Kemelut Hutan Dandaka 1
Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka Bagian 1
KEMELUT HUTAN DANDAKA
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 100:
Kemelut Hutan Dandaka
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Kemarau panjang yang melanda negeri ini telah berlangsung hampir dua bulan
penuh. Banyak mata air yang jadi kering. Sedangkan sungai-sungai hanya berisi
sedikit air, namun dipergunakan banyak orang untuk kebutuhan sehari-hari. Tanah
di berbagai tempat terlihat retak-retak dan rumput-rumput telah kering
meranggas. Daun-daun pohon mulai layu dan menguning, kemudian rontok tertiup
angin. Sehingga di sepanjang tempat terdapat timbunan sampah daun-daun kering
yang berserakan
Dekat sebuah lembah, terdapat sebuah jalan yang cukup lebar. Jalan itu memang
menghubungkan satu desa ke desa lainnya. Sementara dari kejauhan terlihat
seseorang tengah menunggang kuda yang dikendarai lambat-lambat. Ketika sudah
dekat, terlihat jelas kalau penunggang kuda itu adalah seorang gadis cantik
berkulit putih bersih, dan berbaju biru muda. Di pinggangnya terselip sebuah
kipas berwarna keperakan. Sementara di pinggangnya tersampir sebilah pedang
bergagang kepala naga berwarna hitam. Sesekali gadis itu terlihat menyeka
keringat yang terus mengucur di dahi dan pelipisnya.
"Kau telah, Putih" Sebentar lagi kita akan mencari sebuah mata air, agar kau
bisa minum sepuas-puasnya," kata gadis itu lembut sambil menepuk-nepuk leher
kudanya. Gadis yang tak lain Pandan Wangi itu turun dari kudanya. Kemudian matanya
beredar ke sekeliling sambil memayungi dahinya dengan telapak tangan.
"Ah! Ternyata nasibmu memang baik, Putih! Aku melihat sebuah anak sungai di
sebelah sana! Mari kita ke sana, cepat!" seru Pandan Wangi girang, seraya cepat
melompat ke punggung kudanya.
Agaknya kuda berbulu putih tunggangan Pandan Wangi itu mengerti betul, apa yang
dibicarakan majikannya. Dia berlari kencang ke tempat yang ditunjuk gadis
berjuluk si Kipas Maut itu. Begitu tiba, ternyata di tempat itu terdapat sebuah
anak sungai yang berair sejuk dari bening.
"Ayo. Putih! kau harus minum sepuas-puasnya.
Perjalanan kita memang tak jauh lagi. Tapi, hanya di sinilah kau bisa
mendapatkan air yang begini sejuk dan amat menyegarkan!" ujar Pandan Wangi.
Tangannya segera menyiduk air, kemudian meneguknya.
Gadis itu pun kemudian membasuh wajahnya dan kedua belah tangan untuk
menyegarkan tubuhnya.
Begitu selesai menyegarkan tubuhnya, Pandan Wangi melangkah ke sebuah batu di
bawah pohon dan duduk dengan tenang. Matanya lalu beredar ke sekitar tempat itu.
Sekilas diperhatikan kudanya yang masih membasahi tenggorokan dengan air sungai.
Pandan Wangi merenung sendiri sambil bersandar pada batang pohon yang daun-
daunnya telah rontok.
Seharusnya, dua minggu lalu Rangga kembali ke Karang Setra. Karena kabarnya ada
berita yang mengatakan kalau Ki Lintuk yang merupakan patih di Kerajaan Karang
Setra tengah sakit keras. Rangga sendiri pada saat ini tengah menumpas
gerombolan perampok yang sering mengganggu ketenteraman para penduduk Desa
Sabrang Lor, yang juga masih bagian Kerajaan Karang Setra. Maka dimintanya
Pandan Wangi agar kembali ke Karang Setra untuk menjenguk Ki Lintuk. Dan Pandan
Wangi akan bertemu Rangga di Desa Pahing Rimbun, sepulang-nya dari kerajaan. Kini desa
itulah yang sedang dituju Randan Wangi.
"Mudah-mudahan Kakang Rangga telah menyelesaikan tugasnya..." desah Pandan
Wangi, lirih. "Hieeeh...!"
"Heh"!"
Pandan Wangi tersentak kaget ketika si Putih terlihat meringkik halus beberapa
kali. Buru-buru didekati dan ditepuk-tepuknya leher hewan itu, untuk
menenangkannya.
"Diam, Putih! Diam! Ada apa" Apa yang kau dengar?"
Si Putih kembali meringkik halus. Kali ini lebih mirip desah napasnya yang
mengisyaratkan ke-resahan.
"Hm.... Mungkin kau sudah tak betah di sini, ya"
Baiklah. Mari kita berangkat!" ujar Pandan Wangi seperti bicara sendiri, sambil
melompat ke punggung kudanya. Setelah menggebah, dia berlalu dari tempat itu.
Namun baru saja kuda itu berlari, mendadak Pandan Wangi mendengar suara seperti
ada per-kelahian hebat. Seketika hatinya tergelitik untuk mengetahui, apa yang
telah terjadi. Maka, si Putih segera dipacu ke arah sumber suara pertarungan.
"Ayo, Putih! Mari kita lihat, apa yang sedang terjadi!"
*** Ketika tiba di tempat kejadian, Pandan Wangi melihat dua orang laki-laki
berwajah seram tampak tengah dikeroyok sekitar sepuluh orang prajurit
kerajaan. Kedua orang itu bertelanjang dada. Wajahnya yang seram, masih pula
dihiasi cambang bauk serta bekas luka-luka. Yang seorang berambut tipis,
sedangkan yang seorang lagi botak.
Pandan Wangi segera mengambil tempat ber-sembunyi, begitu turun dari kudanya.
Sementara, matanya terus mengamati apa yang terjadi.
"Menyerahlah kalian, Perampok-perampok rendah!
Kalian telah menjebol penjara dan membunuh banyak prajurit kerajaan. Dan
sekarang tak ada lagi jalan keluar buat kalian!" bentak salah seorang prajurit
kerajaan, yang agaknya pemimpin dari pasukan itu.
"Ha ha ha...! Sura Darma! Kau boleh mengoceh sesuka hati! Tapi jangan harap kami
akan menyerah begitu saja. Pergilah kalian dari sini. Dan, biarlah kami berlalu,
sebelum kalian mati di tanganku!" sahut laki-laki berkepala botak, dengan suara
tinggi "Kebo Koneng! Jangan ikut-ikutan saudaramu si Supit Gadar! Kalau kau bersedia
menyerah, tentu hukumanmu akan diperingan. Ayo! Menyerahlah, sebelum kesabaranku
hilang!" bentak pemimpin pasukan yang dipanggil Sura Darma dengan suara lantang.
"He he he...! Kau dengar itu, Kebo Koneng"
Apakah kau ingin menyerah, sesudah kita bersusah-payah kabur dari penjara"!"
kata laki-laki berambut tipis yang ternyata bernama Supit Gadar dengan nada
menyindir. "Ha ha ha...! Menyerah! Phuihhh! Lebih baik mati daripada diseret si Sura Darma
keparat ini!" tegas laki-laki botak yang dipanggil Kebo Koneng sambil meludah ke
tanah. "Hm.... Rupanya tak ada jalan lain untuk mem-
bujuk kalian, selain menggunakan cara kekerasan!"
dengus Supit Gadar menggeram.
"Huh! Kau bisa berbuat apa terhadap kami" Mengandalkan pasukanmu yang keropos
ini"! Lebih baik pulang sajalah, Sura Darma. Kau tak akan berhasil menangkap
kami!" sahut Supit Gadar, mencemooh.
"Kurang ajar! Ayo, kepung mereka dan tangkap hidup atau mati!" teriak Sura Darma
memberi perintah pada pasukannya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, sepuluh orang prajurit kerajaan yang sejak
tadi sudah geram, langsung kembali menyerbu ke arah dua buronan itu.
"Yeaaah...!"
Namun karena yang dihadapi para prajurit berkepandaian rendah, maka mudah saja
bagi Kebo Koneng dan Supit Gadar dalam menghindari sergapan. Bahkan dengan mudah
pula mereka cepat melepaskan pukulan dan tendangan ke arah prajurit-prajurit
yang terdekat Prak! Des! "Aaa...!"
"Aaakh..!"
Seketika terdengar pekik kesakitan dan jerit menyayat, yang disusul robohnya dua
orang prajurit "Ayo, Kebo Koneng! Mari kita berpesta kembali.
Hancurkan keroco-keroco ini agar tahu diri!"
Duk! "Aaa...!"
Kembali seorang prajurit terjungkal begitu terkena pukulan dua buronan itu. Kebo
Koneng dan Supit Gadar terus melompat ke sana kemari menghindari ayunan pedang
enam prajurit kerajaan yang masih tersisa. Namun dengan mudah mereka berkelit
dan membalas tanpa belas kasihan. Sejak pertarungan tadi, sekali tangan mereka
terayun, maka satu atau dua orang prajurit tewas diiringi pekik kesakitan.
Kalau tidak kepala yang remuk, maka tulang dada mereka melesak ke dalam terkena
pukulan bertenaga dalam kuat
"Kurang ajar! Kebo Koneng, ayo hadapi aku!"
bentak Sura Darma begitu melihat prajuritnya ada yang terjungkal lagi. Maka dia
segera melompat menyerang lawan.
"He he he...! Bagus! Kenapa tidak sejak tadi saja turun tangan langsung" Kau
hanya membuat anak buahmu menjadi korban saja," sambut Kebo Koneng.
"Jangan banyak mulut kau! Pecah kepalamu!"
sahut Sura Darma seraya mengayunkan pedangnya ke batok kepala lawan yang botak
itu. "Uts! Tidak semudah itu, Setan!"
Kebo Koneng berhasil menghindari sabetan pedang lawan dengan merunduk sedikit.
"Bedebah! Yeaaah...!"
Dengan gerakan lincah, Kebo Koneng kembali meladeni permainan pedang lawan.
Meski bertangan kosong, namun gerakannya sama sekali tak meng-alamii kesulitan.
Begitu gesit dan lincah, tanpa sedikit pun tersentuh pedang lawan. Bahkan
serangan-serangan balasan yang dilakukannya terkadang membuat Sura Darma kaget
dan gelagapan. Apalagi, serangan yang tiba-tiba itu menimbulkan desir angin kuat
"Ha ha ha...! Kau harus berguru sepuluh tahun lagi untuk bisa menangkapku. Sura
Darma. Tapi sayang kesempatanmu sudah tak ada lagi, sebab hari kematianmu telah
ditentukan saat ini!" ejek Kebo Koneng
"Huh! Jangan harap, Kebo Koneng! Justru kaulah yang akan mampus hari ini!" sahut
Sura Darma yakin.
Kebo Koneng tertawa-tawa menyambuti ucapan Sura Darma. Padahal, Sura Darma
adalah salah seorang dari tujuh panglima perang yang dimiliki Kerajaan
Pandarakan. Sebagai panglima tentu saja kepandaiannya tak rendah. Dan kalau
kedua buronan itu sampai bisa ditangkapnya. tentu saja Raja Pandarakan akan
memberi penghargaan khusus baginya.
Hal itulah yang menyebabkan Panglima Sura Darma harus mengeluarkan segenap
kemampuannya untuk meringkus lawan, hidup atau mati! Tapi yang dihadapinya saat
ini adalah Kebo Koneng dan Supit Gadar yang termasuk penjahat kelas kakap Pada
saat Raja Pandarakan memerintahkan agar kedua orang itu diangkap kembali, maka
Panglima Sura Darma menawarkan diri. Padahal, panglima lain bermaksud
mengawaninya. Namun, Panglima Sura Darma meyakini diri kalau mampu menangkap
kedua buronan itu, dengan ditemani sepuluh prajurit kerajaan. Akhirnya tugas
penangkapan kedua orang buronan itu sepenuhnya diberikan kepadanya.
Dan yang terjadi saat itu adalah kekeliruan besar yang pernah diambil panglima
kerajaan itu. Buktinya, sisa prajurit yang kini hanya menghadapi Supit Gadar
tampak sangat kewalahan. Bahkan dalam beberapa saat saja terdengar kembali jerit
kematian prajuritnya.
Apa lagi Supit Gadar memiliki jurus pukulan yang dahsyat. Siapa pun yang terkena
pukulan 'Kelabang Api', pasti akan hangus terbakar. Kalaupun lawan memiliki
tenaga dalam kuat, maka nyawanya pun tak akan selamat. Memang pukulan itu amat
beracun! Melihat keadaan anak buahnya terus berjatuhan,
maka Panglima Sura Darma menjadi lengah. Maka kesempatan itu dimanfaatkan betul
oleh Kebo Koneng untuk menghajar lawan, dengan melepaskan satu pukulan tangan
lurus. Panglima Sura Darma cepat berusaha berkelit sambil menangkis dengan tangannya,
begitu serangan lawan terus melaju mengincar perutnya.
Namun kepalan tangan Kebo Koneng yang sebelah lagi cepat menghajar lurus ke
dadanya. Begkh! "Ugkh...!"
AKibatnya, Panglima Sura Darma terjungkal ke tanah beberapa tombak sambil
mengeluh kesakitan
"Sekarang mampuslah kau, Sura Darma!" bentak Kebo Koneng sambil melompat
mengirim serangan susulan. "Yeaaah...!"
Belum lagi Panglima Sura Darma mampu bangkit berdiri, kembali datang serangan.
Maka tubuhnya segera berguling-guling untuk menyelamatkan diri.
Tapi Kebo Koneng terus-menerus mengejarnya bagai orang kesetanan. Dia yakin
betul kalau tak lama lagi lawannya akan binasa secara menyakitkan.
"Kini tiba saat kematianmu!" bentak Kebo Koneng ketika tubuh Panglima Sura Darma
membentur sebuah baru yang cukup besar
Laki-laki berusia dua puluh sembilan tahun itu hanya bisa memejamkan matanya,
dengan sikap pasrah. Saat ini Kebo Koneng tampak telah melompat ke arahnya
sambil mengayunkan tangan.
Sebentar lagi kepala atau dada Kebo Koneng akan hancur berantakan dihantam
pukulan lawan yang tak mungkin lagi bisa dihindari
"Yeaaah...!"
Tanpa ada yang menyadari, tiba-tiba sebuah
bayangan biru berkelebat cepat ke arah Kebo Koneng. Lalu....
Plak! "Setaaan...!"
*** Kebo Koneng tersentak begitu di depannya tahu tahu telah berdiri seorang gadis
cantik berpakaian ketat berwarna biru. Sebuah kipas baja putih terselip di
pinggangnya. Sedangkan di balik punggungnya, menyembul sebuah gagang pedang
berbentuk kepala naga. Siapa lagi wanita itu kalau bukan Pandan Wangi"
"Siapa kau, Cah Ayu"! Dan, mengapa kau men-campuri urusan kami?" bentak Kebo
Koneng. "Aku Pandan Wangi. Dan orang-orang menjulukiku si Kipas Maut. Kudengar kau
bernama Kebo Koneng.
dan merupakan seorang buronan kerajaan. Hm....
Kalau memang demikian, menyerahlah sebelum kupaksa dengan kekerasan!" sahut
Pandan Wangi, lantang.
"Apa" Menyerah" Ha ha ha...!" Kebo Koneng terbahak bahak mendengar kata-kata
Pandan Wangi. "Kurang ajar! Kenapa kau tertawa"!"
"Aku menertawakanmu, yang sok menjadi
pahlawan kesiangan," ejek Kebo Koneng.
"Bedebah! Rupanya kau memang pantas meng-huni penjara kerajaan. Baik.
Rasakanlah!" dengus Pandan Wangi jengkel sambil mencabut kipas mautnya. Langsung
diserangnya Kebo Koneng.
Wut! Wut! "Uhhh...!"
"Nih! Makan ketawamu sepuas-puasnya?" bentak
Pandan Wangi sambil terus menyerang lawan dengan ganas.
Kebo Koneng tersentak kaget merasakan ke-ganasan sambaran kipas maut Pandan
Wangi. Kalau pada mulanya gadis itu dianggap enteng, maka saat ini Kebo Koneng
kalang-kabut sendiri jadinya. Dan Pandan Wangi tak sedikit pun memberi
kesempatan padanya.
"Hiaaat..!"
Pada suatu kesempatan Pandan Wangi menyabetkan kipasnya ke arah dada lawan.
Melihat serangan ini, Kebo Koneng cepat mengelak ke kiri, seraya mencoba
menangkis tangan lawan yang memegang kipas. Namun tanpa diduga sama sekali,
Pandan Wangi menarik pulang serangannya, dan langsung memutar ke arah perut.
Dengan gugup, Kebo Koneng mencoba mundur selangkah. Namun, terlambat.
Karena.... Cras! "Uhhh! "
Kebo Koneng mengeluh kesakitan ketika ujung kipas baja lawan sempat menggores
perutnya sedikit.
Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seketika laki-laki berkepala botak ini menggeram buas. Wajahnya seketika memerah
menahan amarah.
Bahkan sorot matanya tajam menusuk. Sambil meng-gertakkan rahang, mulutnya
berkomat-kamit seperti membaca mantera. Kemudian, terlihat kedua tangannya
bergerak-gerak seperti hendak melancarkan jurus mautnya.
"Heh" "
Pandan Wangi tersentak kaget ketika melihat kedua tangan lawan sebatas siku
tampak berubah berwarna keungu-unguan. Hawa racun berbau busuk mulai menyeruak
menyengat hidungnya. Maka
Pandan Wangi segera berhati-hati untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Yeaaah...!" Kebo Koneng berteriak serak seperti seekor gagak. Seketika, dia
langsung melompat menyerang lawan.
Wut! Dalam keadaan seperti itu, gerakan Kebo Koneng tampak semakin gesit. Bahkan
serangannya pun ganas bukan main. Sepertinya sama sekali tak ada rasa kegentaran
melihat kehebatan kipas yang diayunkan gade cantik itu. Dan kini, tiba-tiba Kebo
Koneng menyodok mengancam pertahanan lawan.
Berkali-kali Pandan Wangi dibuat tersentak. Buru-buru dia melompat menghindari
uap beracun yang ditimbulkan angin serangan dari kibasan kedua tangan lawan.
Sementara itu, Panglima Sura Darma begitu dirinya lepas dari maut menjadi
terkejut sesaat melihat penolongnya. Tapi kemudian, dia cepat bertindak membantu
sisa anak buahnya menyerang Supit Gadar, Namun meskipun begitu, beberapa kali
Panglima Sura Darma harus jungkir balik menyelamatkan selembar nyawanya dari
serangan lawan yang bertubi-tubi.
"Ha ha ha...! Hei, Sura Darma! Mana kehebatanmu"! Ayo! Tunjukkanlah padaku.
Bukankah kau ingin menangkapku" Ayo, tangkaplah kalau kau bisa!" ejek Supit
Gadar terkekeh.
"Kurang ajar!" Panglima Sura Darma hanya bisa memaki geram.
Panglima Kerajaan Pandarakan itu menyadari kalau anak buahnya yang tinggal
segelintir itu tak bisa diharapkan untuk berbuat banyak. Lagi pula, di pihaknya
telah banyak jatuh korban. Dan jika dia
memaksakan diri, bukan mustahil lawan yang tak kenal ampun itu akan
melenyapkannya Panglima Sura Darma yang masih menggenggam pedangnya erat-erat, memandang lawan
dengan sorot mata tajam.
"Supit Gadar, aku akan mengadu jiwa denganmu!"
"Ha ha ha.... Uts!"
Tawa Supit Gadar seketika terhenti ketika Panglima Sura Darma telah melompat
menyerang dengan jurus-jurus terhebat yang dimilikinya. Supit Gadar hanya
terkejut sejenak, namun kembali terkekeh sedah mempermainkan lawan.
"He he he...! Dengan ilmu pedang pasaran begini kau ingin menangkap kami" Phuih!
Kau harus berguru sepuluh tahun lagi, Sura Darma!"
"Huh!"
Panglima Sura Darma hanya mendengus geram mendengar ejekan lawannya itu. Tapi,
agaknya Supit Gadar bermaksud membuktikan ucapannya itu.
Tubuhnya berputar cepat ketika lawan menikamkan ujung bilah pedang ke arahnya.
Dan tiba-tiba....
Plak! "Aaa...!"
Panglima Sura Darma terpekik keras ketika pergelangan tangannya yang menggenggam
pedang tersampok. Bahkan pedangnya kini terlepas dari genggaman. Dan belum lagi
hilang rasa kagetnya, satu sodokan keras menghantam perut.
Duk! Kembali panglima itu memekik kesakitan dengan tubuh terjungkal keras.
