Pencarian

Matahari Esok Pagi 19

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 19


membunuh kalian secepatnya"
Namun Pamot mengerti, bahwa untuk melawan Lamat Ki
Reksatani harus memeras segenap kemampuannya.
Tetapi di dekat Sindangsari itu berdiri Manguri. Karena itu Lamat sadar, bahwa
ia harus Mengambil Sindangsari dengan kekerasan. Apalagi ketika ia sadar, bahwa
ia telah berada di tengah-tengah arena perkelahian yang seru. Anak-anak muda
Gemulung yang datang bersamanya telah terlibat di dalam perkelahian. Bahkan
Rajab dan kawan-kawannyapun telah
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
membantu mereka, melawan orang-orang Ki Reksatani dan orang-orang Manguri yang
tersisa. "Jangan sentuh perempuan itu" Manguri yang juga
mendengar suara Lamat itupun menggeram.
Tetapi Pamot maju selangkah, Manguri baginya adalah
musuh bebuyutan. Manguri pernah berusaha untuk membinasakannya. Sehingga dengan demikian, maka kemarahannya itu serasa kini telah terungkat.
"Manguri" geram Pamot "jangan halangi aku supaya kau
tidak terlibat terlampau parah di dalam masalah ini" berkata Pamot.
"Persetan" sahut
Manguri "aku masih tetap akan membunuhmu. Ternyata kegagalan yang pernah terjadi
adalah karena pengkhianatan Lamat. Aku tidak menyangka, bahwa ia seorang yang
licik dan pengecut. "Jangan salahkan Lamat. Ia melihat bahwa kau berdiri di jalan yang sesat. Tetapi
ia tidak mendapat kesempatan untuk membawamu kembali ke jalan yang benar. Ia
selalu kau anggap sebagai seekor kerbau yang dungu. Seekor kerbau yang telah dicocok
hidungnya. Apapun yang kau lakukan, ia tidak boleh membantah. Dan bahkan
bertanyapun tidak ada kesempatan"
"Bohong" teriak Manguri.
"Sudahlah" berkata Pamot "jangan ganggu aku. Aku akan mengembalikan perempuan
ini kepada suaminya"
Manguri menggeretakkan giginya. Ketika ia berpaling
sejenak, dilihatnya Sindangsari meggeliat.
Namun ia tidak sempat berbuat apa-apa, karena Pamot
telah melangkah maju* sambil berkata "Menyingkirlah, dan jangan ganggu perempuan
itu lagi" Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Dada Manguri serasa meledak karenanya. Ia tidak
menjawab lagi. Namun dengan tiba-tiba saja ia telah
menyerang Pamot dengan garangnya.
Serangan itu telah mengejutkan Pamot. Tetapi ia segera menguasai
perasaannya, sehingga ia masih sempat menghindari serangan Manguri yang datang dengan tiba-tiba itu.
Dengan demikian, maka keduanyapun kemudian telah
terlibat dalam perkelahian pula. Manguri mencoba berjuang sekuat-kuatnya untuk
dapat mengimbangi Pamot. Selama ini ia tidak pernah menjadi cemas, karena ia
selalu dilindungi oleh Lamat. Tetapi kini Lamat telah memilih jalannya sendiri.
Sehingga dengan demikian ia harus berjuang sendiri untuk menyingkirkan Pamot.
Tetapi Manguri masih berpengharapan, karena ayahnya
masih berdiri bebas. Ia mengharap bahwa ayahnya akan
membantunya dan bersama-sama membinasakan Pamot.
Dengan demikian maka, Manguripun telah mencoba
menggeser diri sambil bertempur mendekati ayahnya yang berdiri termangu-mangu
memandang perkelahian itu.
Tetapi ternyata bahwa ayah Manguri tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun ia
melihat anaknya bertempur melawan Pamot, namun ia masih tetap berdiri saja di
tempatnya. Di sampingnya berdiri seorang yang berdahi lebar dan bermata tajam,
Orang itu adalah Jagabaya di Prambanan.
"Biarkan saja mereka berkelahi" berkata Ki Jagabaya "kau tidak perlu
mencampurinya. Bukankah kau suami perempuan yang rumahnya terbakar itu?"
Ayah Manguri tidak menyahut.
"Perempuan itu hampir diusir dari padukuhan ini" berkata Ki Jagabaya selanjutnya
"tetapi aku masih mencegahnya. Aku
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
masih ingin menunggu, barangkali suaminya dapat berbuat sesuatu untuk
memperbaiki tingkah lakunya"
Ayah Manguri mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia tertarik kepada ceritera
Ki Jagabaya. "Tetapi kau juga ikut bersalah, karena kau terlampau lama meninggalkan setiap
kali. Kau jarang-jarang datang ke rumah ini. Justru karena ia pernah bersuami,
dan suaminya tidak pernah datang kepadanya itulah yang telah membuatnya
berbuat tidak senonoh di padesan ini. Tetapi ketika ia dipanggil oleh tetua
padukuhan, ia sudah berjanji untuk memperbaiki kelakuannya"
Dada ayah Manguri menjadi semakin berdebar-debar.
Namun tiba-tiba ia seakan-akan terbangun dari tidurnya.
Anaknya sedang bertempur mati-matian melawan Pamot.
Tidak selayaknya ia memikirkan kepentingannya sendiri. Kalau perempuan ini
memang pernah berbuat gila, biarlah rumahnya terbakar, dan ia tidak akan datang
lagi ke padukuhan ini. "Sebaiknya kau tidak usah ikut campur" desis Ki Jagabaya.
"Tetapi itu anakku" jawabnya.
Anakmu bersalah. Ia mengelabui orang-orang di sekitar rumah ini. Kau katakan
perempuan yang dilarikan oleh
anakmu itu perempuan gila. Aku tahu sekarang, bahwa
perempuan itu adalah isteri Ki Demang di Kepandak. Adalah tugas kami untuk
saling menolong. Suatu saat, kami
memerlukan pertolongan Ki Demang di Kepandak kalau terjadi sesuatu atas
Kademangan ini, dan pelakunya berada di
Kepandak" Ayah Manguri hanya dapat mengatupkan giginya rapat-
rapat. Ia tidak tahu, apakah Ki Jagabaya mempunyai
kemampuan cukup untuk melawannya. Tetapi Ki Jagabaya
mempunyai pengaruh yang besar di padukuhan ini, sehingga apabila ia memberi
isyarat sedikit saja, maka orang-orang
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
yang semula ketakutan, pasti akan berpikir sekali lagi. Apalagi apabila mereka
sudah melihat Ki Jagabaya itu ikut bertempur.
Perkelahian di halaman belakang rumah isteri muda ayah Manguri itu menjadi
semakin seru. Ki Reksatani dan Lamatpun seolah-olah telah sampai pada puncak
kemampuan masing-masing. Sedang di bagian lain anak-anak muda Kali Mati dan
Sembojan berkelahi dengan sengitnya pula.
Ternyata bahwa orang-orang Ki Reksatani dan sisa-sisa orang-orang Manguri
mempunyai pengalaman berkelahi lebih banyak dari anak-anak muda itu. Hanya
beberapa orang yang benar-benar telah mengalami tempaan lahir batin di dalam
perjalanan ke Betawi sajalah yang sama sekali tidak gentar menghadapi lawan-
lawan mereka, betapapun buas dan
kasarnya tandang mereka. Sedang Pamot yang telah pernah menyimpan dendam
kepada Manguri, seolah-olah kini teraduk kembali. Dengan penuh kemarahan ia
mengerahkan segenap kemampuannya
untuk segera mengalahkan Manguri, agar anak itu tidak mengganggunya lagi,
apabila ia akan membawa Sindangsari kembali ke Kepandak.
Tetapi Manguripun berusaha melawan sebaik-baiknya. Ia telah memeras seluruh
tenaganya. Ia sama sekali tidak rela, apabila Pamot masih juga menyentuh
Sindangsari yang selama ini seakan-akan telah menjadi wewenangnya.
Namun, bagaimanapun juga Manguri berjuang, ternyata
Pamot memiliki ilmu yang lebih tinggi. Dengan demikian, maka Manguripun segera
dapat didesaknya. Dalam pada itu, Ki Reksatani yang bertempur melawan
Lamatpun telah sampai pada ujung kemampuan mereka Ki
Reksatani yang tidak terkalahkan itu ternyata mengalami kesulitan melawan
raksasa yang tiba-tiba menjadi demikian garangnya. Apalagi Lamat memiliki
kekuatan jasmaniah yang luar biasa.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Tetapi meskipun ayah Manguri tidak dapat ikut bertempur, namun ia tidak tinggal
diam. Ia sadar, bahwa kata-katanya dapat menyentuh hati Lamat. Dengan demikian
ia akan dapat memperlemah perlawanannya, meskipun ayah Manguri itu
masih belum tahu, apa yang akan terjadi kemudian.
"Lamat" berkata ayah Manguri kemudian "apakah kau
sudah benar-benar melupakan keluargaku" Mungkin kau tidak bersangkut paut dengan
Ki Reksatani, tetapi kau tidak dapat berbuat demikian kepadaku"
Lamat menggeretakkan giginya. Ia memusatkan segenap
perhatiannya kepada sepasang senjata Ki Reksatani yang sangat berbahaya baginya.
Kalau keris pusaka itu berhasil menyentuh kulitnya, maka itu akan berarti maut
baginya. "Lamat" Ayah Manguri masih berkata terus "ingatlah. Di saat kau diterkam oleh
maut di masa kecilmu, akulah yang menolongmu. Saat itu rumahmu terbakar, ayahmu
dan ibumu tidak dapat menghindarkan dirinya karena perampok-
perampok yang datang ke rumahmu itu. Akulah yang sempat menyelamatkan kau,
meskipun menyesal sekali, aku tidak dapat menolong ayah dan ibumu. Aku telah
menyabung nyawaku melawan perampok-perampok itu. Akhirnya kau
selamat. Aku telah memeliharamu sampai kau menjadi
dewasa, dan kini kau telah tumbuh menjadi seorang raksasa yang perkasa"
"Cukup, cukup" tiba-tiba Lamat berteriak. Suaranya
menggelegar memenuhi halaman.
Namun dengan demikian ayah Manguri yakin, bahwa
usahanya akan berhasil. Karena itu ia berniat untuk terus mempengaruhi perasaan
raksasa itu. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu lagi, Ki Jagabaya
berdesis "Kau memang orang yang cerdas. Kau dapat
bertempur tanpa bergeser dari tempatmu. Bukankah dengan demikian kau telah ikut
menentukan kekalahan raksasa itu?"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Tidak. Aku berkata sebenarnya. Aku menyayanginya. Aku mencoba untuk
menyadarkannya dari kekhilafan itu"
Dada Lamat benar-benar telah bergelora. Karena itu, sekali lagi ia berteriak
"Pamot, bawa Sindangsari pergi. Bawa ia secepatnya kepada suaminya, Ki Demang di
Kepandak, sebelum aku kehilangan kemampuanku melawan hantu ini"
"Diam kau, diam" bentak Ki Reksatani. Tetapi Ki
Reksatanipun tidak dapat berbuat banyak selain membentak-bentak, karena Lamat
masih mampu menjaga keseimbangan perkelahian itu, betapapun perasaannya mulai
dirayapi oleh kepahitan hidup di masa kanak-kanaknya.
Pamot mendengar suara Lamat itu. Tetapi ia masih
bertempur melawan Manguri meskipun ia yakin bahwa ia akan dapat mengalahkannya.
Namun ia memerlukan waktu. Ia
memerlukan waktu untuk menumpahkan kemarahan yang
selama ini telah terangkat kembali di dadanya.
"Aku bunuh anak ini" ia menggeram. Segores luka telah menyilang di pundak
Manguri yang menyeringai kesakitan.
Tetapi ia tidak dapat mengabaikan suara Lamat, sehingga dengan demikian, ia
justru menjadi termangu-mangu sejenak, sehingga kadang-kadang ia kehilangan
pengamatan diri di dalam perkelahian itu. Bahkan sekali-sekali ia harus meloncat
surut ketika ujung pedang Manguri hampir menyobek
dadanya. Selagi Pamot menggeram sambil memusatkan segenap
perhatiannya kepada ujung senjata lawannya, tiba-tiba seseorang meloncat di
hadapannya dengan pedang telanjang.
Orang itu langsung bertempur melawan Manguri sambil
berkata "Pamot, kau dengar suara Lamat?"
Orang itu adalah Punta. agaknya ia dapat membebaskan
diri dari lawannya, dan berusaha untuk menggantikan Pamot.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Biarlah aku membunuhnya" Pamot menggeram "aku sudah
melukainya. Sebentar lagi ia akan kehilangan segenap
darahnya, dan ia akan mati terkapar di tanah"
Manguri berdesir mendengar suara Pamot. Suara itu
seakan-akan bukan suara Pamot sehari-hari. Seakan-akan suara yang geram itu
bergetar dari dasar api yang paling panas, dan siap menyeretnya ke dalamnya.
Manguri menjadi ngeri karenanya. Selama ini ia tidak
pernah gentar berhadapan dengan siapapun. Tetapi kini ia sadar, bahwa hal itu
bukan karena kepercayaannya kepada diri sendiri. Tetapi selama itu ia
mempercayakan dirinya kepada Lamat. Raksasa yang jinak itu, tetapi yang pada
suatu saat telah terbangun dan menjadi seakan-akan liar bagi Manguri.
Dan kini, dalam keadaan yang dirasakannya terlampau
lemah itu ia berdiri berhadapan dengan Pamot yang sedang diamuk oleh kemarahan.
Namun dengan demikian, Manguri yang merasa dirinya tidak dapat mengelak lagi
itupun menjadi seperti orang kesurupan. Dibayangi oleh keputus-asaan ia
berkelahi seperti serigala kelaparan.
Kini Punta datang untuk menggantikan Pamot. Bagi
Manguri Punta dan Pamot hampir tidak ada bedanya.
