Pencarian

Pedang Siluman 2

Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman Bagian 2


Pandu pandangi kaki kirinya, tapi tak muncul pedang atau senjata apa-apa.
"Bukan kaki kiri, tapi kaki kanan!" Mirah Duri men-
jelaskan. Plak...! Paha kanan ditepak. Zlaapp...! Tiba-tiba tangan Pandu Puber menggenggam
pedang warna kuning emas
berhias bentuk jatung hati. Mata pedang masih terbenam di kaki itu. Pandu Puber
terperanjat girang, lalu mencabut pedang itu pelan-pelan sekali. Tampak mata
pedang bagaikan keluar dari kulit dan daging kaki tersebut.
Seellp...! Wuuttt...! Pedang tercabut seluruhnya. Mata pedang
memancarkan sinar ungu yang mengagumkan mata si
pemiliknya sendiri. Wajah duka Pandu Puber lenyap, yang ada hanyalah wajah
berseri-seri memandang pedang
tersebut. Senyum kebanggaan pun mekar pula di bibir Mirah Duri. Dia merasa
bersyukur karena pejelasannya ternyata memang ada buktinya.
"Megah sekali pedang ini!" ujar Pandu Puber seakan
bicara pada diri sendiri. Mirah Duri menjawab,
"Itulah kakekmu Raja Jin Kala Bopak!"
Lalu hati Pandu mulai disentuh keharuan lagi. Ia
menyapa pedang itu,
"Kek....! Apakah kau bisa mendengar suaraku, Kek?"
Lalu terdengar jawaban dalam bentuk suara membisik, hanya Pandu sendiri yang
mendengarnya, sama seperti suara membisik dari Dian Ayu Dayen yang tidak bisa
didengar oleh orang lain tadi.
"Aku mendengar suaramu, Cucuku!"
Senyum keharuan mekar jelas-jelas di bibir Pandu. Ia menatap Mirah Duri dan
bertanya, "Apakah kau mendengar suara Kakek?"
"Tidak," jawab Mirah Duri setelah mempertajam
telinganya dengan berkerut dahi dan sedikit memiringkan kepala.
"Tapi aku mendengarnya, Yu Mirah! Aku mendengar
jawaban Kakek!" Pandu tampak berapi-api tanda begitu girangnya bisa mendengar
suara sang kakek.
"Kek, bicaralah lagi padaku!"
"Kau memang mendengar suaraku, Cu. Hanya kau yang
mendengar. Orang lain tak bisa mendengarnya."
"Berteriaklah, Kek! Teriak yang keras biar Yu Mirah mendengar suaramu!"
"Cucu kurang ajar, kakeknya disuruh teriak-teriak!
Nggak mau!"
"Yaah, Kakek..... Sekali saja, Kek. Biar Yu Mirah lega dan ikut gembira! Ayo,
berteriaklah sekeras-kerasnya, Kek!"
"Dasar bocah bandel. Biar aku teriak sampai mulutku robek tetap saja tak ada
yang mendengarnya kecuali
dirimu sendiri. Sebab tali ikatan batin yang ada hanya antara kau dan aku.
Sudah, masukkan lagi aku ke dalam kakimu! Cari si Ratu Peri Sore di Hutan Kulit
Setan, balaskan kekalahanku kepadanya!"
"Baik, Kek! Aku akan menuju ke Hutan Kulit Setan!"
Setelah bicara begitu, ujung pedang bagaikan ditusukkan ke atas lutut samping.
Tak ada rasa sakit yang diderita ketika mata pedang ungu itu masuk ke kaki. Yang
dirasa-kan hanya hawa sejuk, dan untuk selanjutnya pedangpun lenyap tersimpan
rapat dan aman di kaki kanan Pandu Puber.
"Ku dengar kau akan menuju ke Hutan Kulit Setan,
Pandu?" "Ya, aku harus balaskan kekalahan Kakek. Dia yang
suruh aku temui Ratu Peri Sore!"
Wajah Mirah Duri sempat terlihat cemas. "Hati-hati, dia sendiri sedang mencarimu
untuk dijadikan suaminya."
"Jangan takut, Yu. Aku tak akan tergoda oleh
kecantikannya. Sebaiknya Yu Mirah pulang ke Pulau Iblis dan mengabarkan hal ini
kepada para penghuni Pulau Iblis, terutama kepada gurumu Ki Parut Melepuh!"
"Ki Panut Palipuh!" ralat Mirah Duri agak jengkel. "Lagi-lagi kau menyebut nama
guruku Parut Melepuh! Gundulmu itu yang diparut sampai melepuh"!"
Pandu tertawa kecil. "Sejak dulu, sejak kita bertemu saat aku berusia delapan
tahunan, aku sudah terbiasa memanggil gurumu Ki Parut Melepuh. Jadi sukar lagi
bagiku untuk menyebutnya dengan benar."
"Masa bodoh, ah!" ujar Mirah Duri yang bersungut-
sungut, kemudian merekapun berpisah. Mirah Duri pulang ke Pulau Iblis. Pandu
Puber menuju ke Bukit Tengkuk Hantu, karena di lereng timur bukit itulah
terdapat Hutan Kulit Setan.
Jalan terpendek menuju ke sana adalah melewati pesisir utara. Pandu Puber
menyusuri pantai sampai berlari cepat menggunakan jurus 'Angin Jantan'-nya. Di
luar dugaan arah yang dituju itu bakalan melewati wilayah kekuasaan Ratu Geladak
Hitam. Tak heran ketika ia tiba di perbatasan Benteng Geladak Hitam, ia dicegat
oleh dua orang penjaga perbatasan. Karena dicegat, mau tak mau Pendekar
Romantis hentikan langkahnya.
"Tak tahukah kau bahwa tak seorangpun diizinkan
memasuki wilayah Benteng Geladak Hitam"!" ujar penjaga perbatasan yang
berpakaian coklat muda dan bersenjata tombak bermata kapak dua sisi itu.
"Apakah.....apakah ini wilayah Benteng Geladak Hitam?"
"Benar, Nak," jawab si baju coklat yang suaranya sedikit serak karena usianya
sudah mencapai sekitar lima puluh tahun, tapi masih tegar dan sigap.
"Benteng Geladak Hitam"!" gumam Pandu sambil
mengingat-ingat, "Sepertinya Ayah penah ceritakan tentang Benteng Geladak Hitam.
Kalau tidak salah di sini ada penguasanya yang bernama Dardanila dan berjuluk
Ratu Geladak Hitam?"
Penjaga yang satunya, berpakaian serba hitam dengan senjata golok lebar berhias
benang rumbai-rumbai merah di ujung gagangnya itu segera berkata, "Sebaiknya
pergilah dari wilayah kami. Kami sedang tidak menerima tamu
siapapun! Jangan memaksa kami berbuat kasar, Anak
Muda." Pendekar Romantis masih tenang. Sikapnya tidak ber-
musuhan. "Aku sekedar numpang lewat saja."
"Tidak boleh! Daerah ini daerah larangan untuk dilalui siapapun!" bentak di baju
hitam. "Aku.....aku kenal dengan penguasa Benteng Geladak
Hitam. Kalau boleh aku akan menemui Ratu Geladak
Hitam yang bernama Dardanila untuk meminta izin
melintasi tempat ini!"
Kedua penjaga saling pandang mendengar nama
Dardanila disebut-sebut oleh anak muda yang belum
dikenalnya itu. Akhirnya si baju coklat berkata,
"Kami tidak bisa menuruti permintaan. Gusti ratu kami pun tidak bakalan mau
menemuimu, Anak Muda."
"Kenapa" Apa sebabnya?"
"Kau tak perlu tahu!" jawab yang bersenjata golok lebar itu. "Katakan dulu
padanya, siapa tahu dia mau bertemu denganku!"
"Jangan memaksa!" bentak si baju hitam dengan mata
melebar. Biar usianya labih muda tapi wibawanya sama tuanya dengan berbaju
coklat. "Kalau kau tak mau pergi dari wilayah kami, terpaksa kami pergunakan senjata
untuk bicara!"
"Apakah senjatamu mampu melukaiku, Paman?"
"Kurang ajar! Hoaaah....!" Bentak si baju hitam sambil melompat dengan ganas dan
menyabetkan golok besarnya ke perut Pandu Puber. Wuuutt...!
Dengan sentakan mundur sedikit melengkung, sabetan
golok lebar itu bisa dihindari oleh Pendekar Romantis. Si baju hitam penasaran
karena sabetannya meleset, maka ia menyerang lagi dengan tebasan dari atas ke
bawah. Wuuutt...! Slaapp....! Kedua tangan Pendekar Romantis dirapatkan di depan wajah, dan tebasan
golok lebar dari atas ke bawah itu ditangkapnya dengan dua telapak tangan tanpa
garis itu. Golok tersebut terjepit di antara dua telapak tangan. Lalu dengan
satu kali sentakan bertenaga dalam tinggi, golok itu dipatahkan dengan mudah.
Traakkk...! "Edan..."!" bengong pemiliknya melihat golok lebarnya bisa patah dalam satu
sentakan. Sedangkan sisa
patahannya masih terjepit di tangan anak muda yang
tampan itu. Orang berbaju hitam mundur dengan wajah tegang.
"Maju...." Katanya kepada si baju coklat.
"Nggak, ah! senjataku ini masih belum lunas dari masa kreditnya. Kalau ikut-
ikutan dipatahkan, wah.......rugi besar aku! Agaknya bocah ini bukan bocah
sembarangan. Kita tak boleh keras kepala."
"Majulah dulu, biar senjatamu sama-sama patah!"
"Nggak mau!" orang berbaju coklat itu justru mundur. Ia bukan takut terluka,
tapi takut kalau senjatanya yang masih mengkilap dan tampak baru itu ikut-ikutan
patah seperti golok tersebut.
"Paman berdua, aku bicara baik-baik pada kalian dan ingin bertemu Ratu Geladak
Hitam dengan baik-baik pula.
Kumohon jangan bikin perkara denganku, Paman. Kita
sama-sama tak ada yang mau dirugikan, bukan?" kata
Pandu dengan bahasa yang enak dan berkesan cuek.
Rambutnya yang pendek depan dan panjang belakang itu dikibaskan sebentar memakai
tangannya. "Hmm... hmmm... kami sebenarnya tak diizinkan untuk
menerima tamu siapapun, sebab Gusti Ratu sedang sakit."
"Sakit" Sakit apa?"
"Terkena racun 'Tua Bangka'. Wajahnya berubah buruk dan tua."
"Milik siapa racun itu?"
"Yang jelas bukan milikku," sahut si baju coklat.
Baju hitam menjawab pula, "Racun 'Tua Bangka' adalah milik Ratu Peri Sore. Ratu
kami bertarung dengan Ratu Peri Sore beberapa waktu yang lalu, dan...."
"Sudahlah, bawa aku secepatnya pada ratumu!" desak
Pandu tak sabar.
