Pencarian

Misteri Kapal Hantu 2

Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu Bagian 2


tadi, tetapi lebih dari itu! Sebab orang ini pun tiba-tiba memelukkan kedua
tangannya kepada Mahesa Wulung
serta merebahkan kepalanya ke dada pendekar muda
yang bidang ini.
"Heei, apa maksudmu"!" seru Mahesa Wulung kehe-
ranan oleh sikap aneh orang yang disergapnya ini.
"Kakang Mahesa Wulung, kau tak mengenalku la-
gi?" ujar orang ini dengan suara terbata-bata.
Hal ini membuat pendekar muda yang menangkap-
nya terperanjat kaget, lalu berkata pula, "Tidak! Aku
tidak melupakanmu. Bahkan aku masih selalu meng-
ingat suaramu, Adi Pandan Arum!"
"Ooh, syukur, Kakang. Aku merasa bahagia bahwa
Kakang Wulung masih mengenalku," ujar si orang
tangkapan yang tidak lain adalah Pandan Arum dan
kemudian mempererat dekapannya, seolah-olah ia ta-
kut akan kehilangan orang yang dicintainya ini.
Keduanya sesaat diam membisu. Mereka lalu terke-
nang dengan saat pertemuan mereka pertama di dae-
rah Asemarang pada waktu yang silam.
"Adi Pandan Arum, kau mengetahui kalau aku telah
kembali di Jepara?" bertanya Mahesa Wulung seraya
melepaskan dekapan dan kemudian ia melepas ikat
kepala merah soga yang terikat di kepala Pandan
Arum. "Eh, Adi tak perlu menyembunyikan rambutmu
yang indah ini di hadapan kekasih."
"Oh, ya. Aku selama ini tinggal bersama Bibi Su-
mekar, dan siang tadi aku bertemu dengan Kakang Ja-
gayuda ketika aku datang ke Jepara," kata Pandan
Arum, seraya membiarkan ikat kepalanya diambil oleh Mahesa Wulung. Maka
terurailah rambutnya yang hitam berombak ke atas punggungnya dengan indah.
"Ah, rambutmu bertambah panjang dan indah, Adi
Pandan Arum," desah Mahesa Wulung kagum.
"Benar, Kakang. Dan cintaku padamu juga bertam-
bah panjang dan dalam," ujar Pandan Arum lirih, lalu ia membalikkan diri dan
memandang ke arah laut, sementara Mahesa Wulung yang berdiri di belakangnya
bersandar pada sebuah tonggak kayu.
"Tapi Kakang akan berlayar lagi?" Pandan Arum
bertanya. "Aku lihat sebuah kapal jung telah dis-
iapkan." "Benar, Adi Pandan," jawab Mahesa Wulung. "Aku
akan berlayar lagi dan aku harus menangkap Kapal
Hantu yang telah sekian lamanya mengacau Laut Ja-
wa." "Kapal Hantu" Uh, tugas yang mengerikan!" desis
Pandan Arum cemas. "Aku pernah mendengar na-
manya, Kakang. Dan jika seandainya itu benar-benar
ada, pasti sukar untuk menangkapnya."
"Betapa pun sukarnya, Adi," sambung Mahesa Wu-
lung, "tugas itu telah dipercayakan kepadaku dan Kakang akan menyelesaikannya.
Aku ingin memperbaiki
kegagalan kerjaku pada waktu-waktu yang lalu."
Pandan Arum tak berkata lagi. Ia masih menatap ke
arah laut yang berkilatan airnya tersapu oleh cahaya rembulan. Ia pun paham akan
kekerasan hati kekasihnya.
"Adi Pandan," Mahesa Wulung berkata memecah
kesunyian, "marilah kita kembali. Angin bertambah deras rasanya."
"Baik, Kakang," kata Pandan Arum.
Keduanya lalu berjalan bersama, ke arah selatan
menuju ke arah perumahan Armada Laut di pojok ti-
mur bandar Jepara ini.
Tempat itu kembali menjadi sunyi, kecuali ombak
laut yang gemercik. Sesekali lewatlah dua orang prajurit kawal yang tengah
meronda keamanan bandar, dan
malam pun kian menjelang dan larut.
Akan tetapi di balik tonggak-tonggak kayu, tidak
jauh dari tempat Mahesa Wulung dan Pandan Arum
semula bercakap-cakap, tampaklah kepala manusia
sebatas leher berada di permukaan air laut.
"Hmm, semula aku cuma ditugaskan untuk mema-
ta-matai persiapan kapal-kapal Demak ini. Tak ku-
sangka bila aku malah berhasil mendengar percakapan yang berguna dan penting
untuk Ki Rikma Rembyak.
Ternyata mereka telah menyiapkan kapal untuk me-
nangkap Kapal Hantu! Hhhh, kurasa aku harus cepat-
cepat meninggalkan tempat ini dan memberi tahu ke-
pada ketua."
Habis berkata demikian, dalam sekejap mata orang
itu cepat-cepat berenang ke arah utara, menuju ke
semak-semak pohon bakau. Di situ menunggu sebuah
perahu dengan beberapa orang menunggu di dalam-
nya. "Bagaimana, Kakang Blenyik?" tanya orang-orang di
dalam perahu itu.
"Yah, tak keliru lagi! Mereka akan mencoba kembali
untuk menangkap Kapal Hantu!" ujar Blenyik seraya
meloncat naik ke dalam badan perahu.
"Menangkap Kapal Hantu"! Hah, ha, ha, ha. Mereka
mengimpi di siang bolong kalau mengharap untuk me-
nangkapnya," terdengar seorang teman Blenyik tertawa terkekeh-kekeh.
"Diam! Jangan meremehkan mereka!" potong Ble-
nyik dengan nada marah.
"Mengapa"!" serempak teman-teman Blenyik mem-
buka mulut. "Mereka akan musnah dan binasa seperti
kapal-kapal lainnya!"
"Kalian belum tahu"! Mahesa Wulung ada bersama
mereka di dalam kapal Armada Demak itu!"
"Mahesa Wulung"! Wah...!" serempak teman-teman
Blenyik berseru dan kemudian membisu, terbungkam.
"Nah, apa kataku"!" bentak si Blenyik kepada te-
man-temannya. "Sekali ini betul-betul berbahaya bagi kita. Maka cepat-cepatlah
kita kembali ke Mondoliko.
Hayo lekas menyingkir dari tempat ini!"
Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera berdayung
ke arah utara dengan cepatnya. Mereka terus menyu-
suri sepanjang pantai Jepara. Dan sesudah melewati
Tanjung Piring, mereka mulai membelok ke arah timur.
Perahu tadi semakin jauh dan bertambah jauh sampai
akhirnya lenyap di pojok timur.
*** Sang pagi menjelang pula, dan saat itu tampaklah
kesibukan di bandar Jepara. Sebuah kapal jung telah siap untuk bertolak,
berlayar ke tengah lautan. Di geladak buritan, Mahesa Wulung, Jagayuda, Wangsa
Gi- nuk dan Pandan Arum tengah menyaksikan persiapan
terakhir untuk berlayar dengan seksama. Para awak
kapal bekerja dengan cepat hingga sebentar saja selesailah sudah persiapan itu.
Tak antara lama, dari arah bandar, di mana para
perwira-perwira laut lainnya berkumpul untuk me-
nyaksikan keberangkatan kapal ini, terdengarlah bunyi gong yang ditabuh dengan
suara keras, yang kemudian menggema beralun di udara pagi ini. Berbareng itu pu-
la, para awak Kapal Barong Makara segera memahami
akan isyarat gong yang ditabuh tadi dan mereka pun
menggerakkan dayung-dayungnya.
Maka bergeraklah kapal jung Barong Makara itu ke
tengah, sementara dayung-dayung di kedua sisi din-
ding kapal bergantian menyibak air laut. Layar pun
mulai dikembangkan, sedang di tiang layar utama, sebuah bendera biru muda dengan
gambar Makara kun-
ing emas di tengahnya, berkibaran megah dihembus
angin pagi. Di tepi bandar Jepara yang semakin menjauh dan
mengecil itu, masih tampak para prajurit dan orang-
orang yang melambai-lambaikan tangannya sebagai
salam ucapan selamat jalan kepada Kapal Barong Ma-
kara. Sebentar saja kapal ini telah langsung mengarungi
lautan, memecah air yang biru kehijauan bagai tak
bertepi dan tak berujung. Beberapa burung camar laut bercuit-cuit beterbangan di
dekat kapal. Kini pesisir Jepara tadi cuma tampak sebagai satu
garis kecil memanjang, sedang Gunung Muria yang
menjulang tinggi hanya merupakan gundukan biru di
atas garis memanjang tadi. Dan selanjutnya, bila mereka semakin jauh menuju ke
utara, maka garis dara-
tan tadi sudah tak nampak lagi oleh mata. Hal ini
membuat dada para pelaut tersebut terasa lapang, selapang lautan biru yang
mereka jelajahi kini. Tetapi, bagi yang pertama kali berlayar tentu lain
rasanya, sebab mereka pasti merasa cemas. Jangan-jangan me-
reka tak bisa menemukan daratan lagi atau mereka
mencemaskan kalau-kalau kapal yang mereka tum-
pangi akan tenggelam di lautan.
"Hoooi!" tiba-tiba terdengar teriakan dari seorang
pengintai di atas tiang layar. "Perahu di arah timur!"
Mahesa Wulung cepat-cepat mengarahkan tero-
pongnya ke sebelah timur setelah mendengar teriakan tadi. Dan memang tampaklah
di sebelah sana, sebuah
perahu berukuran cukup besar terkatung-katung di
atas air. Lewat teropongnya itu, Mahesa Wulung dapat me-
ngetahui bahwa perahu tadi sangat sepi tanpa dilihatnya manusia di geladak.
"Hmmm, tak ada gerakan manusia sama sekali.
Aneh, belum pernah aku menjumpai perahu yang ber-
layar sendiri!"
Jagayuda yang berdiri di sebelah Mahesa Wulung
segera bertanya, "Bagaimana, Kakang" Apakah kita
dekati perahu itu"!"
"Ya. Kita harus mendekatinya, Adi Jagayuda. Segera
kita berbelok ke timur. Suruh orang-orang bersiaga!"
ujar Mahesa Wulung. "Saya kuatir kalau-kalau hal ini
merupakan sebuah perangkap!"
"Apakah kira-kira perahu tersebut yang sedang kita
cari"!" bertanya Jagayuda serta memasang teropong
yang diterimanya dari tangan Mahesa Wulung. "Betul, Kakang. Tampaknya sepi-sepi
saja." "Tak mungkin kalau Kapal Hantu, Adi. Sebab me-
nurut ciri-ciri yang telah kita terima, Kapal Hantu selalu bergerak dengan
dayung-dayung. Sedang perahu itu tak menggunakan dayung sama sekali."
"Tapi bukankah dayung-dayung itu dapat disembu-
nyikan oleh mereka?" Jagayuda kembali mengutarakan
kecurigaannya. "Mungkin mereka tengah menjebak ki-
ta." "Bisa juga, Adi Jagayuda," jawab Mahesa Wulung.
"Coba sekali lagi kau perhatikan dengan seksama. Bukankah perahu itu masih
mempunyai layar yang baik
dan utuh. Juga warna catnya bukan warna yang kehi-
taman seperti ciri-ciri yang dimiliki oleh Kapal Hantu!"
