Pencarian

Ratu Lembah Mayat 1

Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat Bagian 1


RATU LEMBAH MAYAT
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan Pertama
Penerbit Cinta Media, Jakarta
Penyunting : Puji S
Gambar Sampul : Pro's
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Teguh S
Serial Pendekar Pulau Neraka
Dalam Episode 026 :
Ratu Lembah Mayat
128 Hal ; 12 x 28 cm
ABU KEISEL http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Di sebuah bukit kecil yang tidak
begitu lebat pepohonannya, Bayu tengah mengayunkan kakinya perlahan-lahan
menyusuri jalan berbatu. Matahari siang ini bersinar begitu terik, membuat
sekujur tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu bersimbah keringat. Seekor monyet
kecil berbulu hitam ikut
berlari-lari kecil di belakangnya, sambil bersuara ribut. Beberapa kali binatang
itu memungut kerikil, dan menyambit pung-gung pemuda berbaju kulit harimau ini.
Tapi Bayu seperti tidak
mempedulikan, dan terus saja melangkah perlahan-lahan. Beberapa kali keringat
yang mengalir membasahi wajahnya diseka dengan punggung tangan. Pemuda yang
dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka itu menghentikan ayunan kakinya. Wajahnya
berpaling sedikit ketika merasakan punggungnya terkena sambitan kerikil dari
belakang. Entah sudah berapa kali punggungnya terasa disambit batu kerikil.
Bibimya tersenyum melihat monyet kecil
berdiri di belakangnya, memandang sayu padanya.
"Kau lelah, Tiren...?" ujar Bayu dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Nguk!"
"Naiklah ke pundakku sini," kata Bayu lagi.
Monyet ketll itu berjingkrak
kegirangan. Cepat-cepat dihampirlnya Pendekar Pulau Neraka. Bayu mengulurkan
tangannya. Diambilnya tangan monyet keliru, lalu diangkat sampai binatang
berbulu hitam itu
bertengger di pundaknya. Pemuda berbaju kulit harimau Itu kembali mengayunkan kakinya perlahan
menyusuri tanah berbatu yang panas, bagai berjalan di atas bara api. Siang ini
memang terasa begitu panas. Bayu
merasakan kulitnya seperti terbakar.
"Ada sungai, Tiren. Enak sekali kalau mandi, ya...?" kata Bayu.
"Nguk!" Tiren hanya mengangguk saja.
Bayu tersenyum, dan menepuk kaki monyet kecil yang nangkring di pundaknya ini.
Kakinya terus saja berjalan mendekati sungai kecil yang mengalir di depannya.
Air sungai itu tampaknya jernih sekali, sehingga batu-batuan yang menjadi
dasarnya, teriihat jelas. Tapi baru saja
Pendekar Pulau Neraka berjongkok hendak membasuh tangannya, mendadak saja....
"Tolooong...!"
"Heh.."!"
Bayu tersentak kaget ketika
tiba-tiba terdengar teriakan kerns melengking tinggi. Teriakan itu demikian
keras, sehingga terdengar jelas dari tempat Pendekar Pulau Neraka berdiri. Dan
belum lagi hilang jeritan tadi dari pendengaran, menyusul bentakan bentakan
kasar, ditingkahi jeritan-jeritan minta tolong.
"Hup!"
Tanpa menghiraukan air sungai yang pasti sangat sejuk, Pendekar Pulau Neraka
cepat melompati sungai kecil ini. Dan begitu kakinya menjejak tanah berbatu di
seberang sungai, langsung berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Begitu sempurrnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu
sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara teriakan dan
bentakan-bentakan keras, masih terdengar dari dalam hutan di seberang sungai
kecil ini. Dan bayangan Pendekar Pulau Neraka sudah tidak teriihat lagi,
tenggelam ditelan hutan yang tidak begitu lebat.
*** "Hei...!"
Bayu terhenyak kaget begitu melihat empat orang wanita tengah berusaha
menggantung seorang anak muda berusia sekitar tujuh belas tahun. Bentakan Bayu
yang begitu keras dan tidak disengaja tadi, membuat empat wanita yang tengah
berusaha menggantung itu tersentak kaget.
Mereka begitu terkejut, sampai-sampai terlompat ke belakang. Akibatnya anak muda
yang hampir tergantung di pohon itu jatuh bergulingan di tanah berumput kering.
Sementara empat wanita berwajah
cantik yang hanya mengenakan cawat dari kulit kayu itu berlompatan ke depan
Bayu. Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya terbeliak melihat wanita-wanita cantik
setengah telanjang berdiri sekitar enam langkah di depannya. Hampir seluruh
tubuh mercka yang berkulit putih itu terbuka.
Hanya bagian di bawah pusar dan dada saja yang tertutup kulit kayu. Mereka semua
membawaombak panjang dari kayu, yang bagian ujung atasnya terbuat dari besi baja
hitam. "Siapa kau"! Berani-beraninya mcngejutkan kami!" bentak salah seorang wanita
yang berdiri paling kanan.
"Maaf. Aku tadi terkejut melihat kalian ingin menggantung anak itu," ucap Bayu
sopan. "Itu bukan urusanmu!" bentak wanita itu lagi, ketus.
Bayu jadi terhenyak mendengar
kata-kata yang begitu ketus. Ditatapnya wanita itu dalam-dalam. Sedangkan yang
ditatap, malah membalas tidak kalah tajam. Sementara monyet kecil berbulu hitam
yang bertengger di pundak Pendekar Pulau Neraka juga menatap empat wanita itu.
"Kakang...! Bebaskan aku. Mereka akan membunuhku...!" seru anak muda yang masih
tergolek di tanah berumput.
"Dlam kau, Monyet!" bentak wanita yang berdiri paling kanan itu kasar.
"Krakkkh...!"
Tiren melonjak mendengar bentakan wanita itu tadi. Bayu segera
menepuk-nepuk kaki monyet kecil itu, mencoba menenangkannya. Kata-kata wanita
itu tadi sudah menyinggung hati monyet kecil ini Dan tiba-tiba saja, Tiren
melompat turun dengan gerakan ringan dan indah sekali. Begitu kakinya menjejak
tanah, dia cepat beriari menghampiri anak muda yang tergolek tak berdaya di
tanah. "Hei! Mau apa kau, Monyet Jelek..."!"
bentak wanita itu makin kasar.
"Nguk! Nguk! Khraiiigkh...!"
Wuk! Tiba-tiba saja wanita bercawat itu melemparkan tombaknya ke arah monyet kecil
berbulu hitam milik Bayu. Tindakan wanita ini membuat Pendekar Pulau Neraka
tersentak kaget. Secepat kilat dia melompat menyambar tombak yang meluruk deras
ke arah Tiren. "Hiyaaa...!"
Tap! Bayu berhasil menangkap tombak,
kerika ujungnya sekitar sejengkal lagi tepat rnenghunjam tubuh Tiren. Pendekar
Pulau Neraka bergulingan beberapa kali di tanah, lalu cepat melompat berdiri. Di
tangan kanannya sudah tergenggam sebatang tombak kayu berujung baja hitam
runcing. Sementara Tiren sudah berada di
belakang anak muda yang tergolek di tanah, tidak jauh dari pohon tempat dia akan
digantung pada lehernya tadi. Cekatan sekali monyet kecil itu membuka ikatan
yang membelenggu kedua tangan anak muda ini. Dan begitu tali yang mengikat
tangannya terlepas, pemuda belasan tahun itu bergegas berdiri.
Pemuda itu melepaskan tali yang
melingkar di lehernya, lalu tiba-tiba saja melompat ke arah Bayu. Tindakan yang
tidak terduga itu membuat Bayu sampai tidak menyadari. Cepat sekali gerakan
pemuda itu, dan tahu-tahu sudah merampas tombak yang berada ditangan kanan Bayu.
Langsung tubuhnya melesat cepat ke arah salah seorang wanita bercawat yang
hampir saja menggantungnya tadi.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Bet! "Uts!"
Wanita cantik bercawat itu cepat
memiringkan tubuhnya ke kanan,
menghindari hujaman ujung tombak di tangan anak muda belasan tahun itu. Pada
saat yang bersamaan, tombaknya
dihentakkan untuk menghantam tombak yang sudah lewat di samping tubuhnya.
Trak! Tak pelak lagi, dua senjata beradu keras.
"Akh...!" pemuda belasan tahun itu memekik keras agak tertahan.
Tombak yang berada di tangannya
sekerika terpental keudara. Pada saat itu, wanita yang tidak menggenggam tombak
melesat cepat ke udara. Manis sekali tombaknya ditangkap kembali, dan cepat
meluruk turun dengan gerakan yang begitu indah.
"Yeaaah...!"
Begitu kakinya menjejak tanah,
langsung diberikannya satu sodokan keras ke arah dada anak muda belasan tahun
itu. Gerakan yang begitu cepat tak dapat dihindari, telak bersarang di dada anak muda
belasan tahun itu.
Des! "Akh...!" untuk kedua kalinya anak muda itu memekik keras agak tertahan.
Tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Pada saat itu, seorang
wanita lain .sudah melompat sambil berteriak nyaring. Langsung
dilepaskannya satu tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Sudah dapat dipastikan, kalau pemuda berusia belasan tahun itu tak
mungkin dapat menghindar.
"Yeaaah...!"
Tapi pada saat yang gawat ini,
tiba-tiba saja Bayu melesat cepat bagai kilat menyambar tubuh anak muda itu.
Maka tendangan keras yang dilancarkan wanita cantik bercawat ini jadi tidak
mengenai sasaran. Tendangannya hanya menghantam
pohon yang cukup besar, hingga tumbang.
Sementara Bayu sudah membawa anak muda belasan tahun itu ke tempat yang cukup
aman, ditemani Tiren. Bayu kembali melompat menghadang, begitu empat wanita
cantik bercawat itu sudah bergerak mendekati.
"Berhenti...!" bentak Bayu keras menggelegar.
"Menyingkir kau, Kisanak! Kau akan menyesal mencampuri urusan kami!" sentak
salah seorang wanita cantik bercawat itu.
"Tunggu...! Kenapa kalian ingin membunuh anak ini?" tanya Bayu.
"Itu bukan urusanmu!"
"Minggir, kau!"
Bayu jadi tersentak mendengar
bentakan-bentakan begitu kasar dari wanita-wanita cantik bercawat ini. Wanita
yang seharusnya bersikap lembut itu ternyata begitu kasar kata-katanya. Dan kini
empat wanita cantik bercawat itu sudah bergerak menyebar mengurung dari empat
arah. Mereka terus bergerak perlahan memutari Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja lewat sudut matanya.
Dalam beberapa gebrakan tadi saja, Bayu sudah dapat menilai kalau
wanita-wanita bercawat ini memiliki
kepandaian yang rata-rata cukup tinggi.
