Pencarian

Jejak Darah Masa Lalu 1

Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu Bagian 1


SATU TENGKORAK Berdarah tegak dengan tubuh laksana dipaku. Kepalanya yang tertutup
jubah terusan abu-abu tak bergerak dan lurus menghadap perempuan di hadapannya.
Tanpa sadar dia perdengarkan desisan.
"Prabarini....
Perempuan di hadapan Tengkorak Berdarah
sunggingkan senyum. Tetap memandang dengan tatapan sayu dia buka mulut.
"Syukur kau masih mengenaliku. Kalau dugaanku tak salah bukankah kau adalah
Lasmini...?"
Untuk kesekian kalinya Tengkorak Berdarah terlihat terkesiap. Sosoknya bergetar
dengan mulut terkancing tak perdengarkan suara. Hal ini telah menambah keyakinan
perempuan yang dipanggil Prabarini. Hingga perempuan yang tadinya menutup
wajahnya dengan bedak tebal ini berucap lagi.
"Aku telah tunjukkan siapa diriku. Kuharap kau tak keberatan untuk membuka
penyamaranmu!"
"Bagaimana perempuan jahanam ini tahu diriku..."
Dia hanya menduga-duga atau memang tahu
sungguhan" Keparat betul! Perempuan inilah yang membuat hidupku merana! Hem....
Bertahun-tahun kucari, akhirnya kutemui tanpa kuduga!" membatin Tengkorak
Berdarah. Kepala di balik jubah abu-abunya bergerak tengadah.
"Prabarini! Matamu sudah kuharamkan melihatku!
Dan kau akan menyesal mengundangku datang ke sini. Ini adalah undangan kematian
bagimu!" "Hem.... Berarti dugaanku tidak salah. Dia adalah Lasmini.... Dia masih
menyimpan dendam padaku...,"
kata Prabarini dalam hati. Lalu berkata.
"Lasmini.... Kau ingin membunuhku itu persoalan mudah. Di antara kita memang ada
urusan meski aku sudah melupakan hal itu. Tapi untuk sementara ini kita tunda
urusan kita. Ada hal lebih penting yang harus kita buka bersama!"
"Tak ada hal lebih penting bagiku selain men-jadikanmu mayat, Prabarini! Kau
telah merecoki hidupku! Kaulah manusia yang membuat jalan hidupku jadi
berantakan. Kau perempuan jahanam yang merebut suamiku! Tidak ada yang perlu
dibuka lagi! Justru aku akan membuka pintu kubur untukmu!"
Habis berkata begitu, Tengkorak Berdarah angkat kedua tangannya. Kedua tangan
orang ini terlihat bergetar keras tanda dia telah kerahkan segenap tenaga
dalamnya. Prabarini memandang sejenak. Meski mulutnya tersenyum namun jelas jika wajahnya
berubah mem-bayangkan perasaan cemas. Seraya mundur satu tindak dia berkata.
"Sudah kukatakan, membunuhku adalah urusan gampang. Tapi kau nanti akan menyesal
jika...." Ucapan Prabarini belum selesai, Tengkorak
Berdarah telah menukas dengan suara keras. "Satu penyesalan besar adalah jika
aku membiarkanmu hidup! Jangan banyak bicara membuat dalih!"
Prabarini gelengkan kepala. "Aku memintamu datang ketempat ini bukan untuk
mengatakan segala macam dalih! Aku justru ingin agar urusan di antara kita cukup
sampai kita berdua! Jangan sampai orang lain kita seret di dalamnya!"
Lama Tengkorak Berdarah terdiam sebelum akhir-
nya berkata. "Apa maksud ucapanmu, Perempuan Laknat"! Kau jangan bicara tidak karuan! Aku
tidak pernah me-libatkan orang lain dalam urusan kita! Tanganku cukup untuk
menyelesaikannyal"
"Ucapanmu benar, Lasmini! Tapi jika kita tidak buka urusan bersama-sama, tanpa
sadar kita akan menyeret orang lain masuk dalam urusan kita! Yang lebih
menyedihkan, orang yang terseret adalah orang-orang yang kita kasihi!"
"Prabarini! Jangan kau bicara ngelantur! Katakan terus terang siapa orang yang
kau maksud!" bentak Lasmini alias Tengkorak Berdarah. Orang ini masih sarukan
suaranya hingga terdengar seperti suara seorang laki-laki.
Prabarini memandang tak berkesip beberapa
lama. Setelah menghela napas panjang dia berkata.
"Kau punya seorang anak perempuan. Aku pun demikian. Mereka adalah darah daging
seorang laki-laki yang sama kita kasihi. Apakah hatimu tidak merasa trenyuh jika
melihat keduanya saling bermusuhan tanpa mereka sadari jika keduanya masih
bertalian darah?"
Mendadak Lasmini yang selama ini memperkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah
turunkan kedua tangannya. Kepalanya makin mendongak. Dadanya terlihat bergerak
turun naik. "Saraswati.... Di mana kau sekarang anakku..." Sudah sekian tahun
aku mencarimu, tapi kau belum juga kutemukan!" Sesaat kemudian kepala Tengkorak
Berdarah bergerak lurus menghadap Prabarini. "Sepertinya perempuan ini tahu di
mana Saraswati. Hem...."
"Prabarini! Bagaimana kau tahu mereka bermusuhan" Di mana kau temui anakku
Saraswati, hah"! Kurobek mulutmu jika kau bicara mengada-ada! Dan dengar. Jangan kau sebut
laki-laki itu orang yang kita kasihi! Dia adalah salah seorang yang harus
kulenyapkan dari muka bumi! Termasuk juga kau!"
"Saat ini mereka memang belum bermusuhan.
Tapi aku menduga permusuhan itu akan segera terjadi. Yang menyedihkan, pangkal
permusuhan itu sama dengan hal yang pernah menimpa kita
berdua...."
Kedua tangan Tengkorak Berdarah mengepal.
Sosoknya kembali bergetar. Tapi untuk beberapa saat orang ini tidak perdengarkan
suara. Dada orang ini dibuncah dengan berbagai perasaan. Dendam
kesumat yang selama ini dipendam belum ke-
sampaian kini ditambah dengan ucapan Prabarini yang membuatnya panas dingin,
karena urusannya sama dengan urusan dirinya dengan Prabarini pada beberapa tahun
silam yang membuatnya hidup merana terpisah dari anaknya juga membuat dirinya
bertekad untuk membunuh orang yang dulu pernah dicintainya.
"Prabarini!" sentak Tengkorak Berdarah setelah agak lama terdiam. "Kau belum
katakan di mana kau menemukan anakku!"
"Aku tak bisa mengatakan di mana. Tapi aku bisa membawamu ke sana!"
"Hem.... Begitu" Kita berangkat sekarang! Tapi ingat. Meski aku nanti berhasil
jumpa Saraswati, bukan berarti hidupmu kuperpanjang!"' ,
"Hidup mati sudah tak pernah kupikir lagi, Lasmini.
Suratan takdir sudah menulisnya. Tapi sebelum kau kutemukan dengan anakmu, aku
punya permintaan."
Entah sudah tak sabar, Tengkorak Berdarah
segera menyahut. "Katakan apa yang kau minta!"
"Kau harus buka penutup wajahmu. Kau nanti juga harus berkata jujur. Karena
anakku pun harus mendengar dan mengetahui semuanya!"
"Prabarini! Kau telah tahu siapa diriku. Lebih dari itu, aku tak punya urusan
dengan anakmu! Aku hanya ingin jumpa anakku, lalu membunuhmu!"
"Anakku memang tak ada urusan denganmu, Lasmini. Tapi bagaimanapun juga anakku
masih satu darah dengan anakmu. Jadi dia harus tahu. Jika tidak, bagaimana
mungkin kita bisa mencegah terjadinya permusuhan di kelak kemudian hari" Jika
semua telah jelas, aku akan menyerah padamu...."
Sebenarnya, secara diam-diam selama ini
Prabarini telah menyelidiki Istana Hantu. Hingga pada akhirnya dia mengetahui
siapa Raka Pradesa yang selama ini menyamar sebagai pemuda berkumis tipis
berpakaian hitam-hitam. Dari sini, Prabarini sedikit banyak sudah yakin siapa
adanya penghuni Istana Hantu yang selama ini dikenal kalangan rimba persilatan
sebagai Tengkorak Berdarah. Hingga saat jumpa dengan Raka Pradesa, Prabarini
mengucapkan kata-kata yang membuat Raka Pradesa terperanjat mengetahui orang
telah mengenali dirinya (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode :
"Tabir Asmara Hitam").
Dia juga diam-diam menyelidik semua kekacauan yang akhir-akhir ini melanda dunia
persilatan yang menurut banyak kalangan didalangi oleh Tengkorak Berdarah, si
penghuni Istana Hantu. Dia curiga, karena menurut apa yang diketahui, penghuni
Istana Hantu tidak pernah keluar dari istananya. Kalaupun ada Tengkorak Berdarah
yang menebar maut, tentu bukanlah Tengkorak Berdarah penghuni Istana Hantu. Dia
dapat menduga jika Tengkorak Berdarah
yang ditemuinya saat itu adalah Lasmini karena dia telah mengetahui rencana
Lasmini yang juga adalah bekas istri suaminya.
Lasmini tahu jika suaminya menyimpan satu
rahasia besar. Namun perempuan ini kecewa, karena sang suami tidak mau
mengatakan rahasia itu lebih-lebih setelah mengetahui jika sang suami menjalin
hubungan dengan kekasihnya dahulu, yang bukan lain adalah Prabarini. Hanya saat
ini Prabarini tidak tahu jika Lasmini sebenarnya belum dapat memastikan siapa
adanya Tengkorak Berdarah penghuni Istana Hantu. Lasmini sengaja mengenakan
penyamaran seperti Tengkorak Berdarah karena dia punya perhitungan sendiri.
"Prabarini! Peduli setan anakmu masih satu darah dengan anakku. Tapi yang jelas
aku tak punya ikatan apa-apa dengan anakmu! Malah jika perlu dia pun harus
mengalami nasib sama denganmu! Bibit kotor begitu harus segera dipenggal sebelum
membuat kerusuhan lagi di kelak hari!"
Mendengar ucapan Lasmini, raut wajah Prabarini seketika berubah. Sepasang
matanya sedikit mementang. Dadanya bergemuruh. Tapi mengingat apa yang akan
terjadi jika semuanya tidak jelas, perlahan-lahan perempuan ini berusaha
menindih gejolak hatinya yang panas.
"Ah...," Prabarini menarik napas panjang, lalu berucap dengan suara sedikit
bergetar tanda belum sepenuhnya dia dapat menguasai hatinya.
"Lasmini. Rasanya aku tidak dapat membawamu bertemu dengan anakmu jika kau
bersikeras tak mau menuruti permintaanku!"
Tiba-tiba Lasmini perdengarkan suara tawa
panjang. Namun tawanya segera diputus. Kejap lain
dia telah membentak.
"Berarti semua ucapanmu hanya dusta belaka!"
"Aku tidak mendapat untung apa-apa berkata dusta padamu! Jika tak punya niat
baik aku pun tidak mungkin memintamu datang ke sini dan tunjukkan siapa diriku
sebenarnya. Bukankah dengan begitu kau masih tidak mengetahui diriku" Dan dendam
kesumatmu tidak akan terlampiaskan"!"
"Perempuan sepertimu bisa saja memutar lidah!
Mungkin di balik kata dustamu kau punya tujuan lain!
