Pencarian

Titisan Ilmu Setan 2

Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan Bagian 2


berusia dua tahun. Hanya Arum Kafan yang masih ingat samar-samar tentang Ki
Darma Paksi itu.
Ciri-ciri yang diberikan oleh Arum Kafan, bahwa Ki
Darma Paksi bertubuh kurus dan jangkung. Matanya
cacat satu yang sebelah kiri. Selamanya ia tak pernah mengenakan ikat kepala.
Bicaranya lembut, kalem,
sering bertele-tele karena selalu berupaya mencapai keindahan dalam bicaranya,
agar orang lain terkesan dengan keindahan tutur katanya.
Tentang pondok Ki Darma Paksi, Arum Kafan tak
bisa memberi ciri-cirinya, karena selama ini ia tak pernah datang bersinggah ke
pondok Ki Darma Paksi.
Kabar terakhir yang didengar Arum Kafan sewaktu ia
berusia enam belas tahun, bahwa Ki Darma Paksi
sekarang menjadi seorang peramal sakti yang jarang
muncul di permukaan bumi. Tentang benar dan tidaknya kabar itu, Arum Kafan tak
bisa memastikan.
Pendekar Mabuk tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Bukan karena mendapat serangan dari musuh, atau
terhadap seseorang, tapi karena ia tertarik dengan
pemandangan di dalam air sungai yang bening itu.
Seekor ikan berenang ke sana kemari di sela-sela
rombongan ikan bersisik perak. Tetapi ikan yang satu itu sungguh menarik
perhatian Suto, karena ikan itu tidak mempunyai kulit dan daging sedikit pun.
Ikan itu hanya berupa tulang berduri dengan kepala warna perak. Untuk bagian kepalanya, ikan
itu mempunyai kulit dan daging, tapi untuk bagian tubuhnya sampai pada ekor, tak
ada kulit dan daging sedikit pun. Ikan itu besarnya seukuran telapak tangan dan
gerakannya cukup gesit. Suto sangat suka melihat gerak-gerik ikan aneh itu,
sehingga ia tak mau mengganggu kehidupan sang ikan sedikit pun.
Tiba-tiba terdengar suara di belakang Suto yang
mengatakan, "Sepat Dewata...!"
Suto berbalik, orang tua yang bicara itu
menyunggingkan senyum dan melanjutkan kata-katanya,
"Itu namanya ikan Sepat Dewata. Bukan ia tak
memiliki kulit dan daging, tapi ia memiliki kulit dan daging yang tembus pandang
seperti kaca! Hanya ada beberapa ekor saja yang masih hidup. Sisanya telah mati
dimakan usia, dirusak kehidupan manusia, atau dimakan oleh hewan lainnya. Kadang
kita merasakan duka jika ingat akan kematiannya, tapi kadang mengucapkan
syukur kepada Yang Maha Kuasa, bahwa sebagian dari
mereka masih ada yang tersisa dan hidup dalam
kebebasan habitatnya."
Indah sekali tutur kata orang tua itu. Segera Pendekar Mabuk dapat mengenali si
orang tua setelah
memperhatikan mata kirinya yang lengket kelopaknya.
Mata kiri yang cacat dan tak bisa dipakai untuk melihat itu sudah pasti milik Ki
Darma Paksi. Maka, Suto pun menyapa dengan penuh kesopanan dan hormat,
"Apakah Bapak yang bernama Ki Darma Paksi?"
"Orang cerdas yang mampu melihat dengan benar tak dapat dikelabui oleh siapa
pun. Dan kurasa kau memang orang cerdas yang bisa mengetahui namaku, Anak
Muda." Suto Sinting merasa lega. Ternyata apa yang
dikatakan Arum Kafan memang benar, bahwa Ki Darma
Pajcsi jika bicara seperti orang yang bertele-tele hanya untuk menemukan
keindahan dalam tutur katanya. Suto menyunggingkan senyum lebar kepada orang
berjubah biru dan berpakaian dalam abu-abu, rambutnya panjang selewat punggung berwarna
putih rata yang halus dan lembut. Kumis dan jenggotnya pun panjang dan
berwarna putih halus dan lembut. Ia seorang yang punya tinggi badan cukup
jangkung, sehingga dalam bicara
agak sedikit membungkuk. Tapi badannya yang kurus
itu masih terlihat kekar, gerakan tangannya masih tegas, dan berdirinya masih
kokoh, walau menurut Arum
Kafan usia Ki Darma Paksi diperkirakan sekitar delapan puluh tahun lebih. Tapi
orang tua itu masih kelihatan gagah.
"Kalau boleh kutahu untuk menambah
perbendaharaan nama dalam ingatan tuaku, siapakah
namamu, Anak Muda?"
"Nama saya Suto Sinting, Ki Darma Paksi."
"Suto Sinting?" gumamnya sambil melangkah pelan-pelan menyusuri tepian sungai
itu, dan Pendekar Mabuk mengikuti langkahnya.
Dengan tutur kata yang lembut dan berkesan sabar
serta bijak itu, Ki Darma Paksi memperdengarkan
suaranya lagi, "Kalau tidak salah ingatan tuaku yang sudah hampir berkarat ini, seseorang yang
mempunyai nama Suto
cukuplah banyak di permukaan bumi ini. Tapi hanya
seorang yang bergelar megah sebagai Pendekar Mabuk, itulah yang mempunyai nama
lengkap Suto Sinting."
"Benar, Ki Darma Paksi! Sayalah yang bergelar
Pendekar Mabuk!"
Ki Darma Paksi memandang sambil tersenyum dan
tertawa dalam gumam. Kemudian langkahnya tetap
pelan dan pandangan matanya terlempar ke depan
dengan teduhnya.
"Aku mempunyai sebuah ingatan mengenai nama
Suto Sinting itu, bahwasanya terlahir sebagai seorang pendekar gagah berani dan
sakti dari tangan seorang berjiwa putih bagaikan bunga-bunga salju di pelataran
bumi utara, dan orang itu mempunyai nama harum yang sempat mengguncangkan dunia
persilatan pada puluhan tahun yang lalu. Orang itu tak lain adalah si Gila Tuak
yang punya nama asli Sabawana. Barangkali dugaanku, tak terlalu meleset jauh,
bahwa kau adalah murid si Gila Tuak yang terhormat itu, Suto Sinting!"
"Tidak salah, Ki Darma Paksi! Saya adalah murid si Gila Tuak."
"Jujurnya hatimu membuat damai di dalam darahku, Suto. Datangnya dirimu membuat
hangat di setiap
pernapasanku, Pendekar Mabuk. Luangkan waktumu
untuk singgah di pondokku yang hina itu, Suto Sinting!"
sambil tangannya menunjuk ke arah sebuah pondok
yang tak seberapa jauh dari tempat mereka melangkah.
Pondok itu sangat sederhana. Dibangun dengan
bebatuan kali tanpa diratakan permukaan dindingnya.
Tersusun kokoh bebatuan itu, membentuk sebuah rumah sedikit besar namun beratap
tinggi. Pondok itu
dikelilingi oleh pagar sebatas tinggi dada manusia
dewasa dan juga terbuat dari susunan batu kali tanpa diratakan sisinya.
Mempunyai sebuah pintu gerbang
setinggi tiga tombak dan beratap kecil. Untuk masuk ke halaman pondok itu
sebenarnya seseorang bisa saja
melompati pagar rendah tersebut, tanpa harus memutar jalan melewati pintu
gerbang yang tak pernah ditutup dalam arti dikunci. Tetapi dari situlah sikap
dan niat seseorang dapat diketahui oleh Ki Darma Paksi.
Hanya seorang berniat jelek atau berjiwa tak baik saja yang datang bertamu
dengan melompati pagar, tanpa
melewati pintu gerbang itu. Terhadap orang yang
datangnya melompati pagar, Ki Darma Paksi sudah
bersiap untuk waspada dan berhati-hati. Jika orang itu mengaku masuk lewat pintu
gerbang, Ki Darma Paksi
bisa mengetahui bahwa pengakuan itu adalah palsu.
Karena setiap orang yang lewat pintu gerbang pasti
mempunyai tanda. Pintu berdaun dua itu jika dibuka
mempunyai tanda berbunyinya logam-logam yang
merentang di balik pintu. Gemerincingnya logam-logam yang menggema panjang
itulah tanda bahwa seseorang
datang melalui pintu gerbang.
Demikian pula ketika Ki Darma Paksi membawa
masuk Suto melalui pintu gerbang, maka terdengarlah
suara gemerincing yang bening dan panjang gemanya.
Pintu itu menutup balik sendiri dengan hanya dilepaskan karena mempunyai engsel
penarik yang lentur.
