Manusia Beracun 1
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun Bagian 1
1 Seekor kuda hitam muncul dari gumpalan kabut tebal.
Sementara itu, dari angkasa menukik deras seekor burung
rajawali berbulu putih keperakan. Burung raksasa itu berputar-
putar di atas kepala seorang pemuda berwajah tampan yang
rambutnya agak panjang tergelung ke atas. Pakaian yang
dikenakannya adalah rompi putih. Dia menunggang kuda
hitam yang berpacu cepat menembus kabut tebal.
Pada saat yang sama, tiba-tiba berkelebat sebuah
bayangan merah dan langsung menyambar pemuda di
punggung kuda hitam itu. Sambaran yang begitu cepat,
sehingga pemuda itu tidak sempat lagi menghindar. Satu
jeritan keras melengking terdengar menyayat mengiringi
tubuh pemuda itu yang terlontar ke angkasa. Seketika rajawali
putih berusaha mengejarnya. Namun belum sempat mencapai
pemuda itu, mendadak dari angkasa meluncur seekor rajawali
lain berwarna hitam pekat. Burung rajawali hitam itu mencelat
bagaikan kilat menyambar tubuh pemuda itu.
"Rangga...!"
"Pandan..., Pandan, bangun...!"
"Oh!"
o0dw0o Malam begitu pekat. Langit tampak menghitam kelam
tertutup awan tebal. Ma lam ini angin seperti enggan
berhembus. Sedikit pun tak ada gerakan pada dedaunan di
belakang bangunan besar dan indah. Di tengah-tengah
sebuah taman, nampak duduk seorang wanita muda cantik
mengenakan baju biru ketat. Bentuk tubuhnya yang ramping
dan indah membayang di balik baju birunya.
Gadis itu tidak beranjak dari tempat duduk sejak sang
surya tenggelam tadi. Pandangannya lurus kosong ke depan.
Sama sekali tidak disadari kalau ada seseorang menghampiri.
Seorang gadis yang mengenakan baju hijau muda tengah
melangkah pelahan-lahan.
"Pandan... "
"Oh!" wanita berbaju biru itu terkejut saat merasakan
tepukan halus di pundaknya. Wajahnya berpaling dan
tersenyum melihat ada gadis lain di belakangnya. Digeser
duduknya sedikit untuk memberi tempat.
"Sudah larut. Kau belum tidur juga?" lembut sekali suara
wanita berbaju hijau muda itu seraya duduk di samping wanita
berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi.
"Dik Cempaka. Kau sendiri sedang apa di sini?" si Pandan
Wangi malah balik bertanya.
"Memperhatikanmu, Kak," jawab Cempaka seenaknya.
Pandan Wangi tersenyum getir sambil menepuk-nepuk
punggung tangan gadis itu. Sedangkan Cempaka memandangi
raut wajah Pandan Wangi yang kelihatan gundah. Meskipun
bibirnya menyunggingkan senyum, tapi terasa kalau amat
dipaksakan. "Sudah seminggu ini Kak Pandan kelihatan gundah dan
suka menyendiri. Bahkan setiap malam berteriak-teriak, tapi
tidak pernah menceritakan kenapa...?" terdengar serius kata-
kata Cempaka. Pandan Wangi tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja.
Pelahan gadis berbaju biru muda itu bangkit berdiri seraya
menghembuskan napas panjang. Pelan sekali kakinya terayun
mendekati sebuah kolam yang dihiasi batu-batu karang
tersusun, membentuk sebuah bukit kecil. Gadis itu memetik
selembar daun dan melemparkannya ke dalam kolam. Tampak
air kolam yang menghitam itu bergolak. Ternyata beberapa
ekor ikan bermunculan berebut daun yang dilemparkan
Pandan Wangi. Sementara Cempaka masih tetap duduk di kursi taman
yang terbuat dari rotan. Dia hanya memperhatikan saja tanpa
berkedip. Sinar matanya memancarkan sesuatu yang sukar
diketahui artinya.
"Kak Pandan rindu pada Kakang Rangga...?" tebak
Cempaka ragu-ragu.
Pandan Wangi tersentak kaget. Dibalikkan tubuhnya dan
ditatapnya Cempaka dalam-dalam. Tapi itu hanya sesaat saja,
kemudian kembali dipalingkan mukanya, memandang ke arah
lain. Sebenarnya Pandan Wangi tidak ingin Cempaka
mengetahui perubahan wajahnya yang tiba-tiba. Tapi rupanya
Cempaka sudah mengetahui keterkejutan Pandan Wangi saat
nama Rangga disebut. Wajah gadis itu juga berubah memerah
dengan bola mata berputar.
"Memang telah lama Kakang Rangga belum kembali.
Yaaah... sejak kau hidup lagi," ujar Cempaka agak mendesah
suaranya. Pandan Wangi hanya diam saja. Memang sudah cukup
lama dia tidak lagi melihat Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan
lagi sudah lama juga dirinya tinggal di Istana Karang Setra ini
sejak hidup kembali dari kematian semu (Untuk lebih jelas,
baca Serial Pendekar Rajawali Sakti. Dalam kisah "Bangkitnya
Pandan Wangi"). Dan Pandan sendiri tidak membantah kalau
hatinya memang merindukan kehadiran Rangga di sisinya.
Tapi yang membuat Pendan Wangi gundah dalam satu
pekan ini, bukan karena hanya merindukan Pendekar Rajawali
Sakti saja. Ada sesuatu yang mengganggu benak dan hatinya,
dan hanya dia sendiri yang tahu.
"Kalau saja aku tahu, di mana Kakang Rangga sekarang
berada..." gumam Cempaka setengah mendesah, seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Cempaka, rasanya sudah cukup lama aku berada di s ini..."
ujar Pandan Wangi seraya melangkah menghampiri gadis
berbaju hijau muda itu.
"Tapi jangan katakan kalau kau akan pergi, Kak Pandan,"
tebak Cempaka langsung.
Pandan Wangi tersenyum, dan kembali duduk di samping
Cempaka. "Kau tahu siapa aku, bukan" Aku senang berada di sini, tapi
rasanya seperti seekor burung di dalam sangkar emas. Sejak
lahir aku sudah terbiasa hidup di alam terbuka, menjelajah
alam dan hidup penuh kekerasan," Pandan Wangi seperti
merindukan kehidupannya yang dulu.
"Tapi, Kak. Kakang Rangga sudah berpesan agar kau tidak
pergi ke mana-mana sampai dia kembali," tegas Cempaka.
"Itulah kehidupan seorang pendekar, Cempaka. Meskipun
sudah menjadi raja, tapi tidak akan bisa tinggal selamanya di
dalam istana. Begitu juga diriku. Aku lahir sudah ditakdirkan
untuk menjadi pendekar wanita yang selalu hidup bebas di
alam luas. Bukan takdirku untuk mengurung diri di dalam
benteng istana. Kau tentu mengerti, karena kau juga...."
"Belum, Kak," potong Cempaka. "Aku tidak sempat
mengecap kehidupan sepertimu. Aku keluar dari padepokan,
lalu langsung tinggal di sini. Terus terang, sebenarnya aku
juga ingin sekali mengembara, mencari pengalaman hidup
merambah ganasnya rimba persilatan. Aku merasa apa yang
kumiliki belum mendapatkan tantangan yang berarti."
Pandan Wangi tersenyum, lalu kembali bangkit berdiri dari
duduknya. Pelahan-lahan diayunkan kakinya melangkah
meninggalkan taman belakang Istana Karang Setra ini.
Cempaka juga ikut berdiri dan berjalan mengikuti di belakang
gadis itu. Sementara malam terus merayap semakin larut
o0dw0o Pagi-pagi sekali Pandan Wangi sudah menyiapkan kudanya
di istal yang terletak di samping kanan bangunan istana. Gadis
itu tersenyum melihat Cempaka datang menghampirl bersama
Danupaksi. "Kau jadi pergi juga, Kak Pandan?" tanya Danupaksi yang
sudah mengetahui rencana Pandan Wangi untuk kembali
mengembara menjelajah rimba persilatan dari Cempaka.
"Rasanya jadi," sahut Pandan Wangi, kembali menyiapkan
kudanya yang sempat terhenti sebentar.
"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan. Melarang pun
tidak bisa," ujar Danupaksi.
Pandan Wangi kembali menghentikan pekerjaannya
memasang pelana kuda. Dipandangi kakak beradik lain ibu ini,
yang juga adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Memang berat
meninggalkan orang-orang yang telah begitu baik padanya.
Tapi Pandan sudah tidak bisa menahan diri lagi.
"Sebenarnya aku ingin juga ikut bersamamu, Kak. Tapi..."
Cempaka tidak melanjutkan ucapannya. Diliriknya Danupaksi
yang berada di sampingnya.
"Bukannya melarangmu, tapi aku hanya tidak ingin
disalahkan. Mengertilah, Cempaka. Tugas kita di sini masih
banyak dan tidak kalah pentingnya," tegas Danupaksi.
Cempaka hanya diam saja. Sedangkan Pandan Wangi
tersenyum melihat wajah adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu
sedikit memberengut. Semalaman gadis itu berbicara dengan
Cempaka di dalam kamar tidur. Mereka saling terbuka dan
mengemukakan seluruh isi hati yang terpendam tanpa ada
yang dirahasiakan. Dan Pandan Wangi bisa mengerti
keinginan Cempaka untuk mencari pengalaman di luar
benteng istana ini, tapi juga tidak ingin mengajak Cempaka
dalam pengembaraannya kali ini. Karena disadarinya kalau
Cempaka memiliki kewajiban yang sangat berat di Kerajaan
Karang Setra ini.
Pandan Wangi kembali meneruskan pekerjaannya memasang pelana pada kuda putih pemberian Rangga. Begitu
selesai memasang pelana berwana merah dengan hiasan
sulaman benang emas, tubuhnya melompat naik. Sedangkan
Cempaka dan Danupaksi masih berdiri di sampingnya.
"Aku berharap, kita bertemu lagi kelak," ucap Pandan
Wangi. "Selamat jalan, Kak Pandan," ucap Cempaka.
"Berhati-hatilah, semoga kau bertemu Kakang Rangga,"
sambung Danupaksi.
"Ada yang akan kau titipkan, Adik Danupaksi?" tanya
Pandan Wangi. "Ada. Tapi hanya ini," Danupaksi menyerahkan selongsong
bambu yang digosok halus. Kedua ujungnya tertutup rapat.
Pandan Wangi menerima dan menyelipkannya di balik
lipatan bajunya.
"Sampaikan itu pada Kakang Rangga," kata Danupaksi.
"Tidak ada lagi?"
"Tidak," sahut Danupaksi dan Cempaka hampir bersamaan.
"Kalau begitu, sebaiknya aku segera pergi."
Pandan Wangi menggebah kuda putih yang gagah dan
berotot itu. Kuda putih itu berlari kencang meninggalkan istal,
langsung menuju depan. Tanpa mengendurkan kecepatan
larinya, kuda itu me lintasi halaman depan istana yang sangat
luas. Dua orang penjaga bergegas membuka pintu gerbang,
dan Pandan Wangi terus menggebah kuda melewatinya.
Hampir semua orang di Kota Kerajaan Karang Setra itu
mengetahui dan mengenal kalau Pandan Wangi adalah calon
permaisuri. Semua orang yang berada di jalan, membungkukkan badannya saat melihat gadis itu melintas di
atas kuda putih yang tinggi tegap dan sangat gagah. Namun
Pandan Wangi terus saja menggebah cepat, sehingga lari
kuda itu bagaikan terbang saja! Debu berkepul membumbung
tinggi ke angkasa tersepak kaki-kaki kuda putih yang dipacu
bagai dikejar setan itu.
Sementara itu, di depan istal, Danupaksi dan Cempaka
masih berdiri di sana. Meskipun Pandan Wangi sudah tidak
terlihat lagi, tapi mereka masih memandang ke arah kepergian
gadis itu. Danupaksi mengayunkan kakinya pelahan-lahan
setelah menarik napas panjang. Cempaka mengikuti dan
mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu.
"Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa terhadap Kak
Pandan," desah Compaka seperti bicara pada diri sendiri.
"Kenapa kau bicara begitu, Cempaka?" Tanya Danupaksi.
"Aku memang tidak sempat mengatakannya padamu, tapi
rasanya tidak penting," sahut Cempaka.
Danupaksi menghentikan langkahnya. Ditatapnya Cempaka
dalam-dalam. Diyakini kalau gadis ini menyimpan sesuatu
yang berhubungan dengan kepergian Pandan Wangi. Tapi
Danupaksi tidak ingin menduga terlebih dahulu.
"Satu pekan ini Kak Pandan kelihatan gundah, dan senang
menyendiri sambil me lamun. Setiap malam aku selalu
membangunkannya, karena dia selalu bermimpi. Bahkan
selalu menjerit-jerit dan menyebut-nyebut nama Kakang
Rangga. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada diri
Kakang Rangga," Cempaka tak bisa menyembunyikan lagi.
Diungkapkan keresahan hatinya yang selama ini selalu
dipendam sendiri.
"Kau pernah menanyakan hal itu pada Kak Pandan?" tanya
Danupaksi jadi ikut gelisah.
"Pernah, bahkan beberapa kali. Tapi Kak Pandan tak
pernah bersedia mengatakan tentang mimpinya," sahut
Cempaka. Danupaksi terdiam.
"Aku jadi khawatir, Danupaksi," tersirat kecemasan di
wajah Cempaka. "Seharusnya kau katakan itu sebelumnya, Cempaka," desah
Danupaksl menyesalkan.
"Maaf," hanya itu yang bisa diucapkan Cempaka.
"Hhh...! Sekarang Kak Pandan sudah pergi, dan tak jelas ke
mana tujuannya..." desah Danupaksi pelahan.
"Apa tidak sebaiknya kita menyusul saja, Danupaksi?" usul
Cempaka. Danupaksi kembali terdiam. Kembali diayun kakinya
melangkah perlahan-lahan. Kepalanya tertunduk dalam
dengan kening berkerut, pertanda tengah berpikir keras.
Memang selama beberapa hari ini, ia selalu memergoki
Pandan Wangi menyendiri di taman belakang. Bahkan
terkadang mengunci diri dalam kamarnya hampir satu
harian.
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama ini Danupaksi hanya menganggap kalau Pandan
Wangi mungkin rindu hendak bertemu Rangga. Tidak ada
terlintas di benaknya kalau kekasih kakak tirinya itu memiliki
ganjalan akibat mimpi-mimpi yang selalu datang menghantui
setiap malam. Memang tidak ada yang tahu apa yang terjadi
dalam mimpi Pandan Wangi. Tapi Danupaksi sudah bisa
menduga kalau mimpi yang dialam i Pandan Wangi merupakan
pertanda. Dan pemuda itu tidak bisa menduga, karena tidak
pernah tahu tentang mimpi itu. Sedangkan Cempaka sendiri
juga tidak mengetahuinya. Pandan Wangi selalu mengelak
untuk menceritakan perihal mimpi-mimpinya yang datang
hampir setiap malam dalam satu pekan ini.
o0dw0o "Tidaaak...!"
Danupaksi terjaga dari tidurnya ketika tiba-tiba terdengar
jeritan melengking. Pemuda itu melompat bangun dari
pembaringannya. Jeritan itu hanya terdengar sekali, dan
sekarang berganti suara isak tangis. Bergegas Danupaksi
keluar dari kamarnya, lalu menuju arah datangnya suara
tangisan itu. Sebentar Danupaksi tercenung ketika tiba di depan pintu
kamar Cempaka. Masih terdengar suara isak tangisan, dan
datangnya dari dalam kamar di depannya. Agak ragu-ragu
juga, tapi akhirnya Danupaksi memberanikan diri mengetuk
pintu kamar adik tirinya itu.
"Cempaka..." panggil Danupaksi sambil mengetuk pintu
kamar yang tertutup rapat.
Tidak ada sahutan. Danupaksi mencoba membuka pintu
yang tidak terkunci. Segera didorongnya pelahan-lahan.
Keadaan dalam kamar tidak begitu terang, hanya sebuah
pelita kecil yang menyala redup tak sanggup menerangi
seluruh kamar yang luas ini. Tampak di atas pembaringan,
sesosok tubuh ramping tergolek gelisah. Memang suara
tangisan itu datang dari sana.
"Cempaka...," Danupaksi terkejut juga begitu dekat.
Ternyata Cempaka menangis di dalam tidurnya. Danupaksi
duduk di tepi pembaringan, lalu tangannya menyentuh pundak
gadis itu. Tapi mendadak saja....
"Tidak! Jangaaan...!" Cempaka tiba-tiba saja menjerit
keras. Danupaksi terkejut, langsung mengangkat tangannya. Tapi
tanpa diduga sama sekali, Cempaka menyentakkan
tangannya, hingga menghantam perut pemuda itu.
"Hughk!" Danupaksi mengeluh pendek.
Pemuda itu sampai terjatuh ke lantai, tapi bergegas berdiri,
tepat saat Cempaka bangun dengan mendadak. Gadis itu
nampak tersengal, dan keringat bercucuran di sekitar wajah
dan lehernya. Perlahan Danupaksi menghampiri lalu duduk di
tepi pembaringan lagi.
"Cempaka..." panggil Danupaksi pelan seraya menyentuh
punggung tangan adik tirinya ini.
"Oh ...!" Cempaka tersentak kaget, langsung menoleh dan
menatap Danupaksi.
Cempaka tiba-tiba saja memeluk Danupaksi dan menangis
di dada pemuda itu. Tentu saja Danupaksi jadi keheranan, tapi
dibiarkan saja adik tirinya itu menangis. Memang tidak ada
yang bisa dilakukan, selain membiarkan gadis itu menangis di
dalam pelukannya.
"Cempaka..." pelan suara Danupaksi setelah cukup lama
Cempaka menangis memeluknya.
Pelahan-lahan Cempaka pelukannya. Buru-buru diseka air
mata dengan punggung tangannya. Beberapa kali gadis itu
menarik napas dalam-dalam, seakan-akan ingin melonggarkan
rongga dadanya yang terasa sesak. Sedangkan Danupaksi
membiarkan saja, menunggu sabar.
"Ada apa, Cempaka" Kau bermimpi?" tanya Danupaksi
lembut. Cempaka masih belum bisa menjawab. Hanya anggu-kan
kepalanya saja untuk menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Masih terlalu ma lam, tidurlah lagi," ujar Danupaksi seraya
bangkit berdiri.
"Danupaksi..." selak Cempaka seraya memegang tangan
pemuda itu. Terpaksa Danupaksi duduk lagi di tepi pembaringan. Sesaat
mereka hanya terdiam saling tatap. Danupaksi belum ingin
membuka suara, membiarkan Cempaka lebih tenang dulu.
"Kau percaya arti sebuah mimpi, Danupaksi?" tanya
Cempaka begitu pelan dan lirih suaranya.
Danupaksi tidak segera menjawab, tapi malah memandangi
saja raut wajah gadis itu. Hatinya mulai merasa tidak tenang
karena teringat akan kata-kata Cempaka siang tadi. Kepergian
Pandan Wangi dari istana ini juga diakibatkan sering
mendapat mimpi. Dan sekarang Cempaka juga mendapat
mimpi yang membuat gadis itu bagai kerasukan setan.
"Mimpi hanya bunga tidur Cempaka," Danupaksi mencoba
menghibur. "Tapi..." suara Cempaka terputus.
"Masih terlalu malam. Tidurlah kembali," bujuk Danupaksi
seraya merebahkan tubuh gadis itu.
Danupaksi hendak meninggalkan kamar ini, tapi Cempaka
memegangi tangan pemuda itu. Terpaksa Danupaksi tetap
duduk di tepi pembaringan, sedangkan Cempaka sudah rebah
kembali. Malam memang masih terlalu larut, dan suasana pun
begitu sunyi. Sesekali terdengar detak langkah kaki penjaga
yang bertugas malam ini.
"Kau tidur di sini, Kakang," pinta Cempaka.
"Jangan gila, ah!" sentak Danupaksi terkejut
"Malam ini saja..." rengek Cempaka memohon.
"Jangan bersikap seperti anak kecil, Cempaka. Kita berada
dalam lingkungan istana. Tidak baik kalau aku keluar pagi-pagi
dari kamarmu."
"Tapi..."
"Tidurlah. Kalau ada apa-apa, aku ada di depan..."
Danupaksi menepuk punggung tangan gadis itu kemudian
bangkit berdiri dan me langkah keluar. Cempaka tidak bisa
mencegah lagi. Memang benar apa yang dikatakan Danupaksi.
Meskipun mereka bersaudara, tapi bisa mendatangkan
malapetaka bila ada yang melihat Danupaksi tidur di kamar
ini. Cempaka masih terbaring, namun matanya terpentang
lebar menatap langit-langit kamarnya. Sementara pintu kamar
sudah tertutup kembali setelah Danupaksi keluar. Terdengar
suara pemuda itu memanggil penjaga, dan memerintahkan
untuk tetap berada di depan pintu kamar ini. Sementara
Cempaka berusaha untuk tidur kembali, tapi begitu sulit.
Bayang-bayang mimpi tadi masih membekas nyata di dalam
ingatannya. "Oh...," keluh Cempaka jadi gelisah.
o0dw0o 2 Sementara itu jauh di luar Kerajaan Karang Setra, tepatnya
di kaki lereng Gunung Ajibarang, tampak seorang laki-laki
muda berwajah tampan tengah duduk bersila di atas
sebongkah batu besar dan pipih. Rambutnya panjang meriap
sedikit tergelung ke atas. Sebuah pohon kayu yang cukup
rindang menaunginya dari sengatan cahaya matahari.
Pemuda itu duduk bersila, tapi matanya terpejam. Kedua
telapak tangannya menempel pada lutut yang ditekuk. Dada
yang terbuka lebar, bergerak turun naik teratur. Angin siang
ini cukup keras, membuat baju putih tanpa lengan yang
dikenakannya berkibar-kibar. Pemuda itu membuka kelopak
mata saat telinganya mendengar ranting patah terinjak.
