Pencarian

Peti Bertuah 2

Dewa Arak 69 Peti Bertuah Bagian 2


Kekhawatiran kalau pemilik perahu yang hadir itu mempunyai
maksud sama, kakek kurus itu semakin mempercep at laju berenangnya. Dan
ternyata, guru Tungga Dewi ini memiliki kemampuan renang luar bi asa, tak kalah
dengan seekor ikan hiu. Tubuhnya begitu gesit menyibak permukaan air laut.
Kreppp! Begitu peti hitam berukir indah telah terpegang di tangan, secepat
kilat kakek kurus laksana tengkorak itu kembali! Berenang dengan cepat menuju
perahu yang ditinggalkan
"Keparat! Pencuri Hina! Jang an lari kau...!"
Sebuah seruan keras langsung terdengar ketika guru Tungga Dewi
itu berenang secara cep at menuju perahu tempat muridnya berada. Dan sesaat
kemudian, dari atas perahu-perahu yang baru tiba, meluncur tiga sosok tubuh yang
langsung terjun ke dalam permukaan air laut.
Semula, kakek kurus laksana tengkorak tidak ambit peduli. Bahkan
berkes an meremehkan, ketika melihat tiga sosok itu mengejarnya dengan beren
ang. Namun keterkejutan langsung muncul, ketika melihat tiga sosok itu memiliki
kemampuan renang yang mengejutkan!
Kakek kurus laksana tengkorak menggerutukk an rahang ketika
melihat jarak antara dirinya dengan tiga orang pengejarnya semakin dekat.
Hatinya merasa penasaran diyakini melihat keny ataan ini. Padahal ilmu renangny
a tidak akan kal ah dibanding tiga orang pengejarnya. Tapi saat ini, dia berad a
dalam keadaan tidak menguntungkan. Karena s ebelah tang annya digunakan untuk
memegang peri hitam yang cukup besar, dengan panjang kurang lebih dari satu
tombak. Sedangkan leb arnya kurang lebih setengah tombak. Dengan sebelah tangan
yang hampir tidak berguna, kecepatan
luncurannya j adi merosot jauh. Tak heran kalau tiga sosok pengej ar yang
memiliki ilmu renang mengagumkan itu, mampu mengejarnya!
4 Ketika jarak para peng ejarny a semakin dek at, kakek kurus laks ana tengkorak
itu tahu kalau tak akan lama lagi akan tersusul. Dan dia tidak menginginkan hal
itu terjadi. Maka....
"Dewi...! Tangkap ini...!"
Seiring seruan itu, guru Tungga Dewi ini mengayunkan tangan yang
memegang peti ke arah muridnya yang b erad a di perahu dengan p engerahan tenaga
dalam. Tappp! Setelah beberapa saat peti hitam itu melayang-layang di angkas a,
dengan pengerahan ten aga dalam, kedua tangan Tungga Dewi berhasil
menangkapny a. Pada saat yang bersamaan, kakek kurus laksana tengkorak berbalik
menghadapi para pengejarnya.
"Hey...!"
Kakek kurus laksan a tengkorak ini berseru kaget ketika salah
seorang pengej ar menjauhinya. Dan orang itu langsung berenang cepat menuju
perahu Tungga Dewi. Kakek kurus ini berusaha menghadang, tapi maksudnya
dihalangi dua sosok pengejar lainnya.
"Dewi...! Cepat pergi ke pantai...!" seru kakek itu sambil menghentakkan kedu a
tangannya yang terk epal ke arah dua pengejarnya yang menghadang maksudnya. Dua
kali kedua tangan itu dihentakkan ke
arah dua lawannya, maka seketika terdeng ar bunyi berkesiutan nyaring yang
diikuti beberapa tetes air menuju sasaran. Kakek ini memang tengah
melepaskan pukulan jarak jauh.
Pyarrr! Blarrr!
Salah seorang pengejar rupanya tidak bersiap dalam menghadapi
serang an. Namun dia segera menyelam, sehingga pukulan jarak jauh itu menghantam
permukaan air. Seketika benda-benda cair itu pun bermuncratan ke udara. Sementara sosok yang satu lagi menangkis serangan itu
dengan pukulan jarak jauh.
Blarrr...! Udara langsung berget ar hebat, akibat benturan dua pukulan jarak
jauh. Tubuh kedua belah pihak pun terjengkang k e belak ang, dan agak terbenam
ke dalam air. Namun kakek kurus itu lebih beruntung. Dengan mudah, kekuatan yang
membu at tubuhnya terlempar, berhasil dipatahk an.
Lalu, dia segera menyel am dan mendekati kedua p engejarnya. Dan kini pertarung
an pun berlangsung semakin sengit.
Sementara itu, Tungga Dewi benar-benar dipaksa mengerahkan
seluruh tenaga d alamnya untuk memacu laju perahunya secepat mungkin.
Untungnya, perahu itu sekarang dikemudikan pada tempat yang searah
dengan arus angin dan g elombang laut. Sehingga, kayuhan tenag anya
mendapat tambahan kekuatan yang tidak sedikit. Namun, pengejarnya
benar-benar seo rang perenang luar biasa! Tubuhnya laksana ikan, cepat dan
lincah bukan kepalang menyelinap di celah-celah gelombang air.
Tungga Dewi agak jadi kalap ketika melihat jaraknya dengan orang
yang mengejarny a semakin dekat. Memang, kecep atan berenang orang itu jauh
lebih cepat daripada laju perahu. Untungnya pantai sudah tidak begitu jauh.
Sosok pengejar Tungga Dewi menyad ari kead aan nya. Maka ketika
timbul di dalam air, kedua tangannya langsung dihend akkan mel ancarkan pukulan
jarak jauh! Tungga Dewi sejak tadi memang bersikap waspada. Dan dia juga
mendengar bunyi mengaung dari belakangny a. Dia tahu, orang itu telah
mengirimkan pukulan jarak jauh yang memiliki kekuatan tinggi. Maka
segera diambil keputusan cepat, setelah melihat pantai sudah tidak jauh lagi.
Begitu pukulan jarak jauh hampir menghantam perahu, tubuhnya langsung melesat ke
atas dan berputaran beberapa kali.
Brakkk! Perahu kecil itu langsung hancur berantakan, ketika pukulan jarak
jauh pengejar Tungga Dewi telak menghantamnya. Tapi, Tungga Dewi
sendiri sudah mendarat mantap di pasir pantai.
Tapi belum sempat Tungga Dewi berbuat sesuatu, mendadak
terdengar bunyi berdesing nyaring. Tungga Dewi kaget bukan kepalang.
Namun di saat yang amat gawat itu, dia masih sempat menyelamatkan
nyawa. Buru-buru kakinya digeser ke samping.
Takkk! "Akh...!"
Tungga Dewi terpekik kaget ketika sebatang pisau merah darah
yang meluncur ke arahnya, menghantam peti yang berada di atas kepalany a.
Keras bukan kepalang, sehingga peti itu sampai terlepas dari pegangan dan
terbawa melayang ke belakang. Lalu, peti itu meluncur, jatuh berdebuk keras di
pasir. Tungga Dewi tidak mau membiarkan peti jatuh ke tangan
pengejarny a yang diyakini telah melep askan pisau mengan camny a. Maka, buru-
buru tubuhnya meluruk untuk mengambil peti yang sekarang telah
tergolek di tanah.
Lagi-lagi Tungga Dewi harus membatalk an maksudnya. Karena
sebelum berhasil mencapai tujuan, beberap a benda berkilat telah meluncur
memotong jalannya. Apabila Tungga Dewi nekat meneruskan maksudnya,
pasti benda-benda berkilat yang terdiri dan beberap a batang pisau merah darah
itu lebih dulu menembus tubuhnya. Maka mau tidak mau g erak annya dihentikan.
Dan seketika kakinya melangkah ke belakang.
Sementara itu sesosok bayangan telah melesat ke arah peti yang
masih tergolek di pasir pantai. Dan Tungga Dewi pun tidak membiarkannya.
Langsung diserangnya sosok bayangan yang tak lain pengeja-nya. Maka kini kedua
orang ini terlibat dalam pertarungan sengit
Maka kini di tempat itu terjadi dua kancah pertarung an. Hanya saja, yang satu
berada di laut. Dan ternyata baik pertarung an antara Tungga Dewi maupun kakek
kurus laksana tengkorak, berlangsung seimbang.