Dan tentu saja dia tidak bisa berbuat gegabah dalam menghadapinya, meskipun
sudah bisa mengukur tingkat kepandaian mereka.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
*** Secara serentak, empat wanita cantik bercawat itu berlompatan menyerang Bayu.
Tombak-tombak mereka berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Namun dengan gerakan-gerakan manis, dan liukan indah, Bayu berhasil menghindari
setiap serangan yang datang dari empat arah.
Tapi serangan-serangan yang
dilakukan empat wanita itu begitu gencar.
Dan kemudian serangan mereka berubah secara cepat dan bergantian. Hal ini
membuat Bayu jadi agak kerepotan
menghadapinya. Beberapa kali tubuhnya terpaksa dijatuhkan ke tanah. Dia kemudian
bergelimpangan menghindari serangan yang datang begitu gencar, bagai tak akan
pernah berhenti. Dan beberapa kali pula, Pendekar Pulau Neraka terpaksa
menangkis tombak-tombak menggunakan pergelangan tangan kanannya.
Trang! Setiap kali ujung tombak beradu
dengan benda bersegi enam di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka, selalu
terjadi percikan bunga api. Beberapa kali Bayu mencoba, dan merasa memiliki
kesempatan setiap kali ujung tombak lawan membentur Cakra Maut yang berada di
pergelangan tangan kanannya. Ketika satu tombak meluruk deras dari arah depan
dadanya, tangan kanannya cepat dikibaskan untuk menangkis serangan tombak
bermata hitam itu.
"Yeaaah...!"
Trang! Tepat pada saat ujung tombak hitam itu beradu dengan Cakra Maut di
pergelangan tangannya, Bayu cepat melentingkan tubuhnya ke belakang. Pada saat
itu juga dilepaskannya satu pukulan keras ke arah wanita yang berada di
belakangnya, disertai putaran tubuhnya di udara. Begitu cepatnya serangan yang
dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga wanita cantik bercawat itu tidak dapat
lagi menghindar.
"Hlyaaa...!"
Diegkh! "Akh...!" wanita itu terpekik keras, agak tertahan.
Tubuhnya terpental ke belakang
begitu pukulan yang dllepaskan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dadanya.
Dan sebelum ada yang menyadari, pendekar berbaju kulit harimau itu sudah
bergerak cepat, melompat ke kanan. Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan,
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan Pendekar Pulau Neraka kali ini
juga tak dapat dihindari lagi.
Des! "Ughk!"
Wanita itu terhuyung-huyung sambil mengeluh pendek Tendangan Bayu tepat
bersarang di perutnya. Maka kesempatan ini tidak disia-siakan Pendekar Pulau
Neraka. Kembali tubuhnya bergerak cepat, berlompatan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah begitu sempurna. Begitu cepat gerakan yang
dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga yang teriihat hanya bayangan kuning
berkelebatan menyambar empat wanita cantik bercawat itu.
Pekikan-pekikan keras terdengar
saling susul, disertai terpentalnya tubuh tubuh indah setengah telanjang itu.
Dan tahu-tahu, Pendekar Pulau Neraka sudah
berdiri tegak dengan tangan menggenggam empat batang tombak. Entah bagaimana
caranya, senjata-senjata lawan berhasil dirampasnya. Sedangkan wanita-wanita
cantik bercawat itu jadi terkejut, begitu bisa bangkit berdiri.
"Persoalan ini belum selesai, Keparat...!" geram salah seorang wanita itu.
Dan setelah berkata demikian,
tubuhnya melesat pergi diikuti tiga wanita lainnya. Bayu hanya memandangi saja
sampai keempat wanita itu lenyap dari pandangannya. Dia memegang keempat batang
tombak itu dengan kedua tangannya, kemudian....
Trak! Hanya sekali hentak ke paha saja, empat batang tombak itu sudah berpatahan,
masing-masing menjadi dua bagian. Bayu melemparkannya begitu saja ke tanah.
Kemudian tubuhnya berputar berbalik dan melangkah menghampiri anak muda yang
ditemani Tiren. Monyet kecil berbulu hitam itu berlari-lari menghampiri, lalu


Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat ringan, dan naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Nguk!"
Bayu menepuk-nepuk kaki Tiren yang sudah nangkring di pundak kanannya.
Kakinya terus melangkah menghampiri anak muda belasan tahun yang masih berdiri
di bawah pohon. Pendekar Pulau Neraka baru berhenti setelah jaraknya tinggal
sekitar tiga langkah lagi di depan anak muda itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bayu.
"Tidak. Terima kasih atas
pertolonganmu," ucap pemuda itu.
Bayu hanya tersenyum saja sambil
menepuk pundak anak muda belasan tahun itu. Kemudian,
Pendekar Pulau Neraka mengajaknya berjalan meninggalkan tempat Ini. Mereka
berjalan berdampingan tanpa berkata-kata lagi. Entah apa yang ada di dalam batin
masing-masing, sehingga tak ada seorang pun membuka suara lebih dahulu. Padahal,
mereka sudah cukup jauh meninggalkan tempat pertarungan tadi.
"Siapa namamu?" Tanya Bayu mengisi kebisuan yang terjadi cukup lama tadi.
"Parindra," Sahut anak muda itu singkat.
"Kenapa berada di hutan ini?" tanya Bayu lagi.
"Aku sedang berburu dan mencari kayu bakar," sahut pemuda Itu lagi.
Pendekar Pulau Neraka berhenti
melangkah, langsung memperhatikan pemuda itu dari ujung kepala sampai ke ujung
kaki. Bayu seperti tidak percaya atas Jawaban anak muda ini barusan. Kulit
pemuda belasan tahun yang mengaku bernama Parindra ini putih bersih seperti
layaknya putra-putra bangsawan.
Pakaiannya pun tergolong berharga mahal, karena terbuat dari bahan sutra halus
bersulamkan bunga-bunga indah di bagian dadanya.
Kasarnya memang tidak mungkin kalau anak muda yang kelihatannya dari keluarga
bangsawan ini berada di dalam hutan.
Bahkan sedang berburu dan mencari kayu bakar! Sedangkan Parindra yang menyadari
tengah diamati hanya diam saja. Sebentar kemudian tubuhnya dihempaskan, duduk di
bawah pohon yang cukup rindang untuk menaungi dirinya dari sengatan matahari
yang begitu terik membakar. Sementara Bayu masih berdiri memperhatikan pemuda
berwajah cukup tampan itu.
"Parindra...," lembut suara Bayu.
Parindra mengangkat wajahnya,
menatap wajah Bayu. Pendekar Pulau Neraka agak terhenyak melihat sepasang bola
mata anak muda ini tiba-tiba berkaca-kaca.
Kemudian Pendekar Pulau Neraka duduk di depannya, lalu memandangi lekat-lekat.
Sedangkan Parindra menundukkan kepala perlahan. Tangannya mencabut rerumputan,
dan melemparkannya sambil menghempaskan napas berat.
"Kenapa mereka ingin menggantungmu tadi?" tanya Bayu, tetap lembut nada
suaranya. "Mereka menuduhku sebagai pencuri,"
sahut Parindra, agak mendengus suaranya.
"Pencuri..." Ha ha ha...!"
Entah kenapa, tiba-tiba saja Bayu jadi tertawa terbahak-bahak.
Tenggorokannya terasa digelitik mendengar jawaban Parindra barusan.
Sedangkan Parindra jadi mendengus, sambil menatap tajam pemuda berbaju kulit
harimau ini. Perlahan suara tawa Bayu mereda, dan akhimya berhenti sama sekali.
"Tidak ada yang perlu
ditertawakan...!" dengus Parindra.
"Maaf. Bukannya aku hendak
menyinggung perasaanmu, tapi...," Bayu kembali tertawa terbahak-bahak.
Parindra lagi-lagi mendengus tidak senang, lalu langsung bangkit berdiri dan
mengayunkan kakinya kembali dengan cepat.
Bayu cepat-cepat melompat bangkit dan mengejar anak muda itu. Langkahnya
disejajarkan di sampaing pemuda belasan tahun ini. Suara tawanya sudah tidak
lagi terdengar di telinga.
"Melihat kulitmu yang putih dan pakaianmu yang tentu berharga mahal, rasanya
tidak mungkin kalau kau seorang pencuri, Parindra. Paling tidak, kau anak
bangsawan. Atau, anak seorang juragan kaya yang tinggal di kota besar," kata
Bayu menilai. "Aku memang bukan pencuri!" sahut Parindra maslh bersuara agak mendengus.
"Lalu, kenapa mereka menuduhmu pencuri dan ingin menggantungmu?" tanya Bayu
mengejar. Parindra tidak menjawab, dan terus saja mengayunkan kakinya dengan cepat.
Sedangkan Bayu tetap berada di
sampingnya, sambil tidak henti-hentinya memperhatikan anak muda belasan tahun
ini. Tiba-tiba saja di benaknya timbul berbagai macam pikiran mengenai anak muda
ini. Entah kenapa, hatinya merasa ada sesuatu yang tersembunyi pada diri
Parindra. Sesuatu yang bisa membahayakan keselamatan jiwanya. Benarkah dugaan
Pendekar Pulau Neraka ini..."
*** 2 Saat senja merayap turun menyelimuti sebagian permukaan bumi, Pendekar Pulau
Neraka dan Parindra baru sampai di sebuah desa yang tidak begitu besar. Rumah-
rumah di sini letaknya pun cukup rapat.
Keadaannya juga tidak begitu ramai.
Bahkan bisa dikatakan sunyi. Hanya ada beberapa orang saja yang teriihat berada
di luar rumah. Kedua orang itu terus melangkah menyusuri jalan tanah berdebu
yang membelah di bagian tengah desa kecil ini. Mereka menuju sebuah kedai yang
masih buka. Seorang perempuan separuh baya
tampak tergopoh-gopoh menyambut, begitu melihat Bayu dan Parindra muncul di
depan pintu kedai. Dengan sikap ramah dan senyuman dibuat-buat, wanita separuh
baya bertubuh sedang itu menuntun kedua anak muda ini ke sebuah meja yang
terletak di bawah jendela.
"Mau makan, atau hanya minum saja?"
wanita itu menawarkan dengan sikap ramah.
"Dua-duanya," sahut Bayu.
Wanita separuh baya itu tersenyum, lalu bergegas ke belakang. Bayu mengambil
sesisir pisang yang tergantung di dekatnya, lalu diberikannya pada Tiren yang
tentu saja senang menerimanya.
Monyet kecil berbulu hitam itu duduk di jendela sambil menikmati pisang.
Sedangkan Bayu mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai ini
Hanya ada tiga pengunjung selain
dirinya dan Parindra. Dan tampaknya, ketiga
pengunjung kedai ini Juga
pendatang seperti dirinya. Hal ini bisa dipastikan dari pakaian yang dikenakan.