Keduanya adalah hantu-hantu bertangan maut yang dapat saja setiap saat mencabut
nyawanya. Namun yang lebih menyakitkan hatinya kemudian adalah
kata-kata Punta "Pamot, jangan hiraukan kelinci ini. Tanpa Lamat ia tidak
berarti apa-apa. Sekarang, selamatkan
Sindangsari. Seorang kawan Rajab telah menyiapkan seekor kuda buatmu, dan seekor
lagi buat seseorang yang akan mengawanimu. Cepat, bawa Sindangsari kepada
suaminya sebelum mengalami sesuatu disini"
Pamot ragu-ragu sejenak. Justru karena itu, hampir saja sekali lagi senjata
Manguri mengenainya. Untunglah Punta
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
sudah siap mengambil alih perkelahian itu, sehingga senjata Manguri itu telah
membentur senjata Punta. Pamotpun kemudian terdesak ke samping ketika Punta
mulai menggerakkan senjatanya. Sekali lagi Punta berkata
"Jangan termangu-mangu seperti orang linglung. Cepat
berbuatlah sesuatu" Pamot mundur selangkah. Dan kini ia mendengar suara
Lamat "Cepat Pamot. Lakukanlah. Aku akan menahan iparnya yang telah berkhianat"
"Diam kau" bentak Ki Reksatani "kau juga telah berkhianat"
"Ya. Kita sama-sama pengkhianat. Karena itu, apapun yang akan terjadiatas kita
berdua, tidak sepantasnya mendapat perhatian. Kita akan sama-sama mati dan
dicampakkan ke dalam tempat sampah dan akan dikubur di bawah timbunan kotoran
yang paling hina" "Diam, diam" bentak Ki Reksatani "aku bukan pengkhianat, tetapi aku didorong
oleh cita-cita" "Darimana kita memandang, aku dapat menyebut diriku
sedang memperjuangkan sendi-sendi kemanusiaan yang akan kau tumbangkan bersama


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orangmu di Kepandak"
"Omong kosong" teriak Ki Reksatani sambil menyerang
semakin garang. Pamot masih saja termangu-mangu. Namun sejenak
kemudian seorang anak muda menggamitnya sambil berbisik
"Pamot, kuda itu sudah siap"
Pamot menjadi berdebar-debar. Dilihatnya Sindangsari
yang masih terbaring, meskipun sekali-sekali ia sudah menggeliat.
"Cepat" Pamot masih berdiri termangu-mangu. Bahkan sejenak
disapunya halaman belakang itu dengan tatapan matanya. Ia
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
melihat perkelahian yang tersebut di halaman itu. Agaknya anak-anak muda Kali
Mati dan Sembojan telah membantu
mereka dengan segenap hati, ditunggui oleh Ki Jagabaya sendiri. Sedang beberapa
puluh orang Sembojan yang dengan cemas-cemas menyaksikan perkelahian itu dari
kejauhan, seakan-akan semuanya memandang ke arahnya.
"Percayalah. Semuanya akan dapat dibatasi disini" desis anak muda itu "Kalau
perlu, Ki Jagabaya tidak akan segan-segan berbuat sesuatu. Orang-orang yang
ketakutan itu akan segera terbangun apabila mereka mendengar perintah Ki
Jagabaya di saat-saat yang berbahaya"
Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketika ia melangkah maju mendekati,
langkahnyapun tertegun. Tiba-tiba saja ia merasa, ada dinding penyekat yang kuat
membatasinya dengan perempuan itu. Sendangsari kini sudah menjadi isteri orang
lain. "Cepat Pamot. Kenapa kau menjadi bingung" teriak Punta yang tidak sabar lagi
melihat sikap Pamot yang termangu-mangu "Apakah kau menunggu Sindang sari mati
di pertempuran ini?" Tiba-tiba Pamot tersadar. Ia harus menolong perempuan itu. Siapapun juga. Namun
ia adalah isteri Ki Demang di Kepandak. Seperti juga yang lain, mereka
menyerahkan dirinya di dalam suatu sikap itu. Menolong sesama.
Pamotpun kemudian menggeretakkan giginya. Ia mencoba
mengusir segenap perasaan yang ada padanya. Ia mencoba melepaskan dirinya dari
kenangan dan ikatan yang pernah ada.
Meskipun ia masih juga ragu-agu, tetapi iapun kemudian mendekati Sindangsari dan
berjongkok di sampingnya.
Dadanya berdesir ketika ia melihat Sindangsari mulai
menggerakkan kepalanya. Namun ia tidak sempat berpikir lagi, ketika sekali lagi
anak muda itu menggamitnya "Kudamu
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
sudah siap, dan seorang kawanmu dari Gemulungpun sudah siap pula mengantar kau
kembali membawa Nyai Demang di Kepandak"
Pamot tidak lagi mau berpikir. Dengan hampir memejamkan matanya, Pamot mulai berbuat sesuatu. Ia
bergeser maju, dan sambil menggeretakkan giginya, untuk mendorong kekuatan
hatinya, Sindangsaripun kemudian
diangkatnya diatas kedua tangannya. Perempuan yang masih sangat
lemah itupun sama sekali belum menyadari
sepenuhnya apa yang telah terjadi atasnya.
Ketika ujung jari-jari Pamot menyentuh tubuh Sindangsari, terasa, seakan-akan
darahnya berhenti mengalir. Hanya dengan menghentakkan diri ia mendapatkan
kekuatan untuk mendukung Sindangsari itu keluar dari halaman belakang rumah
isteri muda ayah Manguri itu.
Ki Reksatani masih sempat melihat Pamot membawa
Sindangsari yang lemah itu diatas kedua tangannya. Terasa jantung seolah-olah
telah tersayat. Betapa kemarahan yang tidak tertahankan meledak-ledak di dalam
dadanya. "He, anak gila" Ki Reksatani berteriak "lepaskan perempuan itu. Kau akan
menyesal kalau kau tidak mau mendengar kata-kataku"
Tetapi Pamot sama sekali tidak berpaling. Apalagi ketika ia mendengar kata-kata
Lamat "Jangan hiraukan Pamot. Cepat, tinggalkan nereka ini"
Pamot melangkah semakin cepat. Dan ia masih mendengar Ki Reksatani berteriak
kepada anak buahnya "Tahan anak itu.
Jangan biarkan perempuan itu dibawa pergi"
Tetapi tidak seorangpun dari anak buahnya yang dapat
mencegah Pamot meninggalkan halaman itu. Dengan hati-hati ia meloncati pagar
dibantu oleh anak muda yang menyediakan kuda untuknya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Pergilah" berkata anak muda itu "itu kudamu"
Pamot melihat dua ekor kuda yang besar di halaman rumah tempat ia bersembunyi
bersama kawan-kawannya. Kuda itu seperti kudanya yang ditinggalkannya di Kali
Mati. Kuda yang didapat dari Mataram.
"Kami akan memelihara kudamu baik-baik. Pakailah
kudaku" Pamot memandang anak muda itu. Ia belum begitu
mengenalnya. Mungkin ia pernah melihatnya di dalam
perjalanan ke Betawi. Tetapi ia tidak ingat lagi.
"Jangan hiraukan orang-orang yang kini sedang bertempur itu. Aku kira anak-anak
muda Sembojan dan Kali Mati akan dapat menguasainya Apalagi ada Punta dan
seorang anak Gemulung" anak muda itu berhenti sejenak, lalu "terlebih-lebih lagi
seorang yang bertubuh raksasa itu. Tanpa orang itu, aku kira memang sulit untuk
menguasai orang yang bernama
Reksatani itu" Pamot menganggukkan kepalanya. Bersama seorang
kawannya yang datang dari Gemulung. Iapun kemudian naik ke punggung kudanya
sambil mendukung Sindangsari.
Ditolong oleh kawannya, perlahan-lahan Sindangsari diletakkannya di dalam tangan Pamot.
"Selamat jalan" berkata anak muda itu "berhati-hatilah.
Bukan perjalanan yang dekat. Kau akan melampaui malam ini dan mungkin kau masih
harus berpacu besok sampai matahari sampai ke puncak. Kau tidak dapat terlampau
cepat, dan mungkin perempuan ini dapat menimbulkan pertanyaan di sepanjang
perjalananmu" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar bahwa
perjalanannya bukanlah perjalanan tamasya dengan seorang gadis menjelang hari
perkawinan. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Aku akan mengambil jalan memintas. Mungkin jalannya
kurang baik. Tetapi sejauh mungkin dapat menghindari
kecurigaan orang lain. Mudah-mudahan aku dapat sampai ke Kademangan Kepandak
dengan selamat" Pamot menarik nafas dalam-dalam. Ketika tanpa disadarinya ia memandang wajah Sindangsari yang pucat, terasa dadanya berdesir.
Namun dihalaunya segala macam perasaannya yang melonjak di dadanya. sebala macam
perasaan yang melonjak di dadanya. Kini ia berada dalam keadaan yang serba
cepat. Karena itu maka iapun kemudian berkata "Terima kasih atas semua
pertolonganmu, Rajab dan kawan-kawan yang lain dari Kademangan ini. Terima kasih
pula kepada Ki Jagabaya dan para bebahu yang telah
melindungi kami. Aku akan segera minta diri. Mudah-mudahan Tuhan Yang Kuasa
melindungi perjalananku"
Anak muda itu mengangguk. Dengan hati yang berat ia
melepaskan Pamot membawa Sindangsari meninggalkan
halaman rumah itu, dikawani oleh seorang anak muda dari Gemulung pula.
Sejenak kemudian, maka kedua ekor kuda itupun sudah
berderap di kegelapan malam meninggalkan daerah peperangan yang semakin kisruh, serta menjauhi api yang seakan-akan menyala dari
dalam neraka. Tetapi api itu semakin lama menjadi semakin susut. Rumah isteri muda ayah
Manguri itupun telah habis menjadi abu.
Satu-satu masih terdengar sepotong bambu yang meledak, kemudian gemersik sisa-
sisa kayu dan dinding yang masih menyala.
Sepeninggal Pamot, maka kemarahan Ki Reksatani
bagaikan memecahkan dinding dadanya. Hampir tidak masuk diakalnya, bahwa yang
terjadi sama sekali jauh dari yang diduganya.
Ia sama sekali tidak memperhitungkan pengkhianatan Lamat, tidak memperhitungkan kekuatan anak-
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
anak Sembojan dan sekitarnya. Tetapi kini semuanya itu harus dihadapinya.
Sambil menggeram Ki Reksatani mengerahkan segenap
kemampuan yang ada padanya. Bukan sia-sia ia disebut orang yang tidak
terkalahkan di Kademangan Kepandak. Semua ilmu yang ada padanya, semua kekuatan
dan kemampuan, semua tenaga cadangannya lelah dikerahkannya untuk segera dapat
mengalahkan lawannya. Namun Lamat melawannya dengan
segenap kemampuan yang ada padanya pula.
Dengan demikian, maka perkelahian merekapun menjadi
semakin lama semakin seru. Seolah-olah mereka sama sekali bukan terdiri dari
daging dan tulang yang dapat kehilangan kekuatan dan kemampuan apabila telah
sampai pada batas kemungkinannya.
Derap kaki-kaki kuda Pamot membuat darah Ki Reksatani benar-benar mendidih.
Hampir di luar sadarnya, iapun
berteriak "Sediakan kudaku"
Beberapa orangnya mendengar teriakan itu. Tetapi mereka masih terikat dalam
perkelahian sehingga sulitlah bagi mereka untuk melepaskan diri.
Namun demikian, mereka menyadari, bahwa Ki Reksatani
harus dapat menyusul Pamot yang membawa Sindangsari itu.
Kalau keduanya berhasil mencapai Kademangan Kepandak, maka Ki Reksatani dan
orang-orangnya tidak akan banyak mengalami kesulitan.
Karena itu, bagaimanapun juga, salah seorang dari orang Ki Reksatani itupun
dengan susah payah berhasil menyelinap diantara perkelahian itu. Dengan tergesa-
gesa ia berlari ke tempat kuda mereka tertambat.
Yang kemudian dipersiapkan, bukan saja kuda Ki Reksatani, tetapi kuda-kuda yang
lainpun telah dipersiapkan pula. Ia menyadari, apabila perlu, maka kuda-kuda
itupun pasti akan dipergunakan juga.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Tetapi ternyata terlampau sulit bagi Ki Reksatani untuk dapat menyelesaikan
pertempuran itu dengan segera. Betapa ia mencoba mengerahkan semua kekuatan yang
ada, namun ia tidak dapat memaksakan kehendaknya dengan cepat,
sesuai dengan keinginannya. Dengan demikian, betapapun kemarahan, kecewa dan
dendam membara di hatinya, tetapi ia masih harus tetap bertempur terus dengan
sekuat tenaganya. Dalam pada itu, Pamot telah berusaha memacu kudanya
secepat dapat dilakukan. Di belakangnya seorang kawannya selalu
mengikutinya. Mungkin di perjalanan Pamot memerlukan bantuannya, dan mungkin pula Pamot memerlukan seorang saksi apabila ia menghadap Ki Demang di Kepandak untuk
menyerahkan Sindangsari, bahwa bukan Pamotlah yang telah menyembunyikannya.
Mereka telah memilih jalan melintas. Jalan yang lain dari yang ditempuhnya
ketika mereka berangkat ke Kali Mati.
Meskipun jalan yang ditempuhnya kini agak lebih jelek dari jalan di saat mereka
berangkat, tetapi Pamot menganggap bahwa jalan ini adalah jalan yang paling
aman. "Asal aku tidak tersesat" desisnya di dalam hati.
Dan kudanyapun berlari terus, melalui pategalan dan jalan setapak di hutan
rindang. Kadang-kadang mereka melalui bulak yang panjang di tengah-tengah padang
rumput dan tanah-tanah tandus mereka harus menyusup rimbunnya daun-daun perdu
yang berserakan, sulur-sulur batang-batang merayap dan batang-batang ilalang.
"Aku agak bingung" desis Pamot kemudian.
"Jalan terus" berkata kawannya "kita akan sampai ke
Tanjung Sari, kemudian kita akan menyusup hutan dan
melingkari rawa-rawa. Kita akan sampai ke Tegal Payung. Kita akan melingkar
kekanan" Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Kalau sudah sampai di sana, barangkali aku tidak akan bingung lagi"
"Nah, teruslah"
Pamot berpacu terus. Tetapi terasa tangannya yang
menahan tubuh Sindangsari menjadi lelah. Meskipun demikian ia harus berusaha
melayaninya terus, agar perempuan itu tidak terjatuh.
Ternyata angin yang silir telah membuat tubuh Sindangsari menjadi semakin segar.
Perlahan-lahan ia mulai menyadari dirinya. Tetapi ia tidak segera dapat
menangkap getaran di luar dirinya itu. Ia tidak segera mengerti, dimanakah ia,
dan dalam keadaan bagaimana.
Sindangsari merasa tubuhnya seakan akan telah diguncang-guncang. Kemudian sebuah desir angin yang halus mengusap wajahnya,
seolah-olah belaian tangan ibunya di masa kanak-kanaknya.
Tetapi Sindangsari tidak segera berani membuka matanya.
Ia mencoba memulihkan kesadarannya sepenuhnya. Karena itu meskipun ia telah
sadar, tetapi ia masih tetap
memejamkan matanya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas
dirinya. Tiba-tiba bulu-bulunya meremang ketika ia berhasil
mengingat di saat-saat terakhir. Ia dapat mengingatnya kembali, bagaimana ia
menuangkan minyak pada dinding dari lampu yang ada di dalam biliknya. Kemudian
menimbuninya dengan kayu-kayu yang ada di dalam bilik itu. Dingklik, peti-peti
kayu, pembaringan dan tikar. Bahkan semuanya yang ada di dalam bilik itu.