Kakek guru Tungga Dewi itu sebenarnya memiliki kepandaian lebih
tinggi. Namun, karena dikeroyok, pertarungan jadi berjalan imbang. Namun,
tingkat kepandaian k edua lawannya tidak setingkat. Yang b erkulit hijau
memiliki kemampuan di bawah berkulit kuning.
Memang tiga orang pengej ar peti hitam mengkilat itu memiliki
warna kulit aneh, tidak seperti umumnya manusia. Bahkan lawan yang
dihadapi Tungga Dewi memiliki warna kulit merah!
Pertarungan y ang berlangsung di laut benar-ben ar membu at tenaga
terkuras d an jantung berdet ak lebih cep at. Beberap a kali di saat tengah
sibuk-sibuknya, muncul gelombang setinggi rumah yang membuat tubuh tiga orang
sakti itu terbenam dan terbawa arus air beberap a saat. Hanya berkat tingginya
kepandaian merekalah y ang membuat selembar nyawa mereka
selamat. Sementara itu pertarung an yang berlangsung antara Tungga Dewi
melawan orang berkulit merah, berlangsung seru.
Apalagi, seperti kawan-k awannya, wajah dan sikapnya kas ar. Laki-laki berbaju rompi dan celan a
pendek abu-abu itu, memiliki ilmu-ilmu aneh, tapi dahsyat. Dan Tungga Dewi pun
harus berjuang keras untuk menghadapinya.
Yang lebih menggiriskan lawan Tungga Dewi ini memiliki senjata
mengerikan ! Sebuah belincong. Namun Tungga Dewi juga menggunakan
senjata yang tidak kalah anehnya, yakni sebatang dayung dari besi baja!
Bunyi mengaung selalu mengiringi ayunan dayung yang berat itu.
Cringngng! Untuk yang kesekian kalinya, benturan antara senjata berat itu
terjadi. Dan akibatnya Tungga Dewi kontan meny eringai. Tangannya terasa
bergetar hebat dan terasa agak nyeri. Tungga Dewi sadar, tenaga dalam lelaki
berkulit merah ini sedikit lebih besar. Untungnya, gadis berkulit kuning ini
memiliki gerakan lebih cepat. Dan deng an kelebih an ilmu meringankan tubuh
mili-nyalah membuat pertarungan seimbang.
Di lain pihak, karena senantias a dipukul gelombang menuju ke
pantai, pertarungan yang terjadi di laut pun mulai bergeser ke pantai. Apalagi
kakek kurus laksana tengkorak yang merasa khawatir akan nasib muridnya ini juga
berusaha k eras untuk membuat p ertarungan berlangsung di dekat Tungga Dewi. Dan
setelah berlangsung beberapa lam a, pertarung an kini benar-b enar tiba di
pantai! *** "Ha ha ha...!"
Di saat dua kancah pertarungan tengah berlang sung sengit, meledak
tawa keras membahan a, sarat dengan rasa gembira. Tapi, ternyata di
dalamnya terkandung sesuatu yang mengerikan! Seakan-akan tawa itu keluar dari
mulut makhluk halus, sehingga terdengar begitu aneh!
Bagai ada kata sepakat sebelumnya, pertarungan yang tengah
berlangsung kontan terhenti. Dan mereka sama-sama menoleh ke arah asal suara
tawa. Bukan hanya pengaruh menyeramkan yang menyeb ar dari suara tawa, tapi juga
karena getaran suara itu pula yang membuat seluruh tenaga dalam mereka lenyap.
Bahkan tulang-tulang dan otot-otot tubuh mereka terasa lumpuh, bagaikan
dilolosi! Beberap a tombak dari tempat mereka berdiri, tampak seorang
pemuda berwajah tampan berpak aian coklat. Dia tengah berdiri dengan kedua
tangan berkacak pinggang. Tampak angkuh sekali. Wajah tampannya semakin menyolok
dengan adanya sebaris bulu-bulu tipis halus di bawah hidungnya. Ketampanannya
semakin memikat dengan tubuhnya yang kekar, berisi, dan padat!
Seharusnya, Tungga Dewi, gurunya, dan tiga lelaki berkulit aneh
tidak merasa takut sama sekali terhadap seorang secakap pemuda berkumis tipis
itu. Tapi kenyataan mengatakan lain. Seketika bulu tengkuk mereka semua terasa
meremang. Entah kenapa, mereka semua tidak tahu. Yang jelas, ada sorot
mengerikan yang terpancar dari pemuda berkumis tipis itu. Tidak hanya dari
sepasang m atanya y ang menco rong kemerahan d an membiaskan sinar aneh, tapi
juga pancaran aneh p ada sekujur tubuhny a. Sehingga menimbulkan kesan
menyeramkan. "Ha ha ha...!" Pemuda berkumis tipis kembali tertawa bergel ak.
"Mengapa kalian semu a terbengong bengong"! Ayo! Teruskan pertarungan kalian!"
Suara itu membuat lima orang yang tadi bertarung sadar dari
keterpaku annya. Merek a saling berpandang sejenak, dengan wajah merah padam.
Jelas perasaan mereka tersinggung. Memang, ucapan pemuda
berku mis tipis itu kelewatan!
"Begitukah anggapanmu, Pemuda Sombong"!" dengus kakek kurus laksana tengkorak
ini "Sekarang, coba sambut serang anku!"
Kakek kurus guru Tungga Dewi ini langsung menghentakkan kedua
tangannya yang terbuka ke depan secara berb areng an. Maka seketika angin keras
berhembus ke arah p emuda berkumis tipis. Kekuatan kakek ini
memang telah pulih kembali. Demikian juga Tungga Dewi dan tiga lelaki yang
memburu peti. Pemuda berkumis tipis menyeringai. Sebuah seringai mengandung
sesuatu yang mengerikan. Kemudian, tangan kanannya dilonjorkan ke depan, dan
digoyang-goyangkan. Lalu....
Blarrr! Seketika terdeng ar led akan k eras y ang disusul terpelantingnya
tubuh kurus itu ke belakang dan jatuh terduduk di tanah. Dadanya kontan terasa
ses ak bukan kepalang. Bahkan sakit yang amat sangat meland a kedua tangannya,
Kakek kurus guru Tungga Dewi ini bangkit dengan pand angan
nanar. Dengan hati kaget dia melihat pemuda berkumis tipis itu tidak bergeming
sama sekali. Dan ini membuatnya terkejut setengah mati. Selama malang melintang
belasan tahun, dalam dunia persilatan, belum pernah dia mengalami kejadian
seperti ini! Sungguh sukar dipercaya ad a orang semuda itu, mampu membuatnya
terbanting dalam adu pukulan jarak jauh. Bahkan pemuda itu tidak bergeming sama
sekali. Padahal, terlihat jelas kalau pemuda berkumis tipis itu seperti tidak
mengerahk an tenaga sama sekali. Andaikata mengerahk an pun, hanya sekadarny a!
"Ha ha ha...! Bagaimana, Nelayan Tenaga Gajah"! Masih mau
melanjutkan pertarungan"!" ejek p emuda berkumis tipis sambil menatap kakek
kurus laksana tengkorak dengan pandang mata penuh ejek an.
"Aku belum kalah!" jawab kakek kurus laksana tengkorak yang berjuluk Nelayan
Tenaga Gajah, setengah berteriak.
Julukan itu melekat karena tinggalnya seb agian besar memang di
air. Gerakanny a pun bagai ikan saja. Dan sekarang tokoh yang merupakan salah
satu datuk besar persilatan golongan putih ini marah bukan kepalang mendapat
ejek an seperti itu. Dan kemarahan yang am at sangat membuatnya menerjang pemuda
berkumis tipis dengan ilmu andalan. Tubuhnya langsung menggelinding ke tanah,
dan langsung melenting seraya mengirimkan
serang an dahsyat berupa pukulan kedua tang annya yang bertubi-tubi.
Namun pemuda berkumis tipis hanya tersenyum mengejek. Dengan
masih bersikap memandang remeh, tangan kanannya dijulurkan dengan
tapak menghadap ke depan, tepat ketika serangan Nelayan Tenaga Gajah hampir
menyentuh tubuhnya.
"Hukh!"
Nelayan Tenaga Gajah mengeluark an keluhan tertahan. Seranganny a tertahan seb elum mencap ai sasaran. Bahkan tubuhnya berb alik
kembali ke belakang, bagaikan membentur dinding yang tidak tampak.
Dengan keras datuk golongan putih ini jatuh di tanah dan terguling-guling ke
belakang. "He he he...!" Pemuda berkumis tipis hanya tertawa tawa melihat papakanny a
membawa hasil. "Guru...!" seru Tungga Dewi penuh rasa kaget dan khawatir. Dan dengan rasa cemas
akan kesel ama-an gurunya, gadis berpakaian kuning ini menghambur ke arah
Nelayan Tenaga Gaj ah.