Tapi jangan kau mimpi bisa membodohiku saat ini!
Cukup sekali saja kau menggunting lipatanku! Dan itu harus kau bayar!"
"Lasmini! Aku telah berusaha berbaik-baik denganmu. Nyatanya kau masih tak mau
mengerti! Kau lebih mengedepankan dendam daripada mencegah ber-larutnya urusan!
Jika itu jalan yang kau ambil, terpaksa aku merubah rencana! Aku tidak akan
tinggal diam sebelum persoalan ini jelas diketahui oleh orang yang
bersangkutan!" kata Prabarini dengan suara agak tinggi.
Lasmini perdengarkan tawa panjang. "Bagus! Aku memang tak ingin kau mampus tanpa
perlawanan!"
Habis berkata begitu, Lasmini kembali angkat kedua tangannya. Di seberang,
Prabarini masih tegak tanpa membuat gerakan apa-apa. Malah perempuan ini
terlihat menghela napas dalam. Lalu bergumam.
"Kekerasan sebenarnya bukanlah satu-satunya jalan menyelesaikan urusan. Malah
hal itu akan mendatangkan urusan lebih besar di kemudian hari.
Mendatangkan jeritan duka yang lebih parah! Padahal hal itu bisa dicegah jika
yang tua-tua seperti kita ini mau sedikit menahan diri dan membuka hati...."
Entah karena apa, begitu mendengar gumaman
Prabarini, kedua tangan Lasmini diturunkan ke bawah. Lalu terdengar dia berucap.
Namun suaranya masih keras.
"Kalau kau mengatakan urusan anakku dengan anakmu sama dengan urusan kita dahulu
berarti ada satu laki-laki dalam urusan ini! Katakan padaku macam apa laki-laki
itu"!"
"Lasmini. Kita sudah sama merasakan bagaimana jika orang telah jatuh dalam jerat
cinta. Jika kau langsung berurusan dengan laki-laki itu bukan tidak mungkin kau
akan membuka permusuhan sendiri dengan anakmu!"
"Peduli setan! Justru aku telah mengalami maka aku tahu harus berbuat apa!"
Prabarini menggeleng. "Kau bukannya akan menyelesaikan urusan. Sebaliknya
menambah urusan!
Padahal semuanya akan jadi beres jika kau mau sedikit berpikir dengan hati
nurani!" Lasmini tertawa pendek bernada mengejek. "Itulah satu kesalahan yang kubuat
dahulu. Aku selalu bertindak dengan hati nurani. Tapi apa yang kuperoleh"
Suamiku jatuh dalam rayuanmu! Hidupku
berantakan!"
"Kau terlalu berprasangka buruk padaku, Lasmini.
Kau harus tahu, jauh sebelum denganmu, aku telah menjalin hubungan."
"Itu urusanmu! Yang jelas kau merebut setelah dia jadi milikku!"
"Ah.... Sudahlah. Tak ada gunanya mengungkit hal yang sudah terjadi! Aku harus
pergi sekarang. Aku masih menunggu pikiranmu berubah...."
Selesai berucap begitu, Prabarini hendak melangkah tinggalkan tempat itu, namun
sebelum kakinya bergerak melangkah, Lasmini berkata.
"Aku tak perlu waktu. Kau pun tak perlu menunggu."
"Maksudmu?"
"Sampai kapan pun pikiranku tak akan berubah!
Malam ini kita selesaikan urusan kita!"
"Kau tidak menyesal nantinya" Dengar, Lasmini!
Anakmu telah dewasa. Pasti kau dapat merasakan bagaimana kegundahan hati seorang
anak yang tidak tahu siapa ibunya! Apalagi dia anak perempuan! Dia butuh
seseorang tempat bertanya. Perlu orang tempat mengadu! Kau perlu waktu untuk
berpikir. Saat ini kau masih diselimuti perasaan geram. Dalam situasi begini tidak
mustahil pertimbanganmu hanya dendam. Tiga hari di muka, kau kutunggu di halaman
Istana Hantu!"
Tanpa menunggu sahutan Lasmini, Prabarini putar diri lalu melangkah meninggalkan
tempat itu. "Persetan dengan segala ucapanmu! Ini semua terjadi gara-gara ulahmu dahulu!"
desis Lasmini. Orang ini serentak angkat kedua tangannya siap lepaskan satu pukulan ke arah
Prabarini yang seolah acuh dengan ucapan orang dan teruskan langkah tanpa
berpaling lagi. Mendadak ada satu perasaan muncul di benak orang berjubah abu-
abu aneh terusan ini. Kejap lain kedua tangannya diturunkan dan kini berpaling
ke arah Prabarini yang terus melangkah membelakanginya.
"Jahanam! Jika saja dia tidak menggantung dengan urusan Saraswati, rasanya
terlalu bodoh membiarkan dia berlalu begitu saja! Ah.... Bagaimana urusan bisa
jadi begini" Mengapa dia menginginkan pertemuan di halaman Istana Hantu" Apakah
dia berpikir agar penyamaranku bisa terbongkar" Hem....
Sebelum waktu yang ditentukan aku harus berbuat
sesuatu!" Lasmini balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat dekat pancuran air itu
mengambil arah berlawanan dengan Prabarini.
DUA SATU pemandangan sedikit aneh terlihat di bawah sebatang pohon besar tak jauh
dari aliran sungai yang membentuk dua jalur ke kanan dan kiri. Saat itu mentari
baru saja muncul dari lamping gunung, hingga suasana menjadi agak terang. Ke
mana mata memandang kini tampak jelas.
Di bawah sebatang pohon besar itu terlihat satu sosok tubuh. Sepasang mata orang
ini sedari tadi tak berkesip memandang ke arah satu gugusan batu yang memisahkan
aliran sungai hingga membentuk dua jalur ke kanan kiri. Orang ini adalah seorang
pemuda berwajah tampan. Sepasang matanya tajam.
Hidungnya sedikit mancung. Tapi ada keanehan pada dirinya. Dia tegak memandang
dengan kaki di atas dan kepala di bawah! Sepasang kakinya dia se-lonjorkan pada
batang pohon. Pemuda ini tidak mempunyai tangan. Sementara pada mulutnya
terlihat bundaran karet yang terus menerus dibuat mainan disedot-sedot. Setiap
kali dia menyedot, terdengar suara duutt! Duutt! Duuuttt!
"Air masih pasang. Aku masih kesulitan menentukan tempat yang dikatakan itu.
Apalagi aku tak punya tangan untuk berenang. Jika aku memaksa, bukan tak mungkin
aku akan mengalami celaka.
Satu-satunya jalan adalah menunggu sampai air surut. Jika saja tidak untuk
membuktikan ucapan Guru serta mencari jejak darah nenek moyang, aku tak jauh-
jauh sampai datang ke tempat ini. Apalagi belum apa-apa sudah banyak urusan lain
yang tak kuduga sebelumnya...," gumam si pemuda bertangan buntung yang bukan lain adalah
orang yang baru muncul dalam kancah rimba persilatan dan dikenal dengan Dewa
Orok. Sudah sejak tadi malam pemuda ini berada di dekat aliran sungai yang membentuk
dua jalur itu. Dia sesekali tampak menghela napas panjang sambil memandang ke
arah gugusan batu besar yang
memisahkan aliran sungai. Wajahnya kelihatan sudah tidak sabar. Namun begitu


Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat aliran sungar yang saat itu sedang meluap, dia terlihat menindih rasa
ketidaksabarannya.
"Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang meng-gagalkan tujuanku ini. Karena meski
masih tak ada orang yang mengetahui seluk beluk nenek moyangku ini, tapi secara
tak langsung menurut Guru, nenek moyangku masih ada kaitannya dengan satu
rahasia besar. Hem.... Sayang aku tak mengetahui rahasia apa itu! Yang jelas aku
harus dapat menemukannya dan menguburnya di tempat yang layak...." Dewa Orok
terus bergumam sendiri.
Mungkin karena merasa capek dan menduga air pasang masih lama surut, Dewa Orok
perlahan pejamkan sepasang matanya. Mulutnya memperkeras sedotan pada karet
bundarnya. Tak lama kemudian terdengar dia mendengkur ditingkah suara duutt!
Duutt! dari sedotan karet bundar di mulutnya.
Sepasang mata serta dengkuran Dewa Orok baru membuka dan terhenti tatkala
matahari sudah meng-gelincir dari titik tengahnya.
"Ah.... Air sudah surut!" gumamnya setelah melihat aliran air memang telah
surut, hingga sepasang matanya bisa melihat bagian bawah gundukan batu besar
yang memisahkan aliran sungai.
Sejenak sepasang matanya mengerjap. Lalu
Wuuttt! Pemuda tampan tak bertangan ini gerakkan bahunya. Kejap lain sosoknya
telah tegak dengan kaki di bawah kepala di atas. Tapi orang ini tegak bertumpu
pada kedua ibu jari kakinya!
"Hem.... Ucapan Guru tampaknya benar.... Di batu besar itu bagian bawahnya
tampak sebuah lobang!
Meski tidak besar, tapi kurasa cukup untuk lewatnya satu tubuh...," pikir Dewa
Orok begitu matanya dapat melihat bagian bawah batu besar yang memang terlihat
ada sebuah lobang tidak begitu besar. Air sungai kini sedikit berada di bawah
lobang. "Aku masih harus berenang untuk mencapai batu besar itu. Tapi sudah agak ringan,
karena aliran sungai tidak lagi deras...." Setelah memperhatikan sejenak pada
aliran sungai dan menghitung jarak sampai batu yang dituju, Dewa Orok
tengadahkan kepala. Tumitnya yang berjingkat serentak bergerak ke bawah
menginjak tanah. Laksana melayang, mendadak sosoknya melesat ke udara. Di atas
udara pemuda ini membuat gerakan menjungkir. Lalu dengan kepala di bawah kaki
tegak lurus ke atas, orang ini terjunkan diri ke aliran sungai.
Aliran sungai sejurus tampak muncrat dan beriak.
Sosok Dewa Orok segera lenyap. Lalu tampak alur memanjang membelah aliran
sungai. Kejap lain sosok Dewa Orok tampak menyembur dua tombak dari batu besar.
Sekali dia sentakkan kedua bahunya, sosoknya melesat ke atas dan kini tegak di
atas batu besar dengan berjingkat. Air tampak mengucur deras dari pakaian dan
tubuhnya. Setelah mengedarkan pandangan, dia melangkah ke bibir batu. Kepalanya melongok
ke bawah. Ke bawah lobang di batu yang kini dipijaknya. Tanpa pikir
panjang lagi dia segera melompat. Namun pemuda ini serta merta urungkan niat.
Sebaliknya sepasang matanya menatap tak berkesip pada lobang batu di bawahnya.
Mulutnya memperkeras sedotan pada karet bundarnya. Pertanda dia disentak oleh
sesuatu yang mengejutkan.
Saat itu sepasang mata Dewa Orok memang
melihat sesuatu menyembul dari dalam lobang.
"Bukan ikan juga bukan binatang.... Tapi anggota tubuh manusia!" katanya dalam
hati dengan mata terpentang makin besar. "Jangan-jangan tempat ini berpenghuni.
Atau jangan-jangan hantu sungai...."
Dewa Orok terus memandang. Kini tampaklah dua tapak tangan keluar meraba-raba
mencari pegangan pada bagian luar batu. Namun karena batu itu licin, kedua
tangan yang menyembul dari dalam lobang itu gagal mencari pegangan. Dan tak lama
kemudian kedua tapak tangan itu lenyap kembali ke dalam lobang.