Kemudian dengan api pelita itu pula, semuanya itu dibakarnya. Api yang menyala


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itupun segera menyambar dinding. Karena api yang memang sudah
berkobar, maka dengan cepatnya, dinding biliknya itupun menyala pula.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sindangsari masih ingat, seseorang telah berteriak di luar biliknya. Tetapi ia
tidak menghiraukannya lagi. Ia sudah pasrah diri, bahwa api pasti akan
menelannya. Tetapi tiba-tiba dinding biliknya seakan-akan menjadi pecah Seseorang telah
meloncat masuk dan menyambarnya. Betapapun ia berusaha melepaskan diri, namun akhirnya ia harus menyerah.
Menerobos api yang berkobar, mereka
berhasil keluar meskipun sebagian dari tubuh dan pakaiannya telah terbakar.
Sesudah itu, ia tidak ingat apa-apa lagi. Pingsan.
"Apakah aku sudah mati?" Ia bertanya kepada diri sendiri
"dan sekarang aku sedang dalam perjalanan ke sorga atau ke dalam api neraka?"
Terasa dada Sindangsari berdebaran. Perlahan-lahan ia mencoba merasakan, apa
yang telah terjadi atas dirinya kini.
"Aku sedang didukung oleh malaikat ke surga atau ke
neraka" katanya pula di dalam hati.
Perlahan-lahan ia mencoba membuka matanya. Namun
sebelum ia melihat sesuatu, matanya telah di pejamkannya lagi. Ia tidak berani
memandang wajah pendukungnya.
Mungkin wajah itu putih dan bersinar, tetapi mungkin merah seperti api dengan
lidahnya yang terjulur panjang.
Tetapi Sindangsari itu terkejut ketika ia mendengar suara
"Langit sudah menjadi merah"
"Ya" jawab suara yang lain. Sindangsari mencoba untuk mempertajam kesadarannya.
Ketika angin yang sejuk mengusap wajahnya, ia menarik nafas dalam-dalam. Namun kepalanya masih terasa
pening, dan ingatannya kadang-kadang masih seperti bayangan di dalam mimpi,
meskipun sudah lengkap. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Sebentar lagi, matahari akan terbit" suara itu terdengar lagi. Dan terasa oleh
Sindangsari bahwa ia menjadi semakin terguncang. Bahkan kini ia mendengar derap
kaki kuda. "Aku harus sampai ke tujuan sebelum matahari terbit?"
katanya di dalam hati "mungkin ke tempat yang menyenangkan, tetapi mungkin aku mendapat tempat yang paling panas di dasar
neraka, karena aku telah membunuh diri"
Tiba-tiba terasa tubuhnya meremang. Namun derap kaki
kuda yang didengarnya itupun merupakan persoalan baginya.
Akhirnya Sindangsari memaksa dirinya untuk membuka
matanya. Perlahan-lahan sekali. Di dalam kesuraman cahaya fajar ia melihat
seraut wajah. Semakin lama menjadi semakin jelas. Wajah yang tegang dan basah
oleh keringat dan embun. Tiba-tiba bibir Sindangsari bergerak. Tetapi tidak ada suara yang meloncat dari
mulutnya, meskipun ia mengucapkan
nama "Pamot. Apakah aku melihat Pamot"
Pamot masih belum mengetahui, bahwa Sindangsari sudah membuka matanya. Ia masih
memacu kudanya sambil mengerutkan wajahnya yang tegang. Dipandanginya jalan sempit yang menjelujur
dihadapan kaki-kaki kudanya. Jalan setapak yang berbatu-batu.
Sindangsari memandang wajah Pamot tanpa berkedip.
Seakan-akan ia tidak percaya kepada matanya. Namun
sejenak kemudian timbul ah dugaan di dalam hatinya "Oh, aku benar-benar sudah
mati. Agaknya Pamot juga sudah mati di perjalanan ke Betawi. Dan kini ia
menjemput aku" Tanpa sesadarnya Sindangsari menarik nafas dalam-dalam.
Ketika sekali lagi ia terguncang agak keras, tiba-tiba saja tangannya sudah
berpegangan pada lambungi Pamot.
Pamot terkejut. Ditundukkan kepalanya, dan dilihatnya bahwa Sindangsari sudah
membuka matanya. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Ketika tatapan mata mereka bertemu, terasa dada mereka berdesir tajam. Sejenak
mereka terpukau oleh keadaan itu.
Namun sejenak kemudian Pamot berhasil menguasai perasaannya dan berkata "kau sudah sadar Sari?"
"Dimanakah aku sekarang?" bertanya Sindangsari.
"Kau berada di perjalanan"
"Apakah kita akan pergi ke surga?"
Pamot mengerutkan keningnya. Katanya "Kau belum sadar sepenuhnya. Kau masih
mengigau" "Aku sudah sadar sepenuhnya. Tetapi apakah aku masih
tetap hidup bersama wadagku. Dan apakah aku masih hidup?"
"Ya, kau masih hidup, seperti aku juga masih hidup"
"O" Sindangsari mencoba mengangkat wajahnya. Kini ia
melihat dengan jelas, pepohonan yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan yang
mereka lalui. Maka Sindangsari mulai yakin, bahwa ia memang masih
hidup. Apalagi ketika terasa kulitnya yang pedih karena sentuhan api yang hampir
membakarnya hidup-hidup. "Jadi" suara Sindangsari tertahan.
"Ya, kau selamat"
Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian terasa sesuatu melonjak di
hatinya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya "Kenapa kau dapat menemukan aku?"
"Kelak aku akan mengatakannya. Kini tidak ada waktu. Kita harus menyelamatkan
diri kita" "Kita akan pergi kemana?"
"Kembali ke Kepandak"
"Kepandak" "Ya" Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Terasa dada Sindangsari berdesir. Nafasnya menjadi
tersengal-sengal. Perasaan pedih di kulitnya semakin lama justru menjadi semakin
terasa. "Kau sudah dapat duduk sendiri?" bertanya Pamot.
Sindangsari tidak menjawab. Namun kemudian wajahnya
tertunduk. Ia baru menyadari, bahwa ia bersandar pada tangan Pamot yang
menjaganya agar tidak terjatuh.
"Aku akan duduk sendiri" berkata Sindangsari.
Pamotpun kemudian menolongnya untuk duduk sendiri.
Tetapi ketika kudanya meloncati sebuah batu, hampir saja Sindangsari telempar
jatuh, sehingga tanpa disengaja oleh gerak naluriah ia berpegangan pada leher
Pamot, dan Pamotpun menangkapnya pula.
Terasa sesuatu menjalari urat darah mereka sampai ke
jantung, sehingga seakan-akan dada mereka menjadi sesak.
Sekilas Pamot memandang wajah Sindangsari yang ketakutan dan seakan-akan
mengharap perlindungan kepadanya. Sepenuhnya. Tetapi perlahan-lahan Sindangsari melepaskan tangannya.
Sekali lagi perempuan itu mencoba duduk sendiri, miring, diatas punggung kuda.
Keduanya kemudian tidak berbicara lagi. Tetapi dada
merekalah yang bergelora dengan dahsyatnya. Tanpa mereka kehendaki sendiri, maka
kenangan masa-masa lampau mereka terbayang kembali di dalam kepala mereka,
seakan-akan baru saja kemarin terjadi.
Bagaimana mereka pertama kali bertemu. Bagaimana
Pamot telah menjauhkannya dari Manguri yang mula-mula dikaguminya.
Dan bagaimana akhirnya hatinya telah tersangkut pada anak muda itu. Terbayang pula, di saat-saat Ki Demang di
Kepandak mengunjunginya untuk yang pertama kali, setelah terjadi perselisihan
antara Manguri dan Pamot.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Bagaimana akhirnya Ki Demang memaksakan kehendaknya,
mengambilnya sebagai isterinya. Dan hampir berbareng, terkenang pula oleh
keduanya, saat-saat Pamot minta diri kepada Sindangsari di suatu malam. Saat-
saat mereka kehilangan kendali dan terjerumus ke dalam suatu perbuatan yang dapat menodai
kesucian hubungan mereka, sehingga Sindangsari sadar sepenuhnya bahwa
karena itu ia mengandung. Dan kini ia telah berada kembali bersama-sama anak muda yang bernama
Pamot itu, tetapi justru setelah ia menjadi isteri Ki Demang di Kepandak.
Tiba-tiba Sindangsari menutup wajahnya yang menjadi
kemerah-merahan dengan kedua tangannya. Semuanya itu
seakan-akan terjadi kembali di saat itu di hadapan matanya.
Pamot yang juga tenggelam di alam angan-angannya,
terkejut melihat tingkah Sindangsari. Tiba-tiba saja perempuan itu telah menutup wajahnya dengan kedua
tangannya. Tetapi Pamotpun segera sadar, bahwa seperti dirinya
sendiri, Sindangsari pasti sedang mengenangkan peristiwa yang
memalukan itu. Namun keduanya tidak berkata apapun juga. Kuda mereka masih berderap terus.
Untunglah bahwa kuda itu adalah kuda yang tegar dan kuat, sehingga meskipun
harus membawa dua orang sekaligus diatas punggungnya, namun kuda itu dapat juga
berlari cepat, meskipun tidak secepat apabila hanya ada seorang saja yang duduk
di punggungnya. Kawan Pamot yang berkuda di belakangnya, melihat juga bahwa agaknya Sindangsari
telah mendapatkan seluruh
kesadarannya kembali. Tetapi justru karena itu, maka ia memperlambat lari
kudanya, dan membuat jarak yang agak jauh.
Sejenak kemudian fajar menjadi semakin terang. Warna
merah di langit telah menjadi kekuning-kuningan oleh cahaya matahari yang
semakin naik mendekati cakrawala.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Ketika cahaya matahari pagi yang pertama terlempar
keatas pepohonan, Sindangsari menundukkan kepalanya.
Terasa dadanya berdesir, ketika ia melihat dan menyadari, bahwa pakaiannya sama
sekali sudah tidak lengkap lagi.
Hampir saja ia terpekik kecil melihat kenyataan itu. Tetapi agaknya Pamot
menyadarinya, sehingga ia berkata "Jangan hiraukan apapun juga. Kau harus
selamat sampai ke Kepandak. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa setiap saat Ki Reksatani dapat
mengejar kita dan menangkap kita hidup atau mati. Tetapi hampir pasti, bahwa ia
menghendaki kematian kita, terutama kau"
Sindangsari mengerutkan keningnya. Sesaat ia melupakan pakaiannya yang sebagian
sudah terbakar hangus. Wajahnya menjadi semakin pucat, dan dengan suara gemetar
ia bertanya "Kenapa Ki Reksatani ingin membunuh aku" Apakah aku sudah melakukan
kesalahan terhadapnya atau terhadap siapapun?" ia berhenti sejenak, lalu "atau,
atau memang Ki Demang di kepandak yang menyuruhnya membunuhku karena kenyataan
yang tidak dapat dilupakannya. Kenyataan tentang diriku?"
Pamot mengerutkan keningnya, Tetapi ia tidak sempat
menanyakan apakah yang dimaksud oleh Sindangsari itu.
Bahkan ia berkata "Jangan salahkan diri sendiri. Dan
pembunuhan itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan Ki Demang. Ki Demang sedang berusaha dengan
sekuat tenaganya untuk mencarimu. Siapapun yang mencoba menghalangi, akan
dibunuhnya tanpa ampun lagi"
"Tetapi kenapa aku dibiarkannya dibawa oleh adiknya?"
"Tentu tidak. Ki Demang tidak tahu, bahwa kau telah
dibawa oleh Ki Reksatani"
Sindangsari merenung sejenak. Meskipun samar-samar ada juga dugaan di dalam
hatinya, bahwa Ki Demang sengaja menyingkirkannya, tetapi dengan cara yang tidak
diketahui oleh orang lain.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Pamot seolah-olah melihat keragu-raguan itu, sehingga ia masih berusaha
menjelaskan "Ki Demang hampir kehilangan keseimbangan berpikir. Bahkan hampir
saja ia melawan seorang Senapati dari Mataram justru karena pikirannya sedang disaput oleh
kebingungan" Sindangsari tidak menjawab, tetapi ia mengangguk-
anggukkan kepalanya. Matahari yang kemudian bertengger di punggung bukit
tampak begitu cerahnya dipagi yang segar. Angin berhembus dari Selatan menyusup
dedaunan, membelai wajah-wajah
mereka yang sedang berpacu diatas punggung kuda.
Di belakang Pamot, kawannya mengikutinya dari kejauhan.
Tetapi setiap kali ia mengerutkan keningnya. Agaknya kuda Pamot semakin lama
menjadi semakin lambat. Pasti bukan karena kelelahan. Kuda itu adalah kuda yang
kuat dan tegar. Jarak yang mereka tempuhpun belum terlampau jauh buat seekor kuda, meskipun kuda
itu harus mendukung dua orang sekaligus.
Kawannya itu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia
masih terlalu muda, tetapi ia mengetahui, bahwa sesuatu pasti bergolak di dalam
dada kedua orang itu. Dua orang yang pernah terlibat dalam suatu ikatan perasaan
anak-anak muda. Tetapi pada suatu saat, anak muda itu merasa bahwa
mereka benar-benar berada di dalam bahaya. Matahari yang semakin tinggi seakan-
akan memperingatkannya, bahwa
mereka harus berpacu semakin cepat. Apalagi jalan di
hadapan mereka, bukan saja sebuah lapangan yang penuh dengan batang ilalang
diseling oleh pohon-pohon perdu yang lebat, namun mereka masih harus melingkari
rawa-rawa, menyusup hutan-hutan rindang dan meskipun hanya di bagian ujungnya,
mereka akan melalui hutan yang agak lebat juga, sebelum mereka sampai ke daerah
yang lapang dan berpenghuni. Tetapi di daerah itupun mereka
masih mempunyai beberapa persoalan. Bagaimana dengan Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
perempuan yang duduk dipunggung kuda bersama-sama
dengan Pamot itu" Apakah hal itu tidak akan menimbulkan persoalan, setidak-
tidaknya di dalam hati mereka yang melihatnya" Apalagi menilik pakaian
Sindangsari yang sudah tidak lengkap lagi itu?"
Persoalan-persoalan itulah yang kemudian memaksanya
untuk mendekat pada Pamot. Meskipun ia harus mendeham beberapa kali sebelum ia


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar berada di belakang kedua orang itu.
"Pamot" katanya kemudian "apakah kita dapat mempercepat perjalanan kita?"
Pamot tergagap. Seolah-olah ia baru terbangun dari tidur.
Terbata-bata ia menjawab "O tentu. Tentu" Namun kemudian ia berkata "tetapi
barangkali kuda ini memang sudah lelah"
"Mungkin" kata kawannya "karena itu, supaya kudamu
tidak terlalu lelah, kita tukar kuda kita"
Pamot mengerutkan keningnya. Lalu Jawabnya "Baiklah.
Marilah kita tukar" Merekapun kemudian berhenti. Dengan tergesa-gesa
kawannya meloncat turun sambil berkata "Kita sampai ke daerah rawa-rawa. Kita
harus berpacu semakin cepat"
"Ya, kita harus mempercepat perjalanan ini" Pamotpun
kemudian turun pula dari kudanya.
