Pencarian

Mustika Naga Hitam 1

Pendekar Mata Keranjang 33 Mustika Naga Hitam Bagian 1


SATU ANGIN bertiup kencang. Hawanya dingin menusuk hingga
ke tulang sumsum. Padahal, saat itu hari sudah tidak pagi lagi.
Matahari telah hampir berada di atas kepala, kendati tak
terlihat, karena terhalang oleh gumpalan awan yang
menggantung di angkasa.
Memang, sejak beberapa hari yang lalu sang surya seperti
kehilangan keperkasaannya. Hujan turun terus-menerus tanpa
henti bagai dicurahkan dari langit. Bumi hanya bisa pasrah,
membiarkan permukaannya basah di sana-sini diguyur air dari
langit. Tapi, sejak dini hari, hujan telah berhenti. Meski demikian,
hingga saat ini suasana masih remang-remang. Dalam
keadaan seperti itu, setitik bayangan hitam yang terlihat bak
sebuah kelereng meluncur dari lereng Bukit Camar. Titik hitam
itu bergerak menuju ke lembah.
Titik hitam itu ternyata seorang pemuda berpakaian dua
lapis. Yang luar berupa baju tangan pandek berwarna hijau.
Sedangkan pakaian dalamnya berwarna kuning berlengan
panjang. Pemuda Itu berwajah tampan. Wajahnya penuh seri dan
sepasang matanya berbinar-binar. Rambutnya dikuncir ekor
kuda. Usianya tak lebih dari dua puluh tahun. Sungguhpun
masih belia, si pemuda berkepandaian tak rendah.
Gerakannya cepat bukan main. Malah, kecepatannya tak
mengendur ketika berlari menuruni lereng menuju ke lembah.
Medan yang curam dan licin karena curahan hujan tak
ubahnya hamparan tanah datar saja.
Pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu me lesat menuju
ke mulut lembah, melalui jalan setapak yang berliku-liku.
Kanan kiri jalan diapit oleh tabing batu yang menjulang tinggi
bagaikan hendak menggapai langit.
Di ujung lembah terdapat batu cadas yang luar biasa besar.
Di sini, si pemuda jejakkan kaki sehingga tubuhnya melayang
ke atas. Ketika luncuran tubuhnya terhenti, dia gunakan ujung
kaki menotol salah satu tonjolan batu sehingga tubuhnya
kembali meluncur ke atas. Kejap kemudian, sepasang kakinya
telah hinggap di atas batu cadas yang tingginya sekitar dua
belas tombak itu.
Pemuda berbaju hijau lengan pendek itu mengayunkan
kakinya ke belakang batu cadas. Hanya dalam beberapa
langkah dia telah berada di depan sebuah gua yang bergaris
tengah kira-kira satu tombak. Di s ini si pemuda menghentikan
ayunan kakinya, dan mengarahkan pandangan ke gua. Tapi,
yang terlihat hanya kegelapan.
"Kek...l" panggil pemuda berbaju luar kuning lengan
panjang. Tidak keras.
Si pemuda menunggu. Namun, tak ada sahutan dari dalam
gua. Yang terdengar oleh telinganya hanya kumandang
panggilannya. Pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Lalu, setelah beberapa saat tak
juga ada sahutan, dia kembali buka mulutnya. Memanggil
dengan suara yang lebih keras.
Tapi, seperti juga sebelumnya, tak ada tanggapan sama
sekali dari dalam gua. Y ang terdengar hanya gema ucapan si
pemuda.Setelah itu, suasana kembail hening. Sunyi, seakan
mati. Kali ini pemuda berbaju hijau ketat itu tak sabar lagi. Dia
berlari masuk ke dalam gua, melalui lorong yang agak berliku
sejauh dua puluh tombak sebelum akhirnya tiba di bagian
dalam gua yang agak luas.
Di salah satu sudut ruangan itu terdapat sebuah balai-balai
dari batu. Si pemuda mengarahkan pandangan ke tempat itu.
Karena, biasanya, sang penghuni gua duduk bersemadi di s itu.
Tapi, sekarang balai-balai batu itu kosong.
Paras pemuda berambut dikuncir itu tampak tegang.
Perubahan wajahnya terlihat cukup jelas karena bagian dalam
gua itu cukup terang. Batang-batang obor yang bernyala di
beberapa tempat pada dinding gua yang menyebabkan
pemandangan di tempat itu cukup jelas.
Dengan raut wajah memancarkan ketegangan dan sorot
mata menyiratkan kepanikan besar, si pemuda melesat ke
ruangan lain di dalam gua itu. Dan, yang menyambutnya
pertama kali adalah bau anyir darah yang menyergap
hidungnya. Hanya berbeda waktu sepersekian kejapan mata, pemuda
itu telah terpaku di tampatnya. Tegak dengan mata
membeliak besar dan mulut menganga lebar. Bola matanya
tertuju ke lantai tanpa bergerak-gerak sama sekali.
Pemandangan yang tarlihat oleh si pemuda memang
mengerikan . Lantai dalam ruangan yang seluruhnya terbuat
dari batu itu telah berwarna merah oleh darah yang mulai
membeku. Dan, di antara gelimangan darah itu, menggeletak
sesosok tubuh ringkih yang tak bergerak-gerak.
Cukup lama pemuda berbaju hijau ketat seperti orang
kehilangan akal, berdiri tegak dengan wajah pucat, mata
membeliak, dan mulut menganga. Ketika tersadar, dia
menubruk sosok yang tergeletak di lantai.
Tanpa membuang-buang waktu, si pemuda memeriksa
detak jantung dan denyut nadi sang sosok yang berambut
putih dan panjang. Hanya sebentar. Tapi, itu telah cukup
baginya untuk mengetahui kalau nyawa sosok di lantai tak
bisa diselamatkan lagi . Detak jantungnya sudah tak
terdengar. Hanya nadinya yang masih berdenyut. Itu pun
sudah lemah sekail dan tak beraturan.
Pemuda berbaju luar hijau itu hembuskan napas berat yang
sarat dengan perasaan duka sebelum tempelkan sepasang
telapak tangannya pada dada sosok yang malang. Sosok itu
ternyata adalah saorang kakek bertubuh kecil kurus, berambut
panjang putih, dan berkaki sebelah. Kaki lainnya, yang kanan,
buntung sampai sebatas lutut.
Si pemuda harus berhati-hati dan memilih ketika
menempelkan sepasang tangannya. Karena, sekujur tubuh si
kakek penuh dengan luka-luka tusukan. Darah yang telah
mangering, membuat bekas luka itu terlihat mengerikan ! .
Walaupun demikian, karena terlalu banyaknya luka
tusukan, sebagian telapak tangan pemuda berambut dikuncir
ekor kuda itu, tetap mengenal bagian tubuh kakek berambut
putih yang terluka. Si pemuda menguatkan hati untuk
bersikap tak peduli, dan mulai mengerahkan hawa murni
untuk meringankan penderitaan si kakek, sekaligus menyadarkannya.
Pemuda berbaju kuning lengan panjang ini tahu kalau
tindakannya akan mempercepat kematian kakek berambut
putih. Tapi, itu terpaksa dilakukannya. Karena, kendatipun
dibiarkan, si kakek akan mati karena luka-lukanya yang terlalu
parah. Mati tanpa sempat sadar lagi. Sedangkan pertolongan
yang diberikan si pemuda, sungguhpun akan membuat kakek
berkaki satu lebih cepat mati, tapi akan lebih dulu sadar dan
mungkin dapat bicara untuk memberitahukan hal yang telah
terjadi. Oo0-dw-0oO Waktu berlalu tanpa terasa. Pemuda berbaju hijau ketat tak
tahu berapa lama dia telah kerahkan hawa murni ke tubuh
kakek kecil kurus, dan tak mau tahu. Yang jelas, dia hentikan
aliran tenaga dalam dan menarik tangannya, ketika merasakan
gerakan pada tubuh si kakek.
Paras si pemuda agak berseri ketika melihat sepasang mata
kakek berkaki satu yang semula terpejam, mulai bergerak
membuka. Dan, sorot mata tua yang telah hampir kehilangan
cahaya kehidupannya itu, berseri ketika membentur wajah
pemuda berambut dikuncir.
"Aji...," kakek berambut putih itu membuka mulutnya,
mengeluarkan suara dengan susah-payah. Suaranya pelan.
Kalau saja si pemuda tak memiliki pendengaran yang tajam,
suara si kakek tak akan terdengar. Syukur kau keburu
datang...."
Pemuda berbaju kuning lengan panjang yang ternyata
bernama Aji. Yang lengkapnya adalah Aji Saputra alias
Pendekar Mata Keranjang 108, tersenyum pahit.
"Aku menyesal sekali datang tidak lebih cepat lagi, Kek.