Ki Darma Paksi mempersilakan Suto untuk duduk di
ruang tamu, yang berupa panggung setinggi betis dilapisi dengan permadani tebal
yang berwarna hijau muda. Di sana Suto duduk bersila sama seperti Ki Darma
Paksi. Mereka duduk berhadapan arah. Bumbung tuak
diletakkan oleh Suto di sampingnya. Sementara itu, Ki Darma Paksi menyuruh
pelayannya yang bertubuh
pendek dan bungkuk untuk menyiapkan sepoci arak buat tamunya.
"Setelah kuperhatikan sejak tadi," kata Ki Darma Paksi, "Aku tak bisa menahan
diri untuk menanyakan tentang bagaimana kabar gurumu si Gila Tuak itu, Suto
Sinting." "Berkat doa kita bersama, Eyang Guru masih dalam keadaan sehat dan senantiasa
dalam lindungan Hyang
Widi, Ki Darma Paksi."
"Syukurlah bila keadaan Ki Sabawana begitu.
Tenteram hatiku mendengar ucapan muridnya yang
membawa kesejukan tersendiri untuk masa tuaku ini.
Lalu, bagaimana kalau kutanyakan kabar seseorang,
apakah kau mau menjawabnya, Pendekar Mabuk?"
"Kabar siapa maksud, Ki Darma Paksi?"
"Seseorang yang jauh di sana dalam penantian yang tabah dan panjang sabar.
Tentunya kau tidak asing lagi dengan sebuah nama yang punya nilai keindahan dan
keabadian di dalam hatimu, yaitu Dyah Sariningrum
yang bergelar Gusti Mahkota Sejati, Ratu Puri Gerbang Surgawi di alam nyata
ini?" Terkejut Pendekar Mabuk mendengar nama itu
disebutkan secara lengkap. Benar-benar terkejut dia dan tak menyangka sama
sekali pembicaraan akan lari ke
arah itu. Dan keterkejutan itu ditertawakan oleh Ki Darma Paksi, sehingga Suto
menjadi tersipu menahan
rasa malu. "Dyah Sariningrum dalam keadaan baik-baik saja, Ki Darma Paksi. Sama seperti
keadaan Ki Sabawana atau
Guru saya si Gila Tuak itu!"
"Bersyukur kembali hati tuaku yang sudah renta menanti ajal ini, Suto Sinting.
Ada damai yang memercik dari jawabanmu, ada kesejukan tersendiri di lubuk kalbuku mendengar
kekasihmu dalam keadaan
baik-baik saja."
"Tapi kalau boleh saya tahu, dari mana Ki Darma Paksi mengetahui nama itu dan
hubungannya dengan
diriku?" "Noda merah di keningmu kulihat jelas tanpa harus kuraba, Suto. Noda merah itu
adalah pemberian Gusti Ratu Kartika Wangi, ratu negeri Puri Gerbang Surgawi di
alam gaib yang sungguh arif dan bijaksana itu. Noda merah di keningmu, Anak
Muda, telah bicara banyak
pada hati nuraniku mengenai rentetan kehidupanmu
yang penuh tantangan itu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam
gumamnya yang lirih. Rupanya Ki Darma Paksi melihat noda merah di kening Suto
yang tak bisa dilihat oleh
sembarang orang, kecuali orang berilmu tinggi yang
berada di jalur kehidupan putih, alias bukan orang sesat.
Mengenai tanda merah di kening Suto Sinting, memang benar pemberian dari Gusti
Ratu Kartika Wangi sebagai penghormatan tinggi yang dapat membuat Suto masuk
ke alam gaib sewaktu-waktu. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
"Atas pertimbangan hati nuraniku pun seyogya
kutanyakan maksud kedatanganmu kemari, Suto.
Barangkali kau tak punya keberatan untuk
menuturkannya sebentar. Karena kulihat kedatanganmu bukanlah mata-mata ingin
melihat ikan Sepat Dewata
tadi, namun mempunyai maksud-maksud tertentu yang amat penting bagi kejelasan
hatimu." Singkatnya, Ki Darma Paksi menanyakan maksud
kedatangan Suto. Dan karena Suto sudah paham dengan maksud pertanyaan itu, maka
ia pun segera memberi
jawaban sebagaimana mestinya.
"Saya ingin melacak hilangnya Kitab Lontar Gegana itu, Ki! Sebab menurut Arum
Kafan, cucu dari Eyang
Panjar Pitu, Ki Darma bisa menolong saya untuk
mencari jejak hilangnya Kitab Lontar Gegana, yang
menjadi kitab pusaka keluarga Eyang Panjar Pitu."
"Sejujurnya kukatakan, di dalam kitab itu ada jurus yang membahayakan dan bisa
membuat orang lurus
menjadi sesat, orang sesat menjadi laknat. Barangkali atas dasar ingin
memusnahkan salah satu bagian dari kitab tersebut, maka kau diutus untuk mencari
hilangnya Kitab Lontar Gegana."
"Betul, Ki Darma. Bisakah Ki Darma Paksi menolong saya?"
"Tak mampu aku menjawab tidak, karena aku punya sedikit pengetahuan tentang
kitab itu. Dan tak mampu kujawab bisa, karena aku memang tak mengerti ke mana
larinya kitab itu sebenarnya. Tetapi setahuku kitab tersebut hilang sebelum Arum
Kafan dan saudara-saudaranya lahir dan Nyai Pancung Layon sudah
mencoba mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib'
beberapa kali, namun selalu gagal. Demikian juga Eyang Panjar Pitu, yang gagal
mempelajari ilmu 'Kidung
Mantera Gaib' tersebut."
Suto tak ingin menyela kata ataupun tanya, karena ia ingin Ki Darma Paksi
menceritakan apa saja yang
diketahuinya, baru nanti Pendekar Mabuk bertugas
menyimpulkannya. Maka, Ki Darma Paksi pun mulai
berkata lagi, "Kegagalan itu membuat antara Eyang Panjar Pitu dengan Nyai Pancung Layon
semakin sering mengejek
dan sering bermusuhan, sehingga Nyai Pancung Layon
sesumbar, bahwa ia tidak akan punya keturunan sampai ketujuh jika ia tidak bisa
mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' tersebut. Dalam sesumbar dan tekadnya,
Nyai Pancung Layon mengatakan, bahwa ilmu 'Kidung
Mantera Gaib' hanya pantas dimiliki dan dikuasai oleh keturunannya saja.
Sedangkan keturunan dari Eyang
Panjar Pitu tak punya kelayakan untuk memiliki ilmu
'Kidung Mantera Gaib'."
Ki Darma Paksi menghentikan kisahnya sebentar.
Pelayannya yang bungkuk itu sudah menghidangkan
sepoci arak dan dua cangkir kosong. Ki Darma Paksi
menuangkan secangkir arak untuk Suto dan secangkir
lagi untuk dirinya sendiri. Kemudian mereka sama-sama meminum arak tersebut,
setelah itu Ki Darma Paksi
berkata lagi, "Di lain waktu, Ki Panjar Pitu pernah bicara padaku dengan sebuah kelembutan dan
sentuhan batin yang
hangat, bahwa ayahnya yang bergelar Manusia Tembus
Raga itu kelak suatu saat akan menitiskan ilmu itu
kepada salah satu keturunannya, tanpa perlu susah payah mempelajari ilmu 'Kidung
Mantera Gaib' apabila
waktunya telah tiba. Tentang siapa yang mendapat
titisan ilmu setan itu, tak seorang pun mengetahuinya, termasuk aku sendiri,
Suto." "Mengapa Ki Darma mengatakan ilmu setan?"
"Karena bagi orang yang tidak kuat jiwanya,


Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib' bisa menjadi setan berjiwa iblis! Godaan
pada jiwa orang yang memiliki ilmu itu sangat besar. Hanya jika orang itu bisa
mengendalikan jiwanya maka ilmu tersebut menjadi
putih dan bisa digunakan untuk membela kebenaran dan kejujuran."
Pendekar Mabuk kembali manggut-manggut dan
setelah beberapa kejap membungkam mulut sendiri, kini ia mulai menarik
kesimpulan, "Jadi Nyai Pancung Layon bertekad untuk
menurunkan ilmu itu kepada salah satu keturunannya"
Apakah itu berarti Nyai Pancung Layon yang mencuri
dan menyembunyikan kitab tersebut, Ki Darma?"
"Secara benar aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, Suto Sinting. Tetapi dalam
kaitan tekad dan kemauan keras Nyai Pancung Layon, kesimpulanmu itu
mendekati kebenaran, namun bisa menjadi meleset jika ada pihak lain yang
memanfaatkan tekad dan kemauan
Nyai Pancung Layon itu!"
"Memang," kata Suto Sinting sambil menganggukkan kepala. "Tapi ditinjau dari
nafsu sang Nyai, rasa-rasanya dia pantas mempunyai tindakan licik dan curang,
seperti misalnya menyembunyikan kitab tersebut agar dipelajari oleh keturunannya
kelak." "Benar sekali pemikiran jernihmu itu, Suto."
