Pencarian

Kutukan Jaka Bego 1

Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego Bagian 1


KUTUKAN JAKA BEGO Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Kutukan Jaka bego
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.8
1 JAKA BEGO merasa diikuti oleh beberapa orang
secara sembunyi-sembunyi. Ia berlagak tidak menge-
tahui. Ia bahkan berjalan sambil menyenandungkan
tembang Dandanggulo. Desa Tayub masih agak jauh.
Sebetulnya bisa ditempuh dengan waktu yang singkat.
Ilmu peringan tubuh yang ada padanya bisa saja
mempercepat langkah. Namun berhubung ada tiga
orang mengikutinya dari belakang secara sembunyi-
sembunyi, maka ia tetap berjalan biasa. Sepertinya
sudah menjadi kebiasaannya, bahwa ia akan bersikap
biasa jika ada orang yang belum dikenalnya.
Dalam satu kesempatan, Jaka Bego melihat sebuah
batu besar di tepi jalan. Ia bergegas bersembunyi di
balik batu itu. Ia ingin tahu siapa ketiga orang yang
mengikutinya itu. Benar juga. Ketiga orang itu berhen-
ti, agaknya ia kehilangan jejak. Masing-masing clingak-clinguk mencari buruan
mereka. Jaka Bego tahu, sa-
lah seorang berdiri sambil bersandar pada batu itu, ta-pi ia tidak menengok ke
arah kanan. Jika ia menengok
ke arah kanan dan menunduk, maka ia akan mene-
mukan Jaka Bego di sana.
Sebab itu, Jaka Bego bisa mendengar percakapan
ketiga orang yang menguntitnya itu. Mereka berbicara
dengan bahasa Cina. O, rupanya mereka adalah utu-
san Laksamana Chou yang kehilangan anak gadisnya,
(dalam kisah DENDAM DARAH TUA). Dengan kemam-
puannya yang tak diketahui orang, ternyata Jaka Bego
bisa mengartikan bahasa Cina yang dipergunakan ke-
tiga penguntit itu.
"Tidak mungkin anak itu hilang. Liu. Dia bukan setan," kata orang yang bersandar
pada batu tempat Ja-ka bersembunyi.
"Kalau bukan setan, kenapa dia bisa menghilang,
Li Twan?" "O, yang bersandar di batu itu bernama Li Twan,"
pikir Jaka Bego. Kemudian ia mendengar suara Li
Twan. "Pak Chang Hu, apa Anda tidak salah lihat?"
Rupanya satu di antara mereka adalah Chang Hu,
kepala keamanan di kapal Laksamana Chou. Dan ter-
dengar Chang Hu berkata, "Aku tidak salah lihat. Aku hapal betul dengan bau anak
itu." "Tapi dia menghilang" Kita kehilangan jejak," kata Liu. "Kita jalan terus, siapa
tahu anak itu ada di depan kita. Kita kuntit dia sampai masuk ke rumah pemuda
yang membawa lari nona Yin Yin. Ayo, jalan...."
Setelah ketiga utusan Laksamana Chou itu lewat,
Jaka Bego tersenyum lega sambil menampakkan diri
dari persembunyiannya. Ia memandang tiga orang ber-
seragam pakaian merah. Ketiganya membawa pedang
bertangkai panjang. Ketiganya memakai topi khas se-
perti bentuk buah bangkuang terbelah. Warnanya sa-
ma-sama biru berhias kuningan emas. Di setiap pang-
kal pedang, mereka memberi hiasan rumbai-rumbai
halus, sepertinya dari bahan benang wol berwarna me-
rah juga. Pedang bertangkai panjang itu kelihatan se-
ram. Jaka Bego berjalan pelan-pelan mengikuti ketiga
orang itu. "Pasti ini masih ada hubungannya dengan hilangnya putri Laksamana
Chou," pikir Jaka Bego.
"Pasti dikira aku ingin pergi ke rumah Lanangseta. Ah, sebenarnya Lanangseta
melarikan nona Yin Yin atau
tidak?" Ketika benak Jaka Bego sedang bertanya-tanya be-
gitu, tahu-tahu ia kehilangan orang yang dikuntitnya.
Ketiga orang itu bagai lenyap ditelan bumi. Jaka Bego
clingak-clinguk, tak kelihatan mereka membelok ke ki-
ri atau ke kanan. Tapi tak mungkin kalau hilang begitu saja. Pasti bersembunyi.
Jaka Bego mencari di setiap
semak dan bebatuan yang pantas dipakai buat ber-
sembunyi. Namun beberapa tempat telah diperiksanya,
ternyata tidak ada.
"Hei, utusan negeri Cina..."! Di mana kalian"!" seru Jaka Bego. Tentu saja tak
ada jawaban. "Aku menye-rah. Aku tak bisa mencari kalian. Nah, sekarang ke-
luarlah...!" Tetap tak ada jawaban. Sepi. "Ah, berarti mereka sudah pergi jauh.
Mungkin dengan berlari cepat," pikir Jaka Bego.
Maka Jaka Bego segera lari, mengejar ketiga utu-
san dari negeri Cina yang diperkirakan sudah berada
di depannya. Tetapi dalam suatu kesempatan, Jaka
Bego terpaksa memperlambat langkahnya. Ia menden-
gar suara langkah di belakangnya. Segera ia berkele-
bat, bersembunyi pada sebatang pohon besar. Ia meli-
rik ke belakang, oh... ternyata ketiga orang Cina itu
masih ada di belakangnya dan kini sedang menguntit-
nya lagi. Jadi, tadi sebenarnya ketiga utusan itu juga bersembunyi sewaktu
mereka mengetahui bahwa Jaka
Bego menguntitnya dari belakang.
Wah, ini namanya saling menguntit! Buktinya wak-
tu Jaka Bego bersembunyi di balik pohon, ketiga utu-
san itu juga secepatnya bersembunyi di balik pohon.
Jaka Bego melanjutkan perjalanannya. Ketiga orang
itu juga melanjutkan penguntitannya. Jaka segera me-
lesat masuk ke balik pohon lagi. Ketiga utusan itu juga masuk di balik pohon
lagi. Jaka Bego berlagak mau keluar dari balik pohon, ketiga penguntitnya juga
keluar dari pohon. Tapi Jaka masuk kembali, dan ketiga penguntitnya segera masuk
juga. Jaka Bego mengulurkan
tangan keluar dari pohon, ketiga pengintai itu juga
mengulurkan tangan keluar dari pohon. Tangan Jaka
ditarik kembali, tangan mereka juga ditarik kembali.
Jaka Bego tertawa pelan dari persembunyiannya.
Akhirnya Jaka Bego merasa malas main umpetan,
lalu ia keluar dari persembunyian dengan berseru,
"Boleh menguntit asal jangan mengganggu...!"
Eh, dijawab juga, "Iyaaa...!"
"Tolol...!" bentak Chang Hu kepada Liu. "Jangan menjawab. Itu berarti kita
mengaku sedang menguntitnya."
"Hayaaa... dia sudah terlanjur tahu, buat apa-
lah...!" Jaka Bego berhenti sejenak sewaktu sampai di te-
pian desa Tayub. Ia mengingat-ingat di mana rumah
Pak Lodang dan Mahani itu. Menurut ingatan Jaka Be-
go, di depan rumah adiknya Pak Lodang itu ada dua
pohon kelapa berjajar. Nah, sekarang itulah yang men-
jadi patokan Jaka Bego. Ia tersenyum setelah melang-
kah. Ia membayangkan wajah Mahani yang berkulit
coklat namun manis. Dengan adanya perkawinan La-
nangseta dengan Kirana satu hari lagi, itu berarti
memberi alasan bagi Jaka Bego untuk datang ke ru-
mah Pak Lodang. Alasannya memberitahu dan men-
gundang Pak Lodang sekeluarga untuk menghadiri
pesta perkawinan Lanangseta. Tapi sebenarnya... cu-
ma ingin bertemu dengan Mahani yang ia senangi itu.
"Ah, tapi ketiga penguntit itu benar-benar memua-
kkan jadinya. Pasti mereka nanti akan mengganggu
pertemuannya dengan Mahani. Maka, begitu sampai di
depan rumah Mahani, Jaka Bego langsung saja masuk
lewat jendela. Biarlah Pak Lodang atau Mahani terkejut sebentar, namun mereka
akan tercengang dengan ke-datanganku," pikir Jaka Bego. Pelan-pelan sekali ia
melangkah masuk. Dan tiba-tiba sebuah pukulan kayu
mendarat di punggung Jaka Bego.
"Auuwh...!" Jaka Bego mengaduh.
"Maling kamu, ya" Mau maling, ya"!" bentak seo-
rang nenek sambil sekali lagi memukulkan gagang sa-
pu ke tubuh Jaka Bego.
"Aaoww...! Sabar, Nek... Sabar...! Saya ini temannya Pak Lodang. Nenek besok
ikut juga ya" Ikut da-
tang ke pesta perkawinan Lanangseta. Ya, Nek..."
Aoow...!" Jaka Bego mengaduh lagi.
"Pergi...! Ayo, pergi...!" teriak Nenek itu.
"Tunggu dulu, aduh...! Saya cuma mau memberi-
tahu kepada Pak Lodang, bahwa... eh, nenek ini
ibunya Mak Lodang yang katanya suka cerewet itu,
kan?" "Di sini bukan rumah Lodang. Ini rumah Kumoro,
anakku." "Hah..."! Rumah..." Lho, ini bukan rumah Pak Lo-
dang" Astaga... aku salah masuk!"
