Pencarian

Utusan Orang Orang Sesat 1

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat Bagian 1


UTUSAN ORANG-ORANG SESAT
Oleh D. Affandy
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh is buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Hak cipta ada pada Penerbit Mutiara Jakarta
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam episode 001:
Utusan Orang-Orang Sesat
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Beno Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
SATU Hari masih begitu pagi ketika sesosok tubuh
yang bertelanjang dada itu nampak berloncatan di atas karang-karang tajam.
Dengan gerakan yang
sangat ringan seolah tubuh yang sangat kekar itu tiada memiliki bobot. Dia
berpindah dari sebuah karang yang satu hingga ke karang tajam
berikutnya. Sementara pada saat dia melakukan
gerakan-gerakan
yang begitu manisnya, gelombang laut masih terus menggila. Menghempas, memukul, seolah ingin meruntuhkan batu-batu karang tempat di mana
pemuda itu berpijak. Begitulah yang terjadi setiap harinya di tempat yang sepi
itu. Berlatih dan
melatih diri. Kini pemuda yang memiliki wajah sangat
tampan itu kembali melakukan gerakan-gerakan
yang sangat mendebarkan, beberapa kali ia
berjumpalitan dan tiba-tiba saja tubuhnya yang
kekar itu lenyap dalam sapuan gelombang yang
terkenal ganas. Tubuhnya tergulung terseret arus yang dahsyat, air laut terus
menggulungnya tanpa ampun dan seandainya saja saat itu ada
orang lain yang turut menyaksikan adegan itu
tentu saja mereka tidak berani membayangkan
akibatnya. Pemuda itu terus tergulung-gulung,
terseret, dan terus
terseret. Namun begitu
gelombang besar itu hampir menghempaskan
tubuhnya pada batu karang yang sangat tajam,
tiba-tiba bagai cengkraman sebuah tangan raksasa, pemuda itu dengan begitu mudahnya
dapat membebaskan diri dari perangkap gelombang. Kemudian beberapa kali ia berjumpalitan ke udara, lalu dengan manis pula ia mendarat ke puncak karang yang
lebih tinggi. Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat
pemuda itu melatih diri seorang kakek tua renta dengan warna rambutnya yang
tampak memutih,
dengan sikap acuh tak acuh terus mengawasi si
pemuda. Kakek berwajah murung ini dulunya
adalah merupakan seorang tokoh kosen yang
memiliki kepandaian silat tiada tanding. Dia
pernah malang melintang merajai empat penjuru
angin dunia persilatan. Namun meskipun begitu,
kakek angin-anginan ini dalam sejarahnya belum
pernah dan berpantang melakukan kejahatan.
Bahkan dalam dunia persilatan golongan hitam
akan merasa ngeri bahkan lari terbirit-birit bila melihat kehadirannya. Sebab
siapapun tahu bahwa kakek ini tidak pernah bertindak tanggung-tanggung dalam menghadapi segala
bentuk kejahatan, bunuh dan sikat sampai ke
akar-akarnya. Kebrutalannya dalam menghadapi
kejahatan inilah yang menyebabkan orang menjulukinya sebagai pendekar "SUPER SADIS".
Konon semua itu adalah demi menebus dosa-dosa
gurunya yang selama hidupnya penuh kesesatan.
Tak urung kakek tua ini sebagai pewaris ilmu
dahsyat harus pula memikul dosa-dosa gurunya.
Sebagai murid yang berbakti ia harus merelakan
dirinya ditumbuhi beribu koreng yang sangat
menjijikan dan tak pernah kunjung sembuh.
Karena koreng-koreng ini pula dirinya di juluki "SI BANGKOTAN KORENG SERIBU".
Kini kembali pada si Bangkotan Koreng
Seribu yang terus mengawasi jalannya latihan
pemuda itu. Kakek berwajah muram itu masih
terihat duduk ongkang-ongkang di atas sebuah
pohon Kejabu. Sesekali giginya yang sudah
ompong menggerogoti buah kejabu yang sudah
masak. Di lain saat ia menyambit pemuda yang
sedang berloncatan di atas karang itu dengan
ratusan buah kejabu yang masih hijau.
Mendapat serangan beruntun pemuda itu
menyadari kalau gurunya sedang menguji kelincahannya. Dan tentu pula dia pun menyadari kalau dalam setiap bertindak
gurunya tak pernah berlaku setengah-setengah. Untuk tidak mati
konyol ditangan guru sendiri dia membentengi diri dengan jurus "si HINA MENGUSIR
LALAT". Tubuh pemuda itu terus berkelebat bagai sebuah baling-baling kedua
tangannya di putar membentuk
perisai yang sangat sulit untuk dicari titik
kelemahannya. Secara praktis semua serangan
yang dilakukan gurunya berpentalan kian kemari, bahkan beberapa buah Kejabu yang
di sambitkan oleh si Kakek Renta kembali berbalik dan
menyerang si Kakek itu sendiri.
Dengan gerakan yang sangat ringan Tua
Renta Berkoreng melompat. Buah Kejabu yang
disambitkan oleh si pemuda
terus melesat kemudian melabrak sebuah dahan yang berbuah
lebat. Dahan itu berderak patah, lalu ambruk ke Bumi. Sumpah serapah berhamburan
dari mulut si Kakek tua ini. Dengan tersenyum masam ia
berjumpalitan dan tanpa di sadari oleh si pemuda, tahu-tahu kakek berwajah
murung itu langsung
menyerang si pemuda. Serangan-serangan yang
sangat dasyatpun segera ia lancarkan, setiap
jurus pasti mengisyaratkan janji maut bahkan
lengah sedikit saja tak seorangpun yang mampu
menjadi juru selamat. Pemuda itu kelihatan
menjadi kalang kabut. Mengetahui muridnya
bertindak setengah-setengah si Kakek Renta
nampak murka. "Bung....apakah kau ingin mati konyol!?"
Bentakan yang tak lebih merupakan kemarahan
dari si guru, malah membuat pemuda
ini terkekeh. "Bagaimana
aku bisa sungguh-sungguh,
sedangkan pukulan yang guru lancarkan saja
semakin lamban....!"
"Jangan menganggap remeh bocah tolol...!"
Suara kakek berkoreng itu sesungguhnya sangat
lirih saja, namun karena di sertai dengan tenaga dalam yang sangat sempurna,
mengakibatkan pemuda itu hampir saja terpeleset dari tempatnya berpijak.
"Bocah goblok... kubilang apa padamu!"
Berkata begitu Kakek ini langsung mengirimkan
serangan-serangan yang mematikan.
"Selalu bersikap waspada terhadap siapapun hei, murid...!" Jawabnya sambil
mengimbangi serangan-serangan yang di lancarkan oleh si
Kakek berkoreng. Kakek berwajah muram hanya
terdiam. Sebaliknya dia meningkatkan serangannya dengan jurus "SI GILA MENGAMUK".
Pukulan-pukulan si Kakek nampak mengarah
pada bagian-bagian yang mematikan, sangat
cepat, lincah dan sangat sulit untuk di duga-duga.
Menghadapi serangan seperti ini si pemuda
segera mengimbanginya dengan jurus "MEMBENDUNG
GELOMBANG MENIMBA SAMUDRA". Maka segera saja terjadi pertandingan yang sangat seru. Jurus yang di
pergunakan si Pemuda walau secara lahiriah
kelihatannya sangat sederhana sekali, sesungguhnya merupakan intisari dari sembilan
puluh sembilan jurus dari golongan hitam dan
putih. Itu makanya siapapun yang mempergunakan jurus itu dalam tahap sempurna,
keadaan yang dialaminya akan selalu bertolak
belakang dengan keinginan hati nurani. Seperti
yang sedang terjadi dengan pemuda itu, dia
berkeinginan untuk menendang pantat gurunya
yang jaraknya hanya beberapa centi dari depan
hidungnya, tapi keadaan yang terjadi di luar
kesadarannya. Tangan kanan malah terulur bergerak menghantam batok
kepala Kakek berkoreng. Tentu saja kakek berwajah muram ini tidak
tinggal diam, mengetahui serangan-serangannya
dapat di patahkan oleh muridnya. Kakek tua renta itu segera merubah jurus-jurus
silatnya. Kali ini kedua tangannya terentang tinggi-tinggi di atas kepalanya,
secara cepat sebelah tangannya
meluncur ke-bawah, lalu berputar-putar, lalu
tangannya yang lain memukul diri sendiri. Dilain saat bagai orang frustasi ia
menerjang ke arah
muridnya. Walaupun serangan-serangannya
terlihat ngawur namun setiap gerak selalu di
penuhi dengan berbagai tipuan yang sangat sulit untuk diduga-duga. Si Kakek Tua
Renta memberi nama jurus ini dengan "SI JADAH TERBUANG"
Sementara itu si pemuda yang mengetahui
dirinya di uji dengan jurus yang paling berbahaya dari seluruh jurus yang ada,
maka dengan sikap
lebih waspada ia menyambut dengan sebuah


Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurus yang tak kalah hebatnya dari jurus yang
sedang dimainkan oleh gurunya. "SI HINA
MENGUSIR LALAT" jurus inilah yang kini di
pergunakan oleh si pemuda untuk mengimbangi
gurunya. Tak dapat dibayangkan betapa serunya
adu kepandaian antara guru dan murid di atas
karang-karang itu. Sementara pasang laut nampak membumbung tinggi. Adu kepandaian
berlangsung makin seru dan sudah berlangsung
puluhan jurus. Bagai kesetanan si Kakek Berkoreng terus mencecar si pemuda. Di lain saat si pemuda bagai di keroyok
ribuan lalat yang
menjijikan nampak berjingkrakan kian kemari.
Hingga pada satu kesempatan yang cukup pasti si Kakek berhasil menyarangkan
pukulan yang Cukup telak di dada pemuda itu.
"Blaaaak....!"
"Byuuur....!" Tubuh si pemuda terhempas, terjengkang ke dalam laut. Sekali saja
gelombang laut yang sedang membesar itu menyapu tubuh si
pemuda, maka lenyaplah tubuhnya tiada berbekas. Si Tua
Renta Berkoreng tertawa
tergelak-gelak.
Wajahnya kelihatan semakin murung tetapi puas. Kini sepasang matanya yang
lamur itu memandang hampa ke laut lepas. Ada
sebersit kesal dan sesal di wajahnya. Tiba-tiba saja si kakek aneh itu kembali
tergelak. "Buang Sengketa....apa yang ada padaku
sudah kuberikan semua untukmu, tapi kepekaanmu terhadap musuh, inilah yang sangat
kuragukan....!" Sedangkan ia berbicara seorang diri seperti itulah tahu-tahu
orang yang baru saja di sebut-sebutnya itu nyeletuk.
