Pencarian

Huru Hara Di Watu Kambang 1

Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang Bagian 1


HURU-HARA DI W ATU KAM BANG
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Gelang Naga Soka
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Clickers
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
1 Tidak seperti biasanya, kota Kadipaten Watu Kambang kelihatan ramai. Hampir di
setiap sudut kota terpancang umbul-umbul
dan berbagai macam hiasan yang menyemaraki suasana. Semua orang
dari berbagai kalangan, tumpah ruah di jalan utama yang membelah
kota Kadipaten Watu Kambang menjadi dua bagian.
Semua rakyat di kadipaten ini memang tengah melampiaskan kegembiraannya,
karena akan mendapatkan seorang pengganti adipati yang sudah lanjut usia.
Semua orang sudah tahu, siapa pengganti Adipati Baka Witara itu. Pengganti
adipati itu memang disambut
gembira, karena mereka sudah mengenal baik. Dia adalah putra Adipati Baka Witara
sendiri. Seorang pemuda gagah dan selalu dekat dengan siapa saja. Bahkan tidak
pernah memandang derajat atau pangkat seseorang.
Keramaian yang berlangsung di istana kadipaten itu
juga tidak kalah meriahnya. Terlebih lagi, Adipati Baka Witara mengadakan
pertandingan adu kekuatan jago-jago pilihan di kadipaten ini. Mereka yang
memiliki kemampuan tertinggi, akan diangkat sebagai pegawai pribadi adipati yang
baru. Pertandingan itu berlangsung di halaman
depan istana yang luas.
Saat itu, di atas panggung sedang berlaga dua orang jago kadipaten. Dan sampai
tengah hari ini, sudah lebih dari sepuluh pertandingan dilangsungkan. Namun,
belum juga ada yang berkenan di hati Raden Wikalpa, calon pengganti ayahnya yang
akan menduduki jabatan adipati di Kadipaten Watu Kambang ini.
"Sudah sepuluh orang yang bertanding, Wikalpa.
Apakah pilihanmu sudah kau dapatkan?" tanya Adipati Baka Witara.
"Belum," sahut Raden Wikalpa yang duduk di samping
ayahnya. "Mereka semua berkemampuan tinggi, Wikalpa. Dan
mereka adalah jago-jago pilihan yang ada di seluruh kadipaten ini," jelas
Adipati Baka Witara.
"Mereka memang tangguh, tapi tidak bisa menghilangkan keangkuhannya, Ayah. Aku tidak suka
orang yang angkuh dan kasar," Raden Wikalpa beralasan.
"Dalam suatu pertarungan, memang diperlukan keangkuhan, Wikalpa."
"Tidak selamanya, Ayah. Kerendahan hati biasanya
akan membawa kemenangan yang sesungguhnya."
"Tapi mereka akan patuh pada perintahmu. Jika kau
memerintahkan mereka, tak akan ada yang berani
menentang."
Raden Wikalpa hanya tersenyum saja. Saat itu
pertarungan di atas panggung sudah berakhir, dan
dimenangkan oleh seorang laki-laki berusia setengah baya.
Tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya mencerminkan
ketegasan dan kekerasan. Laki-laki setengah baya itu membungkuk memberi hormat
pada Adipati Baka Witara
dan putranya, kemudian berdiri tegak di atas panggung, bersikap menantang siapa
saja. "Siapa dia, Ayah?" tanya Raden Wikalpa. Matanya tidak berkedip mengamati laki-
laki setengah baya di atas
panggung itu. "Jaran Amoksa," sahut Adipati Baka Witara. "Dia jago terakhir, dan tidak
terkalahkan sejak pertarungan tadi."
"Dari mana asalnya?"
"Desa Gandul. Tepatnya, dari Padepokan Gagak Putih."
"Apakah ilmu olah kanuragannya hanya sampai di situ saja, Ayah?"
"Aku tidak tahu."
Raden Wikalpa bangkit berdiri. Dipanggilnya pembawa acara yang berdiri di sudut
dekat panggung. Laki-laki tua yang mengenakan baju putih
panjang itu bergegas
menghampiri. Tubuhnya dibungkukkan untuk memberi
hormat pada Raden Wikalpa.
"Hamba menghadap, Raden."
"Paman Legiwa, umumkanlah. Pertandingan ini akan
dilanjutkan sampai tiga hari, dan terbuka pada siapa saja.
Untuk sementara, boleh ditetapkan kalau Jaran Amoksa adalah pemenangnya. Maka,
dia harus bersedia melayani siapa saja yang menantangnya," ujar Raden Wikalpa.
"Hamba laksanakan, Raden."
Laki-laki tua yang dipanggil Paman Legiwa itu bergegas naik ke atas panggung.
Kemudian dengan suara lantang, diumumkanlah perintah Raden Wikalpa tadi. Tentu
saja pengumuman ini sangat mengejutkan, tapi disambut
gembira. Sementara Raden Wikalpa sudah kembali duduk di
samping ayahnya. Saat itu Paman Legiwa sudah turun dari panggung. Bergegas
dihampirinya Raden Wikalpa yang
melambaikan tangannya memanggil.
"Hamba, Raden...."
"Perintahkan beberapa prajurit untuk mengumumkan
hal itu ke seluruh pelosok kadipaten, dan buka pintu gerbang
lebar-lebar. Biarkan seluruh rakyat menikmatinya," kata Raden Wikalpa lagi.
"Hamba laksanakan, Raden," sahut Paman Legiwa,
bersikap penuh hormat.
"Satu lagi, Paman."
"Hamba, Raden."
"Sepuluh orang itu akan menjadi pengawalku, tapi
harus tunduk pada pimpinannya nanti," ujar Raden
Wikalpa. "Hamba, Raden"
"Beritahukan hal itu secepatnya. Ingat, pertarungan ini dilaksanakan selama tiga
hari." Paman Legiwa kembali membungkuk memberi hormat,
kemudian bergegas pergi. Raden Wikalpa menyandarkan punggungnya seraya
menghembuskan napas panjang.
Sedangkan ayahnya yang duduk di sampingnya, hanya
tersenyum saja. Memang, sebenarnya adu ketangkasan ini sengaja diperintahkan
agar dilaksanakan tertutup. Dia memang ingin menguji putranya ini yang sebentar
lagi akan menggantikan kedudukannya.
Dan ternyata Raden Wikalpa tidak puas kalau adu
ketangkasan ini tidak tersebar luas ke seluruh pelosok Kadipaten
Watu Kambang ini. Dia ingin
pengawal pribadinya nanti benar-benar seorang yang tangguh dan berkepandaian tinggi.
Jadi, bukan orang pilihan yang ditentukan begitu saja. Tapi yang terpenting
lagi, Raden Wikalpa
menginginkan yang terbaik dalam arti keseluruhan. "Kau yakin bisa mendapatkan orang yang kau inginkan, Wikalpa?" tanya Adipati
Baka Witara. Raden Wikalpa tidak menyahut, dan hanya tersenyum
saja. "Bagaimana kalau ada wanita yang ikut, dan ternyata sangat tangguh?" tanya
Adipati Baka Witara lagi.
"Tidak ada bedanya, Ayah," sahut Raden Wikalpa.
"Kalau ada seorang wanita yang mampu dan pantas
menduduki jabatan kepala pengawal, mengapa harus
ditolak" Aku tidak pernah membedakan kedudukan antara laki-laki dan wanita."
Adipati Baka Witara sempat menggelengkan kepalanya, tapi dalam hati sungguh
mengagumi putranya ini. Seorang anak yang benar-benar sangat membanggakan
dan membahanakan hatinya.
*** Keramaian di Kadipaten Watu Kambang, semakin
semarak saja. Ini karena adanya pengumuman yang
menggembirakan dari Raden Wikalpa. Bukan hanya rakyat yang menyambut gembira.
Bahkan mereka yang merasa
mempunyai kemampuan ilmu olah kanuragan mencoba
untuk mengadu nasib menjadi pemimpin pengawal pribadi pemuda yang akan menduduki
jabatan adipati Itu.
Begitu banyaknya peminat, sehingga membuat Adipati
Baka Witara yang jadi pusing tujuh keliling. Masalahnya, waktu yang ditentukan
Raden Wikalpa sudah terlewati, tapi belum semua peminat mendapat giliran
menunjukkan kebolehannya.
Dan terpaksa, waktu pertandingan diperpanjang hingga tidak terbatas. Karena sampai lima hari, belum juga ada yang
berkenan di hati pemuda itu.
"Wikalpa, apa sebenarnya yang kau inginkan?" tanya
Adipati Baka Witara saat pertandingan sudah memasuki hari keenam.
Raden Wikalpa yang ditanya demikian hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau ayahnya
mulai tidak sabar lagi. Tapi pemuda itu tetap ingin menyelesaikan adu
ketangkasan ini. Padahal dari daftar peminat yang sudah ada, tidak cukup
sepuluh hari lagi untuk menyelesaikan pertandingan ini.
"Kemarin sudah datang utusan dari istana. Gusti Prabu sudah mendesak untuk
mengangkatmu menjadi adipati,
Wikalpa," jelas Adipati Baka Witara.
"Tunggu saja sampai semua ini selesai, Ayah," ujar
Wikalpa kalem. "Sampai kapan?" jelas sekali kalau nada suara Adipati Baka Witara mengandung
ketidaksabaran lagi.
Raden Wikalpa tidak menyahut, tapi malah tersenyum
saja. Bahkan pandangannya tetap tertuju ke
arah panggung. Tampak di atas panggung yang cukup besar itu tengah berlaga dua orang
anak muda yang memiliki
kepandaian tanggung. Tidak heran kalau pertandingan itu sangat membosankan. Tapi
itu berlangsung tidak lama, karena salah seorang sudah terjungkal keluar
panggung. Tak berapa lama kemudian, seorang gadis muda yang
cantik, melompat naik ke atas panggung. Gerakannya
sungguh ringan, sehingga tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, kakinya mendarat lunak di atas papan
panggung. Matanya sempat mengerling sedikit pada Raden Wikalpa yang duduk di
samping ayahnya.
"Siapa gadis itu, Paman?" tanya Raden Wikalpa pada
laki-laki tua yang berdiri tepat di sampingnya.
"Dia mendaftarkan diri dengan nama Dewi Lanjani,
Raden," jawab Paman Legiwa.
"Hm..., berapa orang wanita yang ada di dalam daftar?"
"Hanya dua."
"Siapa seorang lagi?"
Belum juga Paman Legiwa menjawab, tiba-tiba saja
terdengar seruan keras dari arah panggung.
"Orang tua...! Kapan pertandingan ini dimulai...?"
Paman Legiwa langsung berpaling menatap gadis
berbaju kuning yang berdiri di atas panggung. Raden Wikalpa juga menatap ke arah
yang sama. Sedangkan
Adipati Baka Witara, tampak kurang senang pada sikap gadis yang berdiri congkak
dengan tangan bertolak
pinggang di atas panggung.
"Silakan dimulai, Paman," perintah Raden Wikalpa.


Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paman Legiwa memerintahkan agar pertarungan segera
dimulai. Dan sebelum suara laki-laki tua itu menghilang, gadis yang mengaku
bernama Dewi Lanjani sudah
melompat menerjang pemuda yang baru saja mengalahkan dua orang peserta itu.
"Heh..."!" pemuda itu terkejut bukan main.
Buru-buru tubuhnya diegoskan ke kanan, menghindari
pukulan keras yang dilontarkan Dewi Lanjani ke arah dadanya. Namun begitu
pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi itu lewat, mendadak saja tubuh Dewi
Lanjani berputar cepat, dan kakinya melayang deras.
Hal ini sama sekali tidak diduga oleh pemuda itu,
sehingga tidak sempat lagi berkelit. Sepakan kaki Dewi Lanjani yang keras dan
cepat luar biasa itu tak terbendung lagi, tepat menghantam dada pemuda yang
belum sempat melakukan sesuatu.
Degkh! "Akh...!" pemuda itu memekik keras.
Seketika tubuhnya terlontar deras ke luar panggung.
Seketika sorak sorai menggemuruh meledak, menyambut kemenangan gadis itu.
Sungguh hanya sekali gebrak saja, lawannya sudah dibuat mengerang di tanah.
Beberapa prajurit bergegas menghampiri pemuda itu, dan menggotongnya menjauhi arena pertandingan.
Dewi Lanjani berdiri tegak dan bersikap angkuh di atas panggung. Lagi-lagi
matanya mengerling dan melemparkan senyuman pada Raden Wikalpa. Sikap gadis itu
membuat Adipati Baka Witara jadi muak, dan perutnya terasa mual.
Meskipun hanya diam saja, namun
dalam hatinya berharap kalau gadis itu dapat dikalahkan dalam pertandingan selanjutnya. Sama sekali dia tidak menginginkan gadis itu menjadi ketua pengawal untuk putranya.
Namun harapan Adipati Baka Witara seperti pupus
begitu saja. Karena beberapa orang telah mencoba,
semuanya harus terpaksa terjungkal ke luar panggung.
Tak ada satu pun lawan-lawan berikutnya yang mampu
menandingi lebih dari dua jurus. Bahkan beberapa orang yang
sudah mendaftar, terpaksa mundur melihat kedigdayaan gadis itu.
"Paman, dari mana dia berasal?" tanya Raden Wikalpa ingin tahu. Karena sudah
lebih dari sepuluh orang yang mencoba, namun semuanya gagal.
"Dia tidak menyebutkan asalnya, Raden," sahut Paman Legiwa.
"Hm..., apakah masih ada lagi yang harus dihadapinya?" tanya Raden Wikalpa.
"Masih tiga orang lagi, Raden."
"Tiga orang lagi..."!" Raden Wikalpa tampak terkejut.
"Benar, Raden. Hampir semua peserta yang sudah
mendaftar mengundurkan diri. Dan kini masih tersisa tiga orang lagi."
"Hm...," gu mam Raden Wikalpa tidak jelas. "Lanjutkan pertarungan ini, Paman."
"Hamba, Raden."
Raden Wikalpa memiringkan tubuhnya, mendekati
ayahnya yang duduk di samping sebelah kiri. Sementara itu Paman Legiwa sudah
memanggil seorang peserta yang masih terdaftar. Muncullah seorang laki-laki
berusia setengah baya yang bertubuh tinggi tegap dan berotot bersembulan keluar.
Sebilah golok besar tersandang, berkilatan tertimpa cahaya matahari.
Meskipun tubuhnya besar, namun gerakannya sangat
ringan ketika melompat ke atas panggung. Sedikit pun tidak terdengar suara
begitu kakinya menjejak papan panggung itu. Paman Legiwa tadi memanggilnya
dengan nama Buto Kampara.
*** "He he he.... Apakah pertandingan ini sudah bisa
dimulai, Gusti Adipati?" terdengar berat sekali suara Buto Kampara.
"Silakan kalian mulai," Paman Legiwa yang menyahut.
"He he he...," Buto Kampara tertawa terkekeh seraya memutar tubuhnya, menghadap
Dewi Lanjani. Sementara itu, Adipati Baka Witara semakin muak saja menyaksikan pertandingan
ini. Tapi dia masih mencoba bertahan
di tempat duduknya,
karena tidak ingin mengecewakan anaknya yang tampaknya menikmati sekali acara ini. Dan memang,
Raden Wikalpa menggemari ilmu-ilmu olah kanuragan tingkat tinggi. Pemuda itu
akan belajar pada siapa saja yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya,
tanpa peduli apakah ilmu yang dipelajari beraliran putih atau sesat.
Bagi Raden Wikalpa, semua ilmu olah kanuragan dan
kesaktian yang ada di dunia ini tidak ada yang putih ataupun hitam. Semuanya
sama saja. Hanya mereka saja yang menggolongkan demikian karena menggunakannya
berdasarkan jalan masing-masing. Jadi, itu tinggal tergantung bagaimana orangnya. Malah bukannya tidak mungkin, orang yang memiliki
ilmu dianggap sesat, justru akan digunakan untuk jalan kebaikan. Dan itu sering
terjadi. Hanya saja, sebagian besar orang-orang kaum rimba persilatan menilai
suatu ilmu dari sumber ilmu yang diperolehnya.
Sementara itu, pertarungan di atas panggung sudah
dimulai. Tampak sekali kalau Buto Kampara sangat
bernafsu untuk memenangkan pertarungan ini. Beberapa kali Dewi Lanjani dirangsek
dengan jurus-jurus permainan goloknya yang cepat dan berbahaya sekali.
Namun Dewi Lanjani bukanlah gadis kosong yang
begitu saja mudah ditaklukkan. Tingkat kepandaian yang dimilikinya cukup tinggi,
sehingga sukar bagi Buto
Kampara untuk cepat menjatuhkan gadis itu. Bahkan
beberapa kali Buto Kampara terpaksa membanting tubuhnya menghindari serangan-serangan
yang dilancarkan gadis itu.
"Lepas...!" tiba-tiba saja Dewi Lanjani berteriak nyaring.
Dan seketika itu juga tangannya dihentakkan ke
pergelangan tangan Buto Kampara yang memegang golok.
Hentakan tangan gadis itu demikian cepat dan keras
sekali, karena disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Sesaat Buto
Kampara terperangah, namun cepat menarik
tangannya yang sudah terulur hendak menusukkan goloknya ke dada gadis itu. Namun gerakan Buto Kampara sedikit
tertambat. Akibatnya....
Plak! "Akh...!" Buto Kampara memekik tertahan.
Dan sebelum laki-laki tinggi besar berotot itu menyadari apa yang terjadi,
mendadak saja pergelangan tangannya terasa seperti remuk. Tanpa dapat dicegah
lagi, golok yang tergenggam di tangannya itu mencelat ke udara.
"Hiyaaa...!"
Buto Kampara bergegas melentingkan tubuhnya ke
angkasa mengejar golok yang melayang deras, begitu
terlepas dari genggaman tangannya.
"Hup! Yeaaah...!"
Namun Dewi Lanjani tidak diam begitu saja. Dengan
cepat gadis yang mengenakan baju warna kuning itu
melesat mengejar Buto Kampara. Dan secepat itu pula pedangnya dibabatkan ke arah
perut. Bet! Cras! "Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya Buto Kampara menjerit melengking tinggi.
Sebelum laki-laki tinggi besar dan berwajah kasar
penuh brewok itu bisa melakukan tindakan apa-apa,
kembali Dewi Lanjani sudah memberi satu tendangan
keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tendangan menggeledek itu tak
mungkin terbendung lagi, sehingga tepat mendarat keras di dada Buto Kampara.
Degkh! "Akh...!"
Lagi-lagi Buto Kampara memekik keras.
Tubuh tinggi besar itu seketika terlempar deras ke
bawah, dan langsung mendarat di tanah keras sekali.
Tepat saat tubuh tinggi besar itu mendarat di tanah, Dewi Lanjani berhasil
mengambil golok besar lawannya yang masih di udara. Dan ketika Buto Kampara
tengah meregang nyawa, wanita itu langsung melemparkan golok pada pemiliknya.
Akibatnya, golok itu menancap dalam di dada pemiliknya sendiri. Sebelum jeritan
melengking Buto Kampara lenyap dari pendengaran, Dewi Lanjani sudah menjejakkan
kakinya di atas papan panggung. Tangannya bertolak pinggang, bersikap angkuh
sekali. Pandangan Dewi Lanjani kini tertuju langsung pada
Raden Wikalpa yang masih tetap duduk tenang di samping ayahnya. Pemuda itu kini
memberi senyuman pada wanita yang telah berhasil baik mengatasi lawan-lawannya.
Bahkan baru saja merobohkan seorang lawan yang
tangguh dan berkepandaian cukup tinggi.
"Siapa lagi berikutnya, Paman?" tanya Raden Wikalpa.
Pandangannya sedikit pun tidak berpaling dari gadis cantik berbaju kuning muda
di atas panggung itu.
"Nyai Raka Wulung, Raden," sahut Paman Legiwa.
"Hadapkan pada gadis itu," perintah Raden Wikalpa.
"Baik, Raden."
Paman Legiwa melangkah maju tiga tindak. Kemudian
dengan suara keras dan lantang, dipanggilnya Nyai Raka Wulung untuk naik ke atas
panggung menjadi lawan Dewi Lanjani berikutnya.
Dan belum lagi suara Paman Legiwa menghilang dari
pendengaran, mendadak saja sebuah bayangan merah
berkelebat cepat. Tahu-tahu di atas panggung sudah
berdiri seorang perempuan tua mengenakan baju panjang dan longgar berwarna merah
menyala. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat berbentuk seekor ular
merah yang menjulurkan lidahnya.
"Hik hik hik...!"
*** 2 Setelah Paman Legiwa memberi isyarat, seketika itu
juga Nyai Raka Wulung melompat menerjang Dewi Lanjani dengan tebasan tongkatnya.
Deru angin yang ditimbulkan tongkat ular hitam sudah menandakan kalau perempuan
tua berjubah merah itu berkepandaian tinggi sekali.
Terutama tenaga dalamnya. Tidak heran kalau kebutan tongkatnya menimbulkan suara
angin menderu bagai
topan. "Hup! Yeaaah...!"
Gerakan Dewi Lanjani manis sekali, sehingga berhasil mengelakkan serangan
perempuan tua itu. Dan sebelum Nyai Raka Wulung bisa menarik kembali tongkatnya,
mendadak saja Dewi Lanjani sudah
memberi satu hentakan tangan kanan yang cepat dan mengandung
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Bet! "Ikh...!"
Nyai Raka Wulung sempat terpekik kaget. Namun, cepat sekali tubuhnya diegoskan,
sehingga sodokan gadis itu dapat dihindari dengan manis.
Bergegas Nyai Raka Wulung melompat ke belakang tiga tindak, begitu berhasil
menghindarkan sodokan Dewi
Lanjani. Tapi rupanya Dewi Lanjani tidak membiarkan begitu saja. Cepat sekali
dia melompat sambil melontarkan pukulan dua kali berturut-turut. Pukulan yang
dilontarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi itu sempat pula membuat Nyai
Raka Wulung kerepotan tak karuan.
