Pencarian

Garuda Mata Satu 1

Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu Bagian 1


Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
GARUDA MATA SATU
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Garuda Mata Satu
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Senja mulai turun ke bumi. Semburat kemerahan tampak di kaki langit sebelah
barat. Indah! Itulah kesan yang timbul di benak orang yang menikmatinya.
T api keindahan senja hari itu sama sekali tidak menarik perhatian empat orang
laki-laki di atas punggung kuda. T anpa mempedulikan sekitarnya, mereka terus
saja menggebah kudanya. Derap kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam tanah,
serta debu yang mengepul tinggi, menjadi pertanda kalau kuda itu begitu cepat
berlari. "Hiya...! Hiyaaa...!"
Empat penunggang kuda yang semuanya berpakaian coklat dan bertubuh kekar itu
berteriak-teriak keras, agar binatang tunggangannya lebih cepat berlari. Bahkan
pecut di tangan kanan mereka pun ikut berperan dalam mempercepat lari kuda.
Ctarrr! Suara lecutan terdengar cukup nyaring ketika pecut-pecut itu menjilat bagian
belakang tubuh kuda masing-masing. Maka, mau tak mau binatang-binatang
tunggangan itu semakin cepat berlari.
"Kau yakin dia berada di sana, Kang Wasila?"
Sambil tetap menggeprakkan tali kekang agar kudanya berlari lebih cepat, laki-
laki yang bertubuh pendek kekar membuka percakapan.
Penunggang kuda terdepan yang satu-satunya mengenakan ikat kepala berwarna
merah, menoleh ke belakang. Dialah yang bernama Wasila.
"Aku yakin dia berada di sana, Dulang," jawab Wasila.
Usai berkata demikian, Wasila yang merupakan pemimpin dari ketiga orang yang
berada di belakangnya, kembali mengalihkan pandang ke arah semula.
Sementara laki-laki yang bernama Dulang mengernyitkan alis sebentar.
Kemudian diliriknya dua rekannya yang berkuda di se belahnya. Pada saat yang
sama, dua orang itu juga tengah melirik ke arahnya. Nama masing-masing kedua
orang itu adalah Paksi dan Gora.
"Mengapa kau demikian yakin, Kang?" tanya penunggang kuda yang memiliki sebuah
tahi lalat besar di pipi sebelah kiri. Dialah yang bernama Paksi. T entu saja
seperti juga Dulang dan Wasila, dia pun harus mengeraskan suara. Derap suara
kaki kuda yang riuh dan bergemuruh, menyebabkan suaranya tertelan begitu saja.
"T idak usah ditanyakan sekarang nanti pun kalian akan tahu. Sekarang, yang
penting kita harus segera tiba di sana! Aku tidak ingin Garuda Mata Satu lebih
dulu kabur!" sentak Wasila.
Seketika Dulang dan dua rekannya menghentikan ucapan, begitu sadar kalau Wasila
tidak menginginkan percakapan dilanjutkan. Maka, kini keempat orang itu pun
melanjutkan perjalanan tanpa bercakap-cakap lagi. Yang terdengar sekarang,
hanyalah suara kaki-kaki kuda membentur tanah.
Rupanya, kata-kata Wasila dibuktikan oleh tindakannya. Kudanya segera dipacu
bagaikan orang kesetanan. Hentakan tali kekang dan hantaman pecutnya semakin
sering dilakukan, untuk segera tiba di tempat tujuan. Hal yang sama pun
dilakukan Dulang, Paksi, dan Gora.
Yang lebih gila lagi, empat orang berpakaian coklat itu sama sekali tidak
memperlambat lari kudanya ketika memasuki mulut Desa Wetan. Kuda-kuda itu terus
saja dipacu cepat melintasi jalan utama desa.
T entu saja tindakan mereka membuat para penduduk Desa Wetan yang sebagian besar
tengah beristirahat di dalam rumah, menjadi heran. T ak sedikit di antara mereka
yang bergegas keluar rumah dengan senjata tersandang di tangan. T api, mereka
segera kembali masuk ke dalam rumah sambil menggerutu, karena empat orang
penunggang kuda itu sudah amat jauh. Yang tertinggal dan terlihat hanyalah
kepulan debu di udara.
Sementara itu, Wasila dan tiga orang anak buahnya terus saja memacu cepat
kudanya tanpa mempedulikan suasana sekelilingnya. Diacuhkan saja rumah-rumah
penduduk yang dilewati. T ak dihiraukan lagi kalau pemukiman-pemukiman penduduk
yang semakin lama semakin jarang. Bahkan sampai akhirnya tidak ada sama sekali.
"Itu tempat yang kita cari," tunjuk Wasila dengan tangan kiri sambil terus
memacu kudanya.
Dulang, Paksi, dan Gora mengikuti arah tangan Wasila. Dan mereka juga melihat
sebuah pondok sederhana yang bertengger di sebuah tanah lapang luas. Jarak
pondok itu dengan mereka, tak kurang dari dua puluh tombak.
"Percepat lari kuda kalian!" perintah Wasila. Rupanya, melihat sasaran yang
dicari-cari telah berada di depan mata, semangat Wasila kembali berkobar.
Dengan segala daya, Wasila dan ketiga anak buahnya berusaha keras mempercepat
lari kuda. Mereka berusaha secepat mungkin untuk tiba di pondok yang dituju.
Dalam waktu sebentar saja, Wasila dan tiga anak buahnya telah berada di depan
pondok. Segera saja mereka menarik tali kekang, sehingga kuda-kuda itu berhenti
berlari cepat mendadak disertai ringkikan nyaring sambil mengangkat kaki
depannya tinggi-tinggi.
Kelihatannya, Wasila dan tiga anak buahnya sudah tak sabar lagi untuk segera
bertemu Garuda Mata Satu. Buktinya, sebelum kuda-kuda itu menurunkan kaki
depannya kembali, mereka sudah berlompatan turun. Jliggg!
Berturut-turut Wasila dan tiga anak buahnya mendarat di tanah dengan gerakan
yang rata-rata gesit. Dari sini bisa dilihat kalau mereka memiliki ilmu silat
lumayan. Srat, srat, srattt!
Sinar-sinar terang tampak mencuat, begitu Wasila dan anak buahnya menghunus
golok yang terselip di pinggang.
"Garda! Keluar kau...!" teriak Wasila sambil menatap penuh waspada pada daun
pintu pondok yang tertutup rapat.
Sementara, Dulang, Paksi, dan Gora berdiri di kanan dan kirinya. Mata mereka
tampak beredar berkeliling, dengan sikap waspada.
"Kuperingatkan sekali lagi, Garda! Keluar kau! Atau..., aku akan masuk dengan
kekerasan! Kuberikan kesempatan sampai tiga hitungan, Garda!"
Wasila mengeluarkan ancaman setelah menunggu beberapa saat lamanya tidak ada
tanggapan atas seruannya tadi. "Satu...!"
Wasila memulai dengan hitungan pertama. Sepasang matanya menatap tajam ke pintu
pondok. Sedangkan Dulang, Paksi, dan Gora semakin memperhatikan suasana
sekelilingnya. "Dua...!" teriak Wasila sambil menambah keras nada suaranya.
Kriiit...! Se belum laki-laki berikat kepala coklat itu mengucapkan hitungan terakhir, daun
pintu itu tampak terkuak. Seketika itu pula, Wasila dan tiga orang kawannya
mundur beberapa tindak. T angan mereka yang memegang senjata tampak bergetar,
pertanda telah dialiri tenaga dalam! Se dangkan sepasang mata mereka menatap
penuh selidik ke arah pintu.
"Siapa kau"! Mana Garuda Mata Satu"! Cepat suruh keluar! Atau..., rumah ini
kuhancurkan!" geram Wasila penuh ancaman.
Raut wajah Wasila dan anak buahnya yang semula menegang, kini
mengendur. Ternyata setelah daun pintu terbuka, yang muncul bukan Garuda Mata
Satu, orang yang tengah dicari-cari.
"Maaf. Kurasa Kisanak semua keliru. Di sini tidak ada orang yang bernama Garuda
Mata Satu. Yang ada hanya aku, Kartugi," kata orang yang baru saja membuka
pintu. Dia mengaku bernama Kartugi, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun.
T ubuhnya tegap terbungkus pakaian berwarna abu-abu.
"Keparat! Kau berani membohongi kami, Kartugi"! Apakah kau sudah bosan hidup,
heh"! Dulang, Paksi, Gora! Paksa tua bangka ini bicara!"
perintah Wasila pada anak buahnya.
T anpa diberi perintah dua kali Dulang, Paksi, dan Gora menghampiri Kartugi
dengan sikap mengancam dan sangat memandang rendah. Ini bisa dilihat dari senyum
mengejek yang tersungging di bibir dan golok di tangan yang diamang-amangkan.
*** "Ini peringatan terakhir, T ua Bangka! Katakan, di mana Garuda Mata Satu!" desak
Dulang, penuh ancaman.
"Apa lagi yang harus kukatakan padamu, Kisanak" Bukankah tadi aku sudah
mengatakannya" Disini tidak ada orang yang bernama Garuda Mata Satu. Hanya aku,
Kartugi yang berada di sini," jawab Kartugi kalem.
"Keparat! Rupanya kau tidak mau diajak bicara baik-baik, T ua Bangka!
Mampuslah! Hih...!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Dulang melompat menerjang Kartugi. Dan selagi
tubuhnya tengah berada di udara, goloknya cepat ditusukkan ke arah perut
Kartugi. Wuttt! Serangan Dulang mengenai tempat kosong, begitu Kartugi menarik kaki kanannya ke
belakang sambil mendoyongkan tubuh. T indakan Kartugi tidak hanya sampai di situ
saja. Begitu serangan Dulang berhasil dielakkan, tangan kirinya langsung
dikibaskan. Prattt! "Akh...!"
Dulang kontan memekik ketika tangan Kartugi menghantam telak tangan kanannya,
sehingga menimbulkan rasa sakit yang bukan kepalang. Seakan-akan tulang-
belulangnya menjadi luluh lantak. Hantaman laki-laki berpakaian abu-abu itu
memang keras bukan kepalang. Bahkan golok Dulang pun sampai terlempar dibuatnya.
T api sebelum Kartugi melancarkan serangan susulan kembali, Gora dan Paksi telah
lebih dulu menyerangnya. Gora melancarkan bacokan ke arah leher, sedangkan Paksi
mengirimkan babatan ke arah pinggang kiri. Dua buah serangan yang sama-sama
membawa hawa maut! Wut, wuttt!
