Pencarian

Dendam Tokoh Buangan 1

Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan Bagian 1


1 Burung-burung berkicau riang menyambut datangnya pagi.
Angin yang berhembus terasa segar di dada, dan nikmat di kulit. Kabut yang masih
menyelimuti Gunung Sawang begitu pekat, sehingga matahari tak kuasa memancarkan
sinarnya. Suasana hening dan sunyi menyelimuti sekitar tempat itu. Tapi
mendadak.... "Groaaah...!"
Geraman keras menggelegar terdengar memecahkan
keheningan pagi itu. Geraman itu jelas keluar dari mulut seorang yang memiliki
tenaga dalam amat tinggi. Buktinya, suara itu mampu menggetarkan suasana di
sekitarnya. Dan sumber suara itu ternyata dari dalam perut Gunung Sawang. Di dalam sebuah
gua luas yang tertutup rapat oleh batu besar, tampak seorang laki-laki berusia
sekitar enam puluh tahun duduk bersila di tanah. Pergelangan kaki dan tangannya
dililit gelang-gelang baja tebal dan kuat yang disambung oleh rantai-rantai baja
panjang yang juga tebal ke dinding-dinding gua. Menilik dari besarnya,
seharusnya gelang-gelang baja dan rantai itu tidak cocok digunakan pada manusia,
tapi untuk membelenggu seekor gajah besar yang bertenaga kuat.
"Grrrh...!"
Kembali terdengar geraman keras dari mulut kakek
berbaju rompi compang-camping yang sudah tidak jelas lagi warnanya. Dan suara
geraman itu lebih mirip raungan seekor binatang buas yang terluka.
Seiring berakhirnya geraman, kakek itu bangkit berdiri.
Kemudian kedua tangan dan kakinya yang besar-besar dan berotot, seperti juga
tubuhnya yang tinggi besar berotot, bergerak mengejang. Jelas kalau kakek Itu
bermaksud membebaskan diri dari belenggu.
Suara bergemeretak keras terdengar ketika dinding gua yang terlihat keras bukan
main terbongkar. Sekujur dinding dan atap gua itu bergetar hebat seiring
jebolnya dinding tempat rantai baja tertanam. Debu berguguran dan
mengepul tinggi ketika dinding gua itu terbongkar.
"Ha ha ha...!"
Kakek tinggi besar itu tertawa tergelak begitu tubuhnya telah terbebas dari
pasungan di dinding gua. Luar biasa akibat tawa itu! Seluruh ruangan itu
bergetar hebat seperti dilanda gempa. Jelas, tawanya itu didukung oleh
pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan menilik akibat yang ditimbulkan, jelas
sekali kalau tingkat kepandaiannya telah tinggi.
Kakek berompi compang-camping itu terus saja tertawa-tawa, meskipun akibat
tawanya telah disaksikannya sendiri. Rupanya dia tengah merasa gembira bukan
main. "Ha ha ha...! Gering Langit..! Kini aku telah bebas!
Bebas! Ha ha ha...!"
Sambil terus tertawa-tawa, kakek bertubuh tinggi besar itu memutuskan gelang-
gelang baja yang masih melilit pergelangan tangan dan kakinya.
Luar biasa! Kelihatannya, kakek itu sama sekali tidak mengerahkan tenaga waktu
mencengkeram gelang-gelang baja yang melilit pergelangannya. Tapi hebatnya,
gelang-gelang baja itu seketika berpatahan. Di hadapannya, gelang-gelang baja
yang mampu membelenggu gajah itu, tak ubahnya sebatang lidi!
Dan memang, bukan hanya tenaga dalamnya saja yang menggiriskan. Sebenarnya kakek
itu adalah tokoh yang menggiriskan.
Di samping wajahnya yang mengerikan, tindakannya pun membuat orang bergidik.
Selebar wajahnya penuh luka guratan. Kulit tubuhnya hitam, dan sepasang matanya
yang kelihatan berwarna biru hitam kelam. Jelas, hal ini kian menambah seram
penampilannya. Belum lagi rambutnya yang nampak aneh! Sepertinya, rambut yang
dimiliki kakek itu besar-besar. Apabila didekati, baru jelas kalau beberapa
helai rambutnya dirangkum menjadi satu.
Kakek tinggi besar ini kemudian menggeliatkan tubuhnya sejenak. Rupanya otot-
otot tubuhnya terasa kaku.
Terdengar suara berkerotokan berkali-kali ketika kakek itu menggeliatkan
tubuhnya. Setelah dirasa agak lemas, dia melangkah perlahan menuju mulut gua yang
tertutup. Sekitar sepuluh tombak kemudian, kakek itu telah berdiri di depan
pintu gua yang pintunya tertutup batu besar.
Kakek berwajah penuh luka guratan itu diam terpaku sejenak di depan lubang gua
yang mulutnya ditutup batu besar dari luar. Lubang gua itu besar sekali dengan
garis tengah mencapai dua tombak. Jadi, betapa saktinya orang yang telah menutup
mulut gua itu. Batu itu memang luar biasa besarnya. Paling tidak, berukuran dua
kali kerbau jantan besar!
Perlahan kakek bertubuh tinggi besar itu mengepalkan kedua tangannya,
memperdengarkan suara berkerotokan keras seperti tulang-tulang berpatahan.
Jelas, kedua tangannya telah dialiri tenaga dalam yang tidak terkira kuatnya.
Suara berkerotokan keras masih terus terdengar ketika kakek itu menarik kedua
tangannya yang telah mengepal perlahan-lahan namun penuh kekuatan ke sisi
pinggang. Seketika tercipta getaran kuat ketika kedua tangan itu ditarik ke pinggang.
Kakek itu makin memusatkan pikirannya, setelah menahan napas sejenak. Sebentar
kemudian, tangan yang terkepal di pinggang itu dihentak-kan ke depan.
Wusss...! Angin menderu keras mengiringi terhentaknya kedua tangan itu. Sebentar
kemudian... Blarrr...! Ledakan dahsyat terdengar begitu angin pukulan yang keluar dari kedua kepalan
kakek tinggi besar itu menghantam batu yang menutupi mulut gua hingga hancur
ber-keping-keping, berpentalan tak tentu arah. Bahkan tidak sedikit dari
kepingan batu itu yang menyambar tubuh kakek berompi compang-camping itu. Tapi
hal itu tidak dirasakannya sama sekali. Ini bisa dilihat dari wajah kakek itu
yang tidak menunjukkan gejala apa-apa.
Debu masih mengepul ketika suara gemuruh akibat
ledakan mereda. Kakek berpakaian rompi compang-
camping itu memejamkan matanya, untuk mencegah debu yang menyelusup ke sepasang
matanya. Tak lama kemudian debu mulai menipis, dan akhirnya lenyap sama sekali. Kini
tampaKiah pemandangan luas di luar gua yang sudah lama tidak dilihat oleh kakek
bertubuh tinggi besar itu.
"Ha ha ha...!"
Kakek berwajah penuh gurat luka itu kembali tertawa tergelak. Sorot kegembiraan
terpancar jelas pada wajah maupun suara tawanya. Seperti orang gila, dia menarik
napas dalam-dalam untuk menikmati udara sejuk pagi hari.
"Segar...! Ahhh...! Segarnya udara alam bebas...!" desah kakek tinggi besar itu
berkali-kali. "Entah berapa tahun sudah aku tidak pernah menikmati udara segar
seperti ini..."
Namun di atas sana, mendadak awan tebal berarak
menutupi langit. Kicau riang burung pun mendadak tidak terdengar lagi.
Sepertinya, alam langsung berduka.
Mungkinkah hal ini karena terlepasnya kakek berompi compang-camping dari ruangan
gua itu. Kakek berwajah penuh guratan luka itu sama sekali tidak mempedulikannya. Dia
malah lebih suka menarik napas dalam-dalam, seraya merentang-rentangkan kedua
tangan ke samping. Mungkin agar udara segar yang ter-hirup dapat lebih meresap
ke dalam dadanya.
Tak lama kemudian, kakek bertubuh tinggi besar itu menghentikan kesibukannya.
Rupanya, dia telah merasa cukup menikmati udara luar. Kini pandangannya
dialihkan ke arah kaki Gunung Sawang.
"Ha ha ha!"
Suara tawa keras menggelegar terdengar ketika kakek bertubuh tinggi besar itu
membuka mulutnya Suara itu berkumandang keras, dipantulkan dinding-dinding
gunung sehingga terdengar menyeramkan.
"Kini tiba saatnya bagi Ruksamurka untuk membalas sakit hati ini...!" tegas
kakek berompi compang-camping yang ternyata bernama Ruksamurka.
Setelah berkata demikian, kakek bertubuh tinggi besar itu melangkahkan kakinya.
Luar biasa! Hanya sekali langkah saja, tubuhnya sudah melesat sejauh sebelas
tombak. Jelas, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ruksamurka begitu tinggi.
Lincah laksana kera, dan gesit laksana bayangan,
Ruksamurka bergerak cepat menuruni lereng gunung.
Kedua kakinya menotok sana-sini dengan enaknya. Tak sedikit pun dia merasa
khawatir kalau kakinya salah pijak.
Tindakannya mencerminkan keyakinan kuat pada diri sendiri. Dan memang, kakek itu
sama sekali tidak
mengalami gangguan ketika menuruni lereng. Tak lama kemudian, tubuhnya pun
lenyap di balik sebuah gundukan batu besar.
*** "Ya, Allah...!"
Keluhan keterkejutan terdengar dari mulut seorang kakek berpakaian putih bersih
berusia tak kurang dari tujuh puluh lima tahun. Seluruh tubuhnya seperti
mengeluarkan cahaya. Terutama sekali wajahnya yang penuh ditumbuhi kumis, alis,
dan jenggot berwarna putih.
Dia tengah duduk bersila di sebuah ruangan dalam sebuah bangunan tua dan megah.
Di tangannya tampak tergenggam seuntai tasbih.
Seiring keluarnya seruan keterkejutannya, kakek berpakaian putih bersih itu
langsung bangkit dari duduk ber-silanya.
"Apakah aku sekarang telah pikun?"
Desah pelan bernada keluhan kembali terdengar dari mulut kakek itu. Dahinya
nampak berkernyit dalam.
"Mengapa aku bisa melupakannya" Tapi, mudah-
mudahan saja belum terlambat. Kalau tidak, dunia
persilatan akan kembali geger. Darah akan kembali tumpah di mana-mana."
