Dewi Penyebar Maut 2
Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut Bagian 2
dari rumah yang terbakar. Dan tidak hanya satu buah! Jelas, ada kejanggalan di
sini! Naluri Dewa Arak sebagai seorang pendekar langsung bangkit. Lenyap seketika rasa
lelahnya. Segera disambarnya guci arak yang baru saja digantungkan di ranting pohon, lalu
diikatkan lagi ke punggungnya. Bergegas pemuda itu melompat turun.
Ringan sekali kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, sehingga tak terdengar
suara sedikit pun.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya melesat ke arah asap itu berasal.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang memang sudah mencapai taraf kesempurnaan,
Arya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk tiba di tempat asal api
itu. Seperti yang diduga Arya, api itu memang tidak wajar. Di depan rumah yang
terbakar itu, tampak tengah terjadi pertempuran yang tidak seimbang.
Arya memperhatikan orang-orang yang bertempur itu sejenak. Tampak seorang yang
bertubuh bagai raksasa, berwajah kasar, dan memakai kalung bermatakan tengkorak kepala bayi,
tengah dikeroyok belasan orang bersenjata. Melihat senjata yang mereka gunakan,
Dewa Arak itu dapat menduga kalau para pengeroyok itu adalah penduduk desa yang
rata-rata tidak memiliki ilmu olah kanuragan.
Si tinggi besar yang tidak lain dari Raksasa Kulit Baja ini tertawa-tawa.
Dibiarkan saja hujan senjata menghantam tubuhnya. Dan setiap senjata yang
mengenai tubuh raksasa ini, selalu terpental balik.
Sebaliknya, setiap Raksasa Kulit Baja ini melakukan serangan balasan, sudah
dapat dipastikan ada satu tubuh yang tumbang. Beberapa di antaranya, dengan tulang
tangan atau kaki patah.
Malah ada pula yang menyemburkan darah dari mulut.
Sekali lihat saja Arya tahu, jika hal ini terus dibiarkan, tidak akan ada lagi
penduduk yang berdiri tegak. Jiwa kependekaran pemuda berarnbut putih keperak-
perakan ini bangkit. Apalagi si tinggi besar ini juga bertangan telengas. Setiap
kali melakukan serangan, selalu menimbulkan akibat yang parah bagi para
pengeroyoknya. "Manusia keji! Akulah lawanmu!" Sambil berkata demikian, Arya bergerak memasuki
kancah pertempuran. Langsung saja dikirimkan sebuah serangan berupa tepakan ke arah
hahu Raksasa Kulit Baja ini. Dewa Arak yang memang tidak pernah menurunkan
tangan maut kalau tidak terpaksa sekali, sengaja mengarahkan serangan ke arah
bagian tubuh yang tidak berbahaya. Pemuda ini memang tahu kalau lawannya
memiliki ilmu kebal, sehingga tidak sungkan-sungkan lagi mengerahkan separuh
dari tenaga dalamnya.
Plakkk! Arya Buana terperanjat kaget. Tepakan tangannya seolah-olah bukan menghantam
tubuh manusia, melainkan seperti menghantam gumpalan karet keras yang membuat
tenaganya berbalik!
"Hebat...," puji Dewa Arak dalam hati.
Sementara itu, Raksasa Kulit Baja juga dilanda kekagetan serupa. Walaupun
tepakan tangan Arya tidak membuatnya kesakitan atau terluka dalam, tapi karena
kuatnya tenaga dalam lawan, tubuhnya tak urung terhuyung-huyung dua langkah ke
belakang. "Menyingkirlah, Kisanak semua!" perintah Arya pada para penduduk yang masih
berdiri di situ.
"Tapi.... Orang ini sangat berbahaya, Kisanak,"
bantah salah seorang penduduk, memberitahu pemuda berambut putih keperak-perakan
di depannya. "Saya akan mencoba menjauhkan dia dari desa ini, Paman," jawab Arya merendah,
sambil tersenyum tipis.
"Tapi...."
"Sudahlah, Paman. Lebih baik, padamkanlah api yang membakar rumah itu sebelum
seluruh desa ini musnah dilalap api!"
Ucapan itu menyadarkan para penduduk desa akan ancaman bahaya lain. Kontan
mereka serentak meninggalkan arena pertarungan.
"Groahhh..!" tiba-tiba saja Raksasa Kulit Baja itu menggeram hebat. Sejak tadi
ia memang menatap Arya seperti orang terkesima. Keningnya berkerut, seperti
sedang mengingat sesuatu.
"Jahanam! Kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu"!"
tanya manusia tinggi besar itu dengan suara keras.
Sepasang matanya memerah karena amarah yang
meluap-luap. Belum lagi Arya memberikan tanggapan, Raksasa Kulit Baja itu telah menyelak
lagi. "Ya. Kau pasti Dewa Arak itu. Pakaianmu, rambutmu, dan juga guci arak di
punggungmu! Grrrhhh...! Kau harus mati di tanganku, keparat!"
"Tunggu...!" cegah Arya begitu melihat manusia raksasa itu akan menyerangnya.
"Siapa kau" Dan mengapa ingin membunuhku"! Padahal kita bertemu pun baru kali
ini?" "Groahhh...!" dengus Raksasa Kulit Baja menggeram.
"Baiklah! Agar tidak mati penasaran, akan kuberitahu padamu, keparat! Aku,
Raksasa Kulit Baja.
Saudara angkat Harimau Mata Satu yang telah kau bunuh! Dan aku membakar rumah
itu, karena orang-orang keparat itu tidak mau memberitahu di mana dirimu.
Sungguh tidak kusangka kalau kau datang sendiri mencari mati. Orang lain boleh
takut padamu. Tapi, jangan harap kau akan mampu menghadapiku!"
Arya manggut-manggut. Disadari kalau tidak mungkin lagi menghindari pertempuran.
Raksasa Kulit Baja tidak mungkin akan menghabiskan persoalan sebelum salah satu
di antara mereka tewas. Tentu saja pemuda berambut putih keperak-perakan ini
tidak ingin mati. Masih banyak tugas yang belum diselesaikan.
"Mampuslah kau, keparat!" teriak Raksasa Kulit Baja disertai suara mengguntur
seraya menyerang dengan sebuah pukulan ke arah dada Dewa Arak.
Angin keras bertiup mengawali serangan itu. Dari sini saja Dewa Arak dapat
menilai kekuatan yang terkandung dalam serangan itu. Hanya saja gerakan itu
terlalu lambat.
Dewa Arak mencondongkan tubuhnya ke kanan sehingga serangan itu lewat di depan
dadanya. Dan cepat bagai kilat kaki kanannya terayun deras ke arah perut lawan.
Tukkk...! Tendangan cepat yang dilakukan Dewa Arak tidak mampu dielakkan Raksasa Kulit
Baja yang memiliki gerakan terlampau lambat. Dengan telak tendangan itu mengenai
perutnya. Tapi lagi-lagi tendangan Dewa Arak tidak menghasilkan apa-apa. Tubuh manusia
raksasa itu hanya terhuyung dua langkah ke belakang. Kini ia kembali menerjang
dengan serangan-serangan buas dan brutal.
Sadarlah Arya kalau lawannya ini benar-benar memiliki kekebalan tubuh. Pemuda
itu kini tidak ragu-ragu lagi untuk menyarangkan serangan pada sasaran-sasaran
yang berbahaya dan bertenaga dalam penuh. Hanya saja, Dewa Arak ini masih belum
ingin menggunakan ilmu andalannya. Untuk menghadapi Raksasa Kulit Baja ini,
hanya digunakan ilmu warisan ayahnya saja.
Beberapa jurus telah berlalu. Dan entah sudah berapa kali serangan Dewa Arak
mendarat di berbagai bagian tubuh Raksasa Kulit Baja. Namun tak nampak tanda
tanda sedikit pun kalau serangan Arya itu dirasakannya.
Diam-diam pemuda berpakaian ungu ini terkejut bukan kepalang melihat kekuatan
tubuh lawannya ini.
Sepanjang pengetahuannya, kekebalan hanya dapat dimiliki oleh orang yang telah
memiliki tenaga dalam tinggi, misalnya Dewa Arak sendiri. Itu pun hanya terbatas
pada bagian-bagian yang tidak berbahaya saja. Tapi kekebalan yang dimiliki
Raksasa Kulit Baja
ini sungguh aneh. Padahal si manusia raksasa ini tidak memiliki tenaga dalam,
tapi hanya memiliki tenaga luar yang besar.
Dewa Arak segera sadar kalau Raksasa Kulit Baja ini mendapatkan ilmu kekebalan
tubuh lewat cara yang tidak wajar. Ular Hitam pernah menceritakan kepadanya
tentang berbagai macam ilmu yang terdapat di dunia persilatan.
Sebagai seorang yang telah lama malang-
melintang dalam rimba persilatan, tentu saja Ular Hitam memiliki pengetahuan
luas. Pengalamannya yang sudah ratusan kali bertempur menghadapi lawan. Ular
Hitam mengatakan kalau kekebalan bisa didapat dengan dua cara. Dengan
meningkatkan tenaga dalam, dan dengan mempelajari ilmu hitam.
Dari sini Arya menduga bahwa orang macam Raksasa Kulit Baja pasti mendapatkannya
dari ilmu hitam.
Tak terasa dua puluh jurus telah berlalu. Dan pertarungan antara kedua orang itu
telah bergeser jauh dari tempat semula. Itu memang disengaja Dewa Arak, karena
ingin menghindari dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
Plakkk! Kibasan kaki Dewa Arak yang dilakukan sambil berputar itu telak menghantam
pelipis Raksasa Kulit Baja. Kibasan yang disertai pengerahan tenaga sepenuhnya
itu membuat tubuh lawannya terlempar, melayang sejauh beberapa tombak. Kemudian
tubuh besar itu jatuh, dan terguling guling di tanah.
Tapi lagi-lagi, Raksasa Kulit Baja kembali bangkit tanpa kurang suatu apa pun.
"Gila...!" teriak Arya putus asa. Pemuda berambut putih keperak-perakan ini jadi
hilang kesabarannya.
Dengan perasaan geram bercampur bingung, diambil
guci araknya. Gluk... gluk... gluk....
Terdengar suara berceglukan ketika arak itu memasuki tenggorokan. Arya mengusap
mulutnya dengan punggung tangan, lalu disimpan lagi guci araknya di punggung.
Tak berapa lama kemudian, tubuhnya pun mulai sempoyongan. Pemuda berbaju ungu
ini terpaksa menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'-nya.
"Haaat...!" Raksasa Kulit Baja melolos senjatanya.
Tampak sebuah rantai baja berujung mata arit tajam berkilat, yang sejak tadi
melilit pinggang, kini berputar-putar mencari mangsa.
Wukkk... wukkk... wukkk...!
Seketika disabetkan rantai baja itu ke arah kepala Dewa Arak.
Singgg. .! Suara mendesing nyaring terdengar ketika rantai baja itu menyambar ke arah
kepala Arya. Tubuh pemuda berambut putih keperak-perakan yang semula sempoyongan itu,
mendadak berubah kokoh. Dan secepat posisi tubuh itu berubah, secepat itu pula
tubuh Dewa Arak melayang ke arah Raksasa Kulit Baja. Kedua tangannya bergerak
persis seperti seekor belalang yang tengah mempermainkan kaki-kakinya.
Prattt...! Pralll. .! Rantai baja yang menyambar kepala itu tertangkis tangan Arya, dan kontan putus
berantakan! Belum lagi, Raksasa Kulit Baja berbuat sesuatu, tubuh Arya telah berada di
mukanya. Dan...
Prattt! Prattt! Desss. !
Bertubi-tubi dan hampir bersamaan, tiga buah
serangan Dewa Arak mendarat telak pada sasaran.
Kedua tangannya menghantam pelipis dan ubun-ubun.
Disusul kedua kakinya menggedor dada.
Kelihatannya itu adalah serangan maut!
Jangankan ketiga-tiganya. Satu saja serangan itu diterima seorang seperti datuk
sesat sekalipun, cukup membuat orang itu pergi ke alam kubur! Kini ketiga
tiganya diterima sekaligus oleh Raksasa Kulit Baja!
Tanpa ampun lagi, tubuh Raksasa Kulit Baja terlempar jauh, tidak kurang dari
delapan tombak!
Luncuran tubuhnya baru berhenti ketika menabrak sebuah pohon besar hingga
tumbang, menimbulkan suara gemuruh. Bahkan pohon itu juga menimpa tubuh Raksasa
Kulit Baja yang tergolek di bawahnya.
Arya menghentikan gerakannya. Dengan posisi kaki tidak tetap, dia masih bergerak
sempoyongan. Kedua tangannya terus bergerak-gerak liar di depan dada.
Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan ini menunggu. Sepertinya
tidak ada tanda-tanda kalau lawannya yang luar biasa itu akan bangkit kembali.
Lalu Arya pun membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan tempat itu, walaupun
langkahnya sempoyongan. Tapi tiba-tiba saja terdengar suara ribut-ribut dari
arah belakangnya. Segera Arya menoleh. Terbelalaklah sepasang matanya yang sudah
sayu itu ketika melihat pemandangan di belakangnya.
Tampak batang pohon itu bergerak-gerak,
kemudian tiba-tiba terangkat dan terlempar ke arahnya. Suara yang ditimbulkan
begitu bergemuruh.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera mendorongkan kedua telapak
tangannya ke depan, mengirimkan pukulan jarak jauh.
Wuttt...! Brakkk...!
Batang pohon itu hancur berkeping-keping sebelum mengenai Arya. Bahkan daun-
daunnya langsung mengering layu.
Arya Buana menatap sosok tubuh yang kini bangkit dari tindihan pohon tadi. Siapa
lagi kalau bukan sosok Raksasa Kulit Baja. Seketika sepasang mata Dewa Arak
membelalak. Ternyata manusia raksasa itu tidak terluka sama sekali!
"Ilmu iblis!" desah Arya, antara takjub dan ngeri.
"Ha ha ha...! Keluarkan semua ilmumu, dewa keparat!" Raksasa Kulit Baja tertawa
pongah. "Sekarang kau baru tahu kehebatan ilmu 'Tameng Waja'ku! Kalau saja ilmu ini
sudah kumiliki sejak dulu, mungkin akulah yang akan menjadi raja kaum sesat!
Ha ha ha...!"
Dewa Arak menarik napas dalam-dalam.
Dikumpulkannya segenap tenaganya. Kemudian...
"Hiyaaa...!" Arya Buana berteriak keras, kemudian mendorongkan kedua tangannya
ke depan. Wuttt...! Angin panas berhembus keras menyambar tubuh Raksasa Kulit Baja yang tengah
melangkah menghampirinya.
Bresss...! Pukulan jarak jauh yang dilepaskan pemuda berambut putih keperakan itu telak
menghantam dada saudara angkat Harimau Mata Satu.
Akibatnya hebat sekali! Tubuh Raksasa Kulit Baja melayang jauh bagai dihempas
angin ribut, dan jatuh belasan tombak dari tempat semula.
"Iblis!" pekik Arya ketika melihat lawannya itu bangkit kembali.
Sungguh tidak ada tanda-tanda sedikit pun kalau tokoh itu terpengaruh pukulan
yang merupakan usaha terakhir Dewa Arak. Hanya satu yang membuktikan kalau
pukulan Arya tepat menghantam sasaran. Pakaian Raksasa Kulit Baja itu hangus,
dan pelahan-lahan hancur berkeping-keping ketika angin meniupnya. Dan kini, si
tinggi besar ini jadi telanjang bulat!
"Keparat!" Raksasa Kulit Baja berteriak memaki.
"Kali ini kau mujur, Dewa Arak! Tapi, jangan harap lain kali akan seberuntung
ini!" Setelah berkata demikian, Raksasa Kulit Baja melesat kabur dari situ. Dia merasa
malu melanjutkan pertarungan tanpa penutup tubuh.
Arya menghela napas lega. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa lelah bukan
main. Sungguh bingung memikirkan bagaimana caranya menghadapi Raksasa Kulit Baja itu.