Bukan hanya sampai di situ saja Dewi Lanjani
melancarkan pukulannya. Buktinya, kini dilanjutkan
dengan tendangan keras menggeledek, yang kemudian
disusul sodokan dan pukulan secara beruntun. Serangan gadis ini begitu cepat
luar biasa, membuat Nyai Raka Wulung semakin terdesak.
"Setan!" dengus Nyai Raka Wulung geram.
Perempuan tua itu cepat-cepat melompat ke belakang
disertai tebasan tongkatnya yang dialiri tenaga dalam tinggi. Tebasan tongkat
ular merah itu hampir saja
menggedor Dewi Lanjani, kalau saja tubuhnya tidak cepat-cepat ditarik ke
belakang. Gadis itu berputaran dua kali, sebelum
menjejakkan kakinya di papan panggung pertandingan dengan manis.
Kini kedua wanita itu saling berdiri berhadapan,
berjarak sekitar satu setengah tombak saja. Mereka saling menatap tajam.


Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gebrakan pertama yang cepat dan dahsyat itu, sungguh memukau semua orang di
sekitar panggung.
Sehingga suasana begitu senyap, seakan-akan semua
orang ikut merasakan ketegangan yang dialami dua
perempuan di atas panggung itu.
"Kau benar-benar hebat, Dewi Lanjani. Siapa gurumu?"
agak dingin suara Nyai Raka wulung.
"Kau akan terkejut dan langsung kabur jika kusebutkan, Nenek Tua," sahut Dewi Lanjani agak sinis.
"Phuih! Jurus 'Angsa Menari' yang kau pamerkan tadi memang ampuh. Tapi itu belum
cukup tangguh untuk
mengalahkan aku, Bocah!" dengus Nyai Raka Wulung.
Nyai Raka Wulung paling benci jika dipanggil nenek tua.
Meskipun disadari kalau dirinya memang sudah tua, tapi dia paling tidak suka
jika dipanggil seperti itu. Sebutan itu membuat darahnya seketika saja bergolak
mendidih. Gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan yang
meluap seketika. Namun nampaknya, perempuan tua itu masih mencoba untuk menahan
diri dan bersikap sabar.
Disadari kalau sekarang ini sedang berada di panggung pertandingan.
"Hm.... Kau sudah tahu jurus pertamaku, Nenek Tua.
Tentu juga sudah tahu, dari mana aku mendapatkannya,"
tetap sinis nada suara Dewi Lanjani.
"Meskipun datang dari neraka sekali pun, kau harus
turun dari panggung ini, Bocah. Kau tidak pantas
menduduki jabatan ketua pengawal!"
"Ha ha ha.... Siapa yang menginginkan itu" Kedatanganku justru untuk membunuh anak muda itu!"
keras sekali suara Dewi Lanjani.
Kata-kata Dewi Lanjani yang begitu keras membuat
semua orang yang berada di sekitar panggung terkejut setengah mati. Bahkan
Adipati Baka Witara sampai
terlonjak bangkit dari duduknya. Kata-kata Dewi Lanjani begitu keras dan
terdengar jelas sekali. Memang, dalam suara itu terkandung pengerahan tenaga
dalam yang tinggi. Dan sebelum semua orang menyadari, Dewi Lanjani
cepat sekali melesat ke arah Raden Wikalpa yang masih tetap duduk di kursinya.
Lesatan gadis itu demikian cepat, sehingga tidak sempat disadari siapapun juga.
Namun begitu Dewi Lanjani hampir mencapai Raden Wikalpa,
mendadak saja....
Plak! "Akh...!"
Dewi Lanjani terpekik kaget
Gadis itu terpental balik, lalu berputaran di udara.
Namun manis sekali kakinya mendarat di tanah. Dan
bersamaan dengan itu, Raden Wikalpa sudah berdiri tegak di depannya. Entah kapan
pemuda itu bergerak, tak ada seorang pun yang mengetahuinya.
"Bedebah...!" dengus Dewi Lanjani geram.
Sungguh tidak disangka, ternyata pemuda yang kelihatan tenang dan tidak mempunyai daya itu mampu bergerak cepat di saat-saat
yang genting itu. Hampir saja sodokan tangan kanan Raden Wikalpa tadi mendarat
di dadanya, kalau saja Dewi Lanjani tadi tidak cepat
menghentakkan tangan. Akibatnya kedua tangan mereka beradu keras.
Namun Dewi Lanjani sempat juga merasakan seluruh
pergelangan tangannya seperti tersengat ribuan kala berbisa ketika beradu tangan
dengan pemuda itu. Dan sampai sekarang masih merasa kesemutan. Gadis itu
menyadari kalau Raden Wikalpa memiliki tingkat kepandaian dan tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Siapa kau sebenarnya, Nisanak?" tanya Raden Wikalpa, agak dingin nada suaranya.
"Hhh! Manusia macam dirimu, tidak pantas mengetahui tentang diriku!" sahut Dewi
Lanjani sinis. Saat itu para prajurit dan jago-jago Kadipaten Watu Kambang ini sudah bergerak
mengepung tempat itu.
Terlebih lagi sepuluh orang jago yang baru saja disetujui Raden Wikalpa untuk
menjadi pengawalnya. Mereka
langsung saja berlompatan mengepung paling depan.
Karena sudah mengetahui tingkat kepandaian gadis
berbaju kuning itu, maka mereka langsung menghunus
senjata masing-masing.
"Nisanak, mengapa kau hendak membunuhku" Apakah
ada sesuatu yang salah pada diriku, sehingga ingin
membunuhku?" tanya Raden Wikalpa lagi, masih bersikap sabar dan sopan.
"Tidak perlu bersikap merendah
begitu, Wikalpa.
Bersiaplah untuk mati...!" desis Dewi Lanjani semakin dingin suaranya. "Aku
tidak akan gentar meskipun seluruh prajurit dan jago-jagomu dikerahkan."
Setelah berkata demikian, Dewi Lanjani langsung
melompat menyerang Raden Wikalpa. Lesatannya begitu cepat, bagaikan anak panah
lepas dari busur. Namun
hanya sedikit saja mengegoskan tubuh, Raden Wikalpa sudah
berhasil menghindari satu pukulan keras menggeledek bertenaga dalam tinggi itu.
Dan sebelum Dewi Lanjani bisa menarik kembali
pukulannya yang tidak menemui sasaran, Raden Wikalpa sudah mengibaskan
tangannya, menyodok ke arah perut gadis itu. Sodokan yang cepat dan tidak
terduga itu masih juga terlihat oleh Dewi Lanjani. Cepat sekali perut gadis itu
ditarik ke belakang. Dan bersamaan dengan itu, diberikannya satu pukulan lurus ke arah wajah.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Raden Wikalpa cepat-cepat menarik kembali sodokannya, lalu melompat mundur dua tindak ke
belakang. Pada saat itu, sepuluh orang jago yang baru terpilih, sudah melompat
menerjang Dewi Lanjani.
"Tahan...!" sentak Raden Wikalpa keras.
Suara yang keras karena disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi membuat sepuluh orang jago itu seketika menghentikan serangannya.
Mereka langsung berlompatan mundur sejauh lima langkah. Sementara Raden Wikalpa
melangkah maju dua tindak.
"Sebaiknya kau cepat pergi, Nisanak. Ini lebih baik, sebelum kami bertindak
kejam padamu," tegas Raden
Wikalpa setengah mengancam.
"Kau pikir aku akan mundur, heh..."! Tidak bakalan
aku pergi sebelum kau mampus, Wikalpa!" dengus Dewi Lanjani ketus.
"Aku hanya memberi kesempatan sekali, Nisanak.
Pergunakanlah sebelum aku mengambil tindakan,"
kembali Raden Wikalpa memperingatkan gadis itu.
"Kau terlalu angkuh, Wikalpa...! Terimalah
ini.... Hiyaaat!" Seketika itu juga Dewi Lanjani melompat menerjang
Raden Wikalpa sambil mencabut pedangnya. Raden
Wikalpa sesaat terhenyak kaget. Namun cepat sekali
kepalanya dirundukkan ketika pedang berwarna keperakan dan berkilatan tertimpa cahaya matahari itu berkelebat cepat ke arah
kepala. Wut! Pedang itu hanya sedikit saja lewat di atas kepala Raden Wikalpa. Dan sebelum
pemuda itu sempat berbuat
sesuatu, mendadak Dewi Lanjani sudah memberi satu
tendangan keras dengan tubuh sedikit diputar yang
bertumpu pada kaki sebelah.
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Secepat kilat, tubuh Raden Wikalpa melenting ke
belakang. Pemuda itu berputaran dua kali di udara
sebelum menjejak tanah berumput. Entah kapan pemuda itu bergerak, tahu-tahu di
tangannya sudah tergenggam sebilah pedang pendek yang ujungnya bercabang dua.
"Yeaaah...!"
Raden Wikalpa langsung mengebutkan pedangnya ke
arah gadis berbaju kuning itu, tepat pada bagian dada.
Dewi Lanjani yang sudah melompat hendak menerjang,
jadi terkejut setengah mati. Buru-buru pedangnya dikibaskan di depan dada.
Trang! Satu benturan keras dari dua bilah pedang menimbulkan suara keras berdentang. Percikan bunga api memendar saat dua mata
pedang beradu, sedikit di depan Dewi Lanjani. Pada saat yang hampir bersamaan,
Raden Wikalpa mengibaskan tangannya, menyodok perut gadis itu.Bet!
Begkh! "Heghk...!" Dewi Lanjani mengeluh pendek.
Sodokan tangan kiri Raden Wikalpa kali ini tepat
menusuk perut Dewi Lanjani. Sodokan itu sangat keras, karena disertai hempasan
tenaga dalam tinggi. Tampak Dewi Lanjani terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap perutnya. Raut wajah gadis itu mendadak saja memucat, dan gerahamnya
bergemeletuk keras menahan
kemarahan. "Hih!"
Dewi Lanjani segera cepat menggerak-gerakkan
tangannya di depan dada kemudian menarik napas dalam-dalam. Sebentar kemudian,
gadis itu sudah kembali
normal seperti semula.
"Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Dewi Lanjani kembali melompat menyerang Raden Wikalpa yang telah menduga kalau gadis itu akan tewas seketika.
Namun, kini Dewi Lanjani malah kembali
menyerang dahsyat. Dua kali gadis itu melontarkan pukulan ke arah Raden Wikalpa.
"Hiyaaat...!"
"Upfs...!"
Bergegas Raden Wikalpa mengegoskan tubuhnya ke
kanan dan ke kiri, sehingga dua pukulan beruntun dan cepat itu tidak sampai
mengenai sasaran. Dan hal ini membuat Dewi Lanjani semakin geram. Gadis itu
terus memberi serangan-serangan
cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Pertarungan antara
Raden Wikalpa melawan Dewi Lanjani lebih seru daripada pertandingan-pertandingan
tadi. Mereka sudah sama-sama mengeluarkan
jurus-jurus dahsyat.

Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertarungan itu berjalan cepat sekali, sehingga hanya dua bayangan yang terlihat berkelebat
saling sambar. *** "Akh...!"
Tiba-tiba saja terdengar satu jeritan tertahan. Tampak Dewi Lanjani terhuyung-
huyung ke belakang sambil
mendekap dadanya. Dari sudut bibirnya mengalir darah kental. Sebelum gadis itu
bisa menguasai keseimbangan tubuh, Raden Wikalpa sudah melesat cepat bagaikan
kilat menerjangnya.
"Yeaaah...!"
Raden Wikalpa melontarkan satu pukulan keras ke arah dada
gadis itu. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan, sehingga Dewi Lanjani tidak mungkin menghindarinya.
Des! "Akh!"
Untuk kedua kalinya Dewi Lanjani terpekik keras.
Gadis itu terpental ke belakang, lalu terjungkal keras ke tanah. Sebelum Dewi
Lanjani bisa melakukan sesuatu, Raden Wikalpa sudah kembali melesat cepat ke
arahnya. Tahu-tahu pemuda itu sudah berdiri di sampingnya. Cepat sekali Raden Wikalpa
merenggut tubuh gadis itu hingga berdiri, lalu memutarnya. Dan kini pemuda itu
sudah meringkus Dewi Lanjani dengan memutar tangannya ke
punggung. "Masukkan dia ke penjara!" sentak Raden Wikalpa
dengan napas agak tersengal.
Paman Legiwa bergegas menggantikan. Seketika seorang prajurit kadipaten
menghampiri sambil membawa rantai belenggu untuk tawanan. Prajurit itu
membelenggu kedua tangan dan kaki Dewi Lanjani dengan rantai yang kuat dan cukup
besar. Gadis itu sempat menatap tajam Raden
Wikalpa penuh dendam. Kemudian, dia sudah tidak
mampu lagi melakukan sesuatu, kecuali menuruti Paman Legiwa yang menggiringnya
menuju penjara.
Raden Wikalpa kembali mendekati ayahnya yang masih
tetap duduk di kursi bersikap tenang. Laki-laki tua itu tersenyum
bangga menyambut anaknya. Sambil menghembuskan napas panjang, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di kursi.
"Tangguh sekali gadis itu...," desah Raden Wikalpa.
"Kau mengenalnya, Wikalpa?" tanya Adipati Baka
Witara. "Entahlah. Rasanya, baru kali ini aku melihatnya,"
sahut Raden Wikalpa agak mendesah.
"Hm...," Adipati Baka Witara hanya menggumam saja.
Tak berapa lama kemudian, Paman Legiwa sudah
kembali lagi. Dia memberi hormat pada Adipati Baka
Witara dan Raden Wikalpa, kemudian melaporkan kalau Dewi Lanjani sudah berada di
dalam penjara yang dijaga empat orang prajurit. Laki-laki tua yang usianya
hampir sebaya dengan Adipati Baka Witara itu kini menghampiri Raden Wikalpa yang
memberi isyarat agar mendekat.
"Hamba, Raden..."
"Hadapkan Nyai Raka Wulung dan peserta lainnya
padaku, sekarang," perintah Raden Wikalpa.
"Hamba laksanakan segera, Raden."
Paman Legiwa bergegas menghampiri Nyai Raka Wulung
yang masih berada di atas panggung. Kemudian dipanggilnya seorang peserta lagi yang masih tersisa dan belum sempat melakukan
pertarungan. Kedua peserta itu menghampiri Raden Wikalpa, kemudian berdiri tegak
setelah memberi hormat pada pemuda itu.
"Siapa namamu?" tanya Raden Wikalpa seraya memandang seorang pemuda yang berdiri di samping Nyai Raka Wulung.
"Jaka Kumbara, Gusti," jawab pemuda itu sopan.
Raden Wikalpa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dipandanginya pemuda yang mungkin berusia sebaya
dengannya. Wajahnya cukup tampan, dan kulitnya kuning langsat. Dia mengenakan
baju warna putih bersih yang agak ketat, sehingga membentuk tubuh yang tegap,
berotot. Pemuda yang mengaku bernama Jaka Kumbara
itu seperti putra seorang bangsawan saja.
"Dari mana asalmu?" tanya Raden Wikalpa lagi.
"Desa Giri," sahut Jaka Kumbara, tetap bersikap sopan.
Kembali Raden Wikalpa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dia tahu kalau Desa Giri masih termasuk
wilayah Kadipaten Watu Kambang ini. Malah letaknya juga tidak terlalu jauh dari
kota kadipaten ini. Dan kini Raden Wikalpa memandang Nyai Raka Wulung. Dia sudah
mengenal namanya, tapi belum mengetahui asal perempuan tua itu.
"Nyai, mengapa kau ikut mendaftar jadi ketua pengawal khusus untukku?" tanya
Raden Wikalpa. "Hamba hanya ingin mengabdi, Raden," sahut Nyai
Raka Wulung, bersikap sopan. Berbeda sekali ketika
berada di atas panggung tadi.
"Hm...! Kau sepertinya mengenal gadis itu tadi. Siapa dia sebenarnya?" tanya
Raden Wikalpa menyelidik.
"Hamba tidak tahu, Raden. Tapi ilmu-ilmu yang
dimilikinya hamba tahu betul. Ilmu-ilmu itu berasal dari si Raja Musang Hitam.
Hamba tidak tahu, apakah gadis itu muridnya atau bukan, Raden," sahut Nyai Raka
Wulung. "Hm..., baiklah. Aku rasa pertandingan ini tidak perlu diteruskan lagi...," ujar
Raden Wikalpa seraya berpaling pada Paman Legiwa.
Laki-laki tua yang berada di samping pemuda itu segera membungkukkan tubuhnya
memberi hormat.
"Umumkan kalau pertandingan sudah berakhir,"
perintah Raden Wikalpa.
"Hamba laksanakan, Raden," sahut Paman Legiwa.
Bergegas laki-laki tua itu melangkah menuju panggung.
Raden Wikalpa kemudian bangkit berdiri setelah ayahnya berdiri. Pemuda itu
memberi hormat saat Adipati Baka Witara melangkah meninggalkan tempat itu. Dan
Adipati Baka Witara sempat melirik anaknya ini. Memang, Raden Wikalpa tahu kalau
ayahnya ingin bicara dengannya,
berdua saja. "Kalian berdua tunggu di sini," pesan Raden Wikalpa pada kedua peserta yang
tersisa itu. "Baik, Raden."
"Hamba, Gusti."
Raden Wikalpa bergegas mengejar ayahnya yang sudah
berjalan agak jauh meninggalkan arena pertandingan itu.
Dengan langkah cepat, sebentar saja pemuda itu sudah mensejajarkan
langkahnya di samping Adipati Baka
Witara. Mereka berjalan agak pelahan menuju istana
kadipaten yang tampak megah dan anggun.
"Kalau kau suka mengikuti saranku, sebaiknya pemuda itu yang dipilih, Wikalpa.
Nyai Raka Wulung tidak pantas menduduki jabatan ketua pengawal," tegas Adipati
Baka Witara. "Aku akan menguji mereka, Ayah," ujar Raden Wikalpa.
"Apa lagi yang akan kau lakukan?" tanya Adipati Baka Witara tidak mengerti akan
segala maksud anaknya ini.
Raden Wikalpa tidak menjawab, dan hanya tersenyum
saja sambil terus mengayunkan kakinya di samping laki-laki tua itu. Mereka
kemudian memasuki bangunan besar dan
megah itu. Sementara hari sudah
merangkak memasuki senja. Sedangkan
halaman depan istana kadipaten ini sudah mulai dikosongkan. Seluruh rakyat yang menyaksikan
pertandingan tadi mulai meninggalkan tempat itu. Di samping itu, para prajurit
pun sudah sibuk membereskan sekitarnya.
Tampak Paman Legiwa membawa Nyai Raka Wulung
dan Jaka Kumbara ke bangsal keprajuritan yang berada di bagian kanan bangunan
istana ini. Sementara Raden
Wikalpa dan Adipati Baka Witara sudah lenyap di dalam Istana Kadipaten Watu
Kambang ini. *** 3 [hal 33-34 hilang]
...hanya menggelengkan kepalanya. Pemuda yang juga
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti memang selalu tidak ingin mencampuri urusan
orang lain. Tapi jika sudah terlibat, tidak akan ditinggalkan begitu saja
sebelum semuanya tuntas. Sedangkan lain halnya dengan Pandan Wangi. Gadis ini
selalu ingin tahu jika ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Bahkan persoalan
sepele saja, pasti ingin tahu. Kalau sudah begitu, gadis yang berjuluk si Kipas
Maut ini tak pernah tinggal diam, dan akan
mencampuri persoalan.
Memang, Rangga mengakui kalau Pandan Wangi terlalu
jeli jika memandang sesuatu persoalan. Bahkan sepertinya bisa menduga tepat,
meskipun persoalan yang dihadapi masih mengambang. Hal ini kerap membuat Rangga
kelabakan, karena Pandan Wangi seringkali tidak bisa menyelesaikannya sendiri.
Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti yang harus turun tangan, jika keselamatan gadis
ini mulai terancam.
"Sudah makannya, Pandan?" tanya Rangga.
"Sudah," jawab Pandan Wangi singkat
Rangga memanggil laki-laki tua pemilik kedai ini.
Setelah membayar semua makanan dan minuman yang
dinikmati, kemudian kedua pendekar muda itu melangkah meninggalkan kedai.
Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya yang tertambat di
depan kedai. Pandan Wangi mengikuti dengan gerakan indah dan ringan sekali.
Tak lama berselang, mereka sudah berkuda perlahan-
lahan menyusuri jalan yang cukup lebar dan berdebu.
Jalan ini membelah kota Kadipaten Watu Kambang seperti menjadi dua bagian.
Mereka berkuda sambil menikmati keindahan kota yang jarang ditemui dalam
pengembaraan. Selama ini mereka hanya bertemu desa-desa kumuh yang selalu menyediakan berbagai
macam permasalahan.
"Rasanya aku ingin sekali hidup tenang, tanpa harus bergelut
dengan berbagai macam persoalan dan kekerasan," ujar
Rangga. Nada bicaranya setengah bergumam, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Kenapa tidak tinggal saja di istana...?" sambut Pandan Wangi.
"Aku tidak cocok tinggal di lingkungan istana, Pandan.
Meskipun terlahir di sana, tapi seluruh kehidupanku berada di alam bebas."
"Sudah tahu begitu, masih juga mengeluh," rungut
Pandan Wangi. "Bukannya mengeluh. Aku hanya ingin sesekali menikmati ketenangan tanpa gangguan apapun juga,"
Rangga beralasan.
"Kalau kau ingin, Kakang, cari tempat yang sepi dan tenang di gunung, atau di
tengah hutan. Aku yakin, kau akan menikmati kesunyian alam tanpa ada gangguan
apapun juga," saran Pandan Wangi.
