Pencarian

Dewi Penyebar Maut X I I I 1

Candika Dewi Penyebar Maut X I I I Bagian 1


CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-13 Oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Oktober 1991
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1. TARA KI MAHENDRA melompat tiga langkah. Ni Sinom telah
berada di sampingnya ketika ia menjejakkan kaki di tanah.
"Aku yang melihatnya lebih dahulu!" dengus Ni Si-
nom. "Apa?" tukas Ki Mahendra.
"Ya benda itu!"
Ni Sinom menuding ke arah titik hitam besar yang
meluncur menggores langit kemerahan di atas sana.
Mereka jelas belum tahu bahwa titik hitam itu adalah tubuh Tara, yang sengaja
melontarkan dirinya terjun ke Jurang Grawah itu. Atas bisikan suara yang tak
dike-nalnya. Dan juga sebagai cara agar ia tak dipergunakan oleh musuh-musuhnya
untuk mengkhianati perguruannya.
"Ya. Tapi siapa pun yang mendapatkannya belum ke-
tahuan, bukan" Eh, lihat itu. Ada satu jatuh lagi!" Tiba-tiba Ki Mahendra
berpaling dan menuding ke bagian belakang mereka.
"Mana?" Ni Sinom ikut berpaling. Tetapi ia terkejut.
Rupanya Ki Mahendra telah menipunya. Saat ia berpa-
ling, didengarnya tubuh Ki Mahendra melesat lepas.
"Curang kau!" jerit Ni Sinom gemas. Cepat ia memu-
tar kaki dan melompat sekaligus menendang dengan
kekuatan dahsyat pada pohon besar di sampingnya.
Tubuhnya meluncur pesat sekali ke arah tubuh Tara
yang masih merupakan titik hitam di ketinggian itu.
Namun mendadak kakinya terasa panas, dan ia terpak-
sa berjumpalitan menghindar.
"Kurang ajar!" desis Ni Sinom. Ternyata Ki Mahendra
telah mencoba menghalanginya dengan melancarkan
sebuah pukulan penghadang. Hampir Ni Sinom terjeru-
mus ke dalam rimbunan ranting-ranting sebuah pohon
raksasa. Dengan geram ia merenggut dua genggam
daun dan melontarkannya ke arah di mana kira-kira Ki Mahendra berada. Dan
ternyata 'serangannya' itu mengena. Terdengar di arah sana Ki Mahendra membentak
marah. Tapi Ni Sinom tak melihatnya lagi. Ia telah melesat kembali menyongsong
tubuh Tara. "Ya ampun! Itu manusia!" seru Ni Sinom.
Memang. Kini Tara sudah tinggal beberapa depa di
atasnya, hingga terlihat jelas itu tubuh manusia.
"Laki-laki, lagi! Jangan sentuh!" Terasa sambaran
angin saat Ki Mahendra meluncur di sampingnya.
"Enak saja!" seru Ni Sinom, tak berpikir panjang lagi melontarkan pukulan Bindi-
Saketi ke arah sosok tubuh Tara.
"Ooops!" Ki Mahendra yang sudah siap menyambar
tubuh Tara terkejut. Hantaman Ni Sinom membuat Tara
terpental naik lagi. Ki Mahendra tak kurang akal. Ia memutar tubuh dan dengan
kepala di bawah ia menjulurkan kaki untuk menggaet sasaran. Ia menjerit. Sambil
lewat Ni Sinom telah 'menusuk' kaki Ki Mahendra
dengan dua buah jari tangannya.
"Curang!" teriak Ki Mahendra geram. Tanpa sungkan
lagi ia menghantam dengan pukulan dahsyatnya.
"He! Bisa hancur dia!" jerit Ni Sinom. Ia memutar tubuh di udara. Kakinya
menggaet tubuh Tara, sementara kedua tangannya menangkis hantaman Ki Mahendra.
"Arggghhh!" terdengar dua jeritan sekaligus. Baik Ni Sinom maupun Ki Mahendra
terempas saat kekuatan
mereka saling berbenturan.
Tapi sebelum mereka roboh ke tanah, mereka sem-
pat bersamaan meluncurkan pukulan ke arah Tara
hingga tubuh lemas pemuda itu kembali melambung.
"Gila! Kau sungguh-sungguh menghantamku!" pekik
Ni Sinom. "Gemas aku! Gemas aku! Kau yang menjegalku!" te-
riak Ki Mahendra.
"Pokoknya kau minggir!" Tiba-tiba Ni Sinom meninju
dada Ki Mahendra sambil melompat mundur. Ternyata
pada saat yang sama Ki Mahendra juga menghantam
dan melompat ke samping pula.
"He. Gerakan kita sungguh indah!" teriak Ki Mahen-
dra. "Kakang Megatruh pasti iri melihat ini. Coba sekali lagi!"
"Nanti saja!" Tubuh Ni Sinom telah berada di atas
dahan dan kini melesat menyambut Tara.
"Heeeee! Tunggu aku!" Ki Mahendra tak mau kalah.
Ikut meloncat tinggi.
"Biar aku yang menangkapnya!" teriak Ni Sinom.
"Aku!" balas Ki Mahendra.
Gerak memutar Ki Mahendra seakan menjauh. Te-
tapi saat Ni Sinom sedang akan menjulurkan tangan
untuk menangkap Tara, tahu-tahu Ki Mahendra sudah
ada di dekat situ, dan menjulurkan kakinya, serta berhasil menendang Tara mental
ke atas. "Kurang asem!" desis Ni Sinom dan kembali tubuh-
nya berputar di udara untuk meluncur naik. Kali ini ia benar-benar kalah
selangkah dari Ki Mahendra. Tangan si gundul berjenggot lebat itu berhasil
mencekal kaki ki-ri Tara.
"Kena!" teriak Ki Mahendra.
"Belum!" jerit Ni Sinom. Dari tangannya mendadak
meluncur selendang yang biasa dibelitkan di pinggangnya. Dengan hentakan
bertenaga, ujung selendang
membelit pinggang Tara dan merenggutnya dari pega-
ngan Ki Mahendra.
"Curang!" teriak Ki Mahendra.
Tapi terlambat. Ni Sinom menyusulkan sebuah ten-
dangan dahsyat hingga mau tak mau Ki Mahendra
menghindar dan tangan kiri Ni Sinom berhasil merang-
kul Tara kini. "Aku yang dapat!" teriak Ni Sinom, mendarat di seba-
tang pohon besar dan siap-siap untuk mempertahankan
miliknya itu. "Aaaa, tapi kau curang! Kau pakai selendang! Gemas
aku!" Di bawah pohon Ki Mahendra membanting kaki
geram. "Pokoknya aku yang dapat!" tukas Ni Sinom.
"Iyalah! Iyalah! Kali ini kau menang!" Ki Mahendra
bersungut-sungut. "Ayo. Sekarang lepaskan lagi dia. Bi-ar kita berebut
menangkapnya lagi. Kali ini tidak boleh memakai alat apa pun!"
"Lepaskan dia?" Ni Sinom memperhatikan orang
yang dirangkulnya itu. Seorang pemuda. Kurus. Ping-
san. Wajahnya tampak menderita.
"Iya. Coba lemparkan ke atas kan terbang lagi," kata Ki Mahendra.
"Terbang" Kamu kira ini apa?"
"Burung?" tanya Ki Mahendra lugu.
"Burung gundulmu!" Ni Sinom melemparkan Tara ke
Ki Mahendra dan melompat turun.
"Eh... bukan burung, ya?" Ki Mahendra memeriksa
tubuh Tara. "Ini kok seperti... seperti..."
"Kau kenal?" tanya Ni Sinom heran.
"Seperti manusia!"
"Kurang asem! Jelas ini manusia!"