Seiring selesainya ucapan itu, mendadak tubuh kakek berpakaian putih bersih itu
lenyap begitu saja dari ruangan bangunan megah itu. Dia ternyata mampu
manghilang! Ajaib! Tak sampai sekejap mata kakek berpakaian putih bersih itu telah berpindah
tempat. Dia kini telah berada di dalam gua tempat Ruksamurka dibelenggu. Kakek
itu ternyata tidak hanya mampu menghilang! Bahkan juga
mampu pergi ke suatu tempat dalam sekejap! Jelas kepandaiannya sudah sangat
tinggi, sehingga membuatnya tidak terlihat oleh ruang dan waktu! Dia tak ubahnya
seperti makhluk halus yang memang mampu pergi ke
manapun dalam sekejap!
"Ya, Allah...!"
Kakek berpakaian putih bersih itu menatap dinding gua yang terbongkar. Beberapa
saat matanya terpaku pada dinding gua, kemudian beralih ke sekitarnya. Tampak
gelang-gelang baja besar dan tebal yang telah hancur berantakan berserakan di
sekitar situ. Begitu juga rantai baja besar yang putus menjadi beberapa bagian.
Lalu, kakek berpakaian putih bersih itu melangkahkan kakinya ke luar. Pelan dan
lambat-tambat saja langkahnya.
Tak sampai dua puluh langkah, langkahnya berhenti. Pandangannya terruju ke
depan, ke arah gua yang tidak mempunyai penutup lagi.
Kakek berpakaian putih bersih terpaku di tempat itu, berjarak sekitar dua tombak
di depan ambang gua. Tapi di wajah tuanya sama sekali tidak nampak perasaan apa-
apa, tetap saja seperti semula. Tenang, membawa perbawa tinggi. Sehingga orang
lain yang melihatnya merasa tunduk.
Sesaat kemudian, kakek itu melangkah melewati pintu gua. Dalam beberapa langkah
saja dia telah berada di luar gua. Di sini, kakek itu memandang berkeliling.
Cukup lama juga kakek berpakaian putih bersih itu bersikap begitu, sebelum
akhirnya tubuhnya mendadak
kembali raib! Dia memang memiliki ilmu 'Ringkas Bumi', sehingga mampu membuatnya
bepergian ke manapun
dalam sekejap. *** Suara napas dengan irama teratur terdengar, me-
nambah riuh-rendahnya Hutan Gantang. Suara itu ternyata berasal dari mulut dan
hidung seorang pemuda tampan yang tengah bersemadi. Pakaiannya ungu, dengan
sebuah guci arak dari perak tersampir di punggung.
Melihat ciri-cirinya, tidak ada yang aneh pada diri pemuda berpakaian ungu itu.
Tapi apabila melihat rambutnya, pasti akan heran. Sebab rambutnya ternyata
berwarna putih, laksana orang yang telah berusia lanjut. Hanya saja warna
rambutnya lebih indah, karena berwarna putih keperak-perakan. Tampaknya, pas
sekali dengan pakaiannya yang serba ungu.
Mendadak pemuda berambut putih keperakan ini menghentikan semadinya. Nalurinya
membisikkan ada sesuatu di dekatnya, sekalipun pendengarannya tidak menangkap
langkah yang mendekati tempatnya.
Perlahan sepasang kelopak matanya terbuka. Lalu,
pemuda berambut putih keperakan ini bergerak bangkit memberi hormat.
"Guru...," sebut pemuda berambut putih keperakan itu pada sesosok tubuh yang
tahu-tahu berdiri di depannya, dalam jarak sekitar dua tombak.
Sosok tubuh yang berdiri di hadapan pemuda berambut putih keperakan itu ternyata
seorang kakek berpakaian putih bersih. Menilik panggilannya, jelas kakek ini
adalah guru pemuda berambut putih keperakan itu.
"Arya...." panggil kakek berpakaian putih bersih itu.
Suaranya terdengar pelan dan lembut.
Kemudian dengan langkah perlahan-lahan, kakek itu melangkah mendekati pemuda
berambut putih keperakan ini. Diusap-usapnya rambut yang berwarna putih dan
panjang meriap itu. Dan memang, pemuda itu adalah Arya Buana atau berjuluk Dewa
Arak. "Ada satu masalah yang ingin kusampaikan padamu."
jelas kakek berpakaian putih bersih itu seraya menghentikan usapan tangannya.
"Masalah apa, Guru?" tanya Dewa Arak.
Kakek berpakaian putih bersih yang tidak lain adalah Ki Gering Langit, guru Dewa
Arak itu tidak langsung menjawab pertanyaan Arya. Dia tampak diam tercenung
beberapa saat lamanya.
"Belasan tahun yang lalu, ada seorang tokoh sesat ber-kepandaian luar biasa.
Tapi sayang, wataknya sangat kejam, dan keji bukan main," tutur Ki Gering Langit
memulai ceritanya.
Arya diam mendengarkan. Sama sekali cerita gurunya tidak berminat diselak.
Benaknya sibuk menduga-duga masalah yang membuat gurunya begitu memperhatikan
tokoh itu. "Tak terhitung orang yang sudah menjadi korbannya.
Silatnya yang buruk, membuatnya selalu menyebar maut di tiap tempat yang
dikunjunginya. Banyak pendekar yang berniat membasmi, tapi selalu gagal. Tokoh
berwatak iblis itu terlalu sakti untuk dilawan. Para pendekar hanya membuang
nyawa percuma saja, dan semua tewas dalam keadaan mengerikan."
Ki Gering Langit menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas, seraya
menatap dalam-dalam wajah Arya. Ingin diketahuinya tanggapan pemuda berambut
putih keperakan itu. Tapi wajah Dewa Arak tampak tenang, tanpa perubahan sedikit
pun. Tapi yang jelas, Arya mendengarkan cerita gurunya penuh perhatian.
"Secara kebetulan di sebuah desa aku bertemu dengannya, walaupun nama dan
kekejamannya telah lama ku-dengar. Tapi baru kali itu kusaksikan kekejamannya
dengan mata kepala sendiri. Dia memang bukan manusia, tapi iblis! Sambil
tertawa-tawa kulihat dia tengah mengum-pulkan para penduduk desa itu di sebuah
tanah lapang, kemudian dibantainya."
Ki Gering Langit kembali menghentikan ceritanya
sejenak, mencari kata-kata baru untuk melanjutkan kisah-nya.
"Melihat kekejamannya, darahku seketika mendidih. Hal itu tidak bisa kubiarkan.
Tak pelak lagi, kami pun bertarung. Melalui sebuah pertarungan panjang dan
melelah-kan, tokoh sesat itu berhasil kulumpuhkan. Tapi sayang, aku tidak tega
membunuhnya. Aku memang tidak pernah berani membunuh manusia. Maka terpaksa dia
kubawa dan kupenjarakan di suatu tempat"
Lagi-lagi kakek berpakaian putih bersih itu meng-
hentikan ceritanya. Pandangannya menerawang jauh, mengingat-ingat masa lalunya.
Sementara Arya tetap diam, meskipun benaknya tengah digayuti pertanyaan. Apakah
gurunya tidak menggunakan ilmu andalan sewaktu menghadapi tokoh sesat itu"
Bukankah dengan ilmu itu Ki Gering Langit mudah sekali merobohkan lawannya"
"Tokoh sesat itu lihai sekali. Sampai-sampai di samping kuborgol dengan baja
sekaligus rantai yang besar dan kokoh, pada gelang baja itu juga kumasukkan ilmu
yang membuat sekujur tubuhnya terasa lemas. Tentu saja itu adalah ilmu gaib,"
lanjut Ki Gering Langit lagi. "Namun sayang, ilmu itu ada kelemahannya. Kekuatan
ilmu gaib yang kutanamkan pada borgol itu, hanya mampu bertahan selama enam
puluh purnama itu pun sudah lama sekali."
"Mengapa begitu, Guru?" tanya Arya, tidak tahan juga menahan rasa ingin tahunya
yang menggelegak.
"Itulah ilmu manusia, Arya," sahut Ki Gering Langit kalem. "Biar bagaimanapun,
pasti ada kelemahannya."


Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arya hanya bisa menganggukkan kepala pertanda
mengerti. "Biasanya, menjelang purnama kelima puluh aku sudah mengunjungi tempatnya untuk
memasang kekuatan gaib yang membuat tokoh sesat itu selalu terasa lemas,"
sambung Ki Gering Langit. "Tapi, kali ini aku lupa. Hingga menjelang purnama
keenam puluh, dia belum kutengok.
Dan begitu kujenguk, dia telah kabur."
Arya tercenung mendengar cerita gurunya.
"Siapa nama tokoh sesat itu. Guru?"
"Ruksamurka," jawab Ki Gering Langit
Arya terdiam beberapa saat lamanya. Namun, mulutnya berulang-ulang menyebut nama
tokoh sesat itu. Sepertinya, dia berusaha mengingat-ingatnya.
"Kalau dia terbelenggu seperti itu, bagaimana bisa bertahan hidup, Guru"
Bukankah dia tidak akan bisa mencari makan atau minum?" tanya Arya, mengajukan
keheranan-nya. "Di bagian dalam gua ada tanaman dan sumber air, Arya. Panjang rantai yang
membelenggunya cukup untuk mencapai tempat makanan dan minuman itu."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini tidak ada lagi pertanyaan yang bergayut
di benaknya. "Kau kutugaskan untuk mencarinya, Arya. Hidup atau mati. Aku sudah bersumpah
untuk tidak mencampuri
urusan kekerasan lagi secara langsung, Arya. Aku ingin ber-istirahat
menghabiskan sisa ilmurku."
Setelah berkata demikian, tubuh Ki Gering Langit lenyap dari tempat itu.
Sepeninggal gurunya, Arya pun melangkah meninggalkan tempat itu. Kini dia
mempunyai sebuah tugas, mencari tahanan gurunya yang telah jadi buronan.
*** 2 Angin berhawa dingin berhembus kencang. Langit memang terlihat begitu pekat.
Awan tebal dan hitam nampak bergumpal menutupi sang mentari yang telah naik
tinggi. "Masih jauhkah tempat itu, Kek?" tanya seorang gadis berwajah cantik dan
berpakaian putih. Rambutnya yang hitam, panjang, dan halus, dibiarkan tergerai.
Sehingga gadis itu tampak jadi semakin cantik saja.
"Tidak berapa jauh lagi, Melati," sahut kakek bertubuh kecil kurus yang berjalan
di sebelahnya. Kakek itu menolehkan kepala menatap wajah gadis
berpakaian putih yang ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong Gading. Karena
tinggi tubuhnya tidak sampai sebahu Melati, dia menoleh sambil agak mendongak.
"Hhh...!"
