Pencarian

Pendekar Aneh 2

Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh Bagian 2


"Pangeran Kesuma, kita telah jauh meninggalkan istana kerajaan. Apakah tidak
sebaiknya pulang?"
"Sebentar, Paman...."
"Maaf, aku betul-betul tidak mengetahui bahwa kalian adalah putra-putri dari
kerajaan...," sahut Rangga sambil memberi hormat sebagaimana mestinya. Dan
walaupun Rangga sendiri adalah Raja Karang Setra,
tapi dalam petualangannya dia merasa sebagai pende-
kar biasa. Bahkan dia tak ingin orang lain mengetahui, siapa dirinya yang
sebenarnya. "Ah! Jangan banyak peradatan, Sobat. Kami me-
mang sedang berburu. Tapi, sebentar lagi senja tiba.
Sedangkan perjalanan ke kotaraja cukup jauh. Sebenarnya, aku ingin mengenalmu
lebih jauh. Ah, tak
apalah. Mungkin lain kali kita bisa bertemu kembali,"
sahut Kesuma Wardhana.
"Hei! Jangan lupa. Kalau kau sedang berada di kotaraja, mampirlah ke tempatku"
teriak Andini sebelum berbalik meninggalkan Rangga seorang diri.
"Mudah-mudahan...!"
"Jangan mudah-mudahan, tapi harus! Kalau tidak, akan kusuruh prajurit-prajurit
kerajaan untuk menghukummu. Dan satu hal lagi yang perlu kau ingat,
jangan coba-coba panggil aku adik kecil lagi. Aku bukan adik kecilmu, tahu"!"
Rangga tersenyum kecil sambil menganggukkan
kepala. Dan, barulah gadis itu tampak melemparkan
senyum manis. "Andini, kau keterlaluan! Kenapa kau berbuat begi-
tu padanya" Itu tidak baik dan tidak sopan!" omel Kesuma Wardhana ketika mereka
telah agak jauh dari
Rangga. "Apa yang tidak baik, dan apa yang tidak sopan"
Kalau tidak baik, tentu dia akan marah. Dan kalau tidak sopan, tentu dia akan
menegurnya. Tapi, tidak di-lakukannya, bukan" Berarti aku berkata dengan se-
mestinya!"
'Tapi mana mungkin dia berani selancang itu, sete-
lah mengetahui siapa dirimu...."
"Sebelum kalian datang, dia toh tahu siapa aku!
Tapi dia diam tidak menegurku."
"Mungkin dikira kau anak kecil yang bawel," sahut Kesuma Wardhana sambil
menggerutu kesal.
Plak! "Aduh!"
Tiba-tiba Andini menghajar punggung kakak nya,
sampai Kesuma Wardhana berteriak kesakitan.
"Sekali lagi kau berkata begitu, akan kuhajar kepalamu sampai benjol!" gertak
Andini garang. "Andini! Semakin lama, tingkahmu semakin kasar saja. Akan kuadukan pada ayahanda
agar kau mendapat hukuman!"
"Adukanlah sesuka hatimu. Aku tidak takut!"
"Kenapa kau marah dan memukulku?"
"Kenapa kau menyebutku anak kecil yang bawel?"
"Karena kau memang masih kecil dan bawel. Kena-pa mesti marah kalau kenyataannya
begitu"!"
Setelah berkata demikian, Kesuma Wardhana lang-
sung berlari menjauh dari adiknya.
"Kuhajar kau! Kuhajar kau!" teriak Andini marah berusaha mengejar kakaknya.
Tapi, ternyata lari Kesuma Wardhana lebih cepat
lagi. Dan, ketika tiba di tempat mereka menambatkan kuda-kudanya, Kesuma
Wardhana langsung melompat
ke punggung kuda. Kemudian kudanya cepat dihela
dengan kencang.
"Hus.., hus! Heaaa...!"
"Sial!" maki Andini kesal.
Tapi, Andini agaknya tidak berhenti sampai di situ.
Gadis itu langsung melompat ke punggung salah see-
kor kuda, dan memacunya dengan kencang untuk me-
nyusul Kesuma Wardhana.
Tinggallah prajurit-prajurit kerajaan yang lari terbi-rit-birit, menyusul kedua
junjungannya yang memang
tidak pernah akur itu.
*** 5 Lima sosok tubuh berpakaian serba hitam, tampak
bergegas mendekati sebuah pinggiran hutan. Melihat
dari cara berjalan yang tergesa-gesa, agaknya mereka memiliki urusan penting.
Lebih- lebih, orang yang berjalan paling depan. Wajahnya terlihat semakin gusar,
dan sepasang matanya jelalatan mencari-cari.
"Kusnadi! Jangan membuat amarahku me-
muncak. Mana bocah ajaib yang kau katakan itu" Ce-
pat tunjukkan padaku, sebelum kau kuhajar!" bentak orang yang berjalan di
belakang laki-laki bernama
Kusnadi itu dengan suara keras. Dia adalah seorang
pemuda berwajah cukup tampan berusia dua puluh
delapan tahun. "Betul! Kalau tidak salah, dia berada di sini kemarin...."
Mereka berhenti sejenak seperti yang ditunjukkan
laki-laki berperut buncit itu, lalu memeriksa ke sekeliling. Sementara pemuda di
belakang Kusnadi yang
memegang pedang hanya memperhatikan seksama
dengan tangan bersedakap.
Tidak lama, mereka kembali berputar-putar di
tempat itu. Namun, tidak juga ditemukan jejak orang yang dicari. Kusnadi lalu
berjalan menjauh, diikuti seorang temannya yang bertubuh kecil dan berambut
putih. "Kau sih begitu yakin kalau mereka berada di sini,"
ujar laki-laki bertubuh kecil, kepada Kusnadi.
'Tapi aku memang yakin sekali, mereka bertempat
tinggal di sini, Ki Gembyong. Dasar Kerta Wangsa saja yang cepat naik darah,"
gerutu Kusnadi.
'Tapi dia tangan kanan ketua. Hati-hati kalau bica-
ra. Meski usianya masih muda, tapi ilmu olah kanuragannya sangat tinggi. Ketua
sendiri segan terhadap-
nya!" sergah laki-laki bertubuh kecil yang memang Ki Gembyong.
"Huh! Kenapa mesti dia yang menemani kita" Kan masih ada Katili yang ilmu olah
kanuragannya juga
hebat. Lagi pula, dia lebih ramah."
"Barangkali ketua berpikiran lain. Dia tidak mau Serikat Kawa-kawa Hitam
diremehkan orang," sahut Ki Gembyong.
'Tapi tingkahnya itu yang tidak kusuka. Sepertinya, kekuasaannya lebih dari
ketua sendiri. Main bentak, main pukul, dan..., aaah! Pokoknya aku tidak suka
dengan orang itu."
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tiba-tiba pemuda yang tengah dibicarakan
sudah ada di dekat me-
reka. "Hei!"
"Eh, tidak ada apa-apa, Den Kerta Wangsa...," sahut Ki Gembyong sambil tersenyum
kecil. Pemuda bernama Kerta Wangsa yang kepala-nya
diikat kain merah itu, menatap sinis dengan kedua
tangan masih bersedakap. Wajahnya terlihat angker
meski sebenarnya cukup tampan.
"Aku tahu, kau tidak menyukaiku, Kusnadi. Tapi apakah kau sadar kalau
kehadiranku di sins untuk
menebus harga dirimu?"
"Aku tidak bermaksud begitu...."
"Sudahlah. Tidak usah banyak cakap! Sekarang,
bagaimana cara pembuktianmu kalau orang itu berada
di sini" Ingat! Waktu kita telah banyak terbuang hanya karena ketololan kalian
sendiri. Dan kalau sampai kau tidak bisa menemukan mereka, jangan salahkan kalau
aku akan menghukummu atas nama ketua!"
"Eh..., ng.... Kalau saja kemarin kita kembali ke si-ni, tentu akan bertemu
mereka...."
'Tidakkah kau tahu, kemarin kita sibuk dengan
pertemuan dari setiap cabang untuk membicarakan
rencana yang lebih besar"!"
Kusnadi diam tidak berani lagi membuka suara.
Sementara, Ki Gembyong pura-pura tidak mendengar
sambil berlalu pelan dari tempat itu. Namun belum berapa jauh melangkah, tiba-
tiba terlihat dua sosok tubuh melewati tempat mereka.
"Coba lihat! Siapa yang sedang menuju ke sini!?"
seru Ki Gembyong.
Seketika, semua mata memperhatikan dengan sek-
sama ke arah yang ditunjuk Ki Gembyong. Kemudian
terlihat paras pemuda bernama Kerta Wangsa itu be-
rubah angker. Sambil mendengus sinis, kakinya me-
langkah lebar ke arah orang yang sedang berjalan itu.
"Kebetulan sekali! Anjing kerajaan itu berada di si-ni. Jadi, kita tidak susah-
susah mengejarnya ke kotaraja."
Kusnadi menghela napas lega. Dengan hadir-nya
kedua sosok tubuh itu berarti perhatian pemuda ini
akan beralih, dan dia selamat dari hukuman.
Dua orang yang berjalan santai itu adalah seorang
laki-laki tua berpakaian compang-camping dengan
membawa sebatang tongkat butut, dan di sebelahnya
seorang gadis berparas jelita. Bajunya biru dengan sebilah pedang tersandang di
punggungnya. Mereka ti-
dak lain dari Pengemis Tongkat Sakti dengan murid-
nya, Sekar Harum.
Pengemis Tongkat Sakti agak terkejut juga melihat
cara mereka mencegatnya. Tapi parasnya cepat beru-
bah ketika mengenali kawanan laki-laki berseragam hitam itu.
"He he he...! Kukira perampok kesasar dari mana.
Tega-teganya mencegat pengemis buruk sepertiku. Ru-
panya, anjing pemberontak Serikat Kawa-kawa Hitam,"
kata Pengemis Tongkat Sakti sambil tertawa mengejek.
