Pencarian

Munculnya Sang Pewaris 1

Pendekar Bodoh 12 Munculnya Sang Pewaris Bagian 1


Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 MATAHARI belum sempurna mengusir gelap ketika pemuda remaja berpakaian biru-biru
itu berdiri tegak dengan mementangkan kedua
tangannya. Udara dingin bercampur embun tak
mampu mengusik keteguhan sikap si pemuda.
Perlahan kedua tangannya digerak-gerakkan di
depan dada. Sementara sepuluh jari tangannya membentuk cakar elang, kaki kanannya digeser
setengah tindak ke depan. Lalu..., dari mulutnya terdengar suara menggereng
seperti harimau lapar.
Disusul pekik nyaring laksana seekor beruang
yang siap menerkam mangsa. Suara pekik si pemuda begitu keras, membuat daun
rontok berguguran!
Namun sampai beberapa lama, pemuda
bertubuh tinggi tegap itu tak berbuat apa-apa.
Hanya kedua tangannya yang terus bergerak berputaran di depan dada. Agaknya, dia
tengah menghimpun ataupun melatih kekuatan tenaga
dalamnya. Seiring waktu yang terus berlalu, sorot mata si pemuda berubah tajam sekali.
Kemudian, dari mulutnya keluar suara melengking tinggi.
Dan.... Mendadak, dari ujung jari-jari tangan pemuda berambut panjang tergerai itu
melesat sepuluh larik sinar merah berkilauan. Melesat luar
biasa cepat, dan langsung bergerak melilit batang
pohon besar yang berada dua puluh tombak dari
hadapan si pemuda!
Sratt! Sratt! Werrr...! "Hendak kulihat sampai di mana kehebatan 'Tenaga Beruang Merah' yang baru
kupelajari dari kitab warisan Kakek Salya Tirta Raharja
ini..." gumam si pemuda seraya menarik napas
dalam-dalam. Dan... begitu dia menggerakkan kedua tangannya, batang pohon besar yang terbelit
sepuluh larik sinar merah menjadi bergoyang keras. Batang-batang pohon kecil yang tumbuh
di sekitarnya terlihat turut bergoyang. Permukaan tanah
terasa bergetar bagai terjadi gempa. Lalu...
Bummm...! Luar biasa! Suara hiruk-pikuk memecah
kesunyian pagi yang baru datang. Batang pohon
bergaris tengah satu depa itu tumbang tanpa ampun!
"Hmmm.... Cukup hebat juga. Kini aku benar-benar telah menguasai bagaimana cara
mengumpulkan tenaga dalam yang bersifat mengisap...," desis si pemuda sambil
melepas aliran tenaga dalamnya. Kontan garis-garis sinar merah
yang keluar dari jemari tangannya lenyap.
Berkali-kali pemuda yang ikat pinggangnya
terbuat dari kain panjang berwarna merih itu
menghela napas lega. Cukup puas rasa hatinya
melihat kehebatan 'Tenaga Beruang Merah' yang
baru dipelajarinya di dalam sebuah gua bawah
tanah. Tanpa sebab mendadak si pemuda tampak
cengar-cengir. Sinar keluguan membersit dari
raut wajahnya yang tampan. Gerak-geriknya bahkan berubah mirip orang berotak
amat bebal Menilik sikap si pemuda yang tengah melakukan kebiasaan buruknya itu, siapa lagi
dia kalau bukan si Pendekar Bodoh; Seno Prasetyo!
Ya! Bersama seorang kakek bergelar Hati
Selembut Dewa, Seno pergi ke Padang Selaksa
Batu untuk membantu menumpas Iblis Pemburu
Dosa yang telah melakukan serangkaian pembunuhan kejam. Sayangnya, sebelum Seno
dapat memberikan bantuan kepada Hati Selembut Dewa, dia keburu terperangkap masuk ke
jebakan berupa lubang sulfur yang amat dalam.
Namun tak pernah disangka oleh Iblis
Pemburu Dosa sendiri, sumur buatan alam yang
kemudian dijadikan lubang jebakan itu justru
membawa keberuntungan bagi Seno. Si pemuda
bukan saja berhasil menyelamatkan diri, tapi dia
pun mendapat sebuah kitab tua peninggalan
Salya Tirta Raharja, seorang ketua Perkumpulan
Beruang Merah yang pernah berjaya puluhan tahun silam.
Dengan mempelajari isi kitab itu, Seno dapat mengetahui adanya api permusuhan
turuntemurun antara keluarga Buana Seta dengan Saka Wanengpati. Buana Seta
adalah kakek Salya
Tirta Raharja. Sementara, Saka Wanengpati ada-
lah kakek buyut si Iblis Pemburu Dosa; Wanara
Kadang. Dari isi kitab peninggalan Salya Tirta Raharja itu pula, Seno juga mengetahui
kelemahan ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu
Tenaga Menjebol Perut' yang menjadi ilmu andalan Iblis Pemburu Dosa. Lain itu,
Seno pun berhasil menguasai sebuah ilmu penghimpun tenaga
dalam bernama 'Tenaga Beruang Merah', yang baru saja dicoba kehebatannya tadi.
(Agar lebih jelas
dalam mengikuti jalan cerita ini, sllakan baca
serial Pendekar Bodoh dalam episode: "Rahasia
Sumur Tua").
"Aku belum sepenuhnya mencoba kehebatan 'Tenaga Beruang Merah' Aku harus
mencobanya lagi" kata hati Seno seraya menjulurkan
kedua pergelangan tangannya.
Murid Dewa Dungu itu ingin mengetahui
puncak kehebatan 'Tenaga Beruang Merah' yang
telah dikuasainya dengan baik. Sesaat si pemuda
menarik napas panjang. Kedua bola matanya bersinar bening tajam, menatap batang
pohon yang tadi telah terlempar sejauh lima puluh tombak.
Disertai satu bentakan keras, Seno meluruskan sepuluh jari tangannya. Dan...
seketika itu juga, melesatlah sepuluh larik sinar merah
berkilauan wujud dari 'Tenaga Beruang Merah'!
"Hiaahh...!"
Srat...! Batang pohon yang menjadi sasaran tampak bergetar kencang ketika terbelit
sepuluh larik sinar yang melesat dari jemari tangan Seno. Manakala Seno menekuk jari-jari
tangannya, batang
pohon yang telah terbelit suatu tenaga amat kuat
itu tertarik dan melayang ke hadapan si pemuda.
Ringan sekali saat jatuh di permukaan tanah. Batang pohon itu laksana telah
berubah menjadi segumpal kapas ringan yang begitu mudah dipindah-pindahkan. Namun ketika
Seno melepas 'Tenaga Beruang Merah'-nya terdengar ledakan keras. Batang pohon
yang tergeletak di hadapan si pemuda mendadak hancur berkepingkeping menjadi
serpihan halus!
Girang bukan main rasa hati Pendekar Bodoh melihat kehebatan 'Tenaga Beruang
Merah'. Kini dia jadi semakin yakin bila Iblis Pemburu
Dosa akan dapat dibinasakannya tanpa harus
bersentuhan kulit ataupun mengadu kekuatan
tenaga dalam. Dengan mata berbinar-binar, pemuda lugu
itu menatap sosok mentari yang telah sempurna
menampakkan diri di ufuk timur. Tiba saatnya
dia harus meninggalkan tempat. Sebelum Iblis
Pemburu Dosa meminta korban lebih banyak, dia
harus cepat bertindak. Dia harus mendatangi tokoh jahat itu di Padang Selaksa
Batu. Namun belum sempat kakinya melangkah, tiba-tiba....
"Hmmm.... Aku mendengar hembusan napas orang. Orang itu berada sekitar tiga
puluh tombak di belakangku. Hmmm.... Dia pasti tengah mengintai gerak-gerikku. Untuk
membuktikan dia bermaksud buruk atau tidak, aku harus
berbuat sesuatu...."
Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas
Seno menghimpun kembali 'Tenaga Beruang Merah'. Dan ketika dia membalikkan
badan, jemari tangan kanannya yang terjulur mengeluarkan lima larik sinar merah. Diiringi
suara desis halus,
kelima larik sinar itu melesat cepat, menuju tubuh orang yang disangka Seno
tengah mengintai!
Sssh...! "Astaga...!"
Seno melonjak kaget karena desakan rasa
heran. 'Tenaga Beruang Merah'-nya terasa menyentuh benda lembut kenyal. Anehnya,
benda yang disangkanya sosok tubuh manusia itu tidak
memberi perlawanan sama sekali. Tidak pula
mengeluarkan suara sedikit pun.
Namun begitu, Seno tak mau melepas lima
larik sinar merah yang telah membelit sasaran.
Dan untuk memastikan sasaran itu manusia atau
bukan, si pemuda mengangkat pergelangan tangannya seraya membetot!
Wesss...! "Ihhh...!"
Barulah terdengar suara jeritan, bahkan
terdengar cukup nyaring. Sesosok tubuh langsing
yang terbetot oleh 'Tenaga Beruang Merah' tibatiba melesat dari balik dedaunan,
terbang melayang seperti hendak menerkam Seno!
Tak dapat lagi digambarkan betapa terkejutnya pemuda lugu itu. Apalagi, matanya
yang tajam dapat melihat bila sosok tubuh yang mele-
sat ke arahnya ternyata seorang wanita. Lebih tepat lagi, seorang gadis berusia
delapan belas tahun!
Risih dan malu bukan main Seno jadinya.
Sesaat raut wajahnya langsung memucat. Namun
demikian, kewaspadaannya tak hilang sepenuhnya. Merasa ada bahaya, cepat dia
tarik lagi aliran 'Tenaga Beruang Merah'-nya seraya meloncat
jauh ke kiri. Sementara, gadis bertubuh langsing yang
sebenarnya hendak memukul dada Seno tampak
melentingkan tubuhnya. Dengan bersalto dua kali
di udara, tiba-tiba tubuh si gadis melesat lebih
cepat dan hendak menjatuhkan tendangan berbahaya ke kepala Seno!
