Maut Dari Hutan Rangkong 1
Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong Bagian 1
Maut Dari Hutan Rangkong
Seri Dewa Arak Karya : Aji Saka
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode: Maut dari Hutan
Rangkong 128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Dewi KZ
Editor : Rohmat Widayat
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Kepak kelelawar terdengar memecah keheningan malam
yang sepi. Bulan penuh yang nampak di langit,perlahan-lahan
mulai tertutup awan hitam tebal yang berarak. Angin dingin
yang berhembus dan sesekali keras itu semakin memperkuat
dugaan kalau hujan akan turun.
Benar saja. Beberapa saat kemudian, hujan mulai turun.
Mula-mula berupa gerimis kecil, dan satu-satu. Tapi semakin
lama semakin besar. Hingga akhirnya benar-benar lebat. Air
yang jatuh bagai ditumpahkan dari langit. Langit yang gelap
itu sesekali dibelah oleh halilintar yang menggelegar. Untuk
sesaat lamanya, suasana malam jadi terang benderang.
Dan dalam suasana terang yang sekejap seperti itulah,
tampak sesosok bayangan berkelebat dari dalam sebuah
bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat tinggi. Bangunan
itu tampak besar dan megah, serta memiliki halaman luas.
"Hih...!"
Sosok bayangan itu me lesat cepat melompati pagar kayu
bulat yang tinggi. Indah dan manis sekali gerakannya. Baik
ketika melompati pagar kayu, maupun ketika mendaratkan
kedua kakinya di luar pagar.
Pyarrr...! Genangan air memercik ke sana kemari ketika sepasang
kaki itu menjejak tanah yang dibasahi hujan. Glarrr!
Halilintar menyambar kembali. Dan untuk sesaat suasana
malam jadi terang benderang kembali. Meskipun begitu, sudah
cukup jelas untuk mengenali wajah sosok bayangan itu.
Dia ternyata adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima
puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, dan berpakaian hitam.
Wajahnya kasar dan sebuah penutup kepala yang berbentuk
setengah tempurung kelapa bertengger di atas kepalanya.
Secepat kedua kakinya mendarat di luar pagar kayu,
secepat itu pula dia melesat dari situ. Gerakannya cukup
cepat. Jelas, kalau laki-laki tinggi besar ini memiliki
kepandaian tidak rendah.
Tanpa menghiraukan suasana malam yang gelap, angin
dingin yang berhembus keras menusuk tulang, dan curahan
hujan lebat yang menyiram tubuhnya, sosok bayangan itu
terus saja berlari cepat.
Glarrr! Halilintar kembali menggelegar membelah angkasa. Lagi-
lagi keadaan alam kembali terang benderang sekejap. Saat
itu, di atas pintu gerbang bangunan besar berpagar kayu bulat
tinggi, terlihat sebuah kayu lebar tidak begitu tebal yang
terukir halus. Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan
itu, Perkumpulan Pedang Perak.
Sosok bayangan itu terus saja berlari dengan kecepatan
tinggi. Sama sekali tidak diperlambat larinya, meskipun
berkali-kali tergelincir dan hampir jatuh karena jalan yang
ditempuh demikian licin.
Lari bayangan itu baru diperlambat ketika telah memasuki
mulut sebuah hutan. Dan akhirnya berhenti sama sekali ketika
telah berada di dalamnya.
Dengan napas terengah-engah, laki-laki berpakaian serba
hitam itu berteduh di bawah sebatang pohon yang berdaun
rindang. Kedua tangannya nampak bersedakap di depan dada.
Rupanya angin yang berhembus cukup kencang membuat
tubuhnya kedinginan.
Sebentar sosok itu mengeringkan tangannya, lalu
memasukkannya ke balik baju. Sesaat kemudian telah keluar
lagi, bersama sebuah kitab di tangannya.
Glarrr...! Halilintar kembali menyambar. Seketika itu juga sana di
sekitar tempat itu jadi terang benderang. Sehingga huruf-
huruf yang tertera di kulit kitab itu tampak cukup jelas
terbaca, 'Ilmu Tangan Racun Pasir Merah'.
Tampak seulas senyuman menghiasi wajah laki-laki
bertubuh tinggi besar itu. Sebentar kemudian kitab itu
dimasukkan kembali ke balik bajunya. Dan kini kedua
tangannya kembali disedakapkan di depan dada.
Tak lama kemudian hujan mulai mereda, hingga akhirnya
tinggal gerimis kecil yang jatuh satu persatu ke bumi
Di saat itulah, laki-laki berpakaian hitam ini melanjutkan
perjalanannya kembali. Melesat cepat menembus kepekatan
malam. Rintik hujan yang mengenai tubuhnya sama sekali
tidak dihiraukan.
*** Matahari sudah cukup lama menampakkan diri. Suara cicit
burung pun sudah tidak terdengar lagi. Bahkan angin yang
berhembus sudah tidak terlalu nikmat untuk dihirup. Ketika
itu, tampak dua sosok tubuh tengah melangkah bergegas
menuju mulut Hutan Rangkong.
Dari bentuk tubuh mereka yang kekar dan kuat, jelas kalau
kedua orang itu sudah terbiasa bekerja berat . Wajahnya pun
terlihat keras. Hanya saja saat itu, mereka tampak penuh
diliputi kecemasan.
"Aku khawatir akan keselamatan Guradi, Kang Banyupaksi,"
ucap salah seorang dari dua sosok itu. Wajahnya yang berkulit
coklat, dan penuh bercak putih yang lebar-lebar, terlihat
menyiratkan perasaan cemas yang tidak terkira.
"Mudah-mudahan saja dia selamat, Jatmika," sahut orang
yang dipanggil Banyupaksi bernada menghibur. Dia bertubuh
kekar, berkumis, dan berjenggot yang terawat baik
Suasana hening sejenak begitu Banyupaksi menghentikan
ucapannya. Kini yang terdengar hanyalah gemerisik
rerumputan yang terpijak kaki mereka.
"Kang...," kembali Jatmika membuka suara, seraya
menoleh. Menilik dari ucapannya yang terhenti di tengah Jalan, jelas
kalau laki-laki berwajah penuh bercak-bercak putih ini merasa
ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
"Ada apa lagi, Jatmika?" tanya Banyupaksi sabar.
"Rasanya..., aku tidak yakin kalau Guradi masih hidup,
Kang...." "Hm.... Mengapa kau berkata seperti itu, Jatmika?" tegur
Banyupaksi. Sepasang mata laki-laki bertubuh kekar ini
menatap penuh teguran. "Apakah kau tidak ingin anakmu
selamat?" "Bukan begitu maksudku, Kang," sahut Jatmika huru-buru.
"Tapi, kenapa justru kau mengharapkan yang bukan-
bukan?" "Aku sama sekali tidak berharap begitu."
"Hm...," Banyupaksi hanya menggumam tidak jelas.
"Tapi..., kenyataan yang kuterima kali ini membuatku
ragu," sambung Jatmika lagi.
"Maksudmu?" tanya Banyupaksi dengan dahi berkernyit.
Jelas kalau dia masih belum mengerti maksud Jatmika.
"Tidak biasanya Guradi pergi selama ini. Dia sudah sering
mencari kayu bakar atau berburu di hutan. Tapi tidak pernah
sampai selama ini. Bayangkan, Kang. Guradi pergi kemarin
pagi. Dan sampai sekarang belum pulang...!"
Banyupaksi mengangguk-anggukkan
kepala. Cerita mengenai kepergian Guradi ke Hutan Rangkong dan belum
kembali memang sudah didengarnya dari mulut Jatmika
sendiri. Dan hal inilah yang membuatnya terpaksa ikut
mencari orang yang bernama Guradi itu.
"Berdoalah agar dia selamat," hanya itu kata-kata bernada
menghibur dari Banyupaksi. "Aku percaya Guradi bisa menjaga
diri. Mungkin dia hanya tersesat."
"Aku juga berharap begitu, Kang. Tapi rasanya tidak
mungkin, Kang. Guradi telah puluhan kali keluar masuk hutan.
Atau..., jangan-jangan dia diterkam binatang buas."
Banyupaksi menatap wajah Jatmika tajam-tajam.
"Kalau begitu..., kau meremehkan kemampuanku, Jatmika."
"Maksudmu, Kang?"
"Aku yang mendidik dan mengajarkannya ilmu silat.
Bertahun-tahun aku melatihnya. Dan kau enak saja
mengatakan kalau Guradi mati diterkam binatang buas. Itu
sama sekali tidak memandang kepadaku, Jatmika!"
Berubah wajah Jatmika seketika mendengar ucapan
bernada keras dari laki-laki bertubuh kekar itu.
"Maafkan aku, Kang. Aku.... Aku tidak bermaksud begitu.
Sungguh...!" sahut laki-laki berwajah penuh bercak-bercak
putih itu terbata-bata.
"Hhh...!" Banyupaksi menghela napas panjang.
Amarah laki-laki berkumis rapi yang mulai bangkit perlahan
mengendur kembali mendengar permintaan maaf Jatmika. Dia
tahu kalau laki-laki di sampingnya ini tidak bermaksud
merendahkan. Jatmika mengatakannya tanpa sadar, karena
didorong kecemasan menggelegak.
"Lupakanlah, Jatmika," sahut Banyupaksi berdesah. "Tapi
perlu kau ketahui, Jatmika. Jangankan hanya satu, dua
binatang buas pun, aku yakin Guradi mampu menghadapinya!"
Jatmika hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Kembali keheningan menyelimuti mereka berdua. Kini
Jatmika dan Banyupaksi melanjutkan langkah menuju Hutan
Rangkong yang sudah semakin dekat tanpa berkata-kata lagi.
*** Begitu memasuki hutan, Jatmika dan Banyupaksi
mengedarkan pandangan berkeliling. Dengan ranting yang
ditemukan, mereka menguak kerimbunan semak-semak. Hati
mereka berharap, barangkali saja orang yang dicari berada di
situ. "Guradi...!"
Jatmika yang sudah tidak kuat lagi menahan cemas dan
tidak sabar, berteriak memanggil. Kini mereka sudah cukup
jauh masuk ke dalam hutan. Tapi, sama sekali tidak terlihat
tanda-tanda adanya Guradi. Baik Jatmika maupun Banyupaksi
langsung berdiam diri. Pendengaran mereka ditajamkan agar
apabila Guradi menjawab, dapat terdengar.
Tapi sampai lelah berdiam diri, tak juga terdengar sahutan
yang dinantikan, kecuali cicit burung yang selalu mengusik
telinga. Jatmika dan Banyupaksi terus melangkah sambil menyibakkan semak-semak. Sepasang mata mereka berkeliaran ke sana kemari, sambil sesekali diselingi
panggilan-panggilan terhadap Guradi.
Dan begitu akan memanggil lagi, mendadak langkah kedua
orang itu terhenti. Wajah mereka pucat seketika. Sepasang
mata mereka menatap membelalak ke depan, seakan-akan
tidak percaya akan apa yang dilihat.
Sekitar lima tombak di hadapan Banyupaksi dan Jatmika,
terpampang pemandangan menggiriskan hati. Tampak
seorang remaja berusia belasan tahun tengah tergantung di
atas cabang pohon dengan leher terjerat seutas tambang.
Dadanya telanjang, tak tertutup baju. Sehingga, terlihat jelas
luka-luka yang memenuhi sekujur tubuhnya.
Dengan sekali lihat saja, baik Jatmika maupun Banyupaksi
bisa mengetahui kalau remaja itu telah tewas. Dan beberapa
saat lamanya, mereka hanya mampu berdiri terpaku. Lidah
pun terasa kelu. Suara seperti tercekat di tenggorokan. Hanya
sepasang mata mereka saja yang seolah-olah ingin
mengungkapkan sesuatu.
"Guradi...!"
Terdengar teriakan keras dari mulut Jatmika setelahh
beberapa saat lamanya berdiri terpaku. Laki-laki berwajah
penuh bercak putih ini memerlukan waktu beberapa saat
lamanya untuk dapat mengetahui kalau orang yang
tergantung di atas pohon itu adalah putranya.
Seiring panggilannya, tubuh Jatmika berlari berhambur ke
arah sosok yang tergantung itu. Kemudian Banyupaksi pun
ikut bergerak mengikuti. Dia pun cepat mengenali pula kalau
sosok tubuh itu benar-benar Guradi. Orang yang mereka cari-
cari. "Guradi..., Guradi...," panggil Jatmika pilu. Kedua
tangannya sibuk memeluki tubuh yang tergantung itu.
Banyupaksi menggertakkan gigi. Seketika dadanya terasa
sesak oleh amarah dan sedih yang meng-gayut Tapi laki-laki
berkumis rapi ini berusaha menahan diri. Pikirannya berusaha
dibuat setenang mungkin. Seketika tenaganya dikempos, dan
Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesaat kemudian, tubuhnya melesat ke atas. Dan sekali
tangannya bergerak, tali yang menggantung tubuh Guradi pun
putus. Untungnya Jatmika tengah memeluk tubuh putranya,
sehingga tubuh itu tidak sampai terbanting keras ke tanah.
Jatmika sempat menangkapnya. Tapi akibatnya, dia ikut
terjatuh terbawa beban tubuh Guradi.
Berbareng tergulingnya tubuh Guradi dan Jatmika ke tanah,
sepasang kaki Banyupaksi pun hinggap. Kemudian, laki-laki
berkumis rapi ini menyarungkan kembali golok yang tadi
dicabutnya sewaktu memutuskan tambang yang mengikat
tubuh Guradi. "Hentikan segala kecengengan Ini, Jatmika," tegur
Banyupaksi, kemudian sepasang matanya menatap penuh
teguran pada laki-laki yang wajahnya penuhi bercak putih itu.
Sambil tetap memeluk tubuh putranya, Jatmika beranjak
bangkit. Sepasang matanya balas menatapi tak kalah tajam.
"Tapi, Kang. Dia anakku satu-satunya! Dosakah aku
bersedih hati melihat kematiannya?" bantah Jatmika. Suaranya
pelan, tapi penuh tuntutan.
"Aku tidak me larangmu, Jatmika," sahut Banyupaksi
dengan suara tetap lembut. Tapi tetap penuh wibawa. "Aku
hanya tidak suka melihat kesedihanmu yang terlalu
berlebihan."
"Tapi, Kang...," Jatmika masih mencoba membantah.
"Guradi tidak akan hidup kembali, sekalipun tangisanmu
berupa darah sampai empat puluh hari."potong Banyupaksi
tanpa menghiraukan bantahan Jatmika.
Seketika Jatmika terdiam. Bukan karena nasihat Banyupaksi, tapi karena rasa segannya pada laki-laki berkumis
tipis itu. "Sekarang yang paling penting adalah mencari pelaku
pembunuhan ini," sambung Banyupaksi ketika Jatmika tampak
terdiam. Terdengar suara gemeretak dari mulut Jatmika begitu
mendengar ucapan ini. Banyupaksi benar. Yang paling penting
sekarang adalah mencari pembunuh putranya. Tapi, tentu saja
sehabis mengebumikan Guradi secara layak.
"Menilik dari luka-luka yang diderita Guradi, aku yakin kalau
pelakunya adalah seorang tokoh aliran hitam yang berjiwa luar
biasa kejam," duga Banyupaksi. Sementara sepasang matanya
terus menyelusuri sekujur tubuh Guradi yang penuh luka-luka.
