Pencarian

Memburu Putri Datuk 2

Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk Bagian 2


habis persoalan.
Kalian pun telah mengetahuinya. Mengapa kini diperpanjang kembali?"
"Tidak perlu banyak basa-basi, Kalapati. Orang seperti kau tidak layak dibiarkan
hidup. Kakak seperguruanku dulu memang pengecut, sehingga menganggap selesai
masalah ini. Tapi aku tidak! Aku akan tetap mempermasalahkan hal ini sampai
tuntas! Bagaimana pun juga penghinaanmu atas Perguruan Golok Maut harus ditebus!" sahut
kakek jenggot panjang tegas. "Dan kau akan dihukum oleh kakak seper-guruanmu atas kelancangan melanggar
keputusan-nya," ejek Kalapati yang sejak tadi sudah merasa tidak senang melihat
sikap kedua orang pimpinan Perguruan Golok Maut itu.
"Ha ha ha...!" kakek jenggot panjang itu tertawa bergelak. "Kau lihat ini,
Kalapati"!"
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menghunus golok yang sejak tadi
tergantung di pinggangnya.
Srat..! Seketika secercah sinar kekuningan berpendar, ketika kakek berjenggot panjang
itu menghunus goloknya tinggi-tinggi.
"Golok Emas...," desis Kalapati setengah tak percaya. Kekagetan membayang jelas
di wajahnya. Memang kakek berwajah bengis ini terkejut bukan main tatkala melihat kakek
berjenggot panjang itu membawa golok emas. Kalapati tahu betul aturan Perguruan
Golok Maut. Sepengetahuannya sang Ketua mempunyai senjata sebatang golok emas,
sedangkan untuk wakil ketua adalah sebatang golok perak. Tapi mengapa golok emas
dipegang oleh kakek jenggot panjang ini" Kalapati bertanya dalam hati.
"Ya, golok emas. Kau kaget, Kalapati"!" tanya kakek berjenggot panjang bernada
mengejek. "Jadi, kau..."
"Ya. Akulah Ketua Perguruan Golok Maut. Tidak lagi si tua bangka pengecut itu!
Aku telah menantangnya bertarung memperebutkan golok emas. Dan dia berhasil
kukalahkan!"
"Hhh...!"
Suara helaan napas berat terdengar dari mulut Kalapati. Kakek berwajah bengis
ini menyadari kalau keributan tidak mungkin dapat dihindari lagi. Padahal dia
sudah bersumpah untuk tidak membunuh lagi.
Hal ini tentu saja membuatnya mengeluh dalam hati.
Mendadak raut wajah Kalapati berubah. Pendengarannya yang tajam mendengar suara-
suara teriakan melengking di kejauhan. Kakek ini kenal betul suara itu. Suara
putrinya! Dan seketika itu juga rasa khawatir yang amat sangat mencekam hatinya.
Dan kekhawatirannya bertambah besar, begitu dilihatnya sesosok tubuh bergerak
cepat ke arahnya.
Sekali lihat saja, Kalapati telah mengenal orang yang datang itu.
"Gambala.... Ada masalah apa lagi kakek itu kemari?" desah kakek berpakaian
kulit ular itu dalam hati.
Sesaat kemudian, Ketua Perguruan Pedang Ular telah berada di sebelah kedua
pemimpin Perguruan Golok Maut. Kalapati menatap tajam wajah Gambala.
Tapi kakek bermata sayu itu balas menatap tak kalah tajam.
Belum sempat kakek berwajah bengis ini berbuat sesuatu, tahu-tahu si Golok Emas
telah lebih dulu menerjang. Golok berwama kuning keemasan di tangannya
berkelebatan cepat, membabat ke arah leher.
"Hih...!"
Kalapati memekik nyaring. Tapi sebelum serangan golok itu tiba, tubuhnya sudah
melompat cepat ke depan. Sama sekali tidak ditanggapinya serangan si Golok Emas.
Yang ada dalam benaknya saat ini adalah keinginan untuk menyelamatkan Karmila.
Memang, setelah melihat kehadiran Gambala,
kekhawatiran Kalapati kian menggelegak. Kakek berpakaian kulit ular ini tahu,
bila ada Gambala, sudah dapat dipastikan Gumarang pun ada. Dan tidak adanya
kakek berhidung besar itu di sini, sudah dapat dipastikan kalau Gumarang
berhadapan dengan putrinya. Hal inilah yang dikhawatirkan Kalapati. Dia tahu
pasti kalau saat ini Karmila masih bukan tandingan Gumarang.
Tapi si Golok Perak tidak tinggal diam. Begitu dilihatnya kakek berpakaian kulit
ular itu melompat ke depan, segera saja kedua tangannya dihantamkan ke arah
kepala lawannya.
Wuttt..! Angin keras berkesiur sebelum pukulan Golok Perak tiba. Tapi Kalapati tidak
menjadi gugup walaupun saat itu tubuhnya berada di udara. Dan merupakan suatu
hal yang muskil untuk dapat mengelak dari serangan yang datang begitu tiba-tiba,
sementara posisinya berada dalam keadaan tidak memungkinkan, terpaksa diputuskan
untuk menangkis serangan itu.
Buru-buru kedua tangannya dijulurkan memapak serangan yang menyambar ke arahnya.
Rasa cemas akan keselamatan Karmila, memaksa kakek ini harus mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya.
Wuttt..! Plak...! Akibatnya hebat! Tubuh Wakil Ketua Perguruan Golok Maut terjengkang ke belakang
bagai diseruduk kerbau. Kedua tangannya dirasakan ngilu. Dadanya pun terasa
sesak bukan kepalang.
Sementara Kalapati hanya terlihat bergetar saja tubuhnya. Tapi dengan gerakan
indah dan manis, dia bersalto di udara. Dan secepat kakek bermuka bengis
itu hinggap di tanah, secepat itu pula melesat kabur dari situ tanpa mampu
dicegah. Semua kejadian itu berlangsung begitu cepat, sehingga lawan-lawannya
tidak sempat menyadari.
"Kejar...!" teriak si Golok Emas seraya melesat mengejar Kalapati yang telah
lebih dulu melesat dari situ. Bukan hanya kakek itu saja yang bergerak mengejar,
tapi juga adik seperguruannya dan Gambala.
Kalapati mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Tubuhnya
berkelebat cepat menuju arah asal jeritan putrinya.
Berkat ketinggian ilmu meringankan tubuhnya, sebentar saja Kalapati telah berada
dekat tempat Karmila tengah sibuk bertempur. Lega hati kakek berpakaian kulit
ular ini, melihat putrinya masih selamat. Bahkan tengah mendesak lawannya.
Kalapati menghentikan larinya sekitar beberapa tombak dari tempat pertarungan.
Dilihatnya Karmila tengah melancarkan serangan bertubi-tubi pada seorang pemuda
berpakaian kuning, yang terus-menerus bergulingan di tanah. Sementara tak jauh
dari situ, seorang kakek berpakaian kuning berdiri tegak memperhatikan
pertarungan. Kalapati mengenali kakek itu sebagai Gumarang.
"Haaat..!"
Tiba-tiba Karmila berteriak nyaring. Tubuhnya melenting memotong alur gulingan
tubuh Waji, seraya menusukkan pedangnya bertubi-tubi ke arah pemuda berbadan
lebar itu. Crat..! "Akh...!"
Waji memekik tertahan ketika ujung pedang Karmila menggores pangkal lengannya.
Seketika itu juga darah mengalir dari luka yang tergores. Belum sempat Waji berbuat sesuatu,
serangan pedang Karmila kembali menyambar.
Kini Gumarang tidak bisa tinggal diam lagi.
Secepat kilat tubuhnya melesat ke depan. Seuntai tasbih yang biji-bijinya
terbuat dari baja, diayunkan memapak serangan yang mengancam nyawa
muridnya. Cringgg...! Bunga api berpijar begitu pedang dan tasbih itu beradu. Seketika Karmila memekik
tertahan. Sekujur tangannya yang menggenggam pedang dirasakan lumpuh. Hampir
saja pedang itu lepas dari genggamannya.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular
itu. Tasbih di tangannya disabetkan ke arah kepala Karmila.