"He he he...!"
Sementara

Dewa Arak 69 Peti Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda berkumis tipis itu hanya tertawa terkekeh -kek eh. Sama sekali tidak dipedulikannya tiga lelaki berkulit warna-
warni yang menatap ke arahnya dengan sinar mata ngeri. Sebagai tokoh silat
berpengalaman, ketiga orang ini tahu kalau bukan tandingan pemuda berkumis tipis
yang demikian sakti! Melihat betapa mudahnya
Nelayan Tenaga Gaj ah dirobohkan, sudah bisa diperikirakan kalau mereka pun akan
dapat dibuat serupa.
Sayangnya, tiga lelaki berkulit aneh ini tidak sigap segera bertindak.
Merek a baru merasa cemas ketika melihat tawa pemuda berkumis tipis
mendadak terhenti, dan sekarang menat ap ke arah merek a dengan sorot mata penuh
ancaman. "Kalian membuat perutku mual!"
Pemuda berkumis tipis lalu melambaikan tangannya dengan
gerak an terlihat perlahan. Namun, mendadak saja tubuh ketiga lelaki berkulit
aneh itu tertarik ke arah pemuda berpakaian coklat tanpa mampu menahan.
Karuan saja hal ini membuat tiga lelaki itu kaget bukan kepalang.
Dan sebelum tiga lelaki berkulit aneh ini sempat bertindak sesuatu,
tangan pemuda b erkumis tipis bergerak m engibas. Maka sek etika tubuh ketiga
lelaki yang sial itu terlempar ke belakang, melayang bag aikan sehelai daun
kering yang terhembus angin keras! Rasa ngeri membuat mereka
mengeluark an jeritan tertahan.
Di saat tubuh tiga lelaki berkulit warna-warni itu melayang, tangan
pemuda berkumis tipis ini kembali bergerak melambai. Kali ini, giliran tubuh
Tungga Dewi tertarik ke arahnya! Karu an saja, gadis yang telah tiba di dekat
gurunya itu terkejut bukan kepalang!
"Guru...! Tolong...!" teriak Tungga Dewi, keras.
Nelayan Tenaga Gajah yang baru saja berhasil bangkit menggeram
keras melihat keadaan muridnya.
Maka tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi, Nelayan
Tenaga Gajah melompat menerkam pemuda berkumis tipis itu. Tindakannya mirip
seekor garuda yang hendak menerkam mangsanya.
Tapi, lagi-lagi maksud kakek kurus laksana tengkorak ini kandas.
Hanya dengan mengibaskan tangan kiri, tanpa menurunkan tangan kanan
yang tengah melamb ai-lambai menarik tubuh Tungga Dewi, pemuda
berkumis tipis ini telah membuat tubuh Nelayan Tenaga Gajah kemb ali terlempar
ke b elakang. Bahkan kali ini lebih jauh, laksana sehelai daun kering
diterbangkan angin.
Tappp! Tubuh Tungga Dewi telah berhasil ditangkap pemuda berkumis
tipis. Tanpa menunggu lebih lama lagi, tubuh gadis berpakaian kuning diletakkan
di bahu kanannya. Sama sekali tidak dipedulikan jeritan Tungga Dewi.
"Lepaskan aku, Manusia Terkutuk...! Lepaskan...! Tolooong...!
Guru..,! Tolong aku...!"
Rontaan Tungga Dewi langsung mengendur ketika tangan lari
pemuda berkumis tipis ini menotok bahu kanannya. Dan gadis ini hanya dapat
berteriak minta tolong. Tapi, siapa yang akan menolong Tungga Dewi"
Sementara, tubuh gurunya sendiri Nelayan Tenaga Gajah tengah melayang-lay ang
di udara, tanpa mampu berbuat sesuatu untuk menghentikannya.
*** "Tolooong...! Lepaskan aku...! Manusia Keji...! Manusia Jahat...!
Lepaskan aku...!"
Sepanjang perjal anan saat dibawa lari pemud a berkumis tipis,
Tungga Dewi tak henti-hentinya berteriak. Padahal, sekarang dia telah berad a jauh
dari tempat semula.
"He he he...! Berteriaklah, Manis. Ingin kulihat, siapa yang dapat membebaskanmu
dari tanganku, Karpala...! He he he...!" sambut pemuda berkumis tipis yang
ternyata Karp ala ini, penuh kegembiraan.
"Aku yang akan membebaskanny a...!" Dan
mendadak saja terdengar suara keras menggelegar. Belum lagi gema suara itu lenyap, mendadak
sesosok bayang an berk elebat. Sekejap kemudian, di depan
pemuda bern ama Karpal a berdiri teg ak seorang pemuda berambut putih keperakan.
Sikap pemuda yang tak lain Arya alis Dewa Arak ini terlihat angker.
"He he he...!" Pemuda berkumis tipis tertawa bergelak. Kemudian tawanya berh
enti mendadak sambil mendengus. "Kau..."! Kau yang akan membebaskan nya"!"
"Benar! Aku yang akan membeb askannya!" tandas Ary a, tegas.
"Ternyata kau benar-benar manusia terkutuk! Menyesal dulu aku telah menolongmu
dari tangan tiga orang pengejarmu! Kau terny ata orang yang memiliki watak
hina!" "He he he...!"
Karpal a hanya tertawa terkekeh, kemudian menatap Arya penuh
selidik dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sepasang matanya yang
berwarna merah darah tampak agak menyipit. Dahinya pun berkernyit dalam.
"Jadi..., rupanya kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak..."! Tidak
berlebihan julukan itu! Kau memang memiliki kepandaian tinggi, Arya
Buana! Namamu, Arya Buana, kan"! Dan gurumu..., Ki Gering Langit"!
Ayahmu, Tri Buana. Dan ibumu, Sani..."! Kau mempunyai kekasih putri
angkat Raja Nalanda di Kerajaan Bojong Gading. Melati kan, namanya"
Tapi, aku tahu kalau nama itu bukan nama aslinya. Bukankah dia bernama Seruni?"
Sepasang mata Arya kontan terbelalak leb ar. Mulutnya terbuka.
Andaikata saat itu ada lalat, mungkin tanpa sadar pemuda b erambut putih
keperakan ini akan menelannya! Untuk pertama kalinya, Arya tidak bisa
menyembunyikan gejolak perasaan yang mel anda hati, sehingga tampak
pada wajahny a.
"Kau..., siapa kau..."! Dan dari mana kau tahu semua itu..."!" desak Arya dengan
suara terb ata-b ata. Perasaan kaget telah membuat suara pemuda beram but putih
keperakan ini bergetar.
Wajar saja kalau Arya terk ejut. Kalau orang tahu siapa dirinya,
gurunya, dan ayahnya, dia tidak akan merasa heran. Karen a hampir semua tokoh
persilatan yang telah cukup mengenalnya, tahu mengenai hal itu. Tapi asal-usul
Melati, siapa Melati sebenarny a, dan nama ibunya Arya, tidak seorang pun yang
tahu kecuali beberap a orang. Itu pun hanya orang-orang terdekat. Tapi, pemuda
berkumis tipis ini ternyata mengetahuinya. Siapa sebenarnya pemuda ini" Paling
tidak, dari mana dia tahu akan hal itu"!
"Kau kaget, Dewa Arak..."!" tanya Karpala bern ada mengejek "Kau akan lebih
terkejut lagi kalau aku menyebutk an secara jel as, siapa guru Melati. Bahkan
asal-usulmu"!"
5 "Kau.... Kau pasti mengada-ad a...!" seru Arya, hampir berteriak karen a peras
aan kag et dan tidak percaya.
"He he he...! Karp ala tidak pern ah omong besar t anpa bukti, Dewa Arak! Kal au
ingin bukti, baik segera kujelaskan! Guru Melati adalah Ki Julaga, dan tewas di
tangan Ruksamu rka. Sedangkan k akek gurumu, Eyang Tapakjati, tewas di tangan
Tiga Macan Lembah Neraka di Gunung Jawi. Kau sendiri merupakan keturun an
terakhir dari Keraj aan Pulau Es. Kau cucu dari Sangga Buana. Sedangkan ayahmu,
Tri Buana, tewas di tangan Siluman
Tengkorak Putih! He he he...! Apa lagi yang ingin kau ketahui, Dewa Arak"!
He he he...!"
