Pencarian

Tiga Dara Pendekar 25

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 25


Begitulah mereka berdua saling melabrak dengan
kepandaian mereka yang sangat tinggi dan setapak pun tidak
saling mengalah. Kalau Emopu ingin merebut pedang dari
tangan Lu Si-nio terang tidak mungkin, sebaliknya jika Lu Sinio
ingin melukai lawannya juga tidak mampu.
Di sebelah sana, Haptoh yang menandingi Kam Hong-ti pun
sedang saling hantam dengan ramainya, kekuatan mereka pun
seimbang, dalam sekejap saja mereka sudah saling gebrak
belasan jurus. Waktu itu Teng Hiau-lan sudah melolos pedang pusakanya
dan hendak maju membantu.
"Haha, racun dalam tubuhmu sudah mulai bekerja, apa kau
ingin mampus lebih cepat sedikit?" dengan bergelak tertawa
Haptoh memperingatkan. Di samping sana lekas Pang Ing menarik baju Hiau-lan.
"Siok-siok, hendaklah kau mundur saja, aku ada jalan lain,"
katanya. Di luar dugaan ternyata Hiau-lan tidak mau menurut.
"Jika kau tidak mau menurut, biarlah aku mati dulu di
hadapanmu, lekaslah kau menyingkir!" Pang Ing mengancam.
Hiau-lan menghela napas, tiba-tiba pula ia merasakan
perutnya rada kesakitan, terpaksa ia mundur kembali ke
kamarnya. Sementara itu Emopu dan Lu Si-nio masih saling labrak
dengan ilmu silat mereka yang tinggi, beberapa puluh jurus
sudah berlalu, namun masih belum kelihatan siapa yang bakal
kecundang. Nampak gelagat kurang enak, segera Pang Ing mencabut
pedang pendeknya, tetapi selagi ia hendak melompat maju
membantu, mendadak terdengar Emopu bersuit panjang,
menyusul dari atas dinding pagar sana muncul lagi empat
orang Lamma, jubah mereka seragam merah, kepala memakai
kopiah berujung lancip seperti tanduk kambing hingga sangat
menyolok pandangan orang.
"Ha, apa kalian tidak mau terima arak suguhan dan
sebaliknya ingin minum arak paksaan?" tiba-tiba terdengar
Haptoh membentak lagi. "Lin-kuijin, kau mau tunduk pada
perintah Hongsiang tidak?"
Pang Ing tidak menjawab, akan tetapi ia lantas menyimpan
pedangnya, ia papaki keempat Lamma tadi yang sudah
melompat turun semua. "Kalian jangan kurangajar! Hayo, aku ikut kalian pergi
menemui Hongsiang!" mendadak Pang Ing berseru. Keruan
Kam Hong-ti menjadi kaget.
"Apa maksudmu, mana bisa kau pergi begitu saja, nona
Ing!" ia teriaki Pang Ing.
Sementara itu Haptoh sudah menghentikan
pertempurannya. "Dan mana Teng Hiau-lan?" katanya.
"Hongsiang ingin kalian berdua masuk istana bersama."
"Aku sendiri nanti bisa bicara dengan Hongsiang, kau ini
manusia macam apa" Berani kau banyak bacot!" segera Pang
Ing mendamprat, waktu itu ia sudah berada di tengah
rombongan kawanan Lamma tadi. "Hayo, kalau kalian banyak
cerewet lagi, biar aku tak jadi berangkat."
Karena ancaman ini, Haptoh jadi mengkeret.
"Ya, ya, biarlah hamba iringi Lin-kuijin pulang ke istana,"
demikian katanya kemudian. 4
Dalam pada itu sebenarnya Kam Hong-ti dan Lu Si-nio
masih ingin mencegah lagi, namun musuh terlalu kuat,
mereka telah dirintangi, sementara Pang Ing sudah melintasi
pagar tembok ikut pergi bersama empat Lamma tadi.
Percakapan tadi dengan jelas sekali didengar oleh Teng
Hiau-lan di dalam kamar, sudah tentu pedih sekali rasa
hatinya, segera ia berlari keluar lagi sambil berteriak, "Ingmoay!
Ing-moay!" "Teng-sioksiok, lekas kau masuk kembali, biar aku ambilkan
obat pemunahnya!" ia dengar sahutan Pang Ing di luar pagar.
Habis itu, suaranya bersama tindakannya makin menjauh
dan akhirnya lenyap. Dengan menahan sakit, cepat Hiau-lan
melompat ke atas tembok. "Kebetulan sekali kedatanganmu, hayo ikut pergi sekalian!"
mendadak terdengar bentakan Emopu, berbareng ia pun
meloncat ke atas, kebutnya lantas menyabet.
Lekas Hiau-lan angkat pedang memotong ke samping,
menyerang sambil menangkis, akan tetapi segera ia
merasakan sambaran angin yang kuat menghantam
tangannya, hampir saja pedang pusakanya terpental dari
tangannya. Dalam pada itu Emopu telah mengayun sebelah tangannya,
dengan lima jari mencengkeram ke bawah. Karena tak
sanggup menahan datangnya serangan ini, Hiau-lan
menjatuhkan diri ke bawah, dengan gerakan 'Beng-eng-boktho'
atau elang buas menyambar kelinci, Emopu segera
memburu ke bawah dan masih terus menghantam. Syukur
segera ia dipapaki Lu Si-nio, dalam sekejap saja mereka
kembali saling gebrak belasan jurus lagi.
"Lin-kuijin sudah kembali ke istana, buat apa kita terlibat
terus dengan mereka?" Haptoh berseru pada kawannya. Habis
itu, begitu ia menarik kembali Liu-sing-tui, dua gembolan
bertali, segera ia melayang keluar pagar.
Melihat kawannya sudah kabur lebih dulu, Emopu pikir
kalau bertarung terus belum tentu bisa unggul, pula para
jagoan istana belum datang semuanya, yang datang tadi tidak
lebih hanya empat muridnya, kepandaian mereka pun
terbatas, karena itu ia pun menggunakan kesempatan itu buat
melompat keluar pagar. "Kenapa nona Ing berbuat seperti anak kecil saja" Aku
justru tidak percaya kaisar anjing itu akan memberi obat apa
padanya!" teriak Kam Hong-ti marah-marah sesudah musuh
angkat kaki. "Ya, memangnya dia masih anak-anak, ini namanya
penyakit sudah payah memanggil tabib sekenanya, karena dia
sudah tak berdaya, terpaksa ia melakukan tindakan tadi," ujar
Lu Si-nio sambil menghela napas. "Tindakannya itu timbul dari
hatinya yang bersih dan budinya yang luhur, hendaklah kita
jangan salahkan dia lagi."
"Ya, sungguhpun begitu, kepergiannya ini ibarat mengantar
kambing ke mulut macan, tidak berguna bagi urusan ini,
bahkan ia sendiri akan celaka!" kata Hong-ti lagi. "
Sudah tentu yang merasa paling menderita adalah Teng
Hiau-lan. "Toh aku sudah terang akan mati, biarlah aku pun ikut
masuk istana sekalian," akhirnya ia berkata.
"Apa masih belum cukup satu orang mengantar kematian?"
ujar Kam Hong-ti mendongkol.
"Ya, kalau dia berkorban untukku, apa aku masih bisa
hidup sendirian?" sahut Hiau-lan sedih.
Mendengar jawaban ini, seketika Kam Hong-ti bingung,
akan tetapi segera ia mengetahui di dalam hal ini tentu masih
ada persoalan lainnya. "Sudahlah, Hiau-lan, jangan kau berpikir yang tidak-tidak,"
terdengar Si-nio membuka suara dengan tersenyum. "Chit-ko,
biar kita mencari jalan keluar lain. Tempat ini terang tak bisa
kita tinggali lebih lama pula!"
Begitulah, kemudian Lu Si-nio merundingkan tipu-daya lain
bersama Kam Hong-ti. Kembali pada Haptoh dan kawan-kawan, bersama Emopu
mereka membawa Pang Ing kembali ke istana, waktu itu fajar
sudah menyingsing, Kaisar Yong Ceng masih belum kembali
dari sidang paginya (zaman feodal di Tiongkok, tiap hari
antara pukul lima pagi semua pembesar negeri harus
menghadap kaisar pada sidang sambil mengucapkan selamat
pagi). Karenanya Haptoh lantas menyerahkan Pang Ing pada
kaum dayang untuk dirias, sedang ia sendiri menjaganya di
luar kamar. Sedapat mungkin Pang Ing menahan amarah, ia biarkan
dirinya dirias Kionggo atau dayang istana, ia dikasih bedak dan
diberi yanci (gincu), alisnya digambar pula dan disisir
rambutnya, lebih jauh ditukar pula pakaiannya secara istana,
karenanya ia menjadi lebih molek tampaknya.
Pang Ing diam saja, sepatah kata pun tidak buka suara, ia
an-tepi dirinya didandani, hanya pedang pusakanya tetap ia
pertahankan, disimpanny a rapat-rapat di bajunya.
Hari itu rupanya pekerjaan dinas Yong Ceng terlalu banyak,
ia lebih repot daripada biasanya, setelah ia selesaikan semua
pekerjaannya, ia mengundang menghadap pula dua
pembesarnya yang bertugas luar, habis itu ia baru kembali ke
istana, waktu itu hari sudah dekat lohor.
Waktu ia mendapat laporan dari Emopu dan Haptoh bahwa
Lin-kuijin sudah berhasil diajak pulang ke istana, tentu saja
Yong Ceng sangat girang, seketika ia panggil menghadap di
istana Yi-kun-kiong. Maka tidak antara lama, datanglah Pang Ing diiringi empat
dayang. Nampak gadis ini, Yong Ceng tertawa terkekeh.
"Haha, setahun tidak berjumpa, kau ternyata semakin
molek!" demikian ia menegur.
Sebenarnya gemas sekali hati Pang Ing, tapi sedapat
mungkin ia menahan amarahnya.
"Eh, si cantik kenapa kau diam saja?" dengan tertawa Yong
Ceng menyapa lagi. Lalu ia berpaling kepada dayang di
sampingnya dan berkata, "Coba gulung lengan bajunya, akan
kuperiksa dia punya Siu-kiong-seh masih ada tidak?"
Segera kedua dayang tadi maju hendak melakukan tugas
mereka, akan tetapi baru saja mereka hendak mencekal
tangan Pang Ing, mendadak si nona kipatkan tangannya,
keruan terdengar jeritan kedua Kionggo itu, orangnya
terpental sejauh setombak lebih.
"Apa yang hendak kau lakukan?" Pang Ing membentak
dengan gusar. "Sabarlah jantung hatiku, kalau sudah diperiksa, segera aku
akan angkat kau menjadi Kui-hui!" sahut Yong Ceng dengan
me-nyengir. "Hm, jangan kau harap aku akan menurut sebelum kau
memberikan obat padaku!" kata Pang Ing.
"O, ya, mana kau punya Teng-sioksiok itu" Kenapa dia
tidak datang buat memohon sendiri padaku?" ujar Yong Ceng.
"Hm, dia adalah seorang jantan sejati, tidak nanti ia sudi
memohon belas kasihanmu!" sahut Pang Ing mengejek.
"Katakan saja, kau mau memberikan obatnya tidak, kalau
tidak, terserah padamu."
"Kalau aku berikan lalu bagaimana?" tanya Yong Ceng.
"Kalau kasih, aku bersedia jadi budakmu di istana ini,"
sahut si nona. Yong Ceng tertawa gembira oleh jawaban ini.
"Mana bisa aku merendahkan kau jadi budak, tentu saja
kau akan jadi orang pertama sesudah Hong-hou (permaisuri),"
katanya kemudian. Habis itu mendadak mukanya berubah lalu
bertanya pula, "Dan bagaimana kalau aku tidak kasih?"
"Hm, kalau tidak kasih, segera aku mengadu jiwa dengan
kau, meski darahku harus bercecaran di lantai istana ini, tidak
nanti aku terima dihina kau!" sahut Pang Ing tegas.
Mendengar jawaban ini, mata Yong Ceng mengerling, lalu
dengan terbahak-bahak ia tertawa lagi.
"Baik, baik, melihat dirimu yang cantik ini, mana bisa obat
tidak kuberikan?" katanya kemudian, habis itu ia lantas
memanggil, "Haptoh!"
Waktu itu Haptoh dan Emopu masih menunggu di luar,
ketika mendengar panggilan, segera mereka menyahut.
"Kau tidak perlu masuk kemari," Yong Ceng berseni
memberi perintah, "lekas kau antar obat pemunah racun
kepada Teng Hiau-lan dan suruh dia lekas keluar kotaraja,
tidak boleh lagi mengganggu padanya."
"Hamba terima perintah!" demikian Haptoh menyahut. Lalu
terdengar suara tindakannya pergi keluar, Haptoh sengaja
membikin keras suara tindakan kakinya supaya didengar dari
dalam. "Nah, sudah beres bukan" Sebagai kaisar tidak nanti aku
berbohong, dan kau sendiri hendaknya juga jangan
berdusta!"' demikian dengan cengar-cengir Yong Ceng berkata
lagi. Berbareng ia ulur tangan hendak menarik Pang Ing ke
dalam pelukannya. Tentu saja Pang Ing menjadi gusar hingga alisnya
menegak, ia ayun lengan bajunya mengebut, maka terdengar
suara "plok" yang keras, lengan bajunya dengan tepat kena di
dada Yong Ceng. Karena hantaman ini, sekalipun ilmu silat
Yong Ceng sangat tinggi, tidak urung ia merasa dadanya sakit
pedas, lekas ia berkelit agar tidak disusul dengan serangan
lain. "Hai, apa kau akan ingkar janji?" ia membentak. "Haptoh
masih belum sampai di luar istana, jika kau hendak ingkar
janji rasanya terlalu cepat, apa perlu aku kirim orang
memanggilnya kembali."
"Justru karena janji itulah, tidak boleh kau permainkan
diriku!" sahut Pang Ing.
"O, jadi kau tidak percaya?" kata Yong Ceng menyengir.
"Ya, aku memang tidak percaya," ujar Pang Ing. "Siapa
tahu obat yang kau kirim itu obat tulen" Aku masih harus
menunggu surat tulisan tangan Teng-sioksiok sendiri yang
menyatakan bahwa ia betul-betul telah sembuh dan sehat
kembali, baru setelah itu aku mau menyerah padamu. Jika
sekarang kau mau menipu aku, hm, jangan kau harap! Apa
kau anggap aku hanya anak kecil saja?"
Yong Ceng jeri kepada ilmu silat si dara yang lihai, maka ia
tak berani sembarangan memakai tangan besi, ia mengerut
kening, segera ia pakai tipu muslihat lagi.
"Jika kau berkeras menghendaki surat tulisan Teng Hiaulan,
baik, aku segera suruh memintanya," katanya kemudian
sambil tertawa. "Kalau begitu, kenapa kau masih berada di sini?" sahut
Pang Ing. "Enyah segera, setelah mendapatkan suratnya baru
bertemu lagi dengan aku."
"Ha, besar sekali lagakmu!" kata Yong Ceng mendongkol.
Akan tetapi muka Pang Ing bersungut, matanya bersinar
tajam membawa semacam wibawa yang tidak bisa dibantah,
membikin Yong Ceng mengkeret.
"Baik, baik, aku turuti kau, tidak nanti kau bisa kabur dari
genggamanku," kata Yong Ceng kemudian sambil berjalan
pergi dengan penasaran.

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meski Pang Ing belum banyak pengalaman, tetapi dalam
hal menghadapi kaisar keji ini ia cukup waspada dan berhatihati.