Melihat lawan terjungkal. Supit Gadar cepat akan melanjutkan serangan untuk
menghabisi lawannya.
Namun.... "Suiiit..!"
Tiba-tiba terdengar siulan panjang melengking, membuat Supit Gadar seketika
menghentikan gerakannya.
"Heh"!"
Bukan hanya Supit Gadar yang terkejut. Kebo Koneng pun sampai tersentak pada
saat itu juga. Bahkan serangannya pada Pandan Wangi juga di hentikan.
*** 2 "Suara suitan itu kukenal betul!" seru Kebo Koneng sambil menoleh ke arah Supit
Gadar. "Celaka! itu suara Eyang Guru. Kita harus me-nemuinya segera!" sahut Supit
Gadar. "Astaga! Ayo, Supit Gadar! Mari cepat kita tinggalkan mereka!" timpal Kebo
Koneng. Laki-laki berkepala botak itu segera melesat meninggalkan Pandan Wangi
yang jadi bingung tak mengerti.
Sementara Supit Gadar langsung menyusul. Dan mereka kini bergerak cepat, lalu
menghilang di balik bukit kecil yang tak jauh dari situ.
Pandan Wangi dan Panglima Sura Darma hanya terpaku menatap kedua orang aneh itu
tanpa berkata apa-apa lagi. Pandan Wangi sendiri akhirnya dikejut-kan langkah
kaki Panglima Sura Darma yang men-datanginya sambil memberi hormat
"Nisanak, terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Namaku Sura Darma,
panglima dari Kerajaan Pandarakan."
"Hm.... Aku Pandan Wangi...."
"Apakah Nisanak yang berjuluk si Kipas Maut?"
"Begitulah orang-orang memanggilku..."
"Ah! Sungguh aku beruntung bisa berkenalan dengan seorang pendekar hebat seperti
Nisanak." Pandan Wangi hanya tersenyum kecil.
"Ah..., tak perlu membesar-besarkan. Aku ini hanya orang kebanyakan saja. Paman
Panglima, apa yang telah terjadi sehingga kau bentrok dengan kedua orang tadi?"
tanya Pandan Wangi. Sebenarnya,
Pandan Wangi sudah tahu kalau dua orang tadi adalah buronan. Namun, dia sengaja
bertanya begitu agar dikira baru saja datang.
"Mereka adalah buronan yang telah menjebol penjara...."
"Buronan" Hm, kulihat mereka memiliki kepandaian tinggi. Apakah Paman Panglima
tak meminta bantuan dari panglima lain?"
"Sudah. Namun para panglima lain sedang sibuk memadamkan pemberontakan.
Sedangkan sisanya ada yang memimpin perang melawan kerajaan dari timur. Dan
lagi, mereka tak punya tenaga yang cakap dan terampil untuk menangkap kedua
buronan itu...,"
sahut Panglima Sura Darma.
Apa yang dikatakan panglima itu sebenarnya sedikit banyak diketahui Pandan
Wangi. Tapi benarkah begitu sibuknya mereka, sehingga terpaksa mengirimkan
Panglima Sura Darma untuk menangkap kedua orang buronan itu"
Tentu saja hal itu menjadi ganjalan dalam benak Pandan Wangi. Dan si Kipas Maut
yang telah lama tinggal di Karang Setra, tentu sedikit banyak mengerti siasat
perang serta kepemerintahan. Menceritakan keadaan gawat dalam suatu kerajaan,
seperti yang diceritakan Panglima Sura Darma, sebenarnya amat tabu diutarakan
pada orang luar. Apalagi orang yang baru dikenal seperti diri Pandan Wangi. Lalu
kenapa Panglima Sura Darma berani memberikan alasan demikian padanya" Apakah
salah bicara dan sekadar ngawur! Ataukah, terlalu percaya pada Pandan Wangi
karena telah menolongnya barusan"
"Hm, begitu...," sahut Pandan Wangi.
"Nisanak, kami sangat mengagumi kepandaian serta sepak terjangmu selama ini.
Sebenarnya adalah
suatu hal yang tak pantas kalau kami meminta pertolongan kepadamu. Tapi, kedua
buronan itu adalah pengacau. Mereka sering mengganggu ketenteraman penduduk. Dan
sebagai seorang pendekar, sudikah kau menolong kami atas nama kebenaran dan
ketenteraman rakyat yang tak berdaya...?" pinta Panglima Sura Darma lirih.
Pandan Wangi tersenyum kecil sambil meng-alihkan pandangan.
"Aku tak berjanji. Masalahnya, aku sendiri ada sesuatu yang harus dikerjakan."
"Apakah itu, Nisanak" Mungkin kami bisa membantu."
"Tidak. Ini soal pribadi. Aku telah membuat per-janjian dengan seorang kawan
untuk bertemu di Desa Palung Rimbun dalam waktu dekat ini. Hm..., kalau aku
menyalahi janji yang kusetujui...." Pandan Wangi tak meneruskan kata-katanya.
Sebaliknya, matanya malah menatap ke arah Panglima Sura Darma.
"Ya, aku mengerti..," sahut Panglima Sura Darma pelan.
Keduanya terdiam untuk beberapa saat
"Mereka mendadak pergi karena sesuatu. Kira-kira tahukah Nisanak, apa yang
menyebabkan mereka meninggalkan kita...?" tanya Panglima Sura Darma, kembali
membuka pembicaraan.
"Entahlah. Ada suitan panjang yang menyebabkan mereka meninggalkan kita...."
"Aku pernah mendengar kalau kedua orang itu memiliki guru yang berkepandaian
tinggi. Bahkan kejahatannya melebihi mereka. Kalau tak salah, namanya Nini
Towok. Perempuan tua itu tak berperasaan dan kejam. Juga mempunyai kebiasaan
aneh, yaitu suka menculik pemuda tampan untuk
dijadikan pemuas nafsu iblisnya..."
"Hm, lalu?" Pandan Wangi sedikit tertarik mendengar penuturan Panglima Sura
Darma. "Kedua buronan itu kemungkinan besar bergabung dengan gurunya seperti dulu.
Mereka akan membuat keonaran. Dan... semua orang menjadi resah kini."
Pandan Wangi tergugah hatinya mendengar cerita itu. Apalagi ketika Panglima Sura
Darma kembali menambahkan sederetan cerita kekacauan sebelumnya, yang dilakukan
guru dan kedua muridnya. Kini hatinya mulai bimbang. Sebenarnya kalau mau jujur,
sejak tadi hati Pandan Wangi sudah tergerak dan berniat membantu mereka
menangkap kembali kedua buronan itu. Tapi bagaimana janjinya dengan Rangga"
Bagaimana kalau Pendekar Rajawali Sakti telah tiba di desa itu dan menunggunya.
Padahal, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menangkap kembali kedua
buronan itu. Rangga pasti kesal dan marah. Itu tak seberapa. Bagaimana kalau dia
kesal dan akhirnya pergi mengembara sendiri"
"Paman Panglima, bisakah kau menambah jumiah prajurit dalam penangkapan nanti
terhadap mereka?"
"Bisa! Oh! Apakah kau bersedia membantu kami?"
tanya Panglima Sura Darma.
Pandan Wangi mengangguk.
"Oh! Terima kasih atas kesediaanmu, Nisanak!"
"Sudahlah. Tapi, tolong perintahkan seorang prajuritmu untuk menunggu kedatangan
temanku di Desa Palung Rimbun."
"Tentu saja."
Setelah menceritakan ciri-ciri Rangga, mereka pun kembali bergerak. Seorang
prajurit menuju ke Desa Palung Rimbun, dan dua orang lagi ke istana untuk
meminta bantuan tenaga.
*** Seorang perempuan tua bertubuh kurus mengenakan selendang di pinggangnya. tampak
tengah berdiri di depan dua orang lelaki yang tengah duduk bersila.
Wajahnya tampak lonjong dengan sepasang kelopak mata cekung. Tulang pipinya
menonjol. Dan ketika bota matanya melotot seperti saat ini, terlihat amat
mengerikan. Daun telinganya digantungi anting-anting berbentuk gelang yang agak
besar. Melihat kulitnya yang banyak ditumbuhi keriput, paling tidak usianya
telah mencapai enam puluh tahun lebih. Dialah perempuan tua yang bernama Nini
Towok. "Hm, dasar bocah-bocah goblok! Kenapa kalian bisa tertangkap oleh kecoa-kecoa
busuk itu, heh"!"
Kedua laki-laki bertampang seram yang duduk bersila di depannya hanya
menundukkan kepala.
Sedikit pun mereka tak berani menengadahkan wajah.
"Ayo jawab. Tolol"!" maki Nini Towok.
"Eh! Ng... anu Eyang Guru. Me.... mereka terlalu tangguh dan berjumlah
banyak...," sahut laki-laki yang berambut tipis dengan nada takut. Dan dia
memang Supit Gadar. Sementara yang seorang lagi sudah pasti Kebo Koneng.
"Tangguh dan berjumlah banyak, heh..."!" perempuan tua itu seperti ingin
menegaskan pendengarannya
"Be..., betul, Eyang Guru. Tanya saja pada Kebo Koneng!"
"Betul begitu, Kebo"!"
"Be..., betul, Eyang..."
"Setan!"
Nini Towok mendengus, seraya mencelat sedikit.
Maka.... Duk! Begkh! "Aaakh...!"
Kedua orang itu kontan terjungkal. Karena tiba-tiba sekali perempuan tua itu
menendang mereka secara bersamaan dengan keras.
"Kemari kalian!"
"Ba..., baik, Eyang..!" sahut Kebo Koneng dan Supit Gadar berbarengan sambil
tertatih-tatih melangkah mendekati perempuan tua itu. Mereka kemudian kembali
duduk bersila dengan sikap hormat
"Ada yang berani menentang hukuman dariku tadi"!"
"Ti... tidak, Eyang...!"
"Hm..., bagus! Kalau tidak, hari ini juga kalian lebih baik mampus. Sebenarnya
hukuman itu terlalu ringan. Phuih! Kalian hanya membuat aku malu saja.
Apa kata orang nanti"! Kedua murid Nini Towok ditangkap dan dipenjarakan" Cuh!
Cuh!" perempuan tua itu meludah berkali-kali sambil berkacak pinggang.
"Ta..., tapi kami hanya sebentar, Eyang. Bukankah Eyang lihat, kini kami telah
kembali bebas?" tanya Supit Gadar membela diri.
"Hi hi hi...! Kau pintar bicara, Supit Gadar. Betul katamu. Kalian kini sudah
bebas. Kalau tidak, he...!
Aku akan menyatroni penjara kalian. Dan.... "
"Membebaskan kami, Eyang?" sahut Kebo
Koneng, mencoba sedikit tersenyum.
"Semprul! Aku akan mengamuk di sana dan
mencekik orang-orang yang telah memenjarakan kalian. Kemudian setelah kalian
kutemukan, maka akan kucekik sampai mampus!" dengus Nini Towok Mendengar
perkataan itu, nyali Supit Gadar dan
Kebo Koneng jadi mengkeret dan diam membisu.
Mereka tahu betul, kalau sang Guru suka angin-anginan, namun selalu membuktikan
ucapannya. Kalau dia mengatakan ingin mencekik, maka betul-betul dicekiknya orang yang
dimaksud! "He" Tadi kudengar ada suara pertarungan. Apa yang telah terjadi" Apakah para
prajurit istana mengejar kalian?"
"Betul, Eyang. Tapi kami berhasil membuat mereka ketakutan!" sahut Supit Gadar,
bernada cerah. Dugaan mereka hati sang Guru akan senang. Maka, pasti perempuan tua itu akan
memuji. Atau paling tidak, tak akan memaki-maki.
"Hi hi hi...! Mereka betul-betul takut pada kalian, heh"!"
"Betul, Eyang. Mereka tak kuampuni dan banyak yang telah mampus di tanganku!"
seru Supit Gadar.
"Semprul! Kalau begitu, kenapa mereka masih kulihat berkeliaran dan mencari-cari
kalian, heh"!"
Kebo Koneng dan Supit Gadar kembali menundukkan wajah dan diam seribu bahasa.
"Phuih! Mereka tidak takut pada kalian, bukan"!"
"Eh! Ka..., kalau tadi Eyang tak memanggil kami, tentu mereka telah mampus
tercincang...," sahut Supit Gadar.
"Hm.... Jadi, kalian bermaksud untuk menghajar mereka?"
"Tentu saja, Eyang!"
"Bagus! Nah, kerjakanlah sekarang!"
"Sekarang, Eyang?" tanya Supit Gadar tak percaya.
"Semprul! He! Apakah penjara itu membuat telinga kalian jadi tuli"!"
"Eh! Ti.., tidak, Eyang...!" sahut kedua murid itu serempak.
"Kalau begitu, lekas pergi!"
"Ba.... baik, Eyang!"
"Eit, tunggu dulu!" bentak Nini Towok ketika keduanya hendak berbalik.
"Ada apa, Eyang...?"
"Hm... Kalian harus membalas terhadap orang-orang yang telah menangkap kalian
itu. Semuanya!"
tandas Nini Towok.
"Pasti, Eyang!" sahut Kebo Koneng dan Supit Gadar cepat.
"Satu lagi!"
"Apa itu, Eyang?"
"Semprul! Apa kalian tak sabar dan ingin buru-buru pergi dari hadapanku. heh"!"
"Eh! Mana kami berani berniat begitu, Eyang...!"
sahut keduanya lirih.
Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik dan jangan sampai lupa!"
"Ba.... baik, Eyang!"
"Bawakan kebiasaanku...!"
"Pemuda gagah, Eyang?" tanya Supit Gadar seperti mengerti betul apa yang
dimaksud gurunya.
"Semprul! Apa lagi kalau bukan itu"!"
"Tentu, Eyang! Tentu!" sahut Supit Gadar.
"Nah! Kalau begitu, lekas pergi dari mukaku! Awas!
Jangan sampal tertangkap lagi. Kalau tertangkap, tak ada ampun lagi. Kalian akan
mampus di tanganku!
Ingat itu!"
"Kami ingat, Eyang...!" sahut keduanya cepat.
"Sudah! Sana pergi!"
Setelah menjura hormat, kedua laki-laki bertampang seram itu segera berlalu.
Mereka melewati jalan-jalan kecil yang berliku dan lembah-lembah kecil serta
pohon-pohon yang lebat. Tempat itu adalah
sebuah hutan yang cukup luas dan terkenal angker.
Dan orang-orang biasa menyebutnya sebagai Hutan Dandaka!
*** Sepasang anak muda tampak tengah berjalan pelan-pelan, seperti tak hendak
terburu-buru. Yang pemuda mengenakan baju hijau dan berikat kepala merah.
Sedangkan yang wanita mengenakan baju kuning muda dengan rambut dikuncir.
Menilik dari gerak-gerik dan wajah, usia mereka paling tidak sekitar dua puluh
dan delapan belas tahun. Wajah pemuda bertubuh tegap itu cukup tampan, dengan
rambut sebahu. Sedangkan yang wanita berkulit coklat muda dan berwajah manis
Melihat dari cara berpakaian, jelas kalau mereka bukanlah orang kebanyakan.
Paling tidak, mereka berasal dari kalangan persilatan. Apalagi, di pinggang
pemuda itu terselip sebuah kapak bermata dua.
Sedang di pinggang wanita itu juga terselip sebuah pedang pendek.
Sambil berjalan, pemuda itu sesekali mencuri pandang ke arah gadis di
sebelahnya. Demikian pula sebaliknya. Dan mereka sama-sama memalingkan wajah
dengan perasaan malu, ketika pandangan mereka bertemu.
"Ratih...!" akhirnya si pemuda memberanikan membuka suara, menyebut nama gadis
itu. "Hm..."
"Kau betul tidak menyesal kalau kelak kita sudah menikah...?"
"Kenapa mesti menyesal, Kakang Yudha?" gadis bernama Ratih itu malah balik
bertanya. "Aku orang tak berada. Sedangkan kau... ah! Orang tuamu adalah seorang saudagar
terpandang di kotaraja. Apakah mereka tak malu mempunyai seorang menantu
sepertiku?" kata pemuda yang ternyata bernama Yudha.
"Kakang. kenapa hal itu dipersoalkan lagi" Bukankah Kakang telah mengetahui
jawabanku" Atau, mestikah aku mengulanginya sampai seribu kali?"
sahut Ratih sambil tersenyum manis.
Dan Yudha pun ikut tersenyum.
"Aku hanya merasa malu. "
"Kau malu karena aku kekasihmu, Kakang?"
"Oh, tidak! Bukan itu maksudku."
"Lalu apa?" Ratih pasang wajah cemberut
"Karena kau seorang gadis cantik, terpandang, dan anak keluarga kaya..."
"Kakang, apakah kau tak yakin akan cintaku?"
"Kenapa kau berkata demikian?"
"Bicaramu sepertinya mengatakan demikian!"
Yudha tersenyum manis sambil memandang wajah Ratih lekat-lekat.
"Jangan bicara seperti itu, Ratih. Seperti aku men-cintaimu, maka begitulah
keyakinanku akan cintamu kepadaku...."
"Betul?"
Yudha mengangguk.
"Kalau begitu, jangan lagi bicara tentang per-bedaan yang ada di antara kita!
Mau kan?" "Hm.... Kalau kau menginginkan sesuatu, bagaimana mungkin aku tak
mengabulkannya?"
"Aku tak mau kalau Kakang melakukannya karena terpaksa!" sahut Ratih bernada
kesal. "Baiklah. Aku akan mencoba menutup mata terhadap soal itu."
"Jangan mencoba, tapi harus!"
"Baik. Harus!"
"Nah, begitu lebih baik...," sahut Ratih sambil tersenyum lebar.
Yudha tersenyum. Sengatan matahari di siang yang terik ini, seperti tak
dirasakan dua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Langkah kaki mereka terasa
ringan, sambil tertawa-tawa kecil.
"Kau tak letih?" tanya Yudha, ketika peluh di wajah Ratih terlihat mulai
bercucuran. "Tidak, Apakah Kakang sudah merasa lelah?"
"Hm... Kalau saja kau bersedia dijemput orangtuamu dengan mengendarai kereta
kuda, tentu tak akan merasa tersiksa begini berjalan kaki."
"Kakang! Aku lebih suka berjalan kaki, asalkan bersamamu."
"Tapi bukankah orangtuamu juga mengajakku kalau kau dijemput?"
"Tapi tak seindah kalau kita melakukan perjalanan berdua."
"Hei"! Diam-diam ternyata kau pintar juga, ya?"
sahut Yudha sambil tersenyum kecil.
Ratih tampak tersipu-sipu. Namun tiba-tiba....
"Ha ha ha...! Sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, rasanya dunia ini
hanya milik mereka berdua. Tapi siapa yang mengatakan begitu, sementara yang
lain pun ingin mencicipinya!"
"Heh"!" kedua anak muda itu tersentak ketika terdengar seseorang berkata dengan
suara lantang. Mendadak saja, berkelebat dua sosok bayangan ke arah mereka. Dan kini di depan
mereka telah berdiri dua orang berwajah seram dan bertelanjang dada.
"Siapa kalian"!" tanya Yudha datar dengan
tatapan curiga.
"Ha ha ha...! Dua bocah yang manis-manis ini sangat menggugah seleraku, Kebo
Koneng!" "Betul, Supit Gadar! Terlebih lagi, gadis itu. Hm, aku sangat menginginkannya.
Biarlah kau tangkap pemuda itu untuk Eyang Guru. Sedangkan gadis cantik ini,
bagianku!"
"Kukira selama ini kau buta, Kebo. Tapi matamu liar juga kalau melihat gadis
cantik! Ha ha ha...!
Jangan mau enaknya saja kau!" sergah Supit Gadar sambil terkekeh.
Kedua orang itu terkekeh-kekeh seperti tak mempedulikan sepasang remaja ini
untuk sementara waktu. Tentu saja hal itu membuat Yudha dan Ratih menjadi
semakin curiga dan tak senang.
"Kisanak! Kalau kalian memang tak ada
keperluan, kami hendak melanjutkan perjalanan kami. Silakan tertawa sepuas
hati!" sentak Yudha.
Setelah berkata demikian. Yudha menggandeng lengan Ratih dan bermaksud melangkah
menghindari mereka. Namun dengan serta merta, kedua orang itu melompat
menghalangi. "Phuihhh! Kau pikir bisa mengoceh seenak perut saja terhadap kami"!"