Dengan langkah lunglai, diayunkan kakinya melanjutkan perjalanan mencari jejak
Bargola. 4 Siang ini udara begitu panas. Matahari menyengat kulit sejuruh makhluk yang ada
di permukaan maya-pada ini. Demikian pula dengan Arya Buana. Pemuda itu tengah
mempercepat langkahnya ketika beberapa tombak di depannya membentang sebuah
sungai. Ingin rasanya segera mandi atau setidak-tidaknya membasuh muka untuk menyegarkan
diri. Sekujur tubuhnya dirasakan penat dan lengket akibat pertarung-annya
melawan Raksasa Kulit Baja. Apalagi udara demikian panasnya.
Pertarungannya yang alot tadi benar-benar membuat tenaga Dewa Arak terkuras.
Tetapi diam-diam pemuda itu mengakui kehebatan ilmu Tameng Waja' milik Raksasa
Kulit Baja. Bahkan
pertarungannya melawan Siluman Tengkorak Putih seperti tidak berarti apa-apa
bila dibandingkan dengan manusia yang tubuhnya bagai raksasa itu.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat.
Dia memang baru menyadari kalau kepandaian yang tinggi tidak menjamin kemenangan
dalam suatu pertarungan. Ternyata pengalaman dan pengetahuan luas juga tidak
kalah pentingnya. Dan ini telah dialaminya sendiri.
Pemuda berbaju ungu ini yakin, masih banyak lagi hal baru yang akan dijumpai
Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam petualangannya.
Ia memang belum berpengalaman, sehingga
banyak hal yang tidak diketahuinya. Berbeda dengan Ular Hitam. Pembimbing Dewa
Arak itu banyak
pengalaman dalam dunia persilatan. Mungkin kalau Ular Hitam yang menghadapi,
Raksasa Kulit Baja belum tentu akan mampu menandingi.
Arya terus menyusuri sepanjang sungai itu. Melihat betapa jernihnya air itu,
maka dia berniat mandi untuk menyegarkan tubuh. Tentu saja untuk itu, harus
dicari tempat yang tersembunyi sehingga tidak dapat dilihat orang.
Hampir saja pemuda itu bersorak ketika melihat ada tempat tersembunyi, yang
terletak di kelokan sungai. Rerimbunan semak dan pepohonan, rapat menutupinya.
Bergegas Dewa Arak menghampiri tempat itu.
Ketika rerimbunan semak-semak dan pepohonan disibak, mendadak wajah Arya
memerah. Ternyata di dalam sungai itu ada seorang wanita yang tengah mandi!
Memang, hanya rambutnya saja yang terlihat, tapi cukup membuat pemuda ini
memerah wajahnya.
Tubuh wanita itu terlindung sebuah baru besar yang datar, dan tengah menundukkan
kepalanya. Rupanya bunyi semak-semak dan pepohonan yang tersibak tangan Arya cukup keras.
Terbukti wanita itu mendongakkan kepalanya, memandang ke arah suara itu berasal.
Sesaat lamanya sepasang mata wanita itu terbelalak. Keterkejutan yang amat
sangat nampak pada wajahnya.
"Manusia kurang ajar!" teriak wanita itu keras seraya lebih menyembunyikan
tubuhnya ke dalam air.
Kontan wajah Arya kian memerah.
"Celaka! Bisa-bisa aku dituduh sebagai lelaki hidung belang yang hendak
mengintip wanita mandi!"
ujar Dewa Arak dalam hati.
Pemuda berambut putih keperakan itu langsung membatalkan niatnya untuk mandi,
dan buru-buru berlalu dari situ dengan wajah memerah. Jantung dalam dadanya berdetak keras.
Ada perasaan aneh menyelinap ketika sekilas melihat wajah yang memandang
kepadanya dengan terbelalak itu.
Wajah itu demikian cantik. Belum pernah Arya melihat wajah secantik itu. Ada
sesuatu yang terselip dalam dadanya ketika melihat wajah itu. Sesuatu yang belum
pernah dirasakan ketika melihat wanita-wanita cantik lainnya.
Pemuda berbaju ungu ini meninggalkan tempat itu dengan perasaan berat. Seketika
ada sesuatu yang hilang dan dalam rongga dadanya. Hal ini membuat Arya merasa
bingung sendiri. Apa yang terjadi pada dirinya" Baru kali ini Arya mengalami hal
seperti itu. Dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Tanpa sadar Arya menghentikan larinya.
Ditolehkan kepalanya ke arah tempat yang baru saja ditinggalkan. Ada dorongan
kuat yang seolah-olah membetot kedua kakinya untuk kembali ke sana.
Selagi Dewa Arak ini dilanda perasaan bimbang, tiba-tiba sesosok bayangan putih
berkelebat mendekatinya. Cepat sekali gerakan bayangan itu, sehingga dalam
sekejap saja telah berdiri di depannya.
Arya menatap sosok bayangan putih di
hadapannya, yang ternyata seorang wanita berwajah sangat cantik. Beberapa saat lamanya
pemuda berambut putih keperak-perakan ini terkesima, tapi mendadak tersentak
kaget. Memang! Wajah wanita di depannya adalah wanita yang tadi tengah mandi!
"Mau lari ke mana kau, manusia kurang ajar"!"
tanya gadis yang berpakaian serba putih itu sinis.
Mulutnya menyunggingkan senyum mengejek.
"Manusia semacam kau tidak pantas dibiarkan
hidup!" Kontan wajah Arya memerah.
"Ini..., eh anu ... Kau salah paham, Nini. Nggg...
sungguh! Aku... aku tidak bermaksud begitu....
Sungguh!" dengan gugup pemuda ini mencoba menerangkan yang sebenarnya.
"Pengecut!" desis sosok serba putih itu.
Walaupun wanita itu mendamprat, namun tak urung memperhatikan Arya sekilas.
Diam-diam dipuji kegagahan pemuda berambut putih keperakan yang ada di depannya
ini. Dan memang ada perasaan aneh yang mencuat dari dalam dadanya ketika menatap
wajah pemuda ini. Dan perasaannya ini pula yang telah mencegahnya untuk
menurunkan tangan maut pada pemuda di hadapannya.
Gadis yang berpakaian serba putih ini ternyata Melati. Kalau saja tidak
terpengaruh perasaan aneh yang menjalari hatinya, pasti ia akan tahu kalau
pemuda berambut putih keperakan ini adalah orang yang dicari-carinya untuk
diberikan hukuman! Arya Buana, si Dewa Arak yang juga keponakan ayahnya!
Merah padam wajah Arya dimaki seperti itu. Kalau saja bukan gadis ini yang
mengatakan demikian, mungkin sudah turun tangan menghajarnya. Pantang baginya
dimaki seperti itu.
Sementara itu, si gadis setelah memaki Arya segera melesat kabur dari situ.
Tercekat hati Dewa Arak melihat kecepatan gerak gadis itu. Dan ini dipujinya
dalam hati. Mata pemuda itu terus menatap punggung gadis yang habis memakinya
hingga lenyap di kejauhan.
"Huh...!" Arya mendesah pelan, mencoba mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba
menyerang. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari dada, seiring
dengan perginya gadis berpakaian putih itu.
*** Arya memasuki sebuah kedai dengan langkah
lunglai. Memang, sejak pertemuannya dengan gadis yang ditemuinya di sungai, Arya
jadi sering merasa lesu. Bahkan jadi sering melamun. Kadang-kadang tersenyum
sendiri, bila teringat pada raut wajah gadis itu sewaktu dipergoki tengah mandi
di sungai. Tapi di lain saat, wajah pemuda berambut keperakan ini menjadi
murung, mengingat betapa gadis itu seperti jadi membencinya karena persoalan
itu. "Hhh...!" desah Arya pelan.
Pemuda itu menghenyakkan tubuhnya di salah satu kursi dalam kedai. Sering
dicobanya untuk mengusir bayangan gadis itu dari pelupuk matanya, tapi tidak
mampu. Selalu terbayang kembali di benaknya, senyum sinis gadis itu. Juga,
keterkejutannya sewaktu dipergokinya tengah mandi.
Apalagi sikapnya yang begitu dingin. Dan anehnya, semua tingkah laku itu di
matanya sangat menarik.
"Mau pesan apa, Tuan?" sebuah suara, pelan dan sopan menyadarkan Arya dari
lamunan. Dengan suara agak gagap, disebutkan pesanannya. Dan pemilik kedai itu
pun bergegas masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan pemuda berbaju ungu itu.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar tawa terbahak-bahak dari meja yang terletak
di sebelah kiri Arya.
Dengan sudut mata, Arya melirik ke arah asal suara itu. Dilihatnya tiga orang
laki-laki kasar tengah tertawa-tawa. Dengan lagak memuakkan, mereka memandang ke
satu arah. Sambil lalu Arya mengikuti arah pandangan ketiga
orang kasar itu. Kontan sepasang matanya terbelalak.
Jantung dalam dadanya berdebar kencang. Betapa tidak" Di sebuah meja di sudut
sana duduk tenang sesosok tubuh yang selama ini mengganggu pikirannya.
Jadi, rupanya orang-orang kasar itu tengah mengganggu gadis itu Perasaan tegang
melanda hatinya. Dan ini disadari Arya. Diam-diam pemuda itu merasa heran,
karena tidak pernah merasa tegang seperti ini walaupun keadaan yang dihadapi
begitu gawat. Tapi sekarang"
Salah seorang dari tiga laki-laki kasar itu tiba-tiba bangkit dari kursinya.
Sambil tertawa-tawa dihampirinya meja gadis berpakaian serba putih, yang
ternyata Melati.
Jantung dalam dada Arya kian keras berdetak.
Perasaan pemuda ini tegang bukan main. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang,
untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sungguh bertolak belakang
keadaan pemuda ini dengan keadaan Melati. Gadis itu nampak tenang-tenang saja
menikmati makanannya.
Perasaan tegang yang melanda Dewa Arak
memaksanya meraih guci arak yang sejak tadi sudah diletakkan di atas meja.
Gluk... gluk... gluk....
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki tenggorokan. Sesaat kemudian
hawa arak yang hangat menyerbu, membuat perasaan tegangnya berkurang.
Suara tegukan yang timbul sewaktu Arya meminum arak, rupanya terdengar tiga
orang kasar itu. Terbukti ketiganya menoleh ke arah asal suara itu. Dan ketika
pandangan mereka tertumbuk pada sesosok tubuh
yang mengeluarkan suara tegukan itu, kontan wajah mereka memucat.
"De..., Dewa Arak"!" desis mereka dengan suara bergetar. Tentu saja mereka telah
mendengar berita yang menggemparkan tentang tokoh aneh ini, yang dalam
pemunculannya telah membuat dunia
persilatan gempar.
Sebenarnya mereka tadi juga telah melihat Arya.
Tapi karena tengah terpusat pada gadis berpakaian serba putih, mereka tidak
teringat akan tokoh itu.
Baru setelah pemuda berambut putih keperak-perakan itu mengeluarkan suara
tegukan yang keluar dari mulutnya, mereka semua tersadar.
Ketiga pasang mata milik orang-orang kasar itu berputar liar, mencari jalan
untuk kabur. Begitu ada kesempatan, bergegas mereka bergerak saling mendahului
untuk melarikan diri. Sedangkan Arya sama sekali tidak mengejar, dan dibiarkan
saja ketiga orang kasar itu melarikan diri.
Tetapi baru saja Dewa Arak hendak menikmati araknya kembali, terdengar bunyi
kursi tarseret.
Sebentar kemudian disusul suara langkah kaki mendekati mejanya. Arya mengangkat
kepalanya, dan tampaklah gadis berpakaian serba putih itu telah berdiri di
hadapannya. Pandangan matanya begitu menusuk.
"Kau yang berjuluk Dewa Arak"!" tanya Melati dengan suara merdu.
Dan sebenarnya diam-diam gadis ini merasa heran terhadap kelakuannya kali ini.
Tidak biasanya ia bersikap seperti ini jika berhadapan dengan orang yang diduga
sebagai musuh. Biasanya, Melati selalu mengharapkan anggukan kepala dari orang
yang ditanya. Namun kali ini, gadis itu berharap agar
pemuda itu menggelengkan kepalanya.
Betapa kecewanya hati gadis itu ketika dilihatnya Arya menganggukkan kepalanya.
"Namamu Arya Buana?" tanya Melati lagi.
Kembali Arya menganggukkan kepalanya.
"Begitulah nama yang diberikan orang tuaku, Nini..."
"Kalau begitu, bersiaplah kau, Dewa Arak...!" teriak Melati dengan suara yang
diusahakan keras. Berat rasanya bersikap kasar terhadap pemuda di hadapannya
ini. Tapi, hal itu mau tidak mau harus dilakukannya. Tidak mungkin sumpahnya
sendiri dikhianati.
Srattt! Dicabut pedangnya, dan ditodongkan ke dada Arya.
"Keluarkan senjatamu, Dewa Arak! Atau kau lebih suka mati sia-sia di tanganku!"
teriak Melati yang dijuluki Dewi Penyebar Maut itu. Namun demikian, suaranya
terdengar agak gemetar. Bukan karena perasaan marah, tapi karena harus berperang
melawan perasaannya sendiri. Tak heran kalau dia mencabut pedang, karena untuk
lebih menguatkan hatinya.
"Nini," ucap Arya sambil menengadahkan kepala.
Sesaat tak ada suara yang keluar dari mulut pemuda itu. Dia hanya menatap wajah
cantik yang berdiri di depannya. Pandangan matanya sayu.
Memang pemuda ini merasa terpukul melihat gadis yang dikagumi ini nampak
membencinya. Dan sekarang bahkan memusuhinya.
"Bukankah telah kukatakan padamu, kalau peristiwa itu terjadi tidak sengaja.
Aku...." "Aku tidak meributkan masalah itu lagi!" potong Melati cepat. Wajahnya seketika
menyemburat merah. "Lalu masalah apa, Nini" Rasanya baru dua kali kita bertemu. Dan
sepengetahuanku, belum pernah aku berbuat salah pada Nini. Kecuali peristiwa di
sungai itu...," sahut pemuda ini setelah termenung beberapa saat lamanya.
"Kau memang tidak salah padaku, Dewa Arak.
Tapi, pada ayahku kau mempunyai kesalahan besar."
Tercekat hati Arya Buana mendengar ucapan gadis itu.
"Ayahmu" Siapa ayahmu?"
Melati menghela napas berat. Digertakkan giginya untuk lebih menguatkan hati.
"Raja Racun Pencabut Nyawa..."
Pelan dan lambat-lambat gadis itu mengucapkan kata-katanya. Tapi, akibatnya
tidak demikian bagi Arya.
"Apa"!" Arya terlonjak kaget. Bangku yang didudukinya hancur berantakan karena
getaran tenaga dalam yang menghambur dari tubuhnya.
"Siapa nama ayahmu, Nini...?" pemuda berambut putih keperakan ini mengulangi
pertanyaannya dengan suara gemetar.
"Raja Racun Pencabut Nyawa!" ulang Melati. Kali ini suaranya lebih keras.
"Tidak mungkin!" teriak Arya lantang. Benda-benda yang terletak di atas meja,
bergetaran keras. Jelas, ini akibat pengaruh teriakan pemuda itu yang mengandung
tenaga dalam dahsyat.
"Paman Lindu tidak punya anak!"
Melati sama sekali tidak mengacuhkan bantahan Arya. Sambil meletakkan tangan
kirinya di pinggang, tangan kanannya yang menggenggam pedang
menuding wajah pemuda berpakaian ungu ini.
"Paman"! Kau memanggil ayahku paman"! Aneh sekali! Sang Paman mati dibunuh, tapi
si Keponakan membiarkan saja pembunuh-pembunuh pamannya berkeliaran! Aneh
sekali! Keponakan macam apa kau ini, Dewa Arak"!"
Merah muka Arya mendengar sindiran tajam itu.
Ditatapnya wajah gadis yang telah menjatuhkan hatinya ini lekat-lekat.
"Banyak hal yang tidak kau mengerti, Nini. Paman Lindu bukan orang baik-baik.
Tindakannya banyak merugikan orang. Tak sedikit orang yang tewas di tangannya.
Dan adalah wajar kalau akhirnya tewas di tangan orang-orang yang telah
dirugikannya itu.
Setidak-tidaknya, orang yang membunuh Paman Lindu memiliki itikad baik, yakni
memusnahkan sumber kerusakan di muka bumi," kilah Arya.
"Aku tidak peduli orang macam apa ayahku! Yang kutahu, beliau telah dibunuh
secara pengecut. Dan telah menjadi kewajibanku untuk membalaskan kematiannya.