"Guru. Pukulanmu itu semakin lembek,
lihatlah aku masih hidup, hehehe....!" Si Kakek Renta terdiam tiada bergeming,
namun tak lama kemudian dia membentak
"Kalau hidup tiada guna untuk apa" Lebih
baik cepat-cepat masuk lang kubur. Supaya dunia tidak di kotori oleh banyak
sampah....!"
"Guru, kita kan cuma dalam latihan....aku
tak sampai hati untuk adu tenaga dengan
Guru....!"
"Bocah gendeng apa bedanya latihan dengan
sungguhan...."!" Bentak si Kakek tua itu penuh amarah. Kemudian tanpa terduga-
duga, si Kakek kembali menyerang si pemuda.
"Kalau kau belum becus juga! Lebih baik
mampus....!" Makinya di sertai pukulan-pukulan menggelegar. Si pemuda cukup tahu
sebentar lagi gurunya tentu mempergunakan pukulan-pukulan
yang maha dasyat. Untuk itu sejak awal dia telah mempersiapkan diri untuk
memberi perlawanan
yang lebih baik demi tidak mengecewakan
gurunya. Apa yang sedang di fikirkan oleh Buang
Sengketa memang benar adanya, sebab beberapa
saat kemudaian si Kakek Renta Berkoreng sudah
mulai bersiap-siap dengan pukulan-pukulan yang
sangat di andalkan.
"Buang... kalau kau benar-benar seorang
murid yang ingin berbakti pada gurumu dan juga
orang tuamu, kau tahanlah pukulan ini. Jika tidak lebih baik kau kukirim ke
liang kubur saja....!"
Suara lengkingan yang di sertai dengan ilmu
"PEMENGGAL RUH" itu, bukanlah sebuah pukulan yang bisa di anggap enteng. Kalau
hanya manusia biasa yang tiada memiliki tenaga dalam yang
sangat sempurna yang kebetulan mendengar
suara lengkingan itu tentu segera menjelang ajal, begitaupun burung-burung yang
beterbangan diangkasa itu akan luruh ke bumi. Begitulah yang terjadi di pantai karang saat
itu. Beberapa ekor camar laut menggelepar mati demi mendengar
lengkingan si Kakek Renta. Bahkan bukit karang
tempat di mana Buang Sengketa berpijak secara
pelan namun cukup pasti segera nampak mulai
runtuh. Buang Sengketa menutup jalan inderanya. Dengan berjumpalitan, selarik sinar
dengan kekuatan lebih besar kembali menderu
dan menyambarnya. Bagai seekor walet, Buang
mengelak dan berkelit. Namun kelihatannya si
Kakek tiada memberinya kesempatan.
Dia terus mengumbar pukulannya. Buang
semakin terdesak dan keteter, pada saat demikian teringatlah dia pada pukulan pemunah
"HAMPA UDARA". Sekali saja ia mengerahkan tenaga dalam nya maka dada si Kakek
mendadak terasa sesak dan sulit bernafas. Segera saja si Kakek mengerahkan segenap
kemampuannya, selarik sinar pelangi yang lebih besar dan terang, kembali meluruh tubuh si
pemuda. Tiada pilihan
lain, meng-hindar berarti gurunya akan menjadi
murka. Maka ia pun menadahkan tangannya.
Akibatnya sungguh fatal sekali.
"Blaaar!" Tubuh keduanya terpental beberapa tombak, kemudian lenyap di telan
gelombang besar. Sungguh sangat menakjubkan karena tak
begitu lama kemudian secara bersamaan tubuh
keduanya kembali muncul kepermukaan, untuk
kemudian keduanya melesat ke udara. Dengan
jarak dekat mereka saling berhadapan kembali.
"Buang. Bersiap-siaplah....!" Hardik si Kakek Renta.
"Istirahatlah dulu, Guru. Lihat nafas Guru senin kamis....!" Ujar pemuda itu
prihatin. Di tegur muridnya sedemikian rupa si kakek menjadi berang.
"Bocah, kepandaian yang kau miliki tak ada setahi kukuku. Apakah kau mau
berlagak di depan Si Renta Koreng Seribu....?"
"Tapi. Guru....!"
* * * * * DUA Tua Renta Berkoreng sudah tak menggubris
lagi protes Buang Sengketa. Dia menerjang maju:
"Mampus saja, caaat...!" Si kakek lagi-lagi menyerang. Kali ini tangan di
silangkan di depan dada. Maka terkesiaplah darah pemuda keturunan
manusia Bunian ini.
Dengan suara tergetar: "Pukulan EMPAT
ANASIR KEHIDUPAN.... Guru! Apakah kau bermaksud membunuhku....?"
"Bukankah tadi kau juga mempergunakan
salah satu dari padanya?" Bentak si Kakek dingin.
"Aku hanya membela diri, Guru....!"
Terlambat, seberkas sinar Ultra Violet meluncur pesat dari kedua telapak tangan
si Kakek. Tiada lagi kesempatan untuk berfikir, walau hanya
beberapa saat saja. Maka: "Heiit....!" Buang Sengketa bersalto ke udara. Si
kakek tidak tinggal diam sampai di situ saja. Selarik sinar kembali mengejar si
pemuda, pemuda itu menjadi kalang
kabut. Lagi-lagi Buang di hadapkan pada satu
pilihan yang paling menyakitkan. Baginya kalau
tidak ingin celaka hanya ada satu cara untuk
memapaki serangan yang di lancarkan oleh
gurunya yang setengah edan itu. SI HINA DINA
MERANA, hanya jurus inilah yang mampu mengatasinya. Akan tetapi tegakah dia" Mengingat gurunya sudah sangat tua sekali.
"Bocah menyebalkan....
matilah kau....!"
Lagi-lagi selarik sinar Ultra Violet dengan cepat meluncur, Buang Sengketa
berkelit kesamping.
Namun hasilnya tetap saja ujung bajunya terbakar akibat sambaran sinar tadi. Buang
menjadi kalang kabut dan berusaha mematikan
api yang hampir saja membakar sekujur tubuhnya. Sementara itu si kakek terus mengumbar
pukulan-pukulan
mautnya. Dia sudah tak member! kesempatan lagi pada Buang.
"Bocah, kalau kau tetap saja mengelak
seperti seekor monyet begitu, jangan kau salahkan aku bila kau menyesal sampai ke liang
kubur....!" Sebuah pukulan yang lebih dahsyat kembali meluruk kearah Buang. Maka
dengan nekad Buang memapakinya.
"Blaaam....!" Dua kekuatan raksasa bertemu.
Berpuluh-puluh tombak Buang terpental, Sebaliknya Tua Renta Berkoreng menerima akibat
lebih parah lagi. Tubuh laki-laki yang selalu
berperangai aneh itu terhempas dan membentur
dinding karang. Dari celah-celah bibirnya meleleh darah segar. Buang yang masih
dalam keadaan sempoyongan. Mengetahui gurunya terkapar tanpa daya segera memburunya.
"Sudah kubilang kita tak usah sungguhan.Tapi Guru tetap ngotot, Tapi kau kan
tidak mati Guru....!"Tanya Buang pilon. Beberapa kali laki-laki tua itu
terbatuk, darah segar
berwarna kehitam-hitaman kembali menyembur.
Hal ini membuat pemuda itu semakin bertambah
bingung. Dalam keadaan seperti itu mendadak laki-laki
renta itu tertawa bergelak wajahnya yang selalu di liputi oleh mendung itu
membersitkan rasa
puas. "Hehehe....hoahahaha.....prus!"
Si Tua Koreng Seribu segera bangkit, seanjutnya

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghimpun hawa murni. Sementara Buang yang
ingin membantu di bentaknya. Mau tak mau
Buang Sengketa bersurut langkah. Tak kurang
dari sepemakan sirih, wajah Si Tua Renta yang
pucat itu secara perlahan berubah ke merah-
merahan. Kemudian ia berpaling pada muridnya.
"Bocah. Apa-apaan kau melotot begitu....?"
"Mari kita pulang!"
"Apakah kau perlu kugendong, Gu.....!"
Belum lagi selesai Buang Sengketa dengan kata-
katanya di luar sepengetahuannya, laki-laki renta itu telah lenyap dari
hadapannya. "Sialan, kiranya dia masih alot juga tenaganya....!"
Kemudian tanpa membuang waktu pemuda itu melesat mengikuti gurunya.
* * * * * Puncak Sorik Merpati yang menjulang tinggi
masih kelihatan berselimut kabut di Hiang itu.
Burung-burung berterbangan dari satu pohon ke
pohon lainnya. Nun jauh di lereng pegunungan,
penduduk desa sedang mengerjakan sawah dan
ladangnya. Suasana di lingkungan pegunungan
itu seolah memang tak pernah terusik, nampak
damai dan selalu menjanjikan kebahagiaan.
Begitulah kesan yang dapat dilihat sepintas lalu.
Namun sesungguhnya apa yang terjadi di
daerah itu sangat menyedihkan, hati setiap
penduduk hampir setiap harinya selalu di liputi keresahan. Dengan harap-harap
cemas mereka senantiasa berdoa agar manusia-manusia durjana
yang setiap kedatangannya selalu mengambil
secara paksa, anak-anak gadis desa itu tidak
terulang kembali. Begitulah yang selalu mereka
harapkan, terlebih-lebih bagi orang tua yang
memiliki anak gadis berparas cantik.
Kini mereka bisa sedikit berlapang dada,karena sudah hampir dua purnama desa
mereka tidak lagi kedatangan manusia-manusia
iblis itu. Melihat keadaan seperti ini, penduduk desa
dapat menyimpulkan bahwa mungkin seratus perawan seperti yang dibutuhkan oleh
utusan manusia iblis itu sudah terpenuhi. Begitupun kesedihan panjang masih menyelimuti
hati para orang tua yang kehilangan anak
gadisnya. Siang itu Ni Sukmini yang baru saja
menjadi pengantin baru, kelihatan sedang mencuci pakaian di sebuah sungai yang bening
tidak begitu jauh di belakang rumahnya. Hanya
beberapa tombak dari temapt Ni Sukmini mencuci, terbentanglah jalan setapak yang menghubungkan antara desa dan hutan rumba
Sorik Merapi. Jalan berbatu itu sengaja di buat oleh penduduk desa untuk
mempermudah bagi
mereka yang ingin mencari kayu bakar,maupun
mengambil hasil hutan lainnya.
Suasana memang nampak lengang, akan
tetapi dari kejauhan sana di pinggiran hutan,
kelihatan tiga buah titik hitam yang sedang
bergerak. Semakin lama semakin cepat. Setelah
jarak semakin dekat maka terlihatlah mereka ini tiga orang penunggang kuda
dengan seragam pakaian yang sama, yaitu warna hitam dengan
tunggangan hitam pula.