Langkah Yudha dan Ratih terpaksa kembali berhenti, dan mereka langsung memandang
satu persatu dua laki-laki berwajah seram itu secara bergantian dengan sorot
mata menunjukkan ketidak-senangan. Yang membentak tadi memang Supit Gadar. Kini
matanya tampak melotot garang dengan mulut menyeringai lebar seperti hendak
menelan bulat-bulat kedua pasang remaja itu.
"Kisanak! Aku tak mengerti, apa yang kalian inginkan. Kalau kalian hendak
merampok, kami tak
punya barang-barang yang berharga. Kalaupun ada urusan, kita pun belum pernah
bertemu sebelumnya.
Jadi, mana mungkin kami punya urusan dengan kalian!" sahut Yudha semakin tegas.
"Kalian harus ikut kami! Ayo cepat!" bentak Supit Gadar.
Sementara, Kebo Koneng malah maju mendekati gadis di hadapannya dan bermaksud
memeluknya. "Kurang ajar!"
"Uts! Galak juga rupanya kau. Cah Ayu" Tapi, sabarlah. Sesaat lagi kau akan
terlena dalam pelukanku!" sahut Kebo Koneng sambil terkekeh-kekeh ketika gadis
itu menghindar dengan sengit.
Tapi Kebo Koneng tak berhenti sampai di situ.
Dengan gerakan gesit, kembali dia melompat sambil menyerang secepat kilat.
Melihat kekasihnya dalam bahaya, tentu saja Yudha tak mau tinggal diam. Segera
dia melompat untuk melindungi gadisnya.
"Eit! Biarkan mereka bermain-main sejenak. Kau bagianku!" sergah Supit Gadar
sambil menyerang pemuda itu
Yudha tersentak kaget dan buru-buru menghindari serangan lawan. Tapi, Supit
Gadar tak mau memberi hati. Bahkan merangsek habis-habisan
"Hiyaaat...!"
Tubuh Yudha Jungkir balik menghindari serangan lawan. Maka dengan geram segera
dicabutnya kapak, dan bermaksud balas menyerang lawan. Namun melihat hal itu.
Supit Gadar malah melecehkannya.
"Ha ha ha...! Bocah bau kencur! Ilmu silatmu memang cukup lumayan. Tapi sayang.
Kau masih mentah. Lihat serangan!"
Kata-kata yang dikeluarkan Supit Gadar bukanlah
omong kosong belaka. Dengan gerakan lincah, dengan mudah serangan lawan bisa
dihindari. Kemudian tiba-tiba tubuhnya menyusup lewat celah yang tak disangka-sangka.
Akibatnya, Yudha gelagapan untuk menghindari serangan balik lawan.
Dan ketika terdengar teriakan kecil Ratih, perhatian Yudha seketika terganggu.
Maka tentunya itu berakibat buruk baginya. Karena tiba-tiba Supit Gadar mencelat
ke arahnya. melepaskan serangan.
Tuk! "Aaah...!" Yudha mengeluh kecil dengan tubuh terkulai lemas, ketika totokan
lawan mendarat di bahunya.
Supit Gadar sendiri cepat menyambar dan
memanggul Yudha ke atas pundak, kemudian memandang ke arah Kebo Koneng yang
telah lebih dulu melumpuhkan Ratih.
"Brengsek kau, Kebo! Ternyata kau memang rakus sekali. Mari kita bawa bocah ini
untuk Eyang Guru.
Dan setelah itu, aku akan bersabar menunggu giliranku untuk mendekap kelinci
cantik itu!"
"Ha ha ha...! Mari kita berangkat! "
*** 3 Seorang penunggang kuda hitam melambatkan lari kudanya ketika telah memasuki
mulut Desa Palung Rimbun. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju
rompi putih. Di balik punggungnya tampak menyembul sebuah gagang pedang
berbentuk kepala burung. Pemuda itu terus menjalankan lambat-lambat kudanya,
setelah memasuki desa ini.
Suasana Desa Palung Rimbun tampak sepi.
Padahal, hari telah siang. Bisa jadi karena di tempat itu segala macam kegiatan
perdagangan tak begitu ramai. Itu juga disebabkan jarak antara satu rumah dengan
rumah lain agak berjauhan. Dari sini bisa tercermin kalau penduduk desa itu
masih tergolong sedikit. Dan melihat banyaknya sawah di desa itu, bisa diduga
kalau mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Dan siang terik begini, bisa
jadi mereka masih berkutat dengan lumpur. Atau sedang beristirahat di dangau-
dangau sambil menikmati santap siang. Tapi ternyata di depan sana ada juga
seseorang yang tengah mengerjakan sawahnya. Dan kebetulan pemuda itu akan
melintasinya. Pemuda itu terus menjalankan kudanya, hampir melintasi petani di
depannya. Begitu dekat, kepalanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Petani itu
juga mengangguk, seraya membuka tudung kepalanya. Langsung dia memberi hormat
pada pemuda itu.
"Kisanakkah yang bernama Rangga...?" tanya petani itu setelah memberi hormat
"Hei" Dari mana kau tahu namaku?" tanya
pemuda tampan itu yang tak lain Rangga, agak heran.
"Aku sebenarnya salah seorang prajurit di negeri ini. Dan aku mendapat pesan
dari seseorang untuk menunggu Kisanak di sini "
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Panglima Sura Darma. Dan itu atas keinginan kawan Kisanak yang bernama Pandan
Wangi... "
"Heh"! Pandan Wangi" Di mana dia sekarang?"
Utusan itu kemudian menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Rangga. Dan
pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu mengangguk-angguk tanda
mengerti "Lalu, kenapa kau berpakaian seperti petani?"
"Hanya menjaga agar tak terlalu menyolok di mata penduduk. Lagi pula dengan
berpakaian seperti ini, aku bebas bergerak..."
Rangga kembali mengangguk. Tapi pikirannya tak bergeming dari persoalan Pandan
Wangi. Gadis itu terlalu ceroboh bertindak! Atau, barangkali benar seperti apa
yang dikatakan prajurit ini, bahwa semua itu tak lepas dari permintaan Panglima
Sura Darma agar Pandan Wangi mau membantunya"
"Apakah Kisanak bermaksud menyusulnya ke sana?" tanya prajurit itu
"Tentu saja. Kau tahu tempat mereka, bukan?"
Prajurit itu mengangguk cepat.
"Hm.... Kalau begitu, kita jangan membuang waktu lagi. Naiklah di belakangku,
dan tunjukkan padaku di mana mereka berada."
"Baiklah...!" sahut prajurit itu. Prajurit itu lalu melompat ke belakang Rangga
yang berada di alas kuda bernama Dewa Bayu. Dan mereka langsung melaju cepat
Rangga memang mengkhawatirkan
keselamatan kekasihnya. Sebab menurut apa yang diceritakan prajurit ini, kedua
tokoh yang dikejar itu memiliki kepandaian tinggi. Meskipun mendapatkan tambahan
pasukan dari kerajaan, rasanya Pendekar Rajawali Sakti tetap tak yakin kalau
mereka bisa mengatasi kedua buronan itu. Tak heran bila Dewa Bayu dipacu kuat-
kuat sehingga melesat kencang bagai dikejar setan.
Namun belum lama Rangga menggebah kudanya.
Tiba tiba,... "Hiyaaat...!"
Plarrr! "Yeaaah...!"
Dua bayangan mendadak melesat menyerang, setelah melepaskan pukulan jarak jauh
yang menimbulkan gemuruh kecil serta desir angin kencang. Melihat hal ini,
Rangga cepat melompat dari punggung kudanya, lalu mendarat manis di tanah.
"Kisanak! Kau pegang tali kendali ini kuat-kuat!
Kudaku akan menurut padamu!" teriak Rangga
"Kisanak! Kau mau ke mana...?"
Pertanyaan prajurit itu tak sempat terjawab, karena Rangga telah melesat cepat
menghadang lawan-lawannya yang terus melesat ke arahnya.
Sementara, prajurit itu terus mengendalikan Dewa Bayu, berhenti pada jarak
sekitar lima tombak dari tempat Rangga yang kini sudah bertarung.
Pendekar Rajawali Sakti tampak tengah sibuk mempertahankan diri dari serangan-
serangan gencar yang dilakukan kedua penghadangnya. Namun sedikit pun tak
terlihat kalau Rangga kewalahan. Tubuhnya begitu lincah, bergerak ke sana kemari
menghindari serangan-serangan. Dan tiba-tiba, tubuh Rangga melompat ke atas dan
berputar beberapa kali
menjauhi lawan-lawannya. Kemudian tubuhnya meluncur turun dan mendarat mantap
sekali di tanah.
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tak terdengar suara saat
kakinya mendarat. Langsung ditatapnya tajam-tajam dua orang penghadangnya dalam
jarak tiga tombak lebih di depannya.
"Siapa kalian"! Dan, apa maksud kalian
menyerang kami dengan tiba-tiba"!" tanya Rangga dengan nada tak senang.
Di depan Pendekar Rajawali Sakti kini berdiri tegak dua orang laki-laki yang
berbeda usia. Yang seorang berusia sekitar lima puruh lahun lebih. Wajahnya
berjenggot panjang. Tubuhnya agak sedikit gemuk dan di tangannya menggenggam
senjata arit. Sedangkan yang berusia lebih muda, sekitar tiga puluh tahun.
Tubuhnya tinggi, namun berukuran sedang. Di tangannya tergenggam sebatang
tongkat pendek. Kini keduanya juga menatap tajam ke arah Rangga dengan wajah
sinis. "Phuih! Antek-antek kerajaan! Kalian harus mampus di tangan kami!" dengus laki-
laki yang lebih tua sengit.
"Hm.... Apa maksudmu dengan antek-antek
kerajaan?" tanya Rangga bingung,
Kedua orang itu kemudian memandang ke arah prajurit yang masih berada di atas
Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda. Memperhatikan mereka sejak tadi.
"Meski dia berpakaian lusuh begitu, jangan harap bisa mengelabui kami!" desis
orang tua itu geram, sambil menunjuk si prajurit
"Kisanak! Kami sedang terburu-buru. Dan aku sama sekali tidak tahu, apa yang
kalian inginkan.
Kalau memang tak ada urusan yang lebih penting, harap kalian sudi memberi
jalan," sahut Rangga
masih bernada sopan dan tak bermaksud meladeni keinginan mereka.
"Hm. Kalian telah berada di sini, dan jangan harap bisa pergi begitu saja!"
sahut orang yang lebih muda.
"Apa maksudmu...?"
"Kalian harus mampus!"
Rangga berusaha menahan sabar mendengar
kata-kata yang diucapkan kedua penghadangnya.
Namun kedua orang itu agaknya tak mau mendengar penjelasannya. Bahkan sama
sekali tak peduli dengan niat baiknya untuk menyelesaikan persoalan secara
damai. Melihat keadaan itu, Rangga tersenyum sambil memandang ke arah si
prajurit. Lalu, Rangga segera bersuit nyaring. Maka, Dewa Bayu yang seperti
mengerti arti siulan itu langsung meringkik dan melesat cepat sehingga nyaris
melemparkan prajurit yang masih di atas punggungnya. Untung saja dia sempat
berpegangan kuat-kuat
"Huh! Jangan dikira dia bisa kabur begitu saja!"
desis orang tua itu. Langsung dia melompat hendak mencegah lari Dewa Bayu. Namun
sigap sekali Rangga menghalangi dengan gerakan tak kalah cepat
"Orang tua! Bukankah kau ingin berurusan denganku" Nah, biarkan dia pergi!"
"Kurang ajar! Hih...!"
Orang tua itu langsung menyerang Rangga dengan sebuah pukulan pendek. Untung
saja Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak menghindar ke kiri.
Namun, orang tua itu seperti tidak memberi kesempatan. Dia terus merangsek
Pendekar Rajawali Sakti dengan serangan-serangan dahsyat dan me-matikan.
Tapi seperti biasanya, Rangga langsung bisa menghindari dengan pengerahan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Akibatnya, orang tua itu semakin geram, karena tak ada satu pun
serangannya yang mendarat di tubuh lawan. Sungguh tidak disangka kalau lawan
mampu bergerak secepat itu. Meskipun senjata aritnya berkelebat cepat dan
bermaksud melukai lawan, tapi hal itu hanya sia-sia belaka Bahkan pada satu
kesempatan, Rangga melepaskan serangan balik begitu orang tua itu baru saja
mengkelebatkan aritnya. Begitu tiba-tiba datangnya, sehingga orang tua itu tak
bisa menghindari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang demikian cepat.
Maka.... Bugkh! "Hugkh...!"
Orang tua itu kontan terjajar beberapa langkah ke belakang sambil mengeluh
pendek. Padahal, kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti tidak disertai
pengerahan tenaga dalam. Hanya saja, memang cukup keras.
Tentu saja hal itu tak bisa didiamkan kawannya.
Dia segera bertindak membantu. Namun sebelum terjadi, Rangga telah melesat cepat
meninggalkan mereka dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang telah
mencapai kesempurnaan. Dan kedua orang itu hanya bisa saling berpandangan dengan
wajah kesal. *** Pasukan yang dipimpin Panglima Sura Darma telah memasuki suatu wilayah yang
diperkirakan sebagai sarang kedua buronan yang bernama Supit Gadar dan Kebo
Koneng. Mereka kini memang berada di pinggir hutan yang lebat dan jarang
didatangi manusia. Konon, tempat itu dipercaya sebagai sarang makhluk halus yang sering
mengganggu manusia.
Bahkan bukan hanya itu. Setiap orang yang lewat, jarang ada yang bisa kembali.
Namun, Panglima Sura Darma mana bisa mem-percayai kabar kosong itu begitu saja.
Sebagai seorang prajurit sejati, tugasnya harus dijalankan dengan baik dan
tuntas. Dan dari apa yang pernah diketahuinya. di dalam hutan inilah kedua orang
buronan itu diperkirakan berada. Sebab, guru mereka yang bernama Nini Towok
memang tinggal di situ.
Dan Panglima Sura Darma memang telah me-
nambah kekuatan pasukannya. Makanya, dia ber-tekad untuk meringkus dua buronan
kerajaan itu. Prajurit yang diperintah untuk memanggil pasukan kerajaan memang telah kembali
bersama sekitar tiga puluh orang. Dan mereka langsung bergabung dengan Panglima
Sura Darma. "Semua siap! Kita telah memasuki kawasan Hutan Dandaka!" teriak Panglima Sura
Darma memperingat-kan anak buahnya.
Mereka segera menggenggam erat senjatanya masing-masing sambil menajamkan
penglihatan dan pendengaran. Suasana seketika menjadi sepi. Hanya derap langkah
kaki kuda saja yang menyapu padang rumput di bawahnya.
"Apakah Paman Panglima yakin kalau mereka ber-sembunyi di tempat ini?" tanya
Pandan Wangi halus.
"Mereka tak akan pergi jauh dari sisi gurunya,"
sahut Panglima Sura Darma setengah ragu.
"Dua orang murid yang setia tentunya..." Panglima Sura Darma hanya tersenyum
pahit "Sebaiknya.
pasukan dibagi dua, Paman. Kalau boleh biar kupimpin sebagian ..." lanjut Pandan
Wangi menawar- kan diri. Panglima Sura Darma memandangnya heran. Tapi, Pandan Wangi tetap berusaha
meyakinkan. "Percayalah, aku pernah melakukan hal ini sebelumnya. Tapi kalau memang Paman
tak percaya, tak apa..."
"Bukan begitu. Tapi, bukankah kalau membagi dua pasukan berarti akan mengurangi
kekuatan kita?"
"Bukankah mereka hanya berdua" Dan mungkin bertiga, bila guru mereka muncul.
Mereka bukan pasukan besar. Jadi, kusarankan agar para prajuritmu tak kacau-
balau nantinya."
Panglima Sura Darma berpikir sesaat, sebelum menyetujui usul Pandan Wangi. Namun
baru saja mereka membagi dua kelompok pasukan, tiba-tiba terdengar suara tawa
nyaring yang menyelimuti sekitar tempat itu.
"Hi hi hi..! Sungguh tak disangka, anjing berani mendatangi penggebuk!"
"Ha ha ha..! Hei, Sura Darma! berani mati kau datang ke Hutan Dandaka ini, he"!"
Bersamaan dengan suara itu, melesat dua sosok tubuh. Dan tahu-tahu di hadapan
mereka telah berdiri dua laki-laki bertampang seram. Seketika semua pasukan
segera bersiaga dan menghentikan langkah.
Panglima Sura Darma dan Pandan Wangi hanya memandang tajam kepada dua sosok
tubuh yang telah mereka kenal itu.
"Kebo Koneng dan Supit Gadar! Menyerahlah secara baik-baik. Dan jangan paksa
kami untuk bertindak keras untuk menangkap kalian!" bentak Panglima Sura Darma.
"Apa" Menyerah"! Ha ha ha....! Kau ini tolol sekali, Sura Darma. Tidakkah kau
tahu, sedang berada di
mana saat ini" Hei! Seharusnya kaulah yang menyerah, dan gorok lehermu sendiri!"
sahut Supit Gadar sambil tertawa mengejek.
"Sura Darma! Tahu dirilah sedikit! Kalau kemarin, kami masih memberi kesempatan
padamu untuk tidak mengganggu kami lagi. Tapi, kau memang keras kepala. Dan hari
ini, jangan harap kami akan mengampuni lagi. Kau dan anak buahmu akan mampus!"
timpal Kebo Koneng geram.
"Kisanak berdua! Kalian adalah buronan kerajaan.
Menyerahlah secara baik-baik, atau aku akan meringkus kalian saat ini juga!"
gertak Pandan Wangi dengan suara nyaring
"Ha ha ha! Bocah ayu, kau membuatku gemas saja. Bicaramu lancang sekali. Kalau
tadi aku berniat memenggal kepalamu, maka biarlah kutunda barang sesaat, agar
kita bisa bermain sejenak berdua saja.
Wajahmu yang cantik itu, sayang sekali bila harus dilukai tanganku!" sahut Supit
Gadar menganggap remeh.
"Kurang ajar! Huh! Kau pikir dirimu sudah hebat karena telah membunuh banyak
prajurit kerajaan"!
Terimalah bagianmu hari ini!" bentak Pandan Wangi.
seraya memberi perintah pada para prajurit untuk menyerang Supit Gadar.
"Yeaaah...!"
"Ringkus orang itu hidup atau mati!" teriak Panglima Sura Darma memberi perintah
pada prajuritnya untuk meringkus Kebo Koneng.
Panglima Sura Darma dan Pandan Wangi tahu kalau lawan-lawannya memiliki
kemampuan tinggi dan sulit ditaklukkan. Tapi mereka telah menemukan akal untuk
mengatasi. Pada saat prajurit-prajurit kerajaan mengeroyok mereka, maka di saat
itulah masing-masing mendesak Supit Gadar dan Kebo Koneng dengan serangan serangan
hebat. Supit Gadar dan Kebo Koneng memang memiliki kepandaian tinggi. Namun menghadapi
tekanan sedemikian rupa. agaknya mereka kewalahan juga.
Ruang gerak mereka terbatas, dan tak sedikit pun kesempatan untuk balas
menyerang. Mereka terpaksa jungkir balik untuk menyelamatkan selembar nyawa.
"Bangsat! Huh! Kalian akan menerima balasan nya!"
"Jangan banyak bicara kau! Yeaaah...!" bentak Pandan Wangi sambil mengayunkan
kipasnya ke arah leher Supit Gadar.
"Uts! Yeaaah...!"
*** 4 Mendadak Supit Gadar berteriak nyaring sambil mengayunkan tangan kanannya.
Seketika melesat secercah sinar kuning ke arah Pandan Wangi.
Seketika Pandan Wangi tersentak kaget melihat kelebatan sinar kuning kemerahan
yang mengancam pertahanannya. Buru-buru gadis itu melompat ke samping.
Menghindarinya. Namun...
"Aaakh...!"
Salah seorang prajurit yang kebetulan di belakang ternyata menjadi sasaran
begitu Pandan Wangi menghindar. Orang itu kontan memekik kesakitan.
Bahkan sekujur tubuhnya langsung menghitam seperti luka bakar. Tubuhnya lalu
ambruk ke tanah dan bergulingan ke sana kemari sambil melolong kesakitan. Tidak
berapa lama kemudian, dia diam tak berkutik lagi.
"Ha ha ha..! Kenapa " Kau mulai takut heh..."!"
ejek Supit Gadar ketika melihat Pandan Wangi ter-longong bengong. Bahkan semua
prajurit juga menghentikan serangan dengan wajah bingung
Belum lagi habis rasa keterkejutan mereka, mendadak kembali terdengar pekikan
dari arah lain.
Tampak dua orang prajurit kerajaan yang tergabung dalam kelompok Panglima Sura
Darma terhuyung-huyung. Begitu mengerikan nasib yang menimpa mereka. Kulit
keduanya tampak melepuh dan lumer.
