Pengadilan Neraka 2
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka Bagian 2
Berpikir begitu, akhirnya Saraswati balikkan tubuh.
Namun sebelum dia benar-benar berkelebat, dia masih
sempat buka mulut.
"Urusan di antara kita jangan dianggap selesai! Kita akan lanjutkan bila ada
kesempatan!"
"Ucapanmu menunjukkan kau hanya berani me-
nantangku kalau ada pemuda itu! Kalau memang kau
bukan pengecut, untuk apa harus menunggu ada ke-
sempatan"! Sekaranglah kesempatan itu!"
"Pitaloka! Jangan memperpanjang urusan...!" kata
Putri Kayangan.
"Urusan akan jadi panjang kalau tidak diselesaikan
sekarang! Bukan tak mungkin mulutnya akan berkoar
ke mana-mana!"
Sebenarnya dada Saraswati sudah bergemuruh. Ta-
pi karena dia khawatir kehilangan jejak murid Pendeta Sinting, dia menindih
perasaan. Lalu berkelebat tinggalkan tempat Ku seraya berkata lantang.
"Aku masih bisa menjaga mulut dan seluruh anggo-
ta tubuh lainnya! Pada pertemuan kelak, kuharap kau
tidak kurang suatu apa! Lebih-lebih kau bisa menjaga agar tidak hamil lagi!"
"Jahanam keparat!" teriak Pitaloka. Kedua tangan-
nya disentakkan seraya berkelebat. Satu gelombang
ganas berkiblat ke arah Saraswati. Tapi Saraswati sudah berkelebat jauh.
Gelombang pukulan itu hanya
menghantam udara kosong!
"Kita ikuti Pendekar 131!" seru Pitaloka seraya te-
ruskan berkelebat. Putri Kayangan sebenarnya hendak
berkata, Namun karena Pitaloka sudah berada di de-
pan sana, terpaksa dia urungkan niat lalu berkelebat menyusul.
Dari balik sebuah batangan pohon besar, dua orang
laki-laki tampak duduk bersila. Sebelah kanan adalah orang tua bertubuh besar
tambun mengenakan pakaian warna hijau gombrong. Sepasang matanya ber-
warna putih. Di sebelah orang tua ini adalah seorang kakek yang kepalanya terus
bergerak pulang balik ke
depan ke belakang dengan wajah membuat mimik se-
perti orang hendak bersin. Mereka berdua bukan lain
adalah Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
"Brusss! Bagaimana sekarang" Aku tak heran....
Mereka berempat tadi pasti mengikuti jejak murid Pendeta Sinting.... Kalau hal
ini dibiarkan, tentu perjalanan pemuda itu tidak akan mulus!" kata Datuk Wah-
ing. "Inilah susahnya kalau urusan sudah melibatkan
perempuan! Urusan sepele bisa jadi panjang lebar tak karuan! Apa boleh buat,
sementara ini kita punya tugas. Kita harus tetap mengawasi gadis-gadis itu. Kita
cegah agar tidak terjadi bentrok sampai urusan pemuda itu beres!" sahut Gendeng
Panuntun. Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang tua ini ber-
anjak bangkit. Saat lain mereka sama membuat satu
gerakan. Sosok masing-masing orang berkelebat dan
tahu-tahu sudah berada di depan sana. Malah sosok
mereka tampak mendahului kelebatan Putri Kayangan
dan Pitaloka. Saat lain telah melewati kelebatan Saraswati!
*** LIMA PENDEKAR 131 Joko Sableng hentikan larinya kala
memasuki sebuah kawasan tanah terbuka yang di se-
kelilingnya dijajari beberapa julangan batu karang
tinggi seakan memagari tanah terbuka tadi. Tepat di
tengah tanah terbuka tampak altar batu agak besar
berbentuk datar. Di sebelah altar batu terlihat bongkaran lobang menganga.
Murid Pendeta Sinting putar kepala memandang
berkeliling. "Hem.... Tempat ini belum berubah...," gu-mamnya seraya
memperhatikan julangan batu karang
sebelah kiri altar yang tampak terbongkar. "Apa dugaanku tidak salah..." Tapi
mengapa belum juga terlihat
ada tanda-tanda munculnya seseorang"!"
Joko berpaling ke belakang dari mana dia tadi da-
tang. Dia menghela napas dalam seraya gelengkan ke-
pala. "Mudah-mudahan gadis-gadis itu tidak mengiku-
tiku.... Kehadiran mereka hanya akan memperkeruh
keadaan!" Tanpa diketahui murid Pendeta Sinting, dari celah
salah satu julangan batu karang, dua sosok tubuh
tampak tegak memperhatikan. Yang sebelah kanan
adalah sosok mengerikan. Seorang laki-laki yang usianya tidak bisa ditentukan.
Paras wajahnya juga tidak bisa dikenali. Karena susunan anggota tubuh orang ini
hanya terdiri dari susunan kerangka tanpa dilapisi
daging sama sekali!
Di sebelah laki-laki yang anggota tubuhnya hanya
merupakan susunan kerangka dan tidak lain adalah
Setan Liang Makam, tegak satu sosok yang tidak bisa
dilihat bagaimana wujudnya. Yang terlihat tegak ha-
nyalah jubah hitam besar. Jubah hitam itu menga-
pung di atas udara. Jubah itu bukan lain adalah Ju-
bah Tan-pa Jasad, salah satu benda mustika pening-
galan kerabat Kampung Setan. Sosok tidak terlihat di balik Jubah Tanpa Jasad
bukan lain adalah Kiai Laras.
"Hem.... Rupanya tanpa diundang pun manusia itu
akan dating! Ini satu petunjuk jika tidak lama lagi akan datang yang lainnya!
Dengan begitu, kejayaan
Kampung Setan akan kita tegakkan tanpa harus k-
keluar dari Kampung Setan! Aku tak akan membiar-
kan satu pun dari kalangan orang persilatan bisa ke-
luar dari Kampung Setan dalam keadaan hidup! Aku
akan jadikan Kampung Setan sebagai tempat angker
yang tidak mudah diinjak telapak manusia yang tidak
ku-inginkan! Aku akan kendalikan rimba persilatan
dari Kampung Setan! Sekarang kau tahu apa yang ha-
rus kau lakukan pada manusia tak diundang itu! Un-
tuk yang satu itu kalau bisa bikin tak berkutik tanpa memutus selembar nyawanya!
Karena dia nanti bisa
kita buat sebagai umpan untuk memancing datangnya
orang lain!" Terdengar suara dari sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa
Jasad yang bukan lain adalah
suara Kiai Laras.
Setan Liang Makam hanya anggukkan kepala tanpa
perdengarkan suara sahutan. Namun diam-diam da-
lam hati dia membatin. "Tak akan kusisakan nyawa
pemuda jahanam itu! Inilah saatnya aku membalas
urusan tempo hari! Hem.... Sayang. Kembang Darah
Setan berada di tangan jahanam tidak kelihatan ini!
Kalau tidak, sudah kulumat habis pemuda jahanam
itu beberapa waktu yang lalu!"
"Setan Liang Makam! Lekas hadang manusia itu se-
belum masuk ke Istana Sekar Jagat!" gumam Kiai La-
ras pelan namun nadanya keras memerintah.
Dengan memaki dalam hati, Setan Liang Makam
berpaling sejenak pada Jubah Tanpa Jasad. Saat lain
sosoknya berkelebat keluar.
Sementara di depan sana, Joko serentak hentikan
langkah kala ekor matanya menangkap satu bayangan
berkelebat keluar dari salah satu julangan batu ka-
rang. "Setan Liang Makam!" desis Pendekar 131 begitu
melihat siapa manusia yang tegak sepuluh langkah di
seberang depan. "Ternyata dugaanku tidak keliru. Ka-
lau dia berada di ini, pasti orang pemakai Jubah Tanpa Jasad di sini juga!"
"Setan Liang Makam!" kata Joko. "Sebenarnya di
antara kita tidak ada urusan berarti. Aku datang un-
tuk bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah
Tanpa Jasad! Bisa tunjukkan padaku di mana dia be-
rada"!"
Setan Liang Makam tidak menyahut. Hanya sepa-
sang matanya perhatikan orang dengan pandangan
berkilat marah. Murid Pendeta Sinting tersenyum dan
maklum akan sikap orang karena dia dan Setan Liang
Makam memang beberapa kali bertemu dan sempat
bentrok. "Setan Liang Makam!" kata Joko dengan suara sedi-
kit dikeraskan meski dia tahu kalau Setan Liang Ma-
kam tadi sudah dengar ucapannya. "Aku datang untuk
bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah Tanpa
Jasad! Harap tunjukkan di mana dia berada!"
Setan Liang Makam masih juga kancingkan mulut.
Namun tak lama kemudian dia sudah perdengarkan
suara. "Kau bisa menemuinya di liang neraka!"
"Ah.... Terima kasih atas keteranganmu! Sekarang
mau tunjukkan padaku di mana tempat yang baru sa-
ja kau katakan"!"
"Akan kuturuti permintaanmu!" sentak Setan Liang
Makam. Saat bersamaan kedua tangannya diangkat la-
lu didorong. Dua gelombang angin dahsyat mengham-
par. Karena sudah waspada, begitu kedua tangan Setan
Liang Makam terangkat, murid Pendeta Sinting berke-
lebat ke samping selamatkan diri. Gelombang hampa-
ran angin lewat setengah depa di samping sosok Pen-
dekar 131 dan terus lurus ke belakang menghantam
salah satu julangan batu karang.
Brakkk! Sebelah sisi kanan julangan batu karang yang tadi
berada di belakang Pendekar 131 langsung muncrat
semburkan pecahan kepingan batu. Saat muncratan
luruh, tampak sebelah sisi julangan batu karang ge-
rompal besar! "Sobatku, Setan Liang Makam! Aku tanya baik-baik.
Mengapa kau menyerangku"!"
"Sebelum kutunjukkan tempat di mana orang yang
kau cari, kita selesaikan dahulu urusan lama kita!"
"Urusan lama" Urusan lama yang mana"!"
"Akan kuingatkan otakmu dengan caraku!" hardik
Setan Liang Makam. Kedua tangannya kembali diang-
kat. "Tunggu! Tahan dulu.... Aku ingat sekarang. Yang
kau maksud tentu pertemuan kita beberapa waktu
yang lalu. Kukira kejadian itu hanyalah salah paham semata! Dan seharusnya kau
yang minta maaf padaku.
Karena kau selama ini menuduhku sebagai orang yang
mengambil Kembang Darah Setan! Sekarang kau sen-
diri telah lihat buktinya! Aku bukanlah orang yang kau tuduh! Tapi....
Sudahlah.... Lupakan semua itu! Sekarang kita berteman! Dan aku sekarang butuh
bantuan- mu!" "Aku hanya bisa membantu untuk tunjukkan jalan-
mu ke neraka!"
"Sobat! Untuk jalan itu aku sudah tahu karena aku
pernah ke sana! Aku minta bantuan lain! Bagaimana"
Atau kau minta imbalan"! Katakan saja apa imbalan
yang kau inginkan"! Harta..."! Tubuh molek..."!
Atau...." Joko tidak segera lanjutkan ucapan sebaliknya me-
lompat mendekat lalu lanjutkan ucapan dengan suara
direndahkan. "Atau kau inginkan Kembang Darah Se-
tan dan Jubah Tanpa Jasad kembali ke tanganmu"!"
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Setan Li-
ang Makam picingkan sedikit sepasang matanya. Tu-
lang dahinya bergerak tanda dia berpikir. Sikapnya terlihat ragu-ragu.
Pendekar 131 tersenyum. "Sobat.... Aku tahu. Kau-
lah sebenarnya yang berhak atas Kembang Darah Se-
tan serta Jubah Tanpa Jasad. Sebab kedua barang
mustika itu adalah peninggalan leluhurmu! Aku berse-
dia membantumu mendapatkan benda itu...."
"Bantuan apa yang bisa kau lakukan untukku"!"
tanya Setan Liang Makam terpancing. Namun sebelum
buka mulut bertanya, cucu Nyai Suri Agung ini sempat berpaling sesaat ke tempat
Kiai Laras. Dan begitu dia yakin sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa
Jasad tidak ada di tempatnya tadi berada, dia baru berani buka mulut. Di lain
pihak, sikap Setan Liang Makam telah membuat murid Pendeta Sinting tahu di
mana adanya orang yang dicari! Dia segera pula meli-
rik. Tapi keningnya berkerut.
"Dari pandangannya, jelas di balik julangan ke ma-
na matanya memandang ada orang lain bersembunyi.
Aku belum tahu siapa adanya orang itu! Terakhir kali berpisah, dia bergabung
dengan sosok pemakai Jubah
Tanpa Jasad, Pitaloka, dan orang tua yang wajahnya
mirip dengan Kiai Laras.... Hem.... Pitaloka jelas sudah tak mungkin orangnya.
Jadi sekarang yang mungkin
tinggal orang tua yang parasnya mirip dengan Kiai Laras dan mungkin sosok
pemakai Jubah Tanpa Jasad
itu sendiri! Tapi.... Aku sekarang tidak melihat tanda-tanda orang di balik itu!
Hem.... Mungkin Setan Liang Makam baru berani bertanya setelah yakin pula bahwa
orang di balik batu sudah tidak ada.... Hem.... Sebaliknya aku terus
memancingnya!" kata Joko dalam ha-
ti. "Kau jangan berani main-main denganku! Katakan
bantuan apa yang akan kau lakukan untukku!" kata
Setan Liang Makam mengulangi ucapannya karena un-
tuk beberapa lama Joko tidak menyambut.
"Bukankah kau inginkan kedua benda itu kembali
ke tanganmu lagi"!"
"Jahanam! Aku tanya bantuan apa yang bisa kau
lakukan untukku"!" hardik Setan Liang Makam mulai
kesal. "Tentu saja untuk mengembalikan kedua benda itu
padamu!" "Keparat! Yang kutanyakan untuk mendapatkan
kedua benda itu, apa yang akan kau lakukan"!"
Joko anggukkan kepala. "Setinggi apa pun ilmu se-
orang manusia, pasti ada kelemahannya! Dan aku ta-
hu apa kelemahan orang pemakai Jubah Tanpa Jasad
itu!" "Katakan padaku apa kelemahannya!" sahut Setan
Liang Makam. "Sobat.... Bukan hanya manusia yang punya telinga!
Tanah, julangan batu karang, langit, mendung, dan
batangan pohon bisa mendengar. Sementara aku tak
ingin telinga lain mendengarkan. Karena itu tidak
baik.... Sebab ini menyangkut kelemahan orang!"
Setan Liang Makam katupkan tulang mulut. Tulang
keningnya bergerak-gerak. Saat lain dia perdengarkan suara setelah edarkan
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pandangan berkeliling.
"Lalu apa maumu"!"
"Bawa saja aku ke tempat orang yang mengenakan
Jubah Tanpa Jasad itu!"
"Hem.... Kau kira aku bisa kau bodohi, he"!"
"Tunggu! Jangan salah sangka! Aku tidak punya
maksud macam-macam padamu!"
"Kau menginginkan kedua benda itu juga, bukan"!"
Pendekar 131 tertawa seraya gelengkan kepala.
"Aku tahu orang itu berada di sekitar tempat ini!
Kalau aku mau.... Tidak sulit aku menemukannya! La-
gi pula aku telah tahu kelemahannya.... Jadi kalau
aku menginginkan kedua benda itu mudah saja!"
"Lalu mengapa tidak kau lakukan"!"
"Aku masih menghargaimu sebagai pemilik sah
benda keramat itu! Lagi pula ini adalah tempatmu!"
"Benarkah ucapannya"! Tapi kalau benar, mengapa
saat bentrok beberapa waktu lalu dia tidak bisa me-
naklukkan jahanam pemakai Jubah Tanpa Jasad itu"!
Padahal saat itu dia dibantu beberapa temannya"! Ja-
ngan-jangan dia hanya mengelabuiku!" Setan Liang
Makam membatin ingat akan pertemuan murid Pen-
deta Sinting yang saat itu bersama Datuk Wahing,
Gendeng Panuntun bentrok dengan pemakai Jubah
Tanpa Jasad. Mengingat akan hal itu, Setan Liang Makam segera
angkat suara. "Kalau benar kau tahu kelemahannya, bagaimana
mungkin kau tak dapat mengalahkannya saat bentrok
beberapa waktu lalu"! Padahal saat itu kau tidak sendirian!"
"Terus terang.... Saat itu aku memang belum tahu
kelemahannya! Tapi sekarang aku tahu bagaimana
menaklukkannya! Tunjukkan saja di mana dia! Atau
suruh keluar!"
Belum sampai suara murid Pendeta Sinting selesai,
dari salah satu puncak julangan batu karang tiba-tiba satu benda hitam
berkelebat turun. Belum sampai
benda hitam yang ternyata adalah sebuah jubah hi-
tam, berada di atas tanah, satu suara terdengar.