--------------------------------------------------------------------------------
--------------------
LIMA --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
SEMASA Yuda Lelana belum menikah dengan Murti
Kumala, penguasa Benteng Geladak Hitam yang bernama asli Dardanila itu masih
cantik. Selain cantik juga sexy dan menggairahkan. Tapi saat yang datang Pandu
Puber, perempuan itu tidak secantik dulu, (Kalau mau mengintip kecantikan Dardanila,
bacalah serial Pendekar Romantis dalam kisah: "Geger Di Kayangan" asyik lho)
Ketika Pandu Puber diantar dua penjaga gerbang
setelah terlebih dulu diantar si baju hitam dari pantai tadi, keadaan di dalam
ruang pertemuan itu masih bersuasana serius. Di ruang pertemuan yang dulu pernah
dijadikan tempat pertemuan ayah Pandu dengan Dardanila itu
tampak beberapa orang sedang berbicara dengan Ratu
Geladak Hitam. Tubuh Ratu Geladak Hitam menyedihkan sekali. Kurus, berkulit keriput, bongkok,
pipinya kempot, dahinya
berkerut-kerut seperti lipatan sarung kumal. Rambutnya beruban tak rata.
Pokoknya jelek sekali deh. Tak ada pantasnya sedikitpun kalau dipajang dalam
bufet kaca. Sang ratu sedang bicara dengan dua wanita yang usianya separo baya. Kalau saja
dulu waktu Yuda Lelana
datang ke situ Pandu ikut serta, pasti Pandu mengenali dua wanita tersebut.
Mereka adalah Kutilang Manja dan Peluh Selayang, murid dari Nyai Sirih Dewi,
dari perguruan Sekar Bumi yang menempati Bukit Bara. Sekarang Kutilang Manja
sudah berusia empat puluh dua tahun, sebab waktu bertemu dengan Yuda Lelana ia
berusia dua puluh empat tahun. Sedangkan Peluh Selayang sudah berusia empat
puluh enam tahun. Sekalipun begitu mereka masih tempak cantik dan belum terlalu
tua. Bahkan kecantikan mereka semakin kelihatan matang, seakan tumbuh sebagai
wanita yang punya segudang pengalaman dalam bercinta.
Tiga wanita dan dua lelaki anak buah Dardanila merasa terkejut ketika penjaga
gerbang menghadap dan mem-beritahukan adanya tamu yang bernama Pandu Puber.
Mata tua Ratu Geladak Hitam terkesiap, lalu berubah menjadi tegang, seperti mata
kedua wanita murid Nyai Sirih Dewi itu.
"Pandu Puber..." Bukankah....bukankah dia yang
belakangan ini dikenal dengan nama Pendekar Romantis?"
ujar Ratu Geladak Hitam.
"Kalau tak salah dengar, konon dia anak dari Yuda
Lelana," sambung Kutilang Manja dengan hati berdebar-debar sebab dulu ia pernah
hampir jatuh cinta mentok kepada Yuda Lelana.
"Suruh dia masuk dan menghadapku," kata Dardanila
kepada penjaga gerbang. Maka sang Pendekar Romantis pun dibawanya menghadap.
Ruang pertemuan menjadi hening mencekam. Mata
mereka terpana memandang seraut wajah tampan yang
menggetarkan hati. Rambutnya punk-rock, bajunya ungu keren karena berbintik-
bintik seperti tetesan embun pagi, tubuhnya tegap, gagah dan tampak jantan
sekali. Kutilang Manja tak sadar sampai membuka mulutnya beberapa
saat lamanya. Mulut sampai terasa kering karena kena angin.
Kekakuan mereka yang menyerupai patung hidup itu
segea berakhir setelah Pendekar Romantis bicara sambil sunggingkan senyum yang
mampu menghentikan jantung
orang setua Dardanila tapi masih bersemangat muda.
Untung saja Dardanila segear menarik napasnya panjang-panjang, sehingga
jantungnya tak sempat berhenti karena senyuman yang amat membius sukma itu.
"Apakah di sini tempat pertemuan orang bisu?"
Dardanila memaksakan diri untuk batuk-batuk kecil,
membuat merekapun mulai sadar akan keterbungkaman
mulut penuh rasa kagum itu.
"Benarkah kau putra Yuda Lelana sang dewa itu?"
sambut Dardanila dengan suaranya yang gemetar karena ketuaan fisiknya.
"Ya, aku putra Yuda Lelana yang sudah kau kenal, Nyai Ratu."
"Ooh.....cobalah mendekat kemari, aku ingin melihatmu lebih jelas lagi, Nak!" kata
Dardanila, dan Pandu Puber pun segera mendekati dengan senyum masih menari-nari
di wajah indonya yang luar biasa ganteng itu.
Dengan mata yang sedikit rabun Dardanila meraba-raba dada Pandu, bahkan
rabaannya naik ke wajah. Setiap
lekuk wajah disentuhnya agar lebih jelas lagi merasakan sebentuk ketampanan anak
Yuda Lelana. Pandu Puber
sendiri sempat merinding diraba nenek bungkuk berkulit keriput. Ia risi,
wajahnya diobok-obok oleh tangan kurus bagai tulang terbungkus kulit. Tapi ia
bertahan demi melegakan si nenek yang tampak menyedihkan itu.
"Ya, ya, ya...." Dardanila manggut-manggut, senyum tuanya membias tak sedap
dipandang mata. "Ternyata
memang tampan. Lebih tampan dari ayahnya."
"Bagaimana kabar.....ayahmu, Pandu Puber?" tanya
Kutilang Manja agak malu.
"Ayah sudah kembali ke kayangan. Ibuku digondolnya
juga!" Mereka tertawa lirih mendengar ucapan Pandu Puber
yang cuek sekali itu.
"Kudengar kau terkena racun 'Tua Bangka' dari Ratu
Peri Sore, Nyai Ratu?"
"Benar. Aku bertarung dengannya dua purnama yang
lalu." "Apa masalahnya?"
"Mempertahankan Bukit Bara," jawab Peluh Selayang.
Wanita itu sejak tadi menatap Pandu tiada bosannya.
Bahkan kalau bisa wajah itu menempel lekat-lekat di kedua matanya. Padahal Peluh
Selayang sudah punya
suami lho. Tapi setahun yang lalu sudah cerai sih, jadi dia berani menikmati
wajah seorang pemuda yang menggelitik hasrat bercumbunya. Peluh Selayang berkata
lagi, "Kami mempertahankan Bukit Bara, tapi tak berhasil.


Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukit Bara sudah direbut dan dikuasai Ratu Peri Sore dan anak buahnya. Kami
bukan saja kehilangan perguruan, namun juga kehilangan tambang emas yang ada di
Bukit Bara itu."
"Ratu Peri masih doyan tambang emas juga rupanya?"
"Mereka tidak menggubris soal tambang emasnya,"
sahut Kutilang Manja. "Yang mereka butuhkan di sana adalah tanah Kapur Gaib."
Pendekar Romantis yang semula menatap wajah
Kutilang Manja dan membatin sisa kecantikan wanita itu, kini jadi berkerut dahi.
Rasa herannya tercetus dalam sebuah tanya,
"Apa yang dimaksud dengan tanah Kapur Gaib itu,
Bibi?" "Tanah Kapur Gaib adalah sebidang wilayah yang dapat untuk menyerap segala
kekuatan gaib yang melintasi Bukit Bara. Seluruh kekuatan gaib yang melintas di
atas tanah Kapur Gaib itu terserap dan dapat dimanfaatkan oleh Ratu Peri Sore
dan anak buahnya sebagai kekuatan tambahan pada diri mereka. Kabarnya, Ratu Peri
Sore berhasil memperoleh jurus 'Keringat Matahari' dari memanfaatkan dan
mengolah kekuatan yang terserap di tanah Kapur
Gaib." Pandu Puber terperanjat. Ia ingat cerita Mirah Duri tentang kekalahan kakeknya;
Kala Bopak, akibat terkena jurus 'Keringat Matahari' dari Ratu Peri Sore.
Giginya sempat menggeletuk menahan dendam, tapi ia cepat bisa kuasai diri
sehingga tampak tenang kembali.
Peluh Selayang menyambut kata-kata Kutilang Manja,
"Guru kami, Nyai Sirih Dewi, adalah salah satu korban dari jurus 'Keringat
Matahari'. Beliau musnah tanpa jasad pada saat kami melihat Ratu Peri Sore
menghantamnya dengan jurus tersebut."
"Kakekku juga begitu!"
"Siapa maksudmu?" sergah Dardanila.
"Kala Bopak, raja jin penguasa Pulau Iblis!"
"Mampuslah dia....!" Tak sadar Dardanila mengucapkan
sumpah serapahnya, karena hatinya masih luka jika ingat Pulau Iblis yang dulu
dikuasainya sempat direbut oleh Kala Bopak. Hampir saja Pandu Puber marah
mendengar sumpah serapah Dardanila. Untung segera dijernihkan oleh Peluh Selayang,
sehingga keadaan menjadi damai dan
adem lagi. "Aku ingin berhadapan dengan Ratu Peri Sore, Nyai
Ratu. Bagaimana caranya" Apakah aku harus menemuinya di Hutan Kulit Setan atau
di Bukit Bara?"
"Sebenarnya...." Kata Dardanila setelah berpikir sesaat.
"Aku bisa membantumu melawan Ratu Peri Sore jika
keadaanku pulih seperti sediakala, tidak menjadi setua ini dalam waktu dua bulan
saja." Pandu Puber merasakan kata-kata itu sebuah
pancingan dari sang Ratu Geladak Hitam. Jelasnya, sang Ratu minta diobati oleh
Pandu Puber. Tapi Pandu pikir-pikir dulu, soalnya wanita itu tadi habis mengecam
kakeknya. Kutilang Manja berkata kepada Pandu, "Ratu Peri Sore bukan tandingan kita. Dia
sukar dibunuh karena tentunya kekuatan gaibnya sangat tinggi, apalagi ditambah
hasil pengolahan kekuatan dari tanah Kapur Gaib. Jika kau melawannya, kau akan
binasa, Pandu. Ada baiknya kalau kau lupakan saja tentang Ratu Peri Sore itu.
Jaga dan kendalikan emosimu biar tidak membunuh dirimu sendiri!"
"Tapi aku tahu kelemahan si Ratu Peri Sore itu!" sahut Dardanila. Pandu Puber
berpaling memandangnya.
Dardanila langsung berkata, "Tolong bantu aku
melenyapkan racun 'Tua Bangka' ini, nanti akan kubantu kau mengalahkan Ratu Peri
Sore, karena aku tahu
kelemahannya."
"Jika kau tahu, kenapa tidak kau hantam kelemahannya itu saat bertarung
denganmu?" kata Pandu Puber
menampakkan pemikirannya yang kritis.
"Aku belum sempat memukul kelemahannya. Dia lebih
cepat melumpuhkan diriku dengan racun brengseknya ini!"
geram Dardanila. "Penderitaanku ini punya hikmah sendiri.
Aku jadi punya siasat sendiri untuk melawan dan
mengincar kelemahannya. Karena itu, jika kau bisa
melenyapkan pengaruh racun 'Tua Bangka', aku bisa
membantumu mengalahkan Ratu Peri Sore. Kita sama-
sama menyimpan dendam kepada mahluk memuakkan
yang satu itu!"
Rasa ingin tahu kelemahan Ratu Peri Sore membuat
Pandu akhirnya mengalah. Ia tak mau bersitegang karena sumpah serapah Dardanila
tadi. Tentu saja kata-kata Pandu yang menyatakan kesanggupannya melenyapkan
racun 'Tua Bangka' membuat hati Dardanila bersemangat lagi dan wajah kempotnya
berseri-seri. Pandu Puber segera dibawanya ke ruang bawah tanah, sebuah ruang
semadi dan peristirahatan Dardanila yang tersembunyi. Dulu, Yuda Lelana pun
pernah dibawanya ke ruang bawah tanah yang mempunyai kolam berair mancur di
tengah itu. Ruangan tersebut tetap terawat rapi dan menimbulkan kesan magis
tersendiri bagi orang yang tinggal di dalamnya.