Wuttt..! Serangan tasbih itu menyambar tempat kosong begitu gadis berpakaian jingga itu
menundukkan kepalanya. Sekujur rambut dan pakaian gadis itu berkibar keras
begitu tasbih itu lewat di atas kepalanya.
Gumarang tertawa terkekeh seraya melayangkan kakinya ke arah perut Karmila.
Wuttt..! "Hih...!"
Karmila melempar tubuhnya ke belakang, dan bersalto beberapa kali di udara.
Kedua belah kakinya mendarat ringan, beberapa tombak dari tempat semula.
Gumarang sudah bertekad untuk membinasakan Karmila. Maka begitu dilihatnya gadis
berpakaian jingga itu melempar tubuh ke belakang, segera
melompat memburu.
Tapi niatnya terpaksa diurungkan, begitu dilihatnya sesosok bayangan berkelebat
cepat memotong lompatannya. Segera tubuhnya dilempar ke samping, melakukan
lompatan harimau.
"Hup...!"
*** 4 Gumarang mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Sepasang matanya menatap tajam ke depan, ke arah orang yang tadi memotong laju
lompatannya. Dan seketika itu juga wajahnya memucat
"Kalapati...," desis Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular. Ada nada kegentaran
dalam suaranya. Tapi begitu sudut matanya melihat tiga sosok bayangan yang
bergerak cepat ke arahnya, hari kakek berhidung besar ini kembali tegar.
Kalapati sama sekali tidak mempedulikan
keterkejutan Gumarang. Dengan langkah tenang, dan tanpa mempedulikan keberadaan
kakek berhidung besar, kakinya dilangkahkan menghampiri Karmila.
"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya kakek berpakaian kulit ular itu sambil
merayapi sekujur wajah dan tubuh Karmila.
Gadis berpakaian jingga itu menggelengkan kepalanya.
"Syukurlah...," ucap Kalapati setengah mendesah.
Pandang matanya yang tajam melihat kebenaran ucapan putrinya.
"Terimalah kematianmu, Kalapati...!"
Terdengar suara bentakan nyaring, disusul dengan berkelebatnya seleret sinar
keemasan ke arah leher kakek berwajah bengis itu.
"Hm...," Kalapati bergumam tidak jelas. Segera tubuhnya direndahkan sehingga
sambaran sinar keemasan yang tak lain dari golok emas Ketua Perguruan Golok Maut
lewat di atas kepalanya.
Dan sebelum Kalapati memperbaiki kuda-kudanya, tahu-tahu seleret sinar keperakan
telah meluruk deras ke arah perutnya. Kakek berpakaian kulit ular ini tidak
menjadi kaget melihat serangan ini. Dia tahu siapa penyerangnya kali ini. Siapa
lagi kalau bukan Wakil Ketua Perguruan Golok Maut.
Kalapati segera melangkahkan kakinya ke
belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. Tepat sejengkal di depan
perutnya. Baru saja lolos dari serangan si Golok Perak, serangan pedang Gambala meluncur
tiba. Pedangnya mengaung dahsyat mengancam berbagai bagian tubuh Kalapati.
Luar biasa! Walaupun berada dalam keadaan terjepit, kakek berpakaian kulit ular
itu masih mampu untuk mengelak. Tubuhnya dilempar ke belakang.
Bersalto beberapa kali di udara, kemudian hinggap beberapa tombak dari tempatnya
semula. "Hm...," Kalapati bergumam tidak jelas. "Rupanya kalian memang berniat
menyingkirkanku!"
"Tidak usah banyak basa-basi, Kalapati!" sergah si Golok Emas keras. "Penghinaan
belasan tahun yang lalu harus kau tebus dengan nyawamu!"
Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Golok Maut ini melompat menerjang. Dan
dari atas, goloknya dibabatkan cepat ke arah leher Kalapati.
Belum juga serangan si Golok Emas tiba, adik seperguruannya pun meluruk
menyerbu. Golok peraknya berputar cepat di depan dada, sebelum akhirnya
ditusukkan ke perut kakek berpakaian kulit ular itu.
Sedangkan Gambala menahan diri. Dia tidak mau mencampuri dulu. Dibiarkan saja
kedua pemimpin Perguruan Golok Maut itu menghadapi Kalapati.
Kalapati kali ini harus berhadapan dengan lawan-lawan yang amat tangguh.
Meskipun begitu kematian bukanlah merupakan sesuatu yang menakutkan bagi datuk
ini. Tapi, bagaimana dengan Karmila kalau dia tewas" Kalapati tidak sampai hati
membiarkan putrinya hidup sendirian menghadapi kerasnya dunia persilatan.
Karmila masih membutuhkan bimbingan-nya.
Kekhawatiran akan keselamatan putrinya itulah, yang menyebabkan Kalapati
memutuskan untuk melakukan perlawanan mati-matian. Mau tidak mau terpaksa
melanggar sumpahnya yang akan menjauhkan diri dari kekerasan. Tanpa ragu-ragu
lagi kakek berpakaian kulit ular ini mengeluarkan ilmu andalannya, ilmu 'Totokan
Penghancur Tulang'.
Wuttt..! Serangan si Golok Emas lewat tidak sampai setengah jengkal di atas kepalanya,
begitu bekas datuk sesat ini memiringkan kepalanya. Dari rambut di kepalanya
yang berkibaran keras dapat diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang tersimpan
dalam babatan golok itu.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Kalapati.
Begitu golok itu lewat di atas kepalanya, tangan kanannya melakukan totokan ke
arah sikut si Golok Emas. Berbareng dengan itu tangan kirinya menangkis tusukan
golok perak yang menusuk perutnya. Luar biasa! Bekas datuk sesat ini menangkis
serangan itu hanya dengan jari
telunjuknya. "Akh...!"
Si Golok Emas memekik kaget tatkala melihat totokan jari telunjuk lawan. Ketua
Perguruan Golok Maut ini tahu betul keampuhan jari Kalapati.
Jangankan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang, batu karang yang
paling keras pun dapat tembus terkena totokan jari telunjuk kakek berwajah
beringas itu. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tangannya segera ditarik
pulang. Tinggg...!
"Akh...!"
Si Golok Perak memekik tertahan ketika jari telunjuk Kalapati membentur golok
pusakanya. Serangannya kontan menyimpang dari sasaran.
Lewat di samping kiri tubuh bekas datuk sesat itu.
Sedangkan tangan yang memegang golok tergetar hebat.
Dari sini saja Wakil Ketua Perguruan Golok Maut ini dapat mengukur tingginya
kekuatan tenaga dalam lawan. Betapa tidak" Meskipun hanya dengan sebuah jari
saja, serangan itu mampu membuat sekujur tangannya tergetar hebat.
Tapi kenyataan itu tidak berarti membuat kedua tokoh terlihai Perguruan Golok
Maut ini gentar.
Bahkan sebaliknya, kedua orang itu menyerang semakin dahsyat. Dua batang golok
di tangan mereka pun kembali menyambar bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh
Kalapati. Tapi ternyata tingkat kepandaian kakek berpakaian kulit ular ini jauh di atas
gabungan kepandaian kedua tokoh utama Perguruan Golok Maut. Betapapun kedua
orang ini mengerahkan segenap kemampuan, tetap saja tak mampu mendesak Kalapati.
Kakek berwajah beringas ini mampu mematahkan semua serangan mereka, dan bahkan
balas menyerang tak kalah dahsyat.
Pertarungan antara tokoh-tokoh sakti ini berlangsung cepat. Sehingga dalam waktu
singkat, puluhan jurus telah berlalu. Tapi selama itu tidak
nampak tanda-tanda siapa yang akan terdesak.
Pertarungan masih berjalan imbang.
Melihat hal ini, Gambala menjadi tidak sabar.
Setelah mengamati pertarungan itu, segera saja kakek ini tahu kalau kedua
pemimpin Perguruan Golok Maut tidak akan mampu mengalahkan
Kalapati. Bahkan bukan tidak mungkin keduanya dirobohkan bekas datuk sesat itu.