Segala makanan atau minuman yang diantar untuknya,
selalu ia minta orang lain mencicipi dahulu, setelah itu baru ia
berani makan. Namun Yong Ceng mempunyai perhitungan
sendiri, maka dalam barang makanan sama sekali tidak
ditaruh sesuatu. Sekejap saja tanpa terasa malam hari sudah tiba, di dalam
istana terang-benderang dengan sinar lilin, bau wewangian
memenuhi ruangan, waktu itulah Yong Ceng datang lagi pada
Pang Ing. "Kau sudah kirim obat pada tempatnya belum" Dan mana
surat dari Teng-sioksiok?" demikian dengan menarik muka
Pang Ing lantas bertanya.
"Suratnya sudah aku dapatkan," sahut Yong Ceng dengan
tertawa. Mendengar ada surat dari Teng Hiau-lan, hati Pang Ing
menjadi berdebar, ia merasa girang bercampur pedih. "Mana,
coba kulihat!" katanya cepat.
"Mana orangnya, bawa sini surat itu!" segera Yong Ceng
berseru Maka terdengar suara sahutan dari luar, menyusul mana
telah masuk, betul juga di tangannya membawa sepucuk
surat. Hati Pang Ing terguncang demi nampak betul-betul ada
surat yang dibawa. "Sudahlah! Setelah aku membaca suratnya, segera tibalah
saatnya aku menghamburkan darahku!" demikian ia pikir.
Kiranya ia sudah siap berkorban untuk Teng Hiau-lan
dengan membunuh diri, begitu ia selesai membaca surat,
segera ia akan melolos pedang menghabisi jiwa sendiri.
"Serahkan surat itu biar dibaca Lin-kuijin sendiri," demikian
Yong Ceng memberi perintah lagi.
Maka dengan perlahan Emopu lantas mendekati,
menghadapi surat yang bakal dibacanya ini, seluruh tubuh
Pang Ing menjadi gemetar, ia ulur tangan hendak menyambut
surat yang diangsurkan itu.
Di luar dugaan tiba-tiba ia dengar suara bentakan Yong
Ceng yang keras, "Musnahkan ilmu silatnya!"
Berbareng itu, secepat kilat tangan Emopu yang
mengangsurkan surat tiba-tiba membalik, dua jarinya
menjepit, kiranya di dalam sampul surat tersembunyi sebatang
jarum perak, jarum itu menusuk keluar dari dalam hingga
mengeluarkan sinar mengkilap dan menusuk tubuh Pang Ing
dengan cepat. Perubahan yang terlalu mendadak ini sama sekali tidak
diduga dan di luar penjagaan Pang Ing, akan tetapi gadis ini
tidak tinggal diam, berbareng kedua telapak tangannya
memukul dengan cepat, susul-menyusul dua gab lokan tepat
mengenai Emopu, akan tetapi ia sendiri pun kena ditusuk
beberapa kali oleh jarum orang.
Kiranya kejadian yang mendadak ini memang jebakan yang
direncanakan oleh Kaisar Yong Ceng.
Emopu sendiri memiliki semacam ilmu kepandaian yang
khas, yakni bisa menusuk jalan darah orang meski teraling
oleh pakaian, ia bisa membikin buyar semua tenaga dalam di
tubuh orang, dengan demikian betapa bagus ilmu silat orang
itu seketika akan termusnah atau sedikitnya harus berlatih lagi
tiga sampai lima tahun baru bisa pulih kembali. Akan tetapi
ilmu kepandaian ini sukar digunakan pada waktu bertanding
dengan musuh, hanya bisa dipakai untuk membokong saja
atau dipakai sebagai alat penyiksa bagi tawanan.
Yong Ceng sendiri mengetahui juga bahwa Pang Ing (yang
dianggapnya Pang Lin) tidak nanti sudi menuruti kemauannya,
oleh sebab itu ia sengaja menggunakan tipu keji ini.
Begitulah, ketika mendadak Emopu menyerang, meski
membawa hasil dengan jarumnya mengenai tubuh orang,
namun ia sendiri harus merasakan juga dua kali pukulan Pang
Ing. Thian-san-ciang-hoat dengan sendirinya luar biasa
lihainya, ditambah jaraknya terlalu dekat, kedua pukulan Pang
Ing semuanya mengenai tempat yang berbahaya, karenanya
meski ilmu silat Emopu sangat tinggi dan kuat, tidak urung ia
merasa dadanya kesakitan, lekas ia kumpulkan tenaga dalam
buat melindungi diri sendiri supaya tidak tumpah darah.
"Bagus, sekarang kau boleh ambil cuti tiga hari, kau boleh
pergi merawat dirimu!" terdengar Yong Ceng berkata.
Di lain pihak setelah Pang Ing kena ditusuk beberapa kali
oleh jarum orang, ia merasa seperti kena digigit semut dan
tidak merasa terlalu sakit.
"Haha, budak Lin, selanjutnya kau boleh hidup senang
bahagia di dalam istana, tidak perlu lagi kau main silat,"
dengan bergelak tertawa Yong Ceng buka suara lagi. "Marilah
sini, kita berdekatan sedikit!"
Akan tetapi ajakan ini membikin Pang Ing semakin sengit.
"Hm, ilmu silatmu kini sudah musnah semua, memangnya
kau masih berlagak apa ini?" demikian Yong Ceng menyindir
dengan tertawa. "Marilah sini, coba aku periksa kau punya
Siu-kiong-seh masih ada tidak?"
Habis berkata ia lantas hendak meraba lengan Pang Ing.
Ketika mendengar orang berkata bahwa ilmu silatnya telah
musnah seluruhnya, sesaat Pang Ing terperanjat juga.
"Apakah dengan tusukan jarum beberapa kali tadi lantas ilmu
silatku bisa lenyap semuanya?" demikian ia bertanya dalam
hati. Akan tetapi watak gadis yang keras ini, sekali ia sudah
ambil keputusan nekat, maka sewaktu tangan Yong Ceng
menghampiri tubuhnya, mendadak ia angkat tangannya terus
menampar balik. Kejadian secepat kilat dan di luar dugaan Yong Ceng,
keruan segera terdengar kaisar ini menjerit sekali, ia tak
sempat berkelit, ia merasakan tamparan anak dara ini sangat
kuat, karena tempelengan ini, seketika dua giginya copot,
sebelah pipinya pun segera merah bengkak.
Sungguh tidak kepalang kaget Yong Ceng, mana ada
tanda-tanda gadis ini kehilangan ilmu silatnya"
Dalam pada itu, secepat kilat pula Pang Ing sudah melolos
pedang pendeknya dan menusuk. Lekas Yong Ceng kebut
lengan bajunya buat menahan, maka terdengar suara
membrebetnya kain, lengan bajunya terkupas sebagian, lekas
Yong Ceng mencabut pedang juga buat menangkis, dengan
menerbitkan suara nyaring karena beradunya kedua senjata,
mereka tergetar mundur beberapa tindak, kedua pedang
tergumpil pula. Dalam kagetnya, Yong Ceng menjadi gusar juga, ilmu silat
Pang Ing ternyata sedikitpun tidak berkurang lemahnya.
"Kurangajar si Emopu ini, cara bagaimanakah kau bekerja?"
demikian diam-diam Yong- Ceng mencaci-maki Emopu yang
tak becus melakukan tugasnya.
Sementara itu Pang Ing semakin kencang memutar
senjatanya dengan Thian-san-kiam-hoat yang hebat, dalam
keadaan gugup Yong Ceng menjadi kelabakan oleh rangsekan
anak dara ini. "Mana orangnya, lekas datang!" akhirnya ia berteriak minta
tolong pengawalnya. Kiranya bukan Emopu tidak becus dengan ilmu
kepandaiannya tadi, soalnya karena pada tubuh Pang Ing
memakai kaos kutang pemberian Ciong Ban-tong dahulu, kaos
ini adalah pusaka tinggalan Pho Jing-cu yang kebal terhadap
senjata, apalagi hanya jarum perak Emopu tadi. Ditambah
Lwekang Pang Ing, begitu diserang, otomatis daging tubuhnya
lantas mendekuk. sedang waktu Emopu menusuk dengan
jarumnya tadi ia tak berani terlalu menggunakan tenaga
karena kuatir melukai Pang Ing, ia hanya berharap bisa
memusnahkan ilmu silat si gadis sudahlah cukup, oleh sebab
itu tenaga yang menggetar tubuh Pang Ing pun tidak terlalu
keras, boleh dikata sedikitpun tidak sakit.
Begitulah, tatkala Yong Ceng berteriak memanggil
beberapa kali, akhirnya terdengar dua pengawal yang dinas
jaga di luar menyahut dari tempat jauh, karenanya barulah
Yong Ceng ingat bahwa Emopu sudah kembali ke pondoknya
buat merawat diri, sedang Haptoh lagi bertugas keluar dan
belum kembali, sudah tentu pengawal yang dinas jaga di luar
sekali-kali bukan tandingan "Pang Lin", keruan ia jadi semakin
gugup. Jika Yong Ceng gugup, maka Pang Ing sendiri pun rada
kuatir. Setelah ia mencecar orang belasan kali serangan dan
masih belum membawa hasil, dalam hati ia berpikir, "Jika
Teng-sioksiok masih belum memperoleh obatnya, percuma
saja aku mati di sini tanpa arti, aku harus menjumpainya
sekali lagi sebelum ajalnya."
Karena pikiran ini, segera ia mencari kesempatan buat
angkat kaki, sementara itu ia dengar suara tindakan di luar
sudah semakin mendekat, tanpa ayal lagi, mendadak ia serang
dengan tipu 'King-lui-siam-tian' atau petir menyambar kilat
berkelebat, ia paksa Yong Ceng melompat mundur, segera ia
melayang keluar melalui jendela.
Sementara itu kedua pengawal baru saja sampai, tapi
mereka segera dipapaki Pang Ing, hanya sekali-dua gebrakan
saja seorang di antara kedua pengawal itu sudah dia lukai,
habis itu ia terus lari keluar secepat terbang.
"Lekas bunyikan tanda bahaya, tangkap kembali budak Lin
itu!" demikian Yong Ceng berteriak dari dalam.
Dalam pada itu Pang Ing sudah berlari sampai di taman
raja, ia dengar di empat penjuru ramai dengan suara suitan,
bayangan orang pun merubung datang, ia tak paham jalanan
di dalam istana, terpaksa ia pilih jalan yang paling sepi dan
rindang. Selang tak lama mendadak pandangannya jadi terbeliak,
tiba-tiba tertampak sebuah kolam teratai, di samping sana
dilingkungi pagar tembok setinggi beberapa tombak, di pagar
tembok itu terdapat sebuah pintu besi dan di atas pintu ada
sebuah jendela kecil, terlihat seorang Thaykam sedang
menjejalkan makanan melalui jendela kecil itu sambil
membentak. "Akina, ayo, lekas isi perutmu, bapakmu ini tidak sabar lagi
menunggu lama!" terdengar Thaykam itu berteriak.
Pang Ing menjadi heran melihat kejadian ini, pikirnya,
"Orang yang dikerangkeng di dalam itu tentu adalah tawanan.
Apakah artinya 'Akina'" Apa nama orang tawanan di
dalamnya?" Dalam pada itu ia dengar suara tindakan orang di
belakangnya makin lama semakin dekat, agaknya pengawal
yang mencari dan menguber dirinya sudah menyusul tiba.
Dalam keadaan kepepet, "tiba-tiba timbul suatu pikiran pada
Pang Ing, cepat ia melompat keluar dari tempat
persembunyiannya, begitu mengayun pedang, seketika
Thaykam tadi ditusuk hingga tembus, segera pula ia lempar
mayat Thaykam itu ke dalam kolam teratai, menyusul ia rusak
pula rantai dan gembok pintu besi itu, ia dorong pintunya
terus masuk ke dalam. "Kemari sini! Kau adalah Kiongli dari istana yang mana?"
mendadak Pang Ing disambut dengan suara bentakan orang
yang bengis di dalam penjara yang gelap-gulita itu.
Tawanan itu sudah lama disekap dalam penjara yang gelap,
dengan sendirinya matanya sudah biasa memandang di
tempat gelap, apalagi ia memandang dari dalam, maka ia lihat
jelas wajah Pang Ing, sebaliknya anak dara ini tak bisa melihat
jelas siapa orang yang berada di dalam. Tetapi ia pikir orang
yang ditawan oleh kaisar dan dikurung di penjara berpagar
tembok yang tinggi ini tentunya bukan orang jahat.
Karena itu dengan suara keras ia lantas menjawab, "Kau
jangan kuatir, segera aku menolong kau!"
Namun baru selesai ia berkata, dalam kegelapan itu
mendadak ia dengar suara tetawa orang yang aneh,
berbareng itu ia merasakan sambaran angin, segera terasa
pula pundaknya kesakitan, ternyata pundaknya telah kena
dicengkeram orang itu. Akan tetapi Pang Ing tidak gampang ditangkap, sejak kecil
dia sudah berlatih Lwekang, begitu kebentur musuh otomatis
ia melakukan perlawanan, oleh karenanya, segera ia tarik
pundak dan mengkeret ke bawah, menyusul ia mundur
beberapa tindak. "He, kau bukan Kiongli?" kata orang itu kaget karena
gerakan Pang Ing yang luar biasa.
Berbareng itu terdengar suara gemerincingnya rantai besi
yang saling bentur, kiranya orang itu terbelenggu di pojok
kamar sana dan tidak bisa bergerak dengan leluasa.
Pang Ing menjadi heran mengapa tawanan ini bisa begini
ganas dan bengis. "Tadi kau bilang hendak menolong ak'u, kenapa sekarang
kau tidak mendekat ke sini," terdengar orang itu membentak
lagi. Namun Pang Ing tidak lantas mendekat, ia geraki
pedangnya lebih dulu, dengan sinar pedang yang mengkilap
terang, ia coba menegasi rupa orang, maka tertampak
olehnya orang itu berambut kusut tak teratur, kedua matanya
melotot seperti mata ikan mas, kalau bukan Pang Ing sudah
beberapa tahun mengembara di Kangouw, mungkin ia bisa
mati kaget melihat rupa orang yang luar biasa ini.
"Eh, pedang yang kau pegang itu pedang mestika bukan?"
demikian orang itu berteriak lagi. "Nah, lekas, lekas putuskan
belenggu dan rantai di tubuhku ini!"
Tetapi Pang Ing agak ragu-ragu, sedang di luar penjara
terdengar pula suara tindakan kaki orang.
"Kau mau mendekat ke sini tidak" Kalau tidak segera aku
binasakan kau!" orang itu menjadi gusar karena sikap Pang
Ing yang sangsi. "Jangan kau kira aku tak bisa bergerak, hm,
lihat ini Berbareng itu tertampak kedua jarinya mengorek keluar
dua batu remukan, ketika kedua jarinya menyentil, maka
terdengarlah suara gemerincing nyaring, dua butir batu itu
ternyata mengenai pintu besi hingga mencipratkan lelatu api.
"Hm, coba kau berani lari" Bila berani lari segera aku
lubangi punggungmu seperti contoh tadi!" demikian orang
aneh itu mengancam dengan tertawa seram.
Sudah tentu kelakuan orang ini membikin Pang Ing
dongkol. "Aku menolong kau bukan aku takut padamu, tapi
mengingat kau adalah orang yang dikurung oleh kaisar anjing
itu, makanya aku mau menolong kau, tahu?" sahut Pang Ing


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan suara lantang. Karena jawaban yang ketus ini, kembali orang itu bersuara
heran lagi. "Baik, baik, kalau begitu lekaslah tolong aku!" demikian ia
berkata dengan lagu suara yang lunak.
Segera Pang Ing melompat maju, ia ayun pedangnya
beberapa kali, sekejap saja semua rantai besi yang
membelenggu kaki tangan orang itu telah ditabas putus
semua. "Sungguh pedang yang bagus," terdengar orang itu
memuji. Sementara itu suara tindakan kaki orang yang riuh kini
sudah sampai di depan penjara.