"Lha... tadi kok terbang" Apa adat orang daerah sini, ya?"
"Bukan terbang. Pasti ia jatuh dari atas sana."
"Aku yakin itu."
"Apa?"
"Kalau jatuh pasti dari atas. Kalau dari bawah na-
manya bukan jatuh!"
"Nggak nanya!" Ni Sinom membungkuk memeriksa
Tara dengan teliti. "Aneh. Anak ini kuat sekali!"
"Kok tahu?"
"Raba denyut nadinya. Tetap tenang dan teratur.
Seolah ia tahu akan menghadapi bahaya dan telah me-
lindungi dirinya."
"Ah. Itu hanya karena pengaruh dirimu, istriku."
"Kok?"
"Kamu memang biasa membuat tenang orang. Se-
perti aku... kalau ketakutan kupegang tanganmu dan
aku jadi tenang." Ki Mahendra tertawa.
"Sudah. Coba kausadarkan dia. Aku akan mencari
beberapa ramuan obat!"
"Caranya bagaimana?" teriak Ki Mahendra. Tetapi Ni
Sinom telah pergi. Ki Mahendra mengangkat bahu.
Dengan kasar dibalikkannya tubuh Tara. Kemudian ce-
pat sekali tangannya memijit, mengurut, dan menusuk
dengan ujung jari di berbagai tempat di punggung Tara.
Bagi Tara itu adalah pengalaman yang sangat tak
terlupakan. Mula-mula mendadak sekali ia sadar. Ke-
mudian terasa seluruh tubuhnya bagaikan dijalari se-
rangga-serangga berkaki seribu. Belum sempat ia sepe-nuhnya sadar apa yang
terjadi, ia menjerit keras. Di dalam tubuhnya kini seolah dipenuhi jarum yang
mengalir di seluruh pembuluh darahnya, memberinya rasa pedas, perih, dan pedih.
Kemudian disusul oleh rasa panas. Tara menjerit keras. Sayup-sayup ia mendengar
suara orang tertawa. Tetapi siksaan di tubuhnya terus berlangsung. Hawa panas
itu kini bagaikan berkejaran di dalam rongga tubuhnya. Perutnya serasa melem-
bung. Melembung. Dan meledak! Tak terasa Tara me-
muntahkan segumpal cairan hitam. Kemudian ia me-
rasa sesuatu dituangkan ke dalam mulutnya. Rasanya
sangat pahit. Ia berontak akan memuntahkannya lagi.
Tetapi sebuah tangan yang kuat membuat mulutnya
terkatup. Dan cairan itu meluncur memasuki kerong-
kongannya. Kembali perutnya bergolak panas. Kembali
ia menjerit keras dan berontak. Tetapi setelah itu semua terasa sejuk. Sejuk
sekali. Dan ia merasa mengantuk. Ia tertidur.
Ia terbangun oleh bau sedap sesuatu yang dipang-
gang. Kebingungan Tara mengangkat kepala dan mem-
buka mata. Hari telah malam. Ia berada di antara pepohonan
raksasa. Besar. Kelam. Hitam. Dan di depannya ada
unggun api kecil.
Dua orang duduk di sana. Seorang lelaki tua, gun-
dul, berjenggot lebat, sibuk makan sesuatu dari bara api unggun. Di depannya
seorang wanita. Tampak mu-da dan segar. Cantik. Dengan rambut hitam tebal,
tampak memandang jijik pada si tua.
Gerak mata si wanita membuat si gundul tua berpa-
ling pada Tara, dan tertawa. "Hahaha... rupanya kau
bangun, Le... nih, makan dulu...."
Dengan gerak yang tak terlihat tahu-tahu segumpal
makanan sudah dijejalkan ke mulut Tara. Tara terlalu lemah untuk menolak, tetapi
ternyata makanan itu, entah daging apa, terasa empuk dan manis, hingga tak
terasa ia telah mengunyah dan menelannya.
"Enak, Le" Hayo. Bangkit, duduk sini. Kamu kan
bukan anak kurang ajar, kan, yang maunya disuapi
oleh orang yang lebih tua darimu?" tanya si gundul itu lagi, tanpa menoleh.
"Teri... terima kasih... Kiai...." Tara mencoba bangkit.
Tulang-tulangnya terasa gemeretakan. Seluruh sendi-
nya sakit menyengat. Tetapi dengan menahan diri ia
berhasil duduk. Bersila. Dan menunduk untuk meng-
haturkan sembah.
"Kiai berdua... agaknya telah... menyelamatkan nya-
waku.... Hamba menghaturkan terima kasih...," katanya terbata-bata.
"Tak usah berterima kasih, hihihihi.... Istriku ini su-ka masak daging manusia
segar... jadi ya terpaksa ka-mu kami tolong dulu... untuk nanti kami sembelih...
haha ha...."
Tara sangat kaget mendengar ini. Tetapi sekali lagi ia menghaturkan sembah.
"Nyawa hamba telah Paduka selamatkan.... Sudah
selayaknya... jika hamba... kini... menjadi milik Tuan berdua," kata Tara.
"Huh, anak muda tak punya semangat!" si wanita
kini ikut berbicara. Nadanya ketus. Tetapi suara itu terdengar begitu merdu
hingga mau tak mau Tara meng-
angkat muka untuk melihatnya.
"Anak kurang ajar!" si gundul tua menukas, masih
tanpa berpaling. "Berani kau memandang istriku, he?"
"Mohon ampun... bukan maksud hamba..." Cepat-
cepat Tara menunduk kembali.
"Huh. Penakut! Siapa namamu?" tanya si wanita.
"Hamba Uttara... dari... dari..." Tara tertegun. Ba-
gaimana kalau ini ternyata juga jebakan" Bagaimana
kalau kedua orang ini sesungguhnya adalah kaki-
tangan Dewi Candika yang ingin mengorek ilmunya"
"Hah. Berani kau curiga terhadap kami?" geram si
gundul. "Mohon ampun... hamba... hamba baru saja lolos da-
ri musuh-musuh hamba... ampunilah kecurigaan ham-
ba...." "Huh. Jika kami musuhmu, kok enak sekali kau
kami selamatkan, heh" Kalau tidak karena istriku ini suka makan manusia segar,
sudah kulumat kau!"
"Siapa musuh-musuhmu?" tanya si wanita tajam.
"Mereka... mereka adalah para pemberontak negara.
Mereka ingin merebut kekuasaan Wilwatikta... dan...
kalau Tuan berdua masih kelompok mereka... hamba
mohon... lebih baik hamba Tuan bunuh sekarang juga!"
"Hahaha... kamu masih anak-anak... sudah sok setia
kepada negara dan raja, he" Hehehe... dengar, soal negara, sudah ada yang
mengurus. Kami tak peduli siapa yang berkuasa di Wilwatikta. Jadi... kalau kamu
masih ingin membela Wilwatikta, ya, naik sana, hehehe...."
"Kulihat engkau bukan prajurit," sela si wanita.
"Memang bukan. Tetapi sedari kecil hamba dididik
untuk setia pada negara dan raja. Mohon Paduka ber-
dua tidak menertawakan hamba!"
"Kami pun tak peduli kau berasal dari mana... bah-
kan sesungguhnya kami tak peduli kalau kau tadi han-
cur hihihi.... Mau makan lagi?" Si gundul melemparkan sepotong daging panggang
lewat punggungnya. Tanpa
melihat. Dan potongan daging itu tepat masuk ke dalam mulut Tara yang sedang
terbuka untuk mengucapkan
sesuatu. Si gundul tertawa geli mendengar Tara gelagapan karenanya.