"Ke mana pun..., aku akan mencarinya Dan..., seluruh
tubuhnya akan kulumatkan!" desis Jatmika penuh dendam.
Tangan kanannya mengepal keras dan kepalanya mendongak
ke atas ketika kata-kata itu diucapkan.
Banyupaksi tidak menanggapi. Dia yakin kalau Jatmika
bukan tandingan pembunuh Guradi. Jatmika memang tidak
memiliki kepandaian sedikit pun. Lalu, bagaimana akan bisa
membalas dendam" Oleh karena itu Banyupaksi bertekad akan
ikut mencari pembunuh Guradi.
"Sekarang mari kita kembali dulu ke desa, Jatmika," ajak
Banyupaksi pelan. Dipegangnya bahu kanan laki-laki berwajah
bercak-bercak putih itu, kemudian ditepuk-tepuknya.
Jatmika menatap Banyupaksi penuh tanda tanya.
"Kita kuburkan dulu mayat Guradi...," sambung Banyupaksi.
Kali ini Jatmika tidak membantah lagi. Perlahan kakinya
melangkah meninggalkan hutan itu. Sementara Banyupaksi
mengikuti di belakangnya. Laki-laki berkumis rapi ini segera
mengedarkan pandangannya berrkeliling, memperhatikan
suasana di sekitarnya. Masalahnya bukan tidak mungkin kalau
pembunuh itu masih berada di situ.
Tapi tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Keadaan di
sekitar tempat itu sepi-sepi saja. Yang terdengar hanyalah
suara cicit burung dan binatang-binatang hutan.
Baru juga kedua orang itu me langkah beberapa tindak,
terdengar suara tawa menggelegar laksana guntur. Suaranya
menggema di sekitar tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan tawa itu. T ubuh
Jatmika seketika terbungkuk. Terdengar keluhan keras keluar
dari mulutnya. Pegangannya pada tubuh putranya pun
terlepas, sehingga Guradi terjatuh di tanah.
Bukan hanya itu saja akibatnya. Jatmika pun merasa
dadanya sakit bukan main, seperti diseruduk kerbau liar.
Bahkan telinganya seperti akan pecah. Betapapun laki-laki
berwajah penuh bercak-bercak itu berusaha bertahan dan
mendekap kedua telinganya, tak urung tubuhnya terguling
jatuh. Jatmika bukan satu-satunya orang yang menerima
serangan suara tawa dahsyat itu. Banyupaksi pun mengalami
hal yang serupa. Dada laki-laki berkumis rapi ini terasa
terguncang hebat. Telinganya pun terasa berdengung keras.
Sebagai ahli silat, dia tahu kalau ada orang yang tengah
menyerang dengan suara tawa yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal ini membuat Banyupaksi
kaget. Bukan main. Dari cara penyerangan ini saja sudah
menandakan kelihaian lawan. Jelas orang itu memiliki tingkat
tenaga dalam tinggi. Dan dia merasa bukan tandingan orang
itu. Ciut hati Banyupaksi membayangkan kalau seandainya
pemilik tawa itu adalah orang yang telah membunuh Guradi.
Karena bila hal itu benar, sampai kapan pun mereka tidak
akan bisa membalas dendam.
Kalau saja suara tawa itu terus berlangsung, mungkin
Jatmika dan Banyupaksi tidak akan tahan. Kedua orang itu
akan tewas dengan dada pecah dan gendang telinga hancur.
Tapi untungnya, tawa itu kemudian berhenti.
Dan begitu tawa itu berhenti, berkelebat sesosok bayangan
hitam. Gerakannya cepat bukan main. Maka tahu-tahu saja, di
depan Banyupaksi dan Jatmika telah berrdiri sosok tubuh
tinggi besar. Banyupaksi dan Jatmika menatap sosok tubuh yang telah
berdiri di hadapan mereka. Sosok tubuh berpakaian hitam.
Wajahnya kasar, dipenuhi cambang bauk lebat. Menilik dari
keadaannya, usia laki-laki itu tak kurang dari lima puluh tahun.
Sebuah penutup kepala berbentuk setengah tempurung kelapa
menutupi kepalanya. Matanya menatap tajam ke arah
Jatmika. "Kudengar kau hendak mencari pembunuh anak itu," kata
laki-laki bercambang bauk lebat itu, kalem. "Akulah
pembunuhnya."
Seketika itu pula Jatmika bangkit berdiri. Wajahnya
langsung beringas. Sepasang matanya menatap tajam, penuh
pancaran hawa membunuh. Kedua tangannya yang mengepal
itu nampak mengejang keras "Kau..."!" suara Jatmika tercekat
di tenggorokan karena saking besarnya amarah yang bergolak
dalam dadanya. Laki-laki berpakaian hitam itu hanya tersenyum mengejek.
Wajah dan sorot matanya tampak jelas memandang rendah
Jatmika. "Kubunuh kau...!" teriak Jatmika keras.
Dan berbareng dengan ucapan itu, Jatmika me lompat
menyerang. Kedua tangnnya yang terkepal, dipukulkan
bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh laki-laki bercambang
lebat itu. "Jatmika...! Tahan...!" teriak Banyupaksi mencegah. Tapi
terlambat Serangan Jatmika tidak mungkin ditarik kembali.
Maka Banyupaksi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dan hanya
bisa bersikap waspada kalau- kalau jiwa laki-laki berwajah
bercak-bercak putih itu terancam.
Laki-laki berpakaian hitam itu tertawa mengejeki. Bahkan
tidak terlihat kalau akan mengelak atau menangkis. Sampai
akhirnya semua serangan Jatmika telak mengenai sasarannya.
Buk, buk, bukkk...!
Suara berdebukan keras terdengar berkali-kali ketika
pukulan-pukulan Jatmika mengenai dada, perut, dan ulu hati
laki-laki berpakaian hitam itu.
Akibatnya sungguh aneh. Bukan laki-laki bercambang bauk
lebat itu yang merasa kesakitan. Bahkan ia hanya terkekeh
penuh ejekan. Suara jerit kesakitan justru terdengar dari
mulut Jatmika. Bahkan sampai-mpai membelalakkan mata
ketika kedua tangannya jadi bengkak-bengkak.
Jatmika menggeram keras. Amarah yang tidak terlampiaskan, membuat sekujur tubuhnya menggigil keras.
Kedua kepalannya seperti bukan memukul tubuh manusia
yang terdiri dari daging dan tulang, tapi gundukan besi!
Srattt..! Sinar terang berpendar ketika Jatmika yang tengah kalap
itu mencabut goloknya. Dan seiring tercabutnya senjata itu,
Jatmika kembali menerjang. Golok di tangannya langsung
ditusukkan cepat ke arah perut.
Banyupaksi tahu, Jatmika sudah tidak bisa
dicegah lagi. Maka dia pun
segera membantunya. Laki-
laki berkumis rapi ini tahu,
Jatmika sama sekali bukan
tandingan orang itu.
Srattt..! Sinar terang kembali berkilatan ketika Banyupaksi menghunus goloknya. Dan secepat senjata itu terhunus, secepat itu pula diputar-
putarkan di depan dada.
Baru kemudian, senjata itu
meluncur deras ke arah ulu
hati laki-laki berpakaian
hitam. Meskipun Banyupaksi menyerang belakangan, namun
karena kelihaiannya, serangannya menjadi bersamaan
datangnya dengan Jatmika. Padahal, laki-laki berrwajah
bercak-bercak putih itu lebih dulu menyerang
Takkk! T akkk! Suara berderak keras terdengar ketika dua batang golok itu
mengenai sasaran. Tetapi akibatnya luar biasa. Dua batang
golok itu terpental balik, sementara laki-laki berpakaian hitam
itu seperti tidak merasakan apa-apa. Bahkan kedua tangan
penyerangnya yang terasa seperti lumpuh.
"Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu mendengus. Sama sekali
tidak dipedulikannya serangan yang mengancam.
Takkk, takkk...!
Suara berdetak keras seperti ada dua benda logam
berbenturan, terdengar ketika dua batang golok itu mengenai
sasaran. Akibatnya luar biasa. Dua batang golok itu jadi
terpental balik. Bahkan sekujur tangan kedua penyerangnya
seperti lumpuh. Dan tanpa dapat dicegah lagi, senjata itu
terlepas dari pegangan.
Dan belum sempat Banyupaksi dan Jatmika berbuat
sesuatu, tangan laki-laki berpakaian hitam itu cpat bagai kilat
bergerak. Cepat sekali gerakannya, hingga kedua orang itu
tidak sempat mengelak lagi.
Terdengar suara berderak keras ketika kedua tangan laki-
laki berpakaian hitam itu mengenai ubun-ubun mereka, hingga
pecah. Cairan merah kental bercampur otak seketika muncrat-
muncrat. Banyupaksi dan Jatmika limbung sebentar, kemudian
hampir sama-sama ambruk di tanah. Sebentar mereka
meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu kembali tertawa tergelak.
Keras dan panjang, hampir tidak putus-putus.
Setelah puas tertawa, laki-laki bercambang bauk itu
melangkah meninggalkan kedua mayat yang telah menjadi
korbannya Sesaat kemudian, suasana hening kembali menyelimuti
Hutan Rangkong. Tidak terdengar lagi jeritan keras, tawa,
ataupun teriakan menyayat Kini yang terdengar hanyalah cicit
burung yang berkicau riang di dahan.
*** 2 "Hhh...! Mengapa Jatmika dan Banyupaksi belum juga
muncul, Ki?" tanya seorang laki-laki bertubuh kecil kurus.
Matanya tetap menatap wajah seorang laki-laki setengah baya
berpakaian abu-abu dan berkumis tebal.
Laki-laki berpakaian abu-abu yang sebenarnya bernama Ki
Saketi, dan menjabat sebagai Kepala Desa Kangkong itu
mengalihkan pandangan yang sejak tadi tertuju ke Hutan
Rangkong. Menilik dari s ikap dan wajahnya, jelas memang ada
yang ditunggunya
Ternyata bukan hanya laki-laki berpakaian abu-abu itu saja
yang mengalihkan pandangan. Belasan orang laki-laki dewasa
lain yang berdiri di mulut desa itu pun menatap ke arah laki-
laki bertubuh kecil kurus ini. Kemudian mereka memandang
harap-harap cemas ke arah Hutan Rangkong. Menilik dari
pakaian, jelas kalau belasan orang itu adalah penduduk Desa
Kangkong. Mereka semua menanti kembalinya Jatmika dan
Banyupaksi yang telah pergi ke Hutan Rangkong
Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mana aku tahu, Wadira," jawab Ki Saketi seraya
menggelengkan kepala. "Aku juga heran, apakah mereka
mendapat kesulitan di sana" Sebenarnya, aku munyesalkan
kepergian mereka berdua yang tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu. Dan sayangnya lagi, Nyi Jatmika pun memberi tahu
kita setelah kedua orang itu telah pergi...."
"Aku yakin, Banyupaksi akan mampu mengatasi kesulitan
itu, Ki," duga salah seorang penduduk lain yang bertubuh
pendek gemuk. "Dia kan, guru silat kenamaan desa kita.
Bahkan kepandaiannya terkenal sampai ke desa-desa sekitar."
"Hhh...!"
Ki Saketi menghela napas berat. Sama sekali tidak
disambutnya ucapan yang bernada penuh keyakinan itu.
Sementara para penduduk yang lain mengangguk-anggukkan
kepala. Jelas kalau mereka semua membenarkan ucapan laki-
laki bertubuh pendek gemuk itu.
"Kalau begitu, kita tunggu sampai besok pagi," Kepala Desa
Rangkong itu mengambil keputusan."Kalau sampai besok
mereka berdua belum kembali terpaksa akan kusuruh
beberapa orang di antara kalian untuk mencari mereka.
Bagaimana" Kalian bersedia?"
Setelah berkata demikian, laki-laki berkumis tebal ini
mengedarkan pandangan ke arah belasan orang yang berdiri
di sekelilingnya.
"Bersedia, Ki...!"
Laki-laki bertubuh kecil kurus bergegas menyahuti.
Memang di antara belasan orang penduduk di situ, hanya
dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi.
"Kalian semua, bagaimana?" Ki Saketi mengalihkan
perhatian ke arah belasan orang lainnya.
Namun belasan penduduk itu hanya saling pandang satu
sama lain. Tidak ada satu pun kepala yang langsung
mengangguk. Jelas kalau mereka merasa ragu untuk
menerima perintah itu.
"Aku butuh enam orang lagi di antara kalian untuk
menemani Wadira," sambung Kepala Desa Rangkong cepat
"Aku tidak akan membiarkan Wadira pergi sendiri ke sana.
Tapi kalau kalian semua tidak bersedia, biar aku sendiri yang
akan menemani Wadira ke sana."
Tegas dan mantap sekali kata-kata yang keluar dari mulut
Kepala Desa Rangkong itu.
Kembali belasan orang penduduk itu saling pandang
dengan wajah memerah. Mereka malu mendengar laki-laki
berkumis tebal itu akan pergi ke hutan apabila mereka tidak
bersedia menemani Wadira.
"Aku bersedia, Ki," laki-laki bertubuh pendek gemuk
menyahuti seraya mengacungkan tangan.
"Hm.... Siapa lagi?"
"Aku, Ki," sambut laki-laki berkumis jarang-jarang tak mau
kalah. "Aku juga, Ki," yang lainnya ikut menyambut. "Aku ikut..!"
Ki Saketi mengangguk-anggukkan
kepala begitu mendengar kesediaan enam orang penduduk lainnya.
"Bagus...!" puji laki-laki berpakaian abu-abu ini "Aku hargai
kesediaan kalian. Pesanku, berhati-hati Dan kalian pergi
setelah Banyupaksi dan Jatmika tidak kembali besok pagi.
Mengerti?"
"Mengerti, Ki...l" sahut tujuh orang itu serempak.
"Bagus...! Sekarang mari kita kembali ke desa....'"I ajak Ki
Saketi seraya melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara
di belakangnya berjalan belasan orang warganya. Enam orang
di antara mereka, tampak beri jalan lesu. Merekalah yang
menyatakan diri bersedia menemani Wadira pergi ke Hutan
Rangkong. *** Matahari pagi sudah sejak tadi menampakkan diri ketika
beberapa orang penduduk Desa Rangkong bergerak menuju
Hutan Rangkong. Berjalan paling depan adalah seorang laki-
laki bertubuh kurus. Sedangkan di belakangnya, enam orang
penduduk lainnya mengikuti.
Dan memang, mau tak mau rombongan penduduk yang
berjumlah tujuh orang ini bergerak menuju ke dalam Hutan
Rangkong. Karena, sampai menjelang pagi Banyupaksi dan
Jatmika belum kembali. Dan sesuai perintah Kepala Desa
Rangkong, mereka harus, menyusul kedua orang itu.
"Bagaimana menurutmu, Wadira" Apakah kau juga punya
perasaan seperti Ki Saketi?" tanya laki-laki berkumis jarang-
jarang, memecahkan keheningan yang terjadi di antara
mereka. Memang, sejak tadi ke tujuh orang itu berjalan tanpa
berkata-kata. "Aku belum mengerti maksud pertanyaanmu, Kang?" sahut
orang yang dipanggil Wadira seraya mengernyitkan alisnya.