Kemudian ditolongnya Sindangsari perlahan-lahan turun pula dari kuda itu.
Ketika perempuan itu kemudian berdiri terhuyung-huyung diatas tanah, semakin
sadarlah ia bahwa pakaiannya benar-benar sudah tidak pantas lagi, sehingga
karena itu, maka tiba-tiba ia berjongkok sambil menyilangkan kedua tangannya di
dadanya "Pakaianku sama sekali tidak pantas lagi. Aku malu sekali" desis Nyai
Demang di Kepandak. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Pamot menarik nafas dalam-dalam. Dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh. Yang dilihatnya hanyalah batang-batang ilalang
setinggi lututnya, dan di sana-sini pohon-pohon perdu yang berserakan.
"Tetapi kita harus berjalan terus" berkata kawannya.
"Aku tidak dapat meneruskan perjalanan dengan pakaian begini "Sindangsari
berhenti sejenak, lalu "bagaimana aku nanti apabila kita sampai di Kepandak. Apa
kata orang tentang diriku"
"Nyai Demang" berkata kawan Pamot "semua orang dapat
melihat, bahwa pakaian Nyai berlubang oleh api. Bekasnya sudah mengatakan,
kenapa pakaian Nyai menjadi compang-camping"
Sindangsari tidak menyahut.
Tetapi tanpa disadarinya, iapun mengamati pakaiannya
yang telah sebagian dimakan api.
"Pamot" berkata Sindangsari kemudian "apakah aku akan kau biarkan dalam keadaan
ini?" Pamot menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengerti,
bagaimana ia dapat menolong keadaan Sindangsari itu.
"Nyai" berkata anak muda kawan Pamot itu "sebentar lagi Ki Reksatani akan sampai
di tempat ini. Kalau sekarang Nyai Demang segan memakan pakaian yang telah sobek
dan berlubang-lubang oleh api itu" maka Ki Reksatani nanti akan melepaskan seluruh
pakaian Nyai. Nyai akan terbaring di tanah ini tanpa selembar pakaianpun, selain
noda-noda darah yang akan membasahi tubuh nyai dan memerahi rerumputan ini, dan
kita akan terbunuh disini"
Bulu-bulu Sindangsari meremang. Pamot yang kemudian
menyadari keadaannya berkata "Marilah.
Kita jangan terlambat" Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sindangsari termangu-mangu sejenak, namun kemudian
kawan Pamot itu berkata "Baiklah, pakailah kain panjangku.
Pakailah ikat kepalaku, supaya Nyai Demang menjadi seperti seorang laki-laki.
Banyak keuntungan yang akan kita dapatkan dari kesan itu. Di perjalanan nanti,
apabila ada orang yang melihat kita berpacu, tidak akan menyangka, kita
melarikan seorang perempuan. Mungkin mereka bertanya, kemana kita pergi. Tetapi
kesan yang kita tinggalkan, tiga orang laki-laki berpacu diatas punggung kuda
dalam keadaan yang aneh. Dua orang di antaranya naik diatas seekor kuda, sedang yang lain, tidak memakai
kain panjang dan ikat kepala"
Pamot berpikir sejenak, lalu "Jangan kau. Biarlah pakaianku saja yang
dipakainya" Tetapi anak muda itu menggeleng "Sama sekali tidak
pantas. Bagi yang belum mengenalmu, memang tidak akan menimbulkan kesan apapun.
Tetapi apabila kita memasuki Kepandak, maka akan dapat tumbuh dugaan yang kurang
mapan. Tanpa kain panjang dan ikat kepala, kau berkuda bersama. Nyai Demang di
Kepandak, sedangkan setiap orang tahu, maaf, bahwa pernah ada sesuatu diantara
kalian berdua di masa kegadisan Nyai Demang"
Pamot menundukkan kepalanya, sedang wajah Sindangsari menjadi merah padam.
"Cepatlah Pamot, ambil ah keputusan"
"Baiklah" "Tetapi kain panjangku terlampau kotor. Debu dan lumpur melekat di sana-sini"
Anak muda itupun kemudian melepas kain panjangnya. Ia hanya sekedar memakai
celana dari selembar baju panjang.
Kemudian menyerahkan kain dan ikat kepalanya kepada
Sindangsari. "Pakailah" Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sindangsari menerima kain dan ikat kepalanya itu. Tetapi ia masih tetap
berjongkok di tempatnya. "Cepat Sari, pakailah"
Sambil memandang kekejauhan Pamot dan kawannya
menunggu Sindangsari selesai mengenakan kain itu merangkapi pakaiannya yang telah sobek dan terbakar.
Kemudian dipakainya pula ikat kepala yang diberikan
kepadanya. Dengan demikian, maka Sindangsari tidak lagi jelas sebagai seorang
perempuan, meskipun pakaiannya
tampak membingungkan. Tetapi diatas punggung kuda
bersama Pamot, maka kesan yang pertama-tama, ia seorang laki-laki muda yang
tampan. Sejenak kemudian, mereka telah berada diatas punggung kuda yang sudah saling
ditukar. Mereka sadar, bahwa waktu yang ada sangat berharga. Karena itu,
merekapun segera berpacu kembali meneruskan perjalanan.
Tetapi setiap kali kawan Pamot yang berkuda di belakang menarik nafas dalam-
dalam. Pamot tidak dapat berkuda cukup cepat. Bahkan kadang-kadang terlampau
lambat. "Mereka harus sadar, bahwa bahaya ada di belakang kita"
desis kawan Pamot kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, di Sembojan masih terjadi perkelahian yang seru. Ki Reksatani
masih bertempur melawan Lamat. Di bagian yang lain, Manguri berkelahi dengan
gigihnya melawan Punta. Sedang bertebaran di halaman belakang rumah isteri muda
ayah Manguri itu pertempuran masih berlangsung terus.
Beberapa orang laki-laki berusaha mendekati arena,
meskipun mereka tidak berani berbuat apa-apa, karena
mereka merasa tidak cukup mampu untuk terjun di dalam pertempuran yang seru itu.
Namun beberapa orang lain justru telah bersembunyi di dalam rumah masing-masing,
menutup pintu dan memaksa anaknya untuk tetap berada di dalam biliknya masing-
masing. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Apakah yang terdengar ribut itu ayah?" bertanya seorang anak laki-laki yang
terbangun. "Tidur, tidur sajalah"
Anak itu menjadi heran. Tetapi ia menjadi semakin heran melihat ibunya yang
gemetar "Tidur sajalah sayang"
Anak itu berbaring kembali di pembaringannya. Tetapi ia tidak lagi dapat tidur.
Suara hiruk pikuk itupun semakin jelas terdengar di telinganya.
Ki Jagabaya di Prambanan masih berdiri di sisi ayah
Manguri yang gelisah. Setiap kali ia bergerak, Ki Jagabaya itupun berkata "Kau
disini saja. Perkelahian ini akan segera selesai"
Ayah Manguri itu mengumpat-umpat di dalam hatinya.
Apalagi ketika ia melihat anaknya terdesak terus Apalagi luka-lukanya menjadi
semakin parah. Bukan saja luka yang timbul oleh bekas senjata Pamot, tetapi
Puntapun telah berhasil melukainya pula.
"Anak itu terluka" desis ayahnya.
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa
setiap saat ayah Manguri itu akan kehilangan kesabaran dan meloncat ke dalam
pertempuran. Apalagi setelah dilihatnya anaknya menjadi semakin lemah. Tetapi
dengan demikian, maka iapun akan terjun pula melawannya. Bukan saja
menunggui penyelesaian itu.
Dengan dada berdebar-debar Ki Jagabaya dan ayah
Manguri itu menyaksikan pertempuran yang berlangsung
dengan serunya. Apalagi pertempuran antara Ki Reksatani dan Lamat.
Namun ayah Manguri ternyata masih juga berusaha
melemahkan pertahanan Lamat dengan caranya "Lamat,
apakah kau masih dapat melihat api yang membakar sisa rumah itu" Api itu hampir
padam. Tetapi ketika aku Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
menyelamatkan kau, api itu seakan-akan justru akan
membakar langit. Tetapi kau selamat saat itu, meskipun aku sendiri terluka
hampir di segenap tubuhku"
Tiba-tiba saja Lamat berteriak pula "Diam, diam"
Ayah Manguri tidak mau diam. Katanya "Sekarang,
kebakaran telah terjadi lagi. Tetapi tidak oleh perampok-perampok yang merampok
seisi rumah dan membunuh ayah
ibumu. Aku tidak pula perlu menolong kau, karena kau
ternyata seorang yang memiliki kemampuan luar biasa, yang barangkali kau dapat
dari setan-setan di pinggir kuburan.
Bahkan kau sudah dapat menolong dan menyelamatkan Nyai Demang di Kepandak"
"Cukup, cukup" Lamat berteriak-teriak seperti orang yang dihantui oleh bayangan-
bayangan yang menakutkan. Dengan demikian, maka pemusatan pikiran dan
tenaganyapun tertanggu. Kadang-kadang seakan-akan sekilas membayang di rongga matanya, saat-
saat ia dikepung oleh api yang menyala menelan rumahnya, ayah dan ibunya, dan
seluruh isi rumahnya. Seakan-akan ia merasa dirinya disambar oleh seseorang yang kemudian
menyelamatkannya. Orang itu
adalah ayah Manguri"
"Pengkhianat" suara Ki Reksatani yang menggeram itu
bagaikan guruh yang meledak di dalam kepalanya.
Lamat yang memiliki tenaga raksasa itupun mulai terdesak.
Kini ia harus bertempur menghadapi dua lawan. Ia harus melindungi dirinya
sendiri dari sengatan senjata Ki Reksatani, tetapi yang lebih berbahaya. Lamat
harus berjuang melawan perasaan sendiri. Perasaan yang seakan-akan dihembus-
hembuskan ke dalam dadanya oleh ayah Manguri.
"Kau memang licik sekali" Ki Jagabaya berdesis "Aku tidak mengetahui latar
belakang hubunganmu dengan orang yang bertubuh raksasa itu. Tetapi tampaknya kau
mengetahui kelemahan perasaannya. Kau akan mempergunakan Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
kelemahan itu untuk membantu lawannya. Dan itu adalah suatu tindakan yang paling
tidak terpuji. Bahkan yang paling aku benci"
Tetapi ayah Manguri menyahut "Dengan atau tidak dengan cara itu, kau pasti sudah
membenci aku. Aku tidak berkeberatan" "Jangan berkata begitu. Isterimu ada di dalam wilayah kekuasaanku. Apalagi ia
sudah mendapat cela yang tidak akan dapat dilupakan oleh tetangga-tetangganya.
Kalau akhir-akhir ini ia sudah mencoba memperbaiki kesalahan itu, namun tiba-
tiba timbullah persoalan yang membuat daerah kekuasaanku menjadi kisruh seperti
ini" Jawabnya benar-benar di luar dugaan Ki Jagabaya itu.
Katanya "Aku sudah tidak memerlukan lagi Ki Jagabaya. Aku masih mempunyai isteri
di mana-mana" "Kau mungkin tidak berbohong. Tetapi jangan kau sangka bahwa
aku tidak dapat menghubungi Kademangan- kademangan yang lain. Juga Kademangan Kepandak" Kalau jalan perdagangan ternakmu
tertutup, maka akan tamatlah ceritera petualanganmu di kalangan perempuan muda
yang dapat kau beli dengan uang"
Ayah Manguri tertawa. Betapapun pahitnya. Namun tiba-
tiba matanya terbelalak ketika ia melihat. Manguri terlempar beberapa langkah
dan jatuh berguling di tanah. Meskipun ia dapat dengan tangkas berdiri, tetapi
tampak oleh ayahnya, bahwa ia sudah menjadi sangat lemah.
"Gila" Ia menggeram di dalam hatinya. Iapun kemudian
memutuskan untuk berbuat sesuatu. Ia belum mengenal Ki Jagabaya di dalam olah
kanuragan. Sedangkan semua yang terjadi di padukuhan ini adalah akibat dari
tingkah anaknya. Anak laki-lakinya. Karena itu, apapun yang dapat terjadi, tidak boleh
dihindarinya. Ia sendiri sudah memberikan perlindungan atas usaha menyembunyikan
Sindangsari terhadap anaknya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Kini iapun harus memberikan perlindungan pula terhadap akibat yang timbul
karenanya. Dalam pada itu, cahaya matahari pagi sudah menguakkan kehitaman malam.
Perkelahian di halaman belakang itupun menjadi semakin nyata. Beberapa orang
menjadi semakin menggigil karenanya dan dengan gemetar meninggalkannya.
Mereka menjadi jelas,bagaimana mereka yang sedang
bertempur itu benar-benar berusaha membunuh lawannya.
Beberapa orang anak-anak muda Sembojan dan Kali Mati
masih juga berkelahi dengan gigihnya. Punta dan seorang kawannya yang datang
dari Gemulung sama sekali tidak
mengecewakan, sebagai anak-anak muda yang pernah
mendapat tempaan dari sebuah perjalanan yang berat.
Diantara mereka, Lamat masih juga berusaha mengatasi
getaran perasaannya, sehingga ia masih dapat berkelahi sebaik-baiknya, meskipun
kadang-kadang seperti orang yang kehilangan kesadaran, ia menjadi bingung.
Untunglah, di dalam setiap keadaan itu, Lamat selalu masih dapat
menghindarkan diri, meskipun ia harus meloncat jauh-jauh.
Tetapi perasaan yang ditiup-tiupkan oleh ayah Manguri itu terasa semakin
menggelitik hatinya. Setiap kali ia harus menghentakkan giginya untuk mengatasi
perasaan itu. Namun perlawanan Lamat terhadap perasaannya sendiri
itupun menjadi semakin lemah sehingga perlahan-lahan
perlawanannya terhadap Ki Reksatanipun mulai terpengaruh pula.
Pada saat kecemasan di dada ayah Manguri memuncak
melihat kadaan anaknya, tiba-tiba terdengar sebuah keluhan tertahan. Lamat
meloncat jauh-jauh surut sambil meraba pundaknya. Titik darah telah memerah di
tangannya. Ternyata pedang Ki Reksatani telah berhasil menggoreskan luka yang
cukup dalam selagi Lamat diterkam oleh kebimbangan


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaan. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Tetapi luka itu agaknya telah menyadarkannya. Seperti orang yang terbangun. Lamat menggeretakkan giginya.
Mulailah perlawanannya yang garang dan bahkan serangan-serangannya yang dahsyat
melanda lawannya. Namun lawannya itu adalah Ki Reksatani. Itulah sebabnya, maka setiap kali Lamat
bagaikan membentur dinding baja yang tidak tertembus.
Ki Reksatanipun semakin menjadi gelisah pula. Pamot pasti sudah menjadi semakin
jauh. Karena itu, maka lapun
memperkuat serangan-serangannya atas raksasa yang mulai liar itu. Apalagi pundak
kanan Lamat sudah tergores oleh senjata.