Jagayuda mengangguk oleh kata-kata Mahesa Wu-
lung tadi. "Betul, Kakang. Perahu itu pun terlalu kecil kalau kita namakan
dengan Kapal Hantu."
Begitulah, Kapal Barong Makara semakin mendeka-
ti perahu tadi, sedang para awak kapal bersiaga dengan meriam-meriam dan senjata
lainnya. Setelah men-
dekat, beberapa jangkar pengait segera berlontaran ke dinding-dinding perahu
tersebut yang dilemparkan da-ri arah Kapal Barong Makara oleh anak buah Mahesa
Wulung. Akhirnya merapatlah kapal jung dengan perahu ta-
di, dan segera pula Mahesa Wulung bersama Jagayu-
da, Pandan Arum dan sebagian anak buahnya berlon-
catan ke geladak perahu, sementara Wangsa Ginuk
dengan sebagian orang-orang lainnya tetap tinggal di kapal.
Keadaan perahu besar ini tetap hening, sepi. Tanpa
gerakan manusia sama sekali, hingga membuat Mahe-
sa Wulung dan anak buahnya keheranan sangat. Begi-
tu tiba di geladak perahu, mereka secepat kilat me-
nyiapkan senjatanya, namun tak berguna sama sekali
sebab tak ada sambutan.
"Haai! Ada orang di sini"!" seru Mahesa Wulung.
Tak ada jawaban. Suasana tetap sepi, kecuali bunyi
derit tali-temali yang bergesekan diseling percikan air laut di dinding kapal.
Mereka tak sabar lagi, maka menyebarlah mereka
untuk menyelidiki perahu besar ini. Pandan Arum me-
loncat ke arah buritan memeriksa deretan tong-tong
kayu tempat air, dan apa yang dijumpainya sungguh
mengejutkan dan membuatnya ngeri.
"Aaaeeee!" Pandan Arum berteriak ketakutan.
Mendengar teriakan kekasihnya, Mahesa Wulung
segera meloncat ke arah Pandan Arum berada dan de-
mikian pula para anak buahnya. Mereka pun berlonca-
tan ke arah jeritan tadi.
Begitu Mahesa Wulung tiba di tempat itu, Pandan
Arum cepat memeluknya dengan wajah yang masih
pucat sementara tangan kirinya menunjuk ke arah se-
belah bawah dari tong-tong air tadi dengan berseru seperti orang bisu. "Uh, uh,
i... i... tul uh."
Mahesa Wulung dan anak buahnya seketika terpe-
ranjat setengah mati di saat pandangan mata mereka
tiba di tempat yang telah ditunjuk oleh Pandan Arum tadi. Setapak mereka mundur
ke belakang dan hampir
tak percaya dengan pemandangan yang ada di depan-
nya. Di situ, di dekat tong-tong kayu tadi bergeletakan
tubuh-tubuh manusia dalam keadaan yang mengeri-
kan. Mati, dengan kulit tubuhnya kering dan hangus
kebiru-biruan. "Semuanya telah mati dan pada tubuh-tubuh awak
perahu ini tidak ada tanda-tanda luka ataupun bekas-bekas pertempuran," ujar
Mahesa Wulung kepada
Pandan Arum dan Jagayuda.
"Mengerikan, Kakang," Pandan Arum berkata.
"Menakutkan," desah Jagayuda pula. "Belum per-
nah aku melihat kematian yang begini macam."
"Di situ ada sebuah kamar. Biarlah aku periksa!"
kata Mahesa Wulung. "Adi Pandan Arum dan Jagayu-
da, kalian bersama anak buah bersiaga dan tunggu
aku!" "Baik, Kakang," ujar Pandan Arum dan Jagayuda
berbareng. Mahesa Wulung segera mendekati kamar itu dan
dibukanya pintu kamar itu.


Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kreeeaat! Terdengar bunyi engsel pintu bergerit, menyebab-
kan rasa berdesir di hati orang-orang yang mendengarnya.
Mendadak dari arah kamar itu terdengar satu teria-
kan garang, membuat semangat hati bagai terbang ra-
sanya. "Hyaat!"
Sebuah tombak pendek meluncur dari ruang kamar
langsung menuju ke tubuh Mahesa Wulung. Untung-
lah sejak saat semula pendekar muda ini telah bersia-ga dengan pedangnya. Maka
begitu tombak itu melun-
cur ia telah menyabetkan pedangnya satu lingkaran
penuh untuk menyambut serangan itu.
Traak! Tombak tadi terpatah jadi dua dan tercampak di
atas lantai. Sesudah itu menyusul sebuah bayangan manusia
melesat menyerang Mahesa Wulung. Karuan saja me-
reka yang menyaksikan menjadi lebih kaget, sebab
ternyata masih ada yang hidup di perahu ini.
"Hee, tunggu!" teriak Mahesa Wulung sambil me-
nangkis serangan pedang yang dilancarkan oleh orang ini. Tetapi orang ini tak
menjawab kecuali pedang di tangannya makin bertambah garang menyerang Mahesa
Wulung. Sepintas lalu tampaklah bahwa orang ini
telah kehilangan kesadarannya. Matanya membayang-
kan dendam yang bercampur rasa takut. Itulah sebab-
nya ia menyerang dengan ganasnya.
Pedang orang ini berputar bagai angin dengan gera-
kan yang cepat, hingga kadang-kadang tampak sebagai putaran sinar putih yang
menyambar-nyambar ke arah
Mahesa Wulung. Si penyerang ini bertubuh tegap mengenakan baju
putih dan bercelana pendek hitam. Wajahnya tampak
kepucatan, seperti orang yang tak pernah tidur. Kumis dan jenggotnya tumbuh
menjadi satu sangat lebatnya, sedang ikat kepalanya berwarna biru tua.
Mahesa Wulung tak bermaksud melawan dengan
sungguh-sungguh, sebab ia ingin mengetahui sebab-
sebab kematian dari awak perahu ini. Maka ia cuma
meloncat ke sana, melompat kemari menghindari teba-
san pedang si penyerang yang sangat ganas dan pena-
saran. Sekali-sekali Mahesa Wulung menangkis dan
menghantamkan pedangnya, sekadar dilakukan agar
ia tidak terlalu terdesak benar-benar oleh serangan-serangan lawannya.
Rupanya si penyerang itu pun makin bertambah ka-
lap dengan serangan-serangannya. Apalagi setelah dirasanya bahwa musuh yang
tengah dihadapinya cuma
setengah-setengah dalam serangan balasannya.
"Kurang ajar! Kau mempermainkan aku!"
"Itu salahmu sendiri!" seru Mahesa Wulung. "Me-
ngapa engkau tiba-tiba menerjangku"!"
"Tak perlu bertanya banyak-banyak!" bentak si pe-
nyerang yang berkumis dan berjenggot lebat ini. Wa-
jahnya yang kepucatan menampakkan keputus-asaan.
"Kau telah melihat kawan-kawanku ini mati di sini dan aku ingin pula mati
bersama mereka di perahu ini!"
Habis berkata, orang ini menyerang lagi dan Mahesa
Wulung menangkisnya, sampai pedang si penyerang
tergetar dan mulutnya menyeringai menahan getaran
pedangnya yang membuat jari-jarinya terasa pedih.
Ketika ia melihat sebuah kapal jung telah merapat
pada perahunya, orang ini berteriak, "Heei rupanya ka-lianlah yang telah
menyerang dan membinasakan ka-
wan-kawanku kemarin malam!"
Betapa Mahesa Wulung dan anak buahnya terkejut
mendengar tuduhan dari wajah pucat ini, maka tak
perlu heran bila Mahesa Wulung cepat menyahut,
"Ooo, jangan terburu melemparkan tuduhan yang tak
berdasar sama sekali. Ketahuilah kawan, bahwa kapal kamilah yang menemukan
perahumu ini, hingga kami
mengetahui bahwa kawan-kawanmu telah tewas de-
ngan keadaan yang mengerikan!"
"Bah, aku tak mudah percaya dengan ceritamu,"
sahut si wajah pucat. "Kecuali kau dapat mengalahkan Daeng Matoa ini!"
"Jadi Andika mau meneruskan perkelahian ini"!"
tanya Mahesa Wulung. "Orang-orangku akan menerta-
wakan sikap Andika."
"Persetan dengan orang-orangmu!" bentak Daeng
Matoa. Kemudian ia menyerang kembali ke arah Mahe-
sa Wulung dan kembalilah perahu tersebut digetarkan oleh lingkaran pertempuran
yang cukup seru.
Sekarang Mahesa Wulung sungguh-sungguh mera-
sakan tekanan serangan dari Daeng Matoa yang
seumpama angin puyuh, melibat dan menghempas de-
ngan serunya. Dua puluh lima jurus telah lewat dan si wajah pu-
cat ini masih gigih menyerang lawannya, namun Ma-
hesa Wulung ganti mengerahkan tenaga dalamnya.
Sebuah tebasan pedangnya diarahkan kepada pedang
Daeng Matoa dengan deras.
Crang! Dua pedang tersebut berbentur dengan seru, hingga
tangan Mahesa Wulung tergetar karenanya. Ini sudah
cukup mengherankan bagi diri Mahesa Wulung. Agak-
nya Daeng Matoa juga memusatkan tenaga dalamnya.
Biarpun begitu ketika terbentur tadi, si wajah pucat memekik kesakitan,
bersamaan pedangnya terpelanting lepas dari tangannya. Di saat itu pula kaki
Mahesa Wulung menyambar kaki Daeng Matoa dengan gerak
mengait yang manis, hingga lawannya itu terjerembab ke lantai.
Hal ini membuat Daeng Matoa terkejut, dan sebe-
lum ia sempat berdiri, tiba-tiba terasa benda yang dingin telah menempel di atas
dadanya. Pedang! Yah,
pedang Mahesa Wulung telah menembus dada lawan-
nya. Daeng Matoa yang gagah berani telah memejam-
kan matanya, siap menanti kematian. Tetapi betapa
herannya bila pedang tadi tidak jadi menembus da-
danya, bahkan ketika ia membuka matanya, dilihatnya Mahesa Wulung menarik
pedangnya tersebut, lalu dis-arungkan kembali, sedang bibirnya menampakkan se-
nyum yang ramah.
"Hmm, Anda memang hebat. Tapi sayang Anda ber-
sikap penasaran dan lagi menghina kami dengan tudu-
han yang bukan-bukan!" ujar Mahesa Wulung. "Nah,
jika aku pun bersikap penasaran pula, maka Anda
pasti sudah tak bernyawa lagi."
"Mengapa Anda tak melakukannya"!" ujar Daeng
Matoa setengah terdengar sambil menunduk.
"Sebab aku yakin, bahwa kita tidak seharusnya sa-
ling mendendam dan bertempur seperti tadi," berkata Mahesa Wulung pula. "Nah,
sekarang berdirilah dan
ceriterakan kepada kami sebab-sebab kematian para
awak kapalmu ini."
Setelah Daeng Matoa berdiri, segeralah ia berceri-
tera. "Kami pelaut-pelaut Bugis telah membawa muatan
rempah-rempah dari Pulau Celebes dan berdagang ke
bandar Sunda Kelapa. Setelah selesai, kami kembali.