Teriebih lagi, ketiga orang itu membawa pedang yang tersampir di pinggang. Dan
di sudut ruangan kedai ini juga masih ada seorang pengunjung lagi. Seorang
laki-laki tua yang tampaknya sudah mabuk karena kebanyakan minum arak Ada lebih
lima guci arak besar tergeletak di mejanya. Bayu kembali mengedarkan pandangan
berkeliling. Tak ada lagi pengunjung di kedai ini.
Pandangan Pendekar Pulau Neraka
beralih pada wanita separuh baya yang datang kembali sambil membawa baki berisi
penuh pesanan yang diminta Bayu. Dengan sikap ramah dan senyuman tetap
tersungglng di bibir, wanita itu
meletakkan makanan dan mlnuman di atas meja bundar dari kayu berwarna kecoklatan
Ini. Setelah meletakkan seluruh pesanan tamunya ini, bergegas dia melangkah lagi
ke belakang. "Kau tidak lapar, Parindra...?"
tegur Bayu melihat Parindra hanya diam saja, tidak menyentuh hidangan.
Parindra baru menikmati makanannya setelah di-tegur, tanpa sedikit pun
berblcara. Sambil makan, kepalanya pun terus tertunduk, seakan-akan
menyembunyikan wajah dari pandangan orang lain. Sedangkan Bayu tidak sempat
memperhatikan, karena terlalu asyik menikmati hidangannya. Memang sudah tiga
hari ini Pendekar Pulau Neraka tidak pemah menikmati makanan selezat ini.
Sementara mereka merukmati makanan yang terhidang, tanpa disadari, tiga orang
yang duduk agak jauh tengah memperhatikan Parindra yang terus tertunduk. Mereka
berbicara berbisik-bisik sambil terus memperhatikan pemuda itu.
Namun sama sekali baik Bayu maupun Parindra tidak menyadari.
Ketiga laki-laki yang kelihatan
berusia rata-rata tiga puluh tahun itu terus memperhatikan Parindra. Perawakan
mereka cukup gagah, dan berpakaian indah terbuat dari bahan sutra halus. Dilihat
dari pakaian yang dikenakan, dengan
penampilan bersih dan parlente, sudah dapat diduga kalau mereka bukanlah orang
sembarangan. "Kakang...," panggil Parindra pelan tanpa mengangkat wajah sedikit pun juga.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Kalau sudah makan, kita langsung pergi dari desa ini," ujar Parindra, tetap
pelan suaranya.
"Sudah sore, Parindra. Sebentar lagi malam menjelang. Apa tidak sebaiknya cari
penginapan di desa ini saja...?" usul Bayu.
"Desa ini tidak aman, meskipun hanya semalaman saja," kilah Parindra, tetap
pelan dengan kepala tertunduk.
Bayu menghentikan makannya.
Dipandanginya anak muda belasan tahun ini, yang tetap saja tertunduk. Parindra
juga sudah sejak tadi tidak meneruskan makannya. Memang sebelum memasuki desa
ini tadi, Parindra sudah tidak ingin melanjutkan perjalanan. Bahkan tadinya dia
ingin menunggu saja di luar desa. Bayu sendiri tidak tahu, kenapa Parindra
seperti enggan berada di desa kecil ini.
Tapi dia tidak ingin bertanya banyak, karena Parindra lebih pendiam dan tidak
banyak bicara. Bahkan jika ditanya pun, jawabannya hanya sepotong-potong saja.
Pendekar Pulau Neraka memanggil
wanita separuh baya pemilik kedai ini.
Setelah berbicara sebentar, kemudian dibayarnya harga makanan yang dipesannya.
Sementara itu Tiren melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Sesisir
pisang telah berpindah ke dalam perut monyet berbulu hitam ini. Sedangkan
Parindra sudah keluar lebih dahulu. Bayu terpaksa bergegas mengejar Parindra
yang terus saja berjalan cepat meninggalkan kedai itu.
"Parindra, ada apa denganmu...?"
tanya Bayu jadi tidak sabar melihat sikap Parindra yang begitu tertutup.
Parindra tidak menjawab, dan malah terus saja berjalan cepat hendak
meninggalkan desa kecil yang membuat kepalanya jadi berdenyut pening. Pendekar
Pulau Neraka menghadang langkah Parindra, tepat di perbatasan desa sebelah
Timur. Pemuda itu terpaksa menghentikan
langkahnya. "Katakan! Ada apa denganmu...?"
desak Bayu. "Mereka akan membunuhku, kalau tahu aku ada di desa ini," jelas Parindra.
"Mereka siapa...?"
"Kami...!"
"Heh..."!"
*** Pendekar Pulau Neraka terkejut
begitu tiba-tiba saja terdengar suara keras menggema. Wajahnya cepat berpaling
ke arah datangnya suara itu. Entah dari mana datangnya. Tahu-tahu di tempat ini
sudah ada tiga orang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Dan tentu saja Bayu
mengenali mereka, ketika di kedai tadi.
Mereka juga pengunjung kedai yang duduk agak jauh dari mejanya tadi.
Melihat ketiga laki-laki itu, wajah Parindra mendadak saja pucat pasi, bagai tak
pernah dialiri darah. Anak muda berusia tujuh belas tahun itu menggeser kakinya
ke belakang Bayu. Kelihatannya seperti ingin berlindung di balik tubuh Pendekar
Pulau Neraka ini. Sikap Parindra yang kelihatan ketakutan itu membuat Bayu jadi
mengerutkan keningnya.
"Parindra! Kemari kau...!" bentak salah seorang yang mengenakan baju warna merah
menyala. "Tidak...!" sahut Parindra, agak bergetar suaranya.
"Anak tidak tahu diuntung...!"
dengus laki-laki lainnya yang mengenakan baju biru muda.
Seketika laki-laki berbaju biru muda itu tiba-tiba saja melompat Tangannya
langsung terulur hendak meraih Parindra yang berlindung di belakang tubuh
Pendekar Pulau Neraka. Tindakan itu tentu saja membuat
Bayu tersentak. Maka
cepat-cepat tangan kanannya dikebutkan ke arah tangan orang berbaju biru muda
yang menjulur ke depan.
"Hait...!"
Laki-laki berbaju biru muda itu
cepat-cepat menarik tangannya pulang, sebelum berbenturan dengan tangan kanan
Bayu yang mengibas cepat. Pada saat yang sama, salah seorang yang mengenakan
baju warna kuning sudah melompat cepat ke arah Parindra.
Melihat gelagat yang kurang baik ini, Bayu cepat-cepat melentingkan tubuh ke
belakang sambil menyambar pinggang Parindra. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka
melakukan putaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah
berumput. Langsung didorongnya dada Parindra, sehingga pemuda belasan tahun itu
merapat ke pohon yang cukup besar untuk tempat belindung.
"Jangan ke mana-mana," pesan Bayu.
Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya ke depan beberapa tindak
Sementara tiga orang laki-laki dengan pedang tersampir di pinggang
masing-masing, sudah bergerak maju menghampiri. Wajah mereka tampak memerah,
bagai menyimpan kemarahan atas tindakan Bayu yang menyelamatkan Parindra.
"Kau menyingkir, Tiren," ujar Bayu pada monyet kecil yang masih saja nangkring
di pundaknya. "Nguk!"
Tiren cepat melompat turun dari
punggung Pendekar Pulau Neraka, lalu berlari-lari kecil menghampiri Parindra.
Monyet kecil berbulu hitam itu segera melompat naik ke punggung pemuda berusia
belasan tahun ini. Parindra agak terpekik sedikit, tapi langsung tersenyum
begitu melihat monyet kecil berbulu hitam ini duduk tenang di pundaknya.
"Berhenti, kalian..!" bentak Bayu sambil merentangkan tangan kanan ke depan.
Tiga orang laki-laki bersenjata
pedang di pinggang itu seketika
menghentikan ayunan langkahnya, begitu mendengar bentakan Bayu yang keras dan
tegas. Sedangkan Bayu tetap berdiri tegak, bersikap penuh kewaspadaan.
Tatapan matanya begitu tajam merayapi tiga orang di depannya, seakan-akan
sedang mengukur tingkat kepandaian mereka.
"Siapa kau..."!" bentak salah seorang yang mengenakan baju merah.
"Aku Bayu. Dan kalian sendiri siapa...?" Bayu balik bertanya setelah
memperkenalkan diri.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami!"
dengus orang yang berbaju biru muda.
"Sebaiknya cepat menyingkir, sebelum kupatahkan batang lehermu!" sambung orang
yang berbaju kuning.
"Ada urusan apa, kalian dengan Parindra?" tanya Bayu tanpa mempedulikan kata-
kata yang bernada kasar dan
meremehkan dari ketiga orang itu.
"Banyak mulut..! Mampus kau, hiyaaat..!"
Laki-laki yang berbaju merah
seketika saja melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, dilepaskan ke arah dada
pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Halt!"
Tapi manis sekali Bayu
menghindarinya dengan mengegoskan tubuh ke kanan. Hampir saja Bayu memberikan
pukulan balasan. Untung saja orang itu cepat melentingkan tubuh ke belakang,
begitu serangannya tidak mengenai sasaran. Dan pada saat yang bersamaan, seorang
yang berbaju biru muda sudah melompat hendak melewati kepala Bayu.
"Yeaaah...!"
Bayu cepat melompat ke belakang,
seraya melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan.
Pukulan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka seketika beradu keras dengan kepalan
tangan orang berbaju biru muda.
Dua kekuatan tenaga dalam saling
berbenturan dahsyat sekali, dan tak dapat dihindari. Akibatnya, terdengar
ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat memekakkan telinga.
Tampak orang berbaju biru muda itu terpekik keras, dan tubuhnya terpental ke
belakang sejauh beberapa batang tombak.


Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keras sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali
sebelum berhenti tertahan sebongkah batu yang cukup besar. Dia berusaha bangkit
berdiri, tapi dari mulutnya memuntahkan darah kental agak kehitaman.
"Hoeeek...!"
Sementara Bayu berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya, dan kembali menjejakkan
kakinya di tanah tanpa
tergoyahkan sedikit pun. Kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga tadi,
membuat dua laki-laki lain jadi
terbeliak. Mereka seakan-akan baru saja melek, dan menyadari kalau pemuda
berbaju kulit harimau ini tidak bisa dianggap enteng.
"Selangkah lagi kalian maju, nasib kalian tentu akan sebagus dia!" ancam Bayu,
dingin menggetarkan.
Dua orang laki-laki itu seperti
ragu-ragu. Mereka sama-sama memandang ke arah temannya yang tampak tak berdaya,
tergeletak di tanah berumput. Mulutnya penuh darah kental agak kehitaman.
