Buronan Singo Wulung 1
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung Bagian 1
BURONAN SINGO WULUNG Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode:
Buronan Singo Wulung
Ebook: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Cras! "Aaa...!"
Satu jeritan melengking panjang terdengar menyayat, membelah keheningan malam
ini. Suara itu menggema, datang dari sebuah lembah yang tampak terang bagai
siang hari saja. Hanya beberapa saat saja terdengar jeritan panjang itu,
kemudian suasana kembali sunyi. Kini tak terdengar satu suara pun, kecuali desir
angin saja yang menggesek dedaunan.
Namun belum juga lama kesunyian kembali menyelimuti malam ini, mendadak saja
terdengar tawa yang pecah berderai menggelegar. Suara tawa itu jelas datang dari
arah lembah. "Ha ha ha...!"
Tampak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun berdiri tegak di
atas sebongkah batu yang memancarkan cahaya terang berkilauan.
Bajunya merah agak ketat. Di tangannya tergenggam sebilah pedang yang menjuntai
ke bawah. Terlihat jelas, dari ujung pedang itu menetes darah segar yang
langsung menimpa batu yang dipijaknya.
"Hup...!"
Laki-laki berbaju merah itu
melompat ringan. Tanpa bersuara sedikit pun, tahu-tahu kakinya sudah
menjejak tidak jauh dari sesosok tubuh yang tergeletak tak berkepala lagi.
Sedangkan kepalanya berada beberapa depa jauhnya dari tubuh yang telah dingin.
Darah mengucur deras dari leher yang buntung. Laki-laki itu mendengus, dan
kakinya menyepak tubuh tak berkepala lagi, sehingga mengge-linding menjauh.
Kemudian dihampirinya kepala yang tergeletak masih mengucurkan darah.
Dikeluarkannya selembar kain hitam yang sudah lusuh dari balik bajunya.
Setelah memasukkan pedang ke dalam sarungnya di pinggang, laki-laki berbaju
merah itu membungkus kepala dengan kain hitam, lalu mengikatnya di ujung bambu
yang sebelumnya diambil di sekitar tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, laki-laki itu berjalan meninggalkan lembah.
Tampaknya dia seperti jalan biasa saja. Namun ayunan langkah kakinya begitu
ringan. Bahkan tak ada sedikit pun suara yang ditimbulkannya.
Begitu ringannya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap ditelan
kegelapan malam. Namun suara tawanya masih terdengar semakin kecil dan menjauh.
"Ha ha ha...!"
*** Siang ini udara terasa begitu
panas. Langit tampak cerah, tanpa awan sedikit pun menggantung di sana.
Seakan-akan membuat sang mentari merajalela memancarkan sinarnya, untuk membakar
permukaan bumi ini. Sedangkan angin bertiup kencang, memaksa pepohonan harus
menggugurkan daun-daunnya.
Di bawah teriknya sinar matahari, tampak seorang pemuda memacu cepat kudanya.
Debu mengepul menambah pengapnya udara siang ini. Meskipun pandangannya agak
terhalang, namun lari kudanya tidak juga diperlambat.
Bahkan semakin sering menggebah agar berlari lebih cepat lagi.
Dan saat memasuki sebuah desa, pemuda itu tidak juga mengendurkan lari kudanya.
Dia malah semakin sering menggebah kudanya agar berlari lebih cepat lagi.
Beberapa orang yang kebetulan berada di jalan, bergegas menyingkir. Mereka tidak
sempat lagi menyelamatkan barang-barangnya yang seketika itu juga jadi
berantakan diterjang kaki kuda.
"Minggir...! Minggir...!"
Pemuda itu tidak peduli dengan makian orang-orang yang merasa terganggu, dan
terus menggebah kudanya semakin cepat. Bahkan ketika tiba-tiba seorang laki-laki
tua bertongkat melintas menyeberangi jalan, pemuda itu jadi terkejut. Tapi lari
kudanya tidak mungkin dihentikan lagi.
"Minggir...!" teriak pemuda itu keras.
"Awas, Ki...!"
Terdengar seruan-seruan keras
memperingatkan, namun laki-laki itu seperti jadi kebingungan. Dan pada saat kuda
itu hampir saja menerjangnya, mendadak saja seorang pemuda berbaju rompi putih
melesat menyambar laki-laki tua itu. Maka orang tua itu selamat dari terjangan
kuda coklat yang dipacu bagai kesetanan itu.
Beberapa kali mereka bergulingan di tanah, namun pemuda yang menunggang kuda itu
sama sekali tidak peduli. Dia terus saja menggebah kudanya dengan kecepatan
tinggi. Membuat sepanjang jalan dipenuhi teriakan dan makian serta sumpah
serapah. "Anak setan...!" geram laki-laki tua seraya bangkit berdiri dibantu penolongnya.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya pemuda yang menolongnya tadi.
"Tidak. Terima kasih," sahut
laki-laki tua seraya menerima
tongkatnya. Bajunya segera dibersihkan dari debu yang melekat.
"Siapa penunggang kuda itu?"
tanya pemuda berbaju rompi putih itu lagi.
"Rupadi, anak kepala desa ini,"
salah seorang perempuan gemuk
menyahuti. Pemuda itu melirik sedikit,
kemudian membantu laki-laki tua bertongkat itu menepi. Didudukkannya laki-laki
tua itu di sebuah pohon yang tumbang di pinggir jalan.
"Tidak tahu kenapa, beberapa hari ini dia jadi gila begitu," gumam laki-laki tua
itu lagi. "Kenapa tidak dilaporkan saja
pada orang tuanya, Ki?"
"Huh! Percuma...!"
Pemuda itu mengarahkan pandangannya pada Rupadi yang terus memacu cepat kudanya.
Debu semakin banyak mengepul. Dan makian serta sumpah serapah semakin sering
terdengar sepanjang jalan. Dalam waktu beberapa saat saja, sepanjang jalan Desa
Pucung jadi berantakan seperti baru saja terlanda angin badai.
Sementara Rupadi terus memacu
kudanya semakin cepat. Sama sekali tidak dipedulikannya orang-orang yang memaki
karena merasa terganggu kesibukannya. Bahkan kudanya semakin dipacu cepat begitu
sebuah rumah yang besar dan paling megah di desa ini terlihat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Pemuda yang mengenakan baju putih itu melompat dari punggung kuda begitu tiba di
depan rumah yang memiliki halaman luas tanpa pagar. Ringan
sekali kakinya menjejak tanah, tepat di depan undakan beranda depan.
Bergegas dia melangkah setengah berlari menaiki undakan beranda depan itu.
Seorang laki-laki tua, muncul dari samping rumah. Lalu, diambilnya kuda coklat
itu dan dibawanya ke samping.
Sementara Rupadi terus berjalan cepat melintasi beranda depan. Pada saat baru
saja hendak masuk ke dalam rumah, mendadak seorang gadis cantik berbaju kuning
gading muncul hendak keluar. Hampir saja mereka
bertabrakan. "He...! Matamu di mana sih..."!"
bentak gadis itu mendelik
"Minggir!" sentak Rupadi seraya mendorong kasar tubuh gadis itu.
"Ah...!" gadis itu terpekik.
Tubuhnya terhuyung ke belakang hingga punggungnya menubruk sebuah pilar kayu
hitam yang keras. Kembali gadis itu memekik kesakitan. Bibirnya meringis menahan
sakit di punggungnya.
Hampir saja dia memaki, kalau saja Rupadi tidak cepat menghilang ditelan pintu
yang langsung tertutup.
"Dasar bergajul...!" maki gadis itu seraya meringis.
Makian gadis itu tidak terdengar, karena Rupadi sudah terus masuk ke dalam
melewati ruangan depan yang cukup luas. Pemuda itu baru berhenti
berjalan setelah tiba di ruangan tengah. Tampak seorang laki-laki setengah baya
mengenakan pakaian perlente tengah duduk ditemani seorang wanita cantik berbaju
ketat warna biru laut yang tipis, sehingga memetakan bentuk tubuhnya. Hanya
sebentar Rupadi menatap wanita itu, kemudian mengayunkan kakinya menghampiri.
"Pakaianmu kotor sekali, Rupadi.
Dari mana saja kau...?" tegur laki-laki setengah baya itu langsung.
"Ada yang ingin kukatakan, Ayah,"
kata Rupadi, tidak mempedulikan teguran itu.
"Katakan saja," sahut laki-laki setengah baya yang dikenal bernama Ki Rejo,
Kepala Desa Pucung ini.
Rupadi tidak langsung mengatakannya. Ditariknya napas panjang beberapa kali,
mencoba menguasai jalan napasnya yang terengah-engah.
"Minum dulu, Rupadi," wanita
cantik yang duduk di samping Ki Rejo menyodorkan secangkir teh hangat.
Rupadi hanya memandangi saja,
namun menerima cangkir dari keramik itu. Kemudian tehnya dihirup sedikit, lalu
diletakkan kembali ke atas meja.
"Ada apa, Rupadi?" tanya Ki Rejo.
"Ada mayat lagi, Ayah. Di Lembah Intan...," sahut Rupadi.
"Huh! Itu saja yang bisa kau
katakan..." Apa tidak punya kerjaan
lain lagi, hah...!" dengus Ki Rejo sambil mendelik.
"Tapi, Ayah...."
"Sudah...!" sentak Ki Rejo cepat.
Rupadi langsung terdiam.
"Kau selalu mengatakan ada mayat, tapi tak pernah ada buktinya. Bahkan tak
seorang pun yang melaporkan ada keluarganya yang hilang. Sudah...!
Lebih baik kerjakan yang lain, yang lebih bermanfaat," kata Ki Rejo.
"Aku benar melihatnya, Ayah.
Mayat-mayat itu ada di Lembah Intan.
Tidak ada kepalanya lagi," Rupadi mencoba meyakinkan.
"Kalau memang ada, urus saja
sendiri. Aku tidak suka dikatakan gila karena menanggapi orang yang sudah tidak
waras!" "Ayah...!" sentak Rupadi tersinggung dikatakan tidak waras.
"Dengar, Rupadi. Kau kubesarkan bukan untuk jadi cemoohan orang. Kau calon
kepala desa di sini, untuk menggantikan aku. Bagaimana mungkin kau bisa jadi
kepala desa kalau pikiranmu sudah tidak waras lagi..."
Hentikan semua khayalanmu itu, Rupadi!" tegas Ki Rejo.
Rupadi gusar, lalu cepat berbalik dan langsung beranjak pergi tanpa berkata apa
pun juga. Ayunan kakinya lebar dan terhentak. Ki Rejo hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya saja melihat tingkah anak laki-lakinya yang semakin aneh belakangan ini.
"Seharusnya jangan berkata kasar seperti itu, Kakang. Kasihan. Nanti dia bisa
kehilangan kepercayaan diri,"
ujar wanita di sebelah Ki Rejo dengan suara lembut.
"Kelakuannya semakin aneh saja.
Bagaimana mungkin dia bisa mengkhayal begitu...?" dengus Ki Rejo seraya mendesah
panjang. "Mungkin dia memang melihat ada mayat di sana, Kakang."
"Kau jangan ikut-ikutan jadi
edan, Rusila!" sentak Ki Rejo.
"Maaf. Bukannya aku ingin
mencampuri, tapi tidak ada salahnya jika kau sesekali melihat ke sana,"
kilah wanita yang dipanggil Rusila itu lagi. Dia adalah istri muda Ki Rejo.
"Ah..., sudahlah. Aku tidak ingin membicarakan itu lagi!" sentak Ki Rejo.
Laki-laki tua itu mengambil
tangan Rusila, dan membawanya ke bibir. Kemudian dengan lembut dikecup-nya.
Namun dengan halus sekali wanita itu melepaskan genggaman tangan laki-laki
setengah baya yang menjadi suaminya. Bibir yang selalu memerah, mengulas
senyuman manis menggairahkan.
Ki Rejo malah melingkarkan tangannya di pinggang yang ramping.
"Kakang.... Nanti ada Lintang,"
lembut sekali Rusila menolak laki-laki setengah baya itu.
Sementara Rupadi sudah berada di ruangan depan kembali. Dengan kasar dibukanya
pintu, dan kembali tubuhnya hampir bertabrakan lagi dengan gadis berbaju kuning
gading. Gadis itu lagi-lagi memekik, dan langsung mendelik berang begitu melihat
Rupadi lagi yang hampir menabraknya.
"Matamu sudah buta, ya...!"
sentak gadis itu berang.
Rupadi tidak menanggapi, tapi
malah merebut guci yang ada di tangan gadis itu. Langsung ditenggaknya isi guci
itu hingga tandas.
"He...! Itu punya ayah...!"
Rupadi malah membuang guci itu ke luar halaman.
"Katakan pada ayah, araknya sudah kuminum."
Setelah berkata demikian, Rupadi langsung saja berjalan pergi.
"Dasar edan...!" rutuk gadis itu memberengut.
"Lintang...!" terdengar panggilan keras dari dalam.
"Iya, Ayah! Sebentar...!" teriak gadis berbaju kuning gading yang ternyata
bernama Lintang, menyahuti.
Bergegas Lintang melangkah masuk.
Sementara Rupadi sudah kembali menggebah kudanya meninggalkan halaman rumah
besar itu. Kudanya dipacu cepat sambil
berteriak-teriak keras. Beberapa orang pekerja di rumah itu hanya menggeleng-
gelengkan kepala saja sambil mengurut dada, melihat tingkah Rupadi yang semakin
ugal-ugalan saja.
*** Di sebuah bukit kecil, Rupadi
tengah memandangi lembah yang tidak begitu besar. Bukit itu membatasi lembah
dengan Desa Pucung. Dari bukit ini, bisa terlihat setiap sudut lembah dengan
leluasa sekali, tanpa ada penghalang.
"Aneh.... Padahal, tadi aku lihat mayat itu ada di sini," gumam Rupadi pelan.
Tatapan mata pemuda itu lurus ke satu arah, di mana terlihat sebongkah batu
besar bercahaya bagaikan intan.
Kepalanya menggeleng-geleng. Sinar matanya seakan-akan tidak percaya dengan apa
yang kini dilihatnya. Dia begitu yakin kalau tidak jauh dari batu itu, ada
sesosok mayat tanpa kepala. Tapi sekarang, sudah tidak ada lagi. Bahkan tetesan
darahnya pun tidak terlihat lagi di sana.
"Apa yang kau cari, Anak
Muda...?" "Heh..."!" Rupadi terperanjat
ketika tiba-tiba saja terdengar
teguran dari arah belakang.
Seketika tubuhnya berbalik.
Tampak di depannya kini, berdiri seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh
tahun. Laki-laki itu mengenakan baju merah menyala. Tampak sebilah pedang yang
bergagang kuning seperti terbuat dari emas tergantung di pinggangnya. Rupadi
agak bergidik juga saat memandang mata laki-laki itu yang begitu tajam menusuk.
"Siapa kau...?" tanya Rupadi,
agak bergetar suaranya.
"Kau tidak perlu tahu siapa
diriku, Rupadi," sahut orang berbaju merah itu, dingin dan datar suaranya.
"He..."! Kau tahu namaku...?"
Rupadi semakin terperanjat.
"Aku tahu siapa dirimu, dan apa yang kau lakukan di sini, Rupadi.
Sebaiknya, hentikan saja pekerjaan kosongmu itu. Tidak ada yang bisa kau
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapatkan di sini," tegas laki-laki itu, tetap dingin nada suaranya.
"Kau tidak berhak melarangku!"
sentak Rupadi ketus.
"Kau memang keras kepala, tapi lembek. Kau bisa kasar pada orang lain. Tapi
menghadapi tua bangka hidung belang itu, kau malah
bersembunyi seperti tikus!" dengus laki-laki berjubah merah itu.
"Kisanak, aku tidak kenal dirimu.
Apa maksudmu berkata demikian..."!"
hati Rupadi mulai panas.
Rupadi sudah bisa menebak kalau laki-laki berbaju merah menyala ini menyinggung
ayahnya. Dan pemuda itu tidak mau ayahnya dihina. Apalagi direndahkan, dengan
perkataan hidung belang yang doyan lalap muda. Suatu penghinaan yang sukar
dimaafkan. "Ha ha ha.... Kenapa jadi marah begitu, Rupadi" Seharusnya kau marah pada
ayahmu. Bahkan kalau perlu, membunuhnya! Karena dia sudah...."
"Tutup mulutmu, Keparat!" bentak Rupadi memutuskan ucapan orang berbaju merah
itu. "Seharusnya kau patut dikasihani.
Tapi sayang sekali..., kau malah dibenci dan ayahmu enak-enakan dengan...."
"Cukup! Kalau tidak mau enyah
dari sini, kubunuh kau!" bentak Rupadi mengancam.
"Ha ha ha.... Kau belum cukup
mampu untuk membunuhku, Rupadi. Bahkan ayahmu sendiri tidak akan mampu
menandingiku meskipun dalam dua jurus saja."
"Keparat...!"
Merah seluruh wajah Rupadi.
Kemarahannya sudah mencapai puncak setelah mendengar kata-kata yang ringan namun
sangat menyakitkan itu.
Langsung saja pedangnya dicabut, dan....
Sret! "Hiyaaat...!"
Rupadi langsung melompat
menerjang sambil membabatkan pedang ke arah leher laki-laki berbaju merah itu.
Namun orang itu hanya sedikit saja menarik kepalanya. Maka ujung pedang Rupadi
hanya lewat begitu saja tanpa mengenai sasaran. Namun pemuda itu tidak diam
sampai di situ saja.
Dengan cepat sekali pedangnya diputar, dan langsung dibabatkan ke arah perut.
Tapi orang berbaju merah itu meliukkan tubuhnya sedikit, tanpa menggeser
kakinya. Tebasan pedang itu tidak mengenai sasaran lagi. Hal ini membuat pemuda
berbaju putih itu
semakin geram. "Hiyaaat...!"
Rupadi semakin meningkatkan
serangan-serangannya. Pedang itu berkelebat cepat, sehingga bentuknya jadi
hilang. Dan yang terlihat kini hanya sinar keperakan yang
berkelebatan cepat mengurung tubuh laki-laki berbaju merah itu. Namun sampai
Rupadi melewatkan sepuluh jurus, belum juga mampu mendesak orang berbaju merah
menyala itu. "Cukup, Rupadi. Hentikan...!"
sentak orang itu keras.
Tapi Rupadi tidak mendengarkan, dan malah semakin gencar menyerang.
Akibatnya, orang berbaju merah itu
menggeram agak tertahan. Wajah yang pucat kaku, semakin terlihat pucat bagai tak
teraliri darah lagi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke atas. Dan dengan kecepatan bagai kilat,
mendadak saja dilepaskannya satu pukulan ke arah dada Rupadi.
Sementara pemuda itu benar-benar tidak menyangka akan datang serangan yang
mendadak dan cepat luar biasa itu, sehingga tidak bisa lagi berkelit.
Ujung jari orang berbaju merah itu tepat menotok dadanya.
"Akh...!" Rupadi terpekik
tertahan. Seketika itu juga tangannya ter-kulai, pedangnya jatuh terlepas dari genggaman.
Sebelum pemuda itu bisa menyadari apa yang telah terjadi, tubuhnya sudah ambruk
tergeletak di tanah. Langsung pandangannya jadi gelap, kemudian tidak tahu lagi
apa yang terjadi selanjutnya.
Laki-laki berbaju merah itu
berdiri tegak memandangi. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat.
Sesaat kemudian, tubuhnya berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Rupadi yang
tergeletak di tanah berumput.
"Sayang sekali, aku tidak boleh membunuhnya," gumam laki-laki berbaju merah itu
setengah mendesah.
Dia terus saja berjalan tanpa
menoleh lagi. Ayunan kakinya begitu ringan, seakan-akan tidak menjejak tanah.
Dalam waktu sebentar saja, laki-laki berbaju merah itu sudah lenyap ditelan
kerimbunan pepohonan.
Sementara Rupadi masih tergeletak tak bergerak-gerak lagi.
Bukit dekat lembah itu kembali sunyi senyap. Hanya desir angin yang terdengar
menggeser dedaunan. Tak ada lagi suara lain yang bisa terdengar.
Sementara matahari sudah semakin condong ke arah barat. Sinarnya tidak lagi
terik seperti siang tadi, dan kini terasa lembut dan menyejukkan.
*** 2 "Rangga...! Cepat ke sini...!"
Teriakan keras terdengar memecah keheningan senja di Lembah Intan.
Terlihat seorang laki-laki muda berpakaian indah warna biru muda, berdiri di
dekat sesosok tubuh berbaju putih yang tergeletak tak bergerak di tanah
berumput. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang pemuda mengenakan baju rompi
putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung tampak bertengger di punggungnya.
"Ada apa, Raden Antaka?" tanya
pemuda berbaju rompi putih yang dipanggil dengan nama Rangga.
Dan memang, pemuda itu adalah
Rangga yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda
berbaju biru muda yang
dipanggil Raden Antaka, hanya menunjuk saja ke tubuh yang tergeletak tak
bergerak di depannya. Rangga memandangi beberapa saat.
Begitu mengenali orang yang
tergeletak itu, Rangga buru-buru memeriksanya. Ditariknya napas panjang setelah
memeriksa, dan diberikannya beberapa totokan di beberapa bagian tubuh orang yang
tergeletak itu.
"Hanya pingsan, tidak apa-apa,"
jelas Rangga. "Kau kenali dia?" tanya Raden
Antaka. "Namanya Rupadi. Dia anak Kepala Desa Pucung. Tidak jauh dari sini,"
sahut Rangga. "Kenapa pingsan di sini?" tanya Raden Antaka.
"Entahlah. Pingsannya akibat
terkena totokan tenaga dalam cukup tinggi juga. Sebentar lagi juga dia sadar,"
sahut Rangga. "Berarti dia baru saja
bertarung.... Begitu kan maksudmu, Rangga?" agak bergumam suara Raden Antaka.
"Dugaanku begitu," sahut Rangga
kalem. "Bertarung dengan siapa" Apakah dia punya musuh?" tanya Raden Antaka lagi.
