Pencarian

Selendang Sutera Emas 2

Pendekar Rajawali Sakti 82 Selendang Sutera Emas Bagian 2


tinya. Dan dengan mudah sekali guru kami bisa dika-
lahkan musuh, karena sebagian jiwanya sudah dipin-
dahkan ke dalam selendang itu," sambung Rahtama.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
"Kakang, kalau begitu keselamatan Nyai Langis
sedang terancam," desis Pandan Wangi setengah berbisik. Rangga hanya diam saja.
Sedangkan pandangan-
nya menerawang jauh ke depan. Sementara, semua
orang yang duduk melingkari api unggun ini meman-
danginya. "Di mana Nyai Langis menunggu kalian?" tanya Rangga sambil menatap Rahtama.
"Puncak Bukit Batu," sahut Rahtama.
"Hm..... Kalian di sini saja. Dan besok pagi baru ke sana," kata Rangga sambil bangkit berdiri.
"Kau sendiri mau ke mana...?" tanya Anggita.
Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat men-
dengar pertanyaan gadis itu karena sudah melesat be-
gitu cepat. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh-
nya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari
pandangan mata. Begitu cepatnya, seakan-akan Pen-
dekar Rajawali Sakti bagaikan tertelan bumi saja.
"Mau ke mana dia?" tanya Paman Randaka.
"Ke Bukit Batu," sahut Pandan Wangi.
"Malam-malam begini...?" selak Anggita terpana.
Namun Pandan Wangi hanya tersenyum saja
mendengar pertanyaan gadis itu. Dan memang, tidak
ada seorang pun dari mereka yang tahu kalau Rangga
memiliki seekor burung rajawali raksasa yang bisa di-kendarai ke mana saja dalam
waktu singkat. Hanya
Pandan Wangi saja yang tahu. Dan si Kipas Maut itu
juga langsung bisa menebak kalau Pendekar Rajawali
Sakti pasti menuju Bukit Batu menggunakan Rajawali
Putih, yang sekaligus gurunya.
"Paman, kita harus segera menyusul," kata Suryadanta.
"Tanyakan dulu pada Nini Pandan Wangi. Kalau
dia bilang tidak perlu, kalian tidak perlu memaksa,"
sahut Paman Randaka kalem.
"Tapi...."
"Sudahlah, kalian tidur saja. Besok pagi, baru ki-ta pergi sama-sama ke Bukit
Batu," selak Pandan Wangi cepat, memutuskan ucapan Suryadanta.
Meskipun masih diliputi kecemasan dan keti-
dakmengetian, tapi tak ada seorang pun yang bisa
membantah lagi. Sementara, Pandan Wangi sudah
bangkit berdiri dan melangkah menjauhi api unggun.
Paman Randaka juga berdiri, dan berjalan mengikuti si Kipas Maut. Dia ikut
duduk, begitu Pandan Wangi duduk di atas sebatang pohon mati yang sudah roboh.
Sementara, Rahtama dan kedua adiknya masih saja
duduk di dekat api unggun.
"Kenapa kau kelihatan begitu tenang, Nini?"
tanya Paman Randaka ingin tahu sikap Pandan Wangi
yang seperti tidak peduli atas kepergian Rangga seo-
rang diri ke Bukit Batu.
"Paman sendiri, kenapa juga kelihatan tenang?"
Pandan Wangi malah balik bertanya.
"Aku harus bisa bersikap tenang di depan mere-
ka, Nini Pandan," sahut Paman Randaka beralasan.
"Dan kau sendiri?"
"Sudah lama sekali aku selalu bersama-sama
Kakang Rangga. Dan aku tahu apa yang dilakukannya
tidak akan membahayakan dirinya. Kalaupun terjadi
sesuatu, aku yakin Kakang Rangga bisa mengatasi,"
sahut Pandan Wangi kalem.
"Tampaknya kau begitu percaya pada kemam-
puannya, Nini Pandan," ujar Paman Randaka.
"Ya...," sahut Pandan Wangi agak mendesah.
"Aku memang seringkali mendengar tentang dia,
Nini Pandan. Dan kudengar, dia memiliki burung rak-
sasa yang bisa ditunggangi. Benarkah itu, Nini..?"
Pandan Wangi hanya mengangguk saja.
"Apakah kepergiannya ke Bukit Batu sekarang ini juga menggunakan tunggangannya
itu?" tanya Paman Randaka ingin meyakinkan diri.
"Aku rasa begitu, Paman," sahut Pandan Wangi kalem.
"Sungguh hebat dia," puji Paman Randaka. Lagi-lagi Pandan Wangi hanya tersenyum
mendengar pujian
itu. Sementara, Paman Randaka sudah berdiri lagi.
"Tidurlah, Nini. Biar aku yang menjaga malam ini," ka-ta Paman Randaka.
"Terima kasih, Paman," sahut Pandan Wangi.
Saat Paman Randaka berlalu, Anggita tampak meng-
hampiri si Kipas Maut. Sedangkan Pandan Wangi su-
dah membaringkan tubuhnya. Kedua tangannya terli-
pat di bawah kepala, untuk dijadikan bantal. Anggita langsung saja merebahkan
tubuhnya di samping si Kipas Maut. Hanya sedikit Pandan Wangi melirik, kemu-
dian mengangkat kepalanya sedikit. Ditatapnya Paman
Randaka yang kini tengah berbincang-bincang dengan
Rahtama dan Suryadanta.
Tampaknya, ketiga laki-laki itu sudah memu-
tuskan untuk tidak tidur malam ini. Pandan Wangi
kembali melirik Anggita, namun gadis itu sudah meme-
jamkan matanya. Tapi Pandan Wangi tahu, Anggita be-
lum tidur. Atau paling tidak tengah berusaha untuk
bisa tidur lelap.
"Hhh.."
Sambil menghembuskan napas panjang-panjang,
Pandan Wangi memejamkan matanya. Gadis itu juga
ingin sekali tidur. Tubuhnya sudah terasa begitu pe-
nat, setelah seharian penuh terguncang-guncang di
atas punggung kuda. Bahkan senja tadi, sampai ma-
lam harus menggali lubang untuk menguburkan Ki
Wirasaba dan semua muridnya yang tewas.
*** Sementara itu, Rangga yang pergi malam itu juga
ke Bukit Batu, memang memanggil Rajawali Putih un-
tuk mengantarkannya. Dengan demikian Pendekar Ra-
jawali Sakti bisa cepat sampai ke tempat tujuan. Bahkan hanya dalam waktu
sebentar saja, sudah tiba di
atas puncak Bukit Batu.
Beberapa kali Rangga meminta Rajawali Putih
memutari puncak bukit itu. Dan memang sesuai den-
gan namanya, bukit itu hanya terdiri dari batu-batu
saja. Satu pun tidak terlihat adanya pepohonan yang
tumbuh di sana. Tapi di sekitar kaki bukit, begitu lebat pepohonan yang tumbuh.
"Turun di sana, Rajawali!" seru Rangga sambil menunjuk ke sebuah batu sebesar
kerbau yang berada
tepat di tengah-tengah puncak Bukit Batu.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih langsung meluruk ke arah yang
ditunjuk Rangga. Begitu cepatnya, sehingga dalam se-
kejapan mata saja sudah tiba di tempat yang diingin-
kan Rangga. Dengan gerakan manis sekali, Pendekar
Rajawali Sakti melompat turun dari punggung rajawali raksasa tunggangannya.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan
suara saat kakinya menjejak
bebatuan di atas bukit ini. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Tak ada
tanda-tanda kehidupan
sedikit pun di sekitar puncak bukit ini. Sepanjang ma-ta memandang, hanya
bebatuan saja yang tampak.
Bahkan hanya desir angin saja yang terdengar, me-
nyapu telinganya.
"Khrrrk...!"
Rangga berpaling begitu mendengar Rajawali Pu-
tih mengkirik kecil sambil menjulurkan kepala melewa-ti bahu pemuda berbaju
rompi putih itu.
"Ada apa, Rajawali?" tanya Rangga sambil me-
mandangi wajah burung rajawali raksasa itu.
"Khrrr...!"
"Hm...."
Sebentar Rangga mencoba memahami. Keningnya
sedikit berkerut, dan kelopak matanya jadi menyipit.
Kemudian, pandangannya diarahkan, sejajar juluran
kepala burung rajawali raksasa berbulu putih kepera-
kan itu. "Hup!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melom-
pat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuhnya.
Sehingga hanya sekali lompatan saja, dia sudah sam-
pai di tepi sebuah jurang yang ada di tengah-tengah
puncak bukit ini.
"Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti
saat menjulurkan kepalanya ke bawah. Tampak di da-
sar jurang yang berbatu, tergeletak sesosok tubuh perempuan tua dengan kepala
hancur dan dada terbelah.
Darah yang keluar sudah membeku. Dan tidak jauh
dari tubuh wanita tua itu, terlihat seekor anjing hutan tengah mengendap-endap
mendekati. Bau anyir darah
rupanya menarik perhatian binatang liar pemakan
daging itu. "Oh, tidak... Binatang keparat itu tidak boleh
menjamah tubuhnya," desis Rangga dalam hati.
Terkesiap hati Rangga saat melihat anjing hutan
semakin mendekati sosok tubuh perempuan tua yang
tergeletak tak bernyawa lagi di dasar jurang batu itu.
Dan lebih terkesiap lagi, begitu melihat bukan hanya satu ekor yang datang.
Tapi, masih ada beberapa ekor lagi. Cepat Rangga berpaling ke belakang, menatap
Rajawali Putih yang masih mendekam membelakangi se-
bongkah batu yang besarnya hampir sama dengan tu-
buh burung rajawali raksasa itu.
"Rajawali! Usirlah anjing-anjing liar itu!" seru Rangga sambil menunjuk ke dasar
jurang. "Khraaagkh...!"
"Hup! Yeaaah...."
Secepat Rajawali Putih melesat, secepat itu pula
Rangga meluruk turun ke dasar jurang. Begitu ringan
sekali gerakannya, seakan-akan kedua kakinya tidak
menjejak bebatuan sama sekali. Dan tepat di saat
Rangga mencapai dasar jurang, seekor anjing hutan
sudah melompat hendak menerkam tubuh perempuan
tua yang kepalanya telah pecah itu.
