Pencarian

Setan Gila Lereng Ungaran 1

Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide,
hanya kebetulan belaka
SETAN GILA DARI LERENG UNGARAN
Oleh Buce L. Hadi
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apa-
pun tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Buce L. Hadi Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Setan Gila Dari Lereng Ungaran
1 "Gunung mau meledak! Langit mau runtuh! Bi-
ar saja bumi retak! Apa betul padang pasir ini tiada ba-tasnya"..." celoteh
Umbara Komang nyaring. Ia duduk menunggangi kudanya yang berjalan tenang.
Hamparan pasir membentang di hadapannya seperti tanpa
batas. Sejauh mata memandang Umbara Komang tidak
melihat apa-apa kecuali bukit-bukit berdiri samar di kejauhan.
"Kiamat sekalipun aku tidak gentar!" Suaranya makin parau terdengar. Manakala
matahari keriput.
Keringatnya sudah lengket dengan debu dan pasir.
Manakala matahari terus mencorot mengundang pa-
nas, dan hembusan angin semakin kencang menebar-
kan debu-debu menerpa tubuhnya. Sering kali ia me-
lindungi wajahnya dengan kedua telapak tangannya
dari terpaan pasir debu.
Perjalanannya mengarungi padang pasir yang
sangat luas itu bagaikan sebatang jarum yang terkatung-katung di dasar lautan.
Dia sendiri tidak tahu akan ke mana tujuannya. Umbara Komang hanya duduk tenang,
tertawa oleh langkah-langkah kudanya.
Lelaki berpenyakit senewen ini sudah tidak ingat apa yang telah terjadi
sebelumnya. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit serta nyeri di sekujur tubuhnya.
Pada hal beberapa jam yang lalu Umbara Komang ikut bertempur membantu orang-
orang kerajaan. Dan ia juga
sempat mengenal erat dengan seorang pendekar yang
sangat berilmu tinggi. Bersama seorang Pendekar Pengelana Sakti, ia ikut
bertempur bahu membahu me-
lumpuhkan seorang tokoh kosen dari golongan hitam
(Untuk mengetahui lebih lanjut, pembaca bisa mengikuti dalam cerita: Bidadari
Kuil Neraka). Kalaupun sekarang ia terkatung-katung sendi-
rian mengarungi hamparan padang pasir, itu kemaua-
nnya sendiri. Setelah mereka berhasil menjatuhkan tokoh sesat itu, ia sengaja
memisahkan diri. Atas dasar kemauannya, siapa pun tidak ada yang dapat mengha-
langinya. Dalam perjalanannya ia selalu mengingat sosok
tubuh kekar seorang pendekar muda yang dianggap-
nya seperti 'dewa'. Yang begitu gigih berjuang bahkan sempat menyelamatkan
nyawanya. Hanya itu yang dia
ingat. Sekarang pikirannya hanya tertuju pada hamparan pasir yang tidak pernah
berhenti menyebarkan pasir debu.
Dari ketinggian sosok kuda itu tidak lebih se-
perti sebuah titik yang bergeser sedikit demi sedikit dengan meninggalkan jejak
pada dataran pasir. Jejak-jejak itu membentuk sebuah garis yang memanjang
mengikuti ke mana langkah kaki kuda bergerak maju
di bawah mencorotnya sinar terik.
"Sial! Aku tadi hanya bergurau...! Kenapa jadi sungguhan!" gerutu Umbara Komang
menatap langit yang tadi biru, kini tiba-tiba saja berubah keruh. Awan
bergumpul-gumpal bergerak demikian cepat seakan-akan benar-benar hendak ambruk.
"Celaka! Langit mau runtuh, di sini tidak ada tempat untuk berlindung...."
Umbara Komang ketakutan. Dan saat itu suasana berubah gelap. Angin menderu-deru
kencang melanda dataran pasir. Mengoyak-
kan seluruh permukaan dataran itu.
Kuda yang ditunggangi Umbara Komang me-
ringkik keras sambil kedua kaki depannya terangkat ke atas menyepak-nyepak.
Bulu-bulu yang tumbuh di
sepanjang lehernya bergerak-gerak tertiup angin yang sangat kencang. Umbara
Komang sendiri setengah ma-ti mengimbangi tubuhnya di atas punggung kudanya.
Ia berusaha keras memegang tali kekang. Sementara
kuda yang ditunggangi itu terombang ambing terbawa oleh gerakan angin yang
mendorong begitu deras.
Belum habis ia berusaha mengimbangi tubuh-
nya dari amukan kuda yang ditungganginya, menda-
dak kuda itu terbanting ke samping. Sedangkan Um-
bara Komang sendiri ikut terbanting berdegum di tanah dengan sangat keras. Angin
menderu-deru bagai-
kan badai. Pasir debu menerpa tubuhnya semakin deras.
Ia tidak sanggup membuka matanya. Umbara Komang
hanya tetap berpegangan pada tali kekang. Dan ia
sendiri tidak mengerti kenapa angin yang bertiup sangat kencang itu mampu
menerbangkan tubuhnya. Un-
tung saja ia berpegangan kuat pada tali kekang. Memang tidak dapat diatasi lagi.
Angin yang menderu-
deru kencang itu mampu mendorong tubuh Umbara
Komang bersama kudanya sehingga bergulingan di da-
taran berpasir.
Manakala langit makin gelap tertutup awan hi-
tam yang merambat di cakrawala. Debu-debu beter-
bangan memenuhi seluruh dataran itu. Membuat mata
Umbara Komang semakin rapat terkatup. Untuk ber-
nafas saja demikian sesak. Ia seperti mati konyol dibuatnya. Dan merasa tidak
dapat berbuat apa-apa.
Sementara tubuhnya kini mulai terombang
ambing terdorong oleh hembusan angin. Dari kejauhan nampak tubuhnya mengapung-
apung di atas permukaan dataran padang pasir. Untung saja ia berpegangan erat
pada kekang yang menjerat di leher kudanya.
Kalau tidak tentu Umbara Komang sudah terbawa ha-
nyut oleh angin yang maha ganas itu. Didengarnya pu-la deru angin makin kencang.
Bergemuruh laksana ribuan jarum yang menerpa di tubuhnya.
Sesaat ia membuka matanya. Bukan main Um-
bara Komang terkejut. Di hadapannya nampak pusa-
ran angin berwarna hitam kecoklatan bergulung-
gulung. Pusaran angin itu memporak-porandakan se-
luruh tanah berpasir yang dilaluinya. Umbara Komang memekik nyaring saat pusaran
angin itu kian mendekat menerjang. Tubuh serta kudanya tidak dapat bertahan
lagi. Dan ketika pusaran angin itu melandanya, tahu-tahu saja keduanya bagai
tersedot masuk dalam gulungan angin yang berwarna hitam kecoklatan.
Keduanya berputar-putar semakin tinggi dalam
pusaran angin. Teriakan Umbara Komang dan ringkik
kuda terdengar nyaring dari ketinggian. Keduanya
nampak seperti sosok-sosok kecil yang melayang-
layang dalam pusaran angin. Dan lagi pusaran angin itu membawanya semakin jauh.
Sesaat kemudian, suasana berubah tenang kembali. Gemuruh angin masih
terdengar meskipun sayup-sayup. Pusaran angin telah berlalu. Namun dari kejauhan
masih nampak bagai
sebuah tiang yang menjulang ke atas. Di mana di
atasnya masih bergumpal awan-awan hitam berteba-
ran. Lalu tak lama tiang hitam itu menghilang entah ke mana. Langit kembali
membiru bersama sinar matahari yang terik mencorot ke bumi. Pada dataran padang
pasir membekas jejak-jejak pusaran angin yang baru saja lewat. Jejak-jejak itu
memanjang berliku-liku bagai sebuah galian memanjang sepanjang dataran itu.
Tapi lebih mirip lagi jejak-jejak seperti bekas seekor ular raksasa.
Seperti apapun jejak-jejak pusaran angin itu,
bagi Umbara Komang tidak lain bagaikan maut yang
merenggut nyawanya. Baginya memang terlalu awam
untuk melintasi dataran itu. Dan ia tidak menduga
sama sekali kalau ia akan menghadapi badai angin
yang demikian dahsyatnya.
Itulah sebabnya banyak orang dari kalangan
manapun tidak berani melintasi dataran tersebut. Karena sering terjadi hal-hal
yang tak terduga seperti ini.
Begitu tolol Umbara Komang melintasi dataran itu
sendirian yang akhirnya harus menempuh bahaya be-
resiko berat. Bagaimana pun Umbara Komang harus
menerima nasibnya.
Seperti yang sudah-sudah, belum pernah ada
terdengar segelintir nyawa yang bisa selamat dari amarah pusaran angin. Dibawa
berputar-putar setinggi
langit itu saja sudah sampai pingsan. Apalagi sampai terbanting dari ketinggian"
Itu yang diketahui oleh banyak orang.
Bagaimana dengan nasib Umbara Komang"
Mungkinkah ia bernasib sama seperti korban-korban
lainnya" Sampai detik ini belum dapat diketahui. Badai pusaran angin membawanya
semakin tinggi dan
menjauh. Umbara Komang sendiri sudah tidak sadarkan
diri. Tubuhnya hanya mengikuti dan berputar dalam
badai angin yang membawanya pergi. Sebenarnya ba-
dai pusaran angin yang ganas itu tidak sedahsyat tadi.
Setelah melewati dataran padang pasir badai pusaran angin kian melemah. Tubuh
Umbara Komang dan kudanya yang hanyut di dalamnya tidak lagi terombang ambing
tinggi. Keduanya makin perlahan turun. Perlahan pula badai pusaran angin
bergemuruh. Warnanya
tidak lagi hitam. Awan di atasnya bergerak berpencaran. Lalu tempat itu menjadi
terang dengan seketika.
Bersamaan itu pula badai pusaran angin hilang.
Mendadak saja tubuh Umbara Komang beserta
kudanya jatuh ke bawah. Keduanya meluncur deras ke bawah. Sedang di bawahnya
telah menunggu sebuah
dataran baru yang banyak ditumbuhi pepohonan.
Dataran yang menghijau itu tidak lain dari se-
buah lembah pembatas dataran berpasir. Ke lembah
tersebut mereka terjatuh Kuda yang memiliki bobot lebih berat dari Umbara Komang
meluncur lebih dulu.
Kuda itu meringkik-ringkik saat tubuhnya ja-
tuh menerobos rimbunnya dedaunan. Terdengar pula
derak cabang pohon yang patah akibat benturan. Lalu sebuah deguman bergedebuk
sangat nyaring pada
permukaan tanah.
Saat itu pun tubuh Umbara Komang mulai ja-
tuh menerobos dedaunan. Tubuhnya meluncur terus
ke bawah, dan berkali-kali membentur cabang-cabang pohon yang tumbuh di sana
sini. Tapi untuk terakhir kali, tidak terdengar deguman sosok tubuh yang
membentur permukaan tanah. Dasar lembah yang banyak
ditumbuhi pepohonan sebesar-besar raksasa nampak
sunyi. Akar-akar pohon yang merambat tak beraturan bergetar perlahan. Tidak
terhitung pula betapa tingginya pohon-pohon yang memenuhi lembah itu.