Kembali serangan anak buah Wasila berhasil dimentahkan Kartugi. Laki-laki
berpakaian abu-abu ini cepat melompat mundur, sehingga semua serangan meluncur
lewat di hadapannya.
*** "Keparat!" geram Wasila sambil mengepalkan tangannya.
Rupanya, laki-laki berikat kepala coklat itu tidak bisa menahan sabar lagi.
Belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuhnya sudah melompat menerjang Kartugi.
Dengan bertumpu pada pergelangan tangan, goloknya diputar beberapa saat,
kemudian diluncurkan ke arah leher Kartugi. Wunggg!
Kali ini, Kartugi tidak berani bertindak sembarangan. Buru-buru sepasang pedang
yang tergantung di punggungnya dicabut. Lalu, dipapaknya luncuran golok itu
dengan sepasang pedangnya yang disilangkan.
Tranggg! Bunga api langsung berpijar ketika senjata yang berbeda jenis dan ukuran itu
saling berbenturan. Akibatnya, tubuh Kartugi terhuyung-huyung ke belakang.
Jliggg! Begitu kedua kaki Wasila hinggap di tanah, Kartugi juga telah berhasil
memperbaiki keseimbangannya. Dan secepat itu pula, kedua belah pihak saling
menggebrak kembali.
Baik Kartugi maupun Wasila telah sama-sama tahu kalau kepandaian yang dimiliki
masing-masing pihak tidak bisa dipandang ringan. Maka mereka tidak berani
bertindak main-main. Bahkan kini dalam gebrakan selanjutnya seluruh kemampuan
yang dimiliki telah dikerahkan.
Dan, akibatnya sudah bisa diduga. Suasana di sekitar tempat itu seketika jadi
riuh rendah. Desing serangan senjata, dentang suara senjata beradu, dan teriakan
masing-masing pihak menyemaraki pertarungan.
T ernyata, semua kejadian itu tidak hanya disaksikan oleh sepasang mata secara
sembunyi-sembunyi. Sedangkan Dulang, Paksi, dan Gora pun juga telah menjadi
penonton. Mereka langsung mengundurkan diri dari kancah pertarungan begitu
Wasila telah turun tangan. Meskipun demikian, golok
telanjang tetap tercekal di tangan masing-masing. Ketiga orang ini telah
bersiap-siap, apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diri pemimpin
mereka. Sementara itu, sepasang mata yang menyaksikan pertarungan secara sembunyi-
sembunyi, kelihatan tak ingin bergerak dulu. T ampaknya, kehadirannya tidak ingin diketahui orang lain. Bulu matanya yang lentik tampak
terus mengintai dari balik dedaunan, di atas cabang pohon tinggi yang tidak jauh
dari situ. Semua orang yang menyaksikan, tampaknya menaruh perhatian atas hasil pertarungan
yang tengah berlangsung. T api, tidak demikian halnya dengan Wasila dan Kartugi.
Mereka sama sekali tidak mempedulikan suasana sekelilingnya. Yang ada di benak
mereka hanya satu, mengalahkan lawan secepat mungkin.
T api, kedua orang yang bertarung itu sama-sama menyadari kalau satu sama lain
terlalu tangguh untuk bisa ditaklukkan secepat mungkin. Sampai pertarungan
berlangsung le bih dari lima puluh jurus, tidak nampak tanda-tanda ada yang akan
keluar sebagai pemenang.
Se benarnya dalam hal tenaga dalam, Kartugi masih lebih unggul sedikit daripada
Wasila. T api keunggulan itu bisa diimbangi Wasila dengan kelebihan ilmu
meringankan tubuh. Maka tak heran kalau pertarungan jadi berlangsung sengit.
Sekarang, pertarungan telah menginjak jurus ketujuh puluh dua. T api, tampaknya
keadaan masih tetap tidak berubah. Pertarungan masih berlangsung seimbang. Namun
justru keadaan ini membuat Wasila kehilangan kesabaran.
Disadari betul kalau tidak segera dilakukan perubahan, pertarungan akan
berlangsung semakin alot. Tanpa terlalu lama memutar otak, lelaki berikat kepala
merah ini telah menemukan suatu cara yang dianggap jitu.
Meskipun demikian, Wasila tidak terlalu terburu-buru menjalankan siasatnya. Dia
tahu, sifat terburu-buru akan mendatangkan hasil yang kurang baik. Maka dengan
sabar, ditunggunya hingga keadaan menguntungkan.
"Hih!"
Di jurus kedelapan puluh dua, Wasila segera melaksanakan siasatnya. Jari-jari
tangan kanannya cepat memijit sebuah benjolan yang ada di gagang goloknya.
Dan.... Trekkk! Mengerikan! Mata golok yang semula menempel pada gagangnya, tiba-tiba
meluncur ke arah lawan. Padahal, pada saat itu tubuh Kartugi tengah berada di
udara, karena baru saja habis mengelakkan sebuah serangan. T entu saja munculnya
serangan itu membuatnya kelabakan bukan kepalang. T ambahan lagi, tibanya
serangan terlalu mendadak. Akibatnya, Kartugi tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk mengelak. Dan....
Cappp! "Akh...!"
Lolong kesakitan terdengar dari mulut Kartugi ketika mata golok Wasila yang
mendadak bisa lepas dari gagangnya, menancap di dada sebelah kiri.
Dan sebelum laki-laki berpakaian abu-abu ini sempat berbuat sesuatu, Wasila
kembali memijit benjolan lain pada gagang goloknya. Dan....
Brettt! Mata golok yang semula tertancap di dada kiri Kartugi, kembali meluncur ke arah
gagang golok Wasila. Memang, antara gagang dan mata golok itu dihubungkan oleh
per yang dapat melentur dan kembali lagi. T entu saja, apabila Wasila menyentuh
benjolan pada gagang goloknya.
"Hugh!"
Dengan sempoyongan, Kartugi mendarat di tanah. Dan dengan tubuh terhuyung-
huyung, disimpannya pedang yang terpegang di tangan kanan ke punggung. Kemudian,
ditotoknya jalan darah di sekitar luka yang cukup besar dan dalam. Begitu sudah


Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertotok, tidak ada lagi darah yang keluar.
Namun.... "Aaakh...!"
Namun, mendadak tubuh Kartugi kembali terhuyung-huyung ke belakang.
Kedua tangannya langsung mendekap luka di perutnya. Pedang yang semula
tergenggam di tangan, langsung dilemparkan begitu saja.
"Ha ha ha...!"
Wasila tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Kartugi.
"Manusia licik!" maki Kartugi dengan suara mendesis. Menilik seringai di
bibirnya, bisa diketahui kalau dia tengah menderita sakit yang amat sangat
"Kau membubuhi racun di senjatamu. Hhh...! Kini aku mengerti, mengapa kau tidak
melancarkan serangan susulan di saat keadaanku tadi tidak memungkinkan. Aku kenal betul orang macam kau! Segala macam cara akan
dipergunakan untuk mencapai kemenangan."
"Ha ha ha...!"
Wasila menyambuti ucapan itu dengan tawa keras bernada ejekan.
"Syukurlah kau sudah mengerti, Kartugi! Selagi masih ada kesempatan, cepat
beritahukan di mana adanya Garuda Mata Satu! Cepat katakan sebelum terlambat.
Apabila racun itu sudah menjalar lebih jauh, jangan harap nyawamu akan
tertolong!"
Kartugi menggertakkan gigi. Ditahannya sekuat tenaga rasa panas yang membakar
bagian perut. "Aku tidak tahu, Manusia Keji! Dan apabila aku tahu pun jangan harap kukatakan
padamu! Kau pikir aku takut mati, heh"!" tegas Kartugi cukup lantang, meskipun
agak terdengar bergetar.
Wasila mendengus karena jengkel mendengar sambutan yang diterima.
"Baik kalau itu maumu, Keparat! Asal tahu saja, aku tahu kalau kau tidak takut
mati. T api, apakah kau yakin mampu bertahan menanggung siksa racun itu"!"
"Maksudmu..."!"
Kartugi merasakan dadanya berdebar tegang. Sudah bisa diduga, maksud ucapan
berbau ancaman dari Wasila. Dia akan mati secara perlahan-lahan, dan tentu saja
dengan perasaan tidak enak.
*** 2 "Ya! Wasila menganggukkan kepala disertai sunggingan senyum kemenangan.
Memang, Wasila baru mengucapkannya sepotong. T api dari tarikan wajah Kartugi
yang menegang, sudah bisa diperkirakan kelanjutannya.
"Apabila racun itu telah menyebar dalam darahmu, kau akan menerima akibatnya.
Kau akan menderita hebat sebelum mati! Rasa panas dan gatal-gatal akan kau
derita sampai mati!"
Kartugi merasakan bulu kuduknya seketika berdiri. Dia tahu, Wasila tidak hanya
sekadar menggertak. Perlahan-lahan perasaan ngeri pun timbul di hatinya. Semakin
lama semakin membesar, sampai akhirnya justru perasaan nekatlah yang timbul.
"Keparat! Manusia keji! Mampuslah kau! Hiya..., ugh!"
Namun, tubuh Kartugi kontan limbung sebelum berhasil menyarangkan sebuah
serangan di tubuh Wasila. Kedua tangannya yang semula mengepal keras penuh
kekuatan, kini didekapkan pada perut. Seringai kesakitan yang
terpampang di mulut dan tubuhnya yang membungkuk, menjadi pertanda kalau tengah
dilanda rasa sakit yang hebat.
"Ha ha ha...!"
Wasila tertawa terbahak-bahak. Dengan mulut menyunggingkan senyum sinis,
ditatapnya wajah Kartugi lekat-lekat.
"Perlu kau ketahui, Kartugi. Racun itu akan menjalar sangat cepat apabila kau
mengerahkan tenaga dalam, dan langsung menunjukkan akibatnya. Kau telah
merasakannya sendiri bukan?"
Kartugi sama sekali tidak menanggapi. Di samping memang tidak berminat
melakukannya, perasaan sakit yang tengah mendera membuat tubuhnya terbungkuk
sambil memegang bagian yang dilanda sakit. Rasanya, perutnya bagai diseruduk
seekor kerbau ketika hendak menyerang Wasila.
T api dekapan kedua tangan Kartugi hanya sebentar saja. Betapa tidak" Kini rasa
gatal mulai melanda sekujur tubuhnya! Bahkan disertai rasa panas membakar!
Mulanya rasa panas dan gatal itu tidak begitu menyiksa. Tapi, ternyata semakin
lama semakin menjadi-jadi. T erutama sekali rasa gatalnya.
