Pencarian

Maut Dari Hutan Rangkong 2

Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong Bagian 2


Mendadak dari ruangan dalam terdengar teriakan keras,
namun lebih patut disebut lolong kesedihan, serentak empat
orang penduduk lainnya itu berlomba masuk ke dalam.
Meskipun sudah dapat menduga apa yang terjadi, tapi tak
urung mereka ingin menyaksikannya juga.
Eyang Balunglaga tak ketinggalan pula. Kakek berpakaian
kuning ini melangkah masuk paling akhir.
Tapi langkah Eyang Balunglaga berhenti di depan pintu,
seperti juga empat orang penduduk itu begitu melihat
pemandangan di hadapan mereka.
Tampak di pinggir pembaringan, pemuda bertubuh kekar
itu duduk sambil menelungkupkan wajah. Sementara di balai-
balai bambu, tergolek diam dua sosok tubuh.
Tanpa melihat dari dekat pun, Eyang Balunglaga sudah bisa
mengetahui kalau kedua orang itu sudah tewas. Tanpa sadar,
sebuah helaan napas berat keluar dari mulutnya.
Tanpa berkata-kata, laki-laki bertubuh kekar itu mengangkat salah satu mayat dan membawanya ke luar.
Bagai kucing ditakut-takuti lidi, para penduduk dan Eyang
Balunglaga yang berdiri di ambang pintu bergerak menyingkir.
Masih dengan tanpa suara, laki-laki bertubuh kekar itu
melangkah melewati ambang pintu. Jangankan bicara,
menoleh pun tidak. Pandangan matanya menatap kosong ke
depan. Jelas kalau hatinya merasa terpukul menerima
kenyataan ini. Melihat laki-laki bertubuh kekar itu telah melangkah ke luar,
laki-laki berjenggot panjang memberi isyarat pada salah satu
dari tiga orang penduduk
Tanpa menunggu diperintah dua kali, penduduk yang
bertubuh pendek menghampiri balai-balai bambu. Diangkatnya tubuh penduduk desa mereka yang telah menjadi
mayat. Laki-laki berjenggot panjang menunggu, hingga laki-laki
bertubuh pendek itu melewati ambang pintu. Setelah lewat,
baru dia bersama dua orang penduduk lainnya bergerak
meninggalkan ruangan itu. Tak lupa sebelum meninggalkan
tempat itu, laki-laki berjenggot panjang menoleh ke arah
Eyang Balunglaga.
"Maafkan atas sikap kami semua, Eyang. Biar bagaimanapun juga, Eyang telah berusaha sekuat tenaga.
Tapi, yahhh.... Tuhan telah berkehendak lain."
Hanya senyum getir tersungging di mulut Eyang Balunglaga
yang menyambuti ucapan laki-laki berjenggot panjang itu.
Mata laki-laki tua itu kemudian menatap enam sosok tubuh
yang semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap
ditelan jalan. *** Tok, tok, tok...!
Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus mengetuk daun
pintu sebuah rumah. Menilik dari ketukannya yang berturut-
turut, bisa diperkirakan kalau dia tengah terburu-buru.
"Ki...! Ki Saketi...!"
Sambil terus mengetuk-ngetukkan tangan pada daun pintu,
laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berteriak-teriak memanggil.
Jelas kalau dia terburu-buru sekali. Panggilannya berhenti
setelah terdengar langkah kaki diseret mendekati pintu.
Suara derit pelan terdengat ketika daun pintu itu tergerak
membuka. "Hm.... Kau rupanya, Tirta?" sapa orang yang dipanggil Ki
Saketi tadi. Kepala Desa Rangkong ini tampak berwajah kuyu dan
lusuh. Kejadian demi kejadian yang menimpa desanya
membuat laki-laki berkumis tebal ini menjadi berwajah
demikian. Dia yakin, pasti ada kejadian lagi. Sehingga orang
yang dipanggil T irta bertindak begitu kalap.
"Ada apa, Tirta?"
"Anu, Ki...," masih dengan napas memburu. T irta mencoba
bercerita. "Lebih baik kita masuk dulu dan bicara di dalam,"ujar Ki Saketi.
Kepala desa itu mengajak Tirta masuk. Dia tahu, laki-laki
kurus itu butuh ketenangan untuk bercerita. Tapi, perasaan
terburu-burunya untuk menyampaikan sesuatu sudah tidak
bisa ditahan lagi. Daripada mendengar cerita yang terputus-
putus, Kepala DesaRang kong ini mengajak Tirta masuk ke
rumahnya. Laki-laki tinggi kurus itu tidak bisa membantah lagi karena
Ki Saketi telah mendahului melangkah masuk
"Minumlah dulu agar hatimu tenang," Ki Saketi
mempersilakan, begitu mereka berdua telah duduk di dalam.
Lagi-lagi T irta tidak membantah ucapan laki-laki berpakaian
abu-abu itu. Segera tangannya diulurkan untuk mengambil
minuman yang disediakan.
"Nah, Sekarang, katakanlah apa yang ingin kau ceritakan
padaku!" tagih Kepala Desa Rangkong begi tu Tirta telah
meletakkan kembali gelas bambu di meja
"Celaka, Ki!" belum apa-apa laki-laki bertubuh tinggi kurus
itu sudah kalap.
'Tenanglah, Tirta," ujar Ki Saketi menasihati.
"Para penduduk yang mandi di sungai, terserang penyakit
aneh, Ki," lanjut T irta.
'Penyakit aneh?" Ki Saketi mengernyitkan dahinya.
"Benar, Ki. Penyakit aneh," ulang T irta menguatkan ucapan
sebelumnya. "Begitu selesai mandi, sekujur tubuh mereka
terasa gatal-gatal amat luar biasa Mereka merasa tidak tahan
untuk tidak menggaruk."
Tirta mengatur napasnya sejenak. Caranya bercerita yang
terlalu berapi-api, membuat napasnya tersengal-sengal.
Sementara Ki Saketi langsung mengerutkan alisnya mendengar cerita laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
"Tak lama kemudian, di sekujur tubuh mereka timbul
bintik-bintik. Lalu, kulit mereka seperti hancur,
Sampai di sini Tirta menghentikan ceritanya, lalu
menutupkan muka dengan kedua telapak tangannya.
"Di mana mereka sekarang?" tanya Ki Saketi dengan suara
bergetar menahan perasaan ngeri. Sepercik ucapan terbetik di
hatinya. Apa dosa penduduk Desa Rangkong, sehingga sampai
menerima malapetaka beruntun ini" Padahal tujuh orang
penduduk ynng tiga hari lalu pergi menyusul Banyupaksi dan
.latmika pun belum ketahuan kabarnya. Kini sudah muncul lagi
masalah baru. "Masih di pinggir sungai, Ki," pelan dan tidak bersemangat
jawaban Tirta. Sungguh berbeda dengan ucapan sebelumnya
yang begitu berapi-api. "Kalau begitu, mari kita ke sana!"
Setelah berkata demikian, Kepala Desa Rangkong Ini bergegas
bangkit dari duduknya. Mau tidak mau, Tirta pun bergerak
bangkit mengikuti laki-laki berkumis lebal yang terus saja
melangkah ke luar.
Tapi sesampainya di luar, Ki Saketi terpaksa menunggu
Tirta karena memang dialah yang mengetahui di sungai
sebelah mana para penduduk yang keracunan itu.
Seperti semula sewaktu datang, kali ini pun Tirta berlari-lari
bagai dikejar hantu. Mau tak mau, Ki Saketi terpaksa berlari-
lari juga kalau tidak ingin tertinggal.