"He" seru ayah Manguri. Ia sengaja berkata keras-keras, agar beberapa orang
mendengarnya "kau terluka Lamat"
Sayang, aku kali ini tidak dapat menyelamatkanmu lagi seperti di masa kanak-
kanakmu. Sekarang aku yakin, bahwa memang tidak sepatutnya aku menolong dan
apalagi memelihara dan membesarkanmu, karena akhirnya kau hanya akan menerkam
kami yang memeliharamu dengan baik"
Lamat yang sudah terluka itu menggeram "Kau pasti akan mendapat hukuman dari
penghianatan ini Lamat"
"Cukup" teriak Lamat "apakah yang pernah kau berikan
kepadaku selain pertolonganmu yang tidak aku minta itu.
Apakah kau benar-benar telah memelihara aku baik-baik selama aku tinggal di
rumahmu dan anakmu telah memperlakukan aku tidak lebih dari seekor kerbau?"
Ayah Manguri mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa
kelakuan Manguri kadang-kadang memang berlebih-lebihan.
Dan itulah yang dicemaskannya, bahwa pada suatu saat, jiwa Lamat yang selama ini
tertekan itu akan meledak. Dan
ternyata saat itu telah datang.
Namun, betapapun juga Lamat mencoba mencari kebenaran landasan sikapnya itu, dan bahkan ia yakin bahwa
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
demikian kata nuraninya, namun ia sama sekali tidak dapat melawan arus
perasaannya. Perasaan berhutang budi,
perasaan yang telah diungkit-ungkit oleh ayah Manguri itu, sehingga selain luka
di pundaknya, seolah-olah jantungnyapun telah menjadi parah.
Itulah sebabnya, maka Lamatpun lambat laun telah
terdesak. Agaknya Ki Reksatani mampu mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan dahsyatnya ia
menyerang Lamat yang terus-menerus terdesak surut. Darah raksasa itupun semakin
banyak mengalir dari lukanya yang mulai terasa pedih.
Matahari yang semakin terangpun membuat Ki Reksatani
semakin bernafsu. Kini ia hampir pasti, bahwa ia akan dapat mengalahkan
Lamat. Yang penting baginya adalah mempercepat kekalahan raksasa itu.
Tetapi Lamat tidak segera menyerah pada keadaan.
Bahkan ketika luka di pundaknya menjadi semakin pedih, perlawanannyapun menjadi
semakin gigih. Namun setiap kali perasaannya tergetar oleh kenangan masa
kecilnya, maka iapun kadang-kadang menjadi lengah.
Bahkan Lamatpun kemudian berpikir "Mudah-mudahan
Pamot sudah jauh. Mudah-mudahan Pamot
mendapat kesempatan membawa Nyai Demang kembali ke Kepandak,
kembali kepada suaminya"
Sejalan dengan harapan itu, maka perlawanannyapun
menjadi semakin susut. Darahnya tidak lagi dapat tertahan.
Semakin banyak ia bergerak, semakin banyak arus darah dari lukanya.
Beberapa orang anak-anak muda Sembojan, dan juga
Punta. melihat luka di pundak Lamat. Sejenak mereka tergetar oleh kecemasan.
Tanpa Lamat, maka perlawanan mereka
akan menjadi tidak seimbang lagi, meskipun Ki Jagabaya ikut serta di dalam
perkelahian itu. Mereka sadar, bahwa ternyata
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Ki Reksatani benar-benar seorang yang tidak terkalahkan.
Bukan saja di Kademangan Kepandak, tetapi juga di daerah sekitarnya. Di
Kademangan-kademangan yang lain memang sulitlah dicari orang-orang yang mampu
mengimbanginya. Karena itu, mereka harus mengambil kebijaksanaan lain, Semula atas persetujuan
Ki Jagabaya, anak-anak Sembojan dan Kali Mati yang merasa cukup kuat menghadapi
orang-orang yang telah membuat keributan di padukuhan mereka itu, tidak ingin
menggemparkan seluruh Kademangan. Mereka bersepakat untuk tidak memukul tanda
bahaya. Tetapi apabila Lamat
dapat dikalahkan, maka anak-anak muda itu memerlukan lebih banyak kawan lagi untuk melawan Ki
Reksatani. Karena itu, salah seorang dari mereka segera menghubungi Ki Jagabaya. Dengan
nafas terengah-engah ia berkata
"Keadaan bertambah gawat Ki Jagabaya"
Sebelum Ki Jagabaya menyahut, ayah Mangurilah yang
menjawab "Jangan ingkari kenyataan. Karena itu jangan menjadi kebiasaan
mencampuri persoalan orang lain"
"Persetan" geram Ki Jagabaya "sebentar lagi anakmu akan dibunuh oleh kawan
sepadukuhannya, lalu katanya kepada anak muda yang datang kepadanya "usahakan
bantuan" "Dengan kentongan?"
Ki Jagabaya menganggukkan kepalanya.
"Gila" potong ayah Manguri "kau akan melibatkan seluruh Kademangan?"
"Apaboleh buat" jawab Ki Jagabaya "Ki Reksatani itu
ternyata sangat berbahaya bagi kita disini"
"Yang akan datang hanyalah akan memperbanyak korban"
berkata ayah Manguri "aku mempunyai saran yang baik.
Tariklah seluruh anak Sembojan dan Kali Mati dari perkelahian ini. Mereka akan
menjadi korban yang sia-sia. Biarlah anak-
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
anak Gemulung itu mati terbunuh disini. Bahkan Lamat itu sama sekali"
"Cepat" berkata Ki Jagabaya tanpa menghiraukan kata-kata ayah Manguri "bunyikan
tanda itu. Lamat benar-benar sudah terdesak. Tetapi itu bukan karena Ki
Reksatani tidak terlawan olehnya. Ia mampu mengimbangi kegarangan Ki Reksatani
itu. Tetapi karena kelicikan pedagang ternak yang tamak inilah, maka ia kehilangan
keseimbangan perlawanannya"
"Omong kosong" sahut ayah Manguri. Tetapi ia tidak
sempat mengatakan kelanjutannya, karena Ki Jagabaya
berkata lantang "Cepat. Jangan hiraukan apapun lagi"
Anak muda itupun segera berlari-lari ke gardu di simpang tiga. Sementara Lamat
menjadi semakin terdesak, maka
terdengarlah suara titir dari gardu beberapa puluh langkah dari halaman rumah
itu. "Gila" Ki Reksatani menggeram. Ia sadar akan bunyi tanda itu. Karena itu,
serangannyapun menjadi semakin garang.
Apalagi ketika suara titir itu telah disahut oleh bunyi kentongan dari gardu
yang lain. Sambung menyambung,
merambat dari gardu yang satu ke gardu yang lain.
Ki Reksatani benar-benar telah kehilangan pengekangan diri. Ia berkelahi seperti
setan takut kesiangan. Apalagi ketika sinar matahari mulai menyentuh tubuhnya,
dan suara titir itu sudah memenuhi udara pagi di padukuhan Sembojan dan
sekitarnya. Sejenak kemudian Lamat telah benar-benar terdesak.
Tenaganya menjadi semakin lemah, karena darah yang
semakin banyak mengalir. Bahkan sejenak kemudian, ujung senjata Ki Reksatani
telah menyentuhnya sekali lagi. Meskipun tidak begitu dalam, namun ujung pedang
yang menyobek kulit lambungnya. tu membuatnya semakin terdesak surut.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Kau akan mati pagi ini" geram Ki Reksatani. Tetapi Lamat tidak gentar, karena
akibat itu sudah disadarinya. Jawabnya
"Aku tidak takut melihat maut yang sudah menjemputku.
Tetapi aku merasa bahwa aku sudah berbuat arti di dalam hidupku yang hina ini.
Arti bagi perikemanusiaanku"
"Tutup mulutmu" bentak Ki Reksatani sambil menyerang
dengan cepatnya. Untunglah Lamat masih sempat memalingkan kepalanya. Namun demikian ujung pedang Ki Reksatani masih juga
menyentuh pipinya. Setitik darah mengalir dari luka di pipinya. Sekali lagi tangan Lamat menjadi
merah oleh darah ketika ia meraba luka di pipinya itu. Namun demikian ia masih
tetap berusaha menyelamatkan diri dari sentuhan senjata Ki Reksatani yang satu
lagi. Keris pusakanya. Karena Lamat sadar bahwa
sentuhan keris itu akibatnya adalah maut. Racun pada keris itu akan segera
bekerja di dalam tubuhnya tanpa ampun.
Karena itu, perlawanannya kini ditujukan lebih banyak pada serangan-serangan
keris itu daripada ujung pedangnya.
Ternyata Ki Reksatani masih berhasil melukai lawannya lagi. Lengan Lamatpun
telah tersobek pula. Kemudian
pahanya, sehingga tubuhnya seakan-akan menjadi merah
karena darah dan keringat yang mengaliri wajah, dada dan kakinya.
Ki Jagabaya melihat luka-luka itu dengan tubuh yang
bergetar karena marah. Ia bukan sanak bukan kadang dengan raksasa itu, bahkan
mengenal secara pribadipun belum. Tetapi Ki Jagabaya telah meyakini kebenaran
perjuangan Lamat, sehingga karena itu, dadanya serasa telah terbakar, melihat
luka-luka yang seolah-olah telah memenuhi tubuh raksasa itu.
"Licik" Ki Jagabaya menggeram "kaulah yang menyebabkan kekalahannya. Kalau kau
tidak menyerang perasaannya, maka ia tidak akan dapat dikalahkan oleh Ki
Reksatani. Karena itu, kaulah yang harus bertanggung jawab"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Tetapi ayah Manguri sama sekali tidak menjawab. Ketika Ki Jagabaya berpaling
kepada orang itu, ia terkejut bukan buatan. Wajah itu menjadi pucat dan tegang.
Bahkan tubuhnyapun menjadi gemetar pula.
Ki Jagabaya menjadi heran. Apalagi ketika tiba-tiba ayah Manguri itu berpaling
sambil berdesah "Tahan. Tahanlah dia.
Jangan disakiti anak itu. Jangan diperlakukan anak itu dengan semena-mena
meskipun ia sudah berkhianat. Bunuh atau
lepaskan. Jangan dikupas seperti mengupas pisang"
Ki Jagabaya menjadi termangu-mangu sejenak. Bahkan ia bertanya "Kenapa kau"
Apakah kau sudah menjadi gila"
"Tolonglah anak itu"
Ki Jagabaya menjadi bingung melihat tingkah laku ayah Manguri itu. Namun ia
tidak melepaskan kewaspadaan. Ia masih saja curiga karena kelicikan ayah Manguri
itu. Dalam pada itu, suara titir telah memenuhi seluruh
Kademangan. Ki Reksatanipun menjadi semakin gelisah
karenanya. Meskipun luka di tubuh Lamat, seolah-olah telah menjadi arang
kranjang, tetapi raksasa itu sama sekali tidak menyerah. Ia masih tetap
bertempur terus meskipun ia selalu terdesak mundur.
"Gila, apakah kau menyimpan nyawa rangkap?" Ki
Reksatani menggeram. Lamat tidak menjawab. Betapa perasaan sakit telah
mencengkam seluruh tubuhnya, namun ia tidak mau
menyerah. Akhirnya Ki Reksatani tidak sabar lagi. Ketika ia melihat orang yang pertama
datang ke arena itu, kemudian disusul oleh beberapa orang lagi, yang agaknya
sudah dipanggil oleh suara titir itu, hatinya berdesir. Mereka ternyata bukan
penakut-penakut seperti orang-orang yang berdiri saja di kejauhan.
Mereka agaknya pengawal-pengawal dari Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan Sembojan,
seperti anak-anak muda yang telah berkelahi lebih dahulu.
Sejenak Ki Reksatani mempertimbangkan keadaannya, Ia
masih melihat beberapa orang-orangnya berkelahi dengan gigihnya. Karena itu, ia
harus memilih. Melepaskan kemarahan dan dendamnya kepada Lamat, atau mengejar
Sindangsari yang sudah dilarikan oleh Pamot dan akan diserahkan kepada suaminya.
"Persetan dengan padukuhan Sembojan. Aku harus
meninggalkan neraka ini. Persoalanku adalah persoalan Kademangan Kepandak. Aku
tidak perlu terjerumus dalam perangkap orang-orang Sembojan yang suka mencampuri
persolan orang lain ini"
Karena itu, maka Ki Reksatanipun segera memberikan
isyarat kepada anak buahnya yang masih ada beserta orang-orang Manguri.
Merekapun segera berloncatan dari arena, dan sambil mempertahankan diri,
merekapun berlari- larian ke kuda masing-masing. Untunglah bahwa kuda-kuda itu
sudah dipersiapkan sehingga merekadengan segera dapat berloncatan dan langsung memacunya. Ki Reksatani masih berusaha melindungi anak
buahnya sejenak. Dengan kudanya ia menyerang anak-anak muda yang mencoba
menghalangi anak buahnya yang akan naik ke punggung kudanya.
Tidak seorangpun yang berani melawannya langsung.
Karena itu maka seorang demi seorang, anak buahnya
berhasil meninggalkan halaman rumah itu, meskipun beberapa diantara mereka telah
terbunuh. Diantaranya adalah mereka yang justru terbunuh oleh kawan-kawan
sendiri. Meskipun mendapat kesempatan tetapi ayah Manguri sama sekali tidak berniat untuk
meninggalkan halaman rumah itu.
Dengan wajah yang buram ia melihat beberapa orang berlari-larian dikejar oleh
anak-anak muda Sembojan. Tetapi hanya karena ketangkasan Ki Reksatani
mengayunkan senjatanya sambil mengendalikan kudanya sajalah, sebagian terbesar
dari Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
mereka dapat dengan selamat meninggalkan halaman rumah itu.
Ki Jagabaya masih berdiri di dekat ayah Manguri yang
termangu-mangu. Ia hanya mengikuti derap kuda yang berlari seperti dikejar hantu
meninggalkan regol halaman. Kemudian hilang di balik pepohonan.
Pada saat yang bersamaan, anak-anak muda di sekitar
Sembojan berdatangan ke padukuhan itu. Bukan saja anak-anak muda, tetapi laki-
laki yang sudah menjelang setengah umurpun ikut pula berdatangan dengan senjata.
"Apa yang terjadi?" bertanya seorang yang rambutnya
sudah berwarna dua kepada seseorang yang berdiri di luar dinding halaman.
"Untunglah kau datang terlambat" jawabnya "kalau kau
sempat menyaksikan apa yang terjadi, maka kau akan pingsan disini"


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa?" "Lihatlah bekasnya"
Orang itu menjengukkan kepalanya. Ketika ia melayangkan pandangan matanya, ia
memandang tepat di saat Lamat tidak lagi dapat menguasai dirinya. Perlahan-lahan
ia jatuh terduduk, kemudian dengan lemahnya ia terkulai di tanah.