Dewa Orok jongkok di bibir batu. Dia menunggu dengan dada berdebar. Namun hingga
agak lama ditunggu, tidak tampak lagi menyembulnya kedua tangan tadi.
"Ah.... Jangan-jangan memang hantu sungai yang menggodaku! Hem.... Aku harus
segera masuk. Hantu sungai pasti akan merasa kasihan jika telah melihat
keadaanku yang begini.... Hik.... Hik.... Hik...!" Dewa Orok tersenyum sendiri.
Lalu kembali hendak turun ke sungai. Namun kembali gerakannya tertahan ketika
saat itu juga kedua tangan tadi muncul kembali. Kini kedua tangan itu terus
menjulur. Tak berapa lama kemudian sudah tampak bagian bahu orang. Ternyata
orang ini mengenakan pakaian putih. Sesaat kemudian, Dewa Orok jelas dapat
melihat satu kepala
berambut gondrong agak acak-acakan yang dibalut dengan sebuah ikat kepala juga
berwarna putih.
Dewa Orok belum dapat melihat raut wajah orang karena dia berada di atas.
Orang yang menyembul keluar dari lobang terus bergerak. Karena kini kepalanya
sudah berada di luar, sementara kedua tangannya butuh pegangan, orang ini
gerakkan kepalanya tengadah untuk mencari pegangan pada batu di atasnya.
Saat itulah sepasang mata orang yang baru
menyembul menangkap sosok yang jongkok di atas bibir batu. Semenfara mata Dewa
Orok juga sedang memandangnya. Kedua orang ini serentak sama terkesiap! Malah
seraya makin mementang besar, kepala Dewa Orok tampak makin bergerak ke bawah.
Sebaliknya kepala orang yang menyembul serentak hampir saja membentur batu
karena ditarik terlalu keras!
"Heran...," pikir Dewa Orok. "Bagaimana anak ini bisa muncul di sini..." Tempo
hari kulihat dia cedera dan dibawa lari orang...."
Kalau Dewa Orok membatin begitu, orang yang menyembul dari lobang diam-diam juga
membatin. "Aneh.... Sikapnya seperti menghadang dan tahu jika aku berada di dalam sini!
Siapa sebenarnya orang itu" Tempo hari dia secara tak langsung menyelamat-kanku
dari seorang perempuan bernama Daeng Upas. Hem.... Jangan-jangan dia tahu
tentang tempat ini dan rahasia di dalamnya! Meski aku belum dapat memastikan
kitab apa yang kini di tanganku, tapi tak akan kubiarkan siapa pun juga
menyentuhnya!"
Orang yang baru menyembul kembali tengadahkan sedikit kepala dengan mata melirik
ke atas. Saat dilihatnya Dewa Orok masih duduk di atas bibir batu
orang ini segera berteriak.
"Meski kita belum sempat berkenalan, tapi kita pernah saling jumpa. Aku
mengucapkan terima kasih, karena saat itu kau menolongku! Tapi sekarang harap
kau katakan mengapa kau seperti menghadangku"!"
Dewa Orok semburkan bundaran karet di mulutnya hingga bundaran karet itu melesat
keluar dan mengapung di udara. Kejap lain terdengarlah ucapannya.
"Betul. Kita belum sempat berkenalan meski pernah bertemu muka. Kau tidak usah
berbasa-basi mengucapkan terima kasih. Aku tidak merasa menolongmu. Aku hanya
tidak suka melihat orang berbuat kurang ajar pada orang yang tak berdaya.
Tapi sekarang bukan aku yang menjawab per-
tanyaanmu, sebaliknya kau yang harus jawab pertanyaanku!" Ucapan Dewa Orok
sekilas tampak mengulangi seperti ucapan orang yang baru saja menyembul dari
dalam lobang. Orang yang berada di bawah mendongak.
Sepasang matanya memandang tajam. Lalu dia buka mulut. "Apa yang ingin kau
tanyakan?"
"Apa yang telah kau peroleh dari tempat di bawah batu besar ini"!"
Orang di bawah tampak terkesiap. Matanya makin membeliak besar. Dahinya
mengernyit. "Dia tampaknya sudah tahu rahasia di dalam sini.... Hem...." Orang
di bawah sejenak terdiam. Lalu berujar. "Aku tak menemukan apa-apa di dalam
sini! Justru aku masuk ke sini karena ulah orang!"
"Kau tak menemukan apa-apa di dalam situ" Dan kau masuk karena ulah orang"!"
ucap Dewa Orok.
"Kau tidak berdusta" Dan siapa orang yang punya ulah?"
"Aku telah menjawab pertanyaanmu! Orang yang membuat ulah tak bisa kukatakan.
Karena orangnya juga tak kukenali!" jawab orang di bawah.
"Aku tanya apa kau tidak berdusta!" kata Dewa Orok. Selama pemuda ini terus
bercakap-cakap bundaran karet mirip dot bayi yang tadi disemburkan tetap
mengapung di udara tak jauh dari kepalanya.
"Apa gunanya berdusta padamu"!" kata orang di bawah balik bertanya.
Dewa Orok tertawa pendek. Lalu berkata. "Gunanya dusta padaku"! Tentu kau ingin
memiliki benda itu!"
Orang di bawah kembali terkejut. "Ah.... Dia tak bisa didustai. Dia benar-benar
tahu keadaan di dalam.... Bagaimana sekarang" Kitab telah kudapat.
Aku tak akan memberikan pada siapa pun juga!"
membatin orang di bawah.
"Hem.... Mahkota bersusun tiga terbuat dari emas.
Itulah benda yang harus kudapatkan! Apakah pemuda di bawah itu betul-betul tak
menemukannya"
Tapi tempat yang dikatakan Guru tidak salah....
Mungkin pemuda itu berkata dusta!" Dewa Orok berkata juga dalam hati.
"He! Kenapa kau diam"! Betul bukan kau telah menemukan barang itu"!" kata Dewa
Orok setelah agak lama ditunggu orang di bawah tidak berucap lagi.
"Sudah kukatakan, aku tidak menemukan apa-apa!"
"Aku ingin buktikan ucapanmu!" kata Dewa Orok akhirnya. Tanpa bergerak dari
tempatnya, pemuda bertangan buntung ini kuncupkan mulut.
Seakan tahu apa yang hendak diperbuat orang di atas batu, orang di sebelah bawah
cepat putar diri
menghadap batu. Dengan bersitekan pada batu di depannya sepasang kakinya
disentakkan. Wuutt! Wuuttt! Sosok orang yang berada di bawah melenting ke udara. Setelah membuat gerakan
jungkir balik dua kali, orang ini mendarat tiga langkah di belakang Dewa Orok.
Dewa Orok menyedot. Bundaran karet yang sedari tadi mengapung melesat lalu masuk
ke dalam mulut si pemuda. Kejap lain sosoknya memutar menghadap orang yang di
belakangnya. Sepasang kakinya ditarik ke belakang.
Untuk beberapa saat Dewa Orok yang kini duduk bersila memandang penuh selidik.
Sementara orang yang dipandang balas menatap dengan penuh tanda tanya.
"Menilik nada ucapannya, orang ini mengetahui seluk-beluk tempat di dalam sana!
Aku harus tahu siapa dia sebenarnya! Dia orang jahat atau orang baik!" kata
orang di hadapan Dewa Orok dalam hati.
Orang ini yang ternyata seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian putih-
putih dengan rambut gondrong acak-acakan dibalut ikat kepala warna putih dan
bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng buka mulut.
"Harap sudi katakan siapa kau sebenarnya agar jika ada kesalahpahaman di antara
kita dapat segera kita selesaikan!"
Dewa Orok gelengkan kepala. Mulutnya
mengembung lalu semburkan bundaran karet.
Bundaran karet itu mengapung di udara tak jauh dari wajahnya. Sesaat kemudian
terdengar ucapannya.,
"Dengar, Orang Muda! Salah satu hal yang tidak pernah kukatakan pada orang
adalah sebutkan siapa
diriku! Dan tanpa sebutkan diri, kalau kita sama jujur kukira tidak ada sesuatu
yang tak dapat diselesaikan!"
"Hem.... Dia menyebutku orang muda. Apa dikira dia lebih tua dariku" Kuduga
usianya masih sebaya denganku...," membatin murid Pendeta Sinting lalu berkata.
"Kalau kau tak suka sebutkan siapa dirimu, aku pun tak akan sebutkan siapa
diriku!" Dewa Orok tertawa panjang. "Aku tak tanya siapa dirimu! Yang kubutuhkan darimu
adalah ucapan jujur!"
Paras wajah Pendekar 131 tampak berubah.
Mungkin untuk membalas nada ucapan Dewa Orok, Joko segera pula berkata menjawab.
"Kau pun tak akan mendapat ucapan apa-apa dariku!"
"Tak akan mendapat ucapan apa-apa darimu?"
kata Dewa Orok mengulangi ucapan Pendekar 131.
Dia tertawa dahulu sebelum melanjutkan. "Aku datang jauh-jauh mana mau begitu
saja menerima"
Kalau kau tak mau berkata, pasti ada jalan lain! Aku tahu benda yang kucari
berada padamu! Aku
meminta secara baik-baik! Jika kau tak menyerahkan, terpaksa aku minta dengan
jalan tidak baik!"
Sebenarnya di antara kedua orang ini terjadi kesalahpahaman. Yang dimaksud Dewa
Orok dengan benda sesungguhnya adalah sebuah mahkota
bersusun tiga terbuat dari emas. Pemuda ini datang dari jauh dengan satu tujuan
yakni mencari mahkota yang menurut gurunya adalah milik nenek moyangnya.
Sementara Pendekar 131 beranggapan jika benda yang dimaksud Dewa Orok adalah
kitab bersampul kuning yang baru saja didapatnya dari
dasar bumi, tempat di mana dia didorong masuk oleh sang penghuni Istana Hantu.
Joko sendiri saat ini memang juga menyimpan mahkota bersusun tiga serta beberapa
peniti di balik pakaiannya, tapi karena sudah terpaku pada kitab bersampul
kuning, murid Pendeta Sinting seakan melupakan mahkota serta peniti emas itu.
Seperti diketahui, begitu Joko berhasil mendapatkan mahkota dan peniti emas
serta kitab bersampul kuning, tiba-tiba udara di mana Joko berada saat itu
berubah dingin dan gelap. Lalu terdengar suara bergemuruhnya air. Untuk beberapa
saat lamanya murid Pendeta Sinting ini hanya mondar-mandir di atas permukaan
batu paling tinggi tak tahu harus berbuat apa. Namun pada akhirnya dia bernapas
lega, karena ternyata air itu tidak sampai ke tempat dia berada.
Setelah lama menunggu, akhirnya perlahan-lahan suara bergemuruhnya air berhenti.
Lalu samar-samar terlihat cahaya agak terang dari satu titik. Dengan waspada dan
hati-hati, Joko melangkah mendekati titik terang. Ada keanehan di dalam tempat
itu, bersamaan dengan terhentinya suara gemuruh air dan terlihatlah satu titik
cahaya, air yang tadi meng-genangi tempat hamparan pasir dan gugusan batu karang
di dalam tanah itu laksana tersedot masuk ke dalam pasir. Hingga hamparan pasir
dalam tanah itu kembali kering!
Saat murid Pendeta Sinting mencapai titik terang yang ternyata adalah sebuah
lobang batu, dia benar-benar baru bisa menarik napas lega. Perlahan-lahan dia
keluar dari lobang batu itu. Namun dia merasa terkejut begitu hendak keluar
ternyata Dewa Orok telah nongkrong di atas batu yang berlobang.
Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut
lagi, Dewa Orok telah mendahului berkata.
"Aku sekarang tak butuh ucapanmu. Yang kuperlu-kan benda itu!"
Pendekar 131 tegak dengan kancingkan mulut dan diam tak bergerak. Sepasang
matanya menatap tajam silih berganti pada sosok Dewa Orok dan bundaran karet
yang mengapung di depan wajah orang.
"Orang muda! Kau dengar kata-kataku. Kenapa masih diam"!"
"Tak ada yang perlu dikatakan! Semua sudah kau dengar!" jawab Joko sedikit
keraskan ucapannya.
"Kata-kata tidak menjamin, Orang Muda!"
"Terserah apa katamu! Yang pasti aku telah katakan apa adanya!" kata Joko masih
tak mau berterus terang.
"Bagaimana ini" Tempat yang dikatakan Guru jelas adanya. Tapi apa mungkin
mahkota yang dikata-kannya benar-benar tidak ada"!" sejenak Dewa Orok dilanda
kebimbangan. Setelah berpikir agak lama akhirnya dia berkata.
"Orang muda! Sebenarnya aku tidak mau bertindak kurang ajar. Tapi karena aku tak
mau pulang ber-hampa tangan, apa boleh buat. Apalagi kulihat kau masih
menyembunyikan sesuatu padaku!"
Habis berkata begitu, Dewa Orok kuncupkan
mulut. Lalu dihembuskan ke depan. Satu gelombang angin menderu deras ke arah
Pendekar 131. "Harap kau tak menyesal dengan tindakanmu!"
bentak murid Pendeta Sinting mulai agak geram melihat orang telah lancarkan
serangan meski itu hanya berupa hembusan mulut. Namun karena
hembusan itu bukan hembusan biasa, maka saat itu juga satu gelombang angin deras
melesat! Murid Pendeta Sinting cepat geser tubuhnya ke samping. Gelombang angin lewat
setengah depa di sampingnya. Namun baru saja tubuhnya bergerak menghindar, Dewa
Orok telah membuat gerakan dengan hentakkan kedua kakinya yang bersila ke atas
batu yang diduduki.
Pukkk! Pukkkk! Sosok Dewa Orok mengudara setengah tombak.
Lalu membuat gerakan menjungkir kepala di bawah, kaki di atas. Kakinya yang tadi
bersila cepat bergerak membuka. Kejap lain sepasang kakinya telah melesat ke
depan lancarkan satu tendangan!
Belum sampai kedua kaki Dewa Orok benar-benar lancarkan satu tendangan, tiba-
tiba terdengar satu seruan.
"Tahan! Aku membutuhkan pemuda itu!"
Dewa Orok apungkan sepasang kakinya di atas udara. Sementara murid Pendeta
Sinting segera berpaling ke arah datangnya suara teguran. Tapi Pendekar 131
hanya dapat melihat satu sosok berkelebat. Lalu terdengar suara air berkecipak.
Pertanda orang yang tadi perdengarkan suara telah ceburkan diri ke dalam sungai.
Belum sempat murid Pendeta Sinting berpikir lebih panjang, mendadak dari dalam


Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

air sungai satu bayangan melesat ke atas. Kejap lain satu sosok tubuh telah
tegak di samping Dewa Orok. Air sungai tampak menetes dari pakaian putih sutera
serta tubuh dan rambut putih yang basah kuyup!
TIGA DEWA Orok yang urungkan niat kirimkan tendangan segera putar dirinya masih
dengan kaki di atas kepala di bawah. Pendekar 131 sendiri cepat berpaling.
"Bukankah orang ini adalah...," belum habis dugaan Pendekar 131, orang yang baru
muncul dari dalam air tertawa. Dia adalah seorang perempuan berusia lanjut
mengenakan pakaian sutera warna putih. Meski usia perempuan ini tidak muda lagi,
tapi raut kejelitaan masih membayang, pertanda waktu mudanya dia adalah seorang
gadis yang berparas cantik jelita. Rambut perempuan ini telah memutih.
Pada atas telinga kanannya tampak sebatang bambu kecil berwarna kuning.
Perempuan berpakaian sutera putih yang bukan lain adalah Daeng Upas, ibu Dewi
Siluman berpaling pada Dewa Orok. Lalu berkata.
"Sobatku, Dewa Orok. Harap kau tunda urusanmu dengan pemuda itu! Aku masih butuh
keterangan darinya!"
"Dewa Orok.... Hem.... Jadi pemuda itu masih kerabatnya Dewa...," kata Joko
dalam hati, "Ada keanehan.... Bukankah tempo hari kedua orang ini saling
bentrok" Kenapa sekarang mereka berdua tampak akrab..." Ataukah waktu itu
keduanya hanya bersandiwara" Tapi untuk apa"!"
Pikiran Joko dibuncah dengan berbagai duga dan tanya. Ketika Daeng Upas hendak
menyerang Joko pada beberapa waktu yang lalu, saat itu memang mendadak saja
muncul Dewa Orok yang selamatkan
murid Pendeta Sinting. Malah setelah itu terjadi saling pukul antara Daeng Upas
dan Dewa Orok (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode :
"Tabir Asmara Hitam"). Namun setelah itu Joko tidak mengetahui, jika saat
terjadi bentrok antara Daeng Upas dengan Tengkorak Berdarah, muncullah Dewa Orok
selamatkan Daeng Upas. Bahkan setelah kepergian Tengkorak Berdarah, Daeng Upas
menceritakan siapa dirinya serta apa tujuannya pada Dewa Orok.
Untuk beberapa saat, Dewa Orok memandang ke arah Daeng Upas. Lalu dia membuat
gerakan satu kali. Saat lain tubuhnya telah tegak dengan bertumpu pada kedua ibu
jari kakinya. Sementara bundaran karet terus mengapung di udara!
Tanpa menunggu sambutan Dewa Orok, Daeng
Upas maju satu tindak. Sepasang matanya memperhatikan murid Pendeta Sinting dari
rambut sampai kaki.
"Apa nenek cantik ini tahu juga rahasia tentang tempat dalam tanah itu" Atau
pertemuan ini satu kebetulan belaka"!" murid Pendeta Sinting terus menduga-duga.
Jika pikiran Pendekar 131 terus dibuncah dengan berbagai duga dan tanya, diam-
diam Daeng Upas juga membatin. "Melihat pukulan yang dilancarkan se waktu hendak
memasuki Istana Hantu lalu
mendengarkan keterangan Durga Ratih dan Ki Buyut Pagar Alam, jika tidak salah
mungkin pemuda inilah yang digelari Pendekar Pedang Tumpul 131. Pemuda yang
berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru....
Hem.... Aku harus dapat mengambil kitab itu dari tangannya. Sejak berpuluh tahun
aku menginginkan kitab itu! Bahkan gara-gara rahasia kitab itu aku
diusir oleh guruku Panjer Wengi!"
"Anak muda!" kata Daeng Upas setelah membatin.
"Lekas kau serahkan kitab itu padaku!"
Pendekar 131 tersentak. Dia pandangi perempuan di hadapannya seakan baru sekali
bertemu. "Celaka!
Dia benar-benar tahu rahasia tempat dalam tanah itu!
Urusan dengan Dewa Orok belum selesai, kini ada lagi orang yang meminta kitab
ini!" kata Joko dalam hati. Dia masih tidak mengetahui jika yang dimaksud kitab
oleh Daeng Upas adalah Kitab Serat Biru. Bukan kitab bersampul kuning yang baru
saja didapatnya dari tempat dalam tanah. Karena Daeng Upas sendiri tidak
mengetahui adanya tempat di bawah batu tempatnya kini berpijak.
Karena dilihatnya si pemuda tidak buka mulut atau memberikan apa yang diminta,
Daeng Upas kembali buka mulut membentak. Kini tangan kanannya bergerak terulur
ke depan dengan sikap meminta.
"Aku ulangi satu kali lagi! Berikan kitab itu padaku!"
Untuk menutupi rasa terkejutnya, murid Pendeta Sinting tertawa panjang sebelum
akhirnya berkata.
"Kau minta pada orang yang salah, Nenek Cantik! Aku tidak memiliki kitab yang
kau minta!"
Daeng Upas menyeringai mendengar ucapan
Pendekar 131. "Dengar, Anak Muda! Aku Daeng Upas sebenarnya adalah orang yang
paling berhak atas kitab itu, karena...."
"Nenek cantik!" potong murid Pendeta Sinting.
"Percuma kau cerita panjang lebar. Aku tidak tahu segala macam kitab! Sebaiknya
hal itu kau tanyakan pada sobatmu Dewa Orok itu. Mungkin dia tahu!"
Dewa Orok yang sedari tadi diam mendengarkan buka mulut. "Percuma kau bertanya
padaku, Nenek Cantik! Aku lebih tidak mengetahui urusan kitab-kitaban!"
"Hem.... Dari ucapannya, jelas jika Dewa Orok pun tak ingin orang lain tahu
urusannya. Tadi dia bilang minta juga padaku, sekarang mungkir! Kedua orang ini
punya tujuan sama tapi sepertinya selama ini saling mereka sembunyikan!" duga
Joko begitu mendengar ucapan Dewa Orok.
"Aku tak perlu bertanya pada orang lain! Aku tahu kitab itu ada padamu! Lekas
serahkan padaku!"
sentak Daeng Upas sambil melangkah lagi satu tindak, tangan kanannya tetap
membuat gerakan meminta, sementara tangan kirinya diangkat ke atas siap hendak
lepaskan satu pukulan.
"Nenek! Harap menahan diri. Aku juga masih butuh keterangan darinya!" ucap Dewa
Orok menahan gerakan Daeng Upas.
Daeng Upas tegak tanpa berpaling pada Dewa Orok dengan dahi mengernyit. "Jangan-
jangan pemuda bertangan buntung ini juga menginginkan kitab itu!"
"Dewa Orok! Jika kita sama-sama memerlukan, kita selesaikan pemuda ini! Lalu
kita berbagi!" kata Daeng Upas. Daeng Upas rupanya sadar jika Dewa Orok bukanlah
orang yang bisa dianggap sepele.
Terbukti sewaktu bentrokan tempo hari meski tidak berada di bawahnya, tapi dia
dapat mengukur sampai di mana ilmu yang dimiliki Dewa Orok. Dia juga maklum jika
pemuda di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Ini dia lihat ketika Pendekar
131 hendak coba memasuki Istana Hantu pada beberapa waktu yang lalu.
Mendengar ucapan Daeng Upas, Dewa Orok tertawa pelan. "Sayang, Nenek Cantik!
Dalam hal satu ini, aku tidak akan berbagi meski dengan hantu sekali pun! Benda itu adalah
milik nenek moyangku, aku bisa kuwalat jika dibagi-bagi!"
"Jika begitu, terpaksa aku melupakan budi baik-mu!" sahut Daeng Upas yang
mengira benda dimaksud Dewa Orok adalah Kitab Serat Biru.
Dewa Orok memperkeras suara tawanya. "Sudah kukatakan padamu tempo hari, aku
tidak berniat menolongmu. Yang, kulakukan adalah mencegah orang bertindak sesuka
hatinya pada orang yang sudah tak berdaya!"
"Hem.... Tadi dia bilang tak tahu menahu kitab-kitaban, nyatanya lalu mengaku
kitab itu milik nenek moyangnya! Makanya waktu itu dia menolong
pemuda ini. Tak tahunya...."