"Itu dia! Seraaang...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara yang keras, disusul
berlompatannya beberapa orang bersenjata golok terhunus
dari dalam semak belukar. Sekitar dua puluh orang itu
langsung menyerang pemuda yang tengah duduk bersila di
atas batu. "Hup!" pemuda itu bergegas melompat, menghindari
sabetan sebilah golok yang begitu cepat mengarah ke
pinggangnya. Dan begitu kakinya mendarat ke tanah, satu serangan
cepat datang dari arah samping. Bergegas pemuda berbaju
putih tanpa lengan itu menggeser kakinya ke samping,
sehingga tebasan golok itu lewat sedikit. Namun angin
tebasan golok yang begitu kuat membuat tubuhnya agak
limbung. Pada saat yang hampir bersamaan, sebuah kaki
melayang deras mengarah ke punggungnya.
"Uts!"
Cepat-cepat pemuda itu berkelit, namun tidak bisa lagi
menghindari satu pukulan keras yang mendarat di bahu
kanannya. Dia memekik tertahan, dan tubuhnya terdorong
limbung. Pada saat itu satu tendangan keras menggeledek
mendarat di punggungnya, sehingga membuatnya terjerembab mencium tanah.
Belum lagi bisa bangkit, sebuah golok meluruk deras ke
arahnya. Buru-buru digelimpangkan tubuhnya sehingga
tebasan golok itu hanya mengenai tanah kosong. Tapi
beberapa golok kembali cepat mencecarnya, membuat
pemuda itu harus bergelimpangan menghindari setiap
serangan yang datang beruntun tanpa henti.
"Hup!"
Begitu ada kesempatan, pemuda itu bergegas melompat
bangkit berdiri. Namun belum juga dapat berdiri tegak di atas
kedua kakinya, satu pukulan keras kembali mendarat di
dadanya. Pukulan yang begitu keras dan cepat luar biasa,
tidak dapat dihindari lagi.
"Akh!" pemuda itu memekik tertahan.
Tubuhnya kembali limbung terdorong ke belakang. Pada
saat itu, salah seorang pengeroyoknya telah me lompat cepat
sambil berteriak keras, mengibaskan goloknya ke arah leher.
Namun mendadak saja orang itu terpental sebelum berhasil
membabatkan goloknya ke leher pemuda itu.
Belum lagi ada yang menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba
sebuah bayangan biru berkelebatan cepat. Dan entah
bagaimana awalnya, tahu-tahu dua puluh orang itu sudah
berpelantingan dan golok mereka beterbangan ke udara! Jerit
dan pekik terdengar sahut-menyahut. Namun kedua puluh
orang itu bergegas bangkit berdiri. Semua terperanjat.
Ternyata golok tidak lagi berada di tangan mereka. Dan lebih
terkejut lagi, karena tiba-tiba saja di samping pemuda itu
sudah berdiri seorang gadis berparas cantik mengenakan baju
biru. "Nisanak, siapa kau" Kenapa menolong iblis keparat itu?"
bentak salah seorang yang mengenakan baju kuning ketat.
Wajahnya dihiasi kumis tebal melintang.
Wanita berbaju muda itu tidak menyahut. Diliriknya
pemuda di sampingnya. Wajah yang tampan, terlihat membiru
lebam. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Pemuda itu
memegangi dadanya, dengan bernapas tersengal.
"Kau terluka?" tanya wanita itu tidak menghiraukan dua
puluh orang yang kelihatan berang.
"Ya..." desah pemuda itu pelahan. Lemah sekali suaranya.
"Siapa mereka" Kenapa mengeroyokmu?"
"Aku... aku tidak tahu."
Wanita berbaju biru muda itu memandangi wajah pemuda
di sampingnya dalam-dalam. Tersirat sesuatu dalam sinar
matanya. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, disambarnya
tubuh pemuda itu, dan langsung melesat pergi.
"He!"
"Berhenti... !"
Tentu saja kedua puluh orang itu jadi terkejut setengah
mati. Mereka cepat-cepat memungut goloknya yang tergeletak
di tanah, dan langsung berlompatan mengejar. Namun wanita
berbaju biru itu sudah lenyap bagai ditelan bumi. Meskipun
sudah tidak terlihat lagi bayangannya, kedua puluh orang itu
terus berlarian cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. o0dw0o Di mana sebenarnya wanita berbaju biru itu" Ternyata dia
berada di atas pohon yang cukup tinggi dan lebat. Wanita itu
mengawasi dua puluh orang yang berlarian cepat dan semakin
jauh meninggalkan tempat ini. Setelah kedua puluh orang itu
tidak terlihat lagi, barulah tubuhnya melompat turun sambil
membawa pemuda yang nampak lemah. Diletakkannya
pemuda itu duduk di bawah pohon.
"Kakang..." agak tertahan suara wanita cantik berbaju biru
muda itu. Sepasang bola matanya yang bening bulat dan indah, agak
berkaca-kaca merayapi wajah yang tampan biru lebam.
Sedangkan yang dipandangi hanya diam, duduk bersila. Sinar
matanya sangat redup. Perlahan mengangkat kepalanya,
membalas tatapan mata wanita di depannya.
"Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawaku." ucap
pemuda itu lirih.
"Oh, Kakang...! Kau tidak mengenaliku lagi..."!" semakin
terdengar tersendat suara wanita itu.
Sedangkan pemuda berbaju putih tanpa lengan itu hanya
memandanginya saja. Redup sekali sinar matanya. Bahkan
raut wajahnya juga demikian kosong, bagai tidak memiliki
gairah hidup lagi. Tiba-tiba saja wanita berbaju biru muda
menghambur, langsung memeluk pemuda itu. Tangisnya tak
dapat ditahan lagi, terisak-isak menyembunyikan wajahnya di
dada yang bidang terbuka lebar. T api pemuda itu hanya diam
saja dengan raut wajah terlihat kebingungan. Perlahan
dilepaskan pelukan wanita cantik berbaju biru pemuda itu.
"Nisanak, kenapa menangis?" pelan sekali suara pemuda
itu bertanya. "Kakang... kau..." tersendat suara wanita cantik berbaju
biru muda itu. Perlahan digeser duduknya agak menjauh. Sepasang bola
matanya berputar merayapi wajah yang lesu tanpa gairah
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehidupan lagi. Perlahan sekali gadis menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tatapan matanya seperti tidak mempercayai apa
yang ada di depannya ini.
"Kakang... Aku Pandan, Kakang. Kau tidak mengenaliku
lagi?" tersendat suara gadis berbaju biru tua itu.
Sedangkan pemuda berbaju putih tanpa lengan itu hanya
memandangi saja dengan mata redup. Sementara gadis yang
mengaku bernama Pandan Wangi itu jadi keheranan,
bercampur sedih melihat pemuda yang selama ini dirindukan
tidak mengenalinya lagi. Pandan Wangi mengamati pemuda
berbaju rompi putih yang diyakini adalah Rangga itu, sambil
menggeleng beberapa kaget.
"Kakang, ke mana pedangmu?" tanya Pandan Wangi ketika
melihat di punggung pemuda itu tidak ada pedang. Padahal
senjata itu adalah ciri dan kebanggaan Pendekar Rajawali
Sakti. "Pedang..." pemuda yang diyakini Pandan Wangi sebagai
Rangga itu malah melihat seperti kebingungan.
"Oh, Kakang... Apa yang terjadi terhadapmu?" Pandan
Wangi tidak lagi menyembunyikan kesedihannya. Air matanya
jatuh berlinangan tak terbendung lagi.
Sukar untuk dilukiskan, bagaimana perasaan Pandan Wangi
saat itu. Berhari-hari mencari Rangga yang sangat dicintai,
tapi setelah bertemu, pemuda itu seperti orang bodoh, Bahkan
tidak mengenalnya sama sekali. Sedih, gundah, bingung, dan
entah apa lagi yang ada di dalam dada gadis itu. Semua
perasaannya hanya ditumpahkan lewat air mata. Inilah air
mata yang pertama kali dalam hidupnya!
"Nisanak..." pelan suara Rangga.
"Oh, Kakang..." desah Pandan Wangi di sela isak tangisnya.
"Siapa kau ini" Mengapa menangis?" tanya Rangga.
"Kakang! Kau benar-benar tidak mengenaliku" Aku Pandan
Wangi, Kakang. Kekasihmu..." sahut Pandan Wangi sambil
menahan kesedihan yang amat sangat di hatinya.
"Pandan Wangi...?" Rangga memandangi gadis cantik di
depannya. "Kakang, apa yang telah terjadi padamu" Mengapa begitu
cepat melupakan diriku?" tanya Pandan Wangi.
"Aku.... Aku... tidak tahu," sahut Rangga kebingungan.
Pandan Wangi menyeka air mata dengan punggung
tangannya, sebentar kemudian menarik napas panjang. Di-
rayapinya wajah Pendekar Rajawali Sakti yang tampak
kebingungan itu. Perlahan, gadis itu bisa menguasai
perasaannya. Dugaannya, pasti Rangga mengalami sesuatu
yang membuat dirinya sama sekali tidak mengetahui apa yang
telah terjadi! Bahkan mungkin Rangga tidak mengetahui
dirinya lagi. Pandan Wangi menggeser duduknya lebih
mendekat lagi. Diambilnya tangan Rangga dan digenggamnya
erat-erat. Sedangkan pemuda berwajah tampan mengenakan
baju rompi putih itu hanya diam saja.
"Siapa namamu, Kakang?" tanya Pandan Wangi. Suaranya
sudah terdengar agak tenang.
"Aku.... Aku," pemuda itu jadi kebingungan.
Dan Pandan Wangi langsung bisa menangkap kalau
pemuda ini benar-benar tidak mengenali lagi dirinya. Dan
semakin diyakini kalau Pendekar Rajawali Sakti mengalami
suatu peristiwa yang mengguncangkan pikirannya, sehingga
lupa akan segala-galanya. Bahkan dirinya sendiri saja tidak
tahu. Pandan Wangi semakin erat menggenggam tangan
pemuda itu. "Namamu Rangga, Kakang. Julukanmu Pendekar Rajawali
Sakti. Kau juga seorang raja di Kerajaan Karang Setra. Dan
aku sendiri bemama Pandan Wangi, kekasihmu, Kakang," jelas
Pandan Wangi. "Rangga.... Pandan Wangi..." pemuda itu menggumamkan
nama-nama yang disebutkan Pandan Wangi. Dipandanginya
wajah cantik di depannya lekat-lekat.
"Benar. Namamu Rangga dan aku Pandan Wanggi," Pandan
Wangi mengulangi.
"Benarkah?"
"Benar, Kakang. Kau seorang pendekar, dan biasa di-
panggil Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti..." lagi-lagi Rangga menggumam
pelan. "Itu julukanmu, Kakang. Di dalam rimba persilatan, kau
lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti," Pandan Wangi
tidak jenuh menjelaskan.
"Benarkah aku seorang pendekar?" nada suara Rangga
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Ingin rasanya Pandan Wangi menangis dan menjerit
sekuat-kuatnya menghadapi kenyataan ini. Tapi sekuat daya
dia berusaha untuk bisa tenang. Digigit-gigitnya bibirnya
sendiri, mencoba melawan gejolak perasaan yang beraneka
ragam berkecamuk dalam dada.
Pandan Wangi teringat pada mimpi-mimpi yang selalu
menghantuinya belakangan ini. Apakah semua ini kenyataan
dari setiap mimpi yang hadir di dalam tidurnya" Pandan Wangi
menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-
kuat. Dicobanya untuk tetap tegar, meskipun hatinya tercabik
bagai sehelai kain rapuh.
Baru saja gadis itu hendak membuka mulut lagi, tiba-tiba
terdengar suara-suara teriakan disertai langkah-langkah kaki
yang berlarian menuju tempat ini. Pandan Wangi bergegas
berdiri. Wajahnya langsung berubah menegang begitu melihat
banyak orang berlarian ke arahnya sambil menghunus senjata.
Sebentar gadis itu memandang ke sekelilingnya. Orang-orang
itu datang dari segala arah, dan tempat ini benar-benar
terkepung. "Oh, ada apa ini...?" Pandan Wangi jadi kebingungan.
Bergegas gadis itu membangunkan Rangga yang sejak tadi
hanya diam duduk bersila. Pandan Wangi semakin bingung,
karena sikap Rangga seperti tidak mempedulikan keadaan ini.
Tanpa berpikir panjang lagi, gadis itu bersiul keras dua kali.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara ringkik kuda,
disusul munculnya seekor kuda putih yang tinggi dan tegap.
"Hup!"
Sambil menyambar tubuh Rangga, gadis yang berjuluk si
Kipas Maut itu melompat cepat bagai kilat ke punggung kuda
putih itu. Langsung saja digebah, sehingga membuat kuda
putih itu terlonjak meringkik keras. Bagaikan sebatang anak
panah lepas dari busurnya, kuda putih itu berlari cepat.
"Hiya!! Hiyaaa...!"
"Kejar! Jangan biarkan mereka lolos...!" terdengar teriakan
memerintah yang begitu keras.
Pandan Wangi tidak punya pilihan lain lagi. Langsung
dikeluarkan senjatanya. Pedang Naga Geni yang berwarna
merah itu berkelebatan cepat membuka kepungan orang yang
berjumlah begitu banyak. Sungguh luar biasa ! Kibasan pedang
merah itu membuat orang-orang yang mengepung menjadi
porak-poranda bagai daun-daun kering terhempas angin!
"Ayo, Putih! Cepat pergi dari sini!" seru Pandan Wangi
seraya menghentakkan tali kekang kuda putihnya.
Jerit dan pekik melengking terdengar saling sambut,
dibarengi ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah! Sementara Pandan Wangi terus
mengibaskan cepat
pedangnya sambil menghentakkan tali kekang agar kuda putih
itu terus bergerak cepat membuka jalan keluar dari kepungan
yang semakin terlihat rapat.
Sedangkan Rangga yang berada di belakang Pandan
Wangi, hanya diam saja. Sedikit pun tidak melakukan sesuatu.
Padahal Pandan Wangi berusaha keras keluar dari kepungan
ini. Sedikit demi sedikit, gadis itu bisa menghalau para
pengepungnya. Dan begitu me lihat ada celah, bergegas
digebah kudanya kuat-kuat.
"Hiyaaa...!"
Kuda putih itu menngldk keras, langsung melompat
melewati beberapa kepala. Bagaikan kilat, kuda putih itu
berlari menerobos kelebatan hutan. Pandan Wangi terus
menggebah kudanya agar tetap berlari kencang. Sementara di
belakang, orang-orang berlarian sambil berteriak-teriak.
Suara-suara keras bernada memerintah terus terdengar,
disertai umpatan dan caci maki. Namun Pandan Wangi sudah
begitu jauh bersama kuda putihnya dan Pendekar Rajawali
Sakti yang membonceng di belakang.
o0dw0o Pandan Wangi melompat turun dari punggung kudanya.
Dipandanginya Rangga yang turun dari kuda seperti bukan
seorang pendekar saja. Lompatannya kegitu berat, dan seperti
tanpa daya. Gadis itu melangkah mendekati sungai kecil yang
mengalir tepat di depannya. Sedangkan Rangga hanya diam
saja, duduk bersandar di bawah pohon. Kuda putih sudah
asyik merumput tidak jauh dari pemuda berbaju rompi putih
itu. Pandan Wangi menghampiri setelah selesai membasuh
mukanya di sungai.
Sambil mendesah panjang, gadis itu duduk di depan
Rangga. Sebentar dipandangi pemuda itu, kemudian
digenggamnya tangan Rangga erat-erat. Perlahan tangan
pemuda itu dibawa ke depan bibirnya, dan dikecupnya lembut.
Terasa dingin punggung tangan pemuda itu, dan Pandan
Wangi menggenggamnya penuh kehangatan.
"Walaupun aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi
aku yakin kalau kau adalah kekasihku," kata Pandan Wangi
pelan. "Nisanak! Mengapa kau begitu yakin kalau aku kekasihmu?"
tanya Rangga. "Meskipun kau jauh berubah, bahkan tidak mengenali
dirimu sendiri, tapi hatiku mengatakan kalau kau adalah
Rangga," tegas Pandan Wangi pasti.
"Jika aku memang Rangga, apa yang kau ketahui tentang
diriku?" "Oh, Kakang. Mengapa kau siksa aku seperti ini?" keluh
Pandan Wangi lirih. "Katakan, Kakang. Apa yang harus
kulakukan untuk mengembalikan dirimu?"
Pemuda yang diyakini Pandan Wangi sebagai Pendekar
Rajawali Sakti itu me lepaskan genggaman tangan Pandan
Wangi, kemudian bangkit berdiri. Pelahan-lahan kakinya
terayun mendekati sungai. Dia berlutut di tepi sungai dan
memandangi wajahnya yang terpantul di air. Sementara
Pandan Wangi sudah berdiri. Dihampirinya pemuda itu, lalu
berdiri di belakangnya. Agak lama juga Rangga memandangi
dirinya di dalam sungai yang berair jernih, lalu perlahan-lahan
bangkit berdiri dan berbalik menghadap Pandan Wangi.
Dipandanginya gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki. "Ceritakan tentang diriku yang sebenarnya, Nisanak," pinta
Rangga. Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi menceritakan
tentang diri Pendekar Rajawali Sakti. Diceritakan juga tentang
pertemuannya, pengembaraannya
mengarungi rimba persilatan yang penuh kekerasan dan tanpa mengenal arti
kehidupan wajar. Hanya hukum rimba yang ada. Siapa kuat,
dialah yang menguasai kehidupan! Sampai pada hal-hal
terkecil Pandan Wangi menceritakan. Dan Rangga mendengarkan penuh perhatian.
"Ada sesuatu yang kau ingat, Kakang?" tanya Pandan
Wangi setelah mengakhiri ceritanya tentang diri Pendekar
Rajawali Sakti.
"Tidak," sahut Rangga seraya menggelengkan kepalanya.
"Kakang..., dari mana asalmu?" tanya Pandan Wangi
mencoba membuka ingatan Rangga.
"Aku... aku tidak tahu," sahut Rangga.
"Kau tidak lahir ke dunia ini dengan begitu saja, bukan"
Kau tidak langsung besar, dan tentu punya ayah, ibu, saudara,
dan tempat kelahiran. Apa kau tidak tahu itu, Kakang?"
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya mengeleng-
gelengkan kepalanya saja. Sinar matanya menyiratkan
ketidakmengertian terhadap penjelasan Pandan Wangi.
"Aku yakin, kau pasti Rangga. Tapi, mengapa kau jadi tidak
ingat dirimu sendiri...?" Pandan Wangi seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
Pandan Wangi benar-benar tidak mengerti. Sungguh tidak
diketahui, apa penyebabnya sehingga Rangga menjadi seperti
ini" Y ang tidak mengetahui lagi s iapa dirinya yang sebenarnya.
Bahkan tidak tahu dari mana berasal. Rangga bagaikan
seorang bayi yang baru lahir! Tidak mengenali dunia yang
dipijaknya. Gadis itu jadi bertanya-tanya sendiri. Bagaimana
dia bisa mengetahui dan menolongnya kalau yang hendak
ditolong saja tidak ingat apa-apa"
Tapi bukanlah Pandan Wangi kalau menyerah begitu saja.
Gadis itu bertekad dalam hati, untuk mengembalikan Rangga
seperti semula. Namun dia tidak tahu, bagaimana caranya,
dan dari mana harus memulai"
"Kakang, di mana kau sebelum berada di hutan itu tadi?"
tanya Pandan Wangi.
"Di hutan...?"
"Iya, waktu kita diserang tadi."
"Aku tidak tahu. Tapi..."
"Tapi apa, Kakang?" Pandan Wangi mulai gembira melihat
Rangga mulai berpikir.
"Aku..., aku tidak ingat," Rangga menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Mari, Kakang. Kita kembali ke tempat itu," ajak Pandan
Wangi. Pemuda yang tidak bisa mengingat apa pun itu hanya
menuruti saja. Kakinya melangkah di samping Pandan Wangi
yang sudah menuntun kuda putihnya. Mereka berjalan sambil
berbicara apa saja. Terutama Pandan Wangi. Pembicaraannya
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selalu mengarah tentang siapa diri Rangga sebenarnya. Gadis
itu tidak juga putus asa, meskipun yang diajak bicara selalu
tidak tahu, seperti orang linglung.
o0dw0o 3 Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling
hutan tempat pertama kali menemukan Rangga yang kini tidak
mengenal lagi dirinya. Masih terlihat beberapa mayat
bergelimpangan tak tentu arah. Bau anyir darah menyebar
terhempas angin yang tertiup agak kencang. Sedangkan
pemuda berbaju rompi di sampingnya hanya berdiri saja
memandangi mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.
"Di tempat ini kita bertemu, Kakang," jelas Pandan Wangi.
"Kenapa banyak orang mati di sini?" tanya Rangga seperti
orang bodoh. "Mereka yang menyerang kita tadi, dan hendak
membunuhmu," sahut Pandan Wangi.
"Membunuhku..."! Apa salahku?"
"ltulah yang harus kita ketahui, Kakang. Mengapa mereka
hendak memhunuhmu?"
"Aku..., aku tidak mengerti. Mereka tiba-tiba saja datang
lalu menyerangku. Aku... aku...."
"Teruskan, Kekang... Teruskan," Pandan Wangi mulai
gembira melihat Rangga mulai bisa mengingat sesuatu.
"Oh, batu ini..." Rangga menghampiri sebongkah batu yang
cukup besar. "Aku ingat. Ketika aku duduk di sini, mereka
tiba-tiba menyerangku. Tapi.... Aku tidak tahu, mengapa
mereka tiba-tiba menyerangku?"
"Sebelum duduk di sini, kau berada di mana?" tanya
Pandan Wangi mulai melihat adanya harapan.
Pemuda berbaju rompi putih itu tidak segera menjawab.
Sebentar dipandanginya gadis cantik di dekatnya, kemudian
pandangannya merayapi ke sekeliling. Perlahan-lahan kakinya
terayun melangkah. Pandan Wangi mengikuti dari belakang.