Kalau tidak, malapetaka yang menimpamu mungkin tak akan
terjadi," racau si pemuda.
Kakek berkaki satu mencoba untuk tersenyum. Dia berhasil,
meski yang tercipta tak terlalu indah.
"Kau tak perlu menyesal. Aji. Malah seharusnya kau
bersyukur. Karena, bila kau datang lebih cepat lagi, bukan
hanya aku yang akan celaka. Tapi, juga kau ! "
Ucapan penuh keyakinan kakek berambut putih, membuat
Pendekar 108 penasaran bukan main. Dia usap-usap ujung
hidungnya untuk menekan rasa tak sukanya. Lalu, Aji buka
mulutnya siap untuk perdengarkan ucapan.
"Aji... kurasa lebih baik kita tak saling berbantah-bantahan
mengenai hal ini. Ada hal penting yang Ingin kusampaikan
padamu," selak kakek berkaki satu sebelum Pendekar 108
bicara. Terpaksa si pemuda katupkan kembali mulutnya
kendati belum keluarkan ucapan.
"Kau tahu siapa aku, Aji?" tanya si kakek bernada menguji.
Pendekar 108 gelengkan kepala, lalu berikan jawaban.
"Aku hanya tahu jati dirimu berdasarkan ceritamu pula,
Kek. Kau adalah seorang tokoh sakti golongan hitam yang
mengasingkan diri. Bosan dengan dunia ramai dan
kesenangan dunia. Tapi, sayang beberapa orang kepercayaanmu tak suka dengan keputusan yang kau ambil.
Mereka masih butuh pemimpin untuk menghadapi pentolan-
pentolan golongan putih."
"Orang-orang kepercayaanmu itu berusaha membujukmu
untuk membatalkan maksud baikmu. Tapi kau bersikeras.
Mereka mengalah juga akhirnya, dan mengubah permintaan.
Tidak lagi membujukmu untuk batalkan niat menjauhi dunia
ramai. Mereka minta kau wariskan beberapa ilmu-ilmu
andalanmu untuk mereka pergunakan menghadapi pentolan-
pentolan golongan putih."
"Namun, lagi-lagi kau menolak permintaan mereka. Karena,
kau tak ingin ilmu-ilmumu dipergunakan untuk menyebar
angkara murka. Keputusan yang kau ambil membuat orang-
orang kepercayaanmu murka. Mereka buat tantangan
terhadap tokoh tertinggi golongan putih dan dengan mengatas
namakan namamu. Di saat yang bersamaan, mereka kirimkan
surat tantangan terhadapmu dengan meminjam nama
dedengkot golongan putih. Mereka memang bermaksud
mengadu kau dan tokoh sakti golongan putih."
"Maksud mereka ternyata kesampaian. Kau dan tokoh
golongan putih itu terlibat pertarungan. Sayang, dedengkot
golongan putih itu terlalu sakti. Kau berhasil dikalahkannya.
Namun, sang pentolan pendekar itu tak membunuhmu. Dia
meninggalkan kau yang tengah terluka...."
Pendekar Mata Keranjang menghentikan penuturannya
dulu karena didengarnya sang kakek menghembuskan napas
berat. Malah, orang tua berambut pulih itu tundukkan kepala.
Sikapnya menyiratkan penyesalan yang besar.
"Perlukah kuteruskan ceritaku, Kek " ! "
Kakek berkaki satu menggelengkan kepala.
"Tidak perlu. Aji. Ceritamu masih panjang. Aku khawatir,
tidak akan sempat mendengarkan semuanya. Waktuku amat
terbatas. Lebih baik kuisi dengan pemberitahuan yang belum
kau ketahui dan kau dengar."
Pendekar 108 tak bicara lagi. Pemuda Ini hanya usap-usap
ujung hidung dengan tangan kirinya.
"Dengar baik-baik, Aji," ucap kakek berambut putih dengan
suara yang semakin lirih.
Aji mengangguk. Kemudian dia menelengkan kepala seperti
layaknya orang yang kurang mendengar.
Oo0-dw-0oO "Puluhan tahun yang lalu," kakek berkaki satu memulai
penuturannya. "Aku merupakan tokoh hitam yang amat
ditakuti. Tak terhitung tokoh-tokoh persilatan baik aliran hitam
maupun aliran putih yang tewas di tanganku. Aku kejam dan
telengas. Oleh karena itu aku mendapat julukan Penjagal dari
Neraka." "Sebuah julukan yang menyeramkan," kilah Pendekar 108
ketika si kakek hentikan cerita.
Pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu sama sekali tak
kaget mendengar sepak terjang si kakek yang berjuluk
Penjagal dari Nereka itu. Karena, sabagian besar cerita kakek
berkaki satu itu telah didengarnya.
Hanya julukan si kakek yang belum diketahuinya.
"Nafsu angkara murka yang merajalela, membuatku banyak
memiliki pengikut Beberapa di antaranya, menjadi orang-
orang kepercayaanku. Tapi, mereka pula akhirnya yang
menghancurkan seluruh hidupku."
Penjagal dari Neraka tundukkan kepala. Pendekar Mata
Keranjang diam. Tak berkata apa pun, kendati sebenarnya apa
yang diutarakan si kakek telah diketahuinya, karena
sebelumnya telah pernah mendengarnya.
"Ketika aku terluka oleh dedengkot golongan putih lima
belas tahun yang lalu, orang-orang kepercayaanku itu
gunakan kesempatan bagus yang tercipta. Mereka mengeroyokku..Aku yang tengah terluka tak berdaya dan
menjadi bulan-bulanan mereka. Untung, dengan sisa
kemampuan yang kumiliki, aku berhasil kabur."
"Hanya karena keadiian Tuhan aku bisa selamat dan tinggal
di sini bertahun-tahun. Menjadi pertapa. Terkadang, timbul


Pendekar Mata Keranjang 33 Mustika Naga Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dendam hebat terhadap orang-orang kepercayaanku, dan aku
ingin membalas sakit hati ini. Tapi, aku tahu itu tak mungkin
terlaksana. Karena luka-luka yang kuderita akibat pertarungan
dengan dedengkot golongan putih, serta pengeroyokan orang-
orang kepercayaanku, menyebabkan sebagian besar kepandaianku musnah...."
"Aku yang akan balaskan sakit hatimu, Kek," tandas Aji,
mantap. "Beritahukanlah padaku orang-orang yang telah
melakukan tindakan keji terhadapmu."
Penjagal dari Neraka mengukir senyum di bibirnya, sebagai
tanda terima kasih atas kesediaan Aji untuk membantunya.
"Aku gembira sekaligus terharu dengan maksud baikmu itu,
Aji. Tapi, mungkin perlu kau ketahui mereka berkepandaian
amat tinggi. Lima belas tahun yang lalu saja mereka jarang
mendapatkan tandingan. Apalagi sekarang. Aku yakin, mereka
telah mendapatkan kemajuan luar biasa. Karena, dengan
tersingkirnya aku, mereka akan leluasa untuk mengangkangi
dan memperebutkan kitab-kitab pusaka milikku."
"Sekalipun mereka sakti-sakti, aku tidak takut. Kek" tegas
Pendekar 108, mantap. "Lagi pula, aku yakin mereka tak akan
bisa mengalahkanku dengan mudah ! "
Penjagal dari Neraka tatap Pendekar 108 tepat pada bola
matanya. Suaranya terdengar penuh kesungguhan ketika
bicara. "Di belahan dunia tempatmu berasal, tinggal, dan membuat
nama besar, kepandaianmu mungkin jarang menemui
tandingan, Aji. Tapi, di belahan dunia ini, orang-orang yang
memiliki kesaktian sepertimu, amat banyak Malah, yang
berkepandaian dua, tiga, empat atau lima kali lipat dan pada
kepandaianmu pun tak terhitung."
Pendekar 108 melongo. Setelah garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal karena merasa heran dan tak percaya,
pemuda ini keluarkan ucapan. Itu pun setelah terlebih dulu
dengan susah payah menelan ludah untuk membasahi
tenggorokan yang mendadak kering.
Oo0-dw-0oO DUA "PERLU kau ketahui, Aji," lanjut Penjegal dari Neraka
dengan suara penuh kesungguhan, seperti sebelumnya.
"Andaikata kau, dengan kapandaian setinggi ini bertemu
denganku lima belas tahun lalu, dalam tiga jurus aku telah
bisa robohkan kau tanpa melukai. Kalau untuk membunuhmu,
mungkin tak sampai dua jurus ! "
Kali ini Pendekar Mata Keranjang tak hanya melongo. T api,
terjingkat ke belakang saking kagetnya. Aji tahu, Penjagal dari
Neraka tak berdusta. Kakek itu bicara sejujurnya. Oleh karena
itu, Pendekar 108 mempercayainya. Dan, hal itu yang
membuatnya terkejut besar.
