Pencarian

Tiga Dara Pendekar 1

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 1


"Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia/Kang Ouw Sam Lie Hiap
Karya : Liang Ie Shen Saduran : Gan KL Jilid 1 Di antara ketiga belas kaisar dinasti Boan hanya Khong-hi
yang paling lama bersinggasana di alas takhtanya, yakni
selama 61 tahun (1662 " 1723), selama itu ia telah menumpas
tiga raja muda pemberontak di daerah selatan, menaklukkan
daerah-daerah Mongolia dan Tibet, kewibawaan negerinya
waktu itu cukup kuat dan disegani.
Cerita ini berawal bangsa Boan sudah 63 tahun menjajah
ke pedalaman, kedudukannya sudah kuat, para pahlawan dan
kaum patriot tak berdaya, mereka hanya menyembunyikan diri
di antara rakyat jelata dan sambil menahan air mata
menunggu saat yang baik bagi pergerakan mereka.
Di antara para patriot itu terdapat seorang guru silat she
Pang bernama Kong-tiau, bertempat tinggal di Lu-ciu, propinsi
Holam, ilmu silat tunggalnya Liok-hap-tay-jiang, yakni
sermacam tombak gapit, cukup terkenal di kalangan Kangouw.
Semenjak umur tiga puluh lebih, secara tiba-tiba ia
mengasingkan diri kembali ke kampung halamannya dan
menutup pintu tidak mau terima tamu, yang diutamakan
hanya menyekolahkan anak dan mengajar murid. Kalau
ditanya tetangga atau kawan dunia persilatan mengapa selagi
masih muda dan kuat tenaganya sudah menjauhkan
diri ke pedusunan, maka selalu ia menyimpangkan pokok pertanyaan
atau hanya tersenyum raja tanpa menjawab.
Waktu Pang Kong-tiau berumur empat puluh dua, sudah
jadi engkong atau kakek. Putranya yang bernama Pang Eng-ki
beristrikan Khong Lian-he, putri seorang jago silat juga,
bernama Khong Liang, setahun lalu telah melahirkan anak
perempuan kembar yang mungil, maka tidak heran, siapa saja
yang melihat bayi kembar itu pasti suka, lebih-lebih karena
wajah kedua anak kembar itu serupa benar laksana pinang
dibelah dua. Sudah tentu jago silat she Pang itu paling sayang
pada kedua cucu perempuannya itu.
Hari ini genap setahun lahir kedua bocah tadi, sesuai
kebiasaan di kampung, Pang Kong-tiau merayakan ulang
tahun kedua cucunya itu. Sudah tentu ia mengundang
beberapa sobat-handai dan sanak-famili, di antaranya
termasuk Khong Liang. Hari itu pagi-pagi sekali Khong Liang berangkat dari
rumahnya yang berada di pojok kampung, tak lupa membawa
beberapa hadiah yang akan diberikan pada kedua cucu
luarnya itu. Waktu sampai di depan rumah keluarga Pang, tiba-tiba ia
lihat di lapangan latihan keluarga itu ada seorang pemuda
beroman cakap, beralis tebal, mata bersinar, pinggang
ramping dan tangan panjang kuat, sedang berlatih silat.
Terlihat pemuda itu berputar cepat sambil kadang-kadang
mendekam ke bawah untuk kemudian berbalik kembali,
tempo-tempo meloncat tinggi sambil mementang tangan,
gayanya manis dan bagus sekali.
"Jinkeh (besan laki) suka memuji murid barunya berbakat
baik dan giat belajar, tampaknya memang tidak salah, hanya
saja yang dimainkan ini ilmu silat cabang mana"." dalam hati
Khong Liang bertanya-tanya.
Pang Kong-tiau mempunyai dua orang murid, murid
pertama bernama Ong Ling, setelah tamat belajar tiga tahun
lalu meninggalkan perguruan dan kini menjalankan pekerjaan
sebagai Piausu (pengawal)
di ibukota. Pemuda yang sedang
berlatih di lapangan tadi bernama Teng Hiau-lan, muridnya
yang kedua. Asal-usul Teng Hiau-lan sangat mengherankan, bahkan
Khong Liang belum tahu darimana asal pemuda ini. Pada
suatu hari, tibatiba Pang Kong-tiau membawa seorang
pemuda berusia tujuh delapan
belas tahun, datang padanya,
mengatakan pemuda ini adalah muridnya yang baru, kalau
bicara pemuda ini berlogat Kwangwa (daerah perbatasan),
beroman cakap dan tampaknya masih polos.
Pang Kong-tiau selamanya belum pernah pergi ke
Kwangwa, tapi mengapa bisa mendapatkan seorang murid
berlogat Kwangwa, inilah yang membikin Khong Liang tidak
mengerti. la pernah bertanya
pada sang besan tentang hal
itu, tapi Kong-tiau tak mau berterus terang, malahan seperti
ada kisah duka yang tak dapat dijdaskan.
Di dunia persilatan umumnya, walaupun termasuk famili
dekat, tidak sopan untuk mencari tahu rahasia orang lain.
Oleh karena itu Khong Liang tidak bertanya lebih jauh. Hari ini
kebetulan ia melihat Teng Hiau-lan sedang berlatih silat
seorang diri. Dengan cermat Khong Liang menyaksikan, tidak
lama kemudian ia menjadi sangat terkejut.
Gerakan Teng Hiau-lan makin lama makin cepat, sampai
pohon Gui di samping lapangan berkeresekan dan daun
pohon satu per satu rontok. Khong Liang memandang dengan
teliti, tetapi tidak tampak adanya senjata rahasia. Melihat
gerak tubuh dan tangannya, juga bukan sebangsa ilmu "Pikhong-
ciang" atau pukulan tangan kosong jarak jauh, sebab
bila tergetar angin pukulan, seharusnya sekaligus
akan rontok bertebaran, namun kini daun-daun itu selembar demi
selembar jatuh dengan enteng, seperti sengaja dipetik tangan
jahil. Khong Liang sudah tergolong jago silat berpengalaman,
segera ia tahu daun-daun tadi jatuh karena tertusuk putus
tangkai daunnya oleh semacam senjata rahasia sangat
lembut sebangsa Bwe-hoaciam
(jarum). Kejutnya sungguh tidak kepalang. Senjata rahasia Bwehoaciam
itu sangat enteng, untuk bisa melatihnya hingga
tepat mengenai sasaran pun sulit, tetapi kini Teng Hiau-lan
sanggup memukul rontok daun dalam jarak tiga tombak,
betapa kuat tenaga pergelangan
tangan dan ketajaman matanya, di antara jago-jago silat ternama pun sukar
ditemukan, tampaknya pasti bukan Pang Kong-tiau yang
mengajarkan ilmu silat tingkat tinggi ini. Lagi pula Khong Liang
belum pernah mendengar Pang Kong-tiau dapat
menggunakan Bwe-hoa- ciam, tentu pemuda ini berguru pada
Kong-tiau sesudah mahir silat, jika begitu siapakah gerangan
gurunya yang terdahulu?" Menilik
kemahirannya, sungguh aneh, untuk apa jauh-jauh dia datang ke pedusunan sini
belajar ilmu silat keluarga Pang. Sungguhpun ilmu silat Pang
Kong-tiau tergolong lumayan, tetapi sama seperti Khong
Liang, masih belum terhitung tokoh kalangan Kangouw. Maka
dapat dipastikan gurunya yang terdahulu lebih hebat dari
Pang Kongtiau. Sementara itu Teng Hiau-lan yang sedang berlatih tiba-tiba
berhenti, lalu mencabut sebatang pedang tajam berukuran
panjang. Sinar tajam kemilau pedang tertampak waktu pedang
diayun ke atas, setelah itu ia menusuk dan membacok ke
kanan ke kiri segesit kera dan selicin kucing, makin lama
makin kencang permainan pedangnya,
sinar pedang gemerdep memancarkan aneka wama karena tersorot
sinar matahari pagi hingga menyilaukan mata.
Rasa kejut dan heran Khong Liang makin bertambah,
pikirnya, "Pang Kong-tiau terkenal karena tombaknya,
bagaimana bisa mengajar muridnya menggunakan pedang"
Apalagi Kiam-hoat atau ilmu
pedang pemuda ini begitu cepat,
lincah dan tiada taranya, belum pernah kulihat selama hidup.
Orang yang bisa mengajar Kiam-hoat demikian kepada
pemuda ini kalau bukan seorang pemimpin cabang silat, tentu
seorang Kiam-khek atau pendekar pedang ternama."
Makin lama Khong Liang memandang, makin bertarnbah
heran, ketika ia terkesima, terlihat Teng Hiau-lan memutar
pedang satu lingkaran, lalu dipalangkan di depan dada,
sambil sedikit membungkuk
ia berkata dengan suara nyaring,
"Tecu masih dalam taraf permulaan berlatih dan belum masak
betul, tentu akan ditertawakan kaum ahli. Apakah Cianpwe
datang hendak mencari guruku?"
Dalam hati Khong Liang mendongkol, baru ia hendak
mengomel dengan kata-kata, "Cianpwe apa segala, kau
bocah ini sudah tidak kenal padaku?" Tapi ternyata ia salah
wesel. Belum sempat ia buka suara, tiba-tiba terdengar suara
siulan panjang, setelah itu di tengah lapangan bertambah
seorang berjenggot panjang cabang tiga, memakai ikat
kepala dan memegang kipas bulu, dandanannya menarik
seperti dewa, tampaknya seorang cendekiawan yang berusia
50-an. Gerak tubuhnya begitu cepat, hakikatnya sulit
digambarkan, hingga Khong Liang tak tahu sejak kapan
pendatang ini berada di belakangnya dan cara bagaimana
melompat ke tengah lapangan, seperti jatuh mendadak dari
udara dan muncul tiba-tiba dari dalam tanah.
Orang yang baru datang ini mengibas kipasnya perlahan,
kemudian dengan tersenyum berkata, "Kiam-hoat yang kau
mainkan tadi sudah lama tidak pernah kulihat, nampaknya kau
sudah tiga bagian matang, tak usah merendah diri. Berdasar
ilmu pedang yang kau miliki sekarang, boleh kau kembangkan
namamu di kalangan Kangouw. Hayo, coba-coba aku menjajal
seranganmu!" Setelah itu ia simpan kipasnya, lalu menggapai
Hiau-lan dan melanjutkan ucapannya,
"aku bergebrak tanpa
senjata. Hayo maju, coba "Tui-hongkiam-
hoat" itu apakah dapat menyenggol ujung bajuku atau tidak!"
Akan tetapi Teng Hiau-lan ragu, ia bingung apakah harus
menuruti ajakan orang tua itu atau harus menolak.
"Kau jangan khawatir," tamu aneh itu berkata pula,
"gurumu pasti takkan menyalahkanmu. Sepuluh tahun yang
lalu sewaktu ia baru saja memahami Kiam-hoat ini juga
pernah bergebrak denganku,
malah kami berkumpul lebih
sepuluh hari baru kemudian berpisah."
Air muka Teng Hiau-lan berubah, serunya, "Khong-lopek,
sudilah memberitahu guruku, aku sedang menerima petunjuk
beberapa gebrakan pada Locianpwe ini di sini."
Sehabis berkata, pedangnya bergerak, segera ia menusuk
ke depan. Namun gerak,tubuh tamu aneh itu tenlyata sebat
sekali, pedang Teng Hiau-lan menusuk tempat kosong. Tetapi
dengan cepat Hiau-lan menyusuli dengan gerak tipu "Kuaibong-
hwan-sin" (ular sawah membalik tubuh), ia memutar
tubuh, tangan kiri menuding ke atas dan pedang di tangan
kanan membabat, dengan cepat memotong
tangan orang. "Kecepatan sudah boleh,
tetapi kejituan masih kurang!" seru orang itu
sambil bergelak tertawa dan
mengangkat tangannya untuk menghindarkan serangan. Setelah itu mendadak tubuhnya mengapung terus menginjak ke bawah. Waktu Teng Hiaulan
berkelit dan pedang menyabet ke atas, ia merasakan angin menyambar tiba, lekas
ia menyerong ke depan, tetapi ujung kaki tamu aneh itu sempat menutul
pundaknya perlahan terus berjumpalitan ke belakang.
Kalau injakan tamu aneh itu serangan sesungguhnya, maka
nasib Hau-lan pasti tidak luput dari tulang patah dan otot
putus. "Nyata tamu aneh ini bukan saja gerak tubuhnya sangat
cepat, bahkan tenaga bisa dikeluarkan dan ditarik kembali,
sebab waktu ia turun dari atas, daya tekanannya sangat
besar, tapi ia sanggup dalam sekejap itu menahan serangan
dan menyimpan kekuatan, dengan injakan
perlahan pada pundakku sambil menghindari serangan pedang terus


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melayang pergi dan turun kembali ke bawah, kepandaian ini
saja sudah jauh di atas guru (Pang Kong-tiau)," pikir Hiau-lan.
Teng Hiau-lan diam-diam terkejut, sedang Khong Liang
yang menyaksikan di pinggir juga tidak kurang kejutnya.
Sebenarnya ia bermaksud pergi memberitahu Pang Kong-tiau
sebagaimana diminta Teng Hiau-lan tadi, tapi karena perasaan
ingin tahu, ia merandek untuk
melihat lebih lama sedikit, tak
terduga justru dalam tempo sekejap
itu, kedua belah pihak sudah silih berganti dengan beberapa kali serangan
berbahaya, maka ia tak berani ayal lagi, cepat ia berlari
menuju ke rumah keluarga Pang, sementara itu di
belakangnya masih terdengar suara gelak tertawa tamu aneh
itu dan berkata, "Ha, beberapa gerakan ini boleh juga, lebih
mantap daripada tadi!"
Tetapi Khong Liang sudah tak sempat menengok lagi,
segera ia berlari masuk ke rumah Pang Kong-tiau.
Pang Kong-tiau sedang berduduk di pelataran depan sambil
mengisap tembakau, waktu mendadak melihat Khong Liang
berlari mendatangi, ia menertawainya.
"Jinkeh, hendak menengok cucu luar kan juga tidak perlu
berlari secara terburu-buru begitu!"
Namun Khong Liang segera menariknya menuju keluar
setelah menaruh barang oleh-oleh yang ia bawa tadi.
"Jinkeh," katanya pada Kong-tiau, "muridmu sedang
bergebrak dengan orang di luar, apa kau tak ingin lekas pergi
melihatnya?" Kiranya Khong Liang khawatir kalau-kalau tamu aneh itu
musuh Pang Kong-tiau, yang sengaja datang hendak bikin
onar dengan lebih dulu menghantam muridnya dan kemudian
mencari gurunya. Mendengar penuturan ini, Pang Kong-tiau mempercepat
langkahnya, namun ia tetap tenang. "Siapakah orangnya?" katanya tersenyum, "si Hiau-lan
kalau dua gebrakan atau tiga jurus saja kukira masih sanggup
bertahan." Lapangan latihan itu memang hanya belasan langkah saja
dari pintu besar rumahnya, karena itu, kedua besan-berbesan
itu dalam sekejap saja sudah sampai di pinggir lapangan.
Sementara itu, kedua orang masih bergebrak seru di
tengah lapangan, ketika tiba-tiba terdengar suara "brebet",
tamu aneh itu melompat keluar kalangan pertempuran,
tangannya memegang pedang Hiau-lan, sebaliknya Hiau-lan
sendiri tampak jatuh telentang.
Tanpa pikir Khong Liang bermaksud maju menolong, tetapi
Kong-tiau keburu menariknya.
"Aku kira siapa, tak tahunya adalah kau!" terdengar Kongtiau
berkata dengan tertawa. "Bagaimana dengan muridku ini"
Kau telah menjatuhkannya, apakah ini terhitung hadiah
perkenalan" Haha!"
Murid sendiri dirobohkan orang, tetapi sedikitpun ia tak
menjadi gusar. "Sepuluh tahun tak bertemu, murid yang kau didik ternyata
sudah pandai juga!" tamu aneh itu berkata dengan tertawa
terbahakbahak. Waktu ia periksa bajunya yang panjang, ternyata ujung
baju sudah terobek sebagian terkena pedang.