Sosok Umbara Komang tersangkut lemas pada
cabang pohon yang agak besar. Matanya membiru aki-
bat benturan cabang pohon yang berada di atas. Di
bawahnya, di atas permukaan tanah berumput terku-
lai pula sosok seekor kuda terbalik dengan tulang
punggung yang patah. Sehingga bentuk kuda itu tidak karuan lagi. Pada tubuh kuda
itu banyak menancap
pohon-pohon onak yang bergerombol di sekitarnya.
Kuda yang malang itu tewas mengerikan. Kepa-
lanya nampak berkelojotan sambil menyemburkan da-
rah yang keluar dari sederetan giginya yang terkatup rapat. Untuk kemudian diam
tak bergeming. Puluhan
meter di atasnya, tubuh Umbara Komang masih ter-
gantung di atas cabang pohon. Tubuh lelaki itu pun sama diamnya. Dedaunan yang
berada di atas berjatuhan ke bumi akibat terobosan tubuh Umbara Komang.
Bersamaan dengan itu pun burung-burung yang ber-
sarang di atas pohon beterbangan menimbulkan suara
bergemericit meriuhkan suasana lembah. Kepak-kepak sayap mereka menandakan bahwa
mereka berpindah
tempat ke pohon lainnya.
Sampai segerombolan orang berdatangan ke
tempat itu, Umbara Komang belum juga sadar dari
pingsannya. Orang-orang itu nampak bertelanjang da-da semua. Dan hampir rata-
rata bersenjatakan tombak maupun panah. Mereka langsung mengelilingi bangkai
kuda yang tergeletak di tanah. Dua orang di antaranya yang membawa golok
melangkah ke tengah dan langsung mencabut dari pinggang mereka.
Tanpa diperintah lagi kedua orang itu memo-
tong-motong tubuh kuda itu menjadi beberapa bagian.
Yang lain menampani potongan-potongan daging itu.
Setiap potongan masih mengeluarkan darah segar.
Membuat mereka makin bersemangat memutus-
mutuskan bagian tubuh kuda.
Sebenarnya mereka tidak tahu kalau di atas
sana masih ada sosok tubuh tersangkut pada cabang
pohon yang sangat tinggi. Karena darah yang menetes dari atas semakin deras.
Mereka semua yang berada di bawah kalang kabut menoleh ke atas. Dan yang mereka
lihat memang sosok tubuh seorang lelaki tersangkut. "Rezeki besar! Binatang
apalagi yang ada di atas sana?"
"Nampaknya seperti orang hutan. Ia pun sama
mampusnya seperti kuda ini," jawab salah seorang temannya. Gerombolan itu
menengadah ke atas semua.
"Melihat dari darahnya pastilah bangkai itu
masih segar!"
"Bangkai apapun di sana, ambil saja.... Toh kita memang tengah kekurangan
makanan... Ayo beberapa
orang naik ke atas untuk mengambilnya!" perintah seseorang yang bermuka garang
ditumbuhi berewok.
Maka dua orang sekaligus memanjat ke atas pohon.
Mereka dengan mudah dapat naik ke atas dengan ce-
pat. Karena hampir di sekeliling batang pohon raksasa itu banyak akar-akar
merambat sampai ke atas. Jadi mereka berdua tidak menemui kesulitan apapun.
Selain itu mereka memang sudah terbiasa melakukan hal yang seperti itu. Gerak-
gerik mereka bagaikan dua
ekor kera yang sangat lincah.
Orang-orang yang berada di bawah hampir se-
lesai memotongi tubuh kuda yang kini tinggal bagian tubuh plontos tanpa kaki dan
kepala. Pemimpin mereka yang seram penuh berewok masih menatap ke atas
memandangi kedua orang yang melompat-lompat
mendekati cabang pohon di mana Umbara Komang
tersangkut. Setelah berada pada cabang itu, keduanya mengernyitkan alis.
"Rowok Tunggel! Dia bukan binatang ataupun
orang hutan!" teriak salah seorang orang yang disebut Rowok Tunggel kurang jelas
mendengar. "Bicaralah yang keras! Aku tidak mendengar
suaramu...!" jawab Rowok Tunggel dari bawah.
"Dia bukan binatang apapun! Tapi manusia
yang terluka!" teriak orang di atas itu lebih keras. Rowok Tunggel keheranan
seperti tidak percaya dengan ucapan anak buahnya. Nampak pula dua orang itu


Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekati sosok tubuh yang tersangkut.
"Manusia"... Kalau sudah mampus tinggalkan
saja, tapi jika masih hidup...." teriak Rowok Tunggel belum habis.
"Orang ini masih hidup!" jawaban dari atas pohon. "Bawa turun ke sini!" perintah
Rowok Tunggel. Setelah itu menggerutu....
"Edan.... Iblis mana yang telah melemparkan
orang itu sedemikian tingginya. Aku jadi heran, sejak
tadi mengitari tempat ini tidak mendengar suara apa-apa. Kenapa sekarang ada
sosok seseorang yang terlu-ka. Dan lagi bangkai kuda ini seperti terjatuh dari
langit." Rowok Tunggel menunggu kedua orang anak buahnya turun membawa tubuh
Umbara Komang dari
atas pohon. * ** 2 Wintara hanya tersenyum menatap orang-orang
yang melambaikan tangannya. Belasan kuda berikut
lengkap dengan para penunggangnya melepaskan ke-
pergian seorang Pendekar Pengelana Sakti. Salah seorang lelaki bersama seorang
gadis duduk di atas pelan dalam satu kuda melambai-lambaikan tangannya,
"Selamat jalan pendekar... Aku berterima kasih sekali padamu!" teriak lelaki itu
"Jangan sungkan-sungkan kalau mau singgah
di Rogojembangan. Kami semua akan menyambut
dengan tangan terbuka...!" teriaknya lagi. Wintara nyengir, sebelah tangannya
membalas lambaian tangan mereka. Ia pun nampak gagah menunggangi see-
kor kuda putih.
"Suatu saat pasti kita akan bertemu lagi, Ra-
den... Cepatlah kembali ke kota, tentunya kalian harus cepat-cepat menikah."
jawab Wintara. Gadis yang duduk di depan lelaki itu tersenyum malu. Kuda yang
mereka tunggangi menyepak-nyepak seakan-akan ikut
menyalami kepergian Pendekar Kelana Sakti itu. Lalu tempat itu menjadi sunyi.
Lambaian tangan dari belasan orang melemah turun. Mereka semua menatap ke-
pergian seekor kuda putih yang ditunggangi Wintara.
Kuda itu membawanya pergi menjauh dari belasan ku-
da yang masih berdiri di situ.
Mereka belum beranjak sebelum Wintara betul-
betul hilang dari pandangan mata. Lama kelamaan sosok kuda putih itu makin
mengecil dan hilang bagai ditelan bumi. Wintara menghela kudanya kuat-kuat,
maka kuda putih melaju cepat diiringi dengan derap langkah yang menyapu dataran
tanah perbukitan.
Dilaluinya semak-semak kering yang berderet
di sepanjang jalan yang menurun ke bawah. Jalan itu berliku-liku menuju ke
sebuah tanah subur. Dan Wintara sendiri sudah berada jauh dari tanah Rogojem-
bangan. Manakala kuda putih yang ditungganginya
makin cepat berlari. Tanah yang dilaluinya mulai nampak menghijau ditumbuhi
rerumputan. Saat matahari mulai tenggelam, barulah ia tiba
di salah satu desa. Meskipun tidak begitu ramai, desa itu nampak banyak dilalui
orang. Kebanyakan dari
orang-orang itu hanyalah penduduk asli. Wintara
menghentikan kudanya tepat di depan sebuah gapura
yang berdiri di mulut desa.
Dan ia menjadi terkejut sekali saat ia melihat
beberapa penduduk berlarian masuk ke dalam rumah.
Wintara semakin penasaran. Ia turun dari kudanya
dan menuntun memasuki desa. Kedua matanya me-
mandangi orang-orang yang berlarian memasuki gu-
buknya. Apa yang membuat mereka takut. Wintara sen-
diri semakin tidak mengerti. Sejak kehadirannya di de-sa itu semua orang
belingsatan berlarian sembunyi.
Dua orang penduduk desa yang semula duduk-duduk
berbincang langsung melompat ketika melihat Wintara melangkah mendekati mereka.
Keduanya berlarian
masuk dan mengunci pintu gubuk sampai berderak.
Wintara menatap heran.
Dalam sekejap saja desa itu menjadi sunyi.
Wintara memandangi sekeliling desa. Ia tidak me-
nyangka sama sekali kalau akan mengalami perlakuan seperti ini. Pastilah mereka
takut akan kehadirannya.
"Hooooiiiii...! Para penduduk desa...! Kenapa kalian semua bersembunyi!" Wintara
berteriak-teriak.
Suaranya menggelegar dan menggetarkan seisi kam-
pung. Ia pun menambatkan kudanya pada sebatang
pohon, lalu....
"Kalau kalian tidak mau keluar, aku tidak akan pergi dari sini...! Keluarlah!"
Tidak ada jawaban. Suasana desa nampak sepi
bagai mati. Pendekar Kelana Sakti memandang berkeliling
mengawasi tiap-tiap gubuk. Semua pintu nampak ter-
tutup rapat. Wintara membuang nafasnya kuat-kuat.
Lalu berjalan melangkah melewati tiap-tiap muka halaman gubuk. Langkah-langkah
Wintara membuat jan-
tung pemilik gubuk yang dilaluinya berdegup ketakutan.
Sementara hari mulai merambat gelap. Tanpa
seorang pun yang berani memasang pelita. Ringkik
kuda putih yang tertambat pada batang pohon sesekali terdengar. Wintara masih
berjalan mengitari desa itu.
"Aku bukan sebangsa setan atau jin sekalipun!
Kenapa kalian semua takut!" Pada suasana gelap dan sunyi suara Wintara bergema.
"Baik! Aku akan tetap di sini sampai kalian keluar semua!" bentak Wintara. Ia
pun duduk di sebuah balai dekat kuda putihnya tertambat.
Dalam hatinya Wintara mengutuk orang-orang
kampung. Jelas-jelas kedatangannya ke desa itu tidak ada maksud apa-apa. Ia
hanya kebetulan lewat dan
harus kemalaman di situ. Dan berharap ada seseorang
yang bersedia memberikan tempat untuk nya barang
semalaman. Tapi kenyataannya yang ia terima sung-
guh di luar dugaan. Semua orang kampung berlarian
sembunyi ketika melihat kedatangannya. Pastilah telah terjadi sesuatu di desa
ini, pikir Wintara. Belum habis pikirannya menerawang, mendengar derit pintu
bambu. Segera saja Wintara menoleh ke arah suara. Gu-
buk itu tepat di hadapannya. Pintu bambu semakin
terbuka lebar berderit. Lalu seorang anak perempuan kecil keluar dengan membawa
sebuah pelita. Anak berumur enam tahun itu melangkah menuju tiang gu-
buk, di mana pada tiang itu tergantung sebuah cem-
por. Dengan susah payah bocah itu berjingkat-
jingkat menyalakan lampu cempor. Sudah tentu usa-
hanya itu akan sia-sia. Karena lampu cempor yang tergantung di tiang jauh lebih
tinggi dari jangkauannya.