"Bangsat kau, Orang Tua! Apakah pihak kerajaan hanya mengirim kau seorang untuk
memburu kami"
Sungguh gegabah mereka!" dengus Kerta Wangsa.
"Hm.... Kalau kau mengira kedatanganku ke sini untuk menangkap kalian, itu
kesalahan besar. Pihak
kerajaan tentu tidak perlu bersusah payah mengirim-
ku. Karena selain tenagaku tidak berguna, mereka ju-ga tidak terlalu menganggap
kalian sebagai ancaman,"
sahut Pengemis Tongkat Sakti memanas-manasi.
"Phuih! Sebentar lagi kotaraja akan hancur dan Serikat Kawa-kawa Hitam akan
menguasai dunia persila-
tan. Dan, kaulah orang pertama yang menjadi tumbal
atas kejayaan kami!"
"He he he...! Boleh saja kau berkata begitu. Tapi sebagai tumbal" Nanti dulu!
Dan aku lebih suka meli-hatmu mampus sebagai anjing kurap yang selama ini
mengotori kerajaan," sahut Pengemis Tongkat Sakti sambil tertawa kecil.
"Orang tua celaka! Banyak bacot kau! Mampuslah, hih...!"
Selesai berkata demikian, Kerta Wangsa langsung
mencelat menyerang Pengemis Tongkat Sakti dengan
gencar. *** Kerta Wangsa sebagai orang kedua dalam jajaran
Serikat Kawa-kawa Hitam, memang sudah dikenal oleh
pihak kerajaan sebagai salah satu pentolan yang harus diperhitungkan. Dan
serikat yang dipimpinnya, tahun-tahun belakangan ini selalu merongrong
kewibawaan pemerintah yang sah. Mereka memang memiliki cita-
cita untuk menggulingkan kerajaan, dan mendirikan
kerajaan baru. Tentu saja mereka juga menginginkan
seluruh anggotanya menjadi orang-orang penting yang menjalankan roda
pemerintahan, berikut rencana-rencana gila yang akan dijalankan.
Apalagi, orang nomor satu yang bernama Hadiwi-
jaya atau lebih dikenal sebagai Panglima Samber Nya-wa. Dialah Ketua Serikat
Kawa-kawa Hitam yang amat
cerdik, selain memiliki kepandaian yang tinggi. Orang-orang berpengaruh dan
memiliki ilmu dan kanuragan
yang cukup handal di kumpulkan untuk dijadikan
pengikutnya. Dan salah seorang adalah Kerta Wangsa, tokoh muda dalam dunia
persilatan. Dia dikenal sebagai Siluman Liar Berdarah Dingin. Namanya banyak
dikenal karena kehebatan ilmu olah kanuragan dan
kekejamannya terhadap lawan.
Dan Pengemis Tongkat Sakti bukannya tidak men-
getahui hal itu. Meski kagum pada nama besar lawan, tapi mana mau
ditunjukkannya.
Dan memang, apa yang diceritakan orang-orang
tentang kehebatan pemuda ini bukan nama kosong be-
laka. Buktinya gerakannya cepat dan kuat bukan
main. Sehingga, mampu membuat pusaran angin ken-
cang yang berdesir manakala tubuhnya bergerak me-
nyerang lawan. "Yeaaa...!"
"Uts!"
"Hiyaaa...!"
Berkali-kali Pengemis Tongkat Sakti dibuat terkejut oleh serangan lawan yang
datangnya tiba-tiba. Seperti apa yang terjadi barusan. Tongkatnya menderu
mengincar pinggang, batok kepala, dan dada. Tapi mudah sekali Kerta Wangsa
menghindar. Kemudian dengan
kecepatan tinggi, kepalan tangan kanannya menyodok
dada kiri Pengemis Tongkat Sakti. Kalau saja orang tua itu tidak buru-buru
membuang tubuh ke kanan, nis-caya dadanya akan jebol terhantam pukulan yang
mengandung tenaga dalam tinggi.
"Kenapa kalian diam saja" Ayo ringkus gadis itu!
Siapa pun dia, tidak peduli. Tangkap!" bentak Kerta Wangsa di tengah-tengah
pertarungan, memperingatkan anak buahnya yang tadi sempat mematung
menyaksikan pertarungan antara kedua tokoh itu.
"Ba... baik, Den Kerta...," sahut Kusnadi mewakili teman-temannya.
Tanpa membuang waktu lagi, keempatnya lang-
sung mengurung Sekar Harum sambil ter-senyum
nakal dengan wajah menyeringai lebar.
"He he he...! Lumayan juga gadis ini. Cukup cantik untuk kita berempat," kata
Kusnadi. "Biarlah Kerta Wangsa dapat bagian pertama. Mendapat sisanya pun, sudah untung,"
sambung temannya. "Sudahlah, jangan banyak bicara. Nanti kalian ke-na damprat
Kerta Wangsa baru tahu rasa!" selak Ki Gembyong mengingatkan.
"Betul juga. Ayo cepat kita tangkap!"
"Orang-orang celaka! Kalian kira mudah menang-
kapku"! Ayo, majulah biar kupecahkan batok kepala
kalian satu persatu!" sahut Sekar Harum tak kalah sengit sambil mencabut pedang
dan bersiap menghadapi lawan-lawannya.
'Yeaaa...!"
"Hiyaaat..!"
Dengan lincah Sekar Harum memutar pedang dan
memainkan sebuah jurus indah, namun memiliki daya
serang kuat karena ditunjang tenaga dalam hebat. Ta-pi, lawan-lawannya yang
sedang dihadapi sekarang tidak bisa dianggap enteng. Mereka rata-rata memiliki
ilmu olah kanuragan yang cukup lumayan. Apalagi,


Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat ini mereka maju bersamaan. Maka, sudah dapat
dipastikan akan semakin berbahaya.
Sementara, Sekar Harum sendiri bukanlah gadis
tabah. Amarahnya, demikian cepat terpancing, dan
mengamuk sejadi-jadinya kalau hatinya terusik. Begitu juga saat ini. Dengan hati
panas dan kemarahan me-muncak, semua lawannya diserang habis-habisan.
"Mampuslah kalian semua! Anjing-anjing keparat seperti kalian, tidak baik diberi
hati!" bentak gadis itu garang.
"He he he...! Boleh saja. Tapi, sebelumnya kau harus membuat senang kami dulu,
untuk menikmati in-
dahnya tubuhmu," sahut salah seorang di antara mereka sambil menyeringai seperti
serigala melihat dom-ba gemuk.
"Cuihhh! Aku lebih suka mati daripada harus dis-entuh anjing-anjing kurap macam
kalian!" "He he he...! Percayalah. Justru anjing kurap inilah yang akan membuat kau
ketagihan!"
Bukan main gemas dan marahnya Sekar Harum
mendengar jawaban itu. Tubuhnya kontan menggigil
menahan amarah. Bahkan seluruh kemampuannya te-
lah dikerahkan untuk melumpuhkan lawan secepat-
nya. Pedang di tangannya berkelebat-kelebat menyam-
bar leher-leher lawan. Tapi dengan lincahnya, keempat orang itu mampu menghindar
sambil tertawa-tawa kecil. "Kerahkan seluruh kemampuan yang kau miliki sebelum
akhirnya menyerah dalam pangkuan kami,"
ujar Kusnadi. "Ha ha ha...! Aku malah semakin gemas saja melihatnya dalam keadaan marah
begini. Kecantikannya
benar-benar menggugah untuk segera mendekapnya".
"Bajingan bermulut kotor! Mampuslah kalian!"
Sekar Harum langsung menyabetkan pedangnya
cepat bagai kilat. Rupanya, gadis ini sudah demikian marahnya. Langsung saja dia
mencecar salah seorang
yang merendahkan martabatnya. Tapi...
Trak! Plak! Ki Gembyong langsung memapak pedang Sekar
Harum, sehingga menimbulkan suara keras. Tangan
gadis itu kontan bergetar hebat. Dan pada saat bersamaan, Kusnadi menghajar
pergelangan tangannya
hingga pedang di tangan Sekar Harum terlepas. Kemu-
dian, disusul salah seorang menotok tubuh Sekar Ha-
rum. Maka... "Oh!"
Sekar Harum hanya mengeluh, kemudian jatuh
lemas di tanah.
"Nah, betul kan kata-kataku" Kali ini, mana mung-
kin kau bisa melarikan diri. Kalau mau mati, nantilah setelah kami mendekapmu
sepuas-puasnya," kata
Kusnadi menyeringai penuh nafsu.
"Bangsat! Pengecut!" Sekar Harum menjerit mema-
ki. Pengemis Tongkat Sakti terkejut mendengar jeritan
muridnya. Sekilas matanya sempat melirik dan me-
nyaksikan Sekar Harum sedang dikelilingi empat orang anak buah Kerta Wangsa
dalam keadaan tertotok. Ma-ka batinnya langsung bergejolak, dan amarahnya kon-
tan meluap. Tapi waktu yang sekilas tadi, ternyata di-manfaatkan betul-betul
oleh Kerta Wangsa. Pedangnya cepat dicabut dari warangka, langsung dibabatkan ke
arah leher orang tua itu.
Crasss! "Aaa...!"
Terdengar pekikan dari mulut Pengemis Tongkat
Sakti ketika lehernya terbabat pedang Kerta Wangsa.
Darah segar langsung muncrat dari leher yang tertebas. Orang tua itu limbung
sesaat, lalu ambruk di tanah. Sebentar dia meregang nyawa, laki diam. Mati!
"Huh! Mampuslah kau, Orang Tua Busuk!" geram Kerta Wangsa sambil menyarungkan
pedang ke dalam
warangkanya. "Guru...!" pekik Sekar Harum begitu mengetahui gurunya telah tewas di tangan
lawan. Sekar Harum berteriak-teriak menyayat sambil
memaki-maki. Sedangkan Kerta Wangsa menghampiri
dan bertolak pinggang, lalu menatap dengan sorot ma-ta tajam ke arahnya.