Melati menghela napas berat. Sementara, sepasang
matanya menatap jauh ke depan. Tidak nampak adanya apa pun di depannya, kecuali
hamparan tanah luas tanpa pepohonan sebatang pun.
"Mengapa, Melati" Lelah?" tanya kakek bertubuh kecil kurus yang tak lain adalah
Ki Julaga, guru gadis berpakaian putih itu.
"Tidak, Kek," sahut Melati sambil menggelengkan kepala.
"Hm...," gumam Ki Julaga, pelan. Mulutnya menyungging-kan sebuah senyum getir.
"Kalau tidak lelah, mengapa menghembuskan napas berat?"
"Aku khawatir hujan akan lebih dulu turun, sebelum kita sampai di sana, Kek,"
sahut Melati seraya melayangkan pandangan ke arah langit.
Memang keadaan langit cukup mengkhawatirkan. Awan tebal, hitam, dan bergumpal-
gumpal. Jelas turunnya hujan hanya tinggal menunggu waktu saja. Angin dingin
yang berhembus pun kian mengencang.
Ki Julaga melayangkan pandangan ke atas pula. Mau tak mau kekhawatiran muridnya
bisa masuk akal juga.
"Kalau begitu, mari kita bergegas, Melati," ajak kakek berpakaian jingga itu.
Melati menganggukkan kepala pertanda menyetujui
ajakan gurunya. Dan memang, itulah yang sejak tadi diharapkannya. Dia bosan
berjalan biasa saja. Gadis ini mengharapkan agar gurunya segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, sambil mencoba menguji ilmu
meringankan tubuh miliknya sendiri.
Maka, kini guru dan murid itu telah melesat cepat mem-pergunakan ilmu
meringankan tubuh yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Mereka seperti
berlomba-lomba untuk mencapai tujuan. Dan tentu saja, karena tingkatan Melati
masih jauh di bawah Ki Julaga, dia jadi tertinggal jauh.
*** "Capek, Melati?" tanya Ki Julaga seraya mengembang-kan sebuah senyum, ketika
mereka telah berhenti di suatu tempat.
Gadis berpakaian putih itu hanya mampu menganggukkan kepala saja. Napasnya yang
masih terengah-engah, menyulitkannya untuk berbicara. Dia kini sibuk menghapus
peluh yang membasahi wajahnya dengan punggung
tangan. "Tenangkanlah hatimu.... Sebentar lagi tempat yang kita tuju telah di depan
mata," jelas Ki Julaga.
Sambil berkata demikian, kakek bertubuh kecil kurus menudingkan telunjuk
kanannya ke depan. Dengan penuh gairah mata Melati mengikuti arah tudingan itu.
Dan memang, dalam jarak sekitar dua puluh lima tombak dari tempatnya, tampak
sebuah bangunan besar dan megah.
Walaupun sudah agak tua, bangunan besar itu mempunyai halaman luas dan dikurung
pagar tembok tinggi
"Jadi, ke tempat itukah tujuan Kakek?" tanya Melati.
Memang Ki Julaga sama sekali tidak memberitahukan tujuan dan maksud kepergian
kepada muridnya.
Kakek berpakaian jingga itu mengangguk membenar-
kan. "Bangunan itu adalah tempat bersejarah bagiku, Melati,"
jelas Ki Julaga. Ada nada kegetiran dalam suaranya. "Di tempat itulah aku
menerima sebuah anugerah, berupa warisan ilmu dari seorang tokoh sakti yang
bijaksana. Tapi, di tempat itu pulalah, aku telah menceburkan diri dalam lumpur
kehinaan."
Ki Julaga menghentikan cerita sejenak. Raut wajahnya terlihat muram. Jelas kalau
kakek itu merasa menyesal akan kejadian yang telah dilakukannya.
Melati mendengarkan dengan hati terharu. Selama ini gurunya telah dianggap
sebagai kakeknya sendiri. Gadis itu tahu kalau Ki Julaga telah terkena bujukan
rekannya untuk mencuri kitab-kitab pusaka majikannya. Namun Ki Julaga sendiri
tidak pernah memberitahukan tempat pusaka itu dicuri.
"Inikah tempat tinggal Ki Gering Langit, Kek?" tanya Melati dengan suara serak.
Perasaan terharu melihat kesedihan gurunya, membuat dadanya sesak dan lehernya
terasa tercekik.
Ki Julaga menganggukkan kepala.
"Apakah Ki Gering Langit tahu kalau Kakek dan Ki Jatayu mencuri kitab-kitab
pusakanya?" kejar Melati lagi.
Perasaan ingin tahu yang amat sangat tergambar jelas dalam sikap maupun nada
suara gadis itu (Untuk lebih jelas mengenai hal ini, baca serial Dewa Arak dalam
episode "Cinta Sang Pendekar").
Kembali Ki Julaga mengangguk, membenarkan.
"Dan dia mengejarmu, Kek?"
Ada nada kesenduan dalam pertanyaan itu. Dan
memang sebenarnya Melati merasa kasihan dan sedih sekali membayangkan kakek
bertubuh kecil kurus ini selalu dicekam rasa takut di tempat persembunyiannya.
"Tidak," Ki Julaga menggelengkan kepalanya. "Kalau beliau mau mengejar, sudah
lama aku berhasil ditemukannya. Kau tahu, Melati. Ki Gering Langit memiliki
banyak ilmu aneh. Bahkan beberapa tahun belakangan ini, ku-dengar telah memiliki
ilmu yang membuatnya dapat pergi ke tempat yang diinginkan dalam sekejap mata
saja!" "Gila...!" desis Melati antara takjub dan terkejut. "Begitu lihaikah Ki Gering
Langit itu, Kek?"
"Hhh...!"
Ki Julaga menghela napas berat sebelum menjawab
pertanyaan itu. Karuan saja hal ini membuat Melati yang sudah tidak sabar untuk
mendengarnya jadi agak kesal.
"Kepandaian yang kumiliki ini tidak ada artinya bila dibanding dengan beliau,
Melati." Bulu kuduk Melati meremang mendengar penjelasan
gurunya. Seketika itu pula dia teringat Arya kekasihnya.
Tahukah pemuda berambut putih keperakan itu kalau Ki Gering Langit memiliki ilmu
yang demikian tinggi"
Ki Julaga tidak melanjutkan ucapannya. Sementara
Melati pun sibuk dengan lamunannya. Sehingga, suasana menjadi hening sejenak.
Guru dan murid itu tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Tapi kesibukan benak kedua orang itu terganggu ketika titik-titik air mulai
berjatuhan ke bumi.
Hampir berbareng Melati dan Ki Julaga mendongak ke atas ketika ada beberapa
tetes air jatuh di tangan mereka.
"Hujan mulai turun, Kek," kata Melati.
"Cepat kita berteduh di sana...!" ajak Ki Julaga seraya menudingkan tehinjuk
tangan kanannya ke arah bangunan tempat tinggal Ki Gering Langit.
Melati tidak membantah lagi karena titik-titik air yang turun dari langit
semakin banyak dan semakin cepat.
Sudah bisa diterka, tidak lama lagi hujan lebat akan turun.
Dan gadis itu tentu saja tidak mau basah kuyup.
Melati melesat cepat, mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya, seperti berlomba dengan hujan.
Putri angkat Raja Bojong Gading ini ingin tiba di bangunan tempat tinggal Ki
Gering Langit sebelum hujan lebat turun.
Berbareng dengan melesatnya tubuh Melati, Ki Julaga melesat pula. Tapi berbeda
dengan sebelumnya, kakek bertubuh kecil kurus ini tidak mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki. Dia tidak ingin membiarkan muridnya kehujanan
sendirian. "Hup...!"
Berbareng dengan melayangnya tubuh Melati melompati tembok, tubuh Ki Julaga pun
melenting pula. Pada saat yang bersamaan, kedua pasang kaki itu hinggap di dalam
halaman. Dan secepat mereka mendarat, secepat itu pula melesat ke arah bangunan.
Tepat ketika guru dan murid itu tiba di teras bangunan itu, hujan lebat turun.
Air yang bagaikan dicurahkan dari langit turun membasahi bumi.
Glarrr...! Suara halilintar ikut meramaikan suasana. Kilatan-kilatan cahaya menyilaukan
tampak seperti membelah langit. Seakan-akan, seluruh isi alam bergembira ria.
"Hhh...!"
Helaan napas lega keluar dari mulut Melati dan Ki Julaga. Keduanya diam-diam
bersyukur, karena bisa tiba di tempat yang terlindung tepat saat turunnya hujan
lebat. Sehingga, tubuh dan pakaian mereka tidak basah.
"Di daerah sekitar sini, hujan adalah hal yang mengherankan, Melati," Ki Julaga
membuka pembicaraan kembali.
"Mengapa, Kek?" tanya Melati ingin tahu.
"Aku juga tidak tahu," sahut Ki Julaga sambil menggelengkan kepala. "Yang
kutahu, di daerah ini jarang turun hujan. Dalam dua belas kali purnama, hanya
beberapa kali hujan. Itu pun tidak begitu lebat..."
Melati menganggukkan kepala. Padahal, gadis ini tidak tertarik dengan
pembicaraan itu. Dia ingin agar Ki Julaga menceritakan tentang masa lalunya.
"Mengapa Kakek ingin mengunjungi tempat ini?" tanya Melati begitu mendapat
kesempatan di saat gurunya tidak melanjutkan ucapannya lagi.
Ki Julaga tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tapi malah tercenung beberapa
saat lamanya. Sepasang matanya menerawang jauh ke depan, seperti tengah menatap
butir-butir air yang jatuh ke bumi. Tapi melihat pandangannya yang tertuju pada
satu titik, bisa diketahui kalau dia tengah melamun.
"Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahan yang telah kulakukan, Melati."
Jelas Ki Julaga. Pelan suaranya, mirip desahan. Nampaknya ucapan itu keluar dari
lubuk hati yang paling dalam.
"Tapi, bukankah Kakang Arya telah memberi maaf pada Kakek?" bantah Melati.
"Apakah itu tidak cukup" Kurasa dia tidak begitu mudah memberi maaf kalau tidak
mendapat pesan lebih dulu dari Ki Gering Langit."
"Semua ucapanmu itu tidak salah, Melati," sambut Ki Julaga. Tapi, aku ingin
meminta maaf sendiri pada Ki Gering Langit. Biar hatiku tenang, dan tidak mati
penasaran."
Melati menyadari kebenaran yang terkandung dalam
pengakuan itu. Maka dia pun terdiam, tidak menyahuti lagi.