Pikirlah, Dewa Arak! Kapan lagi aku membalas budinya, kalau tidak sekarang?"
Suara gadis itu kian pelan. Dan Arya menangkap ada isak tertahan di dalamnya,
sehingga membuat hatinya tersentuh. Bisa dimaklumi perasaan yang terkandung
dalam hati gadis itu, karena dia sendiri pernah mengalami hal yang serupa. Hal
ini membuatnya terdiam.
"Bersiaplah, Dewa Arak," tegas Melati lagi. Kini suaranya sudah kembali
terdengar seperti biasa.
Dingin. "Eh! Apa maksudmu, Nini?" tanya Arya kaget.
"Tidak usah banyak cakap, Dewa Arak! Aku harus membuat perhitungan padamu atas
kematian ayahku! Bersiaplah, agar tidak mati percuma!"
"Tahan dulu, Nini!" teriak pemuda ini mencegah.
Tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. Pedang di tangan kanannya berkelebat
menebas leher Arya.
Suara berdesing nyaring mengawali tibanya serangan itu. Buru-buru Arya melempar
tubuhnya ke belakang seraya tangan kanannya menyambar guci arak yang terletak di
atas meja. Wut...! Tappp! Pedang Melati hanya menyambar tempat kosong, karena tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu telah agak jauh dari situ.
Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Arya segera melompat ke luar kedai. Tak
lupa dilemparkan uang pembayaran pesanannya ke meja tempat dia tadi duduk.
"Mau kabur ke mana kau, pengecut! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!"
sambil berkata demikian, Melati melompat mengejar.
Dewa Arak tentu saja tidak suka dianggap pengecut Sesampainya di luar kedai,
dihentikan langkahnya. Kemudian dibalikkan tubuhnya, menanti Melati.
Baru juga Arya membalikkan tubuhnya, Melati telah berdiri di hadapannya. Dalam
hati, Arya memuji kecepatan gerak gadis ini. Sulit dibayangkan kepandaian dan
tenaga dalam gadis itu. Dan jika melihat ilmu meringankan tubuhnya, gadis
berpakaian serba putih ini merupakan seorang lawan yang amat berat dan
berbahaya! "Rupanya kau tidak pengecut, Dewa Arak. Tidak seperti Raja Pisau Terbang dan
putrinya! Sebelum berhasil kubunuh, mereka telah melarikan diri dengan cara
licik. Mudah-mudahan kau tidak
sepengecut itu," ujar Dewi Penyebar Maut seraya tersenyum sinis.
Berubah wajah Arya. Benarkah apa yang dikatakan gadis ini. Rasanya mustahil Raja
Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pisau Terbang dapat dikalahkan. Tokoh itu adalah seorang datuk. Kalau benar
gadis itu telah mengalahkannya, sukar dibayangkan sampai di mana tingkat
kepandaian gadis berpakaian serba putih itu.
"Kau..., kau telah menemui mereka" Dari mana kau mengetahuinya?" tanya pemuda
berambut putih keperakan ini dengan suara tersendat.
Memang, Arya Buana kaget juga mendengar
ucapan itu. Dia dapat memperkirakan kalau ikut campurnya Raja Pisau Terbang,
karena anaknya terancam maut. Tapi yang menjadi pertanyaan, dari mana gadis itu
mengetahui kalau Ningrum adalah salah seorang pembunuh ayahnya"
"Lho, apa susahnya mengetahui siapa pengecut-pengecut yang membunuh ayahku"
Saksi sangat banyak!" jawab Dewi Penyebar Maut. "Sayang sekali, Ningrum bisa
lolos dari tanganku. Kalau tidak, hanya tinggal kau dan Ular Hitam. Dan setelah
itu tugasku pun selesai!"
"Jadi..., jadi..." Arya tergagap, karena tercekat hatinya.
"Ya. Dua orang yang ikut andil dalam membunuh ayahku telah kubereskan," selak
Melati sambil menganggukkan kepalanya.
"Maksudmu, Kakang Satria dan Kakang Mega?"
tanya Dewa Arak dengan wajah pucat pasi.
Gadis berpakaian serba putih itu tidak menjawab, tapi hanya mengangguk kecil.
Tapi anggukan itu sudah cukup bagi Arya.
"Kau keterlaluan, Nini!" bentak Arya Buana keras.
Tapi gadis itu hanya menyambutnya dengan tawa sinis.
Srakkk! Melati memasukkan pedang ke dalam sarungnya.
"Sekarang giliranmu, Dewa Arak!" Setelah berkata demikian, gadis berpakaian
serba putih ini menerjang Arya. Kaki kanannya melangkah ke depan
membentuk kuda-kuda ke arah kanan. Tangan kiri mengancam pelipis, sedangkan
tangan kanan terpalang di depan perut. Melati yang sebenarnya tidak sampai hati
mencelakai pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini, tidak mengerahkan seluruh
tenaga sewaktu menyerang. Hanya dikerahkan tiga perempat dari tenaganya.
Angin berciut keras menyambar Arya sebelum serangan itu tiba. Pemuda berambut
putih keperakan ini pun segera tahu kalau serangan lawan itu mengandung tenaga
dalam cukup kuat.
Dewa Arak cepat menarik kaki kanannya mundur sambil mencondongkan tubuhnya ke
belakang. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya diulurkan memapak serangan yang mengarah
ke pelipis. Arya yang tidak ingin mencelakakan gadis yang mengaku putri pamannya
ini, hanya mengerahkan separuh dari tenaganya.
Plakkk! Dua buah tangan yang mengandung tenaga dalam yang sangat kuat bertemu. Arya
terhuyung dua langkah ke belakang. Sedangkan Melati hanya terhuyung satu
langkah. Pemuda berambut putih keperakan ini terkejut.
Ternyata tenaga dalam gadis itu cukup tinggi juga.
Sedangkan Melati sudah bisa memastikan kalau pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini,
ternyata hanya mengeluarkan kekuatan tenaga dalam sedikit rendah dibanding tenaga dalamnya.
Jadi dia tidak akan menambah kekuatan tenaganya dalam serangan selanjutnya.
Sedangkan Arya yang merasakan betapa kuatnya tenaga dalam gadis itu, terpaksa
menambah tenaga untuk pertarungan selanjutnya. Dalam
pertarungannya melawan gadis ini, pemuda berambut putih keperakan ini hanya
menggunakan ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Rasanya, tidak tega jika menggunakan ilmu
andalannya. Dalam waktu sebentar saja, mereka sudah
bertarung lebih dari lima jurus. Melati penasaran bukan main ketika menyadari
tenaga dalam pemuda itu ternyata sepertinya semakin lama semakin kuat.
Semula dengan tiga perempat dari tenaganya saja, pemuda itu sudah terhuyung.
Tapi kini sampai mengeluarkan hampir seluruh tenaganya, pemuda itu mampu
menangkisnya tanpa terhuyung. Kini gadis ini sadar kalau Dewa Arak tadi tidak
bersungguh-sungguh dalam menangkis serangannya.
Hal ini membuat Dewi Penyebar Maut yang
memang mempunyai watak ganjil jadi tersinggung.
Gadis ini merasa diremehkan. Dan sebagai akibatnya, kini dikerahkan seluruh
kemampuan dalam serangan selanjutnya. Ilmu 'Cakar Naga Merah'-nya menyambar-
nyambar buas ke arah Arya.
"Tahan...!" Dewa Arak berseru keras sambil melentingkan tubuhnya ke belakang
menghindari serangan Melati yang bertubi-tubi.
Gadis berpakaian serba putih yang tengah dilanda penasaran itu terpaksa menahan
serangannya. Dengan napas masih memburu, ditatapnya Arya.
"Mengapa berhenti, Dewa Arak" Takut?"
Pemuda berpakaian ungu itu sama sekali tidak menggubris ejekan tajam Melati.
Wajahnya terlihat tegang bukan main.
"Dari mana kau dapatkan ilmu itu, Nini?" tanya Dewa Arak dengan suara gemetar.
Sepasang mata putri Raja Racun Pencabut Nyawa itu seketika membelalak.
"Apa hubunganmu dengan ilmu yang kumiliki"!
Mau kudapatkan dari mana saja, atau dari mencuri pun itu urusanku. Dan tidak ada
sangkut-pautnya denganmu!" jawab gadis itu ketus.
"Memang ada hubungannya, jika dugaanku benar.
Maka sudah menjadi urusanku kalau ilmu yang kau gunakan itu adalah 'Cakar Naga
Merah'," tandas Arya tegas.
"Kalau memang benar ilmu itu adalah 'Cakar Naga Merah', kau mau apa?" tantang
Melati. "Harus kau katakan dari mana memperolehnya!
Apakah kau mempelajarinya dari Ki Gering Langit?"
Wajah Melati memerah. Pelahan-lahan kemarahan mulai membakar hatinya. Pemuda di
hadapannya ini terlalu usilan dan sombong.
"Apa hakmu dengan ilmuku ini, Dewa Arak"!"
"Apakah Ki Gering Langit itu gurumu, Nini?" desak Arya, tidak menggubris ucapan
gadis itu. Kemarahan yang sejak tadi membakar hati Melati, kini tak bisa ditahan lagi.
"Keparat! Kau terlalu sombong, Dewa Arak! Jangan dikira aku takut padamu!"
Setelah berkata demikian, gadis itu kembali menerjang Arya. Tidak dipedulikannya
lagi teriakan-teriakan mencegah dari pemuda itu. Hatinya telah sangat
tersinggung terhadap sikap pemuda itu, yang sama sekali tidak menganggap
dirinya. Dewa Arak tidak punya pilihan lagi. Cepat-cepat disambut serangan Melati, dan
dibalasnya dengan serangan yang tak kalah dahsat. Kali ini Dewa Arak terpaksa
menggunakan ilmu andalannya. 'Belalang Mabuk', dan 'Delapan langkah Belalang'.
Tak lupa, diambilnya guci arak yang berada di punggungnya.
Dan diangkat ke atas mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara berceglukan dari mulut Arya ketika arak itu memasuki mulutnya.
Sesaat kemudian tubuhnya mulai sempoyongan.
Melati mulai menyerang secara ganas. Kini hatinya tidak ragu-ragu lagi
mengeluarkan segenap kemampuannya. Disadari kalau kepandaian pemuda di
hadapannya ini tidak serendah dugaannya. Berkali-kali tubuhnya terhuyung setiap
kali pemuda itu menangkis serangannya.
Hal ini membuat amarah gadis itu kian meluap.
Apalagi terlihat jelas kalau pemuda itu jarang sekali membalas serangannya.
Lebih sering Arya
mengelakkan serangan atau menangkisnya.
Delapan puluh jurus telah terlewati, tapi belum nampak ada tanda-tanda yang akan
terdesak. Diam-diam Arya memuji kelihaian lawannya ini. Pantaslah kalau Raja
Pisau Terbang harus melarikan diri dari hadapannya. Kepandaian gadis berpakaian
serba putih ini memang sangat tinggi.
Melati menggertakkan gigi. Gadis ini sadar, tak mungkin rasanya mengalahkan Arya
Buana. Diiringi sebuah keluhan tertahan dari kerongkongannya, Dewi Penyebar Maut
segera melesat meninggalkan Dewa Arak.
Tentu saja Arya yang tidak menduga hal itu menjadi kaget bukan main.
"Nini!" teriak Arya keras. "Tunggu...!"
Tetapi gadis berpakaian serba putih itu tak menggubris teriakan Arya, dan terus
saja berlari. Dalam sekejap tubuhnya sudah lenyap di kejauhan.
Arya hanya termenung memandangi kepergian Melati. Disadari kalau tidak ada
gunanya mengejar gadis itu.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat
itu, untuk menyusuri jejak Bargola yang telah menculik ibunya.
5 Pandangan mata pemuda berbaju ungu itu terpaku pada sebuah bangunan yang
dikelilingi tembok tinggi.
Dia adalah Arya Buana alias Dewa Arak. Setelah cukup lama bersikap seperti itu,
baru kemudian dihampirinya gerbang yang sudah tidak memiliki pintu lagi.
Di ambang pintu itu, langkah kaki Arya terhenti.
Pemuda ini lalu berjongkok, mengamat-amati kepingan-kepingan papan tebal yang
berserakan di bawah kakinya. Pada tiap kepingan papan tebal itu tertera tulisan.
Dewa Arak lalu menyusun tiap kepingan papan bertulisan itu, dan benarlah
dugaannya. Kepingan papan tebal itu memang mulanya adalah papan nama perguruan,
yang kini sudah hancur berantakan.
"Perguruan Beruang Hitam," gumam pemuda itu pelan.
Perguruan itu memang didirikan Bargola, yang sekarang tengah dicarinya. Pemuda
itu datang ke sini dengan harapan ada berita mengenai tempat Datuk Timur itu
mengasingkan diri.
Dengan langkah setengah hati-hati, Arya
melangkah masuk. Seperti yang sudah diduganya, hanya kelengangan dan kesunyian
saja yang dijumpai. Juga, bangunan-bangunan yang bekas terbakar di sana-sini.
"Hhh...!" Arya menghembuskan napas kecewa.
Tanpa diberitahu pun, ia telah bisa menebak orang yang mengobrak-abrik perguruan
ini. Siapa lagi kalau
bukan Raja Racun Pencabut Nyawa yang dibantu Siluman Tengkorak Putih"
Kali ini Arya tidak menyalahkan tindakan pamannya itu. Wajar bila pamannya
melampiaskan kekesalan atas tindakan Bargola yang menculik adik kandungnya.
Tidak tanggung-tanggung,
dihancurkannya perguruan yang didirikan Bargola itu.
Tengah pemuda itu termenung bingung,
pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki dari arah bangunan yang
tidak terbakar.
Tanpa pikir panjang lagi, Arya melompat ke atas dan hinggap di atas sebuah
cabang pohon yang terletak tidak jauh dari situ. Dari situ Dewa Arak mengintai
ke arah suara langkah kaki tadi berasal.
Tampaklah seorang laki-laki tengah melangkah keluar dari bangunan itu. Wajah
maupun potongan tubuhnya tidak jelas, karena jarak yang cukup jauh.
Kepala laki-laki itu nampak menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah-olah ada
sesuatu yang ditakutinya. Baru setelah itu, sosok tubuh itu melangkah ke luar
dengan berindap-indap.
Melihat tindak-tanduk orang itu, Arya menjadi curiga. Keadaan tempat itu
sebenarnya sudah membuat orang berpikir kalau di situ tidak ada penghuninya.
Kalau sosok tubuh itu tetap tinggal di situ, berarti ada satu dugaan. Dia
sengaja bersembunyi di situ.
Setelah sosok tubuh itu lenyap ditelan kejauhan, Arya melompat turun dari tempat
persembunyiannya.
Rasa ingin tahu memaksanya untuk menyelidiki ke dalam bangunan itu.
Dengan sikap waspada, Arya melangkah masuk.
Heran juga hatinya ketika melihat keadaan dalam bangunan itu. Begitu kotor,
kumuh dan tak terurus.
Debu dan sarang laba-laba berserakan di sana-sini.
Semua ruangan keadaannya sama. Lalu, di manakah orang itu tinggal"
Sungguh pun jaraknya cukup jauh, Arya dapat melihat kalau pakaian orang itu
bersih. Padahal di seluruh ruangan yang ada di dalam bangunan ini, tidak ada
tempat yang bersih. Aneh! Ataukah ada ruang rahasia di dalam bangunan besar ini"
Pemuda berambut putih keperakan ini tahu bahwa akan memakan waktu yang sangat
lama, kalau mencoba mencari ruang rahasia itu. Jalan yang paling mudah adalah
menunggu lelaki tadi kembali, kemudian menguntitnya menuju ruang rahasia itu.
Kalau memang benar ruang rahasia itu ada.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera keluar dari gedung itu. Diintainya
keadaan di depan sebelum dilangkahkan kakinya ke luar. Barangkali saja orang
yang tadi diintainya telah kembali. Tapi di luar sepi. Bergegas pemuda ini
kembali ke tempat persembunyiannya semula. Menunggu.
Cukup lama juga pemuda berambut putih
keperakan ini menunggu, sebelum akhirnya melihat orang itu di kejauhan.