Dan bila mereka keburu roboh, dia dan adik seperguruannya pun tidak akan mampu
mengatasi Kalapati. Maka sebelum hal yang ditakutkannya itu terjadi, Ketua
Perguruan Pedang Ular ini memutuskan untuk membantu si Golok Emas dan si Golok
Perak. "Aku pun mempunyai perhitungan denganmu, Kalapati!" teriak Gambala keras seraya
memasuki kancah pertempuran. Pedangnya mengeluarkan bunyi mengaung keras begitu
kakek bermata sayu ini mulai membuka jurus-jurusnya.
Dan begitu masuk dalam arena pertarungan, Gambala langsung saja menghujani
Kalapati dengan serangan-serangan maut
"Hm...!" Kalapati hanya mendengus seraya menggerakkan tubuh, mengelak serangan-
serangan yang dilancarkan Gambala. Kini dengan ikut terjunnya Ketua Perguruan
Pedang Ular, posisi lawan-lawan Kalapati jadi semakin kuat, sehingga tekanan-
tekanan yang datang ke arahnya pun semakin berat.
Hebat bukan main pertarungan antara keempat tokoh sakti itu. Deru angin
mengaung, mendesing, dan mencicit menyemarakkan pertarungan itu.
Tanah-tanah terbongkar di sana-sini. Cabang-cabang pohon, berpatahan tersambar


Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin serangan nyasar.
Debu pun mengepul tinggi ke angkasa.
*** Gumarang tertawa senang dalam hati setelah memperhatikan jalannya pertarungan.
Laki-laki berhidung besar ini sudah bisa memperkirakan kalau Kalapati akan mati
kutu. Maka kini dialihkan perhatiannya pada putri bekas datuk sesat itu.
Begitu melihat kakek berhidung besar itu menoleh ke arahnya, Karmila tidak mau
membuang-buang waktu lagi. Segera saja gadis berpakaian jingga ini meluruk
menyerang Gumarang. Pedangnya diputar cepat di atas kepala sebelum akhirnya
ditusukkan ke ulu hati Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
Singgg...! Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan pedang gadis berpakaian
jingga itu. Tapi Gumarang hanya tertawa terkekeh. Dengan sikap memandang rendah,
kakinya dilangkahkan ke kanan sehingga serangan Karmila lewat di samping kiri
pinggangnya. Berbareng dengan elakan itu, tasbihnya diayunkan ke pelipis
Karmila. Sengaja kakek berhidung besar ini menggunakan tasbih, karena malu
melawan seorang gadis muda dengan senjata andalan.
Wuttt..! Karmila cepat menundukkan tubuhnya, sehingga serangan itu lewat sekitar satu
jengkal di atas kepalanya. Sembari merunduk, tak lupa dikirimkan serangan ke
arah leher Gumarang dengan babatan pedang miring ke atas.
Singgg...! "Heh..."!"
Gumarang terperanjat. Serangan yang dilakukan gadis berpakaian jingga sambil
mengelakkan serangannya itu benar-benar mengejutkan. Tidak ada jalan lain baginya kecuali
melempar tubuh ke depan dan bergulingan di tanah.
Sesaat kemudian Gumarang bangkit dengan wajah memerah karena marah dan malu.
Tapi sesungguh-nya rasa malulah yang lebih besar! Dia adalah wakil ketua
perguruan aliran putih terbesar saat ini. Dan tadi hampir saja kehilangan nyawa
di tangan gadis belia yang sama sekali tidak terkenal. Betapa memalukan kalau
hal ini diketahui oleh tokoh-tokoh persilatan lain.
Kini kakek berhidung besar ini tidak lagi berani bersikap memandang rendah.
Pengalaman yang baru saja dialami, membuatnya sadar akan ketangguhan gadis
berpakaian jingga itu. Sekarang Gumarang bersiap-siap mengerahkan seluruh
kemampuannya. Karmila yang mengetahui keterkejutan lawan, telah melompat menyerang kembali.
Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit
*** Sementara itu di cabang pohon beringin, seorang pemuda berambut putih keperakan
memperhatikan jalannya kedua pertarungan dengan alis berkerut.
Sepasang matanya menatap penuh perhatian pada kedua pertarungan itu berganti-
ganti. Kepala pemuda berambut putih keperakan itu menggeleng-geleng setiap kali melihat
pertarungan Kalapati. Mulutnya berdecak pelan, penuh kekaguman pada Kalapati
yang mampu menghadapi ketiga lawannya dengan penuh ketenangan. Padahal, sekali
lihat saja, pemuda berambut putih keperakan
itu mengetahui kalau ketiga lawan bekas datuk sesat itu berkepandaian tinggi.
Betapapun lihainya Kalapati, tapi karena lawan yang dihadapinya terlalu banyak,
perlahan namun pasti dia mulai terdesak. Kalau saja hanya menghadapi dua orang,
mungkin kakek berpakaian kulit ular ini mampu mendesak. Bahkan mengalah-kannya!
Memasuki jurus kelima puluh, keadaan bekas datuk sesat ini kian mengkhawatirkan.
Tapi meskipun begitu, dengan kedahsyatan ilmu 'Totokan Penghancur Tulang',
Kalapati masih mampu bertahan.
Beberapa kali lawan-lawannya mengeluarkan seruan kaget, setiap kali ujung jari
tangan bekas datuk sesat ini menangkis senjata mereka.
"Akh...!"
Tiba-tiba terdengar pekikan tertahan dari seorang perempuan. Jantung Kalapati
bagai hendak melompat dari rongga dadanya begitu mendengar jeritan itu. Dikenalinya betul
siapa pemilik suara itu. Karmila, putri kesayangannya. Perasaan cemas yang amat
sangat melanda kakek berwajah beringas ini. Sambil terus mengelak dari hujan
serangan lawan, sudut matanya melirik ke arah tempat putrinya bertarung.
Rupanya pedang Karmila terlilit tasbih Gumarang.
Dan hal inilah yang menyebabkan gadis itu memekik tertahan.
"Hih...!"
Karmila menggertakkan gigi. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk membebaskan
pedangnya. Tapi Gumarang mempertahankannya. Kakek berhidung besar ini pun
mengerahkan tenaga dalamnya untuk mempertahankan belitan tasbihnya.
Sesaat lamanya terjadi adu tenaga dalam yang
menegangkan. Mendadak, Gumarang melepaskan belitan tasbihnya. Dan tak pelak lagi tubuh
Karmila terjengkang ke belakang. Terbawa tarikan tenaganya sendiri.
Di saat itulah, Gumarang melompat memburu.
Tasbihnya disabetkan keras ke arah kepala Karmila.
Gadis berpakaian jingga itu terkejut bukan main.
Sebisa-bisanya sabetan tasbih itu ditangkis dengan pedangnya.
Cringgg...! Suara berdenting nyaring terdengar begitu tasbih beradu dengan pedang. Saking
kerasnya benturan, bunga-bunga api memercik ke udara. Pedang Karmila kontan
terlempar jauh. Memang posisi kuda-kuda gadis itu tidak memungkinkan untuk
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Tapi serangan Gumarang tidak hanya sampai di situ saja. Dengan sebuah tamparan
dahsyat, tangan kirinya menyambar ke arah pelipis Karmila.
Kali ini tidak ada ampun lagi bagi Karmila.
Tubuhnya yang masih terhuyung ke belakang, dan tangannya yang masih terasa
lumpuh, membuatnya pasrah saja pada serangan yang mengancam
pelipisnya. "Karmila...!" teriak Kalapati kalap begitu melihat bahaya maut mengancam
keselamatan nyawa
putrinya. Bekas datuk sesat ini menggeram murka.
Tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri, kakek ini menerobos kepungan. Tak
dihiraukannya tiga buah sergapan lawan yang tengah meluncur ke arahnya.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan teriakan yang menggetarkan jantung, Kalapati memotong arah
lompatan Gumarang. Kedua jari telunjuknya bergerak cepat melakukan tangkisan dan
sekaligus serangan pada Wakil Ketua Perguruan Pedang Ular itu. Kakek berpakaian
kulit ular ini sama sekali tidak peduli kalau di belakangnya ada tiga sosok yang
melompat mengejarnya sambil melancarkan serangan.