"Hm.... Jadi kau murid si keparat itu?"
"Kaulah yang keparat! Lepaskan aku. Ingin kupecahkan batok kepalamu sampai
remuk!" "Begitu?"
Kerta Wangsa lalu memberi isyarat pada Ki Gem-
byong untuk melepaskan totokan pada diri Sekar Ha-
rum. 'Tapi...?"
"Kau takut dia akan mengalahkan kita" Jangan
khawatir. Ingin kulihat, apakah kata-katanya bisa di-buktikan. Kalau tidak, tahu
sendiri apa hukuman un-
tuknya!" "Baiklah...!"
Ki Gembyong segera melepaskan totokan Sekar Ha-
rum. Tapi yang pertama dikejar gadis itu justru mayat Pengemis Tongkat Sakti,
gurunya. "Guru...! Hu hu hu.... Maafkan muridmu yang bodoh, karena tidak bisa menolongmu.
Tapi aku bersum-
pah akan membalaskan sakit hati ini, meski nyawa sebagai taruhannya!" jerit
Sekar Harum sambil menangis tersedu-sedu.
Sementara itu, Kerta Wangsa dan anak buah-nya
diam memperhatikan. Pemuda itu bersedakap dengan
tangan kanan memegang pedang. Matanya seperti ti-
dak lekang mengawasi Sekar Harum pada jarak dua
tombak di belakangnya. Kemudian perlahan-lahan di-
perhatikannya gadis itu bangkit sambil memungut
tongkat gurunya. Mata Sekar Harum kini lurus mena-
tap ke arah Kerta Wangsa penuh rasa kebencian dan
amarah meluap. "Anjing keparat! Kau harus mampus di tanganku
hari ini!" Sekar Harum menggeram.
*** 6 Matahari tak terlalu menyengat. Angin pun bertiup
semilir, membuat suasana seperti ini semakin melenakan seorang pemuda berwajah
tampan yang tidur
sambil bersandar di bawah sebatang pohon rindang.
Pemuda berbaju rompi putih itu seperti melayang-
layang di alam bawah sadarnya sambil mengikuti ira-
ma mimpi indah yang membuatnya tersenyum-senyum
sendiri. Namun saat itulah sesuatu terasakan melindas
kakinya. Seketika pemuda yang tak lain Pendekar Ra-
jawali Sakti itu tersentak kaget...
"Heh"!"
Rangga langsung mengerjap-ngerjapkan matanya.
Di dekatnya tahu-tahu telah berdiri seorang bocah la-ki-laki yang kalau dilihat
dari wajahnya berusia sekitar delapan tahun. Tangannya memegang mainan gerobak-
gerobakan yang bisa didorong. Rambut bocah itu
panjang teriap hingga menutupi sebagian wajahnya.
Dengan mengenakan baju berwarna-warni, penampi-
lannya memang kelihatan aneh. Agaknya, roda mainan
bocah inilah yang tadi melindas kaki Pendekar Rajawa-li Sakti.
Jika diperhatikan baik-baik, bocah itu tidak seperti bocah pada umumnya. Dia
seakan merasa tak bersa-lah oleh apa yang tadi diperbuatnya pada orang lain.
Dia diam saja sambil memperhatikan, kemudian ter-
kekeh-kekeh kecil dengan tangan menunjuk ke arah
Rangga. Siapa lagi bocah itu kalau bukan Karsono,
yang terkenal sebagai bocah ajaib.
"He he he...! Wajahmu lucu seperti keledai dungu!"
kata bocah itu enteng, seperti tak menyadari kalau ka-ta-katanya dapat
menyinggung perasaan orang lain.
"Bocah, siapa kau" Kenapa berkata begitu" Apakah kedua orangtua mu tak pernah
mengajar-kan sopan
santun?" tanya Rangga ramah.
Karsono mengerutkan dahi mendengar kata-kata
Rangga. Tapi kemudian tak peduli lagi, dan kembali
bermain dengan gerobaknya sambil berlari-lari kecil.
"Hei"!"
Rangga bangkit dan mengejar, namun langsung
terkejut. Ternyata lari bocah itu tak seperti lari bocah seusia pada umumnya.
Larinya begitu cepat dan ber-kelok-kelok, laksana orang dewasa yang sedang men-
gerahkan ilmu lari cepatnya. Dari mulutnya tak henti-
hentinya keluar teriakan-teriakan.
"Hus..., hus...! Ayo lari yang kencang! Lebih kencang lagi, kalau tidak kau akan
kucambuk! Hus...,
hus..., hayo!"
Bukan main gemasnya Rangga melihat kelakuan
bocah yang seperti sengaja hendak mempermainkan-
nya. Nyatanya bocah itu memang hanya berlari-lari tak jauh dari situ dan
berputar-putar saja. Seperti mengajak bermain kejar-kejaran. Sebenarnya, Rangga
tak ingin mempedulikannya. Tapi batinnya terus tergelitik untuk ingin tahu.
Mustahil, bocah seusia itu mampu
berlari secepat orang dewasa yang memiliki ilmu lari cepat tingkat sempurna.
Maka sambil mengerahkan
ilmu lari cepatnya, bocah itu dikejar, dan berusaha untuk mendahuluinya.
"Hup! Mau lari ke mana kau?" kata Rangga sambil melompat tepat di depan gerobak
bocah itu. Mau tak mau, Karsono terpaksa menghentikan laju
gerobaknya. Dahinya kembali berkerut ketika sepa-
sang matanya menatap Rangga yang berdiri di hada-
pannya dengan wajah tenang.
"Minggirlah kau, kalau tidak akan kubuat benjol kepalamu!" ancam Karsono.
"He he he...! Boleh juga ancamanmu. Cobalah pukul kepalaku sampai benjol,"
lantang Rangga sambil tersenyum kecil.
"Hihhh...!"
Tiba-tiba Karsono mendorong gerobak mainan-nya
ke arah Rangga. Untung, Pendekar Rajawali Sakti ce-
pat menangkisnya. Namun, Rangga jadi tersentak ka-
get. Ternyata gerobak itu didorong dengan tenaga dalam. Meskipun bentuknya tak
terlalu besar, tapi ra-
sanya tak mungkin bila bocah seusia itu mampu men-
dorong sedemikian kuatnya. Bahkan Rangga sampai
mengerahkan tenaga dalamnya. Namun, gerobak itu
tetap saja bergerak seperti hendak menghimpit dan
mengglasnya. Sadarlah Rangga kalau bocah itu bukan
bocah sembarangan. Dorongan gerobak itu jelas meng-
gunakan tenaga dalam.
"Houp!"
Rangga cepat meningkatkan pengerahan tenaga da-
lamnya untuk menekan gerobak mainan itu ke arah
Karsono. Sementara wajah bocah itu tampak berkerut
tak senang. Dia terlihat menarik napas panjang bagai hendak menambah kekuatan
dorongnya. Rangga kaget ketika bocah itu bermaksud berbuat
curang. Dorongan pada gerobaknya cepat dilepaskan
dengan harapan Rangga akan terjerembab. Dan saat
itu juga, tubuhnya akan melayang siap menghantam
dengan kepalan tangan yang diberi tenaga dalam ting-gi. Dan Rangga siap bergulir
ke samping, bila gerobak mainan itu semakin menekannya. Tapi hal itu memang
disengaja. Karena dengan begitu, kedua kakinya akan leluasa memapak serangan
bocah aneh itu.
"Yeaaa...!"
Dugaan Rangga ternyata benar. Maka buru-buru
dia bergulir ke samping. Dan tak lama, serangan berbahaya bocah itu yang
menggunakan separuh tenaga
dalam meluncur datang. Rangga cepat memapak se-
rangan itu. Plak! Karsono langsung mengeluh kesakitan. Namun dia
cepat membuang diri ke depan. Rangga sendiri lang-
sung bergulingan, mengikuti irama gerak bocah itu.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" maki Karsono.
Rangga menggelengkan kepala, begitu bangkit ber-
diri. Seharusnya bocah itu terluka terkena hajarannya tadi. Dan kali ini
keyakinannya semakin bertambah
kalau bocah itu bukan bocah sembarangan. Maka mu-
lai diamati-amatinya bentuk tubuh serta wajah bocah itu. "Hm. Sudah kuduga, kau
bukan bocah biasa. Kau adalah si cebol yang berlagak menjadi bocah kecil,"
gumam Rangga sinis, setelah merasa yakin kalau bo-
cah itu bukanlah anak kecil berusia delapan tahun seperti dugaannya semula.
"Huh! Apa urusannya"!" dengus Karsono.
"Banyak. Pertama, kau telah mengganggu waktu
tidurku. Kemudian kau tiba-tiba menyerangku. Pa-
dahal, aku sama sekali tak menaruh curiga kalau kau akan berbuat begitu padaku.
Nah, untuk itu kau harus mendapat hukuman setimpal" gertak Rangga yang
sebenarnya hanya main-main.
"Kau pikir mudah melakukan itu" Cobalah kalau mampu!"
"Kenapa tidak?" .
Bersamaan dengan itu, tubuh Rangga melesat
sambil melayangkan kepalan tangan kanannya tanpa
disertai tenaga dalam, menghantam batok kepala la-
wan. Tapi Karsono ternyata cukup gesit. Sambil bergulingan menghindari serangan
lawan, tubuhnya kemu-
dian melenting ringan ke atas membalas serangan.
*** "Yeaaa...!"
Bocah itu berusaha mengambil keuntungan den-
gan mengandalkan tubuhnya yang kecil. Dia menyu-
sup di antara pertahanan Pendekar Rajawali Sakti
sambil mengirim pukulan bertenaga kuat. Tapi, Rang-
ga telah memperhitungkannya. Maka kaki kanannya
cepat bergerak menyapu ketika kepalan tangan bocah
itu menghantam dada. Sambil berbalik, kaki kirinya
menendang ke pantat.