Rangga terus berjalan menuju Utara, menyibak semak belukar
dan rapatnya pepohonan di dalam hutan ini. Dan Pandan
Wangi mulai berseri wajahnya kala mendapatkan bekas jejak-
jejak kaki tertera pada tanah berumput dan dipenuhi daun
kering. Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara
Pandan Wangi semakin gembira melihat jejak kaki semakin
jelas tertera. Namun tiba-tiba mereka berhenti. Ternyata di
situ terdapat seekor kuda hitam sedang merumput di depan,
di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas.
"Dewa Bayu...," desis Pandan Wangi begitu mengenali kuda
hitam itu. Bergegas Pandan Wangi menghampiri kuda yang
telah berpelana itu. Pandan Wangi memegang tali kekang, dan
membawanya mendekati Rangga yang memegangi tali kekang
kuda putih milik gadis itu.
"Kakang, kau ingat! Ini kuda siapa?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab. Dihampiri kuda hitam itu
dan diambil tali kekangnya dari tangan Pandan Wangi.
Sementara gadis itu menyingkir, menghampiri kudanya
sendiri. Gadis itu tersenyum, karena kuda hitam itu terangguk-
angguk menyorongkan kepalanya pada pemuda berbaju rompi
putih itu. Rangga tersenyum dan menoleh memandang
Pandan Wangi yang juga tengah tersenyum gembira. Semakin
diyakini kalau pemuda itu adalah Rangga. Karena, Dewa Bayu
tidak akan bersikap demikian pada seseorang yang tidak
dikenalnya. "Kuda ini jinak sekali, Pandan. Siapa pemiliknya?" tanya
Rangga seraya mengelus-elus leher kuda hitam itu.
"Kaulah pemiliknya," sahut Pandan Wangi.
"Aku?"
Rangga memandangi kuda hitam itu, kemudian me lompat
naik ke punggungnya. Dan Pandan Wangi tersenyum penuh
keharuan melihat kuda itu tidak bergeming sedikitpun. Jelas
sudah, kalau pemuda itu memang benar-benar Rangga. Tapi
masih ada ganjalan di hati gadis itu. Masih belum jelas,
mengapa Rangga jadi lupa akan dirinya sendiri"
"Bagaimana, Pandan" Kuda ini kelihatannya menyukaiku,"
Rangga tersenyum lebar.
"Kau gagah sekali, Kakang," agak tersedak suara Pandan
Wangi. Gadis itu me lompat naik ke punggung kudanya sendiri.
Seekor kuda putih yang tegap dan berotot indah. Sebentar
mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama menggebah kudanya perlahan-lahan melintasi padang rumput
yang tidak seberapa luas ini. Sesekali Pandan Wangi melirik
pemuda yang berkuda di sampingnya. Setiap kali memandang
wajah pemuda itu ada sesuatu yang membuat hatinya begitu
trenyuh. Namun, Pandan Wangi tidak ingin menunjukkan
kegalauan hatinya.
Mereka kembali berhenti setelah tiba di seberang padang
rumput itu. Tak ada lagi jejak yang bisa diikuti, dan berhenti di
tempat ini. Pandan Wangi me lompat turun dari punggung
kudanya. Rangga juga mengikuti, lalu berdiri di samping
kanan gadis itu.
"Ke mana lagi?" tanya Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu," sahut Rangga seperti kebingungan.
"Cobalah kau ingat-ingat, Kakang. Pernahkah kau lewati
tempat ini?"
"Entahlah...," desah Rangga terdengar ragu-ragu.
Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Hanya dipandangi saja
wajah pemuda yang nampaknya sedang berusaha mengingat-
ingat. Dengan sabar gadis itu menunggu Rangga untuk bisa
mengingat, apakah pernah melewati daerah ini atau tidak.
Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa mengingat
sesuatu, tiba-tiba saja.
"Hik hik hik...!"
o0dw0o Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja muncul seorang
perempuan tua berjubah hitam memegang cambuk ekor kuda.
Rambutnya yang tergelung ke atas seluruhnya berwarna
putih. Ada sebuah amel berwarna kuning emas menghiasi
gelungan rambutnya, Di lehernya melingkar seuntai kalung
dari batu-batu hitam, bagai tasbih seorang pendeta.
Keterkejutan Pandan Wangi lenyap saat melihat Rangga
tengah terpaku memandangi perempuan tua itu.
"Kau,... Kau..., iblis!" tiba-tiba Rangga menggeram.
"Hik hik hik...," perempuan tua itu terkikik.
"Mampus kau, iblis! Hiyaaa...!"
Cepat sekali, tahu-tahu Rangga sudah me lompat
menerjang perempuan tua itu. Namun mendadak nenek
perempuan tua berjubah hitam itu mengibaskan cambuknya,
menyampok terjangan Rangga. Begitu cepatnya, sehingga
Rangga tidak bisa lagi berkelit menghindarinya.
Ctar! "Akh...!"
"Kakang... ! " pekik Pandan Wangi terkejut.
Rangga terpelanting dan bergulingan di tanah namun bisa
cepat bangkit. Tampak di dada sebelah kirinya membiru bekas
cambukan perempuan tua itu. Sementara Pandan Wangi
berlari menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi cemas.
"Tidak," sahut Rangga. "Menyingkirlah kau, Pandan."
"Bagus! Kau juga boleh maju sekalian, Kipas Maut!" dengus
perempuan tua itu dingin. Suaranya kering dan serak
"Siapa kau"!" sentak Pandan Wangi.
"Hik hik hik... Tanyakan saja pada kekasih tololmu itu,
Kipas Maut!" sahut perempuan tua itu.
Pandan Wangi memandang Rangga yang saat itu juga
menoleh padanya.
"Cambuk saktiku sudah membuatnya pulih," kata
perempuan tua itu lagi.
"Kakang...," pelan suara Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu...," sahut Rangga, bisa dimengerti arti
pandangan Pandan Wangi. Padahal gadis itu belum bertanya
apa-apa lagi padanya. "Aku..., aku... Akh!"
"Kakang...!"
"Mampus kau, iblis! Hiyaaa...!" Rangga menerjang
perempuan tua itu.
Namun mendadak saja, perempuan tua berjubah hitam itu
mengibaskan cambuknya...
"Ctar!" Rangga tidak sempat berkelit lagi. Cambuk itu tepat
mengenai dada sebelah kirinya!
Tiba-tiba saja Rangga meraung keras sambil memegangi
kepalanya yang terdongak ke atas. Seketika Pandan Wangi
panik. Tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya.
Sementara Rangga sudah menggeliat-geliat di tanah, meraung
keras bagai ayam disembelih. Pandan Wangi mengalihkan
perhatiannya ke arah perempuan tua berjubah hitam itu. T api
dia sudah tidak ada lagi di sana!
"Kakang..., kau kenapa?" Pandan Wangi semakin cemas
melihat keadaan Rangga yang menggelepar dan meraung-
raung di tanah.
Pandan Wangi menghambur memeluk Rangga yang tiba-
tiba saja mengejang kaku, lalu lunglai tak bergerak-gerak lagi!
Dari mulutnya mengalir cairan hijau kekuning-kuningan.
Pandan Wangi memeluk tubuh pemuda itu, dan pandangannya beredar ke seIiing.
Tak ada seorang pun di tempat yang sunyi ini. Sementara
Rangga masih belum sadarkan diri. Dadanya bergerak begitu
lemah, dan kelopak matanya tertutup rapat. Pandan Wangi
membersihkan cairan yang keluar dari mulut Pendekar
Rajawali Sakti itu.
"Kakang, kau kenapa?" tersendat suara Pandan Wangi.
Pandan Wangi memberikan beberapa totokan di sekitar
dada Rangga. Tak, berapa lama kemudian, pemuda itu mulai
siuman. Mulutnya mengeluh panjang dan agak lirih suaranya.
Sebentar dikerjapkan matanya, kemudian bergegas bangkit
duduk. Dipandanginya gadis cantik yang duduk dengan
menekuk kedua lututnya.
"Pandan..., kaukah itu?"
"Oh, Kakang. Kau..., kau sudah ingat..?" Pandan Wangi
gembira. Pandan Wangi begitu gembira. Langsung dipeluknya
pemuda itu. Keras sekali pelukan Pandan Wangi, hingga
membuat Rangga sesak napas untuk sesaat. Dengan lembut,
Rangga melepaskan pelukan gadis itu.
"Pandan" Mengapa kau ada di sini?" tanya Rangga penuh
keheranan. "Aku rindu padamu, Kakang. Aku selalu bermimpi buruk
tentang dirimu," ungkap Pandan Wangi tanpa sungkan-
sungkan lagi. "Mimpi buruk?"
"Ya. Mimpi tentang keadaanmu."
"Ah, sudahlah! Bagaimana keadaan Danupaksi dan
Cempaka?" tanya Rangga yang tidak mau berpikir lebih jauh
lagi. "Mereka baik-baik saja. Oh, ya. Danupaksi menitipkan ini
padamu." Pandan Wangi lalu menyerahkan selongsong bambu halus
yang dititipkan Danupaksi kepadanya. Rangga menerimanya,
dan membuka isinya. Ternyata hanya sebuah surat yang tidak
begitu penting, dia segera menyimpan dalam lipatan bajunya.
Rangga kembali menatap dalam-dalam Pandan Wangi.
Rasanya, ingin diungkapkan seluruh perasaan hatinya. Tapi
mengingat masih ada semacam gannjalan di hatinya, Rangga
seperti tidak tahu harus berbuat apa. Sejenak suasana
menjadi hening.
"Aku gembira kau sudah kembali pulih," ujar Pandan
Wangi, memecahkan keheningan di antara mereka.
"Pulih..." Ada apa dengan diriku?" Rangga kelihatan heran.
"Jadi..."!" Pandan Wangi terkejut.
Dipandanginya dalam-dalam pemuda berbaju rompi putih
itu. Gadis itu bukan hanya terkejut, tapi juga heran.
Bagaimnna mungkin seseorang bisa begitu cepat melupakan
peristiwa yang baru saja dialami" Dan ini terjadi pada Rangga,
seorang pendekar digdaya yang sangat disegani baik lawan
maupun kawan. Pandan Wangi semakin tidak mengerti, apa
yang terjadi sebenarnya pada Rangga.
"Sebenarnya, apa yang terjadi padaku, Pandan" Mana...!
Mana pedangku?" Rangga terkejut begitu disadari pedangnya
tidak ada. "Itulah yang ingin kutanyakan padamu, Kakang," jelas
Pandan Wangi. Pandan Wangi bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri
kudanya. Sementara Rangga masih terduduk di atas
rerumputan. Pendekar Rajawali Sakti itu baru berdiri saat
Pandan Wangi sudah berada di atas punggung kuda putihnya.
Hanya sekali lesatan, Rangga sudah duduk di atas punggung
kuda hitamnya. "Kau sudah pulih, tentu kau tahu apa yang terjadi hingga
pedangmu hilang," kata Pandan Wangi.
Rangga tidak menjawab. Otaknya bekerja beberapa saat,
mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada dirinya.
Bahkan kini pedang pusakanya hilang. Pelahan-lahan
Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling, memandang Pandan
Wangi. "Siapa perempuan tua yang membawa cambuk ekor kuda
itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi, mencoba membantu
ingatan Rangga.
"Wanita tua" Wanita tua yang mana, Pandan?" Rangga
malah balik bertanya.
"Belum lama dia muncul, lalu menghilang begitu saja
setelah membuatmu pingsan tadi. Dia hanya mengatakan
kalau cambuknya sudah bisa memulihkanmu kembali," jelas
Pandan Wangi. "Tapi aku juga heran, dia bisa mengenaliku.
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan kelihatannya begitu membenci melihat aku ada di
sini." "Kau tidak tahu siapa dia?" tanya Rangga.
"Kalau aku tahu, untuk apa bertanya padamu," rungut
Pandan Wangi. Rangga meringis. Pertanyaannya memang bodoh. Tentu
saja Pandan Wangi tidak tahu, dan tidak mungkin bertanya
kalau sudah tahu. Rangga merutuk dirinya sendiri dalam hati.
"Aku juga tidak tahu, Pandan," ujar Rangga
"Tapi, sepertinya kau tadi mengenalnya, Kakang!"
"Oh, ya...?" Rangga terkejut.
"Kelihatannya kau amat membenci. Bahkan langsung
menyerang. Tapi dia berhasil mencambuk dadamu. Katanya,
cambukan itu bisa memulihkan semua ingatanmu," jelas
Pandan Wangi kembali.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Pandan. Dia mencambukku, untuk memulihkan ingatanku..." Memangnya
aku ini kenapa?" Rangga benar-benar kebingungan.
"Aku tidak tahu kau kenapa, Kakang. Tapi yang jelas
ingatanmu sempat hilang. Bahkan kau tidak mengenali dirimu
1agi. Kau juga tidak mengenali diriku dan tidak ingat setiap
kejadian yang baru saja kita alam i. Hanya itu yang kuketahui
tentang dirimu," jelas sekali tutur kata Pandan Wangi.
Sedangkan Rangga hanya diam saja membisu. Diraba
punggungnya yang kosong. Tidak ada lagi Pedang Rajawali
Sakti di s itu. Pendekar Rajawali Sakti lalu kembali memandang
Pandan Wangi lekat-lekat. Penjelasan gadis itu memang
gamblang, tapi membuatnya jadi bertambah bingung. Yang
masih dipikirkan, mengapa pedangnya bisa terpisah dari
dirinya. Belum pernah senjata andalannya itu ditinggalkan,
meskipun hanya sebentar saja.
"Ada yang bisa diingat, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Tidak... Eh, tunggu! Bukit Sanggung...!"
"Bukit Sanggung...?"
"Ayo, Pandan!"
Pandan Wangi tidak sempat lagi bertanya, karena Rangga
sudah menggebah cepat kudanya. Buru-buru gadis itu
melarikan kudanya mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Sulit
dimengerti, mengapa tiba-tiba Rangga menyebut Bukit
Sanggung. Namun si Kipas Maut itu mulai gembira, karena
Rangga sudah bisa mengingat kembali.
o0dw0o Bukit Sanggung memang tidak begitu indah untuk
dinikmati. Hampir seluruh permukaan bukit itu hanya terdiri
batu-batu kapur yang mudah sekali lonsor, tidak terlalu tinggi,
namun puncak bukit ini dapat terlihat jelas dari tempat yang
cukup jauh sekalipun. Hanya sebentar Pandan Wangi
memandangi bukit itu lalu mengalihkan perhatiannya pada
pemuda berbaju rompi yang duduk di punggung kuda hitam di
samping kanan. "Tidak ada apa-apa di sini, Kakang," kata Pandan Wangi.
"Ada sebuah desa di balik bukit ini. Hm..., cukup sulit untuk
ke sana," sahut Rangga.
"Kita bisa memutarinya. "
"Sulit. Kalaupun bisa, makan waktu lama. Bisa dua pekan
baru sampai. "
"Tapi, bukit ini kelihatan kecil."
"Banyak jurang dan lembah serta rawa yang melingkari
bukit ini. Belum lagi batu-batu itu sering longsor tiba-tiba,"
jelas Rangga. "Lalu...?"
"Hanya dengan satu cara. "
"Rajawali Putih?" tebak Pandan Wangi.
Rangga tersenyum, kemudian me lompat turun dari
punggung kudanya. Ditepuknya leher kuda itu tiga kali, maka
Dewa Bayu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi. Pandan Wangi juga bergegas turun
dari kudanya. Gadis itu hanya memandangi kedua ekor kuda
yang berlaei meninggalkan tempat ini.
Sementara Rangga sudah berdiri memandang ke langit.
Sebentar kemudian, mulutnya bersiul keras melengking tinggi.
Nada suaranya terdengar aneh di telinga. Pandan Wangi tahu
kalau Pendekar Rajawali Sakti itu memanggil Rajawali Putih.
Tiga kali bersiul, bernada sama dalam waktu yang berselang
cukup lama. Kepalanya masih terdongak memandang ke langit
yang terlihat cerah siang ini.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum saat melihat satu titik
keperakan di angkasa. Pandan Wangi jadi ikut melihat ke
langit, dan juga tersenyum begitu melihat seekor burung
rajawali tengah meluncur cepat ke arah mereka. Semakin
lama terlihat jelas bentuknya yang besar bagai sebuah bukit
kecil melayang di angkasa.
"Kemarilah, Rajawali!" seru Rangga
keras seraya melambaikan tangannya.
"Khraghk!"
Rajawali Putih menukik keras, dan langsung mendarat di
depan Rangga. Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju rompi putih
itu me lompat naik ke punggung burung rajawali raksasa itu.
Sedangkan Pandan Wangi masih berdiri memandangi.
Meskipun pernah melihat burung raksasa ini, tapi dia masih
juga terpana. "Ayo, Pandan! Apa mau tinggal di sini?" seru Rangga
menyuruh Pandan Wangi naik.
"Oh! Eh, iya.... Hup!"
Pandan Wangi melompat ringan bagai kapas tertiup angin.
Manis sekali ditempatkan dirinya, duduk didepan Rangga.
Sedangkan pemuda berbaju rompi putiuh itu menepuk leher
burung raksasa itu tiga kali.
"Khraghk!"
Hanya sekali kepakan sayap saja, burung rajawali raksasa
berbulu putih keperakan itu sudah me lambung tinggi ke
angkasa. Sekejap Pandan Wangi memejamkan mata.
Dirasakan jantungnya seperti copot, dan darahnya berhenti
mengalir begitu Rajawali Putih me lambung tinggi ke angkasa.
Untung saja Rangga tidak melihat, jadi si Kipas Maut itu tidak
perlu merasa malu.
Rajawali Putih terus meluncur ke atas Puncak Bukit
Sanggung. Tampak dari atas, puncak bukit itu hanya terdiri
dari tumpukan batu kapur rapuh dan mudah longsor. Hampir
seluruh permukaannya putih bagai terselimut salju. Tiga kali
Rajawali Putih memutari puncak bukit itu, kemudian me luncur
ke arah Barat. Sangat jelas terlihat keadaan di bawah sana dari ketinggian
seperti ini. Dan Pandan Wangi membenarkan kata-kata
Rangga tentang Bukit Sanggung kini. Memang tidak mudah
untuk melaluinya. Apalagi menggunakan kuda. Tarlalu besar
resikonya. Pandan Wangi kembali menahan napas ketika tiba-
tiba saja Rajawali Putih menukik, menuju sebuah hutan yang
tidak begitu labat.
Tapi burung rajawali raksasa itu tidak mendarat turun, dan
hanya berputar-putar saja di atas permukaan hutan ini. Dan
Pandan Wangi dapat melihat kalau di tengah-tengah hutan ini
terdapat sebuah perkampungan yang tidak begitu besar.
Nampak suasana di perkampungan itu sunyi sekali. Hanya
beberapa orang saja terlihat. Begitu kecil, seperti seekor
semut. "Apa nama desa itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak
keras, karena angin di atas sini begitu bising.
"Desa Sanggung," sahut Rangga.
"Ke sana tujuan kita, Kakang?" tanya Pandan Wangi 1agi.
Rangga tidak menjawab. Diperintahkan Rajawali Putih agar
mendarat di luar desa. Kembali Pandan Wangi merasakan
jantungnya seperti berhenti berdetak ketika Rajawali Putih
meluruk deras menuju sebuah tempat yang tidak begitu
banyak ditumbuhi pepohonan. Ringan sekali burung rajawali
raksasa itu mendarat, sehingga tidak dirasakan kedua
penunggangnya. "Hup!"
Rangga melompat turun, diikuti Pandan Wangi.
"Rajawali, jangan jauh-jauh. Aku masih membutuhkanmu,"
kata Rangga berpesan.
"Khraghk!"
Burung rajawali raksasa itu langsung me lambung tinggi ke
angkasa sambil memperdengarkan suaranya yang serak
memekakkan telinga. Pandan Wangi masih mematung
memandangi burung raksasa itu dengan perasaan kagum.
"Ayo, Pandan," ajak Rangga.
"Oh!" Pandan Wangi tersentak kaget.
Buru-buru gadis itu mengayunkan kakinya mengikuti
Rangga yang sudah jalan lebih dahulu. Disejajarkan
langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka
berjalan menembus hutan yang tidak begitu lebat, menuju
Desa Sanggung yang terlihat jelas dari atas. Letaknya
memang di tengah-tengah hutan yang tidak terlalu lebat.
Maka, mudahlah bagi mereka untuk berjalan cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
o0dw0o 4 Pandan Wangi agak heran juga, karena hampir semua
penduduk Desa Sanggung selalu memperhatikannya. Terlebih
lagi terhadap Rangga. Tapi, tak ada seorang pun yang
menyapa. Mereka memperhatikan secara sembunyi-sembunyi.
Ingin gadis itu bertanya pada Rangga, tapi tidak mau
membuka mulut lebih dulu. Ingin diketahui, ke mana tujuan
Rangga di desa ini.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah yang tidak begitu
besar, namun kelihatan terawat Halaman yang luas dipenuhi
berbagai macam tanaman, sehingga dapat dipetik hasilnya.
Seorang laki-laki berusia
lanjut, menghampiri sambil
terbungkuk-bungkuk. Nampaknya sudah mengenal Rangga.
"Oh, Den.... Mari silakan, Den," sambut laki-laki yang hanya
mengenakan celana hitam sebatas lutut saja.
"Terima kasih, Ki Buyut" sahut Rangga seraya melangkah
kembali. Laki-laki tua yang dipanggil K i Buyut itu berjalan di samping
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi terpaksa
mengikuti dari belakang. Diedarkan pandangannya ke
sekeliling. Tampak para penduduk desa memperhatikan dari
jarak yang cukup jauh, di luar halaman rumah ini.
Ki Buyut mempersilakan Rangga dan Pandan Wangi duduk
setelah mereka berada di beranda depan. Mereka duduk di
sebuah balai-balai bambu yang beralaskan tikar daun pandan.
Sementara Pandan Wangi masih juga memperhatikan
sekelilingnya. Hannya masih diliputi rasa penasaran melihat
tingkah para penduduk di desa ini.
"Aku kira kau tidak akan datang lagi ke sini, Den." ujar Ki
Buyut Kaweyan. Rangga hanya tersenyum saja.
"Maaf, Ki. Apakah Kakang Rangga pernah datang ke sini?"
tanya Pandan Wangi.