Singgg! Singgg! Wunggg...!
Plak, crot..! "Aaakh...!"
Gumarang memekik melengking panjang.
Kejadiannya berlangsung begitu cepat. Memang gerakan Kalapati cepat bukan main.
Berbarengan dengan telunjuk kanannya yang menangkis tamparan Gumarang, telunjuk
kirinya menusuk deras ke arah pelipis. Tak pelak lagi, tubuh kakek berhidung
besar itu roboh dengan pelipis bolong! Darah segar mengalir keluar. Sesaat
lamanya Gumarang menggelepar-gelepar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Bersamaan dengan robohnya tubuh Gumarang, serangan dari ketiga orang lawan
Kalapati pun telah menyambar tiba. Namun tubuh kakek berpakaian kulit ular ini
masih berada di udara. Dengan sebisa-bisanya Kalapati berusaha mengelak.
Tapi.... Cappp! Sret! Cras...!
"Aaakh...!"
Kalapati memekik nyaring. Walaupun telah
menghindar, tetap saja tiga serangan itu mengenai tubuhnya. Namun berkat
kelihaiannya, tidak ada satu pun serangan itu yang mengenai bagian yang
mematikan. Yang telak mengenainya hanya tusukan pedang Gambala. Itu pun hanya
mengenai bagian atas punggung kanan. Sedangkan dua buah sabetan golok pimpinan
Perguruan Golok Maut hanya menyerempet pinggangnya.
"Hup...!"
Meskipun agak limbung, Kalapati berhasil
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Darah segar mengalir dari luka-lukanya.
Terutama sekali dari luka di punggung kanan.
"Ayah...!" teriak Karmila seraya menghambur ke arah ayahnya. Dari sepasang mata
yang bening itu mengalir deras butiran-butiran air bening. Karmila menangis,
walaupun tanpa adanya isak dari mulutnya. Hati gadis berpakaian jingga ini
memang dilanda rasa cemas yang amat sangat. Disadari kalau ayahnya
mempertaruhkan nyawa karena hendak menyelamatkan nyawanya. Segumpal perasaan
ber-salah menggayuti hati Karmila. Apalagi tatkala teringat kalau selama ini dia
selalu merepotkan ayahnya.
"Karmila...! Kau larilah cepat..! Selamatkan dirimu!
Biar Ayah yang akan menahan mereka!"
Mendengar seruan ayahnya, air mata yang keluar dari sepasang mata bening itu
semakin deras. Keharuan yang amat sangat mendera hati Karmila.
Dadanya serasa sesak menahan rasa haru yang melanda. Tapi gadis berpakaian
jingga ini menguat-kan hati. Bibirnya digigit menahan isak tangis yang akan
meledak. "Tidak, Ayah," sahut Karmila dengan suara serak mengandung isak. "Biar
bagaimanapun aku tidak akan meninggalkan Ayah. Biarlah kita mati bersama...."
Kalapati tidak sempat menyahuti ucapan putrinya karena serangan susulan lawan
telah meluncur tiba.
Si Golok Emas dan si Golok Perak berbareng menerjang. Golok emas dan perak
pimpinan Perguruan Golok Maut berkelebat cepat mencari
sasaran. Kembali Kalapati harus berjuang keras menghadapi dua lawannya. Tapi kali ini,
perlawanan yang dilakukan bekas datuk sesat ini tidak sehebat sebelumnya.
Sungguhpun luka-lukanya tidak terlalu parah, sedikit banyak telah mengurangi
kegesitannya. "Keparat!" terdengar suara teriakan keras.
Ternyata makian itu berasal dari mulut Gambala.
Memang sehabis menyarangkan serangannya, kakek bermata sayu ini segera
menghambur ke arah tubuh Gumarang yang tergolek di tanah. Waji yang sejak tadi
hanya menonton pertarungan, ikut berlari memburu dan kemudian duduk bersimpuh di
samping tubuh paman gurunya.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati
Gambala tatkala mengetahui adik seperguruannya telah tewas. Terdengar suara
berkerotokan keras dari sekujur tulang-tulangnya ketika Ketua Perguruan Pedang
Ular ini perlahan-lahan bangkit. Sepasang matanya merah berapi-api, menatap
Kalapati penuh dendam.
"Paman Guru...," panggil Waji bernada desahan.
Kesedihan dan dendam terbayang di wajahnya.
"Kalapati! Kau harus memhayar hutang nyawa adik seperguruanku!"
Setelah berkata demikian, Gambala menerjang Kalapati yang masih sibuk menghadapi
dua orang lawannya. Pedang di tangannya berkelebat, menimbulkan suara mengaung
keras. Sementara Waji masih belum bangkit dari jongkoknya. Pemuda berbadan lebar
ini masih terpaku menatap mayat paman gurunya.
Kalapati terkejut bukan main. Saat tusukan pedang Gambala datang menyambar, dia
baru saja menangkis dua serangan lawannya. Karuan saja hal ini membuat bekas datuk sesat
ini jadi agak gugup.
Serangan Gambala begitu cepat dan tiba-tiba.
Tapi di saat gawat bagi keselamatan nyawa Kalapati, berkelebat sesosok bayangan
jingga memapak tusukan itu. Kalapati terkejut bukan main melihat hal ini.
Walaupun tidak melihat jelas, sekelebatan saja bekas datuk sesat itu dapat
mengetahui siapa sosok bayangan itu. Siapa lagi kalau bukan Karmila, putrinya!
"Karmila...! Jangan...!" teriak kakek berwajah bengis ini keras.
Tapi terlambat! Tubuh Karmila telah meluncur cepat, memapak tusukan pedang
Gambala dengan babatan pedangnya.
Trang...! "Akh...!"
Karmila memekik tertahan begitu pedangnya membentur pedang Gambala. Sekujur
tangannya dirasakan lumpuh. Bahkan saking kerasnya benturan, pedangnya sampai
terlepas dari genggaman.
Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu tangan kakek bermata
sayu itu telah mengibas ke arah dadanya. Dengan susah payah Karmila mencoba
mengelak. Tapi....
Plak...! "Akh...!"
Kembali Karmila memekik tertahan ketika kibasan tangan Ketua Perguruan Pedang
Ular itu menyerempet pangkal lengannya. Seketika itu juga tubuhnya terlempar ke belakang.
Untunglah di saat-saat terakhir, gadis ini masih mampu mengelak.
Kalau tidak, mungkin gadis berpakaian jingga ini sudah tewas dengan seisi dada
remuk. "Karmila...!" teriak Kalapati begitu melihat putrinya terlempar ke belakang.
Datuk ini mencoba menghambur ke arah gadis itu, tapi kedua lawannya tidak
memberikan kesempatan. Kakek berwajah beringas ini terus dipaksa harus berjuang
keras menghadapi cecaran kedua orang lawannya.
"Kalau terjadi apa-apa dengan putriku, kalian semua kucincang...!" desis kakek
berpakaian kulit ular itu tajam. Nada suaranya penuh ancaman.
Membuat bulu tengkuk yang mendengarnya
meremang. Gambala yang tengah diamuk dendam,
melampiaskannya pada Karmila. Gadis binal ini harus dibinasakan dulu, pikirnya.
Paling tidak, kematian gadis ini akan memecah perhatian Kalapati. Apalagi gadis
itu baru saja menggagalkan serangannya pada Kalapati.
Setelah memutuskan demikian, Gambala mem-
buru tubuh Karmila yang masih terbawa tenaga kibasan kakek bermata sayu ini.
Pedangnya dibabatkan ke arah leher gadis berpakaian jingga itu.
Dalam kemarahan yang menggelegak, Gambala lupa kalau lawannya hanyalah seorang
gadis belia yang memiliki tingkat kepandaian di bawahnya. Apabila tanpa
menggunakan pedang pun, sebenarnya gadis itu bisa dikalahkannya. Apalagi kini
dia menggunakan pedang.