Kiranya waktu ia melihat Pang Kong-tiau datang, karena
sedikit meleng, "Tui-hong-kiam-hoat" Teng Hiau-lan yang
cepat luar biasa telah menusuk ke sebelah bawah, terpaksa ia
menyikut ke belakang, meskipun Hiau-lan kena disikut jatuh,
tetapi bajunya pun terobek.
"Siapa suruh kau berlagak, sudah tua tidak mau dihormati
malah sewenang-wenang terhadap yang muda!" Kong-tiau
mengolok sambil tertawa. "Kau sudah mengajarnya beberapa tahun, sekarang kuberi
hadiah besar kepada muridmu ini, tapi kau yang menjadi
guru tidak menghaturkan terima kasih malah memutar balik
dan mengatakan aku berlaku sewenang-wenang terhadap
yang muda," omel tamu aneh itu seraya mengipas kipas
bulunya. Sementara itu, Teng Hiau-lan sudah bangkit dari jatuhnya,
mendadak ia berlari ke hadapan si tamu aneh itu, segera ia
berlutut dan memberi hormat.
"Terima kasih kepada Locianpwe yang telah memberi
petunjuk Kiam-hoat!" katanya.
"Kiam-hoatmu jauh lebih bagus daripada yang kuduga
semula;" ujar tamu itu sambil membangunkan Hiau-lan.
"Kukira kau takkan bisa menyenggol bajuku, tidak terduga
malah mampu merobek bajuku yang baru saja kubikin."
Habis berkata, ia tertawa terbahak-bahak pula.
"Semua berkat petunjuk Locianpwe tadi," kata Hiau-lan,
tapi kemudian ia menyesal juga baju orang telah dirobeknya,
segera ia menambahkan, "silakan Locianpwe lepas baju dan
Tecu akan menjahitnya."
"Ha, apakah aku tidak bisa minta ganti pada gurumu" Siapa
suruh kau menjahit segala?" omel si tamu aneh.
Dalam pada itu, Pang Kong-tiau telah berada di tengah
lapangan, ia berkata dengan bergelak tertawa, "Mana aku
tahu kau sengaja memberi petunjuk padanya dengan cara
bergebrak" Kau jangan khawatir,
meskipun melarat, untuk sepotong baju masih sanggup kuganti.
Mari, mari, berkenalan dahulu dengan Jinkeh. Putraku dua tahun
yang lalu telah menikah. Ai, sang tempo lewat sungguh cepat sekali!"
Lalu ia mengundang Khong Liang agar datang mendekat.
Khong Liang heran bercampur malu. Ia heran karena
selama ini belum pernah mendengar besannya itu punya
seorang kawan yang memiliki ilmu silat begitu tinggi, dan malu
karena dirinya ternyata tidak tahu cara bagaimana tadi si
tamu itu memberi atau meloloh
serangan untuk memberi petunjuk pada Teng Hiau-lan.
"Tui-hong-kiam-hoat" yang dilatih Teng Hiau-lan hingga kini
belum ada setahun, selama itu belum pernah dicoba, tadi ia
bergebrak dengan sungguh-sungguh, di samping bergerak si
tamu aneh menunjukkan tempat kelemahan dan kebaikannya,
oleh karena itu banyak menambah manfaat baginya. Kini
dengan perasaan girang dan kagum ia berdiri di samping
mendengarkan sang guru bercerita dengan tamunya.
"Tohji (muridku), Supek (paman guru) telah memberi
hadiah perkenalan yang tidak kecil, masih berharga juga
jatuhmu tadi," ujar Kong-tiau sambil mengelus jenggot.
"Jinkeh, nama besar tamu ini tentu pernah kau dengar, ia
bukan lain tokoh ternama dari Bu-kekkiam,
Ciong Ban-tong." Khong Liang bersuara terkejut waktu mengetahui siapa
gerangan yang berada di hadapannya. "Kiranya Ciong-losu,
pantas begini lihai!" katanya kemudian.
Suco (kakek guru) Ciong Ban-tong bukan lain ialah Pho
Jingcu yang terkenal dengan ilmu tabibnya yang
mengagumkan, oleh karena itu ("iong Ban-tong pun cukup
paham ilmu tabib. Dengan pedang
dan peti obat yang selalu
dibawanya, ia pun banyak melakukan perbuatan mulia di
kalangan Kangouw, hanya saja sejak belasan tahun
ini, seperti juga Pang Kong-tiau, ia pun mendadak menghilang
dari masyarakat ramai dan mengasingkan diri, maka Khong
Liang tak pernah menduga Kiam-khek (pendekar) yang
namanya menggetarkan Kangouw ini mendadak datang di
pedusunan sunyi ini, bahkan
menjadi sahabat karib besannya. "Aku tahu kau akan datang, tapi tidak menduga kau datang
begini cepat!" kata Kong-tiau sambil berjalan menuju rumah.
"Terlalu cepat" Ya, memang betul, lebih cepat tiga hari.
Janji sepuluh tahun yang lalu ternyata masih kau ingat dengan
jelas!" sahut Ciong Ban-tong. "Tiga hari lagi Tiongchiu, bukankah gampang diingat?"" ujar
Kong-tiau. "Eh, kedatanganmu ini kebetulan sekali, rambutku
belum beruban, namun aku sudah menjadi engkong! Hari ini
adalah ulang tahun pertama kedua cucu perempuanku. Hayo,
kau ikut meramaikan pesta perayaan bagi mereka!"
"Putramu saja aku belum pernah lihat, malah kini sudah
punya cucu," kata Ciong Ban-tong. "Hai, Pang-laute, kau
sungguh beruntung sekali! Jauh lebih beruntung daripada aku
si kakek loyo ini!" "Aku yang sudah jadi engkong saja belum mau mengaku
tua, sebaliknya kau malah mengaku tua?" sahut Pang Kongtiau
dengan tertawa. Dan begitulah dengan membanyol kedua sahabat lama itu
memasuki rumah keluarga Pang. Pang Eng-ki, putra Pang Kong-tiau lantas diperkenalkan
pada Ciong Ban-tong dan memberi hormat, kemudian
menantu perempuannya pun keluar dengan menggendong
dua anak perempuan, melihat
kedua bayi itu, mata Ciong
Ban-tong terbeliak terang.
Rupa kedua bocah itu serupa benar seperti pinang dibelah
dua, dua pasang mata yang hitam besar mengerling tiada
hentinya sambil mengoceh dalam gendongan ibunya, agaknya
kedua bocah itu mulai belajar omong, gerak-geriknya luar
biasa, lain daripada anak-anak umumnya. Bukan saja rupa
mereka sangat mirip, bahkan kalau tertawa
atau menangis pun berbareng, seperti perasaan dan pikiran mereka
pun menjadi satu! Begitu tertarik Ciong Ban-tong melihat kedua bocah itu
hingga berulang memuji, "Laute, bagaikan dewi-dewi Kwanim-
po-sat yang diberikan padamu, pantas kau begitu gembira!
Coba lihat, begitu gembiranya sampai tertawamu sedemikian
rupa!" "Aku menertawai kau yang sudah tua tapi tak mau
dihormati, kau pun haha-hihi serupa cucuku saja," kata Pang
Kong-tiau sambil menghentikan tawanya, lalu melanjutkan
pula, "Dua bocah ini bagusnya
memang bagus, hanya ada satu kekurangan!" "Kongkong, apanya yang kurang baik?"" lekas Khong Lianhe
bertanya. "Mereka sudah berumur setahun, tetapi aku masih belum
bisa membedakan mana taci dan mana yang adik," sahut
Kong-tiau dengan mengelus jenggot. "Eh, coba katakan
padaku, mana yang Ingji dan mana yang Lin-ji?"
Anak perempuan kembar ini yang tua diberi nama Pang Ing
dan yang muda Pang Lin. Engkongnya tak bisa membedakan,
sehari- hari selalu keliru memanggil dengan tak keruan.
"Biasanya aku pun tidak bisa membedakan!" Khong Lian-he
menerangkan, "kecuali kalau menggoda hingga mereka
tertawa baru bisa mengenali mana yang taci dan mana yang
adik." "He, masa ada persoalan begitu?" aneh juga rasanya bagi
Pang Kong-tiau. "Dan apa bedanya bila mereka tertawa?"
"Ayo, manis, coba tertawa pada Kongkong!" Khong Lian-he
yang sebelah tangan mendukung satu putri, berusaha
menggoda supaya bayi-bayi itu tertawa.
Setelah menggoda sebentar dengan berbagai jalan,
akhirnya kedua bocah itu tertawa lebar dan keduanya
menunjukkan satu dekik di pipinya.
"Ini Kongkong, sudahkah kau lihat jelas" Yang satu
berdekik di pipi sebelah kiri dan yang lain sebelah kanan,"
Khong Lian-he menerangkan.
Waktu kedua bocah itu tertawa dan Pang Kong-tiau
mengamati, ternyata memang betul apa yang dikatakan
menantunya itu, saking gembiranya ia tertawa terbahakbahak.
"Yang dekik sebelah kiri adalah taci dan yang dekik sebelah
kanan ialah adik. Kongkong, harap kau ingat baik-baik!" kata
Lianhe

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula. Sahabat lama bertemu kembali dan cucu perempuan
berulang tahun, sudah tentu kegembiraan Pang Kong-tiau luar
biasa. "Mari lihat Ing-ji dan Lin ji cakar-cakaran," kata Lian-he
kepada Kong-tiau setelah semuanya sudah disiapkan.
Menurut adat-istiadat di pedusunan Holam, kalau bayi
berulang tahun pertama, orang tuanya menaruh beraneka
barang di atas satu meja bundar yang digelari kain merah,
sang ibu niendukung anaknya melihat dari pinggir meja, anak
itu dibiarkan mengambil barang yang terserak di atas meja.
Katanya dengan begitu dapat diramalkan
tabiat dan nasib anak itu di kemudian hari, perayaan ini disebut "Jiau-ciu" atau
pesta meraba-raba. Umumnya yang diraba atau dipegang anak-anak
kebanyakan sebangsa barang mainan, mata uang atau gulagula
dan sebagainya. Kalau ada anak laki-laki mengambil
buku, kertas, alat tulis dan sebangsanya
atau anak perempuan mengambil cermin, bedak, yanci (gincu) dan
sebagainya, sudah dianggap anak yang luar biasa.
"Baik, aku pun menaruh dua macam barang, kalau anakanak
itu dapat mengambilnya, kuanggap sebagai hadiah
perkenalan buat mereka," kata Ciong Ban-tong tertarik.
Lain ia merogoh baju dan mengeluarkan sebuah `Kim-sinuikah"
(baju kutang lemas terbuat dari benang emas),
barang ini terbikin dari bulu `Kim-mo-hau", yakni sejenis kera
aneh yang terdapat di Tibet, kalau dikumpulkan tak lebih dari
segenggaman tangan, tapi jika dipakai dapat dibuat baju
kutang untuk menahan serangan senjata
tajam, maka barang ini sangat ternama dan susah didapatkan.
Kutang lemas ini adalah penemuan salah satu tokoh Bukekkiam
ternama, yaitu Pho Jing-cu, yang diperolehnya
dengan memburu seekor "Kim-mo-hau" di atas pegunungan
Himalaya di Tibet, lain ia tenunkan pada tukang tenun yang
pandai hingga jadilah baju kutang, setelah turun temurun dua
angkatan, akhimya sampai di tangan
Ciong Ban-tong. "Lauko, mana boleh begitu?" ujar Pang Kong-tiau waktu
melihat barang pusaka itu, "ini adalah pusaka perguruanmu!"
"Nyata kau terlalu memandang hina Bu-kek-pay kami,"
sahut Ciong Ban-tong, "pusaka warisan golongan kami ialah
ilmu pertabiban dan Kiam-sut (ilmu pedang) dan bukan baju
kutang ini. Barang ini hanya secara kebetulan diperoleh Phosuco
dulu." Sambil berkata tangannya mengeluarkan hadiah
kedua. Jika Pang Kong-tiau merasa sungkan dan hendak
mengembalikan baju kutang itu, namun hadiah kedua sudah
Ciong Ban-tong keluarkan.
"Barang hadiah ini tidak begitu berharga seperti "Kim-sinuikah",
tetapi merupakan barang mainan selama hidupku,"
kata Bantong dengan tertawa. Yang dikeluarkannya kali ini temyata sebilah belati yang
panjangnya hanya lima dim saja. Yang mengherankan ialah
belati ini hitam mulus dan licin keminyak-minyakan, sampai
bagian yang tajam itupun bersinar hitam. Barang ini adalah senjata rahasia Ciong Ban-tong yang
tersohor, disebut "Toat-beng-sin-to" (pisau pencabut nyawa).
Seperti diketahui, Bob Wan-lian dari angkatan yang lebih
tua waktu belajar pada Pho Jing-cu, senjata rahasia yang
digunakannya disebut "Toat-beng-sin-soa", semacam pasir
beracun, begitu melukai orang, dalam dua belas jam kalau
tidak diobati tentu akan binasa oleh racun itu (Baca Thian San
Tjhit Kiam). Dan ilmu senjata rahasia tunggal inipun telah diwariskan,
setelah sampai di tangan Ciong Ban-tong, ia merasa senjata
rahasia pasir beracun itu ada baiknya tetapi juga ada
kelemahannya, baiknya sekali menghambur segenggam
penuh, menguntungkan bila menghadapi
lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Adapun kelemahannya
ialah tidak dapat digunakan jarak jauh, musuh yang berada lebih
dari tiga tombak sudah sukar terjangkau.
Ciong Ban-tong suka berhantam dengan kekersan, maka ia
mengganti pasir dengan belati yang direndam racun yang
sama, belati ini sangat tajam, bahkan "Kian-hiat-hong-au"
atau kena darah menutup tenggorokan, artinya begitu
berdarah maka korbannya sukar
tertolong lagi. Waktu melihat pisau belati tadi. Pang Kong-tiau lantas
terdiam, ia merasa senjata rahasia semacam itu terlalu ganas
dan tak cocok untuk permainan anak Perempuan. Tetapi
melihat pemberian Ciong Ban-tong yang sungguh-sungguh itu
dan sedang penuh kegembiraan,
terpaksa ia pun membiarkan. "Jika ada yang mengambil, aku akan mengajarnya
menggunakan senjata rahasia ini," kata Ciong Ban-tong pula
dengan tertawa sambil memasukkan hui-to atau pisau terbang
itu ke dalam sarungnya dan ditaruh di atas meja.
Seelah semuanya diatur beres, dengan mendukung kedua
putrinya, Khong Lian-he memulai perayaan "Jiau-ciu".
Sungguh aneh, begitu Permainan dimulai, pertama kali
keduanya sudah mengambil sebatang peang kayu.
"Bagus, merereka ingin menjadi Li-kiam-khek (pendekar
cilik) semua, sedikit kepandaian yang kau miliki itu, mungkin
harus diturunkan semua pada rmereka," kata Ciong Ban-tong
sambil bergelak tertawa pada Pang Kong-tiau.
Sementara itu kedua bocah tadi sebelah tangan yang lain
masih kosong. Khong Lian-he mengitari meja sekali lagi. Pang
Ing mengulur tangannya yang putih gemuk untuk meraup,
yang kena disambar ternyata baju kutang "Kim-si-nui-kah".
"Bagus, kau sungguh pintar memilih barang baik! Sampai
pusaka orang kena kau gaet!" Pang Kong-tiau berseru
gembira. Sebaliknya tidak demikian dengan Pang Lin, si kecil ini
mementang lebar kedua matanya yang besar, biji matanya
yang hitam berputar. Pang Kong-tiau merasa heran atas sikap
bayi ini. Setelah mengikuti ibunya memutar meja sekali lagi,
mendadak Pang Lin berteriak cerewet. Khong Lian-he berhenti
dan memperhatikan gerak- gerik putrinya itu. Waktu Pang Lin mengulur tangan ke meja, bukannya
mengambil sesuatu barang yang dikehendakinya, tapi
sebaliknya mengobrak- abrik barang-barang yang berada di
atas meja. "Busyet, bocah ini mau apa!" omel Khong Lian-he.