"Eh, apa kau tahu Emopu ada di dalam istana tidak?" tibatiba
orang itu bertanya pada Pang Ing.
"Ada di sana!" sahut si nona.
"Melihat macammu, agaknya ilmu silatmu tidak lemah,"
kata orang itu pula. "Coba kau ingat dengan baik, tempat
kelemahan yang menjadi titik kematian Emopu adalah bagian
'Him-ho-li-cui-hiat', kau boleh gunakan pedangmu buat
menusuk dia!" Pang Ing tidak paham tempat yang disebut itu, selagi ia
hendak bertanya dimana letak 'Him-ho-li-cui-hiat', namun
waktu itu sudah terdengar suara ribut-ribut di luar sana.
"He, siapa yang membuka pintu penjara?" demikian
terdengar suara teriakan kaget di luar, menyusul ada orang
berseru cepat lagi, "He, lihat itu, ada mayat yang terapung di
kolam teratai! Eh, ha ... bukankah itu mayat si Thaykam yang
biasa mengantar makanan ke sini?"
Jika di luai orang lagi ribut-ribut karena peristiwa luar biasa
yang mereka pergoki, adalah orang yang dibebaskan Pang Ing
di dalam penjara itu ternyata sama sekali tidak ambil peduli, ia
sedang mengulur dan menekuk kaki tangannya buat
melemaskan otot yang terbelenggu.
Pang Ing mendengar juga dari buku tulang orang yang
diulur dan ditekuk itu bersuara kertakan, ia mengerti Lwekang
orang sudah terlatih sampai puncak kesempurnaan, dalam
keadaan demikian, meski dalam hati ia masih benci pada
lagaknya tadi, namun mengingat senasib, ia bergirang juga
bisa mendapat bantuan seorang ko-sen dan lebih banyak
harapan akan bisa meloloskan diri.
Kemudian saat ia hendak berkata, tiba-tiba ia didahului
orang itu. "Lekas kau buka jalan di depan dengan pedangmu, kau
mau menurut atau tidak?" kata orang itu dengan suara
tertahan sambil mendorong.
Keruan Pang Ing menjadi gusar, segera ia ingin
mendamprat, tetapi sebelum ia buka suara, tiba-tiba terdengar
ada seruan di luar. "Pat-pwelek, Pat-pwelek! He, kenapa tidak ada di sini, apa
sudah kabur?" demikian seruan itu. Menyusul ada orang
berteriak lebih keras lagi, "Pat-pwelek, Pat-pwelek!"
Mendengar kata-kata panggilan ini, seketika Pang Ing
terperanjat, namun ia bisa bertindak cepat, begitu ia
menggeraki badan, ia menyingkir menyembunyikan diri ke
sudut lain. "Sekarang kau sudah mengetahui kedudukan diriku,"
terdengar orang tadi berkata dengan suara tertahan, "baiknya
kau bantu aku menyelamatkan diri saja, kelak kalau aku bisa
naik takhta, tentu aku akan angkat kau menjadi permaisuri!"
Kiranya orang ini adalah adik Kaisar Yong Ceng, yakni putra
kedelapan dari Kaisar Khong-hi yang bernama In Gi.
Di antara para pangeran yang saling berebut kekuasaan
dan berebut hak sebagai putra mahkota itu, Pat-hongcu atau
pangeran kedelapan In Gi termasuk salah seorang pangeran
yang paling aktip. Meski tidak seperti Capsi-hongcu In Te yang
memegang kekuasaan militer yang besar, tapi sejak kecil ia
sudah belajar ilmu silat pada Lamma Merah dari Tibet,
ditambah pula ia punya tenaga raksasa pembawaan, oleh
karenanya Yong Ceng pun rada jeri padanya.
Setelah Yong Ceng naik takhta setahun, sesudah
fondamennya terpupuk kuat, kemudian ia baru berani turun
tangan terhadap saudaranya yang terhitung lawan berat ini.
Sebenarnya In Gi terhitung seperguruan dengan kaum
Lamma agama Merah, ketika ia masih menjadi pangeran,
Emopu sendiri adalah salah seorang kepercayaannya.
Kemudian setelah Yong Ceng berhasil merebut takhta, secara
diam-diam ia menyeret Emopu ke pihaknya, dan dengan
menggunakan tenaga Emopu pula, secara tiba-tiba dan di luar
penjagaan baru bisa menawan In Gi.
Waktu itu Yong Ceng belum berhasil mencukur bersih
semua begundal para pangeran, kalau In Gi dibunuh, ia kuatir
akan menimbulkan huru-hara, maka ia hanya memecat
saudaranya ini dari gelar pangeran dan dikurung di dalam
penjara yang dipagari tembok tinggi, ia beri nama pula kepada
saudaranya ini sebagai 'Akina', artinya 'anjing' dalam bahasa
Boan, tiap hari ia memberi makan padanya dengan cara
seperti anjing pula, dengan cara demikian In Gi telah dihina
dan disiksa habis-habisan.
Kembali tadi, karena In Gi mengancam dan memancing
dengan kedudukannya buat memaksa Pang Ing agar mau
menolong dia, tak tahunya anak dara ini berbalik menjadi
gusar sekali. "Hm, kalian seperti anjing yang berebut miang, sangkutpaut
apa dengan aku, kau boleh pergi menurut arahmu dan
aku pergi menurut jurusanku sendiri!" demikian ia menjengek.
"Hm, kaisar yang sekarang saja tidak kupandang sebelah
mata, siapa yang ingin menjadi permaisurimu?"
"Kurangajar, sungguh budak hina yang tak kenal
kebaikan?" In Gi mencaci-maki.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara tindakan orang di
luar makin lama makin banyak, agaknya orang-orang di luar
itu jeri terhadap ketangkasan In Gi, maka tak berani
sembarang menerobos masuk, karena itu yang datang
bertambah banyak dan menunggu di luar.
"Baiklah, biar kita terjang keluar bersama, kita bahumembahu
saling banta, sesudah lolos, kita boleh pergi
menurut arah sendiri!" tiba-tiba In Gi berkata pula.
"Kalau begini masih pantas!" sahut Pang Ing mendongkol.
Saat itu juga, mendadak tertampak berkelebatnya sinar api,
agaknya ada orang mulai memasuki penjara itu.
Seketika mata In Gi menyorotkan sinar bengis, mendadak
ia menubruk pada Pang Ing sambil membentak, "Pinjamkan
pedangmu padaku!" Akan tetagi mana bisa Pang Ing dipegang begitu saja,
Ginkang nona ini sangat tinggi, dan ia sudah berjaga-jaga,
ketika orang menubruk datang, dengan cepat ia melompat
mundur ke belakang, tapi kembali In Gi menubruk secepat
angin. Sekali ini Pang Ing hanya menggeser dengan enteng,
berbareng ia gunakan gaya 'meminjam tenaga lawan untuk
memukul kembali lawan', mendadak ia gunakan tenaga
tubrukan In Gi terus melemparkannya pergi hingga keluar
pintu penjara. Perubahan gerakan Pang Ing ini sama sekali tidak diduga
In Gi, meski ln Gi berilmu silat tinggi, namun ia tidak
menyangka bahwa dengan usia semuda Pang Ing ternyata
bisa menggunakan kepandaian yang luar biasa ini, keruan
seketika ia terlempar pergi dengan kepala di bawah dan kaki
di atas, lalu terkapar di lantai.
"Hm, aku berniat menolong kau, tapi kau berbalik hanya
mementingkan diri sendiri," demikian diam-diam Pang Ing
menggerutu dalam hati. Segera pula ia melolos pedang, bersiap menghadapi musuh
dengan bersembunyi di pojok kamar penjara itu.
Sementara itu terdengar suara riuh ramai di luar, kiranya In
Gi mempunyai kepandaian Kim-kong-jiu-hoat, semacam ilmu
pukulan tenaga raksasa dan ilmu Tiat-poh-san, semacam ilmu
kebal, waktu dia jatuh terjungkal, para jago pengawal
berbondong maju hendak membekuknya, di luar dugaan In Gi
mendadak membalik tubuh dan melompat bangun, sekali ia
mencengkeram, segera dua lawan kena dicekal terus
dilemparkan ke dalam kolam.
Sudah tentu keadaan menjadi panik dan kacau-balau.
"Akina, berani sekali kau!" terdengar suara Haptoh
membentak. "Budi luhur Hongsiang mengampuni jiwamu, tapi
kau malah hendak melarikan diri?"
"Kau sendirilah Akina, ini rasakan pukulanku!" In Gi balas
memaki sambil menghantam.
Maka terdengarlah oleh Pang Ing suara gedebukan yang
ramai di luar disusul suara tindakan kaki yang kejar-mengejar,
rupanya In Gi berhasil membobol kepungan dan Haptoh
sedang mengudak bersama begundalnya.
Selang tidak lama suara orang perlahan-lahan menjauh,
Pang Ing baru merasa lega. "Kalau mereka saling bunuhmembunuh,
inilah kesempatanku yang baik untuk meloloskan
diri," demikian pikirnya.
Karena itu ia lantas berjalan keluar perlahan, ia melongok
keluar memeriksa keadaan.
Tetapi pada saat itu juga, sekonyong-konyong ada
bayangan orang berkelebat, tahu-tahu seorang menerobos
masuk pula ke dalam penjara itu, tanpa pikir lagi pedang Pang
Ing lantas menikam, serangan Pang Ing ini cepat lagi ganas,
tak terduga tikamannya ini mengenai tempat kosong, bahkan
menerbitkan suara "erat" yang keras, kiranya ujung
senjatanya telah menancap ke dalam dinding batu dan tak
sempat dicabut kembali dengan segera.
Keruan tidak kepalang terkejut Pang Ing, bila musuh balas
menyerang, pasti dia akan celaka.
Tak terduga orang itu tidak balas serangannya, sebaliknya
terdengar orang itu berkata dengan suara rendah, "Nona Ing,
jangan kau kuatir, mari lekas ikut aku keluar dari sini!"
Sementara itu Pang Ing telah bisa mencabut pedangnya
dari dinding, waktu ia tegasi, ia lihat pihak lain adalah seorang
tua yang rambutnya sudah putih seluruhnya, tangan
membawa tongkat, kelihatan sekali usianya sudah tua, tapi
tubuhnya mengenakan pakaian seragam bayangkara istana.
Oleh karena itu Pang Ing merasa belum aman, ia siapkan
pedang di tangan untuk menjaga segala kemungkinan.
"Sayang usiamu begini lanjut, apa kau masih ingin menjual
jiwa untuk kaisar anjing itu?" segera ia membentak.
Pang Ing menyangka pengawal tua ini hendak menggusur
dirinya menghadap kaisar Yong Ceng. Di luar dugaan, orang
tua itu ternyata hanya tersenyum saja.
"Betul hebat, umurmu sekecil ini, tetapi kau sudah sangat
hati-hati sekali," demikian ia memuji. "Tetapi siapakah yang
bilang aku hendak menjual nyawa untuk kaisar anjing itu?"
Mendengar orang pun mencaci-maki kaisar anjing, tentu
saja Pang Ing heran dan bingung.
"Siapakah kau?" tanyanya kemudian.
"Aku ditugaskan oleh Kam-tayhiap untuk membawa kau
keluar dari sini," sahut orang tua itu.
Akan tetapi Pang Ing masih belum mau percaya, ia masih
siap siaga. Melihat sikap si gadis yang sangat waspada ini, kembali
orang tua itu tertawa. "Pernahkah kau mendengar nama Kau
Sam-pian" Nah, dia itulah aku sendiri!" akhirnya orang tua ini
menerangkan. Sebagaimana diketahui, Kau Sam-pian adalah jago
pengawal istana yang dahulu pernah menolong Teng Hiau-lan,
belakangan ia kabur keluar istana dan mengasingkan diri
bersama Ling-sian Hwe-sio, bekas kekasih ibu Hiau-lan. Cerita
ini sudah lama Pang Ing dengar dari Teng Hiau-lan, karenanya
ia menjadi girang bercampur terkejut demi mengetahui siapa
yang di hadapinya ini. "Ah. kiranya kaulah Kau-lopepek!" katanya kemudian
dengan girang. Habis itu ia lantas memasukkan kembali pedang ke
sarungnya, ia melangkah maju buat memberi hormat.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong orang tua itu
mengayun sebelah tangannya ke mukanya dan mengusap
perlahan, seketika terasa dingin-dingin basah bercampur
semacam bau busuk, sedang mata hampir tak bisa dipentang.
Pukulan orang ini ternyata ringan dan enteng saja,
sedikitpun Pang Ing tidak merasakan sakit pada mukanya,
gadis ini hanya terkaget saja.
"Nona Pang, jangan kau marah, kalau mukamu tidak
dipoles sedikit lumpur, cara bagaimana kau bisa keluar dari
taman ini," sebelum Pang Ing mencabut lagi pedangnya, ia
dengar orang tua ini sudah buka suara. "Harap kau tahan
sedikit, lumpur dari kolam itu memang sedikit berbau busuk!"
Pang Ing pikir ilmu silat orang tua ini sangat tinggi, kalau
benar-benar hantamannya ditujukan pada dirinya, maka dapat
dipastikan kepalanya sejak tadi sudah remuk. Karenanya ia
mau percaya bahwa orang tidak bermaksud jahat padanya.
Sementara itu sesudah orang tua itu membersihkan lumpur
yang melekat di tangannya, lalu ia lemparkan lagi kepada
Pang Ing satu buntalan kecil.
"Ini, lekas tukar pakaianmu!" katanya pula. Habis itu ia
lantas membaliki tubuh ke jurusan lain.
Waktu Pang Ing membuka buntalan itu, kiranya isinya
adalah sepasang pakaian Thaykam, pakaian dayang istana.
"Sungguh lengkap cara kau berpikir," dengan tertawa si
nona memuji atas ketelitian penolongnya ini. Sembari berganti
pakaian ia pun mengajak bicara pada orang.
Maka tahulah akhirnya Pang Ing bahwa sesudah dirinya
masuk istana, Kam Hong-ti dan Lu Si-nio menjadi kuatir dan
kelabak-an, setelah berdaya, akhirnya anereka teringat pada
diri Kau Sam-pian yang mengasingkan diri di Se-san
(pegunungan barat di pinggir kotaraja) bersama Ling-sian,
baik Kau Sam-pian maupun Ling-sian Hwesio cukup banyak
mempunyai hubungan dengan orang dalam istana, mungkin
kedua orang ini bisa berdaya. Selain itu, tempat tinggal
mereka pun sudah diketahui musuh, karenanya Kam Hong-ti
dan kawan-kawannya malam itu juga lantas boyongan ke Sesan,
di sana mereka bertemu dengan Kau Sam-pian dan Lingsian
untuk mencari jalan buat menolong Pang Ing.
Meski usia Kau Sam-pian sudah lanjut, tapi semangatnya


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih menyala dan sangat simpatik, padahal ia sudah kabur
dari istana, kalau sampai ia tertangkap, terang tidak bakal ada
ampun lagi jiwanya. Namun ia tidak pikirkan diri sendiri,
dengan mengandalkan keadaan istana yang sudah dipahami,
pula masih ada beberapa jagoan pengawal tua di dalam istana
yang menjadi kawan karibnya, begitu diminta oleh Kam Hongti,
tanpa pikir segera ia menyelundup masuk istana pada '-ari
kedua. Akan tetapi jago pengawal angkatan tua yang masih ada di
situ tinggal tidak seberapa, pengaruh mereka pun kecil,
hakikatnya tidak berguna sama sekali, maka sukar untuk
mendekati kaisar buat mencari kabar Pang Ing, kalau tidak
kebetulan terjadi peristiwa In Gi membikin ribut penjara, maka
sekali-kali jangan harap Kau Sam-pian bisa menemukan Pang
Ing. Kembali tadi, setelah Pang Ing selesai bertukar pakaian dan
selagi hendak keluar ikut Kau Sam-pian, tiba-tiba terdengar di
luar penjara ada suara orang, dengan cepat Pang Ing
menghunus pedang dan hendak menerjang keluar, akan tetapi
ia keburu dicegah oleh Kau Sam-pian.