"Karmila...!"
Kalapati menjerit tatkala melihat bahaya maut mengancam keselamatan putrinya.
Sementara dia tidak berdaya menolong, karena kedua lawannya sama sekali tidak
memberi kesempatan. Akibatnya perhatian datuk ini terpecah.
Dan kesempatan ini tidak disia-siakan dua orang
lawannya. Segera mereka memperhebat serangan serangannya. Dan...
Cappp...! "Akh...!"
Kalapati memekik keras ketika senjata si Golok Perak menembus perutnya. Seketika
itu juga darah segar bermuncratan dari perut yang terkoyak lebar.
Tapi daya tahan Kalapati patut dipuji. Meskipun perutnya telah tertembus golok,
dia masih tetap tangguh. Cepat laksana kilat, tangan kiri datuk ini menangkap
tangan si Golok Perak. Dan secepat itu pula membetotnya. Berbareng dengan itu,
telunjuk kirinya meluncur deras ke arah ubun-ubun orang kedua Perguruan Golok
Maut. Wuttt...! Crot..!
"Aaakh...!"
Si Golok Perak menjerit memilukan. Ubun-ubunnya bolong tertembus jari telunjuk
Kalapati. Seketika itu juga tubuhnya roboh. Menggelepar-gelepar sesaat, sebelum
akhirnya roboh tak berkutik lagi.
Si Golok Emas terpaku melihat kematian adik seperguruannya. Tapi Kalapati sama
sekali tidak peduli. Bergegas dia menoleh ke arah putrinya.
Legalah hatinya ketika melihat Karmila selamat.
Berdiri membelakangi putrinya, nampak seorang pemuda berpakaian ungu yang
berambut putih keperakan. Di tangan kanan pemuda tampan itu tergenggam guci
arak. Rupanya ketika melihat Karmila tengah terancam maut, pemuda berambut putih
keperakan itu tidak tega. Dan langsung menangkis serangan pedang Gambala dengan
gucinya. Gambala bersikap hati-hati. Dia sudah merasakan sendiri kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki pemuda
berambut putih keperakan itu ketika menangkis pedangnya. Tenaga dalam pemuda ini
amat kuat, sehingga mampu membuatnya terhuyung-huyung ke belakang.


Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada dugaan yang muncul di benak Gambala begitu melihat ciri-ciri pemuda di
hadapannya ini. Usia, rambut, pakaian, dan guci pemuda ini mengingatkan pada
seorang tokoh muda yang akhir-akhir ini menggemparkan dunia persilatan, Dewa
Arak! Tapi, mungkinkah tokoh yang menggemparkan itu adalah pemuda ini" Rasanya
tidak masuk akal.
Bukan hanya Gambala saja yang dilanda perasaan kaget, Dewa Arak pun demikian.
Sungguh sama sekali tidak disangkanya kalau tenaga dalam kakek bermata sayu itu
amat kuat. Sehingga mampu membuat tangannya tergetar hebat.
*** Kini ada empat sosok tubuh yang berdiri tertegun.
Kalapati, Karmila, dan Gambala yang menatap Dewa Arak dengan perasaan takjub,
serta si Golok Emas yang menatap mayat adik seperguruannya dengan perasaan
bingung. "Siapa kau, Anak Muda?" tanya Gambala.
Sepasang matanya menatap pemuda berambut putih keperakan itu penuh selidik.
"Mengapa kau mencampuri urusanku?"
"Aku Arya, Kek. Aku tidak berniat mencampuri urusan Kakek. Aku hanya tidak suka
melihat kekejaman berlangsung di depan mataku!" sahut pemuda berambut putih
keperakan yang ternyata adalah Arya Buana alias Dewa Arak.
"Arya"!" ulang Gambala dengan alis berkerut
"Apakah nama lengkapmu Arya Buana?"
Arya menganggukkan kepalanya.
"Jadi..., kaukah yang berjuluk Dewa Arak?" kejar Ketua Perguruan Pedang Ular itu
lagi. "Begitulah orang menjulukiku, Kek," sahut Arya merendah.
"Kalau begitu kita orang segolongan, Dewa Arak.
Menyingkirlah...! Wanita yang kau tolong, dan juga ayahnya adalah tokoh-tokoh
hitam yang kejam dan jahat! Aku akan melenyapkan mereka sebelum mengacau dunia
persilatan lagi...."
Arya Buana menggelengkan kepalanya.
"Sayang sekali, Kek. Aku tidak melihat adanya keganasan dan kekejaman seperti
yang kau katakan itu pada diri mereka. Jadi, aku terpaksa tidak bisa menyingkir
dari sini."
"Maksudmu...?" tanya Gambala sambil mengerutkan keningnya.
"Aku tidak akan menyingkir dari sini!" sahut Arya tandas.
"Jadi, kau berada di pihak iblis-iblis itu, Dewa Arak"!" sergah kakek bermata
sayu itu. Nada suaranya menyiratkan ancaman.
"Aku berada di pihak yang benar," ralat Arya.
"Pemuda sombong! Kau kira aku takut pada nama besarmu!?"
Setelah berkata demikian, Gambala segera
menerjang Arya. Tapi sebelum Dewa Arak berbuat sesuatu, melesat sesosok bayangan
dan memotong serangan itu. Terpaksa Gambala melempar tubuh ke belakang, dan
bersalto beberapa kali menyelamatkan diri.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak
tanah. Dan secepat kakinya hinggap, secepat itu pula sepasang matanya menatap ke
depan. Dan di hadapannya, di sebelah Dewa Arak berdiri Kalapati dengan posisi
kaki agak goyah karena luka-luka yang dideritanya.
"Pergilah, Dewa Arak. Tolong selamatkan putriku.
Biar kucoba menghadang mereka," ucap kakek berwajah bengis itu bernada perintah.
Rupanya kakek ini sudah mendengar pembicaraan Gambala dengan pemuda berambut
putih keperakan itu.
"Tapi, Kalapati...," Arya masih mencoba membantah.
"Pergilah, Dewa Arak. Kau tidak ada urusan dengan mereka. Lagi pula, mungkin aku
tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi! Cepatlah...!"
Dewa Arak tercenung. Disadari adanya kebenaran dalam ucapan Kalapati.
"Baiklah, Kalapati. Aku berjanji akan menjaga Karmila dengan taruhan nyawaku,"
janji Arya. "Aku percaya padamu, Dewa Arak." Kalapati berpaling pada putrinya. "Karmila...!
Cepatlah kau pergi!
Dewa Arak akan melindungimu...!"
"Tapi, Ayah...," gadis berpakaian jingga itu masih mencoba membantah.
"Kau ingin jadi anak yang tidak berbakti, Karmila"!"
terpaksa Kalapati bersikap keras.
Baru saja kakek berwajah beringas ini menyelesaikan kata-katanya, serangan dari
Gambala meluncur tiba. Si Golok Emas yang kini sudah tersadar dari rasa terpukul
atas kematian adik seperguruannya, tidak mau ketinggalan. Ketua Perguruan Golok
Maut ini segera menusukkan pedangnya. Kalapati yang sudah terluka parah segera
menyambutnya. Dikerahkannya seluruh kemampuan untuk memberikan kesempatan
pada Dewa Arak membawa lari putrinya.
Karmila menahan isak yang merayap naik ke tenggorokan. Dadanya terasa sesak
menahan rasa haru yang melanda. Baru sekarang gadis ini sadar akan besarnya
kasih sayang ayahnya. Ayahnya rela mengorbankan nyawa asalkan dia selamat.
Kembali butiran-butiran air bening bergulir dari sepasang mata indah itu.
Karmila harus menyelamatkan diri dari sini. Tapi sebelumnya dia ingin memeluk
ayahnya untuk yang terakhir kali.
"Mari kita pergi, Karmila," ajak Arya sambil menatap wajah cantik bersimbah air
mata di depannya.