Ki Buyut Kaweyan memandangi gadis yang duduk di
samping Rangga. Baru kali ini gadis itu dilihat dan dikenalinya.
Pandan Wanai buru-buru memperkenalkan dirinya, dan
mengaku sebagai teman dekat Pendekar Rajawali Sakti.
"Kira-kira dua pekan yang lalu, Den Rangga pernah berada
di s ini. Yaaah..., lebih kurang sepekan lamanya," jelas Ki Buyut
setelah mengetahui gadis yang bertanya tadi adalah teman
dekat Rangga. Tapi ada juga dugaan di hatinya kalau Pandan
Wangi adalah kekasih pemuda berbaju rompi putih itu.
Pandan Wangi melirik Rangga yang hanya diam saja. Gadis
itu tahu Muolau Pendekar Rajawali Sakti masih diliputi
kabingungan, akibat ingatannya sedikit terganggu sehingga
melupakan dirinya sendiri. Sedangkan Rangga sendiri seperti
mengenal Ki Buyut, bahkan sepertinya memang kenal dekat.
Hanya saja, yang masih belum bisa diingat, apakah ada
sesuatu yang pernah terjadi di Desa Sanggung ini. Maka
sekarang dicobanya untuk mengingat kembali.
"Ki Buyut, apakah Kakang Rangga mengalami seuatu di
sini" Hm..., maksudku suatu peristiwa," tanya Pandan Wangi
lagi. Terpaksa harus gadis itu yang lebih banyak bertanya,
karena Rangga masih diliputi kebingungan. Malah hanya diam
saja. "Wah! Kalau masalah kejadian, seharusnya seluruh
penduduk desa ini berterima kasih kepada Den Rangga, Nini
Pandan Wangi. Tapi ini ma lah sebaliknya. Mereka begitu
senang waktu Den Rangga terjerumus ke dalam jurang penuh
lumpur dan batu-batu cadas berkapur, " sahut Ki Buyut
Kaweyan. "Bisa dijelaskan, mengapa Kakang Rangga terjerumus, Ki?"
desak Pandan Wangi seraya melirik pemuda di sampingnya.
"Seharusnya Nini Pandan menanyakan pada Den
Rangga sendiri. Aku sendiri tidak begitu jelas mengetahui
kejadiannya. Tapi menurut apa yang kudengar, Den
Rangga bertarung melawan Anta Gopa yang lebih
dikenal sebagai Iblis Selaksa Racun. Aku tidak tahu persis,
bagaimana kejadiannya sampai Den Rangga terjerumus ke dalam jurang," jelas Ki Buyut Kaweyan.
"Siapa itu Anta Gopa, Ki?" cecar Pandan Wangi yang mulai
melihat adanya jalan terang untuk mengetahui sebab-sebab
Rangga bisa melupakan dirinya sendiri.
"Seorang tokoh hitam yang sakti dan digdaya, Nini Pandan.
Tidak ada seorang pendekar pun yang sanggup menandingi,
karena seluruh tubuhnya mengandung racun yang sangat
ganas dan mematikan. Bahkan
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setiap gerakannya menimbulkan hawa racun. Di mana dia berada, di sekitarnya
pasti dipenuhi hawa racun yang bisa membuat orang tewas
hanya karena menghirup udara beracun di sekitar tubuhnya,"
kembali Ki Buyut Kaweyan menjelaskan.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Diliriknya orang-orang yang masih memandang ke arah rumah
ini dari luar halaman. Gadis itu heran mengapa seluruh
penduduk seperti enggan mendekati rumah ini. Dan Pandan
Wangi baru menyadari kalau di sekitar rumah ini sangat sepi,
tak ada orang lain lagi selain Ki Buyut Kaweyan ini.
"Mereka semua tidak ada yang berani datang ke sini, Nini
Pandan," ujar Ki Buyut, seolah mengetahui jalan pikiran
Pandan Wangi. "Kenapa?" tanya Pandan Wangi.
"Mereka takut keracunan, Nini," pelan suara Ki Buyut
Kaweyan. Mata tuanya sedikit melirik ke arah Rangga yang
masih tetap diam, duduk di samping Pandan Wangi.
"Maksudmu, Ki?" Pandan Wangi ingin penjelasan lebih jauh,
meskipun sudah bisa menduga.
"Mungkin Den Rangga lebih tahu, Nini," sahut Ki Buyut
merasa tidak enak untuk menjelaskannya.
"Mereka takut padaku, Pandan. Aku dianggap sudah
tercemar racun akibat bertarung melawan Iblis Selaksa
Racun," sahut Rangga menjelaskan tanpa diminta.
"Oh...," Pandan Wangi mendesah lirih.
"Dan sebaiknya kau juga jangan terlalu dekat denganku,
Pandan," sambung Rangga lagi.
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi.
"Mungkin aku tidak akan terpengaruh racun itu, tapi kau
lain." "Kita sudah tiga hari bersama-sama, tapi aku tidak
merasakan adanya kelainan apa pun" Aku tidak percaya kalau
kau bisa tercemar racun, Kakang. Aku tahu siapa dirimu. Aku
pun tidak percaya kalau...," kata-kata Pandan Wangi terputus.
"Aku hanya manusia biasa, Pandan. Waktu bertarung
melawan Iblis Selaksa Racun, aku juga merasakan hawa racun
yang menyebar dari seluruh tubuhnya. Saat itu kepalaku
terasa pening. Itulah sebabnya aku bisa dikalahkannya," tutur
Rangga mulai teringat kembali pertarungannya melawan Iblis
Selaksa Racun. "Apakah racun itu yang juga menyebabkan dirimu
kehilangan ingatan, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Entahlah," desah Rangga pelan.
o0dw0o Memang sulit untuk mencari sebab, mengapa Rangga bisa
sempat kehilangan ingatan. Mungkin kalau tidak ditolong
seorang perempuan aneh yang membawa senjata cambuk
ekor kuda, Pendekar Rajawali Sakti itu masih belum bisa
mengingat siapa dirinya sebenarnya. Tapi Pandan Wangi
masih belum mengerti, mengapa perempuan tua itu tiba-tiba
muncul, dan membebaskan Rangga dari ketidaksadarannya.
Pandan Wangi benar-benar tidak tahu, dari mana harus
memulai. Sebab, Rangga sendiri belum begitu pulih benar
ingatannya. Terlebih lagi, tidak ada seorang penduduk pun
yang suka didekati. Mereka takut terkena hawa racun, karena
Pandan Wangi selalu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan mereka juga menjauhi Ki Buyut Kaweyan.
"Pandan, kau sudah siap?"
"Oh!" Pandan Wangi tersentak dari lamunannnya.
"Kau melamun lagi, Pandan," tegur Rangga tahu-tahu
sudah barada di samping gadis itu.
"Ayo kita berangkat sekarang, Kakang," kata Pandan Wangi
seraya malompat naik ke punggung kudanya.
Pandan Wangi memang berusaha untuk tidak menunjukkan
kegelisahannya di depan Rangga, meskipun hatinya selau
dirundung kegelisahan yang mendalam. Gadis itu selalu
memikirkan keadaan Rangga yang belum benar-benar pulih
ingatannya. Kadang-kadang Pendekar Rajawali Sakti itu masih
juga lupa akan dirinya. Bahkan tidak jarang lupa pada Pandan
Wangi ataupun Ki Buyut Kaweyan.
Tiga hari mereka berada di rumah Ki Buyut Kaweyan. Dan
selama itu tidak ada yang bisa diperoleh walau hanya sekadar
petunjuk. Mereka memang memutuskan untuk meninggalkan
desa ini. Begitu juga K i Buyut Kaweyan yang bersikeras untuk
ikut dalam pengembaraan mereka, mencari kejelasan tentang
jati diri Pendekar Rajawali Sakti yang seperti hilang. Terutama
mencari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Tidak berapa lama kemudian, tiga ekor kuda bergerak
meninggalkan halaman depan rumah Ki Buyut Kaweyan.
Mereka mengendalikan kuda pelahan-lahan me lintasi jalan
desa yang berdebu. Beberapa penduduk yang kebetulan
berada di jalan itu, bergegas menyingkir. Mereka seakan-akan
takut, bagaikan melihat sosok makhluk mengerikan di atas
punggung tiga ekor kuda. Memang menyakitkan, tapi tak ada
yang perduli. Hanya Pandan Wangi yang hatinya begitu sedih melihat
sikap penduduk Desa Sanggung ini. Namun tidak ingin
ditunjukkan kepedihan hatinya di depan Rangga. Sekuat daya
gadis itu berusaha tegar dan tabah menghadapi kenyataan ini.
Tekadnya sudah bulat, harus mengembalikan Rangga seperti
semula dan harus mendapatkan kembali Pedang Pusaka
Rajawali Sakti yang hilang dari punggung Pendekar Rajawali
Sakti ini. "Berhenti...!"
tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar. Ketiga penunggang kuda yang baru saja melewati
perbatasan Desa Sanggung, langsung menghentikan langkah
kuda masing-masing. Tiba-tiba saja di sekeliling mereka sudah
bermunculan sekitar dua puluh orang bersenjata golok
terhunus. Pandan Wangi mengenali kalau mereka semua
adalah pengeroyok Rangga saat ingatan Pendekar Rajawali
Sakti itu hilang.
"Ki Buyut! Rupanya kau benar-benar pengkhianat busuk!"
salah seorang dari mereka membentak.
Pandan Wangi memandangi orang yang mengeluarkan
suara itu. Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun,
mengenakan baju agak ketat berwarna merah. Tangannya
memegang golok cukup besar ukurannya, yang berkilatan
tertimpa cahaya matahari.
"Siapa dia, Ki Buyut?" tanya Pandan Wangi setengah
berbisik. "Urawan, Wakil Ketua Partai Golok Perak," sahut Ki Buyut
menjelaskan. "Hm..., jadi mereka semua orang-orang Partai Golok
Perak?" tanya Pandan Wangi, seperti untuk dirinya sendiri.
"Benar," sahut Ki Buyut Kaweyan.
"Mereka dari Desa Sanggung?"
"Bukan. Tapi, tempat mereka memang tidak jauh dari desa
itu. " "Kenapa mereka menuduhmu pengkhianat?" tanya Pandan
Wangi lagi. Belum lagi Ki Buyut Kaweyan menjawab, laki-laki berbaju
merah yang dikenal bernama Urawan sudah membentak lagi.
Suaranya keras, dan terdengar buas sekali.
"Apa yang kalian bicarakan, heh" Kalian mau coba-coba
melawan, ya"!"
"Hm...," dengus Pandan Wangi yang muak melihat tingkah
Urawan. Kalau saja Rangga tidak buru-buru mencegah, gadis itu
sudah melompat turun dari punggung kudanya. Terpaksa
Pandan Wangi diam saja, walaupun dadanya menggelegak
menahan geram. Sementara Rangga melompat turun dari
punggung kudanya. Gerakannya sungguh indah dan ringan
sekali. Sehingga saat kakinya menjejak tanah, tak terdengar
satu suara sedikit pun.
"Aku tahu siapa dirimu, Urawan. Pergilah sebelum
kulaporkan perbuatanmu pada Pemimpin Besar Partai Golok
Perak," ancam Rangga tenang. Namun di balik suaranya yang
tenang, tersimpan nada kemarahan yang meluap.
"Phuih! Jangan coba-coba mengancam, Pendekar Rajawali
Sakti. Semua orang boleh gentar dan mengagumimu. Tapi aku
tahu kalau kau sekarang ini tidak lebih dari seonggok sampah
busuk! Kau harus mampus sebelum malapetaka yang lebih
besar menimpa seluruh manusia!" lantang suara Urawan.
"Lancang sekali mulutmu, Urawan!" bentak Ki Buyut
Kaweyan gusar. "Kau juga harus mampus, Ki Buyut!" dengus Urawan ketus.
"Kata-katamu tidak mungkin lagi bisa dimaafkan, Urawan!"
desis Ki Buyut Kaweyan menggeram.
Wajah laki-laki tua itu memerah bagai terpanggang.
Mendadak saja, Ki Buyut Kaweyan melompat sambil berteriak
keras menerjang Urawan. Namun rupanya Urawan sudah
bersiap sejak tadi. Bergegas dimiringkan tubuhnya ke kanan
untuk berkelit. Dan dengan cepat goloknya dikibaskan ke arah
pinggang Ki Buyut Kaweyan.
Wut! "Uts!"
Cepat sekali Ki Buyut Kaweyan menarik tubuhnya ke
belakang, sehingga tebasan golok Urawan hanya beberapa
rambut di depan perut laki-laki tua itu. Namun Ki Buyut
Kaweyan langsung melentingkan tubuhnya ke atas, melewati
kepala laki-laki berbaju merah itu. Dan dengan satu
tendangan keras, Urawan berhasil dibuat terjengkang ke
depan. "Setan keperat...!" geram Urawan bergegas memutar
tubuhnya sambil mengibaskan goloknya.
Meskipun sudah berusia lanjut, namun Ki Buyut Kaweyan
masih teriihat lincah. Manis sekali dihindari tebasan golok
Urawan. Bahkan masih juga mampu memberikan serangan
balasan. Pertarungan tidak mungkin bisa dihindari lagi. Bahkan
Rangga sendiri sudah tidak bisa mencegah. Pendekar Rajawali
Sakti itu hanya mengawasi sembilan belas orang lainnya,
kalau-kalau berbuat curang. Begitu juga Pandan Wangi.
Jurus demi jurus terlewat cepat. Namun belum ada tanda-
tanda bakal ada yang terdesak. Kini Ki Buyut Kaweyan sudah
menggunakan senjatanya yang berupa rantai baja putih
berbandul bola berduri dengan senjata itu, Ki Buyut Kaweyan
semakin sukar ditaklukkan. Namun, rupanya Urawan juga
bukan lawan enteng. Permainan jurus-jurus goloknya sungguh
dahsyat dan sangat berbahaya. Gerakan-gerakannya sangat
luar biasa. Setiap kibasan goloknya mengandung hantaman
angin yang begitu kuat disertai hawa panas menyengat.
Memasuki jurus kedua puluh, tampak kalau Ki Buyut
Kaweyan mulai goyah. Laki-laki tua itu tidak sanggup
menghadapi hawa panas yang membuat dadanya terasa
sesak, dan sulit bernapas. Entah sudah berapa kali tubuhnya
harus bergelimpangan menghindari serangan Urawan. Bahkan
sudah tidak terhitung lagi, berapa kali menerima pukulan dan
tendangan keras. Hingga suatu saat....
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
Mendadak saja Urawan berteriak keras sambil melontarkan
satu pukulan tangan kiri yang sangat cepat dan bertenaga
dalam tinggi. Saat itu Ki Buyut Kaweyan baru saja bangkit
berdiri, dan tidak mungkin lagi menghindarinya.
Des! "Akh...!" Ki Buyut Kaweyan memekik keras.
Tubuh tua itu terpental ke belakang sejauh dua batang
tombak. Dan pada saat Ki Buyut Kaweyan limbung, Urawan
sudah melompat cepat sambil mengibaskan goloknya
beberapa kali. "Hup! Uts...!"
Ki Buyut Kaweyan masih berusaha berkelit menghindari
tebasan golok yang mengandung hawa panas luar biasa.
Namun pada kibasan yang entah keberapa kali, laki-laki tua itu
tidak bisa lagi menghindari. Sehingga....
"Akh...!" lagi-lagi K i Buyut Kaweyan memekik keras.
Darah langsung mengucur deras dari bahu laki-laki tua itu.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke balakang. Pada saat itu,
Urawan sudah melompat kembali sambil menghunus golok
lurus ke depan. Dalam posisi seperti itu, tak ada lagi
kesempatan bagi Ki Buyut Kaweyan untuk berkelit. Namun
belum juga ujung golok Urawan dapat menyentuh tubuh laki-
laki tua mendadak...
"Hup! Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Pandan Wangi melentingkan tubuhnya
sambil mancabut kipas baja putih yang terselip di sabuknya.
Dangan kipas terbuka lebar, gadis itu mengepakkannya,
menyampok golok Urawan.
Tring! Bunga api memijar saat kedua senjata itu beradu tidak jauh
di depan dada Ki Buyut Kaweyan. Pandan Wangi sempat
mendorong laki-laki tua itu hingga terhuyung ke arah Rangga.
Sementara Urawan sempat terkejut, lalu bergegas melompat
mundur. Tampak bibirnya yang tebal meringis kecil. Sepasang
matanya memerah bagai sepasang bola api yang berkobar
menyala. "Setan betina!" geram Urawan mengumpat
"Kau terlalu kejam, Urawan. Tidak sepatutnya memberi
contoh buruk pada anak buahmu!" dengus Pandan Wangi
dingin. "Phuih! Apa pedulimu..."!" bentak Urawan gusar. Goloknya
sudah dilintangkan di depan dada.
Sementara itu Rangga membantu Ki Buyut Kaweyan
menghentikan darah yang mengalir dari luka di bahu. Tidak
terlalu lebar, tapi cukup dalam sehingga darah yang keluar
begitu banyak. Rangga memberikan tiga totokan di sekitar
luka, sehingga darah berhenti mengalir seketika.
Sementara itu Urawan yang sudah memuncak amarahnya
menggerak-gerakkan goloknya di depan dada. Kakinya
bergerak bergeser menyusur tanah. Pandangan matanya
sangat tajam menusuk, mengamati sikap Pandan Wangi yang
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya diam saja sambil memain-ma inkan kipas baja putih
yang ujung-ujungnya runcing.
"Mampus kau, perempuan laknat! Hiyaaat...!" seru Urawan
keras. "Hup! Hiyaaa...!"
"Pandan, mundur...!" seru Rangga keras.
o0dw0o Tapi seruan Perldekar Rajawali Sakti tidak mungkin lagi
membendung pertarungan. Urawan sudah menyerang lewat
jurus-jurus pendek, mencecar Pandan Wangi yang sempat
terhenti mendengar seruan Rangga yang begitu keras. Untung
saja gadis itu masih bisa cepat berkelit, dan menjaga jarak.
Sehingga masih bisa mengontrol setiap serangan yang cepat
datangnya dan sangat dahsyat itu.
Rangga tak dapat lagi mencegah. Sementara Urawan
tampak begitu bernafsu hendak merobohkan si Kipas Maut.
Namun rupanya Pandan Wangi bukanlah seorang gadis lemah,
tanpa ilmu olah kanuragan. Kali ini Urawan mendapat lawan
tangguh dan sudah banyak mengenyam pahit getirnya
kehidupan rimba persilatan yang keras dan penuh
persaingan. Meskipun Urawan langsung mengerahkan jurus-jurus
ampuh, namun belum juga berhasil mendesak pertahanan
Pandan Wangi. Bahkan tanpa diduga sama sekali, si Kipas
Maut itu mampu membalas dahsyat. Urawan jadi kelabakan
menghindari setiap serangan kipas baja putih yang sebentar
mengembang dan sebentar kemudian menutup rapat!
"Lepas...!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras.
Seketika itu juga dikebutkan kipasnya yang mengembang
tarbuka. Urawan tampak terkesiap, buru-buru dikebutkan
goloknya melindungi leher dari serangan si Kipas Maut.
Trang! "Akh...!"
Semua orang yang berada di situ jadi terlongong; kecuali
Rangga yang sudah mengetahui kedigdayaan Pandan Wangi.
Sungguh sukar dipercaya! Golok Urawan yang begitu besar
dan kelihatan berat terpenggal buntung oleh kipas baja putih
Pandan Wangi. Belum lagi Urawan bisa terbebas dari rasa
terkejut, Pandan Wangi sudah berteriak keras sambil
melayangkan satu tendangan lurus ke arah dada.
"Hiyaaat...!"
Des! "Akh...!" kembali Urawan memekik keras tertahan.
Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu terjajar ke belakang
sejauh tiga batang tombak. Dan belum lagi sempat bangkit
berdiri, Pandan Wangi sudah me lompat. Langsung dijejak
dada laki-laki itu dengan lututnya yang tertekuk. Ujung kipas
yang runcing tajam, ditekan ke tenggorokan Urawan.
"Aku bisa membunuhmu dengan mudah, keparat!" geram
Pandan Wangi mengancam.
"Phuih! Kau pikir aku takut mati" Heh!?" dengus Urawan
sengit. Plak! "Akh!"
Satu tamparan keras mendarat di pipi Urawan, hingga laki-
laki itu terpekik. Darah muncrat keluar dari mulutnya. Pandan
Wangi bergegas bangkit berdiri dan me langkah mundur
beberapa tindak. Sementara Urawan masih tergeletak, dan
matanya memerah menyimpan kemarahan yang amat sangat.
Mulutnya menggeram sambil menyeka darah dengan
punggung tangan kanan pada dua sudut bibirnya. Pelahan dia
bangkit berdiri.
"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran mengirim kalian
semua ke neraka!" bentak Pandan Wangi tajam.
Urawan tidak menyahuti. Dipandanginya Pandan Wangi
dengan hati panas terbalut dendam. Belum pernah dirinya
dipecundangi begini rupa oleh seorang gadis di depan anak
buahnya. Urawan mengegoskan kepalanya sedikit, dan tiba-
tiba saja sembilan belas anak buahnya bergerak maju, sambil
melintangkan golok di depan dada.
"Tahan...!" seru Rangga keras.
Seruan yang dibarengi pengerahan tenaga dalam itu
membuat orang-orang yang hendak mengeroyok langsung
berhenti bergerak. Mereka semua memandang Pendekar
Rajawali Sakti yang tengah melangkah menghampiri Pandan
Wangi. Pemuda berbaju rompi putih itu kini berdiri tegak di
samping si Kipas Maut.
"Dengar! Jika tetap membandel, kalian akan mati sia-sia!
Kami bukan musuh kalian, tapi s i Iblis Selaksa Racun!" lantang
suara Rangga berbicara.
"Kami semua memang hendak membunuh si Iblis Selaksa
Racun. Tapi kau harus mati lebih dulu, Pendekar Rajawali
Sekti!" sahut Urawan tidak kalah lantangnya.