Kemudian Pang Lin berteriak lagi, tahu-tahu ia
membungkuk dan mengulur tangan ke tengah meja, menyusul
barang yang kena diambilnya bukan lain daripada hui-to
beracun itu. Pang Kong-tiau berkerut kening dan terdiam. Sebaliknya
Bantong bertepuk tangan kegirangan.
"Bagus, dia malah mengincar kepandaian tunggalku itu,"
serunya. "Adik Pang, kalau ia sudah besar, kau serahkan dia
padaku, akan kuterima dia sebagai murid perempuanku."
"Sudah tentu baik sekali, tapi aku khawatir kalau ia sudah
besar akin menjadi anak perempuan yang bandal!" kata Pang
Kongtiau tersenyum ewa. Sudah selesai upacara perayaan, dua sahabat lama itu
mengobrol pula ke timur dan ke barat. Khong Liang ingin
mengetahui cara bagaimana mereka berkenalan dulu, namun
tidak berhasil karena mereka tidak mau membicarakannya.
"Setelah Leng Bwe-hong Cianpwe wafat, kabarnya
Ciangbun tua Bu-tong-pay cabang utara pun menyusul
mangkat," terdengar Ciong Ban-tong berkata, "kini Kiam-khek
yang masih ada jauh kalah
dibanding dengan kedua Cianpwe
itu!" Setelah itu keduanya tampak mengela napas panjang,
terutama Pang Kong-tiau, tampaknya lebih gegetun dan
berduka. Waktu itu sudah dekat magrib, tiba-tiba terdengar suara
anjing menyalak riuh di luar, agaknya ketakutan oleh sesuatu
yang luar biasa. "Jinkeh, biar aku yang melihat, siapakah yang datang!" ujar
Khong Liang. Segera ia keuar, tapi baru sampai di depan pintu
besar pekarangan, tiba-liba tercium bau anyir yang
menyenggeruk hidung, di antara cuaca magrib yang remangremang
tertampak seorang laki-laki berperawakan jangkung,
berjenggot pendek kaku, tangan
menjinjing sebuah kantong
kulit, sedang mendatangi dengan langkah lebar.
Khong Liang bergidik melihat keseraman orang itu, tapi
segera ia memapak. "Ada apa" Hendak mencari siapa?"
tanyanya berulang- ulang. Namun lelaki itu tak menggubris, ia terus maju ke depan,
waktu kedua tangannya bergerak, Khong Liang yang coba
menghalangi tiba-tiba merasa satu kekuatan yang luar biasa
besarnya menerjang, keruan tubuhnya mencelat kembali
masuk ke dalam rumah. Waktu Khong Liang berbangkit
kembali, orang itu sudah sampai di ruangan
tengah. Melihat orang itu, Pang Kong-tiau dan Ciong Ban-tong
berteriak terkejut berbareng.
"Ciu-losu, kenapakah kau?"" baru mereka sempat bertanya
sepatah kata itu, mendadak orang itu roboh di tengah
ruangan. "Lekas ambil obat luka dan bubuk pemunah racun ke sini!"
terdengar orang itu berkata dengan suara lemah dan serak.
Setelah meronta beberapa kali, orang itu jatuh pingsan.
Saking terkesima karena kagetnya, Khong Liang ternganga
tak sanggup berkata. Sementara itu Pang Kong-tiau lantas
berseru padanya, "Jinkeh, lekas, lekas tutup pintu besar!"
Mengetahui persoalan genting, cepat Khong Liang menutup
pintu. Ketika kembali, terlihat Ciong Ban-tong sudah
merebahkan orang tadi ke atas pembaringan dan melepaskan
bajunya untuk memeriksa luka. Baru kini Khong Liang dapat melihat jelas bahwa orang tadi
beroman kuning hangus, berusia antara lima puluhan, baju
atasnya yang kencang sepan penuh dengan darah berbau
busuk dan amis, mungkin terkena senjata rahasia beracun,
oleh karena itu buru-buru datang minta pengobatan dan tak
sempat berbicara dengannya tadi, maka secara paksa
menerjang masuk. Ketika kemudian Ciong Ban-tong melepaskan baju orang
itu, seketika muka sendiri berubah pucat melihat luka orang.
"Senjata rahasia apakah ini?" tanya Pang Kong-tiau dengan
suara khawatir. Waktu Khong Liang ikut memeriksa dari dekat, terlihat
olehnya di atas dada orang itu terdapat belasan goresan luka,
seperti terluka oleh cengkeraman tajam, tetapi juga mirip
tergores pisau, jarak antara tiap goresan luka hampir sama
rata dan rajin dalam dua baris berupa setengah bundaran,
mirip sekali kena dicakar tangan iblis, tapi
kalau dihitung banyaknya goresan luka yang ada belasan, terang bukan
terluka karena cengkeraman jari tangan, pula kekuatan jari
tangan manusia pun tidak sdihai itu. .
Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar Pang Eng-ki
berteriak terkejut, "Ayah, kepala manusia!"
Ternyata Pang Eng-ki yang masih muda dan kurang
pengalaman, karena ingin tahu, ia telah membuka kantong
kulit tamu aneh itu dan menggelundung keluar dua kepala
manusia yang masih berdarah,
baunya yang amis busuk

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat orang merasa mual.
"Kau ini sungguh tidak tahu aturan, mana boleh sembarang
membuka barang orang lain!" omel Pang Kong-tiau, "tahukah
kau siapa dia?" Sembari berkata cepat ia melompat maju dan memasukkan
kepala manusia itu kembali ke dalam kantong. Sedang Ciong
Ban-tong masih memberi obat pada luka orang itu dengan
penuh perhatian. "Masihkah dapat tertolong?" tanya Kong-tiau kemudian.
"Senjata rahasia cabang atau golongan manapun sudah
pernah kulihat atau kudengar," Ciong Ban-tong menutur,
"hanya senjata rahasia macam ini, bukan saja belum pernah
kulihat, hahkan belum pernah kudengar. Racun senjata
rahasia ini jika bukan "Khong-jiokta"
(empedu merak) tentu adalah "llo-ting-hong" (jenger bangau), mungkin sukar
disembuhkan, terpaksa aku hanya bisa mengobatinya dengan
obat pemunah racun dari hui-to yang kupakai. Berkat
Lwekang Ciu-tayhiap yang hebat dan sempurna, mungkin
masih ada sedikit harapan." Sesudah dibubuhi obat, tamu aneh itu tampak bersuara
sekali, tapi orangnya masih tetap belum sadarkan diri.
Dengan sangat hormat dan bertekuk lutut sebelah kaki,
Pang Kong-tiau mengganti baju orang itu dan membersihkan
noda darahnya, setelah itu dengan menghela napas baru
berkata kepada Pang Eng-ki, putranya, "Kau tahu siapakah
dia, nak" la bukan lain kau punya Suco (kakek guru)!"
Mendengar keterangan itu, yang paling heran ialah Khong
Liang. "Kong-tiau, gurumu apakah bukan "Liok-hap-jiang" Chi
Tayceng yang telah meninggal itu?" tanyanya heran,
"mengapa secara mendadak bisa muncul lagi seorang guru?"
"Mungkin menyebut dia sebagai guruku masih agak
keterlaluan, karena sebenarnya aku hataya murid akuannya
saja," sahut Pang Kong-tiau tertawa getir. "Eng ji, lekas kau
berlutut dan menjura tiga kali dahulu, walaupun Suco masih
belum sadarkan diri, tapi sopansantun
tidak boleh diabaikan!"
Pang Eng-ki menurut, ia berlutut dan memberi hormat.
Sementara itu Teng Hiau-lan pun sudah berlutut di sebelah
yang lain dan sedang menangis sesenggukan perlahan.
"Anak baik, tidak sia-sia Ciu-pepek menyayangimu, nyata
kau pun orang berperasaan," Kong-tiau berkata sambil
mengelus kepala Hiau-lan.
Sudah heran, bertambah heran pula Khong Liang saat
mendengar perkataan Pang Kong-tiau. Tamu aneh ini disebut
`Tay-hiap" atau pendekar besar oleh Ciong Ban-tong,
sebaliknya Teng Hiau-lan memanggilnya "Pepek" atau paman.
Padahal tamu aneh ini tampaknya
berusia kurang lebih lima
puluhan, dibanding Pang Kong-tiau pun tidak banyak
berselisih, tapi malahan adalah "Suhu" atau guru. Kong-tiau.
Makin Khong Liang berpikir makin terasa heran dan tak
mengerti. Selesai menjalankan penghormatan, Pang Eng-ki bangkit
kembali, setelah itu Pang Kong-tiau menerangkan lagi,
"Sucomu ini bernama Ciu Jing, murid akuan Thian-san-kiamhiap
Leng Bwe-hong!" Terkejut lagi Khong Liang. Pikirnya, pantas begitu lihai,
dalam keadaan terluka parah, dengan sekali bergerak, aku
ditumbuilcnya hingga terguling. "Pada permulaan Kaisar Khong-hi bertakhta," Pang Kongtiau
melanjutkan ceritanya. "Leng Bwe-hong tertawan oleh
Suhengnya, yaitu Coh Ciau-larn dan dikurung di dalam istana
Potala di Tibet, berkat bantuan dua jago pengawal kerajaan
Boan, akhirnya ia lolos dari bahaya. Dua jago pengawal itu,
seorang bernama Be Hong dan yang lain adalah Suco Ciu Jing
ini. Pada waktu penggropyokan istana
Potala, Be Hong tidak beruntung telah terbinasa, namun Ciu Jing tertolong oleh Pho
Jing-cu, mengingat jasa dan budinya, maka Leng Bwe-hong
mengajarkan "Tui-hong-kiam-hoat" padanya, sebaliknya
menolak menerimanya sebagai murid resmi. Oleh karena itu,
ia hanya terhitung murid akuan Leng Bwe-hong saja." (Baca
Thian San Tjhit Kiam) Bagi golongan tua dunia persilatan, cerita ini sebenarnya
banyak diketahui, tetapi bagi Pang Eng-ki, cerita ini baru
pertama kali ia dengar, oleh karenanya ia melongo, tidak
menduga ayahnya ternyata termasuk keluarga cabang samping Thian-san-kiam-hiap Leng Bwe-hong yang
termasyhur di seluruh jagat itu.
"Jinkeh," kata Pang Kong-tiau pula kepada Khong Liang
setelah rnenghirup seteguk air teh. "Bukannya An sengaja
mendustaimu selama ini, karena kau adalah orang alim, An
khawatir jika kau mengetahui urusan ini bisa-bisa terkejut dan
khawatir. Leng Bwe-hong mengasingkan diri di Thian-san,
kerajaan Jing tak bisa berbuat apa-apa terhadapnya, tetapi
Ciu Jing sebaliknya adalah buronan
yang hendak ditangkap selama tiga puluhan tahun ini!"
"Ciu-tayhiap menghindari penguberan kerajaan, aku
menyingkir karena musuh dan tidak sembarangan mau unjuk
diri di Kangouw, selama belasan tahun ini Aku pun sudah
merasa bosan," dengan
tertawa Ciong Ban-tong ikut berkata.
"Jinkeh, malam ini kau sudah melihat semuanya, Aku tak
usah menutupi pula, biar kuberitahukan seluruhnya," Kongtiau
meneruskan pula, "tampaknya Ciu-losu (guru) terluka
oleh musuh yang lihai, pengejarnya esok atau malam ini pasti
akan menyusul tiba, aku serahkan kedua cucuku itu
kepadamu, bawalah mereka pergi dahulu!
Kau adalah guru silat yang hidup jujur dan tiada musuh, orang-
orang Kangouw yang kenal padamu pun tidak banyak, maka pihak kerajaan
tentu juga tak akan memperhatikan dirimu!"
"Jinkeh, mengapa kau bicara demikian?" kata Khong Liang.
"Walaupun aku belajar silat dan bertani, tapi setidaknya juga
lelaki berdarah panas, ada kesukaran biarlah sama-sama kita
rasakan, kalau pengejarnya datang, mari kita bersatu padu
melabrak mereka." "Memang yang diharap. kalau bisa menerjang pergi seperti
yang Jinkeh katakan, tetapi, maaf Jinkeh, kalau hanya
mengandalkan sedikit kepandaian kita yang tak berarti ini,
mungkin belum dapat melawan musuh yang tangkas!" kata
Kong-tiau tersenyum. Melihat Ciu Jing saja terluka parah, Khong Liang insaf apa
yang dikatakan Kong-tiau memang tidak salah, maka dengan
menghela napas ia berkata pula, "Baiklah, kalau begitu besok
pagi aku bawa Ing- ji dan Lin-ji ke Lian-ciu untuk mencari
Suhengku." Pang Kong-tiau coba meraba batok kepala Ciu Jing, melihat
orang masih belum sadar, ia lantas melanjutkan
pembicaraannya, "Jinkeh, sepuluh tahun yang lalu, waktu aku
kembali ke kampung halaman, kawan-kawan kalangan
Kangouw banyak yang merasa heran,
kau sendiri pun pernah bertanya padaku, kala itu aku tak man menerangkan, tapi kini
bolehlah kujelaskan. Ketika itu aku baru saja bisa mempelajari
"Tui-hong-kiam-hoat" dan Ciu-losu sendiri yang menyuruhku
mengasingkan diri!" "Ayah, kau berhasil belajar "Tui-hong-kiam-hoat", mengapa
tidak mengajarkannya padaku?" tanya Pang Eng-ki dengan
mata terbuka lebar karena heran. "Dan yang diajarkan
padaku hanya `Liokhap- tay-jiang". Kalau begitu Kiam-hoat
yang dilatih Teng-sute itu apakah "Tui-hong-kiam-hoat"
adanya?" Kong-tiau memanggut tanda membenarkan. Mendapat
jawaban itu tampak air muka Pang Eng-ki ada perasaan
kurang senang, ia merasa ayahnya pilih kasih, `Tui-hongkiam-
hoat" diajarkan kepada murid, tapi tidak kepada putra
sendiri. "Kau mengerti apa" Aku justru tidak ingin membikin susah
kau!" kata Kong-tiau seperti tahu perasaan putranya ini.
Kedua mata Teng Hiau-lan tampak merah basah hendak
mengucurkan air mata. Dengan mengelus jenggot dan menghela napas, Pang
Kongtiau berpikir, "Lebih baik kuceritakan terus terang saja,
agar di antara mereka tidak terjadi salah paham."
"Ayahmu bisa mendapat pelajaran "Tui-hong-kiam-hoat"
asalnya juga disebabkan oleh Teng-sute ini. Biarlah
kuceritakan, tentu kau akan tahu mengapa aku tidak
mengajarkan ilmu pedang itu kepadamu,"
kata Pang Kongtiau sambil memegang bahu putranya.
"Sepuluh tahun yang lalu, aku berkelana di daerah
perbatasan, pada suatu hari aku sampai di Pek-ling-bio dan
hendak memasuki daerah Sinkiang, waktu itu langit mendung
dan sinar matahari guram, tiba-tiba
kudengar suara pertempuran ramai, terdapat belasan orang jahat sedang
mengerubut seorang wanita muda dan bertarung dengan
sengit sekali. "Kiam-hoat wanita muda itu sedemikian bagusnya hingga di
antara gerombolan panjahat sudah ada beberapa orang
terluka, namun mereka masim terus mengepung tak mau
mundur. Dengan tangan kanan menghunus pedang, tangan
kiri wanita itu memegang seorang anak kecil yang berusia
sekira tujuh atau delapan tahun, ia hanya sanggup bertahan
dan tak mampu balas menyerang lagi.
