangkis oleh manusia berpakaian hitam itu. Dia tidak
sanggup mengerahkan Liong-gi-kiam lagi. Dan rasa sakit
semakin menghebat!
Keringat mulai membasahi keningnya. Dia berusaha
menghindari setiap serangan manusia berpakaian hitam yang
semakin lama semakin banyak itu. Langkah kakinya mulai
limbung. Kembali sebuah golok mengancam dadanya.
Dengan susah payah dia berhasil menghindar, namun
terdesak mundur beberapa langkah lalu muntah darah.
Ci Siong tojin masih berusaha menahan. Golok kedua sudah
tiba. Tampaknya kali ini dia tidak akan berhasil menghindar
diri lagi. "Trang!", sebuah pedang lain menyambut kedatangan golok
tersebut. Ci Siong tojin menolehkan kepalanya. Dia melihat Fu
Giok-su sudah berdiri di sampingnya dan langsung bergerak
ke depan melindunginya.
"Fu-kongcu ...!"
"Mereka sudah berhasil meninggalkan tempat ini," sahut Fu
Giok-su sambil menggetarkan pedang di tangannya. Seorang
manusia berpakaian hitam tidak berani mengambil risiko.
Terpaksa dia mundur untuk melepaskan diri dari sabetan
188 pedang Fu Giok-su. "Mari kita terjang keluar!" ajak pemuda itu.
Darah segar masih mengalir. Gerakan Fu Giok-su sama sekali
tidak lambat. Pedangnya selalu mengambil korban. Dua orang
lagi roboh terkena sabetan pedangnya. Ti Ciok dan Bok Ciok
berhasil juga mendekati Ci Siong tojin. Mereka melindungi Ci
Siong tojin. "Fu-kongcu, kami akan menghalangi musuh. Harap kongcu
membawa suhu meninggalkan tempat ini!" teriak Ti Ciok.
"Baik," sahut Fu Giok-su sambil menyabetkan pedangnya ke
depan. Ti Ciok dan Bok Ciok segera menggantikannya. Mereka
membuka jalan bagi Ci Siong tn jin dan Fu Giak Su. Tosu tua
itu tampak bimbang. Bok Ciok malah panik melihatnya. "Suhu
... cepat lari!" teriaknya.
"Ilmu orang-orang ini tidak seberapa tinggi. Sebentar lagi kami akan menyusul!" kata Ti Ciok.
Akhirnya Ci Siong tojin terpaksa menganggukkan kepalanya.
Dia mengikuti Fu Giok-su dari belakang. Manusia-manusia
berpakaian hitam itu kembali menerjang. Namun mereka
berhasil diadang oleh Bok Ciok dan Ti Ciok. Fu Giok-su juga
tidak berpikir panjang lagi. Pedangnya menyabet dari kiri ke
kanan. Tujuh orang roboh seketika. Sedangkan dalam
keadaan payah, Ci Siong tojin juga sempai melukai dua orang
lawan. Fu Giok-su memalingkan wajahnya ke wajah tosu tua
tersebut. "Locianpwe ... kita ambil arah timur," katanya.
189

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik," sahut Ci Siong tojin. Namun langkah kakinya segera
terhenti. Segumpal darah kembali muncrat dari mulutnya.
Fu Giok-su panik melihat keadaannya. Dia segera
mengulurkan sebelah tangan dan memapah orang tua itu.
"Tidak usah," kata Ci Siong tojin berusaha mempertahankan
diri. Fu Giok-su tidak mempedulikan kata-katanya. Pedangnya
kembali berkelebat. Tiga manusia berpakaian hitam roboh
bermandikan darah. Dengan memapah Ci Siong tojin, dia
menerjang dengan nekat. Akhirnya dia berhasil mencapai
jalan besar. Mereka membelok di sebuah gang kecil. Tidak
ada lagi manusia berpakaian hitam yang menghalangi
mereka. Juga tidak terlihat ada yang mengejar. Ci Siong tojin
dan Fu Giok-su baru bisa menghela napas lega.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri dari gedung keluarga
Fu. Kemudian disusul sekali lagi jeritan yang lainnya. Ci Siong tojin segera mengenali bahwa yang terdengar tadi adalah
suara Ti Ciok dan Bok Ciok. Wajahnya berubah hebat,
langkah kakinya berhenti seketika.
Fu Giok-su juga merasa curiga. "Locianpwe .... locianpwe!"
panggilnya cemas.
"Ti Ciok dan Bok Ciok sudah mengorbankan diri," sahut Ci
Siong tojin dengan nada sedih.
Fu Giok-su terpana mendengar keterangan itu.
190 "Mungkin pihak lawan sudah mendatangkan jagoannya," kata
Ci Siong tojin kembali. Matanya beralih kepada Fu Giok-su,
"Mari pergil"
"Apakah tidak lebih baik kita balik dan lihat ...?"
Ci Siong tojin tertawa datar, "Hidup dan mati merupakan
takdir. Mungkin sudah merupakan suratan nasibnya bahwa
mereka hanya dapat hidup sampai malam ini."
Fu Giok-su masih bimbang. Ci Siong tojin sudah mempercepat
langkahnya. ***** Apa yang diduga oleh Ci Siong tojin memang tidak salah.
Pihak lawan memang telah kedatangan seorang jagonya.
Ketika orang yang berilmu tinggi ini datang, Ti Ciok dan Bok
Ciok sudah berhasil mendesak manusia-manusia berpakaian
hitam dan bersiap-siap menyusul Ci Siong tojin.
"Sute ... mari!" teriak Ti Ciok. Namun baru saja kakinya
berjalan beberapa langkah, sekelebatan pedang telah
menyerangnya. Pedang itu hitam berkilauan. Kedatangannya tidak sempat
mengejutkan, namun kecepatan sungguh mengerikan. Sama
sekali tidak terdengar suara kibasan lengan baju. Ketika Ti
Ciok menyadari, pedang itu tinggal tiga cun dari
tenggorokannya. Ti Ciok terkejut sekali. Dengan panik dia
berusaha menghindar, tapi terlambat. Pedang tersebut
menembus dari leher sebelah kiri sampai ke leher kanan.
Pada saat itulah dia menjerit ngeri. Juga merupakan jeritannya
yang terakhir. 191 Darah berhambur bagai anak panah. Pedang itu sangat tipis.
Panjangnya kira-kira satu setengah meter. Memang sebuah
pedang yang luar biasa dan lain daripada yang lain. Orang
yang menggenggam pedang itu memakai topi pandan
berbentuk aneh. Dan dia adalah seorang kidal.
Topi pandan itu menutupi sebagian wajahnya. Begitu
pedangnya ditarik kembali, dia langsung menyerang Bok Ciok.
Tubuh Ti Ciok ikut tertarik dan berputar satu kali sebelum
pedang tersebut benar-benar tercabut semuanya. Dan tatkala
tubuhnya terlempar ke tanah, orang itu sudah menyerang Bok
Ciok sebanyak dua puluh tiga kali berturut-turut. Bok Ciok
sangat terpukul melihat kematian suhengnya. Dia berhasil
menghindarkan serangan orang bertopi pandan tersebut.
Dengan, kalap dia membunuh setiap manusia berpakaian
hitam yang ada di dekatnya.
***** Usianya memang lebih muda dari Ti Ciok, namun
kepandaiannya justru lebih tinggi. Tapi sayangnya dia sudah
bertempur cukup lama, tenaganya sudah banyak terkuras. Dia
tidak sudi membiarkan nyawanya melayang begitu saja.
Seorang manusia berpakaian hitam yang menyerangnya
terdesak mundur sejauh tujuh langkah.
"Utang nyawa bayar nyawa!" teriak Bok Ciok kalap.
Pedangnya berkelebat, mengejar bayangan manusia hitam
tersebut. Manusia berpakaian hitam itu kembali mundur satu langkah.
Sedangkan orang yang memakai topi pandan berbentuk aneh
192 segera mengadang di depannya. Bok Ciok memang sudah
marah Sekali. Dia tidak peduli seberapa tinggi ilmu yang
dimiliki si topi pandan. Pedangnya memutar segala arah.
Orang itu terpaksa mundur beberapa langkah. Bok Ciok tidak
memberinya kesempatan. Sekali lagi dia mengayunkan
pedangnya. Kali ini dari atas ke bawah. Topi orang itu terbelah menjadi dua bagian. Di situ pula letak kesalahan Bok Ciok.
Semestinya dia tidak ambisius melihat wajah orang itu. Karena
begitu melihatnya, dia menjadi terpana seketika.
Wajah itu rata semua. Tidak ada alis, mata, hidung maupun
mulut. Persis sebuah telur saja. Hati siapa pun akan tercekat
melihat pemandangan demikian.
Dan Bok Ciok sendiri seumur hidupnya belum pernah melihat
manusia semacam ini. Mulutnya terbuka, matanya
membelalak. "Kau ..?" katanya tanpa sadar.
Justru karena perhatiannya terpecah itulah, manusia aneh itu
mempunyai kesempatan untuk menikam jantungnya dengan
pedang yang panjangnya luar biasa itu. Rasa sakit segera
menyerang. Bok Ciok menjerit ngeri. Darah menyembur.
Dengan susah payah dia mendekap dada. Kakinya limbung,
langkahnya terhuyung-huyung. Akhirnya roboh ke tanah dan
mati seketika. Manusia tanpa wajah itu membalikkan tubuhnya perlahan.
Wajahnya yang rata terlihat semakin pucat tersorot cahaya
rembulan. Beberapa tetes darah mengucur dari bagian depan
kepalanya. Rupanya pedang Bok Ciok sempat melukainya.
Namun sayang sekali tidak cukup dalam untuk merenggut
jiwanya, Manusia tanpa wajah itu menenangkan dirinya
sesaat. Kemudian sepasang kakinya menutul, tubuhnya
193 melesat tinggi dan melayang ke dalam keluarga Fu.
Para manusia berpakaian hitam yang masih tersisa bersorak
kesetanan. Mereka ikut menyerbu ke dalam keluarga Fu dan
membunuh siapa saja yang ada di dalam rumah.
Jilid 5 Air sungai beriak-riak. Kabut belum membuyar. Daerah di
seberang sungai tidak terlihat. Namun airnya dapat terlihat
jelas. Ci Siong tojin dan Fu Giok-su berdiri berendengan. Mata
mereka menatap di kejauhan. Sinar mata Fu Giok-su menatap
arah yang mereka lalui tadi. Ci Siong tojin menatap aliran yang seakan tidak terbatas.
Angin dingin melambaikan rambut Ci Siong tojin. Matanya
berkedip satu kali. "Hari sudah terang," katanya lirih.
"Mengapa mereka masih belum menyusul?" tukas Fu Giok-su
tanpa sadar. "Apakah kau menjanjikan keluargamu untuk bertemu di tempat
ini?" tanya Ci Siong tojin.
"Aku mengatakan bahwa mereka harus menunggu aku di
tempat peristirahatan dekat tepi sungai. Dalam jarak dua puluh
li dari sini memang hanya ada satu tempat peristirahatan ini
saja," sahut Fu Giok-su sambil mengedarkan pandangannya
dengan gelisah.
Sayup-sayup terdengar suara roda kereta. Namun datangnya
dari arah yang berlawanan.
194 ***** Suara kereta semakin dekat. Akhirnya terlihat serombongan
kereta membawa peti mati dalam jumlah banyak melintas di
samping mereka. Puluhan laki-laki dengan bertelanjang dada
dan kening berkeringat mendorong kereta-kereta tersebut.
Sedangkan di bagian tengah berjalan seorang laki-laki
bertubuh gemuk dan bertampang pengusaha. Dia memberi
perintah kepada para laki-laki bertelanjang dada itu agar
mendorong kereta berisi peti mati itu lebih cepat.
Fu Giok-su dan Ci Siong tojin saling melirik. Terlihat segurat
kekecewaan pada sinar mata tosu tua tersebut. Fu Giok-su
tidak dapat menahan diri lagi, dia segera maju ke depan
menghampiri laki-laki bertubuh gemuk tersebut.
"Maaf, Laopan ... mengapa begitu banyak peti mati?"
"Apa perlu ditanyakan lagi" Tentu saja karena yang mati juga
banyak," sahut laki-laki itu dengan wajah berseri-seri.
Fu Giok-su segera menjadi panik, namun dia berusaha untuk
tidak terlihat. "Apakah pemerintah sedang menjalankan
hukuman kepada para penjahat?" tanyanya kembali.
"Bukan. Rasanya urusan balas dendam pribadi. Di dalam kota
kecil situ ada sebuah keluarga yang dibunuh bersih dalam
satu malam. Justru pihak gubernur yang membereskan mayat-
mayat mereka. Aku yang jadi korban, pagi ini juga aku sudah
harus sampai di kota itu," sahut laki-laki itu menjelaskan.