"Kalau tingkat kepandaian Penjagal dari Neraka telah
demikian luar biasa, bagaimana dengan dedengkot golongan
putih yang mengalahkannya"! Mungkin dengan hanya
kerdipkan mata atau senyuman, tokoh sakti itu telah mampu
membinasakanku Gila ! Benar-benar gila ! " racau Pendekar
Mata Keranjang dalam hati.
"Kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan,
Kek"l" Pendekar 108 yang bingung, akhirnya ajukan
pertanyaan. Penjagal dari Neraka tersenyum.
"Apakah kau telah lupa dengan tujuanmu semula muncari
tempat ini, Aji "! "
Pertanyaan kakek berkaki satu ini membuat Pendekar 108
tercenung. Pemuda ini jadi teringat akan penye-bab
keberadaannya di tempat Ini. Mengingatkannya akan
percakapannya dengan Setan Pesolek, beberapa waktu yang
silam. "Setan Pesolek. Aku minta bukti kebenaran ucapanmu,"
kata Pendekar 108 waktu itu.
"Ucapanku yang mana, Aji"!" tanya Setan Pesolek dengan
suara lembut seperti layaknya seorang wanita. Sambil bicara,
dia menggerakkan tangannya pulang balik secara gemulai.
"Ucapanmu mengenal Lembaran Kulit Naga Pertala," jawab
Pendekar Mata Keranjang dengan nada penasaran. "Aku ingat
betul. Waktu itu kau mengatakan kalau isi dari Lembaran Kulit
Naga Pertala itu telah berada dalam diriku. Menurutmu, kelak
akan tiba masanya Ilmu itu akan muncul bila kuperlukan. Tapi,
nyatanya"! Beberapa kali aku hampir mampus namun Ilmu
yang kabarnya dahsyat itu tak juga muncul! Apakah ilmu
dahsyat pada Lembaran Kulit Naga Pertala itu hanya bohong
belaka, Setan Pesolek"!" (Mengenal ucapan Setan Pesolek ini,
silakan baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam
episode: "Wasiat Sang Pendekar).
Setan Pesolek tak langsung menjawab. Lelaki yang
bertingkah perempuan ini malah mengeluarkan cermin
batunya. Kemudian merapikan rambutnya dengan gerakan
lemah gemulai. Di lain kejap dia mendongak ke langit, dan
perdengarkan ucapan.
"Pendekar 108. Terus terang, aku pun agak bingung
dengan kenyataan yang kau alami. Mengapa Ilmu itu belum
juga muncul, padahal beberapa kail kau hampir celaka karena
mendapatkan lawan yang tangguh."
"Sampai sekarang pun aku belum jelas, Pendekar Mata
Keranjang. Tapi, aku mendapatkan sesuatu yang aneh. Aku
melihat sebuah pulau yang letaknya terpencil. Amat terpencil.
Terpisah jauh dari daratan kita. Aku tak tahu pasti di mana
adanya tempat itu. Mungkin ada di dasar bumi, di dasar laut,
banyak kemungkinannya. Yang jelas, banyak hal yang aneh di
sana." "Pendekar Mata Keranjang. Aku meiihat adanya gambar
seekor makhluk yang aneh. Makhluk itu berbadan kerbau dan
berkepala naga. Apakah ini ada hubungannya dengan
Lembaran Kulit Naga Pertala, aku masih belum jelas. Tapi,
kemungkinan untuk itu bukannya tidak ada.".
Pendekar 108 hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal mendengar uraian Setan Pesolek.
Tapi, beberapa waktu setelah itu, karena dorongan ingin
tahu, Pendekar Mata Keranjang memutuskan untuk pergi ke
tempat yang dimaksud Setan Pesolek. Lelaki berpakaian
perempuan itu pun memberikan petunjuk pada sang pendekar
agar dapat tiba di pulau yang dimaksud.
Aji harus melaut. Melajukan perahunya terus ke utara. Tak
berbelok-belok. Berhari-hari pemuda berambut dikuncir itu
terombang-ambing di tengah laut, sebelum akhirnya badai
muncul di hari ketujuh.
Pendekar 108 memang pendekar sakti. Kepandaiannya luar
biasa tinggi. Tapi, apa daya seorang manusia, betapapun
saktinya dibanding kekuatan alam"! Aji dipermainkan
gelombang laut dan badai hingga tak sadar
Ketika akhirnya sadar, pemuda Ini berada di balai-balau
balu, milik Penjagal dari Neraka. Sang kakek yang menemukan
tubuh Aji di pinggir laut dalam keadaan pingsan dan
membawanya ke tempat tinggalnya. Kakek berkaki satu itu
yang merawat Aji sampai akhirnya si pemuda tersadar setelah
pingsan dan demam selama seminggu.
Pendekar Mata Keranjang 108 pun tinggal dan bergaul
akrab dengan Penjagal dari Neraka. Mengatakan tujuannya,
tapi tak menyinggung-nyinggung masalah makhluk aneh.
Belakangan, Pendekar 108 tahu kalau tempatnya berada
adalah tempat yang dicari-carinya.
Sayang, setelah beberapa hari tinggal, dan ketika Pendekar
Mata Keranjang keluar gua untuk berburu, malapetaka ini
terjadi. Penjagal dari Neraka didatangi orang dan dicelakai ! .
Sampai di sini, ingatan Pendekar Mata Keranjang
membuyar. Dia menatap Penjagal dari Neraka, sesaat,
sebelum akhirnya memberikan jawaban.
"Tentu saja aku tak lupa dengan tujuanku itu, Kek. Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian, Aji. Kau harus mengutamakan apa
yang menjadi tujuanmu lebih dulu!" tandas Penjagal dari
Neraka, tegas. "Aku... aku masih belum tahu dari mana harus memulainya,
Kek. Semuanya masih gelap," beritahu Pendekar 108,
setengah mengeluh.
Penjagal dari Neraka menghembuskan napas berat. Dia
bisa mengerti dan memahami kesulitan Pendekar 108.
"Kalau saja tahu, aku akan membantumu, Aji. Sayang...
aku pun tak tahu. Tapi... tunggu sebentar... aku jadi teringat
akan sesuatu. Mungkin saja benda ini dapat memberikan
jawaban bagi masalahmu. Setidak-tidaknya mungkin ada
hubungannya. Masalahnya, ilmu dan benda ini berasa l dari
binatang yang berjenis sama...."
"Binatang"! Binatang apa, Kek"I" tanya Aji, Ingin tahu.
Dada pemuda ini berdetak lebih kencang karena menyeruaknya sebuah dugaan di dalam benak. "Mungkinkah
yang dimaksud Penjagal dari Neraka adalah naga hitam"!
Tapi..., benda apa yang berasal dari naga itu?"
"Naga hitam!"
"Naga hitam"!" ulang Pandekar 108 sambil garuk-garuk
kepala. "Namanya cukup menyeramkan! Bagaimana ciri-ciri
binatang itu, Kek"! Di mana tempetnya berada"! Dan...,
benarkah naga hitam itu seekor naga"! Menurut berita yang
kusirap, naga hanya ada di negeri Cina. itu pun hanya tersiar.
Lebih mirip dongeng daripada benar-benar ada."
"Naga hitam itu benar-benar ada, Aji. Memang, aku sendiri
belum pernah melihatnya. Tapi, berita mengenai keberadaan
binatang itu amat santer. Jadi, aku yakin kalau berita yang
tersebar itu bukan isapan jempol belaka."
Aji diam. Tak memberikan sahutan sepatah pun. Tapi,
batinnya bertanya-tanya.
"Naga Hitam"! Mungkinkah naga itu yang dimaksud Setan
Pelet"!"
Oo0-dw-0oO "Menurut berita yang tersiar, naga hitam itu diam di
Gunung Nirwana. Tepatnya di sebuah danau yang amat luas di
puncak gunung itu. Kabarnya, beberapa ratus tahun yang lalu,
di atas puncak gunung itu tampak seekor naga. Melayang-
layang di angkasa. Setelah kejadian itu, sang naga tak pernah
muncul lagi."
Aji tetap tak bicara kendati Penjagal dari Neraka berhenti
bicara. Tapi kendati mulutnya tak keluarkan sepatah kata pun,
serangkaian kata-kata bergayutan di benak Pendekar 108.
"Kukira banyak saksi dan bukti-bukti yang menunjukkan
keberadaan naga itu sehingga Penjagal dari Neraka ini
kelihatan begitu yakin. Tak tahunya hanya selentingan berita
dari masa ratusan tahun silam. Ini artinya berita tentang
adanya naga itu hanya sekadar berita burung belaka...."
