Istana Sekar Jagat 3
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat Bagian 3
menandakan dia tengah mencari-cari.
"Hai! Aku di sini!" Pemuda di balik batu karang bu-
ka mulut seraya angkat tangannya memberi isyarat
tempatnya berada.
Orang yang baru muncul sesaat pandangi gerakan
tangan orang dengan wajah tegang. Dia tampak ragu-
ragu. Mulutnya bergerak membuka. Namun sebelum
suaranya terdengar, pemuda di balik batu karang telah berkata lagi.
"Lidah Wetan! Aku Laras!"
Orang yang baru muncul menatap sekali lagi pada
tangan yang masih terangkat di balik batu karang.
Saat lain laksana terbang, dia berkelebat dan tahu-
tahu sosoknya telah tiga langkah di depan batu karang di mana tadi terlihat satu
tangan terangkat memberi isyarat.
Pemuda di balik batu karang bergerak bangkit. Se-
saat dia pandangi orang yang tegak di hadapannya.
Ternyata dia adalah seorang pemuda yang baik pa-
kaian maupun paras wajahnya tidak beda dengan pe-
muda yang ada di balik batu karang. Yang membeda-
kan keduanya hanyalah lobang pada caping hidung
orang. Pemuda yang tadi berada di balik batu karang cuping hidungnya tidak
berlobang, sementara pemuda
yang baru muncul tampak berlobang pada cuping hi-
dungnya, jelas menandakan jika cuping hidung itu bekas mengenakan anting-anting.
Kedua pemuda yang paras wajahnya mirip dengan
Pendekar 131 Joko Sableng ini sama tersenyum.
"Lidah Wetan.... Kita harus segera menuju teluk!"
kata pemuda yang cuping hidungnya tidak berlobang
dan tadi sebutkan diri sebagai Laras. Dia memang bukan lain adalah Kiai Laras
yang menyamar sebagai
Pendekar 131 Joko Sableng.
"Kau melihat orang lain"!" tanya pemuda yang di-
panggil Lidah Wetan. Dia bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan yang juga mengenakan
penyamaran sebagai
Pendekar 131. Kiai Laras gelengkan kepala. "Tapi kita harus tetap berhati-hati!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras berkelebat seraya
memberi isyarat pada Kiai Lidah Wetan untuk mengi-
kuti. Mereka bergerak dengan berkelebat dari satu ba-tu karang ke batu karang
lainnya tanpa timbulkan suara. Malah mereka berdua tampak kerahkan ilmu pe-
ringan tubuh tingkat tinggi, hingga kelebatan mereka sulit ditangkap mata biasa.
Begitu mereka sampai batu karang paling ujung be-
rada di teluk, kedua laki-laki kakak beradik yang menyamar ini hentikan
kelebatan tubuh. Kepala Kiai Laras bergerak ke kanan, sedang kepala Kiai Lidah
We- tan bergerak ke kiri. Sepasang mata mereka menyiasati keadaan dengan tanpa buka
mulut. Ketika agak lama dan mereka tidak menemukan
tanda-tanda adanya orang di teluk, Kiai Laras berpaling pada Kiai Lidah Wetan
yang tegak membungkuk di
sampingnya. "Kau menangkap seseorang"!" tanya Kiai Laras den-
gan suara berbisik.
Kiai Lidah Wetan menjawab dengan isyarat gelengan
kepala. Namun kedua pemuda ini tampaknya masih
ragu. Keduanya kembali putar kepala masing-masing.
"Hanya kita berdua yang ada di sini!" bisik Kiai Lidah Wetan begitu merasa yakin
bahwa di tempat itu
tidak ada orang lain selain mereka berdua. "Jangan-
jangan kita tertipu...."
Kiai Laras luruskan tubuhnya. "Kita cari!" katanya
seraya mulai melangkah.
"Apa yang kita cari"!" tanya Kiai Lidah Wetan.
Kiai Laras sesaat terdiam. Dia sendiri bingung apa
yang harus dikatakannya pada Kiai Lidah Wetan. Ru-
panya Kiai Lidah Wetan dapat menangkap kebingun-
gan pada adiknya. Dia melangkah mendekat dan ber-
bisik. "Bukankah menurut pesan ini, Pendekar 131 hanya
diperintahkan datang ke tempat ini tanpa perintah
mencari sesuatu"!"
Kiai Laras anggukkan kepala. "Tapi aku menduga
pesan itu mengandung arti dia akan menemukan se-
suatu di sini!"
"Kau juga dapat menduga kira-kira apa sesuatu
itu"!"
Kembali Kiai Laras terdiam. Dan setelah agak lama
tak menemukan jawaban, akhirnya Kiai Laras berujar.
"Peduli setan apa yang hendak kita temukan di sini!
Yang jelas kita sudah sampai dan harus pulang den-
gan membawa hasil!"
Belum selesai ucapannya, Kiai Laras telah bergerak
melangkah mengitari teluk. Kiai Lidah Wetan terse-
nyum. Lalu ikut-ikutan melangkah meski dengan hati enggan.
Beberapa saat berlalu. Kiai Laras sudah tampak ge-
ram. Parasnya berubah mengelam dan kedua tangan-
nya mengepal. Sementara Kiai Lidah Wetan tampak
tersenyum-senyum. Kiai Lidah Wetan sejak semula
memang sudah merasa kalau tidak ada gunanya me-
nuruti ucapan orang.
"Laras.... Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini! Kau telah buktikan sendiri
tidak ada apa-apa di sini!"
"Kita tunggu sampai besok pagi!" kata Kiai Laras
dengan suara agak keras.
"Apa yang kita tunggu"!" tanya Kiai Lidah Wetan.
"Jangan banyak mulut! Kalau kau tak mau, enyah-
lah kau dari sini!"
Kiai Lidah Wetan mendelik. Dadanya agak panas
mendengar ucapan Kiai Laras. Namun orang ini masih
coba menindih gelegak dadanya. Tanpa berkata me-
nyahut, Kiai Lidah Wetan melangkah ke arah satu ba-
tu karang agak datar. Lalu duduk sambil arahkan
pandang matanya pada gulungan ombak di depan sa-
na yang telah berwarna hitam namun lambat laun su-
ara gemuruhnya makin menggelegar.
Di lain pihak, Kiai Laras tampak melangkah mon-
dar-mandir dengan rahang terangkat dan mulut me-
nyeringai buas. Beberapa kali dia memaki sendiri dan
tak henti-hentinya liarkan pandangan ke sekeliling.
Karena setelah agak lama tak menemukan sesuatu,
pada akhirnya Kiai Laras mendekati Kiai Lidah Wetan.
Sambil arahkan pandang matanya ke lamunan gelom-
bang, dia buka mulut.
"Kuharap kau sabar menunggu sampai esok hari...."
Kiai Lidah Wetan tengadahkan kepala menatap pa-
da Kiai Laras yang tegak tidak jauh dari sampingnya.
Namun dia hanya memandang dengan mulut terkanc-
ing. Saat itulah samar-samar dari arah jauh di belakang
terlihat satu bayangan hitam berlari cepat menuju pesisir. Hanya beberapa saat
saja, bayangan hitam ini telah mencapai kawasan teluk. Dan begitu sepasang ma-
tanya menangkap dua sosok putih di depan sana, si
bayangan hitam segera berkelebat menyelinap ke balik salah satu batu karang.
Orang ini ternyata tidak lain adalah Setan Liang
Makam. "Siapa mereka"!" gumamnya dalam hati se-
raya memandang tak berkesip ke seberang depan. Lalu kepalanya bergerak memutar
memandang berkeliling.
"Dari ciri-cirinya aku dapat menduga! Tapi mengapa
keduanya hampir sama"! Atau jangan-jangan ini satu
jebakan! Ah, persetan!"
Setan Liang Makam keluar dari balik batu karang.
Kini dia melangkah tanpa sembunyi-sembunyi lagi.
Sepasang matanya tak beranjak dari dua sosok putih
di depan sana. Begitu Setan Liang Makam mulai melangkah, dari
arah belakang samar-samar terlihat satu bayangan
berlari ke arah teluk. Dari caranya berlari, jelas orang yang muncul terakhir
kali ini tidak mau diketahui ke-hadirannya. Karena dia sengaja melompat dari
satu batu karang ke batu karang lainnya. Dan setelah me-
mandang berkeliling sesaat, dia berkelebat ke batu ka-
rang agak besar yang dari tempat itu dia rasa bisa melihat apa yang ada di
teluk. Begitu sampai ke batu karang agak besar, orang
yang muncul terakhir kali dan ternyata adalah laki-laki bercaping lebar dan
bukan lain adalah Kiai Tung-Tung, arahkan pandang matanya ke arah teluk.
Yang pertama-tama terlihat adalah sosok Setan
Liang Makam yang melangkah. Lalu mata Kiai Tung-
Tung menangkap dua sosok putih yang berada di
ujung teluk. Sesaat mata Kiai Tung-Tung membelalak.
"Astaga! Mengapa ada dua"!" desisnya demi melihat
dua sosok putih. "Ciri-cirinya sama.... Apakah...."
Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan kata ha-
tinya, tiba-tiba dari arah bawah sana terdengar teriakan keras Setan Liang
Makam. "Kalian sudah lama menungguku"!"
Teguran orang membuat Kiai Laras dan Kiai Lidah
Wetan terkesiap. Keduanya tidak ada yang buka mulut menyahut. Mereka diam
laksana patung. Namun diam-diam kedua orang ini telah kerahkan tenaga dalam pa-
da kedua tangan masing-masing.
"Rupanya kita terjebak!" bisik Kiai Lidah Wetan.
"Semuanya sudah terlambat! Kita hadapi semua ke-
nyataan ini!"
Habis berkata begitu, Kiai Lidah Wetan bergerak
bangkit. Lalu laksana kilat, dia balikkan tubuh. Darah Kiai Lidah Wetan laksana
sirap. Kalau saja tidak ingat keadaan, barangkali kakinya akan tersurut!
Di depan sana, Setan Liang Makam tak kalah ka-
getnya meski hatinya merasa lega. Dan yang paling
terkejut adalah Kiai Tung-Tung yang mendekam sem-
bunyi di balik batu karang.
Kiai Laras tampaknya bisa membaca gelagat keter-
kejutan saudaranya. Maka perlahan-lahan dia putar
diri. Sama halnya dengan Kiai Lidah Wetan, begitu me-
lihat siapa adanya orang di seberang depan, Kiai Laras tampak tersentak. Di lain
pihak, Setan Liang Makam
terkesima. Hingga mulutnya yang sejenak tadi hendak membuka tampak melongo tanpa
perdengarkan suara.
Di balik batu karang, Kiai Tung-Tung cepat tekap
mulutnya dengan mata mendelik. "Bagaimana mung-
kin"! Keduanya sama persis! Aku tak bisa membeda-
kan meski keduanya palsu"!" Kiai Tung-Tung geleng-
kan kepala. "Siapa mereka sebenarnya..." Apakah ini semua ulah Kiai Laras"!"
Di bawah sana, Setan Liang Makam untuk beberapa
lama memandang silih berganti pada dua pemuda di
hadapannya. "Sulit bagiku membedakan mana jaha-
nam yang pernah mengambil Kembang Darah Setan!
Tapi bukan berarti aku kesulitan untuk mengambil
nyawa keduanya! Aku tak peduli mana si jahanam asli dan mana yang bukan!"
Setelah membatin begitu, Setan Liang Makam ang-
kat bicara dengan suara keras.
"Aku tak punya banyak waktu untuk bertanya siapa
adanya kalian! Yang jelas salah satu dari kalian telah mengambil Kembang Darah
Setan!" Tangan kiri Setan
Liang Makam bergerak menjulur membuat sikap me-
minta. "Serahkan kembali Kembang Darah Setan itu!"
Kiai Lidah Wetan tampak melirik pada Kiai Laras
dengan tengkuk merinding. Dia telah tahu bagaimana
tingginya ilmu Setan Liang Makam. Sementara Kem-
bang Darah Setan berada di tangan Kiai Laras.
Sementara Kiai Laras sendiri tampak tenang-tenang
saja. Malah dia sunggingkan senyum dan berkata.
"Kembang Darah Setan memang berada di tangan
kami berdua! Dan benda itu akan kami serahkan pa-
damu!" Setan Liang Makam tertawa ngakak. "Bagus! Itu le-
bih baik bagi kalian daripada mampus percuma!" Se-
tan Liang Makam teruskan langkah dengan tangan kiri tetap membuat sikap meminta.
Berjarak delapan langkah, Setan Liang Makam ber-
henti. "Lekas serahkan!"
"Sebelum kuserahkan, aku ingin kau jawab perta-
nyaanku dahulu...."
"Keparat! Setan Liang Makam tak mau diberi sya-
rat!" "Kalau begitu, kau tak akan memperoleh apa-apa!"
kata Kiai Laras.
"Kalian telah berani main-main dengan Kembang
Darah Setan! Berarti kalian akan mampus dengan
Kembang Darah Setan itu!"
"Kembang Darah Setan ada apa kami! Kau yang
akan mampus dengan benda milikmu sendiri!" sahut
Kiai Laras. Sementara Kiai Lidah Wetan makin tampak cemas. Dia hanya memandang
silih berganti pada Setan Liang Makam dan Kiai Laras.
Entah karena apa, setelah diam sejenak, pada ak-
hirnya Setan Liang Makam bertanya. "Apa yang kau
tanyakan"!"
"Dari mana kau tahu tempat ini"!" tanya Kiai Laras.
Di tempat persembunyiannya, Kiai Tung-Tung
menghela napas. Sementara Setan Liang Makam meli-
rik lalu buka mulut menjawab.
"Aku tak kenal siapa dia. Dia hanya sebutkan nama
Kiai Tung-Tung!"
Kiai Laras bergumam pada Kiai Lidah Wetan. "Du-
gaanmu benar. Kita dijebak! Tapi ini adalah rezeki besar bagi kita!"
"Bagaimana kau katakan ini sebuah rezeki besar"!"
"Kau lihat saja nanti...."
"Kalian bicara apa"! Lekas berikan Kembang Darah
Setan padaku!" hardik Setan Liang Makam.
Kiai Laras sunggingkan senyum. "Perlu kau tahu....
Sebenarnya kami bukanlah Pendekar 131! Kami ada-
lah dua orang suruhan Kiai Tung-Tung! Dan kau perlu tahu juga. Tugas kami berdua
adalah membunuhmu!"
"Jahanam! Kau kira aku bisa kau kelabui, hah"!
Aku tahu, salah satu di antara kalian adalah Pendekar 131! Aku tak perlu
mengatakan yang mana, yang jelas kalau salah satu di antara kalian mau serahkan
Kembang Darah Setan, nyawa kalian berdua akan kuam-
puni. Jika tidak, kalian berdua akan kubunuh seka-
lian!" "Kami berdua telah berani menjadi orang suruhan
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menghadapimu! Berarti kami tahu sampai di
mana bekal ilmu yang kau miliki!" ujar Kiai Laras
sambil melirik pada Kiai Lidah Wetan dan berbisik.
"Kau jangan ikut bicara.... Kau nanti hanya perlu ber-tahan.... Dan jangan
bersungguh-sungguh jika terjadi bentrok!"
Setan Liang Makam tegak dengan tulang pelipis
bergerak-gerak. Tangan kirinya ditarik pulang seraya berkata.
"Aku meminta sekali lagi! Atau...."
"Kau tak akan mendapatkan apa-apa!" potong Kiai
Laras. Setan Liang Makam perdengarkan bentakan dah-
syat. Saat bersamaan sosoknya melesat ke depan. Lalu membuat putaran sekali.
Kaki kanannya menendang
ke arah Kiai Lidah Wetan, sementara tangan kiri ka-
nannya menghantam ke arah kepala Kiai Laras.
Wuutt! Wuutt! Terdengar deruan angker tatkala tendangan dan
hantaman kedua tangan itu menggebrak. Jelas hal itu dilakukan dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Kiai Lidah Wetan cepat angkat kedua tangannya di-
palangkan di depan dada. Sementara Kiai Laras tarik
ke belakang kepalanya lalu kelebatkan kedua tangan-
nya menghadang kedua tangan Setan Liang Makam.
Dess! Dess! Dua benturan keras terdengar. Kiai Lidah Wetan
dan Kiai Laras tampak mundur satu tindak. Sebalik-
nya Setan Liang Makam terdorong ke belakang. Namun
belum sampai dorongan akibat bentroknya hantaman
itu menyapu, Setan Liang Makam telah jejakkan kaki
kirinya yang tadi dibuat sebagai tumpuan tubuh. So-
sok manusia yang hanya terdiri dari kerangka ini
membal ke udara.
Di atas udara, Setan Liang Makam membuat gera-
kan jungkir balik satu kali. Saat sosoknya meluncur, kedua tangannya bergerak
lepas satu pukulan dahsyat ke arah Kiai Lidah Wetan yang berada dekat dengannya.
Kiai Lidah Wetan tak tinggal diam. Begitu gelom-
bang dahsyat melabrak, kedua tangannya segera dido-
rong ke atas. Dari arah samping, Kiai Laras pun tiba-tiba melepas satu pukulan.
Blammm! Suara gelombang ombak terdengar ditingkah oleh
suara dentuman dahsyat hingga saat itu laksana terja-di serangan badai yang
disertai gemuruh guntur.
Sosok Setan Liang Makam tampak terpelanting ke
udara sampai tiga tombak. Laki-laki ini perdengarkan seruan tertahan. Untuk
beberapa saat tubuhnya tampak melayang ke bawah. Hebatnya, dalam keadaan be-
gitu rupa, Setan Liang Makam masih mampu kuasai
diri. Satu tombak lagi tubuhnya sampai di bawah, dia sentakkan kedua tangannya
ke samping. Wuutt! Wuutt! Secara aneh, tiba-tiba sosok Setan Liang Makam
laksana ditahan tembok besar. Hingga sosoknya ter-
henti di atas udara. Dia hanya melirik sebentar. Kejap
lain tubuhnya melesat ke arah sosok Kiai Lidah Wetan yang terlihat terhuyung-
huyung. Kiai Lidah Wetan tampak terkesiap. Dia melirik pa-
da Kiai Laras. Kiai Laras sendiri tampak memberi isyarat. Kiai Lidah Wetan
angkat kedua tangannya sambil coba kuasai huyungan tubuhnya.