Daeng Upas cepat balikkan tubuh menghadap
Dewa Orok. "Dewa Orok! Walaupun kau pernah menyelamatkan nyawaku, saat ini aku
tak segan untuk berganti cabut nyawamu! Ketahuilah jika aku telah menghabiskan
tenaga dan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan kitab itu!"
"Nenek cantik! Terserah berapa tahun kau habiskan waktu. Aku tak mau tahu urusan
kitab. Yang penting benda milik nenek moyangku harus kudapatkan kembali! Itu
adalah tugasku!"
"Hai.... Nampaknya pemuda itu memang tidak tahu menahu tentang kitab. Ada
sesuatu lain yang dimaksud! Dari tadi dia menyebut benda. Benda apa"
Mengapa minta padaku..."!" kata murid Pendeta Sinting dalam hati begitu menyimak
ucapan Dewa Orok. Namun belum sampai dia buka mulut bicara, Daeng Upas telah
membentak. "Jika demikian, kau pun harus mampus di tanganku juga!"
"Sebenarnya aku tak suka urusan diakhiri dengan mampus-mampusan! Tapi jika itu
sudah kau kehendaki, aku pun ikut saja! Ha.... Ha.... Ha...!
Daripada hidup sengsara tak punya tangan, memang lebih baik mati.... Ha....
Ha.... Ha...!"
"Aku harus cepat menyingkir dari tempat ini. Aku harus meneliti kitab ini!"
bisik Joko seraya edarkan pandangannya. Sementara di hadapannya, Daeng Upas
sudah angkat kedua tangannya siap menghantam Dewa Orok.
"Tahan!" seru Dewa Orok. "Kau betul-betul hendak membunuhku"!"
"Kau perintang tujuanku! Terpaksa kau harus kubuat tewas terlebih dahulu!"
bentak Daeng Upas.
Suaranya belum selesai, kedua tangannya telah berkelebat menghantam ke arah
kepala Dewa Orok!
Daeng Upas langsung menghantam dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi karena dia maklum, seperti apa yang didengarnya
dari Tengkorak Berdarah beberapa waktu lalu, Tengkorak Berdarah sebut Dewa Orok
sebagai tokoh tua. Dari sini Daeng Upas sudah dapat menduga, meski tampak
wajahnya masih muda, namun sebenarnya dia adalah tokoh yang usianya telah
melebihi dirinya.
Mendapati dirinya dihantam, Dewa Orok tidak tinggal diam. Kedua tumitnya yang
berjingkat disentakkan ke bawah. Sosoknya tiba-tiba melejit ke udara. Kedua
kakinya segera bergerak mengembang.
Bukkk! Bukkk! Dua tangan beradu keras dengan sepasang kaki.
Daeng Upas tampak surutkan langkah satu tindak dengan wajah berubah. Kedua
tangannya bengkak merah. Di depannya, Dewa Orok kembali tegak di atas batu
dengan meringis kesakitan. Saat itulah kedua
orang ini mendengar suara berkecipaknya air.
Serentak kepala keduanya berpaling. Mereka berdua melihat sosok murid Pendeta
Sinting berenang dengan punggung di bawah dan perut di atas.
"Jahanam! Dia hendak meloloskan diri!" rutuk Daeng Upas. Perempuan ini laksana
terbang hendak melompat terjun dalam sungai mengejar. Namun tiba-tiba Dewa Orok
melompat dan tegak menghadang gerak Daeng Upas.
Daeng Upas menggeram marah. "Kau benar-benar minta mampus!"
Kedua tangan dan kaki kanan Daeng Upas
serentak bergerak lepaskan pukulan!
Dewa Orok cepat bergerak ke samping. Dari arah samping dia membuat gerakan
menjungkir. Lalu kedua kakinya yang kini berada di atas disentakkan memangkas
pukulan Daeng Upas.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Daeng Upas berseru tertahan. Sosoknya terhuyung ke samping batu. Karena tidak
ada pegangan, akhirnya tubuh perempuan ini melorot jatuh ke dalam sungai. Dewa
Orok sendiri tampak tersapu. Karena dirinya juga berada tak jauh dari bibir
batu, maka tak ampun lagi sosoknya juga tercebur dalam sungai!
Mungkin tak mau buruannya lolos, Daeng Upas tidak menghiraukan Dewa Orok. Dengan
menindih rasa sakit pada kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan kaki Dewa
Orok, perempuan ini segera berenang ke seberang. Kejap lain sosoknya telah tegak
di atas tanah di seberang. Sesaat kepala Daeng Upas berputar. Dia terdengar
memaki panjang pendek karena murid Pendeta Sinting sudah tidak kelihatan lagi!
Daeng Upas melirik ke sungai. Dewa Orok tampak
masih mengapung di atas air. Tanpa berkata lagi, ibu Dewi Siluman ini berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Begitu Daeng Upas berlalu, Dewa Orok kuncupkan mulut menyedot. Bundaran karet
yang masih mengapung di atas batu besar bergerak melesat ke bawah kemudian masuk ke dalam
mulutnya. "Aku akan buktikan dahulu ucapan pemuda tadi!
Kalau dia berkata dusta padaku dan membawa mahkota itu, ke mana pun dia akan
kukejar!" gumam Dewa Orok.
Pemuda bertangan buntung ini sejenak edarkan pandangannya ke atas. Yakin Daeng
Upas benar-benar telah berlalu, dia segera melesat lalu masuk ke dalam lobang
yang ada di bagian batu besar yang memisahkan aliran sungai.
EMPAT DAENG Upas yang tak mau kehilangan murid Pendeta Sinting yang diyakininya
membawa Kitab Serat Biru laksana terbang lipat gandakan ilmu peringan tubuhnya.
Sosoknya melesat cepat ke arah barat.
Namun pada satu tempat, mendadak sontak
perempuan yang meski usianya telah lanjut tapi masih tampak cantik ini hentikan
larinya. Memandang ke samping kiri dia melihat satu sosok duduk bersila. Daeng
Upas tidak dapat mengenali wajah orang karena orang ini duduk membelakangi!
Tadi dari pancaran sinar mata si nenek, kelihatan jika dirinya dapat menduga
siapa adanya orang. Terbukti begitu sekilas memperhatikan, Daeng Upas membatin.
"Sosok dan pakaiannya dapat kukenali! Jahanam inilah salah satu yang harus
kulenyapkan dari muka bumi! Dia biang kerok penyebab jatuhnya Kitab Serat Biru
ke tangan orang lain! Hem.... Dicari sukar, kini tak dicari bertemu!"
Daeng Upas beliakkan sepasang matanya
pandangi punggung orang yang ternyata adalah seseorang bertubuh besar gemuk
mengenakan pakaian gombrong warna hijau yang di pinggangnya melingkar satu ikat pinggang
besar. Rambutnya putih disanggul ke atas.
"Hem.... Tiba saatnya aku pergunakan bambu ini!
Racun di dalamnya memang sengaja kuperuntukkan bagi dia dan gerombolannya!"
gumam Daeng Upas sambil usap-usap bambu berwarna kuning yang
menyelip di atas telinga kanannya. Selama ini bambu itu memang tidak digunakan
oleh si nenek. Habis bergumam begitu, Daeng Upas melesat ke samping kiri. Saat lain sosoknya
telah tegak di hadapan orang yang duduk bersila. Sepasang mata Daeng Upas
melotot memperhatikan wajah orang.
Orang yang duduk gerakkan kepala mendongak.
Ternyata orang ini sepasang matanya hanya kelihatan putih pertanda jika dirinya
buta. Pada pangkal ikat pinggangnya di sebelah depan tampak sebuah cermin bulat.
"Sayang aku tidak bisa melihat...," ucap orang yang duduk bersila dan tidak lain
adalah Gendeng Panuntun adanya. "Tapi aku tahu ada seorang sahabat di depanku.
Harap sudi sebutkan siapa, laki atau perempuan. Kalau perempuan cantik apa...."
Ucapan Gendeng Panuntun belum habis telah
dipotong oleh Daeng Upas.
"Aku bukan sahabatmu! Aku malaikat maut yang berhak atas nyawamu!"
Ucapan Daeng Upas bukan membuat Gendeng
Panuntun tersentak kaget. Sebaliknya dia tertawa bergelak sambil usap-usap
cerminnya. Lalu berucap.
"Kenapa nasibku buruk begini" Kukira di tempat sunyi begini bisa bertemu gadis
cantik, tak tahunya bertemu malaikat cantik yang hendak mengambil satu-satunya
nyawaku. Ada urusan apa sebenarnya hingga kau menginginkan nyawaku..." Adakah
nyawaku bisa dijual dan berharga mahal?"
Daeng Upas menyeringai. Lalu membentak garang.
"Justru karena nyawamu tidak ada harganya aku akan mencabutnya!"
"Nenek cantik! Mau katakan kenapa kau bernafsu sekali pada nyawaku yang tak
berharga ini"!"
Meski sejenak Daeng Upas tampak terkejut
mendapati Gendeng Panuntun tahu dirinya seorang nenek, tapi saat lain dia telah
berkata dengan suara keras.
"Gendeng Panuntun! Aku ingin kematianmu ber-iring dengan penasaran!"
Habis membentak begitu, Daeng Upas cepat melompat ke depan. Kakinya lepaskan
satu tendangan.
Perempuan ini sengaja lepaskan tendangan dari jarak empat langkah. Hebatnya
meski tendangan itu tidak langsung mengenai sasaran sosok Gendeng
Panuntun, namun tenaga yang melesat dari
tendangan itu laksana kaki perempuan ini benar-benar menghantam sasaran!
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. Tangan
kanannya menyentak tanah di sampingnya. Sosoknya bergerak ke samping dengan
cepat. Hingga tendangan jarak jauh Daeng Upas melabrak tempat kosong.
Daeng Upas kernyitkan dahi. "Hem.... Apa yang kudengar selama ini ternyata
benar. Manusia buta ini telah menjadi tokoh yang bukan saja aneh, tapi juga
memiliki kepandaian tinggi! Menyesal aku mengapa tidak sedari dulu dia dan
gerombolannya kulenyapkan!"
Seperti diketahui, sebenarnya Daeng Upas adalah masih saudara seperguruan
Gendeng Panuntun.
Malah Daeng Upas murid pertama guru Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya
yakni Iblis Ompong, Ratu Malam, Dewa Sukma, dan Dewi Es.
Namun karena Daeng Upas bertindak menyalahi aturan malah akhirnya mengandung


Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Datuk Besar yang akhirnya melahirkan Dewi Siluman, Daeng Upas harus
meninggalkan perguruan. Daeng Upas
pergi dengan membawa kecewa dan dendam.
Kecewa karena selama ini dia tahu jika gurunya menyimpan satu rahasia besar dan
belum berhasil dia peroleh. Dendam karena dia menduga justru Gendeng Panuntun
dan saudara-saudaranya yang menceritakan tingkah lakunya pada guru mereka hingga
dirinya terusir dari perguruan. Perasaan dendam Daeng Upas semakin berkobar
setelah pada beberapa tahun kemudian dia mengetahui jika rahasia yang dulu
diimpikannya jatuh ke tangan Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya.
"Nenek!" kata Gendeng Panuntun. "Harap tidak perturutkan perasaan. Bagaimanapun
juga kita masih saudara! Bukankah lebih baik kita sambung lagi putusnya tali
persaudaraan ini" Waktu itu mungkin kau terbawa perasaan hingga
menganggapku...."