"Setan Liang Makam! Lakukan apa yang kuperin-
tah! Atau kau sendiri yang akan kulumat!"
Wusss! Bersamaan dengan terdengarnya suara, satu gelom-
bang ganas berkiblat ke arah Setan Liang Makam. Se-
tan Liang Makam terkesiap. Sesaat dia berpikir. Menghadang gelombang yang datang
atau menghindar se-
lamatkan diri. Akhirnya Setan Liang Makam memu-
tuskan berkelebat menghindar karena sebenarnya dia
belum percaya benar dengan ucapan murid Pendeta
Sinting. Sementara kalau dia menghadang gelombang
yang datang, mungkin dia akan mengalami hal lebih
naas. Bukan tak mungkin sosok di balik Jubah Tanpa
Jasad akan marah besar.
Bummmm! Tanah di sekitar terbuka dan bergetar keras. Saat
yang sama tanah itu semburat terhantam gelombang.
Jubah Tanpa Jasad tegak sepuluh langkah di sam-
ping tempat tegaknya Setan Liang Makam. Bagian le-
ngan dan bahu Jubah Tanpa Jasad bergerak ke sam-
ping, ke arah Setan Liang Makam.
"Aku tak mau dikhianati! Dan kau dengar ucapan-
ku! Lakukan atau kau yang akan kukirim menyusul
nenekmu!" "Jahanam! Jadi dia telah membunuh Nyai Suri A-
gung!" maki Setan Liang Makam dalam hati. Dada cu-
cu Nyai Suri Agung ini sudah dibungkus luapan hawa
amarah luar biasa. Namun karena kini dia sadar siapa orang yang dihadapi,
bagaimanapun besar luapan ke-marahannya, dia coba menahan. Lalu berkelebat ke
depan dan tegak di hadapan Pendekar 131!
Sementara melihat munculnya sosok tak kelihatan
yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad, murid Pendeta
Sinting selinapkan tangan kanannya ke balik pakaian.
"Busyet! Aku lupa lagi.... Seharusnya aku bertanya
pada Kakek Gendeng Panuntun atau Kakek Datuk Wa-
hing bagaimana caranya menggunakan benda ini!"
gumam Joko dalam hati menyesal. "Ini gara-gara ribut urusan dengan beberapa
gadis itu! Membuat aku sampai lupa menanyakan! Padahal aku tahu, kedua orang
yang muncul saat itu adalah Kakek Gendeng Panun-
tun dan Datuk Wahing! Bagaimana sekarang..." Hem...
Akan kucoba dengan kemampuanku sendiri dahulu.
Jika tak berhasil, entah bagaimana caranya nanti!"
Memutuskan demikian, akhirnya Joko urung me-
ngeluarkan benda merah yang diambilnya dari pusar
bayi Pitaloka. Lalu tarik pulang tangannya keluar. Setan Liang Makam dan sosok
tidak kelihatan di balik
Jubah Tanpa Jasad yang bukan lain adalah Kiai Laras
sesaat memperhatikan gerakan tangan Joko yang ke-
luar dari balik pakaiannya.
"Apa lagi yang kau tunggu, Setan Liang Makam"!"
Kiai Laras membentak.
Setan Liang Makam menggeram. Selain marah akan
perintah Kiai Laras, juga marah melihat sikap murid Pendeta Sinting. Pada
mulanya Setan Liang Makam
menduga orang hendak mengeluarkan sesuatu. Na-
mun ternyata tangan Joko keluar tanpa menggenggam
sesuatu! Setan Liang Makam merasa sudah ditipu.
"Penipu busuk!" hardik Setan Liang Makam. Saat
bersamaan dia melesat ke depan. Kedua tangannya di-
kelebatkan ke arah kepala murid Pendeta Sinting!
"Tahan!" teriak Joko dengan angkat kedua tangan-
nya di atas kepala.
Setan Liang Makam tak pedulikan lagi teriakan o-
rang. Kedua tangannya terus dikelebatkan. Joko men-
dorong kedua tangannya ke atas menyongsong.
Bukkk! Bukkk! Sosok Setan Liang Makam mental dan tegak tiga
langkah dari tempat terjadinya benturan pukulan. Di
depannya, Joko tersurut satu langkah dengan kibas-
kibaskan kedua tangannya yang baru saja berbentu-
ran dengan kedua tangan Setan Liang Makam.
"Sobat!" kata Joko dengan senyam-senyum meski
merasakan kedua tangannya kesemutan. "Kalau kau
benar-benar ingin lanjutkan urusan lama, tetap akan
kulayani. Tapi biar aku bicara dahulu dengan sobat
yang baru muncul itu!" Tangan kanan Joko menunjuk
pada Jubah Tanpa Jasad yang mengapung di atas
udara. Tanpa menunggu sambutan Setan Liang Makam,
murid Pendeta Sinting berkelebat melewati sisi Setan Liang Makam lalu tegak
berhadapan dengan Jubah
Tanpa Jasad! *** ENAM BARU saja Pendekar 131 buka mulut dan suaranya
belum terdengar, kedua lengan Jubah Tanpa Jasad su-
dah berkelebat!
Weerr! Weeerr! Dua gemuruh angin berkiblat angker melesat dari
kedua lengan jubah.
Karena tidak menduga, murid Pendeta Sinting sem-
pat kelabakan. Namun seraya berkelebat menghindar,
kedua tangan Joko lakukan satu pukulan ke depan.
Bummm! Bummm! Kawasan Kampung Setan sesaat dilanda gelegar.
Karena tempat di mana terjadi bentrok pukulan dikeli-lingi beberapa julangan
batu karang, suara beradunya pukulan menggema seakan hendak meruntuhkan julangan
batu karang! Tampaknya Kiai Laras tidak mau memberi kesem-
patan. Begitu Joko dapat hindarkan diri dan mengha-
dang gelombang dari kedua lengan Jubah Tanpa Ja-
sad, Kiai Laras cepat melesat mengejar. Kembali kedua lengan jubah hitam
bergerak. Malah kali ini bagian
bawah jubah juga sedikit terangkat ke atas.
Meski Joko tidak melihat sosok orang di balik ju-
bah, namun dari gerakan jubah yang melayang di atas
udara, dia dapat menduga gerakan apa yang dibuat
orang. Maka seraya melenting satu tombak ke udara,
kedua tangannya dipukulkan ke depan menghadang
gerakan kedua lengan jubah. Saat bersamaan kaki ka-
nan kirinya juga membuat gerakan menendang, meng-
hadang gerakan jubah bagian bawah!
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras tiga berturut-turut. Murid
Pendeta Sinting rasakan kedua tangannya menghan-
tam benda keras luar biasa. Dia sama sekali tidak merasakan bersentuhan dengan
kain jubah! Kalau murid Pendeta Sinting tidak merasakan ber-
singgungan dengan kain jubah, tidak demikian halnya
dengan kedua kakinya. Dia masih merasakan bentu-
ran dengan anggota tubuh orang.
Sosok Pendekar 131 terjajar satu setengah tombak
di atas udara. Lalu meluncur turun dan tegak di atas tanah setelah membuat
gerakan jungkir-balik satu
kali. Joko cepat salurkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Karena dirasakan aliran darah pada kedua
tangannya laksana tersumbat. Dadanya sesak. Semen-
tara di seberang sana, sosok jubah hitam tampak me-
lintir bagian bawahnya. Namun sesaat kemudian telah
tegak mengapung di atas tanah.
"Hem.... Berarti anggota tubuhnya yang tidak terla-
pisi jubah hitam itu bisa digebuk! Jadi aku harus menyerang bagian kaki dan
wajahnya!" kata Joko dalam
hati. Kalau Joko membatin begitu, Kiai Laras diam-diam
juga berkata dalam hati. "Aku masih bisa bersinggun-
gan dengan kakinya. Berarti jubah ini hanya dapat melapis bagian tubuhku yang
tertutup jubah! Aku harus
berhati-hati.... Dan aku sekarang tak akan memukul-
nya dari jarak dekat kecuali dengan kedua tanganku!
Lagi pula bukankah aku membekal Kembang Darah
Setan"! Hem.... Sebenarnya aku menginginkan anak
manusia itu hidup sementara waktu. Tapi kurasa ia
terlalu berbahaya kalau dibiarkan hidup! Dia mati atau hidup pasti jahanam
gurunya akan mencarinya kemari! Saat itulah yang kutunggu-tunggu!"
"Hai! Aku datang bukan cari keributan! Aku hanya
ingin...."
"Persetan dengan maksudmu! Yang jelas siapa pun
yang datang ke tempat ini berarti akan pulang nama-
nya saja! Apalagi kau! Sebelum ini kita sudah membu-
ka urusan. Dan hari ini urusan itu akan selesai!"
Kiai Laras tidak menunggu Joko buka mulut me-
nyahut. Saat itu juga kedua tangannya diangkat. Na-
mun tiba-tiba salah satu tangannya diturunkan lalu
bergerak menyelinap ke balik jubah. Saat lain tangannya keluar lagi. Namun
bersamaan dengan keluarnya
tangan dari balik jubah hitam, terlihat pancaran sinar tiga warna. Merah, hitam,
dan putih. "Kembang Darah Setan!" desis Setan Liang Makam
mengenali cahaya tiga warna. Sepasang matanya
memperhatikan tak berkesip pada bagian ujung lengan
jubah. Berjarak satu jengkal di depan ujung sebelah lengan jubah hitam terlihat
sekuntum bunga menga-
pung di atas udara. Bunga itu memiliki tiga daun. Satu berwarna merah, satu
berwarna hitam, dan satunya
lagi berwarna putih. Pada kuncup bunga juga berwar-
na merah. Baik Joko maupun Setan Liang Makam sepertinya
melihat bunga mengapung di atas udara. Padahal se-
benarnya bunga itu yang bukan lain memang Kem-
bang Darah Setan, digenggam tangan Kiai Laras.
Hanya karena tangan Kiai Laras tidak kelihatan mata
biasa, maka Kembang Darah Setan seolah-olah men-
gapung di atas udara!
Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Setan
Liang Makam melesat dan menyambar Kembang Darah
Setan yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan
tahun silam. Namun dia cepat sadar. Kalau dia paksa-
kan diri merebut Kembang Darah Setan, maka dia
akan mendapat celaka. Hanya saja sekarang dia me-
nunggu kebenaran ucapan murid Pendeta Sinting yang
tadi mengatakan tahu kelemahan orang. Namun dia
tak berani bertindak ayal. Walau kini dia tidak ikut ter-libat, dia tetap
kerahkan tenaga dalam. Dan sepasang matanya terus mengawasi gerakan Kembang
Darah Setan. Setan Liang Makam seakan tengah menunggu ke-
sempatan yang baik untuk menyambar Kembang Da-
rah Setan. Sementara melihat Kembang Darah Setan sudah ke-
luar, Joko tidak berani lagi bertindak sembrono. Dia telah tahu bagaimana
kedahsyatan Kembang Darah
Setan. Maka begitu Kembang Darah Setan terlihat, Jo-
ko cepat siapkan pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Ma-
lah setelah berpikir sesaat, dia alirkan tenaga lipat ganda pada tangan kiri
siapkan pukulan 'Serat Biru'!
Saat itu juga tangan kanan Joko berubah warna men-
jadi kuning, sementara tangan kiri disemburati warna biru.
Kiai Laras perdengarkan suara tawa panjang. Na-
mun tiba-tiba suara tawanya diputus. Saat bersamaan
tangannya yang memegang Kembang Darah Setan di-
angkat. Joko tidak tinggal diam. Dia juga angkat tangan kiri kanan. Ketika
Kembang Darah Setan berkele-
bat, Joko sentakkan pula tangan kiri kanan sekaligus!
Wuuttt! Kembang Darah Setan berkelebat. Tiga sinar berkib-
lat. Merah, hitam, dan putih perdengarkan deruan luar biasa dahsyat.
Wuutt! Wuutt! Kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak. Dari
tangan kanan melesat sinar berwarna kekuningan dis-
ertai gelombang ganas. Saat bersamaan hawa panas
menghampar. Saat yang sama dari tangan kiri Joko
melesat serat-serat biru laksana benang.
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Blammm! Blammm!
Terdengar ledakan dahsyat laksana hendak mero-
bohkan julangan beberapa batu karang. Sinar tiga
warna yang berkiblat dari Kembang Darah Setan sem-
burat. Hebatnya semburatan sinar tiga warna masih terus
menebar ke arah Pendekar 131 Joko Sableng! Namun
sebelum tebaran sinar tiga warna sempat melabrak,
serat-serat biru sudah menghadang! Serat-serat biru
menebar panjang lalu meliuk-liuk dan laksana seekor
ular, serat-serat biru menghampar lalu melilit tebaran sinar tiga warna.
Buss! Busss! Tebaran sinar tiga warna yang terlilit serat-serat bi-ru langsung ambyar. Saat
yang sama, lilitan serat-
serat biru juga terputus-putus!
Pendekar 131 rasakan sosoknya seperti disentak-
sentak. Hingga ketika tubuhnya terpental ke belakang, terlihat tubuhnya beberapa
saat terhenti lalu terpental lagi, terhenti lagi dan akhirnya melayang ke
belakang sebelum jatuh terduduk dengan kedua tangan lunglai
dan mulut terbuka megap-megap! Sosoknya bergetar
keras, lalu tak lama kemudian murid Pendeta Sinting
cepat-cepat katupkan mulutnya ketika merasakan pe-
rutnya mual dan rasa darah telah keluar dari teng-
gorokannya. Jelas ini pertanda kalau bentroknya pu-
kulan tadi telah membuat murid Pendeta Sinting ter-
luka dalam. Sementara itu begitu terdengar ledakan, Jubah Tan-
pa Jasad tampak mencelat beberapa langkah ke bela-
kang. Saat berikutnya, ketika tebaran sinar tiga warna ambyar terkena lilitan
serat-serat biru, Jubah Tanpa Jasad melenting tersentak-sentak ke belakang.
Sebenarnya Kiai Laras tidak begitu merasakan aki-
bat dari bentroknya pukulan. Karena sosoknya dilapis dengan Jubah Tanpa Jasad.
Namun karena bagian kakinya tidak terlapis jubah, maka saat sosoknya tersentak
ke belakang, Kiai Laras tidak bisa bertahan. Hingga
tak lama kemudian kedua lututnya goyah dan mene-
kuk. Saat lain Jubah Tanpa Jasad bergerak menekuk
dan jatuh di atas tanah!
Karena sosoknya tidak kelihatan, murid Pendeta
Sinting dan Setan Liang Makam tidak bisa mengetahui
bagaimana paras wajah Kiai Laras. Namun hal itu ti-
dak begitu terpikirkan oleh Setan Liang Makam. Seba-
liknya dia tampak sangat kecewa. Karena dia berharap dengan terjadi bentrok,
Kembang Darah Setan bisa lepas dari genggaman tangan orang.
Di lain pihak, meski merasakan sosoknya terpelan-
ting, namun Kiai Laras tidak mau Kembang Darah Se-
tan di tangannya lepas. Hingga dia pegang erat-erat
Kembang Darah Setan. Apalagi dia menangkap gelagat
mencurigakan dari pandangan mata Setan Liang Ma-
kam. Kiai Laras cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu de-
ngan cepat bergerak bangkit. Joko memperhatikan se-
saat. "Busyet! Dia sepertinya tidak mengalami cedera sama sekali! Akan kucoba
dengan pukulan 'Sundrik
Cakra'!" Berpikir begitu, sembari bangkit berdiri, Joko pu-
satkan seluruh tenaga dalam pada tangan kanan. Lalu
tangan kanannya diangkat. Jari tengah, jari telunjuk serta jari manis dicuatkan
ke atas. Sementara ibu jari dan jari kelingking ditekuk saling bertemu. Inilah
tanda kalau Pendekar 131 telah siapkan pukulan 'Sundrik Cakra'.
Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam pada tan-
gan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Se-
tan. Saat berikutnya tangan kanannya bergerak.
Wuuttt! Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua ka-
linya sinar tiga warna berkiblatan. Karena Kiai Laras lipat gandakan tenaga
dalam saat gerakkan tangan,
maka kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas da-ri yang pertama!
Wuuttt! Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua ka-
linya sinar tiga warna berkiblat. Karena Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam
saat gerakkan tangan, maka
kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas dari yang pertama!
Pendekar 131 segera pula mendorong tangan ka-
nannya. Tiga larik sinar kuning sebesar jari melesat ke depan. Hebatnya, larikan
sinar itu makin lama makin
besar. Tidak terdengar gemuruh suara gelombang. Na-
mun begitu larikan sinar kuning bertemu sinar tiga
warna, terdengar gelegar maha dahsyat.