Plak! Des! "Akh...!"
Karsono menjerit kesakitan ketika tubuhnya ter-
pental ke atas. Namun dengan mantap, dia masih
mampu berjungkir balik, kemudian terus kabur dari
tempat itu. "Hei, jangan lari! Awas kau!" teriak Rangga berusaha mengejar.
Seperti anak kecil, mereka saling berkejaran. Lari
bocah itu lumayan cepat, tapi Rangga yakin sebentar lagi pasti bisa menyusul.
Bahkan mendahuluinya. Tapi pada saat Rangga hampir menyusul, saat itu pula te-
linganya mendengar dentang senjata beradu yang tak
jauh dari tempat itu. Sebenarnya Rangga tak ingin
mempedulikan, dan meneruskan niatnya mengejar bo-


Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cah itu. Tapi, tak lama kemudian terdengar jeritan keras seseorang. Hal inilah
yang menarik perhatiannya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung memutar haluan
dan mencari sumber teriakan tadi, yang tak begitu
jauh dari tempatnya berada. Dan ketika sampai di tepi hutan, di antara
rerumputan luas terlihat lima orang berwajah kasar tengah mengelilingi seorang
gadis berbaju biru. Salah seorang di antara mereka tampak bertarung sengit
dengan gadis yang tampak sudah kewa-
lahan itu. "Ayo, bangkitlah. Seranglah aku sepuasmu, sebelum akhirnya kau menyerah dan
kuberi ganjaran yang
tak akan kau lupakan seumur hidupmu!" sahut pemuda bertampang angker itu dingin.
"Hihhh...!"
Gadis itu cepat melayangkan kepalan tangan ka-
nannya. Namun karena tenaganya sudah me-lemah,
maka dengan mantap pemuda itu menangkapnya.
Tap! Kemudian tangan gadis itu dipelintir ke belakang
tubuhnya. Sedangkan sebelah tangan gadis itu ditangkapnya pula. Dan tiba-tiba
tangannya bergerak cepat, hendak merobek baju gadis malang itu.
Breeet! "Ouw! Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!"
Hal itu tentu saja membuat gadis ini menjerit-jerit sambil memaki-maki dengan
suara melengking. Namun pemuda angker itu tak juga mempedulikannya.
Bahkan semakin erat mencekal lengan gadis itu sam-
pai tak bisa melepaskan diri. Sementara tangan ka-
nannya leluasa menyusup di antara robekan pakaian
gadis yang menuju bukit kembarnya. Sedangkan bi-
birnya penuh nafsu merayap di antara leher nan jen-
jang itu. "Hih!"
Dalam keadaan putus asa begitu, gadis ini masih
berusaha menendang ke belakang. Tapi yang terjadi
justru membuat keadaannya lebih sulit lagi, karena lu-tut kanan pemuda itu
menekan bagian bawah ping-
gangnya. Akibatnya gadis itu tidak bisa berontak lagi.
"Ouw!"
"Kisanak! Tidak bisakah kau bersikap sopan kepa-da seorang gadis yang tak
berdaya?" Tiba-tiba, entah dari mana datangnya terdengar
suara teguran. "Hei!"
Pemuda itu tersentak. Begitu juga keempat teman-
nya yang menunggu tak jauh dari tempat itu. Dan se-
cara tiba-tiba pula, di tempat itu muncul seorang pemuda berambut panjang serta
berbaju rompi putih. Di punggungnya terlihat sebilah pedang berhulu kepala
burung. "Siapa kau"! Berani benar kau mengusik urusan Kerta Wangsa!" bentak pemuda itu
sambil melepaskan
gadis dalam rangkulannya tadi.
Begitu terbebas, gadis ini cepat-cepat membenahi
diri sambil menjauh dari orang-orang itu. Matanya sekilas sempat melirik pada
pemuda yang baru datang.
Pendekar Rajawali Sakti...!" seru gadis itu pelan, dan tanpa sadar.
Walau suaranya halus dan nyaris tidak terdengar,
tapi bagi Kerta Wangsa hal itu telah cukup meyakin-
kan dugaannya semula terhadap pemuda asing ini.
"Hm.... Jadi kau orang yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti" Lama sudah
kudengar nama besarmu,
hingga membuat tanganku tergelitik untuk menjajal
kemampuanmu!"
"Kisanak. Benar apa yang kau duga tentang diriku.
Tapi kau salah jika beranggapan, kalau aku tempat
untuk menjajal kemampuanmu, aku hanya seorang
pengembara biasa yang tak punya keistimewaan apa-
apa...," sahut pemuda yang memang Rangga, merendah.
"Pendekar Rajawali Sakti! Jangan coba menghin-
dar! Suka atau tidak, kau kini punya urusan dengan-
ku!" bentak Kerta Wangsa sambil mengacungkan pedangnya.
"Urusan" Urusan apa, Kisanak?"
Dahi Rangga berkerut mendengar hal itu. Se-
ingatnya, dia baru bertemu sekali dengan orang ini, di sini. Jadi bagaimana
mungkin bisa mengatakan kalau
punya urusan"
*** "Masih ingatkah kau pada si Pedang Ular Emas"
Dia tewas di tanganmu! Agar kau tahu, dia termasuk
anggota Serikat Kawa-kawa Hitam!"
"Hm.... Jadi kalian anggota para pemberontak itu"
Tapi kematian temanmu itu bukan salahku. Dia yang
terlalu memaksa, sehingga aku terpaksa berbuat de-
mikian...."
"Bangsat! Kau harus menerima akibat perbuatan-mu! Hiyaaat..!"
'Tahan, Den!"
Kerta Wangsa baru saja bermaksud akan menye-
rang Rangga, namun pada saat itu Kusnadi beserta
dua orang temannya langsung melompat menahan
niatnya. "Den Kerta Wangsa. Biarlah bocah ini menjadi bagianku. Kalau dibiarkan banyak
bicara, dia akan se-
makin berkoar dan menganggap dirinya jago tak terkalahkan!"
"Hm...!"
Kerta Wangsa berpikir lain. Pada dasarnya, dialah
yang ingin menempur Pendekar Rajawali Sakti. Sudah
lama sekali nama pemuda itu didengarnya, sehingga
membuat iri hatinya. Seingatnya, selama ini belum
pernah terdengar kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa dipecundangi lawan. Padahal,
banyak cerita yang didengarnya kalau Pendekar Rajawali Sakti sering berhadapan
dengan tokoh-tokoh kosen berilmu tinggi.
Sejak awal, Kerta Wangsa memang sudah kesal
terhadap Kusnadi. Selain orang itu tak menyukainya, sejak tadi pun tangannya
sudah gatal ingin menghajar laki-laki berperut gendut itu. Maka dengan
menawarkan diri untuk menempur Pendekar Rajawali Sakti, di atas kertas Kusnadi
pasti akan menjadi bulan-bulanan lawan. Dan justru hal itulah yang memang
diharapkan Kerta Wangsa. Dalam hatinya, dia memang ingin me-minjam tangan
Pendekar Rajawali Sakti untuk meng-
hukum Kusnadi. "Baiklah kalau memang kau ingin menghajar-nya.
Tapi, ingat jangan setengah-setengah. Aku ingin melihat dia mampus di tanganmu!"
sahut Kerta Wangsa
sambil mendengus sinis.
"Beres!" sahut Kusnadi cepat.
Bersama dua orang kawannya, Kusnadi langsung
mencabut golok dan mengurung Pendekar Rajawali
Sakti. "Bocah! Kau terlalu menganggap enteng lawan.
Berhati-hatilah, karena nama besarmu hari ini akan
tumbang!" "Hm.... Sungguh lucu kalian, Kisanak. Siapa yang menghina dan siapa pula yang
mempersoalkan nama
besar" Kalianlah yang mencari gara-gara. Aku hanya
sekadar memperingatkan, perbuatan yang dilakukan
temanmu itu sangat tidak terpuji. Dan hanya binatanglah yang melakukan perbuatan
terkutuk itu," sahut Rangga santai.
"Keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!" Sambil berteriak nyaring, ketiga orang itu
melompat menyerang
Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat melom-
pat tinggi, kemudian bersalto beberapa kali. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit
pun, kakinya menjejak tanah di belakang lawan pada jarak satu tombak.
Bukan main gusarnya Kusnadi dan dua orang te-
mannya, melihat serangan pertamanya luput. Mereka
langsung membagi tempat. Dan ketika dua orang te-
mannya kembali menyerang, Kusnadi mencuri kesem-
patan saat Rangga melompat menghindar.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
Plak! Rangga cepat menunduk, ketika golok lawan men-
gancam kepalanya. Maka golok itu hanya lewat bebe-
rapa jari di atas kepalanya. Sementara kaki kanan
Rangga juga langsung menghantam salah seorang
yang berada di dekatnya. Sedangkan tangan kiri
menghantam pergelangan tangan Kusnadi.
Plak! "Ugkh!"
Terdengar suara keluhan tertahan. Sementara la-
wan yang lain sempat jungkir balik, menghindari tendangan Pendekar Rajawali
Sakti. "Sial!" maki Kusnadi, ketika kecurangannya terbaca Pendekar Rajawali Sakti.
'Yeaaa...!"
Kedua teman Kusnadi kembali menyerang ganas.
Dan seperti semula, Kusnadi mencuri kesempatan di
saat lawan lengah. Tapi kali ini Rangga tak mau lagi memberi hati. Tubuhnya
langsung bergerak indah,
mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
"Hiyaaa...!"
Dan setelah bergerak ke samping menghindari te-
basan golok Kusnadi, tubuh Rangga berputar cepat di udara dengan kedua kaki
terpentang menghajar teng-kuk dan dada kedua lawan. Begitu mendarat, kepalan
tangannya langsung menyodok dada kiri Kusnadi.
Plak! Duk! Diegkh! "Aaa...!"
