Darah Asmara Gila 2
Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila Bagian 2
Peri Malam bangkitkan tubuh dengan hati membatin,
"Tangguh juga gelombang pelapis dirinya itu. Pukulanku tak mempan mendobraknya.
Bangsat! Terhina aku
jadinya diperlakukan seperti ini di depannya! Rupanya aku harus menggunakan
salah satu jurus intiku!"
Saat pemuda itu tertawa bagai mengejek ilmu Peri
Malam, perempuan itu segera angkat kedua tangannya
dengan urat-urat mengeras. Kakinya merenggang ke
samping belakang dengan sedikit merendah. Kemudian, membalikkan tangannya dengan
telapak tangan menghadap ke mukanya. Tangan itu pun menyentak
keduanya ke arah depan. Dari punggung telapak tangan itu melesatlah sebuah sinar
kuning berbentuk bola
sebesar kelereng. Sinar kuning itu melesat cepat ke arah Dirgo Mukti. Tapi
pemuda, itu tetap diam dan
tersenyum-senyum.
"Hiaaat...!" Peri Malam lompatkan diri, berjungkir balik di udara, karena pada
saat itu bola kuning berpijar-pijar itu memantul balik ke arahnya. Bentuknya dua
kali lebih besar dari saat meluncur ke arah Dirgo tadi.
Wuuuooss...! Blaar...! Benda itu menghantam gugusan batu hitam
yang ada di belakang tempat Peri Malam tadi berdiri.
Gugusan batu hitam sebesar kuda duduk itu menjadi
putih seketika. Dan angin laut menaburkan serbuk-
serbuk putih itu sampai akhirnya batu sebesar kuda
bersimpuh itu tinggal tersisa sebesar katak.
"Edan!" geram hati Peri Malam, "Alot sekali pelapis dirinya itu. Sukar ditembus
oleh tenaga intiku. Tapi bagaimana jika kugunakan jurus 'Seribu Naga'" Apakah
masih tak mampu menembus gelombang pelapis dirinya
itu?" Dari tempatnya, Dirgo Mukti berseru dengan jelas
sekali, "Peri Malam! Simpanlah tenagamu. Sia-sia kau menyerangku. Jangan sampai
aku bertindak keras dan membalas kesombonganmu, Peri Malam!"
"Aku sengaja menunggu balasanmu, Dirgo!"
Belum sekejap suara Peri Malam hilang, tiba-tiba
terdengar sebuah ledakan yang menggelegar guncangkan bumi. Blaarrr...!
Tubuh Dirgo Mukti terjungkal dan berguling-guling
di pasiran. Peri Malam lebarkan mata karena kaget dan heran, ia merasa belum
menyerang lagi, tapi Dirgo
Mukti sudah terjungkal dan itu berarti ada satu kekuatan tenaga dalam yang cukup
dahsyat dan mampu
menembus gelombang pelapis diri Dirgo Mukti.
"Jahanam!" sentak Dirgo mulai tampak
kemarahannya, ia tidak memandangi Peri Malam, tapi
menatap sekeliling dengan bingung. Matanya itu
memancarkan kemarahan yang tak bisa terbendung lagi.
"Siapa yang berani campuri urusanku ini, hah"!"
sentaknya lagi.
Peri Malam juga lirikkan mata ke sekeliling, mencari penyerang gelap yang sudah
pasti berilmu tinggi itu.
Sementara, di sebelah gundukan batu, Dirgo Mukti
berdiri dengan mendekap dada kirinya. Tampak ada
cairah merah yang mengalir dari hidung. Tidak banyak, namun sempat membuat Peri
Malam tersenyum
kegirangan. "Mampuslah kau, Biadab!" geram Peri Malam kepada Dirgo Mukti dengan suara tak
terdengar, sebab saat itu Dirgo berseru,
"Siapa yang berani menyerangku, hah"! Keluar kau, Kunyuk! Tampakkan batang
hidungmu, Bangsat!"
Dirgo Mukti benar-benar marah, ia sama saja dibuat
malu di depan perempuan yang sedang ditaksirnya.
Maksud hati unjuk kebolehan ilmunya di depan Peri
Malam, tak tahunya terpental dan berjungkir balik
dengan hidung berdarah. Rasa malu yang amat besar itu yang membuat Dirgo Mukti
benar-benar marah pada
orang yang mengganggunya.
"Kalau kau benar-benar berilmu tinggi, tampakkan batang hidungmu dan hadapilah
aku, Manusia Sontoloyo!" teriaknya keras. Dirgo Mukti sengaja
salurkan tenaga dalamnya lewat teriakan itu, hingga batu-batu karang bergetar,
Peri Malam tutupkan tangan ke telinganya.
Kejap berikutnya, dari celah bebatuan karang di
belakang Dirgo Mukti melompatlah sesosok tubuh
berpakaian coklat, berwajah tampan dan menggendong
bumbung tempat tuak. Seketika itu hati Peri Malam
terpekik kaget.
"Oh..."! Rupanya dia! Murid sinting si Gila Tuak!"
* * * 5 DIRGO Mukti segera kibaskan tangan kanannya ke
arah Suto. Dengan cepat Suto meraih bumbung dari
punggung dan halangkan bumbung ke depannya.
Craap...! Sebuah pisau kecil bertali rumbai merah dari benang sutera menancap di bumbung
tersebut. Pisau itu
kepulkan asap sedikit. Setelah itu Suto cabut pisau kecil itu dan membuangnya
dengan seenaknya ke samping.
"Untuk apa kau pamerkan mainan anak kecil itu" He he he...!" Suto melompat turun
dari atas batu, melangkah dengan sedikit limbung. Bukan karena pengaruh pisau
kecil tadi, tapi karena sejak tadi rupanya ia sudah cukup banyak minum tuak dan
sedikit mabuk. Tapi matanya
belum sayu, hanya sedikit merah di tepiannya.
Dirgo Mukti terkejut melihat kenyataan yang ada.
Rasa herannya makin bertambah setelah melihat pisau
itu dibuang seenaknya oleh Suto ke samping kanan dan mengenai sebongkah batu.
Batu itu pecah dengan
menimbulkan bunyi yang pelan.
"Bisa menangkis lemparan pisauku saja sudah
termasuk hebat, apalagi bisa mengisi pisau itu dengan tenaga dalamnya hingga
bikin batu itu pecah tanpa suara, jelas lebih hebat," kata Dirgo di dalam
hatinya yang terkagum-kagum. "Mestinya bambu itu pecah meledak ketika tertancap
pisauku, tapi mengapa kali ini tidak"
Hmmm... siapa sebenarnya orang ini"! Aku belum
pernah jumpa dengannya."
Lain lagi kata hati Peri Malam saat melihat kenyataan itu.
"Pemuda tampan itu benar-benar hebat. Rasa-rasanya inilah kesempatan yang baik
untuk menghajar Dirgo
Mukti. Kuadu saja Dirgo dengan murid sinting Gila
Tuak itu. Pasti Dirgo tak akan berani menggangguku
lagi, dan aku tak perlu terlibat bentrokan dengan Dirgo, sesuai pesan Guru."
Langkah gontai Suto menuju ke arah Peri Malam.
Perempuan itu sengaja mendekat untuk memancing
kemarahan Dirgo.
"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani mengusik urusanku dengan Peri Malam,
hah"!" Dirgo Mukti menyentak dengan melangkah setindak ke samping
kirinya. Kini Suto dan Peri Malam sama-sama berdiri berjajar menghadap Dirgo
Mukti. Saat itu, Suto menyuruh Peri Malam untuk menjawab
pertanyaan Dirgo itu, "Jelaskan padanya siapa aku. Kau
pasti tahu!"
Tanpa banyak ragu, Peri Malam pun berkata dengan
suara jelas. "Dia adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak yang punya julukan Pendekar Mabuk."
"Nah, sudah jelas?" tanya Suto pada Dirgo Mukti dengan mengejek sinis.
Dirgo Mukti diam. Tapi batinnya berkata, "Murid Si Gila Tuak..."! Oh, ya... aku
kenal nama si Gila Tuak, tapi belum pernah bertemu satu kali pun. Guru memang
pernah cerita tentang si Gila Tuak, tokoh sakti yang namanya ada di papan atas
dunia persilatan. Lalu, apa urusannya Suto Sinting ini dengan Peri Malam" Apakah
dia kekasihnya Peri Malam" Kalau begitu, dia adalah musuh utamaku dalam merebut
hati Peri Malam!"
Sebenarnya hati Dirgo Mukti mulai ciut begitu
mendengar Suto adalah murid si Gila Tuak. Tapi karena ia menganggap Suto adalah
kekasih Peri Malam,
keberaniannya kembali menyala-nyala. Bahkan dengan
beraninya dia berucap kata kepada Suto.
"Kita perlu beradu nyawa, Suto! Jangan kamu sangka Manusia Sontoloyo tak berani
menghadapi murid sinting si Gila Tuak. Demi mempertahankan kehormatan cinta,
mari kita tentukan nyawa siapa yang berhak hidup
berdampingan dengan Peri Malam!"
"Kau menantangku, Dirgo"!"
"Ya!"
Dirgo Mukti segera mencabut senjatanya, kapak dua
mata. Sambil cabut senjata Dirgo Mukti berseru,
"Lekas, cabut senjatamu, Suto! Aku ingin tahu
apakah senjatamu bisa mengalahkan Kapak Kebo Geni-
ku ini!" "Jangan...."
Peri Malam menyahut, "Ya, jangan di sini! Memang sebaiknya jangan di pantai
ini." Suto terbengong lagi dan ingin berkata kepada Peri
Malam, tapi selalu didahului oleh Dirgo Mukti.
"Baik. Di mana tempatnya terserah dirimu, Sutol Di mana pun tempatnya aku siap
mengadakan pertarungan
berdarah denganmu, demi mendapatkan cinta Peri
Malam!" Suto tarik napas, tahan rasa dongkol atas
kesalahpahaman itu. Kali ini ia ingin bicara lagi tapi selalu disahut Peri
Malam. "Maksudku begini, Dirgo...."
"Soal tempat pertarungan, silakan kau yang
menentukan," kata Peri Malam. "Kapan waktunya, silakan pilih sendiri. Karena kau
yang menantang pertarungan, maka kau yang tentukan segalanya."
"Baik! Aku suka dengan ketegasan seperti itu!" kata Dirgo Mukti. "Kita tentukan
pertarungan kita di Bukit Jagal, dua purnama mendatang! Jika kau memang murid si
Gila Tuak, kau pasti datang dalam dua purnama
mendatang di Bukit Jagal. Di sana aku sudah
menunggumu!"
Selesai bicara begitu, Dirgo Mukti jejakkan kaki dan melesat pergi secepat
kilat. Suto tak sempat lagi ucapkan kata apa pun. Ia hanya pandangi gerakan
Dirgo Mukti yang melesat lincah bagaikan terbang dari batu ke batu lainnya.
Peri Malam juga ikut pandangi kepergian Dirgo
Mukti sambil hamburkan tawa mengikik geli bagaikan
kuntilanak pulang pagi.
"Kik kik kik..,, hatinya pasti robek tercabik-cabik olah kemunculanmu, Suto!
Biar tahu rasa dia. Berulang kali dia ganggu aku dengan rayuan-rayuan yang bikin
aku muak dan mau muntah, seperti orang habis telan
anak tikus. Hik hik hik...!"
Suto tidak ikut hamburkan tawa. Senyum pun
tersimpan dalam sisi kejengkelan hati. Sekarang saatnya dia bisa bicara apa yang
ingin dia bicarakan sejak tadi.
"Apa maksudmu menyambung ucapanku dengan
yang tidak benar begitu?"
"Apakah maksudmu bukan seperti yang kukatakan
tadi?" Peri Malam berlagak bodoh.
"Aku tidak ingin bertarung melawannya!"
"O, kalau begitu aku salah duga tadi!"
"Memang salah!"
"Maaf kalau begitu!' ucap Peri Malam berlagak ketus sambil melangkahkan kaki
menuju bawah pohon mahoni
yang rindang itu.
Sampai di sana ia duduk. Matanya memandang Suto
yang masih berdiri dalam jarak sepuluh langkah.
Berdebar hati Peri Malam setiap menatap mata murid si Gila Tuak itu. Gelisah
jiwanya menerima rasa indah
yang mekar berbunga-bunga di dalam hatinya.
"Luar biasa daya pikatnya. Ingin aku tenggelam
dalam pelukannya. Ah, setan! Sulit sekali aku menolak kehadiran bayangannya!"
gerutu resah hati Peri Malam.
Suto menghentikan langkah tiga tindak ke depan Peri Malam. Pandangan matanya
tetap tertuju ke wajah Peri Malam. Perempuan itu pun menatapnya dan berkata,
"Duduklah," sambil ia tepuk batu di sampingnya, seakan menuntun agar Suto duduk
di batu sebelahnya
itu. "Aku sedang memikirkan tantangan Dirgo."
"Apakah kau takut?"
Suto masih berdiri. Kali ini ia tersenyum indah
mengarah pada wajah Peri Malam. Darah Peri Malam
bagai disedot naik ke ubun-ubun kepalanya hingga
dirinya terasa melayang-layang nikmat melihat
senyuman itu. "Aku bukan takut kepadanya. Aku hanya benci
kesalahpahaman ini. Seharusnya kau tidak menyambung kata-kataku seperti tadi.
Aku tak mau bertarung
melawan orang yang tidak punya salah padaku."
"Tapi kau tadi menyerangnya."
"Itu sekadar mengingatkan sikapnya. Aku tak suka melihat perempuan dibuat
mainan, seperti kau tadi."
"Benar. Aku juga tidak suka dipaksa untuk menjadi istrinya. Lebih tepat lagi,
dia akan paksa aku melayani nafsu birahinya. Apakah kau suka melihat perempuan
menderita begitu?"
"Tidak."
"Itulah sebabnya aku menyambung kata-katamu sejak tadi."
"Apa maksudmu" Jelaskan!"
"Kalahkanlah dia, biar tidak semena-mena mengejar cintaku karena merasa berilmu
tinggi." "Jadi aku harus bertarung dengan Dirgo?"
"Tak ada jalan lain untuk menyingkirkan cintanya."
"Kenapa tidak kau hadapi sendiri?"
"Pesan guruku, aku tak boleh memancing keributan dengan Dirgo."
"Kenapa?"
"Tak dijelaskan oleh Guru," jawab Peri Malam.
"Kalau begitu, carilah pendekar lain untuk
menyingkirkan cintanya. Jangan aku!"
"Tak ada pendekar lain yang bisa membuat hatiku terpikat. Tak ada lelaki lain
yang bisa menumbuhkan cinta di hatiku."
"Tapi aku juga tidak mempunyai cinta padamu."
Peri Malam bangkit dari duduknya, ia melangkah
lebih dekat. Jaraknya kurang dari satu langkah dari depan Suto. Pandangan
matanya lebih dalam menatap,
dan ucapannya lirih berkata,
"Anggap saja kau punya cinta padaku, supaya kau mau singkirkan cinta Manusia
Sontoloyo itu!"
"Mana bisa..."!" Suto angkat bahu. "Aku mempunyai idaman hati sendiri."
"Untuk saat ini saja, anggap kau mencintaiku.
Singkirkan cintanya supaya kita bebas memadu kasih, Suto."
"Mana bisa"! Aku tak pernah tahu hangatnya
Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelukanmu."
Peri Malam dibuat gemas-gemas mesra. Kemudian,
dengan tanpa ragu dan tak mampu menahan gejolak
hatinya, ia dekatkan wajah ke pipi Suto. Lalu, sebuah ciuman hangat melekat di
pipi murid sinting si Gila Tuak itu.
Ciuman yang kedua dari Peri Malam mendarat saat
Suto sedikit palingkan wajah. Karena Suto palingkan wajah maka ciuman itu tidak
melekat di pipi, melainkan menyentuh di bibir Suto. Crupp...!
"Oh..."!" Peri Malam cepat undurkan wajah.
"Kenapa?"
"Terlalu hangat," jawab Peri Malam dalam bisik tersekat. Lalu, ia sunggingkan
senyum malu dan
tundukkan wajahnya. Terdengar suara tawa Suto mirip gumam satria pujaan negara.
Rambut perempuan itu
diusapnya dengan lembut. Terasa usapannya sampai
melingkupi permukaan hati Peri Malam. Begitu indah
dan mendebarkan.
Pelan-pelan Peri Malam angkatkan wajahnya, lalu
berucap lirih. "Tak inginkah kau mengulang ciuman tadi?"
"Mana bisa?"
"Kenapa tidak bisa?"
"Karena ada sepasang mata yang memperhatikan
kita." Terkesip Peri Malam seketika, ia segera palingkan
muka ke belakang, dan ternyata di sana sudah berdiri seorang perempuan
berpakaian merah dadu dengan
rambut digulung naik ke atas.
Cepat-cepat Peri Malam jauhkan jarak dengan Suto
Sinting. Wajah Peri Malam menjadi berang, ia
layangkan pandang mata bencinya ke wajah perempuan
yang berdiri antara sepuluh tindak darinya itu.
"Keparat!" geram Peri Malam, ia naikkan suara, "Kau belum jera juga mengusik
pribadiku, Selendang
Kubur"!"
"Justru sekarang urusan kita sudah lebih pribadi, Peri Malam!" kata Selendang
Kubur dengan suara dingin memercikkan benci. Sikapnya berdiri menandakan
dirinya telah siap bertempur mengadu nyawa dengan
Peri Malam. * * * 6 MATAHARI pantai semakin tinggi, tapi dua
perempuan itu tak peduli sengatan panas dari langit itu.
Mereka berhadap-hadapan dengan masing-masing sinar
mata memancarkan permusuhan.
Murid sinting si Gila Tuak hanya duduk di atas
gundukan batu, di tempat yang teduh dengan sesekali menenggak tuaknya. Suto
merasa tak perlu ikut campur urusan perempuan. Biarlah perempuan-perempuan itu
menyelesaikan urusan mereka, dan Suto hanya menjadi pihak penonton saja.
Suto tidak tahu, bahwa perselisihan kedua perempuan itu adalah karena
kecemburuan terhadap dirinya. Suto tidak tahu bahwa dirinya itulah yang menjadi
penyebab perselisihan Selendang Kubur dengan Peri Malam. Suto hanya membatin,
"Kebetulan sekali aku tidak perlu susah-susah mencari Selendang Kubur. Selesai
urusan dengan Peri Malam, baru dia harus selesaikan urusan denganku
tentang Pusaka Tuak Setan itu. Tapi bagaimana kalau Selendang Kubur mati di
tangan Peri Malam" Aku tidak bisa mendapatkan Pusaka Tuak Setan. Pastilah Tuak
Setan sudah ia sembunyikan di suatu tempat dan hanya dia yang tahu. Hmm... kalau
begitu aku harus
menjaganya jangan sampai ia mati dan jangan sampai ia kabur lagi!"
Kedua perempuan itu sama-sama berdiri dengan kaki
tegak dan sedikit melebar. Dada mereka sama-sama
membusung ke depan, karena memang keduanya sama-
sama montok. Wajah mereka sama-sama keras, karena
mereka sama-sama menahan rasa cemburu.
"Selendang Kubur!" kata Peri Malam dengan ketus dan tegas. "Tinggalkan tempat
ini atau kuhabisi riwayat hidupmu?"
"Aku mau pergi dari sini kalau kau serahkan kedua hal yang kucari itu!" jawab
Selendang Kubur tak kalah ketus dan tegas.
"Tak perlu kau banyak bicara, Selendang Kubur!
Yang jelas kau telah mengganggu kemesraanku dengan
Suto Sinting!"
Peri Malam sengaja batasi omongan, supaya
Selendang Kubur tidak menyebut-nyebut tentang Pusaka Tuak Setan. Sebab, jika
Selendang Kubur melontarkan
keinginannya untuk meminta Pusaka Tuak Setan, maka
Suto yang ada di bawah pohon itu akan mendengar, dan tentunya Suto menjadi tahu
bahwa Pusaka Tuak Setan
ada di tangan Peri Malam. Ini yang dihindari Peri
Malam. Karena menurutnya, Suto belum mengetahui di
mana Pusaka Tuak Setan itu berada.
"Peri Malam! Kau tidak layak mendapatkan
kemesraan darinya, karena kau seorang perempuan hina.
Kau durjana dan kotor!"
"Tutup mulutmu Selendang Kubur!" sentak Peri Malam memotong. "Jangan sangka
dirimu bukan perempuan kotor! Aku tahu kau sudah bukan perawan
lagi. Aku tahu kau sudah serahkan kehormatanmu
kepada Trenggono!"
"Jahanam! Kaulah yang telah menyerahkan
kesucianmu kepada Trenggono, lima purnama sebelum
dia kita hancurkan!"
Peri Malam sengaja serukan suara ketika berkata
begitu, supaya didengar oleh Suto, dan supaya Suto tahu bahwa Selendang Kubur
sudah tidak perawan lagi. Ini adalah siasat Peri Malam untuk meruntuhkan minat
yang menurut dugaannya ada di dalam hati Suto.