Hanya Dardanila dan Pandu yang masuk ke ruangan
tersebut. Memang tidak semua tamu dibawa ke sana oleh Ratu Geladak Hitam. Hanya
tamu khusuSnya yang diajak ke ruang tersebut. Buat Dardanila, Pandu adalah tamu
khusus dan istimewa, sehingga pemuda itu dibiarkannya memandangi ruangan itu
dengan bebas, bersikap
seenaknya seperti tempatnya sendiri.
"Apakah ayahmu pernah cerita tentang ruangan lain?"
"Sepintas," jawab Pandu. "Tapi ayah tidak sebutkan
kalau ruangan ini punya hawa yang nyaman. Ayah hanya bilang; Ratu Geladak Hitam
punya tempat rahasia di bawah tanah."
"Hanya itu?"
"Ya. Apakah ayahku pernah masuk ke mari?"
"Belum. Tapi aku pernah ceritakan tempat ini padanya,"
jawab Dardanila berbohong dengan maksud yang amat
peribadi. "Boleh aku numpang cuci muka di sini?"
"Silahkan!" kata Ratu Geladak Hitam dengan suara
tuanya. "Kalau kau mau mandi pun boleh, asal jangan bersama pakaianmu."
Terkekeh sendiri sang Ratu Geladak Hitam, sementara Pandu Puber hanya
sunggingkan senyum kecil. Lalu ia membasuh wajahnya dengan air kolam tersebut
karena udara panas selama di pantai membuatnya tak tahan
merasakan wajah berkeringat. Dardanila hanya perhatikan saja sambil senyum-
senyum. "Bagaimana caramu mengobatiku nanti?" tanya
Dardanila setelah Pandu selesai cuci muka dengan air kolam tersebut. Di sela
gemericik suara air mancur di tengah kolam, Pandu Puber berkata.
"Baringkan tubuhmu di ranjang batu itu. Jika merasa kantuk dan ingin tidur,
nikmati saja. Jangan ditentang."
Tubuh tua berkeriput segera naik ke pembaringan batu marmer yang dilapisi
semacam kasur empuk dan nyaman.
Napasnya terengah-engah, padahal hanya jalan dari tepi kolam ke pembaringan dan
naik ke atas pembaringan itu.
Sepertinya pekerjaan tersebut amat melelahkan bagi
napas tua Dardanila.
"Sial" Kenapa perasaanku jadi gelisah begini, ya?" pikir Pandu secara diam-diam.
"Wah, ada yang nggak beres nih!
Jangan-jangan Ratu Peri Sore muncul di sini"! Kalau begitu aku harus buru-buru
sembuhkan Dardanila dulu!"
Sinar bening putih seperti kaca memancar dari jari
tenah Pandu Puber. Sinar itu berjalan dari kening Dardanila sampai ke dada, dan
terus menyusuri sampai ke perut, bahkan kedua kaki Dardanila ikut disusuri sinar
tersebut. Mata perempuan tua itu terpejam, tangan terkulai lemas di samping.
Cara pengobatan seperti itu belum pernah dilakukan
oleh Pendekar Romantis. Tapi apa yang dilakukannya
seperti ada yang menggerakkan sendiri. Bahkan tadi ia sempat menduga bahwa Ratu
Geladak Hitam akan tertidur, padahal selama ini tak ada pasien yang tertidur,
padahal selama ini tak ada pasien yang tertidur jika mendapat pengobatan dari
jurus 'Hawa Bening'-nya. Toh nyatanya Dardanila benar-benar tertidur seperti apa
kata Pandu Puber tadi.
"Sial, kok benar-benar tidur, ya"!" pikir Pandu Puber.
"Ah, mumpung ia tidur, kuperiksa dulu seluruh ruangan ini!"
Pandu Puber si Pendekar Romantis memperhatikan tiap benda yang ada di ruangan
itu. makin lama langkahnya makin ke arah lorong menuju ke tangga. Tapi ia
tertarik dengan lorong lain sebelum membelok ke arah tangga ke luar. Lorong itu
mempunyai penerangan obor yang berjarak renggang, tidak serapat jarak obor di
lorong menuju ruang berkolam bening itu.
Zzzz...! Tiba-tiba Pandu Puber mendengar suara desis
seekor ular. Gerakan tubuhnya sangat refleks, cepat balikkan badan dan ternyata
ia sudah dihadang oleh
seekor ular besar jenis piton. Ular itu adalah peliharaan Dardanila untuk
menjebak lawan yang salah masuk. Ular berkulit hitam kecoklatan dengan bentuk
loreng yang bermotif indah itu memancarkan pandangan matanya
dengan ganas. Mulutnya terbuka sambil sesekali
semburkan hawa racun yang ditangkis Pandu Puber
dengan kibasan tangan berangin cukup besar. Wuuukk...!
Zzzz...! "Lho, ada lagi"!" Pandu Puber terperanjat karena di belakangnyapun ada seekor
ular jenis piton juga berbadan lebih besar lagi dan tampak ganas. Agaknya ular
yang baru saja muncul di belakang Pandu itu berjenis lelaki. Ular itu tampak
lebih ganas dan ingin marah kepada Pandu.
"O, ceritanya kamu cemburu, gitu" Amit-amit deh! Aku nggak bakalan merayu
betinamu, tahu"!"
Zzzz...! Ular jantan itu keluarkan uap racun. Pandu
segera mengibaskan tangannya dari kanan dan ke kiri.
Wuuukkk...! Uap itu terusir dan menyebar ke dinding
lorong. Mata Pandu terbelalak tegang melihat dinding lorong menjadi hangus
akibat terkena uap beracun itu.
"Wah, kayaknya sih bukan ular sembarang ular nih!
Kalau nggak segera dibereskan, bisa-bisa aku jadi
santapan mereka berdua!" kata Pandu membatin. Kedua ular dari arah itu bergerak
pelan-pelan mendekati
Pendekar Romantis, seakan menunggu peluang bagus
untuk menyerang.
Melihat si jantan bergerak lebih cepat dan beberapa kali menyemburkan uap racun
yang dapat menghanguskan
dinding batu itu, tangan Pandu Puber segera bergerak menyentak ke depan. Wuutt...!
Claapp...! Sinar putih perak melesat dari tangan itu. Jurus 'Inti Dewa' digunakan dengan
cepat dan refleks sekali. Sinar putih itu menghantam kepala si jantan dan
....daar! Kepala ular hancur bersama badannya menjadi serpihan serat-serat pendek
seperti abon. Melihat si jantan dihancurkan, ular betina marah. Ia mmapu melompat bagaikan
terbang menyerang Pandu
dengan badan gemuk dan kepala besarnya. Wuuss...
Pendekar Romantis tak punya kesempatan untuk meng-
hindar ke samping kanan-kiri. Ia hanya melompat mundur tida tindak menghindari
serangan ular aneh tersebut.
Kilatan cahaya putih perak dipergunakan lagi oleh Pandu Puber.
Claapp.... Duarr...! Dinding lorong guncang lagi, tapi tak keras. Kepala ular betina hancur bersama
badannya menjadi serat-serat
serupa abon daging ular. Dinding lorong menjadi merah karena percikan darah
kedua ular tersebut. Pandu Puber segera keluar dari lorong itu dan kembali ke
ruang luas berkolam. Ia mencuci lengannya yang terkena percikan darah ular amis.
Selesai mencuci tangannya, mata
Pendekar Romantis menjadi terperanjat memandang ke
arah pembaringan.
Tubuh yang ada di atas pembaringan ternyata sudah
bukan lagi tubuh tua peot dan kempot. Tubuh yang ada di pembaringan adalah tubuh
sekal berwajah cantik jelita.
Dada montok menantang, kulitnya putih mulus, bibirnya sangat sensual dan bulu
matanya cukup lentik. Pendekar Romantis bagaikan terpaku di tempat memperhatikan
sosok muda Dardanila yang telah terbebas dari racun 'Tua Bangka' itu.
"Gila! Rupanya ini wajah dan kecantikan Dardanila
sebelum terkena racun" Wow....! Macan juga perempuan
itu. oh, dadaku bergemuruh makin cepat."
Pandu Puber mulai melangkah dekati ranjang dengan
pelan-pelan. Matanya masih tak berkedip dan sedikit lebar dari biasanya. Dadanya
semakin terasa bergemuruh hingga menggetarkan tubuh. Ada tuntutan batin yang
mendesak amat kuat dan ingin menjebol kepala jika tak dituruti.
Tiba-tiba sebelum Pendekar Romantis mencapai ranjang itu, Dardanila terbangun.
Lalu segera sadari keadaan dirinya yang telah pulih kembali itu. Ia tampak
gembira. Ia tertawa-tawa kecil sambil meraba wajahnya sendiri untuk meyakinkan
kecantikannya yang sudah dua bulan sirna itu.
Ditatapnya Pandu dan iapun berkata, "Aku telah kembali cantik seperti sebelum
terkena racun itu! Aku cantik, bukan"!"
Pandu malah jadi panik sendiri dalam mengangguk-
angguk. "Iyy...iya...iya cantik sekali. Hmm....wah iya....cantik juga ya?"
Mata datar Pandu mengingatkan Dardanila saat si
tampan itu mencuci muka dengan air kolam. "Dia telah terjerat oleh kekuatan
mesra air kolamku. Dia tak tahu kalau air kolam itu akan membuat lelaki manapun
yang menyentuhnya akan bergairah padaku dan menuruti apa perintahku selama belum
tercurahkan hasrat kejantanan-nya. Oh, benar-benar hari ini aku menikmati ke-
beruntungan yang berlipat ganda...!" ujarnya di dalam hati.
"Pandu, cepat mendekat ke mari!" perintah sang Ratu.
Pandu tidak menolak. Pandu mendekat dengan terburu-
buru. Perempuan itu masih duduk di tepi pembaringan.
Menatap dengan bayangan sinar cinta yang menggelora, sedangkan sinar mata Pandu
semakin menampakkan
hasrat bercumbu yang menggebu-gebu.
"Cium lututku, Pandu...!"
Perintah itu benar-benar dilaksanakan oleh Pandu
Puber. Dengan pelan disingkapkan kain jubah tipis itu dan pelapis tubuh sebatas
betis itu. Diciumnya lutut Dardanila.
"Lepaskan semuanya, Pandu." Bisiknya meminta, dan
Pandu patuh kepada perintah itu karena terperangkap kekuatan gaib dari air
kolam. Apa saja yang diperintahkan Dardanila dikerjakan oleh Pandu tak
memikirkan harga dirinya lagi.
*** --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
ENAM --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
HATI Pendekar Romantis sempat rasakan penyesalan
cukup dalam setelah tuntutan batinnya tersalurkan bagai curahan air mancur di
tengah kolam. Gemericik mem-awakan irama kedamaian. Tapi kedamaian di hati
itulah yang segera berubah menjadi penyesalan yang men-jengkelkan.
"Brengsek betul air kolam itu, bikin aku jadi budak cintanya Dardanila! Kalau
tahu begitu aku tak mau cuci muka dengan air kolam itu! Tapi..... ya sudahlah. Toh
segalanya sudah terlanjur, sudah terbuang tuntas, tak mungkin kutarik kembali.