Ketiga orang itu memekik kesakitan. Tubuh mereka
kontan terpental sambil menyemburkan darah segar
dari mulut. Sesaat mereka menggelepar-gelepar, sebelum akhirnya diam untuk
selamanya. Mati!
Mereka yang menyaksikan itu terkejut Memang ke-
jadiannya begitu cepat sehingga tak ada seorang pun yang mampu menolong.
"Keparat! Pendekar Rajawali Sakti, akulah lawan-mu!" bentak Ki Gembyong sambil
melompat maju. Tapi sebelum Ki Gembyong menyerang Pendekar
Rajawali Sakti, tiba-tiba....
"Ki Gembyong, menepilah. Dia bukan lawanmu. Bi-
ar aku yang akan melayaninya!" bentak Kerta Wangsa.
"Tapi..."
"Minggir kataku!" bentak Kerta Wangsa lagi tanpa menoleh. Bahkan sorot matanya
tampak tajam menatap ke arah Rangga. Tangannya yang semula berseda-
kap, direntangkan.
"Pendekar Rajawali Sakti! Nama besarmu ternyata bukan kosong belaka. Tapi,
Siluman Liar Berdarah
Dingin tak bisa kau samakan dengan mereka. Berhati-
hatilah....!"
Selesai berkata begitu, Kerta Wangsa yang berjuluk
Siluman Liar Berdarah Dingin langsung berkelebat cepat menyerang Pendekar
Rajawali Sakti.
*** 7 Sementara itu, di kejauhan sana, Kesuma Wardha-
na terus memacu kencang kudanya. Sementara di be-
lakangnya, Andini juga mengejar dengan perasaan ge-
ram dan kesal. Kalau belum menghajar kakaknya, ha-
tinya belum puas. Tinggallah prajurit-prajurit di belakang mereka yang terpaksa
memacu kencang kudanya
agar tak ketinggalan.
Kesuma Wardhana terkejut ketika tiba-tiba ku-
danya meringkik keras sambil menaikkan kedua kaki
dengannya tinggi-tinggi. Ternyata di depannya telah berdiri dua sosok bertubuh
ganjil. Yang seorang, laki-laki tua bertubuh cebol. Dan di sebelahnya, seorang
perempuan tua bertubuh tinggi kurus. Keduanya me-makai baju warna-warni.
"Hi hi hi...! Kau lihat, Kakang Warkala" Pemuda ini cukup tampan dan gagah. Dia
pasti cocok menjadi ca-
lon suami Yatikah," kata perempuan tua itu sambil tertawa panjang dan memegangi
tongkat kayunya dengan
kedua tangan. "Betul apa yang kau katakan, Yuningsih. Tapi,
apakah dia bisa memenuhi syarat?" tanya laki-laki cebol itu sambil sesekali
menggeser letak pedang pendek terbuat dari kayu yang berada di pinggangnya.
"Kenapa susah-susah" Uji saja!"
"He he he...! Betul juga katamu. Mana mungkin ki-ta tahu kalau tidak mengujinya
lebih dulu."
"Kisanak berdua! Siapakah kalian, dan kenapa ti-ba-tiba menghadang perjalanan
kami?" tanya Kesuma Wardhana sopan.
"Kakang Kesuma! Kenapa kau masih bersopan-
sopan segala pada mereka"! Sudah jelas ke-duanya ingin mencari gara-gara!"
potong Andini, sebelum kedua orang tua itu menyahut.
"Andini, jaga mulutmu! Tidak baik kau berkata begitu!"
Andini menunjukkan wajah cemberut karena di
bentak dengan nada kasar oleh kakaknya.
Sementara itu prajurit-prajurit kerajaan yang baru
tiba di tempat itu, langsung turun dari kuda dan
menghampiri mereka.
"Padukan Pangeran, apa yang terjadi" Dan, siapakah kedua orang tua ini" Apakah
mereka mengganggu
Paduka?" tanya salah seorang prajurit dengan sikap hormat.
"Kau dengar, Yuningsih" Ternyata pemuda ini seorang putra raja. Sungguh
kebetulan!" seru laki-laki cebol itu sambil terkekeh girang.
"Huh! Buat apa putra raja segala. Kalau ternyata dia tak becus, apa gunanya!
Sudahlah, se-baiknya lekas kau uji dia. Atau, aku yang mesti maju lebih du-lu"!"
"Eit..., eit! Cobalah bersikap lebih sabar...!"
Kesuma Wardhana baru akan kembali bertanya,
ketika laki-laki cebol yang dipanggil Warkala bersuit nyaring. Bersamaan dengan
itu melesat sesosok tubuh ramping di dekat mereka. Ternyata, dia seorang gadis
berwajah cantik berbaju warna-warni seperti kedua
orang tua itu. Walaupun begitu, gadis ini terlihat tak pandai mengurus diri.
Kulitnya yang putih tampak kotor. Dan rambutnya yang panjang, terkesan suram dan
menutupi sebagian wajahnya.
'Yatikah! Coba lihat pemuda ini" Apakah kau me-
rasa cocok dengannya?" tanya Warkala tak mempedulikan keadaan di sekelilingnya.
Gadis yang ternyata Yatikah itu memandang seki-
las pada Kesuma Wardhana sambil tersipu-sipu malu.
'Yah, dia boleh juga. Tapi, aku tak akan me-langgar sumpahku. Kalau dia tak
becus apa-apa, lebih baik
mampus saja!"
"Kisanak! Kalian sudah keterlaluan. Menepilah dan beri jalan pada junjungan
kami!" bentak salah seorang prajurit sudah tak sabar melihat kelakuan orang-
orang asing itu.
"He, apa katamu"!"
Tiba-tiba saja tubuh Warkala melompat dan men-


Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gayunkan pedang pendek ke batok kepala prajurit itu.
Dan.... Prak! "Aaa...!"
"Hei"!"
"Keparat!"
Gerakan Warkala cepat sekali, sehingga prajurit itu tak sempat mengelak.
Kepalanya langsung retak dihantam pedang kayu Warkala. Terdengar jerit kema-
tian ketika tubuhnya roboh ke tanah.
Kesuma Wardhana dan yang lainnya langsung ter-
kejut menyaksikan semua itu. Namun, dua orang pra-
jurit telah langsung melompat hendak menerjang War-
kala sambil memaki geram.
"He he he...! Ayo! Majulah kalian semua, kalau tak senang dengan kata-kataku.
Biar sekalian ku-buat
mampus. Ayo, maju dan seranglah aku sepuas kalian!"
"Hi hi hi...! Enak saja kau ingin berpesta sendiri.
Tanganku pun sudah gatal melihat tingkah mereka!"
sahut Yuningsih seraya terus melompat. Langsung di-
hajarnya sisa-sisa prajurit lain yang telah mengurung mereka.
"Yeaaa...!"
Prak! Des! "Aaa...!"
Terdengar pekik kematian ketika senjata aneh di
tangan kedua orang tua itu berkelebat menghajar ke
sana kemari. Dalam waktu singkat saja, tiga orang
prajurit telah tewas.
"Paduka Pangeran dan Putri. Cepat tinggalkan
tempat ini!" teriak salah seorang prajurit memperingatkan.
Belum sempat Kesuma Wardhana dan Andini men-
jauh, tiba-tiba Yatikah telah mencegah.
"Mau ke mana kalian" Jangan coba-coba kabur sebelum berhadapan denganku!"
"Cuih! Perempuan jalang, mampuslah kalau berani menghalangi kami!" teriak Andini
sambil melepaskan anak panahnya.
Siiing! Tap! Namun dengan gerakan menakjubkan, Yatikah
menangkap anak panah itu menggunakan dua jari
tangan. Kemudian dengan gemas dilemparnya anak
panah itu kembali ke arah Andini.
Dan ternyata Andini agaknya memiliki kemampuan
ilmu silat yang lumayan. Maka dengan sigap dia me-
lompat dari kuda sambil menghindari lemparan anak
panah, dan langsung mendarat di depan Yatikah.
"Perempuan jalang! Agaknya kau perlu diberi pela-jaran agar mulutmu tak terlalu
lancang berbicara,
Yeaaa...!"
"Andini...!"
Kesuma Wardhana mencoba mencegah perbuatan
adiknya yang hendak menyerang Yatikah, tapi terlam-
bat. Ternyata, Andini telah bergerak cepat melepaskan pukulan ke arah lawan.
"Uts!"
Namun, dengan mudah Yatikah mengelakkan se-
rangan dengan dorongan tubuh ke kiri. Dan begitu
terbebas, tangan kanannya bergerak menampar dada
Andini. Duk! "Akh!"
Andini yang tak sempat mengelak, langsung menje-
rit kecil. Seketika tubuhnya terpental ke belakang. Tapi dasar gadis itu memang
keras kepala, dia masih tetap berusaha bangkit. Sambil tertatih-tatih dengan
sebelah tangan mendekap dadanya yang terasa nyeri, Andini
menghapus darah yang menetes di ujung bibirnya. Ta-
pi baru beberapa langkah, pandangannya mulai kabur
Dan tiba-tiba Andini ambruk pada saat Kesuma Ward-
hana melompat dari punggung kuda dan menyambar
tubuh adiknya. "Andini...!"
Diurut-urutnya dada adiknya perlahan-lahan sebe-
lum menyandarkannya pada sebatang pohon.
Ketika dilihatnya Andini mulai siuman, Kesuma
Wardhana berbalik dan menatap tajam gadis yang me-
lukai adiknya. Kemudian, pandangannya beredar ke
sekeliling. Ternyata prajurit-prajuritnya telah tewas tanpa sisa. Sementara
kedua orang tua aneh itu terkekeh-kekeh kegirangan sambil bertolak pinggang.
"Biadab! Apa yang kalian kehendaki sebenar-nya"!"
geram Kesuma Wardhana.
"Heh, Anak Muda. Majulah, dan keluarkan seluruh kemampuanmu kalau tak ingin
kubuat mampus!" bentak Yatikah sambil melangkah mendekati, dan berhenti tepat
saat jarak mereka tinggal empat langkah lagi.