Yang membedakan
mereka hanyalah wajahnya. Yang seorang berbadan tinggi besar berwajah tengkorak, yang
seorang lagi gemuk cebolan di seluruh permukaan kulit wajahnya belang- belang
tidak ubahnya dengan kulit macan. Si orang terakhir wajahnya
begitu tebal seperti kulit badak, sedangkan-
sepasang matanya selalu nampak mengantuk.
Siapa yang tak kenal mereka! Kalangan
persilatan baik golongan putih maupun golongan
hitam tentu sangat mengenal tiga manusia iblis
yang selalu membuat keonaran di mana-mana ini.
Kepandaian silat mereka sangat tinggi. Disamping memiliki kesaktian yang belum
ada tandingannya.
Mereka ini juga sewaktu-waktu dapat berubah
menjadi beberapa ekor siluman. Siapapun orangnya akan merasa ngeri berurusan dengan
mereka. Bahkan kalau pun mereka mempunyai
persoalan yang sangat besar sekalipun dengan
keliga manusia iblis ini
mereka lebih baik
Mengalah daripada harus berurusan kemudian
pulang dengan tubuh tanpa nyawa dan tercabik-
cabik. Kalaupun di siang itu mereka turun gunung
dan dalam keadaan tergesa-gesa. Sudah barang
tentu kehadirannya di dunia ramai mempunyai
maksud-maksud tertentu. Sebab seperti di ketahui beberapa tahun terakhir ketiga tokoh
kosen tingkat tinggi ini, sudah mulai kelihatan jarang malang melintang di rimba
persilatan. Kalaupun mereka punya urusan dengan dunia
luar, paling mereka hanya mengutus murid-murid
terpercaya untuk mengerjakan apa yang mereka
maui .Seperti merampas dan menculik gadis-
gadis desa yang jumlahnya mencapai ratusan
saja, mereka cukup mengutus beberapa orang
bawahan terpercaya. Lalu, Apa yang dikehendaki
oleh ketiga dedengkot hantu persilatan itu
sehingga mereka keluar dari sarangnya"
Sesuai dengan wangsit yang mereka terima,
hari itu mereka harus mengambil dengan paksa
seorang pengantin baru yang bernama Ni Sukmini
pada tetua mereka yaitu sepasang siluman naga
putih di sebuah telaga kawah yang terletak tidak begitu jauh dari tempat
pertapaan mereka.
Kalaupun sekarang ini mereka turun gunung
secara langsung adalah dengan maksud orang
yang diinginkan tidak salah ambil.
Demikianlah tidak begitu lama kemudian
sampailah mereka di perbatasan desa. Beberapa
orang penduduk yang secara kebetulan mengetahui kehadiran mereka langsung saja lari
terkencing-kencing.
Sedangkan yang tidak sempat bersembunyi, mereka inilah yang memperoleh nasib celaka. Pertanyaaan- pertanyaan langsung saja memberondong mereka
yang nampak menggigil ketakutan.
"Hei.....kau.....Apakah di desa ini ada orang yang bernama Ni Sukmini...!" Seru
Si Tinggi Besar Muka Tengkorak. Atau yang sangat di kenal dengan julukan Iblis
Muka Tengkorak. Empat
orang penduduk desa yang di tanya seperti itu
tentu saja semakin menggigil ketakutan.
"Ayo jawab.. ..!" Bentak Si Muka Tengkorak marah sekali.
"Ka...kami....!"
"Potes saja kepalanya kakang. Biar ku
minum darahnya....!" Tukas Si Cebol Muka
Harimau tak sabaran.
"Benar adi Cebol.... tentu otaknya pun enak untuk ku kremus...!" Mendengar
ucapan Si Tinggi Kurus, pucatlah wajah keempat orang ini
"Kalian dengar apa yang baru saja dikatakan oleh saudaraku....?" Tanya Si Tinggi
Besar dingin. Dengan langkah gemetar salah seorang dari
mereka melangkah maju. Dengan suara bergetar
ia berkata: "Orang yang seperti tuan maksudkan memang ada di desa ini, dan baru
saja tadi malam melangsungkan pesta perkawinan,.....!"
Mendengar penjelasan salah seorang dari
keempat orang itu,ketiga manusia iblis ini pun
saling berpandangan. Lalu bergemuruhlah suara
tawa mereka di sertai dengan tenaga dalam yang
sudah cukup sempurna, maka akibatnya bagi
keempat penduduk desa
yang tak memiiki
kepandaian apapun sudah barang tentu sangat
menyiksa pendengaran mereka. Bahkan di antara
mereka ada yang sampai menutupi kedua telinganya. Begitupun suara tawa ketiga manusia iblis itu tetap mengetarkan
gendang-gendang
teling mereka. Akibatnya sungguh luar biasa,
keempat warga desa itu langsung roboh dan
mengerang-erang kesakitan. Melihat nasib yang
menimpa mereka, ketiga manusia iblis itu nam-
pak tersenyum puas. Lagi-lagi mereka saling
berpandangan. "Bagaimana kita tinggalkan .."'" Tanya Si Tinggi Besar. Kedua saudaranya yang di
tanya basahi bibir dan leletkan lidah. Tentu saja Si Muka Tengkorak cukup tahu apa
yang diinginkan oleh
kedua saudaranya itu.
"Kalian boleh meminum dan menyantap
darah dan otak ke tiga orang itu,tapi yang
satunya jangan! Dia telah beri keterangan pada
kita...!"Tuding Si Muka Tengkorak pada tiga orang desa yang sedang menggelupur
dan mengerang-ngerang di atas tanah berdebu.
Bagai memperebutkan harta paling berharga
Iblis Cebol Muka Harimau dan Si Tinggi Kurus
Muka Badak melompat dari punggung kudanya
masing-masing. Mereka berlomba saling mendahului. Lalu dengan sekali tubruk saja.
Masing-masing dari mereka telah mendapatkan
mangsanya. Di tempat yang sepi itu tak lama
kemudian terdengar jerit lolong yang menyayat,
dan juga berderaknya tulang yang remuk dan
patah. Begitu rakusnya Si Cebol Muka Harimau
menghirup darah yang memancar dari tubuh yang
sudah tiada berkepala itu. Setelah kehabisan
darah, tubuh yang sudah tiada berkepala itu
berkelojotan untuk kemudian diam membisu.
Tanpa menghiraukan bekas mangsanya, Si Cebol
segera berpindah ke mangsa lainnya. Hal yang


Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama pun terjadi pada mangsa berikutnya. Si
Cebol kelihatan semakin sibuk, begitupun dengan Si Kurus Muka Badak. Ia menjilat
dan mengunyah otak dari dalam batok kepala yang sudah remuk.
Begitulah mereka saling berlomba seolah-olah
sedang adu kecepatan. Hingga hanya beberapa
saat saja ketiga orang desa yang bernasib malang itu nampak terbujur pucat dan
tanpa kepala. Sementara itu salah seorang dari keempat
orang yang di biarkan hidup sudah tak sadarkan
diri. Rupanya dia tak kuat menyaksikan kejadian yang berlangsung di depan
matanya. "Ayo tunggu apa lagi. Mari kita cari gadis itu...!" Perintah Si Tinggi Besar
yang sejak tadi hanya
duduk di punggung kuda sambil menyaksikan apa yang sedang di kerjakan dua
saudaranya. * * * * * TIGA Si Cebol Muka Harimau dan Si Tinggi Kurus
Muka Badak yang saat itu sedang menjilat kedua
tangannya yang berlumuran darah, nampak
saling berpandangan untuk kemudian menyeringai. "Apa lagi.... Mari kita pergi dan cari gadis itu,....!" Bentak Si Tinggi Besar
Muka Tengkorak mulai menarik tali kekang kudanya.
"Tanggung Kakang....!"
Jawab keduanya hampir bersamaan. Si Tinggi Besar mengurungkan niatnya di pandanginya wajah ke-
dua saudaranya dengan pandangan melotot.
"Sudah kubilang, bahwa yang satu itu harus kita
bebaskan, ayo cepat...! Manusia
Muka Tengkorak makin tak sabaran.
"Tapi....kakang....!'' Protes Si Kurus Muka Badak.
"Tak ada tapi....tapi....apakah kalian lebih suka memangsa darah dan otak
manusia-manusia
tak berguna itu dari pada kesaktian yang akan
bertambah!"
Bentak Si Tinggi Besar Muka Harimau marah sekali.
"Tapi darah mereka enak sekali kakang.... !"
Ujar Si Cebol. "Otaknya juga manis....!" Dukung Si Tinggi Kurus Muka Badak.
"Diam kalian semua!"
Si Tinggi Besar membentak. "Kalian tak perlu membujuk dan merengek
seperti bayi ingusan. Kalian ingatkah bahwa kita sedang mengemban tugas dari
tetua "SILUMAN
NAGA PUTIH?" Kalau sampai tugas ini gagal. Itu berarti kita kehilangan
kesempatan untuk merajai dunia
persilatan. Apakah kalian mengerti"!"
Bentak si Tinggi Besar murka sekali.
"Dan ini berarti kita juga kehilangan kesempatan untuk menghancurkan markas golongan putih pada pertemuan kaum mereka
tiga purnama mendatangya...kakang....!" Sahut si Cebol
Muka Harimau lalu menepuk-nepuk jidadnya. "Aku juga tak ingin kehilangan Dewi Bantaran yang ayu itu....! Celetuk si Tinggi Kurus Muka Badak. Dia segera
melompat ke atas
punggung kudanya
di ikuti si Cebol Muka
Harimau. Derap langkah kuda kembali terdengar
bagai tanpa pernah ada kejadian, mereka meninggalkan mayat-mayat tanpa kepala itu
begitu saja. Sementara itu Ni Sukmini yang tak mengetahui bahaya sedang mengancam dirinya,
nampak asyik mencuci dengan ditemani oleh
suaminya. Kedua pengantin baru itu saling
bercanda dan bercengkerama. Sesekali derai tawa mereka terdengar meningkahi
gemuruhnya air sungai yang deras. Namun kata-kata mereka
pada akhirnya bagai tersekat di tenggorokan
begitu mereka mendengar derap langkah kuda,
yang semakin lama semakin terdengar jelas.
Ketika Bayu Anaksa, yaitu suami Ni Sukmini
mendongakkan kepalanya kearah jalan berbatu
yang jaraknya hanya beberapa tombak dari
tempat mereka semuanya sudah terlambat. Si
Tiga manusia iblis itu sudah sempat melihatnya.