Ini juga karena kesalahanku, ceroboh dan kurang hati-hati dalam bertindak."
Beda lagi dengan pendapat hati wanita bermata jalang itu, "Luar biasa indahnya
bercinta dengan Pendekar
Romantis. Kalau saja tiap saat dia mau cuci muka dengan air kolamku, atau tanpa
menyentuh air kolam mau seperti tadi, wow....! Mungkin aku tak akan sempat
menikmati sarapan hari ini sampai sarapan besok pagi. Dia lain daripada yang lain! Sampai


Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang tubuhku masih
merasa seperti disusuri oleh ciuman hangatnya. Duhaai...
seumur hidup baru sekarang kurasakan sebentuk
kebahagiaan yang begitu panjang. Memang tak sia-sia dia bergelar Pendekar
Romantis. Sesuai sekali dengan ke-bolehannya bersilat lidah!"
Tanpa sadar, racun cinta telah membebas di hati dan jiwa Dardanila. Ia tak tahu,
bahkan Pandu sendiri tak tahu bahwa siapapun yang merasakan kehangatan pribadi
Pendekar Romantis, ia akan menjadi lengket sepanjang masa, karena semburan
kehangatan cinta pemuda itu
mempunyai racun kodrati dari kekuatan kedewaannya,
yaitu racun 'Pemikat Surga', suatu kekuatan racun di dalam darah kejantanan anak
blasteran Dewa dan Jin.
Racun itu akan membuat wanita yang pernah merasa-
kannya tak bisa berpisah dari Pandu dan hasratnya selalu bergelora. Wanita itu
akan senantiasa membutuhkan
semburan kehangatan cinta dari Pandu Puber, dan bisa mati TBC kalau tidak
terlayani kehendaknya. Wanita seperti itu akan mudah tersentuh dan terbakar
gairahnya jika bayangan Pendekar Romantis muncul dalam ingatan.
Kelihatannya memang bahagia, menyenangkan,
melegakan, tapi sebenarnya justru membahayakan bagi pihak wanitanya. Jika hanya
membayangkan wajah Pandu Puber saja bisa terbakar gairahnya, apalagi jika
melihatnya langsung walau dalam jarak jauh, semakin mudah terbakar hasrat
bercintanya. Perempuan seperti itu akhirnya akan menderita 'gila kencan' yang
tak pernah mau menerima lelaki lain, kecuali Pendekar Romantis.
Oke, itu masalah Dardanila sendiri. Itu risiko perempuan yang gemar menjebak
lelaki dengan air kolam kemesraan.
Tak perlu dihiraukan lagi. Yang penting bagaimana caranya kalahkan Ratu Peri
Sore jika benar perempuan siluman itu tak bisa dibunuh" Ini yang perlu
dipikirkan dan dibicara-kan.
"Menghantamnya tepat di ubun-ubun!" kata Dardanila
kala mereka berembuk di ruang pertemuan bertiang
delapan itu. "Dari mana kau tahu kalau kelemahannya ada di ubun-
ubun?" tanya Kutilang Manja yang sudah seperti teman sendiri terhadap Ratu
Geladak Hitam. "Saat kuserang dari atas, ia kaget dan buru-buru
menadahkan kedau telapak tangannya di atas ubun-ubun.
Jadi ia sangat melindungi ubun-ubunnya!"
"Kalau begitu kita berangkat sekarang saja ke tanah Kapur Gaib!" ujar Pendekar
Romantis tak sabar lagi. Tapi Ratu Geladak Hitam yang terkenal galak kepada
lawan itu jusrtu berpikir beberapa saat. Agaknya sekarang ia harus berhitung
dulu sampai dua belas kali jika harus berhadapan dengan lawan seberat Ratu Peri
Sore itu. Ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam hatinya,
"Pertarungan ini bersifat untung-untungan. Kalau dia sadar bahwa aku sudah
mengetahui kelemahannya, maka ia
akan menjaga kelemahan itu sekuat tenaga dan meng-
gunakan jurus-jurus handalnya agar sekali gebrak aku binasa. Kalau aku binasa,
oh.....di akhirat belum tentu ada lelaki seperti Pandu. Belum tentu juga Pandu mau
menyusulku ke alam kubur. Tapi kalau Pandu sendiri yang maju menghadapi si
kuntilanak jalang itu, waah..... bisa-bisa Pandu kalah mental. Ratu Peri Sore
kudengar punya ajian yang bernama 'Syair Cumbu Sukma'. Kalau Pandu sampai kena
'Syair Cumbu Sukma', alamak.....mampuslah aku! Dia pasti akan meninggalkan aku dan
lari ke dalam pelukan Peri Kuntilanak itu!"
Dardanila jengkel sendiri memikirkan kerawanan itu.
sedangkan dirinya merasa mulai berat jika harus berpisah dari Pendekar Romantis.
Sekarang juga baru membayangkan si Pendekar Romantis jatuh dalam pelukan Ratu
Peri Sore, gundah hati Dardanila membakar gairah untuk
menikmati kembali kehangatan cinta sang pendekar perkasa itu.
Akhirnya Dardanila memutuskan, "Kita tangguhkan dulu beberapa saat. Jangan
menyerangnya saat-saat sekarang."
"Apa alasannya?" tuntut Pendekar Romantis.
"Tunggu informasi dari mata-mata yang kutugaskan
menyusup di sekitar tanah Kapur Gaib."
"Bagaimana kalau mata-mata yang kau tugaskan itu
tertangkap dan dibunuhnya" Kita akan kehabisan waktu!"
Peluh Selayang menyambar kata, "Aku setuku pendapat Pandu. Kita berangkat
sekarang juga. Tak perlu menunggu kedatangan mata-mata."
"Banyak hal yang sudah kita tahu tentang Ratu Peri Sore itu," ujar Kutilang
Manja bersifat mendukung pendapat Peluh Selayang. "Kita sudah cukup punya bekal
yang dapat dipakai untuk menghancurkan Peri keparat itu!"
Dardanila gelisah. Ada dua kegelisahan yang mencekam hatinya. Pertama
kegelisahan tentang keselamatan
Pendekar Romantis, kedua kegelisahan tentang gairah cintanya yang merasa
bagaikan dikipas-kipas terus selama berdekatan dengan Pandu Puber. Kegelisahan
itu berubah menjadi kecemasan. Kecemasan kian meningkat menjadi ketakutan.
Ketakutan melontarkan suatu keputusan yang bersifat egois.
"Tunggu sampai satu malam lagi!"
"Tidka, aku akan berangkat sekarang juga!"
"Pandu!"
"Aku tak bisa menunda waktu! Kurasakan sekarang ini ada firasat yang menyuruhku
berangkat ke tanah Kapur Gaib. Kemenangan sudah kurasakan ada di tanganku! Aku
tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini!"
Pandu Puber nekat pergi dari sidang tersebut. Wuuuttt...!
Jleeggg! Dardanila berkelebat mendahului langkah Pandu, lalu diam menghadang
langkah sang pendekar beranting satu yang menambah kesan fantastis dalam
bercintanya. "Kubilang jangan berangkat sekarang, Pandu! Aku
punya firasat tidak baik untuk keselamatan jiwamu!"
"Aku harus berangkat sekarang!" tegas Pandu tak mau mengalah.
"Percayalah padaku, Pandu! Jangan sekarang!"
Tiba-tiba Pandu Puber bergerak cepat ke arah lain,
kemudian menuju ke arah pintu gerbang. Dardanila
berseru bagai luapan amarah yang terlontar dalam
kepanikannya. "Pandu...! Berhenti kau! Heii....! Panduuu...!"
Pemuda itu tak mau hiraukan seruan Dardanila. Dengan jengkel sekali Dardanila
tetap mengejar Pandu Puber. Ia menggunakan jurus peringan tubuh saat mengejar
hingga bisa berlari cepat dalam sekelebat. Tapi Pandu Puber gunakan gerak 'Angin
Jantan' yang ternyata lebih cepat dari gerakan Dardanila.
"Lekas kita susul mereka, jangan sampai terjadi
pertarungan di jalan!" kata Peluh Selayang kepada Kutilang Manja. Maka keduanya
benar-benar lari menyusul Pandu dan Dardanila.
Pengejaran Dardanila menemui jalan buntu. Bukan
karena ia kehilangan jejak Pandu, tapi karena Ki Loan Besi tahu-tahu muncul di
hadapan Dardanila, merentangkan kedua tangannya seperti anak kecil main gobak-
sodor. Wajahnya menyeringai memuakkan, membuat Dardanila
menggeram gemas sekali.
"Muka beton! Ngapain menghadangku, hah"!" sentak
Dardanila yang sudah cukup kenal dengan tokoh yang satu ini. "Aku tahu kau
mengejar Pandu Puber, bukan"!"
"Memang benar! Apa urusanmu?"
"O, urusanku cukup penting. Aku calon gurunya, jadi aku tak ingin calon muridku
celaka di tanganmu, Dardanila Sayang.....!"
"Puih! Kau benar-benar memancing kemarahanku, Loan
Besi! Hiaaah...!"
Ratu Geladak Hitam menerjang Loan Besi dengan satu
lompatan seperti kelelawar menghantam nyamuk. Wuutt...!
Brusss...! Buuhg...!
Tubuh Loan Besi terbuang ke belakang karena satu
tendangan kaki Dardanila masuk mengganjal teng-
gorokannya. Padahal tadi Loan Besi sudah kibaskan
tongkatnya yang mampu berkelebat cepat tak terlihat.
Namun masih saja ia kecolongan gerak, sehinga tongkat tidak kenai sasaran tapi
kaki lawan menendang tenggorokannya.
"Hooek...!"
Biasa deh kalau udah gitu. Muntah darah.
Kesempatan itu dipakai Dardanila untuk menghajar
Loan Besi lagi dengan pukulan jarak jauh tanpa sinar.
Wuutt...! Beehg...! Blaar...! Loan Besi masih sempat
lepaskan pukulan menangkis bertenaga dalam juga.
Akibatnya dentum ledakan menggema dan Loan Besi
makin terseret menjauhi tempat jatuhnya. Ia terguling-guling karena hempasan
angin ledakan tadi. Sedangkan Ratu Geladak Hitam hanya terpelanting mundur tiga
tindak lalu segera berdiri tegak lagi.
"Hooek...!"
Nah, makin parah kan" Cari penyakit sih kakek tua itu.
Salah sendiri! Terdengar suara Ratu Geladak Hitam berseru dari
tempatnya, "Loan Besi! Kalau kau menghalangiku sekali lagi, kubikin remuk
seluruh tulangmu!"
"Bangkhat...!" Loan Besi sedikit kaget. Suaranya jadi serak. Mau memaki dengan
kata 'Bangsat' jadi 'Bangkhat'.
Tapi ia berusaha bangkit dengan pergunakan tongkat
gembalanya. Walau terhuyung-huyung mau jatuh, Loan
Besi masih belum mau menyerah. Ia menduga antara
Pandu dengan Dardanila punya masalah besar yang
membuat Pandu Puber kalah dan dikejar oleh Dardanila untuk dibunuh. Maka sikap
Loan Besi sebagai calon
pelayan ataupun guru Pandu merasa perlu menghambat
kejaran Dardanila itu agar Pandu mampu selamatkan diri sejauh mungkin.