Mau tak mau, Kartugi tidak tahan dan harus menggaruk.
Gruk, gruk, gruk...!
Kartugi mulai menggaruk-garuk bagian tubuh yang terasa gatal. Anehnya, begitu
digaruk rasa gatal yang melanda semakin menjadi-jadi. Sehingga Kartugi terpaksa
harus menggaruk terus. Bahkan kedua tangannya mulai sibuk menggaruk sana-sini,
karena bagian tubuh yang terasa gatal semakin meluas.
"Ha ha ha...! Kau boleh menggaruk terus sampai kulit dan bahkan dagingmu habis
tercakar, Manusia Bodoh! Ha ha ha...!" ejek Wasila, penuh perasaan gembira.
"Ha ha ha...!"
Dulang, Gora, dan Paksi pun tertawa terbahak-bahak. Seperti juga Wasila, ketiga
orang ini pun merasa senang melihat Kartugi tersiksa. Suasana kini semakin riuh
oleh gelak tawa mereka.
Mendadak.... "Wasila! Manusia terkutuk! Jangan harap kuampuni nyawamu!"
Suara makian keras seketika membuat tawa Wasila dan tiga anak buahnya terhenti.
Dengan wajah berubah, mereka mengalihkan perhatian ke arah asal suara. Sikap
Wasila dan ketiga orang kawannya tampak penuh kewaspadaan, karena tahu siapa
pemilik suara itu.
Wusss! Diiringi hembusan angin yang cukup keras, tiba-tiba sesosok bayangan coklat
berkelebat. Dan...
Jliggg! T anpa menimbulkan suara yang berarti, sesosok bayangan coklat itu mendaratkan
kedua kakinya di tanah, di antara tubuh Wasila dan Kartugi.
"Rupanya kau masih punya nyali untuk menemui kami, Garuda Mata Satu"! Kukira kau
akan tetap bersembunyi karena takut mati!" ejek Wasila, tajam.
Pimpinan rombongan orang bertampang kasar berseragam coklat itu menyunggingkan
senyum penuh ejekan di bibir. Dengan sikap merendahkan, ditatapnya sosok
berpakaian coklat yang berdiri di hadapannya.
Sosok yang baru tiba itu memang mengenakan pakaian berwarna sama dengan Wasila
dan tiga anak buahnya. Coklat. Hanya saja, pada bagian dada kirinya tersulam
gambar seekor burung garuda.
T api, sulaman gambar burung garuda itu tidak menimbulkan perasaan seram.
Demikian pula halnya potongan tubuhnya yang pendek kekar. Yang menimbulkan
perasaan segan adalah sepotong kulit hitam berbentuk bulat yang menutupi mata
sebelah kiri. Kulit hitam itu diikatkan ke belakang melewati kepala bagian atas
secara menyerong. Inilah orang yang dicari-cari Wasila dan tiga kawannya. Garuda
Mata Satu! "Mulutmu terlalu kotor, Wasila! Kau harus dihajar!"
Laki-laki bermata sebelah yang ternyata berjuluk Garuda Mata Satu itu menggeram.
Wajahnya yang merah padam menampakkan kemarahan hatinya.
Usai berkata demikian, Garuda Mata Satu mengambil buntalan kain hitam kecil dari
pinggangnya. Lalu, benda itu dilemparkannya ke belakang tanpa mengalihkan
pandangan dari Wasila.
"T elan obat itu untuk menghilangkan rasa gatal yang kau derita, Kartugi,"
ujar Garuda Mata Satu.
"Garuda Mata Satu! Kedatanganku kemari karena Yang Mulia Mata Malaikat menyuruh
kami semua untuk mencarimu! Dan kuharap, kau bersedia ikut dengan kami untuk
menghadap beliau!" kata Wasila.
"Apa katamu"! Pergi menghadap iblis keji itu"! Cuhhh...! Jangan harap, Wasila!
Sampai mati pun aku tidak sudi menghadapnya!" tolak Garuda Mata Satu lantang dan
mantap. "Rupanya kau lebih suka dibawa secara paksa, Garuda Mata Satu"!" ancam Wasila
sambil meraba gagang goloknya yang tadi telah diselipkan kembali di
pinggang. Srattt! Sinar terang tampak mencuat ketika Wasila mencabut golok pendeknya.
Melihat hal ini, Dulang, Paksi, dan Gora serentak melangkah maju. Golok mereka
memang sudah terhunus, karena memang sejak tadi masih tergenggam di tangan.
"Kalian mundur! Biar aku yang akan mencoba menjinakkan anjing liar ini,"
cegah Wasila yang mengetahui tindakan yang akan dilakukan tiga anak buahnya.
Mendengar ucapan pimpinan mereka, Dulang, Pakai, dan Gora kembali ke tempat
semula. Meskipun demikian, golok-golok telanjang masih tetap dalam genggaman
tangan. Sikap mereka juga tetap waspada, bersiap-siap menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
*** "Luar biasa kemajuan yang kau peroleh, Wasila! Baru beberapa hari bergaul
dengannya, kau telah mempunyai nyali yang demikian besar! Kau tidak hanya berani
memakiku, tapi juga berani menantangku bertarung. Ha ha ha...! Luar biasa! Aku
ja di ingin tahu, apa yang kau andalkan. Pengkhianat Busuk!"
"T utup mulutmu, Garuda Mata Satu! Jaga seranganku!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Wasila segera melompat menerjang Garuda Mata Satu.
Di saat tubuhnya masih berada di udara, golok di tangannya dikelebatkan
mendatar, mengarah leher laki-laki bermata satu itu.
Wuttt! Deru angin keras yang mengiringi serangan, menjadi pertanda kekuatan tenaga
dalam yang terkandung di dalam serangan Wasila.
Garuda Mata Satu menyunggingkan senyum mengejek. Ditunggunya
hingga serangan itu menyambar dekat. Baru ketika hampir mencapai sasaran,
kakinya buru-buru dilangkahkan ke
belakang seraya mencondongkan
tubuhnya. Maka....
Wusss! Mata golok Wasila menyambar lewat beberapa jengkal di depan leher Garuda Mata
Satu. Namun, Wasila sudah memperhitungkan hal itu. Dia telah mengenal betul, siapa
lawannya. Bahkan tingkat kepandaian Garuda Mata Satu juga telah
diketahuinya. Maka ketidakberhasilan serangannya tidak dipikirkannya lagi.
T api yang jelas, sebuah serangan susulan akan dikirimkannya.
Dan itu memang tidak salah! Begitu serangan pertamanya gagal, Wasila segera
menyusulinya dengan sebuah tusukan. Dan ternyata, masih leher Garuda Mata Satu
yang dijadikan sasaran!
T api untuk yang kesekian kalinya, serangan Wasila hanya menggapai angin. Ketika
Garuda Mata Satu merendahkan tubuhnya dengan menekuk lutut, maka serangan itu
meluncur beberapa jari di atas kepalanya.
T ernyata, kali ini Garuda Mata Satu tidak hanya berdiam diri saja dalam
menghadapi serangan
lawan. Secepat tusukan
golok Wasila berhasil dielakkan, secepat itu pula serangan balasan dikirimkan.
Laki-laki bermata satu yang belum mau menggunakan senjata itu
melancarkan serangan berupa sebuah gedoran dua telapak tangan terbuka ke arah
dada. "Hehhh..."!"
Wasila langsung terpekik kaget, melihat serangan yang sama sekali tidak
disangka-sangka. T ambahan lagi, serangan itu dilancarkan demikian cepat.
Namun sebagai seorang ahli silat berpengalaman, otot-otot tubuhnya cepat
bergerak dengan sendirinya. Dan dalam saat yang demikian singkat, kedua kakinya
diangkat untuk melindungi dada.
Dukkk! Benturan keras antara sepasang tangan melawan kaki itu tidak bisa dielakkan
lagi. Sesaat kemudian, tubuh Wasila langsung terjengkang ke belakang. Sedangkan
Garuda Mata Satu terhuyung satu langkah ke belakang.
Dan kelihatannya, keadaan laki-laki bermata satu ini lebih menguntungkan
daripada lawan.
Jliggg! Dengan mulut menyeringai, Wasila mendaratkan kedua kakinya di tanah.
Rupanya, laki-laki berikat kepala coklat ini kesakitan. Bahkan tubuhnya agak
terhuyung-huyung ketika menjejak tanah.
T api, Wasila rupanya termasuk orang yang keras hati. Tanpa mempedulikan rasa sakit yang mendera kaki, kembali diserangnya Garuda Mata Satu.
Dan tindakannya mendapat sambutan dari laki-laki bermata satu itu. Sehingga,
pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Dan itu rupanya sebuah pertarungan
yang terlihat tidak adil. Satu pihak menggunakan senjata, sementara yang satunya
hanya bertangan kosong.
Meskipun tidak menggunakan senjata, Garuda Mata Satu ternyata tetap mampu
mengadakan perlawanan sengit. T ubuhnya berkelebat di antara sambaran senjata
lawan. Di saat-saat yang memungkinkan, serangan balasan dilancarkannya.
Menarik dan sengit pertarungan antara Wasila melawan Garuda Mata Satu.
Hal ini tidak aneh, karena sama-sama telah mengeluarkan seluruh kemampuan sejak
gebrakan-gebrakan awal. Itulah sebabnya, walaupun tidak bisa melihat jelas
jalannya pertarungan, Dulang, Paksi, Gora, dan juga sosok yang berlindung di
balik kerimbunan pohon, terus menajamkan mata penuh perhatian.
Memang, gerakan Wasila dan Garuda Mata Satu terlalu cepat untuk bisa dilihat
oleh para penontonnya. Yang bisa terlihat hanyalah kelebatan dua bayangan coklat
yang saling belit, dan saling pisah.
T ak terasa, pertarungan telah berlangsung hampir empat puluh jurus. Dan selama
itu belum nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Di jurus keempat puluh tiga, mendadak Garuda Mata Satu melempar tubuhnya ke
belakang. Rupanya, dia bermaksud menjauhi kancah pertarungan.
Maka tentu saja Wasila tidak membiarkannya. Sebagai seorang ahli silat yang
telah kenyang makan asam garam, dia tahu alasan yang mendorong Garuda Mata Satu
menjauhinya. Apa lagi kalau bukan untuk menerapkan cara pertempuran baru" Bahkan
bukan tidak mungkin, Garuda Mata Satu akan mengeluarkan senjata andalan.
Mendapat pemikiran seperti itulah yang menyebabkan Wasila bertindak mengejar.