Bayu Anaksa sudah tidak sempat lagi menyuruh
istrinya bersembunyi.
Begitu tiga manusia iblis itu sampai di
jalanan di tebing sungai, segera saja mereka
menghentikan kudanya. Untuk beberapa saat
mereka memperhatikan Ni Sukmini dan Bayu
Anaksa silih berganti. Kemudian mereka saling
berbisik sesamanya. Lalu tersenyum menggidikkan. "Hei....bocah, kemari kau....!" Perintah Si Cebol Muka Harimau di sertai
seringai menjijikan.
Bayu Anaksa yang merasa di panggil, bukannya
tak tahu siapa adanya orang-orang ini. Akan
tetapi pemuda itu, yang juga memiliki kepandaian silat cukup tinggi dan di kenal
sebagai seorang pemberani, sebaliknya dengan sikap acuh malah
menyahut: "Siapa perlu siapa" Kalau merasa memiliki
keperluan turunlah dari kuda kalian!" Ucapan Bayu Anaksa barusan tentu saja
membuat murka ketiga manusia iblis ini. Sebab, selama malang
melintang di dunia persilatan belum pernah ada
yang berani membantah perintah
manusia- manusia dajal ini. Dan kini ada bocah belasan
tahun yang masih bau kencur berani membangkang. Sungguh sangat keterluan, begitulah fikir mereka. Lalu si Tinggi Besar
tertawa sinis. Sepasang matanya yang cekung
menyiratkan nafsu membunuh yang meledak-
ledak. "Bocah....mulutmu sungguh lancang berani
membantah perintah. Kau tak tahu betapa
tingginya langit dan dalamnya lautan! Apakah kau tak merasa sayang dengan orang
yang berada di sampingmu itu....?" Hardik si Tinggi Besar Muka Tengkorak.
Bayu Anaksa yang kini mulai menyadari gelagat tak baik segera memberi
isyarat pada Ni Sukmini. Ni Sukmini yang
mengetahui makna isyarat itu bermaksud akan
meninggakan tempat itu. Akan tetapi baru saja Ni Sukmini melangkah beberapa
tindak, sekali si
Cebol Muka Harimau gerakkan jemarinya selarik
benda berwarna kehitaman tampak melesat ke
arah Ni Sukmini begitu cepatnya. Ni Sukmini
hanya sesaat saja bisa merasakan ada sesuatu
yang terasa begitu lembut menotok jalan darahnya. Saat berikutnya ia merasakan ada
sesuatu yang menjalar dan membelai-belai tubuhnya yang secara perlahan pula membangkitkan nafsu birahinya. Wajah Ni Suk-
mini kelihatan memerah karena menahan sesuatu
yang terasa meledak-ledak di dalam dirinya.
Namun begitu gejolak itu mencapai puncaknya. Ni Sukmini
tiba-tiba saja merasakan tubuhnya
terasa kaku dan sangat sulit untuk di gerakkan. Si Cebol Muka Harimau tersenyum
puas. Apa yang baru ia lakukan tadi adalah cara menotok jarak
jauh yang sangat ampuh, yaitu ilmu menotok
"MENGUSIR MENDUNG MENGELUS BIDADARI"
yang tiada tandingnya pada kaum golongan
hitam. Mengetahui keadaan istrinya, beberapa saat
lamanya Bayu Anaksa nampak terperangah, tiada
kata yang terucap. Dan begitu ia menyadari apa
yang tengah terjadi dengan istrinya, maka
meledaklah kemarahannya. Dengan sekali genjot
tubuh pemuda itu melayang ke udara, kemudian
dengan manis ia menjejakan kakinya persis di
hadapan tiga manusia iblis itu. Dengan geram dan penuh kebencian ia pun
membentak: "Manusia-manusia muka dajal! Kalian sungguh-sungguh tak
tahu malu memperlakukan istri orang sedemikian
rupa! kurang ajar, hadapilah aku...." Serentak dengan ucapan itu, Bayu Anaksa
menerjang dengan sengit ke arah Si Tinggi Besar Muka
Tengkorak. Namun begitu jarak di antara mereka
sudah saling mendekat, Si Tinggi Besar Muka
Tengkorak hanya dengan mengebutkan tubuhnya
saja, sebuah gelombang hitam yang sangat panas
menerpa tubuh Bayu Anaksa. Tubuh pemuda itu
terlempar beberapa tombak, sebahagian tubuh-
nya berobah kehitam-hitaman. Bayu Anaksa
merasakan rongga dadanya remuk dan sesak.
Begitupun ia berusaha bangkit dan meng-adakan
perlawanan, demi melihat kenekatan pemuda ini,
ketiga manusia iblis tergelak-gelak.
"Hahaha....ja.lel....lel!
Bocah! Nyawamu

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah berada di tenggorokan masihkah kau ingin
jual lagak di depan kami?" Kata si Tinggi Besar.
"Manusia-manusia
jahanam! Mau kalian apakan istriku!" Bentak Bayu Anaksa lalu bersiap-siap membangun serangan.
Melihat gelagat ini Si Tinggi Besar Muka Tengkorak menghardik :
"Bocah....beberapa
tindak kau melangkah! Nyawamu akan segera putus....!"
"Untuk itu sebelum ajal menjemputmu,
Jadilah pendekar yang baik. Dan supaya kau tidak mati penasaran ketahuilah bahwa
kami akan mengambil alih untuk mengurus istrimu yang
cantik itu. kau masih belum becus apa-apa, kau
tak usah khawatir, karena kami akan membahagiakannya. Dan tentu pula kami akan
membuatkan surga untuknya, he-hehe....!" Si Cebol Muka Harimau menimpali. Demi
mendengar penjelasan manusia-manusia iblis ini, mendidihlah darah Bayu Anaksa. Dia
menerjang kembali. Akan
tetapi mendadak langkahnya tersendat, matanya
melotot. Sedangkan ke dua tangan menekap
tenggorokan. Tak lama kemudian pemuda ini pun
ambruk ke bumi.
"Padamu aku bilang apa bocah tolol, kau toh mati juga, hehehe....!"
"Otaknya pasti masih enak kakang....!" Ujar si Tinggi Kurus.
"Persetan. Cepat kita kembali dan urus
perempuan itu!" Bentak si Tinggi Besar. Tanpa berani membantah Si Tinggi Kurus
Muka Badak loloskan sebuah selendang warna hitam yang
berbau sangat anyir, dengan sekali kebut, bagai memungut sesuatu yang tak
berguna, tubuh Ni
Sukmini melayang ke udara lalu jatuh di atas
pangkuan Si Tinggi Kurus.
Iblis Muka Badak ini pun tertawa tergelak-
gelak, begitu tangannya
yang tinggal kulit
pembalut tulang itu tersentuh benda lunak yang
terdapat pada tubuh Ni Sukmini.
"Otakmu Adi Kurus. Jangan macam-macam!
Ingat perempuan itu untuk persembahan tetua
kita. Jangan kau kotori....!" Ujar Si Tinggi Besar Muka Tengkorak mengingatkan.
Si Tinggi Kurus
Muka Badak terkekeh.
"Jangan takut, aku pun tak ingin bertindak ceroboh!"
"Kalau begitu mari kita tinggalkan tempat
ini!" Kata Si Cebol Muka Harimau. Baru saja mereka menghentak kekang kuda, tiba-
tiba saja terdengar bentakan seorang laki-laki tua yang tak lain merupakan orang tua si
gadis. Tiga manusia iblis urungkan niat, tanpa menoleh si Cebol Muka Harimau
menghardik: "Hemm....kiranya masih ada tikus tua yang ingin di kirim ke neraka!"
Muka Badak kirimkan satu pukulan kilat.
"Wuut....!" Seberkas sinar maut berwarna ke biru-biruan itu telah melabrak
tubuhnya. Lolong kematian pun menggema di udara. Jerit suara
tangis dari keluarga yang di tinggalkan terdengar pilu menyayat. Ketiga manusia
iblis itu saling
berpandangan: "Tunggu apa lagi, ayo, ...membuang-buang waktu saja....!" Tukas si Tinggi Besar Muka Tengkorak, lalu
menyentakkan kekang kudanya. Gemuruh derap suara langkah
kuda akhirnya terdengar kembali. Semakin lama
semakin menjauh, begitu manusia-manusia iblis
itu lenyap. Bermunculanlah penduduk desa yang
sedari tadi hanya bersembunyi. Mereka beramai-
ramai memberikan pertolongan pada keluarga
yang baru saja di timpa malapetaka.
EMPAT Di sebuah pesisir yang menjorok ke laut,
dengan hutan Bakau dan kayu api yang menjulang tinggi. Hari itu angin laut berhembus sepoi-sepoi basah. Dengan
hamparan pasir yang
tampak memutih dan tiada pula bertepi, di situlah yang bernama Tanjung Api
berada. Sebuah tempat di mana seorang guru dan muridnya
bermukim selama ini. Di sana pula si Tua Renta
Koreng Seribu dengan tekun dan tiada mengenal
bosan mnggembleng seorang murid yang bernama Buang Sengketa dengan berbagai ilmu
kanuragan. Hari itu genap dua puluh tahun Buang
Sengketa berada dalam asuhan si Tua Renta
Koreng Seribu. Seperti hari biasanya pagi-pagi
sekali tentu Buang Sengketa sudah terjaga dari
tidurnya. Dengan sigap dia langsung membuatkan
sarapan untuk gurunya, berupa ikan bakar, tak
lupa satu kendi nira kelapa yang masih segar.
Begitu jugalah yang terjadi di pagi itu. Buang
Sengketa selalu dengan telaten melayani segala
keperluan Guru, yang juga sekaligus sebagai
orang tua angkatnya ini. Dia tak tahu siapakah
orang tuanya yang sebenarnya, sebab menurut
cerita Kakek Berkoreng sejak bayi merah Buang
Sengketa telah di asuh oleh si Tua Renta yang
selalu bersikap angin-angin ini.
Kalau pada pagi itu dia melihat si Kakek yang
selalu murung ini kelihatan diam seribu bahasa, hal ini membuat Buang Sengketa
merasa sangat heran. Sebab tak biasanya dia bertingkah seperti itu. Atau sakitkah dia" Dalam
keadaan seperti itu Buang tak berani berkata sepatahpun. Begitulah
ketika Buang sedang menyertai gurunya untuk
sarapan pagi, Si Tua renta Berkoreng yang sejak tadi hanya diam saja, kini mulai
buka mulut. "Buang.... sudah berapa tahun kau hidup
bersamaku?" Tanya si Tua Renta Berkoreng,
Seraya memandanggi wajah muridnya tidak
berkedip. Buang merasa sedikit heran dengan
pertanyaan yang di lontarkan oleh gurunya ini.