"Ha, Kau-loji, sungguh besar sekali nyalimu!" tiba-tiba
terdengar suara teguran di luar.
Mendengar kata-kata orang, Pang Ing terkejut hingga
keringat dingin membasahi tubuhnya, tetapi tampak Kau Sampian
menyambut kata-kata orang tadi dengan gelak tertawa.
"Haha, masuklah, Lui-loji, bagaimana keadaan di luar sana?"
Sejenak kemudian, masuklah dari luar seorang bayangkara
tua dengan membawa obor. waktu melihat Pang Ing, ia
kelihatan kaget dan heran.
"Aku harus melindungi saudara cilik ini keluar dari sini, apa
kau punya akal?" segera Kau Sam-pian minta pendapat orang.
Kiranya pengawal tua she Lui ini bukan lain adalah sobat
lama yang menerima kunjungan Kau Sam-pian secara rahasia.
"Apakah kau masuk istana dengan menghadapi bahaya
hanya karena dia saja?" orang she Lui itu bertanya.
Agaknya ia heran kenapa Kau Sam-pian mau menghadapi
bahaya hanya untuk satu Thaykam cilik, lalu ia mendekati
Pang Ing terus hendak menarik tangan gadis ini, namun
dengan sekali geser Pang Ing hindarkan cekalan orang. Tetapi
pengawal tua ini ternyata sangat jeli matanya, hanya sekilas
saja ia sudah bisa melihat lumpur di muka orang yang masih
basah itu. "Ha, kiranya adalah seorang nona," dengan tertawa ia
berkata. "Ya, meski di luar sudah gelap, namun mukamu
masih perlu dipoles sedikit rata lagi supaya tidak kelihatan. Eh,
Kau tua siapakah dia'?"
"Dia adalah Kui-hui yang baru diangkat Hongsiang
sekarang ini!" sahut Kau Sam-pian.
Pengawal tua itu bersuara kaget hingga mulutnya
ternganga. "Kau ... kau ... membikin onar saja," katanya tak lancar.
"Tetapi apa kau pun tahu bahwa bukan saja dia ini adalah
Kui-hui yang bara diangkat Hongsiang, bahkan ia adalah satusatunya
ahli-waris Thian-san-pay, anak murid Ie-locianpwe!"
Kau Sam-pian menjelaskan lebih jauh.
Karena tambahan keterangan ini, semula pengawal tua ini
tercengang, tapi segera berubah menjadi girang.
"Ah, pantas kau mau banting-tulang, kiranya kau hendak
menolong anak murid Thian-san," ujarnya kemudian seperti
mengerti persoalannya. "Ya, Thian-san-kiam-hoat selama ini
menjadi pujaanku, kini ada kesempatan, bagaimanapun juga
aku harus keluarkan sedikit tenaga untuk Ie-lihiap dari Thiansan!"
Hendaklah diketahui bahwa keagungan tingkatan le Lan-cu
di kalangan Bu-lim boleh dikata sudah tiada bandingannya,
betapa hebat dia punya Thian-san-kiam-hoat, seluruh jagat
pun cukup mengetahui, orang Bu-lim menjunjung tinggi dan
menghormatinya sebagai dewi pedang, bila ada kesempatan
mengeluarkan tenaga buat orang tua ini dianggap sebagai
suatu kehormatan bagi yang melakukan.
"Lui-loji, apa kau pun hendak angkat kaki dari sini?"
begitulah Kau Sam-pian bertanya setelah mendengar ucapan
orang tadi. "Kenapa tidak, apa artinya hanya makan tidur di dalam
istana menanti kematian, kan lebih baik angkat kaki saja ikut
kau?" sahut pengawal tua itu tanpa ragu-ragu.
"Dan bagaimanakah kesudahan [n Gi tadi?" Kau Sam-pian
bertanya. "Ia masih menempur Haptoh dan lain-lain dengan sengit di
luar sana," sahut pengawal tua itu, "di luar Se-hoa-bun paling
jarang penjaganya, kalau mau melarikan diri sekaranglah
waktunya yang baik. Eh, kenapa begini tajam hidungmu,
darimana kau tahu dia bersembunyi di dalam penjara ini?"
"Kau tentu tahu ilmu silat yang dilatih In Gi itu dari agama
merah kaum Lamma," sahut Kau Sam-pian, "sedang mayat
yang terapung di kolam teratai itu terdapat bekas jari di
lehernya, sebaliknya miang leher sedikitpun tidak remuk,
terang sekali bukan In Gi yang membunuhnya, lalu siapa lagi
kalau bukan dia (maksudnya Pang Ing)?"
Memang Pang Ing sendiri lagi heran, setelah mendengar
penjelasan ini, rasa curiganya seketika lenyap. Maka dengan
tidak sangsi lagi ia lantas ikut Kau Sam-pian kabur dari
penjara rahasia itu. Istana berderet dan sangat luas, waktu itu semua penjaga
tertarik oleh peristiwa lolosnya In Gi, maka terhadap urusan
Pang Ing berbalik menjadi kendur, dengan memilih jalan sepi
Kau Sam-pian membawa Pang Ing keluar dari Se-hoa-bun
atau pintu gerbang istana sebelah barat, dalam keadaan gelap
ditambah pakaian mereka adalah pakaian seragam pengawal
dan Thaykam, pula ada pengawal tua she Lui yang
mencarikan jalan di depan, akhirnya tanpa rintangan mereka
sampai di Se-hoa-bun, pintu gerbang benteng perbatasan
istana sebelah barat. Pengawal yang dinas menjaga pintu gerbang ini bernama
Lui Hay-im, salah satu pemimpin besar kawanan Hiat-ti-cu.
Dari jauh Lui Hay-im telah dapat melihat Kau Sam-pian bertiga
lagi mendatangi, ia menyangka orang adalah bayangkara
istana, maka segera ia menegur.
"Hm, katanya In Gi sudah tertangkap kembali oleh Haptoh,
di dalam sana sedang ribut tidak kepalang, kenapa kalian tidak
ikut menonton?" "Justru kami diperintahkan pergi menangkap begundal In
Gi, lekas kau bukakan pintu," sahut Kau Sam-pian.
"Adakah surat dinas?" tanya Lui Hay-im.
"Perlihatkan padanya!" sahut Kau Sam-pian pula.
Berbareng mendadak Pang Ing melompat maju, secepat
kilat pedangnya lantas menusuk.
Lui Hay-im adalah orang yang dahulu menguber hendak
menangkap Ciu Jing, dengan sendirinya ilmu silatnya tidak
rendah, ketika Pang Ing mengirim tusukannya, ternyata dapat
dihindarkan. "Lekas tangkap penjahat!" segera Lui Hay-im berteriak
minta bantuan. Namun dengan cepat dan susul-menyusul Pang Ing
menyerang tiga kali pula, sekalipun Lui Hay-im telah
mengeluarkan seluruh kemampuannya, tapi ia hanya sanggup
menghindar dua kali, serangan Pang Ing yang ketiga kali
membikin dia terjungkal. Tipu serangan Pang Ing itu adalah gerakan 'Beng-tohchian-
li' atau onta bagus menempuh ribuan li, satu di antara
tipu serangan Thian-san-kiam-hoat yang hebat, mendadak
ujung pedang memutar di tengah jalan, tiba-tiba menusuk ke
bawah selagi Lui Hay-im melompat ke atas, keruan tungkak
kakinya dengan tepat kena tertusuk ujung senjata, seketika ia
terjungkal roboh. Kau Sam-pian tidak membuang kesempatan itu, dengan
cepat ia lantas membuka gembok pintu gerbang, tetapi
sebelum mereka berhasil kabur, mendadak dari atas tembok
benteng melompat turun dua orang, belum tiba orangnya,
pedangnya sudah menyambar, dua batang senjata seketika
menusuk leher Kau Sam-pian berbareng.
Kedua orang ini ternyata bukan lain daripada Hay-hun
Hwesio dan muridnya, kepala suku Le dari pulau Haylam,
Hwe-hun Tongcu Liong Bok-kong.
Sebenarnya Hay-hun Hwesio adalah jago pedang yang
terkemuka di Haylam, cuma sayang nasibnya jelek, sejak ia
menerima undangan Yong Ceng yang dahulu masih jadi
Pangeran In Ceng, baru ia unjuk diri di Kangouw, beberapa
kali ia mengalami kekalahan dalam pertempuran, sampai
akhirnya pangkatnya terus merosot hingga menjadi Thongling
(pemimpin regu) pasukan pengawal saja. Sudah tentu Hayhun
Hwesio merasa penasaran sekali, sudah lama ia hendak
unjuk ketangkasan untuk memulihkan pamornya.
Serangannya tadi merupakan seluruh tumpahan
kemahirannya yang dia pelajari. maka luar biasa lihainya, ia
menyangka sekaligus pasti akan berhasil membinasakan
musuh. Di luar dugaan, Kau Sam-pian ternyata bukan lawan
empuk, begitu melihat tipu serangan orang yang cukup ganas
dan hebat itu, ia tidak lantas menangkis atau menghindarkan
diri, tetapi ia malah mendahului menyerang musuh, sedikit
mendakkan tubuh, kepalan kanan mendadak menggenjot
perut lawan, berbareng kaki kiri menendang ke selangkangan,
kedua tipu serangan yang lihai ini mengharuskan pihak lawan
menolong diri sendiri lebih dahulu.
Oleh karenanya terpaksa Hay-hun Hwesio harus berkelit
sehingga tusukannya tadi menjadi melenceng lewat di
samping leher Kau Sam-pian, walaupun sedikit saja selisihnya,
tapi telah memberi kesempatan pada Kau Sam-pian untuk
menyelamatkan diri. Pada saat yang sama, serangan Liong Bok-kong datangnya
lebih lambat, karena itu tatkala pedangnya menusuk turun,
hanya mengenai tempat kosong. Dan selagi ia hendak ganti
tipu serangan, dari samping Pang Ing telah menubruk maju
dengan pedangnya yang menari seperti ular naga. di antara
berkelebatnya sinar pedang, sekejap saja ia sudah mengirim
beberapa tipu serangan mematikan, sungguhpun Liong Bokkong
bukan lawan lemah, tetapi mana ia mampu menahan
Thian-san-kiam-hoat yang tiada tandingannya di kolong langit
ini, tak sampai lima gebrakan, tahu-tahu pergelangan
tangannya sudah luka tertusuk hingga pedangnya jatuh ke
tanah. Sementara itu, di samping sana Kau Sam-pian pun sedang
ramai bertarung melawan Hay-hun Hwesio, kepandaian
mereka setan-ding dan tenaga sama kuat.
Tetapi menghadapi pedang Pang Ing yang berkelebat
secepat angin, Hay-hun Hwesio menjadi jeri, ia bisa melihat
gelagat jelek, lanpa pikir lagi segera ia angkat langkah seribu
alias kabur. Karena itu dengan leluasa Kau Sam-pian dan Pang Ing
lantas membuka pintu gerbang benteng, mereka melarikan
diri melalui Keng-san di belakang istana. Ketika kawanan
bayangkara memburu I iba, mereka sudah melintasi Keng-san
dan menghilang tanpa bekas.
Kembali bercerita tentang Kam Hong-ti bersama Teng
Hiaulan dan lain-lain sedang menanti di Se-san dengan tidak
sabar, mereka menjadi kuatir ketika sudah jauh malam kawan
yang ditunggu masih belum kembali. Sampai fajar
menyingsing, akhirnya terlihat Kau Sam-pian kembali bersama
Pang Ing. Waktu mendengar kejadian semalam, tanpa terasa Teng
Hian-lan terkejut hingga mandi keringat dingin.
"Selanjutnya hendaklah kau jangan sembarang bertindak
lagi," ujar Lu Si-nio dengan tersenyum, "apa yang hendak kau
lakukan, paling baik kalau dirunding dahulu antara orang
banyak?" Dengan sendirinya Pang Ing merasa malu. "Ya, aku telah
membikin kalian ikut kuatir," katanya kemudian dengan
menunduk. Lu Si-nio tertawa, ia tarik Pang Ing ke dekatnya dan
membetulkan rambutnya yang kusut, sedang lumpur yang
membikin kotor mukanya, di tengah jalan tadi telah dia kesut
bersih. Pang Ing hanya tinggal sehari semalam saja dalam istana,
dalam waktu sesingkat itu ia bisa terluput dari bahaya, hal ini
sebenarnya sangat beruntung baginya. Akan tetapi karena itu
pula, umur Teng Hiau-lan yang tadinya masih tujuh hari, kini
hanya tingal lima hari saja. Bila hal ini teringat oleh Pang Ing,
ia menjadi kelabakan. "Bagaimana rasamu sekarang?" berulang-ulang ia bertanya
pada Hiau-lan. "Tidak terasa ada sesuatu yang aneh, hanya tenagaku
rasanya semakin lemah," sahut Hiau-lan.
Pang Ing menjadi bingung, matanya berkaca, air mata
hendak menetes. Nampak sikap anak dara ini, Teng Hiau-lan coba tenangkan
diri dan tertawa. "Sudahlah, jangan kau kuatir, kalau bisa mati secara begini,
sebenarnya baik juga," katanya menghibur Pang Ing. "Haha,
coba pikir, di jagat ini ada berapa orang yang bisa mengetahui
ajalnya sendiri sebelumnya" Apalagi kini aku didampingi para
sobat-handai dan berpisah dalam keadaan tenteram."
Teng Hiau-lan sengaja berkata seperti tiada sesuatu yang
dia pikirkan, adalah sebaliknya dalam pendengaran Pang Ing
terasa tidak enak. "Ing-moay," tiba-tiba Lu Si-nio membuka suara, "urusan ini
masih belum putus harapan, marilah kita mengadakan
perjalanan sekali lagi."
Sudah tentu ajakan ini diterima serentak oleh Pang Ing.
"Hayo, berangkat, sekalipun terjun ke lautan api atau ke
dalam air mendidih, sekali-kali tidak nanti aku tolak," serunya
penuh semangat. Nampak sambutan spontan anak dara ini, Lu Si-nio tertawa.
"Tidak usah kau begini tegang, aku hanya mengajak kau
pergi mengundang tabib," katanya kemudian.
Pang Ing tercengang sejenak oleh keterangan ini.
"Mengundang tabib?" ia menegas dengan heran. "Apa kau
maksudkan tabib she Yap" Bukankah kau bilang dia telah
meninggalkan rumahnya dan menghilang ke tempat jauh?"
"Memang betul dia meninggalkan rumahnya, tetapi
menghilang ke tempat jauh itulah belum," sahut Si-nio. "Chitko


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(maksudnya Kam Hong-ti) telah mendapat sedikit
kabarnya. Baiknya kau mengaso dulu, sebentar lagi kita
berangkat." Kiranya tabib yang disebut itu bernama Yap Siau-siang,
alias Boat-wan atau si taman bejat, usianya sekarang sudah
mendekati delapan puluh tahun.
Dia bukan lain adalah Gwe-seng (anak saudara perempuan)
Ciok Cin-hui, seorang pendekar pedang kenamaan di kotaraja
pada masa enam-tujuh puluh tahun yang lalu. Ciok Cin-hui
dan Pho Jing-cu, tokoh Bu-kek-pay angkatan dulu, adalah
sahabat karib (tentang lelakon Ciok Cin-hui dan Pho Jing-cu
baca Thian-san-chit-kiam).