"Ayo, pergi...! Tidak perlu pakai astaga-astagaan segala. Pokoknya pergi...! Kau
mau memperkosaku,
ya?" "Iiih... amit-amit!" sambil Jaka Bego mencibir. Kemudian ia bermaksud
membuka pintu untuk keluar.
"Ayo, keluar! Kok malah masuk!"
"Iya ini aku mau keluar! Ih, galak amat!"
"Kenapa kamu mau masuk kamar mandi, ha?"
"Lho, ini bukan pintu untuk keluar" Ooooh... pintu kamar mandi" Astaga...!"
"Tidak perlu pakai astaga, pokoknya keluar!" Lalu,
"pletaak...!" Gagang kayu itu dipukulkan di kepala Ja-ka Bego. Jaka berlari
menghindari pukulan berikut-
nya. Ia kembali melalui jendela dan keluar dari rumah
itu. Nenek pemilik rumah masih gemas. Ia melempar-
kan bakiaknya. Jaka Bego menghindar. Bakiak itu se-
gera diambil dan diserahkan kembali kepada nenek
tersebut. Nenek itu masih marah, bakiak dilemparkan
lagi dengan keras.
"Maaf, Nek... aku tidak sengaja...!" kata Jaka Bego
sambil menghindar. Dan memang luput. Tapi Jaka Be-
go mengambil bakiak itu lagi, diserahkan kepada ne-
nek. Nenek menerima bakiak dengan omelan panjang.
"Anak tak tahu sopan... kurang ajar! Mau jadi pencuri tanggung kamu, ya" Ini
rasakan bakiakku...!"
"Wess...!" Bakiak melayang lagi, sedangkan Jaka Bego sudah berjalan beberapa
langkah. Merasa dirinya
dilempar lagi, walau tidak terkena, ia menjadi dongkol.
"Sudah dibaiki malah ngelunjak," gerutu Jaka Bego.
Kemudian ia mengambil bakiak itu, dan dilemparkan
kembali kepada nenek. Maksudnya mau diberikan se-
cara cepat. Tapi rupanya nenek itu tidak tangkas, ba-
kiak yang hendak ditangkap ternyata meleset dan
mengenai jidatnya. "Pletoook...!"
"Kurang ajar...! Kepala orang tua dilempar bakiak!"
teriak nenek itu, dan Jaka Bego terbengong jadinya.
Kemudian takut dikeroyok orang sekitarnya, Jaka Bego
lari ketakutan. Omelan nenek itu masih terdengar
sayup-sayup. Lalu, setelah merasa jauh dari rumah
tersebut, Jaka Bego berhenti sejenak. Mengatur perna-
fasannya. Mengelus kepalanya yang tadi terkena puku-
lan dua kali. "Sial...!" gerutu Jaka Bego. "Kukira tadi yang ada di depan rumah adalah dua
pohon kelapa, eh... tidak ta-hunya dua pohon jambe. Uuh... gara-gara salah masuk
rumah kepalaku jadi nyut-nyutan...!"
Kemudian ia teringat tiga orang yang menguntit-
nya. Ia segera berpaling kian ke mari. "Mana tadi ketiga penguntit ku" Sudah
pergi" Kehilangan jejak"!"
Sekilas kelihatannya sudah aman. Tapi mata Jaka
Bego ternyata masih awas. Ketiga penguntitnya ber-
jongkok bersama di pohon kelapa. Masing-masing ka-
kinya terjulur setelah lipatan. Tangan mereka meme-
gang topi yang dikembangkan sehingga dari jauh me-
mang mirip tanaman hias yang berwarna merah. Na-
mun agaknya Jaka Bego tak bisa ditipu begitu saja. Ia
tahu itu muslihat para penguntitnya. Maka, ia pun
bergegas masuk ke sebuah kandang kambing milik
orang. Dengan masuk ke kandang kambing secara ti-
ba-tiba, maka ketiga pengintainya jadi kebingungan.
Jaka Bego menertawakan ketiga penguntitnya yang
kini sedang clingak-clinguk mencarinya. Mereka me-
nyebar dan tampak cemas, takut kalau kehilangan je-
jak. Tapi di luar kesadaran, ternyata di belakang Jaka Bego ada seekor kambing
yang hendak beranak.
Kambing itu mengembek berulangkali. Jaka Bego me-
lihat dengan mata menyipit betapa susahnya kambing
itu hendak beranak.
"Oh, anaknya kembar..." Mau keluar bersamaan"!"
Jaka Bego tertegun sesaat. "Iih... kasihan sekali kambing ini." Akhirnya Jaka
Bego membantu mengeluarkan anak kambing yang satu. Tanpa disadari, ia pun telah
menjadi dukun beranak untuk kambing. Ini mau tak
mau harus dilakukan daripada kambing mengembek
terus dan penguntitnya bisa mengetahui di mana dia
berada, kan lebih baik mempercepat kelahiran kamb-
ing itu supaya tidak mengembek terus.
Ada seorang lelaki keluar dari rumah. Mungkin di-
alah pemilik kambing tersebut. Karena takut dikira
mau mencuri kambing, maka Jaka Bego pun segera
mengindap-indap dan pergi dari kandang kambing itu.
Ia berlari dengan berjingkat-jingkat sambil memperha-
tikan apakah pemilik kambing mencurigainya atau ti-
dak. Ternyata pemilik kambing bahkan tersenyum lega
melihat kambingnya sudah beranak. Tetapi ketika Ja-
ka Bego hendak melangkah lagi, ternyata ada seorang
penguntitnya yang sudah berdiri di depannya persis.
Jaka Bego menyeringai malu.
"Mau ke mana kau, Babi?"
"Mau... mau ke sana, Celeng...." Jaka Bego meringis, dan orang itu mendelik
dikatakan celeng. Lalu
orang itu menggenggam rambut Jaka Bego sehingga
Jaka Bego meringis kesakitan.
"Di mana rumah pemuda itu"! Lekas katakan!"
"Pemuda yang mana" Di sini banyak pemuda," jawab Jaka Bego dengan ketololannya.
Mendengar sua-

Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ranya yang besar, pasti ini yang bernama Li Twan,
yang tadi bersandar di batu ketika Jaka Bego bersem-
bunyi di balik batu itu.
"Aku bertanya dengan sungguh-sungguh, jangan
becanda! Aku sudah bosan menguntit mu terus. Ayo,
sekarang tunjukkan di mana rumah pemuda yang me-
larikan nona Yin Yin."
"Wah, mana saya tahu"! Saya kan tidak ikut mela-
rikan nona Yin Yin!" bantah Jaka Bego, dan sebuah tamparan mendarat di wajahnya.
Jaka Bego meringis
kesakitan. Tapi ketika ia hendak ditampar lagi, ia
memberanikan diri untuk menangkis dengan gerakan
cepat. Namun tangkisannya meleset malahan menge-
nai pipi Li Twan. "Plook...!"
"Kurang ajar kamu, hayaa...!" Li Twan semakin mengangkat rambut Jaka Bego
sehingga kaki Jaka Be-go menggantung. Jaka Bego berseru kesakitan. Ka-
kinya berkejet-kejet, dan tangannya simpang siur tak
karuan. Malahan pada saat itu, ia berhasil menampar
wajah Li Twan dua kali: "Plok...! Plook...!"
Li Twan segera melepaskan rambut Jaka Bego dan
menendangnya. Ia tidak langsung menyerang, melain-
kan mendesis-desis dan mengibaskan wajahnya beru-
langkali. Karena ia mencium bau tak sedap dan mual.
Bau darah kambing melahirkan. Jaka Bego meringis
geli. Ia lupa tidak membersihkan tangannya ketika ha-
bis membantu kambing beranak. Darah masih belepo-
tan di tangannya. Dan tak sadar tangan itu ia gunakan
untuk menampar wajah Li Twan. Sekalipun tampa-
rannya sangat pelan tak berarti, tapi lumuran darah
kambing beranak itulah yang membuat Li Twan tidak
buru-buru menyerangnya.
"Itulah jurus Kambing Beranak...!" seru Jaka Bego sambil berlari, selagi Li Twan
mendesis, mendengus-dengus, dan mengusap-usap wajahnya. Pada waktu
itu, Liu datang menemui Li Twan.
"Ada apa" Kau telah menangkap anak itu?" Liu tak berani mendekat. Ia meludah
beberapa kali. "Bau apa ini" Uuh... cuih... cuih...!"
"Anak itu tangannya berlendir dan berbau kambing
begini. Puih...!" Li Twan meludah. "Ia lari ke sana...!"
Jaka Bego berlari dengan lincah dan gesit. Ia ber-
henti di samping sebuah rumah. Di sana ada air, dan
ia mencelupkan tangannya ke kolam air tersebut. Tapi
ia segera berteriak kaget. Ada sesuatu yang membuat
jari tangannya terasa sakit. Tak lama, dari dalam ko-
lam air itu muncul seekor kura-kura yang pantasnya
disebut, penyu. Oh, rupanya ia digigit penyu itu. Ja-
rinya sempat berdarah. Ia tak tahu kalau kolam itu
adalah tempat peternakan penyu. Di desa Tayub itu,
penduduknya banyak yang beternak penyu untuk di-
ambil telurnya, atau menjadi nelayan tulen. Dan akibat teriakan itulah maka
pemilik penyu pun keluar. Pemilik penyu itu mengira Jaka Bego hendak mencuri
penyu-nya, karena itu ia berteriak, "Maliiiing...!"