"Gendeng Panuntun! Urusan lama telah kukubur dalam-dalam! Di antara kita tidak
ada ikatan apa-apa!
Kau adalah musuhku. Aku adalah lawanmu!"
Gendeng Panuntun geleng-gelengkan kepalanya.
"Sekali saudara, apa dan bagaimanapun bagiku tetap saudara!"
Daeng Upas tertawa bergelak. "Dendamku sudah berkarat, Gendeng Panuntun! Tak ada
yang bisa meredamnya selain lenyapnya nyawamu dan nyawa gerombolanmu!"
"Kau masih larut oleh perasaanmu. Padahal bukankah pangkal sebabnya hanya karena
urusan rahasia kitab itu" Kau harus sadar, meski rahasia itu diberikan padaku
serta saudara-saudaraku, aku dan mereka pun tidak berhak atas kitab itu! Kami
hanya-lah sebagai perantara! Sementara orang yang berhak atas kitab itu telah
ditentukan! Kita semua tidak ada yang mendapatkan kitab itu!"
"Aku sudah tahu! Aku pun tahu siapa orang yang telah mendapatkan kitab itu!
Malah sebentar lagi kitab itu akan berpindah ke tanganku! Tapi jika saat itu kau
dan gerombolanmu tidak bicara macam-macam, tidak sampai aku harus menunggu
berpuluh tahun lamanya!"
"Di antara kita tidak ada yang ditentukan untuk memiliki kitab itu. Jadi kurasa
percuma kau menghabiskan waktu memburunya! Justru yang akan kau dapatkan adalah
bertambahnya rasa kecewa...."
"Ramalan sialan! Siapa percaya pada ucapan orang buta sepertimu, hah"!"
"Aku tidak meramal. Hal itu kini telah jadi kenyataan! Apakah kau akan
mengingkari kenyataan?"
"Kenyataan goblok! Dengar, Gendeng Panuntun!
Apa pun bunyi ucapanmu, jangan berharap aku berubah niat! Dendamku tak bisa
diputus oleh apa dan siapa pun!"
"Itu hanya akan mendatangkan malapetaka bagimu. Kau akan terlindas oleh dendammu
sendiri..."
Daeng Upas tertawa panjang mendengar kata-kata Gendeng Panuntun. Puas tertawa,
perempuan itu berujar. "Mati dalam dendam lebih baik bagiku daripada hidup
memendam dendam dan tak berusaha melampiaskannya!"
Habis berkata begitu, Daeng Upas angkat kedua tangannya. Di hadapannya, Gendeng
Panuntun bergerak bangkit. Kakek ini usap-usap cermin bulatnya lalu berkata.
"Sepertinya kau tadi sedang mengejar sesuatu.
Hem.... Kukira apa yang tengah kau kejar lebih penting daripada urusan di sini.
Karena di sana kau akan buktikan apakah rasa dendammu sudah pada tempatnya atau
tidak! Nah, aku harus pergi...."
Gendeng Panuntun putar dirinya setengah
lingkaran. Lalu melangkah tinggalkan tempat itu.
"Manusia buta ini tampaknya mengerti jika aku sedang mengejar pemuda yang
mendapatkan Kitab Serat Biru itu.... Tapi dia tak akan kulepas begitu saja.
Mencari orang macam dia susahnya setengah mati!
Sekali ada kesempatan, aku tidak akan membiar-kannya!" membatin Daeng Upas. Lalu
berteriak. "Gendeng Panuntun! Yang kukejar memang satu hal amat penting. Namun saat ini
nyawamu lebih penting!"
"Kau tidak akan tambah kecewa jika buruan yang telah bertahun-tahun kau impikan
lepas begitu saja"
Soal dendammu padaku sebaiknya kau tunda
dahulu.... Siapa tahu nantinya kau maklum jika takdir telah menentukan lain
dengan apa yang kau cita-citakan."
"Kau tak usah banyak bicara! Aku tahu apa yang harus kulakukan!" bentak Daeng
Upas. Baru saja ucapannya habis, kedua tangannya telah bergerak lepaskan satu
pukulan bertenaga dalam kuat. Hingga saat itu juga satu gelombang dahsyat
menderu ke arah Gendeng Panuntun!
Gendeng Panuntun hadapkan kembali tubuhnya ke arah Daeng Upas. Bersamaan itu
tangan kanannya mengusap cermin bulat pada depan perutnya. Ketika tangannya
ditarik, tampaklah satu cahaya putih berkerlap.
Bussss! Gelombang angin yang dilepas Daeng Upas
ambyar bertabur di udara. Sosok Daeng Upas tersurut tiga langkah dengan wajah
berubah pucat pasi.
Tubuhnya bergetar keras. Di seberang depan, sosok Gendeng Panuntun terlihat
bergoyang-goyang.
Pakaian hijau gombrong yang dikenakan berkibar-kibar. Orang ini sesaat tampak
geleng-geleng kepala.
Lalu tanpa berkata-kata lagi ia teruskan langkah.
Meski mulai sadar jika sulit menundukkan
Gendeng Panuntun, namun karena dendam telah merasuki dadanya perempuan ibu Durga
Ratih alias Dewi Siluman ini melupakan kekuatannya sendiri. Dia segera kerahkan
segenap tenaga dalam yang dimiliki.
Namun mendadak, dia urungkan niat lepaskan pukulan. Sebaliknya tangan kanannya
menyahut bambu yang menyelip di atas telinganya.
Sesaat Daeng Upas tegak dengan mata
memandang sosok Gendeng Panuntun yang terus melangkah pelan. Kejap lain sosok
perempuan ini melesat ke depan. Bambu berwarna kuning cepat diletakkan di mulut.
Sambil melayang di udara, Daeng Upas kembungkan mulut hendak meniup bambu.
Namun sebelum benar-benar meniup, terdengar satu deruan keras. Saat lain satu
gelombang angin dahsyat melabrak ganas ke arah sosok Daeng Upas yang masih
melayang di udara.
Daeng Upas menjerit kaget dan marah sekali.
Terpaksa dia selipkan kembali bambu ke atas telinganya. Kedua tangannya segera
bergerak memukul ke arah datangnya gelombang serangan.
Terdengar letupan keras. Tanah lima langkah di hadapan Daeng Upas muncrat ke
udara tersapu bentroknya pukulan Daeng Upas dengan gelombang angin yang tiba-
tiba menghadang gerak si nenek.
"Keparat! Siapa berani gila ikut campur"!" teriak Daeng Upas begitu mendarat di
atas tanah sambil putar kepala ke samping kiri. Tangan kiri kanannya masih di
atas kepala dan siap hendak lepaskan pukulan.
Namun mendadak sosok Daeng Upas bergetar.
Kakinya mundur satu tindak. Matanya mendelik dengan mulut terkancing rapat.
Sementara agak jauh di depan sana Gendeng Panuntun hanya berhenti sebentar tanpa
balikkan tubuh. Kejap lain kakek bermata buta ini tenang saja teruskan langkah.
Tapi satu suara tawa panjang mendadak menggema di seantero tempat itu, membuat
Gendeng Panuntun kembali harus hentikan langkah.
*** LIMA LAKSANA diputus setan, serta-merta suara tawa panjang lenyap. Saat lain
terdengar suara. "Gendeng Panuntun! Jangan berani melangkah! Tunggu di situ
sampai tiba giliranmu!"
Gendeng Panuntun tidak menyahut ucapan orang.
Dia hanya putar diri lalu tengadah dengan usap-usap cerminnya. Sementara Daeng
Upas terus perhatikan ke depan. Pada orang yang tadi menahan gerakannya dan baru
saja berkata. Di situ tegak satu sosok tubuh yang tak bisa dikenali. Sosok orang ini dibungkus
dengan jubah panjang terusan berwarna abu-abu yang menutupi si pemakai dari
ujung rambut sampai kaki. Pada bagian dada jubah terlihat sebuah gambar
tengkorak. "Tengkorak Berdarah!" desis Daeng Upas pelan melihat siapa adanya orang yang
mengenakan jubah abu-abu terusan. Perempuan ini tampak khawatir dan gelisah.
Namun diam-diam dia lipat gandakan tenaga dalam pada kedua tangannya yang masih
di atas kepalanya.
"Orang ini pasti hendak teruskan urusan yang tertunda tempo hari!" kata Daeng
Upas dalam hati.
Parasnya sedikit berubah. Dia teringat bagaimana saat itu dia hampir saja tak
tertolong nyawanya jika tidak muncul Dewa Orok serta berkelebatnya orang aneh
yang saling bergendongan dari pelataran Istana Hantu. Tapi bayangan rasa cemas
di raut wajah Daeng Upas hanya sekejap. Saat lain parasnya merah mengelam.
Dadanya bergerak turun naik pertanda
kian menahan gejolak amarah.
"Jahanam inilah yang memutus hubunganku dengan Datuk Besar! Aku telah bersumpah
untuk membalas kematian Datuk Besar! Peduli setan dia berkepandaian tinggi!"
"Daeng Upas!", tiba-tiba orang berjubah abu-abu dan tidak lain memang orang yang
selama ini memperkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah perdengarkan suara.
"Tempo hari nyawamu selamat, tapi tidak hari ini!"
"Orang ini mengenal Gendeng Panuntun juga diriku. Siapa dia sebenarnya?"
membatin Daeng Upas dengan mata memandang tajam seakan ingin
menembus jubah penutup Tengkorak Berdarah dan mengetahui raut wajah di baliknya.
Tiba-tiba terdengar suara bergelak. Baik Daeng Upas dan Tengkorak Berdarah
segera gerakkan kepala masing-masing berpaling. Di sebelah depan sana terlihat
Gendeng Panuntun usap-usap cerminnya seraya terpingkal-pingkal. Begitu tawanya
berhenti, kakek bermata buta ini berujar.
"Maksud tujuan kadang-kadang membawa orang bertindak aneh-aneh. Sampai-sampai
harus merubah suara segala! Padahal kepalsuan akan menambah suasana jadi makin
tak karuan...."
Kalau Daeng Upas tidak merasa terkejut dengan ucapan Gendeng Panuntun karena
tidak tahu maksudnya, tidak demikian halnya dengan Tengkorak Berdarah. Kepala di balik
jubah abu-abu orang ini sejenak tampak bergerak tengadah.
"Bangsat buta itu tampaknya tahu suara palsuku!
Keparat betul!" maki orang berjubah abu-abu dalam hati. Seperti diketahui,
selama ini orang yang menyebutkan diri sebagai Tengkorak Berdarah ini
selalu perdengarkan suara seorang laki-laki.
"Dengar kalian berdua!" tiba-tiba Tengkorak Berdarah membentak garang. "Kematian
sudah pasti akan menjadi bagian kalian berdua. Tapi hal itu bisa kalian tebus
jika kalian berdua bisa jawab pertanyaanku! Tapi ingatl Jika jawaban kalian
dusta, aku tak segan membuat kalian mampus dua kali! Kalian dengar"!"
Daeng Upas kernyitkan kening. Dia heran mengapa dirinya dihubungkan dengan
Gendeng Panuntun dalam urusannya. Di lain pihak, Gendeng Panuntun terlihat
dongakkan kepala lalu berkata.
"Walah.... Belum habis orang inginkan nyawaku sekarang ada orang inginkan
kematianku! Tapi kurasa kematianku akan tertunda, karena tentu kau tidak akan
segera membunuhku sebelum mendapat jawaban dariku...."
Tengkorak Berdarah perdengarkan tawa panjang mendengar ucapan Gendeng Panuntun.