Bahkan tulang-tulangnya mulai terlihat, perlahan-lahan tubuh mereka hancur
menjadi potongan-potongan berbagai ukuran. Seketika hal itu membuat
nyali para prajurit jadi ciut. Dan mereka jadi terpaku beberapa saat.
"Ayo! Bukankah kalian ingin menangkap kami"
Kenapa sekarang ragu-ragu..." Ke sini cepat..!"
bentak Kebo Koneng dengan sikap jumawa
"Keparat! Kau pikir aku takut dengan gertakanmu"! Huh! Kau rasakan balasanku!"
bentak Pandan Wangi sengit
Tubuh si Kipas Maut segera melesat cepat sambil menyabetkan ujung kipas mautnya
ke leher. Namun Supit Gadar cepat menghindarinya dengan mudah sambil terkekeh
pelan. Tidak seperti tadi, kali ini Pandan Wangi mengerahkan segala kemampuan
yang dimiliki untuk menjatuhkan lawan secepatnya.
Sehingga meskipun sesekali Supit Gadar mengumbar pukulan maut namun hingga saat
ini belum berhasil melukainya.
"Kenapa diam"! Ayo, serang dia lagi...!" teriak salah seorang prajurit.
Serentak para prajurit lain seperti disentak dan langsung menyerang kedua
buronan Itu Demikian pula halnya Panglima Sura Darma dan para prajuritnya. Dengan semangat
masih menyala-nyata, mereka kembali menyerang lawan.
"Yeaaah...!"
"Hm... Kecoa-kecoa busuk tidak berguna! Kalian kira bisa menangkap kami" Phuih!
Kalian hanya bermimpi!" desis Kebo Koneng geram.
Laki-laki berkepala botak itu segera mengumbar pukulan-pukulan mautnya beberapa
kali. Akibatnya prajurit yang berada paling dekat dan tak mampu menghindari
menjadi sasaran. Mereka langsung berjatuhan, dan tak mampu bangkit kembali.
"Hi hi hi..! Dasar murid-murid gobiok! Menghadapi
cacrng-cacing tidak berguna saja, begitu lama! Coba lihat ini...!"
Mendadak terdengar suara nyaring melengking Lalu...
Wusss...! Tiba-tiba bertiup angin berhawa panas menyengat yang menyambar pasukan yang
dipimpin Panglima Sura Darma.
"Aaa...!"
Bersamaan dengan itu, terlihat beberapa orang prajurit melayang bagai sehelai
daun kering tertiup angin disertai jeritan kesakitan.
Pada saat yang sama, Kebo Koneng mengambil kesempatan baik, saat semangat
Panglima Sura Darma mulai bergetar, dan perhatiannya terganggu oleh kejadian
itu. "Yeaaah...!"
Sambil mem bentak nyaring, laki-laki berkepala botak itu menghantamkan pukulan
mautnya. Panglima Sura Darma jadi tersentak kaget dan berusaha menghindar sambil
mengayunkan sebelah tangannya. Tapi...
Plak! "Aaa...!"
Panglima Sura Darma kontan memekik kesakitan dengan tubuh terjajar beberapa
langkah ke belakang.
Tangannya seperti tersundut besi panas. Belum lagi habis rasa terkejutnya, tiba-
tiba satu serangan lawan mengancam batok kepalanya.
Prak! Panglima Kerajaan Pandarakan itu hanya sempat mengeluh pendek begitu kepalan
tangan Kebo Koneng mendarat telak di kepalanya. Tubuhnya langsung ambruk, dan
kulitnya meleleh bagai
terbakar. Demikian pula tulang-tulangnya yang jadi hancur seperti dihantam
godam. Sementara itu, ketika serangkum angin panas tadi menerpa prajurit-prajurit yang
dipimpin Pandan Wangi, banyak prajurit yang terlempar sambil menjerit kesakitan.
Sedangkan gadis itu jadi terkejut dan berusaha mempertahankan diri. Namun, Supit
Gadar tampaknya tak ingin memberi kesempatan lagi. Dan dia sudah terus
menghujani serangan bertubi-tubi ke arah gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu.
"Yeaaah...!"
Dan ketika baru saja Pandan Wangi menghindari sebuah serangan, sudah menyusul
lagi serangan berikut. Jari-jari tangan Supit Gadar yang membentuk kepala ular,
melepaskan sebuah patukan ke punggung Pandan Wangi. Maka cepat-cepat gadis itu
merunduk sambil memapak.
Plak! Melihat dari serangannya, rupanya Supit Gadar memang tidak berniat membunuhnya.
Buktinya ketika memapak tadi, tenaga dalam yang dikeluarkan laki-laki itu tidak
begitu tinggi. Namun rupanya serangan itu hanya sebuah tipuan belaka. Begitu serangannya luput.
Supit Gadar tiba-tiba mencelat ke atas dengan kecepatan mengagumkan. Dan ketika
berada di udara, tangan kanannya yang membentuk paruh ular menotok cepat dan....
Tuk! "Ohhh...!" Pandan Wangi langsung jatuh lunglai di tanah, begitu punggungnya
tertotok "Ha ha ha...! Kini kau bisa berbuat apa padaku.
Cah Ayu?" ejek Supit Gadar terbahak bahak
"Keparat licik! Lepaskan totokan ini, atau kuhajar kau!" maki Pandan Wangi
sambil melotot lebar.
Namun, tubuhnya tak mampu digerakkan lagi.
"Ha ha ha...! Gertakanmu boleh juga, Cah Ayu. Tapi apakah kau tidak menyadari,
kalau kini sudah tidak berdaya lagi" Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka.
Coba lihat. Sebentar lagi, kecoa-kecoa itu akan rata dengan tanah," sahut Supit
Gadar sambil tertawa penuh kemenangan. Lalu, dia melangkah mendekati Pandan
Wangi. Kembali gadis itu ditotok hingga pingsan.
Apa yang dikatakan Supit Gadar memang tidak salah. Tampak Kebo Koneng mengamuk
dahsyat menghabisi sisa-sisa prajurit yang sudah kehilangan pemimpinnya.
Beberapa orang berusaha menyelamatkan diri, namun tidak diberi kesempatan
sedikit pun juga. Akibatnya seluruh prajurit yang berjumlah sekitar tiga puluh
Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang itu tewas tidak tersisa dalam keadaan mengerikan, terkena pukulan maut
yang diepaskan Kebo Koneng.
"Hm, habis sudah riwayat kalian!" dengus Kebo Koneng sambil berkacak pinggang
dan wajah tak berperasaan.
"Huh! Tidak pantas kau berbangga begitu. Goblok!"
"Eh, ng,.. Eyang Guru..."
Kebo Koneng dan Supit Gadar baru tersadar kalau guru mereka telah berada di
tempat itu sambil mencibir. Serentak mereka menghampiri dan berlutut sambil
menjura memberi hormat.
*** "He! Semprul! Kenapa kau bunuh Cah bagus tadi?"
bentak wanita yang tak lain Nini Towok, sambil melotot garang kepada Kebo
Koneng. "Bocah yang mana, Eyang?" Kebo Koneng takut-
takut "Matamu! Ya, bocah cakep yang kau remukkan kepalanya itu!"
"Oh! Itu Sura Darma. Eyang,"
"Huh! Siapa yang peduli namanya.." Kenapa kau bunuh dia, heh"! Padahal, dia
gagah dan cocok untukku!"
"Eh, ng.... Dia.... dia amat berbahaya kalau dibiar-kan hidup. Eyang, sebab itu
lebih baik dibunuh saja."
"Semprul! Siapa yang mengatakan itu padamu, hah"! Tidak ada seorang pun di jagat
ini yang berbahaya di depanku! "
"Maafkan aku. Eyang."
"Maaf. maaf...! Heh! Pilihlah hukumanmu sendiri.
Kutendang sampal isi perutmu muncrat, atau kau carikan lima orang seperti dia
hari ini juga! "
"Ba.... baik, Eyang "
"Baik apa?"
"Aku pilih yang kedua"
"Bagus! Nah, sekarang minggat dari mukaku!"
"Se.... sekarang juga, Eyang?"
"Semprul! Kapan lagi. he..."!"
"Ba.... baik, Eyang." sahut Kebo Koneng terus berlari terbirit-biritt dari
tempat itu setelah menjura memberi hormat
Sementara, Nini Towok memandangnya sekilas, kemudian berpaling pada Supit Gadar.
"Kenapa tidak kau bunuh saja perempuan itu, heh"!"
"Eh... ng,..."
"Hm... Kau akan bersenang-senang dulu dengannya?" tanya Nini Towok dengan suara
dingin. Supit Gadar hanya mengangguk saja sambil menyeringai kecil. Dan Nini
Towok hanya memandangnya sekilas
"Tapi setelahnya nanti akan kubunuh dia," kata Supit Gadar sebelum gurunya
berkata. Nini Towok hanya menggumam tak jelas,
kemudian memandang gadis itu.
"Hm.... Cantik juga dia. Pandai kau memilih perempuan," kata perempuan tua itu
Sedangkan Supit Gadar hanya terkekeh kecil mendengarnya.
"Hei"! Senjatanya itu mengingatkan aku pada seseorang. Siapa gadis ini?" tanya
Nini Towok dengan sorot mata tajam ke arah Supit Gadar
"Ti... tidak tahu. Eyang."
"Semprul! Dasar murid goblok. Coba ingat-ingat gadis yang bersenjatakan kipas
baja berwarna putih keperakan. Ng... Ya, ya. Aku ingat sekarang, Dia si Kipas
Maut!" agak berteriak suara Nini Towok Bola mata perempuan tua itu tampak
berbinar-binar tajam, kemudian tertawa panjang mengikik Supit Gadar jadi
terheran-heran sendiri melihatnya, tapi tidak berani menegur.
"He. Supit Gadar. Bawa gadis ini ke rumah, dan jaga jangan sampai lepas."
"Eh! Untuk apa. Eyang?"
"Goblok! Tidak tahukah kau, kalau gadis ini kekasih Pendekar Rajawali Sakti...?"
"Eh, kekasihnya..." Lalu, apa hubungannya dengan kita?"
"Dasar tolol! Sudah lama sekali aku memimpikan bisa bertemu bocah yang kabarnya
berkepandaian hebat itu. Kalau dia tahu kekasihnya berada di tanganku, tentu
akan ke sini mencari."
"Jadi..., jadi aku tidak boleh memiliki gadis ini?"
"Edan! Kalau sampai kau menyentuh rambutnya saja, batok kepalamu kupecahkan. Dia
milikku! Dan setelah Pendekar Rajawali Sakti berhasil kutakluk-kan, baru kau boleh berbuat
apa saja padanya.
Mengerti kau, Supit Gadar...?"
"Iya.... iya. Eyang."
"Bagus. Sekarang bawa dia ke pondok "
Supit Gadar menelan ludahnya. Kemudian dia melangkah dan berhenti dekat Pandan
Wangi. Segera dipanggulnya tubuh gadis yang telah pingsan itu.
Namun, dia tidak segera melangkah kembali.
"Kenapa" Kau tidak senang mendengar ke-
putusanku"!" bentak Nini Towok, seperti bisa merasakan apa yang dipikirkan
muridnya. "Eh, mana berani aku berpikir begitu, Eyang...."
"Heh! Kau pikir aku bodoh...?"
Supit Gadar hanya terdiam saja.
"Kau bisa mencari sepuluh perempuan secantik dia. Tapi khusus untuk yang ini,
jangan coba-coba.
Mengerti..."!"
"Mengerti, Eyang,"
*** Namun, belum lagi guru dan murid itu melangkah jauh, tiba-tiba saja....
"Nini Towok, berhenti kau!"
"Heh..."!"
Nini Towok dan Supit Gadar tersentak. Mereka langsung berhenti melangkah, dan
menoleh. Tampak di depan mereka tahu-tahu sudah berdiri tegak dua orang laki-
laki. Yang seorang bertubuh tinggi memakai baju merah. Pada tangannya tampak
tergenggam sebilah pedang berukuran besar. Sedangkan yang seorang lagi bertubuh
pendek. Tangannya memegang bandul besi berduri tajam. Kini keduanya
memandang guru dan murid itu dengan sorot mata tajam menusuk.
"Hm.... Soreang dan Rudapaksi. Apa yang kalian inginkan, hingga jauh-jauh datang
ke tempatku ini?"
tanya Nini Towok tenang, langsung mengenali.
"Nini Towok! Sebenarnya aku tidak ingin meng-ganggumu dan menyudahi saja urusan
lama kita. Tapi kedua muridmu sungguh keterlaluan. Mereka menculik putri Soreang
dan murid perempuanku. Dan kami tidak bisa membiarkan begitu saja. Kau boleh
lepas tanggung jawab, tapi serahkan kedua muridmu untuk dihukum!" sahut laki-
laki pendek kekar berusia sekitar empat puluh tahun. Namanya, Rudapaksi.
"Benar! Kalau kau melindungi mereka, berarti memang sengaja mengorek luka lama.
Dan kami harus menuntut balas atas perlakuan kedua muridmu!" sambung laki-laki
bertubuh tinggi, yang bernama Soreang.
Mendengar ucapan mereka, Nini Towok seketika tercekat dengan wajah heran.
Kemudian terlihat dia tergelak sendiri. Sikapnya benar-benar meremehkan kedua
orang itu. "Soreang dan Rudapaksi. Kalian pikir aku ini pengasuh anak kecil, heh"! Kedua
muridku sudah tua bangka. Dan mereka bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya
sendiri. Lalu untuk apa kalian meng-ungkit-ungkit peristiwa lama" Ingin
menantangku lagi, he"! Boleh...!" balas Nini Towok sambil berkacak pinggang.
Perempuan tua itu memang penaik darah dan mudah tersinggung. Sedikit pun tidak
boleh merasa dikecilkan oteh orang lain. Dan dari apa yang diucapkan Soreang dan
Rudapaksi, bisa disimpulkan kalau mereka sengaja datang membawa persoalan
lama untuk menggertaknya. Sebenarnya, apa persoalan mereka dahulu"
Memang, Nini Towok adalah seorang perempuan yang mempunyai kebiasaan aneh. Sejak
muda, dia paling suka bermain cinta dengan jejaka-jejaka gagah dan berwajah
tampan. Hal itu dilakukan dengan mengobral diri seperti pelacur rendahan.
Nafsunya seperti tidak pernah puas oleh hanya seorang pemuda. Dan dia terus
berganti-ganti pasangan sampai usianya mendekati tua. Namun sejalan dengan
kebiasaan buruknya, maka banyak pula pemuda yang menaruh hati padanya. Bahkan
tidak jarang yang berasal dari kalangan persilatan berkepandaian tinggi jatuh
cinta padanya. Maka dengan rayuan mautnya, Nini Towok berhasil membujuk mereka
agar sudi mengajarkan ilmunya. Perempuan itu tidak peduli, apakah pemuda yang
menyintainya termasuk dalam golongan sesat atau lurus. Baginya, yang penting
mendapat ilmu baru.
Pada mulanya tidak ada seorang pun yang tahu tentang perbuatannya. Namun
akhirnya hal itu menjadi tanda tanya, dan berlanjut menjadi kecurigaan.
Hal itu terjadi ketika banyak pemuda yang dekat dengannya, kemudian hilang tak
ketahuan lagi ke mana rimbanya. Dan ketika dua orang pemuda yang pernah dekat
dengannya berhasil meloloskan diri, gegerlah semua orang mendengar ceritanya.
Ternyata, Nini Towok selalu membunuh semua kekasihnya setelah puas mereguk
kenikmatan sekaligus mendapat ilmu baru. Dan kedua orang pemuda itu adalah
Soreang dan Rudapaksi, yang masing-masing kini memang telah berusia setengah
baya. Tentu saja hal itu membuat banyak kalangan persilatan menjadi murka. Mengingat
Nini Towok kini
berkepandaian tinggi, maka secara beramai-ramai mereka bermaksud menghajar
perempuan jalang itu.
Memang, Nini Towok berhasil dihajar sampai babak belur. Bahkan nyaris saja tewas
kalau tidak sempat melarikan diri. Dan sejak itu, Nini Towok tidak pernah lagi
muncul dalam kancah dunia persilatan. Sampai akhirnya, kedua muridnya membuat
keributan belakangan ini. Orang-orang segera mengetahui kalau mereka murid Nini
Towok, karena ilmu silat dan pukulan maut yang dimiliki berciri-ciri sama.
"Nini Towok! Kau memang keterlaluan dan tidak bisa dikasih hati. Kalau memang
hal itu yang diinginkan, baiklah. Aku tidak akan sungkan-sungkan lagi
bertindak!" dengus Rudapaksi geram. Bandul besinya segera diayunkan, siap
menghajar perempuan tua itu.
"Hi hi hi...! He, Rudapaksi dan Soreang! Berani betul kalian menantangku. Sudah
bosan hidup, he..."!" ejek Nini Towok bernada merendahkan.
Dan begitu bandul besi berduri itu mengancam kepalanya....
"Uts!"
Nini Towok cepat merunduk, menghindari
sambaran bandul berduri Rudapaksi. Namun saat itu juga Rudapaksi sudah melesat
sambil melepaskan tendangan kilat. Namun, Nini Towok menyambutnya dengan
tangkas. Sambil merunduk, ditangkisnya tendangan itu dengan sebelah tangannya
Plak! Wut! Begiru berhasil menangkis, kepalan tangan Nini Towok yang sebelah lagi cepat
menghantam lurus ke dada. Seketika Rudapaksi tersentak. Maka buru-buru dia
membuang diri sambil menarik bandul berdurinya
kembali. Dan begitu bangkit berdiri, bandul berdurinya kembali dikelebatkan
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Swing! "Yeaaah...!"
Nini Towok cepat melesat ke udara seraya berputaran beberapa kali. Tubuhnya lalu
menukik turun, dan terus menerkam ke arah lawan. Pertarungan antara mereka
memang berlangsung cepat dan sengit.
Sementara itu Soreang menyadari kalau
Rudapaksi tidak unggul bila sendiran menghadapi perempuan tua ini. Maka tanpa
diminta lagi, dia langsung saja melompat hendak membantu. Namun sebelum hal itu
dilakukan, Supit Gadar sudah lebih dulu menghadang, setelah meletakkan tubuh
Pandan Wangi di tanah.
"Eit! Jangan coba-coba, selama aku masih di sini!
Biarkan mereka bermain-main. Dan kau, boleh bermain denganku."
"Keparat! Kebetulan sekali memang kau yang kuharapkan. Kucincang tubuhmu,
Jahanam!" geram Soreang sambil mengacungkan pedangnya di tangan kanan.
Supit Gadar segera meladeninya dengan gerakan yang gesit. Sambaran-sambaran
pedang Soreang dapat dielakkan dengan mudah. Bahkan sesekali balas menyerang.
Akibatnya. laki-laki bertubuh besar itu tersentak kaget.
"Hiyaaat..!"
Bukan main geramnya Soreang melihat keadaan itu. Sama sekali tidak diperkirakan
kalau murid Nini Towok ini memiliki kepandaian yang tidak berada di bawahnya.
Bahkan bisa jadi kepandaiannya sendiri
masih di bawah Supit Gadar.
Dan baru saja Soreang akan melipatgandakan serangannya, mendadak saja....
"Aaa...!"
Tiba-tiba terdengar pekikan kesakitan Rudapaksi.
Sekilas terlihat kakinya melangkah terhuyung-huyung dengan kepala berlumuran
darah. Bahkan bandul besi berdurinya sudah terlempar jauh. Tidak berapa lama
kemudian, terlihat Nini Towok melontarkan satu pukulan jarak jauh disertai
kebengisannya. Akibatnya, Rudapaksi terlempar jauh dengan nyawa putus sebelum
menyentuh tanah. Melihat kesadisan itu, Soreang jadi lengah. Dan kelengahan
Soreang harus dibayar mahal. Supit Gadar yang tidak menyia-nyiakan kesempatan
itu langsung menghantamkan pukulan mautnya yang bernama 'Pukulan Kelabang Api'.
Wusss! Pukulan yang mengeluarkan cahaya kuning
kemerahan itu menderu cepat ke arah lawan.
Soreang tersentak dan buru-buru membuang tubuhnya ke samping. Namun tidak urung
bahu kirinya terkena hantaman pukulan.
"Uts!"