Jaka Bego berlari cepat. Bukan lantaran diteriaki
sebagai maling, tapi lantaran ia melihat ketiga penguntit dari Cina itu sedang
menuju ke tempatnya. Tapi
orang-orang kampung mengira Jaka Bego benar-benar
seorang pencuri. Buktinya dia melarikan diri dan takut tertangkap penduduk.
Sebab itulah semangat penduduk semakin berkobar. Mereka segera mengejar Jaka
Bego. "Kepung...! Kepung...! Ngidul...! Ngidul larinya...!"
teriak orang-orang kampung. Ada yang membawa arit,
ada yang membawa pentungan, ada yang membawa
alu, pokoknya segala macam yang bisa dibawa, mereka
bawa. Bahkan ada yang berlari membawa pengki tem-
pat sampah, karena pada waktu itu yang dekat den-
gannya adalah pengki tempat sampah. Bahkan ada
yang membawa kutang, karena waktu itu ia sedang
memeras kutang istrinya yang basah habis dicuci.
Kejaran mereka semakin banyak. Jaka Bego tetap
berlari sambil berseru, "Aku bukan maling...! Jangan salah sangka. Aku bukan
maling...!"
Tapi mereka tetap mengejar Jaka Bego sambil ber-
teriak sahut-menyahut, "Maling...! Maling...!" Bahkan ada orang yang baru keluar
dari rumah berseru sambil
lari di depan Jaka Bego. "Maliiing...! Maling...!" Ia mengajak bicara kepada
Jaka Bego, "Maling apa sih orang itu?"
"Tidak tahu, Pak!" jawab Jaka Bego.
"Memang harus segera dirajang-rajang orang sema-
cam dia itu. Maling kok siang hari...! Maliiing...!"
Jaka Bego tahu orang itu berlari tanpa tujuan, se-
bab dia tidak tahu siapa pencuri yang dikejarnya. Ma-
ka Jaka Bego pun berkata, "Bapak mengejar apa?"
"Orang yang diteriaki maling itu...!"
"Yang diteriaki maling saya, Pak."
"Lho, jadi, kamu yang diteriaki maling"! Eh,
alaah...!"
"Glepok...!" Tiba-tiba orang itu memukul Jaka Be-go. Jaka tak sempat menghindar
sehingga jatuh tergul-
ing-guling. Orang itu hendak menginjak perut Jaka
Bego, "Mampus kau!" Tapi Jaka Bego sempat berguling ke kiri. Dan orang itu
berteriak nyaring karena kakinya menginjak tanah dan di tanah itu ada pecahan
beling yang cukup runcing. Tapi Jaka Bego sebenarnya juga
terkena pecahan beling itu, tapi berhubung benda ter-
sebut hanya mengenai ikat pinggangnya yang terbuat
dari kulit kerbau, maka ia tak merasa sakit.
Pada waktu Jaka Bego lari lagi, ia terkepung ba-
nyak orang di depannya. Salah satu orang itu ada Pak
Lodang yang membawa sepotong bambu petung.
"Pak Lodang...! Saya Jaka Bego...!" teriak Jaka Be-go. "Lho, kamu Bego..." Kok
jadi dikejar-kejar sebagai maling"!"
Orang di belakang Jaka Bego semakin dekat. Jaka
Bego tergesa-gesa. "Pak, mereka salah anggapan! Pokoknya saya bukan maling. Saya
mau datang ke ru-
mah, memberi kabar bahwa Bapak sekeluarga kalau
bisa besok datang ke Bukit Badai. Anu... di sana La-
nangseta kawin, sedang pesta. Dan... dan saya dikejar-
kejar tiga orang Cina, jadi saya terpaksa lari...."
"Maliiing... tangkap! Ganyang...!"
"Tunggu-tunggu...! Dia bukan maling...!" cegah Pak Lodang. Dan pada saat orang-
orang ribut dengan Pak
Lodang, Jaka Bego menyelamatkan diri. Jaka Bego
naik ke sebuah pohon dengan cepat, lalu meloncat ke
genting rumah. Dari genting yang satu ke genting yang
satu ia berlari dengan cepat. Anehnya tak satu pun
genting yang pecah diinjaknya. Gerakannya begitu ce-
pat. Sampai akhirnya ia bisa melarikan diri sampai di
tepian desa. Namun ternyata di sana ia terjebak. Tiga
penguntitnya telah melesat dan mendahului larinya.
Jaka Bego hendak berbalik ke perkampungan ne-
layan, tapi tiba-tiba tiga pedang bertangkai panjang itu telah menyergapnya.
Ketiga pedang itu bergerak cepat
dan menyilang di lehernya. Satu menyilang di leher ki-
ri, satu di leher kanan, dan satu lagi menyilang di leher depan.
"Bergerak, mati...!" beriak Chang Hu.
Jaka Bego tak berani bergerak, karena jika ia ber-
gerak, maka pedang itu akan mengiris kulit lehernya.
"Uh, tajam juga mata pedang itu," pikir Jaka Bego dengan menahan nafas.
Repotnya, pada waktu itu ia ingin
batuk. Namun kalau ia batuk, berarti ia akan berge-
rak-gerak, dan mata pedang akan mengirisnya. Akhir-
nya ia menahannya kuat-kuat sampai matanya menja-
di merah. "Jangan menangis!" bentak Liu. "Ikut kami ke kapal!" "Ya, bawa saja ke kapal.
Biar Laksamana Chou yang menyiksanya agar mengaku di mana rumah pemuda itu!"
timpal Li Twan yang tadi dilumuri darah kambing beranak.
"Jangan. Jangan bawa saya ke mana-mana. Besok
ada pesta...." Jaka Bego merengek, namun ia tetap diseret ke kapal.
Tangan Jaka Bego diikat dan ia dituntun oleh Li
Twan dengan seutas tali sisa pengikatnya. Ia jadi se-
perti kambing yang hendak dijual ke pasar hewan.
"Saya tidak tahu menahu soal nona Yin Yin, kena-
pa saya dijadikan korban...?" ucap Jaka Bego dengan wajah hendak menangis.
"Aku melihat sendiri kau kerjasama dengan pemu-
da itu!" bentak Chang Hu. "Apa kau tak ingat waktu aku kau jatuhi dahan pohon
sehingga aku terluka di
beberapa bagian"!"
"Iya. Aku ingat. Itu memang peristiwa lucu yang
tak bisa kulupakan. Tapi...."
"Plook...!" Tamparan mendarat lagi di wajah Jaka Bego. Chang Hu memerah
wajahnya. "Jangan sekali
lagi bilang itu pengalaman lucu, ya" Kau menghinaku
jika berkata begitu!"
"Baiklah, pengalaman itu tak jadi lucu. Tapi aku
berani sumpah, bahwa aku memang tidak kenal den-
gan Yin Yin. Kalau kalian mau memperkenalkan aku
dengan nona Yin Yin, boleh saja, tapi jangan begini caranya!"
"Diaaam...!" bentak Liu.
"Bagaimana bisa diam" Aku tidak bersalah kok
disuruh diam. Nanti kalau aku dihukum, apa kau mau
bertanggungjawab"!"
Liu jengkel, ia menendang pinggang Jaka Bego
dengan tendangan samping.
"Aauuw...!" Jaka Bego terjatuh. Ia terguling-guling.
Lalu berusaha berpegangan pada batu, namun segera
ditarik oleh Li Twan. "Sreet...!" Sengaja ia mengenakan tali pengikat pada batu
sehingga sedikit terpotong.
Ia berlari lagi karena dibangunkan oleh Chang Hu.
Tapi tak lama kemudian ia berpegangan pada pohon.
Dan Li Twan menariknya, "Ayo, cepat...!"
"Sreet...!" Tali bergesekan dengan kulit pohon. Begitu seterusnya ia lakukan.
Dan hal itu di luar kesada-
ran para utusan Laksamana Chou. Makin lama kea-
daan tali semakin rantas. Jaka Bego punya sedikit ha-
rapan untuk bisa lolos. Namun ia harus mengulangi
tindakannya itu supaya tali bisa tergeser dan bergesrekan terus dan nantinya
akan menjadi putus. Tapi,
sampai kapan ia akan tahan begitu" Sebab jika berge-
sekan dengan benda lain, kulit tangannya jadi ikut le-
cet dan perih. * * * 2 DALAM perjalanan ke kapal Cina, Jaka Bego sem-
pat merasakan ada sesuatu yang janggal. Sesuatu
yang janggal itu ialah adanya sepasang mata di tempat
persembunyian yang mengikuti penderitaan Jaka Be-
go. Mungkin ketiga utusan Cina itu tidak melihat
adanya sepasang mata di tempat persembunyian. Te-
tapi, naluri Jaka Bego tak dapat dikelabuhi lagi.
Benar. Ada sepasang mata tajam mengawasi perja-
lanan ketiga utusan Cina yang menyeret-nyeret Jaka
Bego. Sepasang mata itu tampaknya cukup dikenali
oleh hati Jaka Bego. Dalam hati Jaka Bego hanya ber-
tanya-tanya, "Bukankah yang bersembunyi itu La-
nangseta" Tapi mengapa ia tidak segera memberi per-
tolongan" Mengapa ia membiarkan aku tersiksa begi-
ni" Mengapa hanya memperhatikan dari balik semak
belukar itu?"