Dia segera melompat menyusul sambil melancarkan serangan.
Wukkk, srattt, crattt!
"Aaakh...!"
Rincian kejadian berlangsung sangat cepat. Begitu golok Wasila meluncur, Garuda
Mata Satu telah meraih gagang golok besarnya yang tersampir di punggung. Dan
saat tusukan Wasila meluncur dan tidak mengenai sasaran, Garuda Mata Satu cepat
menusukkan goloknya ke arah perut lawan. Wasila yang sama sekali tidak bersiap
menghadapi serangan, tidak sempat berbuat sesuatu. Seketika golok Garuda Mata
Satu menembus perut Wasila yang langsung memekik kesakitan.
Brukkk! Pada saat yang bersamaan dengan ambruknya tubuh Wasila di tanah,
Garuda Mata Satu telah berdiri tegak. Di tangannya tampak teracung sebatang
golok besar yang bernoda darah.
"Kang Wasila!" Hampir berbareng Dulang, Paksi, dan Gora berseru kaget.
Mereka cepat meluruk ke arah pemimpinnya, dan siap memberikan
pertolongan. T api, niat itu segera diurungkan ketika melihat Wasila memberi
isyarat agar mereka diam.


Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau.... Kau..., akan menerima balasannya Gardalaya...!" ucap Wasila terbata-
bata. "Yang Mulia Mata Malaikat akan menghukummu...."
"Dikira, aku takut pada iblis jelek itu, Wasila"! Jangan samakan dirimu
denganku. Aku bukan jenis orang yang takut mati! Kau keliru kalau menyangka aku
kabur karena takut pada si Mata Malaikat!" sambut Garuda Mata Satu. "Kepergianku
hanya karena tidak ingin banyak orang menjadi korban kekejiannya! Kuakui, aku
memang bukan orang baik. Tapi, keinginan si Mata Malaikat membuat bulu kudukku
berdiri! Dan karena kau, anak buahku telah berkhianat dariku. Maka sekarang,
rasakanlah hukumanmu!"
Usai berkata demikian, Garuda Mata Satu menghampiri Wasila yang masih terduduk
di tanah. Luka yang dideritanya memang cukup parah. Namun sekarang darah tidak
mengalir keluar lagi setelah Wasila menotok jalan darahnya di sekitar luka.
Selangkah demi selangkah, jarak Garuda Mata Satu semakin dekat dengan Wasila.
Ini berarti malaikat maut semakin mendekatinya. Dan Wasila pun menyadari betul
hal itu. Namun, dia juga tidak sudi mati secara percuma.
Maka sekuat tenaga diusahakannya untuk bangkit. Dan begitu berhasil berdiri
tegak, tangannya telah menggenggam golok. Rupanya, laki-laki berikat kepala
coklat ini telah bersiap mengadakan perlawanan mati-matian.
*** Kali ini Dulang, Paksi, dan Gora tidak bisa tinggal diam lagi. Mereka tahu, bila
Wasila dibiarkan menghadapi Garuda Mata Satu sendirian saja, pasti akan tewas.
Ketika belum terluka saja, Wasila tidak mampu menandingi Garuda Mata Satu.
Apalagi di saat tengah terluka.
Atas dasar pemikiran itulah, Dulang, Paksi, dan Gora melangkah
menghampiri Wasila.
"Ha ha ha...! T idak kusangka sama sekali kalau kalian pun akan berkhianat
padaku!" kata Garuda Mata Satu sambil tersenyum getir kepada Dulang, Paksi, dan
Gora. "Kau buta oleh keangkuhanmu sendiri, Garuda Mata Satu!" sergah Wasila, keras.
"Aku tahu, kau tidak ingin menjadi anak buah, tapi ingin menjadi ketua.
Padahal, Yang Mulia Mata Malaikat bersedia menjadikanmu sebagai salah seorang
wakilnya. Tapi, kau terlalu angkuh! Kau malah memilih kabur daripada bergabung
dengannya. Padahal banyak kepala perampok, perompak, dan tokoh-tokoh hitam lain
yang telah bergabung dengannya!"
Keras dan berapi-api ucapan Wasila sehingga membuat selebar wajah Garuda Mata
Satu sebentar pucat sebentar merah. Jelas, ucapan Wasila mengenai sasarannya.
"Perlu kau ketahui, kami semua bukan lagi gerombolan perampok yang menamakan
diri Gerombolan Garuda Sakti. Kami semua bukan lagi anak buahmu, dan telah
menjadi anak buah Yang Mulia Mata Malaikat!"
"Diam!"
Garuda Mata Satu membentak keras. Rupanya, ucapan yang keluar dari mulut Wasila
membuat amarahnya bangkit. Dan akibat rasa marah yang bergejolak, bentakan yang
dikeluarkannya mengandung pengerahan tenaga dalam. Maka tak pelak lagi, Dulang,
Paksi, dan Gora terpaksa mendekap kedua telinganya. Dada mereka terasa bergetar
hebat. Bahkan telinga pun terasa sakit bagai ditusuk-tusuk. Hanya Wasila yang
terbebas dari pengaruh bentakan Garuda Mata Satu, karena telah menyumpalnya
dengan tenaga dalam.
"T utup mulutmu, Garuda Mata Satu! Kau tidak berhak lagi membentak-bentak kami.
Kau bukan pemimpin lagi!" tandas Wasila, geram.
"Keparat! Mulutmu terlalu lancang, Wasila! Kuakui, aku bukan lagi pimpinan
kalian! T api, ingat! Aku masih berhak menghukum kalian dengan alasan kuat.
Kalian telah berkhianat kepadaku!" sambut Garuda Mata Satu tak kalah keras.
Lalu.... Hiyaaa...!"
Diawali se buah teriakan keras yang memekakkan telinga, Garuda Mata Satu
menerjang Wasila. Golok besar yang tercekal di kedua tangannya, teracung lurus
ke depan. Dengan kaki lurus, dan tubuh seperti sebatang tonggak, Garuda Mata
Satu melakukan penyerangan. Dan dalam keadaan meluncur, tubuhnya terus
berputaran. Sebuah cara penyerangan yang aneh!
Wunggg! Suara mengaung keras mengiringi tibanya serangan yang dilakukan secara
berputaran seperti gasing itu,
Wasila yang melihat jenis serangan ini terlihat agak gugup. Memang,
serangan seperti ini belum pernah dihadapi sebelumnya.
"T angkis sama-sama!" perintah Wasila.
Pada saat yang bersamaan dengan keluarnya ucapan itu, Wasila segera memapaki. T
idak dirasakannya lagi luka di perut, karena khawatir akan bahaya maut yang
tengah mengancam.
Dan memang, Wasila tidak sendirian sewaktu memapak serangan itu.
Hampir berbarengan, Dulang, Paksi, dan Gora pun melakukan hal yang sama.
*** 3 Trang, trang! Crattt! "Akh!"
Rentetan kejadian berlangsung demikian cepat. Bunga api tampak
memercik ke sana kemari ketika lima batang senjata berbenturan. Itu pun masih
disusul berpentalannya lima sosok tubuh ke tempat semula, diseling jerit
menyayat. Jliggg! Lima pasang kaki menjejak tanah. T api, hanya Garuda Mata Satu yang bisa hinggap
sempurna dengan golok masih tergenggam di tangan. Sementara, empat lawannya
terhuyung-huyung ke sana kemari. Golok yang semula berada di tangan, sudah
terlempar entah ke mana.
Di antara keempat bekas anggota Gerombolan Garuda Sakti itu, hanya Wasila-lah
yang paling sial. Dulang, Paksi, dan Gora hanya terhuyung-huyung dengan senjata
lepas dari pegangan. Sedangkan Wasila, harus menerima golok Garuda Mata Satu
yang berhasil membor dadanya. Jadi, Wasila-lah yang tadi mengeluarkan jeritan
menyayat. Dan setelah terhuyung-huyung beberapa saat, tubuh Wasila ambruk ke tanah. Mati!
"Kang Wasila!" seru Dulang, Paksi, dan Gora hampir berbareng. Mereka terkejut
bukan kepalang melihat keadaan yang dialami pimpinan mereka.
"Ha ha ha...! T idak usah kaget, Pengkhianat-pengkhianat Busuk! Itulah hukuman
yang pantas untuk orang seperti kalian! Bersiaplah! Sekarang, kalian yang akan
mendapat giliran!" ancam Garuda Mata Satu, penuh nada kemenangan.
Dulang, Paksi, dan Gora saling berpandangan. Mereka sadar, Garuda Mata Satu
tidak akan mungkin bisa ditandingi. Apalagi dalam keadaan tanpa senjata seperti
ini. "Ha ha ha...! Mengapa ragu"! Jangan khawatir, aku bukan jenis orang yang
bersikap curang dalam pertarungan. Kalau kalian tidak memiliki senjata, aku juga
tidak akan menggunakan senjata!"
Usai berkata demikian, Garuda Mata Satu memasukkan pedang ke dalam sarungnya
yang tersampir di punggung. T rekkk!
"Nah! Sekarang, aku sudah tidak bersenjata! Ayo! T unggu apa lagi?"
tantang Garuda Mata Satu.
Untuk kedua kalinya Dulang, Paksi, dan Gora saling berpandangan. Dalam adu
pandang sekilas itu, mereka telah sepakat untuk lebih dulu melancarkan serangan.
Disadari kalau tidak ada pilihan lain, kecuali melawan sekuat tenaga. Karena
sudah jelas Garuda Mata Satu tidak akan memberikan ampunan.
Kini Dulang, Paksi, dan Gora menghampiri Garuda Mata Satu yang berdiri diam
menunggu. Sikap laki laki bermata satu ini tampak seperti tidak peduli.
Apalagi memperlihatkan tanda-tanda kalau siap bertarung. Bahkan ketika ketiga
lawannya mulai menyebar dan mengepungnya dari tiga jurusan, Garuda Mata Satu
masih bersikap biasa-biasa saja.
"Haaat..!"
Dulang mendahului serangan dari arah sebelah kiri, disusul Paksi dari depan dan
Gora dari sebelah kanan.
"Hmh!"
Garuda Mata Satu hanya mendengus mirip kerbau liar. Dia masih tetap tidak
bertindak apa-apa menghadapi serangan yang susul-menyusul itu. Baru ketika semua
serangan itu menyambar dekat, tangan dan kakinya bergerak.
Cepat bukan main, sehingga bentuk tangan dan kakinya tidak terlihat.
Bukkk, bukkk, desss!