Kira-kira pada waktu senja, tibalah kami di perairan Borneo selatan, dan di
situlah bencana yang dahsyat telah menimpa kami. Di antara kegelapan senja
muncullah sebuah kapal aneh yang bergerak tanpa layar
dari sebelah utara. Hal ini telah dilaporkan kepada pemimpin dan mereka
kesemuanya pergi ke atas geladak, sedang saya sendiri tetap tinggal di kamar
bawah ini, sebab badanku lagi tidak enak serta pusing-pusing. Nah, apa yang
terjadi kemudian aku tak tahu, sebab tiba-tiba sebuah cahaya biru terang telah
menyala di atas perahu kami, dan ini dapat kulihat dari kilatan sinarnya dari
dalam kamarku. Selanjutnya terdengar olehku teriakan ngeri dari semua awak
perahu, kecuali diriku seorang yang masih tinggal berbaring di kamar. Betapa
ngerinya teriakan kawan-kawanku tadi, yang seolah-olah seperti teriakan orang
terkena api. Sesaat kemudian suasana menjadi sepi kembali dan
buru-buru aku mencoba menengok keluar. Akan te-
tapi, oh! Betul-betul membuat mataku tak percaya! Seluruh awak perahu ini telah
mati dengan tubuh yang
hangus kering kebiruan, seperti yang Anda temui tadi."
"Hehh, jadi kalian telah diserang oleh Kapal Hantu,"
sambung Mahesa Wulung pula. "Mereka memang se-
ringkali menyerang kapal-kapal, dan ketahuilah bahwa kami tengah mencari Kapal
Hantu tadi."
"Kapal Hantu"!" seru Daeng Matoa. "Uh, namanya
sangat menakutkan. Memang aku pernah mendengar-
nya dari desas-desus, tapi itu semula hanya aku kira dongeng kosong belaka.
Tidak nyana bahwa Kapal
Hantu tadi benar-benar ada dan kami telah menjadi
korbannya."
Daeng Matoa berdiam sesaat lalu berkata kembali,
"Kalau memang Kapal Hantu tadi sangat berbahaya,
mengapakah Anda berusaha mencarinya?"
"Sebab kami harus menghancurkan atau menang-
kapnya. Itulah tujuan kami dari Armada Demak," ujar Mahesa Wulung, dan mendengar
kata-katanya tadi
Daeng Matoa seketika terperanjat.
"Uh, Andika dan kapal jung itu dari Armada De-
mak" Jika demikian, terimalah salam dan hormatku.
Juga aku meminta maaf atas tuduhanku yang keliru
tadi." "Tak mengapa, Daeng. Aku memaklumi bahwa si-
kapmu tadi kau lahirkan dalam keadaan yang gelap
pikiran. Kini perkenalkanlah. Saya bernama Mahesa
Wulung, dan ini Jagayuda, Wangsa Ginuk dan ini
Pandan Arum."
Daeng Matoa mengangguk hormat, lalu berkenalan
dengan mereka satu persatu. Sesudah itu Mahesa Wu-
lung lalu memerintahkan anak buahnya segera me-
mindahkan barang-barang yang penting dan berguna
dari perahu Bugis tadi ke dalam kapalnya. Atas perse-tujuan dengan Daeng Matoa,
semua itu dilakukannya
dan Daeng Matoa pun turut pindah ke dalam Kapal
Barong Makara. "Terima kasih, Saudara Wulung. Aku akan ikut ber-
samamu mencari kapal Hantu itu. Biarlah aku mem-
balaskan kematian kawan-kawanku tadi."
"Dan bagaimana dengan perahumu itu?"
"Seperti yang telah saya utarakan tadi, bakarlah perahu dan juga mayat teman-
temanku tadi agar jasad
abu mereka terbaring di dasar lautan dengan tenang."
"Baiklah, Daeng. Itu orang-orangku telah siap me-
nyalakan api," ujar Mahesa Wulung seraya menatap ke arah perahu tadi.
Beberapa anak buahnya kelihatan menuang minyak
ke geladak dan dinding perahunya, lalu menyalakan
api. Sebentar saja api pun telah berkobar dan orang-orang tadi segera
berlompatan kembali ke Kapal Ba-
rong Makara. "Berdayung ke utaraaaa!" teriak perintah Mahesa
Wulung, dan secepat kilat Kapal Barong Makara telah bergerak ke utara menjauhi
perahu yang tengah terbakar tadi. Para anak buah Mahesa Wulung dengan se-
bat berdayung penuh semangat.
Di saat Kapal Barong Makara berlayar ke utara, pe-
rahu Bugis tadi telah terbakar bagai sebatang obor
yang menyala di tengah lautan, dan selanjutnya perlahan-lahan mulai miring dan
tenggelam ke dalam air
dengan suara berdesis dan ledakan-ledakan kecil.
Daeng Matoa masih saja mengikuti perahu tadi
sampai benar-benar dilihatnya tenggelam sama sekali.
"Sudahlah, Daeng. Biarlah mereka terbaring di ba-
wah sana dengan damai," ujar Mahesa Wulung kepada
Daeng Matoa yang masih terdiam di dinding kapal
dengan menatap ke arah selatan.
"Tidak apa-apa, Saudara Wulung," jawab Daeng Ma-
toa dengan nada tersengal haru. "Aku hanya menge-
nang kawan-kawanku tadi. Mereka telah sekian lama
selalu bersama berlayar denganku dalam suka dan
duka, hingga saat bencana itu terjadi. Aku menyesal bahwa waktu itu aku
terbaring sendirian di dalam kamar, sehingga aku tak dapat menyaksikan bencana
yang menimpa mereka."
"Maaf, Daeng, itu saya kira lebih baik. Sebab de-
ngan tetap tinggal di dalam kamar tadi, Anda masih
tetap hidup."
"Uh, mengapa Anda bisa berkata demikian, Saudara
Mahesa Wulung?" tanya Daeng Matoa seraya menatap
ke wajah Mahesa Wulung yang berdiri di sampingnya.
"Sebab aku kira sinar biru tadilah yang menyebab-
kan kematian, hingga kawan-kawan Anda tewas de-
ngan tubuh yang mengering hangus kebiruan.
"Mmm, kalau begitu sinar tadi adalah senjata yang
dahsyat!" desis Daeng Matoa. "Apakah kiranya kita dapat menangkap Kapal Hantu
tadi?" "Mudah-mudahan kita berhasil, Daeng!"
"Yah, mudah mudahan begitu."
Dalam pada itu, Kapal Barong Makara terus melaju
ke arah utara dengan tenang. Dari arah timur laut
awan mendung kehitaman tampak berarak-arak meng-
ambang di langit bagai sebuah selimut berwarna kela-bu hitam tengah
dikembangkan. Awan tadi menyebabkan lautan di sebelah utara
menjadi kegelapan dan suram tampaknya, sedang bu-
rung camar dan elang laut pun terbang melintas di haluan kapal dengan teriakan-
teriakan bernada takut
serta cemas. Suasana berubah hening. Para awak kapal yang ada
di geladak tiba-tiba saja hatinya merasa cemas ketika menatap ke arah laut
sebelah utara. Mahesa Wulung,
Daeng Matoa, dan lain-lainnya juga memandang ke
arah utara yang kini telah mendung dan diliputi kegelapan amat pekat.
Mahesa Wulung segera memasang teropongnya me-
meriksa ke sebelah utara, dan tiba-tiba saja dilihatnya sebuah bayangan hitam di
atas air yang muncul dari
kegelapan bergerak lambat ke arah selatan dengan lurus.
Bertepatan dengan itu, dari sebelah atas terdengar
teriakan awak kapal yang berjaga di atas tiang layar.
"Ahoooi! Kapal di sebelah utara!"
Semua mata serempak tertuju ke arah utara dan
betullah kiranya. Sebuah bayangan hitam tadi sema-


Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kin bertambah jelas menuju ke arah kapal mereka.
Ternyata adalah sebuah kapal bergerak dengan
dayung-dayung panjang di kedua belah sisi dinding
lambung kapalnya. Sedang pada tiang-tiang layarnya
bergantungan kain-kain layar yang sobek-sobek dan
compang-camping sangat usang.
"Kapal Hantu!" desis Mahesa Wulung terperanjat.
"Hah, Hantu?" seru Daeng Matoa ikut terperanjat
pula. "Celaka kita. Bagaimana kita menghadapinya?"
"Tenang-tenang saja, Daeng!" ujar Mahesa Wulung.
"Bantulah Dinda Jagayuda serta para anak buah me-
nyiapkan meriam di ruang bawah."
"Baik, Saudara Wulung!" ujar Daeng Matoa serta
meloncat dari tempat itu bersama Jagayuda. Mereka
segera masuk ke pintu geladak menuju ke ruang ba-
wah. "Hai, saudara-saudara, kosongkan geladak ini! Se-
mua masuk ke ruang bawah! Lekas!" Mahesa Wulung
berseru dan para awak kapal ini secepat kilat masuk ke ruang bawah.
"Kakang Mahesa Wulung, aku tinggal bersamamu,"
Pandan Arum berkata memohon.
"Jangan, Adi Pandan. Kali ini sangat berbahaya!
Masuklah ke ruang bawah selekasnya!"
"Tapi, Kakang...," Pandan Arum tak melanjutkan
kata-katanya demi dilihatnya wajah kekasihnya me-
nunjukkan nada melarang. Maka cepat-cepat ia pun
masuk ke ruang bawah.
Kini tinggallah Mahesa Wulung berdiri seorang diri
di atas geladak, sementara Kapal Hantu tetap bergerak menuju ke kapalnya.
"Hmm, dengan jalan apa aku harus menghadapi-
nya" Paling-paling aku harus mengusahakan kapal ini berada di luar jarak
tembakannya."
"Heeei, Belokkan arah kapal ke arah barat!" teriak
Mahesa Wulung segera, dan bergantilah haluan Kapal
Barong Makara ini menuju ke arah barat laut.
"Baiknya aku pun menggunakan panahku. Siapa
tahu banyak gunanya," gumam Mahesa Wulung seo-
rang diri lalu secepat kilat ia mengambil panahnya dari dalam kamar di sebelah
buritan. Kapal Hantu tersebut semakin dekat, dan dengan
menggunakan teropongnya, tahulah Mahesa Wulung
bahwa di geladak kapal tersebut terdapat beberapa
tengkorak dan kerangka manusia berserakan, sehingga tepatlah kalau disebut
dengan nama Kapal Hantu.
Mahesa Wulung telah bersiaga dengan panahnya
ketika jarak kedua kapal itu makin bertambah dekat.
Sekonyong-konyong, ia melihat adanya gerakan di atas geladak Kapal Hantu itu dan
sejurus kemudian melun-curlah sebuah sinar terang yang menyala kebiruan da-ri
arah Kapal Hantu dengan derasnya menuju ke Kapal Barong Makara. Namun dalam saat
itu juga Mahesa
Wulung telah menembakkan panahnya menyongsong
berkas sinar biru tadi.
Sinar biru tadi telah mencapai separuh jarak ketika
panah Mahesa Wulung melesat dan menerjangnya.
Saat itu juga terdengarlah satu ledakan suara yang
dahsyat bagai seratus petir menggelegar bersama me-
mekakkan telinga.