"Akho... makhu khalau khau bekhani...!" maksudnya,
'Ayo maju kalau kau berani'. Tapi karena tenggorokannya terasa perih, jadinya
seperti orang gagu baru bisa belajar ngomong. Khasikhan, ya" (kasihan ya")
Tongkatnya diputar-putarkan di atas kepala dengan
lengkungannya mencantol di pergelangan tangan. Jurus itu dinamakan olehnya jurus
'Tongkat Manja'.
Ratu Geladak Hitam benar-benar tak bisa bersabar lagi terhadap si tua yang
selalu merasa berilmu tinggi itu.
Merasa gerakannya terhambat dan membayangkan Pandu
Puber sebentar lagi mencapai tanah Kapur Gaib, maka Dardanila segera lepaskan
pukulan bercahaya kuning
pecah bagaikan piring bergerigi tak beraturan. Claapp...!
Jurus 'Tongkat Manja' pun segera beraksi. Putaran
tongkat itu timbulkan cahaya biru mengelilingi tubuh Loan Besi. Cahaya itu
terdiri lebih dari sepuluh lingkaran, sehingga Loan Besi bagaikan dikurung dalam
perlindungan cahaya biru. Dan sinar kuning itu hanya bisa menghantam cahaya biru
terang tersebut, sehingga terjadilah dentuman menggelegar dari perpaduan dua
jurus bertenaga dalam cukup besar itu.
Blegaarr...! Ratu Geladak Hitam terpelanting terbang ke belakang karena gelombang getaran
daya ledak tadi sangat besar.
Tetapi tubuh Loan Besi tetap tegak dalam kurungan sinar birunya.
Kutilang Manja dan Peluh Selayang tiba di tempat itu gara-gara mendengar suara
ledakan pertama. Mereka
diam sesaat perhatikan siapa orang yang bertarung
dengan Dardanila. Ternyata kedua murid Nyai Sirih Dewi itu juga mengenal wajah
tokoh tua tersebut.
"Paman Loan Besi, kenapa Paman berselisih dengan
Dardanila?" tanya Peluh Selayang merasa heran.
"Tanyakan sendiri kepadanya! Cepat tanyakan saja
sebelum nyawanya terbang ke ujung neraka!" ujarnya
dengan suara serak sudah bisa dikendalikan.
"Sebaiknya kita jangan ikut campur," bisik Kutilang Manja. "Agaknya mereka punya
persoalan sendiri. Kita lihat saja dari kejauhan."
Peluh Selayang setuju, tapi masih merasa heran melihat Dardanila baru saja
bangkit dari kejatuhannya. Ia tak sangka kalau Loan Besi mampu membuat Dardanila
terpental dan jatuh bagai orang tak berilmu tinggi. Padahal menurut taksiran
Peluh Selayang, ilmunya Dardanila lebih tinggi dari pada ilmunya Loan Besi.
"Peluh Selayang, Kutilang Manja.... Hadapi si tua itu, aku tak punya waktu! Jangan
sampai Pandu berhadapan
dengan si Ratu Peri Sore itu! aku akan menyusulnya
sebelum tiba di sana!"
Dardanila berkelebat lewat jalur lain menyusul Pandu Puber. Loan Besi berteriak
namun tak mampu sekeras
biasanya. "Hooi...! Selesaikan dulu urusan kita! Mau ke mana kau, Landak Bunting....!"
Loan Besi mengejar Dardanila. Peluh Selayang dan
Kutilang Manja bingung sendiri, sebab semasa mendiang guru mereka masih hidup,
hubungan mereka dengan Loan Besi cukup baik dan tak pernah terlibat bentrok
apapun. Kini mereka harus menghambat Loan Besi yang tentu saja dapat membuat Loan Besi
marah. Padahal Loan Besi
ilmunya sejajar dengan mendiang guru mereka. Tapi apa boleh buat dari pada jadi
masalah dengan Ratu Geladak Hitam. Mau tak mau Peluh Selayang ambil inisiatif
menghambat pengejaran Loan Besi.
Wuutt...! Clapp...!
Pukulan bersinar merah dilepaskan dari tangan Peluh Selayang. Sinar itu
menghantam pohon dan pohon itu
rubuh merintangi jalan Loan Besi.
Duaar...! Bbrruukkk...! Merasa dirintangi, Loan Besi segera berpaling menatap Kutilang Manja dan Peluh
Selayang. Matanya tampak
ganas walau masih dalam batas pengekangan emosi di
dalam dadanya. Ia melangkah dengan geram dan gigi
menggeletuk mendekati Kutilang Manja dan Peluh
Selayang. Tapi yang dipandang tajam justru Kutilang Manja. Lalu tiba-tiba pipi
Kutilang Manja ditamparnya.
Plaakk...! "Auh...!" Kutilang Manja tidak menangkis atau meng-
hindar kecuali hanya memekik. "Kenapa aku yang
ditampar?"
"Karena kau berani mencoba menghambat pengejaran-
ku!" "Bukan aku, Paman! Ini nih..... si Peluh Selayang!"
"Tidak mungkin!"
"Betul, Paman! Bukan aku!"
"Harus kamu!" Loan Besi ngotot. "Sudah terlanjur
kutampar kok mau bukan kamu, enak saja! Sini kutampar lagi kau!"
"Jangan, Paman! Aku tak mau bikin perkara denganmu!"
"Kalau tak mau jangan pamer ilmu di depanku!"
bentaknya kepada Kutilang Manja. "Pakai numbangin
pohon segala.....memangnya cuma kamu yang bisa"!"
"Dibilangin bukan aku, bukan aku, kok masih ngotot
sih"!" bentak Kutilang Manja tak mau mengalah lagi.
"Habis siapa kalau bukan kamu?"
"Aku!" jawab Peluh Selayang tegas.
Loan Besi memandang Peluh Selayang dengan
cemberut, lalu berkata, "Ah, tidak mungkin! Kau tidak mungkin bisa tumbangkan
pohon dari jauh. Pasti Kutilang Manja!"
"Paman, sebenarnya ada apa Paman Loan Besi
berselisih dengan Dardanila?" tanya Peluh Selayang
sengaja mengambil alih persoalan itu.
"Tentu saja aku berselisih dengan si cantik kurapan itu!"
geram Loan Besi. "Dia mau celakai calon muridku!"
"Siapa calon muridmu itu, Paman?"
"Ya itu.....si....siapa tuh namanya" Hmm....Pendekar
Morantis!"


Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pendekar Romantis, maksudnya?"
"Bukan! Pendekar Morantis!" katanya ngotot untuk
menutupi ucapannya yang sudah telanjur salah itu. "Aku lebih suka panggil dia
Pendekar Morantis!"
Kutilang Manja dan Peluh Selayang sembunyikan
senyum. "Pandu Puber, kan?"
"Ya. Pandu Puber. Dari pada muridku itu dibuat celaka oleh Dardanila, mendingan
perempuan busung tawon itu yang kuhajar duluan!" Loan Besi tampak jengkel
sekali. "Paman, Dardanila bukan mau celakai Pandu Puber.
Tapi di amau cegah Pandu agar tidak pergi melawan Ratu Peri Sore!"
"Lho...."! Jadi...."! Jadi Pandu Puber mau tarung sama
Ratu Peri Sore"!"
"Iya!"
"Wah, lha kok malah tambah bahaya musuhnya itu?"
"Kalau Paman Loan Besi merasa bakal jadi gurunya
Pandu, kejar dia dan hadapi si Ratu Peri Sore itu!" kata Kutilang Manja.
Loan Besi garuk-garuk kepala kribonya. "Wah, kalau
urusannya sama Peri Nongkrong Sore, ntar dulu deh!"
katanya seenaknya saja ganti-ganti nama orang. "Urusan sama Peri Ngider Sore
sama saja urusan memperpendek umur beneran tuh!"
Dengan bibir meruncing Kutilang Manja menyindir,
"Belain dong! Katanya calon gurunya, belain sana...!"
"Belain, belain..." gerutu Loan Besi bersungut-sungut.
"Belum sempat kubela sudah lenyap nyawaku!"
"Masa' murid sama calon gurunya lebih berani muridnya sih?" ledek Peluh Selayang
sambil melirik Kutilang Manja, memberi isyarat supaya membakar emosi Loan Besi.
Maka Kutilang Manja pun berkata
"Tunjukkan dong rasa cinta sama murid. Sebelum murid mati melawan musuh
terberatnya, gurunya menjajal dulu dan harus berani mati lebih dulu untuk kasih
contoh pada sang murid."
"Contoh, contoh..." gerutunya lagi bersungut-sungut.
"Contoh kok pake nyawa. Goblok amat tuh!"
"Lha iya, contoh yang goblok kan begitu!"
"Sudah, sudah...! Diam kalian!" bentak Loan Besi
jengkel sendiri. Kedua wanita itu tertawa mengikik saling berdekatan dan menutup
mulut mereka. "Mau tarung di mana si Pandu sama Peri Obor Sore itu?"
tanya Loan Besi.
"Di Bukit Bara, di tanah Kapur Gaib!"
"Kalau begitu aku harus segera ke sana!" Loan Besi
bergegas pergi.
"Mau membela sang calon murid ya, Paman?"
"Mau nonton pertarungan itu, Goblok!" jawabnya sambil pergi seenaknya.
*** --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
TUJUH --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
MATAHARI menjelang sore bagaikan melorot dari langit.
Tapi cahayanya masih benderang. Tanah Kapur Gaib
terbentang bebas tanpa tanaman, tapi dikurung memakai anyaman bambu setinggi
satu perut. Tanah itu letaknya tak seberapa jauh dari bekas bangunan
perguruannya Nyai Sirih Dewi. Tapi pada masa lalu, baik Nyai Sirih Dewi maupun
murid-muridnya tak ada yang tahu manfaat
dataran bertanah putih itu. Hanya Ratu Peri Sore yang tahu manfaat tanah seluas
satu kali lapangan bola basket itu.
Tanah itu dijaga oleh wajah-wajah cantik bertaring
pendek. Mereka adalah para peri anak buah sang Ratu yang bisa keluar masuk di
alam gaib. Rupanya ratu mereka belum hadir di sana. Pandu Puber sendiri tidak
mau tampakkan diri melihat gelagat seperti itu. Ia bersembunyi di atas sebuah pohon
berdaun rindang, tak seberapa jauh dari tempat bertanah putih itu.
"Kurasa untuk sementara aku bersembunyi di sini dulu.
Aman-aman saja kok. Nanti kalau Ratu Peri Sore itu
muncul, baru aku keluar dari sini. Ngapain menghadapi anak buahnya yang cuma
bikin capek saja itu" Buang-buang tenaga. Giliran ratu mereka datang, aku sudah
loyo." Tiba-tiba saja suara yang menegur Pandu Puber dari
dahan di atasnya lagi.
"Nungguin siapa, Kang?"
"Hahh..."!" Pandu Puber terperanjat saat mendongak ke atas. Ada cewek cantik.
Bukan main harumnya bau parfum yang dikenakan. Pandu mendongak pas gadis itu ada
di atasnya. Mau tak mau mata Pandu Puber menerobos
melalui celah gaun panjang berpotongan jubah. Padahal di balik gaun potongan
jubah itu tak ada kain atau benang apapun. Yah, untung nggak untung mata Pandu
Puber berhasil menangkap sesuatu yang menyolok mata.
Ranting! Untuk menghindari sebatang ranting yang hampir
menyolok matanya itu, Pandu Puber naik satu dahan lagi.