Rupanya Wadira belum mengetahui arah pertanyaan laki-
laki berkumis jarang-jarang yang jelas-jelas terlihat jauh lebih
tua darinya. Itulah sebabnya, ia memanggil laki-laki berkumis
jarang-jarang itu dengan sebutan kakang.
"Hm.... Maksudku..., apakah kau juga mempunyai dugaan
yang sama dengan Ki Saketi, kalau Banyupaksi dan Jatmika
mendapat kesulitan di perjalanan sehingga tidak bisa kembali
ke desa?" Laki-laki berkumis jarang-jarang yang bernama Jampa
tercenung sejenak. Tapi seperti juga enam orang lainnya,
kakinya segera melangkah.
Sementara yang lainnya
mendengarkan saja pembicaraan itu. "Kalau pertanyaan itu
kau ajukan kemarin, pasti jawaban yang kuberikan akan lain,
Kang," kata Wadira sambil sedikit berputar.
"Maksudmu...?" Jampa mengernyitkan alisnya.
"Kalau pertanyaan itu kau ajukan kemarin, dengan tegas
dan tanpa ragu akan kujawab kalau aku tidak percaya orang
seperti Kakang Banyupaksi akan mendapat kesulitan. Kita
semua tahu, siapa Kakang Banyupaksi. Dia adalah orang yang
memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di desa kita!"
"Jadi..., sekarang kau tidak yakin kalau Banyupaksi akan
mampu mengatasi kesulitan yang menghadangnya?" desak
laki-laki berkumis jarang-jarang. Nada suara maupun sikapnya
menampakkan penasaran yang amat sangat
"Yahhh... kira-kira begitu. Kang. Kenyataan telah
menunjukkan, Kakang Banyupaksi dan Kakang Jatmika belum
kembali. Apakah kau mengira mereka akan menginap di
hutan?" Jampa menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Alasan yang dikemukakan
Wadira memang kuat dan beralasan, dan sulit dibantai lagi
Suasana menjadi hening ketika Wadira menghentikan
ucapannya. Dan tak lama kemudian, mereka telah sampai
tidak jauh dari mulut hutan. Baik Wadira maupun keenam
orang lainnya merasakan jantung mereka berdebar tegang.
Seketika ada perasaan genta yang melanda hati tatkala
melihat mulut hutan itu. Perasaan yang tidak pernah dirasakan
sebelumnya. Tapi kejadian demi kejadian dengan lenyapnya
satu-persatu para penduduk Desa Rangkong, membuat hati
mereka ciut seketika.
Itulah sebabnya, untuk beberapa saat lamanya mereka
semua terpaku di tempat itu. Mereka hanya berdiri diam
sambil memperhatikan Hutan Rangkon dari kejauhan.
Wadira menggertakkan gigi untuk lebih menguatkan hati
dan menghilangkan rasa takut yang melanda. Kemudian
dengan langkah lebar-lebar, laki-laki bertubuh kecil kurus ini
melangkah maju.
Melihat Wadira telah melangkah maju, keenam orang
lainnya mau tak mau ikut melangkah maju. Dan kini selangkah
demi selangkah, jarak antara rombongan itu dengan mulut
Hutan Rangkong semakin dekat bahkan kini tinggal sekitar
lima tombak lagi.
Srattt..! Wadira langsung mencabut goloknya. Diputarnya golok itu
sebentar di atas kepala, baru kemudian kakinya melangkah
mendekati mulut hutan. Sikap laki-laki bertubuh kecil kurus ini
terlihat waspada, dengan sepasang mata merayapi sekeliling.
Perbuatan Wadira ditiru rekan-rekannya, yang juga segera
mencabut senjata masing-masing. Rupanya mereka semua
berbekal senjata yang sama berupa golok. Sinar-sinar
berkilatan nampak berpendar ketika senjata-senjata tajam itu
keluar dari sarungnya.
Seperti juga halnya Wadira, enam orang itu pun
mengedarkan pandangan ke sana kemari. Menilik dari putaran
tangan yang menggenggam golok, jelas terlihat ketegangan
yang melanda hati mereka. Tubuh mereka seperti menggigil,
menanti sesuatu yang bakal terjadi.
Kini ketujuh orang penduduk Desa Rangkong itu mulai
memasuki mulut hutan. Dan seiring masuknya ke dalam,
perasaan tegang semakin jelas terlihat di wajah mereka.
Srakkk...! Suara berkerosakan terdengar berkali-kali begitu golok-
golok di tangan ketujuh orang itu silih berganti menguak
kerimbunan semak. Tapi sampai beberapa kali menguak
semak-semak, tetap saja yang dicari tidak diketemukan. Dan
semakin lama, langkah kaki mereka semakin masuk ke dalam
hutan. "Bagaimana kalau kita memanggil-manggil nama mereka,
Wadira?" usul Jampa berbisik pelan.
"Sebaiknya jangan. Kang," sahut Wadira. Nada suaranya
terdengar gemetar sekalipun berbisik. Memang, hati laki-laki
bertubuh kecil kurus ini tegang bukan main.
Jampa pun terdiam. Tadi pun sewaktu mengajukan usul,
sebenarnya tidak begitu bersungguh-sung guh. Usul itu
diajukan hanya sekadar untuk menghilangkan rasa takut saja.
Sekarang ketujuh orang itu kembali melanjutkan langkah.
Tapi baru juga beberapa tindak, langkah mereka terhenti.
Ketujuh orang itu langsung saling pandang. Jelas ada sesuatu
yang menyebabkan mereka bertindak seperti itu.
"Kau dengar suara itu, Kang Jampa?" tanya Wadira pelan.
Laki-laki berkumis jarang-jarang itu mengangguk- anggukkan kepala. Ternyata bukan hanya dia saja yang
mengangguk, tapi juga yang lainnya.
"Kau bisa mengira-ngira suara apa Itu, Kang" tanya Wadira
iagi. Masih berbisik.
Hanya gelengan kepala pertanda tidak tahu yang
menyambut! pertanyaan laki-laki bertubuh kecil kurus itu.
"Suara itu aneh sekali, Wadira," sahut salah seorang
penduduk membuka suara. Rupanya, dia juga tidak betah
hanya bertindak sebagai pendengar saja.
Orang itu menganggukkan kepalanya. Memang, suara itu
juga terdengar olehnya Suara angin mendecit nyaring, seperti
ada benda tajam. Tapi tak jarang terdengar mengaung,
sepertinya ada puluhan ekor lebah mengamuk.
"Bagaimana menurutmu. Kang?" tanya Wadira seraya
memandang wajah Jampa.
"Bagaimana apanya, Wadira?" Jampa malah bahu bertanya.
"Kita selidiki asal suara itu..., atau tidak?"
Jampa mengangkat bahu. "Kuserahkan keputusan itu
padamu, Wadira."
"Kalau begitu, kita cari pemilik suara itu!" Tegas dan
mantap jawaban yang terdengar dari mulut Wadira,
sungguhpun dengan berbisik. Jawaban itu pun dikeluarkan
setelah beberapa saat lamanya tercenung.
Setelah berkata demikian, Wadira segera melangkah
menuju ke arah asal suara. Mau tak mau, keenam orang
rekannya mengikuti.
Kembali keheningan menyelimuti mereka. Kini yang
terdengar hanyalah kerosak suara rerumputan yang terlanda
kaki mereka, atau suara semak-semak yang tersibak golok.
Semakin rombongan penduduk Desa Rangkong itu
menerobos masuk ke dalam hutan, suara yang terdengar tadi
semakin jelas. Memang apa yang didengar semula tidak salah.
Suara yang terdengar adalah suara angin yang terkadang
mencicit, tapi tak jarang pula mengaung.
Srakkk...! Wadira menyibak kerimbunan semak di hadapannya. Suara
yang didengarnya, jelas-jelas terdengar dari balik kerimbunan
semak itu. Maka bergegas kembali disibaknya semak-semak di
depannya. Begitu kerimbunan semak-semak itu tersibak, Wadira
menjulurkan kepala. Dia ingin tahu, 'makhluk' apa yang
bersuara aneh itu.
"Akh...!"
Laki-laki bertubuh kecil kurus ini memekik tertahan. Betapa
tidak" Begitu kepalanya dijulurkan,tahu-tahu ada sebuah
tangan kuat mencekal lehernya dari batik kerimbunan semak-
semak. Keras bukan main cekalan tangan itu.
"Ha ha ha...!"
Sebuah suara tawa keras bernada menyeramkan terdengar
begitu pekikan Wadira usai.
Karuan saja kejadian tidak disangka-sangka itu bukan
hanya Wadira yang kaget, tapi juga keenam orang rekannya.
Memang, sejak tadi hati mereka telah dilanda ketegangan.
Tentu saja kejadian mengejutkan itu membuat mereka
serentak melompat ke belakang dengan raut wajah sepucat
mayat Sebelum mereka semua sempat berbuat sesuatu, tangan
kekar yang mencekal
leher Wadira telah bergerak
mencengkeram. Krrrkh...! Suara bergemeretak tulang leher yang patah terdengar
seiring remasan tangan yang mencekal. Tanpa sempat
Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berteriak lagi, Wadira tewas seketika. Tubuhnya pun ambruk
ke tanah ketika tangan kekar itu melepaskan cekatannya.
Keenam orang penduduk desa itu menatap wajah Wadira
dengan pandangan ngeri. Apalagi ketika melihat darah segar
yang memancur deras dari mulut, hidung, dan telinga laki-laki
bertubuh kecil kurus itu.
Tapi pandangan mereka semua lalu beralih begitu,
terdengar suara berkerosakan keras diiringi tersibaknya semak
yang tadi disibak oleh Wadira. Dan tak lama, keluarlah sosok
tubuh tinggi besar dan berpakaian hitam.
Jampa dan kelima orang rekannya menatap sosok tubuh
yang baru saja keluar dari balik semak-semak.
Sosok tubuh itu tampaknya benar-benar mengiriskan.
Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu hitam. Wajahnya- kasar, dan
ditumbuhi cambang bauk yang lebat. Dan pada bagian atas
kepalanya bertengger sebuah penutup kepala yang terbuat
dari setengah tempurung kelapa.
"ha ha ha...! Sungguh tidak kusangka masih ada monyet-
monyet kecil yang mau mengantarkan nyawa," kata laki-laki
berpakaian hitam itu dengan suara khasnya yang keras dan
menggelegar. Keenam orang penduduk Desa Rangkong itu sama sekali
tidak menyambut ucapan itu. Perasaan tegang dan ngeri
melihat kematian Wadira yang mengerikan, serta perbawa
laki-laki bercambang bauk lebat itu membuat lidah mereka
seperti kelu. Tak mampu mengeluarkan kata-kata sedikit pun.
"Kalian ingin melihat monyet-monyet kecil yang telah
mendahului kalian?"
Setelah berkata demikian, laki-laki bertubuh tinggi besar itu
menggerak-gerakkan tangannya ke arah kerimbunan semak
tempat dirinya keluar tadi.
Hebat luar biasa akibatnya. Padalah jelas terlihat kalau laki-
laki berpakaian hitam itu hanya mengibaskan tangan secara
sembarangan saja ke arah kerimbunan semak-semak tadi.
Tapi akibatnya semak-semak itu terlempar jauh ke belakang,
tercabut hingga ke akar-akarnya.
Tindakan yang baru disaksikan itu saja, sudah membuat
bulu tengkuk mereka merinding. Tapi, pemandangan yang
tampak di balik kerimbunan semak-semak lebih membuat
mereka dilanda rasa ngeri.
Tampak di atas pepohonan, di balik semak-semak itu
tergantung tiga sosok tubuh. Walaupun keadaannya sudah
tidak karuan lagi, tetapi masih dapat dikenali. Tiga sosok
tubuh itu bukan lain dari Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi.
Memang, semula laki-laki berpakaian hitam itu meninggalkan ketiga mayat itu. Tapi akhirnya berubah pikiran,
dan mengambilnya.
"Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi...," desah Jampa dengan
bibir bergetar. Suaranya terdengar serak karena dilanda
ketegangan yang memuncak.
Tanpa diberi tahu pun, kelima orang penduduk yang lain
bisa mengenali orang-orang yang tergantung di atas pohon
"Ha ha ha...!"
Laki-laki bercambang bauk lebat tertawa bergelak-gelak
melihat wajah keenam orang penduduk itu pucat pasi bagai
tak pernah dialiri darah.
"Semula aku sudah merasa kebingungan mencari orang
untuk kujadikan kelinci percobaan atas ilmu baru vang tengah
kupelajari. Dan sungguh tidak kusangka kalian datang. Ha ha
ha...! Nasibku memang benar-benar baik. Aku tidak perlu
susah-susah mencari, buktinya sudah ada ikan kena
umpanku!" Keenam orang penduduk Desa Rangkong sudah bisa
menebak kalau laki-laki berpakaian serba hitam itu memiliki
ilmu dahsyat. Dan mereka semua merasa kalau bukan
tandingan orang itu. Melawan sama saja membuang nyawa
percuma. Melihat dari mayat Banyupaksi, sudah bisa
diperkirakan kesaktian laki-laki yang menyeramkan ini. Belum
lagi saat dia membongkar kerimbunan semak-semak dengan
sebuah kibasan lengan sembarangan saja. Sukar untuk
dibayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian
kakek tinggi besar ini.
Seperti telah disepakati saja, mendadak mereka membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat
itu. "Ha ha ha...!"
Laki-laki berpakaian serba hitam itu tertawa bergelak. Dan
sekali bergerak, tubuhnya telah berada di hadapan enam
orang penduduk Desa Rangkong itu.
Enam orang penduduk Desa Rangkong tadi hanya melihat
sekelebatan bayangan hitam saja yang melewati mereka. Dan
kini tahu-tahu laki-laki bertubuh tinggi besar itu telah berada
di hadapan mereka. Karuan saja hal ini membuat mereka
terkejut bukan main dan langsung menghentikan langkah.
Rasa gentar yang amat sangat merayapi hati mereka semua.
Tanpa pikir panjang lagi mereka membalikkan tubuh
kembali dan berlari ke arah yang berlawanan dari arah tujuan
semula. Kini mereka berlari kian masuk ke dalam hutan.
"Ha ha ha...! Jangan mimpi bisa lolos dari Raja Iblis Baju
Hitam..!" Diiringi tawa bergelak yang memekakkan telinga laki-laki
bercambang bauk lebat yang ternyata berjuluk Raja Iblis Baju
Hitam itu berseru sombong.
Untung bagi keenam orang penduduk Desa Rangkong itu.
Sebab laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak mengerahkan
tenaga dalam pada suaranya. Kalau saja dikerahkan, pasti
semuanya akan tewas dengan dada pecah.
Setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil, keenam orang
penduduk desa itu pun tahu kalau tidak ada gunanya
berusaha melarikan diri. Maka diputuskanlah untuk melawan
mati-matian. Keenam orang ini tahu kalau Raja Iblis Baju
Hitam tidak akan mengampuni.
"Hiaaat...!"