"Beberapa bulan yang lalu, saat malam bulan purnama di
pinggir danau puncak Gunung Nirwana kedengaran bunyi-
bunyi aneh. Beberapa orang penduduk yang ingin tahu
menyelidiki. Mereka terkejut ketika menjumpai seekor
makhluk aneh di tepi danau. Makhluk itu berkepala naga dan
berbadan kerbau."
"Makhluk itu berdiri di tepi danau. Kepalanya menghadap
bulan sambil mengeluarkan dan menyedot sebuah benda
bundar seperti balon dan berwarna merah. Benda itu adalah
mustika sang binatang, Aji."
"Peristiwa itu segera menyebar pada para penduduk di
sekitar Gunung Nirwana. Esok malam setelah kejadian itu,
berbondong-bondong mereka pergi ke tepi danau untuk
membuktikan kebenarannya. Tapi, makhluk itu tak mereka
jumpai. Demikian pula malam-malam selanjutnya."
"Ternyata makhluk aneh itu hanya muncul pada saat bulan
purnama. Rombongan penduduk itu melihatnya satu purnama
setelah kejadian pertama. Berita pun menyebar dengan cepat.
Tidak hanya ke penduduk, tapi juga ke dunia persilatan. Para
penduduk menyebut binatang itu dengan nama 'Naga Hitam'."
"Mustika binatang itulah yang harus kau dapatkan,
Pendekar Mata Keranjang. Apabila kau berhasil mendapatkannya dan menelannya, kau akan mendapatkan
tambahan tenaga dalam yang dahsyat. Tambahan tenaga
dalam yang hanya bisa kau peroleh bila kau berlatih
pernapasan dan semadi belasan tahun!"
"Ah.. ! " Aji sampai terpekik karena tak kuasa menahan
rasa kaget yang melanda. "Sampai sedemikian hebatnya
Mustika Naga Hitam itu, Kek"!"
"Benar, Pendekar Mata Kersnjang. Jadi, seandai-kata
Mustika Naga Hitam itu tidak menyelesaikan masalahmu,
setidak-tidaknya kau akan mendapatkan tambahan tenaga
dalam yang luar biasa! Dengan sendirinya kepandaianmu akan
meningkat. Karena, tingkat kepandaian seseorang ditentukan
oleh tenaga dalamnya. Semakin kuat tenaga daiam, semakin
tinggi tingkat kepandaian seseorang. Mutu ilmu kepandaian
hanya memegang peranan kecil...."
Pendekar 108 usap-usap ujung hidungnya. Dahi pemuda
Ini berkerinyit karena berpikir keras.
"Bagaimana cara mendapatkan Mustika Naga Hitam itu,
Kek"! Apakah sulit"!" tanya Pendekar 108, akhirnya.
"Tentu saja sulit, Aji. Karena di samping memikiran caranya
untuk mengambil mustika itu dari sang naga hitam, kau pun
harus menghadapi orang-orang persilatan yang menginginkan
mustika itu."
Pendekar Mata Keranjang 108 manggut-manggut.
"Aku mengerti, Kek."
"Bagus...!" Penjagal dari Neraka keluarkan pujian untuk Aji.
Tapi, si pemuda tak menjadi gembira. Malah, cemas. Karena,
kakek berkaki satu itu terlihat mulai payah. Napasnya
tersengal-sengal.


Pendekar Mata Keranjang 33 Mustika Naga Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar 108 tahu, saat akhir untuk Penjagal dari Neraka
telah dekat. Jantungnya pun berdetak jauh lebih cepat karena
rasa tegang yang melanda. Dia menunggu saat-saat kematian
si kakek dengan hati trenyuh.
-Oo0-dw-0oO- "Aji...." Suara Penjagal dari Neraka semakin lemah dan
bergetar. "Ya, Kek," sahut pemuda berambut dikuncir ekor kuda,
cepat. "Cepat ke ambang pintu ruangan ini."
Meski tak mengerti maksud perintah Penjagal dari Neraka,
Aji tetap mematuhinya. Pemuda ini yakin, si kakek tak
bermain-main dengan perintahnya. Rasanya tak mungkin di
saat-saat terakhir hidupnya, Penjagal dari Neraka menyia-
nyiakannya. Itu kesempatan terakhir.
"Mudah-mudahan saja kakek ini tak terganggu sarafnya
akibat luka-luka yang diderita. Kalau benar dem ikian, sungguh
sial aku! Dipermainkan oleh orang gila," Aji membatin seraya
melesat ke tempat yang dimaksud.
"Melangkah ke kiri sebanyak dua puluh sembilan kaki," kata
Penjagal dari Neraka, lagi.
Aji mulai mengerti kalau Penjagal dari Neraka ingin
memberitahukannya
sesuatu, atau malah memberinya
sesuatu. Pendekar Mata Keranjang yakin kalau petunjuk-
petunjuk yang diberikan sang kakek sekarang, ada
hubungannya dengan tempat rahasia. Mungkin tempat benda-
benda pusaka, baik itu senjata pusaka maupun kitab-kitab
yang berisi ilmu-iimu mukjizat.
"Hantam langit-langit gua di atas kepalamu," beri tahu
Penjagal dari Neraka, ketika Aji telah bergerak ke kiri sejauh
dua puluh sembilan kaki. "ingat, pusatkan tenagamu sehingga
bagian gua yang ambrol berbentuk lubang yang bergaris
tengah dua kaki."
Pendekar 108 hanya menganggukkan kepala untuk
menunjukkan kemengertiannya. Bagi pemuda berbaju hijau
ketat itu apa yang diperintahkan Penjagal dari Neraka bukan
merupakan sesuatu yang sulit. Dengan tenaga dalam yang
dimilikinya, Pandeker Mata Keranjang 108 dapat menujukan
sasaran yang dikehendaki, tanpa mengganggu bagian yang
lainnya. Pendekar 108 kepalkan tangan kanannya. Kemudian,
menghentakkannya ke langit-langit di atas kepalanya. Angin
cukup keras menderu. Menggebrak. Terdengar bunyi cukup
gaduh yang diikuti runtuhnya langit-langit gua.
Batu-batu sebesar kepalan berjatuhan ke tanah. Padahal,
tepat di bawah langit-langit gua yang berguyuran itu, Aji
tegak. Pemuda ini akan jadi sasaran pertama kali dari batu-
batu yang runtuh itu, sebelum akhirnya ambruk di tanah.
Aji tahu akan apa yang menimpanya. Tapi, dia tak
bergeming dari tempat tegaknya. Seakan-akan tak peduli
kalau tubuhnya akan terguyur hujan batu.
Namun, Pendekar 108 memang telah perhitungkan
kejadian yang akan menimpanya dan persiapkan diri.
Beberapa jari sebelum puing-puing batu langit-langit gua
beserta debu-debunya mengenai tubuh Aji, benda-benda itu
menyingkir. Seakan-akan di sekeliling tubuh pemuda murid
Wong Agung itu ada benteng tak nampak yang membuat apa-
apa yang menggebrak ke arahnya melenceng sebelum
mengenai sasaran.
Penjagal dari Neraka tak terlihat kaget melihat hal seperti
ini. Dia tahu kalau Pendekar Mata Keranjang kerahkan tenaga
dalam ke sekujur tubuh untuk membuat benda-benda yang
meluncur ke arahnya melenceng sebelum mengenai sasaran.
Di lain pihak, Aji tak kecewa ketika me lihat Penjagal dari
Neraka bersikap biasa, tak kaget Pemuda berbaju kuning
lengan panjang ini tak bisa berharap akan menimbulkan
kekaguman pada si kakek. Karena, bagi kakek berambut putih
itu apa yang dipertunjukkannya tak lebih dari permainan anak-
anak. "Periksa puing-puing yang berhamburan. Aku yakin, tak
semuanya batu. Pasti ada benda lainnya," terdengar oleh
Pendekar 108, Penjagal dari Neraka kembali bicara.
Pendekar Mata Keranjang tak segera laksanakan perintah s i
kakek. Dia menunggu hingga debu-debu yang menghalangi
pemandangan sirna. Baru setelah itu sepasang matanya
diedarkan. Merayapi hamparan puing untuk menemukan
sesuatu yang lain. Sesuatu yang bukan batu cadas.
Aji tak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan
sesuatu yang diinginkannya itu. Benda yang bukan batu cadas
itu terlihat menyolok, karena berupa gulungan daun lontar
sepanjang dua kaki lebih. Tidak mampu terhalang oleh batu-
betu sebesar kepalan manusia.
Tapi, saat Aji hendak bergerak untuk mengambil gulungan
daun lontar itu, terdengar pekikan tertahan.
Pendekar 108 terpaksa batalkan maksudnya. Dia tolehkan
kepala menatap Penjagal dari Neraka. Orang yang keluarkan
pekikan. Kakek berambut putih itu tak balas menatap si pemuda.