"Siapa yang memerintahkan kalian untuk membunuhku?"
tanya Rangga seraya mengedarkan pandangannya ke
Kilas Balik Merah Salju 1 Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk Anak Harimau 16
1 Seekor kuda hitam muncul dari gumpalan kabut tebal.
Sementara itu, dari angkasa menukik deras seekor burung
rajawali berbulu putih keperakan. Burung raksasa itu berputar-
putar di atas kepala seorang pemuda berwajah tampan yang
rambutnya agak panjang tergelung ke atas. Pakaian yang
dikenakannya adalah rompi putih. Dia menunggang kuda
hitam yang berpacu cepat menembus kabut tebal.
Pada saat yang sama, tiba-tiba berkelebat sebuah
bayangan merah dan langsung menyambar pemuda di
punggung kuda hitam itu. Sambaran yang begitu cepat,
sehingga pemuda itu tidak sempat lagi menghindar. Satu
jeritan keras melengking terdengar menyayat mengiringi
tubuh pemuda itu yang terlontar ke angkasa. Seketika rajawali
putih berusaha mengejarnya. Namun belum sempat mencapai
pemuda itu, mendadak dari angkasa meluncur seekor rajawali
lain berwarna hitam pekat. Burung rajawali hitam itu mencelat
bagaikan kilat menyambar tubuh pemuda itu.
"Rangga...!"
"Pandan..., Pandan, bangun...!"
"Oh!"
o0dw0o Malam begitu pekat. Langit tampak menghitam kelam
tertutup awan tebal. Ma lam ini angin seperti enggan
berhembus. Sedikit pun tak ada gerakan pada dedaunan di
belakang bangunan besar dan indah. Di tengah-tengah
sebuah taman, nampak duduk seorang wanita muda cantik
mengenakan baju biru ketat. Bentuk tubuhnya yang ramping
dan indah membayang di balik baju birunya.
Gadis itu tidak beranjak dari tempat duduk sejak sang
surya tenggelam tadi. Pandangannya lurus kosong ke depan.
Sama sekali tidak disadari kalau ada seseorang menghampiri.
Seorang gadis yang mengenakan baju hijau muda tengah
melangkah pelahan-lahan.
"Pandan... "
"Oh!" wanita berbaju biru itu terkejut saat merasakan
tepukan halus di pundaknya. Wajahnya berpaling dan
tersenyum melihat ada gadis lain di belakangnya. Digeser
duduknya sedikit untuk memberi tempat.
"Sudah larut. Kau belum tidur juga?" lembut sekali suara
wanita berbaju hijau muda itu seraya duduk di samping wanita
berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi.
"Dik Cempaka. Kau sendiri sedang apa di sini?" si Pandan
Wangi malah balik bertanya.
"Memperhatikanmu, Kak," jawab Cempaka seenaknya.
Pandan Wangi tersenyum getir sambil menepuk-nepuk
punggung tangan gadis itu. Sedangkan Cempaka memandangi
raut wajah Pandan Wangi yang kelihatan gundah. Meskipun
bibirnya menyunggingkan senyum, tapi terasa kalau amat
dipaksakan. "Sudah seminggu ini Kak Pandan kelihatan gundah dan
suka menyendiri. Bahkan setiap malam berteriak-teriak, tapi
tidak pernah menceritakan kenapa...?" terdengar serius kata-
kata Cempaka. Pandan Wangi tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja.
Pelahan gadis berbaju biru muda itu bangkit berdiri seraya
menghembuskan napas panjang. Pelan sekali kakinya terayun
mendekati sebuah kolam yang dihiasi batu-batu karang
tersusun, membentuk sebuah bukit kecil. Gadis itu memetik
selembar daun dan melemparkannya ke dalam kolam. Tampak
air kolam yang menghitam itu bergolak. Ternyata beberapa
ekor ikan bermunculan berebut daun yang dilemparkan
Pandan Wangi. Sementara Cempaka masih tetap duduk di kursi taman
yang terbuat dari rotan. Dia hanya memperhatikan saja tanpa
berkedip. Sinar matanya memancarkan sesuatu yang sukar
diketahui artinya.
"Kak Pandan rindu pada Kakang Rangga...?" tebak
Cempaka ragu-ragu.
Pandan Wangi tersentak kaget. Dibalikkan tubuhnya dan
ditatapnya Cempaka dalam-dalam. Tapi itu hanya sesaat saja,
kemudian kembali dipalingkan mukanya, memandang ke arah
lain. Sebenarnya Pandan Wangi tidak ingin Cempaka
mengetahui perubahan wajahnya yang tiba-tiba. Tapi rupanya
Cempaka sudah mengetahui keterkejutan Pandan Wangi saat
nama Rangga disebut. Wajah gadis itu juga berubah memerah
dengan bola mata berputar.
"Memang telah lama Kakang Rangga belum kembali.
Yaaah... sejak kau hidup lagi," ujar Cempaka agak mendesah
suaranya. Pandan Wangi hanya diam saja. Memang sudah cukup
lama dia tidak lagi melihat Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan
lagi sudah lama juga dirinya tinggal di Istana Karang Setra ini
sejak hidup kembali dari kematian semu (Untuk lebih jelas,
baca Serial Pendekar Rajawali Sakti. Dalam kisah "Bangkitnya
Pandan Wangi"). Dan Pandan sendiri tidak membantah kalau
hatinya memang merindukan kehadiran Rangga di sisinya.
Tapi yang membuat Pendan Wangi gundah dalam satu
pekan ini, bukan karena hanya merindukan Pendekar Rajawali
Sakti saja. Ada sesuatu yang mengganggu benak dan hatinya,
dan hanya dia sendiri yang tahu.
"Kalau saja aku tahu, di mana Kakang Rangga sekarang
berada..." gumam Cempaka setengah mendesah, seperti
bicara pada dirinya sendiri.
"Cempaka, rasanya sudah cukup lama aku berada di s ini..."
ujar Pandan Wangi seraya melangkah menghampiri gadis
berbaju hijau muda itu.
"Tapi jangan katakan kalau kau akan pergi, Kak Pandan,"
tebak Cempaka langsung.
Pandan Wangi tersenyum, dan kembali duduk di samping
Cempaka. "Kau tahu siapa aku, bukan" Aku senang berada di sini, tapi
rasanya seperti seekor burung di dalam sangkar emas. Sejak
lahir aku sudah terbiasa hidup di alam terbuka, menjelajah
alam dan hidup penuh kekerasan," Pandan Wangi seperti
merindukan kehidupannya yang dulu.
"Tapi, Kak. Kakang Rangga sudah berpesan agar kau tidak
pergi ke mana-mana sampai dia kembali," tegas Cempaka.
"Itulah kehidupan seorang pendekar, Cempaka. Meskipun
sudah menjadi raja, tapi tidak akan bisa tinggal selamanya di
dalam istana. Begitu juga diriku. Aku lahir sudah ditakdirkan
untuk menjadi pendekar wanita yang selalu hidup bebas di
alam luas. Bukan takdirku untuk mengurung diri di dalam
benteng istana. Kau tentu mengerti, karena kau juga...."
"Belum, Kak," potong Cempaka. "Aku tidak sempat
mengecap kehidupan sepertimu. Aku keluar dari padepokan,
lalu langsung tinggal di sini. Terus terang, sebenarnya aku
juga ingin sekali mengembara, mencari pengalaman hidup
merambah ganasnya rimba persilatan. Aku merasa apa yang
kumiliki belum mendapatkan tantangan yang berarti."
Pandan Wangi tersenyum, lalu kembali bangkit berdiri dari
duduknya. Pelahan-lahan diayunkan kakinya melangkah
meninggalkan taman belakang Istana Karang Setra ini.
Cempaka juga ikut berdiri dan berjalan mengikuti di belakang
gadis itu. Sementara malam terus merayap semakin larut
o0dw0o Pagi-pagi sekali Pandan Wangi sudah menyiapkan kudanya
di istal yang terletak di samping kanan bangunan istana. Gadis
itu tersenyum melihat Cempaka datang menghampirl bersama
Danupaksi. "Kau jadi pergi juga, Kak Pandan?" tanya Danupaksi yang
sudah mengetahui rencana Pandan Wangi untuk kembali
mengembara menjelajah rimba persilatan dari Cempaka.
"Rasanya jadi," sahut Pandan Wangi, kembali menyiapkan
kudanya yang sempat terhenti sebentar.
"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan. Melarang pun
tidak bisa," ujar Danupaksi.
Pandan Wangi kembali menghentikan pekerjaannya
memasang pelana kuda. Dipandangi kakak beradik lain ibu ini,
yang juga adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Memang berat
meninggalkan orang-orang yang telah begitu baik padanya.
Tapi Pandan sudah tidak bisa menahan diri lagi.
"Sebenarnya aku ingin juga ikut bersamamu, Kak. Tapi..."
Cempaka tidak melanjutkan ucapannya. Diliriknya Danupaksi
yang berada di sampingnya.
"Bukannya melarangmu, tapi aku hanya tidak ingin
disalahkan. Mengertilah, Cempaka. Tugas kita di sini masih
banyak dan tidak kalah pentingnya," tegas Danupaksi.
Cempaka hanya diam saja. Sedangkan Pandan Wangi
tersenyum melihat wajah adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu
sedikit memberengut. Semalaman gadis itu berbicara dengan
Cempaka di dalam kamar tidur. Mereka saling terbuka dan
mengemukakan seluruh isi hati yang terpendam tanpa ada
yang dirahasiakan. Dan Pandan Wangi bisa mengerti
keinginan Cempaka untuk mencari pengalaman di luar
benteng istana ini, tapi juga tidak ingin mengajak Cempaka
dalam pengembaraannya kali ini. Karena disadarinya kalau
Cempaka memiliki kewajiban yang sangat berat di Kerajaan
Karang Setra ini.
Pandan Wangi kembali meneruskan pekerjaannya memasang pelana pada kuda putih pemberian Rangga. Begitu
selesai memasang pelana berwana merah dengan hiasan
sulaman benang emas, tubuhnya melompat naik. Sedangkan
Cempaka dan Danupaksi masih berdiri di sampingnya.
"Aku berharap, kita bertemu lagi kelak," ucap Pandan
Wangi. "Selamat jalan, Kak Pandan," ucap Cempaka.
"Berhati-hatilah, semoga kau bertemu Kakang Rangga,"
sambung Danupaksi.
"Ada yang akan kau titipkan, Adik Danupaksi?" tanya
Pandan Wangi. "Ada. Tapi hanya ini," Danupaksi menyerahkan selongsong
bambu yang digosok halus. Kedua ujungnya tertutup rapat.
Pandan Wangi menerima dan menyelipkannya di balik
lipatan bajunya.
"Sampaikan itu pada Kakang Rangga," kata Danupaksi.
"Tidak ada lagi?"
"Tidak," sahut Danupaksi dan Cempaka hampir bersamaan.
"Kalau begitu, sebaiknya aku segera pergi."
Pandan Wangi menggebah kuda putih yang gagah dan
berotot itu. Kuda putih itu berlari kencang meninggalkan istal,
langsung menuju depan. Tanpa mengendurkan kecepatan
larinya, kuda itu me lintasi halaman depan istana yang sangat
luas. Dua orang penjaga bergegas membuka pintu gerbang,
dan Pandan Wangi terus menggebah kuda melewatinya.
Hampir semua orang di Kota Kerajaan Karang Setra itu
mengetahui dan mengenal kalau Pandan Wangi adalah calon
permaisuri. Semua orang yang berada di jalan, membungkukkan badannya saat melihat gadis itu melintas di
atas kuda putih yang tinggi tegap dan sangat gagah. Namun
Pandan Wangi terus saja menggebah cepat, sehingga lari
kuda itu bagaikan terbang saja! Debu berkepul membumbung
tinggi ke angkasa tersepak kaki-kaki kuda putih yang dipacu
bagai dikejar setan itu.
Sementara itu, di depan istal, Danupaksi dan Cempaka
masih berdiri di sana. Meskipun Pandan Wangi sudah tidak
terlihat lagi, tapi mereka masih memandang ke arah kepergian
gadis itu. Danupaksi mengayunkan kakinya pelahan-lahan
setelah menarik napas panjang. Cempaka mengikuti dan
mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu.
"Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa terhadap Kak
Pandan," desah Compaka seperti bicara pada diri sendiri.
"Kenapa kau bicara begitu, Cempaka?" Tanya Danupaksi.
"Aku memang tidak sempat mengatakannya padamu, tapi
rasanya tidak penting," sahut Cempaka.
Danupaksi menghentikan langkahnya. Ditatapnya Cempaka
dalam-dalam. Diyakini kalau gadis ini menyimpan sesuatu
yang berhubungan dengan kepergian Pandan Wangi. Tapi
Danupaksi tidak ingin menduga terlebih dahulu.
"Satu pekan ini Kak Pandan kelihatan gundah, dan senang
menyendiri sambil me lamun. Setiap malam aku selalu
membangunkannya, karena dia selalu bermimpi. Bahkan
selalu menjerit-jerit dan menyebut-nyebut nama Kakang
Rangga. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada diri
Kakang Rangga," Cempaka tak bisa menyembunyikan lagi.
Diungkapkan keresahan hatinya yang selama ini selalu
dipendam sendiri.
"Kau pernah menanyakan hal itu pada Kak Pandan?" tanya
Danupaksi jadi ikut gelisah.
"Pernah, bahkan beberapa kali. Tapi Kak Pandan tak
pernah bersedia mengatakan tentang mimpinya," sahut
Cempaka. Danupaksi terdiam.
"Aku jadi khawatir, Danupaksi," tersirat kecemasan di
wajah Cempaka. "Seharusnya kau katakan itu sebelumnya, Cempaka," desah
Danupaksl menyesalkan.
"Maaf," hanya itu yang bisa diucapkan Cempaka.
"Hhh...! Sekarang Kak Pandan sudah pergi, dan tak jelas ke
mana tujuannya..." desah Danupaksi pelahan.
"Apa tidak sebaiknya kita menyusul saja, Danupaksi?" usul
Cempaka. Danupaksi kembali terdiam. Kembali diayun kakinya
melangkah perlahan-lahan. Kepalanya tertunduk dalam
dengan kening berkerut, pertanda tengah berpikir keras.
Memang selama beberapa hari ini, ia selalu memergoki
Pandan Wangi menyendiri di taman belakang. Bahkan
terkadang mengunci diri dalam kamarnya hampir satu
harian.
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama ini Danupaksi hanya menganggap kalau Pandan
Wangi mungkin rindu hendak bertemu Rangga. Tidak ada
terlintas di benaknya kalau kekasih kakak tirinya itu memiliki
ganjalan akibat mimpi-mimpi yang selalu datang menghantui
setiap malam. Memang tidak ada yang tahu apa yang terjadi
dalam mimpi Pandan Wangi. Tapi Danupaksi sudah bisa
menduga kalau mimpi yang dialam i Pandan Wangi merupakan
pertanda. Dan pemuda itu tidak bisa menduga, karena tidak
pernah tahu tentang mimpi itu. Sedangkan Cempaka sendiri
juga tidak mengetahuinya. Pandan Wangi selalu mengelak
untuk menceritakan perihal mimpi-mimpinya yang datang
hampir setiap malam dalam satu pekan ini.
o0dw0o "Tidaaak...!"
Danupaksi terjaga dari tidurnya ketika tiba-tiba terdengar
jeritan melengking. Pemuda itu melompat bangun dari
pembaringannya. Jeritan itu hanya terdengar sekali, dan
sekarang berganti suara isak tangis. Bergegas Danupaksi
keluar dari kamarnya, lalu menuju arah datangnya suara
tangisan itu. Sebentar Danupaksi tercenung ketika tiba di depan pintu
kamar Cempaka. Masih terdengar suara isak tangisan, dan
datangnya dari dalam kamar di depannya. Agak ragu-ragu
juga, tapi akhirnya Danupaksi memberanikan diri mengetuk
pintu kamar adik tirinya itu.
"Cempaka..." panggil Danupaksi sambil mengetuk pintu
kamar yang tertutup rapat.
Tidak ada sahutan. Danupaksi mencoba membuka pintu
yang tidak terkunci. Segera didorongnya pelahan-lahan.
Keadaan dalam kamar tidak begitu terang, hanya sebuah
pelita kecil yang menyala redup tak sanggup menerangi
seluruh kamar yang luas ini. Tampak di atas pembaringan,
sesosok tubuh ramping tergolek gelisah. Memang suara
tangisan itu datang dari sana.
"Cempaka...," Danupaksi terkejut juga begitu dekat.
Ternyata Cempaka menangis di dalam tidurnya. Danupaksi
duduk di tepi pembaringan, lalu tangannya menyentuh pundak
gadis itu. Tapi mendadak saja....
"Tidak! Jangaaan...!" Cempaka tiba-tiba saja menjerit
keras. Danupaksi terkejut, langsung mengangkat tangannya. Tapi
tanpa diduga sama sekali, Cempaka menyentakkan
tangannya, hingga menghantam perut pemuda itu.
"Hughk!" Danupaksi mengeluh pendek.
Pemuda itu sampai terjatuh ke lantai, tapi bergegas berdiri,
tepat saat Cempaka bangun dengan mendadak. Gadis itu
nampak tersengal, dan keringat bercucuran di sekitar wajah
dan lehernya. Perlahan Danupaksi menghampiri lalu duduk di
tepi pembaringan lagi.
"Cempaka..." panggil Danupaksi pelan seraya menyentuh
punggung tangan adik tirinya ini.
"Oh ...!" Cempaka tersentak kaget, langsung menoleh dan
menatap Danupaksi.
Cempaka tiba-tiba saja memeluk Danupaksi dan menangis
di dada pemuda itu. Tentu saja Danupaksi jadi keheranan, tapi
dibiarkan saja adik tirinya itu menangis. Memang tidak ada
yang bisa dilakukan, selain membiarkan gadis itu menangis di
dalam pelukannya.
"Cempaka..." pelan suara Danupaksi setelah cukup lama
Cempaka menangis memeluknya.
Pelahan-lahan Cempaka pelukannya. Buru-buru diseka air
mata dengan punggung tangannya. Beberapa kali gadis itu
menarik napas dalam-dalam, seakan-akan ingin melonggarkan
rongga dadanya yang terasa sesak. Sedangkan Danupaksi
membiarkan saja, menunggu sabar.
"Ada apa, Cempaka" Kau bermimpi?" tanya Danupaksi
lembut. Cempaka masih belum bisa menjawab. Hanya anggu-kan
kepalanya saja untuk menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Masih terlalu ma lam, tidurlah lagi," ujar Danupaksi seraya
bangkit berdiri.
"Danupaksi..." selak Cempaka seraya memegang tangan
pemuda itu. Terpaksa Danupaksi duduk lagi di tepi pembaringan. Sesaat
mereka hanya terdiam saling tatap. Danupaksi belum ingin
membuka suara, membiarkan Cempaka lebih tenang dulu.
"Kau percaya arti sebuah mimpi, Danupaksi?" tanya
Cempaka begitu pelan dan lirih suaranya.
Danupaksi tidak segera menjawab, tapi malah memandangi
saja raut wajah gadis itu. Hatinya mulai merasa tidak tenang
karena teringat akan kata-kata Cempaka siang tadi. Kepergian
Pandan Wangi dari istana ini juga diakibatkan sering
mendapat mimpi. Dan sekarang Cempaka juga mendapat
mimpi yang membuat gadis itu bagai kerasukan setan.
"Mimpi hanya bunga tidur Cempaka," Danupaksi mencoba
menghibur. "Tapi..." suara Cempaka terputus.
"Masih terlalu malam. Tidurlah kembali," bujuk Danupaksi
seraya merebahkan tubuh gadis itu.
Danupaksi hendak meninggalkan kamar ini, tapi Cempaka
memegangi tangan pemuda itu. Terpaksa Danupaksi tetap
duduk di tepi pembaringan, sedangkan Cempaka sudah rebah
kembali. Malam memang masih terlalu larut, dan suasana pun
begitu sunyi. Sesekali terdengar detak langkah kaki penjaga
yang bertugas malam ini.
"Kau tidur di sini, Kakang," pinta Cempaka.
"Jangan gila, ah!" sentak Danupaksi terkejut
"Malam ini saja..." rengek Cempaka memohon.
"Jangan bersikap seperti anak kecil, Cempaka. Kita berada
dalam lingkungan istana. Tidak baik kalau aku keluar pagi-pagi
dari kamarmu."
"Tapi..."
"Tidurlah. Kalau ada apa-apa, aku ada di depan..."
Danupaksi menepuk punggung tangan gadis itu kemudian
bangkit berdiri dan me langkah keluar. Cempaka tidak bisa
mencegah lagi. Memang benar apa yang dikatakan Danupaksi.
Meskipun mereka bersaudara, tapi bisa mendatangkan
malapetaka bila ada yang melihat Danupaksi tidur di kamar
ini. Cempaka masih terbaring, namun matanya terpentang
lebar menatap langit-langit kamarnya. Sementara pintu kamar
sudah tertutup kembali setelah Danupaksi keluar. Terdengar
suara pemuda itu memanggil penjaga, dan memerintahkan
untuk tetap berada di depan pintu kamar ini. Sementara
Cempaka berusaha untuk tidur kembali, tapi begitu sulit.
Bayang-bayang mimpi tadi masih membekas nyata di dalam
ingatannya. "Oh...," keluh Cempaka jadi gelisah.
o0dw0o 2 Sementara itu jauh di luar Kerajaan Karang Setra, tepatnya
di kaki lereng Gunung Ajibarang, tampak seorang laki-laki
muda berwajah tampan tengah duduk bersila di atas
sebongkah batu besar dan pipih. Rambutnya panjang meriap
sedikit tergelung ke atas. Sebuah pohon kayu yang cukup
rindang menaunginya dari sengatan cahaya matahari.
Pemuda itu duduk bersila, tapi matanya terpejam. Kedua
telapak tangannya menempel pada lutut yang ditekuk. Dada
yang terbuka lebar, bergerak turun naik teratur. Angin siang
ini cukup keras, membuat baju putih tanpa lengan yang
dikenakannya berkibar-kibar. Pemuda itu membuka kelopak
mata saat telinganya mendengar ranting patah terinjak.