Seketika suasana jadi hening karena Ki Julaga tidak melanjutkan ucapannya. Kini
yang terdengar hanyalah suara curahan hujan, deru angin, dan gelegar halilintar
yang sesekali menyambar bumi.
Melati dan Ki Julaga tenggelam dalam lamunan masing-masing. Sepasang mata mereka
menatap ke depan.
Sepintas lalu guru dan murid itu seperti tengah mengawasi hujan. Tapi bila
diperhatikan lebih seksama, mereka tengah menatap tajam pada satu titik yang
tidak bergerak-gerak sama sekali.
Mendadak sepasang mata mereka terbeliak ketika yang dilihat mulai bergerak.
Suatu sosok tinggi besar bergerak cepat ke arah mereka.
Sepasang mata Ki Julaga dan Melati semakin terbelalak.
Dan memang keduanya merasa terkejut bukan main
dengan gerakan sosok tubuh itu. Gerakannya begitu ringan, menandakan kalau ilmu
meringankan tubuhnya amat tinggi.
*** Sosok tubuh itu semakin mendekati bangunan. Ki Julaga dan Melati semakin
terkejut metihatnya. Gerakan sosok abu-abu itu ternyata begitu cepat ke arah
teras, tempat Melati dan gurunya berada. Ki Julaga yang tidak ingin terjadi
keributan, cepat menarik tangan Melati. Diajaknya gadis berpakaian putih itu
mundur ke belakang. Sementara sepasang matanya tetap tertuju pada sosok tubuh
abu-abu itu. Dalam kelebatan curah hujan, cukup jelas terlihat sosok abu-abu
itu. Tubuhnya tinggi besar, berusia sekitar enam puluh lima tahun. Rompi dan
celana compang-camping yang membungkus tubuhnya sudah tidak jelas lagi
warnanya. Melihat dari penampilan sosok tinggi besar itu saja sudah membuat orang agak
ngeri. Apalagi begitu melihat wajahnya yang penuh bekas luka guratan. Dan
memang, sosok abu-abu ini ternyata adalah Ruksamurka!
Hanya dalam sekejap. Ruksamurka telah tiba di tempat Ki Julaga dan Melati tadi
berada. Tanpa mempedulikan guru dan murid itu, Ruksamurka segera mengibas-
ngibaskan tubuhnya. Seketika itu juga air hujan memercik dari seluruh tubuhnya.
Ki Julaga dan Melati hanya memperhatikan semua
tingkah polah kakek berpakaian compang-camping itu.
Mereka berdua memang tidak berminat mencari-cari
urusan. Terutama sekali Ki Julaga. Dia tidak ingin membuat kesalahan yang kedua
kali dengan menimbulkan keributan di tempat tinggal majikannya. Sama sekali Ki
Julaga tidak tahu kalau bangunan ini sudah lama tidak ditempati Ki Gering Langit
lagi. Bangunan itu telah berganti-ganti pemilik (Untuk lebih jelasnya, baca
serial Dewa Arak dalam episode perdananya, "Pedang Bintang").
Setelah selesai membuang air yang melekat di sekujur tubuhnya, Ruksamurka lalu
mengalihkan perhatiannya.
Kini sepasang matanya yang menyeramkan itu menatap Ki Julaga dan Melati.
Seketika baik Ki Julaga maupun Melati terperanjat.
Keduanya diam-diam terkejut bukan kepalang melihat sepasang mata kakek bertubuh
tinggi besar itu mencorong tajam dan bersinar kehijauan. Jelas kalau Ruksamurka
memiliki tenaga dalam tinggi.
Menilik dari gerak-gerik Ruksamurka, Ki Julaga diam-diam merasa cemas. Tampak
ada suatu gelagat yang tidak baik di balik sosok wajah yang menyeramkan itu.
Tapi tentu saja kakek bertubuh kecil kurus ini tidak merasa gentar.
Yang jelas, dia tidak menginginkan terjadi keributan di tempat tinggal
majikannya. Sedapat mungkin, terjadinya keributan harus dihindari. Maka kakek
berpakaian jingga ini bersikap tidak peduli.
"Ha ha ha...!"
Mendadak Ruksamurka tertawa keras dan menggelegar seperti guntur. Jelas kalau
tawa itu dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Akibatnya luar biasa! Melati mendadak terhuyung,
karena suara tawa itu membuat lututnya terasa lemas.
Dadanya pun bergetar hebat. Bahkan gadis berpakaian putih ini merasakan kedua
telinganya berdengung keras.
Ki Julaga terkejut bukan main melihat hal ini. Dia pun merasakan adanya getaran
amat kuat yang keluar dari tawa Ruksamurka. Tapi berkat tenaga dalamnya yang
memang sudah mencapai tingkat amat tinggi, kakek
berpakaian jingga itu mampu meredamnya. Dan sungguh di luar dugaan, ternyata


Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melati sampai begitu terpengaruh dan seperti tidak mampu bertahan! Dari sini
saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam kakek bertubuh tinggi besar
itu. "Rupanya kau lihai juga, Tua Bangka Kerdil...!" kata Ruksamurka seraya
menghentikan tawanya.
Tampak adanya rasa penasaran baik pada wajah
maupun suara kakek bertubuh tinggi besar itu. Sungguh di luar dugaan kalau ada
orang yang sanggup menahan
serangan suara tawanya. Jadi kakek bertubuh kecll kurus ini paling tidak adalah
lawan yang amat tangguh.
Melati menghela napas lega meskipun wajahnya masih terlihat pucat. Gadis
berpakaian putih ini masih belum lepas dari pengaruh suara tawa Ruksamurka.
"Menyingkirlah, Melati...!" ujar Ki Julaga bernada perintah.
Kakek bertubuh kecil kurus itu tahu kalau muridnya bukan tandingan kakek
bertubuh tinggi besar ini. Dan dia tidak ingin putri angkat Raja Bojong Gading
ini celaka. Tanpa menunggu perintah dua kali, Melati segera men-jauh. Seperti juga Ki
Julaga, gadis itu sadar kalau orang itu bukan tandingannya. Dari gelak suara
tawa itu saja, sudah diketahui kalau kakek bertubuh tinggi besar itu memiliki
tenaga dalam amat tinggi, jauh di atas kekuatan tenaga dalam miliknya
"Maaf, Kisanak. Mengapa kau menyerang kami"
Sepengetahuanku, aku tidak mempunyai persoalan
denganmu," pelan dan lembut Ki Julaga membuka pembicaraan.
"Cuhhh...!"
Dengan kasar, Ruksamurka meludah. Bukan ke tanah, tapi ke wajah Ki Julaga.
Bahkan bukan sembarangan ludah, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Terdengar suara berdesing nyaring begitu cairan kental yang
menjijikkan itu meluncur ke arah wajah Ki Julaga.
Ki Julaga sama sekali tidak mengelakkan serangan
ludah itu. Tangan kanannya dijulurkan ke depan, lalu diputar di depan wajah.
Sesaat kemudian angin keras menderu dari tangan yang bergerak memutar itu.
Luar biasa! Semburan ludah itu mendadak berhenti, kemudian jatuh ke tanah.
Wajah Ki Julaga seketika memerah. Kemarahan mulai menjalari hatinya. Kakek
berpakaian compang-camping ini benar-benar tidak mempunyai adab! Dengan baik-
baik ditanya, tapi sambutannya sungguh menyakitkan. Bahkan suatu penghinaan yang
tidak bisa didiamkan.
"Grrrh...!"
Ruksamurka menggeram hebat begitu melihat
serangannya kandas. Untuk yang kedua kali hatinya dibuat penasaran. Hatinya
bertanya-tanya tentang keberadaan kakek bertubuh kecil kurus ini.
"Rupanya untuk berbincang-bincang denganmu tidak perlu mulut, tapi kepalan.
Kalau itu adalah kemauanmu, akan kuladeni, Kisanak!" tegas dan mantap sekali
ucapan yang keluar dari mulut Ki Julaga.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa terbahak-bahak. Rupanya kakek
berubuh tinggi besar ini merasa geli mendengar ucapan Ki Julaga. Kedua tangannya
yang kekar dan berbulu,
memegangi perutnya sambil membungkukkan tubuh.
Terdengar suara bergemeretak dari mulut Ki Julaga.
Walaupun tidak tahu hal yang menyebabkan orang di hadapannya merasa geli, tapi
setidak-tidaknya bisa diduga kalau rasa geli itu karena ucapan atau sikapnya.
Dan ini membuat kemarahannya semakin menggelegak.
Suara tawa Ruksamurka semakin keras begitu melihat keadaan Ki Julaga. Hal ini
membuat kakek bertubuh kecil kurus itu tidak tahan lagi. Maka....
"Diam...!"
Terdengar bentakan menggelegar seperti ada guntur yang meledak di dekat tempat
itu. Keras bukan main karena Ki Julaga mengeluarkannya dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Akibatnya hebat sekali! Suara tawa Ruksamurka se-
ketika berhenti. Raut wajahnya pun agak berubah, pertanda bentakan Ki Julaga
cukup mengejutkan hatinya.
Ternyata akibat yang lebih parah lagi telah diterima Melati. Walaupun gadis
berpakaian putih ini berada agak jauh dari kedua orang itu, tapi tetap saja
terkena pengaruh bentakan Ki Julaga. Tubuh Melati mendadak oleng, karena
lututnya mengggigil keras. Sepasang telinganya pun terasa berdengung.
"Grrrh...!" Ruksamurka menggeram keras. "Sungguh besar nyalimu, Kambing Tua..!
Kau berani membentakku...!
Kau berani membentak Ruksamurka..."! Grrrh...! Akan kubeset kulitmu...! Akan
kuhirup darahmu...! Grrrh...!"
Ki Julaga dan Melati adalah orang yang telah terbiasa menghadapi bahaya. Bagi
kedua orang itu, matipun bukan apa-apa. Tapi ancaman yang keluar dari mulut
Ruksamurka begitu mengerikan. Menilik dari ucapan dan
sikapnya, bisa diperkirakan kalau dia tidak main-main dengan ucapannya. Tak
terasa bulu kuduk Melati dan Ki Julaga merinding. Ada sedikit perasaan ngeri
yang merayap dalam hati kakek bertubuh kecil kurus dan gadis berpakaian putih
itu setelah mendengar ancaman yang
dikeluarkan dengan mendesis tadi. Dan yang lebih
mengejutkan hati Ki Julaga saat kakek bertubuh tinggi besar itu memperkenalkan
namanya. Ruksamurka memang tokoh sesat yang sakti dan
memiliki kekejaman mendirikan bulu kuduk. Kebiadaban-nya tak tertandingi lagi.