Ci Siong yang mendengarkan perkataan laki-laki tersebut
195 menjadi semakin tidak tenang. Dia cepat-cepat menghampiri.
"Keluarga siapa yang mengalami kejadian demikian tragis?"
tanya Fu Giok-su cemas.
"Kalau tidak salah, keluarga Fu. Dulu orang tua mereka juga
prajurit istana. Mungkin karena terlalu banyak dosa, jadi
mendapat karma seperti sekarang ini, kata laki-laki itu sambil
menggelengkan kepalanya. Kemudian dia tersenyum lebar,
"Tapi aku justru beruntung. Belum pernah selama hidupku
mendapat pesanan peti mati sebanyak ini. Sampai kehabisan
stok dan meminjam dari teman seusaha yang lain." Selesai
berkata, dia segera mempercepat langkah menuju anak
buahnya. Wajah Fu Giok-su pucat pasi. Dia berdiri termangu-mangu.
Kedua tangannya terkepal, air mata mulai mengembang.
Tubuhnya terhuyung-huyung. Ci Siong tojin cepat-cepat
memegangi bahunya. Fu Giok-su berusaha memberontak dan
melangkah. "Kau mau ke mana?" hardik Ci Siong tojin.
"Aku akan kembali dan mengadu nyawa dengan orang-orang
Bu-ti-bun" sahut Fu Giok-su. Dia menggertakkan giginya erat-
erat dan langsung menerjang ke depan.
Ci Siong tojin menariknya kuat-kuat. Akhirnya langkah kaki Fu
Giok-su terhenti juga.
"Kalau kau kembali ke sana sama saja kau mengantar
kematian," kata Ci Siong tojin menasihati.
196 "Aku tidak takut mati" teriak Fu Giok-su.
Wajah Ci Siong tojin semakin serius.
"Tapi dengan kematianmu ini, turunan keluarga Fu pun habis
sampai di sini, dendam sedalam lautan ini, siapa yang akan
membalasnya?"
Fu Giok-su bagai tersambar petir. Kesadarannya tergugah
oleh kata-kata Ci Siong tojin. Tanpa kuasa lagi dia terjatuh dan berlutut di atas tanah.
"Tenangkanlah dirimu, pikirkanlah baik-baik," kata Ci Siong
tojin selanjutnya.
"Aku ...." dengan air mata berlinang Fu Giok-su
menengadahkan wajahnya menatap langit. Kemudian dia
menoleh kembali kepada Ci Siong tojin. Dengan panik dia
bertanya, "Locianpwe ... apa yang harus aku lakukan
sekarang?"
Ci Siong tojin memandangi Fu Giok-su lekat-lekat. "Ikutlah aku
ke Bu-tong-san. Nanti baru kita pikirkan perlahan," katanya
sepatah demi sepatah.
Fu Giok-su tidak memperlihatkan reaksi apa-apa. Sejenak
kemudian dia baru berdiri. Angin dingin masih bertiup.
Akhirnya kedua orang itu kembali melangkahkan kaki. Dengan
wajah kelam mereka berjalan.
***** Senja hari hampir menyelesaikan tugasnya. Dingin mulai
197 merayap. Di dalam pendopo asap hio mengepul. Semuanya
membisu. Suasana hening mencekam. Hanya Ci Siong tojin
seorang yang berlutut di depan meja sembahyang. Mimik
wajah maupun suaranya demikian pilu.
"Pertarungan di atas Kuan-jit-hong ... tecu benar-benar tidak
berguna, tecu kembali mengalami kekalahan di tangan Tok-ku
Bu-ti. Hari ini tecu menghadap Cousu untuk menerima
hukuman yang berlaku di partai kita," Suaranya demikian lirih,
tidak terdengar dari luar pendopo. Namun, justru suara Gi-
song dan Cang-song dapat tertangkap jelas oleh para murid
yang berkumpul di luar pendopo tersebut.
Kata-kata yang diucapkan Gi-song maupun Cang-song tentu
bukan kata-kata yang enak didengar.
"Kali ini cahaya Bu-tong-pai benar-benar dibuatnya," kata Gi-
song. "Apa tidak" Ini merupakan kekalahannya yang ketiga kali,"
sambung Cang-song.
"Tampaknya luka yang dia dapatkan tidak ringan. Nanti kalau
kita membuat obat, takarannya terpaksa dua kali lipat," kata
Gi-song sambil tertawa dingin.
Sebagian murid Bu-tong-pai yang mendengar percakapan itu
menunjukkan wajah sedih. Ada pula yang menundukkan
kepala dan menarik napas panjang. Tentu ada juga yang
diam-diam merasa gembira. Siapa pun dapat melihat, bahwa
di dalam Bu-tong-pai sendiri memang mulai terpecah belah.
Tiga kali berturut-turut Tok-ku Bu-ti mengalahkan Ci Siong
198 tojin. Apakah dia akan kembali seperti sebelumnya, yaitu tetap
tidak akan melepaskan Bu-tong-pai begitu saja" Siapa pun
tidak berani memastikan hal ini. Yang pasti Bu-ti-bun semakin
naik daun. Persis seperti semboyannya yang mengatakan
bahwa Bu-ti-bun ibarat matahari yang bersinar di tengah hari.
***** Terdengar suara gemuruh. Sebuah batu berbentuk persegi
hancur seketika di tengah udara. Pecahannya menghampar
ke mana-mana. Suara kibasan batang bambu tertutup oleh
gemuruh tadi. Ci Siong tojin berdiri di antara hutan bambu. Lengan bajunya
berkibar-kibar tertiup angin. Mimik wajahnya menunjukkan
perasaan gembira yang tidak tersangka. Di antara embusan
pecahan batu-batu, terlihat orang tua yang dipanggil sebagai


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suheng oleh Ci Siong tojin. Sehari sebelum berangkat
memenuhi perjanjian dengan Tok-ku Bu-ti, dia menghadap
Yan Cong-tian. Laki-laki itu masih seperti orang yang
berpenyakit dan duduk menyandar di atas tempat tidurnya
yang terbuat dari batu. Tiba-tiba suhengnya berubah menjadi
gesit dan sehat. Tentu saja Ci Siong tojin senang melihat
keadaan ini. Hanya dengan satu kali pukulan, dia sanggup membuat meja
yang berbahan batu itu hancur lebur menjadi ribuan pecahan
kecil-kecil. Hal ini membuktikan bahwa lwekang (tenaga
dalam) yang dimiliki suhengnya bahkan sudah jauh di atasnya.
Tubuh Yan Cong-tian mendarat di tanah, rambutnya yang
putih dan terurai beterbangan. Matanya memandang Ci Siong
tojin. 199 "Tenaga pukulanku ini ... apakah dapat ditandingi oleh Mit-kip-
mo-kang Tok-ku Bu-ti yang sudah mencapai tingkat delapan
itu?" tanyanya.
"Rasanya tenaga suheng masih menang setengah tingkat,"
sahut Ci Siong tojin.
"Kalau begitu, Tok-ku Bu-ti masih bukan tandinganku," kata
Yan Cong-tian sambil tertawa terbahak-bahak.
Bagaimanapun juga, dia merupakan satu-satunya orang yang
masih disegani oleh Tok-ku Bu-ti. Juga karena adanya Yan
Cong-tian di Bu-tong-san, maka sampai hari ini Tok-ku Bu-ti
masih belum mengambil tindakan apa-apa. Meskipun dia
berhasil mengalahkan Ci Siong tojin sebanyak tiga kali.
Kalau melihat tenaga pukulan Yan Cong-tian kali ini, tidak
heran apabila Tok-ku Bu-ti masih berpikir panjang untuk
menyerang Bu-tong-pai.
Yan Cong-tian masih tertawa senang, "Bagaimana kalau kau
lihat lagi pukulanku yang satu ini?" Dia menarik napas dalam-
dalam, urat-urat di tangannya mulai menonjol. Wajahnya
merah padam. Kemudian tiba-tiba berubah menjadi kehijauan.
Tubuhnya gemetaran.
Melihat keadaan itu, Ci Siong tojin segera merasakan ada
yang tidak beres. Tergesa-gesa dia mendekati Yan Cong-tian
dan memandangnya dari atas ke bawah.
"Suheng, apa yang terjadi?" tanyanya cemas.
Keringat mengalir deras dari kening Yan Cong-tian. "Benar-
200 benar menyebalkan!" teriaknya marah. Dia membalikkan
tubuh dan menghambur ke rumah batunya.
Ci Siong tojin cepat-cepat menyusul dan memapahnya, tapi
tangannya dikibaskan oleh Yan Cong-tian. Pada saat itu, Ci
Siong tojin dapat merasakan bahwa tenaga dari tolakan
suhengnya tidak berbeda dengan orang biasa yang tidak
mengerti ilmu silat. Bukan saja dia tidak berhasil melepaskan
tangan Ci Siong tojin, tapi malah dirinya yang terdorong.
***** Keadaan di dalam rumah itu masih remang-remang. Dengan
terhuyung-huyung Yan Cong-tian berhasil juga mencapai
tempat tidur. Dia langsung menjatuhkan diri dan diam seribu
bahasa. Ci Siong tojin menyusul di belakangnya. Belum
sempat kakinya melangkah ke dalam, terdengar Yan Cong-
tian marah-marah.
"Kau sudah menyaksikan sendiri, entah di mana letak
kesalahannya, tenagaku kadang-kadang ada dan kadang-
kadang tidak ada!" Ketegangannya perlahan mulai mereda,
"Aku sungguh tidak mengerti. Dulunya tidak begini. Sejak
melatih Tian-can-sin-kang, aku segera merasakan kelainan
ini." Suara Yan Cong-tian lebih mirip ratapan. Melihat keadaan
tersebut, untuk sesaat Ci Siong tojin tidak tahu bagaimana
harus menghibur hati suhengnya.
"Tian-can-kiat kali ini benar-benar terasa seperti senjata
makan tuan. Kalau sejak semula tahu begini jadinya, lebih
baik aku tidak melatih ilmu ini," kata Yan Cong-tian sambil
201 tertawa getir. "Apakah benar-benar Thian murka kepada Bu-tong?" sahut Ci
Siong tojin tanpa sadar. Darahnya menggelegak. Wajahnya
berubah dan akhirnya dia terbatuk-batuk.
Yan Cong-tian memperhatikan Ci Siong tojin dengan
seksama. "Tampaknya lukamu tidak ringan."
Ci Siong tojin menganggukkan kepalanya.
"Paling tidak separo dari urat nadi dalam tubuhku ini sudah
terhajar putus. Tenaga dalamku tinggal empat bagian," tanpa
dapat menahan diri lagi, dia menarik napas panjang.
"Apa gunanya sedikit-sedikit menarik napas?" kata Yan Cong-
tian dengan nada tidak senang.
Ci Siong tojin diam termenung, Yan Cong-tian juga tidak tahu
apa yang harus dikatakan. Setelah sekian lama, Ci Siong baru
tersadar dari lamunannya.
"Dalam dua tahun ini, kecuali ada mukjizat atau keajaiban
yang terjadi, kalau tidak tenagaku paling-paling dapat pulih
menjadi tujuh bagian saja. Kalau dilihat dari keadaan
sekarang, satu-satunya jalan hanyalah memilih beberapa
murid berbakat dan ajarkan mereka Bu-tong-liok-kiat (enam
jurus ampuh Bu-tong). Mereka harus berlatih keras. Setahun
kemudian, apabila mereka dapat mencapai hasil yang
memuaskan, ditambah lagi dengan Wan ji maka kita dapat
membentuk barisan Pat-tou-jit-sing-ceng. Aku berharap cara
ini dapat mengalahkan Tok-ku Bu-ti. Seandainya tidak juga,
aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi," katanya.
202 Yan Cong-tian merenung sejenak.
"Bagus ... akal bagus!" akhirnya dia setuju dengan rencana
tersebut. "Tapi .... Bu-tong-liok-kiat biasanya hanya boleh diwariskan
kepada Ciangbunjin saja."
"Urusan sudah sampai sedemikian rupa, bagaimana kita bisa
berpikir yang lainnya lagi?" tukas Yan Cong-tian.
"Kalau suheng memang tidak keberatan, kita putuskan
demikian saja," kata Ci Siong tojin.
Terdengar suara langkah kaki dari luar rumah. Ci Siong tojin
mengerutkan keningnya erat-erat. Yan Cong-tian malah
seperti tidak mendengarnya. Sekali ketukan pintu terdengar.
Dengan kemalas-malasan Yan Cong-tian menyahut, "Masuk!"
Sebuah suara mengiakan dan pintu didorong dari luar. Tangan
orang itu membawa baki makanan. Dia adalah Wan Fei-yang.