Wintara yang melihat usaha bocah berumur
enam tahun itu beranjak dari balai. Mana mungkin
anak sekecil itu sanggup melakukannya" Dan yang
pasti akan berbahaya untuk anak kecil itu. Kenapa tidak orang tuanya saja yang
menyalakannya. Bocah kecil itu langsung berbalik dengan
menggigil ketakutan setelah melihat Wintara berada di dekatnya.
"Cah ayu.... Kau hendak menyalakan pelita itu, bukan?" Wintara tersenyum. Tapi
anak perempuan itu malah mundur ketakutan. Pendekar Kelana Sakti ber-jongkok
menghadapi. Ia menatap kedua bola mata
yang berapi-api penuh keberanian. Dan Wintara pun
berusaha seramah mungkin agar anak itu tidak ber-
prasangka buruk.
"Jangan takut, paman akan membantumu me-
nyalakannya.... Kau bersedia?" Wintara mengelus-elus kedua lengan yang gemetar.
Anak itu diam membisu.
Tapi di wajahnya menunjukkan perasaan yang amat
takut sekali. "Ke marilah, paman akan menunjukkan bagai-
mana caranya...." Wintara menarik perlahan anak itu ke dalam pangkuannya. Lampu
kecil dalam genggaman gadis itu masih meletup-letup menyala. Maka
nampaklah wajah yang amat dekil dan kusam. Wintara mengangkat tubuh kecil itu.
"Siapa namamu, Cah ayu...?" tanya Wintara sambil membantu lengan kecil itu
menjulurkan pelita yang menyala ke arah sumbu lampu cempor pada
tiang gubuk. Lampu cempor langsung menyala menerangi
muka gubuk. Gadis kecil itu masih dalam gendongan Wintara. ia menatap dengan
sorot mata yang keheranan. Wintara membalasnya dengan senyuman. Men-
dadak saja.... "Siluman jahil! Lepaskan anak itu!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari arah
belakang. Wintara segera menoleh, tahu-tahu seseorang menyerang dengan
membabatkan golok ke arahnya.... Wintara yang dalam keadaan menggendong seorang
bocah sempat bergeser
ke samping. Maka sabetan golok pun terhindar. Dalam keadaan seperti itu pun
Wintara sempat membalas serangan. "Bug!" Telak sekali tendangan itu bersarang di
pinggang. Penyerang itu langsung ambruk merintih-rintih kesakitan.
"Siluman keparat! Masih kurang puaskah kau
menghirup darah orang-orang kampung ini" Sampai
berapa banyak lagi korban yang kau inginkan!" Penyerang itu bersiap lagi
mengangkat goloknya.
"Bicaramu ngawur, Sobat! Apakah rupa ku
sangat menakutkan, sehingga kau menduga aku ini iblis menghisap darah" Bicaralah
yang tenang dan baik-baik," ujar Wintara. Gadis kecil dalam gendongannya
memeluk erat leher pendekar itu.
"Tenanglah, Cah ayu.... Kau tak perlu takut...."
bisik Wintara. "Siluman laknat! Dia hanya seorang bocah yang tidak tahu apa-apa! Kalau saja kau
membawanya, aku akan mengadu jiwa dengan mu!" Kali ini serangannya lebih garang.
Babatan goloknya berkelebat ke sana ke mari. Wintara yang masih menggendong anak
perempuan itu tidak sempat menurunkannya.
Tapi ia cukup tangkas berkelit menghindari ba-
batan-babatan golok. Sekali babatan golok menyambar di kepalanya, Wintara cukup
menangkis dengan kedua jarinya, maka...."Trak!" Golok itu patah dua. Pemilik-nya
sendiri sampai terbengong-bengong.
"Kau hanya dikuasai perasaan emosi mu, so-
bat. Aku yakin kau adalah salah seorang penduduk
yang berjiwa ksatria. Hanya sayang kau salah menem-patkan perasaanmu."
"Ciis! Kau hanya berpura-pura siluman! Kenapa berbasa basi segala, siluman
tengik macam kau memang harus diberantas!" Orang itu maju lagi. Golok buntungnya
meski tinggal separuh masih nampak tajam berkilat. Dan berkelebat bersama
teriakannya yang menggelegar. Wintara tenang menghantam lengan itu
sampai goloknya terpental jauh. Detik itu pula tendangan Wintara maju ke
depan... "Des!" Melemparkan orang itu terbanting ke tanah. Tapi ia cepat bangkit
menatap ke arah Wintara dengan pandangan nanar
menahan sakit. "Pergilah dan jangan sampai membuat bocah
ini ketakutan!" bentak Wintara. Orang itu setelah me-rangkak beberapa langkah,
ia melarikan diri.
"Nah, kau sekarang tidak perlu takut lagi, Cah ayu." "Namaku: Dwi Langsih,
Paman... Dan aku ya-
kin, paman bukanlah siluman jahat." ketus bocah kecil dalam gendongan Wintara.
"Bagaimana kau bisa yakin, Dwi Langsih...?"
tanya Wintara dan ia menurunkan gadis kecil itu. Dwi Langsih meletakkan pelita
kecil ke atas tanah.
"Kalau paman mau membunuhnya, paman bisa
melakukan semudah paman mematahkan golok dari
tangan Kang Birun...." jawabnya tegas.
"Ah! Ternyata kau gadis cilik yang cerdik, Dwi Langsih." Wintara mengelus-elus
rambut Dwi Langsih.
Bocah itu hanya tersenyum.
"Langsih.... Langsih.... Kau bicara dengan sia-pa" Sudahkah engkau menyalakan
lampu cempor?" Keduanya menoleh ke dalam gubuk.
Dan terlihatlah seorang nenek berjalan tertatih-tatih sambil meraba-raba.
Langkahnya yang perlahan itu
menuju ke luar.
"Kita kedatangan tamu, Nek... Tamu yang luar
biasa," jawab Dwi Langsih menuntun nenek buta keluar gubuk. Nenek buta
menghentikan langkahnya. Ia tidak berani keluar melewati pintu.
"Kau terlalu gegabah, Langsih. Saat matahari
tenggelam kau tidak boleh menerima tamu sembaran-
gan. Kau tahu, siluman jahat itu selalu datang pada saat-saat begini."
"Tapi dia bukan siluman, Nek... Paman ini
hanya membantu menyalakan lampu cempor di tiang
itu." Dwi Langsih menjelaskan.
"Dia juga menghajar Kang Birun yang telah ku-
rang ajar terhadap paman ini. Nenek tak perlu takut."
"Apa yang diucapkan Dwi Langsih terlalu berle-bihan, Nek... Aku hanya seorang
pengelana yang kebetulan lewat di desa ini." Wintara ikut bersuara.
"Oh...." Nenek buta mengangguk. Tubuhnya yang bungkuk melangkah maju. Kedua
lengannya menggapai-gapai seperti ingin menyentuh pengelana
itu. Dwi Langsih membantunya. Maka telapak tangan-
nya pun dapat meraba baju kulit binatang yang dikenakan Wintara.
"Ma-masuklah.... Tidak baik berlama-lama di
luar." kata nenek buta. Ia pun dituntun ke dalam kembali oleh Dwi Langsih.
Wintara mengikuti melangkah di belakang. "Langsih, sediakan air minum buat
paman. Kau harus sopan melayani tamu." Nenek itu dituntun mendekati sebuah balai
lalu ia pun duduk di situ. Tanpa dipersilahkan Wintara langsung duduk
pada kursi yang tersandar di bilik. Dwi Langsih menu-angkan segelas air kemudian
menyodorkannya pada
Wintara. Lelaki itu menerimanya.
"Kenapa Kang Birun sampai bentrok dengan
pengelana itu, Langsih?" tanya nenek buta dengan suara parau. Kelopak matanya
yang tertutup rapat seolah-olah menatap tajam ke arah Wintara. Dwi Langsih belum
jauh dari sisi Wintara.
"Semua salah Kang Birun, Nek. Kang Birun
menuduh paman ini siluman jahat. Malah Kang Birun
menyerang lebih dulu. Untung saja paman seorang
yang berilmu tinggi... Kang Birun dibuatnya merangkak," jawab Dwi Langsih.
"Pantas saja Kang Birun mengiranya siluman.
Karena pengelana ini sangat asing di desa ini. Kau sendirikan tahu..." Siluman
jahat memang setiap kali mengambil korban di sini. Lagipula semua anak isteri
Kang Birun telah habis menjadi korban siluman itu.
Pantaslah dia menjadi kalap sekali melihat orang asing." kata nenek buta yang
nampak mulai merebahkan tubuhnya di atas balai.
"Aku rasa bukan hanya dia yang menganggap
aku siluman. Semua orang kampung ini merasa takut
dan bersembunyi ketika melihat kehadiranku, menga-
pa demikian, Nek?" Wintara bertanya heran. Nenek bu-ta seperti tersenyum dan
berpaling ke arah suara Wintara. "Menurut kabar, siluman itu dapat berganti-
ganti rupa. Wajarlah kalau mereka merasa takut terhadap orang asing yang
memasuki kampung ini."
Begitu ganaskah siluman itu?"
"Tentu saja! Semua korbannya seperti kehabi-
san darah dengan batok kepala yang berlubang sebe-
sar telapak tangan. Tapi syukurlah... Aku yang sudah renta ini belum pernah
menemuinya, hanya aku khawatir terhadap cucuku Dwi Langsih...."


Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * 3 Nenek buta menceritakan keadaan korban ke-
ganasan siluman dengan sungguh-sungguh. Padahal
kedua matanya buta. Tapi ia bisa membeberkan semua yang terjadi seperti ia
melihatnya sendiri.
"Untung siluman itu belum berpaling kepada
kami, entah esok atau lusa pastilah kami menjadi korbannya..." nenek buta
terbaring rebah seolah menerawang ke atas atap. Semuanya tetap gelap. Dwi
Langsih melangkah mendekat, lalu memijit-mijit tubuh keriput itu yang sudah
menjadi kebiasaannya setiap malam.
"Apakah kepala kampung sama sekali tidak me-
lakukan tindakan. Sebenarnya kalau seluruh pendu-
duk kampung bersatu, aku rasa mereka bisa mengata-
si kesulitan." Ucapan Wintara pelan, tapi cukup membuat nenek buta berpaling
lagi ke arahnya. Orang-
orang kampung sama sekali tidak mempunyai nyali.
Apalagi kepala kampung, dia tidak pernah mau perdu-li. Pekerjaannya hanya
ongkang-ongkang kaki di tumpukan hartanya," kata nenek itu.
"Bicara nenek terlalu kencang. Nanti terdengar orang," kata Dwi Langsih berhenti
memijit. "Mana ada orang yang berani berkeliaran di
saat begini! Kau pun harus segera tidur, Langsih. Tidak baik anak sekecil kau
ikut campur pembicaraan
orang tua." Suara nenek itu parau sekali. Dwi Langsih nunduk terdiam, ia
melangkah lesu ke sudut ruangan yang sudah tersedia sebuah tikar untuknya
berebah. Wintara memandangi keluguan gadis kecil itu.