Siasat itu diketahui oleh Selendang Kubur, maka ia
pun membalas tuduhan serupa dengan suara lebih keras lagi, walau apa yang
dikatakan itu tidak benar. Tapi ia berharap agar Suto pun mendengar dan
mempertimbangkan keputusannya untuk tetap mendekati Peri Malam atau
meninggalkannya.
Sementara itu, Suto yang duduk santai sambil
memperhatikan perselisihan kedua perempuan itu hanya manggut-manggut dan
membatin, "Ooo... ke-duanya sudah sama-sama blong. He he he...!"
Mata Selendang Kubur melirik sekejap ke arah Suto.
Ia melihat Suto tertawa kecil. Hatinya semakin panas dan geram kepada Peri
Malam, karena menurutnya tawa kecil Suto itu adalah menertawakan dirinya yang
dianggap sudah tak perawan lagi itu.
Sebaliknya, Peri Malam juga lirikkan matanya ke
arah Suto dan ia juga melihat senyum tipis Suto. Hati Peri Malam bertambah benci
kepada Selendang Kubur,
karena sangkanya senyuman Suto itu sebagai senyuman ejekan yang menganggap
dirinya sudah bukan gadis lagi.
Tak heran jika kejap berikutnya kedua perempuan itu sama-sama sentakkan kakinya
dan melesat di udara
dengan cepat. Pukulan mereka beradu di udara dalam
gerakan yang cukup cepat. Plak, plak!
Keduanya sama-sama bersalto ke belakang. Kejap
berikut keduanya telah sama-sama mendaratkan kaki ke tanah. Peri Malam berdiri
dengan kaki tegak sedikit melebar. Napas tertarik dan terhempas lepas dengan
dada tetap membusung.
Selendang Kubur berdiri dengan kaki tegak, tapi
tangan kanannya memegangi dada kiri, dan wajahnya
tampak menahan sakit. Dari sudut mulutnya tampak
darah kental keluar tak seberapa banyak, itu pertanda ia terkena pukulan
langsung dari tangan Peri Malam.
Pukulan itu sudah tentu mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang dapat meremukkan tulang dada. Kalau saja
Selendang Kubur tidak melapisi dirinya dengan
kekuatan tenaga dalam juga, maka tulang dadanya saat itu sudah jebol dan mungkin
ia tak lagi melihat matahari pantai.
Selendang Kubur membatin, "Jahanam itu punya
kecepatan yang luar biasa! Berat juga pukulannya.
Dadaku seperti terbakar bagian dalamnya. Tapi aku tak boleh menyerah. Aku harus
membalasnya. Malu kalau
harus menyerah di depan Suto. Rendah sekali harga
diriku!" Melihat Peri Malam maju dua tindak, Selendang
Kubur pun segera melangkah maju dua tindak juga.
Tangan kanannya sudah tidak lagi memegangi dada yang terkena pukulan tadi.
"Selendang Kubur! Sayangilah nyawamu. Jangan
paksakan diri melawanku, karena ilmumu masih cetek.
Kau masih perlu berguru lagi selama belasan tahun
untuk menyamai ilmuku!"
"Pukulanmu belum seberapa berat buatku, Peri
Malam! Seratus pukulan seperti itu masih sanggup
kuterima dengan dada terbuka. Tapi coba kau rasakan pukulan 'Merpati Puber'
dariku, hiaaat....!"
Tubuh berpakaian merah dadu itu meluncur cepat di
udara dan berputar bagaikan baling-baling hendak
menerobos gunung. Begitu cepat putarannya sampai
mata Peri Malam tak bisa melihat gerakan tangan
Selendang Kubur, ia coba sentakkan kaki kanannya
dalam gerak tendangan berputar. Tapi belum sempat
kaki itu mengenai sasarannya, Selendang Kubur sudah
lebih dulu menghantam punggung Peri Malam dengan
satu pukulan telapak tangan bertenaga dalam cukup
besar. Buugh...!
"Ahhg...!"
Bruuk...! Peri Malam tersentak jatuh dalam keadaan
tengkurap. Wajahnya hampir-hampir beradu dengan batu di hadapannya. Tapi pada
saat itu Peri Malam sentakkan kepala ke atas karena rasa sakit di punggung,
sehingga wajahnya tak jadi terbentur batu.
Selesai lancarkan pukulan 'Merpati Puber', Selendang Kubur pijakkan kakinya di
tanah. Kedua tangan siap
direntangkan ke atas. Satu pukulan lagi akan dilancarkan dan itu pasti akan
membuat tubuh Peri Malam hancur
lebur. Karena pukulan yang mau dilancarkan adalah
pukulan andal yang menjadi simpanan ilmunya dari
ketiga jurus sakti simpanannya itu.
"Tahan!" tiba-tiba terdengar suara Suto serukan kata.
Mau tak mau Selendang Kubur palingkan muka ke arah
Suto Sinting. Saat itu Suto berdiri, mau mendekat, tapi langkahnya sedikit
limbung. "Apa maksudmu menahan pukulanku, hah"!" bentak Selendang Kubur.
Suto nyengir lalu perdengarkan suara sumbangnya,
"Membunuh itu hal yang mudah, tapi mengampuni
lawan adalah hal yang sulit! Dulu kudapatkan wejangan seperti itu dari guruku."
"Mungkin benar kata gurumu. Tapi tahukah kau, tak ada ampun lagi buat perempuan
macam dia, hah"!"
Peri Malam sudah berusaha bangkit. Mulutnya
semburkan darah segar saat tadi terkena pukulan
'Merpati Puber'. Tapi ia masih bisa menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur
tubuhnya. Kalau saja ia
teruskan pertarungan itu, ia masih sanggup
menumbangkan Selendang Kubur dengan jurus-jurus
maut yang belum sempat dikeluarkan.
Tetapi ia menangkap adanya bahaya dari percakapan
Suto dengan Selendang Kubur. Rahasia Tuak Setan akan terbongkar dari mulut
Selendang Kubur. Sudah tentu
Suto akan berada di pihak Selendang Kubur dan segera menyerangnya jika Suto tahu
pusaka itu ada padanya.
Demi menyelamatkan pusaka dari tangannya, juga
demi menyelamatkan hubungannya dengan Suto di kelak kemudian hari, Peri Malam
terpaksa harus menghilang sementara dari depan kedua manusia itu. Tanpa ragu
sedikit pun. Peri Malam sentakkan kakinya dan
melesatlah tubuh sekalnya itu. Dalam satu lompatan ia telah mencapai dahan di
atas sebuah pohon. Dari sana ia serukan kata,
"Kutangguhkan niat membunuhmu, Selendang
Kubur! Aku harus menghadiri pertemuan penting
dengan para tokoh tua. Tapi ingat, suatu saat kita
bertemu, kita harus tentukan siapa yang berhak hidup lebih lama lagi di antara
kita berdua!"
Selesai berkata begitu, tubuh Peri Malam melenting
lebih tinggi lagi. Mencapai dahan berikutnya dengan satu putaran salto. Kemudian
secepat kilat ia menghilang pergi dari pandangan Suto dan Selendang Kubur.
"Jahanam! Pencuri! Jangan lari kau...!" teriak
Selendang Kubur.
Dengan satu hentakan kaki, tubuh Selendang Kubur
pun segera melesat cepat. Tujuannya mengejar Peri
Ma!am. Tapi Suto segera mengibaskan tangan kirinya
seperti menghalau ayam. Dan tiba-tiba tubuh Selendang Kubur terjungkal di udara,
lalu jatuh di samping batu besar. Brukkk...!
Satu gerakan tangan yang sepertinya tidak bertenaga itu telah membuat pengejaran
Selendang Kubur tertunda.
Perempuan itu semakin dongkol hatinya, ia cepat-cepat berdiri dan menatap Suto
dengan mata melotot garang.
"Mengapa kau halangi aku yang mau mengejarnya"!
Rupanya kau memang ada di pihaknya, Suto!"
"He he he...," Suto tertawa dengan mata sedikit sayu karena pengaruh tuaknya.
"Siapa bilang aku ada di pihaknya?"
"Lalu, mengapa kau menahanku dan tak rela jika aku mengejarnya?"
"Karena kau punya urusan pribadi denganku, Anak Cantik!" Suto kembali tertawa
sambil memegangi bumbung tuak.
Begitu mendengar Suto menyebutkan adanya urusan
pribadi, hati Selendang Kubur jadi berdebar-debar.
Hatinya membatin.
"Apakah dia bermaksud bicarakan masalah
perasaanku dan perasaannya" Apakah dia sebenarnya
tidak menaruh hati pada Peri Malam" Tapi tadi kulihat mereka berciuman, iih...
jijik aku mengenangnya!"
Wajah itu semakin cemberut. Selendang Kubur
singkapkan rambutnya yang terjurai ke depan wajah.
Hidungnya yang bangir dengan bibir bak kuncup mawar itu terpasang jelas
menantang sorot pandangan mata
Suto. Ia berdiri dengan satu kaki naikkan ke atas
permukaan batu yang agak tinggi, ia biarkan Suto dekati dirinya sampai jarak
tiga langkah. "Urusan pribadi apa maksudmu, hah"!" tanyanya dengan ketus. "Bukankah kau punya
urusan pribadi dengan setan genit tadi"! Bukankah kau telah puas
bermesraan dengan peri bobrok tadi"! Masih kurang
puaskan kau memperoleh kemesraan darinya"!"
Suto tahu nada cemburu meluncur lewat kata-kata itu, Suto tertawa karena ada
salah anggapan di antara dirinya dan Selendang Kubur. Suto juga tahu, Selendang
Kubur menyangka urusan pribadi itu berkaitan dengan masalah dari hati ke hati,
padahal yang dimaksud Suto adalah urusan Pusaka Tuak Setan.
Sengaja Suto duduk di batu agak tinggi, hingga
kakinya tetap menapak di tanah tapi pantatnya
diletakkan di tepian batu itu. Ia berada di samping kanan Selendang Kubur dalam
Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jarak hanya satu langkah.
Selendang Kubur layangkan pandangan matanya ke
arah laut dengan sedikit menyipit, karena saat itu ia berkata,
"Tak kusangka kau jatuh cinta pada durjana! Hal seperti inilah yang dulu
kumaksudkan, bahwa aku ingin menjagamu. Dari sentuhan tangan dan pelukan
perempuan lain itulah aku menjagamu. Karena pelukan dan sentuhan tangan
perempuan lain itu lebih tinggi
bahayanya dari ilmu kesaktian mana pun juga!"
"He he he..., kau benar-benar lucu, Selendang Kubur.
Sekian waktu aku mencarimu, sampai kudatangi
perguruanmu, ternyata setelah kutemukan dirimu, kau curahkan kecemburuan itu!
Aku tak sangka kalau akan mendapat curahan kecemburuan sebanyak ini darimu!"
"Aku tidak cemburu!" sentaknya munafik, sambil ia palingkan wajah menatap Suto
dengan mata tajam.
Lalu ia katupkan mulut dan diam, tak peduli dengan
suara tawa Suto yang sudah dipengaruhi oleh tuak yang memabukkan itu. Tetapi di
hati perempuan itu terjadi suatu percakapan kecil.
"Benarkah dia datang ke Perguruan Merpati Wingit"
Untuk apa dia ke sana" Oh, dia bilang tadi untuk
mencariku" Benarkah sampai sebegitu repot dia
mencariku" Oh, tak kusangka jika hal itu benar
dilakukannya. Tak mungkin ia tak memiliki hasrat
padaku jika sampai memburuku ke sana. Sayang dia tak mau tunjukkan hasratnya
secara terang-terangan padaku, sehingga aku tak bisa mengerti dengan jelas dan
pasti. Sebab aku sendiri tak mau tunjukkan hasratku lebih
dulu. Aku malu."
Suto perdengarkan suaranya setelah ia meneguk dua
kali tuak dari bumbungnya.
"Aku bertemu dengan Dewi Murka, juga bertemu
dengan gurumu Nyai Guru Betari Ayu. Bahkan aku
sempat bicara panjang lebar dengan gurumu di taman
yang indah itu."
"Apa..."! Kau bicara dengan Guru" Kau diajak ke taman itu"!"
"Ya," jawab Suto polos. "Aku kagum sekali."
"Kagum pada guruku?"
"Kagum pada taman yang indah itu," jawab Suto mengalihkan sangkaan, karena ia
tahu arah pertanyaan Selendang Kubur itu.
Selendang Kubur kembali katupkan mulutnya.
Kembali pula hatinya berkata, "Kalau dia dibawa oleh Guru ke taman itu, berarti
Guru punya perhatian
istimewa padanya. Oh, apakah Guru juga mempunyai
rasa suka pada Suto?"
"Bahkan aku sempat bermalam di sana. Satu malam,"
tambah Suto. Selendang Kubur semakin terperanjat. "Kau
bermalam di sana"! Hmmm... dengan siapa" Dengan
siapa kau tidur di sana"'
"Dengan seseorang," jawab Suto menggoda,
membuat hati Selendang Kubur semakin penasaran.
"Siapa orang itu"! Sebutkan namanya! Dewi Murka?"
"Bukan."
"Murbawati?"
"Bukan."
"Lalu... lalu siapa" Siapa orang yang tidur denganmu, Suto?"
"Pembayun!" jawab Suto.
"Oooh..," Selendang Kubur menghempaskan
napasnya dengan lega. Pembayun adalah lelaki yang
paling rajin dan mencintai pekerjaannya sebagai perawat
kuda. Usianya sudah empat puluh lima tahun, dan sangat setia merawat kuda milik
Betari Ayu. "Sangkamu aku tidur dengan perempuan?"
"Jangan lagi kau datang ke sana!" Selendang Kubur tak sadar berkata bagai
seorang ratu memberi perintah larangan kepada bawahannya. Suto menertawakan
dengan suara pelan. Selendang Kubur jadi malu sendiri setelah menyadari
larangannya itu.
"Kehadiranmu di sana hanya akan mengganggu
perhatian para murid yang sedang belajar dan berlatih memusatkan pikiran,"
Selendang Kubur menutupi
kecemasannya. "Ke mana aku harus mencarimu jika tidak ke sana, Selendang Kubur. Aku benar-
benar bingung saat itu.
Aku tak tahu kau ada di mana. Karena ketika aku
muncul dari Telaga Manik Intan itu, kau sudah hilang dan Paman Sugiri dalam
keadaan terkapar luka."
Hati Selendang Kubur masih berdebar indah
mendengar Suto bingung mencarinya. Bahkan ia sangka dirinya dapat membuat Suto
mabuk kepayang karena
rindu ingin bertemu. Tapi untuk memastikan sangkaan indahnya itu, Selendang
Kubur pun menanyakannya
kepada Suto. "Untuk apa kau mencariku sampai kebingungan
begitu?" "Karena aku harus meminta Pusaka Tuak Setan
darimu." "Apa..."!" Selendang Kubur terkejut dan segera kerutkan dahi, belalakan matanya
yang indah itu.
Suto hanya tersenyum kalem dengan mata seperti
orang mengantuk karena mulai mabuk, ia pandangi mata Selendang Kubur yang tak
berkedip itu, lalu ia tertawa geli sendiri sambil berkata, "Matamu itu enak
dicolok. He he he...!"
"Suto!" sentak Selendang Kubur. "Jadi kau mencariku ke mana-mana hanya untuk
mendapatkan Pusaka Tuak Setan?"
"Ya. Benar."
"Kau kira akulah orang yang merampas Guci Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat
itu"' "Siapa lagi kalau bukan dirimu, Selendang Kubur.
Karena saat itu yang ada di tepi sendang hanya kau dan Paman Sugiri."
Kecewa hati Selendang Kubur. Bunga-bunga indah
yang mekar di hati karena dugaan mesra tadi, kini
menjadi layu dan sebagian rontok berguguran, ia pun sedikit jauhkan diri dari
Suto dan berkata dengan dahi masih berkerut tegang.
"Ketahuilah, Suto..., bukan aku pencuri Pusaka Tuak Setan itu. Kalau kau ingin
merebut Tuak Setan, kejarlah Peri Malam sekarang juga! Dialah orang yang
merampas Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat pada
saat kau menyelam ke dalam telaga untuk yang kedua
kalinya." "Jangan bergurau. Selendang Kubur!"
"Aku tidak bergurau!" sentak Selendang Kubur. "Peri Malam itulah orang yang
mempunyai senjata jarum
beracun, yang juga mengenai tubuh Dewi Murka
beberapa waktu yang lalu. Pada saat dia menyerang
Pujangga Kramat dengan jarum beracunnya, aku ada di atas pohon. Sangkanya tak
ada orang lain di situ,
karenanya ia mudah saja mengambil Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat.
Ia tidak tahu aku ada di atas pohon. Dan begitu kutahu ia membawa lari Tuak
Setan, maka kukejar dia sampai ke mana pun larinya.
Dan yang terakhir kutemukan dia di sini sedang
berpelukan denganmu! Itulah sebabnya aku tadi sempat benci padamu. Kau bercinta
dengan pencuri pusaka yang menjadi hak milikmu sebagai murid sinting si Gila
Tuak, sementara susah payah aku berusaha merebut pusaka itu untuk
menyelamatkannya dari tangan orang-orang tak
bertanggung jawab, seperti halnya Peri Malam dan
gurunya." Suto terbengong sejenak, kemudian bertanya, "Apa hubungannya Tuak Setan dengan
gurunya Peri Malam"!"
"Dia mencuri Pusaka Tuak Setan bukan untuk
dirinya, tapi untuk gurunya! Dia lakukan hal itu hanya sekadar patuh pada
perintah sang Guru! Kalau kau tak percaya, mari kita buktikan!"
Suto tertegun. Matanya semburat merah karena
mabuk. * * * 7 MENURUT Suto, mereka tidak perlu mengejar Peri
Malam. Sebab tadi ia melihat ada perahu di celah
bebatuan karang. Suto ingat cerita Peramal Pikun
tentang gurunya Peri Malam, yaitu seorang tokoh tua yang sedang menunggu saat
terbaik untuk melawan
Bidadari Jalang. Suto ingat, bahwa Guru dari Peri
Malam adalah Mawar Hitam yang tinggal di Pulau
Hantu. Tentunya menjadi penguasa di Pulau Hantu
tersebut. Menurut perhitungan Suto, cepat atau lambat pasti Peri Malam akan
kembali datang ke pantai itu dan menuju ke Pulau Hantu memakai perahu tersebut.
Tetapi, Selendang Kubur mempunyai pemikiran lain
lagi. "Mungkin saja dia akan pulang ke Pulau Hantu
menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Tapi
bagaimana jika ia nekat menjadi murid murtad"!"
"Apa maksudmu?"
"Karena dia tahu kekuatan dahsyat di dalam Tuak Setan itu, maka dia meminum
sendiri tuak tersebut.
Bukankah dengan begitu dia bisa kalahkan gurunya
sendiri?" "Hmmm... ya. Memang bisa saja terjadi begitu!" kata Suto sambil menutup bumbung
yang habis diteguk
isinya. Kemudian ia bertanya kepada Selendang Kubur.
"Apa dia berani menjadi murid murtad?"
"Aku lihat dia mulai jatuh cinta padamu."
"Hei, apa hubungannya murid murtad dengan jatuh cinta?"
"Dia bernafsu ingin mendapatkan kau. Dia harus singkirkan banyak saingannya,
termasuk diriku. Untuk itu dia perlu ilmu yang lebih hebat dan lebih dahsyat.
Tak heran jika ia paksakan diri untuk menjadi murid murtad dengan meminum Tuak
Setan itu. Dengan
minum Tuak Setan, dia akan berilmu tinggi dan dapat menyingkirkan saingannya,
lalu dia dapat memiliki
dirimu." "He he he... aku tidak cinta sama dia, juga sama yang lainnya. Aku sudah punya
kekasih sendiri."
"Kau akan dipaksanya bertekuk lutut di hadapannya, dan dipaksa juga agar mau
menerima cintanya, agar mau melayani dirinya dan... kau tak akan berkutik karena
kau kalah sakti dengannya, jika dia meminum Tuak Setan
itu." Suto kerutkan dahi setelah mencerna kata-kata
Selendang Kubur. Lalu, dia bertanya dengan suara
semakin sumbang.
"Apa dia tahu kekuatan yang ada pada Tuak Setan itu?"
"Tahu atau tidak, yang penting sekarang kejarlah dia.
Rebut kembali Tuak Setan itu. Aku akan
mendampingimu dan menjagamu!"
Suto tertawa parau, "He he he he... aku mau kau mendampingiku, tapi jangan
sering-sering memandangi tubuhku. Karena aku tahu kau punya kekuatan pandang
yang bisa menembus pakaianku dan bisa melihat bagian dalamku. Aku malu jika kau
begitu, Selendang Kubur!
He he he he...!"
"Kututup kekuatan itu dari tadi. Jika tidak, aku tak akan bisa menahan gejolak
birahiku."
Sambil ucapkan kata begitu, Selendang Kubur
melangkah ke celah-celah karang. Rupanya ia mencari perahu yang disembunyikan
Peri Malam. Begitu perahu itu ditemukan, Selendang Kubur segera sentakkan
tangannya ke arah perahu itu. Melesat seberkas sinar kuning, dan meledaklah
perahu itu terkena kilatan sinar kuning. Blaarrr...! Praakkk...!