Kini nampak jelas, kalau kelakuan orang itu yang aneh. Sebelum melangkahkan
kakinya memasuki pintu gerbang yang terdapat papan nama perguruan, orang itu
menoleh ke kanan dan ke kiri dengan sikap penuh curiga.
Baru setelah yakin tidak ada yang melihatnya, orang itu bergegas masuk ke dalam.
Kelihatennya setengah berlari saat memasuki bangunan besar yang baru saja
ditinggalkan Arya.
Bergegas Dewa Arak melompat turun dari cabang pohon itu. Dan dengan hati-hati
diikutinya orang itu.
Orang yang ternyata adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima
tahun, bertubuh sedang, dan berkumis tebal itu, sama sekali tidak sadar kalau
tengah diikuti. Bahkan tenang-tenang saja saat melangkahkan kakinya di dalam.
Sampai di sebuah ruangan, diambilnya sebuah kursi rusak yang memang terdapat di
situ, lalu, berdiri di atasnya. Sebentar kemudian diulurkan tangannya ke atas.
Arya yang mengintip dari balik pintu yang terbuka, kaget juga melihat apa yang
dilakukan orang itu. Si kumis tebal itu ternyata hendak menangkap cecak yang
tadi juga dilihatnya.
Anehnya, cecak itu diam saja. Binatang melata itu tidak berusaha mengelak dari
ancaman tangan si kumis tebal. Seolah-olah tidak tahu adanya bahaya yang
mengancam. Kreppp! Tangan si kumis tebal dengan tepatnya
mencengkeram tubuh cecak itu. Arya terbelalak. Tapi di lain saat, pemuda ini
sadar, kalau cecak itu bukanlah cecak sungguhan. Cecak itu pasti alat rahasia
menuju ruangan tersembunyi.
Dugaan Arya tidak salah. Begitu si kumis telah memutar 'cecak' itu, tiba-tiba
terdengar suara berderak keras. Sesaat kemudian lantai di tengah-tengah ruangan
bergeser. Dan begitu bunyi berderak itu berakhir di belakang si kumis tebal
terlihat sebuah lubang berukuran setengah tombak kali setengah tombak.
Begitu melihat lantai ruangan itu bergeser, tanpa membuang-buang waktu lagi,
Arya segera melesat dan melompat masuk ke dalam. Untuk berjaga-jaga terhadap
sesuatu yang tidak diinginkan, pemuda
berambut putih keperakan ini mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Ringan dan hampir tanpa suara, kedua kaki Arya hinggap di tanah. Belum lagi
pemuda ini berbuat sesuatu, terdengar sebuah teguran keras.
"Kaukah itu, Sentaka?"
Tercekat hati Arya mendengar teguran keras itu dan buru-buru menyelinap ke balik
tiang. Baru saja Arya bersembunyi, terdengar suara yang cukup keras. Pemuda berbaju
ungu ini mengintai dari balik tiang. Tampak si kumis tebal itu kini telah turut
pula. Rupanya suara itu berasal dari kedua kaki kumis tebal itu yang hinggap di
dalam ruangan ini.
Sekilas Arya memperhatikan sekelilingnya. Segera saja dapat diketahui, kalau
dirinya kini berada di dalam sebuah ruangan cukup luas. Keadaan di sini hanya
remang-remang saja, karena hanya diterangi sebuah obor yang terpasang di sudut
ruangan ini. Arya memperhatikan arah asal suara teguran itu.
Segera saja dapat diketahui kalau suara itu berasal dari ruangan yang terang
benderang di sebelah sana.
Kini Arya mengalihkan perhatiannya pada si kumis tebal yang sekarang diketahui
bernama Sentaka.
Tampak Sentaka tengah mendekati sebuah tangkai obor yang tidak terpakai, lalu
ditarik ke bawah.
Terdengar suara berderak keras. Maka, lantai di ruangan atas yang tadi terbuka
itu pun bergerak menutup kembali.
Tiba-tiba pendengaran Arya yang tajam
menangkap suara langkah mendekati. Dari bunyi suara langkah yang pelan hampir
tanpa suara, pemuda berbaju ungu ini dapat memperkirakan kalau orang yang akan
hadir ini memiliki kepandaian tinggi.
Dengan demikian dia harus bersikap waspada.
Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan suara napasnya pun ditahan.
Sesaat kemudian terlihat sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam
tiba di situ. Sungguhpun suasana di situ remang-remang, Arya dapat mengenali kalau sosok tubuh
itu adalah orang yang tengah dicari-carinya. Siapa lagi kalau bukan Bargola!
Ciri-ciri orang itu persis dengan apa yang dikatakan Kakek Ular Hitam.
"Sentaka," sapa orang tinggi besar itu kepada si kumis tebal.
"Ada apa, Guru?" sahut Sentaka.
"Tahukah kau, ada orang lain yang masuk ke sini sebelum kau tiba" Kuakui ilmu
meringankan tubuh orang itu hebat sekali. Kalau saja tidak waspada penuh, tidak
mungkin aku mendengarnya."
"Tapi, Guru. Aku yakin betul, kalau aku masuk ke dalam bangunan ini sendiri.
Bagaimana mungkin ada orang yang masuk ke sini?" bantah si kumis tebal yang
bernama Sentaka itu.
"Tapi aku mendengar suaranya, Sentaka! Dan telingaku belum pernah tertipu!"
tandas Bargola.
"Barangkali saja hanya suara kucing melompat..."
Dan seperti hendak membela Sentaka, terdengar suara mengeong lirih. Sebentar
kemudian muncullah"
seekor kucing, yang langsung berjalan mendekati kedua orang itu.
Dengan sorot mata penuh kemenangan, Sentaka menatap wajah gurunya. Bargola tidak
bisa berkata apa-apa lagi. Ditatapnya binatang itu sejenak, sebelum dilangkahkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
Arya menunggu sampai tubuh Bargola lenyap di balik ruangan. Kemudian,
dipungutnya sebuah batu sebesar kacang kedelai dan dijentokkan ke arah
Sentaka. Singgg .! Tukkk! Tubuh Sentaka mengejang ketika batu itu
mengenai punggungnya. Tanpa sempat mengeluh lagi, si kumis tebal itu pingsan.
Sebelum tubuh itu sempat jatuh ke tanah, pemuda berambut putih keperakan itu
telah lebih dulu melesat untuk menyangga tubuh Sentaka yang hendak rubuh.
Pelahan-lahan sekali, direbahkannya tubuh itu di tanah. Setelah itu dengan hati-
hati, Arya melangkahkan kakinya menuju arah Bargola tadi lenyap.
Pemuda berpakaian ungu ini melintasi lorong yang diterangi cahaya obor yang
terpancang di kanan kiri dinding. Baru beberapa langkah Arya memasuki lorong,
terdengar suara-suara bernada marah dari arah depannya. Buru-buru Dewa Arak
mempercepat langkahnya, seraya tetap mendengarkan suara itu.
"Sampai kapan lagi aku harus bersabar, Sani,"
pendengaran Arya menangkap suara yang bernada marah itu. Suara itu segera
dikenal sebagai suara Bargola!
Arya merasa tengkuknya tiba-tiba dingin
mendengar suara itu. Bukan karena gentar pada pemilik suara itu. Tapi, karena
isi ucapan itu. Datuk itu marah-marah pada orang yang bernama Sani!
"Sani" Ibukukah?" tanya Arya dalam hati.
Tak terasa pemuda itu mempercepat langkahnya.
Sementara suara itu terus bergema sepanjang lorong yang dilalui.
"Empat belas tahun bukan waktu yang singkat, Sani. Bayangkan! Empat belas tahun
lamanya aku menunggu kesediaanmu, untuk sukarela
menyerahkan diri padaku. Tapi kau benar-benar wanita tak tahu diuntung! Padahal,
karena kaulah aku rela mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sekuat tenaga
kutahan rasa penasaranku untuk menantang Siluman Tengkorak Putih. Hhh...! Kini
kesabaranku sudah habis, Sani! Mungkin kau termasuk seorang wanita yang lebih
suka dikasari daripada diperlakukan baik-baik!"
"Jangan harap dapat menyentuh tubuhku, Bargola!" teriak wanita itu. "Sebelum kau
menjamah tubuhku, aku lebih dulu akan bunuh diri!"
"Ha ha ha...! Boleh kau coba kalau bisa, Sani!"
tantang Bargola.
Tepat pada saat itu, Arya berada di ambang pintu.
Tampak Bargola bergerak lambat-lambat menghampiri seorang wanita setengah baya
berpakaian kuning, yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman bunga mawar
merah. Dan pemuda
berambut putih keperakan ini melihat jelas kalau wanita itu tengah menggerakkan
tangan kanannya untuk memukul ubun-ubunnya sendiri.
Wut...! Serasa terbang semangat Arya melihat hal ini.
Jaraknya yang terlampau jauh dan kedatangannya yang agak terlambat, membuatnya
tidak berdaya untuk mencegah.
Tapi sebelum niat wanita itu terlaksana, Bargola sambil tertawa terbahak-bahak
memutar-mutar kedua tangannya di depan dada dari luar ke dalam.
Dari kedua tangan yang berputar itu, bertiup angin keras yang langsung menyerbu
ke arah wanita setengah baya itu.
Wanita berpakaian kuning itu memekik. Tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya
terlontar ke belakang, dan jatuh di pembaringan. Untung Bargola tidak berniat mencelakainya,
sehingga dalam serangannya itu hanya membuat perut wanita itu mual dan tubuhnya
terlempar. Sambil terkekeh-kekeh, Datuk Timur itu
melangkah mendekati wanita yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman bunga
mawar merah. Pandang matanya nampak liar penuh nafsu. Tapi sebelum datuk yang menggiriskan
ini mengoyak-ngoyak pakaian wanita yang dipanggil Sani, tiba-tiba...
"Bargola, manusia rendah! Orang semacam kau memang tidak layak dibiarkan hidup!"
terdengar bentakan keras menggeledek.
"Heh!" Bargola sangat terkejut mendengar teriakan itu. Dengan amarah yang meluap
karena kesenangannya terganggu, dibalikkan tubuhnya menghadap ke arah asal suara.
Di ambang pintu, tampak berdiri seorang pemuda berambut putih keperak-perakan,
berwajah jantan, dan berpakaian ungu. Di tangannya tergenggam sebuah guci arak
yang terbuat dari perak.
"Ha ha ha...!" kembali Bargola tertawa bergelak.
Tidak salahkah penglihatanku" Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak itu" Ha ha
ha...! Pucuk dicinta.
ulam tiba! Bahkan lebih dari yang kuharapkan. Mari, mari Dewa Arak. Ingin
kulihat, sampai di mana kelihaianmu. Sehingga mampu menundukkan
Siluman Tengkorak Putih yang tersohor itu!" (Untuk jelasnya, baca serial Dewa
Arak dalam episode
"Pedang Bintang").
Arya sudah bisa mengukur kelihaian lawan di hadapannya ini. Memang, kemungkinan
besar kepandaian datuk ini masih di bawah kepandaian Siluman Tengkorak Putih.
Tapi biar bagaimanapun,
datuk ini tidak kalah berbahaya. Bargola telah memiliki pengalaman luas. Dan itu
kelebihannya dibanding Siluman Tengkorak Putih.
Sekilas Dewa Arak menatap wajah wanita
berpakaian kuning yang masih meringkuk di pembaringan. Kontan hatinya bergetar.
Walaupun waktu itu usianya belum mencapai lima tahun saat ibunya pergi
meninggalkan dia dan ayahnya, raut wajah ibunya tak mungkin dapat terlupakan.
Wanita yang tengah meringkuk di pembaringan itu benar-benar ibunya!
Amarah Arya pun bangkit. Bargola nyata-nyata telah melukai ibunya. Bahkan kalau
ia tadi terlambat, mungkin datuk ini telah pula menodai. Kesalahan datuk sesat
ini tidak dapat diampuni lagi. Maka, pemuda berambut putih keperakan ini
bertekad untuk melenyapkan datuk ini selama-lamanya.
"Hm...!"
Diawali sebuah dengusan yang menjadi ciri khasnya, Datuk Timur itu melesat
menerjang Arya.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Bargola mengerahkan ilmu andalannya, 'Tapak Bara'.
Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka berwarna merah, menyambar ganas ke arah
ulu hati dan pusar Dewa Arak. Seketika hawa panas berhembus keras sebelum
serangan itu tiba.
Arya yang tahu betapa berbahayanya kedua serangan itu, sebelum datuk itu
menyerangnya, telah menuangkan guci arak ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Begitu serangan Bargola tiba, Arya
mengelakkannya dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Kakinya bergerak
sempoyongan seperti akan jatuh, melangkah, dan meliuk-liuk aneh.
Hebatnya, kedua serangan itu dapat dielakkan seperti tidak sengaja. Bahkan tubuh
Dewa Arak ini telah berada di belakang datuk itu. Dengan cepat pemuda berambut
putih keperakan ini pun
mengayunkan gucinya menghantam punggung
Bargola. Bargola terperanjat. Sungguh di luar dugaan kalau lawannya bisa berbuat seperti
itu dalam tempo yang cepat! Tapi, Bargola adalah seorang datuk yang telah
kenyang pengalaman. Telah puluhan bahkan mungkin ratusan kali laki-laki kasar
ini berhasil meloloskan diri dari ancaman maut.
Maka, pada saat yang kritis itu pun ia masih sanggup menyelamatkan selembar
nyawanya. Cepat dibanting tubuhnya ke tanah, dan hinggap dengan bertumpu pada
kedua tangan dan ujung kakinya.
Wuttt! Sambaran guci Arya lewat di atas tubuhnya.
Sementara itu, saat kedua tapak tangannya hinggap di tanah, kaki kanan Bargola
menendang ke belakang, mengarah dada Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan ini tercekat hatinya melihat serangan itu. Tidak
ada waktu lagi untuk menghindari serangan tiba-tiba itu. Tendangan Bargola
datangnya hampir bersamaan dengan lolosnya serangan guci yang mengancam punggung
datuk itu. Tidak ada jalan lain bagi Arya, kecuali menangkis serangan itu dengan tangan
kirinya yang bebas.
Cepat-cepat digerakkan tangan kirinya menepak kaki Bargola.
Plakkk! Tubuh Datuk Timur itu terputar dan terpelanting.
Sedangkan tubuh Arya sendiri terjajar satu langkah ke
belakang. Bargola meraung murka. Selama puluhan bahkan mungkin ratusan kali bertarung,
baru kali ini sewaktu adu tenaga dalam, tubuhnya sampai terpelanting.
Apalagi oleh seorang lawan yang masih sangat muda.
Rasa penasarannya pun semakin memuncak.
Sebagai akibatnya, serangan-serangannya
seketika bertambah dahsyat! Datuk ini mengamuk membabi buta. Kedua tangannya
yang berisi ilmu
'Tapak Bara', dan mengandung tenaga panas itu menyambar-nyambar ganas mencari
sasaran. Tetapi yang dihadapi Bargola kali ini adalah Dewa Arak, murid pilihan Ki Gering
Langit. Bagi pemuda berambut putih keperak-perakan itu, hawa panas yang
mengiringi setiap serangan Bargola seperti tiupan angin sejuk. Karena, dia
sendiri memiliki tenaga yang mengandung hawa panas. Bahkan jauh lebih dahsyat
ketimbang hawa panas yang dimiliki datuk itu.
Dengan ilmu 'Belalang Sakti', Arya menghadapi setiap serangan Bargola. Setiap
serangan yang datang dielakkan secara mudah, menggunakan jurus
'Delapan Langkah Belalang'. Bahkan pemuda itu sekaligus mengirimkan serangan
balasan yang tak kalah dahsyatnya, menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'.
Nyi Sani bergegas menghindar dari tempat itu.
Karena untuk keluar dari ruangan sudah tidak sempat lagi, terpaksa dia
bersembunyi di balik sebuah lemari. Ini dilakukan untuk berjaga-jaga dari
sambaran pukulan yang nyasar.
Sebentar saja sekujur tubuh Ketua Perguruan Mawar Merah ini sudah basah oleh
keringat. Hawa di dalam ruangan ini terasa panas bukan main, dan
terasa menyengat kulit.
Sementara itu pertarungan antara kedua orang sakti itu berjalan sengit, dan
terlihat seimbang. Tapi lewat enam puluh jurus, Bargola mulai terdesak.