Tentu saja Pendekar Bodoh tak mau membiarkan batok kepalanya pecah terkena
tendangan si gadis yang disertai aliran tenaga dalam
tingkat tinggi. Maka tanpa pikir panjang lagi, dia
gunakan ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin' untuk mengimbangi kecepatan gerak
gadis bertubuh langsing. Dan ternyata, ilmu peringan tubuh yang
didapat Seno dari salah satu bagian Kitab Sanggalangit itu dapat menunjukkan
kehebatannya. Tendangan gadis bertubuh langsing cuma mengenai tempat kosong. Hanya saja, angin
sambarannya sempat membuat rambut Seno berkibaran
dan mata si pemuda pun terasa pedih.
Seno menarik napas lega karena gadis berpakaian putih biru itu tak melanjutkan
serangan- nya. Si gadis cuma berdiri dengan tatapan penuh
selidik. Karena gadis itu terus berdiri tak berpindah tempat, dapatlah dilihat dengan
jelas bila ternyata dia berparas amat cantik. Bola matanya
berbinar bening bagai permukaan telaga yang
amat dalam. Hidungnya mancung dengan sebentuk bibir merah alami. Sanggup
mempesonakan siapa saja yang memandang. Namun, orang yang
hendak berbuat tak baik pastilah akan berpikir
dua kali bila melihat sebatang pedang besar yang
tersandang di punggung si gadis.
Pendekar Bodoh berdiri terpaku dalam keterpanaan. Melihat sosok gadis berpakaian
putih biru yang berdiri tiga tombak di hadapannya, dia
teringat pada Putri Hati Lurus yang dijumpainya
belum lama ini. Wajah dan bentuk tubuh gadis
berpakaian putih-biru memang amat mirip dengan cucu Dewi Cinta Kasih itu.
Teringat pada Putri Hati Lurus yang ketus
dan galak, ingatan Seno tiba-tiba melayang pada
sosok Dewi Pedang Kuning yang hampir tiap malam muncul dalam mimpinya. Di
manakah gadis buah hatinya itu" Apakah dia masih berkelana
bersama Dewi Pedang Halilintar gurunya"
"Hei! Siapa kau?" tegur gadis bertubuh
langsing, menyadarkan Pendekar Bodoh dari lamunannya.
"Eh! Aku?" kesiap si pemuda, wajah tampannya langsung berubah kebodoh-bodohan.
"Tentu saja aku bertanya kepadamu, Tolol!
Katakan siapa dirimu! Kenapa kau bisa menguasai ilmu yang begitu heh"!"
"Ilmu apa?"
"Ilmu yang baru kau tunjukkan tadi, Geblek! Ilmu yang bisa menarik tubuh orang
dari jarak jauh! Kok seperti ilmu hitam saja.... Janganjangan kau orang
jahat...."
Di ujung kalimatnya, mendadak gadis yang
rambutnya dibiarkan tergerai ke punggung itu
hendak menghunus bilah pedangnya. Seno jadi
kaget. Dia tak merasa hendak berbuat jahat. Kenapa si gadis bisa bersikap begitu
galak" Maka
sebelum gadis tinggi semampai itu berbuat sesuatu dengan bilah pedangnya, cepat
dia membungkukkan badan sambil berkata....
"Nona.... Nona maafkan aku.... Aku salah
menyangka orang. Kukira penjahat yang tengah
mengintaiku.... Aku kelepasan tangan. Sudilah
Nona memaafkan...."
Pendekar Bodoh mengucap rentetan kalimat panjang, terdengar seperti rengekan
anak kecil. Sikap pemuda remaja yang amat lugu dan tak
dibuat-buat itu justru membuat gadis bertubuh
langsing mengurungkan niatnya yang ingin
menghunus bilah pedang. Bahkan mendadak, si
gadis tertawa mengikik seperti melihat sebuah


Pendekar Bodoh 12 Munculnya Sang Pewaris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adegan yang amat lucu.
"Eh! Kau tertawa, Nona?" Pendekar Bodoh
bertanya heran. "Nona sudi memaafkan aku" Aku
memang kelepasan tangan. Aku tidak bermaksud
buruk kepada Nona. Namun, aku memang salah.
Aku telah membuat Nona terkejut...."
"Hik hik hik...," tawa mengikik gadis bertubuh langsing. "Apa kau kira kata-
katamu itu betul" Apa kau kira aku telah terkejut karena
ulahmu tadi"!" sentaknya. "Sengaja aku membiarkan tubuhku tertangkap! Aku ingin
tahu sampai di mana ketinggian ilmu setanmu itu! Jadi, kau jangan merasa telah mampu
mengalahkan aku!" Seno mengangguk-angguk.
Tapi, dalam hati murid Dewa Dungu itu
mendongkol juga. Gadis bertubuh langsing dianggapnya terlalu ketus dan tinggi
hati. Kalau saja
tadi dikeluarkannya seluruh kekuatan 'Tenaga
Beruang Merah', pastilah tubuh gadis itu hancur
berantakan terkena lima larik sinar merah yang
bisa menjerat dan menjepit puluhan kali lipat kekuatan jepitan gajah.
"Hei! Kenapa kau diam saja"!" tegur gadis
bertubuh langsing. "Kau belum menjawab pertanyaanku! Siapa kau" Dan, ilmu apa
yang baru kau tunjukkan tadi?"
Pendekar Bodoh cengar-cengir sejenak. Setelah menggaruk kepalanya yang tak
gatal, dia berkata. Tak ada yang istimewa tentang diriku.
Aku bernama Seno Prasetyo. Namun jangan heran kalau suatu saat nanti Nona
mendengar aku dipanggil orang Pendekar Bodoh...."
"Pendekar Bodoh?"
"Ya. Aneh bukan" Tapi begitulah orang
memberi julukan kepadaku. Aku pun tak bisa
menolaknya...."
"Sudah! Sudah!" sela si gadis. "Aku tak
kenal siapa kau. Tak ada pula yang menarik tentang dirimu! Namun, kau harus
mengatakan dengan jujur, ilmu apa yang baru kau gunakan untuk menarik tubuhku
tadi!" "Ah!" desah Seno, menahan rasa hatinya
yang tiba-tiba jadi amat jengkel. "Kau bertanya
seperti pada pesakitan. Aku orang bebas merdeka
yang tak terikat atau diperbudak oleh siapa
pun...." "Huh! Siapa bilang"! Apakah otakmu begitu
tolol sehingga kau tidak tahu bila dirimu berada
di Tanah Dipertuan Ratu" Siapa pun atau apa
pun yang masuk ke tempat ini menjadi milik Bidadari Satu Hati. Hewan ataupun
manusia yang berada di tempat ini jadi tak bebas lagi. Mereka
harus menuruti segala keinginan Bidadari Satu
Hati. Termasuk kau, Pendekar Bodoh! Oleh karenanya, kau tak punya kebebasan lagi
sebelum Bidadari Satu Hati membebaskanmu. Kau harus
tunduk dan patuh pada aturan yang telah dibuat
oleh Bidadari Satu Hati. Karena itulah kau harus
menjawab pertanyaanku dengan jujur, agar nanti
kau tak dijatuhi hukuman mati!"
Seno hendak tertawa mendengar keterangan gadis bertubuh langsing. Namun karena
tak mau menyinggung perasaan orang, cepat ditahannya keinginan tertawa itu.
"Aneh sekali.... Aneh sekali...," desis Pendekar Bodoh yang tak mampu menahan
rasa he- rannya. "Siapa itu Bidadari Satu Hati" Kenapa dia
membuat aturan sepihak seperti ini?"
"Dia ibuku," jawab gadis bertubuh langsing, singkat namun amat ketus.
"Ibumu" Lalu, kau sendiri siapa?"
"Aku?"
"Ya."
Mendadak, gadis bertubuh langsing tersipu
malu. Pipinya langsung merona merah. Seno tak
bisa menebak ada apa di balik sikap gadis berpakaian putih-biru itu. Namun, dia
bisa memastikan bila si gadis amatlah kurang pergaulan, atau
paling tidak, jarang sekali bertemu dengan seorang pria. Sehingga, dia jadi
begitu canggung ketika ada pria yang menanyakan siapa dirinya.
Tanpa sadar, Pendekar Bodoh menghubung-hubungkan keberadaan gadis berpakaian
putih-biru itu dengan Putri Hati Lurus. Mereka
sama-sama cantik namun mau saja tinggal di
tempat yang amat jarang dijamah manusia. Apakah di antara keduanya memang ada
hubungan" Apakah keduanya dihubungkan oleh panji-panji
Perkumpulan Beruang Merah yang begitu banyak
menyimpan rahasia"
"Hei! Hei!" bentak si gadis tiba-tiba, membuat Pendekar Bodoh menggerigap kaget.
"Kau ditanya malah balik bertanya. Hayo! Katakan Ilmu
apa yang baru kau tunjukkan tadi!"
"Hmmm.... Yah! Kalau kujawab, sudilah
kau menyebutkan namamu, Nona...," sahut Seno,
tak sadar berkata nakal. Namun, si gadis tak me-
rasa. Wajahnya malah berubah tak seketus tadi.
"Boleh. Tapi, kau jangan menipu! Aku
khawatir Ibuku akan membunuhmu...," desis gadis yang tiba-tiba sikapnya berubah
penuh kekhawatiran itu, pelan sekali.
Tersenyum senang Pendekar Bodoh. Lalu
katanya, "Aku tadi menarik tubuhmu dengan
'Tenaga Beruang Merah'...."
Tapi tiba-tiba....
"Benar dugaanku! Orang yang dapat menguasai 'Tenaga Beruang Merah' kalau tidak
sang ketua, pastilah orang jahat yang layak dienyahkan dari muka bumi!"
Tersurut mundur Pendekar Bodoh mendengar suara keras menyiratkan ancaman itu.
Apalagi setelah muncul sesosok bayangan hitam
di hadapannya! "Si... siapa kau?" kejut Pendekar Bodoh.
2 SOSOK orang yang baru datang itu berdiri
garang di atas tonjolan batu. Tubuhnya padat berisi, terbungkus pakaian ketat
serba hitam. Sorot
matanya tajam berkilat, membuat hati Pendekar
Bodoh jadi berdebar-debar.