Diiringi teriakan keras menggelegar, Jampa melompat
menerjang. Golok di tangannya dibabatkan cepat ke arah
leher. Melihat rekan mereka telah bergerak menyerang, lima
orang lainnya pun ikut menyerang pula. Dalam sekejapan
saja, enam batang golok telah menyambar ke berbagai bagian
tubuh laki-laki berpakaian hitam. "Hmh...!"
Raja Iblis Baju Hitam hanya mendengus. Tidak tampak
tanda-tanda kalau akan mengelak atau menangkis serangan
itu. Sekali lihat saja, telah diketahui kalau enam orang itu
hanya sekadarnya saja menguasai Ilmu silat. Tenaga dalam
mereka pun amat rendah. Maka, dibiarkannya saja enam
batang golok itu menyambar sasaran. Laki-laki bercambang
bauk lebat ini hanya mengerahkan tenaga dalam untuk
melindungi kulit tubuhnya. Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras seperti beradunya logam-logam keras
terdengar berulang-ulang ketika enam batang golok mengenai
tubuhnya. Enam orang penduduk Desa Rangkong itu terpekik kaget
ketika menyadari serangan golok mereka sama sekali tidak
mampu melukai tubuh lawan. Malah sebaliknya, golok di
tangan mereka terpental balik, bukan hanya itu saja. Tangan
yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit bukan main.
Sebelum keenam orang penduduk itu sadar dari
keterkejutannya, tangan Raja Iblis Baju Hitam telah bergerak.
Cepat bukan main gerakannya, sehingga para penduduk desa
yang hanya mempunyai kemampuan sekadarnya tak
menyadari hal itu. Mereka semua hanya melihat seleret sinar
kehitaman menyambar, dan tahu-tahu golok di tangan mereka
telah terlepas dari pegangan.
Jampa dan kelima orang temannya memandang dengan
mata terbelalak lebar melihat kenyataan . Dan kini di kedua
tangan tokoh sesat yang menggiriskan itu tergenggam enam
batang golok. Entah bagaimana caranya, senjata-senjata itu
berpindah tangan. Bahkan enam orang penduduk itu sama
sekali tidak mengetahuinya.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Raja Iblis Baju Hitam
menggerakkan jari-jari tangannya. Perlahan saja kelihatannya,
tapi akibatnya luar biasa. Suara gema retak keras terdengar,
diikuti berpatahannya golok-golok itu.
"Ilmu iblis...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu mendesis penuh kengerian.
Memang cara Raja Iblis Baju Hitam mema tah-matahkan
keenam golok itu luar biasa sekali. Padahal, semua senjata itu
terbuat dari logam keras, Tapi dia ternyata mampu
mematahkannya seperti mematahkan lidi!
"Sekarang saatnya aku mencoba ilmu yang selama ini
kulatlh...."
Setelah berkata demikian, Raja Iblis Baju Hitam
mendorongkan kedua tangan dengan jari-jarinya terbuka, ke
depan. Pelan gerakannya, tapi penuh tenaga. Suara
berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang patah mengiringi
gerakannya. Dan begitu kedua tangan itu telah terjulur ke
depan, kedua telapak tangan itu berubah merah seperti darah.
Seketika tercium bau amis yang memualkan perut, seiring
berubahnya warna telapak tangan itu. Jelas kalau Raja Iblis
Baju Hitam menggunakan ilmu yang mengandung racun.
"Hih...!"
Mendadak tubuh Raja Iblis Baju Hitam melesat cepat ke
depan. Enam orang penduduk itu terkejut, iktn sebisa-bisanya
berusaha mengelak. Tapi...
Plak, plak, plak...!
Enam kali berturut-turut telapak tangan laki-laki bercambang bauk lebat itu menyentuh tubuh enam orang
penduduk Desa Rangkong. Pelan saja gerakannya. Memang,
Raja Iblis Baju Hitam hanya mengerahkan sebagian kecil
tenaga dalamnya. Dia memang tidak berniat membunuh atau
menyiksa dengan tenaga dalamnya. Tapi hanya sekadar
mencoba keampuhan ilmu racun yang beberapa lama ini
dipelajarinya. Akibatnya luar biasa. Begitu kedua telapak tangan Raja Iblis
Baju Hitam menyentuh, enam orang penduduk itu menggeliat-
geliat. Rasa gatal dan panas yang amat sangat seketika
menyerang tubuh mereka. Mula-mula hanya melanda bagian
yang tersentuh, tapi cepat kali menyebar ke seluruh bagian
tubuh. Enam orang penduduk itu menjerit melolong-lolong.
Rasa gatal yang tidak terkira membuat mereka tanpa pikir
panjang lagi menggaruk keras-keras. Anehnya semakin
digaruk, rasa gatal itu semakin menyiksa. Maka mereka pun
menggaruk semakin membabi-buta.
"Ha ha ha...!"
Raja Iblis Baju Hitam tertawa bergelak-gelak melihat
pemandangan di hadapannya. Memang, tokoh sesat yang
menggiriskan ini memiliki kebiasaan. Hatinya merasa senang
melihat orang lain tersiksa menderita. Semakin tersiksa dan
menderita, semakin gembira hatinya. Tak heran bila
menyaksikan penderitaan enam orang penduduk Desa
Rangkong dia malah tertawa-tawa gembira.
Sementara enam orang penduduk desa itu saja menggaruk
sekujur tubuh. Karena rasa gatal menyebar ke seluruh tubuh,
maka garukan tangan mereka pun menjarah sekujur tubuh.
Tak lama kemudian, sekujur kulit tubuh mereka mulai
hancur. Di samping akibat pengaruh racun juga akibat
garukan tangan mereka sendiri.
Cukup lama juga pemandangan mengerikan berlangsung,
sebelum akhirnya mereka tidak bergerak lagi untuk selama-
lamanya. Tewas dalam keadaan tubuh tercabik-cabik tangan
sendiri. "Ha ha ha...! Tidak sia-sia rupanya aku mempelajari ilmu
'Tangan Racun Pasir Merah'. Memang luar biasa akibatnya. Ha
ha ha...! Bidadari Sabuk Emas. Kita buktikan, siapa di antara
kita yang paling jago kini! Ha ha ha...!"
Masih dengan suara tawa yang tidak putus, Raja Iblis Baju
Hitam meninggalkan mayat enam orang penduduk itu.
~Dewi-KZ~ 3 Senandung kecil terdengar meningkahi cicit riang ini urung-
burung menyambut datangnya pagi. Bola api raksasa
berwarna merah muncul di ufuk Timur, mengulir kabut yang
masih tertinggal di lereng Gunung Rangkong.
Sesosok tubuh renta milik seorang kakek kecil kurus,
bergerak lincah menuruni lereng gunung itu. Mulutnya agak
meruncing ke depan, menyiutkan senandung tak jelas
iramanya. Rupanya dari mulut kakek inilah senandung itu
berasal. Kakek Itu mengenakan pakaian berwarna kuning.
Wajahnya nampak segar kemerahan, seperti bukan wajah
seorang kakek. Padahal menilik dari rambut, aliss, kumis, dan
jenggotnya yang telah memutih, bisa diperkirakan kalau
usianya sudah lebih enam puluh Inhun. Di tangan kanannya
terjinjing sebuah keranjang intan.
Sambil terus bersiul-siul, kakek ini bergerak lincah. Dia
melompat dari satu batu ke batu lainnya. Gerakannya cukup
cepat dan lincah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah
begitu tinggi. Bola api raksasa di ufuk Timur, sudah tidak berwarna
kemerahan lagi. Bahkan sinarnya pun sudah mulai
menyilaukan mata, ketika kakek berpakaian kuning ini tiba di
mulut Hutan Rangkong. Di sini, baru kakek itu menghentikan
larinya. Kini kakek berpakaian kuning itu melangkahkan kakinya
lambat-lambat Sedangkan sepasang matanya beredar
Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengawasi sekelilingnya. Jelas, ada sesuatu yang dicarinya.
Beberapa kali kakek ini melangkah menghampiri ketika
melihat apa yang dicarinya. Ternyata dia tengah mencari
tumbuh-tumbuhan. Beberapa kali, dicabutnya beberapa
tanaman yang memang dicarinya, lalu diambil akarnya.
Terkadang pula bijinya. Tapi, tak jarang daun atau kulit
batangnya. Matahari telah berada di atas kepala, ketika akhirnya
keranjang rotan kakek itu telah penuh segala macam
tanaman. Sambil bersiul-siul, kakek berpakaian kuning ini kembali
melangkahkan kakinya kembali ke lereng gunung. Tidak
nampak ada kelelahan pada wajahnya, walaupun telah
berputar putar di dalam Hutan Rangkong selama setengah
hari. Tapi gerakannya langsung terhenti ketika sepasang
matanya melihat serombongan orang bergerak mendaki
lereng. Menilik dari pakaian dan gerakan,bisa diduga kalau
rombongan itu adalah para penduduk desa di sekitar Gunung
Rangkong. Kakek berpakaian kuning itu diam-diam menghitung jumlah
mereka dengan matanya. Ada delapan orang. Dua di
antaranya nampak lemas dan dipapah. Dari sini bisa
diperkirakan kalau mereka menderita sakit.
Setelah mengamati beberapa saat, kakek berpakaian
kuning ini lalu melesat ke arah mereka. Cepat bukan main
gerakannya, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan sinar
berwarna kekuningan.
Sesaat kemudian, kakek berpakaian kuning itu telah berada
di depan delapan orang penduduk Desa Rangkong. Begitu
mendadak kehadirannya, sehingga membuat delapan orang
itu berjingkat kaget Tapi, raut kagetan segera lenyap begitu
mengenali sosok tubuh yang tahu-tahu berada di depan
mereka. "Eyang Balunglaga...," sebut salah seorang dari mereka
yang berjenggot hitam panjang.
"Siapa kalian" Dan ada keperluan apa mendaki lereng ini?"
tanya kakek berpakaian kuning yang ternyata bernama Eyang
Balunglaga. Sekilas, ditatapnya wajah dua orang yang dipapah
mereka. Kemudian, pandangannya beralih ke arah laki-laki
berjenggot panjang.
"Kami adalah penduduk Desa Rangkong, Eyang," jawab
laki-laki berjenggot panjang yang rupanya menjadi juru bicara
rombongan itu. Eyang Balunglaga hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Kakek ini tahu, Desa Rangkong adalah salah satu desa yang
terletak di kaki Gunung Rangkong. Pandangannya kembali
dialihkan ke arah wajah dua inang yang dipapah, seorang laki-
laki dan seorang wanita.
"Maksud kami mendaki lereng ini untuk mencari eyang,"
sambung laki-laki berjenggot panjang. "Kami ingin meminta
pertolongan."
Sambil berkata demikian, pandangan mata laki laki
berjenggot panjang itu berpindah ke arah dua orang yang
dipapah. Tanpa sadar, Eyang Balunglaga juga mengedarkan
pandangan ke arah yang sama. Memang, kakek berpakaian
kuning ini sangat ahli dalam ilmu pengobatan. Keahliannya
bahkan telah tersebar ke seluruh desa di kaki Gunung
Rangkong. "Inikah orang yang butuh pertolongan itu?" tanya Eyang
Balunglaga sambil melangkah menghampiri. Ditatapnya wajah
kedua orang laki-laki itu, lalu diperiksa panas tubuhnya.
"Mereka keracunan...," jelas kakek berpakaian kuning itu
pelan. "Ceritakan, bagaimana hal ini bisa terjadi?"
Laki-laki berjenggot panjang mengangkat bahu pertanda
tidak mengetahuinya. Kemudian pandangannya dialihkan ke
arah rekannya, seorang laki-laki muda bertubuh kekar berotot.
"Aku juga tidak mengerti, Eyang," kata laki-laki bertubuh
kekar itu. "Hanya yang kutahu, sebelumnya Paman dan Bibi
memakan ikan hasil tangkapan Paman."
"Hm.... Lalu?" desak Eyang Balunglaga.
'Tak lama kemudian.... Paman dan Bibi muntah-muntah.
Tubuhnya pun kejang. Dari mulut mereka keluar buih berbau
busuk. Maka segera kupanggil mereka semua untuk
menolongku membawa dua orang ini kemari."
"Kau tahu, ikan apa yang dimakannya?" tanya Eyang
Balunglaga. Karena sebagai seorang ahli pengobatan, kakek ini tahu
kalau ada beberapa jenis ikan yang memang mengandung
racun. Ikan buntal m isalnya. Tapi ikan jenis itu hanya hidup di
laut. "Ikan air tawar biasa, Eyang."
"Aneh," ucap Eyang Balunglaga dengan dahi berkernyit
dalam. Jelas ada sesuatu yang dipikirkan laki-laki tua itu.
Sementara delapan orang penduduk Desa Rangkong diam
saja. Mereka tidak mau mengganggu pikiran kakek berpakaian
kuning itu. "Bawa mereka ke pondokku," ujar Eyang Balunglaga,
seraya melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu,
mendahului mereka menuju ke lereng.
Enam orang penduduk Desa Rangkong membaringkan dua
sosok tubuh yang mereka papah ke dipan bambu. Kemudian,
mereka duduk diam menunggu.
Sementara di dalam, Eyang Balunglaga sibuk memeriksa
luka-luka dua orang penduduk yang keracunan itu.
"Hhh...l"
Kakek berpakaian kuning itu menghela napas berat, setelah
memeriksa luka-luka kedua orang itu berapa saat lamanya.
Menilik dari sikap dan raut wajahnya, jelas ada sesuatu yang
tidak menyenangkan hati kakek kecil kurus ini.
Dengan langkah lambat dan raut wajah lesu. Eyang
Balunglaga melangkah ke luar.
"Bagaimana, Eyang?" tanya pemuda bertubuh kekar penuh
gairah. Saking tegangnya menunggu nasib kedua orang keluarganya, dia tidak sempat memperhatikan wajah dan
sikap Eyang Balunglaga yang lesu.
"Sayang sekali, Anak Muda," sahut kakek bertubuh kecil
kurus itu pelan. Tampak kalau dia merem berat hati untuk
menyampaikannya.
"Maksud, Eyang?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu kalap.
"Racun yang menyerang mereka tidak kukenal," sahut
Eyang Balunglaga bernada keluhan. "Terus terang, aku tidak
mampu menolong mereka."
"Jadi..."!" suara laki-laki bertubuh kekar itu terdengar
gemetar. "Kita serahkan semuanya pada kekuasaan Tuhan...," hanya
itu yang bisa diucapkan Eyang Balunglaga.
"Ohhh...!"
Seraya mengeluarkan keluhan putus asa, laki-laki bertubuh
kekar itu melesat cepat ke ruang dalam. Eyang Balunglaga
sama sekali tidak mencegahnya. Hatinya merasa terpukul
karena tidak mampu mengobati luka kedua orang itu. Untuk
pertama kali Eyang Balunglaga gagal dalam mengobati orang.
Perlahan kakek bertubuh kecil kurus ini mengalihkan
perhatian pada penduduk lain yang ikut mengantar kedua
orang yang keracunan itu. Perasaan terpukul yang
melandanya pun semakin besar. Dilihatnya satu-persatu
kepala penduduk itu tertunduk Sepertinya, mereka semua
menyalahkan kakek itu karena tidak mampu mengobati
penduduk Desa Rangkong Itu. "Paman...! Bibi...!"