Namun gerakan Kiai Lidah Wetan kalah cepat den-
gan lesatan sosok Setan Liang Makam. Hingga baru sa-ja kedua tangannya
terangkat, kaki kanan Setan Liang Makam telah datang menyapu.
Dess! Kiai Lidah Wetan melolong kesakitan. Sosoknya
langsung terbanting. Dan belum sempat dia bergerak
bangkit, Setan Liang Makam telah tegak di sampingnya dengan seringai ganas.
Tangan kanan kirinya cepat diangkat.
*** SEPULUH Tahan!" Tiba-tiba Kiai Laras berteriak. Kedua tan-
gannya diangkat tinggi-tinggi tanda setiap saat dia bisa lepaskan satu pukulan.
Setan Liang Makam urungkan gerakan tangannya.
Namun kakinya bergerak dan tahu-tahu kaki kanan-
nya telah menginjak perut Kiai Lidah Wetan. Saat bersamaan kepalanya berpaling
pada Kiai Laras.
"Sebelum teman bangsat mu ini kubuat mampus,
ada yang hendak kau katakan"!"
"Kau bisa membunuhnya. Tapi apa kau mampu
menghadang pukulanku"!" tanya Kiai Laras. Sosoknya
melompat ke depan dan tegak hanya lima langkah di
depan Setan Liang Makam. Kedua tangannya bergetar
hebat, tanda tenaga dalam yang telah disalurkan pada kedua tangannya sudah pada
tingkat tinggi.
Setan Liang Makam tertawa bergelak. Di bawahnya,
Kiai Lidah Wetan tampak meringis dengan dada cemas.
Dia bukannya melirik pada Setan Liang Makam, na-
mun matanya tertuju pada Kiai Laras.
Tiba-tiba Setan Liang Makam putuskan gelakan ta-
wanya. "Buka matamu lebar-lebar, Jahanam! Untuk
membunuh teman keparatmu ini, aku hanya perlu ge-
rakkan kaki. Dan kedua tanganku ini bukan saja
mampu menghadang pukulanmu, tapi sekaligus men-
gantarmu ke neraka bersama jahanam keparat ini!" Setan Liang Makam tekankan kaki
kanannya. Kiai Lidah Wetan mengaduh dengan kaki melejang-
lejang. Setan Liang Makam kembali tertawa bergelak.
"Baik! Kembang Darah Setan akan kuserahkan pa-
damu! Tapi lepaskan dulu temanku itu!" kata Kiai Laras.
Setan Liang Makam gelengkan kepala. "Kau kira bi-
sa menipuku lagi, hah"! Serahkan Kembang Darah Se-
tan itu dahulu, baru kulepaskan temanmu ini!"
Kiai Laras balik tertawa mendengar ucapan Setan
Liang Makam. "Harga nyawa seorang teman tidak ada
apa-apanya dibanding dengan Kembang Darah Setan!
Dan kalau kau tidak setuju dengan syarat ku, silakan bunuh temanku itu! Tapi kau
tak akan mendapatkan
apa yang kau minta!"
Kiai Lidah Wetan makin khawatir dan tegang. "Kau!"
katanya dengan suara tersendat. "Mengapa tega kor-
bankan nyawaku! Kau menipuku!"
"Keadaan mengharuskan demikian, Sahabat!" enak
saja Kiai Laras menyahut. Lalu berpaling dan teruskan ucapan.
"Setan Liang Makam! Aku tanya sekali lagi padamu.
Kau masih ingin Kembang Darah Setan atau tidak"!"
"Tunjukkan dahulu barangnya!" teriak Setan Liang
Makam. Kiai Laras turunkan tangan kirinya. Sementara tan-
gan kanan tetap berada di atas. Tangan kirinya terus bergerak menyelinap ke
balik pakaiannya. Tatkala tangan itu ditarik keluar, tampak sinar berwarna
merah, hitam, dan putih memancar dari setangkai kembang
berdaun tiga buah berwarna merah, hitam, dan putih.
Sementara kuncupnya yang juga berwarna merah
tampak lesatkan cahaya mencorong ke atas.
"Kembang Darah Setan-ku...," gumam Setan Liang
Makam. "Lepaskan dia, atau kembang ini akan mengantar-
mu ke neraka!" bentak Kiai Laras sambil acungkan
Kembang Darah Setan di tangan kirinya.
Setan Liang Makam melirik pada gerakan tangan ki-
ri Kiai Laras yang memegang Kembang Darah Setan.
Dia tahu bagaimana kedahsyatan kembang yang per-
nah dimilikinya itu. Perlahan-lahan kini dadanya dilanda kecemasan. Dia yakin
dengan mudah dapat
mengatasi kedua orang pemuda itu. Namun dengan
Kembang Darah Setan di tangan salah satunya, dia
menjadi bimbang.
"Keinginanmu ku penuhi, Keparat! Tapi jangan
mimpi kau dapat menipuku lagi! Dan jangan anggap
aku tak mampu mencabut selembar nyawamu meski
kau menggenggam Kembang Darah Setan!"
"Setan Liang Makam! Turunkan kakimu dan biar-
kan dia bangkit!" kata Kiai Laras ketika dilihatnya Setan Liang Makam belum juga
turunkan kaki kirinya
dari perut Kiai Lidah Wetan.
"Hem.... Tampaknya nyawa pemuda ini begitu ber-
harga bagi dirinya...," gumam Setan Liang Makam da-
lam hati. Lalu sambil tertawa dia berkata.
"Lemparkan dahulu Kembang Darah Setan itu!"
"Jahanam keparat!" maki Kiai Laras. "Aku menda-
patkan Kembang Darah Setan ini dengan perjanjian
kau kubebaskan dari makam batu! Itu berarti aku
mendapatkannya dengan cara jujur! Kau sebenarnya
yang hendak menipuku saat itu!"
"Lalu apa maumu sekarang"!" tanya Setan Liang
Makam. "Lepaskan dia dahulu!"
"Baik! Tapi kalian akan menyesal jika menipuku!"
"Aku belum pernah menipumu! Kau sendiri yang
saat itu menyetujui persyaratan ku!" sahut Kiai Laras sambil memandang tajam.
Perlahan-lahan Setan Liang Makam angkat kaki ki-
rinya dari perut Kiai Lidah Wetan. Kiai Lidah Wetan sendiri segera bergerak
bangkit. Namun baru saja kakinya akan melangkah, tangan kiri Setan Liang Makam
telah bergerak mencekal lengannya.
"Kembang Darah Setan itu serahkan dahulu!"
Kiai Laras gelengkan kepala. "Kau yang hendak me-
nipuku! Bebaskan dia dahulu! Dan biarkan dia me-
langkah mendekat kemari! Atau kau tak akan menda-
pat apa-apa malah nyawamu akan putus saat ini juga!"
Setan Liang Makam ikut-ikutan gelengkan kepala.
"Begini saja! Letakkan Kembang Darah Setan itu dahu-lu! Temanmu akan
kulepaskan!"
Tanpa pikir panjang lagi, Kiai Laras lorotkan tubuh.
Dan perlahan diletakkan Kembang Darah Setan di ba-
wahnya. "Bagus! Sekarang kau mundur!" kata Setan Liang
Makam sambil melangkah maju dengan tangan kiri
masih mencekal lengan Kiai Lidah Wetan.
Kiai Laras menatap angker pada Setan Liang Ma-
kam. Lalu dia surutkan langkah ke belakang. Kiai Lidah Wetan kernyitkan dahi.
"Apa dia sudah gila hen-
dak memberikan begitu saja Kembang Darah Setan"!
Apa yang ada dalam benaknya"! Percuma bertahun-
tahun menanti kalau pada akhirnya harus begini! Dan tahu begini apa yang akan
terjadi, aku tidak akan turuti ucapannya!" kata Kiai Lidah Wetan dalam hati
seraya terus arahkan pandang matanya pada Kembang
Darah Setan yang ada di bawah.
"Bagus! Terus mundur!" teriak Setan Liang Makam
sambil terus maju.
Kiai Laras teruskan langkahnya ke belakang. Se-
mentara kedua tangannya berada di atas kepala siap
lepaskan pukulan.
Begitu dua langkah dari Kembang Darah Setan,
laksana terbang Setan Liang Makam melompat dan
serta-merta menyambar Kembang Darah Setan. Di lain
pihak, begitu Setan Liang Makam melompat, Kiai Lidah Wetan segera berkelebat.
Sebenarnya Kiai Lidah Wetan sudah punya rencana
hendak mendahului gerakan Setan Liang Makam. Na-
mun karena sadar gerakannya sudah terlambat, ak-
hirnya dia memutuskan untuk berlari ke arah Kiai Laras.
"Kau gila! Mengapa kau berikan begitu saja"!" desis Kiai Lidah Wetan begitu
sosoknya berada di samping
Kiai Laras. "Jangan banyak bertanya! Sekarang kita tinggalkan
tempat ini!"
Kiai Laras tidak menunggu sahutan. Begitu sua-
ranya selesai, sosoknya telah berkelebat.
"Ada apa dengan dia"! Kembang Darah Setan telah
berada di tangan Setan Liang Makam, hanya serahkan
nyawa kalau tetap berada di sini!"
Berpikir begitu, akhirnya Kiai Lidah Wetan segera
berkelebat mengejar Kiai Laras.
Sementara begitu Kembang Darah Setan telah ter-
genggam di tangannya, Setan Liang Makam tertawa
bergelak. Dia tidak lagi pedulikan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras yang terus
berkelebat menjauh.
Puas tertawa, baru Setan Liang Makam teringat
akan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras. Namun sosok
dua pemuda itu sudah tidak kelihatan lagi.
'"Kalian boleh saja lolos! Tapi jangan harap kalian dapat tempat untuk sembunyi!
Kalian telah membuat
satu perhitungan dengan Setan Liang Makam. Dan itu
tidak akan pernah selesai!"
Habis berkata begitu, cepat-cepat Setan Liang Ma-
kam masukkan Kembang Darah Setan ke balik pa-
kaiannya. Sekali membuat gerakan, sosok Setan Liang Makam melesat tinggalkan
teluk. Di tempat persembunyiannya, Kiai Tung-Tung tam-
pak masih belum bisa kuasai rasa terkesimanya meli-
hat apa yang baru saja terjadi. Sejak Kembang Darah Setan dikeluarkan Kiai
Laras, sepasang matanya terus membelalak tak berkesip. Dia baru kedipkan mata
begitu melihat Setan Liang Makam berkelebat tinggalkan teluk.
"Aneh.... Mengapa dia enak saja serahkan Kembang
Darah Setan"! Padahal dengan benda itu pemuda yang
tadi memegang Kembang Darah Setan tentu mampu
melawan Setan Liang Makam! Dan kulihat mereka
berdua juga tidak bersungguh-sungguh memberikan
perlawanan ketika bentrok! Ada yang tidak beres....
Aku harus mengikuti...."
Kiai Tung-Tung segera keluar dari balik batu ka-
rang. Setelah memperhatikan berkeliling, dia berkelebat.
*** Agak jauh dari kawasan teluk, Kiai Laras yang ber-
kelebat di sebelah depan hentikan larinya.
"Kau telah gila! Mengapa Kembang Darah Setan kau
berikan padanya"!" Kiai Lidah Wetan sudah menyem-
prot begitu berhenti di sebelah Kiai Laras. Dan belum sempat Kiai Laras buka
mulut, Kiai Lidah Wetan sudah teruskan ucapannya.
"Rupanya akan sia-sia penantian kita selama ini!
Lebih dari itu kau telah membuat jalan malapetaka
bagi kita berdua! Sejak semula aku sudah ragu-ragu....
Nyatanya keraguan ku terbukti! Kita dijebak orang!"
Kiai Laras tidak menyahut. Sebaliknya dia meman-
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dang ke jurusan dari mana dia tadi datang. Sepasang matanya menatap tak berkesip
menembusi kepekatan
malam. "Aneh.... Dia sepertinya tidak merasa menyesal den-
gan berpindahnya Kembang Darah Setan ke tangan
Setan Liang Makam.... Ada apa sebenarnya ini"!" Di-
am- diam Kiai Lidah Wetan membaca sikap Kiai Laras.
"Lidah Wetan.... Kita ikuti ke mana Setan Liang Ma-
kam pergi...," bisik Kiai Laras tanpa melihat pada
orang. "Kau benar-benar gila! Untuk apa kita mengiku-
tinya"! Kita hanya akan cari mati percuma! Dia mem-
bekal Kembang Darah Setan!"
Kiai Laras berpaling. Bibirnya sunggingkan senyum.
"Aku tak peduli apa bekal setan itu! Yang jelas kesempatan ini tidak boleh kita
sia-siakan!"
"Aku tak mengerti jalan pikiranmu!" ujar Kiai Lidah Wetan.
"Nanti kau akan mengerti. Sekarang ikuti aku!"
Seolah tidak sabar, Kiai Laras segera tarik tangan
Kiai Lidah Wetan dan diseretnya berlari tinggalkan
tempat itu. Meski dengan menduga-duga akhirnya Kiai Lidah
Wetan mengikuti ke mana Kiai Laras berlari. Namun
ketika dia melihat Kiai Laras mengikuti berkelebatnya satu sosok tubuh di depan
sana, Kiai Lidah Wetan tak
bisa lagi menahan dugaan. Apalagi ia mulai dapat menangkap siapa adanya sosok
yang diikuti. "Laras.... Aku tak akan mengikuti langkahmu sebe-
lum kau jelaskan semua ini!"
Sambil terus berlari, Kiai Laras berkata dengan sua-ra direndahkan.
"Aku tidak sebodoh yang dikira manusia setan yang
kita ikuti itu! Kau tak usah khawatir! Kita tidak akan membuat urusan dengannya.
Kita hanya perlu tahu ke
mana dia hendak pergi!"
"Tapi itu sangat berbahaya. Kembang Darah Setan
telah di tangannya...!"
Kiai Laras menoleh. "Aku tanya. Kau mau apa ti-
dak"!"
"Tapi kita harus memperhitungkan diri!"
"Kalau aku tidak memperhitungkan diri, apa kau
kira aku berani melakukan ini"!"
Kiai Lidah Wetan tergagu diam. Dan tanpa berkata
apa-apa lagi akhirnya Kiai Lidah Wetan mengikuti berkelebatnya Kiai Laras yang
terus berlari seraya tak henti-hentinya memperhatikan kelebatan sosok di depan
sana yang bukan lain adalah Setan Liang Makam.
Kiai Laras sendiri tampak berhati-hati. Dia sengaja menjaga jarak agar Setan
Liang Makam tidak merasa
kalau dirinya sedang diikuti. Bahkan sesekali Kiai Laras menyelinap ke balik
batangan pohon begitu dili-
hatnya Setan Liang Makam memperlambat larinya.
Ketika malam menjelang berujung, dan samar-
samar langit disemaraki warna kemerahan, Kiai Laras mulai dapat menduga ke mana
arah yang dituju Setan
Liang Makam. "Aku tidak lupa! Ini adalah arah menuju Kampung
Setan.... Hem.... Rupanya rahasia itu masih berada di sana...."
Di lain pihak, Kiai Lidah Wetan pun tampaknya bisa
membaca arah Setan Liang Makam. Orang ini segera
buka mulut. "Laras.... Tentunya kita sudah bisa menebak ke
mana arah orang yang kita ikuti! Sebaiknya kita kembali dari sini!"
"Kita akan kembali begitu kita tahu ke mana dia se-
benarnya!"
"Ini adalah jalan menuju Kampung Setan!" kata Kiai
Lidah Wetan. "Aku tahu! Tapi bukan itu maksudku! Aku ingin ta-
hu Kampung Setan sebelah mana yang ditujunya!"
Apa yang dipercakapkan Kiai Laras dengan Kiai Li-
dah Wetan benar adanya. Karena Setan Liang Makam
memang tengah menuju Kampung Setan. Entah
mungkin saking gembiranya telah mendapatkan Kem-
bang Darah Setan kembali, Setan Liang Makam tidak
merasa kalau dirinya diikuti Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Dia terus berlari
dengan sesekali perdengarkan tawa.
Setan Liang Makam baru memperlambat langkah-
nya tatkala memasuki sebuah kawasan sepi di ujung
hutan di mana terlihat jajaran beberapa julangan batu karang tinggi yang
melingkari sebuah tanah terbuka.
Tempat ini tidak lain adalah sebuah tempat yang dike-nai orang dengan Kampung
Setan. (Tentang Kampung
Setan silakan baca serial Joko Sableng dalam episode:
"Rahasia Kampung Setan").
Setan Liang Makam memandang berkeliling. Lalu
melangkah perlahan-lahan memasuki tanah terbuka.
Dia hentikan langkah dekat lobang menganga yang
terbongkar. "Makam sialan!" maki Setan Liang Makam. Dia te-
ringat bagaimana dia terjerumus masuk ke makam itu
pada tiga puluh enam tahun silam dan harus hidup
menderita hingga sekujur tubuhnya sekarang hanya
tinggal merupakan susunan kerangka tanpa daging.
Ingat akan hal itu, tiba-tiba di kelopak matanya terbayang wajah seseorang.
Sepasang mata Setan Liang
Makam serta-merta mendelik angker. Kepalanya diten-
gadahkan dengan mulut mendesis.
"Kigali.... Hidupku belum tenang kalau tanganku
belum merancah dan mengantarmu menyusul Dadaka
ke liang neraka! Tunggulah Kigali...! Hidupmu tidak akan lama lagi! Kau boleh
sembunyi, tapi jangan kira aku tak bisa menemukanmu! Ha.... Ha.... Ha...!"