"Ya kami tak peduli siapa musuhmu di atas sana," si
wanita berkata. "Tapi tubuhmu kuat sekali. Orang biasa paling tidak akan


Candika Dewi Penyebar Maut X I I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menderita patah tulang walaupun
kami yang menyambutnya. Kau pernah berguru suatu
ilmu kesaktian?"
Tara tertegun. Ia baru sadar. Mereka berdua ini me-
mang pasti sangat luar biasa untuk bisa menyambut-
nya tanpa cedera. Dan... sekali lagi ia ditanya tentang gurunya. Mungkin jebakan
lagi" "Hamba murid yang sangat tidak berguna." Tiba-tiba
Tara bersujud lagi. "Hamba tak ingin membuat guru
hamba malu. Karenanya... mohon jangan tanyakan hal
itu pada hamba lagi."
"Gemas aku! Gemas aku!" Tiba-tiba si gundul bang-
kit dan membanting-bantingkan kakinya. "Cuma tanya
begitu saja kau tak mau jawab?"
"Mohon ampun, Kiai...."
"Huh. Ya sudah." Si gundul secara mencengangkan
kembali tenang dan duduk. "Cuma... kau mesti tahu...
daging yang baru kamu makan itu adalah daging kad-
al!" Dan si gundul betul-betul memperlihatkan seekor kadal yang dikeluarkannya
dari kantongnya dan mulai
dipanggangnya di api.
Mual terasa perut Tara. Hampir saja ia muntah. Tapi
segera ditahannya. Ia bersila. Mengatur pernapasan.
Menenangkan perutnya yang sedang bergolak.
"Eh, caramu mengatur pernapasan sangat bagus,"
tiba-tiba si wanita berseru.
"Iya... cuma... perutmu mestinya datar... hihihi... ke-kenyangan, ya?" si gundul
tertawa. Si wanita berdiri dan berjalan mendekati Tara. Tiba-
tiba tangannya terjulur, mencengkeram bahu kanan
Tara. Tara menjerit. Tapi terkejut. Seketika terasa seluruh dadanya lega. Dan
hangat. "Hmh. Gurumu cukup ahli," kata si wanita.
"Mohon ampun... bolehkah hamba tahu nama Padu-
ka berdua?" Tara jadi heran.
"Tidak boleh!" si gundul menyela.
"Agaknya perasaanmu sedang tertekan... ada pera-
saan sangat sedih... ada perasaan sangat marah... ada perasaan sangat kesal..."
Si wanita memandang Tara
dengan pandangan sangat tajam. "Itu bukan urusan
kami. Tapi jika kau mau... kau boleh menceritakannya pada kami. Tapi bukan
berarti kami akan membantu-mu..."
"Jelas bukan!" si gundul menyela. "Kami paling-pa-
ling akan menertawakanmu, hihi hi.... Kami sangat su-ka melihat orang menderita,
lho!" Tiba-tiba sesuatu seakan menyumbat tenggorokan
Tara. Apa yang dikatakan si wanita memang sangat te-
pat. Saat itu Tara terkenang akan gurunya. Betapa ia telah menerima budi begitu
banyak dari Sang Guru. Si wanita seakan memancarkan kelembutan kasih sayang
keibuan yang selama ini hanya diwakili oleh kasih
sayang gurunya. Tapi pada saat yang sama ia juga me-
rasa begitu sedih dan pedih, teringat olehnya bencana yang telah menimpa
perguruannya. Dan perasaan marah serta kesal saat ia ingat bahwa dirinya sangat
ber-peran dalam kehancuran perguruannya itu!
Dadanya serasa akan meledak. Berbagai perasaan
itu bergolak. Pandangnya nanar. Matanya mendadak
gelap. Dan ia menjerit keras, "Guruuuuuu!"
Kemudian ia pingsan.
2. KAKI DAN NINI
KETIKA Tara sadarkan diri lagi, hari telah pagi. Jadi ia telah pingsan semalam
suntuk. Si gundul tua itu ada di hadapannya. Juga wanita
dengan rambut hitam legam yang kini makin tak bisa
diperkirakan umurnya.
"Ni, si kadal ini sudah siuman, lho! Kita hajar tidak?"
tanya si gundul.
"Hus. Ya jangan! Kenapa?" tanya si wanita.
"Ugh! Bikin kesal semalaman. Semalaman dia kau-
rawat terus. Padahal... suamimu kan aku, toh" Lha kok aku malah tidak kaurawat!"
"Lha kamu sakit apa?"
"Lha dia sakit apa?"
"Dia jelas pingsan!"
"Aku... kalau aku mau sih... gampang saja pingsan!
Kau mau aku pingsan?"
"Belum. Nanti saja. Sekarang carikan air!"
"Gemas aku! Gemas aku! Aku, suamimu, kausuruh
cari air" Si kadal jelek ini kaubiarkan berbaring enak-enakan" Dan dia bukan
anakmu, bukan keponakanmu,
bukan suamimu?"
Tara merasa tak enak mendengarkan pertengkaran
itu. Susah payah ia bangkit. Dan kembali terasa kepalanya berat sekali. Matanya
berkunang-kunang.
"Mohon ampun... hamba tak berani merepotkan Pa-
duka berdua... biar hamba sendiri yang... ugh..."
Tara merasa tak kuat lagi dan roboh.
"Tuh lihat! Kau membuatnya pingsan lagi! Cepat am-
bil air!" perintah si wanita.
"Iya, iya, iya!" Si gundul bergegas pergi.
"Dan tak usah main-main, ya!" Si wanita cepat me-
mijit-mijit dan mengurut-urut beberapa bagian tubuh
Tara. Tara segera siuman. Dan merasa segar.
"Duh, hamba akan berutang budi pada Tuan-tuan
berdua... tapi... rasanya tak usah terlalu merepotkan,"
katanya hampir mengeluh.
"Kau yang tak usah repot-repot berbasa-basi pada
kami.... Aku suka kamu," kata si wanita.
"Gemas aku! Gemas aku!" Ternyata si gundul tua itu
sudah muncul, membawa belanga kecil dari tanah yang
agaknya memang merupakan peralatannya. Belanga itu
berisi air. "Aku tinggal sebentar dan kau sudah bilang begitu padanya. Aku buang
air ini!" "Hus, jangan. Tingkahmu seperti kakek-kakek saja.
Sok cemburu! Ayo, masak air itu!" perintah si wanita.
"Hwarakadah! Buat dia?" Si gundul memiringkan ke-
palanya heran. "Kita jadi... pelayannya?"
"Sudahlah. Selama dia sakit, ya. Hayo! Cepat. Se-
mentara air masak, kau bantu aku memulihkan tenaga
anak ini. Dia agaknya sudah punya dasar tenaga dalam yang... mirip aliran kita!"
Kata-kata si wanita yang terakhir itu diucapkannya
dengan lirih. Tetapi ini didengar jelas oleh Tara. Dalam pikirannya segera
berkelebat berbagai tingkah para pe-nawannya. Dewi Candika. Wara Huyeng.
Nagabisikan. Juru Meya. Dan lain-lain. Mereka semua selalu berlagak bahwa mereka sealiran
dengannya. Dengan tujuan untuk menjebaknya! Apakah kedua orang ini begitu juga"
Ia tak bisa berpikir panjang. Si wanita telah mem-
buatnya terduduk, dan menempelkan kedua telapak
tangan di punggungnya. Si gundul kini duduk di hada-
pannya. Kedua tangannya terjulur. Mula-mula mengge-
litik di bawah ketiaknya dan tertawa terbahak-bahak
ketika Tara menggeliat kegelian. Tetapi setelah dibentak oleh si wanita ia pun
jadi serius. Dan mereka menggu-mamkan beberapa mantra yang membuat Tara me-
ngantuk. Tara terkejut. Jangan-jangan ini cara lain untuk me-
nyadap ilmunya. Cepat ia menutup diri. Tentu dengan
susah payah karena dari tangan kedua orang itu me-
luncur deras suatu hawa hangat yang langsung menye-
lusup ke seluruh tubuhnya. Tara ingin menjerit dan ia memusatkan pikiran untuk
melawannya. Melawannya!