Tiga Naga Sakti 14 Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Han Bu Kong 10
Maut Dari Hutan Rangkong
Seri Dewa Arak Karya : Aji Saka
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode: Maut dari Hutan
Rangkong 128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Dewi KZ
Editor : Rohmat Widayat
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Kepak kelelawar terdengar memecah keheningan malam
yang sepi. Bulan penuh yang nampak di langit,perlahan-lahan
mulai tertutup awan hitam tebal yang berarak. Angin dingin
yang berhembus dan sesekali keras itu semakin memperkuat
dugaan kalau hujan akan turun.
Benar saja. Beberapa saat kemudian, hujan mulai turun.
Mula-mula berupa gerimis kecil, dan satu-satu. Tapi semakin
lama semakin besar. Hingga akhirnya benar-benar lebat. Air
yang jatuh bagai ditumpahkan dari langit. Langit yang gelap
itu sesekali dibelah oleh halilintar yang menggelegar. Untuk
sesaat lamanya, suasana malam jadi terang benderang.
Dan dalam suasana terang yang sekejap seperti itulah,
tampak sesosok bayangan berkelebat dari dalam sebuah
bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat tinggi. Bangunan
itu tampak besar dan megah, serta memiliki halaman luas.
"Hih...!"
Sosok bayangan itu me lesat cepat melompati pagar kayu
bulat yang tinggi. Indah dan manis sekali gerakannya. Baik
ketika melompati pagar kayu, maupun ketika mendaratkan
kedua kakinya di luar pagar.
Pyarrr...! Genangan air memercik ke sana kemari ketika sepasang
kaki itu menjejak tanah yang dibasahi hujan. Glarrr!
Halilintar menyambar kembali. Dan untuk sesaat suasana
malam jadi terang benderang kembali. Meskipun begitu, sudah
cukup jelas untuk mengenali wajah sosok bayangan itu.
Dia ternyata adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima
puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, dan berpakaian hitam.
Wajahnya kasar dan sebuah penutup kepala yang berbentuk
setengah tempurung kelapa bertengger di atas kepalanya.
Secepat kedua kakinya mendarat di luar pagar kayu,
secepat itu pula dia melesat dari situ. Gerakannya cukup
cepat. Jelas, kalau laki-laki tinggi besar ini memiliki
kepandaian tidak rendah.
Tanpa menghiraukan suasana malam yang gelap, angin
dingin yang berhembus keras menusuk tulang, dan curahan
hujan lebat yang menyiram tubuhnya, sosok bayangan itu
terus saja berlari cepat.
Glarrr! Halilintar kembali menggelegar membelah angkasa. Lagi-
lagi keadaan alam kembali terang benderang sekejap. Saat
itu, di atas pintu gerbang bangunan besar berpagar kayu bulat
tinggi, terlihat sebuah kayu lebar tidak begitu tebal yang
terukir halus. Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan
itu, Perkumpulan Pedang Perak.
Sosok bayangan itu terus saja berlari dengan kecepatan
tinggi. Sama sekali tidak diperlambat larinya, meskipun
berkali-kali tergelincir dan hampir jatuh karena jalan yang
ditempuh demikian licin.
Lari bayangan itu baru diperlambat ketika telah memasuki
mulut sebuah hutan. Dan akhirnya berhenti sama sekali ketika
telah berada di dalamnya.
Dengan napas terengah-engah, laki-laki berpakaian serba
hitam itu berteduh di bawah sebatang pohon yang berdaun
rindang. Kedua tangannya nampak bersedakap di depan dada.
Rupanya angin yang berhembus cukup kencang membuat
tubuhnya kedinginan.
Sebentar sosok itu mengeringkan tangannya, lalu
memasukkannya ke balik baju. Sesaat kemudian telah keluar
lagi, bersama sebuah kitab di tangannya.
Glarrr...! Halilintar kembali menyambar. Seketika itu juga sana di
sekitar tempat itu jadi terang benderang. Sehingga huruf-
huruf yang tertera di kulit kitab itu tampak cukup jelas
terbaca, 'Ilmu Tangan Racun Pasir Merah'.
Tampak seulas senyuman menghiasi wajah laki-laki
bertubuh tinggi besar itu. Sebentar kemudian kitab itu
dimasukkan kembali ke balik bajunya. Dan kini kedua
tangannya kembali disedakapkan di depan dada.
Tak lama kemudian hujan mulai mereda, hingga akhirnya
tinggal gerimis kecil yang jatuh satu persatu ke bumi
Di saat itulah, laki-laki berpakaian hitam ini melanjutkan
perjalanannya kembali. Melesat cepat menembus kepekatan
malam. Rintik hujan yang mengenai tubuhnya sama sekali
tidak dihiraukan.
*** Matahari sudah cukup lama menampakkan diri. Suara cicit
burung pun sudah tidak terdengar lagi. Bahkan angin yang
berhembus sudah tidak terlalu nikmat untuk dihirup. Ketika
itu, tampak dua sosok tubuh tengah melangkah bergegas
menuju mulut Hutan Rangkong.
Dari bentuk tubuh mereka yang kekar dan kuat, jelas kalau
kedua orang itu sudah terbiasa bekerja berat . Wajahnya pun
terlihat keras. Hanya saja saat itu, mereka tampak penuh
diliputi kecemasan.
"Aku khawatir akan keselamatan Guradi, Kang Banyupaksi,"
ucap salah seorang dari dua sosok itu. Wajahnya yang berkulit
coklat, dan penuh bercak putih yang lebar-lebar, terlihat
menyiratkan perasaan cemas yang tidak terkira.
"Mudah-mudahan saja dia selamat, Jatmika," sahut orang
yang dipanggil Banyupaksi bernada menghibur. Dia bertubuh
kekar, berkumis, dan berjenggot yang terawat baik
Suasana hening sejenak begitu Banyupaksi menghentikan
ucapannya. Kini yang terdengar hanyalah gemerisik
rerumputan yang terpijak kaki mereka.
"Kang...," kembali Jatmika membuka suara, seraya
menoleh. Menilik dari ucapannya yang terhenti di tengah Jalan, jelas
kalau laki-laki berwajah penuh bercak-bercak putih ini merasa
ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
"Ada apa lagi, Jatmika?" tanya Banyupaksi sabar.
"Rasanya..., aku tidak yakin kalau Guradi masih hidup,
Kang...." "Hm.... Mengapa kau berkata seperti itu, Jatmika?" tegur
Banyupaksi. Sepasang mata laki-laki bertubuh kekar ini
menatap penuh teguran. "Apakah kau tidak ingin anakmu
selamat?" "Bukan begitu maksudku, Kang," sahut Jatmika huru-buru.
"Tapi, kenapa justru kau mengharapkan yang bukan-
bukan?" "Aku sama sekali tidak berharap begitu."
"Hm...," Banyupaksi hanya menggumam tidak jelas.
"Tapi..., kenyataan yang kuterima kali ini membuatku
ragu," sambung Jatmika lagi.
"Maksudmu?" tanya Banyupaksi dengan dahi berkernyit.
Jelas kalau dia masih belum mengerti maksud Jatmika.
"Tidak biasanya Guradi pergi selama ini. Dia sudah sering
mencari kayu bakar atau berburu di hutan. Tapi tidak pernah
sampai selama ini. Bayangkan, Kang. Guradi pergi kemarin
pagi. Dan sampai sekarang belum pulang...!"
Banyupaksi mengangguk-anggukkan
kepala. Cerita mengenai kepergian Guradi ke Hutan Rangkong dan belum
kembali memang sudah didengarnya dari mulut Jatmika
sendiri. Dan hal inilah yang membuatnya terpaksa ikut
mencari orang yang bernama Guradi itu.
"Berdoalah agar dia selamat," hanya itu kata-kata bernada
menghibur dari Banyupaksi. "Aku percaya Guradi bisa menjaga
diri. Mungkin dia hanya tersesat."
"Aku juga berharap begitu, Kang. Tapi rasanya tidak
mungkin, Kang. Guradi telah puluhan kali keluar masuk hutan.
Atau..., jangan-jangan dia diterkam binatang buas."
Banyupaksi menatap wajah Jatmika tajam-tajam.
"Kalau begitu..., kau meremehkan kemampuanku, Jatmika."
"Maksudmu, Kang?"
"Aku yang mendidik dan mengajarkannya ilmu silat.
Bertahun-tahun aku melatihnya. Dan kau enak saja
mengatakan kalau Guradi mati diterkam binatang buas. Itu
sama sekali tidak memandang kepadaku, Jatmika!"
Berubah wajah Jatmika seketika mendengar ucapan
bernada keras dari laki-laki bertubuh kekar itu.
"Maafkan aku, Kang. Aku.... Aku tidak bermaksud begitu.
Sungguh...!" sahut laki-laki berwajah penuh bercak-bercak
putih itu terbata-bata.
"Hhh...!" Banyupaksi menghela napas panjang.
Amarah laki-laki berkumis rapi yang mulai bangkit perlahan
mengendur kembali mendengar permintaan maaf Jatmika. Dia
tahu kalau laki-laki di sampingnya ini tidak bermaksud
merendahkan. Jatmika mengatakannya tanpa sadar, karena
didorong kecemasan menggelegak.
"Lupakanlah, Jatmika," sahut Banyupaksi berdesah. "Tapi
perlu kau ketahui, Jatmika. Jangankan hanya satu, dua
binatang buas pun, aku yakin Guradi mampu menghadapinya!"
Jatmika hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Kembali keheningan menyelimuti mereka berdua. Kini
Jatmika dan Banyupaksi melanjutkan langkah menuju Hutan
Rangkong yang sudah semakin dekat tanpa berkata-kata lagi.
*** Begitu memasuki hutan, Jatmika dan Banyupaksi
mengedarkan pandangan berkeliling. Dengan ranting yang
ditemukan, mereka menguak kerimbunan semak-semak. Hati
mereka berharap, barangkali saja orang yang dicari berada di
situ. "Guradi...!"
Jatmika yang sudah tidak kuat lagi menahan cemas dan
tidak sabar, berteriak memanggil. Kini mereka sudah cukup
jauh masuk ke dalam hutan. Tapi, sama sekali tidak terlihat
tanda-tanda adanya Guradi. Baik Jatmika maupun Banyupaksi
langsung berdiam diri. Pendengaran mereka ditajamkan agar
apabila Guradi menjawab, dapat terdengar.
Tapi sampai lelah berdiam diri, tak juga terdengar sahutan
yang dinantikan, kecuali cicit burung yang selalu mengusik
telinga. Jatmika dan Banyupaksi terus melangkah sambil menyibakkan semak-semak. Sepasang mata mereka berkeliaran ke sana kemari, sambil sesekali diselingi
panggilan-panggilan terhadap Guradi.
Dan begitu akan memanggil lagi, mendadak langkah kedua
orang itu terhenti. Wajah mereka pucat seketika. Sepasang
mata mereka menatap membelalak ke depan, seakan-akan
tidak percaya akan apa yang dilihat.
Sekitar lima tombak di hadapan Banyupaksi dan Jatmika,
terpampang pemandangan menggiriskan hati. Tampak
seorang remaja berusia belasan tahun tengah tergantung di
atas cabang pohon dengan leher terjerat seutas tambang.
Dadanya telanjang, tak tertutup baju. Sehingga, terlihat jelas
luka-luka yang memenuhi sekujur tubuhnya.
Dengan sekali lihat saja, baik Jatmika maupun Banyupaksi
bisa mengetahui kalau remaja itu telah tewas. Dan beberapa
saat lamanya, mereka hanya mampu berdiri terpaku. Lidah
pun terasa kelu. Suara seperti tercekat di tenggorokan. Hanya
sepasang mata mereka saja yang seolah-olah ingin
mengungkapkan sesuatu.
"Guradi...!"
Terdengar teriakan keras dari mulut Jatmika setelahh
beberapa saat lamanya berdiri terpaku. Laki-laki berwajah
penuh bercak putih ini memerlukan waktu beberapa saat
lamanya untuk dapat mengetahui kalau orang yang
tergantung di atas pohon itu adalah putranya.
Seiring panggilannya, tubuh Jatmika berlari berhambur ke
arah sosok yang tergantung itu. Kemudian Banyupaksi pun
ikut bergerak mengikuti. Dia pun cepat mengenali pula kalau
sosok tubuh itu benar-benar Guradi. Orang yang mereka cari-
cari. "Guradi..., Guradi...," panggil Jatmika pilu. Kedua
tangannya sibuk memeluki tubuh yang tergantung itu.
Banyupaksi menggertakkan gigi. Seketika dadanya terasa
sesak oleh amarah dan sedih yang meng-gayut Tapi laki-laki
berkumis rapi ini berusaha menahan diri. Pikirannya berusaha
dibuat setenang mungkin. Seketika tenaganya dikempos, dan
Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesaat kemudian, tubuhnya melesat ke atas. Dan sekali
tangannya bergerak, tali yang menggantung tubuh Guradi pun
putus. Untungnya Jatmika tengah memeluk tubuh putranya,
sehingga tubuh itu tidak sampai terbanting keras ke tanah.
Jatmika sempat menangkapnya. Tapi akibatnya, dia ikut
terjatuh terbawa beban tubuh Guradi.
Berbareng tergulingnya tubuh Guradi dan Jatmika ke tanah,
sepasang kaki Banyupaksi pun hinggap. Kemudian, laki-laki
berkumis rapi ini menyarungkan kembali golok yang tadi
dicabutnya sewaktu memutuskan tambang yang mengikat
tubuh Guradi. "Hentikan segala kecengengan Ini, Jatmika," tegur
Banyupaksi, kemudian sepasang matanya menatap penuh
teguran pada laki-laki yang wajahnya penuhi bercak putih itu.
Sambil tetap memeluk tubuh putranya, Jatmika beranjak
bangkit. Sepasang matanya balas menatapi tak kalah tajam.
"Tapi, Kang. Dia anakku satu-satunya! Dosakah aku
bersedih hati melihat kematiannya?" bantah Jatmika. Suaranya
pelan, tapi penuh tuntutan.
"Aku tidak me larangmu, Jatmika," sahut Banyupaksi
dengan suara tetap lembut. Tapi tetap penuh wibawa. "Aku
hanya tidak suka melihat kesedihanmu yang terlalu
berlebihan."
"Tapi, Kang...," Jatmika masih mencoba membantah.
"Guradi tidak akan hidup kembali, sekalipun tangisanmu
berupa darah sampai empat puluh hari."potong Banyupaksi
tanpa menghiraukan bantahan Jatmika.
Seketika Jatmika terdiam. Bukan karena nasihat Banyupaksi, tapi karena rasa segannya pada laki-laki berkumis
tipis itu. "Sekarang yang paling penting adalah mencari pelaku
pembunuhan ini," sambung Banyupaksi ketika Jatmika tampak
terdiam. Terdengar suara gemeretak dari mulut Jatmika begitu
mendengar ucapan ini. Banyupaksi benar. Yang paling penting
sekarang adalah mencari pembunuh putranya. Tapi, tentu saja
sehabis mengebumikan Guradi secara layak.
"Menilik dari luka-luka yang diderita Guradi, aku yakin kalau
pelakunya adalah seorang tokoh aliran hitam yang berjiwa luar
biasa kejam," duga Banyupaksi. Sementara sepasang matanya
terus menyelusuri sekujur tubuh Guradi yang penuh luka-luka.