Segumpal rasa haru melanda hati pemuda berambut putih keperakan ini. Dia dapat
merasakan perasaan Karmila. Karena dia sendiri pernah mengalami kesedihan
ditinggal mati orang tua. Apalagi mati terbunuh! Ibu Arya sendiri mati dibunuh
orang yang mendendam padanya (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam
episode "Cinta Sang Pendekar").
"Benarkah kau Dewa Arak?" tanya gadis berpakaian jingga itu dengan suara serak.
Arya hanya mengangguk pelan. Dia malu
menjawab, karena khawatir kalau suaranya terdengar gemetar. Dewa Arak tidak
ingin gadis ini tahu kalau dirinya pun tengah dilanda rasa haru.
"Bila kau benar-benar hendak menolong kami, mengapa kau tidak langsung membantu
ayahku?" "Ayahmu tidak mau menerima pertolonganku, Karmila," sahut Arya setengah
mendesah. "Ayahmu sudah cukup senang asal kau selamat"
Lagi-lagi dari sepasang mata bening indah itu bergulir air bening. Arya yang
berwatak welas asih jadi ikut terenyuh. Kalau menuruti perasaannya ingin
dipeluknya gadis itu, dan diusap-usap rambutnya.
Tapi, pemuda ini sadar kalau hal itu tidak mungkin dilakukannya.
"Maukah kau memenuhi permintaanku, Dewa Arak?" tanya Karmila lagi.
"Katakanlah, Karmila. Kalau aku mampu, dan selama tidak bertentangan dengan
kebenaran, aku akan memenuhinya," janji Arya.
"Aku ingin kau menahan musuh-musuh ayah dulu...."
"Hm..., lalu?" tanya Arya masih belum memahami tujuan ucapan Karmila.
"Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahanku pada ayah, Dewa Arak..., agar
hatiku tenang melepas kepergiannya...."
Arya segera memalingkan wajahnya. Dewa Arak hampir tidak kuat lagi menahan rasa
haru yang menggelegak di dadanya. Digigit-gigit bibirnya untuk menahan luapan
keharuan yang menyentak-nyentak kalbu.
"Maukah kau memenuhi permintaanku, Dewa Arak?"
Arya menganggukkan kepalanya. Kemudian
pandangannya dialihkan ke arah pertempuran.
Setelah mengamati sejenak, Dewa Arak tahu kelihaian kedua orang lawan Kalapati.
Sebelumnya dia sudah merasakan sendiri kekuatan tenaga dalam Gambala. Maka
pemuda ini tidak mau bersikap ceroboh. Segera guci araknya diangkat, dan
dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati kerongkongannya. Seketika itu
juga, ada hawa hangat yang mengalir dari perutnya, dan perlahan naik ke kepala.
"Kalapati..., putrimu ingin berbicara sebentar.
Temuilah dia demi ketenangan hatinya. Biar aku yang menahan mereka...."
Karmila melihat mulut Dewa Arak berkomat-kamit.
Tapi tidak sedikit pun suara yang terdengar. Gadis itu tidak tahu kalau Arya
tengah mengirimkan suara khusus untuk Kalapati.
Memang, bagi orang berkepandaian tinggi seperti Dewa Arak, bukan merupakan hal
yang sulit untuk mengirimkan suara hanya kepada orang yang dituju.
Setelah yakin Kalapati telah mendengar pesannya, Dewa Arak segera maju beberapa
tindak. "Awas serangan...!" teriak Arya seraya menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Inilah jurus 'Pukulan Belalang'. Jurus yang jarang dikeluarkan kalau tidak terpaksa sekali.
*** 5 Wusss...! Angin keras berhawa panas menyambar deras ke arah Gambala dan si Golok Emas.
Kedua kakek sakti ini terkejut bukan main. Mereka menyadari kedahsyatan pukulan
jarak jauh yang mengandung hawa panas menyengat itu. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, keduanya segera melempar tubuh ke belakang. Setelah bersalto beberapa kali
di udara, kedua tokoh itu hinggap tanpa suara beberapa tombak dari tempat
semula. Kesempatan emas itu tidak disia-siakan oleh Dewa Arak. Segera pemuda berambut
putih keperakan ini melompat maju. Sedangkan Kalapati yang memahami maksud
penolongnya, segera bergerak mundur.
"Terima kasih atas kesempatan yang kau berikan, Dewa Arak," ucap kakek berwajah
beringas itu seraya berlari menghampiri putrinya yang juga berlari menghambur ke
arahnya. Sementara Dewa Arak segera menghadang Gambala dan si Golok Emas yang
sudah bergerak mengejar Kalapati.
"Dewa Arak!" teriak si Golok Emas keras. "Tak kusangka kalau nama besarmu yang
selama ini kudengar, tidak sesuai dengan apa yang kusaksikan di sini! Tahukah
kau, siapa orang yang kau bela itu"!"
"Ha ha ha...!" Gambala tertawa mengejek. "Mana bisa dia membedakan mana yang
benar dan mana yang salah, Golok Emas" Mata dan hatinya telah silau oleh
kecantikan gadis liar itu!"
Merah wajah Arya mendengar kata-kata penghinaan itu.
"Tidak kusangka aku akan mendengar ucapan kotor seperti ini dari mulut kalian,"
desah pemuda berambut putih keperakan itu pelan.
"Kami beri kesempatan kepadamu sekali lagi, Dewa Arak! Menyingkir atau kami
terpaksa akan menyingkirkanmu dengan kekerasan!" ancam Gambala.
"Sudah kukatakan. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan menyingkir dari sini!"
tandas Dewa Arak tegas.
Guci araknya diangkat kembali, lalu dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati kerongkongannya.
"Kalau begitu, jangan salahkan kalau kau mampus di tangan kami, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Gambala melesat menerjang. Pedangnya yang meliuk-liuk
aneh seperti gerakan seekor ular, mengancam Dewa Arak.
Wunggg...! Dewa Arak mengerutkan alisnya melihat ilmu pedang yang unik itu. Batang pedang
yang tidak kaku seperti pedang umumnya itu membuat pemuda berambut putih
keperakan ini agak bingung. Setiap arah serangan yang dituju, tidak dapat
diduganya dengan pasti. Jurus-jurus pedang inilah yang menyebabkan Gambala
menamakan perguruannya, Perguruan Pedang Ular.
Baru tatkala serangan itu telah menyambar dekat, arah sasarannya dapat
diketahui. Ujung pedang itu ternyata mengancam leher Dewa Arak. Segera pedang
itu ditangkis dengan gucinya.
Klanggg...! Suara berdentang terdengar begitu pedang itu berbenturan dengan guci. Bunga-
bunga api memercik ke udara. Akibatnya Gambala terhuyung dua langkah ke
belakang, sedangkan Dewa Arak hanya tergetar saja. Dari benturan ini dapat
diukur kalau tenaga dalam Dewa Arak masih berada di atas tenaga dalam Ketua
Perguruan Pedang Ular itu.
Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu si Golok Emas sudah
meluruk dengan sabetan golok mendatar ke arah leher.
Singgg...! Serangan dari Ketua Perguruan Golok Maut itu cepat sekali. Dewa Arak yang baru
saja menangkis serangan Gambala tidak punya kesempatan lagi untuk menangkis.
Maka Dewa Arak segera mengelak dengan mengandalkan langkah unik jurus 'Delapan
Langkah Belalang'.
Wuttt..! Si Golok Emas terkejut begitu menyadari kalau sabetan goloknya mengenai tempat
kosong. Ketua Perguruan Golok Maut ini lebih terperanjat lagi ketika melihat
lawan telah lenyap dari hadapannya. Padahal tadi jelas-jelas dilihatnya kalau
Dewa Arak hanya melangkah dengan gerakan terhuyung-huyung seperti akan jatuh.
Ketua Perguruan Golok Maut sama sekali tidak menduga kalau Dewa Arak telah
berada di belakangnya. Tapi tidak seperti yang sudah-sudah, Arya kali ini tidak
langsung melakukan penyerangan dari belakang.
Dewa Arak tahu kalau lawan-lawan yang dihadapinya ini adalah tokoh-tokoh
persilatan golongan putih.