Glaaarrr! Berkas sinar biru tadi pecah di tengah jalan kemu-
dian rontok jatuh ke atas laut dengan suara berdesis berbuih-buih bagai bara api
tersiram air. Bersamaan itu juga, terdengarlah suara Jagayuda
di ruang bawah.
"Tembaak!"
Maka berdentumanlah mulut-mulut meriam di din-
ding kanan Kapal Barong Makara dan peluru berlun-
curan menghajar Kapal Hantu.
Walaupun sebagian jatuh di luar jarak tembak, na-
mun ada satu dua yang tiba di geladak Kapal Hantu,
menimbulkan kerusakan-kerusakan yang ringan. Meli-
hat hasilnya, Jagayuda sekali lagi memerintahkan untuk bersiap melakukan
tembakan berikutnya.
Namun betapa kagetnya mereka, bila Kapal Hantu
tadi tiba-tiba berganti haluan berbelok ke timur, menjauhi Kapal Barong Makara,
dan sebentar kemudian
berbelok lagi ke utara dengan lincahnya, tak ubah seorang manusia yang lari
ngacir meninggalkan gelang-
gang pertempuran.
Para awak Kapal Barong Makara serentak keluar
dari ruang bawah untuk menyaksikan Kapal Hantu ta-
di lari ke arah utara. Dari geladak kapal, Mahesa Wulung dan anak buahnya dapat
mengikuti arah lari si
Kapal Hantu, yang bergerak sangat cepat seperti se-
ekor ular naga tengah berenang menempuh laut yang
gelap. "Uh, tidak disangka bila Kapal Hantu tadi dapat kita usir begitu mudah," ujar
Daeng Matoa sambil meng-
usap dahinya yang penuh keringat dingin saking ce-
masnya. "Lalu apakah tindakan kita sekarang"!"
"Kita akan mengejarnya sekarang juga, Daeng!" ujar
Mahesa Wulung tenang, dan kemudian ia memanggil
Jagayuda. "Adi Jagayuda, perintahlah anak buah un-
tuk bersiap-siap dan ganti haluan ke arah utara lurus.
Sebab kita akan mengejar Kapal Hantu itu sekarang."
"Baik, Kakang. Jika kita lurus ke utara, segera akan tiba di perairan Borneo
selatan," ujar Jagayuda.
"Ya, kita akan mencari jejak Kapal Hantu tadi di sa-na, sebab bukankah arah itu
pula yang dituju oleh mereka?"
Jagayuda segera melakukan perintah tadi dan tak
antara lama Kapal Barong Makara telah berganti ha-
luan, kembali menuju ke utara.
Sekarang mereka mulai mengarungi daerah yang
gelap tertutup oleh awan mendung tebal mengambang
di laut. Ombak yang besar-besar telah muncul, bagai gundukan yang berwarna putih
untuk kemudian terlibat ke bawah dengan bunyi berdebur keras. Busa pu-
tih pun tersebar di permukaan air, berlimpahan, ter-bawa oleh hempasan ombak
kesana-kemari. Biarpun begitu, Kapal Barong Makara tadi dengan
teguh menempuh alunan ombak yang sebentar terang-
kat di ujung ombak dan sebentar lagi teralun ke ba-
wah, tak ubahnya sebatang sabut terombang-ambing.
Para awak kapal melakukan tugasnya masing-ma-
sing dengan cepat, tanpa mengenal rasa takut. Ombak yang beralun menghempas-
hempas itu malah diang-gapnya sebagai teman, sebagai penggembleng sema-
ngat diri, sebab dengan ombak itu mereka dapat meng-uji sampai di manakah mereka
dapat mengenal dan
bersahabat dengan laut.
Kapal Barong Makara terus maju. Dengan dibantu
oleh dayung-dayung yang bergerak membelah air, me-
reka akhirnya berhasil melewati daerah ombak besar
tadi, sampai beberapa waktu kemudian seorang penja-
ga tiang layar telah memberi tahu adanya daratan di sebelah utara.
"Pulau Borneo," gumam Mahesa Wulung seorang di-
ri dengan berdiri di geladak kapal. "Betapa maha-
luasnya pulau ini, dan kata orang besarnya ada lebih dari dua kali Pulau Jawa."
Mahesa Wulung kemudian memasang teropongnya
ke arah utara. "Hmmm, sayang sekali senja telah me-
nurun dan kehijauan pulau ini tidak nampak."
Mereka makin bertambah dekat dengan daratan di
sebelah utara yang terhampar memanjang dalam war-
na kesuraman hitam.
"Adi Jagayuda," seru Mahesa Wulung yang masih
saja mengawasi daratan dengan teropongnya dan se-
bentar kemudian Jagayuda telah sampai di sebelah-
nya, "kau lihatlah daratan di sebelah utara itu."
"Mengapa, Kakang?" tanya Jagayuda serta meneri-
ma teropong dari tangan Mahesa Wulung.
"Awasilah baik-baik dengan teropong itu! Kau lihat
sebuah teluk di sana" Nah, di pojok timur dari teluk tadi ada sebuah kapal yang
tengah berlabuh."
"Tepat, Kakang. Aku lihat itu semua dari teropong
ini," ujar Jagayuda. "Dan anehnya, kapal itu berwarna gelap kehitaman serta
memakai layar yang telah compang-camping. Ah, ya. Bodoh benar aku. Pastilah itu
Kapal Hantu yang tengah kita cari!"
"Dugaanmu memang benar. Aku pun yakin bahwa
kapal itulah yang telah menyerang kita di saat menjelang senja," Mahesa Wulung
berkata sementara otak-
nya berputar mencari siasat yang jitu. Dan tak berapa lama berkatalah ia,
"Begini, Adi Jagayuda. Kita akan
secara diam-diam berlabuh di tepi barat teluk itu, dan selanjutnya menyergap
Kapal Hantu tersebut."
"Tapi apakah nama teluk itu, Kakang?" tanya Ja-
gayuda. "Namanya..." Mmm, nanti dulu," ujar Mahesa Wu-
lung seraya memasang teropongnya sekali lagi. "Ter-
nyata di sebelah timur teluk ini ada lagi sebuah teluk yang kedua. Ah, dua teluk
yang berjajar. Jika demikian, pasti yang pertama adalah Teluk Sampit dan yang
kedua adalah Teluk Sebangan!"
Demikianlah, setelah persiapan diatur, Kapal Barong Makara tadi berlayar terus
mendekati tepi barat Teluk Sampit. Tanpa banyak menimbulkan suara, mereka telah
berlabuh dan mendarat dengan selamat. Mahesa
Wulung segera memerintahkan untuk menurunkan se-
buah perahu kecil panjang untuk dipakainya nanti.
*** 5 KAPAL HANTU yang berlabuh di tepi timur Teluk
Sampit itu sungguh-sungguh merupakan pemanda-
ngan yang mendirikan bulu roma. Setiap orang pasti
akan takut melihatnya apalagi menjamahnya jangan
sekali-sekali mengimpikannya.
Tapi di sebuah kamar di buritan Kapal Hantu ini,
terpasanglah dian minyak yang bergoyang-goyang ter-
gantung pada langit-langit atap. Beberapa orang berwajah angker tampak duduk di
situ. "Laporanmu memang tepat, Blenyik. Kita telah ber-
hadapan dengan sebuah kapal armada Demak baru-
san saja. Dan seperti halnya kalian, aku pun ikut kagum bahwa kapal itu masih
bisa melepaskan diri dari
Kapal Hantu ini. Bahkan mereka telah memuntahkan
peluru-pelurunya," ujar seorang yang berwajah garang dengan gigi mulutnya yang
bertonjolan. "Sayangnya kita tadi cuma melepaskan sebatang
anak panah saja. Kalau lima sekaligus berbareng, pastilah mereka tidak akan
dapat menangkisnya, dan bi-
nasalah mereka. Maka aku usulkan kepada Paman
Monyong Iblis, agar untuk selanjutnya kita lebih hati-hati," demikian kata-kata
seorang lain yang menutup sebelah mata kirinya dengan selembar kecil kulit
binatang. Pendekar yang bermata satu ini pun mempunyai
wajah yang garang.
"Heh, heh, heh. Memang kita telah membuat kesa-
lahan kecil, Jaramala. Tapi itu bukan kesalahan kita.
Sebab biasanya dengan sebatang anak panah Braja
Kencar saja, itu sudah cukup untuk membinasakan
seluruh isi kapal sasaran," Monyong Iblis berkata.
"Namun usulmu tadi aku dapat menerimanya. Heh,
heh, heh. Tak percuma aku mempunyai seorang pem-
bantu yang bergelar si Mata Siji seperti kamu."
"Aku lebih senang kalau kalian bertempur secara
jujur, tanpa menggunakan panah Braja Kencar itu!"
bentak seorang gadis yang ikut duduk di situ. "Sejak semula aku tak setuju kalau
Ayahanda Rikma Rembyak memberikan panah-panah itu kepada kalian de-
ngan tujuan membinasakan kapal-kapal yang kita
jumpai!" "Heh, heh, heh. Janganlah menghalang-halangi
maksud ayahmu, Andini Sari. Sadarlah bahwa kau te-
lah diampuni oleh beliau, ketika Andika lari dari Pulau Mondoliko."
Oleh jawaban Monyong Iblis tadi, Andini Sari ter-
diam membisu, kendati di dalam hatinya ia masih me-
nyanggah dan menentang cita-cita ayahnya untuk
menjadi raja lautan Jawa.
"Berapa lama kita akan tinggal di pangkalan Teluk
Sampit ini?" bertanya Mata Siji kepada Monyong Iblis.
"Kita terpaksa tinggal di sini beberapa hari sampai kerusakan-kerusakan kecil
tadi selesai diperbaiki," jawab si Monyong Iblis. "Dan kemudian kita akan ber-
aksi kembali!"
Namun ketika mereka tengah asyik bercakap-cakap
tadi, tersembullah sebuah kepala manusia dari luar
jendela kamar, dengan sorot mata yang tajam menga-
wasi semua isi kamar. Di luar kamar itu, malam sa-
ngat pekat dan remang-remang. Awan hitam berarak di langit menghalangi sinar
bulan yang tengah bersinar.
"Bagaimana, Saudara Wulung?" bisik sesosok
bayangan hitam kepada bayangan pertama yang ten-
gah mengintip tadi.
"Sudah cukup. Mari kita kembali!" berkata baya-
ngan pertama yang tidak lain adalah Mahesa Wulung.
Kedua bayangan tadi kemudian mengendap-endap
di atas geladak menjauhi kamar tersebut, dan dengan lincahnya mereka turun dari
dinding Kapal Hantu, melalui rantai jangkar yang tergantung di atas air. Gerakan
mereka selincah tupai, bergayutan menuruni ran-
tai tadi ke bawah, dan sebuah perahu kecil dan pan-
jang telah menanti di air dengan seorang pendayung-
nya. Kabut malam memenuhi tempat itu membuat su-
asana yang seram.
"Kembali ke barat, cepat!" terdengar Mahesa Wu-
lung berbisik dan sebentar kemudian perahu ramping
tadi meluncur ke arah barat amat lajunya.