Suara berdebuk keras terdengar berturut-turut ketika tangan dan kaki Garuda Mata
Satu menghantam bagian tubuh lawan-lawannya. Seketika itu pula, tubuh ketiga
orang itu melayang ke belakang sejauh beberapa tombak.
Darah segar tampak mengalir deras dari mulut dan hidung, membasahi tanah
sepanjang tubuh-tubuh yang melayang itu.
Brukkk! Dulang, Paksi, Gora menggelepar-gelepar sejenak di tanah sebelum
akhirnya diam. Dan begitu gerakan tubuh mereka berhenti, nyawa ketiga orang itu
melayang ke alam baka.
Garuda Mata Satu sekilas menatap tubuh-tubuh yang bergeletakan di tanah.
Kemudian ketika teringat Kartugi, perhatiannya segera dialihkan. Tampak laki-
laki berpakaian abu-abu itu tengah berdiri bersandar pada dinding rumah.
"Hhh...!"
Sambil menghela napas berat, Garuda Mata Satu menghampiri Kartugi.
Raut wajahnya menyiratkan kelesuan bercampur penyesalan. Loyo dan kuyu, seperti
langkah kakinya.
"Maafkan aku, Kartugi. Aku tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. T ernyata racun
itu telah menyebar di seluruh aliran darahmu sebelum obat kuberikan,"
jelas Garuda Mata Satu, bernada penyesalan.
Laki-laki bermata satu itu tampak menyesal sekali. Sepasang matanya yang tertuju
pada Kartugi, menyorotkan penyesalan yang mendalam.
"Kau tidak usah menyesali keadaanku, Garuda Mata Satu. Pertolongan yang kau
berikan padaku, lebih dari cukup. Obat yang kau berikan telah mengusir perasaan
gatal yang melanda. Sehingga, aku tidak mati secara tersiksa. Hhh...! Sulit
kubayangkan bila saja kau tidak menolongku, Garuda Mala Satu. Aku akan tewas
dalam keadaan daging hancur tercacah!"
Garuda Mata Satu tidak memberikan tanggapan apa-apa. Meski disadari adanya
kebenaran dalam ucapan Kartugi, tapi tetap saja tidak mampu mengusir penyesalan
yang bersemayam di lubuk hari. Andaikata saja dia tiba lebih cepat, tentu
Kartugi tidak akan bernasib seperti ini. Kini, ditatapnya sekujur kulit tubuh
Kartugi yang telah memerah dengan sorot mata penuh penyesalan.
Obat yang diberikan Garuda Mata Satu memang berhasil melenyapkan rasa gatal-
gatal yang melanda Kartugi. T api, hawa panas membakar akibat pengaruh racun itu
tidak bisa ditanggulangi. Yang lebih gila lagi, semakin lama hawa panas itu
semakin menyengat. Maka tak aneh kalau kulit tubuh Kartugi jadi merah seperti
udang rebus. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya hawa panas yang membakar. Namun,
Kartugi mampu menerimanya tanpa mengeluh sedikit pun. Dari sini saja sudah bisa
diketahui keteguhan harinya.
"T idak usah kau pusingkan lagi penderitaanku, Garuda Mata Satu!
Percayalah, aku telah siap mati. Hanya saja, aku tidak ingin mati penasaran.
Maukah kau memenuhi permintaan terakhirku?"
"Katakan! Apa permintaan terakhirmu, Kartugi. Aku berjanji akan
memenuhinya," sambut Garuda Mata Satu, penuh gairah.
"T erima kasih, Garuda Mata Satu. Kau memang sahabatku yang baik. Aku yakin, kau
mampu memenuhi karena permintaanku yang sama sekali tidak sulit."
"Apa permintaanmu, Kartugi" Cepat katakan," desak Garuda Mata Satu tidak sabar,
karena khawatir laki-laki berpakaian abu-abu itu keburu meninggal dunia.
"Hanya satu permintaan, Garuda Mata Satu. Selebihnya aku juga ingin menjelaskan
sesuatu padamu. Oh, ya. T olong kabulkan permintaanku dulu.
Aku ingin minum air kelapa. Aku haus sekali,"
Kartugi memulai permintaannya. Hampir Garuda Mata Satu tertawa mendengarnya. Permintaan seperti itu sama sekali
tidak diduga. T api dengan pandainya, rasa gelinya disembunyikan sehingga tidak
tampak pada wajahnya. Malah raut wajahnya dipasang sungguh-sungguh. Sepasang
matanya beredar ke sekeliling, memperhatikan pohon-pohon di sekitar tempat itu.
Suasana malam yang diterangi bulan yang hampir bulat di langit, cukup membantu
Garuda Mata Satu dalam mencari sesuatu.
"T unggu sebentar, Kartugi." Hanya ucapan itu yang sempat didengar Kartugi.
Karena sebelum dia sempat bicara, Garuda Mata Satu sudah tidak berada di situ la
gi. T ubuhnya telah melesat meninggalkan tempat itu. Yang terlihat
kini hanyalah sekelebatan bayangan coklat yang berkelebat
meninggalkan Kartugi yang duduk bersandar.
*** Belum lama Kartugi menunggu, terlihat sosok bayangan coklat melesat ke arahnya.
Dan.... "Hup!"
Kini Garuda Mata Satu telah berada kembali di tempat semula. Di tangan kanannya
telah terjinjing empat butir kelapa. Tiga butir diletakkannya di tanah,
sedangkan sebutir lagi dikupasnya. Dan begitu telah dikupas, diserahkannya pada
Kartugi, setelah terlebih dahulu dilubangi salah satu bagian batoknya. Kini
Kartugi pun meneguknya.
Dalam waktu singkat, air kelapa itu telah tuntas diminum Kartugi. Maka Garuda
Mata Satu segera mengupas lagi, sampai akhirnya tandas semuanya.
Garuda Mata Satu tidak merasa heran melihat tingkah laku Kartugi. Dia
tahu, mengapa empat butir kelapa itu mampu dihabiskannya. Rasa panas yang
membakar tubuh itulah yang menyebabkannya. Kartugi telah kehilangan banyak
cairan di dalam tubuh, sehingga telah dilanda rasa haus yang amat sangat.
"Sekarang, apa yang ingin kau jelaskan padaku, Kartugi," ujar Garuda Mata Satu
setelah sejenak membiarkan laki-laki berpakaian abu-abu itu telah puas minum air
kelapa. Kartugi tidak langsung menyahuti. Ditatapnya wajah Garuda Mata Satu beberapa
saat lamanya. "Kalau tidak melihat sendiri, mungkin aku tidak akan percaya. Kau dulu adalah
Kepala Gerombolan Garuda Sakti yang disegani. T api kini, diburu-buru bahkan
hendak dibunuh anak buahnya sendiri. Ah! Sulit untuk dipercaya," desah Kartugi.
"Hhh...! Bukannya aku tidak mau memberitahukannya padamu, Kartugi.
T api perlu diketahui, aku butuh waktu lama untuk menjelaskannya. Nantilah
semuanya kuceritakan secara lengkap. Yang penting, sekarang katakanlah
permintaanmu yang terakhir. Supaya kau tidak penasaran, untuk sementara ini
kujelaskan kalau anak buahku telah berkhianat, karena ingin mengubah nasib.
Mereka telah menemukan seorang pemimpin yang jauh lebih sakti daripadaku.
Dan sang Pemimpin itu memiliki angan-angan tinggi. Nah, kurasa cukup.
Sekarang, tolong jelaskan padaku mengenai sesuatu yang ingin kau utarakan."
Kartugi mengangguk-anggukkan kepala, pertanda menerima alasan yang diajukan
Garuda Mata Satu.
"Aku ingin memberitahukan padamu mengenai Puspa Kenaka...."
"Puspa Kenaka"!" Garuda Mata Satu tersentak kaget. "Mengapa aku demikian pelupa"
Justru tujuanku yang paling pokok ke sini adalah untuk melihatnya. Katakan,
Kartugi. Apa yang terjadi terhadap dirinya?"
Kartugi tersenyum melihat tanggapan Garuda Mala Satu yang demikian penuh
semangat. T api baru saja pertanyaan itu akan dijawabnya, tiba-tiba rasa mual
melanda perutnya, kemudian merayap cepat ke atas. Dan....
"Huakh...!"
Kartugi memuntahkan darah kental berwarna kehitaman dari mulutnya.
"Kartugi...!" pekik Garuda Mata Satu cemas. Dia tahu, kontrak hidup laki-laki
berpakaian abu-abu itu tidak akan lama lagi.
Kartugi berusaha tersenyum untuk menunjukkan kalau tidak apa-apa. T api karena
saat itu tengah merasakan sakit yang melanda dada, senyum yang
ditunjukkannya jadi lebih mirip seringai.
"Aku.... Aku tidak apa-apa, Garuda Mata Satu," kata Kartugi dengan suara
tersengal-sengal.
"T api...."
"Beri aku kesempatan bicara, Garuda Mata Satu. Waktuku tidak banyak lagi,"
potong Kartugi cepat, dengan suara semakin pelan dan terputus-putus.
Garuda Mata Satu kontan diam.
"Sudah lama sekali Puspa Kenaka menanyakan tentang dirimu, Garuda Mata Satu.
Semenjak kau pergi dan menitipkannya padaku, setiap hari dia selalu menanyakan
kabar tentang dirimu...."
"Bagaimana kabarnya sekarang, Kartugi" Tentu dia sudah besar, bukan?"
selak Garuda Mata Satu tidak sabar.


Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"T enangkanlah hatimu, Garuda Mata Satu. Puspa Kenaka bukan saja sehat, tapi
juga cantik bukan kepalang. Syukurlah kedatanganmu tepat pada waktunya. Memang
saat ini dia sangat membutuhkan pelindung. Puspa Kenaka masih sangat muda, dan
baru sembilan belas tahun. Aku khawatir, sepeninggal
diriku dia akan diombang-ambingkan
ganasnya dunia persilatan...," urai Kartugi panjang lebar. Suaranya terdengar melemah, sehingga
membuat Garuda Mata Satu harus lebih mendekatkan telinga untuk bisa menangkap
ucapannya. "Lalu..., sekarang di mana dia, Kartugi?" desak Garuda Mata Satu buru-buru
karena khawatir Kartugi akan keburu meninggal.
Kartugi tidak langsung menjawab pertanyaan Garuda Mata Satu. Dengan susah payah,
napasnya yang sudah kembang kempis diatur. Nampaknya, waktu hidup untuknya sudah
tidak lama lagi.
"Dia kusuruh pergi ketika ada orang yang memanggil-manggilmu. Ah!
