Pendekar Empat Serangkai 2
Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai Bagian 2
huyung surut ke belakang. Sebentar ia berusaha me-
nahan diri, tapi akhirnya ia terguncang oleh satu tenaga dorongan yang tak
terlihat itu, kemudian jatuh
menggeloso di tanah.
Sedangkan Mahesa Wulung serta Gagak Cemani
masih tetap tegak di tempatnya meski tubuh mereka
tergoyang-goyang bagaikan dua pucuk pohon cemara
yang perkasa. Itu semua membuat si kakek Gagang Aking terpak-
sa kagum, sebab baru kali inilah ia menjumpai pende-
kar-pendekar muda yang begitu tangguh dan ulet. Ra-
sa iri tapi bercampur bangga dan takjub menyelinapi
dada si kakek yang kemudian mengangguk-angguk se-
nang. Ia tidak tahu bahwa Mahesa Wulung telah men-
getrapkan jurus "Tugu Wasesa" yang membuat tubuh-
nya tetap tegak berdiri dengan teguhnya, laksana tugu baja dan kedua kakinya
seolah telah terpancang dalam-dalam ke dasar tanah.
Begitu pula Gagak Cemani dikagumi oleh si kakek
Gagang Aking. Ia melihat si pendekar berkumis melin-
tang tadi tak ubahnya seekor burung gagak yang lagi
hinggap di atas tanah. Jubah di punggungnya berkiba-
ran ke belakang sebagai pertanda bahwa guncangan
tenaga dalam si kakek yang tengah melandanya, ada-
lah benar-benar hebat dan menggetarkan setiap hati.
"Hmm, benar-benar keempat orang pendekar muda
ini cukup tangguh dan yang dua orang ini lebih hebat!
Keduanya sanggup menghadapi bagian awal dari ilmu
'Teleng Lesus'-ku*. Bagus, bagus," ujar Ki Gagang Aking dalam hati. "Tapi
sekarang akan kutingkatkan le-
bih hebat!" (* Inti topan, pusat badai)
Habis rerasan begitu, si kakek kontan menggerak-
kan tangannya lebih hebat. Gerakan tangannya rada-
rada kaku dan bahkan diiringi suara berkeretekan se-
perti tulang-tulang beradu. Sungguh tak dapat diduga, kekuatan apakah yang
tengah disiapkan oleh si kakek
Gagang Aking ini"
Seperti Mahesa Wulung sendiri, ia lebih berwaspada
melihat gerak-gerik si kakek aneh yang pasti jauh lebih hebat dari yang sudah-
sudah. Maka tanpa membuang
waktu iapun bersiaga melipatkan himpunan tenaga
dalamnya dan beberapa saat kemudian terlihatlah be-
tapa tubuh Mahesa Wulung bergetar, lalu kedua belah
kakinya perlahan-lahan melesak mengeram lebih da-
lam ke tanah seolah-olah mencari pegangan agar tu-
buhnya semakin kokoh tanpa tergoyahkan oleh geta-
ran apapun. Hal inipun diikuti oleh Gagak Cemani, si pendekar berkumis melintang
itu. "Hyaattt! Kabur!" bentak Ki Gagang Aking serentak
mengibaskan kedua tangannya ke depan diikuti gera-
kan mengempos tenaga sakti ke arah Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani.
Saat itu pula, bagaikan datangnya satu prahara
yang berlipat-lipat, tubuh kedua pendekar tadi dihempas oleh satu dorongan
tenaga sakti serta angin yang tak terukur kekuatannya.
Di tempat lain, Tungkoro dan Palumpang turut me-
rasakan tiupan santer yang melanda dari kibasan ke-
dua belah tangan kakek Gagang Aking. Mereka seren-
tak bertiarap ke atas tanah dengan serendah-
rendahnya seperti angin melekat erat. Sementara itu
satu ketakjuban timbul pula di dalam hati mereka ma-
nakala tiupan angin dahsyat tadi cuma melanda ke
arah mereka berempat. Di tempat-tempat lain, seperti di kiri kanan dan di
belakang si kakek, tak satupun
angin yang bertiup sesanter itu. Pohon-pohon di sana masih tetap tegak di tempatnya dan hanya dedaunan
saja yang bergoyang-goyang lembut. Berbeda dengan
arah di depan si kakek. Pohon-pohon berguncangan
serta dedaunan pada terombang-ambing bersuara ber-
derak-derak menyeramkan. Bahkan semak-belukar di
sana telah sebagian terjebol dari dalam tanah sampai ke akar-akarnya.
Hal ini tampaknya seperti tak mungkin bisa terjadi
hanya disebabkan oleh tenaga manusia saja. Namun di
jaman itu memang tak tersangkal bahwa manusia da-
pat melakukan hal yang aneh. Mereka masih belum
banyak memikir ataupun menghayal keduniawian
yang bersifat lahiriah. Mereka banyak mendalami ten-
tang segi batiniah, tentang Maha Pencipta Alam, yakni Tuhan Yang Esa.
Kembali Mahesa Wulung berpikir keras ketika dira-
sanya bahwa serangan si kakek Gagang Aking makin
bertambah hebat. "Akan celaka kami berempat jika te-
rus-terusan diserang secara begini! Sungguh hebat il-mu si kakek! Dan aneh! Aku
mendapat kesan bahwa si
kakek tidak benar-benar bermaksud jahat kepadaku
dan juga kepada sahabat-sahabatku. Tapi, apakah aku
diam membisu saja bila ia menyerang sehebat ini"
Baiklah, aku akan menyambut serangan angin ini
dengan pukulanku 'Angin Bisu'. Biarlah akan dia ke-
tahui, betapa akibatnya benturan angin dengan angin!"
Selagi Mahesa Wulung berpikir-pikir mendadak Ki
Gagang Aking tertawa mengejek, "Hi, hi, hi. Tinggal
dua saja yang masih berdiri tegak di atas bumi. Yang dua telah melesot-lesot di
tanah seperti cacing! Hi, hi, hi. Lucu. Empat pendekar serangkai yang kurang
baik kerja samanya. Mengapa yang dua orang berusaha un-
tuk tetap berdiri tegak, selagi yang dua orang telah menderita cukup pahit" Hi,
hi, hi, hi. Yang dua ini ru-pa-rupanya telah kehabisan tenaga... atau kehabisan
ilmu, barangkali" Apakah salah seorang tak mampu
melawan 'Teleng Lesus'-ku ini, he" Hi, hi, hi, hi, jika begitu, jangan salahkan
kakek tua seperti aku ini, kalau mereka berempat akan terhembus ke luar dari
bumi! Hi, hi, hi."
Heranlah Mahesa Wulung. Kakek tua ini seperti
mengejek tapi setengah memperingatkan. "Hah, ia be-
rusaha memperingatkan! Ia seperti dapat menebak
maksudku. Baik, aku akan segera membantunya den-
gan 'Pukulan Angin Bisu'. Tak ada jalan lain lagi. Tetapi apa maksudnya dengan
peringatan itu?" begitulah,
Mahesa Wulung diam-diam bersiaga mengerahkan
himpunan tenaga saktinya.
Wajah pendekar muda ini menjadi tegang kemera-
han dengan peluh yang bersembulan dari lubang-
lubang kulitnya. Pandangan matanya lurus-lurus ke
depan ke arah si kakek Gagang Aking seperti hendak
menelan lawannya ini bulat-bulat.
Tiba-tiba tangan kirinya itu mendorong ke depan
dibarengi satu teriakan menggeledek. "Haaaitt!" Wusss!
Begitulah pukulan Angin Bisu yang terkenal dahsyat
itu menerjang ke depan menerobos tenaga dorongan
dari ilmu si kakek 'Teleng Lesus'. Mahesa Wulung tidak cuma sekali saja
melancarkan pukulannya itu. Selesai yang satu, segera ia menyusul dengan yang
kedua dan seterusnya. Maka sungguh-sungguh hebat akibatnya.
Dua tenaga sakti tadi berbenturan dengan bunyi
mengguntur. Mahesa Wulung masih tetap tegak di
tempatnya karena kedua kakinya telah memancang ke
dalam tanah dalam sikap Tugu Wasesa. Meskipun be-
gitu, tubuhnya dapat terhuyung-huyung hampir jatuh.
Di sebelah Mahesa Wulung, si Gagak Cemani ter-
paksa tergetar surut beberapa langkah dengan seten-
gah terhuyung akibat benturan tadi.
Di depan, kakek Gagang Aking terkejut bukan main.
Apalagi bahwa "Teleng Lesus"-nya tadi belumlah sung-
guh-sungguh mencapai puncaknya, sebab memang
semula ia tak menduga bahwa Mahesa Wulung memi-
liki ilmu sedahsyat itu.
Pukulan Angin Bisu merupakan satu pukulan den-
gan tenaga jarak jauh, dan mempunyai sifat-sifat
penghancur yang dahsyat. Ia mampu menerobos sega-
la rintangan di depannya. Ibarat pohon akan tumbang
dan bebatuan akan hancur berserakan, apalagi si pe-
rintang itu hanyalah seorang kakek tua seperti Ki Gagang Aking.
Lontaran tenaga sakti "Teleng Lesus" yang cuma
bertenaga sebagian itu, kena ditembus dan dibentur
oleh pukulan Angin Bisu. Benturan singkat terjadi dan
kemudian pukulan maut jarak jauh tadi langsung me-
nerjang si kakek Gagang Aking.* (* gagang = dahan,
tangkai; aking = kurus kering)
Menyadari bahaya yang langsung menerjangnya, si
kakek itu secepat kilat mengempeskan ilmu peringan
tubuhnya dan melesat ke atas udara, sebelum pukulan
Angin Bisu menerjangnya. Beberapa bongkah batu dan
pohon telah tumbang berserakan sewaktu kena hajar
pukulan tadi. Tapi si kakek sendiri tahu-tahu telah
hinggap di puncak pohon seraya tertawa terkekeh-
kekeh, "Hi, hi, hi. Pukulanmu hebat, anak muda! Den-
gan jujur aku memuji ilmumu tadi, dan karenanya aku
rasa persenda-gurauan dan pertemuan kita kali ini,
cukup sekian! Di lain saat aku akan mencarimu untuk
membuat perhitungan kembali. Kau ingatlah baik-
baik. Namaku adalah si tua Gagang Aking! Hih, hi, hi.
Sekianlah, selamat tinggal! Oo, ya, hampir lupa. Jika tidak keliru ketiga orang
lawanmu yang masih hidup
tadi, telah ngacir melarikan diri ke arah utara...."
Habis berkata begitu si kakek Gagang Aking lalu
meloncat ke atas pucuk pohon yang lain dan kemudian
berganti lagi ke pohon di sebelahnya. Sebentar saja tubuhnya lenyap di balik
pepohonan di sebelah barat,
secepat angin siang yang berlalu, menggoyang-
goyangkan dedaunan dengan lembutnya.
Mahesa Wulung seperti belum percaya bahwa si ka-
kek Gagang Aking itu telah berlalu dan lenyap dari
pandangan matanya. Ketika lebih sadar, didapatinya
dirinya masih tetap tegak di atas tanah dengan kedua belah kakinya tertanam
hampir satu mata kaki lebih.
Ia menarik napas lega. Ditengoknya ke samping,
dan tampaklah si pendekar berkumis melintang, Ga-
gak Cemani juga masih berdiri agak condong ke depan, sedang golok hitamnya masih
tergenggam erat dan
ujungnya terhunjam ke dalam tanah. Agaknya golok
itu sengaja ditusukkan ke tanah sebagaimana sebuah
jangkar bagi sebuah kapal yang sanggup menahan tu-
buhnya agar tidak terbawa oleh arus maupun angin.
Melihat ini, diam-diam Mahesa Wulung menaruh rasa
kagum kepada sahabatnya dari daerah timur ini.
Gagak Cemani tersenyum ketika ia melihat bahwa
Mahesa Wulung telah menyapanya, "Bagaimana Ka-
kang Cemani?"
"Tak kurang suatu apa, adik," ujar Gagak Cemani
seraya mencabut golok hitamnya dari tanah. Begitu
pula Mahesa Wulungpun telah menarik kedua belah
kakinya. Mereka segera teringat kedua sahabatnya yang lain,
yakni Palumpang dan Tungkoro yang belum terlihat
batang hidungnya. Keruan saja dada mereka bergun-
cang kaget. "Hai, kemana saudara Tungkoro dan Palumpang"
Jangan-jangan kedua sobat kita ini telah terhembus
oleh ilmu sakti si kakek Gagang Aking?" nyeletuk Ga-
gak Cemani dengan perasaan cemas. "Serangan si ka-
kek tadi memang hebat!"
"Mari kita akan mencari mereka!" sahut Mahesa
Wulung seraya menebar pandangannya ke arah timur.
Begitu pula dengan Gagak Cemani. Mereka berdua lalu
berloncatan ke arah timur untuk mencari kedua orang
sahabatnya itu.
Tak antara lama mereka dapat melihat dua sosok
tubuh yang tertelungkup di atas tanah dengan tangan-
tangannya berpegangan pada tonjolan-tonjolan batu
dan rerumputan.
"Celaka! Jangan-jangan, mereka telah cedera!" ujar
Mahesa Wulung penuh kekhawatiran seraya mendeka-
ti Palumpang dan Tungkoro. Hatinya kian berdebar-
debar keras. "Belum tentu!" sahut Gagak Cemani dalam suara
ragu. "Tak ada bekas-bekas darah, sedang tubuh me-
rekapun baik-baik saja adanya!"
"Sobat Palumpang dan Tungkoro," ujar Gagak Ce-
mani dan Mahesa Wulung bergantian sambil menepuk
tubuh kedua sahabatnya itu.
Tiba-tiba Tungkoro menggeliat bangun seraya mele-
paskan rerumputan yang digigitnya. Ternyata, selain
kedua belah tangannya yang berpegang pada batu dan
rerumputan, giginyapun ikut menahan diri dengan
menggigit rumput.
Sedang Palumpang terbangun pula seraya menca-
but senjata akar baharnya yang dicobloskan ke dalam
tanah sebagai alat penahan diri. Kesemuanya ini pa-
tutlah dikagumi orang, keempat pendekar serangkai
itu ternyata memiliki kelebihan-kelebihan yang mas-
ing-masing tidak sama, tapi cukup hebatnya. Lebih-
lebih dengan Mahesa Wulung dan Gagak Cemani.
"Aah, asem kecut! Kiranya bahaya telah lewat!" de-
sis Palumpang sementara ia menyimpan senjatanya,
lalu menebah-nebahkan kedua belah tangan untuk
membersihkan debu-debu yang masih melekat pada
pakaian dan tubuhnya. "Kukira, tubuhku telah ter-
hembus ke luar dari bumi...."
"Seperti ngimpi saja rasanya!" sambung Tungkoro
serta membenahi pakaiannya yang geluprut oleh debu.
"Ilmu si kakek tadi sangat hebat. Entah ini, mungkin kita berempat akan
menderita masuk angin sekarang...!" Tungkoro tampak mengatur ikat kepalanya,
kemudian menyarungkan pedangnya.
Mahesa Wulung tersenyum, sahutnya pula dengan
setengah bergurau, "Untuk itu kita harus mencari
orang yang akan mengeroki tubuh kita...."
"Heh, heh, heh, tak usah repot-repot. Kita duduk
antri berempat," ujar Gagak Cemani sambil nyungir-
nyungir. "Adik Mahesa Wulung di sebelah depan, lalu
dikeroki oleh sobat Palumpang. Sedang sobat Palum-
pang sendiri akan dikeroki oleh sobat Tungkoro yang duduk di belakangnya.
Kemudian aku sendiri yang
Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan mengeroki sobat Tungkoro. Sebaliknya... Adik
Mahesa Wulunglah yang akan mengeroki tubuhku...."
Akhir dari ucapan Gagak Cemani disambut oleh su-
ara ketawa berbareng sampai tubuh mereka tergun-
cang-guncang sampai bercucur air mata. Kiranya ke-
gembiraan ini sangat tepat sebagai pengobat lelah, setelah mereka mati-matian
bertempur melawan rom-
bongan Doyotan maupun si kakek Gagang Aking. Da-
lam saat-saat begini ikatan persahabatan keempat
pendekar serangkai itu terasa lebih erat dan akrabnya.
Nyit, nyit... nyiittt... nyiiitt. Tiba-tiba seekor kera yang masih muda sekali
meloncat turun dari sebuah
dahan pohon serta meloncat-loncat mendekati Mahesa
Wulung berempat.
"Heh, heh, heh, lihatlah!" lagi-lagi nyeletuk si pendekar Gagak Cemani. "Tukang
keroyoknya telah da-
tang! Ha, ha, ha, ha, ha."
Kembali getar tertawa cerah terdengar di antara me-
reka. Sebaliknya, kera kecil yang telah nongol di dekat mereka itu cuma
melompong memutar-mutar kepala
sambil mengangkat alis dan dahinya berkali-kali, seolah-olah dipenuhi oleh tanda
tanya yang tak pernah
dimengertinya. Si kera kecil itu cuma berkata, nguk, nguk, dan nyit, nyit lain
tidak. Jari-jarinya yang panjang itu berkali-kali pula menggaruk-garuk kepala
tak ubahnya seorang manusia yang lagi kebingungan.
"Heh, heh, heh. Persis seperti munyuk ditulup!*"
ujar Mahesa Wulung seraya menahan ketawanya un-
tuk sesaat berkata demikian. (*munyuk ditulup = kera disumpit) Ucapan demikian
adalah satu peribahasa
yang mengibaratkan seseorang bodoh yang tidak dapat
menanggapi sesuatu kejadian di sekelilingnya, sehing-ga ia cuma menoleh,
menengok ke kiri-kanan tanpa
berbuat sesuatu apa.
"Ya, ya. Benar, Kakang Wulung. Tapi ia lebih tepat
sebagai tukang pencari kutu! Ha, ha, ha," sambung
Tungkoro sambil menunjuk ke arah kera kecil itu.
Begitulah suasana gembira meliputi keempat pen-
dekar itu yang selintas seperti lupa bahwa beberapa
saat yang lalu mereka telah menyabung nyawa untuk
dapat tertawa sepuas itu.