Oh, sekarang tampak jelas sekali gadis itu punya
kecantikan yang memukau hati dan jiwa. Bukan hanya
kecantikannya yang membuat hati lelaki lupa caranya berkedip lagi, tapi karena
bentuk badannya yang elok, jubah birunya yang tipis transparan menampakkan
tonjolan sekal di bagian dadanya. Wow...! Luar biasa hebringnya.
Tipisnya pakaian membuat seluruh 'perabotnya' tampak nyata dalam keadaan sedekat
itu. "Serba salah deh kalau gini...." Ucap Pandu Puber dalam hatinya.
"Puas-puasin deh lihatnya, hi, hi, hi, hi...!" gadis itu tertawa lirih.
Pendekar Romantis jadi malu sendiri. Berlagak
memandang ke arah lain, Pandu Puber berkata, "Tak ada alam yang lebih indah lagi
kecuali alam di sekitar sini, ya?"
"He, eh...!" jawab gadis cantik itu. Rupanya gadis itu sengaja duduk di dahan
depan Pandu, hingga jaraknya amat dekat dan berhadapan. Tapi kalau Pandu tidak
berdiri, jarak mereka berjauhan. Karena Pandu berdiri dan gadis itu duduk, maka
wajah dan tinggi tubuh mereka seakan sejajar.
Jantung Pandu Puber berdetak-detak manakala ia
begitu lama pandangi bibir sang gadis dan turun sampai ke dada yang wow itu.
Untuk menghilangkan kekikukkan,
Pandu Puber ajukan pertanyaan pada sang gadis.
"Ngapain kau ada di sini?"
"Nongkrong aja, Kang."
"Kamu anak buahnya Ratu Peri Sore, ya?"
Gadis itu gelengkan kepala. "Nggak kok!"
"Jadi, kamu siapa?"
"Maunya situ siapa?" ia ganti bertanya dalam nada
menggoda. Pendekar Romantis sempat salah tingkah sendiri. "Kau pandai membuatku deg-degan.
Ah....!" "Kenapa mendesah" Nggak suka ya kalau kita ketemu
di sini?" "Justru aku menyesal mengapa baru sekarang kita
bertemu di sini?"
"O, ya...!" matanya melirik ganjen, menggoda nakal,
memberi isyarat untuk lebih cuek lagi. Pandu Puber kian menelan ludah.
"Namaku Pandu Puber. Namamu siapa?"
"Hmmm... siapa ya?" gadis itu menggoda lagi dalam
senyum dan sikapnya. Saat si gadis memandang ke atas bagai ingin mengarang
sebuah nama, mata Pendekar
Romantis terarah pada dada si gadis. Glek...! Ludah
tertelan lagi. "Bagaimana kalau kau kuberi nama sendiri?" tanya
Pandu Puber. "Boleh. Kau mau kasih aku nama apaan?"
"Bagai mana kalau namamu kuambil dari ratu
kecantikan sejagat : Ganjeniwati!"
"Walaaah... apa nggak ada nama lain toh, Kang, Kang...!
Nama kok Ganjeniwati" Nggak sekalian Jalangiwati saja?"
Pandu Puber tersenyum menahan geli. Gadis ini
beranikan diri cubit pipi Pandu sambil berkata, "Mbok jangan jahat-jahat, Kang!
Kasih nama kok gitu."
Taab...! Tangan itupun ditangkap oleh Pandu biar agak lama menempel di pipinya. Si
gadis tak ada gerakan
menarik kembali tangannya dari wajah Pendekar Romantis itu, malah jarinya
bermain pelan di pipi Pandu, mengusap-usap sambil beradu pandang dengan mata
Pendekar Romantis. "Bagaimana kalau namamu Arliana Dewi?"
"Nah, itu baru nama yang bagus. Boleh saja kau panggil aku Arliana Dewi."
"Nama itu adalah nama yang selalu hadir dalam
impianku. Tapi aku tak tahu, siapa pemilik nama itu," rayu Pendekar Romantis
sambil usap-usap tangan si gadis.
Sedangkan jari jemari si gadispun mulai raba bibir Pandu pelan-pelan.
"Apakah kau juga bayangkan wajah dan bodiku dalam
mimpimu?" "O, ya! Itu jelas. Tapi..... kenapa kita ketemu di pohon, ya" Kayak monyet
bercinta saja. He he he he...!"
"Mungkin inilah yang dinamakan orang cinta monyet,
Pandu" ucap gadis itu pelan sekali, setengah mendesah.
Ooh...!" ia memekik lirih ketika Pandu sengaja gigit
jarinya si gadis yang memainkan bibirnya itu.
"Nakal kamu, ah...!" kata si gadis. "Kalau berani jangan gigit jariku dong! Gigit
yang lain saja."
"Yang mana?" sambil mata Pandu Puber mengarah ke
dada. "Yang mana saja terserah asal membawaku ke alam
mimpi...."
Pandu Puber mendekar, memagut dalam gigitan kecil.
Sang gadis berkata dalam desah lirih sekali, "Nah....itukan ada!"
Dalam batin Pendekar Romantis sempat bertanya,
"Kurasa gadis ini diam-diam menyimpan dendam juga
kepada Ratu Peri Sore, tapi dia tak mau jujur padaku.
Kurasa dia juga sama denganku, tak mau muncul hadapi anak buah si Ratu Peri Sore
sebelum Ratu itu sendiri muncul. Lagaknya sih seperti gadis biasa tanpa ilmu,
tapi aku yakin dia punya ilmu tinggi. Kalau tidak berilmu tinggi, tak mungkin
gadis berkulit selembut ini bisa naik di atas pohon tinggi begini. Apa dia
dibawa burung" Makin nggak mungkin lagi, kan?"
Gadis itu kegirangan. Rupanya ia juga menyukai
kemesraan itu. "Kamu nakal, Pandu. Kamu nakal, aah...! Nakal sekali
kamu...!" ucapnya lirih tapi kepala dan rambut Pandu
diremas dan diacak-acak semuanya sendiri. Kalau bukan gadis cantik yang
mengacak-acak kepala begitu, sudah pasti akan ditampar delapan kali putaran oleh
Pendekar Romantis. Namun justru gadis itu cantik dan menantang selera, maka
Pandu semakin memberikan sentuhan mesra kepada sang gadis. Pohon pun jagi
gemetar karena ulah mereka yang mendebarkan hati itu.
"Pandu....!" Bisiknya. "Pandu..."!"
"Hmm..."!"
"Ambillah ini," katanya lalu menyodorkan bibirnya.
Waaah... ya habis deh kalau dia berani begitu sama
Pandu. Benar-benar dihabisi bibir itu oleh Pendekar Romantis, sampai-sampai si
gadis hampir jatuh ter-jengkang dari duduknya. Untung segera dipeluk tangan
kekar Pandu. Duaaar....! Tiba-tiba keduanya hampir saja terpelanting jatuh dari pohon karena mendengar
ledakan yang menggetarkan
pepohonan. Mereka sama-sama membelalak. Mata
mereka tertuju ke tanah Kapur Gaib. Oh, ternyata di sana terjadi pertarungan
antara Dardanila dengan para penjaga tanah tersebut. Dardanila mengamuk di
keroyok tiga-empat penyerang sekaligus. Dalam waktu beberapa saat saja anak buah
Ratu Peri Sore banyak yang tumbang dan
berasap karena terkena pukulan-pukulan maut Dardanila.
"Mana Ratu kalian! Suruh dia menghadapku sekarang
juga! Jangan kalian yang maju menyerangku, sia-sia saja!"
bentak Dardanila. Tapi para penjaga di situ masih getol menyerang Dardanila,
bahkan ada yang menyeringai
dengan menampakkan taringnya yang siap merobek leher Dardanila.
Pandu Puber menggumam, "Perempuan edan!"
"Siapa sih dia, Kang" Kau kenal denganya, ya?" tanya gadis yang terpaksa
hentikan percumbuannya itu, tapi kedua tangannya masih merangkul Pandu dari
belakang. Dengan diletakkan di puncak Pandu, bahkan sesekali
mengecup leher atau pipi Pandu Puber.
"Dia penguasa Benteng Geladak Hitam, dekat pantai
sana! Namanya Dardanila. Apakah kau tidak mengenalnya, Arliana?"
"Nggak tuh," jawabnya polos. "Pacarmu ya, Kang?"
"Husy, enak saja! Aku belum punya pacar. Tak pernah bisa jatuh cinta dan semesra
ini. begitu ketemu denganmu di sini, aneh sekali, hatiku bergetar dan pintu
hatiku seakan mulai terbuka sedikit demi sedikit. Bias cahaya teduh mulai
merambah masuk lewat celah pintu hatiku, Arliana!"
"Tutur katamu romantis sekali, Pandu. Aku yakin kau pasti lebih romantis lagi di
peraduan. Betul, kan?"
"Yang jelas asal bersamamu akan lebih gila lagi!"
Mereka tertawa lirih dalam desah. Pandu Puber sedikit palingkan wajah dan gadis
itu mencaplok bibir Pandu dengan bersemangat. Clup...! Dikunyahnya bibir itu bak
permen karet. Pandu merasakan debaran yang lebih indah lagi dari sebelumnya.
Tapi sayang si gadis tak mau
berlama-lama, sebab kali ini pertarungan di bawah sana timbulkan ledakan lagi
yang mengguncangkan pepohonan, merontokkan dedaunan.
Blegaaar...! "Yang kucari adalah Ratu kalian! Mana diaaa...!"
Dardanila tampak marah sekali walau para pengawal
makin bermunculan dari tempat yang tak diketahui
pusatnya. Yang lenyappun banyak, tapi yang muncul juga banyak. Dardanila sedikit
kewalahan menghadapi
keroyokan mereka.
"Ratu Peri Sore...! Hadapi aku, akan kulumat habis
sekujur tubuhmu! Ini aku, Dardanila! Racun 'Tua Bangka'-
mu bisa kusingkirkan. Sekarang nyawamu akan kusingkirkan pula, Ratu Peri Sore!
Keluar kau...! Aku tahu kau ada di sekitar sini di lapisan alam gaibmu! Keluar
kau, Bangkai...!"
Gadis yang habis melumat Pendekar Romantis itu
berkata, "Kang, kau tunggu dulu sebentar, ya! Jangan ke mana-mana. Di sini
saja!" "Kau mau ka mana?"
"Menghadapi perempuan lacur itu!"
Weesss...! Tiba-tiba perempuan yang agresif sekali itu melesat dari tempatnya.
Tubuhnya melayang bagaikan
seekor burung cendrawasih menerabas semak dedaunan
pohon itu. Dalam waktu singkat ia sudah ada di tengah tanah putih itu dengan
sikpa menantang Dardanila. Pandu Puber terbengong bagaikan patung yang
teperangah melihat hantu lewat pakai bikini.
"Aku datang, Dardanila! Tantanganmu kian memanas-
kan kupingku!" seru gadis itu yang membuat Pandu Puber menggumam gemetar.
"Jadi...gadis itu adalah....adalah Ratu Peri Sore" Oh, dia sendiri yang ternyata
orang yang kucari. Tapi....tapi kenapa malah kuberi kesan mesra" Waaah...kacau nih


Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau gini! Kacau sekali deh! Aku harus bersikap bagaimana?"
Yang bisa dilakukan oleh Pendekar Romantis hanya
garuk-garuk kepala menyadari kebodohannya. Ia terlalu mengutamakan sentuhan
keromantisan dari pada mengutamakan sikap waspada dan curiganya.