Bagian ujung julangan batu karang di tempat itu
tampak bergetar keras sebelum akhirnya terbongkar
dan mental semburat. Setan Liang Makam yang berada
di tempat itu terhuyung-huyung. Untung cucu Nyai
Suri Agung ini dapat segera sadar dan kuasai diri. Jika tidak, niscaya sosoknya
akan terbanting.
Sementara sosok murid Pendeta Sinting tampak
mencelat sampai tiga tombak sebelum akhirnya jatuh
terkapar dengan mulut semburkan darah. Di seberang
sana, sosok Jubah Tanpa Jasad terjajar sampai dua
tombak sebelum akhirnya juga terkapar. Terdengar
suara tersedak, disusul kemudian dengan muncratnya
darah dari bagian atas leher jubah. Tanda jika kini Kiai Laras juga mengalami
cedera dalam. Bahkan Kembang
Darah Setan di tangannya terpental lepas!
Setan Liang Makam yang sejak tadi menunggu ke-
sempatan segera melirik pada Jubah Tanpa Jasad.
Saat lain sosoknya berkelebat.
"Jahanam! Dugaanku tidak meleset!" desis Kiai La-
ras melihat gerakan Setan Liang Makam. Walau masih
belum bisa kuasai diri sepenuhnya, namun karena tak
mau kehilangan Kembang Darah Setan, dia segera sen-
takkan kedua tangannya seraya bergulingan mendeka-
ti tergeletaknya Kembang Darah Setan.
Setan Liang Makam rupanya sudah memperhitung-
kan tindakan. Begitu menangkap gerakan kedua le-
ngan Jubah Tanpa Jasad, dia segera jatuhkan diri ke
atas tanah seraya bergulingan pula. Saat lain kedua
tangannya mendorong ke depan menghadang pukulan
yang dilepas Kiai Laras.
Blaarr! Terdengar ledakan dahsyat. Gulingan sosok Setan
Liang Makam dan Kiai Laras sama-sama terhenti. Wa-
lau Setan Liang Makam merasakan aliran darahnya
laksana disentak-sentak, dia tidak peduli. Begitu sosoknya terhenti karena
bentroknya pukulan, dia segera pula sentakkan kedua tangannya kembali ke tanah.
Sosoknya kembali bergerak berguling-guling mendekati Kembang Darah Setan.
"Jangan biarkan setan itu menjamahnya!" Tiba-tiba
terdengar suara teguran. "Kerudung setanmu mungkin
bisa berbuat sesuatu! Karena tak mungkin kita ber-
buat lain!"
Bersamaan suara teguran yang tiba-tiba menyeruak
di tempat itu, tampak melesat benda hitam panjang
yang bergerak meliuk-liuk di atas udara ke arah tergeletaknya Kembang Darah
Setan. "Keparat! Ada orang lain lagi di tempat ini yang in-
ginkan Kembang Darah Setan!" gumam Kiai Laras.
"Jahanam! Siapa pula ini"!" desis Setan Liang Ma-
kam terkejut melihat berkelebatnya benda hitam pan-
jang yang ternyata adalah sebuah kerudung.
Mungkin karena sama-sama tak mau kedahuluan,
sementara mereka sudah sangat terlambat untuk men-
dekati Kembang Darah Setan, Kiai Laras dan Setan
Liang Makam hampir berbarengan sama lepaskan satu
pukulan ke arah kerudung hitam yang makin mende-
kati Kembang Darah Setan.
"Sialan! Bagaimana sekarang"! Mereka sama hen-
dak merusak kerudungku! Daripada kehilangan keru-
dung kesayangan, lebih baik tak mendapatkan Kem-
bang Darah Setan!" Terdengar suara teriakan orang.
Saat bersamaan kerudung hitam yang berkelebat me-
liuk mendekati Kembang Darah Setan laksana ditarik
kekuatan dahsyat. Kejap lain kerudung hitam berkele-
bat ke belakang lalu melayang lurus ke arah salah satu puncak julangan batu
karang! Karena dihindari kerudung hitam, tak ampun lagi
pukulan Setan Liang Makam dan Kiai Laras yang sa-
ma-sama mengarah pada kerudung hitam bertemu di
udara! Hingga saat itu juga terdengar lagi gelegar ledakan. Sosok Setan Liang
Makam dan Jubah Tanpa Ja-
sad sama bergulingan. Mereka tidak menyangka kalau
pukulannya akan bentrok di udara karena dihindari
kerudung hitam. Hingga kedua orang ini tidak siap
tatkala bentrok pukulan itu terjadi.
Kiai Laras segera bisa kuasai diri. Karena dirinya
masih dilapis Jubah Tanpa Jasad hingga meski tidak
siap dengan terjadinya bentrok pukulan, namun tidak
mengalami cedera yang berarti. Lain halnya dengan Setan Liang Makam. Walau dia
segera bisa bergerak
bangkit, namun tak urung masih terhuyung-huyung
bahkan hampir jatuh lagi.
Pendekar 131, Kiai Laras, dan Setan Liang Makam
segera gerakkan kepala berpaling ke arah sumber sua-
ra yang tadi tiba-tiba menyeruak.
Saat itulah dari salah satu julangan batu karang
melayang turun satu bayangan merah. Hampir bersa-
maan, dari julangan batu karang lainnya satu sosok
tubuh juga melesat turun. Tak lama kemudian dari ju-
langan batu karang lainnya lagi dua sosok tubuh ber-
kelebat dengan membuat beberapa kali putaran di atas udara sebelum akhirnya
keempat sosok ini tegak berjajar di atas tanah terbuka!
*** TUJUH PALING kanan adalah seorang nenek berambut pu-
tih lebat. Bagian belakang rambutnya dikelabang dua.
Sedang bagian depannya diponi. Wajahnya dibedaki
tebal. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kanan kirinya diberi pewarna merah
muda tipis-tipis. Nenek ini mengenakan pakaian atas berupa baju tanpa lengan
dan sangat cingkrang. Hingga ketiak dan pusarnya ke-
lihatan. Sementara pakaian bawahnya berupa celana
pendek di atas lutut. Baju dan celana pendeknya ber-
warna merah. Nenek ini bukan lain adalah Dayang Se-
puh. Di sebelah Dayang Sepuh, tegak pula seorang nenek
berpakaian agak gombrong. Paras wajahnya hanya ke-
lihatan sebagian karena bagian kiri kanannya tertutup oleh rambut dan kerudung
hitamnya yang diletakkan
di atas kepala melingkar ke leher terus menjulai sampai bagian depan perutnya.
Nenek berkerudung hitam
ini tidak bukan adalah Dewi Ayu Lambada.
Di sebelah Dewi Ayu Lambada, tegak seorang kakek
bermuka tirus panjang. Rambutnya putih dibiarkan
bergerai. Kakek ini tegak dengan kepala sedikit didongakkan dan kedua tangan
berkacak pinggang. Saat
mendongak bagian atas tubuhnya tampak sedikit me-
lengkung. Karena ternyata kakek ini tidak memiliki
leher! Sambil mendongak, kakek ini bukan mulutnya
le-bar-lebar seolah ingin memperlihatkan mulutnya
yang tidak ditumbuhi gigi! Kakek ompong ini tidak lain adalah dedengkot rimba
persilatan yang dikenal dengan gelar Iblis Ompong.
Di samping Iblis Ompong, tegak seorang kakek ber-
pakaian agak lusuh. Rambutnya putih tipis. Seraya tegak, kakek ini tadangkan
kedua tangan di belakang
kedua telinganya. Begitu tegak kakek ini memandang
beberapa saat ke arah tiga orang di sebelahnya. Dia
sepertinya ingin berkata. Namun yang keluar hanyalah suara Uuukk! Uuukkk!
Uuukkk! berulang kali. Ini satu tanda jika kakek ini adalah orang bisu. Dia
memang kakek bisu dan tuli yang dikenal dengan sebutan Dewa Uuk.
Melihat beberapa orang yang muncul, sesaat Kiai
Laras menggeram. Namun dia tidak begitu pedulikan
kemunculan orang. Justru pikirannya masih tertuju
pada Kembang Darah Setan yang masih tergeletak di
atas tanah. Setan Liang Makam pun rupanya tidak, acuh de-
ngan kehadiran orang. Malah dia hanya melirik. Saat
lain pandang matanya sudah tertuju pada Kembang
Darah Setan. Tiba-tiba Kiai Laras melesat ke depan. Masih di atas udara kedua tangannya
disentakkan ke arah Setan
Liang Makam. Setan Liang Makam tak punya pilihan
lain kecuali menghadang serangan lawan. Karena ka-
lau menghindar, berarti memberi kesempatan pada
orang untuk mendekati Kembang Darah Setan. Hingga
begitu melihat sosok jubah hitam berkelebat ke depan dan kedua lengannya
bergerak, cucu Nyai Suri Agung
ini cepat menyongsong ke depan dengan kedua tangan
membuat gerakan memukul. Rupanya Setan Liang Ma-
kam sudah nekat. Karena sekarang Kiai Laras sudah
tahu kalau dirinya berkhianat bahkan hendak merebut
kembali Kembang Darah Setan.
Blammm! Untuk kesekian kalinya kawasan Kampung Setan
dirancah suara ledakan. Saat lain sosok Setan Liang
Makam terpental dan jatuh terkapar. Di seberang, Kiai Laras perdengarkan tawa
panjang sebab sosoknya tidak bergeming sama sekali. Hingga sosoknya terus me-
lesat ke depan. Saat lain tangan kanannya menyambar
Kembang Darah Setan. Dan seolah tidak memberi ke-
sempatan pada orang, begitu Kembang Darah Setan
berada di tangannya langsung dikelebatkan ke arah
sosok Setan Liang Makam!
Wuuttt! Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih ber-
kiblat angker. Setan Liang Makam terkesiap. Sudah
sangat terlambat baginya jika berkelebat hindarkan di-ri. Maka dengan segenap
tenaga dalam yang dimiliki,
cucu Nyai Suri Agung ini angkat kedua tangannya lalu disentakkan menghadang
kiblatan sinar tiga warna
yang mencuat dari Kembang Darah Setan. Senjata sak-
ti yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan tahun
silam. Di sebelah samping, mungkin karena masih salur-
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan tenaga untuk mengatasi luka dalamnya, murid
Pendeta Sinting tidak berani menghadang pukulan
yang melabrak ke arah Setan Liang Makam. Dia tadi
juga tidak berani berbuat ayal ikut memperebutkan
Kembang Darah Setan yang sudah lepas dari gengga-
man tangan Kiai Laras dan tergeletak di atas tanah.
Karena dia maklum, jika sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad masih
mampu untuk menghadang
dan berbuat sesuatu. Sementara dirinya harus pulih-
kan dahulu keadaan tubuhnya yang terluka dalam
akibat bentrokan dengan Kiai Laras. Hingga dia hanya bisa memandang bagaimana
sinar tiga warna melesat
ganas ke arah Setan Liang Makam.
Sementara melihat berkiblatnya sinar tiga warna,
Dewi Ayu Lambada sudah hendak berkelebat dan ikut
menghadang kiblatan sinar tiga warna yang menjurus
ke arah Setan Liang Makam. Namun belum sampai
Dewi Ayu Lambada berbuat lebih jauh, Dayah Sepuh
yang tegak di samping segera palangkan tangan kanan
menghalangi gerakan Dewi Ayu Lambada seraya ber-
ucap. "Jangan berani bertindak seperti orang kesetanan!
Pukulan itu bukan sembarangan!"
Dewi Ayu Lambada urungkan niat menolong Setan
Liang Makam. Lalu berpaling pada Iblis Ompong seolah ingin minta pendapat
tentang ucapan Dayang Sepuh.
Iblis Ompong rupanya dapat menangkap maksud
orang. Tanpa menoleh pada Dewi Ayu Lambada, kakek
ompong ini berkata.
"Aku melihat sesuatu yang tidak biasanya pada di-
rimu, Nek! Tidak biasanya kau ringan tangan memban-
tu orang! Tapi kali ini begitu melihat tampang jerangkong itu kau jadi lain! Kau
sepertinya rela mati demi dia! Jangan-jangan kau telah kasmaran pada jerang-kong
hidup itu! Hik.... Hik.... Hik...!"
Habis berkata begitu, Iblis Ompong berpaling pada
Dewa Uuk yang juga adalah adik kandung Dewi Ayu
Lambada. Lalu lanjutkan ucapan.
"Bagaimana pendapatmu tentang saudaramu itu"!
Kau bangga punya ipar seperti dia"!" Iblis Ompong
arahkan telunjuk tangan kanan pada Setan Liang Ma-
kam yang tengah sentakkan kedua tangannya meng-
hadang kiblatan sinar tiga warna.
Dewa Uuk dekatkan telinganya pada Iblis Ompong.
Saat lain dia tarik pulang kepalanya. Entah karena tidak bisa mendengar ucapan
Iblis Ompong atau salah
artikan isyarat telunjuk Iblis Ompong, Dewa Uuk tiba-tiba tertawa panjang! Tapi
dia tidak memberi isyarat
jawaban atas ucapan iblis Ompong.
"Dasar budek! Ditanya pendapat malah tertawa nga-
kak!" maki Iblis Ompong. Lalu mendongak dengan mu-
lut dibuka lebar-lebar.
Dewi Ayu Lambada amat geram mendengar ucapan
Iblis Ompong. Dia sudah hendak gerakkan tangan kiri-
nya. Namun sebelum berbuat sesuatu, terdengar leda-
kan menggelegar.
Entah karena kaget, Iblis Ompong mental ke bela-
kang. Sosoknya terhuyung-huyung hendak jatuh. Tapi
begitu bagian atas tubuhnya sudah tertarik ke bela-
kang hendak terjengkang, kakek ini julurkan kedua tangannya ke bawah. Sosoknya
terhenti tertahan kedua
tangannya yang menekan tanah. Saat lain dia mem-
buat gerakan jungkir-balik lalu tegak membelakangi
orang-orang di depan!
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada sesaat tam-
pak juga terkejut mendengar suara gelegar ledakan a-
kibat bentroknya sinar tiga warna dan gelombang dah-
syat yang melesat dari kedua tangan Setan Liang Ma-
kam. Sosok kedua nenek ini terjajar ke belakang lalu tegak di samping Iblis
Ompong. Hanya Dewa Uuk yang
terlihat tenang-tenang saja. Malah sosoknya tidak bergeming sedikit pun meski
gelegar di tempat itu laksana hendak meruntuhkan julangan beberapa batu karang.
Namun begitu dia berpaling dan tidak lagi melihat
ketiga orang sahabatnya, dia perlihatkan tampang ke-
takutan. Lalu putar kepala ke belakang. Kejap lain dia cepat-cepat berkelebat ke
belakang dan tegak menjajari Iblis Ompong.
Di seberang depan sana, sosok Setan Liang Makam
sudah terkapar di atas tanah dengan pakaian sebagian hangus! Untuk beberapa
saat, sosoknya diam tak bergerak. Cucu Nyai Suri Agung dari kerabat Kampung
Setan ini merasakan sekujur tubuhnya panas laksana
dipanggang. Dadanya seolah hendak meledak. Namun
begitu, dia tidak juga semburkan darah dari mulutnya meski keadaannya sudah
sangat parah. Ini mungkin
karena susunan anggota tubuhnya hanya kerangka.
Sementara di lain pihak, Kiai Laras hanya merasa-
kan sentakan kecil pada dadanya. Kalaupun dia masih
merasakan dadanya berdenyut nyeri, itu akibat ben-
trok pukulan dengan Pendekar 131.
Kiai Laras putar tubuh menghadap murid Pendeta
Sinting. Tanpa banyak bicara lagi Kembang Darah Se-
tan diangkat. Murid Pendeta Sinting sesaat bimbang.
Lalu selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya.
Ketika ditarik di genggaman tangannya terlihat benda berwarna merah sebesar dua
kali ibu jari. "Bagaimana aku harus menggunakan benda merah
ini"! Langsung kuhantamkan begitu saja atau...." Joko berpikir dan sekali lagi
menyesali diri mengapa tidak bertanya dahulu pada Gendeng Panuntun bagaimana
cara menggunakan benda merah yang diambilnya dari
pusar bayinya Pitaloka itu.
Di pihak lain, melihat benda merah di tangan Joko,
Kiai Laras urungkan niat untuk kelebatkan Kembang
Darah Setan. Sepasang matanya memperhatikan sek-
sama benda merah itu. Entah karena apa tiba-tiba da-
da Kiai Laras mulai berdebar. Namun dia segera te-
nangkan diri seraya berucap dalam hati.
"Tubuhku masih dilapis Jubah Tanpa Jasad. Tan-
ganku masih menggenggam Kembang Darah Setan.
Apa yang perlu ditakutkan! Mereka boleh mengeroyok-
ku bersama-sama!"
Membatin begitu, Kembang Darah Setan segera di-
kelebatkan ke arah Joko!
Wuuttt! Sinar tiga warna berkiblat lagi dari tangan Kiai La-
ras yang tidak kelihatan.