"Dalam pertarungan yang seru itu, karena si wanita harus
melindungi si bocah, terpaksa berulang-ulang menghadapi
serangan lawan yang berbahaya. Waktu aku memburu maju
bermaksud membantu, justru aku mendengar teriakannya,
"Kalian inginkan jiwaku boleh saja, tapi kenapa juga akan
mencelakai anakku?" Mendingan kalau ia tak buka suara, tapi
begitu ia berteriak, serentak senjata para
penjahat itu ditujukan kepada si bocah. Dengan pedangnya, wanita
itu menahan ke depan dan menangkis ke belakang, pedangnya
diputar hingga merupakan satu lingkaran sinar perak, ia
menjaga sekitar anaknya sedemikian rapat sehingga tidak
tertembus oleh angin maupun air.
"Namun sesudah dapat menjaga diri bocah tadi, sebaliknya
ia tak bisa menjaga diri sendiri. Tiba-tiba terdengar beberapa
kali jeritan ngeri, terang ia terluka. Tak tahan lagi
perasaanku. Aku pun tak mempedulikan kepandaianku yang
sebenarnya tak seberapa, begitu menarik tali kendali kuda,
segera aku menerjang turun dari bukit dimana
aku berada, karena tak menduga akan kedatanganku, di antara penjahat
itu ada dua yang ter-tusuk roboh oleh tombakku dan aku terus
menerjang ke kalangan pertempuran. Melihat kedatanganku,
wanita itu melemparkan anaknya ke atas kudaku sambil
berseru, "Gisu (orang berbudi atau penolong), kuserahkan
anak ini padamu, terjanglah pergi!" Setelah itu pedangnya
berganti tangan dan sinar gemerdep pula, dua penjahat lain
kena terjungkal olehnya. "Dengan tangan kiri membopong bocah, tombak yang ada
di tangan kananku menusuk dan menyabet dengan cepat
untuk menerjang keluar kepungan, berkat wanita tadi yang
melindungi dari belakang,
akhirnya aku bisa menerjang keluar
dengan mati-matian. Tetapi
sayang, baru saja aku keluar dari
kepungan, lantas terdengar suara
jeritan mengerikan di belakangku, setelah itu keadaan sunyi senyap
tiada suara

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Terang wanita muda tadi sudah mengalami nasib malang.
Waktu aku menengok ke belakang, tidak tersangka mendadak
sebuah anak panah menancap di dadaku, saking sakitnya aku
terjungkal dari kuda dan anak tadi pun terlempar jatuh hingga
berteriak menangis. "Melihat anak itu terlepas, kawanan penjahat memburu
datang, karena sudah tak berdaya lagi aku hanya menyerah
saja pada takdir. Dalam keadaan sadar talc sadar, aku
mendengar suara gertakan,
"Bangsa tikus jangan kurang
ajar." Menyusul dari atas bukit melayang
turun seorang, aku yang bertiarap di atas tanah hanya mendengar
suara beradunya senjata, kemudian terdengar pula beberapa kali
suara tertawa panjang dan jeritan mengerikan bercampuraduk,
dengan memaksakan diri aku coba membuka mata
untuk melihat sambil menahan badanku dengan siku, terlihat
di tempat sejauh belasan tombak ada bayangan hitam yang
tak terhitung banyaknya, di samping itu satu sinar putih
menari-nari naik-turun dan berkelebat kian kemari di antara
bayangan hitam, dimana sinar perak sampai, di situ bayangan
hitam terpecah-belah dan berlari bersebaran ke segala
penjuru. Sinar putih mengejar setiap bayangan hitam laksana
kilat, sebentar ke timur dan lain saat ke barat, dalam sekejap
saja bayangan hitam tadi sudah tersapu hingga lenyap
bersih. Kemudian tertampak di tempat sunyi itu berdiri
seorang laki-laki berperawakan jangkung. la mendekati dan
membangunkan diriku sambil berkata,
"Gisu, kau tentu terkejut!" "Sebenarnya lukaku waktu itu sangat berat dan sakitnya
membikin aku hampir pingsan, tapi setelah menyaksikan
pertempuran seru itu, aku terkejut hingga ternganga tak bisa
berkata, karena itu rasa sakit terlupakan olehku. "Apakah kau
Kiam-sian (dewa pedang)?" tanyaku. Orang itu hanya
tersenyum saja, ia mengobati lukaku sambil
berkata, "Orang berkepandaian seperti aku ini masih banyak di dunia ini!"
Sementara itu si bocah pun sudah bangkit dari jatuhnya dan
terus merangkul kaki orang itu sambil berkata dengan
menangis, "Ciu-pepek, Ciu-pepek! Di-manakah ibuku?"."
Bercerita sampai di sini, mata Teng Hiau-lan yang berada di
samping semakin berkaca, air matanya hampir menetes.
"Dan bocah itu adalah dia!" kata Pang Kong-tiau pula
sambil menuding Teng Hiau-lan, ia meneguk teh, lalu
meneruskan lagi, "dan lelaki berperawakan jangkung itu ialah
Ciu Jing yang belakangan jadi guruku. Setelah mendengar
pertanyaan Hiau-lan tadi, dengan senyum sedih beliau
berkata, "Nak, syukur kau masih ingat padaku, tapi aku datang
terlambat!" Lalu dengan menggandeng bocah
itu, ia mencari jenazah wanita muda tadi di antara mayat-mayat yang
bergelimpangan. "Karena hendak melindungi kau, ibumu
terbunuh oleh penjahat, tetapi kawanan penjahat itu pun
sudah Pepek bunuh semua." la berkata pula dengan suara
berat, "Kau harus menjadi
anak baik agar kelak bisa
membalaskan sakit hati ayahmu."
"Hiau-lan memang berotak tajam, sesudah bertangisan
sebentar, lantas ia merangkul Ciu-tayhiap dan berkata,
`Pepek, kau ajarkan kepandaian padaku.". "Baik, asal kau jadi
anak yang baik "." jawab Ciu-tayhiap, tetapi ia tak sanggup
meneruskan pula karena rasa
harunya. la menggali sebuah
lubang dengan pedangnya untuk mengubur ibu Hiau-lan, lalu
berkata padaku, "Mereka suami-istri adalah sahabatku yang
paling karib, siang-siang aku sudah menduga akan terjadi
peristiwa seperti hari ini, namun aku tetap terlambat datang."
"Ketika itu lukaku sudah diobati, walaupun tak sakit lagi,
namun masih belum bisa bergerak, Ciu-losu menaikkan aku
ke atas kuda, ia membopong anak itu dan melarikan kudanya
dengan cepat. Besoknya pagi-pagi kami sudah sampai di
sebuah biara tua, menurut Ciu-losu, tempat itu sudah dekat di
perbatasan Sinkiang. Hwesio yang ada di biara itu adalah
sahabatnya. Setelah beristirahat beberapa
hari di biara itu, lukaku perlahan-lahan mulai sembuh. Aku memohon
Ciu-losu agar diterima sebagai murid, sesudah ia berpikir, lain ia
berkata padaku, "Melihat tindak-tanduk serta cita-citamu,
terang kau adalah orang golongan kita. Tetapi pertama karena
umur kita terpaut tidak banyak. Kedua, aku senantiasa
mengembara tiada tentu, lagi pula buronan pemerintah, tiada
tempo buat mengajarmu. Baiknya begini saja, aku ajarkan kau
sejurus Kiam-hoat dan semacam
senjata rahasia, tapi kita
masih bersebutan secara sahabat dan tidak usah pakai nama
guru dan murid." Tetapi aku berkeras tidak mau, akhirnya
disetujui bersama, bahwa aku terhitung `Ki-beng-tecu"
atau murid akuannya saja. "Dalam tujuh hari, Ciu-losu menurunkan Tui-hong-kiamhoat
dan senjata rahasia Hui-bong kepadaku. Katanya,
"Jangan menilai rendah kedua macam kepandaian ini, karena
ini ajaran yang diwariskan
Thian-san-kiam Leng Bwe-hong!
Tui-hong-kiam-hoat yang eepat
dan sebat tiada tara adalah
ilmu silat yang mempunyai serangan paling hebat dari Thiansan-
kiam-hoat, dan senjata rahasia Hui-bong adalah
perubahan dari Thian-san-sin-bong yang tersohor dari
Lengtayhiap dahulu, hanya lebih lembut dan kecil daripada
Thian-sansin- bong, terbuat dari sari logam, bentuknya seperti
Bwe-hoa-ciam, khusus untuk menyerang mata, kuping dan
tempat jalan darah musuh yang mematikan. Jika dapat kau
yakinkan hingga masak, di kalangan
Kangouw jarang ada tandingannya. Tetapi aku melarang kau sengaja pamer diri,
jika kau melanggar larangan ini, maka akan tertimpa
malapetaka sendiri! Tanpa izinku, kau juga tak boleh
menurunkan ajaran ini pada orang lain, sekalipun bini atau
anakmu sendiri. Dapatkah kau berjanji?"
"Aku segera menyatakan sanggup mentaati pesannya itu,
lalu Ciu-losu berkata pula, "Bukannya aku sengaja menilai
tinggi kepandaian sendiri, tetapi karena di dalamnya ada
sebabnya. Tahukah kau siapa aku" Aku ialah murid akuan
Leng Bwe-hong, Ciu Jing! Buronan
yang kini diuber-uber oleh
kerajaan Jing, pengawal istana pada
dua pulub tahun lalu, Tui-hong-kiam-hoat Leng Bwe-hong di daerah Tionggoan
(daerah tengah, Tiongkok) yang bisa hanya aku seorang,
apabila kau unjukkan di kalangan Kangouw, hingga diketahui
oleh anjing dan alap-alap pemerintah, kau akan tertimpa
bencana. Pahamkah kau?" "Sesudah tujuh hari, gerak tipu ilmu pedang itu sudah
kuhafal, lalu Ciu-tayhiap berkata padaku, "Di daerahmu Holam
sana masih ada seorang kosen pada zaman ini, ilmu silatnya
tidak di bawahku, ia adalah ahli waris Bu-kek-kiam, namanya
Ciong Ban-tong, meskipun tak paham Tui-hong-kiam-hoat,
namun Bu-kek-kiam-hoat miliknya sejajar dengan Tui-hongkiam-
hoat hebatnya, sementara ini kau sudah hafal gerak ilmu
pedang kita, aku sudah tak sempat mengajarkan lebih jauh,
maka boleh kau bawa barang buktiku ini dan pergi mencarinya
di Hok-g-san, minta padanya agar suka berlatih
pedang bersama, dengan begitu masing-masing pihak akan
memperoleh manfaat!"."
Bercerita sampai di sini, Ciu Jing yang rebah di atas
pembaringan tiba-tiba bergerak. "Lwekang Ciu-tayhiap memang tinggi, agaknya tak lama
lagi ia bisa sadar," ujar Ciong Ban-tong setelah memeriksa
denyut nadinya. "Hanya karena terlalu hebat terserang racun,
kekuatan obatnya lemah, sesudah sadar masih harus berobat
tiga hari lagi dengan cara Gi-kang-liau-hoat (pengobatan
dengan mengatur pernapasan)."
Pang Kong-tiau menghela napas lega mendengar Ciu Jing
bakal tertolong, lalu ia menyambung pula ceritanya tadi,
"Waktu hendak berpisah, Ciu-tayhiap kembali berpesan
padaku, "Aku dan orang-orang gagah di lima propinsi utara
tiap lima tahun sekali mengadakan pertemuan, sepuluh tahun
yang akan datang, tepat pada hari Tiongchiu adalah hari
pertemuan yang kedua, bakal diadakan di atas gunung Thayhing-
san di tanah asalmu Holam. Ciong Ban-tong karena harus
menghindari musuh yang lihai, ia pasti tidak ikut serta
pertemuan kaum Kangouw itu, maka bolehlah kau minta
padanya agar pada hari Tiongchiu sepuluh tahun lagi, datang
ke rumahmu, tiba waktunya aku akan sekalian meninjau kalian
di sana, kala itu bolehlah kita bercakap-cakap lebih lama." Tak
nyana belum tiba waktu yang ditetapkan, kedua orang ini
sudah datang semua!" demikianlah
Pang Kong-tiau mengakhiri ceritanya. "Semula aku mengasingkan diri di Hok-gu-san," dengan
tersenyum Ciong Ban-tong menceritakan pula kisahnya. "Dua
tahun yang lalu, jejakku diketahui musuh, terpaksa aku harus
mencari tempat lain untuk menyembunyikan diri. Tak terduga
beberapa hari yang lalu, dari kabar yang aku peroleh, dua
musuh besarku hendak datang ke tempat itu, oleh karenanya
aku minta cuti majikanku, aku pura-pura bilang hendak
menilik kampung halaman, tapi sebenarnya datang ke sini
untuk menyambangimu."
Pikiran Pang Kong-tiau tergerak oleh karena kata-kata
"majikan" yang Ciong Ban-tong sebut tadi. "Bagaimana kau
bisa mempunyai majikan?" tanyanya. "Ya, dalam dua tahun ini aku menjadi guru sastra pada
rumah seorang," sahut Ban-tong.
Bertambah heran Pang Kong-tiau. "Kawan kalangan
Kangouw mana yang begitu beruntung hingga dapat
memperoleh seorang guru seperti kau ini?" tanyanya pula.
"Yang aku ajari adalah seorang bocah yang paling nakal di
kolong langit ini," kata Ciong Ban-tong dengan tertawa.
"Ayahnya tiada hubungan dengan kawan-kawan Bu-lim (dunia
persilatan), sebaliknya besar sangkut-pautnya dengan
pembesar negeri di Holam!"
Heran Pang Kong-tiau makin bertambah atas
keterangannya, selagi ia hendak bertanya, tiba-tiba Ciong
Ban-tong sudah mendahului
balik bertanya, "Jika begitu tentu
Ciu-tayhiap yang minta kau mengajar Hiau-lan!"
"Betul," Kong-tiau membenarkan. "Hari Toan-ngo (tanggal
5 bulan 5= Pekeun) tahun yang lalu, anak ini datang dengan
membawa surat dari Ciu-losu. Dalam surat dikatakan anak ini
sudah cukup besar, tidak leluasa lagi dibawa kian kemari
merantau di Kangouw, sebaliknya sayang juga menghalangi
kemajuan kepandaiannya, oleh karena itu ia dikirim kemari
untuk belajar Tui-hong-kiamhoat
dan senjata rahasia Huibong
padaku." Sampai di sini, tiba-tiba terdengar Teng Hiau-lan berseru,
"Lh, Ciu-pepek sudah mendusin!"
Lekas Pang Kong-tiau memeriksa Ciu Jing lagi, terlihat dia
membalik tubuh dan setelah itu matanya membuka perlahan,
segera sinar matanya mengerling tajam.
"Ciong-laute, banyak bikin repot kau!" terdengar Ciu Jing
berkata dengan suara lemah. "Ciu-losu, bagaimana rasanya kini?" tanya Pang Kong-tiau.
"Ambilkan kantong kulitku itu!" pinta Ciu Jing.
Dalam pada itu Teng Hiau-lan sudah menghaturkan
kantong kulit yang diminta. Dengan cepat Ciu Jing bangkit
berduduk, setelah itu ia merogoh saku bajunya, jarinya
menyentil ke dalarn kantong kulitnya, sekejap kemudian, dua
kepala manusia dalam kantong sudah
hancur luluh menjadi cairan darah! "Cukup lebih dari pokok, mati pun aku kini sudah ada
harganya!"

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata Ciu Jing dengan tertawa terbahak-bahak.
"Dengan keuletan tenagamu, asal duduk diam tiga hari
saja, masih bisa disembuhkan!" Ciong Ban-tong
menganjurkan. "Siapa sudi duduk tiga hari," jawab Cm Jing dengan
tertawa. "Biar aku mengaso sebentar, setelah itu aku
berangkat, kalau lambat pasti akan merembet pada kalian!"
"Jika Suhu ada kesulitan, walaupun Tecu menghadapi maut
pasti takkan mundur," ujar Pang Kong-tiau.