Semasa Yap Siau-siang berumur dua puluhan, waktu itu
Pho Jing-cu masih belum wafat. Yap Siau-siang sangat tertarik
dan suka ilmu ketabiban, ia pernah mendapat petunjuk dari
Pho Jing-cu dalam hal ini, oleh karenanya kemudian ia
menjadi tabib kenamaan yang tiada tandingannya di
zamannya. Waktu mudanya Yap Siau-siang boleh dikata 'Bun-bu-cwancay'
atau berkepandaian komplit dalam ilmu silat dan ilmu
surat, sebenarnya semula ia mempunyai cita-cita mencari
pangkat, tapi kemudian setelah mendapat petunjuk dari Pho
Jing-cu, pula bisa membedakan situasi negara pada waktu itu,
ia terima hidup sederhana dan mengabdi untuk sesamanya, ia
menamakan dirinya sendiri 'Boat-wan' atau taman bejat.
Kemudian sesudah menginjak umur lebih enam puluh, orangorang
pun menyebutnya dengan 'Boat-wan Lojin' atau si kakek
taman bejat tanpa namanya yang asli lagi.
Kira-kira sebulan yang lalu ia dipaksa salah seorang Pwelek
(pangggilan putra bangsawan kerajaan Boan) untuk
mengobati sakitnya, tetapi ia menolak, akibat tindakannya ini
malam itu juga ia lantas meninggalkan kediamannya dan
menghilang, di luaran ia mengeluarkan kabar bahwa dia pergi
ke Kanglam buat menyambangi famili, dengan demikian ia
menghindarkan incaran putra bangsawan itu. Padahal
sebenarnya ia hanya bersembunyi di rumah seorang
sahabatnya di kabupaten Hway-yu-koan.
Hal ini berhasil diselidiki oleh Kam Hong-ti dengan bantuan
seorang pemimpin perkumpulan rahasia di kotaraja, dapat
diketahui pula kawan yang ditumpangi itu adalah seorang
hartawan kecil di Hway-yu-koan, namanya Liok Khong, hidup
Liok Khong ini hanya membuka sekolah saja, banyak
membaca kitab dan pikirannya maju, ia tidak mengejar
kedudukan, namun suka menabuh khim, tiap tahun Boat-wan
Lojin sekali atau dua kali pergi mengunjunginya buat
mendengarkan seni menabuh khim.
"Berapa jauh Hway-yu dari sini?" Pang Ing bertanya
dengan tak sabar. "Kira-kira perjalanan dua hari," sahut Si-nio. "Tetapi dengan
kecepatan kita berjalan, sehari saja sudah bisa sampai, dua
atau tiga hari mungkin kita sudah bisa pulang-pergi, pasti
tidak akan melampaui batas waktu."
Keruan Pang Ing sangat girang, ia merasa lega, maka ia
bisa tidur dengan tenang, setelah bersantap lohor, bersama Lu
Si-nio mereka lantas berangkat.
Menjelang petang mereka sudah sampai di Jiang-peng, dari
sini hanya berjarak antara lima-enam puluh li saja dari Hwayyu.
Kalau menuruti kemauan Pang Ing, malam itu juga mereka
akan melanjutkan perjalanan, Si-nio menjadi geli melihat
ketidak-sabaran anak dara ini.
"Mereka itu tinggal di suatu pedusunan di daerah Hwayyu,"
demikian dengan tertawa Si-nio menerangkan. "Orang
desa biasanya tidur lebih dini, pula kita tidak tahu yang mana
rumahnya, tengah malam buta mencari orang buat bertanya
pun kurang leluasa, apalagi kakek itu sudah berumur dekat
delapan puluh, seandainya dapat menemukan dia, tidak enak
juga minta dia berangkat di tengah malam, betapapun kau tak
sabar toh hanya semalam ini saja. besok sajalah kita
berangkat ke sana!" Setelah Pang Ing pikir, beralasan juga kata-kata Si-nio tadi.
mereka lantas bermalam di Jiang-peng.
Besoknya pagi-pagi sekali, fajar baru menyingsing, Lu Sinio
dan Pang Ing sudah berangkat dengan ilmu entengi tubuh,
sekaligus mereka berlari sejauh lebih tiga puluh li, sementara
itu cuaca terang-benderang, mereka sudah memasuki daerah
kabupaten Hway-yu-koan. Angin bertiup sepoi-sepoi basah, hawa sejuk nyaman, Pang
Ing merasa semangatnya penuh dan perasaannya lapang.
Mereka merasa tidak enak berlari dengan ilmu entengi
tubuh di jalan raya, maka jalanan yang mereka pilih adalah
jalanan kecil melalui bukit-bukit.
"Itu, di ujung tanah datar sana, bukankah ada sebuah
bukit, di kaki bukjt itulah terdapat dusun kecil, dusun itulah
kampung kediaman mereka yang bernama Ui-tiok-jun,"
demikian Si-nio menerangkan sambil menunjuk pada tempat
datar di sebelah bukit sana. "Mungkin kita perlu menempuh
tiga puluhan li lagi, tetapi dengan kecepatan berjalan kita,
setibanya di sana, mungkin mereka masih belum sarapan
pagi." Sebaliknya demi tahu sudah hampir sampai tempatnya,
Pang Ing malah merasa kuatir dan ragu-ragu.
"Bukankah kau bilang tabiat Boat-wan Lojin itu sangat
aneh?" demikian ia bertanya. "Dan bagaimana baiknya kalau
dia tak mau mengobati Teng-sioksiok?"
"Jangan kuatir," sahut Si-nio menghibur, "Dia adalah
sahabat pena Engkongku yang kental. Kalau kita terangkan
asal-usul diri kita, tidak nanti dia menolak permohonan kita."
Tengah mereka bicara, tiba-tiba tertampak di antara gili-gili
sawah di bawah bukit sana, lapat-lapat ada bayangan orang
sedang kejar-mengejar, suasana pagi yang sunyi itu, dari jauh
bisa mendengar dengan jelas suara bentakan orang yang
sedang bertempur. Tentu saja Lu Si-nio sangat heran, ia tidak mengerti
mengapa pagi-pagi ada orang bertempur di tanah
pegunungan ini. Ketika ia mendaki ke tempat yang lebih tinggi
dan memandang, sekonyong-konyong ia kaget dan bingung.
Waktu Pang Ing memandang mengikuti petunjuk Si-nio,
maka terlihatlah olehnya di tempat jauh di bawah bukit, di
antara gerombolan orang yang saling mengudak itu ada
seorang gadis, meski wajah gadis itu tidak jelas kelihatan,
tetapi perawakannya terang sudah dia kenal. Perasaan Pang
Ing seketika terguncang keras.
"Kelihatannya dia sangat mirip dengan kau bukan?" tanya
Si-nio. "Ya, tentu dia adalah adik perempuanku yang hilang itu!"
seru Pang Ing kemudian. "Hayo, marilah kita lekas
menyusulnya!" Akan tetapi jarak di antara sawah dan bukit dimana mereka
berada itu terlalu jauh, rombongan orang yang saling kejar itu,
setelah bertarung kian-kemari, kemudian dengan cepat
tersebar di antara lembah pegunungan dan menghilang.
Pang Ing merasa sayang telah kehilangan kesempatan ini,
ia coba tenangkan dirinya, pikirnya pula, "Kini lebih penting
menolong Teng-sioksiok, tidak boleh membuang waktu lagi
untuk mencari jejak gadis itu."
Karena pikiran ini, ia hanya menghela napas. "Ai, kembali
harus melewatkan kesempatan baik lagi," ia bergumam
sendiri. "Jangan kualir," Lu Si-nio coba menghibur, "Asal kita sudah
mengetahui dia berada di sekitar sini, sesudah kita berhasil
mengundang tabibnya dan setelah Hiau-lan tertolong, kita
lantas mencarinya ke sini lagi."
Begitulah mereka lantas turun dari bukit itu, ketika sampai
di Ui-tiok-jun, waktu itu belum lagi lohor. Dengan gampang
saja rumah orang she Liok itu mereka dapatkan dari petunjuk
seorang penduduk kampung.
Rumah keluarga Liok yang mereka cari itu ternyata berada
di sebelah barat kampung, di depan pintu terdapat sebuah
sungai kecil yang mengalirkan air jernih, di belakang rumah
ada hutan bambu yang luas, pemandangan sekitarnya sangat
indah dan hawa nyaman. Ketika mereka sampai di depan pintu, mereka lihat pintu
gerbang terpentang lebar dan di dalam riuh-ramai dengan
suara orang. Menurut adat sebagai orang muda yang minta bertemu
dengan orang tua, Lu Si-nio mengeruk daun pintu beberapa
kali, akan tetapi sudah ditunggu ternyata tiada seorang pun
yang keluar, sebaliknya terdengar suara orang ribut seperti
sedang bertengkar. "Secara baik-baik kami undang kau, sebenarnya kau mau
pergi atau tidak?" demikian terdengar seman seorang.
"Kalau tidak mau pergi, paksa saja," sambut suara yang
lain. "Mengingat hubunganmu dengan Bu-kek-pay, kalau kau
tidak pergi, apa kau tidak menyesal?" teriak yang lain lagi.
Begitulah suara ribut-ribut itu bercampur-aduk, di
antaranya bercampur pula suara seorang tua, akan tetapi
suaranya tenggelam di antara suara orang lain yang lebih
banyak hingga tidak jelas terdengar.
"Celaka, tentu ada orang hendak memaksa si kakek she
Yap pergi mengobati orang yang dia sendiri tidak sudi
mengobatinya," kata Si-nio.
"Lekas kita masuk dan mengusir kawanan penyatron itu,"
ajak Pang Ing. Sementara itu dari dalam terdengar pula suara teriakan.
"Kalau bukan kau, lalu siapa lagi" Jangan kau coba
mendustai kami, sudah lama kami tahu kau bersembunyi di
sini. Putra bangsawan boleh kau tolak mengobatinya, tetapi
untuk kami sekali-kali kau tidak boleh menolak!"
Lalu terdengar yang lain mengimbangi, "Ya, sebagai tabib
seharusnya kau berhati welas-asih, apa kau tega membiarkan
saudaraku cacat begitu saja?"
Pang Ing menjadi marah mendengar suara orang itu, ia
pun titi a k sabar menunggu lagi.
"Mana ada orang mengundang tabib secara paksa,
kawanan penyatron ini betul-betul keterlaluan!" seru Pang Ing.
Habis itu tanpa pikir lagi, ia mencabut pedang terus
menerjang ke dalam. Maka tertampaklah olehnya di tengah ruangan tamu di
dalam itu terdapat empat orang merubungi seorang tua.
Karena datangnya Pang Ing yang mendadak ini, keempat
orang itu terus meninggalkan si orang tua dan memapak anak
dara ini. Di antara empat orang ini, yang tiga adalah lelaki tegap
yang kelihatan sangat kasar, sedang seorang lagi juga orang
tua, wajahnya tampak alim dan welas-asih, sama sekali tak
mirip orang jahat. "Kau bandit wanita telah melukai saudara kami, apa kau
masih kurang terima?" sekonyong-konyong ketiga lelaki tegap
tadi membentak Pang Ing. Sudah tentu anak dara ini tercengang, ia bingung kenapa
orang datang-datang lantas membentak padanya. Dalam pada
itu ketiga lelaki itu sudah melolos senjata terus merubung
maju. "Nanti dulu," mendadak si kakek berseru, lalu ia bertanya,
"Kau pernah apanya Lian Keng-hiau?"
Akan tetapi seruannya ternyata terlambat, serbuan ketiga
lelaki tadi terlalu cepat, sebaliknya Pang Ing sendiri juga
mendongkol, maka gebrakan kedua belah pihak tidak keburu
dicegah lagi. Maka terdengar serentetan suara nyaring
beradunya senjata, ketika Pang Ing mengayunkan pedang ke
kanan dan ke kiri, ternyata senjata ketiga lawannya kena
ditabas kutung semua, bahkan saking cepatnya ia menggeraki
senjata, seorang di antara ketiga lelaki itu kena ditusuk tulang
iganya. Orang tua tadi menjadi gusar demi melihat kawannya
dilukai. "Masih semuda ini, kenapa kau begini keji?" dampratnya
gusar. Berbareng itu ia angkat senjatanya yang berupa sebatang
Hun-cwe atau pipa tembakau yang panjang (pipa cangklong),
mendadak memukul kepala Pang Ing, sedang sebelah
tangannya dengan cepat menutuk 'Koh-cing-hiat' di bagian
iga. "Wajah orang tua ini tampaknya welas-asih, tak tahunya
sama jahatnya seperti yang lain," demikian diam-diam Pang
Ing membatin, segera pedangnya berputar, ia lantas balas
menyerang, kontan ia balas menusuk tempat berbahaya di
tubuh orang. Namun cepat orang tua itu telah putar tubuh dan
menggeser langkah, menyusul Huncwe yang terbuat dari besi
itu menangkis ke atas sambil membentur ke kanan dan ke kiri
dengan gerakan 'Hun-mo-sam-bu' atau bendera berkibar tiga
kali, sekali gerakan tiga macam serangan, ilmu silatnya
ternyata luar biasa. Pang Ing tak berani memandang enteng lawan, ia mainkan
pedangnya dengan tipu serangan lihai dari Tui-hong-kiamhoat,
beruntun 'Liu sing-hui-say' atau bintang meluncur
terbang, lalu 'Ya-ma-cau-thian' atau kuda liar merusak sawah,
pedangnya menusuk ke atas dan ke bawah dua kali, ke atas
mengarah kedua mata musuh dan ke bawah menusuk perut,
gaya serangannya sangat lihai.
Terpaksa orang tua itu menarik kembali Huncwenya untuk
menangkis, dari menyerang terpaksa ia menjaga diri.
Sebaliknya karena pedangnya berbentur dengan Huncwe
orang, Pang Ing merasakan juga tangannya pegal kesemutan.
"Tobat, sungguh tidak punya aturan, tempatku ini bukan
medan perang, kenapa kalian sembarangan berkeliaran di sini
dan saling labrak!" demikian ia berteriak.
Sama sekali tidak disadari Pang Ing, bahwa orang tua yang
lagi bergebrak dengan dirinya ini justru adalah dia punya Gwakong
atau engkong luar yang bernama Khong Liang.
Sewaktu Pang Ing dan Pang Lin merayakan hari ulang
tahun yang pertama, Khong Liang sebagai Gwa-kong dari
kedua dara ini telah bertamu ke rumahnya, tetapi kebetulan
malam itu kawanan Hiat-ti-cu datang menguber dan hendak
menangkap Ciu Jing, dalam pertarungan sengit melawan
kawanan Hiat-ti-cu, Engkong dan ayah kedua dara itu ikut
menjadi korban keganasan Hiat-ti-cu.
Ciong Ban-tong yang juga hadir pada malam itu untuk


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memenuhi janji Ciu Jing, akhirnya dapat melarikan diri
bersama Khong Liang dengan membawa Pang Lin. Ciong Bantong
sendiri menjadi guru sekolah keluarga Lian demi
menghindari pencarian musuh, maka ia tidak leluasa tinggal
bersama Khong Liang, Ciong Ban-tong lalu perantarakan
orang tua itu ke Thian-tay-san, tempat Thio Ling-hong Cecu.
Tingkatan Thio Ling-hong masih lebih tua setingkat
daripada Ciong Ban-tong, ia menciptakan sendiri ilmu silat
golongan Thian-tay-pay, ia adalah bandit terkenal di kalangan
Lok-lim. Khong Liang sendiri adalah seorang guru silat pedusunan
yang sederhana, sebenarnya ia tidak ingin ikut menjadi bandit,
akan tetapi keadaan memaksa, ia kepepet dan terjun juga ke
dalam kalangan Lok-lim. Thio Ling-hong sangat polos dan suka berterus-terang, ia
suka pula pada kejujuran dan kesederhanaan Khong Liang,
maka kedatangan Khong Liang telah dia sambut dengan baik,
tabiat mereka pun agaknya cocok. Bila ada waktu senggang
malahan Thio Ling-hong suka memberi petunjuk tentang ilmu
silat, belakangan malah Khong Liang diangkat menjadi Hucecu
atau wakil Cecu (Cecu adalah pemimpin sesuatu
perkampungan atau pangkalan kaum bandit di pegunungan).