Menuntut Balas 18 Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Pedang Dan Kitab Suci 7
dari rumah yang terbakar. Dan tidak hanya satu buah! Jelas, ada kejanggalan di
sini! Naluri Dewa Arak sebagai seorang pendekar langsung bangkit. Lenyap seketika rasa
lelahnya. Segera disambarnya guci arak yang baru saja digantungkan di ranting pohon, lalu
diikatkan lagi ke punggungnya. Bergegas pemuda itu melompat turun.
Ringan sekali kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, sehingga tak terdengar
suara sedikit pun.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya melesat ke arah asap itu berasal.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang memang sudah mencapai taraf kesempurnaan,
Arya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk tiba di tempat asal api
itu. Seperti yang diduga Arya, api itu memang tidak wajar. Di depan rumah yang
terbakar itu, tampak tengah terjadi pertempuran yang tidak seimbang.
Arya memperhatikan orang-orang yang bertempur itu sejenak. Tampak seorang yang
bertubuh bagai raksasa, berwajah kasar, dan memakai kalung bermatakan tengkorak kepala bayi,
tengah dikeroyok belasan orang bersenjata. Melihat senjata yang mereka gunakan,
Dewa Arak itu dapat menduga kalau para pengeroyok itu adalah penduduk desa yang
rata-rata tidak memiliki ilmu olah kanuragan.
Si tinggi besar yang tidak lain dari Raksasa Kulit Baja ini tertawa-tawa.
Dibiarkan saja hujan senjata menghantam tubuhnya. Dan setiap senjata yang
mengenai tubuh raksasa ini, selalu terpental balik.
Sebaliknya, setiap Raksasa Kulit Baja ini melakukan serangan balasan, sudah
dapat dipastikan ada satu tubuh yang tumbang. Beberapa di antaranya, dengan tulang
tangan atau kaki patah.
Malah ada pula yang menyemburkan darah dari mulut.
Sekali lihat saja Arya tahu, jika hal ini terus dibiarkan, tidak akan ada lagi
penduduk yang berdiri tegak. Jiwa kependekaran pemuda berarnbut putih keperak-
perakan ini bangkit. Apalagi si tinggi besar ini juga bertangan telengas. Setiap
kali melakukan serangan, selalu menimbulkan akibat yang parah bagi para
pengeroyoknya. "Manusia keji! Akulah lawanmu!" Sambil berkata demikian, Arya bergerak memasuki
kancah pertempuran. Langsung saja dikirimkan sebuah serangan berupa tepakan ke arah
hahu Raksasa Kulit Baja ini. Dewa Arak yang memang tidak pernah menurunkan
tangan maut kalau tidak terpaksa sekali, sengaja mengarahkan serangan ke arah
bagian tubuh yang tidak berbahaya. Pemuda ini memang tahu kalau lawannya
memiliki ilmu kebal, sehingga tidak sungkan-sungkan lagi mengerahkan separuh
dari tenaga dalamnya.
Plakkk! Arya Buana terperanjat kaget. Tepakan tangannya seolah-olah bukan menghantam
tubuh manusia, melainkan seperti menghantam gumpalan karet keras yang membuat
tenaganya berbalik!
"Hebat...," puji Dewa Arak dalam hati.
Sementara itu, Raksasa Kulit Baja juga dilanda kekagetan serupa. Walaupun
tepakan tangan Arya tidak membuatnya kesakitan atau terluka dalam, tapi karena
kuatnya tenaga dalam lawan, tubuhnya tak urung terhuyung-huyung dua langkah ke
belakang. "Menyingkirlah, Kisanak semua!" perintah Arya pada para penduduk yang masih
berdiri di situ.
"Tapi.... Orang ini sangat berbahaya, Kisanak,"
bantah salah seorang penduduk, memberitahu pemuda berambut putih keperak-perakan
di depannya. "Saya akan mencoba menjauhkan dia dari desa ini, Paman," jawab Arya merendah,
sambil tersenyum tipis.
"Tapi...."
"Sudahlah, Paman. Lebih baik, padamkanlah api yang membakar rumah itu sebelum
seluruh desa ini musnah dilalap api!"
Ucapan itu menyadarkan para penduduk desa akan ancaman bahaya lain. Kontan
mereka serentak meninggalkan arena pertarungan.
"Groahhh..!" tiba-tiba saja Raksasa Kulit Baja itu menggeram hebat. Sejak tadi
ia memang menatap Arya seperti orang terkesima. Keningnya berkerut, seperti
sedang mengingat sesuatu.
"Jahanam! Kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu"!"
tanya manusia tinggi besar itu dengan suara keras.
Sepasang matanya memerah karena amarah yang
meluap-luap. Belum lagi Arya memberikan tanggapan, Raksasa Kulit Baja itu telah menyelak
lagi. "Ya. Kau pasti Dewa Arak itu. Pakaianmu, rambutmu, dan juga guci arak di
punggungmu! Grrrhhh...! Kau harus mati di tanganku, keparat!"
"Tunggu...!" cegah Arya begitu melihat manusia raksasa itu akan menyerangnya.
"Siapa kau" Dan mengapa ingin membunuhku"! Padahal kita bertemu pun baru kali
ini?" "Groahhh...!" dengus Raksasa Kulit Baja menggeram.
"Baiklah! Agar tidak mati penasaran, akan kuberitahu padamu, keparat! Aku,
Raksasa Kulit Baja.
Saudara angkat Harimau Mata Satu yang telah kau bunuh! Dan aku membakar rumah
itu, karena orang-orang keparat itu tidak mau memberitahu di mana dirimu.
Sungguh tidak kusangka kalau kau datang sendiri mencari mati. Orang lain boleh
takut padamu. Tapi, jangan harap kau akan mampu menghadapiku!"
Arya manggut-manggut. Disadari kalau tidak mungkin lagi menghindari pertempuran.
Raksasa Kulit Baja tidak mungkin akan menghabiskan persoalan sebelum salah satu
di antara mereka tewas. Tentu saja pemuda berambut putih keperak-perakan ini
tidak ingin mati. Masih banyak tugas yang belum diselesaikan.
"Mampuslah kau, keparat!" teriak Raksasa Kulit Baja disertai suara mengguntur
seraya menyerang dengan sebuah pukulan ke arah dada Dewa Arak.
Angin keras bertiup mengawali serangan itu. Dari sini saja Dewa Arak dapat
menilai kekuatan yang terkandung dalam serangan itu. Hanya saja gerakan itu
terlalu lambat.
Dewa Arak mencondongkan tubuhnya ke kanan sehingga serangan itu lewat di depan
dadanya. Dan cepat bagai kilat kaki kanannya terayun deras ke arah perut lawan.
Tukkk...! Tendangan cepat yang dilakukan Dewa Arak tidak mampu dielakkan Raksasa Kulit
Baja yang memiliki gerakan terlampau lambat. Dengan telak tendangan itu mengenai
perutnya. Tapi lagi-lagi tendangan Dewa Arak tidak menghasilkan apa-apa. Tubuh manusia
raksasa itu hanya terhuyung dua langkah ke belakang. Kini ia kembali menerjang
dengan serangan-serangan buas dan brutal.
Sadarlah Arya kalau lawannya ini benar-benar memiliki kekebalan tubuh. Pemuda
itu kini tidak ragu-ragu lagi untuk menyarangkan serangan pada sasaran-sasaran
yang berbahaya dan bertenaga dalam penuh. Hanya saja, Dewa Arak ini masih belum
ingin menggunakan ilmu andalannya. Untuk menghadapi Raksasa Kulit Baja ini,
hanya digunakan ilmu warisan ayahnya saja.
Beberapa jurus telah berlalu. Dan entah sudah berapa kali serangan Dewa Arak
mendarat di berbagai bagian tubuh Raksasa Kulit Baja. Namun tak nampak tanda
tanda sedikit pun kalau serangan Arya itu dirasakannya.
Diam-diam pemuda berpakaian ungu ini terkejut bukan kepalang melihat kekuatan
tubuh lawannya ini.
Sepanjang pengetahuannya, kekebalan hanya dapat dimiliki oleh orang yang telah
memiliki tenaga dalam tinggi, misalnya Dewa Arak sendiri. Itu pun hanya terbatas
pada bagian-bagian yang tidak berbahaya saja. Tapi kekebalan yang dimiliki
Raksasa Kulit Baja
ini sungguh aneh. Padahal si manusia raksasa ini tidak memiliki tenaga dalam,
tapi hanya memiliki tenaga luar yang besar.
Dewa Arak segera sadar kalau Raksasa Kulit Baja ini mendapatkan ilmu kekebalan
tubuh lewat cara yang tidak wajar. Ular Hitam pernah menceritakan kepadanya
tentang berbagai macam ilmu yang terdapat di dunia persilatan.
Sebagai seorang yang telah lama malang-
melintang dalam rimba persilatan, tentu saja Ular Hitam memiliki pengetahuan
luas. Pengalamannya yang sudah ratusan kali bertempur menghadapi lawan. Ular
Hitam mengatakan kalau kekebalan bisa didapat dengan dua cara. Dengan
meningkatkan tenaga dalam, dan dengan mempelajari ilmu hitam.
Dari sini Arya menduga bahwa orang macam Raksasa Kulit Baja pasti mendapatkannya
dari ilmu hitam.
Tak terasa dua puluh jurus telah berlalu. Dan pertarungan antara kedua orang itu
telah bergeser jauh dari tempat semula. Itu memang disengaja Dewa Arak, karena
ingin menghindari dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
Plakkk! Kibasan kaki Dewa Arak yang dilakukan sambil berputar itu telak menghantam
pelipis Raksasa Kulit Baja. Kibasan yang disertai pengerahan tenaga sepenuhnya
itu membuat tubuh lawannya terlempar, melayang sejauh beberapa tombak. Kemudian
tubuh besar itu jatuh, dan terguling guling di tanah.
Tapi lagi-lagi, Raksasa Kulit Baja kembali bangkit tanpa kurang suatu apa pun.
"Gila...!" teriak Arya putus asa. Pemuda berambut putih keperak-perakan ini jadi
hilang kesabarannya.
Dengan perasaan geram bercampur bingung, diambil
guci araknya. Gluk... gluk... gluk....
Terdengar suara berceglukan ketika arak itu memasuki tenggorokan. Arya mengusap
mulutnya dengan punggung tangan, lalu disimpan lagi guci araknya di punggung.
Tak berapa lama kemudian, tubuhnya pun mulai sempoyongan. Pemuda berbaju ungu
ini terpaksa menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'-nya.
"Haaat...!" Raksasa Kulit Baja melolos senjatanya.
Tampak sebuah rantai baja berujung mata arit tajam berkilat, yang sejak tadi
melilit pinggang, kini berputar-putar mencari mangsa.
Wukkk... wukkk... wukkk...!
Seketika disabetkan rantai baja itu ke arah kepala Dewa Arak.
Singgg. .! Suara mendesing nyaring terdengar ketika rantai baja itu menyambar ke arah
kepala Arya. Tubuh pemuda berambut putih keperak-perakan yang semula sempoyongan itu,
mendadak berubah kokoh. Dan secepat posisi tubuh itu berubah, secepat itu pula
tubuh Dewa Arak melayang ke arah Raksasa Kulit Baja. Kedua tangannya bergerak
persis seperti seekor belalang yang tengah mempermainkan kaki-kakinya.
Prattt...! Pralll. .! Rantai baja yang menyambar kepala itu tertangkis tangan Arya, dan kontan putus
berantakan! Belum lagi, Raksasa Kulit Baja berbuat sesuatu, tubuh Arya telah berada di
mukanya. Dan...
Prattt! Prattt! Desss. !
Bertubi-tubi dan hampir bersamaan, tiga buah
serangan Dewa Arak mendarat telak pada sasaran.
Kedua tangannya menghantam pelipis dan ubun-ubun.
Disusul kedua kakinya menggedor dada.
Kelihatannya itu adalah serangan maut!
Jangankan ketiga-tiganya. Satu saja serangan itu diterima seorang seperti datuk
sesat sekalipun, cukup membuat orang itu pergi ke alam kubur! Kini ketiga
tiganya diterima sekaligus oleh Raksasa Kulit Baja!
Tanpa ampun lagi, tubuh Raksasa Kulit Baja terlempar jauh, tidak kurang dari
delapan tombak!
Luncuran tubuhnya baru berhenti ketika menabrak sebuah pohon besar hingga
tumbang, menimbulkan suara gemuruh. Bahkan pohon itu juga menimpa tubuh Raksasa
Kulit Baja yang tergolek di bawahnya.
Arya menghentikan gerakannya. Dengan posisi kaki tidak tetap, dia masih bergerak
sempoyongan. Kedua tangannya terus bergerak-gerak liar di depan dada.
Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan ini menunggu. Sepertinya
tidak ada tanda-tanda kalau lawannya yang luar biasa itu akan bangkit kembali.
Lalu Arya pun membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan tempat itu, walaupun
langkahnya sempoyongan. Tapi tiba-tiba saja terdengar suara ribut-ribut dari
arah belakangnya. Segera Arya menoleh. Terbelalaklah sepasang matanya yang sudah
sayu itu ketika melihat pemandangan di belakangnya.
Tampak batang pohon itu bergerak-gerak,
kemudian tiba-tiba terangkat dan terlempar ke arahnya. Suara yang ditimbulkan
begitu bergemuruh.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera mendorongkan kedua telapak
tangannya ke depan, mengirimkan pukulan jarak jauh.
Wuttt...! Brakkk...!
Batang pohon itu hancur berkeping-keping sebelum mengenai Arya. Bahkan daun-
daunnya langsung mengering layu.
Arya Buana menatap sosok tubuh yang kini bangkit dari tindihan pohon tadi. Siapa
lagi kalau bukan sosok Raksasa Kulit Baja. Seketika sepasang mata Dewa Arak
membelalak. Ternyata manusia raksasa itu tidak terluka sama sekali!
"Ilmu iblis!" desah Arya, antara takjub dan ngeri.
"Ha ha ha...! Keluarkan semua ilmumu, dewa keparat!" Raksasa Kulit Baja tertawa
pongah. "Sekarang kau baru tahu kehebatan ilmu 'Tameng Waja'ku! Kalau saja ilmu ini
sudah kumiliki sejak dulu, mungkin akulah yang akan menjadi raja kaum sesat!
Ha ha ha...!"
Dewa Arak menarik napas dalam-dalam.
Dikumpulkannya segenap tenaganya. Kemudian...
"Hiyaaa...!" Arya Buana berteriak keras, kemudian mendorongkan kedua tangannya
ke depan. Wuttt...! Angin panas berhembus keras menyambar tubuh Raksasa Kulit Baja yang tengah
melangkah menghampirinya.
Bresss...! Pukulan jarak jauh yang dilepaskan pemuda berambut putih keperakan itu telak
menghantam dada saudara angkat Harimau Mata Satu.
Akibatnya hebat sekali! Tubuh Raksasa Kulit Baja melayang jauh bagai dihempas
angin ribut, dan jatuh belasan tombak dari tempat semula.
"Iblis!" pekik Arya ketika melihat lawannya itu bangkit kembali.
Sungguh tidak ada tanda-tanda sedikit pun kalau tokoh itu terpengaruh pukulan
yang merupakan usaha terakhir Dewa Arak. Hanya satu yang membuktikan kalau
pukulan Arya tepat menghantam sasaran. Pakaian Raksasa Kulit Baja itu hangus,
dan pelahan-lahan hancur berkeping-keping ketika angin meniupnya. Dan kini, si
tinggi besar ini jadi telanjang bulat!
"Keparat!" Raksasa Kulit Baja berteriak memaki.
"Kali ini kau mujur, Dewa Arak! Tapi, jangan harap lain kali akan seberuntung
ini!" Setelah berkata demikian, Raksasa Kulit Baja melesat kabur dari situ. Dia merasa
malu melanjutkan pertarungan tanpa penutup tubuh.
Arya menghela napas lega. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa lelah bukan
main. Sungguh bingung memikirkan bagaimana caranya menghadapi Raksasa Kulit Baja itu.