Dia seorang wanita berusia tiga puluh tahun. Berkulit putih bersih dan berparas
cantik menawan. Garis-garis wajahnya amat mirip dengan gadis bertubuh langsing yang
berdiri tak jauh
dari hadapan Pendekar Bodoh. Karena kemiripan
itulah Pendekar Bodoh bisa memastikan bila si
wanita berpakaian serba hitam adalah Bidadari
Satu Hati, yang tak lain ibu si gadis.
Hanya sayangnya, di balik kecantikan wanita yang memang Bidadari Satu Hati itu,
tatapan matanya menyiratkan rasa tak suka terhadap
Pendekar Bodoh. Oleh sebab apa" Hal itulah yang
membuat hati si pemuda jadi bertanya-tanya.
Hal itu pula yang memaksa Pendekar Bodoh untuk bersikap waspada. Bukankah
kemunculan Bidadari Satu Hati tadi dibarengi kata-kata
ancaman" Bahkan, ancaman berdarah!
Seno tak berani memandang remeh. Ketika
sosok bayangan Bidadari Satu Hati berkelebat datang, si pemuda dapat melihat
daun yang berguguran akibat terhempas tiupan angin yang ditimbulkan oleh
kelebatan tubuh wanita itu. Malah,
Seno sempat tersurut mundur selangkah, karena
kelebatan tubuh wanita yang menyelipkan sebatang pedang di punggung itu juga
menimbulkan tenaga dorong yang cukup kuat.
"Kusuma Suci!" seru Bidadari Satu Hati
kepada putrinya, si gadis bertubuh langsing. "Dari mana datangnya pemuda liar
itu" Apa dia tidak
tahu kalau tempat ini terlarang dimasuki orang
luar?" Dengan perasaan takut-takut, gadis berpakaian putih-biru yang dipanggil Kusuma
Suci berjalan mendekati Bidadari Satu Hati. Namun, kepala si gadis terus
tertunduk. Tak satu patah kata
pun yang dapat diucapkannya.
"Kenapa kau diam saja, Kusuma"!" bentak
Bidadari Satu Hati dengan air muka merahpadam. "Tak mungkin dia pemimpin kita.
Patutlah dicurigai bagaimana dan dari mana dia bisa
menguasai 'Tenaga Beruang Merah'. Kenapa dia
tak langsung kau bunuh saja?"
Terperanjat Pendekar Bodoh mendengar
kata-kata ketus wanita yang rambutnya digelung
ke atas itu. Si wanita mengucap kata 'bunuh' begitu ringan tanpa beban apa-apa.
Sepertinya, dia
memang telah terbiasa membunuh sesama manusia. Atau paling tidak, dia telah
terbiasa menyuruh atau memerintah putrinya untuk membunuh siapa saja yang berani
masuk ke Tanah Dipertuan Ratu, yang dianggap sebagai tanah miliknya.
"Dia mengaku bernama Seno Prasetyo dan
bergelar Pendekar Bodoh...," ujar Kusuma Suci
kemudian, masih takut-takut. "Tapi tampaknya...,
dia bukan orang jahat, Bu. Untuk apa aku membunuhnya"
Mendengus gusar Bidadari Satu Hati. Ditatapnya tajam-tajam sosok Kusuma Suci
yang berdiri menundukkan kepala.
Sifat galak dan ketus Kusuma Suci yang
tadi ditunjukkan pada Seno kini tak berbekas
sama sekali. Kedatangan Bidadari Satu Hati seakan telah mengubah sifatnya
menjadi seorang gadis yang amat penakut.
"Sudah berkali-kali kubilang, hati yang le-
mah bisa membuat malapetaka!" sembur Bidadari
Satu Hati yang tampaknya amat keras kepala dan
sering memaksakan kehendak. "Hati-hatilah terhadap orang yang kelihatan baik. Di
dunia ini banyak serigala berbulu domba. Kalau tak ingin dicabik-cabik binatang
buas itu, jangan cuma
menggunakan pandangan mata untuk menilai
orang!" Pendekar Bodoh hanya diam cengar-cengir.
Pemuda remaja bertubuh tinggi tegap itu
berusaha menekan perasaannya yang tersinggung. Kata-kata Bidadari Satu Hati
memang semakin pedas didengar telinga. Dia berkata seakan
telah dapat membuktikan bila Pendekar Bodoh
benar-benar orang jahat yang patut dienyahkan.
Dan..., melonjak kagetlah Seno manakala
Bidadari Satu Hati melompat mendekatinya. Namun, bukan karena gerak lompatan
wanita berpakaian ketat serba hitam itu yang membuat Seno mendelikkan mata.
Sambil melompat, ternyata
Bidadari Satu Hati menyorongkan telapak tangan
kanannya yang telah teraliri tenaga dalam. Hingga, satu gelombang angin pukulan
ganas meluruk deras ke arah Seno!
"Hih...!"
WUSSS...! Sementara Seno masih bingung memikirkan tindakan apa yang harus diperbuatnya,
alam bawah sadar si pemuda bekerja lebih cepat. Tanpa disadari oleh Seno sendiri,
kekuatan tenaga
dalamnya mengalir ke seluruh tubuhnya. Hingga,
tubuh si pemuda jadi dibentengi oleh ilmu kebalnya yang bernama, 'Perisai Dewa
Badai'. Dan tanpa disadari pula, kedua telapak tangannya terangkat untuk
melindungi dada. Sampai kemudian....
Blarrr...! Sebuah ledakan cukup keras menggelegar
di angkasa. Debu mengepul tebal. Bongkahan batu bercampur kerikil! beterbangan,
dan tentu saja menutupi pandangan beberapa lama.
Bidadari Satu Hati terkejut bukan alangkepalang. Lebih dari separo umurnya dia
gunakan untuk melatih kekuatan tenaga dalam. Dan
karena tekunnya berlatih, tenaga dalamnya tentu
telah meningkat sedemikian tinggi. Tapi waktu gelombang angin pukulannya
membentur telapak
tangan Pendekar Bodoh tadi, kenapa tak berakibat buruk pada si pemuda" Tubuh
Bidadari Satu Hati sendiri malah terpental sejauh lima tombak!
Namun sesungguhnya, pukulan jarak jauh
Bidadari Satu Hati tadi bukan tidak berpengaruh
apa-apa terhadap Seno. Si pemuda sempat merasakan isi dadanya bergetar, membuat
jalan nafasnya buntu dan terasa amat sesak. Dan karena
pandangannya turut mengabur, tanpa sadar kakinya tersurut mundur tiga langkah.
Sementara, Kusuma Suci yang menyaksikan peristiwa mendebarkan itu memekik
khawatir. Namun, tak jelas kepada siapa kekhawatirannya itu ditujukan.
Kepada Bidadari Satu Hati ibunya atau ke-
pada Pendekar Bodoh" Kalau kekhawatirannya
ditujukan kepada sang ibu, kenapa tatapan gadis
itu terus tertuju ke sosok Pendekar Bodoh"
"Kurang ajar! Berani masuk ke Tanah Dipertuan Ratu kiranya kau sengaja hendak
pamer kekuatan!" geram Bidadari Satu Hati. "Tapi ketahuilah, selama aku berdiam di
tempat ini, tak ada
satu pun manusia yang mampu menahan pukulanku. Kalau memang kau punya kekuatan
hebat, cobalah kau tunjukkan sekali lagi!"
Memucat wajah Kusuma Suci seketika.
Bidadari Satu Hati tampak melompat lagi
dan melancarkan pukulan jarak jauh untuk kedua kalinya. Kusuma Suci hendak
berteriak mencegah. Namun, mulutnya terasa terkunci rapat.
Untuk apa dia membela Pendekar Bodoh" Bukankah dia belum mengenal pemuda itu"
Siapa tahu si pemuda memang orang jahat" Pendekar
Bodoh bisa menguasai 'Tenaga Beruang Merah'.
Sementara, Pendekar Bodoh nyata-nyata
bukan ketua perkumpulan itu. Kalau begitu, si
pemuda mendapatkan ilmunya itu dari mencuri!
Tapi..., benarkah demikian"
Kenapa Kusuma Suci amat tak menyukai
tindakan ibunya yang menyerang Pendekar Bodoh" Mungkinkah ada satu alasan lain
yang berada di luar jangkauan akal pikirannya" Alasan
apakah itu" Kusuma Suci pun tak tahu rasa hatinya sendiri. Dia cuma dapat
berdiri terpaku ketika satu gelombang angin pukulan yang lebih
ganas meluruk deras ke arah Pendekar Bodoh.
Kali ini Pendekar Bodoh dapat membaca
keadaan. Dengan kesadaran penuh, dia keluarkan ilmu 'Perisai Dewa Badai'. Sambil
memasang kuda-kuda, dia jajarkan kedua telapak tangannya


Pendekar Bodoh 12 Munculnya Sang Pewaris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di depan dada. Rupanya, murid Dewa Dungu itu tidak
bermaksud membalas serangan Bidadari Satu
Hati dengan serangan pula. Si pemuda hanya
bermaksud menadahi pukulan jarak jauh yang
tertuju tepat ke dadanya, walau sebenarnya hal
itu amatlah berbahaya.
Gebrakan pertama yang sempat melontarkan tubuh Bidadari Satu Hati tadi, belum
dapat dijadikan ukuran bila tenaga dalam wanita itu kalah tinggi.
Namun tampaknya, Pendekar Bodoh memang tidak sebodoh yang dikira orang. Meskipun
perbuatannya terlihat asal-asalan, ternyata ketika
bentrokan dua kekuatan tenaga dalam terjadi lagi, tubuh Bidadari Satu Hati
tampak terpental
kembali. Bahkan, kali ini mencelat lebih jauh dan
hampir saja membuat wanita itu jatuh terbanting
kalau saja dia tidak mempunyai ilmu peringan
tubuh yang cukup hebat.
Keadaan Pendekar Bodoh sama seperti tadi. Gelombang angin pukulan Bidadari Satu
Hati hanya membuat tubuhnya tersurut mundur tiga
langkah tanpa menderita luka dalam sedikit pun!