"Kecuali memang ada pihak lain yang memanfaatkan nafsu Nyai Pancung Layon. Dan
menurut Ki Darma
Paksi sendiri, apakah ada pihak lain yang bernafsu untuk memiliki Kitab Lontar
Gegana itu?"
"Banyak sekali," jawab Ki Darma Paksi. "Para tokoh persilatan pada masa itu
sama-sama memburu kitab
tersebut karena tergiur oleh kedahsyatan jurus ilmu
'Kidung Mantera Gaib' itu. Satu-satunya tokoh sesat yang pada waktu itu memburu
terang-terangan kitab
tersebut adalah Loh Pati, yang kini mempunyai sisa
keturunannya seorang tabib hitam yang tinggal di lereng Gunung Batu Wulung.
Tabib hitam itu punya jalan sesat tersendiri dan ia dikenal dengan nama Cakra
Wulung. Usianya sekitar empat puluh atau lima puluh tahun."
"Jadi menurut Ki Darma Paksi, ada kemungkinan
kitab itu jatuh ke tangan Cakra Wulung?"
"Benar itu hanya kemungkinan, tapi jangan kau
jadikan suatu kepastian. Yang bisa dijadikan suatu
kepastian, bahwa pada masa itu Loh Pati pernah masuk ke kamar pusaka peninggalan
si Manusia Tembus Raga, namun segera melarikan diri setelah diketahui oleh Nyai
Pancung Layon. Apakah pelarian Loh Pati berhasil
membawa lari kitab itu, atau Nyai Pancung Layon
memanfaatkan kesempatan itu untuk menyembunyikan
Kitab Lontar Gegana. Yang jelas, sejak saat itu Kitab Lontar Gegana dinyatakan
hilang. Sedangkan menurut
indera keenam Ki Bayan Maruto atau Manusia Tembus
Raga itu, tak satu pun ada barang yang disentuh oleh Loh Pati. Apakah pada saat
itu indera keenam Ki Bayan Maruto telah tidak setajam dulu atau memang ucapannya
itu benar. Yang jelas, pada waktu itu Ki Bayan Maruto dalam keadaan sudah tua
sekali, bahkan berkesan pikun.
Satu purnama sejak dinyatakannya kitab itu hilang, Ki Bayan Maruto meninggal,
dan Nyai Pancung Layon
saling tuduh dengan Ki Panjar Pitu."
"Apakah... apakah pada waktu lenyapnya kitab
tersebut, Ki Panjar Pitu sudah menikah?"
"Sudah menikah," jawab Ki Darma Paksi. "Bahkan Ki Panjar Pitu sudah mempunyai
anak pertama berusia delapan tahun, yaitu ayahnya Arum Kafan. Sedangkan
Nyai Pancung Layon sudah mempunyai dua anak yang
kemudian menurunkan si Urat Iblis dan keempat
saudaranya yang bergelar Empat Raja Sesat itu."
Setelah kembali meneguk arak suguhannya, Suto
Sinting mengajukan pertanyaan yang ia sendiri tak bisa
menemukan jawabannya,
"Jadi menurut Ki Darma Paksi, apa yang harus
kulakukan sekarang untuk melacak hilangnya Kitab
Lontar Gegana itu?"
"Sebagai manusia menjelang ajal, tak banyak yang bisa kusarankan kepadamu
kecuali hiduplah dengan
teratur dan baik bagi dirimu sendiri juga berguna bagi hidup orang lain. Kalau
kau ingin sambangi Tabib Hitam Cakra Wulung itu, adalah langkah yang bukan
merupakan suatu keharusan, tapi juga bukan hal yang salah semasa kau tidak main
tuduh terhadapnya!
Menyelidiki seseorang tanpa menyinggung perasaannya adalah tindakan yang
tersulit dalam kehidupan ini,
Suto." Pada intinya Ki Darma Paksi sebenarnya
menyarankan agar Pendekar Mabuk menyelidiki Cakra
Wulung di lereng Gunung Batu Wulung itu. Tetapi
karena bahasanya berputar-putar akhirnya Suto garuk-garuk kepala sendiri merasa
pusing mengartikan
kesimpulan bicara Ki Darma Paksi.
* * * 5 PULANG dari pondok Ki Darma Paksi, Suto Sinting
kembali menyusuri tepian sungai untuk melihat ikan Sepat Dewata yang bisa tembus
pandang itu. Tetapi
alangkah terkejutnya Suto setelah mengetahui dua ikan perak mati mengambang di
tepian sungai tersangkut
batu. Kemudian tak jauh dari situ, Suto jug menemui seekor ikan tembus pandang
menggelepar mati di atas permukaan air. Dan beberapa ikan lainnya mengambang tak
bernyawa, sebagian hanyut terbawa arus sungai yang tak seberapa deras itu.
"Racun..."!" gumam Suto ketika melihat ikan tembus pandang itu mempunyai warna
kebiru-biruan bagai asap dalam dagingnya yang bening itu. Jika bukan karena
memandang ikan tembus pandang mirip kaca, Suto tak
tahu penyebab kematian ikan-ikan di situ.
Hati Pendekar Mabuk itu sempat merasa dongkol dan
kecewa. Ia merasa kasihan terhadap ikan-ikan itu. Dan ketika ia memandang ke
arah hulu sungai, tiba-tiba ia temukan seseorang yang sedang membuang guci kecil
ke sungai. Guci itu hanyut terbawa arus air dan di
tangkap oleh Suto. Hidung Suto mengendus mulut guci itu. Memeriksa kedalamannya,
memeriksa bagian
luarnya, ternyata masih tersisa serbuk hitam melekat di tepian mulut guci.
"Hmm...! Ini racunnya! Jadi orang pendek itu tadi yang menuang racun ke hulu
sungai"! Apa maksud
nya"! Bukankah... bukankah aliran sungai ini yang
mengalir sampai di samping rumah Arum Kafan dan
airnya biasa dipakai untuk minum atau memasak" Ini
berarti Arum Kafan bisa mati keracunan jika minum air ini mulai dari sekarang!
Ah, sebaiknya kukejar saja orang pendek berpakaian hitam tadi!"
Zlappp...! Pendekar Mabuk melesat melebihi gerakan
angin. Dalam waktu sekejap ia sudah bisa menemukan
orang bertubuh sedikit gemuk dan tergolong pendek,
walau bukan cebol. Suto berdiri menghadang di depan langkah orang berpakaian
hitam-hitam itu, yang tak lain adalah Dogol, murid Tulang Neraka yang ditugaskan
meracuni air sungai tersebut untuk membunuh Arum
Kafan dan adik-adiknya.
Si wajah rusak akibat bekas sabetan golok itu menjadi terkejut ketika melihat
seseorang berdiri
menghadangnya. Langkahnya pun terhenti seketika
dengan matanya tajam memandang penuh curiga.
"Mau apa kau menghadangku?" Dogol menggertak.
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis dan
menjawab, "Mau bertanya padamu, benarkah kau telah menuang racun ke dalam air sungai
itu"!"
"Ya. Benar!" jawab Dogol
jujur-jujur saja.
Menurutnya, kalau dia berani menjawab jujur begitu, berarti ia berani menghadapi
tantangan siapa saja.
"Untuk maksud apa kau membuang racun ke sungai bening itu?"
"Untuk meracuni air sungai!"
"Apakah kau pencari ikan?"
"Bukan!"
"Lantas untuk apa kau meracuni air sungai?"
"Supaya mematikan jika diminum orang!"
"Apakah kau mempunyai dendam dengan orang
orang sepanjang tepian sungai itu?"
"Tidak!"
"Lantas, untuk apa kau ingin mematikan orang yang
meminum air sungai itu?"
"Karena tugas!" jawab Dogol tanpa tipuan sedikit pun.
Tugas dari siapa?" desak Pendekar Mabuk semakin ingin tahu.
"Dari guruku!"
"Tugas yang bagaimana sebenarnya?"
"Tugas membunuh keluarga Arum Kafan!"
Terperanjat Suto mendengar jawaban polos yang sok
jago itu. Matanya segera terkesiap memandang Dogol.
Dilihat dari kemudaan usianya, Suto mulai curiga
jangan-jangan guru pemuda itu adalah Tabib Hitam si Cakra Wulung itu" Maka,
bertanyalah Suto kepada
pemuda berwajah rusak itu,
"Siapa gurumu yang agung itu?"
"Tulang Neraka!" jawab Dogol, merasa mantap menjawabnya setelah mendengar Suto
mengagungkan gurunya. "Ooo... jadi kamu orang suruhan Tulang Neraka?"