Jaka Bego mengeluh dalam hati, "Sialan! Aku
hanya dijadikan tontonan. Apakah... apakah Lanang
sengaja membiarkan aku begini" Apakah ia terlalu ta-
kut terlibat dalam kekacauan ku ini" Ya, ya... aku
mengerti. Mungkin Lanang sengaja membiarkan hal ini
terjadi, karena jika ia ikut terlibat, mestinya ia takut perkawinannya besok
akan tertunda lagi. Sialan! Ini
namanya tidak adil. Lanang tega membiarkan aku ter-
siksa begini, hanya karena ia takut kalau perkawinan-
nya akan tertunda. Uuh...! Dasar pendekar tidak tahu
belas kasihan sama teman sendiri...!"
Tali mulai rantas. Jaka Bego sering jatuh dan dis-
eret. Kadangkala ia ditendang oleh Chang Hu atau Liu.
Tapi di balik kesengsaraannya, Jaka Bego punya ren-
cana untuk memutuskan tali itu dan kabur. Hanya sa-
ja, rasanya lama sekali tali yang mengikat kedua tan-
gannya tidak putus-putus juga. Dan, pada saat ia sen-
gaja jatuh terakhir kalinya, di dekat semak berduri, ia sengaja mengenakan tali
itu pada duri-duri semak. Li
Twan yang memegangi ujung tali segera menyeret lagi
dengan kasar. Jaka Bego mengharapkan tali itu putus
pada detik itu pula. Ternyata tidak. Hanya kulitnya
yang besot karena termakan duri-duri semak. Tapi ma-
tanya sempat bertatapan dengan sepasang mata yang
mengintai dari balik kerimbunan semak lain.
"Lanang...!" Jaka Bego berseru dalam hati. "Ya. Betul. Itu sepasang mata milik
Lanangseta. Ah, gembel!
Dia diam saja. Tega sekali dia, ya" Oh, awas kau...!
Awas kau Lanang...!" Kemudian tanpa sadar ia bicara agak keras, "Perkawinanmu
akan gagal!"
Suara itu sangat jelas karena memang terlontar le-
wat mulut dengan keras. Tentu saja hal itu menge-
jutkan ketiga utusan Cina, Twan, yang menyeretnya
sejak tadi jadi berhenti, dan membentak kepada Jaka
Bego, "Perkawinan siapa yang kau maksud"!"
"Hah..."!" Jaka Bego berlagak tidak mendengar.
"Kau mengatakan perkawinanmu akan gagal, mak-
sudmu perkawinan siapa"!" kali ini Chang Hu yang
membentak. Jaka Bego mulai menggeragap dan tak ingin jalan
pikirannya diketahui lawan. Ia segera menjawab den-
gan laga begonya, "Ah, aku tidak bilang apa-apa kok."
Ketiga utusan Cina saling pandang. Mulanya Liu
dan Li Twan sedikit curiga dan ingin mengorek kete-
rangan. Tapi Chang Hu memberi isyarat agar kedua
temannya tetap terus berjalan. "Omongan orang gila memang susah dimengerti!"
gerutu Chang Hu seraya
melangkah kembali.
Tetapi di dalam hati Jaka Bego, ada sebaris gerutu
lain yang membuat sedikit dongkol, "Biar. Biar ku sumpahi supaya perkawinan
Lanang tidak akan ter-
laksana sebelum ia menolongku...!"


Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lanangseta tidak tahu kalau ia telah dikutuk Jaka
Bego. Ia sibuk mengurusi keperluan perkawinannya di
Griya Teratai Wingit. Dan Jaka Bego sendiri tidak tahu kalau Lanang sebenarnya
tidak mengetahui apa yang
terjadi pada diri Jaka Bego. Lanangseta hanya menge-
tahui, bahwa Jaka Bego telah pergi tanpa pamit. Ini
menjengkelkan Lanang dan paman Ludiro.
"Jaka Bego hanya mau makan enak saja, tidak
mau membantu kerepotan kita," gerutu Ludiro.
"Ke mana sebenarnya dia, Paman?" tanya Lanangseta sedikit dongkol.
"Mana aku tahu. Tadi kulihat ia mengejar-ngejar
capung sambil tertawa-tawa, eeh... tahu-tahu sampai
sekarang ia belum pulang."
Kejadian ini berlangsung, setengah hari setelah Ja-
ka Bego pergi ke desa Tayub, untuk memberitahukan
pesta perkawinan Lanang kepada keluarga Pak Lo-
dang. Pada masa-masa itu, tentu saja hanya kedong-
kolan yang ada pada diri Ludiro, karena dianggapnya
Jaka Bego tak mau ikut repot. Tetapi setelah sampai
malam Jaka Bego belum kelihatan, Ludiro mulai was-
was, jangan-jangan Jaka Bego tak akan kembali untuk
selamanya" Dugaan itulah yang membuat Ludiro ter-
paksa bertanya kepada Lanangseta, "Apakah Jaka Be-go sebelum pergi marah
denganmu?"
"Tidak. Tidak ada masalah apa-apa," jawab Lanang yang sudah berada di kamar rias
pengantin. "Aneh!" gumam Ludiro. "Aku curiga ada yang tidak beres. Jangan-jangan... dia
telah mencuri pedang Wisa
Kobra-mu, lalu segera melarikan diri."
"Ah, tidak," sanggah Lanangseta. "Pedangku ada di kamar pusaka. Hanya Rama
Sabdawana yang memegang kuncinya."
Menurut peraturan adat keluarga Kirana, memang
begitu. Setiap mau mengawinkan keluarga mereka,
semua pusaka harus dijadikan satu, dikumpulkan da-
lam kamar pusaka, dan kuncinya dibawa oleh
Sabdawana. Jadi, Lanangseta yakin betul kalau
pedang Wisa Kobra yang juga disebut pedang Malaikat
itu, benar-benar masih ada di kamar pusaka.
"Lanang..." sapa Sabdawana, ayah Kirana. "Jangan lupa, nanti, sebentar lagi, kau
harus mengikuti upacara Getih Manunggal. Persiapkan pakaian pendekar
mu." "Baik, Rama. Tapi... bagaimana dengan pedang pu-
saka saya itu, Rama?"
"O, ya. Pedang itu tentu harus kau pakai juga da-
lam upacara nanti," jawab Sabdawana.
"Maksud saya apakah masih ada di kamar pusa-
ka?" Sabdawana jadi curiga atas pertanyaan itu. "Me-mangnya kenapa kau bertanya
begitu?" Lanangseta menjelaskan kekhawatiran Ludiro se-
hubungan atas kepergian Jaka Bego yang sampai ma-
lam itu belum pulang juga. Karenanya, Sabdawana se-
gera mengajak Lanangseta dan Ludiro untuk memerik-
sa ke kamar pusaka. Ternyata pedang itu masih ada.
Utuh. Lanangseta mengambilnya, mengeluarkan dari
sarungnya, ooh... masih asli. Pedang itu masih menya-
la seperti bara api.
"Bawalah sekalian buat perlengkapan upacara nan-
ti," ujar Sabdawana.
Pada detik-detik berikutnya, terdengar derap suara
kaki kuda menembus kesunyian malam. Hampir se-
mua orang yang mendengarnya bercuriga, sebab tak
ada perkiraan pada diri mereka kalau akan datang ta-
mu pada malam itu, apalagi mengendarai kuda. Se-
dangkan upacara perkawinan Lanangseta dengan Ki-
rana itu tidak menyebar ke mana-mana. Hanya disak-
sikan oleh murid-murid Sabdawana saja, baik murid-
murid lama maupun murid-murid baru, yaitu bekas
anak buah Begal Dogol.
"Siapa yang datang?" tanya Lanangseta kepada salah seorang murid di situ.
Jawab murid tersebut, "Katanya... utusan dari desa Tayub. Itu juga saya dengar
dari penjaga gerbang."
"Desa Tayub"!" Lanangseta dan Ludiro nyaris
menggumam bersamaan. Ludiro tanpa diperintah sege-
ra menuju ke pintu gerbang. Tak lama kemudian ia
kembali lagi menemui Lanangseta dan Sabdawana
yang masih bertanya-tanya: siapa tamunya itu.
"Siapa, Paman?" Lanangseta tak sabar.
"Hemm... Pak Lodang."
"Pak Lodang"! Pak Lodang malam-malam begini da-
tang?" "Ya. Naik kuda lagi. Berdua sama tetangganya," ka-ta Ludiro.
Ini benar-benar di luar dugaan. Pak Lodang datang
bersama tetangganya. Dengan menggunakan kuda se-
waan" Dengan dipandu oleh tetangganya yang sudah
tahu letak Bukit Badai dan letak Griya Teratai Wingit"
Aneh. Ada apa"
Pertanyaan batin itu dilontarkan oleh Lanangseta
ketika Pak Lodang menemuinya. Dengan sedikit gu-
gup, Pak Lodang menjelaskan, "Tadi siang, Jaka Bego bermaksud mengabari saya dan
keluarga tentang pesta
perkawinanmu besok."