Kepala Desa Rangkong ini tidak bisa menyalahkan Tirta
karena dia pun ingin buru-buru me lihat kenyataan ucapan
warganya itu. Masih cukup jauh jarak yang dimaksud Tirta, namun Ki
Saketi sudah bisa mengetahui tempat pastinya. Kerumunan
para penduduk yang merubungi sebuah tempat, sudah
merupakan jawaban pertanyaannya.
Melihat hal itu, Tirta dan Ki Saketi semaki mempercepat
langkahnya. Sebelum kedua orang itu tiba, seorang penduduk yang
wajahnya penuh panu sudah melihat kedatangan mereka.
"Minggir...! Menyingkir semua...! Beri jalan pada Ki
Saketi...!" teriak laki-laki berwajah penuh panu seraya
menepuk-nepuk bahu beberapa orang penduduk untuk lebih
memperjelas pemberitahuannya. Maka kerumunan para
penduduk itu pun menyeruak, memberi jalan pada Ki Saketi.
Kepala Desa Rangkong ini menganggukkan kepala kepada
para warganya, kemudian bergegas menghampiri sosok-sosok
tubuh yang tergolek dengan sekujur kulit memerah seperti
darah. Dengan pandangan matanya, Ki Saketi menghitung jumlah
mereka. Ada enam orang. Dan semuanya tergolek diam.
Matikah mereka"
Laki-laki berpakaian abu-abu ini buru-buru berjongkok.
Melihat keadaan tubuh mereka, Ki Saketi sama sekali tidak
berani menyentuhnya. Dia tahu keenam orang penduduknya
itu keracunan hebat
"Hhh...!"
Kepala Desa Rangkong ini menghela napas berat. Melihat
tidak adanya perut yang bergerak turun naik, bisa diperkirakan
kalau mereka yang terbaring sudah lewas. Keadaan mereka
begitu mengerikan. Sekujur kulit memerah seperti udang
rebus. Yang lebih mengerikan lagi, sekujur kulit tubuh mereka pun
seperti hancur. Jadi lunak seperti telah membusuk. Luka-luka
bekas garukan tangan akibat rasa gatal yang mendera,
nampak di sekujur kulit yang merah dan lunak itu.
Perlahan-lahan Ki Saketi bangkit berdiri. Wajahnya penuh
diliputi kengerian. Memang, laki-laki berpakaian abu-abu ini
merasa ngeri bukan ma in melihat keadaan mayat-mayat para
warganya. Bukan hanya di wajah Ki Saketi saja yang menampakkan
kengerian. Di wajah para penduduk yang lainnya pun
demikian pula. "Apa yang harus kita lakukan dengan mayat mereka, Ki?"
tanya penduduk yang bertubuh pendek. Suaranya terdengar
serak. Jelas kalau dia belum bisa menata dirinya dari perasaan
terkejut yang melanda hati.
Ki Saketi tercenung sesaat lamanya, sambil menatap wajah
orang yang bertanya sejenak. Kemudian perlahan-lahan
kepalanya menggeleng.
"Aku pun tidak tahu...," jawab orang nomor satu di Desa
Rangkong ini. "Rasanya sulit bagi kita untuk menguburkannya...."
"Mengapa, Ki?" tanya Tirta.
Bodoh benar pertanyaan itu. Padahal sebetulnya laki-laki
bertubuh tinggi kurus ini bukan orang bodoh. Tapi kenyataan
yang disaksikan membuat pikiran jernihnya menguap entah ke
mana. Hanya kebuntuan yang mencekam di benaknya.
"Bagaimana kita bisa menguburkannya, Tirta?" Ki Saketi
mulai menjawab dengan mengajukan pertanyaan lebih dulu.
Nada suaranya terdengar lesu, selesu wajahnya. "Aku yakin,
sekujur tubuh keenam orang ini telah mengandung racun
yang mengerikan. Bukan tidak mungkin kita akan ketularan
kalau menyentuh mereka."
Tirta mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mengerti.
Suasana menjadi hening sejenak begitu Ki Saketi
menghentikan ucapannya. Keheningan yang mencekam,
karena hati semua penduduk diliputi kengerian. Jelas mereka
takut akan kembali terjadi peristiwa mengerikan di desa
mereka. "Mayat-mayat itu harus dibakar."
Sebuah suara pelan tapi mengandung getaran yang cukup
kuat terdengar. Meskipun hanya pelan saja, tapi karena saat
itu suasana di tempat itu heningi maka suara itu jadi
terdengar jelas.
Bagai diberi aba-aba, kepala semua penduduk itu menoleh
ke arah asal suara, tak terkecuali K i Saketi sendiri.
Ternyata dua tombak jaraknya dari mereka telah berdiri
seorang kakek berwajah segar. Sehelai pakaian yang
berwarna kuning membungkus tubuhnya yang kecil kurus.
"Ah.... Rupanya Eyang Balunglaga...," sapa Ki Saketi
dengan wajah berseri-seri. Ada perasaan lega -yang
menyeruak di harinya melihat kedatangan kakek ahli
pengobatan itu.
Meskipun Kepala Desa Rangkong ini telah mendengar akan
kegagalan kakek kecil kurus ini mengobati paman dan bibi
salah seorang warganya, namun rasa hormatnya pada Eyang
Balunglaga tidak s irna karenanya.
Laki-laki berkumis tebal ini tahu, meskipun Eyang
Balunglaga selama ini mampu mengobati luka-luka keracunan,
tapi keracunan yang tidak berat. Bukan keracunan akibat
tindakan seseorang yang terbiasa bermain racun. Apalagi
racun ganas. Sementara racun yang menyerang warga Desa
Rangkong adalah racun yang dibuat orang yang terbiasa main
racun. Tidak aneh kalau kakek kecil kurus itu tidak mampu
mengobatinya. "Jadi jalan satu-satunya untuk mencegah penularan racun
ini, mayat-mayat ini harus dibakar, Eyang?" tanya Kepala Desa
Rangkong untuk memastikan ucapan yang tadi terdengar
telinganya. "Benar!" jawab Eyang Balunglaga pelan. Ki Saketi


Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menoleh ke arah Tirta. "Uruslah mayat-mayat ini."
"Baik, Ki," laki-laki bertubuh tinggi kurus itu sigap
menjawab. "Ajak beberapa orang untuk mengumpulkan ranting-ranting
kering!" "Baik, Ki."
Tirta dan beberapa orang penduduk lainnya beri gegas
meninggalkan tempat itu untuk melaksanakan tugas yang
diberikan kepala desanya.
Eyang Balunglaga melangkah menghampiri mayat-mayat
yang tergolek di tanah. Raut wajah maupun sepasang
matanya menyiratkan penyesalan yang mendalam.
Memang, kakek bertubuh kecil kurus ini merasa penasaran
bukan kepalang akibat ketidakmampuannya mengenali racun
yang menyerang para penduduk Desa Rangkong.
Eyang Balunglaga adalah seorang pandai obat sejati Tidak
ada kebahagiaan yang lebih besar dari pada melihat
kesembuhan orang yang berobat padanya. Sebaliknya, tidak
ada kesedihan yang lebih besar selain melihat orang yang
sakit, tewas di hadapannya.Dan perasaan itulah yang melanda
hatinya sekarang ini.
Kakek bertubuh kecil kurus ini berjongkok. Sepasang
matanya merayapi sekujur tubuh mayat-mayat itu. Helaan
napas beratnya selalu terdengar keluar dari mulutnya.
Sementara para penduduk hanya memperhatikan semua
kelakuan kakek ahli pengobatan itu.
"Menurut berita yang kudapat, sehabis mandi di sungai
sekujur tubuh mereka gatal-gatal dan panas.... Apakah
mereka tewas karena mandi di sungai ini, Eyang?" Ki Saketi
mulai mengajukan pertanyaan.