"Kadang-kadang kau pintar juga, Pandan," puji Rangga.
"Huuu...," Pandan Wangi mencibir senang mendapat
pujian Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo, Pandan. Kita cari tempat yang kau maksud," ajak Rangga, langsung saja
menyetujui usul Pandan Wangi tadi.
"Heh...! Kau bersungguh-sungguh, Kakang?" Pandan
Wangi malah terkejut.
Padahal, tadi gadis itu hanya asal bicara saja, tidak ada maksud
bersungguh-sungguh.
Tapi rupanya Rangga benar-benar menanggapinya. Dan
sekarang Pendekar


Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rajawali Sakti malah ingin menikmati ketenangan yang diinginkannya. Tinggal
Pandan Wangi yang kelabakan.
"Ayo, Pandan. Tunjukkan tempat yang nyaman padaku," desak Rangga.
"Aku tidak tahu," sahut Pandan Wangi.
"Kau pernah ke sini, bukan?"
"Iya, tapi...."
"Jangan bohongi aku, Pandan. Dulu kau bercerita kalau pernah tinggal di sini
hampir tiga bulan. Pasti kau tahu seluk-beluk tempat ini," desak Rangga lagi.
"Hhh...,"
Pandan Wangi hanya mengeluh sambil mengangkat bahunya.
Gadis itu tidak bisa lagi menghindar. Dia memang
pernah cerita pada Rangga kalau dulu pernah tinggal di Kadipaten Watu Kambang
ini. Bahkan sampai tiga bulan lamanya. Kedatangan Rangga ke kadipaten ini juga
atas permintaan Pandan Wangi. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya
menurutinya. Sekarang si Kipas Maut itu diminta untuk menunjukkan tempat yang
tenang agar bisa menyendiri.
"Baiklah. Aku tahu tempat yang indah dan tenang di
pinggiran kota," kata Pandan Wangi menyerah.
"Kita ke sana sekarang, Pandan," ajak Rangga.
"Yuk deh...."
Mereka kemudian menggebah cepat kudanya menuju
tempat yang dimaksudkan Pandan Wangi. Rangga sengaja mengendalikan kudanya agar
berada agak ke belakang dari kuda gadis itu. Diikuti saja, ke mana Pandan Wangi
mengajaknya. Pendekar Rajawali Sakti itu sudah membayangkan suatu tempat yang indah dengan udaranya yang sejuk, nyaman, dan
damai. Suatu perasaan wajar yang selalu didambakan setiap manusia di dunia ini.
*** Rangga berdecak kagum menyaksikan keindahan alam
yang ditunjukkan Pandan Wangi. Rasanya seperti berada di taman nirwana milik
para Dewa Kahyangan. Begitu
indahnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti itu baru tersadar setelah Pandan
Wangi mencolek lengannya. Dan mendadak saja Rangga terkejut. Ternyata begitu
berpaling, bukan hanya mereka berdua saja di tempat ini. Masih ada seorang lagi
yang berdiri tegak di atas sebongkah batu besar yang tidak seberapa jauh dari
kedua pendekar muda itu berdiri.
Rangga mengamati seorang perempuan yang tidak bisa
dikatakan muda lagi. Namun, raut wajahnya masih
kelihatan cantik, dengan bentuk tubuh indah. Begitu indahnya, sehingga sanggup
membuat mata laki-laki tidak berkedip memandangnya. Wanita itu mengenakan baju
merah muda yang agak ketat dan tipis sekali, sehingga memperlihatkan pakaian
dalamnya yang juga agak tipis.
Rangga sampai terpana memandanginya, dan kembali baru tersadar begitu Pandan
Wangi menyikut iganya.
"Siapa kalian"! Untuk apa berada di sini"!" lantang sekali suara wanita itu,
namun tidak menghilangkan
kelembutannya. "Siapa pun kami, tidak ada urusannya denganmu!"
sahut Pandan Wangi ketus. "Tempat ini bebas didatangi siapa saja."
"Sopan sedikit, Pandan," tegur Rangga dengan suara
agak berbisik. "Ah! Ternyata kau cukup lembut juga, Bocah Bagus,"
kata wanita itu disertai kerlingan mata pada Rangga.
Kerlingan itu membuat hati Pandan Wangi panas
seketika. Bahkan darahnya langsung menggolak mendidih bagai terbakar. Wanita
berbaju merah muda itu memang cantik, meskipun usianya sudah tidak muda lagi.
Mungkin sudah mencapai empat puluh tahun. Hanya saja sikapnya yang begitu genit,
sehingga membuat Pandan Wangi sengit melihat tingkahnya. Terlebih lagi, matanya
tidak lepas-lepasnya memandangi Rangga dengan sikap menggoda.
"Perempuan jalang...," desis Pandan Wangi tidak lahan lagi.
"Hi hi hi.... Rupanya teman gadismu ini besar juga
cemburunya," wanita cantik itu semakin membuat Pandan Wangi mengkelap panas.
Sama sekali si Kipas Maut yang sudah sesak napas
tidak dipedulikannya. Wanita itu melompat turun dari batu. Gerakannya ringan
dan indah sekali. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya dijejakkan
sekitar dua langkah
di depan Rangga. Senyumnya
terkembang manis, sementara sepasang bola matanya
berputar indah menggoda.
"Kakang, sini...!" sentak Pandan Wangi seraya menarik tangan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu hampir saja terjatuh,
namun cepat menguasai keseimbangan tubuhnya. Kini
Rangga berada di belakang Pandan Wangi yang berkacak pinggang memasang muka
merah menahan kemarahan
dan cemburu yang menggelegak seketika setelah melihat tingkah wanita genit itu.
"Jangan coba-coba menggoda, ya..."!" sentak Pandan
Wangi berang. "He..."! Kenapa kau yang marah, Adik Manis?"
"Setan...! Aku bukan anak kecil!" bentak Pandan Wangi semakin berang.
"Kau memang sudah besar. Tapi..., aku rasa belum
cukup pantas untuk Bocah Bagus ini."
"Keparat...! Kurobek mulutmu, Iblis...!"
Pandan Wangi tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Dengan cepat sekali, si Kipas Maut itu menyentakkan tangan
kanannya, memberi pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Uts!"
Namun hanya sedikit saja wanita itu memiringkan
tubuhnya, pukulan Pandan Wangi tidak mengenai sasaran.
Bahkan wanita itu manis sekali menyodokkan tangannya ke arah perut. Sodokan yang
cepat dan tidak terduga membuat Pandan Wangi terkesiap. Buru-buru kakinya
melangkah ke belakang, namun tidak ingat kalau Rangga berada di situ.
Hampir saja gadis itu menabrak Pendekar Rajawali
Sakti, kalau saja pemuda berbaju rompi putih itu tidak segera menggeser kaki ke
samping. Dan saat itu, wanita berbaju merah muda yang cantik ini kembali
melontarkan satu pukulan lurus ke arah dada si Kipas Maut.
"Yeah...!"
"Hap!"
Bet! Cepat sekali Pandan Wangi mencabut senjata kipasnya yang terselip di pinggang.
Lalu dengan cepat pula,
dikebutkan ke depan dadanya. Kebutan kipas baja putih yang langsung terkembang,
membuat wanita berbaju
merah muda itu terbeliak terkejut. Bergegas pukulannya ditarik kembali, sebelum
mengenai kipas baja putih di tangan Pandan Wangi.
Pada saat itu, Pandan Wangi segera mempergunakan
kesempatan yang sempit ini. Maka diberikannya serangan beruntun dan cepat
sekali. Kipas Maut-nya berkelebat mengincar sasaran empuk tubuh wanita berbaju
merah muda itu. Beberapa kali kipas Pandan Wangi hampir
menyambar, namun manis sekali serangan itu berhasil dielakkan lawan.
"Hop! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja wanita cantik berbaju merah muda itu melentingkan tubuhnya ke
belakang, lalu berputaran
beberapa kali, tepat ketika Pandan Wangi mengebutkan kipasnya ke arah dada.
Gerakan wanita itu membuat
Pandan Wangi sempat terlongong juga. Tapi sebelum rasa terkejut si Kipas Maut
itu hilang, mendadak saja wanita berbaju merah itu sudah menghentakkan tangannya
begitu mendarat di tanah.
"Yeaaah...!"
"Awas...!" seru Rangga yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan itu.
Dari sela-sela jari tangan wanita itu meluncur sinar-sinar merah berbentuk jarum
halus ke arah Pandan
Wangi. Bergegas tubuh si Kipas Maut melenting ke udara, dan berjumpalitan
beberapa kali. Namun wanita itu terus cepat
mengebutkan tangannya secara bergantian, mengikuti arah gerakan Pandan Wangi yang tengah
berjumpalitan di udara.
Jarum-jarum halus berwarna merah itu terus meluncur deras seperti tidak pernah
ada habisnya. Pandan Wangi semakin kelabakan saja. Beberapa kali kebutan kipas
gadis itu berhasil merontokkan, namun jarum-jarum
merah lainnya terus berdatangan mengincar tubuhnya.
"Hentikan...!" sentak Rangga tiba-tiba.
Seruan Pendekar Rajawali Sakti yang disertai pengerahan tenaga dalam, membuat wanita berbaju merah itu terkejut. Dan seketika
itu juga serangan-serangannya dihentikan.
Pada saat itu, Pandan Wangi cepat menjejakkan kakinya di tanah. Namun demikian, hampir saja dia melompat
menerjang. Untung saja Rangga cepat mencekal pergelangan tangannya.
"Mundur kau, Pandan," kata Rangga meminta.
"Kakang...," Pandan Wangi ingin memprotes.
Tapi melihat mata Pendekar Rajawali Sakti mendelik, Pandan Wangi terpaksa
mundur. Hanya saja hatinya
menggerutu kesal dan tidak puas. Dia yakin kalau masih sanggup menandingi
perempuan berbaju merah itu, meskipun tadi sempat terdesak sekali oleh serangan
jarum-jarum merah. Meskipun hatinya kesal, tapi dia berterima
kasih juga. Masalahnya Rangga cepat menghentikan ancaman, di saat dirinya hampir kehabisan napas menghindari serbuan
jarum-jarum merah tadi. Dan tentu saja, Pandan Wangi hanya mengucapkannya dalam
hati. "Maaf, kalau kedatangan kami membuatmu terusik,"
ucap Rangga, sopan.
"Hm.... Sama sekali aku tidak terusik. Tapi, gadismu itu...," wanita berbaju
merah itu melirik Pandan Wangi.
Pada saat yang sama, Pandan Wangi mendelikkan
matanya. Si Kipas Maut itu benar-benar masih penasaran pada
wanita genit yang telah membakar api kecemburuannya.
Ingin rasanya Pandan Wangi menelannya mentah-mentah
"Berani merebut Kakang Rangga dariku..., kubunuh
kau," desis Pandan Wangi dalam hati.
Pandan Wangi semakin muak saja melihat tingkah
wanita yang bertambah genit di depan Rangga. Dan
hatinya juga kesal, karena tampaknya Rangga melayani.