"Ke mana pun..., aku akan mencarinya Dan..., seluruh
tubuhnya akan kulumatkan!" desis Jatmika penuh dendam.
Tangan kanannya mengepal keras dan kepalanya mendongak
ke atas ketika kata-kata itu diucapkan.
Banyupaksi tidak menanggapi. Dia yakin kalau Jatmika
bukan tandingan pembunuh Guradi. Jatmika memang tidak
memiliki kepandaian sedikit pun. Lalu, bagaimana akan bisa
membalas dendam" Oleh karena itu Banyupaksi bertekad akan
ikut mencari pembunuh Guradi.
"Sekarang mari kita kembali dulu ke desa, Jatmika," ajak
Banyupaksi pelan. Dipegangnya bahu kanan laki-laki berwajah
bercak-bercak putih itu, kemudian ditepuk-tepuknya.
Jatmika menatap Banyupaksi penuh tanda tanya.
"Kita kuburkan dulu mayat Guradi...," sambung Banyupaksi.
Kali ini Jatmika tidak membantah lagi. Perlahan kakinya
melangkah meninggalkan hutan itu. Sementara Banyupaksi
mengikuti di belakangnya. Laki-laki berkumis rapi ini segera
mengedarkan pandangannya berrkeliling, memperhatikan
suasana di sekitarnya. Masalahnya bukan tidak mungkin kalau
pembunuh itu masih berada di situ.
Tapi tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Keadaan di
sekitar tempat itu sepi-sepi saja. Yang terdengar hanyalah
suara cicit burung dan binatang-binatang hutan.
Baru juga kedua orang itu me langkah beberapa tindak,
terdengar suara tawa menggelegar laksana guntur. Suaranya
menggema di sekitar tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan tawa itu. T ubuh
Jatmika seketika terbungkuk. Terdengar keluhan keras keluar
dari mulutnya. Pegangannya pada tubuh putranya pun
terlepas, sehingga Guradi terjatuh di tanah.
Bukan hanya itu saja akibatnya. Jatmika pun merasa
dadanya sakit bukan main, seperti diseruduk kerbau liar.
Bahkan telinganya seperti akan pecah. Betapapun laki-laki
berwajah penuh bercak-bercak itu berusaha bertahan dan
mendekap kedua telinganya, tak urung tubuhnya terguling
jatuh. Jatmika bukan satu-satunya orang yang menerima
serangan suara tawa dahsyat itu. Banyupaksi pun mengalami
hal yang serupa. Dada laki-laki berkumis rapi ini terasa
terguncang hebat. Telinganya pun terasa berdengung keras.
Sebagai ahli silat, dia tahu kalau ada orang yang tengah
menyerang dengan suara tawa yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal ini membuat Banyupaksi
kaget. Bukan main. Dari cara penyerangan ini saja sudah
menandakan kelihaian lawan. Jelas orang itu memiliki tingkat
tenaga dalam tinggi. Dan dia merasa bukan tandingan orang
itu. Ciut hati Banyupaksi membayangkan kalau seandainya
pemilik tawa itu adalah orang yang telah membunuh Guradi.
Karena bila hal itu benar, sampai kapan pun mereka tidak
akan bisa membalas dendam.
Kalau saja suara tawa itu terus berlangsung, mungkin
Jatmika dan Banyupaksi tidak akan tahan. Kedua orang itu
akan tewas dengan dada pecah dan gendang telinga hancur.
Tapi untungnya, tawa itu kemudian berhenti.
Dan begitu tawa itu berhenti, berkelebat sesosok bayangan
hitam. Gerakannya cepat bukan main. Maka tahu-tahu saja, di
depan Banyupaksi dan Jatmika telah berrdiri sosok tubuh
tinggi besar. Banyupaksi dan Jatmika menatap sosok tubuh yang telah
berdiri di hadapan mereka. Sosok tubuh berpakaian hitam.
Wajahnya kasar, dipenuhi cambang bauk lebat. Menilik dari
keadaannya, usia laki-laki itu tak kurang dari lima puluh tahun.
Sebuah penutup kepala berbentuk setengah tempurung kelapa
menutupi kepalanya. Matanya menatap tajam ke arah
Jatmika. "Kudengar kau hendak mencari pembunuh anak itu," kata
laki-laki bercambang bauk lebat itu, kalem. "Akulah
pembunuhnya."
Seketika itu pula Jatmika bangkit berdiri. Wajahnya
langsung beringas. Sepasang matanya menatap tajam, penuh
pancaran hawa membunuh. Kedua tangannya yang mengepal
itu nampak mengejang keras "Kau..."!" suara Jatmika tercekat
di tenggorokan karena saking besarnya amarah yang bergolak
dalam dadanya. Laki-laki berpakaian hitam itu hanya tersenyum mengejek.
Wajah dan sorot matanya tampak jelas memandang rendah
Jatmika. "Kubunuh kau...!" teriak Jatmika keras.
Dan berbareng dengan ucapan itu, Jatmika me lompat
menyerang. Kedua tangnnya yang terkepal, dipukulkan
bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh laki-laki bercambang
lebat itu. "Jatmika...! Tahan...!" teriak Banyupaksi mencegah. Tapi
terlambat Serangan Jatmika tidak mungkin ditarik kembali.
Maka Banyupaksi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dan hanya
bisa bersikap waspada kalau- kalau jiwa laki-laki berwajah
bercak-bercak putih itu terancam.
Laki-laki berpakaian hitam itu tertawa mengejeki. Bahkan
tidak terlihat kalau akan mengelak atau menangkis. Sampai
akhirnya semua serangan Jatmika telak mengenai sasarannya.
Buk, buk, bukkk...!
Suara berdebukan keras terdengar berkali-kali ketika
pukulan-pukulan Jatmika mengenai dada, perut, dan ulu hati
laki-laki berpakaian hitam itu.
Akibatnya sungguh aneh. Bukan laki-laki bercambang bauk
lebat itu yang merasa kesakitan. Bahkan ia hanya terkekeh
penuh ejekan. Suara jerit kesakitan justru terdengar dari
mulut Jatmika. Bahkan sampai-mpai membelalakkan mata
ketika kedua tangannya jadi bengkak-bengkak.
Jatmika menggeram keras. Amarah yang tidak terlampiaskan, membuat sekujur tubuhnya menggigil keras.
Kedua kepalannya seperti bukan memukul tubuh manusia
yang terdiri dari daging dan tulang, tapi gundukan besi!
Srattt..! Sinar terang berpendar ketika Jatmika yang tengah kalap
itu mencabut goloknya. Dan seiring tercabutnya senjata itu,
Jatmika kembali menerjang. Golok di tangannya langsung
ditusukkan cepat ke arah perut.
Banyupaksi tahu, Jatmika sudah tidak bisa
dicegah lagi. Maka dia pun
segera membantunya. Laki-
laki berkumis rapi ini tahu,
Jatmika sama sekali bukan
tandingan orang itu.
Srattt..! Sinar terang kembali berkilatan ketika Banyupaksi menghunus goloknya. Dan secepat senjata itu terhunus, secepat itu pula diputar-
putarkan di depan dada.
Baru kemudian, senjata itu
meluncur deras ke arah ulu
hati laki-laki berpakaian
hitam. Meskipun Banyupaksi menyerang belakangan, namun
karena kelihaiannya, serangannya menjadi bersamaan
datangnya dengan Jatmika. Padahal, laki-laki berrwajah
bercak-bercak putih itu lebih dulu menyerang
Takkk! T akkk! Suara berderak keras terdengar ketika dua batang golok itu
mengenai sasaran. Tetapi akibatnya luar biasa. Dua batang
golok itu terpental balik, sementara laki-laki berpakaian hitam
itu seperti tidak merasakan apa-apa. Bahkan kedua tangan
penyerangnya yang terasa seperti lumpuh.
"Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu mendengus. Sama sekali
tidak dipedulikannya serangan yang mengancam.
Takkk, takkk...!
Suara berdetak keras seperti ada dua benda logam
berbenturan, terdengar ketika dua batang golok itu mengenai
sasaran. Akibatnya luar biasa. Dua batang golok itu jadi
terpental balik. Bahkan sekujur tangan kedua penyerangnya
seperti lumpuh. Dan tanpa dapat dicegah lagi, senjata itu
terlepas dari pegangan.
Dan belum sempat Banyupaksi dan Jatmika berbuat
sesuatu, tangan laki-laki berpakaian hitam itu cpat bagai kilat
bergerak. Cepat sekali gerakannya, hingga kedua orang itu
tidak sempat mengelak lagi.
Terdengar suara berderak keras ketika kedua tangan laki-
laki berpakaian hitam itu mengenai ubun-ubun mereka, hingga
pecah. Cairan merah kental bercampur otak seketika muncrat-
muncrat. Banyupaksi dan Jatmika limbung sebentar, kemudian
hampir sama-sama ambruk di tanah. Sebentar mereka
meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu kembali tertawa tergelak.
Keras dan panjang, hampir tidak putus-putus.
Setelah puas tertawa, laki-laki bercambang bauk itu
melangkah meninggalkan kedua mayat yang telah menjadi
korbannya Sesaat kemudian, suasana hening kembali menyelimuti
Hutan Rangkong. Tidak terdengar lagi jeritan keras, tawa,
ataupun teriakan menyayat Kini yang terdengar hanyalah cicit
burung yang berkicau riang di dahan.
*** 2 "Hhh...! Mengapa Jatmika dan Banyupaksi belum juga
muncul, Ki?" tanya seorang laki-laki bertubuh kecil kurus.
Matanya tetap menatap wajah seorang laki-laki setengah baya
berpakaian abu-abu dan berkumis tebal.
Laki-laki berpakaian abu-abu yang sebenarnya bernama Ki
Saketi, dan menjabat sebagai Kepala Desa Kangkong itu
mengalihkan pandangan yang sejak tadi tertuju ke Hutan
Rangkong. Menilik dari s ikap dan wajahnya, jelas memang ada
yang ditunggunya
Ternyata bukan hanya laki-laki berpakaian abu-abu itu saja
yang mengalihkan pandangan. Belasan orang laki-laki dewasa
lain yang berdiri di mulut desa itu pun menatap ke arah laki-
laki bertubuh kecil kurus ini. Kemudian mereka memandang
harap-harap cemas ke arah Hutan Rangkong. Menilik dari
pakaian, jelas kalau belasan orang itu adalah penduduk Desa
Kangkong. Mereka semua menanti kembalinya Jatmika dan
Banyupaksi yang telah pergi ke Hutan Rangkong
Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mana aku tahu, Wadira," jawab Ki Saketi seraya
menggelengkan kepala. "Aku juga heran, apakah mereka
mendapat kesulitan di sana" Sebenarnya, aku munyesalkan
kepergian mereka berdua yang tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu. Dan sayangnya lagi, Nyi Jatmika pun memberi tahu
kita setelah kedua orang itu telah pergi...."
"Aku yakin, Banyupaksi akan mampu mengatasi kesulitan
itu, Ki," duga salah seorang penduduk lain yang bertubuh
pendek gemuk. "Dia kan, guru silat kenamaan desa kita.
Bahkan kepandaiannya terkenal sampai ke desa-desa sekitar."
"Hhh...!"
Ki Saketi menghela napas berat. Sama sekali tidak
disambutnya ucapan yang bernada penuh keyakinan itu.
Sementara para penduduk yang lain mengangguk-anggukkan
kepala. Jelas kalau mereka semua membenarkan ucapan laki-
laki bertubuh pendek gemuk itu.
"Kalau begitu, kita tunggu sampai besok pagi," Kepala Desa
Rangkong itu mengambil keputusan."Kalau sampai besok
mereka berdua belum kembali terpaksa akan kusuruh
beberapa orang di antara kalian untuk mencari mereka.
Bagaimana" Kalian bersedia?"
Setelah berkata demikian, laki-laki berkumis tebal ini
mengedarkan pandangan ke arah belasan orang yang berdiri
di sekelilingnya.
"Bersedia, Ki...!"
Laki-laki bertubuh kecil kurus bergegas menyahuti.
Memang di antara belasan orang penduduk di situ, hanya
dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi.
"Kalian semua, bagaimana?" Ki Saketi mengalihkan
perhatian ke arah belasan orang lainnya.
Namun belasan penduduk itu hanya saling pandang satu
sama lain. Tidak ada satu pun kepala yang langsung
mengangguk. Jelas kalau mereka merasa ragu untuk
menerima perintah itu.
"Aku butuh enam orang lagi di antara kalian untuk
menemani Wadira," sambung Kepala Desa Rangkong cepat
"Aku tidak akan membiarkan Wadira pergi sendiri ke sana.
Tapi kalau kalian semua tidak bersedia, biar aku sendiri yang
akan menemani Wadira ke sana."
Tegas dan mantap sekali kata-kata yang keluar dari mulut
Kepala Desa Rangkong itu.
Kembali belasan orang penduduk itu saling pandang
dengan wajah memerah. Mereka malu mendengar laki-laki
berkumis tebal itu akan pergi ke hutan apabila mereka tidak
bersedia menemani Wadira.
"Aku bersedia, Ki," laki-laki bertubuh pendek gemuk
menyahuti seraya mengacungkan tangan.
"Hm.... Siapa lagi?"
"Aku, Ki," sambut laki-laki berkumis jarang-jarang tak mau
kalah. "Aku juga, Ki," yang lainnya ikut menyambut. "Aku ikut..!"
Ki Saketi mengangguk-anggukkan
kepala begitu mendengar kesediaan enam orang penduduk lainnya.
"Bagus...!" puji laki-laki berpakaian abu-abu ini "Aku hargai
kesediaan kalian. Pesanku, berhati-hati Dan kalian pergi
setelah Banyupaksi dan Jatmika tidak kembali besok pagi.
Mengerti?"
"Mengerti, Ki...l" sahut tujuh orang itu serempak.
"Bagus...! Sekarang mari kita kembali ke desa....'"I ajak Ki
Saketi seraya melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara
di belakangnya berjalan belasan orang warganya. Enam orang
di antara mereka, tampak beri jalan lesu. Merekalah yang
menyatakan diri bersedia menemani Wadira pergi ke Hutan
Rangkong. *** Matahari pagi sudah sejak tadi menampakkan diri ketika
beberapa orang penduduk Desa Rangkong bergerak menuju
Hutan Rangkong. Berjalan paling depan adalah seorang laki-
laki bertubuh kurus. Sedangkan di belakangnya, enam orang
penduduk lainnya mengikuti.
Dan memang, mau tak mau rombongan penduduk yang
berjumlah tujuh orang ini bergerak menuju ke dalam Hutan
Rangkong. Karena, sampai menjelang pagi Banyupaksi dan
Jatmika belum kembali. Dan sesuai perintah Kepala Desa
Rangkong, mereka harus, menyusul kedua orang itu.
"Bagaimana menurutmu, Wadira" Apakah kau juga punya
perasaan seperti Ki Saketi?" tanya laki-laki berkumis jarang-
jarang, memecahkan keheningan yang terjadi di antara
mereka. Memang, sejak tadi ke tujuh orang itu berjalan tanpa
berkata-kata. "Aku belum mengerti maksud pertanyaanmu, Kang?" sahut
orang yang dipanggil Wadira seraya mengernyitkan alisnya.