"Aku saja bukan tandingan mereka, apalagi kau!" sahut Ciu
Jing. "Musuh macam apakah sampai begitu lihai?" Ciong Bantong
bertanya. Kepandaian Ciong Ban-tong boleh dikata setanding dengan
Ciu Jing, oleh karenanya ia berpikir, "Sesudah luka parah, Ciu
Jing masih sempat lari sampai di sini, maka sedikitnya aku
masih sanggup menahan musuh walaupun hanya sejenak."
Ciu Jing tak menjawab, ia tunjuk luka di dadanya dan
berkata, "Apakah kalian tidak melihat luka ini?"
Selagi Ciong Ban-tong hendak bertanya terluka oleh senjata
rahasia apa, tiba-tiba Ciu Jing sudah mengeluarkan dari
buntalan yang ia bawa, semacam benda berbentuk bulat.
Waktu Ciong Ban-tong menegasi, terlihat benda berbentuk
bundar terbuat dari baja, dari luarnya tiada tanda yang
mengherankan. Waktu Ciu Jing memutar sekuatnya,
mendadak bola itu menjeplak
terbuka dan di dalamnya tersembunyi belasan pisau yang tajam,
tiap pisau tidak lebih tiga dim panjangnya, putih mengkilap dan tipis laksana daun,
terbaris sangat rajin dalam dua belahan bola tadi, mirip seperti
sayap burung. "Kali ini aku diuber dari kotaraja sampai sini, justru benda
inilah yang mencelakai aku!" Ciu Jing menerangkan. "Aku
telah membunuh dua orang dan berhasil merebut benda ini,
setelah itu mereka agak keder dan tak berani mengejar terlalu
kencang!" Ciong Ban-tong masih terus mengamati senjata istimewa
itu, ia merasa heran sekali.
"Senjata rahasia ini disebut Hiat-ti-cu! Aku pun baru
pertama kali melihat benda ini," Ciu Jing menjelaskan pula,
"begitu pesawat rahasia terbuka, pisau di dalamnya segera
berputar dan sekali menjeplak
dapat mencakup kepala manusia ke dalamnya dan setelah itu bola menutup sendiri,
sudah tentu kepala manusia pun ikut lenyap! Pisau tajam yang
ada di dalamnya semua- direndam obat racun, seumpama
bisa menghindarkan bahaya kepala tercakup putus, asal
terluka mungkin susah terhindar dari kematian. Kali ini aku
dikeroyok belasan jago Hiat-ti-cu, karena tak sempat berkelit
aku terluka. Jika kelak kalian berhadapan sendiri dengan Hiatti-
cu, mungkin masih dapat melayani senjata rahasia ini
dengan senjata rahasia juga atau berkelit menggunakan
Ginkang (ilmu entengi tubuh). Tetapi
kalau dikerubut, boleh diduga akan sangat berbahaya sekali!"
"Kalau sudah jelas tak bisa dilawan dengan kekuatan, lebih
baik kita lekas berangkat!" kata Ciong Ban-tong sambil
bangkit. "Mari aku temani kau ke Thay-hing-san, sepanjang
jalan akan kurawat lukamu dengan obatku, jika sudah dekat
Thay-hing-san tentu tidak
perlu khawatir lagi. Kini para
pahlawan dari lima propinsi utara berangsur mulai berkumpul,
kalau hanya belasan Hiat-ti-cu saja tidak
perlu ditakuti!" "Tetapi apa kau tidak takut pula pada musuhmu?" dengan
mata terbeliak Ciu Jing bertanya.
"Dalam keadaan demikian, takut apa?" sahut Ciong Bantong.
"Aku menghindar karena merasa tiada harganya
berhantam dengan mereka, tetapi kini yang penting ialah
menyelamatkan dirimu!"
Tapi Ciu Jing tetap kurang setuju, ia menggeleng kepala.
"Jika masih belum mau berangkat, terpaksa aku.gendong
kau pergi!" kata Ciong Ban-tong pula tak sabar.
"Nanti dulu!" ujar Ciu Jing.
Mendadak ia turun dari pembaringan dan terus mendekam
ke tanah untuk mendengarkan. "Di kejauhan ada suara
derapan kuda, bila kini berangkat, tentu kepergok mereka!"
katanya. Tanpa menunggu perintah lagi, segera Ciong Ban-tong
meniup padam lampu yang ada dalam rumah, setelah itu
barn ia buka suara, "Jangan berisik, kalau nanti kita dapat
ditemukan, terpaksa kita tempur mereka!"
Dalam kegelapan tiba-uba Ciu Jing melolos pedang, segera
tampak sinar tajam gemerdep.
"Simpan senjatamu dahulu!" kata Ciong Ban-tong dengan
suara rendah. "Nanti kalau musuh sudah tiba, belum
terlambat untuk melolos pedang!"
Ciu Jing menurut, ia kembalikan pedang ke sarungnya, lalu
menarik Teng Hiau-lan ke sisinya sambil berbisik padanya,
"Pedang ini kuberikan padamu, pedang peninggalan Suco
Leng Bwe-hong ini disebut Yu-liong-kiam!"
Ciong Ban-tong terperanjat demi mendengar nama pedang
itu, Yu-liong-kiam adalah satu di antara dua pedang pusaka
Thian-san, beberapa puluh tahun yang lalu Hui-bing Siansu
punya murid durhaka yang menggunakan pedang tersebut
malang melintang di kalangan
Kangouw, tak tersangka Leng
Bwe-hong menyerahkan pedang
itu pada Ciu Jing dan kini tak
nyana pula jatuh ke tangan bocah
ini. Diam-diam ia mengkhawatirkan Teng Hiau-lan, ia khawatir karena
kepandaiannya yang belum sempurna tak sesuai memakai
pedang pusaka itu, dengan membekal pokiam itu mungkin
malah akan membawa bencana baginya.
Dalam kegelapan, Ciu Jing menarik tangan Ciong Ban-tong
pula dan berbisik, "Laute, kita jarang berkumpul, kini dapat
bersua, selanjutnya mungkin sukar diramalkan. Musuhmu
yang lihai itu kini pun sudah turun ke daerah selatan
Kwangwa. Kau sendiri sekarang bersembunyi dimana?"
Persahabatan mereka kekal, perkataan Ciu Jing yang penuh
perhatian itu membikin Ciong Ban-tong terharu, matanya
basah berkaca. "Terima kasih atas perhatianmu," katanya
dengan berbisik juga. "Aku kini jadi guru di kota kabupaten
Tan-liu." "Apa guru keluarga orang she Lian itu?" tanya Ciu Jing.
"Ya, betul!" jawab Ciong Ban-tong.
"Kau memang sesuai mengajar murid berbakat itu!" tanpa
terasa Ciu Jing berseru. Tetapi baru saja seruan dicetuskan,
tiba-tiba ia sendiri berkata pula dengan mendesis, "Sssst,
diam, diam! Kini mereka sudah datang, sudah datang!"
Dengan bingung Ciong Ban-tong mendekam di atas tanah
bersama yang lain. Tak lama kemudian, betul juga terdengar
ada suara derapan kuda sampai di depan rumah.
Dalam kegelapan, semua orang mendekap senjata untuk
segera bertindak bila perlu, mereka bernapas perlahan dan
penuh waspada. Akan tetapi suara derapan kuda tadi
sesudah sampai di depan rumah mendadak berhenti.
"Aneh, kenapa hanya seorang dan setunggangan saja!"
Ciong Ban-tong membatin dengan heran.
Ciu Jing pun merasa heran, selagi ia hendak berbangkit,
tiba-tiba terdengar orang yang datang di luar tadi telah
mengetuk pintu sambil berseru. "Suhu, Suhu!" terdengar ia
mernanggil. "0, kiranya Ong Ling," kata Pang Kong-tiau dengan girang
dan menghela napas lega. "Hiau-lan, lekas kau pergi
membuka pintu untuk menyambut kedatangan Toasuheng!"
Sementara itu Ciu Jing menarik Pang Kong-tiau dan
bertanya, "Apakah dia muridmu yang bekerja sebagai piausu
di ibukota?" Pang Kong-tiau membenarkan atas pertanyaan orang.
"Jangan mengatakan bahwa kau pernah mengangkat guru
padaku!" pesan Cm Jing. "Apa ada yang mencurigakan?" tanya Kong-tiau terkejut.
"Lebih baik berhati-hati!" ujar Ciu Jing.
Ketika pintu besar terbuka dan lampu dalam ruangan
menyala kembali, tertampak seorang laki-laki berusia tiga
puluhan dengan perawakan kekar berjalan masuk dengan
perlahan. "Suhu, apakah hari ini ada perayaan?" tanyanya dengan
membungkuk waktu menampak dalam rumah terdapat
banyak orang. "Ya, kau telah tambah dua keponakan, hari ini
adalah hari ulang tahun merekd yang pertama," Kong-tiau
menerangkan. Mendengar penjelasan itu, cepat Ong Ling mengucapkan
selamat kepada Pang Eng-ki. "Dimana Enso dan Titli (keponakan perempuan)" Apakah
sudah tidur?" tanyanya. "Ada di dalam, lekas suruh mereka menemui Supek," sahut
Pang Eng-ki. Kemudian dia memperkenalkan diri pada para tetamu,
waktu mendengar nama Ciong Ban-tong, ia terkejut, ditambah
pula nama Ciu Jing, lekas ia menjura memberi hormat.
"Sepanjang jalan apakah kau bersua dengan orang yang
mencurigakan?" dengan lantang Ciu Jing:bertanya, sinar
matanya menatap tajam. "Di sekitar Si-tiam pernah kulihat ada belasan orang yang
berdandan sebagai Bu-su (jago silat) berbondong-bondong
menuju ke barat!" jawab Ong Ling.
Si-tiam hanya berjarak ratusan li saja dari Lu-ciu,
rombongan orang itu kalau betul Hiat-ti-cu yang datang dari
kotaraja seharusnya sudah sampai di Lu-ciu sebelurn Ong
Ling. Oleh karena itu hati Pang Kong-tiau agak lega, pikirnya,
"Mereka mungkin tidak mengetahui Ciu-losu berada di sini
dan kini sudah melewati Lu-ciu menuju ke barat." Begitu pula
wajah Ciu Jing tampak agak reda, tidak setegang tadi.
"Apakab mereka tidak bertanya padamu?" tanya Cm Jing.
"Tidak!" sahut Ong Ling menggeleng kepala.
Ciu Jing tidak bertanya lagi. Sementara itu Khong Lian-he
yang mendengar suara sang Suheng, lantas membopong Pang
Ing dan Pang Lin keluar dari ruangan dalam.
Khong Lian-he dan suaminya bersama Ong Ling adalah
teman sekampung, Pang Eng-ki dan Ong Ling malah sejak
kecil sudah bermain bersama dan belajar silat berbareng,
oleh karena itu hubungan mereka karib sekali.
"Sumoay, salam selamat dariku!" dengan gembira Ong Ling
berkata pada Khong Lian-he setelah menciumi kedua bocah
cilik. "Arak pemikahanmu aku belum minum, tapi kini harus
minum lagi arak kebahagiaanmu yang lain."
Khong Lian-he tidak menjawab, ia hanya menunduk.
"Kau bekerja di kotaraja, bagaimana bisa pulang ke sini?"
Kong-tiau bertanya pada muridnya itu.
"Alcu diperintahkan Piau-hang (perusahaan pengawalan)
pergi ke Hui-yang untuk menerima suatu pekerjaan, maka
sekalian mampir menyambangi kau orang tua!" sahut Ong
Ling. "Kongkong, Suheng datang dari jauh, biarlah
membersihkan badan dulu, setelah itu baru bicara lebih asyik,"
ujar Khong Lian-he. "Betul! Aku sudah tua dan pikun. Nah, boleh kau antar
Suhengmu, Ing-ji dan Lin-ji tinggalkan saja di sini," dengan
tertawa Kong-tiau berkata.
Sebenarnya Ciu Jing sedang termenung, mendadak ia lihat
kedua bocah cilik yang berwajah mirip itu matanya terbeliak
terang, ia mendekatinya dan mengamat-amati sejenak,
kemudian meraba pula tulang kepala kedua bocah tadi.
"Dua dara cilik ini jauh lebih bagus daripadamu, rupanya
pembawaan mengharuskan mereka belajar silat!" katanya.
"He, saudara Ciu, tak nyana kau juga bisa menujum!" kata
Ciong Ban-tong berkelakar.
"Soal nujum sebenarnya hanya omong kosong belaka, tapi
bentuk tulang dan tabiat manusia sejak kecil sudah kentara,"
ujar Ciu Jing serius. "Sudah lama aku berkelana di Kangouw,
hanya ada tiga anak yang punya bentuk tulang aneh pernah


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulihat. Tabiat dua dara cilik ini aku belum tahu, tapi ada lagi
seorang analc, belasan tahun
yang akan datang, kalau tidak
jadi Enghiong (pahlawan) tentu akan jadi Siauhiong (penjahat
besar)!" "Maksudmu muridku itu?" tanya Ciong Ban-tong sambil
melonj ak. "Betul," sahut Ciu Jing. "Bocah itu pernah kulihat. Karena
aku sendiri ada urusan, kalau tidak, siang-siang aku sudah
membawanya pergi!" "Kau pernah lihat dia, mengapa aku tak mengetahui?" kata
Ciong Ban-tong dengan terheran-heran.
"Muridmu, itu bukankah putra Lian Toan-leng yang
bernama Lian Keng-hiau?" berbalik Ciu Jing bertanya.
"Ya, bocah itu memang aneh!" sahut Ciong Ban-tong.
Pang Kong-tiau terkejut demi mendengar nama Lian
Toanleng yang adalah hartawan besar di Holam, bagaimana
Ciong Bantong dengan suka hati mau bekerja sebagai guru di
rumahnya. Tapi kemudian ia berpendapat lain, untuk
menghindarkan musuh, rumah keluarga Lian memang tempat
yang sempurna dan cocok untuk bersembunyi.
Hanya saja Ciong Ban-tong yang memiliki kepandaian silat begitu tinggi
masih harus main sembunyi, maka dapat dibayangkan
musuhnya itu entah betapa lebih lihai daripada Hiat-ti-cu.
"Sudah lama aku mendengar keadaan Lian Keng-hiau yang
luar biasa,"-terdengar Ciu Jing berkata pula. "Tahun itu aku
justru lewat Tan-liu, diam-diam aku masuk ke rumah
keluarga Lian untuk menyelidik Kulihat ada seorang guru
kampung yang sedang mengomeli
anak itu karena tak man membaca, mendadak anak itu berteriak,
"Siansing, coba kau baca lagi sekali." "Baik," kata guru itu, `aku ajarkan kau sekali
lagi, malam ini kalau kau tidak hafalkan, tidak
kuperkenankan kau tidur." Lalu guru itu membaca kitabnya, tiba-tiba terdengar
Lian Keng-hiau bergelak tertawa dan mengatakan,
"Sudahlah, dengarkan!" Habis itu dengan bertolak pinggang ia menghafal
isi kitab yang dibacakan gurunya tadi di luar kepala, ternyata
sehuruf pun tiada yang meleset Bukan main kejut guru
kampung itu. Sementara itu Lian Keng-hiau tiba-tiba
mendamprat, "Apa sukarnya sih orang bersekolah" Siauya
(tuan kecil) tidak sudi membaca
bukumu, berani kau urus aku?" "Setelah itu ia menubruk maju, dengan dua kepalan
kecilnya segera menghantam. Meskipun hanya bocah yang
baru berumur enam tujuh tahun, namun kedua tangannya
seperti berkekuatan ratusan
kati, si guru kampung kena
ditonjok berkali-kali hingga jungkir-
balik, sesudah itu ia lari
terbirit-birit, agaknya tak berani mengajar
lagi. Dan bagaimana denganmu, saudara Ciong, apakah kau juga
pernah dijotos olehnya?"
"Tidak, sebaliknya bocah itu sangat menghormati aku,"
sahut Ciong Ban-tong. "Hanya saja aku pun perlu bersabar
selama setahun baru bisa menaklukkan si nakal itu."