Sekarang gadis kecil itu telungkup di atas tikar. Sebentar saja dengkurnya sudah
mengalun menyusul.
Lelaki pengelana masih duduk bersandar pada
bangku kayu. Air dalam gelas bambu masih utuh.
Wintara meletakannya di atas meja sebelahnya. Tu-
buhnya sudah nampak letih betul, dan ia memang per-lu beristirahat.
"Maaf, anak muda. Aku tidak memiliki perse-
diaan tikar. Kau bisa tidur di kursi itu bukan...?" kata nenek itu acuh.
Tubuhnya tetap terlentang. Mulutnya menganga perlihatkan gusinya yang mengkilat
tanpa sebutir gigi. "Tak apa. Ini sudah lebih dari cukup. Nek... Malah aku telah mengganggu
ketenangan di sini. Besok pun pagi-pagi sekali aku harus pergi dari kampung
ini." "Kenapa harus buru-buru" Tidak inginkah kau
mengungkap malapetaka ini?"
* * * Suasana malam di pedalaman yang dipenuhi
hutan belukar, di mana pohon-pohon berdiri tegar bagai raksasa nampak ramai.
Orang-orang bertelanjang dada banyak berdatangan memenuhi suatu tempat.
Empat api unggun yang meletup-letup sejak tadi sore sudah menyala. Sekeliling
tempat itu penuh sesak
dengan manusia-manusia bertelanjang dada. Seper-
tinya mereka tengah menunggu sesuatu.
Di tengah-tengah kerumunan itu terlentang so-
sok tubuh penuh luka memar. Tubuh itu terlentang di atas tumpukan gedebong-
gedebong pisang yang dis-usun rapi. Di bawahnya bertaburan bara-bara api yang
menggarang sosok tubuh terlentang itu.
Setumpukan daging yang sudah terpotong-
potong membukit beralasan pelepah-pelepah daun pi-
sang berada pada tiap-tiap api unggun. Beberapa
orang pun siap membakar daging-daging itu. Dan se-
mua orang yang mengerumuni tempat itu seperti tidak sabar menunggu kenikmatan
daging bakar. Tiba-tiba
saja keriuhan itu mendadak berhenti. Dalam suasana sepi itu terdengar beberapa
orang meniup terompet da-ri tanduk, juga terdengar suara genderang yang berta-
lu-talu. Tanda aba-aba itu bersumber dari atas pohon.
Tapi semua orang yang mengerumuni tempat
itu seperti mengerti akan aba-aba yang menguman-
dang itu. Maka dengan serempak kerumunan itu lang-
sung bergeser. Dari keluangan itu muncullah beberapa orang melangkah cepat.
Mereka langsung menuju ke
tengah lapangan di mana sosok tubuh tergarang di
atas susunan gedebong pisang.
"Semuanya sudah dipersiapkan?" Suara Rowok Tunggel memecah kesunyian. Seseorang
yang berdiri di sebelahnya menganggukkan kepala. Dua orang lagi
yang ada di belakangnya berjalan mendekati sosok terlentang itu.
"Balur seluruh tubuhnya dengan daun-daun ja-
rak. Dan juga sediakan darah anjing hutan secepat-
nya." Kedua orang itu menuruti perintah Rowok Tunggel.
"Siapa pun orang ini kita harus berusaha me-
nyelamatkannya. Kalau saja orang ini bisa hidup, itu berarti warga pedalaman
lereng Ungaran bertambah
satu." kata Rowok Tunggel sambil melangkah ke arah dua orang itu. Di hadapannya
sebuah pendulangan
besar tersedia berisi cairan kental berwarna merah.
Rowok Tunggel mencelupkan kedua lengannya ke da-
lam pendulangan. Maka begitu ia menarik ke luar
kembali, kedua lengannya telah berlumuran darah anjing hutan.
Semua mata yang memandang mengelilingi
menyaksikan Rowok Tunggel membasuh mukanya
dengan darah. Wajah yang penuh berewok makin tam-
pak menyeramkan. Lalu ia membalur seluruh tubuh-
nya dengan sisa-sisa darah yang masih tersisa di kedua lengannya. Dua orang yang
tadi ikut membantu
segera menyingkir. Membiarkan Rowok Tunggel berdiri sendiri menghadap sosok yang
terlentang itu Orang-orang yang berdiri berkeliling tempat itu serempak
membacakan mantra saat Rowok Tunggel mengangkat
kedua lengannya ke atas. Maka terdengarlah seperti raungan harimau yang memenuhi
seisi pedalaman.
Mereka yang sesungguhnya penduduk suku pedala-
man Lereng Ungaran memang tengah mengadakan
'Upacara Penyembuhan' terhadap seseorang yang di-
temuinya tersangkut di atas pohon.
Dalam 'Upacara Penyembuhan' itu tidak diper-
kenankan seorang perempuan ataupun anak-anak
menghadirinya. Namun begitu mereka tidak boleh me-
nampakkan diri sama sekali. Andaikata ada salah seorang perempuan ataupun anak
kecil sempat turun ke
tempat upacara, maka dukun yang memimpin
'Upacara Penyembuhan 'seperti Rowok Tunggel, tidak bisa menyelamatkan pasiennya.
Itulah sebabnya mereka yang hadir hanya kaum lelaki. Mereka nampak
mengeluarkan serentetan rapalan mantra. Makin lama mantra-mantra itu keras dan
cepat. Tubuh mereka
bergerak-gerak mengeluarkan suara yang beraturan.
Rowok Tunggel sendiri berteriak-teriak nyaring me-
nyaingi raungan para pengikutnya.
Sesaat kemudian Rowok Tunggel mengangkat
pendulangan yang berisi darah anjing hutan. Dan saat ia berjalan berkeliling
membawa pendulangan itu, semua pengikutnya membacakan mantra sekuat-
kuatnya. Sehingga seperti teriakan-teriakan yang me-nyayat. "Bres... Bres...
Bres...!" Rowok Tunggel menyi-ram berkali-kali sosok yang ditutupi dengan
dedaunan jarak. Seluruh cairan darah tertumpahan habis, dengan begitupun rapalan
mantra berangsur-angsur per-
lahan. Untuk kemudian menghilang membuat seisi pe-
dalaman nampak sunyi. Semua orang yang berderet
menatap dengan pandangan dalam. Dan tiba-tiba saja orang-orang itu menyingkir
menjauh. Rowok Tunggel
mendadak melesat ke atas. Tubuhnya berjumpalitan di udara. Ketika ia turun ke
tanah, mulutnya menyemburkan sesuatu.
"Bruuuus... Blaaaaar!" Bara api yang menggarang sosok terlentang itu mendadak
berkobar. Api menjilat-jilat gedebong-gedebong pisang. Sekitar tempat itu menyengat hawa
panas. Tapi begitu Rowok Tunggel menyembur lagi, api
yang tadi berkobar-kobar mendadak padam. Lalu
orang-orang kembali berkerumun sambil melanjutkan
mengeluarkan rapalan mantra.
Daun-daun jarak yang menutupi sosok tubuh
terlentang berjatuhan ke tanah. Rapalan mantra ma-
kin santer terdengar. Saat itu pun sosok terlentang itu mendadak bangkit...
"Wuaaaaa...! Panas! Panaaaas!" Ia langsung berjingkat-jingkat di atas susunan
gedebong-gedebong pisang. Bekas-bekas luka memar sudah tidak nampak
lagi. Sosok itu melompat ke bawah memandang bara
api yang mengepulkan asap hitam.
"Bangsat! Api apa ini!" hardiknya. Suaranya tenggelam dalam keriuhan orang-orang
yang membacakan mantra. Dia memandang berkeliling.
"Kalian kira aku ini daging panggang" Wuah-
wuah... Rupanya aku terjebak oleh segerombolan siluman pemakan daging!"
"Bukan! Kami bukan bangsa siluman! Tapi su-
ku pedalaman bangsa Bajor yang menyelamatkan an-
da!" Rowok Tunggel melangkah mendekat.
"Rupa kalian begitu buruk. Pastilah kalian
penghuni neraka! Yah...! Tidak salah Pasti aku sudah berada di neraka... ahh,
nasib." Sosok itu duduk nge-deprok. Rowok Tunggel memandang aneh, ia merasa
ada sesuatu yang ganjil.
"Anda telah sembuh dari kematian, dan juga
bukan berada di neraka." "Bohong! Buktinya api neraka banyak sekali bertebaran
di sini." katanya sambil menunjuk ke arah bara api dan keempat api unggun
yang berada di setiap sudut. Orang-orang yang berada di situ menahan senyum.
Tempat itu mulai ramai.
Kaum perempuan dan anak-anak banyak yang berda-
tangan. Mereka berani ke tempat itu karena 'Upacara Penyembuhan' telah selesai.
Dan menganggap Rowok
Tunggel berhasil menyembuhkan pasiennya.
"Semua perkiraan anda salah. Kami cuma seke-
lompok kecil suku pedalaman bangsa Bajor. Yang kau
sebut api neraka itu hanyalah beberapa unggun sebagai penerang. Sewaktu kami
berburu, anda kami te-
mukan tersangkut tak sadarkan diri. Kalau saja kami terlambat menemukan anda,
mungkin anda benar-benar telah berada di neraka." Rowok Tunggel menjelaskan.
Sosok itu bergidik lalu bangkit.
"Jangan menakut-nakuti aku. Tahukah kalian,
aku pernah bertarung melawan raksasa angin juga badai pasir... Cuma aku tidak
ingat siapa yang menang dan yang kalah." ucap sosok itu sambil menunjukkan mimik
muka yang sedih. Sudah tentu hal itu menjadi bahan tertawaan orang-orang yang
berada di sekelilingnya. Bagaimana tidak. Ucapannya yang selalu
ngawur dan tidak masuk di akal sehat itu cukup
menggelitik perut mereka.
Siapa yang akan percaya akan ucapannya itu"
Segala menyebut-nyebut pernah bertempur melawan
raksasa angin, badai pula... Anak kecil pun tidak akan percaya. Rowok Tunggel
sendiri hampir tidak tahan
melepaskan tawanya. Dari situ ia mempunyai kesim-
pulan, bahwa orang yang mereka selamatkan tidak lain orang yang menderita sakit
ingatan. Namun begitu ia tidak menyesal menyelamatkannya.
Rowok Tunggel memberikan aba-aba kepada
orang-orang agar segera tidak menertawakannya lagi.
"Kalau memang anda pernah bertarung dengan
semua itu, tentunya anda masih ingat dari mana anda berasal dan juga tentunya
mempunyai nama, bukan...." "Oh, tentu saja punya, dong... Mula-mula aku memang
tidak punyai nama, tapi setelah bertemu de-wa, ia memberi ku nama Siluman Baik.
Senang sekali aku mendapatkan nama itu. Namun tak lama 'Dewa'
mengganti sebutan itu menjadi: Umbara Komang. Ku-
pikir lebih bagus daripada menyandang nama Siluman
Baik." kata sosok sinting yang tak lain dari Umbara Komang. Rowok Tunggel
manggut-manggut.
"Lalu di mana kampung halamanmu"!"