"Jahanam!" dengus Bidadari Satu Hati
sambil menahan rasa sesak di dadanya. "Wajahmu tampak begitu tolol. Tapi
ternyata, kau mem-
punyai kepandaian hebat. Namun..., siapa pun
yang masuk ke Tanah Dipertuan Ratu tanpa izin
hanya akan menerima satu akibat. Mati! Jika beruntung, kau bisa pergi dari
tempat ini dengan
selamat. Tapi, kau harus melangkahi mayatku
dulu!" "Tunggu!" seru Seno ketika melihat Bidadari Satu Hati hendak menerjangnya. "Aku
tak sengaja masuk ke tempat ini. Kenapa aku mesti dihukum mati" Kalaupun tempat
ini milikmu, apakah kau punya sifat yang begitu kejamnya sehingga kali hendak
membunuh orang tanpa
mempertimbangkan kesalahan orang itu lebih dulu?"
Seno berucap dengan raut wajah kebodohbodohan seperti wajah seorang bayi yang
tak berdosa. Rentetan kalimat yang keluar dari mulutnya
terdengar datar tanpa tekanan. Sepertinya, dia
mengatakan kalimat yang telah dihafalkan sebelumnya.
Namun, sifat lugu yang ditunjukkan pemuda remaja itu malah membuat Bidadari Satu
Hati menggereng marah. Dengan sinar mata berkilat, dia berkata....
"Soal kelancanganmu masuk ke Tanah Dipertuan Ratu ini mungkin aku masih bisa
memaafkan. Tapi soal ilmu menghimpun tenaga dalam bernama 'Tenaga Beruang Merah'
yang baru beberapa saat kau tunjukkan tadi, mana mungkin aku mau membiarkanmu keluar dalam
keadaan hidup" Kau pasti kaki tangan Iblis Pemburu
Dosa yang telah berhasil mencuri ilmu kesaktian
sang ketua! Oleh karena itu, bersiap-siaplah untuk mengadu nyawa denganku!"
"Eh! Eh!" kesiap Seno. "Mana bisa begitu"
Aku bukan kaki-tangan Iblis Pemburu Dosa...."
"Cukup! Kau tak berhak berkata-kata lagi!"
sergap Bidadari Satu Hati. "Siapkan saja ilmu kesaktianmu yang terhebat, agar
tak menyesal kau
nantinya jika harus melepas nyawa di tempat ini!
Namun sebelum bertempur, harap kau tahu,
orang-orang menyebutku sebagai Bidadari Satu
Hati karena hati dan jiwaku memang hanya untuk kebesaran panji-panji Perkumpulan
Beruang Merah. Apa pun yang kulakukan, hanyalah untuk
kebesaran perkumpulan. Karena aku mencurigaimu sebagai kaki-tangan Iblis Pemburu
Dosa yang nyata-nyata musuh besar perkumpulan,
maka wajiblah aku membunuhmu!"
Usai berkata, wanita berkulit putih bersih
itu menghunus pedang besar yang terselip di
punggungnya. Keluarnya bilah pedang dari sarungnya membersitkan suara berdesing
yang menyakitkan gendang telinga.
Wajah Kusuma Suci tambah memucat. Si
gadis tahu benar tabiat Ibunya. Kalau Bidadari
Satu Hati telah menghunus pedangnya, pantang
disarungkan lagi sebelum dibasahi cairan darah
segar! Sementara, Pendekar Bodoh pun tak punya
pilihan lain kecuali harus melayani tantangan Bidadari Satu Hati. Sebenarnya,
dia hendak mem-
beri penjelasan perihal 'Tenaga Beruang Merah'nya yang didapat dari kitab
warisan Salya Tirta
Raharja. Namun melihat Bidadari Satu Hati yang
begitu keras kepala dan cenderung memaksakan
kehendak, lidah si pemuda jadi kelu. Hanya benaknya yang terus dibanjiri
berbagai tanda tanya.
Menilik dari kata-kata Bidadari Satu Hati
tadi, jelas menunjukkan bila wanita itu merupakan anggota Perkumpulan Beruang
Merah. Lalu, adakah hubungan antara Bidadari Satu Hati dengan Dewi Cinta Kasih dan Putri Hati
Lurus yang pernah dijumpai Seno belum lama ini" Kalau
memang mereka punya hubungan, benarkah Perkumpulan Beruang Merah benar-benar
ada" Dan, bagaimana dengan wasiat Salya Tirta Raharja
yang mengangkat Seno sebagai ketua perkumpulan itu"
Seno nyengir kuda.
Melihat kelebatan sinar pedang yang dibarengi suara gemuruh keras, tanpa pikir
panjang lagi pemuda lugu itu meloloskan Tongkat Dewa
Badai yang terselip di ikat pinggangnya. Namun,
dapatkah dia bertahan dari gempuran Bidadari
Satu Hati tanpa melukai wanita itu"
3 KITA berhenti dulu! Ada orang usil mengikuti kita!" seru seorang nenek
berpakaian putih
penuh tambalan, seraya menghentikan kelebatan
tubuhnya. Gadis cantik berusia dua puluh tahun yang
berkelebat di belakang bayangan nenek berkulit
putih itu langsung menghentikan kelebatan tubuhnya pula. Kening si gadis kontan
berkerut rapat. Kalau benar apa yang dikatakan si nenek,
kenapa telinganya tak menangkap suara-suara
yang mencurigakan"
"Aku tak mendengar apa-apa, Nek,..," cetus
gadis bertubuh tinggi semampai yang mengenakan pakaian putih berkembang-kembang.
Paras gadis itu cantik sekali. Rambutnya
yang hitam panjang diikat dengan ikatan berupa
penjepit emas, sebagian dibiarkan tergerai ke bahu. Kecantikan si gadis semakin
terpancar karena
dia memiliki bola mata yang bening dan bersinar
bak bintang kejora.
Menilik garis-garis wajahnya, dapat dipastikan bila dia tak lain si Putri Hati
Lurus; Sekar Telasih. Dan, nenek berusia delapan puluh tahun
yang berada di dekatnya adalah si Dewi Cinta Kasih; Kembang Andini.
"Diamlah! Aku juga tak mendengar apaapa. Tapi, perasaanku mengatakan bila ada
orang yang mengikuti langkah kita! Aku mencium aroma harum kayu cendana yang terasa
aneh...," ujar si nenek, menyalip ucapan cucunya. "Aku
sangat yakin, orang yang menguntit kita itu
mempunyai ilmu peringan tubuh hebat sekali.
Waspadalah! Kalau tidak bermaksud buruk untuk
apa dia berbuat sembunyi-sembunyi seperti ini?"
Nenek yang wajahnya menyiratkan sejuta
duka itu diam terpaku dalam kewaspadaan penuh. Tatapan matanya berubah tajam
menusuk, menyisiri setiap jengkal tempat di antara jajaran
pohon yang dikelilingi semak-belukar. Dilihatnya
pula bongkah-bongkah batu besar yang bisa dijadikan tempat untuk persembunyian.
Namun, hanya kekecewaan yang didapat. Tak seorang pun
manusia yang tampak kecuali dirinya sendiri bersama Sekar Telasih.
Selagi Kembang Andini menggerutu panjang-pendek menumpahkan kekesalan hatinya,
Sekar Telasih berjalan mondar-mandir. Si gadis
berusaha mencari lebih cermat. Namun, seperti
yang didapat Kembang Andini, hanya kekecewaan
pula yang diperolehnya.
Mendadak, hati Sekar Telasih berdebar
kencang. Indera penciumannya menangkap aroma harum kayu cendana seperti yang
dikatakan Kembang Andini tadi. Mungkinkah aroma harum
itu menebar dari wangi-wangian yang dipakai si
penguntit"
Dengan sedikit memalingkan muka ke kiri,
Sekar Telasih menajamkan indera pendengarannya, karena indera penglihatannya tak
dapat diandalkan lagi. Namun ketika melihat puncak Gunung Lawu yang tersaput
mega, debar-debar hati
gadis cantik itu menghilang perlahan. Malah, dia
berdiri terpaku sampai beberapa lama untuk menikmati pemandangan indah yang
menyejukkan matanya. Selama tinggal bersama Kembang Andini di
dalam sebuah hutan lebat, nyaris tak pernah Sekar Telasih melihat wujud gunung.
Yang dilihatnya sehari-hari hanyalah jajaran pohon dan semak-belukar. Oleh
karenanya, tak bosan si gadis
menatap puncak Gunung Lawu yang berada di
sebelah timur tempatnya berdiri.
Akan tetapi, gadis bertubuh tinggi semampai itu segera dikejutkan oleh suara
teriakan neneknya. Tanpa sadar, dia cekal erat-erat senjata
berupa alat musik kecapi di tangannya.
"Kalau melihat bahaya, kura-kura senantiasa menyembunyikan kepalanya. Kalau kau
tak mau dikatakan bernyali kura-kura, kenapa mesti
menyembunyikan diri" Apakah kau melihat bahaya yang begitu menakutkanmu, Orang
Usil?" Di ujung kalimat Dewi Cinta Kasih itu,
mendadak terdengar suara tawa terkekeh-kekeh.
Dewi Cinta Kasih dan Putri Hati Lurus langsung
mengarahkan pandangan ke asal suara. Dan terperanjatlah mereka...
Di atas sebatang pohon tinggi menjulang
terlihatlah seorang kakek berpakaian kumal kelabu yang tengah duduk bersila.
Rambutnya putih
panjang, digelung ke atas dan dilingkari sebuah
gelang perak. Raut wajahnya mencerminkan sifat
welas asih dan kehalusan budi. Hanya saja, tatapan matanya tampak kosong seperti
orang berotak bebal.
Hebatnya, kakek bertubuh kurus-kering
itu duduk di atas rangkaian daun yang paling
ujung! Tangkai daun yang diduduki si kakek tidak melengkung ataupun patah.
Padahal, meski kurus-kering, tubuh si kakek pastilah tidak seringan kapas!
"He he he...," tawa kekeh kakek yang tampak sudah sangat uzur itu. "Jangan
keburu naik pitam, kau nenek yang di bawah sana. Mataku
sudah amat lamur. Terpaksa aku berlaku seperti
ini karena aku ingin membuktikan dugaanku.