Pendekar 131 bingung sesaat. Seraya melompat
mundur, dia kerahkan tenaga dalam pada tangan ka-
nannya yang menggenggam benda merah. Saat beri-
kutnya tangan kanan disentakkan.
Satu gelombang angin bergemuruh dahsyat ke de-
pan. Namun Joko jadi tersentak sendiri. Benda merah
di genggaman tangannya tidak membawa pengaruh
sama sekali pada pukulannya. Hingga yang keluar me-
lesat hanyalah gelombang angin biasa bertenaga da-
lam. Joko cepat hendak susuli pukulannya dengan pu-
kulan 'Sundrik Cakra' yang tadi sempat membuat so-
sok Jubah Tanpa Jasad terkapar dan semburkan da-
rah. Tapi keadaan Joko sudah sangat terlambat untuk
kerahkan tenaga dalam. Hingga belum sampai tenaga
dalam dikerahkan, di depan sana sinar tiga warna te-
lah memporak-porandakan gelombang pukulan Joko!
Saat bersamaan sosok Pendekar 131 sudah mencelat
dan terbanting di atas tanah. Saat itulah tebaran sinar tiga warna melesat ganas
ke arah Joko yang masih tergeletak di atas tanah!
Kiai Laras perdengarkan tawa bergelak panjang.
Apalagi saat melihat Pendekar 131 terkesiap dengan
datangnya tebaran sinar tiga warna dan tidak bisa berbuat apa-apa!
Dua jengkal lagi tebaran sinar tiga warna menghan-
tam hangus sosok murid Pendeta Sinting, mendadak
terdengar orang bersin-bersin beberapa kali. Saat yang sama beberapa gelombang
menghampar ke arah tebaran sinar tiga warna. Di lain kejap satu cahaya putih
berkiblat juga mengarah pada tebaran sinar tiga warna. Terdengar beberapa kali
letusan. Tebaran sinar tiga warna semburat membubung ke udara. Gelombang
yang datang melabrak serta cahaya putih yang berki-
blat juga porak-poranda!
Gelakan tawa Kiai Laras terputus. Sosoknya tersen-
tak-sentak ke belakang. Di salah satu julangan batu
karang terlihat dua sosok tubuh duduk bersila dengan tubuh masing-masing sama
bergetar keras dan mata
sama terpejam rapat.
Kiai Laras kembali rasakan dadanya makin berde-
nyut nyeri. Namun perasaan marah membuat dia tidak
pedulikan lagi sakit yang mendera dadanya. Dia segera berpaling ke arah salah
satu julangan batu karang. Dia tahu pasti dari mana gelombang dan cahaya putih
yang menghadang tebaran sinar tiga warna bersumber.
"Datuk Wahing! Gendeng Panuntun!" desis Kiai La-
ras mendapati siapa gerangan adanya dua sosok yang
duduk bersila di lamping salah satu julangan batu karang.
Rombongan Dayang Sepuh yang sesaat tadi sudah
akan lakukan hadangan juga segera menoleh.
"Untung setan-setan itu sigap dan melakukan tugas
dengan baik! Kalau tidak, mungkin pemuda setan itu
sudah pulang ke tanah asalnya!" Dayang Sepuh ber-
gumam. Setan Liang Makam yang tergeletak tak bergerak ju-
ga pentangkan mata dan melirik. Dia merasa sedikit
lega melihat kemunculan dua orang sudah dikenalnya.
Apalagi salah seorang yang duduk itu baru perdengar-
kan bersinan berkepanjangan dan laksana diperde-
ngarkan dari delapan penjuru mata angin. Dia tahu
benar ilmu apa yang baru saja dikerahkan orang. Ka-
rena ilmu itu satu-satunya ilmu langka yang dimiliki oleh mendiang neneknya dan
diwariskan pada seorang
muridnya yang bukan lain adalah Galaga atau seka-
rang dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelaran Datuk Wahing. Orang di
luar kerabat Kampung Setan
yang diambil murid oleh Nyai Suri Agung dan menjadi
saudara seperguruan Maladewa alias Setan Liang Ma-
kam. Dua kakek yang duduk bersila di samping julangan
batu karang membuka kelopak mata masing-masing.
Yang sebelah kiri bermata agak besar. Sementara yang sebelah kanan bermata putih
tanda orang ini buta.
Yang sebelah kiri tampak gerakkan kepalanya pulang
balik ke depan ke belakang saat sepasang matanya
terbuka. Mimik wajahnya membuat sikap seperti orang
hendak bersin. Sementara orang yang matanya ber-
warna putih dongakkan sedikit kepalanya lalu mengu-
sap cermin bulat pada bagian depan perutnya. Mereka
berdua bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng
Panuntun. Sementara itu, begitu dirinya selamat dari tebaran
sinar tiga warna, Pendekar 131 segera kerahkan tena-
ga dalam. Dadanya sudah tidak terkirakan lagi sakit-
nya karena dia tadi menghadang kiblatan sinar tiga
warna dengan andalkan pukulan biasa sebab menduga
benda merah di genggaman tangan kanannya akan
membawa pengaruh. Namun ternyata dugaan Joko
meleset. Hingga tak ampun lagi dia harus menerima
akibat agak fatal. Bahkan tatkala dia coba bergerak
bangkit, dari mulutnya kembali kucurkan darah! Na-
mun Joko tak mau menyerah begitu saja. Dia ber-
usaha kuasai diri dengan kerahkan tenaga murni pada
dadanya yang dirasa paling nyeri.
"Hem.... Untung mereka datang.... Anehnya, men-
gapa benda merah ini tidak membawa pengaruh sama
sekali"! Jangan-jangan semua keterangan orang sela-
ma ini hanya mainan saja! Tapi bagaimana bisa begi-
tu"! Bukankah adanya benda merah di pusar bayi Pi-
taloka itu sudah merupakan sesuatu yang langka"!
Hem.... Mungkin saja aku belum tahu bagaimana cara
menggunakannya! Mudah-mudahan salah satu dari
mereka yang ada di sini tahu bagaimana cara meng-
gunakannya! Jika tidak.... Alamat akan celaka!"
Berpikir begitu, setelah merasa dapat kuasai diri,
murid Pendeta Sinting angkat suara.
"Kek! Bagaimana cara menggunakannya"!"
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun tidak me-
nyahut meski mereka berdua tahu kalau pertanyaan
Joko ditujukan pada mereka. Sementara Dayang Se-
puh menoleh pada Dewi Ayu Lambada.
"Hem.... Rupanya setan itu kebingungan mengguna-
kan benda setan itu! Kau tahu bagaimana kira-kira
menggunakannya"!"
Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya se-
raya gelengkan kepala. "Kalau benda lain mungkin aku tahu!"
"Benda lain yang mana yang kau maksud"!" Iblis
Ompong menyahut. Lalu memandang pada Dewi Ayu
Lambada dari sela kedua kangkangan kakinya.
"Ya.... Pokoknya benda lain selain benda merah itu!
Kalau belum jelas maksudku, pokoknya benda-benda
yang membawa nikmatlah...!"
"Setan gila! Kalau benda-benda yang membawa
nikmat, tanpa bertanya pun aku sudah tahu bagaima-
na cara menggunakannya!" sambut Dayang Sepuh.
"Ah.... Aku tahu benda apa yang kalian maksud!
Apa kalian masih sering bermain-main dengan benda
nikmat itu"!"
Dewi Ayu Lambada menoleh pada Dayang Sepuh.
"Kau masih sering bermain-main dengan benda nikmat
itu"!"
"Kau tanya pada orang yang salah!" Iblis Ompong
buka suara. "Mana mungkin dia sering bermain-main
dengan benda nikmat itu kalau kawin saja belum per-
nah"!"
"Ah.... Kau juga salah ucap!" Dewi Ayu Lambada tak
mau kalah. "Apa kalau untuk bermain-main saja perlu
kawin dahulu"!"
"Gila! Kalian setan gila semua!" seru Dayang Sepuh.
Namun sesaat kemudian telah tertawa mengekeh.
*** DELAPAN
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BRUSSS! Bruss! Anak muda itu belum tahu bagai-
mana cara menggunakan benda merah di tangannya.
Seandainya aku tahu, aku tak akan membuat orang
merasa heran dengan ajukan tanya.... Kau tahu bagai-
mana menggunakannya"!" Datuk Wahing bergumam
seraya berpaling pada Gendeng Panuntun.
Sementara itu mendengar teriakan tanya murid
Pendeta Sinting, Kiai Laras sedikit terkejut. Sepasang matanya langsung
menghujam tajam pada tangan Jo-ko yang masih menggenggam benda merah yang diam-
bilnya dari pusar bayi Pitaloka. Dia bertanya-tanya dalam hati. Namun sejauh ini
dia masih percaya diri bah-wa Kembang Darah Setan tidak bisa dihadang oleh apa
pun. Apalagi sosoknya masih dilapis Jubah Tanpa Ja-
sad. Di lain pihak, Setan Liang Makam juga melirik pada
murid Pendeta Sinting. Cucu Nyai Suri Agung ini se-
ngaja tidak menggerakkan anggota tubuhnya. Malah
dia memandang dengan mata disipitkan. Dia coba
membuat semua orang menduga kalau dirinya sudah
tewas. Namun diam-diam dia berkata dalam hati.
"Benar ucapan pemuda itu! Tampaknya dia meng-
genggam sesuatu yang dikiranya dapat menghadang
kedahsyatan Kembang Darah Setan! Apa mungkin..."
Hem.... Aku harus pura-pura tewas! Lalu menunggu
kesempatan seraya mengembalikan keadaanku!" Setan
Liang Makam pejamkan matanya. Dia tidak membuat
gerakan atau perdengarkan suara. Tapi sesekali sepa-
sang matanya sedikit membuka memperhatikan gerak-
gerik Joko. "Datuk Wahing dan lain-lainnya tidak ada yang
menjawab! Berarti mereka tidak tahu bagaimana cara
menggunakan benda ini! Celaka.... Terpaksa aku harus menghadang serangannya
dengan 'Sundrik Cakra'! Ta-pi apakah aku masih mampu"! Luka dalam ini terasa
sangat mengganggu...." Murid Pendeta Sinting akhir-
nya memutuskan setelah ditunggu agak lama tidak ju-
ga ada yang buka mulut menjawab pertanyaannya.
Mendadak Gendeng Panuntun beranjak bangkit.
Kepalanya ditengadahkan dengan mata dipejamkan.
Tangan kanannya bergerak mengusap-usap cermin bu-
lat di depan perutnya. Saat lain orang tua bertubuh
tambun besar ini angkat suara.
"Manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke
tanah. Ke mana pun air mengalir, akhirnya akan ber-
satu juga ke laut! Kembalikan semua pada asalnya!"
Joko simak ucapan Gendeng Panuntun. Lalu ulangi
ucapan orang berulang-ulang. Murid Pendeta Sinting
tahu jika ucapan Gendeng Panuntun adalah satu pe-
tunjuk bagaimana cara menggunakan benda merah di
tangannya. Namun sejauh ini dia belum bisa meng-
artikan ucapan Gendeng Panuntun.
Sementara itu mendengar ucapan Gendeng Panun-
tun, Dayang Sepuh kembali menoleh pada Dewi Ayu
Lambada. Namun belum sampai Dayang Sepuh sem-
pat buka mulut, Dewi Ayu Lambada telah berpaling
pada Iblis Ompong dengan turunkan sedikit bagian
atas tubuhnya karena Iblis Ompong berdiri dalam po-
sisi menungging. Anehnya, sebelum Dewi Ayu Lamba-
da buka suara, kepala Iblis Ompong yang terlihat dari kangkangan kedua kakinya
telah bergerak ke arah
Dewa Uuk. Sementara Dewa Uuk berpaling dari pan-
dangan Iblis Ompong dengan tadangkan tangan di be-
lakang telinganya dan didekatkan pada paha Iblis Om-
pong seolah menunggu ucapan orang!
"Setan!" maki Dayang Sepuh. Tangan kanannya se-
gera menjulur lalu menarik bahu Dewi Ayu Lambada
hingga nenek berkerudung hitam itu menghadap ke
arahnya. "Kau telah dengar ucapan setan buta itu. Kau tahu maknanya"!" Dayang
Sepuh lepaskan cekalan
tangannya pada bahu Dewi Ayu Lambada. Lalu te-
ruskan ucapan. "Sekarang jangan bergurau lagi. Pe-
muda setan itu dalam keadaan bahaya!"
Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya ka-
rena tertarik tangan Dayang Sepuh. "Sebenarnya aku
tadi hendak berkata seperti yang baru saja kau Tanyakan pada setan ompong itu!
Jadi kau tahu bukan apa
jawabanku..."!"
"Aku juga begitu...." Iblis Ompong menyahut. "Se-
benarnya aku hendak bertanya pada Setan Uuk apa
makna ucapan sahabat buta itu tadi!"
Karena sudah maklum tidak ada yang tahu makna
ucapan Gendeng Panuntun, akhirnya Dayang Sepuh
berteriak pada Gendeng Panuntun.
"Setan buta! Kau bicara dengan bangsa manusia bi-
asa! Bukan bangsanya setan yang tahu makna uca-
panmu! Katakan saja terus terang bagaimana cara
menggunakannya!"
"Betul, Kek! Aku masih kesulitan menjabarkan uca-
panmu! Bicaralah tanpa harus dengan bahasa-bahasa
yang sulit begitu!" Joko berteriak di depan sana sambuti ucapan Dayang Sepuh.
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Aku bicara
apa adanya seperti yang tertera dalam pikiranku! Aku tak bisa menjabarkan lebih
jauh! Dan tentunya kalian bisa mengerti maknanya kalau benar-benar berpikir!
Kembalikan semua pada asalnya! Itulah yang pen-
ting.... Kembalikan semua pada asalnya!" Gendeng Pa-
nuntun ulangi ucapan dua kali.
"Kembalikan semua pada asalnya!" Murid Pendeta
Sinting ikut-ikutan ulangi ucapan Gendeng Panuntun
seraya menimang-nimang benda merah di tangan ka-
nannya. "Apa maksudnya aku harus mengembalikan
benda ini pada asalnya"! Bagaimana mungkin" Bayi
Pitaloka tentu sudah dikuburkan.... Lalu bagaimana
aku harus mengembalikannya..."! Aneh. Apa dia tidak
salah ucap"!" Pendekar 131 bergumam.
Mendapati apa yang terjadi, Kiai Laras sunggingkan
senyum. Kejap kemudian dia mendongak lalu berkata
lantang. "Apa kalian kira dengan benda busuk itu kalian bi-
sa menghadang rencanaku"!" Kiai Laras perdengarkan
tawa bergelak. Lalu angkat tangan kanannya yang
memegang Kembang Darah Setan.
Pendekar 131 tercekat. Nyawanya seolah sudah me-
layang. Sementara rombongan Dayang Sepuh saling
pandang satu sama lain. Dan entah karena ikut ter-
sentak dengan apa yang akan dilakukan Kiai Laras, Iblis Ompong tarik tubuhnya
lurus ke atas lalu berbalik menghadap ke arah murid Pendeta Sinting dengan mulut
menganga lebar-lebar.
"Celaka! Kita tampaknya akan kehilangan seorang
sahabat!" Akhirnya Iblis Ompong buka suara juga de-
ngan mimik ketakutan.
"Kita hadang ramai-ramai!" usul Dayang Sepuh
sembari rapikan geraian poni rambutnya. Lalu takup-
kan kedua tangan di depan wajah.
"Tidak bisa! Tindakan itu hanya akan membuat kita
ramai-ramai menuju liang kubur! Aku tak mau bersa-
ma-sama dengan kalian ramai-ramai masuk liang ku-
bur! Di sana nanti pasti kalian akan bertindak mema-
lukan!" Iblis Ompong menjawab ucapan Dayang Se-
puh. "Kau kira aku juga mau masuk liang kubur bersa-
ma setan sepertimu"! Perlu kau tahu, sekarang ini
adalah saat terakhir kita bersama-sama! Setelah itu aku tak peduli ke mana kau
akan pergi!" Dayang Sepuh sambuti kata-kata Iblis Ompong.
"Kurasa benar ucapan Manusia Ompong ini.... Aku
memang belum pernah bentrok dengan manusia tak
berwujud itu. Tapi melihat apa yang tadi terjadi, kita akan sia-sia paksakan
diri menghadang ramai-ramai!"
Dewi Ayu Lambada membenarkan ucapan Iblis Om-
pong. Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik
angker. "Lalu apakah kita harus diam melihat setan
muda itu mampus terbunuh"!"
"Itu mungkin jalan nasibnya.... Kita pun pasti akan
mengalaminya. Cuma kita belum tahu kapan dating-
nya!" Dewi Ayu Lambada berkata dengan suara pelan.
"Kalian ternyata setan-setan pengecut!" desis
Petualang Asmara 8 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Karya Gu Long Pendekar Kidal 6
Berpikir begitu, akhirnya Saraswati balikkan tubuh.