Plak! Soreang kontan meringis kesakitan. Sementara, Supit Gadar terus bergerak cepat
tanpa memberi hati sedikit pun juga. Meski Soreang berusaha membabatkan
Naga Sakti Sungai Kuning 5 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Utusan Lembah Kubur 1
KEMELUT HUTAN DANDAKA
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 100:
Kemelut Hutan Dandaka
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Kemarau panjang yang melanda negeri ini telah berlangsung hampir dua bulan
penuh. Banyak mata air yang jadi kering. Sedangkan sungai-sungai hanya berisi
sedikit air, namun dipergunakan banyak orang untuk kebutuhan sehari-hari. Tanah
di berbagai tempat terlihat retak-retak dan rumput-rumput telah kering
meranggas. Daun-daun pohon mulai layu dan menguning, kemudian rontok tertiup
angin. Sehingga di sepanjang tempat terdapat timbunan sampah daun-daun kering
yang berserakan
Dekat sebuah lembah, terdapat sebuah jalan yang cukup lebar. Jalan itu memang
menghubungkan satu desa ke desa lainnya. Sementara dari kejauhan terlihat
seseorang tengah menunggang kuda yang dikendarai lambat-lambat. Ketika sudah
dekat, terlihat jelas kalau penunggang kuda itu adalah seorang gadis cantik
berkulit putih bersih, dan berbaju biru muda. Di pinggangnya terselip sebuah
kipas berwarna keperakan. Sementara di pinggangnya tersampir sebilah pedang
bergagang kepala naga berwarna hitam. Sesekali gadis itu terlihat menyeka
keringat yang terus mengucur di dahi dan pelipisnya.
"Kau telah, Putih" Sebentar lagi kita akan mencari sebuah mata air, agar kau
bisa minum sepuas-puasnya," kata gadis itu lembut sambil menepuk-nepuk leher
kudanya. Gadis yang tak lain Pandan Wangi itu turun dari kudanya. Kemudian matanya
beredar ke sekeliling sambil memayungi dahinya dengan telapak tangan.
"Ah! Ternyata nasibmu memang baik, Putih! Aku melihat sebuah anak sungai di
sebelah sana! Mari kita ke sana, cepat!" seru Pandan Wangi girang, seraya cepat
melompat ke punggung kudanya.
Agaknya kuda berbulu putih tunggangan Pandan Wangi itu mengerti betul, apa yang
dibicarakan majikannya. Dia berlari kencang ke tempat yang ditunjuk gadis
berjuluk si Kipas Maut itu. Begitu tiba, ternyata di tempat itu terdapat sebuah
anak sungai yang berair sejuk dari bening.
"Ayo. Putih! kau harus minum sepuas-puasnya.
Perjalanan kita memang tak jauh lagi. Tapi, hanya di sinilah kau bisa
mendapatkan air yang begini sejuk dan amat menyegarkan!" ujar Pandan Wangi.
Tangannya segera menyiduk air, kemudian meneguknya.
Gadis itu pun kemudian membasuh wajahnya dan kedua belah tangan untuk
menyegarkan tubuhnya.
Begitu selesai menyegarkan tubuhnya, Pandan Wangi melangkah ke sebuah batu di
bawah pohon dan duduk dengan tenang. Matanya lalu beredar ke sekitar tempat itu.
Sekilas diperhatikan kudanya yang masih membasahi tenggorokan dengan air sungai.
Pandan Wangi merenung sendiri sambil bersandar pada batang pohon yang daun-
daunnya telah rontok.
Seharusnya, dua minggu lalu Rangga kembali ke Karang Setra. Karena kabarnya ada
berita yang mengatakan kalau Ki Lintuk yang merupakan patih di Kerajaan Karang
Setra tengah sakit keras. Rangga sendiri pada saat ini tengah menumpas
gerombolan perampok yang sering mengganggu ketenteraman para penduduk Desa
Sabrang Lor, yang juga masih bagian Kerajaan Karang Setra. Maka dimintanya
Pandan Wangi agar kembali ke Karang Setra untuk menjenguk Ki Lintuk. Dan Pandan
Wangi akan bertemu Rangga di Desa Pahing Rimbun, sepulang-nya dari kerajaan. Kini desa
itulah yang sedang dituju Randan Wangi.
"Mudah-mudahan Kakang Rangga telah menyelesaikan tugasnya..." desah Pandan
Wangi, lirih. "Hieeeh...!"
"Heh"!"
Pandan Wangi tersentak kaget ketika si Putih terlihat meringkik halus beberapa
kali. Buru-buru didekati dan ditepuk-tepuknya leher hewan itu, untuk
menenangkannya.
"Diam, Putih! Diam! Ada apa" Apa yang kau dengar?"
Si Putih kembali meringkik halus. Kali ini lebih mirip desah napasnya yang
mengisyaratkan ke-resahan.
"Hm.... Mungkin kau sudah tak betah di sini, ya"
Baiklah. Mari kita berangkat!" ujar Pandan Wangi seperti bicara sendiri, sambil
melompat ke punggung kudanya. Setelah menggebah, dia berlalu dari tempat itu.
Namun baru saja kuda itu berlari, mendadak Pandan Wangi mendengar suara seperti
ada per-kelahian hebat. Seketika hatinya tergelitik untuk mengetahui, apa yang
telah terjadi. Maka, si Putih segera dipacu ke arah sumber suara pertarungan.
"Ayo, Putih! Mari kita lihat, apa yang sedang terjadi!"
*** Ketika tiba di tempat kejadian, Pandan Wangi melihat dua orang laki-laki
berwajah seram tampak tengah dikeroyok sekitar sepuluh orang prajurit
kerajaan. Kedua orang itu bertelanjang dada. Wajahnya yang seram, masih pula
dihiasi cambang bauk serta bekas luka-luka. Yang seorang berambut tipis,
sedangkan yang seorang lagi botak.
Pandan Wangi segera mengambil tempat ber-sembunyi, begitu turun dari kudanya.
Sementara, matanya terus mengamati apa yang terjadi.
"Menyerahlah kalian, Perampok-perampok rendah!
Kalian telah menjebol penjara dan membunuh banyak prajurit kerajaan. Dan
sekarang tak ada lagi jalan keluar buat kalian!" bentak salah seorang prajurit
kerajaan, yang agaknya pemimpin dari pasukan itu.
"Ha ha ha...! Sura Darma! Kau boleh mengoceh sesuka hati! Tapi jangan harap kami
akan menyerah begitu saja. Pergilah kalian dari sini. Dan, biarlah kami berlalu,
sebelum kalian mati di tanganku!" sahut laki-laki berkepala botak, dengan suara
tinggi "Kebo Koneng! Jangan ikut-ikutan saudaramu si Supit Gadar! Kalau kau bersedia
menyerah, tentu hukumanmu akan diperingan. Ayo! Menyerahlah, sebelum kesabaranku
hilang!" bentak pemimpin pasukan yang dipanggil Sura Darma dengan suara lantang.
"He he he...! Kau dengar itu, Kebo Koneng"
Apakah kau ingin menyerah, sesudah kita bersusah-payah kabur dari penjara"!"
kata laki-laki berambut tipis yang ternyata bernama Supit Gadar dengan nada
menyindir. "Ha ha ha...! Menyerah! Phuihhh! Lebih baik mati daripada diseret si Sura Darma
keparat ini!" tegas laki-laki botak yang dipanggil Kebo Koneng sambil meludah ke
tanah. "Hm.... Rupanya tak ada jalan lain untuk mem-
bujuk kalian, selain menggunakan cara kekerasan!"
dengus Supit Gadar menggeram.
"Huh! Kau bisa berbuat apa terhadap kami" Mengandalkan pasukanmu yang keropos
ini"! Lebih baik pulang sajalah, Sura Darma. Kau tak akan berhasil menangkap
kami!" sahut Supit Gadar, mencemooh.
"Kurang ajar! Ayo, kepung mereka dan tangkap hidup atau mati!" teriak Sura Darma
memberi perintah pada pasukannya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, sepuluh orang prajurit kerajaan yang sejak
tadi sudah geram, langsung kembali menyerbu ke arah dua buronan itu.
"Yeaaah...!"
Namun karena yang dihadapi para prajurit berkepandaian rendah, maka mudah saja
bagi Kebo Koneng dan Supit Gadar dalam menghindari sergapan. Bahkan dengan mudah
pula mereka cepat melepaskan pukulan dan tendangan ke arah prajurit-prajurit
yang terdekat Prak! Des! "Aaa...!"
"Aaakh..!"
Seketika terdengar pekik kesakitan dan jerit menyayat, yang disusul robohnya dua
orang prajurit "Ayo, Kebo Koneng! Mari kita berpesta kembali.
Hancurkan keroco-keroco ini agar tahu diri!"
Duk! "Aaa...!"
Kembali seorang prajurit terjungkal begitu terkena pukulan dua buronan itu. Kebo
Koneng dan Supit Gadar terus melompat ke sana kemari menghindari ayunan pedang
enam prajurit kerajaan yang masih tersisa. Namun dengan mudah mereka berkelit
dan membalas tanpa belas kasihan. Sejak pertarungan tadi, sekali tangan mereka
terayun, maka satu atau dua orang prajurit tewas diiringi pekik kesakitan.
Kalau tidak kepala yang remuk, maka tulang dada mereka melesak ke dalam terkena
pukulan bertenaga dalam kuat
"Kurang ajar! Kebo Koneng, ayo hadapi aku!"
bentak Sura Darma begitu melihat prajuritnya ada yang terjungkal lagi. Maka dia
segera melompat menyerang lawan.
"He he he...! Bagus! Kenapa tidak sejak tadi saja turun tangan langsung" Kau
hanya membuat anak buahmu menjadi korban saja," sambut Kebo Koneng.
"Jangan banyak mulut kau! Pecah kepalamu!"
sahut Sura Darma seraya mengayunkan pedangnya ke batok kepala lawan yang botak
itu. "Uts! Tidak semudah itu, Setan!"
Kebo Koneng berhasil menghindari sabetan pedang lawan dengan merunduk sedikit.
"Bedebah! Yeaaah...!"
Dengan gerakan lincah, Kebo Koneng kembali meladeni permainan pedang lawan.
Meski bertangan kosong, namun gerakannya sama sekali tak meng-alamii kesulitan.
Begitu gesit dan lincah, tanpa sedikit pun tersentuh pedang lawan. Bahkan
serangan-serangan balasan yang dilakukannya terkadang membuat Sura Darma kaget
dan gelagapan. Apalagi, serangan yang tiba-tiba itu menimbulkan desir angin kuat
"Ha ha ha...! Kau harus berguru sepuluh tahun lagi untuk bisa menangkapku. Sura
Darma. Tapi sayang kesempatanmu sudah tak ada lagi, sebab hari kematianmu telah
ditentukan saat ini!" ejek Kebo Koneng
"Huh! Jangan harap, Kebo Koneng! Justru kaulah yang akan mampus hari ini!" sahut
Sura Darma yakin.
Kebo Koneng tertawa-tawa menyambuti ucapan Sura Darma. Padahal, Sura Darma
adalah salah seorang dari tujuh panglima perang yang dimiliki Kerajaan
Pandarakan. Sebagai panglima tentu saja kepandaiannya tak rendah. Dan kalau
kedua buronan itu sampai bisa ditangkapnya. tentu saja Raja Pandarakan akan
memberi penghargaan khusus baginya.
Hal itulah yang menyebabkan Panglima Sura Darma harus mengeluarkan segenap
kemampuannya untuk meringkus lawan, hidup atau mati! Tapi yang dihadapinya saat
ini adalah Kebo Koneng dan Supit Gadar yang termasuk penjahat kelas kakap Pada
saat Raja Pandarakan memerintahkan agar kedua orang itu diangkap kembali, maka
Panglima Sura Darma menawarkan diri. Padahal, panglima lain bermaksud
mengawaninya. Namun, Panglima Sura Darma meyakini diri kalau mampu menangkap
kedua buronan itu, dengan ditemani sepuluh prajurit kerajaan. Akhirnya tugas
penangkapan kedua orang buronan itu sepenuhnya diberikan kepadanya.
Dan yang terjadi saat itu adalah kekeliruan besar yang pernah diambil panglima
kerajaan itu. Buktinya, sisa prajurit yang kini hanya menghadapi Supit Gadar
tampak sangat kewalahan. Bahkan dalam beberapa saat saja terdengar kembali jerit
kematian prajuritnya.
Apa lagi Supit Gadar memiliki jurus pukulan yang dahsyat. Siapa pun yang terkena
pukulan 'Kelabang Api', pasti akan hangus terbakar. Kalaupun lawan memiliki
tenaga dalam kuat, maka nyawanya pun tak akan selamat. Memang pukulan itu amat
beracun! Melihat keadaan anak buahnya terus berjatuhan,
maka Panglima Sura Darma menjadi lengah. Maka kesempatan itu dimanfaatkan betul
oleh Kebo Koneng untuk menghajar lawan, dengan melepaskan satu pukulan tangan
lurus. Panglima Sura Darma cepat berusaha berkelit sambil menangkis dengan tangannya,
begitu serangan lawan terus melaju mengincar perutnya.
Namun kepalan tangan Kebo Koneng yang sebelah lagi cepat menghajar lurus ke
dadanya. Begkh! "Ugkh...!"
AKibatnya, Panglima Sura Darma terjungkal ke tanah beberapa tombak sambil
mengeluh kesakitan
"Sekarang mampuslah kau, Sura Darma!" bentak Kebo Koneng sambil melompat
mengirim serangan susulan. "Yeaaah...!"
Belum lagi Panglima Sura Darma mampu bangkit berdiri, kembali datang serangan.
Maka tubuhnya segera berguling-guling untuk menyelamatkan diri.
Tapi Kebo Koneng terus-menerus mengejarnya bagai orang kesetanan. Dia yakin
betul kalau tak lama lagi lawannya akan binasa secara menyakitkan.
"Kini tiba saat kematianmu!" bentak Kebo Koneng ketika tubuh Panglima Sura Darma
membentur sebuah baru yang cukup besar
Laki-laki berusia dua puluh sembilan tahun itu hanya bisa memejamkan matanya,
dengan sikap pasrah. Saat ini Kebo Koneng tampak telah melompat ke arahnya
sambil mengayunkan tangan.
Sebentar lagi kepala atau dada Kebo Koneng akan hancur berantakan dihantam
pukulan lawan yang tak mungkin lagi bisa dihindari
"Yeaaah...!"
Tanpa ada yang menyadari, tiba-tiba sebuah
bayangan biru berkelebat cepat ke arah Kebo Koneng. Lalu....
Plak! "Setaaan...!"
*** Kebo Koneng tersentak begitu di depannya tahu tahu telah berdiri seorang gadis
cantik berpakaian ketat berwarna biru. Sebuah kipas baja putih terselip di
pinggangnya. Sedangkan di balik punggungnya, menyembul sebuah gagang pedang
berbentuk kepala naga. Siapa lagi wanita itu kalau bukan Pandan Wangi"
"Siapa kau, Cah Ayu"! Dan, mengapa kau men-campuri urusan kami?" bentak Kebo
Koneng. "Aku Pandan Wangi. Dan orang-orang menjulukiku si Kipas Maut. Kudengar kau
bernama Kebo Koneng.
dan merupakan seorang buronan kerajaan. Hm....
Kalau memang demikian, menyerahlah sebelum kupaksa dengan kekerasan!" sahut
Pandan Wangi, lantang.
"Apa" Menyerah" Ha ha ha...!" Kebo Koneng terbahak bahak mendengar kata-kata
Pandan Wangi. "Kurang ajar! Kenapa kau tertawa"!"
"Aku menertawakanmu, yang sok menjadi
pahlawan kesiangan," ejek Kebo Koneng.
"Bedebah! Rupanya kau memang pantas meng-huni penjara kerajaan. Baik.
Rasakanlah!" dengus Pandan Wangi jengkel sambil mencabut kipas mautnya. Langsung
diserangnya Kebo Koneng.
Wut! Wut! "Uhhh...!"
"Nih! Makan ketawamu sepuas-puasnya?" bentak
Pandan Wangi sambil terus menyerang lawan dengan ganas.
Kebo Koneng tersentak kaget merasakan ke-ganasan sambaran kipas maut Pandan
Wangi. Kalau pada mulanya gadis itu dianggap enteng, maka saat ini Kebo Koneng
kalang-kabut sendiri jadinya. Dan Pandan Wangi tak sedikit pun memberi
kesempatan padanya.
"Hiaaat..!"
Pada suatu kesempatan Pandan Wangi menyabetkan kipasnya ke arah dada lawan.
Melihat serangan ini, Kebo Koneng cepat mengelak ke kiri, seraya mencoba
menangkis tangan lawan yang memegang kipas. Namun tanpa diduga sama sekali,
Pandan Wangi menarik pulang serangannya, dan langsung memutar ke arah perut.
Dengan gugup, Kebo Koneng mencoba mundur selangkah. Namun, terlambat.
Karena.... Cras! "Uhhh! "
Kebo Koneng mengeluh kesakitan ketika ujung kipas baja lawan sempat menggores
perutnya sedikit.
Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seketika laki-laki berkepala botak ini menggeram buas. Wajahnya seketika memerah
menahan amarah.
Bahkan sorot matanya tajam menusuk. Sambil meng-gertakkan rahang, mulutnya
berkomat-kamit seperti membaca mantera. Kemudian, terlihat kedua tangannya
bergerak-gerak seperti hendak melancarkan jurus mautnya.
"Heh" "
Pandan Wangi tersentak kaget ketika melihat kedua tangan lawan sebatas siku
tampak berubah berwarna keungu-unguan. Hawa racun berbau busuk mulai menyeruak
menyengat hidungnya. Maka
Pandan Wangi segera berhati-hati untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Yeaaah...!" Kebo Koneng berteriak serak seperti seekor gagak. Seketika, dia
langsung melompat menyerang lawan.
Wut! Dalam keadaan seperti itu, gerakan Kebo Koneng tampak semakin gesit. Bahkan
serangannya pun ganas bukan main. Sepertinya sama sekali tak ada rasa kegentaran
melihat kehebatan kipas yang diayunkan gade cantik itu. Dan kini, tiba-tiba Kebo
Koneng menyodok mengancam pertahanan lawan.
Berkali-kali Pandan Wangi dibuat tersentak. Buru-buru dia melompat menghindari
uap beracun yang ditimbulkan angin serangan dari kibasan kedua tangan lawan.
Sementara itu, Panglima Sura Darma begitu dirinya lepas dari maut menjadi
terkejut sesaat melihat penolongnya. Tapi kemudian, dia cepat bertindak membantu
sisa anak buahnya menyerang Supit Gadar, Namun meskipun begitu, beberapa kali
Panglima Sura Darma harus jungkir balik menyelamatkan selembar nyawanya dari
serangan lawan yang bertubi-tubi.
"Ha ha ha...! Hei, Sura Darma! Mana kehebatanmu"! Ayo! Tunjukkanlah padaku.
Bukankah kau ingin menangkapku" Ayo, tangkaplah kalau kau bisa!" ejek Supit
Gadar terkekeh.
"Kurang ajar!" Panglima Sura Darma hanya bisa memaki geram.
Panglima Kerajaan Pandarakan itu menyadari kalau anak buahnya yang tinggal
segelintir itu tak bisa diharapkan untuk berbuat banyak. Lagi pula, di pihaknya
telah banyak jatuh korban. Dan jika dia
memaksakan diri, bukan mustahil lawan yang tak kenal ampun itu akan
melenyapkannya Panglima Sura Darma yang masih menggenggam pedangnya erat-erat, memandang lawan
dengan sorot mata tajam.
"Supit Gadar, aku akan mengadu jiwa denganmu!"
"Ha ha ha.... Uts!"
Tawa Supit Gadar seketika terhenti ketika Panglima Sura Darma telah melompat
menyerang dengan jurus-jurus terhebat yang dimilikinya. Supit Gadar hanya
terkejut sejenak, namun kembali terkekeh sedah mempermainkan lawan.
"He he he...! Dengan ilmu pedang pasaran begini kau ingin menangkap kami" Phuih!
Kau harus berguru sepuluh tahun lagi, Sura Darma!"
"Huh!"
Panglima Sura Darma hanya mendengus geram mendengar ejekan lawannya itu. Tapi,
agaknya Supit Gadar bermaksud membuktikan ucapannya itu.
Tubuhnya berputar cepat ketika lawan menikamkan ujung bilah pedang ke arahnya.
Dan tiba-tiba....
Plak! "Aaa...!"
Panglima Sura Darma terpekik keras ketika pergelangan tangannya yang menggenggam
pedang tersampok. Bahkan pedangnya kini terlepas dari genggaman. Dan belum lagi
hilang rasa kagetnya, satu sodokan keras menghantam perut.
Duk! Kembali panglima itu memekik kesakitan dengan tubuh terjungkal keras.