Ci Siong tojin terpana melihatnya. Anak muda itu sendiri tidak
menduga Ci Siong tojin ada di sana.
"Ciangbunjin," sapanya.
Ci Siong tojin menyahut datar.
"Tecu tidak tahu Ciangbunjin ada di sini. Sekarang juga tecu
akan membawakan lagi nasi dan hidangan untuk
Ciangbunjin," kata Wan Fei-yang selanjutnya.
203 "Tidak usah ..." sahut Ci Siong tojin sambil mengibaskan
tangannya. Wan Fei-yang terpaksa mengundurkan diri. Sampai di luar
pintu, dia mendengar ucapan Yan Cong-tian.
"Pembawaan anak ini boleh juga."
Tanpa sadar Wan Fei-yang menghentikan langkah kakinya
dan berdiri memasang telinga.
***** Tidak terdengar suara Ci Siong tojin memberi reaksi atas
ucapan Yan Cong-tian tadi. "Mengapa kau tidak menerimanya
sebagai murid?" tanya Yan Cong-tian kembali.
"Justru karena riwayatnya ada masalah," sahut Ci Siong tojin.
"Masalah apa?" tanya Yan Cong-tian. "Dia mengikuti she
(marga) ibunya. Sedangkan yang mana ayahnya atau siapa
orangnya dia sendiri tidak tahu." Ci Siong tojin menghela
napas panjang, "Tentu suheng tidak lupa kejadian dua puluh
tahun yang lalu."
Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya.
"Sejak kejadian itu, suhu telah memutuskan bahwa Bu-tong-
pai hanya menerima orang yang riwayatnya bersih sebagai
murid," kata Ci Siong tojin selanjutnya.
"Tidak salah. Tapi sekarang kita kekurangan tenaga. Lagi
pula, bocah ini sudah tinggal di Bu-tong-san sekian tahun,
204 selama ini tidak terlihat sesuatu yang menghawatirkan. Begini
saja, bagaimana kalau aku yang bertanggung jawab," sahut
Yan Cong-tian. "Rasanya Gi-song dan Cang-song tidak akan setuju dengan
usul ini," kata Ci Siong tojin seakan kepada dirinya sendiri.
"Kedua orang yang usil itu ... hm .... tidak usah kau pedulikan mereka. Seandainya mereka tidak senang, biar mereka
mencari aku," kata Yan Cong-tian sambil mendengus dingin.
"Biar aku pikirkan lagi baik-baik ..."
Wan Fei-yang yang berada di luar dan mendengarkan
percakapan ini, tentu saja merasa senang sekali. Dia langsung
berlari menuju luar hutan. Setelah berada di luar hutan bambu,
tanpa dapat menahan diri lagi dia berteriak kesenangan.
Langkah kakinya dipercepat.
***** Angin bertiup sejuk, udara di atas Bu-tong-san hari ini sangat
dingin. Para murid Bu-tong-pai sama sekali tidak
mempedulikan keadaan cuaca. Mereka malah menjadi
kemalas-malasan karena udara yang sejuk itu.
Demikian juga Wan-ji. Ketika Wan Fei-yang melihatnya, dia
sedang berjalan mondar-mandir di taman bunga. Dari jauh
Wan Fei-yang sudah melihatnya, dia segera berlari-lari
mendekati. Ketika jaraknya tidak seberapa jauh lagi, Wan-ji
baru merasakan kehadirannya. Melihat cara jalan dan mimik
wajah Wan Fei-yang yang berseri-seri, dia menjadi heran.
205 "Wan-ji kouwnio ...." panggil Wan Fei-yang sambil menambah
kecepatan kakinya.
Mendengar panggilan itu, Wan-ji menghentikan langkah
kakinya. Wan Fei-yang melesat ke samping gadis itu.
"Aku ingin memberitahukan sebuah kabar baik. Ciangbunjin
telah bersedia menerima aku sebagai murid," katanya tergesa-
gesa. Wan-ji terpana mendengar keterangan tersebut.
"Oh?"
"Benar!" kata Wan Fei-yang dengan penuh semangat. Wan-ji
semakin terpana ketika pemuda itu menarik tangannya.
Sejenak kemudian dia baru tersadar dan mengibaskan tangan
Wan Fei-yang. Pemuda itu sama sekali tidak peduli dengan sikapnya.
"Mungkin besok akan disiarkan," katanya kemudian.
Mendengar keterangan tersebut, Wan-ji ikut senang. "Lain kali
kau tidak akan menerima hinaan lagi dari para suheng,"
sahutnya. Kepala Wan Fei-yang manggut berkali-kali. Pada saat itu juga,
Pek Ciok mengiringi Fu Giok-su datang dari pintu samping.
Mereka menghampiri Wan-ji. Tampang Fu Giok-su kuyu
sekali. Sedangkan Pek Ciok yang masih menyedihkan
kekalahan Ci Siong tojin juga tidak berbeda.
Melihat Wan Fei-yang, Pek Ciok menghentikan langkah
206 kakinya. "Siau Fei (Fei cilik) aku mencarimu ke mana-mana. Tidak
tahunya kau ada di sini," katanya.
Dengan penuh semangat Wan Fei-yang mendekatinya. "Toa-
suheng, ada urusan apa kau mencariku?" tanyanya.
Pek Ciok menoleh kepada Fu Giok-su. "Ini adalah Fu-kongcu,
tentu kau sudah tahu," katanya.
Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya.
"Kami pernah bertemu satu kali ketika Ciangbunjin baru
pulang," sahutnya.
"Cepat kau bereskan kamar yang ada di luar taman, biar Fu-
kongcu dapat beristirahat segera," perintah Pek Ciok
kemudian. "Ini soal kecil ..." Wan Fei-yang memalingkan wajahnya, "Fu-
kongcu, mari."
"Merepotkan saudara ...."
Mata Wan-ji bertemu pandang dengan Fu Giok-su, tanpa
sadar wajahnya menjadi merah padam. Kepalanya tertunduk.
"Jangan sungkan," sahut Wan Fei-Yang tanpa memperhatikan
keadaan kedua orang itu. Dia mengiringi Fu Giok-su sebagai
pendamping. Setelah berjalan beberapa langkah, Wan Fei-yang seperti
207 teringat sesuatu. Dia menolehkan kepalanya dan berkata
kepada Wan-ji, "Sungguh-sungguh! Aku tidak bohong!"
Maksud ucapannya itu ditujukan kepada Wan-ji, Pek Ciok
salah tangkap. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan Wan
Fei-yang. "Apanya yang sungguh-sungguh?" tanyanya bingung.
"Tidak ... tidak apa-apa," Wan Fei-yang tersenyum sekali
kepada Wan-ji lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Wan-ji membalas senyuman itu. Senyumannya demikian
indah laksana bunga-bunga yang bermekaran. Fu Giok-su
terpesona. Akhirnya dia meneruskan langkahnya kembali.
Pek Ciok dan Wan-ji memandangi kepergian mereka. Pek
Ciok yang melihat Wan-ji saling tersenyum dengan Wan Fei-
yang dengan muka berseri-seri menjadi heran. "Sumoay,
mengapa Siau Fei demikian gembira?" tanyanya tanpa sadar.
"Dia bilang susiok akan mengangkatnya sebagai murid."
"Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengatakan hal
yang sama," Pek Ciok tertawa dingin. "Aku rasa dia terlalu
ambisius ingin belajar silat sehingga keblinger."
"Sebetulnya dia anak yang baik," kata Wan-ji dengan nada
kasihan. Pek Ciok mau tak mau mengakui. Matanya memandang Wan
Fei-yang yang melangkah di kejauhan. Sekali lagi dia
menggelengkan kepalanya.
208 ***** Setelah membereskan kamar, Wan Fei-yang juga menyeduh
seteko teh. Baru saja dia mengambilkan sebuah cawan, Fu
Giok-su sudah mengulurkan tangan menerimanya. "Biar aku
sendiri saja," katanya.
"Sama saja," sahut Wan Fei-yang sambil menuangkan teh ke
dalam cawan. "Terima kasih," kata Fu Giok-su sopan. Wajahnya masih
bermuram durja.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wan Fei-yang merasa pemuda ini agak cocok dengan dirinya,
maka dari itu, dia berani banyak bicara dengannya. "Kali ini,
untung suhu mendapat bantuanmu," katanya.
Fu Giok-su tertawa getir, tampaknya dia sedang banyak
pikiran. Wan Fei-yang segera menghiburnya, "Orang yang
mati tidak bisa hidup kembali. Jangan sampai kesedihan
membuatmu berubah. Pokoknya, kami orang-orang Bu-tong-
pai akan membalaskan dendammu."
Fu Giok-su masih tertawa getir.
"Ilmu silat Bu-tong-pai merupakan ilmu nomor satu di kolong
langit. Sebuah partai seperti Bu-ti-bun saja tidak akan
dipandang sebelah mata oleh kami. Harap kau jangan
khawatir," kata Wan Fei-yang sok tahu.
Fu Giok-su memandangnya dengan tatapan penuh terima
kasih. "Maksud baik Wan-heng hanya dapat siaute simpan
209 dalam hati," sahutnya.
"Kau panggil aku Siau Fei saja."
"Mana boleh?" Tiba-tiba Fu Giok-su mengalihkan pokok
pembicaraan, "Oh ya, aku baru pertama kali menginjakkan
kaki di Bu-tong-san. Mengenai peraturan-peraturan yang ada,
aku masih buta. Harap Wan-heng bersedia menegur apabila
ada kesalahan."
"Mulai lagi ..." Wan Fei-yang merenung sejenak, "Peraturan
khusus sih tidak ada. Hanya para suheng senang sekali
bercanda. Jangan masukkan dalam hati." Tiba-tiba dia seperti
teringat sesuatu. Pandangannya menerobos lewat jendela di
taman, "Satu hal lagi yang hampir aku lupakan. Gunung
bagian belakang itu adalah daerah terlarang, jangan sekali-kali pergi ke sana."
"Hm ...." tanpa sadar mata Fu Giok-su mengerling ke arah
yang ditunjuk Wan Fei-yang.
"Aku tinggal di ruangan belakang sana," jari Wan Fei-yang
menunjuk ke arah timur. "Kalau ada perlu apa-apa, kau boleh
berteriak saja. Aku pasti akan mendengarnya dan langsung
datang ke mari."
Fu Giok-su menganggukkan kepalanya. Wan Fei-yang segera
mohon diri. Setelah Wan Fei-yang meninggalkan tempat itu,
Fu GiokSu masih berdiri termangu-mangu. Pandangan
matanya tidak bergeser dari gunung belakang yang ditunjuk
Wan Fei-yang tadi.
Apa yang sedang dipikirkannya" Tidak ada yang tahu, kecuali
210 dirinya sendiri tentunya. Sedangkan malam semakin
mendekat. ***** Pada hari kedua, ketika Wan Fei-yang bangun dan
mendorong pintu kamarnya, dia bagaikan orang yang lain.
Pakaiannya baru, sepatunya baru, bahkan rambutnya juga
disisir rapi sekali. Di antara gelungannya terdapat sebuah pita yang baru pula.
Ini juga merupakan pakaian baru satu-satunya yang dia miliki.
Selama ini dia menyimpannya baik-baik dalam sebuah kotak,
baru hari ini semua itu dikeluarkannya. Sejak pagi buta tadi,
sudah ada kabar bahwa Ci Siong tojin meminta semua murid
Bu-tong berkumpul di ruangan pendopo.
Dalam pikiran Wan Fei-yang, tidak ada urusan lebih besar lagi
daripada menerimanya sebagai murid dan akan disiarkan hari
ini, selain memilih murid-murid berbakat untuk mempelajari
Bu-tong-liok-kiat.
Dia berjalan menuju pendopo itu dengan dada dibusungkan,
tampaknya dia sangat bergaya. Bertemu dengan para murid
Bu-tong lainnya, dia tidak lagi menghindarkan diri, tapi
menyapa mereka satu per satu. Berita ini sudah tersebar.
Melihat keadaannya pagi ini, yang lainnya menjadi setengah
yakin setengah tidak.
Sampai di ruangan pendopo yang luas, gaya Wan Fei-yang
semakin meyakinkan. Rasa bangganya semakin menonjol.
Melihat di belakangnya datang beberapa saudara
seperguruannya, dia segera mempersilakan mereka, "Cu-wi
211 suheng, silakan."
Beberapa orang itu kelihatannya sedang memikirkan keadaan
mereka sendiri.
"Silakan ... kau saja yang duluan," kata salah satu dari mereka tanpa memperhatikan siapa orangnya yang menyapa.
Wan Fei-yang merasa semakin bangga mendengar jawaban
orang itu. "Jangan sungkan, silakan," sahutnya.