Setan Liang Makam tertawa bergelak. Hingga untuk
beberapa saat, tempat sunyi itu dipecah dengan gelakan tawa membahana. Agak jauh
dari tempat Setan
Liang Makam di tempat tersembunyi, Kiai Laras dan
Kiai Lidah Wetan tekap telinga masing-masing untuk
membendung suara gelakan tawa. Namun mata mas-
ing-masing orang terus memandang tak berkesip se-
tiap gerakan Setan Liang Makam.
Tanpa diketahui oleh Kiai Laras dan Kiai Lidah We-
tan, diam-diam sejak tadi sepasang mata tampak men-
delik memperhatikan dari satu tempat. Mata ini sesekali mengarah pada gerak-
gerik Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Lalu saat lain memperhatikan gerakan Se-
tan Liang Makam.
"Hem.... Sepertinya kedua pemuda itu sengaja
memberikan Kembang Darah Setan, lalu secara diam-
diam mengikuti.... Ketidak beresan itu makin terlihat...," gumam si pemilik mata
yang terus memperha-
tikan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras serta Setan
Liang Makam. Si pemilik mata ini ternyata bukan lain adalah Kiai Tung-Tung.
Sejak dari kawasan teluk, Kiai Tung-Tung secara
diam-diam memang mengikuti Setan Liang Makam.
Mula-mula dia dilanda kebimbangan antara mengikuti
kelebatan Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan yang saat
itu menyamar sebagai Pendekar 131. Dia sebenarnya
ingin menguak siapa sebenarnya dua pemuda itu. Na-
mun setelah berpikir agak panjang, akhirnya dia me-
mutuskan untuk mengikuti Setan Liang Makam.
Namun belum sampai berlari jauh, tiba-tiba Kiai
Tung-Tung yang sebenarnya tidak lain adalah Pende-
kar 131 Joko Sableng, menangkap gerakan dua bayan-
gan putih yang berlari mengikuti Setan Liang Makam.
Meski saat itu suasana gelap, namun dari pakaian
yang dikenakan dua sosok putih, Kiai Tung-Tung den-
gan mudah bisa mengenali siapa adanya dua sosok
yang mengikuti Setan Liang Makam.
Kiai Tung-Tung tidak bisa menduga ke mana dan
apa yang hendak dilakukan Setan Liang Makam serta
Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Hingga dia hanya berlari dengan berusaha agar
dirinya tidak diketahui oleh beberapa orang yang dikuntitnya. Dan begitu Setan
Liang Makam hentikan larinya pada tempat terbuka
serta Kiai Lidah Wetan serta Kiai Laras sembunyi mendekam di satu tempat, Kiai
Tung-Tung hentikan juga
larinya lalu mencari tempat tersembunyi yang dapat
melihat jelas gerak-gerik orang yang diikuti.
Sementara di tempat terbuka sana, Setan Liang
Makam tampak tegak dengan kepala tengadah. Gela-
kan tawanya sudah terhenti. Tempat yang dikenal
orang dengan Kampung Setan itu kembali dicekam ke-
sunyian menyentak. Sementara perlahan-lahan langit
di atas sana sudah mulai terang, hingga semua gera-
kan Setan Liang Makam makin jelas kelihatan. Orang
yang tubuhnya merupakan susunan kerangka ini ge-
rakkan kepala berpaling ke kanan. Di sana terlihat sebuah batu altar.
Setan Liang Makam melangkah dua tindak ke bela-
kang. Tiba-tiba kedua tangannya diangkat. Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan
memperhatikan dengan dada
berdebar. Sementara Kiai Tung-Tung masih juga belum bisa mengetahui apa yang
hendak dilakukan orang.
Beberapa saat berlalu. Mendadak Setan Liang Ma-
kam sentakkan kedua tangannya. Terdengar deruan
dahsyat. Bersamaan dengan itu tampak dua gelom-
bang angin luar biasa kencang melesat.
Brakkk! Brakkk!
Terdengar derakan keras dua kali. Lalu tampak
muncratan keping-keping batu ke udara setinggi dua
tombak. Ketika muncratan kepingan batu luruh kem-
bali, altar batu sudah tidak kelihatan lagi. Berubah menjadi sebuah lobang
menganga besar!
Setan Liang Makam memperhatikan sesaat pada lo-
bang menganga. Lalu putar tubuh dengan mata mem-
perhatikan pada julangan beberapa batu karang tinggi.
Begitu tubuhnya kembali ke arah semula, dia melang-
kah mendekati lobang.
"Gelap...," gumam Setan Liang Makam begitu kepa-
lanya bergerak melongok. "Apa aku harus masuk"! Apa ucapan Nyai Suri Agung tidak
bermaksud menjebakku
dengan niat balas dendam akan apa yang pernah ku-
lakukan terhadapnya"!"
Untuk beberapa lama Setan Liang Makam berpikir
dan menimbang-nimbang. "Hem.... Kembang Darah
Setan telah berada di tanganku kembali! Dengan ben-
da ini tak ada yang perlu ditakutkan! Sekalipun harus berhadapan dengan Nyai
Suri Agung!"
Memutuskan begitu, pada akhirnya Setan Liang
Makam membuat gerakan satu kali. Saat itu juga so-
soknya melesat masuk ke dalam lobang menganga!
"Apa yang harus kita lakukan sekarang"!" tanya
Kiai Lidah Wetan begitu sosok Setan Liang Makam le-
nyap masuk ke dalam lobang.
Kiai Laras tidak segera menjawab. Dia hanya mem-
perhatikan ke lobang di mana tadi Setan Liang Makam
melesat masuk. Dalam hati diam-diam dia berkata.
"Tak kusangka jika di situ rahasianya! Hem.... Lidah Wetan tidak boleh tahu apa
rencanaku! Itu akan kulakukan sendiri!"
"Kita tinggalkan tempat ini!" Kiai Laras buka suara.
Dan tanpa menunggu sambutan dari Kiai Lidah Wetan,
Kiai Laras keluar dari tempat persembunyiannya dan
saat lain dia berkelebat.
"Aneh.... Apa sebenarnya yang ada dalam benak-
nya"! Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu pada-
ku! Dia memberikan begitu saja Kembang Darah Se-
tan. Lalu diam-diam mengikuti jejak Setan Liang Makam. Tapi tanpa melakukan
sesuatu.... Hem.... Aku
harus segera mengetahui ada apa di balik semua ini!"
Setelah membatin begitu, Kiai Lidah Wetan menga-
wasi ke arah lobang sejenak, lalu berkelebat menyusul Kiai Laras yang sudah
berlari jauh di depan sana.
Di tempat lain, Kiai Tung-Tung kembali dilanda ke-
bimbangan. Antara mengikuti dua pemuda yang me-
nyamar sebagai Pendekar 131 dan menguntit apa yang
dilakukan Setan Liang Makam.
"Hem.... Kembang Darah Setan sudah kembali pada
pemiliknya. Berarti urusan Setan Liang Makam kurasa sudah selesai. Sekarang aku
harus tahu siapa sebenarnya dua pemuda itu!"
Kiai Tung-Tung gerakkan kepala dengan mata men-
gawasi seantero di mana dia berada. Sesaat dia masih dilanda keragu-raguan.
Namun setelah berpikir lagi, dia akhirnya keluar dari tempat mendekamnya lalu
berlari mengikuti Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan.
*** SEBELAS Ketika sudah jauh dari Kampung Setan dan mata-
hari sudah menggantung tinggi di belahan langit timur, Kiai Laras tiba-tiba
hentikan larinya. Begitu sosoknya berhenti, laksana kilat dia putar tubuh.
Sepasang matanya menyengat tajam memperhatikan ke depan. Te-
linganya dipasang baik-baik.
Kiai Lidah Wetan serta-merta ikut berhenti. Dan se-
perti halnya Kiai Laras, ia juga cepat balikkan tubuh.
Kepalanya bergerak memutar. Sepasang matanya liar
melihat berkeliling.
"Aku merasa ada jahanam yang mengikuti kita!"
gumam Kiai Laras tanpa alihkan pandang matanya.
Kiai Lidah Wetan sambuti gumaman Kiai Laras den-
gan anggukkan kepala. Lalu berbisik. "Kita belum tahu siapa yang kita hadapi!
Untuk lebih amannya, kita harus berpencar dan segera berganti wajah!"
Kiai Lidah Wetan berucap begitu sebenarnya den-
gan maksud agar dia segera bisa menyelidik apa yang selama ini jadi tanda tanya
besar tentang sikap Kiai Laras.
Di lain pihak, Kiai Laras pun sebenarnya ingin sege-ra menyelidik apa yang akan
dilakukan Setan Liang
Makam. Maka begitu mendengar bisikan Kiai Lidah
Wetan, dia berbalik berbisik.
"Kita berpisah di sini! Di tempat yang telah kita ten-tukan, kita nanti bertemu
sesuai waktu yang telah kita atur!"
Kiai Lidah Wetan memandang sesaat pada adiknya.
Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas dia terse-
nyum lalu berkelebat menuju arah selatan. Bersamaan dengan melesatnya sosok Kiai
Lidah Wetan, Kiai Laras pun berkelebat ke arah utara.
Berjarak lima belas tombak dari tempat di mana ta-
di Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan berhenti, Kiai Tung-Tung yang tampak
telungkup sejajar tanah bergumam
sendiri.
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hampir saja.... Terlambat sedikit, pasti mereka
akan melihatku"
Habis bergumam, Kiai Tung-Tung arahkan pandang
matanya pada Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Dia tidak bisa mendengar dengan
jelas apa yang diperbin-
cangkan kedua orang ini. Dia hanya bisa melihat gerakan orang. Dan tiba-tiba
keningnya berkerut tatkala mendadak saja salah satu pemuda yang diikutinya
berkelebat ke arah selatan. Belum bisa menduga dan
belum tahu apa yang harus dilakukan, kembali dia
terbelalak demi melihat pemuda satunya membuat ge-
rakan berkelebat ke arah utara.
"Busyet! Mereka berpencar! Tampaknya mereka cu-
riga kalau kuikuti! Hem.... Siapa yang harus kuikuti sekarang"! Yang ke arah
selatan atau utara"!"
Kiai Tung-Tung bergerak bangkit. Setelah merasa
yakin keadaan aman, tanpa pikir panjang lagi dia segera berlari ke arah selatan,
arah yang diambil oleh Kiai Lidah Wetan.
Kalau tadi Kiai Tung-Tung mengikuti secara diam-
diam, kini dia berlari tanpa sembunyi-sembunyi lagi.
Dia berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan
tubuhnya hingga dalam beberapa saat dia telah dapat menangkap kelebatan orang
yang dikejar. "Hai! Tunggu" Kiai Tung-Tung berteriak begitu jarak antara dia dengan orang yang
dikejar hanya terpaut
beberapa tombak.
Kiai Lidah Wetan rupanya sudah merasa kalau di-
rinya diikuti. Namun dia seolah tidak dengar teriakan orang. Malah dia
mempercepat larinya. Dan diam-diam dia salurkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. "Hai! Tunggu" kembali Kiai Tung-Tung berteriak.
Di depan sana, Kiai Lidah Wetan tiba-tiba saja ber-
henti. Malah langsung putar tubuh. Namun bersa-
maan dengan berputarnya tubuh, kedua tangannya
bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang angker melesat ganas ke arah Kiai
Tung-Tung. Kiai Tung-Tung tampak sedikit tersentak
kaget karena tidak menduga sama sekali. Namun laki-
laki bercaping lebar ini cepat melompat ke samping.
Kedua tangannya dikelebatkan ke arah gelombang
yang melesat dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan.
Bummm! Terdengar ledakan keras saat dua gelombang puku-
lan Kiai Lidah Wetan disambut gelombang yang me-
nyambar dari kedua tangan Kiai Tung-Tung. Meski
Kiai Tung-Tung tidak arahkan pandangannya lurus ke
arah Kiai Lidah Wetan, namun bentroknya dua tenaga
dalam membuat sosok Kiai Lidah Wetan bergoyang-
goyang dan kedua tangannya bergetar. Paras wajahnya seketika berubah. Antara
marah dan rasa menyentak-nyentak pada aliran jalan darahnya.
Di seberang samping, Kiai. Tung-Tung tampak tegak
dengan tangan satu di atas kepala menekan caping lebarnya yang hendak lepas
terbang. Sementara tangan
satunya dikibas-kibaskan dengan mulut meringis!
"Apa maumu"!" bentak Kiai Lidah Wetan sambil
angkat kedua tangannya kembali.
"Tahan, Sahabat!" sahut Kiai Tung-Tung. "Aku cu-
ma ingin bertanya...."
Kiai Lidah Wetan pandangi sekujur tubuh orang da-
ri atas hingga bawah seolah ingin mengenali. Namun
karena caping lebar itu masuk hampir menutupi sepa-
ruh dari paras muka Kiai Tung-Tung, apalagi rambut-
nya yang panjang sengaja digeraikan di bagian samp-
ing kanan kiri wajahnya, membuat Kiai Lidah Wetan
sulit untuk mengenali siapa adanya orang ini.
"Apa manusia ini yang mengikuti langkahku dan
Laras sejak keluar dari kawasan hutan dekat Kampung Setan tadi"!" Kiai Lidah
Wetan diam-diam menduga.
Lalu ajukan tanya dengan suara keras.
"Siapa kau"!"
"Namaku Bim-Bim...," ujar Kiai Tung-Tung setelah
agak lama terdiam. "Bukankah aku sedang berhada-
pan dengan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng"!"
Sesaat Kiai Lidah Wetan kerutkan dahi. "Kau telah
mengenalku! Sekarang katakan apa maumu!"
Tiba-tiba Kiai Tung-Tung perdengarkan tawa berge-
lak panjang. Namun laksana dirobek setan, Kiai Tung-Tung putuskan gelakan
tawanya. Kejap lain dia per-
dengarkan suara bentakan.
"Bagus! Aku mendapat tugas untuk meminta sesua-
tu darimu! Kalau kau turuti permintaanku, nyawamu
akan selamat! Jika tidak, aku akan mengambil apa
yang kuminta beserta nyawamu sekalian!"
"Jahanam! Pasti yang dimaksud adalah Kembang
Darah Setan.... Hem.... Rupanya dia tidak memiliki il-mu rendah! Aku harus dapat
segera menyelesaikan-
nya! Jika tidak, dia akan menunda pekerjaanku...."
"Apa yang kau minta"!" Kiai Lidah Wetan bertanya
dengan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan-
nya. Dia coba kerahkan segenap tenaga dalam yang
dimiliki, karena dari bentrok pukulan tadi, dia sudah maklum jika orang yang
dihadapi punya kekuatan
yang tidak rendah.
Kiai Tung-Tung kembali perdengarkan kekehan ta-
wa. "Serahkan Kembang Darah Setan padaku!"
Entah karena merasa mungkin urusan akan selesai
dengan bicara baik-baik, Kiai Lidah Wetan yang saat itu menyamar sebagai murid
Pendeta Sinting sunggingkan senyum sambil berkata. Nadanya kalem.
"Aku maklum jika kau minta benda itu padaku, ka-
rena rimba persilatan saat ini memang telah beredar berita jika Kembang Darah
Setan ada padaku! Namun
perlu kau ketahui.... Berita ini sebenarnya fitnah dan omong kosong! Kembang
Darah Setan tidak ada di
tanganku!"
"Manusia ini pandai juga berdalih.... Sayangnya aku tadi tak bisa membedakan
mana yang memberikan
Kembang Darah Setan pada Setan Liang Makam.... Ta-
pi itu tidak penting! Yang penting aku harus tahu siapa di balik kedoknya!"
Diam-diam Kiai Tung-Tung berkata sendiri dalam hati. Lalu berkata.
"Seandainya aku jadi kau, tentu aku akan menja-
wab dengan ucapan yang sama! Tapi sayangnya aku
lebih percaya pada berita yang saat ini beredar! Kembang Darah Setan berada di
tanganmu! Dan kau telah
dengar apa permintaanku!" Kiai Tung-Tung maju me-
langkah tiga tindak. "Sahabat Muda.... Dunia mu ma-
sih panjang dibanding duniaku yang hanya tinggal
menunggu saat-saat terakhir panggilan ajal! Kau tentu masih bisa memperoleh
sesuatu yang lebih dahsyat
daripada Kembang Darah Setan. Maka dari itu, aku...."
Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan ucapan,
Kiai Lidah Wetan telah memotong.
"Telingamu telah dengar penjelasanku! Kuperintah-
kan kau angkat kaki dari hadapanku jika kau tak in-
gin ajal itu menjemput mu sekarang!"
Kiai Tung-Tung tersenyum sambil gelengkan kepala.
"Tadi sudah kukatakan, aku adalah orang yang men-
dapat tugas untuk meminta darimu! Bagiku.... Daripa-da pulang dengan tangan
hampa lebih baik pulang
tanpa nama! Karena pulang pun aku harus menerima
kematian juga!"
Karena sadar tidak bisa menyelesaikan urusan den-
gan bicara baik-baik, tanpa pikir panjang lagi Kiai Lidah Wetan segera tarik
kedua tangannya ke belakang.
"Aku peringatkan kau sekali lagi! Angkat kaki atau
mampus di sini!"
"Keduanya tidak ada yang ku pilih! Aku minta Kem-
bang Darah Setan!" jawab Kiai Tung-Tung.
Wuutt! Wuutt! Suara jawaban Kiai Tung-Tung belum selesai, Kiai
Lidah Wetan telah sentakkan kedua tangannya ke de-
pan. Hingga bersamaan dengan itu dua gelombang
menggidikkan menggebrak. Dan samar-samar tampak
semburatan warna hitam menyertai gelombang yang
datang. Kiai Tung-Tung maklum jika pukulan yang dilepas
orang kali ini bertenaga dalam tinggi. Dia tidak mau bertindak ayal. Dia cepat
kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Serta-merta kedua tangannya berubah
menjadi kekuningan. Menunjukkan kalau dia
hendak hadang pukulan orang dengan lepaskan puku-
lan 'Lembur Kuning'.
Wuutt! Wuutt! Kedua tangan Kiai Tung-Tung bergerak. Terlihat si-
nar kuning melesat membawa serta gelombang dahsyat
dan hawa luar biasa menyengat panas.
Blaarr! Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dahsyat.
