Rahasia Pedang Berdarah 2
Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah Bagian 2
banyak gadis yang dapat memenuhi seleraku!" katanya sambil tergelak-gelak.
Para gadis-gadis itu sebagian ada yang ketaku-
tan melihat kehadiran si kakek. Sedangkan sebagian
lainnya yang selalu haus kepuasan, tentu mereka
mendambakan kepuasan dari laki-laki mana pun. Ti-
dak perduli apakah ia seorang raja, bangsawan, rakyat
biasa, prajurit bahkan gembel kudisan sekalipun. De-
mikianlah jika nafsu sudah menguasai jiwa manusia
rendah. Jiwa manusia yang tidak mengenai rasa takut
siksa Tuhannya.
Lain halnya dengan Sri Asih, Kumala dan bebe-
rapa orang lainnya yang memang sudah mendamba-
kan kebebasan sejak mereka bertemu dengan Pende-
kar Blo'on (dalam Episode Api Di Puncak Sembuang).
Mereka sejak saat itu sudah bertekad untuk member-
sihkan diri tidak mau melayani laki-laki manapun.
Penghuni istana Sorga Dunia yang diciptakan Pange-
ran Suprana ini rupanya sudah insyaf.
Tidak heran bila untuk menghindari kemaksia-
tan, Kumala dan Sri Asih mengurung diri di ruangan
rahasia. Sekarang mereka jadi cemas melihat kemuncu-
lan Singa Gunung. Apalagi Kumala mendengar laporan
salah seorang sahabatnya yang dipercaya, bahwa Ang-
ku Muda Pasak Langit mempunyai senjata yang dapat
membuat tubuh seseorang menjadi hangus.
Sisa-sisa prajurit yang mengawal istana hampir
tewas seluruhnya dengan keadaan yang sungguh me-
nyedihkan. Bukan mustahil, suatu saat Singa Gunung
mengetahui tempat persembunyian mereka. Padahal
mereka sadar betul, diantara sekian banyak gadis-
gadis yang berada di istana itu bukankah mereka ber-
dua yang paling cantik, yang paling mulus yang paling
montok dan yang paling... segalanya.
Mereka rasanya lebih baik mati jika harus me-
layani tua bangka yang berjuluk singa gunung yang
sebaya dengan kakek mereka sendiri. Kalau pun hati
mereka ditanya satu persatu. Baik Kumala maupun Sri
Asih. Tentu mereka memilih Pendekar Blo'on, pemuda
konyol yang rambutnya beda dari kebanyakan orang.
Pemuda itu tampan, walau pun lagaknya seperti orang
tolol. Jujur saja mereka akui, kalau pun mereka ber-
dua dimadu tentu mau. Tetapi apakah Suro Blondo,
Pendekar geblek setengah sinting itu ya mau seperti
mereka" "Kita harus melarikan diri dari istana ini. Meli-
hat gelagatnya kurasa Pangeran Suprana, Tuhan ke-
senangan dunia sudah mati!" suara Sri Asih gadis yang usianya dua tahun lebih
tua dari Kumala memecah
keheningan. "Huh, jika dia benar-benar Tuhan, mana
mungkin dia mampus! Aku sendiri takut suatu saat
tua bangka bau tanah itu mengetahui keberadaan ki-
ta!" Kumala menanggapi.
"Memang kalau dipikir-pikir, kita ini tidak
ubahnya seperti kambing ya..." Selalu digilir laki-laki tanpa suatu ikatan
apapun. Bagaimana Gusti Allah tidak murka?"
"Malah lebih rendah dari binatang. Terkadang
kita tertawa-tawa dalam dosa. Sekarang aku merasa ji-
jik jika harus berbuat seperti itu!" kata Kumala pula.
"Hidup kita bergelimang dosa. Kita harus lari
dari istana ini atau mati jika dipaksa melakukan per-
buatan seperti itu!" tekad Sri Asih.
"Apa tidak sebaiknya kita menunggu kedatan-
gan Pendekar itu" Bukankah dia telah berjanji untuk
membebaskan kita semua dari neraka ini?" ucap Ku-
mala seakan mengingatkan. Sri Asih terdiam, kening-
nya berkerut tajam.
"Terlalu lama, aku juga khawatir telah terjadi
sesuatu yang tidak diingini dengannya. Sekarang un-
tuk menyelamatkan diri sebaiknya kita harus berani
mengambil keputusan!"
"Baik! Kurasa nanti malam adalah waktu yang
tepat untuk meninggalkan istana ini. Jangan kau bica-
rakan rencana kita pada orang lain." pesan Kumala.
"Bagaimana jika kawan-kawan kita mengeta-
hui" Apa tidak sebaiknya kita bawa saja mereka seka-
lian?" "Jangan bodoh! Usaha ini tidak mudah, hanya dengan kita berdua saja
mungkin sudah sulit untuk
menyelinap keluar!" Sri Asih mengangguk-anggukan
kepala tanda mengerti.
"Kalau mereka bertanya, kita janjikan saja pada
mereka bahwa kita akan mencari pertolongan di luaran
sana. Kemudian kita kembali lagi ke sini untuk mem-
bebaskan mereka!" jelas Kumala secara lebih terperinci.
"Ya, mudah-mudahan Gusti Allah memberikan
pertolongannya pada kita! Sekarang persiapkanlah se-
gala sesuatu yang kita perlukan. Nanti setelah lewat
tengah malam, kita bisa melaksanakan rencana kita."
kata Sri Asih menutup pembicaraan.
*** ENAM Kakek berpakaian kulit harimau yang sebagian
rambutnya menutupi wajahnya ini memang telah be-
rubah seperti orang linglung. Apalagi setelah ia mene-
mukan mayat muridnya, Pangeran Suprana. Dua
orang yang sangat disayanginya di dunia ini telah ter-
bunuh. Pertama Sang Bala dan yang kedua Iblis Pe-
runtuh Mahkota. Pedih hati Dewa Kubu tidak terkira-
kan. Semua ini gara-gara mencari Pedang Penebar
Bencana. Sementara itu nasib Elang Perak binatang
raksasa itu masih belum ia ketahui.
Kepada siapa ia harus menuntut balas" Kepada
kakek berambut merah itu" Ilmunya tinggi, jika pun
sekali lagi ia berhadapan dengan Malaikat Berambut
Api. Belum tentu ia dapat memenangkan pertarungan.
Kakek rambut merah itu sakti bukan main. El Maut
mungkin saja telah mati terkena pukulannya.
"Hmm, selama langit masih biru. Selama mata-
hari masih terbit dari ufuk timur. Aku harus menemu-
kan cara untuk membalas. Elang Perak harus kute-
mukan." pikir Dewa Kubu.
Di atas batu si kakek duduk bersila, matanya
terpejam. Rupanya ia sedang mencoba melakukan se-
medi. Dalam semedinya ia mengucapkan kata-kata
yang tidak jelas. Beberapa detik lamanya, wajahnya
yang kusut dan semakin angker berubah cerah.
"Ternyata kau masih hidup Elang Perak! Da-
tanglah kemari, kita harus bersama-sama menghan-
curkan musuh-musuh keparat itu! Sahabatmu Pange-
ran Suprana boleh mati, muridku Sang Bala boleh ter-
bunuh. Namun puncak penyatuan kita berdua harus
dapat membuktikan bahwa di dunia ini tidak boleh
ada orang yang mengalahkan kita." kata Dewa Kubu
seorang diri. Tingkahnya memang telah berubah deras-
tis seperti orang yang kurang waras. Namun ternyata
dia bukan sakit ingatan. Sebab melalui pemanggilan
batin yang dilakukannya tadi. Tidak lama kemudian di
angkasa lepas terlihat sebuah bayangan raksasa me-
layang-layang. Lalu terdengar suaranya yang keras
menyakitkan telinga.
"Hiiiii...!"
"Elang Perak, turunlah!!" perintah Dewa Kubu.
Seraya membuka matanya kembali.
"Kak...!"
Dari ketinggian Elang Perak meluncur turun.
Setelah itu ia menjejakkan cakar-cakarnya yang tajam
tidak jauh di depan Dewa Kubu. Daun-daun berter-
bangan oleh kepakan sayapnya.
"Kak! Kek... Kak,..!"
Elang Perak terus mengeluarkan suara aneh.
Seakan ia mengadukan kejadian yang menimpa dirinya
juga diri Pangeran Suprana. Kepala burung di elus-
elus oleh Dewa Kubu.
"Aku telah mengetahui kejadian yang menimpa
Pangeran Suprana." kata Dewa Kubu sambil memper-
hatikan burung elang itu. "Akh, ternyata seseorang telah menjahilimu dengan
memasukkan jangkerik ke da-
lam kuping?" Begitulah, setiap isyarat gerakan Elang Perak diketahui artinya
dengan pasti oleh Dewa Kubu.
"Heh, apa" Seorang pemuda bertampang tolol
yang telah melakukannya" Mengapa tidak kau han-
curkan saja wajahnya atau kau rusak wajahnya biar
konyol?" tanya Dewa Kubu sambil terus memperhati-
kan gerakan Elang Perak.
"Apa" Pemuda itu cerdik" Kau ini bagaimana"
Kalau tolol ya tetap tolol Elang Perak! Laporanmu nge-
lantur! Akh... sudahlah, pusing aku mendengarnya."
sergah Dewa Kubu.
Elang Perak kemudian terdiam, Dewa Kubu
adalah manusia setengah roh paling dihormatinya.
Jika antara binatang raksasa ini bersatu den-
gan Dewa Kubu. Maka terjalinlah sebuah kekuatan
yang teramat dahsyat.
"Kita tidak usah berpisah lagi setelah ini. Aku
yakin kita berdua mampu menghadapi cecunguk-
cecunguk yang telah mempecundangimu. Sekarang
sebaiknya kita pergi dari sini!" Berkata begitu Dewa Kubu bergerak, tubuhnya
terangkat mengambang seperti tanpa bobot. Di lain waktu Dewa Kubu telah be-
rada di atas punggung Elang Perak.
Burung itu kepakkan sayapnya, membubung
tinggi di udara. Hingga akhirnya menghilang dari pan-
dangan. *** "Sekarang kita sudah berada di luar tembok is-
tanamu! Lalu apa yang kita lakukan?" tanya gadis baju hitam yang baru saja
melakukan penyelidikan ke dalam kerajaan Pasundan. Pemuda baju putih terdiam.
Seakan ia sedang memikirkan cara terbaik untuk me-
lakukan sesuatu.
"Hasil penyelidikanmu bagaimana" Apakah kau
lihat masih banyak pengawal disana?" tanya pemuda
baju putih yang tidak lain adalah Pendekar Kucar Ka-
cir. Gadis berpakaian hitam menggeleng. Kemudian
di tegaskan dengan ucapannya.
"Tidak satu pun! Di halaman depan kulihat
pemandangan yang mengerikan. Banyak mayat-mayat
menjadi arang dan debu. Kurasa orang yang telah
membunuh guruku ada disini. Dia tidak lain mungkin
laki-laki tua bangka itu, hiiih...!"
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Pangeran
Demak Pati. Jika saja tidak dalam keadaan malam hari, ten-
tu pemuda polos dan kocak ini dapat melihat betapa
wajah si gadis alias Maling Jenaka berubah merah pa-
dam. "Siapa sih" Kok malah bengong, lagi mikir aku ya...!" celetuk Pendekar
Kucar Kacir. Ia telah mengetahui banyak sifat Gadis selama dalam perjalanan.
Meskipun terkesan manja = Mandi Jarang, namun
menyenangkan. Pendekar Kucar Kacir diam-diam ja-
tuh cinta pada pandangan ketiga. Mengingat sebelum-
nya mereka pernah bertemu di dalam gua di puncak
Bukit Sembuang.
"Kau tahu nggak apa yang ingin kukatakan ini
sangat memalukan dan merendahkan derajat perem-
puan!" tegas Gadis tersipu-sipu.
"Katakan saja. Kalau merasa rendah biarkan
aku yang meninggikannya. Lagipula di sini cuma kita
berdua. Aku pandai menyimpan rahasia dan tempat
rahasia punyaku cuma satu!"
"Kau bicara apa" Kutampar nanti mulutmu!"
dengus si gadis merasa tersinggung.
"Hust, jangan sembarangan. Aku pangeran ta-
hu!" "Mau pangeran kek, mau raja setan kek. Apa kau kira aku perduli!
Persoalanmu saja belum tuntas,
masih bisa-bisanya kau bercanda?" Suara Maling Je-
naka tajam menusuk.
Seakan teringat dengan keadaannya kembali.
Sikap Pendekar Kucar Kacir yang tidak kalah kocaknya
dengan Suro Blondo berubah serius kembali.
"Coba sekarang kau jelaskan apa yang terjadi di
dalam istana. Aku siap mendengarnya!"
"Di istanamu sangat banyak perempuan-
perempuan cantik. Jumlahnya mungkin lebih empat
puluh orang...!"
"Itu pekerjaan si keparat Pangeran Suprana!"
"Mereka seperti pelacur!"
"Nah itulah sorga yang di gembar-gemborkan
Iblis Peruntuh Mahkota!" celetuk Pendekar Kucar Kacir. "Lalu apa lagi?"
Gadis menarik nafas dalam-dalam seakan se-
gan untuk bicara lagi.
"Terus... terus... bagaimana?" desak si pemuda.
"Di sebuah ruangan kulihat delapan orang wa-
nita sedang melayani seorang kakek tua, mereka da-
lam keadaan te...!" Gadis tutup mulutnya merasa ma-
lu. "Terlanjur maksudmu?"
"Telanjang, bego?" desis Maling Jenaka. "Itulah tua bangka yang sedang main
kapal-kapalan. Tapi...!"
Pangeran Demak gelengkan kepala ke kiri, lalu sekali
lagi ke kanan. "Tapi siapa kakek itu" Mungkin masa kecilnya tidak bahagia?"
"Tolol, mereka sedang bermaksiat!" maki Maling Jenaka merasa dongkol.
"Ya, ya... maksiat! Itu budaya peninggalan
Kumbang Pemikat. Kurasa kakek itulah yang telah
mencuri pedang dari tangan El Maut. Kita harus mere-
butnya!" "Huh, apa kau kira semudah itu" Pedang itu ti-
dak pernah jauh dari tempat dia berada. Kita harus
menunggu kesempatan terbaik." ujar Gadis.
"Ya, walau kesempatan itu datangnya sampai
Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lima puluh tahun lagi. Tua bangka itu akan mati den-
gan sendirinya jika sampai lima puluh tahun. Apalagi
jika ia terus main kapal-kapalan siang dan malam!"
kata Pendekar Kucar Kacir polos.
"Kau sama edannya dengan Suro Blondo. Bica-
ramu nyerempet-nyerempet terus!" Gadis menggerutu
kesal. "Aku dan monyet gondrong rambut merah itu
memang seperti saudara kembar saja. Dia suka mem-
bicarakan tentang bukit dan hutan rimbanya, tapi aku
tidak sependapat dengan dia. Ahh... sudahlah, menga-
pa kita bicara tentang kunyuk cacingan itu?" sergah Pendekar Kucar Kacir seakan
merasa tersaingi.
Gadis alias Maling Jenaka alias Maling Cerdik
sebenarnya punya suatu siasat untuk merampas pe-
dang itu. Namun rencananya itu mengandung bahaya
besar yang menyangkut harga diri dan kehormatan.
Resikonya jika sampai gagal, ia bisa kehilangan mah-
kotanya seumur hidup. Itu sebabnya ia tidak mau bi-
cara apa-apa lagi. Mungkin nanti jika ia bertemu den-
gan Pendekar Blo'on, ia akan utarakan siasat yang
mungkin dapat dijalankan. Rasanya Gadis lebih per-
caya dengan kemampuan Pendekar Blo'on ketimbang
Pendekar Kucar Kacir ini.
"Haruskah kita berdiri di sini sampai pagi, atau
sampai tua dan lumutan?" Suara Pendekar Kucar Ka-
cir memecah kebisuan di antara mereka berdua.
Gadis tidak menanggapi. Perhatian tertuju pada
satu arah di mana di sebelah utara benteng istana
tampak dua sosok bayangan sedang berusaha melewa-
ti tembok. "Lihat! Siapa itu?" seru Maling Jenaka. Cepat Pangeran Demak memandang ke arah
dimaksud. Ternyata memang ada dua sosok berpakaian ringkas ber-
tubuh ramping sedang berusaha menuruni tembok is-
tana. Melihat caranya, jelas sekali kedua perempuan
itu tidak memiliki kepandaian apapun.
"Merekakan perempuan, bagaimana kalau
sampai tersangkut" Sebaiknya kita datangi mereka!"
tegas Pendekar Kucar Kacir.
Tanpa bicara, Gadis mendekati kedua wanita
yang baru saja berhasil melewati tembok benteng.
Melihat kehadiran pemuda dan gadis yang ti-
dak dikenal. Kedua perempuan tadi jadi ketakutan.
Mereka hampir saja berteriak jika Pendekar Kucar Ka-
cir dan Maling Jenaka tidak cepat membungkam mu-
lutnya. "Ssst! Jangan berisik! Aku orang baik-baik, sedangkan pemuda itu adalah
Pangeran Demak Pati. Ka-
takan siapa kalian?"" tanya Gadis.
Seraya menarik tangannya, hingga kedua gadis
berpinggul besar itu dapat menarik nafas lega di samp-
ing hati mereka juga jadi gembira. Sebab mengenai
Pangeran Demak Pati mereka sedikit banyaknya sudah
tahu. Dialah pewaris tahta kerajaan yang sah.
"Jangan bunuh kami, aku Kumala, sedangkan
kawanku ini Sri Asih. Kami bermaksud menghindari
tua bangka busuk itu. Kami sudah tobat dan ingin
menjadi orang baik-baik." jelas Kumala suaranya me-melas bahkan seperti orang
yang hendak menangis.
"Kalian pasti bekas anunya Pangeran Demak
Pati, eeeh... maksudku anunya Pangeran Demak Pati
membekas di anunya...!"
Plok! Pendekar Kucar terjajar. Kiranya yang menam-
parnya tadi adalah Gadis.
"Dasar Pangeran goblok! Bicara saja tidak be-
cus, belepotan seperti anak kecil!" dengus Maling Jenaka. "Ingat kalau kalian
berbohong, nyawa kalian tidak ada yang menjamin!" ancam Maling Cerdik di tu-
jukan pada kedua gadis itu.
Sri Asih dan Kumala saking takutnya sampai
berlutut memeluk lutut Gadis.
"Percayalah, kami ingin meninggalkan neraka
ini. Sejak bertemu dengan seorang pemuda ganteng
berwajah tolol. Kata-katanya membuat kami sadar
bahwa jalan yang kami lalui benar-benar penuh lum-
pur berkubang nista!" lirih suara Sri Asih.
Sebaliknya Gadis tampak terkesiap mendengar
mereka menyebut ciri-ciri Pendekar Blo'on. Pangeran
Demak yang kumat gendengnya langsung nyeletuk.
"Jalan yang kalian lalui memang melelahkan,
penuh liku, belokan serta bukit-bukit. Kalau sekarang
hendak tobat, ya sudah! Sekarang pergi sana!" Dengan penuh rasa gembira kedua
gadis itu bermaksud me-
ninggalkan Gadis dan Pendekar Kucar Kacir. Namun
Maling Jenaka menahannya.
"Tunggu dulu!"
Langkah keduanya tertahan, hampir bersa-
maan mereka menoleh.
"Ada apa, Nisanak?"
"Kalian dari dalam sana, apakah di istana ma-
sih ada prajurit?"
"Sama sekali tidak! Singa Gunung telah meng-
habisi mereka. Dia juga menghancurkan kawan-kawan
kami dengan sinar pedangnya. Tolonglah mereka!!"
pinta Kumala penuh permohonan.
"Hmm, begitu" Pergilah. Mudah-mudahan ka-
wan-kawan kalian dapat diselamatkan!" janji Maling Jenaka. Dengan penuh rasa
terima kasih yang dalam,
Kumala dan Sri Asih segera berlalu dari hadapan ke-
dua muda mudi itu.
*** Kita ikuti Sri Asih dan Kumala yang terus berja-
lan di kegelapan malam. Mereka memang dalam kea-
daan tergesa-gesa dan ingin segera sampai di kampung
halaman masing-masing yang tidak jauh dari kota raja.
Sri Asih sendiri anak seorang kepala Desa, sedangkan
Kumala puteri saudagar yang berhasil diculik oleh
Pangeran Suprana beberapa purnama yang lalu.