"Memang benar. Dan... maaf, saya tidak sempat
memberitahu Pak Lodang jauh-jauh hari. Bahkan
hampir saja saya lupa tidak memberitahu keluarga Pak
Lodang. Tapi, di mana Jaka Bego sekarang"!"
"Dia... dia dikejar-kejar tiga orang Cina berpakaian seragam. Hampir saja dia
disangka pencuri oleh warga
desa kami. Dan... dan salah seorang penduduk melihat
Jaka Bego tertangkap, lalu diseret-seret oleh tiga orang Cina itu."
"Chang Hu...." gumam Lanangseta dengan hati panas. Betapapun begonya Jaka Bego
itu, namun sebe-
narnya Lanang sangat sayang kepada pemuda kurus
kerempeng itu. Biar tolol, tapi beberapa kali Lanang
tertolong olehnya. Jadi, jika dalam keadaan begini, ten-tu saja ia tak dapat
tinggal diam. Ia tak akan sampai
hati membiarkan Jaka Bego disiksa, atau diapakan sa-
ja oleh tiga orang Cina yang dulu menuduhnya mencu-
ri anak gadis Laksamana Chou.
Pedang sudah di punggung, Lanangseta segera me-
lesat keluar, dan meloncat ke punggung kuda bawaan
Pak Lodang. Kuda dipacu cepat. Kirana sempat berse-
ru, "Lanang...! Sabar dulu...!"
Tapi tak dihiraukan oleh Lanang. Dengan sedikit
basa-basi, Ludiro berhasil meminjam kuda yang di-
tunggangi tetangga Pak Lodang itu. Dengan kuda ter-
sebut Ludiro mengejar Lanangseta. Untung ada cahaya
rembulan remang-remang, sehingga Ludiro bisa men-
gikuti gerakan Lanangseta yang bagai anak panah me-
nembus kegelapan malam.
"Lanang! Kembali...!" seru Ludiro setelah kuda mereka berjajar.
"Ini kesalahpahaman. Salah paham yang bisa ber-
larut-larut, Paman. Jaka Bego adalah korban kesalah-
pahaman!" "Iya. Tapi ingat, kau besok jadi pengantin. Malam ini kau harus mengikuti
upacara adat Getih Manunggal. Kau harus memakan bunga Teratai Wingit itu su-
paya darahmu bisa menyatu dengan darah keturunan
leluhur mereka. Ingat kata-kata Rama Sabdawana,
bahwa tanpa memakan bunga itu, kau tidak akan bisa
menikah dengan mereka. Pulanglah...!"
"Bagaimana dengan Jaka Bego?" seraya Lanang
masih memacu kudanya.
"Nanti kita bicarakan di rumah. Yang jelas, tak
baik calon pengantin pergi pada malam Midodareni ini.
Setiap pengantin yang esoknya akan menikah, malam
sebelumnya atau malam midodareni, tidak boleh ke-
luar dari rumah lebih dari sepuluh langkah. Tahu"!
Ayo, pulanglah sekarang juga. Kita bisa berembuk
dengan kepala dingin...!"
Tak ada pilihan lain bagi Lanangseta kecuali men-
gikuti saran Ludiro. Ia pulang dengan langkah kuda
yang lunglai. Namun ketika mereka sampai di Griya
Teratai Wingit, ternyata di sana telah terjadi keka-
cauan. Orang-orang sibuk mencari sesuatu di luar ru-
mah, bahkan sampai menyelusup di semak kegelapan.
"Apa yang terjadi"!" tanya Ludiro kepada salah seorang penjaga pintu gerbang.
"Ada seseorang yang memakai kerudung hitam ke-
luar dari dalam. Ia kelihatannya telah mencuri sesua-
tu." Ludiro memandang Lanangseta. Lanang buru-buru turun dari punggung kuda dan
menemui Kirana yang
tampak sedih dan cemas. Kirana yang mengetahui ke-
munculan Lanang segera menghambur dan berkata,
"Lanang... bunga itu hilang!"
"Ha..."! Bunga... maksudmu bunga teratai Wingit"!"
Lanang membelalakkan mata lebar-lebar.
"Ya. Bunga teratai Wingit telah hilang. Tadi, baru saja Lande memergoki
seseorang berkerudung keluar
dari kamar pusaka. Ia melesat cepat di kegelapan se-
mak sana!"
"Gila...!" gertak Lanangseta dengan mata nanar dan gigi segera menggeletuk penuh
kemarahan. Ia pun melesat di kegelapan malam, tempat orang berkerudung
hitam menghilang. Darah Lanangseta bagai mendidih
dan nafas pun tak teratur.
Semua orang, tanpa kecuali, sibuk mencari di seki-
tar rumah Kirana. Banyak yang membawa obor, me-
nembus kegelapan semak di sana-sini. Namun, tak sa-
tu pun yang menemukan orang berkerudung hitam
itu, juga bunga teratai Wingit tak ditemukan walau se-
kelopak pun. "Lande...." seru Lanangseta. "Seperti apa wajah orang yang berkelebat tadi?"
"Tidak jelas, Mas Lanang. Seluruh tubuhnya berke-
rudung hitam. Wajahnya pun bagai mengenakan penu-
tup dari kain hitam. Gerakannya begitu cepat."
"Tinggi badannya?"
"Kira-kira... yah, sejajar dengan Mas Lanang sendi-ri," jawab Lande, penjaga
sekaligus murid Sabdawana.
"Brengsek...!" geram Lanangseta.
Ketika Lanang duduk di kamar rias pengantin pria,
ia sempat tergerak oleh suara Sabdawana.
"Tanpa bunga itu... kau tak bisa kawin dengan
anakku, sekalipun kau putra dewa, sekalipun kau mu-
rid dari pewaris ilmu Eyang Pramban. Bunga itu punya
arti tersendiri dan sangat penting bagimu. Tanpa me-
makan bunga teratai Wingit, darahmu tak akan bisa
menyatu dengan putri ku. Kau tak akan mempunyai
keturunan seumur hidup, dan terlebih lagi, putri ku
akan mati dalam waktu tidak kurang dari seminggu ji-
ka kalian telah bersetubuh. Sebab darahnya tak bisa
menerima darahmu. Karena itu, dengan memakan
bunga teratai Wingit, maka darahmu akan menjadi sa-
tu golongan dengan darah putri ku. Bisa bercampur."
Lanangseta terhempas kesal. Sabdawana kelihatan
sangat prihatin sekali. Ia menepuk punggung Lanang
seraya berkata, "Dapatkan dulu bunga itu kembali, ba-ru kalian bisa menikah dan
tidak berbahaya. Ingat,
semua ini adalah rentetan nasib demi nasib. Jangan
kau ingkari, bahwa untuk mendapatkan putri ku, me-
mang sulit. Seperti seseorang yang ingin menggenggam
cahaya. Tapi aku yakin, kau pasti akan berhasil. Aku
telah melihat tanda-tanda dalam garis hidup pada diri
anakku, bahwa akhirnya ia akan menikah juga dengan
orang yang berhasil memakan bunga Teratai Wingit
itu." "Bagaimana kalau bukan saya yang memakannya, Rama?" Lanangseta menampakkan
kecemasannya. Sabdawana mendesah lirih. "Terlalu sulit menja-
wabnya, Lanang. Sebaiknya carilah dengan segera, se-
belum ada orang yang memakan bunga itu."
Kutukan Jaka Bego telah menjadi kenyataan. Bun-
ga Teratai Wingit yang menjadi syarat perkawinan an-
tara Lanang dengan Kirana, ternyata telah hilang dari
kamar pusaka. Seperti yang dikatakan Sabdawana ke-
pada Lanangseta, bahwa tanpa bunga itu perkawinan
tak dapat berlangsung. Banyak resiko yang akan me-
nimpa perkawinan tersebut jika tanpa bunga teratai
dari Goa Malaikat itu.
Siapa yang mencuri bunga teratai Wingit itu" Un-
tuk apa dicuri" Dan di mana Lanangseta harus men-
dapatkannya kembali" Itu adalah sebaris pertanyaan
yang menyelinap di benak Lanangseta, si Pendekar Pe-
dang Malaikat, atau Pendekar Pusar Bumi. Belum lagi
pertanyaan: di mana Jaka Bego" Bagaimana keadaan-
nya" Bagaimana nasibnya di tangan utusan Laksama-
na Chou" Siapa pula yang telah memfitnah Lanangseta
dengan tuduhan melarikan putri Laksamana yang ka-
barnya bernama Yin Yin itu" Seperti apa Yin Yin itu"
"Uuuh...!" Kesal sekali hati Lanangseta dibuatnya.
Kesal karena kemarahannya tak dapat dilampiaskan
kepada siapa pun di situ. Ia sendiri menjadi bego, tidak tahu mana yang harus
dikerjakan lebih dulu. Belum
lagi ia berpikir bahwa Kirana akan cemburu jika men-
dengar ia dituduh melarikan putri Yin Yin. Woww...!
Bisa ribut besar dia dengan calon istrinya. Paling tidak akan timbul
kesalahpahaman lagi jika Kirana tahu,
bahwa Lanangseta dituduh melarikan gadis Cina.
"Sebaiknya, aku mencari Jaka Bego dan kau men-
cari bunga teratai Wingit itu," usul Ludiro setelah Lanang mengeluh berulangkali
dalam kebingungan.
"Aku akan minta bantuan Pak Lodang untuk men-
gantarku ke kapal Laksamana itu," sambung Ludiro
yang beberapa hari sebelumnya telah mendapat cerita
tentang tuduhan terhadap diri Lanang.