Bila mereka telah tiba di sebelah barat Teluk Sam-
pit, perahu kecil tersebut segera merapat pada dinding Kapal Barong Makara. Tiga
bayangan telah naik ke
dinding kapal melalui tangga-tangga tali dengan cepat-
nya. Sementara itu, beberapa orang segera menyambut mereka. Tampak ikut menolong
ketiga orang tadi, Pandan Arum, Jagayuda dan Wangsa Ginuk.
"Adakah orang di Kapal Hantu itu, Kakang?" tanya
Jagayuda tak sabar.
"Yah, ternyata mereka adalah kaki tangan Rikma
Rembyak," ujar Mahesa Wulung dengan nada geram.
"Kaki tangan Rikma Rembyak"!" ulang Jagayuda
kaget. "Benar. Mereka ada beberapa orang, seperti Mo-


Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyong Iblis, Jaramala, Blenyik, Andini Sari, dan masih ada lainnya. Sedang para
awak Kapal Hantu itu mungkin berada di daratan," terdengar Mahesa Wulung
berkata, sementara yang lain mendengarnya penuh perha-
tian. "Mereka akan tinggal di Teluk Sampit ini beberapa hari untuk memperbaiki
kerusakan-kerusakan
Kapal Hantu itu."
"Hmm, itulah kesempatan yang baik buat menye-
rangnya!" terdengar Pandan Arum ikut berkata. "Ja-
ngan biarkan Kapal Hantu itu lolos dari tangan kita."
"Aku sependapat denganmu, Nona," sahut Daeng
Matoa. "Hanya saja waktu penyerangan itu mesti di-
perhitungkan sangat terinci. Siapa tahu awak Kapal
Hantu itu tidak sedikit jumlahnya."
"Ah, itu memang benar, Daeng. Mereka menyebut
tempat mereka berlabuh tadi dengan kata 'pangkalan'.
Maka boleh dipastikan bila tempat itulah sarang me-
reka di daerah Borneo ini, dan kita harus segera menyerangnya sebagai sasaran
yang pertama, kemudian
barulah Kapal Hantu itu kita hancurkan."
"Rencana yang gemilang!" desis Jagayuda. "Kapan
saat penyerangan itu, Kakang?"
"Besok sore, Adi. Kau bersama Adi Pandan Arum
membawa separuh anak buah kita untuk menyerang
pangkalan itu, sementara aku bersama Daeng Matoa
dan Wangsa Ginuk akan mencoba merebut Kapal Han-
tu itu. Nah, dengan demikian maka perhatian mereka
akan pecah menjadi dua, sehingga kita memperoleh
keuntungannya."
Mahesa Wulung mengakhiri kata-katanya, setelah
lebih dulu ia memerintahkan kepada awak kapal agar
malam ini penjagaan diperkuat.
Teluk Sampit ini ternyata ditumbuhi oleh pohon-
pohon besar, seperti karet tahun, trembesi dan lain-lainnya. Juga sulur-suluran
rotan yang membelit-belit dan bergantungan pada dahan-dahan pohon, laksana
sekawanan ular yang melilit-lilit.
Sesekali terdengar suara binatang malam yang ber-
teriak memecah kesepian malam. Kelelawar-kelelawar
yang besar pun melayang-layang dengan mengepak-
ngepakkan sayapnya membuat suasana tempat itu
sangat menyeramkan bagi pendatang dari armada De-
mak. Namun tidaklah demikian pada keesokan harinya.
Ketika sinar matahari telah menerangi teluk itu, war-na-warna hitam pekat
semalam kini berubah menjadi
warna hijau subur.
Lewat tengah hari, tampaklah gerakan-gerakan dari
awak Kapal Barong Makara menyusuri pantai Teluk
Sampit menuju ke arah timur. Mereka itu dipimpin
oleh Jagayuda dan Pandan Arum, dengan seluruh jum-
lah ada empat puluh orang banyaknya. Dua orang ter-
depan membawa golok-golok besar untuk memapas
semak-belukar sebagai pembuka jalan bagi rombongan
tadi. Kenyataannya sangatlah berat menempuh hutan
tanah Borneo ini. Sebentar-sebentar mereka harus melalui rawa-rawa lembah di
daerah Teluk Sampit sebe-
lum mereka tiba di daerah pangkalan sarang kawanan
bajak Monyong Iblis dengan Kapal Hantunya.
Sementara itu, di sebuah rumah yang berdiri di atas tonggak-tonggak kayu, di
tepi Teluk Sampit, para awak Kapal Hantu beristirahat dengan lesunya. Mereka
terpaksa menunggu di tempat itu selagi kapal mereka
tengah diperbaiki. Keadaan hutan yang besar dan liar, ditambah dengan suasana
sepi, membuat mereka malas-malasan berjaga.
Untuk menghapuskan kelesuan tadi, satu dua o-
rang sibuk mengail sedang beberapa orang lainnya
membersihkan senjata. Andini Sari tengah menggosok
pedangnya, demikian pula Blenyik dan seorang te-
mannya sedang mempertajam golok-golok mereka de-
ngan batu karang. Mereka duduk di atas batu-batu di dekat tonggak-tonggak rumah,
tanpa mengetahui bahwa beberapa pasang mata tengah mengawasi mereka
dari balik semak-belukar.
Ketenangan pangkalan di tepi Teluk Sampit itu tiba-
tiba dipecahkan oleh sebuah jeritan nyaring membuat orang-orang tadi
terperanjat. Seorang anggota bajak pengawal pangkalan, berjalan terhuyung-huyung
ke arah mereka dari sebelah barat. Pada punggungnya
tertancap dalam-dalam, sebuah belati panjang.
"Hee, Kakang Bukur! Lihat itu, kawan kita terluka!"
seru Blenyik kepada teman di sampingnya. Mereka
berdua sangat kaget.
Serentak Blenyik dan Bukur menyambut pengawal
tadi. Begitu pula Andini Sari dan lain-lainnya segera mengerumuninya pula.
"Mengapa, kawan" Apa yang terjadi"!" Seru Blenyik
menanya. Si pengawal tadi sudah terlalu payah rupanya, se-
bab ia cuma sempat menjawab singkat. "Ada musuh!"
Dan rebahlah ia tak bernyawa lagi.
Kejadian ini membuat mereka seperti tersadar,
bahwa untuk ke sekian kali mereka tengah bermalas-
malas di tempat ini, sampai tak tahu kalau ada musuh di sekitar mereka.
Tepat di saat mereka panik, terdengarlah jeritan perang dari sebelah barat serta
bermunculan kepala-
kepala manusia bersama ujung-ujung senjata dari ba-
lik dedaunan semak di sekitar rumah.
"Serbuuu!"
Maka sejurus kemudian, udara sore di pangkalan
telah digetarkan oleh pertempuran dahsyat. Jagayuda, Pandan Arum dan kawan-
kawannya menyerbu pangkalan Teluk Sampit!
Oleh suara teriakan dan benturan-benturan senjata
tersebut, orang-orang di atas Kapal Hantu seketika terperanjat pula. Mereka
bertanya-tanya dalam hati, apakah gerangan yang tengah terjadi di pangkalan"
Monyong Iblis dan kawan kawannya menjadi terta-
rik perhatiannya oleh suara riuh tadi, hingga mereka tidak mengetahui kalau
sebuah perahu ramping telah
merapat pada buritan Kapal Hantu ini. Tiga bayangan segera berloncatan lewat
tangga-tangga tali lalu naik ke atas geladak. Yang seorang tampak menggendong
empat buah tong kecil pada punggungnya.
"Nah, Wangsa Ginuk. Berikan yang dua buah itu
kepadaku. Dan yang dua buah sisanya, kau pasang
saja pada sudut-sudut buritan ini!"
"Baik, Tuan," jawab Wangsa Ginuk seraya mem-
berikan dua buah tong kecil itu kepada Mahesa Wu-
lung. "Daeng, berjaga-jagalah selagi kami memasang obat
peledak ini!" ujar Mahesa Wulung.
Daeng Matoa mengangguk serta berkata pula. "Hati-
hati, Saudara Wulung. Jangan kuatir, aku akan me-
lindungi kalian berdua dengan pedang pusakaku ini."
Mereka bertiga saling mengangguk dan tersenyum,
kemudian berpencar melakukan tugasnya masing-
masing. Dengan cekatan mereka memasang obat-obat
peledak tadi ke tempat-tempat yang sukar dicapai ma-ta dan cukup tersembunyi.
Akan tetapi, sebelum mereka sempat bekerja lebih
jauh dan menyalakan sumbu pembakar, mendadak si
Monyong Iblis yang berada di haluan kapal bersama
anak buahnya seperti digerakkan oleh tenaga naluri-
nya. Dan tiba-tiba ia menoleh ke belakang, ke arah buritan. Maka tahulah ia,
bahwa Kapal Hantunya telah
kemasukan orang asing.
"Heei, kawan-kawan! Tangkap dan bikin mampus
tiga orang asing di buritan itu! Lekas!"
Para awak Kapal Hantu seketika berloncatan me-
nyerbu ke arah tiga pendekar tadi, dan pertempuran
seru tak dapat dicegah lagi.
Monyong Iblis segera menerjang ke arah Mahesa
Wulung. Sementara Daeng Matoa menyambut sera-
ngan si Mata Siji bersama dua orang bajak lainnya.
Wangsa Ginuk menangkis tiga orang pengeroyoknya
dengan golok besarnya.
Mahesa Wulung terpaksa mengerahkan seluruh te-
naganya ketika dua orang lainnya ikut membantu Mo-
nyong Iblis. Namun ia tak gentar sedikit pun meng-
hadapi mereka bertiga, meskipun ketiga pedang lawan itu bergulung-gulung
mengurung dirinya.
Betapa marah dan geram si Monyong Iblis ketika ia
mengenal kembali wajah Mahesa Wulung ini. Seketika
berteriaklah dia. "Hee, kaulah orang yang telah membinasakan Ki Topeng Reges!
Kinilah saatnya engkau
mati di tanganku!"
"Huh! Aku siap melayanimu, Monyong bobrok! Di
pojok dunia mana pun, kejahatan tak akan mendapat
tempat!" seru Mahesa Wulung memutar pedangnya,
menyambut serangan ketiga lawannya.
Beberapa jurus telah lewat dan setiap kali pedang-
nya berbentur dengan golok besar si Monyong Iblis, te-rasalah jari-jarinya
tergetar pedih serta seakan-akan ada puluhan jarum runcing menyengat-nyengat
tangan kanannya. Di sebelah lain, Wangsa Ginuk cukup seru menang-
gulangi ketiga lawannya. Golok besar di tangan ka-
nannya berkelebatan menangkis setiap tikaman pe-
dang lawan dengan cepat. Beberapa jurus lewat, dan
tiba-tiba seorang di antara ketiga pengeroyok tadi roboh tak bernapas lagi
akibat tebasan golok Wangsa Ginuk yang menyobek lambungnya.
Kedua lawan Daeng Matoa, yakni si Mata Siji dan
seorang temannya, terpaksa mengutuk-ngutuk ketika
dirasanya bahwa lawannya yang berpedang pendek ini
mampu dengan gigih mengembalikan setiap serangan-
serangan yang mereka lancarkan.