Setelah jauh meninggalkan kerajaan Pasunda.
Ternyata mereka tersesat jalan. Berhubung hari masih
malam, mereka memutuskan untuk menetap di situ.
Namun baru saja mereka menyandarkan kepala di ba-
tang pohon, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat. La-
lu secepat kilat...
Tek! Tek! "Ufss...!"
Sri Asih maupun Kumala langsung terkulai.
Sekujur tubuh mereka kaku tidak dapat digerakkan
lagi. Sadarlah kedua gadis ini bahwa seseorang telah
menotoknya. Belum juga hilang kaget di hati mereka,
tiba-tiba terdengar suara tawa bekakakan.
"Ha ha ha.... Elang Perak! Malam ini kau harus
menutup mata! Aku dapat santapan lezat sebagai pe-
nawar rasa dukaku atas tewasnya kedua murid-murid
tercinta." kata sebuah suara.
"Kak...!"
Elang Perak menyahuti dari puncak batang po-
hon. Suaranya jelas gelisah.
"Si-a-pa kau....'" tanya Kumala yang sudah dalam keadaan tidak berdaya.
"Ha ha ha.... Usah kau tanya siapa aku,
bayangkan saja apa yang akan kuberikan pada kalian!"
sahut Dewa Kubu.
Tokoh dari tanah Andalas ini mulai meraba-
raba dada Kumala dan Sri Asih silih berganti. Kedua
gadis itu menjerit-jerit ketakutan sambil mencaci maki.
Tapi setelah Dewa Kubu meremas dada mereka,
maka keduanya langsung terdiam. Inilah suatu toto-
kan yang aneh yang sulit dipunahkan.
"Hmm, kalian adalah bagian dari perjalananku.
Tidak perlu merasa takut! ha ha ha...!" tawa iblis Dewa Kubu kembali menggema.
Bret! Bret! Dengan kasar pakaian Kumala dan Sri Asih di-
cabik-cabiknya. Sehingga kedua gadis itu dalam kea-
daan membugil. Sinar bulan yang temeraman menyi-
nari mereka. Dewa Kubu merasa darahnya menggele-
gak. Ia sibuk meraba atau menjatuhkan ciuman-
ciuman kasar pada kedua gadis itu.
Mula-mula yang mendapat giliran adalah Sri
Asih. Sebentar saja gadis itu sudah terdorong maju
mundur seiring dengan gerakan Dewa Kubu. Pucat wa-
jah Kumala, diam-diam ia menggigit lidahnya hingga
putus. Rupanya ia memilih mati daripada harus men-
gotori diri dengan melayani nafsu setan Dewa Kubu.
Keadaan itu segera diketahui Dewa Kubu, se-
mentara Elang Perak mulai memekik gelisah. Apa yang
dilakukan oleh Kumala rupanya diikuti oleh Sri Asih.
Gadis itu pun akhirnya tewas membunuh diri.
*** TUJUH "Sialan, aku lagi tanggung sudah terlanjur din-
gin. Benar perempuan-perempuan tidak berguna!" ma-
ki Dewa Kubu. Maka di tendangnya mayat Sri Asih dan
Kumala hingga terpelanting. Kepala mereka remuk,
yang satu terhempas batu yang satunya lagi menabrak
pohon. Kakek tua yang cuma mengenakan baju kulit
harimau ini bangkit berdiri. Ia mencari-cari celananya.
Ternyata celana satu-satunya hilang. Atau mungkin ia
salah meletakkan celana itu.
Dari balik kegelapan di bawah pohon tiba-tiba
saja terdengar suara seseorang nyeletuk.
"Apanya yang terlanjur dingin, tua bangka" Ka-
lau sudah dingin dan tanggung mengapa tidak dite-
ruskan saja" Lihatlah betapa memalukan dirimu itu.
Burung perkututmu yang sudah karatan itu siap ter-
bang meninggalkan tubuhmu! Bulan di atas sana pun
malu, Elang Perak burung kesayanganmu malu. Aku
disini malu, tunggu apa lagi" Mengapa tidak kau pakai
celanamu! Apakah kau sudah siap mati dalam kea-
daan seperti itu" Tulang belulangmu sudah rapuh,
Dewa Kubu jika dugaanku ini tidak salah. Kulitmu su-
dah keriput. Hari mudamu sudah berlalu, batang
usiamu semakin tinggi. Kau diberi umur panjang oleh
Gusti Allah, betapa memalukan jika seluruh waktumu
kau pergunakan untuk bermaksiat. Jika bumi ini bisa
berkata, pasti dia sudah menjerit karena menanggung
beban orang-orang berdosa! Kau terlahir dalam kea-
daan suci Dewa Kubu, apakah kau ingin pulang
menghadap Tuhanmu dalam keadaan bergelimang do-
sa?" Meremang kuduk Dewa Kubu mendengar uca-
pan orang di balik kegelapan itu.
"Siapa kau" Jika merasa mencuri celana cepat
kembalikan!" bentak Dewa Kubu sambil tutupi aurat-
nya. "Ini celanamu!" sahut orang itu.
Sebuah benda melayang. Ternyata memang ce-
lana Dewa Kubu. Setelah dipakai rupanya celana tadi
sebelum dikembalikan telah di potong-potong olah
orang itu. Sehingga celana itu hanya dapat menutupi
aurat. Ini merupakan suatu penghinaan besar.
"Cepat katakan siapa kau! Atau kau akan me-
rasakan kematian yang menyakitkan!" ancam Dewa
Kubu berang. "Bicaramu masih lantang! Malaikat Berambut
Api mengatakan kau manusia licik! Tapi aku murid
penghulu Siluman! Nah, jika kau ingin bermain sulap
di depanku, sekaranglah waktunya kau mulai!"
"Jahanam!" Dewa Kubu membentak garang.
Tubuh manusia setengah roh itu tiba-tiba men-
gambang tidak menjejak tanah. Ketika si kakek be-
rambut riap-riapan ini mengangkat tangannya. Dari
pertengahan telapak tangan terlihat ada sinar merah
melesat. Buuum! Kegelapan di bawah pohon terang seketika dis-
ertai dentuman keras. Tidak ada reaksi, malah kemu-
dian terdengar suara tawa yang seakan datang dari de-
lapan penjuru arah. Dewa Kubu tokoh kawakan, ia se-
gera tahu bahwa lawan mempergunakan ilmu memin-
dahkan suara. Setelah menggelengkan kepala beberapa kali. Ia
akhirnya tahu dimana posisi lawannya. Sekali lagi ia
lepaskan pukulan ke samping kirinya. Kali ini sinar bi-
ru tampak melesat. Orang di balik kegelapan yang ti-
dak lain adalah Suro Blondo keluarkan siulan sum-
bang. Sebelum sinar maut itu melumatkan tubuhnya.
Suro sudah jungkir balik dan, melayang ke arah Dewa
Kubu. Blam! Lagi-lagi pukulan mengenai tempat kosong. Se-
dangkan Suro telah berada di belakang lawan dan ka-
kinya menghantam dengan telak.
Dess! "Heh!"
Suro terperanjat ketika melihat Dewa Kubu
hanya bergetar saja. Sedangkan tubuhnya tetap men-
gambang dua jengkal di atas permukaan tanah. Si ka-
kek berpakaian kulit harimau tiba-tiba saja berbalik,
tangannya meluncur ke depan. Serangan itu dihindari
oleh Suro, seraya kerahkan jurus 'Seribu Kera Putih
Mengecoh Harimau'. Sekejap Suro Blondo telah lenyap
dari pandangan mata. Tubuhnya berubah menjadi
bayang-bayang yang terus mengelilingi Dewa Kubu
sambil lepaskan serangan bertubi-tubi. Namun tokoh
dari Andalas itu malah tertawa terkekeh-kekeh. Ia san-
gat berpengalaman. Walau pun dalam pandangannya
gerakan Suro itu sangat cepat bukan main. Namun ia
masih dapat melancarkan serangan dengan tepat.
Rambutnya yang telah berubah kaku itu mengibas ke
bagian wajah Pendekar Mandau Jantan.
Prat! "Uss...! Manusia edan ini tidak kena di tipu,
malah aku hampir tertipu pulang pergi!" gerutu murid Penghulu Siluman Kera Putih
itu sambil bersalto ke
belakang. Serangan dahsyat itu dapat di hindari, he-
Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
batnya lagi tubuh yang mengambang itu terus berge-
rak. Kakinya melesat dan....
Dekk! "Hekh...!"
Suro jatuh terduduk dengan wajah pucat. Da-
danya mendenyut, nafasnya seperti hendak putus. Ma-
ta si konyol melotot!
Ia geleng-gelengkan kepalanya sambil menggu-
mam tidak jelas. Dewa Kubu tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan lagi. Ia segera melepaskan pukulan 'Merobek
Raga Meruntuhkan Sukma'. Rupanya ia sangat men-
dendam pada Malaikat Berambut Api. Sehingga kini
Suro yang dijadikan pelampiasannya, Puteri Saba yang
memang diperintahkan bersembunyi tidak jauh dari
tempat itu mulai khawatir. Ia sadar betul Dewa Kubu
bukan lawan sembarangan. Bahkan El Maut saja
hampir tewas di tangan kakek sakti itu. Suro tidak
menunggu serangan lawan itu sampai menghantam di-
rinya. Ia juga tidak melepaskan pukulan balasan. Me-
lainkan bersalto dengan gerakan yang indah. Deru ha-
wa panas melabrak kakinya, kaki cepat di angkat
sambil diusap-usap. Selanjutnya ia membanting tu-
buhnya dan terus berguling-guling.
Buum! "Ayah, ada orang gila mengamuk!" pekik Suro
kalang kabut. Pukulan-pukulan gencar terus menghujani
Pendekar Blo'on. Selincah-lincahnya pemuda itu
menghindar, tidak urung salah satunya menghantam
Suro juga. Tidak telak memang, tapi cukup membuat
Suro terjajar dan memuntahkan darah segar. Ter-
huyung-huyung pemuda ini bangkit berdiri, Dewa Ku-
bu sendiri merasa kagum dengan daya tahan yang di-
miliki oleh lawannya.
Si konyol geleng-gelengkan kepala seperti orang
prustrasi, bibirnya berpencong, ia garuk-garuk ram-
butnya, bingung. Dewa Kubu ternyata hebat. Kini ia
memutuskan untuk menggabungkan jurus 'Tawa Kera
Siluman' dengan jurus 'Kacau Balau'. Melihat gerakan-
gerakan Suro yang mulai ngelantur, kacau tidak tera-
tur bahkan disertai tawa di sana-sini. Dewa Kubu
menduga lawan pasti sudah terganggu ingatannya.
Apalagi ia tadi sempat me lihat kepala Suro sempat
membentur akar pohon.
"Ha ha ha...! Gurumu sendiri belum tentu da-
pat mengalahkan aku! Apa lagi bocah ingusan ma-
cammu!" ejek Dewa Kubu penuh percaya diri.
Pendekar Blo'on tersenyum sinis dilanda kege-
raman, sekali kepala mendongak ke langit, meman-
dang ke bawah dan terus jelalatan. Satu hal yang tidak
disadari oleh Dewa Kubu. Bahwa ketika itu rambut
yang hitam kemerahan itu kini telah berubah merah
sepenuhnya seperti menyala.
"Keseriusan membuat aku gila, kegilaan mem-
buat aku tertawa. Anak kecil bodoh, masih ada hara-
pan untuk belajar. Tua bangka berubah pikun lebih
baik mampus saja!" kata si pemuda seenaknya. "Tua
bangka sesat setengah roh. Malaikat Rambut Api lam-
bang keseriusan, sedangkan Penghulu Siluman ugal-
ugalan. Adakah kegilaan bisa menyatu dengan keseri-
usan" Engkau manusia pertama yang akan menjadi
batu ujianku!" teriak Suro. Lalu terdengar suara tawanya di tengah-tengah
gerakannya yang semakin
menghebat dan terkesan serampangan. Tawanya se-
makin lama semakin melengking menghancurkan kon-
sentrasi lawannya. Dewa Kubu katupkan bibirnya, te-
naga dalam dikerahkan untuk menghilangkan penga-
ruh suara tawa itu. Elang Perak sendiri semakin resah
dari telinga binatang itu mengucurkan darah. Puteri
Saba jatuh pingsan demi mendengar suara tawa Suro.
Itu adalah pertarungan antara hidup dan mati
Suro Blondo yang pertama kalinya selama melanglang
buana. Kemudian terdengar siulan disertai nyanyian
sumbang menyindir.
Blo'on itu bodoh, tolol itu aku
Orang cerdik mengapa licik"
Orang kaya mengapa serakah"
Orang sakti mengapa hilang pekerti
Orang susah mengapa gelisah
Orang sengsara mengapa merana
Aku melintas di depan orang-orang
Mereka yang hilang ingatan
Yang hilang kehormatan
Yang hilang rasa malu
Yang diperkosa haknya sebagai manusia
Lalu aku menjerit dalam kebodohanku,
Kemudian aku bertanya pantaskah aku menga-
ku sebagai anak manusia yang beradab"
"Kunyuk sinting! Heaa...!" Dewa Kubu memben-
tak garang. Serangkaian serangan beruntun dile-
paskannya. Wees! Anehnya serangan yang dilancarkan kali ini ti-
dak mengenai sasaran. Dewa Kubu terperangah, pena-
saran ia lepaskan tendangan ke bagian perut lawan-
nya. Suro tampak terhuyung, gerakannya gerubak-
gerubuk tokh apa yang dilakukan lawannya luput lagi.
Merasa panas hati Dewa Kubu menggabung-
gabungkan jurus-jurus terdahsyat yang dimilikinya.
Sementara tawa Suro semakin menggila, Elang
Perak tidak kuat bertahan di situ dan langsung mele-
sat terbang entah kemana.
"Hibah...!"
Dewa Kubu membentak keras. Tubuhnya me-
layang ke depan. Kini segala terasa berubah, Suro me-
rasa gerakan yang dilakukannya seperti mendapat ha-
langan di sana-sini. Walaupun merasa keadaan kini
mulai berbalik, ia hantamkan tinjunya secara berun-
tun. Serangan itu berulangkali mengena namun Dewa
Kubu seperti tidak merasakannya. Malah balasan yang
dilakukan Dewa Kubu kemudian membuat pemuda
terjengkang. "Eehk, mati aku...!"
Suro megap-megap sambil pegangi dadanya.
Banyak sekali darah kental yang tersembur dari mu-
lutnya. Dewa Kubu terkekeh-kekeh, tanpa memberi
kesempatan pada lawannya bangkit berdiri. Dewa Ku-
bu kembangkan tangannya sekali lompat ia sudah
hampir dapat mencengkeram leher si konyol. Di saat
itulah ia menghentakkan tangannya dan lepaskan ju-
rus 'Neraka Pembasmi Iblis'. Demikian dekat jarak an-
tara Dewa Kubu dengan Suro, hingga sinar merah itu
tidak sempat dihindari lagi oleh Dewa Kubu.
Duuum! "Akh...!"
Dewa Kubu menjerit tertahan, tubuhnya terdo-
rong mundur. Jelas sudah bahwa tokoh dari Andalas
ini terluka cukup parah. Ia sendiri merasa sangat he-
ran melihat kenyataan ini. Ia seperti lemah dan kehi-
langan tenaga. Dicobanya mengerahkan tenaga dalam,
tapi dadanya malah mendenyut sakit dan panas bukan
main. "Pemuda gila itu, apa yang telah dilakukannya padaku"!" desis Dewa Kubu
merasa ketemu batunya.
"Heh he he...! Mau kita teruskan sampai salah
seorang di antara kita ada yang mampus, Dewa Ku-
bu"!" gertak Suro. Padahal ia sendiri sudah menderita kesakitan yang luar biasa.
Dewa Kubu sedikitpun tidak menyahut, untuk
pertama kali dalam hidupnya ia merasa jerih. Tanpa
menunggu Suro berbuat lebih lanjut ia langsung ngacir
dari hadapan Pendekar Blo'on.
"Hekh... a-ku sendiri hampir tidak tahan, kok.
Dan rasanya sudah tidak kuat berdiri!" kata si konyol sambil menyeringai
kesakitan. Dan ternyata ia jatuh
terduduk sambil pegangi dadanya yang sakit. Suro te-
lan tiga butir pel berwarna hitam. Setelah itu Suro ti-
dak sadarkan diri.
Lain halnya lagi dengan puteri Saba, gadis itu
kini sudah mulai sadar kembali. Ketika tidak melihat
Pendekar Blo'on ia mulai khawatir jangan-jangan pe-
muda itu telah tewas di tangan Dewa Kubu. Tergesa-
gesa puteri Saba mencarinya di sekitar bekas pertem-
puran yang porak poranda. Ia melihat Pendekar Blo'on
terkapar dengan kepala nyungsep di rerumputan.
"Suro?" pekiknya cemas. Di tubruknya Pende-
kar Blo'on. Ternyata sekujur tubuhnya sudah sangat
dingin sekali. "Jangan mati. Suro, jangan kau tinggalkan aku!" tangis sang
puteri. Ia memangku kepala Su-ro di atas kedua pahanya. Wajah si konyol di
tepuk- tepuknya, namun betapa wajah itu semakin dingin.
Ada darah yang mengalir di sela- sela bibirnya. Darah
itu langsung dibersihkan dengan punggung tangan pu-
teri yang cantik itu. Kepala Pendekar Mandau Jantan
didekap dan dipelukinya seakan ia tidak rela kehilan-
gan pemuda itu.
"Hu hu hu... jangan mati Suro. Apa pun akan
kulakukan asal kau dapat hidup kembali! Tuhaaaan...
jangan kau ambil nyawanya"!" jerit puteri Saba. Ini merupakan suatu tanda betapa
puteri Saba teramat
sangat mencintainya.
Gadis itu terus memeluk kepala si konyol, se-
hingga tanpa disadari dadanya tentu menekan pipi Su-
ro Blondo. Sang puteri memeriksa denyut nadi Pende-
kar Blo'on, ternyata denyut nadi di pergelangan tan-
gannya ada lagi. Sang puteri merasa lega, namun ma-
sih khawatir juga.
"Suro, sadarlah...! Jangan kau mati sekarang"
Nanti saja kalau sudah tuaan dikit! Suro...!" pekiknya.
Terdengar suara rintihan si pemuda, ternyata
tadi ia memang pingsan berat. Kini setelah menyadari
dirinya di peluki puteri Saba, si konyol yang sempat
membuka mata, sekarang pejamkan mata lagi. Meski-
pun merasakan sakit luar biasa, sebenarnya hatinya
geli juga senang.
"A-d-u-h... di mana aku ini" Apakah aku sudah
meninggalkan dunia?" rintih si konyol setengah dibuat-buat. "Tidak! Oh, sukurlah
kau masih hidup. Saking girangnya puteri Saba memeluk kepala Pendekar
Blo'on dengan eratnya.
"Tumit-ku... eeh, tubuhku dingin sekali! A-ku
seperti mandi di kolam es! Darahku membeku, seli-
mut...!" kata si pemuda seperti orang mengigau. Puteri Saba kebingungan.
"Tidak ada selimut...!"
"Aku mungkin segera mati."
"Tidak! Jangan!" pekik sang puteri.
"Peluk aku! Aku takut sekali!" desis Suro.
Ternyata puteri Saba benar-benar memeluknya.
"Cium aku, aku segera mati!" kata si konyol pu-la.
Tanpa ragu-ragu dan sedikit gemetaran puteri
Saba menciumnya. Bukan di kening atau di pipi, me-
lainkan langsung di bibir.
"Jangan tinggalkan orang yang hendak mati.
Peluklah aku sambil di cium puteri. Karena Malaikat
malu mengambil nyawa orang yang sedang berci-
uman," lanjut Suro ngaco
Anehnya puteri Saba tidak menyadari bahwa
apa yang dikatakan Suro sungguh tidak masuk akal.
Ia melakukan apa yang diminta Suro, dipeluk sambil
dicium. Tiba-tiba Suro menyambut pelukan pewaris ke-
rajaan Pasundan ini. Ia tertawa terkikik-kikik.
"Suro, kau...?" Puteri Saba merasa dirinya sudah di tipu.
Pendekar Blo'on tidak menghiraukannya. Ia
malah melumat bibir sang puteri yang merah merekah
dan sangat alami.
"Kau nakal sekali, Suro...!" desis gadis cantik itu dengan nafas terengah-engah.
Tokh ia tidak berusaha melepaskan diri dari pelukan Pendekar Blo'on. Ia
malah membalas pagutan Suro, bibir mereka saling
melumat dalam gejolak jiwa muda yang kian memanas.