Aku baru keluar dari tempat pengasinganku.
Apakah kau salah seorang sahabatku yang bernama Kembang Andini alias Dewi Cinta
Kasih?" Di ujung kalimatnya, kakek berpakaian
kumal membiarkan tubuhnya menggelosoh jatuh.
Namun, gerak turunnya ringan sekali, dan mendarat di tanah tanpa mengeluarkan
suara sedikit pun meski meluncur dari ketinggian sepuluh
tombak lebih! Kembang Andini mengerutkan kening.
Nenek berkulit putih itu memutar daya ingatnya. Sepertinya, dia juga mengenali
kakek berpakaian kumal yang telah berdiri dua tombak dari
hadapannya. Tapi siapa"
Melihat si kakek yang berdiri sambil menggaruk-garuk kepala, mendadak Kembang
Andini tersenyum simpul. Ya! Dia memang pernah mengenal kakek bertubuh kurus-kering
itu. Tapi siapa" Kembali Andini jadi lupa-lupa ingat.
Namun ketika Kembang Andini mencium
lagi aroma harum kayu cendana yang menebar
dari baju kumal si kakek, mendadak dia melonjak
girang seraya berseru, "Kau...! Kau...! Bukankah
kau Dewa Dungu...?"
"He he he...," kakek berpakaian kumal yang
memang Dewa Dungu tertawa terkekeh lagi. Kali
ini tangan kanannya bergerak menggaplok-gaplok
kepalanya sendiri. "Tepat apa yang kau katakan.
Aku memang Dewa Dungu. Namun, jangan biarkan aku termakan rasa penasaran.
Cepatlah kau katakan, benarkah kau Kembang Andini yang
bergelar Dewi Cinta Kasih?"
"Heran aku...," desis Kembang Andini. "Kalau benar kau Dewa Dungu, kenapa kau
bisa berdiri tegak seperti itu" Bukankah kedua kakimu
telah dibuat lumpuh murid murtadmu si Setan
Selaksa Wajah; Mahisa Lodra?"
Dewa Dungu menggaplok kepalanya lebih
keras sampai tubuhnya oleng ke kiri. Seperti
orang menggerutu, dia berkata, "Kejadian itu sudah lama sekali. Selagi manusia
masih punya nyawa, wajiblah berusaha. Untung juga Yang Kuasa memberi berkah. Aku dapat
menyatukan lagi
kekuatan tubuhku, hingga penyembuhan kakiku
yang lumpuh. Tapi..., hei! hei! Kau jangan terus
bertanya! Katakan dulu, benarkah kau Kembang
Andini?" "Kau kok ngotot betul, Kakak Buruk Rupa!
Kalau benar nenekku adalah Kembang Andini
yang bergelar Dewi Cinta Kasih, kau mau apa"!"
sentak Putri Hati Lurus yang tiba-tiba merasa
jengkel melihat ulah Dewa Dungu yang mirip
orang tak waras.
Andai gadis berpakaian putih berkembangkembang itu tahu siapa Dewa Dungu
sebenarnya, pastilah dia tak akan mengucapkan kata-kata kasar. Jauh hari sebelum Putri Hati
Lurus lahir, Dewa Dungu sudah malang-melintang di rimba
persilatan yang sulit dicari tandingannya. Orangorang menjulukinya Dewa Dungu


Pendekar Bodoh 12 Munculnya Sang Pewaris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya karena si
kakek punya sifat pelupa dan tatapan matanya
pun senantiasa kosong seperti orang berotak bebal. Kenyataannya, tentu saja Dewa
Dungu tidaklah berotak dungu.
Ketika menemukan Kitab Sanggalangit
yang terdiri lima bagian, Dewa Dungu mengasingkan diri di salah satu lembah
Gunung Lawu bersama muridnya yang bernama Mahisa Lodra.
Sayang, Dewa Dungu kurang jeli dalam memilih
murid. Mahisa Lodra ternyata punya sifat licik
dan jahat. Setelah mencuri dua bagian Kitab
Sanggalangit, Mahisa Lodra tega membuat lumpuh sepasang kaki gurunya dengan
menggunakan ilmu totokan. Ketika itu Dewa Dungu sedang
melakukan semadi dan tak pernah menyangka bila muridnya akan bertindak murtad,
sehingga dengan mudah dia dijatuhi totokan yang membuat jalan darahnya 'salah api'.
Selama tiga puluh tahun hidup di lembah
Gunung Lawu yang sepi dalam keadaan lumpuh,
Dewa Dungu menemukan tubuh seorang bocah
berumur dua belas tahun yang baru jatuh dari
bibir jurang. Bocah lelaki yang tak lain Seno Prasetyo itu lalu diangkat sebagai
murid. Setelah di-
gembleng selama lima tahun, si bocah tumbuh
menjadi seorang pemuda berkepandaian tinggi.
Dan ketika diperintah untuk terjun ke rimba persilatan, murid Dewa Dungu itu
akhirnya mendapat julukan Pendekar Bodoh. Dan dalam pengembaraannya, Pendekar
Bodoh berhasil melaksanakan amanat gurunya untuk menghukum mati si
murid murtad Mahisa Lodra. (Agar lebih jelas, baca serial Pendekar Bodoh
episode: "Tongkat Dewa
Badai" sampai "Pusaka Pedang Naga", terdiri dari
delapan episode).
Sementara, sepeninggal Seno Prasetyo,
Dewa Dungu terus melatih menghimpun kembali
inti kekuatan tubuhnya yang dibuat kacau oleh
totokan Mahisa Lodra. Berkat kemauan keras
yang tak mengenal lelah, akhirnya sepasang kaki
Dewa Dungu yang lumpuh dapat bekerja normal
kembali. Dan kini, dia keluar dari lembah Gunung Lawu tempat tinggalnya hanya
dengan satu tujuan, yaitu mencari kabar berita perihal muridnya si Pendekar Bodoh; Seno
Prasetyo. Namun belum seberapa jauh melakukan
perjalanan, Dewa Dungu melihat kelebatan tubuh
Kembang Andini bersama cucunya. Meski Kembang Andini berkelebat cepat sekali,
Dewa Dungu masih dapat melihat jelas bagaimana raut wajah
si nenek. Sehingga, Dewa Dungu terus menguntit
untuk membuktikan kebenaran penglihatannya
sendiri. "He he he...," si kakek malah tertawa terkekeh-kekeh mendengar kata-kata kasar
Sekar Te- lasih. "Walau mataku sudah kabur, aku masih bisa melihat bila kau memiliki
tulang bagus. Kau
amat berbakat mendalami ilmu silat. Terima kasih. Terima kasih. Bolehlah kau
punya sifat ketus
karena kau memang punya kepandaian yang cukup bisa diandalkan. Terima kasih.
Terima kasih. Kau telah mengatakan bila nenek itu memang
Kembang Andini. Hmmm.... Terima kasih sekali....
Jadi, pandangan mataku masih dapat dipercaya...."
Sambil tertawa terkekeh, kakek yang bajunya senantiasa menebarkan aroma harum
kayu cendana itu melangkah mendekati Dewi Cinta Kasih. Sinar matanya tampak berbinar-
binar. Perjumpaannya dengan Dewi Cinta Kasih memang
amat menggembirakan hati si kakek.
"Maaf, aku harus segera pergi...," ujar
Kembang Andini tiba-tiba, seakan tak suka melihat kehadiran Dewa Dungu.
"Eh! Eh! Kau kenapa, Andini?" kesiap Dewa
Dungu, tatapan matanya berubah kosong lagi.
"Lebih dari empat puluh tahun lalu, bukankah kita saling bersahabat" Apakah usia
tua membuatmu lupa pada persahabatan kita" Atau
mungkin..., kau telah berubah sifat...?"
"Nenekku bukan orang yang mudah melupakan tali persahabatan!" sahut Sekar
Telasih, ketus. "Aku dan nenekku punya satu urusan
panting. Mana sempat bertatap muka lama-lama
danganmu, Kakek Jelek!"
"Hus!" sergah Kembang Andini, menegur.
Nenek berpakaian putih penuh tambalan
itu merasa tak enak hati mendengar ucapan cucunya. Sikap dan tindak-tanduk Dewa
Dungu memang tampak amat menyebalkan, tapi tidak
pada tempatnya bila Sekar Telasih berkata kasar
kepada si kakek. Namun, Kembang Andini pun
jadi maklum. Sekar Telasih memang jarang sekali
bersikap ramah terhadap orang yang belum dikenalnya.
"He he he...," tawa kakek Dewa Dungu untuk kesekian kalinya. "Kau menyebut
Kembang Andini 'nenek', apa kau cucunya" Ya! Ya! Kau
memang pantas jadi cucunya. Garis-garis wajahmu sama. Sifatmu pun sama. Sewaktu
muda, nenekmu itu juga galak sepertimu! He he he...."
"Ah! Maafkan aku, Turangga...," sahut
Kembang Andini, menyebut nama kecil Dewa
Dungu. "Aku memang punya urusan penting. Aku
tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Hanya saja, kau mesti tahu. Aku senang
melihat kau dalam keadaan segar-bugar seperti itu. Tapi, kita
harus berpisah lagi. Kalau umur sama panjang,
dapatlah nanti kita membuat pertemuan lagi...!"
Di ujung kalimatnya, nenek itu menggamit
lengan Sekar Telasih untuk diajak pergi. Namun
sebelum mereka berkelebat lenyap, Dewa Dungu
berteriak mencegah.
"Tunggu...!"
Seruan itu keras menggelegar karena tanpa
sadar Dewa Dungu mengaliri getaran suaranya
dengan tenaga dalam. Namun, Dewi Cinta Kasih
tetap meneruskan niatnya untuk berlalu dari hadapan si kakek. Tubuh ramping
Sekar Telasih sedikit diangkatnya, mengajak si gadis agar cepatcepat berlari
dengan menggunakan ilmu lari cepat.
"Hei! Hei! Tunggu...!"