"Murid Tulang Neraka!" kembali Dogol menjawab dengan bangga. "Dan kalau aku
sudah menamatkan belajarku dari guruku si Tulang Neraka, maka aku akan mengubah
nama menjadi Pendekar Sumsum Neraka!"
Tak tahan Pendekar Mabuk mendengarnya, maka ia
pun tertawa geli.
"Diam! Jangan meremehkan gelarku nanti!" bentak Dogol berlagak galak. Ia belum
tahu siapa orang yang dihadapinya. Ia hanya menyangka yang dihadapi adalah
seorang pemabuk, terbukti menenteng bumbung tuak
terus sejak tadi.
"Tak mudah mendapat gelar pendekar, Sobat!
Seorang pendekar harus punya jiwa ksatria,
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan
diri sendiri, menolong banyak orang dan berani berjalan di jalur kebenaran,
menegakkan keadilan dan...."
"Tutup mulutmu! Tak perlu kau berceloteh
mengguruiku!"
Srett...! Dogol mencabut goloknya dengan wajah
garang. Lalu, ia berkata dengan menggertak,
"Minggir kau dari jalanku, dan jangan ganggu aku kalau masih ingin melihat
matahari esok pagi!" .
Suto tertawa pendek. Tawanya Suto itu dianggap
suatu penghinaan buat Dogol. Karena itu, Dogol tak bisa tahan diri lagi, maka ia
pun melompat dengan goloknya siap dibacokkan ke arah kepala Pendekar Mabuk.
"Hiaaat...!"
Clapp...! Golok itu masuk di antara kedua jari Suto Sinting. Menjepit kuat
sekali kedua jari itu di depan wajah Suto yang sedikit ditarik mundur. Kemudian
dengan satu sentakan kecil ke kiri, golok itu pun patah seketika. Krakk...! Sisa
patahannya masih terjepit di kedua jari Pendekar Mabuk. Sisa patahan terutama
bagian ujung golok itu, segera dilemparkan oleh Suto dengan tangan berkelebat ke
samping. Zingngng...!
Jrubb...! Ujung golok itu menancap di sebuah batang pohon, dan bahkan lenyap
masuk ke dalam batang yang keras.
Dogol semakin terbengong. Pertama terbengong
melihat goloknya bisa ditangkap dengan dua jari, kedua terbengong karena melihat
goloknya bisa dipatahkan dengan gerakan ringan dan mudah, ketiga terbengong
karena patahan golok bisa menancap hilang ke batang pohon yang keras. Terbayang
olehnya alangkah ngerinya jika patahan logam baja dari goloknya itu menancap ke
dadanya. Jika batang pohon sekelas itu bisa tembus, apalagi dadanya yang empuk.
Mungkin malahan bisa
tembus bolong lewat punggungnya
Di dalam hati Dogol masih sempat berkata, "Orang ini benar-benar sakti atau
hanya kebetulan saja dia menjadi sakti" Mungkin memang golokku telah rapuh,
dan gerakanku tadi kurang cepat!"
Itulah sebabnya, Dogol cepat melepaskan serangan
lagi dengan sebuah tendangan yang melompat dan
berputar cepat. Zlapp...! Tendangan Dogol mengenai tempat kosong. Ia bagaikan
menendang angin, karena
tiba-tiba Pendekar Mabuk sudah berpindah tempat,
berada di belakangnya agak jauh, antara berjarak lima tombak.
"Edan orang itu!" katanya dalam hati. "Cepat sekali gerakannya. Tahu-tahu ada di
sana! Atau... jangan-jangan ia terhempas terbang karena terkena kibasan
angin tendanganku saja"! Hmmm...! Kalau begitu aku
harus menyerangnya terus, supaya dia terdesak dan
akhirnya merasa jera dengan sikapnya yang angkuh
memandangku dan tersenyum padaku itu!"
"Manusia belut!" katanya kepada Suto, "Terimalah pukulan jurus 'Harimau Garang'
ini, hiaaat...!"
Dogol melompat maju seperti seekor harimau ingin
menerkam mangsanya. Kedua telapak tangannya siap
dihempaskan dalam satu gerakan bersamaan. Tetapi
belum tercapai maksudnya itu, tiba-tiba berkelebat
sesosok bayangan melintas di depannya. Wuttt...!
"Aaauh...!"
Tiba-tiba terdengar suara Dogol menjerit sebelum ia jatuh ke tanah. Dan ketika
ia jatuh ke tanah, ternyata tangan kanannya dulu yang jatuh, setelah itu disusul
dengan tubuhnya yang rada gemuk itu.
Pluk, bluggh...!
Pendekar Mabuk pun terkesiap melihat tangan kanan
Dogol dalam keadaan putus terpotong. Dogol meraung kesakitan, darah mengucur ke
sekujur tubuh, karena
tangan itu putus dari batas pergelangan sikunya.
Segera Suto berpaling memandang ke arah
berlawanan dengan jatuhnya Dogol. Dan mata Suto
kembali terkesiap melihat seraut wajah cantik jelita telah berdiri di sana
dengan pedang panjang tergenggam
memakai dua tangan. Wajah cantik itu berdiri agak
miring, seakan siap tebaskan pedang panjangnya lagi jika Suto atau siapa pun
maju menyerangnya.
Dogol segera bangkit dengan meratap-ratap. Melihat orang yang masih memegang
pedang dengan berlumur
darah pada bagian tepiannya, Dogol menjadi sangat
gemetar, kemudian tanpa bicara apa-apa ia pun segera lari pergi dari tempat itu.
Wuttt...! Beberapa saat dia kembali lagi. Wuttt...! Potongan
tangannya ketinggalan, dan kini diambilnya dengan rasa
takut, kemudian pergi lagi dengan berlari secepat-
cepatnya. Wuttt...!
"Kulaporkan kau pada guruku!" teriaknya sambil menjauh dan cepat menghilang di
semak-semak belukar sana.
Kini tinggal Pendekar Mabuk dan perempuan cantik
itu. Perempuan itu memandang Suto dengan wajah
judes, mulutnya masih cemberut, itu lantaran tadi ia menebas tangan Dogol. Dan


Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agaknya ia memang punya
kejengkelan atau dendam kepada Dogol, sehingga
cemberut di wajahnya belum hilang, walaupun kini yang dihadapi adalah seorang
pemuda tampan berwajah
menarik. "Gerakan pedangmu cukup hebat! Kau pasti jago
memainkan pedang, dan mungkin menguasai jurus
pedang yang dahsyat! Caramu berkelebat bisa memilih mana yang tangan dan mana
yang kepala. Dan aku yakin kau sengaja tidak membunuh orang tadi, namun hanya
melukainya sebagai pelajaran bagi orang itu!"
Gadis cantik yang wajahnya sungguh mempesona itu
diam saja, tapi sudah mulai mengendurkan
ketegangannya. Bahkan mengambil beberapa helai daun semak, lalu membersihkan
pedangnya, dan dimasukkan
kembali ke dalam sarung pedang yang ada di
punggungnya. Sarung pedang itu tersumbul dari celah-celah rambutnya yang panjang
sebatas lewat punggung dan diurai lepas. Ia mengenakan jubah tipis warna hijau
muda dengan pakaian pinjung hitam sebatas dada.
Tersembul jelas warna dada dalam belahan kulit kuning
langsat yang mulus menggiurkan hati lelaki.
"Ini lebih cantik lagi," gumam Suto Sinting dalam hatinya yang berseri-seri
memuji kecantikan perempuan itu. "Ia kelihatan lebih cantik dari Arum Kafan atau
Kembang Darah, atau si Delima Ungu. Dan ia kelihatan lebih matang. Matanya pun
menantang nakal, bibirnya berbentuk sangat indah. Bentuk wajahnya yang sedikit
lonjong, sangat sesuai dengan bentuk hidungnya yang mancung. Wahai, siapa
gerangan dia, ya Dewa"
Mengapa ia amat mengagumkan dan menawan hatiku?"
Perempuan itu tergolong tinggi, tapi badannya sekal dan kencang, sehingga tidak
tampak canggung. Ia
mempunyai ketinggian tubuh sejajar dengan Pendekar
Mabuk. Layak menjadi prajurit Srikandi. Jari-jarinya lentik berkuku panjang
namun bukan runcing. Betisnya indah, dan sangat serasi mengenakan celana ketat
bludru berhias benang perak.
"Aku tak pernah sekagum ini padamu, Perempuan,"
ucap Pendekar Mabuk tak sadarkan diri. "Aku tak pernah berdebar-debar seperti
ini!" dalam hati Suto berkata, "Selamatkan aku dari godaan, ya Dewa...!"
Perempuan itu mulai berwajah manis. Tidak
cemberut lagi. Suto makin berdesir-desir hatinya.
Bahkan ketika perempuan itu tersenyum, jantung Suto berdetak cepat sekali. Namun
di dalam hatinya Suto
kembali berkata dengan mata tetap memandang
kecantikan itu,
"Kurasa dia mempunyai ilmu pemikat hati lelaki!