Monyong Iblis jadi penasaran ketika musuh mu-
danya ini sanggup bertahan lama, itulah sebabnya sekonyong-konyong ia bersuit
keras, dan sejurus kemu-
dian dua orang anak buahnya berloncatan ikut me-
ngeroyok Mahesa Wulung. Sayang mereka terlalu pan-
dang enteng terhadap pemuda ini, maka seorang di antaranya agak lengah dan
sebuah tebasan pedang Ma-
hesa Wulung membuatnya terjungkal ke tanah tak
berkutik lagi, dengan darah menyembur dari dadanya.
Ketika Mahesa Wulung sibuk menghadapi ketiga
orang lawannya, dari sebelah belakang tubuhnya telah mengendap-endap seorang
anak buah Monyong Iblis
dengan sebilah tombak pendek di tangannya, siap di-
hunjamkan ke punggung Mahesa Wulung.
Orang tadi mengangkat tombaknya tinggi-tinggi di-
tujukan ke arah punggung lawannya. Tetapi seketika
mulutnya terbuka lebar-lebar dengan jerit kesakitan, sebab tahu-tahu sebuah
golok besar telah menembus
dadanya. Mahesa Wulung kaget ketika penyerang gelap tadi
ambruk ke lantai geladak dengan menggelepar-gelepar.
Dengan sekilas pandang tahulah ia bahwa golok besar tadi adalah milik Wangsa
Ginuk yang telah dilemparkan kepada penyerang gelap, hingga loloslah ia dari
maut. Tak terucapkan betapa besar rasa terima kasih Mahesa Wulung kepada Wangsa
Ginuk ini. Pendekar yang bertubuh kegemukan ini mampu
bertempur dengan gesit! Kini ia hanya bersenjata sepasang tusuk satai dari
logam, yang tampaknya sangat
sederhana. Biarpun begitu kedua lawannya tak dapat
memandang sepele terhadap senjata Wangsa Ginuk
yang aneh tadi. Serangan-serangan pedang mereka se-
lalu kena tangkis oleh sepasang senjata logam runcing di tangan Wangsa Ginuk.
Pedang pendek di tangan Daeng Matoa menyambar-
nyambar segenap arah mematahkan setiap ujung sen-
jata lawan yang menyerangnya, membuat lawannya
harus berpikir dua belas kali sebelum tubuh mereka
terobek oleh pedang pendekar Bugis ini. Maka tak dapat dielakkan lagi ketika
pada jurus ketiga puluh delapan, dua orang di antara pengeroyok-pengeroyok
Daeng Matoa jatuh berkaparan di lantai Kapal Hantu, terkena sabetan pedang
pendek lawannya.
Si Mata Siji atau Jaramala yang ikut mengepung
Daeng Matoa ini merasa kagum pula, apalagi ketika
enam orang temannya berbareng menjepit Daeng Ma-
toa, pendekar Bugis ini pun dengan gesit selalu lolos dengan menelusup-nelusup
di antara lawan-lawannya
dan saat itu pula pedang pendeknya cepat beraksi,
hingga tiga orang pengeroyok rebah ke lantai geladak.
Mati. Dalam pada itu, pertempuran yang berlangsung di
pangkalan di tepi Teluk Sampit itu pun berkobar de-
ngan sengitnya. Anak buah kapal Armada Demak yang
dipimpin oleh Jagayuda dan Pandan Arum terus men-
desak kedudukan lawan. Sebentar saja telah berkapa-
ran korban-korban di tanah, dan darah pun memba-
sahi tanah berawa-rawa dan rerumputan.
Satu dua orang prajurit-prajurit Demak telah me-
nembakkan panah-panah berapi ke atas atap rumah
berpanggung tadi, dan api seketika berkobar memba-
karnya. Asap hitam dan jilatan-jilatan lidah api telah membuat suasana
pertempuran kian dahsyat.
Blenyik mengamuk terhadap serangan prajurit-pra-
jurit Demak ini. Dengan menggunakan goloknya yang
setajam pisau cukur itu, dicobanya ia menahan arus
serangan, tetapi tak berhasil, meski beberapa orang prajurit Demak telah
dirobohkannya. Tiba-tiba sebuah bayangan melesat dan menerjang ke arah Blenyik.
"Hae, ini datang lagi ke hadapanku, seorang yang
telah bosan hidup! Mari lebih mendekat. Golok pusa-
kaku masih haus darah!!" seru Blenyik dengan som-
bongnya. "Huh! Golok rongsokanmu itu tak akan mampu
menghadapi pedang Jagayuda ini!"
"Eee, menghina ya! Terimalah sambaran golokku
ini!" teriak Blenyik serta menerjang ke arah Jagayuda.
Hampir saja golok tadi membelah kepala Jagayuda,
kalau tidak cepat-cepat si pendekar Demak ini meng-
endap ke bawah. Dalam saat yang sama, pedang Ja-
gayuda menebas ke arah lambung si Blenyik, tetapi
orang ini pun sangat lincah. Tubuhnya melenting ke
udara sekaligus goloknya menangkis pedang Jagayuda
sambil mulutnya nyungir-nyungir dan menggerundal.
"Weh, kurang ajar orang ini! Hampir saja perutku
tadi hilang! Eh, aku mesti harus lebih hati-hati menghadapinya!"


Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keduanya kembali bertempur seru.
Di sebelah selatan, Pandan Arum berhasil menero-
bos pertahanan lawan, namun gerakannya jadi terhen-
ti oleh terjangan si Bukur.
"Bedebah! Ada prajurit cantik yang gerakannya mi-
rip banteng ketaton! Menyerah saja kau di tangan Bukur ini, ha!"
"Uh, jadi namamu Bukur, ha" Pantas kalau kau
menjadi begundal Kapal Hantu itu. Pantasnya kau
makan lumpur saja!"
Kedua mata Bukur menjadi merah oleh ejekan Pan-
dan Arum. Memang ia tahu, bahwa binatang bukur
atau sejenis kerang, hidupnya di lumpur-lumpur laut.
Tetapi nama Bukur bagi dirinya tidaklah serendah itu.
Maka goloknya segera ditebaskan ke arah pendekar
wanita ini. "Hyaat! Matilah kowe, heh!"
Traang! Pedang tipis Pandan Arum menghentikan tebasan
goloknya dan sekaligus meluncur ke arah kepalanya.
Untunglah Bukur keburu mengelak ke samping, biar-
pun akhirnya ikat kepalanya tersambar oleh ujung pedang Pandan Arum.
Oleh hal ini, Bukur semakin penasaran dan sera-
ngannya menjadi semakin hebat. Keduanya terlibat dalam pertarungan seru, sampai
puluhan jurus lamanya.
Tampaklah kini bahwa permainan golok si Bukur
sudah tiba pada puncaknya dan tidak dapat lagi lebih baik daripada itu. Maka
Pandan Arum yang menjadi
lawannya tadi segera dapat mengetahui kelemahan
Bukur, dan sekarang dikeluarkannyalah jurus-jurus
'Sabet Alun' ajaran bibinya, Nyi Sumekar. Pedang di tangan Pandan Arum seketika
berdesingan dahsyat
bagai ombak samudra yang menghempas-hempas di
waktu badai dan akibatnya Bukur merasa kewalahan
dalam menghadapi jurus-jurus Sabet Alun ini.
Permainan golok Bukur jadi tertindih dan terdesak
oleh libatan-libatan pedang Pandan Arum dan akhir-
nya ia tak kuasa bertahan lebih lama. Ketika sebuah sabetan pedang Pandan Arum
mencercah perutnya, ia
cuma sempat berteriak pendek dan kemudian tubuh-
nya roboh ke tanah becek berlumpur.
Pandan Arum sesaat termangu melihat lawannya te-
lah roboh tak bernyawa. Tetapi tahu-tahu sebuah
bayangan manusia melesat ke arahnya dengan seran-
gan tombak pendek yang menakjubkan.
Traang! Traang!
Dua benturan dengan percikan lidah api terdengar,
bersamaan pedang Pandan Arum berhasil menangkis
serangan pertama dari putaran tombak pendek si pe-
nyerang tadi. Keduanya mundur setapak dan masing-
masing dapat melihat wajah lawannya.
"Uh, Anda seorang gadis?" seru Pandan Arum kaget,
ketika ia tahu bahwa yang berdiri di hadapannya adalah seorang gadis bersenjata
tombak pendek. "Siapakah namamu"!"
"Yah, tapi Anda pun seorang gadis pula. Namaku
Andini Sari," ujar si gadis lawan Pandan Arum itu dengan tegas.
"Hmm, seorang gadis cantik seperti Anda berpihak
pada gerombolan Kapal Hantu!" desis Pandan Arum.
"Mengapa kau lakukan itu?"
"Ooo, Anda ingin tahu, ha"! Baik! Akulah yang ber-
nama Andini Sari, putri Ki Rikma Rembyak!" Andini
Sari berkata seraya menatap tajam kepada Pandan
Arum. "Sekarang siapa namamu?"
"Tinggalkan daerah ini dan hiduplah secara baik-
baik," ujar Pandan Arum. "Sayang kalau jiwamu ter-
lanjur bergelimang dosa."
"Bahh! Itu urusanku sendiri! Meskipun aku hidup
bersama mereka, tetapi aku tak seburuk yang Anda ki-ra!" jawab Andini Sari.
"Nah, sekarang terimalah seranganku!"
Pandan Arum segera menyambut serangan Andini
Sari dan sebentar kemudian keduanya telah bertempur hebat. Dalam beberapa
gebrakan, sekonyong-konyong
tombak pendek membentur keras ke arah pedang Pan-
dan Arum, sehingga pedang tersebut terlepas dan tercampak ke tanah. Karuan saja
Pandan Arum kaget, te-
tapi ia pun cepat-cepat melolos selendang berwarna
jingga dari balik bajunya. Maka sebelum lawannya
menyerang kembali, lebih dulu Pandan Arum memutar
selendang jingga tadi yang dilambari ilmunya, Sabet Alun. Oleh karenanya Andini
Sari jadi terdesak dan
terpaksa ia keheranan bila setiap sentuhan ujung selendang Pandan Arum
menyebabkan dahan-dahan po-
hon berontokan jatuh di tanah.
"Tunggu dulu!" seru Andini Sari. "Aku seperti per-
nah melihat wajah Anda?"
Ia melompat ke samping, menyebabkan Pandan
Arum keheranan serta menatap wajah Andini Sari be-
berapa saat lamanya untuk kemudian berseru.
"Uh, betul. Aku pun ingat. Bukankah Anda gadis
yang ditolong oleh Kakang Mahesa Wulung di Jurang
Mati dulu itu?" ujar Pandan Arum. "Sekarang ia tengah bertempur di atas Kapal
Hantu itu."
"Tepat! Memang akulah gadis yang ditolongnya itu!
Jika demikian," seru Andini Sari, "aku tak perlu mem-perpanjang pertempuran ini!
Nah, selamat tinggal, No-na! Sampaikan salamku kepadanya, terima kasih!"
Habis berkata begitu, Andini Sari meloncat dengan
sebat ke arah timur dan tubuhnya lenyap di balik semak-belukar pohon bakau.
Dalam saat itu pula terdengar sebuah jeritan me-
lengking dari mulut Blenyik, sesudah pedang Jagayuda mengoyak dadanya. Seketika
itu pula si Blenyik ambruk tengkurap ke atas tanah yang sebentar kemudian
diwarnai oleh warna merah darah.