Umur Khong Liang dan Thio Ling-hong sebenarnya hanya
selisih tujuh atau delapan tahun saja, sebenarnya tidak enak
buat Thio Ling-hong menerima orang sebagai murid, akan
tetapi Khong Liang merasa hutang budi, ia berkeras hendak
mengangkat guru padanya, akhirnya pada saat sebelum
wafatnya Thio Ling-hong, terkabullah keinginannya dan
diterima sebagai murid. Sesudah Thio Ling-hong wafat, putranya Thio Thian-ti,
telah menggantikannya sebagai Cecu, Khong Liang pun tetap
tinggal di Thian-tay-san untuk membantunya. Cuma sayang
kecakapan Thio Thian-ti jauh dibanding ayahnya, beberapa
kali digempur pasukan pemerintah kekuatannya makin hari
semakin merosot dan lemah.
Kala itu Ciong Ban-tong sudah tewas, ketika mendapat
kabar itu, sudah tentu Khong Liang sangat berduka. Ia
mengirim orang buat mencari kabar dimana adanya Pang Lin,
akan tetap' hasilnya nihil, anak dara ini telah hilang tanpa
bekas. Pada suatu hari, dalam pasang omongnya dengan Thio
Thian-ti, Khong Liang bicara tentang tewasnya Ciong Bantong,
ilmu silat Bu-kek-pay pun menjadi putus tiada turunan
lagi dan entah Kiam-boh dan Ih-su, yakni kitab ajaran ilmu
pedang dan kitab pelajaran ilmu ketabiban tinggalan Pho Jingcu
entah jatuh di tangan siapa.
Mendengar cerita ini, tiba-tiba timbul rasa serakah pada diri
Thio Thian-ti, diam-diam ia mengirim dua muridnya ke rumah
keluarga Lian untuk mencari kitab pusaka itu, tak terduga
kedua muridnya itu hanya mengantar kematian saja, seperti
diketahui mereka telah dibunuh oleh Pang Lin yang waktu itu
berada di kamar Ciong Ban-tong. Kejadian ini baru setengah
tahun kemudian diketahui oleh Thio Thian-ti, maka ia tak
berani lagi mengirim orang pergi ke sana.
Lewat beberapa tahun pula, Thio Thian-ti telah digempur
dengan hebat oleh pasukan pemerintah, benteng kena
dibakar, terpaksa ia melarikan diri bersama belasan anak
buahnya dan Khong Liang. Sejak itulah mereka lantas bergelandangan di Kangouw
tanpa tempat tinggal yang tetap. Beruntung meski ia sudah
kehilangan pangkalannya di Thian-tay-san, akan tetapi jelekjelk
ia terhitung ketua Thian-tay-pay, kawan-kawan kalangan
Bu-lim masih cukup hormat padanya. Seringkah kalau ada
pasukan pemerintah hendak menawan dia, lebih dulu ada
kawan Kangouw yang mengirim berita padanya, dengan cara
begitu mereka melewatkan kehidupan Kangouw.
Tahun ini kembali Thian-ti ingat pada kitab pusaka
tinggalan Pho Jing-cu, ia telah mendatangi Tanliu di Soatang
buat mencarinya lagi, kebetulan waktu itu Li Ti dan Pang Lin
sedang lari keluar dari rumah orang she Lian. Sementara itu
Thian-ti sudah lama mendapat tahu wajah Pang Lin yang
menjadi pembunuh kedua muridnya, karena itulah sepanjang
jalan ia mengirim orangnya menguntit jejak anak dara itu
hingga akhirnya mengejar sampai di sekitar Pakkhia.
Pada hari itu Khong Liang berjalan di depan bersama
beberapa anak murid Thio Thian-ti, tiba-tiba mereka bertemu
dengan Li Ti dan Pang Lin di tanah datar dekat Hway-yu,
segera anak murid Fhian-ti maju mengeroyok, tapi mereka
berbalik kena dilukai tiga orang oleh pisau Pang Lin yang
beracun, syukur mereka keburu dilindungi Khong Liang dari
belakang dan tidak sampai ada yang terbunuh.
Di lain pihak Pang Lin dan Li Ti menjadi kuatir juga.
pertama mereka tidak kenal asal-usul orang-orang ini, mereka
takut pula kalau sampai terjadi ribut-ribut tentu akan menarik
perhatian kawanan bayangkara istana, maka sesudah
melabrak orang, secara tergesa-gesa mereka lantas kabur dan
menyembunyikan diri di atas bukit di sekitarnya.
Cara turun tangan Pang Lin memang sangat keji, tiga orang
yang dia lukai itu bukan saja jatuh semaput, bahkan tulang
kakinya patah remuk, besar kemungkinan akan menjadi cacat
selamanya. Sudah tentu Thio Thian-ti gusar ketika kemudian
mengetahui tiga anak muridnya terluka. Akan tetapi lebih dulu
ia harus berusaha menolong yang terluka, ia tidak sempat
mencari musuh. Thian-ti dan kawan-kawan sudah berkeliaran kian-kemari di
Kangouw, tapi mereka selalu taat pada peraturan Kangouw
dan Lok-lim umumnya, dimana mereka berada, tentu mereka
mencari tahu tokoh ternama setempat, yakni meliputi guru
silat, hartawan terkemuka dan orang kosen lainnya.
Oleh karena obat luka yang Thian-ti bawa tidak cocok
untuk menyembuhkan luka muridnya, ia teringat kepada tabib
ternama Boat-wan Lojin yang kebetulan bersembunyi di
tempat keluarga Liok di Ui-tiok-jun, maka ia lantas minta
Khong Liang membawa pengikutnya pergi mengundang orang.
Sebab ia cukup tahu bahwa Boat-wan Lojin mempunyai
hubungan yang baik dengan Bu-kek-pay, sedang Khong Liang
adalah sobat baik Ciong Ban-tong, Ciang-bun Bu-kek-pay yang
lalu, oleh karena itu, kalau Khong Liang yang mengundangnya
mungkin orang tidak akan menolak mengingat tali
persahabatan tadi. Tidak terduga, justru di rumah keluarga Liok itulah,
sebelum Khong Liang dapat mengundang Boat-wan Lojin,
sebaliknya ia ketemu cucu luarnya, Pang Ing, yang dia tidak
kenali lagi. Sementara itu Khong Liang sudah belajar silat dari
golongan Thian-tay-pay, ditambah gemblengan selama
delapan belas tahun ini, dengan sendirinya ia tidak bisa lagi
dipandang enteng. Begitulah, maka setelah Pang Ing merangsek belasan jurus
dan masih belum bisa mengalahkan orang, segera Kiamhoatnya
dia ubah, susul-menyusul ia keluarkan Tui-hong-kiamhoat
yang hebat ditambah dengan Ginkang yang tinggi, ia
mengincar tempat luang musuh, pedangnya menyambar kiankemari
laksana sinar kilat yang menari mengelilingi Khong
Liang. Usia Khong Liang sudah lanjut, dengan sendirinya kalah
gesit dibanding Pang Ing, keruan ia tercecar oleh Tui-hongkiam-
hoat si gadis hingga kalang-kabut kerepotan. Sebaliknya
makin lama Pang Ing makin gencar menyerang, maka
tampaknya sebentar lagi Khong Liang pasti akan terluka oleh
senjata Pang Ing. Nampak itu, Lu Si-nio mendadak menyela di tengah dua
orang yang lagi saling labrak itu, dengan tangan kiri ia
menarik mundur Pang Ing, sedang tangan kanan merebut
Huncwe besi Khong Liang, tapi segera ia mengangsurkannya
kembali kepada pemiliknya.
"Kau orang tua ini harap mengaso dahulu." demikian ia
berkata. "Mengundang tabib perlu juga kerelaan kedua belah
pihak dan tidak boleh main paksa. Adik perempuanku ini
memang keras wataknya, lekas kau pergi saja!"
Dengan mengunjuk kepandaian merebut Huncwe orang
tadi, Lu Si-nio telah membikin Khong Liang ternganga, kesima
oleh kesehatan dan kelihaian luar biasa yang boleh dikata
belum pernah dilihat selama hidupnya. Keruan Khong Liang
tak berani melawan lagi, segera ia putar tubuh terus pergi.
Anak buahnya menggendong kawan-kawan yang menderita
luka dan segera pula menyusul pergi.
Lalu Lu Si-nio maju memberi hormat pada orang tua yang
dirubung kawanan penyatron tadi.
"Kalian sudah cukup membikin ribut di sini belum?" tibatiba
orang tua itu membalas hormat orang dengan suara
teriakan. Sudah tentu Lu Si-nio tercengang sejenak. "Yap-kongkong
...." selagi ia hendak memperkenalkan diri, tiba-tiba mata
orang tua itu mendelik terus berdiri sambil menggebrak meja.
"Sudah sejak tadi aku bilang tidak paham pertabiban, pula
aku bukan Yap-kongkong apa segala yang hendak kau cari,
apalagi yang hendak kalian ributkan?" dampratnya dengan
gusar. "Sudahlah, lebih baik kalian bunuh aku, supaya aku
bisa lebih enak dan tenang." "Kau bukan Yap-kongkong?"
tanya Lu Si-r.io terperanjat. "Kalau aku bilang bukan, ya tetap
bukan," orang tua itu berteriak lagi dengan gemas. "Kalau kau
mau tahu, aku ini duduk tidak ganti nama, jalan tidak tukar
she, diriku yang benar she Liok bernama Khong, hidupku
hanya menabuh Khim (kecapi), tapi tabuhanku juga tidak
diperdengarkan kepada kalian! Nah, sudah terang belum,
sekarang kau mau bunuh aku, boleh lekas bunuh, kalau tidak,
aku akan tidur!" Habis berkata, dengan masih marah-marah orang tua itu
lantas kebut lengan bajunya hendak masuk ke ruangan
belakang. Keruan Lu Si-nio dan Pang Ing yang datangnya dengan hati
mantap, setelah mendengar keterangan orang tadi, seketika
merasa sangat kecewa, dengan penuh keyakinan mereka
menyangka orang tua itu tentu adalah Roat-wan Lojin, siapa
tahu ternyata bukan orang yang hendak mereka cari.
"Kalau begitu, numpang tanya dimanakah Yap-kongkong?"
dengan cepat Pang Ing melompat mengadang di depan orang
dan bertanya lagi. "Tidak tahu," sahut orang tua itu membentak dengan mata
melotot. "Tahu juga takkan kukatakan padamu! Aku sudah
cukup dibikin ribut oleh kalian, apa suruh kalian pergi dan
jangan ribut lagi?" Nampak gelagat bisa runyam, lalu Lu Si-nio tampil ke
depan. "Cucu perempuan Lu Liu-liang dari Ciatkang menghaturkan
hormat kepada kau orang tua," dengan cepat ia
memperkenalkan diri. Karena kata-kata Si-nio ini, tertampak Liok Khong agak
terkejut, ia berpaling. "Apa kau bilang?" ia menegas. "Kau ini
cucu perempuan Lu Liu-liang?"
"Ya, mendiang engkongku sering menyebut Yap-kongkong
dan engkau berdua orang tua, aku dipesan kalau kebetulan
datang ke kotaraja, harus datang memberi hormat pada
kalian," kata Si-nio lebih lanjut.
Karena penuturan Si-nio yang merendah dan sopan ini,
seketika muka Liok Khong berubah lain.
"Apa betul" Kiranya engkongmu juga tahu di jagal ini ada
manusia seperti aku ini?" tanyanya kemudian.
"Tentu saja, seni tabuhan Khim engkau tiada bandingannya
di kolong langit ini, siapa yang tidak kenal!" Si-nio
mengumpak. "Tinggi gunung air mengalir, apakah maksud tujuan yang
sebenarnya?" tiba-tiba Liok Khong berkata memakai syair
kuno. "Kecuali terharu mendapatkan orang yang kenal dirinya.
Ciong Cu-ki masih menggunakan kesempatan itu untuk
menghibur Pek Ga," sahut Lu Si-nio dengan syair juga.
"Menghibur apa?" tanya Liok Khong.
"Ya, menghiburnya agar melepaskan kedudukan dan
kembali ke keindahan alam abadi. Cuma kampung halaman
dengan alam semesta yang indah permai barulah dapat
menggemakan suara Khim," sahut Si-nio.
Liok Khong bersuara tanda setuju, habis itu ia lantas
mengambil sebuah Khim kuno, ia letakkan di atas meja dan
mulai menabuh. "Kau masih ada harganya buat mendengarkan suara Khim
yang kutabuh," ujarnya kemudian, lalu ia duduk tenang
dengan mata meram. "Adakah sesuatu yang kau dengar?" tiba-tiba orang tua itu
bertanya setelah menabuh sejenak.
"Ya, terima kasih pada duka cita Lotiang, juga terima kasih
pada dorongan semangatmu," sahut Si-nio dengan
mengucurkan air mata. Kiranya lagu yang dipetik Liok Khong tadi, yang pertama
menyatakan ikut berduka cita atas nasib keluarganya yang
malang, kemudian lagu yang lain memuja jiwa kaum patriot
dengan maksud menganjurkan Lu Si-nio agar maju terus
tanpa gentar. Dengan lagu-lagu ini, agaknya nama Lu Si-nio yang berbudi
luhur dan berjiwa pahlawan sudah pernah dia dengar, juga Lu
Si-nio sendiri paham tentang seni tetabuhan, maka jawaban
itu tepat benar sesuai makna lagunya.
"Ehm, kau tidak berdusta, kau memang cucu perempuan
Lu Liu-liang," kata Liok Khong kemudian.
"Ada seorang kawan karibku, jiwanya terancam tinggal
satu-dua hari ini saja, maka perlu mengundang Boat-wan Lojin
buat mengobatinya," tutur Si-nio.
"Tetapi setengah bulan yang lalu dia sudah meninggalkan
tempatku ini," sahut Liok Khong.
"Kemanakah dia" Dapatkah Lotiang memberitahu?" tanya
Si-nio tak sabar. "Baiklah, mengingat engkongmu, biarlah kau pergi meributi
Yap-lothau," kata Liok Khong dengan tersenyum. "Yap-lothau
(kakek she Yap) punya sobat lain she Tan yang tinggal di
kampung Kong-ceng sebelah timur Pat-tat-nia (bukit Pa-ta-ling
yang tersohor di luar kota Peking), kecuali itu ia masih punya
murid she Nyo yang tinggal di Lam-kau, sebelah barat Pat-tatnia.
Kedua orang ini telah mengundang dia ke sana secara


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergilir. Aku sendiri pun tidak tahu sekarang dia tinggal
dimana. Pendeknya pasti berada pada salah satu alamat tadi.
Kong-ceng atau Lam-kau jaraknya dari sini lebih seratus li,
kalian boleh mengaso semalam dulu di sini, besok saja baru
berangkat." "Terima kasih, setelah kami temukan Yap-kongkong, kelak
tentu akan kembali lagi buat mendengarkan suara Khim,"
sahut Si-nio dengan hormat.
"Baik juga," ujar Liok Khong. Habis itu ia menghela napas
dan menyambung lagi, "Orang yang paham mendengarkan
suara Khim tabuhanku, agaknya sudah tidak banyak lagi
sekarang!" Maka Lu Si-nio dan Pang Ing mohon diri. Tatkala itu hari
sudah petang. "Ai, sungguh tidak terduga kejadian bisa begini berliku-liku,
baiknya membagi dua jalan saja," demikian Si-nio berunding
dengan Pang Ing. "Biarlah aku menuju ke Kong-ceng untuk
mencari pelukis she Tan, ingat, kau ke Lam-kau ke rumah
muridnya she Nyo itu, kau harus berlaku hormat kepada kaum
Cianpwe, apapun yang terjadi kau harus sabar."