"Hiyaaat..!"
Tapi Rangga lebih sigap lagi. Dengan kecepatan
luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil
melepaskan satu tendangan keras tanpa tenaga dalam
sedikit pun juga. Begitu cepat tindakannya sehingga
tendangannya tepat menghantam tubuh anjing hutan
itu. Tapi baru saja anjing hutan itu terpental, datang seekor lagi yang langsung
melompat hendak menerkam
Pendekar Rajawali Sakti.
"Heyaaa...!! "
Belum juga anjing hutan itu sampai, Rangga su-
dah lebih dulu melesat. Langsung diberikannya satu
pukulan keras, tanpa disertai pengerahan tenaga da-
lam sedikit pun juga. Anjing hutan itu mendengking
begitu tubuhnya terkena pukulan keras Pendekar Ra-
jawali Sakti. Dan pada saat yang bersamaan, dari angkasa meluruk deras Rajawali
Putih. "Khraaagkh...!"
Sambil berkaokan keras, burung rajawali raksasa
itu mengebutkan sayapnya ke arah anjing-anjing hu-
tan yang semakin liar saja. Kesempatan ini tidak disia-
siakan Rangga. Dengan cepat sekali pemuda itu me-
lompat, dan langsung menyambar tubuh perempuan
tua yang sudah tidak bernyawa lagi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Rangga
langsung melesat tinggi ke udara. Dan dengan manis
sekali, Pendekar Rajawali Sakti hinggap di atas punggung Rajawali Putih sambil
memondong tubuh perem-
puan tua itu. "Cepat pergi dari sini, Rajawali!" seru Rangga.
"Khragkh...!"
Wusss! Hanya sekali mengepakkan sayapnya saja, Raja-
wali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa. Se-
mentara di dasar jurang, anjing- anjing hutan melo-
long-lolong sambil menengadahkan kepalanya. Se-
dangkan Rajawali Putih sudah tinggi melambung ke
angkasa, dan terus melesat ke arah Selatan.
"Terus saja ke balik bukit sana, Rajawali!" seru Rangga sambil menunjuk sebuah
bukit kecil di depannya. "Khragkh...!"
Tidak jauh di balik bukit itu, Pandan Wangi, Pa-
man Randaka dan ketiga orang murid Nyai Langis ten-
gah menunggu. Tapi, sudah tentu Rangga tidak mem-
bawa Rajawali Putih sampai ke sana. Dan memang,
Pendekar Rajawali Sakti sudah punya tempat untuk
mendarat. Dan yang pasti, tidak akan ada seorang pun yang tahu. Rangga memang
selalu memilih tempat
yang sepi kalau bersama Rajawali Putih.
"Khragkh...!"
"Ada apa, Rajawali,..?" tanya Rangga.
"Khragkh...!"
Rangga jadi kelihatan bingung, tidak tahu apa
yang dilihat Rajawali Putih sebenarnya, hingga berkaokan begitu keras. Dan
tampaknya, burung rajawali
raksasa itu gelisah sekali. Apa sebenarnya yang dilihat Rajawali Putih dari
angkasa..."
"Heh..."! Apa itu...?"
Kedua kelopak mata Rangga jadi terbelalak lebar.
Ternyata Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah per-
tarungan di tengah-tengah hutan, tempat Pandan
Wangi, Paman Randaka, dan ketiga orang murid Nyai
Langis menunggu. Jelas sekali terlihat dari angkasa, mereka tengah bertarung
sengit melawan puluhan
orang. "Edan..!! Dengan siapa mereka bertarung...?" desis Rangga bertanya sendiri dalam
hati. Dari angkasa, Pendekar Rajawali Sakti terus
memperhatikan. Jelas sekali terlihat kalau yang dihadapi sahabat-sahabatnya
berjumlah sangat besar. Dan


Pendekar Rajawali Sakti 82 Selendang Sutera Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandan Wangi sendiri kelihatannya sudah mengelua-
rkan kedua senjata mautnya. Dan itu berarti lawan-
lawan yang dihadapi tidak sembarangan. Paling tidak, memiliki tingkat kepandaian
yang tidak rendah.
"Rajawali, bubarkan mereka semua," perintah Rangga.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih langsung saja meluruk turun den-
gan deras sekali sambil berkaokan keras. Dan begitu
dekat, sayapnya dikepak-kepakkan beberapa kali,
sambil terus berkaokan keras memekakkan telinga.
Kemunculan burung rajawali raksasa itu tentu saja
membuat mereka yang tengah bertarung jadi terkejut
setengah mati. Dan sebentar saja, mereka jadi kehilangan kendali.
Bahkan beberapa orang terlihat berpentalan ter-
kena sambaran sayap Rajawali Putih yang sangat be-
sar dan kokoh. Sementara, Pandan Wangi berlompatan
mendekati Paman Randaka dan ketiga murid Nyai
Langis. "Cepat kalian menyingkir. itu Kakang Rangga...!"
seru Pandan Wangi
"Ayo, cepat menyingkir...!" teriak Paman Randaka. Meskipun masih kebingungan,
ketiga murid Nyai
Langis langsung berlompatan menyingkir. Mereka
mengikuti Pandan Wangi dan Paman Randaka yang
sudah lebih dulu keluar dari kancah pertarungan. Se-
mentara, Rangga yang berada di atas punggung Raja-
wali Putih, baru bisa menarik napas lega setelah melihat semua sahabatnya sudah
berada di tempat yang
aman. "Usir mereka semua, Rajawali. Tapi, jangan sam-
pai ada yang terbunuh!" perintah Rangga lagi.
"Khraaagkh...!"
Rajawali putih terus berputaran sambil menge-
pakkan sayapnya yang lebar. Akibatnya orang-orang
yang tadi menggempur sahabat-sahabat Pendekar Ra-
jawali Sakti jadi berpelantingan tak tentu arah. Mereka berusaha sebisa mungkin
menghindari amukan burung rajawali raksasa. Teriakan-teriakan keras meng-
gema saling susul, ditingkahi erangan kesakitan.
Sebentar saja, mereka semua sudah berlarian
meninggalkan tempat itu. Dan Rangga segera meme-
rintahkan Rajawali Putih untuk mendarat. Meskipun
bertubuh hampir sebesar bukit, burung rajawali rak-
sasa itu bisa mendarat ringan bagai segumpal kapas.
Rangga langsung melompat turun sambil tidak mele-
paskan tubuh perempuan tua dari pondongannya,
yang dibawa dari puncak Bukit Batu.
"Nyai...!"
Anggita menjerit keras, dan langsung mengham-
bur begitu Rangga menurunkan tubuh perempuan tua
itu dari pondongannya. Gadis cantik berbaju kuning
gading itu menubruk tubuh yang sudah kaku tak ber-
nyawa lagi, sesaat setelah Rangga menaruhnya di atas tanah berumput yang
dibasahi embun. Saat itu, Rahtama dan Suryadanta menghampiri. Kedua pemuda itu
berdiri mematung di belakang Anggita, dengan pan-
dangan mata nanar dan berkaca-kaca.
Paman Randaka dan Pandan Wangi melangkah
menghampiri Rangga yang jadi terlongong melihat
Anggita menangis sambil memeluk tubuh perempuan
tua yang dibawa dari Bukit Batu. Sungguh sama sekali tidak diketahuinya kalau
perempuan tua yang diba-wanya ini adalah Nyai Langis, guru ketiga anak muda
itu. Dan memang, Rangga belum pernah mengenal
Nyai Langis. "Di mana kau temukan jasadnya, Rangga?" tanya Paman Randaka, agak parau
suaranya. "Di dalam jurang, di puncak Bukit Batu," sahut Rangga.
"Tampaknya sudah lama meninggalnya," desah Pandan Wangi menyelak.
"Ya! Dia kutemukan sudah seperti itu," sahut Rangga, juga mendesah suaranya.
Keheningan kembali menyelimuti mereka semua.
Tak ada seorang pun yang membuka suara, kecuali
isak tangis Anggita yang tertahan. Sementara, Rahta-ma dan Suryadanta masih
tetap berdiri mematung, ti-
dak tahu lagi harus berbuat apa. Walaupun tidak ada
setitik pun air mata yang keluar, tapi sudah pasti mereka begitu berduka
mendapatkan gurunya sudah tak
bernyawa lagi. *** 6 Perlahan Anggita bangkit berdiri, dan perlahan
pula berpaling ke belakang memandangi kedua kakak
seperguruannya yang tengah berbincang-bincang den-
gan Paman Randaka, Pandan Wangi, dan Pendekar Ra-
jawali Sakti. Kembali wajahnya berpaling memandang;
pusara gurunya. Sementara, matahari sudah naik cu-
kup tinggi. Setelah berdiri mematung di samping ma-
kam Nyai Langis cukup lama, gadis itu baru memutar
tubuhnya dan melangkah menghampiri yang lain.
Pandan Wangi langsung menghampiri, dan me-
lingkarkan tangannya ke pundak Anggita. Memang, di
antara mereka semua hanya Anggita yang kelihatan-
nya begitu terpukul atas kematian Nyai Langis. Kedua matanya jadi membengkak
karena semalaman penuh
menangis. Dan tangisnya baru berhenti setelah jasad gurunya dikebumikan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Rangga"
Nyai Langis sudah tidak ada. Dan kita tidak tahu, di mana pencuri Selendang
Sutera Emas itu berada," ka-ta Paman Randaka.
"Apa pun yang akan terjadi, aku tetap akan men-
cari Selendang Sutera Emas itu. Walaupun nyawa ta-
ruhannya," desis Rahtama tegas. "Aku akan meletakkan selendang itu di samping
jasad Nyai Guru."
"Bagaimana kau akan mencari si pencuri itu,
Rahtama?" tanya Paman Randaka.