Ketika hendak meneiuskan, tiba-tiba ia lihat ada perubahan
pada air muka Cm Jing. "Kenapa?" tanyanya cepat.
Ciu Jing tak menjawab, ia tiarap di atas tanah untuk
mendengarkan, lewat tak lama, ia berbangkit dan berkata,
"Kita salah terka, kawanan Hiat-ti-cu itu ternyata tidak pernah
pergi dari Lu-ciu, kini mereka betul-betul datang!"
"Kalau begitu lekas sirapkan lampu dan siapkan senjata
rahasia!" usul Ciong Ban-tong. "Jangan berdiam di dalam rumah," kata Ciu Jing sambil
berpikir, "musuh datang dari selatan, kita terjang ke utara!"
"Jangan, terlalu berbahaya," ujar Ciong Ban-tong
menggeleng kepala. "Lukamu walaupun sementara agak
baikan, tapi kekuatanmu masih belum pulih!" "Di dalam rumah mungkin akan lebih berbahaya!" sahut Ciu
Jing dengan tegas. Kemudian sekali melesat ia menerjang keluar pintu besar.
Tindakannya itu membikin Ciong Ban-tong dan Pang Kongtiau
tertegun, mereka tidak bisa memahami pikiran Ciu Jing,
mengapa tidak mau diam di dalam, malah menerjang keluar!
Ketika itu sudah dekat hari Tiongchiu atau tanggal lima
belas bulan delapan, sinar bulan pumama terang benderang.
Waktu Ciong Ban-tong menyusul keluar mengikuti Ciu Jing,
mendadak ia lihat di tengah lapangan depan rumah, dari
belakang sebaris bangku batu tiba-tiba menongol seorang
dengan roman luar biasa, hidung membetet,
mulut lebar dan muka bengis. Tiba-tiba terdengar siulannya yang aneh,
sungguh amat menyeramkan.
"Hwe-hun Tongcu," bentak Ciu Jing dengan mengacungkan
tangan. "Ternyata kau juga sudi menjadi budak penguasa
lalim, sayang, nama baik Hai-hun Tianglo telah ternoda oleh
murid durl-aka macam kau ini!"
Hwe-hun Tongcu, nama aslinya Liong Bok-kong,-berasal
dari Ngo-ci-san di pulau Hailam (Hainan) dan kepala suku Le
di sana. Gurunya, Hai-hun Hwesio, namanya cukup disegani di
daerah Sinkiang selatan, kepandaiannya sudah diwariskan
seluruhnya kepada Liong Bok-kong, sudah lebih dua puluh
tahun dia tak pernah menginjak
tanah Tionggoan, oleh karena itu para Kiam-khek di daerah pedalaman jarang yang
mengenalnya. Sebenarnya kepandaian guru dan murid itutidak tidak kalah
dengan para pendekar daerah pedalaman. Belasan tahun
lalu, Ciu Jing pemah menjelajah sampai pegunungan pulau itu
dan naik ke Ngoci- san bertemu dengan Liong Bok-kong, tak
tersangka belasan tahun kemudian ia kena terpelet oleh
kerajaan Jing. Saat dibentak Ciu Jing tadi, Hwe-hun Tongcu Liong Bokkong
hanya tertawa cekikikan saja secara aneh, sementara itu
Ciu Jing telah melayang berkelit ke samping, ternyata satu titik
tajam menyambar dari depan. Segera Ciong Ban-tong
menghadang, dengan pedang la menangkis, "trang", sebuah
piau telah disampuk jatuh ketanah.
Tiba-tiba dari atas pohon Gui di tepi lapangan sana,
mendadak melayang turun seorang laksana burung terbang.
"Ciu Jing," seru orang itu. "Turun-temurun kau mendapat
kebaikan dari negara, lekas ikut aku kembali ke ibukota!"
Orang itu berambut merah laksana api. Menampak orang
ini, amarah Ciu Jing memuncak.
"Melukai orang dengan mengandalkan senjata rahasia
beracun terhitung orang gagah macam apa?" bentaknya.
"Baiklah, nih kukembalikan
senjata rahasiamu!" Sekonyong-konyong ia memutar dan kemudian mengayun
tangan, satu bola baja terbang ke depan dengan membawa
desiran angin yang keras.
Orang yang muncul belakangan bernama Lui Hay-im, salah
seorang jago aneh di bawah Si-hongcu (Pangeran keempat) In
Ceng yang kemudian menjadi Kaisar Yong Ceng.
Kaisar Khong-hi mempunyai putra-putri tidak sedikit, yakni
enam belas putra atau Hongcu (pangeran) dan tujuh Kiongcu
atau putri, tetapi yang paling disayang hanya Capsi-hongcu
atau Pangeran keempat belas. Si-hongcu atau Pangeran keempat In Ceng adalah yang
paling pintar dan cerdik di antara saudara-saudaranya itu, tapi
juga paling tidak disukai oleh ayah bagindanya.
Pada suatu hari, Khong-hi memberikan dua sangkar tikus
putih keluaran Tibet kepada Si-hongcu dan Capsi-hongcu.
Lewat sepuluh hari kemudiaji, waktu ditanyakan, Capsihongcu
menjawab, "Tikus- tikus putih itu terkurung dalam
sangkar rasanya sangat kasihan, maka ananda dengan
lancang telah melepaskannya, harap ayah baginda
suka memaaflcan!" Sebaliknya tidak demikian dengan Si-hongcu, tikus-tikus
yang ia dapat dari ayah bagindanya itu, ia bagi menjadi dua
barisan dan dilatih bertarung, keruan belum sampai sepuluh
hari tikus-tikus itu mampus semua, ketika ayahnya bertanya,
dengan berseri ia menceritakan
apa yang diperbuat atas tikus-tikusnya. Selama hidup Khong-hi tumbuh di atas pergolakan
peperangan, ilmu silatnya pun sangat tinggi, setelah
menanjak umurnya, lambat-
laun ia beralih berpikiran, ia
berhasrat menambah nama baiknya dengan menanggallcan
Bu (silat atau militer) berganti ke jurusan Bun (sipil atau
sastra), misalnya "Khong-hi-ji-tian" atau kamus besar Khong-hi,
adalah buah karyanya kala itu dengan memerintahkan
bawahannya untuk rnenerbitkan. Setelah mendengar laporan Si-hongcu, dalam hati ia
membatin, "Anak ini kalau kelak menggantikan aku, tentu
adalah raja yang kejam." Karenanya diam-diam ia tidak
menyukai In Ceng. Menurut tradisi keluarga kerajaan Jing, kedudukan putra
mahkota tidak diturunkan dari ayah kepada anak, tapi
berdasar pilihan Kaisar dengan cara meninggalkan pesan
terakhir, menunjuk putra pilihan yang bakal menggantikannya
dituliskan pada secarik surat wasiat, kernudian ditaruh di atas
belandar tengah istana, sesudah Kaisar wafat barulah surat
wasiat itu dibuka di hadapan keluarga kerajaan.
Oleh karena itu, di antara putra pangeran itu terjadi persaingan
sengit dalam memperebutkan mahkota.
Karena tahu dirinya tidak disukai oleh Hu-ong (ayah
baginda), maka Si-hongcu makin giat memperebutkan
kedudukan, di samping bersekongkol dengan Kok-kiu (saudara
permaisuri) Kulungto, berbareng
ia pun memupuk kekuatan dengan banyak mengumpulkan jagoan.
Hiat-ti-cu yang terkenal itu sebenarnya adalah nama
semacam senjata rahasia ciptaan Angkau Lamma (Lamma
merah) di Tibet, karena para Lamma dapat diperalat Sihongcu
In Ceng, dengan sendirinya
kepandaian menggunakan Hiat-ti-cu itupun diajarkan kepada jagoan di
bawah pangeran itu. Kemudian organisasi teroris yang
dibentuk In Ceng juga diberi nama yang sama.
Lui Hay-im adalah seorang di antara "Si-pa" atau empat
jagoan bawahan In Ceng, sedang Liong Bok-kong sebaliknya
baru saja "dibeli"
dari tempat jauh. Hiat-ti-cu yang melukai Ciu Jing bukan lain adalah
perbuatan Lui Hay-im. Oleh karena itu, begitu melihat dia,
amarah Ciu Jing memuncak dan dengan Hiat-ti-cu yang dapat
direbut dari Lui Hayim, ia serangkan kembali kepada
pemiliknya. Mendengar deru suara yang santar, Lui Hay-im mengerti
tenaga yang tiba terlalu besar, maka tidak berani
menyambut, tapi Liong Bok-kong meloncat naik, dengan
"Liong-thau-kuay-tiang" (tongkat berujung kepala naga) ia
sambut bola besi itu, sekali pukul menerbitlcan
suara kelontangan, Hiat-ti-cu itu terbang ke samping.
"Ciu Jing," terdengar Lui Hay-im berkata dengan tertawa
seram, "kau termasuk kawakan Kangouw, kau telah terluka
oleh Hiat- ti-cu, andaikan bisa bertahan sementara, dalam dua
belas jam ini kalau racun bekerja, tentu kau akan mampus,
untuk apa kau berhantam mati-matian denganku" Tidakkah
lebih baik kau ikut aku kembali ke ibukota, nanti kuberikan
obat pemunah racunnya padamu."
"Cis!" damprat Ciu Jing. "Kalau sudi kembali ke istana, tiga
puluh tahun yang lalu tidak perlu aku memberontak, apa kau
kira menjual jiwa pada raja durjana itu lantas bisa


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperoleh keuntungan dan hidup mewah" Aku sudah
mengalami sendiri dan jauh lebih mengetahui daripadamu.
Aku nasihatkan padamu, lekas buang "golok algojomu dan
tinggalkan sedikit berkat bagi anak cucu keturunanmu!"
la mengira Lui Hay-im adalah jago pengawal istana, maka
sengaja mengatakan pengalamannya untuk menginsafkan.
Tak tahunya Lui Hay-im sudah bercita-cita mendukung SiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hongcu naik takhta, hanya beberapa patah kata itu mana bisa
menyadarkannya, tanpa menunggu Ciu Jing menghabiskan
perkataannya, secepat kilat ia melompat maju.
"Tak usah banyak omong, kalau kau tak suka kembali ke
ibukota, lekas terima kematian!" bentaknya. Sekali angkat
tangan, dengan "Kui-thau-to" ia membacok dari atas.
Ciu Jing mengegos ke samping untuk menghindarkan
bacokan musuh, sementara itu Liong Bok-kong pun tidak
tinggal diam, tongkatnya dengan cepat menghantam. Dengan membentak, Ciu Jing menyapu dengan kaki kanan,
pada waktu badannya agak menyerong, ia hindarkan serangan
terns balas menyerang, dengan tipu pukulan "Lik-pi-hoa-san"
(sekuat tenaga membelah Hoa-san), tangan kiri menghantam
ke depan, dengan latihan selama beberapa puluh tahun,
gerak pukulan Ciu Jing sungguh luar biasa, kalau terkena,
maka sedikitnya sebelah bahu Liong Bok-kong pasti akan
patah! Tetapi gerakan Liong Bok-kong pun hebat dan aneh,
tubuhnya berputar dengan cepat, menyusul tongkatnya
menyabet dari sebelah kanan hendak mengarah "Thian-ti-hiat"
Ciu Jing. Serangan berbahaya ini membuat lawan harus berusaha
menghindarkan diri kalau tidak mau menjadi pecundang.
Diam-diam Ciu Jing gegetun melihat kepandaian lawan yang
tinggi tetapi sudi diperalat
kaum penindas. Untuk menghindarkan serangan musuh, Ciu Jing sedikit menarik diri
ke belakang, kemudian tangannya meraup ke belakang hingga
berhasil mencekal tangan Lui Hay-im yang sedang
memukul. "Pergi!" bentak Ciu Jing sambil melemparkan Lui Hay-im
sekuat tenaga, bagaikan terbang Lui Hay-im kena disengkelit
jatuh, tetapi dalam sekejap suara deru tongkat Liong Bokkong
terdengar menyambar pula, dengan cepat Ciu Jing
mengegos, namun tongkat lawan terlihat sudah sampai di
depan dada. Ciu Jing menduga dirinya pasti akan celaka; tetapi tahutahu
tongkat musuh melenceng ke samping disusul suara
"trang" yang nyaring dan lelatu api bercipratan, kiranya
pedang Ciong Ban-tong telah menghalangi serangan tongkat
Liong Bok-kong tadi. Pada kesempatan itu Ciu Jing melompat agak jauh,
sementara itu Lui Hay-im sudah berdiri kembali, dengan golok
terhunus menanti musuh, namun ia sudah tak berani
sembarang menyerang lagi.
Setelah Ciu Jing terkena pisau beracun Hiat-ti-cu, Lui Hayim
menaksir kalau ia tidak terbinasa sedikitnya akan terluka
parah, tak tersangka ternyata Ciu Jing masih begitu gagah
perkasa, keruan ia sangat terperanj at.
Ciu Jing bermaksud hendak maju merangsek, tiba-tiba
terdengar suara ringkik kuda yang ramai makin mendekat,
sementara itu orang-orang keluarga Pang pun telah
berkerumun. "Celaka!" Ciu Jing diam-diam mengeluh, tetapi sudah
terlambat, tiba-tiba dari semua penjuru muncul Hiat-ti-cu dan
mengurung segenap keluarga Pang di tengah.
Dengan membopong Pang Lin, selagi Pang Eng-ki
mengikuti Pang Kong-tiau menerjang keluar kepungan,
mendadak di atas kepalanya
mendengung suara aneh yang
ramai sekali, beberapa benda kehitam-hitaman dengan cepat
menutup dari atas kepala, lekas ia mengempit kencang
putrinya dan kemudian mengerutkan tubuh untuk berkelit, tapi
segera terdengar suara jeritan ngeri ayahnya, menyusul
sebuah Hiat-ti-cu mengurung di atas kepala dan kena dengan
tepat. Nampak peristiwa itu, Ciong Ban-tong pura-pura menusuk
dengan pedangnya, lantas meninggalkan Liong Bok-kong,
dengan sekali lompatan jauh ia mendahului melemparkan
sebilah pisau belati untuk menumbuk Hiat-ti-cu yang sedang
mengarah kepala Khong Liang, kemudian dengan lebih cepat
dari Pang Kong-tiau, ia memburu
main, Pang Lin keburu direnggutnya, sementara itu dengan sangat
mengerikan Pang Eng-ki sudah mengalarni nasib malang, kepalanya
terpisah dengan tubuh oleh tangkupan Hiat-ti-cu tadi.
Dalam pada itu, Liong Bok-kong dan Lui Hay-im sedang
mengerubut Ciu Jing, sedang di udara suara aneh masih
mendengung ramai sekali. "Kalian jangan hiraukan aku, lekas melarikan diri!" Ciu Jing
berteriak pada kawan-kawannya.
Tanpa ayal, dengan tangan kiri mengempit Pang Lin dan
tangan kanan memutar pedang, Ciong Ban-tong lantas
membuka jalan keluar. "Mepet saja mengikuti aku, jangan
sembarang bergerak!" pesannya pada Khong Liang.
Khong Liang adalah seorang tua yang jujur, maka Ciong
Bantong agak cocok dengannya, ia mengerti ilmu silat Khong
Liang kurang kuat, maka sekuat tenaga ia coba
melindunginya. Di pihak lain, Khong Lian-he yang membopong Pang Ing
melihat suaminya terbunuh, pedih hatinya, tapi untuk
menangis sudah tidak bisa lagi. Ong Ling dan Teng Hiau-lan
menggunakan senjata tombak dan Yu-liong-kiam melindungi
Khong Lian-he dari kedua samping.