Dia pernah membunuh orang satu desa sambil tertawa-tawa, tanpa ada perasaan
peri-kemanusiaan. Tapi bukankah tokoh sesat yang mengerikan itu telah lenyap
tanya ketahuan rimbanya" Mengapa tahu-tahu muncul di sini" Berbagai macam
pertanyaan bergayut di benak Ki Julaga. Pertanyaan yang tidak mungkin bisa
dijawabnya. "Ruksamurka..."!" ulang Ki Julaga dengan suara mendesis.
"Kau terkejut, Tua Bangka Kerdil..."!" ejek Ruksamurka dengan kemarahan yang
berkobar. "Belasan, bahkan mungkin puluhan tahun lamanya aku mengasingkan diri
dari dunia luar. Kini sudah saatnya aku kembali ke dunia persilatan untuk
meneruskan kebiasaan lamaku. Dan kau dan gadis montok itu mendapat kehormatan
untuk menjadi korban pemulaku. Ha ha ha...!"
"Hm..." Ki Julaga hanya menggumam pelan. "Ingin kulihat buktinya, Ruksamurka."
"Hmh...!"
Ruksamurka mendengus. Kakek bertubuh tinggi besar ini memang seorang yang
memiliki watak angkuh, dan selalu mengagungkan diri sendiri. Pantang baginya
mendengar kata-kata bernada tantangan. Tapi kali ini justru kata-kata itu
didengarnya dari mulut orang bertubuh kecil kurus di hadapannya. Maka amarahnya
pun meluap seketika. "Grrrh...!"
Ruksamurka meraung seperti seekor binatang buas
yang terluka. Terdengar suara berkerotokan keras dari sekujur tulang-tulangnya
seiring terdengarnya geraman itu.
Luar biasa! Padahal kakek berpakaian compang-camping ini belum menggerakkan
tangan atau kaki!
Ki Julaga yang telah dilanda amarah tidak mau kalah.
Sehabis mendengus, sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot tubuhnya pun menegang.
Seketika itu pula, tenaga dalam dari bawah pusarnya mengalir deras ke berbagai
bagian tubuh. Suara berkerotokan yang tak kalah nyaring terdengar ketika aliran
tenaga dalam itu mulai bergerak ke seluruh bagian tubuhnya.
Melihat untuk yang kesekian kali tindakan lawan selalu berhasil menyainginya.
Ruksamurka jadi murka. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring melengking, kakek
bertubuh tinggi besar itu memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada, dari
luar ke dalam. Wuuutttt..! Menakjubkan! Dari kedua tangan yang berputaran itu muncul sebuah kekuatan amat
kuat yang menarik tubuh Ki Julaga ke depan.
Kakek bertubuh kecil kurus itu terkejut bukan kepalang.
Sama sekali tidak disangka akan muncul kekuatan
menarik seperti itu. Akibatnya bisa diduga. Tubuh kakek berpakaian jingga ini
tertarik keras ke depan.
Ki Julaga tahu kalau dirinya tengah berada dalam
bahaya besar. Dalam keadaan yang sangat tidak mengun-tungkan ini, lawan dengan
mudah pasti akan menjatuhkan serangan maut padanya.
Maka begitu tubuhnya tertarik ke depan, Ki Julaga segera mengerahkan tenaga
dalam pada kedua kakinya.
Maksudnya adalah agar kedua kakinya seperti berakar di tanah.
Tak pelak lagi, adegan yang menarik pun tergelar.
Ruksamurka yang terus saja memutar-mutarkan kedua tangannya dalam usaha menarik
tubuh Ki Julaga.
Sementara, kakek berpakaian jingga jtu berusaha keras bertahan. Kedua tokoh yang
sama-sama sakti ini bertarung jarak jauh, terpisah sekitar tiga tombak.
Tapi adu tarik-menarik itu berlangsung tidak lama.
Secara mendadak, Ruksamurka menghentikan putaran
tangannya. Dan secepat kedua gerakan tangannya berhenti, secepat itu pula
tubuhnya meluncur ke arah Ki Julaga. Kakek bertubuh tinggi besar ini melompat ke
atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara, tangan kanannya menyampok deras ke arah
pelipis Ki Julaga.
*** 3 Ki Julaga tidak merasa terkejut atau gugup. Hal ini memang sudah diduga. Maka
kakek bertubuh kecil kurus ini buru-buru menjulurkan kaki kanannya ke depan,
sementara lutut kirinya ditekuk seraya merendahkan tubuh.
Wusss...! Seluruh rambut dan pakaian Ki Julaga berkibar keras ketika sampokan lawan
menyambar lewat sekitar se-jengkal di atas kepalanya. Padahal, kekuatan sambaran
itu mampu menghancurkan batu paling keras sekalipun. Dari hal ini saja sudah
bisa diperkirakan, betapa tinggi tenaga dalam yang terkandung dalam serangan
itu. Ki Julaga sudah bisa memperkirakan kalau lawan di hadapannya ini adalah seorang
tokoh yang amat tangguh.
Bila bertindak setengah-setengah, hanya akan men-
celakakan diri sendiri. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia balas menyerang.
Sekali menyerang. Ki Julaga langsung mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga
Merah'. Kedua tangannya langsung mengembang membentuk cakar. Berbeda
dengan Melati yang bila menggunakan ilmu ini hanya sebatas pergelangan yang
berwarna merah darah, maka pada Ki Julaga warna merah itu sampai pangkal lengan.
Hanya saja, warna merah itu tidak terlihat karena tertutup lengan bajunya.
Wuuut...! Angin menderu keras begitu Ki Julaga melancarkan
serangan. Kedua tangannya meluncur cepat ke arah leher dan dada. Cakar kanan
mengancam leher, sedangkan yang kiri mengancam dada. Posisi buku-buku jari
tangan kanan menghadap ke langit, bertolak belakang dengan buku-buku jari tangan
kiri yang menghadap ke bumi
"Groooah...!"
Ruksamurka menggeram keras begitu melihat lawannya mampu mengelakkan serangan
yang begitu tiba-tiba.
Apalagi ketika melihat Ki Julaga tidak hanya mampu mengelakkan serangan, tapi
juga mengirimkan serangan yang tak kalah berbahayanya.
Keadaan kakek berpakaian compang-camping ini
memang sulit sekali. Serangan Ki Julaga memang datang begitu mendadak. Apalagi,
tubuhnya tengah berada di udara, karena baru saja melancarkan serangan.
Tapi meskipun begitu, Ruksamurka mampu membukti-
kan kalau dirinya adalah seorang tokoh sesat yang belasan tahun lalu ditakuti
oleh tokoh persilatan mana pun. Maka buru-buru tangan kanannya ditarik pulang,
seraya cepat ditetakkan ke bawah. Berbareng dengan itu, tangan kirinya menangkis
ke atas. Plakkk...! Terdengar benturan keras ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung
tenaga dalam amat tinggi berbenturan.
"Hih...!"
Ruksamurka menggertakkan gigi seraya melempar
tubuh ke belakang. Indah dan manis sekali gerakannya.
"Hup...!"
Ringan dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
kakek berpakaian compang-camping ini mendaratkan
kedua kakinya di tanah. Ruksamurka langsung bersikap waspada. Matanya
memperhatikan kalau Ki Julaga telah selesai memperbaiki sikapnya.
Namun, kedua belah pihak tidak langsung saling
melancarkan serangan. Baik Ki Julaga maupun Ruksamurka saling pandang, seperti
mengukur kekuatan satu sama lain. Sementara, Ruksamurka diam-diam harus
mengakui kalau dalam hal tenaga dalam, dirinya masih di bawah Ki Julaga.
Terbukti, dalam adu benturan tadi, kedua tangannya terasa sakit-sakit.
"Ilmu 'Cakar Naga Merah'. Apa hubunganmu dengan Ki Gering Langit"!" tanya
Ruksamurka dengan suara menggelegar. Ada ancaman maut yang tersembunyi, baik
dalam suara maupun sikapnya.
"Beliau adalah majikanku," jawab Ki Julaga jujur.
Dia tidak merasa heran kalau lawan mengenal ilmu yang digunakannya, dan siapa
pemiliknya. Justru merupakan suatu hal yang mengherankan bila seorang tokoh
menggiriskan seperti Ruksamurka tidak mengenal ilmu yang digunakannya.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa keras menggelegar laksana guntur
menyambuti jawaban Ki Julaga. Mendadak sekali suara tawa itu keluar, dan
mendadak pula berhenti. Namun seketika wajah Ruksamurka berubah beringas. Bahkan
sinar matanya mengandung ancaman maut!
"Pucuk dicinta ulam tiba!" ucap kakek berpakaian compang-camping itu dengan
suara mengguntur. "Gering Langit..! Sebelum kau mendapat giliran balas dendamku,
pelayanmulah yang mendapat kehormatan menjadi korban awalku...!"
Setelah puas berteriak seraya memandang ke langit, Ruksamurka kembali
mengalihkan perhatian pada Ki
Julaga. "Semula kupikir perjalananku kemari akan sia-sia. Tapi, ternyata tidak! Sakit
hatiku akan sedikit terobati meskipun hanya kau yang kutemui, dan bukan si
Gering Langit keparat itu...!"
Ki Julaga mengeryitkan dahi. Dari ucapan dan sikap Ruksamurka yang jelas begitu
mendendam Ki Gering
Langit, sudah bisa diduga ada suatu masalah besar di antara mereka berdua. Dan
begitu ingatannya melayang pada menghilangnya tokoh sesat yang menggiriskan ini
secara mendadak, Ki Julaga sudah bisa menarik
kesimpulan. Hilangnya Ruksamurka ada hubungannya
dengan Ki Gering Langit!
Tapi Ki Julaga tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena Ruksamurka sudah
kembali melompat menerjang. Segera kakek bertubuh kecil kurus ini membuang
pikiran macam-macam yang menggayuti benaknya. Kini semua harus
dikuras untuk menghadapi lawan tangguh di hadapannya.
Sesaat kemudian, kedua tokoh yang sama-sama sakti ini sudah terlibat dalam
sebuah pertarungan seru dan
menarik. *** Melati memperhatikan jalannya pertarungan dengan
sinar mata cemas. Gadis itu tahu kalau lawan yang dihadapi gurunya adalah tokoh
sesat yang amat sakti. Dan ini membuat hatinya khawatir.
Melati memang tahu kalau kepandaian Ki Julaga sudah amat tinggi dan sukar
diukur. Bahkan dia tahu kalau kekasihnya sendiri, Arya Buana alias Dewa Arak,
memiliki tingkat kepandaian yang tidak berada di atas gurunya.