Melawannya! "Jangan kaulawan!" terdengar suara lembut seolah di
telinganya. Tetapi Tara tahu bahwa suara itu hanyalah bisikan batin si wanita
yang entah bagaimana mampu
menyusup ke dalam pikirannya. Suara itu begitu sejuk hingga sesaat ia mengendur.
Namun mendadak arus
tenaga yang dari depan, dari si gundul, membanjir
menghantam. Dan seolah terdengar suara si gundul itu tertawa berlagu, "Hayo
lawan, hayo lawan, jangan sam-
pai tertawan! Hayo lawan, hayo lawan, jangan sampai
tertawan!"
Kembali Tara ingin menjerit. Kedua tenaga itu kini
tidak saling membantu lagi, tapi malah bertarung! Mau tak mau terpaksa Tara
mengerahkan sisa-sisa tenaga-nya untuk melindungi diri hingga dalam tubuhnya
seo- lah terjadi tiga pergolakan tenaga yang dahsyat!
Entah berapa lama Tara berada dalam siksaan itu.
Sayup-sayup ia mendengar bentakan si wanita dan ta-
wa si gundul. Kemudian sesuatu yang hangat masuk...
melalui mulutnya.
Dan ia terkulai lemas.
"...Kamu yang bertanggung jawab!" itu suara perta-
ma yang didengarnya. Suara si wanita. Perlahan Tara
mengangkat kepala dan membuka mata. Remang-re-
mang dilihatnya kedua orang itu berhadapan, seolah
dalam kedudukan kuda-kuda untuk bertarung.
"Salahnya sendiri, kenapa ia lemah! Kalau aku, mi-
salnya, tak mungkin tenaga apa pun mempengaruhiku!"
kata si gundul.
"Jelas, karena tenagamu hanya untuk merusak! Ha-
yo kalau kau berani, mari kita bertempur sampai seribu jurus. Aku ingin lihat
apa tenagamu akan masih utuh!"
bentak si wanita.
"Eh. Tunggu, tunggu, tunggu. Kalau kau membela
kakakmu, aku mengerti. Dia kan kakakmu. Dan kakak
iparku. Tapi kalau kau membela anak ini, apa tidak ke-terlaluan?"
"Yang jelas kau menghalangi usahaku untuk me-
nyembuhkannya!"
"Gemas aku! Gemas aku!" Si gundul membanting-
banting kakinya, mengorak tata kuda-kudanya. "Hanya karena anak ini kau hampir
menangis. Dan itu belum
pernah kaulakukan dalam seratus tahun ini!"
"Ngawur! Umurku juga belum seratus tahun!" tukas
si wanita. "Belum, ya" Tapi kau hampir nangis, istriku... baik-
lah, baiklah. Aku mengalah... kau boleh berbuat apa sa-ja dengan dia... asal kau
jangan menangis! Dan asal kau ingat, suamimu aku. Bukan dia. Lho. Jelas kan be-
danya. Rambutnya banyak, rambutku sedikit. Dia jelek, aku tampan. Dia muda...
aku tak jauh berbeda, hihihi...
Hayo, senyumlah, Nimas!"
"Huh!"
Si wanita hanya membuang muka dan mendekati
Tara yang telah bangkit duduk.
"Namamu Tara, bukan?" tanya si wanita, duduk di
depannya. Suara itu seolah menggedor telinga Tara dan ia me-
ringis kesakitan. Pikirannya serasa tumpul. Ia ingin menjawab sebaik-baiknya.
Tetapi yang keluar hanyalah sepatah kata sumbang, "Ya..."
"Kau sudah sembuh. Tenagamu sudah pulih. Bebe-
rapa jaringan hidup tenagamu tadinya rusak oleh ber-
bagai kekuatan yang kami tidak mengerti. Tetapi itu
semua sudah pulih," kata si wanita, matanya yang hi-
tam tajam terus memperhatikan mata Tara.
"Ya...," kata Tara lemah. He. Mengapa ia tak bisa
mengeluarkan semua pikirannya dalam kata-kata"
"Kau memiliki rasa ketakutan yang sangat besar, se-
hingga kau mula-mula melawan tenaga kami," kata si
wanita. "Betul, betul, betul! Dasar anak penakut. Itulah yang membuat kesembuhanmu tidak
wajar! Bukan gara-gara
aku, lho! Bukan!" sela si gundul yang kini jongkok di sebelahnya.
"Gara-gara kau juga!" bentak si wanita.
"Hwarakadah! Masa begitu kaukatakan di depannya!
Dia bisa besar kepala, lho! Lhah! Kepalaku besar tidak, ya?" Si gundul meraba-
raba kepalanya sendiri.
"Dasar kau sudah kakek! Sudah pikun!" sembur si
wanita. "Dasar kau sudah nenek! Eh. Kau belum pikun ya,
masih cantik lagi, hihihi...."
Mau tak mau si wanita tersenyum, namun segera
berpaling lagi kepada Tara.
"Kau sembuh. Tetapi tidak sempurna. Begitulah. Ada
satu hal yang ingin kami tanyakan. Kau memiliki tenaga dalam yang sealiran
dengan kami. Dari mana kau belajar?"
"Dari... dari guru," jawab Tara berat.
"Siapa gurumu?"
"Si... siapa, ya" Guruku adalah... guruku..." Tiba-tiba pikirannya membuntu. Si
wanita menggeleng-gelengkan
kepala. "Kau begitu ketakutan hingga serta-merta kau selalu
menutup diri untuk beberapa hal tertentu. Itu membuat kami tak bisa
menyembuhkanmu dengan sempurna."
"Dan itu yang terbaik, hihihi," si gundul tertawa.
"Terus terang, begitu melihat kau, aku sangat senang padamu," kata si wanita.
"Hwarakadah! Jangan percaya, kadal. Wanita di de-
panmu ini sudah punya anak! Sudah punya suami.
Aku," kata si gundul.
"Kau mengingatkan aku pada anak kami," kata si
wanita "Tidak mungkiiiin! Si Tantri kecil mungil, tampan,
cerdas, nakal, dan kurang ajar. Tidak seperti dia!" kata si gundul.
"Jangan hiraukan dia," kata si wanita.
"Hehehe... kalau ada Tantri di sini, siapa bisa tidak menghiraukan dia?" kata si
gundul. "Kalau ada Tantri di sini, akan aku ajak dia minggat jauh darimu!" si wanita
berkata kesal pada si gundul.
"Hwarakadah, jangan! Jangan! Jangan tinggalkan
daku!" Si gundul sampai menyembah-nyembah di ha-
dapan si wanita.
"Kalau begitu diam dulu, biar aku berbicara dengan
anak ini!" Si wanita menggeserkan kaki dari sembahan si gundul.
"Baik, baik, baik. Aku diam. Aku diam!" Si gundul
menutup mulutnya.
"Dengar, Tara. Karena kesembuhanmu kurang sem-
purna, maka akan sangat berbahaya bila kau kami tinggalkan. Atau kau
meninggalkan kami. Karenanya, ku-
minta kau ikut kami. Mau?"
"Ya..." Padahal Tara akan menolak!
"Bagus. Mulai sekarang kau adalah Tole. Dan ini
adalah Kaki. Aku Nini. Kau jelas?"
"Ya," jawab Tara.
"Hwarakadah!" si gundul akan memberi komentar.