Tetapi orang yang berambut dua warna itulah yang lebih dahulu pingsan melihat
tubuh Lamat yang seakan-akan
terbalut oleh darahnya yang merah.
Karena itu, maka beberapa orang harus memapah orang
separo baya itu menepi, sementara di dalam halaman
belakang, Ki Jagabayapun berlari-lari dan kemudian berjongkok di samping Lamat yang sudah tidak berdaya lagi.
"Bagaimana dengan kau?" bertanya Ki Jagabaya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Lamat memandanginya sejenak. Nafasnya menjadi semakin cepat
mengalir. Agaknya ia telah memaksa dirinya,
mengerahkan segala kemampuan dan tenaga, melampaui
kemampuan yang sewajarnya.
"Air, air" teriak Ki Jagabaya. Ketika ia berpaling, ia melihat ayah Manguripun
sedang merenungi anaknya yang terbaring di tanah. Sementara Punta dengan senjata
di tangan, berdiri di sampingnya.
"Janggan kau bunuh anak ini" pinta ayah Manguri "Aku
akan kehilangan kedua-duanya"
Punta tidak tahu arti permintaan itu. Tetapi ia memang tidak ingin
membunuh Manguri. Setelah ia berhasil menjatuhkan anak muda itu dan tidak mampu lagi untuk
bangkit, maka Punta tidak lagi dikuasai oleh nafsu membunuh.
Ia dapat mengendalikan dirinya. Dibiarkannya Manguri
terbaring di tanah dengan nafas terengah-engah dan
menyeringai kesakitan. Namun sejenak kemudian Manguri itupun menjadi pingsan.
Kini suasana di halaman belakang rumah itu tidak lagi diwarnai oleh perkelahian
dan dibisingkan oleh bunyi dentang senjata beradu. Beberapa orang pengawal yang
terlukapun segera mendapat pertolongan, sehingga dengan demikian, kesibukan
orang-orang di halaman itu telah beralih.
Hanya orang-orang tertentu sajalah yang berani melihat kenyataan di halaman itu.
Beberapa orang yang semula
datang dengan senjata di tangan karena titir yang sahut menyahut, ternyata sama
sekali tidak berani menginjakkan kakinya ke halaman itu. Bekas perkelahian itu
ternyata sangat mengerikan. Apalagi apabila mereka masih sempat melihat
perkelahian yang terjadi.
Untunglah, bahwa diantara mereka terdapat anak-anak
muda yang telah mendapat tempaan khusus. Terutama
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
mereka yang pernah mengikuti pasukan yang berjuang untuk mengusir orang-orang
asing yang mulai berkuasa di tanah ini.
"Punta" berkata ayah Manguri "bukankah kau tidak
membunuhnya?" Punta menggelengkan kepalanya.
Ayah Manguri mengguncang-guncang kePala anaknya yang
pingsan. Kemudian menempelkan telinganya di dadanya. Ia masih mendengar detak
jantung anak itu. "Ia masih hidup. Ia masih hidup" Ayahnyapun kemudian
berusaha untuk menolongnya sejauh-jauh dapat dilakukan.
Tetapi ternyata bahwa orang Sembojan adalah orang-orang yang berhati lapang.
Meskipun mereka kemudian mengerti apa yang terjadi, namun mereka tidak sampai
hati membiarkan Manguri tanpa mendapat pertolongan apapun, karena justru ayahnya
menjadi kebingungan. Beberapa orang telah membantunya atas perintah Ki Jagabaya.
Seperti Lamat, maka Manguripun segera mendapat pertolongan.
Kedua nyapun kemudian telah dibawa ke rumah tetangga
terdekat. Ditunggui oleh beberapa pengawal bersama Punta dan seorang kawannya
yang datang dari Gemulung.
Bagaimanapun juga mereka masih tetap harus bercuriga.
Apalagi di dekat ayah Manguri itu terbaring pula Lamat yang sudah kehabisan
tenaga. Seorang dukun tua telah berbuat sejauh-jauh dapat
dilakukan untuk menyelamatkan jiwa kedua orang itu. Sedang orang-orang lain yang
meskipun juga terluka, tetapi tidak begitu parah, telah mendapat pertolongan
pula. Untunglah bahwa tidak ada seorang pengawalpun yang menjadi korban sehingga
meninggal. Yang ada diantara mereka adalah
pengawal-pengawal yang terluka.
Agaknya Manguri memang masih diberi kesempatan untuk
hidup. Seandainya ia harus bertempur melawan Pamot yang
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
menyimpan berbagai macam masalah di dadanya terhadap
Manguri, maka harapan baginya untuk dapat tetap hidup adalah kecil sekali.
Tetapi kini, dukun yang mengobatinya masih berpengharapan bahwa nyawanya akan dapat di selamatkan.
Sedangkan Lamat, agaknya masih lebih baik dari keadaan Manguri. Meskipun luka-
lukanya bersilang melintang di seluruh tubuhnya, namun luka-luka itu tidak
membahayakan jiwanya. Satu dua ada juga lukanya yang dalam. Namun ketahanan tubuh Lamat, lernyata
memang melampaui ketahanan tubuh manusia biasa.
Dalam pada itu, di halaman yang baru saja menjadi kancah perkelahian itupun kini
telah disibukkan oleh orang-orang yang sedang membersihkan halaman itu dari
mayat-mayat dan mereka yang terluka. Setiap orang menjadi ngeri menyaksikan bekas-bekas dari apa yang telah terjadi.
Ceritera tentang sebab-sebab
perkelahian itupun segera menjalar ke segenap telinga, sehingga setiap orang
telah terbakar batinya. Mereka
menyesal bahwa Ki Reksatani dapat terlepas dari tangan mereka. Dan bahkan Lamat
yang melawannya dengan gigih telah terluka parah.
Orang-orang Sembojan meletakkan kesalahan terberat
pada Ki Reksatani. Itulah agaknya sebabnya bahwa mereka masih dapat menguasai
perasaan mereka terhadap Manguri.
Perempuan-perempuan yang mendengar ceritera dan latar belakang dari peristiwa
itupun mengusap dada mereka sambil berkata "Kasihan Nyai Demang di Kepandak"
Sedang perempuan yang lain menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil berkata "Aku agaknya telah ikut berdosa.
Kenapa aku percaya bahwa perempuan itu sekedar
perempuan gila. Dan bahkan aku pernah mengumpatinya
karena ia berteriak-teriak sambil berlari-lari di sepanjang
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
jalan" Agaknya Nyai Demang saat itu masih berusaha untuk melepaskan dirinya"
Sementara itu, setelah mendapat perawatan seperlunya, Lamat sudah dapat
mengingat semua yang terjadi dengan jelas. Bahkan ia sudah mulai gelisah dan
berkata kepada Punta. yang menungguinya "Bagaimana dengan Pamot"
Apakah masih ada kemungkinan Ki Reksatani menyusulnya di perjalanan?"
Punta berpikir sejenak. Dengan ragu-ragu ia menjawab
"Jaraknya cukup panjang Lamat"
"Tetapi Pamot membawa Nyai Demang yang terluka bakar.
Ia tidak akan dapat berpacu terlampau cepat"
"Kita akan berdoa untuknya. Mudah-mudahan ia tidak
tersusul di perjalanan. Kita mempunyai banyak harapan.
Mungkin Pamot benar-benar tidak tersusul, mungkin jalan yang ditempuh oleh Pamot
bukannya jalan yang dipilih oleh Ki Reksatani"
Lamat menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia
mencoba untuk bangkit. Tetapi Ki Jagabaya dan dukun yang merawatnya telah
mencegahnya. "Berbaringlah" berkata Ki Jagabaya "darahmu hampir
mampat" Lamat menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya yang kuat
seperti kerbau itu memang terasa lemah sekali, sehingga seakan-akan ia tidak
mampu lagi mengangkat kepalanya.
"Hampir seluruh tubuhmu terluka parah" berkata Ki
Jagabaya selanjutnya. Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya.
Terbayang kembali perlawanannya atas Ki Reksatani. Adalah suatu perlindungan yang ajaib
bahwa ia tidak terbunuh karenanya.
Ia sadar, kemarahan Ki Reksatani kepadanya pasti melonjak sampai
ke ujung ubun-ubun. Namun demikian, Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
ditinggalkannya ia masih dalam keadaan yang memungkinkannya untuk tetap hidup.
Ketika Lamat kemudian memalingkan kepalanya perlahan-
lahan di lihatnya Manguripun terbaring diam beberapa langkah daripadanya
ditunggui oleh ayahnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya "Bagaimana dengan anak
itu?" Puntapun berpaling pula memandang tubuh Manguri. Ia lah yang telah melukai tubuh
itu setelah Lamot melukainya lebih dahulu.
"Apakah ia terluka parah juga?" Punta menganggukkan
kepalanya. "Kaulah yang melukainya?"
"Aku hampir membunuhnya" desis Punta. Lamat tidak
menyahut. Di tatapnya jalur-jalur bambu pada atap diatas pembaringannya.
Dalam saat-saat yang diliputi oleh ketegangan dan kegoncangan perasaan itu semuanya seakanakan telah terbayang
kembali. Namun tiba-tiba Lamat menjadi gelisah, ketika angan-
angannya sampai pada akhir peristiwa di Sembojan itu.
Seakan-akan ia melihat Ki Reksatani sedang mengejar Pamot yang tidak dapat
berpacu karena Sindangsari yang terluka dan apalagi perempuan itu sedang
mengandung. Sedang derap kaki kudanya telah mengguncang-guncangnya.
"Bagaimana dengan Pamot" tiba-tiba sekali lagi ia berdesis.
"Mudah-mudahan ia tidak tersusul" sahut Punta.
"Kalau ia tersusul di perjalanan, maka berakhirlah
semuanya "Lamat berhenti sejenak, lalu "tetapi kalau ia berhasil mencapai
Kademangan Kepandak, maka ia akan
dapat berlindung pada Ki Demang. Satu-satunya orang yang dapat melawan Ki
Reksatani. Mudah-mudahan Ki Demang
mempercayainya" Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Ada seorang saksi yang mengiringinya"
Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bayangan keragu-raguan tampak pada tatapan matanya yang redup. Namun betapa mata
itu redup, Lamat seolah-olah melihat apa yang sedang terjadi. Pamot yang
kehilangan kesempatan untuk melepaskan diri. Keris Ki Reksatani. Darah.
Tiba-tiba saja Lamat bangkit sambil berkata "Tolonglah, tolonglah anak itu"
Punta, Ki Jagabaya dan dukun yang merawatnya segera
menahannya dan berusaha membaringkannya kembali.
Mereka menjadi berdebar-debar karena tubuh Lamat terasa menjadi panas. Apalagi
ketika Ki Jagabaya meraba keningnya, seakan-akan kepala raksasa itu sudah
membara. "Ambillah air" berkata dukun tua itu "rendamlah beberapa potong jeruk pecel"
'Seseorang segera berlari-lari mencari air dan jeruk pecel.
Dengan sehelai kain, diusapkannya air jeruk pecel itu ke kening! Lamat. Tetapi
ketika setitik air jeruk itu menyentuh lukanya, Lamat telah menggeliat
kesakitan. "Bagaimana dengan Pamot, bagaimana?" ia masih bertanya terus.
"Percayakan anak itu
kepada Tuhan Yang Maha Penyayang" desis dukun tua yang menungguinya "kita
bersama-sama berdoa untuknya"
Jawaban itu bagaikan titik-titik embun di ubun-ubunnya.
Perlahan-lahan Lamat menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Ya. Kita percayakan anak itu kepada Tuhan. Mudah-mudahan ia selamat"
"Tidurlah. Kalau kau sempat tidurlah" berkata Ki Jagabaya
"badanmu akan terasa segar"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Oleh air jeruk pecel yang menyeka keningnya, Lamat
merasa tubuhnya benar-benar menjadi semakin segar. Namun ia masih belum dapat
menghalau sama sekali kegelisahan yang membayang di hatinya. Bahkan katanya
kemudian "Apakah aku dapat meninggalkan tempat ini"
Punta bergeser maju, mendekati telinga Lamat. Katanya perlahan-lahan "Kau harus
beristirahat. Kau memerlukan istirahat"
"Aku sudah cukup beristirahat"
Punta menggelengkan kepalanya.
"Apakah kudaku masih ada?" tiba-tiba ia bertanya.
"Jangan pikirkan tentang kuda. Kau harus beristirahat sebaik-baiknya"
Lamat tidak menyahut lagi. Tetapi bayangan-bayangan
yang mengerikan kembali mengganggunya. Namun titik-t itik air jeruk membuatnya
agak tenang sehingga ia masih berhasil menguasai kegelisahan di dadanya. Kini
bayangan-bayangan yang bermain di hadapannya adalah kenangan-kenangan
masa yang agak jauh berlalu. Ketika tanpa sesadarnya ia sekali lagi melihat ayah
Manguri yang duduk merenungi anaknya.
Hampir tidak ada seorangpun yang menghiraukan anak
yang pingsan itu. Yang dilihatnya hanyalah beberapa orang pengawal dengan
senjata telanjang berdiri di depan pintu.
Dua orang yang lain berdiri di sudut ruangan. Lamat mengerti benar, bahwa para
pengawal itu sedang mengawasi Manguri dan ayahnya yang kini merupakan tawanan.
Tetapi Lamat tidak melihat istri ayah Manguri yang muda berada diantara mereka.
Namun demikian Lamat tidak
bermaksud untuk menanyakannya.
Dalam pada itu, isteri ayah Manguri yang muda itu masih berada di halaman
rumahnya. Ia tidak menghiraukan sama
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
sekali orang-orang yang sedang sibuk


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membersihkan halamannya itu. Mengangkat orang-orang yang terluka dan bahkan beberapa sosok
mayat, ia tidak menghiraukan
beberapa orang laki-laki yang hilir mudik dengan wajah yang tegang sambil
menjinjing senjata. Perempuan itu berdiri tegak merenungi abu yang
berserakan, yang masih mengepulkan asap yang kehitam-
hitaman. "Rumahku, rumahku" ia berdesis perlahan sekali "perhiasan yang aku kumpulkan
sedikit demi sedikit sekarang telah musnah"
Perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Namun tiba-tiba terdengar ia tertawa kecil. Kini ditatapnya seonggok
abu yang masih panas itu.
"He, itulah peti simpananku. Kenapa baru sekarang aku melihatnya. O, masih utuh.
Sepuluh laki-laki yang sudah berhasil aku hisap uangnya, kekayaannya dan bahwa
semua miliknya. Dan aku berhasil menyimpan seonggok permata"
suara tertawanya menjadi semakin keras.
Beberapa orang memandanginya dengan heran. Seorang
perempuan tua telah memaksa dirinya untuk mendekatinya
"Apakah yang kau cari?"
"O, kau?" perempuan itu mengerutkan keningnya "kau
akan merampas milikku?"
"Tidak. Tentu tidak. Tetapi, sadarilah apa yang sudah terjadi"
"Apa yang terjadi" Aku menyimpan simpananku sendiri.