Meskipun begitu, putri angkat Raja Bojong Gading ini tetap merasa cemas. Satu
hal yang membuatnya khawatir adalah, kakek bertubuh kecil kurus itu sudah lama
tidak melatih ilmu-ilmu yang dimilikinya. Waktunya selalu dihabiskan untuk
termenung menyesali kesalahannya.
Bersemadi pun hanya sekadarnya saja. Tapi apa daya"
Jelas-jelas tingkat kepandaiannya masih di bawah
Ruksamurka. Dan yang dapat dilakukannya kini hanya berharap, mudah-mudahan
gurunya sanggup menghadapi lawannya.
Pertarungan yang terjadi antara kedua tokoh yang sama-sama sakti itu berlangsung
menggiriskan. Arena pertarungan pun kini sudah berpindah. Keduanya tahu kalau
tetap bertarung di teras, bukan tidak mungkin akan ter-timpa reruntuhan bangunan
yang hancur terlanda pukulan nyasar. Mereka kini bertarung di bawah siraman
hujan yang masih turun dengan lebatnya, ditingkahi deru angin dingin dan gelegar


Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

halilintar menyambar bumi.
Hebat bukan main memang pertarungan yang terjadi
antara Ki Julaga dan Ruksamurka. Kedua tokoh ini sama-sama memiliki ilmu
meringankan tubuh, dan kekuatan tenaga dalam yang sukar diukur. Maka,
pertarungan yang terjadi terlihat begitu mengerikan.
Suara angin menderu, mencicit, dan mengaung
menyemaraki suasana yang riuh oleh curah hujan, deru angin, dan gelegar
halilintar. Percikan air kotor dan curah hujan berpentalan tak tentu arah.
Memang, suasana di sekitar arena pertarungan kedua tokoh ini terlihat semakin
semrawut, bagai kapal pecah.
Pertarungan antara kedua tokoh ini berlangsung cepat, karena ilmu meringankan
tubuh masing-masing telah mencapai tingkatan amat tinggi. Dalam waktu sebentar
saja lima puluh jurus telah cepat berlalu. Dan selama itu, belum nampak ada
tanda-tanda yang akan terdesak.
Kedua tokoh itu terus bertarung seru dengan kecepatan menakjubkan. Yang terlihat
kini hanyalah bayangan berwarna abu-abu dan jingga yang saling belit dan saling
pisah! Baik Ki Julaga maupun Ruksamurka merasa penasaran bukan kepalang, menyadari
setelah sekian lama bertarung, satu sama lain belum mampu juga mendesak. Padahal
masing-masing telah mengeluarkan Ilmu andalannya. Ki Julaga dengan Ilmu 'Cakar
Naga Merah', dan Ruksamurka dengan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut'. Ilmu yang
diciptakan tokoh sesat itu didapat setelah memperhatikan gerakan pusaran air
laut. Tidak aneh kalau Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut' itu memiliki daya sedot
yang amat kuat.
Dengan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut', Ruksamurka berusaha sekuat tenaga
merobohkan Ki Julaga. Ilmu itu memang aneh dan berbahaya bukan main. Untung yang
menghadapinya Ki Julaga yang memiliki kekuatan tenaga dalam tak terukur.
Sehingga, kekuatan daya sedot Ilmu
'Tarikan Pusaran Air Laut' itu tidak terlalu berbahaya baginya.
Meskipun begitu, bukan berarti Ki Julaga sama sekali tidak kewalahan menghadapi
ilmu itu. Seluruh kemampuannya telah terkuras untuk menanggulangi ilmu aneh
milik lawannya ini. Bahkan ilmu 'Cakar Naga Merah' telah dikerahkan sampai
puncaknya. Kembali seratus jurus telah terlewat. Berarti telah seratus lima puluh jurus
lamanya kedua tokoh ini
bertarung. Dan sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda berakhir.
Ruksamurka menggertakkan gigi melihat keuletan
lawannya. Sungguh tidak diduga kalau Ki Julaga begini tangguh. Kalau pelayannya
saja sudah memiliki kepandaian seperti ini, bagaimana dengan tingkat kepandaian
Ki Gering Langit sekarang" Dan sebenarnya Ruksamurka sedikit putus asa
menghadapi kenyataan ini.
Walaupun ada perasaan putus asa, namun Ruksamurka sama sekali tidak mengendorkan
serangan. Bahkan sebaliknya, serangannya malah makin diperhebat. Dan pada
kenyataannya kekuatan tubuhnya memang luar biasa. Tak tampak adanya tanda-tanda
kelelahan pada dirinya.
Tanpa sepengetahuan Ruksamurka, Ki Julaga sebenarnya sudah mulai dilanda rasa
lelah. Dan itu wajar sekali.
Karena sudah lama sekali ilmu-ilmunya tidak dilatih.
Sehingga, otot-ototnya banyak yang mulai tidak lentur lagi.
Apalagi otot-ototnya memang telah tua.
Tapi sedapat mungkin, kakek ini berusaha menyem-
bunyikan keadaannya, dan tidak ingin hal itu diketahui lawan. Bila hal itu
sampai diketahui, semangat Ruksamurka akan semakin berkobar, sehingga akan
semakin menyulitkan dirinya.
Namun Ki Julaga sama sekali tidak takut mati. Hanya saja, dia tidak ingin Melati
harus ikut celaka. Putri angkat Raja Bojong Gading itu harus diselamatkan
sebelum terlambat. Menilik dari keadaan dirinya yang sudah lelah, jelas daya
tahannya tidak mampu lagi diajak bertarung.
Sementara, lawan tampaknya masih segar bugar.
"Melati...! Cepat pergi dari sini...!" seru Ki Julaga, pada satu kesempatan.
Karuan saja hal ini membuat Melati terkejut bukan kepalang. Perintah kakek
bertubuh kurus ini hanya mengandung satu pengertian. Dia merasa tidak sanggup
menghadapi lawannya! Tentu saja hal ini membuat Melati jadi kebingungan.
Ruksamurka tertawa terbahak-bahak. Dan kini
serangan-serangannya kian bertubi-tubi begitu lawan mengalihkan perhatian ke
arah gadis berpakaian putih itu.
Karuan saja hal ini membuat Ki Julaga menjadi mulai terhimpit. Memang walaupun
hanya berteriak memper-ingatkan, tapi sudah cukup mengurangi perhatian.
Padahal, bila menghadapi lawan tangguh, yang paling penting adalah pencurahan
seluruh perhatian.
Ki Julaga jadi cemas begitu melihat Melati sama sekali tidak menuruti
anjurannya. Bahkan malah terpaku tidak bergeming sedikit pun. Melihat dari raut
wajahnya, tampak jelas kalau hatinya tengah dilanda kebimbangan.
Hal itu memang benar! Melati memang tengah dilanda perasaan bingung. Gadis itu
tahu kalau gurunya
menyuruhnya kabur, hanyalah demi keselamatannya. Tapi, Melati tidak tega
membiarkan gurunya menghadapi maut seorang diri. Kebimbangan kian melanda
hatinya. Antara menuruti pesan itu, atau membantu gurunya.
"Melati...! Cepat pergi...!"
Kembali Ki Julaga berseru keras. Nada kekhawatiran yang amat sangat terdengar
dalam teriakan mengandung perintah itu.
Dan seiring perasaan cemas yang melanda, keadaan Ki Julaga jadi semakin terdesak
dan terhimpit. Tubuhnya memang sudah terasa lelah bukan main. Memang,
pertarungan sudah berlangsung dua ratus jurus. Dan selama itu, dia selalu
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk bertahan dari serangan Ruksamurka yang
mengandung daya sedot luar biasa. Dan pengerahan
tenaga dalam sepenuhnya ini tentu saja membuatnya cepat lelah. Apalagi mengingat
usianya yang sudah tua dan keadaan anggota tubuhnya yang sudah tidak begitu baik
lagi keadaannya.
Dan kini hal itu masih ditambah sikap Melati yang tidak menuruti anjurannya.
Lengkaplah sudah keadaan yang membuat kakek bertubuh kecil kurus ini jadi
terdesak hebat.
"Ah...!"
Ki Julaga terpekik tertahan ketika tubuhnya mendadak tertarik ke depan, terbawa
daya sedot bar biasa yang muncul dari pengerahan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air
Laut'. Tapi pada saat yang gawat, Ki Julaga masih mampu
mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat cepat dia membanting tubuh ke tanah,
bergulingan dan melenting ke atas. Lagi-lagi kakek berpakaian jingga ini
berhasil meloloskan diri dari maut.
"Haaat..!"
Mendadak terdengar teriakan melengking nyaring. Jelas kalau suara itu keluar
dari mulut seorang wanita. Seiring lenyapnya lengkingan itu, terdengar suara
menggerung keras seperti ada harimau murka.
Pada saat yang sama, sesosok bayangan putih ber-
kelebat ke arah Ruksamurka. Siapa lagi sosok bayangan putih ini kalau bukan
Melati" Memang, putri angkat Raja Bojong Gading ini akhirnya memutuskan untuk membantu
gurunya. Dia kini telah melompat menyerang Ruksamurka. Tahu akan kelihaian
lawan, tanpa ragu-ragu lagi, pedangnya dicabut. Dan dengan 'Ilmu Pedang Seribu
Naga', dilancarkannya
serangan bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati.
Ruksamurka hanya mendengus melihat serangan itu.
Kedua tangannya cepat d-putar-putar di depan dada dengan arah gerakan dari dalam
ke luar. "Ih...!"
Melati terpekik ketika dari kedua tangan yang berputar itu muncul angin keras.
Akibatnya, tubuhnya hampir ter-jenkal ke belakang. Dadanya terasa sesak bukan
main, seiring munculnya hembusan angin itu. Seketika itu juga, serangannya
kandas sebelum mencapai sasaran.
Sebelum gadis berpakaian putih ini sempat berbuat sesuatu. Ruksamurka kembali
memutar-mutarkan kedua tangannya. Tapi kali ini arah gerakannya terbalik, dari
luar ke dalam. Seketika itu juga muncul sebuah kekuatan luar biasa yang menarik
tubuh Melati ke arah kakek berpakaian compang-camping itu.
Tentu saja hal ini membuat Melati kaget bukan main.
"Ilmu macam apa ini?" tanyanya dalam hati dengan perasaan kaget dan gentar.
Benak gadis itu terus berputar keras untuk menyelamatkan diri dari keadaan amat
berbahaya ini. Tapi tetap saja tidak menemukan caranya. Tubuhnya yang tengah
berada di udara tidak mempunyai landasan sama sekali untuk bertahan ketika daya
tarik yang amat kuat membetotnya.