Candika Dewi Penyebar Maut X I I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi karena dilirik oleh si wanita ia kemudian berbicara dengan sebatang pohon
di sampingnya, berbisik-
bisik, "Namanya lucu-lucu, ya" Nama apaan itu" Kalau aku yang memberi nama...
wuah, namaku pastilah...
mmhhh... anu, Rama. Nah, kan cocok, kan" Dan istriku tentu, Sinta! Hihihi... dan
anak itu" Wah. Bukan Hano-man. Terlalu bagus. Dia si kadal saja, hehehe...."
"Kami sedang mengadakan perjalanan mencari anak
kami. Ilmunya mirip kami. Jadi mirip kamu juga. Gu-
rumu bukan seorang pemuda bertubuh kecil yang mirip
anak kecil?"
"Ya... bukan... tidak...," kata Tara kebingungan.
"Ah... sudahlah... hayo ikut kami, dan perlahan-
lahan kami sembuhkan kau di perjalanan," kata Nini.
3. KIAI SENDANG AMPAL
ROMBONGAN kecil itu sungguh aneh. Si Kaki yang
gundul berjenggot putih sungguh usil. Jika mereka melewati pedesaan ada saja
ulahnya hingga paling tidak mereka dikerumuni orang dan paling parah mereka di-
kepung oleh pasukan keamanan - hanya karena si gun-
dul ini seenaknya masuk ke dapur rumah buyut sebuah
desa dan santai sekali memasukkan beberapa ekor
kadal ke belanga tempat istri si buyut menyiapkan santap siang.
Si Nini juga menarik perhatian. Sering ia mencegah
keusilan si Kaki, tetapi dengan cara yang makin mem-
buat keusilan itu bertambah kacau. Saat si gundul di-kepung pasukan keamanan,
misalnya, si Nini kemudian
ikut membantu menangkap si Kaki. Tetapi gerakannya
begitu ceroboh hingga pendapa utama desa itu satu per satu patah tiangnya dan
akhirnya sama sekali roboh -
tanpa si Kaki tertangkap.
Si Tole memang pendiam. Tapi justru karena terlalu
pendiam ia juga menarik perhatian. Jika ia sudah disuruh tinggal di suatu tempat
oleh si Nini, maka ia tak akan pindah tempat, apa pun yang terjadi. Saat dapur
buyut yang diceritakan di atas akhirnya terbakar, maka Tole masih duduk tenang
di salah satu sudutnya, dikeli-lingi oleh kobaran api. Nyaris ia hangus terbakar
kalau si Nini tak ingat padanya dan kembali untuk menyela-matkannya - padahal
berdua dengan si Kaki mereka te-
lah lari jauh masuk ke hutan.
Sesungguhnya Tole banyak memperoleh keuntungan
dari si Kaki dan si Nini. Si Nini dengan sabar mengurai-kan beberapa cara
bersemadi dan menghimpun tenaga.
Mula-mula untuk memancing dan memperkirakan dari
mana Tole memperoleh ilmunya. Tetapi akhirnya adalah
pengajaran kembali yang lebih mendalam daripada yang pernah diterima Tole alias
Tara selama ini. Hanya, suatu hal membuat pelajaran yang diterima Tole menjadi
kacau. Si Kaki tak pernah melewatkan kesempatan un-
tuk mengacaukan apa saja yang diajarkan Nini pada
Tole. Dari ilmu-ilmu yang dalam sampai sesuatu yang
sederhana, misalnya cara menanak nasi. Anehnya Tole
tak pernah merasa ditipu oleh Kaki. Apa saja yang dikatakan si Kaki,
dilakukannya. Hingga jika di pagi hari pe-lajarannya bertambah, di sore hari
ilmunya mundur tiga langkah karena ulah Kaki.
Hari itu. Mereka bertiga berdiri di puncak tertinggi sebuah jalan. Jalan setapak di depan
mereka curam menurun. Ke sebuah lembah yang membentang subur di bawah sa-na. Ada
sumber air yang airnya tampak jernih dari atas sini. Dan beberapa pesanggrahan.
Tampak juga beberapa belas orang mondar-mandir di sana. Bahkan sayup-
sayup terdengar suara gamelan.
"Wah, gemas aku!" kata Kaki.
"Kenapa lagi, Ki?" tanya Nini.
"Di tengah hutan seperti ini kok ada tempat yang
ramai seperti itu. Ya nggak pantas, kan" Ya nggak,
Tole" Tengah hutan, mestinya banyak macan, atau
gandarwa peri Perayangan. Ya, toh" Paling tidak berbagai makhluk yang
menakutkan... seperti Lelepah yang suka makan daging mentah, dengan lidah
terjulur sampai ke tanah. Atau Glundung-plengeh, tempurung kepala manusia yang
menggelinding ke sana kemari sambil tersenyum-senyum. Atau Nini Towok, wanita
cantik dengan rambut jabrik yang suka menari turun-naik. Nah, begitu baru pantas
disebut hutan rimba!"
"Kau dengar nama tempat ini dari orang desa tadi,
Ki?" tanya Nini.
"Ya jelas. Kupingku toh belum tuli. Berkat makan
kadal sepuluh kali sehari! Hihihi!"
"Tempat ini namanya Sendang Ampal," kata Nini.
"Sudah tahu!"
"Tempat ini dijadikan pusat gerombolan perampok di
bawah pimpinan Kiai Sendang."
"Nah, begitu lebih baik. Hutan ada gerombolan pe-
rampoknya, itu cukup pantas."
"Kiai Sendang dulu sangat kejam. Siapa yang lewat,
dibunuh, hartanya dirampas."
"Bagus! Aku mau tahu apa dia mau merampas si
Tole tolol ini, hihihi!"
"Tetapi akhirnya ia rugi. Walaupun ini jalan terpen-
dek dan terbaik menuju Pantai Selatan, mendengar be-
rita kekejamannya, orang mulai menyingkiri tempat ini."
"Aduh, kasihan! Gemas aku! Kok ada ya orang yang
tidak mau dibunuh!"
"Maka, Kiai Sendang membuat peraturan. Ia tak
akan melukai siapa pun yang melewati tempat ini... asal seperempat bagian dari
apa pun yang mereka bawa, di-serahkan padanya. Atau membayar sejumlah uang
emas bagi orang kaya yang tak membawa barang!"
"Waduh! Lalu... dia tak suka membunuh orang lagi"
Hanya mengumpulkan barang dan uang" Kasihan!"
"Tetapi peraturan itu ternyata menarik. Para sauda-
gar lebih suka membayar pajak tersebut daripada harus mengambil jalan memutar.
Dan Kiai Sendang makin
kaya. Pasukannya makin kuat. Tentara Wilwatikta pun
tak mampu membasminya."
"Hayo kita cepat ke sana, Nini. Gemas aku! Gemas
aku! Ada orang kok sepintar itu. Aku ingin lihat! Aku ingin lihat!" Dan tiba-
tiba si gundul berjenggot putih ini mengeluarkan selembar kain dari buntalan
yang diba-wakan oleh Tole. Ia mengumpulkan beberapa buah ba-
tu, membungkusnya dengan kain tadi dan memberi-
kannya kembali pada Tole. "Nah, Tole, jika ada orang bertanya, maka kau jawab
kau membawa bongkah-bongkah emas murni dari Swarnadwipa. Mengerti?"
"Ya," jawab Tple singkat.
"Ayo, turun ke sana!" Si tua ini bergegas mendahu-
lui. Tanah lapang di dasar lembah itu sungguh menye-
nangkan. Di sebuah pendapa kecil, sekelompok peda-
gang sedang beristirahat dengan rombongan pengawal
mereka. Beberapa orang sedang memasak makanan
atau makan. Atau mandi di anak sungai Sendang Am-
pal yang jernih. Berbaur dengan mereka adalah bebe-
rapa lelaki berwajah seram dan berpakaian serba hitam.