"Itu dia! Seraaang...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara yang keras, disusul
berlompatannya beberapa orang bersenjata golok terhunus
dari dalam semak belukar. Sekitar dua puluh orang itu
langsung menyerang pemuda yang tengah duduk bersila di
atas batu. "Hup!" pemuda itu bergegas melompat, menghindari
sabetan sebilah golok yang begitu cepat mengarah ke
pinggangnya. Dan begitu kakinya mendarat ke tanah, satu serangan
cepat datang dari arah samping. Bergegas pemuda berbaju
putih tanpa lengan itu menggeser kakinya ke samping,
sehingga tebasan golok itu lewat sedikit. Namun angin
tebasan golok yang begitu kuat membuat tubuhnya agak
limbung. Pada saat yang hampir bersamaan, sebuah kaki
melayang deras mengarah ke punggungnya.
"Uts!"
Cepat-cepat pemuda itu berkelit, namun tidak bisa lagi
menghindari satu pukulan keras yang mendarat di bahu
kanannya. Dia memekik tertahan, dan tubuhnya terdorong
limbung. Pada saat itu satu tendangan keras menggeledek
mendarat di punggungnya, sehingga membuatnya terjerembab mencium tanah.
Belum lagi bisa bangkit, sebuah golok meluruk deras ke
arahnya. Buru-buru digelimpangkan tubuhnya sehingga
tebasan golok itu hanya mengenai tanah kosong. Tapi
beberapa golok kembali cepat mencecarnya, membuat
pemuda itu harus bergelimpangan menghindari setiap
serangan yang datang beruntun tanpa henti.
"Hup!"
Begitu ada kesempatan, pemuda itu bergegas melompat
bangkit berdiri. Namun belum juga dapat berdiri tegak di atas
kedua kakinya, satu pukulan keras kembali mendarat di
dadanya. Pukulan yang begitu keras dan cepat luar biasa,
tidak dapat dihindari lagi.
"Akh!" pemuda itu memekik tertahan.
Tubuhnya kembali limbung terdorong ke belakang. Pada
saat itu, salah seorang pengeroyoknya telah me lompat cepat
sambil berteriak keras, mengibaskan goloknya ke arah leher.
Namun mendadak saja orang itu terpental sebelum berhasil
membabatkan goloknya ke leher pemuda itu.
Belum lagi ada yang menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba
sebuah bayangan biru berkelebatan cepat. Dan entah
bagaimana awalnya, tahu-tahu dua puluh orang itu sudah
berpelantingan dan golok mereka beterbangan ke udara! Jerit
dan pekik terdengar sahut-menyahut. Namun kedua puluh
orang itu bergegas bangkit berdiri. Semua terperanjat.
Ternyata golok tidak lagi berada di tangan mereka. Dan lebih
terkejut lagi, karena tiba-tiba saja di samping pemuda itu
sudah berdiri seorang gadis berparas cantik mengenakan baju
biru. "Nisanak, siapa kau" Kenapa menolong iblis keparat itu?"
bentak salah seorang yang mengenakan baju kuning ketat.
Wajahnya dihiasi kumis tebal melintang.
Wanita berbaju muda itu tidak menyahut. Diliriknya
pemuda di sampingnya. Wajah yang tampan, terlihat membiru
lebam. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Pemuda itu
memegangi dadanya, dengan bernapas tersengal.
"Kau terluka?" tanya wanita itu tidak menghiraukan dua
puluh orang yang kelihatan berang.
"Ya..." desah pemuda itu pelahan. Lemah sekali suaranya.
"Siapa mereka" Kenapa mengeroyokmu?"
"Aku... aku tidak tahu."
Wanita berbaju biru muda itu memandangi wajah pemuda
di sampingnya dalam-dalam. Tersirat sesuatu dalam sinar
matanya. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, disambarnya
tubuh pemuda itu, dan langsung melesat pergi.
"He!"
"Berhenti... !"
Tentu saja kedua puluh orang itu jadi terkejut setengah
mati. Mereka cepat-cepat memungut goloknya yang tergeletak
di tanah, dan langsung berlompatan mengejar. Namun wanita
berbaju biru itu sudah lenyap bagai ditelan bumi. Meskipun
sudah tidak terlihat lagi bayangannya, kedua puluh orang itu
terus berlarian cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. o0dw0o Di mana sebenarnya wanita berbaju biru itu" Ternyata dia
berada di atas pohon yang cukup tinggi dan lebat. Wanita itu
mengawasi dua puluh orang yang berlarian cepat dan semakin
jauh meninggalkan tempat ini. Setelah kedua puluh orang itu
tidak terlihat lagi, barulah tubuhnya melompat turun sambil
membawa pemuda yang nampak lemah. Diletakkannya
pemuda itu duduk di bawah pohon.
"Kakang..." agak tertahan suara wanita cantik berbaju biru
muda itu. Sepasang bola matanya yang bening bulat dan indah, agak
berkaca-kaca merayapi wajah yang tampan biru lebam.
Sedangkan yang dipandangi hanya diam, duduk bersila. Sinar
matanya sangat redup. Perlahan mengangkat kepalanya,
membalas tatapan mata wanita di depannya.
"Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawaku." ucap
pemuda itu lirih.
"Oh, Kakang...! Kau tidak mengenaliku lagi..."!" semakin
terdengar tersendat suara wanita itu.
Sedangkan pemuda berbaju putih tanpa lengan itu hanya
memandanginya saja. Redup sekali sinar matanya. Bahkan
raut wajahnya juga demikian kosong, bagai tidak memiliki
gairah hidup lagi. Tiba-tiba saja wanita berbaju biru muda
menghambur, langsung memeluk pemuda itu. Tangisnya tak
dapat ditahan lagi, terisak-isak menyembunyikan wajahnya di
dada yang bidang terbuka lebar. T api pemuda itu hanya diam
saja dengan raut wajah terlihat kebingungan. Perlahan
dilepaskan pelukan wanita cantik berbaju biru pemuda itu.
"Nisanak, kenapa menangis?" pelan sekali suara pemuda
itu bertanya. "Kakang... kau..." tersendat suara wanita cantik berbaju
biru muda itu. Perlahan digeser duduknya agak menjauh. Sepasang bola
matanya berputar merayapi wajah yang lesu tanpa gairah
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehidupan lagi. Perlahan sekali gadis menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tatapan matanya seperti tidak mempercayai apa
yang ada di depannya ini.
"Kakang... Aku Pandan, Kakang. Kau tidak mengenaliku
lagi?" tersendat suara gadis berbaju biru tua itu.
Sedangkan pemuda berbaju putih tanpa lengan itu hanya
memandangi saja dengan mata redup. Sementara gadis yang
mengaku bernama Pandan Wangi itu jadi keheranan,
bercampur sedih melihat pemuda yang selama ini dirindukan
tidak mengenalinya lagi. Pandan Wangi mengamati pemuda
berbaju rompi putih yang diyakini adalah Rangga itu, sambil
menggeleng beberapa kaget.
"Kakang, ke mana pedangmu?" tanya Pandan Wangi ketika
melihat di punggung pemuda itu tidak ada pedang. Padahal
senjata itu adalah ciri dan kebanggaan Pendekar Rajawali
Sakti. "Pedang..." pemuda yang diyakini Pandan Wangi sebagai
Rangga itu malah melihat seperti kebingungan.
"Oh, Kakang... Apa yang terjadi terhadapmu?" Pandan
Wangi tidak lagi menyembunyikan kesedihannya. Air matanya
jatuh berlinangan tak terbendung lagi.
Sukar untuk dilukiskan, bagaimana perasaan Pandan Wangi
saat itu. Berhari-hari mencari Rangga yang sangat dicintai,
tapi setelah bertemu, pemuda itu seperti orang bodoh, Bahkan
tidak mengenalnya sama sekali. Sedih, gundah, bingung, dan
entah apa lagi yang ada di dalam dada gadis itu. Semua
perasaannya hanya ditumpahkan lewat air mata. Inilah air
mata yang pertama kali dalam hidupnya!
"Nisanak..." pelan suara Rangga.
"Oh, Kakang..." desah Pandan Wangi di sela isak tangisnya.
"Siapa kau ini" Mengapa menangis?" tanya Rangga.
"Kakang! Kau benar-benar tidak mengenaliku" Aku Pandan
Wangi, Kakang. Kekasihmu..." sahut Pandan Wangi sambil
menahan kesedihan yang amat sangat di hatinya.
"Pandan Wangi...?" Rangga memandangi gadis cantik di
depannya. "Kakang, apa yang telah terjadi padamu" Mengapa begitu
cepat melupakan diriku?" tanya Pandan Wangi.
"Aku.... Aku... tidak tahu," sahut Rangga kebingungan.
Pandan Wangi menyeka air mata dengan punggung
tangannya, sebentar kemudian menarik napas panjang. Di-
rayapinya wajah Pendekar Rajawali Sakti yang tampak
kebingungan itu. Perlahan, gadis itu bisa menguasai
perasaannya. Dugaannya, pasti Rangga mengalami sesuatu
yang membuat dirinya sama sekali tidak mengetahui apa yang
telah terjadi! Bahkan mungkin Rangga tidak mengetahui
dirinya lagi. Pandan Wangi menggeser duduknya lebih
mendekat lagi. Diambilnya tangan Rangga dan digenggamnya
erat-erat. Sedangkan pemuda berwajah tampan mengenakan
baju rompi putih itu hanya diam saja.
"Siapa namamu, Kakang?" tanya Pandan Wangi. Suaranya
sudah terdengar agak tenang.
"Aku.... Aku," pemuda itu jadi kebingungan.
Dan Pandan Wangi langsung bisa menangkap kalau
pemuda ini benar-benar tidak mengenali lagi dirinya. Dan
semakin diyakini kalau Pendekar Rajawali Sakti mengalami
suatu peristiwa yang mengguncangkan pikirannya, sehingga
lupa akan segala-galanya. Bahkan dirinya sendiri saja tidak
tahu. Pandan Wangi semakin erat menggenggam tangan
pemuda itu. "Namamu Rangga, Kakang. Julukanmu Pendekar Rajawali
Sakti. Kau juga seorang raja di Kerajaan Karang Setra. Dan
aku sendiri bemama Pandan Wangi, kekasihmu, Kakang," jelas
Pandan Wangi. "Rangga.... Pandan Wangi..." pemuda itu menggumamkan
nama-nama yang disebutkan Pandan Wangi. Dipandanginya
wajah cantik di depannya lekat-lekat.
"Benar. Namamu Rangga dan aku Pandan Wanggi," Pandan
Wangi mengulangi.
"Benarkah?"
"Benar, Kakang. Kau seorang pendekar, dan biasa di-
panggil Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti..." lagi-lagi Rangga menggumam
pelan. "Itu julukanmu, Kakang. Di dalam rimba persilatan, kau
lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti," Pandan Wangi
tidak jenuh menjelaskan.
"Benarkah aku seorang pendekar?" nada suara Rangga
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Ingin rasanya Pandan Wangi menangis dan menjerit
sekuat-kuatnya menghadapi kenyataan ini. Tapi sekuat daya
dia berusaha untuk bisa tenang. Digigit-gigitnya bibirnya
sendiri, mencoba melawan gejolak perasaan yang beraneka
ragam berkecamuk dalam dada.
Pandan Wangi teringat pada mimpi-mimpi yang selalu
menghantuinya belakangan ini. Apakah semua ini kenyataan
dari setiap mimpi yang hadir di dalam tidurnya" Pandan Wangi
menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-
kuat. Dicobanya untuk tetap tegar, meskipun hatinya tercabik
bagai sehelai kain rapuh.
Baru saja gadis itu hendak membuka mulut lagi, tiba-tiba
terdengar suara-suara teriakan disertai langkah-langkah kaki
yang berlarian menuju tempat ini. Pandan Wangi bergegas
berdiri. Wajahnya langsung berubah menegang begitu melihat
banyak orang berlarian ke arahnya sambil menghunus senjata.
Sebentar gadis itu memandang ke sekelilingnya. Orang-orang
itu datang dari segala arah, dan tempat ini benar-benar
terkepung. "Oh, ada apa ini...?" Pandan Wangi jadi kebingungan.
Bergegas gadis itu membangunkan Rangga yang sejak tadi
hanya diam duduk bersila. Pandan Wangi semakin bingung,
karena sikap Rangga seperti tidak mempedulikan keadaan ini.
Tanpa berpikir panjang lagi, gadis itu bersiul keras dua kali.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara ringkik kuda,
disusul munculnya seekor kuda putih yang tinggi dan tegap.
"Hup!"
Sambil menyambar tubuh Rangga, gadis yang berjuluk si
Kipas Maut itu melompat cepat bagai kilat ke punggung kuda
putih itu. Langsung saja digebah, sehingga membuat kuda
putih itu terlonjak meringkik keras. Bagaikan sebatang anak
panah lepas dari busurnya, kuda putih itu berlari cepat.
"Hiya!! Hiyaaa...!"
"Kejar! Jangan biarkan mereka lolos...!" terdengar teriakan
memerintah yang begitu keras.
Pandan Wangi tidak punya pilihan lain lagi. Langsung
dikeluarkan senjatanya. Pedang Naga Geni yang berwarna
merah itu berkelebatan cepat membuka kepungan orang yang
berjumlah begitu banyak. Sungguh luar biasa ! Kibasan pedang
merah itu membuat orang-orang yang mengepung menjadi
porak-poranda bagai daun-daun kering terhempas angin!
"Ayo, Putih! Cepat pergi dari sini!" seru Pandan Wangi
seraya menghentakkan tali kekang kuda putihnya.
Jerit dan pekik melengking terdengar saling sambut,
dibarengi ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah! Sementara Pandan Wangi terus
mengibaskan cepat
pedangnya sambil menghentakkan tali kekang agar kuda putih
itu terus bergerak cepat membuka jalan keluar dari kepungan
yang semakin terlihat rapat.
Sedangkan Rangga yang berada di belakang Pandan
Wangi, hanya diam saja. Sedikit pun tidak melakukan sesuatu.
Padahal Pandan Wangi berusaha keras keluar dari kepungan
ini. Sedikit demi sedikit, gadis itu bisa menghalau para
pengepungnya. Dan begitu me lihat ada celah, bergegas
digebah kudanya kuat-kuat.
"Hiyaaa...!"
Kuda putih itu menngldk keras, langsung melompat
melewati beberapa kepala. Bagaikan kilat, kuda putih itu
berlari menerobos kelebatan hutan. Pandan Wangi terus
menggebah kudanya agar tetap berlari kencang. Sementara di
belakang, orang-orang berlarian sambil berteriak-teriak.
Suara-suara keras bernada memerintah terus terdengar,
disertai umpatan dan caci maki. Namun Pandan Wangi sudah
begitu jauh bersama kuda putihnya dan Pendekar Rajawali
Sakti yang membonceng di belakang.
o0dw0o Pandan Wangi melompat turun dari punggung kudanya.
Dipandanginya Rangga yang turun dari kuda seperti bukan
seorang pendekar saja. Lompatannya kegitu berat, dan seperti
tanpa daya. Gadis itu melangkah mendekati sungai kecil yang
mengalir tepat di depannya. Sedangkan Rangga hanya diam
saja, duduk bersandar di bawah pohon. Kuda putih sudah
asyik merumput tidak jauh dari pemuda berbaju rompi putih
itu. Pandan Wangi menghampiri setelah selesai membasuh
mukanya di sungai.
Sambil mendesah panjang, gadis itu duduk di depan
Rangga. Sebentar dipandangi pemuda itu, kemudian
digenggamnya tangan Rangga erat-erat. Perlahan tangan
pemuda itu dibawa ke depan bibirnya, dan dikecupnya lembut.
Terasa dingin punggung tangan pemuda itu, dan Pandan
Wangi menggenggamnya penuh kehangatan.
"Walaupun aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi
aku yakin kalau kau adalah kekasihku," kata Pandan Wangi
pelan. "Nisanak! Mengapa kau begitu yakin kalau aku kekasihmu?"
tanya Rangga. "Meskipun kau jauh berubah, bahkan tidak mengenali
dirimu sendiri, tapi hatiku mengatakan kalau kau adalah
Rangga," tegas Pandan Wangi pasti.
"Jika aku memang Rangga, apa yang kau ketahui tentang
diriku?" "Oh, Kakang. Mengapa kau siksa aku seperti ini?" keluh
Pandan Wangi lirih. "Katakan, Kakang. Apa yang harus
kulakukan untuk mengembalikan dirimu?"
Pemuda yang diyakini Pandan Wangi sebagai Pendekar
Rajawali Sakti itu me lepaskan genggaman tangan Pandan
Wangi, kemudian bangkit berdiri. Pelahan-lahan kakinya
terayun mendekati sungai. Dia berlutut di tepi sungai dan
memandangi wajahnya yang terpantul di air. Sementara
Pandan Wangi sudah berdiri. Dihampirinya pemuda itu, lalu
berdiri di belakangnya. Agak lama juga Rangga memandangi
dirinya di dalam sungai yang berair jernih, lalu perlahan-lahan
bangkit berdiri dan berbalik menghadap Pandan Wangi.
Dipandanginya gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki. "Ceritakan tentang diriku yang sebenarnya, Nisanak," pinta
Rangga. Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi menceritakan
tentang diri Pendekar Rajawali Sakti. Diceritakan juga tentang
pertemuannya, pengembaraannya
mengarungi rimba persilatan yang penuh kekerasan dan tanpa mengenal arti
kehidupan wajar. Hanya hukum rimba yang ada. Siapa kuat,
dialah yang menguasai kehidupan! Sampai pada hal-hal
terkecil Pandan Wangi menceritakan. Dan Rangga mendengarkan penuh perhatian.
"Ada sesuatu yang kau ingat, Kakang?" tanya Pandan
Wangi setelah mengakhiri ceritanya tentang diri Pendekar
Rajawali Sakti.
"Tidak," sahut Rangga seraya menggelengkan kepalanya.
"Kakang..., dari mana asalmu?" tanya Pandan Wangi
mencoba membuka ingatan Rangga.
"Aku... aku tidak tahu," sahut Rangga.
"Kau tidak lahir ke dunia ini dengan begitu saja, bukan"
Kau tidak langsung besar, dan tentu punya ayah, ibu, saudara,
dan tempat kelahiran. Apa kau tidak tahu itu, Kakang?"
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya mengeleng-
gelengkan kepalanya saja. Sinar matanya menyiratkan
ketidakmengertian terhadap penjelasan Pandan Wangi.
"Aku yakin, kau pasti Rangga. Tapi, mengapa kau jadi tidak
ingat dirimu sendiri...?" Pandan Wangi seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
Pandan Wangi benar-benar tidak mengerti. Sungguh tidak
diketahui, apa penyebabnya sehingga Rangga menjadi seperti
ini" Y ang tidak mengetahui lagi s iapa dirinya yang sebenarnya.
Bahkan tidak tahu dari mana berasal. Rangga bagaikan
seorang bayi yang baru lahir! Tidak mengenali dunia yang
dipijaknya. Gadis itu jadi bertanya-tanya sendiri. Bagaimana
dia bisa mengetahui dan menolongnya kalau yang hendak
ditolong saja tidak ingat apa-apa"
Tapi bukanlah Pandan Wangi kalau menyerah begitu saja.
Gadis itu bertekad dalam hati, untuk mengembalikan Rangga
seperti semula. Namun dia tidak tahu, bagaimana caranya,
dan dari mana harus memulai"
"Kakang, di mana kau sebelum berada di hutan itu tadi?"
tanya Pandan Wangi.
"Di hutan...?"
"Iya, waktu kita diserang tadi."
"Aku tidak tahu. Tapi..."
"Tapi apa, Kakang?" Pandan Wangi mulai gembira melihat
Rangga mulai berpikir.
"Aku..., aku tidak ingat," Rangga menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Mari, Kakang. Kita kembali ke tempat itu," ajak Pandan
Wangi. Pemuda yang tidak bisa mengingat apa pun itu hanya
menuruti saja. Kakinya melangkah di samping Pandan Wangi
yang sudah menuntun kuda putihnya. Mereka berjalan sambil
berbicara apa saja. Terutama Pandan Wangi. Pembicaraannya
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selalu mengarah tentang siapa diri Rangga sebenarnya. Gadis
itu tidak juga putus asa, meskipun yang diajak bicara selalu
tidak tahu, seperti orang linglung.
o0dw0o 3 Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling
hutan tempat pertama kali menemukan Rangga yang kini tidak
mengenal lagi dirinya. Masih terlihat beberapa mayat
bergelimpangan tak tentu arah. Bau anyir darah menyebar
terhempas angin yang tertiup agak kencang. Sedangkan
pemuda berbaju rompi di sampingnya hanya berdiri saja
memandangi mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.
"Di tempat ini kita bertemu, Kakang," jelas Pandan Wangi.
"Kenapa banyak orang mati di sini?" tanya Rangga seperti
orang bodoh. "Mereka yang menyerang kita tadi, dan hendak
membunuhmu," sahut Pandan Wangi.
"Membunuhku..."! Apa salahku?"
"ltulah yang harus kita ketahui, Kakang. Mengapa mereka
hendak memhunuhmu?"
"Aku..., aku tidak mengerti. Mereka tiba-tiba saja datang
lalu menyerangku. Aku... aku...."
"Teruskan, Kekang... Teruskan," Pandan Wangi mulai
gembira melihat Rangga mulai bisa mengingat sesuatu.
"Oh, batu ini..." Rangga menghampiri sebongkah batu yang
cukup besar. "Aku ingat. Ketika aku duduk di sini, mereka
tiba-tiba menyerangku. Tapi.... Aku tidak tahu, mengapa
mereka tiba-tiba menyerangku?"
"Sebelum duduk di sini, kau berada di mana?" tanya
Pandan Wangi mulai melihat adanya harapan.
Pemuda berbaju rompi putih itu tidak segera menjawab.
Sebentar dipandanginya gadis cantik di dekatnya, kemudian
pandangannya merayapi ke sekeliling. Perlahan-lahan kakinya
terayun melangkah. Pandan Wangi mengikuti dari belakang.