Namun sebelum dia benar-benar berkelebat, dia masih
sempat buka mulut.
"Urusan di antara kita jangan dianggap selesai! Kita akan lanjutkan bila ada
kesempatan!"
"Ucapanmu menunjukkan kau hanya berani me-
nantangku kalau ada pemuda itu! Kalau memang kau
bukan pengecut, untuk apa harus menunggu ada ke-
sempatan"! Sekaranglah kesempatan itu!"
"Pitaloka! Jangan memperpanjang urusan...!" kata
Putri Kayangan.
"Urusan akan jadi panjang kalau tidak diselesaikan
sekarang! Bukan tak mungkin mulutnya akan berkoar
ke mana-mana!"
Sebenarnya dada Saraswati sudah bergemuruh. Ta-
pi karena dia khawatir kehilangan jejak murid Pendeta Sinting, dia menindih
perasaan. Lalu berkelebat tinggalkan tempat Ku seraya berkata lantang.
"Aku masih bisa menjaga mulut dan seluruh anggo-
ta tubuh lainnya! Pada pertemuan kelak, kuharap kau
tidak kurang suatu apa! Lebih-lebih kau bisa menjaga agar tidak hamil lagi!"
"Jahanam keparat!" teriak Pitaloka. Kedua tangan-
nya disentakkan seraya berkelebat. Satu gelombang
ganas berkiblat ke arah Saraswati. Tapi Saraswati sudah berkelebat jauh.
Gelombang pukulan itu hanya
menghantam udara kosong!
"Kita ikuti Pendekar 131!" seru Pitaloka seraya te-
ruskan berkelebat. Putri Kayangan sebenarnya hendak
berkata, Namun karena Pitaloka sudah berada di de-
pan sana, terpaksa dia urungkan niat lalu berkelebat menyusul.
Dari balik sebuah batangan pohon besar, dua orang
laki-laki tampak duduk bersila. Sebelah kanan adalah orang tua bertubuh besar
tambun mengenakan pakaian warna hijau gombrong. Sepasang matanya ber-
warna putih. Di sebelah orang tua ini adalah seorang kakek yang kepalanya terus
bergerak pulang balik ke
depan ke belakang dengan wajah membuat mimik se-
perti orang hendak bersin. Mereka berdua bukan lain
adalah Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
"Brusss! Bagaimana sekarang" Aku tak heran....
Mereka berempat tadi pasti mengikuti jejak murid Pendeta Sinting.... Kalau hal
ini dibiarkan, tentu perjalanan pemuda itu tidak akan mulus!" kata Datuk Wah-
ing. "Inilah susahnya kalau urusan sudah melibatkan
perempuan! Urusan sepele bisa jadi panjang lebar tak karuan! Apa boleh buat,
sementara ini kita punya tugas. Kita harus tetap mengawasi gadis-gadis itu. Kita
cegah agar tidak terjadi bentrok sampai urusan pemuda itu beres!" sahut Gendeng
Panuntun. Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang tua ini ber-
anjak bangkit. Saat lain mereka sama membuat satu
gerakan. Sosok masing-masing orang berkelebat dan
tahu-tahu sudah berada di depan sana. Malah sosok
mereka tampak mendahului kelebatan Putri Kayangan
dan Pitaloka. Saat lain telah melewati kelebatan Saraswati!
*** LIMA PENDEKAR 131 Joko Sableng hentikan larinya kala
memasuki sebuah kawasan tanah terbuka yang di se-
kelilingnya dijajari beberapa julangan batu karang
tinggi seakan memagari tanah terbuka tadi. Tepat di
tengah tanah terbuka tampak altar batu agak besar
berbentuk datar. Di sebelah altar batu terlihat bongkaran lobang menganga.
Murid Pendeta Sinting putar kepala memandang
berkeliling. "Hem.... Tempat ini belum berubah...," gu-mamnya seraya
memperhatikan julangan batu karang
sebelah kiri altar yang tampak terbongkar. "Apa dugaanku tidak salah..." Tapi
mengapa belum juga terlihat
ada tanda-tanda munculnya seseorang"!"
Joko berpaling ke belakang dari mana dia tadi da-
tang. Dia menghela napas dalam seraya gelengkan ke-
pala. "Mudah-mudahan gadis-gadis itu tidak mengiku-
tiku.... Kehadiran mereka hanya akan memperkeruh
keadaan!" Tanpa diketahui murid Pendeta Sinting, dari celah
salah satu julangan batu karang, dua sosok tubuh
tampak tegak memperhatikan. Yang sebelah kanan
adalah sosok mengerikan. Seorang laki-laki yang usianya tidak bisa ditentukan.
Paras wajahnya juga tidak bisa dikenali. Karena susunan anggota tubuh orang ini
hanya terdiri dari susunan kerangka tanpa dilapisi
daging sama sekali!
Di sebelah laki-laki yang anggota tubuhnya hanya
merupakan susunan kerangka dan tidak lain adalah
Setan Liang Makam, tegak satu sosok yang tidak bisa
dilihat bagaimana wujudnya. Yang terlihat tegak ha-
nyalah jubah hitam besar. Jubah hitam itu menga-
pung di atas udara. Jubah itu bukan lain adalah Ju-
bah Tan-pa Jasad, salah satu benda mustika pening-
galan kerabat Kampung Setan. Sosok tidak terlihat di balik Jubah Tanpa Jasad
bukan lain adalah Kiai Laras.
"Hem.... Rupanya tanpa diundang pun manusia itu
akan dating! Ini satu petunjuk jika tidak lama lagi akan datang yang lainnya!
Dengan begitu, kejayaan
Kampung Setan akan kita tegakkan tanpa harus k-
keluar dari Kampung Setan! Aku tak akan membiar-
kan satu pun dari kalangan orang persilatan bisa ke-
luar dari Kampung Setan dalam keadaan hidup! Aku
akan jadikan Kampung Setan sebagai tempat angker
yang tidak mudah diinjak telapak manusia yang tidak
ku-inginkan! Aku akan kendalikan rimba persilatan
dari Kampung Setan! Sekarang kau tahu apa yang ha-
rus kau lakukan pada manusia tak diundang itu! Un-
tuk yang satu itu kalau bisa bikin tak berkutik tanpa memutus selembar nyawanya!
Karena dia nanti bisa
kita buat sebagai umpan untuk memancing datangnya
orang lain!" Terdengar suara dari sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa
Jasad yang bukan lain adalah
suara Kiai Laras.
Setan Liang Makam hanya anggukkan kepala tanpa
perdengarkan suara sahutan. Namun diam-diam da-
lam hati dia membatin. "Tak akan kusisakan nyawa
pemuda jahanam itu! Inilah saatnya aku membalas
urusan tempo hari! Hem.... Sayang. Kembang Darah
Setan berada di tangan jahanam tidak kelihatan ini!
Kalau tidak, sudah kulumat habis pemuda jahanam
itu beberapa waktu yang lalu!"
"Setan Liang Makam! Lekas hadang manusia itu se-
belum masuk ke Istana Sekar Jagat!" gumam Kiai La-
ras pelan namun nadanya keras memerintah.
Dengan memaki dalam hati, Setan Liang Makam
berpaling sejenak pada Jubah Tanpa Jasad. Saat lain
sosoknya berkelebat keluar.
Sementara di depan sana, Joko serentak hentikan
langkah kala ekor matanya menangkap satu bayangan
berkelebat keluar dari salah satu julangan batu ka-
rang. "Setan Liang Makam!" desis Pendekar 131 begitu
melihat siapa manusia yang tegak sepuluh langkah di
seberang depan. "Ternyata dugaanku tidak keliru. Ka-
lau dia berada di ini, pasti orang pemakai Jubah Tanpa Jasad di sini juga!"
"Setan Liang Makam!" kata Joko. "Sebenarnya di
antara kita tidak ada urusan berarti. Aku datang un-
tuk bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah
Tanpa Jasad! Bisa tunjukkan padaku di mana dia be-
rada"!"
Setan Liang Makam tidak menyahut. Hanya sepa-
sang matanya perhatikan orang dengan pandangan
berkilat marah. Murid Pendeta Sinting tersenyum dan
maklum akan sikap orang karena dia dan Setan Liang
Makam memang beberapa kali bertemu dan sempat
bentrok. "Setan Liang Makam!" kata Joko dengan suara sedi-
kit dikeraskan meski dia tahu kalau Setan Liang Ma-
kam tadi sudah dengar ucapannya. "Aku datang untuk
bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah Tanpa
Jasad! Harap tunjukkan di mana dia berada!"
Setan Liang Makam masih juga kancingkan mulut.
Namun tak lama kemudian dia sudah perdengarkan
suara. "Kau bisa menemuinya di liang neraka!"
"Ah.... Terima kasih atas keteranganmu! Sekarang
mau tunjukkan padaku di mana tempat yang baru sa-
ja kau katakan"!"
"Akan kuturuti permintaanmu!" sentak Setan Liang
Makam. Saat bersamaan kedua tangannya diangkat la-
lu didorong. Dua gelombang angin dahsyat mengham-
par. Karena sudah waspada, begitu kedua tangan Setan
Liang Makam terangkat, murid Pendeta Sinting berke-
lebat ke samping selamatkan diri. Gelombang hampa-
ran angin lewat setengah depa di samping sosok Pen-
dekar 131 dan terus lurus ke belakang menghantam
salah satu julangan batu karang.
Brakkk! Sebelah sisi kanan julangan batu karang yang tadi
berada di belakang Pendekar 131 langsung muncrat
semburkan pecahan kepingan batu. Saat muncratan
luruh, tampak sebelah sisi julangan batu karang ge-
rompal besar! "Sobatku, Setan Liang Makam! Aku tanya baik-baik.
Mengapa kau menyerangku"!"
"Sebelum kutunjukkan tempat di mana orang yang
kau cari, kita selesaikan dahulu urusan lama kita!"
"Urusan lama" Urusan lama yang mana"!"
"Akan kuingatkan otakmu dengan caraku!" hardik
Setan Liang Makam. Kedua tangannya kembali diang-
kat. "Tunggu! Tahan dulu.... Aku ingat sekarang. Yang
kau maksud tentu pertemuan kita beberapa waktu
yang lalu. Kukira kejadian itu hanyalah salah paham semata! Dan seharusnya kau
yang minta maaf padaku.
Karena kau selama ini menuduhku sebagai orang yang
mengambil Kembang Darah Setan! Sekarang kau sen-
diri telah lihat buktinya! Aku bukanlah orang yang kau tuduh! Tapi....
Sudahlah.... Lupakan semua itu! Sekarang kita berteman! Dan aku sekarang butuh
bantuan- mu!" "Aku hanya bisa membantu untuk tunjukkan jalan-
mu ke neraka!"
"Sobat! Untuk jalan itu aku sudah tahu karena aku
pernah ke sana! Aku minta bantuan lain! Bagaimana"
Atau kau minta imbalan"! Katakan saja apa imbalan
yang kau inginkan"! Harta..."! Tubuh molek..."!
Atau...." Joko tidak segera lanjutkan ucapan sebaliknya me-
lompat mendekat lalu lanjutkan ucapan dengan suara
direndahkan. "Atau kau inginkan Kembang Darah Se-
tan dan Jubah Tanpa Jasad kembali ke tanganmu"!"
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Setan Li-
ang Makam picingkan sedikit sepasang matanya. Tu-
lang dahinya bergerak tanda dia berpikir. Sikapnya terlihat ragu-ragu.
Pendekar 131 tersenyum. "Sobat.... Aku tahu. Kau-
lah sebenarnya yang berhak atas Kembang Darah Se-
tan serta Jubah Tanpa Jasad. Sebab kedua barang
mustika itu adalah peninggalan leluhurmu! Aku berse-
dia membantumu mendapatkan benda itu...."
"Bantuan apa yang bisa kau lakukan untukku"!"
tanya Setan Liang Makam terpancing. Namun sebelum
buka mulut bertanya, cucu Nyai Suri Agung ini sempat berpaling sesaat ke tempat
Kiai Laras. Dan begitu dia yakin sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa
Jasad tidak ada di tempatnya tadi berada, dia baru berani buka mulut. Di lain
pihak, sikap Setan Liang Makam telah membuat murid Pendeta Sinting tahu di
mana adanya orang yang dicari! Dia segera pula meli-
rik. Tapi keningnya berkerut.
"Dari pandangannya, jelas di balik julangan ke ma-
na matanya memandang ada orang lain bersembunyi.
Aku belum tahu siapa adanya orang itu! Terakhir kali berpisah, dia bergabung
dengan sosok pemakai Jubah
Tanpa Jasad, Pitaloka, dan orang tua yang wajahnya
mirip dengan Kiai Laras.... Hem.... Pitaloka jelas sudah tak mungkin orangnya.
Jadi sekarang yang mungkin
tinggal orang tua yang parasnya mirip dengan Kiai Laras dan mungkin sosok
pemakai Jubah Tanpa Jasad
itu sendiri! Tapi.... Aku sekarang tidak melihat tanda-tanda orang di balik itu!
Hem.... Mungkin Setan Liang Makam baru berani bertanya setelah yakin pula bahwa
orang di balik batu sudah tidak ada.... Hem.... Sebaliknya aku terus
memancingnya!" kata Joko dalam ha-
ti. "Kau jangan berani main-main denganku! Katakan
bantuan apa yang akan kau lakukan untukku!" kata
Setan Liang Makam mengulangi ucapannya karena un-
tuk beberapa lama Joko tidak menyambut.
"Bukankah kau inginkan kedua benda itu kembali
ke tanganmu lagi"!"
"Jahanam! Aku tanya bantuan apa yang bisa kau
lakukan untukku"!" hardik Setan Liang Makam mulai
kesal. "Tentu saja untuk mengembalikan kedua benda itu
padamu!" "Keparat! Yang kutanyakan untuk mendapatkan
kedua benda itu, apa yang akan kau lakukan"!"
Joko anggukkan kepala. "Setinggi apa pun ilmu se-
orang manusia, pasti ada kelemahannya! Dan aku ta-
hu apa kelemahan orang pemakai Jubah Tanpa Jasad
itu!" "Katakan padaku apa kelemahannya!" sahut Setan
Liang Makam. "Sobat.... Bukan hanya manusia yang punya telinga!
Tanah, julangan batu karang, langit, mendung, dan
batangan pohon bisa mendengar. Sementara aku tak
ingin telinga lain mendengarkan. Karena itu tidak
baik.... Sebab ini menyangkut kelemahan orang!"
Setan Liang Makam katupkan tulang mulut. Tulang
keningnya bergerak-gerak. Saat lain dia perdengarkan suara setelah edarkan
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pandangan berkeliling.
"Lalu apa maumu"!"
"Bawa saja aku ke tempat orang yang mengenakan
Jubah Tanpa Jasad itu!"
"Hem.... Kau kira aku bisa kau bodohi, he"!"
"Tunggu! Jangan salah sangka! Aku tidak punya
maksud macam-macam padamu!"
"Kau menginginkan kedua benda itu juga, bukan"!"
Pendekar 131 tertawa seraya gelengkan kepala.
"Aku tahu orang itu berada di sekitar tempat ini!
Kalau aku mau.... Tidak sulit aku menemukannya! La-
gi pula aku telah tahu kelemahannya.... Jadi kalau
aku menginginkan kedua benda itu mudah saja!"
"Lalu mengapa tidak kau lakukan"!"
"Aku masih menghargaimu sebagai pemilik sah
benda keramat itu! Lagi pula ini adalah tempatmu!"
"Benarkah ucapannya"! Tapi kalau benar, mengapa
saat bentrok beberapa waktu lalu dia tidak bisa me-
naklukkan jahanam pemakai Jubah Tanpa Jasad itu"!
Padahal saat itu dia dibantu beberapa temannya"! Ja-
ngan-jangan dia hanya mengelabuiku!" Setan Liang
Makam membatin ingat akan pertemuan murid Pen-
deta Sinting yang saat itu bersama Datuk Wahing,
Gendeng Panuntun bentrok dengan pemakai Jubah
Tanpa Jasad. Mengingat akan hal itu, Setan Liang Makam segera
angkat suara. "Kalau benar kau tahu kelemahannya, bagaimana
mungkin kau tak dapat mengalahkannya saat bentrok
beberapa waktu lalu"! Padahal saat itu kau tidak sendirian!"
"Terus terang.... Saat itu aku memang belum tahu
kelemahannya! Tapi sekarang aku tahu bagaimana
menaklukkannya! Tunjukkan saja di mana dia! Atau
suruh keluar!"
Belum sampai suara murid Pendeta Sinting selesai,
dari salah satu puncak julangan batu karang tiba-tiba satu benda hitam
berkelebat turun. Belum sampai
benda hitam yang ternyata adalah sebuah jubah hi-
tam, berada di atas tanah, satu suara terdengar.