Rupanya Wadira belum mengetahui arah pertanyaan laki-
laki berkumis jarang-jarang yang jelas-jelas terlihat jauh lebih
tua darinya. Itulah sebabnya, ia memanggil laki-laki berkumis
jarang-jarang itu dengan sebutan kakang.
"Hm.... Maksudku..., apakah kau juga mempunyai dugaan
yang sama dengan Ki Saketi, kalau Banyupaksi dan Jatmika
mendapat kesulitan di perjalanan sehingga tidak bisa kembali
ke desa?" Laki-laki berkumis jarang-jarang yang bernama Jampa
tercenung sejenak. Tapi seperti juga enam orang lainnya,
kakinya segera melangkah.
Sementara yang lainnya
mendengarkan saja pembicaraan itu. "Kalau pertanyaan itu
kau ajukan kemarin, pasti jawaban yang kuberikan akan lain,
Kang," kata Wadira sambil sedikit berputar.
"Maksudmu...?" Jampa mengernyitkan alisnya.
"Kalau pertanyaan itu kau ajukan kemarin, dengan tegas
dan tanpa ragu akan kujawab kalau aku tidak percaya orang
seperti Kakang Banyupaksi akan mendapat kesulitan. Kita
semua tahu, siapa Kakang Banyupaksi. Dia adalah orang yang
memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di desa kita!"
"Jadi..., sekarang kau tidak yakin kalau Banyupaksi akan
mampu mengatasi kesulitan yang menghadangnya?" desak
laki-laki berkumis jarang-jarang. Nada suara maupun sikapnya
menampakkan penasaran yang amat sangat
"Yahhh... kira-kira begitu. Kang. Kenyataan telah
menunjukkan, Kakang Banyupaksi dan Kakang Jatmika belum
kembali. Apakah kau mengira mereka akan menginap di
hutan?" Jampa menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Alasan yang dikemukakan
Wadira memang kuat dan beralasan, dan sulit dibantai lagi
Suasana menjadi hening ketika Wadira menghentikan
ucapannya. Dan tak lama kemudian, mereka telah sampai
tidak jauh dari mulut hutan. Baik Wadira maupun keenam
orang lainnya merasakan jantung mereka berdebar tegang.
Seketika ada perasaan genta yang melanda hati tatkala
melihat mulut hutan itu. Perasaan yang tidak pernah dirasakan
sebelumnya. Tapi kejadian demi kejadian dengan lenyapnya
satu-persatu para penduduk Desa Rangkong, membuat hati
mereka ciut seketika.
Itulah sebabnya, untuk beberapa saat lamanya mereka
semua terpaku di tempat itu. Mereka hanya berdiri diam
sambil memperhatikan Hutan Rangkon dari kejauhan.
Wadira menggertakkan gigi untuk lebih menguatkan hati
dan menghilangkan rasa takut yang melanda. Kemudian
dengan langkah lebar-lebar, laki-laki bertubuh kecil kurus ini
melangkah maju.
Melihat Wadira telah melangkah maju, keenam orang
lainnya mau tak mau ikut melangkah maju. Dan kini selangkah
demi selangkah, jarak antara rombongan itu dengan mulut
Hutan Rangkong semakin dekat bahkan kini tinggal sekitar
lima tombak lagi.
Srattt..! Wadira langsung mencabut goloknya. Diputarnya golok itu
sebentar di atas kepala, baru kemudian kakinya melangkah
mendekati mulut hutan. Sikap laki-laki bertubuh kecil kurus ini
terlihat waspada, dengan sepasang mata merayapi sekeliling.
Perbuatan Wadira ditiru rekan-rekannya, yang juga segera
mencabut senjata masing-masing. Rupanya mereka semua
berbekal senjata yang sama berupa golok. Sinar-sinar
berkilatan nampak berpendar ketika senjata-senjata tajam itu
keluar dari sarungnya.
Seperti juga halnya Wadira, enam orang itu pun
mengedarkan pandangan ke sana kemari. Menilik dari putaran
tangan yang menggenggam golok, jelas terlihat ketegangan
yang melanda hati mereka. Tubuh mereka seperti menggigil,
menanti sesuatu yang bakal terjadi.
Kini ketujuh orang penduduk Desa Rangkong itu mulai
memasuki mulut hutan. Dan seiring masuknya ke dalam,
perasaan tegang semakin jelas terlihat di wajah mereka.
Srakkk...! Suara berkerosakan terdengar berkali-kali begitu golok-
golok di tangan ketujuh orang itu silih berganti menguak
kerimbunan semak. Tapi sampai beberapa kali menguak
semak-semak, tetap saja yang dicari tidak diketemukan. Dan
semakin lama, langkah kaki mereka semakin masuk ke dalam
hutan. "Bagaimana kalau kita memanggil-manggil nama mereka,
Wadira?" usul Jampa berbisik pelan.
"Sebaiknya jangan. Kang," sahut Wadira. Nada suaranya
terdengar gemetar sekalipun berbisik. Memang, hati laki-laki
bertubuh kecil kurus ini tegang bukan main.
Jampa pun terdiam. Tadi pun sewaktu mengajukan usul,
sebenarnya tidak begitu bersungguh-sung guh. Usul itu
diajukan hanya sekadar untuk menghilangkan rasa takut saja.
Sekarang ketujuh orang itu kembali melanjutkan langkah.
Tapi baru juga beberapa tindak, langkah mereka terhenti.
Ketujuh orang itu langsung saling pandang. Jelas ada sesuatu
yang menyebabkan mereka bertindak seperti itu.
"Kau dengar suara itu, Kang Jampa?" tanya Wadira pelan.
Laki-laki berkumis jarang-jarang itu mengangguk- anggukkan kepala. Ternyata bukan hanya dia saja yang
mengangguk, tapi juga yang lainnya.
"Kau bisa mengira-ngira suara apa Itu, Kang" tanya Wadira
iagi. Masih berbisik.
Hanya gelengan kepala pertanda tidak tahu yang
menyambut! pertanyaan laki-laki bertubuh kecil kurus itu.
"Suara itu aneh sekali, Wadira," sahut salah seorang
penduduk membuka suara. Rupanya, dia juga tidak betah
hanya bertindak sebagai pendengar saja.
Orang itu menganggukkan kepalanya. Memang, suara itu
juga terdengar olehnya Suara angin mendecit nyaring, seperti
ada benda tajam. Tapi tak jarang terdengar mengaung,
sepertinya ada puluhan ekor lebah mengamuk.
"Bagaimana menurutmu. Kang?" tanya Wadira seraya
memandang wajah Jampa.
"Bagaimana apanya, Wadira?" Jampa malah bahu bertanya.
"Kita selidiki asal suara itu..., atau tidak?"
Jampa mengangkat bahu. "Kuserahkan keputusan itu
padamu, Wadira."
"Kalau begitu, kita cari pemilik suara itu!" Tegas dan
mantap jawaban yang terdengar dari mulut Wadira,
sungguhpun dengan berbisik. Jawaban itu pun dikeluarkan
setelah beberapa saat lamanya tercenung.
Setelah berkata demikian, Wadira segera melangkah
menuju ke arah asal suara. Mau tak mau, keenam orang
rekannya mengikuti.
Kembali keheningan menyelimuti mereka. Kini yang
terdengar hanyalah kerosak suara rerumputan yang terlanda
kaki mereka, atau suara semak-semak yang tersibak golok.
Semakin rombongan penduduk Desa Rangkong itu
menerobos masuk ke dalam hutan, suara yang terdengar tadi
semakin jelas. Memang apa yang didengar semula tidak salah.
Suara yang terdengar adalah suara angin yang terkadang
mencicit, tapi tak jarang pula mengaung.
Srakkk...! Wadira menyibak kerimbunan semak di hadapannya. Suara
yang didengarnya, jelas-jelas terdengar dari balik kerimbunan
semak itu. Maka bergegas kembali disibaknya semak-semak di
depannya. Begitu kerimbunan semak-semak itu tersibak, Wadira
menjulurkan kepala. Dia ingin tahu, 'makhluk' apa yang
bersuara aneh itu.
"Akh...!"
Laki-laki bertubuh kecil kurus ini memekik tertahan. Betapa
tidak" Begitu kepalanya dijulurkan,tahu-tahu ada sebuah
tangan kuat mencekal lehernya dari batik kerimbunan semak-
semak. Keras bukan main cekalan tangan itu.
"Ha ha ha...!"
Sebuah suara tawa keras bernada menyeramkan terdengar
begitu pekikan Wadira usai.
Karuan saja kejadian tidak disangka-sangka itu bukan
hanya Wadira yang kaget, tapi juga keenam orang rekannya.
Memang, sejak tadi hati mereka telah dilanda ketegangan.
Tentu saja kejadian mengejutkan itu membuat mereka
serentak melompat ke belakang dengan raut wajah sepucat
mayat Sebelum mereka semua sempat berbuat sesuatu, tangan
kekar yang mencekal
leher Wadira telah bergerak
mencengkeram. Krrrkh...! Suara bergemeretak tulang leher yang patah terdengar
seiring remasan tangan yang mencekal. Tanpa sempat
Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berteriak lagi, Wadira tewas seketika. Tubuhnya pun ambruk
ke tanah ketika tangan kekar itu melepaskan cekatannya.
Keenam orang penduduk desa itu menatap wajah Wadira
dengan pandangan ngeri. Apalagi ketika melihat darah segar
yang memancur deras dari mulut, hidung, dan telinga laki-laki
bertubuh kecil kurus itu.
Tapi pandangan mereka semua lalu beralih begitu,
terdengar suara berkerosakan keras diiringi tersibaknya semak
yang tadi disibak oleh Wadira. Dan tak lama, keluarlah sosok
tubuh tinggi besar dan berpakaian hitam.
Jampa dan kelima orang rekannya menatap sosok tubuh
yang baru saja keluar dari balik semak-semak.
Sosok tubuh itu tampaknya benar-benar mengiriskan.
Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu hitam. Wajahnya- kasar, dan
ditumbuhi cambang bauk yang lebat. Dan pada bagian atas
kepalanya bertengger sebuah penutup kepala yang terbuat
dari setengah tempurung kelapa.
"ha ha ha...! Sungguh tidak kusangka masih ada monyet-
monyet kecil yang mau mengantarkan nyawa," kata laki-laki
berpakaian hitam itu dengan suara khasnya yang keras dan
menggelegar. Keenam orang penduduk Desa Rangkong itu sama sekali
tidak menyambut ucapan itu. Perasaan tegang dan ngeri
melihat kematian Wadira yang mengerikan, serta perbawa
laki-laki bercambang bauk lebat itu membuat lidah mereka
seperti kelu. Tak mampu mengeluarkan kata-kata sedikit pun.
"Kalian ingin melihat monyet-monyet kecil yang telah
mendahului kalian?"
Setelah berkata demikian, laki-laki bertubuh tinggi besar itu
menggerak-gerakkan tangannya ke arah kerimbunan semak
tempat dirinya keluar tadi.
Hebat luar biasa akibatnya. Padalah jelas terlihat kalau laki-
laki berpakaian hitam itu hanya mengibaskan tangan secara
sembarangan saja ke arah kerimbunan semak-semak tadi.
Tapi akibatnya semak-semak itu terlempar jauh ke belakang,
tercabut hingga ke akar-akarnya.
Tindakan yang baru disaksikan itu saja, sudah membuat
bulu tengkuk mereka merinding. Tapi, pemandangan yang
tampak di balik kerimbunan semak-semak lebih membuat
mereka dilanda rasa ngeri.
Tampak di atas pepohonan, di balik semak-semak itu
tergantung tiga sosok tubuh. Walaupun keadaannya sudah
tidak karuan lagi, tetapi masih dapat dikenali. Tiga sosok
tubuh itu bukan lain dari Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi.
Memang, semula laki-laki berpakaian hitam itu meninggalkan ketiga mayat itu. Tapi akhirnya berubah pikiran,
dan mengambilnya.
"Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi...," desah Jampa dengan
bibir bergetar. Suaranya terdengar serak karena dilanda
ketegangan yang memuncak.
Tanpa diberi tahu pun, kelima orang penduduk yang lain
bisa mengenali orang-orang yang tergantung di atas pohon
"Ha ha ha...!"
Laki-laki bercambang bauk lebat tertawa bergelak-gelak
melihat wajah keenam orang penduduk itu pucat pasi bagai
tak pernah dialiri darah.
"Semula aku sudah merasa kebingungan mencari orang
untuk kujadikan kelinci percobaan atas ilmu baru vang tengah
kupelajari. Dan sungguh tidak kusangka kalian datang. Ha ha
ha...! Nasibku memang benar-benar baik. Aku tidak perlu
susah-susah mencari, buktinya sudah ada ikan kena
umpanku!" Keenam orang penduduk Desa Rangkong sudah bisa
menebak kalau laki-laki berpakaian serba hitam itu memiliki
ilmu dahsyat. Dan mereka semua merasa kalau bukan
tandingan orang itu. Melawan sama saja membuang nyawa
percuma. Melihat dari mayat Banyupaksi, sudah bisa
diperkirakan kesaktian laki-laki yang menyeramkan ini. Belum
lagi saat dia membongkar kerimbunan semak-semak dengan
sebuah kibasan lengan sembarangan saja. Sukar untuk
dibayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian
kakek tinggi besar ini.
Seperti telah disepakati saja, mendadak mereka membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat
itu. "Ha ha ha...!"
Laki-laki berpakaian serba hitam itu tertawa bergelak. Dan
sekali bergerak, tubuhnya telah berada di hadapan enam
orang penduduk Desa Rangkong itu.
Enam orang penduduk Desa Rangkong tadi hanya melihat
sekelebatan bayangan hitam saja yang melewati mereka. Dan
kini tahu-tahu laki-laki bertubuh tinggi besar itu telah berada
di hadapan mereka. Karuan saja hal ini membuat mereka
terkejut bukan main dan langsung menghentikan langkah.
Rasa gentar yang amat sangat merayapi hati mereka semua.
Tanpa pikir panjang lagi mereka membalikkan tubuh
kembali dan berlari ke arah yang berlawanan dari arah tujuan
semula. Kini mereka berlari kian masuk ke dalam hutan.
"Ha ha ha...! Jangan mimpi bisa lolos dari Raja Iblis Baju
Hitam..!" Diiringi tawa bergelak yang memekakkan telinga laki-laki
bercambang bauk lebat yang ternyata berjuluk Raja Iblis Baju
Hitam itu berseru sombong.
Untung bagi keenam orang penduduk Desa Rangkong itu.
Sebab laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak mengerahkan
tenaga dalam pada suaranya. Kalau saja dikerahkan, pasti
semuanya akan tewas dengan dada pecah.
Setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil, keenam orang
penduduk desa itu pun tahu kalau tidak ada gunanya
berusaha melarikan diri. Maka diputuskanlah untuk melawan
mati-matian. Keenam orang ini tahu kalau Raja Iblis Baju
Hitam tidak akan mengampuni.
"Hiaaat...!"