"Ti... ti... tidak mungkin...! Tidak mungkin...! Mustahil...! Dari mana kau tahu
semua itu, Keparat! Dari mana kau mengorek keterangan
itu"!" desak Arya, dengan suara makin bergetar.
Beberap a kali pemuda berambut putih keperakan itu hanya
mengulang-ulang perk ataanny a. Dia terlampau kag et melihat kenyataan betapa
Karpala tahu secara jelas semua riwayat keluargany a. Bahkan juga Melati.
Mungkin ada orang yang memberitahukannya. Kalau tidak demikian, dari mana"
"Aku..." Dari mana aku tahu semua itu..." Ha ha ha... Dewa Arak,
bagi Karpala tidak ada perkara yang tertutup. Sekali lihat seseorang, aku tahu
riwayat hidupnya! He he he...!" pemuda berpak aian coklat itu tertawa bergelak.
Sebuah tawa kemen angan melihat Arya dicek am kebingungan.
Cukup keras Karpala meng atakanny a. Tapi, bagi Arya suara itu
bagaikan berasal dari jauh hingga terdeng ar samar-sam ar sekali. Terlalu halus.
Bahkan sama sekali tidak tertangk ap otaknya. Ary a bag ai kehilangan akal
melihat Karpala berhasil menelanjangi masa lalunya.
"Hey...! Pemuda berambut putih...! Bukankah kau ingin menolongku..."! Mengapa malah termenung seperti ayam tert elen telurnya
sendiri..."!" tiba-tiba Tungga Dewi berteriak keras, membuat Arya tersadar dari
ketermenung annya.
"Lepaskan gadis itu, Karpala! Kau tidak lebih dari seorang pengecut yang hanya
berani menghadapi seorang wanita tidak berday a! Lep askan dia.
Dan, kita bertarung secara jantan! Ingin kubuktikan keheb atan tokoh yang telah
bersesumbar demikian heb at!" tantang Arya, menyanjung sekaligus membanting
"He he he...!" Karpala tertawa berg elak. "Kau cerdik, Dewa Arak.
Kau pura-pura memuji dan mengangkat-angkat kebangg aan pada diriku
untuk mengambil keuntungan. Aku tahu, kau bermain-main akal-akal an.
Tapi, sudah telanjur! Untuk membuktikan kalau aku bukan orang yang hanya berani
terh adap wanita, dan juga untuk menghadapi tantang anmu secara jantan, biarlah
aku rela ditipu!"
Karpal a mengulurkan tangan, menepuk-nepuk tubuh Tungga Dewi.
Kelihatan sembarangan saja, tapi gadis berpakaian kuning itu merasakan tenagany
a kembali pulih. Jalan darahnya mengalir lancar, setelah totokan atas dirinya
telah punah! Kelegaan hati Tungga Dewi semakin berkobar ketika Karpala
melemparkan tubuhnya, untuk memenuhi janji pada Dewa Arak. Tungga
Dewi yang telah bebas dari totokan, tidak ingin tubuhnya terbanting di tanah.
Maka dengan menggunak an kelihaiannya, kedua kakinya mendarat di tanah.
Tanpa diberi penntah, Tungga Dewi menyingkir. Gadis ini telah bisa
mengetahui kalau pertarung an antara kedu a tokoh akan berlangsung. Dia tidak
ingin terkena serangan nyasar.
Tungga Dewi sendiri telah lama mendengar nama besar Dewa Arak
yang menggemparkan. Bahkan menurut gurunya, kepandaian pemuda itu
lebih tinggi daripada gurunya. Maka gadis berpak aian kuning ini bisa
membayangkan kalau pertarung an akan berjalan lebih menarik daripada ketika
pertarung an antara Karp ala menghadapi gurunya.
Sementara, Dewa Arak langsung bersikap waspada, ketika melihat
Karpal a telah membebaskan Tungga Dewi. Pemuda berambut putih
keperakan ini langsung terkejut, saat melihat gerakan Karpal a yang jauh berbed
a dengan s aat Ary a menyel amatkannya d ari kepung an tiga pemuda murid
Perguruan Pedang Halilintar! Pandang mata Dewa Arak yang tajam segera dapat
mengetahui kalau pemud a berkumis tipis yang berdiri di hadapanny a memiliki
kepandaian tinggi. Meskipun demikian, Dewa Arak belum yakin kalau belum
membuktikannya sendiri
"Lihat serangan...!"
Arya memperingatkan untuk menunjukkan kalau p ertarung an telah
siap dimulai. Sesaat kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini telah
melancarkan tusukan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar,
menggunakan ujung-ujung jarinya.
"Hmh...!"
Pemuda berkumis tipis mendengus dengan tarik an wajah d an sinar
mata memancarkan kemarahan. Dan seketika tangan kananny a dikibaskan.
Akibatnya, tubuh Dewa Arak terjengk ang ke belakang, seperti menabrak sebuah
dinding kasatmata. Hanya berkat kemampuanny a yang tinggi,
kekuatan yang membuat tubuhnya membalik berhasil dipatahkan.
Dewa Arak menatap wajah Karpala dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Pendekar muda ini tidak tergesa-g esa melakukan serangan susulan.
Sebagai tokoh besar dunia persilatan, dia tahu ada hal-h al aneh ters embunyi di
sini. Memang agaknya Karpala b ertindak tidak jantan. Pemuda berkumis tipis itu
tidak menghadapi serangannya secara langsung, tapi menggunakan ilmu gaib! Dan
karena pernah mengalaminya sendiri, Arya jadi langsung mengetahuinya. (Untuk
jelasnya silakan baca seri al Dewa Arak dalam
episode: "Penganut Ilmu Hitam").
"Rupanya kau mahir menggunakan ilmu-ilmu gaib, Karpala!" tebak Arya dengan suara
serak Diam-diam pemuda berpakaian ungu ini merasa bersyukur kalau
tadi tidak menggunakan tenaga sepenuhnya dalam melancarkan serangan
pertama. Dan itu didasari oleh ketidakyakinanny a kalau pemuda berkumis tipis
ini memiliki kepandaian tinggi. Bahkan, dia hanya menggunakan jurus yang ada
dalam ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'!
"Kau ingin tahu lebih banyak, Dewa Arak!" balas Karp ala. "Akan kutunjukkan yang
lebih banyak. Tapi sayang, kemampuanku masih terbatas.
Tapi, tak lama lagi kau akan melihat kemampuanku yang sebenarnya! Dan kau akan
terkejut karenanya. Karena, tidak ada seorang pun yang akan dapat
mengalahkanku ! Apalagi, seorang tokoh hijau sepertimu! Ha ha ha...! Dan sedikit
tambahan, kau jangan merasa bangga dengan bisa menebak kalau aku menggunakan
kemampuan gaib, Dewa Arak. Itu hanya sebagian kecil saja!
Lihat...! Aku menyerangmu...!"
Kini sepasang mata Tungga Dewi pun terbelalak leb ar ketika
melihat pemandangan yang terlihat di depannya. Tampak Dewa Arak tengah sibuk
sekali bergerak ke sana kemari. Beberapa kali, gerak annya seperti orang
menangkis ataupun meng elak. Tapi, tak jarang pula seperti orang tengah
melakukan s erang an. Yang membuat Tungga Dewi kaget adalah
karen a tidak ada lawan yang dihadapi Arya!
Karpal a sama sekali tidak melakukan serangan. Dia hanya berseru
keras seperti memberi peringatan, kalau sedang menyerang. Padahal, sejak tadi
hanya berdi ri diam di tempatnya. Bahkan, pemuda berkumis tipis itu sempat-
sempatnya mengedipk an sebelah mata pada Tungga Dewi sambil
menyeringai leb ar! Semen tara b eberapa tombak di dep annya, tampak Dewa Arak
yang tengah sibuk bertarung.
"He he he...! Apa yang tengah kau lakukan, Dewa Arak"! Siapa
yang kau hadapi"!"
Karpal a mengeluarkan seru an demikian, ketika Dewa Arak telah
bertarung hampir dua puluh jurus menghadapi lawan yang tak terlihat. Napas
pemuda berambut putih keperakan itu agak memburu karena, lawan semua yang
dihadapi mengajaknya bertarung cepat dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Ucap an Karp ala membuat lawan semu yang dihadapi Dewa Arak
mendadak leny ap. Maka seketika Dewa Arak mengh entikan perl awan annya dengan
mata t ampak terb elalak seb entar. Dia m elihat, Karpal a berdiri seenakny a
beberapa tombak darinya. Padahal, pemuda berkumis tipis itu tidak terlihat
berpindah dari tempatnya bertarung. Tapi ketika melihat wajah Karpala yang tidak
berpeluh seperti bayangan Karpala yang jadi lawannya langsung bisa disadari
kalau untuk k edua k alinya berh asil dipengaruhi ilmu gaib.