"Heaaat...!" Dardanila menyerang dengan jurus putaran tangannya yang membuat tubuh
melompat dan berputar
sambil lakukan tendangan ke arah wajah Ratu Peri Sore.
Wuusss...! Tendangan itu tidak mengenai sasaran, tapi rupanya telapak kaki
Dardanila keluarkan gelombang
panas dari tenaga dalamnya. Gelombang panas itu
menerjang Ratu Peri Sore. Tapi dengan cepat mulut sang Ratu meniupkan hawa
dingin pembeku darah.
Fuiiih...! Blaaarrr...!
Hawa panas dan dingin bertemu, terjadilah gelombang ledak yang tinggi. Kedua
perempuan itu sama-sama
terpental mundur, tapi Dardanila lebih parah, ia terbanting-banting di tanah
dalam terpentalnya, sedangkan Ratu Peri Sore hanya melayang mundur sekitar dua
tombak dan tubuhnya melengkung ke belakang. Ketika ia menapakkan kakinya ke tanah, ia masih
mampu berdiri dengan tegak.
Dardanila bangkit dan mendapatkan wajahnya babak
belur, memar membiru dan sakit di pinggangnya.
Sreek...! Sepotong ranting kering sedikit bengkok
disambar oleh Dardanila. Ranting itu panjangnya satu hasta, kebetulan mempunyai
ujung yang runcing akibat patah.
"Kutusuk ubun-ubunnya pakai ranting kayu ini!" geram Dardanila membatin. Tapi
untuk sementara ia lepaskan dulu pukulan bercahaya merah terputus-putus masing-
masing selebar mata pisau. Cap, cap, cap, cap, cap...! Ratu Peri Sore hanya
menggerakkan tangannya dengan gemulai dari bawah ke atas, bagai orang meyilakan
tamu untuk masuk ke rumahnya. Tapi gerakan tangan seperti itu
menghasilkan lempengan sinar biru setinggi tubuhnya dan menghalang bagaikan
dinding bercahaya.
Blaar...! Jlegaaar...!
Pendekar Romantis hampir jatuh lagi karena guncangan kuat yang ditimbulkan oleh
ledakan maha dahsyat itu. Dua-tiga pohon tumbang pula di kejauhan sana. Pohon
yang digunakan sembunyi oleh Pandu Puber itupun hampir saja ikut tumbang. Sang
pendekar terpaksa bergelayutan
karena kakinya sudah tak menyentuh dahan. Tapi ia
segera betulkan kembali letak posisi kakinya.
"Bagaimana, ya" Kalau kuserang, dia terlanjur
membuatku bergairah. Kalau tidak kuserang, dia telanjur membuat kakekku tak bisa
menjelma sebagai sosok yang bisa dipegang" Wah, aku jadi merasa serba salah
kalau begini!"
Tak heran jika Pendekar Romantis jadi serba salah
sebab secara jujur hatinya mengakui, permainan lidah dan bibir Ratu Peri Sore
lebih menarik ketimbang Dardanila.
Kecupan Ratu Peri Sore dapat mempercepat Pendekar
Romantis terbakarnya hasrat bercinta ketimbang kecupan Dardanila.
"Tidak! Aku tidak boleh tergiur oleh keadaan seperti itu!
Ratu Peri Sore bukan manusia. Mahluk baik-baikpun
bukan! Aku tak boleh hanyut oleh kemesraannya. Dia harus kumusnahkan! Amanat
kakek harus kuutamakan!"
Kutilang Manja dan Peluh Selayang datang bersama
Loan Besi. Mereka segera disergap oleh anak buah Ratu Peri Sore. Tapi mereka
bertiga sama-sama angkat tangan sedada, artinya mereka tak akan menyerang. Peluh
Selayang berkata kepada enam anak buah Ratu Peri Sore yang mengurung mereka,
"Kami hanya ingin melihat saja! Tenang. Tenang saja!"
Pada saat itu, tampak Dardanila sedang melompat
dalam gerakan salto. Lompatannya cukup tinggi melintasi atas kepala Ratu Peri
Sore. Serta merta begitu sampai di atas kepala lawan ia menukik dan menusukkan
ranting berujung lancip itu. wuuuttt...! Ubun-ubun sang Ratu Peri Sore yang
dijadikan sasaran utama. Tetapi telapak tangan sang Ratu Peri Sore segera
menghadang dan hunjaman
ranting itu kenai telapak tangannya.
Trakk...! Ranting ditangkap, disentakkan dan patah.
Sementara telapak tangan itu bagaikan membesi, tak
mampu ditembus oleh keruncingan kayu kering tersebut.
Padahal Dardanila sudah kerahkan tenaga dalam dan
disalurkan melalui ranting tersebut. Keruncingan serta kekuatan ranting
menyerupai ujung tombak. Namun
nyatanya masih bisa dipatahkan oleh tangan Ratu Peri Sore.
Dardanila mendarat di belakang Ratu Peri Sore. Sang Ratu segera sentakkan jari
telunjuknya sambil berkelebat berbalik arah. Claapp...! Sinar merah panjang
memancar cepat langsung kenai rusuk kanan Dardanila. Deess...!
"Aahg...!" Dardanila terpental sambil terpekik. Lalu ia jatuh terpuruk tak
berdaya. Napasnya terengah-engah tapi sekujur tubuhnya bagaikan tak bertulang
sama sekali. Jatuhnya pun tidak terkapar, tidak tengkurap, seperti orang duduk yang terkulai
lemas. "Jurus 'Penumbuk Tulang' tak ada yang bisa
menandinginya, Dardanila!" kata Ratu Peri Sore
membiarkan angin bertiup menyingkap jubahnya sehingga kondisi tubuhnya bagaikan
sengaja dibiarkan terbuka dihembus angin. Lalu setelah melangkah dua tindak
mendekati Dardanila, sang Ratu Peri Sore serukan
suaranya lagi. "Kau boleh bangga bisa lolos dari racun 'Tua Bangka'-ku itu Dardanila! Tapi kali
ini tak akan bisa lolos dari sinar
'Rajang Raga'-ku ini! Hiaaat...!"
Dardanila ingin dirajang dengan sinar yang akan melesat dari sepuluh jari tangan
Ratu Peri Sore. Tetapi sebelum sinar itu tampak melesat, dari atas pohon melesat
sinar putih perak yang mengarah ke tangan sang Ratu Peri Sore.
Zlaaapp...! Kecepatan gerakan sinar putih perak dari jurus 'Inti Dewa'-nya Pendekar Romantis
hampir saja memotong
kedua tangan Ratu Peri Sore. Untung gerak refleks sang Ratu Peri Sore cukup
tajam, ia tarik diri ke belakang dalam satu lompatan mundur dengan cepat.
Wuutt...! Akibatnya sinar putih perak itu menghantam tanah putih di sisi lain.
Jlegaarr...! Bumi bergetar dan tanah tersebut menyembur ke udara dengan ganasnya.
Tempat mendaratnya sinar
putih perak itu menjadi lubang besar tak beraturan yang muat untuk mengubur dua
puluh jenazah sekaligus.
"Gila..."!" gumam Ratu Peri Sore melihat kehebatan
sinar putih perak itu. Ia segera memandang ke arah atas pohon tempat datangnya
sinar tadi. Tapi saat itu ia justru melihat sesosok tubuh ungu melesat dari
pohon dan bersalto beberapa kali sampai akhirnya mendarat di tanah Kapur Gaib. Caranya
mendaratkan kedua kaki tak
terdengar dan tak bergetar, sehingga sang Ratu Peri Sore segera menyimpulkan
orang yang baru datang itu adalah orang berilmu tinggi.
Hanya saja sang Ratu Peri Sore agak menyesal karena yang hadir di hadapannya
ternyata adalah Pendekar
Romantis, Pandu Puber yang melenakan gairahnya tadi.
Ratu Peri Sore agak grogi dan sempat bingung menentukan sikap.
"Apa maksudmu menghalangi serangan pamungkasku
tadi, Pandu" Membela Dardanila atau menyuruhku ber-
sabar dan meninggalkannya" Aku lebih setuju jika kau menghendaki aku pergi dari
sini bersamamu, karena kita masih punya kencan yang tertangguhkan tadi. Kita
lunasi bersama-sama, Pandu. Oke?"
"Oke, oke....oke, oke...!" gerutu Pandu Puber dengan
bersungut-sungut. Tapi tetap kelihatan ganteng walau mulutnya meruncing
menggemaskan. "Aku tidak tahu kalau kau adalah Ratu Peri Sore. Kalau kutahu kau adalah
perempuan yang kucari-cari, maka tak akan kuberikan segenggam kemesraanku yang
lebih layak diberikan kepada perempuan lain!"
Ratu Peri Sore panas hati, tapi ditahannya pakai payung kesabaran biar tak
terlalu panas. Ia sengaja sunggingkan senyum ramah dan kerlingan mata menggoda.
Iapun bekata dengan suara lembut.
"Aku tahu hasratmu sudah menggebu-gebu ingin me-
nikmati kehangatanku, Pandu Puber! Ayolah, kita pergi saja dari sini!"
"Aku tidak merasa bercumbu denganmu!" tegas Pandu
Puber. "Tak mungkin. Kau pasti mengharapkannya," seraya
Ratu Peri Sore mendekati Pandu Puber. Yang didekati diam saja.
Dardanila yang terkulai lemas tapi masih sadar itu
berusaha berseru,
"Menjauh! Jauhi dia! Jauhi....! Pandu, jauhi dia!"
Pendekar Romantis mundur tiga tindak. Ratu Peri Sore sedikit tampak kecewa.
"Pandu, jangan turuti bujukan perempuan jalang itu! Dia tak bisa memberikan
keindahan yang mampu kuberikan padamu. Datang dan peluklah aku, Pandu!"
"Tidak mau!" tegas Pandu. Ia melangkah berkeliling
seakan siap menyerang perempuan itu. Tapi hatinya masih diliputi oleh
kebimbangan, karena sebenarnya ia tak ingin berlaku kasar dan brutal, lebih-
lebih terhadap seorang wanita.
Pada saat itu, terdengar suara merdu Ratu Peri Sore melantunkan tembang yang
berirama mesra.
"Kudekap hatimu, dan kau dekap hatiku
Kita menyatu di dalam kalbu
Kita bercumbu penuh alunan cinta suci
Ingin kunikmati hangat tubuhmu, kuresapkan di hati....
Suara bening, lembut, enak didengar, syair yang
menggelitik jiwa, membuat Pandu Puber mulai tambah
gelisah. Pandangannya tak mau lepas dari raut wajah Ratu Peri Sore, kadang
menyusuri sampai ke betis. Sementara itu, Dardanila menjadi cemas sekali dan
berseru, "Tutup telingamu, Pandu! Dia melepaskan jurus 'Syair Cumbu Sukma'.... Lekas tutup
telingamu dan tinggalkan tempat ini. Panduuu...!" Dardanila masih punya kekuatan
untuk berteriak walau tak seberapa keras.
Ratu Peri Sore makin meninggikan suaranya, me-
lengking tapi masih tetap enak didengar. Merdu dan
lembut, seakan membelai kekerasan hati, meneduhkan
kepanasan jiwa yang menyimpan dendam dan amarah.
Bahkan labih parah lagi, syair dan suara tembang itu mengoda gairah bercinta
dalam seribu bayangan cumbu.