Dia tak pernah membayangkan bahwa pada
akhirnya dia harus menjawab pertanyaan seperti
itu. Dengan wajah tertunduk Buang berujar:
"Mungkin sudah hampir dua puluh tahun Guru!"
Si Tua Renta Koreng Seribu nampak manggut-
manggut, kemudian seperti berkata pada dirinya
sendiri. "Dua puluh tahun.... berarti usiaku menjelang seratus delapan puluh, hidup ratusan
tahun tiada guna. Aku sudah tua bangka. Dan aku sudah bosan dalam pengembaraan
ini. Sanak saudara tiada punya. Apa daya! Hidup ini adalah fatamorgana
semata, orang-orang saling membunuh demi memperebutkan sesuatu yang
tak pasti. Tapi diriku sendiri selalu lupa pada Hyang Pencipta. Kata lalat-lalat
itu aku ini dewa pembasmi angkara murka, tapi aku sendiri
merasa bagai seorang setan pencabut nyawa.
Beribu-ribu jiwa telah di renggutkan oleh kedua tangan celaka ini. Seandainya di
sana nanti terbentang pengadilan Yang Maha tinggi, apa
yang akan kukatakan. Sengsara....oh...celaka....!"
Kata-kata yang meluncur dari mulut si Tua
Renta Koreng Seribu, yang isinya membersitkan
penyesalan hati,
membuat Buang Sengketa semakin tak berani membuka suara. Tua Renta
Koreng Seribu agaknya mengetahui apa yang
sedang di fikirkan oleh muridnya ini. Lalu dia pun menyela.
"Kau tentu heran mengapa aku berkata
begitu! Duduklah mendekat kepadaku. Hari ini
aku si Tua Renta yang tiada guna ini ingin
bertutur padamu tentang siapa dirimu yang
sebenarnya....!" Dengan hati berdebar Buang Sengketa beringsut mendekati
gurunya. "Buang.... sebelum aku mengatakan sesuatu
padamu aku ingin bertanya apakah keinginanmu....?" Tanya si kakek permurung ini dengan senyum
seperti dipaksakan. Buang merasa bingung dengan pertanyaan gurunya.
"Maksud guru bagaimana?" Si Kakek Koreng Seribu terkekeh, kelihatanlah giginya
yang putih bersih tapi hanya tinggal beberapa buah saja.
"Hahaha....huahaha....prush....!"
Kemudian masih di sea-sela tawanya: "Bocah, maksudku apakah kau ingin sampai bangkotan
tinggal bersamaku di Tanjung Api ini....!"
"Maksud Guru apakah aku harus per....!"
"Buang.... aku sudah mau muntah melihat
tampangmu! Aku ingin agar kau segera meninggalkan tempat ini.."!" Begitu tegas si Tua Renta Berkoreng member!
keputusan, sampai-sampai Buang Sengketa di buat terbelalak tak
percaya. Sesungguhnya dia bukan tak mengerti
akan maksud gurunya. Sebagai orang yang sudah
dewasa sudah barang tentu gurunya ingin agar
muridnya ini dapat menimba pengalaman di dunia
luar. Akan tetapi dia merasa tak tega untuk
meninggalkan gurunya seorang diri di tempat itu.
Kalau saja nanti sampai gurunya jatuh sakit,
siapakah yang akan mengurusnya" Begitulah dia
berfikir. "Mengertikah kau, Buang....?" Ulang si Tua Renta begitu melihat keraguan di
wajah Buang Sengketa. "Aku mengerti, Guru....tapi kalau ku ting-
galkan! Siapakah
yang akan merawat dan
mengurus Guru, nantinya....?"
Ujar Buang khawatir. Mendengar pengakuan Buang Sengketa,
si Tua Renta Berkoreng kembali terkekeh.
"Hua....hahaha....prus....aku
sudah tua bangka! Mengapa ambil perduli. Apakah kau juga
bermaksud ingin menemaniku sampai ke liang
kubur....?" Bentak si Tua Renta Berkoreng tak sabaran.
"Tapi, Guru....!"
"Aku si Tua Bangka tak mau dengar apa yang kau katakan.... tapi kau harus
mendengar apa yang kukatakan nanti....!" Si Tua Renta nampak diam sejenak, wajahnya yang sudah
keriputan itu kelihatan semakin mengkerut. Sementara Buang
Sengketa dengan sangat terpaksa hanya mampu
menurut. Ia tak ingin protes, walau sesungguhnya kemauan untuk itu sesungguhnya
sangat besar sekali. Lalu tanpa memperhatikan Buang apakah
memperhatikan atau tidak, si Tua Renta Berkoreng mulai lagi buka suara: "Sembilan tahun yang lalu. Setiap menjelang
tidur kau selalu menanyakan siapa orang tuamu dan di mana
tinggalnya. Waktu
itu aku hanya memberi penjelasan sekenanya saja, karena ku fikir, saat itu kau belum becus apa-apa.
Kini tanpa kau minta aku akan menjelaskan siapa orang tuamu


Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sebenarnya, karena setelah itu aku ingin
kau melihat-lihat keadaan dunia luar sana....!"
Sejenak Tua Renta Berkoreng hentikan kata-
katanya, alis wajahnya yang sudah kelihatan
memutih itu bergerak-gerak. Daya fikirnya yang
tumpul itu mencoba mengingat-ingat sebuah
masa lalu, saat di mana ia menemukan seorang
bayi yang masih merah, terombang ambing di
permainkan ombak di tengah lautan tidak begitu
jauh dari pertapaannya. Kemudian setelah memungut bayi itu dari dalam sebuat kotak kayu
yang berlumuran darah dan telah kering. Di sisi bayi itu terdapat sebuah pesan
dun juga sebuah
golok Buntung yang setelah di teliti oleh si Kakek Berkoreng adalah sebuah
pusaka milik seorang
datuk dari Negeri Bunian. Lalu ingatlah pula dia akan sebuah tulisan di dalam
surat itu. Mendadak wajah Si Tua Renta Koreng Seribu menunduk.
Tapi dasar orang tua aneh, sebentar kemudian dia kelihatan seperti biasa
kembali. Dengan mantap
dia mulai kembali.
"Buang, menurut sebuah pesan yang menyertaimu sesungguhnya ibumu sudah tiada.
Beliau mangkat dalam menyelamatkan mu dari
orang-orang yang bermaksud ingin membunuhmu....!" Penjelasan ini sudah barang tentu sangat mengejutkan hati Buang
Sengketa. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, waktu
itu dia memberanikan diri.
"Mengapa mereka mau membunuhku, Guru"
Siapakah mereka itu....?" Tanya pemuda itu penasaran.
"Menurut pesan yang di tulis oleh bundamu
sendiri, kehadiranmu di dunia ini diramalkan oleh banyak orang bakal menimbulkan
malapetaka. Sebab seperti pengakuan ibu kandungmu sendiri.
Ayahmu adalah seekor Piton raksasa yang di
kutuk dan terusi dari Negeri Bunian karena telah melangga sumpah, yaitu dengan
mengawini ibumu di alam Mayapada ini....!" Mendengar di sebutnya sekor ular, bukan alang
kepalang terkejutnya Buang Sengketa.
"Siapakah nama ibu dan ayahku, Guru....!'
"Ibumu bernama Nyai Laesih, dia telah tiada seperti yang kukatakan tadi. Sedang
kan ayahmu bernama Raja Piton utara yan kini tinggal di dasar laut Selat Malaka....!
Meskipun dalam hati
kecilnya Buang merasa tak percaya. Tapi ia
merasa penasaran juga.
"Seekor ular raksasa.... tapi mengapa beliau tinggal di dasar laut dan siapa
yang telah membunuh bunda....?"
"Mengenai siapa yang membunuh ibumu itu
aku kurang mengerti, tetapi mengapa Ayahandamu tinggal di dasar laut, hal itu dia
lakukan semata hanyalah untuk menebus kesalahan-kesalahan masa lalu yang telah di
buatnya....!" Jelas si Tua Renta Koreng Seribu.
"Aku jadi semakin tak mengerti Guru....!"
ujar Buang Sengketa setengah linglung. Si Tua
Renta Berkoreng menarik nafas pendek: "Nanti juga akhirnya kau akan mengerti
Buang! Waktu yang akan mengatakannya padamu....!" Usai
berkata, Tua Renta Berkoreng masukkan tangannya ke dalam jubah. Dan begitu tangannya
terulur sebuah kantong warna
merah telah tergenggam di tangannya. Dengan sangat hati-
hati ia membuka tali pengikat kantong. Si kakek mengambil sesuatu dari dalamnya.
Begitu benda itu telah berada di tangannya,
Buang Sengketa tersentak dan terbelalak tak
percaya. Bagaimana tidak, benda yang tergenggam di tangan si kakek memang tidak
dapat di sangkal hanyalah merupakan sebuah
Golok Buntung, tapi yang membuat Buang
terheran-heran adalah karena golok di tangan si kakek memancarkan sinar
berkilauan dengan
warna merah menyilaukan mata. Di samping itu
dengan tiba-tiba udarai di ruangan pendopo
terasa sangat dingin menggigil, padahal di
ruangan itu terdapat sebuah tungku perapian
yang masih menyala. Hawa dingin terasa menyerang pemuda itu semakin lama bertambah
dasyat. Dalam keadaan seperti
itu, Buang Sengketa terpaksa segera membentengi diri
dengan tenaga dalam. Tentu saja si kakek
berkoreng mengetahui hal itu. Maka si kakek pun terkekeh: "Kalau pusaka
ini berada dalam genggamanmu tentu kau tak merasa kedinginan,
Buang..." Pemuda ini melongo. lalu tanyanya "Apakah
pusaka itu milik guru....?"
Lagi-lagi si Tua Renta Koreng Seribu terkekeh. "Huahahaha... ho wah aha... prus... tentu
saja tidak, pusaka ini milikmu, yang di titipkan oleh ibumu padaku. Ini adalah
sebuah pusaka yang sangat luar biasa! Aku yakin dikolong jagat ini tiada duanya....!"
LIMA Begitulah Tua Renta Berkoreng memuji, akan
tetapi walaupun Buang Sengketa sedikit banyaknya sudah mengetahui kehebatan Golok
Buntung itu, tapi ia kelihatan tak berminat untuk memilikinya.
"Guru, bukannya aku merehkan kehebatan
Golok Buntung itu, akan tetapi karena bentuknya dan sangat pendek sekali, maka
aku kurang berhasrat untuk memilikinya....!"
Mendengar pengakuan Buang Sengketa, tentu saja Tua Renta
Berkoreng di buat terkejut bukan alang kepalang.