"Hei, mengapa kau ledakkan perahu itu"!" seru Suto.
"Biar dia tidak bisa lari ke Pulau Hantu!" jawab Selendang Kubur.
"Dia bisa pakai ilmu peringan tubuhnya untuk
menyeberangi lautan ini!"
"Tak mungkin bisa. Buktinya dia siapkah perahu, itu artinya dia tak bisa
menyeberangi lautan dengan
mengandalkan ilmu peringan tubuhnya."
"Yah, bisa juga dia buat lagi!"
"Kita berangkat sekarang, Suto!"
"Boleh saja!" kata Suto dengan mata sedikit merah.
Mereka bersiap untuk meninggalkan Pantai Karang
Saru. Tapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari belakang mereka.
"Tunggu!"
Serta-merta mereka palingkan wajah. Selendang
Kubur terperanjat melihat orang yang baru saja datang dan menahan langkahnya.
"Dewi..."!" desis Selendang Kubur dengan perasaan tak suka.
"O, ya! Dia yang bernama Dewi Murka. Aku ingat!"
kata Suto sambil cengar-cengir karena mabuk.
"Untuk apa kau menahanku, Dewi! Dan untuk apa
kau datang kemari menemui kami"!" suara Selendang Kubur bernada ketus,
"Jangan ikut campur urusan orang lain, Selendang Kubur! Suto punya urusan
sendiri dan kau juga punya urusan sendiri!"
"Apa hakmu melarangku?"
"Aku telah diangkat resmi menjadi wakil Guru.
Tugasku kemari untuk menjemputmu. Kau dipanggil
oleh Nyai Guru, Selendang Kubur!"
Selendang Kubur bingung sejenak, ia membatin,
"Apa benar Guru memanggilku" Apa benar Dewi
diangkat menjadi wakil Guru secara resmi" Jangan-
jangan dia hanya ingin mengelabuhiku, supaya aku
meninggalkan Suto dan dia sendiri akan menggantikan kedudukanku di samping
Suto!" Terdengar Dewi Murka keluarkan perintah tegas,
"Cepat pulang sekarang juga, Selendang Kubur!"
"Bagaimana dengan dirimu sendiri?"
"Aku akan ke tempat lain, karena ada tugas dari Guru!"
Selendang Kubur sunggingkan senyum dingin. "Tadi kau bilang mau menjemputku, itu
berarti kau dan aku pulang bersama. Sekarang kau bilang ada tugas ke
tempat lain, itu berarti aku harus pulang sendiri. Aku tahu jalan pikiranmu,
Dewi Murka! Kau ingin
menggantikan diriku sebagai pendamping Suto!"
"Jaga bicaramu dengan wakil Guru, Selendang
Kubur!" "Persetan dengan kedudukanmu yang sekarang!
Kurasa kududukan itu pun palsu adanya, Dewi!"
"Kau harus segera pulang! Guru memanggilmu!"
sentak Dewi Murka.
"Persetan juga dengan panggilan Guru!" Lalu, Selendang Kubur menarik tangan Suto
sambil berkata,
"Jangan hiraukan dia, Suto! Kita harus berangkat sekarang juga!"
"Larasati..!" seru Dewi Murka memanggil nama asli Selendang Kubur, ia melangkah
beberapa tindak.
"Jangan memaksa diriku berlaku kasar padamu,
Larasati!"
Selendang Kubur terpancing kemarahannya dan
Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membalikkan badan serta memisahkan diri dari Suto. Ia melesat lompat ke tempat
yang datar dan bersuara
lantang. "Dewi, apa maumu sebenarnya, hah"!"
"Menyuruhmu pulang!"
"Kalau aku tak mau, apa tindakanmu"!"
"Terpaksa aku harus menyeretmu pulang, Larasati!"
"Apa kau kira mampu, hah"!" tantang Selendang Kubur yang merasa kedamaiannya
bersama Suto diganggu oleh kemunculan Dewi Murka.
Kejap berikutnya tubuh Dewi Murka melesat dan
hinggap di atas gundukan batu. Ia berdiri dengan tegak dan tampak menantang
juga. Kejap lain, Selendang
Kubur pun melompat ke atas gugusan karang dan berdiri
dengan sigap, siap menghadapi serangan Dewi Murka.
Sejurus kemudian, Dewi Murka perdengarkan
suaranya yang tegas.
"Dengar, Larasati...! Guru telah perintahkan aku untuk memaksamu pulang. Tak
bisa hidup, mati pun tak apa! Guru telah tugaskan aku untuk membawamu pulang
dalam keadaan hidup atau mati! Paham"!"
"Tak mungkin Guru keluarkan tugas begitu untukmu!
Aku bukan murid bersalah. Aku tidak melanggar
peraturan perguruan!"
"Siapa bilang"!" sergah Dewi Murka, "Kau menjadi murid bersalah dan dianggap
telah murtad!"
"Hei, apa salahku"!" Selendang Kubur kian keras kerutkan keningnya karena heran.
"Jangan berlagak bodoh, Larasati! Sejak kepergianmu tempo hari dari perguruan,
ternyata kau telah berhasil mencuri Kitab Wedar Kesuma!"
"Gila kau!"
"Kitab Wedar Kesuma telah hilang dari tempatnya.
Siapa lagi pencurinya jika bukan kau, Larasati! Karena sejak saat itu kau tidak
berani pulang ke perguruan!"
"Itu fitnah! Itu praduga yang kau timbulkan sendiri, karena kau takut Guru akan
memilihku sebagai
penggantinya!" sanggah Selendang Kubur sambil
menuduh balik kepada Dewi Murka.
"Jika kau tidak merasa bersalah, kau pasti pulang, Larasati!"
"Aku akan pulang, tapi tidak sekarang! Aku masih harus menemani Pendekar Mabuk
untuk satu persoalan
yang amat penting!"
"Tidak bisa. Sekarang juga kau harus pulang atau kuseret dalam keadaan sudah
menjadi bangkai"!'
"Kalau kau memang mampu, lakukanlah!" sentak Selendang Kubur dengan berani.
"Baik. Akan kulakukan tugasku!" geram Dewi Murka. Rupanya ia tidak main-main dan
bukan sekadar menggertak. Terbukti ia segera mencabut trisulanya dari pinggang.
Diam-diam Suto juga punya dugaan yang sama
dengan kata hati Selendang Kubur tadi.
"Tak mungkin Dewi Murka dapat tugas dari Guru
untuk menyuruh Selendang Kubur pulang. Kudengar
tadi dia mau pergi ke tempat lain. Mana mungkin dia akan melepaskah pencuri
kitab pulang sendiri tanpa
pengawalan ketat" Bohong dia! Aku tahu dia punya
maksud ingin mendekatiku. Karena waktu aku ada di
perguruannya, dia sempat dekati aku dan berbisik saat gurunya jauh dariku. Ia
bilang ingin membantuku
mencari Selendang Kubur, ia bilang, dirinya siap
menjadi pendampingku ke mana saja aku pergi. Jelas dia punya urusan pribadi
dengan Selendang Kubur. Dan
juga kepentingan pribadi padaku. Pasti dia iri melihat Selendang Kubur dekat
denganku."
Suto tertawa pelan sambil geleng-gelengkan kepala.
Sejenak ia menjadi penonton pertarungan Selendang
Kubur dengan Dewi Murka. Saat berikutnya hatinya
berkata, "Aku tahu, kedua perempuan itu ingin mendapat
tempat di hatiku. Tapi mereka tidak tahu bahwa hatiku hanya tersedia tempat
untuk Dyah Sariningrum. Mereka tak bisa menyingkirkan bayangan Dyah Sariningrum
dari ingatanku. Jadi sebaiknya, kutinggalkan saja kedua perempuan itu."
Maka, tanpa setahu Selendang Kubur maupun Dewi
Murka, Suto melesat pergi dari Pantai Karang Saru.
Sekalipun keadaan mabuk, tapi Suto tetap mampu
melesat bagaikan kilat. Bahkan lebih cepat dibandingkan gerakannya jika ia tidak
sedang mabuk. Sampai di tengah hutan, Suto berhenti untuk
membuka bumbung tuaknya, ia meneguk beberapa kali,
sedikit-sedikit tuak itu ditelannya. Kemudian, hati Suto sempat ucapkan kata,
"Aku harus temui Peramal Pikun. Aku yakin dia tahu tentang Dyah Sariningrum. Dia
merahasiakannya dariku.
Tapi nanti aku harus bisa mendesaknya dengan berbagai cara."
Tapi tiba-tiba hatinya diguncang kebimbangan.
"Mencari si tua Peramal Pikun atau mencari Peri Malam?" kata hati Suto.
"Keduanya sama-sama penting.
Menurutku dugaan Selendang Kubur tadi memang bisa
saja terjadi. Tuak Setan diminum oleh Peri Malam.
Kalau tuak itu sudah telanjur diminumnya, tentu aku akan mengalami kesulitan
untuk mengalahkan Peri
Malam. Bisa jadi pertempuranku dengannya membawa
korban lain yang tak bersalah. Jika begitu, sebaiknya kucari lebih dulu Peri
Malam untuk menyelamatkan
Pusaka Tuak Setan itu!"
Kepak sayap seekor burung hinggap di atas pohon
yang dipakai beristirahat oleh Suto. Kepak sayap burung lainnya, hinggap juga di
pohon satunya lagi. Makin lama kepak sayap burung semakin banyak beterbangan di
atas Suto. Itu menandakan petang sebentar lagi tiba. Dan hati Suto berucap kata,
"Aku harus cari desa. Aku mau menumpang tidur di salah satu rumah. Kebetulan
tuakku mulai menipis. Aku harus cari kedai untuk menambah tuak di bumbungku!"
Sebuah desa ditemukan tak jauh dari hutan itu. Desa tersebut termasuk desa
nelayan. Di sana ada kedai, dan di kedai itu Suto menambahkan tuak ke dalam
bumbungnya. Seorang lelaki berkumis lebat melintang sedang
makan di kedai tersebut. Matanya yang lebar itu
sebentar-sebentar melirik Suto dengan perasaan tak suka.
Lelaki berkumis itu mengenakan pakaian serba hitam
dengan ikat kepala dari kain batik. Duduknya tak kenal sopan kaki kanan ditaruh
di atas bangku, sebentar-sebentar tangannya dikibaskan membuat makanan yang
menempel di jari-jemarinya yang sebesar pisang itu
memercik ke mana-mana.
Salah satu butiran sisa makanan jatuh dan menempel
di lengan Suto. Tanpa banyak bicara Suto menyentil sisa makanan itu. Sentilan
tersebut di arahkan ke suatu
tempat. Sisa makanan itu melesat ke arah kendi yang ada di depan lelaki berkumis
tebal itu. Tang...! Prakkk...!
Kendi itu pecah bagai dilempar batu sebesar
genggaman tangan. Lelaki berkumis yang punya badan
tinggi besar itu menggeram dengan mata jelalatan. Ia mencari di sekelilingnya
orang yang melemparkan batu dan memecahkan kendi di depannya. Tapi tak satu pun
ada yang dicurigainya.
"Bangsat! Siapa yang berani pecahkan kendiku ini"!"
bentaknya ke arah tiga lelaki lain yang ada di bangku samping.
Pemilik kedai seorang perempuan tua yang sudah
keriput wajahnya. Perempuan itu ketakutan melihat mata lelaki berkumis
membelalak lebar, penuh luapan amarah.
"Sudahlah, Kang. Jangan hiraukan. Biar kuganti kendimu. Aku masih punya banyak
kendi dan minuman." "Iya. Tapi kendi ini berisi arak Kebalen! Harganya mahal!"
Pemilik kedai itu berkata, "Di sini juga jual arak Kebalen, Kang. Biarlah
kuganti satu kendi penuh!"
"Baiklah kalau kau mau menggantinya. Sebab aku tidak bisa minum tuak yang mirip
air kencing kuda itu!
Aku harus minum arak Kebalen, arak paling terkenal dan paling mahal!"
"Ini, Kang...," kata ibu pemilik kedai. "Ini arak Kebalen satu kendi."
"Baiklah. Beri aku sekendil tuak!"
"Untuk apa, Kang?"
"Buat cuci tangan, Goblok!" bentaknya. Pemilik kedai itu menggeragap sambil
bergegas menyiapkan
tuak satu kendil berukuran kecil. Pada saat itu, lelaki
berkumis melintang dan berbadan seperti kebo itu
melirik sinis pada Suto. Meski tahu dilirik, Suto diam saja dan pura-pura tidak
memperhatikan lelaki yang sedang unjuk keberanian dan kegalakannya itu.
"Ini tuaknya, Kang" Apa masih kurang?" tanya pemilik kedai.
"Sudah. Cukup."
Seorang lelaki kurus berbaju merah lusuh bertanya
kepada lelaki berkumis tebat itu.
"Kang, apa tidak merasa sayang kalau tuak sebegitu banyak dipakai untuk cuci
tangan"' "Sudah biasa!" jawab lelaki itu. "Aku kalau habis makan, cuci tangannya harus
pakai tuak. Tuak seperti ini kalau di rumahku tidak diminum, tapi buat cuci
tangan atau cuci kaki kalau habis kena tanah becek!"
Tangan lelaki berkumis itu segera masuk ke kendil
berisi tuak. Tapi kejap berikutnya dia memekik keras, kaget dan heran. Tangannya
ditarik kuat-kuat.
"Bangsat! Kenapa tuaknya panas"!" sambil ia gebrak meja. Pemilik kedai semakin
gemetar. "Ta... tadi... tadi tidak panas, Kang."
"Tidak panas dengkulmu! Pegang! Celupkan
tanganmu ke dalam tempat ini! Ayo, coba celupkan
tanganmu!" perintah itu mendesak dan membuat pemilik kedai menurutinya karena
takut. Tangan pemilik kedai dicelupkan ke dalam kendil
berisi tuak. Perempuan itu tidak merasa kepanasan,
bahkan agak lama merendamkan tangan ke dalam
kendi!. "Tidak panas, Kang. Dingin begini kok dibilang panas?"
Lelaki berkumis tertegun bengong melihat tangan
perempuan keriput itu direndam di dalam kendil berisi tuak. Di sisi lain, Suto
tetap diam, tapi dalam hatinya ia tertawa geli melihat kepongahan lelaki
berkumis. "Coba...!" kata lelaki itu. Tangan pemilik kedai diangkat, tangan lelaki itu
masuk ke dalam kendil.
"Aaauh...!" ia memekik keras. Lelaki itu cepat angkat tangannya keluar dari
kendil. Tangan itu mengepul.
Jarinya bengkak lebih besar dan berwarna kemerah-
merahan. Pemilik kedai pun belalakkan mata dengan
rasa heran dan takut. Begitu pula orang lain yang ada di situ. Hanya Suto yang
tetap tenang dan tak perhatikan hal itu.
Suto tahu, bahwa dirinya sedang dicurigai oleh lelaki berkumis tebal. Tapi Suto
juga tahu, bahwa lelaki itu tidak punya alasan untuk bikin persoalan dengan
Suto. Sebagai pelampiasan kemarahannya, lelaki berkumis itu segera menampar wajah
pemilik kedai sambil berkata,
"Pasti kamu yang bikin usil. Hihh...!"
Tap...! Tangan yang berkelebat mau menampar pipi
pemilik kedai itu jadi terhalang oleh bumbung tuak yang disodokkan Suto. Barulah
saat itu lelaki berkumis
menggeram dengan mata melotot bagai ingin menelan
Suto bulat-bulat.
"Kau mau unjuk diri di kampung ini, hah" Kau belum tahu kondangnya Singo Bodong
ini!" sambil lelaki berkumis menepuk dadanya sendiri dengan tangan kiri.
"Kenalkan, kalau kamu mau tahu, aku inilah Singo Bodong, tukang beset kulit
manusia!" Suto tersenyum-senyum saja. Singo Bodong menjadi
semakin geram. "Rupanya kau perlu diberi pelajaran sedikit, Anak Ingusan!"
Tangan kiri Singo Bodong berkelebat meluncurkan
pukulan ke wajah Suto. Tapi dengan cepat Suto
merundukkan kepala dan tangannya berkelebat
menghantam iga Singo Bodong menggunakan punggung
telapak tangan. Plook...!
Tubuh Singo Bodong mental lebih dari lima langkah
jauhnya. Padahal hanya mendapat pukulan ringan dari punggung tangan Suto yang
kiri. Tapi menurutnya
pukulan itu melebihi serudukan tiga ekor kerbau.
Bukan hanya Singo Bodong, tapi setiap orang yang
ada di situ mulai menaruh curiga pada Suto. Pemuda
tampan itu pasti bukan orang sembarangan dan sudah
tentu berilmu tinggi. Karena itu ketika Singo Bodong berdiri sambil menyeringai,
ia segera mundur beberapa pijak dengan rasa takut.
"Apa yang mau kau sampaikan padaku?" tanya Suto.
"Hammm... hmmm... anu... tidak. Eh, anu... maaf.
Maafkan aku, Satria gagah...!"
"Namaku bukan Satria! Namaku Suto Sinting...!"
Suto memperkenalkan diri. Kebetulan ada orang yang
mendengarnya, yaitu lelaki berpakaian merah lusuh yang tadi ikut makan di kedai
itu. Lelaki tersebut segera mendekati Suto dengan sopan.
"Mak.... Maksudnya, Tuan adalah... adalah Suto Sinting, murid dari si Gila
Tuak?" "Betul. Dari mana kau tahu?"
"Mak.... Maksudnya... Tuan adalah Suto Sinting, yang bergelar Pendekar Mabuk?"
"Betul!" sentak Suto jengkel. "Tahu dari mana kamu?"
Orang kurus berpakaian merah itu menjawab dengan
masih gemetar. "Tad... tadi, saya dengar ada orang yang bercerita tentang diri Tuan Pendekar,
menyebut-nyebut nama Suto Sinting yang berilmu tinggi dan... dan si Gila Tuak
yang kesohor di rimba persilatan itu."
"Siapa yang menceritakan diriku?"
"Orangnya ada di rumah tetangga saya. Dia... dia numpang bermalam di sana."
"Siapa yang menceritakan diriku" Itu
pertanyaannya!"
"O, anu... anu... namanya saya tidak tahu. Tapi dia banyak cerita pada keluarga
tetangga saya tentang
kehidupan di rimba persilatan. Dia... dia jagoan
perempuan. Cantik dan montok. Eh... anu... maksud
saya... dadanya... anu...!"
"Jagoan perempuan" Cantik dan montok?"
"Bet... betot, eh... betul!"
"Memakai pakaian kuning?"
"Iya!"
"Hmmm... Peri Malam ada di sini rupanya!" pikir Suto, lalu ia berkata kepada
orang itu, "Antarkan aku
menemuinya!"
"Ba... ba... baik!"
* * * 8 ALANGKAH kaget hati Peri Malam melihat
kehadiran Suto di rumah penduduk desa itu. Cepat sekali ingatan Peri Malam pada
Pusaka Tuak Setan dan
bayangan Selendang Kubur. Peristiwa di Pantai Karang Saru itu mencekam membuat
Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
guncang hati Peri Malam.
"Kucari-cari kau, ternyata ada di sini," kata Suto dengan suara sumbang karena
pengaruh mabuknya
masih ada. Peri Malam segera ambil sikap tenang seakan tidak
merasa pernah berbuat salah apa pun. Lalu Peri Malam berkata riang.
"Kuharap kau datang sendirian di malam ini. Bukan bersama Selendang Kubur."
"Ya, memang aku sendirian. Cuma diantar oleh Kang Rejo, yang rumahnya di sebelah
itu." Pemilik rumah yang dihuni Peri Malam segera
muncul dan ikut menemui Suto. Peri Malam
memperkenalkan Suto kepada keluarga Kriyo Suntuk
yang terdiri dari istrinya dan kelima anaknya.
"Ini orang yang kuceritakan tadi. Ini yang namanya Pendekar Mabuk, Suto Sinting!
Ya ini si orang sakti yang kuceritakan sebagai murid tokoh sakti kesohor
bergelar si Gila Tuak itu!"
Anak-anak Kriyo Suntuk tampak bangga dan kagum
melihat tubuh perkasa Suto, Belum lagi anak gadis
Kriyo Suntuk yang sudah berusia antara delapan belas tahun, sangat terpesona
melihat ketampanan Suto walau bermata sedikit merah karena mabuk. Suto jadi
dikerumuni oleh mereka, ditanyai ini-itu, dijamu dengan makanan lezat, dan
dipaksa untuk bercerita tentang
kehebatan ilmu-ilmunya.
Suto sempat berbisik kepada Peri Malam, "Apa-apaan ini sebenarnya" Mengapa
mereka terkagum-kagum
sekali padaku?"
"Kuceritakan tentang kehebatanmu dan kehebatan gurumu. Mereka suka dengan
cerita-cerita kependekaran. Mereka kagum mendengar ceritaku.
Kagum terhadap dirimu. Jadi, jangan kecewakan
mereka, toh mereka berikan kita tumpangan untuk
bermalam di rumah ini!"
"Bermalam" Siapa bilang aku mau bermalam di sini"
Aku hanya akan numpang tidur saja!" kata Suto sedikit mengacau.