Melati hampir terpekik ketika merasakan ada sebuah tangan yang mencekal
pergelangan tangan kirinya. Belum sempat kepalanya menoleh, tangan itu sudah
bergerak membetot tubuhnya, lalu melontarkannya.
"Cepat pergi...! Atau..., aku tidak sudi mengakuimu lagi sebagai murid...!"
Seruan keras itu terdengar seiring terlemparnya tubuh Melati. Wajah gadis itu
pucat seketika. Dia tahu betul pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Ki
Julaga. Jadi, jelas kalau orang yang telah menyelamatkannya adalah gurunya!
Melati bersalto beberapa kali untuk mematahkan daya lontar yang membuat tubuhnya
terlempar Jauh. Lemparan Ki Julaga ternyata kuat bukan main, sehingga tubuhnya
terlontar deras.
Pyarrr...! Air menyiprat ke sana kemari begitu kedua kaki Melati mendarat di tanah. Untung
saja hujan telah reda, dan tinggal gerimis. Sehingga tubuhnya tidak begitu
basah. Berbeda dengan Ki Julaga dan Ruksamurka. Seluruh tubuh kedua tokoh itu terlihat
basah kuyup. Bahkan Ki Julaga lebih parah lagi. Seluruh tubuh dan pakaian kakek
kecil kurus itu kotor, karena tadi bergulingan di tanah!
Melati menatap pertempuran itu sekilas. Kini tampak jelas kalau Ki Julaga
terdesak. Robohnya kakek itu hanya tinggal menunggu waktu saja.
Dada Melati terasa sesak. Ada isak tertahan yang
merayap naik ke tenggorokan. Kalau tidak ingat seruan kakek berpakaian jingga
itu, dia lebih suka mati bersama-sama. Tapi itu tidak bisa dilakukan, karena Ki
Julaga tidak membolehkannya. Maka sambil mengeluarkan isak tertahan, Melati
melesat kabur sambil membawa sekeping hatinya yang luka.
*** Meskipun dalam keadaan terdesak dan terhimpit, Ki
Julaga masih sempat melihat kepergian Melati. Mulut kakek bertubuh kecil kurus
itu tersenyum. Lega rasa hatinya melihat murid yang amat disayangi itu mendengar
perintahnya. Memang terpaksa kata-kata yang agak pedas dikeluarkan. Sebab kalau
tidak, Melati tak akan mau pergi!
"Selamat Jalan, Melati...!" teriak Ki Julaga keras disertai pengerahan tenaga
dalam penuh. "Jangan lupa, sampaikan maafku pada Ki Gering Langit. Agar arwahku
bisa tenteram."
"Kakek..!"
Melati menjerit keras. Butir-butir air bening tampak mengalir deras dari
sepasang matanya. Melati tetap terus berlari sambil menangis, tanpa mengeluarkan
suara. Sebenarnya, baginya menangis adalah suatu pantangan.
Tapi kesedihan yang kali ini ditanggung terlalu berat untuk ditahan. Biar
bagaimanapun juga, Melati adalah seorang wanita yang tidak bisa melepaskan
kodratnya. Seorang wanita pasti memiliki perasaan halus. Sehingga mudah
diombang-ambingkan keharuan.
Jeritan Melati keras sekali, karena keluar dari hati yang terluka. Sehingga
tanpa sadar, jeritan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Jadi bukan
hal yang aneh kalau Ki Julaga mendengarnya.
Seketika itu pula sepasang mata kakek bertubuh kecil kurus ini merembang
berkaca-kaca. Kedua biji matanya terasa panas. Telinganya, menangkap adanya nada
kepedihan dari jeritan muridnya itu. Dia tahu Melati amat menyayanginya, seperti
dirinya terhadap gadis itu pula.
Tapi Ki Julaga tidak bisa berlarut-larut tenggelam dalam keharuan. Dia tengah
menghadapi lawan yang amat
tangguh. Apalagi keadaannya tengah terdesak dan terhimpit. Bahkan tak lama lagi
akan roboh. Dan hal itu disadari betul oleh kakek bertubuh kecil kurus ini.
Keadaan Ki Julaga memang sudah mengkhawatirkan
sekali. Apalagi tubuhnya sudah merasa lelah bukan main.
Dan seiring timbulnya perasaan lelah, kekuatan tenaganya pun merosot jauh.
Napasnya mulai terengah-engah.
Namun dia memaksakan diri untuk terus bertahan, agar Melati dapat pergi sejauh-
Jauhnya dan lolos dari kejaran Ruksamurka. Sungguh besar pengorbanannya pada
gadis itu. Berbeda dengan Ki Julaga, Ruksamurka sama sekali tidak terlihat
lelah. Serangan-serangannya masih sedah-syat semula. Tahu kalau tenaga lawan
telah merosot, Ruksamurka bermaksud menggunakan kelebihan ini untuk keuntungan
dirinya. Kini Ruksamurka memusatkan serangan pada putaran
kedua tangannya di depan dada dengan arah gerakan dari luar ke dalam.
Sementara Ki Julaga mencoba terus bertahan. Seluruh sisa tenaga dalam yang
dimilikinya langsung dikerahkan.
Akibatnya memang mengerikan sekali! Dari mulut hidung, dan telinganya mengalir
darah segar. Kalau kakek ini meneruskan bertahan, dari matanya pun akan keluar
darah segar! Tapi sebelum hal itu terjadi, kedua kaki Ki Julaga sudah tidak mampu bertahan.
Seketika itu juga tubuhnya tertarik deras ke depan.
Ruksamurka mendengus. Telunjuk tangan kanannya
bergerak menotok.
Tukkk...! Bagai sehelai karung basah, tubuh Ki Julaga merosot dan jatuh ke tanah. Sekujur
tubuhnya terasa lemas dan tak bertenaga. Ruksamurka memang telah menotoknya
sehingga tubuhnya lemas seketika.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak, menggelegar seperti
guntur. Sebuah tawa kemenangan yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.
Sementara Ki Julaga hanya menatap semua kelakuan lawannya dengan sikap tenang.
Tidak terlihat adanya perasaan apa pun di wajah Ki Julaga, sekalipun sebenarnya
ada perasaan ngeri di hati. Dia kini telah tidak berdaya. Tidak ada yang bisa
dilakukannya selain pasrah pada tindakan Ruksamurka.
Setelah puas tertawa-tawa, Ruksamurka mengalihkan perhatian pada Ki Julaga.
Dengan sorot mata bengis, ditatapnya wajah kakek berpakaian jingga itu.
Kemudian, dia berjongkok.
Kembali Ruksamurka tertawa bergelak. Masih dengan suara tawa lepas dari
mulutnya, tangan kanannya terulur untuk menggenggam tangan kanan Ki Julaga.
Sementara calon korbannya tetap terlihat tenang walaupun jantungnya berdebar
keras penuh kengerian.
Sambil masih terus tertawa-tawa, Ruksamurka bergerak meremas tangan Ki Julaga
yang berada dalam geng-gamannya. Seketika itu juga terdengar suara berkerotokan
keras ketika tulang tangan Ki Julaga hancur seperti terjepit baja.
Rasa sakit yang amat sangat melanda Ki Julaga. Tapi hebatnya, dia sama sekali
tidak mengeluh. Keringat sebesar-besar biji jagung tampak membasahi wajah dan
sekujur tubuhnya. Giginya bahkan sampai menggigit bibir kuat-kuat, sampai
berdarah. "Ha ha ha...!"
Tawa Ruksamurka kembali meledak melihat penderita-an Ki Julaga. Senang rasa
hatinya melihat penderitaan yang dialami calon korbannya. Kemudian masih dengan
tawa yang tidak putus, siksaan itu dilanjutkan. Kedua tangannya yang kekar dan
berbulu, meremas hancur
semua tulang-belulang Ki Julaga. Mulai dari tangan kanan, kiri, lalu dilanjutkan
pada kaki. Setelah itu, dengan kekuatan tenaga dalamnya, semua sambungan tulang-
belulang yang telah hancur itu ditarik hingga putus.
Darah berhamburan membasahi bumi. Bahkan Ki Julaga sampai pingsan akibat tak
kuat menahan rasa sakit yang melanda. Tapi pingsan kakek itu tidak lama, karena
Ruksamurka segera menyadarkannya. Sebagai seorang yang berwatak kejam, dia tidak
akan menyiksa korban yang tidak sadarkan diri.
Penyiksaan pun dilanjutkan lagi. Dan ketika akhirnya penyiksaan berakhir, Ki
Julaga tewas. Kini seluruh anggota tubuhnya tidak ada yang berbentuk lagi. Semua
tulang-belulangnya telah hancur. Dan semua anggota tubuhnya telah tercerai berai
tak karuan. Nasib Ki Julaga sungguh mengenaskan.
Ruksamurka tertawa bergelak melihat korbannya telah tewas. Kedua tangan dan
sekujur pakaiannya penuh
percikan darah. Tapi, kakek ini sama sekali tidak mempedulikannya.
Masih dengan tawa bergelak yang menggelegar seperti guntur, Ruksamurka melesat
meninggalkan tempat itu.


Dewa Arak 21 Dendam Tokoh Buangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam waktu sekejapan saja tubuhnya telah mulai
mengecil di kejauhan. Dan seiring dengan semakin
mengecilnya tubuh itu, suara tawa yang terdengar pun semakin pelan, hingga
akhirnya lenyap sama sekali.
Kini tidak ada lagi suara hiruk-pikuk pertarungan. Tidak ada lagi tawa bergelak
yang menyeramkan. Keheningan menyelimuti tempat itu. Yang terdengar hanyalah
desah angin pelan, seakan-akan alam bersedih dengan tewasnya Ki Julaga.
*** 4 Cuaca siang ini panas sekali. Matahari yang telah berada di tengah-tengah langit
memancarkan sinarnya dengan
garang ke bumi. Dan di saat itulah Ruksamurka melangkahkan kakinya melintasi
tembok batas Desa Cendawa.
Begitu memasuki mulut desa, pandangan mata kakek
berpakaian compang-camping ini segera beredar berkeliling, mengamati sekitarnya.
Suasana di sekitarnya memang tampak sepi. Tidak nampak seorang pun yang ada di
jalan. Memang, penduduk Desa Cendawa sebagian besar adalah petani. Jadi, pada
saat-saat seperti ini mereka berada di sawah.
Yang terlihat oleh Ruksamurka hanyalah pondok-pondok yang pintunya tertutup
rapat Ada juga yang pintunya agak terbuka, tapi itu hanya beberapa pondok saja.