Yang lainnya segera merasa lucu melihat gayanya.
"Hari ini adalah hari istimewa bagimu, kau saja yang masuk
duluan," sahut salah satu orang entah dengan maksud tulus
atau menyindir.
Yang lainnya ikut mengalah dan mempersilakan Wan Fei-yang
dengan sikap sungkan. Melihat para suheng itu demikian
menghargainya hari ini, hatinya senang sekali. Dia tidak
menolak lagi. Kakinya melangkah lebar ke dalam ruangan
pendopo. Di dalam ruangan tersebut, para murid Bu-tong sudah banyak
juga yang berkumpul. Tapi wajah mereka tampak agak
muram. Gi-song dan Cang-song memandang ke sekitar.
Mereka mulai kehabisan sabar. Fu Giok-su juga ada di antara
kumpulan murid Bu-tong lainnya. Melihat pemuda itu, Wan
Fei-yang menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Fu Giok-su juga menganggukkan kepalanya sebagai balasan.
Senyumnya agak dipaksakan. Kelihatannya perasaan anak
muda itu masih digelayuti kesedihan. Lun Wan-ji juga sudah
212 hadir. Dia berdiri di sudut ruangan yang jaraknya tidak
seberapa jauh. Wan Fei-yang tadinya bermaksud
menghampiri, tapi setelah berpikir sejenak dia
membatalkannya. Dia bertemu pandang dengan gadis itu lalu
saling mengembangkan senyuman. Hampir semua mata
murid Bu-tong-pai beralih kepada Wan Fei-yang, dada anak
muda itu semakin dibusungkan saja.
Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan. Semua orang
terdiam. Tidak lama kemudian, tampak Pek Ciok mengiringi Ci
Siong tojin masuk ke dalam ruangan. Setiap orang segera
membungkuk hormat. Ci Siong tojin meneruskan langkah
kakinya dan duduk di atas kursi. Dia mengibaskan tangannya.
Pek Ciok mengundurkan diri ke samping. Sinar mata Ci Siong
tojin beredar pada setiap orang dalam ruangan tersebut.
Kepalanya setengah tertunduk, wajahnya pucat pasi. Kentara
sekali bahwa tubuhnya sama sekali tidak sehat. Sejenak
kemudian baru dia berbicara.
"Keadaan bu-lim di Tionggoan selama ini damai tanpa
masalah. Namun sejak berdirinya Bu-ti-bun, kedamaian dan
ketenteraman tidak ada lagi. Bu-tong-pai dan Bu-ti-bun selalu
mempunyai pendirian yang berbeda dan sudah menjadi
musuh bebuyutan selama ratusan tahun. Juga merupakan
partai pertama yang dianggap menghalangi Bu-ti-bun dan
ingin mereka lenyapkan."
Mendengar sampai di sini, sebagian besar paras murid Bu-
tong-pai mulai berubah. Ci Siong tojin masih mengedarkan
pandangannya. Sejenak kemudian dia meneruskan kembali,
"Tanggal sembilan bulan sembilan yang lalu, Punco kembali
memenuhi perjanjian dan mengalami kekalahan. Tok-ku Bu-ti
213 mengeluarkan ucapan, apabila dalam jangka dua tahun partai
kita tidak ada yang sanggup mengalahkannya, maka dia akan
membumihanguskan Bu-tong-san."
Gi-song tidak dapat menahan diri lagi. "Kalau begitu kita ..."
tukasnya. Ci Siong tojin tidak mempedulikannya, dia masih meneruskan
perkataannya. "Ilmu Mit-kip-mo-kang Tok-ku Bu-ti sudah dilatih sampai
tingkat delapan. Untuk saat sekarang ini, masih belum ada
orang dari partai kita yang dapat menandinginya. Oleh karena
itu, Punco kemarin telah merundingkan masalah ini dengan
Yan-suheng. Kami memutuskan untuk memilih enam orang
yang berbakat, masing-masing mempelajari satu macam ilmu
andalan Bu-tong-pai. Setelah itu berlatih keras dan bekerja
sama dengan kompak untuk menghadapi musuh di kemudian
hari." Setiap orang yang ada dalam ruangan itu segera memasang
telinganya dan mempertajam mata memperhatikan.
"Enam orang ini harus berlatih segiat mungkin. Hari ini tahun
depan, Punco akan menguji mereka satu per satu. Siapa yang
ilmunya paling tinggi, akan terpilih menjadi Ciangbunjin
generasi kesembilan belas."
Gi-song dan Cang-song semakin saling melirik dengan
pandangan dingin. Mereka tidak berkata apa-apa. Yang
lainnya semakin menaruh perhatian atas perkataan Ci Siong
tojin. Fu Giok-su masih berdiri dengan mata menerawang.
Seakan tidak terlalu menaruh perhatian atas apa Yang
214 menjadi pokok pembicaraan Ci Siong tojin. Sementara itu Wan
Fei-yang semakin membusungkan dada. Tanpa sadar dia
merapikan pakaiannya berkali-kali.
Wajah Ci Siong tojin semakin kelam. "Pek Ciok!" panggilnya.
Meskipun suaranya sangat lemah namun mengandung
kemantapan yang sulit dilukiskan.
Pek Ciok segera maju dan berlutut di depan kaki Ci Siong
tojin. ***** "Mewarisi Liong-gi-kiam," ujar Ci Siong tojin sepatah demi
sepatah. "Cia Peng ... mewarisi Pik-leng-ciang (telapak tenaga kilat)"
"Yo Hong ... mewarisi senjata rahasia Fei-hun-cong (terjangan
awan terbang)"
"Giok Ciok ... mewarisi Suang-kiat-kun (tongkat ganda)"
"Kim Ciok ... mewarisi Kui-sua-to (golok pembuka gunung)"
Setiap orang yang namanya dipanggil langsung berlutut di
hadapan kaki Ci Siong tojin. Wajah Gi-song dan Cang-song
semakin lama semakin tidak sedap dipandang. Hati Wan Fei-
yang semakin tegang saja.
Sekali lagi Ci Siong tojin mengedarkan pandangannya. Dia
memperhatikan mereka satu per satu dengan tatapan
215 menyelidik. "Orang keenam agak istimewa. Punco sudah
mempertimbangkan cukup lama. Dia bukan murid Bu-tong-pai.
Karena hatinya lurus dan baik dan mempunyai hubungan yang
dalam dengan Punco, ditambah lagi rasa hormatnya yang
tinggi, maka Punco mengambil keputusan untuk mengambil
dia sebagai murid penutup dan mewariskan Sou-hou-cang
(senjata pengunci tenggorokan)"
Begitu ucapan Ci Siong tojin selesai, pandangan setiap orang
beralih kepada Wan Fei-yang. Pada saat itu, Wan Fei-yang
merasakan tenggorokannya kering kerontang, paniknya
setengah mati. Dadanya masih membusung, menantikan
pengumuman dari Ci Siong tojin. Tanpa sadar dia mengerling
ke arah Lun Wan-ji.
"Fu Giok-su!" suara Ci Siong tojin seakan menggelegar dalam
ruangan. Wan Fei-yang malah merasa seperti ada seember air dingin
menyirami kepalanya. Murid-murid Bu-tong-pai yang berdiri di
belakangnya memperdengarkan suara tawa dingin. Fu Giok-
su tenang sekali. Dia melangkahkan kakinya setelah
menyahut satu kali dan berlutut di depan kaki Ci Siong tojin.
Wan Fei-yang memutar kakinya menuju ke luar ruangan.
Dadanya disurutkan kembali, kepalanya tertunduk. Seumur
hidupnya, baru kali ini dia merasa begitu malu. Suara Ci Siong
tojin yang masih berkumandang bagaikan anak panah yang
menusuki hatinya.
"Punco mewariskan Sou-hou-cang kepadamu, harap kau
216 menerimanya dengan sepenuh hati. Jangan mengecewakan
Punco, juga jangan sampai membuat harapan Punco
tergantung di atas langit."
Sekarang kata-kata yang diucapkan oleh Ci Siong tojin, tidak
syak lagi hanya ditujukan, kepada Fu Giok-su. Wan Fei-yang
bermaksud segera meninggalkan ruangan pendopo tersebut,
tapi kakinya seperti terpaku, sulit sekali digerakkan.
"Kecuali keenam orang ini, murid-murid lainnya sudah boleh
meninggalkan tempat ini," kata Ci Siong tojin selanjutnya.
Semua orang mengiakan dan berjalan keluar. Generasi yang
lebih muda memandang Pek Ciok dan lima orang lainnya
dengan tatapan kagum. Wajah Gi-song dan Cang-song
semakin tidak enak dilihat.
Sampai di luar pendopo, Gi-song tidak dapat menahan dirinya
lagi. Dia mengomel panjang lebar.
"Semua yang terpilih merupakan murid-muridnya, murid kita
satu pun tidak ada yang terpilih."
Cang-song menganggukkan kepalanya.
"Memang benar ... apa-apaan itu tadi" Kurang ajar ... benar-
benar kurang ajar!" gerutunya.
"Bagaimana pun kita harus minta keadilan darinya," mulut Gi-
song berkata demikian, tapi langkah kakinya semakin jauh
meninggalkan ruangan pendopo.
Wan Fei-yang menyelinap di antara orang banyak. Kepalanya
217 tertunduk dan wajahnya merah padam. Melihat Lun Wan-ji,
semakin malu dan salah tingkah. Setelah keluar dari halaman
pendopo, dia berlari secepatnya. Meninggalkan kerumunan
yang masih ramai membicarakan kejadian tadi.
***** Malam semakin larut, angin semakin dingin.
Di tanah lapang yang terpencil Wan Fei-yang menggerakkan
senjatanya seperti orang kalap. Dia berlatih terus tanpa kenal
lelah. Matanya menyorotkan kemarahan. Senjatanya yang
berbentuk capitan bergerak telengas dan keji.
"Crep!", senjata itu menancap pada sebatang pohon besar,
"krek!", pohon itu patah seketika.
Hawa amarah Wan Fei-yang seperti sudah terlampiaskan, dia
mencabut senjatanya dan meletakkan di tanah.
"Suhu, sebetulnya ilmu yang bagaimana Bu-tong-liok-kiat
tersebut?" tanyanya.
Manusia berpakaian hitam berdiri di samping sambil memeluk
kedua tangannya.
"Untuk apa kau menanyakan hal ini?"
"Aku hanya ingin tahu, apakah ilmu yang aku pelajari
sekarang setaraf dengan ilmu Bu-tong-liok-kiat?" kata Wan
Fei-yang tanpa berpikir panjang.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

218 "Lagi-lagi kau berpikir yang bukan-bukan."
Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya, "Ci Siong tojin itu,
aku benar-benar tidak mengerti mengapa dia begitu
membenci aku?"
Manusia berpakaian hitam itu tidak memberikan reaksi apa-
apa. "Selama ini aku selalu mengira Gi-song dan Cang-song dua
orang tua bangka itu yang selalu mencari gara-gara
denganku. Tidak tahunya Ci Siong tojin juga."
"Hm ...."
"Kemarin aku mengantarkan makanan untuk Yan Cong-tian.
Aku mendengar dengan jelas, Yan Cong-tian sendiri
mengatakan bahwa aku anak yang baik, layak diterima
sebagai murid. Malah dia bersedia melunakkan hati Gi-song
dan Cang-song. Dia menasihati Ci Siong tojin. Siapa kira
orang tua itu malah memilih Fu Giok-su!" kata Wan Fei-yang
selanjutnya. Manusia berpakaian hitam itu masih berdiam diri.
"Aku sama sekali tidak membenci Fu Giok-su, hanya tidak
puas dengan tindakan Ci Siong tojin!" Wan Fei-yang masih
menggerutu panjang lebar.
"Kau tidak perlu sakit hati. Ilmu yang aku ajarkan sama sekali
tidak di bawah Bu-tong-liok-kiat. Yang penting kau harus giat
berlatih. Suatu hari pasti dapat menonjolkan diri di dunia
219 kangouw," gumam manusia berpakaian hitam tersebut.
Wan Fei-yang memandangi manusia berpakaian hitam itu
lekat-lekat. Akhirnya dia dapat mengendalikan perasaannya.
Gurunya itu juga tidak berkata apa-apa lagi. Tangannya
dikibaskan. Wan Fei-yang menggertakkan giginya erat-erat.
Sekali lagi senjatanya yang berbentuk capitan diluncurkan.
Suaranya menderu-deru.
***** Pada hari yang sama, di atas meja pada kantor pusat Bu-ti-
bun tergeletak tiga helai panji telapak darah. Mereka
mendapatkannya dari tiga tempat yang berbeda. Pertama di
rumah sepasang suami istri yang tua, kedua di tempat praktik
tabib Mok dan yang terakhir dari rumah makan dan
penginapan Cui-sian-lou.