Gelombang yang samar-samar disemburati warna
hitam dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan buyar. Sinar kuning yang melesat dari
kedua tangan Kiai Tung-Tung tampak pula ambyar.
Sosok Kiai Lidah Wetan terjengkang jatuh di atas
tanah. Dari mulutnya mengucurkan darah. Tanda jika
telah terluka dalam. Namun Kiai Lidah Wetan tampak-
nya sadar akan apa yang hendak dilakukan orang,
hingga meski merasakan aliran darah sekujur tubuh-
nya laksana tersumbat dan menyentak-nyentak, Kiai
Lidah Wetan segera salurkan tenaga dalam kembali, la-lu dengan cepat bergerak
bangkit. Sementara di depan sana, Kiai Tung-Tung tampak
terdorong deras ke belakang dan hampir saja lututnya terlipat. Tapi dia cepat
dapat kuasai diri meski dengan tubuh terhuyung-huyung. Sosoknya bergetar keras.
Sepasang matanya mengerjap beberapa kali. Caping
lebarnya mencelat dan melayang-layang di atas udara.
Karena mungkin tidak mau dikenali dengan me-
layangnya caping di kepalanya, Kiai Tung-Tung segera berkelebat menyambar
capingnya. Dan cepat-cepat pu-la dikenakan.
Kiai Lidah Wetan sesaat tampak sipitkan mata
tatkala melihat gerakan Kiai Tung-Tung yang me-
nyambar caping lebarnya. Dia tadi coba mengenali wajah orang. Namun karena dia
masih pikirkan keadaan
dirinya dan kelebatan Kiai Tung-Tung sangat cepat,
membuat Kiai Lidah Wetan belum bisa dengan jelas
melihat raut muka orang.
"Siapa jahanam ini sebenarnya"! Rasanya aku tak
mungkin menghadapinya!" Kiai Lidah Wetan rupanya
maklum akan gelagat. Dia melirik ke samping kiri kanan. Kejap lain dia sentakkan
kedua tangannya le-
paskan pukulan ke arah Kiai Tung-Tung.
Kembali dua gelombang angin dahsyat menggebrak
ganas ke arah Kiai Tung-Tung. Bersamaan dengan
menggebraknya gelombang, Kiai Lidah Wetan berkele-
bat tinggalkan tempat itu.
"Serahkan dulu Kembang Darah Setan! Baru kau
bisa pergi dengan tenang!" teriak Kiai Tung-Tung sambil dorong kedua tangannya
lepaskan lagi pukulan
sakti 'Lembur Kuning'. Dan begitu kedua tangannya
mendorong, Kiai Tung-Tung segera pula berkelebat
mengejar. Bummm! Bentroknya dan pukulan menimbulkan gelegar
dahsyat. Tanah di mana pukulan bertemu tampak
semburat ke udara menutupi pemandangan.
Meski sosok Kiai Lidah Wetan dan Kiai Tung-Tung
sudah berkelebat ketika gelegar terdengar, namun bias bentroknya dua pukulan tak
bisa dihindari. Hingga kelebatan sosok Kiai Lidah Wetan terlihat bergoyang-
goyang. Demikian pula sosok Kiai Tung-Tung. Namun
Kiai Lidah Wetan tak hendak hentikan larinya.
"Aku harus menghentikannya!" Kiai Tung-Tung
angkat kedua tangannya. Dia sengaja arahkan puku-
lan ke bawah. Namun baru saja Kiai Tung-Tung hen-
dak lepaskan pukulan, dari arah samping melesat si-
nar tiga warna. Merah, hitam, dan putih!
Kiai Tung-Tung sempat terkesiap. Tapi dia cepat sa-
dar. Kedua tangannya buru-buru disentakkan ke arah
datangnya sinar tiga warna.
Kiai Tung-Tung terkesima kaget. Gelombang angin
dari kedua tangannya serta-merta buyar. Sementara
sinar tiga warna laksana tak terbendung dan terus melabrak. Malah saat itu juga
sosok Kiai Tung-Tung terdorong deras ke belakang!
"Jangkrik! Siapa orang yang menghadang ini"!"
omel Kiai Tung-Tung seraya angkat kembali kedua
tangannya dan kali ini lepas pukulan 'Lembur Kuning'
ke arah sinar tiga warna.
Tass! Tasss! Sinar tiga warna tampak meletup pancarkan pijaran
api. Pijaran api itu meletup lalu menebar dua tombak ke udara.
Sosok Kiai Tung-Tung terhempas ke belakang.
Meski tidak sampai jatuh, namun dia merasakan seku-
jur tubuhnya laksana dipanggang. Hingga untuk bebe-
rapa saat dia harus kerahkan hawa murni.
Begitu dapat kuasai diri, Kiai Tung-Tung cepat me-
lompat ke depan. Kepalanya berpaling ke arah dari
mana tadi sinar tiga warna melesat. Sementara ma-
tanya melirik juga ke depan, arah kelebatan Kiai Lidah Wetan.
Namun Kiai Tung-Tung tidak melihat siapa-siapa.
Dan begitu arahkan pandang matanya ke depan, sosok
Kiai Lidah Wetan pun sudah lenyap!
Kiai Tung-Tung tak mau begitu saja lepaskan bu-
ruan. Dia coba mengejar ke arah kelebatan Kiai Lidah Wetan. Namun sampai dia
berlari kira-kira dua puluh lima tombak, dia sadar jika buruannya dapat melo-
loskan diri, karena sampai sejauh ini Kiai Tung-Tung tidak melihat sosok Kiai
Lidah Wetan! Kiai Tung-Tung balikkan tubuh. "Siapa orang yang
lepaskan pukulan tadi"! Baru kali ini aku melihat pukulan bersinar tiga warna!
Berarti aku belum pernah mengenalnya...." Kiai Tung-Tung membatin. Tiba-tiba
dahinya berkerut. "Sinar tiga warna.... Tadi kulihat Kembang Darah Setan juga
pancarkan sinar tiga warna saat tergenggam salah seorang di teluk.... Apakah
Setan Liang Makam"! Tapi mungkinkah"! Bukankah
Setan Liang Makam setidaknya punya urusan dengan
orang yang kukejar"! Berarti ada orang lain.... Sia-pa..."!"
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil terus membatin, Kiai Tung-Tung melangkah
dengan mata menyelidik ke tiap jengkal tanah yang dilewati. Tapi sejauh ini dia
tidak melihat siapa-siapa!
*** Sementara itu di Kampung Setan, Setan Liang Ma-
kam sejurus tampak terkejut begitu tubuhnya mema-
suki lobang bekas bongkaran altar batu. Ternyata lobang menganga itu hanya
delapan tombak. Dan tem-
pat di mana sekarang berpijak adalah batu cadas.
Setan Liang Makam cepat pentangkan mata. Me-
mandang ke depan, terlihat tangga menurun dari batu cadas. Dengan hati-hati
Setan Liang Makam mulai melangkah menuruni tangga dengan kedua tangan siap
lepaskan pukulan sewaktu-waktu.
Tangga menurun itu berakhir pada sebuah tempat
terbuka yang bersinar terang. Setan Liang Makam te-
gak dengan mata tetap mementang besar.
"Sama sekali tak kuduga...," desis Setan Liang Ma-
kam. Dia kini putar kepalanya memandang berkeliling.
Ternyata tempat itu diterangi sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih! Dan
memandang ke depan, terlihat
sebuah bangunan yang membuat sepasang mata Setan
Liang Makam tak berkesip.
Bangunan itu dari batu cadas biasa. Anehnya, ban-
gunan itu pancarkan sinar tiga warna. Dan anehnya
lagi, ternyata bangunan itu membentuk setangkai
bunga! Pada sisi kanan tampak sayap bangunan yang
pancarkan sinar putih. Sedang pada sisi kiri tampak sayap bangunan yang
pancarkan warna hitam. Di antara sayap bangunan ini masih terlihat satu sayap
bangunan lagi yang pancarkan sinar warna merah.
Sementara pada bagian atas bangunan tampak ban-
gunan membentuk kerucut yang juga pancarkan sinar
warna merah! "Bentuknya mirip Kembang Darah Setan...," gumam
Setan Liang Makam. Lalu mulai melangkah mendaki
bangunan yang pancarkan sinar tiga warna.
Begitu lima langkah di depan bangunan, Setan
Liang Makam hentikan langkah. Dia baru bisa melihat dengan jelas. Ternyata
bangunan itu berpintu satu dan
terlihat terbuka menganga.
"Apa yang akan kutemui di sini"!" Setan Liang Ma-
kam menduga-duga. Lalu teruskan langkah setelah
terlebih dahulu memeriksa Kembang Darah Setan yang
berada di balik pakaiannya.
Setan Liang Makam rasakan debaran keras pada
dadanya tatkala kakinya mulai melangkah memasuki
pintu bangunan. Dan diam-diam dia selinapkan tan-
gan kirinya ke balik pakaiannya.
Ternyata bangunan di mana kini Setan Liang Ma-
kam masuk hanya ruangan membentuk bundaran
memanjang ke atas. Pada bagian sudut kanan terlihat tangga ke atas.
Setan Liang Makam memandang sekeliling sesaat.
Lalu melangkah ke arah tangga. Dan tanpa pikir pan-
jang namun dengan tetap waspada, Setan Liang Ma-
kam menaiki tangga. Tangga itu membawa sosok Setan
Liang Makam ke satu ruangan berbentuk kerucut yang
merupakan bagian paling atas dari bangunan itu.
Ruangan berbentuk kerucut itu pancarkan sinar
merah menyala. Hingga begitu menyalanya, membuat
Setan Liang Makam harus mengerjap beberapa kali
untuk menahan silau.
Begitu telah terbiasa, Setan Liang Makam mulai
arahkan pandang matanya berkeliling. Dan gerakan
mata Setan Liang Makam terhenti pada satu batu da-
tar yang di atasnya tampak menggantung sebuah ju-
bah hitam. Mata Setan Liang Makam kembali mementang be-
sar. Karena jubah itu menggantung pada satu sosok
kerangka manusia!
"Siapa dia"! Diakah nenek moyang ku pendiri Kam-
pung Setan"!" seraya membatin, Setan Liang Makam
melangkah mendekat.
Bukkk! Setan Liang Makam tersentak. Tubuhnya laksana
membentur dinding tebal dan tersurut satu langkah ke belakang!
"Aneh.... Mataku tidak melihat apa-apa. Tapi aku
seperti membentur tembok! Aku tak percaya!"
Setan Liang Makam kembali maju melangkah.
Bukkk! Kembali tubuh Setan Liang Makam laksana mem-
bentur tembok. Hingga untuk kedua kalinya sosoknya
tersurut ke belakang.
"Aneh.... Akan ku coba dengan pukulan!" Setan
Liang Makam angkat kedua tangannya. Dia mundur
beberapa langkah. Lalu kedua tangannya bergerak.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang dahsyat melesat. Blaarr!
Terdengar gema gelegar. Setan Liang Makam terke-
siap. Gelombang pukulannya bukan saja laksana di-
bendung tembok berkekuatan luar biasa, namun juga
mental balik! Dan karena tidak menyangka sama seka-
li, terlambat bagi Setan Liang Makam untuk membuat
gerakan menghindar. Hingga tanpa ampun lagi tubuh-
nya tersambar oleh pukulannya sendiri yang mental.
Sosoknya tersapu dan jatuh menghempas ke bagian
belakang dinding bangunan di mana dia berada.
Setan Liang Makam memaki dalam hati. Seraya me-
ringis perlahan-lahan dia bangkit. Karena penasaran, kembali Setan Liang Makam
angkat kedua tangannya.
Kali ini dia lipat gandakan tenaga dalamnya.
"Kau telah dapatkan kembali Kembang Darah Se-
tan"!" Tiba-tiba satu suara mengejutkan Setan Liang Makam.
Setan Liang Makam sentakkan kepala ke samping
kanan. "Nyai Suri Agung!" desis Setan Liang Makam.
Dia melihat satu sosok tubuh duduk bersila di pojok ruangan. Dia adalah seorang
nenek yang kepalanya
hampir-hampir saja plontos. Wajahnya sudah sangat
keriput. Dia mengenakan pakaian warna putih. Nenek
ini tidak lain memang Nyai Suri Agung adanya.
"Bagaimana dia bisa sampai di sini"! Mengapa aku
tadi tidak bisa melihatnya"!"
Selagi Setan Liang Makam masih bertanya-tanya,
Nyai Suri Agung sudah perdengarkan suara lagi.
"Maladewa! Kau sudah dapatkan kembali Kembang
Darah Setan"!"
Setan Liang Makam memperhatikan sesaat. Lalu
anggukkan kepala. Nyai Suri Agung sunggingkan se-
nyum. Lalu berkata.
"Bagus.... Kau baru bisa melewati dinding tak tem-
bus pandang itu jika dinding itu kau hantam dengan
Kembang Darah Setan!" Nyai Suri Agung bergerak
bangkit, lalu lanjutkan ucapan.
"Cucuku.... Kau saat ini berada di Istana Sekar Ja-
gat! Jubah hitam itu adalah Jubah Tanpa Jasad! Kau
nanti akan tahu sendiri bagaimana hingga jubah hitam itu dinamakan demikian! Dan
orang yang mengenakan
jubah itu adalah generasi pertama pendiri Kampung
Setan! Sekarang buka dahulu dinding tidak tembus
pandang itu! Nanti akan kuceritakan semuanya!"
Setan Liang Makam sunggingkan senyum. Lalu
tanpa berkata-kata lagi dia palingkan kepalanya ke depan. Saat yang sama, tangan
kanannya menyelinap ke
balik pakaiannya. Ketika tangan kanannya ditarik keluar, dia telah menggenggam
setangkai bunga berwar-
na tiga. Merah, hitam, dan putih.
Nyai Suri Agung tampak memperhatikan kembang
di tangan Setan Liang Makam dengan kening berkerut.
Sementara Setan Liang Makam tampaknya sudah ti-
dak sabaran. Dia segera angkat Kembang Darah Setan
dan tangannya disentakkan.
Wuutt! Setan Liang Makam terkesiap. Dari tangannya yang
memegang Kembang Darah Setan tidak lepaskan sinar
tiga warna! Yang mencuat justru satu gelombang tidak begitu deras.
Blummm! Terdengar dentuman tidak begitu keras. Lalu ge-
lombang tadi mental. Setan Liang Makam tidak beru-
saha menghindar saking kagetnya. Hingga mentalan
gelombang itu menyambar ke arahnya. Namun karena
gelombang itu tidak begitu keras, sosok Setan Liang Makam hanya bergoyang-
goyang. "Ada yang aneh.... Aku tidak melihat kedahsyatan
kembang ini!" Setan Liang Makam tarik tangan kanan-
nya yang memegang Kembang Darah Setan. Untuk be-
berapa lama dia meneliti.
"Maladewa! Dari mana kau dapatkan kembali kem-
bang di tanganmu itu"!" Nyai Suri Agung ajukan tanya.
Sambil terus meneliti kembang di tangannya. Setan
Liang Makam ceritakan dengan singkat bagaimana dia
memperoleh kembali Kembang Darah Setan.
Nyai Suri Agung gelengkan kepala. "Kau tertipu,
Cucuku...."
Laksana disentak tangan setan, kepala Setan Liang
Makam berpaling ke arah Nyai Suri Agung. "Tak
mungkin! Ini Kembang Darah Setan!" Setan Liang Ma-
kam acungkan tangan kanannya yang menggenggam
Kembang Darah Setan.
Nyai Suri Agung kembali gelengkan kepala. "Bentuk
bisa sama. Tapi belum tentu barangnya tidak beda!
Kau tahu, Maladewa"! Mengapa aku tadi bertanya pa-
damu apakah kau telah mendapatkan kembali Kem-
bang Darah Setan"! Itu karena aku tidak melihat pancaran kembang itu pada
tubuhmu! Dan itu telah cu-
kup membuatku yakin jika kembang di tanganmu itu
palsu! Dan bukti kepalsuannya makin tampak begitu
kau gunakan kembang itu! Tidak ada tiga warna yang
keluar yang justru sebenarnya tiga warna itulah yang bisa menembus dinding tak
tembus pandang di de-panmu itu!"
"Aku tak percaya! Aku tak percaya!" teriak Setan
Liang Makam. "Silakan kau buktikan sekali lagi!" kata Nyai Suri Agung.
Tanpa banyak kata, Setan Liang Makam angkat
tangannya yang memegang kembang. Lalu disentak-
kan ke depan. Wuutt! Satu gelombang melesat tanpa disertai mencuatnya
tiga sinar. Lalu terdengar gelegar saat gelombang dari tangan Setan Liang Makam
membentur dinding tak
tembus pandang. Gelombang itu mental balik. Kali ini Setan Liang Makam sudah
bergerak menghindar hingga dia selamat dari mentalan gelombang.
"Kau masih belum percaya"!" tanya Nyai Suri
Agung. Setan Liang Makam angkat tangannya yang meme-
gang Kembang Darah Setan sejajar dengan matanya.
Untuk beberapa saat dia memandang dengan mata
mendelik angker. Dadanya bergerak turun naik dengan keras. Rahangnya terangkat
dan pelipis kiri kanannya bergerak-gerak.
Tiba-tiba Setan Liang Makam bantingkan kembang
di tangannya ke bawah. Kembang itu langsung hancur
berkeping-keping.
"Bangsat jahanam! Mereka menipuku! Mereka me-
nipuku! Aku bersumpah akan membunuh mereka
dengan tubuh ku potong-potong!"
Saking marahnya, Setan Liang Makam bantingkan
kedua kakinya. Lalu tanpa berkata lagi pada Nyai Suri Agung, Setan Liang Makam
berkelebat menuruni tang-
ga dengan mulut terus perdengarkan makian dan
sumpah! SELESAI Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
dalam episode :
JUBAH TANPA JASAD
Scan: Clickers Juru edit: Aura PandRa
PDF: Abu Keisel
Document Outline
SATU DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** SEPULUH *** SEBELAS *** SELESAI
Sepak Terjang Hui Sing 7 Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Menuntut Balas 4
menandakan dia tengah mencari-cari.