Mereka duduk di tikar, di pelataran samping rumah.
Bahkan kala itu datang juga beberapa tetangga sekeliling rumah Kriyo Suntuk.
Pendekar Mabuk yang saat itu memang sedang
mabuk bercerita apa saja yang pernah dialaminya.
Bahkan apa yang pernah didengarnya dari mulut para
tokoh tua di dunia persilatan, diceritakan pula kepada mereka. Dan mereka tampak
senang, hanyut dalam cerita tersebut.
Satu-satunya orang yang datang ke situ dan sangat
tertarik sekali dengan cerita Suto adalah seorang lelaki berkumis tebal. Dialah
yang tadi mengaku bernama
Singo Bodong. Lelaki ini bahkan sering berdecak
terkagum-kagum terhadap cerita tentang jurus-jurus sakti yang pernah dilihat
oleh Suto. Sampai menjelang pagi, mereka baru merasa puas.
Anak bungsu Kriyo Suntuk tertidur di pangkuan
emaknya. Tetapi Katri, anak gadis Kriyo Suntuk yang berusia antara delapan belas
tahun itu, masih betah memandangi wajah ganteng Suto Sinting.
Suto tak tahan kantuk lagi. Ia terbaring di tikar itu sambil memeluk bumbung
tuaknya. Ketika ia terbangun, hari sudah siang, matahari pancarkan sinar-nya
dengan galak. Dan Katri adalah orang pertama yang menyambut kebangunan Suto
dengan senyum manis, semanis
senyum perawan desa yang berkulit hitam manis.
"Mau kubuatkan secangkir teh manis, Kang Suto?"
"Tidak. Terima kasih. Aku sudah cukup puas kalau sudah minum tuak ini. Eh, di
mana Peri Malam" Masih tidur?"
"Peri Malam..."!" Katri berkerut heran. "Maksudmu Yu Sundari" Pendekar perempuan
temanmu itu toh,
Kang?" "Iya. Mana dia?"
"Ooo... sudah dari tadi pagi pergi, Kang. Sebelum pergi, dia larang kami
membangunkan Kang Suto.
Katanya kalau Kang Suto sedang tidur dan dibangunkan, rumah ini bisa rubuh
dipancalnya! Jadi kami tidak ada
yang berani membangunkan Kang Suto!"
"Celaka! Ini pasti kelicikannya!" pikir Suto. "Aku tak sempat bicara padanya
tentang Tuak Setan itu. Hmmm...
pandai sekali ia mengalihkan suasana sampai aku tak punya kesempatan bicara
padanya." Suto hanya mengetahui arah kepergian Peri Malam,
yaitu ke arah selatan. Dalam perhitungan Suto,
perempuan licik itu tak mungkin berlari cepat, karena ia masih punya luka bekas
pukulan Selendang Kubur. Tak mungkin sembuh sehari-dua hari. Maka, dengan suatu
keyakinan penuh, Suto mengejar Peri Malam ke arah
selatan dengan kecepatan larinya yang melebihi
melesatnya anak panah.
Tepat ketika Suto tiba di kaki bukit, ia memandang
kelebatan orang berpakaian kuning kunyit yang sedang berada di lereng bukit. Tak
salah lagi dugaan Suto, orang itu adalah Peri Malam.
Suto berkelebat lewat. Daun-daun di kanan kirinya
berserakan jatuh akibat hembusan angin larinya Suto. Ia sengaja memotong jalan
melalui tepian jurang, ia
melompat di atas daun demi daun yang digunakan
sebagai pijakan kakinya.
Bukit itu bagian atasnya gundul. Tak ada tanaman
kecuali rumput dan ilalang tak seberapa tinggi. Tapi pada permukaan bukit benar-
benar kering tanpa
tanaman. Hanya bebatuan yang ada di sana, bagai bisul-bisul tersumbul dari dada
seorang perawan.
Di salah satu batu, Suto duduk menunggu. Karena ia
tahu arah perjalanan Peri Malam akan melewati puncak
bukit, lalu menuruninya dan menyeberang sebuah desa nelayan, setelah itu akan
mencapai pantai. Dari pantai itu pasti Peri Malam bertolak menuju Pulau Hantu,
untuk menemui gurunya si Mawar Hitam.
Perhitungan Suto tepat. Beberapa saat ia tunggui Peri Malam di puncak bukit itu,
akhirnya muncul juga
perempuan cantik berotak licik itu.
"Lamban sekali gerakanmu!" sapa Suto pertama kali saat mata Peri Malam itu
beradu pandang dengannya.
Peri Malam tampak kaget dan cemas, tapi segera
disembunyikan perasaan itu.
"Kupikir kau masih tidur," kata Peri Malam menutup keresahan.
"Tak bisa tidur nyenyak aku, sebelum Pusaka Tuak Setan kau serahkan padaku."
Terkesiap mata Peri Malam mendengar ucapan itu. Ia
berusaha menutup rahasianya yang sudah jelas
terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Lagak
bodohnya masih dicoba sebagai penutup rahasia.
"Pusaka Tuak Setan apa maksudmu, Suto?"
"Guci kecil, berisi tuak. Kau rampas dari tangan Pujangga Kramat ketika di tepi
Telaga Manik Intan. Kau lumpuhkan pelayan guruku dengan jarum beracun
milikmu itu!"
"Kau sedang mabuk saat ini, Suto."
"Aku sudah tidur, itu berarti aku sudah bebas dari mabuk," kata Suto tetap
dengan kalem. Matanya tak berubah pandang. Tertuju lurus ke wajah Peri Malam,
membuat perempuan itu makin gelisah.
"Aku tidak tahu soal pusaka itu. Siapa bilang aku menyerang Pujangga Kramat di
tepi telaga" Telaganya yang mana, aku juga tidak tahu."
"Selendang Kubur sudah jelaskan semuanya, Peri Malam. Jangan kau berdusta lagi!"
"Itu rekaan Selendang Kubur! Jangan mau percaya dengan mulut perempuan macam
dia! Dia berusaha
mengarang cerita seperti itu, supaya kau bermusuhan denganku dan dia bebas
mencintaimu."
"Ini persoalan pusaka! Bukan persoalan asmara!"
"Tapi asmara itulah yang membikin ribut tentang pusaka! Kau telah dipengaruhi
olehnya, Suto! Aku tak tahu apa-apa tentang Pusaka Tuak Setan!"
"Serahkan Tuak Setan itu padaku, Sundari," sambil tangan Suto terjulur tengadah
meminta pusaka tersebut.
Sambungnya lagi.
"Aku tak ingin bertarung melawanmu hanya untuk berebut pusaka setan itu! Aku tak
bisa melukai wanita secantik dirimu, Sundari. Jangan paksa aku
menyakitimu...."
Dengan tutur kata pelan, Sundari berkata, "Apakah kau mencintaiku sungguh,
Suto?" "Kau bisa tahu setelah kau berikan pusaka itu padaku, karena dengan memberikan
pusaka itu padaku, itu
berarti aku harus membalas kebaikan yang setimpal,
kebaikan yang setimpal itu tentunya merupakan sesuatu yang amat berharga dalam
hidupmu!" Dalam pengertian Peri Malam, sesuatu yang amat
berharga dalam hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari
pria seperti Suto. Tapi ia lupa bahwa Suto itu sinting, ia hanya terpengaruh
oleh bayangan hatinya sendiri,
sehingga pada akhirnya ia pun berkata, "Baik. Akan kuserahkan kembali padamu.
Tapi setelah itu bawalah aku pergi bersamamu, Suto!" Peri Malam pun
mengeluarkan guci kecil satu genggaman tangan yang
disembunyikan di balik pinggangnya. Guci itu pun
diserahkan kepada Suto. "Terimalah, Suto. Inilah bukti bahwa aku sungguh
mencintaimu...."
Seperti badai melintas di depan mereka berdua, tiba-tiba guci kecil itu lenyap
dari tangan Peri Malam
sebelum jatuh ke tangan Suto. Kedua tubuh mereka pun terpental ke belakang
secara bersamaan. Sesuatu yang berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai
angin berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Suto terjengkang dan sempat terkapar, sedangkan
Peri Malam terpental dan punggungnya membentur batu.
Ia menyeringai dan merasakan sesak pernapasan
dadanya, ia berusaha untuk bangkit, yang ternyata lebih dulu Suto yang berdiri
tegak. Kedua mata mereka
memandang ke arah samping, dan tak salah lagi dugaan Suto, seseorang telah
berdiri di atas batu dengan tawa yang terkekeh-kekeh.
Orang itu berambut abu-abu digulung naik. Badannya
agak bungkuk, pakaiannya abu-abu dengan jubah biru
lusuh hampir serupa dengan warna pakaian dalamnya
yang abu-abu itu. Orang itu menyelipkan sebuah senjata berupa tengkorak kambing
bertongkat pendek kira-kira dua jengkal. Tongkat itu pun terbuat dari tulang
punggung binatang sejenis kerbau atau entah apa. Orang itu mempunyai wajah yang
keriput kempot dan peot
dengan gigi berjarak renggang karena ompong.
Siapa lagi si tua bongkok dan kempot itu selain
gurunya Peri Malam yang bergelar si Mawar Hitam.
Rupanya ia datang tepat pada waktunya. Dan sekarang Pusaka Tuak Setan itu berada
dalam genggamannya, ia tertawa-tawa kegirangan memandangi guci kecil itu.
"Guru...," sapa Sundari dengan rasa takut. Sapaan lemah itu membuat tawa Mawar
Hitam hilang seketika.
Mata cekungnya memandang tajam pada Peri Malam,
dan ia mengumpat.
"Mulid sesat! Mulid bodoh! Sudah dapatkan pusaka mau selahkan olang lain! Dasal
mulid otak kebo!"
"Guru, maafkan aku! Karena... karena aku tahu
pusaka itu sebenarnya bukan hak milik kita, melainkan milik Suto Sinting ini!"
"Pelsetan dengan Suto! Kamu telgoda sama
ketampanan wajahnya! Padahal ketampanan itu adalah
lacun! Lacun yang mematikan!" sentak perempuan tua yang tidak bisa menyebutkan
huruf R. "Mawar Hitam," kata Suto dengan berusaha tetap tenang. "Jangan bikin perkara
denganku. Aku memang masih muda. Tapi aku tak pernah merasa segan
membunuh raga tuamu jika pusaka itu tak kau serahkan padaku!"
"Hik hik hik hik...," Mawar Hitam tertawa.
"Beltahun-tahun kutunggu kesempatan ini, tak mungkin bisa kudiamkan begitu saja.
Kau, mulid si Gila Tuak,
kasih tahu sama gulumu, sekalanglah saatnya dia halus tunduk padaku. Kalena
sebental lagi aku akan minum
Tuak Setan ini, dan aku akan jadi olang telkuat di antala tokoh-tokoh limba
pelsilatan...!"
"Kuingatkan sekali lagi, Mawar Hitam! Serahkan pusaka itu atau aku bertindak
sekarang juga"!"
"Hih, anak ingus mau coba tantang aku" Hih,
kuhanculkan batok kepalamu dengan pusaka Tengkolak
Lial ini...!"
Melihat Mawar Hitam mencabut senjatanya yang
bernama Tengkorak Liar itu, Peri Malam menjadi sangat cemas. Sebab ia tahu,
gurunya jarang menggunakan
senjata Tengkorak Liar itu. Jika senjata itu digunakan, atau dicabut dari
pinggangnya, itu pertanda akan ada korban nyawa cepat atau lambat. Karena itu,
Peri Malam segera mendekati Suto dan berbisik,
"Mundurlah, Suto...! Kalau dia cabut senjata itu, sangat berbahaya bagi dirimu.
Biar aku yang menjinakkan kemarahannya, Suto!"
"Aku tak peduli, Peri Malam!"
"Hei, Sundali...!" seru Mawar Hitam. "Kau kasih dia pengeltian, jangan coba-coba
menantang kemarahanku, supaya dia selamat dan bisa jadi suamimu! Kalau dia mau,
kukawinkan kau dengannya di Pulau Hantu kapan
saja kalian siap!"
"Tidak, Guru! Pusaka itulah tanda cintaku kepadanya.
Berikan pusaka itu, Guru!" sentak Peri Malam dengan beraninya.
"Mulid sesat! Kau pun belani menentangku, hah"!
Kau pellu tahu, bagaimana aku hanculkan si tampan
yang bodoh itu! Hiaaah...!"
Mawar Hitam sentakkan tangan kanannya yang sudah
memegang senjata Tengkorak Liarnya itu. Kilatan
cahaya perak meluncur cepat dari kedua mata tengkorak kambing. Suto segera
silangkan bumbung tuaknya
dengan badan sedikit merendah. Tapi, Peri Malam
berteriak cemas.
"Suto, jangan tahan serangan itu! Hindari!"
Karena Suto tak ada tanda-tanda akan bergerak
menghindar, maka Peri Malam pun melesat maju
menghadang sinar perak itu. Ia berdiri di depan Suto sambil berteriak,
"Jangan, Guru...!"
Suto menyapu kaki Peri Malam dengan cepat. Tubuh
Peri Malam rubuh seketika. Sinar perak melesat
melewati atas tubuh Peri Malam, dan segera diterima oleh bumbung tuaknya Suto.
Craasss...! Cahaya memercik ketika sinar perak itu
mengenai bumbung tuak. Cahaya tersebut membalik ke
arah Mawar Hitam. Serta-merta nenek keriput itu
kibaskan senjatanya dari samping kiri ke samping kanan.
Wuuugh...! Kibasan angin itu membentur sinar perak dan
terjadilah ledakan kuat dari kedua benturan itu. Blarrr...!
Suto melompat dan bersalto di udara. Tetapi Peri
Malam terlambat menghindari gelombang ledakan
tersebut. "Uhhg...!"
Bruukk...! Tubuh Peri Malam terlempar tiga langkah
ke belakang. Mulutnya menyemburkan darah segar,
membasah di pakaian kuningnya. Wajahnya pucat
seketika, ia masih bisa membuka matanya, namun tak
Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mampu lagi bicara, ia ingin bangkit, namun hanya
mampu duduk bersandar pada batu sambil memegangi
bagian dada. "Sundari..."!" desis Suto dalam cemas.
"Awas...!" ucapnya lirih, membuat Suto berpaling pada Mawar Hitam. Rupanya saat
itu Mawar Hitam
lancarkan serangan kembali dengan sentakkan tengkorak kambingnya.
Suto merasakan datangnya gelombang panas yang
menyerang ke arahnya. Suto cepat jejakkan kaki ke
tanah dan berkelebat jungkir balik di angkasa dalam gerakan maju. Pukulan tenaga
dalam yang mempunyai
daya panas cukup tinggi itu melesat menemui tempat
kosong. Tapi pada saat itu, kaki Suto sudah berpijak di batu atasnya Mawar
Hitam. "Hiaaah...!" sentak Suto sambi! meluncurkan tendangan ke arah kepala nenek
bungkuk itu. Plakkk...! Mawar Hitam terkena tendangan pada pelipisnya.
Tendangan itu bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar
Hitam terpental melayang akibat tendangan itu. Suto segera mengejarnya dengan
satu kali sentakan kaki,
tubuhnya melayang ke arah Mawar Hitam.
Jlig...! Kakinya berpijak ke tanah. Mawar Hitam yang terkapar segera layangkan
kakinya menendang pangkal
paha Suto. Namun tangan Suto lebih cepat gerakkan
bumbung bambu tuak. Plokk...! Kaki itu dihantam
memakai bumbung yang bertenaga dalam cukup tinggi.
Pukulan itu bukan saja membuat kaki Mawar Hitam
terpelanting ke samping, namun juga merasa tulang
keringnya remuk, hingga ia sempat memekik tertahan.
"Uuhhg...!"
Suto segera sodokkan bumbung bambu ke wajah
Mawar Hitam. Tapi dengan cepat Mawar Hitam
berguling ke samping. Wuusss...! Proook...!
Batu sebesar kerbau duduk itu hancur tanpa
memercikkan debu sedikit pun akibat terkena sodokan bambu bumbung tuak. Batu itu
langsung surut dan
menjadi serpihan-serpihan selembut pecahan kaca.
Pada saat itu Mawar Hitam segera bangkit dan duduk, lalu senjatanya dibabatkan
ke kaki Suto. Tak kalah lincah Suto menghindar dengan satu kali sentakan ujung
jempol kakinya, ia melenting di udara dan bersalto
mundur satu kali. Sementara angin yang ditimbulkan
dari kibasan senjata tengkorak kambing itu begitu
besarnya, hingga batu besar setinggi tubuh Suto itu terlempar dan menggelinding
jatuh melintasi lereng
bukit. "Jahanam busuk kau, Suto!" geram gurunya Peri Malam, ia masih bisa paksakan diri
untuk berdiri walau satu kakinya telah remuk.
Kejap berikutnya, Suto kerahkan tenaganya dengan
kembangkan jemari tangan yang terangkat sebatas dada.
Rupanya ia melakukan kekuatan menghisap dari jarak
jauh hingga jemari tangan kirinya yang tidak memegangi bumbung tuak itu tampak
bergetar. Mawar Hitam tak jadi kirimkan pukulan jarak
jauhnya, karena ia harus mempertahankan guci kecil di tangan kirinya itu. Ia
bertahan memegangi guci yang nyaris terlepas itu. Begitu kuatnya daya hisap
tenaga Suto, sampai kulit tubuh nenek itu terkelupas sedikit demi sedikit,
khususnya di bagian pergelangan tangan kiri.
Mawar Hitam tetap bertahan menggenggam Guci
Tuak Setan dengan mati-matian. Kekuatannya terpusat pada genggamannya itu,
hingga jari jemarinya tampak berdarah. Kuku-kukunya nyaris terlepas karena daya
hisap tenaga Suto yang dinamakan ilmu 'Serap Sukma', warisan ilmunya si Gila
Tuak. Rupanya kekuatan ilmu 'Serap Sukma' sudah tak bisa
dilawan lagi. Guci itu pun melesat terbang, lepas dari genggaman Mawar Hitam.
Segera nenek bungkuk itu
sentakkan tangan kanannya yang masih memegang
tengkorak kambing, dan tangan kiri pun menyentak ke arah Suto. Akibatnya, guci
yang melayang di udara itu pecah, tubuh Suto sendiri kena pukulan jarak jauh
pada saat ia berbalik membelakangi Mawar Hitam untuk
melompat meraih guci itu.
"Aaahhg...!"
Suto jatuh berlutut, sedikit melengkung ke belakang karena terkena pukulan
punggungnya. Kepala Suto
terdongak ke atas dengan mulut ternganga melontarkan suara pekik tertahan. Pada
saat itulah guci di atasnya
pecah, cairan hijau kehitam-hitaman yang kental itu tumpah keluar, dan jatuh
masuk ke dalam mulut Suto.
Glek...! Cairan itu tertelan oleh Suto. Mawar Hitam berteriak keras karena
kecewanya. "Jahanaaam...! Hiaaah...!"
Mawar Hitam bergerak maju dengan satu lompatan
dan memukul kepala Suto dengan senjatanya. Tapi dari arah belakang, tiba-tiba
sebuah cahaya merah berkilat cepat melesat menghantam punggung Mawar Hitam.
Cahaya itu datang dari tangan Peri Malam.
"Aaahg...!" tubuh Mawar Hitam pun jatuh
terpelanting dan menyemburkan darah kental dari
mulutnya. Tetapi ia tampak masih tangguh untuk
memberi pukulan balasan. Tangan kirinya yang berdarah karena kulitnya hampir
copot itu disentakkan ke arah Peri Malam.
Wuugh...! Sebuah pukulan menghantam ke arah dada
Peri Malam. Dalam keadaan lemas, Peri Malam sempat
jatuhkan diri dari sandarannya. Akibatnya, pukulan itu mengenai batu, dan batu
itu hancur lebur dalam sentakan keras. Pecahannya beterbangan ke mana-mana.
Peri Malam sudah tak bisa ingat apa-apa lagi. Tapi
Mawar Hitam masih bisa sentakkan kakinya dan melesat pergi bagaikah siluman
menembus awan. Ia lakukan hal itu setelah ia merasa dirinya terluka cukup berat,
termasuk akibat serangan dari muridnya sendiri itu. Dan juga, ia melihat Suto
terkapar tak bergerak dengan tubuh mulai berasap. Itulah saatnya Mawar Hitam
tinggalkan bukit.
Tubuh Suto sendiri terus berasap, makin lama makin
jelas kepulan asap putih kehitam-hitaman. Bahkan dalam keadaan terbaring di
samping bumbungnya, tubuh itu
bergerak-gerak bagai ayam disembelih. Kakinya
berkelojotan, disusul dengan kedua tangan yang
tersentak-sentak.
Suto maupun Peri Malam tak tahu bahwa kejap
berikutnya, seorang perempuan cantik berdiri tertegun memandang ke arah Suto.
Matanya terbelalak tegang
saat ia menyebut nama, "Suto..."!"