Tetapi mereka ini tidak bersikap seram. Beberapa malah sedang tawar-menawar
dengan para pedagang.
Di pendapa utama seorang lelaki bertubuh tinggi be-
sar, kekar, berkulit hitam, duduk di semacam dampar, tempat duduk dari lempengan
batu hitam. Beberapa
pengawal mengelilinginya. Di hadapannya duduk para
pedagang besar sedang menyerahkan sekantong ba-
rang-barang permata.
"Hahahaha... Ki Banda agaknya tahun ini beruntung
besar, ya... tiap lewat sini, makin besar sumbangan
yang diberikan pada kami." Orang bertubuh tinggi besar itu tertawa puas melihat
jumlah harta yang dipajang di depannya.
"Itu pun berkat kemurahan hati Kiai." Saudagar yang
bernama Banda itu tampak juga gembira. "Dengan
memberi izin kami lewat daerah Kiai, maka keuntungan kami memang cukup lumayan.
Jadi apa yang kuper-sembahkan ini, bersama kawan-kawan, hanya sekadar
rasa syukur saja, Kiai."
"Bagus, bagus, bagus! Aku gembira. Tidak banyak
saudagar sejujur kau dan kawan-kawanmu, Ki Banda.
Aku sungguh puas... Hah... siapa itu?"
Semua berpaling.
Dari arah jalan masuk tampil tiga orang yang dari
penampilannya saja membuat orang segan untuk ber-
paling. Seorang tua gundul. Seorang wanita berpakaian dekil. Seorang pemuda yang
tampak tolol. "Huh. Pengemis dari mana berani masuk daerah si-
ni?" geram Kiai Sendang.
"Bagaimana kalau hamba usir saja mereka, Kiai?"
seorang pengawal berbisik.
"Jangan diusir, Dira. Bunuh mereka! Biar orang tahu
bahwa Kiai Sendang masih patut ditakuti!" geram Kiai Sendang.
"Baik, Kiai!" Yang disebut Dira tampak sangat gembi-
ra. "Hayo, Adi Graba dan Adi Nando. Ini kesempatan
yang langka, tahu!"
Ketiga pengawal itu menyembah sebagai layaknya
para pengawal keluarga bangsawan. Dan mereka berge-
gas keluar. "Hei, kawan-kawan... hari ini kita boleh membunuh
orang!" teriak Dira pada beberapa kawannya. Mereka
tampak sangat tertarik. Tak lama Kaki, Nini, dan Tole telah dikerumuni oleh
orang-orang seram berseragam
hitam. "Hei, mau apa kalian" Mau minta sumbangan?"
tanya Kaki seolah ketakutan.
"Ya. Kami butuh kepala-kepala kalian!" sahut Dira
yang disambut tawa oleh teman-temannya. "Hayo. Ulur-
kan leher biar kami potong satu per satu."
"Wuah! Kepalaku jelek. Kepala mereka berdua saja,
ya?" Si gundul menunjuk pada si wanita dan si pemu-
da. "Lagi pula... kan peraturan di sini hanya diminta menyerahkan seperempat
bawaan kami. Nah... bawa-
anku kedua orang itu. Kalian belah salah satulah, hehehe... Di sini ada kambing
panggang tidak?"
"Sekarang belum. Nanti ada kakek panggang, haha-
ha," Dira tertawa disambut oleh teman-temannya.
"Anak tampan, kamu belum kawin, ya?" tiba-tiba Ni-
ni bertanya. "Huh. Kenapa?" tanya Dira.
"Sayang. Lihat harta di punggung pelayanku itu. Cu-
kup untuk membuat mati orang sekampung! Apa kamu
nggak ngiler?"
Dari tadi Dira dan kawan-kawan memang telah
memperhatikan kantong besar di punggung si pemuda.
Mereka jadi tertarik.
"Apa yang kaubawa itu?" tanya Dira.
"Batu! Hehehehe," sahut Kaki dan tertawa terkekeh-
kekeh. "Kamu kira pengemis seperti kami ini bisa bawa barang-barang emas
permata, hah" Tidak, Tuan. Sekarang zamannya pengemis mondar-mandir bawa batu!
Hihihihi... alangkah tololnya mereka ya, Nini!"
"Pasti ada yang lebih tolol dari mereka, Kaki."
"Awas kalau kamu menyebut aku!"
"Bukan!"
"Bukan si Tole juga?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Orang gila yang menamakan diri Kiai Sendang itu!
Hihihi," Nini tertawa begitu geli hingga harus mem-
bungkuk-bungkuk. Kaki ikut tertawa dan kedua tawa
itu terasa saling mengisi, merdu bagaikan lagu, dan tajam menyelusup ke segala
arah. Di pendapanya, Kiai Sendang terkejut.
Tadi ia berpikir anak buahnya akan dengan sangat
mudah dapat membereskan ketiga gelandangan ini. Te-
tapi suara tawa itu begitu menusuk telinga. Tak terasa
ia meraba cambuk pusaka Kiai Nagapasa yang melilit
pinggangnya. Kemudian ia sadar. Mungkinkah ketiga
orang itu harus dibereskan dengan cambuk pusaka
yang membuat dia disegani di delapan penjuru" Ia
memberi isyarat agar semua orang di sekitarnya diam
supaya ia dapat mengikuti lebih saksama apa yang terjadi di halaman sana itu.
"Bangsat! Rupanya kalian memang tak ingin hidup
lebih lama, ya?" bentak Dira.
"Dia yang tak ingin hidup lebih lama!" Kaki menu-
ding pada Nini.
"Dia!" Nini menuding pada Tole.
"Ya," kata Tole.
Jawaban ini membuat Kaki dan Nini tercengang se-
saat dan mereka tertawa lagi bersama-sama.
"Begini saja. Bunuh dia, anak-anak... dan kalau ka-
lian berhasil, semua batu yang dibawanya boleh untuk kalian!" kata Kaki
kemudian. Kini giliran Dira dan kawan-kawan tercengang.
"Kakang Dira... kita mau omong-omong saja atau
mau bunuh orang, sih" Kalau cuma omong-omong e-
nakan omong-omong di pendapa sana," bisik Nando.
"Ya. Di pendapa dingin, ada minuman lagi," sahut
Graba. "Sudahlah... bunuh yang ini dulu," Kaki ikut berbi-
sik. Ia memang berdiri agak jauh dari mereka tetapi ternyata bisa ikut mendengar
dan saat ia berbisik, bisikan itu pas sampai di telinga ketiga orang tersebut
sebagai bisikan. "Kita berdua lihat-lihat dulu, kok... kalau kira-kira caranya
membunuh enak, kita berdua ikut. Ya, ya, ya?"
Dira dan kawan-kawannya kaget. Serentak mereka
memandang Kaki.
"Jangan ikut omong!" bentak Dira.
"Cuma berbisik juga tidak boleh?" tanya Kaki.
"Diam!" Dira kewalahan. Berpaling pada Tole. "Ulur-
kan lehermu!" bentaknya.
"Ya." Dan Tole benar-benar mengulurkan lehernya.
Ini saja sudah membuat Kaki dan Nini tercengang. Apalagi Dira dan kawan-
kawannya. "Kau rela lehermu dipotong mereka?" tanya Kaki.
"Ya," jawab Tole.
"Idih. Pedangnya tumpul, lho. Kamu harus dibacok
enam kali baru lehermu putus, lho!" kata Nini.
"Delapan kali! Pedang yang itu sepertinya agak beng-
kok," kata Kaki.
"Enam kali!" kata Nini.
"Delapan!" kata Kaki.