"Apa Pak Lodang tahu di mana kapal Laksamana
Chou berlabuh" Dan apa sudah pasti kalau Jaka Bego
dibawa ke sana?"
"Paling tidak, Pak Lodang dapat memberitahu di
mana pelabuhan. Di pelabuhan itu aku bisa bertanya
lagi." Lanangseta tidak punya pilihan lain lagi. Usul Lu-
diro dipandang baik untuk saat ini. Maka ketika fajar
pagi menyingsing, Ludiro dan Lanangseta sama-sama
berangkat. Mereka mengajak serta Pak Lodang dan te-


Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangganya, namun di persimpangan jalan mereka akan
berpisah, Lanang mengambil langkah ke kiri, Ludiro
beserta Pak Lodang dan tetangganya ke kanan, menu-
ju pelabuhan. Namun sebelum mereka sampai ke persimpangan
jalan, mereka telah dikejutkan oleh sesuatu di jalanan.
Tubuh seorang gadis tergeletak tanpa darah. Pingsan.
Pak Lodang yang melihatnya pertama kali. Di sela re-
rumputan lebat, bajunya yang berwarna merah muda
itu kelihatan. Dan ketika sama-sama mendekati, Ludi-
ro dan Lanangseta hampir terpekik bersamaan, "Andi-ni..."!"
Pak Lodang segera tahu bahwa Lanang dan Ludiro
sudah mengenal gadis yang tergeletak pingsan itu.
Namanya Andini, wajahnya cantik. Ada tahi lalat di bi-
bir bawah. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya len-
tik. Bibirnya mungil, tipis, namun indah. Hanya saja,
bibir itu jelas menampakkan betul sifatnya yang cere-
wet dan manja. "Bagaimana bisa Andini ada di sini?" kata Lanang.
"Aku sendiri tidak tahu. Agaknya ia menemui kesu-
litan." "Setahuku ia pergi bersama Ekayana, adikku, sejak dari Goa Malaikat itu." (dalam
kisah MISTERI GOA
MALAIKAT) Ludiro menggumam, seperti ingin mengucapkan
sesuatu namun tak jadi. Rupanya Andini sudah lama
pingsan di situ. Dan ketika mereka datang, beberapa
saat kemudian ia siuman. Ia berkerut-kerut dahi dan
mengeluh dalam rengek kemanjaannya. Ludiro sudah
sebal dulu mendengarnya, namun ia segera memak-
lumi, toh itu sifat Andini. Mungkin tanpa kemanjaan,
tanpa kecerewetan, bukan Andini namanya.
"Ekayana..."!" Andini segera memeluk Lanangseta tanpa tanggung-tanggung lagi.
Lanangseta agak panik.
"Andini...! Andini, ingat aku Lanangseta."
Andini segera melepaskan pelukannya. Ia mundur
beberapa langkah dan memandang Lanang dengan
cermat. Tapi air matanya menjadi kian membasahi pi-
pi. "Lanang...." desisnya. Ia menatap dan menatap terus, sehingga Lanang menjadi
risi. "Apa yang terjadi, Andini" Mengapa kau sampai
pingsan di sini?" tanya Lanangseta dengan lembut, untuk mengendurkan kecengengan
Andini. "Lanang, ooh..."!" Andini kembali memeluk Lanangseta. Ludiro dan yang lainnya
hanya menghem- paskan nafas. Andini menangis dan terisak-isak. La-
nang mencoba menenangkan dengan segala cara. Lalu,
Andini pun menjelaskan permasalahannya.
"Lanang... Ekayana nakal! Kejam!" rengek Andini
seperti anak kecil.
"Kenapa dengan Ekayana, adikku itu?"
"Dia... dia tergila-gila dengan putri Cina. Namanya Yin Yin dan sekarang dia
malah melarikan diri bersama putri Cina itu...."
"Oooohh...." Lanangseta manggut-manggut, demikian juga Ludiro. Sekarang sedikit
jelas permasala-
hannya, bahwa Ekayana itulah orang yang dicari-cari
oleh Laksamana Chou. Karena wajah Ekayana dengan
Lanangseta adalah sama persis, dan memang saudara
kembar, maka ketika utusan pencari putri Yin Yin me-
nemui Lanang dan Jaka Bego, mereka yakin betul
bahwa mereka telah bertemu dengan Ekayana. Mereka
tidak tahu kalau Ekayana itu mempunyai saudara
kembar yang berwajah sama hanya berbeda sedikit da-
lam gaya penampilannya, yaitu Lanangseta.
"Kalau begini aku yang kena getahnya...." gumam Lanangseta. Ludiro tersenyum
simpul. Tapi Andini masih memegangi tangan Lanangseta dengan manja.
"Paman Ludiro... sebaiknya antarkan dulu Andini
ke rumah dan kenalkan pada Rama Sabdawana su-
paya...." "Kau sendiri mau ke mana" Mencari Ekayana?" sahut Andini dengan suaranya yang
seperti anak kecil.
"Aku ada perlu lain. Penting, Andini. Untuk sementara...."
"Aku ikut kamu saja!" sahut Andini, merajuk.
"Andini, aku akan pergi dengan satu tujuan. Kau
tak bisa ikut. Karena tujuanku bukan ingin menemui
Ekayana, tapi untuk...."
"Tidak. Aku ingin menemanimu. Aku... aku sakit
hati pada Yin Yin dan ingin membunuhnya. Tapi, un-
tuk meredakan sakit hatiku, aku ikut kamu dulu, La-
nang. Aku tak bisa meninggalkan wajah Ekayana. Tak
bisa! Dan wajah itu ada padamu, Lanang. Hemm... aku
ikut ya?" "Wah, bagaimana ini..."!"
* * * 3 ANDINI merasa kewalahan mengimbangi kecepatan
Lanangseta. Ia sering tertinggal, sekalipun Lanang se-
sekali berhenti menunggunya, namun kembali jika su-
dah melesat Andini tertinggal beberapa jauh.
"Lanaaang...!" serunya. "Jangan cepat-cepat, nanti aku kehilangan kamu."
"Kita harus secepatnya sampai di sana!"
"Iya. Tapi badanku kan masih lemas. Habis ping-
san. Aku tidak bisa secepat kamu. Kalau mau...." Andini cemberut setelah dekat
dengan Lanang. "Kalau mau, gendonglah aku."
"Andini, ayolah... jangan bermanja-manjaan. Wak-
tuku hanya sedikit."
"Gendong aku supaya kecepatan kita sama," rengek Andini, dan hal itu membuat
Lanangseta menahan
kedongkolan. Sebenarnya Lanangseta kurang menyukai keikut-
sertaan Andini. Tetapi, agaknya Andinilah yang tahu di mana bunga Teratai Wingit
itu berada. Karena, keping-sanan Andini telah meninggalkan jejak bagi pencuri
bunga Teratai Wingit.
Sebab di dalam kegelapan malam itu, Andini masih
sempat melihat sinar dari Suatu tempat. Ia tidak tahu
kalau sinar itu adalah sinar dari kesibukan di rumah
Kirana. Yang penting, sebelum malam menjadi gelap,
ia merasa harus sudah mendapat tempat untuk men-
ginap. Dalam perjalanannya mencari Ekayana, ia ha-
rus berani sengsara, ia harus mau tidur di kandang
kebo sekalipun kalau pemilik rumah yang hendak di-
datangi mengijinkan ia tidur di kandang kebo.
Dalam upayanya mendatangi cahaya obor yang be-
lum diketahui milik rumah siapa itu, tiba-tiba Andini
merasa berpapasan dengan orang berkerudung hitam.
Andini pada waktu itu menyangka ia akan diserang
oleh orang tersebut, sehingga rupanya ia merasa perlu
menyerang lebih dulu.
Dengan satu loncatan yang gesit, Andini melancar-
kan pukulan dan tendangan secara bergantian. Namun
gerakan kaki dan tangannya selalu saja bagai menge-
nai tempat kosong melulu. Orang berkerudung itu da-
pat menghindari setiap serangan Andini dengan gesit.
Badannya meliuk ke sana sini, melompat kian ke mari,
namun orang berkerudung itu belum mau menyerang
Andini. "Aku mencium bau harum pada diri orang berke-
rudung itu," kata Andini ketika menuturkan kisahnya itu di depan Lanang. Pada
waktu itu Ludiro dan Pak
Lodang serta tetangganya itu masih ada bersama An-
dini. Mereka belum berpencar. Mereka menyimak betul
setiap perkataan Andini.
"Lalu, kenapa kau sampai pingsan?" tanya Ludiro.
"Ia menyerangku dengan pukulan jarak jauhnya.
Dan... dan aku sempat lumpuh sejenak, karena kakiku
merasa beku."
Andini mengenang peristiwa semalam. Ia diserang
dengan pukulan jarak jauh sehingga kakinya merasa
beku. Pada saat itu, tiba-tiba tangan Andini juga mera-sa bagai disekap oleh
balok-balok es. Beku. Orang itu
mendekati Andini, meraba wajah Andini dengan tan-
gan kanannya. Andini masih sadar, mendengar kata-
kata orang berkerudung itu dalam gumam, "Ternyata kau cantik juga, Nona...."