SELESAI PENDEKAR MABUK Ikuti kisah selanjutnya
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:
PERAWAN SESAT Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Bangau Sakti 19 Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis Kemelut Di Majapahit 21
Peri Malam bangkitkan tubuh dengan hati membatin,
"Tangguh juga gelombang pelapis dirinya itu. Pukulanku tak mempan mendobraknya.
Bangsat! Terhina aku
jadinya diperlakukan seperti ini di depannya! Rupanya aku harus menggunakan
salah satu jurus intiku!"
Saat pemuda itu tertawa bagai mengejek ilmu Peri
Malam, perempuan itu segera angkat kedua tangannya
dengan urat-urat mengeras. Kakinya merenggang ke
samping belakang dengan sedikit merendah. Kemudian, membalikkan tangannya dengan
telapak tangan menghadap ke mukanya. Tangan itu pun menyentak
keduanya ke arah depan. Dari punggung telapak tangan itu melesatlah sebuah sinar
kuning berbentuk bola
sebesar kelereng. Sinar kuning itu melesat cepat ke arah Dirgo Mukti. Tapi
pemuda, itu tetap diam dan
tersenyum-senyum.
"Hiaaat...!" Peri Malam lompatkan diri, berjungkir balik di udara, karena pada
saat itu bola kuning berpijar-pijar itu memantul balik ke arahnya. Bentuknya dua
kali lebih besar dari saat meluncur ke arah Dirgo tadi.
Wuuuooss...! Blaar...! Benda itu menghantam gugusan batu hitam
yang ada di belakang tempat Peri Malam tadi berdiri.
Gugusan batu hitam sebesar kuda duduk itu menjadi
putih seketika. Dan angin laut menaburkan serbuk-
serbuk putih itu sampai akhirnya batu sebesar kuda
bersimpuh itu tinggal tersisa sebesar katak.
"Edan!" geram hati Peri Malam, "Alot sekali pelapis dirinya itu. Sukar ditembus
oleh tenaga intiku. Tapi bagaimana jika kugunakan jurus 'Seribu Naga'" Apakah
masih tak mampu menembus gelombang pelapis dirinya
itu?" Dari tempatnya, Dirgo Mukti berseru dengan jelas
sekali, "Peri Malam! Simpanlah tenagamu. Sia-sia kau menyerangku. Jangan sampai
aku bertindak keras dan membalas kesombonganmu, Peri Malam!"
"Aku sengaja menunggu balasanmu, Dirgo!"
Belum sekejap suara Peri Malam hilang, tiba-tiba
terdengar sebuah ledakan yang menggelegar guncangkan bumi. Blaarrr...!
Tubuh Dirgo Mukti terjungkal dan berguling-guling
di pasiran. Peri Malam lebarkan mata karena kaget dan heran, ia merasa belum
menyerang lagi, tapi Dirgo
Mukti sudah terjungkal dan itu berarti ada satu kekuatan tenaga dalam yang cukup
dahsyat dan mampu
menembus gelombang pelapis diri Dirgo Mukti.
"Jahanam!" sentak Dirgo mulai tampak
kemarahannya, ia tidak memandangi Peri Malam, tapi
menatap sekeliling dengan bingung. Matanya itu
memancarkan kemarahan yang tak bisa terbendung lagi.
"Siapa yang berani campuri urusanku ini, hah"!"
sentaknya lagi.
Peri Malam juga lirikkan mata ke sekeliling, mencari penyerang gelap yang sudah
pasti berilmu tinggi itu.
Sementara, di sebelah gundukan batu, Dirgo Mukti
berdiri dengan mendekap dada kirinya. Tampak ada
cairah merah yang mengalir dari hidung. Tidak banyak, namun sempat membuat Peri
Malam tersenyum
kegirangan. "Mampuslah kau, Biadab!" geram Peri Malam kepada Dirgo Mukti dengan suara tak
terdengar, sebab saat itu Dirgo berseru,
"Siapa yang berani menyerangku, hah"! Keluar kau, Kunyuk! Tampakkan batang
hidungmu, Bangsat!"
Dirgo Mukti benar-benar marah, ia sama saja dibuat
malu di depan perempuan yang sedang ditaksirnya.
Maksud hati unjuk kebolehan ilmunya di depan Peri
Malam, tak tahunya terpental dan berjungkir balik
dengan hidung berdarah. Rasa malu yang amat besar itu yang membuat Dirgo Mukti
benar-benar marah pada
orang yang mengganggunya.
"Kalau kau benar-benar berilmu tinggi, tampakkan batang hidungmu dan hadapilah
aku, Manusia Sontoloyo!" teriaknya keras. Dirgo Mukti sengaja
salurkan tenaga dalamnya lewat teriakan itu, hingga batu-batu karang bergetar,
Peri Malam tutupkan tangan ke telinganya.
Kejap berikutnya, dari celah bebatuan karang di
belakang Dirgo Mukti melompatlah sesosok tubuh
berpakaian coklat, berwajah tampan dan menggendong
bumbung tempat tuak. Seketika itu hati Peri Malam
terpekik kaget.
"Oh..."! Rupanya dia! Murid sinting si Gila Tuak!"
* * * 5 DIRGO Mukti segera kibaskan tangan kanannya ke
arah Suto. Dengan cepat Suto meraih bumbung dari
punggung dan halangkan bumbung ke depannya.
Craap...! Sebuah pisau kecil bertali rumbai merah dari benang sutera menancap di bumbung
tersebut. Pisau itu
kepulkan asap sedikit. Setelah itu Suto cabut pisau kecil itu dan membuangnya
dengan seenaknya ke samping.
"Untuk apa kau pamerkan mainan anak kecil itu" He he he...!" Suto melompat turun
dari atas batu, melangkah dengan sedikit limbung. Bukan karena pengaruh pisau
kecil tadi, tapi karena sejak tadi rupanya ia sudah cukup banyak minum tuak dan
sedikit mabuk. Tapi matanya
belum sayu, hanya sedikit merah di tepiannya.
Dirgo Mukti terkejut melihat kenyataan yang ada.
Rasa herannya makin bertambah setelah melihat pisau
itu dibuang seenaknya oleh Suto ke samping kanan dan mengenai sebongkah batu.
Batu itu pecah dengan
menimbulkan bunyi yang pelan.
"Bisa menangkis lemparan pisauku saja sudah
termasuk hebat, apalagi bisa mengisi pisau itu dengan tenaga dalamnya hingga
bikin batu itu pecah tanpa suara, jelas lebih hebat," kata Dirgo di dalam
hatinya yang terkagum-kagum. "Mestinya bambu itu pecah meledak ketika tertancap
pisauku, tapi mengapa kali ini tidak"
Hmmm... siapa sebenarnya orang ini"! Aku belum
pernah jumpa dengannya."
Lain lagi kata hati Peri Malam saat melihat kenyataan itu.
"Pemuda tampan itu benar-benar hebat. Rasa-rasanya inilah kesempatan yang baik
untuk menghajar Dirgo
Mukti. Kuadu saja Dirgo dengan murid sinting Gila
Tuak itu. Pasti Dirgo tak akan berani menggangguku
lagi, dan aku tak perlu terlibat bentrokan dengan Dirgo, sesuai pesan Guru."
Langkah gontai Suto menuju ke arah Peri Malam.
Perempuan itu sengaja mendekat untuk memancing
kemarahan Dirgo.
"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani mengusik urusanku dengan Peri Malam,
hah"!" Dirgo Mukti menyentak dengan melangkah setindak ke samping
kirinya. Kini Suto dan Peri Malam sama-sama berdiri berjajar menghadap Dirgo
Mukti. Saat itu, Suto menyuruh Peri Malam untuk menjawab
pertanyaan Dirgo itu, "Jelaskan padanya siapa aku. Kau
pasti tahu!"
Tanpa banyak ragu, Peri Malam pun berkata dengan
suara jelas. "Dia adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak yang punya julukan Pendekar Mabuk."
"Nah, sudah jelas?" tanya Suto pada Dirgo Mukti dengan mengejek sinis.
Dirgo Mukti diam. Tapi batinnya berkata, "Murid Si Gila Tuak..."! Oh, ya... aku
kenal nama si Gila Tuak, tapi belum pernah bertemu satu kali pun. Guru memang
pernah cerita tentang si Gila Tuak, tokoh sakti yang namanya ada di papan atas
dunia persilatan. Lalu, apa urusannya Suto Sinting ini dengan Peri Malam" Apakah
dia kekasihnya Peri Malam" Kalau begitu, dia adalah musuh utamaku dalam merebut
hati Peri Malam!"
Sebenarnya hati Dirgo Mukti mulai ciut begitu
mendengar Suto adalah murid si Gila Tuak. Tapi karena ia menganggap Suto adalah
kekasih Peri Malam,
keberaniannya kembali menyala-nyala. Bahkan dengan
beraninya dia berucap kata kepada Suto.
"Kita perlu beradu nyawa, Suto! Jangan kamu sangka Manusia Sontoloyo tak berani
menghadapi murid sinting si Gila Tuak. Demi mempertahankan kehormatan cinta,
mari kita tentukan nyawa siapa yang berhak hidup
berdampingan dengan Peri Malam!"
"Kau menantangku, Dirgo"!"
"Ya!"
Dirgo Mukti segera mencabut senjatanya, kapak dua
mata. Sambil cabut senjata Dirgo Mukti berseru,
"Lekas, cabut senjatamu, Suto! Aku ingin tahu
apakah senjatamu bisa mengalahkan Kapak Kebo Geni-
ku ini!" "Jangan...."
Peri Malam menyahut, "Ya, jangan di sini! Memang sebaiknya jangan di pantai
ini." Suto terbengong lagi dan ingin berkata kepada Peri
Malam, tapi selalu didahului oleh Dirgo Mukti.
"Baik. Di mana tempatnya terserah dirimu, Sutol Di mana pun tempatnya aku siap
mengadakan pertarungan
berdarah denganmu, demi mendapatkan cinta Peri
Malam!" Suto tarik napas, tahan rasa dongkol atas
kesalahpahaman itu. Kali ini ia ingin bicara lagi tapi selalu disahut Peri
Malam. "Maksudku begini, Dirgo...."
"Soal tempat pertarungan, silakan kau yang
menentukan," kata Peri Malam. "Kapan waktunya, silakan pilih sendiri. Karena kau
yang menantang pertarungan, maka kau yang tentukan segalanya."
"Baik! Aku suka dengan ketegasan seperti itu!" kata Dirgo Mukti. "Kita tentukan
pertarungan kita di Bukit Jagal, dua purnama mendatang! Jika kau memang murid si
Gila Tuak, kau pasti datang dalam dua purnama
mendatang di Bukit Jagal. Di sana aku sudah
menunggumu!"
Selesai bicara begitu, Dirgo Mukti jejakkan kaki dan melesat pergi secepat
kilat. Suto tak sempat lagi ucapkan kata apa pun. Ia hanya pandangi gerakan
Dirgo Mukti yang melesat lincah bagaikan terbang dari batu ke batu lainnya.
Peri Malam juga ikut pandangi kepergian Dirgo
Mukti sambil hamburkan tawa mengikik geli bagaikan
kuntilanak pulang pagi.
"Kik kik kik..,, hatinya pasti robek tercabik-cabik olah kemunculanmu, Suto!
Biar tahu rasa dia. Berulang kali dia ganggu aku dengan rayuan-rayuan yang bikin
aku muak dan mau muntah, seperti orang habis telan
anak tikus. Hik hik hik...!"
Suto tidak ikut hamburkan tawa. Senyum pun
tersimpan dalam sisi kejengkelan hati. Sekarang saatnya dia bisa bicara apa yang
ingin dia bicarakan sejak tadi.
"Apa maksudmu menyambung ucapanku dengan
yang tidak benar begitu?"
"Apakah maksudmu bukan seperti yang kukatakan
tadi?" Peri Malam berlagak bodoh.
"Aku tidak ingin bertarung melawannya!"
"O, kalau begitu aku salah duga tadi!"
"Memang salah!"
"Maaf kalau begitu!' ucap Peri Malam berlagak ketus sambil melangkahkan kaki
menuju bawah pohon mahoni
yang rindang itu.
Sampai di sana ia duduk. Matanya memandang Suto
yang masih berdiri dalam jarak sepuluh langkah.
Berdebar hati Peri Malam setiap menatap mata murid si Gila Tuak itu. Gelisah
jiwanya menerima rasa indah
yang mekar berbunga-bunga di dalam hatinya.
"Luar biasa daya pikatnya. Ingin aku tenggelam
dalam pelukannya. Ah, setan! Sulit sekali aku menolak kehadiran bayangannya!"
gerutu resah hati Peri Malam.
Suto menghentikan langkah tiga tindak ke depan Peri Malam. Pandangan matanya
tetap tertuju ke wajah Peri Malam. Perempuan itu pun menatapnya dan berkata,
"Duduklah," sambil ia tepuk batu di sampingnya, seakan menuntun agar Suto duduk
di batu sebelahnya
itu. "Aku sedang memikirkan tantangan Dirgo."
"Apakah kau takut?"
Suto masih berdiri. Kali ini ia tersenyum indah
mengarah pada wajah Peri Malam. Darah Peri Malam
bagai disedot naik ke ubun-ubun kepalanya hingga
dirinya terasa melayang-layang nikmat melihat
senyuman itu. "Aku bukan takut kepadanya. Aku hanya benci
kesalahpahaman ini. Seharusnya kau tidak menyambung kata-kataku seperti tadi.
Aku tak mau bertarung
melawan orang yang tidak punya salah padaku."
"Tapi kau tadi menyerangnya."
"Itu sekadar mengingatkan sikapnya. Aku tak suka melihat perempuan dibuat
mainan, seperti kau tadi."
"Benar. Aku juga tidak suka dipaksa untuk menjadi istrinya. Lebih tepat lagi,
dia akan paksa aku melayani nafsu birahinya. Apakah kau suka melihat perempuan
menderita begitu?"
"Tidak."
"Itulah sebabnya aku menyambung kata-katamu sejak tadi."
"Apa maksudmu" Jelaskan!"
"Kalahkanlah dia, biar tidak semena-mena mengejar cintaku karena merasa berilmu
tinggi." "Jadi aku harus bertarung dengan Dirgo?"
"Tak ada jalan lain untuk menyingkirkan cintanya."
"Kenapa tidak kau hadapi sendiri?"
"Pesan guruku, aku tak boleh memancing keributan dengan Dirgo."
"Kenapa?"
"Tak dijelaskan oleh Guru," jawab Peri Malam.
"Kalau begitu, carilah pendekar lain untuk
menyingkirkan cintanya. Jangan aku!"
"Tak ada pendekar lain yang bisa membuat hatiku terpikat. Tak ada lelaki lain
yang bisa menumbuhkan cinta di hatiku."
"Tapi aku juga tidak mempunyai cinta padamu."
Peri Malam bangkit dari duduknya, ia melangkah
lebih dekat. Jaraknya kurang dari satu langkah dari depan Suto. Pandangan
matanya lebih dalam menatap,
dan ucapannya lirih berkata,
"Anggap saja kau punya cinta padaku, supaya kau mau singkirkan cinta Manusia
Sontoloyo itu!"
"Mana bisa..."!" Suto angkat bahu. "Aku mempunyai idaman hati sendiri."
"Untuk saat ini saja, anggap kau mencintaiku.
Singkirkan cintanya supaya kita bebas memadu kasih, Suto."
"Mana bisa"! Aku tak pernah tahu hangatnya
Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelukanmu."
Peri Malam dibuat gemas-gemas mesra. Kemudian,
dengan tanpa ragu dan tak mampu menahan gejolak
hatinya, ia dekatkan wajah ke pipi Suto. Lalu, sebuah ciuman hangat melekat di
pipi murid sinting si Gila Tuak itu.
Ciuman yang kedua dari Peri Malam mendarat saat
Suto sedikit palingkan wajah. Karena Suto palingkan wajah maka ciuman itu tidak
melekat di pipi, melainkan menyentuh di bibir Suto. Crupp...!
"Oh..."!" Peri Malam cepat undurkan wajah.
"Kenapa?"
"Terlalu hangat," jawab Peri Malam dalam bisik tersekat. Lalu, ia sunggingkan
senyum malu dan
tundukkan wajahnya. Terdengar suara tawa Suto mirip gumam satria pujaan negara.
Rambut perempuan itu
diusapnya dengan lembut. Terasa usapannya sampai
melingkupi permukaan hati Peri Malam. Begitu indah
dan mendebarkan.
Pelan-pelan Peri Malam angkatkan wajahnya, lalu
berucap lirih. "Tak inginkah kau mengulang ciuman tadi?"
"Mana bisa?"
"Kenapa tidak bisa?"
"Karena ada sepasang mata yang memperhatikan
kita." Terkesip Peri Malam seketika, ia segera palingkan
muka ke belakang, dan ternyata di sana sudah berdiri seorang perempuan
berpakaian merah dadu dengan
rambut digulung naik ke atas.
Cepat-cepat Peri Malam jauhkan jarak dengan Suto
Sinting. Wajah Peri Malam menjadi berang, ia
layangkan pandang mata bencinya ke wajah perempuan
yang berdiri antara sepuluh tindak darinya itu.
"Keparat!" geram Peri Malam, ia naikkan suara, "Kau belum jera juga mengusik
pribadiku, Selendang
Kubur"!"
"Justru sekarang urusan kita sudah lebih pribadi, Peri Malam!" kata Selendang
Kubur dengan suara dingin memercikkan benci. Sikapnya berdiri menandakan
dirinya telah siap bertempur mengadu nyawa dengan
Peri Malam. * * * 6 MATAHARI pantai semakin tinggi, tapi dua
perempuan itu tak peduli sengatan panas dari langit itu.
Mereka berhadap-hadapan dengan masing-masing sinar
mata memancarkan permusuhan.
Murid sinting si Gila Tuak hanya duduk di atas
gundukan batu, di tempat yang teduh dengan sesekali menenggak tuaknya. Suto
merasa tak perlu ikut campur urusan perempuan. Biarlah perempuan-perempuan itu
menyelesaikan urusan mereka, dan Suto hanya menjadi pihak penonton saja.
Suto tidak tahu, bahwa perselisihan kedua perempuan itu adalah karena
kecemburuan terhadap dirinya. Suto tidak tahu bahwa dirinya itulah yang menjadi
penyebab perselisihan Selendang Kubur dengan Peri Malam. Suto hanya membatin,
"Kebetulan sekali aku tidak perlu susah-susah mencari Selendang Kubur. Selesai
urusan dengan Peri Malam, baru dia harus selesaikan urusan denganku
tentang Pusaka Tuak Setan itu. Tapi bagaimana kalau Selendang Kubur mati di
tangan Peri Malam" Aku tidak bisa mendapatkan Pusaka Tuak Setan. Pastilah Tuak
Setan sudah ia sembunyikan di suatu tempat dan hanya dia yang tahu. Hmm... kalau
begitu aku harus
menjaganya jangan sampai ia mati dan jangan sampai ia kabur lagi!"
Kedua perempuan itu sama-sama berdiri dengan kaki
tegak dan sedikit melebar. Dada mereka sama-sama
membusung ke depan, karena memang keduanya sama-
sama montok. Wajah mereka sama-sama keras, karena
mereka sama-sama menahan rasa cemburu.
"Selendang Kubur!" kata Peri Malam dengan ketus dan tegas. "Tinggalkan tempat
ini atau kuhabisi riwayat hidupmu?"
"Aku mau pergi dari sini kalau kau serahkan kedua hal yang kucari itu!" jawab
Selendang Kubur tak kalah ketus dan tegas.
"Tak perlu kau banyak bicara, Selendang Kubur!
Yang jelas kau telah mengganggu kemesraanku dengan
Suto Sinting!"
Peri Malam sengaja batasi omongan, supaya
Selendang Kubur tidak menyebut-nyebut tentang Pusaka Tuak Setan. Sebab, jika
Selendang Kubur melontarkan
keinginannya untuk meminta Pusaka Tuak Setan, maka
Suto yang ada di bawah pohon itu akan mendengar, dan tentunya Suto menjadi tahu
bahwa Pusaka Tuak Setan
ada di tangan Peri Malam. Ini yang dihindari Peri
Malam. Karena menurutnya, Suto belum mengetahui di
mana Pusaka Tuak Setan itu berada.
"Peri Malam! Kau tidak layak mendapatkan
kemesraan darinya, karena kau seorang perempuan hina.
Kau durjana dan kotor!"
"Tutup mulutmu Selendang Kubur!" sentak Peri Malam memotong. "Jangan sangka
dirimu bukan perempuan kotor! Aku tahu kau sudah bukan perawan
lagi. Aku tahu kau sudah serahkan kehormatanmu
kepada Trenggono!"
"Jahanam! Kaulah yang telah menyerahkan
kesucianmu kepada Trenggono, lima purnama sebelum
dia kita hancurkan!"
Peri Malam sengaja serukan suara ketika berkata
begitu, supaya didengar oleh Suto, dan supaya Suto tahu bahwa Selendang Kubur
sudah tidak perawan lagi. Ini adalah siasat Peri Malam untuk meruntuhkan minat
yang menurut dugaannya ada di dalam hati Suto.