"Maaf, Raden. Aku mengenalnya
hanya dari cerita orang-orang di desa saja. Aku tidak tahu pasti, siapa dia
sesungguhnya," sahut Rangga mulai terasa jenuh mendengar pertanyaan yang tidak
ada habisnya dari anak muda yang baru berusia sekitar delapan belas tahun ini.
"Apakah kita tinggalkan saja dia di sini?" Raden Antaka meminta pendapat.
"Sebaiknya jangan, Raden. Terlalu berbahaya baginya berada di sini dalam keadaan
tidak sadarkan diri," sergah Rangga kalem.
"Tapi perjalanan kita sendiri
masih panjang, Rangga. Dan aku tidak ingin terhalang hanya karena mengurusi
persoalan begitu saja."
"Sebentar lagi malam, Raden. Ada baiknya kalau kita bermalam di sini,"
tegas Rangga. "Katamu Desa Pucung tidak berapa jauh lagi. Kita bisa mencari
penginapan di sana, Rangga."
"Sama saja, Raden. Di sini atau di penginapan, tidak ada bedanya. Lagi pula,
tujuan kita bukan hanya mencari penginapan yang baik. Tapi, ada tugas penting
yang harus diselesaikan
secepatnya," Rangga mengingatkan.
"Terserah kau sajalah," Raden
Antaka mengangkat bahunya. "Kau yang dipercayakan Ayahanda Prabu untuk meringkus
buronan itu, dan aku tinggal mengikuti saja."
Rangga hanya mendengus saja.
Kalau saja bukan karena sahabatnya yang meminta, malas rasanya berjalan bersama
anak manja seperti ini.
Permintaan bantuan Prabu Ranakali saja sudah cukup berat. Pendekar Rajawali
Sakti tahu, siapa yang harus
dicarinya. Dengan adanya anak manja ini, bebannya semakin bertambah saja.
Tapi Rangga tidak ingin
mengecewakan sahabatnya itu. Meskipun berat, terpaksa Pendekar Rajawali Sakti
menerima saat Raden Antaka memohon pada ayahnya untuk ikut serta meringkus
buronan itu. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga mencari ranting-ranting kering.
Kemudian ditumpuknya ranting itu di bawah pohon yang cukup besar, dengan daun-
daunnya yang rimbun. Sedangkan Raden Antaka hanya diam saja, duduk sambil
memandang ke sekitarnya. Rangga sempat melirik kesal pada pemuda manja itu,
namun hanya dipendam di dalam hati.
"Sudah berapa lama kau menjadi pengembara, Rangga?" tanya Raden Antaka. Sedikit
pun pemuda itu tidak
menaruh rasa hormat pada Pendekar Rajawali Sakti, meskipun jauh lebih muda.
"Aku tidak pernah menghitung,"
sahut Rangga singkat.
"Kau pasti memiliki ilmu
kesaktian tinggi, sehingga Ayahanda Prabu begitu mempercayaimu," agak sinis nada
suara Raden Antaka.
"Tidak juga," sahut Rangga
merendah. "Jadi seorang pengembara,
setidaknya harus memiliki bekal kepandaian dalam ilmu olah kanuragan dan
kesaktian. Aku tidak percaya kalau kau hanya sedikit saja memilikinya.
Padahal julukanmu Pendekar Rajawali Sakti."
"Sebuah julukan belum pasti
memiliki tingkat kepandaian tinggi, Raden. Kau sendiri juga bisa
memperoleh julukan itu. Terserah saja, apa julukan yang kau sukai. Asalkan,
cocok dengan segala tingkah laku dan perbuatanmu," sahut Rangga.
"Menurutmu, julukan apa yang
pantas untukku?" tanya Raden Antaka meminta pendapat.
Sedikit pun pemuda itu tidak
merasa kalau kata-kata Rangga tadi mengandung sindiran sinis pada dirinya.
Bahkan seperti mendapat pujian saja, sehingga meminta pendapat Pendekar Rajawali
Sakti untuk mendapatkan sebuah julukan baginya.
"Hanya Raden sendiri yang bisa menentukannya," sahut Rangga enggan.
"Tapi menurutmu, aku pantasnya pakai julukan apa?" desak Raden Antaka tidak puas
dengan jawaban Rangga.
"Maaf, Raden. Aku tidak bisa
mengatakannya sekarang. Aku belum tahu persis, bagaimana kehidupanmu sehari-
harinya. Sebuah julukan dalam kalangan persilatan, biasanya ditentukan tingkah
laku dan perbuatan sehari-hari. Atau bisa juga dari nama jurus andalannya.
Bahkan ada yang mengambil dari senjata pusakanya, atau dari tempat asalnya.
Berbagai macam bisa digunakan untuk mengambil nama julukan, Raden. Dan itu
tergantung dari yang menginginkannya," jelas Rangga dengan rinci.
"Lalu kau sendiri, kenapa memakai julukan Pendekar Rajawali Sakti?"
tanya Raden Antaka ingin tahu.
Sukar bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan itu. Karena julukan Pendekar
Rajawali Sakti bukan kehendak dirinya sendiri, melainkan memang pemberian
gurunya yang sudah meninggal seratus tahun yang lalu. Tidak mungkin Rangga
menjelaskannya pada Raden Antaka, karena itu sama saja dengan membuka rahasia
dirinya sendiri yang selama ini tertutup rapat.
Memang kadang-kadang rasa
keingin-tahuan Raden Antaka membuat Rangga jadi kepusingan sendiri.
Terkadang pertanyaannya terlalu sulit dijawab. Tapi Rangga memang mengakui kalau
Raden Antaka memiliki otak cerdas, di samping daya tangkap dan daya ingatnya
sungguh tajam. Dan paling tidak, melebihi pemuda-pemuda lain seusianya.
"Dari mana kau ambil julukan itu, Rangga?" desak Raden Antaka belum merasa puas
kalau pertanyaannya belum terjawab.
"Maaf. Aku tidak bisa
menjawabnya," sahut Rangga.
"Kenapa?"
"Karena itu merupakan rahasia
seorang pendekar yang tidak boleh diketahui orang lain," Rangga mencoba
menjelaskan, meskipun terasa sulit sekali.
"Apakah semua orang-orang persilatan juga merahasiakan julukannya?"
tanya Raden Antaka lagi.
"Ya. Tapi ada juga yang tidak."
Raden Antaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin bisa mengerti atau mungkin
juga merasa tidak ada gunanya lagi mendesak. Kalau saja yang dihadapi bukan
Pendekar Rajawali Sakti, pasti sudah didesaknya dengan mempergunakan kekuasaan
sebagai putra mahkota. Namun karena Rangga adalah sahabat karib ayahnya, tidak
mungkin terus didesak. Apalagi memaksa kehendaknya. Entah kenapa, Raden Antaka merasa
sungkan pada Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Sebaiknya malam ini Raden tidur saja. Biar aku yang menjaga," kata Rangga.
"Aku memang ingin tidur. Penat rasanya seluruh badanku, setelah seharian berada
di punggung kuda."
"Nanti juga akan terbiasa kalau sering-sering mengembara mencari pengalaman,
Raden," ujar Rangga seraya tersenyum.
"Kalau bersamamu, selamanya pun aku mau."
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Entah apa arti senyumnya kali ini.
Mungkin karena sikap Raden Antaka yang mulai berubah selama ikut mengembara
dengannya, mencari seorang pelarian yang kabur dari dalam penjara. Memang
kehidupan di alam bebas bisa merubah seseorang dalam waktu singkat. Mereka yang
hidup di alam bebas, mau tak mau harus
menyesuaikan diri dengan alam
sekitarnya. Karena bagaimanapun kuatnya seseorang, tidak akan mungkin bisa
menaklukkan alam yang banyak menyimpan misteri ini.
*** "Aaa...!"
Rangga tersentak kaget ketika
tiba-tiba terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Jelas sekali kalau
jeritan itu datang dari arah lembah di depan sana. Pendekar Rajawali Sakti
melirik sebentar pada Raden Antaka yang terlelap dalam buaian mimpi.
Sedikit pun anak muda itu tidak bergeming meskipun jeritan tadi terdengar jelas.
"Hup...!"
Rangga melesat cepat bagaikan
kilat. Gerakannya sungguh ringan, dan tak menimbulkan suara sedikit pun juga.
Begitu cepatnya, sehingga dalam tiga kali lesatan saja sudah berada di bibir
lembah yang selalu terang-benderang jika malam hari. Pendekar Rajawali Sakti
terbeliak begitu melihat seseorang berpakaian serba merah, berdiri tegak di
samping sesosok tubuh yang tergeletak dengan kepala terpisah dari leher.
"Singo Wulung...," desis Rangga begitu mengenali laki-laki berbaju merah menyala
itu. Seketika itu juga, Rangga melesat ke dalam lembah yang terang-benderang.
Memang, batu-batu yang berserakan di lembah itu memancarkan cahaya terang.
Cepat dan ringan sekali lesatan Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga tahu-tahu
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah berdiri sekitar dua
tombak di depan laki-laki berjubah merah, yang dikenali sebagai Singo Wulung.
"He..."!" Singo Wulung
terperanjat kaget begitu tiba-tiba di depannya sudah berdiri seorang pemuda
mengenakan baju rompi putih.
"Rupanya kau bersembunyi di sini, Singo Wulung?" desis Rangga dengan suara yang
dingin membekukan.
"Pendekar Rajawali Sakti...,"
Singo Wulung rupanya juga mengenali Rangga. "Mau apa kau berada di sini"!"
"Membawamu kembali ke Kerajaan Talang Mega," sahut Rangga datar.
"Ha ha ha.... Rupanya Prabu
Ranakali meminta bantuanmu untuk menangkapku kembali, Pendekar Rajawali Sakti.
Berapa banyak kau dibayar, heh..."!" lantang sekali suara Singo Wulung.
"Aku bukan orang bayaran
sepertimu, Singo Wulung!" sentak Rangga mendesis.
"Ha ha ha...!" Singo Wulung
kembali tertawa terbahak-bahak.
"Hm.... Rupanya kau sudah
bertingkah lagi, Singo Wulung," desis Rangga seraya melirik tubuh yang
tergeletak tak bernyawa di depannya.
Dari lehernya yang buntung tak berkepala lagi, mengucur darah segar yang seakan-
akan tak mau berhenti mengalir. Jelas sekali kalau orang itu
belum lama tewas di sini. Sukar bagi Rangga untuk mengenalinya, karena kepala
orang itu sudah terbungkus sehelai kain lusuh.
"Nasibmu akan seperti dia jika coba-coba mengusikku,
Pendekar Rajawali Sakti...!" ancam Singo Wulung mendesis.
"Sayang sekali. Aku sudah
berjanji untuk membawamu kembali ke penjara, Singo Wulung," sahut Rangga, dingin
sekali suaranya.
"Ha ha ha.... Tidak semudah itu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau boleh membawa
kepalaku, asal langkahi dulu mayatku!"
Rangga terdiam dengan bibir
terkatup rapat. Jelas sekali kalau kata-kata lantang itu mengandung nada
tantangan dan ancaman yang tidak bisa dianggap main-main. Dan Rangga sudah
banyak mendengar tentang laki-laki berbaju merah ini. Tingkat kepandaian-nya
tinggi sekali, sehingga jago-jago dari Kerajaan Talang Mega sendiri tidak ada
yang sanggup menandinginya.
Maka Prabu Ranakali terpaksa harus meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti.
Bet! Wuk! Singo Wulung menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan dada, membuka jurus.
Gerakan tangan yang tampak
halus dan tidak bertenaga itu ternyata menimbulkan angin kencang. Saat itu juga
Rangga menggeser kakinya ke samping beberapa tindak. Disadarinya kalau Singo
Wulung bukanlah lawan enteng. Gerakan tangan yang menimbulkan angin menderu
saja, sudah menandakan kalau laki-laki berbaju marah menyala ini memiliki tenaga
dalam tinggi. "Aku akan mengakui ketangguhanmu jika kau berhasil menahan serangan-seranganku.
Pendekar Rajawali Sakti,"
tegas Singo Wulung dingin.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Tahan...! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras mengge-
legar, Singo Wulung langsung memberi serangan dahsyat. Sedikit pun kakinya tidak
digerakkan. Tapi tangan kanannya bergerak cepat mengebut ke depan.
Seketika seberkas cahaya merah meluncur deras ke arah pemuda berbaju rompi
putih. "Uts...!"
Buru-buru Rangga menarik tubuhnya ke samping, sehingga sinar merah yang
membentuk bulatan itu lewat di samping tubuhnya. Namun pada saat yang sama,
Singo Wulung melompat sambil berteriak nyaring.
"Hiyaaat..!"
Bet! Bet! Dua kali Singo Wulung melepaskan pukulan keras bertenaga dalam tinggi sekali.
Seketika Rangga meliukkan tubuhnya menghindari serangan cepat dan dahsyat itu.
Namun Pendekar Rajawali Sakti sempat terperangah juga, karena merasakan adanya
angin dorongan yang sangat kuat dari tenaga pukulan yang dilepaskan Singo Wulung
tadi. Dan ini membuat Rangga sedikit terhuyung, terdorong ke belakang beberapa
tindak. "Hup! Haaap...!"
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menggerak-gerakkan tangannya di depan dada
sambil mengerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi tenaga dalam yang dimiliki
Singo Wulung. Pada saat itu, Singo Wulung sudah kembali memberi serangan keras
dan beruntun. Rangga berkelit dan langsung menggerakkan kakinya dengan lincah
sambil meliuk-liukkan tubuhnya. Gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti
sungguh indah sekali. Terlihat pelan dan lembut, namun sukar bagi Singo Wulung
untuk memasukkan pukulan dan tendangannya. Karena, Rangga
mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Suatu jurus yang seringkali
digunakan, dan belum ada seorang pun yang bisa memecahkan kelemahannya dalam
keadaan bertarung.
*** "Phuih! Hup...!"
Sambil menyemburkan ludahnya,
Singo Wulung langsung melompat ke belakang sejauh lima tindak. Hatinya benar-
benar kesal, karena Rangga bertarung seperti main-main saja, dan sedikit pun
tidak memberi serangan balasan. Pendekar Rajawali Sakti hanya menghindar dengan
gerakan-gerakan membingungkan, seolah-olah sama sekali tidak mengeluarkan jurus
satu pun juga. "Aku bukan anak kemarin sore yang bisa kau ajak main-main, Pendekar Rajawali
Sakti!" geram Singo Wulung.
"Hm..." Rangga hanya tersenyum saja sambil menggumam perlahan.
Memang jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimilikinya selalu membuat lawan jadi
kesal. Dan tujuan jurus itu memang demikian. Memancing kemarahan lawan hingga
tidak bisa mengendalikan diri lagi. Dengan demikian, tidak terlalu sukar bagi
Rangga untuk mendikte lawan. Hal ini sering dialami Pendekar Rajawali Sakti
dalam pertarungan. Suatu jurus aneh dan sangat dibanggakannya. Meskipun lawan memiliki
kepandaian tinggi sekali, paling tidak akan membutuhkan waktu lama untuk bisa
mengetahui kelemahannya. Memang jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' ini hampir saja mencapai
kesempurnaan, sehingga hampir
tidak ada kelemahannya.
"Hap...!"
Bet! Bet...! Cepat sekali Singo Wulung
melakukan beberapa gerakan tangan disertai liukan tubuh yang lentur.
Kemudian mendadak tangannya menghentak ke depan. Pada saat itu, terlihat
secercah cahaya merah memancar keluar dari kedua telapak tangannya yang terbuka
lebar, langsung meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Secepat kilat Rangga melompat ke atas dengan tubuh berputaran beberapa kali di
udara. Maka sinar merah itu lewat di bawah tubuhnya. Namun Singo Wulung terus
menghentakkan tangannya beberapa kali. Akibatnya beberapa sinar merah yang
membentuk bulatan seperti bola, terus mencecar tubuh Rangga yang kini terpaksa
berjumpalitan di udara.
Beberapa ledakan terdengar menggelegar saat bola-bola sinar merah itu menghantam
tanah dan bebatuan serta pohon-pohon yang langsung hancur seketika.
"Hap...!"
Bergegas Rangga meluruk turun
begitu bola-bola sinar merah tidak lagi mencecarnya. Dan Pendekar Rajawali Sakti
jadi kaget setengah mati, karena di tempat ini sudah tidak
ada lagi laki-laki berbaju merah menyala yang tadi menyerangnya dengan bola-bola
merah. Entah kapan perginya, tahu-tahu Singo Wulung sudah lenyap begitu saja
seperti ditelan bumi.
Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi tak ada seorang pun yang
terlihat di lembah ini.
"Setan...!" dengus Rangga kesal.
"Aaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang yang melengking tinggi.
Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut.
Lebih terkejut lagi, karena jeritan itu datang dari arah dia meninggalkan Raden
Antaka yang tengah tidur. Dan di sana pula ada Rupadi, putra Kepala Desa Pucung.
"Hup! Hiyaaa...!"
Seketika itu juga Rangga melesat cepat bagaikan kilat. Gerakannya sungguh luar
biasa, karena Pendekar Rajawali Sakti sudah memiliki
kesempurnaan dalam ilmu meringankan tubuh. Sehingga dalam waktu sekejap saja
sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
"Raden...!" seru Rangga begitu sampai di tempat Raden Antaka
ditinggalkan. Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, karena Raden Antaka sudah tidak
ada lagi di tempatnya.
Sedangkan Rupadi masih tergolek tak
sadarkan diri. Tiga ekor kuda masih berada di tempatnya semula. Hanya Raden
Antaka yang menghilang.
"Raden...!" teriak Rangga kencang memanggil.
Namun tak ada sahutan. Suara
panggilan keras itu menggema terpantul kembali. Sunyi, tak ada suara sedikit pun
terdengar. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Hhh.... Seharusnya aku tidak
meninggalkannya di tempat ini," keluh Rangga seraya menjatuhkan diri.
Tidak ada yang bisa dilakukannya.
Raden Antaka benar-benar lenyap. Dan hanya satu nama yang bisa terlintas di
benak Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga jadi cemas kalau Raden Antaka sampai jatuh ke tangan Singo Wulung.
Karena jelas betul, laki-laki berbaju merah yang menjadi buronan pihak Kerajaan
Talang Mega itu seorang laki-laki kejam.
"Kalau saja dia tidak bersikeras untuk ikut, tentu tidak akan sampai begini.
Hhh.... Anak itu benar-benar bikin susah...!" kembali Rangga menggerutu
mengeluh. *** 3 Rangga memalingkan mukanya ketika mendengar rintihan lirih. Saat itu pagi sudah
datang menjelang. Matahari sudah agak tinggi menyinari bumi.
Cahayanya cukup terik membakar. Tampak Rupadi mulai sadarkan diri. Kepalanya
bergerak-gerak menggeleng, sebentar kemudian menggerinjang bangkit duduk.
Pemuda itu terkejut saat melihat ada orang lain di dekatnya. Dan lebih terkejut
lagi, begitu menyadari kalau masih berada di dekat Lembah Intan.
"Oh, siapa kau" Kenapa kau berada di sini?" tanya Rupadi.
"Tenangkan dulu dirimu. Kau baru saja bangun dari pingsan semalaman,"
jelas Rangga kalem.
"Pingsan..." Aku pingsan
semalaman"!" Rupadi terbeliak seakan-akan tidak percaya.
Pemuda itu mengingat-ingat
kembali apa yang dialaminya kemarin.
Dan.... Memang dia tidak sadarkan diri setelah bertarung melawan seorang berbaju
merah. Rupadi memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, kemudian langsung
beranjak bangkit berdiri dan berlari ke bibir lembah.
Pemuda itu memandangi lembah yang tidak seberapa besar di depannya.
"Kau berada di sini semalam?"
tanya Rupadi seraya memutar tubuhnya.
"Benar," sahut Rangga seraya
bangkit berdiri.
"Apakah ada suatu kejadian
semalam di sini?" tanya Rupadi lagi.
Pemuda itu mengayunkan kakinya mendekati Rangga yang tengah membenahi kudanya.
Kuda hitam yang tinggi dan tegap serta berotot kuat. Namanya Dewa Bayu.
Sedangkan Rupadi sendiri menghampiri kudanya. Sungguh tidak disadari kalau
Rangga tidak menjawab pertanyaannya tadi.
"Kuda siapa itu?" tanya Rupadi lagi.
"Teman," sahut Rangga singkat.
"Lalu, ke mana temanmu?"
Rangga tidak langsung menjawab.
Dipandanginya pemuda yang pernah dilihatnya beberapa hari yang lalu ketika
menunggang kuda seperti kesetanan, sehingga membuat hampir seluruh Desa Pucung
gempar. Bahkan hampir saja kuda milik Rupadi melanda seorang laki-laki tua. Dan
rasanya tidak mungkin Rangga bisa berterus-terang pada pemuda edan ini.
"Pergi," hanya itu yang bisa
dijawab Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya. Sebentar
dipandanginya kuda milik Raden Antaka.
Jelas kalau itu hanya kuda biasa yang tidak memiliki keistimewaan sama sekali.
Tanpa berkata apa-apa lagi,
pemuda berbaju rompi putih itu berdecak seraya menghentakkan tali kekang
kudanya. "Ck ck, yeh! Yeah!"
Kuda hitam itu melangkah perlahan meninggalkan daerah sekitar lembah itu.
Sedikit pun tidak dipedulikannya Rupadi yang bergegas naik ke punggung kudanya.
Rupadi mengambil tali kendali kuda yang ditinggalkan Rangga.
Bergegas kudanya digebah, menyusul Pendekar Rajawali Sakti.
"Hei, apa kau tidak membutuhkan kuda ini lagi?" teriak Rupadi.
Rangga tidak menjawab, dan terus saja mengendalikan kudanya dengan langkah
perlahan. Rupadi mensejajarkan langkah kaki kudanya di kanan pemuda berbaju
rompi putih itu. Saat ini Rangga memang lagi segan bicara.