"Begini saja. Kita bertaruh, ya. Kalau dalam enam
sabetan pedang leher si Tole sudah putus... apa hayo hadiahku!" tanya Nini.
"Begini saja... kau boleh menggigiti hidung orang
itu.... Hidungnya merah, ya, mungkin sudah matang
tuh. Manis kali, hihihi," kata Kaki.
"Jadi!" kata Nini. "Tapi kalau setelah enam sabetan
belum juga putus?"


Candika Dewi Penyebar Maut X I I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, akan aku cabuti rambut mereka ini hingga me-
reka jadi setampan aku, hihihi.... Hayo, pencuri-pencuri ayam. Tebaskan pedang
kalian! Kami hitung, lho!" Kaki kemudian berjalan sambil tertawa-tawa sendiri ke
pinggir pendapa.
"Sampai lebih dari enam, kalian akan jadi gundul!
Nah, apa enaknya" Jadi cepat, ya, kalau bisa empat kali saja!" Nini juga
menyusul Kaki. Mereka berdua kemudian duduk di tepi pendapa, berdampingan.
Beberapa orang 'tamu' di pendapa itu agak menjauh dan beberapa pengawal memandang
bertanya pada Kiai Sendang.
Namun Kiai Sendang memberi isyarat agar mereka me-
nahan diri. Orang-orang pun makin banyak berkumpul di la-
pangan. Dira memberi isyarat pada kawan-kawannya.
Lima orang perampok telah mengepung Tole dengan pe-
dang terhunus. Sementara Tole terlihat kebingungan
dengan membawa kedua kantong kainnya.
"Cincang!" tiba-tiba Dira membentak. Pedang-pedang
berkelebat di udara. Dan dengan sangat teratur satu per satu membabat ke arah
Tole. Tole tampaknya diam. Ia
hanya sedikit menggerakkan kepala atau menggeserkan
kaki. Dan sambaran pedang-pedang itu luput semua.
"Satu!" teriak Nini. "Hayo, bocah-bocah goblok!
Membunuh orang diam saja tidak becus!"
"Jangan-jangan Kiai Sendang sesungguhnya me-
mang cuma maling ayam, kalau melihat anak buahnya
seperti ini! Betul nggak, Nini?" Kaki tertawa-tawa gembira. Dan dengan santai ia
merampas tabung tuak seo-
rang tamu, dan menggunakan isinya untuk mencuci
kaki. "Babat!" teriak Dira geram.
Kini pedang-pedang itu terayun ke arah pinggang
Tole yang ramping. Seperti tadi, Tole hanya bergerak sedikit sekali. Menurunkan
bahu kiri atau kanan hingga kantong yang dibawanya tepat melindungi daerah yang
jadi sasaran pedang. Terdengar suara gemertak berkali-kali saat kantong yang
berisi batu terhantam oleh pedang-pedang tadi.
"Dua! Tiga! Goblok semua!" teriak Nini marah. "Ka-
lian sengaja membuat aku kalah bertaruh, ya! Kamu tidak suka hidungmu yang ranum
itu aku makan, ya?"
"Tawur!" Dira makin panas. Dan serentak kawan-
kawannya menyerbu. Mereka sudah tanpa siasat lagi
menerjang. Dan kini Tole terpaksa bergerak, dengan gerakan yang tampaknya lambat
namun membuat ia se-
kali-sekali seolah lenyap.
"Empat! Lima! Enam! Goblok! Gila! Kurang asem! Tu-
juh! Delapan! Horeeee! Kamu juga kalah, Kaki!" Nini
berteriak-teriak dan nyaris berlompat-lompatan.
"Lihat! Nyai! Lihat gerakan kakinya!" Tiba-tiba Kaki menahan bahu Nini. Dan
berbisik bersungguh-sungguh. "Itu gerakan Sura-caya yang terbagus yang pernah
kulihat!" Nini tertegun. Memang benar. Gerak lambat Tole me-
rupakan tata gerak Sura-caya yang ampuh. Makin lambat, makin sulit ditangkap.
Nini memiringkan kepala.
Dari tata ilmu tenaga dalamnya ia memang curiga si
Tole ini ada hubungannya dengan perguruannya. Tetapi ia sama sekali tak menduga
tata gerak Sura-caya yang menjadi andalan perguruan Megatruh - Panembahan
Megatruh paling suka tata gerak ini, yang sama sekali tak membuat celaka semua
pihak - ternyata dikuasai
oleh si tolol Tole ini... nyaris dengan sempurna.
"Seperti melihat aku sendiri yang berada di sana,
ya?" kata Kaki dengan harap-harap cemas.
"Bukan! Seperti Kakangmbok Rahula!" kata Nini,
mengerutkan keningnya yang setua itu pun masih tetap halus. "Lihat, betapa
anggun ia melangkah. Siapa pun yang mengajarinya, pasti seorang wanita."
"Aha! Bukankah hanya seorang murid kita yang wa-
nita?" Kedua orang tua itu berpandangan.
"Aku kenal kakaknya. Rhagani!" kata Kaki dengan
gembira. "Ya. Rhagani dan adiknya! Gila! Ternyata dia cucu
murid kita!"
"Kenapa" Kau menyesal" Hoho! Aku tahu mengapa
kau menyesal!"
"Mengapa?"
"Itu berarti kau tak bisa kawin dengan si tolol itu!
Hehehe! Kapok!"
"Untung. Kalau tidak aku kawin dengan dua orang
tolol!" "He. Kau sudah bersuami?" tanya Kaki dengan ber-
sungguh-sungguh.
"Yah... entahlah... sesungguhnya aku suka padamu.
Sayang kau sudah beristri."
"Eh. Memangnya... aku... sudah beristri?" si Kaki
tampak sangat kebingungan.
"Sssh. Jangan berisik! Lihat. Orang-orang itu ikut
mendengarkan kita!"
Kaki menoleh. Benar juga. Ternyata mereka telah di-
kepung oleh sekitar lima belas orang berwajah seram, dengan berbagai senjata
penuh siaga. "Waduh! Kalian ikut mendengarkan kami, ya" Hayo
duduk semuanya dekat-dekat sini, kok berdiri begitu...."
Tiba-tiba Kaki menggerakkan tangan kanannya. Dan
seolah kena angin, barisan terdepan orang-orang yang mengelilingi mereka itu
roboh dan terduduk. Mereka
sangat terkejut karena tiba-tiba saja kaki mereka bagaikan tertusuk jarum panas.
"Wah, mereka sopan-sopan ya, Nini?" kata Kaki ke-
pada Nini. "He-eh. Tuh lihat, si Tole saja mereka sembah!"
Di lapangan, ternyata dengan suatu gerakan aneh
Tole telah membuat gerakan melingkar. Para penge-
pungnya bergerak kagok mengikutinya. Dan mau tak
mau kaki mereka tertekuk, serta perpindahan berat badan membuat mereka semua
roboh terduduk bagaikan
menyembah Tole.
"Horeeee! Tarian yang bagus! Sayang tidak ada ga-
melannya." Kaki langsung beranjak dari tempat du-
duknya, tepat saat salah seorang pengawal yang marah
karena jatuh tadi hendak memukulnya dengan gada.
Celakanya gada jadi terarah pada Nini. Nini hanya tertawa dan menjentikkan jari.
Gada tadi terpental mem-
balik, menghantam kepala pemiliknya yang langsung
roboh tak berkutik lagi.
"Kita tak ada yang menang toh, Kaki?" Seolah tak
ada apa-apa Nini berjalan di samping Kaki, menghampi-ri Tole yang seolah berdiri
terbengong-bengong di antara orang-orang yang keheran-heranan terduduk di tanah
itu. "Iya, tapi aku ingin mencabuti rambut mereka. Boleh ya, Nini, boleh ya,
Nini?" tanya Kaki.