Baik puteri Saba maupun Pendekar Blo'on sudah
hampir lupa siapa diri mereka masing-masing. Ciuman
si konyol berpindah ke pangkal leher puteri Saba yang
jenjang. Gadis ini mulai terbakar gairah yang memba-
ra. Dua kancing baju puteri Saba terlepas. Terlihatlah
bukit-bukit yang membusung, putih, indah dan me-
nantang. Murid Penghulu Siluman Kera Putih, menyu-
supkan wajahnya di celah kedua bukit yang menebar
bau harum itu, kecupan-kecupan yang lembut di ja-
tuhkan Suro di kedua bukit yang indah. Puteri Saba
semakin terbakar gairah sehingga semakin jelas suara
desis dan tarikan nafasnya yang tersengal. Tubuh sang
puteri menggeliat, matanya setengah terpejam, bibir-
nya merekah. Tampaknya ia menuntut Suro berbuat
lebih jauh lagi. Ia siap menyerahkan diri sepenuh jiwa
dan raganya. Namun Suro tiba-tiba memaki, wajahnya
menjauh. Lalu tangannya menepak-nepak keningnya.
"Bego, tolol, bodoh, goblok! Kita hampir gila,
hampir... hampir gila-gilaan...!" kata Pendekar Blo'on.
Seakan tersadar puteri Saba bangkit duduk
dan cepat mengancingkan bajunya yang terbuka. Pute-
ri Saba sempat melihat ada bekas merah di dadanya.
Gadis cantik itu tersipu malu, wajahnya bersemu me-
rah. Ia tundukkan kepala. Malu.
Hampir saja setan berhasil memperdaya mere-
ka. "Maafkan aku, puteri. Maafkan...!"
Puteri Saba sama sekali tidak menyahut, wa-
jahnya semakin dalam tertunduk.
Tidak ada yang dapat disalahkan dalam hal ini.
Ia sendiri terseret dalam gelora cintanya pada Suro.
Cinta yang sudah tidak mampu ia sembunyikan lagi.
Kedua muda mudi itu saling terdiam. Lamaaaa
sekali!
Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** DELAPAN Pendekar Kucar Kacir duduk gelisah, waktu itu
mereka sudah menyingkir cukup jauh juga dari istana.
Maling Jenaka sendiri sudah tidak sabar jika harus
menunggu lebih lama lagi. Apalagi Pangeran kocak ini
terkadang mencuri-curi pandang kepadanya.
Sebenarnya ia mengakui, Pangeran Demak Pati
cukup tampan juga, penampilannya sama sekali tidak
menunjukkan bahwa ia adalah putera mahkota. Ia se-
derhana dan bersahaja. Meskipun ada juga rasa suka
dalam hatinya. Rasanya ia lebih cenderung berat den-
gan si konyol Pendekar Blo'on.
Sayang sampai sekarang ia tidak tahu dimana
pemuda itu. Terkadang ia merasa khawatir juga dengan ke-
selamatan pemuda berambut hitam kemerahan itu.
Namun ia lebih cemas lagi jika Suro bersama seorang
gadis. Seperti puteri Saba misalnya. Walau pun harus
di akui bahwa kecantikan Gadis tidak kalah bila di-
bandingkan dengan dirinya.
"Apa yang kau pikirkan, Maling, eh.... Gadis"
Kulihat keningnya berkerut seperti orang sakit perut
dan semburut. Apakah perlu diurut?" celetuk Pangeran Demak Pati.
"Bisamu hanya bercanda saja Pendekar Kucar
Kacir! Hidupmu seperti tanpa, masalah dan beban, pa-
dahal persoalanmu belum lagi selesai!" dengus Gadis, seraya memalingkan wajahnya
ke arah lain. "Masalahku memang rumit, kalau kupikirkan
kepalaku sakit. Rambut bisa rontok botak ubanan" La-
lu aku harus bagaimana?" sahut Pangeran Demak ter-
bodoh. "Setiap hari kerjamu hanya membesarkan taik mata melulu. Kau punya
pikiran, tentu bisa kau pergunakan untuk cari jalan keluar, Pangeran sepertimu
pantasnya mati saja!"
"Jangan kau menghinaku, jelek-jelek begini aku
Pangeran!"
"Pangeran atau bukan kau sama saja tidak ada
gunanya. Pantasan Pangeran Suprana yang telah
mampus itu dapat memperdayamu, rasanya monyet
dungu pun bisa memperdayamu!" ejek Gadis.
"Kau jangan keterlaluan. Pangeran Suprana itu
licik, otaknya kotor. Tapi sekarang ia sudah mampus
juga. Mengapa kau seperti tidak suka padaku. Ada apa
rupanya"!"
"Aku cuma tidak suka pada tabiatmu yang ma-
sa bodoh, tidak perduli. Sudahlah, bosan aku berdebat
denganmu!"
"Sukur, aku juga bosan kok." sahut Pendekar
Kucar Kacir seenaknya. Maling Jenaka duduk lagi ti-
dak jauh dari hadapan si pemuda. Tiba-tiba ia men-
dengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya.
"Ssst! Ada orang kemari!" Lirih suara Gadis. Ia memberi isyarat agar Pangeran
Demak tidak bicara
apa-apa. Malah Maling Jenaka berniat untuk sem-
bunyi namun terlambat. Dua sosok tubuh telah sam-
pai di depan mereka. Melihat siapa yang datang Maling
Jenaka gembira, tapi bila melihat gadis yang menyertai
pemuda baju hijau itu bibirnya cemberut. Cemburu!
"Ah tidak kusangka, kalian enak-enakan paca-
ran di sini!" celetuk pemuda baju biru alias Suro Blondo.
Maling Jenaka mendelik.
"Bicara kau sekali lagi kutampar mulutmu!" ketus suara Gadis.
"Mengapa kalian lama sekali?" tanya Pendekar
Kucar Kacir. "Kau pacaran dengan adikku, ya?"
Puteri Saba hanya terdiam. Suro cengengesan
sambil garuk-garuk kepala.
"Jangan suka curiga, biasanya maling memang
selalu teriak maling. Padahal melihat caramu meman-
dang kau tidak dapat mungkir sebenarnya kau kan ja-
tuh cinta pada Maling Jenaka"!" sahut Suro.
Wajah Gadis berubah merah seperti kepiting
rebus. Tiba-tiba ia melompat dan...
Plak! Ditamparnya Suro hingga membuatnya ter-
huyung-huyung. Pemuda itu mendelik. Tanpa disang-
ka-sangka... Plook! "He he he! Kedudukan harus sama, satu-satu."
kata Pendekar Blo'on sambil usap-usap pipinya.
"Kau berani lancang menuduhku begitu?"
"Gadis! Aku bicara sungguhan, tidak percaya
tanya saja pada Pendekar pontang-panting itu?"
Gadis semakin marah.
"Benar kau jatuh cinta padaku?" tanya Maling
Jenaka alias Maling Cerdik.
Malu-malu Pangeran Demak Pati mengangguk.
"Entah mengapa aku jatuh cinta padamu! Tadi
malam aku mimpi kejatuhan bintang, lalu kejatuhan
bulan, kemudian kejatuhan duren!"
Suro langsung menanggapi. "Kalau begitu
mampuslah, kau!" kata Suro. Gadis tidak dapat ber-
buat apa-apa mendengar kenyataan ini.
"Sudah... sudah...! Mengapa kalian justru
memperdebatkan yang tidak perlu!" Puteri Saba yang sedari tadi diam saja segera
menengahi. Di sini jelas
tanda-tanda kepemimpinannya lebih menonjol di ban-
dingkan kakandanya. "Sekarang kanda harus jelaskan pada kami bagaimana keadaan
istana saat ini?"
"Lebih baik kau tanyakan saja pada Gadis! Dia
yang lakukan penyelidikan!" ujar Pangeran Demak Pa-ti.
"Bagaimana saudari?"
Maling Cerdik tanpa menunggu lagi segera
menjelaskan apa yang dilihatnya. Pendekar Blo'on dan
puteri Saba mendengarkan penjelasan Gadis dengan
bersungguh-sungguh.
"Bagaimana menurutmu, Suro?" tanya puteri
Saba setelah mengetahui segala sesuatunya. Perlu di-
ketahui sejak kejadian malam tadi, puteri cantik ini
memang selalu menundukkan kepala bila bicara den-
gan Pendekar Blo'on.
"Aku punya satu cara, ini pun kalau kalian
mau melakukannya! Aku tidak memaksa!" ujar Suro."Bagaimana jika salah seorang diantara kalian masuk ke istana berpura-pura
sebagai perempuan yang bersedia tidur dengan Singa Gunung atau lebih baik lagi
berpura-pura sebagai gadis yang membutuhkan per-
lindungan"!" usul Suro. "Dengan begitu kita punya kesempatan menunggu di bawah
kolong atau bersem-
bunyi di kamar yang selalu dipergunakan oleh Singa
Gunung untuk bersenang-senang!"
"Usul itu sangat berbahaya, tapi terus terang!
aku sendiri semula juga punya rencana begitu." sahut Gadis sependapat.
"Persoalannya sekarang adalah siapa yang akan
menyelinap ke sana. Jika aku, besar kemungkinan
Singa Gunung sudah mengenalku!" kata sang puteri.
"Aku bisa melakukannya, tapi rasanya mau di-
taruh dimana mukaku ini?" kata Gadis tersipu-sipu
"Kalau begitu aku bersedia menyimpan muka-
mu untuk sementara!" celetuk Suro Blondo.
"Konyol! Jangan kau bergurau lagi!" dengus Puteri Saba.
"Rasanya tidak ada jalan lain. Kita harus mela-
kukan apa saja yang dapat kita lakukan!"
"Jadi kau mau?" Pangeran Demak Pati belalak-
kan mata seakan tidak percaya dengan apa yang di-
dengarnya. "Bagaimana jika aku saja yang menyamar
sebagai perempuan?" Pemuda baju putih itu menawar-
kan diri. "Kau ini bagaimana" Apakah mau mampus"
Kau kan punya tebu dan jambu kakek itu juga punya
tebu. Kalau sampai ketahuan kau nggak bakal menjadi
orang! Kau pikir enak jadi cacing tanah?" kata Suro Blondo. Semua langsung
terdiam. Maling Jenaka sendiri jadi ragu-ragu. Namun bukankah dia punya banyak
keahlian" "Tidak usah gelisah. Rencana itu tidak perlu ki-
ta jalankan! Aku punya rencana lain!" ujar Gadis.
Secara terperinci kemudian ia membeberkan
rencana yang sangat mungkin untuk dikerjakan. Ren-
cana itu memang masuk akal, mengingat Gadis adalah
seorang maling juga copet yang sangat lihai.
"Kami setuju! Kami bertiga akan melindungimu
jika sampai terjadi apa-apa yang tidak diingini!" kata yang lain-lainnya
sependapat. "Nanti bila keadaan sudah gelap kita mulai me-
nyelinap. Istana bagiku tidak asing, karena aku me-
mang mengetahui seluk beluknya!" kata Pangeran De-
mak. Demikianlah rencana itu telah sama mereka
sepakati. Sekarang hanya tinggal menunggu waktu sa-
ja. *** Matahari baru saja tenggelam di kaki bukit.
Keempat muda mudi itu kini telah bersiap-siap me-
lompati tembok istana. Tidak seorang pun di antara
mereka yang berani buka suara. Keadaan saat itu be-
nar-benar sangat mencekam sekali.
Baru saja mereka hendak bergerak. Terlihat
bayangan merah berkelebat ke arah orang-orang ini.
Gerakannya cepat luar biasa. Hingga beberapa saat sa-
ja ia telah berdiri di depan Pangeran Demak Pati. Lalu
terdengar suara seruan tertahan Suro Blondo.
"Guru...!!"
Ternyata yang datang memang Malaikat Be-
rambut Api. Si kakek rambut merah hanya menggu-
man tidak jelas. Puteri Saba, Pendekar Blo'on menjura
hormat dan segera diikuti oleh Gadis dan Pendekar
Kucar Kacir. "Tidak usah memakai segala macam peradatan!
Kalian hendak kemana?" tanya Malaikat Rambut Api.
"Orang yang melarikan pedang ada di dalam is-
tana, guru. Ia sedang bersenang-senang dengan wani-
ta-wanita bekas kekasih Pangeran Suprana. Kami baru
saja hendak menyusup kesana. Tujuan kami tentu me-
rampas pedang itu di saat dia lengah!" jelas Pendekar Mandau Jantan.
"Tindakan itu memang patut dipuji. Cuma ada
yang kalian tidak tahu. Pedang Penebar Bencana ada-
lah Pedang Berdarah. Ia punya rahasia tertentu yang
harus kalian ketahui. Senjata itu punya pasangan lain
Pusaka Pembawa Rahmat. Dulu almarhum guruku Si
Bayang Bayang mengatakan telah menciptakan pasan-
gannya. Pusaka Pembawa Rahmat aku tidak tahu be-
rada di mana. Sedangkan Angku Muda Pasak Langit
itu sendiri kesaktiannya sangat tinggi. Jika Pusaka
Pembawa Rahmat ada di sini, tentu kilauan sinarnya
dapat memupus sinar pedang Penebar Bencana. Den-
gan begitu ia tidak akan dapat membuat orang-orang
di sekelilingnya celaka. Kita tidak bisa menunggu da-
tangnya sebuah keajaiban. Kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan muda. Aku
akan melindungi usaha
kalian. Cara lain masih ada, andai pedang itu dapat
kalian rebut. Maka sepasang dari kalian harus meme-
gang rangka Pedang. Jangan kalian sempat bercerai
berai, karena hal itu dapat membuat kalian menjadi
debu." "Aku berpasangan dengan siapa guru" Apakah harus berpasangan dengan
Pangeran goblok ini?"
tanya Suro. "Laki-laki dengan laki-laki bukan pasangan.
Laki-laki pasangannya adalah perempuan. Jika pedang
telah berada di tangan kalian. Urusan Singa Gunung
adalah bagianku. Tugas kalian hanya memegang pe-
dang itu secara berpasangan." jelas kakek Dewana.
"Usul guru. Apakah pedang itu berat" Hingga
harus berpasangan" Bukankah lebih enak di pegang
sendiri?" ujar Suro.
"Kalian berempat tidak tahu betapa tingginya
ilmu yang dimiliki oleh kakang seperguruanku itu. Ji-
ka ia berhasil merampas pedang itu dari tanganmu.
Maka semua akan binasa. Sedangkan jika kalian ber-
dua berhasil memegang rangkanya saja. Walau pun
pedang itu sendiri dapat di rampas oleh Singa Gunung.
Cahayanya tidak dapat menghancurkan kita. Apa yang
aku katakan ini adalah segala kemungkinan yang bak-
al terjadi. Dalam hal ini aku lebih mempercayakan kau
bergabung dengan gadis baju hitam. Aku melihat dia
punya keahlian mencuri."
"Kalau begitu mari berangkat!" kata Pangeran
Demak Pati. Mereka berlima segera melompati benteng ista-
na. Dapat dibayangkan betapa tingginya kesaktian
Angku Muda Pasak Langit. Sampai-sampai Malaikat
Berambut Api yang sakti mandraguna saja khawatir
dengan keselamatan mereka.
Orang-orang ini kemudian menyelinap dari satu
ruangan ke ruangan yang lain. Mereka sempat berte-
mu dengan beberapa orang gadis yang dalam keadaan
ketakutan. Namun ketika melihat di antara mereka
ada Pendekar Blo'on, maka legalah hati gadis-gadis ini.
"Setan tua itu berada di mana?" tanya Suro pa-da salah seorang diantaranya.
"Dia ada di kamar lain sedang bersenang-
senang. Tapi tidak lama lagi ia pasti ke sini untuk
mengajak kami begini begitu!" sahut gadis itu malu-malu. "Nah, kita hanya
tinggal menunggu! Sebaiknya kita bersembunyi. Biar Suro dan Gadis yang
menyelinap di bawah kolong!" kata kakek Dewana. "Kalian bersikaplah seperti
biasa, kami akan menolong kalian
juga!" kata Malaikat Berambut Api di tujukan pada gadis-gadis penghibur
tersebut. Setelah melihat gadis-gadis itu menganggukkan
kepala. Maka Malaikat Berambut Api segera menyeli-
nap pergi dengan di ikuti oleh Puteri Saba dan Pende-
kar Kucar Kacir.
Suro dan Maling Jenaka menyelinap ke bawah
kolong. Lama juga mereka menunggu. Akhirnya pintu
terbuka. Dari bawah kolong Suro dapat melihat keha-
Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diran seorang kakek tua berwajah angker. Wajahnya
ditumbuhi jambang dan bewok lebat dan sudah me-
mutih. Maling Jenaka keluarkan keringat dingin. Se-
dangkan Pendekar Blo'on menggerutu dalam hati.
"Orang ini sudah tua bangka. Bahkan mungkin
Malaikat maut sudah hampir menjemputnya. Heran-
nya aku dia lebih senang bermain becek."
Tidak lama Angku Muda Pasak Langit sudah,
merangkul salah seorang perempuan dari empat gadis
yang berada di dalam kamar.
"Mari kita bersenang-senang, gadis-gadisku!"
kata si kakek. Bersamaan dengan itu pakaian-pakaian
si gadis berjatuhan. Tubuh mereka telanjang seperti
bayi. Lalu terdengar suara derit di atas ranjang. Sebe-
lum perbuatan maksiat itu berlangsung, Angku Muda
Pasak Langit meletakkan Pedang Penebar Bencana di
pinggir ranjang dan tidak jauh darinya.
Selanjutnya terdengarlah desah dan rintihan-
rintihan berbau kemaksiatan. Suro memberi isyarat
pada Maling Jenaka untuk segera bertindak. Sedikit
demi sedikit mereka bergeser. Ketika tangan Suro
menggapai, yang terpegang justru paha salah seorang
gadis yang dalam keadaan polos. Untung gadis itu ti-
dak menjerit. Suro memaki dalam hati.
"Tangan sial, kau kusuruh mencari pedang.
Bukan meraba paha gadis murahan!"
Akhirnya ia berada di luar ranjang. Posisinya
dalam keadaan menelentang. Dua gadis yang berada di
bibir ranjang tentu terlihat olehnya. Wajah Suro me-
merah, matanya mencari-cari, hingga ia melihat pe-
dang itu. Cepat sekali diambilnya senjata maut itu.
Dengan sangat hati-hati sekali ia menyelinap
keluar bersama Maling Jenaka. Sampai di luar kamar,
sesuai pesan Malaikat Berambut Api pedang itu dipe-
ganginya bersama Gadis.
"Kita harus membawa pedang ini!" bisik Suro.
Ia berjalan ke bagian ruangan depan. Tapi Maling Je-
naka memilih ke belakang. Sehingga terjadilah saling
tarik-tarikan. "Kau ini bagaimana, kita ke depan...!"
"Aku bilang ke belakang!" sahut Maling Jenaka.
Beda pendapat ini hampir membuat mereka berteng-
kar. Untung Malaikat berambut Api muncul.
"Mengapa kalian berdebat. Cepat kalian ber-
sembunyi ke belakang. Jangan sampai salah seorang
dari kalian melepaskan pedang itu. Kalau kalian letih
Pangeran Demak dan adiknya bisa menggantikan ka-
lian!" pesan Malaikat Rambut Api.
"Kakek sendiri hendak kemana?" tanya Suro
sebelum pergi. "Bukan urusanmu! Aku dan Angku Muda Pa-
sak Langit punya urusan yang harus segera diselesai-
kan!" sahut si kakek.
Keempat muda mudi itu segera menghilang dari
pandangan Malaikat Berambut Api. Si kakek bergegas
menghampiri pintu.
*** SEMBILAN Braaaak! Pintu didobrak dan hancur. Gadis-gadis yang
berada di atas ranjang memekik ketakutan sambil me-
nutupi auratnya masing-masing dengan apa saja yang
berhasil mereka raih. Singa Gunung saking kagetnya
melompat berdiri sambil raih pedang. Ternyata pedang
telah lenyap. Pucat wajahnya ketika melihat kenyataan
Pedang Penebar Bencana sudah tidak ada lagi disitu.
Ia raih pakaiannya. Dengan tergesa-gesa ia memakai
pakaian itu. Sedangkan gadis-gadis yang menemaninya se-
gera berhamburan keluar kamar tanpa sempat mema-
kai pakaiannya.
Malaikat Berambut Api memperhatikan bekas
saudara seperguruannya ini dengan sorot mata tajam,
dingin menusuk.