Atas pesan itu, muka Pang Ing menjadi merah jengah.
"Sudah tentu," sahutnya kemudian.
Maka berangkatlah mereka pergi mencari Yap Siau-siang
dengan membagi dua jurusan.
Pang Ing menuju ke Lam-kau, menurut rekaannya, jika
menemukan tabib itu nanti segera ia akan menyewa kereta
dan mengundangnya berangkat, ia taksir empat hari pasti
dapat sampai di rumah. Akan tetapi itu berarti tepat dengan
hari ajalnya Hiau-lan. Oleh karena itu, hatinya sangat gelisah dan cemas, ia
percepat langkahnya. Tetapi justru karena ketidak sabarannya
inilah ia kesa-sar, syukur ia lantas tahu setelah bertanya orang
di tepi jalan, dengan demikian setelah tengah malam baru ia
sampai di Lam-kau. Pang Ing ingat baik-baik pesan Lu Si-nio, maka ia tak
berani mengganggu orang tua di tengah malam, akan tetapi ia
pun merasa tak sabar. Ia pikir, "Biarlah aku menyelidiki dulu
ke rumah orang she Nyo itu, setelah tahu Boat-wan Lojin betul
ada di situ baru hatiku bisa tenteram."
Karena itu, ia lantas mengetuk pintu rumah seorang
penduduk, ia bertanya dimana letak rumah keluarga Nyo.
Penduduk pedusunan pada umumnya sangat simpatik, atas
pertanyaan si nona segera ditunjukkan dimana tempat orang
she Nyo itu. Pang Ing segera menuju ke jurusan yang
ditunjuk- setelah menghaturkan terima kasihnya.
Setiba di rumah yang dicari, Pang Ing melompat ke atas
rumah, ia lihat dalam rumah masih terang dengan sinar
lampu. "Sungguh hebat sekali semangat orang tua ini, hari
sudah larut malam masih belum tidur," demikian Pang Ing
membatin. Sebenarnya dia hendak turun untuk minta bertemu, akan
tetapi ia kuatir kalau membikin terkejut orang, maka ia lantas
mendekam di atas genting untuk mengintai lebih jauh.
Ia lihat di dalam rumah itu menyala dua lampu minyak dari
gelas, di atas meja terdapat sebuah Hiolo yang lagi
mengepulkan asap wangi. Terlihat seorang tua dengan tegak duduk di atas kursi,
sedang kakek lain melayani berdiri di sampingnya. Pang Ing
pikir tentu si kakek yang duduk inilah Boat-wan Lojin adanya.
Sementara itu tertampak Boat-wan Lojin dengan mata
terpejam dan menggeleng kepada sedang menguraikan teori
ketabiban kepada si kakek yang berdiri.
Lalu terdengar si kakek yang berdiri berulang-kali
mengiakan. "Waktu sudah terlalu sempit, kini aku akan mengajarkan
kau rahasia cara memegang nadi yang lebih dalam," terdengar
Boat-wan Lojin berkata lagi.
Habis itu ia lantas angkat pensil yang besar, mulut
menguraikan dan tangan menulis.
Pang Ing sendiri sama sekali tidak paham tentang ilmu
keta-biban, maka ia merasa kesal oleh uraian orang yang ia
sendiri tidak tahu artinya, ia pikir hendak angkat kaki saja.
Tapi mendadak Boat-wan Lojin mendongak dan berteriak
padanya. "Hai. sudah sejak tadi kau mengintip, kenapa tidak
turun?" Keruan tak kepalang kejut Pang Ing. "Celaka, sekali ini
urusan tentu bisa runyam!" demikian ia berpikir.
Akan tetapi tiada jalan lain, terpaksa ia melayang turun dan
memberi hormat. "Harap Locianpwe suka memaafkan, aku
sebenarnya hendak datang besok saja, tetapi ... tetapi
Sebenarnya ia hendak menutupi kesalahannya dengan
berbagai alasan, tapi sebelum habis bicara, tiba-tiba Boat-wan
Lojin memotongnya. "Coba tanganmu sini, akan kuperiksa nadimu," demikian
kata orang tua ini. Dalam keadaan masih bingung, Pang Ing ternyata tidak
membangkang, ia ulurkan tangannya, maka dengan tiga jari
tangan Boat-wan Lojin memijat urat nadinya, keadaan
menjadi sunyi-senyap. "Aneh, aneh," tiba-tiba orang tua itu buka suara setelah
agak lama. "Penyakit familimu kalau bukan setahun, sedikitnya
sudah ada setengah tahun lamanya tetapi kenapa kau tidak
mencari tabib?" "Ya, darimana engkau mendapat tahu, Yap-kongkong?"
sahut Pang Ing heran. "Kau punya dasar Lwekang sangat kuat, sedikitnya bisa
menandingi orang lain yang berlatih dua-tiga puluh tahun,
siapakah gerangan gurumu?" kata Boat-wan Lojin lagi.
Pang Ing tak berani berbohong, maka ia menjawab terus
terang. "Suhuku ialah le Lan-cu dari Thian-san," sahutnya.
"Ah, pantas, kiranya kau murid le Lan-cu," ujar orang tua
itu. Lalu ia pejamkan mata lagi, sejenak kemudian baru ia
melanjutkan pula, "Pada dadamu tertimbun semacam hawa
yang sudah sangat lama, pula jantungmu berguncang keras,
pasti kau mempunyai sesuatu soal yang lama tak bisa
dipecahkan, kalau kau mengunjungi aku malam begini,
tentunya kau bermaksud mengundang aku buat
mengobatinya, kalau bukan familimu, tentu kau tidak akan
begini kuatir, pula kalau bukan penyakit aneh dan berat, tentu
tidak akan mengganjal hatimu. Coba sekarang kau katakan,
penyakit apakah yang diderita oleh familimu?"
"Ah, Yap-kongkong, sungguh ilmu ketabibanmu sangat
tinggi dan cara menganalisanya jelas sekali," sahut Pang Ing
dengan girang. "Aku memang betul hendak mengundang kau
pergi memeriksa penyakit searang familiku
Tapi belum selesai ia mengucapkan kata-katanya, tiba-tiba
si kakek yang berdiri tadi memotong, "Suhu, kenapa kau akan
menca-paikan diri lagi?"
"Tapi aku ke sini atas suruhan Lu-cici," demikian lekas Pang
Ing menambahkan. "Dia bilang engkongnya ada pesan agar
disampaikan salam pada engkau orang tua."
Mendengar anak dara ini sekonyong-konyong
menambahkan kata-kata demikian, Boat-wan Lojin menjadi
heran. "Cicimu yang manakah" Siapakah Engkongnya?"
tanyanya. "Ciciku bernama Lu Si-nio, dia punya Engkong ialah Lu Liuliang?"
sahut Pang Ing. Tiba-tiba Boat-wan Lojin bergelak tertawa demi mendengar
nama Lu Liu-liang, tetapi segera pula tertampak mukanya
mengunjuk rasa kurang senang.
"Cucu perempuan Lu Liu-liang kenapa juga begini cupet
pandangannya, dia harus tahu bahwa pada umumnya bila
menemukan penyakit aneh, kalau tidak terpaksa sekali, pasti
si tabib akan pergi mengobatinya," katanya kemudian. "Maka
untuk apa dia menonjolkan nama Engkongnya."
Pang Ing menjadi girang oleh ucapan orang tua ini,
berulang-ulang ia mengiakan.
Akan tetapi di luar dugaan, kembali terdengar Boat-wan
Lojin menyambung dengan mata mengerling aneh, "Cuma
sayang, aku tak bisa pergi!"
"Apa" Bukankah engkau bilang kalau tidak terpaksa, tentu
akan pergi?" tanya Pang Ing.
"Ya, justru aku merasa sangat terpaksa!" sahut Boat-wan.
Karena jawaban ini, saking cemasnya sampai Pang Ing
mencucurkan air mata. "Lalu bagaimana baiknya, ia hanya bisa tahan tiga hari
lebih setengah hari lagi, kalau engkau tidak menolongnya,
terang tiada orang lain yang bisa menolong dia!" demikian
anak dara ini meratap pilu.
Boat-wan Lojin menjadi tercengang oleh ratapan si nona.
"Aneh, masakah orang mengetahui hari ajalnya sendiri?"
tanyanya kemudian dengan heran.
"Bukannya dia tahu sendiri, tetapi orang lainlah yang
memaksa dia harus tahu," sahut Pang Ing.
Boat-wan Lojin lebih-lebih heran karena jawaban ini.
"He, ada peristiwa aneh macam ini" Sungguh belum pernah
aku dengar, coba terangkan, siapakah orang yang memaksa
dia?" tanya si orang tua.
"Hongte (kaisar)," sahut Pang Ing singkat.
"O, kalau begitu pasti akan kusembuhkan dia," ujar Boatwan.
"Baiklah, aku akan gendong kau buat berangkat, nanti
kalau sudah terang tanah baru kita sewa kereta di tengah
jalan," kata Pang Ing lagi.
Di luar dugaan, undangan ini hanya diterima Boat-wan
Lojin dengan menggoyang kepala.
"Tidak, aku tidak bisa pergi," katanya kemudian. "Coba kau
ceritakan saja asal-usul penyakitnya itu dan bagaimana
keadaannya paling akhir dan sekarang ini."
"Suhu kau sudah melakukan tugasmu selama enam puluh
tahun, malam ini sekali-kali jangan kau capaikan diri lagi,"
kembali si kakek yang berdiri tadi menyela.
"Ngaco, justru kalau aku mendengar ada penyakit yang
aneh dan sukar disembuhkan, jika aku tidak berdaya buat
menyembuhkannya, mati pun aku tidak bisa tenteram," omel
Boat-wan Lojin. Melihat kebandelan sang guru, si kakek yang berdiri ini
hanya geleng-geleng kepala saja. "Baiklah, kalau begitu aku
akan menuliskan resepnya, Suhu," katanya kemudian.
Maka Pang Ing lantas menuturkan semua kejadian, dimulai
dari Teng Hiau-lan ditipu meminum arak beracun oleh Yong
Ceng dan keadaan kesehatannya paling akhir, bahwa
tubuhnya lemas, tenaga berkurang, pandangan mulai remangremang
dan sebagainya diuraikan seluruhnya.
"Aneh, kenapa ada arak beracun yang begitu jahat?" ujar
Boat-wan Lojin. "Belum pernah ada resep bagi penyakit
seperti itu sejak dahulu kala. Arak beracun macam apakah
itu?" Ia lantas pejamkan mata dan berpikir, selang beberapa
lama, belum juga ia dapat mengingat.
"Sayang, sungguh sayang aku tak dapat pergi sendiri buat
melihatnya, mendengar dan menanyai sendiri," katanya
kemudian dengan menghela napas.
Pang Ing menjadi kuatir. "Lantas, apa tiada daya-upaya
lain," tanyanya dengan suara gemetar.
"Jangan gelisah dulu, biar aku berpikir lagi," sahut si orang
tua itu. Habis itu, kembali ia duduk tenang dan mata meram,
sedikit-pun tidak bergerak, rupanya ia sedang memeras otak.
Sudah tentu Pang Ing sangat gelisah, begitu pula si kakek
yang berdiri, mereka terus berdiri di samping sambil
mendengarkan suara ayam jago berkokok sekali demi sekali,
ternyata orang tua itu tetap duduk tenang selama sejam lebih,
kemudian baru terdengar ia berdehem sekali dan membuka
matanya. "Nyo-laute, coba kau racik obatnya," tiba-tiba ia berkata.
"Gunakan saja aku punya Liok-hap-ling-sin-wan (semacam
obat pil), digilas menjadi bubuk, lalu ditambah dengan tujuh
macam obat lainnya, gunakan pula daun waru di musim
rontok dan sepasang jangkrik jantan-betina sebagai obat
pengantar." Si kakek she Nyo yang berdiri di sampingnya itu adalah
muridnya yang terpandai, di rumahnya banyak menyimpan
bahan obat, ia melakukan perintah sang guru dan meracik
menurut resep yang diberikan itu, lalu dibungkus rapi.
"Hampir saja, dua macam dari tujuh jenis obat campuran
ini hanya tinggal ini saja," katanya kemudian setelah selesai
membungkus obatnya. "Daun waru musim rontok hanya
tinggal selembar ini, jangkrik jantan-betina juga hanya tinggal
sepasang ini, persis untuk melengkapi resep, untuk
meraciknya lagi sudah tiada bahannya."
"Tetapi resep ini hanya bisa dicoba sekali saja," ujar Boatwan
Lojin. Habis itu ia angkat alat tulisnya terus membuka
satu resep lain dan dan katanya pula, "Sesudah makan obat
itu dan bila kelihatan ada kemajuan, resep yang lain ini boleh
diminum pula tiga kali. Bahan obat dari resep ini hanya obat
yang membikin tenteram pikiran dan enak tidur, obat biasa
saja dan gampang dicari."
Pang Ing menjadi kegirangan, ia terima bungkusan obat
dan resep obat itu, ketika ia ingin mohon diri, tiba-tiba ia
dengar Boat-wan Lojin berkata padanya lagi.
"He, sudah kuperiksa penyakit familimu, kenapa kau tidak
membayar ongkosnya?" demikian tegur orang tua itu.
Keruan Pang Ing kaget dan jengah, sama sekali tidak ia
duga bahwa orang mendadak bisa minta uang periksa.
"Tetapi ... tetapi aku tidak membawa uang, aku ... aku
berikan perhiasan ini saja," sahutnya kemudian sambil
mencopot sebuah anting-antingnya.
"Umurku sudah begini lanjut, untuk apa aku terima
barangmu ini," sahut Boat-wan Lojin. "Nah, aku hanya ingin
kau kerjakan sesuatu untukku sebagai ongkos periksa tadi."
'Tentu akan kulakukan, Kongkong, silakan bicara," kata
Pang Ing dengan cepat. "Hendaklah diketahui, ilmu ketabiban ini kuperoleh dari
ajaran Pho Jing-cu," demikian orang tua itu mulai menutur.
"Selama beberapa puluh tahun ini, boleh dikata aku tidak
sampai mengecewakan harapannya, aku sudah banyak
menyembuhkan orang sakit dan tidak sedikit mengumpulkan
catatan penyakit yang telah kusembuhkan, cuma sayang
semua ini sudah tak bisa diunjukkan pada beliau lagi. Ai,


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh sayang!" "Harap jangan berduka, Suhu, kalau Pho-cosu di alam baka
mengetahui bahwa kita sudah menyambung dan mewarisi
tugasnya, tentu beliau akan merasa senang sekali," tiba-tiba si
kakek yang berdiri berkata.
Namun Boat-wan Lojin malah tertawa dingin oleh kata-kata
muridnya itu. "Apa" Berani kau bilang kita sudah mewarisi semua
kepintaran Pho-cosu?" katanya kemudian.
"Ya, Tecu terlalu bodoh, pula tiada pengalaman, kalau
dibandingkan kau, sudah tentu selisih sangat jauh," sahut si
kakek yang berdiri dengan gugup. "Tetapi bagi Suhu yang
telah bekerja selama hidup, dalam hal ketabiban boleh dikata
lebih maju daripada yang lama, tentunya boieh juga
dibandingkan dengan Pho-suco."