"Dugaanmu kali ini meleset, Orang Buta! Begitu kau dan perempuan itu tak
menjawab pertanyaanku, maka kematian akan menjadi hakmu! Aku tidak akan
menunda!" "Ooo.... Begitu" Coba katakan apa pertanyaan yang menjadi gantungan nyawaku
itu?" Tengkorak Berdarah melangkah. Begitu sampai tempat di antara Gendeng Panuntun
dan Daeng Upas, orang berjubah abu-abu ini berkata.
"Aku ingin tahu, di mana guru kalian berada saat ini"!"
Daeng Upas tersentak kaget. "Orang ini tahu banyak tentang diriku. Sampai tahu
jika aku dan Gendeng Panuntun pernah berguru pada satu orang!
Hem.... Biar manusia buta itu yang memberi jawaban,
selain aku tidak mengetahui dimana beradanya orang yang ditanyakan, aku juga
sudah memutuskan pertalian murid dan guru! Bahkan Guru adalah salah satu orang
yang harus kulenyapkan!"
"Kalian tidak tuli! Lekas bicara jawab pertanyaanku!" bentak Tengkorak Berdarah
begitu belum juga di antara Gendeng Panuntun atau Daeng Upas yang buka mulut
memberi jawaban.
Gendeng Panuntun usap-usap cermin bulatnya.
Lalu berujar dengan tersenyum. "Guruku seorang laki-laki. Dan kau...." Gendeng
Panuntun sengaja putuskan ucapannya. Lalu melanjutkan. "Jangan-jangan di antara
kau dan guruku punya hubungan tertentu.
Betul..."!"
"Aku butuh jawaban! Bukan dugaan gilamu! Lekas jawab di mana guru kalian Panjer
Wengi berada!"
sahut Tengkorak Berdarah dengan suara makin keras dan bergetar.
"Hem.... Coba kau tanya dulu Nenek Cantik itu!
Barangkali dia tahu...," ucap Gendeng Panuntun sambil telengkan kepala ke arah
Daeng Upas. Daeng Upas menyeringai. "Kau tidak akan mendapat jawaban apa-apa dariku! Aku
telah memutuskan hubungan murid dan guru dengan manusia bernama Panjer Wengi!
Justru saat ini dia adalah salah seorang yang kucari!"
"Hem....." Tengkorak Berdarah bergumam.
"Sekarang apa jawabmu, Orang Buta"!"
Gendeng Panuntun menggeleng. "Sebenarnya berat sekali aku mengatakannya. Tapi
apa hendak dikata aku harus berterus terang. Sudah beberapa puluh tahun aku tak
lagi jumpa dengannya. Jadi jangan tanya di mana dia berada...."
Tengkorak Berdarah menggereng. "Gendeng
Panuntun! Selama ini kudengar kau pandai menduga orang! Adalah mustahil jika kau
sampai tidak dapat menduga di mana gurumu berada!"
Gendeng Panuntun tertawa pelan. "Manusia kadang lupa jika hanya kemampuan Yang
Maha Tinggi yang tidak ada batasnya. Sementara sedikit yang kumiliki begitu
terbatas sekali. Terbukti aku tidak bisa menduga di mana guruku sendiri berada!"
"Berarti kalian berdua tidak bisa terhindar dari lobang kematian!" kata
Tengkorak Berdarah.
"Jangan sangkut pautkan aku dengan orang yang kau cari! Aku sudah tidak ada
hubungan apa-apa!
Orang buta itulah yang seharusnya bertanggung jawab!" ucap Daeng Upas coba
melepaskan diri. Ibu Dewi Siluman ini rupanya maklum jika dirinya mungkin tidak
akan mampu menghindar dari
kematian kalau Tengkorak Berdarah benar-benar melakukan ancamannya. Namun di
lain pihak, dia sendiri sudah punya tekad mengadu jiwa mengingat Tengkorak
Berdarah inilah yang membunuh bekas kekasihnya yakni Datuk Besar.
"Daeng Upas! Peduli setan kau punya hubungan apa tidak! Yang jelas kau tidak
dapat menjawab tanyaku! Jangan coba mengalihkan tanggung jawab!"
"Tak ada gunanya aku mengalihkan tanggung jawab! Antara kau dan aku memang ada
hutang nyawa yang harus dibayar!" jawab Daeng Upas pada akhirnya.
"Bagus! Kekasihmu memang telah lama menanti di liang kubur!" sahut Tengkorak
Berdarah sambil tertawa pendek. Yang dimaksud orang berjubah ini bukan lain
adalah Datuk Besar, kekasih Daeng Upas yang telah terbunuh.
Ucapan Tengkorak Berdarah makin membuat rasa
gelisah Daeng Upas menjadi pupus. Rasa cemas dan khawatir karena dia pernah
hampir terbunuh di tangan Tengkorak Berdarah berubah menjadi tekad berkobar
untuk mengadu jiwa. Begitu Tengkorak Berdarah selesai berkata, Daeng Upas
menyahut. Suaranya lantang.
"Kau terlalu tinggi bicara. Kita buktikan siapa di antara kita yang masih berhak
melihat matahari esok hari!"
Suaranya belum selesai, Daeng Upas telah
melompat ke samping. Belum sampai sepasang kakinya menginjak tanah, kedua
tangannya telah bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh!
Wuuttt! Wuuttt!
Dua gelombang angin luar biasa dahsyat melabrak ganas ke arah Tengkorak
Berdarah. Bukan hanya sampai di situ, begitu gelombang angin melesat, Daeng Upas
teruskan lompatannya. Kaki kiri kanannya diangkat lalu lepaskan tendangan dari
jarak tiga langkah!
Mendapati serangan beruntun, Tengkorak
Berdarah tampak terkesiap juga. Kepala di balik jubah abu-abunya tampak tertarik
sedikit ke belakang. Namun di saat lain kedua tangannya terangkat lalu menyentak
ke depan. Bummm! Bummm! Dua letusan keras mengguncang tempat itu.
Empat gelombang angin yang masing-masing membawa hawa maut bertabur ambyar di
udara. Sosok Daeng Upas sudah terpental sebelum


Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakinya menginjak tanah setelah lepaskan tendangan jarak jauh menyusuli hantaman
kedua tangannya.
Perempuan ini gulingkan diri di tanah. Pada satu kesempatan dia berseru keras
lalu seketika bergerak
bangkit. Sosoknya sesaat tergontai-gontai. Paras wajahnya laksana tidak
berdarah. Kedua tangannya bergetar keras. Dadanya bergerak cepat turun naik
dengan mulut megap-megap.
Di seberang lain, begitu terdengar letusan sosok Tengkorak Berdarah hanya
terseret lima langkah dan terhuyung-huyung. Saat lain orang ini telah tegak
kembali dengan kepala lurus ke arah Daeng Upas.
Namun begitu tegak dan belum sempat melihat apa yang terjadi menimpa Daeng Upas,
satu tenaga laksana sebuah tendangan telah menggebrak ke arahnya!
Tengkorak Berdarah menggeram marah. Namun
sudah terlambat baginya untuk membuat gerakan menangkis. Hingga tak ampun lagi
sosoknya tersapu satu tombak ke belakang. Untung orang ini masih dapat imbangi
diri hingga meski sesaat sosoknya hampir terjerembab dia sentakkan tangan
kanannya ke atas tanah. Tubuhnya melenting satu tombak ke udara, lalu melayang
turun dan tegak dengan kaki terpacak di atas tanah. Walau demikian, sosoknya
terlihat bergetar dan kedua tangannya segera meraba dadanya yang terasa sesak
dan berdenyut sakit akibat terhantam tendangan yang dilepas dari jarak jauh oleh
Daeng Upas. Seperti diketahui. Daeng Upas memiliki ilmu yang bisa melepas
tendangan dan jotosan dari jarak jauh.
Melihat tendangan yang dilepas menghantam
sasaran, keberanian Daeng Upas makin bertambah.
Hingga begitu Tengkorak Berdarah menginjak tanah, perempuan ini kembali melesat
ke depan. Bambu kecil di atas telinga kanannya dicabut lalu ditiup.
Bersamaan itu kedua kakinya kembali bergerak kirimkan tendangan!
Busss! Dari bambu berwarna kuning di mulut Daeng Upas melesat asap hitam. Cepat luar
biasa asap hitam itu kini telah setengah depa di depan Tengkorak Berdarah.
Sesaat Tengkorak Berdarah tampak terkejut dan mundur satu langkah. Saat itulah
tendangan jarak jauh Daeng Upas sampai.
Tengkorak Berdarah mendengus keras. Dia belum tahu apa kehebatan asap hitam dari
bambu, meski dia sadar jika asap hitam itu tentu mengandung bahaya. Tapi kalau
dia menghantam asap hitam bukan tak mungkin tendangan jarak jauh si nenek pasti
untuk kedua kalinya akan menghantam
tubuhnya. Dia tampaknya tidak mau terpental kedua kali. Hingga tanpa pikir
panjang lagi kedua tangannya segera menyentak ke depan menangkis tendangan Daeng
Upas. Wuutt! Wuutt! Tendangan jarak jauh Daeng Upas sirna tersapu gelombang angin yang melesat dari
kedua tangan Tengkorak Berdarah. Malah bersamaan dengan itu, sosok Daeng Upas
terlihat ikut juga tersapu dan mental sebelum akhirnya jatuh terduduk!
Saat Tengkorak Berdarah sentakkan kedua tangan memangkas tendangan jarak jauh
Daeng Upas, asap hitam terus melesat dan tiba-tiba berputar-putar di depan
kepala Tengkorak Berdarah.
Mendadak Tengkorak Berdarah perdengarkan
batuk beberapa kali. Orang ini rasakan jalan per-napasannya tersumbat. Kepalanya
terasa berputar-putar pening. Kejap lain sosoknya tampak mundur terhuyung-
huyung. Maklum akan apa yang terjadi pada dirinya, Tengkorak Berdarah cepat sumbat jalan
per- napasannya dan kerahkan tenaga murni.
Melihat sosok Tengkorak Berdarah terhuyung, Daeng Upas menindih rasa sakit pada
sekujar tubuhnya karena tersapu pukulan lawan. Dia segera bangkit lalu didahului
bentakan keras, perempuan ini laksana terbang melesat ke arah lawan yang
diduganya telah menghirup racun dari bambu miliknya.
Mungkin percaya akan kehebatan asap racun
dalam bambunya, Daeng Upas kali ini tiada lagi lepaskan tendangan atau jotosan
dari jarak jauh.
Sebaliknya dia terus melesat mendekat. Kedua tangannya di atas bahu siap
lepaskan pukulan mematikan ke arah kepala Tengkorak Berdarah.
Sejengkal lagi kedua tangan Daeng Upas membuat hancur kepala Tengkorak Berdarah,
di luar dugaan si nenek, mendadak Tengkorak Berdarah yang diduganya tak mungkin
kuasa membuat gerakan
menangkis, angkat kedua tangannya sementara tubuhnya digeser ke samping. Kejap
lain kedua tangan Tengkorak Berdarah berkelebat.
Karena tidak menyangka lawan masih bisa membuat gerakan bahkan balas lepaskan
pukulan, bukan saja membuat pukulan Daeng Upas menghantam tempat kosong tapi
juga membuat si nenek terlambat untuk menghindar.
Bukkk! Bukkk! Daeng Upas berseru keras. Sosoknya terpental balik dan jatuh punggung di atas
tanah. Darah menyembur dari mulutnya, pertanda dia terluka dalam cukup parah.