"Setan! Tinggalkan aku. Kecantikanku bukan un-
tuk kamu. Jangan salah sangka kalau aku cantik kau
kira untuk dirimu. Jangan menyangka begitu. Tolol ka-
lau kau menyangka aku begitu!" Andini mengomel dan menggeram dongkol.
"O, begitu, ya...?" Orang berkerudung itu tertawa pelan dalam bentuk desahan.
"Tapi nyatanya aku bisa menciummu malam ini...." Kemudian orang berkerudung itu
membuka penutup wajahnya. Andini tegang.
Samar-samar ia melihat lekuk ketampanan orang itu.
Dan, tahu-tahu orang itu telah menciumnya. Menciumi
Andini berulang kali dengan nafsu birahi yang men-
dengus-dengus. Andini tak kuasa mengelak.
Orang berkerudung hitam yang telah membuka
penutup wajah itu menjadi tegang. Ia berhenti menci-
umi Andini, bahkan berhenti meraba-raba tubuh An-
dini dengan tangan kanannya, sementara tangan ki-
rinya memegangi sesuatu yang disembunyikan di balik
jubah hitamnya. Ia memandang ke arah suara keribu-
tan, di mana obor-obor berjalan cepat kian ke mari.
Orang itu mendengus kesal.
"Sayang, malam ini urusanku lebih penting daripa-
da harus menikmati kehangatan tubuhmu, Nona ma-
nis. Tak, kurasa untuk kali ini cukup sampai di sini
dulu kemesraan kita!"
"Iblis kau! Akan ku tuntut perbuatanmu yang tak
senonoh ini, Setan!" geram Andini.
"Boleh. Tuntutlah. Datang ke Pulau Kramat, di sa-
na kau bisa menuntut kenikmatan yang tertunda ini.
Kutunggu...!"
Orang itu melesat, merasa takut ketahuan para
pembawa obor yang sedang mencarinya. Namun Andi-
ni sempat berseru, "Hei, jangan pergi begitu saja! Kan-
cingkan dulu bajuku ini, Keparat!"
Orang berpakaian serba hitam itu berhenti, berpal-
ing ke arah Andini. Andini memandang benci walau so-
rot matanya terhalang gelap. Lalu, orang itu mengge-
rakkan tangan kanannya bagai sedang menunjuk ke
arah Andini. Detik berikutnya Andini terpental, jatuh
telentang dalam keadaan kancing di depan dadanya te-
lah tertutup rapi, namun ia segera tak sadarkan diri.
Rupanya orang itu mengirimkan kekuatan tenaga da-
lam yang selain mampu menutupkan kancing baju, ju-
ga mampu menotok peredaran darah sesaat sehingga
membuat Andini pun pingsan.
Pulau Kramat! Itulah sasarannya. Beruntung Andini terlibat kasus
sendiri dengan orang berkerudung hitam itu, sehingga
Lanang merasa mendapat titik terang. Kini ia tahu, ke
mana ia harus pergi. Pulau Kramat. Tak salah itulah
tempat yang harus dituju selekasnya. Sebab Lanang
yakin, orang yang telah menciumi dan meraba-raba
Andini dengan bernafsu itu, jelas orang yang mencuri
bunga Teratai Wingit. Dan sudah tentu di Pulau Kra-
mat itulah bunga tersebut dibawa pencurinya. Tapi di
mana Pulau Kramat itu"
Sebetulnya tetangga Pak Lodang itu tahu tempat-
nya, tapi ketika Lanang mengajaknya, ia tak mau ikut.
"Pulau itu banyak hantunya," kata tetangga Pak Lodang. Karenanya, ia hanya
memberikan arah dan
gambaran di mana Pulau Kramat itu berada. Kemu-
dian Lanang pergi bersama Andini yang beralasan in-
gin menuntut balas perbuatan orang berkerudung itu.
Namun hati Ludiro yang dibawa pergi ke pelabuhan
itu sempat menaruh curiga kepada Andini. Dalam du-
gaan Ludiro, jangan-jangan Andini itulah yang mencuri
bunga Teratai Wingit. Mungkin dengan alasan tersen-
diri yang belum diketahui kebenarannya. Atau saja,
mungkin Andini memang bekerja sama dengan orang
berkerudung untuk mencuri bunga Teratai Wingit un-
tuk suatu keperluan tersendiri, yang juga belum dike-
tahui kebenarannya.
Tapi jika memang benar seluruh cerita Andini, ma-
ka Ludiro pun berpendapat, bahwa orang berkerudung
itu adalah pencuri bunga Teratai Wingit. Terbukti ia
selalu menggunakan satu tangan dalam menyerang
dan meraba Andini. Pasti tangan kirinya itulah yang
menggenggam bunga tersebut. Bukti lain ialah ada bau
harum yang tercium Andini, itu pasti bau harum Tera-
tai Wingit. Jadi, kalau begitu Ludiro harus segera me-
nyelamatkan Jaka Bego, kemudian segera bergabung
dengan Lanangseta di Pulau Kramat. Itu rencana Ludi-
ro dalam perjalanan ke pelabuhan. Sementara itu, Pak
Lodang dan tetangganya pulang ke rumah mereka. Lu-
diro melarang Pak Lodang ikut menemaninya.
Di pelabuhan, tempat di mana kapal pelayan dari
berbagai daerah ditambatkan, ternyata Ludiro tidak
menemukan kapal Cina di sana. Semua kapal milik
orang pribumi. Ludiro menjadi bingung. Beberapa ne-
layan yang sedang nongkrong di dermaga juga tidak
mengetahui adanya kapal Cina. Tetapi seorang lelaki
tua yang menjadi pengurus pelelangan di pasar ikan
itu agaknya bisa memberi penjelasan kepada Ludiro,
ketika Ludiro iseng-iseng menanyakannya.
"Kira-kira lima hari yang lalu, saya melihat sebuah kapal dengan bentuk buritan
kapal seperti seekor na-ga. Mungkin itu kapal Cina yang kamu maksud. Tapi
ia tidak berlabuh di sini. Ia hanya lewat di kejauhan
sana. Entah ia menuju ke mana. Yang jelas ke arah
Barat jalannya...." kata lelaki pengurus pelelangan ikan.
"Terima kasih,. Pak tua. Kalau begitu saya harus
menyusuri pantai ke arah Barat," ujar Ludiro.
"Ya. Tapi, ada apa sebenarnya" Kau kelihatan te-
gang. Apa yang terjadi di kapal Cina itu?"
Ya, ada apa di sana. Mungkin tak banyak orang
mengetahuinya. Bahkan Ludiro sendiri tak tahu keja-
dian yang sebenarnya, di mana di kapal itu seorang
pemuda kurus kerempeng sedang diikat kedua tan-
gannya pada kedua tiang. Jaka Bego disiksa dalam se-


Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buah kamar. Di sana ada dua tiang, dan di kedua tiang
itulah tangan Jaka Bego diikatkan dalam posisi teren-
tang, sedangkan kakinya dibiarkan lepas. Lemas dan
bagai tak mampu berdiri lagi. Tali pengikat yang berjarak satu hasta dari
masing-masing pergelangan tangan
ke tiang itu ternyata cukup kuat, kokoh, dan membuat
tubuh Jaka Bego terayun-ayun lemas.
Laksamana Chou, dengan pakaian kebesarannya
berwarna kuning emas itu berdiri di depan Jaka Bego.
Matanya yang sipit tapi tajam dan sudutnya bagai ter-
tarik ke atas itu memandangi luka bekas cambukan di
badan Jaka Bego.
"Jangan menjadi bodoh hanya karena kesetiaan,
Jaka Bego," ujar Laksamana Chou yang sudah men-
dengar nama tawanannya. "Kamu tak akan mendapat
apa-apa dari pemuda yang mencuri anak gadisku.
Jangan kau berkorban sampai penyiksaan yang lebih
keji lagi."
"Saya tidak pernah mau disiksa. Tapi anak buah
Tuan yang gila siksaan. Bayangkan hampir semua
orang kapal ini jika masuk ke mari pasti menyakiti
saya. Ada yang menampar dengan alas kakinya, ada
yang memukul dengan gagang sapu, ada yang menya-
bet dengan kain handuknya, bahkan tadi ada yang da-
tang langsung meludahi saya...."
Laksamana Chou tersenyum sinis. "Di sini memang
ada larangan meludah di atas kapal."
"Iya, tapi cobalah bikin larangan yang berbunyi: Di-
larang Meludah Di wajah Jaka Bego." sambil berkata begitu, Jaka Bego bersungut-
sungut. Luka di beberapa
tempat tidak begitu dihiraukan. Hanya sesekali ia me-
nyeringai menahan sakit, namun tak sempat mem-
buatnya menangis meraung-raung. Ia mencoba tidak
menampakkan kecengengannya. Dan sejak tadi, ia
berhasil tidak meraung-raung, kecuali menjerit kesaki-
tan. "Jaka Bego, kalau kau mau mengaku, mau menunjukkan di mana pemuda itu
melarikan dan menyem-
bunyikan Yin Yin, kau akan kubebaskan dan kuberi
hadiah," kata Laksamana.
"Mau...! Mau sekali!" kata Jaka Bego. "Tapi pemuda yang mana yang kalian
kehendaki" Aku tidak tahu."
"Jangan berlagak tolol, Jaka Bego," geram Laksamana. "Chang Hu pernah bertarung
dengan pemuda itu, dan kau telah membantunya, bukan?"