"Siapa kalian?" terdengar suara berat di samping me-
reka. Ternyata Kiai Sendang sendiri sudah turun. Dan
makin banyak orang-orang seram bersenjata mengeli-
lingi mereka. "Kau tanya aku, dia, atau dia?" Kaki ketolol-tololan menuding dirinya dan kedua
rekannya. "Sendang Ampal selamanya tak memendam permu-
suhan dengan siapa pun. Bahkan pasukan Wilwatikta
menghormati kehadiran kami. Kau dari pihak mana be-
rani mengaduk di air keruh?" Kiai Sendang tak terpe-
ngaruh oleh canda Kaki.
"Hehehe... mestinya tadi, sewaktu kita akan diusir
tadi, kita juga bilang... 'Kami bertiga tidak memendam permusuhan dengan...' dan
sebagainya, begitu ya, Ni-ni?" Kaki seolah tak menghiraukan kehadiran Kiai
Sendang. "Ini daerah kami, kami berhak mengusir siapa pun
yang tidak kami kehendaki," kata Kiai Sendang.
"Wuah, sejak kapan daerah ini jadi milikmu?" tanya
Kaki. "Sudah puluhan tahun tak ada yang menggugat ke-
hadiranku di sini." Kiai Sendang masih menahan sabar.
"Baiklah. Puluhan tahun daerah ini milikmu. Mulai
hari ini, daerah ini milikku. Jadi kamu yang menggang-gu daerahku. Hayo bubar.
Pergi sana!"
"Huh. Siapa kau hingga punya hak sedemikian be-
sar?" Kiai Sendang mengangkat tangan agar anak buah-
nya tidak bertindak. Ia tahu, semakin sinting seseorang, kemungkinan besar ia
memang sakti. Atau memang
sinting. "Siapa kau maka kau merasa punya hak untuk me-
nanyaiku?" Kaki balik bertanya.
"Ki Sanak, sabarku ada batasnya. Jangan main-
main. Cepat mengaku siapa kau sebenarnya atau cepat
angkat kaki!" Akhirnya Kiai Sendang geram juga.
"Angkat kaki!" Benar-benar si gundul ini angkat kaki.
Kedua-duanya. Dan ia berdiri dengan dua tangannya.
"Hehehe... Nini... lihat! Semua orang berdiri terbalik!
Hei, orang besar. Aku sudah angkat kaki, nah, kau mau apa kini" Mau cepat pergi,
pergi saja!"
"Rasanya kau tak mau diajak berbicara baik-baik,
Kawan, jangan salahkan anak buahku yang akan meng-
hajarmu!" Kiai Sendang bersuit. Sekejap puluhan senja-ta langsung teracung. Dan
semua orang yang berada di lapangan itu menyingkir, tinggal mereka yang
berpakaian gelap - anak buah Kiai Sendang. Para 'tamu' sege-ra menjauh.
"Wuah! Kalian mau menghajarku" Tidak adil!" Kaki
terus berbicara dengan keadaan terbalik.
"Kenapa?"
"Hajar juga kedua kawanku. Kami datang bertiga,
kok. Masa aku saja yang dihajar!"
"Bantai!" desis Kiai Sendang. Ia sendiri langsung melompat mundur sementara
puluhan anak buahnya
menjerit serentak menggetarkan dada. Dan mereka ma-
ju bersamaan! "Nini, aku sakit perut!" Kaki menjerit dan berlari me-nyeruduk di antara
kerubutan pasukan Kiai Sendang
itu, lari terbirit-birit ke arah anak sungai. Kepungan terhadap mereka sangat
rapat hingga cukup menghe-rankan bagaimana si gundul ini, yang tampaknya lari
tak menentu, bisa lolos dari benturan dengan para pen-gepungnya. Di sana-sini
malah beberapa orang terbanting terpelanting karena saling bertubrukan akibat
terge-sa-gesa ingin membacok si gundul ini.
"Kaki, kau curang!" teriak si Nini, yang terpaksa ber-lompatan ke sana kemari
menghindari beberapa senja-
ta. Rambutnya yang hitam panjang tergerai dan sekali-sekali seolah dilecutkan
mengenai tepat mata siapa pun yang kebetulan dekat. Di sekitarnya pun terjadi
ke-ributan. Orang yang sesaat matanya kesakitan oleh sabetan rambut si Nini
menghantam secara membabi buta
dan mengenai rekannya sendiri. Darah pun mulai men-
galir. Si Tole sendiri seakan berjalan perlahan menyingkir.
Dan seperti si Kaki, gerakan Tole juga aneh. Tampak
perlahan, tetapi tak pernah terkena senjata atau tu-
brukan lawan, hingga tahu-tahu ia sudah berada di luar kepungan dan perlahan
duduk di lantai pendapa.
Dan tahu-tahu juga si Kaki sudah duduk di sam-
pingnya. "Kauperhatikan gerakan si Nini, Tole" Hihihi... bu-
kankah gerak kakinya seperti ayam mengais tanah"
Nah, gerakan itu justru memang akan meminjam tena-
ga bumi. Dengan kaki berpijak pada bumi, maka kita
berarti bersandar pada kekuatan yang sangat besar. Kecuali kalau kakimu sedang
kudisan dan saat mengais-
ngais tanah kudismu terbuka, waduh, jelas sakit!" si Kaki menerangkan gerakan
Nini. Dan Tole, walaupun
dengan pandang mata kosong, terus memperhatikan
apa yang ditunjukkan Kaki. "Lihat, nah, itu dia lolos da-ri tubrukan si perut
gendut. Itu tadi gerak Ombak Men-dampar Karang Terjal... kauikuti tenaga yang
mena- hanmu hingga akhirnya kau dan tenaga itu bersatu...
hihihi... aku pintar juga mengajar, ya" Inti gerakan itu sesungguhnya ada pada
persendian siku... aku lihat
kau tadi melakukan gerak yang sama, tetapi kekuatan-
mu tertumpu pada pinggang, dan itu keliru besar. Si
Nini tak pernah keliru. Paling tidak, tidak akan sebesar kekeliruanmu,
hihihi...."
Aneh juga. Pada saat seperti itu, saat si Nini sesungguhnya sangat terancam
bahaya, si Kaki bisa bersung-
guh-sungguh. Sesungguhnya semua petunjuk yang di-
berikannya tidak melulu untuk si Tole. Tetapi juga untuk si Nini. Dalam
ketidakacuhannya, sesungguhnya si Kaki sangat mengkhawatirkan si Nini dan
karenanya dengan berpura-pura memberi petunjuk pada Tole ia
sesungguhnya memberi peringatan pada si Nini.
Yang sangat keheranan adalah Kiai Sendang. Sekian
puluh prajurit pilihannya ternyata hanya dibuat per-
mainan oleh seorang wanita!
"Minggir semua!" Akhirnya ia benar-benar tak sabar.
Ia membentak keras dan cambuknya dilecutkannya ke
udara. Suara cambuk itu menggelegar mengalahkan pe-
tir. Dan beberapa belas orang yang lemah jantung langsung roboh pingsan karena
kaget. Sekejap lapangan itu kosong. Para prajurit perampok
mundur cepat dan rapi.
"Hei, kau Nini, siapa pun namamu, agaknya kau
memang ingin mengukur lebarnya dada Kiai Sendang,
huh?" geram Kiai Sendang.
"Waduh! Tidak tahu malu. Untuk apa aku mengukur
dadamu?" si Nini tertawa. "Kaki! Kau saja yang maju!
Malu aku. Ia main mata."
"Hwarakadah! Tapi ya biarlah! Masih untung ada
yang main mata denganmu, dan bukannya main kaki!"
Jala Pedang Jaring Sutra 17 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pendekar Guntur 8
^