Dewa Dungu berteriak lagi. Kali ini seruan
si kakek dibarengi kelebatan tubuhnya, menghadang langkah Kembang Andini dan
Sekar Telasih. Begitu kaki Dewa Dungu mendarat di tanah,
aroma harum kayu cendana semakin tercium di
mana-mana. "Kita sama-sama sudah bau tanah. Sebelum tubuh kita sama-sama jadi santapan
rayap dan cacing, kenapa mesti menambah dosa dengan
menambah-nambah perkara dunia?" ujar Dewi
Cinta Kasih, menahan jengkel.
Dewa Dungu menggaruk-garuk kepalanya
yang tak gatal. Mendadak, bola matanya membesar. Lalu....
Plok! Plok! Dua kali kakek berbaju kumal namun senantiasa menebarkan aroma harum kayu
cendana itu menggaplok kepalanya sendiri. Seperti
orang kebingungan, dia berkata, "Uh! Aku bukan
hendak menambah dosa ataupun membuat perkara denganmu, Andini. Aku hanya ingin
bertanya sesuatu kepadamu. Tapi... "
Plok! Plok! Menggelikan sekali kelakuan kakek bertubuh kurus-kering itu. Kepalanya digaplok
lagi dua kali. Karena cukup banyak mengeluarkan tenaga,
tubuh si kakek sampai oleng dan terhuyunghuyung. Dan begitu dapat berdiri tegak
lagi, dia cuma cengar-cengir tanpa jelas apa maknanya.
Sekar Telasih yang tak suka melihat tampang Dewa Dungu mendadak tertawa
cekikikan. Ulah si kakek mirip badut yang tengah mempertunjukkan sebuah lelucon. Namun,
Kembang Andini yang sudah tahu sifat dan tabiat Dewa Dungu cuma tersenyum
simpul. "Agaknya, penyakit lamamu makin parah,
Turangga...," ujar si nenek. "Bila lupa pada sesuatu, dari dulu kau selalu
menggaplok-gaplok kepalamu sendiri. Apakah gerangan sebenarnya yang
hendak kau sampaikan kepadaku?"
Suara Kembang Andini terdengar lebih
lembut. Melihat ulah Dewa Dungu tadi, mendadak timbul rasa kasihan di hatinya.
Si nenek dapat menduga bila Dewa Dungu memang punya
sesuatu yang akan disampaikan kepadanya. Tapi
karena Dewa Dungu amat pelupa, si kakek sampai menggaplok-gaplok kepalanya
sendiri. "Uh! Ya! Ya! Kau benar!" seru Dewa Dungu
kemudian. "Tapi..., aku bukan hendak menyampaikan sesuatu. Aku hendak bertanya.
Eh! Eh! Aku lupa apa yang akan kutanyakan...."
Tersenyum lagi Kembang Andini. Lalu katanya, "Untuk mengingat-ingat kau tentu
butuh waktu. Sementara, aku juga mengejar waktu. Tidakkah kau bisa menanyakan hal itu
di lain waktu saja?"
"Ah! Tidak! Tidak!" tolak Dewa Dungu. "Aku
harus menanyakannya sekarang. Biar kakiku
punya arah untuk berjalan. Tapi.... Oh! Oh! Ya!
Aku ingat sekarang...."
Mendadak, kakek yang tampak seperti
orang tak waras itu melonjak-lonjak kegirangan.
Mulutnya bersenandung. Tapi, suara yang terdengar malah mirip dengungan
sekelompok lebah.
"Turangga!" sentak Kembang Andini, jadi
ketus lagi. "Kalau sudah ingat, kenapa tidak segera kau tanyakan" Jangan buat
aku naik pitam karena ulah konyolmu itu!"
"Sebal!" tambah Sekar Telasih. "Biar kuhajar saja kakek edan itu, Nek!"
"He he he...," Dewa Dungu tertawa terkekeh-kekeh. "Kau mau menghajarku, Anak
Manis" Boleh! Boleh! Tapi lain waktu saja. Aku hendak
bertanya kepada nenekmu itu. Aku juga dikejar
waktu! He he he...."
Setelah cengar-cengir sejenak, tiba-tiba wajah kakek itu jadi amat pucat. Bola
matanya membesar lagi. "Uh! Aku lupa lagi! Aku lupa lagi!" serunya
sambil menggaplok-gaplok kepalanya berutang
kali. Kontan Kembang Andini yang sudah mencoba bersabar malah jadi jengkel bukan main.
Langsung dijejaknya tanah untuk segera berkelebat pergi bersama Sekar Telasih.
Tapi.... "Tunggu! Aku sudah ingat!" seru Dewa
Dungu, memaksa Kembang Andini dan Sekar Te-
lasih mengurungkan niatnya untuk meninggalkan
tempat. "Apa" Cepat katakan!" bentak Sekar Telasih, galak sekali
"Ya! Ya! Tapi, aku bukan hendak bertanya
kepadamu Anak Manis. Aku mau bertanya pada
nenekmu itu...," sahut Dewa Dungu.
"Jangan mengulur waktu lagi, Turangga!
Bertanyalah!" sergap Sekar Telasih, keras membentak.
Sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, Dewa Dungu menatap wajah Kembang
Andini lekat-lekat. Lalu berkata, "Aku mencari seorang
pemuda. Aku mencari muridku. Dia bernama Seno Prasetyo. Wajahnya tampan sekali.
Namun, dia juga amat lugu. Pernahkah kau melihat pemuda
itu" Di mana dia?"
Terperanjat Kembang Andini mendengar
ucapan si kakek. Begitu kagetnya dia, sampaisampai mulutnya ternganga lebar
beberapa lama. "Eh! Kau kenapa" Aku cuma bertanya. Kenapa air mukamu berubah seperti orang
kesurupan?"
"Be... benarkah kau guru pemuda bergelar
Pendekar Bodoh itu?"
"Ooo...," mulut Dewa Dungu melongo. "Dia
sudah punya gelar. Pendekar Bodoh" Pendekar
Bodoh" Hii...! Lucu sekali! He he he.... Eh! Jadi,
kau tahu di mana muridku itu, Andini. Tapi...,
kenapa kau begitu terkejut" Ada apa sebenarnya?"
"Urusanku justru berkenaan dengan pemuda itu!"
Dewi Cinta Kasih berkata dengan raut wajah masih menggambarkan keterkejutan.
Wajah si nenek memang kelihatan tegang sekali. Dewa
Dungu jadi salah tafsir.
"Apa"!" lonjak kaget si kakek. "Kau tampak
tak suka pada muridku, Andini. Apa dia telah
menodai cucumu itu?"
Belum sempat Kembang Andini memberi
penjelasan, Dewa Dungu telah menggaplok-gaplok
kepalanya lagi. Kali ini dia berbuat itu sambil
menggerutu panjang pendek...
4 KUSUMA Suci berdiri termangu tanpa tahu
apa yang harus diperbuatnya. Selama tinggal di
Tanah Dipertuan Ratu, dia sudah sering melihat
Bidadari Satu Hati membunuh orang. Biasanya,
dia malah membantu sang Ibu untuk membunuh
orang-orang yang berani masuk ke Tanah Dipertuan Ratu. Atau paling tidak,
menghajar orangorang itu untuk membuat mereka jera dan tak
berniat masuk kembali ke Tanah Dipertuan Ratu.
Tapi sekarang" Melihat kedatangan Pendekar Bodoh, kenapa dia tak tega sama
sekali jika harus melihat pemuda itu menemui ajal di tangan
Ibunya atau di tangannya sendiri" Pada mulanya
Kusuma Suci memang bisa bersikap keras dan
menyerang. Tapi setelah melihat wajah si pemuda
yang begitu lugu, hatinya benar-benar jadi tak tega melakukan kekerasan, apalagi
membunuh. Namun..., benarkah dia tak tega menyakiti
Pendekar Bodoh hanya karena melihat keluguan
pemuda itu" Apakah bukan karena dia telah tergoda oleh daya tarik yang terpancar
dari dalam diri si pemuda"
Kusuma Suci sendiri tak dapat menjawab


Pendekar Bodoh 12 Munculnya Sang Pewaris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaan yang berkecamuk di benaknya itu.
Sampai beberapa lama, dia cuma berkeluh-kesah.
Hatinya jadi gelisah tak menentu. Apa yang harus
diperbuatnya" Membantu ibunya untuk membunuh Pendekar Bodoh" Atau, menghentikan
pertempuran mereka sebelum terlambat" Tapi... tidakkah hal itu akan membuat
murka ibunya"
Sementara itu, pertempuran antara Pendekar Bodoh dengan Bidadari Satu Hati
berlangsung seru sekali. Di sekitar ajang pertempuran,
belasan batang pohon tumbang terkena babatan
senjata ataupun tertimpa pukulan yang nyasar.
Pecahan batu bercampur gumpalan tanah masih
terus berhamburan seiring kelebatan tubuh kedua tokoh yang terpaut usia cukup
jauh itu. Lebih dari tiga puluh jurus mereka telah
bertempur. Bidadari Satu Hati memiliki ilmu peringan tubuh amat hebat, sehingga
dapat mengimbangi kecepatan gerak Pendekar Bodoh yang
mempergunakan ilmu 'Lesatan Angin Meniup
Dingin'. Sehingga, dapatlah dikatakan bila Ilmu
peringan tubuh mereka seimbang.
Begitu hebatnya ilmu peringan tubuh mereka, ketika bergerak menyerang ataupun
menghindar, tubuh kedua anak manusia Itu laksana
dapat berubah menjadi dua gumpal asap yang terus berkelebatan ke sana-sini.
Kusuma Suci yang
menyaksikan dari jarak dua puluh tombak sampai merasa pusing karena terus
berusaha mempertajam pandangannya yang mengabur.
Namun, lama-lama Pendekar Bodoh yang
sebenarnya menang tenaga jadi amat kerepotan.
Karena, si pemuda menyerang tanpa bermaksud
membuat cedera lawan. Pendekar Bodoh bersedia
meladeni gempuran Bidadari Satu Hati hanya karena tak mau mati konyol.
Di lain pihak, Bidadari Satu Hati menyerang dengan segenap nafsu membunuh.