"Heei, si kera kecil ini berkalung seutas tali!" sela Mahesa Wulung yang lebih
lanjut memperhatikan kera
tersebut. "Ahh, hmmm, aneh juga hal ini," Gagak Cemani
menyelesaikan ketawanya setelah mendengar ucapan
Mahesa Wulung. Memang ia dapat melihat bahwa seu-
tas tali teranyam halus berwarna kemerahan meling-
kari leher si kera kecil. Hal tersebut serentak menimbulkan tanda tanya besar di
dalam dada keempat pen-
dekar itu. Mereka sadar bahwa tak mungkin rasanya kalau
kera kecil itu sengaja memakai seutas tali pada lehernya. Jadi pastilah ada yang
memasangkan di situ. Tapi siapakah orangnya" Itulah yang kemudian dikatakan
oleh Mahesa Wulung, "Pasti kera ini pernah mengenal
manusia atau dipelihara oleh manusia! Dan hal itulah yang pasti menarik kita!"
"Hmm, adik mampu berpikir sejauh itu!" sahut Ga-
gak Cemani sementara tangannya mengelus-elus leher
kera kecil itu dan memperhatikan tali merah yang me-
lingkar di situ. "Aku menjadi iri dengan kemampuan
dan cara berpikir andika."
"Yah. Kiranya perkara ini patut kita selidiki Kakang Wulung," sambung Tungkoro
pula. "Bukankah mungkin ada sangkut pautnya dengan tugas kita, membun-
tuti gerakan orang-orang Tangan Iblis?"
"Benar!" terdengar Palumpang ikut berkata setelah
ia memperhatikan tali merah di leher si kera kecil. "Tali ini adalah anyaman
tangan manusia!"
Nguk, nguk, nguk. Nyit... nyiitt! Suara si kera kecil seraya kedua tangannya
berganti-ganti menunjuk ke
arah utara serta diguncang-guncangkan, bagaikan si-
kap seseorang yang bermaksud menunjuk ataupun
meyakinkan sesuatu yang diketahuinya.
"Aneh, ia menunjuk ke arah utara!" Mahesa Wulung
berkata setengah heran dan kagumnya.
"Seperti yang diucapkan oleh si kakek Gagang Ak-
ing, tentang Doyotan dan orang-orangnya!" tukas Ga-
gak Cemani pula. "Bukankah ia mengatakan bahwa
buronan kita telah lari ke arah utara?"
"Kita banyak menjumpai hal-hal yang aneh. Kare-
nanya kita patut berwaspada diri!" Palumpang berkata pula. "Ayo, bagaimana kalau
kita mengikuti maksud si kera kecil ini!"
"Pergi ke arah utara?" sahut Tungkoro.
"Itu lebih baik!" Mahesa Wulung menyambung pula.
"Namun kita harus mencari kuda-kuda kita di daerah
tenggara. Setelah itu barulah kita bergerak ke utara!"
Dalam pada itu, si kera kecil lalu meloncat ke bahu
Mahesa Wulung tanpa rasa sungkan sedikitpun, seo-
lah-olah ia telah mengangkat majikannya yang baru
sesudah beberapa waktu yang lalu meninggalkan Tan-
gan Iblis dan rombongannya.
"Tapi, lebih dulu kita harus mencari kuda," ajak
Tungkoro lalu melangkah ke arah tenggara bersama
ketiga sahabatnya.
Dengan susah-payah dan terhitung masih ada un-
tung, Mahesa Wulung bersama sahabat-sahabatnya te-
lah berhasil mendapatkan kuda-kuda mereka, sesudah
ubek-ubekan mencari ke sana-sini.
Segera pulalah keempatnya meloncat ke punggung
kudanya masing-masing lalu memacunya ke arah uta-
ra, melintasi semak belukar dan pepohonan hutan
yang cukup lebatnya.
Si kera kecil tadi masih tetap mengikuti Mahesa
Wulung dengan mengemblok pada pundak si pende-
kar. Sesekali ia masih melenguh-lenguh sambil me-
nunjuk-nunjuk ke arah utara, membuat Mahesa Wu-
lung bersama ketiga sahabatnya tersenyum geli. Seca-
ra tidak dinyana, mereka menemukan sahabat baru
yang sekaligus bertindak sebagai penunjuk jalan.
Beberapa saat kemudian, mereka berempat telah
berada di tengah perjalanan menuju ke arah utara.
Mahesa Wulung yang berada di sebelah depan senan-
tiasa menebar pandangannya ke setiap arah, ke setiap sudut pepohonan, lekuk
batu-batuan maupun dari
semak-belukar yang rimbun.
Matahari yang cerah menunjamkan sinarnya ke da-
sar hutan, menembusi kelebaran pohon lewat celah-
celah daunnya dan kemudian sinar yang dipantulkan
ke atas oleh beberapa mata air yang mengalirkan air-
nya merupakan sungai-sungai kecil. Pantulan tadi se-
gera membuat sinar bergemerlapan di atas dedaunan
dengan indahnya.
Nyiittt... nguk... nguukk! Kembali si kera kecil yang menggamblok pada punggung
Mahesa Wulung segera
menjerit-jerit seraya menunjuk-nunjukkan jarinya
yang panjang ke atas rerumputan. Bahkan kemudian
ia meloncat turun dari pundak Mahesa Wulung, se-
hingga "tuan baru"-nya ini terperanjat beberapa saat.
Gagak Cemani maupun Palumpang serta Tungkoro
tak kalah herannya sehingga mereka bertiga perlu
menghentikan kudanya.
"Haai, apa yang akan kau tunjukkan, sobat bere-
kor?" ujar Mahesa Wulung setengah terbengong kehe-
ranan, sebab meskipun ia dapat meraba maksud si ke-
ra kecil itu, namun matanya tak melihat sesuatu pe-
mandangan yang aneh ataupun sangat penting, kecua-
li semak-belukar dan ilalang melulu.
Krrr, nguk... nguukkk, ujar si kera kecil sambil berjingkrakan dengan masih
menunjuk-nunjukkan ja-
rinya ke arah rerumputan di dekatnya.
"Hmm, baiklah. Rupanya engkau akan memberikan
jasa," ujar Mahesa Wulung seraya meloncat turun dari kudanya. Saat itu pula.
Gagak Cemani bertiga ikut turun ke tanah.
Mereka segera mendekati si kera kecil dan meme-
riksa rerumputan di situ, yang sejak tadi telah ditunjuk-tunjuk oleh si kera
kecil. Satu rasa curiga telah timbul pula di dalam dada mereka.
"Darah!" desis Mahesa Wulung kaget. "Darah di ba-
lik rerumputan ini!"
"Sungguh tajam hidung si kera kecil ini!" ujar Ga-
gak Cemani seraya menepuk-nepuk kepala kera itu
yang seketika mencungir dan menjibir-jibirkan bibirnya.
"Sudah agak kental membeku," sambung Palum-
pang pula. "Pasti tercecer lewat beberapa waktu yang lalu."
Sementara itu Tungkoro yang lagi menyisih-
nyisihkan semak di sebelah utaranya telah mendesis
pula, "Lihat sobat. Jejak-jejak kaki dan juga tetesan darah yang telah beku!"
"Pasti ini semua adalah jejak-jejak Doyotan dan ka-
wan-kawannya!" ujar Mahesa Wulung pula. "Mereka
sekarang tinggal berempat lagi jika tidak keliru, sebab dua orang telah kita
robohkan dan tewas!"
"Benar, adik. Baiknya kita telusuri saja jejak mere-
ka. Siapa tahu keempat orang itu akan membawa je-
jak-jejak ke arah rombongan lainnya!" ujar Gagak Ce-
mani seraya menatap ke arah utara seperti hendak
menembusi hutan itu dengan sorot matanya.
"Setuju," Mahesa Wulung menerima usul yang me-
mang tepat itu. "Tapi sementara kita akan menuntun
kuda-kuda ini, agar kita bisa lebih terperinci mencari jejak buruan kita."
Maka sebentar kemudian rombongan berempat itu
telah berjalan kembali menempuh tujuannya. Mereka
beriring-iring dengan menuntun kudanya. Di sebelah
depan Mahesa Wulung tetap berjalan bersama si kera
kecil. Sebentar-sebentar ia mengawasi sekeliling. Di belakang, Gagak Cemani juga
menuntun kudanya, diiku-
ti oleh Tungkoro dan kemudian Palumpang.
Perjalanan mereka serasa agak lambat, tapi hal itu
dapat dimaklumi sebab mereka tengah membuntuti
buruannya dan ini bukanlah sesuatu hal yang boleh
dianggap ringan. Sebab siapa tahu buronan yang dica-
rinya justru lebih hebat dari mereka"
Hal tersebut tidak jarang terjadi sebab belum dapat
dipastikan bahwa seorang pendekar pasti akan lebih
unggul dari sasaran yang diburunya. Bukankah hal
yang semacam itu cukup lumrah terjadi di dalam kehi-
dupan manusia" Dan ini semua hampir direnungkan
oleh Mahesa Wulung dan ketiga sahabatnya.
Bagi Mahesa Wulung sendiri yang paling diherani
adalah pengetahuan si kakek Gagang Aking yang dapat
mengenal jurus ilmu pedangnya Sigar Maruta. Maka
sejak tadi, terus saja Mahesa Wulung memikirkan ten-
tang hubungan si kakek tersebut dengan mendiang Ki
Camar Seta yang telah memberi dasar-dasar ilmu pe-
dang tersebut. Adakah keduanya saling mengenal dan
saling berhubungan" Atau barangkali mereka adalah
satu sahabat dalam satu perguruan" Soal-soal sema-
cam itulah yang senantiasa dipikirkan oleh Mahesa
Wulung, meskipun jawabannya untuk kesekian ka-
linya tidak pernah ditemukannya. Maka untuk semen-
tara Mahesa Wulung lalu melupakan tentang si kakek
tadi dan selanjutnya ia menelusur jejak-jejak rombongan Doyotan dengan harapan
nantinya dapat mene-
mukan pula jejak si Tangan Iblis dan rombongannya.
*** BAGIAN IV DERAP KAKI KUDA terdengar bergemuruh disusul
debu berkepul ke udara. Sementara itu batu-batu ke-
rikil mencutat ke sana kemari oleh terjangan tujuh
ekor kuda yang berlari dengan napas berdengusan.
Yang berkuda di sebelah depan ada dua orang den-
gan berdampingan. Mereka terdiri dari dua orang laki-laki setengah tua, namun
ada bedanya. Seorang di an-
taranya bertubuh gemuk pendek sedang satunya lagi
berperawakan sedang. Keduanya tidak lain adalah Ki
Dunuk dan Demang Cundraka.
Di belakangnya, Linting dan empat orang pengawal
berjajar dua-dua ke belakang dengan membekal pe-
dang-pedang pada pinggangnya. Sedang Linting sendiri yang bertindak sebagai
kepala kawal menggenggam
sebatang tombak.
"Sungguh pagi yang nyaman, Kakang Demang!" ujar
Ki Dunuk kepada Demang Cundraka sambil menoleh
ke samping. "Hehh, mudah-mudahan perjalanan kita akan
memperolah kelancaran, Ki Dunuk," sahut Demang
Cundraka. "Sebelum siang, aku mengharap rombon-
gan kita telah mencapai desa Genuk."
"Memang itu yang kita harapkan, Kakang Demang,"
jawab Ki Dunuk pula. "Di sana kita beristirahat beberapa waktu dan memperoleh
makanan segar."
"Sesudah Genuk, kita akan melewati daerah Ka-
rangsari dan kemudian Demak. Rasa-rasanya aku in-
gin cepat-cepat tiba di kota tersebut, kemudian menye-rahkan Arca Ikan Biru
kepada yang berwajib. Dengan
begitu dapat diketahui bahwa bahaya yang tidak nam-
pak tengah mengancam kita."
Ki Dunuk menggersahkan napas, lalu ujarnya,
"Benda yang bernama Arca Ikan Biru tersebut, ternya-
ta telah membawa bencana yang tidak sedikit, Kakang
Demang. Semoga ia selamat sampai ke kota Demak."
"Eh, aku menyadari betapa bahaya akan mengan-
cam kita pada setiap waktu dan setiap tempat. Namun
apapun yang bakal terjadi, kita harus mati-matian
menjaga benda itu."
Ki Dunuk memanggutkan kepala dan tiba-tiba ia
mengutarakan pendapatnya, "Sebagai satu rombongan
yang membawa benda berharga dan penting, nampak-
nya kita terlalu menyolok. Dengan begitu kita sangat menarik perhatian dan mudah
menjadi sasaran dari
maksud-maksud jahat."
Dahi Demang Cundraka lalu berkerut sesaat ketika
ia mendengar penuturan Ki Dunuk yang cukup ber-
harga itu, tetapi sesaat kemudian wajahnya menjadi
Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih cerah, satu pertanda bahwa ia telah menemukan
suatu gagasan yang tentu saja menyangkut soal kese-
lamatan Arca Ikan Biru. "Sttt, dengarlah Ki Dunuk!"
ujar Ki Demang Cundraka seraya membisikkan satu
deretan kalimat ke telinga Ki Dunuk di sebelahnya.
Tampak Ki Dunuk tersenyum dan mengangguk-
angguk, dan Ki Demang Cundraka pun merasa puas
karenanya. Sementara itu....
Jauh di sebelah timur, di balik dedaunan pakis hu-
tan, sepasang mata setajam burung elang senantiasa
mengikuti gerak-gerik rombongan Ki Demang Cundra-
ka. Gumam bernada gembira terdengar dari mulut si
pengintai ini yang kemudian berdiri dan menjauh dari tempatnya semula.
Dengan satu gerakan ringan, orang tersebut melesat
ke atas dahan dan selanjutnya bergayutan berayun ke
arah timur dengan berganti-ganti pohon. Gerakannya
sungguh mirip seekor kera. Gesit, cekatan dan tepat.
Apalagi orang tersebut mengenakan pakaian seragam
hitam-hitam, dengan selembar kain hitam tebal yang
menutupi mulutnya, hingga mengesankan seperti
orang sakit pilek.
Dia tidak lain adalah Si Mulut Bertudung, salah
seorang pengikut saudagar Arya Demung yang telah
tersohor di daerah barat daya Asemarang. Kini ia ha-
rus cepat-cepat mengabari pemimpinnya, sesudah
dengan cepat ia berhasil menyelesaikan tugasnya,
yakni mengintai gerakan Ki Demang Cundraka dan
orang-orangnya. Oleh karena itu tidak mengherankan
bila gerakannya lantas saja gesit seperti dikejar setan dan pohon demi pohon
dilewatinya dengan sekejap ma-ta. "Aku harus secepatnya sampai ke warung itu!"
desis Si Mulut Bertudung sendiri! "Begitu tiba di kota Ge-
nuk, aku akan melapor kepada Ki Arya Demung. Mu-
dah-mudahan mereka telah siap di warung itu."
Pakaian yang dikenakan Si Mulut Bertudung beras-
al dari tenunan halus, lurik hitam kecoklatan. Pada
pinggangnya terselip sepasang pedang pendek dengan
ujung tangkai menongol ke depan, siap tercabut oleh
kedua tangannya yang lincah, sewaktu-waktu ada ba-
haya yang mencegatnya. Tampaknya kedua pedang
pendek tadi adalah senjata andalan Si Mulut Bertu-
dung dan boleh dipastikan bahwa sepasang pedang ta-
di bukanlah sekedar senjata rahasia, bahkan juga mu-
lutnya yang selalu bertudung itupun merupakan raha-
sia pula. Namun rupanya saja keanehan itulah yang
dipakai sebagai gelar nama kependekaran yang di-
banggakannya. Ketika loncatan Si Mulut Bertudung melewati satu
pohon petai, mendadak saja si pendekar ini terhenyak menghentikan gerakannya,
sebab di atas sebuah dahan pohon itu, sejauh hampir empat tombak bergan-
tunglah sesosok tubuh manusia berpakaian kulit bina-
tang, putih berbelang-belang hitam. Kedua kaki orang itu membelit pada dahan
tadi, dengan demikian maka
kepalanya menghadap ke bawah tak ubahnya seekor
kalong atau kelelawar raksasa yang lagi bergantung di-ri. Melihat ini, Si Mulut
Bertudung hampir terpekik karena kagetnya. Apa yang ditemui di depannya ini
betul-betul membuat hatinya tercekat sehingga otomatis ge-
rakannya terhenti dan ia berdiri termangu seperti patung.
"Hoo, hi, hi, hi. Gerakan Anda cukup lincah, sobat.
Tapi sorot matamu memperlihatkan kerja yang terbu-
ru-buru," begitu suara menegur dari mulut orang ter-
sebut terdengar memecah kesenyapan suasana.
"Itu bukan urusanmu!" bentak Si Mulut Bertudung.
"Apakah aku tergesa-gesa atau berlambat-lambat da-
lam perjalananku, ini adalah kepentinganku sendiri."
"Heh, heh, heh. Kata-katamu setajam mata pisau,
sobat. Tapi tak apa. Aku senang mendengarnya!" ujar
si baju kulit yang ternyata sudah berusia tua.
"Jadi apa maksudmu dengan mencegat perjalanan-
ku ini!?" seru Si Mulut Bertudung penuh kegeraman.
"Oo, anehlah pertanyaanmu, sobat! Aku sama sekali
tidak mencegatmu! Mengapa kau berkata demikian"
Apakah lantaran dirimu terkejut, lalu melontarkan
dakwaan tadi?" ujar si tua berbaju kulit.
"Berlagak pilon, haa!" seru Si Mulut Bertudung se-
mentara hatinya menjadi uring-uringan. Masakan
sambil berbicara, si tua itu tetap bergantung diri dan ini dirasakan oleh Si
Mulut Bertudung sebagai satu
hinaan besar. "Mulutmu berbicara tak keruan!"
"Ooo, jadi aku yang kau salahkan" Sejak tadi sebe-
lum kau lewat di tempat ini, aku telah bergantung di sini menyepikan diri," ujar
si tua dengan tenangnya.
Masih saja bergantung dengan kedua belah kakinya.
"Keparat, kalau begitu, kaulah yang mesti menying-
kir selagi aku lewat di sini! Nah dengar telingamu,
haa!?" ujar Si Mulut Bertudung dengan wajah merah.
Rupanya darah kemarahan telah naik ke kepala. Se-
bab hatinya sangat jengkel, selagi hendak cepat-cepat kembali ke kota Genuk,
mendadak si tua ini melenting di tengah jalannya.
"Weh, weh. Orang seperti kamu ini suka bertindak
sewenang-wenang terhadap orang lain. Lebih berba-
haya lagi seandainya kamu memegang kekuasaan.
Pastilah orang-orang kecil akan kau tindas dengan semena-mena!" sahut si tua
kembali dalam nada tajam
sehingga dada Si Mulut Bertudung seperti tertusuk
olehnya. Matanya seketika mendelik.