"Setan Liang Makam! Lakukan apa yang kuperin-
tah! Atau kau sendiri yang akan kulumat!"
Wusss! Bersamaan dengan terdengarnya suara, satu gelom-
bang ganas berkiblat ke arah Setan Liang Makam. Se-
tan Liang Makam terkesiap. Sesaat dia berpikir. Menghadang gelombang yang datang
atau menghindar se-
lamatkan diri. Akhirnya Setan Liang Makam memu-
tuskan berkelebat menghindar karena sebenarnya dia
belum percaya benar dengan ucapan murid Pendeta
Sinting. Sementara kalau dia menghadang gelombang
yang datang, mungkin dia akan mengalami hal lebih
naas. Bukan tak mungkin sosok di balik Jubah Tanpa
Jasad akan marah besar.
Bummmm! Tanah di sekitar terbuka dan bergetar keras. Saat
yang sama tanah itu semburat terhantam gelombang.
Jubah Tanpa Jasad tegak sepuluh langkah di sam-
ping tempat tegaknya Setan Liang Makam. Bagian le-
ngan dan bahu Jubah Tanpa Jasad bergerak ke sam-
ping, ke arah Setan Liang Makam.
"Aku tak mau dikhianati! Dan kau dengar ucapan-
ku! Lakukan atau kau yang akan kukirim menyusul
nenekmu!" "Jahanam! Jadi dia telah membunuh Nyai Suri A-
gung!" maki Setan Liang Makam dalam hati. Dada cu-
cu Nyai Suri Agung ini sudah dibungkus luapan hawa
amarah luar biasa. Namun karena kini dia sadar siapa orang yang dihadapi,
bagaimanapun besar luapan ke-marahannya, dia coba menahan. Lalu berkelebat ke
depan dan tegak di hadapan Pendekar 131!
Sementara melihat munculnya sosok tak kelihatan
yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad, murid Pendeta
Sinting selinapkan tangan kanannya ke balik pakaian.
"Busyet! Aku lupa lagi.... Seharusnya aku bertanya
pada Kakek Gendeng Panuntun atau Kakek Datuk Wa-
hing bagaimana caranya menggunakan benda ini!"
gumam Joko dalam hati menyesal. "Ini gara-gara ribut urusan dengan beberapa
gadis itu! Membuat aku sampai lupa menanyakan! Padahal aku tahu, kedua orang
yang muncul saat itu adalah Kakek Gendeng Panun-
tun dan Datuk Wahing! Bagaimana sekarang..." Hem...
Akan kucoba dengan kemampuanku sendiri dahulu.
Jika tak berhasil, entah bagaimana caranya nanti!"
Memutuskan demikian, akhirnya Joko urung me-
ngeluarkan benda merah yang diambilnya dari pusar
bayi Pitaloka. Lalu tarik pulang tangannya keluar. Setan Liang Makam dan sosok
tidak kelihatan di balik
Jubah Tanpa Jasad yang bukan lain adalah Kiai Laras
sesaat memperhatikan gerakan tangan Joko yang ke-
luar dari balik pakaiannya.
"Apa lagi yang kau tunggu, Setan Liang Makam"!"
Kiai Laras membentak.
Setan Liang Makam menggeram. Selain marah akan
perintah Kiai Laras, juga marah melihat sikap murid Pendeta Sinting. Pada
mulanya Setan Liang Makam
menduga orang hendak mengeluarkan sesuatu. Na-
mun ternyata tangan Joko keluar tanpa menggenggam
sesuatu! Setan Liang Makam merasa sudah ditipu.
"Penipu busuk!" hardik Setan Liang Makam. Saat
bersamaan dia melesat ke depan. Kedua tangannya di-
kelebatkan ke arah kepala murid Pendeta Sinting!
"Tahan!" teriak Joko dengan angkat kedua tangan-
nya di atas kepala.
Setan Liang Makam tak pedulikan lagi teriakan o-
rang. Kedua tangannya terus dikelebatkan. Joko men-
dorong kedua tangannya ke atas menyongsong.
Bukkk! Bukkk! Sosok Setan Liang Makam mental dan tegak tiga
langkah dari tempat terjadinya benturan pukulan. Di
depannya, Joko tersurut satu langkah dengan kibas-
kibaskan kedua tangannya yang baru saja berbentu-
ran dengan kedua tangan Setan Liang Makam.
"Sobat!" kata Joko dengan senyam-senyum meski
merasakan kedua tangannya kesemutan. "Kalau kau
benar-benar ingin lanjutkan urusan lama, tetap akan
kulayani. Tapi biar aku bicara dahulu dengan sobat
yang baru muncul itu!" Tangan kanan Joko menunjuk
pada Jubah Tanpa Jasad yang mengapung di atas
udara. Tanpa menunggu sambutan Setan Liang Makam,
murid Pendeta Sinting berkelebat melewati sisi Setan Liang Makam lalu tegak
berhadapan dengan Jubah
Tanpa Jasad! *** ENAM BARU saja Pendekar 131 buka mulut dan suaranya
belum terdengar, kedua lengan Jubah Tanpa Jasad su-
dah berkelebat!
Weerr! Weeerr! Dua gemuruh angin berkiblat angker melesat dari
kedua lengan jubah.
Karena tidak menduga, murid Pendeta Sinting sem-
pat kelabakan. Namun seraya berkelebat menghindar,
kedua tangan Joko lakukan satu pukulan ke depan.
Bummm! Bummm! Kawasan Kampung Setan sesaat dilanda gelegar.
Karena tempat di mana terjadi bentrok pukulan dikeli-lingi beberapa julangan
batu karang, suara beradunya pukulan menggema seakan hendak meruntuhkan julangan
batu karang! Tampaknya Kiai Laras tidak mau memberi kesem-
patan. Begitu Joko dapat hindarkan diri dan mengha-
dang gelombang dari kedua lengan Jubah Tanpa Ja-
sad, Kiai Laras cepat melesat mengejar. Kembali kedua lengan jubah hitam
bergerak. Malah kali ini bagian
bawah jubah juga sedikit terangkat ke atas.
Meski Joko tidak melihat sosok orang di balik ju-
bah, namun dari gerakan jubah yang melayang di atas
udara, dia dapat menduga gerakan apa yang dibuat
orang. Maka seraya melenting satu tombak ke udara,
kedua tangannya dipukulkan ke depan menghadang
gerakan kedua lengan jubah. Saat bersamaan kaki ka-
nan kirinya juga membuat gerakan menendang, meng-
hadang gerakan jubah bagian bawah!
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras tiga berturut-turut. Murid
Pendeta Sinting rasakan kedua tangannya menghan-
tam benda keras luar biasa. Dia sama sekali tidak merasakan bersentuhan dengan
kain jubah! Kalau murid Pendeta Sinting tidak merasakan ber-
singgungan dengan kain jubah, tidak demikian halnya
dengan kedua kakinya. Dia masih merasakan bentu-
ran dengan anggota tubuh orang.
Sosok Pendekar 131 terjajar satu setengah tombak
di atas udara. Lalu meluncur turun dan tegak di atas tanah setelah membuat
gerakan jungkir-balik satu
kali. Joko cepat salurkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Karena dirasakan aliran darah pada kedua
tangannya laksana tersumbat. Dadanya sesak. Semen-
tara di seberang sana, sosok jubah hitam tampak me-
lintir bagian bawahnya. Namun sesaat kemudian telah
tegak mengapung di atas tanah.
"Hem.... Berarti anggota tubuhnya yang tidak terla-
pisi jubah hitam itu bisa digebuk! Jadi aku harus menyerang bagian kaki dan
wajahnya!" kata Joko dalam
hati. Kalau Joko membatin begitu, Kiai Laras diam-diam
juga berkata dalam hati. "Aku masih bisa bersinggun-
gan dengan kakinya. Berarti jubah ini hanya dapat melapis bagian tubuhku yang
tertutup jubah! Aku harus
berhati-hati.... Dan aku sekarang tak akan memukul-
nya dari jarak dekat kecuali dengan kedua tanganku!
Lagi pula bukankah aku membekal Kembang Darah
Setan"! Hem.... Sebenarnya aku menginginkan anak
manusia itu hidup sementara waktu. Tapi kurasa ia
terlalu berbahaya kalau dibiarkan hidup! Dia mati atau hidup pasti jahanam
gurunya akan mencarinya kemari! Saat itulah yang kutunggu-tunggu!"
"Hai! Aku datang bukan cari keributan! Aku hanya
ingin...."
"Persetan dengan maksudmu! Yang jelas siapa pun
yang datang ke tempat ini berarti akan pulang nama-
nya saja! Apalagi kau! Sebelum ini kita sudah membu-
ka urusan. Dan hari ini urusan itu akan selesai!"
Kiai Laras tidak menunggu Joko buka mulut me-
nyahut. Saat itu juga kedua tangannya diangkat. Na-
mun tiba-tiba salah satu tangannya diturunkan lalu
bergerak menyelinap ke balik jubah. Saat lain tangannya keluar lagi. Namun
bersamaan dengan keluarnya
tangan dari balik jubah hitam, terlihat pancaran sinar tiga warna. Merah, hitam,
dan putih. "Kembang Darah Setan!" desis Setan Liang Makam
mengenali cahaya tiga warna. Sepasang matanya
memperhatikan tak berkesip pada bagian ujung lengan
jubah. Berjarak satu jengkal di depan ujung sebelah lengan jubah hitam terlihat
sekuntum bunga menga-
pung di atas udara. Bunga itu memiliki tiga daun. Satu berwarna merah, satu
berwarna hitam, dan satunya
lagi berwarna putih. Pada kuncup bunga juga berwar-
na merah. Baik Joko maupun Setan Liang Makam sepertinya
melihat bunga mengapung di atas udara. Padahal se-
benarnya bunga itu yang bukan lain memang Kem-
bang Darah Setan, digenggam tangan Kiai Laras.
Hanya karena tangan Kiai Laras tidak kelihatan mata
biasa, maka Kembang Darah Setan seolah-olah men-
gapung di atas udara!
Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Setan
Liang Makam melesat dan menyambar Kembang Darah
Setan yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan
tahun silam. Namun dia cepat sadar. Kalau dia paksa-
kan diri merebut Kembang Darah Setan, maka dia
akan mendapat celaka. Hanya saja sekarang dia me-
nunggu kebenaran ucapan murid Pendeta Sinting yang
tadi mengatakan tahu kelemahan orang. Namun dia
tak berani bertindak ayal. Walau kini dia tidak ikut ter-libat, dia tetap
kerahkan tenaga dalam. Dan sepasang matanya terus mengawasi gerakan Kembang
Darah Setan. Setan Liang Makam seakan tengah menunggu ke-
sempatan yang baik untuk menyambar Kembang Da-
rah Setan. Sementara melihat Kembang Darah Setan sudah ke-
luar, Joko tidak berani lagi bertindak sembrono. Dia telah tahu bagaimana
kedahsyatan Kembang Darah
Setan. Maka begitu Kembang Darah Setan terlihat, Jo-
ko cepat siapkan pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Ma-
lah setelah berpikir sesaat, dia alirkan tenaga lipat ganda pada tangan kiri
siapkan pukulan 'Serat Biru'!
Saat itu juga tangan kanan Joko berubah warna men-
jadi kuning, sementara tangan kiri disemburati warna biru.
Kiai Laras perdengarkan suara tawa panjang. Na-
mun tiba-tiba suara tawanya diputus. Saat bersamaan
tangannya yang memegang Kembang Darah Setan di-
angkat. Joko tidak tinggal diam. Dia juga angkat tangan kiri kanan. Ketika
Kembang Darah Setan berkele-
bat, Joko sentakkan pula tangan kiri kanan sekaligus!
Wuuttt! Kembang Darah Setan berkelebat. Tiga sinar berkib-
lat. Merah, hitam, dan putih perdengarkan deruan luar biasa dahsyat.
Wuutt! Wuutt! Kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak. Dari
tangan kanan melesat sinar berwarna kekuningan dis-
ertai gelombang ganas. Saat bersamaan hawa panas
menghampar. Saat yang sama dari tangan kiri Joko
melesat serat-serat biru laksana benang.
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Blammm! Blammm!
Terdengar ledakan dahsyat laksana hendak mero-
bohkan julangan beberapa batu karang. Sinar tiga
warna yang berkiblat dari Kembang Darah Setan sem-
burat. Hebatnya semburatan sinar tiga warna masih terus
menebar ke arah Pendekar 131 Joko Sableng! Namun
sebelum tebaran sinar tiga warna sempat melabrak,
serat-serat biru sudah menghadang! Serat-serat biru
menebar panjang lalu meliuk-liuk dan laksana seekor
ular, serat-serat biru menghampar lalu melilit tebaran sinar tiga warna.
Buss! Busss! Tebaran sinar tiga warna yang terlilit serat-serat bi-ru langsung ambyar. Saat
yang sama, lilitan serat-
serat biru juga terputus-putus!
Pendekar 131 rasakan sosoknya seperti disentak-
sentak. Hingga ketika tubuhnya terpental ke belakang, terlihat tubuhnya beberapa
saat terhenti lalu terpental lagi, terhenti lagi dan akhirnya melayang ke
belakang sebelum jatuh terduduk dengan kedua tangan lunglai
dan mulut terbuka megap-megap! Sosoknya bergetar
keras, lalu tak lama kemudian murid Pendeta Sinting
cepat-cepat katupkan mulutnya ketika merasakan pe-
rutnya mual dan rasa darah telah keluar dari teng-
gorokannya. Jelas ini pertanda kalau bentroknya pu-
kulan tadi telah membuat murid Pendeta Sinting ter-
luka dalam. Sementara itu begitu terdengar ledakan, Jubah Tan-
pa Jasad tampak mencelat beberapa langkah ke bela-
kang. Saat berikutnya, ketika tebaran sinar tiga warna ambyar terkena lilitan
serat-serat biru, Jubah Tanpa Jasad melenting tersentak-sentak ke belakang.
Sebenarnya Kiai Laras tidak begitu merasakan aki-
bat dari bentroknya pukulan. Karena sosoknya dilapis dengan Jubah Tanpa Jasad.
Namun karena bagian kakinya tidak terlapis jubah, maka saat sosoknya tersentak
ke belakang, Kiai Laras tidak bisa bertahan. Hingga
tak lama kemudian kedua lututnya goyah dan mene-
kuk. Saat lain Jubah Tanpa Jasad bergerak menekuk
dan jatuh di atas tanah!
Karena sosoknya tidak kelihatan, murid Pendeta
Sinting dan Setan Liang Makam tidak bisa mengetahui
bagaimana paras wajah Kiai Laras. Namun hal itu ti-
dak begitu terpikirkan oleh Setan Liang Makam. Seba-
liknya dia tampak sangat kecewa. Karena dia berharap dengan terjadi bentrok,
Kembang Darah Setan bisa lepas dari genggaman tangan orang.
Di lain pihak, meski merasakan sosoknya terpelan-
ting, namun Kiai Laras tidak mau Kembang Darah Se-
tan di tangannya lepas. Hingga dia pegang erat-erat
Kembang Darah Setan. Apalagi dia menangkap gelagat
mencurigakan dari pandangan mata Setan Liang Ma-
kam. Kiai Laras cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu de-
ngan cepat bergerak bangkit. Joko memperhatikan se-
saat. "Busyet! Dia sepertinya tidak mengalami cedera sama sekali! Akan kucoba
dengan pukulan 'Sundrik
Cakra'!" Berpikir begitu, sembari bangkit berdiri, Joko pu-
satkan seluruh tenaga dalam pada tangan kanan. Lalu
tangan kanannya diangkat. Jari tengah, jari telunjuk serta jari manis dicuatkan
ke atas. Sementara ibu jari dan jari kelingking ditekuk saling bertemu. Inilah
tanda kalau Pendekar 131 telah siapkan pukulan 'Sundrik Cakra'.
Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam pada tan-
gan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Se-
tan. Saat berikutnya tangan kanannya bergerak.
Wuuttt! Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua ka-
linya sinar tiga warna berkiblatan. Karena Kiai Laras lipat gandakan tenaga
dalam saat gerakkan tangan,
maka kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas da-ri yang pertama!
Wuuttt! Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua ka-
linya sinar tiga warna berkiblat. Karena Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam
saat gerakkan tangan, maka
kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas dari yang pertama!
Pendekar 131 segera pula mendorong tangan ka-
nannya. Tiga larik sinar kuning sebesar jari melesat ke depan. Hebatnya, larikan
sinar itu makin lama makin
besar. Tidak terdengar gemuruh suara gelombang. Na-
mun begitu larikan sinar kuning bertemu sinar tiga
warna, terdengar gelegar maha dahsyat.