Seorang anak buah Bu-ti-bun mengambil ketiga helai panji itu
dan memanteknya di atas dinding sebelah kiri. Di dalam
ruangan terdapat empat orang Hu-hoat dari Bu-ti-bun, lima
orang tongcu. Mata mereka semua menatap ke arah tiga helai
panji yang terpantek di atas dinding. Wajah mereka kelam
sekali. Tiba-tiba Kongsun Hong menggebrak meja dan berdiri dari
kursinya. "Entah orang dari golongan mana yang telah menelan nyali
harimau sehingga berani memalsukan telapak tangan darah
dari Bu-ti-bun kita!" teriaknya marah.
220 Tok-ku Bu-ti telah menyebarkan panji telapak darah dan
memberi amanat bahwa siapa pun tidak boleh mengganggu Ci
Siong tojin. Tentu mereka tidak berani membangkang perintah
tersebut. Tapi Ci Siong tojin sama sekali tidak tahu adanya perintah itu.
Ketika berita tersebar sampai di telinga anggota-anggota Bu-ti-
bun, mereka segera turun tangan menyelidiki. Mereka sama
sekali tidak berhasil menemukan orang yang mencurigakan.
Hanya tiga helai panji tersebut yang mereka dapatkan.
Seluruh anggota Bu-ti-bun terkejut mengetahui adanya
kejadian semacam ini. Sejak berdirinya Bu-ti-bun, baru
pertama kali mereka menghadapi masalah seperti ini. Tok-ku
Hong bahkan lebih marah daripada Kongsun Hong.
"Pasti musuh besar Bu-tong-pai telah memperhitungkan
segalanya dan melemparkan kesalahan kepada pihak kita.
Orang itu memang cerdik sekali. Dia menggunakan akal
memancing ikan di air keruh," katanya.
Kongsun Hong menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Menunjukkan ekor menyembunyikan kepala. Siapa diri
mereka pun tidak berani diberitahukan umum. Orang
semacam ini juga tidak mungkin mempunyai kepandaian
seberapa tinggi!" sahutnya dengan wajah merah padam.
"Biar bagaimana, kita harus menyelidiki masalah ini sampai
tuntas. Kita harus menemukan orang yang memalsukan
telapak darah tersebut," kata Tok-ku Hong dengan nada dingin
dan datar. 221 "Tentu saja!"
Cian-bin-hud, salah satu dari empat orang Hu-hoat Bu-ti-bun
segera membuka suara, "Apakah kita harus melaporkan
masalah ini kepada Buncu?"
Kongsun Hong menggelengkan kepalanya. "Suhu sedang
menutup diri melatih ilmu, kita tidak boleh mengejutkannya."
Tok-ku Hong mendengus dingin. "Takut apa" Kau tidak pergi,
aku yang ke sana!" katanya.
Kongsun Hong segera mencegahnya, "Sumoay ... urusan
tetek-bengek semacam ini ...."
"Urusan tetek-bengek?" mata Tok-ku Hong mendelik lebar-
lebar kepada Kongsun Hong. "Ada orang yang memalsukan
telapak darah Bu-ti-bun kau katakan urusan kecil?"
Kongsun Hong tertawa sumbang, "Sumoay, biar aku turun
gunung untuk menyelidiki urusan ini. Kalau tidak ada hasilnya,
baru kita rundingkan kembali, bagaimana?"
Mata Tok-ku Hong mengerling sekilas, "Aku juga ikut!"
Kongsun Hong terpana, wajahnya berubah pucat. Keempat
orang Hu-hoat saling melirik sekilas. Belum sempat mereka
menyatakan apa-apa, Tok-ku Hong sudah berteriak kembali,
"Kalau kau boleh pergi, mengapa aku tidak?"
Kongsun Hong semakin terpana. Melihat suhengnya yang
diam saja, Tok-ku Hong semakin merajuk. "Kalau kau tidak
mengizinkan aku ikut, lain kali jangan menemui aku lagi!"
222 ancamnya garang.
Gadis itu langsung membalikkan tubuhnya dengan maksud
meninggalkan tempat itu. Kongsun Hong menjadi panik
seketika. "Sumoay ...!" panggilnya gugup.
"Ada apa?" tanya Tok-ku Hong tanpa memalingkan kepalanya.
"Kalau kau memang hendak ikut, boleh saja. Tapi sepanjang
perjalanan kau harus menurut kata-kataku. Jangan berbuat
sekehendak hati sehingga menimbulkan masalah baru," kata
Kongsun Hong. Tok-ku Hong merenung sejenak, kemudian dia
menganggukkan kepalanya. Dia sudah lama menunggu
kesempatan seperti ini. Tok-ku Bu-ti tidak pernah mengizinkan
dia merantau seorang diri.
***** Dunia luar bagi Tok-ku Hong merupakan sesuatu yang baru
dan aneh. Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak tergesa-
gesa dalam melakukan perjalanan. Kongsun Hong tidak
berani mengatakan apa-apa. Meskipun dia sangat garang, tapi
terhadap Tok-ku Hong, dia selalu menurut. Persis seperti
seekor domba. Hari cerah sekali, angin bertiup sepoi-sepoi. Ini merupakan
hari kelima, mereka sudah sampai di dusun sebelah timur.
Jalanan ramai sekali, rupanya ada yang sedang mengadakan
hajatan. 223 Pengantin pria duduk di atas kuda, di belakangnya terdapat
sebuah tandu yang indah. Di antara sorak para penduduk, dia
menjalankan kudanya dengan wajah berseri-seri menuju luar
kota. Di kiri kanan jalan banyak penduduk sedang menyaksikan
keramaian. Beberapa laki-laki berpakaian hitam juga
berkerumun di antara orang banyak. Mereka mulai mendekati
tandu yang indah itu. Kerumunan orang-orang yang
menghalangi mereka mulai terdorong. Ada beberapa yang
merasa tersinggung, namun ketika melihat orang-orang itu,
mereka malah menjadi ketakutan. Sebagian besar mengalah
dan memberi jalan kepada mereka.
Sejak tadi pengantin pria itu masih belum merasakan apa-apa.
Ketika dia mengetahuinya, wajahnya segera berubah hebat.
Laki-laki berpakaian hitam yang mungkin bertindak sebagai
kepala rombongan pendatang itu menyeruak di antara orang
banyak dan akhirnya mengadang di depan pengantin pria
tersebut, Dia memperhatikan sang pengantin pria dari atas
kepala sampai ujung kaki.
"Coba kalian lihat, jelek sekali pengantin pria ini!" katanya.
Laki-laki berpakaian hitam yang ada di belakangnya segera
tertawa terbahak-bahak.
"Bagi laki-laki yang penting kantongnya, jelek sedikit kan tidak apa-apa. Lain kalau perempuan," kata salah satunya.
"Coba kalian terka, apakah pengantin perempuan ini cantik
atau tidak?" kata orang yang pertama.
224 "Kalau cantik, masa dia bersedia menikah dengan laki-laki
sejelek itu?" sahut yang lainnya.
"Kalau menurut aku, justru sangat cantik. Bukankah pepatah
ada yang mengatakan bahwa rembulan selalu menantikan
burung pungguk?" oceh yang pertama sembarangan.
"Mana ada pepatah seperti itu" Lebih baik kita lihat saja
sendiri," sahut rekannya menganjurkan.
Laki-laki berpakaian hitam yang lain segera menyetujuinya.
Mereka mendorong para dayang yang mengawal di depan
tandu dan menyingkapkan tirainya. Pengantin pria tidak tahu
apa yang harus dilakukannya. Pengantin perempuan di dalam
tandu sudah menjerit ketakutan. Laki-laki berpakaian hitam
tadi tertawa terbahak-bahak. Para penduduk yang
menyaksikan kejadian itu hanya dapat menahan amarah
dalam hati. "Apa yang kau katakan memang benar. Hanya perempuan
sejelek ini yang bersedia menikah dengan si burung pungguk!"
kata laki-laki berpakaian hitam yang menjadi pemimpin.
Masih tertawa terbahak-bahak mereka segera meninggalkan
tandu dan berjalan di tempat semula. Para penonton segera
menghindar dan bubar, ke rumah masing-masing. Hanya
Kongsun Hong dan Tok-ku Hong berdua yang masih tegak di
tempat semula. Tok-ku Hong memandangi laki-laki berpakaian hitam itu
dengan tatapan dingin. Kongsun Hong tentu tahu bagaimana
adat Tok-ku Hong. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi, tapi
225 dia sama sekali tidak menasihati Tok-ku Hong untuk pergi dari
situ. Beberapa laki-laki berpakaian hitam tersebut memandangi
Tok-ku Hong lekat-lekat. "Lihat ... yang ini jauh lebih cantik!"
kata sang pemimpin.
"Kalau dia bersedia menjadi pengantinku, aku bersedia
umurku berkurang tiga puluh tahun," sambung rekannya.
"Kalau boleh mengecupnya saja aku sudah puas," kata
seorang lainnya. Dia segera menghampiri Tok-ku Hong. Siapa
sangka gadis itu mengangkat kakinya dan menendang orang
itu sampai terpelanting di atas tanah.
Teman-temannya yang lain masih belum menyadari
kehebatan Tok-ku Hong. Mereka malah tertawa terbahak-
bahak melihat temannya jatuh terpelanting. Laki-laki itu malah
marah-marah, "Budak cilik! Kau berani membokong toaya ini?"
Tangannya bergerak. Sebatang golok sudah berada dalam
genggamannya. Tok-ku Hong tertawa dingin. Kongsun Hong maju dua langkah
dan mengadang di depan sumoaynya. Pada saat itu, laki-laki
berpakaian hitam yang lain baru merasakan bahwa sepasang
laki-laki dan perempuan ini bukan orang biasa. Mereka segera
mengurung Kongsun Hong dan Tok-ku Hong.
Di pinggang masing-masing orang itu terselip sebatang golok
panjang. Salah satunya mengibaskan tangan kepada Kongsun
Hong. "Sobat! Di sini tidak ada urusanmu!" katanya.
Belum sempat Kongsun Hong menyahut, seorang lainnya
226 sudah menukas, "Lihat yang jelas sebelum bertindak!" Dia
mengeluarkan sebuah simbol dari balik pakaiannya.
Di atas simbol yang terbuat dari logam itu tertera dua buah
huruf "Bu-ti".
"Kami adalah orang-orang Bu-ti-bun. Kalau kau memang
pintar, cepat tinggalkan gadis ini sebelum terlambat!" kata
orang itu selanjutnya.
Sinar mata Kongsun Hong beralih ke arah logam yang ada di
tangan orang itu. Wajahnya berubah kelam. "Wie-tian-wei-toa,
Ju-jit-fang-tiong!" serunya.
Orang itu terpana. "Rupanya orang sendiri," katanya.
"Jangan percaya begitu saja. Suruh tunjukkan dulu lambang
kepercayaan mereka!" seru yang lainnya.
Kongsun Hong segera mengeluarkan sebuah giok yang
terselip di pinggangnya. Dia menunjukkan tanda itu kepada
orang-orang berpakaian hitam. Batu giok itu bagus sekali, di
atasnya juga tertera dua huruf, malah di dasarnya terlihat
ukiran seekor macan tutul.
Para laki-laki berpakaian hitam yang melihat giok itu langsung
saling mengadu pandang. Wajah mereka pucat pasi. Tanpa
banyak cakap lagi mereka segera menjatuhkan diri dan
berlutut di atas tanah.
"Cayhe sekalian memang buta melek. Tidak tahu kehadiran
Tongcu yang mulia, malah berani .?"
227 Kongsun Hong menyimpan kembali batu gioknya. "Kalian
adalah anggota cabang ketiga belas?" tanyanya dingin.
"Betul ...." suara pemimpin laki-laki berpakaian hitam itu serak.
"Harap Tongcu bersedia memaafkan dosa kami."
"Kau tahu salah?"
"Ampun, Tongcu ...." laki-laki itu langsung membenturkan
jidatnya ke atas tanah.
"Baik," Kongsun Hong mengibaskan tangannya. "Kalian boleh
kembali sekarang. Malam nanti aku akan berkunjung ke kantor
cabang tiga belas."
"Tongcu ...."
Kongsun Hong memalingkan wajahnya. Tok-ku Hong tertawa
dingin. Dia tidak mempedulikan orang-orang itu dan langsung
meneruskan langkahnya. Mata-mata laki-laki berpakaian hitam
itu mengantar kepergian dua orang itu. Keringat dingin mulai
menetes. Wajah mereka pucat seperti selembar kertas.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang harus kita lakukan?"
Pemimpin mereka tertawa sumbang tanpa menyahut.