Bahkan sepertinya menikmati kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Pandan Wangi jadi
menggerutu sendiri dalam hati, namun harus bisa menahan diri. Dia tidak ingin
terjebak lagi di dalam kecemburuan yang tidak beralasan sama sekali.
Pengalamannya bersama Rangga selama ini sudah membuktikan kalau kekasihnya itu
memang setia, tidak mudah berpaling pada gadis mana pun juga.
"Boleh aku tahu, siapa namamu, Nisanak?" tanya
Rangga. "Kalau gadismu tidak keberatan," sahut wanita itu
diiringi senyuman menggoda.
"Tentu saja tidak. Iya kan, Pandan...?"
"Huh!" Pandan Wangi hanya mendengus saja.
Kembali Rangga menatap wanita cantik di depannya.
Sedangkan wanita itu semakin
genit saja. Bahkan
memberikan kerlingan mata yang indah menggairahkan.
Sengaja tubuhnya digerakkan gemulai saat melangkah
mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar
dua langkah lagi. Saat itu juga.
Rangga merasakan hidungnya mencium aroma semerbak
yang menyebar dari tubuh wanita ini.
Aroma harum itu membuat jantung Rangga seakan-
akan berhenti berdetak. Namun Pendekar Rajawali Sakti mencoba menenangkan
dirinya yang mendadak jadi tidak menentu. Dia sendiri tidak mengerti, mengapa
tiba-tiba saja jadi begini. Mungkin
karena keharuman
yang menusuk hidung, sehingga membuatnya seperti terangsang. "Ah! Sebaiknya, kami pergi saja. Ayo, Pandan...," cepat-cepat Rangga melangkah
mundur.

Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Rajawali Sakti sadar kalau wanita itu jenis wanita penggoda laki-laki.
Makanya, dia tidak ingin terjebak dalam arus rangsangan yang akan membuat
dirinya sengsara dan menyesal seumur hidup. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti
pergi mengajak Pandan Wangi.
Tentu saja gadis itu senang. Mereka segera melompat ke punggung kuda masing-
masing, lalu cepat menggebahnya.
Sementara wanita berbaju merah
muda itu hanya memandangi saja dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja wanita berbaju merah muda itu tertawa lepas
terbahak-bahak.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh
meninggalkan tempat itu. Mereka memacu cepat kudanya, membuat kepulan debu di
angkasa. Sementara wanita
berbaju merah muda itu masih tetap berdiri memandangi kepergian sepasang anak
muda tadi, hingga lenyap dari pandangan.
"Eh...!" wanita itu terperanjat ketika baru saja memutar tubuhnya.
Tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik,
mengenakan baju warna kuning. Sebilah pedang bertengger di punggungnya. Wanita
berbaju merah muda itu melangkah menghampiri sambil tersenyum.
"Siapa mereka, Bibi?" tanya gadis berbaju kuning itu.
"Ah, cuma orang kesasar saja," sahut wanita yang
dipanggil bibi.
Gadis berbaju kuning itu tidak bertanya lagi. Mereka kemudian berjalan
berdampingan meninggalkan tempat
itu. Sebuah tempat yang indah dengan bunga-bunga
bermekaran, menyebarkan aroma harum semerbak.
*** 4 "Sial...!" rutuk Rangga seraya melompat turun dari
punggung kuda hitamnya.
Pandan Wangi juga ikut turun dari kuda. Sementara
Rangga sudah menghenyakkan tubuhnya, duduk di bawah sebatang pohon yang cukup
rindang. Dibiarkan saja Dewa Bayu melenggang, mencari rerumputan segar.
Gemericik air sungai kecil yang menghadang di depan, seakan-akan mengundang dua
ekor kuda itu untuk mendekatinya.
Bahkan Pandan Wangi juga mendekati sungai itu.
Setelah membasuh wajah dan tangan, Pandan Wangi
menghampiri Rangga yang tengah duduk bersandar di
pohon. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu terpejam.
Pandan Wangi menempatkan dirinya duduk di sa mping
pemuda itu. Dia ikut menyandarkan tubuhnya, merapat dengan pemuda berbaju rompi
putih itu. "Sepertinya semua tempat tidak ada yang memberi
ketenangan...," desah Rangga bernada mengeluh.
"Aku rasa masih banyak, Kakang," Pandan Wangi tidak sependapat.
"Di mana...?" Rangga seakan-akan menuntut.
"Di surga," kelakar Pandan Wangi.
"Huuu...," dengus Rangga seraya memukul bahu gadis
itu. Tapi Pandan Wangi hanya tertawa saja. Dan memang,
pukulan Rangga tidak keras. Malah, terasa lembut bagi gadis itu. Rangga hanya
memberengut, tapi akhirnya
tersenyum juga. Seketika pinggang gadis itu diraih, dan dibawanya ke dalam
pelukan. Pandan Wangi jadi manja.
Tubuhnya langsung dirapatkan
ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu.
Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri saja.
Dan baru saja Rangga hendak membuka mulut, mendadak telinganya mendengar derap
langkah kaki kuda yang
mendekati tempat ini. Pandan Wangi rupanya juga
mendengar. Bergegas pelukannya pada Pendekar Rajawali Sakti dilepaskan. Kemudian
duduknya bergeser menjauh.
Saat itu muncul beberapa ekor kuda yang penunggangnya sebagian mengenakan
seragam prajurit kadipaten dan
sebagian lagi seperti orang dari kaum rimba persilatan.
Rangga bangkit berdiri begitu para penunggang kuda itu berhenti. Salah seorang
yang mengenakan baju putih dan sudah cukup berumur, melompat turun. Laki-laki
itu adalah Paman Legiwa, orang kepercayaan Adipati Baka Witara. Dihampirinya Rangga
yang berdiri di dekat Pandan Wangi.
"Kisanak, boleh bertanya sedikit?" ujar Paman Legiwa sopan.
"Silakan," sahut Rangga.
"Apakah Kisanak melihat dua orang wanita dan seorang laki-laki lewat di tempat
ini?" tanya Paman Legiwa lagi.
"Tidak. Kami baru saja berada di tempat ini," sahut Rangga tanpa berpikir lagi.
Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti baru saja sampai di tempat ini. Sementara
Paman Legiwa memandang
Pandan Wangi, namun gadis itu hanya menggelengkan
kepalanya saja.
"Hhh...," Paman Legiwa menarik napas panjang.
"Bagaimana, Paman?" tanya salah seorang laki-laki
bertubuh kekar yang menunggang kuda putih dan berkaki belang coklat.
"Kalian kembali saja ke istana. Laporkan pada Gusti Adipati semuanya," sahut
Paman Legiwa. "Paman sendiri?" tanya orang itu lagi.
"Aku akan terus melanjutkan pencarian."
"Kami ikut, Paman."
"Tidak! Kalian harus kembali secepatnya. Keselamatan Gusti Adipati lebih penting
dariku," tegas Paman Legiwa.
Sekitar dua puluh orang berseragam prajurit dan dua belas orang berpakaian
biasa, satu di antaranya adalah perempuan tua, tidak berbicara lagi. Dan kuda
mereka segera digebah meninggalkan tempat itu, menuju ke
Kadipaten Watu Kambang kembali. Tinggal dua orang yang tersisa selain Paman
Legiwa sendiri. Mereka adalah
perempuan tua berbaju merah dan seorang pemuda yang cukup tampan berbaju putih.
Kedua orang itu yang dikenal bernama Nyai Raka Wulung dan Jaka Kumbara. Mereka
melompat turun dari kuda masing-masing, kemudian
menghampiri Paman Legiwa yang masih berada di depan Pendekar Rajawali Sakti dan
si Kipas Maut. "Maaf, Paman. Ada apa gerangan yang terjadi?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Kami kehilangan Raden Wikalpa, calon adipati kami,"
sahut Paman Legiwa.
Suara laki-laki tua itu terdengar pelan sekali. Tampak jelas kalau wajahnya
diliputi mendung yang mendalam.
Sementara Pandan Wangi menatap Rangga. Sedangkan
yang ditatap hanya membalas kosong, tanpa gairah sama sekali. Rangga tahu, dan
bisa membaca arti tatapan gadis itu. Tapi kali ini Pendekar Rajawali Sakti
memang sedang enggan
melakukan sesuatu. Hanya satu yang diinginkannya, yakni bisa beristirahat tenang dan melupakan semua yang pernah dialami. Mencari ketenangan baru, untuk mengusir kejenuhan yang mulai melanda dirinya.
"Oh, ya. Jika Kisanak dan Nini melihat Raden Wikalpa, tolong beritahukan kami
secepatnya di istana," pesan Paman Legiwa.
"Akan kami usahakan, Paman," sahut Pandan Wangi
yang ikut memanggil laki-laki tua itu dengan sebutan paman.
"Terima kasih."
Paman Legiwa membalikkan
tubuhnya, kemudian
menghampiri kudanya. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, laki-laki tua itu
melompat naik ke punggung kuda dan menggebahnya pelahan-lahan. Sedangkan Nyai
Raka Wulung dan Jaka Kumbara saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama
bergegas melompat ke punggung
kuda masing-masing. Mereka terus mengikuti laki-laki tua yang sudah meninggalkan
tempat itu lebih dahulu. Dari arah yang ditempuh, jelas kalau mereka tidak
menuju kota Kadipaten Watu Kambang.
*** Paman Legiwa memacu cepat kudanya, meskipun hutan
yang dilalui semakin terasa sempit, dengan pepohonan yang merapat dan bertaut
menjadi satu. Namun laki-laki tua itu tetap saja memacu kudanya dengan kecepatan
tinggi. Sementara Nyai Raka Wulung dan Jaka Ku mbara susah-payah mengikuti
sambil mengendalikan kudanya
hati-hati. Mereka memang tidak selincah Paman Legiwa, karena memang belum
terbiasa menunggang kuda. Hal ini bisa dimaklumi. Kebanyakan
orang kalangan rimba persilatan memang lebih suka berjalan sambil berlatih ilmu meringankan tubuh.
Hanya beberapa saja yang
berpetualang menunggang kuda itupun yang merasa ilmu meringankan
tubuhnya telah mencapai taraf kesempurnaan. Mereka kemudian tiba di suatu tempat yang sangat
indah, seperti berada di dalam sebuah taman yang tertata apik. Paman Legiwa
menghentikan lari kudanya. Sejenak matanya terpaku menyaksikan keindahan alam
ini. Belum pernah tempat yang indah ini dilihatnya. Bahkan sama sekali dia tidak
tahu kalau di wilayah Kadipaten Watu Kambang terdapat sebuah tempat yang begitu
mempesona. "Paman, awas...!" tiba-tiba terdengar seruan keras dari arah belakang.
Paman Legiwa terperanjat begitu mukanya dipalingkan ke kanan. Bergegas laki-laki
tua itu melompat turun dari punggung kudanya, dan bergulingan beberapa kali di
tanah. Saat itu juga, terdengar ringkik kuda yang keras.
Tampak kuda yang ditungganginya jatuh menggelepar di tanah. Di tubuhnya
tertancap jarum-jarum halus berwarna merah.
"Hup!"