Di samping juga timbul perasaan marah, akan
tetapi begitu ia menyadari dan ingat akan
sesuatu, maka dia pun tersenyum.
"Wee...bocah
goblok...Golok ini sesungguhnya sangat panjang dan indah bahkan
bisa di sambung kembali....!" Ujar si Tua Renta mengingatkan.
"Apa maksudmu Guru....?"
Kakek Koreng Seribu menyeringai, kemudian
lanjutnya : "Patahan golok ini sesungguhnya masih ada
pada seseorang dan kau berhak untuk memintanya kapan saja kau mau....!"
Buang Sengketa gosok-gosok wajahnya,
"Aku tak mengerti, guru...!''
"Memang dasar bocah bebal, maksudku
bahwa sambungan Golok ini ada pada ayahandamu si Piton Utara! Tentu saja dia cukup mengerti mengapa dia
meninggalkan sisa golok
ini padamu....!"
"Tapi aku tidak mengerti, Guru...!" Si Tua Renta meihat kepolosan muridnya, jadi
geleng-geleng kepala.
"Selain untuk melindungi dirimu, tentu ayahmu itu berkeyakinan suatu saat kelak
seorang anak akan mencari ayahnya! Untuk itu
sebagai tanda-tanda tertentu ia memberikan
puntungan Golok pusaka ini pada almarhum
ibumu, sedangkan bagian yang lain tetap di
bawanya. Seandainya suatu saat kau dapat
bertemu dengan ayahmu itu, karena kau mempunyai tanda-tanda itu, tentu beliau akan
mengakuimu sebagai anak kandungnya! Begitulah
sesuai dengan pesan yang di tulis oleh ibumu!"
"Nah. Buang segalanya telah jelas dan kau
tak mempunyai hak untuk menolak pusaka
pemberian orang tuamu itu. Terimalah....!" Ujar si Tua
Renta, menyarungkan pusaka
itu lalu menggangsurkannya
pada Buang. Buang Sengketa menyembah tiga kali. Dengan agak
gemetar ia menerima Golok Pusaka itu, untuk
kemudian meletakkannya persis di hadapannya.
"Bocah goblok, pusaka itu harus kau selipkan di tempat yang pantas pada bagian
tubuhmu. Bukan untuk di lihat-lihat seperti itu....!" Bentak si Tua Renta berwajah murung
kesal. "Aku mengerti Guru, nanti juga ku lakukan...." Buang tersenyum-senyum. Tanpa menghiraukan tingkah muridnya dengan
tegas si Renta Koreng Seribu memutuskan: "Buang
Sengketa! Hari ini adalah merupakan saat-saat
terakhir kau bersamaku! Pergilah ke dunia ramai!
Rimba persilatan kini sedang di landa keresahan.
Dan bukan tidak mungkin akhirnya keresahan itu
berubah menjadi malapetaka. Aku yang sudah tua
tiada guna ini, ingin agar kau ambil bagian dalam membasmi
segala kejahatan

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang selalu menindas kaum lemah. Aku rasa apa yang aku
berikan sudah cukup! Satu saja pesanku, bawalah apa yang kau dapat selama ini
dariku ke jalan
yang benar. Semoga kau tetap selamat dan cepat
bertemu ayahandamu....!" Kiranya mendengar wejangan gurunya tanpa terasa air
mata Buang Sengketa menggelinding menuruni kelopak matanya, kemudian turun ke pipi, Buang merasa
sangat sedih untuk berpisah dengan gurunya.
Tapi yang jelas, tingkah laku Buang membuat si
orang tua tidak dapat lagi manahan tawanya.
"Hahaha...hoahah.... sudah dua puluh tahun, sejak kau kecil aku tak pernah
melihat orang menangis. Tapi kiranya hari ini aku di hadapkan pada
seorang bocah yang cengeng. Huh....sungguh memalukan!" Kakek Renta ini mendengus.
Serta merta Buang menghapus air matanya.
"Untuk tidak mengecewakan guru, aku tidak
akan bersikap lemah. Guru memutuskan aku
untuk turun ke dunia ramai. Aku turun! Akan
tetapi bolehkah aku kembali setiap tiga purnama....?"
"Weii...bocah edan! Apa yang kau dapat di
luaran sana, kalau cuma tiga purnama kau telah
kembali" Tiga purnama adalah sebuah waktu, bila kau berkeinginan untuk muter-
muter di sekitar
hutan ini belum juga puput....!" Si Kakek Renta menggertakkan
rahang. Semakin kesal, bertambah jengkel.
"Lalu bagaimana guru....!" Si Kakek Renta garuk-garuk
rambutnya yang sudah putih. Sejenak matanya melotot.
"Sekali kau berniat mencampuri urusan dunia ramai. Seratus
tahun lagi kau baru boleh
kembali....!"
"Seratus tahun...." Bukankah pada saat itu guru sudah mati" Sedangkan umurku
sendiri belum tentu bisa bertahan sampai segitu!" Buang Sengketa menyela dan merasa
kurang setuju dengan keputusan gurunya.
"Aku tak ingin dengan semua protesmu, aku
ingin saat ini juga kau segera minggat dari
hadapanku....!"
"Oh itu tidak adil guru! Aku baru mau
meninggalkan tempat ini menjelang sore nanti!"
Si Tua renta Koreng seribu mengangguk. Buang
kelihatan gembira bukan alang kepalang. Sesaat
si kakek meninggalkan pendopo, tak lama telah
kembali lagi dengan membawa sebuah pecut
yang sudah butut. Si kakek kembali duduk di
tempat semula. Seraya memperlihatkan pecut
jelek yang berada di tangannya.
Buang melirik ulah gurunya tanpa berkedip.
Tak kala Buang sudah merasa hampir bosan,
barulah si kakek angkat bicara: "Buang Sengketa, aku tak dapat memberi apa-apa
kccuali pecut ini.
Pada zamanku, cambuk jelek ini pernah menggegerkan dunia persilatan. Ratusan nyawa
telah terenggut oleh pecut ini. Cambuk ini ku beri nama, "PECUT GELAP SAYUTO"
kehebatannya tak perlu ku ceritakan padamu sebab akhirnya kau
akan tahu sendiri. Jika kau dalam keadaan sangat terdesak, pergunakanlah
dia....!" "Guru! Aku sangat berterima kasih dengan
semuanya ini! Murid berjanji untuk tidak mengecewakan harapan guru....!"
Setelah menerima cambuk pemberian gurunya dan melilit
di pinggang, Buang menjura beberapa kali.
Matahari telah condong di ufuk barat ketika
Buang Sengketa meninggalkan Tanjung Api. Tak
ada yang mengantar kepergiannya. Kakek Tua
Renta Koreng Seribu pun hanya mengantar
kepergiannya sampai di halam rumah saja. Sekali lagi Buang Sengketa menoleh ke
arah sebuah gubuk bertonggak tinggi yang sudah kelihatan
sangat jauh. Dia sudah tidak melihat lagi gurunya menatap
kepergiannya. Semuanya mulai kelihatan samar-samar dan untuk kemudian
berubah menjadi titik kecil dan hitam Buang
Sengketa sudah tiada perduli, dia tetap melangkah pergi.
* * * * * Cuaca buruk dan hujan badai yang kerap
terjadi akhir-akhir ini di sebuah daerah yan
bernama Guntiam tidak menyebabkan niat dua
bersaudara seperguruan itu bersurut langkah
dalam upaya mempersatukan kembali kaum
persilatan golongan putih yang telah terpecah
belah. Pagi itu dalam suasana hujan lebat, Dewi Bantaran dan Aki Sumendep telah
sampai di kediaman Resi Pranada. Sebuah pondok kecil
yang terletak di pegunungan Gundul itu lengang.
Murid-murid Resi Pranada tak seorangpun kelihatan. Hal ini tentu membuat Dewi Bantaran
dan Aki Sumendep bertanya-tanya dalam hati.
Sebab sepengetahuan mereka berdua dalam
situasi bagaimanapun biasanya murid-murid pondok Giunung Gundul yang jumlahnya mencapai puluhan orang akan selalu tampak
berjaga-jaga walaupun hanya di depan pintu. Hal ini tentu saja membuat kedua
orang kurir penghubung ini semakin bertambah curiga, Maka
kedua orang tokoh tingkat tiga dari kaum
persilatan golongan putih yang berasal dari bukit Barisan ini dengan tergesa-
gesa segera memburu
ke arah pondok. Akan tetapi baru saja mereka
sampai di depan pintu, alangkah terperanjatnya
hati mereka, ketika keduanya melihat mayat-
mayat bergelimpangan. Untuk beberapa saat
lamanya Aki Sumendep memeriksa keadaan
mayat-mayat itu. Hampir dari kesemuanya mati
dalam keadaan tubuh hangus terbakar, Melihat
keadaaan mayat-mayat itu, tentu pelakunya tidak seorang dan vang pasti memiliki
kepandaian yang sangat tinggi. Dewi Bantaran dan Aki Sumendep
saling berpandangan. Namun begitu mereka
teringat akan Resi Pranada, serta merta keduanya menerjang ke dalam pondok.
Suasana telah mengerikan terbentang d hadapan mereka. Bagai
sebuah mimpi yang teramat buruk. Saling
membisu mereka memeriksa keadaan mayat-
mayat itu. Dan begitu mereka sampai di sudut
ruangan, bukan main terkejutnya mereka, Resi
Pranada juga tewas dalam keadaan mengerikan
seperti yang lainnya.
Kalau melihat keadaannya, tentu malapetaka
itu hanya beberapa saat yang lalu terjadi. Tapi siapakah pelakunya" Yang pasti
manusia-manusia
keji itu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Resi Pranada atau bahkan lebii
tinggi dari mereka
berdua. Sebab seperti mereka ketahui, Resi
Pranada adalah salah seorang dari lima tokoh
kosen golongan putih di negeri Andalas. Siapapun tak meragukan kemampuannya.
Bahkan kedua kurir ini hanya memiliki kepandaian setingkat di bawah Resi yang tewas. Kejadian
ini benar-benar sangat membingungkan utusan dari bukit Barisan.
"Bagaimana kakang.... Resi Pranada juga
kiranya ikut tewas dalam peristiwa ini!" Ujar Dewi Bantaran menyesalkan. Aki
Sumendep menarik
nafas pendek, matanya yang lumur itu memperhatikan berpuluh-puluh mayat yang bergelimpangan di hadapannya. Dengan agak
tersendat dia berkata: "Kiranya
kita telah terlambat memberi isyarat maut pada mereka!
Kini hanya tinggal dua Padepokan lagi yang
tersisa dan sangat perlu kita hubungi, mudah-
mudahan kita masih belum terlambat!"