"Jauh, masih jauh," ujar Boat-wan Lojin dengan
menggoyang kepala. "Dalam teori masih banyak sekali yang
belum kupahami, aku menyesal tak bisa menanyakan pada
Pho-cosu di alam baka." Ia merandek sejenak, lalu bertanya
pada Pang Ing, "Apa kau tahu ilmu silat dan kepandaian
ketabiban Pho Jing-cu itu, kepada siapakah kepandaiannya itu
diturunkan?" "Kabarnya cucu muridnya, Ciong Ban-tong, baik ilmu silat
maupun ilmu ketabiban sudah memperoleh semua
warisannya," sahut Pang Ing. "Sedang Ciong Ban-tong telah
menurunkan ilmu silatnya kepada Lian Keng-hiau, tentang
ilmu ketabiban apakah diturunkan juga padanya, itulah aku
kurang tahu." Mendengar Lian Keng-hiau adalah murid Ciong Ban-tong,
tertampak Boat-wan Lojin menghela napas gegetun.
"Salah turun pada orangnya, salah besar!" demikian ia
berkata berulang-ulang, lalu ia berkata lagi, "Kau adalah murid
Ie Lan-cu, dengan kedudukan Ie Lan-cu dan hubungannya
dengan Pho-cosu dahulu, dia boleh mewakilkan Bu-kek-pay
mencari ahli warisnya."
"Ya, hal ini aku pun pernah mendengar cerita dari Suhu.
beliau memang punya pikiran semacam ini," ujar Pang Ing.
Dalam hati anak dara ini rada heran, tadi Boat-wan Lojin
bilang ada sesuatu yang ia minta dirinya mengerjakannya,
tetapi kenapa terus menerocos bicara kejadian Bu-lim saja.
Namun ia lantas dengar orang tua itu berdehem, mukanya
berubah menjadi kereng, kemudian dengan suara berat ia
berkata lagi, "Pho-cosu mempunyai sebuah kitab yang
bernama 'Kim-ciam-toh-seh' yang merupakan pusaka dalam
ilmu ketabiban. Kelak kalau gurumu mewakilkan Bu-kek-pay
menetapkan ahli-warisnya atau ada orang lain yang
mendapatkan kitab tadi, asal orangnya berkelakuan baik dan
dari golongan kita, kau boleh bawa dia ke sini untuk menerima
buku catatan ketabibanku."
"Dahulu Pho-cosu selalu kian-kemari untuk urusan negara
dan berkelana di Kangouw, maka resep catatannya tidaklah
banyak. Kalau bisa mendapatkan kitab tinggalannya itu
ditambah pula mempelajari catatan menurut pengalamanku,
pasti bisa mengembangkan ilmu pertabiban lebih luas.
Hidupku sudah berakhir sampai di sini saja, aku harap ada
orang yang bisa melampaui kepandaian angkatan dahulu. Hal
ini sangat penting, tahukah kau?"
"Ya, tahu," sahut Pang Ing dengan membungkuk.
"Mengingat kau adalah dara pendekar Bu-lim, maka aku
telah pasrahkan urusan besar ini ke pundakmu," kata Boatwan
Lojin pula. "Pada sebelum ajalku tiba, aku bisa
menyelesaikan cita-citaku yang terkandung selama ini,
sungguh satu hal yang sangat memuaskan dalam hidupku ini."
Pang Ing rada bingung mendengar kata-kata orang tentang
ajal segala. "Tentu akan Wanpwe laksanakan," ia menyahut lagi.
Namun tiba-tiba Boat-wan Lojin pejamkan mata lagi dan
tidak bergerak, perlahan-lahan kepalanya menunduk
menempel dada. Nampak keadaan orang tua ini, si kakek yang berdiri tadi
telah maju memegang urat nadi gurunya, mendadak ia
berlutut sambil menjura tiga kali dengan sangat hormat.
"Pesan mendiang guruku, sebagai muridnya tentu akan
kulak-sanakan," demikian ia berkata pada Pang Ing. "Tentang
buku catatannya akan aku simpan baik-baik untuk kau, tinggal
tunggu saja orangnya yang berhak, kau tak usah kuatir dan
berangkatlah sekarang!"
Keruan Pang Ing terperanjat. "Kenapa Yap-kongkong?"
tanyanya cepat. "Ia sudah wafat!" sahut kakek itu.
"O, apakah aku yang membuat dia terlalu letih?" tanyanya
dengan air mata mengucur.
"Tiada sangkut-pautnya dengan nona," ujar si kakek.
"Mendiang guruku sangat paham memegang nadi, sudah lama
ia tahu umur sendiri hanya sampai malam ini saja. Oleh sebab
itulah sepanjang malam ia turunkan kepandaiannya kepadaku.
Cuma saja sebelum ajal tadi, ia masih bisa membuka resep
untuk mengobati familimu, inilah yang sama sekali tak
terduga." Karena penuturan ini, Pang Ing menjadi terharu dan
merasa sangat berterima kasih, segera ia pun berlutut
menjura tiga kali. "Bungkusan obat ini sekali-kali jangan kau hilangkan, kalau
hilang tidak dapat diracik lagi," demikian dengan wanti orang
tua itu memberi pesan ketika ia mengantar Pang Ing keluar
pintu "Harap saja penyakit familimu itu segera sembuh
sesudah minum obat ini."
Pang Ing menghaturkan terima kasih atas budi orang.
Sementara itu ia lihat fajar sudah menyingsing, maka lekas ia
mohon diri dan berangkat.
Dalam hati anak dara ini menghitung, dengan Ginkangnya
yang tinggi ia taksir bisa setengah hari lebih cepat daripada
batas waktunya, oleh sebab itulah ia merasa sangat senang.
Sepanjang jalan ia terus meraba bungkusan obat, kuatir kalau
jatah dan hilang. Kembali bercerita mengenai Khong Liang dan lain-lain
setelah dipukul mundur oleh Lu Si-nio dan Pang Ing dari
rumah keluarga Liok, dalam hati ia merasa gusar.
"Anak dara ini sungguh keji sekali, marilah kita undang
Cecu kemari, sekali-kali jangan kita lepaskan dia," demikian
beberapa Thaubak kawan Khong Liang berkata.
Tetapi orang tua ini sendiri hanya bungkam saja, ia pikir,
"Waktu anak dara itu bertempur dengan kita di sawah, cara
turun-tangannya jauh lebih kejam, bahkan tanpa berkata
lantas melukai tiga orang dengan Hui-tonya. Belakangan
waktu berada di rumah keluarga Liok tadi, meski tetap keji
juga, tapi dibanding kejadian dulu sudah lebih murah hati, ia
hanya menebas kutung senjata kita dan melukai seorang
kawan dengan enteng. Ai, entah kenapa berubah begini"
Melihat usianya yang masih muda belia, mungkin hanya tujuh
atau delapan belas tahun saja, tetapi ilmu silatnya sudah
begini tinggi, kalau dua cucu perempuanku masih hidup, umur
mereka tentu sepadan dengan anak dara tadi."
Waktu itu Thio Thian-ti dan begundalnya sedang
menantikan kembalinya mereka di sebuah bukit sekitar Pattat-
nia, tetapi Khong Liang tidak berhasil mengundang
tabibnya, malahan kawannya kena dilukai musuh, ia merasa
malu diri, sepanjang jalan ia pikir apa harus membiarkan Thio
Thian-ti membawa begundalnya pergi membalas sakit hati itu
atau tidak" Ilmu silat Thio Thian-ti lebih tinggi dari Khong Liang, tetapi
dalam hal pengalaman Khong Liang lebih banyak dari Thian-ti.
Dalam hati orang tua ini tahu juga watak Thian-ti yang
berangasan, kalau mengetahui bawahannya sekaligus telah
terluka empat orang, pasti ia akan pergi mencari anak dara itu
buat mengadu jiwa. Akan tetapi kepandaian anak dara itu
terlalu tinggi, pula gadis satunya lagi yang bersama dia itu
lebih hebat ilmu silatnya dan susah diukur. Terang sekali-kali
Thio Thian-ti bukan tandingan mereka.
Karena itulah Khong Liang berpikir pula, "Kedudukan kita
makin hari sudah semakin lemah, mana boleh kita mencari
musuh baru yang lebih kuat" Aku sudah menerima budi Thio
Ling-hong, mana boleh aku membiarkan putranya mengantar
jiwa secara tak sadar." Demikianlah ia menjadi ragu-ragu dan
bingung, ia tidak tahu cara bagaimana harus mencegahnya.
Sementara itu hari sudah petang, dari jauh kelihatan Pattat-
nia terbentang di depan, bukit dimana Thio Thian-ti
bercokol sudah dekat. Karena itu, mereka lantas mempercepat langkah. Tengah
mereka berjalan, mendadak dari lereng bukit sana menerobos
keluar seseorang sambil menggertak, "Hai, siapa kalian"
Berhenti!" Khong Liang terperanjat, ketika berpaling, ia lihat orang
yang tiba-tiba muncul ini bermulut lebar, hidung besar
membetet, mukanya sangat bengis. Ternyata orang ini bukan
lain daripada Liong Bok-kong, salah seorang yang pernah
menggeropyok Ciu Jing dan membunuh besan Khong Liang,
yaitu Pang Kong-tiau. pada tujuh belas tahun lalu.
Liong Bok-kong adalah kepala suku Le di pulau Haylam,
baik rupanya maupun cara dandanannya rada aneh, maka
begitu melihat segera dikenali Khong Liang. Orang tua ini
menjadi gusar seketika, segera ia bergelak tertawa
menyambut munculnya orang.
"Haha, sungguh kebetulan, susah-susah dicari, malah
sekarang bertemu tanpa buang tenaga! Haha, Liong-taywisu
(tuan besar bayangkara), selamat bertemu, selamat
berjumpa!" demikian Khong Liang menyapa orang.
Mengapa mendadak Liong Bok-kong bisa muncul di tempat
ini" Kiranya sesudah Kau Sam-pian membawa kabur Pang Ing
dari istana, seluruh istana menjadi geger, mereka takut kalau
Kau Sam-pian yang paham sekali keadaan dalam istana
membawa kawan lain mengacau ke sana atau bersekongkol
dengan orang dalam, tentu hal ini bisa berabe bagi kedudukan
Yong Ceng. Oleh karena itulah segera diadakan 'pembersihan* di
antara bayangkara istana. Syukur beberapa bayangkara
angkatan tua sudah ikut kabur bersama Kau Sam-pian, di
samping itu Haptoh telah mengirim orang-orang
kepercayaannya untuk mencari dan menyelidiki Kau Sam-pian
bersama Pang Ing, daerah sekitar kotaraja telah dilakukan
penggeledahan keras di bawah pimpinan Haptoh sendiri,
sedang tempat-tempat di luar kota yang berdekatan
ditugaskan pada Hay-hun Hwesio bersama muridnya, Liong
Bok-kong. Hari ini saat mereka melintasi Pat-tat-nia, lebih dulu Hayhun
Hwesio mendaki bukit untuk pasang mata, sebaliknya
Liong Bok-kong ditinggal di bawah bukit untuk membantu bila
perlu. Akhirnya ia berjumpa Khong Liang yang hendak naik ke
atas bukit itu. Semula Liong Bok-kong mengira Khong Liang hanya orang
tak terkenal di kalangan Hek-to, maka ia tidak pandang
sebelah mata dan mengira tidak sukar untuk
membereskannya. Tak terduga, belum lagi ia turun tangan, lebih dulu orang
sudah mengenali dia, keruan seketika ia tercengang. Tetapi
waktu ia tegasi dan ingat-ingat, lapat-lapat ia merasa kenal
juga pada Khong I iang. "Hai, kenapa kau hanya memandang saja, apa mata
anjingmu belum bisa melihat jelas?" sementara itu Khong
Liang membentak pula. "Sekeluarga Pang-busu (guru silat)
dari Haylam telah berantakan kau bunuh dan hilang tak
keruan tempatnya, hutang darah ini apa kau sudah lupa?"
Mendengar teguran ini, Liong Bok-kong lantas ingat
kejadian itu, matanya mengerling aneh.
"Ha, kukira siapa" Tak tahunya adalah kau si tua bangka
yang lolos dahulu itu," demikian ia balas membentak. "Selama
hidup ini entah sudah membunuh orang betapa banyak, mana
bisa aku lupa pada manusia semacam kau ini! Hayo,
kemampuan apa yang kau miliki hingga berani bilang hendak
membalas sakit hati segala?"
Habis berkata, begitu senjatanya bergerak, segera ia
menerjang lebih dahulu. Dahulu, tujuh belas tahun yang lalu, Khong Liang telah
dilabrak oleh Liong Bok-kong hingga terpaksa harus
menyelamatkan diri secara mengenaskan, ilmu silat mereka
pada waktu itu boleh dikata selisih jauh sekali, oleh karenanya
Liong Bok-kong tetap tidak pandang sebelah mata pada Khong
Liang sekarang. Tak tersangka, selama tujuh belas tahun ini ternyata sudah
banyak mengalami perubahan, Khong Liang yang sekarang
bukan lagi Khong Liang yang dulu, begitu Thi-hun-cwe (pipa
tembakau besi) Khong Liang bergerak, dengan tipu 'Ki-hweliau-
thian' atau mengangkat obor menerangi langit, sekali
tangkis pedang Liong Bok-kong lantas dipukul pergi.
Keruan Liong Bok-kong terkejut, sementara itu gerak
serangan Khong Liang tak berhenti di sini, Huncwenya masih
terus menghantam ke bawah, dengan cepat ia menutuk
'Thian-ki-hiat' orang, karenanya Liong Bok-kong terpaksa
harus melompat mundur. "Tolong, Suhu!" dengan kuatir ia berteriak.
"Haha, sekalipun kau minta tetek ibumu pun tak berguna!"
dengan bergelak tertawa Khong Liang mengejek. Berbareng ia
menerjang maju, begitu Huncwenya menyambar, kembali
mengarah ke pinggang orang, terpaksa Liong Bok-kong
membaliki senjatanya buat menangkis sambil memutar tubuh,
menyusul ia balas menerjang juga dari jurusan lain.
Tiba-tiba pipa tembakau Khong Liang menindih ke bawah,
karena itu pedang Liong Bok-kong kena ditahan, berbareng
Khong Liang membentak pula, "Pergi!". Menyusul pipa
tembakaunya dipuntir dan diangkat ke atas, segera Liong Bokkong
tergetar pergi sejauh setombak lebih.
Akan tetapi Liong Bok-kong memang bukan tandingan
lemah, sungguhpun ia terhuyung-huyung ke belakang, tetapi
ia tidak sampai jatuh tersungkur.
"Lekas datang, Suhu!" kembali ia berteriak minta tolong.
Tapi begini ganti gerak tipunya, segera Khong Liang
merang-sek maju lagi. Dalam keadaan terpaksa Liong Bokkong
harus menangkis sekuatnya, namun ia hanya bisa
menahan saja, untuk balas menyerang sudah tidak mampu


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula. Sebaliknya makin lama rang-sekan Khong Liang semakin
hebat, sampai tiga-lima puluh jurus lagi, tiba-tiba terdengar
orang-orang di samping berseru, "Hu-cecu, itu datang lagi
seorang Hwesio!" "Bagus, biarkan gurunya melayat muridnya ini," sahut
Khong Liang. Sebaliknya demi mendengar kedatangan si Hwesio,
semangat Liong Bok-kong terbangkit, mendadak ia menikam
sekuat tenaga, ia mengincar pinggang Khong Liang. Namun
orang tua ini sudah menduga sebelumnya bahwa musuh akan
melakukan serangan ini, ketika ia menarik diri dan bergeser
pergi, tikaman Liong Bok-kong menjadi luput, ia kehilangan
imbangan badan dan menyelonong ke depan. Kesempatan ini
tidak disia-siakan oleh Khong Liang, dengan mengeluarkan
suitan panjang, dengan tipu gerakan 'To-pak-kim-ceng' atau
Tembang Tantangan 25 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Pendekar Muka Buruk 3
^