Semalaman Pendekar Rajawali Sakti tidak tidur, karena mencari Raden Antaka di
sekitar Lembah Intan itu.
Tapi jejaknya saja tidak ditemukan.
Pikirannya selalu terpusat pada Putra Mahkota Kerajaan Talang Mega itu. Dia
benar-benar mencemaskan keselamatan Raden Antaka.
"Kalau tidak salah, aku pernah melihatmu," kata Rupadi seraya mengingat-ingat.
Pemuda itu begitu yakin kalau
pernah melihat pemuda berbaju rompi putih ini. Tapi sukar untuk mengingat
kembali, meskipun telah berusaha. Tapi Rupadi begitu yakin
kalau pernah melihatnya. "Saat kau gila-gilaan memacu
kuda. Hampir saja kau membunuh seorang laki-laki tua," jelas Rangga datar.
Sedikit pun kepalanya tidak menoleh pada Rupadi yang berkuda di sebelah
kanannya. "Ooo..., iya. Aku ingat. Maaf, waktu itu aku
buru-buru sekali,"
Rupadi baru ingat.
Pemuda berbaju rompi putih inilah yang menyelamatkan orang tua yang hampir saja
terlanda kudanya waktu itu. Memang hanya sekejap saja, sehingga Rupadi tidak
sempat memperhatikan. Apalagi waktu itu memang sedang terburu-buru. Tapi kenyataan yang
dihadapinya sungguh pahit. Ayahnya sendiri sudah tidak lagi mau percaya padanya.
Dan Rupadi yakin, kalaupun apa yang telah dilihatnya selama ini dikatakannya,
pasti pemuda berbaju rompi putih itu juga tidak akan mempercayai.
Rupadi jadi mengeluh sendiri
karena kini tidak ada lagi orang yang bisa mempercayai dirinya. Semua orang akan
mencibir dan melecehkannya.
Bahkan yang lebih menyakitkan lagi, semua orang menganggap dirinya sudah gila.
Rupadi melirik pemuda berbaju rompi putih yang berkuda di sebelah
kirinya. "Apakah dia juga menganggapku
tidak waras lagi...?" Rupadi bergumam sendiri di dalam hati.
Otak pemuda itu terus bekerja
keras, menduga-duga tentang orang di sebelahnya.
"Kelihatannya kau bukan penduduk Desa Pucung," tebak Rupadi lagi.
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang," sahut Rangga singkat.
"Apa kau sudah dengar tentang
mayat-mayat tak berkepala di Lembah Intan itu?" Rupadi mulai memancing.
Dia memang masih belum yakin kalau pemuda yang belum dikenalnya ini bisa
mempercayainya atau tidak.
Namun kata-kata Rupadi barusan membuat Rangga tersentak, sehingga langsung
menghentikan langkah kaki kudanya. Dipandanginya pemuda itu dalam-dalam.
Sedangkan Rupadi sendiri juga terkejut, karena tidak menduga kalau orang yang
diajaknya bicara ini begitu terkejut. Bahkan seperti belum mendengar tentang
mayat-mayat tak berkepala yang selalu ditemuinya di Lembah Intan.
"Maaf, seharusnya memang aku
tidak berkata seperti itu tadi. Kalau tidak suka mendengarnya, kuminta jangan
menuduhku gila dan pemimpi,"
kata Rupadi buru-buru.
"Apa kau melihat tentang mayat tak berkepala itu semalam...?" Rangga
malah bertanya hal yang sama, disertai pandangan tajam penuh selidik.
"Apa..."!" Rupadi sampai
terbeliak mendengar pertanyaan Rangga barusan.
Sungguh tidak disangka kalau
pemuda berbaju rompi putih itu menanggapi sungguh-sungguh. Tapi...
apakah memang ada lagi mayat tak berkepala semalam..." Dan pemuda berbaju rompi
putih ini.... Rupadi malah memandangi Rangga dalam-dalam, seakan ingin
meyakinkan pendengarannya barusan. Keterkejutan Rupadi rupanya membawa
kegembiraan juga. Pertanyaan Rangga barusan sudah menandakan kalau selama ini
dia tidak bermimpi. Dan memang benar adat mayat-mayat tak berkepala di dalam
lembah yang selalu bersinar terang pada malam hari itu.
*** Senja sudah mulai merayap turun ke kaki langit. Sang surya yang semula bersinar
terik, kini jadi redup.
Bahkan terasa lembut sekali menyentuh kulit. Cahayanya memerah jingga membayang
di balik belahan bumi bagian barat. Begitu indahnya, sehingga tak patut jika
dilewatkan begitu saja.
Namun keindahan senja ini tidak bisa dinikmati seorang pemuda berwajah
tampan yang rambutnya panjang meriap, sedikit tergelung ke atas. Baju putih
tanpa lengan yang dikenakannya berkibar-kibar tertiup angin yang cukup keras,
menebarkan hawa sejuk menyegarkan. Pemuda berbaju rompi putih itu mengayunkan
kakinya perlahan-lahan sambil menuntun kuda hitamnya yang mengikuti di belakang.
Dia memang Rangga atau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tidak yakin kalau Singo Wulung beraksi tanpa sebab. Terlebih lagi kali
ini laki-laki itu seperti menyimpan sesuatu. Pasti ada sesuatu yang terjadi di
sekitar Desa Pucung dan Lembah Intan ini. Tapi bukan hanya itu saja yang
sekarang jadi beban pikiran Rangga. Karena sampai saat ini nasib Raden Antaka
yang menghilang begitu saja belum diketahuinya, tanpa ada jejak sama sekali.
"Tolooong...!"
"Heh..."!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba mendengar teriakan keras yang
tidak seberapa jauh darinya.
Tanpa berpikir panjang lagi,
Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat.
Kudanya ditinggalkan begitu saja.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja Rangga sudah begitu jauh.
Pendekar Rajawali Sakti berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Dia seperti berlari di atas angin saja, seakan-akan kedua kakinya tidak
menjejak tanah sama sekali.
Pendekar Rajawali Sakti terbeliak saat melihat empat orang laki-laki yang
kelihatannya masih muda dan tanggung, tengah memaksa seorang gadis cantik
berbaju kuning gading. Dua orang memegangi tangan gadis itu dan berusaha
menyeretnya. Sedangkan dua orang lagi menakut-nakutinya dengan golok. Gadis itu
meronta-ronta, mencoba melepaskan diri.
"He!...!" bentak Rangga keras.
Bentakan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu keras membuat empat pemuda tanggung
itu terkejut dan langsung melepaskan gadis itu. Seketika mereka berlari kencang
berserabutan, dan berpencaran menembus semak dan kebun.
Sedangkan gadis berbaju kuning gading itu bergegas menghampiri Rangga. Air
matanya bercucuran membasahi pipi yang kemerahan. Dia langsung jatuh terduduk
dan menangis sesenggukan.
"Ssst.., sudah. Mereka sudah
tidak ada lagi," bujuk Rangga agar gadis itu diam tak menangis lagi.
Gadis berbaju kuning gading itu terus menangis sesenggukan. Kemudian kepalanya
diangkat, seraya menyeka air matanya dengan punggung tangan. Lalu dipandanginya
Rangga dengan sesekali masih terisak sambil menggosok matanya
dengan punggung tangan. Perlahan dia bangkit berdiri.
"Terima kasih," ucap gadis itu tersendat.
"Sudahlah. Sebaiknya kau cepat pulang. Mereka sudah pergi," kata Rangga lembut,
seraya menepuk-nepuk pundak gadis itu.
Tapi gadis itu malah memandangi Rangga dalam-dalam. Dan Pendekar Rajawali Sakti
jadi tersenyum maklum.
Tentu saja gadis ini tidak berani pulang sendirian, dan pasti takut dicegat
anak-anak berandal tadi. Anak-anak tanggung yang mencoba berbuat nakal tanpa
memikirkan akibatnya.
"Di mana rumahmu" Mari kuantar kau pulang," Rangga menawarkan jasa.
"Terima kasih," ucap gadis itu perlahan.
Mereka kemudian melangkah
perlahan-lahan. Gadis berbaju kuning gading itu berjalan sambil menundukkan
kepala. Seekor kuda hitam datang menghampiri. Kuda itu mendengus-dengus dengan
kepala terangguk-angguk begitu dekat di depan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengambil tali kekang kuda itu dan menuntunnya.
Mereka terus saja berjalan tanpa bicara sedikit pun. Sesekali gadis berbaju
kuning gading itu melirik pemuda tampan berbaju rompi putih yang berjalan di
sampingnya. Saat panda-
ngannya bertemu tatapan mata pemuda itu, buru-buru perhatiannya dialihkan ke
arah lain. "Kakang pasti bukan dari Desa
Pucung, ya...?" gadis itu memulai pembicaraan.
"Benar," sahut Rangga kalem.
"Kakang dari mana?" tanya gadis itu lagi.
"Dari jauh," sahut Rangga
seenaknya. "Maksudku, dari desa mana?"
"Tidak tahu."
"Kok tidak tahu...?" gadis itu jadi keheranan.
"Aku lahir dan besar di alam
bebas. Jadi tidak tahu berasal dari desa mana," jelas Rangga. Tentu saja jawaban
yang diberikan Rangga tidak benar sama sekali. Dan itu memang disengaja, karena
Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin ada orang lain mengetahui asal-usulnya,
kecuali orang-orang tertentu saja.
"Ooo.... Pengembara, ya...?"
tebak gadis itu.
Rangga hanya menganggukkan
kepalanya saja sambil sedikit memberi senyuman. Mereka terus saja berjalan tanpa
berbicara lagi. Sementara Desa Pucung sudah terlihat di depan. Sebuah desa yang
cukup ramai, meskipun agak sedikit kumuh. Namun desa itu
tergolong besar juga.
"Masih jauh rumahmu?" tanya
Rangga. "Dari sini juga sudah kelihatan,"
sahut gadis itu.
"Yang mana?"
"Itu..., yang paling besar. Di depannya ada pohon waru."
Rangga sedikit tertegun juga saat gadis itu menunjuk rumah yang paling besar di
desa itu. Dan Rangga tahu kalau rumah itu milik Kepala Desa Pucung. Pendekar
Rajawali Sakti kemudian memandangi gadis berbaju kuning gading yang berjalan di
sampingnya ini.
"Kau anak kepala desa?" tebak
Rangga. "Benar. Namaku Lintang," gadis itu membenarkan tebakan Rangga seraya
memperkenalkan namanya. "Kakang siapa?"
"Rangga," sahut Rangga singkat.
"Kakang sudah pernah ke sana?"
tanya Lintang lagi.
"Kemarin," sahut Rangga, tetap singkat saja.
Kembali mereka terdiam. Sementara Desa Pucung sudah semakin dekat saja.
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melirik gadis di sebelahnya. Entah apa
yang ada di dalam pikiran pemuda berbaju rompi putih saat itu. Yang jelas,
ingatannya langsung tertuju pada Rupadi yang saat ini entah berada
di mana saat ditinggalkan di dekat Lembah Intan. Dia juga sudah pernah mendengar
tentang Rupadi yang
dikatakan sebagai pemimpi. Ini karena dia selalu merasa yakin kalau benar
melihat mayat-mayat tanpa kepala di lembah itu. Dan semalam, Rangga juga
melihat. Bahkan tahu siapa pelakunya.
Pendekar Rajawali Sakti sempat pula bertarung beberapa jurus. Sayangnya orang
yang selalu mengenakan baju merah itu sempat kabur.
"Kok diam, Kakang?" tegur
Lintang. "Ah, tidak. Aku hanya sedang
berpikir...," sahut Rangga dengan sengaja memutuskan ucapannya.
"Boleh kutahu, apa yang kau
pikirkan, Kakang?" pinta Lintang.
"Tentu saja. Aku sedang
memikirkan dirimu," sahut Rangga.
"Memikirkan aku..."!" Lintang
tampak terkejut.
"Iya. Aku heran, untuk apa kau datang ke tempat seperti itu seorang diri...?"
Ada saja pikiran yang terlintas di benak Rangga saat ini.
"Aku mencari kakakku," sahut
Lintang. "Siapa kakakmu?" tanya Rangga
berpura-pura. "Kakang Rupadi. Apa Kakang
melihatnya" Dia menunggang kuda coklat, berbaju putih dan membawa
pedang," Lintang menyebutkan ciri-ciri kakaknya.
Sedangkan Rangga yang sebenarnya sudah mengetahui, mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tepat sekali ciri-ciri yang diberikan Lintang tentang Rupadi.
"Lalu, siapa anak-anak itu tadi?"
tanya Rangga lagi.
"Aku tidak tahu. Katanya mereka melihat Kakang Rupadi. Tidak tahunya, aku malah
dibawa ke sana...," agak bergidik tubuh Lintang begitu teringat kejadian tadi.
"Apa mereka bukan penduduk Desa Pucung?"
"Tidak tahu. Aku tidak kenal
semua orang di sini," sahut Lintang polos.
Rangga hanya tersenyum saja.
Lintang benar-benar merupakan gadis desa yang polos dan lugu. Gadis remaja yang
tak pernah keluar rumah dan selalu menuruti kata orang tua, tanpa peduli
dengan perasaan hatinya
sendiri. Masih banyak gadis desa di sekitar wilayah kulon ini, bukan hanya gadis
desa seperti Lintang ini, bahkan gadis-gadis bangsawan pun begitu.
Bahkan lebih parah lagi, mereka tidak bisa bebas bergaul, apalagi keluar dari
pintu rumahnya. Jika mereka ingin keluar rumah, maka puluhan orang yang
mengawalnya. Mereka terus saja berjalan, dan
kini memasuki Desa Pucung yang selalu ramai. Mereka yang berpapasan,
menganggukkan kepalanya. Dan Lintang hanya membalas dengan senyum saja sambil
mengangguk sedikit. Rupanya semua penduduk desa ini mengenali Lintang. Tapi
gadis itu sendiri tidak kenal mereka semua. Hanya orang-orang tertentu saja yang
dikenali. *** Rangga duduk sendiri menghadapi sebuah meja kecil berbentuk persegi.
Hanya ada seguci arak dan gelas bambu yang digosok halus sekali. Tidak begitu
banyak orang yang bertandang di kedai ini. Hanya ada dua orang laki-laki
setengah baya yang kelihatannya sudah mabuk kebanyakan minum arak.
Kemudian seorang perempuan yang masih muda, serta empat anak muda yang mungkin
rata-rata berusia di bawah dua puluh tahun.
Pendekar Rajawali Sakti lebih
tertarik pada keempat pemuda itu, karena pernah bertemu, meskipun itu hanya
sebentar saja. Pertemuan yang tidak mengenakkan sekali. Tapi rupanya empat orang
anak muda itu tidak mengenali Rangga lagi. Mereka minum arak sambil berceloteh,
dan sesekali terdengar tawa berderai.
"Hm, rupanya mereka penduduk desa ini juga," gumam Rangga. "Ah kenakalan anak-
anak muda."
Entah kenapa Rangga jadi
tersenyum sendiri. Dan kini pandangan Pendekar Rajawali Sakti terpaku pada
seorang wanita berwajah cantik yang mengenakan baju merah muda. Wanita itu baru
saja keluar dari bagian dalam kedai ini. Baju yang dikenakan begitu ketat dan
agak tipis, seakan-akan sengaja untuk mengundang gairah laki-laki.
Wanita itu menghampiri empat anak muda yang tengah berpesta di sudut.
Keempat anak muda itu langsung terdiam saat wanita itu tahu-tahu duduk di situ.
Mereka memandangi tanpa
berkedip. Sedangkan wanita itu hanya tersenyum saja.
"Bagaimana...?" datar sekali nada suara wanita itu. Dirayapinya wajah-wajah
empat anak muda tanggung di hadapannya.
"Payah, Nyai Rusila," sahut salah seorang dengan wajah agak gusar.
"Payah..." Maksudmu?"
"Gagal."
"He....?" wanita cantik yang
ternyata istri muda kepala desa itu tampak terkejut sekali.
Pandangan matanya kini tidak lagi lembut, tapi terlihat liar. Dan keempat anak
muda tanggung itu jadi
tertunduk. Tak terdengar lagi
celotehan yang selalu mengundang tawa.
Sementara di sudut lain, Rangga selalu memperhatikan melalui sudut ekor matanya.
Pendekar Rajawali Sakti sengaja merapatkan tubuhnya ke dinding, agar terhalang
oleh tiang. Dia tidak ingin mereka mengetahui kehadirannya di sini.
"Bagaimana kalian bisa gagal,
heh..."!"
"Ada yang menolongnya, Nyai,"
sahut anak muda yang memakai baju kuning dan dadanya dibiarkan terbuka lebar.
"Siapa?"
Empat anak muda tanggung itu
tidak ada yang menjawab. Mereka saling berpandangan. Sedangkan wanita cantik
berbaju merah muda itu memandangi tajam satu persatu tanpa berkedip.
Wajah yang cantik bagai bidadari itu terlihat menegang. Memang terlihat semakin
cantik. Namun di balik kecantikannya, tersimpan sesuatu yang agaknya sangat
mengerikan. "Aku tanya, siapa yang
menolongnya?" dingin sekali nada suara wanita itu.
"Tidak tahu, Nyai."
"Tidak tahu..."!" wanita itu
semakin mendelik.
Empat anak muda itu semakin
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Mereka memang tidak sempat melihat Rangga waktu itu, karena langsung kabur
begitu mendengar bentakan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kali ini kalian harus berhasil.
Dan aku tidak mau mendengar kegagalan lagi," tegas wanita itu lagi. Dingin
sekali nada suaranya.
Mereka hanya menganggukkan
kepalanya saja.
"Sekarang dia ada di sungai.
Sebaiknya kalian tunggu di tempat yang sepi. Dan ingat, jangan sampai gagal
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi...!" Setelah berkata demikian, wanita cantik berbaju merah muda itu beranjak bangkit.
Dia langsung saja melangkah pergi melalui jalan belakang kedai ini. Sedangkan
empat pemuda tanggung itu saling berpandangan sejenak.
Mereka sama-sama mengangkat bahunya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka pun beranjak pergi meninggalkan kedai ini.
*** Senja sudah mulai merayap turun menyelimuti mayapada ini. Cahaya matahari tidak
lagi memancar terik.
Sinarnya kini begitu redup dan lembut membelai dedaunan. Di bawah siraman
lembutnya sinar sang surya, terlihat seorang gadis mengenakan baju kuning
gading tengah berjalan perlahan-lahan.
Rambutnya yang panjang dibiarkan meriap ke depan, melewati bahu kanannya.
Gadis itu menghentikan ayunan
langkahnya ketika tiba-tiba saja empat orang anak muda tanggung menghadang di
tengah-tengah jalan. Wajahnya yang cantik mendadak saja jadi memucat pasi. Dan
keempat anak muda itu tersenyum-senyum sambil melangkah mendekati.
"Mau apa kalian..."!" bentak
gadis itu dengan suara bergetar.
Gadis itu melangkah mundur
perlahan. Sedangkan empat anak muda itu malah tertawa-tawa, membuat gadis itu
semakin ketakutan. Bergegas tubuhnya diputar dan berlari
sekencang-kencangnya. Tapi keempat anak muda itu lebih cepat lagi mengejar.
Mereka berlompatan, dan tahu-tahu dua orang sudah
menghadangnya. "Pergi! Jangan ganggu aku...!"
bentak gadis itu semakin bergetar ketakutan.
Gadis itu ingin berlari. Tapi
salah seorang sudah lebih dahulu melompat, dan langsung mencengkeram pergelangan
tangannya. Tentu saja gadis itu terpekik kaget, dan langsung meronta berusaha
melepaskan diri.
Namun sebelum usahanya membawa hasil,
seorang lagi sudah menyergap memeluk pinggangnya.
"Lepaskan...!" sentak gadis itu sambil terus meronta.
Rontaan yang kuat membuat dua
orang anak muda itu agak kewalahan juga. Tentu saja mereka jadi
kehilangan keseimbangan. Tak pelak lagi, mereka jatuh bergulingan di tanah
disertai pekikan tertahan.
Cengkeraman pemuda itu terlepas. Namun sebelum gadis berbaju kuning gading itu
bisa meloloskan diri, seorang anak muda lainnya sudah keburu menyergap.
Kembali mereka bergulingan. Anak muda itu memeluk kuat sekali.
"Kurang ajar! Lepaskan...!"
teriak gadis itu seraya berusaha meronta mencoba melepaskan diri.
Tapi rupanya gadis ini benar-
benar sedang sial. Karena belum juga usahanya berhasil, dua orang anak muda
lainnya sudah memegangi tangannya kuat-kuat. Kedua tangan mungil itu
direntangkan, dan ditekan ke tanah.
Seorang lagi tetap memeluknya, menindih tubuh ramping yang terus menggeliat
meronta, mencoba melepaskan diri.
"Tolooong....!" teriak gadis itu sekuat-kuatnya.
"Diam...!" bentak salah seorang anak muda.
Plak! "Akh...!" gadis itu memekik saat tiba-tiba saja pipinya terasa panas.
Satu tamparan keras menghentikan usaha gadis itu. Dan dia hanya bisa merintih,
menghiba, memohon agar dilepaskan. Namun empat pemuda itu sama sekali tidak
melepaskannya. Mereka seakan-akan tidak mendengar rintihan lirih gadis itu. Bahkan salah
seorang tiba-tiba saja mulai
bertindak. Bret! "Auw...!" lagi-lagi gadis itu
terpekik. Air mata langsung mengalir saat tangan kasar anak muda itu merobek baju yang
dikenakannya. Tampak bagian dada telah terbuka, karena baju yang menutupinya
terenggut kasar. Terlihat kulit yang putih mulus yang membalut dua gundukan
indah terpampang lebar.
Empat pasang mata terbeliak tak berkedip penuh nafsu. Jakun mereka bergerak-
gerak turun naik seperti menahan air liur. Mendadak saja napas mereka terengah
melihat pemandangan indah dan membangkitkan gairah itu.
"Jangan..., lepaskan aku...,"
rintih gadis itu memohon.
"He he he...."