Dengan langkah lunglai, diayunkan kakinya melanjutkan perjalanan mencari jejak
Bargola. 4 Siang ini udara begitu panas. Matahari menyengat kulit sejuruh makhluk yang ada
di permukaan maya-pada ini. Demikian pula dengan Arya Buana. Pemuda itu tengah
mempercepat langkahnya ketika beberapa tombak di depannya membentang sebuah
sungai. Ingin rasanya segera mandi atau setidak-tidaknya membasuh muka untuk menyegarkan
diri. Sekujur tubuhnya dirasakan penat dan lengket akibat pertarung-annya
melawan Raksasa Kulit Baja. Apalagi udara demikian panasnya.
Pertarungannya yang alot tadi benar-benar membuat tenaga Dewa Arak terkuras.
Tetapi diam-diam pemuda itu mengakui kehebatan ilmu Tameng Waja' milik Raksasa
Kulit Baja. Bahkan
pertarungannya melawan Siluman Tengkorak Putih seperti tidak berarti apa-apa
bila dibandingkan dengan manusia yang tubuhnya bagai raksasa itu.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat.
Dia memang baru menyadari kalau kepandaian yang tinggi tidak menjamin kemenangan
dalam suatu pertarungan. Ternyata pengalaman dan pengetahuan luas juga tidak
kalah pentingnya. Dan ini telah dialaminya sendiri.
Pemuda berbaju ungu ini yakin, masih banyak lagi hal baru yang akan dijumpai
Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam petualangannya.
Ia memang belum berpengalaman, sehingga
banyak hal yang tidak diketahuinya. Berbeda dengan Ular Hitam. Pembimbing Dewa
Arak itu banyak
pengalaman dalam dunia persilatan. Mungkin kalau Ular Hitam yang menghadapi,
Raksasa Kulit Baja belum tentu akan mampu menandingi.
Arya terus menyusuri sepanjang sungai itu. Melihat betapa jernihnya air itu,
maka dia berniat mandi untuk menyegarkan tubuh. Tentu saja untuk itu, harus
dicari tempat yang tersembunyi sehingga tidak dapat dilihat orang.
Hampir saja pemuda itu bersorak ketika melihat ada tempat tersembunyi, yang
terletak di kelokan sungai. Rerimbunan semak dan pepohonan, rapat menutupinya.
Bergegas Dewa Arak menghampiri tempat itu.
Ketika rerimbunan semak-semak dan pepohonan disibak, mendadak wajah Arya
memerah. Ternyata di dalam sungai itu ada seorang wanita yang tengah mandi!
Memang, hanya rambutnya saja yang terlihat, tapi cukup membuat pemuda ini
memerah wajahnya.
Tubuh wanita itu terlindung sebuah baru besar yang datar, dan tengah menundukkan
kepalanya. Rupanya bunyi semak-semak dan pepohonan yang tersibak tangan Arya cukup keras.
Terbukti wanita itu mendongakkan kepalanya, memandang ke arah suara itu berasal.
Sesaat lamanya sepasang mata wanita itu terbelalak. Keterkejutan yang amat
sangat nampak pada wajahnya.
"Manusia kurang ajar!" teriak wanita itu keras seraya lebih menyembunyikan
tubuhnya ke dalam air.
Kontan wajah Arya kian memerah.
"Celaka! Bisa-bisa aku dituduh sebagai lelaki hidung belang yang hendak
mengintip wanita mandi!"
ujar Dewa Arak dalam hati.
Pemuda berambut putih keperakan itu langsung membatalkan niatnya untuk mandi,
dan buru-buru berlalu dari situ dengan wajah memerah. Jantung dalam dadanya berdetak keras.
Ada perasaan aneh menyelinap ketika sekilas melihat wajah yang memandang
kepadanya dengan terbelalak itu.
Wajah itu demikian cantik. Belum pernah Arya melihat wajah secantik itu. Ada
sesuatu yang terselip dalam dadanya ketika melihat wajah itu. Sesuatu yang belum
pernah dirasakan ketika melihat wanita-wanita cantik lainnya.
Pemuda berbaju ungu ini meninggalkan tempat itu dengan perasaan berat. Seketika
ada sesuatu yang hilang dan dalam rongga dadanya. Hal ini membuat Arya merasa
bingung sendiri. Apa yang terjadi pada dirinya" Baru kali ini Arya mengalami hal
seperti itu. Dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Tanpa sadar Arya menghentikan larinya.
Ditolehkan kepalanya ke arah tempat yang baru saja ditinggalkan. Ada dorongan
kuat yang seolah-olah membetot kedua kakinya untuk kembali ke sana.
Selagi Dewa Arak ini dilanda perasaan bimbang, tiba-tiba sesosok bayangan putih
berkelebat mendekatinya. Cepat sekali gerakan bayangan itu, sehingga dalam
sekejap saja telah berdiri di depannya.
Arya menatap sosok bayangan putih di
hadapannya, yang ternyata seorang wanita berwajah sangat cantik. Beberapa saat lamanya
pemuda berambut putih keperak-perakan ini terkesima, tapi mendadak tersentak
kaget. Memang! Wajah wanita di depannya adalah wanita yang tadi tengah mandi!
"Mau lari ke mana kau, manusia kurang ajar"!"
tanya gadis yang berpakaian serba putih itu sinis.
Mulutnya menyunggingkan senyum mengejek.
"Manusia semacam kau tidak pantas dibiarkan
hidup!" Kontan wajah Arya memerah.
"Ini..., eh anu ... Kau salah paham, Nini. Nggg...
sungguh! Aku... aku tidak bermaksud begitu....
Sungguh!" dengan gugup pemuda ini mencoba menerangkan yang sebenarnya.
"Pengecut!" desis sosok serba putih itu.
Walaupun wanita itu mendamprat, namun tak urung memperhatikan Arya sekilas.
Diam-diam dipuji kegagahan pemuda berambut putih keperakan yang ada di depannya
ini. Dan memang ada perasaan aneh yang mencuat dari dalam dadanya ketika menatap
wajah pemuda ini. Dan perasaannya ini pula yang telah mencegahnya untuk
menurunkan tangan maut pada pemuda di hadapannya.
Gadis yang berpakaian serba putih ini ternyata Melati. Kalau saja tidak
terpengaruh perasaan aneh yang menjalari hatinya, pasti ia akan tahu kalau
pemuda berambut putih keperakan ini adalah orang yang dicari-carinya untuk
diberikan hukuman! Arya Buana, si Dewa Arak yang juga keponakan ayahnya!
Merah padam wajah Arya dimaki seperti itu. Kalau saja bukan gadis ini yang
mengatakan demikian, mungkin sudah turun tangan menghajarnya. Pantang baginya
dimaki seperti itu.
Sementara itu, si gadis setelah memaki Arya segera melesat kabur dari situ.
Tercekat hati Dewa Arak melihat kecepatan gerak gadis itu. Dan ini dipujinya
dalam hati. Mata pemuda itu terus menatap punggung gadis yang habis memakinya
hingga lenyap di kejauhan.
"Huh...!" Arya mendesah pelan, mencoba mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba
menyerang. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari dada, seiring
dengan perginya gadis berpakaian putih itu.
*** Arya memasuki sebuah kedai dengan langkah
lunglai. Memang, sejak pertemuannya dengan gadis yang ditemuinya di sungai, Arya
jadi sering merasa lesu. Bahkan jadi sering melamun. Kadang-kadang tersenyum
sendiri, bila teringat pada raut wajah gadis itu sewaktu dipergoki tengah mandi
di sungai. Tapi di lain saat, wajah pemuda berambut keperakan ini menjadi
murung, mengingat betapa gadis itu seperti jadi membencinya karena persoalan
itu. "Hhh...!" desah Arya pelan.
Pemuda itu menghenyakkan tubuhnya di salah satu kursi dalam kedai. Sering
dicobanya untuk mengusir bayangan gadis itu dari pelupuk matanya, tapi tidak
mampu. Selalu terbayang kembali di benaknya, senyum sinis gadis itu. Juga,
keterkejutannya sewaktu dipergokinya tengah mandi.
Apalagi sikapnya yang begitu dingin. Dan anehnya, semua tingkah laku itu di
matanya sangat menarik.
"Mau pesan apa, Tuan?" sebuah suara, pelan dan sopan menyadarkan Arya dari
lamunan. Dengan suara agak gagap, disebutkan pesanannya. Dan pemilik kedai itu
pun bergegas masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan pemuda berbaju ungu itu.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar tawa terbahak-bahak dari meja yang terletak
di sebelah kiri Arya.
Dengan sudut mata, Arya melirik ke arah asal suara itu. Dilihatnya tiga orang
laki-laki kasar tengah tertawa-tawa. Dengan lagak memuakkan, mereka memandang ke
satu arah. Sambil lalu Arya mengikuti arah pandangan ketiga
orang kasar itu. Kontan sepasang matanya terbelalak.
Jantung dalam dadanya berdebar kencang. Betapa tidak" Di sebuah meja di sudut
sana duduk tenang sesosok tubuh yang selama ini mengganggu pikirannya.
Jadi, rupanya orang-orang kasar itu tengah mengganggu gadis itu Perasaan tegang
melanda hatinya. Dan ini disadari Arya. Diam-diam pemuda itu merasa heran,
karena tidak pernah merasa tegang seperti ini walaupun keadaan yang dihadapi
begitu gawat. Tapi sekarang"
Salah seorang dari tiga laki-laki kasar itu tiba-tiba bangkit dari kursinya.
Sambil tertawa-tawa dihampirinya meja gadis berpakaian serba putih, yang
ternyata Melati.
Jantung dalam dada Arya kian keras berdetak.
Perasaan pemuda ini tegang bukan main. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang,
untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sungguh bertolak belakang
keadaan pemuda ini dengan keadaan Melati. Gadis itu nampak tenang-tenang saja
menikmati makanannya.
Perasaan tegang yang melanda Dewa Arak
memaksanya meraih guci arak yang sejak tadi sudah diletakkan di atas meja.
Gluk... gluk... gluk....
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki tenggorokan. Sesaat kemudian
hawa arak yang hangat menyerbu, membuat perasaan tegangnya berkurang.
Suara tegukan yang timbul sewaktu Arya meminum arak, rupanya terdengar tiga
orang kasar itu. Terbukti ketiganya menoleh ke arah asal suara itu. Dan ketika
pandangan mereka tertumbuk pada sesosok tubuh
yang mengeluarkan suara tegukan itu, kontan wajah mereka memucat.
"De..., Dewa Arak"!" desis mereka dengan suara bergetar. Tentu saja mereka telah
mendengar berita yang menggemparkan tentang tokoh aneh ini, yang dalam
pemunculannya telah membuat dunia
persilatan gempar.
Sebenarnya mereka tadi juga telah melihat Arya.
Tapi karena tengah terpusat pada gadis berpakaian serba putih, mereka tidak
teringat akan tokoh itu.
Baru setelah pemuda berambut putih keperak-perakan itu mengeluarkan suara
tegukan yang keluar dari mulutnya, mereka semua tersadar.
Ketiga pasang mata milik orang-orang kasar itu berputar liar, mencari jalan
untuk kabur. Begitu ada kesempatan, bergegas mereka bergerak saling mendahului
untuk melarikan diri. Sedangkan Arya sama sekali tidak mengejar, dan dibiarkan
saja ketiga orang kasar itu melarikan diri.
Tetapi baru saja Dewa Arak hendak menikmati araknya kembali, terdengar bunyi
kursi tarseret.
Sebentar kemudian disusul suara langkah kaki mendekati mejanya. Arya mengangkat
kepalanya, dan tampaklah gadis berpakaian serba putih itu telah berdiri di
hadapannya. Pandangan matanya begitu menusuk.
"Kau yang berjuluk Dewa Arak"!" tanya Melati dengan suara merdu.
Dan sebenarnya diam-diam gadis ini merasa heran terhadap kelakuannya kali ini.
Tidak biasanya ia bersikap seperti ini jika berhadapan dengan orang yang diduga
sebagai musuh. Biasanya, Melati selalu mengharapkan anggukan kepala dari orang
yang ditanya. Namun kali ini, gadis itu berharap agar
pemuda itu menggelengkan kepalanya.
Betapa kecewanya hati gadis itu ketika dilihatnya Arya menganggukkan kepalanya.
"Namamu Arya Buana?" tanya Melati lagi.
Kembali Arya menganggukkan kepalanya.
"Begitulah nama yang diberikan orang tuaku, Nini..."
"Kalau begitu, bersiaplah kau, Dewa Arak...!" teriak Melati dengan suara yang
diusahakan keras. Berat rasanya bersikap kasar terhadap pemuda di hadapannya
ini. Tapi, hal itu mau tidak mau harus dilakukannya. Tidak mungkin sumpahnya
sendiri dikhianati.
Srattt! Dicabut pedangnya, dan ditodongkan ke dada Arya.
"Keluarkan senjatamu, Dewa Arak! Atau kau lebih suka mati sia-sia di tanganku!"
teriak Melati yang dijuluki Dewi Penyebar Maut itu. Namun demikian, suaranya
terdengar agak gemetar. Bukan karena perasaan marah, tapi karena harus berperang
melawan perasaannya sendiri. Tak heran kalau dia mencabut pedang, karena untuk
lebih menguatkan hatinya.
"Nini," ucap Arya sambil menengadahkan kepala.
Sesaat tak ada suara yang keluar dari mulut pemuda itu. Dia hanya menatap wajah
cantik yang berdiri di depannya. Pandangan matanya sayu.
Memang pemuda ini merasa terpukul melihat gadis yang dikagumi ini nampak
membencinya. Dan sekarang bahkan memusuhinya.
"Bukankah telah kukatakan padamu, kalau peristiwa itu terjadi tidak sengaja.
Aku...." "Aku tidak meributkan masalah itu lagi!" potong Melati cepat. Wajahnya seketika
menyemburat merah. "Lalu masalah apa, Nini" Rasanya baru dua kali kita bertemu. Dan
sepengetahuanku, belum pernah aku berbuat salah pada Nini. Kecuali peristiwa di
sungai itu...," sahut pemuda ini setelah termenung beberapa saat lamanya.
"Kau memang tidak salah padaku, Dewa Arak.
Tapi, pada ayahku kau mempunyai kesalahan besar."
Tercekat hati Arya Buana mendengar ucapan gadis itu.
"Ayahmu" Siapa ayahmu?"
Melati menghela napas berat. Digertakkan giginya untuk lebih menguatkan hati.
"Raja Racun Pencabut Nyawa..."
Pelan dan lambat-lambat gadis itu mengucapkan kata-katanya. Tapi, akibatnya
tidak demikian bagi Arya.
"Apa"!" Arya terlonjak kaget. Bangku yang didudukinya hancur berantakan karena
getaran tenaga dalam yang menghambur dari tubuhnya.
"Siapa nama ayahmu, Nini...?" pemuda berambut putih keperakan ini mengulangi
pertanyaannya dengan suara gemetar.
"Raja Racun Pencabut Nyawa!" ulang Melati. Kali ini suaranya lebih keras.
"Tidak mungkin!" teriak Arya lantang. Benda-benda yang terletak di atas meja,
bergetaran keras. Jelas, ini akibat pengaruh teriakan pemuda itu yang mengandung
tenaga dalam dahsyat.
"Paman Lindu tidak punya anak!"
Melati sama sekali tidak mengacuhkan bantahan Arya. Sambil meletakkan tangan
kirinya di pinggang, tangan kanannya yang menggenggam pedang
menuding wajah pemuda berpakaian ungu ini.
"Paman"! Kau memanggil ayahku paman"! Aneh sekali! Sang Paman mati dibunuh, tapi
si Keponakan membiarkan saja pembunuh-pembunuh pamannya berkeliaran! Aneh
sekali! Keponakan macam apa kau ini, Dewa Arak"!"
Merah muka Arya mendengar sindiran tajam itu.
Ditatapnya wajah gadis yang telah menjatuhkan hatinya ini lekat-lekat.
"Banyak hal yang tidak kau mengerti, Nini. Paman Lindu bukan orang baik-baik.
Tindakannya banyak merugikan orang. Tak sedikit orang yang tewas di tangannya.
Dan adalah wajar kalau akhirnya tewas di tangan orang-orang yang telah
dirugikannya itu.
Setidak-tidaknya, orang yang membunuh Paman Lindu memiliki itikad baik, yakni
memusnahkan sumber kerusakan di muka bumi," kilah Arya.
"Aku tidak peduli orang macam apa ayahku! Yang kutahu, beliau telah dibunuh
secara pengecut. Dan telah menjadi kewajibanku untuk membalaskan kematiannya.