Melihat lawan terjungkal. Supit Gadar cepat akan melanjutkan serangan untuk
menghabisi lawannya.
Namun.... "Suiiit..!"
Tiba-tiba terdengar siulan panjang melengking, membuat Supit Gadar seketika
menghentikan gerakannya.
"Heh"!"
Bukan hanya Supit Gadar yang terkejut. Kebo Koneng pun sampai tersentak pada
saat itu juga. Bahkan serangannya pada Pandan Wangi juga di hentikan.
*** 2 "Suara suitan itu kukenal betul!" seru Kebo Koneng sambil menoleh ke arah Supit
Gadar. "Celaka! itu suara Eyang Guru. Kita harus me-nemuinya segera!" sahut Supit
Gadar. "Astaga! Ayo, Supit Gadar! Mari cepat kita tinggalkan mereka!" timpal Kebo
Koneng. Laki-laki berkepala botak itu segera melesat meninggalkan Pandan Wangi
yang jadi bingung tak mengerti.
Sementara Supit Gadar langsung menyusul. Dan mereka kini bergerak cepat, lalu
menghilang di balik bukit kecil yang tak jauh dari situ.
Pandan Wangi dan Panglima Sura Darma hanya terpaku menatap kedua orang aneh itu
tanpa berkata apa-apa lagi. Pandan Wangi sendiri akhirnya dikejut-kan langkah
kaki Panglima Sura Darma yang men-datanginya sambil memberi hormat
"Nisanak, terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Namaku Sura Darma,
panglima dari Kerajaan Pandarakan."
"Hm.... Aku Pandan Wangi...."
"Apakah Nisanak yang berjuluk si Kipas Maut?"
"Begitulah orang-orang memanggilku..."
"Ah! Sungguh aku beruntung bisa berkenalan dengan seorang pendekar hebat seperti
Nisanak." Pandan Wangi hanya tersenyum kecil.
"Ah..., tak perlu membesar-besarkan. Aku ini hanya orang kebanyakan saja. Paman
Panglima, apa yang telah terjadi sehingga kau bentrok dengan kedua orang tadi?"
tanya Pandan Wangi. Sebenarnya,
Pandan Wangi sudah tahu kalau dua orang tadi adalah buronan. Namun, dia sengaja
bertanya begitu agar dikira baru saja datang.
"Mereka adalah buronan yang telah menjebol penjara...."
"Buronan" Hm, kulihat mereka memiliki kepandaian tinggi. Apakah Paman Panglima
tak meminta bantuan dari panglima lain?"
"Sudah. Namun para panglima lain sedang sibuk memadamkan pemberontakan.
Sedangkan sisanya ada yang memimpin perang melawan kerajaan dari timur. Dan
lagi, mereka tak punya tenaga yang cakap dan terampil untuk menangkap kedua
buronan itu...,"
sahut Panglima Sura Darma.
Apa yang dikatakan panglima itu sebenarnya sedikit banyak diketahui Pandan
Wangi. Tapi benarkah begitu sibuknya mereka, sehingga terpaksa mengirimkan
Panglima Sura Darma untuk menangkap kedua orang buronan itu"
Tentu saja hal itu menjadi ganjalan dalam benak Pandan Wangi. Dan si Kipas Maut
yang telah lama tinggal di Karang Setra, tentu sedikit banyak mengerti siasat
perang serta kepemerintahan. Menceritakan keadaan gawat dalam suatu kerajaan,
seperti yang diceritakan Panglima Sura Darma, sebenarnya amat tabu diutarakan
pada orang luar. Apalagi orang yang baru dikenal seperti diri Pandan Wangi. Lalu
kenapa Panglima Sura Darma berani memberikan alasan demikian padanya" Apakah
salah bicara dan sekadar ngawur! Ataukah, terlalu percaya pada Pandan Wangi
karena telah menolongnya barusan"
"Hm, begitu...," sahut Pandan Wangi.
"Nisanak, kami sangat mengagumi kepandaian serta sepak terjangmu selama ini.
Sebenarnya adalah
suatu hal yang tak pantas kalau kami meminta pertolongan kepadamu. Tapi, kedua
buronan itu adalah pengacau. Mereka sering mengganggu ketenteraman penduduk. Dan
sebagai seorang pendekar, sudikah kau menolong kami atas nama kebenaran dan
ketenteraman rakyat yang tak berdaya...?" pinta Panglima Sura Darma lirih.
Pandan Wangi tersenyum kecil sambil meng-alihkan pandangan.
"Aku tak berjanji. Masalahnya, aku sendiri ada sesuatu yang harus dikerjakan."
"Apakah itu, Nisanak" Mungkin kami bisa membantu."
"Tidak. Ini soal pribadi. Aku telah membuat per-janjian dengan seorang kawan
untuk bertemu di Desa Palung Rimbun dalam waktu dekat ini. Hm..., kalau aku
menyalahi janji yang kusetujui...." Pandan Wangi tak meneruskan kata-katanya.
Sebaliknya, matanya malah menatap ke arah Panglima Sura Darma.
"Ya, aku mengerti..," sahut Panglima Sura Darma pelan.
Keduanya terdiam untuk beberapa saat
"Mereka mendadak pergi karena sesuatu. Kira-kira tahukah Nisanak, apa yang
menyebabkan mereka meninggalkan kita...?" tanya Panglima Sura Darma, kembali
membuka pembicaraan.
"Entahlah. Ada suitan panjang yang menyebabkan mereka meninggalkan kita...."
"Aku pernah mendengar kalau kedua orang itu memiliki guru yang berkepandaian
tinggi. Bahkan kejahatannya melebihi mereka. Kalau tak salah, namanya Nini
Towok. Perempuan tua itu tak berperasaan dan kejam. Juga mempunyai kebiasaan
aneh, yaitu suka menculik pemuda tampan untuk
dijadikan pemuas nafsu iblisnya..."
"Hm, lalu?" Pandan Wangi sedikit tertarik mendengar penuturan Panglima Sura
Darma. "Kedua buronan itu kemungkinan besar bergabung dengan gurunya seperti dulu.
Mereka akan membuat keonaran. Dan... semua orang menjadi resah kini."
Pandan Wangi tergugah hatinya mendengar cerita itu. Apalagi ketika Panglima Sura
Darma kembali menambahkan sederetan cerita kekacauan sebelumnya, yang dilakukan
guru dan kedua muridnya. Kini hatinya mulai bimbang. Sebenarnya kalau mau jujur,
sejak tadi hati Pandan Wangi sudah tergerak dan berniat membantu mereka
menangkap kembali kedua buronan itu. Tapi bagaimana janjinya dengan Rangga"
Bagaimana kalau Pendekar Rajawali Sakti telah tiba di desa itu dan menunggunya.
Padahal, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menangkap kembali kedua
buronan itu. Rangga pasti kesal dan marah. Itu tak seberapa. Bagaimana kalau dia
kesal dan akhirnya pergi mengembara sendiri"
"Paman Panglima, bisakah kau menambah jumiah prajurit dalam penangkapan nanti
terhadap mereka?"
"Bisa! Oh! Apakah kau bersedia membantu kami?"
tanya Panglima Sura Darma.
Pandan Wangi mengangguk.
"Oh! Terima kasih atas kesediaanmu, Nisanak!"
"Sudahlah. Tapi, tolong perintahkan seorang prajuritmu untuk menunggu kedatangan
temanku di Desa Palung Rimbun."
"Tentu saja."
Setelah menceritakan ciri-ciri Rangga, mereka pun kembali bergerak. Seorang
prajurit menuju ke Desa Palung Rimbun, dan dua orang lagi ke istana untuk
meminta bantuan tenaga.
*** Seorang perempuan tua bertubuh kurus mengenakan selendang di pinggangnya. tampak
tengah berdiri di depan dua orang lelaki yang tengah duduk bersila.
Wajahnya tampak lonjong dengan sepasang kelopak mata cekung. Tulang pipinya
menonjol. Dan ketika bota matanya melotot seperti saat ini, terlihat amat
mengerikan. Daun telinganya digantungi anting-anting berbentuk gelang yang agak
besar. Melihat kulitnya yang banyak ditumbuhi keriput, paling tidak usianya
telah mencapai enam puluh tahun lebih. Dialah perempuan tua yang bernama Nini
Towok. "Hm, dasar bocah-bocah goblok! Kenapa kalian bisa tertangkap oleh kecoa-kecoa
busuk itu, heh"!"
Kedua laki-laki bertampang seram yang duduk bersila di depannya hanya
menundukkan kepala.
Sedikit pun mereka tak berani menengadahkan wajah.
"Ayo jawab. Tolol"!" maki Nini Towok.
"Eh! Ng... anu Eyang Guru. Me.... mereka terlalu tangguh dan berjumlah
banyak...," sahut laki-laki yang berambut tipis dengan nada takut. Dan dia
memang Supit Gadar. Sementara yang seorang lagi sudah pasti Kebo Koneng.
"Tangguh dan berjumlah banyak, heh..."!" perempuan tua itu seperti ingin
menegaskan pendengarannya
"Be..., betul, Eyang Guru. Tanya saja pada Kebo Koneng!"
"Betul begitu, Kebo"!"
"Be..., betul, Eyang..."
"Setan!"
Nini Towok mendengus, seraya mencelat sedikit.
Maka.... Duk! Begkh! "Aaakh...!"
Kedua orang itu kontan terjungkal. Karena tiba-tiba sekali perempuan tua itu
menendang mereka secara bersamaan dengan keras.
"Kemari kalian!"
"Ba..., baik, Eyang..!" sahut Kebo Koneng dan Supit Gadar berbarengan sambil
tertatih-tatih melangkah mendekati perempuan tua itu. Mereka kemudian kembali
duduk bersila dengan sikap hormat
"Ada yang berani menentang hukuman dariku tadi"!"
"Ti... tidak, Eyang...!"
"Hm..., bagus! Kalau tidak, hari ini juga kalian lebih baik mampus. Sebenarnya
hukuman itu terlalu ringan. Phuih! Kalian hanya membuat aku malu saja.
Apa kata orang nanti"! Kedua murid Nini Towok ditangkap dan dipenjarakan" Cuh!
Cuh!" perempuan tua itu meludah berkali-kali sambil berkacak pinggang.
"Ta..., tapi kami hanya sebentar, Eyang. Bukankah Eyang lihat, kini kami telah
kembali bebas?" tanya Supit Gadar membela diri.
"Hi hi hi...! Kau pintar bicara, Supit Gadar. Betul katamu. Kalian kini sudah
bebas. Kalau tidak, he...!
Aku akan menyatroni penjara kalian. Dan.... "
"Membebaskan kami, Eyang?" sahut Kebo
Koneng, mencoba sedikit tersenyum.
"Semprul! Aku akan mengamuk di sana dan
mencekik orang-orang yang telah memenjarakan kalian. Kemudian setelah kalian
kutemukan, maka akan kucekik sampai mampus!" dengus Nini Towok Mendengar
perkataan itu, nyali Supit Gadar dan
Kebo Koneng jadi mengkeret dan diam membisu.
Mereka tahu betul, kalau sang Guru suka angin-anginan, namun selalu membuktikan
ucapannya. Kalau dia mengatakan ingin mencekik, maka betul-betul dicekiknya orang yang
dimaksud! "He" Tadi kudengar ada suara pertarungan. Apa yang telah terjadi" Apakah para
prajurit istana mengejar kalian?"
"Betul, Eyang. Tapi kami berhasil membuat mereka ketakutan!" sahut Supit Gadar,
bernada cerah. Dugaan mereka hati sang Guru akan senang. Maka, pasti perempuan tua itu akan
memuji. Atau paling tidak, tak akan memaki-maki.
"Hi hi hi...! Mereka betul-betul takut pada kalian, heh"!"
"Betul, Eyang. Mereka tak kuampuni dan banyak yang telah mampus di tanganku!"
seru Supit Gadar.
"Semprul! Kalau begitu, kenapa mereka masih kulihat berkeliaran dan mencari-cari
kalian, heh"!"
Kebo Koneng dan Supit Gadar kembali menundukkan wajah dan diam seribu bahasa.
"Phuih! Mereka tidak takut pada kalian, bukan"!"
"Eh! Ka..., kalau tadi Eyang tak memanggil kami, tentu mereka telah mampus
tercincang...," sahut Supit Gadar.
"Hm.... Jadi, kalian bermaksud untuk menghajar mereka?"
"Tentu saja, Eyang!"
"Bagus! Nah, kerjakanlah sekarang!"
"Sekarang, Eyang?" tanya Supit Gadar tak percaya.
"Semprul! He! Apakah penjara itu membuat telinga kalian jadi tuli"!"
"Eh! Ti.., tidak, Eyang...!" sahut kedua murid itu serempak.
"Kalau begitu, lekas pergi!"
"Ba.... baik, Eyang!"
"Eit, tunggu dulu!" bentak Nini Towok ketika keduanya hendak berbalik.
"Ada apa, Eyang...?"
"Hm... Kalian harus membalas terhadap orang-orang yang telah menangkap kalian
itu. Semuanya!"
tandas Nini Towok.
"Pasti, Eyang!" sahut Kebo Koneng dan Supit Gadar cepat.
"Satu lagi!"
"Apa itu, Eyang?"
"Semprul! Apa kalian tak sabar dan ingin buru-buru pergi dari hadapanku. heh"!"
"Eh! Mana kami berani berniat begitu, Eyang...!"
sahut keduanya lirih.
Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik dan jangan sampai lupa!"
"Ba.... baik, Eyang!"
"Bawakan kebiasaanku...!"
"Pemuda gagah, Eyang?" tanya Supit Gadar seperti mengerti betul apa yang
dimaksud gurunya.
"Semprul! Apa lagi kalau bukan itu"!"
"Tentu, Eyang! Tentu!" sahut Supit Gadar.
"Nah! Kalau begitu, lekas pergi dari mukaku! Awas!
Jangan sampal tertangkap lagi. Kalau tertangkap, tak ada ampun lagi. Kalian akan
mampus di tanganku!
Ingat itu!"
"Kami ingat, Eyang...!" sahut keduanya cepat.
"Sudah! Sana pergi!"
Setelah menjura hormat, kedua laki-laki bertampang seram itu segera berlalu.
Mereka melewati jalan-jalan kecil yang berliku dan lembah-lembah kecil serta
pohon-pohon yang lebat. Tempat itu adalah
sebuah hutan yang cukup luas dan terkenal angker.
Dan orang-orang biasa menyebutnya sebagai Hutan Dandaka!
*** Sepasang anak muda tampak tengah berjalan pelan-pelan, seperti tak hendak
terburu-buru. Yang pemuda mengenakan baju hijau dan berikat kepala merah.
Sedangkan yang wanita mengenakan baju kuning muda dengan rambut dikuncir.
Menilik dari gerak-gerik dan wajah, usia mereka paling tidak sekitar dua puluh
dan delapan belas tahun. Wajah pemuda bertubuh tegap itu cukup tampan, dengan
rambut sebahu. Sedangkan yang wanita berkulit coklat muda dan berwajah manis
Melihat dari cara berpakaian, jelas kalau mereka bukanlah orang kebanyakan.
Paling tidak, mereka berasal dari kalangan persilatan. Apalagi, di pinggang
pemuda itu terselip sebuah kapak bermata dua.
Sedang di pinggang wanita itu juga terselip sebuah pedang pendek.
Sambil berjalan, pemuda itu sesekali mencuri pandang ke arah gadis di
sebelahnya. Demikian pula sebaliknya. Dan mereka sama-sama memalingkan wajah
dengan perasaan malu, ketika pandangan mereka bertemu.
"Ratih...!" akhirnya si pemuda memberanikan membuka suara, menyebut nama gadis
itu. "Hm..."
"Kau betul tidak menyesal kalau kelak kita sudah menikah...?"
"Kenapa mesti menyesal, Kakang Yudha?" gadis bernama Ratih itu malah balik
bertanya. "Aku orang tak berada. Sedangkan kau... ah! Orang tuamu adalah seorang saudagar
terpandang di kotaraja. Apakah mereka tak malu mempunyai seorang menantu
sepertiku?" kata pemuda yang ternyata bernama Yudha.
"Kakang. kenapa hal itu dipersoalkan lagi" Bukankah Kakang telah mengetahui
jawabanku" Atau, mestikah aku mengulanginya sampai seribu kali?"
sahut Ratih sambil tersenyum manis.
Dan Yudha pun ikut tersenyum.
"Aku hanya merasa malu. "
"Kau malu karena aku kekasihmu, Kakang?"
"Oh, tidak! Bukan itu maksudku."
"Lalu apa?" Ratih pasang wajah cemberut
"Karena kau seorang gadis cantik, terpandang, dan anak keluarga kaya..."
"Kakang, apakah kau tak yakin akan cintaku?"
"Kenapa kau berkata demikian?"
"Bicaramu sepertinya mengatakan demikian!"
Yudha tersenyum manis sambil memandang wajah Ratih lekat-lekat.
"Jangan bicara seperti itu, Ratih. Seperti aku men-cintaimu, maka begitulah
keyakinanku akan cintamu kepadaku...."
"Betul?"
Yudha mengangguk.
"Kalau begitu, jangan lagi bicara tentang per-bedaan yang ada di antara kita!
Mau kan?" "Hm.... Kalau kau menginginkan sesuatu, bagaimana mungkin aku tak
mengabulkannya?"
"Aku tak mau kalau Kakang melakukannya karena terpaksa!" sahut Ratih bernada
kesal. "Baiklah. Aku akan mencoba menutup mata terhadap soal itu."
"Jangan mencoba, tapi harus!"
"Baik. Harus!"
"Nah, begitu lebih baik...," sahut Ratih sambil tersenyum lebar.
Yudha tersenyum. Sengatan matahari di siang yang terik ini, seperti tak
dirasakan dua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Langkah kaki mereka terasa
ringan, sambil tertawa-tawa kecil.
"Kau tak letih?" tanya Yudha, ketika peluh di wajah Ratih terlihat mulai
bercucuran. "Tidak, Apakah Kakang sudah merasa lelah?"
"Hm... Kalau saja kau bersedia dijemput orangtuamu dengan mengendarai kereta
kuda, tentu tak akan merasa tersiksa begini berjalan kaki."
"Kakang! Aku lebih suka berjalan kaki, asalkan bersamamu."
"Tapi bukankah orangtuamu juga mengajakku kalau kau dijemput?"
"Tapi tak seindah kalau kita melakukan perjalanan berdua."
"Hei"! Diam-diam ternyata kau pintar juga, ya?"
sahut Yudha sambil tersenyum kecil.
Ratih tampak tersipu-sipu. Namun tiba-tiba....
"Ha ha ha...! Sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, rasanya dunia ini
hanya milik mereka berdua. Tapi siapa yang mengatakan begitu, sementara yang
lain pun ingin mencicipinya!"
"Heh"!" kedua anak muda itu tersentak ketika terdengar seseorang berkata dengan
suara lantang. Mendadak saja, berkelebat dua sosok bayangan ke arah mereka. Dan kini di depan
mereka telah berdiri dua orang berwajah seram dan bertelanjang dada.
"Siapa kalian"!" tanya Yudha datar dengan
tatapan curiga.
"Ha ha ha...! Dua bocah yang manis-manis ini sangat menggugah seleraku, Kebo
Koneng!" "Betul, Supit Gadar! Terlebih lagi, gadis itu. Hm, aku sangat menginginkannya.
Biarlah kau tangkap pemuda itu untuk Eyang Guru. Sedangkan gadis cantik ini,
bagianku!"
"Kukira selama ini kau buta, Kebo. Tapi matamu liar juga kalau melihat gadis
cantik! Ha ha ha...!
Jangan mau enaknya saja kau!" sergah Supit Gadar sambil terkekeh.
Kedua orang itu terkekeh-kekeh seperti tak mempedulikan sepasang remaja ini
untuk sementara waktu. Tentu saja hal itu membuat Yudha dan Ratih menjadi
semakin curiga dan tak senang.
"Kisanak! Kalau kalian memang tak ada
keperluan, kami hendak melanjutkan perjalanan kami. Silakan tertawa sepuas
hati!" sentak Yudha.
Setelah berkata demikian. Yudha menggandeng lengan Ratih dan bermaksud melangkah
menghindari mereka. Namun dengan serta merta, kedua orang itu melompat
menghalangi. "Phuihhh! Kau pikir bisa mengoceh seenak perut saja terhadap kami"!"
Langkah Yudha dan Ratih terpaksa kembali berhenti, dan mereka langsung memandang
satu persatu dua laki-laki berwajah seram itu secara bergantian dengan sorot
mata menunjukkan ketidak-senangan. Yang membentak tadi memang Supit Gadar. Kini
matanya tampak melotot garang dengan mulut menyeringai lebar seperti hendak
menelan bulat-bulat kedua pasang remaja itu.