"Kalau melihat dari keadaan mereka, jelas itu akibat
keracunan. Tapi kebenaran akan dugaan kalau racun itu
berasal dari sungai perlu dibuktikan."
Eyang Balunglaga menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas.
"Bila benar sungai ini adalah penyebabnya berarti ada
orang yang baik sengaja atau tidak, telah membuang racun ke
sungai itu. O, ya. Apakah penduduk yang keracunan akibat
makan ikan waktu itu, ikannya diambil dari sungai ini?"
"Tidak, Eyang," laki-laki berjenggot panjang yang
menjawab pertanyaan itu "Mereka menangkapnya di danau
dekat pinggir hutan."
Eyang Balunglaga mengangguk-anggukkan
kepala, kemudian bangkit berdiri dan berjalan menghampiri pinggir
sungai. Diperhatikannya sejenak air sungai Itu. Baik warna
maupun baunya. "Hhh...!"
Sebuah helaan napas berat terdengar dari mulut kakek
bertubuh kecil kurus ini.
"Bagaimana, Eyang?" Ki Saketi yang berdiri di belakang
kakek berpakaian kuning itu tidak sabar lagi bertanya.
"Sungai ini memang telah mengandung racun ganas,"
sahut Eyang Balunglaga setengah mengeluh. "Jadi...?"
"Jangan gunakan lagi air sungai ini untuk mandi atau
mencuci. Apalagi untuk minum," Eyang Balunglaga memperingatkan.
Ki Saketi mengerutkan alisnya. Jelas kalau tengah dilanda
perasaan bingung. Maklum, sungai ini memang satu-satunya
sumber kehidupan penduduk Desa Rang kong. Memang ada
mata air lainnya, tapi letaknya terlalu jauh dari desa mereka.
Tapi, hal ini akan dikatakannya nanti pada para penduduknya.
"Aku yakin, peristiwa keracunan ini ada hubungannya
dengan kejadian-kejadian sebelumnya," duga Ki Saketi
"Kejadian apa, Ki?" tanya Eyang Balunglaga.
Memang, kakek ahli pengobatan ini belum mendengar
tentang peristiwa beruntun yang terjadi atas penduduk Desa
Rangkong. Ki Saketi pun menceritakan semua kejadian itu dari awal.
Dengan seksama, Eyang Balunglaga mendengarkannya. Kakek
berpakaian kuning ini sama sekati tidak menyelak cerita Ki
Saketi sedikit pun.
"Mungkin dugaanmu benar, Ki," dukung kakek bertubuh
kecil kurus ini. "Kalau tidak salah, bukankah sungai ini berhulu
dari dalam Hutan Rangkong?"
Ki Saketi mengangguk.
"Dan penduduk Desa Rangkong semuanya hilang di dalam
hutan itu," sambung kakek bertubuh kecil kurus penuh
semangat "Jelas, pokok pangkal semu masalah ini berasal dari
Hutan Rangkong."
"Itulah yang menyebabkanku menduga demikian pula,
Eyang," sambut Ki Saketi berapi-api. "Jadi, kesimpulanmu
bagaimana, Ki?" Kepala Desa Rangkong terdiam sejenak, tidak
langsung menjawab pertanyaan itu.
"Kalau menurut dugaanku, ada seorang tokoh aliran hitam
yang bertempat tinggal di hutan itu. Tapi, dia tidak ingin
diketahui orang lain. Atau juga tidak senang diganggu. Maka
setiap penduduk yang bertemu dengannya di dalam hutan,
langsung dibunuhnya," Jelas laki-laki berpakaian abu-abu itu
panjang lebar. "Ada yang janggal dalam penjelasanmu, Ki," selak Eyang
Balunglaga. "Kalau dia tidak ingin diketahui orang, kenapa
menaburkan racun di sungai ini?"
Ki Saketi menarik napas panjang-panjang
dan menghembuskannya kuat-kuat
"Itulah yang membuatku bingung, Eyang." Pembicaraan
kedua orang itu berhenti ketika terdengar langkah-langkah
kaki mendekati tempat itu. Langkah kaki yang tampaknya
bertubi-tubi menghantam bumi dengan cepatnya. Jelas kalau
ada orang yang tengah berlari.
Eyang Balunglaga dan Ki Saketi menoleh. Tampak Tirta dan
beberapa orang penduduk lain telah datang membawa banyak
ranting kering.
Tanpa menunggu diperintah, semua penduduk yang sejak
tadi diam mendengarkan pembicaraan antara kepala desa
mereka dengan Eyang Balunglaga, bergegas mengambil
ranting-ranting kering itu. Kemudian ranting-ranting itu
diletakkan di sekeliling mayat enam orang rekan mereka.
Setelah mendapatkan perintah dari Ki Saketi, baru mereka
semua menyalakan api.
Sesaat kemudian, api pun
membumbung tinggi membakar mayat-mayat orang yang
keracunan. Semakin lama, api yang menyala semakin membesar. Dan
dengan sendirinya, suasana di sekitar tempat itu mulai terasa
panas. Maka, semua yang berada di situ bergegas melangkah
mundur. Kini mereka semua memperhatikan api yang melahap
ranting dan mayat rekan-rekan mereka. Menilik dari
pandangan yang tertuju pada satu titik, bisa diketahui kalau
mereka semua terlibat dalam lamunan masing-masing.
Dan memang hal itu benar. Dalam hati mereka semua,
timbul pertanyaan. Bencana apa lagi yang akan menimpa
mereka" Dan siapa nanti yang akan mendapat giliran"
Perlahan api mulai mengecil, suara letupan-letupan api
mulai jarang. Dan seiring matinya api, habislah mayat-mayat
itu dan juga ranting keringnya. Yang tinggal hanyalah
onggokan tulang yang habis terbakar dan onggokan sisa
pembakaran. *** 4 Hari sudah begitu siang. Sinar matahari pun sudah tidak
terasa nikmat lagi di kulit. Saat itu seorang I perempuan tua
berpakaian merah muda dan berambut panjang terurai tengah
melangkah perlahan-lahan memasuki tembok batas Desa
Layur. Dia seperti tidak mempedulikan teriknya sengatan
matahari. Kalau melihat wajah dan perawakannya, tidak nampak
adanya sesuatu yang mengerikan pada nenek ini. Bahkan
perasaan kasihan yang timbul begitu me lihat nenek yang
begitu ringkih ini berjalan. Mulutnya yang sudah tidak bergigi
lagi, dan rambutnya yang seluruhnya telah berwarna putih
semakin menambah keringkihannya. Dari sini, bisa ditaksir
usianya. Paling tidak, tak kurang dari tujuh puluh tahun.
Tapi jika melihat sorot matanya, orang akan bergidik ngeri.
Sorot matanya mencorong tajam dan berwarna kehijauan,
seperti sinar mata seekor kucing dalam gelap. Dan yang lebih
mengerikan lagi, ada sinar kekejaman yang membayang
dalam matanya. Begitu memasuki mulut desa, pandangan mata nenek
berambut putih panjang itu menatap ke sekeliling. Tapi, hanya
kesunyian saja yang ditemuinya. Apalagi saat itu hari sudah
siang. Jadi, sebagian besar penduduk memang tengah sibuk di
sawah atau di kebun. Hanya sebagian kecil saja yang tinggal
di rumah. Hanya sebentar saja nenek berpakaian merah muda itu
menatap ke sekeliling. Pandangannya kemu dian tertumbuk
pada sebuah pondok yang terletak agak terpisah dari pondok-
pondok lainnya Mendadak sepasang mata nenek itu berkilat menyiratkan
kekejaman. Seringai menyeramkan pun tampak di mulutnya
yang telah mengeriput. Tapi seringai itu hanya timbul sesaat
saja, kemudian lenyap. Dan seiring dengan lenyap
seringainya, nenek berpakaian merah muda itu bergerak
menghampiri pondok.