Rangkaian jurus pedang wanita berpakaian ketat serba
hitam itu benar-benar hebat luar biasa. Apalagi,
bilah pedang di tangan si wanita merupakan pedang mustika. Setiap pedang itu
menusuk ataupun menebas, selalu timbul tiupan angin menggidikkan yang sudah
cukup mampu untuk membelah dan menghancurkan bongkah batu besar. Kalau tiupan
anginnya saja mempunyai daya penghancur sehebat itu, apalagi ketajaman
pedangnya! Untunglah, senjata Pendekar Bodoh juga
bukan senjata sembarangan. Senjata si pemuda
yang berupa tongkat putih juga sebuah senjata
mustika. Walau panjangnya cuma dua jengkal,
kehebatannya pun bukan alang-kepalang. Jika
dikibaskan, pastilah muncul tiupan angin kencang bergemuruh laksana badai.
Tiupan angin kencang itulah yang selalu meredam serangan Bidadari Satu Hati yang merangsek
ganas dengan bilah pedangnya yang berwarna hijau berkilat.
"Hentikan! Hentikan!" teriak Seno tiba-tiba
sambil meloncat jauh. "Kau begitu bernafsu
membunuhku. Kesalahanku apa?"
"Kau punya 'Tenaga Beruang Merah'. Itulah
kesalahanmu!" sahut Bidadari Satu Hati.
Wanita yang tampaknya amat teguh memegang pendirian itu berdiri menatap sosok
Seno dari jarak sekitar lima tombak. Dia tidak langsung
merangsek lagi karena menggunakan kesempatan
untuk mengatur jalan pernafasannya. Pertempuran tadi memang amat menguras
tenaga. Sementara, napas Pendekar Bodoh pun
tampak terengah-engah. Dalam keadaan hanya
berdiri diam, cairan keringat malah keluar bak
diperas. Hingga, basahlah baju biru yang dikenakan si pemuda..., dan menebarkan
aroma harum kayu cendana. "Aneh sekali!" ujar Bidadari Satu Hati. "Aku
mencium aroma harum kayu cendana. Oh! Kepalaku jadi pusing sekali. Kenapa..."
Kenapa aku jadi...?" Terbelalak heran Seno.
Walau berdiri terpaut jarak cukup jauh,
murid Dewa Dungu itu dapat melihat perubahan
air muka Bidadari Satu Hati.
Wajah Bidadari Satu Hati tampak meme-
rah. Kedua bola matanya melotot, tak berkedip
menatap sosok Pendekar Bodoh. Dia tahu benar
bila aroma harum kayu cendana yang menebar
dari kain baju Pendekar Bodoh telah merangsang
nafsu gairahnya!
Melihat Bidadari Satu Hati yang terus
menggeleng-gelengkan kepala sambil melangkah
mundur, Seno bertambah heran. Sejak memakai
baju pemberian Dewa Dungu, dia tak tahu sama
sekali bila aroma harum yang menebar dari kain
bajunya itu bisa membangkitkan nafsu gairah
wanita. Si pembuat baju itu sendiri, Dewa Dungu,
juga tak pernah punya pikiran demikian
Menurut jalan pikiran Dewa Dungu, baju
buatannya yang memakan waktu puluhan tahun
itu tak berbeda jauh dengan baju kumal yang selalu dipakainya. Baju Dewa Dungu
walau sudah amat tua tapi selalu menebarkan aroma harum
kayu cendana. Sementara, baju Seno akan menebarkan aroma yang sama apabila
terkena aliran keringat terlebih dulu. Akan tetapi, sifat aroma itu
amat jauh berbeda!
Selama tinggal di lembah Gunung Lawu,
Dewa Dungu amat merindukan kehadiran seorang bocah yang dapat diangkatnya
sebagai murid. Sebagai pelampiasan rasa rindu itu, Dewa
Dungu merajut benang yang kemudian dijadikan
sepotong pakaian berwarna biru-biru. Karena ingin menjadikan pakaian buatannya
sebagai barang istimewa, direndamnya pakaian biru-biru itu
dalam suatu ramuan obat-obatan selama lebih
dari dua puluh tahun.
Hingga kemudian, pakaian buatan si kakek
benar-benar menjadi barang istimewa: Seno Prasetyo yang berjodoh menjadi murid
Dewa Dungu akhirnya dapat memiliki pakaian itu. Namun, Seno dan Dewa Dungu sama sekali tak
menduga bila ramuan obat-obatan yang digunakan untuk
merendam telah memberikan aroma kayu cendana yang dapat membangkitkan nafsu
gairah kaum hawa. "Jahanam! Licik sekali kau!" geram Bidadari Satu Hati menyangka Pendekar Bodoh
menebarkan obat perangsang. "Kau tampak begitu bodoh, tapi ternyata kau lebih
berbahaya daripada
yang kuduga"
"Eh! Eh! Kenapa?" sahut Pendekar Bodoh
yang belum menyadari keadaan. "Aku! tak mau
bertempur denganmu. Soal 'Tenaga Benang Merah', lain kali saja ku jelaskan.
Biarkan aku pergi
dari sini...."
"Silakan pergi, tapi tinggalkan nyawamu
dulu!" sergap Bidadari Satu Hati seraya meloncat
menerjang. Terpaksa Pendekar Bodoh harus meladeni
meski dia tak mau membuat cedera. Pertarungan
seru segera berlangsung kembali. Namun, kali ini
pertempuran jadi tak seimbang.
Bidadari Satu Hati harus menahan napas
kalau tak ingin dirinya semakin dipengaruhi nafsu gairah yang bisa mengganggu
akal pikiran. Karena itulah dia jadi tak leluasa. Kehebatan tusu-
kan ataupun babatan pedangnya banyak berkurang. Den karena tak mungkin terus-
menerus menahan napas, akhirnya semakin banyak aroma
harum kayu cendana yang terhirup. Akibatnya
sudah dapat diduga. Serangan Bidadari Satu Hati
semakin lama semakin kendor. Sementara, tenaga Pendekar Bodoh justru semakin
bertambah besar. Setiap terjadi benturan senjata, pedang Bidadari Satu Hati selalu
terpental dan hampir terlepas dari cekalan.
Pendekar Bodoh menduga bila hal itu terjadi karena tenaga Bidadari Satu Hati
telah terkuras. Namun sesungguhnya, 'Tenaga Beruang Merah' yang ada dalam diri
Pendekar Bodoh dapat
bekerja dengan sendirinya dan membuat kekuatan si pemuda jadi berlipat-lipat.
Ilmu penghimpun tenaga dalam ciptaan
Salya Tirta Raharja semasa masih menjabat sebagai ketua Perkumpulan Beruang
Merah itu memang punya kehebatan tersendiri. Jika bertempur, orang yang
menguasai 'Tenaga Beruang Merah' akan terus mendapat tambahan kekuatan.
Dan, hal itulah yang belum disadari oleh Pendekar Bodoh.
Namun, dapatkah murid Dewa Dungu itu
menghentikan gempuran Bidadari Satu Hati tanpa melukai atau membuatnya cedera"
Sementara, Bidadari Satu Hati malah semakin bernafsu untuk segera menjatuhkan tangan maut!
*** "Bukan! Bukan karena itu!" seru Kembang
Andini, menahan rasa geli yang tiba-tiba menggelitik hatinya.
"Apa?" sahut Dewa Dungu seraya menghentikan perbuatannya yang menggaplok-gaplok
kepalanya sendiri. Air mukanya langsung berubah cerah lagi.
"Seno tak pernah berbuat Jahat kepada
cucuku. Apalagi, menodainya. Hi hi hi...! Kau ini
lucu sekali, Turangga. Dari mana kau punya pikiran buruk kepada muridmu sendiri
seperti itu...?"
"Oh! Syukurlah! Syukurlah! Sakit hatiku
pada Mahisa Lodra membuatku jadi amat mudah
berpikiran yang bukan-bukan pada Seno.... Kalau
benar apa yang kau katakan itu, lalu kau sebenarnya punya urusan apa dengan
Seno?" "Dia berjodoh untuk mewarisi kedudukan
ketua Perkumpulan Beruang Merah," Sekar Telasih yang menjawab.
"Apa?" sahut Dewa Dungu. Kali ini dibarengi lonjakan kaget. "Kau jangan mengada-
ada, Anak Manis. Eh! Eh! Benarkah kau cucunya
Kembang Andini" Setahuku Kembang Andini pernah bersumpah bahwa dia tak akan
menikah selama-lamanya. Kenapa bisa begini?" sambil geleng-geleng kepala,
ditatapnya wajah Dewi Cinta
Kasih. "Apa kau telah melanggar sumpahmu sendiri, Andini. Apa ada seorang.... He
he he...?"
"Enak saja kau ngomong!" dengus Kembang Andini. "Aku tak pernah melanggar
sumpahku sendiri. Ketika kau menghilang dari dunia
persilatan, aku bertemu dengan seorang gadis cilik yang kemudian kurawat sampai
besar. Dari dialah Sekar Telasih lahir."
"Ooo... begitu...! melongo Dewa Dungu.
"Jadi, dia putri anak angkatmu. Jadi, dia bernama Sekar Telasih. Tapi..., hei!
Apa yang kau katakan tadi, Anak Manis" Kau katakana Seno berjodoh mewarisi
kedudukan ketua Perkumpulan Beruang Merah" Ah! Yang, benar saja!"
Kembang Andini yang sebenarnya merasa
diburu waktu, terpaksa menjelaskan pertemuannya dengan Pendekar Bodoh. Termasuk
usahanya selama lebih dari empat puluh tahun menunggu
kemunculan Salya Tirta Raharja yang mengasingkan diri di gua bawah tanah.
"Jadi... jadi..., selama ini kau menunggunya?" ujar Dewa Dungu, mengungkapkan
rasa kagum. Si kakek sudah tahu hubungan antara
Kembang Andini dengan Salya Tirta Raharja yang
menjalin tali asmara. Namun, bukan hanya karena itu kalau Kembang Andini
bersedia menunggu
kemunculan Salya Tirta Raharja sampai sekian
lama. Penantian Kembang Andini juga merupakan
wujud kesetiaannya pada Perkumpulan Beruang
Merah. "Wah! Wah! Kau memang pantas dijuluki
Dewi Cinta Kasih! Rupanya, kau memang punya
kesetiaan yang begitu besar," lanjut Dewa Dungu.