Belum Umbara Komang menjawab, terdengar
terompet nyaring bersahutan di atas ketinggian sebuah pohon. Orang-orang yang
mendengar suara itu langsung lari berserabutan. Tempat itu jadi kalang kabut
seketika. Masing-masing menaiki tangga yang menuju ke atas ke gubuk mereka.
Rowok Tunggel dan Umbara Komang merasa
terkejut dengan keadaan yang hiruk pikuk itu. Dukun Suku Bajor berusaha untuk
menenangkan suasana,
tapi bagaimana mereka bisa tenang! Orang-orang itu tetap berlarian menuju tangga
tali saling berebutan.
Mendengar suara terompet tadi, bukan berarti
Rowok Tunggel tidak mengetahui arti aba-aba yang
merupakan tanda bahaya. Tapi bagi Umbara Komang
ia hanya berdiri tenang-tenang saja...
"Tentunya itu suara panggilan Malaikat. Tuhan untuk menghukum kita... He he
he... Rasain! Kalian memang pantas dihukum, siluman-siluman jahil!" teriak
Umbara Komang. Rowok Tunggel tidak memper-
dulikan ocehannya.
"Heii... Siluman Bewok! Kenapa kau tidak lari seperti siluman-siluman itu?"
Umbara Komang menarik lengan Rowok Tunggel.
"Tolol! Kau harus menyelamatkan diri!" Bersamaan dengan itu Rowok Tunggel
melemparkan tubuh
Umbara Komang ke atas.
Tiba-tiba saja tubuh itu melayang dan hinggap
dia antara cabang pohon. "Diam di situ!" bentak Rowok Tunggel.
Sementara itu orang-orang masih berhambu-
ran. Banyak anak-anak yang tertinggal memanjat
tangga tali. Sedangkan di belakang mereka seekor sin-
ga meraung-raung melangkah mengincar mangsanya
yang berlarian menyelamatkan diri. Para lelaki berge-layutan menyambar anak-anak
mereka yang berada di
bawah. Jerit tangis ketakutan membisingkan telinga.
Bersamaan dengan itu pula raungan singa menggetar-
kan jantung orang-orang yang berada di situ.
Rowok Tunggel melompat menghadapi singa
yang melangkah makin dekat. Dengan sebatang tom-
bak ia berusaha menghalaunya. Tapi bagi singa yang tengah kelaparan tidaklah
berarti apa-apa. Singa itu menunjukkan giginya yang putih mengkilat setajam
mata pisau. * ** Belasan anak panah beserta beberapa tombak
meluncur deras dari atas pohon. Menghujani tepat ke tubuh singa yang siap
menerkam Rowok Tunggel. Singa itu seperti kelabakan menghadapi hujan senjata-
senjata itu. Namun tidak satu pun yang dapat melu-
kainya. Raungannya makin keras. Anak-anak panah
makin deras pula menghujani.
Sementara makhluk liar itu sibuk mengamuk
mengatasi anak-anak panah, Rowok Tunggel tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia melempari satu
persatu para anak kecil maupun orang-orang dewasa
ke atas gubuk di atas pohon. Gubuk-gubuk mereka
memang sengaja didirikan di atas pohon, dan itu memang salah satu kebudayaan


Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suku pedalaman Bangsa
Bajor. Melihat mangsa-mangsanya beterbangan ke
atas, singa itu tidak lagi memperdulikan serangan-
serangan dari atas. Lagi pula panah dan ujung tombak tidak cukup kuat untuk
menembus kulitnya yang alot
laksana karet... Dengan raungan yang sangat menye-
ramkan makhluk itu melompat menerjang.
Sekalipun Rowok Tunggel sibuk menyela-
matkan para anak buahnya, tapi perhatiannya tidak
pernah lepas dari sosok makhluk ganas yang kini menerjang ke arahnya. Maka saat
kedua kaki makhluk
berkuku runcing menyambar, Rowok Tunggel merun-
duk ke bawah. Terjangannya luput. Namun sosok
makhluk itu masih mendapatkan sasaran lain, yaitu
seorang lelaki yang berdiri di belakang Rowok Tunggel.
Lelaki itu berteriak-teriak dengan tubuh yang
mulai terkoyak oleh kuku-kuku runcing. Dan saat giginya yang runcing
menggerogoti bagian perut, orang itu mati dengan seketika.
Meskipun tindakan Rowok Tunggel terlambat,
ia tidak membiarkan makhluk ganas itu menggerogoti mangsanya. Dengan terjangan
yang sangat dahsyat la-ki-laki berewok segera melompat ke punggung. Sebelah
tangannya mencekik leher. Singa itu meraung meronta-ronta. Pergumulan sengit tak
terelakan lagi. Beberapa pukulan Rowok Tunggel menghantam ke tulang ru-
suk, namun makhluk ganas membalasnya dengan ca-
karan-cakaran yang merobek di paha Rowok Tunggel.
Sedikitnya Rowok Tunggel merasa kewalahan
mengatasinya, ia merasa lebih baik menghadapi puluhan orang dari pada seekor
singa jantan seperti sekarang ini. Tenaga seekor singa lebih kuat dari pada
seorang pendekar sakti manapun. Rowok Tunggel sendiri harus terbanting dari
punggung makhluk ganas itu.
Padahal seluruh tenaganya telah dikerahkan untuk
mematahkan tulang lehernya. Dan singa itu makin ter-giur saat melihat mangsanya
jatuh berdegum di tanah.
Puluhan pasang mata menyaksikan makhluk itu me-
nerjang disertai raungan yang dahsyat. Mereka sudah menduga Rowok Tunggel pasti
tidak akan sanggup
menghindari terjangan yang begitu cepat.
Detik itu sekelebat bayangan melesat dari atas
pohon meluncur ke bawah. Semua orang yang berada
di atas pohon tidak menyangka, kalau sosok bayangan itu adalah seorang yang
dianggap kurang waras. Siapa lagi kalau bukan Umbara Komang!
Kedua tinju Umbara Komang menghantam te-
lak ke tulang rusuk... "Kraaak!" Makhluk itu terbanting ke samping. Sebelumnya
kuku-kuku yang runcing
sempat menyerempet ke dada Rowok Tunggel. Laki-laki berewok ini tidak percaya
Umbara Komang bisa melakukannya. Kedua matanya sempat terbelalak saat sin-ga itu
bangkit menerjang ke arah Umbara Komang
yang berdiri tenang menantang.
Tenang sekali Umbara Komang menyambut
dengan mengangkat sebelah tinjunya. Meskipun perlahan tapi cukup membuat makhluk
itu meraung me-
lengking. Hantaman itu tepat mengenai tenggorokan.
Saat itu pula Umbara Komang menambahkan hanta-
mannya ke bagian kepala. Kali ini kedua lengannya
disertai dengan tenaga penuh... "Praaak!" Batok kepala makhluk itu berderak.
Raungannya makin lemah. Sesaat kemudian
tubuhnya berdiri limbung. Umbara Komang bermak-
sud melancarkan serangan lagi, tapi makhluk itu keburu ambruk ke tanah dengan
batok kepala yang re-
muk. Suasana tempat itu kembali sunyi. Hanya letup-letup api unggun yang mengisi
kebisuan itu. Beberapa pasang mata menatap tidak percaya dari ketinggian
sebatang pohon. "Apakah dia juga salah satu penghuni neraka?" Umbara Komang
menendang tubuh singa
yang sudah tak bernyawa. Tendangan itu pun sangat
luar biasa! Mampu menggeser bangkai binatang itu
sampai di hadapan Rowok Tunggel. Lelaki berewok sulit menjawabnya. Dia hanya
kagum akan kehebatan
Umbara Komang. "Sudah kukatakan, bahwa kita ini bukan di ne-
raka, Siluman Umbara Komang. Makhluk itu seekor
binatang buas pemakan daging. Untung kau telah
mengatasinya... Tidak kusangka kau demikian hebat!
Pantas ketika aku melemparkan dirimu ke atas pohon terasa sekali tubuhmu begitu
ringan." "Aku bukan Siluman Umbara Komang. Cukup
Umbara Komang saja! Tidak pakai embel-embel!"
"Umbara Komang!" Rowok Tunggel mengulangi.
"Ya, begitu. Kedengarannya merdu." Umbara Komang melipat tangannya di dada.
"Sekarang nasib kami tergantung padamu...
Secara tidak langsung kuserahkan jabatanku untuk
menguasai Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Kau memi-
liki kepandaian yang sangat hebat, aku bersama yang lainnya akan mengabdi sampai
akhir hayat," Rowok Tunggel menunduk seperti menyembah.
"Sudilah kiranya kau memimpin kami di sini...."
Melihat Rowok Tunggel menyembah-nyembah Umbara
Komang, orang-orang yang berada di atas pohon ber-
loncatan ke bawah. Mereka semua turun sampai tidak ada yang tersisa. Hanya kaum
perempuan dan anak-anak yang tetap tinggal di atas gubuk. Para lelaki itu
berbaris di belakang Rowok Tunggel. Mereka pun mengikuti apa yang dilakukan
Rowok Tunggel. "Aku tidak mau memimpin para siluman. Lagi
pula siapa yang sudi tinggal di neraka jahanam. Aku mau pergi saja!" cetus
Umbara Komang. "Kami akan tetap mengikutimu, Umbara Ko-
mang," jawab Rowok Tunggel.
"E, Ehhh... Badung. Kalau memang mau mema-
tuhi perintahku, coba sediakan makanan untukku.
Dari tadi perutku sudah keroncongan," katanya men-guji.
"Kalau cuma itu permintaanmu kami akan
memenuhinya sekarang juga," kata Rowok Tunggel, ia pun memberi aba-aba dengan
kedipan matanya kepada dua orang yang berlutut di sampingnya. Dan kedua orang
itu pun melangkah menuju api unggun di mana
di situ telah tersedia setumpukan daging. Umbara Komang mengawasi kedua orang
itu. Hidungnya kem-
bang kempis mencium bau amis. Apalagi setelah dua
orang itu mulai membakar daging-daging itu. Perut Umbara Komang makin melilit.
"Hebat! Rupanya kalian sengaja memper-
siapkan untukku." kata Umbara Komang tersenyum.
Rowok Tunggel mengangguk, lalu ia memberi aba-aba
lagi dengan tepukan tangan. Maka seluruh orang yang berdiri di sekelilingnya
berjalan memutar membuat
lingkaran. Kemudian mereka duduk bersila mengelilin-gi Umbara Komang dan Rowok
Tunggel yang saling
berhadapan. Wangi daging bakar makin santer membuat
duduk Umbara Komang tidak tenang. Sebentar-
sebentar ia menoleh ke arah api unggun. Beberapa perempuan nampak turun dari
atas pohon di mana tem-
pat tinggal mereka. Tiga perempuan itu masing-masing membawa dua gelondong bambu
yang berisikan tuak.
Rowok Tunggel menyambutnya saat mereka tiba di si-
tu. "Selama menunggu daging bakar, kita bisa me-
nikmati tuak... Silahkan diminum Umbara Komang."
kata Rowok Tunggel ketika seorang perempuan menye-
rahkan dua gelondong bambu itu.
"Aha ha ha ha... Terima kasih! Terima kasih...!
Aku suka sekali. Wuah... harumnya... Baru kali ini aku menemukan tuak sewangi
ini." Umbara Komang me-nunggingkan gelondongan bambu itu ke mulutnya.