Tapi empat anak muda itu malah terkekeh-kekeh sambil merayapi bagian dada gadis
itu dengan penuh gairah yang menggelegak. Dan salah seorang
mulai menggerayangi tubuh gadis itu.
Tangan kasar itu meremas bukit putih kembar yang halus terbuka menantang.
Gadis itu memekik dan merintih. Air mata semakin deras mengalir bagai tanggul
jebol. Bret! "Awh...!"
Gadis itu benar-benar tidak
berdaya lagi. Tangan-tangan kasar mencabik-cabik kain yang menutupi tubuhnya.
Beberapa bagian tubuhnya terbuka lebar, membuat jantung empat anak muda itu
semakin keras berdegup.
Napas mereka tersengal dan mendengus-dengus. Tangan-tangan kasar meremas dan
menggerayangi bagian-bagian tubuh yang terbungkus kulit putih halus.
Sementara gadis itu semakin tak berdaya.
Sia-sia saja dia meronta, mencoba melepaskan diri. Jelas tenaganya kalah jauh
dibanding empat anak muda yang sudah dirasuki nafsu binatang itu.
Gadis itu hanya bisa merintih dan menangis memohon belas kasihan. Namun
rintihannya semakin membuat empat anak muda ini tergugah gairahnya.
"Binatang...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Bentakan itu membuat empat
anak muda yang tengah dirasuki nafsu iblis, tersentak kaget.
Namun sebelum mereka melakukan
sesuatu, mendadak saja satu bayangan putih berkelebat cepat. Dan tahu-tahu empat
anak muda itu berpentalan ke atas.
Pekikan-pekikan keras terdengar melengking. Empat tubuh jatuh keras dan
bergelimpangan di tanah. Merasa terlepas dari cengkeraman nafsu iblis empat anak
muda, gadis itu buru-buru bangkit seraya membenahi pakaiannya yang tidak karuan
lagi bentuknya.
Dia berusaha menutupi tubuh yang terbuka seadanya dengan pakaian sobek tak
karuan lagi. "Oh, tolong aku...," rintih gadis itu seraya berlari ke arah seorang pemuda
tampan berbaju rompi putih yang tahu-tahu sudah berdiri tegak
memandangi empat anak muda.
Keempat anak muda itu merintih kesakitan dan berusaha bangkit berdiri. Mereka
terkejut begitu melihat sudah ada seorang pemuda berbaju rompi putih berdiri di
depannya. Sementara gadis itu telah berada di belakang punggungnya,
menyembunyikan diri dengan wajah pucat dan tubuh gemetaran.
"Pergi! Atau kubuntungi tangan kalian!" bentak pemuda itu keras.
Empat anak muda tanggung itu
langsung saja berlari sekencang-kencangnya. Bentakan laki-laki tampan berbaju
rompi putih itu bagai suatu
kesempatan agar bisa bernapas panjang lagi. Sebentar saja mereka sudah jauh.
Pemuda berbaju rompi putih itu segera memutar tubuhnya.
"Kau tidak apa-apa, Lintang?"
lembut sekali suaranya.
Gadis yang memang bernama Lintang itu tidak menjawab. Dia langsung menangis
terduduk lemas. Sudah dua kali gadis itu terlepas dari
cengkeraman anak-anak muda berandal.
Dan dua kali pula pemuda ini
menolongnya. *** 4 Rangga menganggukkan kepalanya sedikit ketika Lintang menyediakan secangkir teh
hangat. Gadis itu duduk tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Hanya sebuah
meja kecil bundar yang menghalanginya. Di samping gadis itu duduk seorang laki-
laki setengah baya mengenakan baju perlente berwarna biru muda. Meskipun
rambutnya sudah berwarna dua, tapi masih kelihatan gagah.
Saat itu Rupadi masuk dengan
langkah tergesa-gesa. Pemuda itu tertegun saat pandangannya tertumbuk pada
pemuda berbaju rompi putih yang duduk di depan ayahnya dan Lintang.
Mereka semua memandang Rupadi yang kelihatan lusuh dan kotor berdebu.
"Ayah...," Rupadi menghampiri.
"Ada apa lagi" Mau melaporkan
omongan kosong lagi...?" sentak Ki Rejo langsung mendelik.
Rupadi langsung diam, kemudian menyambar cangkir teh yang berada di depan
Rangga. Langsung dihirupnya teh itu hingga tuntas tak bersisa.
"He...! Itu punya tamu!" sentak Lintang.
"Tanggung," seenaknya saja Rupadi menyahuti. Diletakkannya kembali cangkir yang
sudah kosong itu.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum geli saja.
"Kau benar-benar tidak tahu tata krama, Rupadi...," desis Ki Rejo berang.
Rupadi tidak menanggapi. Tubuhnya dihenyakkan di kursi yang berada di samping
Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Lintang dan Ki Rejo jadi marah melihat sikap Rupadi yang begitu
seenaknya. Malah sepertinya tidak peduli kalau di situ ada orang lain yang
menjadi tamu di rumah ini.
"Aku kenal. Kebetulan ada di
sini," kata Rupadi ringan.
"Kau jangan sembarangan, Rupadi!"
bentak Ki Rejo.
"Katakan pada ayahku, kalau kau juga melihat mayat tanpa kepala di
Lembah Intan, Rangga," kata Rupadi tidak peduli dengan bentakan ayahnya.
Ki Rejo mendelik kesal terhadap sikap anak laki-lakinya ini. Tapi dia agak
terkejut juga mendengar kata-kata Rupadi barusan. Laki-laki setengah baya yang
selalu perlente itu
memandang Pendekar Rajawali Sakti. Dia berharap kalau pemuda berbaju rompi putih
ini tidak membenarkan apa yang dikatakan Rupadi tadi.
Tapi laki-laki setengah baya itu jadi terkejut, karena Rangga
menganggukkan kepalanya. Jadi berarti juga membenarkan kalau di Lembah Intan
selalu terjadi pembunuhan keji. Dan Rupadi selalu menemukan mayat tanpa kepala
lagi di sana. Ki Rejo
memandangi Rupadi yang tersenyum-senyum penuh kemenangan. Baginya, kehadiran
Rangga di rumah ini
merupakan bintang terang yang bersinar cemerlang meneranginya.
"Benar kau melihatnya, Nak
Rangga?" Ki Rejo ingin memastikan.
"Bukan hanya melihat, Ayah. Tapi Rangga juga bertarung dengan pembu-nuhnya,"
Rupadi yang menyahuti.
"Aku tidak bertanya padamu,
Rupadi!" bentak Ki Rejo.
Rupadi langsung bungkam. Namun ada senyum tipis tersungging di bibirnya.
Sedangkan Lintang hanya diam saja mendengarkan. Dia tidak peduli.
Namun hatinya kesal juga karena dia yang membawa pemuda tampan itu ke rumah ini.
Dan sekarang, yang
dibicarakan malah sesuatu yang tidak diinginkan sama sekali. Lintang memaki
dalam hati terhadap Rupadi yang muncul pada saat tidak diharapkan.
"Benar begitu, Nak Rangga?" tanya Ki Rejo belum yakin.
"Benar, Ki. Bahkan aku
mengenalinya. Dan memang dialah yang sedang kucari selama ini," sahut Rangga
kalem. Senyum di bibir Rupadi semakin lebar. Hatinya benar-benar mekar sekarang.
Terlebih lagi melihat raut wajah ayahnya yang langsung berubah mendengar jawaban
langsung Pendekar Rajawali Sakti. Jawaban yang sebenarnya tidak diharapkan sama
sekali oleh laki-laki setengah baya perlente ini.
Ki Rejo tidak bertanya-tanya
lagi. Keningnya terlihat berkerut dalam. Entah apa yang ada dalam pikirannya
saat ini. Sedangkan Rangga sama sekali tidak memperhatikan, karena tidak ingin
terlibat di dalam rumah tangga kepala desa ini. Keda-tangannya ke desa ini
dengan maksud menangkap Singo Wulung dan membawanya kembali ke Kerajaan Talang
Mega. Tapi masih ada satu persoalan lagi yang harus dihadapinya, Pendekar
Rajawali Sakti harus menemukan Raden Antaka
yang menghilang tak ketahuan rimbanya sampai saat ini. Rangga mencemaskan nasib
putra mahkota itu.
"Maaf, aku tinggal dulu," ujar Ki Rejo seraya bangkit berdiri.
Laki-laki setengah baya itu
langsung saja beranjak pergi sebelum Rangga menjawab. Saat itu Rangga baru
menyadari ada sesuatu yang berubah pada raut wajah Ki Rejo. Namun sulit bisa
diketahui lebih jauh lagi.
Sementara laki-laki setengah baya itu sudah menghilang di balik pintu.
Rangga hanya mendesah panjang, menghi-langkan semua dugaannya terhadap laki-laki
setengah baya itu.
"Sekarang semua orang baru
percaya padaku. Hilang sudah semua anggapan gila pada diriku...," desak Rupadi
lega. Pemuda itu menepuk pundak Rangga, lalu bangkit berdiri. Sambil bersiul-siul
kakinya diayunkan meninggalkan beranda itu, menuju samping rumah.
Siulannya yang tak berirama itu terus terdengar. Kemudian menghilang bersamaan
dengan tidak terlihatnya punggung pemuda itu.
"Huh! Bosan...! Itu-itu saja yang dibicarakan," dengus Lintang
memberengut. Rangga memandangi gadis yang
sudah mengenakan baju merah muda itu.
Lintang semakin kelihatan cantik dalam
keadaan rapi dan bersih seperti ini.
Namun pikiran Rangga sekarang sedang bertumpuk. Apa yang didengarnya tadi
merupakan tanda kalau sepak terjang Singo Wulung memang merajalela lagi.
Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tahu, kalau Singo Wulung selalu bergerak bila
ada yang membayar tinggi. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, siapa yang
membayar si Singo Wulung" Dan apa tujuannya menggunakan pembunuh bayaran itu di
Desa Pucung yang kumuh ini"
Pertanyaan yang sukar untuk
dijawab secepat ini. Dan Rangga melihat adanya tantangan untuk bisa mengungkap,
selain juga harus membekuk dan membawa buronan itu kembali ke Kerajaan Talang
Mega. Memang Prabu Ranakali memberi kebebasan untuk melenyapkan buat selama-
lamanya. Tapi Rangga akan berusaha agar bisa membawa Singo Wulung dalam keadaan
hidup. *** Rangga mendadak sekali menghentikan lari kudanya. Pendekar Rajawali Sakti
langsung melompat turun dari punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu.
Tatapan matanya tidak berkedip, terpaku lurus pada empat sosok tubuh yang
tergeletak di tengah jalan. Rangga mengenali kalau empat
orang pemuda itu adalah pemuda-pemuda tanggung yang dua kali hampir
merenggut kehormatan Lintang.
Namun belum juga Rangga melangkah mendekati, mendadak saja telinganya yang peka
mendengar desiran angin halus dari samping kanannya. Cepat sekali Pendekar
Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke belakang, sehingga sebuah benda halus seperti
jarum berwarna kemerahan lewat di depan dadanya.
"Hup...!"
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya, berputaran ke belakang dua kali. Dengan manis sekali kakinya mendarat di
tanah. Kemudian tubuhnya berputar ke kanan. Dan sebelum bisa melakukan sesuatu,
mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat cepat bagai kilat
menerjangnya. Begitu cepat terjangannya,
sehingga Rangga hampir saja tidak sempat lagi berkelit. Bayangan merah itu
langsung menghantam ke arah dada.
Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti harus berseru keras, sambil mengibaskan
tangannya. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terpental sejauh tiga batang tombak ke
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang, begitu tangannya membentur sesuatu dengan keras.
Beberapa kali Rangga bergulingan di tanah, namun cepat bangkit berdiri.
Bergegas Rangga melakukan beberapa
gerakan disertai pengaturan napas yang baik. Saat itu bayangan merah sudah
kembali berkelebat menerjang cepat bagai kilat.
"Hup! Yeaaah...!"
Buru-buru Rangga melentingkan
tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa kali di tanah. Namun sebelum sempat
bangkit berdiri, beberapa benda berbentuk jarum halus bertebaran ke arahnya.
"Bedebah...!" umpat Rangga
berang. Pendekar Rajawali Sakti terpaksa menggulirkan tubuhnya beberapa kali ke kanan
dan ke kiri, menghindari serbuan jarum-jarum berwarna merah itu. Namun salah
satu jarum berhasil menghantam kakinya.
Crab! "Akh...!" Rangga terpekik ter-
tahan. Seketika kaki kanannya terasa
jadi panas bagai terbakar. Panas itu semakin menjalar ke seluruh tubuhnya.
Rangga menggelepar sambil berteriak-teriak, namun cepat bangkit duduk bersila.
Tapi sebelum Pendekar Rajawali Sakti sempat melakukan sesuatu, satu hantaman
keras mendarat dadanya.
Begitu tiba-tiba, dan demikian keras!
Deghk! "Akh...!" lagi-lagi Rangga ter-
pekik keras agak tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti terpental bergulingan kembali ke tanah.
Sebongkah batu yang cukup besar hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya.
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya sebentar saja mampu menggeliat dan
mengerang. Sesaat kemudian, diam tak berkutik lagi.
"Ha ha ha...!" terdengar tawa
menggelegar. Kembali terlihat bayangan merah itu berkelebat dan langsung menyambar tubuh
Pendekar Rajawali Sakti yang tergeletak pingsan di tanah. Saat bayangan merah
itu berkelebat, seketika itu juga lenyap bersamaan dengan lenyapnya tubuh
Rangga. Sebentar saja suasana kembali
sunyi seperti tidak pernah terjadi sesuatu di tepi hutan dekat perbatasan
sebelah selatan Desa Pucung itu.
Sementara kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti langsung menjadi
beringas di tempatnya. Mungkin karena ada ikatan batin, seakan-akan kuda itu
marah melihat peristiwa yang baru saja berlangsung. Dewa Bayu meringkik sambil
menghentak-hentakkan kakinya ke depan.
*** Sementara itu, tampak seekor kuda coklat berpacu membelah jalan berdebu.
Penunggangnya seorang pemuda berbaju putih yang rambut panjangnya dibiarkan
meriap. Hanya selembar pita hijau yang mengikat kepalanya.
"Hooop...!"
Pemuda itu menghentikan langkah kaki kudanya dengan mendadak sekali.
Dia langsung melompat turun dari punggung kudanya. Kedua matanya membeliak lebar
melihat empat sosok tubuh tergeletak tak bernyawa lagi menghadang di tengah
jalan. Darah yang keluar dari dada, sudah hampir mengering. Dan tidak jauh dari
keempat mayat itu tampak seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap tengah
melonjak-lonjak seperti melihat hantu.
"Rangga...," pemuda itu mendesis perlahan.
Bergegas dihampiri kuda itu.
Namun belum juga dekat, kuda itu langsung melompat kabur. Hampir saja kuda hitam
itu menerjang. Untung pemuda itu cepat-cepat melompat menyingkir. Kuda hitam
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti terus berlari kencang bagai angin menembus
lebatnya hutan.
"Pasti sesuatu telah terjadi pada Rangga," desis pemuda itu setengah bergumam.
Cepat-cepat pemuda itu melompat
naik ke punggung kudanya. Langsung digebahnya kuda itu dengan kecepatan tinggi.
Kuda coklat itu melompat berlari kencang, kembali menuju Desa Pucung.
"Hiya...! Hiya...!"
Pemuda itu terus menggebah
kudanya meskipun sudah memasuki Desa Pucung. Orang-orang yang berada di
sepanjang jalan desa itu mengumpat dan memaki sambil buru-buru menyingkir.
"Rupadi kumat lagi!" umpat orang-orang itu.
Dan seperti biasanya, pemuda yang memang Rupadi itu tidak peduli.
Kudanya terus saja dipacu cepat.
Beberapa barang yang menghadang di tengah jalan langsung saja diterjang tak
peduli. Padahal pemiliknya memaki-maki sambil melemparinya dengan macam-macam
benda yang bisa terjangkau.
"Hiya, hiya...!"
Rupadi terus saja menggebah
kudanya semakin cepat. Sama sekali tidak dipedulikan benda-benda yang melayang
mengarah padanya. Kudanya terus digebah semakin sering dan cepat. Kuda itu
menuju rumah Kepala Desa Pucung ini. Beberapa orang yang berada di depan pintu
pagar rumah itu bergegas menyingkir saat melihat Rupadi memacu kuda bagai
kesetanan. "Awas, minggir...!" teriak Rupadi keras.
"Edan..!"
Orang-orang itu hanya bisa
mengumpat sambil mengurut dada melihat kegilaan Rupadi kambuh lagi, padahal
beberapa hari ini telah lenyap. Pemuda itu menerobos pintu pagar dan terus
melintasi halaman depan yang luas.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tanpa menghentikan lari kudanya, Rupadi langsung melompat turun. Dua kali
tubuhnya berjumpalitan di udara.
Gerakannya manis sekali. Kemudian kakinya mendarat tepat di beranda depan.
Langsung diterobosnya pintu, lalu masuk ke dalam. Lintang yang berada di beranda
itu jadi terkejut dan hanya bisa melongo memandangi saja.
Rupadi langsung saja menerobos masuk ke dalam. Namun setelah agak lama berada di
dalam rumah besar itu, dia keluar lagi. Ayunan kakinya cepat dan lebar-lebar.
Namun begitu melihat Lintang yang tengah duduk mencangkung di beranda, ayunan
kakinya langsung berhenti.
"Ayah mana, Lintang?" tanya
Rupadi. "Mana aku tahu..." Cari saja
sendiri," sahut Lintang acuh.
"Kau jangan main-main, Lintang.
Aku sungguh-sungguh!" Rupadi jadi gusar melihat sikap adiknya yang masa bodoh
saja. "Aku tidak tahu...!" bentak
Lintang balas mendelik.
"Huh!" Rupadi mendengus.
Pemuda itu mengedarkan
pandangannya berkeliling. Sudah dicari ke seluruh ruangan rumah ini, tapi
ayahnya tidak ditemukan. Bahkan perempuan muda yang dibencinya juga tidak ada.
Rupadi kembali menatap adiknya yang kelihatan acuh saja, asyik dengan
sulamannya. "Kau lihat Rusila, Lintang?"
tanya Rupadi. "He..."! Apa kau bilang...?"
Lintang mendelik.
"Kau lihat Rusila, tidak...?"
Rupadi mengeraskan suaranya.
"Kau sama sekali tidak
menghormati ibu, Kakang," dengus Lintang tanpa menyahuti pertanyaan kakaknya
ini. "Dia bukan ibuku! Bukan ibumu!"
sentak Rupadi kasar. "Mana dia...?"
"Tidak tahu. Cari saja sendiri."
"Setan kau!" dengus Rupadi kesal.
"Apa..."!" Lintang mendelik.
Tapi sebelum gadis itu membalas, Rupadi sudah cepat meninggalkannya dengan
langkah lebar-lebar. Lintang hanya bisa memaki dalam hati. Entah kenapa, sejak
ayah mereka kawin lagi selalu saja ada pertengkaran bila kakak adik ini bertemu.
Lintang sendiri tidak mengerti kenapa Rupadi
begitu membenci ibu tirinya. Meskipun ibu tiri mereka usianya hanya terpaut satu
tahun dengan Lintang, tapi sudah resmi menjadi istri Ki Rejo. Dan itu berarti
jadi ibu mereka juga.
"Huuuh..., dasar...!" Lintang
mencibir kesal.
Kembali ditekuni sulamannya.
Sedangkan Rupadi sudah tidak kelihatan lagi. Entah pergi ke mana. Sama sekali
gadis itu tidak ambil peduli.
Kesibukannya membuat sulaman begitu menyita perhatiannya. Sehingga Lintang tidak
mau tahu, apa yang tengah terjadi di rumah ini.
*** 5 Byur! Rangga gelagapan ketika tiba-tiba saja seember air mengguyur tubuhnya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung ter-bangun dari ketidaksadarannya. Pemuda
berbaju rompi putih itu terkejut saat mengetahui dirinya berada di dalam sebuah
ruangan sempit yang dindingnya terbuat dari belahan papan.
Sebentar Rangga menggeleng-ge-
lengkan kepalanya, mencoba mengusir rasa pening yang menghantam kepalanya.
Air yang mengguyur seluruh tubuhnya
begitu dingin, membuatnya menggeletar menggigil. Pendekar Rajawali Sakti
meringis saat sebuah tangan kasar menjambak rambutnya dan memaksa kepalanya
terangkat. Tampak di depannya kini berdiri seorang laki-laki berusia sekitar
tiga puluh tahun lebih. Bajunya merah menyala dan agak ketat.
"Hih...!" laki-laki berbaju merah itu menyentakkan kepala Rangga.
Seketika itu juga
Rangga terpental ke belakang dan jatuh ter-jerembab telentang. Pendekar Rajawali Sakti
mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi langsung menyadari kalau jalan darahnya
sudah tertotok. Dan ini membuat seluruh anggota tubuhnya jadi lumpuh, tak bisa
digerakkan lagi.
Hanya kepalanya saja yang masih bisa bergerak bebas.
"Seharusnya aku sudah membunuhmu, Pendekar Rajawali Sakti," dingin sekali nada
suara laki-laki berbaju merah menyala itu.
"Kenapa tidak kau lakukan, Singo Wulung?" balas Rangga dengan suara yang juga
dingin menggetarkan.
"Ha ha ha...!" laki-laki berbaju merah menyala yang dikenali Rangga bernama
Singo Wulung, tertawa
terbahak-bahak.
Suara tawanya demikian keras
menggelegar, seakan-akan ingin
meruntuhkan ruangan kecil yang pengap ini. Namun hanya sebentar saja tertawa,
selanjutnya rahangnya dikatupkan rapat-rapat. Tatapan matanya begitu tajam
menusuk, seakan-akan hendak menguras isi hati Pendekar Rajawali Sakti. Untuk
sesaat lamanya, suasana di dalam ruangan sempit dan kotor ini jadi sunyi senyap.