***** Rumah makan yang mewah, hidangan yang lezat. Hawa
amarah Tok-ku Hong sudah lenyap. Dengan perasaan
228 gembira dia menikmati semuanya.
"Hidangan di rumah makan ini boleh juga, sayangnya agak
padat." Tidak jauh di sebelah kanan mereka terdapat dua orang laki-
laki berusia setengah baya sedang duduk bercengkerama
dengan dua orang wanita yang terus tertawa terkekeh-kekeh.
Pasti bukan orang baik-baik. Dua orang laki-laki setengah
baya itu tidak hentinya mengucapkan kata-kata kotor yang
tidak enak didengar. Kedua wanita itu sama sekali tidak
mengambil hati, bahkan ikut mendengarkan dengan penuh
perhatian. Tamu-tamu yang lainnya juga berbincang dengan
rekannya masing-masing.
Satu-satunya yang tidak terseret dalam arus mereka hanya
Kongsun Hong serta Tok-ku Hong berdua. Kongsun Hong
berusaha menyenangkan hati sumoaynya. Sekian lama Tok-
ku Hong baru menyahut sepatah kata. Dia tidak begitu
mempedulikan Kongsun Hong. Laki-laki itu akhirnya tidak
berani banyak bicara. Dia takut Tok-ku Hong menjadi tidak
senang. Otaknya terus bekerja. Matanya mengerling ke sekitar. Dia
berharap dapat menemukan bahan pembicaraan yang
menarik. Dengan demikian hati Tok-ku Hong akan menjadi
gembira. Oleh karena itu ketika dua orang bocah cilik masuk
ke dalam ruangan rumah makan tersebut, perhatian Kongsun
Hong segera terpusat pada mereka.
Kedua bocah itu sangat tampan, pakaian mereka mewah.
Yang satu membawa pedang, yang satunya lagi membawa
harpa. Mereka menuju tempat duduk di samping jendela.
229 Harpa dan pedang diletakkan di atas meja. Salah seorang
segera melepaskan bungkusan dari bahu dan membukanya.
Di dalamnya terdapat sebuah kotak yang indah. Bocah yang
lainnya segera membentangkan sehelai kain putih. Dia
membersihkan meja dengan kain tersebut. Seorang pelayan
menghampiri mereka. Melihat apa yang dilakukan kedua
bocah tersebut, dia berdiri termangu-mangu.
Kongsun Hong juga merasa heran. Dia tidak lupa
memberitahukan Tok-ku Hong. "Sumoay, lihat kedua bocah
itu," katanya.
Perhatian para tamu yang segera tertarik pada kedua bocah
yang sama. Sedangkan kedua bocah itu seperti menganggap
mereka semua tidak ada. Mereka membersihkan meja itu
sampai mengkilap. Lalu menghamparkan sehelai taplak kursi
yang terbuat dari kain wol di atas bangku rumah makan
tersebut. Kemudian mereka berdiri tegak di samping meja itu.
Para tamu semakin penasaran dibuatnya. Tepat pada saat itu
juga, seorang pemuda berpakaian putih masuk ke dalam
rumah makan. Tampangnya tampan dan anggun, pakaiannya
mewah. Sinar matanya angkuh. Tanpa mempedulikan
sekitarnya, dia menghampiri meja di mana kedua bocah
berdiri. Kemudian dia duduk di atas taplak kain wol tersebut.
Sorot matanya tidak jahat, hanya acuh tak acuh terhadap
keadaan sekitarnya. Dia seolah memandang sebelah mata
kepada orang lain. Melihat gaya pemuda ini, pemilik rumah
makan segera menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Dia
mengibaskan tangan agar pelayannya mengundurkan diri. Dia
bermaksud melayani sendiri. "Kongcu ...." sapanya.
230 Pemuda berpakaian putih meliriknya sekilas, sama sekali tidak
mempedulikannya. Bocah sebelah kanannya segera maju dan
memberi perintah, "Bawakan beberapa macam hidangan yang
paling terkenal dari rumah makan ini."
"Ingat! Harus yang bersih!" sambung bocah yang satunya.
Pemilik rumah makan itu terpana sejenak, kemudian dia
memalingkan wajahnya memanggil salah seorang pelayan,
"Cepat sediakan cawan dan mangkok sekalian sumpitnya."
"Tidak usah!" kata bocah yang pertama.
"Kami membawa sendiri!" lanjut bocah yang lainnya sambil
membuka kotak yang dibawanya tadi. Dia mengeluarkan
mangkuk, sumpit dan cawan yang terbuat dari perak.
Kemudian dia juga mengeluarkan sehelai sapu tangan dan
membersihkan peralatan tersebut satu per satu.
Pemilik rumah makan itu agak kurang senang, tapi tidak
berani memperlihatkannya dan segera mengundurkan diri.
Sedangkan dua laki-laki setengah baya yang duduk bersama
dua orang wanita yang bertampang genit segera mencibirkan
bibirnya. "Sungguh besar lagaknya," kata salah seorang dari kedua laki-
laki tersebut. Perempuan yang duduk di sampingnya malah tertawa
terkekeh-kekeh. "Kau tidak senang melihatnya?" sindirnya.
"Hanya banci saja yang banyak lagak seperti itu," kata laki-laki 231
tersebut. "Peduli amat dia banci atau bukan. Yang penting uangnya
banyak dan lagipula wajahnya tampan. Mengapa kau tidak
meniru perbuatannya?" dengan genit perempuan itu
mengerling ke arah pemuda berpakaian putih tersebut.
Laki-laki setengah baya itu marah sekali mendengar ucapan
perempuan tadi. "Mengapa aku harus menirunya" Aku yang
memberimu uang atau dia?" teriaknya.
Perempuan itu malah tertawa terbahak-bahak. Laki-laki
lainnya segera menengahi pertengkaran mereka.
"Untuk apa kau marah-marah" Kalau kau mau membuat
wajahnya menjadi jelek, kan mudah sekali."
Tentu saja laki-laki yang sedang marah itu mengerti apa yang
dimaksudkan rekannya.
"Bagus! Pokoknya aku memang tidak suka melihat orang
semacam itu," sahutnya.
Kedua orang itu segera berdiri dalam waktu yang bersamaan.
Mereka berjalan menghampiri pemuda berpakaian putih.
Sedangkan pemuda itu sejak tadi tampaknya tidak peduli
keadaan di sekeliling mereka. Tiba-tiba dia berseru, "Jit Po!"
Bocah yang berdiri di sebelah kanannya segera menyahut dan
mengadang kedua laki-laki setengah baya tersebut. "Kongcu
kami mempersilakan kalian meninggalkan tempat ini,"
katanya. 232 Wajah kedua laki-laki itu berubah hebat, jelas mereka sangat
tersinggung. Yang satunya segera tertawa dingin. "Apakah ini
sebuah perintah?" tanyanya sinis.
Yang satunya lagi tak mau kalah gertak, dia menuding
hidungnya sendiri, "Tahukah kau siapa kami?"
Jit Po tidak mempedulikan. Pemuda berpakaian putih berseru
sekali lagi, "Liok An!"
Bocah yang satunya lagi cepat-cepat maju ke depan.
"Sekarang kalian harus menggelinding dari sini," katanya.
Kedua laki-laki itu marah sekali, sambil menggeram kedua
orang itu mencekal Jit Po dan Liok An. Bagaimana pun
mereka pernah berlatih keras dalam ilmu silat. Begitu tinjunya
meluncur, suaranya menggetarkan.
Jit Po dan Liok An seakan memandang sebelah mata, wajah
mereka tenang-tenang saja. Gerakan tubuh mereka sangat
lincah. Begitu berhasil melepaskan diri dari cengkeraman laki-
laki tersebut, mereka langsung menerjang dengan jurus
burung hong mengembangkan sayap. Telapak tangan mereka
menghantam bagian pundak kedua laki-laki itu.
Meskipun usia mereka masih sangat muda, namun baik ilmu,
tenaga dalam ataupun cara menghadapi lawan sudah
termasuk lumayan. Tangan kiri menangkis dengan lincah,
telapak tangan kanan dengan telak mengenai bahu kedua
laki-laki tadi.
Rupanya tahun ini benar-benar merupakan tahun yang sial
bagi kedua laki-laki setengah baya itu. Sekali bergebrak sudah
233 luput dari sasaran. Hal ini disebabkan karena pertama terlalu
memandang ringan lawan. Kedua, memang mereka ada
sedikit mabuk. Jit Po menundukkan tubuhnya dan laki-laki yang menjadi
lawannya terlongong-longong ketika bocah itu menyeruak
lewat selangkangannya. Belum lagi dia sadar apa yang
hendak dilakukan bocah tersebut, tubuhnya sudah terangkat
dan terlempar jauh. Liok An tidak mau kalah, sebelah kakinya
diangkat dan menyepak lawannya keluar.
Kedua laki-laki yang melihat bahwa Jit Po dan Liok An saja
sudah begitu lihai, mana berani macam-macam lagi. Sambil
menggelinding dan setengah merangkak, mereka cepat-cepat
kabur dari tempat itu. Liok An dan Jit Po juga tidak mengejar.
Setelah merapikan pakaian mereka dengan mengibas-
ngibasnya, mereka kembali di samping kiri dan kanan pemuda
berpakaian putih itu.
Mata setiap orang terpusat pada ketiga majikan dan pelayan
tersebut. Suara kejutan sudah reda. Sedangkan kedua wanita
yang menemani laki-laki yang sudah kabur itu saling
mengerling sekilas kemudian bangkit menghampiri meja
pemuda itu. Di wajah keduanya terpasang senyuman genit.
Belum lagi langkah mereka sempat mendekati pemuda itu, Jit
Po sudah berteriak nyaring, "Tahan!"
Kedua wanita itu terpana sejenak, kemudian mereka
tersenyum simpul. "Anak baik ... siapakah nama Kongcumu
yang tampan itu?" tanya salah satu dari kedua wanita
tersebut. 234 Sedangkan rekannya yang lain menggunakan kesempatan itu
menerobos mendekati pemuda berpakaian putih.
"Enyah!" bentak pemuda itu sambil tertawa dingin. Lengan
bajunya dikibaskan, terdengar suara menderu-deru, segulung
angin kencang menerpa. Rasa terkejut wanita itu masih belum
sirna, tubuhnya sudah terdorong. Sambil terjatuh terpontang-
panting, kibasan lengan baju pemuda itu mengantarnya balik
ke tempat semula.
Perempuan yang satunya melihat keadaan itu dengan mata
panik. Tidak menunggu Jit Po turun tangan, dia
mengembangkan sebuah senyuman yang dipaksakan, lalu
cepat-cepat kembali ke sisi temannya.
Pemuda berpakaian putih itu tidak melirik sama sekali, hanya
tertawa dingin. "Perempuan yang berani mendekati laki-laki
tanpa malu-malu pasti bukan perempuan baik-baik," sindirnya.
Apa yang dikatakannya memang tidak salah, kedua wanita itu
memang pelacur adanya. Tapi Tok-ku Hong yang
mendengarkan kata-katanya, langsung merasa marah.
Dadanya panas sekali seakan hampir meledak. Pada saat itu,
pemuda berpakaian putih dan kedua pelayannya sedang
membayar makanannya dan bersiap meninggalkan tempat itu.
Sinar mata Tok-ku Hong mengedar, sumpit di tangannya
melayang cepat. Pada dasarnya dia memang seorang ahli
melempar golok terbang. Kecuali Kongsun Hong, rasanya
tidak ada lagi yang tahu apa yang diperbuatnya. Sumpit itu
meluncur ke arah meja kedua pelacur tadi. Sebuah teko teh
tersenggol dan melayang ke arah pemuda berpakaian putih.
235 Namun, punggung pemuda itu seperti mempunyai indera
penglihatan saja. Tubuhnya menggeser sedikit, tangan
kanannya terangkat dan menyambut teko itu dengan mudah.
Para tamu sempat terpana sesaat, kemudian meledaklah tawa
mereka. Tampaknya pemuda berpakaian putih itu baru sadar bahwa
yang disambutnya tadi adalah sebuah teko. Lengan bajunya
terciprat basah oleh air yang tumpah. Wajahnya berubah
hebat. Jit Po cepat-cepat menghampiri dan mengambil teko
dari tangan tuan mudanya. Rasa marah Tok-ku Hong akhirnya
surut juga. Ketika dia melangkahkan kaki keluar dari rumah
makan tersebut, dia masih sempat mendengar suara tawa
tamu yang belum sirna.
Tok-ku Hong sendiri ikut tertawa. Kongsun Hong yang
menatapnya dari samping dan melihat sumoaynya demikian
gembira, hatinya jadi berbunga-bunga. Namun semakin
diperhatikan, dia menjadi terpesona. Senyum Tok-ku Hong
demikian indah dan menawan.