Luar biasa. Gerakan nenek berambut panjang itu cepat
bukan main. Sungguh tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya
yang terlihat. Hanya sekali langkah saja, jarak tujuh tombak
telah terlampaui.
Sekejap kemudian nenek berpakaian merah mudai itu telah
berada di depan pintu pondok yang tertutup rapat
"Hi hi hi...l"
Nenek berambut panjang terurai itu tertawa, sehingga
terdengar mengerikan sekali. Suara tawa itu tak ubahnya
keluar dari mulut kuntilanak.
Seiring lenyap gema suara tawanya, tangan kanan nenek
itu menepak daun pintu. Kelihatannya perlahan saja, tapi
akibatnya.... Brakkk.l Suara berderak keras terdengar ketika daun pintu pondok
itu hancur berkeping-keping. Seolah-olah, bukan tepakan
halus tangan keriput seorang nenek yang menghantamnya,
melainkan serudukan seekor kerbau liar.
Tentu saja suara berderak ribut itu membuat pemilik
pondok terperanjat. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh
kekar dan berkulit coklat. Suatu kebetulan dia tidak pergi ke
sawah, karena giginya sakit
Dapat dibayangkan, betapa gusarnya hati laki-laki bertubuh
kekar ini begitu mendengar suara berisik dari arah depan.
Dengan amarah menggelegak, dia bergegas ke luar. Tak lupa
disambarnya golok yang tergantung di dinding.
Kemarahannya kembali bergolak begitu melihat pintu
pondoknya hancur berantakan. Suara gemeretak keras
terdengar dari mulutnya karena perasaan geram melihat
rumahnya dirusak.
Perasaan amarah yang melanda membuat pikiran laki-laki
bertubuh kekar ini seperti buntu. Y ang ada di benaknya hanya
satu. Memberi pelajaran pada orang yang telah mengganggu
ketenangannya, dan sekaligus merusak pintu rumahnya.
Kalau saja laki-laki bertubuh kekar ini mau menggunakan
akal sehat sedikit saja, tentu sudah bisa memperkirakan
kepandaian orang yang telah mampu menghancurkan
pintunya. Jelas orang itu bukanlah orang sembarangan.
Namun hal itu sama sekali belum terpikirkan olehnya.
Kemarahan yang melandanya baru menciut begitu melihat
sosok yang berdiri di ambang pintu. Tampak di matanya
seorang nenek tua renta yang bertubuh ringkih.
"Nenek inikah yang telah menghancurkan pintu rumahku?"
tanya pemilik pondok dalam hati dengan, perasaan tidak
percaya. "Tapi kaiau bukan nenek ini, siapa lagi" Buktinya
tidak nampak ada orang lain lagi di sekitar sini."
Maka meskipun dengan perasaan ragu, dihampirinya nenek
berpakaian merah muda itu. Hanya saja kemarahan yang
melandanya sebagian besar telah menguap. Kini yang tinggal
hanyalah perasaan penasaran dan rasa sakit yang mendera
giginya. "Siapa kau, Nek" Mengapa merusak pintu rumahku?" tanya
laki-laki berkulit coklat itu. Sengaja pertanyaan itu diajukan,
meskipun yakin nenek itu bukan pelakunya. Sudah dapat
diterka, nenek itu pasti akan menyangkal.
"Bukan hanya pintu pondok ini saja yang kuhancurkan. Tapi
juga kau!"
Dapat dibayangkan, betapa kaget hati milik pondok itu
begitu mendengar jawaban yang keluar dari mulut nenek
berpakaian merah muda ini.
Seiring ucapan Itu tadi, sepasang mata nenek Itu
mencorong seperti memancarkan sinar berapi. Karuan saja hal
ini membuat laki-laki bertubuh kekar itu terperanjat. Seketika
itu pula disadari kalau nenek di hadapannya bukan orang
sembarangan. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, pemilik pondok
itu me lompat menerjang. Golok di tangannya berkelebat
membacok dari atas ke bawah. Rupanya, dia bermaksud
membelah tubuh nenek itu.
"Hmh...!"
Nenek berpakaian merah muda itu hanya mendengus.
Tidak tampak ada tanda-tanda kalau akan menangkis atau
mengelak Jelas, nenek itu tidak memandang serangan itu
sebagai sesuatu yang berbahaya.


Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru setelah serangan itu menyambar dekat, tangan nenek
berpakaian merah muda itu terjulur ke depan. Luar biasa.
Serangan golok itu disambut dengan tangannya.
Laki-laki bertubuh kekar itu terkejut melihat hal ini. Gilakah
sebenarnya nenek ini" Kalau tidak gila, mengapa hendak
mengadu golok itu dengan tangannya yang kurus kering dan
keriput" Mau tak mau, perasaan ragu-ragu laki-laki itu membuat
tenaganya yang mengayunkan golok jadi mengendur.
Meskipun begitu, tetap saja ayunan golok itu cukup untuk
memutuskan tangan. Apalagi kelihatannya tangan nenek
berambut panjang itu terlihat lemah.
Takkk...! Suara berdetak keras seperti dua benda kuat berbenturan
terdengar ketika golok itu beradu dengan tangan nenek
berpakaian merah muda. Luar biasa. Tangan nenek itu sama
sekali tidak putus. Bahkan sebaliknya, tangan pemilik pondok
itu yang bergetar hebat. Tangannya terasa seolah-olah
lumpuh. Terutama, jari-jari tangannya yang menggenggam.
Tanpa dapat dicegahnya lagi, golok itu terlepas dari cekalan
tangannya. Dan sebelum laki-laki bertubuh kekar itu sempat berbuat
sesuatu, tangan nenek itu kembali bergerak. Cepat bukan
main gerakannya. Dan....
Tappp...! Tak pelak lagi, tangan laki-laki bertubuh kekar itu tercekal
tangan keriput nenek berpakaian merah muda. Dan dengan
cepat, tangan nenek itu bergerak meremas.
Krrrkkk...! Suara bergemeretak keras terdengar ketika tulang-tulang
tangan pemilik pondok itu hancur berantakan. Seakan-akan
tangan itu terbuat dari tahu.
Laki-laki berkulit coklat itu seketika menjerit memilukan,
seiring gerakan meremas tangan nenek berambut panjang.
Rasa sakit tak tertahankan yang melanda, membuatnya tak
kuasa menahan jeritan.
Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tangan nenek
berpakaian merah muda Itu sudah kembali bergerak.
Langsung disampoknya pelipis laki-laki kekar itu.
Prakkk! Tanpa sempat mengeluarkan suara lagi, tubuh laki-laki
berkulit coklat Itu ambruk ke tanah dengan pelipis pecah.
Sebentar dia menggelepar, lalu tewas tanpa bersambat lagi.
Darah nampak menggenang di lantai rumahnya.
"Hi hi hi...! Orang sepertimu berani menantang Bidadari
Sabuk Emas"! Cuhhh...!" dengan kasar, nenek berambut
panjang yang ternyata berjuluk Bidadari Sabuk Emas itu
meludahi wajah mayat pemilik rumah Itu.
Sambil tertawa terkikih, nenek berpakaian merah muda itu
lalu melangkah meninggalkan mayat yang membujur
tergenang darah. Suasana sekitar tempat Itu memang sepi,
sehingga keributan kecil itu sama - sekali tidak mengundang
penduduk lain. Apalagi, rumah penduduk yang malang itu
terpisah jauh dari rumah penduduk lainnya.
"Hi hi hi...!"
Kembali Bidadari Sabuk Emas tertawa terkikih ketika
langkah kakinya berhenti di depan sebuah pintu rumah yang
tertutup rapat Masih dengan suara tawa mengikik, nenek berpakaian
merah muda ini mengeluarkan sebuah sabuk berwarna kuning
keemasan dari pinggang, kemudian melecutkannya.