Rangga terus berjalan menuju Utara, menyibak semak belukar
dan rapatnya pepohonan di dalam hutan ini. Dan Pandan
Wangi mulai berseri wajahnya kala mendapatkan bekas jejak-
jejak kaki tertera pada tanah berumput dan dipenuhi daun
kering. Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara
Pandan Wangi semakin gembira melihat jejak kaki semakin
jelas tertera. Namun tiba-tiba mereka berhenti. Ternyata di
situ terdapat seekor kuda hitam sedang merumput di depan,
di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas.
"Dewa Bayu...," desis Pandan Wangi begitu mengenali kuda
hitam itu. Bergegas Pandan Wangi menghampiri kuda yang
telah berpelana itu. Pandan Wangi memegang tali kekang, dan
membawanya mendekati Rangga yang memegangi tali kekang
kuda putih milik gadis itu.
"Kakang, kau ingat! Ini kuda siapa?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab. Dihampiri kuda hitam itu
dan diambil tali kekangnya dari tangan Pandan Wangi.
Sementara gadis itu menyingkir, menghampiri kudanya
sendiri. Gadis itu tersenyum, karena kuda hitam itu terangguk-
angguk menyorongkan kepalanya pada pemuda berbaju rompi
putih itu. Rangga tersenyum dan menoleh memandang
Pandan Wangi yang juga tengah tersenyum gembira. Semakin
diyakini kalau pemuda itu adalah Rangga. Karena, Dewa Bayu
tidak akan bersikap demikian pada seseorang yang tidak
dikenalnya. "Kuda ini jinak sekali, Pandan. Siapa pemiliknya?" tanya
Rangga seraya mengelus-elus leher kuda hitam itu.
"Kaulah pemiliknya," sahut Pandan Wangi.
"Aku?"
Rangga memandangi kuda hitam itu, kemudian me lompat
naik ke punggungnya. Dan Pandan Wangi tersenyum penuh
keharuan melihat kuda itu tidak bergeming sedikitpun. Jelas
sudah, kalau pemuda itu memang benar-benar Rangga. Tapi
masih ada ganjalan di hati gadis itu. Masih belum jelas,
mengapa Rangga jadi lupa akan dirinya sendiri"
"Bagaimana, Pandan" Kuda ini kelihatannya menyukaiku,"
Rangga tersenyum lebar.
"Kau gagah sekali, Kakang," agak tersedak suara Pandan
Wangi. Gadis itu me lompat naik ke punggung kudanya sendiri.
Seekor kuda putih yang tegap dan berotot indah. Sebentar
mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama menggebah kudanya perlahan-lahan melintasi padang rumput
yang tidak seberapa luas ini. Sesekali Pandan Wangi melirik
pemuda yang berkuda di sampingnya. Setiap kali memandang
wajah pemuda itu ada sesuatu yang membuat hatinya begitu
trenyuh. Namun, Pandan Wangi tidak ingin menunjukkan
kegalauan hatinya.
Mereka kembali berhenti setelah tiba di seberang padang
rumput itu. Tak ada lagi jejak yang bisa diikuti, dan berhenti di
tempat ini. Pandan Wangi me lompat turun dari punggung
kudanya. Rangga juga mengikuti, lalu berdiri di samping
kanan gadis itu.
"Ke mana lagi?" tanya Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu," sahut Rangga seperti kebingungan.
"Cobalah kau ingat-ingat, Kakang. Pernahkah kau lewati
tempat ini?"
"Entahlah...," desah Rangga terdengar ragu-ragu.
Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Hanya dipandangi saja
wajah pemuda yang nampaknya sedang berusaha mengingat-
ingat. Dengan sabar gadis itu menunggu Rangga untuk bisa
mengingat, apakah pernah melewati daerah ini atau tidak.
Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa mengingat
sesuatu, tiba-tiba saja.
"Hik hik hik...!"
o0dw0o Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja muncul seorang
perempuan tua berjubah hitam memegang cambuk ekor kuda.
Rambutnya yang tergelung ke atas seluruhnya berwarna
putih. Ada sebuah amel berwarna kuning emas menghiasi
gelungan rambutnya, Di lehernya melingkar seuntai kalung
dari batu-batu hitam, bagai tasbih seorang pendeta.
Keterkejutan Pandan Wangi lenyap saat melihat Rangga
tengah terpaku memandangi perempuan tua itu.
"Kau,... Kau..., iblis!" tiba-tiba Rangga menggeram.
"Hik hik hik...," perempuan tua itu terkikik.
"Mampus kau, iblis! Hiyaaa...!"
Cepat sekali, tahu-tahu Rangga sudah me lompat
menerjang perempuan tua itu. Namun mendadak nenek
perempuan tua berjubah hitam itu mengibaskan cambuknya,
menyampok terjangan Rangga. Begitu cepatnya, sehingga
Rangga tidak bisa lagi berkelit menghindarinya.
Ctar! "Akh...!"
"Kakang... ! " pekik Pandan Wangi terkejut.
Rangga terpelanting dan bergulingan di tanah namun bisa
cepat bangkit. Tampak di dada sebelah kirinya membiru bekas
cambukan perempuan tua itu. Sementara Pandan Wangi
berlari menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi cemas.
"Tidak," sahut Rangga. "Menyingkirlah kau, Pandan."
"Bagus! Kau juga boleh maju sekalian, Kipas Maut!" dengus
perempuan tua itu dingin. Suaranya kering dan serak
"Siapa kau"!" sentak Pandan Wangi.
"Hik hik hik... Tanyakan saja pada kekasih tololmu itu,
Kipas Maut!" sahut perempuan tua itu.
Pandan Wangi memandang Rangga yang saat itu juga
menoleh padanya.
"Cambuk saktiku sudah membuatnya pulih," kata
perempuan tua itu lagi.
"Kakang...," pelan suara Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu...," sahut Rangga, bisa dimengerti arti
pandangan Pandan Wangi. Padahal gadis itu belum bertanya
apa-apa lagi padanya. "Aku..., aku... Akh!"
"Kakang...!"
"Mampus kau, iblis! Hiyaaa...!" Rangga menerjang
perempuan tua itu.
Namun mendadak saja, perempuan tua berjubah hitam itu
mengibaskan cambuknya...
"Ctar!" Rangga tidak sempat berkelit lagi. Cambuk itu tepat
mengenai dada sebelah kirinya!
Tiba-tiba saja Rangga meraung keras sambil memegangi
kepalanya yang terdongak ke atas. Seketika Pandan Wangi
panik. Tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya.
Sementara Rangga sudah menggeliat-geliat di tanah, meraung
keras bagai ayam disembelih. Pandan Wangi mengalihkan
perhatiannya ke arah perempuan tua berjubah hitam itu. T api
dia sudah tidak ada lagi di sana!
"Kakang..., kau kenapa?" Pandan Wangi semakin cemas
melihat keadaan Rangga yang menggelepar dan meraung-
raung di tanah.
Pandan Wangi menghambur memeluk Rangga yang tiba-
tiba saja mengejang kaku, lalu lunglai tak bergerak-gerak lagi!
Dari mulutnya mengalir cairan hijau kekuning-kuningan.
Pandan Wangi memeluk tubuh pemuda itu, dan pandangannya beredar ke seIiing.
Tak ada seorang pun di tempat yang sunyi ini. Sementara
Rangga masih belum sadarkan diri. Dadanya bergerak begitu
lemah, dan kelopak matanya tertutup rapat. Pandan Wangi
membersihkan cairan yang keluar dari mulut Pendekar
Rajawali Sakti itu.
"Kakang, kau kenapa?" tersendat suara Pandan Wangi.
Pandan Wangi memberikan beberapa totokan di sekitar
dada Rangga. Tak, berapa lama kemudian, pemuda itu mulai
siuman. Mulutnya mengeluh panjang dan agak lirih suaranya.
Sebentar dikerjapkan matanya, kemudian bergegas bangkit
duduk. Dipandanginya gadis cantik yang duduk dengan
menekuk kedua lututnya.
"Pandan..., kaukah itu?"
"Oh, Kakang. Kau..., kau sudah ingat..?" Pandan Wangi
gembira. Pandan Wangi begitu gembira. Langsung dipeluknya
pemuda itu. Keras sekali pelukan Pandan Wangi, hingga
membuat Rangga sesak napas untuk sesaat. Dengan lembut,
Rangga melepaskan pelukan gadis itu.
"Pandan" Mengapa kau ada di sini?" tanya Rangga penuh
keheranan. "Aku rindu padamu, Kakang. Aku selalu bermimpi buruk
tentang dirimu," ungkap Pandan Wangi tanpa sungkan-
sungkan lagi. "Mimpi buruk?"
"Ya. Mimpi tentang keadaanmu."
"Ah, sudahlah! Bagaimana keadaan Danupaksi dan
Cempaka?" tanya Rangga yang tidak mau berpikir lebih jauh
lagi. "Mereka baik-baik saja. Oh, ya. Danupaksi menitipkan ini
padamu." Pandan Wangi lalu menyerahkan selongsong bambu halus
yang dititipkan Danupaksi kepadanya. Rangga menerimanya,
dan membuka isinya. Ternyata hanya sebuah surat yang tidak
begitu penting, dia segera menyimpan dalam lipatan bajunya.
Rangga kembali menatap dalam-dalam Pandan Wangi.
Rasanya, ingin diungkapkan seluruh perasaan hatinya. Tapi
mengingat masih ada semacam gannjalan di hatinya, Rangga
seperti tidak tahu harus berbuat apa. Sejenak suasana
menjadi hening.
"Aku gembira kau sudah kembali pulih," ujar Pandan
Wangi, memecahkan keheningan di antara mereka.
"Pulih..." Ada apa dengan diriku?" Rangga kelihatan heran.
"Jadi..."!" Pandan Wangi terkejut.
Dipandanginya dalam-dalam pemuda berbaju rompi putih
itu. Gadis itu bukan hanya terkejut, tapi juga heran.
Bagaimnna mungkin seseorang bisa begitu cepat melupakan
peristiwa yang baru saja dialami" Dan ini terjadi pada Rangga,
seorang pendekar digdaya yang sangat disegani baik lawan
maupun kawan. Pandan Wangi semakin tidak mengerti, apa
yang terjadi sebenarnya pada Rangga.
"Sebenarnya, apa yang terjadi padaku, Pandan" Mana...!
Mana pedangku?" Rangga terkejut begitu disadari pedangnya
tidak ada. "Itulah yang ingin kutanyakan padamu, Kakang," jelas
Pandan Wangi. Pandan Wangi bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri
kudanya. Sementara Rangga masih terduduk di atas
rerumputan. Pendekar Rajawali Sakti itu baru berdiri saat
Pandan Wangi sudah berada di atas punggung kuda putihnya.
Hanya sekali lesatan, Rangga sudah duduk di atas punggung
kuda hitamnya. "Kau sudah pulih, tentu kau tahu apa yang terjadi hingga
pedangmu hilang," kata Pandan Wangi.
Rangga tidak menjawab. Otaknya bekerja beberapa saat,
mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada dirinya.
Bahkan kini pedang pusakanya hilang. Pelahan-lahan
Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling, memandang Pandan
Wangi. "Siapa perempuan tua yang membawa cambuk ekor kuda
itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi, mencoba membantu
ingatan Rangga.
"Wanita tua" Wanita tua yang mana, Pandan?" Rangga
malah balik bertanya.
"Belum lama dia muncul, lalu menghilang begitu saja
setelah membuatmu pingsan tadi. Dia hanya mengatakan
kalau cambuknya sudah bisa memulihkanmu kembali," jelas
Pandan Wangi. "Tapi aku juga heran, dia bisa mengenaliku.
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan kelihatannya begitu membenci melihat aku ada di
sini." "Kau tidak tahu siapa dia?" tanya Rangga.
"Kalau aku tahu, untuk apa bertanya padamu," rungut
Pandan Wangi. Rangga meringis. Pertanyaannya memang bodoh. Tentu
saja Pandan Wangi tidak tahu, dan tidak mungkin bertanya
kalau sudah tahu. Rangga merutuk dirinya sendiri dalam hati.
"Aku juga tidak tahu, Pandan," ujar Rangga
"Tapi, sepertinya kau tadi mengenalnya, Kakang!"
"Oh, ya...?" Rangga terkejut.
"Kelihatannya kau amat membenci. Bahkan langsung
menyerang. Tapi dia berhasil mencambuk dadamu. Katanya,
cambukan itu bisa memulihkan semua ingatanmu," jelas
Pandan Wangi kembali.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Pandan. Dia mencambukku, untuk memulihkan ingatanku..." Memangnya
aku ini kenapa?" Rangga benar-benar kebingungan.
"Aku tidak tahu kau kenapa, Kakang. Tapi yang jelas
ingatanmu sempat hilang. Bahkan kau tidak mengenali dirimu
1agi. Kau juga tidak mengenali diriku dan tidak ingat setiap
kejadian yang baru saja kita alam i. Hanya itu yang kuketahui
tentang dirimu," jelas sekali tutur kata Pandan Wangi.
Sedangkan Rangga hanya diam saja membisu. Diraba
punggungnya yang kosong. Tidak ada lagi Pedang Rajawali
Sakti di s itu. Pendekar Rajawali Sakti lalu kembali memandang
Pandan Wangi lekat-lekat. Penjelasan gadis itu memang
gamblang, tapi membuatnya jadi bertambah bingung. Yang
masih dipikirkan, mengapa pedangnya bisa terpisah dari
dirinya. Belum pernah senjata andalannya itu ditinggalkan,
meskipun hanya sebentar saja.
"Ada yang bisa diingat, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Tidak... Eh, tunggu! Bukit Sanggung...!"
"Bukit Sanggung...?"
"Ayo, Pandan!"
Pandan Wangi tidak sempat lagi bertanya, karena Rangga
sudah menggebah cepat kudanya. Buru-buru gadis itu
melarikan kudanya mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Sulit
dimengerti, mengapa tiba-tiba Rangga menyebut Bukit
Sanggung. Namun si Kipas Maut itu mulai gembira, karena
Rangga sudah bisa mengingat kembali.
o0dw0o Bukit Sanggung memang tidak begitu indah untuk
dinikmati. Hampir seluruh permukaan bukit itu hanya terdiri
batu-batu kapur yang mudah sekali lonsor, tidak terlalu tinggi,
namun puncak bukit ini dapat terlihat jelas dari tempat yang
cukup jauh sekalipun. Hanya sebentar Pandan Wangi
memandangi bukit itu lalu mengalihkan perhatiannya pada
pemuda berbaju rompi yang duduk di punggung kuda hitam di
samping kanan. "Tidak ada apa-apa di sini, Kakang," kata Pandan Wangi.
"Ada sebuah desa di balik bukit ini. Hm..., cukup sulit untuk
ke sana," sahut Rangga.
"Kita bisa memutarinya. "
"Sulit. Kalaupun bisa, makan waktu lama. Bisa dua pekan
baru sampai. "
"Tapi, bukit ini kelihatan kecil."
"Banyak jurang dan lembah serta rawa yang melingkari
bukit ini. Belum lagi batu-batu itu sering longsor tiba-tiba,"
jelas Rangga. "Lalu...?"
"Hanya dengan satu cara. "
"Rajawali Putih?" tebak Pandan Wangi.
Rangga tersenyum, kemudian me lompat turun dari
punggung kudanya. Ditepuknya leher kuda itu tiga kali, maka
Dewa Bayu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi. Pandan Wangi juga bergegas turun
dari kudanya. Gadis itu hanya memandangi kedua ekor kuda
yang berlaei meninggalkan tempat ini.
Sementara Rangga sudah berdiri memandang ke langit.
Sebentar kemudian, mulutnya bersiul keras melengking tinggi.
Nada suaranya terdengar aneh di telinga. Pandan Wangi tahu
kalau Pendekar Rajawali Sakti itu memanggil Rajawali Putih.
Tiga kali bersiul, bernada sama dalam waktu yang berselang
cukup lama. Kepalanya masih terdongak memandang ke langit
yang terlihat cerah siang ini.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum saat melihat satu titik
keperakan di angkasa. Pandan Wangi jadi ikut melihat ke
langit, dan juga tersenyum begitu melihat seekor burung
rajawali tengah meluncur cepat ke arah mereka. Semakin
lama terlihat jelas bentuknya yang besar bagai sebuah bukit
kecil melayang di angkasa.
"Kemarilah, Rajawali!" seru Rangga
keras seraya melambaikan tangannya.
"Khraghk!"
Rajawali Putih menukik keras, dan langsung mendarat di
depan Rangga. Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju rompi putih
itu me lompat naik ke punggung burung rajawali raksasa itu.
Sedangkan Pandan Wangi masih berdiri memandangi.
Meskipun pernah melihat burung raksasa ini, tapi dia masih
juga terpana. "Ayo, Pandan! Apa mau tinggal di sini?" seru Rangga
menyuruh Pandan Wangi naik.
"Oh! Eh, iya.... Hup!"
Pandan Wangi melompat ringan bagai kapas tertiup angin.
Manis sekali ditempatkan dirinya, duduk didepan Rangga.
Sedangkan pemuda berbaju rompi putiuh itu menepuk leher
burung raksasa itu tiga kali.
"Khraghk!"
Hanya sekali kepakan sayap saja, burung rajawali raksasa
berbulu putih keperakan itu sudah me lambung tinggi ke
angkasa. Sekejap Pandan Wangi memejamkan mata.
Dirasakan jantungnya seperti copot, dan darahnya berhenti
mengalir begitu Rajawali Putih me lambung tinggi ke angkasa.
Untung saja Rangga tidak melihat, jadi si Kipas Maut itu tidak
perlu merasa malu.
Rajawali Putih terus meluncur ke atas Puncak Bukit
Sanggung. Tampak dari atas, puncak bukit itu hanya terdiri
dari tumpukan batu kapur rapuh dan mudah longsor. Hampir
seluruh permukaannya putih bagai terselimut salju. Tiga kali
Rajawali Putih memutari puncak bukit itu, kemudian me luncur
ke arah Barat. Sangat jelas terlihat keadaan di bawah sana dari ketinggian
seperti ini. Dan Pandan Wangi membenarkan kata-kata
Rangga tentang Bukit Sanggung kini. Memang tidak mudah
untuk melaluinya. Apalagi menggunakan kuda. Tarlalu besar
resikonya. Pandan Wangi kembali menahan napas ketika tiba-
tiba saja Rajawali Putih menukik, menuju sebuah hutan yang
tidak begitu labat.
Tapi burung rajawali raksasa itu tidak mendarat turun, dan
hanya berputar-putar saja di atas permukaan hutan ini. Dan
Pandan Wangi dapat melihat kalau di tengah-tengah hutan ini
terdapat sebuah perkampungan yang tidak begitu besar.
Nampak suasana di perkampungan itu sunyi sekali. Hanya
beberapa orang saja terlihat. Begitu kecil, seperti seekor
semut. "Apa nama desa itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak
keras, karena angin di atas sini begitu bising.
"Desa Sanggung," sahut Rangga.
"Ke sana tujuan kita, Kakang?" tanya Pandan Wangi 1agi.
Rangga tidak menjawab. Diperintahkan Rajawali Putih agar
mendarat di luar desa. Kembali Pandan Wangi merasakan
jantungnya seperti berhenti berdetak ketika Rajawali Putih
meluruk deras menuju sebuah tempat yang tidak begitu
banyak ditumbuhi pepohonan. Ringan sekali burung rajawali
raksasa itu mendarat, sehingga tidak dirasakan kedua
penunggangnya. "Hup!"
Rangga melompat turun, diikuti Pandan Wangi.
"Rajawali, jangan jauh-jauh. Aku masih membutuhkanmu,"
kata Rangga berpesan.
"Khraghk!"
Burung rajawali raksasa itu langsung me lambung tinggi ke
angkasa sambil memperdengarkan suaranya yang serak
memekakkan telinga. Pandan Wangi masih mematung
memandangi burung raksasa itu dengan perasaan kagum.
"Ayo, Pandan," ajak Rangga.
"Oh!" Pandan Wangi tersentak kaget.
Buru-buru gadis itu mengayunkan kakinya mengikuti
Rangga yang sudah jalan lebih dahulu. Disejajarkan
langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka
berjalan menembus hutan yang tidak begitu lebat, menuju
Desa Sanggung yang terlihat jelas dari atas. Letaknya
memang di tengah-tengah hutan yang tidak terlalu lebat.
Maka, mudahlah bagi mereka untuk berjalan cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
o0dw0o 4 Pandan Wangi agak heran juga, karena hampir semua
penduduk Desa Sanggung selalu memperhatikannya. Terlebih
lagi terhadap Rangga. Tapi, tak ada seorang pun yang
menyapa. Mereka memperhatikan secara sembunyi-sembunyi.
Ingin gadis itu bertanya pada Rangga, tapi tidak mau
membuka mulut lebih dulu. Ingin diketahui, ke mana tujuan
Rangga di desa ini.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah yang tidak begitu
besar, namun kelihatan terawat Halaman yang luas dipenuhi
berbagai macam tanaman, sehingga dapat dipetik hasilnya.
Seorang laki-laki berusia
lanjut, menghampiri sambil
terbungkuk-bungkuk. Nampaknya sudah mengenal Rangga.
"Oh, Den.... Mari silakan, Den," sambut laki-laki yang hanya
mengenakan celana hitam sebatas lutut saja.
"Terima kasih, Ki Buyut" sahut Rangga seraya melangkah
kembali. Laki-laki tua yang dipanggil K i Buyut itu berjalan di samping
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi terpaksa
mengikuti dari belakang. Diedarkan pandangannya ke
sekeliling. Tampak para penduduk desa memperhatikan dari
jarak yang cukup jauh, di luar halaman rumah ini.
Ki Buyut mempersilakan Rangga dan Pandan Wangi duduk
setelah mereka berada di beranda depan. Mereka duduk di
sebuah balai-balai bambu yang beralaskan tikar daun pandan.
Sementara Pandan Wangi masih juga memperhatikan
sekelilingnya. Hannya masih diliputi rasa penasaran melihat
tingkah para penduduk di desa ini.
"Aku kira kau tidak akan datang lagi ke sini, Den." ujar Ki
Buyut Kaweyan. Rangga hanya tersenyum saja.
"Maaf, Ki. Apakah Kakang Rangga pernah datang ke sini?"
tanya Pandan Wangi.