Suasana pedalaman yang gelap itu kembali te-
rang. Wangi daging bakar menyebar dimana-mana.
Orang-orang yang duduk bersila berkeliling itu ramai membicarakan kehebatan
Umbara Komang. Sedikitnya
mereka mengharap agar laki-laki senewen itu mau
memimpin Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Selama ini
Rowok Tunggel memang memimpin mereka. Dan seka-
rang mereka menganggap Umbara Komang jauh lebih
sakti dari Rowok Tunggel. Rowok Tunggel sendiri berusaha membujuknya agar Umbara
Komang mau me- mimpin mereka. Umbara Komang mendapat jatah daging bakar
lebih dulu. Jatahnya lebih banyak daripada yang dibe-rikan kepada Rowok Tunggel.
Kedua orang yang selesai membakar daging itu berjalan membagikannya pada
orang-orang yang duduk bersila melingkar.
Rakus sekali Umbara Komang menggerogoti
daging bakar. Kelucuan yang nampak itu membuat pa-
ra perempuan dan anak-anak yang berada di atas po-
hon tertawa tergelak-gelak. Merekapun segera turun membawakan tuak untuk para
suaminya. Mereka dan
anak-anaknya juga mendapat bagian.
Daging ini sebenarnya tidak enak, lumayan un-
tuk dijadikan isi perut di saat lapar begini...." Umbara Komang menyantap rakus.
"Ya-ya memang lumayan. Bagi kami sudah ter-
biasa mengisi perut selama ada yang bisa dimakan...
Masih kurang" jawab Rowok Tunggel sekaligus mena-
warkan. "Kalau masih ada, boleh!" jawabnya cepat. "Eh, Rowok Tunggel sedari tadi aku
tidak melihat kuda mi-likku... Kau taruh mana dia...." sambungnya lagi.
"Maaf, Umbara Komang. Yang kau makan itu
adalah kudamu." Rowok Tunggel tidak berani menatap. Mendengar itu, daging bakar
di mulut Umbara
Komang keluar lagi.
"Apa"... Aduh gusti...! Kuda itu pemberian seorang raden! Kalian benar-benar
siluman keparat!" Umbara Komang menghardik marah.
"Terpaksa Umbara Komang!... Terpaksa! Kami
menemukannya telah mati sekarat di saat kami berbu-ru. Begitu juga dengan kau.
Sama sekaratnya dengan kuda milik mu." Rowok Tunggel gemetar menjelaskan-nya.
Rasa takutnya bukan karena Komang memiliki
ilmu setinggi langit, tapi karena Umbara Komang sekarang menjabat sebagai
pemimpin Suku Pedalaman Ba-
jor. Rowok Tunggel hanyalah orang kecil di bawah Umbara Komang. Karena dia tidak
memiliki ilmu yang
langka dikuasai orang.
"Ah! Aku baru ingat! Pastilah angin raksasa dan badai pasir telah mengalahkan
aku di saat bertempur!
Hiii... Ngerinya! Jangan-jangan angin raksasa dan badai pasir akan datang ke
sini! Wuaaaaa... Aku takut!"
Tiba-tiba saja Umbara Komang lari menjauh. Gera-
kannya yang gerabak gerubuk membuat orang-orang
di sekitarnya menjadi terkejut. "Aku tidak mau lagi bertemu dengan dua laknat
itu. Hiiii! Siapa pun tidak ada yang sanggup mengatasi mereka!" Lari Umbara
Komang makin cepat.
"Umbara Komang...! Tunggu...!" Rowok Tunggel menyusul. Begitu juga dengan
lainnya. Tempat itu jadi riuh oleh derap langkah yang
serabutan. Mereka semua mengejar sang pemimpin
baru. Umbara Komang tidak memperdulikan orang-
orang yang berlari mengejar di belakangnya. Malah ia mempercepat larinya dengan
ilmu peringan tubuh. Ba-gi Rowok Tunggel, ia bisa mengimbangi dengan kecepatan
larinya. Tapi bagi orang-orang yang mengikuti mereka di belakang cukup
kewalahan. Untuk itulah Ro-
wok Tunggel memberi tanda agar mereka bisa mengi-
kuti. "Siluman-siluman brengsek! Apa-apaan mengi-
kutiku! Pergi! Bikin susah saja!"
"Sekarang kau ketua kami, Umbara Komang!
Bagaimana pun kami harus ikut kau!"
* * * "Ni Klesung Rangit...! Ni Klesung Rangit...!" teriak salah satu orang yang
mengerumuni gubuk kecil itu. Semua mata mengarah pada pintu bambu yang
tertutup rapat. Orang-orang semakin ramai berdatangan ke tempat itu. Dan
menyaksikan sosok mayat tergeletak di depan pintu bambu tersebut. Sosok itu
jasad Kang Birun. Tubuhnya biru seperti kehabisan darah
dengan kepala berlubang sebesar telapak tangan. Bau amis seperti busuk
menyengat. "Pastilah Ni Klesung Rangit dan cucunya Dwi
Langsih sudah tewas seperti Kang Birun... Karena sejak tadi kita berteriak-
teriak mereka tidak keluar juga."
Penduduk yang lain menimpali.
"Ni Klesung Rangit...! Apakah kalian baik-baik saja?" Mereka berteriak lagi. Di
antara kerumunan itu berdiri sosok kepala kampung, Ki Sangga Wana. Ia
menatap tajam gubuk itu. Pikirannya sama dengan pa-ra penduduk lainnya. Ia sudah
menduga kalau terjadi sesuatu atas diri Ni Klesung Rangit dan cucunya. Ia pun
sudah membayangkan kematian mereka pasti serupa dengan yang dialami Kang Birun.
Kehabisan da- rah dengan batok kepala berlubang. Tapi mendadak
saja semua mata mereka terbelalak dengan mulut
menganga. Betapa tidak. Pintu bambu itu berderit terbuka. Dari dalamnya keluar
seorang nenek buta terbungkuk-bungkuk dituntun oleh anak perempuan be-
rumur lima tahun. Namun setelah melihat sosok
mayat yang tergeletak di depan pintu, anak perempuan itu berlari ke belakang
nenek buta, ketakutan.
"Syukurlah kau tidak kurang satu apapun, Ni
Klesung Rangit... Kami sudah khawatir terhadap ka-
lian...." ujar Ki Sangga Wana sang kepala kampung.
* * * 5 Wajah Ni Klesung Rangit berubah kecut, sebe-
lah lengannya yang keriput memeluk Dwi Langsih yang masih memalingkan wajahnya
di belakang nenek buta.
"A-ada apa, Ki Sangga Wana...?" tanya Ni Klesung Rangit tergagap. Ia kenal betul
dengan suara orang yang berdiri di hadapannya.
"Kang Birun tewas disantap siluman itu, Ni...
Mayatnya tergeletak di sini. Apakah...." Kata-kata Ki Sangga Wana belum habis,
dari gubuk itu keluar sosok Wintara. Ia langsung berdiri di belakang Ni Klesung
Rangit. Ia juga tersentak kaget menatap sosok mengerikan terkapar di hadapan
pintu. Yang lebih heboh lagi terhadap orang-orang
kampung. Mereka berjingkat kabur setelah melihat
Wintara keluar dari gubuk.
Sejak kemarin sore mereka memang takut akan
kehadiran Wintara di kampung itu. Apalagi sekarang telah jatuh korban. Rasa
takut mereka makin bertambah. Tapi Wintara tetap tenang menatap Ki Sangga
Wana. "Pemuda asing... Aku cenderung kaulah yang melakukan ini. Tentunya kaulah
yang selalu mengambil korban dari penduduk desa ini! Sekarang perbua-
tan busukmu sudah ketahuan. Kau harus menebus
dengan nyawa anjingmu!" Ki Sangga Wana mencabut keris dari pinggangnya. Nampak


Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali keris itu me-mancar sinar keemasan. Meskipun Ni Klesung Rangit
tak dapat melihat, ia sudah dapat menduga apa yang bakal terjadi. Maka ia
melangkah menghalangi.
"Sabar... Sabar...! Kalian sudah salah menu-
duh. Wintara bukanlah bangsa siluman yang kita ta-
kuti selama ini. Ia hanya seorang pengelana yang kebetulan singgah di sini.
Kalian saja yang berpikiran buruk." sergah Ni Klesung Rangit.
"Betul. Paman Wintara bukan orang jahat." Dwi Langsih ikut membela.
"Lalu apa artinya mayat Kang Birun tergeletak di depan gubukmu" Pantas saja
kalian tidak dapat melihat rupa siluman itu, karena kalian buta semua!" Ki
Sangga Wana geram. Kerisnya yang mencereng terhunus ke atas.
"Begitu burukkah rupa ku..." Sehingga kau ya-
kin akan ketololan kedua insan ini! Ni Klesung Rangit memang buta. Tapi begitu
yakin akan ketajaman mata hatinya. Daripada kalian yang sebenarnya melek tapi
memiliki pikiran yang sangat rendah!" jawab Wintara tenang. "Bangsat!" Tentu
saja Ki Sangga Wana menjadi sangat marah. Kerisnya meluncur di depan. Desiran
anginnya membersit. Wintara yang sudah terlanjur
menghadapi melesatkan tubuhnya ke atas. Keris Ki
Sangga Wana terus berkelebat mengikuti.
"Paman... Jangan berkelahi!" pekik Dwi Langsih.
"Tenang, Langsih. Wintara pasti bisa mengatasi kecongkakan Ki Sangga Wana!"
bentak Ni Klesung Rangit. Dwi Langsih mendadak merungkut.
Orang-orang kampung menyaksikan bagaimana
Wintara berkelit menghindari setiap tusukan keris
yang menjurus mematikan. Mereka tidak berkedip ba-
rang sekejap pun. Dan mengharap setiap tusukan ke-
ris menancap di tubuh lawan Ki Sangga Wana Saat itu Ki Sangga Wana benar-benar
mengerahkan seluruh
kemampuannya, dan ternyata kepala desa itu memang
hebat. Setiap serangannya nyaris melukai Wintara.
Pendekar Kelana Sakti masih menimbang-nimbang
agar ia tetap berkepala dingin. Setiap gerakannya terlihat selalu menghindar.
"Ha ha ha ha... Kau takut menghadapi keris pe-rakku, siluman. Sebentar lagi
perut mu akan robek!"
bentak Ki Sangga Wana, tusukan kerisnya menyambar
bagian muka. Wintara harus cepat merunduk. Bersa-
maan itu pula tendangan Ki Sangga Wana menjurus
deras. Disertai dengan sebuah bentakan, Wintara
mengangkat lengannya ke atas. Bukan main kerasnya
benturan tendangan itu. Kiranya kepala kampung itu bukan sosok kosong tanpa
ilmu. Melihat dari jurus-jurus yang dilancarkannya, Wintara sudah bisa men-
gukur. Namun hal itu bukanlah berarti Ki Sangga Wa-na berada di atas kemampuan
Pendekar Kelana Sakti.
"Mampus keparat sialan!" Keris perak menusuk berkali-kali. Wintara lincah
mengelak. Tindakannya itu seperti mengejek.