Ctarrr...! Brakkk..!
Suara hiruk pikuk diiringi hancurnya daun pintu hingga
berkeping-keping
terdengar ketika ujung sabuk itu melecutnya. Suara hiruk pikuk itu membuat penghuninya yang berada di
dalam rumah melangkah keluar dengan takut-takut. Mereka
adalah seorang nenek dan kakek yang tua dan ringkih. Jelas
kedua orang itu adalah sepasang suami istri yang telah
berusia lanjut. Bahkan sang Kakek telah agak bungkuk
tubuhnya. "Hi hi hi...!"
Nenek berpakaian merah muda yang berjuluk Bidadari
Sabuk Emas itu tertawa terkikih. Kembali sabuk di tangannya
digerakkan. Sabuk itu lemah gemulai melenggak-lenggok, ke
kanan dan ke kiri. Lalu mendadak....
Rrrttt..! Laksana seekor ular sanca, sabuk itu melilit pinggang nenek
pemilik rumah. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, tangan
Bidadari Sabuk Emas bergerak
Terdengar jerit kengerian dari mulut nenek pemilik rumah
ketika tubuhnya terlempar ke depan. "Nyi...."
Kakek pemilik rumah memekik keras ketika melihat istrinya
terlempar ke atas. Dengan tertatih-tatih 1 kakinya melangkah
keluar karena khawatir dengan keselamatan istrinya
Tapi baru beberapa tindak melangkah, Bidadari Sabuk
Emas telah menggerakkan kembali sabuknya. Dan....
Ctarrr...! Suara lecutan cukup keras terdengar ketika ujung sabuk
yang berwarna kuning keemasan itu menyengat dada kakek
bertubuh agak bungkuk itu.
Hebat akibatnya. Tubuh kakek pemilik rumah itu terjajar ke
belakang. Untung baginya, nenek berpakaian merah muda itu
hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam. Kalau tidak,
tentu seluruh isi dadanya pasti hancur lebur.
Meskipun begitu, tak urung darah segar memercik dari
sudut-sudut mulut kakek bungkuk itu. Tubuhnya pun cukup
keras menghantam dinding rumah.
Tubuh kakek bungkuk itu merosot perlahan-lahan ke lantai.
Untuk beberapa saat lamanya dia berdiam diri saja dengan
sikap tubuh terduduk. Keadaan tubuhnyalah yang membuatnya tidak dapat segera bangkit, walaupun keinginan
itu begitu besar.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Bidadari Sabuk
Emas. Tanpa mengenal rasa kasihan, kembali tabuk di
tangannya dilecutkan. Ctar, ctar, ctar...!
Bertubi-tubi ujung sabuk itu kini menghujani berbagai
bagian tubuh nenek pemilik rumah. Seketika itu pula jeritan
menyayat kembali terdengar saling susul diiringi menggebat-
geliatnya tubuh nenek pemilik rumah itu.
"Hi hi hi...!"
Nenek berambut panjang itu tertawa terkikih-kikih melihat
calon korbannya menggeliat-geliat kesakitan. Memang,
Bidadari Sabuk Emas bermaksud menyiksa nenek bertahi lalat
besar itu. Maka, lecutan-lecutan sabuknya yang bertubi-tubi
ditujukan hanya untuk menimbulkan rasa sakit Sakit, pedih,
dan panas mendera nenek pemilik rumah.
Pakaian nenek bertahi lalat besar itu sudah koyak-koyak di
sana-sini. Bahkan kulit tubuhnya pun pecahpecah sehingga
darah segar pun merembes ke luar.
Rupanya pemandangan yang menyayat hati Itu amat
menyenangkan Bidadari Sabuk Emas. Ini terbukti dari tawanya
yang tak putus-putus mengiringi lecutan sabuknya.
"Iblis biadab...!"
Kakek pemilik rumah berseru keras melihat penderitaan
istrinya. Dia menggeram marah, sambil ber. usaha
menguatkan diri untuk bangkit Dan dia berhasil.
Secepat tubuhnya telah berdiri, secepat itu pula kakek
bungkuk ini berlari menuju ke arah tempat istrinya disiksa!
"Hmh...!"
Bidadari Sabuk Emas mendengus. Kini sabuk di tangannya
digerakkan untuk menyerang kakek bertubuh bungkuk itu.
Wuttt..! Tukkk!
"Akh...!"
Telak dan keras sekali ujung sabuk yang tiba-tiba
mengejang kaku laksana tombak Itu menyengat lutut sebelah
kanan si kakek. Terdengar suara berderak keras mengiringi
robohnya tubuh kakek pemilik rumah di tanah.
Kini Bidadari Sabuk Emas mengalihkan penyiksaannya.
Lecutan-lecuan sabuknya kini meluncur deras dan bertubi-tubi
ke arah berbagai bagian tubuh s i kakek.
Akibatnya sudah bisa diduga! Setiap kali ujung sabuk itu
melecut, tubuh kakek bungkuk Itu menggeliat. Beberapa kali
tubuhnya mengejang kaku bila ujung sabuk itu mengenal
sasaran. Keluhan diiringi seringai kesakitan selalu terdengar
dan terlihat tatkala ujung sabuk itu menemui sasarannya.
"Iblis keji! Hentikan...!"
Bentakan keras menggelegar pertanda didukung tenaga
dalam cukup tinggi, membuat Bidadari Sabuk Emas
menghentikan penyiksaannya. Dengan wajah merah padam
menahan amarah, tubuhnya berbalik ke arah belakangnya.
Dari s itulah suara itu berasal.
Kini di hadapannya dalam jarak empat tombak, berdiri tiga
sosok tubuh berpakaian biru yang rata-rata berusia muda. Di
dada kiri mereka terdapat gambar sepasang pedang yang
disulam dari benang perak.
"Hmh...! Tikus-tikus kecil dari Perkumpulan Pedang Perak
rupanya...," dengus Bidadari Sabuk Emas. Nada suara dan
sikapnya terlihat jelas memandang rendah.
Tiga orang berpakaian biru yang ternyata murid
Perkumpulan Pedang Perak itu menggertakkan gigi. Memang
mereka merasa tersinggung mendengar hinaan yang keluar
dari mulut nenek berpakaian merah muda itu. Ucapan yang
jelas-jelas menghina dan merendahkan!
'Tutup mulutmu, Nenek Peot...!" bentak salah seorang dari
murid Perkumpulan Pedang Perak yang bercambang lebat
"Keparat..! Berani kau membentakku, T ikus Kecil" Apa kau
sudah mempunyai nyawa rangkap sehingga berani berkata
seperti itu pada Bidadari Sabuk Emas"! Jangan harap kalian
semua akan bisa lolos dari s ini dalam keadan hidup!"
Wajah ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak
seketika berubah begitu mendengar nenek berpakaian merah
muda itu menyebut julukannya. Memang, mereka semua telah
mendengar julukan itu. Bidadari Sabuk Emas adalah salah
seorang tokoh sesat dunia persilatan. Kegemarannya adalah
menyiksa orang sampai mati!
"Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban kami untuk
melenyapkan tokoh berhati iblis sepertimu...!" tegas murid
Perkumpulan Pedang Perak yang wajahnya penuh jerawat
Srat, srat, srattt..!
Sinar terang berkelebat ketika ketiga orang itu menghunus
pedang yang tersampir di pinggang. Begitu mengetahui siapa
adanya nenek berpakaian merah muda itu, mereka tidak
berani bersikap ma in-ma in lagi Dengan langkah menggeser
tanah, mereka melangkah maju, dan langsung menyebar.
Mengurung nenek berambut panjang itu dari segala arah.
"Hi hi hi...!"