"Sihh. Mulutmu pandai berpidato! Maka terimalah
benda-benda penyumbat untukmu, ini! Hyaatt!" teria-
kan si pendek terdengar membarengi berkelebatnya
tangan kanan Si Mulut Bertudung ke depan. Benda
berkejaran bersuit dan gemerlap, langsung menyambar
ke arah kepala si tua.
Trek - tek - tek! Sambaran sinar-sinar terhenti tepat di depan kepala si tua
berbaju kulit membuat si Mulut Bertudung tercengang buat sesaat.
Hampir-hampir ia tak dapat percaya ketika tiga
buah paku baja yang baru dilemparnya itu dapat di-
tangkap ujung-ujungnya, oleh gigitan atau jepitan gigi si orang tua.
"Nah, boleh kau terima kembali! Whaahh!" seru si
orang tua seraya mengibaskan kepalanya ke samping
dan tahu-tahu ketiga paku baja hadiah Si Mulut Ber-
tudung telah mental balik dan meluncur ke arah tuan-
nya sendiri dengan bunyi berdesing.
"Ahh!" desis si Mulut Bertudung seraya mengelak-
kan diri dengan sedikit cekakaran. Sungguh memalu-
kan seandainya senjata-senjata tersebut menimpa tu-
buhnya sendiri.
Si kakek tua lalu menggerakkan tubuh yang dengan
cepat berputar ke atas, sehingga ia duduk di atas dahan pohon itu dalam sekejap
mata. Sungguh gerakan
yang sukar dan cukup mengagumkan, apalagi sambil
berputar itu kedua tangan si kakek tetap bergantung
tanpa menyentuh dahan pohon sedikitpun. Gerakan
ini hanya mampu dilakukan oleh orang yang berilmu
tinggi di samping segi-segi kecekatan yang dimilikinya.
"Heh, heh. heh. Hampir terjadi senjata makan
tuan!" gereneng si kakek tadi sekaligus melontarkan
sorot mata yang tajam ke arah Si Mulut Bertudung.
"Kau mulai menyerang dengan senjata gelap, sobat.
Satu kesalahan yang tak kecil."
"Jangan lekas sombong, kakek kurus. Setiap pen-
dekar mampu berbuat demikian. Hanya aku lebih se-
dikit hebat sebab melakukan tangkapan itu sambil
bergantung diri!"
"Bagus! Jadi sambutlah pelajaran kedua buat orang
yang sok jagoan dan berbuat sewenang-wenang!" seru
si kakek sambil melesat ke depan, menyambar Si Mu-
lut Bertudung. Jari-jari kedua tangannya mengembang
bagaikan cakar-cakar garuda siap merobek sasaran-
nya. Tentu saja Si Mulut Bertudung melesat ke atas den-
gan cepat, apalagi ketika terasa olehnya bahwa sambaran si kakek itu mempunyai
kecepatan kilat.
Wesst - westt! Sambaran tangan si kakek dapat di-
hindari oleh Si Mulut Bertudung, namun angin tajam
yang berasal dari sambaran tadi tak urung menyerem-
pet kedua pelipisnya sehingga terasa kepedihan yang
amat menusuk. Karenanya, Si Mulut Bertudung seten-
gah kalang kabut menyelamatkan diri.
Dengan satu tiupan ringan, Si Mulut Bertudung
mendarat ke tanah, sekaligus melolos kedua pedang
pendeknya untuk menghadapi si orang tua. Sedang
dalam hati, Si Mulut Bertudung tak habis-habisnya uring-uringan meskipun
terselip pula rasa jerih oleh gerakan-gerakan si orang tua yang kelewat mantap
dan penuh perbawa. Si orang tua bertubuh kurus itupun meluruk turun
begitu dilihatnya Si Mulut Bertudung telah mendarat
di tanah. Ketawa pelahan yang seolah-olah berasal dari lehernya itu terdengar
menggeletar mengejutkan Si
Mulut Bertudung, seakan-akan suara hantu penjaga
hutan. Tanpa melewatkan kesempatan sedikitpun, Si Mu-
lut Bertudung menikamkan kedua pedang pendeknya
dengan gerakan memutar dan menggunting. Tetapi en-
tah bagaimana si orang tua itu menggerakkan tubuh-
nya, sebab tahu-tahu tubuhnya seperti lenyap hanya
dengan sekali berkelebat dan kedua pedang pendek Si
Mulut Bertudung tadi hanya mendapatkan udara me-
lompong. "Setan!" desis Si Mulut Bertudung setelah ia kehi-
langan lawannya. Pandangan matanya disebar namun
tak juga ia menemukan jejak lawannya. Keruan saja
hati si pendekar ini berdegupan saking cemasnya, se-
bab seperti yang baru saja dialami, satu serangannya yang cukup matang, telah
dapat dihindari lawannya
dengan sangat mudahnya.
Mendadak saja selagi ia mencari jejak lawannya ter-
dengarlah satu suara ketawa dari arah belakangnya,
menyebabkan bulu tengkuk Si Mulut Bertudung me-
remang seketika. Sadar akan bahaya di belakang, se-
cepat kilat ia memutar gerakan ke belakang sedang
kedua pedang pendeknya langsung menyabet dan me-
nikam berbareng, sampai berdesingan.
"Heh, heh. Tak akan semudah itu kau menyerang-
ku! Heeitt!" Si orang tua mengibaskan tangan yang cepatnya melebihi gerakan
pedang Si Mulut Bertudung
bahkan seakan-akan mendahuluinya.
Plakk! Begitulah tiba-tiba tangan kanan si orang tua menampar lebih dahulu
pelipis Si Mulut Bertudung
sehingga tokoh ini hampir saja terpelanting roboh.
"Nah, itulah peringatan dari si kakek tua yang tak
berharga."
Sekali ini Si Mulut Bertudung lebih terkejut sebab si orang tua itu bergerak
bagai hantu. "Sambutlah kedua pedangku ini dengan senjatamu!
Lekas! Aku tak mau terhina dengan cara-caramu!"
"Bagus!" desis si kakek tua seraya mencabut sesua-
tu dari balik baju kulitnya dan sebentar kemudian terlihatlah dua batang logam
tergenggam pada kedua be-
lah tangan. Memang tidak lain si kakek itu adalah Ki Gagang Aking si pendekar
tanpa juntrung, selalu berpindah-pindah tempat dan mengembara menuruti ke-
hendak kaki. Si Mulut Bertudung tidak lagi berkata tapi bertin-
dak dengan menyabetkan kedua pedang pendeknya
berbareng ke arah si Kakek Gagang Aking. Trang...
Traang! "Haaah"!" desis Si Mulut Bertudung begitu kedua
tangannya bergetar hebat. Hatinya serentak bagai di-
bakar oleh bara api dan memuntahkan amarahnya.
Namun tiba-tiba ia teringat pula bahwa ada tugas lebih penting yang harus
dikerjakan, yaitu cepat-cepat tiba di kota Genuk. Maka secepat kilat Si Mulut
Bertudung melesat ke atas dahan pohon seraya berseru lantang,
"Sayang kakek. Aku punya tugas lain. Akan kita lan-
jutkan lagi permainan ini di lain kesempatan!"
Kakek Gagang Aking membiarkan Si Mulut Bertu-
dung kabur ke arah timur dan lenyap di balik pepoho-
nan sesudah ia berloncatan melalui dahan-dahan po-
hon. Sedang ia sendiri cuma bergerundelan membe-
rengut, "Tempat-tempat ini seperti tidak aman dan kurang cocok buat bersemadi.
Sudah dua kali aku ter-
ganggu. Yang pertama dengan dua rombongan di sebe-
lah tenggara sana dan kini terganggu pula oleh orang yang mulutnya bertudung
itu! Hmm, akan kucari tempat lain."
Begitulah Ki Gagang Aking lalu mengeloyor ke arah
timur sambil menyimpan senjatanya kembali, yang
berbentuk dua batang logam pipih ke dalam bajunya.
Langkahnya tenang-tenang menunjukkan betapa ko-
koh jiwa dan semangatnya. Meskipun sudah tua tapi ia tidak berjalan dengan
membongkok-bongkok, seperti
seorang tua pada usia sebaya itu.
Karenanya tidak heran bila orang kadang-kadang
meragukan ketuaan usia Ki Gagang Aking. Meski ram-
but dan kumisnya seputih perak, namun wajahnya
masih kelihatan segar kemerahan dan kerut-kerut di
tempat itu tidak terlalu banyak, seolah-olah ia tahan terhadap usia, dan orang
lantas bisa mengingat tentang seorang pendekar yang pernah disebut-sebut da-
lam dongeng yang kabarnya juga tahan usia. Ia tidak
lain adalah Panji Tengkorak, si pengembara lontang-
lantung. Angin kencang mulai bertiup dan mengiringi le-
nyapnya si kakek Gagang Aking di balik semak pakis
dan belukar di sebelahnya. Seekor tupai mulai menon-
golkan kepalanya lalu bermain-main, sesudah bebera-
pa saat ia ketakutan disebabkan terjadinya pertarun-
gan antara Si Mulut Bertudung dan Ki Gagang Aking.
*** BAGIAN V KESIBUKAN warung di bawah pohon asam itu terus
saja berjalan dari pagi sampai sore dan dari malam
sampai pagi. Terlebih lagi sesudah beberapa hari beberapa orang tinggal menginap
Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan makan minum di si-
tu. Seorang berperawakan angker duduk dengan re-
sahnya menghadapi meja panjang. Sebentar-sebentar
ia menatap ke arah luar, seperti merenungi kaki langit
di sebelah sana. Perlahan-lahan sang matahari naik
semakin tinggi.
Tiba-tiba seorang berpakaian biru kehitaman den-
gan lengan bajunya yang longgar perlahan mendekati
si tokoh yang lagi resah tadi. Kedua lengan si pendatang ini berhiaskan dua
gelang hitam mengkilat beru-
kuran kelewat tebal dan besar!
"Ki Arya Demung, Anda tampak gelisah," ujar si ge-
lang tebal yang tidak lain adalah Wasi Sableng.
"Si Mulut Bertudung belum juga datang. Seharus-
nya, sudah waktunya ia sampai di tempat ini," sahut
saudagar Arya Demung sambil berkali-kali menebar
pandangnya ke arah barat dan kadangkala mulutnya
mencapak membayangkan kegelisahan.
"Apakah ia telah hafal dengan daerah ini, sehingga
tidak ada kemungkinan akan tersesat di jalan?"
Arya Demung mendongak sesaat oleh kata-kata
Wasi Sableng tadi, namun kemudian ia menjawab,
"Tersesat" Ah, itu tak akan terjadi pada Si Mulut Bertudung. Ia cukup baik
mengenal daerah ini! Yang ju-
stru aku khawatirkan tentang dia ialah kalau sampai
ia mendapat bahaya di tengah jalan."
Selagi mereka berembuk begitu terdengarlah lang-
kah-langkah kaki kuda dari arah barat yang seketika
membuat Wasi Sableng dan saudagar Arya Demung
berjelalatan menatap ke arah sana. Tapi betapa mere-
ka kecewanya ketika si pendatang itu bukanlah Si Mu-
lut Bertudung yang lagi dinanti-nantinya, melainkan
adalah empat orang berkuda yang tampak keletihan.
Arya Demung menggerendeng dan meludah saking
jengkelnya, namun empat orang penunggang kuda itu
tak mengetahui tampaknya. Mereka terus mendekat ke
warung dan turun dari atas kudanya hampir berba-
reng. Terus saja Arya Demung dan Wasi Sableng mem-
perhatikan keempat pendatang itu, begitu juga para
pengikut Arya Demung yang duduk bertebaran di
bangku-bangku Warung.
Keempat pendatang itu tampaknya sebagai pen-
gembara yang kelelahan dan singgah di warung ini un-
tuk mengisi perut dan menghilangkan haus. Untuk itu
semua, baik Wasi Sableng dan Arya Demung tidak be-
gitu perduli sebab daerah ini dan lebih-lebih warung ini sering disinggahi oleh
pengembara maupun orang-orang yang singgah di tengah perjalanannya.
Meskipun tak perduli, tapi tak urung hati Arya De-
mung menjadi berdesir sewaktu ia memperhatikan sa-
lah seorang pendatang yang berkumis melintang dan
berkerudung kain batik hitam biru pada punggungnya.
Diam-diam Arya Demung menaksir mereka.
Begitu keempat orang pendatang itu lewat di sam-
pingnya, tanpa diduga saudagar Arya Demung meng-
gebrak meja seraya tertawa terbahak-bahak. "Heh,
heh, heh. Lihatlah, Sableng! Siang-siang begini ada
orang kedinginan berkerudung kain. Barangkali ia bi-
asa hidup di padang pasir...!"
Meski sesaat Wasi Sableng tak dapat menangkap
maksud Arya Demung, tapi setelah ia merasakan kata-
kata di atas, maka segera ia menyahut, "Ahh, benar
juga ujarmu. Atau barangkali pula ia salah satu anggo-ta rombongan penari
keliling yang lagi demam pilek."
Tiba-tiba Gagak Cemani, si kumis melintang yang
mengenakan jubah di punggung melempar lirikan ta-
jam ke samping dan sebentar lagi ia pasti menggebrak ke arah Wasi Sableng dan
Arya Demung jika ia tidak
buru digamit tangannya oleh Mahesa Wulung yang
berdiri di sampingnya seraya berbisik, "Jangan ladeni mereka...."
Tanpa menunjukkan sikap mendongkol, Mahesa
Wulung justru mengangguk tersenyum kepada Wasi
Sableng dan Arya Demung untuk menghilangkan ke-
san-kesan yang tidak diharapkan. Akhirnya, Mahesa
Wulung, Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro du-
duk menghadapi meja panjang sejauh dua tombok ku-
rang lebih dari tempat Wasi Sableng dan Arya Demung
berada. Seorang wanita cantik langsung mendatangi meja
Mahesa Wulung dan menyapa ramah, "Tuan, Tuan be-
rempat akan minum apa" Serbat, kopi atau...?"
"Satu lodong tuak dan empat cawan, ditambah jua-
dah ketan dan lauknya sekali," ujar Gagak Cemani
ringkas. Terasa bahwa kemangkelan hatinya terhadap
sindiran Wasi Sableng, Arya Demung ikut terlontar dalam kata-kata itu, "Dan juga
setundun pisang yang
masak...."
Wanita itu tetap tersenyum ramah, lalu katanya,
"Baik tuan. Semuanya akan kami siapkan. Persilahkan
melepaskan lelah sepuasnya. Maaf, tempatnya agak
kurang baik."
"Ooh, tak apalah. Terima kasih," ujar Mahesa Wu-
lung pula dengan iringan senyum, ketika wanita berparas cantik itu membalikkan
diri untuk mempersiapkan
hidangan tersebut. Gaya jalannya yang gemulai dan
mempesona segera terlihat, sehingga tanpa sengaja
Tungkoro mendesis kagum.
Memang sesungguhnya tidak hanya Tungkoro yang
terpesona, sedang semua rombongan Arya Demungpun
mengalami hal yang sama. Apalagi dengan Wasi Sab-
leng sendiri. Kedua biji matanya seakan-akan meloncat keluar dari kelopaknya,
begitu melihat gerakan wanita cantik ini dalam berjalan.
Namun ada hal yang lebih penting dan inilah yang
membuat Arya Demung dan Wasi Sableng sekaligus
merasa cemburu kepada rombongan Mahesa Wulung
berempat. Seperti yang diketahuinya, wanita cantik ini adalah pemilik warung
yang jarang sekali melayani
langsung kepada para tetamunya. Sedang mereka sen-
diri, baik Wasi Sableng maupun Arya Demung selama
tinggal di warung itu, jarang ditemui oleh si wanita cantik. Tak disangkanya
bahwa Mahesa Wulung berempat yang baru saja datang itu, tahu-tahu disambut
langsung oleh si pemilik warung. Keruan saja Arya
Demung dan Wasi Sableng merasa terbakar hatinya
melihat hal itu, sehingga tak mengherankan bila gigi Wasi Sableng
bergemeretakan. Dasar seperti Wasi Sableng yang suka melihat wanita cantik dan
malah suatu ketika hatinya jadi tersinggung karena sikapnya tidak diacuhkan oleh
si pemilik warung tadi, maka salah-salah rasa mendongkolnya beralih menumpah
kepada Mahesa Wulung dengan ketiga rekannya.
Di sebuah meja lain duduklah pula seorang wanita
cantik ditemani oleh seorang pria berkulit hitam, bertubuh pendek. Di atas meja
mereka masih terlihat ma-
cam-macam hidangan yang tersedia di situ dan sedikit aneh bahwa mereka
tersenyum-senyum melihat sikap
Wasi Sableng yang lagi angot-angotan marah. Mereka
adalah si genit Teja Biru dan Klenteng, termasuk pengikut-pengikut saudagar Arya
Demung. Tak antara lama, si cantik pemilik warung itupun
muncul kembali dengan membawa hidangan-hidangan
yang dipesan oleh Mahesa Wulung dan Gagak Cemani.
Sekali lagi terlihatlah betapa lemah-gemulai yang
mempesona setiap insan di situ.
Akan tetapi hal itu malahan seperti membakar rasa
cemburu Wasi Sableng. Matanya yang tajam itupun
masih seterusnya melotot ke arah Mahesa Wulung dan
Gagak Cemani. Lebih-lebih ketika sesaat ia sempat melirik ke arah si genit Teja
Biru yang tersenyum-senyum ke arahnya. Senyum tadi berkesan mengejek kepada
dirinya yang terang-terangan tidak digubris oleh si
cantik pemilik warung.
"Ooh, sebentar. Maaf tuan-tuan. Tuaknya masih ke-
tinggalan di belakang. Akan kuambil dahulu!" ujar si cantik seraya tersipu-sipu
malu dan tersenyum merun-tuhkan hati, karena kelupaannya itu. Agaknya saja ia
jarang menyambut sendiri tetamunya sebab di situ
memang ada beberapa pelayan pembantu yang siap
melayani tamu-tamu. Maka apakah keistimewaan
sambutannya kepada Mahesa Wulung berempat tadi
tidak menimbulkan rasa iri dan cemburu kepada teta-
mu lainnya"
Buat ketiga kalinya Wasi Sableng dapat menyaksi-
kan betapa lenggang si cantik seumpama macan lapar
dapat memukau setiap hati pengunjung warung yang
berada di situ. Ia melangkah ke arah dapur untuk
mengambil tuak dan sebentar lagi ia pasti lewat di situ.
"Ia sengaja mengejekku!" gumam di hati Wasi Sab-
leng. "Sekali ia lewat dengan melenggang-lenggok se-
perti angsa begitu, akan kugeret* ia ke mejaku ini!"