"Kisanak! Aku tak mengerti, apa yang kalian inginkan. Kalau kalian hendak
merampok, kami tak
punya barang-barang yang berharga. Kalaupun ada urusan, kita pun belum pernah
bertemu sebelumnya.
Jadi, mana mungkin kami punya urusan dengan kalian!" sahut Yudha semakin tegas.
"Kalian harus ikut kami! Ayo cepat!" bentak Supit Gadar.
Sementara, Kebo Koneng malah maju mendekati gadis di hadapannya dan bermaksud
memeluknya. "Kurang ajar!"
"Uts! Galak juga rupanya kau. Cah Ayu" Tapi, sabarlah. Sesaat lagi kau akan
terlena dalam pelukanku!" sahut Kebo Koneng sambil terkekeh-kekeh ketika gadis
itu menghindar dengan sengit.
Tapi Kebo Koneng tak berhenti sampai di situ.
Dengan gerakan gesit, kembali dia melompat sambil menyerang secepat kilat.
Melihat kekasihnya dalam bahaya, tentu saja Yudha tak mau tinggal diam. Segera
dia melompat untuk melindungi gadisnya.
"Eit! Biarkan mereka bermain-main sejenak. Kau bagianku!" sergah Supit Gadar
sambil menyerang pemuda itu
Yudha tersentak kaget dan buru-buru menghindari serangan lawan. Tapi, Supit
Gadar tak mau memberi hati. Bahkan merangsek habis-habisan
"Hiyaaat...!"
Tubuh Yudha Jungkir balik menghindari serangan lawan. Maka dengan geram segera
dicabutnya kapak, dan bermaksud balas menyerang lawan. Namun melihat hal itu.
Supit Gadar malah melecehkannya.
"Ha ha ha...! Bocah bau kencur! Ilmu silatmu memang cukup lumayan. Tapi sayang.
Kau masih mentah. Lihat serangan!"
Kata-kata yang dikeluarkan Supit Gadar bukanlah
omong kosong belaka. Dengan gerakan lincah, dengan mudah serangan lawan bisa
dihindari. Kemudian tiba-tiba tubuhnya menyusup lewat celah yang tak disangka-sangka.
Akibatnya, Yudha gelagapan untuk menghindari serangan balik lawan.
Dan ketika terdengar teriakan kecil Ratih, perhatian Yudha seketika terganggu.
Maka tentunya itu berakibat buruk baginya. Karena tiba-tiba Supit Gadar mencelat
ke arahnya. melepaskan serangan.
Tuk! "Aaah...!" Yudha mengeluh kecil dengan tubuh terkulai lemas, ketika totokan
lawan mendarat di bahunya.
Supit Gadar sendiri cepat menyambar dan
memanggul Yudha ke atas pundak, kemudian memandang ke arah Kebo Koneng yang
telah lebih dulu melumpuhkan Ratih.
"Brengsek kau, Kebo! Ternyata kau memang rakus sekali. Mari kita bawa bocah ini
untuk Eyang Guru.
Dan setelah itu, aku akan bersabar menunggu giliranku untuk mendekap kelinci
cantik itu!"
"Ha ha ha...! Mari kita berangkat! "
*** 3 Seorang penunggang kuda hitam melambatkan lari kudanya ketika telah memasuki
mulut Desa Palung Rimbun. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju
rompi putih. Di balik punggungnya tampak menyembul sebuah gagang pedang
berbentuk kepala burung. Pemuda itu terus menjalankan lambat-lambat kudanya,
setelah memasuki desa ini.
Suasana Desa Palung Rimbun tampak sepi.
Padahal, hari telah siang. Bisa jadi karena di tempat itu segala macam kegiatan
perdagangan tak begitu ramai. Itu juga disebabkan jarak antara satu rumah dengan
rumah lain agak berjauhan. Dari sini bisa tercermin kalau penduduk desa itu
masih tergolong sedikit. Dan melihat banyaknya sawah di desa itu, bisa diduga
kalau mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Dan siang terik begini, bisa
jadi mereka masih berkutat dengan lumpur. Atau sedang beristirahat di dangau-
dangau sambil menikmati santap siang. Tapi ternyata di depan sana ada juga
seseorang yang tengah mengerjakan sawahnya. Dan kebetulan pemuda itu akan
melintasinya. Pemuda itu terus menjalankan kudanya, hampir melintasi petani di
depannya. Begitu dekat, kepalanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Petani itu
juga mengangguk, seraya membuka tudung kepalanya. Langsung dia memberi hormat
pada pemuda itu.
"Kisanakkah yang bernama Rangga...?" tanya petani itu setelah memberi hormat
"Hei" Dari mana kau tahu namaku?" tanya
pemuda tampan itu yang tak lain Rangga, agak heran.
"Aku sebenarnya salah seorang prajurit di negeri ini. Dan aku mendapat pesan
dari seseorang untuk menunggu Kisanak di sini "
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Panglima Sura Darma. Dan itu atas keinginan kawan Kisanak yang bernama Pandan
Wangi... "
"Heh"! Pandan Wangi" Di mana dia sekarang?"
Utusan itu kemudian menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Rangga. Dan
pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu mengangguk-angguk tanda
mengerti "Lalu, kenapa kau berpakaian seperti petani?"
"Hanya menjaga agar tak terlalu menyolok di mata penduduk. Lagi pula dengan
berpakaian seperti ini, aku bebas bergerak..."
Rangga kembali mengangguk. Tapi pikirannya tak bergeming dari persoalan Pandan
Wangi. Gadis itu terlalu ceroboh bertindak! Atau, barangkali benar seperti apa
yang dikatakan prajurit ini, bahwa semua itu tak lepas dari permintaan Panglima
Sura Darma agar Pandan Wangi mau membantunya"
"Apakah Kisanak bermaksud menyusulnya ke sana?" tanya prajurit itu
"Tentu saja. Kau tahu tempat mereka, bukan?"
Prajurit itu mengangguk cepat.
"Hm.... Kalau begitu, kita jangan membuang waktu lagi. Naiklah di belakangku,
dan tunjukkan padaku di mana mereka berada."
"Baiklah...!" sahut prajurit itu. Prajurit itu lalu melompat ke belakang Rangga
yang berada di alas kuda bernama Dewa Bayu. Dan mereka langsung melaju cepat
Rangga memang mengkhawatirkan
keselamatan kekasihnya. Sebab menurut apa yang diceritakan prajurit ini, kedua
tokoh yang dikejar itu memiliki kepandaian tinggi. Meskipun mendapatkan tambahan
pasukan dari kerajaan, rasanya Pendekar Rajawali Sakti tetap tak yakin kalau
mereka bisa mengatasi kedua buronan itu. Tak heran bila Dewa Bayu dipacu kuat-
kuat sehingga melesat kencang bagai dikejar setan.
Namun belum lama Rangga menggebah kudanya.
Tiba tiba,... "Hiyaaat...!"
Plarrr! "Yeaaah...!"
Dua bayangan mendadak melesat menyerang, setelah melepaskan pukulan jarak jauh
yang menimbulkan gemuruh kecil serta desir angin kencang. Melihat hal ini,
Rangga cepat melompat dari punggung kudanya, lalu mendarat manis di tanah.
"Kisanak! Kau pegang tali kendali ini kuat-kuat!
Kudaku akan menurut padamu!" teriak Rangga
"Kisanak! Kau mau ke mana...?"
Pertanyaan prajurit itu tak sempat terjawab, karena Rangga telah melesat cepat
menghadang lawan-lawannya yang terus melesat ke arahnya.
Sementara, prajurit itu terus mengendalikan Dewa Bayu, berhenti pada jarak
sekitar lima tombak dari tempat Rangga yang kini sudah bertarung.
Pendekar Rajawali Sakti tampak tengah sibuk mempertahankan diri dari serangan-
serangan gencar yang dilakukan kedua penghadangnya. Namun sedikit pun tak
terlihat kalau Rangga kewalahan. Tubuhnya begitu lincah, bergerak ke sana kemari
menghindari serangan-serangan. Dan tiba-tiba, tubuh Rangga melompat ke atas dan
berputar beberapa kali
menjauhi lawan-lawannya. Kemudian tubuhnya meluncur turun dan mendarat mantap
sekali di tanah.
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tak terdengar suara saat
kakinya mendarat. Langsung ditatapnya tajam-tajam dua orang penghadangnya dalam
jarak tiga tombak lebih di depannya.
"Siapa kalian"! Dan, apa maksud kalian
menyerang kami dengan tiba-tiba"!" tanya Rangga dengan nada tak senang.
Di depan Pendekar Rajawali Sakti kini berdiri tegak dua orang laki-laki yang
berbeda usia. Yang seorang berusia sekitar lima puruh lahun lebih. Wajahnya
berjenggot panjang. Tubuhnya agak sedikit gemuk dan di tangannya menggenggam
senjata arit. Sedangkan yang berusia lebih muda, sekitar tiga puluh tahun.
Tubuhnya tinggi, namun berukuran sedang. Di tangannya tergenggam sebatang
tongkat pendek. Kini keduanya juga menatap tajam ke arah Rangga dengan wajah
sinis. "Phuih! Antek-antek kerajaan! Kalian harus mampus di tangan kami!" dengus laki-
laki yang lebih tua sengit.
"Hm.... Apa maksudmu dengan antek-antek
kerajaan?" tanya Rangga bingung,
Kedua orang itu kemudian memandang ke arah prajurit yang masih berada di atas
Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda. Memperhatikan mereka sejak tadi.
"Meski dia berpakaian lusuh begitu, jangan harap bisa mengelabui kami!" desis
orang tua itu geram, sambil menunjuk si prajurit
"Kisanak! Kami sedang terburu-buru. Dan aku sama sekali tidak tahu, apa yang
kalian inginkan.
Kalau memang tak ada urusan yang lebih penting, harap kalian sudi memberi
jalan," sahut Rangga
masih bernada sopan dan tak bermaksud meladeni keinginan mereka.
"Hm. Kalian telah berada di sini, dan jangan harap bisa pergi begitu saja!"
sahut orang yang lebih muda.
"Apa maksudmu...?"
"Kalian harus mampus!"
Rangga berusaha menahan sabar mendengar
kata-kata yang diucapkan kedua penghadangnya.
Namun kedua orang itu agaknya tak mau mendengar penjelasannya. Bahkan sama
sekali tak peduli dengan niat baiknya untuk menyelesaikan persoalan secara
damai. Melihat keadaan itu, Rangga tersenyum sambil memandang ke arah si
prajurit. Lalu, Rangga segera bersuit nyaring. Maka, Dewa Bayu yang seperti
mengerti arti siulan itu langsung meringkik dan melesat cepat sehingga nyaris
melemparkan prajurit yang masih di atas punggungnya. Untung saja dia sempat
berpegangan kuat-kuat
"Huh! Jangan dikira dia bisa kabur begitu saja!"
desis orang tua itu. Langsung dia melompat hendak mencegah lari Dewa Bayu. Namun
sigap sekali Rangga menghalangi dengan gerakan tak kalah cepat
"Orang tua! Bukankah kau ingin berurusan denganku" Nah, biarkan dia pergi!"
"Kurang ajar! Hih...!"
Orang tua itu langsung menyerang Rangga dengan sebuah pukulan pendek. Untung
saja Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak menghindar ke kiri.
Namun, orang tua itu seperti tidak memberi kesempatan. Dia terus merangsek
Pendekar Rajawali Sakti dengan serangan-serangan dahsyat dan me-matikan.
Tapi seperti biasanya, Rangga langsung bisa menghindari dengan pengerahan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Akibatnya, orang tua itu semakin geram, karena tak ada satu pun
serangannya yang mendarat di tubuh lawan. Sungguh tidak disangka kalau lawan
mampu bergerak secepat itu. Meskipun senjata aritnya berkelebat cepat dan
bermaksud melukai lawan, tapi hal itu hanya sia-sia belaka Bahkan pada satu
kesempatan, Rangga melepaskan serangan balik begitu orang tua itu baru saja
mengkelebatkan aritnya. Begitu tiba-tiba datangnya, sehingga orang tua itu tak
bisa menghindari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang demikian cepat.
Maka.... Bugkh! "Hugkh...!"
Orang tua itu kontan terjajar beberapa langkah ke belakang sambil mengeluh
pendek. Padahal, kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti tidak disertai
pengerahan tenaga dalam. Hanya saja, memang cukup keras.
Tentu saja hal itu tak bisa didiamkan kawannya.
Dia segera bertindak membantu. Namun sebelum terjadi, Rangga telah melesat cepat
meninggalkan mereka dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang telah
mencapai kesempurnaan. Dan kedua orang itu hanya bisa saling berpandangan dengan
wajah kesal. *** Pasukan yang dipimpin Panglima Sura Darma telah memasuki suatu wilayah yang
diperkirakan sebagai sarang kedua buronan yang bernama Supit Gadar dan Kebo
Koneng. Mereka kini memang berada di pinggir hutan yang lebat dan jarang
didatangi manusia. Konon, tempat itu dipercaya sebagai sarang makhluk halus yang sering
mengganggu manusia.
Bahkan bukan hanya itu. Setiap orang yang lewat, jarang ada yang bisa kembali.
Namun, Panglima Sura Darma mana bisa mem-percayai kabar kosong itu begitu saja.
Sebagai seorang prajurit sejati, tugasnya harus dijalankan dengan baik dan
tuntas. Dan dari apa yang pernah diketahuinya. di dalam hutan inilah kedua orang
buronan itu diperkirakan berada. Sebab, guru mereka yang bernama Nini Towok
memang tinggal di situ.
Dan Panglima Sura Darma memang telah me-
nambah kekuatan pasukannya. Makanya, dia ber-tekad untuk meringkus dua buronan
kerajaan itu. Prajurit yang diperintah untuk memanggil pasukan kerajaan memang telah kembali
bersama sekitar tiga puluh orang. Dan mereka langsung bergabung dengan Panglima
Sura Darma. "Semua siap! Kita telah memasuki kawasan Hutan Dandaka!" teriak Panglima Sura
Darma memperingat-kan anak buahnya.
Mereka segera menggenggam erat senjatanya masing-masing sambil menajamkan
penglihatan dan pendengaran. Suasana seketika menjadi sepi. Hanya derap langkah
kaki kuda saja yang menyapu padang rumput di bawahnya.
"Apakah Paman Panglima yakin kalau mereka ber-sembunyi di tempat ini?" tanya
Pandan Wangi halus.
"Mereka tak akan pergi jauh dari sisi gurunya,"
sahut Panglima Sura Darma setengah ragu.
"Dua orang murid yang setia tentunya..." Panglima Sura Darma hanya tersenyum
pahit "Sebaiknya.
pasukan dibagi dua, Paman. Kalau boleh biar kupimpin sebagian ..." lanjut Pandan
Wangi menawar- kan diri. Panglima Sura Darma memandangnya heran. Tapi, Pandan Wangi tetap berusaha
meyakinkan. "Percayalah, aku pernah melakukan hal ini sebelumnya. Tapi kalau memang Paman
tak percaya, tak apa..."
"Bukan begitu. Tapi, bukankah kalau membagi dua pasukan berarti akan mengurangi
kekuatan kita?"
"Bukankah mereka hanya berdua" Dan mungkin bertiga, bila guru mereka muncul.
Mereka bukan pasukan besar. Jadi, kusarankan agar para prajuritmu tak kacau-
balau nantinya."
Panglima Sura Darma berpikir sesaat, sebelum menyetujui usul Pandan Wangi. Namun
baru saja mereka membagi dua kelompok pasukan, tiba-tiba terdengar suara tawa
nyaring yang menyelimuti sekitar tempat itu.
"Hi hi hi..! Sungguh tak disangka, anjing berani mendatangi penggebuk!"
"Ha ha ha..! Hei, Sura Darma! berani mati kau datang ke Hutan Dandaka ini, he"!"
Bersamaan dengan suara itu, melesat dua sosok tubuh. Dan tahu-tahu di hadapan
mereka telah berdiri dua laki-laki bertampang seram. Seketika semua pasukan
segera bersiaga dan menghentikan langkah.
Panglima Sura Darma dan Pandan Wangi hanya memandang tajam kepada dua sosok
tubuh yang telah mereka kenal itu.
"Kebo Koneng dan Supit Gadar! Menyerahlah secara baik-baik. Dan jangan paksa
kami untuk bertindak keras untuk menangkap kalian!" bentak Panglima Sura Darma.
"Apa" Menyerah"! Ha ha ha....! Kau ini tolol sekali, Sura Darma. Tidakkah kau
tahu, sedang berada di
mana saat ini" Hei! Seharusnya kaulah yang menyerah, dan gorok lehermu sendiri!"
sahut Supit Gadar sambil tertawa mengejek.
"Sura Darma! Tahu dirilah sedikit! Kalau kemarin, kami masih memberi kesempatan
padamu untuk tidak mengganggu kami lagi. Tapi, kau memang keras kepala. Dan hari
ini, jangan harap kami akan mengampuni lagi. Kau dan anak buahmu akan mampus!"
timpal Kebo Koneng geram.
"Kisanak berdua! Kalian adalah buronan kerajaan.
Menyerahlah secara baik-baik, atau aku akan meringkus kalian saat ini juga!"
gertak Pandan Wangi dengan suara nyaring
"Ha ha ha! Bocah ayu, kau membuatku gemas saja. Bicaramu lancang sekali. Kalau
tadi aku berniat memenggal kepalamu, maka biarlah kutunda barang sesaat, agar
kita bisa bermain sejenak berdua saja.
Wajahmu yang cantik itu, sayang sekali bila harus dilukai tanganku!" sahut Supit
Gadar menganggap remeh.
"Kurang ajar! Huh! Kau pikir dirimu sudah hebat karena telah membunuh banyak
prajurit kerajaan"!
Terimalah bagianmu hari ini!" bentak Pandan Wangi.
seraya memberi perintah pada para prajurit untuk menyerang Supit Gadar.
"Yeaaah...!"
"Ringkus orang itu hidup atau mati!" teriak Panglima Sura Darma memberi perintah
pada prajuritnya untuk meringkus Kebo Koneng.
Panglima Sura Darma dan Pandan Wangi tahu kalau lawan-lawannya memiliki
kemampuan tinggi dan sulit ditaklukkan. Tapi mereka telah menemukan akal untuk
mengatasi. Pada saat prajurit-prajurit kerajaan mengeroyok mereka, maka di saat
itulah masing-masing mendesak Supit Gadar dan Kebo Koneng dengan serangan serangan
hebat. Supit Gadar dan Kebo Koneng memang memiliki kepandaian tinggi. Namun menghadapi
tekanan sedemikian rupa. agaknya mereka kewalahan juga.
Ruang gerak mereka terbatas, dan tak sedikit pun kesempatan untuk balas
menyerang. Mereka terpaksa jungkir balik untuk menyelamatkan selembar nyawa.
"Bangsat! Huh! Kalian akan menerima balasan nya!"
"Jangan banyak bicara kau! Yeaaah...!" bentak Pandan Wangi sambil mengayunkan
kipasnya ke arah leher Supit Gadar.
"Uts! Yeaaah...!"
*** 4 Mendadak Supit Gadar berteriak nyaring sambil mengayunkan tangan kanannya.
Seketika melesat secercah sinar kuning ke arah Pandan Wangi.
Seketika Pandan Wangi tersentak kaget melihat kelebatan sinar kuning kemerahan
yang mengancam pertahanannya. Buru-buru gadis itu melompat ke samping.
Menghindarinya. Namun...
"Aaakh...!"
Salah seorang prajurit yang kebetulan di belakang ternyata menjadi sasaran
begitu Pandan Wangi menghindar. Orang itu kontan memekik kesakitan.
Bahkan sekujur tubuhnya langsung menghitam seperti luka bakar. Tubuhnya lalu
ambruk ke tanah dan bergulingan ke sana kemari sambil melolong kesakitan. Tidak
berapa lama kemudian, dia diam tak berkutik lagi.
"Ha ha ha..! Kenapa " Kau mulai takut heh..."!"
ejek Supit Gadar ketika melihat Pandan Wangi ter-longong bengong. Bahkan semua
prajurit juga menghentikan serangan dengan wajah bingung
Belum lagi habis rasa keterkejutan mereka, mendadak kembali terdengar pekikan
dari arah lain.
Tampak dua orang prajurit kerajaan yang tergabung dalam kelompok Panglima Sura
Darma terhuyung-huyung. Begitu mengerikan nasib yang menimpa mereka. Kulit
keduanya tampak melepuh dan lumer.