Maka pemuda berambut putih keperakan ini tidak
mau membuat urusan dengan mereka. Tugasnya hanyalah memberi kesempatan kepada
Karmila berbincang-bincang dengan ayahnya untuk yang terakhir kalinya.
Karena hal itulah Dewa Arak tidak mengadakan perlawanan. Arya hanya mengelak
saja dari setiap serangan kedua lawannya. Untunglah pemuda ini memiliki jurus
'Delapan Langkah Belalang' yang unik, sehingga tidak terlalu repot untuk
mengelakkan setiap serangan yang datang. Hanya sesekali saja pemuda ini
menangkis serangan lawan.
Diam-diam Dewa Arak terkejut juga begitu
mendapat kenyataan kalau kedua lawannya ini memiliki kepandaian tinggi. Tingkat
kepandaian mereka hanya berselisih sedikit dengannya. Dari sini sudah dapat
diukur tingkat kepandaian Kalapati yang mampu menahan pengeroyokan ketiga
lawannya. Teringat akan Kalapati, Dewa Arak meluangkan kesempatan untuk melirik ke arah
ayah dan anak itu.
Dilihatnya Karmila dan ayahnya tengah berpelukan erat.
"A... Ayah...," ucap Karmila terbata-bata dalam pelukan ayahnya. Sama sekali
tidak menghiraukan pakaiannya yang kotor terkena noda darah dari luka-luka yang
diderita ayahnya.
"Ada apa, Karmila?" tanya Kalapati lembut.
Tangannya mengusap-usap rambut hitam, indah, dan harum milik putrinya penuh
kasih sayang. "Aku.. aku ingin minta maaf pada Ayah...," jawab Karmila terputus-putus.
"Heh"! Memangnya kau mempunyai kesalahan pada Ayah, Karmila?" tanya Kalapati
heran. Sementara tangannya masih terus mengusap-usap rambut putrinya penuh kasih
sayang. "Aku sering membuat Ayah jengkel...."
"Lupakanlah, Karmila. Ayah sama sekali tidak menganggap semua itu sebagai suatu
kesalahan. Pergilah! Selamatkan dirimu. Dewa Arak akan melindungimu."
"Kenapa Ayah tidak ikut pergi bersamaku saja"!"
tanya Karmila penasaran.
"Itu tidak mungkin, Karmila," bantah Kalapati.
"Pantang bagi Ayah untuk melarikan diri dari lawan.
Nah, sekarang keinginanmu sudah terpenuhi. Ayah akan menggantikan Dewa Arak
menghadapi kedua orang itu, Karmila. Kasihan, pemuda itu...."
Karmila mengikuti arah pandangan ayahnya. Dan apa yang dikatakan ayahnya memang
benar. Pemuda berambut putih keperakan itu terlihat pontang-panting menghadapi
gempuran kedua orang
lawannya. Memang dalam pandangan orang yang belum
memiliki tingkat kepandaian tinggi, Dewa Arak mungkin terlihat terdesak. Tampak
jelas kalau pemuda itu sampai terpontang-panting setiap mengelak serangan lawan.
Bahkan terlihat tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang.
Tapi tidak demikian halnya dengan pandangan Kalapati. Diam-diam kakek ini
terkejut penuh kekaguman. Sorot matanya yang tajam, dapat melihat jelas kalau
Dewa Arak sama sekali tidak berniat membalas, tetapi hanya mengelak saja.
"Itukah jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang terkenal?" tanya datuk ini dalam
hati. "Sungguh luar biasa."
Kalapati menyadari kalau luka-luka yang dideritanya amat parah. Tubuhnya
dirasakan semakin lama semakin melemah. Namun dia masih mem-
punyai tugas untuk menahan kedua kakek sakti itu agar Dewa Arak mempunyai
kesempatan membawa lari Karmila.
"Bersiap-siaplah, Dewa Arak..., aku akan menggantikan tempatmu. Aku mohon kau
segera menyelamatkan putriku," ucap Kalapati mengirimkan pesan dari jauh pada


Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arya. Dewa Arak menganggukkan kepalanya pertanda telah mendengar pesan Kalapati. Kakek
berwajah beringas itu gembira melihat Dewa Arak telah mengerti pesannya.
"Selamat tinggal, Karmila," ujar Kalapati sambil mencium kening putrinya.
Perlahan-lahan pelukan pada putrinya dilepaskan. Dengan berat hati, Karmila pun
melepaskan pelukannya.
"Selamat tinggal, Ayah," sahut gadis berpakaian jingga itu tersendat-sendat.
Firasat Karmila berkata kalau perpisahan dengan ayahnya ini, adalah perpisahan
untuk selama-lamanya.
Sementara itu begitu menerima pesan, Dewa Arak segera bersiap memberi kesempatan
pada Kalapati untuk menggantikannya. Dan untuk itu dia harus mendesak lawannya.
Maka kini gerakan Dewa Arak pun mendadak berubah. Langsung saja pemuda itu
memainkan jurus 'Belalang Mabuk'nya.
Gambala dan si Golok Emas terkejut sekali ketika merasakan perubahan mendadak
itu. Memang, sebagai tokoh sakti mereka tahu kalau sejak tadi Dewa Arak belum
melancarkan serangan balasan.
Dan ini membuat kedua tokoh itu merasa terhina.
Sebagai akibatnya, tentu saja keduanya semakin marah dan menyerang semakin
dahsyat. Kini begitu Dewa Arak melancarkan serangan balasan, Gambala dan si Golok Emas
terkejut bukan main. Serangan Dewa Arak yang begitu dahsyat dan menderu-deru laksana amukan
badai, membuat keduanya melompat mundur ke belakang.
Begitu kedua orang itu melompat mundur, Kalapati segera melompat ke sebelah Dewa
Arak. "Berhati-hatilah, Dewa Arak. Kau akan mengalami banyak kesulitan dalam
menyelamatkan putriku. Tapi percayalah, kau membela orang yang benar. Aku dan
putriku sama sekali tidak tahu apa-apa. Kedua orang inilah yang mendesak kami
bertarung," jelas Kalapati agak terburu-buru.
"Percayalah padaku, Kalapati. Aku akan melindungi putrimu dengan taruhan
nyawaku. Aku percaya kalau kau dan putrimu ada di pihak yang benar."
"Terima kasih, Dewa Arak. Sayang, aku tidak akan sempat membalas kebaikan hatimu
ini. Hhh...!" keluh Kalapati.
"Aku mohon, kau jangan menyebut-nyebut masalah hutang budi, Kalapati. Aku
menolong bukan karena mengharapkan balasanmu," tegas Dewa Arak bernada
memperingatkan.
"Aku percaya, Dewa Arak. Nah, sekarang pergilah.
Aku tidak yakin akan mampu menahan mereka terlalu lama."
"Kalau begitu, aku pergi dulu, Kalapati," ucap Dewa Arak sambil menggerakkan
kaki. Kelihatannya pemuda berambut putih keperakan ini hanya melangkah perlahan
saja, tapi hebatnya tahu-tahu telah berada lebih sepuluh tombak dari tempat
semula. Dan sesaat kemudian, Dewa Arak telah berada di dekat Karmila.
"Mari kita pergi, Karmila," ajak Dewa Arak.
Karmila menahan isak yang naik ke tenggorokan-
nya. Sekilas sepasang bola mata bening itu menatap ke arah ayahnya yang sudah
kembali terlibat pertarungan dengan kedua lawannya.
"Selamat tinggal, Ayah...!" teriak gadis berpakaian jingga itu dengan pengerahan
tenaga dalam sehingga suaranya menggema sampai jauh. Kemudian Karmila melesat
cepat meninggalkan tempat itu dengan diikuti Dewa Arak.
Meskipun tengah sibuk menghadapi desakan
kedua lawannya, Kalapati masih sempat mengirimkan suara dari jauh untuk
putrinya. "Selamat tinggal, Karmila...."
Karmila agak menahan langkahnya begitu
mendengar ucapan Kalapati.
"Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak begitu melihat Karmila memperlambat
langkahnya. "Tidak ada apa-apa...," sahut gadis berpakaian jingga itu sambil menggelengkan
kepalanya. Langkahnya pun kembali dipercepat seperti semula.