"Aku bukannya takut mati, Ki... Tapi masih
sayang dengan nyawaku yang hanya selembar." kata Wintara sambil menepis tusukan-
tusukan keris. "Jangan hanya mengelak! Tunjukkan semua
kebolehan mu, penghuni neraka!" Bersamaan dengan ucapannya, Ki Sangga Wana
lancarkan tinjunya dengan telak. Kalau hanya sebuah tinju, Wintara tidak perlu
mengelak. Ia sengaja membiarkan tinju itu mengenai dadanya. Tapi sesaat kemudian
tubuh Ki Sangga Wana mencelat ke belakang. Pekikannya nyaring saat
tubuhnya berdegum di tanah. Tapi ia siap bangkit
mengarahkan kerisnya lagi. Amarahnya sudah meluap, mukanya nampak memerah.
Begitu melihat Ki Sangga Wana maju mener-
jang, Wintara sempat melihat langkah-langkah yang
gemetar. Ia pun sudah menduga kalau kepala kam-
pung sudah terluka akibat terbanting tadi. Namun se-dikitnya Wintara cukup
mengerti akan kekerasan hati Ki Sangga Wana. Semuanya hanya menunjukkan sifat
kesombongan. Mungkin karena hanya dia yang beril-
mu tinggi di desa itu.
Tusukan-tusukan kerisnya serba ngelantur dan
tak terarah. Dan ternyata Wintara cukup bosan me-
layaninya. Sekali ia bergeser ke samping kakinya menyapu ke bawah...
"Sreeeet... Blaaaak!" Untuk kedua kalinya Ki Sangga Wana terbanting. Keris dalam
genggamannya terlepas. Dan dia sendiri tidak dapat bangkit lagi. Mulutnya menyeringai menahan
sakit. "Aku cukup menghargai ketangkasan mu, Ki
Sangga Wana. Tapi sayang... Kepandaian disertai dengan kesombongan tidak akan
sejalan. Bagaimana kau
bisa mengalahkan siluman yang selalu mendatangi de-sa ini" Kalau kau sendiri
tidak dapat membedakan-
nya.. Aku memang orang asing di sini. Untuk itu
maafkanlah atas kekurangajaran ku tadi." Wintara memandangi Ki Sangga Wana
kepayahan berusaha
bangkit. "Aku dapat melihat dari sinar matamu, bahwa
kau sendiri pun menyesalinya. Tak apa, Ki. Aku bisa menjadi bulan-bulan orang."
Ki Sangga Wana tidak bermaksud mendengar
ucapan Wintara. Dirinya merasa malu sekali di hadapan orang-orang kampung. Itu
pun lebih bagus! Un-
tung lawannya itu tidak sungguh-sungguh menghada-
pinya. Ki Sangga Wana sendiri harus mengakui akan
kesalahannya. Tidak semestinya ia bertindak se kasar itu. Apalagi ia seorang
kepala kampung. Tapi semua itu bisa dimaklumi oleh Wintara. Desa itu memang
sedang kalut. Jadi ia cukup mengerti dengan perasaan orang-orang kampung. Hanya
saja Wintara masih tidak mengerti mengenai adanya siluman jahat yang selalu
mengambil korban. Diam-diam Wintara menyusun
rencana untuk membuktikan kekalutan yang selama
ini menjadi keresahan penduduk desa.
"Rasanya tidak pantas lagi kalau aku berlama-
lama di sini. Aku tidak ingin membuat seluruh orang kampung panik. Anggap saja
kalian tidak pernah melihat kehadiran ku." Setelah berkata begitu, Wintara
melangkah mendekati Ni Klesung Rangit yang masih berpegangan pada cucunya.
Orang-orang kampung tidak
ada yang berani mengeluarkan suara. Ki Sangga Wana mengelus-elus pinggangnya
yang nyeri. Ia tidak tahu apa yang mesti diucapkan terhadap pendekar itu.
"Terima kasih atas pelayanan mu semalam, Ni
Klesung. Seperti yang telah aku katakan, aku harus meninggalkan desa ini sedini
mungkin." Wintara memberi salam Ni Klesung Rangit menggapai-gapaikan kedua
tangannya. Wintara membiarkan Ni Klesung Ran-
git menyentuh baju bulunya.
"Kau mau ke mana Wintara" Tetap tinggallah di sini. Jangan diambil hati
perlakuan orang-orang kampung ini. Sekarang mereka sudah yakin bahwa kau
bukanlah siluman jahat. Dengarlah kataku Wintara...."
Ni Klesung Rangit menahan.
"Paman Wintara mau ke mana" Tetap saja di
sini menemani Langsih. Kalau paman pergi, paman tidur di mana...?"
Suara Dwi Langsih polos. Wintara jongkok lalu
mencubit pipi Dwi Langsih. "Paman harus pergi, Lang-
sih. Dan juga kau tak perlu khawatir. Paman bisa tidur di mana saja. Cuma satu
pesanku, jagalah nenek baik-baik. Suatu saat paman pasti datang lagi menemui-
mu...." Wintara tersenyum. Ia pun bangkit melangkah mundur. Lalu ia menatap Ki
Sangga Wana. "Tanpa kau usir pun aku akan pergi, selamat
tinggal, Ki... Mudah-mudahan kau menjaga desa ini."
Kata-kata Wintara cukup pedas. Tapi Ki Sangga Wana tidak berani menyahut. Ni
Klesung Rangit bersama cucunya tidak bisa menahan. Wintara berjalan tenang
meninggalkan keramaian. Kuda putihnya masih ter-
tambat menunggu.
Kuda itu menyepak-nyepak kaki depannya saat
Wintara mengelus bulu-bulu yang tumbuh di sepan-
jang leher. Cepat sekali tubuh Wintara melompat ke pung-
gung kuda. Sebentar saja ia sudah menghela kudanya dengan suara yang lantang.
Derap kuda pun menderu-deru meninggalkan desa itu. Orang-orang kampung
mulai berdatangan memenuhi gubuk Ni Klesung Ran-
git. Ki Sangga Wana sudah dapat berjalan meskipun
terpincang-pincang. "Kau benar, Ni... Anak muda itu seharusnya tetap tinggal di
desa ini. Dia seorang pendekar sakti. Satu-satunya orang yang bisa melindungi
kita, kini sudah pergi. Kita sudah tidak punya harapan lagi." Ki Sangga Wana
menyesali tindakannya.
"Nasi sudah menjadi bubur. Kau telah menghi-
nanya, Ki Sangga Wana. Mana mau pendekar itu ber-
paling lagi kepada kita! yang mesti mencari jalan ke-luarnya." jawab Ni Klesung
Rangit. Ia menggeser tubuh cucunya. Dwi Langsih mengerti akan maksud nenek-nya,
maka ia menuntun masuk kembali ke dalam gu-
buk. Pintu bambu di banting keras-keras. "Orang-orang tidak tahu diuntung!"
Suara parau itu terdengar dari dalam gubuk.
Ki Sangga Wana menatap penduduk kampung
yang mengerubungi mayat Kang Birun. Kejadian seper-ti itu sudah tujuh kali
berturut-turut menggemparkan desa. Namun sampai saat ini
mereka belum tahu siapa adanya siluman yang meng-
hantui desanya.
"Saudara-saudara sebaiknya kita cepat mengu-
burkan mayat Kang Birun. Kasihan, ia sudah tidak
punya sanak saudara lagi, kini ia pun menyusul mere-ka...." kata Ki Sangga Wana
memecah kerumunan itu.
Serempak pula para penduduk kampung itu
mengangkat jasad Kang Birun. Darah
masih berceceran ketika tubuh tanpa nyawa itu
di bawa pergi. Ki Sangga Wana mengikuti rombongan
itu. Beberapa penduduk kampung mengiringi lang-
kahnya. "Sudah tujuh orang yang menjadi korban, Ki.
Kalau kita selamanya berdiam diri, lama-kelamaan
penduduk kampung ini habis semua." kata salah seorang yang mengikuti Ki Sangga
Wana. "Itu memang sudah ku pikirkan, tapi siapa
yang sanggup melawan siluman keparat itu. Melihat
kematian dari para korban, tentulah siluman itu sangat ganas dan tak mengenal
ampun. Satu-satunya ja-
lan kita harus meninggalkan kampung ini." jawab Ki Sangga Wana.
"Itu bukan satu tindakan yang benar, Ki. Ba-
gaimanapun kita harus tinggal di sini. Bukankah desa ini dulu tempat yang aman"
Kita harus menyelidi-kinya, mengapa desa ini terancam malapetaka."
Ki Sangga Wana diam seribu bahasa. Ia terus
melangkah mengikuti rombongan yang membawa ja-
sad Kang Birun. Bagi seorang kepala kampung me-
mang serba salah. Masalah apapun akan menjadi
tanggung jawab yang serius. Apalagi macam pembu-
nuhan yang terjadi berturut-turut seperti ini. Sudah tentu sebagai kepala
kampung ia merasa panik. Ia sudah tidak bisa menenangkan warganya lagi. Setiap
malam penduduk desa dilanda ketakutan. Pernah ada
seorang dukun mengatakan bahwa mereka harus
menggantungkan sebuah penangkal di atas pintu. Na-
mun usaha itu sia-sia saja. Malam itu kedapatan seorang penduduk tewas dengan
keadaan yang serupa
dengan Kang Birun. Esok malamnya pun, dukun itu
sendiri yang menjadi korban. Mereka bisa bilang apa.
Siapa yang bisa mengatasi pembunuh yang sama seka-
li tidak diketahui rupanya... Cuma tujuh orang yang bisa tahu. Ketujuh orang itu
pun kini telah terbujur dalam liang kubur,
Beberapa orang yang menggali lubang untuk
jasad Kang Birun telah selesai, di tempat itu pula mayat itu dimandikan serta
dibekali serentetan doa sebagai penghantar upacara pemakaman. Jauh dari
keramaian di balik semak-semak yang merimbun, so-
sok kuda putih bersama seorang penunggangnya men-
gawasi tanpa diketahui oleh siapapun. Penunggang
kuda itu sejak tadi mengawasi.
Sampai orang-orang kampung selesai mengu-
burkan mayat Kang Birun dan bubar meninggalkan
tempat itu, sosok yang di atas punggung kuda tetap diam di balik semak.
"Kalian boleh mengira aku benar-benar me-
ninggalkan kampung ini. Bagaimana pun aku tidak bi-sa tinggal diam. Nasib kalian
sangat mengenaskan.
Mungkin dengan pura-pura pergi begini, aku bisa me-nyelidiki Siluman apa kiranya
yang menghantui desa ini." kata Wintara dalam hati. Kedua matanya menerobos
semak-semak menatap kepergian penduduk kam-
pung dari tanah pemakaman. Ia masih di situ sampai tanah pekuburan betul-betul
sepi. * * * 6 Saat itu juga Sangga Wana menuruti kehendak
para penduduk kampung. Mereka bermaksud akan
berjaga malam secara bergiliran. Seluruh lelaki desa itu dipecah menjadi dua
bagian. Dua kelompok itu berjaga-jaga tiap dua malam sekali. Sangga Wana menye-
tujui usul warganya, dengan harapan dapat memergoki pelaku pembunuh yang secara
berturut-turut datang
menghebohkan. Malam itu pun semenjak kematian
Kang Birun, kampung itu tidak nampak sepi lagi se-
perti sebelumnya. Sangga Wana memberi tugas pada
tiap-tiap orang, untuk menjaga rumah-rumah pendu-
duk berkeliling. Kepala kampung itu sendiri ikut repot pentang mata. Suasana
malam itu jadi ramai. Tiap-tiap di halaman muka rumah dinyalakan pelita. Dari
kejauhan nampak berkelap-kelipan orang-orang yang
berjalan simpang siur memenuhi pelataran desa.