"Kira-kira siapakah yang bertanggung jawab atas kejadian ini kakang...?" Dewi
Bantaran menyambung. Aki Semendep tercenung untuk
beberapa saat lamanya.
"Kalau kesimpulanmu apa....?" Tanya Dewi Bantaran tak sabar. Lagi-lagi Aki
Semendep terdiam. Tapi kemudian dengan sangat berhati-
hati. "Mungkin desas-desus yang kita terima se-
lama ini benar adanya! Tiga manusia iblis itu
audah mulai membangun kekuatan yang siap
untuk menghancurkan kita, kemudian memenuhi
ambisi mereka untuk merajai dunia persilatan!"
"Untuk apa mereka menculik gadis-gadis
itu?" Dewi Bantaran semakin tak sabar.
ENAM Desakan adik seperguruannya membuat Aki
Sumendep teringat akan sesuatu yang pernah di
ceritakan oleh almarhum guru mereka. Lalu dia
menyambung kembali.
"Tentu saja untuk menyempurnakan ilmu
mereka.... atau mungkin pula untuk dipersembahkan pada
sesuatu yang sangat mereka yakini....!"
"Maksudmu apakah gadis-gadis malang itu
akan mereka persembahkan pada "SEPASANG
SILUMAN NAGA PUTIH?"
"Itu mungkin saja terjadi" Ujar Aki Sumendep was-was
"Bukankah Sepasang Siluman itu menurut
ceritanya sudah kalah dan sudah pula dilenyapkan oleh
seorang

Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendekar yang berjuluk "SI BANGKOTAN KORENG SERIBU" seratus tahun
yang lalu" Bantah Dewi Bantaran tak percaya
"Kita tak tau apa yang sesungguhnya terjadi.
Saat itupun kita belum lahir dan mungkin juga
pendekar yang telah melegenda itu telah membinasakan sepasang siluman itu. Akan tetapi
seperti pernah dituturkan oleh mendiang guru kita bahwa sepasang siluman itu
sewaktu-waktu dapat
hidup kembali, apabila ada orang yang tahu cara-cara untuk membangunkannya....!"
"Kalau memang benar siluman itu dapat di
hidupkan kembali! Ini sudah jelas merupakan
malapetaka bagi kita, pertemuan golongan putih
satu purnama di depan tentu tidak akan berguna
banyak....!" Kenang Dewi Bantaran sedih. Melihat adik
seperguruannya patah semangat, Aki Sumendep coba mengingatkan: "Langkah kita
belum sampai di tengah jalan adi! Kita tak boleh lemah seperti itu bukankah
almarhum guru kita
juga pernah berpesan begitu" Kita harus mencegah mereka, walaupun air mata darah
taruhannya,...!"
Demi mendengar peringatan saudara seperguruan. Dewi Bantaran cepat-cepat
hapus air mata yang sempat bergulir menuruni
pipinya yang halus mulus.
"Kakang benar. Ayo kita rumat jenazah
saudara-saudara kita ini, terlebih lebih jenazah Resi Pranada....!"
"Mari,adi...." Demikianlah saat mereka mulai menggali kubur, hujan masih turun
walau tidak sederas tadi. Tapi cukup membuat pakaian
mereka basah kuyup. Mereka tidak perduli, dan
setelah sebuah lubang massal tergali, mereka
membuat sebuah kubur lagi untuk Resi Pranada
yang mereka hormati, mereka bekerja cepat. Tak
begitu lama kemudian merekapun telah selesai
menguburkan jenazah-jenazah itu, begitupun de-
ngan jenazah Resi Pranada.
Setelah memberi penghormatan terakhir,
mereka sudah berniat untuk meninggalkan Pondok Gunung Gundul ketika Dewi Bantaran
sempat melihat seseorang berjalan melenggang.
Dengan mengenakan pakaian merah menyala
beberapa puluh tombak di depan mereka.
Kehadiran orang ini tentu saja membuat ke dua
orang ini menaruh curiga.
"Berhenti....!" Bentak Dewi Bantaran. Bagai orang tuli orang yang berpakaian
warna merah menyala ini terus melangkah menjauh. Merasa
diremehkan sudah barang tentu Dewi Bantaran
menjadi marah. Kemudian dia cabut senjata
rahasia dari balik jubahnya. Saat tangannya
terayun ke atas, Aki Sumendep datang mencegah, "Jangan! Kita belum tahu siapa orang ini....!"
"Tapi orang itu bertingkah di hadapan kita kakang.
Siapa tahu dia pula yang telah membunuh Resi Pranada...!"
Tukas Dewi Bantaran kesal.
"Sabar.... kita tanya dulu....!" Dewi Bantaran geram. Lalu sekali orang-orang
ini berkelebat,
langkah orang berpakaian merah menyala inipun
terhadang. Dan bukan main terkejutnya Aki
Sumendep dibuatnya. Karena nampak biasa-biasa
saja. Sesuatu yang membuat geli bagi kedua
orang saudara seperguruan itu adalah karena
pemuda itu membawa sebuah periuk penuh
jelaga, sedangkan rambut di kuncir sebatas bahu.
Dan Dewi Bantaran sendiri dalam hati sangat
menyayangkan. Karena pemuda yang sangat
tampan ini ternyata seorang pemuda yang kurang
waras. Dewi Bantaran jadi tak berminat untuk
menanyai pemuda ini. Lain halnya dengan Aki
Sumendep, setelah dia memperhatikan pemuda
ini, sedikit banyaknya dia tahu, kalau pemuda
yang bertabiat aneh ini tentu mempunyai kepandaian. Untuk itu dia menguji.
"Bocah....mampuslah kau....!" Aki Sumendep lancarkan satu serangan. Hal ini
tentu saja membuat heran adik seperguruannya. Ketika
Dewi Bantaran bermaksud memprotes, sadarlah
dia bahwa Aki Sumendep hanya bermaksud
menguji pemuda itu.
Sementara itu si pemuda yang di serang
sedemikian mendadak, tidak membuatnya menjadi gugup. Dengan mudah dia berkelit,
serangan mematikan yang di lancarkan Aki
Sumendep menemui tempat kosong. Hal itu
sudah cukup bagi Aki Sumendep untuk mengetahui apakah pemuda itu memiliki kepandaian silat atau tidak. Itu makanya dengan sikap sopan ia bertanya: " Orang
muda siapakah kau
ini sebenarnya dan dari mana asal usulmu....?"
Dengan sikap acuh pemuda ini yang sesungguhnya Buang Sengketa adanya untuk
beberapa saat memandang pada Aki Sumendep
dan Dewi Bantaran secara bergantian.
"Hei...malah melotot seperti itu! Jawab
pertanyaan kakangku, cepat....!" Bentak Dewi Bantaran merasa
jengah terus menerus di perhatikan oleh Buang Sengketa.
"Kau cantik....tapi galak. Aku tak akan
menjawab orang yang galak seperti kau!"
"Kurang ajar....!" Dewi Bantaran kirim satu pukulan
yang mengarah ke perut Buang Sengketa. "Jangan adi....!"
Cegah Aki Sumendep. Namun terlambat, karena Buang Sengketa juga
memapasinya. Dua kekuatan bertemu walau
Buang Sengketa hanya mengerahkan seperempat
dari tenaganya akan tetapi akibatnya sungguh
sangat luar biasa bagi Dewi Bantaran.
"Blaaammm....!" Dewi Bantaran terpental beberapa
tombak. Walaupun tidak sampai muntah darah karena Buang memang tidak punya
maksud buruk. Hal ini selain membuat dada Dewi
Bantaran terasa sesak akan tetapi ia merasa
sangat malu. Terlebih-lebih di depan saudara
seperguruan dia di perlakukan seperti itu. Dia
tidak bisa terima! Dengan cepat dia bangkit dan bersiap-siap dengan sebuah
serangan barunya.
"Adi, jangan! Lebih baik kita tanyai pemuda ini, siapa tahu dia mengetahui hal
yang telah menimpa Pondok Gunung Gundul!"
"Tidak bisa kakang, dia telah mempermalukan aku!"
"Aku tak bermaksud menghiha adikmu yang
cantik itu. Sungguh....!" Dengan polos Buang memuji, dan dengan sopan pula ia
menjura hormat pada Aki Sumendep.
"Lihatlah Dewi, dia telah minta maaf Sudahlah jangan sakit hati lagi....!"
Walaupun hatinya masih kesal, Dewi Bantaran memaafkannya: "Baik, aku memaafkanmu! Tukasnya ketus. Kemudian sambungnya lagi: "Kakang cepat korek keterangan dari mulut-nya....!"
"Adi kau tidak boleh bersikap kasar separti itu...!" Lagi-lagi dengan sabar Aki
Sumendep mengingatkan adik seperguruannya. Tak lama
kemudian dia kembali lagi dengan Buang Sengketa. "Siapakah namamu dan dari manakah asal
usulmu!" Ulangnya.
"Namaku Buang Sengketa... mengenai asal
usul, aku tak dapat mengatakannya,....!


Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, kakang apa kubilang. pemuda ini tak
dapat di percaya....!" Protes Dewi Bantaran.
"Tenanglah Dewi....!"
"Untuk apa" Lebih baik kita potes kepalanya lalu kita pergi! Siapa tahu dia
sengaja mematai kita....!"
"Jangan gegabah! Aku tak tahu apa yang
kalian kerjakan disini....!"
"Dia pura-pura kakang....!" Tukas
Dewi Bantaran marah. Aki Sumendep tanpa menghiraukan ocehan adiknya kembai bertanya
pada Buang Sengketa: "Orang muda, melihat
tampangmu aku percaya padamu. Aku ingin agar
kau menjawab beberapa pertanyaan lagi. Setelah
itu kami akan pergi! Masih banyak pekerjaan
yang harus kami selesaikan daripada hanya
sekedar bertanya jawab....!"
"Silahkan! Kalau aku
tahu tentu akan
kujawab!" Buang Sengketa berkata tegas.
"Baiklah....tahukah kau siapa yang telah
melakukan pembantaian disini. Tanya Aki Sumendep dengan pandangan penuh selidik.
"Tidak tahu....tadi aku hanya melihat anda berdua
mengubur mayat-mayat itu!" Aki Sumendep manggut-manggut. Lain lagi dengan
Dewi Bantaran yang merasa kurang puas dengan
jawaban si pemuda.
"Kakang tidak bisa percaya dengan orang ini begitu saja. Siapa tahu dia berpura-
pura....!"
Demi mendengar tuduhan Dewi Bantaran
yang tidak beralasan itu, memerahlah wajah
pemuda Bunian ini, Dengan dingin dia bergumam:
"Aku berada di dunia ramai yang penuh dengan tipu-tipu ini ada satu yang ingin
kutawarkan, yaitu sebuah kebenaran. Sungguh keterlaluan kau menuduhku begitu....!"