Dewa Arak tidak mendesak. Pemuda berambut putih keperakan ini sengaja membiarkan
Karmila menenangkan batinnya yang terguncang. Terus saja kakinya dilangkahkan
mengikuti Karmila yang telah bergerak lebih dulu.
*** Kalapati tersenyum begitu melihat tubuh Karmila dan Dewa Arak telah lenyap dari
tempat itu. Seketika itu juga perlawanannya menurun jauh. Memang, sebenarnya
kakek ini telah terluka parah, dan tenaganya pun sudah berkurang jauh. Tapi
karena terdorong untuk menyelamatkan putrinya sajalah yang membuatnya mendapat
tenaga baru. Begitu
diyakini Karmila telah selamat, tenaga tambahan itu pun lenyap seketika.
Dalam beberapa gebrakan, Kalapati telah terdesak hebat. Bahkan beberapa kali
serangan lawan sempat menyerempet tubuhnya. Luka-lukanya pun semakin banyak. Dan
tentu saja hal ini membuat tenaga Kalapati menjadi kian susut.
"Haaat..!"
Singgg...! Sambil berteriak nyaring, Gambala menusukkan pedangnya ke arah perut Kalapati.
Dan seperti biasanya, pedang lemas itu bergetaran, sehingga kelihatan banyak dan
sukar diduga bagian mana yang dituju.
"Hiyaaa...!"
Si Golok Emas berteriak pula. Tubuhnya melompat ke udara. Dan dari atas,
goloknya disabetkan ke arah leher kakek berpakaian kulit ular itu.
Wuttt..! Kedua serangan itu datang begitu mendadak.
Sedangkan keadaan Kalapati saat itu sudah amat lemah. Meskipun begitu, kakek
berpakaian kulit ular ini berusaha mengelak. Tapi....
Ceppp, cappp...!
Telak sekah kedua serangan itu mengenai
sasarannya. Seketika itu juga tubuh Kalapati roboh ke tanah. Darah segar
memancar deras dari perut yang tertembus pedang. Dan juga dari kepala yang
terpisah dengan lehernya. Kalapati tewas tanpa sempat bersuara!
Gambala dan si Golok Emas memandangi tubuh Kalapati yang bersimbah darah. Ada
kepuasan terpancar dari sorot mata dan wajah kedua kakek sakti itu.
"Adi Gumarang..., kau lihatlah. Kematianmu telah kubalaskan. Pembunuhmu telah
kubinasakan. Semoga kau tenang di alam baka...," desah Gambala dalam hati.
"Golok Perak..., musuh besarmu telah kubinasakan. Semoga arwahmu tidak
penasaran...," ucap Si Golok Emas dalam hati dengan kepala tertunduk.
Setelah itu, hampir bersamaan kedua tokoh sakti itu melangkah menuju ke arah
mayat adik seperguruan masing-masing.
"Waji...," panggil Gambala kepada muridnya yang masih termenung menatap ke arah
Barat Pemuda berbadan lebar itu pun berpaling menatap gurunya.
"Ke sanakah kedua orang itu melarikan diri, Waji?"
tanya Gambala seraya memandang ke arah
pandangan muridnya tadi.
"Benar, Guru," jawab Waji sambil menganggukkan kepalanya. "Apakah Guru akan
mengejarnya?"
Gambala menggelengkan kepalanya.
"Mengapa, Guru?" tanya Waji. Nada suaranya menyiratkan rasa penasaran yang
mendalam. "Mengejar kedua orang itu tidak sulit, Waji. Tapi yang penting sekarang kita
urus dulu mayat paman gurumu ini"
"Maaf, Guru. Aku... aku...."
"Ada apa lagi, Waji?" tanya Gambala dengan alis berkerut melihat sikap muridnya
yang tampak ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
"Aku... aku tidak bisa ikut Guru pulang ke perguruan...," sahut Waji terputus-
putus. "Mengapa, Waji?"
"Aku ingin mencari mayat Adi Jalasa dan Adi Rupangki dulu, Guru. Batinku tidak
akan tenang sebelum mayat mereka kutemukan," sahut Waji tersendat-sendat. Suaranya terdengar
parau. "Hhh...!" Gambala menghela napas berat "Kalau itu sudah keputusanmu, aku tidak
akan mencegah, Waji"
"Terima kasih, Guru," ucap pemuda berbadan lebar itu terputus-putus.
"Kalau begitu aku akan pergi dulu. Hati-hatilah, Waji"
"Akan kuperhatikan semua nasihat Guru."
Gambala membungkuk, lalu mengangkat mayat Gumarang dan diletakkan di bahunya.
Sesaat kemudian Ketua Perguruan Pedang Ular itu melesat dari situ. Cepat bukan
main gerakannya sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning.
Waji memandangi tubuh gurunya hingga lenyap di kejauhan. Kini di tempat itu yang
tinggal hanya dia sendiri. Si Golok Emas pun sudah sejak tadi meninggalkan
tempat itu sambil membawa mayat adik seperguruannya.
*** Waji tersenyum lebar. Sorot kesedihan mendadak lenyap di wajahnya. Perlahan
kakinya dilangkahkan menuju batu pipih dan lebar yang terdapat dekat situ.
Kemudian pantatnya dihempaskan, duduk di atasnya.
Cukup lama juga pemuda berbadan lebar itu duduk di situ. Sampai matahari tepat
berada di atas kepala, Waji tetap duduk di atas batu itu.
"Uhhh...," keluh Waji. Kepalanya ditolehkan ke bawah lereng. Entah sudah berapa
kali pemuda itu berbuat seperti itu. Jelas ada sesuatu yang ditunggunya.
"Mengapa lama sekali...?"
Baru saja Waji menyelesaikan ucapannya,
mendadak terdengar suara berkaokan keras dua kali.
Suara itu mengingatkan orang akan suara burung gagak.
Waji segera berpaling ke arah asal suara.
Pendengarannya dipasang tajam-tajam. Jelas kalau suara berkaokan itu mempunyai
arti bagi pemuda itu.
Belum lagi gema suara itu lenyap, kembali terdengar lagi. Dua kali berturut-
turut dan kemudian berhenti.
Waji tersenyum lebar. Wajahnya mendadak cerah.
Dari mulutnya terdengar siulan nyaring yang menggema ke seluruh tempat itu. Hal
ini tidak aneh, karena pemuda berbadan lebar itu mengerahkan tenaga dalam
sewaktu bersiul.
"Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar tawa keras bergelak. Tawa yang menggema ke seluruh penjuru
Gunung Paianjar.
Membuat daun-daun di sekitar tempat itu bergetar.
Jelas kalau tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam.
Belum juga habis gema tawa itu, melesat sesosok bayangan dan mendarat tepat di
depan Waji. Bumi bergetar hebat begitu kedua kaki bayangan itu menjejak tanah.
Di hadapan Waji telah berdiri sesosok tinggi besar.
Sekujur tangan dan badan sosok yang bertelanjang dada ini dipenuhi otot-otot
melingkar dan bertonjolan.
Kepalanya botak dan raut wajahnya kasar dengan mata membelalak lebar. Celananya
sebatas lutut, dan terbuat dari kulit beruang salju.
"Ha ha ha...! Kelihatannya semua rencanamu berjalan baik, Waji," ucap laki-laki
bertubuh tinggi kekar berotot itu. Suaranya mirip dengan tawanya.
Keras dan menggelegar.
Waji bergegas bangkit dari duduknya dan
kemudian berdiri di hadapan laki-laki tinggi besar berotot itu. Dan begitu
pemuda berbadan lebar ini berdiri, baru teriihat betapa tingginya orang yang
baru datang itu. Tinggi Waji hanya mencapai dada laki-laki tinggi besar berotot
itu. Padahal Waji terhitung pemuda yang berpostur tubuh di atas rata-rata.
"Mengapa kau bisa menduga demikian, Setan Kepala Besi"!" sahut Waji cepat.
Nurseta Satria Karang Tirta 10 Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung Kedele Maut 8
^