Paman Legiwa bergegas melompat bangkit berdiri.
Namun sebelum bisa berdiri tegak, mendadak saja sebuah bayangan merah muda
berkelebat cepat menyambar ke
arahnya. Sesaat laki-laki tua itu terperangah. Namun sebelum keadaan dirinya
sempat terkuasai, mendadak
Paman Legiwa merasakan sesuatu yang keras menghantam dadanya.
Degkh! "Akh...!"
Paman Legiwa terpekik keras.
Laki-laki tua itu terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa
kali. Seketika dari mulutnya menyemburkan
darah kental agak kehitaman. Dan sebelum Paman Legiwa bisa bangkit berdiri, kembali
bayangan merah muda itu meluruk deras ke arahnya.
Namun sebelum sampai, Nyai Raka Wulung sudah lebih
cepat lagi melesat dari punggung kudanya. Langsung
dijegalnya bayangan merah muda itu.
"Hiyaaa...!"
"Hih!"
Glarrr...! Ledakan keras terjadi begitu dua bayangan yang
berkelebat cepat itu saling berbenturan keras sekali.
Tampak kedua bayangan itu saling berpentalan ke
belakang. Nyai Raka Wulung yang menjegal bayangan
merah muda itu langsung bergulingan di tanah. Sementara bayangan tadi manis
sekali mendarat di tanah berumput, setelah berjumpalitan beberapa kali di udara.
Kini di depan Nyai Raka Wulung dan Paman Legiwa,
sudah berdiri seorang wanita cantik yang bentuk tubuhnya indah menggiurkan.
Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, namun penampilannya masih mampu membuat
mata laki-laki tidak berkedip memandangnya.
"Dewi Asmara Maut...," desis Nyai Raka Wulung
mengenali wanita cantik itu.
"Hik hik hik...!" wanita cantik berbaju merah muda yang dikenal berjuluk Dewi
Asmara Maut itu tertawa mengikik.
Matanya sempat melirik Jaka Kumbara yang tengah
membantu Paman Legiwa berdiri. Sudut ekor matanya
sempat memberi kerlingan pada pemuda itu. Namun Jaka Kumbara
tidak mempedulikan, karena perhatiannya tertumpah pada Paman Legiwa yang tampaknya mengalami luka dalam cukup parah juga. Sementara Nyai Raka Wulung sudah berada
di samping Jaka Kumbara
yang memapah Paman Legiwa berdiri.
"Bawa dia ke tempat aman. Perempuan iblis ini
berbahaya sekali," ujar Nyai Raka Wulung setengah
berbisik. "Hati-hatilah," Jaka Kumbara memperingatkan.
Pemuda itu membawa Paman Legiwa ke tempat yang
agak jauh dan teduh, kemudian membantu laki-laki tua itu duduk bersila.
Sementara Nyai Raka Wulung sudah
bersiap untuk bertarung. Dia tahu, siapa perempuan
cantik di hadapannya ini. Perempuan itu adalah salah satu tokoh rimba persilatan
yang julukannya sudah kondang.
Mereka yang berhadapan dengan wanita itu harus berpikir seribu kali sebelum
mengambil tindakan. Terutama, laki-laki muda yang ga gah dan tampan.
Sesuai julukannya,

Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Asmara Maut selalu menyebarkan benih-benih asmara setiap kali singgah di suatu tempat. Dan setiap
kali muncul, selalu saja ada korban berupa anak-anak muda yang cukup tampan dan
gagah. Dan sebelum korbannya dibunuh, Dewi Asmara
Maut akan memuaskan dirinya dulu dengan permainan
asmara yang membuat setiap laki-laki tak mampu lagi berpikir waras.
"Hik hik hik...!"
"Hm...."
*** "Beruntung sekali bisa bertemu denganmu di sini, Ular
Merah," lembut sekali suara Dewi Asmara Maut. Tapi di balik kelembutannya,
tersimpan suatu nada ancaman.
"Untuk apa kau datang ke sini"!" dengus Nyai Raka
Wulung yang tadi dipanggil dengan julukan Ular Merah.
"Untuk apa..." Hik hik hik.... Tentu saja jauh-jauh datang ke sini untuk
membawamu kembali, Ular Merah."
"Phuih! Jangan sangkutkan aku lagi dengan perkumpulan setanmu!" bentak Nyai Raka Wulung ketus.
"Hm.... Kau sudah berani menghina perkumpulan, Ular Merah," dingin sekali nada
suara Dewi Asmara Maut. "Kau tahu, apa hukumannya bagi orang sepertimu...?"
"Meskipun kau wakil si Raja Musang Hitam, aku tidak akan
gentar. Dewi Asmara Maut, majulah...! Kita selesaikan perbedaan ini dengan pertarungan," tantang Nyai Raka Wulung.
"Kau memang harus mampus, Ular Merah. Aku
khawatir, rahasia perkumpulan sudah kau bocorkan."
Setelah berkata demikian, tangan Dewi Asmara Maut
segera bergerak, kemudian disilangkan di depan dada.
Saat itu juga Nyai Raka Wulung segera memutar tongkat merahnya pelahan-lahan
sambil menggeser kakinya ke
samping beberapa tindak. Disadari kalau lawan yang akan dihadapinya ini bukanlah
tokoh sembarangan. Dewi
Asmara Maut bukan saja pandai memikat laki-laki, tapi juga memiliki kemampuan
yang sangat tinggi
"Tahan seranganku! Hiyaaat...!" seru Dewi Asmara Maut tiba-tiba.
Bagaikan kilat, wanita cantik berbaju merah muda itu melompat menerjang Nyai
Raka Wulung. Dua kali
pukulannya yang keras bertenaga dalam tinggi dilontarkan. Namun lewat satu gerakan manis, Nyai Raka Wulung dapat menghindari
serangan wanita berbaju
merah itu. Dan pada kesempatan lain, Nyai Raka Wulung sudah
memberi serangan-serangan balasan yang tidak kalah
dahsyatnya. Pertempuran antara dua wanita itu tidak dapat dihindari lagi. Karena
sudah menyadari akan
kemampuan satu sama lain, mereka tidak tanggung-
tanggung lagi. Jurus-jurus yang dikeluarkan
begitu dahsyat dan selalu mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tidak mengherankan
kalau sebentar saja keadaan di sekitar pertarungan jadi rusak berantakan.
Sementara tidak jauh dari tempat pertarungan, Jaka
Kumbara masih berusaha menyembuhkan luka dalam
yang diderita Paman Legiwa. Namun luka dalam itu
demikian parah. Apalagi usia Paman Legiwa yang sudah memasuki ambang senja,
sangat menyulitkan pemuda itu untuk menyembuhkannya.
"Sudah cukup, Jaka. Jangan terlalu membuang tenaga
untukku," kata Paman Legiwa menghentikan usaha Jaka Kumbara.
"Tapi lukamu cukup parah, Paman."
"Kau sudah cukup meringankan, Jaka Kumbara. Yang
penting tenagamu harus dihemat, karena masih banyak yang harus dihadapi nanti."
Jaka Kumbara melepaskan kedua telapak tangannya
dari punggung laki-laki tua itu. Kemudian duduknya
pindah di depan Paman Legiwa yang bersila dengan tangan berada di atas lutut.
Sementara pertarungan antara Dewi Asmara Maut melawan Nyai Raka Wulung masih
terus berlangsung sengit. Jaka Kumbara sempat memperhatikan pertarungan itu sebentar.
"Siapa yang bertarung dengan Nyai Raka Wulung,
Paman?" tanya Jaka Kumbara.
"Entahlah, aku tidak tahu," sahut Paman Legiwa yang juga memperhatikan
pertarungan itu.
Mereka memang tidak sempat memperhatikan percakapan yang terjadi antara Nyai Raka Wulung dan Dewi Asmara Maut tadi.
Terlebih lagi, Jaka Kumbara harus memusatkan pikirannya pada penyembuhan luka
dalam yang diderita Paman Legiwa. Sedangkan laki-laki tua itu seperti tidak mampu
berbuat apa-apa karena lukanya.
"Tampaknya Nyai Raka Wulung sulit menandinginya,
Paman," duga Jaka Kumbara setengah bergumam, seakanakan berbicara pada dirinya
sendiri. "Kita lihat saja, Jaka."
Dugaan Jaka Kumbara tidak meleset. Belum begitu
lama dugaannya dilontarkan, sudah terlihat kalau Nyai Raka Wulung terdesak
sekali. Beberapa kali terlihat Dewi Asmara Maut berhasil mendaratkan pukulan
maupun tendangan keras. Untung saja hanya di bagian-bagian tubuh yang tidak
membahayakan. Maka tak heran kalau Nyai Raka Wulung masih bisa melayaninya,
walaupun semakin terdesak.
Jaka Kumbara yang hendak membantu perempuan tua
itu cepat dicegah Paman
Legiwa. Terpaksa niatnya
diurungkan, dan hanya memperhatikan saja pertarungan itu. Hatinya kelihatan
cemas melihat Nyai Raka Wulung kini menjadi bulan-bulanan, tanpa mampu lagi
memberi serangan balasan.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras, mendadak saja Dewi Asmara
Maut melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah dada Nyai
Raka Wulung. Namun perempuan tua itu masih mampu menghindarinya. Hanya saja kali
ini dia tidak mungkin lagi mengelak ketika Dewi Asmara Maut mencabut pedangnya,
dan langsung dikibaskan ke arah leher perempuan tua itu.
"Mampus! Yeaaah...!"
"Uts!"
Cepat-cepat Nyai Raka Wulung mengibaskan tongkat
untuk menangkis tebasan pedang yang begitu cepat bagai kilat
Trak! "Akh...!"
Nyai Raka Wulung terpekik agak tertahan.
Belum lagi sempat mengusir rasa terkejut akibat
tongkatnya terpotong dua, kembali datang serangan
berupa tendangan keras menggeledek ke arah dada.
Tendangan Dewi Asmara Maut yang cepat luar biasa itu, tak dapat dihindari lagi
oleh Nyai Raka Wulung.
Des! "Aaakh...!"
Lagi-laki Nyai Raka Wulung menjerit keras.
Begitu perempuan tua itu terlontar deras ke belakang, dengan cepat bagai kilat
Dewi Asmara Maut melesat
memburu. Dan secepat itu pula pedangnya ditusukkan ke arah dada perempuan tua
itu. Wut! "Aaa...!"
Bruk! Nyai Raka Wulung terbanting keras ke tanah begitu
pedang Dewi Asmara Maut menusuk perutnya hingga
tembus ke punggung. Darah seketika mengalir deras dari perut dan punggung wanita
tua itu. Hanya sebentar Nyai Raka Wulung mampu menggelepar dan
mengerang, kemudian diam tak berkutik lagi.
*** "Keparat...!" desis Jaka Kumbara geram melihat Nyai
Raka Wulung tewas.
Tanpa menghiraukan larangan Paman Legiwa, pemuda
itu cepat melompat menerjang Dewi Asmara Maut.
Serangan yang dilancarkannya sungguh cepat luar biasa.