Memang sepasang mata tuanya membeliak besar, tapi sudah
tak ada sinar kehidupannya sama sekali. Mulutnya menganga
lebar. Tubuhnya tergolek diam, tidak bergerak-gerak lagi.
Penjagal dari Neraka telah mati ! .
Aji hanya dapat hembuskan napas berat dan tundukkan
kepala untuk menunjukkan rasa duka citanya.
"Kek...," pemuda berambut dikuncir ini bicara dalam hati.
"Kau boleh katakan kalau dirimu bukan orang suci. Tapi, aku
punya hutang padamu. Hutang budi. Aku akan berusaha
untuk membayarnya, Kek. Aku berjanji, apabila telah berhasil
mendapatkan Mustika Naga Hitam dan memecahkan
masalahku, orang-orang kepercayaanmu yang berkhianat
akan kucari. Bahkan pontolan golongan putih yang
mengalahkanmu pun ku-temui pula nanti. Ingin kubuktlkan
ketinggian kepandaian sang dedengkot itu."
Usai bicara tanpa kata-kata itu, Pendekar Mata Keranjang
108 ayunkan kaki hampiri mayat Penjagal dari Neraka. Dia
bermaksud untuk mengubur mayat itu secara layak.
oo-0odwo0-oo TIGA SANG surya telah mampu unjukkan keperkasaannya. Sejak
pagi, bola raksasa itu telah muncul di langit. Dan sekarang,
sinarnya yang terik menyengat persada. Seakan-akan
Seantero mayapada hendak digarangnya.
Ganasnya terpaan sinar matahari juga menggebrak Gunung
Nirwana. Panas menyengat kulit. Permukaan tanah yang
beberapa hari sebelumnya diguyur curah hujan dan becek,
sekarang telah mulai mengering. Malah, pada beberapa
tempat tak ada tanda-tanda kalau permukaan tanahnya
pernah terguyur hujan!
Di jalan tanah cukup lebar di kaki Gunung Nirwana, Aji
ayunkan kakinya lambat-lambat Pemuda ini berjalan sambil
menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seperti orang
yang tengah menikmati
keindahan pemandangan di
sekelilingnya. Wajah pemuda berbaju hijau ketat itu tampak berseri-seri.
Sepasang matanya bersinar-sinar.
Kelihatan Jelas kegembiraannya. Perasaan duka akibat kematian Penjagal dari
Neraka telah tak tampak lagi. Telah sirna. Pendekar 108
memang seorang pemuda yang berwatak periang. Rasa sedih
dan duka tak pernah singgah lama dalam dirinya.
Aji tetap lanjutkan tingkahnya itu kendati sayup-sayup
mendengar bunyi langkah seekor kuda yang tengah berlari.
Mula-mula pelan. Kemudian mengeras. Pendekar 108 pun
segera tahu kalau binatang tunggangan itu semakin
mendekatinya. Dari bunyi derap kaki kuda yang terdengar olehnya,
Pendekar Mata Keranjang tahu kalau binatang itu telah tak
jauh di belakangnya. Namun, si pemuda bersikap tak peduli.
Dia tak menoleh sama sekali, bahkan ketika menyingkir ke
pinggir untuk memberi jalan pada penunggang kuda itu.
Kuda yang berada beberapa tombak di belakang Pendekar
Mata Keranjang memang terus berpacu. Malah dengan
kecepatan yang menggila secara mendadak.
Di lain pihak, kendati kelihatan tak peduli. Aji memusatkan
seluruh perhatian pada pendengarannya. Pemuda berpakaian
dalam lengan panjang warna kuning itu bersiap-siap terhadap
serangan mendadak dari sang penunggang kuda.
Ketika pendengarannya yang tajam menangkap adanya
perubahan laju sang kuda, urat-urat saraf Pendekar Mata
Keranjang menegang. Si pemuda telah bersiap untuk
menghadapi kemungkinan yang tak diharapkan.
Tapi, kecurigaan Pendekar 108 langsung memupus ketika
sang kuda terus melaju ke depan, melewatinya.
Dengar ekor matanya, pemuda murid Wong Agung ini
sempat melihat kuda dan penunggangnya kendati hanya
sekilas. Kuda itu berwarna coklat putih. Sedangkan sang
penunggangnya mengenakan pakaian merah muda!
Kecurigaan Aji memang memupus. Namun, kejap
kemudian, berganti kejengkelan. Karena, kuda coklat putih itu
tak terus melainkan dihentikan sekitar satu tembak di depan
Pendekar Mata Keranjang 108. Dihentikan secara tiba-tiba,
sehingga membuat kaki depan sang kuda terangkat tinggi-
tinggi ke udara. Debu pun mengepul tinggi ke udara,
membubung dan menghambur kearah Aji yang berada di
belakang kuda coklat putih itu.
Pendekar Mata Keranjang 108 yang tak menyangka
kejadian seperti itu, terlambat bertindak. Debu telah lebih dulu
mengungkungi sekujur tubuhnya. Mengotori rambut dan
pakaiannya. Memang, hanya sesaat karena si pemuda segera
kerahkan tenaga daiam, membuat debu-debu itu berpentalan
dari rambut dan pakaiannya.
Sungguhpun demikian, gangguan tak menyenangkan itu,
membuat Aji merasa jengkel.
Pemuda berambut dikuncir
ini telah siap untuk
memuntahkan kemarahannya. Tapi, mulutnya yang telah
membuka lebar jadi urung melontarkan ucapan. Sepasang
matanya yang membeliak besar dengan sorot yang sarat
dengan amarah, langsung melembut secara tiba-tiba ketika
melihat perawakan sang penunggang kuda secara agak jelas.
Memang, Aji belum melihat sosok berpakaian merah muda
yang duduk tegak di atas punggung kuda. Yang dilihat
pemuda berwatak urakan itu baru bagian belakang sosok
merah. Sosok yang ramping pinggangnya, tapi bulat penuh
pinggulnya. Sosok yang segera dapat diketahui oleh Pendekar
Mata Keranjang secara cepat sebagai sosok yang dimiliki oleh
seorang perempuan muda yang sudah pasti berparas cantik.
Karena yakin akan dugaannya, Pendekar 108 tak |adi
melampiaskan amarahnya. Malah, pemuda ini telah bersiap-
siap untuk menghadiahkan senyuman paling manis yang dapat
dibentuknya, sapaan paling menyenangkan yang akan
dilontarkannya, dari Aji telah ber siap memasang wajahnya
semenarik dan semenyenangkan mungkin !
oo-0odwo0-oo " Ah...!"
Seruan tertahan yang sarat dengan perasaan kaget itu
terlontar dari mulut Aji ketika sosok berpakaian merah itu
melompat turun dari punggung kuda dan membalikkan
tubuhnya ke arah Aji. Sosok berpakaian merah yang mampu
turun dari punggung kuda dengan gerakan indah dilihat dan
kelihatan ringan itu, ternyata adalah seorang yang berwajah
luar biasa jelek ! .
Pendekar 108 sendiri, sampai mundur setindak karena
kagetnya. Sepasang matanya yang besar, menyiratkan rasa
kaget dan tak percaya akan apa yang terpampang di depan
matanya. Pendekar Mata Keranjang seperti orang kesima.
Sosok berpakaian merah itu memang berparas amat jelek,
kendati bentuk tubuhnya menggiurkan hati. Kulit wajahnya
hitam, kasar, dan penuh benjolan-benjolan kecil, mirip kulit
buaya. Sebagian kecilnya dipenuhi lubang-lubang kecil
menghitam bekas luka yang sembuh tak sempurna. Sepasang
matanya besar sebelah. Bibirnya terlihat lebih mengerikan
karena membengkak besar seukuran kepala bayi, merah, dan
menonjol keluar. Kesan keseluruhan, sosok berpakaian merah
muda itu menyeramkan dan menjijikkan!
Wanita berpakaian merah muda tentu saja dapat melihat
keterkejutan Aji. Karena memang sangat jelas. Dia pun
sempat melihat senyum dan seri sepasang mata si pemuda
tampan, sebelum akhirnya lenyap berganti keterkejutan dan
kengerian. Sungguhpun demikian, si perempuan mampu
bersikap tak peduli. Paras wajahnya yang buruk tak
menampakkan gambaran perasaan apa pun.
"Aku hendak bertanya padamu," sepasang bibir yang
mengerikan milik wanita berbaju merah, berkemik pelan.
Nadanya datar dan dingin.
"Tanyalah. Bila aku tahu akan kujawab," jawab Aji hampir
tanpa gairah. Kepiawaiannya dalam menghadapi perempuan,
lenyap begitu saja bagaikan asap tertiup angin.