"Hai! Aku di sini!" Pemuda di balik batu karang bu-
ka mulut seraya angkat tangannya memberi isyarat
tempatnya berada.
Orang yang baru muncul sesaat pandangi gerakan
tangan orang dengan wajah tegang. Dia tampak ragu-
ragu. Mulutnya bergerak membuka. Namun sebelum
suaranya terdengar, pemuda di balik batu karang telah berkata lagi.
"Lidah Wetan! Aku Laras!"
Orang yang baru muncul menatap sekali lagi pada
tangan yang masih terangkat di balik batu karang.
Saat lain laksana terbang, dia berkelebat dan tahu-
tahu sosoknya telah tiga langkah di depan batu karang di mana tadi terlihat satu
tangan terangkat memberi isyarat.
Pemuda di balik batu karang bergerak bangkit. Se-
saat dia pandangi orang yang tegak di hadapannya.
Ternyata dia adalah seorang pemuda yang baik pa-
kaian maupun paras wajahnya tidak beda dengan pe-
muda yang ada di balik batu karang. Yang membeda-
kan keduanya hanyalah lobang pada caping hidung
orang. Pemuda yang tadi berada di balik batu karang cuping hidungnya tidak
berlobang, sementara pemuda
yang baru muncul tampak berlobang pada cuping hi-
dungnya, jelas menandakan jika cuping hidung itu bekas mengenakan anting-anting.
Kedua pemuda yang paras wajahnya mirip dengan
Pendekar 131 Joko Sableng ini sama tersenyum.
"Lidah Wetan.... Kita harus segera menuju teluk!"
kata pemuda yang cuping hidungnya tidak berlobang
dan tadi sebutkan diri sebagai Laras. Dia memang bukan lain adalah Kiai Laras
yang menyamar sebagai
Pendekar 131 Joko Sableng.
"Kau melihat orang lain"!" tanya pemuda yang di-
panggil Lidah Wetan. Dia bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan yang juga mengenakan
penyamaran sebagai
Pendekar 131. Kiai Laras gelengkan kepala. "Tapi kita harus tetap berhati-hati!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras berkelebat seraya
memberi isyarat pada Kiai Lidah Wetan untuk mengi-
kuti. Mereka bergerak dengan berkelebat dari satu ba-tu karang ke batu karang
lainnya tanpa timbulkan suara. Malah mereka berdua tampak kerahkan ilmu pe-
ringan tubuh tingkat tinggi, hingga kelebatan mereka sulit ditangkap mata biasa.
Begitu mereka sampai batu karang paling ujung be-
rada di teluk, kedua laki-laki kakak beradik yang menyamar ini hentikan
kelebatan tubuh. Kepala Kiai Laras bergerak ke kanan, sedang kepala Kiai Lidah
We- tan bergerak ke kiri. Sepasang mata mereka menyiasati keadaan dengan tanpa buka
mulut. Ketika agak lama dan mereka tidak menemukan
tanda-tanda adanya orang di teluk, Kiai Laras berpaling pada Kiai Lidah Wetan
yang tegak membungkuk di
sampingnya. "Kau menangkap seseorang"!" tanya Kiai Laras den-
gan suara berbisik.
Kiai Lidah Wetan menjawab dengan isyarat gelengan
kepala. Namun kedua pemuda ini tampaknya masih
ragu. Keduanya kembali putar kepala masing-masing.
"Hanya kita berdua yang ada di sini!" bisik Kiai Lidah Wetan begitu merasa yakin
bahwa di tempat itu
tidak ada orang lain selain mereka berdua. "Jangan-
jangan kita tertipu...."
Kiai Laras luruskan tubuhnya. "Kita cari!" katanya
seraya mulai melangkah.
"Apa yang kita cari"!" tanya Kiai Lidah Wetan.
Kiai Laras sesaat terdiam. Dia sendiri bingung apa
yang harus dikatakannya pada Kiai Lidah Wetan. Ru-
panya Kiai Lidah Wetan dapat menangkap kebingun-
gan pada adiknya. Dia melangkah mendekat dan ber-
bisik. "Bukankah menurut pesan ini, Pendekar 131 hanya
diperintahkan datang ke tempat ini tanpa perintah
mencari sesuatu"!"
Kiai Laras anggukkan kepala. "Tapi aku menduga
pesan itu mengandung arti dia akan menemukan se-
suatu di sini!"
"Kau juga dapat menduga kira-kira apa sesuatu
itu"!"
Kembali Kiai Laras terdiam. Dan setelah agak lama
tak menemukan jawaban, akhirnya Kiai Laras berujar.
"Peduli setan apa yang hendak kita temukan di sini!
Yang jelas kita sudah sampai dan harus pulang den-
gan membawa hasil!"
Belum selesai ucapannya, Kiai Laras telah bergerak
melangkah mengitari teluk. Kiai Lidah Wetan terse-
nyum. Lalu ikut-ikutan melangkah meski dengan hati enggan.
Beberapa saat berlalu. Kiai Laras sudah tampak ge-
ram. Parasnya berubah mengelam dan kedua tangan-
nya mengepal. Sementara Kiai Lidah Wetan tampak
tersenyum-senyum. Kiai Lidah Wetan sejak semula
memang sudah merasa kalau tidak ada gunanya me-
nuruti ucapan orang.
"Laras.... Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini! Kau telah buktikan sendiri
tidak ada apa-apa di sini!"
"Kita tunggu sampai besok pagi!" kata Kiai Laras
dengan suara agak keras.
"Apa yang kita tunggu"!" tanya Kiai Lidah Wetan.
"Jangan banyak mulut! Kalau kau tak mau, enyah-
lah kau dari sini!"
Kiai Lidah Wetan mendelik. Dadanya agak panas
mendengar ucapan Kiai Laras. Namun orang ini masih
coba menindih gelegak dadanya. Tanpa berkata me-
nyahut, Kiai Lidah Wetan melangkah ke arah satu ba-
tu karang agak datar. Lalu duduk sambil arahkan
pandang matanya pada gulungan ombak di depan sa-
na yang telah berwarna hitam namun lambat laun su-
ara gemuruhnya makin menggelegar.
Di lain pihak, Kiai Laras tampak melangkah mon-
dar-mandir dengan rahang terangkat dan mulut me-
nyeringai buas. Beberapa kali dia memaki sendiri dan
tak henti-hentinya liarkan pandangan ke sekeliling.
Karena setelah agak lama tak menemukan sesuatu,
pada akhirnya Kiai Laras mendekati Kiai Lidah Wetan.
Sambil arahkan pandang matanya ke lamunan gelom-
bang, dia buka mulut.
"Kuharap kau sabar menunggu sampai esok hari...."
Kiai Lidah Wetan tengadahkan kepala menatap pa-
da Kiai Laras yang tegak tidak jauh dari sampingnya.
Namun dia hanya memandang dengan mulut terkanc-
ing. Saat itulah samar-samar dari arah jauh di belakang
terlihat satu bayangan hitam berlari cepat menuju pesisir. Hanya beberapa saat
saja, bayangan hitam ini telah mencapai kawasan teluk. Dan begitu sepasang ma-
tanya menangkap dua sosok putih di depan sana, si
bayangan hitam segera berkelebat menyelinap ke balik salah satu batu karang.
Orang ini ternyata tidak lain adalah Setan Liang
Makam. "Siapa mereka"!" gumamnya dalam hati se-
raya memandang tak berkesip ke seberang depan. Lalu kepalanya bergerak memutar
memandang berkeliling.
"Dari ciri-cirinya aku dapat menduga! Tapi mengapa
keduanya hampir sama"! Atau jangan-jangan ini satu
jebakan! Ah, persetan!"
Setan Liang Makam keluar dari balik batu karang.
Kini dia melangkah tanpa sembunyi-sembunyi lagi.
Sepasang matanya tak beranjak dari dua sosok putih
di depan sana. Begitu Setan Liang Makam mulai melangkah, dari
arah belakang samar-samar terlihat satu bayangan
berlari ke arah teluk. Dari caranya berlari, jelas orang yang muncul terakhir
kali ini tidak mau diketahui ke-hadirannya. Karena dia sengaja melompat dari
satu batu karang ke batu karang lainnya. Dan setelah me-
mandang berkeliling sesaat, dia berkelebat ke batu ka-
rang agak besar yang dari tempat itu dia rasa bisa melihat apa yang ada di
teluk. Begitu sampai ke batu karang agak besar, orang
yang muncul terakhir kali dan ternyata adalah laki-laki bercaping lebar dan
bukan lain adalah Kiai Tung-Tung, arahkan pandang matanya ke arah teluk.
Yang pertama-tama terlihat adalah sosok Setan
Liang Makam yang melangkah. Lalu mata Kiai Tung-
Tung menangkap dua sosok putih yang berada di
ujung teluk. Sesaat mata Kiai Tung-Tung membelalak.
"Astaga! Mengapa ada dua"!" desisnya demi melihat
dua sosok putih. "Ciri-cirinya sama.... Apakah...."
Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan kata ha-
tinya, tiba-tiba dari arah bawah sana terdengar teriakan keras Setan Liang
Makam. "Kalian sudah lama menungguku"!"
Teguran orang membuat Kiai Laras dan Kiai Lidah
Wetan terkesiap. Keduanya tidak ada yang buka mulut menyahut. Mereka diam
laksana patung. Namun diam-diam kedua orang ini telah kerahkan tenaga dalam pa-
da kedua tangan masing-masing.
"Rupanya kita terjebak!" bisik Kiai Lidah Wetan.
"Semuanya sudah terlambat! Kita hadapi semua ke-
nyataan ini!"
Habis berkata begitu, Kiai Lidah Wetan bergerak
bangkit. Lalu laksana kilat, dia balikkan tubuh. Darah Kiai Lidah Wetan laksana
sirap. Kalau saja tidak ingat keadaan, barangkali kakinya akan tersurut!
Di depan sana, Setan Liang Makam tak kalah ka-
getnya meski hatinya merasa lega. Dan yang paling
terkejut adalah Kiai Tung-Tung yang mendekam sem-
bunyi di balik batu karang.
Kiai Laras tampaknya bisa membaca gelagat keter-
kejutan saudaranya. Maka perlahan-lahan dia putar
diri. Sama halnya dengan Kiai Lidah Wetan, begitu me-
lihat siapa adanya orang di seberang depan, Kiai Laras tampak tersentak. Di lain
pihak, Setan Liang Makam
terkesima. Hingga mulutnya yang sejenak tadi hendak membuka tampak melongo tanpa
perdengarkan suara.
Di balik batu karang, Kiai Tung-Tung cepat tekap
mulutnya dengan mata mendelik. "Bagaimana mung-
kin"! Keduanya sama persis! Aku tak bisa membeda-
kan meski keduanya palsu"!" Kiai Tung-Tung geleng-
kan kepala. "Siapa mereka sebenarnya..." Apakah ini semua ulah Kiai Laras"!"
Di bawah sana, Setan Liang Makam untuk beberapa
lama memandang silih berganti pada dua pemuda di
hadapannya. "Sulit bagiku membedakan mana jaha-
nam yang pernah mengambil Kembang Darah Setan!
Tapi bukan berarti aku kesulitan untuk mengambil
nyawa keduanya! Aku tak peduli mana si jahanam asli dan mana yang bukan!"
Setelah membatin begitu, Setan Liang Makam ang-
kat bicara dengan suara keras.
"Aku tak punya banyak waktu untuk bertanya siapa
adanya kalian! Yang jelas salah satu dari kalian telah mengambil Kembang Darah
Setan!" Tangan kiri Setan
Liang Makam bergerak menjulur membuat sikap me-
minta. "Serahkan kembali Kembang Darah Setan itu!"
Kiai Lidah Wetan tampak melirik pada Kiai Laras
dengan tengkuk merinding. Dia telah tahu bagaimana
tingginya ilmu Setan Liang Makam. Sementara Kem-
bang Darah Setan berada di tangan Kiai Laras.
Sementara Kiai Laras sendiri tampak tenang-tenang
saja. Malah dia sunggingkan senyum dan berkata.
"Kembang Darah Setan memang berada di tangan
kami berdua! Dan benda itu akan kami serahkan pa-
damu!" Setan Liang Makam tertawa ngakak. "Bagus! Itu le-
bih baik bagi kalian daripada mampus percuma!" Se-
tan Liang Makam teruskan langkah dengan tangan kiri tetap membuat sikap meminta.
Berjarak delapan langkah, Setan Liang Makam ber-
henti. "Lekas serahkan!"
"Sebelum kuserahkan, aku ingin kau jawab perta-
nyaanku dahulu...."
"Keparat! Setan Liang Makam tak mau diberi sya-
rat!" "Kalau begitu, kau tak akan memperoleh apa-apa!"
kata Kiai Laras.
"Kalian telah berani main-main dengan Kembang
Darah Setan! Berarti kalian akan mampus dengan
Kembang Darah Setan itu!"
"Kembang Darah Setan ada apa kami! Kau yang
akan mampus dengan benda milikmu sendiri!" sahut
Kiai Laras. Sementara Kiai Lidah Wetan makin tampak cemas. Dia hanya memandang
silih berganti pada Setan Liang Makam dan Kiai Laras.
Entah karena apa, setelah diam sejenak, pada ak-
hirnya Setan Liang Makam bertanya. "Apa yang kau
tanyakan"!"
"Dari mana kau tahu tempat ini"!" tanya Kiai Laras.
Di tempat persembunyiannya, Kiai Tung-Tung
menghela napas. Sementara Setan Liang Makam meli-
rik lalu buka mulut menjawab.
"Aku tak kenal siapa dia. Dia hanya sebutkan nama
Kiai Tung-Tung!"
Kiai Laras bergumam pada Kiai Lidah Wetan. "Du-
gaanmu benar. Kita dijebak! Tapi ini adalah rezeki besar bagi kita!"
"Bagaimana kau katakan ini sebuah rezeki besar"!"
"Kau lihat saja nanti...."
"Kalian bicara apa"! Lekas berikan Kembang Darah
Setan padaku!" hardik Setan Liang Makam.
Kiai Laras sunggingkan senyum. "Perlu kau tahu....
Sebenarnya kami bukanlah Pendekar 131! Kami ada-
lah dua orang suruhan Kiai Tung-Tung! Dan kau perlu tahu juga. Tugas kami berdua
adalah membunuhmu!"
"Jahanam! Kau kira aku bisa kau kelabui, hah"!
Aku tahu, salah satu di antara kalian adalah Pendekar 131! Aku tak perlu
mengatakan yang mana, yang jelas kalau salah satu di antara kalian mau serahkan
Kembang Darah Setan, nyawa kalian berdua akan kuam-
puni. Jika tidak, kalian berdua akan kubunuh seka-
lian!" "Kami berdua telah berani menjadi orang suruhan
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menghadapimu! Berarti kami tahu sampai di
mana bekal ilmu yang kau miliki!" ujar Kiai Laras
sambil melirik pada Kiai Lidah Wetan dan berbisik.
"Kau jangan ikut bicara.... Kau nanti hanya perlu ber-tahan.... Dan jangan
bersungguh-sungguh jika terjadi bentrok!"
Setan Liang Makam tegak dengan tulang pelipis
bergerak-gerak. Tangan kirinya ditarik pulang seraya berkata.
"Aku meminta sekali lagi! Atau...."
"Kau tak akan mendapatkan apa-apa!" potong Kiai
Laras. Setan Liang Makam perdengarkan bentakan dah-
syat. Saat bersamaan sosoknya melesat ke depan. Lalu membuat putaran sekali.
Kaki kanannya menendang
ke arah Kiai Lidah Wetan, sementara tangan kiri ka-
nannya menghantam ke arah kepala Kiai Laras.
Wuutt! Wuutt! Terdengar deruan angker tatkala tendangan dan
hantaman kedua tangan itu menggebrak. Jelas hal itu dilakukan dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Kiai Lidah Wetan cepat angkat kedua tangannya di-
palangkan di depan dada. Sementara Kiai Laras tarik
ke belakang kepalanya lalu kelebatkan kedua tangan-
nya menghadang kedua tangan Setan Liang Makam.
Dess! Dess! Dua benturan keras terdengar. Kiai Lidah Wetan
dan Kiai Laras tampak mundur satu tindak. Sebalik-
nya Setan Liang Makam terdorong ke belakang. Namun
belum sampai dorongan akibat bentroknya hantaman
itu menyapu, Setan Liang Makam telah jejakkan kaki
kirinya yang tadi dibuat sebagai tumpuan tubuh. So-
sok manusia yang hanya terdiri dari kerangka ini
membal ke udara.
Di atas udara, Setan Liang Makam membuat gera-
kan jungkir balik satu kali. Saat sosoknya meluncur, kedua tangannya bergerak
lepas satu pukulan dahsyat ke arah Kiai Lidah Wetan yang berada dekat dengannya.
Kiai Lidah Wetan tak tinggal diam. Begitu gelom-
bang dahsyat melabrak, kedua tangannya segera dido-
rong ke atas. Dari arah samping, Kiai Laras pun tiba-tiba melepas satu pukulan.
Blammm! Suara gelombang ombak terdengar ditingkah oleh
suara dentuman dahsyat hingga saat itu laksana terja-di serangan badai yang
disertai gemuruh guntur.
Sosok Setan Liang Makam tampak terpelanting ke
udara sampai tiga tombak. Laki-laki ini perdengarkan seruan tertahan. Untuk
beberapa saat tubuhnya tampak melayang ke bawah. Hebatnya, dalam keadaan be-
gitu rupa, Setan Liang Makam masih mampu kuasai
diri. Satu tombak lagi tubuhnya sampai di bawah, dia sentakkan kedua tangannya
ke samping. Wuutt! Wuutt! Secara aneh, tiba-tiba sosok Setan Liang Makam
laksana ditahan tembok besar. Hingga sosoknya ter-
henti di atas udara. Dia hanya melirik sebentar. Kejap
lain tubuhnya melesat ke arah sosok Kiai Lidah Wetan yang terlihat terhuyung-
huyung. Kiai Lidah Wetan tampak terkesiap. Dia melirik pa-
da Kiai Laras. Kiai Laras sendiri tampak memberi isyarat. Kiai Lidah Wetan
angkat kedua tangannya sambil coba kuasai huyungan tubuhnya.