"Kala kau kecup bibirku, kuserapkan di kalbu
Ada bagian tubuhku yang bergetar
Kau jamah dan kau belai, kian melenakan sukma
Aku pun memelukmu kian menyatu
Kau desahkan napasmu, kau remaskan jemarimu
Kala kukecup liku tubuhmu
Dan kubenamkan dirimu ke dalam bentangan kasihku Kau sentakkan nada-nada berbau
cinta Kau lepaskan gairahmu yang telah di ujung khayal Dan kau menjerit lirih sambil
meremas punggungku, kasih..."
Jantung Pendekar Romantis semakin bergemuruh lagi.
Keringat dinginnya mulai keluar karena menahan gejolak hasrat yang menuntut
jiwa. Batinnya menggapai ingin meraih harapan yang tak terpenuhi. Pandu Puber
rasakan ada sesuatu yang berontak dalam dirinya dan membawa langkah kaki
mendekati Ratu Peri Sore. Perempuan itu makin merentangkan kedua tangannya dan
meliuk-liukkan pinggang, seakan menunggu kedatangan tubuh Pandu
Puber. Wajah sang Ratu Peri Sore pun tampak penuh
gelora cinta. Lidahnya menjilati bibir sendiri dengan sesekali melontarkan keluh
lirih. Matanya mulai sayu bagai tak sabar menunggu jamahan bibir Pandu Puber.
"Celaka! Kekuatan gaib 'Syair Cumbu Sukma' telah
merasuk dalam jiwa Pandu!" bisik Kutilang Manja kepada Peluh Selayang.
"Pandu tak bisa menghindari kekuatan gaib syair itu.
Lepaskan jurusmu ke atas, biar kutembak dengan jurusku dan timbulkan ledakan
yang menghentak kesadaran
Pandu. "Lekas...! Lekas, Pandu sudah mulai ingin memeluknya!"
Kutilang Manja melepaskan sinar kuning melesat di
langit. Peluh Selayang segera menghantam sinar kuningnya Kutilang Manja dengan
cahaya merah membara dari telapak tangannya. Maka meledaklah benturan itu dengan
keras. Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat itu mengguncangkan alam sekeliling.
Kesadaran Pandu diperolehnya kembali akibat kejutan keras atas suara ledakan
tadi. Kekuatan gaib yang telah merasuk dalam jiwa dan alam pikirannya terlepas
lagi. Dan hal itu membuat Pandu Puber buru-buru tarik diri ke belakang.
"Monyet! Minta dibelah dua perempuan itu!" geram prs sambil memandang Kutilang
Manja dan Peluh Selayang. Ia baru ingin lepaskan pukulan berbahayanya untuk
Kutilang Manja dan Peluh Selayang. tetapi tiba-tiba Pandu Puber berseru
memanggil. "Arlina...!"
Dengan spontan Ratu Peri Sore bepaling ke arah Pandu, langsung ingatannya
tertuju kepada cumbuan mesra di atas pohon. Ratu Peri Sore pandangi Pandu dan
tak jadi lepaskan pukulan ke arah dua murid mendiang Nyai Sirih Dewi.
"Kau pikir hanya kau sendiri yang punya ajian tembang seperti itu" Coba kau
terima ilmu 'Tembang Keramat'
warisan ibuku ini...!"
Pandu Puber segera lantunkan suaranya yang juga
merdu dan empuk, enak di dengar. Syairnya terdengar jelas tiap suku kata.
"Seberkas cahaya sore ditelan duka
Duka gadis tanpa orang tua
Meratap ia menyusuri jalanan sepi
Menangkis diremang menjelang petang
Kisah seorang minta-minta
Yang dulu pernah menjadi perwira
Dipecat gara-gara salah tikam
Anak juragan disangka pernyamun...."
Kekuatan ilmu 'Tembang Keramat' ternyata dalam
getaran suara Pandu Puber. Syairnya asal-asalan, tapi daya getarnya membuat Ratu
Peri Sore menjadi terbakar gairah bercumbu. Meluap-luap dicekam hasrat. Repotnya
kekuatan ilmu itu melanda pula pada yang lain. Kutilang Manja sendiri sejak tadi
serba salah. Peluh Selayang pun gelisah. Para peri anak buah sang Ratu Peri Sore
saling peluk tak peduli sama-sama wanita. Sementara itu, Ki Loan Besi menyingkir
mencari tempat sepi, dan entah apa yang dilakukannya di balik semak-semak
setinggi tubuhnya itu, Dardanila menangis tertelungkup karena tak bisa
menggerakkan tubuhnya sementara hasrat bercumbunya
meledak-ledak di dada. Untung saja Pandu Puber tidak melihat tangis perempuan
yang dipunggungi itu.
"Di matamu, kulihat perahu
Makin lama semakin melaju
Apakah itu warna pakaianmu
Dulu aku pernah malu...."
Pandu Puber tetap lantunkan suaranya yang bergetar
aneh. Hal itu membuat tps mengerang sambil berputarputar, jubah tipisnya semakin
tak karuan. Menyingkap ke sana-sini dan melambai-lambai. Pandu Puber sendiri
sesekali ingin tertawa melihat tanah Kapur Gaib menjadi ajang adu kemesraan bagi
mereka. "Hentikan.....! Hentikan....!" Teriak Ratu Peri Sore ketika ia paksakan dirinya
untuk keluar dari pengaruh asmara itu.
seruan keras yang menggema memudarkan bayangan
mesra mereka, sehingga mereka jadi sadar dan malu
sendiri-sendiri. Ratu Peri Sore segera membentak Pandu Puber karena merasa
dirinya telah dipermainkan. Ia marah sekali kepada pemuda tampan itu.
"Sekarang apa maumu sebenarnya, hah"! Kau permain-
kan perasaanku sebegini rendahnya! Aku tak bisa
beramah-ramah lagi padamu, Pandu Puber! Terimalah ini jurus 'Keringat Matahari'-


Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku untukmu! Hiaaat...!"
Claaapp...! Pandu Puber tiba-tiba diserang sinar bintik-bintik kuning emas. Sebenarnya bukan
sinar, tapi butiran lembut yang berkerilap sehingga mirip sinar bintik-bintik
kuning emas. Pandu Puber segera sentakkan kakinya dan tubuhnya pun melesat ke aatas dan
bersalto dua kali ke arah depan. Kini ia justru berada di atas kepala Ratu Peri
Sore. "Hiaaat...!" Pandu menukik dan dari ujung jarinya
melesat sinar merah hasil dari jurus 'Sepasang Sayap Cinta'. Zlaaap...!
Dengan sentakan spontan tangan Ratu Peri Sore
melepaskan sinar hijau dari telapak tangan yang
ditengadahkan ke kepala. Blaarrr...! Sinar itu meledak dan membuat tubuh Pandu
Puber terpental tinggi melayang-layang bagai tak sadarkan diri. Sedangkan Ratu
Peri Sore sendiri terjungkal oleh hentakan gelombang ledak tersebut.
Brrus...! Ia tersungkur dan jubahnya menyingkap sampai di kepala. Yang senang Loan
Besi, matanya langsung terbuka, byaak...!
Tapi begitu melihat Pandu Puber jatuh seperti nangka busuk, Ki Loan Besi buru-
buru pejamkan mata. Buuhg...!
"Pecah deh kepalanya! Remuk tulang-tulangnya. Ooh...
nasib, nasib.... mau punya murid yang bisa membawa ke kayangan saja belum-belum si
murid sudah remuk duluan,"
kata Ki Loan Besi dengan mata tetap terpejam. Tapi ketika dibuka kembali,
ternyata Pandu Puber masih mampu
berdiri walau dengan wajah menyeringai menahan sakit.
"Habisi dia, Pandu! Habisi.....!"
Dardanila gemas dan memberi semangat pada Pandu
Puber agar tidak loyo. Sementara itu, Kutilang Manja dan Peluh Selayang juga
turut berseru, "Cepat serang, Pandu! Jangan tunggu dia bangkit!
Serang terus!"
"Pakai tenaga jarak jauh saja! Lepaskan sinar perakmu tadi!"
Ki Loan Besi ikut berseru pula, "Hancurkan dia dengan jurus andalanmu, Nak!
Eyang guru ada di sini nih...! Jangan malu-maluin dong! Mana jurus andalanmu! Ayo,
lepaskan! Maju terus. Satu langkah lagi! Ya, terus..... satu, dua, satu....!"
"Hei, Paman ini nyuruh orang menyerang apa kasih aba-aba orang baris?" hardik
Peluh Selayang.
"Hajar dong, Pandu. Hajar...!" seru salah satu anak buah Ratu Peri Sore. Orang itu
malahan ditampol mulutnya oleh temannya sendiri, sama-sama bertaring juga.
"Kenapa kau malah memberi spirit lawan! Ketua kita
dong yang diberi semangat, goblok!"
"O, iya...! Maaf, maaf... aku latah sih!"
Pandu Puber segera tarik napas dan kuatkan ototnya.
Ratu Peri Sore melesat dengan gerakan berputar tegak lurus sangat cepat. Pandu
Puber lompat ke belakang
dengan bersalto satu kali. Lalu ketika kedua kakinya mendarat ke bumi, tangan
kanannya menepak paha.
Plaakk...! Claab...! Pedang Siluman ditarik dari kaki
kanannya. Slaabb...! Dan sinar ungunya membuat semua
mata terbelalak lebar, terbengong-bengong.
"Hiaaat...!" Pandu Puber segera melompat menyambut
kehadiran lawannya. Pedang bersinar ungu itu dikibaskan tiga kali dengan gerakan
cepat. Pandu sendiri merasa tak pernah pelajari jurus pedang seperti itu,
sehingga ia sempat menyimpan keheranan. Tapi ternyata tiga tebasan pedang itu
tak ada yang berhasil mampu ditangkis lawan.
Bet, bet, caarrs...!
Brrrukk...! Tubuh Ratu Peri Sore jatuh ke bumi. Tapi ia masih bisa bangkit dan
pandangi pedang sinar ungu
tersebut. Ternyata dadanya terluka oleh tiga sabetan pedang. Luka itu kepulkan
asap ungu. Ratu Peri Sore tertawa cekikikan. Lama-lama tawanya hilang dan
wajahnya diam terpaku beku.
"Sudah terbalas....sudah terbalas....! Kau memang
cucuku yang oke, Pandu!" terdengar suara bergema di telinga Pendekar Romantis.
Suara itu tak bisa didengar oleh orang lain. Karena suara itu adalah suara dari
Pedang Siluman, jelmaan Kala Bopak, sang kakek tercinta.
Rupanya sang kakek merasa puas karena bisa menyentuh tubuh Ratu Peri Sore dan
membuat sang Ratu Peri Sore pun tumbang. Asap makin mengepul tebal. Lalu segera
lenyap dengan hilangnya jasad Ratu Peri Sore. Terdengar suara gema sang Ratu
Peri Sore berseru,
"Kau menang anak manis...! Kau menang! Tapi ingat,
aku akan menjelma dengan meminjam jasar orang lain
untuk membalasmu...!"
Pandu Puber diam dan hanya tersenyum sambil masih
memegangi pusaka kebanggaannya : Pedang Siluman!
Selesai Created by fujdenkikagawa
Naga Sakti Sungai Kuning 8 Dewa Linglung 21 Tangan Darah Pendekar Naga Mas 8
^