Mulut Ruksamurka menyeringai. Sepasang matanya pun bersinar-sinar. Entah karena
apa, hanya dialah yang tahu.
Kemudian dengan langkah lebar-lebar tanpa ilmu
meringankan tubuh, kakek berwajah penuh guratan bekas luka ini melangkah lebar
menghampiri sebuah pondok yang terletak paling dekat dengan tempatnya.
Tak sampai tiga puluh langkah, Ruksamurka sudah
berada di depan pondok itu. Perlahan-lahan tangannya diulurkan untuk mengambil
sebatang obor yang ter-pancang di sudut pondok. Obor yang sama sekali tidak
berapi karena hari masih siang.
Krakkk...! Batang obor yang terbuat dari batang bambu itu patah dua ketika jari-jari tangan
Ruksamurka bergerak. Menilik dari cara mematahkannya, sepertinya obor itu
terbuat dari lidi!
Dengan raut wajah beku dan sorot mata yang
memancarkan kekejaman, Ruksamurka lalu menggosok-
kan kedua batang bambu itu. Luar biasa! Sekejap
kemudian, timbul api akibat gosokan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sepasang mata kakek berwajah penuh luka guratan ini nampak berbinar-binar,
menyiratkan kegembiraan hatinya.
Kemudian, dua batang bambu yang menyala itu dilemparkan ke atas pondok yang
beratapkan rumbia.
Secepat kedua batang bambu itu jatuh di atap pondok itu, secepat itu pula api
mulai membakar! Mula-mula kecil, tapi semakin lama semakin besar! Api itu tidak
hanya membakar atap, tapi juga menjalar ke arah dinding bilik bambu.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa terbahak-bahak begitu melihat api semakin membesar. Gembira
hatinya melihat pertunjukan di hadapannya.
Api itu memang cepat sekali membesar. Karena di
samping pondok itu terdiri dari bahan-bahan yang mudah terbakar, angin yang
berhembus cukup kencang ikut mendukung cepatnya api membesar.
"Kebakaran...!"
Terdengar teriakan panik dari seorang penduduk yang kebetulan berada di dalam
pondok. Menilik dari suaranya yang melengking, bisa diketahui kalau dia adalah
seorang wanita.
Seiring terdengarnya teriakan itu, daun pintu depan yang tadi tertutup rapat
terbuka tiba-tiba. Jelas orang di dalamnya terburu-buru membuka pintu itu.
Secepat daun pintu itu terbuka, secepat itu pula seorang wanita berlari-lari
kalang-kabut keluar. Usianya sekitar tiga puluh tahun, dan kulitnya coklat. Dia
menggendong seorang anak berusia sekitar dua tahun yang menangis menjerit-jerit.
Rupanya anak itu merasa kepanasan, karena rumahnya terbakar.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak melihat wanita itu
kebingungan. Hatinya geli melihat wanita itu kalang-kabut menyelamatkan dirinya
dan anaknya. Tindakan Ruksamurka tidak sampai di situ saja.
Tangannya cepat bergerak, maka sesaat kemudian anak dalam gendongan wanita itu
telah direbutnya.
"Kembalikan anakku...!"
Wanita itu menjerit seraya melangkah cepat meng-
hampiri Ruksamurka yang hanya tertawa-tawa. Jelas, wanita itu ingin merebut
kembali anaknya.
Masih dengan tawa bergelak, Ruksamurka menggerak-
kan tangan menampar tanpa pengerahan tenaga dalam.
Kakek berwajah penuh luka itu hanya mengerahkan tenaga biasa. Itu pun tidak
seluruhnya. Plakkk...! Telak dan keras bukan main tamparan Ruksamurka
menghantam pipi wanita berkulit coklat itu. Seketika itu juga, tubuh wanita itu
terpelanting jatuh. Mulutnya tampak meringis menahan sakit. Namun hal itu tidak
dipeduli-kannya. Wanita itu langsung bangkit berdiri dan kemudian menghambur ke
arah Ruksamurka. Pada pipi wanita itu tampak tanda merah bergambar telapak
tangan. "Kembalikan anakku...!" jerit wanita itu lagi.
Tapi sebelum wanita berkulit coklat itu berhasil me-rampas anaknya, Ruksamurka
telah lebih dulu melemparkan anak itu ke dalam pondok yang telah menjadi kobaran
api. Sambil terus menjerit-jent menyayat, anak kecil itu melayang deras. Sementara
sang Ibu yang melihat
anaknya, menjadi semakin hancur hatinya. Dia hanya mampu berteriak ngeri
bercampur duka mendalam.
"Susullah anakmu ke neraka ..!" seru Ruksamurka tiba-tiba.
Ruksamurka memutar-mutarkan kedua tangannya di
depan dada dengan arah gerakan dari dalam ke luar.
Seketika itu juga berhembus angin keras yang membuat tubuh wanita malang itu
melayang deras ke arah rumahnya yang tengah dilahap api.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak. Tampak jelas kalau
hatinya merasa gembira menyaksikan perbuatannya.
*** Kobaran api yang membesar itu tentu saja menimbulkan kepulan asap yang menjulang
ke angkasa. Seketika itu pula seluruh penduduk Desa Cendawa menjadi geger.
Kontan mereka yang melihat, berhamburan ke arah asal asap itu. Sementara
penduduk yang berada agak dekat dengan pondok yang terbakar itu juga bergegas
berlari ke sana. Memang, pondok yang terbakar itu letaknya agak jauh dari
pondok-pondok. Tawa Ruksamurka kian keras ketika melihat penduduk berbondong-bondong datang
menghampiri rumah yang
terbakar. Di tangan mereka telah tergenggam alat-alat seadanya untuk memadamkan
api. Dengan suara tawa yang tidak pernah lepas dari
mulutnya, Ruksamurka segera melesat menyongsong
kedatangan para penduduk.
Rombongan penduduk yang tiba lebih dulu dan
berjumlah hanya delapan orang, terperanjat begitu melihat sesosok tubuh tinggi
besar yang bergerak dari arah yang berlawanan sambil tertawa-tawa.
"Kau kenal orang itu, Wardi?" tanya penduduk yang berusia setengah baya pada
seorang pemuda bertubuh pendek gemuk.
"Tidak, Kang," sahut pemuda bertubuh pendek gemuk yang bernama Wardi.
"Melihatnya pun baru kali ini"
"Jangan-jangan, dia orang gila yang nyasar kemari.
Kalau waras, rasanya tidak mungkin ada kebakaran dia malah tertawa-tawa
gembira," tebak seorang penduduk lain yang mengenakan penutup kepala dari batok
kelapa. "Lihat saja pakaian yang dikenakannya."
Mendengar ucapan itu, serentak tujuh buah kepala
penduduk yang lain terangguk. Rupanya mereka semua menerima pendapat itu.
Yakin akan kebenaran dugaan tadi, kedelapan orang penduduk itu tidak mau cari
penyakit. Mereka cepat bergerak menyingkir agak ke kanan jalan agar tidak
berpapasan dengan Ruksamurka. Untung jalan itu lebar.
Tapi Ruksamurka yang memang sudah berniat mem-
bantai semua penduduk Desa Cendawa, tidak ingin membiarkan penduduk itu lolos
dari tangannya. Maka begitu para penduduk menyingkir ke arah kanan, dia pun
bergerak mengikuti. Sehingga kini tetap saja rombongan penduduk itu akan
berpapasan jalan dengannya.
Tentu saja hal ini membuat Wardi dan rekan-rekannya jadi gemas. Mereka tengah
terburu-buru, dan kini malah ada orang gila yang mengganggu. Tentu saja mereka
menjadi sewot. Karena perasaan itulah yang menyebabkan mereka
semua tidak bergerak menyingkir lagi. Mereka sudah bertekad, kalau orang gila
itu bersikap macam-macam, akan dihajar hingga babak belur.
Semakin lama jarak mereka semakin dekat. Hingga kini, jarak antara kedua belah
pihak tak lebih dari dua tombak.
Wardi dan para penduduk lain menjadi gemas juga
melihat Ruksamurka sama sekali tidak bergeming dari tempatnya. Maka kedelapan
orang ini memutuskan untuk menghajarnya hingga babak belur.
Delapan orang penduduk itu melangkah maju dengan
sorot mata mengancam. Senjata-senjata yang berada di tangan, diacung-acungkan
agar Ruksamurka takut.
Begitu jarak antara mereka tinggal dua tombak lagi, mendadak tangan Ruksamurka
bergerak. Seketika para penduduk desa itu terkesiap. Tak ada yang mampu
mengelak atau menangkis. Tak pelak lagi, dua orang kawan Wardi telah tercekal
tangannya. Sebelum kedua orang penduduk itu menyadari apa yang terjadi, Ruksamurka sudah
bergerak membetot keras anggota tubuh mereka.
Suara bergemeletuk dari terlepasnya sambungan tulang pangkal lengan kedua orang
penduduk itu terdengar.
Kontan kedua orang yang malang itu menjerit keras.
Belum lagi gema jeritan itu lenyap, tubuh kedua orang itu telah terlempar ke
atas melewati kepala Ruksamurka.
Mereka terus melayang deras ke arah rumah yang telah menjadi lautan api.
"Aaa...!"
Jerit kematian terdengar ketika kedua orang penduduk yang malang itu jatuh ke
dalam kobaran api.
Wardi dan kelima orang kawannya seketika terbelalak kaget melihat hal ini. Kini
mereka semua sadar kalau orang yang disangka gila itu ternyata seorang tokoh
sesat yang memiliki kepandaian tinggi.
Meskipun mereka semua tidak memiliki ilmu silat, tapi bukan berarti buta
terhadap orang yang memiliki kepandaian tinggi. Karena, di Desa Cendawa pun
terdapat sebuah perguruan silat yang cukup ternama.
Kembali tangan Ruksamurka bergerak, namun kali ini memutar di depan dada.
Arahnya dari luar ke dalam.
Wardi dan kelima orang kawannya terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja muncul
angin keras yang menarik mereka ke arah kakek berpakaian compang-camping itu.
Dengan kedahsyatan ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut', tidak sulit bagi Ruksamurka
untuk mengambil keenam orang penduduk itu. Dan begitu tubuh penduduk-penduduk
itu telah tertarik ke arahnya dengan enaknya, tangannya langsung terulur
menangkap tangan dan bagian-bagian tubuh lainnya. Kemudian dilemparkannya tubuh-
tubuh itu ke dalam kobaran api.
Jeritan kematian kembali terdengar begitu tubuh
keenam orang itu meluruk ke arah kobaran api yang menyala-nyala dahsyat.
"Ha ha ha...!"
Misteri Surat Setan 1 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cacad 8
^