Namun gerakan Kiai Lidah Wetan kalah cepat den-
gan lesatan sosok Setan Liang Makam. Hingga baru sa-ja kedua tangannya
terangkat, kaki kanan Setan Liang Makam telah datang menyapu.
Dess! Kiai Lidah Wetan melolong kesakitan. Sosoknya
langsung terbanting. Dan belum sempat dia bergerak
bangkit, Setan Liang Makam telah tegak di sampingnya dengan seringai ganas.
Tangan kanan kirinya cepat diangkat.
*** SEPULUH Tahan!" Tiba-tiba Kiai Laras berteriak. Kedua tan-
gannya diangkat tinggi-tinggi tanda setiap saat dia bisa lepaskan satu pukulan.
Setan Liang Makam urungkan gerakan tangannya.
Namun kakinya bergerak dan tahu-tahu kaki kanan-
nya telah menginjak perut Kiai Lidah Wetan. Saat bersamaan kepalanya berpaling
pada Kiai Laras.
"Sebelum teman bangsat mu ini kubuat mampus,
ada yang hendak kau katakan"!"
"Kau bisa membunuhnya. Tapi apa kau mampu
menghadang pukulanku"!" tanya Kiai Laras. Sosoknya
melompat ke depan dan tegak hanya lima langkah di
depan Setan Liang Makam. Kedua tangannya bergetar
hebat, tanda tenaga dalam yang telah disalurkan pada kedua tangannya sudah pada
tingkat tinggi.
Setan Liang Makam tertawa bergelak. Di bawahnya,
Kiai Lidah Wetan tampak meringis dengan dada cemas.
Dia bukannya melirik pada Setan Liang Makam, na-
mun matanya tertuju pada Kiai Laras.
Tiba-tiba Setan Liang Makam putuskan gelakan ta-
wanya. "Buka matamu lebar-lebar, Jahanam! Untuk
membunuh teman keparatmu ini, aku hanya perlu ge-
rakkan kaki. Dan kedua tanganku ini bukan saja
mampu menghadang pukulanmu, tapi sekaligus men-
gantarmu ke neraka bersama jahanam keparat ini!" Setan Liang Makam tekankan kaki
kanannya. Kiai Lidah Wetan mengaduh dengan kaki melejang-
lejang. Setan Liang Makam kembali tertawa bergelak.
"Baik! Kembang Darah Setan akan kuserahkan pa-
damu! Tapi lepaskan dulu temanku itu!" kata Kiai Laras.
Setan Liang Makam gelengkan kepala. "Kau kira bi-
sa menipuku lagi, hah"! Serahkan Kembang Darah Se-
tan itu dahulu, baru kulepaskan temanmu ini!"
Kiai Laras balik tertawa mendengar ucapan Setan
Liang Makam. "Harga nyawa seorang teman tidak ada
apa-apanya dibanding dengan Kembang Darah Setan!
Dan kalau kau tidak setuju dengan syarat ku, silakan bunuh temanku itu! Tapi kau
tak akan mendapatkan
apa yang kau minta!"
Kiai Lidah Wetan makin khawatir dan tegang. "Kau!"
katanya dengan suara tersendat. "Mengapa tega kor-
bankan nyawaku! Kau menipuku!"
"Keadaan mengharuskan demikian, Sahabat!" enak
saja Kiai Laras menyahut. Lalu berpaling dan teruskan ucapan.
"Setan Liang Makam! Aku tanya sekali lagi padamu.
Kau masih ingin Kembang Darah Setan atau tidak"!"
"Tunjukkan dahulu barangnya!" teriak Setan Liang
Makam. Kiai Laras turunkan tangan kirinya. Sementara tan-
gan kanan tetap berada di atas. Tangan kirinya terus bergerak menyelinap ke
balik pakaiannya. Tatkala tangan itu ditarik keluar, tampak sinar berwarna
merah, hitam, dan putih memancar dari setangkai kembang
berdaun tiga buah berwarna merah, hitam, dan putih.
Sementara kuncupnya yang juga berwarna merah
tampak lesatkan cahaya mencorong ke atas.
"Kembang Darah Setan-ku...," gumam Setan Liang
Makam. "Lepaskan dia, atau kembang ini akan mengantar-
mu ke neraka!" bentak Kiai Laras sambil acungkan
Kembang Darah Setan di tangan kirinya.
Setan Liang Makam melirik pada gerakan tangan ki-
ri Kiai Laras yang memegang Kembang Darah Setan.
Dia tahu bagaimana kedahsyatan kembang yang per-
nah dimilikinya itu. Perlahan-lahan kini dadanya dilanda kecemasan. Dia yakin
dengan mudah dapat
mengatasi kedua orang pemuda itu. Namun dengan
Kembang Darah Setan di tangan salah satunya, dia
menjadi bimbang.
"Keinginanmu ku penuhi, Keparat! Tapi jangan
mimpi kau dapat menipuku lagi! Dan jangan anggap
aku tak mampu mencabut selembar nyawamu meski
kau menggenggam Kembang Darah Setan!"
"Setan Liang Makam! Turunkan kakimu dan biar-
kan dia bangkit!" kata Kiai Laras ketika dilihatnya Setan Liang Makam belum juga
turunkan kaki kirinya
dari perut Kiai Lidah Wetan.
"Hem.... Tampaknya nyawa pemuda ini begitu ber-
harga bagi dirinya...," gumam Setan Liang Makam da-
lam hati. Lalu sambil tertawa dia berkata.
"Lemparkan dahulu Kembang Darah Setan itu!"
"Jahanam keparat!" maki Kiai Laras. "Aku menda-
patkan Kembang Darah Setan ini dengan perjanjian
kau kubebaskan dari makam batu! Itu berarti aku
mendapatkannya dengan cara jujur! Kau sebenarnya
yang hendak menipuku saat itu!"
"Lalu apa maumu sekarang"!" tanya Setan Liang
Makam. "Lepaskan dia dahulu!"
"Baik! Tapi kalian akan menyesal jika menipuku!"
"Aku belum pernah menipumu! Kau sendiri yang
saat itu menyetujui persyaratan ku!" sahut Kiai Laras sambil memandang tajam.
Perlahan-lahan Setan Liang Makam angkat kaki ki-
rinya dari perut Kiai Lidah Wetan. Kiai Lidah Wetan sendiri segera bergerak
bangkit. Namun baru saja kakinya akan melangkah, tangan kiri Setan Liang Makam
telah bergerak mencekal lengannya.
"Kembang Darah Setan itu serahkan dahulu!"
Kiai Laras gelengkan kepala. "Kau yang hendak me-
nipuku! Bebaskan dia dahulu! Dan biarkan dia me-
langkah mendekat kemari! Atau kau tak akan menda-
pat apa-apa malah nyawamu akan putus saat ini juga!"
Setan Liang Makam ikut-ikutan gelengkan kepala.
"Begini saja! Letakkan Kembang Darah Setan itu dahu-lu! Temanmu akan
kulepaskan!"
Tanpa pikir panjang lagi, Kiai Laras lorotkan tubuh.
Dan perlahan diletakkan Kembang Darah Setan di ba-
wahnya. "Bagus! Sekarang kau mundur!" kata Setan Liang
Makam sambil melangkah maju dengan tangan kiri
masih mencekal lengan Kiai Lidah Wetan.
Kiai Laras menatap angker pada Setan Liang Ma-
kam. Lalu dia surutkan langkah ke belakang. Kiai Lidah Wetan kernyitkan dahi.
"Apa dia sudah gila hen-
dak memberikan begitu saja Kembang Darah Setan"!
Apa yang ada dalam benaknya"! Percuma bertahun-
tahun menanti kalau pada akhirnya harus begini! Dan tahu begini apa yang akan
terjadi, aku tidak akan turuti ucapannya!" kata Kiai Lidah Wetan dalam hati
seraya terus arahkan pandang matanya pada Kembang
Darah Setan yang ada di bawah.
"Bagus! Terus mundur!" teriak Setan Liang Makam
sambil terus maju.
Kiai Laras teruskan langkahnya ke belakang. Se-
mentara kedua tangannya berada di atas kepala siap
lepaskan pukulan.
Begitu dua langkah dari Kembang Darah Setan,
laksana terbang Setan Liang Makam melompat dan
serta-merta menyambar Kembang Darah Setan. Di lain
pihak, begitu Setan Liang Makam melompat, Kiai Lidah Wetan segera berkelebat.
Sebenarnya Kiai Lidah Wetan sudah punya rencana
hendak mendahului gerakan Setan Liang Makam. Na-
mun karena sadar gerakannya sudah terlambat, ak-
hirnya dia memutuskan untuk berlari ke arah Kiai Laras.
"Kau gila! Mengapa kau berikan begitu saja"!" desis Kiai Lidah Wetan begitu
sosoknya berada di samping
Kiai Laras. "Jangan banyak bertanya! Sekarang kita tinggalkan
tempat ini!"
Kiai Laras tidak menunggu sahutan. Begitu sua-
ranya selesai, sosoknya telah berkelebat.
"Ada apa dengan dia"! Kembang Darah Setan telah
berada di tangan Setan Liang Makam, hanya serahkan
nyawa kalau tetap berada di sini!"
Berpikir begitu, akhirnya Kiai Lidah Wetan segera
berkelebat mengejar Kiai Laras.
Sementara begitu Kembang Darah Setan telah ter-
genggam di tangannya, Setan Liang Makam tertawa
bergelak. Dia tidak lagi pedulikan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras yang terus
berkelebat menjauh.
Puas tertawa, baru Setan Liang Makam teringat
akan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras. Namun sosok
dua pemuda itu sudah tidak kelihatan lagi.
'"Kalian boleh saja lolos! Tapi jangan harap kalian dapat tempat untuk sembunyi!
Kalian telah membuat
satu perhitungan dengan Setan Liang Makam. Dan itu
tidak akan pernah selesai!"
Habis berkata begitu, cepat-cepat Setan Liang Ma-
kam masukkan Kembang Darah Setan ke balik pa-
kaiannya. Sekali membuat gerakan, sosok Setan Liang Makam melesat tinggalkan
teluk. Di tempat persembunyiannya, Kiai Tung-Tung tam-
pak masih belum bisa kuasai rasa terkesimanya meli-
hat apa yang baru saja terjadi. Sejak Kembang Darah Setan dikeluarkan Kiai
Laras, sepasang matanya terus membelalak tak berkesip. Dia baru kedipkan mata
begitu melihat Setan Liang Makam berkelebat tinggalkan teluk.
"Aneh.... Mengapa dia enak saja serahkan Kembang
Darah Setan"! Padahal dengan benda itu pemuda yang
tadi memegang Kembang Darah Setan tentu mampu
melawan Setan Liang Makam! Dan kulihat mereka
berdua juga tidak bersungguh-sungguh memberikan
perlawanan ketika bentrok! Ada yang tidak beres....
Aku harus mengikuti...."
Kiai Tung-Tung segera keluar dari balik batu ka-
rang. Setelah memperhatikan berkeliling, dia berkelebat.
*** Agak jauh dari kawasan teluk, Kiai Laras yang ber-
kelebat di sebelah depan hentikan larinya.
"Kau telah gila! Mengapa Kembang Darah Setan kau
berikan padanya"!" Kiai Lidah Wetan sudah menyem-
prot begitu berhenti di sebelah Kiai Laras. Dan belum sempat Kiai Laras buka
mulut, Kiai Lidah Wetan sudah teruskan ucapannya.
"Rupanya akan sia-sia penantian kita selama ini!
Lebih dari itu kau telah membuat jalan malapetaka
bagi kita berdua! Sejak semula aku sudah ragu-ragu....
Nyatanya keraguan ku terbukti! Kita dijebak orang!"
Kiai Laras tidak menyahut. Sebaliknya dia meman-
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dang ke jurusan dari mana dia tadi datang. Sepasang matanya menatap tak berkesip
menembusi kepekatan
malam. "Aneh.... Dia sepertinya tidak merasa menyesal den-
gan berpindahnya Kembang Darah Setan ke tangan
Setan Liang Makam.... Ada apa sebenarnya ini"!" Di-
am- diam Kiai Lidah Wetan membaca sikap Kiai Laras.
"Lidah Wetan.... Kita ikuti ke mana Setan Liang Ma-
kam pergi...," bisik Kiai Laras tanpa melihat pada
orang. "Kau benar-benar gila! Untuk apa kita mengiku-
tinya"! Kita hanya akan cari mati percuma! Dia mem-
bekal Kembang Darah Setan!"
Kiai Laras berpaling. Bibirnya sunggingkan senyum.
"Aku tak peduli apa bekal setan itu! Yang jelas kesempatan ini tidak boleh kita
sia-siakan!"
"Aku tak mengerti jalan pikiranmu!" ujar Kiai Lidah Wetan.
"Nanti kau akan mengerti. Sekarang ikuti aku!"
Seolah tidak sabar, Kiai Laras segera tarik tangan
Kiai Lidah Wetan dan diseretnya berlari tinggalkan
tempat itu. Meski dengan menduga-duga akhirnya Kiai Lidah
Wetan mengikuti ke mana Kiai Laras berlari. Namun
ketika dia melihat Kiai Laras mengikuti berkelebatnya satu sosok tubuh di depan
sana, Kiai Lidah Wetan tak
bisa lagi menahan dugaan. Apalagi ia mulai dapat menangkap siapa adanya sosok
yang diikuti. "Laras.... Aku tak akan mengikuti langkahmu sebe-
lum kau jelaskan semua ini!"
Sambil terus berlari, Kiai Laras berkata dengan sua-ra direndahkan.
"Aku tidak sebodoh yang dikira manusia setan yang
kita ikuti itu! Kau tak usah khawatir! Kita tidak akan membuat urusan dengannya.
Kita hanya perlu tahu ke
mana dia hendak pergi!"
"Tapi itu sangat berbahaya. Kembang Darah Setan
telah di tangannya...!"
Kiai Laras menoleh. "Aku tanya. Kau mau apa ti-
dak"!"
"Tapi kita harus memperhitungkan diri!"
"Kalau aku tidak memperhitungkan diri, apa kau
kira aku berani melakukan ini"!"
Kiai Lidah Wetan tergagu diam. Dan tanpa berkata
apa-apa lagi akhirnya Kiai Lidah Wetan mengikuti berkelebatnya Kiai Laras yang
terus berlari seraya tak henti-hentinya memperhatikan kelebatan sosok di depan
sana yang bukan lain adalah Setan Liang Makam.
Kiai Laras sendiri tampak berhati-hati. Dia sengaja menjaga jarak agar Setan
Liang Makam tidak merasa
kalau dirinya sedang diikuti. Bahkan sesekali Kiai Laras menyelinap ke balik
batangan pohon begitu dili-
hatnya Setan Liang Makam memperlambat larinya.
Ketika malam menjelang berujung, dan samar-
samar langit disemaraki warna kemerahan, Kiai Laras mulai dapat menduga ke mana
arah yang dituju Setan
Liang Makam. "Aku tidak lupa! Ini adalah arah menuju Kampung
Setan.... Hem.... Rupanya rahasia itu masih berada di sana...."
Di lain pihak, Kiai Lidah Wetan pun tampaknya bisa
membaca arah Setan Liang Makam. Orang ini segera
buka mulut. "Laras.... Tentunya kita sudah bisa menebak ke
mana arah orang yang kita ikuti! Sebaiknya kita kembali dari sini!"
"Kita akan kembali begitu kita tahu ke mana dia se-
benarnya!"
"Ini adalah jalan menuju Kampung Setan!" kata Kiai
Lidah Wetan. "Aku tahu! Tapi bukan itu maksudku! Aku ingin ta-
hu Kampung Setan sebelah mana yang ditujunya!"
Apa yang dipercakapkan Kiai Laras dengan Kiai Li-
dah Wetan benar adanya. Karena Setan Liang Makam
memang tengah menuju Kampung Setan. Entah
mungkin saking gembiranya telah mendapatkan Kem-
bang Darah Setan kembali, Setan Liang Makam tidak
merasa kalau dirinya diikuti Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Dia terus berlari
dengan sesekali perdengarkan tawa.
Setan Liang Makam baru memperlambat langkah-
nya tatkala memasuki sebuah kawasan sepi di ujung
hutan di mana terlihat jajaran beberapa julangan batu karang tinggi yang
melingkari sebuah tanah terbuka.
Tempat ini tidak lain adalah sebuah tempat yang dike-nai orang dengan Kampung
Setan. (Tentang Kampung
Setan silakan baca serial Joko Sableng dalam episode:
"Rahasia Kampung Setan").
Setan Liang Makam memandang berkeliling. Lalu
melangkah perlahan-lahan memasuki tanah terbuka.
Dia hentikan langkah dekat lobang menganga yang
terbongkar. "Makam sialan!" maki Setan Liang Makam. Dia te-
ringat bagaimana dia terjerumus masuk ke makam itu
pada tiga puluh enam tahun silam dan harus hidup
menderita hingga sekujur tubuhnya sekarang hanya
tinggal merupakan susunan kerangka tanpa daging.
Ingat akan hal itu, tiba-tiba di kelopak matanya terbayang wajah seseorang.
Sepasang mata Setan Liang
Makam serta-merta mendelik angker. Kepalanya diten-
gadahkan dengan mulut mendesis.
"Kigali.... Hidupku belum tenang kalau tanganku
belum merancah dan mengantarmu menyusul Dadaka
ke liang neraka! Tunggulah Kigali...! Hidupmu tidak akan lama lagi! Kau boleh
sembunyi, tapi jangan kira aku tak bisa menemukanmu! Ha.... Ha.... Ha...!"
Setan Liang Makam tertawa bergelak. Hingga untuk
beberapa saat, tempat sunyi itu dipecah dengan gelakan tawa membahana. Agak jauh
dari tempat Setan
Liang Makam di tempat tersembunyi, Kiai Laras dan
Kiai Lidah Wetan tekap telinga masing-masing untuk
membendung suara gelakan tawa. Namun mata mas-
ing-masing orang terus memandang tak berkesip se-
tiap gerakan Setan Liang Makam.