Puspa Kenaka benar-benar gadis yang tahu budi.
Dia tidak mau meninggalkanku sendirian, karena khawatir akan terjadi sesuatu. Hingga terpaksa,
aku membungkamnya dengan ucapan yang membuatnya menuruti kemauanku."
"Apa yang kau katakan padanya, Kartugi?"
"Kukatakan padanya, kalau dia tidak mau pergi, aku tidak akan bisa mati merah.
Dan dia kuanggap sebagai murid yang tidak berbakti...," jelas Kartugi.
"Lalu..., ke mana perginya, Kartugi?"
"Hhh..., hhh.... Aku..., aku tidak ta.... Akh...!"
Kartugi menghembuskan napas terakhir sebelum sempat menyelesaikan
kata-katanya. Namun meskipun demikian, sudah bisa diduga kelanjutan ucapan yang
akan dikeluarkan Kartugi.
Garuda Mata Satu menatap mayat sahabatnya penuh rasa duka. Meskipun memang tidak
ada pekik atau air mata kedukaan, tapi Garuda Mata Satu merasa sedih bukan
kepalang. Dia berdiri dengan kepala tertunduk sebagai penghormatan terakhir pada
rekannya. *** Angin sejuk yang berhembus semilir serta kicau riang burung menyemaraki suasana
pagi. Sang Surya tampak di kaki langit sebelah timur dalam bentuk bulatan
berwarna merah saga. Sehingga, menambah ceria suasana alam ini.
T api, keceriaan alam sekitarnya itu tidak sempat dinikmati seorang gadis
berwajah cantik jelita berpakaian Jingga. Rambutnya yang dikepang dua, semakin
menambah kecantikannya.
Gadis berpakaian Jingga itu duduk bersimpuh di depan sebuah gundukan tanah yang
masih baru. Sekali lihat saja bisa diketahui kalau gundukan tanah itu adalah
sebuah kuburan.
"Ki Kartugi...."
Dengan suara tersendat-sendat
karena isak tangis yang membuat
tenggorokannya terasa tersekat, gadis berpakaian Jingga itu membuka suara.
Sementara jari-jari kedua tangannya terus meremas-remas tanah.
"Mengapa kau meninggalkan diriku, Ki" Padahal, aku belum sempat membalas semua
kebaikanmu" Ah! Aku bukan murid yang berbakti...."
Usai berkata demikian, gadis berpakaian Jingga itu menundukkan kepala.
Bahunya tampak terguncang-guncang,
berusaha menahan sedih yang menggelegak Mendadak gadis berpakaian Jingga itu menoleh ke belakang. Betapa tidak"
Pendengarannya yang cukup terlatih menangkap adanya langkah-langkah kaki dari
arah tersebut. T ernyata, dugaannya benar. Di belakangnya, kini berdiri serombongan orang yang
memiliki wajah dan penampilan kasar. Mereka mengenakan seragam rompi, terbuat
dari kulit buaya!
Bergegas gadis berpakaian jingga itu bangkit. Sadar kalau orang-orang itu tidak
bermaksud baik, maka sepasang matanya diusap untuk membersihkan butir-butir air
bening yang siap mengalir. Dan kini sikapnya benar-benar waspada.
"Siapa kalian"! Dan, apa maksud kalian datang kemari"!" kata gadis berpakaian
jingga itu keras, namun berusaha bersikap tenang. Dan menilik jari-jari tangan
kanannya yang sudah meraba senjata di pinggang sebelah kanan, jelas dia telah
siap bertempur.
"Ha ha ha...!"
Jawaban yang diterima gadis berpakaian jingga itu adalah tawa bergelak dari
seluruh orang bertampang kasar. Karuan saja, hal itu membuat gadis itu merasa
heran bercampur marah. Dia telah bertanya baik-baik, tapi malah dijawa b dengan
tawa keras dan tidak sedap didengar. Bagaimana tidak menjadi kalap" Meskipun
demikian, dicobanya untuk bersabar.
"Kau keliru, Nisanak! Seharusnya bukan kau yang mengajukan pertanyaan, tapi
kami!" sahut seorang yang berdiri paling depan. T erlebih dulu, tangan kanannya
diangkat ke atas, sehingga membuat gelak tawa itu berhenti. Jelas, orang ini
adalah pemimpin rombongan.
Orang itu memiliki tubuh kekar, penuh otot melingkar, dan berkepala botak. Di
tangan kanannya tampak tergenggam sebuah gada panjang dan berduri. Dan
nampaknya, gada itu berat sekali. Tapi, justru laki-laki berkepala botak itu
tidak terlihat merasa keberatan sama sekali. Dari sini saja bisa diketahui kalau
tenaga dalamnya cukup kuat
"Aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu, Kisanak?" kata gadis berpakaian jingga
itu dengan alis berkernyit dalam.
"Kau memang bodoh atau berpura-pura goblok, Nisanak"! Kuharap, kau jangan
menambah ruwetnya masalah ini. Cepat rubahlah kepura-puraanmu, sebelum nasibmu
kuserahkan pada anak buahku!"
Seiring selesai ucapannya, laki-laki berkepala botak itu menudingkan jari
telunjuknya ke belakang. Bagai diberi perintah, gadis berpakaian jingga itu
mengikuti arah tudingan. Dan seketika itu pula, harinya merasa ngeri! Belasan
orang berpakaian dari kulit buaya itu tampak menatap dengan sorot mata seperti
seekor serigala yang tengah melihat seekor anak domba gemuk! Liar, dan penuh
nafsu! Laki-laki berkepala botak itu memang telah kenyang pengalaman. Itulah sebabnya,
perasaan yang tengah berkecamuk dalam hati gadis berpakaian jingga itu langsung
diketahuinya. Dan sepertinya, gadis itu memang masih polos dan lugu.
"Nah! Sekarang kuceritakan masalahnya," lanjut laki-laki berkepala botak itu
penuh nada kemenangan. "Di sini adalah tempat tinggal buruan kami.
Namanya Garuda Mata Satu."
Laki laki berkepala botak itu menghentikan ucapannya untuk mengambil napas.
"Beberapa orang kawan kami telah berangkat kemari lebih dulu untuk menangkap
Garuda Mata Satu. T api rupanya mereka gagal. Buktinya, mayat-mayat mereka
menggeletak di sini," laki-laki berkepala botak itu mengedarkan pandangan ke
sekeliling, merayapi mayat Wasila dan tiga anak buahnya. "Kau lihat mayat empat
orang itu?"
T anpa sadar, gadis berpakaian Jingga menganggukkan kepala pertanda membenarkan.
"Nah! Perlu kau ketahui, Nisanak. Mereka adalah kawan-kawan kami. Ini berarti
Garuda Mata Satu telah membunuh mereka. Yang masih menjadi pertanyaan bagi kami,
mengapa kau berada di tempat ini" Lalu, siapakah orang yang terbaring dalam
kuburan yang masih baru itu" Sepertinya, dia masih ada hubungan dengan dirimu.
Lalu, ke manakah perginya buruan kami?" tanya laki-laki berkepala botak itu,
bertubi-tubi. "Aku di sini, karena ini adalah tempat tinggalku bersama ayahku," jawab gadis
berpakaian Jingga memulai keterangannya.
"Siapa nama ayahmu?" tanya laki-laki berkepala botak penuh gairah.
"Kartugi. Dan sekarang, dia telah tiada. Orang yang berada di dalam kuburan itu
adalah ayahku. Salah satu dari empat orang inilah yang telah membunuhnya, dengan
menggunakan racun."
"Lalu..., siapa yang telah membunuh kawan-kawan kami kalau ayahmu tewas di
tangan mereka?" desak laki-laki berkepala botak itu tidak sabar.
"Seorang laki-laki berpakaian coklat yang mengenakan penutup mata sebelah...."
"Garuda Mata Satu...," desah laki-laki berkepala botak. "Kau tahu ke mana
perginya?"
Gadis berpakaian Jingga itu hanya menggelengkan kepala.
"T erima kasih atas keteranganmu, Nisanak. O, ya. Kami lelah sekali menempuh
perjalanan jauh dan melelahkan. Kami ingin beristirahat di rumahmu. Dan kami
harap, kau sudi menemani...."
"Aku tidak mau! Aku ingin pergi!" sentak gadis berpakaian Jingga itu keras.
Wajah laki-laki berkepala botak itu berubah kelam.
"Rupanya kau lebih suka kalau diperlakukan kasar, Wanita Dungu! Baik!
Kalau itu maumu, kuturuti!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berkepala botak itu melangkah maju.
Kedua tangannya diulurkan, berusaha memeluk tubuh gadis berpakaian jingga itu.
Wuttt! T ernyata laki-laki berkepala botak itu hanya memeluk angin, begitu sasarannya
telah melangkah mundur sambil menghunus senjata.
Trekkk! Kini di tangan kanan gadis berpakaian jingga telah tergenggam sebuah kipas
berwarna hitam yang rangka-rangkanya terbuat dari baja-baja berujung runcing.
"Keparat! Berani kau mempermainkan Buaya Sungai Luwing?" bentak laki-laki
berkepala botak, marah.
Laki-laki berkepala botak yang ternyata berjuluk Buaya Sungai Luwing itu kembali
melancarkan serangan. Hanya saja, kali ini serangan yang dikirimkan tidak
selunak sebelumnya. Disadari kalau gadis berpakaian jingga itu bukan orang
lemah. Wut, wut, wut! Buaya Sungai Luwing melancarkan sampokan bertubi-tubi ke arah bahu gadis
berpakaian jingga itu. Rupanya meskipun tengah dilanda amarah, laki-laki
berkepala botak itu masih merasa sayang untuk membunuh korbannya yang demikian
cantik. Gadis berpakaian jingga itu tampak gugup menghadapi serangan lawannya.
Dalam pandangan matanya, tangan Buaya Sungai Luwing tidak hanya dua buah, tapi
puluhan. Sehingga, pandangannya jadi berkunang-kunang.
Meskipun demikian, gadis berpakaian jingga itu tidak pasrah saja menerima nasib.
Dan dia memang tidak bisa melihat jelas serangan yang tengah meluncur ke
arahnya. T api keinginannya untuk menyelamatkan diri, membuatnya berusaha sekuat
tenaga menjegal serangan Buaya Sungai Luwing. Kipas bajanya cepat dikibas-
kibaskan untuk menjegal serangan yang akan meluncur ke arahnya.
Namun.... Wut, wut, wuttt! T appp! T ukkk!
"Akh...!"