Ketika orang-orang awak Kapal Hantu melihat pe-
mimpin-pemimpin mereka telah lenyap, semangat me-
reka pun jadi menurun. Sebagian dari mereka ada
yang menyerah dan sebagian lagi melarikan diri, ataupun yang nekad bertempur
akhirnya binasa di ujung
senjata-senjata pasukan Demak. Maka pertempuran di
daerah pangkalan Teluk Sampit itu boleh dikatakan
selesai dan reda.
Akan tetapi di geladak Kapal Hantu masih saja ber-
langsung pertempuran sengit. Mahesa Wulung berge-
rak selincah burung sikatan menyambar belalang. Tu-
buhnya berloncatan kesana-kemari menyelinap dan
menyelusup di antara tubuh-tubuh para pengeroyok-
nya, dan setiap kali pula satu dua orang dari mereka terguling ke geladak
sesudah kena sambar ujung pedang Mahesa Wulung.
Monyong Iblis jadi terpaku oleh kehebatan ilmu pe-
dang Mahesa Wulung ini. Itulah sebabnya ia me-
ngerahkan segenap ilmu dan tenaganya sehingga golok besarnya makin bertambah
cepat gerakannya, seolah-olah dikendalikan oleh tenaga raksasa. Sedemikian
hebatnya sampai suatu ketika pedang Mahesa Wulung
terpelanting lepas dari tangannya setelah dibentur oleh
golok Monyong Iblis tadi.
"Hua, ha, ha, ha. Masih akan mau teruskan perla-
wananmu, hai bocah rembes?" seru Monyong Iblis se-
raya menimang-nimang goloknya dengan wajah yang
sombong dan meremehkan lawannya.
Tetapi Mahesa Wulung tidak berkata sampai ia me-
lolos cambuk Naga Geni dari balik bajunya.
"Nah, Monyong Iblis, sekarang aku terpaksa meng-
gunakan senjata simpananku ini. Monyongmu jangan
lekas-lekas mengejek sebelum engkau merasakan be-
nar-benar akan keampuhan cambuk ini!"
Oleh cahaya bulan yang remang-remang dan ba-
tang-batang obor yang dipasang pada dinding kapal,
tampaklah betapa kagetnya wajah Monyong Iblis ketika melihat cambuk Naga Geni di
tangan Mahesa Wulung
yang menyala hijau kebiruan.
Dar! Daar! Dua ledakan cambuk menyambar ke arah Monyong
Iblis, tetapi lebih dulu pemimpin Kapal Hantu ini melesat ke samping dan
akibatnya dua buah tong kayu be-
risi minyak di tempat semula ia berdiri, terpukul hancur berkeping-keping oleh ujung cambuk Naga
Geni! Monyong Iblis bergeser terus sampai ia tiba di de-
pan kamar buritan kapal ini, dan terpojoklah ia di sa-na. Sekali lagi cambuk
Naga Geni melecut ke arahnya tapi secepat kilat Monyong Iblis kembali mengelak
ke samping. Daaar! Pintu kamar buritan terpukul hancur oleh cambuk
tersebut, membuat Monyong Iblis semakin keder hati-
nya. Namun tiba-tiba ia tersenyum lebar ketika dari dalam kamar yang gelap tadi,
muncullah sesosok
bayangan yang telah ia kenal.
"Garangpati! Baru muncul kau, haa!" seru Monyong
Iblis kepada orang yang baru muncul berwajah kejam
ini. Garangpati tampak menggenggam sebatang anak
panah dengan busurnya dan ia berpaling ke arah Mo-
nyong Iblis. "Maaf, Kakang. Aku lagi tertidur tadi. Baru saja terbangun oleh
ribut-ribut ini!"
"Ah, kau enak-enak tidur pulas selagi kita bertem-
pur di luar! Sekarang aku minta bantuanmu, Garang-
pati! Sebagai penembak panah terulung dari Kapal
Hantu, kau harus menembak orang ini! Dialah musuh
kita nomor satu!" ujar Monyong Iblis.
"Menembak orang ini" Huh, apa sukarnya. Biarlah
ia kumusnahkan dengan panah Braja Kencar ini!" seru Garangpati seraya memasang
panahnya, siap ditem-bakkan ke arah dada Mahesa Wulung.
Tetapi betapa kagetnya bila sekonyong-konyong
pendekar muda di depannya itu telah memutar cam-
buk yang berwarna biru di hadapannya. Demikian ce-
patnya cambuk Naga Geni tadi berputar, sampai meru-
pakan putaran lingkaran yang berwarna biru kehi-
jauan tak ubahnya dengan sebuah perisai pelindung
tubuh. Inilah yang hebat! Terutama bagi Monyong Iblis dan Garangpati yang baru
pertama kali melihat permainan cambuk sehebat ini. Keduanya mau tak mau
tergetar pula hatinya. Mereka sadar bahwa pendekar
muda yang menjadi lawannya ini berkepandaian sa-
ngat tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari mereka berdua.
Garangpati yang telah membidikkan panah Braja
Kencar tadi tertegun dan kebingungan setengah mati, setelah bayangan tubuh
Mahesa Wulung seolah-olah
lenyap di balik lingkaran biru yang berputar sangat cepat itu. Yah, betapa tidak
jengkel hatinya bila sasaran yang sesungguhnya masih berdiri di depan hidungnya
tiba-tiba saja tertutup oleh putaran cambuk.
"Hmm, untunglah aku punya cambuk Naga Geni
ini," pikir Mahesa Wulung. "Dan panah Braja Kencar
itu, harus berhasil aku rampas dari tangan Garangpati sekarang juga."
Selesai berpikir demikian Mahesa Wulung tiba-tiba
melecutkan cambuk Naga Geninya ke arah Garangpati.
Dar! Daar! Dua ledakan cambuk beruntun terdengar lalu terli-
hatlah bahwa pusaran cahaya biru tadi telah menyam-
bar tangan Garangpati.
"Aaach!" terdengar Garangpati berteriak dan betapa
kagetnya bila tahu-tahu anak panahnya kena teram-
pas oleh belitan cambuk pendekar muda itu, dan kini telah berpindah ke tangan
kiri Mahesa Wulung, sedang busur panahnya terpatah menjadi dua bagian.
Garangpati sangat marah. Cepat-cepat ia membu-
ang busur panah itu, sekaligus mencabut pedangnya
dan menerjang ke arah Mahesa Wulung. Akan tetapi
pendekar muda ini lebih dulu memiringkan tubuh dan
kaki kanannya menerjang ke lambung Garangpati.
Sungguh 'manis' sambutan ini hingga Garangpati
tak sempat mengelak lagi.
Buuk! "Aaaauuww!"
Tubuh Garangpati terpelanting ke atas, melewati
dinding kapal dengan mulut memuntahkan darah se-
gar, dan kemudian tercebur ke dalam laut.
Monyong Iblis terpaksa mengakui kehebatan ten-
dangan kaki Mahesa Wulung dan ia tak tahu apakah
Garangpati tadi mati atau hanya terluka dalam saja, sebab tubuhnya telah ditelan
air. "Hah, panah ini telah berhasil aku rampas!" pikir
Mahesa Wulung seraya menyelipkannya ke ikat ping-
gangnya. "Dan aku akan membawanya ke Demak!"
"Heei, kau, keparat! Serahkan kembali panah itu!"
teriak Monyong Iblis seraya tangannya menunjuk ke
arah pinggang Mahesa Wulung, di mana anak panah
Braja Kencar terselip pada ikat pinggang pendekar
muda ini. "Heh, heh, heh," Mahesa Wulung tertawa mengge-
legar seenaknya. "Harus aku serahkan kembali kepa-
damu" Huh, lha kok seenaknya sendiri! Kalau mau,
ambillah sendiri dari ikat pinggangku ini. Tetapi untuk itu kau harus melangkahi
mayatku lebih dulu!"
"Wuah, bicaramu sangat memanaskan telinga!" seru
Monyong Iblis saking jengkelnya. "Baik. Kau berkata begitu dan jangan menyesal
bila tubuhmu kutebas dengan golok pusakaku ini!"
Monyong Iblis berseru dan secepat itu juga mener-
jangkan goloknya. Tapi golok tadi ternyata cuma menebas dinding kapal, secepat
bayangan Mahesa Wulung
telah meloncat ke udara menghindarkan diri.
Sekali ini Monyong Iblis tidak sudi memberi kesem-
patan kepada lawannya. Maka dengan beringas. Kem-
bali ditebaskan goloknya mendatar bolak-balik, ke kiri dan ke kanan untuk
menyambut dan mencegat tubuh
Mahesa Wulung yang masih mengambang di udara.
Oleh serangan tadi, terpaksalah Mahesa Wulung
berputar jumpalitan di udara dan belum mendarat ke
lantai geladak. Sebab tidak mustahil kalau perbua-
tannya tadi akan berakibat dengan terpapasnya kedua kakinya oleh golok besar
Monyong Iblis. Namun betapa ia harus bertahan diri berjumpalitan di udara lebih
lama. Menahan napas tidaklah mudah apalagi sambil
berjumpalitan seperti itu di tengah udara.
Maka dengan mengerahkan tenaga dalamnya, ia
mengetrapkan salah satu ilmu dari Kitab Hijau dan
melesat ke arah tiang layar.
Taaap! Kedua telapak kaki Mahesa Wulung tahu-tahu me-


Pendekar Naga Geni 9 Misteri Kapal Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nempel dan melekat pada tiang layar tadi, hingga seolah-olah tubuh Mahesa Wulung
tersebut tertancap te-
gak di situ. Monyong Iblis sesaat masih mengobat-abitkan go-
loknya dengan maksud mencegat turunnya tubuh Ma-
hesa Wulung. Tetapi terpaksa ia melototkan matanya
setelah tahu bahwa tubuh pendekar muda itu melekat
di tiang layar, tak ubahnya sikap seekor cicak kubin atau celeret gombel yang
mampu meloncat dan me-nempelkan tubuhnya pada sebatang pohon.
"Heh, heh, heh," tertawa Mahesa Wulung dari atas
tiang layar. "Mengapa kau menyungir-nyungirkan mo-
nyong jelekmu, he" Marilah kau susul aku ke atas kalau bisa!"
"Setan alas! Jangan sombong kowe! Kalau hanya
meloncat ke tempatmu saja aku mampu, meskipun
aku tak bisa bertengger seperti kakimu itu!" teriak Monyong Iblis dan sesaat
kemudian ia menggenjotkan tubuhnya ke lantai geladak lalu melesatlah ia ke atas,
ke arah Mahesa Wulung melekat. "Hyaat!"
"Heh, heh, heh," Mahesa Wulung sekali lagi tertawa
kecil dan secepat kilat ia melesat ke bawah selagi tubuh Monyong Iblis melenting
ke udara. Begitu tiba di lantai, Mahesa Wulung cepat bersiaga dengan cambuk
Naga Geninya. Tentu saja Monyong Iblis mengumpat-umpat tak
karuan bila ia merasa dipermainkan oleh lawannya
yang masih muda ini, dan sekarang ganti tubuhnya
yang cekakaran di udara selagi Mahesa Wulung telah
bersiaga di bawah.
Namun Monyong Iblis betul-betul telah habis kesa-
barannya. Sebagai pemimpin Kapal Hantu dan tangan
kanan Ki Rikma Rembyak, ia telah diremehkan oleh
lawan mudanya ini. Seketika ia melesat turun dan me-nerkam Mahesa Wulung dengan
sabetan golok besar-
nya. Sekali ini Mahesa Wulung lebih waspada. Apalagi ia
merasakan angin dingin dari sabetan golok lawannya.