Semua mata memandang berkeliling mengawasi
ke segala sudut. Tempat-tempat yang biasanya gelap kini dipasangi pelita. Mereka
begitu bersemangat
meskipun udara cukup dingin. Sangga Wana nampak
berjalan mondar mandir.
"Sampai saat ini masih tenang-tenang saja, Ki.
Jangan-jangan siluman itu sudah tahu kalau kita tengah mengepungnya di sini."
Salah seorang warga datang melapor. "Biar saja. Tapi kita harus tetap waspa-da!
Bagaimana keadaan di Utara dan Barat" Dari tadi aku belum mendengar laporannya."
kata Sangga Wa-na.
"Aku lihat mereka tengah berjaga-jaga. Yang
lain berkeliling mengawasi tiap-tiap gubuk. Aku rasa tidak ada apa-apa di sana."
"Syukurlah! Aku harapkan demikian untuk seterusnya."
Kembali Sangga Wana berkeliling mengawasi
tiap pelosok. Penduduk kampung pun sama gesitnya
mengawasi. Mereka siap dengan senjata yang tajam
mengkilap. Semak-semak yang dianggap mencuriga-
kan, habis terbabat. Apalagi mendengar suara-suara aneh. Mereka langsung
mengepung. Bulan sabit menggantung di langit se bentar te-
rang sebentar gelap tertutup awan yang bergerak tertiup angin. Suara binatang
malam mengerik mengisi
suasana malam yang demikian dingin mencekam. Pada
tengah malam itu penduduk kampung sudah terlelap
dalam tidurnya. Hanya orang-orang yang tengah berja-ga di luar yang masih
mendengar pembicaraan mere-
ka. Sangga Wana sendiri sudah merasa lelah. Setengah malaman ia berkeliling dan
kini matanya mulai sepat.
Sangga Wana menghentikan langkahnya tepat


Pendekar Kelana Sakti 7 Setan Gila Dari Lereng Ungaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di depan gubuk Ni Klesung Rangit. Dua orang yang
mengawalnya ikut berhenti. Mereka berdua terus mengikuti ketika Sangga Wana
duduk di balai yang ada di depan gubuk.
"Ni Klesung Rangit, kami numpang beristirahat sebentar di sini. Maaf kalau kami
mengganggu." kata Sangga Wana menghadap ke bilik. Tidak ada jawaban
kecuali suara dengkur yang saling susul. Pelita yang tergantung di tiang
menerangi tempat itu. Dan mereka bertiga cukup santai duduk-duduk di atas balai.
"Sayang pendekar sakti itu telah pergi! Aku pun sampai lupa menanyakan namanya."
Sangga Wana menghela nafasnya. Tubuhnya tersandar ke bilik.
Tapi aku sempat mendengar Dwi Langsih me-
manggil pendekar itu dengan nama: Wintara. Yah!
Mungkin namanya Wintara." jawab orang yang duduk
di sebelahnya. "Padahal kalau kita mengijinkan ia tinggal di sini, pendekar itu pasti mau."
Orang yang satu lagi ikut menimpali. Wajah Sangga Wana mendadak kecut.
"Yaaah aku memang salah tindak. Dan aku ti-
dak habis pikir, kenapa mayat Kang Birun tergeletak di sini saat pengelana itu
menginap di gubuk Ni Klesung Rangit. Siapa yang tidak sengit! Kampung kita
selalu terjadi pembunuhan yang tidak masuk di akal sehat."
"Mungkin siluman itu sengaja mengkambing hi-
tamkan Wintara."
"Bisa jadi, Ki...."
Sangga Wana diam seribu bahasa. Kedua ma-
tanya memandang di kejauhan pada orang-orang kam-
pung yang bersiap siaga. Diam-diam ia menyesali kejadian tadi siang. Pikirannya
melayang jauh, ia tidak lagi mendengar dua orang yang duduk di sebelahnya ber-
cakap-cakap. Tapi mendadak saja lamunannya buyar.
Pintu bambu berderit panjang. Ketiga orang
yang duduk di balai langsung menoleh ke arah itu. Dwi Langsih gadis lima tahunan
keluar dari gubuknya.
namun setelah melihat ketiga orang yang duduk di
muka gubuk itu, ia tidak jadi melangkah.
"Langsih, ada apa malam-malam berani ke-
luar...?" tegur Sangga Wana. Dwi Langsih ketakutan.
Dua orang yang duduk di samping Sangga Wana ter-
senyum. "Ada apa" Kok diam saja?" sapanya. "Langsih mau buang air...." jawab gadis kecil
itu. "Ohhh... Kok sendirian. Kenapa tidak minta di-antar Ni Klesung."
"E-e-e... Be-be-beliau...." Dwi Langsih tergagap.
"Kau anak yang baik. Tentunya kau tidak ingin mengganggu tidur nenekmu, bukan"
He he he he... Tak apa. Paman justru mau mengantarkan kamu."
"Antarkan Langsih, Kunto. Jangan lupa mem-
bawa obor." perintah Sangga Wana. Seorang pengawalnya yang bernama Kunto
beranjak bangun dan
menyalakan obor dari bambu. Lalu lelaki itu menggendong Dwi Langsih.
"Bersama Paman Kunto kau akan aman...." ka-ta Sangga Wana lagi. Kunto membawa
Dwi Langsih. Sebentar saja mereka hilang dari pandangan Sangga
Wana yang menggeleng-geleng menatapnya.
Pintu gubuk tetap terbuka. Sangga Wana
bangkit berjalan dan menutup pintu bambu itu. Ia tidak berani menatap ke dalam.
Makin malam udara
makin dingin. Ketiga orang yang di atas balai mengu-sap-usap kedua lengannya.
"Dingin?" sapa Ki Sangga Wana pada seorang pengawalnya.
"I-iya, Ki... Mungkin kalau kita bawa berjalan-jalan rasa dingin ini akan
hilang." jawab orang itu. "Kita tunggu Kunto. Setelah itu kita berkeliling lagi." Sangga
Wana menyodorkan kotak bakaunya. Pengawal itu langsung membuka dan membuat satu
linting daun kawung. Ki Sangga Wana sendi-ri ikut melinting.
"Sebaiknya Ki Sangga Wana tidak usah pentang
mata begini. Penduduk kampung cukup banyak yang
berjaga malam...." kata pengawalnya sambil menyulut lintingan bakau.
Lalu ia menghembuskan asapnya kuat-kuat.
"Mana bisa begitu, Dun. Kita sudah sepakat
untuk berjaga secara bergiliran. Lagipula aku bertang-gungjawab atas desa ini."
Mardun terdiam mendengar ucapan Ki Sangga Wana. Pikirannya melayang pada
anak istrinya di rumah. Mungkinkah mereka dapat tertidur lelap tanpa dilanda
ketakutan" Sementara sang suami keluar selama satu malam berjaga berkeliling
dengan para penduduk lainnya. Bagaimanapun Mar-
dun tetap khawatir akan keselamatan keluarganya di rumah. "Lama betul Kunto
mengantar Dwi Langsih. Padahal tempat buang air tidak jauh dari sini." ujar Ki
Sangga Wana. Mardun terkesiap.
"Coba kau susul mereka, Dun. Biar aku di sini menjaga Ni Klesung Rangit." Mardun
tidak bisa menolak perintah kepala kampung. Ia membetulkan kain
sarungnya kemudian bangkit berdiri.
"Baik, Ki. Aku pun mulai khawatir pada mere-
ka." Mardun melangkah meninggalkan Ki Sangga Wa-na yang masih duduk di balai.
Langkahnya cepat berlalu. Ia berpapasan dengan rekan-rekan sekampung
yang juga melaksanakan tugas di malam itu. Goloknya terseron erat di pinggang.
Tanpa sebuah obor ia bisa melihat jalan ke
pinggir kali. Karena sepanjang jalan memang banyak didirikan tiang-tiang yang
digantungi sebuah lampu pelita. Jalan menuju ke sana agak sedikit sulit. Di sa-
na sini banyak ditumbuhi semak-semak dan pepoho-
nan. Daun-daun pisang mulai nampak dibasahi oleh
embun. Manakala angin terus menerus berhembus
menusuk tulang. Mardun yang telanjang kaki terus
melangkah. Pelita yang berderet di atas tiang menerangi jalannya. Letup api
pelita bergoyang-goyang tertiup angin. Mendadak saja angin berhembus kencang
menderu-deru. Namun sebenarnya angin kencang itu
hanya dirasakan oleh Mardun.
Lelaki itu jadi ketakutan setengah mati. Lang-
kah-langkahnya jadi kian lambat. Pendengarannya serasa berdenging nyaring
memecahkan gendang telinga.
Kedua mata Mardun terbelalak saat ia melihat
sosok tubuh melompat-lompat mengelilinginya. Sosok tubuh itu nampak kurus kering
berkulit hitam dengan
rambut putih seperti kapas. Rongga matanya nampak
besar memerah. Mardun berdiri gemetar melihat sosok menyeramkan itu.
Dengan mengeluarkan suara yang sangat aneh,
sosok itu menerjang. Mardun tidak sempat menghin-
dari sergapan yang demikian cepatnya. Tahu-tahu saja lengan hitam bergerak
menghantam keras di atas batok kepala. Darah pun menyembur bagai air mancur.
Dan sosok hitam itu tidak membiarkan darah terge-
nang. Mardun sendiri tidak sempat berteriak lagi saat nyawanya hampir putus.
Tubuh Mardun masih kelojotan. Saat itupun te-
lapak tangan legam menghantam sampai kelima ja-
rinya menembus pada batok kepala itu. Kulit serta rambutnya terkelupas. Dari
situ sosok mengerikan
menyedot habis darah dan isi kepala Mardun.
* * * "Wuaaaaaa...!" Jeritan itu mengagetkan seluruh penduduk kampung yang tengah
berjaga-jaga. Terlebih-lebih pada diri Ki Sangga Wana. Ia langsung bangkit dari
atas balai. Seluruh peronda malam pating serabut berlarian ke arah suara
teriakan. Ki Sangga Wa-na cepat memburu menyusul mereka.
"Cepat, Ki! Aku mendengarnya dari arah pinggir kali... Cepat!"
"Astaga...! Mardun dan Kunto ada di sana!" pekik kepala kampung. Larinya cepat
menyusul orang-
orang yang berlarian ke arah kali. Semuanya menerobos pohon tanpa peduli.
Senjata-senjata mereka siap mengacung.
"Cepat! Siluman laknat itu pasti di sana! teriak salah seorang yang berlari
Elang Terbang Di Dataran Luas 12 Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Penelitian Rahasia 5
^