Rentetan kejadian yang berlangsung sukar diikuti mata biasa. Karena tahu-tahu
gadis berpakaian jingga itu memekik pelan, kemudian roboh di tanah.
Memang, dengan gerakan mengagumkan, Buaya Sungai Luwing telah
menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu membuatnya tertotok lemas.
"Ha ha ha...! Sekarang kau baru tahu kesaktian Buaya Sungai Luwing, Wanita
Bodoh! Dan atas penolakanmu tadi, kau akan mendapat hukumannya.
T ubuhmu akan kunikmati sampai puas. Kemudian, kau akan digilir sampai mati oleh
semua anak buahku!"
"Manusia iblis! Lebih baik kau bunuh saja aku!" teriak gadis berpakaian jingga
itu penuh rasa takut.
Kalau saja mampu bergerak, tentu akan diserangnya laki-laki berkepala botak itu
mati-matian. T api sayangnya, hal itu tidak bisa dilakukan. Sekujur tubuhnya
terasa lemas bukan kepalang. Jangankan untuk menyerang, menggerakkan ujung jari
pun tidak mampu.
"Ha ha ha...! Membunuhmu" Hanya orang bodoh yang mau membunuh wanita cantik
sepertimu, tanpa menikmatinya lebih dulu! Dan aku bukan orang bodoh! Maka
sebaiknya tubuhmu kunikmati dulu, Wanita Dungu! Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa yang belum putus, Buaya Sungai Luwing membungkukkan tubuhnya. Kemudian, tangannya pun digerakkan. Dan....
Brettt! Suara kain robek terdengar ketika tangan Buaya Sungai Luwing yang berotot dan
penuh bulu menjambret baju ga dis berpakaian Jingga di bagian dada. T ak pelak
lagi, dua bukit kembar indah menantang pun menyembul keluar.
"Auw...! Iblis keji! Bunuh saja aku!" jerit gadis berpakaian jingga itu.
Suaranya terdengar mengandung isak, karena rasa takut yang melanda.
"Ha ha ha...!"
Hanya tawa bergelak dari Buaya Sungai Luwing dan anak buahnya yang menyambuti
jerit ketakutan gadis berpakaian jingga itu. T awa yang agak tertahan-tahan
karena nafsu birahi telah menyelimuti hati dan pikiran mereka, ketika melihat
kulit tubuh gadis berpakaian jingga yang putih mulus!
Kelihatannya kelanjutan nasib yang menimpa gadis berpakaian jingga sudah bisa
ditebak. Apalagi, ketika tangan Buaya Sungai Luwing kembali terulur. Bukan
mengarah baju lagi, tapi pakaian bawah!
T api, sebelum tangan itu mencapai sasaran, mendadak...
Wuttt! T ukkk! "Akh...!"
*** 4 Jeritan pendek bernada kesakitan keluar dari mulut Buaya Sungai Luwing, ketika
sebuah batu sebesar ibu jari tangan menghantam telak punggung tangannya. Rasa
sakit amat sangat, seketika menyengat bagian yang terkena timpukan tadi. Nyeri
bukan kepalang membuat maksud untuk menjarah sekujur tubuh gadis berpakaian
jingga itu diurungkannya.
"Keparat! Orang gila dari mana yang berani mengganggu Buaya Sungai Luwing"!"
teriak laki-laki berkepala botak ini keras bernada ancaman.
Ucapan itu dikeluarkan Buaya Sungai Luwing sambil mengarahkan
pandangan ke arah asal batu tadi terlempar. Hal yang sama pun dilakukan seluruh
anak buahnya. Dengan sendirinya, gadis berpakaian jingga itu tadi terlupakan.
Buaya Sungai Luwing dan anak buahnya kini bisa mengetahui orang yang tadi telah
bertindak lancang. Dalam jarak sekitar empat tombak dari mereka, berdiri dua
sosok tubuh yang memiliki perbedaan yang amat menyolok. Baik warna pakaian,
jenis kelamin, maupun keadaan tubuh.
Yang seorang adalah seorang pemuda tampan. Namun, penampilannya terlihat angker!
Betapa tidak" Wajahnya yang terlihat jantan itu memiliki rambut berwarna putih
keperakan. Mirip rambut orang yang berusia lanjut!
Rambut yang seperti benang-benang perak itu terurai sampai ke bahu, sehingga
menutupi sebagian guci yang terletak di punggung. Pakaiannya ketat berwarna
ungu, menampakkan kegagahannya.
Sama seperti halnya pemuda berpakaian ungu, gadis yang berdiri di sebelahnya pun
memiliki wajah cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus.
Pakaian putih yang dikenakan dan rambutnya yang panjang terurai sampai ke
pinggang, semakin menambah kecantikan wajahnya. Namun bertenggernya sebatang
pedang di punggung, menandakan kalau gadis berpakaian putih ini bukan wanita
lemah. Dan dengan langkah tenang menyorotkan kepercayaan diri yang besar, sepasang anak
muda yang sama-sama berwajah elok ini menghampiri Buaya Sungai Luwing dan
gerombolannya. Sementara, Buaya Sungai Luwing yang memang tengah murka, jadi
menggeram.

Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Grrrhhh...! Akan kuhancurkan tulang-belulang kalian," desis Buaya Sungai Luwing
sambil menyambar gada berduri yang tadi dititipkan pada salah seorang anak
buahnya, ketika hendak memaksakan kehendaknya pada gadis berpakaian jingga.
"Kau selamatkan gadis itu, Melati," kata pemuda berambut putih keperakan itu
pada gadis berpakaian putih.
"Baik, Kang," sahut Melati, patuh. Memang, gadis berpakaian putih itu tak lain
dari Melati. Dan dia juga putri angkat Raja Bojong Gading. Dan pemuda berambut
putih keperakan itu tak lain dari Arya Buana yang lebih dikenal berjuluk Dewa
Arak. Dengan sikap tenang, Dewa Arak tampak menghampiri Buaya Sungai
Luwing yang juga tengah melangkah ke arahnya.
Ketika jarak antara mereka tinggal beberapa langkah lagi, Buaya Sungai Luwing
berhenti. Dengan senyum terkembang di bibir, Dewa Arak juga berhenti.
"Kau..., kau.... Apakah kau orang yang berjuluk De wa Arak?" tanya Buaya Sungai
Luwing setengah terbata-bata.
Memang, laki-laki berkepala botak ini mendadak teringat akan selentingan kabar
mengenai tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu.
"Kalau benar, mengapa" Dan kalau tidak, kenapa, Kisanak?" Dewa Arak malah balas
bertanya. "Keparat! T utup mulutmu, Bangsat Kecil! Siapa pun kau, apabila aku tengah
bertanya, haram hukumnya mengajukan pertanyaan pula! Dan kau hanya berhak
menjawab, tahu"!" sergah Buaya Sungai Luwing berang.
"T idak usah banyak cakap, Kisanak! Majulah cepat! Aku sudah tidak sabar lagi
mematahkan tanganmu yang kurang ajar itu!" sambut Dewa Arak tak kalah marah.
Pemuda berambut putih keperakan ini memang tengah dilanda amarah.
Masalahnya, Dewa Arak paling benci pada penjahat pemerkosa wanita.
Pendiriannya sudah ditetapkan untuk membasmi penjahat semacam itu! Itulah
sebabnya, dia tidak ragu-ragu lagi mengajukan tantangan.
"Keparat! Rupanya kau harus merasakan kekerasan gada Buaya Sungai Luwing!
Barangkali saja kau bisa bersikap lebih sopan di lain hari!
Hiyaaat...!"
T anpa memberi kesempatan lagi, Buaya Sungai Luwing langsung
melancarkan serangan. Gada berduri yang tergenggam di tangan kanannya
langsung diayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
Wuttt! Deru angin keras yang mengawali meluncurnya serangan itu menjadi pertanda
kuatnya tenaga dalamnya. Bahkan mungkin hanya sekali hantam saja, sebongkah batu
karang sebesar kerbau mampu dihancurkan dengan sekali pukul!
T api orang yang mendapat serangan seperti itu adalah Dewa Arak! Seorang tokoh
sakti yang walau usianya muda, namun pengalamannya amat luas.
Maka dalam menghadapi serangan itu, Dewa Arak sama sekali tidak gugup.
"Hup!"
Wusss! Hanya dengan melangkahkan kaki kanannya ke
belakang sambil
mendoyongkan tubuh, Dewa Arak telah membuat serangan gada berduri Buaya Sungai
Luwing hanya mengenai tempat kosong. Senjata yang
mengerikan itu hanya lewat beberapa jari dari wajah Dewa Arak. Sehingga,
sambaran anginnya yang keras membuat pakaian dan rambut pemuda
berambut putih keperakan itu berkibar keras. Bisa dirasakan kalau tenaga yang
terkandung dalam serangan itu memang tidak main-main.
T indakan Dewa Arak tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu gada lawan
telah lewat di depan wajahnya, tangan kanannya digerakkan menangkap pergelangan
tangan lawan. Tokoh muda yang menggemparkan dunia
persilatan itu segera melancarkan serangan balasan dengan arah gerakan dari
dalam ke luar. T appp! Cepat bukan kepalang gerakan tangan Dewa Arak. Sehingga sebelum Buaya Sungai
Luwing menyadari, pergelangan tangan kanannya telah tercekal.
"Heh"!"
Buaya Sungai Luwing berseru kaget, namun tidak lantas jadi gugup. Berkat
pengalamannya bertempur selama ratusan kali, langsung dilakukannya tindakan
untuk menyelamatkan tangannya.
Buaya Sungai Luwing langsung menarik tangannya agar bisa lepas dari cekalan
tangan Dewa Arak. T api, maksudnya ternyata tidak sampai.
Jangankan melepas, untuk mengguncangkan pun tidak mampu!
Meskipun tahu kalau usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil, Buaya Sungai
Luwing tidak menyerah begitu saja. Tambahan lagi, dia terhitung
orang keras kepala dan sukar menyadari kalau orang lain memiliki kemampuan di
atasnya. Itulah sebabnya, dia terus memaksakan diri untuk membebaskan tangannya
dari cekalan Dewa Arak. Begitu keras kemauannya, sampai-sampai terdengar suara
merintih lirih dari mulutnya.
Sementara itu, Dewa Arak tampak biasa-biasa saja. Baik pada wajah, maupun
tangannya. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kalau pemuda berambut putih
keperakan itu mengerahkan tenaga.
"Sekarang giliranku, Kisanak," kata Dewa Arak setelah membiarkan Buaya Sungai
Luwing berusaha keras membebaskan diri dari cekatannya.