'Perempuan kejam! Apa urusan kalian hingga tega
berbuat kasar pada kami?"
'Tak usah banyak tanya. Majulah. Atau, kupecah-
kan batok kepalamu!"
Agaknya, Yatikah sudah tidak sabar menunggu
tanggapan Kesuma Wardhana. Sehingga, dengan cepat
diserangnya pemuda itu dengan melayangkan kepalan
tangan ke wajah.
"Hiyaaa...!"
Namun, Kesuma Wardhana tentu saja tidak sudi
wajahnya jadi sasaran pukulan lawan. Maka dengan
cepat tubuhnya dimiringkan, seraya memapak seran-
gan gadis itu. Plak! "Bagus!" puji Yatikah.
Kesuma Wardhana terkejut dan mengeluh lirih ke-
tika tangannya terasa sedikit nyeri saat berbenturan tadi. Sepertinya, yang
ditangkisnya adalah sebatang besi yang amat kokoh. Memang pemuda itu pernah be-
lajar ilmu olah kanuragan. Namun sayangnya, tak terlalu mendalam. Pikirnya, ilmu
silat yang dipelajarinya selama ini sudah cukup bagus untuk membentuk tubuh.
Sehingga dia tak bernafsu untuk mempelajarinya pada jenjang yang lebih tinggi.
Maka tak heran ketika menangkis serangan Yatikah yang dialiri tenaga dalam,
bibirnya sempat meringis kesakitan.
"Huh! Laki-laki banci tak berguna. Lebih baik kau mampus saja!" dengus Yatikah
sambil mengayunkan tangan ke arah dada Kesuma Wardhana yang tak sempat berbuat
apa-apa. Dan....
Des! "Akh...!"
Kesuma Wardhana menjerit keras dan tubuhnya
terlempar sejauh dua tombak. Dari mulutnya langsung menyembur darah segar. Kalau
saja hantaman itu lebih keras lagi, tentu dia akan tewas seketika. Namun,
agaknya Yatikah masih menaruh belas kasihan juga.
Hingga, dia tak sepenuh hati saat menghantam tadi.
"Aaah! Buat apa dikasih hati segala" Biar kubereskan laki-laki tak berguna ini!"
bentak perempuan tua yang sejak tadi menyaksikan tingkah mereka berdua.
Dengan wajah gemas, tubuh perempuan tua itu
melayang dengan satu serangan telak ke arah Kesuma
Wardhana. Dan kali ini, tentu Kesuma Wardhana tak
dapat menghindarinya. Namun di saat-saat gawat, ti-
ba-tiba muncul seorang bocah berusia kira-kira delapan tahun, sehingga
mengalihkan perhatian Yuning-
sih, perempuan tua aneh itu.
*** "Ayah..., Ibu...! Telah kutemukan orang itu! Telah kutemukan!"
"Karsono! Apa-apaan kau berteriak-teriak begitu"!"
bentak Warkala.
'Telah kutemukan orang itu!" sahut bocah yang
bernama Karsono dengan wajah gembira.
"Apa yang kau temukan?"
"Calon suami Yatikah!"
"Apa"!" gadis bernama Yatikah itu berseru kaget
sambil menghampiri Karsono dengan wajah ceria.
'Telah kutemukan calon suamimu. Orangnya tam-
pan, berambut panjang, dan kepandaiannya luar bi-
asa!" "Di mana dia"!" sentak Yuningsih yang berada di dekat Warkala dengan wajah
berseri-seri pula.
"Di sana!"
"Goblok! Kenapa tak diajak ke sini"!"
"Habis..., dia menghajarku sampai badanku terasa sakit-sakit," sahut Karsono
sambil menundukkan kepala.
"Apa"! Dia berani menghajarmu" Kurang ajar! Ayo, tunjukkan! Di mana orangnya,
biar kupecahkan batok
kepalanya!" sahut Warkala dengan wajah berang.
'Tadi dia mengejarku ke sini. Entah kenapa, seka-
rang tak mengikuti lagi. Barangkali dia lebih tertarik mengurusi orang yang
sedang berkelahi....'
"Di mana" Di mana ada orang berkelahi" Bagus!
Lebih banyak orang, lebih baik. Ayo, tunjukkan tempat itu," ajak Yuningsih
sambil menyeret lengan Karsono.
'Tapi, bagaimana dengan mereka?" tanya Yatikah ragu.
"Aaah, sudah! Tinggalkan saja mereka di sini!" bentak Yuningsih.
Maka keempat orang itu langsung menggenjot tu-
buh, meninggalkan tempat itu.
Sementara Kesuma Wardhana menggeleng-
gelengkan kepala sambil berusaha bangkit. Sedangkan Andini sudah mendekat, dan
segera memapah tubuh
Kesuma Wardhana.
"Siapa mereka sebenarnya. Dan, apa yang diinginkan mereka?" gumam Kesuma
Wardhana heran.
'Tulikah telingamu" Apakah kau tidak mendengar
ocehan mereka" Gadis liar itu sudah gatel ingin kawin.
Tapi, agaknya mereka mencari syarat tertentu. Mung-
kin calon suaminya harus memiliki ilmu olah kanura-
gan yang mampu melebih dirinya," tebak Andini.
'Tapi caranya sangat keterlaluan..."
"Keterlaluan bagaimana" Bersyukurlah kau karena tak kawin dengan gadis itu.
Kalau tidak, apa kata ayahanda nanti memiliki calon menantu orang gila seperti
dia!" "Kau ini kalau bicara seenak perutmu saja..."
"Sudahlah, Kakang Kesuma. Lebih baik, kau pu-
lang. Dan katakan pada ayahanda semua kejadian ini.
Mudah-mudahan prajurit-prajurit istana akan cepat
menangkap mereka," sahut Andini sambil berjalan pelan ke arah orang-orang tadi
berkelebat. "Eee, mau ke mana kau?"
"Menyusul mereka!"
"Gila! Kau mau mencari mati" Andini, orang-orang itu gila. Dan bagi mereka,
nyawa manusia seperti tak ada harganya. Ayo, mari kita pulang segera!"
"Kakang Kesuma! Tidakkah kau tadi mendengar
ocehan bocah itu!"
"Ocehan" Ocehan yang mana" Mana aku peduli
dengan segala ocehan orang gila seperti mereka!"
"Mereka mengatakan tentang seseorang, dan akan menemuinya."
"Seseorang" Siapa yang kau maksud?"
'Pemuda yang dulu kita temui! Bukankah dia ber-
wajah tampan, berambut panjang, dan mengenakan
rompi putih seperti yang dikatakan bocah tadi" Pasti dia Rangga, pemuda yang
dimaksud itu. Hei! Tak disangka, dia memiliki kepandaian tinggi. Pasti dia akan
suka membantu kita menghajar orang-orang gila itu!"
"Andini, tunggu...!"
"Tidak, Kakang. Aku akan ke sana sekarang juga!"
sahut Andini sambil melompat ke atas punggung kuda, dan langsung menggebah
kencang. Kesuma Wardhana hanya menggerutu kesal. Dia
lantas bangkit dan melompat ke punggung kudanya
untuk mengejar Andini.
*** 8 Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti mela-
wan Siluman Liar Berdarah Dingin semakin sengit sa-
ja. Dan masing-masing telah menyadari bahwa lawan
yang dihadapi bukanlah orang sembarangan. Maka tak
heran kalau sama-sama telah mengerahkan ilmu silat
tingkat tinggi.
Rangga mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib' untuk memancing dan memperhatikan sifat se-
rangan lawan, serta sesekali menyerang.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau terlalu menganggap remeh kemampuanku! Jangan terus
menghindar. Apakah kebisaanmu hanya sampai di sini"!" bentak Kerta.
Wangsa, geram. "Kisanak! Kenapa kau marah-marah" Bukankah
kau yang lebih dulu memulai pertarungan" Aku hanya
sekadar mempertahankan diri," jawab Rangga. santai.
"Hm. Kalau begitu, tahanlah jurus 'Langit Memutar Bumi Berguncang' ini!" desis
Kerta Wangsa. "Hiyaaat..!"
Rangga terkesiap. Ternyata lawan bergerak cepat
bagai sapuan angin puyuh. Dan tiba-tiba, pedangnya telah berkelebat menyambar ke
arah leher. Masih untung, Pendekar Rajawali Sakti cepat menghindar den-
gan membuang tubuh ke kiri.
"Yeaaa...!"
Mulai terlihat perubahan sifat serangan lawan kali
ini. Selain cepat dan kuat, juga tertuju pada bagian
yang mematikan. Ke mana saja Pendekar Rajawali Sak-
ti berkelit maka ujung pedang lawan terus mengejar.
Dan walau Rangga berhasil menendang pergelangan
tangan lawan, tapi Kerta Wangsa cepat memapak den-
gan tangan kiri. Dan pada saat yang sama, pedang di tangannya melaju terus
mengancam tubuh Pendekar
Rajawali Sakti!
Cras! "Akh!"
Rangga mengeluh kecil begitu ujung pedang lawan
berhasil menggores sedikit dadanya, sehingga menimbulkan luka berdarah. Masih
untung Rangga tadi ce-
pat bersalto atas. Kalau tidak, pasti sabetan pedang lawan yang menyilang akan
membelah lehernya.
"Hm.... Cabutlah pedangmu, kalau tak ingin terluka!" dengus Kerta Wangsa garang,
begitu Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah.
"Sungguh hebat permainan pedangmu, Kisanak.
Tapi biarlah aku meladenimu dengan tangan kosong
dulu...." "Hm, sombong! Jangan salahkan bila kau harus
mampus saat ini juga!" dengus Kerta Wangsa semakin bertambah geram saja
mendengar jawaban Rangga.