"Jahanam, akhirnya kita bertemu juga!" dengus Singa Gunung sinis.
"Dulu kita berpisah dalam keadaan memalu-
kan, dan kini kita bertemu dalam keadaan memalukan
pula. Angku Muda Pasak Langit! Jika ada orang yang
paling biadab di kolong langit ini, kaulah orangnya.
Dulu kau bunuh guru kita, kemudian kau rusak ke-
hormatan adik sendiri, kau rusak pula wajahnya. Se-
hingga sepanjang sisa-sisa hidupnya ia menderita. Ke-
jahatanmu melebihi iblis, kebiadapanmu melebihi se-
tan! Kau curi pedang Penebar Bencana, lalu kau reng-
gut nyawa orang-orang yang tidak berdosa. Dalam
umurmu yang hampir di ujung batas kehidupanmu.
Kau sama sekali tidak pernah menunjukkan tanda-
tanda ingin bertobat!"
"Cukup!!" Singa Gunung berang. "Dewana! Jalan hidup kita sejak dulu memang
berbeda, seperti
bumi dengan langit. Tuhan memberimu wajah tampan.
Sedangkan aku si buruk rupa, perjalanan nasib dan
cintaku juga tidak beruntung, penuh kesialan, malah!
Sudah adilkah Tuhan memperlakukan aku seperti itu"
Kenyataan yang aku terima telah membuatku marah.
Apa artinya hidup ini jika penuh kesialan?"
Kakek Dewana tersenyum. Senyum pahit yang
melukiskan kesedihan hati juga kemarahan.
"Kau mempersoalkan sesuatu yang tidak abadi.
Hidupmu penuh kebencian, yang akhirnya hanya
mengundang angkara murka! Singa Gunung, ku tahu
setinggi apa kesaktianmu. Namun kebenaran menga-
takan agar aku jangan bersurut menuntut balas atas
kematian guru dan juga atas perbuatanmu pada Gaya-
tri!" ujar Malaikat Rambut Api dingin.
"Ha ha ha.... Aku tahu kau pasti menyuruh
muridmu mencuri pedang maut itu selagi aku lengah.
Bukan hanya kau saja yang punya murid." kata Singa Gunung penuh rasa bangga.
Namun sebelum ia berkata lebih jauh Malaikat
berambut Api sudah memotong.
"Muridmu yang bergelar Hantu Liang Lahat su-
dah mati di tangan muridku! Sekarang tanpa Pedang
Penebar Bencana, kita akan mengadu kesaktian hing-
ga salah seorang diantara kita ada yang mati." dingin suara si kakek rambut
merah. "Keparat bermulut besar! Kau lihatlah ini!" teriak Angku Muda Pasak Langit.
Tiba-tiba saja Singa Gunung acungkan telun-
juknya ke arah tembok kamar. Tidak terlihat apa pun
melesat dari tangan Singa Gunung. Tiba-tiba pula
dinding tembok berlubang.
Mata kakek Dewana menyipit. Mulutnya meng-
gembung, lalu meniup. Tidak ada hembusan angin
yang keluar dari celah-celah bibirnya. Namun...
Brool...! Dinding di belakang Singa Gunung runtuh.
Sehingga terlihatlah halaman samping istana
melalui bagian besar dinding yang hancur.
"Itu adalah jalan keluar, Angku Muda Pasak
Langit! Disana adalah kesempatan antara kau dan aku
untuk hidup atau mati!" kata si kakek.
"Itu adalah yang kutunggu. Setelah sekian lama
terpisah, sekarang ada saat yang paling menentukan.
Sesungguhnya siapa yang paling pantas hidup di per-
mukaan bumi ini!" sambut Singa Gunung.
Kemudian tanpa bicara apa-apa, Singa Gunung
keluar melalui dinding yang hancur itu. Malaikat Be-
rambut Api segera menyusulnya.
Di halaman samping istana yang hanya dite-
rangi oleh cahaya terang bulan purnama mereka saling
berhadap-hadapan.
"Huh...!"
Singa Gunung mendengus. Ketika ia hantam-
kan tangannya ke tanah, terdengar dentuman keras.
Tanah berlubang besar.
"Disini kuburmu!" teriak Angku Muda Pasak
Langit. Tidak mau kalah, kakek Dewana juga hantam-
kan tangannya. Sinar merah menghantam tanah di
sampingnya. Lagi-lagi terdengar ledakan dahsyat. Ta-
nah itu berlubang cukup dalam.
"Telah kusediakan pula kubur untukmu!" den-
gus Malaikat Berambut Api. Manusia-manusia sakti
itu memang saling unjuk kesaktiannya masing-masing.
Jika Suro menyaksikan hal ini, pasti ia tercengang-
cengang karena takjubnya.
Tiba-tiba saja dua-duanya saling membentak.
Dua sosok tubuh melayang sama-sama mendekati.
Angin dingin berkesir. Lalu terjadi benturan hebat di
saat kedua tangan saling beradu.
Duung! Singa Gunung berjumplitan seperti terdorong
ke belakang. Kakek Dewana bersalto beberapa kali.
Kemudian menjejakkan kakinya tanpa kekurangan su-
atu apapun. Singa Gunung kaget juga, bekas adik sepergu-
ruannya ternyata tidak menderita apa-apa. Padahal
tadi ia hantamkan pukulan Tangan Waja.
"Sebentar lagi segera kau lihat kematianmu!"
teriak Singa Gunung. Ia segera putar-putar tangannya,
kedua tangan itu sebentar saja telah berubah semerah
bara. "'Ajian Sungsang Jiwa'!" desis Malaikat Berambut Api. Tidak ada
kemungkinan lain yang dapat me-
nandingi ajian yang membinasakan itu. Ia segera per-
gunakan jurus 'Neraka Pembasmi Iblis'. Salah satu ju-
rus dahsyat yang diciptakannya puluhan tahun silam.
Singa Gunung hentakkan kedua tangannya ke
arah lawan, Malaikat Berambut Api berteriak tinggi,
tubuhnya melesat secepat kilat. Seakan ia menyong-
song sinar maut yang membinasakan itu.
Kakek Dewana merasa tubuhnya seperti ter-
panggang api. Namun ia terus menerobos sinar tadi.
Lalu tangannya menghantam dada Singa Gunung.
Duuuk! Singa Gunung tergontai-gontai, tawanya malah
meledak. Malaikat Berambut Api hantamkan lututnya
ke perut lawan.
Dess! Bruuuuk! Tendangan itu mampu mendorong lawan bebe-
rapa langkah ke belakang. Hebatnya Singa Gunung
seperti tidak merasakan sakit sama sekali. Padahal
Malaikat Berambut Api sudah mengerahkan setengah
dari tenaga dalam yang dimilikinya.
Singa Gunung membalas dalam pertempuran
jarak dekat. Dua kali tinjunya mendarat di wajah be-
kas adik seperguruannya. Malaikat Berambut Api, jan-
gankan roboh, bergeming pun tidak.
Akhirnya mereka pun mulai menyerang dengan
mengerahkan jurus-jurus andalan masing-masing. Se-
tiap serangan atau gerakan apapun selalu menimbul-
kan badai angin yang menggila menderu-deru.
Inilah pertarungan antara hidup dan mati to-
koh-tokoh tingkat atas yang benar-benar jarang terjadi
di rimba persilatan. Udara di sekeliling mereka pun
menjadi redup dipenuhi debu dan pasir yang berter-
bangan. Setiap bentakan adalah gelegar suara yang me-
nulikan telinga. Pertarungan itu berlangsung cepat,
hingga dalam waktu singkat saja sudah melewati pu-
luhan jurus. Waktu berlalu, berganti dengan pagi. Baik ka-
kek Dewana maupun Singa Gunung sama sudah men-
gerahkan segenap kemampuan yang mereka miliki.
Sebagian istana Pasundan porak poranda.
Sementara Suro dan Gadis yang sudah letih
memegang pedang mulai kasak-kusuk.
"Aku mengkhawatirkan keselamatan kakekku!
Mereka bertarung hampir semalam suntuk. Aku pun
sudah letih menunggu, letih pula memegang pedang!"
ujar Suro. "Biar aku yang menggantikannya dengan kanda
Pangeran." kata puteri Saba.
"Peganglah, aku ingin melihat apa yang terjadi
di depan sana!" Pendekar Blo'on segera menyerahkan pedang itu ke tangan Pendekar
Kucar Kacir dan adiknya. Suro segera melompat ke depan.
"Sebaiknya kita ikuti dia!" usul Pendekar Kucar Kacir.
"Jangan, hal itu sangat berbahaya." cegah Pute-ri Saba. "Kita disini hanya
berdua, Maling Jenaka sudah menyusul ke sana!" kata si pemuda tetap ngotot.
Puteri Saba akhirnya mengalah dan mengikuti
kemauan Pangeran Demak. Mereka berjalan beririn-
gan. Sampai di depan, Suro melihat pakaian gurunya
sudah tercabik-cabik. Sedangkan Singa Gunung sendi-
ri tampaknya sudah terluka. Mereka sudah sama-
sama letih, Sebenarnya Pendekar Blo'on ingin terjun ke ka-
langan pertempuran. Namun ia tidak berani melaku-
kannya. Bukankah bila orang-orang gagah sedang ber-
tarung tidak boleh main keroyok seperti tokoh-tokoh
aliran sesat" Sekarang Suro hanya menunggu dan
menjaga segala kemungkinan. Ia kaget melihat Maling
Jenaka menyusulnya. Dan lebih kaget lagi ketika meli-
hat Puteri Saba dan Pangeran Demak menyusul pula.
Ini sempat di lihat oleh Singa Gunung. Kakek
tua yang dapat mengambil suatu benda dari jarak jauh
ini tiba-tiba menyentakkan tangannya. Pedang Penebar
bencana melayang ke arahnya dalam keadaan telan-
jang. Herannya pedang maut itu tidak memancarkan
sinar. Mungkin seperti kata kakek Dewana, bila rangka
pedang dipegang oleh sepasang insan berlainan jenis.
Maka senjata itu kehilangan kharismanya. Singa Gu-
nung tahu persis rahasia ini. Jadi caranya untuk
Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghancurkan lawan, adalah membunuh terlebih
dahulu pemuda dan gadis yang memegang rangka pe-
dang itu. Malaikat Berambut Api kaget melihat Pedang
Pemersatu sekarang telah berada di tangan Singa Gu-
nung. Suro, Maling Jenaka, puteri Saba dan Pendekar
Kucar Kacir juga tidak kalah kagetnya melihat pedang
bisa tercabut dari warangkanya, lalu melayang ke arah
musuh. Wajah mereka berubah pucat ketakutan.
"Kalian goblok dan tolol semua. Sudah kukata-
kan jangan menyusul kemari, sekarang akibat dari ke-
bodohan kalian bisa lihat sendiri!" teriak si kakek gu-sar. "Jangan lepaskan
rangka pedang itu!" katanya memberi peringatan.
"Ha ha ha...! Jika kubunuh mereka yang me-
megang rangka pedang ini. Berarti senjata ini akan
memancarkan cahaya lagi. Dan kalian yang ada disini
akan hangus semua!" kata Singa Gunung.
Dengan cepat tubuhnya melesat, bukan menye-
rang Malaikat Berambut Api dengan pedang tersebut.
Ia bergerak ke arah puteri Saba dan Pangeran Demak.
Pendekar Blo'on cabut mandau dan merintangi ke de-
pan. Malaikat Berambut Api sadar betul apa yang akan
dilakukan oleh Singa Gunung. Ia ingin melakukan tin-
dakan penyelamatan, tapi jaraknya sangat jauh sekali.
Begitu pula ia masih memburu.
"Menyingkir pemuda tolol! Atau...! Hiya...!"
Pedang Penebar Bencana meluncur terus ke pe-
rut Suro. Namun pemuda ini segera melompat ke
samping sambil menangkis dengan mandaunya.
Traang! Api memijar dari kedua senjata yang sempat
beradu tadi. Suro berguling-guling. Tangannya lang-
sung melepuh sedangkan mandau hampir saja terle-
pas. Kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh Singa Gu-
nung, ia berbalik dan hantamkan pedang ke tangan
puteri Saba dan Pangeran Demak.
Hanya setengah jengkal lagi senjata maut itu
membabat putus kedua muda-mudi itu. Tiba-tiba ter-
lihat sinar putih berkelebat, sinar itu menangkis.
Trek! Singa Gunung menjerit, tubuhnya terpental.
Sinar putih yang ternyata memancar dari pedang te-
lanjang di tangan seorang nenek berwajah rusak telah
mendorongnya. Jadi bukan tenaga si nenek yang
membuatnya terjengkang. Nenek baju hitam berdiri
membelakangi Puteri Saba siap melindungi.
"Jangan salah seorang pun diantara kalian
yang lepaskan rangka pedang itu." kata El Maut men-gisiki. Sekarang perhatiannya
beralih pada Singa Gu-
nung. Tua bangka yang membuatnya menderita lahir
dan batin. "Pedang Pusaka Pembawa Rahmat...!" desis
Singa Gunung kaget.
Ia sadar betul, meskipun ia memegang Pedang
Penebar Bencana, tanpa warangkanya posisi Singa
Gunung semakin lemah. Apalagi kini El Maut meme-
gang pedang Pembawa Rahmat yang merupakan senja-
ta pamungkas yang dapat menandingi pedang Penebar
Bencana. Dengan nekad ia bangkit berdiri. Dengan
senjata itu ia menyerang secara membabi buta. Malai-
kat Berambut Api sadar betul bagaimana pun El Maut
masih kalah dalam hal tenaga dalam dengan Singa
Gunung. Untuk itu ia tidak tinggal diam. Kakek ini le-
paskan ikat pinggangnya yang berwarna merah.
Mendapat serangan dari dua musuh bebuyutan
ini. Singa Gunung meskipun bersenjata pedang terde-
sak juga. "Manusia-manusia pengecut. Kalian mengaku
sebagai golongan dan orang-orang terhormat. Memalu-
kan sekali ternyata kalian hanya bisa main keroyokan!"
ejeknya. "Jangan banyak bicara! Kau harus mampus,
kau harus mampus!" teriak El Maut sambil memba-
cokkan senjatanya.
Sinar putih berkelebat-kelebat. Sekejap saja
Singa Gunung telah terkurung sinar pusaka pembawa
rahmat. Singa Gunung hanya dapat menangkis tanpa
mampu membalas serangan yang dilakukan oleh dua
tokoh sakti ini. Kakek Dewana hantamkan ikat ping-
gang ke punggung lawan. Singa Gunung menangkis...
Traang! Dua-duanya terhuyung. Kesempatan ini diper-
gunakan oleh El Maut. Ia kibaskan senjata di tangan-
nya. Tees! "Akhhk...!"
Darah menyembur, tangan Singa Gunung yang
memegang pedang terbabat putus. Ia sambil menjerit
kesakitan coba memungut pedang yang jatuh bersama
potongan tangan kanannya. El Maut sudah tidak
memberinya kesempatan.
Craas! Tangan kiri Singa Gunung putus lagi. Malaikat
Berambut Api segera memungut pedang Penebar Ben-
cana dan menyarungkannya ke dalam warangka yang
di ambilnya dari tangan kedua muda mudi itu.
Singa Gunung menjerit-jerit. El Maut dengan
penuh dendam membabat kaki orang yang dibencinya.
"Ini hadiah untukmu karena merampas kehor-
matanku! Sedangkan yang ini pembalasan untuk
guru!" teriaknya. Sekejap saja Singa Gunung telah kehilangan kedua kaki dan
tangannya. Ia melolong-lolong
dalam keputus asaan dan rasa sakit yang mendera.
"Bunuh saja aku, bunuh!" jeritnya.
"Aku memang akan membunuhmu! Untuk wa-
jahku yang kau rusak, kepalamu gantinya!"
Pusaka Pembawa Rahmat melayang lagi dan...
Crees! Kepala Singa Gunung menggelinding. Tubuh
tanpa tangan, tanpa kepala dan tanpa kaki menggele-
par. Kemudian diam. El Maut bermaksud mencincang-
nya. Tapi sebuah tangan mencegahnya.
"Jangan kau lakukan kekejian itu Gayatri. Dia
sudah mati!" kata kakek Dewana dengan suara serak
menahan haru. "Mengapa guru main keroyok?" tanya Suro me-
rasa tidak suka.
"Suro, persoalan kami dengan Singa Gunung
siapapun tidak boleh mencampuri. Ini termasuk uru-
san besar. Engkau sendiri takkan mampu menghadapi
uwa gurumu." jawab si kakek.
"Pemuda tolol itu muridmu?" tanya El Maut.
"Ia bahkan cucuku!" sahut si kakek.
"Dan nenek adalah bibi guruku! Meskipun ber-
saudara jauh, kalau di hitung-hitung puteri Saba ma-
sih kerabat juga." kata Suro sambil nyengir.
"Aku juga, Suro!" kata Pangeran Demak tidak
mau kalah. "Entahlah, jika harus mengakui, aku masih pi-
kir-pikir. Masalahnya kau Pangeran goblok sih!"
"Kau sendiri tolol!"
"Kalian sama saja!" Gadis menimpali.
"Gayatri. Lupakanlah masa lalumu! Berhubung
raja Jasa Raga adalah muridmu. Alangkah lebih baik
kau urus putra putrinya. Mereka memerlukan bimbin-
ganmu. Bantu mereka, dan kalau Gadis mau rasanya
ia pantas berjodoh dengan Pangeran Demak Pati agar
pemuda ini tidak mengembara melulu." kata si kakek sambil melirik ke arah Gadis.
Maling Jenaka tersipu-sipu. "Aku, guru...?" tanya si konyol sambil nyengir.
"Kau, boleh-boleh saja. Nanti setelah lebaran
monyet!" ucap si kakek sambil berkelebat pergi.
"Kau dengan adikku saja, bagaimana?" tawar
Pendekar Kucar Kacir.
Suro garuk-garuk kepala.
"Iya, nanti. Kata guru setelah lebaran monyet!"
Waktu itu Gadis berbisik-bisik pada nenek El Maut,
"Lebaran monyet tidak pernah ada. Kau dikada-
li gurumu!" kata Pendekar Kucar Kacir. Seraya menyerahkan mahkota kerajaan pada
adiknya. "Ha ha ha...! Entahlah, aku bingung!" Suro menyahuti. Ia segera berkelebat
pergi. Puteri Saba merasa Suro sempat menempelkan telunjuknya di bibir sang
puteri. Gadis itu meraba bibirnya, ia merasa ada sesu-
atu yang hilang dari hatinya. Ini membuatnya sedih.
"Suro, tungguu...!" Gadis mengejar ke arah
menghilangnya pemuda itu. Pangeran Demak jadi
khawatir. "Maling Jenaka! Akh... nenek, bagaimana ini.
Mengapa Gadis yang kucintai malah menyusul monyet
gondrong itu?" katanya kecewa.
El Maut untuk pertama kalinya tersenyum.
"Hust, diamlah. Tadi ia sudah berbisik padaku.
Mungkin dia mau menerimamu sebagai suaminya. Ta-
pi ia harus bicara dengan Suro dulu!" kata El Maut.
Pangeran Demak Pati kegirangan. Sedangkan
puteri Saba hanya diam. Tatapan matanya sendu me-
mandang ke arah perginya Suro.
Dua purnama kemudian pesta pernikahan an-
tara Pangeran Demak Pati dengan Gadis berlangsung.
El Maut yang merestui hubungan mereka. Pedang Pe-
nebar Bencana diserahkan pada puteri Saba oleh El
Maut. Sedangkan pedang Pembawa Rahmat dipercaya-
kan pada Pangeran Demak. Kedua kakak beradik ini
membangun kerajaan dengan dibantu Gadis. Dalam
pimpinan puteri Saba, kejayaan kerajaan dapat pulih
sebagaimana dulu ketika ayah mereka masih hidup.
Hal ini juga tidak luput dari bantuan nenek El Maut.
Puteri Saba ternyata memang tidak dapat me-
lupakan Suro, pemuda yang pernah memberi sentuhan
indah padanya. Dalam kesendiriannya, puteri me-
manggil seorang ahli lukis untuk membuat gambar Su-
ro Blondo. Begitu dalam cintanya, hingga gambar pe-
muda itu dipajang di kamar pribadinya.
Akankah puteri Saba yang jelita, baik hati dan
lembut itu bertemu dengan Pendekar Blo'on" Hanya
waktu yang akan menjawabnya.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Penyebar Maut 29 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Persekutuan Pedang Sakti 8
banyak gadis yang dapat memenuhi seleraku!" katanya sambil tergelak-gelak.