Tanpa diketahui oleh Kiai Laras dan Kiai Lidah We-
tan, diam-diam sejak tadi sepasang mata tampak men-
delik memperhatikan dari satu tempat. Mata ini sesekali mengarah pada gerak-
gerik Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Lalu saat lain memperhatikan gerakan Se-
tan Liang Makam.
"Hem.... Sepertinya kedua pemuda itu sengaja
memberikan Kembang Darah Setan, lalu secara diam-
diam mengikuti.... Ketidak beresan itu makin terlihat...," gumam si pemilik mata
yang terus memperha-
tikan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras serta Setan
Liang Makam. Si pemilik mata ini ternyata bukan lain adalah Kiai Tung-Tung.
Sejak dari kawasan teluk, Kiai Tung-Tung secara
diam-diam memang mengikuti Setan Liang Makam.
Mula-mula dia dilanda kebimbangan antara mengikuti
kelebatan Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan yang saat
itu menyamar sebagai Pendekar 131. Dia sebenarnya
ingin menguak siapa sebenarnya dua pemuda itu. Na-
mun setelah berpikir agak panjang, akhirnya dia me-
mutuskan untuk mengikuti Setan Liang Makam.
Namun belum sampai berlari jauh, tiba-tiba Kiai
Tung-Tung yang sebenarnya tidak lain adalah Pende-
kar 131 Joko Sableng, menangkap gerakan dua bayan-
gan putih yang berlari mengikuti Setan Liang Makam.
Meski saat itu suasana gelap, namun dari pakaian
yang dikenakan dua sosok putih, Kiai Tung-Tung den-
gan mudah bisa mengenali siapa adanya dua sosok
yang mengikuti Setan Liang Makam.
Kiai Tung-Tung tidak bisa menduga ke mana dan
apa yang hendak dilakukan Setan Liang Makam serta
Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Hingga dia hanya berlari dengan berusaha agar
dirinya tidak diketahui oleh beberapa orang yang dikuntitnya. Dan begitu Setan
Liang Makam hentikan larinya pada tempat terbuka
serta Kiai Lidah Wetan serta Kiai Laras sembunyi mendekam di satu tempat, Kiai
Tung-Tung hentikan juga
larinya lalu mencari tempat tersembunyi yang dapat
melihat jelas gerak-gerik orang yang diikuti.
Sementara di tempat terbuka sana, Setan Liang
Makam tampak tegak dengan kepala tengadah. Gela-
kan tawanya sudah terhenti. Tempat yang dikenal
orang dengan Kampung Setan itu kembali dicekam ke-
sunyian menyentak. Sementara perlahan-lahan langit
di atas sana sudah mulai terang, hingga semua gera-
kan Setan Liang Makam makin jelas kelihatan. Orang
yang tubuhnya merupakan susunan kerangka ini ge-
rakkan kepala berpaling ke kanan. Di sana terlihat sebuah batu altar.
Setan Liang Makam melangkah dua tindak ke bela-
kang. Tiba-tiba kedua tangannya diangkat. Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan
memperhatikan dengan dada
berdebar. Sementara Kiai Tung-Tung masih juga belum bisa mengetahui apa yang
hendak dilakukan orang.
Beberapa saat berlalu. Mendadak Setan Liang Ma-
kam sentakkan kedua tangannya. Terdengar deruan
dahsyat. Bersamaan dengan itu tampak dua gelom-
bang angin luar biasa kencang melesat.
Brakkk! Brakkk!
Terdengar derakan keras dua kali. Lalu tampak
muncratan keping-keping batu ke udara setinggi dua
tombak. Ketika muncratan kepingan batu luruh kem-
bali, altar batu sudah tidak kelihatan lagi. Berubah menjadi sebuah lobang
menganga besar!
Setan Liang Makam memperhatikan sesaat pada lo-
bang menganga. Lalu putar tubuh dengan mata mem-
perhatikan pada julangan beberapa batu karang tinggi.
Begitu tubuhnya kembali ke arah semula, dia melang-
kah mendekati lobang.
"Gelap...," gumam Setan Liang Makam begitu kepa-
lanya bergerak melongok. "Apa aku harus masuk"! Apa ucapan Nyai Suri Agung tidak
bermaksud menjebakku
dengan niat balas dendam akan apa yang pernah ku-
lakukan terhadapnya"!"
Untuk beberapa lama Setan Liang Makam berpikir
dan menimbang-nimbang. "Hem.... Kembang Darah
Setan telah berada di tanganku kembali! Dengan ben-
da ini tak ada yang perlu ditakutkan! Sekalipun harus berhadapan dengan Nyai
Suri Agung!"
Memutuskan begitu, pada akhirnya Setan Liang
Makam membuat gerakan satu kali. Saat itu juga so-
soknya melesat masuk ke dalam lobang menganga!
"Apa yang harus kita lakukan sekarang"!" tanya
Kiai Lidah Wetan begitu sosok Setan Liang Makam le-
nyap masuk ke dalam lobang.
Kiai Laras tidak segera menjawab. Dia hanya mem-
perhatikan ke lobang di mana tadi Setan Liang Makam
melesat masuk. Dalam hati diam-diam dia berkata.
"Tak kusangka jika di situ rahasianya! Hem.... Lidah Wetan tidak boleh tahu apa
rencanaku! Itu akan kulakukan sendiri!"
"Kita tinggalkan tempat ini!" Kiai Laras buka suara.
Dan tanpa menunggu sambutan dari Kiai Lidah Wetan,
Kiai Laras keluar dari tempat persembunyiannya dan
saat lain dia berkelebat.
"Aneh.... Apa sebenarnya yang ada dalam benak-
nya"! Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu pada-
ku! Dia memberikan begitu saja Kembang Darah Se-
tan. Lalu diam-diam mengikuti jejak Setan Liang Makam. Tapi tanpa melakukan
sesuatu.... Hem.... Aku
harus segera mengetahui ada apa di balik semua ini!"
Setelah membatin begitu, Kiai Lidah Wetan menga-
wasi ke arah lobang sejenak, lalu berkelebat menyusul Kiai Laras yang sudah
berlari jauh di depan sana.
Di tempat lain, Kiai Tung-Tung kembali dilanda ke-
bimbangan. Antara mengikuti dua pemuda yang me-
nyamar sebagai Pendekar 131 dan menguntit apa yang
dilakukan Setan Liang Makam.
"Hem.... Kembang Darah Setan sudah kembali pada
pemiliknya. Berarti urusan Setan Liang Makam kurasa sudah selesai. Sekarang aku
harus tahu siapa sebenarnya dua pemuda itu!"
Kiai Tung-Tung gerakkan kepala dengan mata men-
gawasi seantero di mana dia berada. Sesaat dia masih dilanda keragu-raguan.
Namun setelah berpikir lagi, dia akhirnya keluar dari tempat mendekamnya lalu
berlari mengikuti Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan.
*** SEBELAS Ketika sudah jauh dari Kampung Setan dan mata-
hari sudah menggantung tinggi di belahan langit timur, Kiai Laras tiba-tiba
hentikan larinya. Begitu sosoknya berhenti, laksana kilat dia putar tubuh.
Sepasang matanya menyengat tajam memperhatikan ke depan. Te-
linganya dipasang baik-baik.
Kiai Lidah Wetan serta-merta ikut berhenti. Dan se-
perti halnya Kiai Laras, ia juga cepat balikkan tubuh.
Kepalanya bergerak memutar. Sepasang matanya liar
melihat berkeliling.
"Aku merasa ada jahanam yang mengikuti kita!"
gumam Kiai Laras tanpa alihkan pandang matanya.
Kiai Lidah Wetan sambuti gumaman Kiai Laras den-
gan anggukkan kepala. Lalu berbisik. "Kita belum tahu siapa yang kita hadapi!
Untuk lebih amannya, kita harus berpencar dan segera berganti wajah!"
Kiai Lidah Wetan berucap begitu sebenarnya den-
gan maksud agar dia segera bisa menyelidik apa yang selama ini jadi tanda tanya
besar tentang sikap Kiai Laras.
Di lain pihak, Kiai Laras pun sebenarnya ingin sege-ra menyelidik apa yang akan
dilakukan Setan Liang
Makam. Maka begitu mendengar bisikan Kiai Lidah
Wetan, dia berbalik berbisik.
"Kita berpisah di sini! Di tempat yang telah kita ten-tukan, kita nanti bertemu
sesuai waktu yang telah kita atur!"
Kiai Lidah Wetan memandang sesaat pada adiknya.
Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas dia terse-
nyum lalu berkelebat menuju arah selatan. Bersamaan dengan melesatnya sosok Kiai
Lidah Wetan, Kiai Laras pun berkelebat ke arah utara.
Berjarak lima belas tombak dari tempat di mana ta-
di Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan berhenti, Kiai Tung-Tung yang tampak
telungkup sejajar tanah bergumam
sendiri.
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hampir saja.... Terlambat sedikit, pasti mereka
akan melihatku"
Habis bergumam, Kiai Tung-Tung arahkan pandang
matanya pada Kiai Laras dan Kiai Lidah Wetan. Dia tidak bisa mendengar dengan
jelas apa yang diperbin-
cangkan kedua orang ini. Dia hanya bisa melihat gerakan orang. Dan tiba-tiba
keningnya berkerut tatkala mendadak saja salah satu pemuda yang diikutinya
berkelebat ke arah selatan. Belum bisa menduga dan
belum tahu apa yang harus dilakukan, kembali dia
terbelalak demi melihat pemuda satunya membuat ge-
rakan berkelebat ke arah utara.
"Busyet! Mereka berpencar! Tampaknya mereka cu-
riga kalau kuikuti! Hem.... Siapa yang harus kuikuti sekarang"! Yang ke arah
selatan atau utara"!"
Kiai Tung-Tung bergerak bangkit. Setelah merasa
yakin keadaan aman, tanpa pikir panjang lagi dia segera berlari ke arah selatan,
arah yang diambil oleh Kiai Lidah Wetan.
Kalau tadi Kiai Tung-Tung mengikuti secara diam-
diam, kini dia berlari tanpa sembunyi-sembunyi lagi.
Dia berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan
tubuhnya hingga dalam beberapa saat dia telah dapat menangkap kelebatan orang
yang dikejar. "Hai! Tunggu" Kiai Tung-Tung berteriak begitu jarak antara dia dengan orang yang
dikejar hanya terpaut
beberapa tombak.
Kiai Lidah Wetan rupanya sudah merasa kalau di-
rinya diikuti. Namun dia seolah tidak dengar teriakan orang. Malah dia
mempercepat larinya. Dan diam-diam dia salurkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. "Hai! Tunggu" kembali Kiai Tung-Tung berteriak.
Di depan sana, Kiai Lidah Wetan tiba-tiba saja ber-
henti. Malah langsung putar tubuh. Namun bersa-
maan dengan berputarnya tubuh, kedua tangannya
bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang angker melesat ganas ke arah Kiai
Tung-Tung. Kiai Tung-Tung tampak sedikit tersentak
kaget karena tidak menduga sama sekali. Namun laki-
laki bercaping lebar ini cepat melompat ke samping.
Kedua tangannya dikelebatkan ke arah gelombang
yang melesat dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan.
Bummm! Terdengar ledakan keras saat dua gelombang puku-
lan Kiai Lidah Wetan disambut gelombang yang me-
nyambar dari kedua tangan Kiai Tung-Tung. Meski
Kiai Tung-Tung tidak arahkan pandangannya lurus ke
arah Kiai Lidah Wetan, namun bentroknya dua tenaga
dalam membuat sosok Kiai Lidah Wetan bergoyang-
goyang dan kedua tangannya bergetar. Paras wajahnya seketika berubah. Antara
marah dan rasa menyentak-nyentak pada aliran jalan darahnya.
Di seberang samping, Kiai. Tung-Tung tampak tegak
dengan tangan satu di atas kepala menekan caping lebarnya yang hendak lepas
terbang. Sementara tangan
satunya dikibas-kibaskan dengan mulut meringis!
"Apa maumu"!" bentak Kiai Lidah Wetan sambil
angkat kedua tangannya kembali.
"Tahan, Sahabat!" sahut Kiai Tung-Tung. "Aku cu-
ma ingin bertanya...."
Kiai Lidah Wetan pandangi sekujur tubuh orang da-
ri atas hingga bawah seolah ingin mengenali. Namun
karena caping lebar itu masuk hampir menutupi sepa-
ruh dari paras muka Kiai Tung-Tung, apalagi rambut-
nya yang panjang sengaja digeraikan di bagian samp-
ing kanan kiri wajahnya, membuat Kiai Lidah Wetan
sulit untuk mengenali siapa adanya orang ini.
"Apa manusia ini yang mengikuti langkahku dan
Laras sejak keluar dari kawasan hutan dekat Kampung Setan tadi"!" Kiai Lidah
Wetan diam-diam menduga.
Lalu ajukan tanya dengan suara keras.
"Siapa kau"!"
"Namaku Bim-Bim...," ujar Kiai Tung-Tung setelah
agak lama terdiam. "Bukankah aku sedang berhada-
pan dengan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng"!"
Sesaat Kiai Lidah Wetan kerutkan dahi. "Kau telah
mengenalku! Sekarang katakan apa maumu!"
Tiba-tiba Kiai Tung-Tung perdengarkan tawa berge-
lak panjang. Namun laksana dirobek setan, Kiai Tung-Tung putuskan gelakan
tawanya. Kejap lain dia per-
dengarkan suara bentakan.
"Bagus! Aku mendapat tugas untuk meminta sesua-
tu darimu! Kalau kau turuti permintaanku, nyawamu
akan selamat! Jika tidak, aku akan mengambil apa
yang kuminta beserta nyawamu sekalian!"
"Jahanam! Pasti yang dimaksud adalah Kembang
Darah Setan.... Hem.... Rupanya dia tidak memiliki il-mu rendah! Aku harus dapat
segera menyelesaikan-
nya! Jika tidak, dia akan menunda pekerjaanku...."
"Apa yang kau minta"!" Kiai Lidah Wetan bertanya
dengan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan-
nya. Dia coba kerahkan segenap tenaga dalam yang
dimiliki, karena dari bentrok pukulan tadi, dia sudah maklum jika orang yang
dihadapi punya kekuatan
yang tidak rendah.
Kiai Tung-Tung kembali perdengarkan kekehan ta-
wa. "Serahkan Kembang Darah Setan padaku!"
Entah karena merasa mungkin urusan akan selesai
dengan bicara baik-baik, Kiai Lidah Wetan yang saat itu menyamar sebagai murid
Pendeta Sinting sunggingkan senyum sambil berkata. Nadanya kalem.
"Aku maklum jika kau minta benda itu padaku, ka-
rena rimba persilatan saat ini memang telah beredar berita jika Kembang Darah
Setan ada padaku! Namun
perlu kau ketahui.... Berita ini sebenarnya fitnah dan omong kosong! Kembang
Darah Setan tidak ada di
tanganku!"
"Manusia ini pandai juga berdalih.... Sayangnya aku tadi tak bisa membedakan
mana yang memberikan
Kembang Darah Setan pada Setan Liang Makam.... Ta-
pi itu tidak penting! Yang penting aku harus tahu siapa di balik kedoknya!"
Diam-diam Kiai Tung-Tung berkata sendiri dalam hati. Lalu berkata.
"Seandainya aku jadi kau, tentu aku akan menja-
wab dengan ucapan yang sama! Tapi sayangnya aku
lebih percaya pada berita yang saat ini beredar! Kembang Darah Setan berada di
tanganmu! Dan kau telah
dengar apa permintaanku!" Kiai Tung-Tung maju me-
langkah tiga tindak. "Sahabat Muda.... Dunia mu ma-
sih panjang dibanding duniaku yang hanya tinggal
menunggu saat-saat terakhir panggilan ajal! Kau tentu masih bisa memperoleh
sesuatu yang lebih dahsyat
daripada Kembang Darah Setan. Maka dari itu, aku...."
Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan ucapan,
Kiai Lidah Wetan telah memotong.
"Telingamu telah dengar penjelasanku! Kuperintah-
kan kau angkat kaki dari hadapanku jika kau tak in-
gin ajal itu menjemput mu sekarang!"
Kiai Tung-Tung tersenyum sambil gelengkan kepala.
"Tadi sudah kukatakan, aku adalah orang yang men-
dapat tugas untuk meminta darimu! Bagiku.... Daripa-da pulang dengan tangan
hampa lebih baik pulang
tanpa nama! Karena pulang pun aku harus menerima
kematian juga!"
Karena sadar tidak bisa menyelesaikan urusan den-
gan bicara baik-baik, tanpa pikir panjang lagi Kiai Lidah Wetan segera tarik
kedua tangannya ke belakang.
"Aku peringatkan kau sekali lagi! Angkat kaki atau
mampus di sini!"
"Keduanya tidak ada yang ku pilih! Aku minta Kem-
bang Darah Setan!" jawab Kiai Tung-Tung.
Wuutt! Wuutt! Suara jawaban Kiai Tung-Tung belum selesai, Kiai
Lidah Wetan telah sentakkan kedua tangannya ke de-
pan. Hingga bersamaan dengan itu dua gelombang
menggidikkan menggebrak. Dan samar-samar tampak
semburatan warna hitam menyertai gelombang yang
datang. Kiai Tung-Tung maklum jika pukulan yang dilepas
orang kali ini bertenaga dalam tinggi. Dia tidak mau bertindak ayal. Dia cepat
kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Serta-merta kedua tangannya berubah
menjadi kekuningan. Menunjukkan kalau dia
hendak hadang pukulan orang dengan lepaskan puku-
lan 'Lembur Kuning'.
Wuutt! Wuutt! Kedua tangan Kiai Tung-Tung bergerak. Terlihat si-
nar kuning melesat membawa serta gelombang dahsyat
dan hawa luar biasa menyengat panas.
Blaarr! Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dahsyat.