Usai berkata demikian, jari-jari tangan Dewa Arak bergerak meremas.
Krrrkkk! "Aaakh...!"
Buaya Sungai Luwing menjerit kesakitan, seiring terdengarnya suara berderak
pelan tulang pergelangan tangannya yang hancur. Seketika itu pula, genggaman
jari tangannya pada gada mengendur. Maka, senjata berat itu pun jatuh berdebuk
di tanah. T indakan Dewa Arak tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Sehabis
mencengkeram, tangan itu langsung bergerak membetot.
"Akh!"
Untuk yang kedua kalinya, Buaya Sungai Luwing menjerit tertahan. T ulang
sambungan siku dan bahunya langsung terlepas, ketika Dewa Arak
melancarkan betotan. T ubuhnya juga kontan tertarik ke arah Dewa Arak Maka, saat
itulah kaki kanan Dewa Arak mencuat ke arah perutnya.
Wuttt! Bukkk! "Hugkh!"
Buaya Sungai Luwing mengeluarkan jerit tertahan ketika kaki Dewa Arak menghantam
telak perutnya. T ubuh laki-laki berkepala botak itu langsung terlipat ke depan.
Wajahnya merah padam, dan sepasang matanya melotot.
Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar saja. Sesaat kemudian, tubuh Buaya
Sungai Luwing terkulai dan ambruk di tanah, kemudian diam untuk selama-lamanya.
T endangan Dewa Arak memang telah menghancurkan seluruh bagian dalam tubuhnya.
*** Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat, sehingga gerombolan anak buah
Buaya Sungai Luwing tidak sempat berbuat apa-apa. Betapa tidak"
Belum sempat mereka membantu, Buaya Sungai Luwing telah keburu tewas!
T arikan wajah kebingungan dan sorot mata penuh perasaan tidak percaya memancar
jelas dari seluruh anak buah gerombolan Buaya Sungai Luwing.
Dan mereka belum menerima kenyataan kalau Buaya Sungai Luwing telah tewas!
Dan untuk beberapa saat lamanya, gerombolan anak buah Buaya Sungai Luwing itu
terpaku. Beberapa saat lamanya mereka berlaku demikian. Namun begitu telah sadar
kembali, mereka yang jumlahnya tak kurang dari dua bela s orang itu menjadi
murka! Srat, srattt, sringgg!
Suara riuh rendah terdengar ketika belasan anak buah Buaya Sungai Luwing
menghunus senjata masing-masing. Lalu diiringi teriakan keras memekakkan
telinga, mereka serentak menyerbu Dewa Arak.
Apa yang menimpa Dewa Arak pun bisa diduga. Belasan senjata tajam yang terdiri
dari pedang dan golok tampak berkelebat menyambar ke berbagai bagian tubuhnya.
Menghadapi serangan itu, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Se dikit pun tidak
nampak adanya tanda-tanda akan menangkis atau mengelak. Bahkan ketika hujan
serangan itu menyambar demikian dekat, dia belum bertindak apa-apa..
T entu saja hal itu membuat anak buah Buaya Sungai L uwing heran.
Meskipun demikian, tetap saja serangan mereka terus dilanjutkan. Bahkan tetap
dalam pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
Dan ternyata, Dewa Arak memang tidak mengelakkan serangan itu. Akibat
selanjutnya sudah bisa diduga. Belasan senjata tajam itu jelas mengenai secara
telak pada sasaran.
T ak, tak, takkk!
Bunyi keras ketika senjata itu berbenturan dengan berbagai bagian tubuh Dewa
Arak. Namun, seakan-akan tubuh Dewa Arak tersusun dari logam keras!
"Hehhh..."!"
Jerit keterkejutan terdengar susul-menyusul dari mulut belasan orang anak buah
Buaya Sungai L uwing. Betapa tidak" T ernyata apa yang diharapkan atas tubuh
Dewa Arak sama sekali tidak terjadi.
Bahkan tangan yang menggenggam senjata tadi terasa lumpuh. Dan yang lebih gila lagi, mata senjata
mereka langsung gompal!
"Puas"!" sindir Dewa Arak.
Ucapan Dewa Arak menyadarkan belasan orang kasar yang masih terpaku atas
kejadian yang dialami. Saat itu, sebagian dari mereka menatap ke arah Dewa Arak
dengan pandangan takjub. Seba gian lagi, tengah merasakan sakit yang melanda
tangan mereka. Sedangkan sisanya, menatap mata senjata yang gompal.
Dan seiring timbulnya kesadaran, belasan orang itu saling berpandangan satu sama
lain. Sebentar saja hal itu dilakukan, untuk menghasilkan kata sepakat. Dan
bagai diberi perintah, mereka kembali menyerang Dewa Arak.
Sing, sing, sing!
Suara berdesing dari senjata-senjata, mengiringi meluncurnya serangan itu.
Dan seperti juga sebelumnya, anak buah Buaya Sungai Luwing menerjang Dewa Arak
dari berbagai penjuru.
Kini kesabaran Dewa Arak pun habis. Semula lawan-lawannya hanya ingin dibuat
gentar tanpa melukai. Tapi, rupanya anak buah Buaya Sungai Luwing ini keras
kepala. Maka jalan satu-satunya untuk membuat mereka kapok hanya dengan
kekerasan. Itulah sebabnya, kini Dewa Arak tidak berdiam diri saja menghadapi hujan
serangan. Dengan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, semua
serangan yang tertuju ke arahnya mudah saja dielakkan. Bagaikan bayangan,
tubuhnya menyelinap di antara sambaran senjata-senjata lawan.
Sambil mengelak, Dewa Arak mengirimkan serangan ke arah lawan-
lawannya. Kedua kaki dan tangannya berkelebat cepat! Ke manapun tangan dan
kakinya meluncur, pasti ada tubuh lawannya yang terpental ke belakang diiringi
jerit kesakitan.
Satu persatu anak buah Buaya Sungai Luwing roboh ke tanah dan tidak mampu
bangkit lagi. Meskipun demikian, tidak ada satu pun di antara mereka yang mati
atau terluka parah! Dewa Arak hanya membuat mereka tidak mampu melanjutkan
pertarungan saja.
Hanya dalam waktu singkat, tak ada lagi satu pun anak buah Buaya Sungai Luwing
yang masih berdiri tegak. Mereka semuanya tergolek di tanah.
Se bagian pingsan, sedangkan sisanya merintih-rintih kesakitan karena luka-luka
yang diderita. Sementara, senjata-senjata mereka bergeletakan di sana sini.
T entu saja, sekarang hanya tinggal Dewa Arak seorang yang masih berdiri tegak.
Setelah memperhatikan keadaan lawan-lawannya sejenak, perhatiannya
dialihkan pada Melati yang baru saja selesai berbincang-bincang dengan gadis
berpakaian jingga.
Memang, waktu Dewa Arak sibuk menghadapi lawan-lawannya, Melati membebaskan
gadis berpakaian jingga dari totokan. Bahkan gadis itu rupanya telah berganti
pakaian. *** Dengan langkah tenang, Arya menghampiri Melati dan gadis berpakaian jingga itu.
Dan seperti telah disepakati, kedua gadis itu melangkah berbarengan menghampiri
Dewa Arak. "Apa yang terjadi, Melati?" tanya Arya.
"Aku juga belum tahu, Kang," sahut Melati sambil menggelengkan kepala.
"Nah, Puspa Kenaka! Sekarang ceritakan, mengapa kau bisa bentrok dengan orang-
orang kasar itu?"
Gadis berpakaian jingga yang ternyata bernama Puspa Kenaka itu tidak langsung
menjawab. Ditatapnya wajah Arya dan Melati berganti-ganti.
"Sebelum kuceritakan masalahnya, kuucapkan banyak terima kasih atas pertolongan
kalian. Kalau tidak ada kalian berdua, tidak bisa kubayangkan hal yang akan
terjadi pada diriku."
"Lupakanlah, Puspa," Melati yang mewakili Dewa Arak menanggapi.
"Orang hidup memang saling membutuhkan. Saat ini memang kami yang menolongmu. T
api lain kali, bukan tidak mungkin kau yang ganti menolong.
Jadi, lupakanlah hal itu. Dan sekarang, ceritakanlah semua kejadian yang kau
alami." "Baiklah," desah Puspa Kenaka, sambil menelan liur sejenak untuk membasahi
tenggorokannya. Baru, setelah itu diceritakannya semua kejadian yang menimpa.
Arya dan Melati mendengarkan semua cerita Puspa Kenaka penuh
perhatian. Sama sekali tidak diselak, hingga gadis berpakaian jingga itu
mengakhiri penuturannya.
"Garuda Mata Satu?" tanya Arya dengan alis berkerut. Jelas, dia merasa heran.
Betapa tidak" Meskipun belum pemah bertemu langsung, tapi pemuda berambut putih
keperakan ini tahu kalau Garuda Mata Satu adalah seorang pimpinan gerombolan
perampok yang menamakan diri Gerombolan Garuda Sakti. T api, mengapa kini
dikejar-kejar gerombolan Buaya Sungai Luwing"
Bukan hanya Dewa Arak saja yang sibuk berpikir. Melati pun demikian pula, karena
juga telah mendengar selentingan kabar mengenai tokoh yang berjuluk Garuda Mata
Satu itu. Itulah sebabnya, dia juga merasa bingung mendengar penuturan Puspa
Kenaka. T api Dewa Arak dan Melati terpaksa menunda dalam mencari jawaban atas masalah
yang mengherankan, begitu mendengar adanya banyak langkah kaki yang menuju
tempat ini. Hanya dalam sekejapan mata saja, sepasang pendekar muda ini langsung
dapat mengetahui kalau jumlah langkah itu cukup banyak.
Dan menilik dari suara yang terdengar, kepandaian yang dimiliki pemilik langkah
itu sangat beragam.
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan sebentar. Dan dalam waktu singkat,
mereka bisa menebak perasaan yang bergayut di hati masing-masing, perasaan
heran! Mereka heran, mengapa demikian banyak orang yang tengah menuju tempat
ini" Apakah tujuan mereka sama seperti gerombolan Buaya Sungai Luwing" Ataukah
hanya sebuah kebetulan belaka"
Mula-mula, hanya Dewa Arak dan Melati saja yang mendengar suara langkah itu. T
api karena semakin lama semakin jelas terdengar, Puspa Kenaka jadi mendengar
pula. Ini membuktikan kalau para pemilik langkah itu benar-benar menuju tempat
Pedang Asmara 18 Dewi Ular Misteri Dewi Pembalasan Makam Bunga Mawar 26
^