(*geret = seret, tarik)
Tak antara lama, si cantik pemilik warung itupun
muncul dan berjalan ke arah meja Mahesa Wulung.
Lenggang-lenggoknya masih saja tak ketinggalan. Ooh, seandainya ia tahu akan
tekad Wasi Sableng, pastilah akan dihentikannya lenggang-lenggoknya itu. Tapi
sayang, memang hanya Wasi Sableng sendiri saja yang
tahu. "Nah, inilah tuan. Tuak selodong yang Anda pesan,"
ujar si cantik pemilik warung seraya meletakkan empat buah cawan di atas meja
dan kemudian tuak selodong
penuh. "Bolehkah aku mengenal namamu?" tiba-tiba Tung-
koro menyelonong dengan pertanyaannya.
"Ooh, tuan menanyakan namaku?" ujar si cantik
seraya tersenyum-senyum menawan. "Apakah itu per-
lu?" "Benar. Siapa?"
"Ken Warsih," jawab si cantik pelahan.
Mendadak saja sesuatu bayangan berkelebat den-
gan iringan kesiur angin deras dan tahu-tahu lengan si cantik Ken Warsih yang
lagi menuang-nuangkan lodong tuak ke dalam cawan-cawan itu, telah tergeng-
gam oleh jari-jemari yang kokoh.
"Ooh, lepaskan ini!" seru Ken Warsih bercampur ra-
sa kaget yang luar biasa, sebab tahu-tahu Wasi Sab-
leng telah berada di sampingnya dengan menggenggam
lengan kanannya.
"He, he, he, he. Kau juga harus melayani aku, wong
denok ayu! Bukankah aku juga tamu di sini dan men-
genalmu lebih lama dan lebih dahulu daripada empat
orang ini?" seru Wasi Sableng seraya mengurut-urut
lengan kanan Ken Warsih sampai si cantik ini mengki-
rik-kirik dan mengeluh ketakutan, "Hihh, lepaskan....!"
"Heh, heh, heh, kulitmu memang halus denok ayu.
Sayang kalau tinggal di warung yang penuh asap begi-
ni. Salah-salah kulitmu akan kotor dan menjadi hitam seperti sobatku yang
bernama si Klenteng itu!" ujar
Wasi Sableng seraya menunjuk Klenteng dengan tan-
gan kirinya. "Baiknya kau ikut dan tinggal bersamaku saja! Wasi Sableng akan
menjagamu!"
"Berlakulah yang sopan, sobat!" tiba-tiba terdengar
suara pelahan tapi penuh wibawa meluncur dari bibir
Mahesa Wulung dengan tenangnya.
"Hoo, kau berlagak jagoan dengan menolong wanita
cantik ini?" geram Wasi Sableng sementara beberapa
rekannya tampak bersiap siaga melihat gelagat pende-
kar angot-angotan ini.
"Lepaskan jari-jarimu dari tangan wanita ini, sobat!
Kau telah menyakitinya...!" ujar Mahesa Wulung kem-
bali. "Apa katamu" Berani kau...."
"Lepaskan, kataku!" Plakk...! Tiba-tiba tangan kiri
Mahesa Wulung berkelebat menebas ke samping dan
tahu-tahu tubuh Wasi Sableng terhuyung ke belakang
dan rebah di dekat tempat duduknya semula, tak jauh
dari kaki Arya Demung. Beruntung bahwa ia memiliki
himpunan tenaga sakti yang dapat mengurangi penga-
ruh lontaran itu. Tambahan pula memang ia tidak ber-
siap sebelumnya dan serangan datang begitu menda-
dak tanpa diduga sama sekali.
Cepat-cepat Wasi Sableng bangkit dengan amarah
yang meluap. Secepat kilat ia merauk beberapa tusuk
satai dan dikibaskan ke arah Mahesa Wulung. Benda-
benda tadi melesat dengan pesatnya menyambar sasa-
ran, sampai-sampai Ken Warsih yang melihat gelagat
ini mundur dengan menjerit ketakutan.
Kembali Mahesa Wulung menyentilkan tangan ka-
nannya ke samping dengan tubuh condong ke kiri dan
tanpa terduga tusuk-tusuk satai tadi terpental berganti arah dengan kecepatan
yang tidak berubah.
"Wuaaahh!" tiga teriakan parau terdengar dari
samping kanan Mahesa Wulung yang ternyata keluar
dari mulut tiga anak buah Arya Demung dengan mas-
ing-masing telapak tangan kanannya tertembus oleh
tusuk sate dari bambu itu. Ketiga golok mereka terpelanting jatuh di lantai.
Rupanya saja ketiga orang tersebut hendak membokong serangan dari sebelah bela-
kang. "Hei, hei, hei! Jangan bertengkar!" Satu teriakan tajam memenuhi udara berbareng
ketawa renyah keluar
dari mulut si genit Teja Biru. "Buat apa bertengkar karena soal sepele saja!
Sekarang biarlah aku memberi
ucapan selamat kepada si pendekar berkumis kecil itu.
Siapa namamu, pendekar" Terimalah ucapan selamat
dari Teja Biru. Hup!"
Sambil berkata si genit Teja Biru memungut cawan
berisi tuak dan ditimpukkan ke arah Mahesa Wulung.
Sungguh di luar dugaan, bahwa cawan berisi tuak itu
meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si pen-
dekar. Meski seperti tak masuk akal, tapi dapat dibayang-
kan bahwa lontaran dengan dilandasi himpunan tena-
ga sakti itu akan sanggup membuat amblas cawan be-
risi tuak tadi ke dalam dada Mahesa Wulung.
"Huppp!" desis Mahesa Wulung mengibaskan tan-
gannya buat ketiga kali dan tahu-tahu cawan berisi
Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuak tadi telah lenyap disambarnya.
"Lenyap"!" desis Wasi Sableng, Arya Demung dan si
genit Teja Biru. Bagaimana mungkin bahwa cawan
yang cukup lebar itu lenyap dalam genggaman tangan
Mahesa Wulung"
Sambil tersenyum lunak, Mahesa Wulung lalu
membuka genggaman tangannya dan semua mulut
hampir berseru kagum, sebab pada telapak tangan
Mahesa Wulung terletak satu bulatan benda berwarna
coklat tua berasal dari bahan cawan tuak tadi.
"Ucapan selamatmu telah kuterima nona!" kata Ma-
hesa Wulung seraya menggebrakkan benda bulat tadi
ke atas meja, yang seketika amblas ke dalam kayu
daun meja. Arya Demung dan orang-orangnya terkejut dan
hampir saja ia memberi aba-aba untuk mengeroyok
Mahesa Wulung berempat, jika dari arah barat tidak
muncul seorang penunggang kuda yang langsung me-
nuju ke arah warung.
"Wah, untung si kakek Gagang Aking itu tidak me-
nemukan kudaku ini. Hah, tapi yang penting tugasku
mengintai rombongan Demang Cundraka telah berha-
sil!" gumam si pendatang. Dengan cepat si penunggang kuda meloncat turun dan
Arya Demung berseru gembira, "Haa, kau telah datang adik!"
"Kita harus berangkat sekarang! Orang-orang itu
tengah dalam perjalanannya!" bisik Si Mulut Bertu-
dung ke dekat telinga Arya Demung.
"Bagus! Ayo, anak-anak, kita berangkat sekarang,"
seru Arya Demung sambil sesaat menatap tajam ke
arah Mahesa Wulung berempat serta berkata, "Dan ka-
lian! Cukup disini permainan tadi. Tunggulah sampai
bertemu di lain saat! Kau boleh bermain sepuas-
puasmu sebelum nyawamu melayang di ujung golokku
ini!" Wesss! Sambil berkata demikian Arya Demung
menggerakkan goloknya ke atas meja dan sesaat ke-
mudian bersama orang-orangnya meloncat ke luar dari
warung dan berpacu dengan kuda-kudanya ke arah
barat. Semua mata masih menatap ke arah rombongan
Arya Demung sambil bertanya-tanya tentang asal tu-
juan dari orang-orang itu, lebih-lebih dengan permainan gertak si pemimpin
rombongan dengan goloknya.
Kraakkk... byaarr! Tiba-tiba semua orang dike-
jutkan oleh meja bekas tempat Arya Demung yang se-
mula masih tegak tanpa cacat apapun, mendadak run-
tuh ambyar berkeping-keping menjadi tumpukan kayu
bakar! "Bukan main!" desis Tungkoro kaget.
"Mereka berilmu tinggi pula!" sahut Mahesa Wu-
lung. "Hmm, jika terjadi pertempuran tadi, pastilah san-
gat hebatnya," sambung Gagak Cemani.
"Ooh, semua ini lantaran saya tuan!" desah Ken
Warsih dengan nada penuh penyesalan. "Harap tuan-
tuan sudi memaafkan saya...."
Si cantik ini berkata dan matanya yang jeli itu ber-
kaca-kaca oleh air mata, maka cepat-cepat Mahesa
Wulung berkata kembali, "Anda tak usah merasa de-
mikian. Mereka pada dasarnya tergolong orang-orang
liar dan suka bertindak semaunya sendiri. Maka sudah sewajarnya kami membela
nona!" "Terimakasih... terimakasih," ujar Ken Warsih se-
raya mengusap air matanya dengan ujung depan ba-
junya, lalu senyum manis mulai menyungging bibir-
nya. "Silahkan duduk kembali. Kalian akan kuambil-
kan tuak lagi!"
"Aku akan membantu Anda!" ujar Tungkoro seraya
bangkit dari bangku, tapi Ken Warsih buru-buru ber-
kata, "Oooh, tidak perlu tuan. Biarlah aku kerjakan
sendiri, sebab tadi aku telah merepotkan tuan-tuan
dengan orang-orang liar itu. Kini, biarlah kami hidangkan makanan yang lezat-
lezat sebagai rasa terimakasih kami!" Selesai berkata, Ken Warsih lalu menuju ke
arah dapur sambil tersenyum segan. Ia telah ditolong sekali dan untuk kedua
kali, si cantik ini merasa tidak pantas sebelum ia dapat membalas budi.
Tungkoro duduk kembali ke atas bangkunya den-
gan tersipu sementara Mahesa Wulung, Gagak Cemani
dan Palumpang tersenyum-senyum kecil.
"Ken Warsih memang cocok untukmu, adik Tungko-
ro!" ujar Mahesa Wulung, diiringi senyuman penuh ar-
ti. "Haa, kalian mulai menggodaku, hah!" sahut Tung-
koro dengan wajah merah saking malunya.
"Aaaa. Jangan marah sobat! Makanlah ini!" ujar
Gagak Cemani seraya menyuapkan sepotong juadah
ketan ke dalam mulut Tungkoro yang lagi ternganga.
"Hepp," gagap Tungkoro kaget. Tapi dasar sesama
sahabat, ia tidak marah, bahkan mengunyah juadah
ketan itu dengan nikmatnya dengan mata yang berpu-
tar-putar lucu. "Haem... nyaem... nyaem... nyaem...."
*** BAGIAN VI JALANAN yang menuju ke kota Genuk tampak
sunyi-senyap ketika matahari makin bergeser ke pun-
cak kepala. Selain cahayanya memancarkan panas se-
hingga orang-orang segan melakukan perjalanan, juga
saat-saat tengah hari begini banyak dianggap menim-
bulkan bahaya dan merupakan larangan, semacam
kepercayaan yang banyak didapati pada pengembara-
pengembara. Meskipun hal itu sukar diterima oleh akal sehat,
namun ada beberapa segi kebenaran, bahwa matahari
memang bersinar sepanas-panasnya pada saat tengah
hari, tepat jatuhnya sinar tegak lurus di atas kita.
Dalam saat-saat demikian, tidak mustahil kalau si-
nar terik itu mampu menyebabkan pingsan dan apabi-
la orangnya sangat lemah bisa juga ia meninggal.
Agaknya pula, orang lalu menghubung-hubungkan
bahwa para raksasa dalam ceritera wayang, suka men-
cegat manusia pada tengah hari begini.
Mereka biasanya lalu beristirahat sejenak sampai
matahari lewat dan condong ke arah barat, barulah
perjalanan yang ditempuhnya itu dilanjutkan lagi.
"Tengah hari, Kakang demang!" ujar Ki Dunuk se-
raya mengusap peluh yang mengalir membasahi da-
hinya. "Bagaimana kalau sejenak kita beristirahat melepaskan lelah?"
"Sebentar lagi kita akan tiba di Genuk. Di sanalah
kita nanti mengambil istirahat beberapa saat," sahut Demang Cundraka pendek.
"Karenanya harus cepat-cepat kita sampai kesana, adik Dunuk!"
"Tapi ini adalah saat tengah hari...."
"Memang. Tapi lebih penting Arca Ikan Biru daripa-
da saat tengah hari...," sahut Demang Cundraka pula.
"Tambahan lagi seperti siasatmu, kita telah berganti pakaian dan benar-benar
kita tampak sebagai rombongan saudagar pedagang."
Ki Dunuk tak menyanggah lagi sebab ia tahu bahwa
Demang Cundraka mempunyai watak keras.
Maka kembali ia memperhatikan jalan di depannya
yang kelihatan selalu sepi dan panas oleh terkaman
sinar matahari. Untunglah mereka mengenakan cap-
ing-caping bambu yang agak lebar sehingga sebagian
tubuh mereka cukup terlindung olehnya.
Namun Ki Dunuk tak urung merasakan berdebar-
debar di dalam dadanya. Satu perasaan cemas yang
tak berujung pangkal tiba-tiba menyelinap di dalam
hati, membuat si gemuk ini sebentar-sebentar menoleh ke kanan kiri, ke arah
semak belukar dan pepohonan
yang banyak tumbuh subur di sana-sini. Dan menda-
dak saja.... "Hyaatt! Ha, ha, ha...." Belasan sosok tubuh melon-
cat ke luar dari belukar di depan rombongan Demang
Cundraka dengan sikap kasar petentang-petenteng,
tak ubahnya sikap kawanan raksasa yang tengah
mencegat seorang satria.
"Ayo berhenti kalian!" seru si pemimpin rombongan
pencegat yang bersenjata golok lebar bertangkai pan-
jang. Dalam saat itu pula Demang Cundraka segera ber-
bisik kepada seorang penunggang kuda yang berada di
sebelah kirinya, "Sttt, Linting. Jika terjadi pertempuran, kau cepat-cepat
berpacu kembali menuju Asema-
rang dan katakan kepada Angger Tuntari bahwa rom-
bongan kita berada di dalam bahaya!"
Pengawal Linting mengangguk paham.
Para pencegat sesaat menjadi ragu, terlebih lagi
dengan Si Mulut Bertudung. Rombongan yang mereka
cegat ini ternyata adalah rombongan para pedagang
dan bukan rombongan Demang Cundraka seperti yang
pernah diintainya beberapa saat yang lalu.
"Tudung! Mereka kan rombongan pedagang!?" desis
Arya Demung dengan muka cemberut jengkel. "Apakah
kita telah salah cegat, heh" Bukan ini sasaran kita!"
"Tapi... tapi tak ada rombongan lain," sahut Si Mu-
lut Bertudung dengan terbengong kebingungan dan
hatinya kecut juga kalau ia kena marah dan gampar
dari Arya Demung.
"Ha, ha, ha. Kita kena dikelabuhi oleh mereka!" ber-
kata Klenteng seraya ketawa terkekeh-kekeh. "Peker-
jaan kita tidak keliru. Orang-orang ini tidak lain adalah rombongan Demang
Cundraka!"
"Hah, dari mana kau tahu hal itu?" ujar Arya De-
mung seraya melotot heran ke arah si Klenteng yang
masih tersenyum-senyum puas.
"Lihatlah Ki Arya. Aku masih bisa mengenal baik-
baik akan kudaku yang belang-belang putih itu," sahut Klenteng seraya menunjuk
ke arah kuda yang ditung-gangi oleh Ki Dunuk. "Kuda itu kujual kepada Demang
Cundraka beberapa saat yang lalu. Nah, maka kesim-
pulanku bahwa orang-orang ini adalah rombongan
Demang Cundraka!"
"Kurang ajar! Jadi kau telah memata-mataiku sela-
ma ini!" bentak Demang Cundraka dengan mencopot
caping dan sekali dikibas, caping tadi langsung menerjang si Klenteng tepat pada
mulutnya. Seketika ia roboh terjengkang dengan mengaduh-aduh dan mulut-
nya mengucurkan darah segar.
"Huh! Kau telah menunjukkan diri!" ujar si Klenteng
seraya bangun tertatih-tatih sekaligus melolos senjata rantainya yang dibelitkan
pada bahunya. "Pameranmu sungguh hebat, sobat!" seru Arya De-
mung beringas. "Sekarang cepat kau serahkan Arca
Ikan Biru ke dalam tangan kami! Atau kau ingin sedi-
kit pameran dari golokku ini" Hyaattt...!" Wesss...
wess.... "Yueehhh...." Brukk! Tiba-tiba saja, sesaat sesudah
Arya Demung mengibaskan golok lebarnya, kuda De-
mang Cundraka lalu roboh dengan kepala terbelah dan
menghamburkan darah!
Keruan saja Demang Cundraka seketika meloncat
turun ke tanah dan berseru marah, "Setan iblis! Kau
bertingkah semena-mena. Ambillah sendiri Arca Ikan
Biru sesudah kalian dapat melangkahi mayat-mayat
kami!" "Serbu!" teriak menggeledek dari Arya Demung se-
raya menerjang ke arah Ki Demang Cundraka dengan
goloknya dan sesaat itu pula terjadilah pertempuran
hebat. "Linting! Sekarang tiba saatnya, segera larilah," seru Ki Demang Cundraka kepada
si pengawal yang masih
bertempur di atas kudanya.
Mendengar perintah itu, Linting seketika mengge-
prak kudanya dan berpacu ke arah barat dengan ken-
cang dan gesitnya.
"Jangan biarkan ada yang lolos!" teriak Arya De-
mung ketika ia melihat seorang pengikut Ki Demang
Cundraka telah memutar kudanya dan berpacu ke
arah barat. "Bereskan orang itu!"
*** Hingga di sini selesailah Seri Naga Geni XXIV 'Pen-
dekar Empat Serangkai'. Ikutilah seri selanjutnya yang ke XXV "ORANG-ORANG
LIAR". Akan kita ketahui bagaimana nasib Arca Ikan Biru. Bagaimana nasib si
pengawal Linting dan ke mana tujuan rombongan Tan-
gan Iblis, semuanya akan pembaca temukan dalam
buku tersebut. Selamat membaca dan salam buat
ANDIKA semua. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Jodoh Rajawali 20 Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti 6
huyung surut ke belakang. Sebentar ia berusaha me-
nahan diri, tapi akhirnya ia terguncang oleh satu tenaga dorongan yang tak
terlihat itu, kemudian jatuh
menggeloso di tanah.