***** Malam berbintang, rembulan bercahaya.
Malam semakin larut, angin semakin kencang. Rumput-rumput
liar menari-nari. Padang rumput yang sehari-harinya memang
sudah sunyi semakin mencekam di malam hari. Ibarat sebuah
kota hantu layaknya.
Meskipun jaraknya dengan kota tadi hanya setengah li, tapi
236 penduduk sekitar menganggapnya sebagai tempat yang
angker. Daerah pemakaman yang sudah tidak terurus juga
berada di sekitar tempat ini. Terlihat sebuah rumah yang
sudah mulai hancur. Perasaan semakin tegang. Tidak heran
kalau para penduduk menganggapnya sebagai pemukiman
setan gentayangan.
Di depan halaman rumah ada sebuah paviliun kecil. Menurut
cerita penduduk, tadinya ada seorang tukang kayu yang
tinggal di sana. Karena sering diganggu oleh hantu-hantu,
maka orang itu sudah kabur ketakutan. Malah ada yang
mengatakan bahwa tukang kayu yang sudah pindah itu
menderita sakit berkepanjangan, setiap hari dia merintih dan
meratap. Sejak kejadian itu, rumah tersebut selalu kosong.
Apa lagi setelah terjadi beberapa peristiwa yang aneh, orang-
orang semakin ketakutan. Siang hari pun tidak ada yang
berani menginjak daerah tersebut.
Kongsun Hong dan Tok-ku Hong justru berada di depan pintu
rumah tersebut malam ini. Angin bertiup kencang. Tanpa
sadar hati Tok-ku Hong agak tegang. Tapi di luarnya dia tidak
menunjukkan apa-apa. Kongsun Hong sendiri tidak
mempedulikan keadaan di sekitarnya. Dia meneruskan
langkah kakinya sampai di depan pintu. "Wie-tian-wei-toa, Ju-
jit-fang-tiong!" serunya tiba-tiba.
"Krek!", pintu dibuka. Dua orang laki-laki berpakaian putih
menyembulkan kepalanya. Wajah mereka pucat pasi bagai
mayat hidup. Segulungan angin dingin tiba-tiba menerpa.
Tubuh Tok-ku Hong gemetar dibuatnya.
Kedua laki-laki berpakaian putih itu segera membungkukkan


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya dalam-dalam. "Selamat datang kami ucapkan
237 kepada Toa-siocia (nona besar) dan Kongsun-tongcu," kata
mereka serentak.
Kongsun Hong mengibaskan tangannya.
"Antar jalan!"
Kedua manusia berpakaian putih itu membalikkan tubuh dan
masuk ke dalam. Cahaya lampu memijar. Lentera telah
dinyalakan, sinarnya remang-remang. Manusianya sendiri
seperti setan gentayangan yang melayang menuju ke dalam.
Setelah melewati halaman depan, tampak sebuah pintu besar
yang telah terbuka. Di kiri kanannya masing-masing berdiri
seorang laki-laki berpakaian putih dan membungkuk
menyambut. Di belakang pintu terdapat sebuah koridor
panjang. Di sebelah kiri berdiri tegak tiga orang manusia
berpakaian hitam, sedangkan di sebelah kanan terdapat
empat manusia berpakaian hitam juga.
Tujuh manusia berpakaian hitam itulah yang membuat gara-
gara di siang harinya. Mereka bahkan berani mengganggu
Tok-ku Hong. Kalau dilihat keadaan tujuh orang itu agak aneh.
Setelah diperhatikan, ternyata mereka bukan berdiri tegak tapi
disandarkan ke tembok di belakangnya. Mata mereka
terbelalak, semuanya pasti sudah tidak sadarkan diri.
Tok-ku Hong yang melihat keadaan itu, memperdengarkan
suara tertawa dingin. Kakinya terus melangkah ke dalam. Di
ujung koridor merupakan sebuah ruangan yang besar.
Sebelum Tok-ku Hong dan Kongsun Hong sampai di ruangan
tersebut, pintu gerbangnya memang telah terbuka. Seorang
laki-laki berusia setengah baya melangkah keluar. Pakaiannya
238 mewah sekali. "Tancu (kepala cabang) cabang tiga belas, Tong Piau
menghadap Toa-siocia dan Kongsun-tongcu. Harap maafkan
kami yang tidak menyambut dari jauh."
Kongsun Hong mengibaskan tangannya. Dengan Tok-ku
Hong mengiringi di samping, dia melangkah ke dalam
ruangan. Sejak masuk dari halaman depan di mana-mana
terlihat tembok yang pecah-pecah dan tinggal sepotong. Tidak
terlihat bahwa tempat itu berpenghuni. Tapi begitu masuk ke
dalam ruangan ini, segalanya tampak jauh berbeda.
***** Ruangan ini sangat mewah. Lentera-lentera bercahaya terang.
Ratusan anggota Bu-ti-bun terbagi dalam dua barisan. Melihat
kedatangan Kongsun Hong dan nona besarnya, mereka
segera menjatuhkan diri berlutut.
Di tengah ruangan telah disediakan dua buah kursi besar yang
ditutupi dengan kulit binatang. Tong Piau mempersilakan
kedua orang itu duduk. Dia sendiri berdiri di samping mereka.
Mata Tok-ku Hong beredar lalu berhenti pada wajah Tong
Piau. "Apakah saudara-saudara kita yang bertempat di sekitar
sini berada di bawah pengawasanmu?" tiba-tiba dia bertanya.
"Ajaran budak kurang becus, anak buah budak berani mati
menyalahi Toa-siocia," sahut Tong Piau gugup.
239 "Oh, ternyata kau sendiri menyadarinya?" Tok-ku Hong
mendengus dingin.
Kening Tong Piau mulai dibasahi oleh keringat dingin, "Orang-
orang yang membuat gara-gara telah dihukum sesuai
peraturan. Harap Toa-siocia jangan marah lagi."
Tok-ku Hong hanya tertawa dingin.
"Mengenai orang-orang yang memalsukan Bu-ti-bun ...
apakah kau sudah mendapat kabar?" tukas Kongsun Hong.
Tong Piau agak lega juga karena pokok pembicaraan
dialihkan. "Budak telah memerintahkan seluruh anggota kita untuk
menyelidiki secepatnya. Namun sampai saat ini masih belum
ada hasil yang menggembirakan."
Wajah Kongsun Hong berubah serius.
"Apakah kalian sudah menerima panji telapak darah dari
kantor pusat yang disebarkan pada pertengahan bulan
sembilan?" tanyanya kembali.
Hati Tong Piau menjadi tegang kembali mendengar
pertanyaan itu. "Kami sudah menerimanya."
"Apa bunyi perintah itu?"
Mulut Tong Piau melongo, sepatah kata pun tidak terucap
olehnya. 240 "Bilang!" bentak Kongsun Hong.
"Dalam waktu dua tahun, tidak boleh ada anggota Bu-ti-bun
yang membuat keributan di luar. Siapa yang melanggarnya,
mati!" sahut Tong Piau setelah memberanikan diri.
"Kalau perintah itu telah kalian terima, mengapa cabang tiga
belas tidak mengurus anak buahnya baik-baik?" tanya
Kongsun Hong sekali lagi.
Keringat Tong Piau menetes bagai air hujan. "Mungkin karena
biasanya budak terlalu memberi kebebasan kepada mereka.
Harap Tongcu membuka hati dan melapangkan jiwa."
Kongsun Hong memalingkan wajahnya. "Apa bunyi peraturan
nomor sembilan belas dari perguruan kita?" tanyanya.
"Siapa ... yang ... melanggar ... te ... lapak ... darah ... mati ...."
wajah Tong Piau pucat pasi, suaranya tersendat-sendat.
"Nomor dua puluh satu?"
"Berani ... menghina atasan ... mati."
"Nomor dua puluh empat?"
Tubuh Tong Piau semakin menggigil. Dia tidak sanggup
menjawab lagi. "Membiarkan anak buah melanggar perintah, hukuman apa
yang harus diberikan?"
Tubuh Tong Piau semakin gemetar. Kongsun Hong
241 menggebrak meja.
"Hukuman apa harus di terima orang ini?" bentaknya keras.
Jilid 6 "Mati ...." Tong Piau panik sekali. Dia segera menjatuhkan diri berlutut dan membenturkan kepalanya berkali-kali ke lantai.
"Budak tahu salah, harap Tongcu membuka hati lebar-lebar
...." "Selama sepuluh tahun ini, kau pernah menyapu daerah utara
sampai bersih. Meraih kemenangan dalam pertarungan
sebanyak tiga puluh enam kali. Membela perguruan mati
hidup. Jasamu juga tidak sedikit. Namun tahun terakhir ini, kau sudah tidak mempedulikan baktimu kepada Bu-ti-bun. Lebih
banyak berfoya-foya. Memanjakan anak buah. l mu silatmu
tidak mengalami kemajuan. Tapi kali ini sungguh keterlaluan.
Melihat jasamu pada tahun-tahun yang lalu, aku
mengampunimu sekali lagi," kata Kongsun Hong dingin.
"Terima kasih, Tongcu," wajah Tong Piau berseri-seri seketika.
Dia langsung berdiri tegak.
"Hukuman mati dibatalkan, hukuman hidup tetap berlaku,"
kata Kongsun Hong kembali.
Tong Piau langsung menjatuhkan diri berlutut kembali.
"Mana bagian Cik-hoat?" tanya Kongsun Hong.
Dua laki-laki berpakaian putih keluar dari barisan dengan
242 tergopoh-gopoh. Wajah mereka menunjukkan ketakutan yang
dalam. Mereka juga menjatuhkan diri berlutut di samping
majikannya. Kongsun Hong melirik sinis.
"Putuskan telapak tangan sebelah kiri!" perintahnya.
"Baik," sahut salah satu dari kedua orang bagian Cik-hoat itu.
Dia segera mengambil seutas tali dan mengikat pergelangan
tangan Tong Piau. Laki-laki itu memejamkan mata tidak berani
melihat. Cik-hoat itu segera menarik sekuat tenaga. Tubuh
Tong Piau ikut tertarik dan melayang di udara. Laki-laki
berpakaian putih yang satunya segera mengeluarkan sebilah
pisau dan sekali gerak, pergelangan tangan Tong Piau sudah
terbacok putus.
Tubuh Tong Piau mendarat ke lantai, dari pergelangan
tangannya mengalir darah deras sekali. Rasa sakitnya jangan
dikatakan lagi. Namun dia tetap berusaha menjatuhkan diri
berlutut di depan Kongsun Hong.
"Terima kasih atas kebaikan Tongcu yang tidak menjatuhkan
hukuman mati," katanya terputus-putus.
Melihat keadaan itu, Tok-ku Hong merasa tidak sampai hati.
Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Kongsun Hong masih
tenang seperti semula.
"Cepat mundur!" bentaknya.
Tong Piau baru berani merobek lengan bajunya dan
membungkus lukanya itu. Dua orang laki-laki berpakaian putih
segera menghampiri dan memapahnya dari kiri dan kanan.
243 Mereka membawanya masuk ke dalam. Sisa anggota Bu-ti-
bun yang masih berada dalam ruangan melihat kejadian itu
dengan hati gentar. Tidak ada satu pun yang berani
mengeluarkan suara.
"Hu-tancu (wakil kepala cabang)!" panggil Kongsun Hong
dengan suara lantang.
"Cu Bong di sini," sahut seorang laki-laki bertubuh tegap
sembari berjalan keluar dari barisan anggota Bu-ti-bun. Dia
segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kongsun Hong.
"Perintahkan dua orang untuk membawa Tong Piau ke kantor
pusat, rrusan di sini sementara ini kau yang tangani. Tunggu
perintah dari kantor pusat!" kata Kongsun Hong.
"Baik!"
"Mulai sekarang, perhatikan setiap orang yang keluar masuk
kota ini. Apabila terlihat hal yang mencurigakan, segera lapor
pada kantor pusat!" kata Kongsun Hong.
"Baik!" Cu Bong membenturkan kepalanya sekali lagi.
Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benak Tok-ku Hong. "Ada
seseorang yang patut dicurigai. Dia berada di Sing Long Kek-
can (penginapan Sing Long)," katanya.
"Orang itu ...."
"Dia mengenakan pakaian putih. Tampaknya dari perguruan
yang cukup terkemuka. Ada dua bocah yang melayaninya.
Masing-masing membawa sebuah harpa dan pedang," tukas
244 Kongsun Hong. "Kalian selidiki asal-usulnya!"
"Baik!" Cu Bong tentunya tidak berani membantah.