Bidadari Sabuk Emas tertawa terkikih me lihat ketiga orang
lawannya menghunus senjata. Nenek itu sama sekali tidak
tampak waspada, sekalipun ketiga orang lawannya telah siap
dengan senjata terhunus. I
"Serbu...!"
Laki-laki yang bercambang lebat berseru keras.
Sambil melompat menerjang, pedangnya ditusukkan rapat
ke arah leher Bidadari Sabuk Emas.
Pada saat yang bersamaan, kedua orang rekannyajuga
segera menyerang. Pedang laki-laki berwajah penuh jerawat
itu membabat cepat ke arah leher. Sementara rekan yang
satunya lagi menusukkan peningnya ke arah punggung.
Suara angin mencicit mengiringi tibanya serangan itu. Dari
serangan ini saja bisa diketahui kalau ketiga orang berpakaian
biru ini bukan tokoh sembarangan. Memang di Perkumpulan
Pedang Perak, ketiga orang ini memiliki tingkat kepandaian
sedikit di bawah murid-murid kepala. Padahal, Perkumpulan
Pedang Perak adalah sebuah perkumpulan aliran putih yang
besar. Tingkat kepandaian ketuanya, dikabarkan tidak di
bawah tingkat datuk-datuk dunia persilatan. Jadi, bisa
diperkirakan, kelihaian ketiga orang ini.
Bidadari Sabuk Emas pun menyadari hal itu. Maka, dia tidak
berani menerima serangan lawan dengan tubuhnya. Cepat
laksana kilat kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian,
tubuhnya melayang ke atas.
Hasilnya, semua serangan itu hanya menyambar tempat
kosong, jauh di bawah kakinya.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan nenek berambut
panjang itu. Tatkala rubuhnya berada di udara, sabuk di
tangannya mematuk ke arah ubun-ubun laki-laki bercambang
lebat. Namun laki-laki bercambang lebat tidak gugup me lihat hal
ini. Dia memang sudah bersiap siaga untuk menghadapi
serangan mendadak, begitu diketahui kalau lawannya adalah
tokoh sesat yang menggiriskan. Buru-buru tubuhnya dilempar
ke belakang. Ctarrr...!
Ledakan keras seperti ada halilintar menyambal terdengar
ketika sabuk itu melecut tempat kosong.
Kedua orang rekan laki-laki bercambang lebat tidak tinggal
diam begitu me lihat rekannya didesak Bidadari Sabuk Emas.
Bergegas mereka bergerak membantu, menghujani lawan
dengan serangan-serangan maut. Sehingga, Bidadari Sabuk
Emas terpaksa menghentikan desakannya pada laki-laki
bercambang lebat
Pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari lagi. Bidadari
Sabuk Emas yang memang sudah berniat membunuh ketiga
murid Perkumpulan Pedang Perak tidak tanggung-tanggung
lagi menyerang. Kedua belah pihak pun mengerahkan seluruh
kemampuan masing-masing.
Sebenarnya kalau dibuat perbandingan, kepandaian
masing-masing murid Perkumpulan Pedang Perak itu masih
amat jauh di bawah Bidadari Sabuk Emas. Tapi karena ketiga
orang ini maju bersama-sama, tambahan lagi ketiganya


Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu bekerja sama, untuk beberapa saat lamanya
pertarungan berjalan seimbang.
Suara riuh rendah menyemaraki pertarungan antara
seorang nenek yang terlihat ringkih menghadapi ketiga orang
lawan yang masih muda-muda dan terlihat kuat. Desingan
pedang ketiga murid Perkumpulan Pedang Perak, diiringi
ledakan-ledakan sabuk Bidadari Sabuk Emas menambah
ramainya pertarungan.
Ctarrr...! Untuk yang kesekian karinya ujung sabuk Bidadari Sabuk
Emas menghantam tanah. Kontan hasilnya menambah
banyaknya lubang besar yang terbentuk akibat lecutan
cambuk pada tanah.
Tapi ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak hanya
mampu bertahan sampai tiga puluh jurus saja. Ketika
memasuki jurus ketiga puluh satu, nenek berpakaian merah
muda itu mulai dapat mendesak lawan-lawannya.
Bahkan Bidadari Sabuk Emas kini sudah bisa membuat
kerja sama ketiga orang lawannya berantakan. Serangan-
serangan murid Perkumpulan Pedang Perak itu semakin
jarang, dan kini lebih sering mengelak
Sebaliknya, serangan-serangan Bidadari Sabuk Emas
datang semakin bertubi-tubi. Sabuknya menghujani berbagai
bagian yang berbahaya di tubuh ketiga orang lawannya.
Mendadak pada jurus yang keempat puluh satu, gerakan
sabuk nenek berpakaian merah muda Itu berubah cepat. Kini
sabuk itu bergerak me liuk-liuk seperti seekor ular. Kemudian,
secara tidak terduga-duga mematuk salah satu bagian
mematikan di tubuh lawan.
Memang, Bidadari Sabuk Emas kini sudah mengeluarkan
jurus-jurus sabuk andalannya. Dan akibatnya, ketiga orang
lawan itu kebingungan melihat gerakan sabuk yang meliuk-liuk
seperti ular sehingga sulit diduga arahnya.
Prattt..! Laki-laki bercambang lebat terjengkang ke belakang dan
jatuh berdebuk di tanah. Tanpa bersuara sedikit pun, dia tidak
bangun lagi untuk selamanya ketika sabuk itu menotok keras
lehernya. Dia tewas karena tulang lehernya hancur
berentakan. Hampir berbarengan dengan robohnya laki-laki bercambang
lebat, kedua orang rekannya pun roboh pula. Laki-laki
berwajah penuh jerawat tewas dengan pelipis pecah.
Sedangkan rekannya terkena totokan keras pada dadanya.
"Hi hi hi...!"
Sambil tertawa terkikih, Bidadari Sabuk Emai melesat pergi
dari situ. Tak dipedulikannya lagi lima sosok tubuh yang
tergeletak di tanah. Hanya dalam beberapa kali lompat saja,
tubuhnya sudah berubah menjadi sebuah titik di kejauhan.
Semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap ditelan
jalan. ~dewi-KZ~ 5 Ah... Seruan kaget terdengar dari mulut seorang pemuda
berwajah tampan berambut putih keperakan. Pakaiannya
berwarna ungu, membungkus tubuhnya yang tegap berisi,
dibanduli sebuah guci arak dari perak. Sepasang matanya
menatap ke depan. Memang, pemandangan yang terpampang
di hadapannyalah membuat hatinya terkejut. Betapa tidak"
Dalam jarak sekitar tujuh tombak darinya, terlihat lima sosok
tubuh bergeletakan di tanah. Pemuda berpakaian ungu itu
melesat cepat menghampiri.
Sambil terus menatap, dihapusnya keringat yang membasahi wajahnya dengan
punggung tangan. Saat ini, matahari memang tepat di atas
kepalanya. Sinarnya memancar terik ke bumi, seperti hendak
membakar seluruh makhluk yang ada.
Hanya sekali lesat saja, tubuh pemuda berpakaian ungu itu
telah berada di hadapan lima sosok tubuh yang tergolek.
Perlahan-lahan tubuhnya dibungkukkan dan berjongkok
Kemudian diperhatikannya satu persatu sosok-sosok tubuh
yang membujur tak tentu arah. "Hhh...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas
berat Kepalanya digeleng-gelengkan ketika me lihat keadaan
mereka. Lima sosok tubuh itu terdiri dari tiga orang pemuda
berpakaian biru, yang di dada kirinya terdapat gambar
sebatang pedang yang disulam dari benang perak. Sedangkan
dua orang lagi adalah kakek dan nenek yang telah tewas.
Sekujur tubuh mereka penuh luka luka lecutan.