Para gadis-gadis itu sebagian ada yang ketaku-
tan melihat kehadiran si kakek. Sedangkan sebagian
lainnya yang selalu haus kepuasan, tentu mereka
mendambakan kepuasan dari laki-laki mana pun. Ti-
dak perduli apakah ia seorang raja, bangsawan, rakyat
biasa, prajurit bahkan gembel kudisan sekalipun. De-
mikianlah jika nafsu sudah menguasai jiwa manusia
rendah. Jiwa manusia yang tidak mengenai rasa takut
siksa Tuhannya.
Lain halnya dengan Sri Asih, Kumala dan bebe-
rapa orang lainnya yang memang sudah mendamba-
kan kebebasan sejak mereka bertemu dengan Pende-
kar Blo'on (dalam Episode Api Di Puncak Sembuang).
Mereka sejak saat itu sudah bertekad untuk member-
sihkan diri tidak mau melayani laki-laki manapun.
Penghuni istana Sorga Dunia yang diciptakan Pange-
ran Suprana ini rupanya sudah insyaf.
Tidak heran bila untuk menghindari kemaksia-
tan, Kumala dan Sri Asih mengurung diri di ruangan
rahasia. Sekarang mereka jadi cemas melihat kemuncu-
lan Singa Gunung. Apalagi Kumala mendengar laporan
salah seorang sahabatnya yang dipercaya, bahwa Ang-
ku Muda Pasak Langit mempunyai senjata yang dapat
membuat tubuh seseorang menjadi hangus.
Sisa-sisa prajurit yang mengawal istana hampir
tewas seluruhnya dengan keadaan yang sungguh me-
nyedihkan. Bukan mustahil, suatu saat Singa Gunung
mengetahui tempat persembunyian mereka. Padahal
mereka sadar betul, diantara sekian banyak gadis-
gadis yang berada di istana itu bukankah mereka ber-
dua yang paling cantik, yang paling mulus yang paling
montok dan yang paling... segalanya.
Mereka rasanya lebih baik mati jika harus me-
layani tua bangka yang berjuluk singa gunung yang
sebaya dengan kakek mereka sendiri. Kalau pun hati
mereka ditanya satu persatu. Baik Kumala maupun Sri
Asih. Tentu mereka memilih Pendekar Blo'on, pemuda
konyol yang rambutnya beda dari kebanyakan orang.
Pemuda itu tampan, walau pun lagaknya seperti orang
tolol. Jujur saja mereka akui, kalau pun mereka ber-
dua dimadu tentu mau. Tetapi apakah Suro Blondo,
Pendekar geblek setengah sinting itu ya mau seperti
mereka" "Kita harus melarikan diri dari istana ini. Meli-
hat gelagatnya kurasa Pangeran Suprana, Tuhan ke-
senangan dunia sudah mati!" suara Sri Asih gadis yang usianya dua tahun lebih
tua dari Kumala memecah
keheningan. "Huh, jika dia benar-benar Tuhan, mana
mungkin dia mampus! Aku sendiri takut suatu saat
tua bangka bau tanah itu mengetahui keberadaan ki-
ta!" Kumala menanggapi.
"Memang kalau dipikir-pikir, kita ini tidak
ubahnya seperti kambing ya..." Selalu digilir laki-laki tanpa suatu ikatan
apapun. Bagaimana Gusti Allah tidak murka?"
"Malah lebih rendah dari binatang. Terkadang
kita tertawa-tawa dalam dosa. Sekarang aku merasa ji-
jik jika harus berbuat seperti itu!" kata Kumala pula.
"Hidup kita bergelimang dosa. Kita harus lari
dari istana ini atau mati jika dipaksa melakukan per-
buatan seperti itu!" tekad Sri Asih.
"Apa tidak sebaiknya kita menunggu kedatan-
gan Pendekar itu" Bukankah dia telah berjanji untuk
membebaskan kita semua dari neraka ini?" ucap Ku-
mala seakan mengingatkan. Sri Asih terdiam, kening-
nya berkerut tajam.
"Terlalu lama, aku juga khawatir telah terjadi
sesuatu yang tidak diingini dengannya. Sekarang un-
tuk menyelamatkan diri sebaiknya kita harus berani
mengambil keputusan!"
"Baik! Kurasa nanti malam adalah waktu yang
tepat untuk meninggalkan istana ini. Jangan kau bica-
rakan rencana kita pada orang lain." pesan Kumala.
"Bagaimana jika kawan-kawan kita mengeta-
hui" Apa tidak sebaiknya kita bawa saja mereka seka-
lian?" "Jangan bodoh! Usaha ini tidak mudah, hanya dengan kita berdua saja
mungkin sudah sulit untuk
menyelinap keluar!" Sri Asih mengangguk-anggukan
kepala tanda mengerti.
"Kalau mereka bertanya, kita janjikan saja pada
mereka bahwa kita akan mencari pertolongan di luaran
sana. Kemudian kita kembali lagi ke sini untuk mem-
bebaskan mereka!" jelas Kumala secara lebih terperinci.
"Ya, mudah-mudahan Gusti Allah memberikan
pertolongannya pada kita! Sekarang persiapkanlah se-
gala sesuatu yang kita perlukan. Nanti setelah lewat
tengah malam, kita bisa melaksanakan rencana kita."
kata Sri Asih menutup pembicaraan.
*** ENAM Kakek berpakaian kulit harimau yang sebagian
rambutnya menutupi wajahnya ini memang telah be-
rubah seperti orang linglung. Apalagi setelah ia mene-
mukan mayat muridnya, Pangeran Suprana. Dua
orang yang sangat disayanginya di dunia ini telah ter-
bunuh. Pertama Sang Bala dan yang kedua Iblis Pe-
runtuh Mahkota. Pedih hati Dewa Kubu tidak terkira-
kan. Semua ini gara-gara mencari Pedang Penebar
Bencana. Sementara itu nasib Elang Perak binatang
raksasa itu masih belum ia ketahui.
Kepada siapa ia harus menuntut balas" Kepada
kakek berambut merah itu" Ilmunya tinggi, jika pun
sekali lagi ia berhadapan dengan Malaikat Berambut
Api. Belum tentu ia dapat memenangkan pertarungan.
Kakek rambut merah itu sakti bukan main. El Maut
mungkin saja telah mati terkena pukulannya.
"Hmm, selama langit masih biru. Selama mata-
hari masih terbit dari ufuk timur. Aku harus menemu-
kan cara untuk membalas. Elang Perak harus kute-
mukan." pikir Dewa Kubu.
Di atas batu si kakek duduk bersila, matanya
terpejam. Rupanya ia sedang mencoba melakukan se-
medi. Dalam semedinya ia mengucapkan kata-kata
yang tidak jelas. Beberapa detik lamanya, wajahnya
yang kusut dan semakin angker berubah cerah.
"Ternyata kau masih hidup Elang Perak! Da-
tanglah kemari, kita harus bersama-sama menghan-
curkan musuh-musuh keparat itu! Sahabatmu Pange-
ran Suprana boleh mati, muridku Sang Bala boleh ter-
bunuh. Namun puncak penyatuan kita berdua harus
dapat membuktikan bahwa di dunia ini tidak boleh
ada orang yang mengalahkan kita." kata Dewa Kubu
seorang diri. Tingkahnya memang telah berubah deras-
tis seperti orang yang kurang waras. Namun ternyata
dia bukan sakit ingatan. Sebab melalui pemanggilan
batin yang dilakukannya tadi. Tidak lama kemudian di
angkasa lepas terlihat sebuah bayangan raksasa me-
layang-layang. Lalu terdengar suaranya yang keras
menyakitkan telinga.
"Hiiiii...!"
"Elang Perak, turunlah!!" perintah Dewa Kubu.
Seraya membuka matanya kembali.
"Kak...!"
Dari ketinggian Elang Perak meluncur turun.
Setelah itu ia menjejakkan cakar-cakarnya yang tajam
tidak jauh di depan Dewa Kubu. Daun-daun berter-
bangan oleh kepakan sayapnya.
"Kak! Kek... Kak,..!"
Elang Perak terus mengeluarkan suara aneh.
Seakan ia mengadukan kejadian yang menimpa dirinya
juga diri Pangeran Suprana. Kepala burung di elus-
elus oleh Dewa Kubu.
"Aku telah mengetahui kejadian yang menimpa
Pangeran Suprana." kata Dewa Kubu sambil memper-
hatikan burung elang itu. "Akh, ternyata seseorang telah menjahilimu dengan
memasukkan jangkerik ke da-
lam kuping?" Begitulah, setiap isyarat gerakan Elang Perak diketahui artinya
dengan pasti oleh Dewa Kubu.
"Heh, apa" Seorang pemuda bertampang tolol
yang telah melakukannya" Mengapa tidak kau han-
curkan saja wajahnya atau kau rusak wajahnya biar
konyol?" tanya Dewa Kubu sambil terus memperhati-
kan gerakan Elang Perak.
"Apa" Pemuda itu cerdik" Kau ini bagaimana"
Kalau tolol ya tetap tolol Elang Perak! Laporanmu nge-
lantur! Akh... sudahlah, pusing aku mendengarnya."
sergah Dewa Kubu.
Elang Perak kemudian terdiam, Dewa Kubu
adalah manusia setengah roh paling dihormatinya.
Jika antara binatang raksasa ini bersatu den-
gan Dewa Kubu. Maka terjalinlah sebuah kekuatan
yang teramat dahsyat.
"Kita tidak usah berpisah lagi setelah ini. Aku
yakin kita berdua mampu menghadapi cecunguk-
cecunguk yang telah mempecundangimu. Sekarang
sebaiknya kita pergi dari sini!" Berkata begitu Dewa Kubu bergerak, tubuhnya
terangkat mengambang seperti tanpa bobot. Di lain waktu Dewa Kubu telah be-
rada di atas punggung Elang Perak.
Burung itu kepakkan sayapnya, membubung
tinggi di udara. Hingga akhirnya menghilang dari pan-
dangan. *** "Sekarang kita sudah berada di luar tembok is-
tanamu! Lalu apa yang kita lakukan?" tanya gadis baju hitam yang baru saja
melakukan penyelidikan ke dalam kerajaan Pasundan. Pemuda baju putih terdiam.
Seakan ia sedang memikirkan cara terbaik untuk me-
lakukan sesuatu.
"Hasil penyelidikanmu bagaimana" Apakah kau
lihat masih banyak pengawal disana?" tanya pemuda
baju putih yang tidak lain adalah Pendekar Kucar Ka-
cir. Gadis berpakaian hitam menggeleng. Kemudian
di tegaskan dengan ucapannya.
"Tidak satu pun! Di halaman depan kulihat
pemandangan yang mengerikan. Banyak mayat-mayat
menjadi arang dan debu. Kurasa orang yang telah
membunuh guruku ada disini. Dia tidak lain mungkin
laki-laki tua bangka itu, hiiih...!"
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Pangeran
Demak Pati. Jika saja tidak dalam keadaan malam hari, ten-
tu pemuda polos dan kocak ini dapat melihat betapa
wajah si gadis alias Maling Jenaka berubah merah pa-
dam. "Siapa sih" Kok malah bengong, lagi mikir aku ya...!" celetuk Pendekar
Kucar Kacir. Ia telah mengetahui banyak sifat Gadis selama dalam perjalanan.
Meskipun terkesan manja = Mandi Jarang, namun
menyenangkan. Pendekar Kucar Kacir diam-diam ja-
tuh cinta pada pandangan ketiga. Mengingat sebelum-
nya mereka pernah bertemu di dalam gua di puncak
Bukit Sembuang.
"Kau tahu nggak apa yang ingin kukatakan ini
sangat memalukan dan merendahkan derajat perem-
puan!" tegas Gadis tersipu-sipu.
"Katakan saja. Kalau merasa rendah biarkan
aku yang meninggikannya. Lagipula di sini cuma kita
berdua. Aku pandai menyimpan rahasia dan tempat
rahasia punyaku cuma satu!"
"Kau bicara apa" Kutampar nanti mulutmu!"
dengus si gadis merasa tersinggung.
"Hust, jangan sembarangan. Aku pangeran ta-
hu!" "Mau pangeran kek, mau raja setan kek. Apa kau kira aku perduli!
Persoalanmu saja belum tuntas,
masih bisa-bisanya kau bercanda?" Suara Maling Je-
naka tajam menusuk.
Seakan teringat dengan keadaannya kembali.
Sikap Pendekar Kucar Kacir yang tidak kalah kocaknya
dengan Suro Blondo berubah serius kembali.
"Coba sekarang kau jelaskan apa yang terjadi di
dalam istana. Aku siap mendengarnya!"
"Di istanamu sangat banyak perempuan-
perempuan cantik. Jumlahnya mungkin lebih empat
puluh orang...!"
"Itu pekerjaan si keparat Pangeran Suprana!"
"Mereka seperti pelacur!"
"Nah itulah sorga yang di gembar-gemborkan
Iblis Peruntuh Mahkota!" celetuk Pendekar Kucar Kacir. "Lalu apa lagi?"
Gadis menarik nafas dalam-dalam seakan se-
gan untuk bicara lagi.
"Terus... terus... bagaimana?" desak si pemuda.
"Di sebuah ruangan kulihat delapan orang wa-
nita sedang melayani seorang kakek tua, mereka da-
lam keadaan te...!" Gadis tutup mulutnya merasa ma-
lu. "Terlanjur maksudmu?"
"Telanjang, bego?" desis Maling Jenaka. "Itulah tua bangka yang sedang main
kapal-kapalan. Tapi...!"
Pangeran Demak gelengkan kepala ke kiri, lalu sekali
lagi ke kanan. "Tapi siapa kakek itu" Mungkin masa kecilnya tidak bahagia?"
"Tolol, mereka sedang bermaksiat!" maki Maling Jenaka merasa dongkol.
"Ya, ya... maksiat! Itu budaya peninggalan
Kumbang Pemikat. Kurasa kakek itulah yang telah
mencuri pedang dari tangan El Maut. Kita harus mere-
butnya!" "Huh, apa kau kira semudah itu" Pedang itu ti-
dak pernah jauh dari tempat dia berada. Kita harus
menunggu kesempatan terbaik." ujar Gadis.
"Ya, walau kesempatan itu datangnya sampai
Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lima puluh tahun lagi. Tua bangka itu akan mati den-
gan sendirinya jika sampai lima puluh tahun. Apalagi
jika ia terus main kapal-kapalan siang dan malam!"
kata Pendekar Kucar Kacir polos.
"Kau sama edannya dengan Suro Blondo. Bica-
ramu nyerempet-nyerempet terus!" Gadis menggerutu
kesal. "Aku dan monyet gondrong rambut merah itu
memang seperti saudara kembar saja. Dia suka mem-
bicarakan tentang bukit dan hutan rimbanya, tapi aku
tidak sependapat dengan dia. Ahh... sudahlah, menga-
pa kita bicara tentang kunyuk cacingan itu?" sergah Pendekar Kucar Kacir seakan
merasa tersaingi.
Gadis alias Maling Jenaka alias Maling Cerdik
sebenarnya punya suatu siasat untuk merampas pe-
dang itu. Namun rencananya itu mengandung bahaya
besar yang menyangkut harga diri dan kehormatan.
Resikonya jika sampai gagal, ia bisa kehilangan mah-
kotanya seumur hidup. Itu sebabnya ia tidak mau bi-
cara apa-apa lagi. Mungkin nanti jika ia bertemu den-
gan Pendekar Blo'on, ia akan utarakan siasat yang
mungkin dapat dijalankan. Rasanya Gadis lebih per-
caya dengan kemampuan Pendekar Blo'on ketimbang
Pendekar Kucar Kacir ini.
"Haruskah kita berdiri di sini sampai pagi, atau
sampai tua dan lumutan?" Suara Pendekar Kucar Ka-
cir memecah kebisuan di antara mereka berdua.
Gadis tidak menanggapi. Perhatian tertuju pada
satu arah di mana di sebelah utara benteng istana
tampak dua sosok bayangan sedang berusaha melewa-
ti tembok. "Lihat! Siapa itu?" seru Maling Jenaka. Cepat Pangeran Demak memandang ke arah
dimaksud. Ternyata memang ada dua sosok berpakaian ringkas ber-
tubuh ramping sedang berusaha menuruni tembok is-
tana. Melihat caranya, jelas sekali kedua perempuan
itu tidak memiliki kepandaian apapun.
"Merekakan perempuan, bagaimana kalau
sampai tersangkut" Sebaiknya kita datangi mereka!"
tegas Pendekar Kucar Kacir.
Tanpa bicara, Gadis mendekati kedua wanita
yang baru saja berhasil melewati tembok benteng.
Melihat kehadiran pemuda dan gadis yang ti-
dak dikenal. Kedua perempuan tadi jadi ketakutan.
Mereka hampir saja berteriak jika Pendekar Kucar Ka-
cir dan Maling Jenaka tidak cepat membungkam mu-
lutnya. "Ssst! Jangan berisik! Aku orang baik-baik, sedangkan pemuda itu adalah
Pangeran Demak Pati. Ka-
takan siapa kalian?"" tanya Gadis.
Seraya menarik tangannya, hingga kedua gadis
berpinggul besar itu dapat menarik nafas lega di samp-
ing hati mereka juga jadi gembira. Sebab mengenai
Pangeran Demak Pati mereka sedikit banyaknya sudah
tahu. Dialah pewaris tahta kerajaan yang sah.
"Jangan bunuh kami, aku Kumala, sedangkan
kawanku ini Sri Asih. Kami bermaksud menghindari
tua bangka busuk itu. Kami sudah tobat dan ingin
menjadi orang baik-baik." jelas Kumala suaranya me-melas bahkan seperti orang
yang hendak menangis.
"Kalian pasti bekas anunya Pangeran Demak
Pati, eeeh... maksudku anunya Pangeran Demak Pati
membekas di anunya...!"
Plok! Pendekar Kucar terjajar. Kiranya yang menam-
parnya tadi adalah Gadis.
"Dasar Pangeran goblok! Bicara saja tidak be-
cus, belepotan seperti anak kecil!" dengus Maling Jenaka. "Ingat kalau kalian
berbohong, nyawa kalian tidak ada yang menjamin!" ancam Maling Cerdik di tu-
jukan pada kedua gadis itu.
Sri Asih dan Kumala saking takutnya sampai
berlutut memeluk lutut Gadis.
"Percayalah, kami ingin meninggalkan neraka
ini. Sejak bertemu dengan seorang pemuda ganteng
berwajah tolol. Kata-katanya membuat kami sadar
bahwa jalan yang kami lalui benar-benar penuh lum-
pur berkubang nista!" lirih suara Sri Asih.
Sebaliknya Gadis tampak terkesiap mendengar
mereka menyebut ciri-ciri Pendekar Blo'on. Pangeran
Demak yang kumat gendengnya langsung nyeletuk.
"Jalan yang kalian lalui memang melelahkan,
penuh liku, belokan serta bukit-bukit. Kalau sekarang
hendak tobat, ya sudah! Sekarang pergi sana!" Dengan penuh rasa gembira kedua
gadis itu bermaksud me-
ninggalkan Gadis dan Pendekar Kucar Kacir. Namun
Maling Jenaka menahannya.
"Tunggu dulu!"
Langkah keduanya tertahan, hampir bersa-
maan mereka menoleh.
"Ada apa, Nisanak?"
"Kalian dari dalam sana, apakah di istana ma-
sih ada prajurit?"
"Sama sekali tidak! Singa Gunung telah meng-
habisi mereka. Dia juga menghancurkan kawan-kawan
kami dengan sinar pedangnya. Tolonglah mereka!!"
pinta Kumala penuh permohonan.
"Hmm, begitu" Pergilah. Mudah-mudahan ka-
wan-kawan kalian dapat diselamatkan!" janji Maling Jenaka. Dengan penuh rasa
terima kasih yang dalam,
Kumala dan Sri Asih segera berlalu dari hadapan ke-
dua muda mudi itu.
*** Kita ikuti Sri Asih dan Kumala yang terus berja-
lan di kegelapan malam. Mereka memang dalam kea-
daan tergesa-gesa dan ingin segera sampai di kampung
halaman masing-masing yang tidak jauh dari kota raja.
Sri Asih sendiri anak seorang kepala Desa, sedangkan
Kumala puteri saudagar yang berhasil diculik oleh
Pangeran Suprana beberapa purnama yang lalu.
Setelah jauh meninggalkan kerajaan Pasunda.