Sedangkan Mahesa Wulung serta Gagak Cemani
masih tetap tegak di tempatnya meski tubuh mereka
tergoyang-goyang bagaikan dua pucuk pohon cemara
yang perkasa. Itu semua membuat si kakek Gagang Aking terpak-
sa kagum, sebab baru kali inilah ia menjumpai pende-
kar-pendekar muda yang begitu tangguh dan ulet. Ra-
sa iri tapi bercampur bangga dan takjub menyelinapi
dada si kakek yang kemudian mengangguk-angguk se-
nang. Ia tidak tahu bahwa Mahesa Wulung telah men-
getrapkan jurus "Tugu Wasesa" yang membuat tubuh-
nya tetap tegak berdiri dengan teguhnya, laksana tugu baja dan kedua kakinya
seolah telah terpancang dalam-dalam ke dasar tanah.
Begitu pula Gagak Cemani dikagumi oleh si kakek
Gagang Aking. Ia melihat si pendekar berkumis melin-
tang tadi tak ubahnya seekor burung gagak yang lagi
hinggap di atas tanah. Jubah di punggungnya berkiba-
ran ke belakang sebagai pertanda bahwa guncangan
tenaga dalam si kakek yang tengah melandanya, ada-
lah benar-benar hebat dan menggetarkan setiap hati.
"Hmm, benar-benar keempat orang pendekar muda
ini cukup tangguh dan yang dua orang ini lebih hebat!
Keduanya sanggup menghadapi bagian awal dari ilmu
'Teleng Lesus'-ku*. Bagus, bagus," ujar Ki Gagang Aking dalam hati. "Tapi
sekarang akan kutingkatkan le-
bih hebat!" (* Inti topan, pusat badai)
Habis rerasan begitu, si kakek kontan menggerak-
kan tangannya lebih hebat. Gerakan tangannya rada-
rada kaku dan bahkan diiringi suara berkeretekan se-
perti tulang-tulang beradu. Sungguh tak dapat diduga, kekuatan apakah yang
tengah disiapkan oleh si kakek
Gagang Aking ini"
Seperti Mahesa Wulung sendiri, ia lebih berwaspada
melihat gerak-gerik si kakek aneh yang pasti jauh lebih hebat dari yang sudah-
sudah. Maka tanpa membuang
waktu iapun bersiaga melipatkan himpunan tenaga
dalamnya dan beberapa saat kemudian terlihatlah be-
tapa tubuh Mahesa Wulung bergetar, lalu kedua belah
kakinya perlahan-lahan melesak mengeram lebih da-
lam ke tanah seolah-olah mencari pegangan agar tu-
buhnya semakin kokoh tanpa tergoyahkan oleh geta-
ran apapun. Hal inipun diikuti oleh Gagak Cemani, si pendekar berkumis melintang
itu. "Hyaattt! Kabur!" bentak Ki Gagang Aking serentak
mengibaskan kedua tangannya ke depan diikuti gera-
kan mengempos tenaga sakti ke arah Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani.
Saat itu pula, bagaikan datangnya satu prahara
yang berlipat-lipat, tubuh kedua pendekar tadi dihempas oleh satu dorongan
tenaga sakti serta angin yang tak terukur kekuatannya.
Di tempat lain, Tungkoro dan Palumpang turut me-
rasakan tiupan santer yang melanda dari kibasan ke-
dua belah tangan kakek Gagang Aking. Mereka seren-
tak bertiarap ke atas tanah dengan serendah-
rendahnya seperti angin melekat erat. Sementara itu
satu ketakjuban timbul pula di dalam hati mereka ma-
nakala tiupan angin dahsyat tadi cuma melanda ke
arah mereka berempat. Di tempat-tempat lain, seperti di kiri kanan dan di
belakang si kakek, tak satupun
angin yang bertiup sesanter itu. Pohon-pohon di sana masih tetap tegak di tempatnya dan hanya dedaunan
saja yang bergoyang-goyang lembut. Berbeda dengan
arah di depan si kakek. Pohon-pohon berguncangan
serta dedaunan pada terombang-ambing bersuara ber-
derak-derak menyeramkan. Bahkan semak-belukar di
sana telah sebagian terjebol dari dalam tanah sampai ke akar-akarnya.
Hal ini tampaknya seperti tak mungkin bisa terjadi
hanya disebabkan oleh tenaga manusia saja. Namun di
jaman itu memang tak tersangkal bahwa manusia da-
pat melakukan hal yang aneh. Mereka masih belum
banyak memikir ataupun menghayal keduniawian
yang bersifat lahiriah. Mereka banyak mendalami ten-
tang segi batiniah, tentang Maha Pencipta Alam, yakni Tuhan Yang Esa.
Kembali Mahesa Wulung berpikir keras ketika dira-
sanya bahwa serangan si kakek Gagang Aking makin
bertambah hebat. "Akan celaka kami berempat jika te-
rus-terusan diserang secara begini! Sungguh hebat il-mu si kakek! Dan aneh! Aku
mendapat kesan bahwa si
kakek tidak benar-benar bermaksud jahat kepadaku
dan juga kepada sahabat-sahabatku. Tapi, apakah aku
diam membisu saja bila ia menyerang sehebat ini"
Baiklah, aku akan menyambut serangan angin ini
dengan pukulanku 'Angin Bisu'. Biarlah akan dia ke-
tahui, betapa akibatnya benturan angin dengan angin!"
Selagi Mahesa Wulung berpikir-pikir mendadak Ki
Gagang Aking tertawa mengejek, "Hi, hi, hi. Tinggal
dua saja yang masih berdiri tegak di atas bumi. Yang dua telah melesot-lesot di
tanah seperti cacing! Hi, hi, hi. Lucu. Empat pendekar serangkai yang kurang
baik kerja samanya. Mengapa yang dua orang berusaha un-
tuk tetap berdiri tegak, selagi yang dua orang telah menderita cukup pahit" Hi,
hi, hi, hi. Yang dua ini ru-pa-rupanya telah kehabisan tenaga... atau kehabisan
ilmu, barangkali" Apakah salah seorang tak mampu
melawan 'Teleng Lesus'-ku ini, he" Hi, hi, hi, hi, jika begitu, jangan salahkan
kakek tua seperti aku ini, kalau mereka berempat akan terhembus ke luar dari
bumi! Hi, hi, hi."
Heranlah Mahesa Wulung. Kakek tua ini seperti
mengejek tapi setengah memperingatkan. "Hah, ia be-
rusaha memperingatkan! Ia seperti dapat menebak
maksudku. Baik, aku akan segera membantunya den-
gan 'Pukulan Angin Bisu'. Tak ada jalan lain lagi. Tetapi apa maksudnya dengan
peringatan itu?" begitulah,
Mahesa Wulung diam-diam bersiaga mengerahkan
himpunan tenaga saktinya.
Wajah pendekar muda ini menjadi tegang kemera-
han dengan peluh yang bersembulan dari lubang-
lubang kulitnya. Pandangan matanya lurus-lurus ke
depan ke arah si kakek Gagang Aking seperti hendak
menelan lawannya ini bulat-bulat.
Tiba-tiba tangan kirinya itu mendorong ke depan
dibarengi satu teriakan menggeledek. "Haaaitt!" Wusss!
Begitulah pukulan Angin Bisu yang terkenal dahsyat
itu menerjang ke depan menerobos tenaga dorongan
dari ilmu si kakek 'Teleng Lesus'. Mahesa Wulung tidak cuma sekali saja
melancarkan pukulannya itu. Selesai yang satu, segera ia menyusul dengan yang
kedua dan seterusnya. Maka sungguh-sungguh hebat akibatnya.
Dua tenaga sakti tadi berbenturan dengan bunyi
mengguntur. Mahesa Wulung masih tetap tegak di
tempatnya karena kedua kakinya telah memancang ke
dalam tanah dalam sikap Tugu Wasesa. Meskipun be-
gitu, tubuhnya dapat terhuyung-huyung hampir jatuh.
Di sebelah Mahesa Wulung, si Gagak Cemani ter-
paksa tergetar surut beberapa langkah dengan seten-
gah terhuyung akibat benturan tadi.
Di depan, kakek Gagang Aking terkejut bukan main.
Apalagi bahwa "Teleng Lesus"-nya tadi belumlah sung-
guh-sungguh mencapai puncaknya, sebab memang
semula ia tak menduga bahwa Mahesa Wulung memi-
liki ilmu sedahsyat itu.
Pukulan Angin Bisu merupakan satu pukulan den-
gan tenaga jarak jauh, dan mempunyai sifat-sifat
penghancur yang dahsyat. Ia mampu menerobos sega-
la rintangan di depannya. Ibarat pohon akan tumbang
dan bebatuan akan hancur berserakan, apalagi si pe-
rintang itu hanyalah seorang kakek tua seperti Ki Gagang Aking.
Lontaran tenaga sakti "Teleng Lesus" yang cuma
bertenaga sebagian itu, kena ditembus dan dibentur
oleh pukulan Angin Bisu. Benturan singkat terjadi dan
kemudian pukulan maut jarak jauh tadi langsung me-
nerjang si kakek Gagang Aking.* (* gagang = dahan,
tangkai; aking = kurus kering)
Menyadari bahaya yang langsung menerjangnya, si
kakek itu secepat kilat mengempeskan ilmu peringan
tubuhnya dan melesat ke atas udara, sebelum pukulan
Angin Bisu menerjangnya. Beberapa bongkah batu dan
pohon telah tumbang berserakan sewaktu kena hajar
pukulan tadi. Tapi si kakek sendiri tahu-tahu telah
hinggap di puncak pohon seraya tertawa terkekeh-
kekeh, "Hi, hi, hi. Pukulanmu hebat, anak muda! Den-
gan jujur aku memuji ilmumu tadi, dan karenanya aku
rasa persenda-gurauan dan pertemuan kita kali ini,
cukup sekian! Di lain saat aku akan mencarimu untuk
membuat perhitungan kembali. Kau ingatlah baik-
baik. Namaku adalah si tua Gagang Aking! Hih, hi, hi.
Sekianlah, selamat tinggal! Oo, ya, hampir lupa. Jika tidak keliru ketiga orang
lawanmu yang masih hidup
tadi, telah ngacir melarikan diri ke arah utara...."
Habis berkata begitu si kakek Gagang Aking lalu
meloncat ke atas pucuk pohon yang lain dan kemudian
berganti lagi ke pohon di sebelahnya. Sebentar saja tubuhnya lenyap di balik
pepohonan di sebelah barat,
secepat angin siang yang berlalu, menggoyang-
goyangkan dedaunan dengan lembutnya.
Mahesa Wulung seperti belum percaya bahwa si ka-
kek Gagang Aking itu telah berlalu dan lenyap dari
pandangan matanya. Ketika lebih sadar, didapatinya
dirinya masih tetap tegak di atas tanah dengan kedua belah kakinya tertanam
hampir satu mata kaki lebih.
Ia menarik napas lega. Ditengoknya ke samping,
dan tampaklah si pendekar berkumis melintang, Ga-
gak Cemani juga masih berdiri agak condong ke depan, sedang golok hitamnya masih
tergenggam erat dan
ujungnya terhunjam ke dalam tanah. Agaknya golok
itu sengaja ditusukkan ke tanah sebagaimana sebuah
jangkar bagi sebuah kapal yang sanggup menahan tu-
buhnya agar tidak terbawa oleh arus maupun angin.
Melihat ini, diam-diam Mahesa Wulung menaruh rasa
kagum kepada sahabatnya dari daerah timur ini.
Gagak Cemani tersenyum ketika ia melihat bahwa
Mahesa Wulung telah menyapanya, "Bagaimana Ka-
kang Cemani?"
"Tak kurang suatu apa, adik," ujar Gagak Cemani
seraya mencabut golok hitamnya dari tanah. Begitu
pula Mahesa Wulungpun telah menarik kedua belah
kakinya. Mereka segera teringat kedua sahabatnya yang lain,
yakni Palumpang dan Tungkoro yang belum terlihat
batang hidungnya. Keruan saja dada mereka bergun-
cang kaget. "Hai, kemana saudara Tungkoro dan Palumpang"
Jangan-jangan kedua sobat kita ini telah terhembus
oleh ilmu sakti si kakek Gagang Aking?" nyeletuk Ga-
gak Cemani dengan perasaan cemas. "Serangan si ka-
kek tadi memang hebat!"
"Mari kita akan mencari mereka!" sahut Mahesa
Wulung seraya menebar pandangannya ke arah timur.
Begitu pula dengan Gagak Cemani. Mereka berdua lalu
berloncatan ke arah timur untuk mencari kedua orang
sahabatnya itu.
Tak antara lama mereka dapat melihat dua sosok
tubuh yang tertelungkup di atas tanah dengan tangan-
tangannya berpegangan pada tonjolan-tonjolan batu
dan rerumputan.
"Celaka! Jangan-jangan, mereka telah cedera!" ujar
Mahesa Wulung penuh kekhawatiran seraya mendeka-
ti Palumpang dan Tungkoro. Hatinya kian berdebar-
debar keras. "Belum tentu!" sahut Gagak Cemani dalam suara
ragu. "Tak ada bekas-bekas darah, sedang tubuh me-
rekapun baik-baik saja adanya!"
"Sobat Palumpang dan Tungkoro," ujar Gagak Ce-
mani dan Mahesa Wulung bergantian sambil menepuk
tubuh kedua sahabatnya itu.
Tiba-tiba Tungkoro menggeliat bangun seraya mele-
paskan rerumputan yang digigitnya. Ternyata, selain
kedua belah tangannya yang berpegang pada batu dan
rerumputan, giginyapun ikut menahan diri dengan
menggigit rumput.
Sedang Palumpang terbangun pula seraya menca-
but senjata akar baharnya yang dicobloskan ke dalam
tanah sebagai alat penahan diri. Kesemuanya ini pa-
tutlah dikagumi orang, keempat pendekar serangkai
itu ternyata memiliki kelebihan-kelebihan yang mas-
ing-masing tidak sama, tapi cukup hebatnya. Lebih-
lebih dengan Mahesa Wulung dan Gagak Cemani.
"Aah, asem kecut! Kiranya bahaya telah lewat!" de-
sis Palumpang sementara ia menyimpan senjatanya,
lalu menebah-nebahkan kedua belah tangan untuk
membersihkan debu-debu yang masih melekat pada
pakaian dan tubuhnya. "Kukira, tubuhku telah ter-
hembus ke luar dari bumi...."
"Seperti ngimpi saja rasanya!" sambung Tungkoro
serta membenahi pakaiannya yang geluprut oleh debu.
"Ilmu si kakek tadi sangat hebat. Entah ini, mungkin kita berempat akan
menderita masuk angin sekarang...!" Tungkoro tampak mengatur ikat kepalanya,
kemudian menyarungkan pedangnya.
Mahesa Wulung tersenyum, sahutnya pula dengan
setengah bergurau, "Untuk itu kita harus mencari
orang yang akan mengeroki tubuh kita...."
"Heh, heh, heh, tak usah repot-repot. Kita duduk
antri berempat," ujar Gagak Cemani sambil nyungir-
nyungir. "Adik Mahesa Wulung di sebelah depan, lalu
dikeroki oleh sobat Palumpang. Sedang sobat Palum-
pang sendiri akan dikeroki oleh sobat Tungkoro yang duduk di belakangnya.
Kemudian aku sendiri yang
Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan mengeroki sobat Tungkoro. Sebaliknya... Adik
Mahesa Wulunglah yang akan mengeroki tubuhku...."
Akhir dari ucapan Gagak Cemani disambut oleh su-
ara ketawa berbareng sampai tubuh mereka tergun-
cang-guncang sampai bercucur air mata. Kiranya ke-
gembiraan ini sangat tepat sebagai pengobat lelah, setelah mereka mati-matian
bertempur melawan rom-
bongan Doyotan maupun si kakek Gagang Aking. Da-
lam saat-saat begini ikatan persahabatan keempat
pendekar serangkai itu terasa lebih erat dan akrabnya.
Nyit, nyit... nyiittt... nyiiitt. Tiba-tiba seekor kera yang masih muda sekali
meloncat turun dari sebuah
dahan pohon serta meloncat-loncat mendekati Mahesa
Wulung berempat.
"Heh, heh, heh, lihatlah!" lagi-lagi nyeletuk si pendekar Gagak Cemani. "Tukang
keroyoknya telah da-
tang! Ha, ha, ha, ha, ha."
Kembali getar tertawa cerah terdengar di antara me-
reka. Sebaliknya, kera kecil yang telah nongol di dekat mereka itu cuma
melompong memutar-mutar kepala
sambil mengangkat alis dan dahinya berkali-kali, seolah-olah dipenuhi oleh tanda
tanya yang tak pernah
dimengertinya. Si kera kecil itu cuma berkata, nguk, nguk, dan nyit, nyit lain
tidak. Jari-jarinya yang panjang itu berkali-kali pula menggaruk-garuk kepala
tak ubahnya seorang manusia yang lagi kebingungan.
"Heh, heh, heh. Persis seperti munyuk ditulup!*"
ujar Mahesa Wulung seraya menahan ketawanya un-
tuk sesaat berkata demikian. (*munyuk ditulup = kera disumpit) Ucapan demikian
adalah satu peribahasa
yang mengibaratkan seseorang bodoh yang tidak dapat
menanggapi sesuatu kejadian di sekelilingnya, sehing-ga ia cuma menoleh,
menengok ke kiri-kanan tanpa
berbuat sesuatu apa.
"Ya, ya. Benar, Kakang Wulung. Tapi ia lebih tepat
sebagai tukang pencari kutu! Ha, ha, ha," sambung
Tungkoro sambil menunjuk ke arah kera kecil itu.
Begitulah suasana gembira meliputi keempat pen-
dekar itu yang selintas seperti lupa bahwa beberapa
saat yang lalu mereka telah menyabung nyawa untuk
dapat tertawa sepuas itu.