Diiringi teriakan keras menggelegar, Jampa melompat
menerjang. Golok di tangannya dibabatkan cepat ke arah
leher. Melihat rekan mereka telah bergerak menyerang, lima
orang lainnya pun ikut menyerang pula. Dalam sekejapan
saja, enam batang golok telah menyambar ke berbagai bagian
tubuh laki-laki berpakaian hitam. "Hmh...!"
Raja Iblis Baju Hitam hanya mendengus. Tidak tampak
tanda-tanda kalau akan mengelak atau menangkis serangan
itu. Sekali lihat saja, telah diketahui kalau enam orang itu
hanya sekadarnya saja menguasai Ilmu silat. Tenaga dalam
mereka pun amat rendah. Maka, dibiarkannya saja enam
batang golok itu menyambar sasaran. Laki-laki bercambang
bauk lebat ini hanya mengerahkan tenaga dalam untuk
melindungi kulit tubuhnya. Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras seperti beradunya logam-logam keras
terdengar berulang-ulang ketika enam batang golok mengenai
tubuhnya. Enam orang penduduk Desa Rangkong itu terpekik kaget
ketika menyadari serangan golok mereka sama sekali tidak
mampu melukai tubuh lawan. Malah sebaliknya, golok di
tangan mereka terpental balik, bukan hanya itu saja. Tangan
yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit bukan main.
Sebelum keenam orang penduduk itu sadar dari
keterkejutannya, tangan Raja Iblis Baju Hitam telah bergerak.
Cepat bukan main gerakannya, sehingga para penduduk desa
yang hanya mempunyai kemampuan sekadarnya tak
menyadari hal itu. Mereka semua hanya melihat seleret sinar
kehitaman menyambar, dan tahu-tahu golok di tangan mereka
telah terlepas dari pegangan.
Jampa dan kelima orang temannya memandang dengan
mata terbelalak lebar melihat kenyataan . Dan kini di kedua
tangan tokoh sesat yang menggiriskan itu tergenggam enam
batang golok. Entah bagaimana caranya, senjata-senjata itu
berpindah tangan. Bahkan enam orang penduduk itu sama
sekali tidak mengetahuinya.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Raja Iblis Baju Hitam
menggerakkan jari-jari tangannya. Perlahan saja kelihatannya,
tapi akibatnya luar biasa. Suara gema retak keras terdengar,
diikuti berpatahannya golok-golok itu.
"Ilmu iblis...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu mendesis penuh kengerian.
Memang cara Raja Iblis Baju Hitam mema tah-matahkan
keenam golok itu luar biasa sekali. Padahal, semua senjata itu
terbuat dari logam keras, Tapi dia ternyata mampu
mematahkannya seperti mematahkan lidi!
"Sekarang saatnya aku mencoba ilmu yang selama ini
kulatlh...."
Setelah berkata demikian, Raja Iblis Baju Hitam
mendorongkan kedua tangan dengan jari-jarinya terbuka, ke
depan. Pelan gerakannya, tapi penuh tenaga. Suara
berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang patah mengiringi
gerakannya. Dan begitu kedua tangan itu telah terjulur ke
depan, kedua telapak tangan itu berubah merah seperti darah.
Seketika tercium bau amis yang memualkan perut, seiring
berubahnya warna telapak tangan itu. Jelas kalau Raja Iblis
Baju Hitam menggunakan ilmu yang mengandung racun.
"Hih...!"
Mendadak tubuh Raja Iblis Baju Hitam melesat cepat ke
depan. Enam orang penduduk itu terkejut, iktn sebisa-bisanya
berusaha mengelak. Tapi...
Plak, plak, plak...!
Enam kali berturut-turut telapak tangan laki-laki bercambang bauk lebat itu menyentuh tubuh enam orang
penduduk Desa Rangkong. Pelan saja gerakannya. Memang,
Raja Iblis Baju Hitam hanya mengerahkan sebagian kecil
tenaga dalamnya. Dia memang tidak berniat membunuh atau
menyiksa dengan tenaga dalamnya. Tapi hanya sekadar
mencoba keampuhan ilmu racun yang beberapa lama ini
dipelajarinya. Akibatnya luar biasa. Begitu kedua telapak tangan Raja Iblis
Baju Hitam menyentuh, enam orang penduduk itu menggeliat-
geliat. Rasa gatal dan panas yang amat sangat seketika
menyerang tubuh mereka. Mula-mula hanya melanda bagian
yang tersentuh, tapi cepat kali menyebar ke seluruh bagian
tubuh. Enam orang penduduk itu menjerit melolong-lolong.
Rasa gatal yang tidak terkira membuat mereka tanpa pikir
panjang lagi menggaruk keras-keras. Anehnya semakin
digaruk, rasa gatal itu semakin menyiksa. Maka mereka pun
menggaruk semakin membabi-buta.
"Ha ha ha...!"
Raja Iblis Baju Hitam tertawa bergelak-gelak melihat
pemandangan di hadapannya. Memang, tokoh sesat yang
menggiriskan ini memiliki kebiasaan. Hatinya merasa senang
melihat orang lain tersiksa menderita. Semakin tersiksa dan
menderita, semakin gembira hatinya. Tak heran bila
menyaksikan penderitaan enam orang penduduk Desa
Rangkong dia malah tertawa-tawa gembira.
Sementara enam orang penduduk desa itu saja menggaruk
sekujur tubuh. Karena rasa gatal menyebar ke seluruh tubuh,
maka garukan tangan mereka pun menjarah sekujur tubuh.
Tak lama kemudian, sekujur kulit tubuh mereka mulai
hancur. Di samping akibat pengaruh racun juga akibat
garukan tangan mereka sendiri.
Cukup lama juga pemandangan mengerikan berlangsung,
sebelum akhirnya mereka tidak bergerak lagi untuk selama-
lamanya. Tewas dalam keadaan tubuh tercabik-cabik tangan
sendiri. "Ha ha ha...! Tidak sia-sia rupanya aku mempelajari ilmu
'Tangan Racun Pasir Merah'. Memang luar biasa akibatnya. Ha
ha ha...! Bidadari Sabuk Emas. Kita buktikan, siapa di antara
kita yang paling jago kini! Ha ha ha...!"
Masih dengan suara tawa yang tidak putus, Raja Iblis Baju
Hitam meninggalkan mayat enam orang penduduk itu.
~Dewi-KZ~ 3 Senandung kecil terdengar meningkahi cicit riang ini urung-
burung menyambut datangnya pagi. Bola api raksasa
berwarna merah muncul di ufuk Timur, mengulir kabut yang
masih tertinggal di lereng Gunung Rangkong.
Sesosok tubuh renta milik seorang kakek kecil kurus,
bergerak lincah menuruni lereng gunung itu. Mulutnya agak
meruncing ke depan, menyiutkan senandung tak jelas
iramanya. Rupanya dari mulut kakek inilah senandung itu
berasal. Kakek Itu mengenakan pakaian berwarna kuning.
Wajahnya nampak segar kemerahan, seperti bukan wajah
seorang kakek. Padahal menilik dari rambut, aliss, kumis, dan
jenggotnya yang telah memutih, bisa diperkirakan kalau
usianya sudah lebih enam puluh Inhun. Di tangan kanannya
terjinjing sebuah keranjang intan.
Sambil terus bersiul-siul, kakek ini bergerak lincah. Dia
melompat dari satu batu ke batu lainnya. Gerakannya cukup
cepat dan lincah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah
begitu tinggi. Bola api raksasa di ufuk Timur, sudah tidak berwarna
kemerahan lagi. Bahkan sinarnya pun sudah mulai
menyilaukan mata, ketika kakek berpakaian kuning ini tiba di
mulut Hutan Rangkong. Di sini, baru kakek itu menghentikan
larinya. Kini kakek berpakaian kuning itu melangkahkan kakinya
lambat-lambat Sedangkan sepasang matanya beredar
Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengawasi sekelilingnya. Jelas, ada sesuatu yang dicarinya.
Beberapa kali kakek ini melangkah menghampiri ketika
melihat apa yang dicarinya. Ternyata dia tengah mencari
tumbuh-tumbuhan. Beberapa kali, dicabutnya beberapa
tanaman yang memang dicarinya, lalu diambil akarnya.
Terkadang pula bijinya. Tapi, tak jarang daun atau kulit
batangnya. Matahari telah berada di atas kepala, ketika akhirnya
keranjang rotan kakek itu telah penuh segala macam
tanaman. Sambil bersiul-siul, kakek berpakaian kuning ini kembali
melangkahkan kakinya kembali ke lereng gunung. Tidak
nampak ada kelelahan pada wajahnya, walaupun telah
berputar putar di dalam Hutan Rangkong selama setengah
hari. Tapi gerakannya langsung terhenti ketika sepasang
matanya melihat serombongan orang bergerak mendaki
lereng. Menilik dari pakaian dan gerakan,bisa diduga kalau
rombongan itu adalah para penduduk desa di sekitar Gunung
Rangkong. Kakek berpakaian kuning itu diam-diam menghitung jumlah
mereka dengan matanya. Ada delapan orang. Dua di
antaranya nampak lemas dan dipapah. Dari sini bisa
diperkirakan kalau mereka menderita sakit.
Setelah mengamati beberapa saat, kakek berpakaian
kuning ini lalu melesat ke arah mereka. Cepat bukan main
gerakannya, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan sinar
berwarna kekuningan.
Sesaat kemudian, kakek berpakaian kuning itu telah berada
di depan delapan orang penduduk Desa Rangkong. Begitu
mendadak kehadirannya, sehingga membuat delapan orang
itu berjingkat kaget Tapi, raut kagetan segera lenyap begitu
mengenali sosok tubuh yang tahu-tahu berada di depan
mereka. "Eyang Balunglaga...," sebut salah seorang dari mereka
yang berjenggot hitam panjang.
"Siapa kalian" Dan ada keperluan apa mendaki lereng ini?"
tanya kakek berpakaian kuning yang ternyata bernama Eyang
Balunglaga. Sekilas, ditatapnya wajah dua orang yang dipapah
mereka. Kemudian, pandangannya beralih ke arah laki-laki
berjenggot panjang.
"Kami adalah penduduk Desa Rangkong, Eyang," jawab
laki-laki berjenggot panjang yang rupanya menjadi juru bicara
rombongan itu. Eyang Balunglaga hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Kakek ini tahu, Desa Rangkong adalah salah satu desa yang
terletak di kaki Gunung Rangkong. Pandangannya kembali
dialihkan ke arah wajah dua inang yang dipapah, seorang laki-
laki dan seorang wanita.
"Maksud kami mendaki lereng ini untuk mencari eyang,"
sambung laki-laki berjenggot panjang. "Kami ingin meminta
pertolongan."
Sambil berkata demikian, pandangan mata laki laki
berjenggot panjang itu berpindah ke arah dua orang yang
dipapah. Tanpa sadar, Eyang Balunglaga juga mengedarkan
pandangan ke arah yang sama. Memang, kakek berpakaian
kuning ini sangat ahli dalam ilmu pengobatan. Keahliannya
bahkan telah tersebar ke seluruh desa di kaki Gunung
Rangkong. "Inikah orang yang butuh pertolongan itu?" tanya Eyang
Balunglaga sambil melangkah menghampiri. Ditatapnya wajah
kedua orang laki-laki itu, lalu diperiksa panas tubuhnya.
"Mereka keracunan...," jelas kakek berpakaian kuning itu
pelan. "Ceritakan, bagaimana hal ini bisa terjadi?"
Laki-laki berjenggot panjang mengangkat bahu pertanda
tidak mengetahuinya. Kemudian pandangannya dialihkan ke
arah rekannya, seorang laki-laki muda bertubuh kekar berotot.
"Aku juga tidak mengerti, Eyang," kata laki-laki bertubuh
kekar itu. "Hanya yang kutahu, sebelumnya Paman dan Bibi
memakan ikan hasil tangkapan Paman."
"Hm.... Lalu?" desak Eyang Balunglaga.
'Tak lama kemudian.... Paman dan Bibi muntah-muntah.
Tubuhnya pun kejang. Dari mulut mereka keluar buih berbau
busuk. Maka segera kupanggil mereka semua untuk
menolongku membawa dua orang ini kemari."
"Kau tahu, ikan apa yang dimakannya?" tanya Eyang
Balunglaga. Karena sebagai seorang ahli pengobatan, kakek ini tahu
kalau ada beberapa jenis ikan yang memang mengandung
racun. Ikan buntal m isalnya. Tapi ikan jenis itu hanya hidup di
laut. "Ikan air tawar biasa, Eyang."
"Aneh," ucap Eyang Balunglaga dengan dahi berkernyit
dalam. Jelas ada sesuatu yang dipikirkan laki-laki tua itu.
Sementara delapan orang penduduk Desa Rangkong diam
saja. Mereka tidak mau mengganggu pikiran kakek berpakaian
kuning itu. "Bawa mereka ke pondokku," ujar Eyang Balunglaga,
seraya melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu,
mendahului mereka menuju ke lereng.
Enam orang penduduk Desa Rangkong membaringkan dua
sosok tubuh yang mereka papah ke dipan bambu. Kemudian,
mereka duduk diam menunggu.
Sementara di dalam, Eyang Balunglaga sibuk memeriksa
luka-luka dua orang penduduk yang keracunan itu.
"Hhh...l"
Kakek berpakaian kuning itu menghela napas berat, setelah
memeriksa luka-luka kedua orang itu berapa saat lamanya.
Menilik dari sikap dan raut wajahnya, jelas ada sesuatu yang
tidak menyenangkan hati kakek kecil kurus ini.
Dengan langkah lambat dan raut wajah lesu. Eyang
Balunglaga melangkah ke luar.
"Bagaimana, Eyang?" tanya pemuda bertubuh kekar penuh
gairah. Saking tegangnya menunggu nasib kedua orang keluarganya, dia tidak sempat memperhatikan wajah dan
sikap Eyang Balunglaga yang lesu.
"Sayang sekali, Anak Muda," sahut kakek bertubuh kecil
kurus itu pelan. Tampak kalau dia merem berat hati untuk
menyampaikannya.
"Maksud, Eyang?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu kalap.
"Racun yang menyerang mereka tidak kukenal," sahut
Eyang Balunglaga bernada keluhan. "Terus terang, aku tidak
mampu menolong mereka."
"Jadi..."!" suara laki-laki bertubuh kekar itu terdengar
gemetar. "Kita serahkan semuanya pada kekuasaan Tuhan...," hanya
itu yang bisa diucapkan Eyang Balunglaga.
"Ohhh...!"
Seraya mengeluarkan keluhan putus asa, laki-laki bertubuh
kekar itu melesat cepat ke ruang dalam. Eyang Balunglaga
sama sekali tidak mencegahnya. Hatinya merasa terpukul
karena tidak mampu mengobati luka kedua orang itu. Untuk
pertama kali Eyang Balunglaga gagal dalam mengobati orang.
Perlahan kakek bertubuh kecil kurus ini mengalihkan
perhatian pada penduduk lain yang ikut mengantar kedua
orang yang keracunan itu. Perasaan terpukul yang
melandanya pun semakin besar. Dilihatnya satu-persatu
kepala penduduk itu tertunduk Sepertinya, mereka semua
menyalahkan kakek itu karena tidak mampu mengobati
penduduk Desa Rangkong Itu. "Paman...! Bibi...!"
Tiga Naga Sakti 14 Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Han Bu Kong 10