Ternyata mereka tersesat jalan. Berhubung hari masih
malam, mereka memutuskan untuk menetap di situ.
Namun baru saja mereka menyandarkan kepala di ba-
tang pohon, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat. La-
lu secepat kilat...
Tek! Tek! "Ufss...!"
Sri Asih maupun Kumala langsung terkulai.
Sekujur tubuh mereka kaku tidak dapat digerakkan
lagi. Sadarlah kedua gadis ini bahwa seseorang telah
menotoknya. Belum juga hilang kaget di hati mereka,
tiba-tiba terdengar suara tawa bekakakan.
"Ha ha ha.... Elang Perak! Malam ini kau harus
menutup mata! Aku dapat santapan lezat sebagai pe-
nawar rasa dukaku atas tewasnya kedua murid-murid
tercinta." kata sebuah suara.
"Kak...!"
Elang Perak menyahuti dari puncak batang po-
hon. Suaranya jelas gelisah.
"Si-a-pa kau....'" tanya Kumala yang sudah dalam keadaan tidak berdaya.
"Ha ha ha.... Usah kau tanya siapa aku,
bayangkan saja apa yang akan kuberikan pada kalian!"
sahut Dewa Kubu.
Tokoh dari tanah Andalas ini mulai meraba-
raba dada Kumala dan Sri Asih silih berganti. Kedua
gadis itu menjerit-jerit ketakutan sambil mencaci maki.
Tapi setelah Dewa Kubu meremas dada mereka,
maka keduanya langsung terdiam. Inilah suatu toto-
kan yang aneh yang sulit dipunahkan.
"Hmm, kalian adalah bagian dari perjalananku.
Tidak perlu merasa takut! ha ha ha...!" tawa iblis Dewa Kubu kembali menggema.
Bret! Bret! Dengan kasar pakaian Kumala dan Sri Asih di-
cabik-cabiknya. Sehingga kedua gadis itu dalam kea-
daan membugil. Sinar bulan yang temeraman menyi-
nari mereka. Dewa Kubu merasa darahnya menggele-
gak. Ia sibuk meraba atau menjatuhkan ciuman-
ciuman kasar pada kedua gadis itu.
Mula-mula yang mendapat giliran adalah Sri
Asih. Sebentar saja gadis itu sudah terdorong maju
mundur seiring dengan gerakan Dewa Kubu. Pucat wa-
jah Kumala, diam-diam ia menggigit lidahnya hingga
putus. Rupanya ia memilih mati daripada harus men-
gotori diri dengan melayani nafsu setan Dewa Kubu.
Keadaan itu segera diketahui Dewa Kubu, se-
mentara Elang Perak mulai memekik gelisah. Apa yang
dilakukan oleh Kumala rupanya diikuti oleh Sri Asih.
Gadis itu pun akhirnya tewas membunuh diri.
*** TUJUH "Sialan, aku lagi tanggung sudah terlanjur din-
gin. Benar perempuan-perempuan tidak berguna!" ma-
ki Dewa Kubu. Maka di tendangnya mayat Sri Asih dan
Kumala hingga terpelanting. Kepala mereka remuk,
yang satu terhempas batu yang satunya lagi menabrak
pohon. Kakek tua yang cuma mengenakan baju kulit
harimau ini bangkit berdiri. Ia mencari-cari celananya.
Ternyata celana satu-satunya hilang. Atau mungkin ia
salah meletakkan celana itu.
Dari balik kegelapan di bawah pohon tiba-tiba
saja terdengar suara seseorang nyeletuk.
"Apanya yang terlanjur dingin, tua bangka" Ka-
lau sudah dingin dan tanggung mengapa tidak dite-
ruskan saja" Lihatlah betapa memalukan dirimu itu.
Burung perkututmu yang sudah karatan itu siap ter-
bang meninggalkan tubuhmu! Bulan di atas sana pun
malu, Elang Perak burung kesayanganmu malu. Aku
disini malu, tunggu apa lagi" Mengapa tidak kau pakai
celanamu! Apakah kau sudah siap mati dalam kea-
daan seperti itu" Tulang belulangmu sudah rapuh,
Dewa Kubu jika dugaanku ini tidak salah. Kulitmu su-
dah keriput. Hari mudamu sudah berlalu, batang
usiamu semakin tinggi. Kau diberi umur panjang oleh
Gusti Allah, betapa memalukan jika seluruh waktumu
kau pergunakan untuk bermaksiat. Jika bumi ini bisa
berkata, pasti dia sudah menjerit karena menanggung
beban orang-orang berdosa! Kau terlahir dalam kea-
daan suci Dewa Kubu, apakah kau ingin pulang
menghadap Tuhanmu dalam keadaan bergelimang do-
sa?" Meremang kuduk Dewa Kubu mendengar uca-
pan orang di balik kegelapan itu.
"Siapa kau" Jika merasa mencuri celana cepat
kembalikan!" bentak Dewa Kubu sambil tutupi aurat-
nya. "Ini celanamu!" sahut orang itu.
Sebuah benda melayang. Ternyata memang ce-
lana Dewa Kubu. Setelah dipakai rupanya celana tadi
sebelum dikembalikan telah di potong-potong olah
orang itu. Sehingga celana itu hanya dapat menutupi
aurat. Ini merupakan suatu penghinaan besar.
"Cepat katakan siapa kau! Atau kau akan me-
rasakan kematian yang menyakitkan!" ancam Dewa
Kubu berang. "Bicaramu masih lantang! Malaikat Berambut
Api mengatakan kau manusia licik! Tapi aku murid
penghulu Siluman! Nah, jika kau ingin bermain sulap
di depanku, sekaranglah waktunya kau mulai!"
"Jahanam!" Dewa Kubu membentak garang.
Tubuh manusia setengah roh itu tiba-tiba men-
gambang tidak menjejak tanah. Ketika si kakek be-
rambut riap-riapan ini mengangkat tangannya. Dari
pertengahan telapak tangan terlihat ada sinar merah
melesat. Buuum! Kegelapan di bawah pohon terang seketika dis-
ertai dentuman keras. Tidak ada reaksi, malah kemu-
dian terdengar suara tawa yang seakan datang dari de-
lapan penjuru arah. Dewa Kubu tokoh kawakan, ia se-
gera tahu bahwa lawan mempergunakan ilmu memin-
dahkan suara. Setelah menggelengkan kepala beberapa kali. Ia
akhirnya tahu dimana posisi lawannya. Sekali lagi ia
lepaskan pukulan ke samping kirinya. Kali ini sinar bi-
ru tampak melesat. Orang di balik kegelapan yang ti-
dak lain adalah Suro Blondo keluarkan siulan sum-
bang. Sebelum sinar maut itu melumatkan tubuhnya.
Suro sudah jungkir balik dan, melayang ke arah Dewa
Kubu. Blam! Lagi-lagi pukulan mengenai tempat kosong. Se-
dangkan Suro telah berada di belakang lawan dan ka-
kinya menghantam dengan telak.
Dess! "Heh!"
Suro terperanjat ketika melihat Dewa Kubu
hanya bergetar saja. Sedangkan tubuhnya tetap men-
gambang dua jengkal di atas permukaan tanah. Si ka-
kek berpakaian kulit harimau tiba-tiba saja berbalik,
tangannya meluncur ke depan. Serangan itu dihindari
oleh Suro, seraya kerahkan jurus 'Seribu Kera Putih
Mengecoh Harimau'. Sekejap Suro Blondo telah lenyap
dari pandangan mata. Tubuhnya berubah menjadi
bayang-bayang yang terus mengelilingi Dewa Kubu
sambil lepaskan serangan bertubi-tubi. Namun tokoh
dari Andalas itu malah tertawa terkekeh-kekeh. Ia san-
gat berpengalaman. Walau pun dalam pandangannya
gerakan Suro itu sangat cepat bukan main. Namun ia
masih dapat melancarkan serangan dengan tepat.
Rambutnya yang telah berubah kaku itu mengibas ke
bagian wajah Pendekar Mandau Jantan.
Prat! "Uss...! Manusia edan ini tidak kena di tipu,
malah aku hampir tertipu pulang pergi!" gerutu murid Penghulu Siluman Kera Putih
itu sambil bersalto ke
belakang. Serangan dahsyat itu dapat di hindari, he-
Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
batnya lagi tubuh yang mengambang itu terus berge-
rak. Kakinya melesat dan....
Dekk! "Hekh...!"
Suro jatuh terduduk dengan wajah pucat. Da-
danya mendenyut, nafasnya seperti hendak putus. Ma-
ta si konyol melotot!
Ia geleng-gelengkan kepalanya sambil menggu-
mam tidak jelas. Dewa Kubu tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan lagi. Ia segera melepaskan pukulan 'Merobek
Raga Meruntuhkan Sukma'. Rupanya ia sangat men-
dendam pada Malaikat Berambut Api. Sehingga kini
Suro yang dijadikan pelampiasannya, Puteri Saba yang
memang diperintahkan bersembunyi tidak jauh dari
tempat itu mulai khawatir. Ia sadar betul Dewa Kubu
bukan lawan sembarangan. Bahkan El Maut saja
hampir tewas di tangan kakek sakti itu. Suro tidak
menunggu serangan lawan itu sampai menghantam di-
rinya. Ia juga tidak melepaskan pukulan balasan. Me-
lainkan bersalto dengan gerakan yang indah. Deru ha-
wa panas melabrak kakinya, kaki cepat di angkat
sambil diusap-usap. Selanjutnya ia membanting tu-
buhnya dan terus berguling-guling.
Buum! "Ayah, ada orang gila mengamuk!" pekik Suro
kalang kabut. Pukulan-pukulan gencar terus menghujani
Pendekar Blo'on. Selincah-lincahnya pemuda itu
menghindar, tidak urung salah satunya menghantam
Suro juga. Tidak telak memang, tapi cukup membuat
Suro terjajar dan memuntahkan darah segar. Ter-
huyung-huyung pemuda ini bangkit berdiri, Dewa Ku-
bu sendiri merasa kagum dengan daya tahan yang di-
miliki oleh lawannya.
Si konyol geleng-gelengkan kepala seperti orang
prustrasi, bibirnya berpencong, ia garuk-garuk ram-
butnya, bingung. Dewa Kubu ternyata hebat. Kini ia
memutuskan untuk menggabungkan jurus 'Tawa Kera
Siluman' dengan jurus 'Kacau Balau'. Melihat gerakan-
gerakan Suro yang mulai ngelantur, kacau tidak tera-
tur bahkan disertai tawa di sana-sini. Dewa Kubu
menduga lawan pasti sudah terganggu ingatannya.
Apalagi ia tadi sempat me lihat kepala Suro sempat
membentur akar pohon.
"Ha ha ha...! Gurumu sendiri belum tentu da-
pat mengalahkan aku! Apa lagi bocah ingusan ma-
cammu!" ejek Dewa Kubu penuh percaya diri.
Pendekar Blo'on tersenyum sinis dilanda kege-
raman, sekali kepala mendongak ke langit, meman-
dang ke bawah dan terus jelalatan. Satu hal yang tidak
disadari oleh Dewa Kubu. Bahwa ketika itu rambut
yang hitam kemerahan itu kini telah berubah merah
sepenuhnya seperti menyala.
"Keseriusan membuat aku gila, kegilaan mem-
buat aku tertawa. Anak kecil bodoh, masih ada hara-
pan untuk belajar. Tua bangka berubah pikun lebih
baik mampus saja!" kata si pemuda seenaknya. "Tua
bangka sesat setengah roh. Malaikat Rambut Api lam-
bang keseriusan, sedangkan Penghulu Siluman ugal-
ugalan. Adakah kegilaan bisa menyatu dengan keseri-
usan" Engkau manusia pertama yang akan menjadi
batu ujianku!" teriak Suro. Lalu terdengar suara tawanya di tengah-tengah
gerakannya yang semakin
menghebat dan terkesan serampangan. Tawanya se-
makin lama semakin melengking menghancurkan kon-
sentrasi lawannya. Dewa Kubu katupkan bibirnya, te-
naga dalam dikerahkan untuk menghilangkan penga-
ruh suara tawa itu. Elang Perak sendiri semakin resah
dari telinga binatang itu mengucurkan darah. Puteri
Saba jatuh pingsan demi mendengar suara tawa Suro.
Itu adalah pertarungan antara hidup dan mati
Suro Blondo yang pertama kalinya selama melanglang
buana. Kemudian terdengar siulan disertai nyanyian
sumbang menyindir.
Blo'on itu bodoh, tolol itu aku
Orang cerdik mengapa licik"
Orang kaya mengapa serakah"
Orang sakti mengapa hilang pekerti
Orang susah mengapa gelisah
Orang sengsara mengapa merana
Aku melintas di depan orang-orang
Mereka yang hilang ingatan
Yang hilang kehormatan
Yang hilang rasa malu
Yang diperkosa haknya sebagai manusia
Lalu aku menjerit dalam kebodohanku,
Kemudian aku bertanya pantaskah aku menga-
ku sebagai anak manusia yang beradab"
"Kunyuk sinting! Heaa...!" Dewa Kubu memben-
tak garang. Serangkaian serangan beruntun dile-
paskannya. Wees! Anehnya serangan yang dilancarkan kali ini ti-
dak mengenai sasaran. Dewa Kubu terperangah, pena-
saran ia lepaskan tendangan ke bagian perut lawan-
nya. Suro tampak terhuyung, gerakannya gerubak-
gerubuk tokh apa yang dilakukan lawannya luput lagi.
Merasa panas hati Dewa Kubu menggabung-
gabungkan jurus-jurus terdahsyat yang dimilikinya.
Sementara tawa Suro semakin menggila, Elang
Perak tidak kuat bertahan di situ dan langsung mele-
sat terbang entah kemana.
"Hibah...!"
Dewa Kubu membentak keras. Tubuhnya me-
layang ke depan. Kini segala terasa berubah, Suro me-
rasa gerakan yang dilakukannya seperti mendapat ha-
langan di sana-sini. Walaupun merasa keadaan kini
mulai berbalik, ia hantamkan tinjunya secara berun-
tun. Serangan itu berulangkali mengena namun Dewa
Kubu seperti tidak merasakannya. Malah balasan yang
dilakukan Dewa Kubu kemudian membuat pemuda
terjengkang. "Eehk, mati aku...!"
Suro megap-megap sambil pegangi dadanya.
Banyak sekali darah kental yang tersembur dari mu-
lutnya. Dewa Kubu terkekeh-kekeh, tanpa memberi
kesempatan pada lawannya bangkit berdiri. Dewa Ku-
bu kembangkan tangannya sekali lompat ia sudah
hampir dapat mencengkeram leher si konyol. Di saat
itulah ia menghentakkan tangannya dan lepaskan ju-
rus 'Neraka Pembasmi Iblis'. Demikian dekat jarak an-
tara Dewa Kubu dengan Suro, hingga sinar merah itu
tidak sempat dihindari lagi oleh Dewa Kubu.
Duuum! "Akh...!"
Dewa Kubu menjerit tertahan, tubuhnya terdo-
rong mundur. Jelas sudah bahwa tokoh dari Andalas
ini terluka cukup parah. Ia sendiri merasa sangat he-
ran melihat kenyataan ini. Ia seperti lemah dan kehi-
langan tenaga. Dicobanya mengerahkan tenaga dalam,
tapi dadanya malah mendenyut sakit dan panas bukan
main. "Pemuda gila itu, apa yang telah dilakukannya padaku"!" desis Dewa Kubu
merasa ketemu batunya.
"Heh he he...! Mau kita teruskan sampai salah
seorang di antara kita ada yang mampus, Dewa Ku-
bu"!" gertak Suro. Padahal ia sendiri sudah menderita kesakitan yang luar biasa.
Dewa Kubu sedikitpun tidak menyahut, untuk
pertama kali dalam hidupnya ia merasa jerih. Tanpa
menunggu Suro berbuat lebih lanjut ia langsung ngacir
dari hadapan Pendekar Blo'on.
"Hekh... a-ku sendiri hampir tidak tahan, kok.
Dan rasanya sudah tidak kuat berdiri!" kata si konyol sambil menyeringai
kesakitan. Dan ternyata ia jatuh
terduduk sambil pegangi dadanya yang sakit. Suro te-
lan tiga butir pel berwarna hitam. Setelah itu Suro ti-
dak sadarkan diri.
Lain halnya lagi dengan puteri Saba, gadis itu
kini sudah mulai sadar kembali. Ketika tidak melihat
Pendekar Blo'on ia mulai khawatir jangan-jangan pe-
muda itu telah tewas di tangan Dewa Kubu. Tergesa-
gesa puteri Saba mencarinya di sekitar bekas pertem-
puran yang porak poranda. Ia melihat Pendekar Blo'on
terkapar dengan kepala nyungsep di rerumputan.
"Suro?" pekiknya cemas. Di tubruknya Pende-
kar Blo'on. Ternyata sekujur tubuhnya sudah sangat
dingin sekali. "Jangan mati. Suro, jangan kau tinggalkan aku!" tangis sang
puteri. Ia memangku kepala Su-ro di atas kedua pahanya. Wajah si konyol di
tepuk- tepuknya, namun betapa wajah itu semakin dingin.
Ada darah yang mengalir di sela- sela bibirnya. Darah
itu langsung dibersihkan dengan punggung tangan pu-
teri yang cantik itu. Kepala Pendekar Mandau Jantan
didekap dan dipelukinya seakan ia tidak rela kehilan-
gan pemuda itu.
"Hu hu hu... jangan mati Suro. Apa pun akan
kulakukan asal kau dapat hidup kembali! Tuhaaaan...
jangan kau ambil nyawanya"!" jerit puteri Saba. Ini merupakan suatu tanda betapa
puteri Saba teramat
sangat mencintainya.
Gadis itu terus memeluk kepala si konyol, se-
hingga tanpa disadari dadanya tentu menekan pipi Su-
ro Blondo. Sang puteri memeriksa denyut nadi Pende-
kar Blo'on, ternyata denyut nadi di pergelangan tan-
gannya ada lagi. Sang puteri merasa lega, namun ma-
sih khawatir juga.
"Suro, sadarlah...! Jangan kau mati sekarang"
Nanti saja kalau sudah tuaan dikit! Suro...!" pekiknya.
Terdengar suara rintihan si pemuda, ternyata
tadi ia memang pingsan berat. Kini setelah menyadari
dirinya di peluki puteri Saba, si konyol yang sempat
membuka mata, sekarang pejamkan mata lagi. Meski-
pun merasakan sakit luar biasa, sebenarnya hatinya
geli juga senang.
"A-d-u-h... di mana aku ini" Apakah aku sudah
meninggalkan dunia?" rintih si konyol setengah dibuat-buat. "Tidak! Oh, sukurlah
kau masih hidup. Saking girangnya puteri Saba memeluk kepala Pendekar
Blo'on dengan eratnya.
"Tumit-ku... eeh, tubuhku dingin sekali! A-ku
seperti mandi di kolam es! Darahku membeku, seli-
mut...!" kata si pemuda seperti orang mengigau. Puteri Saba kebingungan.
"Tidak ada selimut...!"
"Aku mungkin segera mati."
"Tidak! Jangan!" pekik sang puteri.
"Peluk aku! Aku takut sekali!" desis Suro.
Ternyata puteri Saba benar-benar memeluknya.
"Cium aku, aku segera mati!" kata si konyol pu-la.
Tanpa ragu-ragu dan sedikit gemetaran puteri
Saba menciumnya. Bukan di kening atau di pipi, me-
lainkan langsung di bibir.
"Jangan tinggalkan orang yang hendak mati.
Peluklah aku sambil di cium puteri. Karena Malaikat
malu mengambil nyawa orang yang sedang berci-
uman," lanjut Suro ngaco
Anehnya puteri Saba tidak menyadari bahwa
apa yang dikatakan Suro sungguh tidak masuk akal.
Ia melakukan apa yang diminta Suro, dipeluk sambil
dicium. Tiba-tiba Suro menyambut pelukan pewaris ke-
rajaan Pasundan ini. Ia tertawa terkikik-kikik.
"Suro, kau...?" Puteri Saba merasa dirinya sudah di tipu.
Pendekar Blo'on tidak menghiraukannya. Ia
malah melumat bibir sang puteri yang merah merekah
dan sangat alami.
"Kau nakal sekali, Suro...!" desis gadis cantik itu dengan nafas terengah-engah.
Tokh ia tidak berusaha melepaskan diri dari pelukan Pendekar Blo'on. Ia
malah membalas pagutan Suro, bibir mereka saling
melumat dalam gejolak jiwa muda yang kian memanas.