Agaknya si Monyong Iblis benar-benar mengerahkan
puncak permainan goloknya. Oleh sebab itu, sebelum
serangan golok Monyong Iblis tiba dan mencercah tu-
buhnya, Mahesa Wulung lebih dahulu melecutkan
cambuk Naga Geninya menyambut terkaman Monyong
Iblis tadi. Duuaar! Dua senjata bersimpangan, tapi ujung cambuk Na-
ga Geni lebih dahulu sampai ke sasarannya dan me-
nyambar dada Monyong Iblis, sehingga pemimpin Kap-
al Hantu ini menjerit parau dan tubuhnya terhempas ke bawah. Namun sungguh
hebat! Kedua kakinya lebih
dulu tiba di lantai geladak dan ia masih mampu berdiri tegak, meskipun pada
dadanya terdapat luka gosong
hangus berwarna merah kehitaman.
"Ses... ses... setan alas... kowe!" seru Monyong Iblis dengan suara terputus-
putus serta parau, disertai mulutnya yang menyeringai-nyeringai menahan darah
hi- tam kental yang mengalir dari sudut bibirnya. Ia mencoba mengangkat lagi
goloknya ke atas serta melang-
kah ke tempat Mahesa Wulung berdiri. Baru selang-
kah, tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan oleng lalu ambruk ke lantai geladak tak
bernyawa lagi. Sementara itu, di sebelah lain Wangsa Ginuk ber-
tempur dengan gigih. Dan hal ini membuat lawan-la-
wannya semakin nekad. Mereka menerjang berbareng
ke arah Wangsa Ginuk dari dua arah, sedang Wangsa
Ginuk pun tidak lengah. Belum lagi kedua ujung pe-
dang lawan menyentuh tubuhnya, ia cepat berkelit ke depan sambil menggerakkan
sepasang senjata batang
logamnya. Dan sesaat kemudian, kedua lawannya tadi
menjerit keras-keras dengan kedua dada mereka mas-
ing-masing berlobang memancurkan darah. Tubuh
mereka terguling berbareng dengan suara berdebuk ke lantai dan matilah keduanya.
Pada saat yang sama, Jaramala atau si Mata Siji
sempat melihat kejadian tadi dan ia melesat keluar da-ri lingkaran
pertempurannya melawan Daeng Matoa
lalu menyabetkan pedangnya ke lambung Wangsa Gi-
nuk dari sebelah belakang!
"Aaargghh!" Wangsa Ginuk terhenyak dan meng-
geliat sambil menebahkan tangan kiri ke lambungnya
yang tersobek menyemburkan darah segar. Ia berpa-
ling ke samping dan tampaklah olehnya, si Mata Siji tersenyum bangga.
"Kep... keparat! Kau... cur... curang!" seru Wangsa Ginuk terengah-engah.
Sebelum roboh, ia masih sempat mengibaskan tan-
gan kanannya ke arah Mata Siji dan senjata batang logamnya melesat dan
menghunjam ke pundak lawan-
nya. Akan tetapi dasar ia bekas murid gemblengan Ki Topeng Reges, maka ia cuma
menjerit kecil saja dan
kemudian dengan enaknya ia mencabut kembali sen-
jata tadi dari pundaknya lalu dicampakkan ke lantai seraya meludah.
"Huh, mampus kowe, babi keparat!" umpat si Mata
Siji sambil menyeringai ke arah tubuh Wangsa Ginuk
yang kegemukan dan terhantar tak berdaya di lantai.
Alangkah kagetnya Daeng Matoa menyaksikan sa-
habatnya roboh oleh serangan licik si Mata Siji dari belakang. Kegeraman hatinya
timbul secepat pedang
pendeknya berkelebat menebas ke kiri dan ke kanan,
dan seketika itu pula tiga orang pengeroyoknya bero-bohan ke lantai tak bernyawa
lagi. Sehabis meng-
ganyang ketiga lawan tadi dengan pedang pendeknya,
Daeng Matoa segera melesat ke arah Mata Siji. Sayangnya, lawan yang telah secara
curang merubuhkan sa-
habatnya tadi ternyata cukup gesit. Apalagi si Mata Siji telah memperhitungkan,
bahwa dengan luka di pundaknya ini, ia tak akan dapat berkelahi lebih lama lagi.
Maka sebelum Daeng Matoa terlalu dekat, ia telah meloncat ke samping, melalui
dinding kapal dan selan-
jutnya terjun ke laut.
Betapa besar kegeraman hati Daeng Matoa melihat
lawannya lolos, terpaksa ditahannya dalam hati saja, sebab ia lebih mementingkan
sahabatnya. Kini ia mendekati tubuh Wangsa Ginuk yang telah tergeletak tan-pa
daya. "Ooh, Saudara Daeng Matoa," ujar Wangsa Ginuk
lemah. "Jangan hiraukan aku. Terlambat sudah untuk
menolongku dalam luka yang begini parah."
"Tak mengapa, Saudara Wangsa. Aku akan menye-
lamatkanmu!" kata Daeng Matoa.
Tetapi maksud ini tercegah oleh kata-kata Wangsa
Ginuk yang makin lemah.
"Aku minta agar engkau membiarkanku di sini. Per-
gilah, dan lekas laksanakan rencana kita untuk mele-dakkan Kapal Hantu yang
terkutuk ini. Aku akan puas jika mati sebagai orang baik-baik."
Wangsa Ginuk tak dapat meneruskan kata-katanya,
kecuali wajahnya yang semakin pucat dan mulutnya
bergumam menyebut nama Tuhan Yang Maha Besar,
dan sesudah itu ia diam tak berkutik lagi.
"Aku akan penuhi permintaanmu, kawan," desis
Daeng Matoa seraya cepat-cepat berdiri dan menyam-
bar sebatang obor yang terpasang pada dinding kapal.
Ia pun berseru ke arah Mahesa Wulung yang masih si-
buk menghadapi keroyokan para awak Kapal Hantu
yang berlompatan keluar dari lubang pintu geladak.
Rupanya masih banyak orang-orang yang tinggal di
ruang bawah. Demikian pula Daeng Matoa diserbu
oleh beberapa orang, tetapi mereka satu persatu dirobohkan oleh senjata pedang
pendek dan obor di tangan pendekar Bugis ini.
Mahesa Wulung dapat juga mendengar seruan Da-
eng Matoa tadi, maka ia pun secepat kilat menyambar obor api dari dinding kapal
lalu melemparnya ke arah geladak di sebelah kamar buritan. Sedang Daeng Matoa
tak ketinggalan melemparkan obornya ke atas lantai geladak yang telah dibanjiri
oleh minyak yang ter-tumpah.
Api berkobar seketika menjilat-jilat bagai lidah ular ke segenap arah dengan
cepatnya. Suasana pun menjadi kacau-balau.
"Saudara Wulung, lekas keluar!" teriak Daeng Ma-
toa berlari ke arah samping kapal dengan kecepatan
penuh. "Bagus! Kita terjun sekarang!" seru Mahesa Wulung
yang telah melesat ke arah dinding kapal pula.
Mereka segera terjun berbareng ke laut dan air pun
muncrat ke atas diiringi suara berdebur. Para awak
Kapal Hantu yang masih berada di geladak mengutuk-
ngutuk serta mengacungkan tinjunya ke arah Mahesa
Wulung dan Daeng Matoa yang berenang cepat ke arah
barat, menjauhi Kapal Hantu tadi. Orang-orang di geladak Kapal Hantu tampak
sedang mencoba mema-
damkan kebakaran di kapal mereka, tetapi tiba-tiba
empat buah ledakan dahsyat terdengar memecahkan
anak telinga dari arah geladak tengah dan buritan
kapal, menggoncang dan menggetarkan seluruh bagian
kapal, dan sesaat itu juga geladak serta tiang layar berkeping-keping hancur
berpelantingan terlempar pu-la bagai boneka mainan anak-anak disertai jeritan-
jeritan. Sebentar kemudian sisa-sisa Kapal Hantu tadi mi-
ring ke air dan tenggelamlah sudah kapal yang telah sekian kali dan lama
mengacau lalu-lintas pelayaran di laut Jawa sebelah utara.
Sementara itu, Mahesa Wulung dan Daeng Matoa
telah tiba di pantai barat Teluk Sampit. Keduanya disambut oleh Pandan Arum,
Jagayuda dan segenap
prajurit-prajurit Demak dengan rasa syukur dan gem-
bira. Tugas mereka telah berhasil. Namun mereka pun bersedih hati pula atas
kematian Wangsa Ginuk yang
gugur sebagai prajurit Armada Demak. Yah, setiap perjuangan memang selalu
meminta korban, dan mereka
akan tetap dikenang sepanjang jaman. Wangsa Ginuk
tidak mati sia-sia, sebab Kapal Hantu telah hancur binasa, sedang pangkalan
Teluk Sampit pun telah mus-
nah akibat pertempuran itu.
Mahesa Wulung dan anak buahnya segera kembali
ke kapal, sedang beberapa orang lainnya masih tinggal di pantai untuk berjaga-
jaga. Mereka akan berlayar keesokan harinya. Malam pun semakin larut dan bin-
tang-bintang di langit masih berkedip-kedip dengan
indahnya, sementara sang rembulan telah jauh ber-
geser ke langit barat.
Dalam pada itu, sebuah bayangan manusia telah
mengawasi semua kejadian di Teluk Sampit itu dari
balik semak-semak pohon bakau di tepi pantai. Sesaat bayangan tadi mengangguk-
anggukkan kepala, lalu
berbalik dan berlari ke tengah hutan dengan lincah-
nya, tak ubahnya gerak seekor kijang.
Ketika malam itu mereka berempat makan malam
di kamar buritan, tiba-tiba Mahesa Wulung terperanjat melihat permata kalung
yang tersembul dari balik baju Pandan Arum, sebab bentuk dan warnanya mirip
dengan permata kalung pemberian Endang Seruni kepa-
danya, yakni berbentuk setengah lingkaran berwarna
hijau. Jagayuda dan Daeng Matoa juga terkejut melihat
perubahan wajah Mahesa Wulung, sampai Pandan
Arum bertanya, "Mengapa Kakang?"
Oleh pertanyaan ini Mahesa Wulung seperti ter-
sadar dari mimpi, dan buru-buru ia berkata sambil
tersenyum. "Eeeh, tak apa-apa, Adi. Kalungmu itu sangat indah, dan aku senang
melihatnya."
Mereka pun tersenyum berbareng, dan tak lama
kemudian keempatnya kembali ke kamar mereka mas-
ing-masing untuk beristirahat.
Nah, selesailah sudah ceritera Seri Naga Geni "Mis-
teri Kapal Hantu" dan segera akan sampai kepada para pembaca, Seri Naga Geni
yang berikutnya yaitu "Maut di Lembah Sampit". Akan Anda jumpai perjuangan
Mahesa Wulung melawan kedahsyatan rimba Kaliman-
tan yang penuh rahasia itu.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
1 *** *** *** 3 *** *** *** TAMAT Raja Silat 10 Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Dewi Penyebar Maut X I I I 2
^