Pemuda berambut dikuncir ekor kuda itu tak pikirkan lagi
rasa jengkel yang tadi menderanya. Tak pedulikan lagi
perasaan-perasaan lain yang sebelumnya menyeruak. Yang
diinginkan pemuda ini hanya satu. Perempuan berparas buruk
ini segera angkat kaki dari depan hidungnya. Ada rasa tak
nyaman yang melanda bagian dalam dadanya ketika melihat
paras sang wanita.
"Aku yakin kau tahu," dengus perempuan berbaju merah
dengan nada yakin. "Kalau tidak, untuk apa kau berada di
daerah ini"!"
Aji merasakan detak jantungnya bertambah cepat karena
rasa tegang yang mencuat. Tapi, dia masih mampu untuk
menguasai perasaan. Sehingga apa yang bergolak di hati tak
nampak di wajah maupun di sikap.Bahkan suara si pemuda
tetap tenang ketika bicara.
"Tak usah bertele-tele, Nona. Kalau memang ingin
bertanya. Cepatlah ajukanl Ka lau kau ingin berdebat aku akan


Pendekar Mata Keranjang 33 Mustika Naga Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi dari tempat ini!"
Di mulut Aji berkata begitu. Tapi, di dalam dadanya, di
hatinya, perkataan yang keluar berlainan.
"Aku harus hati-hati. Aku yakin, keberadaannya di tempat
ini karena mendengar berita santer tentang naga hitam. Bila
itu benar, berarti aku telah punya seorang saingan. Entah dari
golongan mana dia berasal. Hitam atau putih...."
Perempuan berparas buruk membeliakkan sepasang
matanya. Rupanya ucapan Pendekar Mata Keranjang 108
membuatnya tersinggung.
"Mulutmu tak kenal aturan. Sobat. Lancang. Aku tahu, kau
tak suka lama-lama di dekatku dan bicara, karena parasku
yang buruk! Begitu bukan"! Kalau saja aku cantik, keadaan
akan menjadi lain. Bagaimana"! Apakah ucapanku salah"!"
Aji tertegun. Dia tak menyangka kalau si perempuan akan
bicara seperti itu. Pembicaraan yang sama sekali tak keliru.
Seketika pemuda ini sadar akan kesalahan sikapnya.
"Perempuan ini benar. Aku telah bersikap kasar padanya,
karena dia berwajah buruk. Kalau wajahnya cantik, sikapku
tak akan seperti itu. Padahal, aku yakin dia pun tak menyukai
parasnya itu bukan keinginannya, tapi kehendak Tuhan !
Betapa tidak adilnya aku menilai dan bersikap terhadap
seseorang dengan melihat parasnya...," Aji membatin.
Seusai bicara dalam diam, dan menyadari ketidak patutan
sikapnya, Pendekar 108 mengukir senyum manis di mulutnya.
Lalu, dia bicara dengan nada yang jauh lebih lembut daripada
sebelumnya. "Ucapanmu memang tak salah, Nona. Aku telah bertindak
keliru. Mulutku tak tahu aturan dan lancang. Sekarang aku
telah sadar berkat petuahmu. Aku mohon maafmu. Sekaligus
aku berterima kasih atas nasihat yang kau berikan."
Sekarang, ganti perempuan berbaju merah yang melongo.
Rupanya dia tak menyangka akan mendapat tanggapan
seperti itu dari Aji.
"Aku tak bisa menerima permohonan maaf dan terima
kasihmu, Sobat. Ucapanmu tadi memang agak lancang. Tapi,
sama sekali tak membuatmu punya kesalahan besar
terhadapku. Sikap dan ucapan seperti itu tak aneh bagiku.
Maksudku..., aku selalu mendapatkannya di mana-mana.
Setiap orang yang kutemui, apalagi seorang pemuda, akan
bersikap dan berbicara seperti kau tadi. Malah, banyak yang
lebih keras. Kau terhitung seorang pemuda yang baik hati.
Hampir tak pernah kujumpai orang yang langsung sadar dari
kesalahan sikapnya ketika kukatakan pernyataan yang sama.
Malah, banyak yang marah...."
"Mungkin aku termasuk orang yang tak marah ketika kau
utarakan paras buruk dan cantik yang menjadi penyebab
timpangnya perlakuan yang diterima. Tapi, itu tak berarti aku
tak punya salah padamu. Aku telah menghinamu dan berlaku
kasar itu kesalahanku !. Dan untuk itu aku minta maaf."
Perempuan berbaju merah hanya perdengarkan gumaman
tak jelas ketika Aji hentikan ucapannya untuk mengambil
napas. "Sedangkan ucapan terima kasih yang kuaturkan padamu
karena memang sebenarnya aku merasa berterima kasih. Kau
telah membuka mata hatiku dan menyadarkanku dari
kesalahan sikapku. Jadi, kau terima atau tidak, aku tetap
aturkan permintaan maaf dan ucapan terima kasih."
"Kalau begitu maumu, terserah," si perempuan mengalah
seraya angkat kedua bahunya. Pasrah. "Tapi yang jelas, aku
tak pernah menganggap kau punya salah. Apalagi sampai
berikan nasihat. Aku tak bisa terima itu."
Pendekar Mata Keranjang hanya bisa cengar-cengir sambil
usap-usap ujung hidungnya.
"O ya, hampir aku lupa," kata si pemuda ketika teringat.
Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Kau belum
ajukan pertanyaan, Nona."
Perempuan berwajah buruk mengangguk.
"Aku memang belum ajukan pertanyaan lagi. Tapi, bukan
karena lupa. Kau yang mengalihkan percakapan," bantahnya.
"Aku tak bermaksud alihkan percakapan, Nona. Hanya saja,
tanpa sengaja pokok permasalahan itu telah berubah. Tapi,
sekarang, kita kembalikan masalah pada yang seharusnya.
Apa yang tadi hendak kau tanyakan, Nona"!"
Perempuan berpakaian merah tak langsung ajukan
pertanyaan. Dia malah menatap Aji lekat-lekat .
"Kau tahu ke mana arah yang harus kutempuh agar bisa
tiba ke danau yang berada di puncak Gunung Nirwana"!"
Si perempuan telah mengajukan pertanyaan secara hati-
hati. Suaranya pun pelan. Tapi, Pendekar 108 tetap terjingkat
ke belakang. Padahal, pemuda ini telah menduga pertanyaan
yang akan ditujukan padanya.
"Kau kelihatan terkejut sekali, Sobat. Ada yang salah
dengan pertanyaanku"!"
"Tidak," jawab Aji seraya menggelengkan kepala. "Tidak
ada yang salah sama sekali."
"Lalu..., mengapa kau kelihatan terkejut sekali"!"
Aji garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Perlukah kepura-puraanmu itu kau lanjutkan, Nona"!
Kurasa lebih enak dihentikan. Kita bicara terus terang saja.
Terbuka. Kalau kau masih ragu, aku yang akan memulai.
Secara jujur kukatakan aku tak terlalu kaget mendengar
pertanyaanmu karena memang telah menduganya dulu
sebelumnya. Dan, aku yakin, kau tahu mengapa aku terkejut!"
"Apakah kau punya tujuan yang sama denganku"!" si
perempuan berbaju merah muda, menyeletuk.
Pendekar Mata Keranjang 108 mengangguk.
"Aku hendak menuju danau di puncak Gunung Nirwana.
Sama sepertimu, Nona. Bahkan aku yakin kalau tujuan kita
pun tak beda. Aku hendak berusaha untuk mendapatkan
Mustika Naga Hitam yang ada di danau itu."
Perempuan berwajah buruk menghembuskan napas berat .
"Kita punya tujuan dan kepentingan yang sama. ini
membuatku tak merasa nyaman. Karena, hal ini menjadikan
kita berada di pihak yang bertentangan. Kita jadi saingan.
Lawan." "Kurasa tak sampai separah itu, Nona," kilah Aji, tak setuju
seratus persen dengan pendapat si wanita.
"Mungkin kita harus bersaing untuk mendapatkan Mustika
Naga Hitam itu demi kepentingan sendiri-sendiri. Tapi, perlu
kutekankan, Nona. Apabila kau telah lebih dulu mendapatkan
benda itu aku tak akan merampasnya. Aku berjanji."
Perempuan berbaju merah tersenyum. Tapi, karena bentuk
bibir miliknya yang mengerikan, senyum yang terbentuk tak
bagus dipandang. Lebih mirip seringai menyeramkan dedemit
atau makhluk halus menyeramkan lainnya.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Sobat. Tapi, perlu pula
kau dengar tekadku. Aku pun tak akan merampas apabila kau
yang telah lebih dulu dapatkan mustika itu."
"Terima kasih atas kesediaanmu, Nona."
Si perempuan menganggukkan kepalanya.
"Sekarang. Bisakah aku dapat keterangan jalan untuk
menuju ke puncak Gunung Nirwana itu"!"