Jago Kelana 9 Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat Jala Pedang Jaring Sutra 11
BURONAN SINGO WULUNG Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode:
Buronan Singo Wulung
Ebook: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Cras! "Aaa...!"
Satu jeritan melengking panjang terdengar menyayat, membelah keheningan malam
ini. Suara itu menggema, datang dari sebuah lembah yang tampak terang bagai
siang hari saja. Hanya beberapa saat saja terdengar jeritan panjang itu,
kemudian suasana kembali sunyi. Kini tak terdengar satu suara pun, kecuali desir
angin saja yang menggesek dedaunan.
Namun belum juga lama kesunyian kembali menyelimuti malam ini, mendadak saja
terdengar tawa yang pecah berderai menggelegar. Suara tawa itu jelas datang dari
arah lembah. "Ha ha ha...!"
Tampak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun berdiri tegak di
atas sebongkah batu yang memancarkan cahaya terang berkilauan.
Bajunya merah agak ketat. Di tangannya tergenggam sebilah pedang yang menjuntai
ke bawah. Terlihat jelas, dari ujung pedang itu menetes darah segar yang
langsung menimpa batu yang dipijaknya.
"Hup...!"
Laki-laki berbaju merah itu
melompat ringan. Tanpa bersuara sedikit pun, tahu-tahu kakinya sudah
menjejak tidak jauh dari sesosok tubuh yang tergeletak tak berkepala lagi.
Sedangkan kepalanya berada beberapa depa jauhnya dari tubuh yang telah dingin.
Darah mengucur deras dari leher yang buntung. Laki-laki itu mendengus, dan
kakinya menyepak tubuh tak berkepala lagi, sehingga mengge-linding menjauh.
Kemudian dihampirinya kepala yang tergeletak masih mengucurkan darah.
Dikeluarkannya selembar kain hitam yang sudah lusuh dari balik bajunya.
Setelah memasukkan pedang ke dalam sarungnya di pinggang, laki-laki berbaju
merah itu membungkus kepala dengan kain hitam, lalu mengikatnya di ujung bambu
yang sebelumnya diambil di sekitar tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, laki-laki itu berjalan meninggalkan lembah.
Tampaknya dia seperti jalan biasa saja. Namun ayunan langkah kakinya begitu
ringan. Bahkan tak ada sedikit pun suara yang ditimbulkannya.
Begitu ringannya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap ditelan
kegelapan malam. Namun suara tawanya masih terdengar semakin kecil dan menjauh.
"Ha ha ha...!"
*** Siang ini udara terasa begitu
panas. Langit tampak cerah, tanpa awan sedikit pun menggantung di sana.
Seakan-akan membuat sang mentari merajalela memancarkan sinarnya, untuk membakar
permukaan bumi ini. Sedangkan angin bertiup kencang, memaksa pepohonan harus
menggugurkan daun-daunnya.
Di bawah teriknya sinar matahari, tampak seorang pemuda memacu cepat kudanya.
Debu mengepul menambah pengapnya udara siang ini. Meskipun pandangannya agak
terhalang, namun lari kudanya tidak juga diperlambat.
Bahkan semakin sering menggebah agar berlari lebih cepat lagi.
Dan saat memasuki sebuah desa, pemuda itu tidak juga mengendurkan lari kudanya.
Dia malah semakin sering menggebah kudanya agar berlari lebih cepat lagi.
Beberapa orang yang kebetulan berada di jalan, bergegas menyingkir. Mereka tidak
sempat lagi menyelamatkan barang-barangnya yang seketika itu juga jadi
berantakan diterjang kaki kuda.
"Minggir...! Minggir...!"
Pemuda itu tidak peduli dengan makian orang-orang yang merasa terganggu, dan
terus menggebah kudanya semakin cepat. Bahkan ketika tiba-tiba seorang laki-laki
tua bertongkat melintas menyeberangi jalan, pemuda itu jadi terkejut. Tapi lari
kudanya tidak mungkin dihentikan lagi.
"Minggir...!" teriak pemuda itu keras.
"Awas, Ki...!"
Terdengar seruan-seruan keras
memperingatkan, namun laki-laki itu seperti jadi kebingungan. Dan pada saat kuda
itu hampir saja menerjangnya, mendadak saja seorang pemuda berbaju rompi putih
melesat menyambar laki-laki tua itu. Maka orang tua itu selamat dari terjangan
kuda coklat yang dipacu bagai kesetanan itu.
Beberapa kali mereka bergulingan di tanah, namun pemuda yang menunggang kuda itu
sama sekali tidak peduli. Dia terus saja menggebah kudanya dengan kecepatan
tinggi. Membuat sepanjang jalan dipenuhi teriakan dan makian serta sumpah
serapah. "Anak setan...!" geram laki-laki tua seraya bangkit berdiri dibantu penolongnya.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya pemuda yang menolongnya tadi.
"Tidak. Terima kasih," sahut
laki-laki tua seraya menerima
tongkatnya. Bajunya segera dibersihkan dari debu yang melekat.
"Siapa penunggang kuda itu?"
tanya pemuda berbaju rompi putih itu lagi.
"Rupadi, anak kepala desa ini,"
salah seorang perempuan gemuk
menyahuti. Pemuda itu melirik sedikit,
kemudian membantu laki-laki tua bertongkat itu menepi. Didudukkannya laki-laki
tua itu di sebuah pohon yang tumbang di pinggir jalan.
"Tidak tahu kenapa, beberapa hari ini dia jadi gila begitu," gumam laki-laki tua
itu lagi. "Kenapa tidak dilaporkan saja
pada orang tuanya, Ki?"
"Huh! Percuma...!"
Pemuda itu mengarahkan pandangannya pada Rupadi yang terus memacu cepat kudanya.
Debu semakin banyak mengepul. Dan makian serta sumpah serapah semakin sering
terdengar sepanjang jalan. Dalam waktu beberapa saat saja, sepanjang jalan Desa
Pucung jadi berantakan seperti baru saja terlanda angin badai.
Sementara Rupadi terus memacu
kudanya semakin cepat. Sama sekali tidak dipedulikannya orang-orang yang memaki
karena merasa terganggu kesibukannya. Bahkan kudanya semakin dipacu cepat begitu
sebuah rumah yang besar dan paling megah di desa ini terlihat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Pemuda yang mengenakan baju putih itu melompat dari punggung kuda begitu tiba di
depan rumah yang memiliki halaman luas tanpa pagar. Ringan
sekali kakinya menjejak tanah, tepat di depan undakan beranda depan.
Bergegas dia melangkah setengah berlari menaiki undakan beranda depan itu.
Seorang laki-laki tua, muncul dari samping rumah. Lalu, diambilnya kuda coklat
itu dan dibawanya ke samping.
Sementara Rupadi terus berjalan cepat melintasi beranda depan. Pada saat baru
saja hendak masuk ke dalam rumah, mendadak seorang gadis cantik berbaju kuning
gading muncul hendak keluar. Hampir saja mereka
bertabrakan. "He...! Matamu di mana sih..."!"
bentak gadis itu mendelik
"Minggir!" sentak Rupadi seraya mendorong kasar tubuh gadis itu.
"Ah...!" gadis itu terpekik.
Tubuhnya terhuyung ke belakang hingga punggungnya menubruk sebuah pilar kayu
hitam yang keras. Kembali gadis itu memekik kesakitan. Bibirnya meringis menahan
sakit di punggungnya.
Hampir saja dia memaki, kalau saja Rupadi tidak cepat menghilang ditelan pintu
yang langsung tertutup.
"Dasar bergajul...!" maki gadis itu seraya meringis.
Makian gadis itu tidak terdengar, karena Rupadi sudah terus masuk ke dalam
melewati ruangan depan yang cukup luas. Pemuda itu baru berhenti
berjalan setelah tiba di ruangan tengah. Tampak seorang laki-laki setengah baya
mengenakan pakaian perlente tengah duduk ditemani seorang wanita cantik berbaju
ketat warna biru laut yang tipis, sehingga memetakan bentuk tubuhnya. Hanya
sebentar Rupadi menatap wanita itu, kemudian mengayunkan kakinya menghampiri.
"Pakaianmu kotor sekali, Rupadi.
Dari mana saja kau...?" tegur laki-laki setengah baya itu langsung.
"Ada yang ingin kukatakan, Ayah,"
kata Rupadi, tidak mempedulikan teguran itu.
"Katakan saja," sahut laki-laki setengah baya yang dikenal bernama Ki Rejo,
Kepala Desa Pucung ini.
Rupadi tidak langsung mengatakannya. Ditariknya napas panjang beberapa kali,
mencoba menguasai jalan napasnya yang terengah-engah.
"Minum dulu, Rupadi," wanita
cantik yang duduk di samping Ki Rejo menyodorkan secangkir teh hangat.
Rupadi hanya memandangi saja,
namun menerima cangkir dari keramik itu. Kemudian tehnya dihirup sedikit, lalu
diletakkan kembali ke atas meja.
"Ada apa, Rupadi?" tanya Ki Rejo.
"Ada mayat lagi, Ayah. Di Lembah Intan...," sahut Rupadi.
"Huh! Itu saja yang bisa kau
katakan..." Apa tidak punya kerjaan
lain lagi, hah...!" dengus Ki Rejo sambil mendelik.
"Tapi, Ayah...."
"Sudah...!" sentak Ki Rejo cepat.
Rupadi langsung terdiam.
"Kau selalu mengatakan ada mayat, tapi tak pernah ada buktinya. Bahkan tak
seorang pun yang melaporkan ada keluarganya yang hilang. Sudah...!
Lebih baik kerjakan yang lain, yang lebih bermanfaat," kata Ki Rejo.
"Aku benar melihatnya, Ayah.
Mayat-mayat itu ada di Lembah Intan.
Tidak ada kepalanya lagi," Rupadi mencoba meyakinkan.
"Kalau memang ada, urus saja
sendiri. Aku tidak suka dikatakan gila karena menanggapi orang yang sudah tidak
waras!" "Ayah...!" sentak Rupadi tersinggung dikatakan tidak waras.
"Dengar, Rupadi. Kau kubesarkan bukan untuk jadi cemoohan orang. Kau calon
kepala desa di sini, untuk menggantikan aku. Bagaimana mungkin kau bisa jadi
kepala desa kalau pikiranmu sudah tidak waras lagi..."
Hentikan semua khayalanmu itu, Rupadi!" tegas Ki Rejo.
Rupadi gusar, lalu cepat berbalik dan langsung beranjak pergi tanpa berkata apa
pun juga. Ayunan kakinya lebar dan terhentak. Ki Rejo hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya saja melihat tingkah anak laki-lakinya yang semakin aneh belakangan ini.
"Seharusnya jangan berkata kasar seperti itu, Kakang. Kasihan. Nanti dia bisa
kehilangan kepercayaan diri,"
ujar wanita di sebelah Ki Rejo dengan suara lembut.
"Kelakuannya semakin aneh saja.
Bagaimana mungkin dia bisa mengkhayal begitu...?" dengus Ki Rejo seraya mendesah
panjang. "Mungkin dia memang melihat ada mayat di sana, Kakang."
"Kau jangan ikut-ikutan jadi
edan, Rusila!" sentak Ki Rejo.
"Maaf. Bukannya aku ingin
mencampuri, tapi tidak ada salahnya jika kau sesekali melihat ke sana,"
kilah wanita yang dipanggil Rusila itu lagi. Dia adalah istri muda Ki Rejo.
"Ah..., sudahlah. Aku tidak ingin membicarakan itu lagi!" sentak Ki Rejo.
Laki-laki tua itu mengambil
tangan Rusila, dan membawanya ke bibir. Kemudian dengan lembut dikecup-nya.
Namun dengan halus sekali wanita itu melepaskan genggaman tangan laki-laki
setengah baya yang menjadi suaminya. Bibir yang selalu memerah, mengulas
senyuman manis menggairahkan.
Ki Rejo malah melingkarkan tangannya di pinggang yang ramping.
"Kakang.... Nanti ada Lintang,"
lembut sekali Rusila menolak laki-laki setengah baya itu.
Sementara Rupadi sudah berada di ruangan depan kembali. Dengan kasar dibukanya
pintu, dan kembali tubuhnya hampir bertabrakan lagi dengan gadis berbaju kuning
gading. Gadis itu lagi-lagi memekik, dan langsung mendelik berang begitu melihat
Rupadi lagi yang hampir menabraknya.
"Matamu sudah buta, ya...!"
sentak gadis itu berang.
Rupadi tidak menanggapi, tapi
malah merebut guci yang ada di tangan gadis itu. Langsung ditenggaknya isi guci
itu hingga tandas.
"He...! Itu punya ayah...!"
Rupadi malah membuang guci itu ke luar halaman.
"Katakan pada ayah, araknya sudah kuminum."
Setelah berkata demikian, Rupadi langsung saja berjalan pergi.
"Dasar edan...!" rutuk gadis itu memberengut.
"Lintang...!" terdengar panggilan keras dari dalam.
"Iya, Ayah! Sebentar...!" teriak gadis berbaju kuning gading yang ternyata
bernama Lintang, menyahuti.
Bergegas Lintang melangkah masuk.
Sementara Rupadi sudah kembali menggebah kudanya meninggalkan halaman rumah
besar itu. Kudanya dipacu cepat sambil
berteriak-teriak keras. Beberapa orang pekerja di rumah itu hanya menggeleng-
gelengkan kepala saja sambil mengurut dada, melihat tingkah Rupadi yang semakin
ugal-ugalan saja.
*** Di sebuah bukit kecil, Rupadi
tengah memandangi lembah yang tidak begitu besar. Bukit itu membatasi lembah
dengan Desa Pucung. Dari bukit ini, bisa terlihat setiap sudut lembah dengan
leluasa sekali, tanpa ada penghalang.
"Aneh.... Padahal, tadi aku lihat mayat itu ada di sini," gumam Rupadi pelan.
Tatapan mata pemuda itu lurus ke satu arah, di mana terlihat sebongkah batu
besar bercahaya bagaikan intan.
Kepalanya menggeleng-geleng. Sinar matanya seakan-akan tidak percaya dengan apa
yang kini dilihatnya. Dia begitu yakin kalau tidak jauh dari batu itu, ada
sesosok mayat tanpa kepala. Tapi sekarang, sudah tidak ada lagi. Bahkan tetesan
darahnya pun tidak terlihat lagi di sana.
"Apa yang kau cari, Anak
Muda...?" "Heh..."!" Rupadi terperanjat
ketika tiba-tiba saja terdengar
teguran dari arah belakang.
Seketika tubuhnya berbalik.
Tampak di depannya kini, berdiri seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh
tahun. Laki-laki itu mengenakan baju merah menyala. Tampak sebilah pedang yang
bergagang kuning seperti terbuat dari emas tergantung di pinggangnya. Rupadi
agak bergidik juga saat memandang mata laki-laki itu yang begitu tajam menusuk.
"Siapa kau...?" tanya Rupadi,
agak bergetar suaranya.
"Kau tidak perlu tahu siapa
diriku, Rupadi," sahut orang berbaju merah itu, dingin dan datar suaranya.
"He..."! Kau tahu namaku...?"
Rupadi semakin terperanjat.
"Aku tahu siapa dirimu, dan apa yang kau lakukan di sini, Rupadi.
Sebaiknya, hentikan saja pekerjaan kosongmu itu. Tidak ada yang bisa kau
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapatkan di sini," tegas laki-laki itu, tetap dingin nada suaranya.
"Kau tidak berhak melarangku!"
sentak Rupadi ketus.
"Kau memang keras kepala, tapi lembek. Kau bisa kasar pada orang lain. Tapi
menghadapi tua bangka hidung belang itu, kau malah
bersembunyi seperti tikus!" dengus laki-laki berjubah merah itu.
"Kisanak, aku tidak kenal dirimu.
Apa maksudmu berkata demikian..."!"
hati Rupadi mulai panas.
Rupadi sudah bisa menebak kalau laki-laki berbaju merah menyala ini menyinggung
ayahnya. Dan pemuda itu tidak mau ayahnya dihina. Apalagi direndahkan, dengan
perkataan hidung belang yang doyan lalap muda. Suatu penghinaan yang sukar
dimaafkan. "Ha ha ha.... Kenapa jadi marah begitu, Rupadi" Seharusnya kau marah pada
ayahmu. Bahkan kalau perlu, membunuhnya! Karena dia sudah...."
"Tutup mulutmu, Keparat!" bentak Rupadi memutuskan ucapan orang berbaju merah
itu. "Seharusnya kau patut dikasihani.
Tapi sayang sekali..., kau malah dibenci dan ayahmu enak-enakan dengan...."
"Cukup! Kalau tidak mau enyah
dari sini, kubunuh kau!" bentak Rupadi mengancam.
"Ha ha ha.... Kau belum cukup
mampu untuk membunuhku, Rupadi. Bahkan ayahmu sendiri tidak akan mampu
menandingiku meskipun dalam dua jurus saja."
"Keparat...!"
Merah seluruh wajah Rupadi.
Kemarahannya sudah mencapai puncak setelah mendengar kata-kata yang ringan namun
sangat menyakitkan itu.
Langsung saja pedangnya dicabut, dan....
Sret! "Hiyaaat...!"
Rupadi langsung melompat
menerjang sambil membabatkan pedang ke arah leher laki-laki berbaju merah itu.
Namun orang itu hanya sedikit saja menarik kepalanya. Maka ujung pedang Rupadi
hanya lewat begitu saja tanpa mengenai sasaran. Namun pemuda itu tidak diam
sampai di situ saja.
Dengan cepat sekali pedangnya diputar, dan langsung dibabatkan ke arah perut.
Tapi orang berbaju merah itu meliukkan tubuhnya sedikit, tanpa menggeser
kakinya. Tebasan pedang itu tidak mengenai sasaran lagi. Hal ini membuat pemuda
berbaju putih itu
semakin geram. "Hiyaaat...!"
Rupadi semakin meningkatkan
serangan-serangannya. Pedang itu berkelebat cepat, sehingga bentuknya jadi
hilang. Dan yang terlihat kini hanya sinar keperakan yang
berkelebatan cepat mengurung tubuh laki-laki berbaju merah itu. Namun sampai
Rupadi melewatkan sepuluh jurus, belum juga mampu mendesak orang berbaju merah
menyala itu. "Cukup, Rupadi. Hentikan...!"
sentak orang itu keras.
Tapi Rupadi tidak mendengarkan, dan malah semakin gencar menyerang.
Akibatnya, orang berbaju merah itu
menggeram agak tertahan. Wajah yang pucat kaku, semakin terlihat pucat bagai tak
teraliri darah lagi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke atas. Dan dengan kecepatan bagai kilat,
mendadak saja dilepaskannya satu pukulan ke arah dada Rupadi.
Sementara pemuda itu benar-benar tidak menyangka akan datang serangan yang
mendadak dan cepat luar biasa itu, sehingga tidak bisa lagi berkelit.
Ujung jari orang berbaju merah itu tepat menotok dadanya.
"Akh...!" Rupadi terpekik
tertahan. Seketika itu juga tangannya ter-kulai, pedangnya jatuh terlepas dari genggaman.
Sebelum pemuda itu bisa menyadari apa yang telah terjadi, tubuhnya sudah ambruk
tergeletak di tanah. Langsung pandangannya jadi gelap, kemudian tidak tahu lagi
apa yang terjadi selanjutnya.
Laki-laki berbaju merah itu
berdiri tegak memandangi. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat.
Sesaat kemudian, tubuhnya berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Rupadi yang
tergeletak di tanah berumput.
"Sayang sekali, aku tidak boleh membunuhnya," gumam laki-laki berbaju merah itu
setengah mendesah.
Dia terus saja berjalan tanpa
menoleh lagi. Ayunan kakinya begitu ringan, seakan-akan tidak menjejak tanah.
Dalam waktu sebentar saja, laki-laki berbaju merah itu sudah lenyap ditelan
kerimbunan pepohonan.
Sementara Rupadi masih tergeletak tak bergerak-gerak lagi.
Bukit dekat lembah itu kembali sunyi senyap. Hanya desir angin yang terdengar
menggeser dedaunan. Tak ada lagi suara lain yang bisa terdengar.
Sementara matahari sudah semakin condong ke arah barat. Sinarnya tidak lagi
terik seperti siang tadi, dan kini terasa lembut dan menyejukkan.
*** 2 "Rangga...! Cepat ke sini...!"
Teriakan keras terdengar memecah keheningan senja di Lembah Intan.
Terlihat seorang laki-laki muda berpakaian indah warna biru muda, berdiri di
dekat sesosok tubuh berbaju putih yang tergeletak tak bergerak di tanah
berumput. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang pemuda mengenakan baju rompi
putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung tampak bertengger di punggungnya.
"Ada apa, Raden Antaka?" tanya
pemuda berbaju rompi putih yang dipanggil dengan nama Rangga.
Dan memang, pemuda itu adalah
Rangga yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda
berbaju biru muda yang
dipanggil Raden Antaka, hanya menunjuk saja ke tubuh yang tergeletak tak
bergerak di depannya. Rangga memandangi beberapa saat.
Begitu mengenali orang yang
tergeletak itu, Rangga buru-buru memeriksanya. Ditariknya napas panjang setelah
memeriksa, dan diberikannya beberapa totokan di beberapa bagian tubuh orang yang
tergeletak itu.
"Hanya pingsan, tidak apa-apa,"
jelas Rangga. "Kau kenali dia?" tanya Raden
Antaka. "Namanya Rupadi. Dia anak Kepala Desa Pucung. Tidak jauh dari sini,"
sahut Rangga. "Kenapa pingsan di sini?" tanya Raden Antaka.
"Entahlah. Pingsannya akibat
terkena totokan tenaga dalam cukup tinggi juga. Sebentar lagi juga dia sadar,"
sahut Rangga. "Berarti dia baru saja
bertarung.... Begitu kan maksudmu, Rangga?" agak bergumam suara Raden Antaka.
"Dugaanku begitu," sahut Rangga
kalem. "Bertarung dengan siapa" Apakah dia punya musuh?" tanya Raden Antaka lagi.