Seperti diberi aba-aba saja, mereka bergegas menghampiri temannya yang
tergeletak. Gerakan halus di dadanya, menandakan kalau orang berbaju biru muda
itu masih bernapas.
"Bagaimana...?" tanya orang berbaju merah, agak berbisik suaranya.
"Sebaiknya mundur saja dulu.
Tampaknya, Adi Rakasa terluka dalam cukup parah," sahut orang berbaju kuning.
Orang yang mengenakan baju merah
memutar tubuhnya menatap Bayu yang masih berdiri tegak dan bersikap menantang.
Sedangkan orang yang berbaju kuning sudah membantu temannya berdiri.
"Ayo, kita pergL..," ajak orang berbaju kuning yang memapah temannya.
Sedangkan orang berbaju merah masih menatap tajam penuh kata-kata bernada
ancaman, tubuhnya diputar dan bergegas menyusul dua orang temannya yang sudah
meninggalkan tempat ini
*** "Siapa mereka?" tanya Bayu tanpa berpaling dari orang yang bergerak cepat
meninggalkan tempatnya.
Parindra tidak menjawab pertanyaan itu. Seolah-olah tidak didengarnya ucapan
Bayu. Pandangan matanya tak lepas dari tiga orang yang semakin jauh pergi.
Sementara Bayu memutar tubuhnya, lalu menghampiri anak muda itu. Monyet kecil
berbulu hitam di pundak Parindra, melompat berpindah kebahu kanan Pendekar Pulau
Neraka. Dipeluknya leher Bayu, seakan-akan ingin menyatakan
kegembiraannya melihat pemuda berbaju kulit harimau ini berhasil mengalahkan
tiga orang lawannya.
"Siapa mereka, Parindra...?" Bayu mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab
tadi. "Oh..., aku..., aku...," Parindra jadi tergagap.
"Jangan katakan kau tidak tahu siapa mereka, Parindra," agak dalam nada suara
Bayu. Parindra diam dengan kepala
tertunduk, menekuri ujung jari kakinya.
Sementara Bayu berada sekitar dua langkah lagi di depannya. Pendekar Pulau
Neraka memandangi dengan sinar mata memancar tajam. Perlahan Parindra mengangkat
wajahnya, dan langsung bertemu pandang dengan mata pemuda berbaju kulit harimau
di depannya. Kemudian tubuhnya
dihempaskan, duduk bersandar di batang pohon. Terdengar hembusan napas yang
panjang dan terasa begitu berat.
Sedangkan Bayu masih berdiri saja di tempatnya, memandangi pemuda belasan tahun
ini "Baiklah.... Kalau kau tetap diam saja seperti itu, tidak ada gunanya lagi aku
bersamamu," tegas Bayu.
Setelah berkata demikian, Bayu
memutar tubuhnya berbalik Kakinya terayun melangkah meninggalkan Parindra yang
masih duduk saja di bawah pohon. Ketika Bayu berjalan sejauh tiga batang tombak,
Parindra cepat bangkit berdiri. Bergegas kakinya melangkah mengejar dan
mensejajarkan diri di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Sebaiknya kau pulang saja,
Parindra. Tidak ada gunanya mengikutiku terus," ujar Bayu tanpa menghentikan
langkahnya. "Kau tidak ingin mengantarku, Kakang...?" nada suara Parindra terdengar memohon.
"Ke mana aku harus mengantarmu" Kau sendiri tidak pernah mengatakan di mana
rumahmu." "Di Desa Batang," Parindra memberi tahu desa tempat tinggalnya.
"Tidak jauh dari sini."
"Memang. Hanya menyeberangi sungai saja."
"Lalu, kenapa kau tidak pulang sendiri...?" pancing Bayu.
"Aku takut," pelan sekali suara Parindra.
"Apa yang kau takutkan..." Pulang tidak membawa binatang buruan" Kau takut orang
tuamu marah?"
Parindra menggelengkan kepala.
Wajahnya kembali berubah murung. Bayu jadi gemas juga melihat sikap anak muda
yang cepat sekali berubah jadi pendiam dan murung ini Sebentar Bayu
memperhatikan, kemudian kembali mengayunkan langkahnya
perlahan-lahan. Sementara senja semakin merayap turun. Suasana pun semakin
meremang. Tak berapa lama lagi, malam pasti jatuh menyelimuti mayapada.
"Kau punya persoalan, Parindra...?"
tanya Bayu lebih hati-hati, agar tidak berkesan mendesak.
"Sebenamya, aku tidak berburu. Aku lari dari rumah," jelas Parindra, pelan.
"Kenapa...?" Bayu agak terkejut juga mendengar pengakuan ini.
"Mereka membakar rumahku. Membunuh ibu, dan adikku...," semakin pelan suara
Parindra. Bayu menghentikan langkahnya. Dia jadi tertegun, tidak menyangka akan hal ini.
Dipandanginya wajah Parindra dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kebenaran
dari kata-kata yang barusan saja didengarnya. Tampak jelas, kedua bola mata anak
muda itu merembang berkaca-kata.
"Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan keji pada ibu. Aku takut, lalu lari
menyelamatkan diri ketika mereka membunuh ibu dan adikku," sambung Parindra.
"Ceritakan! Apa yang terjadi sebenarnya, Parindra," pinta Bayu ingin lebih tegas
lagi "Beberapa hari ini, terjadi beberapa pembunuhan di Desa Batang. Katanya,
beberapa orang sempat memergoki pembunuh itu. Dan mereka langsung menuduh ibu
sebagai pelakunya! Kata mereka, wajah pembunuh itu mirip ibu. Maka tuduhan itu
langsung dijatuhkan tanpa menyelidiki lebih dahulu. Mereka membunuh ibu dan
membakar habis rumah kami"
"Banyak korbannya?" tanya Bayu lagi
"Tiga orang."
"Baru tiga..."!"
"lya. Mereka langsung mendatangi rumah kami, dan menyeret ibu dan adikku ke
luar. Lalu mereka membunuh dengan keji, tanpa bertanya lebih dahulu. Kemudian
rumah kami dibakar habis. Bahkan, mereka juga melemparkan mayat ibu dan adikku
ke dalam rumah yang sedang terbakar.
Sementara aku berhasil selamat, karena saat itu tengah tidak berada di dalam
rumah. Aku sempat melihat semua kejadian itu, dan terus saja berlari
menyelamatkan diri, sebelum ada yang mengetahui."
"Setelah itu, apa masih terjadi pembunuhan di sana?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu. Empat hari aku berada di dalam hutan, dan tidak berani kembali
lagi ke sana," jelas Parindra.
"Kau tahu, siapa tiga orang yang melihat ibumu Jadi pembunuh?" tanya Bayu.
"Salah satunya, Paman Karpak. Dan dua orang lalnnya aku tidak tahu."
Bayu mengangguk-anggukkan kepala.
Dia melihat persoalan yang dihadapi Parindra begitu pelik. Dan memang, tidak
mudah membersihkan nama yang sudah ternoda.
"Parindra.... Siapa wanita-wanita yang hampir menggantungmu di hutan tadi.
Dan siapa ketiga laki-laki itu tadi?"
tanya Bayu ingin tahu lebih banyak lagi.
"Kalau yang wanita, aku tidak tahu.
Tapi ketiga orang tadi, mereka dari Padepokan Kalong Hitam. Aku sempat menjadi
murid di padepokan itu. Dan mereka mengejarku. Aku sendiri tidak tahu mengapa
mereka ingin menangkapku," jelas Parindra kembali.
'Tapi kenapa kau memintaku
mengantarkan pulang...?" tanya Bayu lagi.
"Aku ingin, agar kau menjelaskan pada mereka bahwa tuduhan itu salah alamat. Aku
ingin kau membantuku membersihkan nama keluargaku kembali," sahut Parindra
mengemukakan keinginannya.
Bayu mengangkat bahunya sedikit.
"Aku tidak janji,
dan harus kuselidiki dulu kebenarannya," ujar Bayu setelah terdiam beberapa saat
"Kau tidak percaya padaku...?"
"Bukannya tidak percaya, Parindra.
Aku hanya ingin mencari kepastian dan kebenaran yang nyata. Aku tidak ingin
bertindak gegabah, yang bisa-bisa malah jadi bumerang bagi diriku sendiri. Kau
mengerti maksudku, Parindra...?"
Parindra hanya menganggukkan kepala saja. Bisa dimengerti, apa yang
dimaksudkan pemuda berbaju kulit harimau ini. Memang tidak mudah untuk
mempercayai begitu saja ceritanya. Dan dia tahu, Bayu sebenarnya ingin mencari
keterangan lebih dahulu. Setelah itu, baru bisa ditentukan langkah selanjutnya
yang harus diambil.
Parindra sendiri tidak ingin mendesak Bayu. Justru kalau mendesak, tentu
Pendekar Pulau Neraka akan semakin curiga. Bisa-bisa semua ceritanya hanya
dianggap khayalan kosong belaka. Mendapat pildran begitu, Parindra jadi diam dan
mencoba untuk bisa mengerti. Sebaiknya kita cari tempat yang aman dulu, dan
tidak jauh dari Desa Batang. Aku tidak ingin kau terus bersamaku, karena bisa
mengurangi ruang gerakku," kata Bayu lagi.
"Aku bisa mengerti, Kakang. Terima kasih, karena kau bersedia membantuku
menyelesaikan persoalan ini," ujar Parindra.
Bayu menepuk pundak anak muda belasan tahun ini, kemudian mengajaknya melangkah
lagi. Mereka berjalan bersisian tanpa berbicara lagi. Sementara di dalam
benaknya, Bayu terus
mencerna dan memikirkan semua cerita Parindra tadi.
Untuk saat ini, memang belum bisa mengambil satu kesimpulan. Dan Pendekar Pulau
Neraka harus mencari keterangan dulu agar mengetahui persoalan sebenamya,
sebelum mengambll tindakan.
"Aku punya tempat yang tak seorang pun tahu," kata Parindra tiba-tiba.
"Hm.... Di mana?"
"Sebelah Timur Desa Batang. Hanya aku sendiri yang tahu tempat itu," sahut
Parindra. "Baiklah. Ayo, ke sana...."
Kini mereka berjalan cepat Bayu
melihat kalau Parindra sudah tidak murung lagi. Anak muda belasan tahun itu
berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga Bayu juga terpaksa
mengimbanginya. Sedangkan saat itu, matahari sudah hampir tenggelam di balik
cakrawala sebelah Barat Sinarnya yang
memerah, membias di antara pucuk
pepohonan. Begitu indah pemandangannya.
Tapi keindahan itu tak mungkin bisa dinikmati Bayu dan Parindra yang berjalan
cepat menuju ke Desa Batang.