Pikirlah, Dewa Arak! Kapan lagi aku membalas budinya, kalau tidak sekarang?"
Suara gadis itu kian pelan. Dan Arya menangkap ada isak tertahan di dalamnya,
sehingga membuat hatinya tersentuh. Bisa dimaklumi perasaan yang terkandung
dalam hati gadis itu, karena dia sendiri pernah mengalami hal yang serupa. Hal
ini membuatnya terdiam.
"Bersiaplah, Dewa Arak," tegas Melati lagi. Kini suaranya sudah kembali
terdengar seperti biasa.
Dingin. "Eh! Apa maksudmu, Nini?" tanya Arya kaget.
"Tidak usah banyak cakap, Dewa Arak! Aku harus membuat perhitungan padamu atas
kematian ayahku! Bersiaplah, agar tidak mati percuma!"
"Tahan dulu, Nini!" teriak pemuda ini mencegah.
Tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. Pedang di tangan kanannya berkelebat
menebas leher Arya.
Suara berdesing nyaring mengawali tibanya serangan itu. Buru-buru Arya melempar
tubuhnya ke belakang seraya tangan kanannya menyambar guci arak yang terletak di
atas meja. Wut...! Tappp! Pedang Melati hanya menyambar tempat kosong, karena tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu telah agak jauh dari situ.
Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Arya segera melompat ke luar kedai. Tak
lupa dilemparkan uang pembayaran pesanannya ke meja tempat dia tadi duduk.
"Mau kabur ke mana kau, pengecut! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!"
sambil berkata demikian, Melati melompat mengejar.
Dewa Arak tentu saja tidak suka dianggap pengecut Sesampainya di luar kedai,
dihentikan langkahnya. Kemudian dibalikkan tubuhnya, menanti Melati.
Baru juga Arya membalikkan tubuhnya, Melati telah berdiri di hadapannya. Dalam
hati, Arya memuji kecepatan gerak gadis ini. Sulit dibayangkan kepandaian dan
tenaga dalam gadis itu. Dan jika melihat ilmu meringankan tubuhnya, gadis
berpakaian serba putih ini merupakan seorang lawan yang amat berat dan
berbahaya! "Rupanya kau tidak pengecut, Dewa Arak. Tidak seperti Raja Pisau Terbang dan
putrinya! Sebelum berhasil kubunuh, mereka telah melarikan diri dengan cara
licik. Mudah-mudahan kau tidak
sepengecut itu," ujar Dewi Penyebar Maut seraya tersenyum sinis.
Berubah wajah Arya. Benarkah apa yang dikatakan gadis ini. Rasanya mustahil Raja
Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pisau Terbang dapat dikalahkan. Tokoh itu adalah seorang datuk. Kalau benar
gadis itu telah mengalahkannya, sukar dibayangkan sampai di mana tingkat
kepandaian gadis berpakaian serba putih itu.
"Kau..., kau telah menemui mereka" Dari mana kau mengetahuinya?" tanya pemuda
berambut putih keperakan ini dengan suara tersendat.
Memang, Arya Buana kaget juga mendengar
ucapan itu. Dia dapat memperkirakan kalau ikut campurnya Raja Pisau Terbang,
karena anaknya terancam maut. Tapi yang menjadi pertanyaan, dari mana gadis itu
mengetahui kalau Ningrum adalah salah seorang pembunuh ayahnya"
"Lho, apa susahnya mengetahui siapa pengecut-pengecut yang membunuh ayahku"
Saksi sangat banyak!" jawab Dewi Penyebar Maut. "Sayang sekali, Ningrum bisa
lolos dari tanganku. Kalau tidak, hanya tinggal kau dan Ular Hitam. Dan setelah
itu tugasku pun selesai!"
"Jadi..., jadi..." Arya tergagap, karena tercekat hatinya.
"Ya. Dua orang yang ikut andil dalam membunuh ayahku telah kubereskan," selak
Melati sambil menganggukkan kepalanya.
"Maksudmu, Kakang Satria dan Kakang Mega?"
tanya Dewa Arak dengan wajah pucat pasi.
Gadis berpakaian serba putih itu tidak menjawab, tapi hanya mengangguk kecil.
Tapi anggukan itu sudah cukup bagi Arya.
"Kau keterlaluan, Nini!" bentak Arya Buana keras.
Tapi gadis itu hanya menyambutnya dengan tawa sinis.
Srakkk! Melati memasukkan pedang ke dalam sarungnya.
"Sekarang giliranmu, Dewa Arak!" Setelah berkata demikian, gadis berpakaian
serba putih ini menerjang Arya. Kaki kanannya melangkah ke depan
membentuk kuda-kuda ke arah kanan. Tangan kiri mengancam pelipis, sedangkan
tangan kanan terpalang di depan perut. Melati yang sebenarnya tidak sampai hati
mencelakai pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini, tidak mengerahkan seluruh
tenaga sewaktu menyerang. Hanya dikerahkan tiga perempat dari tenaganya.
Angin berciut keras menyambar Arya sebelum serangan itu tiba. Pemuda berambut
putih keperakan ini pun segera tahu kalau serangan lawan itu mengandung tenaga
dalam cukup kuat.
Dewa Arak cepat menarik kaki kanannya mundur sambil mencondongkan tubuhnya ke
belakang. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya diulurkan memapak serangan yang mengarah
ke pelipis. Arya yang tidak ingin mencelakakan gadis yang mengaku putri pamannya
ini, hanya mengerahkan separuh dari tenaganya.
Plakkk! Dua buah tangan yang mengandung tenaga dalam yang sangat kuat bertemu. Arya
terhuyung dua langkah ke belakang. Sedangkan Melati hanya terhuyung satu
langkah. Pemuda berambut putih keperakan ini terkejut.
Ternyata tenaga dalam gadis itu cukup tinggi juga.
Sedangkan Melati sudah bisa memastikan kalau pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini,
ternyata hanya mengeluarkan kekuatan tenaga dalam sedikit rendah dibanding tenaga dalamnya.
Jadi dia tidak akan menambah kekuatan tenaganya dalam serangan selanjutnya.
Sedangkan Arya yang merasakan betapa kuatnya tenaga dalam gadis itu, terpaksa
menambah tenaga untuk pertarungan selanjutnya. Dalam
pertarungannya melawan gadis ini, pemuda berambut putih keperakan ini hanya
menggunakan ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Rasanya, tidak tega jika menggunakan ilmu
andalannya. Dalam waktu sebentar saja, mereka sudah
bertarung lebih dari lima jurus. Melati penasaran bukan main ketika menyadari
tenaga dalam pemuda itu ternyata sepertinya semakin lama semakin kuat.
Semula dengan tiga perempat dari tenaganya saja, pemuda itu sudah terhuyung.
Tapi kini sampai mengeluarkan hampir seluruh tenaganya, pemuda itu mampu
menangkisnya tanpa terhuyung. Kini gadis ini sadar kalau Dewa Arak tadi tidak
bersungguh-sungguh dalam menangkis serangannya.
Hal ini membuat Dewi Penyebar Maut yang
memang mempunyai watak ganjil jadi tersinggung.
Gadis ini merasa diremehkan. Dan sebagai akibatnya, kini dikerahkan seluruh
kemampuan dalam serangan selanjutnya. Ilmu 'Cakar Naga Merah'-nya menyambar-
nyambar buas ke arah Arya.
"Tahan...!" Dewa Arak berseru keras sambil melentingkan tubuhnya ke belakang
menghindari serangan Melati yang bertubi-tubi.
Gadis berpakaian serba putih yang tengah dilanda penasaran itu terpaksa menahan
serangannya. Dengan napas masih memburu, ditatapnya Arya.
"Mengapa berhenti, Dewa Arak" Takut?"
Pemuda berpakaian ungu itu sama sekali tidak menggubris ejekan tajam Melati.
Wajahnya terlihat tegang bukan main.
"Dari mana kau dapatkan ilmu itu, Nini?" tanya Dewa Arak dengan suara gemetar.
Sepasang mata putri Raja Racun Pencabut Nyawa itu seketika membelalak.
"Apa hubunganmu dengan ilmu yang kumiliki"!
Mau kudapatkan dari mana saja, atau dari mencuri pun itu urusanku. Dan tidak ada
sangkut-pautnya denganmu!" jawab gadis itu ketus.
"Memang ada hubungannya, jika dugaanku benar.
Maka sudah menjadi urusanku kalau ilmu yang kau gunakan itu adalah 'Cakar Naga
Merah'," tandas Arya tegas.
"Kalau memang benar ilmu itu adalah 'Cakar Naga Merah', kau mau apa?" tantang
Melati. "Harus kau katakan dari mana memperolehnya!
Apakah kau mempelajarinya dari Ki Gering Langit?"
Wajah Melati memerah. Pelahan-lahan kemarahan mulai membakar hatinya. Pemuda di
hadapannya ini terlalu usilan dan sombong.
"Apa hakmu dengan ilmuku ini, Dewa Arak"!"
"Apakah Ki Gering Langit itu gurumu, Nini?" desak Arya, tidak menggubris ucapan
gadis itu. Kemarahan yang sejak tadi membakar hati Melati, kini tak bisa ditahan lagi.
"Keparat! Kau terlalu sombong, Dewa Arak! Jangan dikira aku takut padamu!"
Setelah berkata demikian, gadis itu kembali menerjang Arya. Tidak dipedulikannya
lagi teriakan-teriakan mencegah dari pemuda itu. Hatinya telah sangat
tersinggung terhadap sikap pemuda itu, yang sama sekali tidak menganggap
dirinya. Dewa Arak tidak punya pilihan lagi. Cepat-cepat disambut serangan Melati, dan
dibalasnya dengan serangan yang tak kalah dahsat. Kali ini Dewa Arak terpaksa
menggunakan ilmu andalannya. 'Belalang Mabuk', dan 'Delapan langkah Belalang'.
Tak lupa, diambilnya guci arak yang berada di punggungnya.
Dan diangkat ke atas mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara berceglukan dari mulut Arya ketika arak itu memasuki mulutnya.
Sesaat kemudian tubuhnya mulai sempoyongan.
Melati mulai menyerang secara ganas. Kini hatinya tidak ragu-ragu lagi
mengeluarkan segenap kemampuannya. Disadari kalau kepandaian pemuda di
hadapannya ini tidak serendah dugaannya. Berkali-kali tubuhnya terhuyung setiap
kali pemuda itu menangkis serangannya.
Hal ini membuat amarah gadis itu kian meluap.
Apalagi terlihat jelas kalau pemuda itu jarang sekali membalas serangannya.
Lebih sering Arya
mengelakkan serangan atau menangkisnya.
Delapan puluh jurus telah terlewati, tapi belum nampak ada tanda-tanda yang akan
terdesak. Diam-diam Arya memuji kelihaian lawannya ini. Pantaslah kalau Raja
Pisau Terbang harus melarikan diri dari hadapannya. Kepandaian gadis berpakaian
serba putih ini memang sangat tinggi.
Melati menggertakkan gigi. Gadis ini sadar, tak mungkin rasanya mengalahkan Arya
Buana. Diiringi sebuah keluhan tertahan dari kerongkongannya, Dewi Penyebar Maut
segera melesat meninggalkan Dewa Arak.
Tentu saja Arya yang tidak menduga hal itu menjadi kaget bukan main.
"Nini!" teriak Arya keras. "Tunggu...!"
Tetapi gadis berpakaian serba putih itu tak menggubris teriakan Arya, dan terus
saja berlari. Dalam sekejap tubuhnya sudah lenyap di kejauhan.
Arya hanya termenung memandangi kepergian Melati. Disadari kalau tidak ada
gunanya mengejar gadis itu.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat
itu, untuk menyusuri jejak Bargola yang telah menculik ibunya.
5 Pandangan mata pemuda berbaju ungu itu terpaku pada sebuah bangunan yang
dikelilingi tembok tinggi.
Dia adalah Arya Buana alias Dewa Arak. Setelah cukup lama bersikap seperti itu,
baru kemudian dihampirinya gerbang yang sudah tidak memiliki pintu lagi.
Di ambang pintu itu, langkah kaki Arya terhenti.
Pemuda ini lalu berjongkok, mengamat-amati kepingan-kepingan papan tebal yang
berserakan di bawah kakinya. Pada tiap kepingan papan tebal itu tertera tulisan.
Dewa Arak lalu menyusun tiap kepingan papan bertulisan itu, dan benarlah
dugaannya. Kepingan papan tebal itu memang mulanya adalah papan nama perguruan,
yang kini sudah hancur berantakan.
"Perguruan Beruang Hitam," gumam pemuda itu pelan.
Perguruan itu memang didirikan Bargola, yang sekarang tengah dicarinya. Pemuda
itu datang ke sini dengan harapan ada berita mengenai tempat Datuk Timur itu
mengasingkan diri.
Dengan langkah setengah hati-hati, Arya
melangkah masuk. Seperti yang sudah diduganya, hanya kelengangan dan kesunyian
saja yang dijumpai. Juga, bangunan-bangunan yang bekas terbakar di sana-sini.
"Hhh...!" Arya menghembuskan napas kecewa.
Tanpa diberitahu pun, ia telah bisa menebak orang yang mengobrak-abrik perguruan
ini. Siapa lagi kalau
bukan Raja Racun Pencabut Nyawa yang dibantu Siluman Tengkorak Putih"
Kali ini Arya tidak menyalahkan tindakan pamannya itu. Wajar bila pamannya
melampiaskan kekesalan atas tindakan Bargola yang menculik adik kandungnya.
Tidak tanggung-tanggung,
dihancurkannya perguruan yang didirikan Bargola itu.
Tengah pemuda itu termenung bingung,
pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki dari arah bangunan yang
tidak terbakar.
Tanpa pikir panjang lagi, Arya melompat ke atas dan hinggap di atas sebuah
cabang pohon yang terletak tidak jauh dari situ. Dari situ Dewa Arak mengintai
ke arah suara langkah kaki tadi berasal.
Tampaklah seorang laki-laki tengah melangkah keluar dari bangunan itu. Wajah
maupun potongan tubuhnya tidak jelas, karena jarak yang cukup jauh.
Kepala laki-laki itu nampak menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah-olah ada
sesuatu yang ditakutinya. Baru setelah itu, sosok tubuh itu melangkah ke luar
dengan berindap-indap.
Melihat tindak-tanduk orang itu, Arya menjadi curiga. Keadaan tempat itu
sebenarnya sudah membuat orang berpikir kalau di situ tidak ada penghuninya.
Kalau sosok tubuh itu tetap tinggal di situ, berarti ada satu dugaan. Dia
sengaja bersembunyi di situ.
Setelah sosok tubuh itu lenyap ditelan kejauhan, Arya melompat turun dari tempat
persembunyiannya.
Rasa ingin tahu memaksanya untuk menyelidiki ke dalam bangunan itu.
Dengan sikap waspada, Arya melangkah masuk.
Heran juga hatinya ketika melihat keadaan dalam bangunan itu. Begitu kotor,
kumuh dan tak terurus.
Debu dan sarang laba-laba berserakan di sana-sini.
Semua ruangan keadaannya sama. Lalu, di manakah orang itu tinggal"
Sungguh pun jaraknya cukup jauh, Arya dapat melihat kalau pakaian orang itu
bersih. Padahal di seluruh ruangan yang ada di dalam bangunan ini, tidak ada
tempat yang bersih. Aneh! Ataukah ada ruang rahasia di dalam bangunan besar ini"
Pemuda berambut putih keperakan ini tahu bahwa akan memakan waktu yang sangat
lama, kalau mencoba mencari ruang rahasia itu. Jalan yang paling mudah adalah
menunggu lelaki tadi kembali, kemudian menguntitnya menuju ruang rahasia itu.
Kalau memang benar ruang rahasia itu ada.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera keluar dari gedung itu. Diintainya
keadaan di depan sebelum dilangkahkan kakinya ke luar. Barangkali saja orang
yang tadi diintainya telah kembali. Tapi di luar sepi. Bergegas pemuda ini
kembali ke tempat persembunyiannya semula. Menunggu.
Cukup lama juga pemuda berambut putih
keperakan ini menunggu, sebelum akhirnya melihat orang itu di kejauhan.