Tinggi juga ilmu pemikatnya itu, sehingga aku dibuat
berdebar-debar begini!"
Perempuan itu tetap diam di tempat. Matanya
memandang ke arah lain, bagai mencari sesuatu dengan sekejap, kemudian kembali
menatap Suto Sinting lagi.
"Apakah kau sudah sejak tadi memperhatikan aku menghadang pemuda rusak wajah
itu"!" tanya Pendekar Mabuk.
Perempuan itu hanya mengangguk. Kemudian
memandangi tanaman liar yang berbunga. Sambil
memunggungi Suto ia berkata,
"Telah kudengar percakapanmu dengan si Dogol tadi.
Dan aku merasa aneh, mengapa kau bernada marah dan
curiga ketika Dogol mengatakan menuang racun ke
dalam sungai!"
"Karena sungai itu mengalir di samping kediaman sahabatku, Arum Kafan dan kedua
adiknya. Jika air itu diminum, maka Arum Kafan dan kedua adiknya bisa
mati!" "Kekasihmukah Arum Kafan itu?" tanyanya masih sambil memetik-metik bunga. Seakan
acuh tak acuh pada Suto. Terdengar suara Suto menjawab di sela tawanya yang
mirip orang menggumam panjang itu,
"Bukan. Dia bukan kekasihku. Tapi hubunganku
cukup baik dengan ketiga saudara itu!"
"Cantikkah mereka itu menurutmu?"
"Lebih cantik kamu. Boleh kutahu siapa namamu?"
Gadis itu memandang. Bibirnya yang rapat
menyunggingkan senyum kecil, membuat jantung
Pendekar Mabuk semakin bergemuruh lagi. Kemudian ia kembali memetik-metik bunga,
memunggungi Suto
dengan lagak acuh-acuh butuh, dan terdengar lagi ia bersuara lembut,
"Yang penting adalah namamu. Namaku tak seberapa penting bagi siapa saja!"
"Namaku Suto Sinting."
Cepat-cepat wajah itu memandang bagai orang
terkejut. Bibirnya tetap terkatup rapat tanpa senyum.
Matanya tak berkedip walau bukan berarti membelalak lebar. Mata itu menatap
lurus menembus Pendekar
Mabuk dan menggetarkan hati kembali. Suto
menggerutu terus di dalam benaknya, karena getaran itu membahayakan jiwanya.
Suto tahu, getaran itu adalah daya pikat yang sukar dihindari.
Untung perempuan itu kembali melangkah
melemparkan pandangannya pada alam sekeliling,
bersikap tak memandang Suto ketika Suto bertanya
kepadanya, "Kau sepertinya terkejut. Apakah kau pernah
mendengar namaku?"
"Hanya mendengar," jawabnya sambil acuh tak acuh, tetap tak mau bicara memandang
Pendekar Mabuk.
Bahkan sekarang ia memperhatikan batang pohon yang
tadi tertancap patahan ujung golok. Ia memegang,
meraba-raba bagian yang ditancap patahan ujung golok itu sambil berkata,
"Namamu cukup kondang. Hampir semua tokoh
dunia persilatan mengetahui, bahwa Suto Sinting itu
adalah Pendekar Mabuk. Tapi orang seperti aku hanya tahu nama saja, dan baru
sekarang berhadapan langsung dengan orangnya. Itu pun masih tak kutahu, mengapa
ia berjuluk Pendekar Mabuk. Mabuk apakah dia" Aku tak
tahu, mungkin mabuk tuak, mungkin mabuk cinta, atau mungkin mabuk gandung...
entahlah!" bahunya
berguncang satu kali tanda tak mengerti dengan
pertanyaannya sendiri.
Pendekar Mabuk tertawa pelan, setelah itu meneguk
tuaknya beberapa kali. Perempuan itu tiba-tiba
menghantam pohon tersebut dengan telapak tangannya.
Degg...! Zlubb...! Patahan ujung golok yang menancap ke dalam batang pohon itu
melesat keluar dari tempatnya dan jatuh di depan kaki Pendekar Mabuk. Pluk...!
"Aih, unjuk ilmu juga dia rupanya"!" Suto membatin diam-diam. Lalu ia tersenyum
ketika perempuan itu
melangkah mendekatinya tanpa sunggingkan senyum
lagi. Tapi wajahnya masih berkesan menawan.
Tiba di depan Suto, dalam jarak satu langkah, ia
memandang dengan senyum tipis sengaja dibuat
memikat dan mempercantik wajahnya. Suto tertegun
memandangnya dalam sekejap. Ia tahu perempuan itu
bukan sekadar mendekat untuk menatap wajahnya,
namun juga ingin mengambil logam yang keluar dari
batang pohon itu. Alasan tersebutlah yang digunakan untuk menatap wajah Suto
dekat-dekat. Dan Suto sendiri segera sentakkan kakinya pelan ke tanah.
Dugg...! Tiba-tiba logam yang keluar dari pohon dan jatuh di
depannya itu melesat naik bagai tersentak dari bawah tanah. Tabb...! Logam itu
langsung ditangkap oleh Suto.
Digenggam, kemudian genggamannya disodorkan ke
depan, dan tangan itu pun membuka seakan
menyerahkan logam itu biar diambil oleh perempuan
tersebut. Suto tetap sunggingkan senyum, seakan puas
membalas pamer ilmu kecil-kecilan itu. Perempuan
tersebut juga semakin nyata dalam sunggingkan
senyumnya, kemudian mengambil logam tersebut dari
tangan Suto. Caranya mengambil bukan hanya
menyentuh logam itu, namun juga menyentuh tangan
Suto, seakan meremasnya lembut lalu menariknya lolos.
Dan kini logam berpindah ke tangannya, digenggam
olehnya seakan ingin ditunjukkan, apa yang terjadi
setelah logam itu dalam genggamannya.
Tetapi kejap berikutnya matanya sedikit terkesiap
melihat telapak tangan Suto yang masih terbuka itu
ternyata tidak kosong, melainkan masih terdapat logam tersebut di atasnya.
Perempuan itu menatap mata Suto buru-buru, dan Suto berkata,
"Tak bisakah kau mengambilnya sekali lagi?"
Perempuan itu buru-buru pula membuka genggaman
tangannya. Ternyata dalam genggaman tangannya itu
kosong. Tak ada benda apa pun. Padahal dia tadi merasa telah mengambilnya dari
tangan Suto. "Ambillah seperti tadi lagi, rasa-rasanya begitu menyentuh sampai ke dasar
kalbuku!" kata Suto Sinting dengan suara lembutnya.
Tapi kali ini perempuan itu mengambilnya pelan-
pelan. Terlihat jelas jari-jemarinya yang lentik indah itu memungut benda
tersebut. Hanya saja, secara tiba-tiba badannya bergerak memutar dan benda itu
dilemparkan dalam satu kelebatan tangannya. Wuttt...!
"Aauh...!" terdengar suara dari balik kerimbunan semak. Kejap berikutnya seorang
perempuan berpakaian kuning melompat dari semak itu dengan pundaknya
berdarah karena terserempet lemparan benda logam itu.
Suto sempat terkejut melihat munculnya perempuan
tak dikenal itu. Ia mengakui kehebatan indera
perempuan cantik berjubah hijau muda itu yang cukup peka, sehingga mengetahui
ada orang yang mengintipnya dari balik semak.
"Perempuan lacur! Bersiaplah menerima kematianmu untuk menebus nyawa kakakku
yang kau cabut seenaknya itu!" teriak perempuan berpakaian kuning itu.
"Kau boleh bangga bisa membunuh Pramana, tapi
jangan harap kau bisa lolos dari tanganku! Hiaaat...!"
Settt...! Perempuan cantik berjubah hijau muda itu
mencabut pedangnya, sementara lawannya yang berbaju kuning sudah menggenggam
pedang sejak tadi. Kini
mereka beradu pedang dalam satu lompatan udara.
Wrettt...! Dan tiba-tiba lengan si baju kuning berdarah.
Lengan itu koyak tertebas pedang si jubah hijau
"Hmm...! Tak seimbang!" kata Pendekar Mabuk dalam hati. "Bisa mampus itu si baju
kuning! Jubah hijau bukan lawannya...! Dan... dan... oh, hampir aku lupa!
Aku harus cepat-cepat memberitahukan Arum Kafan
bahwa air sungai itu beracun! Aku harus segera
mencegahnya supaya jangan ada yang minum atau
memasak menggunakan air sungai itu!"
Suto memutuskan untuk meninggalkan pertarungan
dua perempuan tersebut, ia segera melesat pergi dalam kecepatan tinggi, menuju
ke rumah Arum Kafan. Tak
peduli lagi ia dengan si wajah cantik yang mampu
menggetarkan hatinya tadi.