"Tentu saja, Nona," tandas Pendekar Mata Keranjang 108,
mantap. "Kau ingin jalan setapak atau yang dapat kau lalui
bersama kudamu"!"
Perempuan berbaju merah mengernyitkan
dahinya sebentar untuk berpikir.
"Aku tak sampai hati meninggalkan kudaku di tengah jalan.
Dia telah banyak menolongku. Jadi, aku memilih jalan yang
bisa dilalui oleh kuda."
Tanpa banyak pikir lagi, Aji segera beritahukan jalan-jalan
yang harus ditempuh. Malah, pemuda ini terpaksa buat
guratan-guratan di tanah ketika wanita berbaju merah masih
belum merasa jelas dengan keterangan yang diberikan.
Pendekar 108 tak mendapatkan kesulitan untuk menjelaskannya secara terinci. Karena, Penjagal dari Neraka
telah tinggalkan peta mengenai Gunung Nirwana. Peta yang
lengkap dan terinci jelas.
oo-0odwo0-oo EMPAT MALAM ini langit tampak cerah. Hampir tak ada awan yang
menggantung di angkasa. Bintang-bintang bertaburan
memamerkan sinarnya yang lemah. Seakan-akan tak mau
kalah dengan sang bulan yang saat Itu juga tengah
memancarkan sinarnya yang kuning keemasan. Saat itu, sang
dewi malam tampak di langit dalam bentuknya yang utuh.
Tidak cacat sedikit pun. Bulan penuh. Bulan purnama !.
Bulan purnama yang dinanti-nanti dengan penuh harap
oleh tokoh-tokoh persilatan yang saat ini telah berada di
puncak Gunung Nirwana. Lebih tepatnya lagi, di sekitar danau!
Sebagian besar di antara mereka, baik sendiri-sendiri maupun
berkelompok, bersembunyi di balik pohon-pohon besar di
sekitar danau. Sisanya mengintai dari balik gundukan batu
yang ada. Sebentar-sebentar tokoh-tokoh persilatan yang berjumlah
puluhan, bahkan mungkin ratusan ini,
mengarahkan pandangan ke danau luas yang menghampar di depan. Di
kejap lain, kepala mereka tertengadah, menatap bulan!
Masing-masing orang tak sabar menunggu keluarnya naga
hitam. Di antara sekian banyaknya kepala, kepala Aji termasuk
salah satu di antaranya. Si pemuda telah beberapa kali
menengadahkan kepala, menatap bulan.
"Menurut keterangan Penjagal dari Neraka, bila bulan telah
cukup tinggi, sang naga akan keluar dari persembunyiannya
dan memainkan mustikanya. Tapi, sampai setinggi mana
bulan itu tampak"! Apakah harus sampai berada tepat di atas
kepala"!" Aji membatin, tak sabar.
Seperti menyambuti gerutuan hati Pendekar 108,
permukaan tanah bergetar. Berbareng dengan itu terdengar
bunyi seperti lenguh kerbau tapi agak aneh, dan bagaikan
berasal dari tempat yang jauh.
Getaran dan suara itu bukan hanya Aji yang
menangkapnya. Semua orang yang berada di situ, tahu pula.
Seketika itu pula, perasaan tegang pun menyeruak. Mereka
tahu, saat-saat kemunculan telah semakin dekat. Setiap tokoh
persilatan bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan
yang tak diharapkan.
Keadaan jadi terasa menegangkan. Sebagian besar tokoh
persilatan masih mampu untuk bersabar, menunggu naga
hitam keluar dari persembunyiannya. Tapi, sekelompok kecil
telah tak mampu menahan sabarnya.
Orang yang tak sabar itu, menyeruak dari kerimbunan
semak-semak di sebelah kiri danau. Tanpa pedulikan tokoh-
tokoh lainnya, sosok yang ternyata adalah wanita berpakaian
merah muda dan berparas buruk itu, melangkah menuju ke
danau. Tindakan perempuan buruk rupa itu menarik perhatian
hampir semua tokoh persilatan yang berada di sekitar danau.
Sebagian besar merasa geram dan jengkel pada si wanita.
Karena tindakannya itu dapat membuat naga hitam tak jadi
keluar dari sarangnya. Jika itu terjadi, semua jerih payah
mereka sia-sia.
Tokoh perailatan lainnya malah ada yang berpikiran terlalu
panjang. Tindakan perampuan berbaju merah membuat
mereka khawatir sekali. Cemas akan keduluan oleh si wanita.
Oleh karena itu, belum lama perempuan baju merah keluar,
dari balik pohon di sebelah timur danau, menyeruak seorang
lelaki berjubah ungu.
DI saat yang hampir bersamaan dari atas cabang pohon di
sebelah tenggara, melesat sesosok bayangan putih yang
kemudian menjejak tanah tanpa bunyi.
Tindakan tokoh-tokoh persilatan yang tak sabaran itu,
membuat tokoh-tokoh lainnya yang semula bermaksud
menunggu perkembangan, jadi blingsatan. Seolah-olah
mereka duduk di atas bara. Panas dan tak nyaman. Mereka
bingung tak tahu harus bertindak bagaimana untuk beberapa
saat lamanya. Aji tak mau ketinggalan tampakkan diri. Ketika wanita
berbaju merah mengarahkan pandangan ke tempatnya,
pemuda berambut dikuncir ini keluar dari tempat persembunyiannya sambil tersenyum dan anggukkan kepala.
Si wanita balas anggukkan kepala, tersenyum, dan bahkan
melambaikan tangan.
Tindakan si wanita tak luput dari perhatian banyak tokoh
persilatan. Sebagian besar tak ambil peduli. Tapi, ada
beberapa gelintir yang blingsatan seperti cacing diletakkan di
abu panas. Mereka adalah dua orang pemuda yang sama-
sama mengenakan pakaian biru. Di pinggang masing-masing
tergantung pedang.
*-dw-* Dua pemuda berbaju biru yang bersembunyi di balik
gundukan batu besar, saling pandang.
"Kau yakin kalau wanita itu adalah Kumala Sari"!" salah
seorang di antara mereka, yang bertubuh pendek kekar,
bicara. Pemuda yang diajak bicara, yang bertubuh tinggi kurus,
balas menatap wajah kawannya.
"Aku tak yakin, Banggala," timpal si tinggi kurus, akhirnya.
"Tapi, aku punya dugaan kuat kalau wanita Itu adalah Kumala
Sari. Adik seperguruan kita yang cantik."
"Apa alasanmu, Suta"!" Banggala kembali bertanya.
"Sebelum kuberikan alasanku, aku ingin tahu alasanmu.
Banggala."
"Potongan tubuhnya, Suta. Potongan tubuh perempuan itu


Pendekar Mata Keranjang 33 Mustika Naga Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuyakini betul sebagai potongan tubuh Kumala Sari. Adik
seperguruan kita yang manis. Mengenal wajahnya yang buruk
dan pakaian merahnya, kurasa bukan masalah besar. Hanya
tinggal berganti pakaian dan kenakan topeng seram.
Sederhana bukan"!"
"Aku setuju dengan pendapatmu, Banggala," Suta berikan
dukungan. "Aku juga yakin kalau perempuan itu adalah
Kumala Sari. Tidak salah lagi! Dia boleh menyamar seribu kali
sehari. Kenakan ratusan warna dan model pakaian. Lekatkan
segala macam bentuk dan ukiran topeng. Tapi, semua itu
tetap tak bisa mengelabui aku."
Banggala menatap Suta dengan sorot mata kurang
percaya. Yang ditatap, agak tersinggung karena merasa tak
dipercaya. Oleh karena itu, nada suaranya agak keras ketika
bicara lagi. "Aku tak hanya bicara besar, Banggala. Aku punya patokan
yang membuatku dapat mengetahui seseorang itu Kumala Sari
atau bukan ! "
"Begitukah"!" Banggala masih kurang percaya. "Boleh
kutahu bagiamana kau bisa demikian yakin dengan
patokanmu"
Dan, menurut patokanmu, perempuan berpakaian merah itu adalah Kumala Sari"!"
"Benar, Banggala. Perempuan itu adalah Kumala Sari. Aku
hafal betul gaya dan cara jalannya," jawab Suta, panjang
lebar. Banggala tak mengajukan pertanyaan lagi. Di sebelahnya,
Suta tak bicara lagi. Suasana jadi hening sesaat. Sesaat
karena Banggala melihat perempuan baju merah yang mereka
duga adalah Kumala Sari tengah tersenyum, menganggukkan
kepala, dan melambaikan tangan.
Perasaan penasaran dan tak suka yang besar melanda hati
Banggala dan Suta. Sebabnya, pemuda-pemuda ini sama-
sama menyukai Kumala Sari. Sayangnya, si gadis terlalu
angkuh. Kumala Sari tak melayani hasrat-hasrat cinta saudara-
saudara seperguruannya.