Kini nampak jelas, kalau kelakuan orang itu yang aneh. Sebelum melangkahkan
kakinya memasuki pintu gerbang yang terdapat papan nama perguruan, orang itu
menoleh ke kanan dan ke kiri dengan sikap penuh curiga.
Baru setelah yakin tidak ada yang melihatnya, orang itu bergegas masuk ke dalam.
Kelihatennya setengah berlari saat memasuki bangunan besar yang baru saja
ditinggalkan Arya.
Bergegas Dewa Arak melompat turun dari cabang pohon itu. Dan dengan hati-hati
diikutinya orang itu.
Orang yang ternyata adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima
tahun, bertubuh sedang, dan berkumis tebal itu, sama sekali tidak sadar kalau
tengah diikuti. Bahkan tenang-tenang saja saat melangkahkan kakinya di dalam.
Sampai di sebuah ruangan, diambilnya sebuah kursi rusak yang memang terdapat di
situ, lalu, berdiri di atasnya. Sebentar kemudian diulurkan tangannya ke atas.
Arya yang mengintip dari balik pintu yang terbuka, kaget juga melihat apa yang
dilakukan orang itu. Si kumis tebal itu ternyata hendak menangkap cecak yang
tadi juga dilihatnya.
Anehnya, cecak itu diam saja. Binatang melata itu tidak berusaha mengelak dari
ancaman tangan si kumis tebal. Seolah-olah tidak tahu adanya bahaya yang
mengancam. Kreppp! Tangan si kumis tebal dengan tepatnya
mencengkeram tubuh cecak itu. Arya terbelalak. Tapi di lain saat, pemuda ini
sadar, kalau cecak itu bukanlah cecak sungguhan. Cecak itu pasti alat rahasia
menuju ruangan tersembunyi.
Dugaan Arya tidak salah. Begitu si kumis telah memutar 'cecak' itu, tiba-tiba
terdengar suara berderak keras. Sesaat kemudian lantai di tengah-tengah ruangan
bergeser. Dan begitu bunyi berderak itu berakhir di belakang si kumis tebal
terlihat sebuah lubang berukuran setengah tombak kali setengah tombak.
Begitu melihat lantai ruangan itu bergeser, tanpa membuang-buang waktu lagi,
Arya segera melesat dan melompat masuk ke dalam. Untuk berjaga-jaga terhadap
sesuatu yang tidak diinginkan, pemuda
berambut putih keperakan ini mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Ringan dan hampir tanpa suara, kedua kaki Arya hinggap di tanah. Belum lagi
pemuda ini berbuat sesuatu, terdengar sebuah teguran keras.
"Kaukah itu, Sentaka?"
Tercekat hati Arya mendengar teguran keras itu dan buru-buru menyelinap ke balik
tiang. Baru saja Arya bersembunyi, terdengar suara yang cukup keras. Pemuda berbaju
ungu ini mengintai dari balik tiang. Tampak si kumis tebal itu kini telah turut
pula. Rupanya suara itu berasal dari kedua kaki kumis tebal itu yang hinggap di
dalam ruangan ini.
Sekilas Arya memperhatikan sekelilingnya. Segera saja dapat diketahui, kalau
dirinya kini berada di dalam sebuah ruangan cukup luas. Keadaan di sini hanya
remang-remang saja, karena hanya diterangi sebuah obor yang terpasang di sudut
ruangan ini. Arya memperhatikan arah asal suara teguran itu.
Segera saja dapat diketahui kalau suara itu berasal dari ruangan yang terang
benderang di sebelah sana.
Kini Arya mengalihkan perhatiannya pada si kumis tebal yang sekarang diketahui
bernama Sentaka.
Tampak Sentaka tengah mendekati sebuah tangkai obor yang tidak terpakai, lalu
ditarik ke bawah.
Terdengar suara berderak keras. Maka, lantai di ruangan atas yang tadi terbuka
itu pun bergerak menutup kembali.
Tiba-tiba pendengaran Arya yang tajam
menangkap suara langkah mendekati. Dari bunyi suara langkah yang pelan hampir
tanpa suara, pemuda berbaju ungu ini dapat memperkirakan kalau orang yang akan
hadir ini memiliki kepandaian tinggi.
Dengan demikian dia harus bersikap waspada.
Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan suara napasnya pun ditahan.
Sesaat kemudian terlihat sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam
tiba di situ. Sungguhpun suasana di situ remang-remang, Arya dapat mengenali kalau sosok tubuh
itu adalah orang yang tengah dicari-carinya. Siapa lagi kalau bukan Bargola!
Ciri-ciri orang itu persis dengan apa yang dikatakan Kakek Ular Hitam.
"Sentaka," sapa orang tinggi besar itu kepada si kumis tebal.
"Ada apa, Guru?" sahut Sentaka.
"Tahukah kau, ada orang lain yang masuk ke sini sebelum kau tiba" Kuakui ilmu
meringankan tubuh orang itu hebat sekali. Kalau saja tidak waspada penuh, tidak
mungkin aku mendengarnya."
"Tapi, Guru. Aku yakin betul, kalau aku masuk ke dalam bangunan ini sendiri.
Bagaimana mungkin ada orang yang masuk ke sini?" bantah si kumis tebal yang
bernama Sentaka itu.
"Tapi aku mendengar suaranya, Sentaka! Dan telingaku belum pernah tertipu!"
tandas Bargola.
"Barangkali saja hanya suara kucing melompat..."
Dan seperti hendak membela Sentaka, terdengar suara mengeong lirih. Sebentar
kemudian muncullah"
seekor kucing, yang langsung berjalan mendekati kedua orang itu.
Dengan sorot mata penuh kemenangan, Sentaka menatap wajah gurunya. Bargola tidak
bisa berkata apa-apa lagi. Ditatapnya binatang itu sejenak, sebelum dilangkahkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
Arya menunggu sampai tubuh Bargola lenyap di balik ruangan. Kemudian,
dipungutnya sebuah batu sebesar kacang kedelai dan dijentokkan ke arah
Sentaka. Singgg .! Tukkk! Tubuh Sentaka mengejang ketika batu itu
mengenai punggungnya. Tanpa sempat mengeluh lagi, si kumis tebal itu pingsan.
Sebelum tubuh itu sempat jatuh ke tanah, pemuda berambut putih keperakan itu
telah lebih dulu melesat untuk menyangga tubuh Sentaka yang hendak rubuh.
Pelahan-lahan sekali, direbahkannya tubuh itu di tanah. Setelah itu dengan hati-
hati, Arya melangkahkan kakinya menuju arah Bargola tadi lenyap.
Pemuda berpakaian ungu ini melintasi lorong yang diterangi cahaya obor yang
terpancang di kanan kiri dinding. Baru beberapa langkah Arya memasuki lorong,
terdengar suara-suara bernada marah dari arah depannya. Buru-buru Dewa Arak
mempercepat langkahnya, seraya tetap mendengarkan suara itu.
"Sampai kapan lagi aku harus bersabar, Sani,"
pendengaran Arya menangkap suara yang bernada marah itu. Suara itu segera
dikenal sebagai suara Bargola!
Arya merasa tengkuknya tiba-tiba dingin
mendengar suara itu. Bukan karena gentar pada pemilik suara itu. Tapi, karena
isi ucapan itu. Datuk itu marah-marah pada orang yang bernama Sani!
"Sani" Ibukukah?" tanya Arya dalam hati.
Tak terasa pemuda itu mempercepat langkahnya.
Sementara suara itu terus bergema sepanjang lorong yang dilalui.
"Empat belas tahun bukan waktu yang singkat, Sani. Bayangkan! Empat belas tahun
lamanya aku menunggu kesediaanmu, untuk sukarela
menyerahkan diri padaku. Tapi kau benar-benar wanita tak tahu diuntung! Padahal,
karena kaulah aku rela mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sekuat tenaga
kutahan rasa penasaranku untuk menantang Siluman Tengkorak Putih. Hhh...! Kini
kesabaranku sudah habis, Sani! Mungkin kau termasuk seorang wanita yang lebih
suka dikasari daripada diperlakukan baik-baik!"
"Jangan harap dapat menyentuh tubuhku, Bargola!" teriak wanita itu. "Sebelum kau
menjamah tubuhku, aku lebih dulu akan bunuh diri!"
"Ha ha ha...! Boleh kau coba kalau bisa, Sani!"
tantang Bargola.
Tepat pada saat itu, Arya berada di ambang pintu.
Tampak Bargola bergerak lambat-lambat menghampiri seorang wanita setengah baya
berpakaian kuning, yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman bunga mawar
merah. Dan pemuda
berambut putih keperakan ini melihat jelas kalau wanita itu tengah menggerakkan
tangan kanannya untuk memukul ubun-ubunnya sendiri.
Wut...! Serasa terbang semangat Arya melihat hal ini.
Jaraknya yang terlampau jauh dan kedatangannya yang agak terlambat, membuatnya
tidak berdaya untuk mencegah.
Tapi sebelum niat wanita itu terlaksana, Bargola sambil tertawa terbahak-bahak
memutar-mutar kedua tangannya di depan dada dari luar ke dalam.
Dari kedua tangan yang berputar itu, bertiup angin keras yang langsung menyerbu
ke arah wanita setengah baya itu.
Wanita berpakaian kuning itu memekik. Tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya
terlontar ke belakang, dan jatuh di pembaringan. Untung Bargola tidak berniat mencelakainya,
sehingga dalam serangannya itu hanya membuat perut wanita itu mual dan tubuhnya
terlempar. Sambil terkekeh-kekeh, Datuk Timur itu
melangkah mendekati wanita yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman bunga
mawar merah. Pandang matanya nampak liar penuh nafsu. Tapi sebelum datuk yang menggiriskan
ini mengoyak-ngoyak pakaian wanita yang dipanggil Sani, tiba-tiba...
"Bargola, manusia rendah! Orang semacam kau memang tidak layak dibiarkan hidup!"
terdengar bentakan keras menggeledek.
"Heh!" Bargola sangat terkejut mendengar teriakan itu. Dengan amarah yang meluap
karena kesenangannya terganggu, dibalikkan tubuhnya menghadap ke arah asal suara.
Di ambang pintu, tampak berdiri seorang pemuda berambut putih keperak-perakan,
berwajah jantan, dan berpakaian ungu. Di tangannya tergenggam sebuah guci arak
yang terbuat dari perak.
"Ha ha ha...!" kembali Bargola tertawa bergelak.
Tidak salahkah penglihatanku" Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak itu" Ha ha
ha...! Pucuk dicinta.
ulam tiba! Bahkan lebih dari yang kuharapkan. Mari, mari Dewa Arak. Ingin
kulihat, sampai di mana kelihaianmu. Sehingga mampu menundukkan
Siluman Tengkorak Putih yang tersohor itu!" (Untuk jelasnya, baca serial Dewa
Arak dalam episode
"Pedang Bintang").
Arya sudah bisa mengukur kelihaian lawan di hadapannya ini. Memang, kemungkinan
besar kepandaian datuk ini masih di bawah kepandaian Siluman Tengkorak Putih.
Tapi biar bagaimanapun,
datuk ini tidak kalah berbahaya. Bargola telah memiliki pengalaman luas. Dan itu
kelebihannya dibanding Siluman Tengkorak Putih.
Sekilas Dewa Arak menatap wajah wanita
berpakaian kuning yang masih meringkuk di pembaringan. Kontan hatinya bergetar.
Walaupun waktu itu usianya belum mencapai lima tahun saat ibunya pergi
meninggalkan dia dan ayahnya, raut wajah ibunya tak mungkin dapat terlupakan.
Wanita yang tengah meringkuk di pembaringan itu benar-benar ibunya!
Amarah Arya pun bangkit. Bargola nyata-nyata telah melukai ibunya. Bahkan kalau
ia tadi terlambat, mungkin datuk ini telah pula menodai. Kesalahan datuk sesat
ini tidak dapat diampuni lagi. Maka, pemuda berambut putih keperakan ini
bertekad untuk melenyapkan datuk ini selama-lamanya.
"Hm...!"
Diawali sebuah dengusan yang menjadi ciri khasnya, Datuk Timur itu melesat
menerjang Arya.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Bargola mengerahkan ilmu andalannya, 'Tapak Bara'.
Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka berwarna merah, menyambar ganas ke arah
ulu hati dan pusar Dewa Arak. Seketika hawa panas berhembus keras sebelum
serangan itu tiba.
Arya yang tahu betapa berbahayanya kedua serangan itu, sebelum datuk itu
menyerangnya, telah menuangkan guci arak ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Begitu serangan Bargola tiba, Arya
mengelakkannya dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Kakinya bergerak
sempoyongan seperti akan jatuh, melangkah, dan meliuk-liuk aneh.
Hebatnya, kedua serangan itu dapat dielakkan seperti tidak sengaja. Bahkan tubuh
Dewa Arak ini telah berada di belakang datuk itu. Dengan cepat pemuda berambut
putih keperakan ini pun
mengayunkan gucinya menghantam punggung
Bargola. Bargola terperanjat. Sungguh di luar dugaan kalau lawannya bisa berbuat seperti
itu dalam tempo yang cepat! Tapi, Bargola adalah seorang datuk yang telah
kenyang pengalaman. Telah puluhan bahkan mungkin ratusan kali laki-laki kasar
ini berhasil meloloskan diri dari ancaman maut.
Maka, pada saat yang kritis itu pun ia masih sanggup menyelamatkan selembar
nyawanya. Cepat dibanting tubuhnya ke tanah, dan hinggap dengan bertumpu pada
kedua tangan dan ujung kakinya.
Wuttt! Sambaran guci Arya lewat di atas tubuhnya.
Sementara itu, saat kedua tapak tangannya hinggap di tanah, kaki kanan Bargola
menendang ke belakang, mengarah dada Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan ini tercekat hatinya melihat serangan itu. Tidak
ada waktu lagi untuk menghindari serangan tiba-tiba itu. Tendangan Bargola
datangnya hampir bersamaan dengan lolosnya serangan guci yang mengancam punggung
datuk itu. Tidak ada jalan lain bagi Arya, kecuali menangkis serangan itu dengan tangan
kirinya yang bebas.
Cepat-cepat digerakkan tangan kirinya menepak kaki Bargola.
Plakkk! Tubuh Datuk Timur itu terputar dan terpelanting.
Sedangkan tubuh Arya sendiri terjajar satu langkah ke
belakang. Bargola meraung murka. Selama puluhan bahkan mungkin ratusan kali bertarung,
baru kali ini sewaktu adu tenaga dalam, tubuhnya sampai terpelanting.
Apalagi oleh seorang lawan yang masih sangat muda.
Rasa penasarannya pun semakin memuncak.
Sebagai akibatnya, serangan-serangannya
seketika bertambah dahsyat! Datuk ini mengamuk membabi buta. Kedua tangannya
yang berisi ilmu
'Tapak Bara', dan mengandung tenaga panas itu menyambar-nyambar ganas mencari
sasaran. Tetapi yang dihadapi Bargola kali ini adalah Dewa Arak, murid pilihan Ki Gering
Langit. Bagi pemuda berambut putih keperak-perakan itu, hawa panas yang
mengiringi setiap serangan Bargola seperti tiupan angin sejuk. Karena, dia
sendiri memiliki tenaga yang mengandung hawa panas. Bahkan jauh lebih dahsyat
ketimbang hawa panas yang dimiliki datuk itu.
Dengan ilmu 'Belalang Sakti', Arya menghadapi setiap serangan Bargola. Setiap
serangan yang datang dielakkan secara mudah, menggunakan jurus
'Delapan Langkah Belalang'. Bahkan pemuda itu sekaligus mengirimkan serangan
balasan yang tak kalah dahsyatnya, menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'.
Nyi Sani bergegas menghindar dari tempat itu.
Karena untuk keluar dari ruangan sudah tidak sempat lagi, terpaksa dia
bersembunyi di balik sebuah lemari. Ini dilakukan untuk berjaga-jaga dari
sambaran pukulan yang nyasar.
Sebentar saja sekujur tubuh Ketua Perguruan Mawar Merah ini sudah basah oleh
keringat. Hawa di dalam ruangan ini terasa panas bukan main, dan
terasa menyengat kulit.
Sementara itu pertarungan antara kedua orang sakti itu berjalan sengit, dan
terlihat seimbang. Tapi lewat enam puluh jurus, Bargola mulai terdesak.
Menuntut Balas 18 Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Pedang Dan Kitab Suci 7