"Heei, si kera kecil ini berkalung seutas tali!" sela Mahesa Wulung yang lebih
lanjut memperhatikan kera
tersebut. "Ahh, hmmm, aneh juga hal ini," Gagak Cemani
menyelesaikan ketawanya setelah mendengar ucapan
Mahesa Wulung. Memang ia dapat melihat bahwa seu-
tas tali teranyam halus berwarna kemerahan meling-
kari leher si kera kecil. Hal tersebut serentak menimbulkan tanda tanya besar di
dalam dada keempat pen-
dekar itu. Mereka sadar bahwa tak mungkin rasanya kalau
kera kecil itu sengaja memakai seutas tali pada lehernya. Jadi pastilah ada yang
memasangkan di situ. Tapi siapakah orangnya" Itulah yang kemudian dikatakan
oleh Mahesa Wulung, "Pasti kera ini pernah mengenal
manusia atau dipelihara oleh manusia! Dan hal itulah yang pasti menarik kita!"
"Hmm, adik mampu berpikir sejauh itu!" sahut Ga-
gak Cemani sementara tangannya mengelus-elus leher
kera kecil itu dan memperhatikan tali merah yang me-
lingkar di situ. "Aku menjadi iri dengan kemampuan
dan cara berpikir andika."
"Yah. Kiranya perkara ini patut kita selidiki Kakang Wulung," sambung Tungkoro
pula. "Bukankah mungkin ada sangkut pautnya dengan tugas kita, membun-
tuti gerakan orang-orang Tangan Iblis?"
"Benar!" terdengar Palumpang ikut berkata setelah
ia memperhatikan tali merah di leher si kera kecil. "Tali ini adalah anyaman
tangan manusia!"
Nguk, nguk, nguk. Nyit... nyiitt! Suara si kera kecil seraya kedua tangannya
berganti-ganti menunjuk ke
arah utara serta diguncang-guncangkan, bagaikan si-
kap seseorang yang bermaksud menunjuk ataupun
meyakinkan sesuatu yang diketahuinya.
"Aneh, ia menunjuk ke arah utara!" Mahesa Wulung
berkata setengah heran dan kagumnya.
"Seperti yang diucapkan oleh si kakek Gagang Ak-
ing, tentang Doyotan dan orang-orangnya!" tukas Ga-
gak Cemani pula. "Bukankah ia mengatakan bahwa
buronan kita telah lari ke arah utara?"
"Kita banyak menjumpai hal-hal yang aneh. Kare-
nanya kita patut berwaspada diri!" Palumpang berkata pula. "Ayo, bagaimana kalau
kita mengikuti maksud si kera kecil ini!"
"Pergi ke arah utara?" sahut Tungkoro.
"Itu lebih baik!" Mahesa Wulung menyambung pula.
"Namun kita harus mencari kuda-kuda kita di daerah
tenggara. Setelah itu barulah kita bergerak ke utara!"
Dalam pada itu, si kera kecil lalu meloncat ke bahu
Mahesa Wulung tanpa rasa sungkan sedikitpun, seo-
lah-olah ia telah mengangkat majikannya yang baru
sesudah beberapa waktu yang lalu meninggalkan Tan-
gan Iblis dan rombongannya.
"Tapi, lebih dulu kita harus mencari kuda," ajak
Tungkoro lalu melangkah ke arah tenggara bersama
ketiga sahabatnya.
Dengan susah-payah dan terhitung masih ada un-
tung, Mahesa Wulung bersama sahabat-sahabatnya te-
lah berhasil mendapatkan kuda-kuda mereka, sesudah
ubek-ubekan mencari ke sana-sini.
Segera pulalah keempatnya meloncat ke punggung
kudanya masing-masing lalu memacunya ke arah uta-
ra, melintasi semak belukar dan pepohonan hutan
yang cukup lebatnya.
Si kera kecil tadi masih tetap mengikuti Mahesa
Wulung dengan mengemblok pada pundak si pende-
kar. Sesekali ia masih melenguh-lenguh sambil me-
nunjuk-nunjuk ke arah utara, membuat Mahesa Wu-
lung bersama ketiga sahabatnya tersenyum geli. Seca-
ra tidak dinyana, mereka menemukan sahabat baru
yang sekaligus bertindak sebagai penunjuk jalan.
Beberapa saat kemudian, mereka berempat telah
berada di tengah perjalanan menuju ke arah utara.
Mahesa Wulung yang berada di sebelah depan senan-
tiasa menebar pandangannya ke setiap arah, ke setiap sudut pepohonan, lekuk
batu-batuan maupun dari
semak-belukar yang rimbun.
Matahari yang cerah menunjamkan sinarnya ke da-
sar hutan, menembusi kelebaran pohon lewat celah-
celah daunnya dan kemudian sinar yang dipantulkan
ke atas oleh beberapa mata air yang mengalirkan air-
nya merupakan sungai-sungai kecil. Pantulan tadi se-
gera membuat sinar bergemerlapan di atas dedaunan
dengan indahnya.
Nyiittt... nguk... nguukk! Kembali si kera kecil yang menggamblok pada punggung
Mahesa Wulung segera
menjerit-jerit seraya menunjuk-nunjukkan jarinya
yang panjang ke atas rerumputan. Bahkan kemudian
ia meloncat turun dari pundak Mahesa Wulung, se-
hingga "tuan baru"-nya ini terperanjat beberapa saat.
Gagak Cemani maupun Palumpang serta Tungkoro
tak kalah herannya sehingga mereka bertiga perlu
menghentikan kudanya.
"Haai, apa yang akan kau tunjukkan, sobat bere-
kor?" ujar Mahesa Wulung setengah terbengong kehe-
ranan, sebab meskipun ia dapat meraba maksud si ke-
ra kecil itu, namun matanya tak melihat sesuatu pe-
mandangan yang aneh ataupun sangat penting, kecua-
li semak-belukar dan ilalang melulu.
Krrr, nguk... nguukkk, ujar si kera kecil sambil berjingkrakan dengan masih
menunjuk-nunjukkan ja-
rinya ke arah rerumputan di dekatnya.
"Hmm, baiklah. Rupanya engkau akan memberikan
jasa," ujar Mahesa Wulung seraya meloncat turun dari kudanya. Saat itu pula.
Gagak Cemani bertiga ikut turun ke tanah.
Mereka segera mendekati si kera kecil dan meme-
riksa rerumputan di situ, yang sejak tadi telah ditunjuk-tunjuk oleh si kera
kecil. Satu rasa curiga telah timbul pula di dalam dada mereka.
"Darah!" desis Mahesa Wulung kaget. "Darah di ba-
lik rerumputan ini!"
"Sungguh tajam hidung si kera kecil ini!" ujar Ga-
gak Cemani seraya menepuk-nepuk kepala kera itu
yang seketika mencungir dan menjibir-jibirkan bibirnya.
"Sudah agak kental membeku," sambung Palum-
pang pula. "Pasti tercecer lewat beberapa waktu yang lalu."
Sementara itu Tungkoro yang lagi menyisih-
nyisihkan semak di sebelah utaranya telah mendesis
pula, "Lihat sobat. Jejak-jejak kaki dan juga tetesan darah yang telah beku!"
"Pasti ini semua adalah jejak-jejak Doyotan dan ka-
wan-kawannya!" ujar Mahesa Wulung pula. "Mereka
sekarang tinggal berempat lagi jika tidak keliru, sebab dua orang telah kita
robohkan dan tewas!"
"Benar, adik. Baiknya kita telusuri saja jejak mere-
ka. Siapa tahu keempat orang itu akan membawa je-
jak-jejak ke arah rombongan lainnya!" ujar Gagak Ce-
mani seraya menatap ke arah utara seperti hendak
menembusi hutan itu dengan sorot matanya.
"Setuju," Mahesa Wulung menerima usul yang me-
mang tepat itu. "Tapi sementara kita akan menuntun
kuda-kuda ini, agar kita bisa lebih terperinci mencari jejak buruan kita."
Maka sebentar kemudian rombongan berempat itu
telah berjalan kembali menempuh tujuannya. Mereka
beriring-iring dengan menuntun kudanya. Di sebelah
depan Mahesa Wulung tetap berjalan bersama si kera
kecil. Sebentar-sebentar ia mengawasi sekeliling. Di belakang, Gagak Cemani juga
menuntun kudanya, diiku-
ti oleh Tungkoro dan kemudian Palumpang.
Perjalanan mereka serasa agak lambat, tapi hal itu
dapat dimaklumi sebab mereka tengah membuntuti
buruannya dan ini bukanlah sesuatu hal yang boleh
dianggap ringan. Sebab siapa tahu buronan yang dica-
rinya justru lebih hebat dari mereka"
Hal tersebut tidak jarang terjadi sebab belum dapat
dipastikan bahwa seorang pendekar pasti akan lebih
unggul dari sasaran yang diburunya. Bukankah hal
yang semacam itu cukup lumrah terjadi di dalam kehi-
dupan manusia" Dan ini semua hampir direnungkan
oleh Mahesa Wulung dan ketiga sahabatnya.
Bagi Mahesa Wulung sendiri yang paling diherani
adalah pengetahuan si kakek Gagang Aking yang dapat
mengenal jurus ilmu pedangnya Sigar Maruta. Maka
sejak tadi, terus saja Mahesa Wulung memikirkan ten-
tang hubungan si kakek tersebut dengan mendiang Ki
Camar Seta yang telah memberi dasar-dasar ilmu pe-
dang tersebut. Adakah keduanya saling mengenal dan
saling berhubungan" Atau barangkali mereka adalah
satu sahabat dalam satu perguruan" Soal-soal sema-
cam itulah yang senantiasa dipikirkan oleh Mahesa
Wulung, meskipun jawabannya untuk kesekian ka-
linya tidak pernah ditemukannya. Maka untuk semen-
tara Mahesa Wulung lalu melupakan tentang si kakek
tadi dan selanjutnya ia menelusur jejak-jejak rombongan Doyotan dengan harapan
nantinya dapat mene-
mukan pula jejak si Tangan Iblis dan rombongannya.
*** BAGIAN IV DERAP KAKI KUDA terdengar bergemuruh disusul
debu berkepul ke udara. Sementara itu batu-batu ke-
rikil mencutat ke sana kemari oleh terjangan tujuh
ekor kuda yang berlari dengan napas berdengusan.
Yang berkuda di sebelah depan ada dua orang den-
gan berdampingan. Mereka terdiri dari dua orang laki-laki setengah tua, namun
ada bedanya. Seorang di an-
taranya bertubuh gemuk pendek sedang satunya lagi
berperawakan sedang. Keduanya tidak lain adalah Ki
Dunuk dan Demang Cundraka.
Di belakangnya, Linting dan empat orang pengawal
berjajar dua-dua ke belakang dengan membekal pe-
dang-pedang pada pinggangnya. Sedang Linting sendiri yang bertindak sebagai
kepala kawal menggenggam
sebatang tombak.
"Sungguh pagi yang nyaman, Kakang Demang!" ujar
Ki Dunuk kepada Demang Cundraka sambil menoleh
ke samping. "Hehh, mudah-mudahan perjalanan kita akan
memperolah kelancaran, Ki Dunuk," sahut Demang
Cundraka. "Sebelum siang, aku mengharap rombon-
gan kita telah mencapai desa Genuk."
"Memang itu yang kita harapkan, Kakang Demang,"
jawab Ki Dunuk pula. "Di sana kita beristirahat beberapa waktu dan memperoleh
makanan segar."
"Sesudah Genuk, kita akan melewati daerah Ka-
rangsari dan kemudian Demak. Rasa-rasanya aku in-
gin cepat-cepat tiba di kota tersebut, kemudian menye-rahkan Arca Ikan Biru
kepada yang berwajib. Dengan
begitu dapat diketahui bahwa bahaya yang tidak nam-
pak tengah mengancam kita."
Ki Dunuk menggersahkan napas, lalu ujarnya,
"Benda yang bernama Arca Ikan Biru tersebut, ternya-
ta telah membawa bencana yang tidak sedikit, Kakang
Demang. Semoga ia selamat sampai ke kota Demak."
"Eh, aku menyadari betapa bahaya akan mengan-
cam kita pada setiap waktu dan setiap tempat. Namun
apapun yang bakal terjadi, kita harus mati-matian
menjaga benda itu."
Ki Dunuk memanggutkan kepala dan tiba-tiba ia
mengutarakan pendapatnya, "Sebagai satu rombongan
yang membawa benda berharga dan penting, nampak-
nya kita terlalu menyolok. Dengan begitu kita sangat menarik perhatian dan mudah
menjadi sasaran dari
maksud-maksud jahat."
Dahi Demang Cundraka lalu berkerut sesaat ketika
ia mendengar penuturan Ki Dunuk yang cukup ber-
harga itu, tetapi sesaat kemudian wajahnya menjadi
Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih cerah, satu pertanda bahwa ia telah menemukan
suatu gagasan yang tentu saja menyangkut soal kese-
lamatan Arca Ikan Biru. "Sttt, dengarlah Ki Dunuk!"
ujar Ki Demang Cundraka seraya membisikkan satu
deretan kalimat ke telinga Ki Dunuk di sebelahnya.
Tampak Ki Dunuk tersenyum dan mengangguk-
angguk, dan Ki Demang Cundraka pun merasa puas
karenanya. Sementara itu....
Jauh di sebelah timur, di balik dedaunan pakis hu-
tan, sepasang mata setajam burung elang senantiasa
mengikuti gerak-gerik rombongan Ki Demang Cundra-
ka. Gumam bernada gembira terdengar dari mulut si
pengintai ini yang kemudian berdiri dan menjauh dari tempatnya semula.
Dengan satu gerakan ringan, orang tersebut melesat
ke atas dahan dan selanjutnya bergayutan berayun ke
arah timur dengan berganti-ganti pohon. Gerakannya
sungguh mirip seekor kera. Gesit, cekatan dan tepat.
Apalagi orang tersebut mengenakan pakaian seragam
hitam-hitam, dengan selembar kain hitam tebal yang
menutupi mulutnya, hingga mengesankan seperti
orang sakit pilek.
Dia tidak lain adalah Si Mulut Bertudung, salah
seorang pengikut saudagar Arya Demung yang telah
tersohor di daerah barat daya Asemarang. Kini ia ha-
rus cepat-cepat mengabari pemimpinnya, sesudah
dengan cepat ia berhasil menyelesaikan tugasnya,
yakni mengintai gerakan Ki Demang Cundraka dan
orang-orangnya. Oleh karena itu tidak mengherankan
bila gerakannya lantas saja gesit seperti dikejar setan dan pohon demi pohon
dilewatinya dengan sekejap ma-ta. "Aku harus secepatnya sampai ke warung itu!"
desis Si Mulut Bertudung sendiri! "Begitu tiba di kota Ge-
nuk, aku akan melapor kepada Ki Arya Demung. Mu-
dah-mudahan mereka telah siap di warung itu."
Pakaian yang dikenakan Si Mulut Bertudung beras-
al dari tenunan halus, lurik hitam kecoklatan. Pada
pinggangnya terselip sepasang pedang pendek dengan
ujung tangkai menongol ke depan, siap tercabut oleh
kedua tangannya yang lincah, sewaktu-waktu ada ba-
haya yang mencegatnya. Tampaknya kedua pedang
pendek tadi adalah senjata andalan Si Mulut Bertu-
dung dan boleh dipastikan bahwa sepasang pedang ta-
di bukanlah sekedar senjata rahasia, bahkan juga mu-
lutnya yang selalu bertudung itupun merupakan raha-
sia pula. Namun rupanya saja keanehan itulah yang
dipakai sebagai gelar nama kependekaran yang di-
banggakannya. Ketika loncatan Si Mulut Bertudung melewati satu
pohon petai, mendadak saja si pendekar ini terhenyak menghentikan gerakannya,
sebab di atas sebuah dahan pohon itu, sejauh hampir empat tombak bergan-
tunglah sesosok tubuh manusia berpakaian kulit bina-
tang, putih berbelang-belang hitam. Kedua kaki orang itu membelit pada dahan
tadi, dengan demikian maka
kepalanya menghadap ke bawah tak ubahnya seekor
kalong atau kelelawar raksasa yang lagi bergantung di-ri. Melihat ini, Si Mulut
Bertudung hampir terpekik karena kagetnya. Apa yang ditemui di depannya ini
betul-betul membuat hatinya tercekat sehingga otomatis ge-
rakannya terhenti dan ia berdiri termangu seperti patung.
"Hoo, hi, hi, hi. Gerakan Anda cukup lincah, sobat.
Tapi sorot matamu memperlihatkan kerja yang terbu-
ru-buru," begitu suara menegur dari mulut orang ter-
sebut terdengar memecah kesenyapan suasana.
"Itu bukan urusanmu!" bentak Si Mulut Bertudung.
"Apakah aku tergesa-gesa atau berlambat-lambat da-
lam perjalananku, ini adalah kepentinganku sendiri."
"Heh, heh, heh. Kata-katamu setajam mata pisau,
sobat. Tapi tak apa. Aku senang mendengarnya!" ujar
si baju kulit yang ternyata sudah berusia tua.
"Jadi apa maksudmu dengan mencegat perjalanan-
ku ini!?" seru Si Mulut Bertudung penuh kegeraman.
"Oo, anehlah pertanyaanmu, sobat! Aku sama sekali
tidak mencegatmu! Mengapa kau berkata demikian"
Apakah lantaran dirimu terkejut, lalu melontarkan
dakwaan tadi?" ujar si tua berbaju kulit.
"Berlagak pilon, haa!" seru Si Mulut Bertudung se-
mentara hatinya menjadi uring-uringan. Masakan
sambil berbicara, si tua itu tetap bergantung diri dan ini dirasakan oleh Si
Mulut Bertudung sebagai satu
hinaan besar. "Mulutmu berbicara tak keruan!"
"Ooo, jadi aku yang kau salahkan" Sejak tadi sebe-
lum kau lewat di tempat ini, aku telah bergantung di sini menyepikan diri," ujar
si tua dengan tenangnya.
Masih saja bergantung dengan kedua belah kakinya.
"Keparat, kalau begitu, kaulah yang mesti menying-
kir selagi aku lewat di sini! Nah dengar telingamu,
haa!?" ujar Si Mulut Bertudung dengan wajah merah.
Rupanya darah kemarahan telah naik ke kepala. Se-
bab hatinya sangat jengkel, selagi hendak cepat-cepat kembali ke kota Genuk,
mendadak si tua ini melenting di tengah jalannya.
"Weh, weh. Orang seperti kamu ini suka bertindak
sewenang-wenang terhadap orang lain. Lebih berba-
haya lagi seandainya kamu memegang kekuasaan.
Pastilah orang-orang kecil akan kau tindas dengan semena-mena!" sahut si tua
kembali dalam nada tajam
sehingga dada Si Mulut Bertudung seperti tertusuk
olehnya. Matanya seketika mendelik.