Akibatnya, perempuan berbaju merah muda itu sejenak terperangah, namun cepat
menghindari beberapa pukulan bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan Jaka
Kumbara. "Upf...!"
Paman Legiwa memaksakan diri untuk bangkit berdiri.
Hatinya begitu khawatir melihat Jaka Kumbara menyerang Dewi Asmara Maut. Namun
pertarungan itu tidak bisa lagi dicegah. Bahkan sudah berlangsung sengit sekali.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan sudah mulai
terlihat kalau Dewi Asmara Maut berada di atas Jaka Kumbara. Tingkat kepandaian
wanita itu memang tinggi, dan sukar dicari tandingannya.
"Jaka, mundur...!" teriak Paman Legiwa keras.
Namun peringatan laki-laki tua itu tidak dihiraukan sama sekali. Jaka Kumbara
terus mencecar Dewi Asmara Maut lewat serangan-serangan cepat dan dahsyat. Namun
tampaknya wanita itu malah
mempermainkan Jaka Kembara. Dia hanya berkelit dan menghindar tanpa
sedikitpun menyerang.
Melihat ketampanan Jaka Kumbara, wanita itu langsung tertarik. Rasanya sayang sekali melepaskan pemuda ini begitu saja.
Tidak heran kalau Dewi Asmara Maut hanya menghindar dan
mengelak saja. Yang
diinginkan hanyalah menguras habis tenaga Jaka Kumbara, sebelum melakukan serangan khusus yang
sudah terbayang di dalam benaknya.
"Hiyaaa...!"
Melihat pertarungan yang berjalan tidak seimbang itu, Paman Legiwa tidak dapat
menahan diri lagi. Terlebih lagi saat melihat Dewi Asmara Maut mengerahkan jurus
'Bunga Memikat Kumbang'. Paman Legiwa jadi terkejut, dan langsung mengetahui,
siapa perempuan berwajah
cantik yang bentuk tubuhnya indah menggairahkan itu.
Seketika dia melompat menerjang, karena tidak ingin Jaka Kumbara jatuh ke dalam
perangkap yang mulai ditebarkan wanita itu.
"Heh..."!"
Dewi Asmara Maut agak terkejut juga begitu mendapatkan serangan dari laki-laki tua yang telah
dibuatnya tidak berdaya tadi. Perhatiannya jadi terpecah, dan
geram bukan main, karena rencananya untuk
menaklukkan Jaka Kumbara dengan jurus 'Bunga Memikat Kumbang' yang sangat ampuh itu jadi terpecah sasarannya.
"Tua bangka keparat! Yeaaah...!"
Perhatian Dewi Asmara Maut terpaksa dialihkan. Dan
kini segera dilancarkan serangan-serangan kilat dan dahsyat ke arah laki-laki
tua itu. Serangan-serangan yang dilancarkannya memang sungguh dahsyat dan luar
biasa. Maka dalam beberapa gebrak saja, Paman Legiwa sudah kewalahan. Dan pada suatu
saat... "Jebol...!" sentak Dewi Asmara Maut tiba-tiba.
Seketika itu juga, tubuhnya dimiringkan ke kanan
sedikit. Dan dengan kecepatan luar biasa, wanita berbaju merah itu sudah memberi
satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi sekali ke arah dada.
Des! "Akh...!"
Paman Legiwa memekik keras.
Dalam keadaan terluka dalam, gerakan laki-laki tua itu memang tidak sempurna
lagi. Bahkan cenderung lamban.
Maka tidak heran kalau pukulan Dewi Asmara Maut tak dapat dihindari lagi. Laki-
laki tua itu terpental deras ke belakang,
dan baru berhenti setelah punggungnya menghantam sebatang pohon yang sangat besar.
"Iblis...!" desis Jaka Kumbara semakin geram.
Pemuda itu benar-benar marah melihat Paman Legiwa
tergeletak di bawah pohon. Dia tidak tahu apakah laki-laki tua itu masih hidup
atau sudah mati, karena harus
kembali sibuk menghadang serangan yang dilancarkan
wanita cantik itu.
"Akh!" tiba-tiba saja Jaka Kumbara terpekik agak
tertahan. Padahal Dewi Asmara Maut tidak memberikan satu
pukulan pun! Seketika pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi


Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalanya. Sementara Dewi Asmara Maut memain-mainkan kalung hitam yang melilit
lehernya. Bibirnya tersenyum-senyum, dan bola matanya berputaran memandangi Jaka
Kumbara yang mengerang
sambil mengejang dan menggelepar.
"Ha ha ha...!" Dewi Asmara Maut tertawa terbahak-
bahak. Saat itu Jaka Kumbara sudah tergeletak diam tak
bergerak-gerak lagi, seperti sedang tertidur pulas. Dewi Asmara Maut segera
menghampirinya. Tampak ayunan
langkahnya begitu gemulai dan bibirnya menyunggingkan senyuman menawan. Sebentar
dipandanginya pemuda itu, kemudian ringan sekali tubuh Jaka Kumbara diangkat,
seperti mengangkat segumpal kapas saja.
"Hik hik hik..!"
Sambil tertawa mengikik, Dewi Asmara Maut melesat
cepat meninggalkan tempat itu sambil membawa Jaka
Kumbara. Lesatannya sungguh cepat. Dan dalam sekejapan saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
berbekas lagi. Dan kini keadaan di tempat itu pun kembali sunyi, seperti tidak
pernah terjadi sesuatu.
Alam yang semula indah dan sedap dipandang kini jadi hancur berantakan akibat
pertarungan tadi. Tampak dua tubuh tergeletak. Yang seorang sudah tewas dengan
perut berlumuran darah. Sedangkan yang seorang lagi....
"Ohhh..."
*** 5 Pagi baru saja mengunjungi mayapada ini. Matahari
masih mengintip malu-malu dengan pancaran sinarnya
yang menyemburat dari balik sebuah gunung yang angkuh menjulang tinggi.
Sementara kabut masih menyelimuti seluruh permukaan bumi ini, dan hanya sedikit
saja yang tersibak. Di antara gumpalan kabut itu, tampak sesosok tubuh tua
terseok-seok berjalan menuruni lereng gunung itu. Bajunya yang putih hampir
tidak terlihat lagi
warnanya, dikotori oleh debu dan darah kering.
Walaupun beberapa kali jatuh terguling, namun dengan susah-payah orang tua itu
bangkit kembali. Bahkan
melangkah lagi, walau dengan kaki terseret. Beberapa kali dia mengeluh sambil
memegangi dadanya. Tampak darah masih mengucur pelahan dari sudut bibirnya.
Tiba-tiba langkahnya terhenti dan kepalanya terangkat ketika
mendengar langkah kaki kuda yang sepertinya tidak jauh terdengar.
"Hoooi...!" teriak laki-laki tua itu sekeras-kerasnya.
Namun kemudian dia terbatuk, dan jatuh bergulingan
di tanah berumput yang masih basah oleh embun.
"Hoooi...!
Tolooong...!"
laki-laki tua itu tidak mempedulikan nyeri yang menyerang dadanya, dan
kembali berteriak keras.
Suara teriakannya menggema, menyelusup di antara
pepohonan, lalu terpantul dinding-dinding bebatuan di lereng gunung ini. Laki-
laki tua itu kembali terbatuk, dan berusaha bangkit berdiri. Namun sebelum bisa
berdiri, terlihat dua ekor kuda berpacu cepat menuju ke arahnya, muncul dari gumpalan kabut yang mulai memudar.
"Tolong...," rintih laki-laki tua itu.
Tubuhnya langsung jatuh terkulai ketika dua orang
penunggang kuda yang mungkin telah mendengar teriakan laki-laki tua itu tiba.
Tampak seorang penunggang kuda mengenakan baju rompi putih dan berwajah tampan,
melompat cepat turun dari punggung kudanya. Tubuhnya tegap berotot, menyiratkan
keperkasaannya.
Sementara seorang lagi adalah wanita cantik. Bajunya biru muda, diimbangi oleh
bentuk tubuhnya yang ramping.
Dia bergegas mengikuti, memburu laki-laki tua yang
tergeletak di tanah dalam keadaan terluka cukup parah.
"Paman Legiwa...," desis gadis berbaju biru, mengenali laki-laki tua itu.
"Cepat cari air, Pandan," perintah pemuda berbaju
rompi putih. Gadis berbaju biru yang ternyata memang Pandan
Wangi, bergegas meninggalkan tempat itu untuk mencari air yang diminta pemuda
tampan berbaju rompi pulih itu.
Pemuda itu tak lain Rangga yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali
Sakti. Dipindahkannya Paman Legiwa ke tempat yang agak nyaman, dan
dibaringkannya pelahan-lahan sekali. Sebentar diperiksanya tubuh Paman Legiwa.
Pada saat itu, Pandan Wangi sudah kembali lagi.
"Mana airnya?" tanya Rangga langsung.
"Tidak ada," sahut Pandan Wangi seraya mengangkat
bahunya. Rangga mengedarkan
pandangannya ke sekeliling.
Hutan ini memang subur, tapi di sekitarnya tidak ada sungai satu pun. Sementara
Pandan Wangi berdiri saja di samping
Pendekar Rajawali Sakti itu. Matanya memandangi laki-laki tua yang pernah bertemu dengannya tidak jauh dari tempat
ini, dan masih di lereng gunung ini juga.
"Luka dalamnya cukup parah. Beberapa tulang iganya
patah. Aku tidak mungkin bisa menolongnya, Pandan,"
jelas Rangga seraya berpaling memandangi Pandan Wangi.
"Aku kenal seorang tabib di sini," Pandan Wangi
memberi harapan.
"Jauh?" tanya Rangga.
"Setengah hari berkuda. Itu pun kalau tidak ada
halangan," jawab Pandan Wangi.
"Percuma saja, Pandan Wangi. Belum sampai ke tempat tabib itu, dia pasti sudah
tidak tertolong lagi. Kau lihat, mulutnya terus mengeluarkan darah."
"Hentikan saja jalan darahnya, Kakang," usul Pandan Wangi.
"Tidak ada gunanya, Pandan. Orang yang melakukan
pukulan, memiliki tenaga dalam tinggi. Apalagi arah pukulannya sempurna sekali,
sehingga seluruh aliran jalan darahnya terbuka lebar. Kalau kututup dengan
totokan, pernapasannya
juga akan tersumbat, itu berarti mempercepat kematiannya."
"Tapi kita harus coba menolongnya, Kakang," desak
Pandan Wangi. Rangga terdiam beberapa saat, kemudian membalikkan
tubuh laki-laki tua itu hingga menelungkup. Jari-jari tangan Pendekar Rajawali
Sakti itu kemudian menekan-nekan punggung Paman Legiwa yang tidak sadarkan diri.
"Mungkin dengan cara ini masih bisa tertolong," ujar Rangga agak mendesah.
"Apa yang kau lakukan tadi, Kakang?" tanya Pandan
Wangi ingin tahu.
"Memperlambat aliran darah dan mengurangi rasa
Perguruan Sejati 7 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Elang Terbang Di Dataran Luas 9
^