Apa salahnya. Dan kau tidak usah mempedulikan darimana aku mendapatkannya.
Adalah salah laki-laki yang bersedia aku hisap darahnya sampai kering. Adalah
salah mereka, bahwa mereka mau membeli belaian tanganku dengan seluruh
kekayaannya. Apakah kau iri ya" Kau termasuk salah seorang
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
dari mereka yang ingin mengusir aku dari sini. Dari rumahku yang aku buat
sendiri diatas tanah milikku"
"Tidak. Tidak. Aku tidak akan beriri hati. Tidak pula akan mengusirmu. Tetapi
sadarilah dirimu" "Apa yang harus aku sadari" Maksudmu agar aku tidak
menerima laki-laki lagi di rumahku ini selain suamiku yang hanya datang tiga
bulan atau empat bulan sekali itu" Begitu?"
Perempuan tua itu menjadi bingung. Dan ia hampir
memekik ketika ia melihat isteri muda ayah Manguri itu tiba-tiba saja berlari
terjun ke dalam onggokan abu yang masih panas. Tetapi yang sama sekali tidak
dihiraukannya. Dan ia hanya dapat mengusap dadanya ketika ia melihat perempuan
itu kemudian menjatuhkan dirinya, berlutut di dalam
onggokan abu itu. Sambil mengaduk abu yang hangat itu ia tertawa berderai.
Katanya "Semuanya sudah aku ketemukan kembali. Inilah perhiasanku yang tidak
ternilai harganya. Aku akan menjadi semakin kaya. Perhiasan perempuan gila itu
akan menjadi milikku juga. Perempuan gila itu"
Semua orang yang ada di halaman itupun tertegun
karenanya. Mereka memandang perempuan yang kemudian
menjadi seakan-akan disaput dengan abu yang kotor pada seluruh tubuhnya itu
sambil menarik nafas dalam-dalam. Dan perempuan itu tiba-tiba ia berdiri dan
memandang berkeliling. Ketika tampak olehnya beberapa orang laki-laki yang seolah-olah membeku di
sekeliling bekas rumahnya, ia tertawa berkepanjangan "He, kau akan singgah ke
rumah ini pula" Kau, kau, kau juga. Jangan bersama-sama. Aku tidak akan pergi.
Datanglah berganti-ganti. Suamiku tidak akan mengetahuinya. Kemarilah. Kemarilah"
Dan suara tertawanya menggelepar seperti tingkah
perempuan itu. Di kejauhan terdengar seseorang berbisik kepada kawan yang berdiri di sampingnya
"Ia menjadi gila. Semua kekayaan
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
yang dikumpulkannya dengan jalan yang sesat itu agaknya telah ikut terbakar di
dalam rumah itu" "Kasihan. Ternyata perempuan itulah yang menjadi gila.
Bukan perempuan yang dikatakannya gila dan ternyata adalah Nyai Demang di
Kepandak" "Agaknya ia telah kena kutuk"
Dan dalam pada itu suara tertawanya masih saja
berkepanjangan. Ketika beberapa orang mencoba mengajaknya meninggalkan onggokan abu yang masih panas itu ia justru mengumpat-
umpat dengan kata-kata yang paling kotor yang pernah didengar oleh telinga.
Akhirnya orang-orang itupun terpaksa membiarkannya
berbuat sesuka hatinya di dalam ketidak-sadarannya. Kejutan perasaan itu
ternyata tidak tertanggungkan lagi, sehingga ia telah berubah ingatan dengan
tiba-tiba. Dalam pada itu, ketika seorang laki-laki memberitahukannya kepada ayah Manguri, laki-laki itu berkala dengan nada suara
yang rendah dan datar "Aku tidak
memerlukannya lagi. Aku sudah tidak memerlukan apa-apa"
"Perempuan itu menjadi gila"
Ayah Manguri mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu
kemudian tertunduk kembali. Desisya "Dosaku memang sudah bertumpuk sampai
menyentuh langit. Kini aku harus
menanggung segala dosaku" perlahan-lahan kepalanya
digelengkannya "mungkin besok atau lusa, aku akan dihukum gantung bersama anakku
yang seorang ini" ia berhenti
sejenak, lalu "mudah-mudahan anak itu selamat" katanya kemudian sambil berpaling
kepada Lamat. Laki-laki yang memberitahukan tentang perempuan yang
gila itu tidak mengerti maksudnya. Orang-orang yang
mendengarpun tidak mengerti pula. Tetapi mereka menyadari, bahwa laki-laki itu
bersama anaknya yang terluka adalah
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
tawanan yang harus mempertanggung jawabkan semua
kesalahannya. Tidak saja kepada Ki Demang di Prambanan, tetapi juga kepada Ki
Demang di Kepandak. Karena itu, maka ditinggalkannya ayah Manguri itu di dalam kemuramannya.
Dalam pada itu, Ki Reksatani memacu kudanya seperti
dikejar hantu. Ia tidak mau lagi mengenangkan apa yang terjadi di Sembojan. Ia
juga tidak mau lagi memikirkan, apakah yang akan terjadi kemudian dengan
Kepandak. Yang kini tersangkut di kepalanya adalah rencananya untuk
mengejar Pamot yang telah melarikan Sindangsari.
Namun Ki Reksatani menjadi ragu-ragu sejenak. Tidak
hanya ada satu jalan yang akan sampai ke Kademangan
Kepandak. Ada jalan induk yang sudah agak baik melintasi hutan Tambakbaya. Ada
jalan yang melintas di sebelah Utara.
Tetapi ada juga jalan yang menerobos daerah rawa-rawa di sebelah Selatan.
Semuanya akan sampai ke daerah pinggir kota Mataram yang kemudian dihubungkan
dengan jalan-jalan yang melintang, sampai kepadukuhan-padukuhan di daerah
Kademangan Kepandak, agak jauh di sebelah Selatan pusat pemerintahan Mataram.
"Persetan, jalan mana yang akan diambilnya" geram Ki
Reksatani "Aku harus sampai ke Kepandak secepat-cepatnya.
Apakah aku dapat menemukannya di sepanjang jalan, atau aku harus mengambilnya
lagi dengan paksa, di halaman
Kademangan sekalipun, aku tidak akan mundur. Semuanya sudah terjadi, dan aku
tidak akan dapat menarik diri lagi. Aku harus menengadahkan dadaku untuk
menghadapi setiap kemungkinan" Dengan demikian maka Ki Reksatani tidak menghiraukannya lagi, apakah ia mengambil jalan yang sama dengan jalan yang
ditempuh oleh Pamot. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Tetapi agaknya Ki Reksatani tidak ingin juga terganggu di sepanjang jalan. Kalau
ia melalui jalan induk yang sampai langsung ke kota, maka akan timbul kecurigaan
pada orang-orang yang melihatnya. Kalau ia bertemu dengan peronda dari Mataram
maka peronda itu pasti akan menegurnya dan
bahkan mungkin menghentikannya disertai oleh beberapa pertanyaan yang
menjemukan. Karena itu, maka Ki Reksatani memutuskan untuk
mengambil jalan lain. Justru tanpa disengaja, ia mengambil jalan Selatan.
Demikianlah maka iring-iringan kecil itu berpacu semakin lama semakin cepat.
Matahari yang semakin tinggi bagaikan cambuk
yang memaksa mereka untuk mempercepat perjalanan yang menegangkan itu. Setelah kuda mereka
mengitari gerumbul-gerumbul perdu dan menusup ke dalam hutan yang rindang maka
sampailah mereka kesebuah padang rumput yang sempit. Kemudian mereka akan sampai
pula kegerumbul-gerumbul perdu yang agak lebat dan sejenak kemudian mereka akan
melingkari rawa-rawa. Jalan yang mereka lalui memang jalan yang sempit. Namun karena jalan itu sering
dilalui juga oleh rombongan-rombongan pedagang yang beriring-iringan, maka kuda
mereka masih juga dapat berpacu.
Namun tiba-tiba mata Ki Reksatani yang tajam melihat
sesuatu yang tersangkut pada sebatang ilalang di pinggir jalan sempit itu.
Dengan tergesa-gesa menarik kekang kudanya sehingga kudanyapun berhenti dengan
tiba-tiba. "Apakah menurut dugaanmu?" bertanya Ki Reksatani
sambil memungut benda itu.
Para pengiringnya yang ikut berhenti juga berdiri
mengelilinginya sambil mengamat-amati benda itu. Dan tiba-tiba saja salah
seorang dari mereka berkata Sepotong kain lurik. Lihat bekas terbakar itu masih
jelas" Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Pakaian barangkali. Sepotong sobekan pakaian" berkata yang lain.
Pakaian siapa" suara Ki Reksatani menjadi parau, beberapa orang saling
berpandangan. Tetapi tidak ada seorangpun yang segera menjawab, meskipun yang
tergembul di dalam hati mereka masing-masing hampir bersamaan.
Dan karena tidak ada seorang yang menjawab, maka Ki
Reksatanipun berkata "Aku menduga bahwa pakaian ini
memang pakaian yang baru saja tersentuh api"
Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
mereka termenung ketika Ki Reksatani tiba-tiba saja
mengamat-amati tanah di sepanjang jalan sempit itu.
"Pasti. Pakaian ini pasti pakaian Sindangsari. Lihat, jejak kaki kuda ini adalah
jejak kaki kuda Pamot"
"Ya" hampir berbareng beberapa orang menjawab.
"Pamot pasti mengambil jalan ini pula. Kita secara
kebetulan mengambil jalan yang sama"
"Ya" Ki Reksatani tidak berkata sepatah katapun lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat ke
punggung kudanya. Sebuah hentakan kendali dan sentuhan pada perut kuda itu,
membuatnya melonjak dan kemudian lari sekencang-kencangnya.
Para pengiringnyapun segera menyusul pula. Mereka
seakan-akan sedang berpacu berebut dahulu.
Demikianlah maka iring-iringan itupun melanjutkan perjalanan mereka. Debu yang putih berhamburan di belakang kaki-kaki kuda yang
menjadi semakin lama semakin panas.
"Apakah aku masih dapat mengejarnya" bertanya Ki
Reksatani di dalam hatinya. Namun agaknya jarak sudah menjadi demikian jauh.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Meskipun demikian Ki Reksatani masih terus berusaha.
Dengan kecepatan penuh kudanya berlari-lari mengitari rawa diantara padang
perdu. Di hadapan mereka kemudian
terbentang sebuah hutan yang rindang, sebelum mereka akan memotong sebuah sudut
hutan yang masih agak lebat.
Dalam pada itu, Pamotpun masih juga berpacu diatas
punggung kudanya. Tetapi kawannya yang berkuda di
belakangnya hampir tidak sabar karenanya. Pamot semakin lama menjadi semakin
lambat. Bahkan kadang-kadang
kudanya hampir berhenti sama sekali.
"Pamot" desis Sindangsari "tubuhku terasa sakit sekali"
"Tahankanlah Sari. Kita akan segera sampai ke tujuan"
"Perutku" "Bagaimana dengan perutmu?" Sindangsari selalu berdesis karena perutnya terasa
sakit, selain bekas bekas luka bakarnya. Perjalanan itu adalah perjalanan yang
terlampau berat bagi Sindangsari yang sedang mengandung. Goncangan-goncangan
derap kaki kudanya membuatnya semakin
kesakitan dan mual sehingga perempuan itu tidak dapat menahan diri lagi,
sehingga muntah-muntah. Kawan Pamot menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin bahwa di belakangnya Ki
Reksatani bersama beberapa orang sedang mengejarnya. Meskipun jarak mereka cukup
panjang, tetapi apa bila perjalanan ini seakan-akan tidak juga sempat maju, maka
Ki Reksatani pasti akan dapat mengejarnya dan
membinasakannya di perjalanan sebelum mereka sempat
sampai ke Kademangan. "Apakah Lamat mampu bertahan lebih lama lagi" desis
anak muda yang mengawani Pamot itu.
Tetapi ia tidak dapat memaksa Pamot untuk berpacu lebih cepat lagi. Apalagi
ketika Sindangsari muntah-muntah
karenanya. Kalau terjadi sesuatu dengan kandungan itu, maka
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
akibatnya pasti akan sangat jauh bagi Ki Demang di Kepandak yang sedang
merindukan seorang anak. "Meskipun demikian kalau mereka terkejar oleh Ki
Reksatani, akibatnya akan lebih parah lagi" berkata anak muda itu di dalam
hatinya. Bagaimanapun juga, anak muda itu tidak lagi dapat
menahan hatinya untuk setiap kali memperingatkan Pamot bahwa di belakang mereka


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Reksatani sedang mengejarnya.
Mudah-mudahan Lamat dapat mengalahkannya" desis
Pamot. "Kemungkinan yang kecil sekali" berkata kawannya "dan pikiran itu berbahaya
bagimu sekarang, karena kau akan menjadi lengah"
Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya
kepada Sindangsari "Kita akan mempercepat perjalanan ini Sari"
"Tubuhku dan perutku semakin sakit"
"Tetapi, bahaya yang lebih besar agaknya akan mengejar kita. Bagaimana kalau Ki
Reksatani berhasil menangkap kita dan membunuhnya sekali"
Sindangsari tidak menjawab. Tetapi ditatapnya mata Pamot yang suram dan
tampaknya menjadi cekung.
"Tahankanlah sedikit" berkata Pamot pula.
Perlahan-lahan Sindangsari menganggukkan kepalanya.
Namun tanpa sesadarnya ia berpegangan lengan Pamot yang memegang kendali kudanya
erat-erat. Bahkan perempuan itu tiba-tiba menjatuhkan kepalanya di dada anak
muda itu sambil berdesis "Aku takut. Aku takut Pamot"
"Jangan takut. Kita akan berpacu terus. Sebentar lagi kau akan mendapat
perlindungan Ki Demang di Kepandak"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Kuda mereka masih berlari terus meskipun tidak begitu kencang. Dan Sindangsari
berkata "Aku takut kepada Ki Demang di Kepandak"
"Kenapa" Ki Demang pasti akan menyambutmu dengan
senang hati. Selama ini ia mencarimu seperti seorang ayah yang kehilangan anak
satu-satunya" "Tetapi, tetapi............" suaranya terputus.
"Kenapa Sari?" "Ia pasti tidak ingin melihat aku datang bersamamu"
"Kenapa" Ia adalah suamimu. Kau adalah isterinya yang mempunyai kelebihan dari
isteri-isterinya yang lain. Kau akan memberinya anak. Sesuatu yang tidak dapat
diberikan oleh isteri sterinya yang lain"
"Pamot..." suara Sindangsari menjadi parau.
Seperti kanak-kanak ia membenamkan wajahnya di dada
Pamot sehingga tangan Pamot yang memegang kendali agak terganggu karenanya.
Sindangsari tidak dapat mengatakan apa-apa lagi. Air
matanya tiba-tiba telah mengambang di pelupuk matanya.