*** 3 Tempat yang dimaksudkan Parindra
memang cocok sebagai tempat
persembunyian. Sebuah gua yang cukup besar
dan nyaman, letaknya pun
terlindung. Dan orang tak mungkin menyangka kalau di antara bebatuan dan pohon-
pohon yang begitu rapat tersembunyi sebuah mulut gua yang memang kecil, dan
hanya bisa dimasuki dengan cara merangkak Tapi, di dalamnya sangat besar luar
biasa. Memasuki gua ini, serasa berada dalam sebuah ruangan dalam tanah yang sengaja
dibuat untuk tempat persembunyian.
Udaranya juga cukup hangat karena di tengah-tengah gua ini terdapat sebuah kolam
air yang terus bergolak mendidih.
Uap air dari kolam itu membuat udara di di
sini terasa hangat Sebuah lubang yang cukup besar di dinding atas tepat di atas
kolam itu, membuat keadaan di dalam gua ini cukup terang oleh sinar rembulan.
Sehingga, tak periu lagi membuat api unggun.
"Dulu, aku sering ke sini bersama ayah," jelas Parindra. Tapi sayang, ayah telah
mendahului ketika aku baru berusia empat belas tahun."
Bayu hanya diam saja mendengarkan sambil duduk bersandar di dinding gua batu.
Sedangkan Tiren, sudah sejak tadi melingkar di sampingnya. Tumpukan daun kering
menjadi alas tidur monyet kecil inL
"Ayah tewas dalam pertarungan dengan lawannya," sambung Parindra mengenang.
"Tapi beliau juga berhasil membunuh lawannya, sebelum benar-benar tewas.
Pertarungan yang adil, dan keduanya sama-sama tewas."
"Kau melihat pertarungan itu?" tanya Bayu.
"Bukan hanya aku, tapi semua orang di Desa Batang menyaksikannya. Bahkan semua
penghuni Padepokan Kalong Hitam dan beberapa orang dari kalangan persilatan juga
menyaksikan," sahut Parindra.
"Oh..."!" Bayu mendesah.
Pendekar Pulau Neraka tidak
menyangka kalau Parindra temyata putra seorang tokoh persilatan. Dari ceritanya
saja, sudah bisa diduga kalau orang tua Parindra seorang tokoh persilatan yang
punya nama. Buktinya, pertarungan itu disaksikan begitu banyak orang Tapi,
kenapa sekarang semua orang
malah membenci keluarganya..." Bahkan
orang-orang Padepokan Kalong Hitam dan semua penduduk Desa Batang ikut
memusuhinya. Yang lebih mengherankan lagi, Ibu dan adik anak muda ini dibunuh
oleh mereka setelah membakar habis rumahnya. Hal inilah yang membuat Bayu tidak
habis mengerti.
Sampai jauh malam mereka terus
berbincang-bincang. Dan Bayu semakin mengenal anak muda belasan tahun ini.
Hatinya langsung tergerak, setelah mengetahui kisah hidup Parindra. Dia jadi
teringat dirinya sendiri, yang sejak masih bayi merah sudah ditinggal kedua
orang tuanya. Sampai saat ini, Bayu pun tidak tahu keberadaan ibunya. Apakah
sudah mati, atau masih hidup. Sementara Parindra sudah mendengkur, Bayu masih
belum dapat memejamkan matanya. Entah apa yang ada di benaknya saat inL Beberapa
kali terdengar tarikan napas yang panjang.
*** Pagi-pagi sekali Bayu sudah
meninggalkan gua itu. Sementara Parindra tetap tinggal di sana. Dari keterangan
yang diberikan Parindra, Pendekar Pulau Neraka cepat bisa menemukan reruntuhan
rumah anak muda itu. Bayu berdiri tegak memandangi puing-puing rumah yang hangus
terbakar. Dari reruntuhan puing itu, bisa diduga kalau rumah ini tadinya cukup
besar. Pendekar Pulau Neraka memalingkan mukanya ketika mendengar suara langkah ringan
dari arah belakang. Cepat tubuhnya diputar berbalik, ketika tampak seorang laki-
laki tua berjubah putih berjalan ke arahnya. Sebatang tongkat kayu berkeluk tak
beraturan tergenggam di tangan kanannya. Seluruh rambutnya yang panjang sudah
memutih. "Apa yang kau lakukan di sini, Anak Muda?" tanya orang tua itu. Nada suaranya
berat, dan dingin sekali.
"Aku mencari tempat tinggal Ratu Lembah Mayat," sahut Bayu. Suaranya sengaja
dibuat sopan, meskipun sikap
orang tua berjubah putih ini kelihatan tidak bersahabat
Mendengar nama Ratu Lembah Mayat
laki-laki tua itu jadi menyipit matanya.
Diperhatikannya Bayu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Sedangkan Bayu
hanya diam saja diperhatikan dengan sinar mata tajam, bagai menaruh kecurigaan.
"Apa hubunganmu, sehingga mencari Ratu Lembah Mayat?" tanya orang tua itu.
Suaranya masih tetap terdengar dingin tak bersahabat
"Ada sesuatu yang harus
kusampaikan," sahut Bayu. "Apakah Paman tahu di mana tempat tinggal-nya?"
"Dia sudah mati," sahut orang tua itu, tetap dingin nada suaranya.
"Mati..."!"


Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar. Dan sebaiknya cepat
tinggalkan desa ini, Anak Muda."
"Tapi, ada keluarganya yang hidup, bukan...?"
"Tidak! Semuanya sudah mati. Kau bisa lihat reruntuhan rumahnya."
Pendekar Pulau Neraka berpaling
sedikit melirik reruntuhan rumah yang hangus terbakar. Kemudian tatapannya
kembali pada laki-laki tua berjubah putih di depannya.
"Kalau tidak ada keperluan lagi, sebaiknya cepat tinggalkan desa ini, Anak Muda.
Aku tidak ingin ada pertumpahan darah lagi di sini," tegas orang tua itu,
langsung mengusir.
"Kenapa..." Aku datang ke sini bukan untuk mencari permusuhan, Paman."
"Apa pun yang kau katakan,
kehadiranmu di sini tidak diinginkan. Dan aku hanya memberimu peringatan satu
kali. Maaf, aku tidak ada waktu untukmu."
"Hei..., tunggu...!"
Tapi orang tua berjubah putih itu sudah berbalik dan melangkah ringan
meninggalkan Pendekar Pulau Neraka. Dari ayunan kakinya saja, sudah dapat
dinilai kalau orang tua itu memiliki tingkat kepandaian tinggi. Begitu ringan
ayunan kakinya, sehingga bagai tak menyentuh tanah sedikit pua Sebentar saja,
bayangan tubuhnya sudah jauh meninggalkan tempat ini, menghilang di tikungan
jalan. Sementara Bayu masih berdiri tertegun di tempatnya. Otaknya bekeria keras, untuk
mengerti maksud ucapan laki-laki tua itu tadi. Kata-kata yang tak bersahabat dan
bernada ancaman yang tidak bisa dianggap enteng.
"Aneh.... Mengapa semua orang begitu benci mendengar nama Ratu Lembah
Mayat..?" Bayu menggumam perlahan, berbicara pada dirinya sendiri.
Bukan hanya laki-laki tua itu saja yang kelihatan benci begitu mendengar nama
Ratu Lembah Mayat disebut Tapi tadi.... Sebelum Bayu sampai di sini, ada dua
orang yang langsung lari begitu ditanya letak tempat tinggal Ratu Lembah Mayat
Bayu jadi keheranan, karena tampaknya semua penduduk Desa Batang ini seperti
ketakutan. Bahkan membenci orang yang bemama Ratu Lembah Mayat
Bayu kembali memandangi reruntuhan rumah yang sudah rata dengan tanah.
Meskipun kelihatannya sudah beberapa hari hangus terbakar, tapi masih teriihat
sedikit asap tipis mengepul dari situ.
Reruntuhan rumah inilah yang ditunjukkan Parindra sebagai bekas rumahnya dulu.
Dan laki-laki tua tadi, mengatakan kalau ini bekas tempat tinggal Ratu Lembah
Mayat Jadi, memang benar ibu Parindra berjuluk Ratu Lembah Mayat Hanya saja,
Parindra tidak mengakui, dan mengatakan kalau julukan itu hanya mengada-ada
saja. "Ratu Lembah Mayat... Hm.", apa benar istri Pendekar Cakar Naga berjuluk Ratu
Lembah Mayat?" Bayu bergumam sendiri dalam hari.
Baru saja Bayu hendak mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu, mendadak saja
dari jalan di depannya teriihat banyak orang mendatangi. Pendekar Pulau Neraka
jadi berkerut keningnya, melihat banyak orang menuju ke arahnya. Mereka semua
membawa senjata dari berbagai bentuk, dan tampaknya datang tidak dengan maksud
bersahabat. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa mengerti, mendadak saja terdengar seruan-
seruan yang begitu lantang. Itu pun masih disusul berlariannya
orang-orang yang menghampiri. Bayu jadi, tersentak kaget ketika beberapa batang
tombak berhamburan ke arahnya.
"Heh..."!"
Bayu cepat berlompatan sambil
mengebutkan kedua tangannya, menangkis tombak-tombak yang berhamburan di
sekitamya. Belum lagi sempat menarik napas, dua orang sudah melompat maju.
Pendekar Pulau Neraka langsung diancam dengan serangan senjata golok terhunus!
"Hait..!"
*** Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menghentikan mereka.
Orang-orang itu sudah mengepung dan menyerang tanpa memberi kesempatan sedikit
pun untuk bertanya. Terpaksa Bayu berjumpalitan menghindari setiap
serangan yang datang dari segala penjuru.
"Setan...! Bisa habis napasku kalau begini terus!" dengus Bayu dalam hari.
Bayu benar-benar kesal, dan hanya dapat menggerutu serta mengumpat dalam hari.
Tak ada sedikit pun kesempatan baginya untuk bisa keluar dari kepungan orang-
orang ini. Pendekar Pulau Neraka sendiri tidak bisa berbuat banyak menghadapi
keroyokan yang begitu rapat.
Beberapa kali diberikannya serangan balasan, berupa pukulan-pukulan keras yang
tidak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, tetap saja kesempatan untuk
keluar dari kepungan ini tidak ada.
Padahal, beberapa orang sudah jatuh bergelimpangan terkena pukulan Pendekar
Pulau Neraka. Pukulan-pukulan
yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka memang tidak berbahaya, sehingga tak menimbulkan korban
seorang pun juga. Mereka yang terkena pukulan itu, bisa cepat bangkit berdiri
lagi. Bahkan kembali menyerang
ganas. Hal ini membuat Bayu semakin kerepotan menghadapinya. Dan tentu saja
ruang geraknya pun semakin menyempit.
Pukulan pukulannya pun semakin jarang terlontar.