* * * 6 REMBULAN bertengger di pucuk awan. Cahaya
purnama menyiram bumi, membias di celah-celah
dedaunan, menghadirkan bunga-bunga kemesraan yang
tumbuh sendiri di dalam hati setiap manusia yang sedang dilanda damai.
Di sela-sela bias purnama itu, Suto Sinting berdiri memandang curahan air sungai
dari ketinggian halaman rumah Arum Kafan. Hampir saja ia terlambat
memberitahukan Arum Kafan tentang air sungai yang
dicemari oleh racun si Dogol, utusan Tulang Neraka.
Untung pada waktu kemarin, Suto datang tepat ketika Arum Kafan mau mengambil air
untuk mengisi tempayannya. Belum sempat air itu terambil, Pendekar Mabuk telah datang dan
membawa kabar tentang racun
tersebut. Selamatnya mereka dari ancaman air sungai beracun,
tidak menjadi bahan pembicaraan yang panjang. Sesuatu
yang membuat lebih menarik dibicarakan adalah
kemungkinan adanya kitab pusaka di tangan Cakra
Wulung. Tetapi Arum Kafan dan kedua adiknya itu
sependapat, bahwa Cakra Wulung telah mati di tangan kakak mereka, yaitu Dewi
Taring Ayu. Dan sejak itu, Dewi Taring Ayu jarang sekali pulang ke rumah.
Apakah itu berarti Dewi Taring Ayu berhasil membawa lari dan menyembunyikan
kitab tersebut dari tangan
Cakra Wulung"
Hal inilah yang menjadi bahan renungan Suto, ketika ia memandangi gemericik air
sungai dari pinggir
halaman rumah tua tersebut. Jika memang benar Kitab Lontar Gegana ada di tangan
Dewi Taring Ayu, lantas apa tindakan Suto selanjutnya" Merebut kitab itu,
ataukah membiarkannya" Bukankah Dewi Taring Ayu
berhak memiliki kitab tersebut ketimbang Suto atau orang lain"
Sementara Pendekar Mabuk di luar, ketiga gadis
cantik itu berkumpul di ruang atas, tempat mereka bisa memandang keadaan di
sekeliling kediamannya itu.
Arum Kafan memandang dari arah jendela ruang atas
kediamannya. Ia memperhatikan Pendekar Mabuk yang
merenung sendirian di sudut halaman rumah itu.
Kembang Darah dan Delima Ungu sedang bicara pelan-
pelan. Kembang Darah sedang memberi pengertian
seluas-luasnya kepada adik bungsunya tentang perasaan hati, perbedaan cinta, dan
kasih sayang, perbedaan kagum dan terkesan.
Tiba-tiba terdengar suara Arum Kafan agak datar
berkata tanpa memandang ke arah kedua adiknya,
"Kembang, jemput Suto dan bawa masuk dia!"
Delima Ungu segera berkata, "Mengapa terus
Kembang yang kau suruh?"
"Siapa saja di antara kalian berdua, jemput Suto dan bawa masuk secepatnya!
Lekas!" nada itu sedikit membentak, berkesan tegang. Nada itu membuat
Kembang Darah dan Delima Ungu saling memandang
Arum Kafan dengan dahi berkerut. Kembang Darah
segera bertanya,
"Ada apa"!"
"Lekas kataku!" bentak Arum Kafan bernada datar dan keras.
"Iya, tapi ada apa kau perintahkan kami begitu"!"
Delima Ungu ikut membela pendapat Kembang Darah.
"Seseorang sedang menuju kemari! Lihatlah sendiri!"
Keduanya segera bergegas ke jendela. Keduanya
sama-sama terperanjat dan menjadi sedikit tegang. Yang jelas, kecemasan mulai
menyelimuti hati mereka!
Delima Ungu yang bertanya tanpa memandang siapa-
siapa, kecuali memandang orang yang sedang menuju ke tempatnya,
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Sembunyikan Suto dan jangan bicara tentang Suto!"
"Bagaimana jika dia bertanya kepada kita tentang rencana menyembunyikannya"!"
tanya Kembang Darah.


Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan saja ada bahaya!"
"Dia pasti ingin menghadapi bahaya itu!"
"Katakan ini bahaya yang tidak bisa dihadapinya!"
"Lalu dia minta dijelaskan! Bagaimana kalau begitu?"
Arum Kafan diam sebentar. Ia sembunyikan
kegelisahan yang mencemaskan hatinya. Tapi akhirnya ia berkata,
"Bawalah dia kemari, aku yang akan
menjelaskannya!"
Tiba-tiba Delima Ungu yang masih berdiri di jendela segera berkata,
"Terlambat!"
Kedua kakaknya berpaling menatapnya dengan mata
terbuka tegang.
"Apa maksudmu?"
"Suto telah melihat kehadirannya! Ia sedang
mendekati Suto!"
Kedua kakaknya segera ke jendela. Arum Kafan
menggeram, "Sial! Kita terlalu banyak bicara! Kita turun semua! Hadapi dia!"
Pada saat itu Suto Sinting diliputi keheranan, tapi juga mempunyai kelegaan yang
aneh di dalam hatinya.
Ia memandang kehadiran seorang perempuan yang
wajahnya tak asing lagi baginya. Perempuan itu berjubah hijau muda dan
berpakaian ketat hitam. Perempuan
itulah yang dilihat Suto mempunyai gerak jurus pedang cukup bagus, dan berhasil
memotong tangan utusan
Tulang Neraka. Perempuan itu kali ini mendekati Pendekar Mabuk
dalam curahan cahaya rembulan terang. Suto lebih dulu sunggingkan senyum melihat
kedatangan perempuan itu, dan si perempuan membalasnya dengan senyuman tipis,
tapi pandangan matanya menggoda.
"Dari mana kau tahu aku ada di sini"!" tanya Suto dengan kalem.
Perempuan itu tidak langsung menjawab, tapi ia
semakin mendekati Pendekar Mabuk, hingga kini
jaraknya tinggal dua langkah dari depan Suto. Hati Suto semakin berdebar-debar
digeluti rasa tertarik kepada perempuan itu. Semakin lama ia dipandangi
perempuan cantik yang punya bibir indah itu, semakin cepat detak jantungnya.
"Maaf, kala itu kutinggalkan dirimu dengan si baju kuning, karena aku harus
memberitahukan sahabat-sahabatku tentang air sungai yang beracun itu! Dan...
dan aku tak tahu di mana kau berada, sehingga aku tak sempat mendatangi tempat
tinggalmu!"
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang perempuan
itu, "Jauhi dia! Kali ini jangan ganggu dia! Kami akan, melawanmu kalau kau menggangu
dia!" Ucapan itu jelas terdengar dari mulut Arum Kafan.
Ucapan itu merupakan sebuah larangan sekaligus
ancaman untuk perempuan cantik berjubah hijau itu.
Suto Sinting berkerut dahi melihat Arum Kafan
mendekati perempuan itu dengan wajah bermusuhan,
juga Kembang Darah yang sudah menenteng pedangnya,
dan Delima Ungu sudah mencabut salah satu kipasnya
yang dikembangkan. Kembang Darah dan Delima Ungu
segera mendampingi Suto, di sebelah kanan-kiri pemuda itu. Sementara Arum Kafan
bicara dengan berdiri di
samping perempuan berjubah hijau.
Perempuan itu diam saja. Kalem. Sepertinya ia
anggap sepi ancaman Arum Kafan itu. Sepertinya ia
anggap tak ada siapa-siapa di sekelilingnya, kecuali dirinya dan Suto Sinting.
"Suto, masuklah ke dalam! Jangan hadapi perempuan ini!"
'Kenapa" Dia tidak menggangguku!" kata Pendekar Mabuk setengah ngotot kepada
Arum Kafan. "Ikutlah kami, Suto! Nanti kami jelaskan," kata Kembang Darah.
Pendekar Mabuk agak bimbang karena bingung. Ia
bahkan berkata kepada perempuan berjubah hijau itu,
"Haruskah aku mengikuti saran dan ajakan mereka?"
Perempuan itu tersenyum lebar, makin lebar, dan kini bahkan tertawa pelan dengan
mulut terbuka. Mata Suto terperanjat kaget, karena ia melihat bahwa ternyata
perempuan cantik itu bertaring di kedua sisi mulutnya.
"Wow...! Menyeramkan sekali"!" gumam Suto di dalam hatinya. Ia bagai tak bisa
mengedipkan matanya saat itu, karena masih terpaku di tempat, melihat
perempuan cantik, menarik hati, namun mempunyai
taring tajam dan runcing, walau tak terlalu panjang, namun kelihatan menonjol
karena tidak sejajar dengan gigi lainnya. Suto membatin,
"Pantas...! Pantas dia tak mau bicara berhadapan muka denganku! Pantas senyumnya
mahal sekali. Rupanya dia menyembunyikan taringnya itu dariku! Tak kusangka cantik-cantik tapi
begitu membuka mulut bisa
mendirikan bulu kuduk!"