Sebelum Pamot sempat berkata lagi, kawannya telah
mendekatinya sambil berdesis "Pamot, maaf bahwa setiap kali aku terpaksa
memperingatkannmu untuk keselamatanmu dan Nyai Demang di Kepandak"
"O, terima kasih" jawab Pamot.
"Apakah kita dapat lebih cepat sedikit?"
"Ya, ya. Kita akan lebih cepat lagi"
"Aku yakin Ki Reksatani mengejar kita. Seandainya Lamat belum terkalahkan
sekalipun, namun agaknya Ki Reksatani tidak akan melepaskan Nyai Demang"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Sindangsari "Kita memang harus mempercepat perjalanan ini"
Sindangsari tidak menyahut. Tetapi ia berpegangan
semakin erat, seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi.
Pamot menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan
dadanya yang bergelora. Kalau yang dibawanya kali ini Nyai Demang di Kepandak,
tetapi bukan Sindangsari, mungkin ia masih berhasil mengatasi perasaannya.
Tetapi kali ini perempuan yang diselamatkan itu adalah Sindangsari yang sudah
menjadi suami Demang di Kepandak.
Meskipun demikian, Pamot masih berusaha mempercepat
derap kudanya. Sejenak mereka melintasi bulak yang agak panjang di bawah terik
matahari yang terasa membakar
tubuh. Agak jauh di belakang mereka, Ki Reksatani berpacu seperti angin.
Semakin lama justru menjadi semakin cepat.
Bagaimanapun juga masih terpercik di dalam hatinya, suatu harapan untuk menyusul
pamot di perjalanan. Ia akan
membunuhnya dan Nyai Demang sekaligus. Kemudian barulah ia akan menghadap Ki
Demang di Kepandak. Ia tidak akan ingkar lagi, Ia akan menghadapi semua akibat
dari perbuatannya. Tetapi kematian Sindangsari akan membuat Ki Demang kehilangan
nafsu hidupnya karena hari depannya benar-benar telah patah. Adalah tidak akan
begitu sulit lagi untuk mengalahkan orang yang sudah kehilangan keinginan untuk
tetap hidup. Dengan demikian maka nafsunyapun semakin berkobar di
dalam dadanya. Seakan-akan ia tidak sabar lagi duduk diatas punggung kuda yang
dirasanya terlampau lamban.
Jejak kaki kuda yang masih baru, yang kadang-kadang
tampak diatas tanah pada jalan sempit itu membuat Ki
Reksatani menjadi semakin geram. Tangannya sudah menjadi
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
gatal. Ia ingin segera dapat mencekik Pamot dan Sindangsari bersama-sama.
Jarak antara keduanya memang menjadi semakin pendek
Pamot yang membawa Sindangsari tidak dapat berpacu
secepat-cepatnya, sedang Ki Reksatani justru semakin
mempercepat derap kudanya.
Hampir sehari-harian mereka berpacu. Namun demikian,
mereka terpaksa kadang-kadang juga berhenti di pinggir parit untuk memberi
kesempatan kuda mereka melepaskan
hausnya. Bagaimanapun juga nafsu melonjak di dada Ki
Reksatani, tetapi ia tidak dapat memaksa kuda itu berlari tanpa berhenti.
Apabila mulut kudanya mulai berbusa, maka terpaksa iapun berhenti sejenak untuk
mendapatkan air. Demikianlah maka laju kuda-kuda mereka semakin
lamapun memang semakin lambat pula, karena kuda-kuda
mereka menjadi lelah. Ki Reksatani tidak dapat lagi memaksa kudanya untuk
berpacu lebih cepat lagi. Apalagi Pamot.
Namun demikian jarak diantara mereka masih tetap
menjadi semakin pendek, karena bagaimanapun juga, derap kuda Ki Reksatani masih
tetap lebih cepat dari kuda Pamot.
Apalagi Sindangsari hampir-hampir tidak tahan lagi duduk sehari-harian diatas
punggung kuda meskipun ia menyadari keadaannya. Seluruh tubuhnya benar-benar
terasa sakit. Bukan saja karena luka-luka bakar, tetapi juga karena perutnya dan pegal-pegal
di punggung. "Kau harus dapat bertahan Sindangsari. Sebentar lagi kita akan sampai"
Ketika Pamot berpacu lewat tanah persawahan di
padukuhan padukuhan kecil yang dilampauinya, seperti yang telah diduga, beberapa
orang menjadi heran melihat mereka.
Tetapi karena Sindangsari memakai ikat kepala dan pakaian yang tidak keruan,
setiap orang memang menyangka, bahwa ia adalah seorang laki-laki. Demikian pula
anak muda yang Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
berkuda di belakang mereka. Tanpa kain panjang dan ikat kepala ia juga menarik
perhatian. Tetapi setelah mereka lewat, tidak ada lagi orang yang menghiraukan. Mereka
menyangka, bahwa orang-orang
berkuda itu adalah anak-anak muda yang senang dengan
tindak tanduk yang aneh-aneh tanpa menghiraukan tata
kesopanan. Tetapi belum lagi mereka selesai mengerjakan sekotak
sawah mereka melihat beberapa ekor kuda berpacu pula.
Bahkan beberapa orang telah mengenal, bahwa orang yang berkuda paling depan
adalah Ki Reksatani. "He, bukankah orang itu adik Demang di Kepandak?"
"Ya" sahut kawannya
"Tampaknya agak aneh. Wajahnya tegang dan pakaiannya
demikian kusutnya. "Ia pasti sedang mencari isteri kakaknya yang hilang"
"Ya, aku juga mendengar. Isteri Demang di Kepandak telah hilang"
"He" berkata yang lain "apakah ia sedang mengejar orang aneh yang berkuda
beberapa saat sebelum ini"
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang
menyahut "Ya, aku juga melihat tiga orang yang mempergunakan dua ekor kuda"
"Ya. Belum terlampau lama"
"Sebentar lagi Ki Reksatani pasti akan menyusul kalau mereka tidak berselisih
jalan" Sebenarnyalah bahwa jarak mereka memang semakin
pendek. Beberapa bulak kecil lagi, Ki Reksatani pasti sudah dapat menyusul
Pamot, sebelum matahari terlampau rendah.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Tetapi Pamotpun sudah menjadi semakin dekat dengan
Kademangan Kepandak. Setelah mereka melampaui sudut
hutan yang agak lebat, maka jalan yang terbentang di
hadapannya adalah jalan yang lapang. Jalan yang semakin luas dan terpelihara.
Dengan dada yang berdebar-debar Pamot menyeberang
sebuah bulak yang cukup panjang. Jauh di hadapannya
terbentang tanah persawahan Kademangan tetangga. Di
ujung bulak itu ia harus berbelok kekiri, kemudian ia akan sampai ditelatah
Kademangan meskipun baru ujungnya.
Matahari sudah menjadi semakin rendah, dan kuda-kuda
yang berpacu itupun menjadi semakin lelah. Sekali-sekali Pamot mengusap peluh
yang membasah di keningnya. Iapun sudah mulai merasa lelah. Tetapi ia tidak
boleh berhenti. Seolah-olah ia memang mendapat firasat, bahwa di belakangnya Ki Reksatani berpacu semakin cepat.
Tepat ketika Pamot dan kawannya berbelok memasuki
sebuah padukuhan kecil setelah mereka mencapai ujung bulak Ki Reksatani muncul
di ujung bulak itu pula. Tetapi ia tidak lagi sempat melihat anak-anak muda yang
sedang dikejarnya. Yang mereka lihat hanyalah selapis debu yang putih. Tetapi mereka tidak tahu,
apakah yang telah melemparkan debu itu ke udara.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Pamot
telah memasuki jalan-jalan di telatah Kademangan Kepandak.
Adalah di luar kemauannya sendiri, apabila kudanya berlari semakin cepat seakan-
akan kuda itupun mengerti, bahwa bahaya yang mengejarnya menjadi semakin dekat
pula. Anak muda yang mengikuti Pamot
itupun segera mendekatinya sambil berbisik "Kita sudah menjadi semakin dekat. Tetapi kita
masih belum lepas sama sekali dari setiap bahaya yang sedang mengejar kita.
Karena itu, supaya kita tidak kehilangan arti dari usaha kita, kita justru harus
mempercepat perjalanan ini. Jangan melalui jalan-jalan di
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
tengah-tengah bulak. Kita harus berusaha menembus jalan yang paling dekat ke
Kademangan" Pamot menganggukkan kepalanya, Kepada Sindangsari ia
berkata "Tinggal selangkah lagi. Tahankan dirimu"
Tetapi setiap kali Pamot mendengar Sindangsari berdesis, sehingga kadang-kadang
tanpa disadarinya perhatiannya lebih banyak
tertuju kepada Sindangsari daripada kepada perjalanannya yang gawat itu. Namun demikian, kudanya masih berlari terus,
melintas jalan-jalan padukuhan yang sempit.
Beberapa orang yang mendengar derap kaki-kaki kuda itu menjengukkan kepala
mereka dari pintu regol. Mereka melihat dua ekor kuda yang berjalan beriringan.
Ketika kuda itu lewat di depan hidungnya, ia berdesis
"Pamot. Bukankah orang berkuda itu Pamot?"
Namun ternyata ia tidak segera mengenal Sindangsari yang memakai ikat kepala.
Mereka memang melihat wajah yang pucat. Tetapi wajah itu seperti wajah seorang
laki-laki yang baru menjelang dewasa.
Tetapi orang itu tidak sempat bertanya. Pamot mencoba untuk mempercepat langkah
kudanya diiringi oleh temannya yang gelisah.
Orang yang berdiri di pintu regol itu hanya menggelenggelengkan kepalanya.
Sejenak ia berdiri termangu-mangu sehingga kuda-kuda itu hilang dari tatapan
matanya. Namun tiba-tiba ia terkejut karena ia mendengar derap kaki kuda berikutnya.
Sejenak kemudian ia melihat beberapa orang yang juga berpacu diatas punggung
kuda. "Ki Reksatani" desisnya.
Tetapi seperti Pamot, Ki Reksatanipun tidak menghiraukan orang-orang yang
berdiri termangu-mangu di sepanjang jalan
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
yang dilaluinya. Yang terbayang diangan-angannya hanyalah Pamot yang membawa
Sindangsari berpacu beberapa puluh langkah di hadapannya.
Bagaimanapun juga Pamot berusaha, namun pada suatu
saat ia tidak dapat menghindari lagi jalan persawahan. Ia sudah sampai di
padukuhan terakhir sebelum ia mencapai induk Kademangan. Tetapi ia harus
melintas sebuah bulak yang
meskipun tidak begitu panjang tetapi cukup mendebarkan. "Apakah kita akan terus" bertanya Pamot
kepada kawannya. "Segera kita harus melintas secepat-cepat dapat kita
lakukan" Pamot mencoba melecut kudanya dengan ujung kendali.
Tetapi kudanya seakan-akan tidak terpengaruh lagi. Agaknya kuda itu benar-benar
telah lelah, meskipun ada juga usahanya untuk mempercepat derap kakinya.
Sejanak kemudian mereka telah memasuki sebuah bulak
yang melintas di tengah-tengah tanah persawahan. Sebelah menyebelah terbentang
lautan batang batang padi muda yang menghijau kemerah-merahan ditaburi oleh
cahaya matahari yang sudah menjadi semakin rendah: Perlahan-lahan angin dari
Selatan mengusap ujung daun-daunnya yang tipis,
membuat susunan gelombang yang susul menyusul.


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan dada yang berdebar-debar ketiga orang itu
melintas bulak tersebut. Sekali-sekali mereka berpaling, seakan-akan sudah
terasa dipunggung mereka sentuhan jari-jari tangan Ki Reksatani yang
menyusulnya. Namun ketika mereka baru lepas melampaui tengah-tengah bulak itu, kawan Pamot
hampir terpekik karenanya. Ketika ia berpaling ia telah benar-benar melihat
iring-iringan orang berkuda yang mengejarnya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Pamot" desisnya "lihat, siapakah orang yang mengejar kita itu?"
Pamot berpaling. Dadanyapun berdesir tajam ketika ia
melihat debu yang mengepul dari kaki-kaki kuda yang sedang berpacu.
"Ki Reksatani" desisnya.
"Ya, ia benar-benar mengejar kita"
"Jadi, kita akan ditangkapnya?"
Pamot tidak menyahut. Tetapi sindangsari yang ketakutan tiba-tiba saja telah
memeluknya erat-erat. "Aku takut. Aku takut Pamot"
Pamot tidak menjawab. Kini ia benar-benar berada dalam kesulitan. Kalau Ki
Reksatani berhasil menyusulnya maka akibatnya dapat dibayangkannya.
Karena itu, satu-satunya usahanya adalah mempercepat lari kudanya. Adapun yang
akan terjadi, biarlah terjadi di hadapan KI Demang di Kepandak. Seandainya ia
harus dibunuh oleh Ki Reksatani sekalipun.
Dengan demikian, sekuat tenaganya ia melecut kaki
kudanya. Kemudian menyentuh perut kuda itu dengan
tumitnya sehingga kuda yang terkejut itu meloncat semakin cepat.
Setiap kali Pamot berpaling, maka dilihatnya kuda Ki
Reksatani semakin dekat di belakangnya. Bahkan Ki Reksatani yang sudah
melihatnya pula mengacung-acungkan tangannya sambil berteriak-teriak.
"Apakah umurku sudah sampai batasnya?" bertanya Pamot kepada diri sendiri.
Tetapi Pamot masih berusaha terus. Kudanyapun agaknya mengerti bahwa ia harus
berlari semakin cepat. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Akhirnya Pamot berhasil melintas seluruh bulak. Tetapi ia tidak segera masuk ke
halaman rumah Ki Demang. Ia masih harus berpacu melingkar-lingkar di padukuhan
induk itu, barulah ia akan sampai ke halaman Kademangan.
Pamot tidak mengerti, apa yang akan dilakukan oleh
kawannya yang agaknya masih sempat berpacu mendahuluinya. Kudanya tidak selelah kuda Pamot yang
dibebani oleh dua orang sekaligus.
"Apa yang akan dilakukan?" pertanyaan itu telah
mengganggunya. Ternyata kawan Pamot mendahului mencapai gardu di
tikungan. Dengan serta merta ia meloncat turun di depan gardu yang masih kosong
itu. Diambilnya selarak jalan yang biasa dipasang di malam hari. Sebuah bambu
panjang, sepanjang lebar jalan itu.
"Cepat Pamot cepat "serunya.
Pamot agaknya mengerti maksud kawannya. Karena itu
iapun mempercepat sejauh dapat dilakukan.
Sejenak kemudian Pamotpun telah melampaui gardu yang
kosong itu. Ketika ia berpaling dilihatnya kawannya sibuk memasang selarak
seperti apabila ada sesuatu yang penting di malam hari.
Tetapi agaknya kawan Pamot tidak sekedar memasang
selarak itu saja. Ia tahu, bahwa orang-orang Ki Reksatanipun akan dengan
Sepak Terjang Hui Sing 1 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Pendekar Pedang Sakti 3
^