Bagian ujung julangan batu karang di tempat itu
tampak bergetar keras sebelum akhirnya terbongkar
dan mental semburat. Setan Liang Makam yang berada
di tempat itu terhuyung-huyung. Untung cucu Nyai
Suri Agung ini dapat segera sadar dan kuasai diri. Jika tidak, niscaya sosoknya
akan terbanting.
Sementara sosok murid Pendeta Sinting tampak
mencelat sampai tiga tombak sebelum akhirnya jatuh
terkapar dengan mulut semburkan darah. Di seberang
sana, sosok Jubah Tanpa Jasad terjajar sampai dua
tombak sebelum akhirnya juga terkapar. Terdengar
suara tersedak, disusul kemudian dengan muncratnya
darah dari bagian atas leher jubah. Tanda jika kini Kiai Laras juga mengalami
cedera dalam. Bahkan Kembang
Darah Setan di tangannya terpental lepas!
Setan Liang Makam yang sejak tadi menunggu ke-
sempatan segera melirik pada Jubah Tanpa Jasad.
Saat lain sosoknya berkelebat.
"Jahanam! Dugaanku tidak meleset!" desis Kiai La-
ras melihat gerakan Setan Liang Makam. Walau masih
belum bisa kuasai diri sepenuhnya, namun karena tak
mau kehilangan Kembang Darah Setan, dia segera sen-
takkan kedua tangannya seraya bergulingan mendeka-
ti tergeletaknya Kembang Darah Setan.
Setan Liang Makam rupanya sudah memperhitung-
kan tindakan. Begitu menangkap gerakan kedua le-
ngan Jubah Tanpa Jasad, dia segera jatuhkan diri ke
atas tanah seraya bergulingan pula. Saat lain kedua
tangannya mendorong ke depan menghadang pukulan
yang dilepas Kiai Laras.
Blaarr! Terdengar ledakan dahsyat. Gulingan sosok Setan
Liang Makam dan Kiai Laras sama-sama terhenti. Wa-
lau Setan Liang Makam merasakan aliran darahnya
laksana disentak-sentak, dia tidak peduli. Begitu sosoknya terhenti karena
bentroknya pukulan, dia segera pula sentakkan kedua tangannya kembali ke tanah.
Sosoknya kembali bergerak berguling-guling mendekati Kembang Darah Setan.
"Jangan biarkan setan itu menjamahnya!" Tiba-tiba
terdengar suara teguran. "Kerudung setanmu mungkin
bisa berbuat sesuatu! Karena tak mungkin kita ber-
buat lain!"
Bersamaan suara teguran yang tiba-tiba menyeruak
di tempat itu, tampak melesat benda hitam panjang
yang bergerak meliuk-liuk di atas udara ke arah tergeletaknya Kembang Darah
Setan. "Keparat! Ada orang lain lagi di tempat ini yang in-
ginkan Kembang Darah Setan!" gumam Kiai Laras.
"Jahanam! Siapa pula ini"!" desis Setan Liang Ma-
kam terkejut melihat berkelebatnya benda hitam pan-
jang yang ternyata adalah sebuah kerudung.
Mungkin karena sama-sama tak mau kedahuluan,
sementara mereka sudah sangat terlambat untuk men-
dekati Kembang Darah Setan, Kiai Laras dan Setan
Liang Makam hampir berbarengan sama lepaskan satu
pukulan ke arah kerudung hitam yang makin mende-
kati Kembang Darah Setan.
"Sialan! Bagaimana sekarang"! Mereka sama hen-
dak merusak kerudungku! Daripada kehilangan keru-
dung kesayangan, lebih baik tak mendapatkan Kem-
bang Darah Setan!" Terdengar suara teriakan orang.
Saat bersamaan kerudung hitam yang berkelebat me-
liuk mendekati Kembang Darah Setan laksana ditarik
kekuatan dahsyat. Kejap lain kerudung hitam berkele-
bat ke belakang lalu melayang lurus ke arah salah satu puncak julangan batu
karang! Karena dihindari kerudung hitam, tak ampun lagi
pukulan Setan Liang Makam dan Kiai Laras yang sa-
ma-sama mengarah pada kerudung hitam bertemu di
udara! Hingga saat itu juga terdengar lagi gelegar ledakan. Sosok Setan Liang
Makam dan Jubah Tanpa Ja-
sad sama bergulingan. Mereka tidak menyangka kalau
pukulannya akan bentrok di udara karena dihindari
kerudung hitam. Hingga kedua orang ini tidak siap
tatkala bentrok pukulan itu terjadi.
Kiai Laras segera bisa kuasai diri. Karena dirinya
masih dilapis Jubah Tanpa Jasad hingga meski tidak
siap dengan terjadinya bentrok pukulan, namun tidak
mengalami cedera yang berarti. Lain halnya dengan Setan Liang Makam. Walau dia
segera bisa bergerak
bangkit, namun tak urung masih terhuyung-huyung
bahkan hampir jatuh lagi.
Pendekar 131, Kiai Laras, dan Setan Liang Makam
segera gerakkan kepala berpaling ke arah sumber sua-
ra yang tadi tiba-tiba menyeruak.
Saat itulah dari salah satu julangan batu karang
melayang turun satu bayangan merah. Hampir bersa-
maan, dari julangan batu karang lainnya satu sosok
tubuh juga melesat turun. Tak lama kemudian dari ju-
langan batu karang lainnya lagi dua sosok tubuh ber-
kelebat dengan membuat beberapa kali putaran di atas udara sebelum akhirnya
keempat sosok ini tegak berjajar di atas tanah terbuka!
*** TUJUH PALING kanan adalah seorang nenek berambut pu-
tih lebat. Bagian belakang rambutnya dikelabang dua.
Sedang bagian depannya diponi. Wajahnya dibedaki
tebal. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kanan kirinya diberi pewarna merah
muda tipis-tipis. Nenek ini mengenakan pakaian atas berupa baju tanpa lengan
dan sangat cingkrang. Hingga ketiak dan pusarnya ke-
lihatan. Sementara pakaian bawahnya berupa celana
pendek di atas lutut. Baju dan celana pendeknya ber-
warna merah. Nenek ini bukan lain adalah Dayang Se-
puh. Di sebelah Dayang Sepuh, tegak pula seorang nenek
berpakaian agak gombrong. Paras wajahnya hanya ke-
lihatan sebagian karena bagian kiri kanannya tertutup oleh rambut dan kerudung
hitamnya yang diletakkan
di atas kepala melingkar ke leher terus menjulai sampai bagian depan perutnya.
Nenek berkerudung hitam
ini tidak bukan adalah Dewi Ayu Lambada.
Di sebelah Dewi Ayu Lambada, tegak seorang kakek
bermuka tirus panjang. Rambutnya putih dibiarkan
bergerai. Kakek ini tegak dengan kepala sedikit didongakkan dan kedua tangan
berkacak pinggang. Saat
mendongak bagian atas tubuhnya tampak sedikit me-
lengkung. Karena ternyata kakek ini tidak memiliki
leher! Sambil mendongak, kakek ini bukan mulutnya
le-bar-lebar seolah ingin memperlihatkan mulutnya
yang tidak ditumbuhi gigi! Kakek ompong ini tidak lain adalah dedengkot rimba
persilatan yang dikenal dengan gelar Iblis Ompong.
Di samping Iblis Ompong, tegak seorang kakek ber-
pakaian agak lusuh. Rambutnya putih tipis. Seraya tegak, kakek ini tadangkan
kedua tangan di belakang
kedua telinganya. Begitu tegak kakek ini memandang
beberapa saat ke arah tiga orang di sebelahnya. Dia
sepertinya ingin berkata. Namun yang keluar hanyalah suara Uuukk! Uuukkk!
Uuukkk! berulang kali. Ini satu tanda jika kakek ini adalah orang bisu. Dia
memang kakek bisu dan tuli yang dikenal dengan sebutan Dewa Uuk.
Melihat beberapa orang yang muncul, sesaat Kiai
Laras menggeram. Namun dia tidak begitu pedulikan
kemunculan orang. Justru pikirannya masih tertuju
pada Kembang Darah Setan yang masih tergeletak di
atas tanah. Setan Liang Makam pun rupanya tidak, acuh de-
ngan kehadiran orang. Malah dia hanya melirik. Saat
lain pandang matanya sudah tertuju pada Kembang
Darah Setan. Tiba-tiba Kiai Laras melesat ke depan. Masih di atas udara kedua tangannya
disentakkan ke arah Setan
Liang Makam. Setan Liang Makam tak punya pilihan
lain kecuali menghadang serangan lawan. Karena ka-
lau menghindar, berarti memberi kesempatan pada
orang untuk mendekati Kembang Darah Setan. Hingga
begitu melihat sosok jubah hitam berkelebat ke depan dan kedua lengannya
bergerak, cucu Nyai Suri Agung
ini cepat menyongsong ke depan dengan kedua tangan
membuat gerakan memukul. Rupanya Setan Liang Ma-
kam sudah nekat. Karena sekarang Kiai Laras sudah
tahu kalau dirinya berkhianat bahkan hendak merebut
kembali Kembang Darah Setan.
Blammm! Untuk kesekian kalinya kawasan Kampung Setan
dirancah suara ledakan. Saat lain sosok Setan Liang
Makam terpental dan jatuh terkapar. Di seberang, Kiai Laras perdengarkan tawa
panjang sebab sosoknya tidak bergeming sama sekali. Hingga sosoknya terus me-
lesat ke depan. Saat lain tangan kanannya menyambar
Kembang Darah Setan. Dan seolah tidak memberi ke-
sempatan pada orang, begitu Kembang Darah Setan
berada di tangannya langsung dikelebatkan ke arah
sosok Setan Liang Makam!
Wuuttt! Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih ber-
kiblat angker. Setan Liang Makam terkesiap. Sudah
sangat terlambat baginya jika berkelebat hindarkan di-ri. Maka dengan segenap
tenaga dalam yang dimiliki,
cucu Nyai Suri Agung ini angkat kedua tangannya lalu disentakkan menghadang
kiblatan sinar tiga warna
yang mencuat dari Kembang Darah Setan. Senjata sak-
ti yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan tahun
silam. Di sebelah samping, mungkin karena masih salur-
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan tenaga untuk mengatasi luka dalamnya, murid
Pendeta Sinting tidak berani menghadang pukulan
yang melabrak ke arah Setan Liang Makam. Dia tadi
juga tidak berani berbuat ayal ikut memperebutkan
Kembang Darah Setan yang sudah lepas dari gengga-
man tangan Kiai Laras dan tergeletak di atas tanah.
Karena dia maklum, jika sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad masih
mampu untuk menghadang
dan berbuat sesuatu. Sementara dirinya harus pulih-
kan dahulu keadaan tubuhnya yang terluka dalam
akibat bentrokan dengan Kiai Laras. Hingga dia hanya bisa memandang bagaimana
sinar tiga warna melesat
ganas ke arah Setan Liang Makam.
Sementara melihat berkiblatnya sinar tiga warna,
Dewi Ayu Lambada sudah hendak berkelebat dan ikut
menghadang kiblatan sinar tiga warna yang menjurus
ke arah Setan Liang Makam. Namun belum sampai
Dewi Ayu Lambada berbuat lebih jauh, Dayah Sepuh
yang tegak di samping segera palangkan tangan kanan
menghalangi gerakan Dewi Ayu Lambada seraya ber-
ucap. "Jangan berani bertindak seperti orang kesetanan!
Pukulan itu bukan sembarangan!"
Dewi Ayu Lambada urungkan niat menolong Setan
Liang Makam. Lalu berpaling pada Iblis Ompong seolah ingin minta pendapat
tentang ucapan Dayang Sepuh.
Iblis Ompong rupanya dapat menangkap maksud
orang. Tanpa menoleh pada Dewi Ayu Lambada, kakek
ompong ini berkata.
"Aku melihat sesuatu yang tidak biasanya pada di-
rimu, Nek! Tidak biasanya kau ringan tangan memban-
tu orang! Tapi kali ini begitu melihat tampang jerangkong itu kau jadi lain! Kau
sepertinya rela mati demi dia! Jangan-jangan kau telah kasmaran pada jerang-kong
hidup itu! Hik.... Hik.... Hik...!"
Habis berkata begitu, Iblis Ompong berpaling pada
Dewa Uuk yang juga adalah adik kandung Dewi Ayu
Lambada. Lalu lanjutkan ucapan.
"Bagaimana pendapatmu tentang saudaramu itu"!
Kau bangga punya ipar seperti dia"!" Iblis Ompong
arahkan telunjuk tangan kanan pada Setan Liang Ma-
kam yang tengah sentakkan kedua tangannya meng-
hadang kiblatan sinar tiga warna.
Dewa Uuk dekatkan telinganya pada Iblis Ompong.
Saat lain dia tarik pulang kepalanya. Entah karena tidak bisa mendengar ucapan
Iblis Ompong atau salah
artikan isyarat telunjuk Iblis Ompong, Dewa Uuk tiba-tiba tertawa panjang! Tapi
dia tidak memberi isyarat
jawaban atas ucapan iblis Ompong.
"Dasar budek! Ditanya pendapat malah tertawa nga-
kak!" maki Iblis Ompong. Lalu mendongak dengan mu-
lut dibuka lebar-lebar.
Dewi Ayu Lambada amat geram mendengar ucapan
Iblis Ompong. Dia sudah hendak gerakkan tangan kiri-
nya. Namun sebelum berbuat sesuatu, terdengar leda-
kan menggelegar.
Entah karena kaget, Iblis Ompong mental ke bela-
kang. Sosoknya terhuyung-huyung hendak jatuh. Tapi
begitu bagian atas tubuhnya sudah tertarik ke bela-
kang hendak terjengkang, kakek ini julurkan kedua tangannya ke bawah. Sosoknya
terhenti tertahan kedua
tangannya yang menekan tanah. Saat lain dia mem-
buat gerakan jungkir-balik lalu tegak membelakangi
orang-orang di depan!
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada sesaat tam-
pak juga terkejut mendengar suara gelegar ledakan a-
kibat bentroknya sinar tiga warna dan gelombang dah-
syat yang melesat dari kedua tangan Setan Liang Ma-
kam. Sosok kedua nenek ini terjajar ke belakang lalu tegak di samping Iblis
Ompong. Hanya Dewa Uuk yang
terlihat tenang-tenang saja. Malah sosoknya tidak bergeming sedikit pun meski
gelegar di tempat itu laksana hendak meruntuhkan julangan beberapa batu karang.
Namun begitu dia berpaling dan tidak lagi melihat
ketiga orang sahabatnya, dia perlihatkan tampang ke-
takutan. Lalu putar kepala ke belakang. Kejap lain dia cepat-cepat berkelebat ke
belakang dan tegak menjajari Iblis Ompong.
Di seberang depan sana, sosok Setan Liang Makam
sudah terkapar di atas tanah dengan pakaian sebagian hangus! Untuk beberapa
saat, sosoknya diam tak bergerak. Cucu Nyai Suri Agung dari kerabat Kampung
Setan ini merasakan sekujur tubuhnya panas laksana
dipanggang. Dadanya seolah hendak meledak. Namun
begitu, dia tidak juga semburkan darah dari mulutnya meski keadaannya sudah
sangat parah. Ini mungkin
karena susunan anggota tubuhnya hanya kerangka.
Sementara di lain pihak, Kiai Laras hanya merasa-
kan sentakan kecil pada dadanya. Kalaupun dia masih
merasakan dadanya berdenyut nyeri, itu akibat ben-
trok pukulan dengan Pendekar 131.
Kiai Laras putar tubuh menghadap murid Pendeta
Sinting. Tanpa banyak bicara lagi Kembang Darah Se-
tan diangkat. Murid Pendeta Sinting sesaat bimbang.
Lalu selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya.
Ketika ditarik di genggaman tangannya terlihat benda berwarna merah sebesar dua
kali ibu jari. "Bagaimana aku harus menggunakan benda merah
ini"! Langsung kuhantamkan begitu saja atau...." Joko berpikir dan sekali lagi
menyesali diri mengapa tidak bertanya dahulu pada Gendeng Panuntun bagaimana
cara menggunakan benda merah yang diambilnya dari
pusar bayinya Pitaloka itu.
Di pihak lain, melihat benda merah di tangan Joko,
Kiai Laras urungkan niat untuk kelebatkan Kembang
Darah Setan. Sepasang matanya memperhatikan sek-
sama benda merah itu. Entah karena apa tiba-tiba da-
da Kiai Laras mulai berdebar. Namun dia segera te-
nangkan diri seraya berucap dalam hati.
"Tubuhku masih dilapis Jubah Tanpa Jasad. Tan-
ganku masih menggenggam Kembang Darah Setan.
Apa yang perlu ditakutkan! Mereka boleh mengeroyok-
ku bersama-sama!"
Membatin begitu, Kembang Darah Setan segera di-
kelebatkan ke arah Joko!
Wuuttt! Sinar tiga warna berkiblat lagi dari tangan Kiai La-
ras yang tidak kelihatan.