Dewa Arak 69 Peti Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua kali terkena pengaruh ilmu gaib Karpala, membuat Dewa Arak
mulai was-was. Dia tidak yakin akan d apat menandingi, apalagi mengalahkan pemuda berkumis tipis ini. Dan apabila kalah, itu berarti
keselamatan Tungga Dewi teran cam!
"Lebih baik kau pergi dari tempat ini, Nisanak. Dia terlalu lihai.
Bukan tidak mungkin aku akan kalah di tangannya. Mumpung itu belum
terjadi, lebih baik segera pergi tinggalkan tempat ini!"
Tungga Dewi hampir terlonjak kaget mendeng ar pering atan seperti
itu di telinganya. Dia tahu, suara itu milik Dewa Arak. Dari suara itu memang
telah dikenalnya sewaktu pemuda berambut putih keperakan ini terlibat percakap
an dengan Karp ala. Tapi, mungkinkah itu" Padahal, jelas-jelas terlihat kalau
bibir pemuda berp akaian ungu itu tidak bergerak sama s ekali.
Bukankah orang yang mengirimkan suara dari jauh, mulutnya akan
berkemak -kemik"! Tapi, mengapa Arya tidak sama sekali"
"Tunggu apa lagi, Nisanak"!" Kembali suara Dewa Arak mengaung di pinggir telinga
Tungga Dewi. "Apakah kau ingin tertangkap olehnya lagi" Ingat! Apabila itu
terjadi, aku tidak akan sanggup untuk membebaskanmu. Carilah kesempatan di saat
aku akan membuatnya sibuk!"
"Hih...!"
Tungga Dewi melihat Dewa Arak menghentakk an kedua tangannya
ke arah Karp ala. Meski jaraknya agak jauh, gadis berpakaian kuning ini merasak
an ada-ny a hembusan angin panas menyebar ke tempatnya berdiri.
Dan gadis ini jadi takjub bukan kepalang, melihat kedahsyatan serangan jarak
jauh Dewa Arak. Hanya saja, dia tidak tahu kalau sebenarnya Dewa Arak telah
menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', dalam jurus 'Pukulan
Belalang'! Dengan sikap tenang, Karpala menjulurkan tangan kananya ke
depan, sedikit lebih tinggi dari kepala. Kemudian, tangan itu digerakkan
mendatar ke kiri sejauh setengah tombak. Lalu, digerakkan ke bawah,
mendatar lagi k e kanan, dan n aik ke atas. Pemuda berkumis tipis ini seperti
tengah membuat empat persegi panjang di depan tubuhnya. Kemudian....
Blammm! Dewa Arak kontan terperanjat ketika melihat pukulan jarak jauhnya
meluncur kembali ke arahnya. Deru angin keras berhawa panas menyengat langsung
mendahului menyambar, sebelum serangan itu sendiri tiba. Ya!
Pukulan jarak jauh Dewa Arak berb alik seperti menghantam dinding karet yang
kasat mata! Dewa Arak telah tahu kedahsyatan pukulan jarak jauhnya, dan tentu
saja tidak ingin jadi korban. Maka Arya segera melompat ke atas, sehingga
pukulan jarak jauhnya y ang berbalik meluncu r lewat di bawah kakiny a, langsung
menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang dan hangus
seperti tersambar petir!
"He he he...! Sebuah ilmu pukulan jarak jauh yang hebat, Dewa
Arak! Akan berakibat menggiriskan. Bahkan menjadi pembicaraan hangat di dunia
persilatan, apalagi yang menj adi korban ad alah tuannya sendi ri!" ejek Karpal
a. Dewa Arak tersenyum pahit. Sama sekali tidak dipedulikannya
ejekan lawanny a, sungguhpun terasa panas hatinya.
"Kau telah meny erang s ebany ak dua kali, Dewa Arak. Tapi, aku baru sekali.
Maka aku masih mempunyai kesempatan untuk menyerangmu
sekali. Bersiaplah, Dewa Arak!"
Dewa Arak merasak an detak jantungnya memukul lebih cepat.
Hatinya terasa tegang bukan kepalang. Pemuda berambut putih keperakan ini sudah
bisa memperkirakan kedahsyatan serangan yang akan dikirimkan
Karpal a! Tapi belum juga pemuda berpakaian coklat itu menyerang....
Cring, cring, cring!
Mendadak terdengar bunyi bergem erincing nyaring. Tidak terlalu
keras. Tapi karena saat itu tengah dilingkupi kesunyian, bunyi itu jadi
terdengar jelas.
Dan Arya s ama sekali tidak mempedulikan bunyi itu. Perhatiannya
tengah terpusat pada serang an yang akan dilancark an Karpala. Dan memang, Dewa
Arak tidak berani berl aku sembrono terhad ap seorang lawan seperti Karpal a
yang diketahuinya banyak memiliki ilmu gaib.
Namun, tidak demikian halnya Karpal a. Begitu mendengar bunyi
berkerincingan tadi, wajahnya kontan berubah hebat. Dan Arya yang bermata tajam
langsung melihatnya. Ternyata wajah Karpala berubah pucat pasi!
Sinar matanya pun meliar, menampakkan kegelisahan yang sangat.
"Rupanya kau masih beruntung, Dewa Arak! Nyawamu tidak jadi
melayang hari ini! Aku masih mempunyai urusan yang jauh lebih penting daripada
ini!" Setelah berkata demikian, Karpala melesat meninggalkan tempat
itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah begitu jauh dan lama-
kelam aan lenyap ditelan keremangan hutan.
"Hhh...!"
Arya menghembuskan nap as antara lega dan kecewa. Di satu sisi
dia merasa berp antang untuk memaksa seorang lawan yang tidak mau
bertarung. Dan di sisi lain ada perasaan bersyukur di hati Arya, melihat Karpal
a pergi. Karen a Dewa Arak sendiri memang tidak yakin akan mampu menghadapi
tokoh yang menggiriskan itu.
*** "Mengapa kau masih di sini, Nisanak"! Apakah kau tidak tahu
betapa berbah ayany a" Kalau aku kalah, apalagi tewas oleh Karpala, kau akan
kembali menjadi tawanan!" tegur Arya, ketika melihat Tungga Dewi masih berdiri
di situ. "Aku bukan seorang pengecut yang tega meninggalkan penolongku
menghadapi bahay a sendirian! Ap abila kau mati, aku tidak ingin hidup!
Pantaskah aku melarikan diri, padahal orang yang menolongku berjuang mati-
matian! Bagi guruku, dia akan marah besar padaku !" sambut Tungga Dewi, mantap.
Perasaan mendongkol di hati Arya yang tadi sempat timbul meski
hanya sedikit, langsung menguap. Sikap Tungga Dewi yang ksatna itulah yang
menyebabkanny a demikian. Ternyata, Tungga Dewi adalah seorang
gadis yang tahu berterima kasih! Seorang gadis berjiwa ksatna yang sudah pasti
merupakan seorang murid tokoh besar persilatan!
"Kurasa tidak demikian, Nisanak. Aku tidak yakin kalau gurumu
akan marah. Sebagai seo rang tokoh besar, beliau pasti berpikir panjang.
Tidak ada gunanya terus melawan, kalau kenyataan musuh jauh lebih kuat.
Itu bukan pengecut namany a, Nisanak. Tapi, bijaksana! Justru kalau
melawan terus, akan meng akibatkan kem atian sia-sia!" kilah Ary a sambil
tersenyum lebar. Sikap Tungga Dewi yang keras hati, mengingatkannya akan sikap
Melati, kekasihnya.
"Namaku Tungga Dewi, Dewa Arak. Kurasa lebih baik kau panggil
namaku saja," pinta Tungga Dewi sambil menyebutkan namanya. "Dan..., dari mana
kau bisa tahu kalau guruku seorang tokoh besar"!"
"Melihat sikapmu, Ni... eh! Dewi. Kalau muridnya bersikap
demikian ksatria, tentu mempunyai seorang guru yang ksatria pula. Boleh kutahu
nama atau ju lukan beliau" Namaku sendiri, Arya. Ary a Buana. Jadi, kau tidak
perlu memanggilku Dewa Arak lagi."