Pemuda berpakaian ungu itu memeriksa tubuh tubuh yang
tergolek satu persatu. Beberapa kali kepalanya menggeleng
setiap kali menyadari kalau orang yang diperiksa telah tewas.
Tapi pada saat memeriksa sosok tubuh yang berpakaian
biru, wajah pemuda berambut putih keperakan ini berseri. Ada
denyut halus di pergelangan tangan pemuda berkulit putih itu.
Ternyata dia masih hidup.
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau nyawa
pemuda berkulit putih ini tidak bisa diselamatkan lagi.
Memang, luka pada dadanya terlampau parah. Tapi melihat
kenyataan kalau pemuda yang tergolek ini masih hidup,
betapa gembiranya hati pemuda berambut putih keperakan
itu. Hal ini setidak-tidaknya bisa diketahui dari mulutnya yang
bergerak-gerak sedikit.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut
putih keperakan itu menotok beberapa bagian tubuh sosok
yang tergolek ini.
"Katakan, siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya
pemuda berpakaian ungu itu, tergesa-gesa. Dia tahu, kalau
tidak cepat-cepat, nyawa pemuda berpakaian biru itu telah
lebih dulu melayang meninggalkan raganya.
"B.... Bi.,., Bidadari Sabuk Emas...," jawab murid
Perkumpulan Pedang Perak itu terputus-putus.
"Ha.... Bidadari Sabuk Emas...," ulang pemuda berambut
putih keperakan itu seraya mengernyitkan dahi. Memang, dia
belum pernah mendengar julukan Itu, karena baru pertama
kali tiba di daerah ini.
"Kami.... Diutus ketua kami dari Perkumpulan Pedang Perak
untuk mencari pencuri kitab pusaka perkumpulan kami....
Kitab itu berisi ilmu yang terlarang untuk dipelajari. Ilmu
Tangan Racun Pasir Merah... Dan..., ah...!"
Sebelum berhasil menyelesaikan ucapannya, kepala murid
Perkumpulan Pedang Perak itu telah lebih dulu terkulai.
Nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.'
"Hhh...!"
Seraya menghembuskan napas berat, pemuda berambut
putih keperakan itu bangkit berdiri. Kini masalah Itu telah
sedikit dimengerti. Rupanya ketiga orang gagah itu diutus
gurunya untuk mencari pencuri kitab pusaka perkumpulan
mereka. Tapi, mereka semua tewas di tangan Bidadari Sabuk
Emas. "Hm.... Tokoh itukah yang mencurinya?" tanyanya dalam
hari. 'Pembunuh keparat! Rasakan pembalasanku...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring diiringi suara desing
tajam yang menyakitkan telinga. Seketika pemuda berpakaian
ungu itu menghentikan jalan pikirannya. Apalagi tatkala terasa
ada desir angin tajam yang meluruk cepat ke arahnya.
Suaranya mendecit, seperti ada puluhan ekor tikus mencicit
Buru-buru pemuda berambut putih keperakan
ini melakukan lompatan harimau. Tubuhnya melambung ke
depan setinggi setengah tombak, lalu mendarat di tanah
bertumpu dengan kedua tangannya. Sesaat kemudian,
tubuhnya bergulingan di tanah beberapa kati, lalu berdiri
tegak menghadap orang yang membokongnya.
Pemuda berpakaian ungu itu menatap ke arah seorang
gadis berwajah cantik jelita dan berpakaian biru. Matanya
merayapi tiga sosok mayat murid Perkumpulan Pedang Perak
Raut wajah maupun sinar matanya menyiratkan kemarahan
hebat. Begitu melihat pakaian gadis itu, pemuda berambut putih
keperakan ini jadi cemas juga. Hatinya khawatir kalau gadis
itu adalah rekan tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak
yang tewas. Dan menilik dari makian yang tadi sempat
didengarnya, bisa diterka kalau gadis itu menuduhnya sebagai
pelaku pembantaian ini.
Kekhawatiran pemuda berambut putih keperakan itu
ternyata terbukti. Setelah memperhatikan mayat-mayat itu
beberapa saat lamanya, perhatian gadis berpakaian biru ini
beralih ke arah pemuda berpakaian ungu. Dan memang, pada
dada sebelah kiri pakaiannya terdapat gambar sebatang
pedang yang disulam dari benang perak. Jelas, gadis ini
adalah kawan tiga mayat pemuda itu.
Diam-diam, pemuda berpakaian ungu ini harus mengakui
kalau wajah gadis berpakaian biru itu amat cantik laksana
bidadari. Rambutnya yang hitam, halus, dan dikepang dua
semakin memperjelas kecantikannya. Meskipun tengah marah,
kecantikannya sama kali tidak berkurang. Bahkan justru lebih
terlihat menarik.
Kulit wajahnya nampak memerah seperti tomat masak.
Sementara, sepasang matanya yang bersinar-sinar, tampak
semakin nyata keindahannya sewaktu melotot.
"Jangan harap bisa lolos dari tanganku, Pembunuh Keji...!"
desis gadis berambut kepang itu tajam. Ada ancaman maut
yang tersembunyi di dalam ucapannya.
Setelah berkata demikian, gadis itu langsung melompat
menerjang. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah
leher. Suara mengaung keras terdengar seiring tibanya
serangan. Jelas, serangan itu mengandung pengerahan
tenaga dalam kuat.
Pemuda berambut putih keperakan itu seketika terperanjat.
Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam gadis itu demikian
kuat. Suara mengaung keras yang mengiringi serangan
pedang itulah yang membuktikannya.
Meskipun begitu, pemuda berpakaian ungu ini bersikap
tenang. Walaupan agak bergegas, buru-buru kaki kirinya
melangkah ke samping kiri seraya mendoyongkan tubuh
sehingga tusukan pedang itu hanya mengenai tempat kosong,
lewat sekitar setengah Jeng kal di sebelah kanan lehernya.
Luar biasa. Hampir pemuda berambut putih keperakan ini
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Begitu serangan
berhasil dielakkan, pedang gadis berpakaian biru itu melingkar
melewati atas kepalanya. Kemudian, dari samping kanan
membabat cepat ke arah leher.
Pemuda berpakaian ungu itu tidak punya pilihan lain lagi.
Segera kedua, kakinya dijejakkan ke tanah, sesaat kemudian
melempar tubuhnya ke belakang.
Wunggg...! Suara mengaung keras terdengar begitu babatan pedang
lewat di bawah kaki pemuda berambut putih keperakan itu.
Sebenarnya bukan hanya pemuda berambut putih
keperakan itu saja yang terkejut melihat kehebatan lawan.
Gadis berpakaian biru ini pun begitu terperanjat melihat
serangannya bisa dihindari pemuda di hadapannya. Padahal,
datangnya serangan begitu tiba-tiba. Lagi pula, lawan tengah
dalam keadaan tidak menguntungkan. Dari sini saja, dia sudah
bisa memperkirakan kalau lawannya bukan orang sembarangan. Tapi gadis berpakaian biru ini tidak membiarkan benaknya
dipenuhi pikiran itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi
tubuhnya segera melompat mengejar pemuda berambut putih
keperakan yang masih berada di udara. Pedang di tangannya
meluncur deras mengeluarkan suara mengaung keras.
Pemuda berpakaian ungu itu terkejut bukan main.
Serangan susulan yang dilakuan lawan datang begitu tiba-tiba.
Tidak ada lagi kesmpatan baginya untuk mengelak. Apalagi
tubuhnya tengah berada di udara. Segera dijumput guci
araknya yang tersampir di punggung, kemudian disorongkan
ke arah pedang yang tengah meluncur deras ke dada.
Klanggg...! Suara berdentang nyaris terdengar begitu kedua benda
yang berbeda jenis itu berbenturan. "Hup...!"