Wusss! Tiba-tiba saja, berhembus angin yang begitu keras bagai terjadi badai topan di
tengah samudera. Angin yang datang tiba-tiba itu menimbulkan suara menderu yang
menggetarkan hari. Akibatnya orang-orang yang mengeroyok Bayu jadi berhamburan,
berpentalan diterjang angin yang begitu keras. Bahkan batu-batuan pun
beterbangan. Pepohonan mulai terbongkar sampai ke akamya. Jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi terdengar di antara deru angin yang begitu dahsyat
Bayu sendiri mengerahkan tenaga dalam agat tidak terhempas hembusan angin yang
begitu dahsyat dan tiba-tiba ini.
Pendekar Pulau Neraka sempat melihat orang-orang yang tadi mengeroyok,
berhamburan seperti segumpal kapas yang diterbangkan angin Tak ada seorang pun
yang mampu bertahan. Bahkan beberapa di antara mereka sudah tergeletak terhimpit
pohon atau batu-batu. Jeritan-jeritan melengking masih terdengar sating susul,
ditingkahi deru angin yang semakin
dahsyat Sementara Bayu masih tetap mencoba bertahan di tempatnya.
"Huh! Ini bukan angin biasa. Aku mulai merasakan hawa panas di dalamnya,"
dengus Bayu dalam hari.
Menyadari kalau badai yang datang ini bukan karena peristiwa alam biasa, Bayu
segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Dan seketika itu juga, tubuh
Pendekar Pulau Neraka melayang bagai sehelai daun yang terhembus angin.
Seketika dimanfaatkannya tenaga hembusan angin ini untuk melepaskan diri dari
serangan badai yang begitu dahsyat Dan begitu dorongan angin terasa berkurang
kekuatannya, cepat-cepat tubuhnya melenting, lalu berputaran beberapa kali di
udara. "Hup! Yeaaah...!"
Ringan sekali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kaki di tanah. Sedikit pun tak
terdengar suara saat kedua kakinya mendarat di tanah. Bayu berdiri tegak dengan
sinar mata menyorot tajam, dan beredar berkeliling. Pada saat itu, angin yang
dahsyat tersebut benar-benar sudah berhenti.
"Nguk...!"
Bayu cepat memutar tubuhnya ke kanan, begitu monyet kecil di pundaknya bersuara
pelan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sekitar sepuluh tombak di depannya
sudah berdiri seseorang
mengenakan jubah panjang berwama hitam.
Rambutnya panjang teriap, dan hampir menutupi seluruh wajahnya. Sehingga, Bayu
sukar mengenalinya. Sebatang tongkat yang bagian ujung atasnya berbentuk
tengkorak kepala manusia, tergenggam di tangan kanan. Bayu menyipitkan matanya,
mencoba memperhatikan orang itu lebih Jelas lagi
"Hm...," Bayu menggumam perlahan dalam hari.
"Pergilah dari sini, Anak Muda. Dan sebaiknya jangan mencampuri urusan ini.
Pergilah! Sebelum aku bertindak lebih kejam padamu!" terdengar dingin sekali
nada suara orang itu.
"Siapa kau" Apa maksudmu memamerkan tenaga dalam seperti itu?" tanya Bayu tegas.
"Hik hik hik..! Itu baru permulaan, Anak Muda."
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
Baru sekali ini Pendekar Pulau Neraka melihat orang berjubah hitam itu. Dan dari
suaranya saja, sudah bisa diduga kalau orang itu pasti seorang perempuan tua.
Dan yang pasti, kepandaiannya telah tinggi, karena bisa menciptakan badai topan
begitu dahsyat Bayu semakin menyipitkan matanya, mencoba memperhatikan lebih
jelas. Kakinya bergerak perlahan, melangkah ke depan.
Tapi orang berjubah hitam itu malah bergerak mundur seperti melayang di atas
tanah. Tak teriihat sedikit pun gerakan kakinya. Sehingga, Bayu tak dapat lebih
mendekat lagi, dan langsung menghentikan langkahnya. Orang berjubah hitam Itu
juga berhenti bergerak ke belakang.
"Demi keselamatanmu sendiri, kuharap kau segera angkat kaki dari desa ini. Tak
ada yang bisa diharapkan di sini," tegas orang berjubah hitam Itu lagi. Suaranya
tetap terdengar dingin tak bersahabat
"Kenapa semua orang mengusirku"
Apakah desa ini terlarang bagi pengembara sepertiku...?" tanya Bayu seperti
bertanya pada dirinya sendiri.
"Kau tidak akan mendapatkan jawaban, Anak Muda. Tak ada tempat sejengkal pun di
desa ini untukmu!" sahut orang berjubah hitam itu agak mendengus.
"Sayang sekali. Sepertinya, aku tidak bisa meninggalkan desa ini
cepat-cepat" ujar Bayu kalem.
"Keras kepala...!" desis orang berjubah hitam itu mendengus kesal.
Bayu memutar tubuhnya dan melangkah pergi tanpa berkata-kata lagi. Dia malah
berjalan menuju Desa Batang.
"Mau ke mana kau, Bocah..."!" bentak orang berjubah hitam itu.
"Ke Desa Batang," sahut Bayu seenaknya, tanpa menghentikan
langkahnya. "Bocah setan...! Berhenti kau...!"
Tapi Bayu tidak mempedulikan lagi, dan terus saja berjalan tenang. Dan begitu
sudah berjalan sejauh tiga batang tombak, tiba-tiba saja dari arah belakang
terasa angin berhembus keras. Seketika Bayu cepat melentingkan tubuh ke udara,
tanpa berpaling lagi ke belakang.
"Yeaaah...!"
Pada saat itu, di bawah tubuhnya
berkelebat bayangan hitam yang begitu cepat luar biasa. Tiga kali Bayu berputar
di udara, kemudian manis sekali
menjejakkan kakinya di tanah.
"Bocah setan...! Berhenti kau...!"
Tapi Pendekar Pulau Neraka tidak peduli. Dia terus saja berjalan. Dan ketika
dari belakang dirasakan-nya angin berhembus keras, Bayu segera melentingkan
tubuhnya tanpa berpaling lagi! Rupanya, sesosok ba-yangan hitam itu telah
menyerang dengan cepatnya!
Sebentar diperhatikannya orang
berjubah hitam yang sudah cepat berbalik.
Dan sebelum orang berjubah hitam itu kembali melakukan serangan, Pendekar Pulau
Neraka sudah melesat cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup sempurna. Begitu cepat
gerakannya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
tak teriihat lagi. Bagaikan tertelan bumi saja layaknya. Hilangnya Pendekar
Pulau Neraka membuat orang berjubah hitam ini jadi terbengong.
"Bocah setan...!" dia mengumpat berang.
Beberapa saat orang berjubah hitam itu masih berdiri tegak di tempatnya.
Sepasang bola matanya yang tersembunyi di balik riapan rambutnya yang panjang,
teriihat menyorot tajam, dan beredar berkeliling. Tapi Pendekar Pulau Neraka
memang sudah lenyap tak berbekas lagi Tak ada seorang pun yang dapat dilihatnya,
kecuali keadaan sekitar yang hancur berantakan akibat terlanda angin badai tadi.
Beberapa tubuh tak bernyawa, bergelimpangan tumpang tindih bersama bebatuan dan
pepohonan tumbang.
"Huh! Bocah setan itu harus
disingkirkan, sebelum membuat susah nantinya!" dengus orang berjubah hitam itu
lagi. Dan tanpa berkata apa-apa lagi,
tubuhnya cepat melesat pergi menuju Desa Batang. Begitu ringan dan cepatnya,
sehingga sebentar saja sudah jauh meninggalkan tempat ini. Sementara tanpa
diketahuinya, Bayu sebenamya masih berada di tempat itu. Pendekar Pulau Neraka
bersembunyi di balik sebatang pohon yang cukup besar sambil memperhatikan orang
berjubah hitam itu. Begitu orang itu lenyap dari pandangannya, barulah Pendekar
Pulau Neraka keluar dari balik pohon.
"Hm.... Siapa dia...?" gumam Bayu bertanya sendiri dalam hati.
*** 56 Malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh permukaan bumi di Desa Batang.
Suasana desa yang tidak begitu besar itu pun, terasa sunyi sekali Hanya beberapa
peronda saja yang teriihat berjaga-jaga di beberapa tempat di desa itu. Hampir
semua rumah di sini dalam keadaan gelap.
Para penduduk hanya memasang sebuah pelita kecil di beranda depan saja. Tapi,
ada satu rumah yang tampak terang benderang pada bagian dalamnya. Rumah itu
kelihatan paling besar di desa ini, dan berhalaman luas.
Di bagian ruangan depan rumah itu teriihat enam orang laki-laki duduk melingkar
di lantai yang beralas-kan selembar anyaman tikar daun pandan. Di antara mereka
tampak seorang laki-laki tua berjubah putih, berambut putih.
Dialah laki-laki tua yang pemah menemui dan memberi peringatan pada Pendekar
Pulau Neraka. Di Desa Batang ini, dia dikenal dengan nama Eyang Bagasrana. Dia
memang orang yang tertua dan amat disegani, dan juga guru besar di Padepokan
Kalong Hitam. Dan Desa Batang sendiri,
juga dikenal berjuluk Desa Padepokan Kalong Hitam. Karena, hampir semua
penduduknya merupakan mu rid Eyang Bagasrana.
Sedangkan tiga orang yang duduk di samping kanan dan kirinya masih kelihatan
muda. Dan mungkin baru berusia antara dua puluh lima atau tiga .puluh tahun.
Mereka juga pernah bertemu Pendekar Pulau Neraka. Yang mengenakan baju kuning
adalah Sutrana. Sedangkan yang berbaju merah adalah Badur, dan Rakasa yang
memakai baju warna biru muda. Sementara yang bernama Rakasa pernah terluka
akibat pertarungannya dengan Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan dua orang lagi sudah
berusia separuh baya. Melihat dari pakaian dan senjata yang disandang, sudah
dapat dipastikan kalau mereka bukan orang sembarangan. Yang mengenakan baju
hijau bernama Karpak. Goloknya berukuran besar, dan tergeletak di depannya. Dan
seorang lagi bernama Ladra. Bajunya juga berwama hijau, dan memegang sebatang
tombak pendek yang ujungnya bermata tiga.
"Satu lagi orang asing datang ke desa ini. Dan siang tadi, sudah meminta korban
cukup banyak...," laki-laki tua berjubah putih itu membuka suara.
"Ada tiga puluh orang yang tewas.
Sementara sisanya, terluka cukup parah,"
sambung Karpak "Apakah orang itu mengenakan baju dari kulit harimau...?" tanya Badur.
"Benar," sahut orang tua berjubah putih.
"Kami sempat bertarung di luar Desa Gambut Dia bersama Parindra. Waktu itu aku,
Sutrana dan Rakasa belum mengetahui persoalan yang sebenarnya;" jelas Badur
lagi. "Kalau begitu, dia benar-benar ada hubungannya dengan keluarga Pendekar Cakar
Naga...," gumam Eyang Bagasrana.