Baik puteri Saba maupun Pendekar Blo'on sudah
hampir lupa siapa diri mereka masing-masing. Ciuman
si konyol berpindah ke pangkal leher puteri Saba yang
jenjang. Gadis ini mulai terbakar gairah yang memba-
ra. Dua kancing baju puteri Saba terlepas. Terlihatlah
bukit-bukit yang membusung, putih, indah dan me-
nantang. Murid Penghulu Siluman Kera Putih, menyu-
supkan wajahnya di celah kedua bukit yang menebar
bau harum itu, kecupan-kecupan yang lembut di ja-
tuhkan Suro di kedua bukit yang indah. Puteri Saba
semakin terbakar gairah sehingga semakin jelas suara
desis dan tarikan nafasnya yang tersengal. Tubuh sang
puteri menggeliat, matanya setengah terpejam, bibir-
nya merekah. Tampaknya ia menuntut Suro berbuat
lebih jauh lagi. Ia siap menyerahkan diri sepenuh jiwa
dan raganya. Namun Suro tiba-tiba memaki, wajahnya
menjauh. Lalu tangannya menepak-nepak keningnya.
"Bego, tolol, bodoh, goblok! Kita hampir gila,
hampir... hampir gila-gilaan...!" kata Pendekar Blo'on.
Seakan tersadar puteri Saba bangkit duduk
dan cepat mengancingkan bajunya yang terbuka. Pute-
ri Saba sempat melihat ada bekas merah di dadanya.
Gadis cantik itu tersipu malu, wajahnya bersemu me-
rah. Ia tundukkan kepala. Malu.
Hampir saja setan berhasil memperdaya mere-
ka. "Maafkan aku, puteri. Maafkan...!"
Puteri Saba sama sekali tidak menyahut, wa-
jahnya semakin dalam tertunduk.
Tidak ada yang dapat disalahkan dalam hal ini.
Ia sendiri terseret dalam gelora cintanya pada Suro.
Cinta yang sudah tidak mampu ia sembunyikan lagi.
Kedua muda mudi itu saling terdiam. Lamaaaa
sekali!
Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** DELAPAN Pendekar Kucar Kacir duduk gelisah, waktu itu
mereka sudah menyingkir cukup jauh juga dari istana.
Maling Jenaka sendiri sudah tidak sabar jika harus
menunggu lebih lama lagi. Apalagi Pangeran kocak ini
terkadang mencuri-curi pandang kepadanya.
Sebenarnya ia mengakui, Pangeran Demak Pati
cukup tampan juga, penampilannya sama sekali tidak
menunjukkan bahwa ia adalah putera mahkota. Ia se-
derhana dan bersahaja. Meskipun ada juga rasa suka
dalam hatinya. Rasanya ia lebih cenderung berat den-
gan si konyol Pendekar Blo'on.
Sayang sampai sekarang ia tidak tahu dimana
pemuda itu. Terkadang ia merasa khawatir juga dengan ke-
selamatan pemuda berambut hitam kemerahan itu.
Namun ia lebih cemas lagi jika Suro bersama seorang
gadis. Seperti puteri Saba misalnya. Walau pun harus
di akui bahwa kecantikan Gadis tidak kalah bila di-
bandingkan dengan dirinya.
"Apa yang kau pikirkan, Maling, eh.... Gadis"
Kulihat keningnya berkerut seperti orang sakit perut
dan semburut. Apakah perlu diurut?" celetuk Pangeran Demak Pati.
"Bisamu hanya bercanda saja Pendekar Kucar
Kacir! Hidupmu seperti tanpa, masalah dan beban, pa-
dahal persoalanmu belum lagi selesai!" dengus Gadis, seraya memalingkan wajahnya
ke arah lain. "Masalahku memang rumit, kalau kupikirkan
kepalaku sakit. Rambut bisa rontok botak ubanan" La-
lu aku harus bagaimana?" sahut Pangeran Demak ter-
bodoh. "Setiap hari kerjamu hanya membesarkan taik mata melulu. Kau punya
pikiran, tentu bisa kau pergunakan untuk cari jalan keluar, Pangeran sepertimu
pantasnya mati saja!"
"Jangan kau menghinaku, jelek-jelek begini aku
Pangeran!"
"Pangeran atau bukan kau sama saja tidak ada
gunanya. Pantasan Pangeran Suprana yang telah
mampus itu dapat memperdayamu, rasanya monyet
dungu pun bisa memperdayamu!" ejek Gadis.
"Kau jangan keterlaluan. Pangeran Suprana itu
licik, otaknya kotor. Tapi sekarang ia sudah mampus
juga. Mengapa kau seperti tidak suka padaku. Ada apa
rupanya"!"
"Aku cuma tidak suka pada tabiatmu yang ma-
sa bodoh, tidak perduli. Sudahlah, bosan aku berdebat
denganmu!"
"Sukur, aku juga bosan kok." sahut Pendekar
Kucar Kacir seenaknya. Maling Jenaka duduk lagi ti-
dak jauh dari hadapan si pemuda. Tiba-tiba ia men-
dengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya.
"Ssst! Ada orang kemari!" Lirih suara Gadis. Ia memberi isyarat agar Pangeran
Demak tidak bicara
apa-apa. Malah Maling Jenaka berniat untuk sem-
bunyi namun terlambat. Dua sosok tubuh telah sam-
pai di depan mereka. Melihat siapa yang datang Maling
Jenaka gembira, tapi bila melihat gadis yang menyertai
pemuda baju hijau itu bibirnya cemberut. Cemburu!
"Ah tidak kusangka, kalian enak-enakan paca-
ran di sini!" celetuk pemuda baju biru alias Suro Blondo.
Maling Jenaka mendelik.
"Bicara kau sekali lagi kutampar mulutmu!" ketus suara Gadis.
"Mengapa kalian lama sekali?" tanya Pendekar
Kucar Kacir. "Kau pacaran dengan adikku, ya?"
Puteri Saba hanya terdiam. Suro cengengesan
sambil garuk-garuk kepala.
"Jangan suka curiga, biasanya maling memang
selalu teriak maling. Padahal melihat caramu meman-
dang kau tidak dapat mungkir sebenarnya kau kan ja-
tuh cinta pada Maling Jenaka"!" sahut Suro.
Wajah Gadis berubah merah seperti kepiting
rebus. Tiba-tiba ia melompat dan...
Plak! Ditamparnya Suro hingga membuatnya ter-
huyung-huyung. Pemuda itu mendelik. Tanpa disang-
ka-sangka... Plook! "He he he! Kedudukan harus sama, satu-satu."
kata Pendekar Blo'on sambil usap-usap pipinya.
"Kau berani lancang menuduhku begitu?"
"Gadis! Aku bicara sungguhan, tidak percaya
tanya saja pada Pendekar pontang-panting itu?"
Gadis semakin marah.
"Benar kau jatuh cinta padaku?" tanya Maling
Jenaka alias Maling Cerdik.
Malu-malu Pangeran Demak Pati mengangguk.
"Entah mengapa aku jatuh cinta padamu! Tadi
malam aku mimpi kejatuhan bintang, lalu kejatuhan
bulan, kemudian kejatuhan duren!"
Suro langsung menanggapi. "Kalau begitu
mampuslah, kau!" kata Suro. Gadis tidak dapat ber-
buat apa-apa mendengar kenyataan ini.
"Sudah... sudah...! Mengapa kalian justru
memperdebatkan yang tidak perlu!" Puteri Saba yang sedari tadi diam saja segera
menengahi. Di sini jelas
tanda-tanda kepemimpinannya lebih menonjol di ban-
dingkan kakandanya. "Sekarang kanda harus jelaskan pada kami bagaimana keadaan
istana saat ini?"
"Lebih baik kau tanyakan saja pada Gadis! Dia
yang lakukan penyelidikan!" ujar Pangeran Demak Pa-ti.
"Bagaimana saudari?"
Maling Cerdik tanpa menunggu lagi segera
menjelaskan apa yang dilihatnya. Pendekar Blo'on dan
puteri Saba mendengarkan penjelasan Gadis dengan
bersungguh-sungguh.
"Bagaimana menurutmu, Suro?" tanya puteri
Saba setelah mengetahui segala sesuatunya. Perlu di-
ketahui sejak kejadian malam tadi, puteri cantik ini
memang selalu menundukkan kepala bila bicara den-
gan Pendekar Blo'on.
"Aku punya satu cara, ini pun kalau kalian
mau melakukannya! Aku tidak memaksa!" ujar Suro."Bagaimana jika salah seorang diantara kalian masuk ke istana berpura-pura
sebagai perempuan yang bersedia tidur dengan Singa Gunung atau lebih baik lagi
berpura-pura sebagai gadis yang membutuhkan per-
lindungan"!" usul Suro. "Dengan begitu kita punya kesempatan menunggu di bawah
kolong atau bersem-
bunyi di kamar yang selalu dipergunakan oleh Singa
Gunung untuk bersenang-senang!"
"Usul itu sangat berbahaya, tapi terus terang!
aku sendiri semula juga punya rencana begitu." sahut Gadis sependapat.
"Persoalannya sekarang adalah siapa yang akan
menyelinap ke sana. Jika aku, besar kemungkinan
Singa Gunung sudah mengenalku!" kata sang puteri.
"Aku bisa melakukannya, tapi rasanya mau di-
taruh dimana mukaku ini?" kata Gadis tersipu-sipu
"Kalau begitu aku bersedia menyimpan muka-
mu untuk sementara!" celetuk Suro Blondo.
"Konyol! Jangan kau bergurau lagi!" dengus Puteri Saba.
"Rasanya tidak ada jalan lain. Kita harus mela-
kukan apa saja yang dapat kita lakukan!"
"Jadi kau mau?" Pangeran Demak Pati belalak-
kan mata seakan tidak percaya dengan apa yang di-
dengarnya. "Bagaimana jika aku saja yang menyamar
sebagai perempuan?" Pemuda baju putih itu menawar-
kan diri. "Kau ini bagaimana" Apakah mau mampus"
Kau kan punya tebu dan jambu kakek itu juga punya
tebu. Kalau sampai ketahuan kau nggak bakal menjadi
orang! Kau pikir enak jadi cacing tanah?" kata Suro Blondo. Semua langsung
terdiam. Maling Jenaka sendiri jadi ragu-ragu. Namun bukankah dia punya banyak
keahlian" "Tidak usah gelisah. Rencana itu tidak perlu ki-
ta jalankan! Aku punya rencana lain!" ujar Gadis.
Secara terperinci kemudian ia membeberkan
rencana yang sangat mungkin untuk dikerjakan. Ren-
cana itu memang masuk akal, mengingat Gadis adalah
seorang maling juga copet yang sangat lihai.
"Kami setuju! Kami bertiga akan melindungimu
jika sampai terjadi apa-apa yang tidak diingini!" kata yang lain-lainnya
sependapat. "Nanti bila keadaan sudah gelap kita mulai me-
nyelinap. Istana bagiku tidak asing, karena aku me-
mang mengetahui seluk beluknya!" kata Pangeran De-
mak. Demikianlah rencana itu telah sama mereka
sepakati. Sekarang hanya tinggal menunggu waktu sa-
ja. *** Matahari baru saja tenggelam di kaki bukit.
Keempat muda mudi itu kini telah bersiap-siap me-
lompati tembok istana. Tidak seorang pun di antara
mereka yang berani buka suara. Keadaan saat itu be-
nar-benar sangat mencekam sekali.
Baru saja mereka hendak bergerak. Terlihat
bayangan merah berkelebat ke arah orang-orang ini.
Gerakannya cepat luar biasa. Hingga beberapa saat sa-
ja ia telah berdiri di depan Pangeran Demak Pati. Lalu
terdengar suara seruan tertahan Suro Blondo.
"Guru...!!"
Ternyata yang datang memang Malaikat Be-
rambut Api. Si kakek rambut merah hanya menggu-
man tidak jelas. Puteri Saba, Pendekar Blo'on menjura
hormat dan segera diikuti oleh Gadis dan Pendekar
Kucar Kacir. "Tidak usah memakai segala macam peradatan!
Kalian hendak kemana?" tanya Malaikat Rambut Api.
"Orang yang melarikan pedang ada di dalam is-
tana, guru. Ia sedang bersenang-senang dengan wani-
ta-wanita bekas kekasih Pangeran Suprana. Kami baru
saja hendak menyusup kesana. Tujuan kami tentu me-
rampas pedang itu di saat dia lengah!" jelas Pendekar Mandau Jantan.
"Tindakan itu memang patut dipuji. Cuma ada
yang kalian tidak tahu. Pedang Penebar Bencana ada-
lah Pedang Berdarah. Ia punya rahasia tertentu yang
harus kalian ketahui. Senjata itu punya pasangan lain
Pusaka Pembawa Rahmat. Dulu almarhum guruku Si
Bayang Bayang mengatakan telah menciptakan pasan-
gannya. Pusaka Pembawa Rahmat aku tidak tahu be-
rada di mana. Sedangkan Angku Muda Pasak Langit
itu sendiri kesaktiannya sangat tinggi. Jika Pusaka
Pembawa Rahmat ada di sini, tentu kilauan sinarnya
dapat memupus sinar pedang Penebar Bencana. Den-
gan begitu ia tidak akan dapat membuat orang-orang
di sekelilingnya celaka. Kita tidak bisa menunggu da-
tangnya sebuah keajaiban. Kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan muda. Aku
akan melindungi usaha
kalian. Cara lain masih ada, andai pedang itu dapat
kalian rebut. Maka sepasang dari kalian harus meme-
gang rangka Pedang. Jangan kalian sempat bercerai
berai, karena hal itu dapat membuat kalian menjadi
debu." "Aku berpasangan dengan siapa guru" Apakah harus berpasangan dengan
Pangeran goblok ini?"
tanya Suro. "Laki-laki dengan laki-laki bukan pasangan.
Laki-laki pasangannya adalah perempuan. Jika pedang
telah berada di tangan kalian. Urusan Singa Gunung
adalah bagianku. Tugas kalian hanya memegang pe-
dang itu secara berpasangan." jelas kakek Dewana.
"Usul guru. Apakah pedang itu berat" Hingga
harus berpasangan" Bukankah lebih enak di pegang
sendiri?" ujar Suro.
"Kalian berempat tidak tahu betapa tingginya
ilmu yang dimiliki oleh kakang seperguruanku itu. Ji-
ka ia berhasil merampas pedang itu dari tanganmu.
Maka semua akan binasa. Sedangkan jika kalian ber-
dua berhasil memegang rangkanya saja. Walau pun
pedang itu sendiri dapat di rampas oleh Singa Gunung.
Cahayanya tidak dapat menghancurkan kita. Apa yang
aku katakan ini adalah segala kemungkinan yang bak-
al terjadi. Dalam hal ini aku lebih mempercayakan kau
bergabung dengan gadis baju hitam. Aku melihat dia
punya keahlian mencuri."
"Kalau begitu mari berangkat!" kata Pangeran
Demak Pati. Mereka berlima segera melompati benteng ista-
na. Dapat dibayangkan betapa tingginya kesaktian
Angku Muda Pasak Langit. Sampai-sampai Malaikat
Berambut Api yang sakti mandraguna saja khawatir
dengan keselamatan mereka.
Orang-orang ini kemudian menyelinap dari satu
ruangan ke ruangan yang lain. Mereka sempat berte-
mu dengan beberapa orang gadis yang dalam keadaan
ketakutan. Namun ketika melihat di antara mereka
ada Pendekar Blo'on, maka legalah hati gadis-gadis ini.
"Setan tua itu berada di mana?" tanya Suro pa-da salah seorang diantaranya.
"Dia ada di kamar lain sedang bersenang-
senang. Tapi tidak lama lagi ia pasti ke sini untuk
mengajak kami begini begitu!" sahut gadis itu malu-malu. "Nah, kita hanya
tinggal menunggu! Sebaiknya kita bersembunyi. Biar Suro dan Gadis yang
menyelinap di bawah kolong!" kata kakek Dewana. "Kalian bersikaplah seperti
biasa, kami akan menolong kalian
juga!" kata Malaikat Berambut Api di tujukan pada gadis-gadis penghibur
tersebut. Setelah melihat gadis-gadis itu menganggukkan
kepala. Maka Malaikat Berambut Api segera menyeli-
nap pergi dengan di ikuti oleh Puteri Saba dan Pende-
kar Kucar Kacir.
Suro dan Maling Jenaka menyelinap ke bawah
kolong. Lama juga mereka menunggu. Akhirnya pintu
terbuka. Dari bawah kolong Suro dapat melihat keha-
Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diran seorang kakek tua berwajah angker. Wajahnya
ditumbuhi jambang dan bewok lebat dan sudah me-
mutih. Maling Jenaka keluarkan keringat dingin. Se-
dangkan Pendekar Blo'on menggerutu dalam hati.
"Orang ini sudah tua bangka. Bahkan mungkin
Malaikat maut sudah hampir menjemputnya. Heran-
nya aku dia lebih senang bermain becek."
Tidak lama Angku Muda Pasak Langit sudah,
merangkul salah seorang perempuan dari empat gadis
yang berada di dalam kamar.
"Mari kita bersenang-senang, gadis-gadisku!"
kata si kakek. Bersamaan dengan itu pakaian-pakaian
si gadis berjatuhan. Tubuh mereka telanjang seperti
bayi. Lalu terdengar suara derit di atas ranjang. Sebe-
lum perbuatan maksiat itu berlangsung, Angku Muda
Pasak Langit meletakkan Pedang Penebar Bencana di
pinggir ranjang dan tidak jauh darinya.
Selanjutnya terdengarlah desah dan rintihan-
rintihan berbau kemaksiatan. Suro memberi isyarat
pada Maling Jenaka untuk segera bertindak. Sedikit
demi sedikit mereka bergeser. Ketika tangan Suro
menggapai, yang terpegang justru paha salah seorang
gadis yang dalam keadaan polos. Untung gadis itu ti-
dak menjerit. Suro memaki dalam hati.
"Tangan sial, kau kusuruh mencari pedang.
Bukan meraba paha gadis murahan!"
Akhirnya ia berada di luar ranjang. Posisinya
dalam keadaan menelentang. Dua gadis yang berada di
bibir ranjang tentu terlihat olehnya. Wajah Suro me-
merah, matanya mencari-cari, hingga ia melihat pe-
dang itu. Cepat sekali diambilnya senjata maut itu.
Dengan sangat hati-hati sekali ia menyelinap
keluar bersama Maling Jenaka. Sampai di luar kamar,
sesuai pesan Malaikat Berambut Api pedang itu dipe-
ganginya bersama Gadis.
"Kita harus membawa pedang ini!" bisik Suro.
Ia berjalan ke bagian ruangan depan. Tapi Maling Je-
naka memilih ke belakang. Sehingga terjadilah saling
tarik-tarikan. "Kau ini bagaimana, kita ke depan...!"
"Aku bilang ke belakang!" sahut Maling Jenaka.
Beda pendapat ini hampir membuat mereka berteng-
kar. Untung Malaikat berambut Api muncul.
"Mengapa kalian berdebat. Cepat kalian ber-
sembunyi ke belakang. Jangan sampai salah seorang
dari kalian melepaskan pedang itu. Kalau kalian letih
Pangeran Demak dan adiknya bisa menggantikan ka-
lian!" pesan Malaikat Rambut Api.
"Kakek sendiri hendak kemana?" tanya Suro
sebelum pergi. "Bukan urusanmu! Aku dan Angku Muda Pa-
sak Langit punya urusan yang harus segera diselesai-
kan!" sahut si kakek.
Keempat muda mudi itu segera menghilang dari
pandangan Malaikat Berambut Api. Si kakek bergegas
menghampiri pintu.
*** SEMBILAN Braaaak! Pintu didobrak dan hancur. Gadis-gadis yang
berada di atas ranjang memekik ketakutan sambil me-
nutupi auratnya masing-masing dengan apa saja yang
berhasil mereka raih. Singa Gunung saking kagetnya
melompat berdiri sambil raih pedang. Ternyata pedang
telah lenyap. Pucat wajahnya ketika melihat kenyataan
Pedang Penebar Bencana sudah tidak ada lagi disitu.
Ia raih pakaiannya. Dengan tergesa-gesa ia memakai
pakaian itu. Sedangkan gadis-gadis yang menemaninya se-
gera berhamburan keluar kamar tanpa sempat mema-
kai pakaiannya.
Malaikat Berambut Api memperhatikan bekas
saudara seperguruannya ini dengan sorot mata tajam,
dingin menusuk.