"Nah! Begini kan lebih baik, Dewa... eh! Arya," celetuk Tungga Dewi gembira. "Oh
ya, guruku sering membicarakan dirimu dengan penuh kebanggaan. Beliau
mengagumimu. Bahkan beliau menyuruhku agar
bersikap sepertimu. O ya, beliau berjuluk Nelayan Tenaga Gajah."
"Ah...! Kiranya kau murid tokoh sakti yang pandai renang itu,
Dewi"!" desah Arya kag et
"Kau mengenal guruku, Arya?" tanya Tungga Dewi, gembira
melihat tanggapan pemuda berambut putih keperak an itu.
"Mengenalny a sih, tidak. Tapi, nama besar gurumu telah lama
kudengar. Bukankah beliau, merupak an salah satu di antara datuk-datuk dunia
persilatan waktu itu" Maksudku, puluhan tahun lalu" Kalau tidak salah, dua puluh
tahun yang lalu gurumu telah mengukir nama besar dalam dunia persilatan. Bahkan
sampai sekarang, julukannya masih berg aung. Beliau ditakuti dan disegani tokoh-
tokoh dunia persilatan, terutama dari golongan hitam," kilah Arya. "Julukan
beliau masih terkenal. Padahal, tokoh-tokoh besar dua puluh tahun yang lalu,
sebagian besar tidak terdeng ar n amanya lagi. Ng..., Guraksa dan Kuru San ca.
Mereka ad alah dua di antara
datuk-datuk yang telah tidak terdengar nam anya lagi."
"Guruku juga pernah b ercerita tentang dua tokoh itu, Arya. Tapi, menurut cerita
beliau, Guraksa dan Kuru Sanca adalah tokoh..., maksudku datuk golongan hitam,"
bantah Tungga Dewi, bermaksud memperbaiki.
"Apa yang dikatakan gurumu memang benar, Dewi. Aku juga
mendengarny a demikian," sahut Arya menganggukkan kepala.
Tapi, mendadak pemuda itu tersentak kag et, sehingga membuat
Tungga Dewi merasa heran karen anya. Dan sebelum, gadis berpakaian
kuning ini berkata apa-apa, Dewa Arak telah lebih dulu menatapnya.
"Mengapa aku demikian pelupa"!"
"Ada apa, Dewa Arak"!" tanya Tungga Dewi melihat sikap Arya, membuat gadis itu
lupa, sehingga menyapa Arya deng an julukan.
"Bunyi kerincingan itu," jawab
Arya sambil meng arahkan pandangan ke sekitarny a.
Tapi, di sekitar tempat itu tidak terlihat apa-apa. Bahkan bunyi
kerincingan itu sudah tidak terdengar lagi. Percakap an dengan Tungga Dewi
membuatnya tidak ingat akan bunyi kerincingan.
"Kau tadi mendengar bunyi itu, Dewi"!" tanya Dewa Arak.
Tungga Dewi mengangguk. "Memang kenapa, Arya?"
"Kau tidak tahu"!" tanya Arya setengah tidak percaya. "Bunyi kerincingan itulah
yang membuat Karpala melarikan diri! Dia takut pada bunyi kerincingan itu!"
"Ah..., begitukah"!" Tungga Dewi kaget
"Kalau begitu..., kita berpisah di sini, Dewi. Aku ingin mencari pemilik
kerincingan itu. Ingin kusingkap mengapa Karpala yang demikian sakti,
kelihatannya memendam rasa takut terhadap bunyi itu. Siapa gerangan tokoh yang
memakainya."
"Aku ikut, Arya," celetuk Tungga Dewi cepat.
"Tapi...," Arya mencoba menolak.
"Jangan khawatir, Arya!" selak Tungga Dewi. "Aku bisa menjadi diri! Percayalah.
Aku tidak akan merepotkanmu! Lagi pula, siapa tahu dalam perjalan anku bertemu
guruku. O, ya. Kau belum tahukan kenapa aku bisa ditangkap Karpal a"!"
Terpaksa Arya menggel eng.
"Kalau begitu, aku akan menceritakanny a sambil kita mencari
pemilik kerincingan itu. Bagaimana" Kalau kau tidak sudi melakukan
perialan an bersamaku sih tidak apa-ap a."
"Tapi, Dewi... Mungkin arah kita akan berlawan an. Dan...."
"Kau menempuh arah mana, Arya"!" selak Tungga Dewi, cepat.
Sama sekali tak dipedulikannya ucapan pemud a berp akaian ungu itu yang belum
selesai. "Utara...," jawab Arya, setelah tercenung sejenak
"Kalau begitu kita sama!" sambut Tungga Dewi, dengan wajah berseri. "Tentu saja
aku tidak ak an memaksamu untuk terus bersama, Ary a.
Begitu bertemu pemilik kerincingan yang kau maksud, dan jika nanti arah yang
kita tuju berbeda, kita berpisah. Bagaimana"!"
Arya mengeluh dalam hati. Gadis berpakai an kuning ini memang
terlalu pintar untuk membuat orang terpojok. Tentu saja sekarang, Arya tidak
mempunyai alasan untuk menolak. Toh, kebetulan mereka menempuh arah
perjalan an yang sama.
"Kalau begitu, mari kita bergegas, Dewi. Aku khawatir, pemilik
kerincingan itu telah pergi jauh," ujar Arya.
Sesaat kemudian, Arya dan Tungga Dewi telah melesat meninggalkan tempat itu. Dewa Arak yang semula merasa khawatir kalau dengan
adany a murid Nelayan Tenaga Gajah itu perjalananny a akan
terhambat, menjadi besar hatinya ketika mengetahui Tungga Dewi
benar-benar membuktikan tekadnya. Gadis ini ternyata memiliki ilmu
meringankan tubuh yang telah tinggi, sehingga Arya tidak terlalu banyak
mengurangi kecepatan lariny a.
6 Arya memang seorang pendek ar muda berpengalam an. Maka meski
hanya mendengar sebent ar, dia bisa memperkirakan asal bunyi kerincingan tadi.
Dan, ke arah mana menghilangnya. Tak heran kalau tak lama kemudian, bunyi
kerincingan itu kini sudah terdengar lagi di depannya. Memang masih samar. Tapi
telah cukup membesarkan hati kalau arah y ang ditujunya sudah benar.
"Kita berhasil, Arya," ujar Tungga Dewi yang berlari di sebelah kiri Arya.
Nada suara gadis
itu menyiratkan
kegembiraan besar, tapi mengundang iba pemuda berpakaian ungu itu. Deru napas yang hebat,
menjadi pertanda k alau sejak tadi Tungga Dewi berlari sampai di batas terakhir
kemampuanny a. Hal ini membuatnya cepat lelah. Tapi yang
membuat hati Arya kagum, tidak sedikit pun Tungga Dewi menampakkan
kelelahanny a. Apalagi sampai mengeluh! Murid Nelayan Tenaga Gajah ini memang
membuktikan ucapannya, kalau tidak akan merepotkan Dewa Arak.
Rasa iba itulah yang membuat Arya mengendurk an kecepatan
larinya sedikit agar Tungga Dewi tidak mengerahkan kemampuannya. Toh sampai
habis, bunyi kerincingan itu sudah terdengar, bahkan semakin jelas.
Dan berarti, jejak pemilik kerincingan itu sudah diketahui.
Namun, kini bunyi kerincingan itu sekarang sudah tidak terdengar
lagi. Sehingga membuat Arya ag ak gelisah. Meski demikian, kecepatan larinya
tetap tidak ditambah. Arah y ang dituju adalah tempat yang tadi terdengar bunyi
kerincingan terakhir kali.
Di saat Arya hampir putus asa, bunyi kerincingan itu terdengar lagi.
Bahkan jauh lebih nyaring, pertanda jaraknya telah dekat Arya dan Tungga Dewi
sampai berpandang an saking gembiranya. Dengan semangat baru yang kembali
muncul, sepasang anak muda ini mengayunkan k aki ke arah asal bunyi kerincingan
tadi. Lagi-Iagi bunyi kerincing an itu lenyap. Tapi, Arya dan Tungga
Dewi tidak kebingungan lagi, karena tel ah mempunyai patokan untuk
mengejar. Dan sebent ar kemudian, sepasang an ak muda berwajah elok ini telah
melihat sesosok tubuh di kejauhan, berjarak tidak kurang dari dua puluh tombak
Meski jarak masih cukup jauh dan sosok itu berdiri memunggungi,
Dewa Arak dapat memperkirakan kalau sosok itu ternyata seorang
perempuan tua. Pakaiannya sederh ana bercorak kembang-kemb ang.
Rambutnya yang putih campur hitam tampak digelung ke atas. Dan kini jelas
terlihat oleh Arya.