Siasat itu diketahui oleh Selendang Kubur, maka ia
pun membalas tuduhan serupa dengan suara lebih keras lagi, walau apa yang
dikatakan itu tidak benar. Tapi ia berharap agar Suto pun mendengar dan
mempertimbangkan keputusannya untuk tetap mendekati Peri Malam atau
meninggalkannya.
Sementara itu, Suto yang duduk santai sambil
memperhatikan perselisihan kedua perempuan itu hanya manggut-manggut dan
membatin, "Ooo... ke-duanya sudah sama-sama blong. He he he...!"
Mata Selendang Kubur melirik sekejap ke arah Suto.
Ia melihat Suto tertawa kecil. Hatinya semakin panas dan geram kepada Peri
Malam, karena menurutnya tawa kecil Suto itu adalah menertawakan dirinya yang
dianggap sudah tak perawan lagi itu.
Sebaliknya, Peri Malam juga lirikkan matanya ke
arah Suto dan ia juga melihat senyum tipis Suto. Hati Peri Malam bertambah benci
kepada Selendang Kubur,
karena sangkanya senyuman Suto itu sebagai senyuman ejekan yang menganggap
dirinya sudah bukan gadis lagi.
Tak heran jika kejap berikutnya kedua perempuan itu sama-sama sentakkan kakinya
dan melesat di udara
dengan cepat. Pukulan mereka beradu di udara dalam
gerakan yang cukup cepat. Plak, plak!
Keduanya sama-sama bersalto ke belakang. Kejap
berikut keduanya telah sama-sama mendaratkan kaki ke tanah. Peri Malam berdiri
dengan kaki tegak sedikit melebar. Napas tertarik dan terhempas lepas dengan
dada tetap membusung.
Selendang Kubur berdiri dengan kaki tegak, tapi
tangan kanannya memegangi dada kiri, dan wajahnya
tampak menahan sakit. Dari sudut mulutnya tampak
darah kental keluar tak seberapa banyak, itu pertanda ia terkena pukulan
langsung dari tangan Peri Malam.
Pukulan itu sudah tentu mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang dapat meremukkan tulang dada. Kalau saja
Selendang Kubur tidak melapisi dirinya dengan
kekuatan tenaga dalam juga, maka tulang dadanya saat itu sudah jebol dan mungkin
ia tak lagi melihat matahari pantai.
Selendang Kubur membatin, "Jahanam itu punya
kecepatan yang luar biasa! Berat juga pukulannya.
Dadaku seperti terbakar bagian dalamnya. Tapi aku tak boleh menyerah. Aku harus
membalasnya. Malu kalau
harus menyerah di depan Suto. Rendah sekali harga
diriku!" Melihat Peri Malam maju dua tindak, Selendang
Kubur pun segera melangkah maju dua tindak juga.
Tangan kanannya sudah tidak lagi memegangi dada yang terkena pukulan tadi.
"Selendang Kubur! Sayangilah nyawamu. Jangan
paksakan diri melawanku, karena ilmumu masih cetek.
Kau masih perlu berguru lagi selama belasan tahun
untuk menyamai ilmuku!"
"Pukulanmu belum seberapa berat buatku, Peri
Malam! Seratus pukulan seperti itu masih sanggup
kuterima dengan dada terbuka. Tapi coba kau rasakan pukulan 'Merpati Puber'
dariku, hiaaat....!"
Tubuh berpakaian merah dadu itu meluncur cepat di
udara dan berputar bagaikan baling-baling hendak
menerobos gunung. Begitu cepat putarannya sampai
mata Peri Malam tak bisa melihat gerakan tangan
Selendang Kubur, ia coba sentakkan kaki kanannya
dalam gerak tendangan berputar. Tapi belum sempat
kaki itu mengenai sasarannya, Selendang Kubur sudah
lebih dulu menghantam punggung Peri Malam dengan
satu pukulan telapak tangan bertenaga dalam cukup
besar. Buugh...!
"Ahhg...!"
Bruuk...! Peri Malam tersentak jatuh dalam keadaan
tengkurap. Wajahnya hampir-hampir beradu dengan batu di hadapannya. Tapi pada
saat itu Peri Malam sentakkan kepala ke atas karena rasa sakit di punggung,
sehingga wajahnya tak jadi terbentur batu.
Selesai lancarkan pukulan 'Merpati Puber', Selendang Kubur pijakkan kakinya di
tanah. Kedua tangan siap
direntangkan ke atas. Satu pukulan lagi akan dilancarkan dan itu pasti akan
membuat tubuh Peri Malam hancur
lebur. Karena pukulan yang mau dilancarkan adalah
pukulan andal yang menjadi simpanan ilmunya dari
ketiga jurus sakti simpanannya itu.
"Tahan!" tiba-tiba terdengar suara Suto serukan kata.
Mau tak mau Selendang Kubur palingkan muka ke arah
Suto Sinting. Saat itu Suto berdiri, mau mendekat, tapi langkahnya sedikit
limbung. "Apa maksudmu menahan pukulanku, hah"!" bentak Selendang Kubur.
Suto nyengir lalu perdengarkan suara sumbangnya,
"Membunuh itu hal yang mudah, tapi mengampuni
lawan adalah hal yang sulit! Dulu kudapatkan wejangan seperti itu dari guruku."
"Mungkin benar kata gurumu. Tapi tahukah kau, tak ada ampun lagi buat perempuan
macam dia, hah"!"
Peri Malam sudah berusaha bangkit. Mulutnya
semburkan darah segar saat tadi terkena pukulan
'Merpati Puber'. Tapi ia masih bisa menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur
tubuhnya. Kalau saja ia
teruskan pertarungan itu, ia masih sanggup
menumbangkan Selendang Kubur dengan jurus-jurus
maut yang belum sempat dikeluarkan.
Tetapi ia menangkap adanya bahaya dari percakapan
Suto dengan Selendang Kubur. Rahasia Tuak Setan akan terbongkar dari mulut
Selendang Kubur. Sudah tentu
Suto akan berada di pihak Selendang Kubur dan segera menyerangnya jika Suto tahu
pusaka itu ada padanya.
Demi menyelamatkan pusaka dari tangannya, juga
demi menyelamatkan hubungannya dengan Suto di kelak kemudian hari, Peri Malam
terpaksa harus menghilang sementara dari depan kedua manusia itu. Tanpa ragu
sedikit pun. Peri Malam sentakkan kakinya dan
melesatlah tubuh sekalnya itu. Dalam satu lompatan ia telah mencapai dahan di
atas sebuah pohon. Dari sana ia serukan kata,
"Kutangguhkan niat membunuhmu, Selendang
Kubur! Aku harus menghadiri pertemuan penting
dengan para tokoh tua. Tapi ingat, suatu saat kita
bertemu, kita harus tentukan siapa yang berhak hidup lebih lama lagi di antara
kita berdua!"
Selesai berkata begitu, tubuh Peri Malam melenting
lebih tinggi lagi. Mencapai dahan berikutnya dengan satu putaran salto. Kemudian
secepat kilat ia menghilang pergi dari pandangan Suto dan Selendang Kubur.
"Jahanam! Pencuri! Jangan lari kau...!" teriak
Selendang Kubur.
Dengan satu hentakan kaki, tubuh Selendang Kubur
pun segera melesat cepat. Tujuannya mengejar Peri
Ma!am. Tapi Suto segera mengibaskan tangan kirinya
seperti menghalau ayam. Dan tiba-tiba tubuh Selendang Kubur terjungkal di udara,
lalu jatuh di samping batu besar. Brukkk...!
Satu gerakan tangan yang sepertinya tidak bertenaga itu telah membuat pengejaran
Selendang Kubur tertunda.
Perempuan itu semakin dongkol hatinya, ia cepat-cepat berdiri dan menatap Suto
dengan mata melotot garang.
"Mengapa kau halangi aku yang mau mengejarnya"!
Rupanya kau memang ada di pihaknya, Suto!"
"He he he...," Suto tertawa dengan mata sedikit sayu karena pengaruh tuaknya.
"Siapa bilang aku ada di pihaknya?"
"Lalu, mengapa kau menahanku dan tak rela jika aku mengejarnya?"
"Karena kau punya urusan pribadi denganku, Anak Cantik!" Suto kembali tertawa
sambil memegangi bumbung tuak.
Begitu mendengar Suto menyebutkan adanya urusan
pribadi, hati Selendang Kubur jadi berdebar-debar.
Hatinya membatin.
"Apakah dia bermaksud bicarakan masalah
perasaanku dan perasaannya" Apakah dia sebenarnya
tidak menaruh hati pada Peri Malam" Tapi tadi kulihat mereka berciuman, iih...
jijik aku mengenangnya!"
Wajah itu semakin cemberut. Selendang Kubur
singkapkan rambutnya yang terjurai ke depan wajah.
Hidungnya yang bangir dengan bibir bak kuncup mawar itu terpasang jelas
menantang sorot pandangan mata
Suto. Ia berdiri dengan satu kaki naikkan ke atas
permukaan batu yang agak tinggi, ia biarkan Suto dekati dirinya sampai jarak
tiga langkah. "Urusan pribadi apa maksudmu, hah"!" tanyanya dengan ketus. "Bukankah kau punya
urusan pribadi dengan setan genit tadi"! Bukankah kau telah puas
bermesraan dengan peri bobrok tadi"! Masih kurang
puaskan kau memperoleh kemesraan darinya"!"
Suto tahu nada cemburu meluncur lewat kata-kata itu, Suto tertawa karena ada
salah anggapan di antara dirinya dan Selendang Kubur. Suto juga tahu, Selendang
Kubur menyangka urusan pribadi itu berkaitan dengan masalah dari hati ke hati,
padahal yang dimaksud Suto adalah urusan Pusaka Tuak Setan.
Sengaja Suto duduk di batu agak tinggi, hingga
kakinya tetap menapak di tanah tapi pantatnya
diletakkan di tepian batu itu. Ia berada di samping kanan Selendang Kubur dalam
Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jarak hanya satu langkah.
Selendang Kubur layangkan pandangan matanya ke
arah laut dengan sedikit menyipit, karena saat itu ia berkata,
"Tak kusangka kau jatuh cinta pada durjana! Hal seperti inilah yang dulu
kumaksudkan, bahwa aku ingin menjagamu. Dari sentuhan tangan dan pelukan
perempuan lain itulah aku menjagamu. Karena pelukan dan sentuhan tangan
perempuan lain itu lebih tinggi
bahayanya dari ilmu kesaktian mana pun juga!"
"He he he..., kau benar-benar lucu, Selendang Kubur.
Sekian waktu aku mencarimu, sampai kudatangi
perguruanmu, ternyata setelah kutemukan dirimu, kau curahkan kecemburuan itu!
Aku tak sangka kalau akan mendapat curahan kecemburuan sebanyak ini darimu!"
"Aku tidak cemburu!" sentaknya munafik, sambil ia palingkan wajah menatap Suto
dengan mata tajam.
Lalu ia katupkan mulut dan diam, tak peduli dengan
suara tawa Suto yang sudah dipengaruhi oleh tuak yang memabukkan itu. Tetapi di
hati perempuan itu terjadi suatu percakapan kecil.
"Benarkah dia datang ke Perguruan Merpati Wingit"
Untuk apa dia ke sana" Oh, dia bilang tadi untuk
mencariku" Benarkah sampai sebegitu repot dia
mencariku" Oh, tak kusangka jika hal itu benar
dilakukannya. Tak mungkin ia tak memiliki hasrat
padaku jika sampai memburuku ke sana. Sayang dia tak mau tunjukkan hasratnya
secara terang-terangan padaku, sehingga aku tak bisa mengerti dengan jelas dan
pasti. Sebab aku sendiri tak mau tunjukkan hasratku lebih
dulu. Aku malu."
Suto perdengarkan suaranya setelah ia meneguk dua
kali tuak dari bumbungnya.
"Aku bertemu dengan Dewi Murka, juga bertemu
dengan gurumu Nyai Guru Betari Ayu. Bahkan aku
sempat bicara panjang lebar dengan gurumu di taman
yang indah itu."
"Apa..."! Kau bicara dengan Guru" Kau diajak ke taman itu"!"
"Ya," jawab Suto polos. "Aku kagum sekali."
"Kagum pada guruku?"
"Kagum pada taman yang indah itu," jawab Suto mengalihkan sangkaan, karena ia
tahu arah pertanyaan Selendang Kubur itu.
Selendang Kubur kembali katupkan mulutnya.
Kembali pula hatinya berkata, "Kalau dia dibawa oleh Guru ke taman itu, berarti
Guru punya perhatian
istimewa padanya. Oh, apakah Guru juga mempunyai
rasa suka pada Suto?"
"Bahkan aku sempat bermalam di sana. Satu malam,"
tambah Suto. Selendang Kubur semakin terperanjat. "Kau
bermalam di sana"! Hmmm... dengan siapa" Dengan
siapa kau tidur di sana"'
"Dengan seseorang," jawab Suto menggoda,
membuat hati Selendang Kubur semakin penasaran.
"Siapa orang itu"! Sebutkan namanya! Dewi Murka?"
"Bukan."
"Murbawati?"
"Bukan."
"Lalu... lalu siapa" Siapa orang yang tidur denganmu, Suto?"
"Pembayun!" jawab Suto.
"Oooh..," Selendang Kubur menghempaskan
napasnya dengan lega. Pembayun adalah lelaki yang
paling rajin dan mencintai pekerjaannya sebagai perawat
kuda. Usianya sudah empat puluh lima tahun, dan sangat setia merawat kuda milik
Betari Ayu. "Sangkamu aku tidur dengan perempuan?"
"Jangan lagi kau datang ke sana!" Selendang Kubur tak sadar berkata bagai
seorang ratu memberi perintah larangan kepada bawahannya. Suto menertawakan
dengan suara pelan. Selendang Kubur jadi malu sendiri setelah menyadari
larangannya itu.
"Kehadiranmu di sana hanya akan mengganggu
perhatian para murid yang sedang belajar dan berlatih memusatkan pikiran,"
Selendang Kubur menutupi
kecemasannya. "Ke mana aku harus mencarimu jika tidak ke sana, Selendang Kubur. Aku benar-
benar bingung saat itu.
Aku tak tahu kau ada di mana. Karena ketika aku
muncul dari Telaga Manik Intan itu, kau sudah hilang dan Paman Sugiri dalam
keadaan terkapar luka."
Hati Selendang Kubur masih berdebar indah
mendengar Suto bingung mencarinya. Bahkan ia sangka dirinya dapat membuat Suto
mabuk kepayang karena
rindu ingin bertemu. Tapi untuk memastikan sangkaan indahnya itu, Selendang
Kubur pun menanyakannya
kepada Suto. "Untuk apa kau mencariku sampai kebingungan
begitu?" "Karena aku harus meminta Pusaka Tuak Setan
darimu." "Apa..."!" Selendang Kubur terkejut dan segera kerutkan dahi, belalakan matanya
yang indah itu.
Suto hanya tersenyum kalem dengan mata seperti
orang mengantuk karena mulai mabuk, ia pandangi mata Selendang Kubur yang tak
berkedip itu, lalu ia tertawa geli sendiri sambil berkata, "Matamu itu enak
dicolok. He he he...!"
"Suto!" sentak Selendang Kubur. "Jadi kau mencariku ke mana-mana hanya untuk
mendapatkan Pusaka Tuak Setan?"
"Ya. Benar."
"Kau kira akulah orang yang merampas Guci Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat
itu"' "Siapa lagi kalau bukan dirimu, Selendang Kubur.
Karena saat itu yang ada di tepi sendang hanya kau dan Paman Sugiri."
Kecewa hati Selendang Kubur. Bunga-bunga indah
yang mekar di hati karena dugaan mesra tadi, kini
menjadi layu dan sebagian rontok berguguran, ia pun sedikit jauhkan diri dari
Suto dan berkata dengan dahi masih berkerut tegang.
"Ketahuilah, Suto..., bukan aku pencuri Pusaka Tuak Setan itu. Kalau kau ingin
merebut Tuak Setan, kejarlah Peri Malam sekarang juga! Dialah orang yang
merampas Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat pada
saat kau menyelam ke dalam telaga untuk yang kedua
kalinya." "Jangan bergurau. Selendang Kubur!"
"Aku tidak bergurau!" sentak Selendang Kubur. "Peri Malam itulah orang yang
mempunyai senjata jarum
beracun, yang juga mengenai tubuh Dewi Murka
beberapa waktu yang lalu. Pada saat dia menyerang
Pujangga Kramat dengan jarum beracunnya, aku ada di atas pohon. Sangkanya tak
ada orang lain di situ,
karenanya ia mudah saja mengambil Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat.
Ia tidak tahu aku ada di atas pohon. Dan begitu kutahu ia membawa lari Tuak
Setan, maka kukejar dia sampai ke mana pun larinya.
Dan yang terakhir kutemukan dia di sini sedang
berpelukan denganmu! Itulah sebabnya aku tadi sempat benci padamu. Kau bercinta
dengan pencuri pusaka yang menjadi hak milikmu sebagai murid sinting si Gila
Tuak, sementara susah payah aku berusaha merebut pusaka itu untuk
menyelamatkannya dari tangan orang-orang tak
bertanggung jawab, seperti halnya Peri Malam dan
gurunya." Suto terbengong sejenak, kemudian bertanya, "Apa hubungannya Tuak Setan dengan
gurunya Peri Malam"!"
"Dia mencuri Pusaka Tuak Setan bukan untuk
dirinya, tapi untuk gurunya! Dia lakukan hal itu hanya sekadar patuh pada
perintah sang Guru! Kalau kau tak percaya, mari kita buktikan!"
Suto tertegun. Matanya semburat merah karena
mabuk. * * * 7 MENURUT Suto, mereka tidak perlu mengejar Peri
Malam. Sebab tadi ia melihat ada perahu di celah
bebatuan karang. Suto ingat cerita Peramal Pikun
tentang gurunya Peri Malam, yaitu seorang tokoh tua yang sedang menunggu saat
terbaik untuk melawan
Bidadari Jalang. Suto ingat, bahwa Guru dari Peri
Malam adalah Mawar Hitam yang tinggal di Pulau
Hantu. Tentunya menjadi penguasa di Pulau Hantu
tersebut. Menurut perhitungan Suto, cepat atau lambat pasti Peri Malam akan
kembali datang ke pantai itu dan menuju ke Pulau Hantu memakai perahu tersebut.
Tetapi, Selendang Kubur mempunyai pemikiran lain
lagi. "Mungkin saja dia akan pulang ke Pulau Hantu
menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Tapi
bagaimana jika ia nekat menjadi murid murtad"!"
"Apa maksudmu?"
"Karena dia tahu kekuatan dahsyat di dalam Tuak Setan itu, maka dia meminum
sendiri tuak tersebut.
Bukankah dengan begitu dia bisa kalahkan gurunya
sendiri?" "Hmmm... ya. Memang bisa saja terjadi begitu!" kata Suto sambil menutup bumbung
yang habis diteguk
isinya. Kemudian ia bertanya kepada Selendang Kubur.
"Apa dia berani menjadi murid murtad?"
"Aku lihat dia mulai jatuh cinta padamu."
"Hei, apa hubungannya murid murtad dengan jatuh cinta?"
"Dia bernafsu ingin mendapatkan kau. Dia harus singkirkan banyak saingannya,
termasuk diriku. Untuk itu dia perlu ilmu yang lebih hebat dan lebih dahsyat.
Tak heran jika ia paksakan diri untuk menjadi murid murtad dengan meminum Tuak
Setan itu. Dengan
minum Tuak Setan, dia akan berilmu tinggi dan dapat menyingkirkan saingannya,
lalu dia dapat memiliki
dirimu." "He he he... aku tidak cinta sama dia, juga sama yang lainnya. Aku sudah punya
kekasih sendiri."
"Kau akan dipaksanya bertekuk lutut di hadapannya, dan dipaksa juga agar mau
menerima cintanya, agar mau melayani dirinya dan... kau tak akan berkutik karena
kau kalah sakti dengannya, jika dia meminum Tuak Setan
itu." Suto kerutkan dahi setelah mencerna kata-kata
Selendang Kubur. Lalu, dia bertanya dengan suara
semakin sumbang.
"Apa dia tahu kekuatan yang ada pada Tuak Setan itu?"
"Tahu atau tidak, yang penting sekarang kejarlah dia.
Rebut kembali Tuak Setan itu. Aku akan
mendampingimu dan menjagamu!"
Suto tertawa parau, "He he he he... aku mau kau mendampingiku, tapi jangan
sering-sering memandangi tubuhku. Karena aku tahu kau punya kekuatan pandang
yang bisa menembus pakaianku dan bisa melihat bagian dalamku. Aku malu jika kau
begitu, Selendang Kubur!
He he he he...!"
"Kututup kekuatan itu dari tadi. Jika tidak, aku tak akan bisa menahan gejolak
birahiku."
Sambil ucapkan kata begitu, Selendang Kubur
melangkah ke celah-celah karang. Rupanya ia mencari perahu yang disembunyikan
Peri Malam. Begitu perahu itu ditemukan, Selendang Kubur segera sentakkan
tangannya ke arah perahu itu. Melesat seberkas sinar kuning, dan meledaklah
perahu itu terkena kilatan sinar kuning. Blaarrr...! Praakkk...!