"Kita bicara di dalam, Suto!" Delima Ungu sedikit memaksa sambil menarik lengan
Pendekar Mabuk.
Maka, tak ada pilihan lain buat Pendekar Mabuk kecuali mengikuti apa kata Delima
Ungu itu. Cahaya rembulan semakin menambah keseraman
wajah perempuan itu, ketika si perempuan semakin keras melontarkan tawanya,
memandangi Suto dibawa masuk
oleh Delima Ungu dan Kembang Darah.
"Siapa dia"!" tanya Suto setelah berada atas.
"Kakak kami Dewi Taring Ayu!" jawab Delima Ungu.
"Ooo...!" Suto manggut-manggut. "Lalu, mengapa aku tak diizinkan menemuinya"
Mengapa kalian kelihatannya mencemaskan diriku?"
Delima Ungu akhirnya menjelaskan permasalahan
yang sejak tadi dicemaskan oleh ketiga gadis cantik itu,
"Dia penghisap darah lelaki!"
"Apa maksudnya?"
"Dia mempunyai aji 'Candra Pamikat'. Setiap lelaki yang dipandangnya akan tunduk
kepadanya dan menjadi bergairah, jatuh cinta, terpikat, atau apa lagi.... Yang
jelas lelaki itu akan pasrah jika diajaknya bercumbu di mana saja dan kapan
saja! Tetapi, setelah Dewi Taring Ayu merasa puas menikmati lelaki itu, ia akan
menggigit leher lelaki itu dan menghisap darahnya sebanyak
mungkin!" Kembang Darah menambahkan kata, "Selama
hidupnya sejak kecil, ia tak pernah makan dan minum,
kecuali mereguk darah. Kadang darah hewan, tapi yang paling digemari adalah
darah manusia lelaki.
Menurutnya lebih manis dan lebih mengenyangkan
perut." "Itulah sebabnya," kata Delima Ungu, "Kami tak pernah sempat punya kekasih,
sebab selalu diganggu
olehnya, selalu mati di dalam pelukannya! Dan kami
tidak bisa melawan Dewi Taring Ayu, karena kami
terikat wasiat dari mendiang Ayah kami."
"Apa bunyi wasiat itu"!" tanya Pendekar Mabuk dengan berkerut dahi.
"Kami tak boleh membunuh Dewi, apa pun yang
dilakukan olehnya. Kami hanya boleh mengusir dia atau menghindari dia, tapi tak
boleh membunuh dia!"
"Mengapa?" desak Pendekar Mabuk lagi.
"Karena, sewaktu kami masih kecil-kecil, Ayah
dalam keadaan sakit berat, parah sekali! Pada waktu itu, Ibu sudah tiada, kami
diserang oleh keluarga Loh Pati, termasuk Cakra Wulung yang masih muda dan kekar
itu. Kami semua terancam maut, dan hanya dia yang bisa
menyelamatkan dengan ilmu 'Candra Pamikat'-nya. Satu persatu dari lawan kami
diajaknya masuk ke kamar dan dibunuh di sana...."
Kembang Darah menambahkan kata, "Waktu itu,
Dewi masih sangat remaja, masih berusia sekitar dua belas tahun, masih kelihatan
segar dan cantik sekali, lebih cantik dari sekarang. Arum Kafan masih berusia
sembilan tahun, dan belum bisa apa-apa! Kalau tidak ada dia, kami sekeluarga
sudah dibantai habis oleh keluarga
Loh Pati. Satu-satunya orang yang lolos dari maut Dewi Taring Ayu adalah Cakra
Wulung!" Suto manggut-manggut, sementara itu Delima Ungu
kembali menambahkan kisahnya,
"Kata Ayah, kami berhutang nyawa padanya. Sebab itu, sebelum Ayah menghembuskan
napas yang terakhir kalinya, beliau sempat berpesan agar kami tidak boleh
membunuh Dewi Taring Ayu, dan Dewi pun tidak boleh
membunuh kami. Memang selama ini dia tidak pernah
menyakiti kami...."
"Tapi mengganggu kekasih kami," sahut Kembang Darah.
Delima Ungu berkata juga, "Itulah sebabnya, kami sepakat untuk pergi
meninggalkan rumah ini jika kami mempunyai kekasih dan berusaha untuk tidak
mempertemukan kekasih kami dengan Dewi!"
"Karenanya, semula kami ingin sembunyikan kamu, supaya kamu tidak jatuh dalam
jeratan aji 'Candi
Pamikat'-nya!"
Suto Sinting menyempatkan meneguk tuaknya berapa
kali, setelah itu baru berkata,
"Sudah terlambat sebenarnya."
"Terlambat bagaimana?" tanya Kembang Darah.
"Aku sudah terpikat dengannya, sejak bertemu di hulu sungai, saat aku melihat
Dogol menuangkan racun ke sungai itu!"
"Celaka...!" gumam Delima Ungu.
"Tapi seperti kau ketahui, aku tidak terbujuk dalam pelukan mesranya! Aku masih
hidup dan tidak
mengalami luka apa pun! Kuakui, dia mempunyai
kekuatan hebat saat menatapku. Hatiku berdebar dan
gairahku terbakar. Tapi ia tak tahu siapa diriku. Suto Sinting tak mudah
ditundukkan oleh kekuatan seperti
'Candra Pamikat'. Justru yang kukhawatirkan kalau dia yang jatuh terpikat padaku
dan memilih mati daripada tak menjadi kekasihku! Itu yang kutakutkan!"
Lalu Arum Kafan muncul, dan semua menjadi diam.
Karena di belakang Arum Kafan muncul juga Dewi
Taring Ayu yang melangkah dengan angker namun
punya kesan wibawa tersendiri di mata adik-adiknya. Ia langsung menemui Suto,
membuat Delima Ungu dan
Kembang Darah cemas. Arum Kafan memberikan
isyarat agar mereka tenang, dan berbisik kepada mereka.
"Sudah kubicarakan dengannya saat di bawah tadi!
Dia tak akan mengganggu Suto! Tenang saja!"
Terdengar Pendekar Mabuk yang beradu pandang
dengan Dewi Taring Ayu itu berkata di sela senyum
ketenangannya, "Tak kusangka kalau kau adalah kakak dari ketiga saudara ini!"
"Tak kusangka pula kau mencari Kitab Lontar
Gegana!" kali ini Dewi Taring Ayu bicara dengan berhadapan muka dengan Pendekar
Mabuk, tak malu
lagi memperlihatkan giginya yang bertaring runcing itu.
"Rupanya Arum Kafan sudah bicara padamu siapa
aku?" "Ya. Dan aku tahu kau mencurigai aku sebagai si pembawa Kitab Lontar Gegana dari
tangan Cakra Wulung!" Suto tersenyum canggung jadinya. "Apakah kau
merasa begitu"!"
"Aku hanya merasa dicurigai, tidak merasa memiliki kitab pusaka tersebut!" jawab
Dewi Taring Ayu. "Yang ingin kutanyakan padamu, siapa yang menyuruhmu
mengambil kitab pusaka itu?"
Rupanya saat itu Arum Kafan juga menunggu
jawaban dari Suto Sinting. Demikian pula Kembang
Darah dan Delima Ungu. Mereka sama-sama menunggu
jawaban dan ingin tahu siapa yang mengutus Pendekar Mabuk melacak hilangnya
jejak kitab pusaka tersebut.
Kejap berikutnya, Suto pun akhirnya menjawab,
"Guruku!"
"Siapa gurumu?" desak Dewi Taring Ayu.
"Si Gila Tuak!"
Dewi Taring Ayu bergerak mundur bagai orang
terkejut. Arum Kafan juga tersentak napasnya dengan mulut sedikit ternganga,
sedangkan Kembang Darah dan Delima Ungu segera saling pandang dengan dahi
berkerut. "Mengapa kau terkejut mendengar nama guruku?"
tanyanya kepada Dewi Taring Ayu.
"Ki Sabawana, atau si Gila Tuak, adalah kakak dari kakek buyut kami, yaitu Eyang
Buyut Bayan Maruto
alias Manusia Tembus Raga!"
"Kakak-beradik..." Tapi, Guru tidak pernah
menceritakan hal itu padaku! Jangan-jangan kau salah menarik silsilah, Dewi!"
"Tidak. Cukup lama kupelajari silsilah itu, bahwa Eyang Buyut Manusia Tembus
Raga itu adalah adik dari Ki Sabawana, tapi mereka hanya adik satu ayah lain
ibu. Sekalipun hanya adik satu ayah dan lain ibu, namun
persaudaraan beliau cukup erat dan baik. Jadi, aku
memanggil gurumu dengan sebutan.... Eyang Buyut
juga!" Arum Kafan menambahkan kata, "Pantas kau punya tuak seampuh itu!"