"Maaf, Raden. Aku mengenalnya
hanya dari cerita orang-orang di desa saja. Aku tidak tahu pasti, siapa dia
sesungguhnya," sahut Rangga mulai terasa jenuh mendengar pertanyaan yang tidak
ada habisnya dari anak muda yang baru berusia sekitar delapan belas tahun ini.
"Apakah kita tinggalkan saja dia di sini?" Raden Antaka meminta pendapat.
"Sebaiknya jangan, Raden. Terlalu berbahaya baginya berada di sini dalam keadaan
tidak sadarkan diri," sergah Rangga kalem.
"Tapi perjalanan kita sendiri
masih panjang, Rangga. Dan aku tidak ingin terhalang hanya karena mengurusi
persoalan begitu saja."
"Sebentar lagi malam, Raden. Ada baiknya kalau kita bermalam di sini,"
tegas Rangga. "Katamu Desa Pucung tidak berapa jauh lagi. Kita bisa mencari
penginapan di sana, Rangga."
"Sama saja, Raden. Di sini atau di penginapan, tidak ada bedanya. Lagi pula,
tujuan kita bukan hanya mencari penginapan yang baik. Tapi, ada tugas penting
yang harus diselesaikan
secepatnya," Rangga mengingatkan.
"Terserah kau sajalah," Raden
Antaka mengangkat bahunya. "Kau yang dipercayakan Ayahanda Prabu untuk meringkus
buronan itu, dan aku tinggal mengikuti saja."
Rangga hanya mendengus saja.
Kalau saja bukan karena sahabatnya yang meminta, malas rasanya berjalan bersama
anak manja seperti ini.
Permintaan bantuan Prabu Ranakali saja sudah cukup berat. Pendekar Rajawali
Sakti tahu, siapa yang harus
dicarinya. Dengan adanya anak manja ini, bebannya semakin bertambah saja.
Tapi Rangga tidak ingin
mengecewakan sahabatnya itu. Meskipun berat, terpaksa Pendekar Rajawali Sakti
menerima saat Raden Antaka memohon pada ayahnya untuk ikut serta meringkus
buronan itu. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga mencari ranting-ranting kering.
Kemudian ditumpuknya ranting itu di bawah pohon yang cukup besar, dengan daun-
daunnya yang rimbun. Sedangkan Raden Antaka hanya diam saja, duduk sambil
memandang ke sekitarnya. Rangga sempat melirik kesal pada pemuda manja itu,
namun hanya dipendam di dalam hati.
"Sudah berapa lama kau menjadi pengembara, Rangga?" tanya Raden Antaka. Sedikit
pun pemuda itu tidak
menaruh rasa hormat pada Pendekar Rajawali Sakti, meskipun jauh lebih muda.
"Aku tidak pernah menghitung,"
sahut Rangga singkat.
"Kau pasti memiliki ilmu
kesaktian tinggi, sehingga Ayahanda Prabu begitu mempercayaimu," agak sinis nada
suara Raden Antaka.
"Tidak juga," sahut Rangga
merendah. "Jadi seorang pengembara,
setidaknya harus memiliki bekal kepandaian dalam ilmu olah kanuragan dan
kesaktian. Aku tidak percaya kalau kau hanya sedikit saja memilikinya.
Padahal julukanmu Pendekar Rajawali Sakti."
"Sebuah julukan belum pasti
memiliki tingkat kepandaian tinggi, Raden. Kau sendiri juga bisa
memperoleh julukan itu. Terserah saja, apa julukan yang kau sukai. Asalkan,
cocok dengan segala tingkah laku dan perbuatanmu," sahut Rangga.
"Menurutmu, julukan apa yang
pantas untukku?" tanya Raden Antaka meminta pendapat.
Sedikit pun pemuda itu tidak
merasa kalau kata-kata Rangga tadi mengandung sindiran sinis pada dirinya.
Bahkan seperti mendapat pujian saja, sehingga meminta pendapat Pendekar Rajawali
Sakti untuk mendapatkan sebuah julukan baginya.
"Hanya Raden sendiri yang bisa menentukannya," sahut Rangga enggan.
"Tapi menurutmu, aku pantasnya pakai julukan apa?" desak Raden Antaka tidak puas
dengan jawaban Rangga.
"Maaf, Raden. Aku tidak bisa
mengatakannya sekarang. Aku belum tahu persis, bagaimana kehidupanmu sehari-
harinya. Sebuah julukan dalam kalangan persilatan, biasanya ditentukan tingkah
laku dan perbuatan sehari-hari. Atau bisa juga dari nama jurus andalannya.
Bahkan ada yang mengambil dari senjata pusakanya, atau dari tempat asalnya.
Berbagai macam bisa digunakan untuk mengambil nama julukan, Raden. Dan itu
tergantung dari yang menginginkannya," jelas Rangga dengan rinci.
"Lalu kau sendiri, kenapa memakai julukan Pendekar Rajawali Sakti?"
tanya Raden Antaka ingin tahu.
Sukar bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan itu. Karena julukan Pendekar
Rajawali Sakti bukan kehendak dirinya sendiri, melainkan memang pemberian
gurunya yang sudah meninggal seratus tahun yang lalu. Tidak mungkin Rangga
menjelaskannya pada Raden Antaka, karena itu sama saja dengan membuka rahasia
dirinya sendiri yang selama ini tertutup rapat.
Memang kadang-kadang rasa
keingin-tahuan Raden Antaka membuat Rangga jadi kepusingan sendiri.
Terkadang pertanyaannya terlalu sulit dijawab. Tapi Rangga memang mengakui kalau
Raden Antaka memiliki otak cerdas, di samping daya tangkap dan daya ingatnya
sungguh tajam. Dan paling tidak, melebihi pemuda-pemuda lain seusianya.
"Dari mana kau ambil julukan itu, Rangga?" desak Raden Antaka belum merasa puas
kalau pertanyaannya belum terjawab.
"Maaf. Aku tidak bisa
menjawabnya," sahut Rangga.
"Kenapa?"
"Karena itu merupakan rahasia
seorang pendekar yang tidak boleh diketahui orang lain," Rangga mencoba
menjelaskan, meskipun terasa sulit sekali.
"Apakah semua orang-orang persilatan juga merahasiakan julukannya?"
tanya Raden Antaka lagi.
"Ya. Tapi ada juga yang tidak."
Raden Antaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin bisa mengerti atau mungkin
juga merasa tidak ada gunanya lagi mendesak. Kalau saja yang dihadapi bukan
Pendekar Rajawali Sakti, pasti sudah didesaknya dengan mempergunakan kekuasaan
sebagai putra mahkota. Namun karena Rangga adalah sahabat karib ayahnya, tidak
mungkin terus didesak. Apalagi memaksa kehendaknya. Entah kenapa, Raden Antaka merasa
sungkan pada Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Sebaiknya malam ini Raden tidur saja. Biar aku yang menjaga," kata Rangga.
"Aku memang ingin tidur. Penat rasanya seluruh badanku, setelah seharian berada
di punggung kuda."
"Nanti juga akan terbiasa kalau sering-sering mengembara mencari pengalaman,
Raden," ujar Rangga seraya tersenyum.
"Kalau bersamamu, selamanya pun aku mau."
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Entah apa arti senyumnya kali ini.
Mungkin karena sikap Raden Antaka yang mulai berubah selama ikut mengembara
dengannya, mencari seorang pelarian yang kabur dari dalam penjara. Memang
kehidupan di alam bebas bisa merubah seseorang dalam waktu singkat. Mereka yang
hidup di alam bebas, mau tak mau harus
menyesuaikan diri dengan alam
sekitarnya. Karena bagaimanapun kuatnya seseorang, tidak akan mungkin bisa
menaklukkan alam yang banyak menyimpan misteri ini.
*** "Aaa...!"
Rangga tersentak kaget ketika
tiba-tiba terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Jelas sekali kalau
jeritan itu datang dari arah lembah di depan sana. Pendekar Rajawali Sakti
melirik sebentar pada Raden Antaka yang terlelap dalam buaian mimpi.
Sedikit pun anak muda itu tidak bergeming meskipun jeritan tadi terdengar jelas.
"Hup...!"
Rangga melesat cepat bagaikan
kilat. Gerakannya sungguh ringan, dan tak menimbulkan suara sedikit pun juga.
Begitu cepatnya, sehingga dalam tiga kali lesatan saja sudah berada di bibir
lembah yang selalu terang-benderang jika malam hari. Pendekar Rajawali Sakti
terbeliak begitu melihat seseorang berpakaian serba merah, berdiri tegak di
samping sesosok tubuh yang tergeletak dengan kepala terpisah dari leher.
"Singo Wulung...," desis Rangga begitu mengenali laki-laki berbaju merah menyala
itu. Seketika itu juga, Rangga melesat ke dalam lembah yang terang-benderang.
Memang, batu-batu yang berserakan di lembah itu memancarkan cahaya terang.
Cepat dan ringan sekali lesatan Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga tahu-tahu
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah berdiri sekitar dua
tombak di depan laki-laki berjubah merah, yang dikenali sebagai Singo Wulung.
"He..."!" Singo Wulung
terperanjat kaget begitu tiba-tiba di depannya sudah berdiri seorang pemuda
mengenakan baju rompi putih.
"Rupanya kau bersembunyi di sini, Singo Wulung?" desis Rangga dengan suara yang
dingin membekukan.
"Pendekar Rajawali Sakti...,"
Singo Wulung rupanya juga mengenali Rangga. "Mau apa kau berada di sini"!"
"Membawamu kembali ke Kerajaan Talang Mega," sahut Rangga datar.
"Ha ha ha.... Rupanya Prabu
Ranakali meminta bantuanmu untuk menangkapku kembali, Pendekar Rajawali Sakti.
Berapa banyak kau dibayar, heh..."!" lantang sekali suara Singo Wulung.
"Aku bukan orang bayaran
sepertimu, Singo Wulung!" sentak Rangga mendesis.
"Ha ha ha...!" Singo Wulung
kembali tertawa terbahak-bahak.
"Hm.... Rupanya kau sudah
bertingkah lagi, Singo Wulung," desis Rangga seraya melirik tubuh yang
tergeletak tak bernyawa di depannya.
Dari lehernya yang buntung tak berkepala lagi, mengucur darah segar yang seakan-
akan tak mau berhenti mengalir. Jelas sekali kalau orang itu
belum lama tewas di sini. Sukar bagi Rangga untuk mengenalinya, karena kepala
orang itu sudah terbungkus sehelai kain lusuh.
"Nasibmu akan seperti dia jika coba-coba mengusikku,
Pendekar Rajawali Sakti...!" ancam Singo Wulung mendesis.
"Sayang sekali. Aku sudah
berjanji untuk membawamu kembali ke penjara, Singo Wulung," sahut Rangga, dingin
sekali suaranya.
"Ha ha ha.... Tidak semudah itu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau boleh membawa
kepalaku, asal langkahi dulu mayatku!"
Rangga terdiam dengan bibir
terkatup rapat. Jelas sekali kalau kata-kata lantang itu mengandung nada
tantangan dan ancaman yang tidak bisa dianggap main-main. Dan Rangga sudah
banyak mendengar tentang laki-laki berbaju merah ini. Tingkat kepandaian-nya
tinggi sekali, sehingga jago-jago dari Kerajaan Talang Mega sendiri tidak ada
yang sanggup menandinginya.
Maka Prabu Ranakali terpaksa harus meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti.
Bet! Wuk! Singo Wulung menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan dada, membuka jurus.
Gerakan tangan yang tampak
halus dan tidak bertenaga itu ternyata menimbulkan angin kencang. Saat itu juga
Rangga menggeser kakinya ke samping beberapa tindak. Disadarinya kalau Singo
Wulung bukanlah lawan enteng. Gerakan tangan yang menimbulkan angin menderu
saja, sudah menandakan kalau laki-laki berbaju marah menyala ini memiliki tenaga
dalam tinggi. "Aku akan mengakui ketangguhanmu jika kau berhasil menahan serangan-seranganku.
Pendekar Rajawali Sakti,"
tegas Singo Wulung dingin.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Tahan...! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras mengge-
legar, Singo Wulung langsung memberi serangan dahsyat. Sedikit pun kakinya tidak
digerakkan. Tapi tangan kanannya bergerak cepat mengebut ke depan.
Seketika seberkas cahaya merah meluncur deras ke arah pemuda berbaju rompi
putih. "Uts...!"
Buru-buru Rangga menarik tubuhnya ke samping, sehingga sinar merah yang
membentuk bulatan itu lewat di samping tubuhnya. Namun pada saat yang sama,
Singo Wulung melompat sambil berteriak nyaring.
"Hiyaaat..!"
Bet! Bet! Dua kali Singo Wulung melepaskan pukulan keras bertenaga dalam tinggi sekali.
Seketika Rangga meliukkan tubuhnya menghindari serangan cepat dan dahsyat itu.
Namun Pendekar Rajawali Sakti sempat terperangah juga, karena merasakan adanya
angin dorongan yang sangat kuat dari tenaga pukulan yang dilepaskan Singo Wulung
tadi. Dan ini membuat Rangga sedikit terhuyung, terdorong ke belakang beberapa
tindak. "Hup! Haaap...!"
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menggerak-gerakkan tangannya di depan dada
sambil mengerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi tenaga dalam yang dimiliki
Singo Wulung. Pada saat itu, Singo Wulung sudah kembali memberi serangan keras
dan beruntun. Rangga berkelit dan langsung menggerakkan kakinya dengan lincah
sambil meliuk-liukkan tubuhnya. Gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti
sungguh indah sekali. Terlihat pelan dan lembut, namun sukar bagi Singo Wulung
untuk memasukkan pukulan dan tendangannya. Karena, Rangga
mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Suatu jurus yang seringkali
digunakan, dan belum ada seorang pun yang bisa memecahkan kelemahannya dalam
keadaan bertarung.
*** "Phuih! Hup...!"
Sambil menyemburkan ludahnya,
Singo Wulung langsung melompat ke belakang sejauh lima tindak. Hatinya benar-
benar kesal, karena Rangga bertarung seperti main-main saja, dan sedikit pun
tidak memberi serangan balasan. Pendekar Rajawali Sakti hanya menghindar dengan
gerakan-gerakan membingungkan, seolah-olah sama sekali tidak mengeluarkan jurus
satu pun juga. "Aku bukan anak kemarin sore yang bisa kau ajak main-main, Pendekar Rajawali
Sakti!" geram Singo Wulung.
"Hm..." Rangga hanya tersenyum saja sambil menggumam perlahan.
Memang jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimilikinya selalu membuat lawan jadi
kesal. Dan tujuan jurus itu memang demikian. Memancing kemarahan lawan hingga
tidak bisa mengendalikan diri lagi. Dengan demikian, tidak terlalu sukar bagi
Rangga untuk mendikte lawan. Hal ini sering dialami Pendekar Rajawali Sakti
dalam pertarungan. Suatu jurus aneh dan sangat dibanggakannya. Meskipun lawan memiliki
kepandaian tinggi sekali, paling tidak akan membutuhkan waktu lama untuk bisa
mengetahui kelemahannya. Memang jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' ini hampir saja mencapai
kesempurnaan, sehingga hampir
tidak ada kelemahannya.
"Hap...!"
Bet! Bet...! Cepat sekali Singo Wulung
melakukan beberapa gerakan tangan disertai liukan tubuh yang lentur.
Kemudian mendadak tangannya menghentak ke depan. Pada saat itu, terlihat
secercah cahaya merah memancar keluar dari kedua telapak tangannya yang terbuka
lebar, langsung meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Secepat kilat Rangga melompat ke atas dengan tubuh berputaran beberapa kali di
udara. Maka sinar merah itu lewat di bawah tubuhnya. Namun Singo Wulung terus
menghentakkan tangannya beberapa kali. Akibatnya beberapa sinar merah yang
membentuk bulatan seperti bola, terus mencecar tubuh Rangga yang kini terpaksa
berjumpalitan di udara.
Beberapa ledakan terdengar menggelegar saat bola-bola sinar merah itu menghantam
tanah dan bebatuan serta pohon-pohon yang langsung hancur seketika.
"Hap...!"
Bergegas Rangga meluruk turun
begitu bola-bola sinar merah tidak lagi mencecarnya. Dan Pendekar Rajawali Sakti
jadi kaget setengah mati, karena di tempat ini sudah tidak
ada lagi laki-laki berbaju merah menyala yang tadi menyerangnya dengan bola-bola
merah. Entah kapan perginya, tahu-tahu Singo Wulung sudah lenyap begitu saja
seperti ditelan bumi.
Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi tak ada seorang pun yang
terlihat di lembah ini.
"Setan...!" dengus Rangga kesal.
"Aaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang yang melengking tinggi.
Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut.
Lebih terkejut lagi, karena jeritan itu datang dari arah dia meninggalkan Raden
Antaka yang tengah tidur. Dan di sana pula ada Rupadi, putra Kepala Desa Pucung.
"Hup! Hiyaaa...!"
Seketika itu juga Rangga melesat cepat bagaikan kilat. Gerakannya sungguh luar
biasa, karena Pendekar Rajawali Sakti sudah memiliki
kesempurnaan dalam ilmu meringankan tubuh. Sehingga dalam waktu sekejap saja
sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
"Raden...!" seru Rangga begitu sampai di tempat Raden Antaka
ditinggalkan. Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, karena Raden Antaka sudah tidak
ada lagi di tempatnya.
Sedangkan Rupadi masih tergolek tak
sadarkan diri. Tiga ekor kuda masih berada di tempatnya semula. Hanya Raden
Antaka yang menghilang.
"Raden...!" teriak Rangga kencang memanggil.
Namun tak ada sahutan. Suara
panggilan keras itu menggema terpantul kembali. Sunyi, tak ada suara sedikit pun
terdengar. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Hhh.... Seharusnya aku tidak
meninggalkannya di tempat ini," keluh Rangga seraya menjatuhkan diri.
Tidak ada yang bisa dilakukannya.
Raden Antaka benar-benar lenyap. Dan hanya satu nama yang bisa terlintas di
benak Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga jadi cemas kalau Raden Antaka sampai jatuh ke tangan Singo Wulung.
Karena jelas betul, laki-laki berbaju merah yang menjadi buronan pihak Kerajaan
Talang Mega itu seorang laki-laki kejam.
"Kalau saja dia tidak bersikeras untuk ikut, tentu tidak akan sampai begini.
Hhh.... Anak itu benar-benar bikin susah...!" kembali Rangga menggerutu
mengeluh. *** 3 Rangga memalingkan mukanya ketika mendengar rintihan lirih. Saat itu pagi sudah
datang menjelang. Matahari sudah agak tinggi menyinari bumi.
Cahayanya cukup terik membakar. Tampak Rupadi mulai sadarkan diri. Kepalanya
bergerak-gerak menggeleng, sebentar kemudian menggerinjang bangkit duduk.
Pemuda itu terkejut saat melihat ada orang lain di dekatnya. Dan lebih terkejut
lagi, begitu menyadari kalau masih berada di dekat Lembah Intan.
"Oh, siapa kau" Kenapa kau berada di sini?" tanya Rupadi.
"Tenangkan dulu dirimu. Kau baru saja bangun dari pingsan semalaman,"
jelas Rangga kalem.
"Pingsan..." Aku pingsan
semalaman"!" Rupadi terbeliak seakan-akan tidak percaya.
Pemuda itu mengingat-ingat
kembali apa yang dialaminya kemarin.
Dan.... Memang dia tidak sadarkan diri setelah bertarung melawan seorang berbaju
merah. Rupadi memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, kemudian langsung
beranjak bangkit berdiri dan berlari ke bibir lembah.
Pemuda itu memandangi lembah yang tidak seberapa besar di depannya.
"Kau berada di sini semalam?"
tanya Rupadi seraya memutar tubuhnya.
"Benar," sahut Rangga seraya
bangkit berdiri.
"Apakah ada suatu kejadian
semalam di sini?" tanya Rupadi lagi.
Pemuda itu mengayunkan kakinya mendekati Rangga yang tengah membenahi kudanya.
Kuda hitam yang tinggi dan tegap serta berotot kuat. Namanya Dewa Bayu.
Sedangkan Rupadi sendiri menghampiri kudanya. Sungguh tidak disadari kalau
Rangga tidak menjawab pertanyaannya tadi.
"Kuda siapa itu?" tanya Rupadi lagi.
"Teman," sahut Rangga singkat.
"Lalu, ke mana temanmu?"
Rangga tidak langsung menjawab.
Dipandanginya pemuda yang pernah dilihatnya beberapa hari yang lalu ketika
menunggang kuda seperti kesetanan, sehingga membuat hampir seluruh Desa Pucung
gempar. Bahkan hampir saja kuda milik Rupadi melanda seorang laki-laki tua. Dan
rasanya tidak mungkin Rangga bisa berterus-terang pada pemuda edan ini.
"Pergi," hanya itu yang bisa
dijawab Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya. Sebentar
dipandanginya kuda milik Raden Antaka.
Jelas kalau itu hanya kuda biasa yang tidak memiliki keistimewaan sama sekali.
Tanpa berkata apa-apa lagi,
pemuda berbaju rompi putih itu berdecak seraya menghentakkan tali kekang
kudanya. "Ck ck, yeh! Yeah!"
Kuda hitam itu melangkah perlahan meninggalkan daerah sekitar lembah itu.
Sedikit pun tidak dipedulikannya Rupadi yang bergegas naik ke punggung kudanya.
Rupadi mengambil tali kendali kuda yang ditinggalkan Rangga.
Bergegas kudanya digebah, menyusul Pendekar Rajawali Sakti.
"Hei, apa kau tidak membutuhkan kuda ini lagi?" teriak Rupadi.
Rangga tidak menjawab, dan terus saja mengendalikan kudanya dengan langkah
perlahan. Rupadi mensejajarkan langkah kaki kudanya di kanan pemuda berbaju
rompi putih itu. Saat ini Rangga memang lagi segan bicara.
Semalaman Pendekar Rajawali Sakti tidak tidur, karena mencari Raden Antaka di
sekitar Lembah Intan itu.