Rahtama tidak langsung menjawab. Memang, se-
karang ini bukan hanya dia saja yang tidak tahu keberadaan si pencuri Selendang
Sutera Emas. Tapi me-
mang semuanya tidak ada yang tahu. Terlebih lagi,
Rangga dan Pandan Wangi. Kedua pendekar muda dari
Karang Setra itu benar-benar tidak tahu tentang hal
ini. Bahkan belum pernah melihat bentuk Selendang
Sutera Emas itu.
"Paman! Sebagian jiwa Nyai guru Langis ada pada Selendang Sutera Emas itu. Aku
yakin, Nyai Guru
Langis belum seutuhnya meninggal. Nyai Guru pasti
bisa bangkit lagi kalau selendang itu sudah didapatkan kembali," kata Rahtama
mantap. "Gurumu sudah meninggal, Rahtama. Sebaiknya
relakan saja kepergiannya," kata Paman Randaka.
"Tidak, Paman. Meskipun Nyai Guru tidak bisa
bangkit lagi, tapi aku harus membalas kematiannya,"
sentak Rahtama tegas.
"Hm.... Aku yakin, orang yang membunuh Nyai
Guru Langis pasti juga yang membunuh Paman Wira-
saba dan murid-muridnya."
"Dia bisa mengalahkan guru dan paman gurumu,
Rahtama. Pasti kepandaianmu tidak ada seujung kuku
baginya. Bagaimana kau bisa membalaskan kematian-
nya...?" "Aku siap mati untuk itu, Paman," tegas Rahtama. "Ya! Aku juga, Paman. Demi
baktiku pada Nyai Guru, nyawaku akan kukorbankan," sahut Suryadanta. "Kami
bertiga akan menuntut balas kematian Nyai Guru, Paman," sambung Anggita.
Suaranya masih terdengar agak bergetar, karena kesedihannya.
Paman Randaka tidak bisa berkata-kata lag meli-
hat tekad anak-anak muda itu. Sedangkan Rangga dan
Pandan Wangi hanya diam saja mendengarkan semua
pembicaraan itu. Tapi dalam hati, Pendekar Rajawali
Sakti memuji tekad keras dari anak-anak muda itu.
Memang, tidak ada yang lebih terpuji dari tindakan
seorang murid, selain menunjukkan bakti setianya.
Sekalipun nyawa harus dikorbankan demi darma bakti
pada guru yang telah membimbing dan membekali il-
mu-ilmu kedigdayaan.
Dan memang, sejak Rahtama dan adik-adik se-
perguruannya menemui Rangga di Istana Karang Se-
tra, sudah beberapa kali mendapat serangan orang-
orang yang tidak dikenal. Seperti serangan tadi. Mere-ka hampir dibuat kalang-
kabut oleh serangan dari
orang-orang tak dikenal. Untung saja, Pendekar Raja-
wali Sakti cepat datang bersama Rajawali Putih.
Mereka memang tahu, orang-orang itu mengin-
ginkan Selendang Sutera Emas. Apalagi sekarang ini
kabar tentang selendang sakti itu sudah tersebar luas di kalangan orang-orang
persilatan. Sehingga, tidak
sedikit dari mereka yang haus benda-benda sakti un-
tuk memburunya. Tapi entah kenapa, justru murid-
murid Nyai Langis yang dikira menyimpan Selendang
Sutera Emas itu.
Rangga sendiri jadi penasaran dan ingin tahu,
seperti apa Selendang Sutera Emas itu. Rasa penasa-
rannya inilah yang membuatnya selalu mengkuti keti-
ga murid Nyai Langis itu, di samping juga ingin mem-
bantu mendapatkan kembali Selendang Sutera Emas.
Tapi, sampai mereka menguburkan jasad Nyai Langis,
belum juga diperoleh petunjuk sedikit pun juga, ten-
tang keberadaan Selendang Sutera Emas itu.
"Sebaiknya, kita ke padepokan Nyai Langis saja.
Siapa tahu di sana kita memperoleh petunjuk," saran Pandan Wangi.
"Sejak Selendang Sutera Emas hilang, tidak ada
seorang pun yang datang lagi ke sana. Dan memang,
Nyai Guru Langis melarang kami datang ke sana, sebe-
lum Selendang Sutera Emas ditemukan," kata Rahta-ma. "Di mana letak padepokan
guru kalian?" tanya Rangga.
"Sebelah Timur Bukit Batu, tidak jauh dari bukit itu. Dan Bukit Batu dijadikan
tempat berlatih kami,"
jelas Rahtama. "Sebaiknya, kalian semua memang pergi ke sana.
Biar aku yang menjaga dari atas," kata Rangga.
Mereka semua serentak memalingkan wajah me-
natap Rajawali Putih yang berada tepat di belakang
Pendekar Rajawali Sakti. Rajawali Putih mengkirik kecil sambil mengangguk-
anggukkan kepala, seakan-
akan mengerti semua pembicaraan itu tadi.
"Bagaimana...?" tanya Pandan Wangi.
Semua mengangkat pundak. Langsung saran
yang diberikan Rangga tadi disetujui. Dan mereka
memang sudah begitu percaya pada Rajawali Putih.
Semalam saja dengan mudah mampu membubarkan
pertarungan, tanpa ada seorang pun yang terluka pa-
rah. Apalagi, sampai terbunuh. Memang kalau yang
belum mengenal, bisa mati berdiri bila melihat Rajawa-li Putih. Burung
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti
itu memang sangat menyeramkan.
"Sebaiknya, berangkat saja sekarang. Aku rasa,
menjelang senja nanti sudah sampai di padepokan
Nyai Langis," kata Rangga.
"Ayo, kita berangkat sekarang," ajak Pandan Wangi.
Rangga baru melompat naik ke punggung Raja-
wali Putih, setelah yang lain bergerak menuju ke Padepokan Nyai Langis. Dan
sebentar saja, Pendekar Raja-
wali Sakti sudah mengangkasa. Dari atas awan, ma-
tanya terus memperhatikan kelima orang yang berge-
rak cepat menembus lebatnya hutan. Memang dengan
berkuda seperti itu, perjalanan jadi lebih singkat. Sebentar saja mereka sudah
keluar dari hutan, dan terus menuju Bukit Batu. Lalu, mereka menyusuri kaki
bukit menuju ke Timur.
Sementara dari angkasa, Rangga sudah melihat
sebuah bangunan sederhana yang letaknya tidak jauh
di sebelah Timur Bukit Batu. Sebuah bangunan yang
tidak begitu besar, dan tampak sunyi sekali, karena
memang tidak lagi ditempati. Tapi keadaannya masih
tetap kelihatan bersih dan rapi.
"Turun di sini, Rajawali!" pinta Rangga sambil menunjuk ke arah bangunan
sederhana yang letaknya
cukup terpencil. "Tapi jangan terlalu dekat. Firasatku mengatakan kalau ada
orang di dalam rumah itu."
"Khraaagkh...!"
*** Rangga meminta Rajawali Putih meninggalkan
tempat itu, setelah hinggap di tanah. Tapi Rajawali Putih juga diminta agar
tidak terlalu jauh. Setelah Rajawali Putih kembali mengangkasa, baru Rangga me-
langkah menghampiri bangunan yang terbuat dari be-
lahan papan kayu yang sangat sederhana bentuknya.
Tapi begitu jaraknya tinggal sekitar dua batang
tombak lagi dari pintu, mendadak saja....
Wusss! "Heh..."! Uts!"
Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke
kiri, begitu tiba-tiba dari sebuah jendela terbuka yang berada di sebelah kanan
pintu, meluncur sebatang
tombak yang begitu cepat. Tombak ini melesat, lewat
sedikit di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Dan belum juga pemuda berbaju rompi putih itu
bisa tegak kembali, dari jendela yang terbuka cukup
lebar itu kembali terlihat beberapa batang tombak berhamburan dengan kecepatan
luar biasa ke arahnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting
ke udara. Dan dengan mempergunakan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega' dihalaunya tombak-tombak
yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Kedua tan-
gannya bergerak begitu cepat, diimbangi gerakan tu-
buh yang sangat indah. Sehingga tak satu pun tom-
bak-tombak yang berhasil menyentuh tubuhnya. Bah-
kan tidak sedikit yang berpatahan terkena sambaran
kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang bergerak
begitu cepat bagai sepasang sayap rajawali.
"Hap!"
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga sedikitpun tidak menimbulkan suara
saat kakinya menjejak tanah
kembali. Dan tombak-tombak itu pun tidak lagi terli-
hat berhamburan dari balik jendela bangunan rumah


Pendekar Rajawali Sakti 82 Selendang Sutera Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padepokan itu. Rangga berdiri tegak dengan sikap
waspada penuh. Tatapan matanya begitu tajam tanpa
berkedip sedikit pun.
"Siapa di dalam"! Keluar...!" seru Rangga dengan suara lantang menggelegar.
Tak ada sahutan sedikit pun juga. Tapi tidak be-
rapa lama kemudian....
Slap!. "Hup...!"
Tepat di saat sebuah bayangan meluncur cepat
keluar dari jendela, Rangga langsung melenting ke belakang dan berputaran be
berapa kali. Begitu indah ge-
rakannya. Bahkan manis sekali kakinya menjejak ke
tanah kembali. Saat itu juga keningnya jadi berkerut, begitu melihat seorang
wanita muda berwajah cantik
sudah berdiri tegak sekitar dua batang tombak di de-
pannya. "Siapa kau, Kisanak"! Apa keperluanmu datang
ke sini?" tanya wanita muda dan cantik berbaju merah menyala yang ketat itu.
Meskipun suaranya terdengar halus dan lembut,
tapi di balik suaranya tersimpan nada yang sangat
dingin. Dan belum juga Rangga bisa menjawab, pintu
bangunan padepokan Nyai Langis sudah terbuka. Dan
dari dalam, muncul empat orang gadis cantik yang se-
muanya mengenakan baju warna kuning, dengan sebi-
lah pedang tergantung di pinggang. Keempat gadis itu mengambil tempat di
belakang wanita cantik berbaju
merah menyala yang keluar lebih dulu.
"Dengar, Kisanak. Kalau kau tidak ada keperluan di sini, sebaiknya segera
pergi," kata wanita cantik berbaju merah itu dingin.