Namun karena tekadnya telah bulat, perempuan yang masih berwajah cantik itu
bergerak bangkit. Namun saat itu juga kedua kakinya goyah, saat lain kembali
sosoknya jatuh di atas tanah,
Daeng Upas tak kehabisan akal. Dia cepat ambil bambu di atas telinganya.
Melihat tindakan Daeng Upas, Tengkorak Berdarah tak mau bertindak ayal. Sebelum
Daeng Upas sempat semburkan lagi asap hitam, sosok Tengkorak Berdarah telah
melompat ke depan. Bersamaan itu kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan
bertenaga dalam kuat.
Daeng Upas tercekat. Belum sempat membuat
gerakan menangkis atau semburkan asap hitam pada bambunya, sosoknya telah
tersapu mental. Dan belum sampai tubuh Daeng Upas jatuh di atas tanah, Tengkorak
Berdarah yang tampaknya sudah tak mau memberi kesempatan segera melesat memburu
sosok Daeng Upas yang masih melayang di udara.
Seett! Kedua tangan Tengkorak Berdarah memegang
pinggang Daeng Upas. Sosok perempuan ini sejenak diangkat namun tiba-tiba kedua
tangannya bergerak ke bawah membanting tubuh Daeng Upas dari
ketinggian satu tombak.
Bukkk! Daeng Upas yang telah terluka dalam parah tak sempat lagi keluarkan suara
pekikan. Hanya sosoknya yang terkapar sejurus tampak bergerak-gerak. Namun cuma
sekejap. Kejap lain gerakannya terhenti diiringi dengan erangan pelan yang
terputus! Tengkorak Berdarah telengkan kepala ke bawah memperhatikan Daeng Upas yang
terkapar tanpa nyawa lagi. Lalu kepalanya tengadah. Kedua tangannya terangkat
mengusap dadanya.
"Hem.... Untung racun keparat itu belum sampai masuk dada! Jika terlambat
sedikit, mungkin aku yang terkapar mati!" gumamnya. Namun demikian
bukan berarti asap hitam beracun itu tidak berpengaruh. Karena walau memang
belum sampai terhirup masuk ke dalam dada tapi telanjur masuk ke dalam lobang
hidungnya. Hingga begitu kepalanya tengadah, tiba-tiba dia terbatuk. Lalu tampak
jubah abu-abu terusan tepat bagian sekitar mulut berubah menjadi merah! Tanda
orang ini telah semburkan darah.
Tengkorak Berdarah tampaknya tidak hiraukan hal itu, karena mendadak dia
teringat pada Gendeng Panuntun. Laksana diputar setan, sosok Tengkorak Berdarah
cepat membalik menghadap ke arah mana tadi Gendeng Panuntun berada.
Sekonyong-konyong keluar makian dari mulut orang berjubah abu-abu terusan.
Kakinya meng-hentak tanah hingga bergetar keras. Kedua tangannya mengepal.
Ternyata sosok Gendeng Panuntun sudah tidak ada lagi di tempat itu!
Tanpa diketahui oleh Daeng Upas dan Tengkorak Berdarah yang saat itu tengah
terpaku pada pukulan lawan masing-masing, diam-diam Gendeng Panuntun berkelebat
tinggalkan tempat itu.
"Jahanam buta itu tidak akan kubiarkan ber-keliaran seenaknya. Apalagi dia
sepertinya telah mengetahui siapa diriku!" desis Tengkorak Berdarah.
Setelah usap-usap dadanya berulang kali dan salurkan hawa murni, orang ini
berkelebat tinggalkan tempat itu.
*** ENAM PENDEKAR 131 baru memperlambat larinya saat merasa berada pada tempat aman.
Namun demikian dia tidak bertindak gegabah. Sebelum dia memperlambat larinya,
dia seringkali palingkan kepala ke belakang dan ke kanan kiri. Ketika merasa
yakin Daeng Upas atau Dewa Orok tidak lagi mengejar, dia hentikan langkah.
Kepalanya tengadah. Saat itu matahari mulai pancarkan sinar kemerahan tanda
tidak berapa lama lagi akan segera tenggelam.
Murid Pendeta Sinting melangkah pada satu tanah agak tinggi, di mana pada kanan
kirinya terdapat dua batang pohon mahoni besar. Seraya bersandar punggung pada
salah satu batang pohon, Joko meraba seputar perut dan pinggangnya. Dia menarik
napas lega. "Untung kitab dan mahkota ini tidak basah terkena air...," gumamnya lalu geser
tangannya hingga kitab dan mahkota yang berada di balik pakaiannya makin tidak
kelihatan. "Ternyata ada saja orang yang tahu tempat rahasia begitu. Hanya setelah menyimak
ucapannya, Dewa Orok sepertinya tidak menginginkan kitab ini. Tapi ada benda
lain yang dikehendakinya. Astaga! Jangan-jangan...."
Pendekar 131 tidak lanjutkan gumamannya. Dari arah barat sepasang matanya
menangkap satu sosok tubuh sedang berlari ke tempat di mana dia berada.
Mengira orang yang sedang berlari adalah salah satu antara Daeng Upas atau Dewa
Orok, murid Pendeta
Sinting segera melompat dan berlindung di balik pohon.
Tak berapa lama kemudian, sejarak sepuluh
langkah dari tempat Joko berlindung tampak satu sosok tubuh tegak dengan kepala
berputar dan mata memperhatikan sekeliling. Dari sikap dan pandangannya jelas
jika orang ini sedang mencari sesuatu.
"Heran.... Baru saja kulihat dia berada di sekitar tempat ini! Sayang aku tidak
bisa memastikan memang dia atau bukan. Larinya begitu cepat.
Seandainya pakaian yang dikenakan tidak mirip, tak akan aku bersusah-susah
mengejarnya.... Tapi apa dia benar-benar masih hidup" Jangan-jangan ucapan Ayah
hanya untuk menyenangkan hatiku dan yang terjadi sebenarnya adalah dia
telah...." Orang ini tak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya dia takupkan kedua
tangan pada wajahnya. Sesaat kemudian bahu orang ini berguncang. Lalu terdengar
isakan pelan. Tapi suara isakan sekonyong-konyong berubah menjadi satu jeritan tatkala satu
tangan tiba-tiba memegang bahu orang yang sedang terisak. Secepat kilat orang
yang tadi terisak balikkan tubuh. Kedua tangannya yang tadi menutupi wajahnya
segera ditarik dan diangkat. Namun satu suara membuat orang ini bukan saja tegak
tertegun, namun juga mendelik hampir tak percaya.
"Bagaimana keadaanmu..." Apa yang terjadi...?"
Orang yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya terus memandang ke depan dengan
mata makin terpentang dan kedua tangan tetap di atas. Sesaat setelah sadar dari
rasa terkesimanya, terdengar orang ini bergumam.
"Joko...."
Murid Pendeta Sinting tersenyum. Namun diam-
diam dia merasa ada keanehan pada orang yang kini ada di hadapannya. Orang ini
ternyata adalah seorang pemuda berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-hitam
yang memperkenalkan diri pada Joko dengan Raka Pradesa.
"Seorang pemuda tampan. Tapi kenapa menangis begitu rupa" Ah.... Mungkin ada
sesuatu yang sangat menyentuh jika seorang pemuda sampai keluarkan air mata...,"
kata Joko dalam hati menjawab rasa aneh yang dilihatnya pada pemuda di
hadapannya. Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu, tiba-tiba pemuda berkumis tipis
berpakaian hitam-hitam dan tidak lain adalah Raka Pradesa alias Saraswati
menghambur ke depan. kedua tangannya cepat melingkar merangkul pinggang Pendekar
131. Sementara kepalanya diletakkan pada dada si pemuda, membuat Joko salah tingkah
dan kebingungan bercampur heran.
Saraswati yang menyamar sebagai pemuda ini terisak dan bergumam tak jelas.
Menduga bahwa si pemuda sedang dilanda sesuatu yang membuat dirinya membutuhkan
teman tempat mengadu, meski masih bertanya-tanya heran, akhirnya murid Pendeta
Sinting hanya diam.
Beberapa saat berlalu. Setelah suara isakan Raka Pradesa terhenti, Joko angkat
kedua tangannya memegang pundak si pemuda di hadapannya. Lalu berbisik.
"Raka.... Katakan apa sebenarnya yang terjadi?"
Raka Pradesa angkat kepalanya. Tubuhnya yang merapat pada tubuh Pendekar 131
perlahan-lahan ditarik. Wajahnya tiba-tiba berubah memerah. Tanpa berani
membalas tatapan murid Pendeta Sinting, Raka Pradesa cepat palingkan wajahnya.
Membuat Joko makin bertambah heran dan kembali bertanya.
"Katakanlah ada apa...!"
Raka Pradesa tidak segera buka mulut. Sebaliknya dada pemuda yang sebenarnya
seorang gadis ini dibuncah berbagai perasaan. Senang karena melihat Joko masih
selamat dan hidup. Namun di samping itu dia juga kebingungan bagaimana harus
menjawab pertanyaan Joko.
"Apakah aku harus berkata terus terang" Lalu apakah dia nanti tidak menaruh
dendam padaku karena perbuatan Ayah yang telah mendorongnya masuk ke dalam
lobang itu" Ah.... Bagaimana ini"
Apa yang harus kulakukan sekarang?" Raka Pradesa membatin dalam hati.
"Agaknya ada sesuatu yang membuatmu
keberatan mengatakan hal yang menimpamu
padaku...," kata Joko pada akhirnya dengan nada agak kecewa.
"Aku.... Aku tak tahu harus bagaimana mengatakan padamu," ucap Raka Pradesa
pelan tanpa berpaling.
"Hem.... Kau tadi sepertinya mencari sesuatu.
Apakah kau mengejar seseorang?"
"Ah.... Kau tak tahu. Kaulah sebenarnya yang tadi kukejar dan kucari!" kata Raka
Pradesa dalam hati.
Namun meski hatinya berkata begitu, kepala pemuda ini menggeleng.,
"Hem.... Mungkin kedatanganku hanya meng-ganggumu. Aku harus pergi...," ucap
murid Pendeta Sinting lalu balikkan tubuh hendak tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" tahan Raka Pradesa.
"Aku yakin kau sedang mencari seseorang! Aku tak suka mengganggu urusan orang.
Apalagi mungkin ini urusan perempuan...," kata Joko lalu teruskan
langkah. Mendadak Raka Pradesa melompat dan kembali merangkul pinggang Joko dari
belakang, membuat murid Pendeta Sinting tak habis pikir. Lalu enak saja dia
berujar. "Jika kekasihmu tahu kita begini, urusan akan jadi panjang. Dia pasti akan
menyangka yang bukan-bukan...," seraya berkata, tangan Joko renggangkan kedua
tangan Raka Pradesa yang merangkul
pinggangnya. Namun Raka Pradesa makin pererat rangkulannya.
Lalu berkata pelan.
"Aku akan mengatakan padamu. Tapi sebelumnya kuharap kau nanti mau memberi maaf
dan berjanji tak akan menaruh dendam...."
Dahi murid Pendeta Sinting berkerut. Sebelum dia mengatakan apa yang menjadi
pertanyaan dalam hatinya, Raka Pradesa telah kembali buka mulut.
"Kau mau berjanji bukan?"
"Kau ini bicara apa"!"
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Raka Pradesa berkata.
"Sebelumnya aku...."
Ucapan Raka Pradesa terputus. Pemuda berkumis tipis ini cepat tarik kepalanya
Pangeran Anggadipati 4 Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Tembang Tantangan 20
^