Tiba-tiba sebuah Hiat-ti-cu terbang memapak dari muka,
Teng Hiau-lan lantas menebas dengan pedang, segera
membikin Hiat-ticu itu terbelah menjadi dua. Hendaklah
diketahui bahwa Yu-liongkiam
luar biasa tajamnya, juga
berkat pedang inilah Ciu Jing yang diuber beberapa puluh
Hiat-ti-cu dapat meloloskan diri. Namun kini anggota keluarga
Pang terlalu banyak, Hiat-ti-cu tidak melulu menyerang
seorang saja, maka meskipun ilmu silat Teng Hiau-lan jauh
lebih rendah daripada Ciu Jing, berhasil juga ia menerjang
keluar sejauh beberapa puluh tombak sambil melindungi
Khong Lian-he dan putrinya, Pang Ing.
Beberapa jago pengawal yang kehilangan Hiat-ti-cu, saat
mendadak nampak Teng Hiau-Jan mengunjuk Yu-liongpokiam,
mereka berteriak dan beramai mencegatnya.
Tetapi Teng Hiau-lan tidak menjadi gentar, sekali
menggerakkan pedang, sinar putih berkelebat, secepat kilat
ia menikam seorang musuh hingga tembus, berbareng itu
telinganya tiba-tiba mendengar
Ong Ling bersuara keheranan. Teng Hiau-lan sudah tak sempat berpaling untuk melihat
apa yang membuat Suhengnya merasa heran, dengan
memutar pedang pusakanya, segera ia merangsek maju lagi.
Tak tahunya yang menghadapi
dia adalah dua musuh yang
tergolong kelas tinggi, yang seorang
memakai "Jit-ciat-pian"
atau ruyung bertekuk tujuh, orang ini pernah mendapat ajaran
dari guru ternama, terhadap Yu-liong-kiam sedikitpun tidak
jeri, ruyungnya dimainkan bagus sekali dengan bermacam
jurus serangan berbahaya. Sedang seorang lagi memakai
"Gun-goan-pay", sejenis tameng, dengan cara menghantam,
menggabruk dan berbagai serangan yang membahayakan!
Teng Hiau-lan baru pertama kali ini unjuk diri di medan
pertempuran, ternyata sudah kebentur musuh tangguh, tentu
ia agak gugup. Dalam pada itu Ong Ling dengan setengah menyeret sambil
melindungi Khong Lian-he pun sedang merasa kerepotan.
Mendadak Pang Kong-tiau menggertak, "Tui-hong-kiamhoat"
atau ilmu pedang pemburu angin segera ia mainkan
dengan cepat. Dalam sekejap ia telah melukai dua musuh di
depannya, setelah itu segera menerjang maju, dan selagi
berniat menolong menantu perempuannya,
mendadak ia melihat dua bayangan bagaikan layanglayang
putus benangnya, susul-menyusul melayang datang, yang pertama
ternyata adalah Ciu Jing, waktu Pang Kong-tiau
menundukkan kepala, Ciu Jing dengan cepat lewat di
atasnya, tetapi barn saja ia mendongak, orang yang datang
belakangan menghantamnya dari atas dengan tongkat.
Walaupun Pang Kong-tiau dapat menangkiskan
pedangnya ke atas, namun ia pun tergetar mundur hingga beberapa tindak.
Orang ini bukan lain ialah Hwe-hun Tongcu Liong Bok-kong.
Kedatangan Ciu Jing ternyata tepat pada waktunya, karena
saat itu musuh yang memakai ruyung sedang menyabet ke
samping pinggang kanan Teng Hiau-lan, sabetan ini begitu
keras dan cepat, sedang pedang Teng Hiau-lan sendiri justru
lagi ditekan tameng musuh
yang lain, maka tak sempat ia
menarik pedangnya untuk menangkis
dan sulit baginya lobs dari bahaya maut. Selagi musuh pemakai ruyung merasa senang, tak terduga
Ciu Jing tiba-tiba melayang turun dari udara dan menubruk ke
bawah, tangan kanan menekan ruyung musuh dan berbareng
menubruk maju. Musuh itu tidak menyangka gerak tubuh Ciu
Jing begitu cepat, untuk menarik senjata buat berjaga diri
sudah terlambat, dengan cepat
ia melompat mundur ke belakang, namun kelima jari Ciu Jing laksana kaitan sudah
keburu mencengkeram pundaknya terus dibetot,
keruan saja dengan jeritan ngeri "Pi-pe-kut" atau tulang pundaknya
terbetot remuk. Melihat kawannya mengalami celaka, musuh yang memakai
tameng jadi tergetar, sedikit kendor tenaganya, Teng Hiau-Jan
sudah sempat menarik kembali pedangnya, "Tui-hong-kiamhoat"
atau ilmu pedang pemburu angin memang sesuai
dengan namanya, cepat laksana angin, begitu pedang
berputar segera menusuk ke dada musuh
lagi. Dengan tipu "Hing-keh-kim-nio" (memalang menyanggah
belandar emas), dengan tamengnya musuh itu membentur ke
atas, tak ia duga tiba-tiba Teng Hiau-Jan mengubah
serangannya, mendadak ia membabat ke bawah. Karena tak
keburu menarik tamengnya yang baru saja diangkat ke atas,
maka dua kaki musuh sebatas lutut ke bawah tertabas kutung!
Saat itu Ong Ling dan Khong Lian-he juga sedang
menempur dua jago pengawal dengan seru pada jarak sejauh
lebih tiga tombak. Selagi Teng Hiau-lan berniat membantu
mereka, tiba-tiba ia ditahan Ciu Jing.
Karena heran, Teng Hiau-lan hendak bertanya sebabnya,
sementara itu terdengar Ciu Jing membisiki telinganya,
"Terhadap Ong Ling kau harus waspada!"
Setelah itu dengan satu bentakan menggelegar, ia
melayang ke belakang bagai terbang.
Hiau-lan merasa bingung, namun dilihatnya gerak langkah
Pang Kong-tiau sudah tak keruan dan sempoyongan hendak
roboh. Kiranya Ciu-tayhiap memburu ke sana perlunya untuk
menolong murid sendiri, begitu pikir Hiau-lan.
Pedih sekali rasa hati Hiau-lan, pada saat mati hidup yang
hanya ditentukan dalam sekejap itu, dirinya ternyata tidak
pergi melihat Suhunya, tetapi karena Suso (istri Suheng) dan
Suheng punya kepandaian paling lemah dan keadaan juga
paling berbahaya, maka terpaksa ia harus pergi membantu
mereka. Pada saat genting ini, tiada tempo lagi buat
memikirkan pesan Ciu Jing tadi!
Mengapa Ciu Jing bisa timbul curiga terhadap Ong Ling"
Kiranya ia sudah lama berpengalaman Kangouw, soal
mendengarkan dengan bertiarap di atas tanah pasti tidak
meleset. Tadi waktu ia mendekam mendengarkan suara di


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam rumah Pang Kong-tiau, terang ia dengar bukan terdiri
dari seorang saja, tapi yang mengetuk pintu ternyata hanya
Ong Ling sendiri yang muncul, waktu itu ia sudah merasa
sangsi. Oleh karena itu ia tak berani tinggal diam dalam
rumah Pang Kong-tiau, belakangan waktu keluar dari rumah
buat menghindari musuh, mendadak Liong Bok-kong dan Lui
Hayim muncul dari dekat, maka bertambahlah rasa curiganya.
Pikirnya, dua orang ini memiliki ilmu entengi tubuh yang
tinggi, dari suara derapan kuda tadi jangan-jangan datang
bersama Ong Ling. Walau dalam hati curiga, ia masih belum berani ambil
kepastian, khawatir salah sangka terhadap orang baik, kalau
tidak, sejak tadi ia sudah bereskan Ong Ling!
Dalam pada itu, Pang Kong-tiau yang sekonyong-konyong
bertemu musuh tangguh, Tui-hong-kiam-hoat yang dilatihnya
selama sepuluh tahun segera dimainkan, ia sudah dapat
membinasakan dua Hiat-ti-cu, ketika hendak menyerbu keluar,
tak terduga lantas kebentrok Hwe-hun Tongcu Liong Bok-kong
dan baru sekali gebrak ia sudah tergetar mundur.
Liong Bok-kong memutar tongkatnya dengan cepat dan
memhadai, mendadak ia mendengar suara gemerincing yang
ramai, menyusul tiba-tiba ia merasa pundaknya agak linu
kaku laksana digigit semut besar beberapa kali, hatinya
tergerak, ia menduga tentu terkena
senjata rahasia sebangsa Bwe-hoa-ciam yang halus, namun mengandalkan Lwekangnya
yang tinggi, dengan mengatur pernapasan
ia lindungi tempat Hiat-to yang berbahaya, sedang Liong-
thau-kuay-tiang dengan sebat diputar kencang hingga debu pasir
beterbangan. Kiranya Pang Kong-tiau menyerang musuh dengan
segenggam Hui-bong, selagi pedangnya hendak menyerang,
tiba-tiba tongkat musuh sudah mendahului tiba. Tui-hongkiam-
hoat memang cepat sekali, waktu tahu tidak bisa
memaksakan diri menangkis tongkat
musuh dengan pedang, Pang Kong-tiau segera mengubah gerakannya,
sedikit angkat kaki kanan untuk melindungi selangkangan, tubuhnya agak
memutar, mata melirik dan pedangnya terus memotong,
ia tak menangkis tapi memotong pergelangan tangan musuh.
Pedang gemerlapan, di bawah sinar bulan yang terang
benderang terlihat jelas ujung pedangnya menyambar sampai
di urat nadi musuh. Tipu serangan yang paling berbahaya untuk membela diri
dalam keadaan terdesak, dengan sendirinya serangan musuh
tadi dapat ia hindarkan. Serangan ganas Liong Bok-kong tidak berhasil, maka begitu
melihat Pang Kong-tiau bergerrak, segera ia pun dapat
mengetahui apa yang hendak diperbuat lawannya ini, oleh
karenanya segera ia berseru, "Bagus sekali!"
Sesudah itu pergelangan tangarmya membalik ke bawah, ia
mengubah tipu untuk menyerang lagi, dengan "Wan-te-hoanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hun" (membalik awan di bawah tangan) ia mencegat pedang
Pang Kongtiau, namun dia pun bukan lawan lemah, dengan
cepat ia tarik kembali serangannya dan merangsek dengan
terlebih kencang, kali ini ia metiusuk ke bawah iga musuh.
Ketika Liong Bok-kong mendadak memutar tubuh, ujung
pedang Pang Kong-tiau sudah dekat di bawah iga sebelah
kanan, sangat girang hati Pang Kong-tiau melihat
serangannya akan berhasil. Tetapi ia salah duga, karena tiba-tiba Liong Bok-kong
merobohkan diri ke belakang dan tongkatnya dilempar
membentur pedang Pang Kong-tiau, karena benturan keras
terjadi dari dekat, maka berkekuatan jauh lebih besar, pedang
Pang. Kong-tiau tergetar mencelat
dan genggaman tangannya berdarah. Sementara itu Liong Bok-kong telah melompat bangun,
terus mengulur tangannya yang lebar bagaikan daun pisang,
di bawah sinar bulan yang terang, tertampak telapak
tangannya merah membara dan hendak mencengkeram.
Saking takutnya melihat tangan musuh itu, Kong-tiau
berpikir hendak angkat kaki, tapi agak terlambat, pundaknya
keburu kena dicekal musuh, rasanya seperti tertindih barang
seberat ribuan ".cati, untuk menghindarkan bahaya, sebisanya
Pang Kong-tiau mendak dan menarik pundaknya meronta ke
bawah, segera ia rasakan kesakitan
yang meresap tulang, pundaknya sudah bermandi darah, kulit berikut daging pundak
terbeset sebagian oleh Liong Bok-kong!
Menghindarkan serangan pedang, melempar tongkat, balas
memukul dan mencengkeram, semuanya adalah serangan
lihai ilmu silat Liong Bok-kong, sekaligus dilakukannya dalam
sekejap saja secepat kilat. Waktu Ciu Jing mengetahui dan
memburu datang hendak menolong, sementara itu Pang
Kong-tiau sudah roboh tak sanggup
berbangkit pula. Ketika itu Khong Liang sedang mengikuti Ciong Ban-tong
menerjang keluar sekuat tenaga, waktu ia mendengar suara
jeritan, ia berbalik hendak menolong, tapi golok Lui Hay-im
mendahului membacok dengan gerakan "Thay-san-ap-ting"
(Gunung Thay menindih dari atas kepala), orang berikut
goloknya berbareng menubruk
dari atas. Khong Liang mengegos ke samping sambil menangkis ke
atas sekuatnya, tetapi ternyata tak mampu menahan tenaga
yang menindih itu, sementara Lui Hay-im menendang pula
dan tepat mengenai kaki Khong Liang, keruan ia terhuyunghuyung
ke samping dan menyeruduk
tubuh seorang Hiat-ticu. Ciong Ban-tong melayang tiba dari jurusan lain, ia
mengangI< at kaki dan membikin Hiat-ti-cu itu terjungkal,
sedang tangannya menarik Khong Liang, terns mundur ke
belakang dengan cepat. "Pang-jinkeh telah mengalami celaka!" seru Khong Liang.
Sinar mata Ciong Ban-tong mengerling tajam, tapi ia hanya
menggeleng kepala tanpa berkata.
"Kalian lekas melarikan diri, makin banyak yang selamat
makin baik!;" tiba-tiba terdengar Pang Kong-tiau berseru
dengan serak. Di bawah sinar bulan terlihat ia telah berdiri
dan secara sempoyongan berjalan beberapa langkah, tapi
dua buah Hiat-ti-cu dengan membawa suara. mendengung
aneh menyambar ke arahnya, terdengar
jeritan ngeri Pang Kong-tiau, setelah itu kepalanya lenyap terpotong
Hiat-ti-cu itu. Betapa pedih Ciong Ban-tong dan Teng Hiau-lan, mereka
sangat gusar bercampur keder juga, sementara itu Pang Lin
yang berada di bopongan Ciong Ban-tong mendadak
menangis keras saking ketakutan.
Di bawah sinar bulan, paras Pang Lin yang kecil mungil dan
bundar seperti buah apel, makin menarik dan sayang.
"Tolong anak-anak dahulu!" tiba-tiba Ciong Ban-tong
berkata dengan menghela napas.
Sesudah itu ia serahkan Pang Lin kepada Teng Hiau-lan,
lalu tangan kirinya menyiapkan dua pisau belati beracun.
"Ikut aku, terjang pergi!" serunya pada kawan-kawannya.
Menyusul ia lantas mendahului menerjang_ Nampak Ciong
Ban-tong kalap, Lui Hay-im tak berani sembarang mencegat,
tetapi dua jago pengawal di sampingnya berbareng
mendahului memapak maju. Dengan pedangnya yang mengkilap, Ciong Ban-tong
menunggu musuh datang mendekat, baru mendadak
pedangnya menyapu ke bawah.
Saking kagetnya karena serangan tiba-tiba itu, seorang
jago pengawal berseru terkejut, temyata bajunya telah
terbabat robek, untung ia cukup cerdik, dengan merobohkan
diri clan menggelunclung pergi ia berhasil menyelamatkan diri!
Tetapi tidak demikian dengan pengawal yang lain, karena
terkejut, ia hanya mundur dua tindak ke belakang, ketika akan
rnengangkat senjata buat menangkis pedang musuh, tahutahu
Ciong Ban-tong telah bekerja dengan lebih cepat, pisau
terbangnya menyerang lewat bawah pedangnya.
"Roboh!" berbareng ia membentak.
Karena tak menyangka, jago pengawal itu tiba-tiba merasa
bagian pinggangnya kesakitan, sebisanya, ia berbangkit, tapi
baiii berjalan dua tindak, pandangan matanya sudah gelap,
menyusul dengan satu jeritan ia roboh terguling.
"Awas, senjata rahasia beracun!" demikian ia masih sempat
meneriaki kawannya. Kemudian Ciong Ban-tong mengayun tangan lagi, tiga pisau
terbangnya menyambar pula, Lui Hay-irn membentur dengan
golok clan dapat menjatuhkan sebuah pisau, tetapi dua jago
pengawal di sampingnya kembali menjerit beruntun clan
keduanya roboh menggelongsor!