"Hei, mengapa kau ledakkan perahu itu"!" seru Suto.
"Biar dia tidak bisa lari ke Pulau Hantu!" jawab Selendang Kubur.
"Dia bisa pakai ilmu peringan tubuhnya untuk
menyeberangi lautan ini!"
"Tak mungkin bisa. Buktinya dia siapkah perahu, itu artinya dia tak bisa
menyeberangi lautan dengan
mengandalkan ilmu peringan tubuhnya."
"Yah, bisa juga dia buat lagi!"
"Kita berangkat sekarang, Suto!"
"Boleh saja!" kata Suto dengan mata sedikit merah.
Mereka bersiap untuk meninggalkan Pantai Karang
Saru. Tapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari belakang mereka.
"Tunggu!"
Serta-merta mereka palingkan wajah. Selendang
Kubur terperanjat melihat orang yang baru saja datang dan menahan langkahnya.
"Dewi..."!" desis Selendang Kubur dengan perasaan tak suka.
"O, ya! Dia yang bernama Dewi Murka. Aku ingat!"
kata Suto sambil cengar-cengir karena mabuk.
"Untuk apa kau menahanku, Dewi! Dan untuk apa
kau datang kemari menemui kami"!" suara Selendang Kubur bernada ketus,
"Jangan ikut campur urusan orang lain, Selendang Kubur! Suto punya urusan
sendiri dan kau juga punya urusan sendiri!"
"Apa hakmu melarangku?"
"Aku telah diangkat resmi menjadi wakil Guru.
Tugasku kemari untuk menjemputmu. Kau dipanggil
oleh Nyai Guru, Selendang Kubur!"
Selendang Kubur bingung sejenak, ia membatin,
"Apa benar Guru memanggilku" Apa benar Dewi
diangkat menjadi wakil Guru secara resmi" Jangan-
jangan dia hanya ingin mengelabuhiku, supaya aku
meninggalkan Suto dan dia sendiri akan menggantikan kedudukanku di samping
Suto!" Terdengar Dewi Murka keluarkan perintah tegas,
"Cepat pulang sekarang juga, Selendang Kubur!"
"Bagaimana dengan dirimu sendiri?"
"Aku akan ke tempat lain, karena ada tugas dari Guru!"
Selendang Kubur sunggingkan senyum dingin. "Tadi kau bilang mau menjemputku, itu
berarti kau dan aku pulang bersama. Sekarang kau bilang ada tugas ke
tempat lain, itu berarti aku harus pulang sendiri. Aku tahu jalan pikiranmu,
Dewi Murka! Kau ingin
menggantikan diriku sebagai pendamping Suto!"
"Jaga bicaramu dengan wakil Guru, Selendang
Kubur!" "Persetan dengan kedudukanmu yang sekarang!
Kurasa kududukan itu pun palsu adanya, Dewi!"
"Kau harus segera pulang! Guru memanggilmu!"
sentak Dewi Murka.
"Persetan juga dengan panggilan Guru!" Lalu, Selendang Kubur menarik tangan Suto
sambil berkata,
"Jangan hiraukan dia, Suto! Kita harus berangkat sekarang juga!"
"Larasati..!" seru Dewi Murka memanggil nama asli Selendang Kubur, ia melangkah
beberapa tindak.
"Jangan memaksa diriku berlaku kasar padamu,
Larasati!"
Selendang Kubur terpancing kemarahannya dan
Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membalikkan badan serta memisahkan diri dari Suto. Ia melesat lompat ke tempat
yang datar dan bersuara
lantang. "Dewi, apa maumu sebenarnya, hah"!"
"Menyuruhmu pulang!"
"Kalau aku tak mau, apa tindakanmu"!"
"Terpaksa aku harus menyeretmu pulang, Larasati!"
"Apa kau kira mampu, hah"!" tantang Selendang Kubur yang merasa kedamaiannya
bersama Suto diganggu oleh kemunculan Dewi Murka.
Kejap berikutnya tubuh Dewi Murka melesat dan
hinggap di atas gundukan batu. Ia berdiri dengan tegak dan tampak menantang
juga. Kejap lain, Selendang
Kubur pun melompat ke atas gugusan karang dan berdiri
dengan sigap, siap menghadapi serangan Dewi Murka.
Sejurus kemudian, Dewi Murka perdengarkan
suaranya yang tegas.
"Dengar, Larasati...! Guru telah perintahkan aku untuk memaksamu pulang. Tak
bisa hidup, mati pun tak apa! Guru telah tugaskan aku untuk membawamu pulang
dalam keadaan hidup atau mati! Paham"!"
"Tak mungkin Guru keluarkan tugas begitu untukmu!
Aku bukan murid bersalah. Aku tidak melanggar
peraturan perguruan!"
"Siapa bilang"!" sergah Dewi Murka, "Kau menjadi murid bersalah dan dianggap
telah murtad!"
"Hei, apa salahku"!" Selendang Kubur kian keras kerutkan keningnya karena heran.
"Jangan berlagak bodoh, Larasati! Sejak kepergianmu tempo hari dari perguruan,
ternyata kau telah berhasil mencuri Kitab Wedar Kesuma!"
"Gila kau!"
"Kitab Wedar Kesuma telah hilang dari tempatnya.
Siapa lagi pencurinya jika bukan kau, Larasati! Karena sejak saat itu kau tidak
berani pulang ke perguruan!"
"Itu fitnah! Itu praduga yang kau timbulkan sendiri, karena kau takut Guru akan
memilihku sebagai
penggantinya!" sanggah Selendang Kubur sambil
menuduh balik kepada Dewi Murka.
"Jika kau tidak merasa bersalah, kau pasti pulang, Larasati!"
"Aku akan pulang, tapi tidak sekarang! Aku masih harus menemani Pendekar Mabuk
untuk satu persoalan
yang amat penting!"
"Tidak bisa. Sekarang juga kau harus pulang atau kuseret dalam keadaan sudah
menjadi bangkai"!'
"Kalau kau memang mampu, lakukanlah!" sentak Selendang Kubur dengan berani.
"Baik. Akan kulakukan tugasku!" geram Dewi Murka. Rupanya ia tidak main-main dan
bukan sekadar menggertak. Terbukti ia segera mencabut trisulanya dari pinggang.
Diam-diam Suto juga punya dugaan yang sama
dengan kata hati Selendang Kubur tadi.
"Tak mungkin Dewi Murka dapat tugas dari Guru
untuk menyuruh Selendang Kubur pulang. Kudengar
tadi dia mau pergi ke tempat lain. Mana mungkin dia akan melepaskah pencuri
kitab pulang sendiri tanpa
pengawalan ketat" Bohong dia! Aku tahu dia punya
maksud ingin mendekatiku. Karena waktu aku ada di
perguruannya, dia sempat dekati aku dan berbisik saat gurunya jauh dariku. Ia
bilang ingin membantuku
mencari Selendang Kubur, ia bilang, dirinya siap
menjadi pendampingku ke mana saja aku pergi. Jelas dia punya urusan pribadi
dengan Selendang Kubur. Dan
juga kepentingan pribadi padaku. Pasti dia iri melihat Selendang Kubur dekat
denganku."
Suto tertawa pelan sambil geleng-gelengkan kepala.
Sejenak ia menjadi penonton pertarungan Selendang
Kubur dengan Dewi Murka. Saat berikutnya hatinya
berkata, "Aku tahu, kedua perempuan itu ingin mendapat
tempat di hatiku. Tapi mereka tidak tahu bahwa hatiku hanya tersedia tempat
untuk Dyah Sariningrum. Mereka tak bisa menyingkirkan bayangan Dyah Sariningrum
dari ingatanku. Jadi sebaiknya, kutinggalkan saja kedua perempuan itu."
Maka, tanpa setahu Selendang Kubur maupun Dewi
Murka, Suto melesat pergi dari Pantai Karang Saru.
Sekalipun keadaan mabuk, tapi Suto tetap mampu
melesat bagaikan kilat. Bahkan lebih cepat dibandingkan gerakannya jika ia tidak
sedang mabuk. Sampai di tengah hutan, Suto berhenti untuk
membuka bumbung tuaknya, ia meneguk beberapa kali,
sedikit-sedikit tuak itu ditelannya. Kemudian, hati Suto sempat ucapkan kata,
"Aku harus temui Peramal Pikun. Aku yakin dia tahu tentang Dyah Sariningrum. Dia
merahasiakannya dariku.
Tapi nanti aku harus bisa mendesaknya dengan berbagai cara."
Tapi tiba-tiba hatinya diguncang kebimbangan.
"Mencari si tua Peramal Pikun atau mencari Peri Malam?" kata hati Suto.
"Keduanya sama-sama penting.
Menurutku dugaan Selendang Kubur tadi memang bisa
saja terjadi. Tuak Setan diminum oleh Peri Malam.
Kalau tuak itu sudah telanjur diminumnya, tentu aku akan mengalami kesulitan
untuk mengalahkan Peri
Malam. Bisa jadi pertempuranku dengannya membawa
korban lain yang tak bersalah. Jika begitu, sebaiknya kucari lebih dulu Peri
Malam untuk menyelamatkan
Pusaka Tuak Setan itu!"
Kepak sayap seekor burung hinggap di atas pohon
yang dipakai beristirahat oleh Suto. Kepak sayap burung lainnya, hinggap juga di
pohon satunya lagi. Makin lama kepak sayap burung semakin banyak beterbangan di
atas Suto. Itu menandakan petang sebentar lagi tiba. Dan hati Suto berucap kata,
"Aku harus cari desa. Aku mau menumpang tidur di salah satu rumah. Kebetulan
tuakku mulai menipis. Aku harus cari kedai untuk menambah tuak di bumbungku!"
Sebuah desa ditemukan tak jauh dari hutan itu. Desa tersebut termasuk desa
nelayan. Di sana ada kedai, dan di kedai itu Suto menambahkan tuak ke dalam
bumbungnya. Seorang lelaki berkumis lebat melintang sedang
makan di kedai tersebut. Matanya yang lebar itu
sebentar-sebentar melirik Suto dengan perasaan tak suka.
Lelaki berkumis itu mengenakan pakaian serba hitam
dengan ikat kepala dari kain batik. Duduknya tak kenal sopan kaki kanan ditaruh
di atas bangku, sebentar-sebentar tangannya dikibaskan membuat makanan yang
menempel di jari-jemarinya yang sebesar pisang itu
memercik ke mana-mana.
Salah satu butiran sisa makanan jatuh dan menempel
di lengan Suto. Tanpa banyak bicara Suto menyentil sisa makanan itu. Sentilan
tersebut di arahkan ke suatu
tempat. Sisa makanan itu melesat ke arah kendi yang ada di depan lelaki berkumis
tebal itu. Tang...! Prakkk...!
Kendi itu pecah bagai dilempar batu sebesar
genggaman tangan. Lelaki berkumis yang punya badan
tinggi besar itu menggeram dengan mata jelalatan. Ia mencari di sekelilingnya
orang yang melemparkan batu dan memecahkan kendi di depannya. Tapi tak satu pun
ada yang dicurigainya.
"Bangsat! Siapa yang berani pecahkan kendiku ini"!"
bentaknya ke arah tiga lelaki lain yang ada di bangku samping.
Pemilik kedai seorang perempuan tua yang sudah
keriput wajahnya. Perempuan itu ketakutan melihat mata lelaki berkumis
membelalak lebar, penuh luapan amarah.
"Sudahlah, Kang. Jangan hiraukan. Biar kuganti kendimu. Aku masih punya banyak
kendi dan minuman." "Iya. Tapi kendi ini berisi arak Kebalen! Harganya mahal!"
Pemilik kedai itu berkata, "Di sini juga jual arak Kebalen, Kang. Biarlah
kuganti satu kendi penuh!"
"Baiklah kalau kau mau menggantinya. Sebab aku tidak bisa minum tuak yang mirip
air kencing kuda itu!
Aku harus minum arak Kebalen, arak paling terkenal dan paling mahal!"
"Ini, Kang...," kata ibu pemilik kedai. "Ini arak Kebalen satu kendi."
"Baiklah. Beri aku sekendil tuak!"
"Untuk apa, Kang?"
"Buat cuci tangan, Goblok!" bentaknya. Pemilik kedai itu menggeragap sambil
bergegas menyiapkan
tuak satu kendil berukuran kecil. Pada saat itu, lelaki
berkumis melintang dan berbadan seperti kebo itu
melirik sinis pada Suto. Meski tahu dilirik, Suto diam saja dan pura-pura tidak
memperhatikan lelaki yang sedang unjuk keberanian dan kegalakannya itu.
"Ini tuaknya, Kang" Apa masih kurang?" tanya pemilik kedai.
"Sudah. Cukup."
Seorang lelaki kurus berbaju merah lusuh bertanya
kepada lelaki berkumis tebat itu.
"Kang, apa tidak merasa sayang kalau tuak sebegitu banyak dipakai untuk cuci
tangan"' "Sudah biasa!" jawab lelaki itu. "Aku kalau habis makan, cuci tangannya harus
pakai tuak. Tuak seperti ini kalau di rumahku tidak diminum, tapi buat cuci
tangan atau cuci kaki kalau habis kena tanah becek!"
Tangan lelaki berkumis itu segera masuk ke kendil
berisi tuak. Tapi kejap berikutnya dia memekik keras, kaget dan heran. Tangannya
ditarik kuat-kuat.
"Bangsat! Kenapa tuaknya panas"!" sambil ia gebrak meja. Pemilik kedai semakin
gemetar. "Ta... tadi... tadi tidak panas, Kang."
"Tidak panas dengkulmu! Pegang! Celupkan
tanganmu ke dalam tempat ini! Ayo, coba celupkan
tanganmu!" perintah itu mendesak dan membuat pemilik kedai menurutinya karena
takut. Tangan pemilik kedai dicelupkan ke dalam kendil
berisi tuak. Perempuan itu tidak merasa kepanasan,
bahkan agak lama merendamkan tangan ke dalam
kendi!. "Tidak panas, Kang. Dingin begini kok dibilang panas?"
Lelaki berkumis tertegun bengong melihat tangan
perempuan keriput itu direndam di dalam kendil berisi tuak. Di sisi lain, Suto
tetap diam, tapi dalam hatinya ia tertawa geli melihat kepongahan lelaki
berkumis. "Coba...!" kata lelaki itu. Tangan pemilik kedai diangkat, tangan lelaki itu
masuk ke dalam kendil.
"Aaauh...!" ia memekik keras. Lelaki itu cepat angkat tangannya keluar dari
kendil. Tangan itu mengepul.
Jarinya bengkak lebih besar dan berwarna kemerah-
merahan. Pemilik kedai pun belalakkan mata dengan
rasa heran dan takut. Begitu pula orang lain yang ada di situ. Hanya Suto yang
tetap tenang dan tak perhatikan hal itu.
Suto tahu, bahwa dirinya sedang dicurigai oleh lelaki berkumis tebal. Tapi Suto
juga tahu, bahwa lelaki itu tidak punya alasan untuk bikin persoalan dengan
Suto. Sebagai pelampiasan kemarahannya, lelaki berkumis itu segera menampar wajah
pemilik kedai sambil berkata,
"Pasti kamu yang bikin usil. Hihh...!"
Tap...! Tangan yang berkelebat mau menampar pipi
pemilik kedai itu jadi terhalang oleh bumbung tuak yang disodokkan Suto. Barulah
saat itu lelaki berkumis
menggeram dengan mata melotot bagai ingin menelan
Suto bulat-bulat.
"Kau mau unjuk diri di kampung ini, hah" Kau belum tahu kondangnya Singo Bodong
ini!" sambil lelaki berkumis menepuk dadanya sendiri dengan tangan kiri.
"Kenalkan, kalau kamu mau tahu, aku inilah Singo Bodong, tukang beset kulit
manusia!" Suto tersenyum-senyum saja. Singo Bodong menjadi
semakin geram. "Rupanya kau perlu diberi pelajaran sedikit, Anak Ingusan!"
Tangan kiri Singo Bodong berkelebat meluncurkan
pukulan ke wajah Suto. Tapi dengan cepat Suto
merundukkan kepala dan tangannya berkelebat
menghantam iga Singo Bodong menggunakan punggung
telapak tangan. Plook...!
Tubuh Singo Bodong mental lebih dari lima langkah
jauhnya. Padahal hanya mendapat pukulan ringan dari punggung tangan Suto yang
kiri. Tapi menurutnya
pukulan itu melebihi serudukan tiga ekor kerbau.
Bukan hanya Singo Bodong, tapi setiap orang yang
ada di situ mulai menaruh curiga pada Suto. Pemuda
tampan itu pasti bukan orang sembarangan dan sudah
tentu berilmu tinggi. Karena itu ketika Singo Bodong berdiri sambil menyeringai,
ia segera mundur beberapa pijak dengan rasa takut.
"Apa yang mau kau sampaikan padaku?" tanya Suto.
"Hammm... hmmm... anu... tidak. Eh, anu... maaf.
Maafkan aku, Satria gagah...!"
"Namaku bukan Satria! Namaku Suto Sinting...!"
Suto memperkenalkan diri. Kebetulan ada orang yang
mendengarnya, yaitu lelaki berpakaian merah lusuh yang tadi ikut makan di kedai
itu. Lelaki tersebut segera mendekati Suto dengan sopan.
"Mak.... Maksudnya, Tuan adalah... adalah Suto Sinting, murid dari si Gila
Tuak?" "Betul. Dari mana kau tahu?"
"Mak.... Maksudnya... Tuan adalah Suto Sinting, yang bergelar Pendekar Mabuk?"
"Betul!" sentak Suto jengkel. "Tahu dari mana kamu?"
Orang kurus berpakaian merah itu menjawab dengan
masih gemetar. "Tad... tadi, saya dengar ada orang yang bercerita tentang diri Tuan Pendekar,
menyebut-nyebut nama Suto Sinting yang berilmu tinggi dan... dan si Gila Tuak
yang kesohor di rimba persilatan itu."
"Siapa yang menceritakan diriku?"
"Orangnya ada di rumah tetangga saya. Dia... dia numpang bermalam di sana."
"Siapa yang menceritakan diriku" Itu
pertanyaannya!"
"O, anu... anu... namanya saya tidak tahu. Tapi dia banyak cerita pada keluarga
tetangga saya tentang
kehidupan di rimba persilatan. Dia... dia jagoan
perempuan. Cantik dan montok. Eh... anu... maksud
saya... dadanya... anu...!"
"Jagoan perempuan" Cantik dan montok?"
"Bet... betot, eh... betul!"
"Memakai pakaian kuning?"
"Iya!"
"Hmmm... Peri Malam ada di sini rupanya!" pikir Suto, lalu ia berkata kepada
orang itu, "Antarkan aku
menemuinya!"
"Ba... ba... baik!"
* * * 8 ALANGKAH kaget hati Peri Malam melihat
kehadiran Suto di rumah penduduk desa itu. Cepat sekali ingatan Peri Malam pada
Pusaka Tuak Setan dan
bayangan Selendang Kubur. Peristiwa di Pantai Karang Saru itu mencekam membuat
Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
guncang hati Peri Malam.
"Kucari-cari kau, ternyata ada di sini," kata Suto dengan suara sumbang karena
pengaruh mabuknya
masih ada. Peri Malam segera ambil sikap tenang seakan tidak
merasa pernah berbuat salah apa pun. Lalu Peri Malam berkata riang.
"Kuharap kau datang sendirian di malam ini. Bukan bersama Selendang Kubur."
"Ya, memang aku sendirian. Cuma diantar oleh Kang Rejo, yang rumahnya di sebelah
itu." Pemilik rumah yang dihuni Peri Malam segera
muncul dan ikut menemui Suto. Peri Malam
memperkenalkan Suto kepada keluarga Kriyo Suntuk
yang terdiri dari istrinya dan kelima anaknya.
"Ini orang yang kuceritakan tadi. Ini yang namanya Pendekar Mabuk, Suto Sinting!
Ya ini si orang sakti yang kuceritakan sebagai murid tokoh sakti kesohor
bergelar si Gila Tuak itu!"
Anak-anak Kriyo Suntuk tampak bangga dan kagum
melihat tubuh perkasa Suto, Belum lagi anak gadis
Kriyo Suntuk yang sudah berusia antara delapan belas tahun, sangat terpesona
melihat ketampanan Suto walau bermata sedikit merah karena mabuk. Suto jadi
dikerumuni oleh mereka, ditanyai ini-itu, dijamu dengan makanan lezat, dan
dipaksa untuk bercerita tentang
kehebatan ilmu-ilmunya.
Suto sempat berbisik kepada Peri Malam, "Apa-apaan ini sebenarnya" Mengapa
mereka terkagum-kagum
sekali padaku?"
"Kuceritakan tentang kehebatanmu dan kehebatan gurumu. Mereka suka dengan
cerita-cerita kependekaran. Mereka kagum mendengar ceritaku.
Kagum terhadap dirimu. Jadi, jangan kecewakan
mereka, toh mereka berikan kita tumpangan untuk
bermalam di rumah ini!"
"Bermalam" Siapa bilang aku mau bermalam di sini"
Aku hanya akan numpang tidur saja!" kata Suto sedikit mengacau.