Ki Buyut Kaweyan memandangi gadis yang duduk di
samping Rangga. Baru kali ini gadis itu dilihat dan dikenalinya.
Pandan Wanai buru-buru memperkenalkan dirinya, dan
mengaku sebagai teman dekat Pendekar Rajawali Sakti.
"Kira-kira dua pekan yang lalu, Den Rangga pernah berada
di s ini. Yaaah..., lebih kurang sepekan lamanya," jelas Ki Buyut
setelah mengetahui gadis yang bertanya tadi adalah teman
dekat Rangga. Tapi ada juga dugaan di hatinya kalau Pandan
Wangi adalah kekasih pemuda berbaju rompi putih itu.
Pandan Wangi melirik Rangga yang hanya diam saja. Gadis
itu tahu Muolau Pendekar Rajawali Sakti masih diliputi
kabingungan, akibat ingatannya sedikit terganggu sehingga
melupakan dirinya sendiri. Sedangkan Rangga sendiri seperti
mengenal Ki Buyut, bahkan sepertinya memang kenal dekat.
Hanya saja, yang masih belum bisa diingat, apakah ada
sesuatu yang pernah terjadi di Desa Sanggung ini. Maka
sekarang dicobanya untuk mengingat kembali.
"Ki Buyut, apakah Kakang Rangga mengalami seuatu di
sini" Hm..., maksudku suatu peristiwa," tanya Pandan Wangi
lagi. Terpaksa harus gadis itu yang lebih banyak bertanya,
karena Rangga masih diliputi kebingungan. Malah hanya diam
saja. "Wah! Kalau masalah kejadian, seharusnya seluruh
penduduk desa ini berterima kasih kepada Den Rangga, Nini
Pandan Wangi. Tapi ini ma lah sebaliknya. Mereka begitu
senang waktu Den Rangga terjerumus ke dalam jurang penuh
lumpur dan batu-batu cadas berkapur, " sahut Ki Buyut
Kaweyan. "Bisa dijelaskan, mengapa Kakang Rangga terjerumus, Ki?"
desak Pandan Wangi seraya melirik pemuda di sampingnya.
"Seharusnya Nini Pandan menanyakan pada Den
Rangga sendiri. Aku sendiri tidak begitu jelas mengetahui
kejadiannya. Tapi menurut apa yang kudengar, Den
Rangga bertarung melawan Anta Gopa yang lebih
dikenal sebagai Iblis Selaksa Racun. Aku tidak tahu persis,
bagaimana kejadiannya sampai Den Rangga terjerumus ke dalam jurang," jelas Ki Buyut Kaweyan.
"Siapa itu Anta Gopa, Ki?" cecar Pandan Wangi yang mulai
melihat adanya jalan terang untuk mengetahui sebab-sebab
Rangga bisa melupakan dirinya sendiri.
"Seorang tokoh hitam yang sakti dan digdaya, Nini Pandan.
Tidak ada seorang pendekar pun yang sanggup menandingi,
karena seluruh tubuhnya mengandung racun yang sangat
ganas dan mematikan. Bahkan
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setiap gerakannya menimbulkan hawa racun. Di mana dia berada, di sekitarnya
pasti dipenuhi hawa racun yang bisa membuat orang tewas
hanya karena menghirup udara beracun di sekitar tubuhnya,"
kembali Ki Buyut Kaweyan menjelaskan.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Diliriknya orang-orang yang masih memandang ke arah rumah
ini dari luar halaman. Gadis itu heran mengapa seluruh
penduduk seperti enggan mendekati rumah ini. Dan Pandan
Wangi baru menyadari kalau di sekitar rumah ini sangat sepi,
tak ada orang lain lagi selain Ki Buyut Kaweyan ini.
"Mereka semua tidak ada yang berani datang ke sini, Nini
Pandan," ujar Ki Buyut, seolah mengetahui jalan pikiran
Pandan Wangi. "Kenapa?" tanya Pandan Wangi.
"Mereka takut keracunan, Nini," pelan suara Ki Buyut
Kaweyan. Mata tuanya sedikit melirik ke arah Rangga yang
masih tetap diam, duduk di samping Pandan Wangi.
"Maksudmu, Ki?" Pandan Wangi ingin penjelasan lebih jauh,
meskipun sudah bisa menduga.
"Mungkin Den Rangga lebih tahu, Nini," sahut Ki Buyut
merasa tidak enak untuk menjelaskannya.
"Mereka takut padaku, Pandan. Aku dianggap sudah
tercemar racun akibat bertarung melawan Iblis Selaksa
Racun," sahut Rangga menjelaskan tanpa diminta.
"Oh...," Pandan Wangi mendesah lirih.
"Dan sebaiknya kau juga jangan terlalu dekat denganku,
Pandan," sambung Rangga lagi.
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi.
"Mungkin aku tidak akan terpengaruh racun itu, tapi kau
lain." "Kita sudah tiga hari bersama-sama, tapi aku tidak
merasakan adanya kelainan apa pun" Aku tidak percaya kalau
kau bisa tercemar racun, Kakang. Aku tahu siapa dirimu. Aku
pun tidak percaya kalau...," kata-kata Pandan Wangi terputus.
"Aku hanya manusia biasa, Pandan. Waktu bertarung
melawan Iblis Selaksa Racun, aku juga merasakan hawa racun
yang menyebar dari seluruh tubuhnya. Saat itu kepalaku
terasa pening. Itulah sebabnya aku bisa dikalahkannya," tutur
Rangga mulai teringat kembali pertarungannya melawan Iblis
Selaksa Racun. "Apakah racun itu yang juga menyebabkan dirimu
kehilangan ingatan, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Entahlah," desah Rangga pelan.
o0dw0o Memang sulit untuk mencari sebab, mengapa Rangga bisa
sempat kehilangan ingatan. Mungkin kalau tidak ditolong
seorang perempuan aneh yang membawa senjata cambuk
ekor kuda, Pendekar Rajawali Sakti itu masih belum bisa
mengingat siapa dirinya sebenarnya. Tapi Pandan Wangi
masih belum mengerti, mengapa perempuan tua itu tiba-tiba
muncul, dan membebaskan Rangga dari ketidaksadarannya.
Pandan Wangi benar-benar tidak tahu, dari mana harus
memulai. Sebab, Rangga sendiri belum begitu pulih benar
ingatannya. Terlebih lagi, tidak ada seorang penduduk pun
yang suka didekati. Mereka takut terkena hawa racun, karena
Pandan Wangi selalu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan mereka juga menjauhi Ki Buyut Kaweyan.
"Pandan, kau sudah siap?"
"Oh!" Pandan Wangi tersentak dari lamunannnya.
"Kau melamun lagi, Pandan," tegur Rangga tahu-tahu
sudah barada di samping gadis itu.
"Ayo kita berangkat sekarang, Kakang," kata Pandan Wangi
seraya malompat naik ke punggung kudanya.
Pandan Wangi memang berusaha untuk tidak menunjukkan
kegelisahannya di depan Rangga, meskipun hatinya selau
dirundung kegelisahan yang mendalam. Gadis itu selalu
memikirkan keadaan Rangga yang belum benar-benar pulih
ingatannya. Kadang-kadang Pendekar Rajawali Sakti itu masih
juga lupa akan dirinya. Bahkan tidak jarang lupa pada Pandan
Wangi ataupun Ki Buyut Kaweyan.
Tiga hari mereka berada di rumah Ki Buyut Kaweyan. Dan
selama itu tidak ada yang bisa diperoleh walau hanya sekadar
petunjuk. Mereka memang memutuskan untuk meninggalkan
desa ini. Begitu juga K i Buyut Kaweyan yang bersikeras untuk
ikut dalam pengembaraan mereka, mencari kejelasan tentang
jati diri Pendekar Rajawali Sakti yang seperti hilang. Terutama
mencari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Tidak berapa lama kemudian, tiga ekor kuda bergerak
meninggalkan halaman depan rumah Ki Buyut Kaweyan.
Mereka mengendalikan kuda pelahan-lahan me lintasi jalan
desa yang berdebu. Beberapa penduduk yang kebetulan
berada di jalan itu, bergegas menyingkir. Mereka seakan-akan
takut, bagaikan melihat sosok makhluk mengerikan di atas
punggung tiga ekor kuda. Memang menyakitkan, tapi tak ada
yang perduli. Hanya Pandan Wangi yang hatinya begitu sedih melihat
sikap penduduk Desa Sanggung ini. Namun tidak ingin
ditunjukkan kepedihan hatinya di depan Rangga. Sekuat daya
gadis itu berusaha tegar dan tabah menghadapi kenyataan ini.
Tekadnya sudah bulat, harus mengembalikan Rangga seperti
semula dan harus mendapatkan kembali Pedang Pusaka
Rajawali Sakti yang hilang dari punggung Pendekar Rajawali
Sakti ini. "Berhenti...!"
tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar. Ketiga penunggang kuda yang baru saja melewati
perbatasan Desa Sanggung, langsung menghentikan langkah
kuda masing-masing. Tiba-tiba saja di sekeliling mereka sudah
bermunculan sekitar dua puluh orang bersenjata golok
terhunus. Pandan Wangi mengenali kalau mereka semua
adalah pengeroyok Rangga saat ingatan Pendekar Rajawali
Sakti itu hilang.
"Ki Buyut! Rupanya kau benar-benar pengkhianat busuk!"
salah seorang dari mereka membentak.
Pandan Wangi memandangi orang yang mengeluarkan
suara itu. Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun,
mengenakan baju agak ketat berwarna merah. Tangannya
memegang golok cukup besar ukurannya, yang berkilatan
tertimpa cahaya matahari.
"Siapa dia, Ki Buyut?" tanya Pandan Wangi setengah
berbisik. "Urawan, Wakil Ketua Partai Golok Perak," sahut Ki Buyut
menjelaskan. "Hm..., jadi mereka semua orang-orang Partai Golok
Perak?" tanya Pandan Wangi, seperti untuk dirinya sendiri.
"Benar," sahut Ki Buyut Kaweyan.
"Mereka dari Desa Sanggung?"
"Bukan. Tapi, tempat mereka memang tidak jauh dari desa
itu. " "Kenapa mereka menuduhmu pengkhianat?" tanya Pandan
Wangi lagi. Belum lagi Ki Buyut Kaweyan menjawab, laki-laki berbaju
merah yang dikenal bernama Urawan sudah membentak lagi.
Suaranya keras, dan terdengar buas sekali.
"Apa yang kalian bicarakan, heh" Kalian mau coba-coba
melawan, ya"!"
"Hm...," dengus Pandan Wangi yang muak melihat tingkah
Urawan. Kalau saja Rangga tidak buru-buru mencegah, gadis itu
sudah melompat turun dari punggung kudanya. Terpaksa
Pandan Wangi diam saja, walaupun dadanya menggelegak
menahan geram. Sementara Rangga melompat turun dari
punggung kudanya. Gerakannya sungguh indah dan ringan
sekali. Sehingga saat kakinya menjejak tanah, tak terdengar
satu suara sedikit pun.
"Aku tahu siapa dirimu, Urawan. Pergilah sebelum
kulaporkan perbuatanmu pada Pemimpin Besar Partai Golok
Perak," ancam Rangga tenang. Namun di balik suaranya yang
tenang, tersimpan nada kemarahan yang meluap.
"Phuih! Jangan coba-coba mengancam, Pendekar Rajawali
Sakti. Semua orang boleh gentar dan mengagumimu. Tapi aku
tahu kalau kau sekarang ini tidak lebih dari seonggok sampah
busuk! Kau harus mampus sebelum malapetaka yang lebih
besar menimpa seluruh manusia!" lantang suara Urawan.
"Lancang sekali mulutmu, Urawan!" bentak Ki Buyut
Kaweyan gusar. "Kau juga harus mampus, Ki Buyut!" dengus Urawan ketus.
"Kata-katamu tidak mungkin lagi bisa dimaafkan, Urawan!"
desis Ki Buyut Kaweyan menggeram.
Wajah laki-laki tua itu memerah bagai terpanggang.
Mendadak saja, Ki Buyut Kaweyan melompat sambil berteriak
keras menerjang Urawan. Namun rupanya Urawan sudah
bersiap sejak tadi. Bergegas dimiringkan tubuhnya ke kanan
untuk berkelit. Dan dengan cepat goloknya dikibaskan ke arah
pinggang Ki Buyut Kaweyan.
Wut! "Uts!"
Cepat sekali Ki Buyut Kaweyan menarik tubuhnya ke
belakang, sehingga tebasan golok Urawan hanya beberapa
rambut di depan perut laki-laki tua itu. Namun Ki Buyut
Kaweyan langsung melentingkan tubuhnya ke atas, melewati
kepala laki-laki berbaju merah itu. Dan dengan satu
tendangan keras, Urawan berhasil dibuat terjengkang ke
depan. "Setan keperat...!" geram Urawan bergegas memutar
tubuhnya sambil mengibaskan goloknya.
Meskipun sudah berusia lanjut, namun Ki Buyut Kaweyan
masih teriihat lincah. Manis sekali dihindari tebasan golok
Urawan. Bahkan masih juga mampu memberikan serangan
balasan. Pertarungan tidak mungkin bisa dihindari lagi. Bahkan
Rangga sendiri sudah tidak bisa mencegah. Pendekar Rajawali
Sakti itu hanya mengawasi sembilan belas orang lainnya,
kalau-kalau berbuat curang. Begitu juga Pandan Wangi.
Jurus demi jurus terlewat cepat. Namun belum ada tanda-
tanda bakal ada yang terdesak. Kini Ki Buyut Kaweyan sudah
menggunakan senjatanya yang berupa rantai baja putih
berbandul bola berduri dengan senjata itu, Ki Buyut Kaweyan
semakin sukar ditaklukkan. Namun, rupanya Urawan juga
bukan lawan enteng. Permainan jurus-jurus goloknya sungguh
dahsyat dan sangat berbahaya. Gerakan-gerakannya sangat
luar biasa. Setiap kibasan goloknya mengandung hantaman
angin yang begitu kuat disertai hawa panas menyengat.
Memasuki jurus kedua puluh, tampak kalau Ki Buyut
Kaweyan mulai goyah. Laki-laki tua itu tidak sanggup
menghadapi hawa panas yang membuat dadanya terasa
sesak, dan sulit bernapas. Entah sudah berapa kali tubuhnya
harus bergelimpangan menghindari serangan Urawan. Bahkan
sudah tidak terhitung lagi, berapa kali menerima pukulan dan
tendangan keras. Hingga suatu saat....
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
Mendadak saja Urawan berteriak keras sambil melontarkan
satu pukulan tangan kiri yang sangat cepat dan bertenaga
dalam tinggi. Saat itu Ki Buyut Kaweyan baru saja bangkit
berdiri, dan tidak mungkin lagi menghindarinya.
Des! "Akh...!" Ki Buyut Kaweyan memekik keras.
Tubuh tua itu terpental ke belakang sejauh dua batang
tombak. Dan pada saat Ki Buyut Kaweyan limbung, Urawan
sudah melompat cepat sambil mengibaskan goloknya
beberapa kali. "Hup! Uts...!"
Ki Buyut Kaweyan masih berusaha berkelit menghindari
tebasan golok yang mengandung hawa panas luar biasa.
Namun pada kibasan yang entah keberapa kali, laki-laki tua itu
tidak bisa lagi menghindari. Sehingga....
"Akh...!" lagi-lagi K i Buyut Kaweyan memekik keras.
Darah langsung mengucur deras dari bahu laki-laki tua itu.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke balakang. Pada saat itu,
Urawan sudah melompat kembali sambil menghunus golok
lurus ke depan. Dalam posisi seperti itu, tak ada lagi
kesempatan bagi Ki Buyut Kaweyan untuk berkelit. Namun
belum juga ujung golok Urawan dapat menyentuh tubuh laki-
laki tua mendadak...
"Hup! Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Pandan Wangi melentingkan tubuhnya
sambil mancabut kipas baja putih yang terselip di sabuknya.
Dangan kipas terbuka lebar, gadis itu mengepakkannya,
menyampok golok Urawan.
Tring! Bunga api memijar saat kedua senjata itu beradu tidak jauh
di depan dada Ki Buyut Kaweyan. Pandan Wangi sempat
mendorong laki-laki tua itu hingga terhuyung ke arah Rangga.
Sementara Urawan sempat terkejut, lalu bergegas melompat
mundur. Tampak bibirnya yang tebal meringis kecil. Sepasang
matanya memerah bagai sepasang bola api yang berkobar
menyala. "Setan betina!" geram Urawan mengumpat
"Kau terlalu kejam, Urawan. Tidak sepatutnya memberi
contoh buruk pada anak buahmu!" dengus Pandan Wangi
dingin. "Phuih! Apa pedulimu..."!" bentak Urawan gusar. Goloknya
sudah dilintangkan di depan dada.
Sementara itu Rangga membantu Ki Buyut Kaweyan
menghentikan darah yang mengalir dari luka di bahu. Tidak
terlalu lebar, tapi cukup dalam sehingga darah yang keluar
begitu banyak. Rangga memberikan tiga totokan di sekitar
luka, sehingga darah berhenti mengalir seketika.
Sementara itu Urawan yang sudah memuncak amarahnya
menggerak-gerakkan goloknya di depan dada. Kakinya
bergerak bergeser menyusur tanah. Pandangan matanya
sangat tajam menusuk, mengamati sikap Pandan Wangi yang
Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya diam saja sambil memain-ma inkan kipas baja putih
yang ujung-ujungnya runcing.
"Mampus kau, perempuan laknat! Hiyaaat...!" seru Urawan
keras. "Hup! Hiyaaa...!"
"Pandan, mundur...!" seru Rangga keras.
o0dw0o Tapi seruan Perldekar Rajawali Sakti tidak mungkin lagi
membendung pertarungan. Urawan sudah menyerang lewat
jurus-jurus pendek, mencecar Pandan Wangi yang sempat
terhenti mendengar seruan Rangga yang begitu keras. Untung
saja gadis itu masih bisa cepat berkelit, dan menjaga jarak.
Sehingga masih bisa mengontrol setiap serangan yang cepat
datangnya dan sangat dahsyat itu.
Rangga tak dapat lagi mencegah. Sementara Urawan
tampak begitu bernafsu hendak merobohkan si Kipas Maut.
Namun rupanya Pandan Wangi bukanlah seorang gadis lemah,
tanpa ilmu olah kanuragan. Kali ini Urawan mendapat lawan
tangguh dan sudah banyak mengenyam pahit getirnya
kehidupan rimba persilatan yang keras dan penuh
persaingan. Meskipun Urawan langsung mengerahkan jurus-jurus
ampuh, namun belum juga berhasil mendesak pertahanan
Pandan Wangi. Bahkan tanpa diduga sama sekali, si Kipas
Maut itu mampu membalas dahsyat. Urawan jadi kelabakan
menghindari setiap serangan kipas baja putih yang sebentar
mengembang dan sebentar kemudian menutup rapat!
"Lepas...!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras.
Seketika itu juga dikebutkan kipasnya yang mengembang
tarbuka. Urawan tampak terkesiap, buru-buru dikebutkan
goloknya melindungi leher dari serangan si Kipas Maut.
Trang! "Akh...!"
Semua orang yang berada di situ jadi terlongong; kecuali
Rangga yang sudah mengetahui kedigdayaan Pandan Wangi.
Sungguh sukar dipercaya! Golok Urawan yang begitu besar
dan kelihatan berat terpenggal buntung oleh kipas baja putih
Pandan Wangi. Belum lagi Urawan bisa terbebas dari rasa
terkejut, Pandan Wangi sudah berteriak keras sambil
melayangkan satu tendangan lurus ke arah dada.
"Hiyaaat...!"
Des! "Akh...!" kembali Urawan memekik keras tertahan.
Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu terjajar ke belakang
sejauh tiga batang tombak. Dan belum lagi sempat bangkit
berdiri, Pandan Wangi sudah me lompat. Langsung dijejak
dada laki-laki itu dengan lututnya yang tertekuk. Ujung kipas
yang runcing tajam, ditekan ke tenggorokan Urawan.
"Aku bisa membunuhmu dengan mudah, keparat!" geram
Pandan Wangi mengancam.
"Phuih! Kau pikir aku takut mati" Heh!?" dengus Urawan
sengit. Plak! "Akh!"
Satu tamparan keras mendarat di pipi Urawan, hingga laki-
laki itu terpekik. Darah muncrat keluar dari mulutnya. Pandan
Wangi bergegas bangkit berdiri dan me langkah mundur
beberapa tindak. Sementara Urawan masih tergeletak, dan
matanya memerah menyimpan kemarahan yang amat sangat.
Mulutnya menggeram sambil menyeka darah dengan
punggung tangan kanan pada dua sudut bibirnya. Pelahan dia
bangkit berdiri.
"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran mengirim kalian
semua ke neraka!" bentak Pandan Wangi tajam.
Urawan tidak menyahuti. Dipandanginya Pandan Wangi
dengan hati panas terbalut dendam. Belum pernah dirinya
dipecundangi begini rupa oleh seorang gadis di depan anak
buahnya. Urawan mengegoskan kepalanya sedikit, dan tiba-
tiba saja sembilan belas anak buahnya bergerak maju, sambil
melintangkan golok di depan dada.
"Tahan...!" seru Rangga keras.
Seruan yang dibarengi pengerahan tenaga dalam itu
membuat orang-orang yang hendak mengeroyok langsung
berhenti bergerak. Mereka semua memandang Pendekar
Rajawali Sakti yang tengah melangkah menghampiri Pandan
Wangi. Pemuda berbaju rompi putih itu kini berdiri tegak di
samping si Kipas Maut.
"Dengar! Jika tetap membandel, kalian akan mati sia-sia!
Kami bukan musuh kalian, tapi s i Iblis Selaksa Racun!" lantang
suara Rangga berbicara.
"Kami semua memang hendak membunuh si Iblis Selaksa
Racun. Tapi kau harus mati lebih dulu, Pendekar Rajawali
Sekti!" sahut Urawan tidak kalah lantangnya.
"Siapa yang memerintahkan kalian untuk membunuhku?"
tanya Rangga seraya mengedarkan pandangannya ke
Kilas Balik Merah Salju 1 Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk Anak Harimau 16