Sosok berpakaian kembang-k embang yang diduga Ary a seorang
perempuan tua itu, tengah berdiri di depan sekumpulan tan aman sambil bersen
andung. Kedua tang annya yang k eriput dan kecil, memetiki beberapa tumbuh-


Dewa Arak 69 Peti Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tumbuhan di depannya dan dimasukkan ke dalam keranjang kecil di pergelang an
tangan kirinya. Terkadang yang diambil pucuk daunnya,
buahnya, dan tidak jarang kulit pohonnya.
Hanya sek ali lihat Dewa Arak bisa menduga kalau sosok yang
diduga seorang perempuan tua itu tengah mencari tumbuh-tumbuhan yang dapat
dijadikan sebagai ramuan pengob atan.
Beberap a tombak sebelum Arya dan Tungga Dewi tiba di dekatnya,
sosok berpakaian k embang-k embang itu berbalik. Kedatangan Dewa Arak dan murid
Nelayan Tenaga Gajah itu rupanya telah didengarny a.
Sosok berpakaian kembang-k embang yang ternyata benar seorang
nenek itu, tersenyum. Sehingga mulutnya yang keriput memperlihatkan
barisan gigi yang sudah tidak bergigi lagi.
"Maafk an kalau kami mengganggumu, Nek," Arya buru-buru
angkat bicara sambil tersenyum lebar.
Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir kal au nenek
berpak aian kembang itu menduga yang tidak-tidak. Maka buru-buru
mendahului. "Tapi, percayalah. Kami tidak memiliki maksud jelek," sambung Dewa Arak.
"Benar, Nek," timpal Tungga Dewi. "Kami tidak bermaksud jelek.
Namaku Tungga Dewi. Dan ini kawanku, Arya. Tapi, julukannya di dunia persilatan
tidak main-main lho, Nek"!"
"Ah...! Kawanku ini memang gemar becanda, Nek," potong Arya buru-buru.
Dewa Arak khawatir, Tungga Dewi akan segera memperk enalkan
julukannya. Tungga Dewi memang mirip Melati, gemar bertindak gegabah dan suka
menonjolkan diri. Tapi anehnya, Arya yang selalu ditonjolkan!
Bukan diri gadis itu sendiri. Padahal, bukan tidak mungkin kalau sikap gegabahny
a akan membawa Arya pad a permusuhan yang tidak diinginkan.
Siapa tahu, nenek berpakaian kembang -kembang itu mempunyai hubungan dengan
tokoh sesat yang pernah tewas di tangan Arya. Misalnya!
"Hi hi hi...!"
Nenek berpak aian kemb ang-kemb ang itu tertawa. Terlihat lucu,
karen a sudah tidak memiliki gigi lagi. Bahkan suaranya terdeng ar an eh di
telinga. "Kawanmu itu tidak bercanda, Nak Ary a. Siapa sih, yang tidak
kenal Dewa Arak yang telah membuat kolong langit geger"! Hi hi hi...!
Selamat bertemu deng anku, Dewa Arak. Kau m emang telah kutunggu-tunggu," kata nenek itu.
Arya kontan melongo. Sambutan nenek berpakai an kembang-kemb ang itu sama sekali tidak disangka-sangka. Sehingga,
membuatnya kebingungan. Bahkan Tungga Dewi pun agak heran. Hanya
saja karen a sikap lincahnya, perasaan itu cepat terusir.
"Agar kedudukan kita sama lebih baik kuperken alkan diri. Namaku Lestari, Arya.
O, ya. Berbicara sam bil berdiri tidak enak. Lebih baik kita berbicara di sana
saja. Tanpa memberi kesempatan pada Ary a atau
Tungga Dewi untuk memberikan tanggapan, nenek yang mengaku bernama Lestari mengayunkan kakinya
menuju sebatang pohon besar. Dan kebetulan, pohon itu mempunyai akar yang
menonjol keluar dari dalam tanah. Tempat yang dipilih Nenek Lestari ini ternyata
cocok untuk duduk sambil berbincang-bincang.
Arya dan Tungga Dewi saling berpand angan, sebelum akhirnya
mengikuti kemauan Nenek Lestari. Sebentar kemudian, ketiga orang ini telah duduk
bersama di atas akar pohon itu.
"Aku belum mengerti maksud ucapanmu tadi, Nek. Bisakah kau
menjelaskannya"!" pinta Arya, setelah memberi kesempata nenek berpakaian kembang
itu untuk beristirahat sejenak.
"Masalah penjel asan urusan gamp ang, Arya!" jawab Nen ek Lestari bernad a merem
ehkan. "Yang penting sek arang, katak ana maksud tujuanmu, Arya. Apalagi bersama
Tungga Dewi ini. Aku yakin, kau tidak kebetulan saja berad a di sini. Apakah kau
memang bermaksud menemuiku"! "
"Memang begitu, Nek," sahut Arya mengangguk.
Lalau Dewa Arak menceritak an semua kej adian yang dial ami
bersama Tungga Dewi. Tentu saja, tentang cerita mengen ai Tungga Dewi yang
dilarikan Karpala sejak bers ama Nelay an Tenaga Gajah tidak
diceritakan. Karen a, gadis berpakaian
kuning itu sendiri baru
saja menceri akanny a pada Ary a.
Dan lagi, Arya meras a tidak
berhak menceritak annya.
"Seorang pemuda berkumis tipis"!" ulang Nenek Lestari, ketika Arya telah meny
elesaik an ceritanya. "Dia takut mend engar k erincinganku"!
Aneh! Kau tahu, mengapa Arya?"
"Tidak , Nek!" sahut Arya, menggelengkan kepala. "Karena ingin tahu jawab annya
itulah aku ingin menemuimu, Nek. Kupikir, kau
mengetahuinya. Dia sakti bukan kepalang, Nek. Maksudku, ilmu-ilmu
gaibnya. Karen a, ilmu silatnya kulihat belum digunakannya"
"Kau membuatku pusing,Arya, " gumam Nenek Lestari bernada
mengomel, tapi tidak marah. "Mana mungkin ada seroang tokoh muda takut hanya
karena mend engar bunyi kerincinganku" Padah al, aku tidak pernah mengukir nama
besar dal am dunia persilatan dengan sep ak terjangku seperti yang kau lakukan
misalnya. Dan lagi..., sepengeetahu anku kerincingan
ini..., maksudku... memang untuk menakut-nakuti seseorang. Karen a,
kerincingan ini telah dikelilingi pamor sedemikian rupa, sehingga membuat
seorang tokoh akan lemah tenagany a. Hilang kemampuannya. "
"Jangan-jang an, karen a itulah pemuda berpak aian coklat itu
melarikan diri.... Namanya... ah! Mengap a mendadak aku lupan namanya"!
" Arya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Kau ingat nama pemuda
berkumis tipi situ, Dewi! "
Tungga Dewi melengak. Sepasang alisnya dikerutkan dalam-dalam,
dalam upayanya berpikir keras untuk mengingat-ingat nama itu. tapi, seperti juga
Arya, di tidak ingat sama sekali.
"Entahlah, Arya. Tadi, aku memang ingat betul. Dan entah mengapa mendadak lupa.
Padahal, aku bukan sejenis orang pelupa lho"!" sahut Tungga Dewi tampak
kebingungan sekali.
"Sudahlah! Kalau tidak ingat, tidak usah terlalu dipikirkan. Lagi pula, siapa
yang ingin mengetahui namanya" Hanya saja, perlu kutekankan sekali lagi, Arya.
Kerincingan ini ialah benda peninggalan leluhurku yang kudapat dari ayahku.
Kalau tidak salah, kerincingan ini sudah berumur hampir lima ratus tahun. Dan
kerincingan ini dibuat memang untuk
melumpuhkan seseorang y ang memiliki ilmu-ilmu menggiriskan. Tidak ada suatu
kekuatan pun yang dapat membunuh atau melumpuhkannya, kecuali
kerincingan ini. Tapi benda ini pun hanya mampu melumpuhkannya seb entar. Jadi,
singkatnya orang itu tidak bisa dibunuh!" jelas Nenek Lestari.
Pandangan Arya dan Tungga Dewi tanpa sadar beralih ke
kerincingan yang melilit pergelangan tangan dan kaki Lestari. Kerincingan itu
mirip gelang tangan dan gelang kaki. Hanya saja tersusun dari logam kosong
sebesar mata, di dalamnya berisi baja bulat kecil padat. Setiap kali tangan dan
kaki itu bergerak, kerincingan pun berbunyi nyaring. Dan
sepasang anak muda ini jadi takjub, setelah mengetahui kerincingan itu telah
berumur lima ratus tahun.