Tapi jejaknya saja tidak ditemukan.
Pikirannya selalu terpusat pada Putra Mahkota Kerajaan Talang Mega itu. Dia
benar-benar mencemaskan keselamatan Raden Antaka.
"Kalau tidak salah, aku pernah melihatmu," kata Rupadi seraya mengingat-ingat.
Pemuda itu begitu yakin kalau
pernah melihat pemuda berbaju rompi putih ini. Tapi sukar untuk mengingat
kembali, meskipun telah berusaha. Tapi Rupadi begitu yakin
kalau pernah melihatnya. "Saat kau gila-gilaan memacu
kuda. Hampir saja kau membunuh seorang laki-laki tua," jelas Rangga datar.
Sedikit pun kepalanya tidak menoleh pada Rupadi yang berkuda di sebelah
kanannya. "Ooo..., iya. Aku ingat. Maaf, waktu itu aku
buru-buru sekali,"
Rupadi baru ingat.
Pemuda berbaju rompi putih inilah yang menyelamatkan orang tua yang hampir saja
terlanda kudanya waktu itu. Memang hanya sekejap saja, sehingga Rupadi tidak
sempat memperhatikan. Apalagi waktu itu memang sedang terburu-buru. Tapi kenyataan yang
dihadapinya sungguh pahit. Ayahnya sendiri sudah tidak lagi mau percaya padanya.
Dan Rupadi yakin, kalaupun apa yang telah dilihatnya selama ini dikatakannya,
pasti pemuda berbaju rompi putih itu juga tidak akan mempercayai.
Rupadi jadi mengeluh sendiri
karena kini tidak ada lagi orang yang bisa mempercayai dirinya. Semua orang akan
mencibir dan melecehkannya.
Bahkan yang lebih menyakitkan lagi, semua orang menganggap dirinya sudah gila.
Rupadi melirik pemuda berbaju rompi putih yang berkuda di sebelah
kirinya. "Apakah dia juga menganggapku
tidak waras lagi...?" Rupadi bergumam sendiri di dalam hati.
Otak pemuda itu terus bekerja
keras, menduga-duga tentang orang di sebelahnya.
"Kelihatannya kau bukan penduduk Desa Pucung," tebak Rupadi lagi.
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang," sahut Rangga singkat.
"Apa kau sudah dengar tentang
mayat-mayat tak berkepala di Lembah Intan itu?" Rupadi mulai memancing.
Dia memang masih belum yakin kalau pemuda yang belum dikenalnya ini bisa
mempercayainya atau tidak.
Namun kata-kata Rupadi barusan membuat Rangga tersentak, sehingga langsung
menghentikan langkah kaki kudanya. Dipandanginya pemuda itu dalam-dalam.
Sedangkan Rupadi sendiri juga terkejut, karena tidak menduga kalau orang yang
diajaknya bicara ini begitu terkejut. Bahkan seperti belum mendengar tentang
mayat-mayat tak berkepala yang selalu ditemuinya di Lembah Intan.
"Maaf, seharusnya memang aku
tidak berkata seperti itu tadi. Kalau tidak suka mendengarnya, kuminta jangan
menuduhku gila dan pemimpi,"
kata Rupadi buru-buru.
"Apa kau melihat tentang mayat tak berkepala itu semalam...?" Rangga
malah bertanya hal yang sama, disertai pandangan tajam penuh selidik.
"Apa..."!" Rupadi sampai
terbeliak mendengar pertanyaan Rangga barusan.
Sungguh tidak disangka kalau
pemuda berbaju rompi putih itu menanggapi sungguh-sungguh. Tapi...
apakah memang ada lagi mayat tak berkepala semalam..." Dan pemuda berbaju rompi
putih ini.... Rupadi malah memandangi Rangga dalam-dalam, seakan ingin
meyakinkan pendengarannya barusan. Keterkejutan Rupadi rupanya membawa
kegembiraan juga. Pertanyaan Rangga barusan sudah menandakan kalau selama ini
dia tidak bermimpi. Dan memang benar adat mayat-mayat tak berkepala di dalam
lembah yang selalu bersinar terang pada malam hari itu.
*** Senja sudah mulai merayap turun ke kaki langit. Sang surya yang semula bersinar
terik, kini jadi redup.
Bahkan terasa lembut sekali menyentuh kulit. Cahayanya memerah jingga membayang
di balik belahan bumi bagian barat. Begitu indahnya, sehingga tak patut jika
dilewatkan begitu saja.
Namun keindahan senja ini tidak bisa dinikmati seorang pemuda berwajah
tampan yang rambutnya panjang meriap, sedikit tergelung ke atas. Baju putih
tanpa lengan yang dikenakannya berkibar-kibar tertiup angin yang cukup keras,
menebarkan hawa sejuk menyegarkan. Pemuda berbaju rompi putih itu mengayunkan
kakinya perlahan-lahan sambil menuntun kuda hitamnya yang mengikuti di belakang.
Dia memang Rangga atau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tidak yakin kalau Singo Wulung beraksi tanpa sebab. Terlebih lagi kali
ini laki-laki itu seperti menyimpan sesuatu. Pasti ada sesuatu yang terjadi di
sekitar Desa Pucung dan Lembah Intan ini. Tapi bukan hanya itu saja yang
sekarang jadi beban pikiran Rangga. Karena sampai saat ini nasib Raden Antaka
yang menghilang begitu saja belum diketahuinya, tanpa ada jejak sama sekali.
"Tolooong...!"
"Heh..."!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba mendengar teriakan keras yang
tidak seberapa jauh darinya.
Tanpa berpikir panjang lagi,
Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat.
Kudanya ditinggalkan begitu saja.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja Rangga sudah begitu jauh.
Pendekar Rajawali Sakti berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Dia seperti berlari di atas angin saja, seakan-akan kedua kakinya tidak
menjejak tanah sama sekali.
Pendekar Rajawali Sakti terbeliak saat melihat empat orang laki-laki yang
kelihatannya masih muda dan tanggung, tengah memaksa seorang gadis cantik
berbaju kuning gading. Dua orang memegangi tangan gadis itu dan berusaha
menyeretnya. Sedangkan dua orang lagi menakut-nakutinya dengan golok. Gadis itu
meronta-ronta, mencoba melepaskan diri.
"He!...!" bentak Rangga keras.
Bentakan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu keras membuat empat pemuda tanggung
itu terkejut dan langsung melepaskan gadis itu. Seketika mereka berlari kencang
berserabutan, dan berpencaran menembus semak dan kebun.
Sedangkan gadis berbaju kuning gading itu bergegas menghampiri Rangga. Air
matanya bercucuran membasahi pipi yang kemerahan. Dia langsung jatuh terduduk
dan menangis sesenggukan.
"Ssst.., sudah. Mereka sudah
tidak ada lagi," bujuk Rangga agar gadis itu diam tak menangis lagi.
Gadis berbaju kuning gading itu terus menangis sesenggukan. Kemudian kepalanya
diangkat, seraya menyeka air matanya dengan punggung tangan. Lalu dipandanginya
Rangga dengan sesekali masih terisak sambil menggosok matanya
dengan punggung tangan. Perlahan dia bangkit berdiri.
"Terima kasih," ucap gadis itu tersendat.
"Sudahlah. Sebaiknya kau cepat pulang. Mereka sudah pergi," kata Rangga lembut,
seraya menepuk-nepuk pundak gadis itu.
Tapi gadis itu malah memandangi Rangga dalam-dalam. Dan Pendekar Rajawali Sakti
jadi tersenyum maklum.
Tentu saja gadis ini tidak berani pulang sendirian, dan pasti takut dicegat
anak-anak berandal tadi. Anak-anak tanggung yang mencoba berbuat nakal tanpa
memikirkan akibatnya.
"Di mana rumahmu" Mari kuantar kau pulang," Rangga menawarkan jasa.
"Terima kasih," ucap gadis itu perlahan.
Mereka kemudian melangkah
perlahan-lahan. Gadis berbaju kuning gading itu berjalan sambil menundukkan
kepala. Seekor kuda hitam datang menghampiri. Kuda itu mendengus-dengus dengan
kepala terangguk-angguk begitu dekat di depan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengambil tali kekang kuda itu dan menuntunnya.
Mereka terus saja berjalan tanpa bicara sedikit pun. Sesekali gadis berbaju
kuning gading itu melirik pemuda tampan berbaju rompi putih yang berjalan di
sampingnya. Saat panda-
ngannya bertemu tatapan mata pemuda itu, buru-buru perhatiannya dialihkan ke
arah lain. "Kakang pasti bukan dari Desa
Pucung, ya...?" gadis itu memulai pembicaraan.
"Benar," sahut Rangga kalem.
"Kakang dari mana?" tanya gadis itu lagi.
"Dari jauh," sahut Rangga
seenaknya. "Maksudku, dari desa mana?"
"Tidak tahu."
"Kok tidak tahu...?" gadis itu jadi keheranan.
"Aku lahir dan besar di alam
bebas. Jadi tidak tahu berasal dari desa mana," jelas Rangga. Tentu saja jawaban
yang diberikan Rangga tidak benar sama sekali. Dan itu memang disengaja, karena
Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin ada orang lain mengetahui asal-usulnya,
kecuali orang-orang tertentu saja.
"Ooo.... Pengembara, ya...?"
tebak gadis itu.
Rangga hanya menganggukkan
kepalanya saja sambil sedikit memberi senyuman. Mereka terus saja berjalan tanpa
berbicara lagi. Sementara Desa Pucung sudah terlihat di depan. Sebuah desa yang
cukup ramai, meskipun agak sedikit kumuh. Namun desa itu
tergolong besar juga.
"Masih jauh rumahmu?" tanya
Rangga. "Dari sini juga sudah kelihatan,"
sahut gadis itu.
"Yang mana?"
"Itu..., yang paling besar. Di depannya ada pohon waru."
Rangga sedikit tertegun juga saat gadis itu menunjuk rumah yang paling besar di
desa itu. Dan Rangga tahu kalau rumah itu milik Kepala Desa Pucung. Pendekar
Rajawali Sakti kemudian memandangi gadis berbaju kuning gading yang berjalan di
sampingnya ini.
"Kau anak kepala desa?" tebak
Rangga. "Benar. Namaku Lintang," gadis itu membenarkan tebakan Rangga seraya
memperkenalkan namanya. "Kakang siapa?"
"Rangga," sahut Rangga singkat.
"Kakang sudah pernah ke sana?"
tanya Lintang lagi.
"Kemarin," sahut Rangga, tetap singkat saja.
Kembali mereka terdiam. Sementara Desa Pucung sudah semakin dekat saja.
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melirik gadis di sebelahnya. Entah apa
yang ada di dalam pikiran pemuda berbaju rompi putih saat itu. Yang jelas,
ingatannya langsung tertuju pada Rupadi yang saat ini entah berada
di mana saat ditinggalkan di dekat Lembah Intan. Dia juga sudah pernah mendengar
tentang Rupadi yang
dikatakan sebagai pemimpi. Ini karena dia selalu merasa yakin kalau benar
melihat mayat-mayat tanpa kepala di lembah itu. Dan semalam, Rangga juga
melihat. Bahkan tahu siapa pelakunya.
Pendekar Rajawali Sakti sempat pula bertarung beberapa jurus. Sayangnya orang
yang selalu mengenakan baju merah itu sempat kabur.
"Kok diam, Kakang?" tegur
Lintang. "Ah, tidak. Aku hanya sedang
berpikir...," sahut Rangga dengan sengaja memutuskan ucapannya.
"Boleh kutahu, apa yang kau
pikirkan, Kakang?" pinta Lintang.
"Tentu saja. Aku sedang
memikirkan dirimu," sahut Rangga.
"Memikirkan aku..."!" Lintang
tampak terkejut.
"Iya. Aku heran, untuk apa kau datang ke tempat seperti itu seorang diri...?"
Ada saja pikiran yang terlintas di benak Rangga saat ini.
"Aku mencari kakakku," sahut
Lintang. "Siapa kakakmu?" tanya Rangga
berpura-pura. "Kakang Rupadi. Apa Kakang
melihatnya" Dia menunggang kuda coklat, berbaju putih dan membawa
pedang," Lintang menyebutkan ciri-ciri kakaknya.
Sedangkan Rangga yang sebenarnya sudah mengetahui, mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tepat sekali ciri-ciri yang diberikan Lintang tentang Rupadi.
"Lalu, siapa anak-anak itu tadi?"
tanya Rangga lagi.
"Aku tidak tahu. Katanya mereka melihat Kakang Rupadi. Tidak tahunya, aku malah
dibawa ke sana...," agak bergidik tubuh Lintang begitu teringat kejadian tadi.
"Apa mereka bukan penduduk Desa Pucung?"
"Tidak tahu. Aku tidak kenal
semua orang di sini," sahut Lintang polos.
Rangga hanya tersenyum saja.
Lintang benar-benar merupakan gadis desa yang polos dan lugu. Gadis remaja yang
tak pernah keluar rumah dan selalu menuruti kata orang tua, tanpa peduli
dengan perasaan hatinya
sendiri. Masih banyak gadis desa di sekitar wilayah kulon ini, bukan hanya gadis
desa seperti Lintang ini, bahkan gadis-gadis bangsawan pun begitu.
Bahkan lebih parah lagi, mereka tidak bisa bebas bergaul, apalagi keluar dari
pintu rumahnya. Jika mereka ingin keluar rumah, maka puluhan orang yang
mengawalnya. Mereka terus saja berjalan, dan
kini memasuki Desa Pucung yang selalu ramai. Mereka yang berpapasan,
menganggukkan kepalanya. Dan Lintang hanya membalas dengan senyum saja sambil
mengangguk sedikit. Rupanya semua penduduk desa ini mengenali Lintang. Tapi
gadis itu sendiri tidak kenal mereka semua. Hanya orang-orang tertentu saja yang
dikenali. *** Rangga duduk sendiri menghadapi sebuah meja kecil berbentuk persegi.
Hanya ada seguci arak dan gelas bambu yang digosok halus sekali. Tidak begitu
banyak orang yang bertandang di kedai ini. Hanya ada dua orang laki-laki
setengah baya yang kelihatannya sudah mabuk kebanyakan minum arak.
Kemudian seorang perempuan yang masih muda, serta empat anak muda yang mungkin
rata-rata berusia di bawah dua puluh tahun.
Pendekar Rajawali Sakti lebih
tertarik pada keempat pemuda itu, karena pernah bertemu, meskipun itu hanya
sebentar saja. Pertemuan yang tidak mengenakkan sekali. Tapi rupanya empat orang
anak muda itu tidak mengenali Rangga lagi. Mereka minum arak sambil berceloteh,
dan sesekali terdengar tawa berderai.
"Hm, rupanya mereka penduduk desa ini juga," gumam Rangga. "Ah kenakalan anak-
anak muda."
Entah kenapa Rangga jadi
tersenyum sendiri. Dan kini pandangan Pendekar Rajawali Sakti terpaku pada
seorang wanita berwajah cantik yang mengenakan baju merah muda. Wanita itu baru
saja keluar dari bagian dalam kedai ini. Baju yang dikenakan begitu ketat dan
agak tipis, seakan-akan sengaja untuk mengundang gairah laki-laki.
Wanita itu menghampiri empat anak muda yang tengah berpesta di sudut.
Keempat anak muda itu langsung terdiam saat wanita itu tahu-tahu duduk di situ.
Mereka memandangi tanpa
berkedip. Sedangkan wanita itu hanya tersenyum saja.
"Bagaimana...?" datar sekali nada suara wanita itu. Dirayapinya wajah-wajah
empat anak muda tanggung di hadapannya.
"Payah, Nyai Rusila," sahut salah seorang dengan wajah agak gusar.
"Payah..." Maksudmu?"
"Gagal."
"He....?" wanita cantik yang
ternyata istri muda kepala desa itu tampak terkejut sekali.
Pandangan matanya kini tidak lagi lembut, tapi terlihat liar. Dan keempat anak
muda tanggung itu jadi
tertunduk. Tak terdengar lagi
celotehan yang selalu mengundang tawa.
Sementara di sudut lain, Rangga selalu memperhatikan melalui sudut ekor matanya.
Pendekar Rajawali Sakti sengaja merapatkan tubuhnya ke dinding, agar terhalang
oleh tiang. Dia tidak ingin mereka mengetahui kehadirannya di sini.
"Bagaimana kalian bisa gagal,
heh..."!"
"Ada yang menolongnya, Nyai,"
sahut anak muda yang memakai baju kuning dan dadanya dibiarkan terbuka lebar.
"Siapa?"
Empat anak muda tanggung itu
tidak ada yang menjawab. Mereka saling berpandangan. Sedangkan wanita cantik
berbaju merah muda itu memandangi tajam satu persatu tanpa berkedip.
Wajah yang cantik bagai bidadari itu terlihat menegang. Memang terlihat semakin
cantik. Namun di balik kecantikannya, tersimpan sesuatu yang agaknya sangat
mengerikan. "Aku tanya, siapa yang
menolongnya?" dingin sekali nada suara wanita itu.
"Tidak tahu, Nyai."
"Tidak tahu..."!" wanita itu
semakin mendelik.
Empat anak muda itu semakin
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Mereka memang tidak sempat melihat Rangga waktu itu, karena langsung kabur
begitu mendengar bentakan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kali ini kalian harus berhasil.
Dan aku tidak mau mendengar kegagalan lagi," tegas wanita itu lagi. Dingin
sekali nada suaranya.
Mereka hanya menganggukkan
kepalanya saja.
"Sekarang dia ada di sungai.
Sebaiknya kalian tunggu di tempat yang sepi. Dan ingat, jangan sampai gagal
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi...!" Setelah berkata demikian, wanita cantik berbaju merah muda itu beranjak bangkit.
Dia langsung saja melangkah pergi melalui jalan belakang kedai ini. Sedangkan
empat pemuda tanggung itu saling berpandangan sejenak.
Mereka sama-sama mengangkat bahunya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka pun beranjak pergi meninggalkan kedai ini.
*** Senja sudah mulai merayap turun menyelimuti mayapada ini. Cahaya matahari tidak
lagi memancar terik.
Sinarnya kini begitu redup dan lembut membelai dedaunan. Di bawah siraman
lembutnya sinar sang surya, terlihat seorang gadis mengenakan baju kuning
gading tengah berjalan perlahan-lahan.
Rambutnya yang panjang dibiarkan meriap ke depan, melewati bahu kanannya.
Gadis itu menghentikan ayunan
langkahnya ketika tiba-tiba saja empat orang anak muda tanggung menghadang di
tengah-tengah jalan. Wajahnya yang cantik mendadak saja jadi memucat pasi. Dan
keempat anak muda itu tersenyum-senyum sambil melangkah mendekati.
"Mau apa kalian..."!" bentak
gadis itu dengan suara bergetar.
Gadis itu melangkah mundur
perlahan. Sedangkan empat anak muda itu malah tertawa-tawa, membuat gadis itu
semakin ketakutan. Bergegas tubuhnya diputar dan berlari
sekencang-kencangnya. Tapi keempat anak muda itu lebih cepat lagi mengejar.
Mereka berlompatan, dan tahu-tahu dua orang sudah
menghadangnya. "Pergi! Jangan ganggu aku...!"
bentak gadis itu semakin bergetar ketakutan.
Gadis itu ingin berlari. Tapi
salah seorang sudah lebih dahulu melompat, dan langsung mencengkeram pergelangan
tangannya. Tentu saja gadis itu terpekik kaget, dan langsung meronta berusaha
melepaskan diri.
Namun sebelum usahanya membawa hasil,
seorang lagi sudah menyergap memeluk pinggangnya.
"Lepaskan...!" sentak gadis itu sambil terus meronta.
Rontaan yang kuat membuat dua
orang anak muda itu agak kewalahan juga. Tentu saja mereka jadi
kehilangan keseimbangan. Tak pelak lagi, mereka jatuh bergulingan di tanah
disertai pekikan tertahan.
Cengkeraman pemuda itu terlepas. Namun sebelum gadis berbaju kuning gading itu
bisa meloloskan diri, seorang anak muda lainnya sudah keburu menyergap.
Kembali mereka bergulingan. Anak muda itu memeluk kuat sekali.
"Kurang ajar! Lepaskan...!"
teriak gadis itu seraya berusaha meronta mencoba melepaskan diri.
Tapi rupanya gadis ini benar-
benar sedang sial. Karena belum juga usahanya berhasil, dua orang anak muda
lainnya sudah memegangi tangannya kuat-kuat. Kedua tangan mungil itu
direntangkan, dan ditekan ke tanah.
Seorang lagi tetap memeluknya, menindih tubuh ramping yang terus menggeliat
meronta, mencoba melepaskan diri.
"Tolooong....!" teriak gadis itu sekuat-kuatnya.
"Diam...!" bentak salah seorang anak muda.
Plak! "Akh...!" gadis itu memekik saat tiba-tiba saja pipinya terasa panas.
Satu tamparan keras menghentikan usaha gadis itu. Dan dia hanya bisa merintih,
menghiba, memohon agar dilepaskan. Namun empat pemuda itu sama sekali tidak
melepaskannya. Mereka seakan-akan tidak mendengar rintihan lirih gadis itu. Bahkan salah
seorang tiba-tiba saja mulai
bertindak. Bret! "Auw...!" lagi-lagi gadis itu
terpekik. Air mata langsung mengalir saat tangan kasar anak muda itu merobek baju yang
dikenakannya. Tampak bagian dada telah terbuka, karena baju yang menutupinya
terenggut kasar. Terlihat kulit yang putih mulus yang membalut dua gundukan
indah terpampang lebar.
Empat pasang mata terbeliak tak berkedip penuh nafsu. Jakun mereka bergerak-
gerak turun naik seperti menahan air liur. Mendadak saja napas mereka terengah
melihat pemandangan indah dan membangkitkan gairah itu.
"Jangan..., lepaskan aku...,"
rintih gadis itu memohon.
"He he he...."