"Benarkah itu, Eyang...?" Karpak seperti meminta penjelasan.
"Anak muda itu menanyakan tempat tinggal Ratu Lembah Mayat Hm.... Dia pasti
hanya berpura-pura saja bertanya begitu.
Kedatangannya ke sini, pasti ingin menyelidiki kematian istri Pendekar Cakar
Naga," duga Eyang Bagasrana.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Eyang?" tanya Ladra.
"Yang pasti, Parindra sudah
bercerita banyak padanya. Dan bukannya tidak mungkin, ceritanya
ditambah-tambahkan supaya berkesan semua orang di desa ini telah membantai
keluarganya secara keji," sambung Sutrana.
"Eyang.... Kesalahpahaman ini harus segera diluruskan. Sekarang kita harus
mencarinya, dan menjelaskan kebenaranya.
Kalau tidak, dia akan tetap menyangka buruk pada semua orang di Desa Batang
ini," sambung Ladra.
"Percuma saja, Paman Ladra," selak Badur.


Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apanya yang percuma...?"
"Parindra tidak sudi lagi kembali ke sini. Bahkan terang-terangan menentang dan
membenci kita semua," jelas Badur.
"Dalam hal ini, aku yang bertanggung jawab. Dan harus kuselesaikan sendiri,"
selak Eyang Bagasrana.
"Tidak, Eyang...!" sentak Sutrana.
"Bukan hanya Eyang sendiri yang harus bertindak. Tapi semua orang di Desa Batang
ini juga terlibat"
"Benar, Eyang. Persoalan ini harus segera diselesaikan. Dan yang terpenting,
Parindra harus segera ditemukan. Dia harus diberi penjelasan yang sebenarnya.
Kalaupun pendiriannya tetap tidak berubah, itu memang sudah haknya. Dan kita
tetap berkewajiban membersihkan nama Pendekar Cakar Naga. Terutama, nama istri
dan anak-anaknya," sambung Karpak
"Eyang.... Bagaimana kalau kita temui dulu anak muda berbaju kulit harimau itu,"
usul Ladra. "Maksudmu..?" tanya Eyang Bagasrana tidak mengerti.
"Serahkan saja padaku, Eyang. Toh, dia belum bertemu denganku," ujar Ladra
diiringi senyuman. 1
"Dengar, Ladra. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main...!" dengus Eyang
Bagasrana. Ladra hanya tersenyum saja. Dia
bangkit berdiri, dan membungkukkan badannya untuk memberi hormat pada laki-laki
tua itu. Kemudian tubuhnya berbalik, langsung berjalan ke luar meninggalkan
ruangan itu. "Apa yang akan dilakukannya...?"
tanya Eyang Bagasrana seperti bertanya pada diri sendiri.
Tentu saja yang lain tidak bisa
menjawab. Mereka tidak tahu, apa yang akan dilakukan Ladra pada pemuda berbaju
kulit harimau. Sementara mereka semua terdiam, Ladra sudah memacu cepat kudanya
meninggalkan rumah berukuran cukup besar itu. Sementara malam terus merayap
semakin larut, menyelimuti
seluruh permukaan bumi Desa Batang. Suasana di desa itu pun semakin terasa sunyi. Hanya
suara binatang malam saja yang terdengar mengisi kesunyian malam.
*** "Hup...!"
Ladra melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan ringan sekali.
Kakinya melangkah sambil menuntun kudanya, mendekati seorang pemuda yang duduk
bersila di depan api unggun. Api yang menyala tidak seberapa besar itu sudah
cukup mengusir udara dingin malam ini. Pemuda yang mengenakan baju kulit harimau
itu hanya mengangkat wajahnya sedikit, begitu Ladra sudah berada di depannya.
"Maaf, boleh menumpang menghangatkan badan di sini?" ujar Ladra dengan suara dan
sikap dibuat lembut
"Silakan," sahut pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain Pendekar Pulau
Neraka. "Terima kasih."
Ladra duduk bersila di depan Pendekar Pulau Neraka. Kedua telapak tangannya
digosok-gosokkan di atas api. Bayu menambahkan sebatang ranting kedalam api.
Diperhatikannya laki-laki setengah baya yang membawa tombak pendek bermata tiga
di depannya Sedangkan Ladra seperti tidak peduli kalau dirinya diperhatikan.
"Tampaknya Kisanak seorang
pengembara...," pancing Ladra lagi.
"Benar," sahut Bayu singkat
"Aku Ladra. Dan biasanya orang memanggilku si Tombak Mata Tiga," Ladra
memperkenalkan diri.
"Aku Bayu," Bayu juga memperkenalkan diri, tapi tidak menyebutkan julukannya
yang terkenal angker dan bisa membuat bulu kuduk meremang.
"Apakah tujuan perjalananmu adalah Desa Batang, Kisanak..?" tanya Ladra lagi.
"Benar," sahut Bayu.
"Sayang sekali. Desa itu sekarang ini tidak enak disinggahi," pelan suara Ladra.
"Kenapa...?" tanya Bayu dengan mata sedikit menyipit
"Beberapa hari ini, terjadi
malapetaka yang menimpa desa itu. Sebuah gerombolan yang dipimpin Ratu Lembah
Mayat telah memporakporandakan desa itu.
Bahkan sampai menimbulkan banyak korban jiwa. Peristiwa itu terjadi setelah
adanya pertarungan antara Pendekar Cakar Naga melawan si Mata Setan dari Bukit
Jagal Pertarungan itu sebenarnya terjadi
di luar Desa Batang. Tapi, Pendekar Cakar Naga dan keluarganya memang dulu
tinggal di sana. Bahkan sekarang keluarganya sudah musnah. Hanya seorang
putranya saja yang sampai saat ini tidak jelas rimbanya.
Semua orang di Desa Batang, terutama Ketua Padepokan Kalong Hitam, mengharapkan
kehadiran putra Pendekar Cakar Naga itu,"
jelas Ladra tentang keadaan Desa Batang dengan panjang lebar.
Sedangkan Bayu mendengarkan penuh perhatian. Keningnya jadi berkerut, dan
matanya menyipit memperhatikan wajah laki-laki setengah baya di depannya. Dia
jadi teringat semua cerita Parindra. Apa yang baru saja didengar dari Ladra,
tidak beda jauh dengan penuturan Parindra. Tapi ada sedikit perbedaan. Parindra
mengatakan kalau ibunya dijuluki si Ratu Lembah Mayat oleh penduduk Desa Batang.
Dan mereka membantainya dengan keji.
Sedangkan Ladra mengatakan, ada
orang lain lagi yang bernama Ratu Lembah Mayat, Pendekar Pulau Neraka juga jadi
teringat pada orang tua berjubah putih, ketika berada di dekat reruntuhan puing
tempat tinggal Pendekar Cakar Naga. Orang tua berjubah putih itu mengatakan
reruntuhan itu tempat tinggal si Ratu Lembah Mayat
"Boleh aku tahu, siapa sebenamya Ratu Lembah Mayat itu?" tanya Bayu bernada
menyelidik "Sayang sekali. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu, siapa Ratu Lembah Mayat
itu," sahut Ladra.
"Apakah dia masih juga muncul?" tanya Bayu lagi.
"Tidak, Tapi orang-orangnya sudah dua kali datang. Mereka memang tidak mengambil
apa-apa. Tapi setiap
kemunculannya, selatu menimbuikan korban nyawa. Bahkan selalu mengobrak-abrik
rumah penduduk Mereka seperti mencari sesuatu, tapi tampaknya belum
menemukannya," jelas Ladra lagi.
"Apa yang dicarinya?"
"Sayang sekali, aku tidak tahu.
Mereka pun pernah membongkar kuburan Pendekar Cakar Naga. Bahkan mengkais
reruntuhan rumahnya. Juga membongkar kuburan istri dan anak perempuan Pendekar
Cakar Naga. Mereka seperti mencari sesuatu dari sana," kata Ladra lagi.
"Berapa orang jumlah mereka?"
"Enam. Tapi yang dua orang, sangat sukar ditandingi kepandaiannya.
Sementara yang empat orang, hanya biasa saja kemampuannya."
Bayu terdiam. Pandangannya
menerawang jauh ke depan. Perasaannya mengatakan kalau persoalan yang
dihadapinya sekarang ini semakin pelik Tapi, sudah bisa disimpulkan kalau ibu
Parindra sebenarnya bukan si Ratu Lembah Mayat. Dan tampaknya, ada sesuatu yang
diinginkan orang berjuluk Ratu Lembah Mayat itu dari Pendekar Cakar Naga.
Sesuatu yang belum diketahui secara pasti.
Bayu jadi teringat pertemuannya
dengan Parindra. Anak muda belasan tahun itu hampir mati digantung empat orang
wanita yang mengenakan cawat Mereka menuduh Parindra sebagai pencuri. Bayu jadi
termenung, mengkaitkan semua peristiwa dan cerita yang didapat selama ini.
Seketika timbul pertanyaan dalam hatinya. Apakah empat orang yang hampir
menggantung Parindra adalah anak buah Ratu Lembah Mayat.."
"Paman.... Bolehkah bertanya sesuatu?" pinta Bayu hari-hati.
"Silakan," ujar Ladra.
"Apakah benar orang-orang Desa Batang yang membunuh keluarga Pendekar Cakar
Naga?" tanya Bayu, lebih hati-hati lagi.
"Itulah yang menjadi penyesalan kami, Anak Muda. Waktu itu, kami tidak lagi
menyelidiki lebih dulu. Kami gelap mata. Karena orang yang bernama Ratu Lembah
Mayat, wajahnya sangat mirip istri Pendekar Cakar Naga. Dan kami langsung
menuduhnya begitu saja," ada nada penyesalan dalam suara Ladra.
"Tapi, kenapa semua orang di desa itu tidak menyukai kehadiranku?" tanya Bayu
begitu bisa memastikan kalau Ladra salah seorang penduduk Desa Batang.
"Sejak peristiwa itu, kami memang selatu mencurigai setiap pendatang.
Bahkan melarang pendatang untuk memasuki Desa Batang. Kami ingin menyelesaikan
semua kemelut ini sendiri, tanpa ada campur tangan orang asing," jelas Ladra.
"Aku mengerti...," ucap Bayu bisa memaklumi.
"Kisanak! Kudengar, kau tahu Parindra berada. Boleh aku bertemu dengannya?"
pinta Ladra. "Maaf, sekarang ini aku tidak bisa memberi tahu di mana Parindra berada,"
halus sekali Bayu menolak permlntaan itu.
Ladra mengangkat bahunya.
"Kuharap Paman bisa mengerti," ujar Bayu.