Mendengar ucapan yang terasa pelan, namun
menggetarkan pembuluh-pembuluh
darah mereka. Maka sadarlah kedua orang ini bahwa
laki-laki yang berada di hadapan mereka bukanlah pemuda sembarangan. Belum lagi
pertanyaan di hati mereka terjawabkan. Mendadak terdengar derap langkah kuda. Semakin lama semakin dekat. Jumlah orang-
orang berkuda itu kesemuanya tidak lebih dari
sepuluh orang, berpakaian hitam gelap dengan
berbagai senjata bergeluyut di punggung mereka.
Orang-orang berkuda itu berhenti begitu sampai
di depan Buang Sengketa. Agaknya salah seorang
dari mereka mengenal Aki Sumendep dan Dewi
Bantaran. Karena begitu orang ini melihat mereka langsung saja tertawa. Sebuah
tawa yang tinggi
melengking sangat mirip dengan suara ringkik
kuda. "Hehehehe....
sangat kebetulan sekali kawan-kawan. Kalau hari ini begitu mudahnya
dapat menangkap kurir yang ingin mempersatukan golongan putih, yang cuma
tinggal tikus-tikus comberan saja....!" Ujar si Gemuk Ringkik Kuda terkekek.
"Tentu guru kita akan merasa bersukur
karena hari ini juga kita dapat tikus betina cantik yang selama ini sangat
didambakan-nya....!" Si Brewok yang ada di sampingnya menimpali.
Diejek seperti itu tentu saja Dewi Bantaran mulai naik
pitam, dengan bertolak pinggang
dia membentak. * * * * * TUJUH Dan kemudian mencaci maki pada orang-
orang utusan manusia iblis.
"Kalian para murid manusia iblis, jangan kira kami takut menghadapi kalian
semuanya. Kalian
jangan mimpi untuk dapat menghancurkan golongan kami!" Si Muka Brewok tertawa terkekeh-kekeh.
"Gundukan tanah itu saja sudah membuktikan bahwa golongan kalian sudah tidak
ada apa-apanya. Hentikan sajalah usaha kalian.
Lebih baik ikut dengan kami! Kalian pasti hidup senang dengan guru kami!"
"Puih... aku tidak akan berhenti sampai disini saja. Jagalah mulutmu yang busuk
itu....!" "Wee...dia
menghinamu kakang Brewok,
sikat saja....!" Si Brewok tanpa berkata-kata lagi langsung
meloloskan sebuah golok Besar bierwarna kehitaman yang tergantung dipunggungnya. "Manusia Setan! Kalian berani berlagak di
depan kami....!" Maki Dewi Bantaran lalu bersiap-siap membangun serangan.
"Bocah ayu...kami tidak perlu membuat lecet tubuhmu. Tak usah galak-galak, kami
hanya ingin membantai
kedua ekor tikus yang menyertaimu...!" Ucapan si ringkik kuda ini tentu saja memancing amarah Buang
Sengketa yang sejak tadi hanya diam menonton. Kini dia sudah
tahu masalah yang sesungguhnya dan siapa yang
harus di bela dia sudah tentukan. Untuk itu dia menghardik kearah si Ringkik
Kuda. "Segala kucing belekan mau jual lagak di
depanku! Enyahlah kalian...!" Usai berkata begitu Buang dorongkan tangan kirinya ke depan. Dan
selarik gelombang dengan warna Ultra Violet
menderu dan melesat ke arah orang-orang
berkuda itu. Itulah sebuah pukulan yang teramat dasyat yang di beri nama, "EMPAT
ANASIR KEHIDUPAN" yang dimiiki oleh Buang. Dan
akibatnya sungguh sangat luar biasa. Bagai daun-daun kering tubuh dan kuda
mereka luruh berpentalan ke bumi. Jerit kematian pun membahana di tempat itu. Dari sekian banyak
orang berkuda itu, kini hanya tinggal bersisa
empat orang saja. Itupun keadaan mereka sudah
terluka dalam cukup parah, enam orang lainnya
sudah kojor dalam keadaan tubuh yang mengerikan. Tentu saja kenyataan ini membuat
Dewi Bantaran dan Aki Sumendep terbelalak
kagum. Dalam usia masih begitu muda orang ini
sudah memiliki kesaktian yang sangat luar biasa.
Dan mungkin pula melebihi kesaktian dari tiga
manusia iblis yang kini sedang bersiap-siap untuk menghancurkan kaum persilatan
golongan putih.
Tanpa sadar Aki Sumendep berseru memuji.
"Sungguh mataku yang lamur ini tak percaya bahwa
hari ini sang Hyang widi telah memperlihatkan sesuatu yang sangat luar biasa.
Hebat! Siapakah guru bocah....?"
"Ah.... anda terlalu berlebihan Aki. Segala pukulan picisan begitu tentu setiap
orang bisa melakukannya!" Ujar Buang Sengketa merendah.
"Beginilah orang yang menganut ilmu padi....
semakin berisi semakin merunduk!" Buang hanya tersenyum di kulum. Tanpa
menghiraukan Aki
Sumendep, Buang Sengketa kembali kepada
keempat musuhnya yang mulai melangkah tertatih-tatih.
"Hari ini kuampuni jiwa anjingmu. Katakan
pada majikanmu bahwa aku akan datang kesana.
Cepat kalian tinggalkan tempat ini sebelum aku
berobah pendirian!" Bentak Buang melotot. Lalu tanpa menoleh lagi sisa-sisa
utusan datuk sesat ini
dengan terhuyung-huyung
meninggalkan mereka bertiga. Setelah keempat sisa utusan
manusia sesat itu lenyap dari pandangan mereka.
Kini Buang Sengketa kembali pada Aki Sumendep
dan Dewi Bantaran.
Sebelum berkata apa-apa pendekar Bunian
ini merogoh periuk yang tergantung di pundaknya. Dia mengeluarkan beberapa potong
dendeng ikan lumba-lumba kemudian menawarkannya pada dua orang seperguruan itu.
Tapi dengan halus Aki Sumendep dan Dewi
Bantaran menolaknya. Tanpa merasa tersinggung, dengan lahap Buang Sengketa mulai
mengunyah tiga potong dendeng yang di keluarkan dari dalam periuk tadi. Kemudian masih dengan mengunyah.


Pendekar Hina Kelana 1 Utusan Orang Orang Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aki. Aku sudah tahu siapa kalian! Kita orang segolongan, untuk itu aku sudah
memutuskan untuk membantu kalian berdua....!"
"Kalau begitu tentu anda tidak keberatan
untuk menyertai kami, orang muda?" Ujar Aki Sumendep penuh harap.
"Namaku Buang Sengketa...!"
Jelas si pendekar Bunian.
"Tentu saudara Buang tidak keberatan mengikuti kami dalam usaha mempersatukan
golongan kita!" Kata Dewi Bantaran berubah lunak.
Buang tersenyum lucu.
"Maaf Dewi, untuk mengikuti kalian jelas
tidak mungkin sebab aku sendiri masih punya
urusan yang sangat penting!" Buang Sengketa menjawab seadanya.
"Oh...!" Aki Sumendep agak kecewa. "Aki tak perlu risau... bila saja nanti
urusanku di Sorik Merapi
sudah beres, tentu aku akan menyambangi anda berdua...!" Mendengar di
sebut-sebutnya Sorik Merapi tentu kedua orang
ini merasa kaget.
"Sorik Merapi" Ada keperuan apakah"!"
"Nantinya juga aki akan tahu, aku tak dapat berama-lama. Selamat Tinggal!"
Berkata begitu, tiba-tiba saja Buang Sengketa telah lenyap dari pandangan
mereka. "Pemuda itu memiliki kesaktian yang sangat luar biasa ya, kakang....!" Kata Dewi
Bantaran diiringi sesungging senyum berseri-seri.
"Mudah-mudahan saja dia benar-benar akan
membantu kita...!" Ujar Aki Sumendep melangkah pergi diikuti Dewi Bantaran. Dan
sebentar saja keduanya semakin menjauh dari
Pondok Gunung Gundul.
* * * * * Puncak Sorik Merapi yang selalu menampilkan kesan angker, masih di selimuti
kabut tebal di senja itu. Matahari yang sejak pagi tertutup a wan membuat
suasana di sekitar-nya
menjadi cepat bertambah gelap. Nun jauh di
ujung sebelah barat lereng bukit. Mengangalah
sebuah jurang yang tiada terukur dalamnya. Dan
di pinggiran tebing itu pula terdapat jalan setapak berbatu lumut dan sangat
licin. Andai orang biasa tentu tak sanggup melalui jalan itu, sebab jika kurang
berhati-hati dan tergelincir, tentu batu-batu cadas yang jauhnya ribuan meter di
bawah sana sudah siap menanti. Sorik Merapi memang
tidak pernah ramah pada siapapun. Berpuluh-
puluh orang, baik itu pemburu, pencari kayu
bakar ataupun hasil hutan lainnya telah banyak
tersesat dan hilang raib tak tentu rimbanya.
Hutan di sekitar Sorik Merapi memang selalu
terasa angker, penuh misteri dan penuh dengan
segudang tanda tanya. Itulah sebabnya Sorik
Merapi merupakan sebuah kawasan pegunungan
yang tertutup bagi siapapun.
Kembali pada jalan licin tadi. Meskipun jalan
ini sepertinya tak pernah dilalui jin, setan apalagi manusia. Tetapi
sesungguhnya jalan di pinggir
tebing yang curam itu, merupakan jalan satu-
satunya untuk dapat mencapai mulut gua tempat
pertapaan tiga manusia iblis yang terletak tidak begitu jauh dari pinggiran
tebing. Merekalah yang selama ini mempergunakan jalan itu pada saat-saat mereka
ingin bertemu dengan para muridnya
yang bermukim di bawah jurang sana jadi
tepatnya tiga manusia iblis itu tinggal di atas tempat tinggal para muridnya.
Persis seperti raja.
Sore menjelang malam kesibukan di dalam
goa kelihatan lain dari biasanya. Tiga manusia-
manusia sesat ini nampak berkumpul, tidak diam
di pertapaannya masing masing. Mereka sedang
sibuk mempersiapkan persembahan untuk disajikan pada sepasang siluman naga putih, yang berdiam di telaga kawah, hanya
beberapa meter dari pertapaan mereka. Masing-masing orang
mempunyai keperluan dan tugas yang saling
tarbeda. Si Cebol Muka Harimau sedang berbenah
mendandani sebuah altar persembahan yang
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 16 Wanita Iblis Karya S D Liong Pedang Angin Berbisik 31
^