"Jahanam, akhirnya kita bertemu juga!" dengus Singa Gunung sinis.
"Dulu kita berpisah dalam keadaan memalu-
kan, dan kini kita bertemu dalam keadaan memalukan
pula. Angku Muda Pasak Langit! Jika ada orang yang
paling biadab di kolong langit ini, kaulah orangnya.
Dulu kau bunuh guru kita, kemudian kau rusak ke-
hormatan adik sendiri, kau rusak pula wajahnya. Se-
hingga sepanjang sisa-sisa hidupnya ia menderita. Ke-
jahatanmu melebihi iblis, kebiadapanmu melebihi se-
tan! Kau curi pedang Penebar Bencana, lalu kau reng-
gut nyawa orang-orang yang tidak berdosa. Dalam
umurmu yang hampir di ujung batas kehidupanmu.
Kau sama sekali tidak pernah menunjukkan tanda-
tanda ingin bertobat!"
"Cukup!!" Singa Gunung berang. "Dewana! Jalan hidup kita sejak dulu memang
berbeda, seperti
bumi dengan langit. Tuhan memberimu wajah tampan.
Sedangkan aku si buruk rupa, perjalanan nasib dan
cintaku juga tidak beruntung, penuh kesialan, malah!
Sudah adilkah Tuhan memperlakukan aku seperti itu"
Kenyataan yang aku terima telah membuatku marah.
Apa artinya hidup ini jika penuh kesialan?"
Kakek Dewana tersenyum. Senyum pahit yang
melukiskan kesedihan hati juga kemarahan.
"Kau mempersoalkan sesuatu yang tidak abadi.
Hidupmu penuh kebencian, yang akhirnya hanya
mengundang angkara murka! Singa Gunung, ku tahu
setinggi apa kesaktianmu. Namun kebenaran menga-
takan agar aku jangan bersurut menuntut balas atas
kematian guru dan juga atas perbuatanmu pada Gaya-
tri!" ujar Malaikat Rambut Api dingin.
"Ha ha ha.... Aku tahu kau pasti menyuruh
muridmu mencuri pedang maut itu selagi aku lengah.
Bukan hanya kau saja yang punya murid." kata Singa Gunung penuh rasa bangga.
Namun sebelum ia berkata lebih jauh Malaikat
berambut Api sudah memotong.
"Muridmu yang bergelar Hantu Liang Lahat su-
dah mati di tangan muridku! Sekarang tanpa Pedang
Penebar Bencana, kita akan mengadu kesaktian hing-
ga salah seorang diantara kita ada yang mati." dingin suara si kakek rambut
merah. "Keparat bermulut besar! Kau lihatlah ini!" teriak Angku Muda Pasak Langit.
Tiba-tiba saja Singa Gunung acungkan telun-
juknya ke arah tembok kamar. Tidak terlihat apa pun
melesat dari tangan Singa Gunung. Tiba-tiba pula
dinding tembok berlubang.
Mata kakek Dewana menyipit. Mulutnya meng-
gembung, lalu meniup. Tidak ada hembusan angin
yang keluar dari celah-celah bibirnya. Namun...
Brool...! Dinding di belakang Singa Gunung runtuh.
Sehingga terlihatlah halaman samping istana
melalui bagian besar dinding yang hancur.
"Itu adalah jalan keluar, Angku Muda Pasak
Langit! Disana adalah kesempatan antara kau dan aku
untuk hidup atau mati!" kata si kakek.
"Itu adalah yang kutunggu. Setelah sekian lama
terpisah, sekarang ada saat yang paling menentukan.
Sesungguhnya siapa yang paling pantas hidup di per-
mukaan bumi ini!" sambut Singa Gunung.
Kemudian tanpa bicara apa-apa, Singa Gunung
keluar melalui dinding yang hancur itu. Malaikat Be-
rambut Api segera menyusulnya.
Di halaman samping istana yang hanya dite-
rangi oleh cahaya terang bulan purnama mereka saling
berhadap-hadapan.
"Huh...!"
Singa Gunung mendengus. Ketika ia hantam-
kan tangannya ke tanah, terdengar dentuman keras.
Tanah berlubang besar.
"Disini kuburmu!" teriak Angku Muda Pasak
Langit. Tidak mau kalah, kakek Dewana juga hantam-
kan tangannya. Sinar merah menghantam tanah di
sampingnya. Lagi-lagi terdengar ledakan dahsyat. Ta-
nah itu berlubang cukup dalam.
"Telah kusediakan pula kubur untukmu!" den-
gus Malaikat Berambut Api. Manusia-manusia sakti
itu memang saling unjuk kesaktiannya masing-masing.
Jika Suro menyaksikan hal ini, pasti ia tercengang-
cengang karena takjubnya.
Tiba-tiba saja dua-duanya saling membentak.
Dua sosok tubuh melayang sama-sama mendekati.
Angin dingin berkesir. Lalu terjadi benturan hebat di
saat kedua tangan saling beradu.
Duung! Singa Gunung berjumplitan seperti terdorong
ke belakang. Kakek Dewana bersalto beberapa kali.
Kemudian menjejakkan kakinya tanpa kekurangan su-
atu apapun. Singa Gunung kaget juga, bekas adik sepergu-
ruannya ternyata tidak menderita apa-apa. Padahal
tadi ia hantamkan pukulan Tangan Waja.
"Sebentar lagi segera kau lihat kematianmu!"
teriak Singa Gunung. Ia segera putar-putar tangannya,
kedua tangan itu sebentar saja telah berubah semerah
bara. "'Ajian Sungsang Jiwa'!" desis Malaikat Berambut Api. Tidak ada
kemungkinan lain yang dapat me-
nandingi ajian yang membinasakan itu. Ia segera per-
gunakan jurus 'Neraka Pembasmi Iblis'. Salah satu ju-
rus dahsyat yang diciptakannya puluhan tahun silam.
Singa Gunung hentakkan kedua tangannya ke
arah lawan, Malaikat Berambut Api berteriak tinggi,
tubuhnya melesat secepat kilat. Seakan ia menyong-
song sinar maut yang membinasakan itu.
Kakek Dewana merasa tubuhnya seperti ter-
panggang api. Namun ia terus menerobos sinar tadi.
Lalu tangannya menghantam dada Singa Gunung.
Duuuk! Singa Gunung tergontai-gontai, tawanya malah
meledak. Malaikat Berambut Api hantamkan lututnya
ke perut lawan.
Dess! Bruuuuk! Tendangan itu mampu mendorong lawan bebe-
rapa langkah ke belakang. Hebatnya Singa Gunung
seperti tidak merasakan sakit sama sekali. Padahal
Malaikat Berambut Api sudah mengerahkan setengah
dari tenaga dalam yang dimilikinya.
Singa Gunung membalas dalam pertempuran
jarak dekat. Dua kali tinjunya mendarat di wajah be-
kas adik seperguruannya. Malaikat Berambut Api, jan-
gankan roboh, bergeming pun tidak.
Akhirnya mereka pun mulai menyerang dengan
mengerahkan jurus-jurus andalan masing-masing. Se-
tiap serangan atau gerakan apapun selalu menimbul-
kan badai angin yang menggila menderu-deru.
Inilah pertarungan antara hidup dan mati to-
koh-tokoh tingkat atas yang benar-benar jarang terjadi
di rimba persilatan. Udara di sekeliling mereka pun
menjadi redup dipenuhi debu dan pasir yang berter-
bangan. Setiap bentakan adalah gelegar suara yang me-
nulikan telinga. Pertarungan itu berlangsung cepat,
hingga dalam waktu singkat saja sudah melewati pu-
luhan jurus. Waktu berlalu, berganti dengan pagi. Baik ka-
kek Dewana maupun Singa Gunung sama sudah men-
gerahkan segenap kemampuan yang mereka miliki.
Sebagian istana Pasundan porak poranda.
Sementara Suro dan Gadis yang sudah letih
memegang pedang mulai kasak-kusuk.
"Aku mengkhawatirkan keselamatan kakekku!
Mereka bertarung hampir semalam suntuk. Aku pun
sudah letih menunggu, letih pula memegang pedang!"
ujar Suro. "Biar aku yang menggantikannya dengan kanda
Pangeran." kata puteri Saba.
"Peganglah, aku ingin melihat apa yang terjadi
di depan sana!" Pendekar Blo'on segera menyerahkan pedang itu ke tangan Pendekar
Kucar Kacir dan adiknya. Suro segera melompat ke depan.
"Sebaiknya kita ikuti dia!" usul Pendekar Kucar Kacir.
"Jangan, hal itu sangat berbahaya." cegah Pute-ri Saba. "Kita disini hanya
berdua, Maling Jenaka sudah menyusul ke sana!" kata si pemuda tetap ngotot.
Puteri Saba akhirnya mengalah dan mengikuti
kemauan Pangeran Demak. Mereka berjalan beririn-
gan. Sampai di depan, Suro melihat pakaian gurunya
sudah tercabik-cabik. Sedangkan Singa Gunung sendi-
ri tampaknya sudah terluka. Mereka sudah sama-
sama letih, Sebenarnya Pendekar Blo'on ingin terjun ke ka-
langan pertempuran. Namun ia tidak berani melaku-
kannya. Bukankah bila orang-orang gagah sedang ber-
tarung tidak boleh main keroyok seperti tokoh-tokoh
aliran sesat" Sekarang Suro hanya menunggu dan
menjaga segala kemungkinan. Ia kaget melihat Maling
Jenaka menyusulnya. Dan lebih kaget lagi ketika meli-
hat Puteri Saba dan Pangeran Demak menyusul pula.
Ini sempat di lihat oleh Singa Gunung. Kakek
tua yang dapat mengambil suatu benda dari jarak jauh
ini tiba-tiba menyentakkan tangannya. Pedang Penebar
bencana melayang ke arahnya dalam keadaan telan-
jang. Herannya pedang maut itu tidak memancarkan
sinar. Mungkin seperti kata kakek Dewana, bila rangka
pedang dipegang oleh sepasang insan berlainan jenis.
Maka senjata itu kehilangan kharismanya. Singa Gu-
nung tahu persis rahasia ini. Jadi caranya untuk
Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghancurkan lawan, adalah membunuh terlebih
dahulu pemuda dan gadis yang memegang rangka pe-
dang itu. Malaikat Berambut Api kaget melihat Pedang
Pemersatu sekarang telah berada di tangan Singa Gu-
nung. Suro, Maling Jenaka, puteri Saba dan Pendekar
Kucar Kacir juga tidak kalah kagetnya melihat pedang
bisa tercabut dari warangkanya, lalu melayang ke arah
musuh. Wajah mereka berubah pucat ketakutan.
"Kalian goblok dan tolol semua. Sudah kukata-
kan jangan menyusul kemari, sekarang akibat dari ke-
bodohan kalian bisa lihat sendiri!" teriak si kakek gu-sar. "Jangan lepaskan
rangka pedang itu!" katanya memberi peringatan.
"Ha ha ha...! Jika kubunuh mereka yang me-
megang rangka pedang ini. Berarti senjata ini akan
memancarkan cahaya lagi. Dan kalian yang ada disini
akan hangus semua!" kata Singa Gunung.
Dengan cepat tubuhnya melesat, bukan menye-
rang Malaikat Berambut Api dengan pedang tersebut.
Ia bergerak ke arah puteri Saba dan Pangeran Demak.
Pendekar Blo'on cabut mandau dan merintangi ke de-
pan. Malaikat Berambut Api sadar betul apa yang akan
dilakukan oleh Singa Gunung. Ia ingin melakukan tin-
dakan penyelamatan, tapi jaraknya sangat jauh sekali.
Begitu pula ia masih memburu.
"Menyingkir pemuda tolol! Atau...! Hiya...!"
Pedang Penebar Bencana meluncur terus ke pe-
rut Suro. Namun pemuda ini segera melompat ke
samping sambil menangkis dengan mandaunya.
Traang! Api memijar dari kedua senjata yang sempat
beradu tadi. Suro berguling-guling. Tangannya lang-
sung melepuh sedangkan mandau hampir saja terle-
pas. Kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh Singa Gu-
nung, ia berbalik dan hantamkan pedang ke tangan
puteri Saba dan Pangeran Demak.
Hanya setengah jengkal lagi senjata maut itu
membabat putus kedua muda-mudi itu. Tiba-tiba ter-
lihat sinar putih berkelebat, sinar itu menangkis.
Trek! Singa Gunung menjerit, tubuhnya terpental.
Sinar putih yang ternyata memancar dari pedang te-
lanjang di tangan seorang nenek berwajah rusak telah
mendorongnya. Jadi bukan tenaga si nenek yang
membuatnya terjengkang. Nenek baju hitam berdiri
membelakangi Puteri Saba siap melindungi.
"Jangan salah seorang pun diantara kalian
yang lepaskan rangka pedang itu." kata El Maut men-gisiki. Sekarang perhatiannya
beralih pada Singa Gu-
nung. Tua bangka yang membuatnya menderita lahir
dan batin. "Pedang Pusaka Pembawa Rahmat...!" desis
Singa Gunung kaget.
Ia sadar betul, meskipun ia memegang Pedang
Penebar Bencana, tanpa warangkanya posisi Singa
Gunung semakin lemah. Apalagi kini El Maut meme-
gang pedang Pembawa Rahmat yang merupakan senja-
ta pamungkas yang dapat menandingi pedang Penebar
Bencana. Dengan nekad ia bangkit berdiri. Dengan
senjata itu ia menyerang secara membabi buta. Malai-
kat Berambut Api sadar betul bagaimana pun El Maut
masih kalah dalam hal tenaga dalam dengan Singa
Gunung. Untuk itu ia tidak tinggal diam. Kakek ini le-
paskan ikat pinggangnya yang berwarna merah.
Mendapat serangan dari dua musuh bebuyutan
ini. Singa Gunung meskipun bersenjata pedang terde-
sak juga. "Manusia-manusia pengecut. Kalian mengaku
sebagai golongan dan orang-orang terhormat. Memalu-
kan sekali ternyata kalian hanya bisa main keroyokan!"
ejeknya. "Jangan banyak bicara! Kau harus mampus,
kau harus mampus!" teriak El Maut sambil memba-
cokkan senjatanya.
Sinar putih berkelebat-kelebat. Sekejap saja
Singa Gunung telah terkurung sinar pusaka pembawa
rahmat. Singa Gunung hanya dapat menangkis tanpa
mampu membalas serangan yang dilakukan oleh dua
tokoh sakti ini. Kakek Dewana hantamkan ikat ping-
gang ke punggung lawan. Singa Gunung menangkis...
Traang! Dua-duanya terhuyung. Kesempatan ini diper-
gunakan oleh El Maut. Ia kibaskan senjata di tangan-
nya. Tees! "Akhhk...!"
Darah menyembur, tangan Singa Gunung yang
memegang pedang terbabat putus. Ia sambil menjerit
kesakitan coba memungut pedang yang jatuh bersama
potongan tangan kanannya. El Maut sudah tidak
memberinya kesempatan.
Craas! Tangan kiri Singa Gunung putus lagi. Malaikat
Berambut Api segera memungut pedang Penebar Ben-
cana dan menyarungkannya ke dalam warangka yang
di ambilnya dari tangan kedua muda mudi itu.
Singa Gunung menjerit-jerit. El Maut dengan
penuh dendam membabat kaki orang yang dibencinya.
"Ini hadiah untukmu karena merampas kehor-
matanku! Sedangkan yang ini pembalasan untuk
guru!" teriaknya. Sekejap saja Singa Gunung telah kehilangan kedua kaki dan
tangannya. Ia melolong-lolong
dalam keputus asaan dan rasa sakit yang mendera.
"Bunuh saja aku, bunuh!" jeritnya.
"Aku memang akan membunuhmu! Untuk wa-
jahku yang kau rusak, kepalamu gantinya!"
Pusaka Pembawa Rahmat melayang lagi dan...
Crees! Kepala Singa Gunung menggelinding. Tubuh
tanpa tangan, tanpa kepala dan tanpa kaki menggele-
par. Kemudian diam. El Maut bermaksud mencincang-
nya. Tapi sebuah tangan mencegahnya.
"Jangan kau lakukan kekejian itu Gayatri. Dia
sudah mati!" kata kakek Dewana dengan suara serak
menahan haru. "Mengapa guru main keroyok?" tanya Suro me-
rasa tidak suka.
"Suro, persoalan kami dengan Singa Gunung
siapapun tidak boleh mencampuri. Ini termasuk uru-
san besar. Engkau sendiri takkan mampu menghadapi
uwa gurumu." jawab si kakek.
"Pemuda tolol itu muridmu?" tanya El Maut.
"Ia bahkan cucuku!" sahut si kakek.
"Dan nenek adalah bibi guruku! Meskipun ber-
saudara jauh, kalau di hitung-hitung puteri Saba ma-
sih kerabat juga." kata Suro sambil nyengir.
"Aku juga, Suro!" kata Pangeran Demak tidak
mau kalah. "Entahlah, jika harus mengakui, aku masih pi-
kir-pikir. Masalahnya kau Pangeran goblok sih!"
"Kau sendiri tolol!"
"Kalian sama saja!" Gadis menimpali.
"Gayatri. Lupakanlah masa lalumu! Berhubung
raja Jasa Raga adalah muridmu. Alangkah lebih baik
kau urus putra putrinya. Mereka memerlukan bimbin-
ganmu. Bantu mereka, dan kalau Gadis mau rasanya
ia pantas berjodoh dengan Pangeran Demak Pati agar
pemuda ini tidak mengembara melulu." kata si kakek sambil melirik ke arah Gadis.
Maling Jenaka tersipu-sipu. "Aku, guru...?" tanya si konyol sambil nyengir.
"Kau, boleh-boleh saja. Nanti setelah lebaran
monyet!" ucap si kakek sambil berkelebat pergi.
"Kau dengan adikku saja, bagaimana?" tawar
Pendekar Kucar Kacir.
Suro garuk-garuk kepala.
"Iya, nanti. Kata guru setelah lebaran monyet!"
Waktu itu Gadis berbisik-bisik pada nenek El Maut,
"Lebaran monyet tidak pernah ada. Kau dikada-
li gurumu!" kata Pendekar Kucar Kacir. Seraya menyerahkan mahkota kerajaan pada
adiknya. "Ha ha ha...! Entahlah, aku bingung!" Suro menyahuti. Ia segera berkelebat
pergi. Puteri Saba merasa Suro sempat menempelkan telunjuknya di bibir sang
puteri. Gadis itu meraba bibirnya, ia merasa ada sesu-
atu yang hilang dari hatinya. Ini membuatnya sedih.
"Suro, tungguu...!" Gadis mengejar ke arah
menghilangnya pemuda itu. Pangeran Demak jadi
khawatir. "Maling Jenaka! Akh... nenek, bagaimana ini.
Mengapa Gadis yang kucintai malah menyusul monyet
gondrong itu?" katanya kecewa.
El Maut untuk pertama kalinya tersenyum.
"Hust, diamlah. Tadi ia sudah berbisik padaku.
Mungkin dia mau menerimamu sebagai suaminya. Ta-
pi ia harus bicara dengan Suro dulu!" kata El Maut.
Pangeran Demak Pati kegirangan. Sedangkan
puteri Saba hanya diam. Tatapan matanya sendu me-
mandang ke arah perginya Suro.
Dua purnama kemudian pesta pernikahan an-
tara Pangeran Demak Pati dengan Gadis berlangsung.
El Maut yang merestui hubungan mereka. Pedang Pe-
nebar Bencana diserahkan pada puteri Saba oleh El
Maut. Sedangkan pedang Pembawa Rahmat dipercaya-
kan pada Pangeran Demak. Kedua kakak beradik ini
membangun kerajaan dengan dibantu Gadis. Dalam
pimpinan puteri Saba, kejayaan kerajaan dapat pulih
sebagaimana dulu ketika ayah mereka masih hidup.
Hal ini juga tidak luput dari bantuan nenek El Maut.
Puteri Saba ternyata memang tidak dapat me-
lupakan Suro, pemuda yang pernah memberi sentuhan
indah padanya. Dalam kesendiriannya, puteri me-
manggil seorang ahli lukis untuk membuat gambar Su-
ro Blondo. Begitu dalam cintanya, hingga gambar pe-
muda itu dipajang di kamar pribadinya.
Akankah puteri Saba yang jelita, baik hati dan
lembut itu bertemu dengan Pendekar Blo'on" Hanya
waktu yang akan menjawabnya.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Penyebar Maut 29 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Persekutuan Pedang Sakti 8