Bahkan tulang-tulangnya mulai terlihat, perlahan-lahan tubuh mereka hancur
menjadi potongan-potongan berbagai ukuran. Seketika hal itu membuat
nyali para prajurit jadi ciut. Dan mereka jadi terpaku beberapa saat.
"Ayo! Bukankah kalian ingin menangkap kami"
Kenapa sekarang ragu-ragu..." Ke sini cepat..!"
bentak Kebo Koneng dengan sikap jumawa
"Keparat! Kau pikir aku takut dengan gertakanmu"! Huh! Kau rasakan balasanku!"
bentak Pandan Wangi sengit
Tubuh si Kipas Maut segera melesat cepat sambil menyabetkan ujung kipas mautnya
ke leher. Namun Supit Gadar cepat menghindarinya dengan mudah sambil terkekeh
pelan. Tidak seperti tadi, kali ini Pandan Wangi mengerahkan segala kemampuan
yang dimiliki untuk menjatuhkan lawan secepatnya.
Sehingga meskipun sesekali Supit Gadar mengumbar pukulan maut namun hingga saat
ini belum berhasil melukainya.
"Kenapa diam"! Ayo, serang dia lagi...!" teriak salah seorang prajurit.
Serentak para prajurit lain seperti disentak dan langsung menyerang kedua
buronan Itu Demikian pula halnya Panglima Sura Darma dan para prajuritnya. Dengan semangat
masih menyala-nyata, mereka kembali menyerang lawan.
"Yeaaah...!"
"Hm... Kecoa-kecoa busuk tidak berguna! Kalian kira bisa menangkap kami" Phuih!
Kalian hanya bermimpi!" desis Kebo Koneng geram.
Laki-laki berkepala botak itu segera mengumbar pukulan-pukulan mautnya beberapa
kali. Akibatnya prajurit yang berada paling dekat dan tak mampu menghindari
menjadi sasaran. Mereka langsung berjatuhan, dan tak mampu bangkit kembali.
"Hi hi hi..! Dasar murid-murid gobiok! Menghadapi
cacrng-cacing tidak berguna saja, begitu lama! Coba lihat ini...!"
Mendadak terdengar suara nyaring melengking Lalu...
Wusss...! Tiba-tiba bertiup angin berhawa panas menyengat yang menyambar pasukan yang
dipimpin Panglima Sura Darma.
"Aaa...!"
Bersamaan dengan itu, terlihat beberapa orang prajurit melayang bagai sehelai
daun kering tertiup angin disertai jeritan kesakitan.
Pada saat yang sama, Kebo Koneng mengambil kesempatan baik, saat semangat
Panglima Sura Darma mulai bergetar, dan perhatiannya terganggu oleh kejadian
itu. "Yeaaah...!"
Sambil mem bentak nyaring, laki-laki berkepala botak itu menghantamkan pukulan
mautnya. Panglima Sura Darma jadi tersentak kaget dan berusaha menghindar sambil
mengayunkan sebelah tangannya. Tapi...
Plak! "Aaa...!"
Panglima Sura Darma kontan memekik kesakitan dengan tubuh terjajar beberapa
langkah ke belakang.
Tangannya seperti tersundut besi panas. Belum lagi habis rasa terkejutnya, tiba-
tiba satu serangan lawan mengancam batok kepalanya.
Prak! Panglima Kerajaan Pandarakan itu hanya sempat mengeluh pendek begitu kepalan
tangan Kebo Koneng mendarat telak di kepalanya. Tubuhnya langsung ambruk, dan
kulitnya meleleh bagai
terbakar. Demikian pula tulang-tulangnya yang jadi hancur seperti dihantam
godam. Sementara itu, ketika serangkum angin panas tadi menerpa prajurit-prajurit yang
dipimpin Pandan Wangi, banyak prajurit yang terlempar sambil menjerit kesakitan.
Sedangkan gadis itu jadi terkejut dan berusaha mempertahankan diri. Namun, Supit
Gadar tampaknya tak ingin memberi kesempatan lagi. Dan dia sudah terus
menghujani serangan bertubi-tubi ke arah gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu.
"Yeaaah...!"
Dan ketika baru saja Pandan Wangi menghindari sebuah serangan, sudah menyusul
lagi serangan berikut. Jari-jari tangan Supit Gadar yang membentuk kepala ular,
melepaskan sebuah patukan ke punggung Pandan Wangi. Maka cepat-cepat gadis itu
merunduk sambil memapak.
Plak! Melihat dari serangannya, rupanya Supit Gadar memang tidak berniat membunuhnya.
Buktinya ketika memapak tadi, tenaga dalam yang dikeluarkan laki-laki itu tidak
begitu tinggi. Namun rupanya serangan itu hanya sebuah tipuan belaka. Begitu serangannya luput.
Supit Gadar tiba-tiba mencelat ke atas dengan kecepatan mengagumkan. Dan ketika
berada di udara, tangan kanannya yang membentuk paruh ular menotok cepat dan....
Tuk! "Ohhh...!" Pandan Wangi langsung jatuh lunglai di tanah, begitu punggungnya
tertotok "Ha ha ha...! Kini kau bisa berbuat apa padaku.
Cah Ayu?" ejek Supit Gadar terbahak bahak
"Keparat licik! Lepaskan totokan ini, atau kuhajar kau!" maki Pandan Wangi
sambil melotot lebar.
Namun, tubuhnya tak mampu digerakkan lagi.
"Ha ha ha...! Gertakanmu boleh juga, Cah Ayu. Tapi apakah kau tidak menyadari,
kalau kini sudah tidak berdaya lagi" Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka.
Coba lihat. Sebentar lagi, kecoa-kecoa itu akan rata dengan tanah," sahut Supit
Gadar sambil tertawa penuh kemenangan. Lalu, dia melangkah mendekati Pandan
Wangi. Kembali gadis itu ditotok hingga pingsan.
Apa yang dikatakan Supit Gadar memang tidak salah. Tampak Kebo Koneng mengamuk
dahsyat menghabisi sisa-sisa prajurit yang sudah kehilangan pemimpinnya.
Beberapa orang berusaha menyelamatkan diri, namun tidak diberi kesempatan
sedikit pun juga. Akibatnya seluruh prajurit yang berjumlah sekitar tiga puluh
Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang itu tewas tidak tersisa dalam keadaan mengerikan, terkena pukulan maut
yang diepaskan Kebo Koneng.
"Hm, habis sudah riwayat kalian!" dengus Kebo Koneng sambil berkacak pinggang
dan wajah tak berperasaan.
"Huh! Tidak pantas kau berbangga begitu. Goblok!"
"Eh, ng,.. Eyang Guru..."
Kebo Koneng dan Supit Gadar baru tersadar kalau guru mereka telah berada di
tempat itu sambil mencibir. Serentak mereka menghampiri dan berlutut sambil
menjura memberi hormat.
*** "He! Semprul! Kenapa kau bunuh Cah bagus tadi?"
bentak wanita yang tak lain Nini Towok, sambil melotot garang kepada Kebo
Koneng. "Bocah yang mana, Eyang?" Kebo Koneng takut-
takut "Matamu! Ya, bocah cakep yang kau remukkan kepalanya itu!"
"Oh! Itu Sura Darma. Eyang,"
"Huh! Siapa yang peduli namanya.." Kenapa kau bunuh dia, heh"! Padahal, dia
gagah dan cocok untukku!"
"Eh, ng.... Dia.... dia amat berbahaya kalau dibiar-kan hidup. Eyang, sebab itu
lebih baik dibunuh saja."
"Semprul! Siapa yang mengatakan itu padamu, hah"! Tidak ada seorang pun di jagat
ini yang berbahaya di depanku! "
"Maafkan aku. Eyang."
"Maaf. maaf...! Heh! Pilihlah hukumanmu sendiri.
Kutendang sampal isi perutmu muncrat, atau kau carikan lima orang seperti dia
hari ini juga! "
"Ba.... baik, Eyang "
"Baik apa?"
"Aku pilih yang kedua"
"Bagus! Nah, sekarang minggat dari mukaku!"
"Se.... sekarang juga, Eyang?"
"Semprul! Kapan lagi. he..."!"
"Ba.... baik, Eyang." sahut Kebo Koneng terus berlari terbirit-biritt dari
tempat itu setelah menjura memberi hormat
Sementara, Nini Towok memandangnya sekilas, kemudian berpaling pada Supit Gadar.
"Kenapa tidak kau bunuh saja perempuan itu, heh"!"
"Eh... ng,..."
"Hm... Kau akan bersenang-senang dulu dengannya?" tanya Nini Towok dengan suara
dingin. Supit Gadar hanya mengangguk saja sambil menyeringai kecil. Dan Nini
Towok hanya memandangnya sekilas
"Tapi setelahnya nanti akan kubunuh dia," kata Supit Gadar sebelum gurunya
berkata. Nini Towok hanya menggumam tak jelas,
kemudian memandang gadis itu.
"Hm.... Cantik juga dia. Pandai kau memilih perempuan," kata perempuan tua itu
Sedangkan Supit Gadar hanya terkekeh kecil mendengarnya.
"Hei"! Senjatanya itu mengingatkan aku pada seseorang. Siapa gadis ini?" tanya
Nini Towok dengan sorot mata tajam ke arah Supit Gadar
"Ti... tidak tahu. Eyang."
"Semprul! Dasar murid goblok. Coba ingat-ingat gadis yang bersenjatakan kipas
baja berwarna putih keperakan. Ng... Ya, ya. Aku ingat sekarang, Dia si Kipas
Maut!" agak berteriak suara Nini Towok Bola mata perempuan tua itu tampak
berbinar-binar tajam, kemudian tertawa panjang mengikik Supit Gadar jadi
terheran-heran sendiri melihatnya, tapi tidak berani menegur.
"He. Supit Gadar. Bawa gadis ini ke rumah, dan jaga jangan sampai lepas."
"Eh! Untuk apa. Eyang?"
"Goblok! Tidak tahukah kau, kalau gadis ini kekasih Pendekar Rajawali Sakti...?"
"Eh, kekasihnya..." Lalu, apa hubungannya dengan kita?"
"Dasar tolol! Sudah lama sekali aku memimpikan bisa bertemu bocah yang kabarnya
berkepandaian hebat itu. Kalau dia tahu kekasihnya berada di tanganku, tentu
akan ke sini mencari."
"Jadi..., jadi aku tidak boleh memiliki gadis ini?"
"Edan! Kalau sampai kau menyentuh rambutnya saja, batok kepalamu kupecahkan. Dia
milikku! Dan setelah Pendekar Rajawali Sakti berhasil kutakluk-kan, baru kau boleh berbuat
apa saja padanya.
Mengerti kau, Supit Gadar...?"
"Iya.... iya. Eyang."
"Bagus. Sekarang bawa dia ke pondok "
Supit Gadar menelan ludahnya. Kemudian dia melangkah dan berhenti dekat Pandan
Wangi. Segera dipanggulnya tubuh gadis yang telah pingsan itu.
Namun, dia tidak segera melangkah kembali.
"Kenapa" Kau tidak senang mendengar ke-
putusanku"!" bentak Nini Towok, seperti bisa merasakan apa yang dipikirkan
muridnya. "Eh, mana berani aku berpikir begitu, Eyang...."
"Heh! Kau pikir aku bodoh...?"
Supit Gadar hanya terdiam saja.
"Kau bisa mencari sepuluh perempuan secantik dia. Tapi khusus untuk yang ini,
jangan coba-coba.
Mengerti..."!"
"Mengerti, Eyang,"
*** Namun, belum lagi guru dan murid itu melangkah jauh, tiba-tiba saja....
"Nini Towok, berhenti kau!"
"Heh..."!"
Nini Towok dan Supit Gadar tersentak. Mereka langsung berhenti melangkah, dan
menoleh. Tampak di depan mereka tahu-tahu sudah berdiri tegak dua orang laki-
laki. Yang seorang bertubuh tinggi memakai baju merah. Pada tangannya tampak
tergenggam sebilah pedang berukuran besar. Sedangkan yang seorang lagi bertubuh
pendek. Tangannya memegang bandul besi berduri tajam. Kini keduanya
memandang guru dan murid itu dengan sorot mata tajam menusuk.
"Hm.... Soreang dan Rudapaksi. Apa yang kalian inginkan, hingga jauh-jauh datang
ke tempatku ini?"
tanya Nini Towok tenang, langsung mengenali.
"Nini Towok! Sebenarnya aku tidak ingin meng-ganggumu dan menyudahi saja urusan
lama kita. Tapi kedua muridmu sungguh keterlaluan. Mereka menculik putri Soreang
dan murid perempuanku. Dan kami tidak bisa membiarkan begitu saja. Kau boleh
lepas tanggung jawab, tapi serahkan kedua muridmu untuk dihukum!" sahut laki-
laki pendek kekar berusia sekitar empat puluh tahun. Namanya, Rudapaksi.
"Benar! Kalau kau melindungi mereka, berarti memang sengaja mengorek luka lama.
Dan kami harus menuntut balas atas perlakuan kedua muridmu!" sambung laki-laki
bertubuh tinggi, yang bernama Soreang.
Mendengar ucapan mereka, Nini Towok seketika tercekat dengan wajah heran.
Kemudian terlihat dia tergelak sendiri. Sikapnya benar-benar meremehkan kedua
orang itu. "Soreang dan Rudapaksi. Kalian pikir aku ini pengasuh anak kecil, heh"! Kedua
muridku sudah tua bangka. Dan mereka bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya
sendiri. Lalu untuk apa kalian meng-ungkit-ungkit peristiwa lama" Ingin
menantangku lagi, he"! Boleh...!" balas Nini Towok sambil berkacak pinggang.
Perempuan tua itu memang penaik darah dan mudah tersinggung. Sedikit pun tidak
boleh merasa dikecilkan oteh orang lain. Dan dari apa yang diucapkan Soreang dan
Rudapaksi, bisa disimpulkan kalau mereka sengaja datang membawa persoalan
lama untuk menggertaknya. Sebenarnya, apa persoalan mereka dahulu"
Memang, Nini Towok adalah seorang perempuan yang mempunyai kebiasaan aneh. Sejak
muda, dia paling suka bermain cinta dengan jejaka-jejaka gagah dan berwajah
tampan. Hal itu dilakukan dengan mengobral diri seperti pelacur rendahan.
Nafsunya seperti tidak pernah puas oleh hanya seorang pemuda. Dan dia terus
berganti-ganti pasangan sampai usianya mendekati tua. Namun sejalan dengan
kebiasaan buruknya, maka banyak pula pemuda yang menaruh hati padanya. Bahkan
tidak jarang yang berasal dari kalangan persilatan berkepandaian tinggi jatuh
cinta padanya. Maka dengan rayuan mautnya, Nini Towok berhasil membujuk mereka
agar sudi mengajarkan ilmunya. Perempuan itu tidak peduli, apakah pemuda yang
menyintainya termasuk dalam golongan sesat atau lurus. Baginya, yang penting
mendapat ilmu baru.
Pada mulanya tidak ada seorang pun yang tahu tentang perbuatannya. Namun
akhirnya hal itu menjadi tanda tanya, dan berlanjut menjadi kecurigaan.
Hal itu terjadi ketika banyak pemuda yang dekat dengannya, kemudian hilang tak
ketahuan lagi ke mana rimbanya. Dan ketika dua orang pemuda yang pernah dekat
dengannya berhasil meloloskan diri, gegerlah semua orang mendengar ceritanya.
Ternyata, Nini Towok selalu membunuh semua kekasihnya setelah puas mereguk
kenikmatan sekaligus mendapat ilmu baru. Dan kedua orang pemuda itu adalah
Soreang dan Rudapaksi, yang masing-masing kini memang telah berusia setengah
baya. Tentu saja hal itu membuat banyak kalangan persilatan menjadi murka. Mengingat
Nini Towok kini
berkepandaian tinggi, maka secara beramai-ramai mereka bermaksud menghajar
perempuan jalang itu.
Memang, Nini Towok berhasil dihajar sampai babak belur. Bahkan nyaris saja tewas
kalau tidak sempat melarikan diri. Dan sejak itu, Nini Towok tidak pernah lagi
muncul dalam kancah dunia persilatan. Sampai akhirnya, kedua muridnya membuat
keributan belakangan ini. Orang-orang segera mengetahui kalau mereka murid Nini
Towok, karena ilmu silat dan pukulan maut yang dimiliki berciri-ciri sama.
"Nini Towok! Kau memang keterlaluan dan tidak bisa dikasih hati. Kalau memang
hal itu yang diinginkan, baiklah. Aku tidak akan sungkan-sungkan lagi
bertindak!" dengus Rudapaksi geram. Bandul besinya segera diayunkan, siap
menghajar perempuan tua itu.
"Hi hi hi...! He, Rudapaksi dan Soreang! Berani betul kalian menantangku. Sudah
bosan hidup, he..."!" ejek Nini Towok bernada merendahkan.
Dan begitu bandul besi berduri itu mengancam kepalanya....
"Uts!"
Nini Towok cepat merunduk, menghindari
sambaran bandul berduri Rudapaksi. Namun saat itu juga Rudapaksi sudah melesat
sambil melepaskan tendangan kilat. Namun, Nini Towok menyambutnya dengan
tangkas. Sambil merunduk, ditangkisnya tendangan itu dengan sebelah tangannya
Plak! Wut! Begiru berhasil menangkis, kepalan tangan Nini Towok yang sebelah lagi cepat
menghantam lurus ke dada. Seketika Rudapaksi tersentak. Maka buru-buru dia
membuang diri sambil menarik bandul berdurinya
kembali. Dan begitu bangkit berdiri, bandul berdurinya kembali dikelebatkan
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Swing! "Yeaaah...!"
Nini Towok cepat melesat ke udara seraya berputaran beberapa kali. Tubuhnya lalu
menukik turun, dan terus menerkam ke arah lawan. Pertarungan antara mereka
memang berlangsung cepat dan sengit.
Sementara itu Soreang menyadari kalau
Rudapaksi tidak unggul bila sendiran menghadapi perempuan tua ini. Maka tanpa
diminta lagi, dia langsung saja melompat hendak membantu. Namun sebelum hal itu
dilakukan, Supit Gadar sudah lebih dulu menghadang, setelah meletakkan tubuh
Pandan Wangi di tanah.
"Eit! Jangan coba-coba, selama aku masih di sini!
Biarkan mereka bermain-main. Dan kau, boleh bermain denganku."
"Keparat! Kebetulan sekali memang kau yang kuharapkan. Kucincang tubuhmu,
Jahanam!" geram Soreang sambil mengacungkan pedangnya di tangan kanan.
Supit Gadar segera meladeninya dengan gerakan yang gesit. Sambaran-sambaran
pedang Soreang dapat dielakkan dengan mudah. Bahkan sesekali balas menyerang.
Akibatnya. laki-laki bertubuh besar itu tersentak kaget.
"Hiyaaat..!"
Bukan main geramnya Soreang melihat keadaan itu. Sama sekali tidak diperkirakan
kalau murid Nini Towok ini memiliki kepandaian yang tidak berada di bawahnya.
Bahkan bisa jadi kepandaiannya sendiri
masih di bawah Supit Gadar.
Dan baru saja Soreang akan melipatgandakan serangannya, mendadak saja....
"Aaa...!"
Tiba-tiba terdengar pekikan kesakitan Rudapaksi.
Sekilas terlihat kakinya melangkah terhuyung-huyung dengan kepala berlumuran
darah. Bahkan bandul besi berdurinya sudah terlempar jauh. Tidak berapa lama
kemudian, terlihat Nini Towok melontarkan satu pukulan jarak jauh disertai
kebengisannya. Akibatnya, Rudapaksi terlempar jauh dengan nyawa putus sebelum
menyentuh tanah. Melihat kesadisan itu, Soreang jadi lengah. Dan kelengahan
Soreang harus dibayar mahal. Supit Gadar yang tidak menyia-nyiakan kesempatan
itu langsung menghantamkan pukulan mautnya yang bernama 'Pukulan Kelabang Api'.
Wusss! Pukulan yang mengeluarkan cahaya kuning
kemerahan itu menderu cepat ke arah lawan.
Soreang tersentak dan buru-buru membuang tubuhnya ke samping. Namun tidak urung
bahu kirinya terkena hantaman pukulan.
"Uts!"
Plak! Soreang kontan meringis kesakitan. Sementara, Supit Gadar terus bergerak cepat
tanpa memberi hati sedikit pun juga. Meski Soreang berusaha membabatkan
Naga Sakti Sungai Kuning 5 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Utusan Lembah Kubur 1