Menampak keadaan itu, sudah tentu Lui Hay-im menjadi
keder, mana berani mengejar lagi"
Karena senjata Hiat-ti-cu miliknya sudah hilang, maka ia
hanya memerintah kawan-kawannya, "Lekas, lepaskan Hiatti-
cu pada musuh, lekas!"
Hiat-ti-cu hanya berguna untuk menyerang dari jarak agak
jauh clan tak dapat digunakan jika terlalu dekat, dalam
pertarungan sengit yang gaduh tadi, lebih-lebih tak mungkin
mereka gunakan. Teiapi kini keadaan berlainan pula.
Ciong Ban-tong clan kawan-kawan baru berlari belasan
tomhak jauhnya, tiba-tiba terdengar suara aneh mendengung
ramai di atas kepala, waktu ia menoleh, tertampak lima enam
buah Hiat-ti-cu membmu dengan membawa angin mendesir.
Dengan cepat Ciong Ban-tong menyarungkan pedangnya
clan dua tangannya lantas mengambil enam buah Hui-to.
"Hiat-ti-cu bisa berbuat apa terhadapku?" ia membentak,
ketika tangannya bergerak, enam buah pisau terbangnya
secepat kilat ditimpukkan_ Menyusul di udara terdengar suara
nyaring beradunya benda logam, Hiat-ti-cu terbuka karena
benturan pisau terbang dan Jua belas pisau kecil mengkilap
yang terdapat pada tiap Hiat-ti-cu, teriatuh bersebaran
laksana hujan pisau! Ada satu Hiat-ti-cu di antaranya agaknya dilepaskan oleh
jagoan yang berkepandaian lebih tinggi, maka kekuatannya
lebih besar, dibentur oleh Hui-to masih belum terjatuh, terns
menyelonong menuju sasaran. Cepat Ciong Ban-tong mencabut pedang clan melompat ke
atas untuk memapak, ia dapat menyampuk Hiat-ti-cu itu
hingga terjatuh jauh, kemudian terdengar suara letusan, Hiatti-
cu itu pecah berantakan. Melihat lihainya Hiat-ti-cu. Ciong Ban-tong pun terkejut,
batinnya, "Bila belasan Hiat-ti-cu mengeroyok berbareng,
sungguh susah dilawan, pantas Ciu-tayhiap kena dilukai!"
Saat itu dengan menggandeng Khong Liang, ia sudah
berada (fi jarak yang tak bisa dicapai Hiat-ti-cu, ketika ia
berpaling memandang dari jauh, terlihat bayangan tubuh Ciu
Jing yang jangkung masih meloncat clan menubruk dengan
sangat hebat, sedikitpun belum
menunjukkan tanda-tanda akan kalah. la agak lega melihat ketangguhan Ciu Jing, pikirnya,
"Kepandaiannya berada di atasku, yang dikhawatirkan hanya
karena ia terluka parah oleh Hiat-ti-cu, mungkin tak sanggup
bertempur terus, tetapi jumlah musuh yang datang malam ini
sudah hampir separoh mati atau terluka, sedang senjata
mereka yang keji telah banyak termusnahkan,
sebaliknya Ciu

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jing punya senjata rahasia Hui-bong pun tidak di bawah Huito
milikku, mungkin ia masih bisa lolos dari bahaya."
la agak lega melihat ketangguhan Ciu Jing, pikirnya,
"Kepandaiannya berada di atasku, yang dikhawatirkan hanya
karena ia terluka parah oleh Hiat-ti-cu, mungkin tak sanggup
bertempur terus, tetapi jumlah musuh yang datang malam ini
sudah hampir separoh mati atau terluka, sedang senjata
mereka yang keji telah banyak termusnahkan,
sebaliknya Ciu Jing punya senjata rahasia Hui-bong pun tidak di bawah Huito
milikku, mungkin ia masih bisa lolos dari bahaya."
Selagi ia ragu oleh pikiran sendiri, Pang Lin menangis
sebentar, mungkin karena letih, lalu tertidur nyenyak di
pangkuan Khong Liang, dengan tersenyum Ciong Ban-tong
mencium anak itu, dalam pada itu dari jauh terdengar seruan
Ciu Jing, "Ciong-toako, lekas kau bawa lari anak itu, murid
yang baru kau terima itu, kalau ketahuan
hatinya tidak jujur, hendaklah kau bikin cacat padanya, sekali-
kali jangan merasa sayang! Apabila aku terlolos dari bahaya, aku akan datang ke
Tan-liu menyambangimu, lekas lari, lekas!"
Terguncang hati Ciong Ban-tong, ia tidak mengerti, dalam
keadaan segenting ini Ciu Jing masih sempat wanti-wanti
berpesan padanya, apa betul Lian Keng-hiau kelak menjadi
seorang yang besar tetapi di pihak yang sesat" Keadaan tidak
mengizinkan banyak berpikir, ia hanya menyahut dari
kejauhan, "Selamatlah Ciu-heng, sampai bertemu di Tan-liu!"
Sesudah itu dengan membopong Pang Lin dan bersama Khong
Liang, cepat mereka angkat langkah lebar dan lari pergi!
Melihat Ciong Ban-tong sudah terlepas dari bahaya, Ciu
Jing merasa lega, waktu ia lihat Teng Hiau-lan, tertampak
pemuda itu bersama Ong Ling dan Khong Lian-he bertiga
sedang melabrak musuh dengan mati-matian. Yu-liong-kiam
milik Teng Hiau-lan bersinar
gemerlapan, dengan gesit dan
cepat sekali selalu mengincar senjata
musuh, sedang senjata Liok-hap jiang Ong Ling yang diputar dengan hebat
tampaknya juga tidak lemah. Tiga Hiat-ti-cu lawan mereka
meski bukan tandingan yang enteng, tapi dibanding Liong
Bok-kong dan Lui Hay-im, sudah terang berselisih jauh. Oleh
karena itu, Teng Hiau-lan ber-tiga cukup kuat untuk
bertahan. Karena tiada kekhawatiran lain lagi, Ciu Jing jadi
bersemangat, ia kencangkan gerak silatnya, sebelah tangan
menyanggah ke atas dan yang lain lantas menarik, segera
seorang musuh dibetot putus tangannya. Liong Bok-kong jadi
murka, ia tarik tongkatnya keatas lalu memutar secepat kilat
mengemplang muka Ciu Jing.
Serangan ini begitu hebat dan tepat, tetapi Ciu Jing tidak
gampang kecundang, walaupun sudah tak sempat berkelit
lagi, segera ia kumpulkan seluruh tenaga, tangan menangkis
ke atas, secara paksa ia sambut serangan Liong Bok-kong itu,
tubuhnya pun meminjam kekuatan pukulan lawan terns
berjumpalitan jauh ke belakang.
Kemplangan Liong Bok-kong tadi seperti mengenai batu, ia
sendiri tergetar mundur bebeerapa tindak dengan tangan
terasa pegal sakit, mau tak mau ia merasa keder. la tidak tahu
sebenarnya luka Ciu Jing telah bertarnbah parah.
Sungguhpun Lwekang Ciu Jing cukup tinggi, tapi sesudah
terluka oleh senjata rahasia berbisa jahat, ditambah
tangkisan terhadap tongkat musuh, seluruh isi tubuhnya kini
sudah terguncang remuk, pandangan matanya jadi gelap dan
sakitnya meresap tulang, ia insaf jiwanya susah dipertahankan
lagi. Tempat dimana Ciu Jing menancapkan kakinya, jaraknya
tidak jauh dengan Teng Hiau-lan, segera ia dapat mendengar
suara panggilan Teng Hiau-lan, "Ciu-pepek, kau hebat sekali,
marilah kita bersama- sama menerjang keluar!"
Semangat Ciu Jing mendadak menyala kembali, dengan
sekali mengayun tangan, musuh yang mengepung Teng Hiaulan
segera menjerit dan terguling roboh, ternyata
punggungnya terkena tujuh huah Hui-bong.
Karena itu, dua musuh lain yang merangsek Ong Ling dan
Khong Lian-he terkejut. "Tui-hong-kiam-hoat" milik Teng Hiaulan
juga tidak pernah kendor, dimana ada lubang segera
dimasuki. Waktu seorang musuh hendak lari, segera ia kirim
satu tusukan dari samping,
karena sedikit terlambat ujung
pedang hanya menyerempet lewat di atas pundak musuh,
hingga terluka dan darah mengucur, masih untung baginya
sempat melompat, terus kabur sipat-kuping!
Musuh lain kena disodok gagang tombak Ong Ling
dibarengi golok Khong Lian-he yang gemilapan membacok dari
atas, anggota Hiat-ti-cu ini berkepandaian lebih rendah hingga
tak mampu mengliindarkan diri lagi, segera terkutung
menjadi dua, mulai dari atas bahu sampai ke pinggang.
Melihat ketiga lawan kena dibereskan, Teng Hiau-lan
bergirang sekali, namun terdengar Ciu Jing berseru padanya,
"Kalian lekas lari, lekas! Tak usah tunggu aku!"
Sudah tentu Teng Hiau-lan tertegun, segera terdengar Ciu
Jing membentak pula, "Kau tidak mau dengar perkataanku?"
Menyusul di belakang terdengar suara aneh yang riuh
ramai, sebuah bola baja telah sampai di atas kepalanya, lekas
Teng Hiau- lan mengangkat pedang mencungkil ke atas
hingga Hiat-ti-cu yang hendak menyerangnya kena dicungkil
pergi. Sementara itu Ciu Jing berteriak lagi, "Lekas lari, lekas
lari! Hantam mereka dengan Huibong!"
Tidak ayal lagi, dengan mengapit Khong Lian-he yang
membopong Pang Ing di tengah, Teng Hiau-lan dan Ong Ling
segera kabur secepatnya, sementara itu di belakang masih
ada beberapa jagoan musuh yang mengejar mereka dengan
kencang! Melihat Teng Hiau-lan bertiga lepas dari bahaya dan sudah
lari jauh, semangat Ciu Jing banyak bertambah, ia tahu
dirinya tidak mungkin tertolong lagi, maka dengan sisa tenaga
pengabisan ia lindungi mereka agar bisa bebas dengan
selamat. Sementara itu Lui Hay-im telah memburu maju, ia
lihat mata Ciu Jing bersinar keren, sekali menggertak,
tangannya menghantam secepat kilat. Lui Hayim
terperanjat dan hendak mundur, akan tetapi sudah terlambat,
pergelangan tangannya kena dihantam hingga tulang remuk
kesakitan, goloknya tak dapat ia kuasai lagi dan mencelat
terbang, Lui Hay-im pun roboh pingsan.
Menyaksikan kejadian mendadak itu, dua Hiat-ti-cu yang
lain menjerit kaget, mereka hendak lari, namun Liong Bokkong
sudah mendahului membentak, "Manusia tak berguna,
tidak kalian hantam dia, malah lari!"."
Melihat mata Ciu Jing yang membelalak lebar, tidak urung
Liong Bok-kong sendiri merasa keder dan gugup, Hiat-ti-cu
yang masih tertinggal beruntun melepas senjata rahasia lagi.
Pedang Ciu Jing sudah diserahkan Teng Hiau-lan, maka
terpaksa mengandalkan kesebatan berkelit sini-sana atas
gempuran senjata rahasia musuh yang sambar-menyambar
itu. Meski Hiat-ti-cu harus diakui lihai, tetapi tidak bisa
melukainya, sudah tentu ketangkasan Ciu Jing itu membikin
para jagoan musuh menjadi kuncup, sebaliknya Ciu Jing
sendiri tidak lantas lari, juga tidak melabrak musuh lebih jauh,
ia hanya menghadang di tengah jalan dengan sikapnya yang
galak dan bengis luar biasa laksana malaikat jahat, maksudnya
hanya untuk melindungi Teng Hiau-lan dari kejaran musuh!
"Marilah kita pergi saja, jangan recoki dia lagi!" terdengar
seorang anggota Hiat-ti-cu berkata.
Dalam pertempuran sengit itu, walaupun ayah dan anak
Pang Kong-tiau telah terbunuh, tetapi di pihak Hiat-ti-cu
sendiri pun lebih dari separoh mati atau luka, malahan Lui
Hay-im juga terluka parah, kecuali tiga empat orang yang
pergi mengejar Teng Hiau-lan, sisanya
termasuk Liong Bokkong, tidak lebih hanya lima orang.
Sebenarnya Liong Bok-kong jeri, saat mendengar ajakan
Hiat- ti-cu tadi, ia mengamati Ciu Jing sekejap, sesudah itu
tiba-tiba ia mendamprat dengan gusar pada kawannya,
"Sungguh goblok! ikuti aku, ia tak akan bisa kabur!"
Setelah itu tongkatnya bergerak, segera ia mendahului
menerjang ke depan. Kiranya Liong Bok-kong telah menyaksikan waktu Ciu Jing
menghindarkan serangan Hiat-ti-cu tadi, gerak tubuhnya
sudah tidak secepat dan segesit semula, di antara gerakannya
itu ada tanda-tanda tenaga lemah dan tak tetap, kalau bukan
ahli memang tak bisa tahu, tetapi buat Liong Bok-kong yang
cukup sempurna kepandaiannya dan tidak banyak selisih
dengan Ciu Jing, ia pun tergolong kawakan Kangouw, maka
sedikit tanda kelemahan saja sudah dapat diketahuinya
bahwa Ciu Jing sudah dalam keadaan payah, tinggal maju
untuk menangkapnya dan sembilan bagian pasti akan berhasil,
maka segera ia menerjang maju walaupun sebenarnya ia pun
merasa jeri. Beberapa Hiat-ti-cu adalah orang kepercayaan Si-hongcu,
Pangeran keempat, mereka dua kali dicaci oleh Liong Bokkong
den- an kata-kata "Goblok dan tak berguna", sudah
tentu mereka mendongkol sekali, batin mereka dengan benci,
"Hm, kau Liong Bokkong
hanya tamu yang baru datang, kau
berani menghina kami. Bail:,
kami akan lihat kepandaianmu!"
Dan karena itu, dengan sengaja angkah diperlambat, mereka
biarkan Liong Bok-kong menerjang maju seorang diri.
Dalam pada itu Liong Bok-kong yang menyerbu maju
dengan tongkatnya, telah didahului Ciu Jing dengan
segenggam Hui-bong yang dihamburkan kepadanya.
Mendadak Liong Bok-kong merasa pandangan matanya
menjadi silau, ia enjot tubuhnya melompat ke atas dan
tongkatnya berbareng diputar dengan cepat, maka terdengar
suara gemerincing yang nyaring ramai, menyusul lantas
terdengar Liong Bok-kong menjerit kesakitan, walau ia sudah
berusaha menghindarkan serangan itu, tidak urung mata
kirinya telah buta kena tertusuk sebuah Hui-bong yang kecil
lembut laksana jarum. Selama hidup belum pernah ia kecundang begitu rupa,
maka dapat dibayangkan kemurkaannya, dengan sekali
berjumpalitan di angkasa, tongkat beserta orangnya bagaikan
seekor naga hitam yang ganas mendadak menubruk dari atas,
pada saat demikian Ciu Jing unjuk ketangkasannya, dengan
kedua tangannya ia sambut tongkat musuh dan sekali tarik
dapat mencekal ujung tongkat yang berbentuk
kepala naga itu, dengan sekali gertakan, kedua orang sama-sama
mengeluarkan tenaga sepenuhnya, tongkat yang terbikin dari
baja itu patah menjadi dua potong. Setengah potong yang
dicekal Liong Bok-kong ditimpukkan sekuatnya, Ciu Jing
mengangkat sebelah kaki menendang, keruan Liong Bokkong
kena tertendang pergi sejauh tiga tombak lebih,
sebaliknya dada Ciu Jing tersodok dengan tepat oleh potongan
tongkat yang ditimpukkan Liong Bok-kong, lukanya yang
memang sudah berat bertambah parah pula, tenaga dalamnya
buyar, dan begitulah "murid akuan" Leng Bwe-hong ini, satusatunya
Badai Awan Angin 35 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Han Bu Kong 4
^