"Bisa kau ceritakan tokoh yang luar biasa itu, Nek"!" tanya Arya, makin
tertarik. Sementara dal am hati, Dewa Arak tidak percaya kal au ada seo rang
manusia yang tidak bisa dibunuh. Mustahil! Arya yakin, setiap ilmu ada
kelemahanny a. "Baiklah. Kalau tidak kuceritak an, kalian akan t erus penasaran.
Sekarang, dengark an baik-baik." Nenek
Lestari termenung sejen ak. Diingat-ingatnya cerita yang akan diuraikan pad a Arya dan Tungga Dewi.
Cerita yang didengar dari mulut leluhurnya.
"Sekitar lima ratus tahun yang lalu, di dunia persilatan merajalela seorang
tokoh hitam yang keji dan ganas. Setiap hari, selalu jatuh korban pembunuhan,
tidak peduli laki atau perempuan. Kalau tidak salah, malah jumlahnya lebih dari
lima puluh orang. Yang jelas, dia membutuhkan
sepuluh tong besar darah yang segar untuk dituangkan ke dalam lubang di sebuah
gunung. Sayang aku lupa nama gunung itu."
Arya dan Tungga Dewi saling berpandang dengan tengkuk
meremang. Tokoh hitam itu pasti tidak waras!
Nenek Lestari tidak mempedulikan kedua anak muda itu. Setelah
menelan ludah untuk membasahi tenggorok an yang kering, ceritanya
dilanjutkan. "Dunia persilatan g eger. Para tokoh golongan pu tih angkat senjata, bersep akat
untuk melenyapkan sumber kek ejian itu. Tapi, tokoh keji itu ternyata memiliki
kepandaian luar biasa. Banyak tokoh pendekar yang
bermaksud baik itu roboh di tangannya. Tewas, dan kemudian menjadi
tambahan darah yang dibutuhkan. Bisa kau perkirakan, Arya, Tungga Dewi.
Sekali tokoh keji itu turun tangan, penduduk satu desa langsung lenyap.
Karen a, merek a semua dibantai dan darahny a ditampung dalam sepuluh tong.
Hanya dalam beberapa minggu, ribuan orang telah menjadi korban tindakan kejinya.
Tapi tokoh-tokoh pendekar ini tidak membuat putus asa.
Merek a mencari tahu, mengapa tokoh keji itu melakukan tindak kebiadaban
demikian. Kemudian Nenek Lestari menghentikan ceritanya sejen ak suasana
jadi hening. Sepertinya, Dewa Arak dan Tungga Dewi tengah membayangkan, betapa menggiriskan tokoh keji itu.
"Ternyata tokoh keji itu seorang pengabdi dan pemuja s etan!
Penguasa gunung yang tadi aku lupa nam anya. Dan korb an-ko rban darah sepuluh
tong itu diperuntukkan sebagai persembahan, agar dia diberikan ilmu kepandai an
tinggi. Dan kenyataannya,
tokoh itu memang memiliki kepandai an tinggi! Dan tidak masuk akal! Dia mampu menget ahui segala sesuatu
mengenai seseorang, hanya sekali lihat saja. Tahu keluarganya, asal-usulnya,
guru, ilmu-ilmu yang dimiliki, dan kelemahannya! Di samping itu, dia memiliki
banyak ilmu gaib dan kesaktian lain. Bahkan juga tidak mempan segala macam
senjata, walau senjat a itu terkenal ampuh menangkal ilmu-ilmu hitam! Pokoknya,
tokoh keji itu merajalela tanpa tertandingi,"
'Tunggu sebentar,
Nek!" selak
Arya ketika Nenek
Lestari menghentikan cerita.
"Hmmm...!"
Nenek berpak aian kembang-k embang itu hanya bergumam pelan
sebagai sambutannya.
"Pemuda berpakai an coklat yang kuceritak an tadi juga memiliki kemampuan
seperti yang kau utarakan itu, Nek. Dan mampu menebak
asal-usulku. Bahkan semua yang berhubungan denganku!" tutur Arya, dengan jantung
berdetak ken cang.
"Benar, Nek!" ucap Tungga Dewi membenark an.
"Aku mendengarny a!"
Raut wajah nenek berpak aian kembang-k embang berub ah hebat.
Terlihat jelas adanya kekhawatiran di sana.
"Sampingkan dulu masalah itu! Kita teruskan cerita sebelum aku
lupa!" ujar Nenek Lestari. Terdengar agak bergetar suaranya. Bahkan bibirnya pun
bergetar. "Beberapa tokoh golongan putih yang terkenal di masa itu, tanpa
mengenal lelah berusaha men cari cara meleny apkan tokoh keji itu.
Perguruan-p ergu ruan
besar mengutus muridnya untuk mencari pertapa-pertapa sakti yang memiliki ilmu gaib, untuk dapat digunakan menghadapi
ilmu gaib tokoh keji itu. Tapi, semuanya hancur berantak an.
Merek a semuanya tewas. Bahkan dukun-dukun ahli kebatinan diminta
bantuannya mencari ilham, untuk mengetahui kelemahan ilmu tokoh keji itu.
Tapi, sekali lagi mereka semuany a tewas secara mengerikan!"
Arya mengerling Tungga Dewi. Tampak wajah gadis berpakaian
kuning itu menyiratkan kengerian. Sementara pemuda berambut putih
keperakan ini pun merasakan betap a dahsyatnya kepandai an tokoh keji itu, meski
hanya dari cerita Nen ek Lestari.
"Akhirnya, di sebuah masjid, seorang tokoh persilatan golongan
putih yang baru selesai bershalat tahajud untuk meminta petunjuk, bertemu
seorang kak ek yang wajahnya tidak tampak jel as. Tapi kakek itu
mengenak an pakaian panjang serb a putih sampai hampir ke lutut. Kepalanya
tertutup lilitan-lilitan kain. Kakek yang sekujur tubuhnya seperti bersinar itu
memberi petunjuk padanya, untuk menemui orang-orang yang akan
ditunjukkannya. Sementara, orang-orang yang dipilih kakek aneh itu sendiri,
malam itu juga langsung bermimpi. Dalam mimpi, mereka bertemu kakek
yang sama dan diberi petunjuk bagaimana cara mengal ahkan tokoh keji yang
merajalel a itu."
"Dan tokoh yang dipilih kakek aneh itu adalah leluhurmu.
Bukankah begitu, Nek"!" tebak Tungga Dewi, tidak sabar.
"Tidak tepat benar. Meskipun, memang tidak salah!" jawab Nenek Lestari.
"Lho..."!" Tungga Dewi melongo. "Bukankah leluhurmu yang telah mengalahkan tokoh
keji itu"!"
Ada nada penasaran dalam pertany aan Tungga Dewi yang lebih
cocok berup a kecam an ini. Arya hanya berdiam diri. Tapi sepasang matanya
menyiratkan tuntutan. Pemuda berambut putih keperak an ini memang
menduga sama seperti Tungga Dewi.
"Tidak hanya leluhurku!" jawab Nenek Lestari. "Masih ada dua tokoh lain yang
juga mendapat petunjuk kakek aneh itu. Berkat petunjuk kakek an eh itu pula
mereka bisa bert emu, berkumpul. Bahkan ketiga kakek, yang salah satunya adalah


Dewa Arak 69 Peti Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

leluhurku, berhasil membunuh tokoh keji itu. Tapi, sebuah kenyataan tidak
terduga terjadi. Ternyata tokoh keji itu meski mati, tapi tetap hidup! Mungkin
karena dia telah menjadi pengabdi setan, sehingga meski mati, sewaktu-waktu bisa
bangkit kembali. Rohnya dapat masuk ke dalam diri seseorang. Dan.... Astaga...!
Mengapa aku demikian pelupa"!"
"Ada apa, Nek"!"
Arya dan Tungga Dewi yang sempat terjingkat ke belakang ketika
melihat nenek berpakaian kembang -kembang ini terjingkat seperti disengat ular
berbisa. "Pemuda yang kalian had api itu pasti titisan tokoh keji itu. Dan ini berarti
roh tokoh keji itu telah masuk ke dalam diri pemuda berpakaian coklat! Ya, tidak
salah lagi!" seru Nenek Lestari keras sambil bangkit dari duduknya "Celaka...!
Celaka...! Malapetaka besar pasti akan terjadi kembali.
Badai Laut Selatan 20 Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Kaki Tiga Menjangan 4
^