"Aku tidak kenal kalian semua. Apakah kalian
murid Nyai Langis...?" tanya Rangga kalem. Tapi, nada suaranya jelas mengandung
kecurigaan. "Heh..."! Kau kenal Nyai Langis" Apa hubungan-
mu dengannya?" wanita cantik berbaju merah itu tampak terkejut atas pertanyaan
Rangga. "Aku ingin bertemu dengannya. Ada sesuatu yang
hendak kusampaikan padanya," sahut Rangga me-
mancing. "Apa yang ingin kau sampaikan?"
"Sayang sekali, aku harus menyampaikan lang-
sung pada orangnya, dan tidak bisa diwakili. Karena, ini menyangkut sebuah benda
pusaka yang tidak ada
bandingannya di jagat raya ini," sahut Rangga, terus
memancing. "Hm.... Benda apa itu?"
"Selendang Sutera Emas."
"Heh..."!"
Bagaikan tersambar petir, wanita cantik berbaju
merah itu begitu terkejut. Bahkan sampai terlompat ke belakang dua langkah.
Namun sesaat kemudian, tatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata be-
gitu tajam, seperti tengah menyelidik. Sedangkan
Rangga kelihatan begitu tenang.
"Di mana Selendang Sutera Emas itu" Apa ada
padamu?" tanya wanita cantik berbaju merah menyala itu tidak sabar.
"Kau ini siapa"! Aku tidak bisa memberikan Se-
lendang Sutera Emas itu pada siapa pun juga, selain
Nyai Langis atau murid-muridnya yang dipercayakan."
"Aku Nyai Selasih, orang kepercayaan Nyai Lan-
gis. Kau bisa menyerahkan Selendang Sutera Emas
padaku. Nyai Langis sedang bersemadi, dan tidak bisa diganggu siapa pun juga,"
kata wanita cantik itu. Nada suaranya kelihatan dibuat-buat, agar kelihatan
tegas. "Hm...," Rangga menggumam kecil dengan kelopak mata sedikit menyipit.
Jelas sekali apa yang dikatakan wanita cantik
yang mengaku Nyai Selasih itu hanya bualan saja. Dan pancingan Pendekar Rajawali
Sakti benar-benar mengenai sasaran. Kecurigaan yang sejak tadi sudah tum-
buh, kini semakin menebal saja. Rangga yakin, wanita-wanita cantik ini pasti
segelintir orang-orang yang
menginginkan Selendang Sutera Emas. Dan tampak-
nya, Nyai Selasih tidak menyadari kalau pemuda tam-
pan berbaju rompi putih itu sedang menjebaknya.
"Maaf. Setahuku, hanya tiga orang saja murid
Nyai Langis. Dan hanya satu orang saja yang wani-
ta...," kata Rangga, tetap tenang nada suaranya.
"Kisanak...! Berikan Selendang Sutera Emas itu
padaku! Cepat..!" sentak Nyai Selasih mulai tidak sabar. "Maaf. Aku tidak bisa
memberikannya padamu atau siapa pun juga. Aku harus menyerahkan pada
pemiliknya, atau murid-muridnya," tegas Rangga.
"Keparat..! Serahkan selendang itu atau kau ingin mampus, heh...?" geram Nyai
Selasih tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
Dan sikap yang ditunjukkan wanita cantik berba-
ju merah menyala itu sudah membuat Rangga semakin
tidak percaya saja. Diyakini wanita-wanita cantik ini adalah beberapa dari
mereka yang sedang memburu
Selendang Sutera Emas milik Nyai Langis yang hilang
dicuri orang. Tapi, Rangga juga tidak bisa memastikan, apakah mereka juga telah
membunuh Nyai Langis, Ki
Wirasaba, dan semua muridnya.
Tapi kalau dilihat dari senjata yang tersandang,
rasanya memang tidak mungkin kalau mereka yang
melakukan semua pembunuhan itu. Jelas, luka-luka
yang ada adalah akibat tebasan senjata golok. Sedangkan wanita-wanita ini
menyandang senjata berbentuk
pedang. "Cepat serahkan Selendang Sutera Emas itu!"
bentak Nyai Selasih, mulai terdengar kasar suaranya.
"Maaf, aku...!"
"Setan...! Serang dia...!" geram Nyai Selasih memerintah dengan suara lantang
menggelegar. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hap!"
*** Cepat Rangga melompat ke belakang, begitu tiba-
tiba saja empat orang gadis yang berada di belakang
Nyai Selasih berlompatan sambil mencabut pedang
masing-masing. Sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah dikepung dari empat
penjuru oleh empat orang
gadis cantik yang semuanya menghunus pedang.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa menilai,
sampai di mana tingkat kepandaian keempat orang
gadis cantik ini dari cara melompat tadi. Begitu indah dan ringan gerakannya,
pertanda memiliki kepandaian
yang tidak bisa dipandang rendah. Dan Rangga yakin,
wanita cantik berbaju merah yang bernama Nyai Sela-
sih itu memiliki kepandaian lebih tinggi daripada
keempat gadis cantik pengawalnya.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa diperintah lagi, empat orang gadis cantik
yang semuanya mengenakan baju warna kuning gad-
ing itu langsung berlompatan menyerang Pendekar Ra-
jawali Sakti secara bersamaan, dari empat jurusan.
Tapi, bukanlah Rangga kalau hanya mendapat seran-
gan seperti itu sudah gentar. Dan pemuda berbaju
rompi putih itu segera menggeser kakinya sedikit ke
depan. Lalu dengan gerakan manis sekali tubuhnya di-
rundukkan, menghindari sabetan sebatang pedang
yang datang dari sebelah kiri.
Wuk! "Yeaaah...!"
Begitu mata pedang lewat di atas kepala, cepat
sekali Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya.
Dan begitu salah seorang gadis yang di depan sudah
begitu dekat, satu kaki Pendekar Rajawali Sakti cepat menghentak, tepat mengarah
ke perut. Begitu cepat
sentakan kaki kanannya, sehingga gadis berbaju kun-
ing itu jadi terperangah. Namun belum juga telapak
kaki Rangga bisa menghantam perut gadis itu, tiba-
tiba saja.... Bet! "Uts...!"
Hampir saja kaki Pendekar Rajawali Sakti terba-
bat putus, kalau tidak segera ditarik. Salah seorang gadis pengawal Nyai Selasih
begitu cepat mengebutkan pedang, untuk menyelamatkan temannya yang terancam
tendangan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti tadi.
Dan belum juga Rangga bisa berdiri tegak, dari
arah belakang sudah datang lagi satu serangan yang
begitu cepat luar biasa. Suara desingan pedang me-
layang membuat Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat
merundukkan tubuhnya. Maka, tebasan pedang dari
arah belakang itu hanya lewat di atas kepala.
"Hup...!"
Cepat-cepat Rangga melompat ke depan dua
langkah, dan langsung melenting ke udara begitu ka-
kinya menjejak tanah. Pada saat yang bersamaan, em-
pat orang gadis yang mengeroyoknya berlompatan me-
nyerang kembali sambil cepat membabatkan pedang
secara bergantian.
"Hiyaaa...!"
Beberapa kali Rangga melakukan putaran di uda-
ra, kemudian kembali meluruk ke bawah dan menje-
jakkan kakinya ke tanah. Kini, jaraknya dengan keem-
pat gadis pengeroyoknya sekitar satu batang tombak.
Tapi, keempat gadis yang semuanya mengenakan baju
warna kuning itu cepat memutar tubuhnya berbalik,
dan mereka langsung berlompatan hendak mengurung
Pendekar Rajawali Sakti kembali.
"Hup! Yeaaah...!"
Dengan cepat sekali Rangga sudah melenting ke
udara. Dan bagaikan kilat tubuhnya meluruk deras,
menyongsong keempat gadis cantik itu. Sungguh su-
kar diikuti pandangan mata biasa, tahu-tahu Rangga
sudah melepaskan pukulan-pukulan keras mengan-
dung pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan gadis-gadis itu tidak sempat lagi
menghindari serangan yang datang begitu cepat luar biasa. Sedangkan saat itu,
mereka semua sedang berlompatan hendak melakukan
serangan, tapi Rangga sudah lebih dulu menyerang.
Dan.... Des! Buk! "Akh.."
"Hegkh...!"
Dua orang gadis langsung terpental ke belakang,
begitu terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi
yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan
dua orang lagi berhasil menghindar dengan melenting
ke atas dan berputaran beberapa kali.
Manis sekali Rangga kembali menjejakkan ka-
kinya di tanah, dan langsung saja berhadapan dengan
Nyai Selasih. Wanita cantik berbaju merah itu jadi terpana melihat empat gadis
pengawalnya dibuat tidak
berdaya menghadapi pemuda tampan yang berbaju
rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung
rajawali di punggung.
Sementara, dua orang gadis merintih sambil be-
rusaha bangkit berdiri dibantu dua orang gadis lain
yang berhasil menghindari serangan kilat Pendekar
Rajawali Sakti tadi. Tampak dari sudut bibir kedua gadis cantik berbaju kuning
itu mengeluarkan darah
agak kental. Memang cukup keras juga pukulan yang
dilepaskan Rangga, walaupun hanya disertai pengera-
han tenaga dalam tidak penuh.
"Siapa kau sebenarnya"!" tanya Nyai Selasih begitu terbangun dari
keterpanaannya.
"Hm...," Rangga hanya menjawab dengan gumaman kecil saja.
*** 7 Perlahan Rangga menggeser kakinya beberapa
langkah ke depan, lebih dekat dengan Nyai Selasih.
Sementara, empat orang gadis yang semuanya berwa-
jah cantik dan mengenakan baju warna kuning gading
sudah berada di belakang wanita cantik berbaju merah menyala itu. Tampak dua
orang gadis yang terkena
pukulan Rangga tadi, masih berusaha mengatur jalan
pernapasannya. "Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nisa-
nak. Siapa kau, dan apa tujuanmu menguasai pondok
Nyai Langis ini...?" terdengar dingin sekali nada suara Rangga.
Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti terlihat begi-
tu tajam, seakan-akan hendak menembus langsung ke
dalam hati Nyai Selasih lewat dua bola matanya yang bening dan indah. Dan
tatapan Rangga yang begitu tajam, dibalas Nyai Selasih dengan tidak kalah
tajamnya. Seakan-akan, mereka berdua sedang mengukur ting-
kat kepandaian masing-masing.
"Aku tahu, kau memiliki kepandaian tinggi, Kisanak. Tapi tidak ada gunanya
dipamerkan di depanku,"
desis Nyai Selasih, tidak kalah dingin.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam kecil.
"Kau baru boleh bertanya padaku, kalau mampu
mengalahkanku, Kisanak," kata Nyai Selasih lagi.
Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut
mendengar kata-kata Nyai Selasih yang begitu dingin
dan mengandung nada tantangan. Perlahan kakinya
bergeser ke kiri beberapa langkah, tapi Nyai Selasih malah mengikuti arah
geserannya. Perlahan Nyai Selasih menarik tangannya, dan meletakkan di atas
gagang pedang yang tersampir di pinggang. Kemudian gagang
pedangnya digenggam erat-erat. Sedangkan Rangga
hanya memandang saja tangan yang sudah menggeng-
gam pedang itu. Walau belum tercabut dari warangka.
Dan suasana pun terasa begitu tegang. Sementa-
ra, empat orang gadis berbaju kuning gading yang tadi bertarung melawan Pendekar
Rajawali Sakti sudah
mulai menyingkir menjauh. Mereka tahu, tidak berapa
lama lagi pasti akan terjadi pertarungan sengit antara dua tokoh sakti yang
memiliki ilmu-ilmu kedigdayaan
tinggi. Sret!

Pendekar Rajawali Sakti 82 Selendang Sutera Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cring! "Oh..."!"
Rangga sempat terkesiap begitu Nyai Selasih
mencabut pedangnya. Seketika itu juga, menyemburat
cahaya terang yang menyilaukan dari seluruh mata
pedang di tangan Nyai Selasih. Begitu terangnya, sampai-sampai Rangga harus
menyipitkan kelopak ma-
tanya. Kemudian kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, namun pada saat
itu juga.... "Hiyaaat...!"
"Heh..."! Hup!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti
ketika tiba-tiba saja Nyai Selasih melompat begitu cepat bagai kilat. Pedangnya
juga langsung dibabatkan
ke leher pemuda berbaju rompi putih itu.
Wuk! "Uts...!"
Cepat-cepat Rangga menarik kepala ke belakang,
hingga tubuhnya jadi agak doyong ke belakang untuk
menghindari tebasan pedang wanita cantik berbaju
merah itu. Dan bergegas Pendekar Rajawali Sakti me-
lompat ke belakang sejauh lima langkah, begitu ujung pedang yang memancarkan
cahaya menyilaukan mata
itu lewat di depan tenggorokannya.
"Hap...!"
"Hiyaaa...!"
Tapi, Nyai Selasih tampaknya tidak sudi mem-
biarkan Pendekar Rajawali Sakti mengambil kesempa-
tan untuk balas menyerang. Dengan cepat sekali dia
kembali melompat menyerang, sebelum Rangga benar-
benar siap. Tapi, kebutan pedang yang begitu cepat
kembali dapat dihindari Rangga dengan mudah. Dan
Nyai Selasih kelihatannya jadi semakin berang saja.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa....'" Beberapa kali Nyai Selasih mengebutkan pedangnya,
disertai pengerahan te-
naga dalam tinggi sekali. Begitu tinggi tingkat tenaga dalamnya, sehingga setiap
pedangnya bergerak berkelebat, selalu menimbulkan deru angin keras mengge-
tarkan jantung. Tapi, Rangga bukanlah anak kemarin
sore yang mudah gentar mendengar kebutan senjata
yang begitu dahsyat. Walaupun tidak memiliki kesem-
patan untuk balas menyerang, tapi dengan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', serangan-serangan itu bisa dihindari dengan manis dan
tangkas sekali.
Dan serangan-serangan yang dilancarkan Nyai
Selasih pun semakin dahsyat saja. Begitu cepat sekali pedangnya berkelebat,
sehingga cahaya yang memancar dari pedangnya tampak menutupi seluruh tubuh-
nya. Dan ini membuat Rangga semakin sulit untuk
membalas. Sedikit pun tidak ada kesempatan untuk
membalas menyerang baginya.
*** "Hup! Hiyaaa....'"
Tiba-tiba saja Rangga melenting tinggi-tinggi ke
udara, tepat di saat Nyai Selasih membabatkan pe-
dangnya ke arah kaki. Dan begitu berada di atas kepa-la, bagai kilat Pendekar
Rajawali Sakti meluruk deras.
Kedua kakinya bergerak berputar begitu cepat, menga-
rah ke kepala wanita cantik yang seluruh tubuhnya
sudah berselubung cahaya berkilatan dari pedang di
tangan kanan. "Heh..."!"
Wuk! Begitu terkejutnya Nyai Selasih mendapat seran-
gan yang begitu cepat dan tiba-tiba dari Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tanpa
disadari, pedangnya dikebutkan ke atas kepala. Namun tanpa diduga sama se-
kali, Rangga malah berputar begitu cepat. Dan tahu-
tahu Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri di depan
wanita berbaju merah itu. Lalu sebelum Nyai Selasih
bisa menyadari, tiba-tiba saja Rangga sudah menghen-
takkan tangan kanannya dengan kecepatan luar biasa
ke arah dada. "Yeaaah...!"
Begkh! "Akh...l"
Begitu keras dan cepat pukulan yang dilepaskan
Rangga, sehingga Nyai Selasih tidak sempat lagi menghindar. Dan pukulan yang
disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi itu tepat menghantam dada, membuat
wanita itu terpekik dan langsung terpental jauh ke belakang.
Begitu kerasnya, hingga tiga batang pohon yang
terlanda tubuh Nyai Selasih hancur seketika. Dan wa-
nita itu berhenti melayang setelah menghantam se-
bongkah batu sebesar kerbau, sampai hancur berkep-
ing-keping. Nyai Selasih terkapar dengan mulut penuh darah di antara pecahan
batu. Sementara, Rangga
berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan
dada. "Nyai...!"
Empat orang gadis pengawal Nyai Selasih segera
berhamburan menghampiri. Mereka langsung menja-
tuhkan diri, berlutut mengelilingi wanita cantik yang masih tergeletak dengan
mulut berlumur darah. Memang sungguh dahsyat pukulan yang dilepaskan
Rangga. Tadi, Pendekar Rajawali Sakti memperguna-
kan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang disertai tenaga dalam tinggi,
walaupun tidak sepenuhnya.
Sedikit pun Nyai Selasih tidak bergerak, dan ini
membuat empat orang gadis pengawalnya jadi kebin-
gungan. Namun, tiba-tiba saja mereka bangkit berdiri.
Pandangan mereka langsung tertuju begitu tajam se-
kali ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat..! Bunuh dia...!" seru salah seorang gadis itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Bagaikan singa-singa betina yang sedang murka,
keempat gadis cantik itu berlompatan menyerang
Rangga. Pedang mereka langsung berkelebat cepat
mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Namun dengan gerakan begitu manis, Pendekar Raja-
wali Sakti berlompatan sambil meliuk menghindari se-
tiap serangan yang datang.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga merubah jurusnya dari jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' ke jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Kedua tangannya terpentang lebar
dan bergerak begitu cepat, menyambar keempat gadis-
gadis yang menyerangnya. Demikian cepat serangan-
nya, sehingga keempat gadis cantik itu tidak dapat lagi menghindar.
Jeritan-jeritan tertahan kesakitan pun seketika
terdengar saling sambut, disusul bergelimpangannya
gadis-gadis itu. Sementara, Rangga kembali berdiri tegak dengan kedua tangan
terlipat di depan dada. Se-
dangkan keempat gadis itu tidak ada lagi yang bisa
bangkit berdiri. Mereka bergelimpangan sambil merin-
tih menahan sakit pada tubuhnya, akibat terkena ke-
butan kedua tangan Rangga yang mengandung penge-
rahan tenaga dalam tinggi. Dan pada saat itu, datang Pandan Wangi yang diikuti
Paman Randaka dan ketiga
murid Nyai Langis.
Rangga berpaling sedikit begitu telinganya men-
dengar langkah kaki kuda menghampiri. Tampak me-
reka yang datang berlompatan turun dari punggung
kuda masing-masing, dan bergegas menghampiri Pen-
dekar Rajawali Sakti. Mereka tampak kebingungan me-
lihat di sekitar tempat itu ada lima orang wanita cantik bergelimpangan dengan
mulut penuh berlumur darah.
Sedikit pun tak terlihat luka pada tubuh mereka, tapi tak ada seorang pun yang
bergerak lagi. "Siapa mereka, Kakang...?" tanya Pandan Wangi sambil mengedarkan pandangan
memandangi wanita-wanita yang bergelimpangan.
"Aku tidak tahu, siapa mereka sesungguhnya.
Mereka sudah ada di sini, dan menginginkan Selen-
dang Sutera Emas milik Nyai Langis," sahut Rangga.
"Aku kenal perempuan itu...!" sentak Paman Randaka tiba-tiba, sambil menunjuk
Nyai Selasih. Bukan hanya Rangga dan Pandan Wangi yang
terkejut dan langsung berpaling ke arah yang ditunjuk Paman Randaka. Bahkan
ketiga murid Nyai Langis
langsung berpaling menatap wanita berbaju merah
yang tergeletak tak bergerak-gerak di antara reruntuhan pecahan batu yang tadi
terlanda tubuhnya.
"Maksud, Paman. Nyai Selasih...?" tanya Rangga ingin mematikan.
"Benar! Perempuan laknat itu," sahut Paman Randaka, agak mendengus suaranya.
"Aku tahu betul, siapa dia. Hm.". Pasti dia yang membunuh Nyai Langis." "Siapa
dia sebenarnya, Paman?" tanya Rahtama, agak gusar nada suaranya.
Belum juga Paman Randaka bisa menjawab, Nyai
Selasih terlihat mulai bergerak sambil merintih kecil.