Gadis berpakaian biru mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Sekujur tanganya yang menggenggam pedang terasa bergetar
hebat hampir lumpuh. Jelas, tenaga dalam lawan masih di
atasnya. "Nisanak...! Tunggu sebentar...! Kau salah paham....Aku
Arya Buana. Aku sama sekali tidak tahu-menahu dengan
pembunuhan ini!" cegah pemuda berambut putih keperakan
yang memang tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak, begitu
kedua kakinya mendarat di tanah. Tangan kanannya pun
langsung dijulurkan ke depan.
"Tidak usah berbasa-basi, Pengecut! Aku, Ranti. Bukan
termasuk orang yang suka berbasa-basi.' Bersiaplah menerima
pembalasanku!"
Setelah berkata demilan, gadis berpakaian biru yang
ternyata bernama Ranti kembali menyerang. Mau tak mau,
Arya meladeninya. Tentu saja Dewa Arak tidak sudi mati
secara sia-sia. Menghadapi orang selihai Ranti tanpa
melakukan perlawanan, adalah suatu perbuatan bodoh. Bukan
tidak mungkin dirinya akan tewas di tangan lawannya ini.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, guci araknya segera dituang ke
dalam mulurnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika cairan arak melewati
tenggorokannya. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu mulai limbung ketika hawa hangat yang
semula merayapi perut naik ke atas kepalanya. Arya kini
sudah siap menggunakan ilmu andalannya, ilmu 'Belalang
Sakti'. Pertarungan tidak bisa dihindari lagi. Kemarahan gadis
berpakaian biru itu rupanya memang sudah tidak bisa dicegah
lagi. Diserangnya Dewa Arak selalu dengan bertubi-tubi ke


Dewa Arak 22 Maut Dari Hutan Rangkong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Diam-diam Arya merasa kagum melihat kepandaian yang
dimiliki gadis berambut kepang ini. Serangan-serangan
pedangnya datang susul-menyusul laksana gelombang laut.
Suara mengaung keras mengiringi setiap kibasan pedang itu.
Jelas kalau Ranti memiliki ilmu pedang yang patut
diperhitungkan.
Tapi yang dihadapinya kali ini adalah Dewa Arak. Seorang
tokoh yang walaupun masih muda, tapi mengukir nama besar
dalam rimba persilatan. Dengan jurus 'Delapan Langkah
Belalang' yang aneh, pemuda berambut putih keperakan itu
tidak mengalam i kesulitan untuk menghindari setiap serangan
yang dilancarkan Ranti.
Ranti menggertakkan gigi tatkala mengetahui semua
serangannya mudah sekali dielakkan lawan. Bahkan dengan
gerakan aneh, yang lebih mirip orang mabuk.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan memang, kedua orang
yang bertarung itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi. Tak terasa, empat puluh jurus telah berlalu. Tapi
sampai sekian lamanya, tetap saja Ranti tidak mampu
mendesak Dewa Arak. Padahal, seluruh kemampuan yang
dimilikinya telah dikerahkan.
Hal ini membuat Ranti geram bukan kepalang. Padahal di
Perkumpulan Pedang Perak, dialah satu-satunya murid yang
kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi. Bahkan hanya
berada sedikit di bawah sang Ketua sendiri.
Kini kepandaian yang telah dilatihnya secara susah payah,
sama sekali tidak berarti ketika menghadapi pemuda berambut
putih keperakan ini. Lalu, bagaimana bila bertemu tokoh-tokoh
dunia persilatan"
Yang lebih menyakitkan hati Ranti, ternyata lawannya sama
sekali belum balas menyerang. Selama lebih dari empat puluh
jurus menyerang, lawan hanya mengelak saja. Tak sekali pun
pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan serangan
balasan. Jelas, Dewa Arak tidak bersungguh-sungguh
menghadapinya. Dan bagi Ranti, ini berarti kepandaian yang
dimilikinya sama sekali tidak dianggap.
Pikiran seperti itu membuat Ranti menyerang lebih gencar
lagi. Sama sekali gadis ini tidak tahu kalau Arya bukan
menganggap rendah kepandaiannya. Tapi, Dewa Arak tidak
ingin keadaan jadi semakin bertambah buruk, bila melakukan
serangan balasan.
Maka Arya menggunakan keanehan jurus 'Delapan Langkah
Belalang' untuk me lakukan perlawanan tanpa balas menyerang. Dengan keistimewaan jurusnya, tidak sulit
baginya untuk mengelakkan setiap serangan yang datang
bertubi-tubi. Beberapa kali sewaktu Ranti menyerang, Arya menuangkan
arak ke mulutnya. Dan itu memang me rupakan salah satu
gerakan dalam ilmu 'Belalang Sakti'. Tapi gadis berambut
kepang itu tidak menganggapnya demikian. Dewa Arak
berbuat seperti itu dikira untuk menunjukkan keunggulannya.
Dan sebagai akibatnya, serangan Ranti semakin menggebu-
gebu. Suara mengaung keras dan mencicit menyakitkan telinga,
diselingi tegukan ketika Arya menenggak araknya, menyemaraki jalannya pertarungan.
Puluhan jurus telah kembali berlalu. Hingga kini,
pertarungan tengah berlangsung hampir seratus jurus. Dan
selama itu Ranti tetap saja belum mampu mendesak Dewa
Arak. Kesabaran Arya akhirnya habis juga. Sungguh tidak
disangka kalau Ranti akan begitu keras kepala. Maka terpaksa
Dewa Arak memutuskan untuk menundukkannya dengan
kekerasan. Setelah memutuskan demikian, Dewa Arak mulai
menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'. Dan kini otot-otot
tubuhnya mengejang, serta melemas secara mendadak.
Sementara Ranti menggertakkan giginya. Begitu Dewa Arak
mulai menyerang, baru dirasakan kehebatannya. Serangan-
serangan Arya yang dilakukan dengan gerakan-gerakan aneh
itu membuat Ranti bingung.
Tapi meskipun terlihat aneh, Ranti merasakan beratnya
tekanan setiap serangan Arya. Tak sampai dua puluh jurus
saja, gadis itu sudah terdesak hebat. Memang, dia belum
berpengalaman menghadapi berbagai jenis ilmu silat. Maka
menghadapi ilmu semacam yang dimiliki Dewa Arak, jelas jadi
kebingungan. Tambahan lagi, Dewa Arak telah cukup mengetahui
perkembangan ilmu lawannya. Maka, bukanlah suatu hal yang
sulit untuk menekan lawan. Gerakan-gerakan tangan yang
meliuk-liuk aneh, ditambah serangan guci membuat Ranti
pusing. Belum lagi semburah-semburan arak yang keluar dari
mulut Arya. Itu semua membuat Ranti kewalahan bukan main.
Kini serangan pedang Ranti tidak lagi menggebu-gebu
seperti semula. Ganti Dewa Arak yang melakukan desakan-
desakan. Ranti kini lebih banyak mengelak, ketimbang
menyerang. Bahkan menangkis pun hampir tidak dilakukannya. Karena setiap kali berbenturan, tangannya
selalu kesemutan hebat.
Menjelang jurus keempat puluh, gadis berambut kepang ini
sudah pontang-panting ke sana kemari untuk mengelakkan
serangan Arya. Sudah bisa diperkirakan kalau robohnya gadis
ini hanya tinggal menunggu saat saja.
Pada jurus keempat puluh tiga, saat naas Ranti pun tiba.
Sebuah totokan jari tangan Dewa Arak tak mampu dielakkan
lagi. Tak pelak lagi, tubuh gadis itu roboh ke tanah. Lemas
tanpa tenaga. "Hhh...!"
Tusuk Kondai Pusaka 11 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Badai Awan Angin 19
^