"Yaaah... Tuan dibohongi Kacang Hiu...!" ujar Jaka Bego dengan senyum
meremehkan. Di situ ada Chang Hu, dan ia segera menampar Ja-
ka Bego dengan keras, sehingga Jaka Bego gelagepan.
"Namaku Chang Hu! Bukan Kacang Hiu, tahu"!"
bentaknya setelah menampar Jaka Bego.
"Laksamana...." kata Chang Hu kepada Laksamana Chou. "Saya berani bersumpah,
saya melihat jelas Ja-ka Bego ini bersama pemuda Ekayana yang melarikan
nona Yin Yin. Jelas sekali, Laksamana! Saya tak
mungkin berbohong."
"Siapa" Pemuda siapa katamu tadi"!" Jaka Bego bagai memperoleh semangat.
"Ekayana," jawab Laksamana. "Itu nama pemuda tersebut, bukan?"
"Weee... malu. Namanya bukan Ekayana! Namanya
Lanangseta! Wee malu! Salah!"
"Plokk...!"
Tampar Chang Hu setelah Jaka Bego mencibir be-
rulangkali ke mukanya.
"Jangan coba-coba mengalihkan dan mengacaukan
pikiran kami, tolol! Kami tahu persis, pemuda itu ber-
nama Ekayana, yang konon, menurut pengakuannya
terhadap salah seorang awak kapal ini, ia bergelar
Pendekar Maha Pedang!"
"Waaah... ngawur!" teriak Jaka Bego bagai memperoleh kegirangan. "Ngawuuur...!"
"Husy! Diam!" bentak Huang Pai, sang algojo di si-tu. Jaka Bego menjelaskan
maksudnya, "Kalian Salah duga. Benar-benar salah kaprah sekali. Pemuda yang
bertarung dengan Chang Hu itu bernama Lanangseta,
gelarnya Pendekar Pusar Bumi dan Malaikat Pedang
Sakti. Tapi... tak tahu juga kalau kalian memberi gelar sendiri kepadanya. Aku
belum pernah mendengarnya
kok." "Pendekar Pusar Bumi...?" gumam Laksamana
sambil termenung. Chang Hu ikut tertegun sejenak.
Lalu, Jaka Bego menyahut kata, "Iya. Pendekar Pusar Bumi sajalah. Jangan
Pendekar Maha Pedang. Atau...
berikan saja gelar, Pendekar Pusar Perawan. Nah... itu lebih cocok dan enak
didengar...."
Laksamana Chou memandang Jaka Bego dengan-
kedongkolan yang masih ditahannya. Maksudnya ia
ingin menyuruh Jaka Bego diam, tidak membicarakan
soal gelar. Tapi Jaka Bego mengira, Laksamana ragu-
ragu dalam memberikan gelar untuk Lanangseta. Ma-
kanya Jaka Bego segera menyahut lagi, "Tuan... saya rasa gelar Pendekar Pusar
Perempuan itu cukup langka di dunia ini. Iya, kan..." Atau... atau, o ya, saya
punya gagasan lain. Begini... bagaimana kalau kita berikan gelar baru kepadanya
dengan julukan Pendekar
Maha Pusar... eh, jangan-jangan... jangan itu. Ini saja, hem... Pendekar...
Pendekar Malaikat Pusar. Nah, itu
saja, Tuan. Saya rasa itu cocok untuk...!"
"Plak... plaak... buug...!"
Pukulan beruntun menghunjam Jaka Bego dari
tangan Chang Hu dan Huang Pai, lelaki tinggi berba-
dan besar itu. "Kami tidak sedang berembuk untuk mencarikan
gelar buat pemuda banci itu, tahu"!" bentak Chang Hu. "Kamu tidak perlu
menyodorkan beberapa gagasan nama gelar, kami tidak butuh. Yang kami butuhkan
keterangan darimu, di mana dia berada! Lekas berita-
hukan kepada kami, kalau tidak... kau akan menjadi
daging cincang, lalu akan kami buat santapan ikan-
ikan hiu yang ada di tengah samudera nanti!"
Jaka Bego mengerang kesakitan. Tubuhnya berge-
lantungan di kedua tali yang mengikat tangan. Ia se-
pertinya tak tahan lagi untuk berdiri, karena sudah
terlalu lama berdiri dan menderita siksaan macam-
macam. Laksamana Chou mendekatkan wajah sambil me-
renggut pipi Jaka Bego. Kedua pipi itu ditekan kuat-
kuat dengan jemari tangannya sampai mulut Jaka Be-
go monyong-monyong.
"Katakan, di mana tempatnya! Jangan membuat
kami kehabisan kesabaran, dan jangan mencoba men-
gulur-ngulur waktu. Katakan, lekas.... di mana Ekaya-
na dan Yin Yin..."!"
"Suyu, tuduk tuhu...." ucap Jaka Bego dengan bibir monyong ke depan.
"Jangan bilang tidak tahu! Kamu pasti tahu!" bentak Laksamana dengan tangan
masih menjepit mulut
Jaka Bego. "Butul, tutuk tuhu. Sumpuh. Suyu tuduk kunul
Yun Yun dun Ukuyunu...."
"Apa katanya, Chang"!" tanya Laksamana.
"Lepaskan dulu jepitan tangan Tuan, dan biarkan
ia bicara dengan jelas mengulang kata-katanya tadi."
Laksamana melepaskan jepitan tangan dari mulut
Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng berpakaian
gembel itu mengibaskan wajah, mulutnya menganga
kian ke mari karena pegal setelah dijepit keras. Wajah Jaka Bego dilemaskan
dengan cara melenturkan kian
ke mari. Tapi Laksamana mengira Jaka Bego meledek
dan mencibir di depannya berulangkali. Karenanya se-
buah tamparan keras mendarat di wajah Jaka Bego
yang segera menggeragap.
"Jangan coba-coba mencibir di depanku, ya"! Bisa
kupancung kepalamu!"
"Saya tidak mencibir, Tuan. Saya melemaskan otot-
otot wajah setelah Tuan jepit kuat-kuat tadi."
"Ooo... kukira meledek aku...!" Laksamana bersungut-sungut. Lalu, Chang Hu
membentak: "Ayo, ulangi kata-katamu tadi! Ucapkan dengan je-
las biar Tuan Laksamana tidak bingung mengartikan-
nya!" "Saya bilang, bahwa saya betul tidak tahu. Sum-
pah. Saya tidak kenal Yin Yin dan Ekayana."
"Bohong! Dia orang licik. Pintar-pintar bodoh." seru Laksamana. "Huang Pai,
siksa dia sampai mau mengaku!" "Baik, Laksamana...!" jawab Huang Pai yang
bertubuh tinggi, berbadan tegap. Ia hanya mengenakan ce-
lana hitam dan ikat pinggang dari kain, semacam se-
lendang warna merah. Kepalanya yang botak itu di-
biarkan mulus tanpa hiasan. Tapi kumisnya yang tebal
itu, sungguh menyeramkan jika berhadapan dengan
Jaka Bego. Laksamana keluar dari kamar tahanan di dalam
kapal, dan Chang Hu ikut keluar juga setelah dengan
usil kakinya menendang tulang kering Jaka Bego, se-
hingga Jaka Bego sangat kesakitan mendadak. Ia men-
jerit, "Aauuw... Terkutuk kau Kacang Hiu! Mudah-
mudahan kakimu sendiri yang sebentar lagi akan pa-
tah...!" "Plook...!" Tamparan Huang Pai mendarat di mulut Jaka Bego.
"Aoow...!" teriak Jaka Bego. "Mudah-mudahan gi-gimu sendiri akan segera rontok,
Huang Pai!" teriak Jaka Bego.
Huang Pai tidak menghiraukan kata-kata itu. Ia
segera mengambil cambuk panjang dan mencambuk
tubuh kurus kerempeng itu berulangkali. Jaka Bego
menjerit dan kelojotan. Huang Pai dengan posisi kaki
terenggang dan berdiri tegar melancarkan cambuknya
berulangkali, bahkan melecut ke bagian kaki segala.
Posisi berdiri Jaka Bego sudah seperti mengambang.
Tak bisa lurus. Jaka Bego menahan sakit mati-matian.
Untung belum mati betulan.
"Tar...! Tarr... Taar...!"
"Berhenti...! Hentikan...! Aaaauuhhh...! Hentikan sebentar nanti mulai lagi...!"
teriak Jaka Bego. Dan Huang Pai dengan senyum sinis menghentikan cambukan itu.
Nafas Jaka Bego terengah-engah. Tubuhnya
seperti jemuran basah. Ngelumbruk. Lunglai.
"Perintah Chang Hu, setiap sepuluh kali cambukan
hanya diijinkan berhenti selama dua puluh hitungan,"
kata Huang Pai. Tambahnya lagi, "Dan selama dua puluh hitungan itu kau berhak
berpikir untuk memberi
jawaban dengan benar, atau membiarkan tubuhmu di-
cambuk lagi!"
"Huang Pai.... Ada sesuatu yang ingin kukatakan
kepadamu, tapi hanya untuk kamu. Aku tak ingin
yang lain mendengar rahasia ini...." kata Jaka Bego di sela nafas yang ngos-
Sumpah Palapa 5 Delapan Kitab Pusaka Iblis Kwi Po Cin Keng Pat Karya Rajakelana Pendekar Penyebar Maut 19
^