Disekanya darah yang menggumpal memenuhi rongga
mulutnya. Perlahan kedua kelopak matanya mulai
mengerjap terbuka, lalu bergerak bangkit perlahan-
lahan. "Ohhh...!?"
Nyai Selasih jadi terperanjat, begitu melihat di
sekitarnya sudah ada orang lain, selain Pendekar Ra-
jawali Sakti. Cepat tubuhnya menggerinjang bangkit
berdiri, namun jadi limbung. Seketika tangan kanan-
nya mendekap dada erat-erat. Dan belum juga bisa
berdiri tegak kembali, segumpal darah kental berwarna agak kehitaman tersembur
dari mulutnya. "Hoeeek...!"
Tubuh Nyai Selasih kembali limbung, lalu jatuh
terduduk dengan napas terengah. Sepertinya, rongga
dadanya terhimpit sebongkah batu yang sangat besar.
Pandangan matanya pun jadi nanar berkunang-
kunang. Kembali dicobanya bangkit berdiri. Tapi be-
lum juga tubuhnya bisa diangkat, kembali terjatuh.
Sedikit suara rintihan kecil terdengar. Kemudian, wanita itu kembali menggeletak
diam tak sadarkan diri.
"Dia terluka dalam. Tolong pindahkan ke dalam,"
ujar Rangga meminta.
"Tapi...," Rahtama ingin membantah.
Namun sebelum bantahan pemuda itu selesai,
Rangga sudah bergerak tanpa bicara lagi. Langsung
saja tubuh wanita cantik berbaju merah menyala itu
diangkat, dan dibawa masuk ke dalam pondok Nyai
Langis. Sementara yang lain hanya memandangi saja,
tidak mengerti semua yang dilakukan Pendekar Raja-
wali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi yang sudah mengerti
benar dengan watak Rangga, segera mengangkat salah
seorang gadis yang menggeletak dekat dengannya. Dan
kakinya melangkah mengikuti Pendekar Rajawali Sakti
yang masuk ke dalam pondok
"Ayo, angkat yang lain," perintah Paman Randaka. Tanpa bisa membantah lag,
ketiga murid Nyai
Langis itu mengikuti jejak Rangga dan Pandan Wangi.
Hanya Anggita saja yang tidak mendapat bagian, dan
hanya mengkuti dari belakang. Tapi, kelihatan jelas
kalau kening gadis itu berkerut. Mungkin masih belum mengerti dengan semua yang
dilakukan para pendekar
digdaya itu. Jelas sekali, wanita-wanita itu bisa tidak sadarkan diri karena
bertarung dengan Rangga tadi.
Tapi, justru pendekar itu malah ingin menolongnya.
Memang sulit memahami watak seorang pende-
kar. Terlebih lagi, kalau seorang pendekar besar dan
digdaya seperti Pendekar Rajawali Sakti. Bagi Anggita yang belum berpengalaman
dalam rimba persilatan,
apa yang dilakukan Rangga memang tidak bisa dimen-
gerti akal sehatnya.
Tapi memang tidak ada kesempatan baginya un-
tuk bisa mengerti. Sementara di dalam pondok, Rang-
ga, Pandan Wangi, dan Paman Randaka sudah mulai
sibuk mengobati wanita-wanita itu. Sedangkan ketiga
murid Nyai Langis hanya bisa menyaksikan tanpa
mampu berbuat apa-apa.
*** Nyai Selasih dan keempat gadis pengawalnya
hanya bisa duduk bersimpuh di depan Pendekar Raja-
wali Sakti yang didampingi Pandan Wangi. Sedangkan
Paman Randaka dan ketiga murid Nyai Langis duduk
di belakang kedua pendekar muda dan digdaya dari
Karang Setra itu. Tampak sekali, kesehatan wanita-
wanita itu sudah pulih kembali, walaupun wajah me-
reka masih kelihatan pucat. Namun, terlihat jelas kalau sorot mata Nyai Selasih
seperti menyimpan den-
dam pada Pendekar Rajawali Sakti yang telah menjadi-
kannya pecundang.
"Kenapa kau tidak membunuh saja kami semua,
Kisanak" Kami akan merasa lebih terhormat kalau ma-
ti di tangan pendekar berilmu tinggi," kata Nyai Selasih dengan sorot mata
begitu tajam, seakan-akan hendak
menembus ke dalam mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Terlalu banyak alasan untuk tidak mengirim
orang sepertimu ke neraka, Nyai Selasih. Dan aku ti-
dak bisa membunuh orang yang aku tidak tahu ala-
sannya," tenang sekali jawaban Rangga.
"Itu juga bukan alasan orang yang sudah lama
berkecimpung dalam rimba persilatan, Kisanak. Aku
tahu, siapa dirimu. Jurus-jurus yang kau perlihatkan tidak ada duanya di dunia
ini. Kau pasti yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Hm... Ternyata hanya
seperti itu seorang pendekar ternama yang ditakuti.
Tidak mau membunuh lawannya yang sudah kalah,"
terasa begitu dingin nada suara Nyai Selasih.
Tapi Rangga hanya tersenyum saja mendengar-
nya. Dan diakui kata-kata yang diucapkan Nyai Sela-
sih tadi bisa membuat darah siapa saja yang menden-
garnya jadi bergolak mendidih. Namun tidak demikian
halnya dengan Rangga yang memang dikenal berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti. Rangga sama sekali tidak ter-pancing, bahkan
membalasnya dengan senyum.
Lain halnya dengan Pandan Wangi, Paman Ran-
daka, dan ketiga murid Nyai Langis. Mereka sudah be-
gitu geram melihat sikap yang ditunjukkan Nyai Sela-


Pendekar Rajawali Sakti 82 Selendang Sutera Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sih. Terlebih lagi, kata-katanya yang mengandung tantangan terbuka pada Rangga
tadi. Namun mereka ti-
dak bisa berbuat sesuatu, melihat Rangga hanya diam
saja. Bahkan tersenyum tenang mendapatkan tantan-
gan yang begitu terbuka tadi.
"Nyai! Kau tahu, di mana Nyai Langis sekarang
berada...?" tanya Rangga setelah terdiam sesaat.
Pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti jelas sekali
tidak menghiraukan tantangan yang diberikan Nyai Se-
lasih tadi. Tapi bagi wanita cantik yang mengenakan
baju merah menyala itu, pertanyaan Rangga barusan
merupakan sebuah jawaban pasti dari tantangannya.
Dan bibirnya jadi tersenyum mendengar pertanyaan
itu. Sebuah senyuman yang mengandung banyak arti.
"Kau berada di pondok Nyai Langis. Tentu kau
tahu, bagaimana Nyai Langis sekarang...," kata Rangga dengan suara terdengar
seperti terputus.
"Ya, aku sudah tahu," sahut Nyai Selasih sambil tersenyum sinis.
"Kau tahu, siapa yang membunuhnya?" tanya
Rangga, agak ditekan suaranya.
"Tahu," tegas Nyai Selasih.
Bibir wanita itu masih saja menyunggingkan se-
nyuman sinis. Sedangkan sorot matanya begitu tajam
menatap ketiga murid Nyai Langis yang duduk bersila
di belakang Rangga. Tampak jelas sekali kalau ketiga murid Nyai Langis itu
berusaha menahan diri mendengar jawaban-jawaban yang ketus dari wanita ini. Se-
bentar kemudian, pandangan Nyai Selasih kembali be-
ralih pada wajah tampan Rangga. Meskipun sorot ma-
tanya masih tetap terlihat tajam, namun senyuman di
bibirnya sudah berubah, begitu pandangannya kemba-
li bersarang di wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa yang membunuh Nyai Langis?" tanya
Rangga tetap dengan nada suara ditekan.
"Gajah Ireng," sahut Nyai Selasih diiringi senyum di bibir.
"Siapa itu Gajah Ireng?" selak Rahtama dengan suara terdengar gusar.
Tapi Nyai Selasih hanya menjawab pertanyaan itu
dengan tawa kecil saja. Dan ini membuat Rahtama
semakin bertambah gusar saja. Maka, mendadak saja
dia bangkit berdiri, dan langsung melompat menerjang perempuan cantik berbaju
merah menyala itu.
"Perempuan keparat! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Sret! Bet! "Haifit..!"
Cepat sekali Rahtama mencabut pedangnya sam-
bil melompat menerjang. Langsung pedangnya diba-
batkan ke leher Nyai Selasih. Tapi hanya menarik ke-
pala sedikit saja, Nyai Selasih bisa menghindarinya.
Dan sabetan pedang pemuda itu hanya lewat di depan
tenggorokan saja.
"Yeaaah...!"
Tapi, Rahtama tidak berhenti sampai di situ saja.
Cepat sekali pedangnya diputar, dan langsung ditu-
sukkan ke arah dada. Dan tepat pada saat itu, Nyai
Selasih merapatkan kedua telapak tangan di depan
dada. Sehingga, ujung pedang Rahtama yang hampir
menembus kulit dada yang membusung indah itu ber-
hasil dijepit kuat.
"Hih...!"
Sambil mengerahkan tenaga dalam, Rahtama
mencoba menarik pedang dari jepitan kedua telapak
tangan Nyai Selasih. Dan pada saat yang bersamaan,
Nyai Selasih menghentakkan kedua tangan ke depan
sambil melepaskan jepitannya pada pedang pemuda
itu. Hingga tak pelak lagi, tubuh Rahtama terpental deras ke belakang.
"Hiyaaa...!"
Untung saja pada saat yang gawat, Rangga me-
lompat cepat Langsung ditangkapnya tubuh Rahtama
yang hampir saja menghantam tiang yang berdiri di
tengah-tengah ruangan depan pondok Nyai Langs. Ma-
nis sekali Rangga menjejakkan kakinya di lantai, dan menurunkan Rahtama dari
pondongannya. "Tahan, Rahtama...!" sentak Rangga sambil mencekal tangan Rahtama yang sudah
terangkat naik hen-
dak menyerang Nyai Selasih lag.
"Huh!"
Rahtama mendengus kesal. Lalu tangannya ditu-
runkan lagi setelah Rangga melepaskan cekalannya
pada pergelangan tangan yang menggenggam pedang.