Kembang Andini tersenyum tipis.
"Lalu, bagaimana kau bisa yakin bila mu-
ridku berjodoh menjadi ketua Perkumpulan Beruang Merah?"
Mendengar pertanyaan Dewa Dungu itu,
Kembang Andini mengeluarkan kalung 'Permata
Dewa Matahari' yang tersimpan di lipatan bajunya. Namun, Dewa Dungu malah
menggelenggeleng, setengah tak percaya.
"Kalung 'Permata Dewa Matahari' adalah
lambang kekuasaan di Perkumpulan Beruang Merah. Tapi, kenapa kalung itu malah
berada di tanganmu?"
"Ah! Semua itu karena kesalahanku," sahut Sekar Telasih dengan suara bergetar.
"Pada mulanya aku tak percaya bila Seno adalah pewaris kedudukan ketua. Aku
menyerangnya. Dan...,
dia pergi begitu saja dengan meninggalkan kalung
'Permata Dewa Matahari'...."
"Sudahlah...," sergap Kembang Andini yang
tak mau melihat cucunya larut dalam rasa sesal.
"Seperti yang telah kita rencanakan, kita akan
pergi ke Tanah Dipertuan Ratu. Ibu dan adikmu
harus segera diberi tahu. Mereka pun tak boleh
terlalu lama menunggu. Bersama mereka, kita
akan menyebar kabar kepada anggota perkumpulan lainnya bahwa telah muncul sang
ketua baru."
"Jadi, kau akan pergi ke Tanah Dipertuan
Ratu?" tanya Dewa Dungu, memastikan pendengarannya.
"Ya. Kenapa?" jawab Kembang Andini, sekaligus bertanya.
"Dapatkah kau katakan dulu ke mana kirakira Seno pergi?"
Menggeleng Kembang Andini.
"Tak tahu?" buru Dewa Dungu.
"Tidak."
Dewa Dungu jadi terlongong bengong. Air
mukanya berubah amat keruh. "Akan kucari sendiri. Akan kucari sendiri...,"
desisnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, kakek bertubuh kurus-kering itu menjejak tanah, lalu
berkelebat meninggalkan tempat.
Sampai beberapa lama, aroma harum kayu
cendana yang menebar dari kain baju si kakek
masih tercium. Kembang Andini dan cucunya saling pandang. Dan, mereka segera
pergi meninggalkan tempat itu pula....
Namun di sepanjang perjalanan, Kembang
Andini tak pernah bisa melupakan pertemuannya
dengan Dewa Dungu di siang hari itu, walau barang sekejap. Apakah kemunculan
kembali Dewa Dungu akan membuat gempar rimba persilatan"


Pendekar Bodoh 12 Munculnya Sang Pewaris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang jelas, dapatlah dipastikan bila kemunculan
si kakek merupakan malapetaka bagi golongan hitam!
5 BUDAK hina! Melihat kelicikanmu ini,
agaknya aku harus mengadu jiwa danganmu!"
Usai berteriak lantang, Bidadari Satu Hati memu-
tar pedangnya cepat sekali. Karena putaran pedang mustika itu disertai aliran
tenaga dalam tingkat tinggi, timbullah gelombang angin pukulan dahsyat.
Bergegas Pendekar Bodoh memutar pula
Tongkat Dewa Badainya. Gelombang angin pukulan yang tak kalah dahsyat muncul
memapaki. Bentrokan tak dapat dihindari lagi. Ketika muncul
ledakan keras laksana letusan gunung, tubuh Bidadari Satu Hati dan Pendekar
Bodoh sama-sama
terpental. Mudah saja bagi Pendekar Bodoh untuk
mengatasi lontaran tubuhnya. Dengan bersalto
beberapa kali di udara, si pemuda dapat mendarat sigap di tanah. 'Tenaga Beruang
Merah' dan ilmu 'Perisai Dewa Badai' yang melindungi tubuhnya menjadikannya tak menderita
luka dalam. Hanya pandangannya yang mengabur. Tapi,
kekaburan itu pun segera lenyap.
Sebaliknya, walau Bidadari Satu Hati dapat
pula mendarat sigap di tanah, wajahnya yang semula memerah berubah pucat-pasi.
Cairan darah segar mengalir perlahan dari sudut bibirnya.
Meski tidak seberapa parah, tapi jelas bila dia
menderita luka dalam.
Waktu terjadi bentrokan angin pukulan tadi, aroma harum kayu cendana yang
menebar dari kain baju Seno lenyap beberapa saat. Namun
karena sebelumnya sudah terlalu banyak menghisap, nafsu gairah tetap mengganggu
jalan pikiran Bidadari Satu Hati. Tapi, keinginannya untuk
membunuh Seno sudah meluap sedemikian kuat.
Sehingga gairah dalam diri Bidadari Satu Hati tertekan oleh nafsu membunuh itu.
Kusuma Suci yang mengetahui ibunya terluka dalam bergegas meloncat mendekati.
Namun.... Wesss...! "Uh...!"
Kibasan telapak tangan Bidadari Satu Hati
yang menimbulkan serangkum angin pukulan,
menahan lesatan tubuh Kusuma Suci. Dan,
membuatnya terpental kembali ke tempat semula.
"Pergilah! Pemuda itu menebar obat perangsang!" seru sang ibu yang benar-benar
mengira Pendekar Bodoh berbuat licik. "Pergilah ke
nenekmu! Beri tahu kehadiran pemuda licik itu di
tempat ini!"
Kusuma Suci yang belum sampai mengisap
aroma harum kayu cendana karena dia berdiri
terpaut cukup jauh dari Seno, tampak diam terpaku. Rasa khawatir jelas terbayang
di sorot matanya. Melihat pertempuran seru yang berlangsung tadi, dia menduga
bila akhir dari pertempuran itu adalah maut. Kalau tidak nyawa Pendekar
Bodoh, tentu saja nyawa ibunya yang akan melayang.
Mengingat sang ibu yang telah melahirkan
dan membesarkannya, Kusuma Suci jadi amat
mengkhawatirkan keadaan ibunya. Namun..., dia
pun tak bisa menipu dirinya sendiri. Dia juga
mengkhawatirkan keselamatan Pendekar Bodoh!
"Tunggu apa lagi"! Cepatlah pergi ke tempat nenekmu!" seru Bidadari Satu Hati
yang melihat putrinya terus berdiri terpaku.
"Kalau aku pergi, bagaimana dengan
ibu...?" sahut si gadis, menyiratkan kekhawatiran
sekaligus keraguan.
"Jangan pedulikan aku! Kalaupun aku
mesti mati, aku akan bangga sekali. Aku mati
demi perkumpulan! Oleh karenanya, lekaslah
pergi!" "Tapi, Bu...."
"Hei! Apa kau mau melawan kata-kata
ibumu"!"
Mendengar bentakan itu, Kusuma Suci tersurut mundur. Sinar mata Bidadari Satu
Hati yang berapi-api memaksanya untuk segera meninggalkan tempat. Dan... dia pun
segera menjejak tanah untuk kemudian berkelebat lenyap.
Namun, bukan untuk pergi jauh!
Setelah berlari cepat sejauh seratus tombak, dia segera kembali untuk
menyaksikan pertempuran antara ibunya dengan Pendekar Bodoh.
Agar tidak diketahui sang Ibu, dia bersembunyi di
balik semak-belukar. Ketika bersembunyi itulah,
kekhawatiran di hati Kusuma Suci semakin berkuasa dan membuat hatinya berdebar-
debar bukan main.
Sebagai orang yang sudah cukup lama berlatih ilmu silat, Kusuma Suci dapat
menduga bila kemenangan akhir tentu berada di tangan Pendekar Bodoh. Namun, dia tahu benar
adat keras ibunya saat itu. Kalau dia nekat membantu,
ibunya malah akan marah bukan main. Bidadari
Satu Hati tak sudi dibantu putrinya bila bantuan
itu justru akan membuat celaka putrinya sendiri.
Sementara, Bidadari Satu Hati pun benar-benar
telah salah mengerti. Pendekar Bodoh benarbenar dianggapnya sebagai orang jahat
yang telah mencuri ilmu Salya Tirta Raharja.
Si pemuda dianggap pula telah menelan
obat perangsang. Hingga, tak ada lagi yang akan
diperbuat Bidadari Satu Hati kecuali membunuh
Pendekar Bodoh!
Memikirkan keselamatan sang ibu, diamdiam Kusuma Suci menghunuskan pedangnya.
Ketajaman pedang itu bukan untuk digunakan
menggempur Pendekar Bodoh bila sewaktu-waktu
sang Ibu kalah, melainkan untuk berjaga-jaga
dan mencegah Pendekar Bodoh menjatuhkan tangan maut.
Rasa bingung dan ragu di hati gadis itu
memang sulit sekali digambarkan. Dia tak mau
melihat ibunya mati. Di lain pihak, dia pun tak
mau melihat Pendekar Bodoh celaka. Apakah
pandangan pertama dengan si pemuda telah
mencuri hatinya" Kusuma Suci tak tahu. Dia belum pernah mengalami hal seperti
itu sebelumnya.
Sementara itu, pertempuran antara Pendekar Bodoh dengan Bidadari Satu Hati
memang telah berlangsung kembali. Tapi tampaknya, pertempuran itu tak akan
berlangsung lama. Jelas
sekali bila Pendekar Bodoh berada di atas angin.
Berkali-kali kibasan Tongkat Dewa Badainya
membuat tubuh Bidadari Satu Hati terpental dan
jatuh bergulingan di tanah.
"Kalau aku mau, sebenarnya aku dapat
membunuhmu...," ujar Pendekar Bodoh, menatap
lugu sosok Bidadari Satu Hati yang berdiri terhuyung-huyung. "Sebelum aku pergi,
ada baiknya bila aku memberi sedikit penjelasan...."
"Cukup!" sela Bidadari Satu Hati. "Tidak
Pengelana Rimba Persilatan 13 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Raja Pedang 3
^