Pemuda bergelar Siluman Liar Berdarah Dingin itu
segera membuat gerakan dengan merapatkan tangan
kanan yang memegang pedang, ke dada hingga bersen-
tuhan dengan telapak tangan kiri. Kemudian, sambil


Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berteriak nyaring dia mulai menyerang Rangga.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat..!"
Rangga yakin kalau lawan kali ini bermaksud
menghabisi nyawanya. Maka dia harus tetap berhati-
hati menyambut setiap serangan sambil memper-
siapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Dan apa yang diperkirakan Pendekar Rajawali Sak-
ti tak salah. Dari tangan kiri Kerta Wangsa tampak melesat selarik sinar
berwarna abu-abu menghantam ke
arahnya. Rangga terpaksa jungkir balik untuk meng-
hindarinya. Tapi saat itu juga, tubuh Kerta Wangsa
melesat ke arahnya sambil mengayunkan pedangnya
yang bergerak bergulung-gulung seperti hendak meli-
pat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Namun pada saat itu juga Rangga melepaskan pu-
kulan jarak jauh dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Maka seberkas sinar
merah langsung keluar
dari telapak tangannya, menghajar ke arah Siluman
Liar Berdarah Dingin. Pemuda itu terkejut setengah
mati. Dan dia berusaha menghindarinya dengan ka-
lang kabut. Sementara itu desir angin pukulan Pendekar Rajawali Sakti menderu
hebat. Dan saat tubuhnya melesat cepat melepaskan pukulan, Kerta Wangsa masih
sempat menangkis. Namun begitu sodokan kaki
kanan Rangga menghantam telak dadanya, Kerta
Wangsa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia kontan terpental, namun masih untung
mampu berpijak di ta-
nah. Langsung dihapusnya darah yang menetes di su-
dut bibirnya. Plok! Plok...! "Hebat sungguh hebat! Dua pemuda gagah dan
sama-sama berkepandaian tinggi. Sungguh pantas ba-
gi anakku!"
Rangga dan Kerta Wangsa sama-sama menoleh ke-
tika terdengar tepuk tangan meriah yang disusul munculnya empat orang bertubuh
aneh dan berpakaian
sama. Yang dua orang, laki-laki bertubuh cebol. Satu berusia tua, dan seorang
lagi seperti bocah berusia delapan tahun. Di sebelah mereka terdapat dua orang
wanita. Yang seorang, tinggi kurus memegang tongkat dan berusia lanjut. Sedang
yang satu lagi, seorang gadis cantik dengan kulit kusam tak terawat.
*** "Den Kerta Wangsa! Merekalah orang yang kita ca-
ri-cari. Laki-laki cebol yang wajahnya seperti anakanak itu! Jangan salah kira,
dia bukan anak kecil, tapi pemuda dewasa yang bertubuh cebol," bisik Ki
Gembyong, setelah menghampiri Kerta Wangsa.
"Hm.... Ternyata mereka...."
"Apakah kau mengenalnya?"
Kerta Wangsa mengangguk.
"Orang-orang menyebut mereka sebagai Pen-dekar-pendekar Aneh. Dan memang,
kelakuan mereka juga
aneh-aneh."
"Pendekar Aneh" Baru kali ini nama itu kudengar,"
kata Ki Gembyong.
"Memang! Mereka jarang menunjukkan diri kalau
tak ada sesuatu hai yang penting"
"Lalu dengan munculnya mereka di sini, pasti ada yang dianggap penting?" tebak
Ki Gembyong. Kerta Wangsa kembali mengangguk.
"Lho, Iho.... Kenapa diam" Ayo, lanjutkan pertarungan kalian. Biar aku akan
menontonnya dari sini!"
teriak laki-laki tua bertubuh cebol yang bernama Warkala.
"Sial! Kau pikir kami ayam aduan yang seenaknya diadu" Kalau kau memang suka
sekali melihat orang
bertarung, kesinilah. Biar kuperlihatkan, bagaimana enaknya!" bentak Kerta
Wangsa garang. "Hi hi hi...! Kau dengar, Warkala" Dia betul-betul bersemangat tinggi. Ah! Pasti
pantas untuk mu, Yatikah," ucap Yuningsih, istri Warkala.
Sementara Yatikah yang berkulit putih namun ku-
sam, tersipu malu mendengar perkataan ibunya. Na-
mun dengan cepat parasnya berubah ketika menden-
gus sinis. "Huh! Belum tentu dia pantas menjadi suami-ku.
Siapa tahu, hanya pepesan kosong belaka."
"Gadis celaka! Apa katamu?" mata Kerta Wangsa mendelik marah.
Hampir saja Kerta Wangsa menyerang gadis itu ka-
lau tak ingat urusannya dengan Pendekar Rajawali
Sakti. 'Pendekar Rajawali Sakti! Sebaiknya kita tunda se-
saat urusan kita. Aku bermaksud akan memberi pela-
jaran pada perempuan besar mulut ini!"
"Silakan, Kisanak. Kebetulan aku pun akan melanjutkan kembali perjalananku,"
sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian berlalu, hendak
mendekati gadis berbaju biru yang sejak tadi diam
memperhatikan pertarungan mereka. Dan baru berja-
lan lima langkah, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menghadang Pendekar
Rajawali Sakti.
"Eee. Jangan seenaknya pergi dari sini. Kalian harus melanjutkan pertarungan
tadi, agar aku dapat melihat orang yang paling hebat. Yang menang nanti,
akan berhadapan dengan putriku. Dan kalau bisa
mengalahkan Yatikah, maka dialah yang berhak men-
jadi menantuku!" seru Warkala, begitu mendarat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak, menepilah. Jangan menghalangi lang-
kahku!" ujar Rangga memperingatkan.
"Hei! Sungguh sombong! Apa kau pikir berhak ber-kala begitu padaku" Anak muda
kurang ajar! Kau pa-
tut dihukum!"
Setelah berkata demikian, tubuh orang tua cebol
itu bergerak cepat. Pedang kayu mainannya langsung
dikeluarkan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sak-
ti. 'Yeaaa...!"
Walaupun bertubuh cebol, tapi orang tua itu mam-
pu bergerak cepat. Bukan hanya itu saja! Angin serangannya pun cukup kuat,
karena dibarengi tenaga da-
lam hebat. Tampak Warkala tak tanggung-tanggung
menggempur lawan. Bahkan seperti hendak menja-
tuhkan secepatnya.
Tentu saja, hal ini membuat Rangga terkejut. Tentu
saja serangan Warkala tak bisa dianggap enteng. Mau tak mau, serangan itu
terpaksa diladeni secara bersungguh-sungguh pula.
Sementara itu, melihat mereka bertarung, bukan
main kesalnya Kerta Wangsa. Dia merasa orang tua
cebol itu telah merebut lawannya. Sebenarnya, bisa sa-ja dia mengeroyok Pendekar
Rajawali Sakti.
Bahkan mungkin, akan membuat pemuda itu mu-
dah dilumpuhkan. Tapi bukan itu yang diinginkannya, tapi kematian Pendekar
Rajawali Sakti di tangannya
sendiri dalam pertarungan adil satu lawan satu.
'Pendekar Rajawali Sakti! Kau bereskanlah dulu
orang-orang aneh ini. Suatu saat, aku akan datang
mencarimu!" teriak Kerta Wangsa bermaksud meninggalkan arena pertempuran.
"Keparat! Apa katamu"! Seenaknya bicara!" sentak Yuningsih sambil melompat dan
menghalangi langkah
Kerta Wangsa. Bersama perempuan tua itu pula, mendekat dua
orang putra-putrinya. Sikap mereka sama dalam
menghadang jalan Kerta Wangsa. Tenang sambil me-
natap dengan sinar mata sinis.
'Perempuan tua, menepilah. Kalau tidak, aku tak
akan segan-segan memenggal kepalamu!"
"Hi hi hi...! Baru kali ini kudengar ada orang yang
berani bicara begitu di hadapanku. Kalau tidak gila, pasti dia ingin mampus di
sini!" sahut Yuningsih sambil tertawa nyaring.
"Sial! Kau betul-betul tak bisa diajak bicara baik-baik!"
Sring! 'Yeaaa...!"
Sambil menyeringai buas, Kerta Wangsa segera
mencabut pedangnya dari warangka. Maka langsung
diserangnya perempuan tua di hadapannya. Namun
dengan sigap, Yuningsih menghindar. Bahkan kini ti-
ba-tiba Karsono ikut membantu sambil berteriak keras menggelegar.
"Ibu! Biarlah monyet satu ini menjadi bagianku, sementara orang tua jelek itu
menjadi bagian Yatikah!"
seru Karsono sambil menunjuk Ki Gembyong.
"Hi hi hi...! Pintar juga kau mencari lawan, Karsono. Tapi tak apalah. Hitung-
hitung melemaskan otot-
ototku yang kaku bermain dengan orang tua yang tak
berguna ini!" sahut Yatikah langsung melompat, menyerang Ki Gembyong.
Kedua orang tua aneh itu serta putra-putri mereka
yang juga aneh, memang rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan tingkat tinggi.
Walau nama mereka tak banyak dikenal orang, tapi beberapa tokoh persilatan cukup
mengenali mereka karena sepak terjangnya yang
aneh. Namun, bila seorang diri menghadapi Siluman Liar
Berdarah Dingin yang terkenal berilmu tinggi dan kejam, sungguh tindakan yang
konyol. Hal itu sama ar-
tinya mengantarkan nyawa. Seperti halnya salah seo-
rang di antara mereka yang bernama Karsono.
Kini mulai terlihat. Baru dua jurus berlangsung,
Karsono mulai tersudut. Kini tak ada lagi suara terkekeh-kekeh mengejek lawan.
Apalagi, ujung pedang Ker-
ta Wangsa begitu cepat menyambar-nyambar mengan-
cam keselamatannya. Keringat dingin pun mulai men-
gucur di tubuh Karsono. Dan pada jurus-jurus selan-
jutnya, Karsono hanya bisa menghindar terus.