"Sihh. Mulutmu pandai berpidato! Maka terimalah
benda-benda penyumbat untukmu, ini! Hyaatt!" teria-
kan si pendek terdengar membarengi berkelebatnya
tangan kanan Si Mulut Bertudung ke depan. Benda
berkejaran bersuit dan gemerlap, langsung menyambar
ke arah kepala si tua.
Trek - tek - tek! Sambaran sinar-sinar terhenti tepat di depan kepala si tua
berbaju kulit membuat si Mulut Bertudung tercengang buat sesaat.
Hampir-hampir ia tak dapat percaya ketika tiga
buah paku baja yang baru dilemparnya itu dapat di-
tangkap ujung-ujungnya, oleh gigitan atau jepitan gigi si orang tua.
"Nah, boleh kau terima kembali! Whaahh!" seru si
orang tua seraya mengibaskan kepalanya ke samping
dan tahu-tahu ketiga paku baja hadiah Si Mulut Ber-
tudung telah mental balik dan meluncur ke arah tuan-
nya sendiri dengan bunyi berdesing.
"Ahh!" desis si Mulut Bertudung seraya mengelak-
kan diri dengan sedikit cekakaran. Sungguh memalu-
kan seandainya senjata-senjata tersebut menimpa tu-
buhnya sendiri.
Si kakek tua lalu menggerakkan tubuh yang dengan
cepat berputar ke atas, sehingga ia duduk di atas dahan pohon itu dalam sekejap
mata. Sungguh gerakan
yang sukar dan cukup mengagumkan, apalagi sambil
berputar itu kedua tangan si kakek tetap bergantung
tanpa menyentuh dahan pohon sedikitpun. Gerakan
ini hanya mampu dilakukan oleh orang yang berilmu
tinggi di samping segi-segi kecekatan yang dimilikinya.
"Heh, heh. heh. Hampir terjadi senjata makan
tuan!" gereneng si kakek tadi sekaligus melontarkan
sorot mata yang tajam ke arah Si Mulut Bertudung.
"Kau mulai menyerang dengan senjata gelap, sobat.
Satu kesalahan yang tak kecil."
"Jangan lekas sombong, kakek kurus. Setiap pen-
dekar mampu berbuat demikian. Hanya aku lebih se-
dikit hebat sebab melakukan tangkapan itu sambil
bergantung diri!"
"Bagus! Jadi sambutlah pelajaran kedua buat orang
yang sok jagoan dan berbuat sewenang-wenang!" seru
si kakek sambil melesat ke depan, menyambar Si Mu-
lut Bertudung. Jari-jari kedua tangannya mengembang
bagaikan cakar-cakar garuda siap merobek sasaran-
nya. Tentu saja Si Mulut Bertudung melesat ke atas den-
gan cepat, apalagi ketika terasa olehnya bahwa sambaran si kakek itu mempunyai
kecepatan kilat.
Wesst - westt! Sambaran tangan si kakek dapat di-
hindari oleh Si Mulut Bertudung, namun angin tajam
yang berasal dari sambaran tadi tak urung menyerem-
pet kedua pelipisnya sehingga terasa kepedihan yang
amat menusuk. Karenanya, Si Mulut Bertudung seten-
gah kalang kabut menyelamatkan diri.
Dengan satu tiupan ringan, Si Mulut Bertudung
mendarat ke tanah, sekaligus melolos kedua pedang
pendeknya untuk menghadapi si orang tua. Sedang
dalam hati, Si Mulut Bertudung tak habis-habisnya uring-uringan meskipun
terselip pula rasa jerih oleh gerakan-gerakan si orang tua yang kelewat mantap
dan penuh perbawa. Si orang tua bertubuh kurus itupun meluruk turun
begitu dilihatnya Si Mulut Bertudung telah mendarat
di tanah. Ketawa pelahan yang seolah-olah berasal dari lehernya itu terdengar
menggeletar mengejutkan Si
Mulut Bertudung, seakan-akan suara hantu penjaga
hutan. Tanpa melewatkan kesempatan sedikitpun, Si Mu-
lut Bertudung menikamkan kedua pedang pendeknya
dengan gerakan memutar dan menggunting. Tetapi en-
tah bagaimana si orang tua itu menggerakkan tubuh-
nya, sebab tahu-tahu tubuhnya seperti lenyap hanya
dengan sekali berkelebat dan kedua pedang pendek Si
Mulut Bertudung tadi hanya mendapatkan udara me-
lompong. "Setan!" desis Si Mulut Bertudung setelah ia kehi-
langan lawannya. Pandangan matanya disebar namun
tak juga ia menemukan jejak lawannya. Keruan saja
hati si pendekar ini berdegupan saking cemasnya, se-
bab seperti yang baru saja dialami, satu serangannya yang cukup matang, telah
dapat dihindari lawannya
dengan sangat mudahnya.
Mendadak saja selagi ia mencari jejak lawannya ter-
dengarlah satu suara ketawa dari arah belakangnya,
menyebabkan bulu tengkuk Si Mulut Bertudung me-
remang seketika. Sadar akan bahaya di belakang, se-
cepat kilat ia memutar gerakan ke belakang sedang
kedua pedang pendeknya langsung menyabet dan me-
nikam berbareng, sampai berdesingan.
"Heh, heh. Tak akan semudah itu kau menyerang-
ku! Heeitt!" Si orang tua mengibaskan tangan yang cepatnya melebihi gerakan
pedang Si Mulut Bertudung
bahkan seakan-akan mendahuluinya.
Plakk! Begitulah tiba-tiba tangan kanan si orang tua menampar lebih dahulu
pelipis Si Mulut Bertudung
sehingga tokoh ini hampir saja terpelanting roboh.
"Nah, itulah peringatan dari si kakek tua yang tak
berharga."
Sekali ini Si Mulut Bertudung lebih terkejut sebab si orang tua itu bergerak
bagai hantu. "Sambutlah kedua pedangku ini dengan senjatamu!
Lekas! Aku tak mau terhina dengan cara-caramu!"
"Bagus!" desis si kakek tua seraya mencabut sesua-
tu dari balik baju kulitnya dan sebentar kemudian terlihatlah dua batang logam
tergenggam pada kedua be-
lah tangan. Memang tidak lain si kakek itu adalah Ki Gagang Aking si pendekar
tanpa juntrung, selalu berpindah-pindah tempat dan mengembara menuruti ke-
hendak kaki. Si Mulut Bertudung tidak lagi berkata tapi bertin-
dak dengan menyabetkan kedua pedang pendeknya
berbareng ke arah si Kakek Gagang Aking. Trang...
Traang! "Haaah"!" desis Si Mulut Bertudung begitu kedua
tangannya bergetar hebat. Hatinya serentak bagai di-
bakar oleh bara api dan memuntahkan amarahnya.
Namun tiba-tiba ia teringat pula bahwa ada tugas lebih penting yang harus
dikerjakan, yaitu cepat-cepat tiba di kota Genuk. Maka secepat kilat Si Mulut
Bertudung melesat ke atas dahan pohon seraya berseru lantang,
"Sayang kakek. Aku punya tugas lain. Akan kita lan-
jutkan lagi permainan ini di lain kesempatan!"
Kakek Gagang Aking membiarkan Si Mulut Bertu-
dung kabur ke arah timur dan lenyap di balik pepoho-
nan sesudah ia berloncatan melalui dahan-dahan po-
hon. Sedang ia sendiri cuma bergerundelan membe-
rengut, "Tempat-tempat ini seperti tidak aman dan kurang cocok buat bersemadi.
Sudah dua kali aku ter-
ganggu. Yang pertama dengan dua rombongan di sebe-
lah tenggara sana dan kini terganggu pula oleh orang yang mulutnya bertudung
itu! Hmm, akan kucari tempat lain."
Begitulah Ki Gagang Aking lalu mengeloyor ke arah
timur sambil menyimpan senjatanya kembali, yang
berbentuk dua batang logam pipih ke dalam bajunya.
Langkahnya tenang-tenang menunjukkan betapa ko-
koh jiwa dan semangatnya. Meskipun sudah tua tapi ia tidak berjalan dengan
membongkok-bongkok, seperti
seorang tua pada usia sebaya itu.
Karenanya tidak heran bila orang kadang-kadang
meragukan ketuaan usia Ki Gagang Aking. Meski ram-
but dan kumisnya seputih perak, namun wajahnya
masih kelihatan segar kemerahan dan kerut-kerut di
tempat itu tidak terlalu banyak, seolah-olah ia tahan terhadap usia, dan orang
lantas bisa mengingat tentang seorang pendekar yang pernah disebut-sebut da-
lam dongeng yang kabarnya juga tahan usia. Ia tidak
lain adalah Panji Tengkorak, si pengembara lontang-
lantung. Angin kencang mulai bertiup dan mengiringi le-
nyapnya si kakek Gagang Aking di balik semak pakis
dan belukar di sebelahnya. Seekor tupai mulai menon-
golkan kepalanya lalu bermain-main, sesudah bebera-
pa saat ia ketakutan disebabkan terjadinya pertarun-
gan antara Si Mulut Bertudung dan Ki Gagang Aking.
*** BAGIAN V KESIBUKAN warung di bawah pohon asam itu terus
saja berjalan dari pagi sampai sore dan dari malam
sampai pagi. Terlebih lagi sesudah beberapa hari beberapa orang tinggal menginap
Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan makan minum di si-
tu. Seorang berperawakan angker duduk dengan re-
sahnya menghadapi meja panjang. Sebentar-sebentar
ia menatap ke arah luar, seperti merenungi kaki langit
di sebelah sana. Perlahan-lahan sang matahari naik
semakin tinggi.
Tiba-tiba seorang berpakaian biru kehitaman den-
gan lengan bajunya yang longgar perlahan mendekati
si tokoh yang lagi resah tadi. Kedua lengan si pendatang ini berhiaskan dua
gelang hitam mengkilat beru-
kuran kelewat tebal dan besar!
"Ki Arya Demung, Anda tampak gelisah," ujar si ge-
lang tebal yang tidak lain adalah Wasi Sableng.
"Si Mulut Bertudung belum juga datang. Seharus-
nya, sudah waktunya ia sampai di tempat ini," sahut
saudagar Arya Demung sambil berkali-kali menebar
pandangnya ke arah barat dan kadangkala mulutnya
mencapak membayangkan kegelisahan.
"Apakah ia telah hafal dengan daerah ini, sehingga
tidak ada kemungkinan akan tersesat di jalan?"
Arya Demung mendongak sesaat oleh kata-kata
Wasi Sableng tadi, namun kemudian ia menjawab,
"Tersesat" Ah, itu tak akan terjadi pada Si Mulut Bertudung. Ia cukup baik
mengenal daerah ini! Yang ju-
stru aku khawatirkan tentang dia ialah kalau sampai
ia mendapat bahaya di tengah jalan."
Selagi mereka berembuk begitu terdengarlah lang-
kah-langkah kaki kuda dari arah barat yang seketika
membuat Wasi Sableng dan saudagar Arya Demung
berjelalatan menatap ke arah sana. Tapi betapa mere-
ka kecewanya ketika si pendatang itu bukanlah Si Mu-
lut Bertudung yang lagi dinanti-nantinya, melainkan
adalah empat orang berkuda yang tampak keletihan.
Arya Demung menggerendeng dan meludah saking
jengkelnya, namun empat orang penunggang kuda itu
tak mengetahui tampaknya. Mereka terus mendekat ke
warung dan turun dari atas kudanya hampir berba-
reng. Terus saja Arya Demung dan Wasi Sableng mem-
perhatikan keempat pendatang itu, begitu juga para
pengikut Arya Demung yang duduk bertebaran di
bangku-bangku Warung.
Keempat pendatang itu tampaknya sebagai pen-
gembara yang kelelahan dan singgah di warung ini un-
tuk mengisi perut dan menghilangkan haus. Untuk itu
semua, baik Wasi Sableng dan Arya Demung tidak be-
gitu perduli sebab daerah ini dan lebih-lebih warung ini sering disinggahi oleh
pengembara maupun orang-orang yang singgah di tengah perjalanannya.
Meskipun tak perduli, tapi tak urung hati Arya De-
mung menjadi berdesir sewaktu ia memperhatikan sa-
lah seorang pendatang yang berkumis melintang dan
berkerudung kain batik hitam biru pada punggungnya.
Diam-diam Arya Demung menaksir mereka.
Begitu keempat orang pendatang itu lewat di sam-
pingnya, tanpa diduga saudagar Arya Demung meng-
gebrak meja seraya tertawa terbahak-bahak. "Heh,
heh, heh. Lihatlah, Sableng! Siang-siang begini ada
orang kedinginan berkerudung kain. Barangkali ia bi-
asa hidup di padang pasir...!"
Meski sesaat Wasi Sableng tak dapat menangkap
maksud Arya Demung, tapi setelah ia merasakan kata-
kata di atas, maka segera ia menyahut, "Ahh, benar
juga ujarmu. Atau barangkali pula ia salah satu anggo-ta rombongan penari
keliling yang lagi demam pilek."
Tiba-tiba Gagak Cemani, si kumis melintang yang
mengenakan jubah di punggung melempar lirikan ta-
jam ke samping dan sebentar lagi ia pasti menggebrak ke arah Wasi Sableng dan
Arya Demung jika ia tidak
buru digamit tangannya oleh Mahesa Wulung yang
berdiri di sampingnya seraya berbisik, "Jangan ladeni mereka...."
Tanpa menunjukkan sikap mendongkol, Mahesa
Wulung justru mengangguk tersenyum kepada Wasi
Sableng dan Arya Demung untuk menghilangkan ke-
san-kesan yang tidak diharapkan. Akhirnya, Mahesa
Wulung, Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro du-
duk menghadapi meja panjang sejauh dua tombok ku-
rang lebih dari tempat Wasi Sableng dan Arya Demung
berada. Seorang wanita cantik langsung mendatangi meja
Mahesa Wulung dan menyapa ramah, "Tuan, Tuan be-
rempat akan minum apa" Serbat, kopi atau...?"
"Satu lodong tuak dan empat cawan, ditambah jua-
dah ketan dan lauknya sekali," ujar Gagak Cemani
ringkas. Terasa bahwa kemangkelan hatinya terhadap
sindiran Wasi Sableng, Arya Demung ikut terlontar dalam kata-kata itu, "Dan juga
setundun pisang yang
masak...."
Wanita itu tetap tersenyum ramah, lalu katanya,
"Baik tuan. Semuanya akan kami siapkan. Persilahkan
melepaskan lelah sepuasnya. Maaf, tempatnya agak
kurang baik."
"Ooh, tak apalah. Terima kasih," ujar Mahesa Wu-
lung pula dengan iringan senyum, ketika wanita berparas cantik itu membalikkan
diri untuk mempersiapkan
hidangan tersebut. Gaya jalannya yang gemulai dan
mempesona segera terlihat, sehingga tanpa sengaja
Tungkoro mendesis kagum.
Memang sesungguhnya tidak hanya Tungkoro yang
terpesona, sedang semua rombongan Arya Demungpun
mengalami hal yang sama. Apalagi dengan Wasi Sab-
leng sendiri. Kedua biji matanya seakan-akan meloncat keluar dari kelopaknya,
begitu melihat gerakan wanita cantik ini dalam berjalan.
Namun ada hal yang lebih penting dan inilah yang
membuat Arya Demung dan Wasi Sableng sekaligus
merasa cemburu kepada rombongan Mahesa Wulung
berempat. Seperti yang diketahuinya, wanita cantik ini adalah pemilik warung
yang jarang sekali melayani
langsung kepada para tetamunya. Sedang mereka sen-
diri, baik Wasi Sableng maupun Arya Demung selama
tinggal di warung itu, jarang ditemui oleh si wanita cantik. Tak disangkanya
bahwa Mahesa Wulung berempat yang baru saja datang itu, tahu-tahu disambut
langsung oleh si pemilik warung. Keruan saja Arya
Demung dan Wasi Sableng merasa terbakar hatinya
melihat hal itu, sehingga tak mengherankan bila gigi Wasi Sableng
bergemeretakan. Dasar seperti Wasi Sableng yang suka melihat wanita cantik dan
malah suatu ketika hatinya jadi tersinggung karena sikapnya tidak diacuhkan oleh
si pemilik warung tadi, maka salah-salah rasa mendongkolnya beralih menumpah
kepada Mahesa Wulung dengan ketiga rekannya.
Di sebuah meja lain duduklah pula seorang wanita
cantik ditemani oleh seorang pria berkulit hitam, bertubuh pendek. Di atas meja
mereka masih terlihat ma-
cam-macam hidangan yang tersedia di situ dan sedikit aneh bahwa mereka
tersenyum-senyum melihat sikap
Wasi Sableng yang lagi angot-angotan marah. Mereka
adalah si genit Teja Biru dan Klenteng, termasuk pengikut-pengikut saudagar Arya
Demung. Tak antara lama, si cantik pemilik warung itupun
muncul kembali dengan membawa hidangan-hidangan
yang dipesan oleh Mahesa Wulung dan Gagak Cemani.
Sekali lagi terlihatlah betapa lemah-gemulai yang
mempesona setiap insan di situ.
Akan tetapi hal itu malahan seperti membakar rasa
cemburu Wasi Sableng. Matanya yang tajam itupun
masih seterusnya melotot ke arah Mahesa Wulung dan
Gagak Cemani. Lebih-lebih ketika sesaat ia sempat melirik ke arah si genit Teja
Biru yang tersenyum-senyum ke arahnya. Senyum tadi berkesan mengejek kepada
dirinya yang terang-terangan tidak digubris oleh si
cantik pemilik warung.
"Ooh, sebentar. Maaf tuan-tuan. Tuaknya masih ke-
tinggalan di belakang. Akan kuambil dahulu!" ujar si cantik seraya tersipu-sipu
malu dan tersenyum merun-tuhkan hati, karena kelupaannya itu. Agaknya saja ia
jarang menyambut sendiri tetamunya sebab di situ
memang ada beberapa pelayan pembantu yang siap
melayani tamu-tamu. Maka apakah keistimewaan
sambutannya kepada Mahesa Wulung berempat tadi
tidak menimbulkan rasa iri dan cemburu kepada teta-
mu lainnya"
Buat ketiga kalinya Wasi Sableng dapat menyaksi-
kan betapa lenggang si cantik seumpama macan lapar
dapat memukau setiap hati pengunjung warung yang
berada di situ. Ia melangkah ke arah dapur untuk
mengambil tuak dan sebentar lagi ia pasti lewat di situ.
"Ia sengaja mengejekku!" gumam di hati Wasi Sab-
leng. "Sekali ia lewat dengan melenggang-lenggok se-
perti angsa begitu, akan kugeret* ia ke mejaku ini!"