Dewi Taring Ayu berkata, "Dan pantas pula kau
mampu menahan aji 'Candra Pamikat'-ku! Pasti kau telah memiliki 'Sukma Pamikat'
dari adik perguruan si Gila Tuak, yaitu Bidadari Jalang!"
Suto Sinting hanya tersenyum malu, tak berani
memandang mereka. Ia melayangkan pandangannya
melalui jendela, memandang malam bercahaya rembulan dan bertanya dalam hati,
"Lalu, ke mana kitab itu" Siapa yang memilikinya?"
* * * E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
7 BAGAIMANA dengan Dogol yang buntung
tangannya" Agaknya ia tidak ditanggapi oleh Tulang Neraka. Kehadirannya yang
bermaksud ingin
melaporkan keadaan dirinya, tertunda sampai beberapa waktu lamanya. Pintu gua
ditutup dengan batu besar, Dogol tak bisa masuk, bahkan menggeser pintu itu pun
tak berhasil. Berulang kali ia berteriak memanggil 'sang guru' Tulang Neraka,
tapi tak pernah mendapat jawaban, sampai mulutnya terasa mau robek, tetap tak
ada jawaban dari dalam gua.
Apa yang terjadi di dalam sebenarnya" Dogol hanya
bisa memperkirakan, bahwa 'sang guru' sedang
melakukan semadi. Tapi anehnya pada saat-saat tertentu, Dogol mendengar suara
Tulang Neraka yang samar-samar seperti orang melagukan tembang. Tembang itu
mempunyai irama kadang enak didengar, kadang tak
teratur nadanya. Dogol hanya bisa membatin sambil
menahan luka menyakitkan itu,
"Jangan-jangan Guru sedang kesurupan di dalam gua ini! Atau mungkin ada
perempuan masuk, dan oleh Guru pintu gua segera ditutup dan Guru merayu
perempuan itu dengan tembang" Apakah Guru tak mendengar
teriakanku, keluh kesahku ini, dan rintihan sakitku ini"
Atau mungkin Guru memang sudah menjadi tuli
telinganya"!"
Sejak terluka oleh pukulan Pendekar Mabuk, saat
bertarung dengan Arum Kafan, Tulang Neraka memang


Pendekar Mabuk 021 Titisan Ilmu Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak pernah keluar dari gua tersebut. Ada sesuatu yang
dilakukan di dalam gua itu. Seperti yang diduga Dogol, Tulang Neraka memang
melakukan semadi alias bertapa dengan satu maksud yang amat rahasia. Dogol tak
pernah tahu maksud itu, karena ia hanya sebagai pelayan yang merasa diangkat
menjadi murid. Sebuah kitab terbuka di depan Tulang Neraka yang
duduk bersila di atas batu besar berpermukaan datar.
Kitab itu mempunyai barisan-barisan kalimat yang
mengandung makna sastra tinggi. Tidak semua orang
bisa menerjemahkan makna kalimat-kalimat yang
menyerupai tembang itu.
Di dalam kitab itu pun tertera keterangan bagaimana mengucapkan tiap kalimat
bahkan tiap suku kata dari syair-syair yang ada. Juga dijelaskan bagaimana cara
menarik napas pada kalimat tertentu, bagaimana
menghembusan napas pada bait berikutnya, bagaimana
menggerakkan jari tangan, mata, kepala, pundak, dan merasakan derasnya aliran
darah yang terjadi akibat gerakan-gerakan tersebut.
Apa yang dipelajari oleh Tulang Neraka, sebenarnya
merupakan sesuatu yang amat sulit. Selain dituntut suatu penghayatan gerak, juga
pengertian menerjemahkan
kata-kata keterangan di situ bisa menjadi salah arti. Jika cara menerjemahkannya
sudah salah, saluran pada urat nadi bisa pecah di dalam kulit tubuhnya.
Setidaknya akan membuat orang tersebut menjadi lumpuh seumur
hidup. Tetapi agaknya Tulang Neraka berkemauan keras
untuk mempelajari isi kitab tersebut. Sekali ia gagal,
sekali lagi ia mencoba. Gagal lagi, mencoba lagi, dan begitu seterusnya. Mungkin
sudah seribu kali lebih ia gagal, namun masih tetap mencobanya terus. Tanpa
makan, tanpa minum, tanpa tidur. Seluruh pikirannya dicurahkan kepada pelajaran
tersebut. Bahkan buang air kecil maupun besar pun tak pernah dilakukan, sejak ia
mengurung diri di dalam gua, di Pulau Dedemit itu.
Sebaris kidung dilagukan dalam ucapan seperti orang membaca mantera. Dari bait
ke bait, baris ke baris, kata ke kata, semua mempunyai aturan pengucapannya,
termasuk tekanan suaranya. Jika salah tekanannya, maka harus diulang dari awal
lagi. Pengucapan dan tekanan harus sesuai dengan gerak yang diperintahkan dalam
keterangan tersebut, jari melengkung, atau kepala
miring, atau pundak berguncang ke depan atau apa lagi yang bersifat gerak.
Kelihatannya memang mudah, tapi sebenarnya sulit
bukan main. Dan itulah yang dinamakan ilmu 'Kidung
Mantera Gaib'. Tentu saja pelajaran ilmu tersebut
diperoleh dari Kitab Lontar Gegana. Dan memang benar, kitab itu ada di tangan
Tulang Neraka. Tak seorang pun tahu, bahwa saat terjadi pencurian
yang dilakukan oleh Loh Pati, Nyai Pancung Layon
memanfaatkan kesempatan emas itu untuk mencuri
Kitab Lontar Gegana. Tetapi ia sendiri berlagak
mengamuk dan mencari kitab tersebut. Bahkan setiap
saat ia selalu menyatakan kesedihannya atas hilangnya kitab yang sebenarnya
dicurinya sendiri itu.
Hilangnya Kitab Lontar Gegana, merupakan alat juga
buat Nyai Pancung Layon untuk menuduh Ki Panjar Pitu sebagai pencurinya, atau
berlagak mencurigai keluarga Ki Panjar Pitu. Dengan alasan tersebut, Nyai
Pancung Layon punya alasan menyerang keluarga Panjar Pitu
yang memang bermaksud akan dimusnahkan dan tidak
diberi kesempatan untuk berketurunan.
Bahkan dari kesekian cucu, hanya Tulang Neraka
yang diberi tahu di mana letak Kitab Lontar Gegana
disembunyikannya. Sebab Tulang Neraka adalah cucu
kesayangan dari Nyai Pancung Layon. Kepada ketiga
saudaranya pun Tulang Neraka tidak pernah
menyebutkan tentang letak persembunyian kitab
tersebut. Karena sifat-sifat yang ada pada Tulang
Neraka, sama persis dengan sifat-sifat yang ada pada Nyai Pancung Layon. Karena
itu, Nyai Pancung Layon
sangat sayang kepada Tulang Neraka dan berharap agar Tulang Neraka bisa mewarisi
ilmu-ilmu yang ada di
dalam kitab tersebut, terutama ilmu 'Kidung Mantera Gaib'.
Tulang Neraka berani membuka kitab pusaka itu
setelah ketiga saudaranya meninggal. Dulu, ia
mempelajari secara sepintas saja, sebab hanya punya kesempatan sebentar untuk
membuka dan mengambil
kitab tersebut dari penyimpanan yang rahasia itu. Kini ia bebas membuka kitab
itu dan menekuni ilmu 'Kidung
Mantera Gaib'. Itulah sebabnya Dogol mendengar suara Tulang Neraka bagaikan
menembang kadang berirama
enak didengar, kadang berirama sama sekali tak enak didengar. Karena sebenarnya
yang dipelajari atau yang
diucapkan itu bukanlah sebuah tembang, melainkan
kidung beraturan rumit di dalamnya. Kidung itu terdiri dari sembilan puluh
sembilan bait. Yang menjadi repot, setiap bait punya peraturan sendiri, dan
walau sudah mencapai bait ketujuh puluh, misalnya, jika melakukan kesalahan
harus diulang dari awal lagi.
Godaan mempelajari 'Kidung Mantera Gaib' adalah
mudah terserang rasa kantuk, mudah merasa bosan,
mudah buram penglihatannya, mudah jengkel, dan
pikiran sering tiba-tiba lenyap tak tahu ke mana, ketika sadar kembali harus
mengulang dari bait pertama. Hal itulah yang membuat gagalnya orang mempelajari
'Kidung Mantera Gaib'. Bukan kecerdasan saja yang
Pedang Naga Kemala 18 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Pedang Pusaka Naga Putih 2
^