"Aku mengerti Keadaan memang tidak memungkinkan untuk bisa saling
mempercayai satu sama lain."
"Terima kasih."
*** Bayu dan Ladra tengah asyik bertukar pikiran, tiba-tiba saja dikejutkan teriakan
panjang melengking tinggi, disusul teriihatnya kobaran api dari Desa Batang.
Mereka terlonjak kaget, dan langsung melompat berdiri. Dan sebelum bergerak,
tiba-tiba saja teriihat beberapa bayangan berkelebat melewati perbatasan desa.
"Hup...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Bayu segera melesat pergi mengejar bayangan yang berkelebat cepat bagai kilat
itu. Begitu cepat dan sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar
Pulau Neraka, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap ditelan kegelapan.
Akibatnya Ladra jadi bengong seperti kerbau melihat lalat di ujung hidungnya.
Sementara itu Bayu sudah
meninggalkan Ladra yang cepat-cepat melompat naik ke punggung kudanya. Di
antara keremangan cahaya bulan, Bayu dapat melihat tujuh orang bergerak cepat di
depannya. Mereka menuju hutan lebat di sebelah Selatan Desa Batang, dan terletak di sebuah
bukit kecil. Dan di balik bukit itu, terdapat sebuah lembah yang
dinamakan Lembah Mayat
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan seekor burung elang, Bayu melesat secepat kilat mengejar tujuh orang
yang berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh bertaraf tinggi.
Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan ujung kakinya di dahan
pepohonan. Lalu begitu berhasil melewati kepala ketujuh orang itu, cepat
tubuhnya meluruk turun menghadang.
Kemunculan Bayu yang begitu
tiba-tiba, membuat ketujuh orang itu terkejut setengah mati. Mereka langsung
berhenti berlari. Bayu sendiri tersentak kaget karena enam orang di antara
mereka adalah gadis muda yang hanya mengenakan cawat sebagai penutup tubuh.
Sedangkan yang seorang lagi, adalah perempuan tua berjubah hitam. Rambutnya
teriap panjang hampir menutupi wajahnya. Dari keremangan cahaya bulan, Bayu
sempat melihat wajah perempuan tua itu seperti wajah
tengkorak, saat rambutnya yang menutupi mata tersibak.
"Setan...! Rupanya kau belum juga pergi dari sini...!" dengus perempuan tua
berjubah hitam itu sengit
"Aku tidak akan pergi sebelum menghentikan angkara murkamu!" sahut Bayu tidak
kalah dinginnya.
"Phuih! Apa urusanmu mengaturku, Bocah Setan...!" perempuan tua itu semakin
berang mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka.
"Aku berurusan dengan siapa saja yang mengumbar nafsu iblis. Termasuk juga
kalian!" "Keparat..!"
Perempuan tua itu menghentakkan
tongkatnya ke tanah. Seketika empat gadis muda bercawat itu berlompatan mundur.
Gerakan mereka ringan sekali. Tak ada suara sedikit pun yang ditimbulkan ketika
mereka menjejak tanah sekitar beberapa langkah di depan Pendekar Pulau Neraka.
Tanpa mengucapkan sesuatu, empat gadis muda
berparas cantik itu langsung
menyerang menggunakan tombak panjang bermata hitam.
"Uts! Yeaaah...!"
Bayu bergegas menarik tubuh ke kanan, ketika satu batang tombak menyodok ke arah
dada. Dan begitu mata tombak lewat di depan dada, cepat sekali tangan kirinya
dikebutkan, langsung menyodok ke arah perut Begitu cepatnya gerakan tangan kiri
Pendekar Pulau Neraka, sehingga gadis yang menyerangnya tidak dapat lagi
menghindar. Des! "Ugkh...!" dia mengeluh dan terhuyung ke belakang dengan tubuh agak membungkuk
Belum lagi Bayu sempat menarik tegak tubuhnya, kembali datang serangan dari arah
lain. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuh ke belakang, lalu
berputaran dua kali untuk
menghindari hunjaman tombak panjang
bermata hitam. Dan ketika tombak itu lewat di bawah kakinya, ujung jari kakinya
cepat dijejakkan ke ujung mata tombak berwama hitam. Lalu, manis sekali, Bayu
melenting ke atas melewati kepala gadis cantik bercawat itu.
"Hiyaaa...!"
Keras sekali Bayu melepaskan satu pukulan ke arah batok kepala gadis ini.
Tapi tanpa diduga sama sekali, satu orang gadis lainnya melesat cepat sambil
mengebutkan tombak ke arah dada Pendekar Pulau Neraka.
"Uts...!"
Bayu menarik pulang pukulannya, lalu memutar tubuhnya dua kali sebelum mendarat
kembali di tanah. Belum juga Pendekar Pulau Neraka sempat menarik napas, dua
orang gadis yang berada di samping perempuan berjubah hitam itu cepat
mengebutkan tangan kanannya. Dan dari telapak tangan kanannya, seketika melesat
benda-benda kecil berwama hitam seperti jarum.
Wusss! "Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan di
udara, menghindari serbuan jarum-jarum hitam itu. Beberapa kali
tubuhnya melakukan putaran di udara, dan baru menjejak tanah setelah jarum-jarum hitam
itu lewat tanpa menyentuh tubuhnya sedikit pun.
Saat itu juga Bayu dikejutkan
suara-suara dari pepohonan yang tumbang di belakangnya. Pendekar Pulau Neraka
jadi tersentak kaget Karena jarum-jarum hitam yang menghantam pepohonan temyata
membuat pohon itu bertumbangan.
"Gila...!" desis Bayu terkejut setengah mati.
Bisa dibayangkan jika jarum-jarum hitam itu sampai menembus kulit tubuh
Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya bisa hancur seperti pohon-pohon di belakangnya.
Dan selagi Pendekar Pulau Neraka tertegun bengong, tiba-tiba saja salah seorang
dari gadis muda di samping perempuan berjubah hitam itu melesat cepat bagai
kilat "Hiyaaat..!"
"Uts!"
Kalau saja Pendekar Pulau Neraka
tidak segera membanting tubuh ke tanah, sudah pasti pukulan bertenaga dalam
tinggi yang dilepaskan gadis bercawat itu menghantam dadanya. Beberapa kali
Pendekar Pulau Neraka bergulingan di tanah, menghindari hujaman beberapa tombak
yang datang begitu tubuhnya jatuh ke tanah.
Dan begitu memiliki kesempatan,
bergegas Pendekar Pulau Neraka melompat bangkit berdiri sambil melepaskan
tendangan menyamping dengan kedua kakinya yang merentang lebar. Tindakan itu
begitu cepat dan tiba-tiba, kakinya tak dapat lagi dihindari dua orang gadis
yang berada di kanan kirinya. Mereka terpekik keras agak tertahan, begitu
dadanya terkena tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Kembali Bayu melakukan putaran ke belakang sejauh dua batang tombak, begitu
kakinya menjejak tanah sebentar. Dengan manis sekali, kakinya yang kokoh
mendarat di tanah. Dan di depannya, kini sudah berdiri berjajar enam orang gadis
cantik bercawat Empat orang di antaranya memegang tombak panjang bermata hitam.
Sedangkan dua orang lagi, membawa pedang yang masih tersampir di punggung.
Sementara perempuan berjubah hitam, berdiri di belakang keenam gadis cantik
bercawat ini. "Kau memang tangguh, Anak Muda,"


Pendekar Pulau Neraka 26 Ratu Lembah Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa dingin nada suara perempuan berjubah hitam itu.
"Terima kasih," ucap Bayu seraya tersenyum tipis.
"Kau tentu seorang pendekar. Apa julukanmu?" kejar perempuan berjubah hitam itu
seperti penasaran.
"Apakah itu penting bagimu,
Nisanak..?" Bayu malah balik bertanya.
"Aku kenal banyak pendekar di dunia ini. Tapi rasanya aku belum pernah
melihatmu. Apalagi mendengar julukanmu.
Hal itu penting bagiku, agar bisa kutentukan apakah kau pantas berhadapan
denganku atau tidak!"
"O, begitukah...?"
"Apa julukanmu, Anak Muda?"
"Pendekar Pulau Neraka."
"Setan...! Rupanya kau yang bergelar Pendekar Pulau Neraka...!"
dengus perempuan berjubah hitam itu menggeram.
Bayu jadi menyipitkan matanya,
merayapi perempuan bermuka seperti tengkorak di depannya. Sedangkan enam orang
gadis cantik yang berdiri berjajar, tampak tinggal menunggu perintah saja untuk
melakukan penyerangan. Mereka menatap tajam, tanpa berkedip ke arah pemuda
berbaju kulit harimau di depannya.
"Seharusnya aku membunuhmu, Bocah Setan. Tapi, kau belum waktunya
berhadapan denganku. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Satu saat
nanti, kau harus berhadapan denganku, Pendekar Pulau Neraka. Ada tagihan hutang
nyawa yang harus kau bayar padaku!" tegas perempuan berjubah hitam itu.
Setelah berkata demikian, perempuan berjubah hitam itu langsung melesat pergi.
Dan enam gadis cantik bercawat, bergegas melesat mengikuti.
"Hey, tunggu...!" seru Bayu.
Tapi wanita-wanita itu sudah cepat menghilang ditelan kegelapan malam.
Mereka lenyap di dalam hutan yang cukup lebat. Jadi, tidak ada gunanya bagi Bayu
untuk mengejar. Hutan di bukit kecil ini lebat sekali. Dan wanita-wanita itu
bisa saja menuju ke arah yang sulit diduga di dalam hutan.
"Apakah dia yang disebut Ratu Lembah Mayat..?" gumam Bayu bertanya sendiri
dengan suara pelan.
*** 5 Matahari baru saja menampakkan diri di ufuk Timur. Sinarnya yang memerah, terasa
hangat membangunkan seluruh penghuni mayapada. Burung-burung
berkicau riang menyambut datangnya sang fajar. Di sebelah Timur Desa Batang,
teriihat Parindra merangkak keluar dari dalam gua baru. Disibaknya semak yang
menutupi mulut gua itu.
"Uhhh...!"
Parindra menggeliatkan tubuh, sambil menghirup udara segar pagi ini. Bibirnya
tersenyum memandangi burung-bururtg yang berkicau sambil berlompatan riang dari
satu dahan ke dahan lain. Sepasang kelinci berbulu putih, kelihatan riang
berkejaran bebas di atas rerumputan. Parindra
seperti iri melihat kehidupan bebas di alam ini.
"Seandainya aku bisa bebas seperti mereka...," desah Parindra perlahan.
Angan-angan yang diinginkan Parindra memang tidak berlebihan. Siapa pun di dunia
ini, pasti menginginkan kebebasan dalam segala hal. Terlebih lagi, sekarang ini
Pedang Darah Bunga Iblis 6 Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah Tongkat Setan 1
^