Kemudian satu langkah Rangga maju ke depan. Se-
mentara, Nyai Selasih dan keempat gadis pengawalnya
sudah berdiri dengan sikap menantang. Saat itu, me-
reka yang tadi duduk di belakang Rangga juga sudah
berdiri. Sikap mereka tampak siaga, menghadapi per-
tarungan yang bisa saja terjadi, mengingat suasana
sudah demikian panas.
*** 8 "Hup!"
"Hiyaaa...!"
Begitu Nyai Selasih melesat keluar dari dalam
pondok ini, keempat gadis pengawalnya juga mengiku-
ti. Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak, Pan-
dan Wangi, Paman Randaka, Suryadanta, dan Anggita
sudah berlompatan mengejar Nyai Selasih dan keem-
pat orang gadis pengawalnya.
"Hup! Hiyaaa....'"
Rahtama juga bergegas keluar. Sedangkan Rang-
ga masih tetap berdiri tegak memandangi mereka yang
kini sudah berdiri saling berhadapan di tengah-tengah halaman yang cukup luas di
depan. Dengan ayunan
kaki yang begitu tenang, Pendekar Rajawali Sakti me-
langkah ke luar. Dan dia berdiri saja di ujung tangga beranda depan pondok yang
berukuran cukup besar
ini. "Tahan....!!"
Keras sekali teriakan Rangga, tepat di saat mere-
ka yang berada di luar hendak bertarung. Bentakan
yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu
membuat mereka semua yang ada di tengah-tengah
lapangan langsung berpaling ke arah Pendekar Raja-
wali Sakti. "Hup!"
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga hanya seka-li lesatan saja, Rangga
sudah berdiri tegak di tengah-tengah, antara dua kelompok yang sudah saling
bersi- tegang ini. Rangga berdiri tegak, tepat di antara Nyai Selasih dan Paman Randaka
yang berdiri saling berhadapan.
"Kuminta kalian semua bisa menahan diri. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah
tanpa diketahui sebab-sebabnya," terdengar lantang sekali suara Pendekar
Rajawali Sakti.
Tak ada seorang pun yang membuka suara.
Mereka semua mengarahkan pandangan pada pemuda
tampan yang selalu mengenakan baju rompi warna pu-
tih itu. Dan pada saat itu, dari arah jalan setapak yang menuju pondok ini,
terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap tanpa baju tengah berjalan.
Ayunan kakinya man tap dan lebar-lebar. Seketika, pandangan
semua orang yang ada di tengah-tengah halaman de-
pan pondok mendiang Nyai Langis jadi tertuju pada la-ki-laki berusia separuh
baya yang menyandang sebilah golok berukuran cukup besar di pundak kanan.
"Ada apa ini, Nyai Selasih...?" tanya laki-laki bertubuh tinggi tegap dan tidak
mengenakan baju, begitu dekat dengan Nyai Selasih.
"Tanyakan saja pada mereka, Gajah Ireng," sahut Nyai Selasih sambil mencibirkan
bibirnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan orang-orang yang ada di
belakang pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
"Ah! Sudahlah, Nyai. Biarkan saja mereka. Yang
penting, Selendang Sutera Emas yang kau inginkan
sudah kudapatkan," kata laki-laki bertubuh tinggi tegap yang ternyata Gajah
Ireng. "Oh! Benarkah itu..." Mana selendang itu, Ga-
jah Ireng?" kedua bola mata Nyai Selasih langsung berbinar bercahaya.
"Ada! Tapi, kau harus penuhi dulu janjimu,
Nyai," sahut Gajah Ireng kalem.
"Aku tidak pernah ingkar, Gajah Ireng. Serah-
kan dulu Selendang Sutera Emas itu padaku, baru
anak dan istrimu akan kubebaskan," sahut Nyai Selasih.
"Di mana mereka, Nyai?"
"Mereka ada di tempat yang aman dan nyaman.
Kau tidak perlu khawatir, Gajah Ireng. Kalau selen-
dang itu sudah kau serahkan, baru kuberitahukan
tempatnya. Oh, ya di mana kau dapatkan selendang
itu" Dan siapa yang mencurinya?"
"Selendang itu kutemukan di perguruan milik
adik bungsu Nyai Langis, karena memang dititipkan di sana. Dan tanpa kekerasan
yang berarti, aku berhasil mengambil selendang itu. Bodoh sekali wanita itu. Dia
pergi bersemadi dengan hanya meninggalkan murid-murid keroco. Maka mudah sekali
aku menyusup ke
perguruannya untuk mengambil selendang itu," jelas Gajah Ireng.
Gajah Ireng melepaskan kantung kulit yang di-
ikatkan di pinggangnya dengan sulur pohon. Tapi begi-tu tangannya menjulur
hendak menyerahkan kantung
kulit itu, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat
begitu cepat. Dan tahu-tahu, kantung kulit tangan Gajah Ireng sudah lenyap.
"Heh..."!"
Bukan hanya Gajah Ireng yang terbeliak kaget. Bahkan Nyai Selasih sampai
terlompat ke belakang dua lang-
kah. Dan begitu mereka berpaling, tampak Paman
Randaka sudah memegang kantung kulit yang tadi be-
rada di tangan Gajah Ireng. Laki-laki tua bertubuh
agak bungkuk dan berbaju jubah panjang warna hitam
itu cepat-cepat membuka kantung kulit itu. Dan dari
dalamnya dikeluarkannya sebuah selendang sutera
berwarna kuning keemasan yang berkilatan tertimpa
cahaya matahari
"Setan keparat! Berikan selendang itu...!" bentak Gajah Ireng berang.
Wuk! Langsung saja Gajah Ireng mengebutkan golok-
nya ke depan. Kedua tangannya yang kokoh dan bero-
tot menggenggam tangkai golok dengan erat Ujung go-
loknya diarahkan ke dada Paman Randaka. Sementa-
ra, Nyai Selasih juga berang melihat Selendang Sutera Emas yang diimpikannya
kini jatuh ke tangan laki-laki tua berjubah hitam yang dikenal bernama Paman
Randaka. "Bunuh dia, Gajah Ireng!" bentak Nyai Selasih gusar. "Ghrrr...!"
Gajah Ireng menggereng bagaikan seekor bina-
tang buas. Perlahan kakinya melangkah menghampiri
Paman Randaka yang sudah memasukkan kembali Se-
lendang Sutera Emas ke dalam kantung kulit harimau.
Dan Paman Randaka sendiri cepat-cepat melangkah
mundur begitu melihat Gajah Ireng sudah mendekati
dengan golok terhunus ke arahnya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Gajah Ireng
melompat begitu cepat menerjang Paman Randaka.
Goloknya yang berukuran sangat besar diayunkan dis-
ertai pengerahan tenaga dalam penuh, hingga menim-
bulkan suara angin menderu bagai topan.
Wuk! "Haiiit..!"
Tapi dengan gerakan ringan dan man is sekali,
Paman Randaka berhasil menghindari sabetan golok
berukuran besar itu. Dan Gajah Ireng tidak berhenti
sampai di situ saja. Dengan cepat sekali goloknya ditarik, dan langsung
dibabatkan ke arah kepala laki-laki tua berjubah hitam itu sambil berteriak
keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Namun pada saat yang bersamaan, tiba-tiba saja
Rangga melesat bagai kilat, hingga sukar sekali diikuti pandangan mata biasa.
Begitu cepatnya, hingga tidak
ada seorang pun yang bisa melihat kalau Pendekar Ra-
jawali Sakti menjentikkan ujung jarinya, tepat pada
ujung golok Gajah Ireng yang hampir saja membelah
kepala Paman Randaka.
"Tring! "Ikh...! *** Hampir saja golok di tangan Gajah Ireng terle-
pas, kalau saja tidak segera dipindahkan ke tangan ki-ri. Cepat-cepat laki-laki
tinggi besar itu melompat ke belakang sambil berputar beberapa kali di udara,
sebelum kakinya kembali menjejak tanah. Mulutnya meng-
gereng seperti seekor singa terluka, begitu melihat
Rangga tahu-tahu sudah berdiri di depan Paman Ran-
daka. "Ghrrr...!"
"Tahan...! Tidak seharusnya kau menyerang
orang yang tidak bersalah, Paman," ujar Rangga, agak keras suaranya.
"Minggir kau, Bocah!" bentak Gajah Ireng.
"Sekilas, kudengar percakapan mu dengan Nyai
Selasih tadi," kata Rangga kalem. "Paman..., aku ingin membantumu. Tapi, kuminta
tahanlah dirimu sedikit
saja." "Hm...," Gajah Ireng menggumam perlahan.
Sedikit matanya melirik Nyai Selasih yang keli-
hatan jadi begitu gusar dengan turun tangannya Pen-
dekar Rajawali Sakti. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu,
Rangga sudah melangkah mende-
kati Gajah Ireng dengan sikap tenang. Senyuman ma-
nis pun tersungging di bibirnya.
"Aku tahu, kenapa kau bertindak di luar keingi-
nanmu, Paman. Tapi, setidaknya sekarang ini kau bisa melihat lebih jauh lagi.
Kau tahu, Paman. Ketiga orang itu adalah murid Nyai Langis, pemilik tunggal
Selendang Sutera Emas. Sedangkan Paman Randaka adalah
saudara kandung Nyai Langis. Jadi, memang lebih
pantas kalau mereka yang memegang selendang itu,
setelah Nyai Langis meninggal. Sedangkan kau men-
dapatkan selendang itu hanya untuk diserahkan pada
Nyai Selasih. Apakah kau yakin, kata-katanya bisa dipercaya..." Kau percaya
kalau anak istrimu sekarang
ini dalam keadaan sehat dan aman?"
Gajah Ireng tidak bisa berkata-kata lag menden-
gar penuturan Rangga yang begitu tegas dan bijaksa-


Pendekar Rajawali Sakti 82 Selendang Sutera Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

na. Sedikit matanya melirik Nyai Selasih. Jelas sekali, wajah wanita cantik itu
tampak memerah.