(*geret = seret, tarik)
Tak antara lama, si cantik pemilik warung itupun
muncul dan berjalan ke arah meja Mahesa Wulung.
Lenggang-lenggoknya masih saja tak ketinggalan. Ooh, seandainya ia tahu akan
tekad Wasi Sableng, pastilah akan dihentikannya lenggang-lenggoknya itu. Tapi
sayang, memang hanya Wasi Sableng sendiri saja yang
tahu. "Nah, inilah tuan. Tuak selodong yang Anda pesan,"
ujar si cantik pemilik warung seraya meletakkan empat buah cawan di atas meja
dan kemudian tuak selodong
penuh. "Bolehkah aku mengenal namamu?" tiba-tiba Tung-
koro menyelonong dengan pertanyaannya.
"Ooh, tuan menanyakan namaku?" ujar si cantik
seraya tersenyum-senyum menawan. "Apakah itu per-
lu?" "Benar. Siapa?"
"Ken Warsih," jawab si cantik pelahan.
Mendadak saja sesuatu bayangan berkelebat den-
gan iringan kesiur angin deras dan tahu-tahu lengan si cantik Ken Warsih yang
lagi menuang-nuangkan lodong tuak ke dalam cawan-cawan itu, telah tergeng-
gam oleh jari-jemari yang kokoh.
"Ooh, lepaskan ini!" seru Ken Warsih bercampur ra-
sa kaget yang luar biasa, sebab tahu-tahu Wasi Sab-
leng telah berada di sampingnya dengan menggenggam
lengan kanannya.
"He, he, he, he. Kau juga harus melayani aku, wong
denok ayu! Bukankah aku juga tamu di sini dan men-
genalmu lebih lama dan lebih dahulu daripada empat
orang ini?" seru Wasi Sableng seraya mengurut-urut
lengan kanan Ken Warsih sampai si cantik ini mengki-
rik-kirik dan mengeluh ketakutan, "Hihh, lepaskan....!"
"Heh, heh, heh, kulitmu memang halus denok ayu.
Sayang kalau tinggal di warung yang penuh asap begi-
ni. Salah-salah kulitmu akan kotor dan menjadi hitam seperti sobatku yang
bernama si Klenteng itu!" ujar
Wasi Sableng seraya menunjuk Klenteng dengan tan-
gan kirinya. "Baiknya kau ikut dan tinggal bersamaku saja! Wasi Sableng akan
menjagamu!"
"Berlakulah yang sopan, sobat!" tiba-tiba terdengar
suara pelahan tapi penuh wibawa meluncur dari bibir
Mahesa Wulung dengan tenangnya.
"Hoo, kau berlagak jagoan dengan menolong wanita
cantik ini?" geram Wasi Sableng sementara beberapa
rekannya tampak bersiap siaga melihat gelagat pende-
kar angot-angotan ini.
"Lepaskan jari-jarimu dari tangan wanita ini, sobat!
Kau telah menyakitinya...!" ujar Mahesa Wulung kem-
bali. "Apa katamu" Berani kau...."
"Lepaskan, kataku!" Plakk...! Tiba-tiba tangan kiri
Mahesa Wulung berkelebat menebas ke samping dan
tahu-tahu tubuh Wasi Sableng terhuyung ke belakang
dan rebah di dekat tempat duduknya semula, tak jauh
dari kaki Arya Demung. Beruntung bahwa ia memiliki
himpunan tenaga sakti yang dapat mengurangi penga-
ruh lontaran itu. Tambahan pula memang ia tidak ber-
siap sebelumnya dan serangan datang begitu menda-
dak tanpa diduga sama sekali.
Cepat-cepat Wasi Sableng bangkit dengan amarah
yang meluap. Secepat kilat ia merauk beberapa tusuk
satai dan dikibaskan ke arah Mahesa Wulung. Benda-
benda tadi melesat dengan pesatnya menyambar sasa-
ran, sampai-sampai Ken Warsih yang melihat gelagat
ini mundur dengan menjerit ketakutan.
Kembali Mahesa Wulung menyentilkan tangan ka-
nannya ke samping dengan tubuh condong ke kiri dan
tanpa terduga tusuk-tusuk satai tadi terpental berganti arah dengan kecepatan
yang tidak berubah.
"Wuaaahh!" tiga teriakan parau terdengar dari
samping kanan Mahesa Wulung yang ternyata keluar
dari mulut tiga anak buah Arya Demung dengan mas-
ing-masing telapak tangan kanannya tertembus oleh
tusuk sate dari bambu itu. Ketiga golok mereka terpelanting jatuh di lantai.
Rupanya saja ketiga orang tersebut hendak membokong serangan dari sebelah bela-
kang. "Hei, hei, hei! Jangan bertengkar!" Satu teriakan tajam memenuhi udara berbareng
ketawa renyah keluar
dari mulut si genit Teja Biru. "Buat apa bertengkar karena soal sepele saja!
Sekarang biarlah aku memberi
ucapan selamat kepada si pendekar berkumis kecil itu.
Siapa namamu, pendekar" Terimalah ucapan selamat
dari Teja Biru. Hup!"
Sambil berkata si genit Teja Biru memungut cawan
berisi tuak dan ditimpukkan ke arah Mahesa Wulung.
Sungguh di luar dugaan, bahwa cawan berisi tuak itu
meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si pen-
dekar. Meski seperti tak masuk akal, tapi dapat dibayang-
kan bahwa lontaran dengan dilandasi himpunan tena-
ga sakti itu akan sanggup membuat amblas cawan be-
risi tuak tadi ke dalam dada Mahesa Wulung.
"Huppp!" desis Mahesa Wulung mengibaskan tan-
gannya buat ketiga kali dan tahu-tahu cawan berisi
Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuak tadi telah lenyap disambarnya.
"Lenyap"!" desis Wasi Sableng, Arya Demung dan si
genit Teja Biru. Bagaimana mungkin bahwa cawan
yang cukup lebar itu lenyap dalam genggaman tangan
Mahesa Wulung"
Sambil tersenyum lunak, Mahesa Wulung lalu
membuka genggaman tangannya dan semua mulut
hampir berseru kagum, sebab pada telapak tangan
Mahesa Wulung terletak satu bulatan benda berwarna
coklat tua berasal dari bahan cawan tuak tadi.
"Ucapan selamatmu telah kuterima nona!" kata Ma-
hesa Wulung seraya menggebrakkan benda bulat tadi
ke atas meja, yang seketika amblas ke dalam kayu
daun meja. Arya Demung dan orang-orangnya terkejut dan
hampir saja ia memberi aba-aba untuk mengeroyok
Mahesa Wulung berempat, jika dari arah barat tidak
muncul seorang penunggang kuda yang langsung me-
nuju ke arah warung.
"Wah, untung si kakek Gagang Aking itu tidak me-
nemukan kudaku ini. Hah, tapi yang penting tugasku
mengintai rombongan Demang Cundraka telah berha-
sil!" gumam si pendatang. Dengan cepat si penunggang kuda meloncat turun dan
Arya Demung berseru gembira, "Haa, kau telah datang adik!"
"Kita harus berangkat sekarang! Orang-orang itu
tengah dalam perjalanannya!" bisik Si Mulut Bertu-
dung ke dekat telinga Arya Demung.
"Bagus! Ayo, anak-anak, kita berangkat sekarang,"
seru Arya Demung sambil sesaat menatap tajam ke
arah Mahesa Wulung berempat serta berkata, "Dan ka-
lian! Cukup disini permainan tadi. Tunggulah sampai
bertemu di lain saat! Kau boleh bermain sepuas-
puasmu sebelum nyawamu melayang di ujung golokku
ini!" Wesss! Sambil berkata demikian Arya Demung
menggerakkan goloknya ke atas meja dan sesaat ke-
mudian bersama orang-orangnya meloncat ke luar dari
warung dan berpacu dengan kuda-kudanya ke arah
barat. Semua mata masih menatap ke arah rombongan
Arya Demung sambil bertanya-tanya tentang asal tu-
juan dari orang-orang itu, lebih-lebih dengan permainan gertak si pemimpin
rombongan dengan goloknya.
Kraakkk... byaarr! Tiba-tiba semua orang dike-
jutkan oleh meja bekas tempat Arya Demung yang se-
mula masih tegak tanpa cacat apapun, mendadak run-
tuh ambyar berkeping-keping menjadi tumpukan kayu
bakar! "Bukan main!" desis Tungkoro kaget.
"Mereka berilmu tinggi pula!" sahut Mahesa Wu-
lung. "Hmm, jika terjadi pertempuran tadi, pastilah san-
gat hebatnya," sambung Gagak Cemani.
"Ooh, semua ini lantaran saya tuan!" desah Ken
Warsih dengan nada penuh penyesalan. "Harap tuan-
tuan sudi memaafkan saya...."
Si cantik ini berkata dan matanya yang jeli itu ber-
kaca-kaca oleh air mata, maka cepat-cepat Mahesa
Wulung berkata kembali, "Anda tak usah merasa de-
mikian. Mereka pada dasarnya tergolong orang-orang
liar dan suka bertindak semaunya sendiri. Maka sudah sewajarnya kami membela
nona!" "Terimakasih... terimakasih," ujar Ken Warsih se-
raya mengusap air matanya dengan ujung depan ba-
junya, lalu senyum manis mulai menyungging bibir-
nya. "Silahkan duduk kembali. Kalian akan kuambil-
kan tuak lagi!"
"Aku akan membantu Anda!" ujar Tungkoro seraya
bangkit dari bangku, tapi Ken Warsih buru-buru ber-
kata, "Oooh, tidak perlu tuan. Biarlah aku kerjakan
sendiri, sebab tadi aku telah merepotkan tuan-tuan
dengan orang-orang liar itu. Kini, biarlah kami hidangkan makanan yang lezat-
lezat sebagai rasa terimakasih kami!" Selesai berkata, Ken Warsih lalu menuju ke
arah dapur sambil tersenyum segan. Ia telah ditolong sekali dan untuk kedua
kali, si cantik ini merasa tidak pantas sebelum ia dapat membalas budi.
Tungkoro duduk kembali ke atas bangkunya den-
gan tersipu sementara Mahesa Wulung, Gagak Cemani
dan Palumpang tersenyum-senyum kecil.
"Ken Warsih memang cocok untukmu, adik Tungko-
ro!" ujar Mahesa Wulung, diiringi senyuman penuh ar-
ti. "Haa, kalian mulai menggodaku, hah!" sahut Tung-
koro dengan wajah merah saking malunya.
"Aaaa. Jangan marah sobat! Makanlah ini!" ujar
Gagak Cemani seraya menyuapkan sepotong juadah
ketan ke dalam mulut Tungkoro yang lagi ternganga.
"Hepp," gagap Tungkoro kaget. Tapi dasar sesama
sahabat, ia tidak marah, bahkan mengunyah juadah
ketan itu dengan nikmatnya dengan mata yang berpu-
tar-putar lucu. "Haem... nyaem... nyaem... nyaem...."
*** BAGIAN VI JALANAN yang menuju ke kota Genuk tampak
sunyi-senyap ketika matahari makin bergeser ke pun-
cak kepala. Selain cahayanya memancarkan panas se-
hingga orang-orang segan melakukan perjalanan, juga
saat-saat tengah hari begini banyak dianggap menim-
bulkan bahaya dan merupakan larangan, semacam
kepercayaan yang banyak didapati pada pengembara-
pengembara. Meskipun hal itu sukar diterima oleh akal sehat,
namun ada beberapa segi kebenaran, bahwa matahari
memang bersinar sepanas-panasnya pada saat tengah
hari, tepat jatuhnya sinar tegak lurus di atas kita.
Dalam saat-saat demikian, tidak mustahil kalau si-
nar terik itu mampu menyebabkan pingsan dan apabi-
la orangnya sangat lemah bisa juga ia meninggal.
Agaknya pula, orang lalu menghubung-hubungkan
bahwa para raksasa dalam ceritera wayang, suka men-
cegat manusia pada tengah hari begini.
Mereka biasanya lalu beristirahat sejenak sampai
matahari lewat dan condong ke arah barat, barulah
perjalanan yang ditempuhnya itu dilanjutkan lagi.
"Tengah hari, Kakang demang!" ujar Ki Dunuk se-
raya mengusap peluh yang mengalir membasahi da-
hinya. "Bagaimana kalau sejenak kita beristirahat melepaskan lelah?"
"Sebentar lagi kita akan tiba di Genuk. Di sanalah
kita nanti mengambil istirahat beberapa saat," sahut Demang Cundraka pendek.
"Karenanya harus cepat-cepat kita sampai kesana, adik Dunuk!"
"Tapi ini adalah saat tengah hari...."
"Memang. Tapi lebih penting Arca Ikan Biru daripa-
da saat tengah hari...," sahut Demang Cundraka pula.
"Tambahan lagi seperti siasatmu, kita telah berganti pakaian dan benar-benar
kita tampak sebagai rombongan saudagar pedagang."
Ki Dunuk tak menyanggah lagi sebab ia tahu bahwa
Demang Cundraka mempunyai watak keras.
Maka kembali ia memperhatikan jalan di depannya
yang kelihatan selalu sepi dan panas oleh terkaman
sinar matahari. Untunglah mereka mengenakan cap-
ing-caping bambu yang agak lebar sehingga sebagian
tubuh mereka cukup terlindung olehnya.
Namun Ki Dunuk tak urung merasakan berdebar-
debar di dalam dadanya. Satu perasaan cemas yang
tak berujung pangkal tiba-tiba menyelinap di dalam
hati, membuat si gemuk ini sebentar-sebentar menoleh ke kanan kiri, ke arah
semak belukar dan pepohonan
yang banyak tumbuh subur di sana-sini. Dan menda-
dak saja.... "Hyaatt! Ha, ha, ha...." Belasan sosok tubuh melon-
cat ke luar dari belukar di depan rombongan Demang
Cundraka dengan sikap kasar petentang-petenteng,
tak ubahnya sikap kawanan raksasa yang tengah
mencegat seorang satria.
"Ayo berhenti kalian!" seru si pemimpin rombongan
pencegat yang bersenjata golok lebar bertangkai pan-
jang. Dalam saat itu pula Demang Cundraka segera ber-
bisik kepada seorang penunggang kuda yang berada di
sebelah kirinya, "Sttt, Linting. Jika terjadi pertempuran, kau cepat-cepat
berpacu kembali menuju Asema-
rang dan katakan kepada Angger Tuntari bahwa rom-
bongan kita berada di dalam bahaya!"
Pengawal Linting mengangguk paham.
Para pencegat sesaat menjadi ragu, terlebih lagi
dengan Si Mulut Bertudung. Rombongan yang mereka
cegat ini ternyata adalah rombongan para pedagang
dan bukan rombongan Demang Cundraka seperti yang
pernah diintainya beberapa saat yang lalu.
"Tudung! Mereka kan rombongan pedagang!?" desis
Arya Demung dengan muka cemberut jengkel. "Apakah
kita telah salah cegat, heh" Bukan ini sasaran kita!"
"Tapi... tapi tak ada rombongan lain," sahut Si Mu-
lut Bertudung dengan terbengong kebingungan dan
hatinya kecut juga kalau ia kena marah dan gampar
dari Arya Demung.
"Ha, ha, ha. Kita kena dikelabuhi oleh mereka!" ber-
kata Klenteng seraya ketawa terkekeh-kekeh. "Peker-
jaan kita tidak keliru. Orang-orang ini tidak lain adalah rombongan Demang
Cundraka!"
"Hah, dari mana kau tahu hal itu?" ujar Arya De-
mung seraya melotot heran ke arah si Klenteng yang
masih tersenyum-senyum puas.
"Lihatlah Ki Arya. Aku masih bisa mengenal baik-
baik akan kudaku yang belang-belang putih itu," sahut Klenteng seraya menunjuk
ke arah kuda yang ditung-gangi oleh Ki Dunuk. "Kuda itu kujual kepada Demang
Cundraka beberapa saat yang lalu. Nah, maka kesim-
pulanku bahwa orang-orang ini adalah rombongan
Demang Cundraka!"
"Kurang ajar! Jadi kau telah memata-mataiku sela-
ma ini!" bentak Demang Cundraka dengan mencopot
caping dan sekali dikibas, caping tadi langsung menerjang si Klenteng tepat pada
mulutnya. Seketika ia roboh terjengkang dengan mengaduh-aduh dan mulut-
nya mengucurkan darah segar.
"Huh! Kau telah menunjukkan diri!" ujar si Klenteng
seraya bangun tertatih-tatih sekaligus melolos senjata rantainya yang dibelitkan
pada bahunya. "Pameranmu sungguh hebat, sobat!" seru Arya De-
mung beringas. "Sekarang cepat kau serahkan Arca
Ikan Biru ke dalam tangan kami! Atau kau ingin sedi-
kit pameran dari golokku ini" Hyaattt...!" Wesss...
wess.... "Yueehhh...." Brukk! Tiba-tiba saja, sesaat sesudah
Arya Demung mengibaskan golok lebarnya, kuda De-
mang Cundraka lalu roboh dengan kepala terbelah dan
menghamburkan darah!
Keruan saja Demang Cundraka seketika meloncat
turun ke tanah dan berseru marah, "Setan iblis! Kau
bertingkah semena-mena. Ambillah sendiri Arca Ikan
Biru sesudah kalian dapat melangkahi mayat-mayat
kami!" "Serbu!" teriak menggeledek dari Arya Demung se-
raya menerjang ke arah Ki Demang Cundraka dengan
goloknya dan sesaat itu pula terjadilah pertempuran
hebat. "Linting! Sekarang tiba saatnya, segera larilah," seru Ki Demang Cundraka kepada
si pengawal yang masih
bertempur di atas kudanya.
Mendengar perintah itu, Linting seketika mengge-
prak kudanya dan berpacu ke arah barat dengan ken-
cang dan gesitnya.
"Jangan biarkan ada yang lolos!" teriak Arya De-
mung ketika ia melihat seorang pengikut Ki Demang
Cundraka telah memutar kudanya dan berpacu ke
arah barat. "Bereskan orang itu!"
*** Hingga di sini selesailah Seri Naga Geni XXIV 'Pen-
dekar Empat Serangkai'. Ikutilah seri selanjutnya yang ke XXV "ORANG-ORANG
LIAR". Akan kita ketahui bagaimana nasib Arca Ikan Biru. Bagaimana nasib si
pengawal Linting dan ke mana tujuan rombongan Tan-
gan Iblis, semuanya akan pembaca temukan dalam
buku tersebut. Selamat membaca dan salam buat
ANDIKA semua. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Jodoh Rajawali 20 Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti 6