Gelombang yang samar-samar disemburati warna
hitam dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan buyar. Sinar kuning yang melesat dari
kedua tangan Kiai Tung-Tung tampak pula ambyar.
Sosok Kiai Lidah Wetan terjengkang jatuh di atas
tanah. Dari mulutnya mengucurkan darah. Tanda jika
telah terluka dalam. Namun Kiai Lidah Wetan tampak-
nya sadar akan apa yang hendak dilakukan orang,
hingga meski merasakan aliran darah sekujur tubuh-
nya laksana tersumbat dan menyentak-nyentak, Kiai
Lidah Wetan segera salurkan tenaga dalam kembali, la-lu dengan cepat bergerak
bangkit. Sementara di depan sana, Kiai Tung-Tung tampak
terdorong deras ke belakang dan hampir saja lututnya terlipat. Tapi dia cepat
dapat kuasai diri meski dengan tubuh terhuyung-huyung. Sosoknya bergetar keras.
Sepasang matanya mengerjap beberapa kali. Caping
lebarnya mencelat dan melayang-layang di atas udara.
Karena mungkin tidak mau dikenali dengan me-
layangnya caping di kepalanya, Kiai Tung-Tung segera berkelebat menyambar
capingnya. Dan cepat-cepat pu-la dikenakan.
Kiai Lidah Wetan sesaat tampak sipitkan mata
tatkala melihat gerakan Kiai Tung-Tung yang me-
nyambar caping lebarnya. Dia tadi coba mengenali wajah orang. Namun karena dia
masih pikirkan keadaan
dirinya dan kelebatan Kiai Tung-Tung sangat cepat,
membuat Kiai Lidah Wetan belum bisa dengan jelas
melihat raut muka orang.
"Siapa jahanam ini sebenarnya"! Rasanya aku tak
mungkin menghadapinya!" Kiai Lidah Wetan rupanya
maklum akan gelagat. Dia melirik ke samping kiri kanan. Kejap lain dia sentakkan
kedua tangannya le-
paskan pukulan ke arah Kiai Tung-Tung.
Kembali dua gelombang angin dahsyat menggebrak
ganas ke arah Kiai Tung-Tung. Bersamaan dengan
menggebraknya gelombang, Kiai Lidah Wetan berkele-
bat tinggalkan tempat itu.
"Serahkan dulu Kembang Darah Setan! Baru kau
bisa pergi dengan tenang!" teriak Kiai Tung-Tung sambil dorong kedua tangannya
lepaskan lagi pukulan
sakti 'Lembur Kuning'. Dan begitu kedua tangannya
mendorong, Kiai Tung-Tung segera pula berkelebat
mengejar. Bummm! Bentroknya dan pukulan menimbulkan gelegar
dahsyat. Tanah di mana pukulan bertemu tampak
semburat ke udara menutupi pemandangan.
Meski sosok Kiai Lidah Wetan dan Kiai Tung-Tung
sudah berkelebat ketika gelegar terdengar, namun bias bentroknya dua pukulan tak
bisa dihindari. Hingga kelebatan sosok Kiai Lidah Wetan terlihat bergoyang-
goyang. Demikian pula sosok Kiai Tung-Tung. Namun
Kiai Lidah Wetan tak hendak hentikan larinya.
"Aku harus menghentikannya!" Kiai Tung-Tung
angkat kedua tangannya. Dia sengaja arahkan puku-
lan ke bawah. Namun baru saja Kiai Tung-Tung hen-
dak lepaskan pukulan, dari arah samping melesat si-
nar tiga warna. Merah, hitam, dan putih!
Kiai Tung-Tung sempat terkesiap. Tapi dia cepat sa-
dar. Kedua tangannya buru-buru disentakkan ke arah
datangnya sinar tiga warna.
Kiai Tung-Tung terkesima kaget. Gelombang angin
dari kedua tangannya serta-merta buyar. Sementara
sinar tiga warna laksana tak terbendung dan terus melabrak. Malah saat itu juga
sosok Kiai Tung-Tung terdorong deras ke belakang!
"Jangkrik! Siapa orang yang menghadang ini"!"
omel Kiai Tung-Tung seraya angkat kembali kedua
tangannya dan kali ini lepas pukulan 'Lembur Kuning'
ke arah sinar tiga warna.
Tass! Tasss! Sinar tiga warna tampak meletup pancarkan pijaran
api. Pijaran api itu meletup lalu menebar dua tombak ke udara.
Sosok Kiai Tung-Tung terhempas ke belakang.
Meski tidak sampai jatuh, namun dia merasakan seku-
jur tubuhnya laksana dipanggang. Hingga untuk bebe-
rapa saat dia harus kerahkan hawa murni.
Begitu dapat kuasai diri, Kiai Tung-Tung cepat me-
lompat ke depan. Kepalanya berpaling ke arah dari
mana tadi sinar tiga warna melesat. Sementara ma-
tanya melirik juga ke depan, arah kelebatan Kiai Lidah Wetan.
Namun Kiai Tung-Tung tidak melihat siapa-siapa.
Dan begitu arahkan pandang matanya ke depan, sosok
Kiai Lidah Wetan pun sudah lenyap!
Kiai Tung-Tung tak mau begitu saja lepaskan bu-
ruan. Dia coba mengejar ke arah kelebatan Kiai Lidah Wetan. Namun sampai dia
berlari kira-kira dua puluh lima tombak, dia sadar jika buruannya dapat melo-
loskan diri, karena sampai sejauh ini Kiai Tung-Tung tidak melihat sosok Kiai
Lidah Wetan! Kiai Tung-Tung balikkan tubuh. "Siapa orang yang
lepaskan pukulan tadi"! Baru kali ini aku melihat pukulan bersinar tiga warna!
Berarti aku belum pernah mengenalnya...." Kiai Tung-Tung membatin. Tiba-tiba
dahinya berkerut. "Sinar tiga warna.... Tadi kulihat Kembang Darah Setan juga
pancarkan sinar tiga warna saat tergenggam salah seorang di teluk.... Apakah
Setan Liang Makam"! Tapi mungkinkah"! Bukankah
Setan Liang Makam setidaknya punya urusan dengan
orang yang kukejar"! Berarti ada orang lain.... Sia-pa..."!"
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil terus membatin, Kiai Tung-Tung melangkah
dengan mata menyelidik ke tiap jengkal tanah yang dilewati. Tapi sejauh ini dia
tidak melihat siapa-siapa!
*** Sementara itu di Kampung Setan, Setan Liang Ma-
kam sejurus tampak terkejut begitu tubuhnya mema-
suki lobang bekas bongkaran altar batu. Ternyata lobang menganga itu hanya
delapan tombak. Dan tem-
pat di mana sekarang berpijak adalah batu cadas.
Setan Liang Makam cepat pentangkan mata. Me-
mandang ke depan, terlihat tangga menurun dari batu cadas. Dengan hati-hati
Setan Liang Makam mulai melangkah menuruni tangga dengan kedua tangan siap
lepaskan pukulan sewaktu-waktu.
Tangga menurun itu berakhir pada sebuah tempat
terbuka yang bersinar terang. Setan Liang Makam te-
gak dengan mata tetap mementang besar.
"Sama sekali tak kuduga...," desis Setan Liang Ma-
kam. Dia kini putar kepalanya memandang berkeliling.
Ternyata tempat itu diterangi sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih! Dan
memandang ke depan, terlihat
sebuah bangunan yang membuat sepasang mata Setan
Liang Makam tak berkesip.
Bangunan itu dari batu cadas biasa. Anehnya, ban-
gunan itu pancarkan sinar tiga warna. Dan anehnya
lagi, ternyata bangunan itu membentuk setangkai
bunga! Pada sisi kanan tampak sayap bangunan yang
pancarkan sinar putih. Sedang pada sisi kiri tampak sayap bangunan yang
pancarkan warna hitam. Di antara sayap bangunan ini masih terlihat satu sayap
bangunan lagi yang pancarkan sinar warna merah.
Sementara pada bagian atas bangunan tampak ban-
gunan membentuk kerucut yang juga pancarkan sinar
warna merah! "Bentuknya mirip Kembang Darah Setan...," gumam
Setan Liang Makam. Lalu mulai melangkah mendaki
bangunan yang pancarkan sinar tiga warna.
Begitu lima langkah di depan bangunan, Setan
Liang Makam hentikan langkah. Dia baru bisa melihat dengan jelas. Ternyata
bangunan itu berpintu satu dan
terlihat terbuka menganga.
"Apa yang akan kutemui di sini"!" Setan Liang Ma-
kam menduga-duga. Lalu teruskan langkah setelah
terlebih dahulu memeriksa Kembang Darah Setan yang
berada di balik pakaiannya.
Setan Liang Makam rasakan debaran keras pada
dadanya tatkala kakinya mulai melangkah memasuki
pintu bangunan. Dan diam-diam dia selinapkan tan-
gan kirinya ke balik pakaiannya.
Ternyata bangunan di mana kini Setan Liang Ma-
kam masuk hanya ruangan membentuk bundaran
memanjang ke atas. Pada bagian sudut kanan terlihat tangga ke atas.
Setan Liang Makam memandang sekeliling sesaat.
Lalu melangkah ke arah tangga. Dan tanpa pikir pan-
jang namun dengan tetap waspada, Setan Liang Ma-
kam menaiki tangga. Tangga itu membawa sosok Setan
Liang Makam ke satu ruangan berbentuk kerucut yang
merupakan bagian paling atas dari bangunan itu.
Ruangan berbentuk kerucut itu pancarkan sinar
merah menyala. Hingga begitu menyalanya, membuat
Setan Liang Makam harus mengerjap beberapa kali
untuk menahan silau.
Begitu telah terbiasa, Setan Liang Makam mulai
arahkan pandang matanya berkeliling. Dan gerakan
mata Setan Liang Makam terhenti pada satu batu da-
tar yang di atasnya tampak menggantung sebuah ju-
bah hitam. Mata Setan Liang Makam kembali mementang be-
sar. Karena jubah itu menggantung pada satu sosok
kerangka manusia!
"Siapa dia"! Diakah nenek moyang ku pendiri Kam-
pung Setan"!" seraya membatin, Setan Liang Makam
melangkah mendekat.
Bukkk! Setan Liang Makam tersentak. Tubuhnya laksana
membentur dinding tebal dan tersurut satu langkah ke belakang!
"Aneh.... Mataku tidak melihat apa-apa. Tapi aku
seperti membentur tembok! Aku tak percaya!"
Setan Liang Makam kembali maju melangkah.
Bukkk! Kembali tubuh Setan Liang Makam laksana mem-
bentur tembok. Hingga untuk kedua kalinya sosoknya
tersurut ke belakang.
"Aneh.... Akan ku coba dengan pukulan!" Setan
Liang Makam angkat kedua tangannya. Dia mundur
beberapa langkah. Lalu kedua tangannya bergerak.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang dahsyat melesat. Blaarr!
Terdengar gema gelegar. Setan Liang Makam terke-
siap. Gelombang pukulannya bukan saja laksana di-
bendung tembok berkekuatan luar biasa, namun juga
mental balik! Dan karena tidak menyangka sama seka-
li, terlambat bagi Setan Liang Makam untuk membuat
gerakan menghindar. Hingga tanpa ampun lagi tubuh-
nya tersambar oleh pukulannya sendiri yang mental.
Sosoknya tersapu dan jatuh menghempas ke bagian
belakang dinding bangunan di mana dia berada.
Setan Liang Makam memaki dalam hati. Seraya me-
ringis perlahan-lahan dia bangkit. Karena penasaran, kembali Setan Liang Makam
angkat kedua tangannya.
Kali ini dia lipat gandakan tenaga dalamnya.
"Kau telah dapatkan kembali Kembang Darah Se-
tan"!" Tiba-tiba satu suara mengejutkan Setan Liang Makam.
Setan Liang Makam sentakkan kepala ke samping
kanan. "Nyai Suri Agung!" desis Setan Liang Makam.
Dia melihat satu sosok tubuh duduk bersila di pojok ruangan. Dia adalah seorang
nenek yang kepalanya
hampir-hampir saja plontos. Wajahnya sudah sangat
keriput. Dia mengenakan pakaian warna putih. Nenek
ini tidak lain memang Nyai Suri Agung adanya.
"Bagaimana dia bisa sampai di sini"! Mengapa aku
tadi tidak bisa melihatnya"!"
Selagi Setan Liang Makam masih bertanya-tanya,
Nyai Suri Agung sudah perdengarkan suara lagi.
"Maladewa! Kau sudah dapatkan kembali Kembang
Darah Setan"!"
Setan Liang Makam memperhatikan sesaat. Lalu
anggukkan kepala. Nyai Suri Agung sunggingkan se-
nyum. Lalu berkata.
"Bagus.... Kau baru bisa melewati dinding tak tem-
bus pandang itu jika dinding itu kau hantam dengan
Kembang Darah Setan!" Nyai Suri Agung bergerak
bangkit, lalu lanjutkan ucapan.
"Cucuku.... Kau saat ini berada di Istana Sekar Ja-
gat! Jubah hitam itu adalah Jubah Tanpa Jasad! Kau
nanti akan tahu sendiri bagaimana hingga jubah hitam itu dinamakan demikian! Dan
orang yang mengenakan
jubah itu adalah generasi pertama pendiri Kampung
Setan! Sekarang buka dahulu dinding tidak tembus
pandang itu! Nanti akan kuceritakan semuanya!"
Setan Liang Makam sunggingkan senyum. Lalu
tanpa berkata-kata lagi dia palingkan kepalanya ke depan. Saat yang sama, tangan
kanannya menyelinap ke
balik pakaiannya. Ketika tangan kanannya ditarik keluar, dia telah menggenggam
setangkai bunga berwar-
na tiga. Merah, hitam, dan putih.
Nyai Suri Agung tampak memperhatikan kembang
di tangan Setan Liang Makam dengan kening berkerut.
Sementara Setan Liang Makam tampaknya sudah ti-
dak sabaran. Dia segera angkat Kembang Darah Setan
dan tangannya disentakkan.
Wuutt! Setan Liang Makam terkesiap. Dari tangannya yang
memegang Kembang Darah Setan tidak lepaskan sinar
tiga warna! Yang mencuat justru satu gelombang tidak begitu deras.
Blummm! Terdengar dentuman tidak begitu keras. Lalu ge-
lombang tadi mental. Setan Liang Makam tidak beru-
saha menghindar saking kagetnya. Hingga mentalan
gelombang itu menyambar ke arahnya. Namun karena
gelombang itu tidak begitu keras, sosok Setan Liang Makam hanya bergoyang-
goyang. "Ada yang aneh.... Aku tidak melihat kedahsyatan
kembang ini!" Setan Liang Makam tarik tangan kanan-
nya yang memegang Kembang Darah Setan. Untuk be-
berapa lama dia meneliti.
"Maladewa! Dari mana kau dapatkan kembali kem-
bang di tanganmu itu"!" Nyai Suri Agung ajukan tanya.
Sambil terus meneliti kembang di tangannya. Setan
Liang Makam ceritakan dengan singkat bagaimana dia
memperoleh kembali Kembang Darah Setan.
Nyai Suri Agung gelengkan kepala. "Kau tertipu,
Cucuku...."
Laksana disentak tangan setan, kepala Setan Liang
Makam berpaling ke arah Nyai Suri Agung. "Tak
mungkin! Ini Kembang Darah Setan!" Setan Liang Ma-
kam acungkan tangan kanannya yang menggenggam
Kembang Darah Setan.
Nyai Suri Agung kembali gelengkan kepala. "Bentuk
bisa sama. Tapi belum tentu barangnya tidak beda!
Kau tahu, Maladewa"! Mengapa aku tadi bertanya pa-
damu apakah kau telah mendapatkan kembali Kem-
bang Darah Setan"! Itu karena aku tidak melihat pancaran kembang itu pada
tubuhmu! Dan itu telah cu-
kup membuatku yakin jika kembang di tanganmu itu
palsu! Dan bukti kepalsuannya makin tampak begitu
kau gunakan kembang itu! Tidak ada tiga warna yang
keluar yang justru sebenarnya tiga warna itulah yang bisa menembus dinding tak
tembus pandang di de-panmu itu!"
"Aku tak percaya! Aku tak percaya!" teriak Setan
Liang Makam. "Silakan kau buktikan sekali lagi!" kata Nyai Suri Agung.
Tanpa banyak kata, Setan Liang Makam angkat
tangannya yang memegang kembang. Lalu disentak-
kan ke depan. Wuutt! Satu gelombang melesat tanpa disertai mencuatnya
tiga sinar. Lalu terdengar gelegar saat gelombang dari tangan Setan Liang Makam
membentur dinding tak
tembus pandang. Gelombang itu mental balik. Kali ini Setan Liang Makam sudah
bergerak menghindar hingga dia selamat dari mentalan gelombang.
"Kau masih belum percaya"!" tanya Nyai Suri
Agung. Setan Liang Makam angkat tangannya yang meme-
gang Kembang Darah Setan sejajar dengan matanya.
Untuk beberapa saat dia memandang dengan mata
mendelik angker. Dadanya bergerak turun naik dengan keras. Rahangnya terangkat
dan pelipis kiri kanannya bergerak-gerak.
Tiba-tiba Setan Liang Makam bantingkan kembang
di tangannya ke bawah. Kembang itu langsung hancur
berkeping-keping.
"Bangsat jahanam! Mereka menipuku! Mereka me-
nipuku! Aku bersumpah akan membunuh mereka
dengan tubuh ku potong-potong!"
Saking marahnya, Setan Liang Makam bantingkan
kedua kakinya. Lalu tanpa berkata lagi pada Nyai Suri Agung, Setan Liang Makam
berkelebat menuruni tang-
ga dengan mulut terus perdengarkan makian dan
sumpah! SELESAI Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
dalam episode :
JUBAH TANPA JASAD
Scan: Clickers Juru edit: Aura PandRa
PDF: Abu Keisel
Document Outline
SATU DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** SEPULUH *** SEBELAS *** SELESAI
Sepak Terjang Hui Sing 7 Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Menuntut Balas 4