Mereka duduk di tikar, di pelataran samping rumah.
Bahkan kala itu datang juga beberapa tetangga sekeliling rumah Kriyo Suntuk.
Pendekar Mabuk yang saat itu memang sedang
mabuk bercerita apa saja yang pernah dialaminya.
Bahkan apa yang pernah didengarnya dari mulut para
tokoh tua di dunia persilatan, diceritakan pula kepada mereka. Dan mereka tampak
senang, hanyut dalam cerita tersebut.
Satu-satunya orang yang datang ke situ dan sangat
tertarik sekali dengan cerita Suto adalah seorang lelaki berkumis tebal. Dialah
yang tadi mengaku bernama
Singo Bodong. Lelaki ini bahkan sering berdecak
terkagum-kagum terhadap cerita tentang jurus-jurus sakti yang pernah dilihat
oleh Suto. Sampai menjelang pagi, mereka baru merasa puas.
Anak bungsu Kriyo Suntuk tertidur di pangkuan
emaknya. Tetapi Katri, anak gadis Kriyo Suntuk yang berusia antara delapan belas
tahun itu, masih betah memandangi wajah ganteng Suto Sinting.
Suto tak tahan kantuk lagi. Ia terbaring di tikar itu sambil memeluk bumbung
tuaknya. Ketika ia terbangun, hari sudah siang, matahari pancarkan sinar-nya
dengan galak. Dan Katri adalah orang pertama yang menyambut kebangunan Suto
dengan senyum manis, semanis
senyum perawan desa yang berkulit hitam manis.
"Mau kubuatkan secangkir teh manis, Kang Suto?"
"Tidak. Terima kasih. Aku sudah cukup puas kalau sudah minum tuak ini. Eh, di
mana Peri Malam" Masih tidur?"
"Peri Malam..."!" Katri berkerut heran. "Maksudmu Yu Sundari" Pendekar perempuan
temanmu itu toh,
Kang?" "Iya. Mana dia?"
"Ooo... sudah dari tadi pagi pergi, Kang. Sebelum pergi, dia larang kami
membangunkan Kang Suto.
Katanya kalau Kang Suto sedang tidur dan dibangunkan, rumah ini bisa rubuh
dipancalnya! Jadi kami tidak ada
yang berani membangunkan Kang Suto!"
"Celaka! Ini pasti kelicikannya!" pikir Suto. "Aku tak sempat bicara padanya
tentang Tuak Setan itu. Hmmm...
pandai sekali ia mengalihkan suasana sampai aku tak punya kesempatan bicara
padanya." Suto hanya mengetahui arah kepergian Peri Malam,
yaitu ke arah selatan. Dalam perhitungan Suto,
perempuan licik itu tak mungkin berlari cepat, karena ia masih punya luka bekas
pukulan Selendang Kubur. Tak mungkin sembuh sehari-dua hari. Maka, dengan suatu
keyakinan penuh, Suto mengejar Peri Malam ke arah
selatan dengan kecepatan larinya yang melebihi
melesatnya anak panah.
Tepat ketika Suto tiba di kaki bukit, ia memandang
kelebatan orang berpakaian kuning kunyit yang sedang berada di lereng bukit. Tak
salah lagi dugaan Suto, orang itu adalah Peri Malam.
Suto berkelebat lewat. Daun-daun di kanan kirinya
berserakan jatuh akibat hembusan angin larinya Suto. Ia sengaja memotong jalan
melalui tepian jurang, ia
melompat di atas daun demi daun yang digunakan
sebagai pijakan kakinya.
Bukit itu bagian atasnya gundul. Tak ada tanaman
kecuali rumput dan ilalang tak seberapa tinggi. Tapi pada permukaan bukit benar-
benar kering tanpa
tanaman. Hanya bebatuan yang ada di sana, bagai bisul-bisul tersumbul dari dada
seorang perawan.
Di salah satu batu, Suto duduk menunggu. Karena ia
tahu arah perjalanan Peri Malam akan melewati puncak
bukit, lalu menuruninya dan menyeberang sebuah desa nelayan, setelah itu akan
mencapai pantai. Dari pantai itu pasti Peri Malam bertolak menuju Pulau Hantu,
untuk menemui gurunya si Mawar Hitam.
Perhitungan Suto tepat. Beberapa saat ia tunggui Peri Malam di puncak bukit itu,
akhirnya muncul juga
perempuan cantik berotak licik itu.
"Lamban sekali gerakanmu!" sapa Suto pertama kali saat mata Peri Malam itu
beradu pandang dengannya.
Peri Malam tampak kaget dan cemas, tapi segera
disembunyikan perasaan itu.
"Kupikir kau masih tidur," kata Peri Malam menutup keresahan.
"Tak bisa tidur nyenyak aku, sebelum Pusaka Tuak Setan kau serahkan padaku."
Terkesiap mata Peri Malam mendengar ucapan itu. Ia
berusaha menutup rahasianya yang sudah jelas
terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Lagak
bodohnya masih dicoba sebagai penutup rahasia.
"Pusaka Tuak Setan apa maksudmu, Suto?"
"Guci kecil, berisi tuak. Kau rampas dari tangan Pujangga Kramat ketika di tepi
Telaga Manik Intan. Kau lumpuhkan pelayan guruku dengan jarum beracun
milikmu itu!"
"Kau sedang mabuk saat ini, Suto."
"Aku sudah tidur, itu berarti aku sudah bebas dari mabuk," kata Suto tetap
dengan kalem. Matanya tak berubah pandang. Tertuju lurus ke wajah Peri Malam,
membuat perempuan itu makin gelisah.
"Aku tidak tahu soal pusaka itu. Siapa bilang aku menyerang Pujangga Kramat di
tepi telaga" Telaganya yang mana, aku juga tidak tahu."
"Selendang Kubur sudah jelaskan semuanya, Peri Malam. Jangan kau berdusta lagi!"
"Itu rekaan Selendang Kubur! Jangan mau percaya dengan mulut perempuan macam
dia! Dia berusaha
mengarang cerita seperti itu, supaya kau bermusuhan denganku dan dia bebas
mencintaimu."
"Ini persoalan pusaka! Bukan persoalan asmara!"
"Tapi asmara itulah yang membikin ribut tentang pusaka! Kau telah dipengaruhi
olehnya, Suto! Aku tak tahu apa-apa tentang Pusaka Tuak Setan!"
"Serahkan Tuak Setan itu padaku, Sundari," sambil tangan Suto terjulur tengadah
meminta pusaka tersebut.
Sambungnya lagi.
"Aku tak ingin bertarung melawanmu hanya untuk berebut pusaka setan itu! Aku tak
bisa melukai wanita secantik dirimu, Sundari. Jangan paksa aku
menyakitimu...."
Dengan tutur kata pelan, Sundari berkata, "Apakah kau mencintaiku sungguh,
Suto?" "Kau bisa tahu setelah kau berikan pusaka itu padaku, karena dengan memberikan
pusaka itu padaku, itu
berarti aku harus membalas kebaikan yang setimpal,
kebaikan yang setimpal itu tentunya merupakan sesuatu yang amat berharga dalam
hidupmu!" Dalam pengertian Peri Malam, sesuatu yang amat
berharga dalam hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari
pria seperti Suto. Tapi ia lupa bahwa Suto itu sinting, ia hanya terpengaruh
oleh bayangan hatinya sendiri,
sehingga pada akhirnya ia pun berkata, "Baik. Akan kuserahkan kembali padamu.
Tapi setelah itu bawalah aku pergi bersamamu, Suto!" Peri Malam pun
mengeluarkan guci kecil satu genggaman tangan yang
disembunyikan di balik pinggangnya. Guci itu pun
diserahkan kepada Suto. "Terimalah, Suto. Inilah bukti bahwa aku sungguh
mencintaimu...."
Seperti badai melintas di depan mereka berdua, tiba-tiba guci kecil itu lenyap
dari tangan Peri Malam
sebelum jatuh ke tangan Suto. Kedua tubuh mereka pun terpental ke belakang
secara bersamaan. Sesuatu yang berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai
angin berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Suto terjengkang dan sempat terkapar, sedangkan
Peri Malam terpental dan punggungnya membentur batu.
Ia menyeringai dan merasakan sesak pernapasan
dadanya, ia berusaha untuk bangkit, yang ternyata lebih dulu Suto yang berdiri
tegak. Kedua mata mereka
memandang ke arah samping, dan tak salah lagi dugaan Suto, seseorang telah
berdiri di atas batu dengan tawa yang terkekeh-kekeh.
Orang itu berambut abu-abu digulung naik. Badannya
agak bungkuk, pakaiannya abu-abu dengan jubah biru
lusuh hampir serupa dengan warna pakaian dalamnya
yang abu-abu itu. Orang itu menyelipkan sebuah senjata berupa tengkorak kambing
bertongkat pendek kira-kira dua jengkal. Tongkat itu pun terbuat dari tulang
punggung binatang sejenis kerbau atau entah apa. Orang itu mempunyai wajah yang
keriput kempot dan peot
dengan gigi berjarak renggang karena ompong.
Siapa lagi si tua bongkok dan kempot itu selain
gurunya Peri Malam yang bergelar si Mawar Hitam.
Rupanya ia datang tepat pada waktunya. Dan sekarang Pusaka Tuak Setan itu berada
dalam genggamannya, ia tertawa-tawa kegirangan memandangi guci kecil itu.
"Guru...," sapa Sundari dengan rasa takut. Sapaan lemah itu membuat tawa Mawar
Hitam hilang seketika.
Mata cekungnya memandang tajam pada Peri Malam,
dan ia mengumpat.
"Mulid sesat! Mulid bodoh! Sudah dapatkan pusaka mau selahkan olang lain! Dasal
mulid otak kebo!"
"Guru, maafkan aku! Karena... karena aku tahu
pusaka itu sebenarnya bukan hak milik kita, melainkan milik Suto Sinting ini!"
"Pelsetan dengan Suto! Kamu telgoda sama
ketampanan wajahnya! Padahal ketampanan itu adalah
lacun! Lacun yang mematikan!" sentak perempuan tua yang tidak bisa menyebutkan
huruf R. "Mawar Hitam," kata Suto dengan berusaha tetap tenang. "Jangan bikin perkara
denganku. Aku memang masih muda. Tapi aku tak pernah merasa segan
membunuh raga tuamu jika pusaka itu tak kau serahkan padaku!"
"Hik hik hik hik...," Mawar Hitam tertawa.
"Beltahun-tahun kutunggu kesempatan ini, tak mungkin bisa kudiamkan begitu saja.
Kau, mulid si Gila Tuak,
kasih tahu sama gulumu, sekalanglah saatnya dia halus tunduk padaku. Kalena
sebental lagi aku akan minum
Tuak Setan ini, dan aku akan jadi olang telkuat di antala tokoh-tokoh limba
pelsilatan...!"
"Kuingatkan sekali lagi, Mawar Hitam! Serahkan pusaka itu atau aku bertindak
sekarang juga"!"
"Hih, anak ingus mau coba tantang aku" Hih,
kuhanculkan batok kepalamu dengan pusaka Tengkolak
Lial ini...!"
Melihat Mawar Hitam mencabut senjatanya yang
bernama Tengkorak Liar itu, Peri Malam menjadi sangat cemas. Sebab ia tahu,
gurunya jarang menggunakan
senjata Tengkorak Liar itu. Jika senjata itu digunakan, atau dicabut dari
pinggangnya, itu pertanda akan ada korban nyawa cepat atau lambat. Karena itu,
Peri Malam segera mendekati Suto dan berbisik,
"Mundurlah, Suto...! Kalau dia cabut senjata itu, sangat berbahaya bagi dirimu.
Biar aku yang menjinakkan kemarahannya, Suto!"
"Aku tak peduli, Peri Malam!"
"Hei, Sundali...!" seru Mawar Hitam. "Kau kasih dia pengeltian, jangan coba-coba
menantang kemarahanku, supaya dia selamat dan bisa jadi suamimu! Kalau dia mau,
kukawinkan kau dengannya di Pulau Hantu kapan
saja kalian siap!"
"Tidak, Guru! Pusaka itulah tanda cintaku kepadanya.
Berikan pusaka itu, Guru!" sentak Peri Malam dengan beraninya.
"Mulid sesat! Kau pun belani menentangku, hah"!
Kau pellu tahu, bagaimana aku hanculkan si tampan
yang bodoh itu! Hiaaah...!"
Mawar Hitam sentakkan tangan kanannya yang sudah
memegang senjata Tengkorak Liarnya itu. Kilatan
cahaya perak meluncur cepat dari kedua mata tengkorak kambing. Suto segera
silangkan bumbung tuaknya
dengan badan sedikit merendah. Tapi, Peri Malam
berteriak cemas.
"Suto, jangan tahan serangan itu! Hindari!"
Karena Suto tak ada tanda-tanda akan bergerak
menghindar, maka Peri Malam pun melesat maju
menghadang sinar perak itu. Ia berdiri di depan Suto sambil berteriak,
"Jangan, Guru...!"
Suto menyapu kaki Peri Malam dengan cepat. Tubuh
Peri Malam rubuh seketika. Sinar perak melesat
melewati atas tubuh Peri Malam, dan segera diterima oleh bumbung tuaknya Suto.
Craasss...! Cahaya memercik ketika sinar perak itu
mengenai bumbung tuak. Cahaya tersebut membalik ke
arah Mawar Hitam. Serta-merta nenek keriput itu
kibaskan senjatanya dari samping kiri ke samping kanan.
Wuuugh...! Kibasan angin itu membentur sinar perak dan
terjadilah ledakan kuat dari kedua benturan itu. Blarrr...!
Suto melompat dan bersalto di udara. Tetapi Peri
Malam terlambat menghindari gelombang ledakan
tersebut. "Uhhg...!"
Bruukk...! Tubuh Peri Malam terlempar tiga langkah
ke belakang. Mulutnya menyemburkan darah segar,
membasah di pakaian kuningnya. Wajahnya pucat
seketika, ia masih bisa membuka matanya, namun tak
Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mampu lagi bicara, ia ingin bangkit, namun hanya
mampu duduk bersandar pada batu sambil memegangi
bagian dada. "Sundari..."!" desis Suto dalam cemas.
"Awas...!" ucapnya lirih, membuat Suto berpaling pada Mawar Hitam. Rupanya saat
itu Mawar Hitam
lancarkan serangan kembali dengan sentakkan tengkorak kambingnya.
Suto merasakan datangnya gelombang panas yang
menyerang ke arahnya. Suto cepat jejakkan kaki ke
tanah dan berkelebat jungkir balik di angkasa dalam gerakan maju. Pukulan tenaga
dalam yang mempunyai
daya panas cukup tinggi itu melesat menemui tempat
kosong. Tapi pada saat itu, kaki Suto sudah berpijak di batu atasnya Mawar
Hitam. "Hiaaah...!" sentak Suto sambi! meluncurkan tendangan ke arah kepala nenek
bungkuk itu. Plakkk...! Mawar Hitam terkena tendangan pada pelipisnya.
Tendangan itu bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar
Hitam terpental melayang akibat tendangan itu. Suto segera mengejarnya dengan
satu kali sentakan kaki,
tubuhnya melayang ke arah Mawar Hitam.
Jlig...! Kakinya berpijak ke tanah. Mawar Hitam yang terkapar segera layangkan
kakinya menendang pangkal
paha Suto. Namun tangan Suto lebih cepat gerakkan
bumbung bambu tuak. Plokk...! Kaki itu dihantam
memakai bumbung yang bertenaga dalam cukup tinggi.
Pukulan itu bukan saja membuat kaki Mawar Hitam
terpelanting ke samping, namun juga merasa tulang
keringnya remuk, hingga ia sempat memekik tertahan.
"Uuhhg...!"
Suto segera sodokkan bumbung bambu ke wajah
Mawar Hitam. Tapi dengan cepat Mawar Hitam
berguling ke samping. Wuusss...! Proook...!
Batu sebesar kerbau duduk itu hancur tanpa
memercikkan debu sedikit pun akibat terkena sodokan bambu bumbung tuak. Batu itu
langsung surut dan
menjadi serpihan-serpihan selembut pecahan kaca.
Pada saat itu Mawar Hitam segera bangkit dan duduk, lalu senjatanya dibabatkan
ke kaki Suto. Tak kalah lincah Suto menghindar dengan satu kali sentakan ujung
jempol kakinya, ia melenting di udara dan bersalto
mundur satu kali. Sementara angin yang ditimbulkan
dari kibasan senjata tengkorak kambing itu begitu
besarnya, hingga batu besar setinggi tubuh Suto itu terlempar dan menggelinding
jatuh melintasi lereng
bukit. "Jahanam busuk kau, Suto!" geram gurunya Peri Malam, ia masih bisa paksakan diri
untuk berdiri walau satu kakinya telah remuk.
Kejap berikutnya, Suto kerahkan tenaganya dengan
kembangkan jemari tangan yang terangkat sebatas dada.
Rupanya ia melakukan kekuatan menghisap dari jarak
jauh hingga jemari tangan kirinya yang tidak memegangi bumbung tuak itu tampak
bergetar. Mawar Hitam tak jadi kirimkan pukulan jarak
jauhnya, karena ia harus mempertahankan guci kecil di tangan kirinya itu. Ia
bertahan memegangi guci yang nyaris terlepas itu. Begitu kuatnya daya hisap
tenaga Suto, sampai kulit tubuh nenek itu terkelupas sedikit demi sedikit,
khususnya di bagian pergelangan tangan kiri.
Mawar Hitam tetap bertahan menggenggam Guci
Tuak Setan dengan mati-matian. Kekuatannya terpusat pada genggamannya itu,
hingga jari jemarinya tampak berdarah. Kuku-kukunya nyaris terlepas karena daya
hisap tenaga Suto yang dinamakan ilmu 'Serap Sukma', warisan ilmunya si Gila
Tuak. Rupanya kekuatan ilmu 'Serap Sukma' sudah tak bisa
dilawan lagi. Guci itu pun melesat terbang, lepas dari genggaman Mawar Hitam.
Segera nenek bungkuk itu
sentakkan tangan kanannya yang masih memegang
tengkorak kambing, dan tangan kiri pun menyentak ke arah Suto. Akibatnya, guci
yang melayang di udara itu pecah, tubuh Suto sendiri kena pukulan jarak jauh
pada saat ia berbalik membelakangi Mawar Hitam untuk
melompat meraih guci itu.
"Aaahhg...!"
Suto jatuh berlutut, sedikit melengkung ke belakang karena terkena pukulan
punggungnya. Kepala Suto
terdongak ke atas dengan mulut ternganga melontarkan suara pekik tertahan. Pada
saat itulah guci di atasnya
pecah, cairan hijau kehitam-hitaman yang kental itu tumpah keluar, dan jatuh
masuk ke dalam mulut Suto.
Glek...! Cairan itu tertelan oleh Suto. Mawar Hitam berteriak keras karena
kecewanya. "Jahanaaam...! Hiaaah...!"
Mawar Hitam bergerak maju dengan satu lompatan
dan memukul kepala Suto dengan senjatanya. Tapi dari arah belakang, tiba-tiba
sebuah cahaya merah berkilat cepat melesat menghantam punggung Mawar Hitam.
Cahaya itu datang dari tangan Peri Malam.
"Aaahg...!" tubuh Mawar Hitam pun jatuh
terpelanting dan menyemburkan darah kental dari
mulutnya. Tetapi ia tampak masih tangguh untuk
memberi pukulan balasan. Tangan kirinya yang berdarah karena kulitnya hampir
copot itu disentakkan ke arah Peri Malam.
Wuugh...! Sebuah pukulan menghantam ke arah dada
Peri Malam. Dalam keadaan lemas, Peri Malam sempat
jatuhkan diri dari sandarannya. Akibatnya, pukulan itu mengenai batu, dan batu
itu hancur lebur dalam sentakan keras. Pecahannya beterbangan ke mana-mana.
Peri Malam sudah tak bisa ingat apa-apa lagi. Tapi
Mawar Hitam masih bisa sentakkan kakinya dan melesat pergi bagaikah siluman
menembus awan. Ia lakukan hal itu setelah ia merasa dirinya terluka cukup berat,
termasuk akibat serangan dari muridnya sendiri itu. Dan juga, ia melihat Suto
terkapar tak bergerak dengan tubuh mulai berasap. Itulah saatnya Mawar Hitam
tinggalkan bukit.
Tubuh Suto sendiri terus berasap, makin lama makin
jelas kepulan asap putih kehitam-hitaman. Bahkan dalam keadaan terbaring di
samping bumbungnya, tubuh itu
bergerak-gerak bagai ayam disembelih. Kakinya
berkelojotan, disusul dengan kedua tangan yang
tersentak-sentak.
Suto maupun Peri Malam tak tahu bahwa kejap
berikutnya, seorang perempuan cantik berdiri tertegun memandang ke arah Suto.
Matanya terbelalak tegang
saat ia menyebut nama, "Suto..."!"
SELESAI PENDEKAR MABUK Ikuti kisah selanjutnya
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:
PERAWAN SESAT Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Bangau Sakti 19 Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis Kemelut Di Majapahit 21