Jangankan membalas
cinta, beramah tamah dengan mereka pun, Kumala Sari hampir tak
pernah. Sekarang, gadis itu kelihatan begitu ramah.
Keramahan yang ditujukan pada seseorang. Siapa yang tak
menjadi dongkol"! .
Rasa tak senang semakin berkobar bahkan bercampur
dengan benci ketika Suta dan Banggala melihat orang yang
mendapat kehormatan dihargai demikian rupa oleh wanita
baju merah yang mereka yakini adalah Kumala Sari.
Suta dan Banggala saling pandang sejenak sebelum
akhirnya meiangkah keluar dari tempat persembunyian nya.
Arah yang mereka tuju amat pasti. Tempat wanita berpakaian
merah tegak. Di lain pihak, wanita berparas buruk, seperti tak tahu akan
adanya orang yang menghampirinya. Wanita itu tegak dengan
sepasang tangan terlipat di depan dada. Sedangkan
pandangannya tertuju ke permukaan danau. Menunggu
keluarnya naga hitam.
Wanita berparas buruk ini tak sendirian berada di dekat
danau. Lelaki berjubah ungu, dan sosok berpakaian putih yang
ternyata adalah seorang kakek yang di samping berpakaian
putih, juga mengenakan ikat kepala warna putih. Ketiga sosok
ini yang berada paling dekat dengan danau ketimbang tokoh-
tokoh persilatan lainnya.
*_odwo_* "Kumala Sari...!"
Suta berseru memanggil ketika telah berada beberapa
tombak di belakang wanita berpakaian merah. Suta telah
perhitungkan masak-masak. Dia tahu, orang yang menyamar
menjadi orang lain, terkadang lupa, sewaktu seseorang
memanggil nama aslinya, secara otomatis, orang itu menoleh.
Suta gunakan siasat seperti itu.
Banggala tahu maksud Suta. Dia pun diam. Ingin tahu
bagaimana kesudahannya. Pemuda ini memang masih belum
yakin kalau wanita berparas buruk itu adalah Kumaia Sari.
Keraguan Banggala semakin membesar ketika si wanita tak
tunjukkan tanggapan apa pun atas panggilan Suta. itu artinya,
wanita itu tak tahu kalau dirinya dipanggil.
Berbeda dengan Banggala, Suta belum putus asa. Pemuda
pendek kekar ini tak menjadi kecil hati kendati panggilannya
tak mendapat hasil seperti yang diharapkan. Suta memang tak
terlalu berharap usahanya berhasil. Karena, pemuda ini tahu
apabila wanita berbaju merah cukup cerdik dan sempat
teringat, dia tak akan pedulikan panggilan itu.
Oleh karena itu, Suta memutuskan untuk melaksanakan
rencana lain yang memang telah dipersiapkannya. Pemuda
tinggi kurus ini mengerling Banggala, berikan isyarat untuk
mengikuti rencananya. Banggala mengangguk, tanda menyetujui meskipun belum tahu pasti akan hal yang hendak
diperbuat oleh rekannya.
"Bocah tak tahu diri...! " seru Suta, lantang dan keras
seraya mengarahkan pandangan pada Aji. "Keluar kau...!
Tunjukkan pada kami kalau kau bukan seorang pengecut yang
hanya berani pada perempuan muda yang menjadi adik
seperguruan kami!"
Sekarang Banggala baru mengerti jalan pikiran rekannya.
Dia pun ikut buka mulut, perdengarkan ucapan yang tak kalah
lantang. "Anjing kecil! Orang seperti kau berani mengganggu adik
seperguruan kami! Sungguh tak tahu malu!"
Pada saat yang bersamaan dengan terkatupnya mulut
Benggala,Suta melangkah lebar-lebar menghampiri Aji.
Banggala mengikuti tindakan rekannya dengan sikap tak kalah
garang. Sedangkan Pendekar 108, yang semula belum yakin
kalau dirinya yang dimaksud, sekarang baru mengerti kalau
pemuda-pemuda berpakaian biru itu marah-marah padanya.
"Apakah perempuan berpakaian merah itu yang mereka
maksudkan sebagai adik seperguruan mereka"! Bila benar,
kapan aku mengganggunya"! Ataukah..., mereka telah salah
paham dan salah mengenali orang"!" racau Aji dalam diam
seraya tegak di tempatnya semula dengan pandangan tertuju
pada Suta dan Benggala.
"Apa yang kalian maksudkan"! Aku masih belum mengerti!
Ataukah kailan telah salah mengenali orang," kata Aji,
sekenanya. "Kami tak salah paham apalagi sampai keliru mengenali
orang. Jelas-jelas kami lihat kau telah berani bersikap kurang
ajar pada Kumala Sari. Adik seperguruan kami, yaitu wanita
berpakaian merah muda."
"Begitukah"l" Pendekar 108 yang mulai jengkel mendapat
perlakukan tak sopan, memberikan tanggapan seenaknya.
Nadanya pun, menantang. "Lalu..., kalian mau apa"!"
Suta mengepalkan jari-jari tangannya sehingga terdengar
bunyi bergemeretakan nyaring. Dadanya pun dibusungkan
ketika bicara. Tapi, karena tubuhnya yang kurus tetap saja
dadanya tak membusung.
"Hendak memberikan pelajaran kepadamu, Bocah Tak Tahu
Diri! Agar lain kali kau tak mengulangi kekurangajaranmu!"
Aji cengar-cengir seraya usap-usap ujung hidungnya.
"Orang-orang seperti kalian hendak memberikan pelajaran
padaku"!" tanyanya dengan nada meremehkan.
Jawaban Pendekar 108 membuat dua pemuda berpakaian
biru itu murka bukan kepalang.
Mereka merasa diremehkan. Hampir berbareng keduanya
meluruk ke arah Pendekar Mata Keranjang. Seketika itu pula,
berpasang-pasang mata yang sejak terjadinya ketegangan
antara dua pemuda berbaju biru dan Aji, membagi perhatian
pada mereka, sekarang semakin perhatikan mereka. Tentu
saja dengan tidak meninggalkan perhatian pada danau dan
bulan di langit.
*=dw=* LIMA SEMENTARA itu, Suta dan Benggala telah mengirimkan
serangan pada Aji. Gerakan mereka cepat, kuat, dan teratur.
Di samping itu pemuda-pemuda baju biru ini mampu
melakukan kerja sama yang baik. Mereka tidak kompromi lagi
sebelumnya. Tapi masing-masing pihak kirimkan serangan
dengan sasaran yang berbeda.
Suta melompat ke atas, kemudian menukik turun ke arah
Aji seperti layaknya seekor garuda menyambar mangsanya.
Pemuda tinggi kurus ini mengirimkan serangan berupa
cengkeraman pada ubun-ubun dan pelipis Pendekar 108. Dua
serangan yang berbahaya dan mematikan.
Sedangkan Banggala menggulingkan tubuhnya ke depan
mendekati Pendekar Mata Keranjang. Ketika telah berada
dekat si pemuda, dia bangkit seraya melancarkan tusukan jari
tangan terbuka ke arah ulu hati dan pusar.
Aji mendapat serangan berbarengan dari atas dan bawah.
Serangan-serangan
mematikan yang dapat mengirim nyawanya ke neraka. Tapi, Pendekar Mata Keranjang tak
menjadi gugup karenanya. Dia melempar tubuh ke belakang
dan bersalto beberapa kali untuk menjauhkan diri.
Aji berhasil memupuskan serangan lawan-lawannya. Hal ini
membuat Suta dan Banggala semakin bling-satan. Kian kalap.
Karena tak menyangka kalau lawan yang mereka serang, tak
selemah seperti yang diperkirakan.
Walaupun begitu, Suta dan Banggala tak menjadi putus
asa. Malah sebaliknya, mereka semakin ganas menyerang.
Dengan kerja sama seperti sebelumnya. Namun, hasil yang
mereka peroleh tak beda jauh. Aji mampu mengandaskan
serangan-serangan mereka tanpa kesulitan sama sekali.
Pemuda murid Wong Agung memang bermaksud untuk
melampiaskan rasa jengkelnya akibat perlakuan Suta dan
Banggala itu. Maka, selama beberapa jurus lamanya, pemuda
berambut dikuncir ekor kuda itu tak memberikan perlawanan
sama sekali. Dia mengelak ke sana kemari untuk
mempermainkan lawan-lawannya.
Banggala dan Suta semakin kalap ketika serangan-
serangan yang mereka lancarkan terus-menerus menghan tam
tempat kosong. Mereka seperti menyerang bayangan mereka
sendiri. Kenyataan yang mereka terima ini, membuat dada
Kemelut Kerajaan Mancu 2 Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung Naga Sakti Sungai Kuning 8
^