Orang yang dimaksudkan Tok-ku Hong adalah pemuda
berpakaian putih itu. Mungkin hawa amarahnya masih belum
lenyap semua. Tapi ... pemuda berpakaian putih itu memang
mencurigakan. ***** Pada saat itu, pemuda berpakaian putih sedang duduk di
dalam kamar penginapan. Di sampingnya hanya ada salah
satu dari bocah pelayannya, Jit Po!
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Liok An masuk ke dalam
bersama seorang laki-laki setengah baya menggeser ke
samping. Sinar mata pemuda itu beralih ke arah wajah Sao-laopan.
Pandangannya dingin menusuk. "Bagus sekali," katanya.
"Entah apa yang dapat aku bantu?" tanya laki-laki itu gugup.
"Aku ingin mencari sedikit berita darimu," kata sang pemuda.
"Kalau aku memang tahu, pasti aku akan memberitahukan
dengan senang hati."
"Kemana perginya Go-bi Suang-siu (Sepasang gadis cantik
dari Go-bi)?" tanya pemuda itu.
"Apa?" tampaknya Sao-laopan tidak mengerti sama sekali.
245 "Mereka adalah dua orang gadis yang menginap di sini pada
bulan enam tanggal tujuh. Yang satu she Ting dan yang
satunya lagi she Sun."
Sao-laopan seakan teringat sesuatu. Wajahnya mulai
berubah. "Sejak menginap di Sing Long Kek-can ini, mereka tidak
pernah terlihat lagi. Aku ingin tahu di mana sekarang mereka
berada," kata pemuda tersebut
Dengan susah payah Sao-laopan menelan ludahnya.
"Aku... aku...."
"Kau adalah pemilik penginapan ini, mana mungkin tidak
tahu?" "Aku tidak bisa mengatakannya," kata Sao-laopan panik.
Keringat mulai membasahi keningnya.
"Mengapa?"
"Kalau aku mengatakannya dan mereka tahu ... mereka pasti
akan membunuh aku."
Pemuda itu tertawa dingin. Liok An dan Jit Po segera
menghampiri laki-laki itu. Tangan masing-masing mencekal
sebilah pedang pendek. Mereka mengancam leher Sao-
laopan dari dua arah.
"Kalau kau tidak segera mengatakannya, maka kau akan mati
246 saat ini juga!" kata pemuda itu ketus.
Wajah Sao-laopan berubah hebat. Liok An dan Jit Po
mendorongnya ke tembok. Hawa dingin yang memantul dari
kedua belah pedang pendek itu terasa di lehernya. "Aku ... aku
akan berbicara ..." katanya panik.
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Mereka sudah mati."
Wajah pemuda itu berubah sesaat. Sejenak kemudian dia
tenang kembali.
"Bagaimana matinya?"
Sao-laopan terlihat salah tingkah, "Di tangan orang-orang Bu-
ti-bun. Mereka memperkosa dulu baru membunuh."
Wajah pemuda itu kelam sekali. Sao-laopan menarik napas
panjang. "Menurut cerita orang-orang, mereka yang lebih dulu
menyalahi anggota Bu-ti-bun. Melihat kematian mereka yang
demikian tragis, aku benar-benar tidak sampai hati. Tapi aku
tidak berani berkata apa-apa. Terpaksa aku menguburkan
mereka di taman belakang secara diam-diam. Malah peti mati
mereka, aku juga yang membelikan."
"Bawa aku ke sana!" kata pemuda itu sambil mengibaskan
lengan bajunya.
Jit Po dan Liok An segera mengendurkan pisau mereka.
247 ***** Di taman belakang terdapat segerombolan semak-semak dan
bunga- bunga. Bila semak-semak itu dikuakkan, maka
terlihatlah dua buah kuburan. Pemuda berpakaian putih itu
berdiri tegak di depannya. Sedikit suara pun tidak terdengar.
Liok An dan Jit Po terlihat sedih.
Sao-laopan berdiri di samping mereka. Tangannya menumpu


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada bahu seorang pelayan. Mengingat tragisnya kematian
kedua gadis itu, perasaannya ikut terharu. Tiba-tiba terdengar
suara bising dari arah luar taman. Puluhan manusia
berpakaian hitam menyerbu masuk.
"Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-tiong!" seru orang yang bertindak sebagai pemimpin.
Di belakang terlihat seorang manusia berpakaian hitam
memanjat lewat tembok.
"Anggota Bu-ti-bun ada urusan di sini, harap orang yang tidak
berkepentingan segera menyingkir!" teriaknya lantang.
Mendengar teriakan itu, Sao-laopan dan pelayannya segera
menyingkir dan mencari jalan keluar. Tapi pemimpin yang
berteriak pertama-tama segera mengadangnya.
"Sao-laopan!"
"Ada ... ada apa?"
"Apakah di penginapanmu ini ada seorang pemuda
248 berpakaian putih ...." Kata-katanya belum selesai dia sudah
melihat anak muda itu beserta Liok An dan Jit Po yang berdiri
di depan kuburan. "Rupanya kalian ada di sini. Bagus!"
"Memang bagus sekali!" sahut pemuda berpakaian putih
dingin sinis. "Hei! Siapa kau" Ada keperluan apa kau datang ke tempat ini"
Cepat katakan!" tanya manusia berpakaian hitam itu keras.
"Aku she Kuan ... Kuan Tiong-liu," sahut pemuda berpakaian
putih itu tenang. "Kedatangan kami ke sini adalah untuk
membunuh kalian!" Ucapannya selesai, tangannya diulurkan,
"Pedang!"
Jit Po cepat-cepat menyodorkan pedang kepada tuan
mudanya. Kuan Tiong-liu menyambut pedang itu dengan
keyakinan penuh.
"Satu pun jangan dibiarkan lolos!" perintahnya.
Liok An dan Jit Po saling lirik sekilas. Pedang pendek telah
dihunus, tubuh keduanya segera mencelat dan menerjang ke
depan. Manusia berpakaian hitam yang menjadi pemimpin
meloncat mundur beberapa langkah.
"Hati-hati!" pesannya kepada anggota Bu-ti-bun yang lain.
Kuan Tiong-liu berteriak lantang, tubuh dan pedangnya
berubah menjadi segurat garis panjang, bayangan seperti
pelangi meluncur ke depan. Manusia berpakaian hitam segera
menghunus goloknya. Dia mundur dengan kalang kabut.
Belum lagi goloknya sempat diangkat, dadanya sudah tertusuk
249 pedang. Matanya mendelik lebar, mulutnya mengeluarkan jeritan ngeri.
Seakan masih tidak percaya bahwa apa yang dialaminya
sekarang adalah kenyataan. Kuan Tiong-liu segera menarik
pedangnya kembali. Darah segar mengucur deras dari dada
manusia berpakaian hitam itu. Sao-laopan yang melihat
keadaan itu, segera jatuh tidak sadarkan diri.
Kaki pelayan yang sedang memapahnya juga lemas seketika.
Bersama dengan majikannya, mereka jatuh terkulai di atas
tanah. Pedang Kuan Tiong-liu yang tadi dicabut segera
menikam sekali lagi. Kembali seorang manusia berpakaian
hitam roboh bermandikan darah. Tanpa membuang waktu,
pedang yang tercabut kembali diputarkan. Dua orang manusia
berpakaian hitam tertebas sekaligus menjadi dua belah.
Pokoknya, setiap kali pedangnya bergerak, selalu ada korban
yang jatuh. Mana pernah manusia berpakaian hitam itu
melihat jurus pedang yang demikian cepat dan keji. Mereka
menjerit lantang dan berlarian kalang kabut. Seorang manusia
berpakaian hitam yang tadi berdiri di atas tembok paling cepat
mengambil langkah seribu. Mana tahu baru sempat lari berapa
langkah, punggungnya sudah terbacok dari belakang.
Tangannya masih berusaha mencapai tembok, namun setelah
berkelojotan berapa kali, tubuhnya melorot ke bawah dan
melayanglah nyawanya.
Kembali Kuan Tiong-liu menggerakkan pedangnya. Satu kali
ke arah kanan dan satu kali lagi ke arah kiri. Dua manusia
berpakaian hitam itu tidak sempat menghindar, mereka segera
berubah menjadi mayat.
250 Ilmu yang dimiliki pihak lawan sebenarnya terpaut terlalu jauh.
Untuk menghadapi dua orang bocah seperti Liok An dan Jit Po
saja mereka tidak sanggup, apa lagi menghadapi Kuan Tiong-
liu. Liok An dan Jit Po mengadang pintu keluar. Setiap manusia
berpakaian hitam yang berniat melarikan diri, pasti menjadi
korban pedang pendek mereka. Empat belas orang menerjang
serentak, tidak sampai sepeminuman teh mereka semua
menggeletak di tanah dengan jantung yang sudah berhenti
berdetak. Tinggal seorang manusia berpakaian hitam yang
mencoba menerobos halangan mereka. Melihat kematian
teman-temannya, kakinya menjadi lemas, pedang di
tangannya terlepas, dan tubuhnya menggeser lalu menyandar
pada tembok taman.
Pedang Kuan Tiong-liu tidak menikamnya. Dia hanya
menggunakannya untuk mengancam manusia berpakaian
hitam tersebut.
"Di mana markas kalian?" tanyanya garang.
Tenggorokan itu mengeluarkan bunyi "krok! krok!", tampaknya
setiap waktu akan semaput, tapi kenyataannya tidak.
"Di ... di ...." suaranya tersendat-sendat dan gugup.
"Antarkan kami ke sana!" kata Kuan Tiong-liu.
Manusia berpakaian hitam itu menganggukkan kepalanya
berulang kali. Liok An dan Jit Po segera maju ke depan dan
mencekal manusia berpakaian hitam itu dari arah kiri dan
kanan. Kuan Tiong-liu mengangkat pedangnya. Di bawah
251 cahaya rembulan, darah menetes setitik demi setitik terlihat
jelas. Sinar rembulan yang pucat, warna darah semerah api
membara. Dari mata Kuan Tiong-liu juga terlihat hawa panas
yang berkobar- kobar.
***** Malam semakin larut. Lentera pada cabang tiga belas Bu-ti-
bun bersinar terang. Tok-ku Hong dan Kongsun Hong sudah
pergi. Hu-tancu Cu Bong sedang menikmati arak bersama
beberapa selir kesayangannya. Dia sudah menunggu begitu
lama. Beberapa tahun sudah, sampai hari ini dia baru berhasil
menguasai sepenuhnya cabang Bu-ti-bun ini. Biar
bagaimanapun, ini merupakan hal yang menyenangkan.
Dia tidak berani ayal. Setelah Kongsun Hong dan Tok-ku
Hong meninggalkan tempat itu, dia segera menyuruh
beberapa anak buahnya menyelidiki ke Sing Long Kek-can.
Kemudian dia memesan semeja hidangan dan arak mahal.
Pada saat itu, dia sudah agak mabuk. Oleh karena itu, suara
pertarungan dan jeritan di depan halaman juga tidak jelas
terdengar olehnya. Orang-orang lainnya justru merasa ada
yang kurang beres.
"Cu-Laotoa, tampaknya di luar ada yang berkelahi," kata salah
seorang temannya.
Cu Bong langsung menggebrak meja dengan marah.
"Siapa yang begitu berani" Seret ke dalam biar aku beri
pelajaran!"
252 Baru saja perkataannya selesai, terdengar suara "brak!" yang
keras. Pintu besar ruangan itu hancur berantakan. Kuan
Tiong-liu berdiri tegak di depan pintu. Perasaan mabuk Cu
Bong lenyap seketika karena terkejut.
"Siapa?" bentaknya lantang.
"Kuan Tiong-liu dari Go-bi-pai," suara dan tubuh Kuan Tiong-
liu sampai dalam waktu yang bersamaan. Pedangnya
menyorotkan sinar yang menusuk mata.
Cu Bong terkejut sekali. Tubuhnya segera berdiri tegak. "Cret!
cret!", matanya membelalak melihat dua orang anak buahnya
mandi darah karena tikaman pedang Kuan Tiong-liu.
"Ambil golok!" teriaknya lantang.
Biasanya dia tidak pernah meninggalkan goloknya. Tapi
sebagai seorang Tancu, rasanya kurang berwibawa kalau
tidak ada orang yang memegangi golok baginya. Siapa tahu
orang yang memegangi goloknya kurang kuat minum arak,
sekarang sudah menggeletak mabuk di kursi samping.
Meskipun masih ada tersisa sedikit kesadarannya namun
mulutnya susah mengeluarkan sepatah kata pun. Cu Bong
berteriak sekali lagi. Orang itu bangkit dengan susah payah
dan akhirnya dapat juga mengeluarkan suara.
Dendam Iblis Seribu Wajah 6 Perguruan Sejati Karya Khu Lung Giring Giring Perak 2
^