Pendekar 131 bingung sesaat. Seraya melompat
mundur, dia kerahkan tenaga dalam pada tangan ka-
nannya yang menggenggam benda merah. Saat beri-
kutnya tangan kanan disentakkan.
Satu gelombang angin bergemuruh dahsyat ke de-
pan. Namun Joko jadi tersentak sendiri. Benda merah
di genggaman tangannya tidak membawa pengaruh
sama sekali pada pukulannya. Hingga yang keluar me-
lesat hanyalah gelombang angin biasa bertenaga da-
lam. Joko cepat hendak susuli pukulannya dengan pu-
kulan 'Sundrik Cakra' yang tadi sempat membuat so-
sok Jubah Tanpa Jasad terkapar dan semburkan da-
rah. Tapi keadaan Joko sudah sangat terlambat untuk
kerahkan tenaga dalam. Hingga belum sampai tenaga
dalam dikerahkan, di depan sana sinar tiga warna te-
lah memporak-porandakan gelombang pukulan Joko!
Saat bersamaan sosok Pendekar 131 sudah mencelat
dan terbanting di atas tanah. Saat itulah tebaran sinar tiga warna melesat ganas
ke arah Joko yang masih tergeletak di atas tanah!
Kiai Laras perdengarkan tawa bergelak panjang.
Apalagi saat melihat Pendekar 131 terkesiap dengan
datangnya tebaran sinar tiga warna dan tidak bisa berbuat apa-apa!
Dua jengkal lagi tebaran sinar tiga warna menghan-
tam hangus sosok murid Pendeta Sinting, mendadak
terdengar orang bersin-bersin beberapa kali. Saat yang sama beberapa gelombang
menghampar ke arah tebaran sinar tiga warna. Di lain kejap satu cahaya putih
berkiblat juga mengarah pada tebaran sinar tiga warna. Terdengar beberapa kali
letusan. Tebaran sinar tiga warna semburat membubung ke udara. Gelombang
yang datang melabrak serta cahaya putih yang berki-
blat juga porak-poranda!
Gelakan tawa Kiai Laras terputus. Sosoknya tersen-
tak-sentak ke belakang. Di salah satu julangan batu
karang terlihat dua sosok tubuh duduk bersila dengan tubuh masing-masing sama
bergetar keras dan mata
sama terpejam rapat.
Kiai Laras kembali rasakan dadanya makin berde-
nyut nyeri. Namun perasaan marah membuat dia tidak
pedulikan lagi sakit yang mendera dadanya. Dia segera berpaling ke arah salah
satu julangan batu karang. Dia tahu pasti dari mana gelombang dan cahaya putih
yang menghadang tebaran sinar tiga warna bersumber.
"Datuk Wahing! Gendeng Panuntun!" desis Kiai La-
ras mendapati siapa gerangan adanya dua sosok yang
duduk bersila di lamping salah satu julangan batu karang.
Rombongan Dayang Sepuh yang sesaat tadi sudah
akan lakukan hadangan juga segera menoleh.
"Untung setan-setan itu sigap dan melakukan tugas
dengan baik! Kalau tidak, mungkin pemuda setan itu
sudah pulang ke tanah asalnya!" Dayang Sepuh ber-
gumam. Setan Liang Makam yang tergeletak tak bergerak ju-
ga pentangkan mata dan melirik. Dia merasa sedikit
lega melihat kemunculan dua orang sudah dikenalnya.
Apalagi salah seorang yang duduk itu baru perdengar-
kan bersinan berkepanjangan dan laksana diperde-
ngarkan dari delapan penjuru mata angin. Dia tahu
benar ilmu apa yang baru saja dikerahkan orang. Ka-
rena ilmu itu satu-satunya ilmu langka yang dimiliki oleh mendiang neneknya dan
diwariskan pada seorang
muridnya yang bukan lain adalah Galaga atau seka-
rang dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelaran Datuk Wahing. Orang di
luar kerabat Kampung Setan
yang diambil murid oleh Nyai Suri Agung dan menjadi
saudara seperguruan Maladewa alias Setan Liang Ma-
kam. Dua kakek yang duduk bersila di samping julangan
batu karang membuka kelopak mata masing-masing.
Yang sebelah kiri bermata agak besar. Sementara yang sebelah kanan bermata putih
tanda orang ini buta.
Yang sebelah kiri tampak gerakkan kepalanya pulang
balik ke depan ke belakang saat sepasang matanya
terbuka. Mimik wajahnya membuat sikap seperti orang
hendak bersin. Sementara orang yang matanya ber-
warna putih dongakkan sedikit kepalanya lalu mengu-
sap cermin bulat pada bagian depan perutnya. Mereka
berdua bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng
Panuntun. Sementara itu, begitu dirinya selamat dari tebaran
sinar tiga warna, Pendekar 131 segera kerahkan tena-
ga dalam. Dadanya sudah tidak terkirakan lagi sakit-
nya karena dia tadi menghadang kiblatan sinar tiga
warna dengan andalkan pukulan biasa sebab menduga
benda merah di genggaman tangan kanannya akan
membawa pengaruh. Namun ternyata dugaan Joko
meleset. Hingga tak ampun lagi dia harus menerima
akibat agak fatal. Bahkan tatkala dia coba bergerak
bangkit, dari mulutnya kembali kucurkan darah! Na-
mun Joko tak mau menyerah begitu saja. Dia ber-
usaha kuasai diri dengan kerahkan tenaga murni pada
dadanya yang dirasa paling nyeri.
"Hem.... Untung mereka datang.... Anehnya, men-
gapa benda merah ini tidak membawa pengaruh sama
sekali"! Jangan-jangan semua keterangan orang sela-
ma ini hanya mainan saja! Tapi bagaimana bisa begi-
tu"! Bukankah adanya benda merah di pusar bayi Pi-
taloka itu sudah merupakan sesuatu yang langka"!
Hem.... Mungkin saja aku belum tahu bagaimana cara
menggunakannya! Mudah-mudahan salah satu dari
mereka yang ada di sini tahu bagaimana cara meng-
gunakannya! Jika tidak.... Alamat akan celaka!"
Berpikir begitu, setelah merasa dapat kuasai diri,
murid Pendeta Sinting angkat suara.
"Kek! Bagaimana cara menggunakannya"!"
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun tidak me-
nyahut meski mereka berdua tahu kalau pertanyaan
Joko ditujukan pada mereka. Sementara Dayang Se-
puh menoleh pada Dewi Ayu Lambada.
"Hem.... Rupanya setan itu kebingungan mengguna-
kan benda setan itu! Kau tahu bagaimana kira-kira
menggunakannya"!"
Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya se-
raya gelengkan kepala. "Kalau benda lain mungkin aku tahu!"
"Benda lain yang mana yang kau maksud"!" Iblis
Ompong menyahut. Lalu memandang pada Dewi Ayu
Lambada dari sela kedua kangkangan kakinya.
"Ya.... Pokoknya benda lain selain benda merah itu!
Kalau belum jelas maksudku, pokoknya benda-benda
yang membawa nikmatlah...!"
"Setan gila! Kalau benda-benda yang membawa
nikmat, tanpa bertanya pun aku sudah tahu bagaima-
na cara menggunakannya!" sambut Dayang Sepuh.
"Ah.... Aku tahu benda apa yang kalian maksud!
Apa kalian masih sering bermain-main dengan benda
nikmat itu"!"
Dewi Ayu Lambada menoleh pada Dayang Sepuh.
"Kau masih sering bermain-main dengan benda nikmat
itu"!"
"Kau tanya pada orang yang salah!" Iblis Ompong
buka suara. "Mana mungkin dia sering bermain-main
dengan benda nikmat itu kalau kawin saja belum per-
nah"!"
"Ah.... Kau juga salah ucap!" Dewi Ayu Lambada tak
mau kalah. "Apa kalau untuk bermain-main saja perlu
kawin dahulu"!"
"Gila! Kalian setan gila semua!" seru Dayang Sepuh.
Namun sesaat kemudian telah tertawa mengekeh.
*** DELAPAN
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BRUSSS! Bruss! Anak muda itu belum tahu bagai-
mana cara menggunakan benda merah di tangannya.
Seandainya aku tahu, aku tak akan membuat orang
merasa heran dengan ajukan tanya.... Kau tahu bagai-
mana menggunakannya"!" Datuk Wahing bergumam
seraya berpaling pada Gendeng Panuntun.
Sementara itu mendengar teriakan tanya murid
Pendeta Sinting, Kiai Laras sedikit terkejut. Sepasang matanya langsung
menghujam tajam pada tangan Jo-ko yang masih menggenggam benda merah yang diam-
bilnya dari pusar bayi Pitaloka. Dia bertanya-tanya dalam hati. Namun sejauh ini
dia masih percaya diri bah-wa Kembang Darah Setan tidak bisa dihadang oleh apa
pun. Apalagi sosoknya masih dilapis Jubah Tanpa Ja-
sad. Di lain pihak, Setan Liang Makam juga melirik pada
murid Pendeta Sinting. Cucu Nyai Suri Agung ini se-
ngaja tidak menggerakkan anggota tubuhnya. Malah
dia memandang dengan mata disipitkan. Dia coba
membuat semua orang menduga kalau dirinya sudah
tewas. Namun diam-diam dia berkata dalam hati.
"Benar ucapan pemuda itu! Tampaknya dia meng-
genggam sesuatu yang dikiranya dapat menghadang
kedahsyatan Kembang Darah Setan! Apa mungkin..."
Hem.... Aku harus pura-pura tewas! Lalu menunggu
kesempatan seraya mengembalikan keadaanku!" Setan
Liang Makam pejamkan matanya. Dia tidak membuat
gerakan atau perdengarkan suara. Tapi sesekali sepa-
sang matanya sedikit membuka memperhatikan gerak-
gerik Joko. "Datuk Wahing dan lain-lainnya tidak ada yang
menjawab! Berarti mereka tidak tahu bagaimana cara
menggunakan benda ini! Celaka.... Terpaksa aku harus menghadang serangannya
dengan 'Sundrik Cakra'! Ta-pi apakah aku masih mampu"! Luka dalam ini terasa
sangat mengganggu...." Murid Pendeta Sinting akhir-
nya memutuskan setelah ditunggu agak lama tidak ju-
ga ada yang buka mulut menjawab pertanyaannya.
Mendadak Gendeng Panuntun beranjak bangkit.
Kepalanya ditengadahkan dengan mata dipejamkan.
Tangan kanannya bergerak mengusap-usap cermin bu-
lat di depan perutnya. Saat lain orang tua bertubuh
tambun besar ini angkat suara.
"Manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke
tanah. Ke mana pun air mengalir, akhirnya akan ber-
satu juga ke laut! Kembalikan semua pada asalnya!"
Joko simak ucapan Gendeng Panuntun. Lalu ulangi
ucapan orang berulang-ulang. Murid Pendeta Sinting
tahu jika ucapan Gendeng Panuntun adalah satu pe-
tunjuk bagaimana cara menggunakan benda merah di
tangannya. Namun sejauh ini dia belum bisa meng-
artikan ucapan Gendeng Panuntun.
Sementara itu mendengar ucapan Gendeng Panun-
tun, Dayang Sepuh kembali menoleh pada Dewi Ayu
Lambada. Namun belum sampai Dayang Sepuh sem-
pat buka mulut, Dewi Ayu Lambada telah berpaling
pada Iblis Ompong dengan turunkan sedikit bagian
atas tubuhnya karena Iblis Ompong berdiri dalam po-
sisi menungging. Anehnya, sebelum Dewi Ayu Lamba-
da buka suara, kepala Iblis Ompong yang terlihat dari kangkangan kedua kakinya
telah bergerak ke arah
Dewa Uuk. Sementara Dewa Uuk berpaling dari pan-
dangan Iblis Ompong dengan tadangkan tangan di be-
lakang telinganya dan didekatkan pada paha Iblis Om-
pong seolah menunggu ucapan orang!
"Setan!" maki Dayang Sepuh. Tangan kanannya se-
gera menjulur lalu menarik bahu Dewi Ayu Lambada
hingga nenek berkerudung hitam itu menghadap ke
arahnya. "Kau telah dengar ucapan setan buta itu. Kau tahu maknanya"!" Dayang
Sepuh lepaskan cekalan
tangannya pada bahu Dewi Ayu Lambada. Lalu te-
ruskan ucapan. "Sekarang jangan bergurau lagi. Pe-
muda setan itu dalam keadaan bahaya!"
Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya ka-
rena tertarik tangan Dayang Sepuh. "Sebenarnya aku
tadi hendak berkata seperti yang baru saja kau Tanyakan pada setan ompong itu!
Jadi kau tahu bukan apa
jawabanku..."!"
"Aku juga begitu...." Iblis Ompong menyahut. "Se-
benarnya aku hendak bertanya pada Setan Uuk apa
makna ucapan sahabat buta itu tadi!"
Karena sudah maklum tidak ada yang tahu makna
ucapan Gendeng Panuntun, akhirnya Dayang Sepuh
berteriak pada Gendeng Panuntun.
"Setan buta! Kau bicara dengan bangsa manusia bi-
asa! Bukan bangsanya setan yang tahu makna uca-
panmu! Katakan saja terus terang bagaimana cara
menggunakannya!"
"Betul, Kek! Aku masih kesulitan menjabarkan uca-
panmu! Bicaralah tanpa harus dengan bahasa-bahasa
yang sulit begitu!" Joko berteriak di depan sana sambuti ucapan Dayang Sepuh.
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Aku bicara
apa adanya seperti yang tertera dalam pikiranku! Aku tak bisa menjabarkan lebih
jauh! Dan tentunya kalian bisa mengerti maknanya kalau benar-benar berpikir!
Kembalikan semua pada asalnya! Itulah yang pen-
ting.... Kembalikan semua pada asalnya!" Gendeng Pa-
nuntun ulangi ucapan dua kali.
"Kembalikan semua pada asalnya!" Murid Pendeta
Sinting ikut-ikutan ulangi ucapan Gendeng Panuntun
seraya menimang-nimang benda merah di tangan ka-
nannya. "Apa maksudnya aku harus mengembalikan
benda ini pada asalnya"! Bagaimana mungkin" Bayi
Pitaloka tentu sudah dikuburkan.... Lalu bagaimana
aku harus mengembalikannya..."! Aneh. Apa dia tidak
salah ucap"!" Pendekar 131 bergumam.
Mendapati apa yang terjadi, Kiai Laras sunggingkan
senyum. Kejap kemudian dia mendongak lalu berkata
lantang. "Apa kalian kira dengan benda busuk itu kalian bi-
sa menghadang rencanaku"!" Kiai Laras perdengarkan
tawa bergelak. Lalu angkat tangan kanannya yang
memegang Kembang Darah Setan.
Pendekar 131 tercekat. Nyawanya seolah sudah me-
layang. Sementara rombongan Dayang Sepuh saling
pandang satu sama lain. Dan entah karena ikut ter-
sentak dengan apa yang akan dilakukan Kiai Laras, Iblis Ompong tarik tubuhnya
lurus ke atas lalu berbalik menghadap ke arah murid Pendeta Sinting dengan mulut
menganga lebar-lebar.
"Celaka! Kita tampaknya akan kehilangan seorang
sahabat!" Akhirnya Iblis Ompong buka suara juga de-
ngan mimik ketakutan.
"Kita hadang ramai-ramai!" usul Dayang Sepuh
sembari rapikan geraian poni rambutnya. Lalu takup-
kan kedua tangan di depan wajah.
"Tidak bisa! Tindakan itu hanya akan membuat kita
ramai-ramai menuju liang kubur! Aku tak mau bersa-
ma-sama dengan kalian ramai-ramai masuk liang ku-
bur! Di sana nanti pasti kalian akan bertindak mema-
lukan!" Iblis Ompong menjawab ucapan Dayang Se-
puh. "Kau kira aku juga mau masuk liang kubur bersa-
ma setan sepertimu"! Perlu kau tahu, sekarang ini
adalah saat terakhir kita bersama-sama! Setelah itu aku tak peduli ke mana kau
akan pergi!" Dayang Sepuh sambuti kata-kata Iblis Ompong.
"Kurasa benar ucapan Manusia Ompong ini.... Aku
memang belum pernah bentrok dengan manusia tak
berwujud itu. Tapi melihat apa yang tadi terjadi, kita akan sia-sia paksakan
diri menghadang ramai-ramai!"
Dewi Ayu Lambada membenarkan ucapan Iblis Om-
pong. Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik
angker. "Lalu apakah kita harus diam melihat setan
muda itu mampus terbunuh"!"
"Itu mungkin jalan nasibnya.... Kita pun pasti akan
mengalaminya. Cuma kita belum tahu kapan dating-
nya!" Dewi Ayu Lambada berkata dengan suara pelan.
"Kalian ternyata setan-setan pengecut!" desis
Petualang Asmara 8 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Karya Gu Long Pendekar Kidal 6