'Yeaaa...!"
Tiba-tiba tubuh Kerta Wangsa berputaran cepat
dengan kelebatan pedangnya. Sambil terus bergerak
maju mendekati lawan yang mulai kebingungan, tan-
gan kirinya menyodok cepat ke dada Karsono.
Dug! Dan belum lagi Karsono menguasai diri, pedang
Kerta Wangsa telah mengincar jantungnya. Maka....
Creb! "Aaa...!" Karsono terpekik nyaring.
"Karsono...!"
Yuningsih, perempuan tua itu terkejut setengah
mati sambil memburu ke arah Karsono yang terpental
dengan dada kiri mengucurkan darah segar. Saat di
pangkuannya, Karsono telah menggelepar-gelepar se-
saat, sebelum nyawanya lepas dari raga. Yuningsih
langsung menangis sesenggukan.
Sementara pada saat yang bersamaan, Yatikah
berhasil memecahkan batok kepala lawan. Namun bu-
kan main kagetnya dia menyaksikan Karsono, kakak
satu-satunya, tewas di tangan lawan. Maka buru-buru dia melompat memburu.
Hal yang sama juga terjadi pada Warkala. Agaknya,
ikatan batin di antara mereka kuat sekali. Walau masih gencarnya bertarung
menempur lawan, namun me-
lihat putranya roboh, lawan langsung ditinggalkan begitu saja. Dia lalu memburu
ke arah putranya yang berada di pangkuan istrinya.
"Karsono...!"
Ketiga orang aneh itu menangis sesenggukan se-
perti anak kecil. Tapi, Kerta Wangsa tak mempedulikan
keharuan yang menyelimuti hati mereka. Kakinya te-
rus melangkah mendekati Rangga dengan sorot mata
tajam. "Kini tak ada lagi yang akan menghalangi urusan kita!" kata Kerta Wangsa dengan
suara menusuk, siap mengayunkan pedang.
"Kisanak..."
"Yeaaa...!"
"Uts, haaa...!"
*** Rangga tak sempat meneruskan kata-katanya keti-
ka pedang lawan menyambar cepat ke arahnya yang
disusul satu pukulan yang mengeluarkan sinar abu-
abu dari telapak tangan Kerta Wangsa.
'"Gelap Ngampar'!"
"Hm.... Sungguh berbahaya pukulannya. Mengan-
dung racun yang hebat," desis Rangga pelan sambil jungkir balik menghindarinya.
Pendekar Rajawali Sakti tak bisa terus bertahan.
Dalam tiga jurus lagi, tentu dirinya akan bisa dilumpuhkan lawan. Dan tanpa
pikir panjang lagi, pedang
pusakanya cepat dicabut. Maka seberkas sinar biru
keluar dari batang Pedang Pusaka Rajawali Sakti me-nyinari sekitar tempat itu.
Kerta Wangsa sempat bergidik bulu kuduknya me-
nyaksikan kehebatan pamor pedang lawan. Sempat
terlihat wajah Rangga yang semula berkesan ramah,
kini berubah menjadi menggiriskan.
"Hiyaaat..!"
Rangga berteriak nyaring sambil berkelebat ke arah
lawan menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
'Yeaaa...!"
Begitu pedang lawan akan mengincar lehernya,
Pendekar Rajawali Sakti cepat merendahkan tubuhnya
sambil memapak pedang lawan.
Trak! Seketika pedang Kerta Wangsa terpenggal menjadi
dua bagian. Laki-laki itu kontan terkejut dengan tubuh terjajar dua langkah ke
belakang. Dalam adu pedang
tadi, jelas tenaga dalam Kerta Wangsa kalah jauh dibanding Pendekar Rajawali
Sakti. Bahkan tubuhnya
jadi bergetar hebat seperti tersengat kala berbisa. Dan belum lagi dia mampu
menguasai diri, pedang Pendekar Rajawali Sakti telah kembali terayun ke arah
perutnya. Sehingga....
Breeet! "Aaa...!"
Kerta Wangsa terpekik nyaring dengan tubuh sem-
poyongan. Tangan kirinya langsung mendekap perut-
nya yang robek ditebas pedang Rangga. Sementara,
tangan kanannya masih menggenggam erat pedangnya
yang buntung hampir separuh. Seluruh tubuhnya
tampak biru. Dan dengan menahan rasa sakit, tubuh-
nya tampak menggigil berusaha bertahan.
"Pende... kar Rajawali Sakti.... Kau... kau menang...
Aaah...!" Kerta Wangsa langsung roboh tak bernyawa lagi.


Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari bibirnya tampak menyunggingkan senyum puas.
Rangga menyarungkan kembali pedang pusakanya,
disertai helaan napas. Hal yang paling parah adalah kesombongan Kerta Wangsa
sendiri. Meski mengetahui
kehebatan pamor pedang lawan, namun harga dirinya
begitu tinggi. Akibatnya sungguh hebat. Bukan hanya pedangnya yang terbabat
buntung, tapi ujung pedang
Rangga terus meluncur menyambar bagian perutnya.
Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah mendekati
Sekar Harum. "Nisanak, siapakah namamu" Kalau berkenan, kau
boleh pergi...."
"Aku..., eh! Aku.., namaku Sekar Harum."
"Hm.... Sekar Harum, sekarang kau bebas untuk
pergi...."
"Aku tak tahu harus pergi ke mana" Satu-satunya orang tempatku bernaung, adalah
guruku. Tapi beliau kini tewas di tangan pemuda itu...," kata Sekar Harum seraya
menunjuk tubuh Kerta Wangsa yang telah menjadi mayat.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala.
"Heh"!"
Rangga berseru heran ketika Warkala beserta istri
dan putrinya telah berdiri di dekatnya sambil menundukkan wajah sedih.
"Kisanak! Kau telah mengalahkan lawanmu yang
tangguh. Jadi pastilah ilmu silatmu sangat hebat. Putriku pernah bersumpah akan
kawin dengan laki-laki yang mampu mengalahkannya. Nah, Kisanak. Sudilah
kau menjadi calon suami anakku," kata Warkala dengan suara pelan.
"Eh...! Ng.., apa-apaan ini" Aku tak mengerti maksud kalian"!" jawab Rangga
heran. "Karsono tewas di tangan pemuda itu. Sedang dia sendiri, tewas di tanganmu. Di
samping itu kepandaian Yatikah berada di bawah Karsono. Maka secara tak
langsung, kau telah mengalahkan putri kami," jelas Warkala.
"Lalu?"
"Putriku harus menepati janjinya. Dan dia hanya akan kawin dengan pemuda yang
mampu mengalahkannya."
"Gila!"
"Apa katamu, Kisanak?" tanya Warkala, gusar.
"Eh! Maksudku, hal ini tak masuk akal. Begini sa-ja. Kisanak, bukan aku tak mau
kawin dengan putri-
mu. Dia cantik. Dan rasanya, setiap pemuda pasti
akan suka padanya. Tapi saat ini aku betul-betul belum berhasrat untuk berumah
tangga..."
"Tidak bisa! Itu telah menjadi ketentuan dalam ke-luarga kami!" bantah Warkala,
memaksa. Rangga kehabisan akal untuk mengelak niat orang
tua aneh itu. Maka dengan perasaan malu, diraihnya
Sekar Harum. Lalu, digenggamnya tangan gadis itu.
"Kisanak, kau lihat" Aku telah memiliki kekasih.
Dia sangat setia padaku. Mana mungkin aku tega
mengkhianatinya?"
"Bohong! Aku tak peduli!"
'Tentu aku peduli.' Bukankah begitu, Sayang?"
tanya Rangga bersikap mesra pada Sekar Harum.
Sekar Harum tak berani menjawabnya, malu untuk
mengeluarkan kata-kata. Tapi pada saat itu, tiba-tiba Warkala telah melompat
sambil menerkam tubuh Sekar Harum.
'Tak peduli siapa dia, kau harus kawin dengan pu-
triku. Dan kalau perlu, dia yang harus mampus."
"Hiyaaat...!"
Dan Rangga tak bisa membiarkan begitu saja kese-
lamatan Sekar Harum, Maka, dia cepat bertindak dan
menangkis serangan Warkala. Tangan kirinya dengan
cepat menotok. Plak! Tuk! Seketika orang tua cebol itu ambruk ke tanah den-
gan tubuh lemas.
"Kurang ajar! Berani betul kau berbuat begitu terhadap suamiku!" bentak
Yuningsih sambil melompat menerjang Rangga.
Bersamaan dengan itu, Yatikah pun ikut menye-
rangnya. Untuk sesaat, Rangga agak sibuk. Untung sa-ja dia cepat menguasai diri.
Dan saat tubuhnya bergu-
lung-gulung sambil berkelebat cepat, mereka tersentak kaget. Dan saat itulah
kedua tangannya dengan cepat menotok jalan gerak mereka.
"Cepat, Sekar Harum! Mari kita tinggalkan tempat ini!" seru Rangga. Langsung
disambarnya tubuh Sekar harum, lalu pergi dari tempat itu.
'Tapi mereka...."
'Tak sampai malam hari, mereka akan terlepas dari
totokan itu."
"Hm...."
Tak lama berselang setelah sosok Rangga maupun
Sekar Harum menghilang perlahan dari tempat itu, ti-ba-tiba sayup-sayup
terdengar suara panggilan dari kejauhan.
"Rangga, tunggu..!"
Dua orang berkuda menuju ke arah Rangga dan
Sekar Harum berlalu. Yang berada di depan seorang
gadis belia berwajah cantik. Dan di belakangnya, pemuda tampan berbaju mewah.
Mengetahui Pendekar
Rajawali Sakti tak mendengar panggilannya, gadis belia itu tertunduk lesu.
Perlahan-lahan pemuda di belakangnya mengajaknya untuk segera berlalu dari tem-
pat itu. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Rahasia Si Badju Perak 1 Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua Istana Sekar Jagat 2
^