Tapi empat anak muda itu malah terkekeh-kekeh sambil merayapi bagian dada gadis
itu dengan penuh gairah yang menggelegak. Dan salah seorang
mulai menggerayangi tubuh gadis itu.
Tangan kasar itu meremas bukit putih kembar yang halus terbuka menantang.
Gadis itu memekik dan merintih. Air mata semakin deras mengalir bagai tanggul
jebol. Bret! "Awh...!"
Gadis itu benar-benar tidak
berdaya lagi. Tangan-tangan kasar mencabik-cabik kain yang menutupi tubuhnya.
Beberapa bagian tubuhnya terbuka lebar, membuat jantung empat anak muda itu
semakin keras berdegup.
Napas mereka tersengal dan mendengus-dengus. Tangan-tangan kasar meremas dan
menggerayangi bagian-bagian tubuh yang terbungkus kulit putih halus.
Sementara gadis itu semakin tak berdaya.
Sia-sia saja dia meronta, mencoba melepaskan diri. Jelas tenaganya kalah jauh
dibanding empat anak muda yang sudah dirasuki nafsu binatang itu.
Gadis itu hanya bisa merintih dan menangis memohon belas kasihan. Namun
rintihannya semakin membuat empat anak muda ini tergugah gairahnya.
"Binatang...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Bentakan itu membuat empat
anak muda yang tengah dirasuki nafsu iblis, tersentak kaget.
Namun sebelum mereka melakukan
sesuatu, mendadak saja satu bayangan putih berkelebat cepat. Dan tahu-tahu empat
anak muda itu berpentalan ke atas.
Pekikan-pekikan keras terdengar melengking. Empat tubuh jatuh keras dan
bergelimpangan di tanah. Merasa terlepas dari cengkeraman nafsu iblis empat anak
muda, gadis itu buru-buru bangkit seraya membenahi pakaiannya yang tidak karuan
lagi bentuknya.
Dia berusaha menutupi tubuh yang terbuka seadanya dengan pakaian sobek tak
karuan lagi. "Oh, tolong aku...," rintih gadis itu seraya berlari ke arah seorang pemuda
tampan berbaju rompi putih yang tahu-tahu sudah berdiri tegak
memandangi empat anak muda.
Keempat anak muda itu merintih kesakitan dan berusaha bangkit berdiri. Mereka
terkejut begitu melihat sudah ada seorang pemuda berbaju rompi putih berdiri di
depannya. Sementara gadis itu telah berada di belakang punggungnya,
menyembunyikan diri dengan wajah pucat dan tubuh gemetaran.
"Pergi! Atau kubuntungi tangan kalian!" bentak pemuda itu keras.
Empat anak muda tanggung itu
langsung saja berlari sekencang-kencangnya. Bentakan laki-laki tampan berbaju
rompi putih itu bagai suatu
kesempatan agar bisa bernapas panjang lagi. Sebentar saja mereka sudah jauh.
Pemuda berbaju rompi putih itu segera memutar tubuhnya.
"Kau tidak apa-apa, Lintang?"
lembut sekali suaranya.
Gadis yang memang bernama Lintang itu tidak menjawab. Dia langsung menangis
terduduk lemas. Sudah dua kali gadis itu terlepas dari
cengkeraman anak-anak muda berandal.
Dan dua kali pula pemuda ini
menolongnya. *** 4 Rangga menganggukkan kepalanya sedikit ketika Lintang menyediakan secangkir teh
hangat. Gadis itu duduk tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Hanya sebuah
meja kecil bundar yang menghalanginya. Di samping gadis itu duduk seorang laki-
laki setengah baya mengenakan baju perlente berwarna biru muda. Meskipun
rambutnya sudah berwarna dua, tapi masih kelihatan gagah.
Saat itu Rupadi masuk dengan
langkah tergesa-gesa. Pemuda itu tertegun saat pandangannya tertumbuk pada
pemuda berbaju rompi putih yang duduk di depan ayahnya dan Lintang.
Mereka semua memandang Rupadi yang kelihatan lusuh dan kotor berdebu.
"Ayah...," Rupadi menghampiri.
"Ada apa lagi" Mau melaporkan
omongan kosong lagi...?" sentak Ki Rejo langsung mendelik.
Rupadi langsung diam, kemudian menyambar cangkir teh yang berada di depan
Rangga. Langsung dihirupnya teh itu hingga tuntas tak bersisa.
"He...! Itu punya tamu!" sentak Lintang.
"Tanggung," seenaknya saja Rupadi menyahuti. Diletakkannya kembali cangkir yang
sudah kosong itu.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum geli saja.
"Kau benar-benar tidak tahu tata krama, Rupadi...," desis Ki Rejo berang.
Rupadi tidak menanggapi. Tubuhnya dihenyakkan di kursi yang berada di samping
Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Lintang dan Ki Rejo jadi marah melihat sikap Rupadi yang begitu
seenaknya. Malah sepertinya tidak peduli kalau di situ ada orang lain yang
menjadi tamu di rumah ini.
"Aku kenal. Kebetulan ada di
sini," kata Rupadi ringan.
"Kau jangan sembarangan, Rupadi!"
bentak Ki Rejo.
"Katakan pada ayahku, kalau kau juga melihat mayat tanpa kepala di
Lembah Intan, Rangga," kata Rupadi tidak peduli dengan bentakan ayahnya.
Ki Rejo mendelik kesal terhadap sikap anak laki-lakinya ini. Tapi dia agak
terkejut juga mendengar kata-kata Rupadi barusan. Laki-laki setengah baya yang
selalu perlente itu
memandang Pendekar Rajawali Sakti. Dia berharap kalau pemuda berbaju rompi putih
ini tidak membenarkan apa yang dikatakan Rupadi tadi.
Tapi laki-laki setengah baya itu jadi terkejut, karena Rangga
menganggukkan kepalanya. Jadi berarti juga membenarkan kalau di Lembah Intan
selalu terjadi pembunuhan keji. Dan Rupadi selalu menemukan mayat tanpa kepala
lagi di sana. Ki Rejo
memandangi Rupadi yang tersenyum-senyum penuh kemenangan. Baginya, kehadiran
Rangga di rumah ini
merupakan bintang terang yang bersinar cemerlang meneranginya.
"Benar kau melihatnya, Nak
Rangga?" Ki Rejo ingin memastikan.
"Bukan hanya melihat, Ayah. Tapi Rangga juga bertarung dengan pembu-nuhnya,"
Rupadi yang menyahuti.
"Aku tidak bertanya padamu,
Rupadi!" bentak Ki Rejo.
Rupadi langsung bungkam. Namun ada senyum tipis tersungging di bibirnya.
Sedangkan Lintang hanya diam saja mendengarkan. Dia tidak peduli.
Namun hatinya kesal juga karena dia yang membawa pemuda tampan itu ke rumah ini.
Dan sekarang, yang
dibicarakan malah sesuatu yang tidak diinginkan sama sekali. Lintang memaki
dalam hati terhadap Rupadi yang muncul pada saat tidak diharapkan.
"Benar begitu, Nak Rangga?" tanya Ki Rejo belum yakin.
"Benar, Ki. Bahkan aku
mengenalinya. Dan memang dialah yang sedang kucari selama ini," sahut Rangga
kalem. Senyum di bibir Rupadi semakin lebar. Hatinya benar-benar mekar sekarang.
Terlebih lagi melihat raut wajah ayahnya yang langsung berubah mendengar jawaban
langsung Pendekar Rajawali Sakti. Jawaban yang sebenarnya tidak diharapkan sama
sekali oleh laki-laki setengah baya perlente ini.
Ki Rejo tidak bertanya-tanya
lagi. Keningnya terlihat berkerut dalam. Entah apa yang ada dalam pikirannya
saat ini. Sedangkan Rangga sama sekali tidak memperhatikan, karena tidak ingin
terlibat di dalam rumah tangga kepala desa ini. Keda-tangannya ke desa ini
dengan maksud menangkap Singo Wulung dan membawanya kembali ke Kerajaan Talang
Mega. Tapi masih ada satu persoalan lagi yang harus dihadapinya, Pendekar
Rajawali Sakti harus menemukan Raden Antaka
yang menghilang tak ketahuan rimbanya sampai saat ini. Rangga mencemaskan nasib
putra mahkota itu.
"Maaf, aku tinggal dulu," ujar Ki Rejo seraya bangkit berdiri.
Laki-laki setengah baya itu
langsung saja beranjak pergi sebelum Rangga menjawab. Saat itu Rangga baru
menyadari ada sesuatu yang berubah pada raut wajah Ki Rejo. Namun sulit bisa
diketahui lebih jauh lagi.
Sementara laki-laki setengah baya itu sudah menghilang di balik pintu.
Rangga hanya mendesah panjang, menghi-langkan semua dugaannya terhadap laki-laki
setengah baya itu.
"Sekarang semua orang baru
percaya padaku. Hilang sudah semua anggapan gila pada diriku...," desak Rupadi
lega. Pemuda itu menepuk pundak Rangga, lalu bangkit berdiri. Sambil bersiul-siul
kakinya diayunkan meninggalkan beranda itu, menuju samping rumah.
Siulannya yang tak berirama itu terus terdengar. Kemudian menghilang bersamaan
dengan tidak terlihatnya punggung pemuda itu.
"Huh! Bosan...! Itu-itu saja yang dibicarakan," dengus Lintang
memberengut. Rangga memandangi gadis yang
sudah mengenakan baju merah muda itu.
Lintang semakin kelihatan cantik dalam
keadaan rapi dan bersih seperti ini.
Namun pikiran Rangga sekarang sedang bertumpuk. Apa yang didengarnya tadi
merupakan tanda kalau sepak terjang Singo Wulung memang merajalela lagi.
Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tahu, kalau Singo Wulung selalu bergerak bila
ada yang membayar tinggi. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, siapa yang
membayar si Singo Wulung" Dan apa tujuannya menggunakan pembunuh bayaran itu di
Desa Pucung yang kumuh ini"
Pertanyaan yang sukar untuk
dijawab secepat ini. Dan Rangga melihat adanya tantangan untuk bisa mengungkap,
selain juga harus membekuk dan membawa buronan itu kembali ke Kerajaan Talang
Mega. Memang Prabu Ranakali memberi kebebasan untuk melenyapkan buat selama-
lamanya. Tapi Rangga akan berusaha agar bisa membawa Singo Wulung dalam keadaan
hidup. *** Rangga mendadak sekali menghentikan lari kudanya. Pendekar Rajawali Sakti
langsung melompat turun dari punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu.
Tatapan matanya tidak berkedip, terpaku lurus pada empat sosok tubuh yang
tergeletak di tengah jalan. Rangga mengenali kalau empat
orang pemuda itu adalah pemuda-pemuda tanggung yang dua kali hampir
merenggut kehormatan Lintang.
Namun belum juga Rangga melangkah mendekati, mendadak saja telinganya yang peka
mendengar desiran angin halus dari samping kanannya. Cepat sekali Pendekar
Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke belakang, sehingga sebuah benda halus seperti
jarum berwarna kemerahan lewat di depan dadanya.
"Hup...!"
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya, berputaran ke belakang dua kali. Dengan manis sekali kakinya mendarat di
tanah. Kemudian tubuhnya berputar ke kanan. Dan sebelum bisa melakukan sesuatu,
mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat cepat bagai kilat
menerjangnya. Begitu cepat terjangannya,
sehingga Rangga hampir saja tidak sempat lagi berkelit. Bayangan merah itu
langsung menghantam ke arah dada.
Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti harus berseru keras, sambil mengibaskan
tangannya. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terpental sejauh tiga batang tombak ke
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang, begitu tangannya membentur sesuatu dengan keras.
Beberapa kali Rangga bergulingan di tanah, namun cepat bangkit berdiri.
Bergegas Rangga melakukan beberapa
gerakan disertai pengaturan napas yang baik. Saat itu bayangan merah sudah
kembali berkelebat menerjang cepat bagai kilat.
"Hup! Yeaaah...!"
Buru-buru Rangga melentingkan
tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa kali di tanah. Namun sebelum sempat
bangkit berdiri, beberapa benda berbentuk jarum halus bertebaran ke arahnya.
"Bedebah...!" umpat Rangga
berang. Pendekar Rajawali Sakti terpaksa menggulirkan tubuhnya beberapa kali ke kanan
dan ke kiri, menghindari serbuan jarum-jarum berwarna merah itu. Namun salah
satu jarum berhasil menghantam kakinya.
Crab! "Akh...!" Rangga terpekik ter-
tahan. Seketika kaki kanannya terasa
jadi panas bagai terbakar. Panas itu semakin menjalar ke seluruh tubuhnya.
Rangga menggelepar sambil berteriak-teriak, namun cepat bangkit duduk bersila.
Tapi sebelum Pendekar Rajawali Sakti sempat melakukan sesuatu, satu hantaman
keras mendarat dadanya.
Begitu tiba-tiba, dan demikian keras!
Deghk! "Akh...!" lagi-lagi Rangga ter-
pekik keras agak tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti terpental bergulingan kembali ke tanah.
Sebongkah batu yang cukup besar hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya.
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya sebentar saja mampu menggeliat dan
mengerang. Sesaat kemudian, diam tak berkutik lagi.
"Ha ha ha...!" terdengar tawa
menggelegar. Kembali terlihat bayangan merah itu berkelebat dan langsung menyambar tubuh
Pendekar Rajawali Sakti yang tergeletak pingsan di tanah. Saat bayangan merah
itu berkelebat, seketika itu juga lenyap bersamaan dengan lenyapnya tubuh
Rangga. Sebentar saja suasana kembali
sunyi seperti tidak pernah terjadi sesuatu di tepi hutan dekat perbatasan
sebelah selatan Desa Pucung itu.
Sementara kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti langsung menjadi
beringas di tempatnya. Mungkin karena ada ikatan batin, seakan-akan kuda itu
marah melihat peristiwa yang baru saja berlangsung. Dewa Bayu meringkik sambil
menghentak-hentakkan kakinya ke depan.
*** Sementara itu, tampak seekor kuda coklat berpacu membelah jalan berdebu.
Penunggangnya seorang pemuda berbaju putih yang rambut panjangnya dibiarkan
meriap. Hanya selembar pita hijau yang mengikat kepalanya.
"Hooop...!"
Pemuda itu menghentikan langkah kaki kudanya dengan mendadak sekali.
Dia langsung melompat turun dari punggung kudanya. Kedua matanya membeliak lebar
melihat empat sosok tubuh tergeletak tak bernyawa lagi menghadang di tengah
jalan. Darah yang keluar dari dada, sudah hampir mengering. Dan tidak jauh dari
keempat mayat itu tampak seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap tengah
melonjak-lonjak seperti melihat hantu.
"Rangga...," pemuda itu mendesis perlahan.
Bergegas dihampiri kuda itu.
Namun belum juga dekat, kuda itu langsung melompat kabur. Hampir saja kuda hitam
itu menerjang. Untung pemuda itu cepat-cepat melompat menyingkir. Kuda hitam
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti terus berlari kencang bagai angin menembus
lebatnya hutan.
"Pasti sesuatu telah terjadi pada Rangga," desis pemuda itu setengah bergumam.
Cepat-cepat pemuda itu melompat
naik ke punggung kudanya. Langsung digebahnya kuda itu dengan kecepatan tinggi.
Kuda coklat itu melompat berlari kencang, kembali menuju Desa Pucung.
"Hiya...! Hiya...!"
Pemuda itu terus menggebah
kudanya meskipun sudah memasuki Desa Pucung. Orang-orang yang berada di
sepanjang jalan desa itu mengumpat dan memaki sambil buru-buru menyingkir.
"Rupadi kumat lagi!" umpat orang-orang itu.
Dan seperti biasanya, pemuda yang memang Rupadi itu tidak peduli.
Kudanya terus saja dipacu cepat.
Beberapa barang yang menghadang di tengah jalan langsung saja diterjang tak
peduli. Padahal pemiliknya memaki-maki sambil melemparinya dengan macam-macam
benda yang bisa terjangkau.
"Hiya, hiya...!"
Rupadi terus saja menggebah
kudanya semakin cepat. Sama sekali tidak dipedulikan benda-benda yang melayang
mengarah padanya. Kudanya terus digebah semakin sering dan cepat. Kuda itu
menuju rumah Kepala Desa Pucung ini. Beberapa orang yang berada di depan pintu
pagar rumah itu bergegas menyingkir saat melihat Rupadi memacu kuda bagai
kesetanan. "Awas, minggir...!" teriak Rupadi keras.
"Edan..!"
Orang-orang itu hanya bisa
mengumpat sambil mengurut dada melihat kegilaan Rupadi kambuh lagi, padahal
beberapa hari ini telah lenyap. Pemuda itu menerobos pintu pagar dan terus
melintasi halaman depan yang luas.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tanpa menghentikan lari kudanya, Rupadi langsung melompat turun. Dua kali
tubuhnya berjumpalitan di udara.
Gerakannya manis sekali. Kemudian kakinya mendarat tepat di beranda depan.
Langsung diterobosnya pintu, lalu masuk ke dalam. Lintang yang berada di beranda
itu jadi terkejut dan hanya bisa melongo memandangi saja.
Rupadi langsung saja menerobos masuk ke dalam. Namun setelah agak lama berada di
dalam rumah besar itu, dia keluar lagi. Ayunan kakinya cepat dan lebar-lebar.
Namun begitu melihat Lintang yang tengah duduk mencangkung di beranda, ayunan
kakinya langsung berhenti.
"Ayah mana, Lintang?" tanya
Rupadi. "Mana aku tahu..." Cari saja
sendiri," sahut Lintang acuh.
"Kau jangan main-main, Lintang.
Aku sungguh-sungguh!" Rupadi jadi gusar melihat sikap adiknya yang masa bodoh
saja. "Aku tidak tahu...!" bentak
Lintang balas mendelik.
"Huh!" Rupadi mendengus.
Pemuda itu mengedarkan
pandangannya berkeliling. Sudah dicari ke seluruh ruangan rumah ini, tapi
ayahnya tidak ditemukan. Bahkan perempuan muda yang dibencinya juga tidak ada.
Rupadi kembali menatap adiknya yang kelihatan acuh saja, asyik dengan
sulamannya. "Kau lihat Rusila, Lintang?"
tanya Rupadi. "He..."! Apa kau bilang...?"
Lintang mendelik.
"Kau lihat Rusila, tidak...?"
Rupadi mengeraskan suaranya.
"Kau sama sekali tidak
menghormati ibu, Kakang," dengus Lintang tanpa menyahuti pertanyaan kakaknya
ini. "Dia bukan ibuku! Bukan ibumu!"
sentak Rupadi kasar. "Mana dia...?"
"Tidak tahu. Cari saja sendiri."
"Setan kau!" dengus Rupadi kesal.
"Apa..."!" Lintang mendelik.
Tapi sebelum gadis itu membalas, Rupadi sudah cepat meninggalkannya dengan
langkah lebar-lebar. Lintang hanya bisa memaki dalam hati. Entah kenapa, sejak
ayah mereka kawin lagi selalu saja ada pertengkaran bila kakak adik ini bertemu.
Lintang sendiri tidak mengerti kenapa Rupadi
begitu membenci ibu tirinya. Meskipun ibu tiri mereka usianya hanya terpaut satu
tahun dengan Lintang, tapi sudah resmi menjadi istri Ki Rejo. Dan itu berarti
jadi ibu mereka juga.
"Huuuh..., dasar...!" Lintang
mencibir kesal.
Kembali ditekuni sulamannya.
Sedangkan Rupadi sudah tidak kelihatan lagi. Entah pergi ke mana. Sama sekali
gadis itu tidak ambil peduli.
Kesibukannya membuat sulaman begitu menyita perhatiannya. Sehingga Lintang tidak
mau tahu, apa yang tengah terjadi di rumah ini.
*** 5 Byur! Rangga gelagapan ketika tiba-tiba saja seember air mengguyur tubuhnya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung ter-bangun dari ketidaksadarannya. Pemuda
berbaju rompi putih itu terkejut saat mengetahui dirinya berada di dalam sebuah
ruangan sempit yang dindingnya terbuat dari belahan papan.
Sebentar Rangga menggeleng-ge-
lengkan kepalanya, mencoba mengusir rasa pening yang menghantam kepalanya.
Air yang mengguyur seluruh tubuhnya
begitu dingin, membuatnya menggeletar menggigil. Pendekar Rajawali Sakti
meringis saat sebuah tangan kasar menjambak rambutnya dan memaksa kepalanya
terangkat. Tampak di depannya kini berdiri seorang laki-laki berusia sekitar
tiga puluh tahun lebih. Bajunya merah menyala dan agak ketat.
"Hih...!" laki-laki berbaju merah itu menyentakkan kepala Rangga.
Seketika itu juga
Rangga terpental ke belakang dan jatuh ter-jerembab telentang. Pendekar Rajawali Sakti
mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi langsung menyadari kalau jalan darahnya
sudah tertotok. Dan ini membuat seluruh anggota tubuhnya jadi lumpuh, tak bisa
digerakkan lagi.
Hanya kepalanya saja yang masih bisa bergerak bebas.
"Seharusnya aku sudah membunuhmu, Pendekar Rajawali Sakti," dingin sekali nada
suara laki-laki berbaju merah menyala itu.
"Kenapa tidak kau lakukan, Singo Wulung?" balas Rangga dengan suara yang juga
dingin menggetarkan.
"Ha ha ha...!" laki-laki berbaju merah menyala yang dikenali Rangga bernama
Singo Wulung, tertawa
terbahak-bahak.
Suara tawanya demikian keras
menggelegar, seakan-akan ingin
meruntuhkan ruangan kecil yang pengap ini. Namun hanya sebentar saja tertawa,
selanjutnya rahangnya dikatupkan rapat-rapat. Tatapan matanya begitu tajam
menusuk, seakan-akan hendak menguras isi hati Pendekar Rajawali Sakti. Untuk
sesaat lamanya, suasana di dalam ruangan sempit dan kotor ini jadi sunyi senyap.
Jago Kelana 9 Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat Jala Pedang Jaring Sutra 11