"Semua putusan sekarang ada padamu, Paman
Gajah Ireng. Dan aku tidak akan mencampuri urusan
ini. Tapi kalau ada yang bertindak curang, terpaksa aku akan ikut turun tangan,"
kata Rangga lebih tegas
lag. Berkali-kali Gajah Ireng memandang Rangga
dan Nyai Selasih bergantian. Dan perlahan tubuhnya
diputar berbalik menghadap wanita cantik yang men-
genakan baju warna merah menyala cukup ketat itu.
Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke
bola mata Nyai Selasih yang indah.
"Katakan, di mana anak dan istriku sekarang,
Nyai...?" desis Gajah Ireng dingin menggetarkan.
"Kau tidak bisa menggertakku, Gajah Ireng!"
bentak Nyai Selasih berang, "Turuti perintahku, atau kau ingin anak dan istrimu
mampus...!"
"Perempuan setan...! Kubunuh kau bila sampai
menyakiti mereka!" desis Gajah Ireng geram.
"Berikan dulu Selendang Sutera Emas itu pada-
ku, baru kuberi tahu keberadaan anak dan istrimu,"
kata Nyai Selasih masih bertahan.
"Tidak! Katakan dulu, di mana mereka!" bentak Gajah Ireng.
Nyai Selasih tersenyum tipis. Sementara, Gajah
Ireng semakin kelihatan bertambah berang saja meli-
hat sikap wanita cantik itu. Sambil menggereng bagai harimau, kakinya melangkah
mendekati wanita itu.
Dan tiba-tiba saja....
"Perempuan keparat! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Wuk! Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalam, tiba-tiba saja Gajah Ireng membabatkan golok-
nya ke arah kepala Nyai Selasih. Tapi hanya sedikit Nyai Selasih menarik kepala
ke belakang, sabetan golok yang berukuran cukup besar itu tidak sampai
mengenai sasaran.
Yeaaah...!"
Dan tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja
Nyai Selasih menghentakkan kaki kanannya sambil
memutar tubuhnya sedikit. Begitu cepatnya tendangan
yang dilepaskan wanita itu, sehingga Gajah Ireng tidak sempat lagi menghindar.
Terlebih lagi, saat itu seluruh perhatian dan kekuatannya tersalurkan pada
goloknya yang dibabatkan ke arah kepala tadi. Hingga....
Des! "Hugkh...!"
*** Gajah Ireng mengeluh pendek begitu tendangan
Nyai Selasih bersarang telak di perutnya. Dan di saat tubuhnya terbungkuk, cepat
sekali Nyai Selasih melepaskan satu pukulan keras yang disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Begitu cepat pukulannya, sehing-ga Gajah Ireng tidak sempat
lagi berkelit menghindar.
Dan.... Des! "Akh...!"
Gajah Ireng langsung terpental begitu wajahnya
terkena pukulan keras yang disertai pengerahan tena-
ga dalam tinggi. Tubuh tinggi besar dan berkulit hitam itu terpental sejauh dua
batang tombak ke belakang,
dan hampir saja jatuh telentang kalau saja Rangga tidak segera melompat
menahannya. Tapi, wajah laki-
laki berkulit hitam itu sudah berlumuran darah akibat terkena pukulan yang
begitu keras luar biasa dari Nyai Selasih tadi.
"Kau memang sudah tidak ada gunanya lagi, Ga-
jah Ireng. Sudah saatnya kau mampus! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Nyai
Selasih melesat begitu cepat bagai kilat. Dan saat itu juga, pedangnya dicabut
dan langsung dibabatkan ke
arah leher Gajah Ireng. Namun pada saat yang tepat,
Rangga cepat merampas golok yang masih tergenggam
di tangan laki-laki berkulit hitam itu. Lalu dengan cepat sekali golok itu
dikebutkan untuk melindungi leher pemiliknya dari sabetan pedang Nyai Selasih.
Trang! "Ikh...!"
Nyai Selasih jadi terpekik kecil begitu pedangnya
membentur golok yang kini berada di tangan Pendekar
Rajawali Sakti. Cepat-cepat wanita itu melompat ke belakang. Kedua bola matanya
jadi terbeliak lebar begitu melihat pedangnya kini tinggal separuh. Begitu
sempurna tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali
Sakti, sehingga bisa membabat buntung pedang di
tangan Nyai Selasih. Dan belum juga perempuan ber-
baju merah menyala itu bisa menghilangkan keterpa-
naannya, mendadak saja Rahtama sudah melompat
begitu cepat sekali sambil mengebutkan pedang.
"Hiyaaat..."
Bet! Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Rah-
tama, sehingga Nyai Selasih tidak sempat lagi berkelit.
Terlebih lagi, saat itu dia masih terpana karena pedang kebanggaannya terpenggal
hanya oleh sebuah golok
yang sebenarnya tidak berarti sama sekali. Tapi, di
tangan Pendekar Rajawali Sakti, golok itu benar-benar bagaikan membabat sebuah
batang pisang yang sangat
rapuh. Sementara itu, kebutan pedang Rahtama sudah
hampir mendekat Dan....
Wuk! Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tiba-tiba saja terdengar
begitu menyayat. Saat itu, Nyai Selasih tersentak. Dan
begitu disadari, dadanya sudah terbelah mengeluarkan darah segar. Hampir tidak
dipercayai dengan apa yang terjadi pada dirinya. Dan belum juga bisa menyadari
semua yang telah terjadi, Rahtama sudah memba-
batkan pedangnya kembali sambil mengerahkan keku-
atan tenaga dalamnya dengan penuh.
"Hiyaaa...!"
Bet! Cras! Kali ini, Nyai Selasih tidak menjerit sedikit pun.
Tubuh wanita itu hanya bisa berdiri terpaku dengan
kedua bola mata terbeliak lebar. Bahkan mulutnya
tampak ternganga, walaupun tidak mengeluarkan sua-
ra sedikit pun. Beberapa saat kemudian, tubuhnya jadi limbung. Dan tepat begitu
Rahtama menjejakkan kakinya kembali di tanah, tubuh Nyai Selasih sudah terguling
jatuh. Seketika, kepalanya terpisah dari leher.
Darah langsung menyembur dari leher yang kini sudah
tidak berkepala lagi.
"Mampus kau, huh...!" dengus Rahtama sambil menyemburkan ludahnya.
Sementara itu, empat orang gadis pengawal Nyai
Selasih hampir saja mengambil langkah seribu kalau
saja Pandan Wangi tidak cepat melompat menghadang
bersama Rangga.
"Katakan! Di mana kalian menahan anak dan is-
tri Paman Gajah Ireng?" tanya Rangga langsung dengan nada suara begitu dingin
dan menggetarkan.
"Di..., di pondok Nyai Selasih," sahut salah seorang gadis, tergagap.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Gajah Ireng
yang tahu-tahu sudah berada di samping Pendekar
Rajawali Sakti.
"Baik..., baik-baik saja."
"Kalian harus ikut mengantar ke sana!" dengus
Gajah Ireng. Empat orang gadis itu saling berpandangan,
kemudian sama-sama menganggukkan kepala. Gajah
Ireng langsung saja memutar tubuhnya berbalik, sete-
lah mengucapkan terima kasih pada Rangga dan me-
nyalaminya. Empat orang gadis anak buah Nyai Sela-
sih yang kini sudah tidak memiliki pegangan lagi itu tidak bisa lagi berbuat
lain, selain mengikuti Gajah Ireng meninggalkan pondok peninggalan Nyai Langis.
Sementara itu, Paman Randaka dan ketiga mu-
rid Nyai Langis menghampiri Rangga dan Pandan
Wangi yang tengah memandangi kepergian Gajah Ireng
bersama keempat orang gadis pengawal Nyai Selasih.
"Kenapa kau lepaskan dia, Kakang Rangga"
Bukankah dia yang membunuh Nyai Guru kami?"
tanya Rahtama seperti tidak puas karena Rangga
membiarkan Gajah Ireng pergi begitu saja.
"Dia melakukannya karena terpaksa dan men-
dapat tekanan. Jadi, menurutku dia tidak bersalah,"
sahut Rangga mencoba menjelaskan.
Rahtama dan kedua adik seperguruannya tidak
bisa membantah lagi. Mereka percaya, semua yang di-
lakukan Pendekar Rajawali Sakti tentu dari hasil pe-
mikiran yang matang. Sedangkan Paman Randaka
hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Di dalam
hati, dipujinya keluhuran hati Pendekar Rajawali Sakti yang bisa menilai begitu
cepat, dan bertindak sangat bijaksana.
"Rahtama! Ini milik gurumu dan kalian semua.
Jadi, sudah sepantasnya kalau kalian yang menyim-
pannya," kata Paman Randaka sambil menyerahkan
Selendang Sutera Emas yang masih tersimpan di da-
lam kantung dari kulit harimau.
"Tidak. Biar saja Paman Randaka yang mene-
rimanya," tolak Rahtama halus dan tegas.
"Selendang Sutera Emas ini tidak ada gunanya
bagiku. Dan hanya bisa digunakan oleh wanita," kata Paman Randaka, juga menolak.
"Kalau begitu, hanya Anggita saja yang berhak
menerimanya," sentak Pandan Wangi mengambil jalan tengah. "Tapi...," Anggita
juga ingin menolak.
"Tidak ada alasan lagi untuk menolak, Anggita.
Hanya kau satu-satunya yang berhak mewarisi benda
pusaka ini," kata Paman Randaka cepat.
Anggita jadi kebingungan. Tapi begitu Paman
Randaka menyerahkan kantung kulit berisi benda pu-
saka yang diributkan itu, gadis ini tidak dapat meno-laknya lagi. Dan setelah
semuanya bisa terselesaikan, Rangga dan Pandan Wangi bergegas mohon diri.
Meskipun Paman Randaka dan ketiga murid mendiang
Nyai Langis mencoba menahan, tapi Pendekar Rajawali
Sakti tetap ingin meneruskan petualangannya. Maka,
kepergian Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa ditahan lagi. Dengan menunggang
kuda, Rangga mengajak
Pandan Wangi untuk menemui Rajawali Putih yang
masih menunggu di tempat yang sudah ditentukan.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
Nurseta Satria Karang Tirta 10 Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian Durjana Dan Ksatria 8
^